presiden soekarno 6

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 6



  produksi bercorak lain, keadaan menjadi 

lain. Terasalah oleh mereka, bahwa untuk memperbaiki nasib 

mereka, mereka juga harus masuk ke dalam alam 

industrialisme itu. Memang industrialisme menarik mereka, 

membutuhkan mereka, ke dalam alamnya!                          

 

Baik kaum wanita  proletar, maupun kaum wanita  

kelas pertengahan dan kelas atasan, merasa bahwa harus 

diadakan aksi membanteras ketiadaan hak itu. Dan walaupun 

pada hakekatnya ketidaksenangan di golongan-golongan 

wanita  atasan dan bawahan ini berlainan sifat yang satu 

dari yang lain, -lihatlah perbedaan akibat industrialisme 

kepada kaum wanita  atasan dan kepada kaum 

wanita  bawahan, di Bab III-, maka di atas lapangan 

ketiadaan hak itu mereka menemui satu sama lain. Terutama 

sekali kaum wanita  pertengahan dan atasan, yang sudah 

tentu lebih cerdas dibandingkan  wanita  bawahan, siang-siang 

telah mulai dengan aksi semacam itu. 

134 

 

 

Sebelum silamnya abad kedelapan belas, mereka sudah mulai 

bergerak. Yang paling dahulu ialah kaum wanita  Amerika. 

Di bawah pimpinan Mercy Otis Waren (dan juga Abigail 

Smith Adams), mereka berjoang. Di dalam tahun 1776, 

tatkala Amerika telah terlepas dari Inggeris dan hendak 

menyusun Undang-Undang Dasar sendiri, mereka menuntut 

supaya hak wanita  diakui pula. Mereka menuntut supaya 

wanita  dibolehkan ikut memilih anggota parlemen dan 

ikut menjadi anggota parlemen; supaya wanita  

dibolehkan memasuki semua macam sekolahan; supaya 

Undang-undang yang sedang disusun itu benar-benar satu 

Undang-undang Dasar yang demokratis antara laki-laki dan 

wanita . 

 

Aksi wanita  Amerika ini berpengaruh besar atas ideologi 

kaum wanita  di Eropah. Terutama sekali di Perancis dan 

Inggeris sambutan hangat sekali. Di dalam Revolusi Perancis 

yang besar itu, yang meledaknya memang sesudah Revolusi 

Amerika, mulai bergeraklah wanita  Perancis menuntut 

persamaan hak dengan kaum laki-laki.  

 

Madame Roland (pemimpin kaum wanita  atasan), 

Olympede Gouges, Rose Lacombe, Theroigne de Mericourt, 

(pemimpin-pemimpin kaum wanita  bawahan), membakar 

hati pengikut-pengikutnya. Dengan gagah-berani, tidak takut 

maut, mereka menuntut persamaan hak itu. Dengan gagah 

berani mereka organisatoris mendirikan perserikatan-

perserikatan wanita, barangkali organisasi-organisasi wanita 

yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan!-, yang 

anggotanya bukan berjumlah puluhan atau ratusan orang, 

namun  ribuan orang! Boleh dikatakan merekalah yang mula-

mula benar-benar mengorganisir aksi perlawanan wanita,  

mengorganisir gerakan perlawanan wanita, yang tidak lagi 

meminta-minta. Korban yang mereka berikan susah dicari 

taranya di dalam sejarah wanita. Ratusan dari mereka 

memberi  darahnya dan memberi  jiwanya. Pemimpin 

mereka yang ulung, Olympe de Gouges, singa betina Revolusi 

Perancis, bersama dengan mereka dipenggal batang-lehernya 

oleh fihak laki-laki, di bawah guilyotin. Pengorbanan-

pengorbanan mereka itu membuktikan elan revolusioner yang 

135 

 

maha-hebat di pihak wanita, namun  pengorbanan-pengorbanan 

itu membuktikan pula, bahwa pada waktu itu fihak laki-laki 

mati-matian pula tidak mau memberi  persamaan hak 

kepada kaum wanita, -mati-matian tidak mau melepaskan 

kedudukan laki-laki di atas kaum wanita. 

 

namun  sebagaimana dikatakan oleh Emerson bahwa “tiada 

korban yang tersia-sia”, maka pengorbanan-pengorbanan 

kaum wanita Perancis itu pun tidak tersia-sia. Pengorbanan 

mereka itu malah pantas tercatat dengan aksara emas bukan 

saja di dalam kitab sejarah perjoangan wanita, namun  juga di 

dalam kitab sejarah evolusi kemanusiaan. Bukan hilang 

percuma pengorbanan-pengorbanan itu, terbuang hilang 

dalam kabutnya sejarah, namun  api semangatnya mencetus ke 

dalam kalbu ideologinya wanita -wanita  di negeri lain. 

Malah belum pula Revolusi Perancis itu berakhir, sudahlah 

pekik perjoangan Madame Roland dan Olympe de Gouges itu 

disambut oleh Mary Wollstonecraft di negeri Inggeris, yang 

dalam tahun 1792 menerbitkan bukunya yang bernam 

“Vindication of the Rights of Woman” (“Pembelaan hak-hak 

kaum wanita”). Dengan Mary Wollstonecraft mulailah kaum 

wanita  Inggeris memasuki gelanggang perjoangan 

menuntut hak-hak wanita. 

 

Dan faham-faham yang disebarkan oleh pemimpin-pemimpin 

wanita yang saya sebut namanya itu, -dibantu oleh sokongan 

beberapa orang pemimpin laki-laki seperti misalnya 

Condorcet di Perancis-, faham-faham mereka itu menjadi 

tetap tuntutan seluruh pergerakan wanita  “tingkatan 

kedua” di pelbagai negara, sampai kepada silamnya abad 

kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Umumnya 

tingkatan kedua ini terkenal dengan nama pergerakan 

feminisme. Persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan 

terutama sekali hak memasuki segala macam pekerjaan 

warga , persamaan hak itulah menjadi pokok 

tuntutannya. Dan oleh sebab  tuntutan hak memasuki segala 

macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan 

wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan feminisme 

itu terutama sekali yaitu  satu pergerakan “kasta 

pertengahan” pula, -satu pergerakan burjuis, dan bukan satu 

136 

 

pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan 

rakyat-jelata. 

 

Sebab, sekali pun wanita -wanita  rakyat jelata juga 

tidak senang bahwa banyak hak-hak dimonopoli oleh kaum 

laki-laki, dan juga berpendapat bahwa hak-hak itu harus 

direbut dan dituntut, maka toh “isi” tuntutan mereka itu ada 

lain dibandingkan  tuntutan wanita  atasan atau pertengahan. 

 

Apa sebab kaum wanita atasan dan pertengahan menuntut 

hak memasuki segala macam pekerjaan? Sebabnya harus 

dicari dalam akibat industrialisme. Industrialisme melahirkan 

produksi barang-barang dagangan. Barang-barang kebutuhan 

hidup sehari-hari, yang dulu harus dibuat oleh wanita sendiri 

di rumah, sekarang dapat dibeli di toko-toko dengan murah, 

dan kwalitasnya pun lebih baik. Oleh sebab  itu, maka 

pekerjaan di rumah tangga menjadi makin kurang. Apa yang 

harus dikerjakan oleh wanita atasan dan pertengahan 

sekarang untuk mengisi waktu? Bekerja di kantor tak boleh, di 

lapangan politik tak boleh, di lapangan kewarga an lain 

pun tak boleh. Adat tidak membolehkannya, dan fihak laki-

laki pun memang tidak mau mendapat persaingan wanita. 

Oleh sebab  itulah, maka pokok-tuntutan wanita atasan dan 

pertengahan ialah: hak bekerja! Hak memasuki segala 

pekerjaan, yang akan membawa mereka keluar dari kurungan 

rumah, di mana mereka merasa diri hampir beku sebab  

menganggur. 

 

Hampir beku sebab  “verveling”! Rasanya mereka akan puas, 

kalau mereka dibolehkan ikut masuk ke dalam warga , 

dibolehkan ikut mengerjakan “pekerjaan warga ”, -di luar 

dari suasana kebekuan itu, “Pekerjaan rumah tangga” yang 

tinggal sedikit-sedikit itu, toh dapat mereka suruh kerjakan 

oleh pegawai dan pembantu, oleh si bujang dan si genduk. 

Mereka cukup uang untuk menggaji pelayan-pelayan itu. 

 

namun  bagaimana dengan wanita  dari kalangan rakyat-

jelata? Hak bekerja sebenarnya sudah ada di tangan mereka, -

sampahnya hak bekerja! Sejak timbulnya industrialisme, 

mereka telah berduyun-duyun masuk paberik-paberik dan 

perusahaan-perusahaan, menjualkan tenaga bekerja-nya 

137 

 

kepada majikan-majikan pelbagai macam. Sejak timbulnya 

industrialisme itu, mereka telah terlepas dari kurungan rumah 

tangga, telah menceburkan diri dalam warga  sebagai 

kuli, sebagai budak, sebagai “proletar”. Sejak timbulnya 

industrial-isme itu mereka tiap-tiap hari malah lebih lama 

bertinggal di paberik dibandingkan  di samping api-dapur. Sejak 

timbulnya industri-alisme itu mereka malah melihat anak-

anaknya hanya pada waktu malam saja, sesudah matahari 

terbenam, -sepulang mereka dari pekerjaan. Hak bekerja 

sudah ada pada mereka, -hanya “permanusiaannya’’ pekerjaan 

itu yang belum ada pada mereka! Permanusiaannya 

pekerjaan, yang membuat pekerjaan itu menjadi satu 

kebahagiaan, satu pengangkatan jiwa, satu pemerdeka, satu 

pembebasan, dan bukan satu cambuk pedih yang 

membongkokkan tulang punggung, satu labrakan yang 

melabrak mereka dari saat fajar menyingsing sampai liwat 

petang hari. Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi 

jaminan bahwa pekerjaan di dalam paberik itu tidak boleh 

lebih lama dibandingkan  delapan sembilan jam sehari. 

Permanusiaannya pekerjaan, yang membuka pintu ketingkat-

tingkat yang lebih mulia, dan bukan hanya pekerjaan yang 

semacam sampah, yang tiap-tiap waktu dapat dibuang: 

Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi juga hak-hak 

kepada mereka sebagai manusia dan sebagai warga-negara, 

yaitu hak-hak yang setingkat dengan hak-hak manusia laki-

laki dan hak-hak warga negara laki-laki. Permanusiaannya 

pekerjaan, yang dapat memberi kepuasan kepada mereka 

sebagai produsen warga  dan sebagai ibu dan isteri di 

dalam rumah, permanusiaannya pekerjaan, yang menutup 

“retak” (scheur) di dalam jiwa mereka, sebagai yang telah saya 

uraikan dibab III buku ini. 

 

Maka inilah menjadi sebab, yang kaum wanita  bawahan 

itu akhirnya tidak puas dengan tuntutan-tuntutan feminisme 

saja. Ya, benar, juga mereka, kaum wanita  bawahan, 

hendak merebut persamaan hak dengan laki-laki, juga mereka 

hendak merebut hak memilih dan dipilih buat parlemen atau 

dewan-dewan lain, juga mereka hendak merebut hak 

memasuki semua macam pekerjaan di warga  yang 

sekarang masih banyak dimonopoli oleh laki-laki itu. 

Tidakkah, menurut perkataan salah seorang pemimpin 

138 

 

mereka yang amat besar, Clara Zetkin, mereka itu yuridis dan 

politis merupakan satu “vijfde stand” dalam warga  

zaman sekarang? Satu “vijfde stand”, yang lebih rendah lagi 

derajatnya dibandingkan  “vierde stand”nya kaum proletar laki-laki? 

sebab  itu memang, memang harus direbut persamaan hak 

dengan kaum laki-laki itu! namun  wanita -wanita  

bawahan itu sedar bahwa tuntutan-tuntutan feminisme saja 

belum mencukupi.  

 

Yang sebenarnya perlu bukanlah hanya persamaan hak 

dengan laki-laki saja, namun  -perobahan susunan warga  

sama sekali. Apakah telah mencukupi persamaan hak saja, 

kalau seluruh susunan warga  penuh dengan ketidak-

adilan? Kalau wanita  dan laki-laki, dua-duanya!, sebagai 

kelas, tertindas dan terhisap? Henriette Roland Holst di dalam 

satu pidato yang berapi-api berkata: “Geef de vrouw het 

kiesrecht, schaf alle wettelijke bepalingen af die haar bij den 

man achterstellen en in haar vrijheid belemmeren, open voor 

haar den toegang tot alle, beroepen en bedrijven, maak haar 

opleiding en opvoeding gelijk aan die van den man, zoodat zij 

zooveel mogelijk gelijke kansen heeft, -zult gij daarmee het lot 

van de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij 

deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de 

ongezonde, slecht betaalde huisindustrie waarin andere 

millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult gij het 

raadsel oplossen van de sfinx der prostitutie? Neen, dat alles 

zult ge niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan den burgelijke 

maatschappijvorm, aan het kapitalistisch stelsel van 

voortbrenging. Maar: zelfs voor de groote meerderheid van de 

vrouwen uit de burgelijke klassen, voor hen namelijk die 

huwen en kinderen krijgen, kan de burgerlijke 

vrouwenbeweging de bevrijding niet brengen, niet de oplossing 

van het moeilijke vraagstuk in hun leven”. Artinya: “Berilah 

kepada wanita hak memilih dan dipilih, hapuskan semua 

aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari laki-laki 

dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi 

mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan 

pendidikannya menjadi sederajat dengan pendidikan laki-laki 

sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, -

apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum 

buruh wanita, upahan yang berjuta-juta itu, akan dapat 

139 

 

mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, -akan dapat 

membasmi industri di rumah yang tidak sehat dan rendah 

upah itu yang di dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-

miliunan wanita lain, -akan dapat memecahkan rahasianya 

hantu persundalan? Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu! 

Semua kesengsaraan wanita ini yaitu  terikat kepada bentuk 

warga  yang borjuis, kepada cara produksi yang 

sistimnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar 

dibandingkan  wanita-wanita golongan atasan dan pertengahan, 

kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak, pergerakan 

wanita borjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan, 

tidak dapat mendatangkan pemecahan soal hidup mereka 

yang paling sulit”. 

 

Maka dengan keyakinan yang semacam ini, berkembanglah 

tingkat ketiga dibandingkan  pergerakan wanita, yaitu pergerakan 

wanita yang di dalam aksi sosialis hendak mendatangkan 

satu Dunia Baru sama sekali, yang di dalamnya wanita  

dan laki-laki sama-sama mendapat bahagia, dengan tiada 

pemerasan satu kelas oleh kelas yang lain, tiada penindasan 

satu sekse oleh sekse yang lain. Satu Dunia Baru, yang di situ 

bukan saja wanita  sama haknya dengan laki-laki, namun  

juga tidak menderita “retak” atau “scheur”, oleh sebab  di 

dalam Dunia Baru itu ada pertemuan, ada pertunggalan, ada 

sintese,  antara “pekerjaan warga ” dan “pekerjaan 

rumah tangga”. 

 

Maka justru berhubung dengan tujuan tingkat yang ketiga ini, 

sebenarnya tidak boleh dikatakan ada spesial pergerakan 

wanita tingkat ketiga. Sebab di dalam aksi menyelenggarakan 

Dunia Baru itu, wanita  tidak beraksi sendiri, dan laki-laki 

pun tidak beraksi sendiri, namun  kedua-dua sekse itu 

bersama-sama berjoang, bersama-sama bergerak, bahu-

membahu, di dalam satu gelombang yang makin lama makin 

mendahsyat. Satu  gelombang perjoangan kelas,  yang tidak 

kenal perbedaan antara manusia dengan manusia, satu 

gelombang menuju kepada Kemerdekaan, -Kemerdekaan laki-

laki dan kemerdekaan wanita . Kemerdekaan kelas dan 

Kemerdekaan sekse! 

 

Aksi wanita feminis berjalan melawan laki-laki. 

140 

 

Aksi wanita sosialis berjalan bersama-sama dengan laki-laki.  

 

Maka dengan tercapainya “tingkat ketiga” ini, tercapailah juga 

tingkat yang tertinggi dibandingkan  pergerakan Sarinah mengejar 

nasib yang lebih layak. Dan tingkat yang tertinggi ini sampai 

sekarang masih terus menggeletar, masih terus 

menggelombang, -tak akan lenyap, sebelum tercapai 

warga  adil, pengganti warga  kapitalistis yang di 

dalamnya ada penindasan kelas dan penindasan sekse. 

 

Demikianlah ikhtisar selayang-terbang dibandingkan  tingkatan-

tingkatan pergerakan wanita itu. Artinya ialah: Dari zaman 

sebelum Revolusi Amerika dan Perancis sampai ke zaman 

sekarang yaitu  tiga tingkatan pergerakan wanita. 

 

Tingkat kesatu: Pergerakan menyempurnakan 

“kewanita an”, yang lapangan usahanya ialah misalnya 

memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dsb. 

 

Tingkat kedua: Pergerakan Feminisme yang ujudnya ialah 

memperjoangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. 

Programnya yang terpenting ialah hak untuk melaku-kan 

pekerjaan dan hak pemilihan. Seorang pemimpin feminis 

Belanda Nyonya Betsy Bakker Nort mengatakan: “De 

vrouwenbeweging is het best te karakteriseren als het stuwen 

der vrouwen om als volwaardig mens te worden beschouwd en 

behandeld. En haar einddoel: volkomen gelijk-stelling in 

wetten en zeden van beide seksen”. Artinya: “Pergerakan 

wanita itu paling tepat dapat digambarkan sebagai satu 

desakan wanita untuk dipandang dan diperlalukan sebagai 

manusia penuh. Tujuannya yang terakhir ialah: persamaan 

sama sekali antara kedua sekse itu, di atas lapangan hukum-

hukum negara dan adat-istiadat”. Pergerakan feminis itu 

sering juga dinamakan pergerakan emansipasi wanita, dan 

aksinya bersifat menentang kepada kaum laki-laki. 

 

Tingkat ketiga: Pergerakan Sosialisme, dalam mana wanita 

dan laki-laki bersama-sama berjoang bahu-membahu, untuk 

mendatangkan warga  sosialistis, dalam mana wanita dan 

laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka. 

 

141 

 

Nah, sekarang pembaca telah mendapat ikhtisar terang 

dibandingkan  tingkat-tingkat itu. Marilah kita sekarang 

mempelajari tingkat-tingkat itu dengan cara agak lebih 

mendalam.  

 

namun  tingkat yang pertama, -tingkat “menyempurnakan 

kewanita an”, yang di dalam pidato-pidato kadang-kadang 

saya namakan tingkat “main puteri-puterian”-, tidak akan 

saya uraikan lebih lanjut, oleh sebab  kurang penting. Dan ... 

di negara kita  sini kita sudah sering melihat contoh-contoh 

tingkatan ini. Siapa belum? 

 

Marilah saya jelaskan tingkat yang kedua. Sebagai saya 

terangkan tadi, buaian tingkat ini ialah di Amerika, yang pada 

waktu itu sedang di dalam perjoangan menyusun 

kemerdekaannya. Tiap-tiap perjoangan kemerdekaan 

mengalami pergolakan ideologi. Wanita Amerika ikut serta di 

dalam pergolakan ideologi itu. Saya telah katakan bahwa 

Mercy Otis Warren lah pemimpin mereka. Ia yaitu  

saudaranya James Otis, salah seorang pemimpin 

kemerdekaan nasional Amerika pada waktu itu. Mercy Otis 

Warren mengumpulkan semua pemimpin-pemimpin wanita 

Amerika di dalam salonnya. Ia lebih radikal dari pada banyak 

pemimpin-pemimpin laki-laki, -lebih laju, lebih konsekwen. Ia 

telah menuntut kemerdekaan penuh bagi Amerika, sebelum 

George Washington sendiri setuju dengan kemerdekaan penuh 

itu! Ia sering bertukar fikiran dengan Thomas Jefferson, 

perancang naskah pernyataan kemerdekaan Amerika dan 

naskah yang termasyhur ini memang terang mengandung 

buah-buah fikirannya. 

 

namun  Mercy bukan hanya seorang pemimpin kemerdekaan 

nasional saja. Ia yaitu  pula seorang pemimpin sosial. 

Seorang pemimpin sekse. Dengan kawan sefahamnya Abigail 

Smith Adams, -yang suaminya menjadi Presiden Amerika yang 

kedua-, ia mengkampiuni perjoangan persamaan hak antara 

sekse laki-laki dan sekse wanita. Mereka berdualah yang 

mula-mula sekali di dalam sejarah menuntut persamaan hak 

itu. Di dalam tahun 1776, lebih dari 170 tahun yang lalu, 

pada waktu Kongres seluruh Amerika (Continental Congress) 

menyusun Undang-undang Dasar Negara Amerika, maka 

142 

 

Abigail Smith Adams menulis surat kepada suaminya, yang 

berbunyi: “Kalau Undang-undang Dasar baru itu tidak 

memperhatikan benar-benar kepada kaum wanita, maka kami 

kaum wanita telah memutuskan akan memberontak 

kepadanya, dan kami merasa tidak wajib taat kepada hukum-

hukum yang tidak mengasih kepada kami hak-suara dan hak 

perwakilan guna membela kepentingan-kepentingan kami”. 

Dan bukan saja ia menuntut hak suara dan hak perwakilan 

bagi kaum wanita, -ia juga menuntut terbukanya pintu 

gerbang semua sekolah bagi kaum wanita. “Satu Negara, yang 

mau menjelmakan pahlawan-pahlawan ahli-ahli negara dan 

ahli-ahli faIsafah, haruslah memiliki  ibu-ibu yang cerdas di 

tempat-tempat yang terkemuka”, demikianlah bunyi 

pembelaannya. 

 

Berhasilkah aksi kedua pendekar wanita ini? Jarang sekali 

sejarah dunia menunjukkan berhasilnya satu aksi yang dapat 

dengan sekaligus menggempur hancur-lebur benteng-

bentengnya kekolotan. Tiap-tiap kekolotan, tiap-tiap 

konservatisme, yaitu  ulet, justru oleh sebab  ia konservatif, 

kukuh memegang teguh kepada yang ada. Aksi nyonyah-

nyonyah Otis Warren dan Smith Adams tidak berhasil seratus 

prosen. namun  hasilnya toh tidak sedikit pula: pintu gerbang 

semua sekolahan dibukakan buat wanita, dan walaupun hak 

suara dan hak perwakilan belum dikabulkan buat Negara 

Serikat seluruhnya, maka toh ada dua negara yang 

meluluskannya: -New Jersey, dan Virginia. Dua negara inilah 

negara yang pertama-tama di dalam sejarah dunia 

membukakan pintu dewan perwakilannya bagi kaum wanita! . 

 

Dan sebagai di muka tadi telah saya katakan, -mereka juga 

berjasa di benua lain. Kumandangnya aksi mereka menggaung 

melintasi samudera Atlantika, percikan api semangat mereka 

mencetus di dalam jiwa wanita-wanita Perancis, dan 

lalu  juga di dalam jiwa wanita-wanita Inggeris. . 

 

Sudahkah, sebelum itu, wanita Perancis memikir-mikirkan 

tentang perbaikan nasib kaumnya? Sudah sedikit-sedikit. 

namun  baru sesudah mendapat cetusan api semangat dari 

Amerika itulah -wanita Perancis menyala-nyala dan berkobar-

kobar jiwanya. Orang-orang wanita, yang tadinya hanya pasif 

143 

 

saja di dalam proses ideologi Revolusi Perancis, lantas menjadi 

tenaga-tenaga aktif yang ikut mendidihkan kancah perjoangan 

manusia merebut hak-hak manusia yang lebih adil. Di dalam 

tahun 1786 telah didirikan semacam sekolah menengah 

parukelir (Lyceum) oleh Markies de Condorcet dan 

Montosquieu, dan Lyceum ini segera menjadi pusat 

kecerdasan puteri-puteri hartawan Perancis yang pertama. 

Dengan ini sebenarnya telah diakui bahwa wanita juga 

memiliki  hak atas kecerdasan dan kemajuan. namun  hak-

hak politik masih dianggap haram baginya, masih dianggap 

“tabu” bagi wanita. Hak-hak politik masih dianggap satu 

monopoli utama bagi laki-laki saja. 

 

Dan monopoli ini akhirnya digempur! Pada waktu Revolusi 

mendirikan Majelis Perwakilan Rakyat, -Majelis Nasional-, 

yang anggotanya hanja terdiri dari orang laki-laki saja, -pada 

waktu itu kaum wanita segeralah mengadakan aksi dengan 

menyebarkan surat-surat sebaran, brosur-brosur, surat-surat 

tuntutan supaya wanita juga diberi hak untuk menjadi 

anggota Majelis Perwakilan itu. . 

 

namun  jangan pun hak-hak politik yang demikian jauhnya! 

Hak memasuki sekolah-sekolah umum saja pun tak diberikan 

oleh fihak laki-laki kepada wanita! Tuntutan-tuntutan wanita 

yang dengan kata berapi-api dimuatkan dalam surat-surat-

sebaran, brosur-brosur dan surat-surat tuntutan itu, ditolak 

mentah-mentahan oleh Majelis Nasional 1791. Terutama 

sekali Talleyrand menentangnya mati-matian. Apa yang ia 

kata? Kaum pemuda laki-laki harus dididik menjadi warga 

negara yang sanggup memikul segala hak dan beban warga 

negara, harus digembleng. menjadi tiang-tiang negara dan 

tiang-tiang warga  yang teguh dan kuat, -namun  wanita 

“oleh alam” telah diperuntukkan untuk duduk di rumah 

tangga, di tengah anak-anak. Tiap-tiap pelanggaran atas 

“hukum alam” ini nanti menjadi sumber kerusakan, tiap-tiap 

perkosaan kepada hukum alam ini nanti niscaya 

mendatangkan bencana. Oleh sebab  itu, maka gadis-gadis 

jangan dididik sama dengan pemuda-pemuda, jangan 

diizinkan mereka memasuki sekolah-sekolah umum kalau 

sudah berumur delapan tahun! Maka sesuai dengan anjuran 

Talleyrand itu Majelis Nasional mengambil putusan, bahwa 

144 

 

anak-anak wanita  hanya diizinkan memasuki sekolah-

sekolah umum kalau mereka belum berumur delapan tahun! 

 

Undang-undang Dasar dari tahun 1793 ada “maju” sedikit: 

gadis-gadis boleh memasuki sekolah-sekolah umum sampai 

umur ... 12 tahun! namun  di luar itu, belum ada hak sedikit 

pun yang diberikan kepada wanita. Tidak hak sosial, tidak hak 

eknomis, tidak hak politik. Dan sebenarnya pemimpin-

pemimpin wanita dari kalangan hartawan dan atasan pada 

waktu itu pun tidak teramat giat memperjoangkannya. Sebab 

mereka, kaum perempuaan hartawan dan atasan itu, sudah 

merasa puas bahwa mereka diperbolehkan bergaul dengan 

kaum laki-laki di dalam salon-salon, di dalam club-club, di 

sekolah menengah Lyceum, dan boleh menghadiri rapat-

rapatnya kaum Encyclopaedis. namun  bagaimana keadaan di 

kalangan wanita rakyat jelata? Mereka sudah barang tentu 

tidak boleh memasuki salon-salon yang mulia itu, tidak boleh 

memasuki club-club yang mentereng, atau Lyceum yang 

mahal ongkosnya, atau rapat Encyclopaedis yang bertinggi 

ilmu. namun  sebaliknyapun, nafsu ingin maju belum kuat 

menyala-nyala di dalam dada mereka. Kemiskinan, 

kemudlaratan, kepapaan, -semua itu mula-mulanya seperti 

menumpulkan sama sekali himmah mereka, membuntukan 

fikiran mereka, membekukan semangat mereka. Badan 

jasmani yang seperti terhantam remuk oleh penderitaan, 

mengakibatkan apati, -rasa tak perduli apa-apa-, di dalam 

jiwa. Lily Braun, pemimpin wanita yang terkenal itu, 

menggambarkan nasib wanita  jelata Perancis pada waktu 

itu dengan angka-angka yang mendirikan bulu-roma. Dua 

puluh tahun sebelum Revolusi Petancis meledak, -demikianlah 

angka-angkanya dalam kitab-nya tentang “Soal Wanita”-, di 

Perancis yaitu  50.000 orang pengemis; sepuluh tahun 

lalu , jumlah ini menaik menjadi 1.500.000 orang. Di 

satu kota saja, yaitu di kota Lyon, kota pusat industri sutera, 

di dalam tahun 1787 yaitu  30.000 orang yang hidupnya 

dengan jalan minta-minta. Kota Paris yang pada waktu itu 

berpenduduk 680.000 jiwa, mempunjai 116.000 orang 

pengemis, yaitu hampir seperlima dari jumlah semua 

penduduknya. Herankah kita, kalau persundalan subur 

sekali, -yaitu satu jalan bagi wanita-wanita miskin di Paris itu 

untuk mencari sepotong roti? Di dalam tahun 1784 Paris 

145 

 

memiliki  70.000 orang wanita bunga raya. Kampung-

kampung St. Antoine dan Temple di Paris sesak dengan 

wanita-wanita tua yang mengemis, dan ... wanita-wanita muda 

yang menawar-nawarkan kecantikan tubuhnya. 

 

St. Antoine dan Temple! Sarang kemiskinan, -dan sarang 

perzinahan! namun  justru dari St. Antoine dan Temple inilah 

kelak datangnya perajurit-perajurit perjoangan wanita. Justru 

di St. Antoine dan Temple inilah menurut perkataan Lily 

Braun tempatnya sumber “tenaga-tenaga pendorong yang 

paling hebat dari alam, yaitu kelaparan dan kecintaan”. “Cinta 

kepada anak-anak turunan yang dengan tiada berdosa harus 

mewarisi kesengsaraan mereka, -itulah mendorong mereka ke 

dalam kancah perjoangan”. Ya, mendorong mereka, -

mendorong mereka sendiri!  Mereka sendiri harus menolong 

mereka sendiri! Adakah harapan mendapat pertolongan dari 

pemimpin-pemimpin wanita borjuasi? “Kaum proletar harus 

membela sendiri kepentingan proletar. Suatu tentara 

menjelmakan sendiri pemimpinnya, dan tidak sebaliknya”, 

demikianlah Lily Braun dengan jitu berkata. Maka kaum 

wanita jelata di Paris itu, yang tadinya begitu buntu dan 

tumpul fikirannya, yang tadinya seperti buta tiada tahu jalan, 

yang tadinya hanya tahu menderita serta menggerutu saja di 

tempat-tempat yang gelap, yang tidak diperdulikan sama 

sekali oleh wanita-wanita hartawan, -wanita jelata di Paris ini 

akhirnya menggemparkan orang, sebab  mereka sendiri 

bangkit dari kebekuan dan apatinya. 

 

Pada tanggal 6 Oktober 1789 berkumpullah 8000 orang wanita 

jelata di muka Gedung Kota di Paris menuntut diberi roti 

untuk mengisi perutnya yang lapar. Roti! Roti!  

 

Dan tatkala tuntutan minta roti ini ditolak, pergilah mereka 

berarak-arak ke Versailles, -ke istana Raja. Minta roti di sana! 

Roti! Gegap-gempitalah arak-arakan ini! Siapakah itu, orang 

wanita  cantik, muda remaja, yang berkuda mengepalai 

arak-arakan ini? Dia yaitu  Theroigne de Mericourt, bekas 

sundal, yang telah terbuka fikirannya, dan yang sekarang 

menjadi pemimpin wanita. Dan siapakah itu, pemimpin wanita 

yang berjalan di tengah-tengah arak-arakan 8000 wanita itu, 

sambil mengaju-ajukan anak buahnya? Dia yaitu  Rose 

146 

 

Lacombe, nama yang terkenal di dalam sejarah perjoangan. 

Dan apakah benar 8000 orang wanita ini semuanya sundal, 

semuanja wanita  jalang? Memang demikian tuduhan 

kaum atasan. namun  Jean Jaures, pemimpin besar bangsa 

Perancis yang termasyhur itu, historikus yang kenamaan, 

membantahnya dengan tegas dan mutlak. Mereka bukan 

wanita -wanita  yang haus darah, bukan pula 

wanita  sundal, demikianlah katanya. Mereka wanita -

wanita  miskin dari golongan kaum buruh. Mereka di 

Versailles terpaksa diizinkan masuk ke dalam gedung Majelis 

Nasional, dan dari sini, bersama-sama dengan ratusan laki-

laki yang mengikutinya dan dengan wakil-wakil Majelis 

Nasional, mereka pergi kemuka istana Raja. 

 

Di sana, tampillah Louise Chably ke muka, terus menghadap 

Raja, dan menjadi juru bicara wanita-wanita tadi semuanya. Ia 

mengemukakan kesengsaraan wanita jelata, kemiskinannya 

yang tidak berhingga, ketidaksenangannya atas segala 

keadaan, Keinginannya mendapat perbaikan. Raja 

mendengarkannya dengan hati yang gelisah. Ia kalang-kabut 

di dalam batinnya. Ia bingung, ia tidak tahu apa yang harus 

dikata. Ia ... goyang. Maka Ketua Majelis Nasional, yang ikut 

serta pula pada saat itu, mengambil kesempatan baik 

dibandingkan  keadaan ini, untuk mendesak kepada Raja supaya 

Raja suka menandatangani naskah “Hak-hak Manusia”, yang 

rancangannya memang telah ia bawa.  

 

Alangkah bingungnya Raja pada saat itu! Belum pula 

“kerewelan wanita” ini habis, sudahlah ia didesak oleh Ketua 

Majelis Nasional untuk menandatangani naskah yang lebih 

hebat. Rasa hati kecilnja memberontak, keangkuhan 

tradisinya marah dan benci, kemuliaan mahkotanya merasa 

terancam, sebab menandatangani naskah itu berarti 

menandatangani vonis mati kepada hak raja yang tak 

terbatas. Menandatangani naskah itu berarti membunuh 

kerajaan mutlak. namun  ... di luar istana berdiri ribuan rakyat 

jelata, dengan wanita 8000 orang tadi di bagian yang muka, ... 

menunggu, meskipun hujan sedang turun dengan hebatnya, 

… menunggu, telah berjam-jam lamanya, .... menunggu, ... 

dengan muka yang seram. Kejengkelan dan dendam hati 

147 

 

terbaca di mata mereka itu! Apa yang Raja hendak perbuat 

kini? 

 

Akhirnya, apa boleh buat, ia tandatangani naskah itu! 

“Hak-hak Manusia” ia syahkan. Hak Raja yang tidak berbatas 

ia lepaskan, boleh masuk ke lobang kubur. Sungguh satu 

detik yang maha bersejarah di dalam proses anggapan-

anggapan manusia! Jean Jaures, yang telah saya sitir di muka 

tadi, mengatakan tentang kejadian ini: “Demikianlah, maka 

sebab  desakan kaum wanita Paris, yang hendak meminta 

roti, telah ditandatangani surat keterangan tentang hak-hak 

manusia”. Ya, desakan wanita! Memang demikian! Manakala 

14 Juli -Hari Kemerdekaan Perancis- disebutkan hari 

kehormatannya kaum laki-laki, maka 6 0ktober yaitu  hari 

kehormatannya kaum wanita . Orang laki-laki pada 

tanggal 14 Juli telah menaklukkan Bastille, namun  orang 

wanita  pada tanggal 6 Oktober telah menaklukkan Hak 

Raja, -telah menaklukkan Kerajaan! 

 

namun , apakah yang mereka perdapat dengan kemenangan ini 

buat mereka sendiri? Sungguh mengecewakan sekali! Sebab 

keterangan tentang “hak-hak manusia” yang telah 

ditandatangani oleh Raja itu, tidak berisi satu kalimat pun 

yang mengatur hak-hak kaum wanita ! Pada waktu 

Majelis Nasional merancang surat keterangan itu, menyusun 

kata-kata yang hendak menentukan hak-hak manusia di 

dalam negara, memformulir faham-faham dasar yang akan 

menjadi alas-alas prinsipiil bagi gedungnya warga  dan 

negara, pada waktu itu wanita  “di luar pembicaraan”. 

warga , negara, politik, dan lain sebagainya, hanyalah 

buat orang laki-laki saja, -tabu buat orang wanita ! 

 

namun  kendati pun demikian, 6 Oktober tetap mengandung 

arti maha penting bagi kaum wanita sendiri. Tidakkah pada 

hari itu kaum wanita Perancis telah bangkit, telah berani 

memekik-kan suaranya sendiri, telah mengambil nasib dalam 

tangannya sendiri, telah mampu memaksakan kehendaknya, 

telah berhasil memaksa kepada dunia ramai supaya tidak 

meremehkan lagi kepadanya? Sejak hari 6 Oktober itu mereka 

menjelma menjadi “tenaga-tenaga pendorong bagi propaganda 

revolusioner” sebagai Jaures mengatakannya. Sejak hari itu 

148 

 

mereka sedar, dan bukan saja mereka lantas menjadi anggota 

club-club yang didirikan oleh kaum laki-laki, -mereka 

mendirikan pula  perserikatan-perserikatan wanita sendiri, 

perserikatan-perserikatan wanita yang besar-besar, -

perserikatan-perserikatan politik wanita yang pertama di 

dalam sejarah kemanusiaan! Di dalam satu kota saja, 

misalnya di Bordeaux, perserikatan “Amies de la Constitution” 

memiliki  anggota 2000 orang, dan cabang Paris saja dari 

perserikatan “Femmes Republicaines et Revolutionaires” 

memiliki  anggota tak kurang dari 6000 orang. 

 

Perserikatan-perserikatan inilah gelanggang-perjoangannya 

Srikandi-Srikandi Revolusi Perancis, yang nama-namanya 

akan tetap tertulis dengan aksara emas di dalam kitab 

sejarah. Kita jumpai di dalam kitab sejarah itu, nama Madame 

Roland, anggota dari perserikatan campuran “Patriotes des 

deux sexes defenseurs de la Constitution”, barangkali 

pemimpin wanita yang paling berpengaruh di zaman Revolusi. 

Madame Roland yaitu  satu intelektuil yang cemerlang. 

Dialah pusat jiwa Gironde. Dialah yang menaikkan bintang 

suaminya, sehingga suaminya itu dua kali diangkat menjadi 

Menteri. Dialah yang menulis akte-akte diplomatik yang 

penting-penting, yang sampai sekarang masih disimpan di 

dalam arsip-arsip pemerintah negara. Dialah yang 

mengumpulkan banyak pemimpin-pemimpin laki-laki di dalam 

salonnya, meyakinkan mereka dengan faham-faham baru, 

yang sangat berpengaruh atas prosesnya ideologi Revolusi. 

 

Dan kita jumpai di dalam kitab sejarah itu satu nama yang 

lain, -satu bintang yang amat gilang-gemilang, yaitu nama 

Olympe de Gouges. Dialah yang benar-benar berhak  

disebutkan singa-betinanya Revolusi. Alangkah tangkasnya, 

alangkah gagah beraninya, alangkah “hebatnya” wanita ini! 

Manakala Madame Roland seorang pemimpin wanita dari 

kalangan atasan, maka Olympe de Gouges yaitu  pendekar 

dari kalangan bawahan. Dan manakala Madame Roland 

mempengaruhi Revolusi dengan kecerdasannya, dengan 

faham-fahamnya, dengan tidak berjoang aktif sebagai 

organisator atau pendekar perserikatan, maka Olympe de 

Gouges yaitu  organisator wanita dan agitator wanita yang 

penuh aksi, organisator wanita dan agitator wanita yang 

149 

 

pertama di dalam sejarah pergerakan revolusioner. Olympe de 

Gouges selalu di tengah-tengah massa. Pidato-pidatonya 

memetir, kata-katanya menyala-nyala, berapi-api, 

mengobarkan semangat, puluhan ribu wanita, menyambar 

dan membakar hangus alasan-alasan fihak laki-laki yang 

hendak menolak wanita dari pekerjaan warga  dan 

negara. Majelis Nasional sering tercengang kalau membaca 

tulisan-tulisannya yang tegas dan hebat, malah sering seperti 

terpukau kalau dihantam olehnya dengan alasan-alasan yang 

tajam dan terus menuju ke dalam jiwa. 

 

Kekecewaan Olympe de Gouges atas “Hak-hak Manusia” yang 

semata-mata hanya hak-hak orang laki-laki saja itu, bukan 

kepalang! Segera sesudah “Keterangan Hak-hak Manusia” itu 

diumumkan dan disambut dengan kegembiraan gegap-

gempita di seluruh Perancis, maka ia mengeluarkan satu 

manifes, yang ia beri nama “Keterangan Hak-haknya Wanita”. 

Tajam dan pedas protes Olympe atas ketidakadilan yang 

termaktub dalam “Keterangan Hak-hak Manusia” itu: “Wanita 

dilahirkan dalam kemerdekaan, dan sederajat dengan orang  

laki-laki. Tujuan tiap-tiap warga  hukum ialah: 

kemerdekaan, kemajuan, keamanan, menentang kepada 

tindasan ... namun  sampai sekarang, wanita dipersempit 

jalannya untuk mengerjakan hal-hal yang sebab  kodrat 

memang haknya semata-mata. Natie yang menjadi dasar sendi 

negara, terdiri dari orang laki-laki dan orang wanita . 

Hukum-hukum negara haruslah gambarnya kemauan yang 

timbul dari persatuan ini. Sebagaimana halnya dengan warga 

negara laki-laki, maka warga negara wanita pun harus, 

dengan jalan persoonlijk atau dengan jalan wakil-wakil yang 

mereka pilih sendiri, ikut serta pada pembuatan hukum-

hukum negara itu. Hukum-hukum ini harus bersifat sama 

rata buat semua orang. Oleh sebab  itu, maka semua warga 

negara baik laki-laki maupun wanita , masing-masing 

menurut kecakapannya sendiri-sendiri, harus diperbolehkan 

masuk dalam jabatan-jabatan umum dan pekerjaan-pekerjaan 

umum. Hanya kecakapan dan kepandaian sajalah yang boleh 

dipakai menjadi ukuran. Wanita berhak menaiki tiang 

penggantungan, ia harus berhak pula menaiki mimbar. 

namun  hak-hak wanita inipun harus dipergunakan untuk 

kesejahteraan umum, tidak untuk keuntungan wanita saja ... 

150 

 

wanita , sebagai juga laki-laki, ikut urun kepada kekayaan 

negara. Oleh sebab  itu, ia juga memiliki  hak yang sama 

dengan laki-laki, untuk meminta perhitungan dibandingkan  cara 

memakainya kekayaan negara itu. Sesuatu peraturan negara 

tidak syah, kalau tidak di-buat oleh jumlah terbanyak 

dibandingkan  semua orang-orang yang menjadi natie ... 

Bangunlah, hai kaum wanita! Obornya kebenar-an sudah 

memecahkan awan-awannya kebutaan dan kezaliman! 

Kapankah kamu sadar? Bersatulah! Taruhlah di hadapan 

kekuatan kezaliman itu kekuatan kecerdas-an dan keadilan! 

Dan segera kamu akan melihat, bahwa laki-laki tidak lagi 

akan duduk di samping kakimu sebagai penyembah asmara, 

namun , -dengan berbesar hati membahagikan hak-hak 

perikemanusiaan yang abadi itu sama-rata denganmu-, akan 

berjalan denganmu setindak dan selangkah, serta berjabatan 

tangan!” . 

 

Demikianlah Olympe de Gouges. Perhatikan: kalimat-kalimat 

ini diucapkan lebih dari satu setengah abad yang lalu! Kita 

menjadi kagum, kalau kita kenangkan waktu itu, dan 

kenangkan pula bahwa Olympe bukan satu “jiwa” yang tinggi-

intelek seperti Madame Roland. Kalimat-kalimat manifes yang 

berapi-api itu, kadang-kadang lebih terang dan lebih jitu 

dibandingkan  ucapan-ucapan kaum feminis di lalu  hari dan 

boleh dijadikan pedoman yang gilang-gemilang bagi aksi-aksi 

wanita yang mengejar persamaan hak dengan fihak laki-laki 

sepanjang masa. Dan memang akibat manifes itu 

menggempar-kan pula! Dunia ideologi yang “menurut adat 

kebiasaan”, menjadilah ribut oleh sebab nya. Kebencian kaum 

laki-laki kolot memuncak, fitnahan dan tuduhan yang bukan-

bukan dilemparkan kepada kepala Olympe. Ya, kaum laki-laki 

merasa terancam benteng monopolinya. Mereka mengerjakan 

pertahanannya dengan segala macam cara. namun  kaum 

wanita pun bangkit. Manifes Olympe itu membukakan mata 

banyak wanita, mengobarkan semangatnya untuk berjoang, 

membangkitkan keberanian di dalam dada-dada yang tadinya 

sesak dengan rasa takut. Pidato-pidato, brosur-brosur, surat-

surat sebaran yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin wanita, 

berterbangan di angkasa, -semuanya membenarkan Olympe, 

semuanya memperkuat tuntutan Olympe. Sehingga majalah-

majalah mode pun tak mau ketinggalan! Majalah mode 

151 

 

“Journal des Femmes” berobah sifat menjadi majalah 

perjoangan, dengan nama baru ”L’Observateur Feminin”. 

Majelis Nasional dihujani dengan surat-surat permo-honan, 

usul-usul, protes-protes. “Tuan-tuan sudah menghapuskan 

hak kelebihan kaum bangsawan, hapuskanlah juga sekarang 

hak kelebihan kaum laki-laki!” Demikianlah bunyi kalimat 

dalam salah satu surat protes itu. Malah dalam satu surat 

protes lain dikatakan: “Rakyat kini telah diberi hak-haknya” 

bangsa Neger telah dimerdekakan, kenapa kaum wanita  

tidak di-merdekakan pula ?”  

 

Dunia wanita di Perancis, terutama di Paris, pada waktu itu 

sungguh sedang bergelora. Olympe de Gouges mengerti, 

bahwa inilah saat yang baik buat mempersatukan wanita-

wanita itu dalam perserikatan, agar dapat memperhebat 

tuntutan, dan memperhebat tenaga untuk mendorong 

tuntutan itu. Didirikanlah olehnya perserikatan-perserikatan 

politik wanita. Digerakkan olehnya perserikatan-perserikatan 

itu, untuk menghantam fihak laki-laki dan Majelis Nasional 

yang tetap berpendirian kolot dan anti emansipasi. Dan bukan 

saja ia membela  wanita. Ia membela pula peri-kemanusiaan. 

Dengan hatinya yang murni “Hati wanita ” itu, -Hati Ibu-, 

ia mengeritik keras kepada Robespierre, yang dengan 

pemerintahan teror terlalu mudah menghukum mati kepada 

lawan-lawannya, terlalu mudah mempermainkan jiwa sesama 

manusia. “Darah merusak kehalusan budi dan fikiran! Satu 

cara pemerintahan yang zalim, pasti nanti diganti dengan cara 

pemerintahan yang zalim pula”. Kepada Robespierre 

persoonlijk, yang menjatuhkan hukuman mati ke-pada Raja, 

ia berkata dengan seram: “Singgasana Tuan pun nanti tiang 

penggantungan !”. 

 

Olympe de Gouges yaitu  seorang Republikein. Tidak ada 

keragu-raguan tentang hal ini sedikit pun juga. Ia anti raja, ia 

anti monarchi. Ia anti cara pemerintahan yang absolut dan 

feodal. namun  ia seorang wanita . Ia seorang ibu. Hatinya, 

jiwanya, memberontak kepada penumpahan darah, jiwanya 

memberontak kepada kekejaman Revolusi. Mula-mula 

pemberontakan jiwa ini ia simpan di dalam kalbu. namun  

akhirnya tidak tertahan lagi. Akhirnya ia protes terang-

terangan terornya Revolusi, ia cela terang-terangan banyaknya 

152 

 

hukuman mati, ia bela terang-terangan kepalanya raja, ia 

gasak terang-terangan Robespierre dengan pemerintahan 

terornya itu. Akhirnya ia sendiri dituduh anti Revolusi ... Ia 

ditangkap, dilemparkan dalam penjara, dituduh menjadi 

perkakas kontra-revolusi. Ia diponis di muka hakim. Tiga (3) 

Nopember 1793 jatuhlah kepala Olympe de Gouges terpenggal 

oleh algojonya Revolusi. 

 

Olympe de Gouges. Alangkah hebatnya wanita  ini! 

Bagaimanakah pendapat sejarah tentang dia? Kaum yang 

tidak setuju kepada emansipasi wanita, mengatakan bahwa ia 

yaitu  seorang wanita  lacur, seorang sundal, seorang 

wanita yang sebab  gendamnya asmara, telah meninggalkan 

halamannya kesopanan. “sebab  ia sendiri merdeka bergaul 

dengan orang-orang laki-laki, maka ia mau menyamaratakan 

wanita  dengan laki-laki”, demikianlah salah satu 

pendapat kaum itu. Ah, barangkali benar juga, bahwa ia tidak 

selamanya “suci”. Barangkali benar juga, bahwa ia memang 

sering tenggelam di dalam air putarnya asmara. namun , ya 

Tuhan, siapa dapat membantah; bahwa ia yaitu  kampiun 

hebat dibandingkan  hak-hak wanita? Jasanya yang mahabesar dan 

gilang-gemilang ialah, bahwa ia yaitu  orang yang pertama-

tama mengorganisir pergerakan wanita, pertama-tama 

mendirikan serikat-serikat politik wanita, pertama-tama 

membuat tenaga-tersusun dari orang-orang wanita menjadi 

satu faktor aktif di dalam proses politik.  

 

Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams barangkali lebih 

dahulu mengeluarkan ide, namun  Olympe de Gouges yaitu  

yang pertama-tama mengorganisir tuntutannya itu ide! 

 

Ia telah mati. Dengan muka tersenyum ia telah menjalani 

hukuman mati itu. namun  di dalam tahun 1793 itu, tidak 

matilah pergerakan yang ia telah bangunkan dan bangkitkan. 

Di bawah pimpinan Rose Lacombe dan pemimpin-pemimpin 

wanita lain, perjoangannya dijalankan terus. Aksi menuntut 

persamaan hak dan aksi memprotes teror tetap bergelora 

dengan hebatnya Serangan-serangan kepada kaum laki-laki 

tetap berjalan sebagai cambukan yang amat pedih. Wanita kini 

ternyata menentang kaum laki-laki. Aksi wanita itu dirasakan 

oleh kaum laki-laki sebagai satu tentangan kepada “kodrat 

153 

 

alam”. Sebab, hak kelebihan laki-laki itu katanya yaitu  

memang pemberian “kodrat”, -berasal dari “kodrat”. Aksi 

wanita ini dus yaitu  aksi yang memberontak kepada 

“kodrat”. Dan tidakkah aksi mereka yang terlalu menentang 

adanya pemerintahan teror membahaya-kan pula kepada 

Revolusi? Bersifat Kontra Revolusi? 

 

Maka oleh sebab  itu, segeralah diusulkan oleh “Komisi 

Keamanan Umum” kepada Majelis Nasional supaya semua 

perserikatan-perserikatan wanita, tidak perduli partai apapun, 

dan tidak perduli nama apapun, dilarang dan dibubarkan 

saja. Buat apa wanita dibiarkan saja berserikat, berkumpul, 

berpidato, beraksi, dengan nyata-nyata, menentang kepada 

“kodrat alam” dan nyata-nyata mendurhakai Revolusi? 

Anggota Komisi Keamanan Umum yang bernama Amar, yang 

memajukan usul itu dihadapan Majelis Nasional, 

menyanyikan lagu yang terkenal lama: wanita  tidak boleh 

ikut campur dalam urusan pemerintahan, dan tidak boleh 

diberi hak-hak politik, oleh sebab  wanita  tak mungkin 

memiliki  kecakapan yang perlu buat pekerjaan-pekerjaan 

semacam itu. “Mampukah wanita  mengerjakan pekerjaan 

yang berfaedah namun  maha sukar ini? Tidak! Sebab mereka 

telah diwajibkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penting 

yang telah diberikan oleh kodrat alam kepadanya. Laki-laki 

atau wanita , mereka masing-masing telah diberi 

pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya. Kemampuan-

kemampuan mereka terbatas oleh batas-batas yang tak dapat 

mereka liwati, oleh sebab  kodrat alam sendiri telah 

menentukan batas-batas itu bagi manusia. Adakah kesopanan 

mengizinkan, bahwa wanita  tampil di muka umum, 

bertukar fikiran dengan kaum laki-laki, dan terang-terangan 

dihadapan khalayak membicarakan soal-soal yang 

dibandingkan nya tergantung keselamatan republik? Pada 

umumnya wanita tidak mampu berfikir tinggi, dan tidak 

mampu mempertimbangkan soal-soal dengan cara yang 

sungguh-sungguh dan mendalam”... 

 

Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Amar 

guna menjelaskan usul Komisi Keamanan Umum untuk 

melarang dan membubarkan. perserikatan-perserikatan 

wanita itu. Tidak tersia-sia usahanya! Pada tanggal 30 Oktober 

154 

 

1793 Majelis Nasional mengambil putusan sesuai dengan apa 

yang diusulkan: kaum wanita dilarang berserikat, 

perserikatan-perserikatan wanita harus dibubarkan! 

 

Segera sesudah putusan ini diumumkan, kaum wanita 

bangkit untuk memprotesnya. Satu gerombolan utusan 

mereka masuk ke dalam gedung Balai Kota Paris, untuk 

menuntut batalnya putusan itu bagi kota Paris. namun  

maksud mereka sama sekali gagal: Mereka tidak pula 

diizinkan berbicara! Sebaliknya mereka malah diserang 

dengan sengit oleh Pokrol Jenderal Chaumette, yang 

berpidato dengan amarah: “Semenjak kapankah wanita  

boleh membuang keperem-puanannya dan menjadi laki-laki? 

Semenjak berapa lamakah adanya ini kebiasaan, yang mereka 

meninggalkan urusan rumah tangga dan meninggalkan 

buaian anak, datang di tempat-tempat umum buat berpidato, 

masuk dalam barisan tentara, menjalankan pekerjaan-

pekerjaan yang oleh kodrat alam diperuntukkan kepada laki-

kaki? Alam berkata kepada laki-laki: peganglah teguh kelaki-

lakianmu! Pacuan kuda, perburuan, pertanian, politik, dan 

lain-lain pekerjaan yang berat, -itulah memang hak bagimu. 

Kepada wanita, alam berkata pula: peganglah teguh 

kewanitaanmu! Memelihara anak, bagian-bagian pekerjaan 

rumah tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu, -itulah 

memang kerja bagimu! Oleh sebab  itu, aku angkat kamu 

menjadi Dewi dalam Candi Rumah Tangga. Kamu akan 

menguasai segala sesuatu sekelilingmu dengan keelokanmu, 

dengan kecantikanmu, dengan sifat-sifatmu yang baik. Hai 

wanita -wanita  yang ke-blinger, yang mau menjadi 

laki-laki, -mau apakah kamu ini? Kamu telah menguasai hati 

kami, orang-orang besar telah duduk di bawah telapak 

kakimu, kezalimanmu yaitu  satu-satunya hal yang kami tak 

mampu mematahkan, sebab  kezalimanmu itu bernama 

asmara. Atas nama kodrat alam, tinggallah ditempatmu yang 

sekarang!”     

 

Alam, lagi-lagi alam! Alam memperuntukkan wanita bagi 

rumah tangga, alam memperuntukkan laki-laki bagi pekerjaan 

berat seperti pertanian, perburuan, peperangan! Apakah alam 

barangkali lupa, bahwa di zaman purbakala justru wanita 

yang menjadi soko-guru pertanian, dan mengerjakan 

155 

 

pekerjaan-pekerjaan lain yang berat-berat? Ai, -malahan apa 

benar: hanya di zaman purbakala saja? Di dalam kitabnya 

Bebel saya membaca, bahwa di zaman Bebel itu, dus baru 

beberapa puluh tahun yang lalu saja, di Afrika Tengah dan di 

Afrika Utara masih ada suku-suku, di mana wanita-wanitanya 

lebih kuat dibandingkan  laki-laki, dan di mana memang wanita-

wanitalah yang menjadi panglima-panglima perang; dan 

bahwa di Afghanistan masih ada suku-suku pula, di mana 

wanitalah yang pergi ke perburuan dan peperangan, 

sedangkan laki-laki yang mengerjakan segala pekerjaan di 

rumah tangga! Mana, mana benarnya alasan kodrat alam itu? 

namun  bagaimana pun juga, pidato Chaumette yang berapi-api 

itu berhasil segera. Juga Dewan Kota Paris memutus-kan 

membenarkan putusan Majelis Nasional. Perserikatan-

perserikatan wanita di Paris harus dilarang dan dibubarkan, 

dianggap berbahaya bagi keamanan umum. Malahan Dewan 

Kota itu memutuskan, tidak mau lagi menerima deputasi-

deputasi wanita dalam sidangnya. 

 

Sudah barang tentu fihak wanita masih terus melanjutkan 

protesnya. Dengan ulet mereka masih terus mencari jalan 

untuk mendengung-dengungkan suaranya. Surat-surat 

sebaran, pamflet-pamflet masih terus beterbangan ke kanan-

kiri. Majelis Nasional makin menjadi keras, makin reaksioner, 

makin anti-wanita. Kini Majelis Nasional pun mengambil 

putusan melarang wanita hadir dalam rapat-rapat umum apa 

saja. Dan sebagai gong Majelis Nasional mengeluarkan wet, 

bahwa wanita dilarang bergerombolan lebih dari lima orang. 

Wanita-wanita yang bercakap-cakap dalam gerombolan lebih 

dari lima orang, akan ditangkap, dilemparkan dalam penjara 

... 

 

Dengan ini, pada zahirnya, menanglah reaksi di atas wanita 

Perancis. namun  tidak demikian pada batinnya: “Man totet den 

Geist nicht”, -“Batin tak dapat dibunuh”, demikianlah salah 

satu ucapan Freiligrath. Sebagai faham, sebagai “isme”, 

sebagai “ide”, teruslah tuntutan emansipasi wanita itu hidup. 

Organisasi dapat dihancurkan, gerak organisasi itu dapat 

dimatikan, namun  semangat organisasi itu berjalan terus. Di 

lalu  hari ia akan menjelma lagi, akan meledak lagi, 

dalam pergerakan wanita yang lebih modern. Malah sedari 

156 

 

mula lahirnya, semangat itu telah dapat menangkap hatinya 

beberapa orang cendekiawan laki-laki, sebagai mitsalnya 

Markies de Condorcet. Di dalam tulisan-tulisan mereka 

cendekiawan-cendekiawan laki-laki ini membela sungguh-

sungguh tuntutan-tuntutan wanita itu. Di dalam tahun 1789, 

empat tahun sebelum kepala Olympe de Gouges jatuh 

terpenggal oleh algojo, Condorcet telah menggemparkan dunia 

intelektuil sebab  tulisannya di dalam majalah “Journal de la 

Societe” yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan 

wanita . Alasan-alasannya cukup jitu; Revolusi 

bersemboyan “egalite”, bersemboyan “persamaan”, namun  

semboyan ini didurhakai sebab  mengecualikan separoh 

kemanusiaan dibandingkan  pekerjaan membuat hukum. Revolusi 

bersemboyan egalite, bersemboyan persamaan, namun  revolusi 

tidak mengakui bahwa laki-laki dan wanita  memiliki  

hak-hak yang sama. Orang laki-laki berkata bahwa 

wanita  jangan diberi hak warga negara sebab  tubuhnya 

tak memboleh-kannya -misalnya kalau wanita  sedang 

hamil- namun  orang laki-laki toh juga tidak selamanya dalam 

kesehatan? Orang berkata bahwa wanita  tidak banyak 

yang berpengetahuan tinggi, namun  hak-hak warga negara itu 

toh juga tidak diberikan kepada orang-orang laki-laki yang 

berpengetahuan tinggi saja? Jikalau pengetahuan tinggi 

dijadikan syarat, maka apakah sebabnya hak-hak warga 

negara diberikan kepada warga  laki-laki umum, dan 

tidak kepada orang-orang laki-laki yang berpengetahuan tinggi 

saja? Jikalau orang khawatir kepada pengaruh wanita atas 

laki-laki, maka pengaruhnya yang “rahasia” toh tentu lebih 

besar dibandingkan  pengaruhnya di muka umum? Mengapa 

“pengaruh rahasia” ini tidak ditakuti, sedang pengaruh di 

muka umum ditakuti? Orang khawatir bahwa wanita akan 

mengabaikan urusan rumah tangga dan pemeliharaan anak 

bilamana mereka diberi hak-hak warga negara, namun  

mengapa orang tidak khawatir bahwa laki-laki mengabaikan 

pekerjaannya sehari-hari padahal mereka diberi hak-hak 

warga negara? Ini alasan-alasan yang kosong selalu dipakai, 

kata Condorcet, sebab  alasan-alasan yang berisi, memang 

tidak ada. Dengan alasan-alasan yang kosong pula orang 

membelenggu perdagangan dan kerajinan, orang benarkan 

perbudakan bangsa Neger sampai ke zaman sekarang, orang 

isi penuh penjara Bastille, orang pergunakan bangku-bangku 

157 

 

penyiksaan. Soal dikasih tidaknya wanita hak-hak warga 

negara, tidak boleh dibicarakan dengan alasan-alasan yang 

kosong dan kalimat-kalimat yang melompong, atau dengan 

banyolan-banyolan yang rendah-rendah. Soal persamaan hak 

antara laki-laki dan laki-laki pun dulu dipertengkarkan 

dengan pidato-pidato yang muluk-muluk dan dengan 

banyolan-banyolan yang tiada harga. Tidak seorang pun 

mengemukakan alasan-alasan yang tepat. “Maka saya kira, 

tentang soal persamaan hak antara laki-laki dan wanita, 

keadaan tidak berbeda dibandingkan  demikian juga”, demikian 

Condorcet menyudahi tulisannya. 

 

Tulisan ini menjadi termasyhur. Bukan di Perancis saja ia 

dibaca orang, namun  di Inggeris pun banyak orang memperhati-

kannya. Pada waktu itu di Inggeris yaitu  seorang orang 

wanita  yang tinggi pengetahuannya dan keras 

kemauannya, yang juga amat merasakan ketidakadilan 

perbudakan wanita. Namanya ialah Mary Wollstonecraft. 

Sejak dari mudanya ia telah besar minatnya kepada 

pendidikan anak-anak gadis. Ia menulis risalah tentang 

pendidikan gadis itu, dan lalu  menyalin beberapa kitab 

buat mencari nafkah hidup. Ia bersahabat dengan penerbit 

tulisan-tulisannya yang bernama Johnson, seorang-orang 

yang amat bersimpati kepada Revolusi Perancis. Ia bersahabat 

pula dengan Thomas Paine, seorang-orang yang amat 

termasyhur sebab  pernah ikut membantu perang 

kemerdekaan Amerika dan pernah ikut serta pula dalam 

pertempuran menjatuhkan Bastille. Dengan demikian, maka ia 

siang-siang telah belajar mencintai ideologi-ideologi Perang 

Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis. Tuntutan-

tuntutan yang dikemukakan oleh Mercy Otis Warren dan 

Abigail Smith Adams, tulisan-tulisan yang mengalir dari pena 

Condorcet, pekik-pekik perjoangan yang memetir dari mulut 

Olympe de Gouges, semuanya berkumpul menjadi gelora jiwa 

di dalam kalbunya. Di dalam tahun 1792 gemparlah kaum 

kolot Inggeris sebab  terbitnya kitab Mary Wollstonecraft yang 

bernama “Vindication of the Rights of Woman”. 

 

Bukan main kitab ini menggoncangkan fikiran umum. Dengan 

sekaligus nama penulisnya menjadi terkenal di mana-mana. 

Bukan saja di negeri Inggeris. Di luar negeri pun orang 

158 

 

membaca kitab itu dengan penuh minat. Malah orang 

menerbitkan salinannya dalam bahasa Perancis dan bahasa 

Jerman. Di mana-mana ia disambut oleh kaum wanita sebagai 

obor penunjuk jalan. 

 

En toh, ia sebenarnya kurang radikal, jika dibandingkan 

dengan Condorcet atau Olympe de Gouges. Sebab, benar ia 

menuntut persamaan hak antara laki-laki dan wanita , 

menuntut persamaan hak-hak kewarga negaraan, menyatakan 

bahwa pada azasnya antara laki-laki dan wanita  tidak 

boleh ada perbedaan, - namun  ia masih mengemukakan syarat-

syarat bagi kaum wanita untuk diberi hak-hak warga negara 

itu: Ia meminta supaya kaum wanita diberi pendidikan lebih 

dahulu. 

 

Nyata berlainan dengan Condorcet! Sebab Condorcet 

menuntut supaya wanita segera diberi hak-hak warga negara; 

ia tidak mau menerima bahwa kebodohan dipakai sebagai 

alasan untuk tidak memberi  hak-hak warga negara kepada 

wanita, sebab  laki-laki pun tidak diperiksa lebih dahulu 

kecerdasannya sebelum menerima hak-hak itu. Condorcet 

tidak mengemukakan syarat-syarat; ia berdiri di atas 

pendirian yang prinsipiil. 

 

namun  di lain-lain bagian dibandingkan  kitab “Vindication of the 

Rights of Woman” itu, Mary Wollstonecraft benar-benar 

revolusioner. Bukan saja ia mencela ke-Rajaan, menyerang 

jiwa tentara, menggasak kaum bangsawan, ia mengeritik juga 

keadaan ekonomis yang menjadi pokok asalnya kemudlaratan 

dan kemiskinan di kalangan wanita. Kemudlaratan dan 

kemiskinan inilah tempat persemaiannya persundalan dan 

kejahatan. 

 

Maka oleh sebab  itu, ia menuntut supaya wanita itu 

ekonomis dimerdekakan dari kaum laki-laki. Janganlah 

wanita itu digantungkan kepada kaum laki-laki dalam urusan 

nafkah hidupnya. “Merdekakanlah wanita mencari 

makannya sendiri!”  Inilah kalimat Mary Wollstonecraft yang 

benar-benar radikal, benar-benar revolusioner. Revolusioner 

buat zaman itu; revolusioner buat zaman sekara