presiden soekarno 7

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 7



 ng, 

revolusioner buat zaman yang akan datang. Revolusioner buat 

159 

 

semua zaman. Selama wanita ekonomis masih tergantung 

kepada laki-laki, selama itu maka sosial pun ia akan tetap 

tergantung kepada laki-laki. “Merdekakanlah wanita mencari 

makannya sendiri!” Mary Wollstonecraft yaitu  wanita 

pertama yang pertama-tama mengeluarkan dalil ini! 

 

Ia pun wanita pertama, -barangkali manusia pertama-, yang 

justru untuk menjaga kesusilaan,  menuntut supaya 

pendidikan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi jangan 

dipisahkan dalam sekolah sendiri-sendiri. Ia menuntut ko-

edukasi, satu cara pendidikan pemuda-pemudi bersama-

sama, yang sampai sekarang pun masih menjadi pertikaian 

faham. Dan ia pun wanita pertama, yang menuntut supaya 

wanita diberi latihan olah-raga. Sebab hanya wanita yang 

sehatlah dapat melahirkan anak-anak yang sehat. Hanya 

rakyat yang sehatlah dapat menjadi bangsa yang kuat. Hanya 

bilamana wanita sehat badannya dan sehat batinnya, maka 

wanita dapat memenuhi “panggilan alam” dengan sebaik-

baiknya. Justru supaya wanita dapat memenuhi panggilan 

alam yang keramat itu, justru supaya ia dapat bertindak 

sebagai Ibu yang sejati, yang dari haribaannya akan lahir 

generasi baru yang sehat badaniah dan rohaniah, justru 

sebab  itulah wanita harus diberi hak-hak yang sama dengan 

laki-laki, dijadikan “warga negara merdeka” sebagai laki-laki, 

ditempatkan di samping laki-laki dan tidak di belakang laki-

laki. 

 

Sebagai saya katakan tadi, bukan main kitab Mary 

Wollstonecraft itu menggoncangkan fikiran umum. la dibicara-

kan orang di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di negeri-negeri 

lain. la segera dijadikan bulan-bulanan serangan kaum laki-

laki yang tidak setuju kepadanya. la, sebagai Olympe de 

Gouges, dinamakan sundal, dinamakan wanita  yang telah 

meleset dari rilnya, digambarkan dalam karikatur sebagai 

orang-banci yang jelek yang tidak tentu laki-laki tidak tentu 

wanita . Padahal ia yaitu  seorang wanita  yang 

manis, dan halus budi, seorang wanita  yang dalam arti 

yang sebaik-baiknya yaitu  seorang Wanita yang Utama. 

namun  memang sudah kebiasaan sejarah juga, bahwa sesuatu 

orang yang mengeluarkan faham baru, dicerca, diejek, dimaki, 

ditertawakan, dihina, mungkin dihukum. Mary Wollstonecraft 

160 

 

tidak sampai mendapat nasib disiksa atau dihukum, namun  

aksi yang menentang kepadanya dengan cara yang curang dan 

tidak adil, toh hebat pula. Kendati pun begitu, faham-faham 

modern yang ia ajarkan itu, tak urung makin lama makin 

banyak pengikutnya juga. Justru di negeri Inggerislah kelak 

tempatnya pergerakan emansipasi wanita yang paling hebat. 

Justru di negeri Inggeris itu nanti lahirnya pergerakan wanita, 

yang kita kenali dengan nama pergerakan feminisme. Justru 

di negeri Inggeris berkobarnya aksi wanita “suffragette”, yang 

terutama sekali menuntut hak perwakilan bagi kaum 

wanita . (Suffragium = hak-bersuara, hak-perwakilan). 

 

Di Jermania pun faham menuntut persamaan hak bagi wanita 

itu tumbuh. Hampir berbarengan dengan terbitnya kitab Mary  

Wollstonecraft di Inggeris, terbitlah di Jermania kitab tulisan 

Theodor von Hippel “Ueber die biirgerliche Verbesserung der 

Weiber”, -yang artinya: “Tentang memperbaiki kedudukan 

wanita sebagai warganegara”. 

 

Apa sebab Revolusi Perancis, yang katanya menegakkan hak-

hak manusia itu, mengecualikan wanita  dari politik dan 

negara?, demikianlah yon Hippel bertanya dengan heran dan 

kecewa. “Sekarang waktunya sudah tiba, untuk mengangkat 

wanita menjadi rakyat”. Sebagai Mary Wollstonecraft, ia minta 

pendidikan bersama bagi pemuda dan pemudi, menuntut 

wanita diberi hak memasuki semua jabatan, mengemukakan 

hak yang sama bagi semua orang laki-laki dan wanita  

untuk dididik menjadi warga negara yang sebaik-baiknya. Ia 

malahan menganjurkan supaya pemuda dan pemudi di bawah 

umur 12 tahun diberi pakaian yang sama, agar supaya 

kesehatan gadis-gadis dapat bertambah. (Pakaian gadis-gadis 

di waktu itu amat tidak baik buat kesehatan). Ia membantah 

anggapan, bahwa wanita itu “dari kodrat alam” lebih lemah 

dibandingkan  laki-laki, kalah kekuatan badan dengan laki-laki. 

Tidakkah keuletan wanita pada waktu bersalin itu justru satu 

bukti dibandingkan  kekuatan tubuh wanita? Merdekakanlah 

wanita itu supaya negara maju dan sehat! Negara akan 

menjadi lebih aman, lebih kuat, lebih sejahtera, kalau wanita 

di bawa serta dalam pembuatan hukum dan pemerintahan. 

Kalau wanita  di bawa serta, maka “niscaya tidak akan 

begitu banyak orang-orang yang zalim, yang senang melihat 

161 

 

sesama manusia tenggelam bahtera hidupnya, dan tidak akan 

begitu banyak orang-orang penghisap darah, yang 

mempermainkan darah dan keringat rakyat dengan tiada 

hingga dan tiada batas”. 

 

Demikianlah von Hippel. Dengan Condorcet dan Wollstonecraft 

ia yaitu  penaruh alas-alas teori bagi pergerakan wanita 

tingkat kedua. Dengan mereka itu ia bersamaan tuntutan, 

bersamaan tujuan yang dekat, yaitu hilangnya perbedaan hak 

antara laki-laki dan wanita . namun  dasar faIsafahnya 

yaitu  agak berbeda. Condorcet menuntut persamaan hak 

atas nama keadilan; menurut dia, tidak adillah, kalau laki-

laki dimerdekakan, dan wanita tidak. Mary Wollstonecraft 

menuntut persamaan hak atas nama  keibuan, atas nama 

kewanitaan; wanita  hanyalah benar-benar dapat menjadi 

Ibu dan Isteri yang sempurna, bilamana ia dimerdekakan juga 

seperti laki-laki. Theodor von Hippel menuntut persamaan hak 

atas nama   kesejahteraan warga  dan negara; 

warga  dan negara akan lebih sehat, bilamana 

wanita  di bawa serta. 

 

Condorcet, Wollstonecraft, von Hippel mengemukakan  ide. 

namun  Olympe de Gouges memperjoangkan ide, “meng-

organisir” ide, “mengaksikan” ide. Nama empat pembela 

wanita ini, di samping namanya Mercy Otis Warren dan Abigail 

Smith Adams, akan tetap tersimpan di dalam kalbu ingatan 

wanita-wanita yang sedar di seluruh dunia, ratusan tahun. 

 

Bagaimanakah kisah kelanjutan perjoangan idee persamaan 

hak ini? Sesudah periode Otis Warren, Smith Adams, 

Condorcet, Wollstonecraft dan von Hippel, berdirilah kita di 

muka pintu gerbang abad kesembilan belas. Abad kesembilan 

belas ini sebenarnya tidak melahirkan ide-ide baru lagi 

tentang emansipasi wanita. Hanya di dalam tahun 1869 

terbitlah kitab John Stuart Mill, sosiolog Inggeris yang 

termasyhur, yang bertitel “The Subjection of Woman”, 

“Penaklukan kaum wanita”. Di dalam kitab ini ia menuntut 

hak perwakilan bagi wanita dalam parlemen. Dialah yang 

mengucap-kan kalimat yang termasyhur yang berbunyi: 

“memiliki  hak buat memilih orang-orang yang akan 

memerintah, itu yaitu  satu cara pembelaan diri, yang 

162 

 

menjadi hak tiap-tiap orang”. Dialah pula yang mengatakan, 

bahwa wanita harus dimerdekakan dan dipersamakan dengan 

laki-laki, supaya ia tidak sebagai sekarang, “lebih dulu 

menjadi boneka permainan laki-laki dan lalu  

penyiksanya dan perewelnya”. Sungguh ini satu ucapan yang 

orisinil!, yang sama jitunya dengan ucapan Havelock Ellis 

bahwa laki-laki memperlakukan wanita sebagai satu 

“blasteran antara seorang dewi ... dan seorang tolol”! namun  

pada pokok-nya, faham-faham John Stuart Mill tentang 

wanita hanyalah pengulangan-pengulangan belaka dibandingkan  

faham-faham yang telah dikemukakan oleh penganjur-

penganjur yang telah kita sebutkan. Abad kesembilanbelas 

dus sebenarnya tidak melahirkan ide-ide baru tentang 

emansipasi wanita itu. Ia hanya menunjukkan kelanjutan 

perjoangan, di atas dasar fikiran-fikiran yang telah diletakkan 

lebih dahulu. 

 

Ya, apa yang harus “diteorikan” lagi? Sudah terang dan jelas 

semua pokok-pokok dasar perjoangan, Hanya perjoangannya 

yang belum berjalan dengan sempurna. Dan jalannya 

perjoangan inipun di dalam abad kesembilan belas tidak 

senantiasa memperlihatkan garis yang menaik. Hanya di 

bagian kedua dibandingkan  abad kesembilan belas itu ada 

pergerakan wanita yang sangat hebat. Di bagian pertama 

dibandingkan  abad itu semangat seakan-akan padam. Seakan-

akan sudah tercapailah puncak gelombang samodra 

pergerakan wanita di zamannya Olympe de Gouges, tatkala 

ribuan, puluhan ribu wanita  beraksi massaal menuntut 

keadilan; tatkala suara pidato di mimbar memetir-metir; 

tatkala jejak kaki ribuan wanita terdengar gemuruh menuju 

kerapat-rapat umum, ke istana raja, ke gedung Balai Kota, ke 

Majelis Nasional. Bagian pertama dari abad kesembilan belas 

itu, kalau dibandingkan dengan zaman Olympe de Gouges, 

yaitu  sunyi, laksana sunyinya alam setelah taufan badai 

berakhir. 

 

Apa sebabnya kesunyian ini? Sebabnya ialah, bahwa 

perbandingan-perbandingan sosial ekonomis di dalam 

warga , sebagai yang saya uraikan di dalam bab III, 

memang belum membuat masak semua syarat-syarat untuk 

bergeloranya pergerakan emansipasi itu. Ide, teori, faham, 

163 

 

pokok pikiran emansipasi itu telah lahir lebih dahulu, namun  

perjoangan untuk menjelmakan idee, teori, faham, serta pokok 

fikiran itu masih menunggu panggilan. perbandingan-

perbandingan sosial ekonomis yang akan menggerakkan 

perjoangan itu. Idee memang selalu mendahului pergerakan. 

Misalnya ide atau faham sosialisme pun telah lahir dan di 

teorikan dalam kitab-kitab di zamannya Fourier, Proudhon, 

Marx dan Engels, namun  pergerakan sosialisme barulah 

berkobar betul-betul sesudah kapitalisme modern memekar 

dan menghebat pada akhir abad kesembilan belas. Ide dan 

faham fascisme telah menelur dalam kitab-kitab Machiavelli 

dan Nietzsche, namun  pergerakan fasisme barulah mengamuk 

betul-betul sesudah kapitalisme itu “im Niedergang” dan 

memerlukan pembelaan yang tak kenal kasihan. Maka 

demikian juga halnya dengan pergerakan emansipasi wanita. 

Badan nyonya-nyonya Otis Warren dan Smith Adams telah 

lama menjadi debu, Olympe de Gouges dan Condorcet telah 

lama pulang kerakhmatullah, Wollstonecraft -dan von Hippel 

telah lama masuk ke alam barzah, -barulah, pada permulaan 

bagian kedua dibandingkan  abad kesembilan belas, pergerakan 

emansipasi subur dan menggelora. 

 

Sudah barang tentu terutama sekali mula-mula di Amerika 

dan di Inggeris. Apa sebab justru mula-mula di dua negeri itu? 

Oleh sebab di Amerika dan di Inggerislah perbandingan-

perbandingan sosial ekonomis lebih dulu menjadi masak 

untuk melahirkan pergerakan emansipasi itu: Termasuknya 

barang-barang buatan paberik dalam rumah tangga, membuat 

kaum wanita dari golongan pertengahan dan atasan banyak 

menganggur. Hidup-nya terserang penyakit kesal sebab  

menganggur. Hidupnya menjadi kosong. Mereka ingin bekerja, 

ingin “hidup”. Mereka lantas bergerak, menuntut “hak untuk 

bekerja” dan hak-hak politik yang sama dengan kaum laki-

laki. (Lihatlah uraian dalam bab III). 

 

Di dalam tahun 1851 di Inggeris diadakan satu rapat besar 

oleh kaum wanita atasan untuk menuntut hak perwakilan 

(buat wanita atasan saja!), dan diambilnya satu mosi yang 

mereka kirimkan ke Majelis Rendah. Di dalam tahun 1866 

mereka itu mempersembahkan satu surat permohonan lagi 

kepada pemerintah dengan 1499 tandatangan, juga untuk 

164 

 

meminta hak perwakilan. Baru setahun lalu  dibandingkan  

itu, jadi dalam tahun 1867, parlemen mulai membicarakan 

hak perwakilan wanita itu. namun  putusannya ialah menolak 

hak perwakilan wanita itu, dengan 196 suara lawan 73 suara. 

Suara yang terbanyak berpendapat bahwa wanita tak perlu 

dan tak harus ikut politik! Tempat wanita ialah di rumah 

tangga, di samping buaian anak! 

 

namun  fihak wanita tidak putus asa. Mereka beraksi terus. 

Demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat besar, surat-surat 

kabar, pamflet-pamflet diadakan. Opini publik terus dikocok. 

Akhirnya perhatian khalayak itu mulai ada yang condong juga 

kepada tuntutan wanita. Pemimpin-pemimpin wanita Inggeris 

di waktu itu memang tangkas-tangkas. Mereka umumnya 

gagah berani, pandai benar berpidato, cakap menyusun 

organisasi. namun  reaksi kaum laki-laki pun bukan kepalang. 

Sebagai tembok yang amat tinggi, reaksi laki-laki itu masih 

menghalang-halangi berhasilnya aksi wanita.  

 

Sampai silamnya abad kesembilan belas aksinya kaum feminis 

Inggeris itu tetap sia-sia, atau lebih tegas: hasilnya belum 

sepadan dengan energie yang telah dikeluarkan. Benar 

sebagian dari tuntutannya, yaitu “hak untuk melakukan 

sesuatu pekerjaan di warga ”, telah diluluskan, benar 

mereka telah diizinkan masuk bekerja di beberapa cabang 

pekerjaan, benar mereka telah dibolehkan mengunjungi 

sekolah tinggi, namun  tuntutannya yang terpenting -hak 

perwakilan- belumlah terkabul. Padahal hak perwakilan ini 

amat penting sekali untuk mendapat persamaan hak di semua 

lapangan, ekonomis, yuridis, sosial! sebab  itu, aksi kaum 

feminis itupun tidak menjadi kendor, sebaliknya malah 

menghebat, mengeras, menyengit. Tidak ada satu negeri di 

Eropah, sesudah Revolusi Perancis, yang aksi feminis begitu 

sengit seperti di Inggeris. Mereka tak berhenti-henti 

mengadakan demonstrasi-demonstrasi umum yang gegap-

gempita, melawan perintah-perintah polisi, sehingga diseret di 

muka hakim, dilemparkan ke dalam penjara. Di dalam penjara 

itupun mereka beraksi terus dengan mengadakan pemogokan 

makan. Pemogokan-pemogokan makan ini menggoncangkan 

opini publik di seluruh dunia, menggetarkan perasaan-

perasaan pro dan kontra sehebat-hebatnya. Terutama sekali 

165 

 

partai feminis yang bernama “Women’s social and political 

Union” -lebih terkenal lagi dengan nama partai suffragettes-, 

sangat tajam dalam ucapan-ucapannya dan tindakan-

tindakannya. Partai suffragettes inilah yang paling sering 

bertabrakan dengan polisi, paling banyak pemimpinnya diseret 

di muka hakim, paling banyak mengalami hukuman penjara. 

Nama-nama Emmeline Pankhurst, dan tiga anak-puterinya: 

Christabel Pankhurst, Sylvia Pankhurst, Adele Pankhurst, 

serta pula Mrs. Fawcett dan Mrs. Despard, tidak asing lagi 

bagi khalayak umum dan ... hakim kriminil. Emmeline 

Pankhurst pernah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, 

sebab  mencoba membakar rumah menteri Lloyd George, yang 

menolak tuntutan-tuntutan kaum suffragettes itu! 

 

Dengarkanlah cerita Dr. Aletta Jacobs (seorang feminis 

Belanda) tatkala menceritakan pergerakan feminis suffragette 

itu: “Pada hari Sabtu 9 Pebruari 1907 diadakan satu arak-

arakan besar, namun  tenang, oleh beribu-ribu wanita dari 

segala lapisan warga . Wanita-wanita dari lapisan yang 

berdekatan dengan keluarga raja, dari lapisan yang 

berdekatan dengan pemerintah, -wanita-wanita yang telah 

menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan sosial-, 

wanita-wanita ini berjalan bersama-sama dengan wanita-

wanita yang seumur hidupnya bekerja berat serta menderita 

kemiskinan. Tenang dan tenteram, dengan tidak merusak 

keamanan, wanita-wanita ini berjalan melalui jalan-jalan 

London yang berlumpur, dengan memikul tulisan-tulisan yang 

menunjukkan kepada pemerintah, bahwa wanita-wanita dari 

tingkatan warga  yang paling tinggi sampai tingkatan 

warga  yang paling rendah semuanya menuntut adanya 

hak perwakilan ... Sesudah arak-arakan ini berakhir, maka 

pada hari Rebo 13 Pebruari 1907 diadakan pula arak-arakan 

oleh “Women’s social and political Union” yang lebih terkenal 

dengan nama suffragettes. Di bawah pimpinan Nyonya 

Despard yang tua namun  angker itu, 800 wanita menuju 

kegedung parlemen, untuk menyerahkan kepada pemerintah 

satu resolusi yang menuntut hak perwakilan wanita. Di dalam 

perkelahian yang terjadi sebab  arak-arakan ini, banyak sekali 

wanita  yang luka. Dan 57 wanita  ditangkap oleh 

polisi. Itu malam, banyak sekali surat-surat kabar besar 

166 

 

keluar hingga tiga kali, dengan nomor-nomor ekstra. Dari hal 

itu dapat kita kenangkan, betapa hebatnya kejadian itu”. 

 

Demikianlah salah satu gambaran keuletan wanita Inggeris. 

Bermacam-macamlah cara protes mereka terhadap keadaan-

keadaan yang merendahkan kedudukan wanita. Hal-hal yang 

dilarang oleh hukum, tidak segan-segan mereka jalankan, asal 

untuk kepentingan derajat wanita. Tadi telah saya ceritakan, 

bahwa Emmeline Pankhurst mencoba membakar rumah Lloyd 

George. Sering kali kaum feminis itu mencuri gambar-gambar 

lukisan dari dalam musium National Gallery, kalau gambar-

gambar itu dianggapnya menghina sekse wanita. Pernah buat 

beberapa waktu National Gallery itu ditutup buat semua 

wanita yang datangnya tidak dibarengi seorang laki-laki yang 

baik nama. Sylvia Pankhurst pernah mengadakan pemogokan 

duduk, -sitdown-staking-, di tangga gedung parlemen untuk 

memaksa anggota-anggota parlemen itu supaya meluluskan 

tuntutan hak pemilihan wanita, berhari-hari lamanya, dengan 

tidak makan, tidak minum, tidak mengindahkan polisi yang 

hendak mengusir kepadanya, dengan tekad lebih baik mati 

dibandingkan  takluk dalam perjoangan. 

 

namun  fihak laki-laki pun berkeras kepala! Mereka di Inggeris 

seperti berhati batu. Padahal di Australia pergerakan 

feminisme sudah lebih dulu mendapat kemenangan: di sana 

sejak permulaan abad kedua puluh telah diadakan hak-

perwakilan wanita yang terbatas, -terbatas kepada wanita-

wanita atasan saja. Dan pada tanggal 12 Nopember 1910 

parlemen Australia merasa perlu menerima baik satu 

pernyataan, bahwa hak perwakilan wanita itu tidak merugikan 

kepada parlemen dan balai-balai kota, namun  sebaliknya 

memanfaatkan! Kaum wanita ternyata rajin, -lebih rajin 

dibandingkan  kaum laki-laki! Sebab, di Australia jumlah suara 

yang dikeluarkan oleh kaum wanita, prosentuil lebih besar 

dari pada jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum laki-laki. 

Oleh sebab  itu, parlemen Australia mengusulkan kepada 

parlemen Inggeris, supaya tuntutan kaum feminis itu 

hendaknya dikabulkanlah saja! 

 

namun  parlemen Inggeris belum juga mau menurut. Lebih dulu 

harus datang perang-dunia 1914-1918 yang mengadakan 

167 

 

perobahan besar dalam kedudukan wanita sebagai produsen 

warga . Apakah perobahan ini? Puluhan ribu, ratusan 

ribu, bahkan milyunan kaum laki-laki terpaksa memanggul 

bedil dibarisan tentara, dan tempat-tempat di dalam paberik 

dan di cabang pekerjaan lain-lain yang ditinggalkan oleh 

mereka itu, harus segera diisi, jangan lama-lama lowong, agar 

supaya produksi buat garis muka dan garis belakang 

bertambah besar. Maka pekerjaan yang tadinya dikerjakan 

oleh tenaga laki-laki itu, kini diserahkan kepada tenaga 

wanita. Menyopir mobil, menjalankan tram, mengurus 

pekerjaan pos, merawat orang-orang di rumah sakit, membuat 

amunisi, mengatur administrasi, menyelenggarakan 

pembahagian makanan, dan lain-lain sebagai-nya, -semua itu 

buat sebagian besar, diserahkan kepada wanita. Dan ... dasar 

kaum suffragette kaum idealis yang bercita-cita! Mereka yang 

dulunya begitu sengit melawan pemerintah dan melawan laki-

laki, kini menjadi pembantu yang paling setia dari pemerintah 

dan laki-laki dalam marabahaya. Dulu mereka menggembleng 

senjata untuk menghantam sitadelnya kekolotan bangsa 

sendiri, kini mereka menggembleng senjata untuk 

menghancur-leburkan sitadel kebuasan bangsa, musuh. 

 

Dan segeralah pemerintah juga menjadi “lunak hati”. 

Pemerintah berputar huluan. Sebab ternyata kaum wanita di 

dalam peperangan total menjadi satu tenaga vital, satu tenaga 

yang tak dapat diabaikan. Ternyata mereka bukan “sekse yang 

lemah”. Ternyata jika tak ada mereka produksi alat perang tak 

akan mencukupi keperluan. Ternyata jika tak ada mereka 

Britania akan patah tenaga di tengah-tengah pertempuran. 

Ternyata mereka ikut menjadi satu faktor yang menentukan 

dalam perjoangan mati atau hidupnya negara. Ada keberatan 

apa lagi untuk meluluskan tuntutan mereka tentang hak-

perwakilan? 

 

Maka hak perwakilan itu diberikan, meskipun dengan 

terbatas. Perjoangan yang telah lebih satu seperempat abad 

lamanya, akhirnya mula mencapai kemenangan. Atau lebih 

tegas lagi: bertambahnya arti wanita  sebagai produsen 

warga  dalam masa peperangan memberi permulaan 

kemenangan kepada mereka itu. 

 

168 

 

Ya, hak perwakilan yang terbatas, seperti di Australia. 

Tiap-tiap orang laki-laki dewasa, tua atau muda, pandai atau 

bodoh, kaya atau miskin, boleh memilih dan dipilih buat 

parlemen, namun  wanita  barulah boleh menjalankan hak 

itu kalau ia sedikit-dikitnya berumur 30 tahun, dan 

kekayaannya pun harus memenuhi satu syarat minimum 

pula. Dengan pembatasan ini, hanya 6.000.000 wanita  

Inggeris dapat menjalankan hak memilih dan dipilih itu. 

 

namun  kemenangan sudah mulai tercapai, dan kegembiraan 

bukan kepalang. Pada. tanggal 9 Desember 1918 kaum wanita 

mengadakan rapat raksasa digedung Queen’s Hall yang amat 

luas itu, rapat pemilihan mereka yang pertama. Kecuali 

gembong-gembong wanita, maka juga berpidato disitu ... Lloyd 

George! Lloyd George, yang dulu menentang hak pemilihan 

bagi wanita, -dan yang dulu rumahnya hampir-hampir saja 

terbakar habis oleh apinya Emmeline Pankhurst! Dengan 

disambut tampik sorak serta tepuk tangan gegap-gempita dari 

kalangan hadlirat yang beribu-ribu itu, ia menyatakan 

kegembiraan hatinya bahwa kaum wanita kini telah mendapat 

hak perwakilan, serta pula menyampaikan kekagumannya 

atas jasa wanita di dalam masa peperangan. “Jika tiada 

bantuan wanita, kita tidak mungkin menang di dalam 

peperangan ini.” Kalimat ini diucapkannya dengan penuh 

keyakinan. 

 

Demikianlah keadaan di negeri Inggeris. Bagaimana keadaan 

di negeri-negeri lain? Telah saya ceritakan, bahwa pergerakan 

wanita tingkatan kedua itu dalam bahagian kedua dari abad 

kesembilan belas terutama di Inggeris dan di Amerika 

berkobar lagi. Di negara New York di dalam tahun 1849 yaitu  

satu kejadian yang luar biasa: seorang wanita yang bernama  

Elisabeth Blackwell mencapai titel doktor ketabiban. Ini 

sebenarnya yaitu  satu kejadian yang menggembirakan, 

namun  orang-orang laki-laki Amerika yang “cinta kemerdekaan” 

itu, menjadi ribut oleh sebab  kejadian ini! Mereka anggap 

kejadian itu satu bahaya bagi masjarakat. wanita  tak 

pantas menjadi tabib! Sebagai akibat keributan mereka itu, 

maka sekolah-sekolah tinggi menutupkan pintunya bagi 

mahasiswa wanita, sehingga di dalam tahun 1857 di seluruh 

Amerika hanya ada tiga orang tabib wanita  saja. 

169 

 

Kepicikan sikap kaum laki-laki yang demikian itu sudah 

barang tentu amat menyakitkan hatinya wanita Amerika. 

wanita  harus tetap bodoh, dianggap tak pantas masuk 

warga , dianggap tak pantas mengunjungi sekolah-

sekolah tinggi? Padahal belum hilang sama sekali terhapus 

namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams! Dan 

tatkala Amerika tengge1am di dalam kekejiannya kezaliman 

memperbudak orang-orang Neger, tidakkah seorang-orang 

wanita yang ikut membangkitkan rasa kemanusiaan bangsa, 

yakni Harriet Beecher Stowe dengan bukunya yang 

termasyhur “Uncle Tom’s Cabin”. Jauh dibandingkan  satu buku 

biasa yang berisi satu “cerita sentimentil”, maka Uncle Tom’s 

Cabin yaitu  menunjukkan kecakapan penulisnya untuk 

membela satu pendirian dalam perjoangan faham yang sedang 

berkobar di waktu itu. Pro atau anti perbudakan? Pro atau 

anti kerja bebas? Uncle Tom’s Cabin disalin dalam berpuluh 

bahasa, faham-faham yang terkandung di dalamnya 

mengharukan orang di tiap-tiap pelosok di Amerika dan di 

Eropa. Dan itu pada waktu dunia belum mengenal banyak 

surat kabar, belum mengenal gambar hidup, belum mengenal 

radio! Nyata penulisnya bukan seorang biasa. Ia seorang 

kaliber besar. Dan, ia seorang -wanita! 

 

Bukti-bukti kecerdasan otak wanita itu di mana-mana 

dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin wanita untuk 

membenarkan tuntutan-tuntutannya: wanita tidak kurang 

cakap dari laki-laki, asal diberi kesempatan; wanita harus 

dipersama-kan haknya dengan laki-laki. 

 

Dan walaupun pada mula-mulanya tidak ada hubungan 

antara aksi-aksi wanita itu di pelbagai negeri, -tiap-tiap negeri 

memiliki  aksi wanita sendiri-sendiri-, maka akhirnya 

tumbuhlah rasa perlu kepada hubungan internasional. Bukan 

saja hubungan internasional yang berupa pekerjaan bersama 

internasional, namun  lambat-laun dirasakanlah pula perlunya 

ada perserikatan internasional. Di dalam tahun 1888 di 

Amerika didirikan satu “Dewan Wanita Nasional”. Negeri-

negeri lain segera menyusul. Di dalam tahun 1893 Dewan-

dewan wanita nasional telah dapat digabungkan menjadi satu 

“Dewan Wanita Internasional” dengan memiliki  50 cabang 

yang tersebar di beberapa negara. Sering sekali orang 

170 

 

namakan Dewan Wanita Intrnasional ini Induk Volkenbond,  

sebab  ia amat mengutamakan sekali persaudaraan 

internasional. namun  ia jauh dibandingkan  radikal. Misalnya 

perserikatan-perserikatan wanita filantropis pun boleh masuk 

menjadi anggotanya. Lebih radikal dibandingkan  Dewan Wanita 

Internasional ini, lebih militan, lebih politis, lebih “feministis” 

ialah satu gabungan lain yang bernama “International Alliance 

for Women Suffrage and Equal Citizenship” -“Serikat 

internasional buat hak perwakilan wanita dan persamaan hak 

warga negara”. 

 

Alliance ini di dalam tahun 1904 mengadakan Kongresnya 

yang pertama di kota Berlin. 

 

Utusan-utusan dari Amerika, New-Zealand, Swedia, Norwegia, 

Denmark, Belanda, Jermania, Inggeris, Austria; Swis, datang 

mengunjunginya. Satu keterangan azas diterima baik oleh 

Kongres itu, yang menyatakan bahwa laki-laki dan wanita  

yaitu  sama, dan oleh sebab nya harus mendapat hak yang 

sama pula. Hak bekerja! Dan terutama sekali hak pemilihan! 

namun  soal ketidakadilan sosial, yaitu soal nasib kaum 

wanita  miskin, tidak disinggung-singgung. Nyonya C. 

Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda, mengatakan 

bahwa kongres ini sama sekali berjiwa liberalisme borjuis, 

berjiwa “burgerlijk liberalisme”. 

 

Sesudahnya kongres ini, Alliance itu berkembang-biak. 

Jumlah cabang-cabangnya senantiasa bertambah. Perancis, 

Belgia, Rusia, Serbia, Portugis, Italia, Kanada, Amerika 

Selatan, Tiongkok, -juga di negeri-negeri ini tumbuh cabang-

cabang Alliance itu. Majalahnya yang bernama “Jus Suffragii” 

dibaca oleh anggota-anggotanya dari Amerika sampai ke Asia. 

Alliance menjadi satu kenyataan yang tak boleh diabaikan. 

Pergerakan wanita Inggeris yang saya gambarkan di muka 

tadi, mendapat sokongan keras dari Alliance itu. 

 

namun  ... hak pemilihan yang dituntut oleh Alliance itu, -hak 

pemilihan yang bagaimanakah? Hak pemilihan umumkah? 

Yaitu yang memberi hak pemilihan kepada tiap-tiap orang 

wanita  dewasa, dengan tidak membeda-bedakan antara 

kaya dan miskin, antara terpelajar dan tidak terpelajar, antara 

171 

 

bangsawan dan rakyat jelata? Ataukah hak pemilihan 

terbatas, yang diberikan hanya kepada wanita-wanita yang 

memenuhi syarat-syarat minimum tentang kekayaan, 

kecerdasan, keturunan? 

 

Sudah di dalam Kongresnya di Berlin, Alliance tidak mau 

menjelaskan hal ini, dan di dalam Kongres-kongresnya yang 

lalu  pun tidak. namun  prakteknya di pelbagai negara 

menunjukkan sifat burgerlijk itu senyata-nyatanja. Di 

Norwegia misalnya, Alliance terang-terangan telah puas 

dengan hak-pemilihan terbatas yang tercapai dalam tahun 

1907, di Belgia orang menganjurkan hak pemilihan terbatas 

buat wanita  guna menambah kekuatan reaksi menentang 

kenaikannya partai-partai proletar, di Jermania pemimpin-

pemimpin Alliance mengepalai satu gerakan buat meminta 

hak pemilihan terbatas di haminte berdasar jumlah pajak buat 

wanita! 

 

Memang nyata gerakan feminis yaitu  burgerlijk. Lihatlah 

misalnya Kongres Besar Alliance itu di Amsterdam 1908. 

Indah gemerlapan pakaian utusan-utusan yang 

menghadlirinya, yang datang dari berpuluh-puluh negeri; 

indah dan gemerlapan perhiasan ruangan Kongres, dengan 

karangan-karangan bunga dan bendera-bendera dari putuhan 

negara; “indah” dan “gemerlapan” pula susunan kalimat 

pidato-pidato yang diucapkan. Presidente Kongres, Nyonya C. 

Chapman Catt dari Amerika, membuka Kongres itu dengan 

satu pidato, dalam mana ia memuji tercapainya hak pemilihim 

wanita di Norwegia 1907 sebagai satu kemenangan gilang-

gemilang yang telah memuaskan. Ia tidak jelaskan, bahwa hak 

pemilihan yang tercapai di Norwegia itu ialah hak pemilihan 

buat wanita atasan semata-mata. Seorang utusan yang hadlir, 

yaitu utusan wanita Rusia yang bernama Golowine, berkali-

kali minta diberi kesempatan bicara, namun  selalu ditolak 

permintaannya. Akhirnya ia diberi kesempatan berpidato ... 5 

menit. Di dalam pidato lima menit itu Golowine menuntut hak 

pemilihan  umum, dan bahwa hak pemilihan hanyalah satu 

dari pada alat-alat saja untuk men-capai susunan warga  

yang sosialistis. Sambutan atas pidato yang singkat itu, ialah 

bahwa ia ... tidak mendapat sambutan sama sekali. Di dalam 

172 

 

perslah Kongres pun pidato ini sama sekali tidak disebut-

sebut! ... 

 

Nyata dan terang, bahwa Alliance yaitu  perserikatan 

burgerlijk, perserikatannya wanita atasan, dengan tuntutan-

tuntutan yang tuntutannya wanita atasan, dengan mengejar 

hak pemilihan yang hak pemilihan wanita atasan. Semua 

fikirannya, keinginan-keinginannya, faham-fahamnya, 

ideologi-ideologinya yaitu  burgerlijk, buah-hasil dibandingkan  

warga  burgerlijk. Menurut ideologi mereka, warga  

hanya memiliki  satu cacat saja, yaitu bahwa kaum laki-laki 

(tentu saja kaum laki-laki mereka) tidak memperlakukan 

mereka secara adil. Tidak memberi  hak untuk bekerja 

kepada mereka, tidak mengasih hak sama di lapangan hukum 

negara kepada mereka. Kalau ketidakadilan ini telah lenyap, 

dunia menurut anggapan mereka telah menjadi sorga. 

 

namun  tertinjau dari sudut burgerlijk, memang besar hasil 

Alliance ini. Pada waktu ia mengadakan Kongres di dalam 

tahun 1926, maka dari 43 negeri yang menjadi anggota, sudah 

26 negeri yang memiliki  hak pemilihan wanita. (Terbatas!)  

 

Tertinjau dari sudut umum, sering sekali Alliance itu kecuali 

burgerlijk, ternyata pula reaksioner. Sebab sering sekali 

ternyata bahwa pemerintah-pemerintah memberi  hak 

pemilihan terbatas itu, -dus kepada wanita atasan!- hanya 

untuk memperkuat kedudukan reaksi di dalam parlemen, 

guna mengalahkan perwakilan proletar di dalam parlemen 

yang makin hari makin kuat. 

 

Bagi wanita rakyat jelata, pergerakan feminisme itu dus nyata 

tidak memuaskan, malahan kadang-kadang nyata-nyata satu 

bahaya. Bagi wanita rakyat jelata feminisme itu tidak memberi 

“pemecahan soal” malahan sering menjadi lawan dalam 

perjoangannya untuk “memecahkan soal”. Mereka, wanita 

rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja 

kemerdekaan politik, namun  juga kemerdekaan ekonomi. 

Mereka mencari kemerdekaan sosial. Dan di dalam usaha 

mereka untuk mencapai kemerdekaan sosial ini, sering sekali 

kaum feminis tidak berdiri di samping mereka, melainkan 

berhadap-hadapan dengan mereka, menentang mereka, 

173 

 

melawan mereka. sebab  itu maka wanita rakyat jelata lantas 

emoh kepada pergerakan feminis. Mereka mengadakan 

pergerakan sendiri. 

 

Pergerakan sendiri inilah tingkat ketiga dibandingkan  pergerakan 

wanita. Sebenarnya, tak mungkin bagi saya, menceritakan 

sejarah pergerakan wanita tingkat ketiga ini, dengan tidak 

menceritakan sejarah pergerakan sosialisme seluruhnya. 

Sebab, sebagai telah saya kemukakan di muka, sebenarnya 

tidak ada “pergerakan wanita spesial” dari tingkatan ini, 

melainkan tercampurlah ia dengan pergerakan sosialisme 

seluruhnya. namun  marilah saya ceritakan sedikit-sedikit, 

sekedar untuk memberi gambaran dan pengertian seperlunya. 

Sejarah pergerakan sosialisme telah tertulis dalam buku-buku 

yang jumlahnya tidak sedikit. Bukan ratusan buku, namun  

ribuan buku meriwayatkannya. Teori sosialisme dan sejarah 

pergerakan sosialisme telah tersusun dalam satu 

“perpustakaan sosialis” yang amat luasnya. Saya persilahkan 

pembaca yang memiliki  minat ke arah itu, untuk 

menyelami sendiri perpustakaan sosialis itu. 

 

Sebagai di muka telah berulang-ulang saya katakan, 

perbedaan antara tingkatan kedua dan ketiga ialah: tingkat 

kedua sekedar hanya mencari persamaan hak saja dengan 

kaum laki-laki, dan perjoangannya yaitu  melawan kaum 

laki-laki. Susunan warga , perbandingan-perbandingan 

sosial di dalam warga , cara produksi dan pembahagian 

produksi, tidak dipersoalkan. Keadilan sosial tidak dikejar. 

Sebaliknya, tingkat ketiga hendak membongkar sama sekali 

susunan pergaulan hidup yang sekarang, hendak mengadakan 

satu pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial, dan 

aksi tingkat ketiga ialah bersama-sama dengan laki-laki, bahu 

membahu dengan laki-laki. Tingkat kedua yaitu  pergerakan 

kaum wanita atasan yang sebab  tumbuhnya industrialisme 

kapitalis kekurangan pekerjaan dan lantas menuntut diberi 

pekerjaan, tingkat ketiga yaitu  pergerakannya kaum wanita 

jelata yang sebab  tunlbuhnya industrialisme kapitalis terlalu 

ditindas oleh pekerjaan dan lantas menuntut 

permanusiaannya pekerjaan. Marilah kita perhatikan uraian 

Lily Braun, wanita sosialis yang kenamaan itu: “Eerst toen de 

veelvuldige arbeid der huisvrouw in toenemende mate door het 

174 

 

handwerk en de industrie over-genomen werd, en de vrouw, 

voorzoover zij als lid der bezit tende klasse vrije  tijd verkreeg, 

zich overbodig voelde, de leegte van haar innerlijk en uiterlijk 

levenbegreep; of als lid der bezitloze klasse gedwongen was 

haar huiselijke bezigheid met loonarbeid buitenshuis en 

gescheiden van het geziIi te verwisselen, -werd zij zich haar 

drukkende toestand bewust.... Terwijl de burgerlijke vrouw den 

arbeid als den grootsten bevrijder zoekt, is deze voor de 

proletarische vrouw een middel tot knechtschap geworden; en 

terwijl het recht op arbeid een der voornaamste 

menschenrechten is, is de verdoeming tot arbeid een bron van 

verontzedelijking”. Artinya ialah sebagai yang saya uraikan 

tadi: penghargaan kerja dibandingkan  kaum wanita atasan yang 

kurang kerja, dan dibandingkan  kaum wanita proletar yang 

diperbudak oleh kerja, yaitu  berlainan satu sama lain. 

 

Malahan beratnya pekerjaan yang membebani kaum wanita 

jelata itu menjadi sebab, bahwa masuknya kesedaran dan 

semangat perjoangan di kalangan mereka, agak terlambat. 

Beratnya nasib sehari-hari, yang sama sekali tidak mengasih 

kesempatan kepadanya untuk memikirkan lain hal, melainkan 

kerja, kerja, dan sekali lagi kerja, -kerja di paberik atau 

perusahaan, kerja di rumah tangga, kerja sebagai produsen 

warga  dan kerja sebagai produsen rumah tangga, -

sebagai yang telah saya uraikan di muka, membuat fikiran 

mereka menjadi seperti tumpul dan buntu. Mereka tak ada 

waktu lagi untuk berfikir! Kaum proletar laki-laki sudah lama 

bangkit semangatnya, sudah lama mengadakan serikat ini dan 

serikat itu, sudah lama “bergerak”, -kaum proletar wanita 

masih saja tinggal tumpul dan buntu ingatan, tak mengerti 

aksi fihak laki-laki, malahan ada pula yang tidak setuju atau 

melarang suaminya bergerak. Pertengkaran suami-isteri sering 

terjadi, pemogokan-pemogokan kaum buruh laki-laki kadang-

kadang dikhianati oleh kaum buruh wanita yang menjadi 

penggantinya kaum pemogok. 

 

Henriette Roland Holst menggambarkan terlambatnya 

kesadaran wanita jelata itu sebagai berikut: “Zeer lang heeft 

het geduurd, voor die vrouwen, die toch werkten in en voor de 

maatschappij, iets van de maatschappij begrepenen opstonden 

tegen het maatschappelijk onrecht. De overmaat hunner 

175 

 

ellende maakte hen wel ontvankelijk voor de gedachte van 

verzet, voor de hoop van een betere toekomst; doch de lange 

arbeidsdagen, de ontzettende afmatting die haar telkens 

overviel, en het feit dat ze thuis dadelijk weer moesten 

beginnen met te zorgen voor het eten, voor de was, voor de 

kinderen, dat zij nooit tijd en kracht vonden zich rekenschap te 

geven van hun leven en hun omgeving, -en daarbij de oude 

gewoonte van geduldig en lijdzaam dragen, dit alles maakte, 

dat zij slechts na langen, langen tijd konden komen tot 

aaneensluiting en verzet. Reeds tientallen jaren waren de 

arbeiders bezig den vak-vereehigingsstrijd en den klassenstrijd 

te strijden, reeds ver waren die op den weg der bevrijding, 

reeds groot en machtig waren hun organisaties, en nog hingen 

de vrouwen als een dood gewicht aan hen, de vrouwen van hun 

eigen klasse. Ze begrepen den strijd hunner mannen niet, en 

belemmerden dien vaak, en verzetten zich tegen de offers van 

tijd en geld die die strijd kostte”. 

 

Pokok artinya sama dengan apa yang saya katakan tadi. 

Lily Braun juga memberi keterangan yang demikian. 

Dengarkan uraiannya: “De arbeid is voor hen (den arbeider) 

het eenige beroep; de vrouw is we I gedwongen met hem 

ademloos den wedloop om de broodwinning aan te gaan, maar 

zij heeft daarnaast nog zooveel weegs af te leggen, dat zij niet 

slechts bij hem achterblijft en vroeg gebroken is, maar ook niet 

den minsten tijd heeft om over haren toestand en de 

voorwaarden van haren arbeid eenigszins na te. denken. Zij is 

niet alleen arbeidster geworden, zij bleef huisvrouw. Zij is 

echter ook moeder. Terwijl de man zich op vergaderingen 

ontwikkelt, zich met zijn kameraden verstaat, boeken en 

bladen leest, heeft zij te koken, te naaien, te verstellen, de 

kill;deren te verzorgen, ze op te voeden en op hen te passen; en 

om der kinderen wi! wordt zij zelfs vaak een heftige 

tegenstandster der vereeniging, die contributie van haar eischt 

welke zij zoo volstrekt noodig heeft voor de bevrediging harer 

behoeften, die haar zelfs tot staking van den arbeid dwingen 

kan”. 

 

namun  lama-kelamaan kesedaran itu toh datang juga. Lama-

kelamaan proses industrialisme kapitalis yang 

“mewarga kan” kaum wanita jelata itu toh memasukkan 

176 

 

mereka juga ke dalam alam perjoangan kelas proletar, -wanita 

bersama-sama dengan laki-laki-, dan bukan alam perjoangan 

burgerlijk, yakni wanita menentang laki-laki. “De burgerlijke 

vijandschap tegen den man vond haar tegenstelling in de 

proletarische broeder-schap met den man”, demikianlah 

Henriette Roland Holst berkata. 

 

Oleh sebab  itu, maka pergerakan wanita jelata ini lantas 

menjadi satu bagian kekal dibandingkan  pergerakan sosialis 

seumumnya. Jalan-jalan apakah dilalui oleh pergerakan 

sosialis itu untuk mencapai maksudnya, jaitu warga  

sosialis? 

 

Jalan itu ada tiga: 

a. Aksi serikat sekerja. 

b. Aksi koperasi. 

c. Aksi partai politik. 

 

Mula-mula, maka kaum buruh laki-laki sendiri di dalam 

serikat sekerja, koperasi dan partai politik itu tidak senang 

menerima wanita sebagai anggota. Bukan saja mereka masih 

dihinggapi faham kuno bahwa wanita itu tidak cakap buat ini 

atau itu, yaitu masih dihinggapi prasangka, namun  terutama 

sekali buat serikat sekerja yaitu  sebab lain yang penting: Di 

dalam paberik, di dalam perusahaan, buruh wanita 

merupakan satu golongan yang kwalitas pekerjaannya kurang 

baik, dus satu golongan yang rendah upahnya. Manakala 

wanita itu diizinkan masuk serikat sekerja, maka kaum laki-

laki mengira bahwa hal itu akan berakibat merosotnya upah 

seumumnya. Tidakkah di dalam perusahaan-perusahaan yang 

jumlah buruh wanitanya lebih besar dibandingkan  jumlah buruh 

laki-laki, garis upah (loonpeil) selalu mengarah kepada upah 

wanita yang rendah? Maka oleh sebab  itu, sedapat mungkin 

wanita ditolak menjadi anggota serikat sekerja. Mereka 

dianggap satu saingan yang tidak baik. Mereka merusak 

pasar. 

 

Begitu pula di dalam kalangan partai politik. Partai politik 

menghendaki anggota-anggota yang sedar dan ulet. 

 

177 

 

Ia menghendaki “penyaringan”; ia menghendaki seleksi. 

Sedangkan wanita  dianggap kurang cerdas, kurang sedar, 

kurang ulet, kurang mampu berfikir secara prinsipiil, kurang 

tenang, mudah terpengaruh oleh sentimen, mudah 

mendatangkan kekacauan dan keributan! 

 

namun  akhirnya, lama-kelamaan datang pula perobahan dalam 

kekolotan kaum laki-laki ini. Terutama sekali kalangan 

serikat-sekerja kaum laki-laki itu mulai mengerti, bahwa 

justru kalau wanita itu tidak dididik dalam semangat 

pergerakan dan tidak diajak serta dalam pergerakan, mereka 

akan tetap menjadi ancaman memerosotkan upah. Jangan 

tinggalkan kaum wanita ! Justru kalau ditinggalkan, 

mereka sebab  kebodohannya akan selalu bersedia menjadi 

pangganti buruh laki-laki dengan upah yang lebih rendah, -

menjadi “onderkruipster” kalau buruh laki-laki mengadakan 

pemogokan. Justru kalau sang isteri tidak dibawa dalam 

kesedaran, maka ia akan selalu mengomel kalau sang suami 

malam-malam pergi ke rapat atau ke pekerjaan partai, 

menggerutu kalau dari uang belanja diambil sebagian kecil 

buat membayar kontribusi atau abonemen koran. Satu-

satunya jalan untuk menghilangkan ancaman ekonomis yang 

datang dari rendahnya upah wanita, dan ancaman psikhologis 

dalam perhubungan suami isteri, ialah menyadarkan wanita 

itu tentang gunanya perjoangan, dan membawa mereka serta 

di dalam perjoangan. 

 

Dan wanita pun segera sedar. Kesedaran inilah yang membuat 

dunia manusia pada silamnya abad kesembilanbelas 

mengalamkan satu pergerakan laki wanita  yang hebat, 

sebagai yang belum dialamkannya dalam seluruh sejarahnya 

yang terdahulu. Kesedaran inilah yang membawa “soal-

wanita” itu ke atas satu tingkat yang lebih tinggi, satu tingkat 

yang mengenai soal warga  seumumnya, yang tidak 

hanya memfikirkan dan memperjoangkan kedudukan wanita 

saja, namun  memikirkan dan memperjoangkan kedudukan 

wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang 

berbahagia seluruhnya. Kesedaran ini membuat wanita 

berjoang tidak sebagai sekse, namun  sebagai satu bagian 

dibandingkan  satu kelas. 

 

178 

 

Di dalam salah satu kongresnya, yaitu di Gotha 1896, maka 

pergerakan sosialis itu menerima baik resolusi yang mengenai 

nasib wanita, sebagai berikut: “sebab  pekerjaannya di dalam 

perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis 

sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. namun  

persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-

laki, -hanya saja lebih hebat dari dia-, dihisap oleh si kapitalis. 

Maka oleh sebab  itu, perjoangan kaum wanita proletar itu 

bukan satu perjoangan menentang kaum laki-laki dari 

kelasnya sendiri, namun  satu perjoangan bersama-sama kaum 

laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal. 

Tujuan yang dekat dibandingkan  perjoangan ini ialah menghambat 

dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir 

ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud 

menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan 

penjelmaan-nya satu pergaulan hidup sosialistis”.  

 

Demikianlah bunyi resolusi Kongres di Gotha 1896. Itu tidak 

berarti, bahwa kongres-kongres sosialis yang terdahulu tidak 

membicarakan soal wanita. Tidak. Malah di dalam Kong-res di 

Eisenach; di dalam tahun 1869, soal itu dibicarakan pula. 

namun  kejernihan faham, kejernihan analise, pada kongres-

kongres yang terdahulu itu behun terdapat. Boleh dikatakan 

kejernihan itu barulah tumbuh sesudah terbit kitab August 

Bebel: “Die Frauund der Sozialismus”, -”Wanita dan 

Sosialisme”. Kitab ini saya anggap salah satu kitab soal wanita 

yang fundamentil. namun  alangkah banyaknya dulu rintangan-

rintangan yang menghalangi tersebarnya kitab ini! Bebel 

menerbitkan kitabnya itu dalam tahun 1879, setahun sesudah 

Graf Otto von Bismarck, perdana menteri Jerman, 

mengeluarkan Undang-undang Sosialis yang amat zalim. 

Undang-undang Sosialis ini melarang semua perserikatan-

perserikatan sosialis, melarang rapat-rapatnya, membungkem 

propagandis-propagandisnya, membeslah kitab-kitab dan 

majalah-majalahnya. Sudah barang tentu kitab Bebel itu tak 

mungkin dibaca terang-terangan di Jermania. namun  

pergerakan sosialis di bawah tanah yaitu  demikian hebatnya, 

sehingga kitab Bebel yang tebal itu selama ada Undang-

undang Sosialis mengalami cetakan ... 8 kali? Dan berkat aksi 

di bawah tanah yang semakin menghebat itu, yang membuat 

Undang-undang Sosialis menjadi secarik kertas saja, maka 

179 

 

akhirnya di dalam tahun 1890 wet itu ditarik kembali. Baru 

sesudah itu, pergerakan kaum proletar di Jermania dapat 

beraksi lagi terang-terangan, berserikat, bersidang, 

berkonferensi, berkongres. Di dalam Kongresnya di Gotha tadi 

itulah diambil resolusi tentang soal  wanita yang definitif. 

 

Alangkah pentingnya kitab August Bebel itu! Di dalam tahun 

1902 ia telah mengalami cetakan yang ke-25 di Jermania, di 

dalam tahun 1906 cetakan yang ke-40! Saya tidak mengetahui 

cetakan yang keberapa ia capai sampai saat Hitler bersimaha-

rajalela di Jermania. Hitler sudah tentu memasukkan kitab 

Bebel itu di dalam indeksnya. Bukan saja semua kitab sosialis 

harus dilarang, dibakar, dibasmi, namun  Hitler menentang 

keras cita-cita pengangkatan derajat wanita. Wanita gila yang 

menghendaki emansipasi, apa lagi menghendaki warga  

sosialis! Wanita harus tinggal di rumah tangga! Wanita hanya 

baik buat “empat K”, yaitu -Kirche, Kiiche, Kinder, Kleider! 

Artinya: wanita hanya baik buat Gereja, Dapur, Anak-anak, 

dan Pakaian! Goering berkata: “Tempat wanita ialah di rumah. 

Kewajiban wanita ialah memberi hiburan kepada laki-laki yang 

pulang dari perjoangan”. Dan Goebbels menegaskan: 

“Kewajiban wanita ialah mencantikkan diri dan beranak” ... 

Memang kalau orang menanya kepada saya:  Apakah 

perbedaan yang terbesar antara” sosialisme dan fascisme? 

Maka saya menjawab: Perbedaan terbesar antara sosialisme 

dan fascisme ialah hal wanita. 

 

Di luar Jermania kitab Bebel itu sangat asyik dibaca orang. Ia 

disalin dalam lebih dibandingkan  sepuluh bahasa. Sebab kecuali 

mengupas soal wanita dengan cara yang mengagumkan, Bebel 

yaitu  salah seorang pemimpin kaum buruh internasional 

yang amat besar. Ia yaitu  salah seorang jenderal perjoangan 

proletar, jenderal yang ulung, sederajat setingkat dengan 

Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Clara Zetkin, Rosa 

Luxemburg, dan pemimpin lain-lain. Suaranya diperhatikan 

orang di rapat-rapat raksasa, di konferensi-konferensi partai, 

di Reichtstag, di kongres-kongres internasional. Bagi wanita 

sosialis ia yaitu  maha guru, maha pendekar. Ia yaitu  salah 

seorang pemimpin kaum buruh yang pertama-tama 

membuktikan perlunya kaum wanita diajak ikut serta dalam 

pergerakan, dan itu pada waktu pemimpin-pemimpin laki-laki 

180 

 

umumnya masih belum mufakat dengan faham itu. Ialah yang 

pertama-tama membawa soal wanita itu ke lapangan ilmu 

pengetahuan, serta menghubungkan soal wanita itu kepada 

soal warga  seumumnya. Ia membuktikan, bahwa soal 

wanita bukanlah soal sekse, namun  soal sosial. Satu problem 

sosial! Soal wanita bukanlah soal “wanita sebab  wanita”, 

namun  soalnya wanita dalam proses pertumbuhan warga . 

Soal. wanita tidak dapat dipecahkan, bila tidak dipecahkan 

soal warga  seluruhnya. Soal wanita itu jadi bukan soal 

kaum wanita sendiri saja, namun  juga soalnya kaum laki-laki 

pula, -soalnya seluruh kemanusiaan. 

 

Dengan bukti-bukti yang ia ambil dari sejarah evolusi 

kemanusiaan yang telah ribuan tahun, dan angka-angka 

statistik yang terang, ditunjukkan olehnya, bahwa corak 

segala anggapan-anggapan dan perlakuan-perlakuan terhadap 

wanita, sepanjang masa yaitu  akibat dibandingkan  kedudukan 

wanita dalam proses produksi. Penting kedudukan wanita 

dalam proses produksi, -tinggilah penghargaan orang 

kepadanya; tidak penting keduduk-an wanita dalam proses 

produksi, -rendahlah penghargaan orang kepadanya. “Soal 

wanita” bertalian erat dengan “soal sosial”; wanita tak 

mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis merdeka. 

 

Dan wanita hanyalah ekonomis merdeka, di dalam pergaulan 

hidup yang sosialistis. 

 

Sesudah Undang-undang sosialis dihapuskan, dalam tahun 

1890, pergerakan wanita jelata di Jermania berjalan pesat. En 

toh sebenarnya belum semua rintangan terangkat! Sebab 

kendati pun undang-undang sosialis telah hapus, masih 

banyaklah negara-negara di Jermania yang masih melarang 

orang wanita  campur tangan dalam politik. Larangan-

larangan ini harus digempur lebih dahulu. Di dalam tahun 

1891 di tiap-tiap kota di Jermania didirikan oleh kaum wanita 

“komisi-komisi penyedar”, -komisi-komisi agitasi-, yang 

pekerjaannya ialah menyemangatkan kaum wanita untuk 

berjoang. Di dalam tahun itu juga diterbitkan majalah “Die 

Arbeiterin” di bawah pimpinan Emma Ihrer, yang lalu  

diteruskan oleh Clara Zetkin dengan nama baru “Die 

Gleischheit”. 

181 

 

 

Sangat giatlah komisi-komisi penyedar itu, dan hebat pula 

propaganda di dalam “Die Gleichheit”. namun  hebat pula reaksi 

dari fihak pemerintah. Sebab fihak pemerintah itu mengerti, 

bahwa kini pergerakan kaum buruh itu, dengan ikut sertanya 

kaum wanita, benar-benar berpusat dalam jantungnya 

massa. Dulu faham-faham revolusioner hanyalah berputar 

dalam otak kaum buruh laki-laki saja, di dalam rapat-rapat, di 

dalam lepau-lepau minuman keras, di dalam dok-dok dan 

bengkel-bengkel. namun  kini faham-faham yang berbahaya itu 

berhinggap pula dalam otaknya kaum wanita, masuk di dalam 

rumah tangga, bersemayam di dalam jantungnya somah, 

bersarang di dalam jantungnya keluarga! Di dalam tahun 

1895 pemerintah membubarkan semua komisi-komisi 

penyedar itu, pemimpin-pemimpinnya ditangkap, diseret 

dimuka hakim dilemparkan ke dalam penjara. namun  bukan 

matinya pergerakan wanita jelata yang ia capai, melainkan 

justru tambah berkobarnya pergerakan kaum buruh 

seluruhnya. Agitasi menyala-nyala. Di mana-mana diadakan 

protest meeting, menuntut perluasan hak bersidang dan 

berserikat. 

 

Terutama sekali tuntutan hak pemilihan bagi wanita 

didengungkan di semua pelosok. Sebab perjoangan mengejar 

sosialisme mengharuskan tuntutan kepada hak-hak politik, 

yakni hak bersidang dan berserikat dan hak perwakilan. 

Sebab serikat sekerja, koperasi, partai politik, tiga jalan 

serangkai di dalam perjoangan mengejar sosialisme yang saya 

sebutkan di muka tadi, tidak mungkin jika tiada organisasi. 

namun  organisasi tidak mungkin jika tiada hak bersidang dan 

berserikat, hak bersidang dan berserikat tidak mungkin jika 

tiada perluasan wet-wet yang masih sempit, perluasan wet-

wet yang masih sempit tidak mungkin jika tiada perjoangan 

dalam Reichstag atau parlemen, perjoangan dalam Reichstag 

atau parlemen tidak mungkin jika tiada hak perwakilan yang 

sempurna. sebab  itulah hak-hak politik diperlukan. namun  

bukan untuk memungkinkan organisasi saja, maka hak-hak 

politik diperlukan! Juga semua tuntutan-tuntutan wanita yang 

lain-lain, sepertinya tuntuan bekerja 8 jam sehari dengan 

mendapat perei pada hari Sabtu petang dan hari Minggu, 

tuntutan pengurangan jam bekerja pada waktu hamil dan 

182 

 

beberapa hari perei pada waktu bersalin, tuntutan jaminan 

bagi wanita yang mengandung dan lain-lain sebagainya lagi, -

tuntutan-tuntutan itu tak mungkin dikemukakan dengan 

leluasa, selama hak-hak politik belum leluasa pula. Maka oleh 

sebab  itulah pergerakan wanita tingkat ketiga ini sangat giat 

pula menuntut hak pemilihan, -tidak kalah giatnya dengan 

kaum feminis atau suffragette, malahan barangkali lebih 

berkobar-kobar semangatnya, lebih tandes dan sengit 

desakannya, lebih ridla berkorbannya. Perbedaannya dengan 

kaum feminis dan suffragette ialah, bahwa kaum feminis dan 

suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan 

yang terakhir, sedang wanita sosialis menganggapnya hanya 

sebagai salah satu alat semata-mata di dalam perjoangan 

menuju pergaulan hidup baru yang berke-sejahteraan sosial. 

 

Alangkah bagusnya kesedaran politik mereka pada waktu itu! 

Sendiri mereka belum mendapat hak pemilihan, sendiri 

mereka belum boleh ikut memilih anggota-anggota parlemen, 

namun  mereka selalu ikut membantu menghebatkan tiap-tiap 

kampanye pemilihan dari kawan-kawannya yang laki-laki. 

Dalam tiap-tiap rapat pemilihan mereka ikut berpidato, dalam 

tiap-tiap sidang mereka menganjurkan kepada hadlirin dengan 

semangat yang menyala-nyala, supaya rakyat jelata jangan 

memilih kandidat-kandidat lain melainkan kandidat-kandidat 

sosialis. Sebab mereka mengerti, kandidat-kandidat sosialis 

itu akan membela cita-cita mereka pula; tambahnya jumlah 

anggota sosialis di dalam parlemen akan menyegerakan 

terkabulnya tuntutan-tuntutan politik wanita pula. Pemimpin-

pemimpin wanita sosialis sebagai Louise Zietz, Rosa 

Luxemburg, Emma Ihrer, pada  waktu kampanye pemilihan 

yang demikian itu, berpidatolah tiap-tiap hari beberapa kali, 

pergi dari satu kota ke kota lain, dari satu gedung rapat ke 

gedung lain. Dan tiap-tiap nomor majalah “Die Gleichheit” 

memuat artikel Clara Zetkin yang membantu keras pula 

kepada kampanye pemilihan itu. 

 

Maka hasilnya kampanye-kampanye itu, selalu amat 

memuaskan. Jumlah anggota sosialis dalam parlemen selalu 

naik, selalu bertambah. Crescendo! Jumlah anggota sosialis 

dalam tahun 1903, bertambah dalam kampanye pemilihan 

tahun 1907. Jumlah anggota sosialis 1907, bertambah dalam 

183 

 

kampanye 1912. Di dalam tahun 1912 itu, 110 kursi parlemen 

dapat direbut oleh wakil-wakil kaum proletar! Dan itu semua 

berkat bantuannya kaum wanita. Mengenai kemenangan 

tahun 1912 itu, Louise Zietz menulis, bahwa dalam kampanye 

tahun itu tidak kurang dari 50 orang agitator wanita tiap-tiap 

hari tidak berhenti-henti berpidato di dalam rapat-rapat, dan 

bahwa puluhan ribu wanita pula ikut serta dalam pekerjaan 

lain seperti menyiarkan surat-surat sebaran, memanggil 

orang-orang, mengorganisir gerombolan-gerombolan 

penyemangat, menjaga keamanan, dsb. 

 

Sebaliknya, kaum laki-laki pun membantu keras kepada 

tuntutan-tuntutan wanita. Di dalam Kongres Sosialis Inter-

nasional di Amsterdam tahun 1904, diterima dengan hampir 

suara bulat satu resolusi yang berbunyi: “Bij den strijd, welke 

het proletariaat voor de verovering van het algemeen, gelijk, 

geheim en direct kiesrecht in staat en gemeente voert, moeten 

de socialistische partijen het vrouwen kiesrecht in de 

wetgevende lichamen voorstaan, in de propaganda principieel 

vasthouden, en er met allen nadruk voor opkomen”. Artinya: 

“Di dalam perjoangan kaum proletar buat merebut hak 

pemilihan yang umum sama rata, rahasia dan langsung, 

dalam negara dan haminte, maka partai-partai sosialis harus 

menyetujui hak pemilihan bagi wanita dalam badan-badan 

pembuat Undang-undang, harus memegang teguh secara 

prinsipiil kepadanya di dalam propaganda yang dijalankan, 

dan harus menuntutnya dengan sekuat-kuat tenaga”.  

 

Maka sejak itu, yaitu  “saling pengaruh-mempengaruhi”, yang 

prinsipiil dan erat sekali antara “pergerakan laki-laki” dan 

“pergerakan wanita”, yang memang sebenarnya bukan dua 

pergerakan yang terpisah satu sama lain. 

 

Dua pergerakan itu yaitu  dua anggota dari satu badan, dua 

suara dari satu nyanyian, dua gelombang dari satu samodra. 

Satu keyakinan, satu faham, satu ideologi, satu bezieling 

menduduki jiwa mereka, membakar jiwa mereka. Misalnya 

aksi untuk menuntut hak perwakilan wanita di dalam 

permulaan tahun 1906 yaitu  satu aksi hebat yang 

dikerjakan oleh laki-laki-wanita  dalam satu simfoni yang 

sesempurna-sempurnanya. Seluruh pers sosialis tiap-tiap 

184 

 

hari, tiap-tiap nomor, memuat artikel-artikel yang 

bersemangat menuntut hak perwakilan wanita itu, di dalam 

tiap-tiap rapat sosialis berpidatolah dengan cara yang berapi-

api baik pemimpin-pemimpin laki-laki maupun pemimpin-

pemimpin wanita, menuntut hak wanita itu. Louise Zietz 

mengatakan tentang aksi ini, bahwa “beliau pernah sebelum 

itu di Jermania ada satu perjoangan