presiden soekarno 6
produksi bercorak lain, keadaan menjadi
lain. Terasalah oleh mereka, bahwa untuk memperbaiki nasib
mereka, mereka juga harus masuk ke dalam alam
industrialisme itu. Memang industrialisme menarik mereka,
membutuhkan mereka, ke dalam alamnya!
Baik kaum wanita proletar, maupun kaum wanita
kelas pertengahan dan kelas atasan, merasa bahwa harus
diadakan aksi membanteras ketiadaan hak itu. Dan walaupun
pada hakekatnya ketidaksenangan di golongan-golongan
wanita atasan dan bawahan ini berlainan sifat yang satu
dari yang lain, -lihatlah perbedaan akibat industrialisme
kepada kaum wanita atasan dan kepada kaum
wanita bawahan, di Bab III-, maka di atas lapangan
ketiadaan hak itu mereka menemui satu sama lain. Terutama
sekali kaum wanita pertengahan dan atasan, yang sudah
tentu lebih cerdas dibandingkan wanita bawahan, siang-siang
telah mulai dengan aksi semacam itu.
134
Sebelum silamnya abad kedelapan belas, mereka sudah mulai
bergerak. Yang paling dahulu ialah kaum wanita Amerika.
Di bawah pimpinan Mercy Otis Waren (dan juga Abigail
Smith Adams), mereka berjoang. Di dalam tahun 1776,
tatkala Amerika telah terlepas dari Inggeris dan hendak
menyusun Undang-Undang Dasar sendiri, mereka menuntut
supaya hak wanita diakui pula. Mereka menuntut supaya
wanita dibolehkan ikut memilih anggota parlemen dan
ikut menjadi anggota parlemen; supaya wanita
dibolehkan memasuki semua macam sekolahan; supaya
Undang-undang yang sedang disusun itu benar-benar satu
Undang-undang Dasar yang demokratis antara laki-laki dan
wanita .
Aksi wanita Amerika ini berpengaruh besar atas ideologi
kaum wanita di Eropah. Terutama sekali di Perancis dan
Inggeris sambutan hangat sekali. Di dalam Revolusi Perancis
yang besar itu, yang meledaknya memang sesudah Revolusi
Amerika, mulai bergeraklah wanita Perancis menuntut
persamaan hak dengan kaum laki-laki.
Madame Roland (pemimpin kaum wanita atasan),
Olympede Gouges, Rose Lacombe, Theroigne de Mericourt,
(pemimpin-pemimpin kaum wanita bawahan), membakar
hati pengikut-pengikutnya. Dengan gagah-berani, tidak takut
maut, mereka menuntut persamaan hak itu. Dengan gagah
berani mereka organisatoris mendirikan perserikatan-
perserikatan wanita, barangkali organisasi-organisasi wanita
yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan!-, yang
anggotanya bukan berjumlah puluhan atau ratusan orang,
namun ribuan orang! Boleh dikatakan merekalah yang mula-
mula benar-benar mengorganisir aksi perlawanan wanita,
mengorganisir gerakan perlawanan wanita, yang tidak lagi
meminta-minta. Korban yang mereka berikan susah dicari
taranya di dalam sejarah wanita. Ratusan dari mereka
memberi darahnya dan memberi jiwanya. Pemimpin
mereka yang ulung, Olympe de Gouges, singa betina Revolusi
Perancis, bersama dengan mereka dipenggal batang-lehernya
oleh fihak laki-laki, di bawah guilyotin. Pengorbanan-
pengorbanan mereka itu membuktikan elan revolusioner yang
135
maha-hebat di pihak wanita, namun pengorbanan-pengorbanan
itu membuktikan pula, bahwa pada waktu itu fihak laki-laki
mati-matian pula tidak mau memberi persamaan hak
kepada kaum wanita, -mati-matian tidak mau melepaskan
kedudukan laki-laki di atas kaum wanita.
namun sebagaimana dikatakan oleh Emerson bahwa “tiada
korban yang tersia-sia”, maka pengorbanan-pengorbanan
kaum wanita Perancis itu pun tidak tersia-sia. Pengorbanan
mereka itu malah pantas tercatat dengan aksara emas bukan
saja di dalam kitab sejarah perjoangan wanita, namun juga di
dalam kitab sejarah evolusi kemanusiaan. Bukan hilang
percuma pengorbanan-pengorbanan itu, terbuang hilang
dalam kabutnya sejarah, namun api semangatnya mencetus ke
dalam kalbu ideologinya wanita -wanita di negeri lain.
Malah belum pula Revolusi Perancis itu berakhir, sudahlah
pekik perjoangan Madame Roland dan Olympe de Gouges itu
disambut oleh Mary Wollstonecraft di negeri Inggeris, yang
dalam tahun 1792 menerbitkan bukunya yang bernam
“Vindication of the Rights of Woman” (“Pembelaan hak-hak
kaum wanita”). Dengan Mary Wollstonecraft mulailah kaum
wanita Inggeris memasuki gelanggang perjoangan
menuntut hak-hak wanita.
Dan faham-faham yang disebarkan oleh pemimpin-pemimpin
wanita yang saya sebut namanya itu, -dibantu oleh sokongan
beberapa orang pemimpin laki-laki seperti misalnya
Condorcet di Perancis-, faham-faham mereka itu menjadi
tetap tuntutan seluruh pergerakan wanita “tingkatan
kedua” di pelbagai negara, sampai kepada silamnya abad
kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Umumnya
tingkatan kedua ini terkenal dengan nama pergerakan
feminisme. Persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan
terutama sekali hak memasuki segala macam pekerjaan
warga , persamaan hak itulah menjadi pokok
tuntutannya. Dan oleh sebab tuntutan hak memasuki segala
macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan
wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan feminisme
itu terutama sekali yaitu satu pergerakan “kasta
pertengahan” pula, -satu pergerakan burjuis, dan bukan satu
136
pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan
rakyat-jelata.
Sebab, sekali pun wanita -wanita rakyat jelata juga
tidak senang bahwa banyak hak-hak dimonopoli oleh kaum
laki-laki, dan juga berpendapat bahwa hak-hak itu harus
direbut dan dituntut, maka toh “isi” tuntutan mereka itu ada
lain dibandingkan tuntutan wanita atasan atau pertengahan.
Apa sebab kaum wanita atasan dan pertengahan menuntut
hak memasuki segala macam pekerjaan? Sebabnya harus
dicari dalam akibat industrialisme. Industrialisme melahirkan
produksi barang-barang dagangan. Barang-barang kebutuhan
hidup sehari-hari, yang dulu harus dibuat oleh wanita sendiri
di rumah, sekarang dapat dibeli di toko-toko dengan murah,
dan kwalitasnya pun lebih baik. Oleh sebab itu, maka
pekerjaan di rumah tangga menjadi makin kurang. Apa yang
harus dikerjakan oleh wanita atasan dan pertengahan
sekarang untuk mengisi waktu? Bekerja di kantor tak boleh, di
lapangan politik tak boleh, di lapangan kewarga an lain
pun tak boleh. Adat tidak membolehkannya, dan fihak laki-
laki pun memang tidak mau mendapat persaingan wanita.
Oleh sebab itulah, maka pokok-tuntutan wanita atasan dan
pertengahan ialah: hak bekerja! Hak memasuki segala
pekerjaan, yang akan membawa mereka keluar dari kurungan
rumah, di mana mereka merasa diri hampir beku sebab
menganggur.
Hampir beku sebab “verveling”! Rasanya mereka akan puas,
kalau mereka dibolehkan ikut masuk ke dalam warga ,
dibolehkan ikut mengerjakan “pekerjaan warga ”, -di luar
dari suasana kebekuan itu, “Pekerjaan rumah tangga” yang
tinggal sedikit-sedikit itu, toh dapat mereka suruh kerjakan
oleh pegawai dan pembantu, oleh si bujang dan si genduk.
Mereka cukup uang untuk menggaji pelayan-pelayan itu.
namun bagaimana dengan wanita dari kalangan rakyat-
jelata? Hak bekerja sebenarnya sudah ada di tangan mereka, -
sampahnya hak bekerja! Sejak timbulnya industrialisme,
mereka telah berduyun-duyun masuk paberik-paberik dan
perusahaan-perusahaan, menjualkan tenaga bekerja-nya
137
kepada majikan-majikan pelbagai macam. Sejak timbulnya
industrialisme itu, mereka telah terlepas dari kurungan rumah
tangga, telah menceburkan diri dalam warga sebagai
kuli, sebagai budak, sebagai “proletar”. Sejak timbulnya
industrial-isme itu mereka tiap-tiap hari malah lebih lama
bertinggal di paberik dibandingkan di samping api-dapur. Sejak
timbulnya industri-alisme itu mereka malah melihat anak-
anaknya hanya pada waktu malam saja, sesudah matahari
terbenam, -sepulang mereka dari pekerjaan. Hak bekerja
sudah ada pada mereka, -hanya “permanusiaannya’’ pekerjaan
itu yang belum ada pada mereka! Permanusiaannya
pekerjaan, yang membuat pekerjaan itu menjadi satu
kebahagiaan, satu pengangkatan jiwa, satu pemerdeka, satu
pembebasan, dan bukan satu cambuk pedih yang
membongkokkan tulang punggung, satu labrakan yang
melabrak mereka dari saat fajar menyingsing sampai liwat
petang hari. Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi
jaminan bahwa pekerjaan di dalam paberik itu tidak boleh
lebih lama dibandingkan delapan sembilan jam sehari.
Permanusiaannya pekerjaan, yang membuka pintu ketingkat-
tingkat yang lebih mulia, dan bukan hanya pekerjaan yang
semacam sampah, yang tiap-tiap waktu dapat dibuang:
Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi juga hak-hak
kepada mereka sebagai manusia dan sebagai warga-negara,
yaitu hak-hak yang setingkat dengan hak-hak manusia laki-
laki dan hak-hak warga negara laki-laki. Permanusiaannya
pekerjaan, yang dapat memberi kepuasan kepada mereka
sebagai produsen warga dan sebagai ibu dan isteri di
dalam rumah, permanusiaannya pekerjaan, yang menutup
“retak” (scheur) di dalam jiwa mereka, sebagai yang telah saya
uraikan dibab III buku ini.
Maka inilah menjadi sebab, yang kaum wanita bawahan
itu akhirnya tidak puas dengan tuntutan-tuntutan feminisme
saja. Ya, benar, juga mereka, kaum wanita bawahan,
hendak merebut persamaan hak dengan laki-laki, juga mereka
hendak merebut hak memilih dan dipilih buat parlemen atau
dewan-dewan lain, juga mereka hendak merebut hak
memasuki semua macam pekerjaan di warga yang
sekarang masih banyak dimonopoli oleh laki-laki itu.
Tidakkah, menurut perkataan salah seorang pemimpin
138
mereka yang amat besar, Clara Zetkin, mereka itu yuridis dan
politis merupakan satu “vijfde stand” dalam warga
zaman sekarang? Satu “vijfde stand”, yang lebih rendah lagi
derajatnya dibandingkan “vierde stand”nya kaum proletar laki-laki?
sebab itu memang, memang harus direbut persamaan hak
dengan kaum laki-laki itu! namun wanita -wanita
bawahan itu sedar bahwa tuntutan-tuntutan feminisme saja
belum mencukupi.
Yang sebenarnya perlu bukanlah hanya persamaan hak
dengan laki-laki saja, namun -perobahan susunan warga
sama sekali. Apakah telah mencukupi persamaan hak saja,
kalau seluruh susunan warga penuh dengan ketidak-
adilan? Kalau wanita dan laki-laki, dua-duanya!, sebagai
kelas, tertindas dan terhisap? Henriette Roland Holst di dalam
satu pidato yang berapi-api berkata: “Geef de vrouw het
kiesrecht, schaf alle wettelijke bepalingen af die haar bij den
man achterstellen en in haar vrijheid belemmeren, open voor
haar den toegang tot alle, beroepen en bedrijven, maak haar
opleiding en opvoeding gelijk aan die van den man, zoodat zij
zooveel mogelijk gelijke kansen heeft, -zult gij daarmee het lot
van de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij
deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de
ongezonde, slecht betaalde huisindustrie waarin andere
millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult gij het
raadsel oplossen van de sfinx der prostitutie? Neen, dat alles
zult ge niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan den burgelijke
maatschappijvorm, aan het kapitalistisch stelsel van
voortbrenging. Maar: zelfs voor de groote meerderheid van de
vrouwen uit de burgelijke klassen, voor hen namelijk die
huwen en kinderen krijgen, kan de burgerlijke
vrouwenbeweging de bevrijding niet brengen, niet de oplossing
van het moeilijke vraagstuk in hun leven”. Artinya: “Berilah
kepada wanita hak memilih dan dipilih, hapuskan semua
aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari laki-laki
dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi
mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan
pendidikannya menjadi sederajat dengan pendidikan laki-laki
sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, -
apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum
buruh wanita, upahan yang berjuta-juta itu, akan dapat
139
mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, -akan dapat
membasmi industri di rumah yang tidak sehat dan rendah
upah itu yang di dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-
miliunan wanita lain, -akan dapat memecahkan rahasianya
hantu persundalan? Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu!
Semua kesengsaraan wanita ini yaitu terikat kepada bentuk
warga yang borjuis, kepada cara produksi yang
sistimnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar
dibandingkan wanita-wanita golongan atasan dan pertengahan,
kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak, pergerakan
wanita borjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan,
tidak dapat mendatangkan pemecahan soal hidup mereka
yang paling sulit”.
Maka dengan keyakinan yang semacam ini, berkembanglah
tingkat ketiga dibandingkan pergerakan wanita, yaitu pergerakan
wanita yang di dalam aksi sosialis hendak mendatangkan
satu Dunia Baru sama sekali, yang di dalamnya wanita
dan laki-laki sama-sama mendapat bahagia, dengan tiada
pemerasan satu kelas oleh kelas yang lain, tiada penindasan
satu sekse oleh sekse yang lain. Satu Dunia Baru, yang di situ
bukan saja wanita sama haknya dengan laki-laki, namun
juga tidak menderita “retak” atau “scheur”, oleh sebab di
dalam Dunia Baru itu ada pertemuan, ada pertunggalan, ada
sintese, antara “pekerjaan warga ” dan “pekerjaan
rumah tangga”.
Maka justru berhubung dengan tujuan tingkat yang ketiga ini,
sebenarnya tidak boleh dikatakan ada spesial pergerakan
wanita tingkat ketiga. Sebab di dalam aksi menyelenggarakan
Dunia Baru itu, wanita tidak beraksi sendiri, dan laki-laki
pun tidak beraksi sendiri, namun kedua-dua sekse itu
bersama-sama berjoang, bersama-sama bergerak, bahu-
membahu, di dalam satu gelombang yang makin lama makin
mendahsyat. Satu gelombang perjoangan kelas, yang tidak
kenal perbedaan antara manusia dengan manusia, satu
gelombang menuju kepada Kemerdekaan, -Kemerdekaan laki-
laki dan kemerdekaan wanita . Kemerdekaan kelas dan
Kemerdekaan sekse!
Aksi wanita feminis berjalan melawan laki-laki.
140
Aksi wanita sosialis berjalan bersama-sama dengan laki-laki.
Maka dengan tercapainya “tingkat ketiga” ini, tercapailah juga
tingkat yang tertinggi dibandingkan pergerakan Sarinah mengejar
nasib yang lebih layak. Dan tingkat yang tertinggi ini sampai
sekarang masih terus menggeletar, masih terus
menggelombang, -tak akan lenyap, sebelum tercapai
warga adil, pengganti warga kapitalistis yang di
dalamnya ada penindasan kelas dan penindasan sekse.
Demikianlah ikhtisar selayang-terbang dibandingkan tingkatan-
tingkatan pergerakan wanita itu. Artinya ialah: Dari zaman
sebelum Revolusi Amerika dan Perancis sampai ke zaman
sekarang yaitu tiga tingkatan pergerakan wanita.
Tingkat kesatu: Pergerakan menyempurnakan
“kewanita an”, yang lapangan usahanya ialah misalnya
memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dsb.
Tingkat kedua: Pergerakan Feminisme yang ujudnya ialah
memperjoangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki.
Programnya yang terpenting ialah hak untuk melaku-kan
pekerjaan dan hak pemilihan. Seorang pemimpin feminis
Belanda Nyonya Betsy Bakker Nort mengatakan: “De
vrouwenbeweging is het best te karakteriseren als het stuwen
der vrouwen om als volwaardig mens te worden beschouwd en
behandeld. En haar einddoel: volkomen gelijk-stelling in
wetten en zeden van beide seksen”. Artinya: “Pergerakan
wanita itu paling tepat dapat digambarkan sebagai satu
desakan wanita untuk dipandang dan diperlalukan sebagai
manusia penuh. Tujuannya yang terakhir ialah: persamaan
sama sekali antara kedua sekse itu, di atas lapangan hukum-
hukum negara dan adat-istiadat”. Pergerakan feminis itu
sering juga dinamakan pergerakan emansipasi wanita, dan
aksinya bersifat menentang kepada kaum laki-laki.
Tingkat ketiga: Pergerakan Sosialisme, dalam mana wanita
dan laki-laki bersama-sama berjoang bahu-membahu, untuk
mendatangkan warga sosialistis, dalam mana wanita dan
laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka.
141
Nah, sekarang pembaca telah mendapat ikhtisar terang
dibandingkan tingkat-tingkat itu. Marilah kita sekarang
mempelajari tingkat-tingkat itu dengan cara agak lebih
mendalam.
namun tingkat yang pertama, -tingkat “menyempurnakan
kewanita an”, yang di dalam pidato-pidato kadang-kadang
saya namakan tingkat “main puteri-puterian”-, tidak akan
saya uraikan lebih lanjut, oleh sebab kurang penting. Dan ...
di negara kita sini kita sudah sering melihat contoh-contoh
tingkatan ini. Siapa belum?
Marilah saya jelaskan tingkat yang kedua. Sebagai saya
terangkan tadi, buaian tingkat ini ialah di Amerika, yang pada
waktu itu sedang di dalam perjoangan menyusun
kemerdekaannya. Tiap-tiap perjoangan kemerdekaan
mengalami pergolakan ideologi. Wanita Amerika ikut serta di
dalam pergolakan ideologi itu. Saya telah katakan bahwa
Mercy Otis Warren lah pemimpin mereka. Ia yaitu
saudaranya James Otis, salah seorang pemimpin
kemerdekaan nasional Amerika pada waktu itu. Mercy Otis
Warren mengumpulkan semua pemimpin-pemimpin wanita
Amerika di dalam salonnya. Ia lebih radikal dari pada banyak
pemimpin-pemimpin laki-laki, -lebih laju, lebih konsekwen. Ia
telah menuntut kemerdekaan penuh bagi Amerika, sebelum
George Washington sendiri setuju dengan kemerdekaan penuh
itu! Ia sering bertukar fikiran dengan Thomas Jefferson,
perancang naskah pernyataan kemerdekaan Amerika dan
naskah yang termasyhur ini memang terang mengandung
buah-buah fikirannya.
namun Mercy bukan hanya seorang pemimpin kemerdekaan
nasional saja. Ia yaitu pula seorang pemimpin sosial.
Seorang pemimpin sekse. Dengan kawan sefahamnya Abigail
Smith Adams, -yang suaminya menjadi Presiden Amerika yang
kedua-, ia mengkampiuni perjoangan persamaan hak antara
sekse laki-laki dan sekse wanita. Mereka berdualah yang
mula-mula sekali di dalam sejarah menuntut persamaan hak
itu. Di dalam tahun 1776, lebih dari 170 tahun yang lalu,
pada waktu Kongres seluruh Amerika (Continental Congress)
menyusun Undang-undang Dasar Negara Amerika, maka
142
Abigail Smith Adams menulis surat kepada suaminya, yang
berbunyi: “Kalau Undang-undang Dasar baru itu tidak
memperhatikan benar-benar kepada kaum wanita, maka kami
kaum wanita telah memutuskan akan memberontak
kepadanya, dan kami merasa tidak wajib taat kepada hukum-
hukum yang tidak mengasih kepada kami hak-suara dan hak
perwakilan guna membela kepentingan-kepentingan kami”.
Dan bukan saja ia menuntut hak suara dan hak perwakilan
bagi kaum wanita, -ia juga menuntut terbukanya pintu
gerbang semua sekolah bagi kaum wanita. “Satu Negara, yang
mau menjelmakan pahlawan-pahlawan ahli-ahli negara dan
ahli-ahli faIsafah, haruslah memiliki ibu-ibu yang cerdas di
tempat-tempat yang terkemuka”, demikianlah bunyi
pembelaannya.
Berhasilkah aksi kedua pendekar wanita ini? Jarang sekali
sejarah dunia menunjukkan berhasilnya satu aksi yang dapat
dengan sekaligus menggempur hancur-lebur benteng-
bentengnya kekolotan. Tiap-tiap kekolotan, tiap-tiap
konservatisme, yaitu ulet, justru oleh sebab ia konservatif,
kukuh memegang teguh kepada yang ada. Aksi nyonyah-
nyonyah Otis Warren dan Smith Adams tidak berhasil seratus
prosen. namun hasilnya toh tidak sedikit pula: pintu gerbang
semua sekolahan dibukakan buat wanita, dan walaupun hak
suara dan hak perwakilan belum dikabulkan buat Negara
Serikat seluruhnya, maka toh ada dua negara yang
meluluskannya: -New Jersey, dan Virginia. Dua negara inilah
negara yang pertama-tama di dalam sejarah dunia
membukakan pintu dewan perwakilannya bagi kaum wanita! .
Dan sebagai di muka tadi telah saya katakan, -mereka juga
berjasa di benua lain. Kumandangnya aksi mereka menggaung
melintasi samudera Atlantika, percikan api semangat mereka
mencetus di dalam jiwa wanita-wanita Perancis, dan
lalu juga di dalam jiwa wanita-wanita Inggeris. .
Sudahkah, sebelum itu, wanita Perancis memikir-mikirkan
tentang perbaikan nasib kaumnya? Sudah sedikit-sedikit.
namun baru sesudah mendapat cetusan api semangat dari
Amerika itulah -wanita Perancis menyala-nyala dan berkobar-
kobar jiwanya. Orang-orang wanita, yang tadinya hanya pasif
143
saja di dalam proses ideologi Revolusi Perancis, lantas menjadi
tenaga-tenaga aktif yang ikut mendidihkan kancah perjoangan
manusia merebut hak-hak manusia yang lebih adil. Di dalam
tahun 1786 telah didirikan semacam sekolah menengah
parukelir (Lyceum) oleh Markies de Condorcet dan
Montosquieu, dan Lyceum ini segera menjadi pusat
kecerdasan puteri-puteri hartawan Perancis yang pertama.
Dengan ini sebenarnya telah diakui bahwa wanita juga
memiliki hak atas kecerdasan dan kemajuan. namun hak-
hak politik masih dianggap haram baginya, masih dianggap
“tabu” bagi wanita. Hak-hak politik masih dianggap satu
monopoli utama bagi laki-laki saja.
Dan monopoli ini akhirnya digempur! Pada waktu Revolusi
mendirikan Majelis Perwakilan Rakyat, -Majelis Nasional-,
yang anggotanya hanja terdiri dari orang laki-laki saja, -pada
waktu itu kaum wanita segeralah mengadakan aksi dengan
menyebarkan surat-surat sebaran, brosur-brosur, surat-surat
tuntutan supaya wanita juga diberi hak untuk menjadi
anggota Majelis Perwakilan itu. .
namun jangan pun hak-hak politik yang demikian jauhnya!
Hak memasuki sekolah-sekolah umum saja pun tak diberikan
oleh fihak laki-laki kepada wanita! Tuntutan-tuntutan wanita
yang dengan kata berapi-api dimuatkan dalam surat-surat-
sebaran, brosur-brosur dan surat-surat tuntutan itu, ditolak
mentah-mentahan oleh Majelis Nasional 1791. Terutama
sekali Talleyrand menentangnya mati-matian. Apa yang ia
kata? Kaum pemuda laki-laki harus dididik menjadi warga
negara yang sanggup memikul segala hak dan beban warga
negara, harus digembleng. menjadi tiang-tiang negara dan
tiang-tiang warga yang teguh dan kuat, -namun wanita
“oleh alam” telah diperuntukkan untuk duduk di rumah
tangga, di tengah anak-anak. Tiap-tiap pelanggaran atas
“hukum alam” ini nanti menjadi sumber kerusakan, tiap-tiap
perkosaan kepada hukum alam ini nanti niscaya
mendatangkan bencana. Oleh sebab itu, maka gadis-gadis
jangan dididik sama dengan pemuda-pemuda, jangan
diizinkan mereka memasuki sekolah-sekolah umum kalau
sudah berumur delapan tahun! Maka sesuai dengan anjuran
Talleyrand itu Majelis Nasional mengambil putusan, bahwa
144
anak-anak wanita hanya diizinkan memasuki sekolah-
sekolah umum kalau mereka belum berumur delapan tahun!
Undang-undang Dasar dari tahun 1793 ada “maju” sedikit:
gadis-gadis boleh memasuki sekolah-sekolah umum sampai
umur ... 12 tahun! namun di luar itu, belum ada hak sedikit
pun yang diberikan kepada wanita. Tidak hak sosial, tidak hak
eknomis, tidak hak politik. Dan sebenarnya pemimpin-
pemimpin wanita dari kalangan hartawan dan atasan pada
waktu itu pun tidak teramat giat memperjoangkannya. Sebab
mereka, kaum perempuaan hartawan dan atasan itu, sudah
merasa puas bahwa mereka diperbolehkan bergaul dengan
kaum laki-laki di dalam salon-salon, di dalam club-club, di
sekolah menengah Lyceum, dan boleh menghadiri rapat-
rapatnya kaum Encyclopaedis. namun bagaimana keadaan di
kalangan wanita rakyat jelata? Mereka sudah barang tentu
tidak boleh memasuki salon-salon yang mulia itu, tidak boleh
memasuki club-club yang mentereng, atau Lyceum yang
mahal ongkosnya, atau rapat Encyclopaedis yang bertinggi
ilmu. namun sebaliknyapun, nafsu ingin maju belum kuat
menyala-nyala di dalam dada mereka. Kemiskinan,
kemudlaratan, kepapaan, -semua itu mula-mulanya seperti
menumpulkan sama sekali himmah mereka, membuntukan
fikiran mereka, membekukan semangat mereka. Badan
jasmani yang seperti terhantam remuk oleh penderitaan,
mengakibatkan apati, -rasa tak perduli apa-apa-, di dalam
jiwa. Lily Braun, pemimpin wanita yang terkenal itu,
menggambarkan nasib wanita jelata Perancis pada waktu
itu dengan angka-angka yang mendirikan bulu-roma. Dua
puluh tahun sebelum Revolusi Petancis meledak, -demikianlah
angka-angkanya dalam kitab-nya tentang “Soal Wanita”-, di
Perancis yaitu 50.000 orang pengemis; sepuluh tahun
lalu , jumlah ini menaik menjadi 1.500.000 orang. Di
satu kota saja, yaitu di kota Lyon, kota pusat industri sutera,
di dalam tahun 1787 yaitu 30.000 orang yang hidupnya
dengan jalan minta-minta. Kota Paris yang pada waktu itu
berpenduduk 680.000 jiwa, mempunjai 116.000 orang
pengemis, yaitu hampir seperlima dari jumlah semua
penduduknya. Herankah kita, kalau persundalan subur
sekali, -yaitu satu jalan bagi wanita-wanita miskin di Paris itu
untuk mencari sepotong roti? Di dalam tahun 1784 Paris
145
memiliki 70.000 orang wanita bunga raya. Kampung-
kampung St. Antoine dan Temple di Paris sesak dengan
wanita-wanita tua yang mengemis, dan ... wanita-wanita muda
yang menawar-nawarkan kecantikan tubuhnya.
St. Antoine dan Temple! Sarang kemiskinan, -dan sarang
perzinahan! namun justru dari St. Antoine dan Temple inilah
kelak datangnya perajurit-perajurit perjoangan wanita. Justru
di St. Antoine dan Temple inilah menurut perkataan Lily
Braun tempatnya sumber “tenaga-tenaga pendorong yang
paling hebat dari alam, yaitu kelaparan dan kecintaan”. “Cinta
kepada anak-anak turunan yang dengan tiada berdosa harus
mewarisi kesengsaraan mereka, -itulah mendorong mereka ke
dalam kancah perjoangan”. Ya, mendorong mereka, -
mendorong mereka sendiri! Mereka sendiri harus menolong
mereka sendiri! Adakah harapan mendapat pertolongan dari
pemimpin-pemimpin wanita borjuasi? “Kaum proletar harus
membela sendiri kepentingan proletar. Suatu tentara
menjelmakan sendiri pemimpinnya, dan tidak sebaliknya”,
demikianlah Lily Braun dengan jitu berkata. Maka kaum
wanita jelata di Paris itu, yang tadinya begitu buntu dan
tumpul fikirannya, yang tadinya seperti buta tiada tahu jalan,
yang tadinya hanya tahu menderita serta menggerutu saja di
tempat-tempat yang gelap, yang tidak diperdulikan sama
sekali oleh wanita-wanita hartawan, -wanita jelata di Paris ini
akhirnya menggemparkan orang, sebab mereka sendiri
bangkit dari kebekuan dan apatinya.
Pada tanggal 6 Oktober 1789 berkumpullah 8000 orang wanita
jelata di muka Gedung Kota di Paris menuntut diberi roti
untuk mengisi perutnya yang lapar. Roti! Roti!
Dan tatkala tuntutan minta roti ini ditolak, pergilah mereka
berarak-arak ke Versailles, -ke istana Raja. Minta roti di sana!
Roti! Gegap-gempitalah arak-arakan ini! Siapakah itu, orang
wanita cantik, muda remaja, yang berkuda mengepalai
arak-arakan ini? Dia yaitu Theroigne de Mericourt, bekas
sundal, yang telah terbuka fikirannya, dan yang sekarang
menjadi pemimpin wanita. Dan siapakah itu, pemimpin wanita
yang berjalan di tengah-tengah arak-arakan 8000 wanita itu,
sambil mengaju-ajukan anak buahnya? Dia yaitu Rose
146
Lacombe, nama yang terkenal di dalam sejarah perjoangan.
Dan apakah benar 8000 orang wanita ini semuanya sundal,
semuanja wanita jalang? Memang demikian tuduhan
kaum atasan. namun Jean Jaures, pemimpin besar bangsa
Perancis yang termasyhur itu, historikus yang kenamaan,
membantahnya dengan tegas dan mutlak. Mereka bukan
wanita -wanita yang haus darah, bukan pula
wanita sundal, demikianlah katanya. Mereka wanita -
wanita miskin dari golongan kaum buruh. Mereka di
Versailles terpaksa diizinkan masuk ke dalam gedung Majelis
Nasional, dan dari sini, bersama-sama dengan ratusan laki-
laki yang mengikutinya dan dengan wakil-wakil Majelis
Nasional, mereka pergi kemuka istana Raja.
Di sana, tampillah Louise Chably ke muka, terus menghadap
Raja, dan menjadi juru bicara wanita-wanita tadi semuanya. Ia
mengemukakan kesengsaraan wanita jelata, kemiskinannya
yang tidak berhingga, ketidaksenangannya atas segala
keadaan, Keinginannya mendapat perbaikan. Raja
mendengarkannya dengan hati yang gelisah. Ia kalang-kabut
di dalam batinnya. Ia bingung, ia tidak tahu apa yang harus
dikata. Ia ... goyang. Maka Ketua Majelis Nasional, yang ikut
serta pula pada saat itu, mengambil kesempatan baik
dibandingkan keadaan ini, untuk mendesak kepada Raja supaya
Raja suka menandatangani naskah “Hak-hak Manusia”, yang
rancangannya memang telah ia bawa.
Alangkah bingungnya Raja pada saat itu! Belum pula
“kerewelan wanita” ini habis, sudahlah ia didesak oleh Ketua
Majelis Nasional untuk menandatangani naskah yang lebih
hebat. Rasa hati kecilnja memberontak, keangkuhan
tradisinya marah dan benci, kemuliaan mahkotanya merasa
terancam, sebab menandatangani naskah itu berarti
menandatangani vonis mati kepada hak raja yang tak
terbatas. Menandatangani naskah itu berarti membunuh
kerajaan mutlak. namun ... di luar istana berdiri ribuan rakyat
jelata, dengan wanita 8000 orang tadi di bagian yang muka, ...
menunggu, meskipun hujan sedang turun dengan hebatnya,
… menunggu, telah berjam-jam lamanya, .... menunggu, ...
dengan muka yang seram. Kejengkelan dan dendam hati
147
terbaca di mata mereka itu! Apa yang Raja hendak perbuat
kini?
Akhirnya, apa boleh buat, ia tandatangani naskah itu!
“Hak-hak Manusia” ia syahkan. Hak Raja yang tidak berbatas
ia lepaskan, boleh masuk ke lobang kubur. Sungguh satu
detik yang maha bersejarah di dalam proses anggapan-
anggapan manusia! Jean Jaures, yang telah saya sitir di muka
tadi, mengatakan tentang kejadian ini: “Demikianlah, maka
sebab desakan kaum wanita Paris, yang hendak meminta
roti, telah ditandatangani surat keterangan tentang hak-hak
manusia”. Ya, desakan wanita! Memang demikian! Manakala
14 Juli -Hari Kemerdekaan Perancis- disebutkan hari
kehormatannya kaum laki-laki, maka 6 0ktober yaitu hari
kehormatannya kaum wanita . Orang laki-laki pada
tanggal 14 Juli telah menaklukkan Bastille, namun orang
wanita pada tanggal 6 Oktober telah menaklukkan Hak
Raja, -telah menaklukkan Kerajaan!
namun , apakah yang mereka perdapat dengan kemenangan ini
buat mereka sendiri? Sungguh mengecewakan sekali! Sebab
keterangan tentang “hak-hak manusia” yang telah
ditandatangani oleh Raja itu, tidak berisi satu kalimat pun
yang mengatur hak-hak kaum wanita ! Pada waktu
Majelis Nasional merancang surat keterangan itu, menyusun
kata-kata yang hendak menentukan hak-hak manusia di
dalam negara, memformulir faham-faham dasar yang akan
menjadi alas-alas prinsipiil bagi gedungnya warga dan
negara, pada waktu itu wanita “di luar pembicaraan”.
warga , negara, politik, dan lain sebagainya, hanyalah
buat orang laki-laki saja, -tabu buat orang wanita !
namun kendati pun demikian, 6 Oktober tetap mengandung
arti maha penting bagi kaum wanita sendiri. Tidakkah pada
hari itu kaum wanita Perancis telah bangkit, telah berani
memekik-kan suaranya sendiri, telah mengambil nasib dalam
tangannya sendiri, telah mampu memaksakan kehendaknya,
telah berhasil memaksa kepada dunia ramai supaya tidak
meremehkan lagi kepadanya? Sejak hari 6 Oktober itu mereka
menjelma menjadi “tenaga-tenaga pendorong bagi propaganda
revolusioner” sebagai Jaures mengatakannya. Sejak hari itu
148
mereka sedar, dan bukan saja mereka lantas menjadi anggota
club-club yang didirikan oleh kaum laki-laki, -mereka
mendirikan pula perserikatan-perserikatan wanita sendiri,
perserikatan-perserikatan wanita yang besar-besar, -
perserikatan-perserikatan politik wanita yang pertama di
dalam sejarah kemanusiaan! Di dalam satu kota saja,
misalnya di Bordeaux, perserikatan “Amies de la Constitution”
memiliki anggota 2000 orang, dan cabang Paris saja dari
perserikatan “Femmes Republicaines et Revolutionaires”
memiliki anggota tak kurang dari 6000 orang.
Perserikatan-perserikatan inilah gelanggang-perjoangannya
Srikandi-Srikandi Revolusi Perancis, yang nama-namanya
akan tetap tertulis dengan aksara emas di dalam kitab
sejarah. Kita jumpai di dalam kitab sejarah itu, nama Madame
Roland, anggota dari perserikatan campuran “Patriotes des
deux sexes defenseurs de la Constitution”, barangkali
pemimpin wanita yang paling berpengaruh di zaman Revolusi.
Madame Roland yaitu satu intelektuil yang cemerlang.
Dialah pusat jiwa Gironde. Dialah yang menaikkan bintang
suaminya, sehingga suaminya itu dua kali diangkat menjadi
Menteri. Dialah yang menulis akte-akte diplomatik yang
penting-penting, yang sampai sekarang masih disimpan di
dalam arsip-arsip pemerintah negara. Dialah yang
mengumpulkan banyak pemimpin-pemimpin laki-laki di dalam
salonnya, meyakinkan mereka dengan faham-faham baru,
yang sangat berpengaruh atas prosesnya ideologi Revolusi.
Dan kita jumpai di dalam kitab sejarah itu satu nama yang
lain, -satu bintang yang amat gilang-gemilang, yaitu nama
Olympe de Gouges. Dialah yang benar-benar berhak
disebutkan singa-betinanya Revolusi. Alangkah tangkasnya,
alangkah gagah beraninya, alangkah “hebatnya” wanita ini!
Manakala Madame Roland seorang pemimpin wanita dari
kalangan atasan, maka Olympe de Gouges yaitu pendekar
dari kalangan bawahan. Dan manakala Madame Roland
mempengaruhi Revolusi dengan kecerdasannya, dengan
faham-fahamnya, dengan tidak berjoang aktif sebagai
organisator atau pendekar perserikatan, maka Olympe de
Gouges yaitu organisator wanita dan agitator wanita yang
penuh aksi, organisator wanita dan agitator wanita yang
149
pertama di dalam sejarah pergerakan revolusioner. Olympe de
Gouges selalu di tengah-tengah massa. Pidato-pidatonya
memetir, kata-katanya menyala-nyala, berapi-api,
mengobarkan semangat, puluhan ribu wanita, menyambar
dan membakar hangus alasan-alasan fihak laki-laki yang
hendak menolak wanita dari pekerjaan warga dan
negara. Majelis Nasional sering tercengang kalau membaca
tulisan-tulisannya yang tegas dan hebat, malah sering seperti
terpukau kalau dihantam olehnya dengan alasan-alasan yang
tajam dan terus menuju ke dalam jiwa.
Kekecewaan Olympe de Gouges atas “Hak-hak Manusia” yang
semata-mata hanya hak-hak orang laki-laki saja itu, bukan
kepalang! Segera sesudah “Keterangan Hak-hak Manusia” itu
diumumkan dan disambut dengan kegembiraan gegap-
gempita di seluruh Perancis, maka ia mengeluarkan satu
manifes, yang ia beri nama “Keterangan Hak-haknya Wanita”.
Tajam dan pedas protes Olympe atas ketidakadilan yang
termaktub dalam “Keterangan Hak-hak Manusia” itu: “Wanita
dilahirkan dalam kemerdekaan, dan sederajat dengan orang
laki-laki. Tujuan tiap-tiap warga hukum ialah:
kemerdekaan, kemajuan, keamanan, menentang kepada
tindasan ... namun sampai sekarang, wanita dipersempit
jalannya untuk mengerjakan hal-hal yang sebab kodrat
memang haknya semata-mata. Natie yang menjadi dasar sendi
negara, terdiri dari orang laki-laki dan orang wanita .
Hukum-hukum negara haruslah gambarnya kemauan yang
timbul dari persatuan ini. Sebagaimana halnya dengan warga
negara laki-laki, maka warga negara wanita pun harus,
dengan jalan persoonlijk atau dengan jalan wakil-wakil yang
mereka pilih sendiri, ikut serta pada pembuatan hukum-
hukum negara itu. Hukum-hukum ini harus bersifat sama
rata buat semua orang. Oleh sebab itu, maka semua warga
negara baik laki-laki maupun wanita , masing-masing
menurut kecakapannya sendiri-sendiri, harus diperbolehkan
masuk dalam jabatan-jabatan umum dan pekerjaan-pekerjaan
umum. Hanya kecakapan dan kepandaian sajalah yang boleh
dipakai menjadi ukuran. Wanita berhak menaiki tiang
penggantungan, ia harus berhak pula menaiki mimbar.
namun hak-hak wanita inipun harus dipergunakan untuk
kesejahteraan umum, tidak untuk keuntungan wanita saja ...
150
wanita , sebagai juga laki-laki, ikut urun kepada kekayaan
negara. Oleh sebab itu, ia juga memiliki hak yang sama
dengan laki-laki, untuk meminta perhitungan dibandingkan cara
memakainya kekayaan negara itu. Sesuatu peraturan negara
tidak syah, kalau tidak di-buat oleh jumlah terbanyak
dibandingkan semua orang-orang yang menjadi natie ...
Bangunlah, hai kaum wanita! Obornya kebenar-an sudah
memecahkan awan-awannya kebutaan dan kezaliman!
Kapankah kamu sadar? Bersatulah! Taruhlah di hadapan
kekuatan kezaliman itu kekuatan kecerdas-an dan keadilan!
Dan segera kamu akan melihat, bahwa laki-laki tidak lagi
akan duduk di samping kakimu sebagai penyembah asmara,
namun , -dengan berbesar hati membahagikan hak-hak
perikemanusiaan yang abadi itu sama-rata denganmu-, akan
berjalan denganmu setindak dan selangkah, serta berjabatan
tangan!” .
Demikianlah Olympe de Gouges. Perhatikan: kalimat-kalimat
ini diucapkan lebih dari satu setengah abad yang lalu! Kita
menjadi kagum, kalau kita kenangkan waktu itu, dan
kenangkan pula bahwa Olympe bukan satu “jiwa” yang tinggi-
intelek seperti Madame Roland. Kalimat-kalimat manifes yang
berapi-api itu, kadang-kadang lebih terang dan lebih jitu
dibandingkan ucapan-ucapan kaum feminis di lalu hari dan
boleh dijadikan pedoman yang gilang-gemilang bagi aksi-aksi
wanita yang mengejar persamaan hak dengan fihak laki-laki
sepanjang masa. Dan memang akibat manifes itu
menggempar-kan pula! Dunia ideologi yang “menurut adat
kebiasaan”, menjadilah ribut oleh sebab nya. Kebencian kaum
laki-laki kolot memuncak, fitnahan dan tuduhan yang bukan-
bukan dilemparkan kepada kepala Olympe. Ya, kaum laki-laki
merasa terancam benteng monopolinya. Mereka mengerjakan
pertahanannya dengan segala macam cara. namun kaum
wanita pun bangkit. Manifes Olympe itu membukakan mata
banyak wanita, mengobarkan semangatnya untuk berjoang,
membangkitkan keberanian di dalam dada-dada yang tadinya
sesak dengan rasa takut. Pidato-pidato, brosur-brosur, surat-
surat sebaran yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin wanita,
berterbangan di angkasa, -semuanya membenarkan Olympe,
semuanya memperkuat tuntutan Olympe. Sehingga majalah-
majalah mode pun tak mau ketinggalan! Majalah mode
151
“Journal des Femmes” berobah sifat menjadi majalah
perjoangan, dengan nama baru ”L’Observateur Feminin”.
Majelis Nasional dihujani dengan surat-surat permo-honan,
usul-usul, protes-protes. “Tuan-tuan sudah menghapuskan
hak kelebihan kaum bangsawan, hapuskanlah juga sekarang
hak kelebihan kaum laki-laki!” Demikianlah bunyi kalimat
dalam salah satu surat protes itu. Malah dalam satu surat
protes lain dikatakan: “Rakyat kini telah diberi hak-haknya”
bangsa Neger telah dimerdekakan, kenapa kaum wanita
tidak di-merdekakan pula ?”
Dunia wanita di Perancis, terutama di Paris, pada waktu itu
sungguh sedang bergelora. Olympe de Gouges mengerti,
bahwa inilah saat yang baik buat mempersatukan wanita-
wanita itu dalam perserikatan, agar dapat memperhebat
tuntutan, dan memperhebat tenaga untuk mendorong
tuntutan itu. Didirikanlah olehnya perserikatan-perserikatan
politik wanita. Digerakkan olehnya perserikatan-perserikatan
itu, untuk menghantam fihak laki-laki dan Majelis Nasional
yang tetap berpendirian kolot dan anti emansipasi. Dan bukan
saja ia membela wanita. Ia membela pula peri-kemanusiaan.
Dengan hatinya yang murni “Hati wanita ” itu, -Hati Ibu-,
ia mengeritik keras kepada Robespierre, yang dengan
pemerintahan teror terlalu mudah menghukum mati kepada
lawan-lawannya, terlalu mudah mempermainkan jiwa sesama
manusia. “Darah merusak kehalusan budi dan fikiran! Satu
cara pemerintahan yang zalim, pasti nanti diganti dengan cara
pemerintahan yang zalim pula”. Kepada Robespierre
persoonlijk, yang menjatuhkan hukuman mati ke-pada Raja,
ia berkata dengan seram: “Singgasana Tuan pun nanti tiang
penggantungan !”.
Olympe de Gouges yaitu seorang Republikein. Tidak ada
keragu-raguan tentang hal ini sedikit pun juga. Ia anti raja, ia
anti monarchi. Ia anti cara pemerintahan yang absolut dan
feodal. namun ia seorang wanita . Ia seorang ibu. Hatinya,
jiwanya, memberontak kepada penumpahan darah, jiwanya
memberontak kepada kekejaman Revolusi. Mula-mula
pemberontakan jiwa ini ia simpan di dalam kalbu. namun
akhirnya tidak tertahan lagi. Akhirnya ia protes terang-
terangan terornya Revolusi, ia cela terang-terangan banyaknya
152
hukuman mati, ia bela terang-terangan kepalanya raja, ia
gasak terang-terangan Robespierre dengan pemerintahan
terornya itu. Akhirnya ia sendiri dituduh anti Revolusi ... Ia
ditangkap, dilemparkan dalam penjara, dituduh menjadi
perkakas kontra-revolusi. Ia diponis di muka hakim. Tiga (3)
Nopember 1793 jatuhlah kepala Olympe de Gouges terpenggal
oleh algojonya Revolusi.
Olympe de Gouges. Alangkah hebatnya wanita ini!
Bagaimanakah pendapat sejarah tentang dia? Kaum yang
tidak setuju kepada emansipasi wanita, mengatakan bahwa ia
yaitu seorang wanita lacur, seorang sundal, seorang
wanita yang sebab gendamnya asmara, telah meninggalkan
halamannya kesopanan. “sebab ia sendiri merdeka bergaul
dengan orang-orang laki-laki, maka ia mau menyamaratakan
wanita dengan laki-laki”, demikianlah salah satu
pendapat kaum itu. Ah, barangkali benar juga, bahwa ia tidak
selamanya “suci”. Barangkali benar juga, bahwa ia memang
sering tenggelam di dalam air putarnya asmara. namun , ya
Tuhan, siapa dapat membantah; bahwa ia yaitu kampiun
hebat dibandingkan hak-hak wanita? Jasanya yang mahabesar dan
gilang-gemilang ialah, bahwa ia yaitu orang yang pertama-
tama mengorganisir pergerakan wanita, pertama-tama
mendirikan serikat-serikat politik wanita, pertama-tama
membuat tenaga-tersusun dari orang-orang wanita menjadi
satu faktor aktif di dalam proses politik.
Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams barangkali lebih
dahulu mengeluarkan ide, namun Olympe de Gouges yaitu
yang pertama-tama mengorganisir tuntutannya itu ide!
Ia telah mati. Dengan muka tersenyum ia telah menjalani
hukuman mati itu. namun di dalam tahun 1793 itu, tidak
matilah pergerakan yang ia telah bangunkan dan bangkitkan.
Di bawah pimpinan Rose Lacombe dan pemimpin-pemimpin
wanita lain, perjoangannya dijalankan terus. Aksi menuntut
persamaan hak dan aksi memprotes teror tetap bergelora
dengan hebatnya Serangan-serangan kepada kaum laki-laki
tetap berjalan sebagai cambukan yang amat pedih. Wanita kini
ternyata menentang kaum laki-laki. Aksi wanita itu dirasakan
oleh kaum laki-laki sebagai satu tentangan kepada “kodrat
153
alam”. Sebab, hak kelebihan laki-laki itu katanya yaitu
memang pemberian “kodrat”, -berasal dari “kodrat”. Aksi
wanita ini dus yaitu aksi yang memberontak kepada
“kodrat”. Dan tidakkah aksi mereka yang terlalu menentang
adanya pemerintahan teror membahaya-kan pula kepada
Revolusi? Bersifat Kontra Revolusi?
Maka oleh sebab itu, segeralah diusulkan oleh “Komisi
Keamanan Umum” kepada Majelis Nasional supaya semua
perserikatan-perserikatan wanita, tidak perduli partai apapun,
dan tidak perduli nama apapun, dilarang dan dibubarkan
saja. Buat apa wanita dibiarkan saja berserikat, berkumpul,
berpidato, beraksi, dengan nyata-nyata, menentang kepada
“kodrat alam” dan nyata-nyata mendurhakai Revolusi?
Anggota Komisi Keamanan Umum yang bernama Amar, yang
memajukan usul itu dihadapan Majelis Nasional,
menyanyikan lagu yang terkenal lama: wanita tidak boleh
ikut campur dalam urusan pemerintahan, dan tidak boleh
diberi hak-hak politik, oleh sebab wanita tak mungkin
memiliki kecakapan yang perlu buat pekerjaan-pekerjaan
semacam itu. “Mampukah wanita mengerjakan pekerjaan
yang berfaedah namun maha sukar ini? Tidak! Sebab mereka
telah diwajibkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penting
yang telah diberikan oleh kodrat alam kepadanya. Laki-laki
atau wanita , mereka masing-masing telah diberi
pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya. Kemampuan-
kemampuan mereka terbatas oleh batas-batas yang tak dapat
mereka liwati, oleh sebab kodrat alam sendiri telah
menentukan batas-batas itu bagi manusia. Adakah kesopanan
mengizinkan, bahwa wanita tampil di muka umum,
bertukar fikiran dengan kaum laki-laki, dan terang-terangan
dihadapan khalayak membicarakan soal-soal yang
dibandingkan nya tergantung keselamatan republik? Pada
umumnya wanita tidak mampu berfikir tinggi, dan tidak
mampu mempertimbangkan soal-soal dengan cara yang
sungguh-sungguh dan mendalam”...
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Amar
guna menjelaskan usul Komisi Keamanan Umum untuk
melarang dan membubarkan. perserikatan-perserikatan
wanita itu. Tidak tersia-sia usahanya! Pada tanggal 30 Oktober
154
1793 Majelis Nasional mengambil putusan sesuai dengan apa
yang diusulkan: kaum wanita dilarang berserikat,
perserikatan-perserikatan wanita harus dibubarkan!
Segera sesudah putusan ini diumumkan, kaum wanita
bangkit untuk memprotesnya. Satu gerombolan utusan
mereka masuk ke dalam gedung Balai Kota Paris, untuk
menuntut batalnya putusan itu bagi kota Paris. namun
maksud mereka sama sekali gagal: Mereka tidak pula
diizinkan berbicara! Sebaliknya mereka malah diserang
dengan sengit oleh Pokrol Jenderal Chaumette, yang
berpidato dengan amarah: “Semenjak kapankah wanita
boleh membuang keperem-puanannya dan menjadi laki-laki?
Semenjak berapa lamakah adanya ini kebiasaan, yang mereka
meninggalkan urusan rumah tangga dan meninggalkan
buaian anak, datang di tempat-tempat umum buat berpidato,
masuk dalam barisan tentara, menjalankan pekerjaan-
pekerjaan yang oleh kodrat alam diperuntukkan kepada laki-
kaki? Alam berkata kepada laki-laki: peganglah teguh kelaki-
lakianmu! Pacuan kuda, perburuan, pertanian, politik, dan
lain-lain pekerjaan yang berat, -itulah memang hak bagimu.
Kepada wanita, alam berkata pula: peganglah teguh
kewanitaanmu! Memelihara anak, bagian-bagian pekerjaan
rumah tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu, -itulah
memang kerja bagimu! Oleh sebab itu, aku angkat kamu
menjadi Dewi dalam Candi Rumah Tangga. Kamu akan
menguasai segala sesuatu sekelilingmu dengan keelokanmu,
dengan kecantikanmu, dengan sifat-sifatmu yang baik. Hai
wanita -wanita yang ke-blinger, yang mau menjadi
laki-laki, -mau apakah kamu ini? Kamu telah menguasai hati
kami, orang-orang besar telah duduk di bawah telapak
kakimu, kezalimanmu yaitu satu-satunya hal yang kami tak
mampu mematahkan, sebab kezalimanmu itu bernama
asmara. Atas nama kodrat alam, tinggallah ditempatmu yang
sekarang!”
Alam, lagi-lagi alam! Alam memperuntukkan wanita bagi
rumah tangga, alam memperuntukkan laki-laki bagi pekerjaan
berat seperti pertanian, perburuan, peperangan! Apakah alam
barangkali lupa, bahwa di zaman purbakala justru wanita
yang menjadi soko-guru pertanian, dan mengerjakan
155
pekerjaan-pekerjaan lain yang berat-berat? Ai, -malahan apa
benar: hanya di zaman purbakala saja? Di dalam kitabnya
Bebel saya membaca, bahwa di zaman Bebel itu, dus baru
beberapa puluh tahun yang lalu saja, di Afrika Tengah dan di
Afrika Utara masih ada suku-suku, di mana wanita-wanitanya
lebih kuat dibandingkan laki-laki, dan di mana memang wanita-
wanitalah yang menjadi panglima-panglima perang; dan
bahwa di Afghanistan masih ada suku-suku pula, di mana
wanitalah yang pergi ke perburuan dan peperangan,
sedangkan laki-laki yang mengerjakan segala pekerjaan di
rumah tangga! Mana, mana benarnya alasan kodrat alam itu?
namun bagaimana pun juga, pidato Chaumette yang berapi-api
itu berhasil segera. Juga Dewan Kota Paris memutus-kan
membenarkan putusan Majelis Nasional. Perserikatan-
perserikatan wanita di Paris harus dilarang dan dibubarkan,
dianggap berbahaya bagi keamanan umum. Malahan Dewan
Kota itu memutuskan, tidak mau lagi menerima deputasi-
deputasi wanita dalam sidangnya.
Sudah barang tentu fihak wanita masih terus melanjutkan
protesnya. Dengan ulet mereka masih terus mencari jalan
untuk mendengung-dengungkan suaranya. Surat-surat
sebaran, pamflet-pamflet masih terus beterbangan ke kanan-
kiri. Majelis Nasional makin menjadi keras, makin reaksioner,
makin anti-wanita. Kini Majelis Nasional pun mengambil
putusan melarang wanita hadir dalam rapat-rapat umum apa
saja. Dan sebagai gong Majelis Nasional mengeluarkan wet,
bahwa wanita dilarang bergerombolan lebih dari lima orang.
Wanita-wanita yang bercakap-cakap dalam gerombolan lebih
dari lima orang, akan ditangkap, dilemparkan dalam penjara
...
Dengan ini, pada zahirnya, menanglah reaksi di atas wanita
Perancis. namun tidak demikian pada batinnya: “Man totet den
Geist nicht”, -“Batin tak dapat dibunuh”, demikianlah salah
satu ucapan Freiligrath. Sebagai faham, sebagai “isme”,
sebagai “ide”, teruslah tuntutan emansipasi wanita itu hidup.
Organisasi dapat dihancurkan, gerak organisasi itu dapat
dimatikan, namun semangat organisasi itu berjalan terus. Di
lalu hari ia akan menjelma lagi, akan meledak lagi,
dalam pergerakan wanita yang lebih modern. Malah sedari
156
mula lahirnya, semangat itu telah dapat menangkap hatinya
beberapa orang cendekiawan laki-laki, sebagai mitsalnya
Markies de Condorcet. Di dalam tulisan-tulisan mereka
cendekiawan-cendekiawan laki-laki ini membela sungguh-
sungguh tuntutan-tuntutan wanita itu. Di dalam tahun 1789,
empat tahun sebelum kepala Olympe de Gouges jatuh
terpenggal oleh algojo, Condorcet telah menggemparkan dunia
intelektuil sebab tulisannya di dalam majalah “Journal de la
Societe” yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
wanita . Alasan-alasannya cukup jitu; Revolusi
bersemboyan “egalite”, bersemboyan “persamaan”, namun
semboyan ini didurhakai sebab mengecualikan separoh
kemanusiaan dibandingkan pekerjaan membuat hukum. Revolusi
bersemboyan egalite, bersemboyan persamaan, namun revolusi
tidak mengakui bahwa laki-laki dan wanita memiliki
hak-hak yang sama. Orang laki-laki berkata bahwa
wanita jangan diberi hak warga negara sebab tubuhnya
tak memboleh-kannya -misalnya kalau wanita sedang
hamil- namun orang laki-laki toh juga tidak selamanya dalam
kesehatan? Orang berkata bahwa wanita tidak banyak
yang berpengetahuan tinggi, namun hak-hak warga negara itu
toh juga tidak diberikan kepada orang-orang laki-laki yang
berpengetahuan tinggi saja? Jikalau pengetahuan tinggi
dijadikan syarat, maka apakah sebabnya hak-hak warga
negara diberikan kepada warga laki-laki umum, dan
tidak kepada orang-orang laki-laki yang berpengetahuan tinggi
saja? Jikalau orang khawatir kepada pengaruh wanita atas
laki-laki, maka pengaruhnya yang “rahasia” toh tentu lebih
besar dibandingkan pengaruhnya di muka umum? Mengapa
“pengaruh rahasia” ini tidak ditakuti, sedang pengaruh di
muka umum ditakuti? Orang khawatir bahwa wanita akan
mengabaikan urusan rumah tangga dan pemeliharaan anak
bilamana mereka diberi hak-hak warga negara, namun
mengapa orang tidak khawatir bahwa laki-laki mengabaikan
pekerjaannya sehari-hari padahal mereka diberi hak-hak
warga negara? Ini alasan-alasan yang kosong selalu dipakai,
kata Condorcet, sebab alasan-alasan yang berisi, memang
tidak ada. Dengan alasan-alasan yang kosong pula orang
membelenggu perdagangan dan kerajinan, orang benarkan
perbudakan bangsa Neger sampai ke zaman sekarang, orang
isi penuh penjara Bastille, orang pergunakan bangku-bangku
157
penyiksaan. Soal dikasih tidaknya wanita hak-hak warga
negara, tidak boleh dibicarakan dengan alasan-alasan yang
kosong dan kalimat-kalimat yang melompong, atau dengan
banyolan-banyolan yang rendah-rendah. Soal persamaan hak
antara laki-laki dan laki-laki pun dulu dipertengkarkan
dengan pidato-pidato yang muluk-muluk dan dengan
banyolan-banyolan yang tiada harga. Tidak seorang pun
mengemukakan alasan-alasan yang tepat. “Maka saya kira,
tentang soal persamaan hak antara laki-laki dan wanita,
keadaan tidak berbeda dibandingkan demikian juga”, demikian
Condorcet menyudahi tulisannya.
Tulisan ini menjadi termasyhur. Bukan di Perancis saja ia
dibaca orang, namun di Inggeris pun banyak orang memperhati-
kannya. Pada waktu itu di Inggeris yaitu seorang orang
wanita yang tinggi pengetahuannya dan keras
kemauannya, yang juga amat merasakan ketidakadilan
perbudakan wanita. Namanya ialah Mary Wollstonecraft.
Sejak dari mudanya ia telah besar minatnya kepada
pendidikan anak-anak gadis. Ia menulis risalah tentang
pendidikan gadis itu, dan lalu menyalin beberapa kitab
buat mencari nafkah hidup. Ia bersahabat dengan penerbit
tulisan-tulisannya yang bernama Johnson, seorang-orang
yang amat bersimpati kepada Revolusi Perancis. Ia bersahabat
pula dengan Thomas Paine, seorang-orang yang amat
termasyhur sebab pernah ikut membantu perang
kemerdekaan Amerika dan pernah ikut serta pula dalam
pertempuran menjatuhkan Bastille. Dengan demikian, maka ia
siang-siang telah belajar mencintai ideologi-ideologi Perang
Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis. Tuntutan-
tuntutan yang dikemukakan oleh Mercy Otis Warren dan
Abigail Smith Adams, tulisan-tulisan yang mengalir dari pena
Condorcet, pekik-pekik perjoangan yang memetir dari mulut
Olympe de Gouges, semuanya berkumpul menjadi gelora jiwa
di dalam kalbunya. Di dalam tahun 1792 gemparlah kaum
kolot Inggeris sebab terbitnya kitab Mary Wollstonecraft yang
bernama “Vindication of the Rights of Woman”.
Bukan main kitab ini menggoncangkan fikiran umum. Dengan
sekaligus nama penulisnya menjadi terkenal di mana-mana.
Bukan saja di negeri Inggeris. Di luar negeri pun orang
158
membaca kitab itu dengan penuh minat. Malah orang
menerbitkan salinannya dalam bahasa Perancis dan bahasa
Jerman. Di mana-mana ia disambut oleh kaum wanita sebagai
obor penunjuk jalan.
En toh, ia sebenarnya kurang radikal, jika dibandingkan
dengan Condorcet atau Olympe de Gouges. Sebab, benar ia
menuntut persamaan hak antara laki-laki dan wanita ,
menuntut persamaan hak-hak kewarga negaraan, menyatakan
bahwa pada azasnya antara laki-laki dan wanita tidak
boleh ada perbedaan, - namun ia masih mengemukakan syarat-
syarat bagi kaum wanita untuk diberi hak-hak warga negara
itu: Ia meminta supaya kaum wanita diberi pendidikan lebih
dahulu.
Nyata berlainan dengan Condorcet! Sebab Condorcet
menuntut supaya wanita segera diberi hak-hak warga negara;
ia tidak mau menerima bahwa kebodohan dipakai sebagai
alasan untuk tidak memberi hak-hak warga negara kepada
wanita, sebab laki-laki pun tidak diperiksa lebih dahulu
kecerdasannya sebelum menerima hak-hak itu. Condorcet
tidak mengemukakan syarat-syarat; ia berdiri di atas
pendirian yang prinsipiil.
namun di lain-lain bagian dibandingkan kitab “Vindication of the
Rights of Woman” itu, Mary Wollstonecraft benar-benar
revolusioner. Bukan saja ia mencela ke-Rajaan, menyerang
jiwa tentara, menggasak kaum bangsawan, ia mengeritik juga
keadaan ekonomis yang menjadi pokok asalnya kemudlaratan
dan kemiskinan di kalangan wanita. Kemudlaratan dan
kemiskinan inilah tempat persemaiannya persundalan dan
kejahatan.
Maka oleh sebab itu, ia menuntut supaya wanita itu
ekonomis dimerdekakan dari kaum laki-laki. Janganlah
wanita itu digantungkan kepada kaum laki-laki dalam urusan
nafkah hidupnya. “Merdekakanlah wanita mencari
makannya sendiri!” Inilah kalimat Mary Wollstonecraft yang
benar-benar radikal, benar-benar revolusioner. Revolusioner
buat zaman itu; revolusioner buat zaman sekara