presiden soekarno 7
ng,
revolusioner buat zaman yang akan datang. Revolusioner buat
159
semua zaman. Selama wanita ekonomis masih tergantung
kepada laki-laki, selama itu maka sosial pun ia akan tetap
tergantung kepada laki-laki. “Merdekakanlah wanita mencari
makannya sendiri!” Mary Wollstonecraft yaitu wanita
pertama yang pertama-tama mengeluarkan dalil ini!
Ia pun wanita pertama, -barangkali manusia pertama-, yang
justru untuk menjaga kesusilaan, menuntut supaya
pendidikan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi jangan
dipisahkan dalam sekolah sendiri-sendiri. Ia menuntut ko-
edukasi, satu cara pendidikan pemuda-pemudi bersama-
sama, yang sampai sekarang pun masih menjadi pertikaian
faham. Dan ia pun wanita pertama, yang menuntut supaya
wanita diberi latihan olah-raga. Sebab hanya wanita yang
sehatlah dapat melahirkan anak-anak yang sehat. Hanya
rakyat yang sehatlah dapat menjadi bangsa yang kuat. Hanya
bilamana wanita sehat badannya dan sehat batinnya, maka
wanita dapat memenuhi “panggilan alam” dengan sebaik-
baiknya. Justru supaya wanita dapat memenuhi panggilan
alam yang keramat itu, justru supaya ia dapat bertindak
sebagai Ibu yang sejati, yang dari haribaannya akan lahir
generasi baru yang sehat badaniah dan rohaniah, justru
sebab itulah wanita harus diberi hak-hak yang sama dengan
laki-laki, dijadikan “warga negara merdeka” sebagai laki-laki,
ditempatkan di samping laki-laki dan tidak di belakang laki-
laki.
Sebagai saya katakan tadi, bukan main kitab Mary
Wollstonecraft itu menggoncangkan fikiran umum. la dibicara-
kan orang di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di negeri-negeri
lain. la segera dijadikan bulan-bulanan serangan kaum laki-
laki yang tidak setuju kepadanya. la, sebagai Olympe de
Gouges, dinamakan sundal, dinamakan wanita yang telah
meleset dari rilnya, digambarkan dalam karikatur sebagai
orang-banci yang jelek yang tidak tentu laki-laki tidak tentu
wanita . Padahal ia yaitu seorang wanita yang
manis, dan halus budi, seorang wanita yang dalam arti
yang sebaik-baiknya yaitu seorang Wanita yang Utama.
namun memang sudah kebiasaan sejarah juga, bahwa sesuatu
orang yang mengeluarkan faham baru, dicerca, diejek, dimaki,
ditertawakan, dihina, mungkin dihukum. Mary Wollstonecraft
160
tidak sampai mendapat nasib disiksa atau dihukum, namun
aksi yang menentang kepadanya dengan cara yang curang dan
tidak adil, toh hebat pula. Kendati pun begitu, faham-faham
modern yang ia ajarkan itu, tak urung makin lama makin
banyak pengikutnya juga. Justru di negeri Inggerislah kelak
tempatnya pergerakan emansipasi wanita yang paling hebat.
Justru di negeri Inggeris itu nanti lahirnya pergerakan wanita,
yang kita kenali dengan nama pergerakan feminisme. Justru
di negeri Inggeris berkobarnya aksi wanita “suffragette”, yang
terutama sekali menuntut hak perwakilan bagi kaum
wanita . (Suffragium = hak-bersuara, hak-perwakilan).
Di Jermania pun faham menuntut persamaan hak bagi wanita
itu tumbuh. Hampir berbarengan dengan terbitnya kitab Mary
Wollstonecraft di Inggeris, terbitlah di Jermania kitab tulisan
Theodor von Hippel “Ueber die biirgerliche Verbesserung der
Weiber”, -yang artinya: “Tentang memperbaiki kedudukan
wanita sebagai warganegara”.
Apa sebab Revolusi Perancis, yang katanya menegakkan hak-
hak manusia itu, mengecualikan wanita dari politik dan
negara?, demikianlah yon Hippel bertanya dengan heran dan
kecewa. “Sekarang waktunya sudah tiba, untuk mengangkat
wanita menjadi rakyat”. Sebagai Mary Wollstonecraft, ia minta
pendidikan bersama bagi pemuda dan pemudi, menuntut
wanita diberi hak memasuki semua jabatan, mengemukakan
hak yang sama bagi semua orang laki-laki dan wanita
untuk dididik menjadi warga negara yang sebaik-baiknya. Ia
malahan menganjurkan supaya pemuda dan pemudi di bawah
umur 12 tahun diberi pakaian yang sama, agar supaya
kesehatan gadis-gadis dapat bertambah. (Pakaian gadis-gadis
di waktu itu amat tidak baik buat kesehatan). Ia membantah
anggapan, bahwa wanita itu “dari kodrat alam” lebih lemah
dibandingkan laki-laki, kalah kekuatan badan dengan laki-laki.
Tidakkah keuletan wanita pada waktu bersalin itu justru satu
bukti dibandingkan kekuatan tubuh wanita? Merdekakanlah
wanita itu supaya negara maju dan sehat! Negara akan
menjadi lebih aman, lebih kuat, lebih sejahtera, kalau wanita
di bawa serta dalam pembuatan hukum dan pemerintahan.
Kalau wanita di bawa serta, maka “niscaya tidak akan
begitu banyak orang-orang yang zalim, yang senang melihat
161
sesama manusia tenggelam bahtera hidupnya, dan tidak akan
begitu banyak orang-orang penghisap darah, yang
mempermainkan darah dan keringat rakyat dengan tiada
hingga dan tiada batas”.
Demikianlah von Hippel. Dengan Condorcet dan Wollstonecraft
ia yaitu penaruh alas-alas teori bagi pergerakan wanita
tingkat kedua. Dengan mereka itu ia bersamaan tuntutan,
bersamaan tujuan yang dekat, yaitu hilangnya perbedaan hak
antara laki-laki dan wanita . namun dasar faIsafahnya
yaitu agak berbeda. Condorcet menuntut persamaan hak
atas nama keadilan; menurut dia, tidak adillah, kalau laki-
laki dimerdekakan, dan wanita tidak. Mary Wollstonecraft
menuntut persamaan hak atas nama keibuan, atas nama
kewanitaan; wanita hanyalah benar-benar dapat menjadi
Ibu dan Isteri yang sempurna, bilamana ia dimerdekakan juga
seperti laki-laki. Theodor von Hippel menuntut persamaan hak
atas nama kesejahteraan warga dan negara;
warga dan negara akan lebih sehat, bilamana
wanita di bawa serta.
Condorcet, Wollstonecraft, von Hippel mengemukakan ide.
namun Olympe de Gouges memperjoangkan ide, “meng-
organisir” ide, “mengaksikan” ide. Nama empat pembela
wanita ini, di samping namanya Mercy Otis Warren dan Abigail
Smith Adams, akan tetap tersimpan di dalam kalbu ingatan
wanita-wanita yang sedar di seluruh dunia, ratusan tahun.
Bagaimanakah kisah kelanjutan perjoangan idee persamaan
hak ini? Sesudah periode Otis Warren, Smith Adams,
Condorcet, Wollstonecraft dan von Hippel, berdirilah kita di
muka pintu gerbang abad kesembilan belas. Abad kesembilan
belas ini sebenarnya tidak melahirkan ide-ide baru lagi
tentang emansipasi wanita. Hanya di dalam tahun 1869
terbitlah kitab John Stuart Mill, sosiolog Inggeris yang
termasyhur, yang bertitel “The Subjection of Woman”,
“Penaklukan kaum wanita”. Di dalam kitab ini ia menuntut
hak perwakilan bagi wanita dalam parlemen. Dialah yang
mengucap-kan kalimat yang termasyhur yang berbunyi:
“memiliki hak buat memilih orang-orang yang akan
memerintah, itu yaitu satu cara pembelaan diri, yang
162
menjadi hak tiap-tiap orang”. Dialah pula yang mengatakan,
bahwa wanita harus dimerdekakan dan dipersamakan dengan
laki-laki, supaya ia tidak sebagai sekarang, “lebih dulu
menjadi boneka permainan laki-laki dan lalu
penyiksanya dan perewelnya”. Sungguh ini satu ucapan yang
orisinil!, yang sama jitunya dengan ucapan Havelock Ellis
bahwa laki-laki memperlakukan wanita sebagai satu
“blasteran antara seorang dewi ... dan seorang tolol”! namun
pada pokok-nya, faham-faham John Stuart Mill tentang
wanita hanyalah pengulangan-pengulangan belaka dibandingkan
faham-faham yang telah dikemukakan oleh penganjur-
penganjur yang telah kita sebutkan. Abad kesembilanbelas
dus sebenarnya tidak melahirkan ide-ide baru tentang
emansipasi wanita itu. Ia hanya menunjukkan kelanjutan
perjoangan, di atas dasar fikiran-fikiran yang telah diletakkan
lebih dahulu.
Ya, apa yang harus “diteorikan” lagi? Sudah terang dan jelas
semua pokok-pokok dasar perjoangan, Hanya perjoangannya
yang belum berjalan dengan sempurna. Dan jalannya
perjoangan inipun di dalam abad kesembilan belas tidak
senantiasa memperlihatkan garis yang menaik. Hanya di
bagian kedua dibandingkan abad kesembilan belas itu ada
pergerakan wanita yang sangat hebat. Di bagian pertama
dibandingkan abad itu semangat seakan-akan padam. Seakan-
akan sudah tercapailah puncak gelombang samodra
pergerakan wanita di zamannya Olympe de Gouges, tatkala
ribuan, puluhan ribu wanita beraksi massaal menuntut
keadilan; tatkala suara pidato di mimbar memetir-metir;
tatkala jejak kaki ribuan wanita terdengar gemuruh menuju
kerapat-rapat umum, ke istana raja, ke gedung Balai Kota, ke
Majelis Nasional. Bagian pertama dari abad kesembilan belas
itu, kalau dibandingkan dengan zaman Olympe de Gouges,
yaitu sunyi, laksana sunyinya alam setelah taufan badai
berakhir.
Apa sebabnya kesunyian ini? Sebabnya ialah, bahwa
perbandingan-perbandingan sosial ekonomis di dalam
warga , sebagai yang saya uraikan di dalam bab III,
memang belum membuat masak semua syarat-syarat untuk
bergeloranya pergerakan emansipasi itu. Ide, teori, faham,
163
pokok pikiran emansipasi itu telah lahir lebih dahulu, namun
perjoangan untuk menjelmakan idee, teori, faham, serta pokok
fikiran itu masih menunggu panggilan. perbandingan-
perbandingan sosial ekonomis yang akan menggerakkan
perjoangan itu. Idee memang selalu mendahului pergerakan.
Misalnya ide atau faham sosialisme pun telah lahir dan di
teorikan dalam kitab-kitab di zamannya Fourier, Proudhon,
Marx dan Engels, namun pergerakan sosialisme barulah
berkobar betul-betul sesudah kapitalisme modern memekar
dan menghebat pada akhir abad kesembilan belas. Ide dan
faham fascisme telah menelur dalam kitab-kitab Machiavelli
dan Nietzsche, namun pergerakan fasisme barulah mengamuk
betul-betul sesudah kapitalisme itu “im Niedergang” dan
memerlukan pembelaan yang tak kenal kasihan. Maka
demikian juga halnya dengan pergerakan emansipasi wanita.
Badan nyonya-nyonya Otis Warren dan Smith Adams telah
lama menjadi debu, Olympe de Gouges dan Condorcet telah
lama pulang kerakhmatullah, Wollstonecraft -dan von Hippel
telah lama masuk ke alam barzah, -barulah, pada permulaan
bagian kedua dibandingkan abad kesembilan belas, pergerakan
emansipasi subur dan menggelora.
Sudah barang tentu terutama sekali mula-mula di Amerika
dan di Inggeris. Apa sebab justru mula-mula di dua negeri itu?
Oleh sebab di Amerika dan di Inggerislah perbandingan-
perbandingan sosial ekonomis lebih dulu menjadi masak
untuk melahirkan pergerakan emansipasi itu: Termasuknya
barang-barang buatan paberik dalam rumah tangga, membuat
kaum wanita dari golongan pertengahan dan atasan banyak
menganggur. Hidup-nya terserang penyakit kesal sebab
menganggur. Hidupnya menjadi kosong. Mereka ingin bekerja,
ingin “hidup”. Mereka lantas bergerak, menuntut “hak untuk
bekerja” dan hak-hak politik yang sama dengan kaum laki-
laki. (Lihatlah uraian dalam bab III).
Di dalam tahun 1851 di Inggeris diadakan satu rapat besar
oleh kaum wanita atasan untuk menuntut hak perwakilan
(buat wanita atasan saja!), dan diambilnya satu mosi yang
mereka kirimkan ke Majelis Rendah. Di dalam tahun 1866
mereka itu mempersembahkan satu surat permohonan lagi
kepada pemerintah dengan 1499 tandatangan, juga untuk
164
meminta hak perwakilan. Baru setahun lalu dibandingkan
itu, jadi dalam tahun 1867, parlemen mulai membicarakan
hak perwakilan wanita itu. namun putusannya ialah menolak
hak perwakilan wanita itu, dengan 196 suara lawan 73 suara.
Suara yang terbanyak berpendapat bahwa wanita tak perlu
dan tak harus ikut politik! Tempat wanita ialah di rumah
tangga, di samping buaian anak!
namun fihak wanita tidak putus asa. Mereka beraksi terus.
Demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat besar, surat-surat
kabar, pamflet-pamflet diadakan. Opini publik terus dikocok.
Akhirnya perhatian khalayak itu mulai ada yang condong juga
kepada tuntutan wanita. Pemimpin-pemimpin wanita Inggeris
di waktu itu memang tangkas-tangkas. Mereka umumnya
gagah berani, pandai benar berpidato, cakap menyusun
organisasi. namun reaksi kaum laki-laki pun bukan kepalang.
Sebagai tembok yang amat tinggi, reaksi laki-laki itu masih
menghalang-halangi berhasilnya aksi wanita.
Sampai silamnya abad kesembilan belas aksinya kaum feminis
Inggeris itu tetap sia-sia, atau lebih tegas: hasilnya belum
sepadan dengan energie yang telah dikeluarkan. Benar
sebagian dari tuntutannya, yaitu “hak untuk melakukan
sesuatu pekerjaan di warga ”, telah diluluskan, benar
mereka telah diizinkan masuk bekerja di beberapa cabang
pekerjaan, benar mereka telah dibolehkan mengunjungi
sekolah tinggi, namun tuntutannya yang terpenting -hak
perwakilan- belumlah terkabul. Padahal hak perwakilan ini
amat penting sekali untuk mendapat persamaan hak di semua
lapangan, ekonomis, yuridis, sosial! sebab itu, aksi kaum
feminis itupun tidak menjadi kendor, sebaliknya malah
menghebat, mengeras, menyengit. Tidak ada satu negeri di
Eropah, sesudah Revolusi Perancis, yang aksi feminis begitu
sengit seperti di Inggeris. Mereka tak berhenti-henti
mengadakan demonstrasi-demonstrasi umum yang gegap-
gempita, melawan perintah-perintah polisi, sehingga diseret di
muka hakim, dilemparkan ke dalam penjara. Di dalam penjara
itupun mereka beraksi terus dengan mengadakan pemogokan
makan. Pemogokan-pemogokan makan ini menggoncangkan
opini publik di seluruh dunia, menggetarkan perasaan-
perasaan pro dan kontra sehebat-hebatnya. Terutama sekali
165
partai feminis yang bernama “Women’s social and political
Union” -lebih terkenal lagi dengan nama partai suffragettes-,
sangat tajam dalam ucapan-ucapannya dan tindakan-
tindakannya. Partai suffragettes inilah yang paling sering
bertabrakan dengan polisi, paling banyak pemimpinnya diseret
di muka hakim, paling banyak mengalami hukuman penjara.
Nama-nama Emmeline Pankhurst, dan tiga anak-puterinya:
Christabel Pankhurst, Sylvia Pankhurst, Adele Pankhurst,
serta pula Mrs. Fawcett dan Mrs. Despard, tidak asing lagi
bagi khalayak umum dan ... hakim kriminil. Emmeline
Pankhurst pernah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara,
sebab mencoba membakar rumah menteri Lloyd George, yang
menolak tuntutan-tuntutan kaum suffragettes itu!
Dengarkanlah cerita Dr. Aletta Jacobs (seorang feminis
Belanda) tatkala menceritakan pergerakan feminis suffragette
itu: “Pada hari Sabtu 9 Pebruari 1907 diadakan satu arak-
arakan besar, namun tenang, oleh beribu-ribu wanita dari
segala lapisan warga . Wanita-wanita dari lapisan yang
berdekatan dengan keluarga raja, dari lapisan yang
berdekatan dengan pemerintah, -wanita-wanita yang telah
menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan sosial-,
wanita-wanita ini berjalan bersama-sama dengan wanita-
wanita yang seumur hidupnya bekerja berat serta menderita
kemiskinan. Tenang dan tenteram, dengan tidak merusak
keamanan, wanita-wanita ini berjalan melalui jalan-jalan
London yang berlumpur, dengan memikul tulisan-tulisan yang
menunjukkan kepada pemerintah, bahwa wanita-wanita dari
tingkatan warga yang paling tinggi sampai tingkatan
warga yang paling rendah semuanya menuntut adanya
hak perwakilan ... Sesudah arak-arakan ini berakhir, maka
pada hari Rebo 13 Pebruari 1907 diadakan pula arak-arakan
oleh “Women’s social and political Union” yang lebih terkenal
dengan nama suffragettes. Di bawah pimpinan Nyonya
Despard yang tua namun angker itu, 800 wanita menuju
kegedung parlemen, untuk menyerahkan kepada pemerintah
satu resolusi yang menuntut hak perwakilan wanita. Di dalam
perkelahian yang terjadi sebab arak-arakan ini, banyak sekali
wanita yang luka. Dan 57 wanita ditangkap oleh
polisi. Itu malam, banyak sekali surat-surat kabar besar
166
keluar hingga tiga kali, dengan nomor-nomor ekstra. Dari hal
itu dapat kita kenangkan, betapa hebatnya kejadian itu”.
Demikianlah salah satu gambaran keuletan wanita Inggeris.
Bermacam-macamlah cara protes mereka terhadap keadaan-
keadaan yang merendahkan kedudukan wanita. Hal-hal yang
dilarang oleh hukum, tidak segan-segan mereka jalankan, asal
untuk kepentingan derajat wanita. Tadi telah saya ceritakan,
bahwa Emmeline Pankhurst mencoba membakar rumah Lloyd
George. Sering kali kaum feminis itu mencuri gambar-gambar
lukisan dari dalam musium National Gallery, kalau gambar-
gambar itu dianggapnya menghina sekse wanita. Pernah buat
beberapa waktu National Gallery itu ditutup buat semua
wanita yang datangnya tidak dibarengi seorang laki-laki yang
baik nama. Sylvia Pankhurst pernah mengadakan pemogokan
duduk, -sitdown-staking-, di tangga gedung parlemen untuk
memaksa anggota-anggota parlemen itu supaya meluluskan
tuntutan hak pemilihan wanita, berhari-hari lamanya, dengan
tidak makan, tidak minum, tidak mengindahkan polisi yang
hendak mengusir kepadanya, dengan tekad lebih baik mati
dibandingkan takluk dalam perjoangan.
namun fihak laki-laki pun berkeras kepala! Mereka di Inggeris
seperti berhati batu. Padahal di Australia pergerakan
feminisme sudah lebih dulu mendapat kemenangan: di sana
sejak permulaan abad kedua puluh telah diadakan hak-
perwakilan wanita yang terbatas, -terbatas kepada wanita-
wanita atasan saja. Dan pada tanggal 12 Nopember 1910
parlemen Australia merasa perlu menerima baik satu
pernyataan, bahwa hak perwakilan wanita itu tidak merugikan
kepada parlemen dan balai-balai kota, namun sebaliknya
memanfaatkan! Kaum wanita ternyata rajin, -lebih rajin
dibandingkan kaum laki-laki! Sebab, di Australia jumlah suara
yang dikeluarkan oleh kaum wanita, prosentuil lebih besar
dari pada jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum laki-laki.
Oleh sebab itu, parlemen Australia mengusulkan kepada
parlemen Inggeris, supaya tuntutan kaum feminis itu
hendaknya dikabulkanlah saja!
namun parlemen Inggeris belum juga mau menurut. Lebih dulu
harus datang perang-dunia 1914-1918 yang mengadakan
167
perobahan besar dalam kedudukan wanita sebagai produsen
warga . Apakah perobahan ini? Puluhan ribu, ratusan
ribu, bahkan milyunan kaum laki-laki terpaksa memanggul
bedil dibarisan tentara, dan tempat-tempat di dalam paberik
dan di cabang pekerjaan lain-lain yang ditinggalkan oleh
mereka itu, harus segera diisi, jangan lama-lama lowong, agar
supaya produksi buat garis muka dan garis belakang
bertambah besar. Maka pekerjaan yang tadinya dikerjakan
oleh tenaga laki-laki itu, kini diserahkan kepada tenaga
wanita. Menyopir mobil, menjalankan tram, mengurus
pekerjaan pos, merawat orang-orang di rumah sakit, membuat
amunisi, mengatur administrasi, menyelenggarakan
pembahagian makanan, dan lain-lain sebagai-nya, -semua itu
buat sebagian besar, diserahkan kepada wanita. Dan ... dasar
kaum suffragette kaum idealis yang bercita-cita! Mereka yang
dulunya begitu sengit melawan pemerintah dan melawan laki-
laki, kini menjadi pembantu yang paling setia dari pemerintah
dan laki-laki dalam marabahaya. Dulu mereka menggembleng
senjata untuk menghantam sitadelnya kekolotan bangsa
sendiri, kini mereka menggembleng senjata untuk
menghancur-leburkan sitadel kebuasan bangsa, musuh.
Dan segeralah pemerintah juga menjadi “lunak hati”.
Pemerintah berputar huluan. Sebab ternyata kaum wanita di
dalam peperangan total menjadi satu tenaga vital, satu tenaga
yang tak dapat diabaikan. Ternyata mereka bukan “sekse yang
lemah”. Ternyata jika tak ada mereka produksi alat perang tak
akan mencukupi keperluan. Ternyata jika tak ada mereka
Britania akan patah tenaga di tengah-tengah pertempuran.
Ternyata mereka ikut menjadi satu faktor yang menentukan
dalam perjoangan mati atau hidupnya negara. Ada keberatan
apa lagi untuk meluluskan tuntutan mereka tentang hak-
perwakilan?
Maka hak perwakilan itu diberikan, meskipun dengan
terbatas. Perjoangan yang telah lebih satu seperempat abad
lamanya, akhirnya mula mencapai kemenangan. Atau lebih
tegas lagi: bertambahnya arti wanita sebagai produsen
warga dalam masa peperangan memberi permulaan
kemenangan kepada mereka itu.
168
Ya, hak perwakilan yang terbatas, seperti di Australia.
Tiap-tiap orang laki-laki dewasa, tua atau muda, pandai atau
bodoh, kaya atau miskin, boleh memilih dan dipilih buat
parlemen, namun wanita barulah boleh menjalankan hak
itu kalau ia sedikit-dikitnya berumur 30 tahun, dan
kekayaannya pun harus memenuhi satu syarat minimum
pula. Dengan pembatasan ini, hanya 6.000.000 wanita
Inggeris dapat menjalankan hak memilih dan dipilih itu.
namun kemenangan sudah mulai tercapai, dan kegembiraan
bukan kepalang. Pada. tanggal 9 Desember 1918 kaum wanita
mengadakan rapat raksasa digedung Queen’s Hall yang amat
luas itu, rapat pemilihan mereka yang pertama. Kecuali
gembong-gembong wanita, maka juga berpidato disitu ... Lloyd
George! Lloyd George, yang dulu menentang hak pemilihan
bagi wanita, -dan yang dulu rumahnya hampir-hampir saja
terbakar habis oleh apinya Emmeline Pankhurst! Dengan
disambut tampik sorak serta tepuk tangan gegap-gempita dari
kalangan hadlirat yang beribu-ribu itu, ia menyatakan
kegembiraan hatinya bahwa kaum wanita kini telah mendapat
hak perwakilan, serta pula menyampaikan kekagumannya
atas jasa wanita di dalam masa peperangan. “Jika tiada
bantuan wanita, kita tidak mungkin menang di dalam
peperangan ini.” Kalimat ini diucapkannya dengan penuh
keyakinan.
Demikianlah keadaan di negeri Inggeris. Bagaimana keadaan
di negeri-negeri lain? Telah saya ceritakan, bahwa pergerakan
wanita tingkatan kedua itu dalam bahagian kedua dari abad
kesembilan belas terutama di Inggeris dan di Amerika
berkobar lagi. Di negara New York di dalam tahun 1849 yaitu
satu kejadian yang luar biasa: seorang wanita yang bernama
Elisabeth Blackwell mencapai titel doktor ketabiban. Ini
sebenarnya yaitu satu kejadian yang menggembirakan,
namun orang-orang laki-laki Amerika yang “cinta kemerdekaan”
itu, menjadi ribut oleh sebab kejadian ini! Mereka anggap
kejadian itu satu bahaya bagi masjarakat. wanita tak
pantas menjadi tabib! Sebagai akibat keributan mereka itu,
maka sekolah-sekolah tinggi menutupkan pintunya bagi
mahasiswa wanita, sehingga di dalam tahun 1857 di seluruh
Amerika hanya ada tiga orang tabib wanita saja.
169
Kepicikan sikap kaum laki-laki yang demikian itu sudah
barang tentu amat menyakitkan hatinya wanita Amerika.
wanita harus tetap bodoh, dianggap tak pantas masuk
warga , dianggap tak pantas mengunjungi sekolah-
sekolah tinggi? Padahal belum hilang sama sekali terhapus
namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams! Dan
tatkala Amerika tengge1am di dalam kekejiannya kezaliman
memperbudak orang-orang Neger, tidakkah seorang-orang
wanita yang ikut membangkitkan rasa kemanusiaan bangsa,
yakni Harriet Beecher Stowe dengan bukunya yang
termasyhur “Uncle Tom’s Cabin”. Jauh dibandingkan satu buku
biasa yang berisi satu “cerita sentimentil”, maka Uncle Tom’s
Cabin yaitu menunjukkan kecakapan penulisnya untuk
membela satu pendirian dalam perjoangan faham yang sedang
berkobar di waktu itu. Pro atau anti perbudakan? Pro atau
anti kerja bebas? Uncle Tom’s Cabin disalin dalam berpuluh
bahasa, faham-faham yang terkandung di dalamnya
mengharukan orang di tiap-tiap pelosok di Amerika dan di
Eropa. Dan itu pada waktu dunia belum mengenal banyak
surat kabar, belum mengenal gambar hidup, belum mengenal
radio! Nyata penulisnya bukan seorang biasa. Ia seorang
kaliber besar. Dan, ia seorang -wanita!
Bukti-bukti kecerdasan otak wanita itu di mana-mana
dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin wanita untuk
membenarkan tuntutan-tuntutannya: wanita tidak kurang
cakap dari laki-laki, asal diberi kesempatan; wanita harus
dipersama-kan haknya dengan laki-laki.
Dan walaupun pada mula-mulanya tidak ada hubungan
antara aksi-aksi wanita itu di pelbagai negeri, -tiap-tiap negeri
memiliki aksi wanita sendiri-sendiri-, maka akhirnya
tumbuhlah rasa perlu kepada hubungan internasional. Bukan
saja hubungan internasional yang berupa pekerjaan bersama
internasional, namun lambat-laun dirasakanlah pula perlunya
ada perserikatan internasional. Di dalam tahun 1888 di
Amerika didirikan satu “Dewan Wanita Nasional”. Negeri-
negeri lain segera menyusul. Di dalam tahun 1893 Dewan-
dewan wanita nasional telah dapat digabungkan menjadi satu
“Dewan Wanita Internasional” dengan memiliki 50 cabang
yang tersebar di beberapa negara. Sering sekali orang
170
namakan Dewan Wanita Intrnasional ini Induk Volkenbond,
sebab ia amat mengutamakan sekali persaudaraan
internasional. namun ia jauh dibandingkan radikal. Misalnya
perserikatan-perserikatan wanita filantropis pun boleh masuk
menjadi anggotanya. Lebih radikal dibandingkan Dewan Wanita
Internasional ini, lebih militan, lebih politis, lebih “feministis”
ialah satu gabungan lain yang bernama “International Alliance
for Women Suffrage and Equal Citizenship” -“Serikat
internasional buat hak perwakilan wanita dan persamaan hak
warga negara”.
Alliance ini di dalam tahun 1904 mengadakan Kongresnya
yang pertama di kota Berlin.
Utusan-utusan dari Amerika, New-Zealand, Swedia, Norwegia,
Denmark, Belanda, Jermania, Inggeris, Austria; Swis, datang
mengunjunginya. Satu keterangan azas diterima baik oleh
Kongres itu, yang menyatakan bahwa laki-laki dan wanita
yaitu sama, dan oleh sebab nya harus mendapat hak yang
sama pula. Hak bekerja! Dan terutama sekali hak pemilihan!
namun soal ketidakadilan sosial, yaitu soal nasib kaum
wanita miskin, tidak disinggung-singgung. Nyonya C.
Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda, mengatakan
bahwa kongres ini sama sekali berjiwa liberalisme borjuis,
berjiwa “burgerlijk liberalisme”.
Sesudahnya kongres ini, Alliance itu berkembang-biak.
Jumlah cabang-cabangnya senantiasa bertambah. Perancis,
Belgia, Rusia, Serbia, Portugis, Italia, Kanada, Amerika
Selatan, Tiongkok, -juga di negeri-negeri ini tumbuh cabang-
cabang Alliance itu. Majalahnya yang bernama “Jus Suffragii”
dibaca oleh anggota-anggotanya dari Amerika sampai ke Asia.
Alliance menjadi satu kenyataan yang tak boleh diabaikan.
Pergerakan wanita Inggeris yang saya gambarkan di muka
tadi, mendapat sokongan keras dari Alliance itu.
namun ... hak pemilihan yang dituntut oleh Alliance itu, -hak
pemilihan yang bagaimanakah? Hak pemilihan umumkah?
Yaitu yang memberi hak pemilihan kepada tiap-tiap orang
wanita dewasa, dengan tidak membeda-bedakan antara
kaya dan miskin, antara terpelajar dan tidak terpelajar, antara
171
bangsawan dan rakyat jelata? Ataukah hak pemilihan
terbatas, yang diberikan hanya kepada wanita-wanita yang
memenuhi syarat-syarat minimum tentang kekayaan,
kecerdasan, keturunan?
Sudah di dalam Kongresnya di Berlin, Alliance tidak mau
menjelaskan hal ini, dan di dalam Kongres-kongresnya yang
lalu pun tidak. namun prakteknya di pelbagai negara
menunjukkan sifat burgerlijk itu senyata-nyatanja. Di
Norwegia misalnya, Alliance terang-terangan telah puas
dengan hak-pemilihan terbatas yang tercapai dalam tahun
1907, di Belgia orang menganjurkan hak pemilihan terbatas
buat wanita guna menambah kekuatan reaksi menentang
kenaikannya partai-partai proletar, di Jermania pemimpin-
pemimpin Alliance mengepalai satu gerakan buat meminta
hak pemilihan terbatas di haminte berdasar jumlah pajak buat
wanita!
Memang nyata gerakan feminis yaitu burgerlijk. Lihatlah
misalnya Kongres Besar Alliance itu di Amsterdam 1908.
Indah gemerlapan pakaian utusan-utusan yang
menghadlirinya, yang datang dari berpuluh-puluh negeri;
indah dan gemerlapan perhiasan ruangan Kongres, dengan
karangan-karangan bunga dan bendera-bendera dari putuhan
negara; “indah” dan “gemerlapan” pula susunan kalimat
pidato-pidato yang diucapkan. Presidente Kongres, Nyonya C.
Chapman Catt dari Amerika, membuka Kongres itu dengan
satu pidato, dalam mana ia memuji tercapainya hak pemilihim
wanita di Norwegia 1907 sebagai satu kemenangan gilang-
gemilang yang telah memuaskan. Ia tidak jelaskan, bahwa hak
pemilihan yang tercapai di Norwegia itu ialah hak pemilihan
buat wanita atasan semata-mata. Seorang utusan yang hadlir,
yaitu utusan wanita Rusia yang bernama Golowine, berkali-
kali minta diberi kesempatan bicara, namun selalu ditolak
permintaannya. Akhirnya ia diberi kesempatan berpidato ... 5
menit. Di dalam pidato lima menit itu Golowine menuntut hak
pemilihan umum, dan bahwa hak pemilihan hanyalah satu
dari pada alat-alat saja untuk men-capai susunan warga
yang sosialistis. Sambutan atas pidato yang singkat itu, ialah
bahwa ia ... tidak mendapat sambutan sama sekali. Di dalam
172
perslah Kongres pun pidato ini sama sekali tidak disebut-
sebut! ...
Nyata dan terang, bahwa Alliance yaitu perserikatan
burgerlijk, perserikatannya wanita atasan, dengan tuntutan-
tuntutan yang tuntutannya wanita atasan, dengan mengejar
hak pemilihan yang hak pemilihan wanita atasan. Semua
fikirannya, keinginan-keinginannya, faham-fahamnya,
ideologi-ideologinya yaitu burgerlijk, buah-hasil dibandingkan
warga burgerlijk. Menurut ideologi mereka, warga
hanya memiliki satu cacat saja, yaitu bahwa kaum laki-laki
(tentu saja kaum laki-laki mereka) tidak memperlakukan
mereka secara adil. Tidak memberi hak untuk bekerja
kepada mereka, tidak mengasih hak sama di lapangan hukum
negara kepada mereka. Kalau ketidakadilan ini telah lenyap,
dunia menurut anggapan mereka telah menjadi sorga.
namun tertinjau dari sudut burgerlijk, memang besar hasil
Alliance ini. Pada waktu ia mengadakan Kongres di dalam
tahun 1926, maka dari 43 negeri yang menjadi anggota, sudah
26 negeri yang memiliki hak pemilihan wanita. (Terbatas!)
Tertinjau dari sudut umum, sering sekali Alliance itu kecuali
burgerlijk, ternyata pula reaksioner. Sebab sering sekali
ternyata bahwa pemerintah-pemerintah memberi hak
pemilihan terbatas itu, -dus kepada wanita atasan!- hanya
untuk memperkuat kedudukan reaksi di dalam parlemen,
guna mengalahkan perwakilan proletar di dalam parlemen
yang makin hari makin kuat.
Bagi wanita rakyat jelata, pergerakan feminisme itu dus nyata
tidak memuaskan, malahan kadang-kadang nyata-nyata satu
bahaya. Bagi wanita rakyat jelata feminisme itu tidak memberi
“pemecahan soal” malahan sering menjadi lawan dalam
perjoangannya untuk “memecahkan soal”. Mereka, wanita
rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja
kemerdekaan politik, namun juga kemerdekaan ekonomi.
Mereka mencari kemerdekaan sosial. Dan di dalam usaha
mereka untuk mencapai kemerdekaan sosial ini, sering sekali
kaum feminis tidak berdiri di samping mereka, melainkan
berhadap-hadapan dengan mereka, menentang mereka,
173
melawan mereka. sebab itu maka wanita rakyat jelata lantas
emoh kepada pergerakan feminis. Mereka mengadakan
pergerakan sendiri.
Pergerakan sendiri inilah tingkat ketiga dibandingkan pergerakan
wanita. Sebenarnya, tak mungkin bagi saya, menceritakan
sejarah pergerakan wanita tingkat ketiga ini, dengan tidak
menceritakan sejarah pergerakan sosialisme seluruhnya.
Sebab, sebagai telah saya kemukakan di muka, sebenarnya
tidak ada “pergerakan wanita spesial” dari tingkatan ini,
melainkan tercampurlah ia dengan pergerakan sosialisme
seluruhnya. namun marilah saya ceritakan sedikit-sedikit,
sekedar untuk memberi gambaran dan pengertian seperlunya.
Sejarah pergerakan sosialisme telah tertulis dalam buku-buku
yang jumlahnya tidak sedikit. Bukan ratusan buku, namun
ribuan buku meriwayatkannya. Teori sosialisme dan sejarah
pergerakan sosialisme telah tersusun dalam satu
“perpustakaan sosialis” yang amat luasnya. Saya persilahkan
pembaca yang memiliki minat ke arah itu, untuk
menyelami sendiri perpustakaan sosialis itu.
Sebagai di muka telah berulang-ulang saya katakan,
perbedaan antara tingkatan kedua dan ketiga ialah: tingkat
kedua sekedar hanya mencari persamaan hak saja dengan
kaum laki-laki, dan perjoangannya yaitu melawan kaum
laki-laki. Susunan warga , perbandingan-perbandingan
sosial di dalam warga , cara produksi dan pembahagian
produksi, tidak dipersoalkan. Keadilan sosial tidak dikejar.
Sebaliknya, tingkat ketiga hendak membongkar sama sekali
susunan pergaulan hidup yang sekarang, hendak mengadakan
satu pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial, dan
aksi tingkat ketiga ialah bersama-sama dengan laki-laki, bahu
membahu dengan laki-laki. Tingkat kedua yaitu pergerakan
kaum wanita atasan yang sebab tumbuhnya industrialisme
kapitalis kekurangan pekerjaan dan lantas menuntut diberi
pekerjaan, tingkat ketiga yaitu pergerakannya kaum wanita
jelata yang sebab tunlbuhnya industrialisme kapitalis terlalu
ditindas oleh pekerjaan dan lantas menuntut
permanusiaannya pekerjaan. Marilah kita perhatikan uraian
Lily Braun, wanita sosialis yang kenamaan itu: “Eerst toen de
veelvuldige arbeid der huisvrouw in toenemende mate door het
174
handwerk en de industrie over-genomen werd, en de vrouw,
voorzoover zij als lid der bezit tende klasse vrije tijd verkreeg,
zich overbodig voelde, de leegte van haar innerlijk en uiterlijk
levenbegreep; of als lid der bezitloze klasse gedwongen was
haar huiselijke bezigheid met loonarbeid buitenshuis en
gescheiden van het geziIi te verwisselen, -werd zij zich haar
drukkende toestand bewust.... Terwijl de burgerlijke vrouw den
arbeid als den grootsten bevrijder zoekt, is deze voor de
proletarische vrouw een middel tot knechtschap geworden; en
terwijl het recht op arbeid een der voornaamste
menschenrechten is, is de verdoeming tot arbeid een bron van
verontzedelijking”. Artinya ialah sebagai yang saya uraikan
tadi: penghargaan kerja dibandingkan kaum wanita atasan yang
kurang kerja, dan dibandingkan kaum wanita proletar yang
diperbudak oleh kerja, yaitu berlainan satu sama lain.
Malahan beratnya pekerjaan yang membebani kaum wanita
jelata itu menjadi sebab, bahwa masuknya kesedaran dan
semangat perjoangan di kalangan mereka, agak terlambat.
Beratnya nasib sehari-hari, yang sama sekali tidak mengasih
kesempatan kepadanya untuk memikirkan lain hal, melainkan
kerja, kerja, dan sekali lagi kerja, -kerja di paberik atau
perusahaan, kerja di rumah tangga, kerja sebagai produsen
warga dan kerja sebagai produsen rumah tangga, -
sebagai yang telah saya uraikan di muka, membuat fikiran
mereka menjadi seperti tumpul dan buntu. Mereka tak ada
waktu lagi untuk berfikir! Kaum proletar laki-laki sudah lama
bangkit semangatnya, sudah lama mengadakan serikat ini dan
serikat itu, sudah lama “bergerak”, -kaum proletar wanita
masih saja tinggal tumpul dan buntu ingatan, tak mengerti
aksi fihak laki-laki, malahan ada pula yang tidak setuju atau
melarang suaminya bergerak. Pertengkaran suami-isteri sering
terjadi, pemogokan-pemogokan kaum buruh laki-laki kadang-
kadang dikhianati oleh kaum buruh wanita yang menjadi
penggantinya kaum pemogok.
Henriette Roland Holst menggambarkan terlambatnya
kesadaran wanita jelata itu sebagai berikut: “Zeer lang heeft
het geduurd, voor die vrouwen, die toch werkten in en voor de
maatschappij, iets van de maatschappij begrepenen opstonden
tegen het maatschappelijk onrecht. De overmaat hunner
175
ellende maakte hen wel ontvankelijk voor de gedachte van
verzet, voor de hoop van een betere toekomst; doch de lange
arbeidsdagen, de ontzettende afmatting die haar telkens
overviel, en het feit dat ze thuis dadelijk weer moesten
beginnen met te zorgen voor het eten, voor de was, voor de
kinderen, dat zij nooit tijd en kracht vonden zich rekenschap te
geven van hun leven en hun omgeving, -en daarbij de oude
gewoonte van geduldig en lijdzaam dragen, dit alles maakte,
dat zij slechts na langen, langen tijd konden komen tot
aaneensluiting en verzet. Reeds tientallen jaren waren de
arbeiders bezig den vak-vereehigingsstrijd en den klassenstrijd
te strijden, reeds ver waren die op den weg der bevrijding,
reeds groot en machtig waren hun organisaties, en nog hingen
de vrouwen als een dood gewicht aan hen, de vrouwen van hun
eigen klasse. Ze begrepen den strijd hunner mannen niet, en
belemmerden dien vaak, en verzetten zich tegen de offers van
tijd en geld die die strijd kostte”.
Pokok artinya sama dengan apa yang saya katakan tadi.
Lily Braun juga memberi keterangan yang demikian.
Dengarkan uraiannya: “De arbeid is voor hen (den arbeider)
het eenige beroep; de vrouw is we I gedwongen met hem
ademloos den wedloop om de broodwinning aan te gaan, maar
zij heeft daarnaast nog zooveel weegs af te leggen, dat zij niet
slechts bij hem achterblijft en vroeg gebroken is, maar ook niet
den minsten tijd heeft om over haren toestand en de
voorwaarden van haren arbeid eenigszins na te. denken. Zij is
niet alleen arbeidster geworden, zij bleef huisvrouw. Zij is
echter ook moeder. Terwijl de man zich op vergaderingen
ontwikkelt, zich met zijn kameraden verstaat, boeken en
bladen leest, heeft zij te koken, te naaien, te verstellen, de
kill;deren te verzorgen, ze op te voeden en op hen te passen; en
om der kinderen wi! wordt zij zelfs vaak een heftige
tegenstandster der vereeniging, die contributie van haar eischt
welke zij zoo volstrekt noodig heeft voor de bevrediging harer
behoeften, die haar zelfs tot staking van den arbeid dwingen
kan”.
namun lama-kelamaan kesedaran itu toh datang juga. Lama-
kelamaan proses industrialisme kapitalis yang
“mewarga kan” kaum wanita jelata itu toh memasukkan
176
mereka juga ke dalam alam perjoangan kelas proletar, -wanita
bersama-sama dengan laki-laki-, dan bukan alam perjoangan
burgerlijk, yakni wanita menentang laki-laki. “De burgerlijke
vijandschap tegen den man vond haar tegenstelling in de
proletarische broeder-schap met den man”, demikianlah
Henriette Roland Holst berkata.
Oleh sebab itu, maka pergerakan wanita jelata ini lantas
menjadi satu bagian kekal dibandingkan pergerakan sosialis
seumumnya. Jalan-jalan apakah dilalui oleh pergerakan
sosialis itu untuk mencapai maksudnya, jaitu warga
sosialis?
Jalan itu ada tiga:
a. Aksi serikat sekerja.
b. Aksi koperasi.
c. Aksi partai politik.
Mula-mula, maka kaum buruh laki-laki sendiri di dalam
serikat sekerja, koperasi dan partai politik itu tidak senang
menerima wanita sebagai anggota. Bukan saja mereka masih
dihinggapi faham kuno bahwa wanita itu tidak cakap buat ini
atau itu, yaitu masih dihinggapi prasangka, namun terutama
sekali buat serikat sekerja yaitu sebab lain yang penting: Di
dalam paberik, di dalam perusahaan, buruh wanita
merupakan satu golongan yang kwalitas pekerjaannya kurang
baik, dus satu golongan yang rendah upahnya. Manakala
wanita itu diizinkan masuk serikat sekerja, maka kaum laki-
laki mengira bahwa hal itu akan berakibat merosotnya upah
seumumnya. Tidakkah di dalam perusahaan-perusahaan yang
jumlah buruh wanitanya lebih besar dibandingkan jumlah buruh
laki-laki, garis upah (loonpeil) selalu mengarah kepada upah
wanita yang rendah? Maka oleh sebab itu, sedapat mungkin
wanita ditolak menjadi anggota serikat sekerja. Mereka
dianggap satu saingan yang tidak baik. Mereka merusak
pasar.
Begitu pula di dalam kalangan partai politik. Partai politik
menghendaki anggota-anggota yang sedar dan ulet.
177
Ia menghendaki “penyaringan”; ia menghendaki seleksi.
Sedangkan wanita dianggap kurang cerdas, kurang sedar,
kurang ulet, kurang mampu berfikir secara prinsipiil, kurang
tenang, mudah terpengaruh oleh sentimen, mudah
mendatangkan kekacauan dan keributan!
namun akhirnya, lama-kelamaan datang pula perobahan dalam
kekolotan kaum laki-laki ini. Terutama sekali kalangan
serikat-sekerja kaum laki-laki itu mulai mengerti, bahwa
justru kalau wanita itu tidak dididik dalam semangat
pergerakan dan tidak diajak serta dalam pergerakan, mereka
akan tetap menjadi ancaman memerosotkan upah. Jangan
tinggalkan kaum wanita ! Justru kalau ditinggalkan,
mereka sebab kebodohannya akan selalu bersedia menjadi
pangganti buruh laki-laki dengan upah yang lebih rendah, -
menjadi “onderkruipster” kalau buruh laki-laki mengadakan
pemogokan. Justru kalau sang isteri tidak dibawa dalam
kesedaran, maka ia akan selalu mengomel kalau sang suami
malam-malam pergi ke rapat atau ke pekerjaan partai,
menggerutu kalau dari uang belanja diambil sebagian kecil
buat membayar kontribusi atau abonemen koran. Satu-
satunya jalan untuk menghilangkan ancaman ekonomis yang
datang dari rendahnya upah wanita, dan ancaman psikhologis
dalam perhubungan suami isteri, ialah menyadarkan wanita
itu tentang gunanya perjoangan, dan membawa mereka serta
di dalam perjoangan.
Dan wanita pun segera sedar. Kesedaran inilah yang membuat
dunia manusia pada silamnya abad kesembilanbelas
mengalamkan satu pergerakan laki wanita yang hebat,
sebagai yang belum dialamkannya dalam seluruh sejarahnya
yang terdahulu. Kesedaran inilah yang membawa “soal-
wanita” itu ke atas satu tingkat yang lebih tinggi, satu tingkat
yang mengenai soal warga seumumnya, yang tidak
hanya memfikirkan dan memperjoangkan kedudukan wanita
saja, namun memikirkan dan memperjoangkan kedudukan
wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang
berbahagia seluruhnya. Kesedaran ini membuat wanita
berjoang tidak sebagai sekse, namun sebagai satu bagian
dibandingkan satu kelas.
178
Di dalam salah satu kongresnya, yaitu di Gotha 1896, maka
pergerakan sosialis itu menerima baik resolusi yang mengenai
nasib wanita, sebagai berikut: “sebab pekerjaannya di dalam
perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis
sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. namun
persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-
laki, -hanya saja lebih hebat dari dia-, dihisap oleh si kapitalis.
Maka oleh sebab itu, perjoangan kaum wanita proletar itu
bukan satu perjoangan menentang kaum laki-laki dari
kelasnya sendiri, namun satu perjoangan bersama-sama kaum
laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal.
Tujuan yang dekat dibandingkan perjoangan ini ialah menghambat
dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir
ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud
menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan
penjelmaan-nya satu pergaulan hidup sosialistis”.
Demikianlah bunyi resolusi Kongres di Gotha 1896. Itu tidak
berarti, bahwa kongres-kongres sosialis yang terdahulu tidak
membicarakan soal wanita. Tidak. Malah di dalam Kong-res di
Eisenach; di dalam tahun 1869, soal itu dibicarakan pula.
namun kejernihan faham, kejernihan analise, pada kongres-
kongres yang terdahulu itu behun terdapat. Boleh dikatakan
kejernihan itu barulah tumbuh sesudah terbit kitab August
Bebel: “Die Frauund der Sozialismus”, -”Wanita dan
Sosialisme”. Kitab ini saya anggap salah satu kitab soal wanita
yang fundamentil. namun alangkah banyaknya dulu rintangan-
rintangan yang menghalangi tersebarnya kitab ini! Bebel
menerbitkan kitabnya itu dalam tahun 1879, setahun sesudah
Graf Otto von Bismarck, perdana menteri Jerman,
mengeluarkan Undang-undang Sosialis yang amat zalim.
Undang-undang Sosialis ini melarang semua perserikatan-
perserikatan sosialis, melarang rapat-rapatnya, membungkem
propagandis-propagandisnya, membeslah kitab-kitab dan
majalah-majalahnya. Sudah barang tentu kitab Bebel itu tak
mungkin dibaca terang-terangan di Jermania. namun
pergerakan sosialis di bawah tanah yaitu demikian hebatnya,
sehingga kitab Bebel yang tebal itu selama ada Undang-
undang Sosialis mengalami cetakan ... 8 kali? Dan berkat aksi
di bawah tanah yang semakin menghebat itu, yang membuat
Undang-undang Sosialis menjadi secarik kertas saja, maka
179
akhirnya di dalam tahun 1890 wet itu ditarik kembali. Baru
sesudah itu, pergerakan kaum proletar di Jermania dapat
beraksi lagi terang-terangan, berserikat, bersidang,
berkonferensi, berkongres. Di dalam Kongresnya di Gotha tadi
itulah diambil resolusi tentang soal wanita yang definitif.
Alangkah pentingnya kitab August Bebel itu! Di dalam tahun
1902 ia telah mengalami cetakan yang ke-25 di Jermania, di
dalam tahun 1906 cetakan yang ke-40! Saya tidak mengetahui
cetakan yang keberapa ia capai sampai saat Hitler bersimaha-
rajalela di Jermania. Hitler sudah tentu memasukkan kitab
Bebel itu di dalam indeksnya. Bukan saja semua kitab sosialis
harus dilarang, dibakar, dibasmi, namun Hitler menentang
keras cita-cita pengangkatan derajat wanita. Wanita gila yang
menghendaki emansipasi, apa lagi menghendaki warga
sosialis! Wanita harus tinggal di rumah tangga! Wanita hanya
baik buat “empat K”, yaitu -Kirche, Kiiche, Kinder, Kleider!
Artinya: wanita hanya baik buat Gereja, Dapur, Anak-anak,
dan Pakaian! Goering berkata: “Tempat wanita ialah di rumah.
Kewajiban wanita ialah memberi hiburan kepada laki-laki yang
pulang dari perjoangan”. Dan Goebbels menegaskan:
“Kewajiban wanita ialah mencantikkan diri dan beranak” ...
Memang kalau orang menanya kepada saya: Apakah
perbedaan yang terbesar antara” sosialisme dan fascisme?
Maka saya menjawab: Perbedaan terbesar antara sosialisme
dan fascisme ialah hal wanita.
Di luar Jermania kitab Bebel itu sangat asyik dibaca orang. Ia
disalin dalam lebih dibandingkan sepuluh bahasa. Sebab kecuali
mengupas soal wanita dengan cara yang mengagumkan, Bebel
yaitu salah seorang pemimpin kaum buruh internasional
yang amat besar. Ia yaitu salah seorang jenderal perjoangan
proletar, jenderal yang ulung, sederajat setingkat dengan
Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Clara Zetkin, Rosa
Luxemburg, dan pemimpin lain-lain. Suaranya diperhatikan
orang di rapat-rapat raksasa, di konferensi-konferensi partai,
di Reichtstag, di kongres-kongres internasional. Bagi wanita
sosialis ia yaitu maha guru, maha pendekar. Ia yaitu salah
seorang pemimpin kaum buruh yang pertama-tama
membuktikan perlunya kaum wanita diajak ikut serta dalam
pergerakan, dan itu pada waktu pemimpin-pemimpin laki-laki
180
umumnya masih belum mufakat dengan faham itu. Ialah yang
pertama-tama membawa soal wanita itu ke lapangan ilmu
pengetahuan, serta menghubungkan soal wanita itu kepada
soal warga seumumnya. Ia membuktikan, bahwa soal
wanita bukanlah soal sekse, namun soal sosial. Satu problem
sosial! Soal wanita bukanlah soal “wanita sebab wanita”,
namun soalnya wanita dalam proses pertumbuhan warga .
Soal. wanita tidak dapat dipecahkan, bila tidak dipecahkan
soal warga seluruhnya. Soal wanita itu jadi bukan soal
kaum wanita sendiri saja, namun juga soalnya kaum laki-laki
pula, -soalnya seluruh kemanusiaan.
Dengan bukti-bukti yang ia ambil dari sejarah evolusi
kemanusiaan yang telah ribuan tahun, dan angka-angka
statistik yang terang, ditunjukkan olehnya, bahwa corak
segala anggapan-anggapan dan perlakuan-perlakuan terhadap
wanita, sepanjang masa yaitu akibat dibandingkan kedudukan
wanita dalam proses produksi. Penting kedudukan wanita
dalam proses produksi, -tinggilah penghargaan orang
kepadanya; tidak penting keduduk-an wanita dalam proses
produksi, -rendahlah penghargaan orang kepadanya. “Soal
wanita” bertalian erat dengan “soal sosial”; wanita tak
mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis merdeka.
Dan wanita hanyalah ekonomis merdeka, di dalam pergaulan
hidup yang sosialistis.
Sesudah Undang-undang sosialis dihapuskan, dalam tahun
1890, pergerakan wanita jelata di Jermania berjalan pesat. En
toh sebenarnya belum semua rintangan terangkat! Sebab
kendati pun undang-undang sosialis telah hapus, masih
banyaklah negara-negara di Jermania yang masih melarang
orang wanita campur tangan dalam politik. Larangan-
larangan ini harus digempur lebih dahulu. Di dalam tahun
1891 di tiap-tiap kota di Jermania didirikan oleh kaum wanita
“komisi-komisi penyedar”, -komisi-komisi agitasi-, yang
pekerjaannya ialah menyemangatkan kaum wanita untuk
berjoang. Di dalam tahun itu juga diterbitkan majalah “Die
Arbeiterin” di bawah pimpinan Emma Ihrer, yang lalu
diteruskan oleh Clara Zetkin dengan nama baru “Die
Gleischheit”.
181
Sangat giatlah komisi-komisi penyedar itu, dan hebat pula
propaganda di dalam “Die Gleichheit”. namun hebat pula reaksi
dari fihak pemerintah. Sebab fihak pemerintah itu mengerti,
bahwa kini pergerakan kaum buruh itu, dengan ikut sertanya
kaum wanita, benar-benar berpusat dalam jantungnya
massa. Dulu faham-faham revolusioner hanyalah berputar
dalam otak kaum buruh laki-laki saja, di dalam rapat-rapat, di
dalam lepau-lepau minuman keras, di dalam dok-dok dan
bengkel-bengkel. namun kini faham-faham yang berbahaya itu
berhinggap pula dalam otaknya kaum wanita, masuk di dalam
rumah tangga, bersemayam di dalam jantungnya somah,
bersarang di dalam jantungnya keluarga! Di dalam tahun
1895 pemerintah membubarkan semua komisi-komisi
penyedar itu, pemimpin-pemimpinnya ditangkap, diseret
dimuka hakim dilemparkan ke dalam penjara. namun bukan
matinya pergerakan wanita jelata yang ia capai, melainkan
justru tambah berkobarnya pergerakan kaum buruh
seluruhnya. Agitasi menyala-nyala. Di mana-mana diadakan
protest meeting, menuntut perluasan hak bersidang dan
berserikat.
Terutama sekali tuntutan hak pemilihan bagi wanita
didengungkan di semua pelosok. Sebab perjoangan mengejar
sosialisme mengharuskan tuntutan kepada hak-hak politik,
yakni hak bersidang dan berserikat dan hak perwakilan.
Sebab serikat sekerja, koperasi, partai politik, tiga jalan
serangkai di dalam perjoangan mengejar sosialisme yang saya
sebutkan di muka tadi, tidak mungkin jika tiada organisasi.
namun organisasi tidak mungkin jika tiada hak bersidang dan
berserikat, hak bersidang dan berserikat tidak mungkin jika
tiada perluasan wet-wet yang masih sempit, perluasan wet-
wet yang masih sempit tidak mungkin jika tiada perjoangan
dalam Reichstag atau parlemen, perjoangan dalam Reichstag
atau parlemen tidak mungkin jika tiada hak perwakilan yang
sempurna. sebab itulah hak-hak politik diperlukan. namun
bukan untuk memungkinkan organisasi saja, maka hak-hak
politik diperlukan! Juga semua tuntutan-tuntutan wanita yang
lain-lain, sepertinya tuntuan bekerja 8 jam sehari dengan
mendapat perei pada hari Sabtu petang dan hari Minggu,
tuntutan pengurangan jam bekerja pada waktu hamil dan
182
beberapa hari perei pada waktu bersalin, tuntutan jaminan
bagi wanita yang mengandung dan lain-lain sebagainya lagi, -
tuntutan-tuntutan itu tak mungkin dikemukakan dengan
leluasa, selama hak-hak politik belum leluasa pula. Maka oleh
sebab itulah pergerakan wanita tingkat ketiga ini sangat giat
pula menuntut hak pemilihan, -tidak kalah giatnya dengan
kaum feminis atau suffragette, malahan barangkali lebih
berkobar-kobar semangatnya, lebih tandes dan sengit
desakannya, lebih ridla berkorbannya. Perbedaannya dengan
kaum feminis dan suffragette ialah, bahwa kaum feminis dan
suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan
yang terakhir, sedang wanita sosialis menganggapnya hanya
sebagai salah satu alat semata-mata di dalam perjoangan
menuju pergaulan hidup baru yang berke-sejahteraan sosial.
Alangkah bagusnya kesedaran politik mereka pada waktu itu!
Sendiri mereka belum mendapat hak pemilihan, sendiri
mereka belum boleh ikut memilih anggota-anggota parlemen,
namun mereka selalu ikut membantu menghebatkan tiap-tiap
kampanye pemilihan dari kawan-kawannya yang laki-laki.
Dalam tiap-tiap rapat pemilihan mereka ikut berpidato, dalam
tiap-tiap sidang mereka menganjurkan kepada hadlirin dengan
semangat yang menyala-nyala, supaya rakyat jelata jangan
memilih kandidat-kandidat lain melainkan kandidat-kandidat
sosialis. Sebab mereka mengerti, kandidat-kandidat sosialis
itu akan membela cita-cita mereka pula; tambahnya jumlah
anggota sosialis di dalam parlemen akan menyegerakan
terkabulnya tuntutan-tuntutan politik wanita pula. Pemimpin-
pemimpin wanita sosialis sebagai Louise Zietz, Rosa
Luxemburg, Emma Ihrer, pada waktu kampanye pemilihan
yang demikian itu, berpidatolah tiap-tiap hari beberapa kali,
pergi dari satu kota ke kota lain, dari satu gedung rapat ke
gedung lain. Dan tiap-tiap nomor majalah “Die Gleichheit”
memuat artikel Clara Zetkin yang membantu keras pula
kepada kampanye pemilihan itu.
Maka hasilnya kampanye-kampanye itu, selalu amat
memuaskan. Jumlah anggota sosialis dalam parlemen selalu
naik, selalu bertambah. Crescendo! Jumlah anggota sosialis
dalam tahun 1903, bertambah dalam kampanye pemilihan
tahun 1907. Jumlah anggota sosialis 1907, bertambah dalam
183
kampanye 1912. Di dalam tahun 1912 itu, 110 kursi parlemen
dapat direbut oleh wakil-wakil kaum proletar! Dan itu semua
berkat bantuannya kaum wanita. Mengenai kemenangan
tahun 1912 itu, Louise Zietz menulis, bahwa dalam kampanye
tahun itu tidak kurang dari 50 orang agitator wanita tiap-tiap
hari tidak berhenti-henti berpidato di dalam rapat-rapat, dan
bahwa puluhan ribu wanita pula ikut serta dalam pekerjaan
lain seperti menyiarkan surat-surat sebaran, memanggil
orang-orang, mengorganisir gerombolan-gerombolan
penyemangat, menjaga keamanan, dsb.
Sebaliknya, kaum laki-laki pun membantu keras kepada
tuntutan-tuntutan wanita. Di dalam Kongres Sosialis Inter-
nasional di Amsterdam tahun 1904, diterima dengan hampir
suara bulat satu resolusi yang berbunyi: “Bij den strijd, welke
het proletariaat voor de verovering van het algemeen, gelijk,
geheim en direct kiesrecht in staat en gemeente voert, moeten
de socialistische partijen het vrouwen kiesrecht in de
wetgevende lichamen voorstaan, in de propaganda principieel
vasthouden, en er met allen nadruk voor opkomen”. Artinya:
“Di dalam perjoangan kaum proletar buat merebut hak
pemilihan yang umum sama rata, rahasia dan langsung,
dalam negara dan haminte, maka partai-partai sosialis harus
menyetujui hak pemilihan bagi wanita dalam badan-badan
pembuat Undang-undang, harus memegang teguh secara
prinsipiil kepadanya di dalam propaganda yang dijalankan,
dan harus menuntutnya dengan sekuat-kuat tenaga”.
Maka sejak itu, yaitu “saling pengaruh-mempengaruhi”, yang
prinsipiil dan erat sekali antara “pergerakan laki-laki” dan
“pergerakan wanita”, yang memang sebenarnya bukan dua
pergerakan yang terpisah satu sama lain.
Dua pergerakan itu yaitu dua anggota dari satu badan, dua
suara dari satu nyanyian, dua gelombang dari satu samodra.
Satu keyakinan, satu faham, satu ideologi, satu bezieling
menduduki jiwa mereka, membakar jiwa mereka. Misalnya
aksi untuk menuntut hak perwakilan wanita di dalam
permulaan tahun 1906 yaitu satu aksi hebat yang
dikerjakan oleh laki-laki-wanita dalam satu simfoni yang
sesempurna-sempurnanya. Seluruh pers sosialis tiap-tiap
184
hari, tiap-tiap nomor, memuat artikel-artikel yang
bersemangat menuntut hak perwakilan wanita itu, di dalam
tiap-tiap rapat sosialis berpidatolah dengan cara yang berapi-
api baik pemimpin-pemimpin laki-laki maupun pemimpin-
pemimpin wanita, menuntut hak wanita itu. Louise Zietz
mengatakan tentang aksi ini, bahwa “beliau pernah sebelum
itu di Jermania ada satu perjoangan