presiden soekarno 5

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 5



 ri, namun  ia dimustikan membayar 

kembali uang beliannya lebih dahulu! Anak-anaknya yang 

wanita  tidak boleh ikut mewaris harta benda peninggalan 

bapanya, oleh sebab  mereka kelak toh akan dibeli orang lain, 

-toh akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan marga 

bapanya. 

 

Pembaca melihat, semua sifat-sifat patriarchat terdapat 

kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah perumpamaan 

Batak di bawah ini: 

Sian dangkana tu rantingna, Sian angkangna tu anggina. 

 

Dalam bahasa negara kita  kira-kira sebagai berikut: 

Dari dahan ke rantingnya, Dari kakak ke adiknya. 

 

Ya, kalau saudara tua mati, saudara muda akan mengganti 

dia! Orang yang mencinta adat ini barangkali akan 

mengatakan, bahwa levirat toh ada baiknya juga? Memang, 

108 

 

barangkali levirat ada “baiknya” juga: si janda tidak terus 

menjadi janda, namun  segera ada orang yang “mengurus” akan 

dia. Memang ada satu sya’ir lain lagi, yang sering dinyanyikan 

oleh wanita  Batak: 

Tumagonan unang muli, Tu anak sisada-sada. 

Tung mate i annon, Ndang adong na mangabia. 

 

Dalam bahasa negara kita  kira-kira begini: 

Lebih baik jangan kawin, Kepada anak sebatang kara. 

Kalau dia nanti mati, Tidak ada penggantinya. 

 

Nyatalah dari syair ini, bahwa wanita -wanita  itu 

sendiri seperti senang kepada levirat. namun  tidakkah benar 

pula kalau saya katakan, bahwa tiap-tiap adat, meskipun 

adat yang menindas bagaimanapun juga kerasnya, telah 

merobah demikian rupa kepada rasa fikiran, ideologi fihak 

yang tertindas itu, sehingga mereka itu sendiri cinta kepada 

adat itu? Tidakkah benar kalau saya katakan, bahwa banyak 

wanita  cinta kepada pingitan, cinta kepada hal bahwa 

silaki-laki menguruskan segala apa saja bagi mereka dan 

mereka tak usah ikut banyak pusing kepala ini dan itu, cinta 

kepada ketenteraman kehidupan di samping api dapur dan 

buaian anak saja, tidakkah benar kalau saya katakan bahwa 

banyak wanita  cinta kepada rantai yang merantaikan 

mereka? 

 

Syair yang kedua itu bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu 

buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan kenyataan, bahwa 

levirat yaitu  berdasar kepada pengertian “benda”, berdasar 

kepada pengertian “milik”. Ia berdasar kepada pengertian 

mewariskan milik. Di daerah Batak Karo, seorang janda yang 

dioper oleh saudara suaminya, lantas bernama “lako man”, 

yang maknanya: penyedia makan. Ia “mendatangkan makan”, 

ia satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah 

berkata-: “Feitelijk is het de vrouw, die den man onderhoudt; 

een Batak, die trouwt, is voor de toekomst geborgen”. Artinya: 

“Sebenarnya, wanita lah yang memberi makan kepada 

laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya 

buat seterusnya”. 

 

109 

 

Adakah lain-lain tempat lagi di negara kita  dengan “patriarchat 

liar” yang masih nyata? Ada! Bukan di tanah Batak saja ada 

sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang 

“jeunamee” sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh 

mengingatkan kita kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal 

yang berikut: “Kalau si isteri meninggal dunia, maka si laki-

Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis saudara isteri 

yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah 

membayar lagi “jeunamee” sepeser pun jua. Di daerah Gayo 

dan Alas nyatalah perkawinan satu perbuatan membeli orang. 

Di sana orang wanita  yang telah kawin (dan telah dibayar 

“harganya”) disebutkan orang: “anggo” (Gayo) atau “alongi” 

(Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna terbeli. Keluarganya 

menamakan dia “juolon”, yang artinya: “jualan”, “barang 

jualan”. Kalau suami-nya mati, berjalanlah levirat: ia “ngalih” 

atau “mengalih”, -mengalih sebagai milik, kepada lain tangan. 

Dan kalau suaminya tiada saudara atau keluarga, bolehlah ia 

pulang kembali ke gampongnya; namun  anak-anaknya tak 

boleh ia bawa. “Laba” pembelian itu tak boleh dibawa keluar, 

namun  harus tetap menjadi rezeki fihak yang membeli! 

 

Di Lampung pun di beberapa daerah masih sangat tampak 

sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog menyatakan: 

“wanita  (di Lampung) yang telah dibeli oleh seorang laki-

Iaki, tidak memiliki  hak apa-apa lagi sama sekali. Segala 

apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun, 

menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas. 

Si bapa itu berhak mengawinkan anak-anak wanita nya 

kepada siapa saja yang mau mengawini kepadanya. Malahan 

sampai di bahagian pertama abad ke-19, si bapa itu menjual 

anak-anaknya sebagai budak belian”. 

 

Di Lampung inilah, dan juga di daerah Bengkulu, sampai 

sekarang masih ada adat “jujur”, adat “kulo”, adat bayar “uang 

antaran”, yang semuanya pada hakekatnya ialah adat jual beli 

wanita . Besarnya “jujur” atau “antaran” itu kadang-

kadang ribuan rupiah. Di Endeh (Flores) uang pembelian itu 

(di sana dinamakan uang “belis”) kadang-kadang juga amat 

tinggi sekali. Saya sendiri di Endeh pernah menyaksikan orang 

membayar uang belis Rp 800.- (waktu uang masih mahal). 

Uang-uang pembelian yang amat tinggi itulah menjadi sebab 

110 

 

di beberapa daerah Lampung, Bengkulu dan Flores banyak 

“gadis tua”. Di Endeh ada beberapa “gadis tua” yang telah 

berumur... 60 tahun! 

 

Tuan barangkali menanya: kenapa orang laki-laki kadang-

kadang berani membayar uang pembelian yang begitu mahal! 

 

Amboi, uang yang dibajarnya itu tidak terbuang percuma! 

Sebab satu kali ia buang uang, satu kali ia beli orang 

wanita , satu kali ia “payah” atau “meringis”, -seumur 

hidup ia boleh senang-senang goyang kaki saja: wanita  

nanti bekerja keras mencari makan buat dia. Uang mangoli, 

uang jeunamee, uang jujur, uang antaran, uang belis, -

semuanya membawa laba. Yang payah dan meringis nanti 

bukan yang membeli, namun  yang dibeli jua adanya. 

 

Sungguh benarlah perkataan Bebel: “wanita  yaitu  

budak belian, -budak belian pun dibeli dengan emas”! 

 

Sudah mengetahui kita sekarang, apakah sifat hakekat 

matriarchat dan patriarchat itu. 

 

Sekarang, baiklah saya meninjau lebih dalam ekses-eksesnya 

(keliwat batasannya) patriarchat itu. 

 

Kita harus membuat perbedaan antara patriarchat yang 

meliwati batas, dan patriarchat yang tidak meliwati batas. 

 

Patriarchat yang tersebut belakangan ini, yakni patriarchat 

yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum turunan dan 

hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-

syarat kesuburan warga . Ia yaitu  tiang besarnya 

somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial “dari hukum 

peribuan ke hukum perbapaan” yaitu  satu revolusi yang 

progresif. Demikian pula agama Islam dan agama Keristen 

tidak menentang patriarchat yang demikian ini, namun  

malahan menetapkan benarnya patriarchat yang demikian 

ini. 

 

namun  patriarchat melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi 

stelsel penindasan wanita . Ia menjadi stelsel yang 

111 

 

merampas segala hak-hak wanita , dan memindahkan 

hak-hak itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli. 

Di bawah ini saya hendak memberi beberapa contoh yang 

amat menyedihkan. 

 

Lebih dahulu, marilah kita dengan singkat meninjau 

kedudukan patriarchat berhubung dengan agama. Sudah 

berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni, 

yakni agama sebagai yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi 

Muhammad sendiri, tidak berisi penindasan kepada 

wanita . Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan 

bermaksud mengkoreksi ekses-ekses patriarchat yang pada 

waktu mereka bekerja sebagai Nabi Allah, sedang mengamuk 

di negeri mereka dan di negeri-negeri lain. 

 

Di negeri Nabi Isa, pada waktu itu yaitu  berlaku dua macam 

kultur: kultur Yahudi yang memang kultur asli di situ, dan 

kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada 

waktu itu menjajah negeri Yahudi. 

 

Kedudukan kaum wanita  di warga  Yahudi paling 

tepat dapat saya gambarkan dengan mengutip perkataan-

perkataan yang diucapkan oleh orang Yahudi laki-laki di 

dalam sembahyangnya tiap-tiap pagi: “Terpujilah Tuhan 

Rabbulalamin, yang telah membuat aku tidak wanita ”. 

Dan orang perempu-an Yahudi bersembahyang: “Terpujilah 

Tuhan Rabbulalamin, bahwa Ia membuat aku menurut 

Kehendak-Nya”. 

 

Dan kedudukan kaum wanita  di warga  Hellenia 

Rumawi telah saya gambarkan di muka dengan memberi tahu 

kepada pembaca, bahwa perkataan Rumawi “famulus” 

(keluarga) yaitu  bermakna: budak, hamba, abdi.  

 

Plato mengucapkan terimakasih kepada dewa-dewa buat 

delapan macam berkat yang dewa-dewa itu karuniakan 

kepadanya: yang pertama dari delapan berkat itu ialah, bahwa 

ia dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak 

sebagai budak belian, dan yang kedua ialah bahwa ia 

dilahirkan sebagai laki-laki dan tidak sebagai wanita . Dan 

di muka pun sudah saya katakan, bahwa di negeri Hellenia 

112 

 

(Yunani) wanita  disebutkan “oikurema”, yang bermakna 

“benda pengatur rumah tangga”. 

 

Demikianlah keadaan wanita  di negerinya Nabi Isa. 

 

Maka datanglah Nabi Besar ini mengoreksi ekses-ekses 

patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa bagi 

Tuhan samalah laki-laki dan wanita . Bahkan inilah yang 

menjadi sebab, bahwa di zaman pertama dibandingkan  agama 

Keristen itu, kaum wanita lah yang paling giat 

mengikutinya dan paling giat membelanya. Merekalah yang 

dengan mulut tersenyum menjalani siksaan-siksaan yang 

dilaku-kan kepadanya oleh musuh agama Keristen, -dibakar 

hidup-hidup, dirobek-robek tubuhnya oleh singa, diseret mati 

oleh sapi-sapi jantan sebagai diceritakan oleh Sienkiwiecz di 

dalam bukunya “Quo Vadis” yang termasyhur. Di waktu itu 

warga  Nasrani sangat menghargakan dan menghormat 

kepada wanita . namun  di zaman lalu  dibandingkan  itu, 

derajat mereka diturunkan lagi. Nabi Isa sendiri tidak pernah 

mengucapkan sepatah kata pun yang merendahkan kaum 

wanita . Ini dapat dibuktikan dari kitab Perjanjian Baru. 

Misalnya ucapan bahwa “orang laki-Iaki yaitu  gambar dan 

kemasyhuran Tuhan; orang wanita  yaitu  kemasyhuran 

orang laki-laki”, yaitu  ucapan dari zaman lalu  

dibandingkan  Nabi Isa. 

 

Ah, wanita  hanya kemasyhuran saja dari orang laki-laki! 

Gambar dari orang laki-laki pun tidak! August Bebel mengejek 

ucapan ini dengan kata: “Dus tiap-tiap orang laki-laki tolol, 

atau bajingan sekalipun, boleh menganggap dirinya lebih 

tinggi dibandingkan  wanita  yang bagaimana cakap dan mulia 

pun juga. Di dalam praktek, sayang sekali, keadaan memang 

begitu, sampai sekarang”. 

 

Dan di dunia Islam? Di dunia Islam pun begitu. Sebelum Nabi 

Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab jahiliah 

berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara 

yang mendirikan bulu. Di negeri-negeri lain wanita  

sekadar dibendakan dan dibudakkan, namun  di Arab jahiliah ia 

sering dianggap sebagai sampah yang mengotorkan. Anak 

wanita  dibuang, dibunuh, dikubur hidup-hidup ... Maka 

113 

 

datanglah Pemimpin Besar Muhammad memerangi ekses-

ekses patriarchat itu. namun  beberapa waktu sesudah 

Muhammad mangkat, datanglah lagi penindasan dan 

penghinaan. Sampai zaman sekarang, belum lenyap sama 

sekali pembudakan dan penindas-an itu di beberapa daerah 

umat Islam, baik di Barat maupun di Timur, di Afrika Tengah 

maupun di Sentral Asia. 

 

Dan dunia yang bukan Keristen dan bukan Islam? Keadaan 

setali tiga uang. Ekses-ekses patriarchat masih belum 

terhapus sama sekali. Ya, soal wanita  memang belum 

selesai, jauh dibandingkan  selesai! Ada negeri-negeri yang 

walaupun sudah berkemajuan tinggi, di situ ekses-ekses 

patriarchat masih mengamuk dengan cara yang mengerikan 

hati (Jepang). Ada negeri-negeri yang di situ tadinya ekses-

ekses patriarchat luar biasa hebatnya, namun  oleh sebab  

negara dengan ulet dan saksama membanterasnya, kini sudah 

banyak kurangnya, meskipun belum lenyap sama sekali 

(Rusia Timur). Ada negeri-negeri yang di situ sudah banyak 

perbaikan nasib wanita , namun  masih ada soal “retak” 

atau “scheur” sebagai yang saya ceritakan di muka tadi 

(Eropa, Amerika). Dan ada pula negeri-negeri yang di situ 

keadaan wanita  masih saja seperti beberapa ribu tahun 

yang lalu, tatkala Nabi Ibrahim berjalan di padang pasir. 

(Hadramaut Dalam, Tibet, dlsb.). 

 

Maukah pembaca satu contoh ekses patriarchat di negeri yang 

sudah berteknik tinggi? Saya tidak mengenal lain contoh yang 

lebih “jitu” dibandingkan  di negeri Jepang. Umumnya orang-orang 

yang melihat keadaan wanita  di negeri Jepang, -apa lagi 

yang melihatnya secara pelancongan turis saja-, sangat 

tertarik oleh “kekulturan” wanita  di sana. Dan memang 

juga orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang 

semuanya tertarik oleh “kekulturan” mereka itu. Lafcadio 

Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer, Alice M. Bacon, 

Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya 

memuji kehalusan dan kekulturan wanita  Jepang. Semua 

mereka itu umumnya menyebutkan wanita  Jepang “dewi-

dewi kebaikan”, “puteri-puteri kehalusan”, -bahasa Belanda: 

engelen, bahasa Inggeris: angels. namun  mereka pun 

mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan 

114 

 

wanita -wanita  Jepang itu menjadi dewi-dewi 

kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan, 

bahwa hidup wanita  Jepang yaitu  satu “kesedihan” 

(tragedi), satu “korbanan”, dan bukan sekali-kali satu “puisi”, 

satu syair. Salah seorang pemimpin negara kita  yang dulu ikut 

dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum, tatkala ia 

melihat bahwa orang wanita  Jepang tidak mau duduk di 

kursi sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang 

telah duduk lebih dahulu. Kalau umpamanya saudara ini 

mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam dibandingkan  kebaktian 

ini, kalau ia mengetahui dasar sosial dibandingkan  kebaktian ini, -

niscaya ia tidak akan kagum, namun  terharu! 

 

Sungguh, amat mengharukan nasib wanita  Nippon itu. Di 

muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan tahun yang 

lalu, sebelum zaman feodal, ia yaitu  sangat merdeka. Dulu ia 

memimpin warga , menjadi pemuka ilmu pengetahuan. 

Dulu ia menjadi pembuat hukum negara, bahkan sepuluh kali 

ia menjadi Raja Puteri di atas singgasana Negara. Dulu ia 

dinamakan “semennya warga ”, dan Nippon dinamakan 

“negeri wanita” atau “negeri raja-raja wanita”. namun  sekarang! 

Sekarang ia menurut pendapat salah seorang penulis yang 

telah berdiam di Nippon puluhan tahun (O’Conroy) tidak lebih 

dari “benda zaliman suaminya” dan “seorang pengurus-rumah 

yang tidak bergaji dan alat pelahirkan anak”. Dulu, menurut 

van Kol, ia tak pernah menekuk lututnya di hadapan orang 

laki-laki, namun  sekarang ia harus memandang suaminya itu 

sebagai “Yang Dipertuan yang wajib ia berhamba dengan 

segala kehormatan, dan dengan segala pengagungan yang ia 

bisa berikan kepada-nya” (Weulersse). Sekarang ia tak boleh 

berjalan di muka sang suami, namun  harus membuntut di 

belakang sang suami. Bahasa yang ia pakai terhadap sang 

suami yaitu  lain dibandingkan  bahasa yang ia pakai terhadap 

teman-temannya. Bahkan bahasa yang ia pakai terhadap 

kepada anaknya yang laki-laki, haruslah lain dibandingkan  bahasa 

yang ia pakai terhadap kepada anaknya jang wanita ! . 

 

Suaminya pergi melancong, pergi menonton, pergi ke rapat, 

pergi pelesir dengan sundal-sundal di rumah-rumah “joroya” 

atau “machiya”, namun  ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja, 

bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri 

115 

 

Nippon itu menamakan wanita  Nippon satu “werkdier”, 

satu “kuda beban yang tiada berhentinya bekerja”. Van Kol 

pula yang menulis: “wanita  (Nippon) tidak masuk 

hitungan. Hanya si “bapa” yang ada; ia (si bapa) yaitu  pusat 

segala hal; ia mewakili dan meneruskan keturunan. 

wanita  dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai isteri, 

tidak pun sebagai orang yang dipercaya”. Seorang penulis lain 

menyebutkan dia “satu milik buat dipakai, satu benda yang 

musti selalu ada”. 

 

Kewajiban hidupnya yang terbesar, “devoir pourla vie”-nya, 

ialah menurut, -menurut kehendak sang suami. Demikian 

Weulersse berkata. Dan seorang penulis Nippon pula, 

Shingoro Takaishi, mengatakan: “kewajiban orang wanita  

yang terbesar, seumur hidup, ialah menurut”, -“the great life-

long duty of a woman is obedience”. Dan cobalah pembaca 

perhatikan kalimat yang berikut, terambil dari buku Nippon 

“Pengajaran Besar buat wanita ”: “Segala apa saja yang 

diperintahkan suami, harus diturut oleh wanita  dengan 

penuh ketaatan. Ia musti menengadahkan muka kepada 

suami, seakan-akan suami itu setinggi langit. Ia musti selalu 

memikirkan apakah yang dapat menyenangkan hati sang 

suami. Ia musti bangun pagi-pagi, masuk tidur jauh malam, 

supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita dari zaman dulu 

ialah bahwa bayi wanita  yang baru lahir, harus 

diletakkan tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini 

ternyata, bahwa laki-laki tinggi seperti langit, dan wanita  

rendah seperti tanah”. 

 

Pada waktu orang wanita  Nippon menikah, ia harus 

memakai pakaian yang berwarna putih, sebab bagi orang 

Nippon warna putih yaitu  warnanja maut. Simbolik ini 

berarti, bahwa pada waktu ia menikah, ia telah mati bagi 

kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan sendiri. Orang 

tuanya pun pada waktu itu membakar api, -membakar api 

seperti pada waktu kematian salah seorang keluarganya. Ia 

tinggal hidup bagi Dia yang Satu itu saja, -tinggal hidup bagi 

Sang Suami. 

 

Ia tidak boleh berkata apa-apa, kalau suaminya jauh-jauh 

malam belum pulang dari pelesir. Ia musti menunggu dengan 

116 

 

sabar, memasang telinga dengan teliti, supaya, kalau ia, 

mendengar jejak kaki suaminya di tangga, ia segera dapat 

membukakan pintu dan menghormatnya dengan menekukkan 

lutut. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalaupun sang suami itu 

membawa sundal ke dalam rumah. Ia malahan tak boleh 

berkata apa-apa, kalau sang suami memerintahkan 

kepadanya, membereskan tempat tidur buat suaminya dan 

sundal itu, atau menyediakan sake hangat di sebelah tempat 

tidur itu, meskipun ia mengetahui bahwa sake itu ialah buat 

menguatkan nafsu-birahinya sang suami itu. Ia tak boleh 

berkata apa-apa, kalau ia lalu  disuruh menutup pintu 

bilik, disuruh menunggu duduk di muka pintu itu, kalau-

kalau nanti sang suami memanggil kepadanya dengan tepokan 

tangan, -meminta ini atau itu buat kesenangannya dengan 

sundal itu. 

 

Di dalam buku O’Conroy, professor ini menceritakan satu 

pengalaman yang amat mengharukan: 

 

“Saya tidak akan dapat melupakan pengalaman saya pertama 

kali, tatkala saya menyaksikan, betapa seorang anak 

wanita  yang masih pengantin baru, duduk di muka pintu 

kamar tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan 

tepokan tangan. Ia baru umur enam belas tahun dan belum 

banyak, lebih dibandingkan  seorang kanak-kanak. Ia mengira telah 

mendapat satu keberuntungan yang besar, sebab  mendapat 

seorang suami yang agak kaya. Ia sangat membanggakan 

dirinya, rumah tangganya, suaminya. Ia agungkan suaminya 

itu sebagai seorang-orang yang maha mulya. Ia ingin sekali 

lekas mendapat seorang anak laki-laki. Ia baru kawin 

seminggu, tatkala suaminya datang di rumah. membawa 

seorang sundal. Ia diperintahkan oleh suaminya itu 

menyediakan tempat tidur, dan menunggu di muka pintu. 

Tatkala saya melihat dia itu, dia sedang duduk di atas tikar 

kecil dari jerami. Ia goyangkan badannya ke muka dan ke 

belakang, merintih, seluruh tubuhnya gemetar dan menggigil. 

Ia menggenggamkan tangannya sehingga kaku, dan tiap kali ia 

menundukkan tubuhnya ke muka, dipukul-pukulkanlah 

kepalanya di atas papan. Tampaknya kepada saya ialah 

seperti ia mau memukulkan keluar fikiran-fikiran yang ada di 

dalam kepalanya itu. Sekonyong-konyong mengalirlah air 

117 

 

matanya banyak-banyak di atas pipinya. la menggigit-gigit 

bibir supaya tidak berteriak, dan darah menetes dari ujung-

ujung mulutnya. la mengambil pucuk kimononya, dan 

diputar-putarkannya di dalam tangannya. lalu  ia 

memasukkan pucuk kimono itu ke dalam mulutnya, supaya 

tidak keluar satu jeritan sakit hatinya. Keadaan saya di situ 

rupanya dianggap sebagai satu penghinaan oleh suami itu, 

dan saya tidak berani lagi bertamu di situ setengah tahun 

lamanya. Tatkala saya bertamu lagi kesitu, -seperti sudah 

ditakdirkan, sedang terjadi lagi hal yang sama pula: suaminya 

dengan sundal di dalam kamar. namun  ini kali isteri itu duduk 

tenang membaca surat kabar, dan tatkala ia melihat saya, 

berdirilah ia sesudah memanggutkan kepalanya secara biasa, 

menyongsong kedatangan saya, mengucapkan selamat datang 

kepada saya dengan muka yang tersenyum. la telah belajar, 

belajar bahwa kewajibannya ialah menurut” ...  

 

Sungguh, tidak ada satu wanita  Jepang yang tidak 

menurut. Sebab kecemaran nama yang paling sangat di negeri 

Jepang, kehinaan yang paling besar, ialah dicerai (ditalak) oleh 

suami. Semua kehinaan masih dapat dipikul, semua 

kepedihan masih dapat ditahan, -kecuali kehinaan yang satu 

ini. Lebih baik sengsara dan menangis dalam hati seumur 

hidup, dibandingkan  mendapat perintah dari sang suami supaya 

pulang. Dan suami ini dapat menyuruh dia pulang setiap 

waktu, pagi atau sore, siang atau malam. Begitulah 

keadaannya sekarang. Padahal di zaman dulu, suami yang 

menceraikan isterinya, kehilangan sama sekali semua harta 

miliknya, sebab  harta miliknya itu menjadi hak isteri yang 

diceraikan itu! 

 

Ya, -“suami”- itulah kata satu-satunya yang terdapat di dalam 

kamus seorang wanita  Jepang. la seorang isteri yang 

“sempurna”, yang halus, yang mencinta, yang taat, yang bakti, 

yang berkorban, -sebab  sang suami itu. Orang tak mudah 

mengarti hal ini. Dr. Nitobe sendiri, itu penulis Jepang yang 

termasyhur, berkata, bahwa wanita  Jepang itu sudah 

menjadi satu soal, satu problem. “Problem bagi dunia, problem 

bagi negerinya, problem bagi dirinya sendiri”. Ia mencinta 

meski tak pernah dicinta, mengorbankan dirinya meski tak 

pernah mendapat terima kasih. Ia selalu memberi, dan tak 

118 

 

pernah mendapat. Hidupnya, menurut O’Conroy, yaitu  satu 

“tetesan air mata dan satu senyuman, satu keduka-citaan 

yang dipikul dengan diam-diam, satu hidup mati berdiri yang 

tiada persamaannya di sudut dunia manapun jua”. Baginya, 

menurut tulisan van Kol, tidak kawin yaitu  satu noda yang 

amat besar, namun  kawin satu siksaan yang amat pedih. 

 

Betapa hebatnya cinta seorang wanita  Jepang! Ia 

mencinta dengan segenap jiwanya, namun  tak dapat 

menjelmakan cintanya itu, sebab  suaminya tak mengizinkan 

dia duduk terlalu dekat. Ia musti selalu bersikap hormat, 

selalu bersikap “abdi”. Maka dicurahkannyalah cintanya itu 

habis-habisan kepada anak. Lafcadio Hearn tidak mengenal 

satu hal yang lebih mengharukan hati, dibandingkan  seorang 

wanita  Jepang yang mengusap-usap dan mencium-cium 

kepada anaknya. Matanya yang memandang kepada anaknya 

itu seringkali berlinang-linang. 

 

namun , apakah laki-laki Jepang membalasnya dengan cinta 

pula? 

 

Menurut semua ahli-ahli jiwa orang Jepang, maka laki-laki 

Jepang itu tak kenaI apa cinta itu. Bahasa Jepang tak 

mengenal kata buat “cinta kasih”, di dalam arti dan makna 

yang kita kenal kepadanya. Perkataan mereka buat “cinta” 

yaitu  satu perkataan yang bermakna persatuan tubuh, dan 

aksara mereka buat “cinta” yaitu  aksara yang 

menggambarkan persatuan tubuh. wanita  bagi mereka 

hanya makhluk pelepas syahwat. Cerita-cerita roman Jepang 

hampir tak pernah berakhir dengan “happy end”, -yaitu 

kebahagiaan cinta kasih antara laki-laki dan wanita . 

Cinta batin, cinta jiwa, tidak ada. sebab  itu maka laki-laki 

Jepang tidak mengarti, bahwa ia menjalankan satu 

penghinaan kepada isterinya, kalau ia menyundal, menyelir, 

membawa wanita  lain ke dalam rumah. Ia merasa boleh 

memiliki  selir (makake) berapa saja, -di luar dan di dalam 

rumah. Ia merasa boleh menyundal beberapa kali saja setiap 

hari, sekuat uang dan kemampuannya. Bergaul dengan 

geisha-geisha dan wanita  jalang dianggapnya bukan satu 

keimmorilan. Di seluruh negeri Jepang, di tiap-tiap sudut 

yaitu  rumah-rumah joroya dan machiya. Tidak ada satu 

119 

 

pesta, tidak ada satu perjamuan, yang tidak “disempurnakan” 

dengan geisha-geisha. 

 

Perzinahan, -persetubuhan di luar nikah-, bukanlah satu 

dosa. Menurut perhitungan cacah jiwa rakyat yang dikerjakan 

oleh Departemen Tata Usaha Keraton beberapa tahun yang 

lalu, maka 60% dari anak-anak bangsawan yaitu  dilahirkan 

oleh isteri-isteri yang tidak dikawin. namun  janganlah seorang 

wanita  yang sudah bersuami syah, berzina dengan laki-

laki lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh 

di atas kepalanya! Beberapa puluh tahun yang dahulu, ia 

malahan dijatuhi hukuman mati sebab  perzinahan itu. Ia 

hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain; 

suami yaitu  yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh 

menambah jumlah milik itu menurut kemampuannya. 

 

Patriarchat bukan patriarchat, kalau wanita  hanya milik 

suami saja. Pada asalnya, bapalah yang memilikinya lebih 

dahulu. Milik si bapa ini, sebab  perkawinan, pindah kepada 

si suami. Bapa tidak menyelidiki lebih jauh, maukah atau 

tidak maukah anaknya itu kepada laki-laki yang hendak 

mengawininya. Bapa yang menimbang, bapa yang memutus. 

Dan anak pun tidak akan banyak bicara, -anak menurut saja. 

Tidak banyak “ramai-ramai” atau pesta perkawinan diadakan. 

Sebab perkawinan hanyalah satu “amal kontrak sipil” saja. 

Menurut van Kol, maka, segera sesudah menikah, wanita  

itu lantas saja dibawa ke rumah suaminya, dan “lantas saja 

disuruh bekerja di rumah tangga”. Badannya, tenaganya, 

jiwanya, menjadi barang milik. Dan anak-anaknya pun kelak 

menjadi milik: Kalau ia dicerai, -diusir dari rumah suaminya-, 

maka anak-anaknya seorang pun tidak boleh mengikutinya! 

 

Pada waktu belum menikah, bapanya boleh mengasihkan dia 

kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya itu.  

 

Ia boleh dijualnya kepada germo-germo, boleh digadaikannya 

sebagai tanggungan hutang. Kadang-kadang, anak-anak 

wanita  yang masih amat kecilpun, baru berumur lima-

enam tahun, telah dilepaskan oleh bapanya kepada agen-agen 

sundal itu, untuk “dididik” supaya kelak menjadi sundal biasa 

atau menjadi geisha. 

120 

 

 

Agen-agen rumah joroya atau rumah machiya keluar masuk 

kampung, mencari perawan-perawan yang sudah dara, atau 

anak-anak kecil yang masip bermain-main. Kemiskinan kaum 

tani Nippon yang amat sangat, itulah bumi subur untuk 

kejahatan agen-agen ini. “Tidak ada uang di rumah, ... namun  

masih ada anak gadis”... itu berarti masih ada harapan. Agen-

agen itu amat tajam sekali hidungnya. Mereka dengan 

ketajaman hidung serigala, dengan segera mencium, di 

manakah letaknya desa-desa yang penduduknya di dalam 

kesusahan. Ada daerah-daerah di negeri Nippon, yang di situ 

hampir tidak ada lagi gadis-gadis atau wanita -wanita  

muda. 

 

Seorang penulis menceritakan satu kejadian yang biasa: “Di 

dalani satu gubug, duduk seorang orang tani yang sudah tua, 

dengan isterinya, dan anaknya wanita  yang masih kecil. 

Ketiga mereka itu duduk dekat kepada api, mencoba-coba 

mencari hangat. Orang tua itu memakai semacam mantel, 

terbuat dibandingkan  rumput. Angin dingin masuk dari lobang-

lobang cela pintu yang terbuat dari pada kertas, dan pintu itu 

bergoyang sebab  angin. Tikar yang mereka duduki, warnanya 

kuning dan kotor, dan sudah amoh. Ibu dan anak diam, tidak 

mengucapkan sepatah kata juapun; orang laki itu sekali-sekali 

mengeluarkan suara, namun  tiada artinya. Yang bergerak 

hanya tubuh wanita  dan anak itu, sebab  menggigil 

kedinginan.  

 

Sekonyong-konyong terdengar dari luar pintu suara sopan 

santun, -minta maaf sebab  mengganggu. Bapa tani itu pergi 

ke pintu, dan sebelum ia membukanya, berjongkoklah ia, 

serta mengatur tangannya menurut aturan kehormatan. Ia 

tundukkan kepalanya, sehingga kepalanya itu hampir 

mengenai tikar yang kotor itu. Demikianlah ia mengucap 

selamat datang, memper-silahkan tamu supaya masuk. 

Dengan banyak sekali membungkuk-bungkuk dan 

memanggut-manggut, pergilah tamu itu ke tempat dekat api. 

Di situ dikerjakan lagi hormat-menghormat dengan saksama. 

Keempat-empat orang itu menaruh tangan di atas tikar, -

telapak ke bawah, ujung jari ke dalam. Kepala ditundukkan 

hingga hampir mengenai tikar. Bapa tani meng-ucapkan 

121 

 

salam kehormatan rumahnya, meminta beribu-ribu maaf atas 

segala kekurangan. Si tamu membalas dengan kalimat-

kalimat yang sangat hormat dan sopan menurut kebiasaan. 

Satu mangkuk kecil dengan teh hijau disuguhkan kepada 

tamu terhormat itu, yang dengan banyak desakan tuan-rumah 

akhirnya mau duduk juga di tempat kehormatan dalam bilik 

itu. Teh itu diminumnya dengan pelahan-pelahan dan 

menurut aturan semestinya, dan sesudah sejurus waktu yang 

pantas, mulailah ia membuka pembicaraan. Anak wanita  

itu tak boleh berkata apa-apa, -tak perduli umurnya enam 

tahun, atau enambelas tahun, atau enamlikur tahun! Ia harus 

tunduk kepada kehendak bapa ... Kalau pembicaraan jual-beli 

sudah selesai, maka ia menundukkan badannya kepada 

bapanya itu, dan lalu  juga kepada si tamu itu. Pakaian-

pakaiannya yang sedikit itu ia kumpulkan menjadi satu 

bungkusan. Berangkatlah ia mengikuti tuannya” ... 

 

Ia menjadi gadis joroya, atau seorang “maiko” yang dididik 

menjadi geisha. Boleh dikatakan, ia tidak akan merdeka lagi, 

sebelum tubuhnya layu dan keelokannya hilang. Di negeri 

Nippon sedikitnya 4.000.000 gadis-gadis kecil di bawah umur 

15 tahun meninggalkan rumah orang tuanya secara itu. Di 

dalam kitab O’Conroy saya membaca keterangan orang Jepang  

Mr. Satoh yang amat pedas, yang berbunyi: “Salah satu sebab, 

mengapa pencatatan kelahiran anak di negeri Jepang tidak 

begitu berguna, ialah, oleh sebab  anak-anak masuk kepada 

barang “roerende goederen” yang menjadi milik orang yang 

memilikinya. Sebagai juga halnya dengan babi, ayam, sapi, 

serta kambing, maka anak-anak itu diternakkan, -buat nanti 

dijual. Dulu orang membeli anak-anak dengan harga 50 

sampai 60 yen, sekarang seorang anak wanita  yang 

berumur delapan tahun dan cantik paras mukanya hanyalah 

berharga 10 yen” ... 

 

Ah, Sarinah di negeri Sakura yang indah itu, dan yang 

kebudayaannya di lain fihak begitu tinggi! Hanya tiga jenis 

tempat nasibnya: Dinikah orang, atau tidak dinikah orang, 

atau dibeli orang dan dijadikan “bunga”. Dinikah orang berarti 

perhambaan yang berat; tidak dinikah orang berarti kehinaan 

seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau 

geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun. 

122 

 

 

Barangkali menjadi geishalah yang paling mendingan. 

 

Sebagaimana di kota Athena (Yunani) di zaman purbakala 

wanita -wanita  yang tidak mau dikurung dan ditindas 

oleh kaum laki-laki, sama menjadi hetaere, -yaitu menjadi 

sundal merdeka, -maka di Nippon geisha-geishalah yang 

paling “senang”. Bacalah keterangan seorang geisha yang saya 

kutip ini! Menggelikan, namun  juga menyedihkan! “Kami 

geisha-geisha masih boleh dikatakan yang paling untung. 

Lebih untung dari wanita -wanita  yang punya suami, 

atau sundal-sundal biasa. wanita  yang bersuami 

diwajibkan tidur dengan satu orang laki-laki seumur hidup, 

dan tidak mendapat bayaran sepeser pun juga. Sundal biasa 

diwajibkan tidur dengan banyak orang-orang laki-laki, dan 

kadang-kadang mendapat persenan juga. Kami kaum geisha 

tidur hanya dengan sedikit orang laki-laki saja, dan seringkali 

juga boleh memilih sendiri siapa yang kami cintai. Dan mereka 

mengasih persenan-persenan kepada kami” ... 

 

Sungguh, di negeri “matahari terbit” itu, belum terbit mata-

hari bagi kaum wanita ! namun  ia tidak boleh mengaduh; ia 

tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka 

manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu 

hati sang suami dengan muka yang tidak menarik hati. Ia 

diwajibkan selalu seperti bidadari, meskipun baru saja 

dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah tangganya. 

Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum, 

tersenyum, tersenyum saja. namun  berapa rintihan sukma, 

berapa senggukan tangis tersembunyi di belakang senyuman 

itu? yaitu  satu peribahasa Nippon yang berbunji: “Orang 

laki-laki tertawa dengan hatinya; orang wanita  tertawa 

dengan mulutnya saja”. 

 

Sejak dari kecil ia sudah disuruh mengafalkan isi buku kuno 

tulisan Kaibara Ekiken (sudah barang tentu pujangga pendidik 

wanita  ini orang ... laki-laki!) yang bernama “Onna Dai-

Gaku” (“Sekolah Tinggi buat wanita ”), yang mengandung 

ajaran seribu satu kewajiban dan seribu satu larangan yang 

seram-seram. Salah satu kewajiban itu ialah: tetap bermuka 

manis, tetap gembira, meskipun hati merintih-rintih. Dan 

123 

 

salah satu larangan ialah: wanita  tidak boleh mengomel, 

sebab Konghucu telah berkata bahwa “ayam betina yang pagi-

pagi sudah berkokok, niscaya membawa sial”! Herankah kita 

bahwa wanita  di negeri matahari terbit ini menjadi 

“bidadari-bidadari kejelitaan”, yang tiada bandingannya di 

muka bumi? Bukan sebab  adanya agama Buddha saja; 

negeri Nippon dinamakan “negeri bunga teratai”. Bunga teratai 

Nippon yang sesungguhnya, ialah wanita Nippon itu! Ditanam 

di dalam lumpur, namun  tetap cantik manis; ditumbuhkan di 

dalam kotoran, namun  tetap menarik hati! ... 

 

Van Kol menulis tentang wanita  Nippon itu: “wanita  

hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; 

kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-

perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya”. 

“wanita  dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat 

mengerjakan segala hal lebih baik dibandingkan  dia, dan bahwa 

banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan 

oleh wanita. Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya, 

bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat 

memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada 

anak-anak wanita  yang masih kecil diajarkan, bahwa 

mereka tak mempunjai hak apa-apa bilamana mengenai 

adiknya laki-laki”. Peribahasa Jepang berbunyi: “Di dalam tiga 

dunia wanita  tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia 

yang sudah silam, dunia yang akan datang”. Satu lagi: “Tiga 

hukum ketaatan harus diindahkan oleh wanita ; waktu ia 

kecil, ia harus taat kepada orang tuanya; waktu dewasa, ia 

harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada 

anaknya”. Andre Bellessort menulis: “Di Nippon, tidak ada 

barang sesuatu yang lebih menghibakan hati, dibandingkan  

wanita. Segala miliknya, harus ia anggap sebagai kemurahan 

hati suaminya. Hidupnya pun yaitu  sebab  kemurahan hati 

Yang Dipertuan itu”. Griffis berkata: “Barangkali tidak ada 

yang melebihi wanita Jepang sebagai ibu, sebagai isteri, 

sebagai anak, sebagai kawan, di atas lapangan kebajikan 

meniadakan diri sendiri dan mengorbankan diri sendiri”. 

 

Demikianlah nasib wanita Jepang. Saya kira nasib mereka itu 

menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan cara yang 

terang sekali. Negeri Nippon terbagi menjadi dua alam: 

124 

 

alamnya laki-laki yang menindas, dan alamnya wanita  

yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini 

berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti, 

tabiat, cara hidup sehari-hari, bahasa, kesenangan-

kesenangan, angan-angan, cita-cita, -semuanya berlainan, 

semuanya memiliki  corak sendiri. Laki-laki yang turun-

temurun berabad-abad hidup dalam ideologinya penindas, 

bangun tidur sebagai penindas yang selalu diturut dan ditaati, 

-laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi “manusia lain” 

dibandingkan  wanita  yang turun-temurun berabad-abad selalu 

tunduk dan tertindas itu. wanita  menjadi seperti 

makhluk-makhluk sutera, seperti “bidadari”, seperti dewi-dewi 

kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis penuh 

dengan “grace et douceur”, namun  laki-laki Jepang yaitu  

angker, angkuh, kaku, sengit, gampang membentak dan 

menempiling. Lafcadio Hearn yang paling mengenal bangsa 

Jepang di antara “penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn 

berkata bahwa wanita Jepang itu ”begitu berbeda segala-

galanya dibandingkan  laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya 

mereka itu memang satu bangsa lain sama sekali”. Di dalam 

bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis 

Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan 

Lafcadio, dengan perkataan: “Hampir semua orang asing 

memang melihat perbedaan antara laki-laki kita dan 

wanita  kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih, 

mukanya seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak 

teratur, sikapnya di tempat umum tidak sopan. wanita -

wanita  kita selamanya membelakangkan diri, sopan, dan 

di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana 

dan lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-

lakunya yang kasar itu dianggap sebagai contoh kelaki-lakian, 

maka wanita -wanita  kita harus dianggap sebagai 

bidadari-bidadari”. Van Kol pun demikian pendapatnya: 

“Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana 

wanita  begitu berbeda dari laki-laki, seperti di Jepang. 

Orang boleh berkata benar-benar, bahwa di sana itu ada dua 

bangsa manusia yang sebelah-menyebelah satu sama lain: 

laki-laki dan wanita , yang bukan saja perangainya 

berbeda, namun  juga badannya berbeda satu sama lain. 

Terutama sekali kepada orang-orang Eropa perbedaan ini 

sangat menyolok mata”. 

125 

 

 

Itulah akibat ekses patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan 

menindas telah memberi “kesan” kepada rohani dan jasmani 

yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah 

memberi “kesan” pula kepada rohani dan jasmani yang 

tertindas. Memang perbedaan di atas lapangan rohani dan 

jasmani itu, -yang tidak untuk “keperluan turunan”-, telah 

saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan 

perbedaan yang sebab  kodrat alam, bukan perbedaan yang 

dari zaman purbakala telah ada, namun  ialah perbedaan-

perbedaan yang sebab  milieu, perbedaan-perbedaan yang 

sebab  kebiasaan hidup, - perbedaan-perbedaan yang sebab  

menindas atau ditindas turun-temurun. Siapa yang di zaman 

sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat mengangkat 

tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam 

warga  manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang 

kodrat wanita  berbadan lemah, berjalan tunduk, berfikir 

dungu, berperasaan sempit, berkemauan tak tentu, dan 

bahwa oleh sebab  itu dus sudah kodrat wanita  untuk 

ditaruh di lapisan bawah atau ditaruh di luar pergaulan 

hidup, -dia sendiri yaitu  orang yang bodoh, orang yang 

dangkal pengetahuan. Dia saya persilahkan membuka buku 

sejarah-warga , antara lain-lain sejarah warga  

Nippon yang membuktikan kebodohan anggapannya itu: Dulu, 

di zaman sebelum zaman feodal, wanita  Jepang tangkas, 

sigap badan, cerdas, menjadi raja-raja puteri, memerintah, 

memegang obor kesenian, mengalahkan kaum laki-laki yang 

menurut van Kol di waktu itu. “verwijfd”, -sekarang, sesudah 

ratusan tahun ekses patriarchat, ia berjalan membungkuk, 

menjadi makhluk “jelita”, kaum yang mengalah, orang yang 

“nerimo”. Sungguh warga  Jepang itu warga  yang 

baik kita pelajari, oleh sebab  warga  di sana itu dengan 

jarak yang hanya seribu tahun saja telah mengenal dua 

“macam” wanita : wanita  yang menang rohani dan 

jasmani, dan wanita  yang kalah rohani dan jasmani. 

 

Dan saya heran: tidakkah pernah orang mendengar nama 

Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama Tembini? 

Anggapan tentang apa yang disebut “pencaharian hidup 

menurut kodrat”, “tujuan menurut kodrat”, “bakat menurut 

kodrat” dan lain sebagainya itu, yang hendak menetapkan 

126 

 

wanita  itu di samping api dapur saja dan buaian anak 

saja, anggapan demikian itu dibantah mentah-mentah oleh 

sejarah warga . 

 

namun , pembaca, janganlah pembaca kira bahwa contoh-

contoh ekses patriarchat yang keliwat, hanya terdapat di 

Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia, 

(namun  pemerintah Sovyet bekerja keras untuk 

mengemansipasikan wanita di daerah-daerah yang di bawah 

kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang berpemerintahan 

Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses 

sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab Fanina W. 

Halle, Meredith Townsend, Frances Woodsmall, dsb! Sudah 

barang tentu “Islam” di tempat-tempat itu bukan Islam 

murni sebagai yang di kehendaki Tuhan dan Rasulullah, yang 

memberi kedudukan baik kepada wanita. Sebenarnya saya di 

dalam risalah ini ingin sekali menceritakan tentang ekses-

ekses patriarchat di daerah-daerah Islam itu, namun  sayang 

seribu sayang ada dua hal yang menghalanginya: Pertama oleh 

sebab  tempat di dalam kitab ini kurang luas, kedua oleh 

sebab  buku-buku saya yang mengenai perkara ini semuanya 

ketinggalan di Bengkulu. Insya Allah, kalau Tuhan 

mengizinkan, kalau buku-buku itu sudah dapat saya 

datangkan, kalau saya ada waktu, saya hendak menulis satu 

risalah tentang “wanita  di dunia Islam”. 

 

Saya tadi mengambil Jepang sebagai gambaran, oleh sebab  

Jepang yaitu  negeri modern. Saya menaroh warga  

Jepang itu dalam peneropongan, untuk memberi pengartian 

kepada pembaca, bahwa kemodernan tidak selamanya 

dibarengi dengan penjunjungan derajat wanita . namun  

perhatikanlah: manakala nanti industrialisme di Nippon 

makin banyak membutuhkan tenaga wanita , manakala 

industrialisme itu nanti makin banyak menarik tenaga wanita 

ke dalam produksi warga , -maka tidak akan laku lagi 

sepeser pun segala ajaran-ajaran kitab “Onna Dai Gaku” yang 

kolot itu. Maka tidak boleh tidak akan berobah derajat 

wanita  di Jepang itu. Maka pasti akan berganti moral 

tentang kewanitaan di Jepang itu. Malahan di waktu sekarang 

ini telah mulai perubahan itu berlaku berangsur-angsur. 

Banyak “wanita  baru” kini telah berjalan di jalan-jalan 

127 

 

Tokyo, Kyoto, Nagoya, dll. Peperangan Jepang Tiongkok yang 

banyak membutuhkan tenaga wanita  di paberik-paberik, 

peperangan dunia II yang dito, memberi dorongan lagi kepada 

proses perobahan itu. Saya kira, segala sisa-sisa kekolotan itu 

akan lenyap sama sekali sebelum abad ke XXI mengetok 

pintu. Buat kesekian kalinya kita akan melihat, bahwa segala 

ikatan-ikatannya moral yang kolot, segala belenggu-belenggu 

“agama” yang menyalahi Agama, akan pecah hancur putus 

sebab  hantaman hukum Predestinasi Sosial Ekonomis. 

 

wanita  akan merdeka dan pasti merdeka. Bukan di 

Nippon saja, namun  juga di tempat-tempat yang keadaan 

wanita-nya kini lebih mesum lagi dibandingkan  di Nippon itu: di 

beberapa tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan 

di Punjab, di beberapa daerah Sentral Asia dan Sentral Afrika, 

di beberapa daerah tanah air kita sendiri. wanita  di 

Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke 

kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat 

dunia. namun  di tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada 

banyak mereka yang sama sekali dikurung, ditutup, dipingit. 

Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau Setsuko 

di negeri Sakura, namun  ia tentu mengakui pula bahwa nasib 

Zulaeha atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang 

lebih menyedihkan lagi. Banyak penulis yang sudah 

mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke 

Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat 

menunjukkan tempat-tempat yang wanitanya lebih 

terkungkung dibandingkan  justru di beberapa daerah yang 

namanya daerah “Islam”. 

 

Jepang yaitu  satu paradox, antara kemodernan dan 

kekolotan. namun  kekolotan fahamnya tentang wanita, tidak 

memegang record. Record kekolotan yaitu  dipegang oleh 

sebagian dari umat yang namanya telah beragama Islam. 

Bukan sesuai dengan kehendak Islam, namun , bertentangan 

dengan kehendak Islam!  

  

128 

 

BAB V 

WANITA BERGERAK 

 

Keadaan wanita yang ditindas oleh fihak laki-laki itu akhir-

nya, tidak boleh tidak, niscaya membangunkan dan 

membangkit-kan satu pergerakan yang berusaha meniadakan 

segala tindasan-tindasan itu. Itu memang sudah hukum alam. 

namun  yaitu  hukum alam juga, bahwa kesedaran dan 

kegiatan sesuatu pergerakan bertingkat-tingkat.  

 

“Ber-evolusi”. Pergerakan wanita  ber-evolusi. 

 

Buat mengarti tingkat-tingkat evolusi pergerakan wanita  

itu, pembaca lebih dulu dengan singkat saya ajak meninjau 

lagi keadaan warga  wanita  di dunia Barat seratus 

lima puluh tahun yang lalu. 

 

Barangkali pembaca menanya: kenapa “dunia Barat”? 

 

Jawab atas pertanyaan itu yaitu  mudah dan singkat: oleh 

sebab  di dunia Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-

mula. Di dunia Baratlah pertama-tama terdengar semboyan 

“wanita , bersatulah”! Di dunia Baratlah berkembangnya 

contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut 

wanita dunia Barat, dari mulut Katharina Brechkovskaya, 

pertama-tama terdengar seruan: “Hai wanita Asia, sedar dan 

melawanlah!”. 

 

Tatkala wanita  di dunia Barat sudah sedar, sudah 

bergerak, sudah melawan, maka wanita  di dunia Timur 

masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan 

dengan tiada protes sedikit pun juga. Tidak diketahui, tidak 

dikira-kirakan, oleh wanita  di dunia Timur itu, bahwa ada 

kemungkinan menghilangkan tindasan dan pingitan itu, 

bahwa  ada jalan untuk memerdekakan diri. Dikiranya, bahwa 

tindasan dan pingitan itu memang sudah kehendaknya alam. 

namun  sebagaimana faham-faham politik yang timbul di dunia 

Barat lambat-laun menular pula ke dunia Timur, demikian 

pula maka semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang 

didengung-dengungkan di dunia Barat itu akhirnya 

mengumandang dan menggaung juga di tepi-tepi sungai Nil, 

129 

 

sungai Yang Tse, dan sungai Gangga. Kini dunia Timur sudah 

memiliki  “pergerakan wanita”, kini Asia sudah tidak lagi 

mendidih dan menggolak dengan perjoangan kaum laki-laki 

saja, namun  wanita Asia pun sudah mulai ikut serta di dalam 

perjoangan untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya. 

 

namun , boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur 

itu yang pergerakan wanitanya, -kecuali beberapa individu-, 

telah berideologi setinggi ideologi pergerakan wanita di dunia 

Barat di dalam tingkatannya yang terakhir. Timur meniru 

kepada Barat, namun  menirunya itu belum menyamai segenap 

tingkatan yang boleh menjadi teladan kepadanya. 

 

Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata 

menunjukkan tiga stadia evolusi, tiga tingkatan, -tingkatan 

kesatu, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga-, maka Timur 

yang meniru Barat itu, paling mujur, barulah sampai 

ketingkatan kesatu dan kedua saja. Dan itupun belum 

sehebat, seberkobar-kobar, semenyala-nyala tingkatan kesatu 

dan kedua di benua Barat beberapa puluh tahun yang telah 

lalu! 

 

Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat 

itu? 

 

Marilah saya ceritakan hal itu kepada pembaca, lebih dulu 

secara “selayang terbang”. Itulah cara yang paling 

“mengartikan”. Sesudah peninjauan “selayang terbang” itu, -

saya maksudkan: sesudah peninjauan “dari udara”, yang 

memberi  “ikhtisar umum”-, maka pembaca akan saya ajak 

turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil, ke buminya detail. 

Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah mengarti 

sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai 

sekarang. Sebenarnya, belum boleh dikatakan ada 

“pergerakan wanita” di Barat sebelum pecahnya Revolusi 

Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya abad kedelapan 

belas. 

 

Baru di dalam Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat 

pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh 

diberi gelar “pergerakan wanita”. Baru didalam Revolusi itulah 

130 

 

kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya 

sebagai manusia, sebagai anggota warga , sebagai warga 

Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse 

dan sebagai warga negara wanita. 

 

Sebelum Revolusi-Revolusi itu, belum yaitu  gerakan itu. 

Hanya di kalangan kaum wanita  bangsawan dan 

hartawan yaitu  semacam “kerajinan”, semacam “kegiatan”, 

yang saya namakan “tingkatan kesatu” dibandingkan  pergerakan 

wanita. Sebenarnya perkataan pergerakan wanita buat 

tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab “kerajinan” atau 

“kegiatan” itu sama sekali bukan pergerakan, -apalagi 

gerakan! “Kerajinan” dan “kegiatan” itu hanyalah satu “onder-

onsje” (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ... -satu 

“kelangenan” (J.) Bukan satu “aksi”, bukan satu “perlawanan 

tersusun”, bukan satu “gelombang kesedaran”. Ia hanyalah 

satu “kesukaan”, satu “pengisi waktu nganggur”. Ia terutama 

sekali dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan 

yang jemu dengan terlalu banyaknya waktu menganggur. 

 

Ada gunanya “kegiatan” semacam itu saya namakan satu 

tingkat kesatu dibandingkan  pergerakan wanita! 

 

Sebab di negara kita  sini, terutama sekali sebelum negara kita  

merdeka kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang 

disebutkan orang “pergerakan wanita negara kita ”, sebenarnya 

tidak lebih dibandingkan  kegiatan semacam “onder-onsje” atau 

“kelangenan” pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan, 

yang sama sekali jauh terasing dibandingkan  massa, dan tidak 

berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali! 

 

Apakah kegiatan “tingkatan kesatu” di benua Barat itu? 

 

Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-

perserikatan, -club-club-, yang anggotanya rata-rata dari 

kalangan kaum wanita atasan, dan yang tujuannya serta 

usaha-nya ialah memperhatikan kerumah tanggaan. Ilmu 

masak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu bergaul, 

ilmu kecantikan, ilmu estetik, serta prakteknya, -hal-hal yang 

semacam itu yang men-jadi lapangan usahanya. Club-club itu 

“menyempurnakan” wanita sebagai isteri dan sebagai ibu. 

131 

 

“Menyempurnakan” anggota-anggotanya untuk cakap 

memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, cakap mem-

berahikan suami, cakap menjadi ibu. Perbandingan hak 

antara laki-laki dan wanita  tidak disinggungnya, ekses-

ekses patriarchat tidak ditentangnya. Kegiatan mereka ialah 

justru untuk menyempurnakan diri mereka di dalam ekses-

ekses patriarchat itu.  

 

Suami tetap diakuinya sebagai Yang Dipertuan, Yang Maha 

Kuasa, usaha mereka ialah -justru menyempurnakan diri 

mereka untuk menyenangkan hati Yang Dipertuan, Yang 

Maha Kuasa itu. Mereka kadang-kadang mendirikan 

sekolahan-sekolahan buat gadis-gadis, dan sifatnya 

sekolahan-sekolahan itu tak banyak bedanya dengan 

“sekolah-sekolah rumah tangga” di zaman sekarang, -hanya 

lebih “mondaine”, lebih “mriyantun”. Mereka merasa diri 

mereka setingkat lebih tinggi dibandingkan  wanita -wanita  

yang kurang mahir di dalam ilmu “kewanita an”. Mereka 

mendidik gadis-gadis, supaya nantinya “laku” di kalangan 

kaum pemuda bangsawan dan hartawan, untuk dikawin, dan 

menjadi “grande dame”. Usaha mereka ialah untuk 

menyempurnakan dan menyediakan wanita buat perjodohan, 

buat sang suami yang harus dipuja, buat “Sang Junjungan” 

yang harus ditaati. Promotor-promotor mereka, -yang paling 

terkenal ialah Madame de Maintenon di Perancis, dan A. H. 

Francke di Jerman-, promotor-promotor mereka tidak 

membangunkan semangat kesadaran yang lebih berarti, tidak 

menunjukkan jalan kepada kaum wanita untuk menjadi 

manusia yang lebih berisi. Kodrat alam menetapkan 

wanita  di bawah laki-laki, -sempurnakanlah wanita  

itu untuk lebih sempurna mengabdi laki-laki! “Kelebihan” laki-

laki itu diakui, dihormati, ditaati. Manakala nasib wanita  

kurang menyenangkan, itu menurut pemimpin-pemimpin 

wanita tingkatan kesatu itu bukan disebabkan tidak adilnya 

perbandingan hak antara wanita  dan laki-laki, namun  

melulu disebabkan si wanita  itu sendiri kurang sempurna 

menjalankan kewanita nya. Oleh sebab  itu: 

Sempurnakanlah dirimu! Sempurnakanlah kecantikanmu, 

sempurnakanlah kecakapanmu berumah tangga, 

sempurnakanlah kepandaianmu meladeni suami, maka 

132 

 

dengan sendirinja kedudukanmu sebagai wanita akan lebih 

berharga dan lebih menyenangkan! 

 

Begitulah, dengan singkat, gambarnya “tingkatan kesatu”. 

Tepat dan jitu sekali perkataan Henriette Roland Holst, bahwa 

usaha dan ikhtiar wanita dalam tingkatan ini pada 

hakekatnya ialah “om den man tebekoren”: -“buat memikat 

hati laki-laki”. Tingkatan ini sering saya namakan “Tingkatan 

kewanita an”. 

 

Mudah difahamkan, bahwa “tingkatan kewanita an” itu 

hanya dapat manarik perhatian kaum wanita atasan saja, dan 

tidak diikuti oleh kaum wanita kalangan rakyat jelata. Begitu 

pula mudah difahamkan, bahwa pergerakan semacam itu 

tidak dapat memuaskan buat selama-lamanya. Maka oleh 

sebab  itu, segeralah sesudahnya mode tingkatan ini surut, di 

dunia Barat lantas timbul satu tingkatan lain, -tingkatan 

yang kedua-,  yang bukan lagi satu tingkatan “om den man te 

bekoren”, melainkan satu tingkatan yang dengan sedar 

membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Tingkatan ini, 

bukan lagi satu tingkatan yang hendak “menyempurnakan” 

kaum wanita  buat kesempurnaan pengabdian kepada 

kaum laki-laki, namun  satu tingkatan yang dengan sadar 

menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum 

laki-laki. wanita -wanita  dari tingkatan ini sadar, 

bahwa wanita  di hampir segala lapangan tidak dikasih 

jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh sebab  itu hampir 

semua hal kewarga an menjadi monopoli kaum laki-laki. 

Mereka merasa tidak adil, bahwa wanita  di lapangan 

warga  tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan kaum 

laki-laki. Tidak dibolehkan masuk kantor, tidak dibolehkan 

masuk sekolah tinggi, tidak dibolehkan ikut politik, tidak 

dibolehkan menjadi anggota parlemen, tidak dibolehkan 

menjadi hakim, dan lain-lain sebagainya. Maka membanteras 

ketidak-adilan ini, membanteras tidak samanya hak dan 

derajat antara wanita  dan laki-laki, menuntut adanya 

persamaan hak dan persamaan derajat itu, -itulah pokok-

tujuannya tingkatan kedua itu. 

 

Apakah pada hakekatnya sebab-sebab timbulnya tingkatan 

ini? Sebagaimana telah saya uraikan di fasal-fasal yang 

133 

 

terdahulu, maka pada hakekatnya perobahan dalam 

warga lah yang menjadi asal segala perobahan-

perobahan ideologi. Sebagaimana perobahan dalam proses 

produksi merobah anggapan-anggapan di dalam warga  

itu, merobah moral, merobah adat, merobah isme-isme, maka 

perobahan dalam proses produksi itu juga merobah ideologi-

ideologi wanita  tentang caranya mencari perbaikan nasib. 

Dulu mereka mengira, bahwa nasib mereka itu dapat 

diperbaiki dengan jalan menyempurnakan 

kewanita annya, -“om den man te bekoren”!-, dengan 

menambah kecakapan bersolek, memasak, memegang rumah 

tangga, memelihara anak, kejuitaan dalam pergaulan, -dulu 

mereka mengira, bahwa keburukan nasib mereka itu melulu 

hanya akibat dibandingkan  kekurangan kekurangan pada diri 

mereka sendiri saja, - kini mereka berganti kepada anggapan, 

bahwa sebagian besar dibandingkan  keburukan nasib itu ialah 

akibat dibandingkan  ketiadaan hak-hak wanita  di dalam 

warga  yang sekarang. 

 

Selama warga  itu masih warga  kuno, warga  

yang proses produksinya belum secara baru, maka belum 

terasa oleh mereka akan ketiadaan hak-hak dalam 

warga  itu. namun  sesudah industrialisme berkembang 

biak, sesudah proses