presiden soekarno 5
ri, namun ia dimustikan membayar
kembali uang beliannya lebih dahulu! Anak-anaknya yang
wanita tidak boleh ikut mewaris harta benda peninggalan
bapanya, oleh sebab mereka kelak toh akan dibeli orang lain,
-toh akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan marga
bapanya.
Pembaca melihat, semua sifat-sifat patriarchat terdapat
kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah perumpamaan
Batak di bawah ini:
Sian dangkana tu rantingna, Sian angkangna tu anggina.
Dalam bahasa negara kita kira-kira sebagai berikut:
Dari dahan ke rantingnya, Dari kakak ke adiknya.
Ya, kalau saudara tua mati, saudara muda akan mengganti
dia! Orang yang mencinta adat ini barangkali akan
mengatakan, bahwa levirat toh ada baiknya juga? Memang,
108
barangkali levirat ada “baiknya” juga: si janda tidak terus
menjadi janda, namun segera ada orang yang “mengurus” akan
dia. Memang ada satu sya’ir lain lagi, yang sering dinyanyikan
oleh wanita Batak:
Tumagonan unang muli, Tu anak sisada-sada.
Tung mate i annon, Ndang adong na mangabia.
Dalam bahasa negara kita kira-kira begini:
Lebih baik jangan kawin, Kepada anak sebatang kara.
Kalau dia nanti mati, Tidak ada penggantinya.
Nyatalah dari syair ini, bahwa wanita -wanita itu
sendiri seperti senang kepada levirat. namun tidakkah benar
pula kalau saya katakan, bahwa tiap-tiap adat, meskipun
adat yang menindas bagaimanapun juga kerasnya, telah
merobah demikian rupa kepada rasa fikiran, ideologi fihak
yang tertindas itu, sehingga mereka itu sendiri cinta kepada
adat itu? Tidakkah benar kalau saya katakan, bahwa banyak
wanita cinta kepada pingitan, cinta kepada hal bahwa
silaki-laki menguruskan segala apa saja bagi mereka dan
mereka tak usah ikut banyak pusing kepala ini dan itu, cinta
kepada ketenteraman kehidupan di samping api dapur dan
buaian anak saja, tidakkah benar kalau saya katakan bahwa
banyak wanita cinta kepada rantai yang merantaikan
mereka?
Syair yang kedua itu bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu
buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan kenyataan, bahwa
levirat yaitu berdasar kepada pengertian “benda”, berdasar
kepada pengertian “milik”. Ia berdasar kepada pengertian
mewariskan milik. Di daerah Batak Karo, seorang janda yang
dioper oleh saudara suaminya, lantas bernama “lako man”,
yang maknanya: penyedia makan. Ia “mendatangkan makan”,
ia satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah
berkata-: “Feitelijk is het de vrouw, die den man onderhoudt;
een Batak, die trouwt, is voor de toekomst geborgen”. Artinya:
“Sebenarnya, wanita lah yang memberi makan kepada
laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya
buat seterusnya”.
109
Adakah lain-lain tempat lagi di negara kita dengan “patriarchat
liar” yang masih nyata? Ada! Bukan di tanah Batak saja ada
sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang
“jeunamee” sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh
mengingatkan kita kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal
yang berikut: “Kalau si isteri meninggal dunia, maka si laki-
Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis saudara isteri
yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah
membayar lagi “jeunamee” sepeser pun jua. Di daerah Gayo
dan Alas nyatalah perkawinan satu perbuatan membeli orang.
Di sana orang wanita yang telah kawin (dan telah dibayar
“harganya”) disebutkan orang: “anggo” (Gayo) atau “alongi”
(Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna terbeli. Keluarganya
menamakan dia “juolon”, yang artinya: “jualan”, “barang
jualan”. Kalau suami-nya mati, berjalanlah levirat: ia “ngalih”
atau “mengalih”, -mengalih sebagai milik, kepada lain tangan.
Dan kalau suaminya tiada saudara atau keluarga, bolehlah ia
pulang kembali ke gampongnya; namun anak-anaknya tak
boleh ia bawa. “Laba” pembelian itu tak boleh dibawa keluar,
namun harus tetap menjadi rezeki fihak yang membeli!
Di Lampung pun di beberapa daerah masih sangat tampak
sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog menyatakan:
“wanita (di Lampung) yang telah dibeli oleh seorang laki-
Iaki, tidak memiliki hak apa-apa lagi sama sekali. Segala
apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun,
menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas.
Si bapa itu berhak mengawinkan anak-anak wanita nya
kepada siapa saja yang mau mengawini kepadanya. Malahan
sampai di bahagian pertama abad ke-19, si bapa itu menjual
anak-anaknya sebagai budak belian”.
Di Lampung inilah, dan juga di daerah Bengkulu, sampai
sekarang masih ada adat “jujur”, adat “kulo”, adat bayar “uang
antaran”, yang semuanya pada hakekatnya ialah adat jual beli
wanita . Besarnya “jujur” atau “antaran” itu kadang-
kadang ribuan rupiah. Di Endeh (Flores) uang pembelian itu
(di sana dinamakan uang “belis”) kadang-kadang juga amat
tinggi sekali. Saya sendiri di Endeh pernah menyaksikan orang
membayar uang belis Rp 800.- (waktu uang masih mahal).
Uang-uang pembelian yang amat tinggi itulah menjadi sebab
110
di beberapa daerah Lampung, Bengkulu dan Flores banyak
“gadis tua”. Di Endeh ada beberapa “gadis tua” yang telah
berumur... 60 tahun!
Tuan barangkali menanya: kenapa orang laki-laki kadang-
kadang berani membayar uang pembelian yang begitu mahal!
Amboi, uang yang dibajarnya itu tidak terbuang percuma!
Sebab satu kali ia buang uang, satu kali ia beli orang
wanita , satu kali ia “payah” atau “meringis”, -seumur
hidup ia boleh senang-senang goyang kaki saja: wanita
nanti bekerja keras mencari makan buat dia. Uang mangoli,
uang jeunamee, uang jujur, uang antaran, uang belis, -
semuanya membawa laba. Yang payah dan meringis nanti
bukan yang membeli, namun yang dibeli jua adanya.
Sungguh benarlah perkataan Bebel: “wanita yaitu
budak belian, -budak belian pun dibeli dengan emas”!
Sudah mengetahui kita sekarang, apakah sifat hakekat
matriarchat dan patriarchat itu.
Sekarang, baiklah saya meninjau lebih dalam ekses-eksesnya
(keliwat batasannya) patriarchat itu.
Kita harus membuat perbedaan antara patriarchat yang
meliwati batas, dan patriarchat yang tidak meliwati batas.
Patriarchat yang tersebut belakangan ini, yakni patriarchat
yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum turunan dan
hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-
syarat kesuburan warga . Ia yaitu tiang besarnya
somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial “dari hukum
peribuan ke hukum perbapaan” yaitu satu revolusi yang
progresif. Demikian pula agama Islam dan agama Keristen
tidak menentang patriarchat yang demikian ini, namun
malahan menetapkan benarnya patriarchat yang demikian
ini.
namun patriarchat melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi
stelsel penindasan wanita . Ia menjadi stelsel yang
111
merampas segala hak-hak wanita , dan memindahkan
hak-hak itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli.
Di bawah ini saya hendak memberi beberapa contoh yang
amat menyedihkan.
Lebih dahulu, marilah kita dengan singkat meninjau
kedudukan patriarchat berhubung dengan agama. Sudah
berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni,
yakni agama sebagai yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi
Muhammad sendiri, tidak berisi penindasan kepada
wanita . Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan
bermaksud mengkoreksi ekses-ekses patriarchat yang pada
waktu mereka bekerja sebagai Nabi Allah, sedang mengamuk
di negeri mereka dan di negeri-negeri lain.
Di negeri Nabi Isa, pada waktu itu yaitu berlaku dua macam
kultur: kultur Yahudi yang memang kultur asli di situ, dan
kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada
waktu itu menjajah negeri Yahudi.
Kedudukan kaum wanita di warga Yahudi paling
tepat dapat saya gambarkan dengan mengutip perkataan-
perkataan yang diucapkan oleh orang Yahudi laki-laki di
dalam sembahyangnya tiap-tiap pagi: “Terpujilah Tuhan
Rabbulalamin, yang telah membuat aku tidak wanita ”.
Dan orang perempu-an Yahudi bersembahyang: “Terpujilah
Tuhan Rabbulalamin, bahwa Ia membuat aku menurut
Kehendak-Nya”.
Dan kedudukan kaum wanita di warga Hellenia
Rumawi telah saya gambarkan di muka dengan memberi tahu
kepada pembaca, bahwa perkataan Rumawi “famulus”
(keluarga) yaitu bermakna: budak, hamba, abdi.
Plato mengucapkan terimakasih kepada dewa-dewa buat
delapan macam berkat yang dewa-dewa itu karuniakan
kepadanya: yang pertama dari delapan berkat itu ialah, bahwa
ia dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak
sebagai budak belian, dan yang kedua ialah bahwa ia
dilahirkan sebagai laki-laki dan tidak sebagai wanita . Dan
di muka pun sudah saya katakan, bahwa di negeri Hellenia
112
(Yunani) wanita disebutkan “oikurema”, yang bermakna
“benda pengatur rumah tangga”.
Demikianlah keadaan wanita di negerinya Nabi Isa.
Maka datanglah Nabi Besar ini mengoreksi ekses-ekses
patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa bagi
Tuhan samalah laki-laki dan wanita . Bahkan inilah yang
menjadi sebab, bahwa di zaman pertama dibandingkan agama
Keristen itu, kaum wanita lah yang paling giat
mengikutinya dan paling giat membelanya. Merekalah yang
dengan mulut tersenyum menjalani siksaan-siksaan yang
dilaku-kan kepadanya oleh musuh agama Keristen, -dibakar
hidup-hidup, dirobek-robek tubuhnya oleh singa, diseret mati
oleh sapi-sapi jantan sebagai diceritakan oleh Sienkiwiecz di
dalam bukunya “Quo Vadis” yang termasyhur. Di waktu itu
warga Nasrani sangat menghargakan dan menghormat
kepada wanita . namun di zaman lalu dibandingkan itu,
derajat mereka diturunkan lagi. Nabi Isa sendiri tidak pernah
mengucapkan sepatah kata pun yang merendahkan kaum
wanita . Ini dapat dibuktikan dari kitab Perjanjian Baru.
Misalnya ucapan bahwa “orang laki-Iaki yaitu gambar dan
kemasyhuran Tuhan; orang wanita yaitu kemasyhuran
orang laki-laki”, yaitu ucapan dari zaman lalu
dibandingkan Nabi Isa.
Ah, wanita hanya kemasyhuran saja dari orang laki-laki!
Gambar dari orang laki-laki pun tidak! August Bebel mengejek
ucapan ini dengan kata: “Dus tiap-tiap orang laki-laki tolol,
atau bajingan sekalipun, boleh menganggap dirinya lebih
tinggi dibandingkan wanita yang bagaimana cakap dan mulia
pun juga. Di dalam praktek, sayang sekali, keadaan memang
begitu, sampai sekarang”.
Dan di dunia Islam? Di dunia Islam pun begitu. Sebelum Nabi
Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab jahiliah
berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara
yang mendirikan bulu. Di negeri-negeri lain wanita
sekadar dibendakan dan dibudakkan, namun di Arab jahiliah ia
sering dianggap sebagai sampah yang mengotorkan. Anak
wanita dibuang, dibunuh, dikubur hidup-hidup ... Maka
113
datanglah Pemimpin Besar Muhammad memerangi ekses-
ekses patriarchat itu. namun beberapa waktu sesudah
Muhammad mangkat, datanglah lagi penindasan dan
penghinaan. Sampai zaman sekarang, belum lenyap sama
sekali pembudakan dan penindas-an itu di beberapa daerah
umat Islam, baik di Barat maupun di Timur, di Afrika Tengah
maupun di Sentral Asia.
Dan dunia yang bukan Keristen dan bukan Islam? Keadaan
setali tiga uang. Ekses-ekses patriarchat masih belum
terhapus sama sekali. Ya, soal wanita memang belum
selesai, jauh dibandingkan selesai! Ada negeri-negeri yang
walaupun sudah berkemajuan tinggi, di situ ekses-ekses
patriarchat masih mengamuk dengan cara yang mengerikan
hati (Jepang). Ada negeri-negeri yang di situ tadinya ekses-
ekses patriarchat luar biasa hebatnya, namun oleh sebab
negara dengan ulet dan saksama membanterasnya, kini sudah
banyak kurangnya, meskipun belum lenyap sama sekali
(Rusia Timur). Ada negeri-negeri yang di situ sudah banyak
perbaikan nasib wanita , namun masih ada soal “retak”
atau “scheur” sebagai yang saya ceritakan di muka tadi
(Eropa, Amerika). Dan ada pula negeri-negeri yang di situ
keadaan wanita masih saja seperti beberapa ribu tahun
yang lalu, tatkala Nabi Ibrahim berjalan di padang pasir.
(Hadramaut Dalam, Tibet, dlsb.).
Maukah pembaca satu contoh ekses patriarchat di negeri yang
sudah berteknik tinggi? Saya tidak mengenal lain contoh yang
lebih “jitu” dibandingkan di negeri Jepang. Umumnya orang-orang
yang melihat keadaan wanita di negeri Jepang, -apa lagi
yang melihatnya secara pelancongan turis saja-, sangat
tertarik oleh “kekulturan” wanita di sana. Dan memang
juga orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang
semuanya tertarik oleh “kekulturan” mereka itu. Lafcadio
Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer, Alice M. Bacon,
Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya
memuji kehalusan dan kekulturan wanita Jepang. Semua
mereka itu umumnya menyebutkan wanita Jepang “dewi-
dewi kebaikan”, “puteri-puteri kehalusan”, -bahasa Belanda:
engelen, bahasa Inggeris: angels. namun mereka pun
mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan
114
wanita -wanita Jepang itu menjadi dewi-dewi
kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan,
bahwa hidup wanita Jepang yaitu satu “kesedihan”
(tragedi), satu “korbanan”, dan bukan sekali-kali satu “puisi”,
satu syair. Salah seorang pemimpin negara kita yang dulu ikut
dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum, tatkala ia
melihat bahwa orang wanita Jepang tidak mau duduk di
kursi sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang
telah duduk lebih dahulu. Kalau umpamanya saudara ini
mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam dibandingkan kebaktian
ini, kalau ia mengetahui dasar sosial dibandingkan kebaktian ini, -
niscaya ia tidak akan kagum, namun terharu!
Sungguh, amat mengharukan nasib wanita Nippon itu. Di
muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan tahun yang
lalu, sebelum zaman feodal, ia yaitu sangat merdeka. Dulu ia
memimpin warga , menjadi pemuka ilmu pengetahuan.
Dulu ia menjadi pembuat hukum negara, bahkan sepuluh kali
ia menjadi Raja Puteri di atas singgasana Negara. Dulu ia
dinamakan “semennya warga ”, dan Nippon dinamakan
“negeri wanita” atau “negeri raja-raja wanita”. namun sekarang!
Sekarang ia menurut pendapat salah seorang penulis yang
telah berdiam di Nippon puluhan tahun (O’Conroy) tidak lebih
dari “benda zaliman suaminya” dan “seorang pengurus-rumah
yang tidak bergaji dan alat pelahirkan anak”. Dulu, menurut
van Kol, ia tak pernah menekuk lututnya di hadapan orang
laki-laki, namun sekarang ia harus memandang suaminya itu
sebagai “Yang Dipertuan yang wajib ia berhamba dengan
segala kehormatan, dan dengan segala pengagungan yang ia
bisa berikan kepada-nya” (Weulersse). Sekarang ia tak boleh
berjalan di muka sang suami, namun harus membuntut di
belakang sang suami. Bahasa yang ia pakai terhadap sang
suami yaitu lain dibandingkan bahasa yang ia pakai terhadap
teman-temannya. Bahkan bahasa yang ia pakai terhadap
kepada anaknya yang laki-laki, haruslah lain dibandingkan bahasa
yang ia pakai terhadap kepada anaknya jang wanita ! .
Suaminya pergi melancong, pergi menonton, pergi ke rapat,
pergi pelesir dengan sundal-sundal di rumah-rumah “joroya”
atau “machiya”, namun ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja,
bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri
115
Nippon itu menamakan wanita Nippon satu “werkdier”,
satu “kuda beban yang tiada berhentinya bekerja”. Van Kol
pula yang menulis: “wanita (Nippon) tidak masuk
hitungan. Hanya si “bapa” yang ada; ia (si bapa) yaitu pusat
segala hal; ia mewakili dan meneruskan keturunan.
wanita dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai isteri,
tidak pun sebagai orang yang dipercaya”. Seorang penulis lain
menyebutkan dia “satu milik buat dipakai, satu benda yang
musti selalu ada”.
Kewajiban hidupnya yang terbesar, “devoir pourla vie”-nya,
ialah menurut, -menurut kehendak sang suami. Demikian
Weulersse berkata. Dan seorang penulis Nippon pula,
Shingoro Takaishi, mengatakan: “kewajiban orang wanita
yang terbesar, seumur hidup, ialah menurut”, -“the great life-
long duty of a woman is obedience”. Dan cobalah pembaca
perhatikan kalimat yang berikut, terambil dari buku Nippon
“Pengajaran Besar buat wanita ”: “Segala apa saja yang
diperintahkan suami, harus diturut oleh wanita dengan
penuh ketaatan. Ia musti menengadahkan muka kepada
suami, seakan-akan suami itu setinggi langit. Ia musti selalu
memikirkan apakah yang dapat menyenangkan hati sang
suami. Ia musti bangun pagi-pagi, masuk tidur jauh malam,
supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita dari zaman dulu
ialah bahwa bayi wanita yang baru lahir, harus
diletakkan tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini
ternyata, bahwa laki-laki tinggi seperti langit, dan wanita
rendah seperti tanah”.
Pada waktu orang wanita Nippon menikah, ia harus
memakai pakaian yang berwarna putih, sebab bagi orang
Nippon warna putih yaitu warnanja maut. Simbolik ini
berarti, bahwa pada waktu ia menikah, ia telah mati bagi
kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan sendiri. Orang
tuanya pun pada waktu itu membakar api, -membakar api
seperti pada waktu kematian salah seorang keluarganya. Ia
tinggal hidup bagi Dia yang Satu itu saja, -tinggal hidup bagi
Sang Suami.
Ia tidak boleh berkata apa-apa, kalau suaminya jauh-jauh
malam belum pulang dari pelesir. Ia musti menunggu dengan
116
sabar, memasang telinga dengan teliti, supaya, kalau ia,
mendengar jejak kaki suaminya di tangga, ia segera dapat
membukakan pintu dan menghormatnya dengan menekukkan
lutut. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalaupun sang suami itu
membawa sundal ke dalam rumah. Ia malahan tak boleh
berkata apa-apa, kalau sang suami memerintahkan
kepadanya, membereskan tempat tidur buat suaminya dan
sundal itu, atau menyediakan sake hangat di sebelah tempat
tidur itu, meskipun ia mengetahui bahwa sake itu ialah buat
menguatkan nafsu-birahinya sang suami itu. Ia tak boleh
berkata apa-apa, kalau ia lalu disuruh menutup pintu
bilik, disuruh menunggu duduk di muka pintu itu, kalau-
kalau nanti sang suami memanggil kepadanya dengan tepokan
tangan, -meminta ini atau itu buat kesenangannya dengan
sundal itu.
Di dalam buku O’Conroy, professor ini menceritakan satu
pengalaman yang amat mengharukan:
“Saya tidak akan dapat melupakan pengalaman saya pertama
kali, tatkala saya menyaksikan, betapa seorang anak
wanita yang masih pengantin baru, duduk di muka pintu
kamar tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan
tepokan tangan. Ia baru umur enam belas tahun dan belum
banyak, lebih dibandingkan seorang kanak-kanak. Ia mengira telah
mendapat satu keberuntungan yang besar, sebab mendapat
seorang suami yang agak kaya. Ia sangat membanggakan
dirinya, rumah tangganya, suaminya. Ia agungkan suaminya
itu sebagai seorang-orang yang maha mulya. Ia ingin sekali
lekas mendapat seorang anak laki-laki. Ia baru kawin
seminggu, tatkala suaminya datang di rumah. membawa
seorang sundal. Ia diperintahkan oleh suaminya itu
menyediakan tempat tidur, dan menunggu di muka pintu.
Tatkala saya melihat dia itu, dia sedang duduk di atas tikar
kecil dari jerami. Ia goyangkan badannya ke muka dan ke
belakang, merintih, seluruh tubuhnya gemetar dan menggigil.
Ia menggenggamkan tangannya sehingga kaku, dan tiap kali ia
menundukkan tubuhnya ke muka, dipukul-pukulkanlah
kepalanya di atas papan. Tampaknya kepada saya ialah
seperti ia mau memukulkan keluar fikiran-fikiran yang ada di
dalam kepalanya itu. Sekonyong-konyong mengalirlah air
117
matanya banyak-banyak di atas pipinya. la menggigit-gigit
bibir supaya tidak berteriak, dan darah menetes dari ujung-
ujung mulutnya. la mengambil pucuk kimononya, dan
diputar-putarkannya di dalam tangannya. lalu ia
memasukkan pucuk kimono itu ke dalam mulutnya, supaya
tidak keluar satu jeritan sakit hatinya. Keadaan saya di situ
rupanya dianggap sebagai satu penghinaan oleh suami itu,
dan saya tidak berani lagi bertamu di situ setengah tahun
lamanya. Tatkala saya bertamu lagi kesitu, -seperti sudah
ditakdirkan, sedang terjadi lagi hal yang sama pula: suaminya
dengan sundal di dalam kamar. namun ini kali isteri itu duduk
tenang membaca surat kabar, dan tatkala ia melihat saya,
berdirilah ia sesudah memanggutkan kepalanya secara biasa,
menyongsong kedatangan saya, mengucapkan selamat datang
kepada saya dengan muka yang tersenyum. la telah belajar,
belajar bahwa kewajibannya ialah menurut” ...
Sungguh, tidak ada satu wanita Jepang yang tidak
menurut. Sebab kecemaran nama yang paling sangat di negeri
Jepang, kehinaan yang paling besar, ialah dicerai (ditalak) oleh
suami. Semua kehinaan masih dapat dipikul, semua
kepedihan masih dapat ditahan, -kecuali kehinaan yang satu
ini. Lebih baik sengsara dan menangis dalam hati seumur
hidup, dibandingkan mendapat perintah dari sang suami supaya
pulang. Dan suami ini dapat menyuruh dia pulang setiap
waktu, pagi atau sore, siang atau malam. Begitulah
keadaannya sekarang. Padahal di zaman dulu, suami yang
menceraikan isterinya, kehilangan sama sekali semua harta
miliknya, sebab harta miliknya itu menjadi hak isteri yang
diceraikan itu!
Ya, -“suami”- itulah kata satu-satunya yang terdapat di dalam
kamus seorang wanita Jepang. la seorang isteri yang
“sempurna”, yang halus, yang mencinta, yang taat, yang bakti,
yang berkorban, -sebab sang suami itu. Orang tak mudah
mengarti hal ini. Dr. Nitobe sendiri, itu penulis Jepang yang
termasyhur, berkata, bahwa wanita Jepang itu sudah
menjadi satu soal, satu problem. “Problem bagi dunia, problem
bagi negerinya, problem bagi dirinya sendiri”. Ia mencinta
meski tak pernah dicinta, mengorbankan dirinya meski tak
pernah mendapat terima kasih. Ia selalu memberi, dan tak
118
pernah mendapat. Hidupnya, menurut O’Conroy, yaitu satu
“tetesan air mata dan satu senyuman, satu keduka-citaan
yang dipikul dengan diam-diam, satu hidup mati berdiri yang
tiada persamaannya di sudut dunia manapun jua”. Baginya,
menurut tulisan van Kol, tidak kawin yaitu satu noda yang
amat besar, namun kawin satu siksaan yang amat pedih.
Betapa hebatnya cinta seorang wanita Jepang! Ia
mencinta dengan segenap jiwanya, namun tak dapat
menjelmakan cintanya itu, sebab suaminya tak mengizinkan
dia duduk terlalu dekat. Ia musti selalu bersikap hormat,
selalu bersikap “abdi”. Maka dicurahkannyalah cintanya itu
habis-habisan kepada anak. Lafcadio Hearn tidak mengenal
satu hal yang lebih mengharukan hati, dibandingkan seorang
wanita Jepang yang mengusap-usap dan mencium-cium
kepada anaknya. Matanya yang memandang kepada anaknya
itu seringkali berlinang-linang.
namun , apakah laki-laki Jepang membalasnya dengan cinta
pula?
Menurut semua ahli-ahli jiwa orang Jepang, maka laki-laki
Jepang itu tak kenaI apa cinta itu. Bahasa Jepang tak
mengenal kata buat “cinta kasih”, di dalam arti dan makna
yang kita kenal kepadanya. Perkataan mereka buat “cinta”
yaitu satu perkataan yang bermakna persatuan tubuh, dan
aksara mereka buat “cinta” yaitu aksara yang
menggambarkan persatuan tubuh. wanita bagi mereka
hanya makhluk pelepas syahwat. Cerita-cerita roman Jepang
hampir tak pernah berakhir dengan “happy end”, -yaitu
kebahagiaan cinta kasih antara laki-laki dan wanita .
Cinta batin, cinta jiwa, tidak ada. sebab itu maka laki-laki
Jepang tidak mengarti, bahwa ia menjalankan satu
penghinaan kepada isterinya, kalau ia menyundal, menyelir,
membawa wanita lain ke dalam rumah. Ia merasa boleh
memiliki selir (makake) berapa saja, -di luar dan di dalam
rumah. Ia merasa boleh menyundal beberapa kali saja setiap
hari, sekuat uang dan kemampuannya. Bergaul dengan
geisha-geisha dan wanita jalang dianggapnya bukan satu
keimmorilan. Di seluruh negeri Jepang, di tiap-tiap sudut
yaitu rumah-rumah joroya dan machiya. Tidak ada satu
119
pesta, tidak ada satu perjamuan, yang tidak “disempurnakan”
dengan geisha-geisha.
Perzinahan, -persetubuhan di luar nikah-, bukanlah satu
dosa. Menurut perhitungan cacah jiwa rakyat yang dikerjakan
oleh Departemen Tata Usaha Keraton beberapa tahun yang
lalu, maka 60% dari anak-anak bangsawan yaitu dilahirkan
oleh isteri-isteri yang tidak dikawin. namun janganlah seorang
wanita yang sudah bersuami syah, berzina dengan laki-
laki lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh
di atas kepalanya! Beberapa puluh tahun yang dahulu, ia
malahan dijatuhi hukuman mati sebab perzinahan itu. Ia
hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain;
suami yaitu yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh
menambah jumlah milik itu menurut kemampuannya.
Patriarchat bukan patriarchat, kalau wanita hanya milik
suami saja. Pada asalnya, bapalah yang memilikinya lebih
dahulu. Milik si bapa ini, sebab perkawinan, pindah kepada
si suami. Bapa tidak menyelidiki lebih jauh, maukah atau
tidak maukah anaknya itu kepada laki-laki yang hendak
mengawininya. Bapa yang menimbang, bapa yang memutus.
Dan anak pun tidak akan banyak bicara, -anak menurut saja.
Tidak banyak “ramai-ramai” atau pesta perkawinan diadakan.
Sebab perkawinan hanyalah satu “amal kontrak sipil” saja.
Menurut van Kol, maka, segera sesudah menikah, wanita
itu lantas saja dibawa ke rumah suaminya, dan “lantas saja
disuruh bekerja di rumah tangga”. Badannya, tenaganya,
jiwanya, menjadi barang milik. Dan anak-anaknya pun kelak
menjadi milik: Kalau ia dicerai, -diusir dari rumah suaminya-,
maka anak-anaknya seorang pun tidak boleh mengikutinya!
Pada waktu belum menikah, bapanya boleh mengasihkan dia
kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya itu.
Ia boleh dijualnya kepada germo-germo, boleh digadaikannya
sebagai tanggungan hutang. Kadang-kadang, anak-anak
wanita yang masih amat kecilpun, baru berumur lima-
enam tahun, telah dilepaskan oleh bapanya kepada agen-agen
sundal itu, untuk “dididik” supaya kelak menjadi sundal biasa
atau menjadi geisha.
120
Agen-agen rumah joroya atau rumah machiya keluar masuk
kampung, mencari perawan-perawan yang sudah dara, atau
anak-anak kecil yang masip bermain-main. Kemiskinan kaum
tani Nippon yang amat sangat, itulah bumi subur untuk
kejahatan agen-agen ini. “Tidak ada uang di rumah, ... namun
masih ada anak gadis”... itu berarti masih ada harapan. Agen-
agen itu amat tajam sekali hidungnya. Mereka dengan
ketajaman hidung serigala, dengan segera mencium, di
manakah letaknya desa-desa yang penduduknya di dalam
kesusahan. Ada daerah-daerah di negeri Nippon, yang di situ
hampir tidak ada lagi gadis-gadis atau wanita -wanita
muda.
Seorang penulis menceritakan satu kejadian yang biasa: “Di
dalani satu gubug, duduk seorang orang tani yang sudah tua,
dengan isterinya, dan anaknya wanita yang masih kecil.
Ketiga mereka itu duduk dekat kepada api, mencoba-coba
mencari hangat. Orang tua itu memakai semacam mantel,
terbuat dibandingkan rumput. Angin dingin masuk dari lobang-
lobang cela pintu yang terbuat dari pada kertas, dan pintu itu
bergoyang sebab angin. Tikar yang mereka duduki, warnanya
kuning dan kotor, dan sudah amoh. Ibu dan anak diam, tidak
mengucapkan sepatah kata juapun; orang laki itu sekali-sekali
mengeluarkan suara, namun tiada artinya. Yang bergerak
hanya tubuh wanita dan anak itu, sebab menggigil
kedinginan.
Sekonyong-konyong terdengar dari luar pintu suara sopan
santun, -minta maaf sebab mengganggu. Bapa tani itu pergi
ke pintu, dan sebelum ia membukanya, berjongkoklah ia,
serta mengatur tangannya menurut aturan kehormatan. Ia
tundukkan kepalanya, sehingga kepalanya itu hampir
mengenai tikar yang kotor itu. Demikianlah ia mengucap
selamat datang, memper-silahkan tamu supaya masuk.
Dengan banyak sekali membungkuk-bungkuk dan
memanggut-manggut, pergilah tamu itu ke tempat dekat api.
Di situ dikerjakan lagi hormat-menghormat dengan saksama.
Keempat-empat orang itu menaruh tangan di atas tikar, -
telapak ke bawah, ujung jari ke dalam. Kepala ditundukkan
hingga hampir mengenai tikar. Bapa tani meng-ucapkan
121
salam kehormatan rumahnya, meminta beribu-ribu maaf atas
segala kekurangan. Si tamu membalas dengan kalimat-
kalimat yang sangat hormat dan sopan menurut kebiasaan.
Satu mangkuk kecil dengan teh hijau disuguhkan kepada
tamu terhormat itu, yang dengan banyak desakan tuan-rumah
akhirnya mau duduk juga di tempat kehormatan dalam bilik
itu. Teh itu diminumnya dengan pelahan-pelahan dan
menurut aturan semestinya, dan sesudah sejurus waktu yang
pantas, mulailah ia membuka pembicaraan. Anak wanita
itu tak boleh berkata apa-apa, -tak perduli umurnya enam
tahun, atau enambelas tahun, atau enamlikur tahun! Ia harus
tunduk kepada kehendak bapa ... Kalau pembicaraan jual-beli
sudah selesai, maka ia menundukkan badannya kepada
bapanya itu, dan lalu juga kepada si tamu itu. Pakaian-
pakaiannya yang sedikit itu ia kumpulkan menjadi satu
bungkusan. Berangkatlah ia mengikuti tuannya” ...
Ia menjadi gadis joroya, atau seorang “maiko” yang dididik
menjadi geisha. Boleh dikatakan, ia tidak akan merdeka lagi,
sebelum tubuhnya layu dan keelokannya hilang. Di negeri
Nippon sedikitnya 4.000.000 gadis-gadis kecil di bawah umur
15 tahun meninggalkan rumah orang tuanya secara itu. Di
dalam kitab O’Conroy saya membaca keterangan orang Jepang
Mr. Satoh yang amat pedas, yang berbunyi: “Salah satu sebab,
mengapa pencatatan kelahiran anak di negeri Jepang tidak
begitu berguna, ialah, oleh sebab anak-anak masuk kepada
barang “roerende goederen” yang menjadi milik orang yang
memilikinya. Sebagai juga halnya dengan babi, ayam, sapi,
serta kambing, maka anak-anak itu diternakkan, -buat nanti
dijual. Dulu orang membeli anak-anak dengan harga 50
sampai 60 yen, sekarang seorang anak wanita yang
berumur delapan tahun dan cantik paras mukanya hanyalah
berharga 10 yen” ...
Ah, Sarinah di negeri Sakura yang indah itu, dan yang
kebudayaannya di lain fihak begitu tinggi! Hanya tiga jenis
tempat nasibnya: Dinikah orang, atau tidak dinikah orang,
atau dibeli orang dan dijadikan “bunga”. Dinikah orang berarti
perhambaan yang berat; tidak dinikah orang berarti kehinaan
seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau
geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun.
122
Barangkali menjadi geishalah yang paling mendingan.
Sebagaimana di kota Athena (Yunani) di zaman purbakala
wanita -wanita yang tidak mau dikurung dan ditindas
oleh kaum laki-laki, sama menjadi hetaere, -yaitu menjadi
sundal merdeka, -maka di Nippon geisha-geishalah yang
paling “senang”. Bacalah keterangan seorang geisha yang saya
kutip ini! Menggelikan, namun juga menyedihkan! “Kami
geisha-geisha masih boleh dikatakan yang paling untung.
Lebih untung dari wanita -wanita yang punya suami,
atau sundal-sundal biasa. wanita yang bersuami
diwajibkan tidur dengan satu orang laki-laki seumur hidup,
dan tidak mendapat bayaran sepeser pun juga. Sundal biasa
diwajibkan tidur dengan banyak orang-orang laki-laki, dan
kadang-kadang mendapat persenan juga. Kami kaum geisha
tidur hanya dengan sedikit orang laki-laki saja, dan seringkali
juga boleh memilih sendiri siapa yang kami cintai. Dan mereka
mengasih persenan-persenan kepada kami” ...
Sungguh, di negeri “matahari terbit” itu, belum terbit mata-
hari bagi kaum wanita ! namun ia tidak boleh mengaduh; ia
tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka
manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu
hati sang suami dengan muka yang tidak menarik hati. Ia
diwajibkan selalu seperti bidadari, meskipun baru saja
dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah tangganya.
Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum,
tersenyum, tersenyum saja. namun berapa rintihan sukma,
berapa senggukan tangis tersembunyi di belakang senyuman
itu? yaitu satu peribahasa Nippon yang berbunji: “Orang
laki-laki tertawa dengan hatinya; orang wanita tertawa
dengan mulutnya saja”.
Sejak dari kecil ia sudah disuruh mengafalkan isi buku kuno
tulisan Kaibara Ekiken (sudah barang tentu pujangga pendidik
wanita ini orang ... laki-laki!) yang bernama “Onna Dai-
Gaku” (“Sekolah Tinggi buat wanita ”), yang mengandung
ajaran seribu satu kewajiban dan seribu satu larangan yang
seram-seram. Salah satu kewajiban itu ialah: tetap bermuka
manis, tetap gembira, meskipun hati merintih-rintih. Dan
123
salah satu larangan ialah: wanita tidak boleh mengomel,
sebab Konghucu telah berkata bahwa “ayam betina yang pagi-
pagi sudah berkokok, niscaya membawa sial”! Herankah kita
bahwa wanita di negeri matahari terbit ini menjadi
“bidadari-bidadari kejelitaan”, yang tiada bandingannya di
muka bumi? Bukan sebab adanya agama Buddha saja;
negeri Nippon dinamakan “negeri bunga teratai”. Bunga teratai
Nippon yang sesungguhnya, ialah wanita Nippon itu! Ditanam
di dalam lumpur, namun tetap cantik manis; ditumbuhkan di
dalam kotoran, namun tetap menarik hati! ...
Van Kol menulis tentang wanita Nippon itu: “wanita
hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja;
kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-
perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya”.
“wanita dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat
mengerjakan segala hal lebih baik dibandingkan dia, dan bahwa
banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan
oleh wanita. Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya,
bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat
memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada
anak-anak wanita yang masih kecil diajarkan, bahwa
mereka tak mempunjai hak apa-apa bilamana mengenai
adiknya laki-laki”. Peribahasa Jepang berbunyi: “Di dalam tiga
dunia wanita tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia
yang sudah silam, dunia yang akan datang”. Satu lagi: “Tiga
hukum ketaatan harus diindahkan oleh wanita ; waktu ia
kecil, ia harus taat kepada orang tuanya; waktu dewasa, ia
harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada
anaknya”. Andre Bellessort menulis: “Di Nippon, tidak ada
barang sesuatu yang lebih menghibakan hati, dibandingkan
wanita. Segala miliknya, harus ia anggap sebagai kemurahan
hati suaminya. Hidupnya pun yaitu sebab kemurahan hati
Yang Dipertuan itu”. Griffis berkata: “Barangkali tidak ada
yang melebihi wanita Jepang sebagai ibu, sebagai isteri,
sebagai anak, sebagai kawan, di atas lapangan kebajikan
meniadakan diri sendiri dan mengorbankan diri sendiri”.
Demikianlah nasib wanita Jepang. Saya kira nasib mereka itu
menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan cara yang
terang sekali. Negeri Nippon terbagi menjadi dua alam:
124
alamnya laki-laki yang menindas, dan alamnya wanita
yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini
berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti,
tabiat, cara hidup sehari-hari, bahasa, kesenangan-
kesenangan, angan-angan, cita-cita, -semuanya berlainan,
semuanya memiliki corak sendiri. Laki-laki yang turun-
temurun berabad-abad hidup dalam ideologinya penindas,
bangun tidur sebagai penindas yang selalu diturut dan ditaati,
-laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi “manusia lain”
dibandingkan wanita yang turun-temurun berabad-abad selalu
tunduk dan tertindas itu. wanita menjadi seperti
makhluk-makhluk sutera, seperti “bidadari”, seperti dewi-dewi
kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis penuh
dengan “grace et douceur”, namun laki-laki Jepang yaitu
angker, angkuh, kaku, sengit, gampang membentak dan
menempiling. Lafcadio Hearn yang paling mengenal bangsa
Jepang di antara “penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn
berkata bahwa wanita Jepang itu ”begitu berbeda segala-
galanya dibandingkan laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya
mereka itu memang satu bangsa lain sama sekali”. Di dalam
bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis
Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan
Lafcadio, dengan perkataan: “Hampir semua orang asing
memang melihat perbedaan antara laki-laki kita dan
wanita kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih,
mukanya seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak
teratur, sikapnya di tempat umum tidak sopan. wanita -
wanita kita selamanya membelakangkan diri, sopan, dan
di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana
dan lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-
lakunya yang kasar itu dianggap sebagai contoh kelaki-lakian,
maka wanita -wanita kita harus dianggap sebagai
bidadari-bidadari”. Van Kol pun demikian pendapatnya:
“Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana
wanita begitu berbeda dari laki-laki, seperti di Jepang.
Orang boleh berkata benar-benar, bahwa di sana itu ada dua
bangsa manusia yang sebelah-menyebelah satu sama lain:
laki-laki dan wanita , yang bukan saja perangainya
berbeda, namun juga badannya berbeda satu sama lain.
Terutama sekali kepada orang-orang Eropa perbedaan ini
sangat menyolok mata”.
125
Itulah akibat ekses patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan
menindas telah memberi “kesan” kepada rohani dan jasmani
yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah
memberi “kesan” pula kepada rohani dan jasmani yang
tertindas. Memang perbedaan di atas lapangan rohani dan
jasmani itu, -yang tidak untuk “keperluan turunan”-, telah
saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan
perbedaan yang sebab kodrat alam, bukan perbedaan yang
dari zaman purbakala telah ada, namun ialah perbedaan-
perbedaan yang sebab milieu, perbedaan-perbedaan yang
sebab kebiasaan hidup, - perbedaan-perbedaan yang sebab
menindas atau ditindas turun-temurun. Siapa yang di zaman
sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat mengangkat
tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam
warga manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang
kodrat wanita berbadan lemah, berjalan tunduk, berfikir
dungu, berperasaan sempit, berkemauan tak tentu, dan
bahwa oleh sebab itu dus sudah kodrat wanita untuk
ditaruh di lapisan bawah atau ditaruh di luar pergaulan
hidup, -dia sendiri yaitu orang yang bodoh, orang yang
dangkal pengetahuan. Dia saya persilahkan membuka buku
sejarah-warga , antara lain-lain sejarah warga
Nippon yang membuktikan kebodohan anggapannya itu: Dulu,
di zaman sebelum zaman feodal, wanita Jepang tangkas,
sigap badan, cerdas, menjadi raja-raja puteri, memerintah,
memegang obor kesenian, mengalahkan kaum laki-laki yang
menurut van Kol di waktu itu. “verwijfd”, -sekarang, sesudah
ratusan tahun ekses patriarchat, ia berjalan membungkuk,
menjadi makhluk “jelita”, kaum yang mengalah, orang yang
“nerimo”. Sungguh warga Jepang itu warga yang
baik kita pelajari, oleh sebab warga di sana itu dengan
jarak yang hanya seribu tahun saja telah mengenal dua
“macam” wanita : wanita yang menang rohani dan
jasmani, dan wanita yang kalah rohani dan jasmani.
Dan saya heran: tidakkah pernah orang mendengar nama
Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama Tembini?
Anggapan tentang apa yang disebut “pencaharian hidup
menurut kodrat”, “tujuan menurut kodrat”, “bakat menurut
kodrat” dan lain sebagainya itu, yang hendak menetapkan
126
wanita itu di samping api dapur saja dan buaian anak
saja, anggapan demikian itu dibantah mentah-mentah oleh
sejarah warga .
namun , pembaca, janganlah pembaca kira bahwa contoh-
contoh ekses patriarchat yang keliwat, hanya terdapat di
Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia,
(namun pemerintah Sovyet bekerja keras untuk
mengemansipasikan wanita di daerah-daerah yang di bawah
kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang berpemerintahan
Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses
sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab Fanina W.
Halle, Meredith Townsend, Frances Woodsmall, dsb! Sudah
barang tentu “Islam” di tempat-tempat itu bukan Islam
murni sebagai yang di kehendaki Tuhan dan Rasulullah, yang
memberi kedudukan baik kepada wanita. Sebenarnya saya di
dalam risalah ini ingin sekali menceritakan tentang ekses-
ekses patriarchat di daerah-daerah Islam itu, namun sayang
seribu sayang ada dua hal yang menghalanginya: Pertama oleh
sebab tempat di dalam kitab ini kurang luas, kedua oleh
sebab buku-buku saya yang mengenai perkara ini semuanya
ketinggalan di Bengkulu. Insya Allah, kalau Tuhan
mengizinkan, kalau buku-buku itu sudah dapat saya
datangkan, kalau saya ada waktu, saya hendak menulis satu
risalah tentang “wanita di dunia Islam”.
Saya tadi mengambil Jepang sebagai gambaran, oleh sebab
Jepang yaitu negeri modern. Saya menaroh warga
Jepang itu dalam peneropongan, untuk memberi pengartian
kepada pembaca, bahwa kemodernan tidak selamanya
dibarengi dengan penjunjungan derajat wanita . namun
perhatikanlah: manakala nanti industrialisme di Nippon
makin banyak membutuhkan tenaga wanita , manakala
industrialisme itu nanti makin banyak menarik tenaga wanita
ke dalam produksi warga , -maka tidak akan laku lagi
sepeser pun segala ajaran-ajaran kitab “Onna Dai Gaku” yang
kolot itu. Maka tidak boleh tidak akan berobah derajat
wanita di Jepang itu. Maka pasti akan berganti moral
tentang kewanitaan di Jepang itu. Malahan di waktu sekarang
ini telah mulai perubahan itu berlaku berangsur-angsur.
Banyak “wanita baru” kini telah berjalan di jalan-jalan
127
Tokyo, Kyoto, Nagoya, dll. Peperangan Jepang Tiongkok yang
banyak membutuhkan tenaga wanita di paberik-paberik,
peperangan dunia II yang dito, memberi dorongan lagi kepada
proses perobahan itu. Saya kira, segala sisa-sisa kekolotan itu
akan lenyap sama sekali sebelum abad ke XXI mengetok
pintu. Buat kesekian kalinya kita akan melihat, bahwa segala
ikatan-ikatannya moral yang kolot, segala belenggu-belenggu
“agama” yang menyalahi Agama, akan pecah hancur putus
sebab hantaman hukum Predestinasi Sosial Ekonomis.
wanita akan merdeka dan pasti merdeka. Bukan di
Nippon saja, namun juga di tempat-tempat yang keadaan
wanita-nya kini lebih mesum lagi dibandingkan di Nippon itu: di
beberapa tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan
di Punjab, di beberapa daerah Sentral Asia dan Sentral Afrika,
di beberapa daerah tanah air kita sendiri. wanita di
Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke
kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat
dunia. namun di tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada
banyak mereka yang sama sekali dikurung, ditutup, dipingit.
Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau Setsuko
di negeri Sakura, namun ia tentu mengakui pula bahwa nasib
Zulaeha atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang
lebih menyedihkan lagi. Banyak penulis yang sudah
mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke
Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat
menunjukkan tempat-tempat yang wanitanya lebih
terkungkung dibandingkan justru di beberapa daerah yang
namanya daerah “Islam”.
Jepang yaitu satu paradox, antara kemodernan dan
kekolotan. namun kekolotan fahamnya tentang wanita, tidak
memegang record. Record kekolotan yaitu dipegang oleh
sebagian dari umat yang namanya telah beragama Islam.
Bukan sesuai dengan kehendak Islam, namun , bertentangan
dengan kehendak Islam!
128
BAB V
WANITA BERGERAK
Keadaan wanita yang ditindas oleh fihak laki-laki itu akhir-
nya, tidak boleh tidak, niscaya membangunkan dan
membangkit-kan satu pergerakan yang berusaha meniadakan
segala tindasan-tindasan itu. Itu memang sudah hukum alam.
namun yaitu hukum alam juga, bahwa kesedaran dan
kegiatan sesuatu pergerakan bertingkat-tingkat.
“Ber-evolusi”. Pergerakan wanita ber-evolusi.
Buat mengarti tingkat-tingkat evolusi pergerakan wanita
itu, pembaca lebih dulu dengan singkat saya ajak meninjau
lagi keadaan warga wanita di dunia Barat seratus
lima puluh tahun yang lalu.
Barangkali pembaca menanya: kenapa “dunia Barat”?
Jawab atas pertanyaan itu yaitu mudah dan singkat: oleh
sebab di dunia Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-
mula. Di dunia Baratlah pertama-tama terdengar semboyan
“wanita , bersatulah”! Di dunia Baratlah berkembangnya
contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut
wanita dunia Barat, dari mulut Katharina Brechkovskaya,
pertama-tama terdengar seruan: “Hai wanita Asia, sedar dan
melawanlah!”.
Tatkala wanita di dunia Barat sudah sedar, sudah
bergerak, sudah melawan, maka wanita di dunia Timur
masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan
dengan tiada protes sedikit pun juga. Tidak diketahui, tidak
dikira-kirakan, oleh wanita di dunia Timur itu, bahwa ada
kemungkinan menghilangkan tindasan dan pingitan itu,
bahwa ada jalan untuk memerdekakan diri. Dikiranya, bahwa
tindasan dan pingitan itu memang sudah kehendaknya alam.
namun sebagaimana faham-faham politik yang timbul di dunia
Barat lambat-laun menular pula ke dunia Timur, demikian
pula maka semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang
didengung-dengungkan di dunia Barat itu akhirnya
mengumandang dan menggaung juga di tepi-tepi sungai Nil,
129
sungai Yang Tse, dan sungai Gangga. Kini dunia Timur sudah
memiliki “pergerakan wanita”, kini Asia sudah tidak lagi
mendidih dan menggolak dengan perjoangan kaum laki-laki
saja, namun wanita Asia pun sudah mulai ikut serta di dalam
perjoangan untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya.
namun , boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur
itu yang pergerakan wanitanya, -kecuali beberapa individu-,
telah berideologi setinggi ideologi pergerakan wanita di dunia
Barat di dalam tingkatannya yang terakhir. Timur meniru
kepada Barat, namun menirunya itu belum menyamai segenap
tingkatan yang boleh menjadi teladan kepadanya.
Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata
menunjukkan tiga stadia evolusi, tiga tingkatan, -tingkatan
kesatu, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga-, maka Timur
yang meniru Barat itu, paling mujur, barulah sampai
ketingkatan kesatu dan kedua saja. Dan itupun belum
sehebat, seberkobar-kobar, semenyala-nyala tingkatan kesatu
dan kedua di benua Barat beberapa puluh tahun yang telah
lalu!
Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat
itu?
Marilah saya ceritakan hal itu kepada pembaca, lebih dulu
secara “selayang terbang”. Itulah cara yang paling
“mengartikan”. Sesudah peninjauan “selayang terbang” itu, -
saya maksudkan: sesudah peninjauan “dari udara”, yang
memberi “ikhtisar umum”-, maka pembaca akan saya ajak
turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil, ke buminya detail.
Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah mengarti
sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai
sekarang. Sebenarnya, belum boleh dikatakan ada
“pergerakan wanita” di Barat sebelum pecahnya Revolusi
Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya abad kedelapan
belas.
Baru di dalam Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat
pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh
diberi gelar “pergerakan wanita”. Baru didalam Revolusi itulah
130
kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya
sebagai manusia, sebagai anggota warga , sebagai warga
Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse
dan sebagai warga negara wanita.
Sebelum Revolusi-Revolusi itu, belum yaitu gerakan itu.
Hanya di kalangan kaum wanita bangsawan dan
hartawan yaitu semacam “kerajinan”, semacam “kegiatan”,
yang saya namakan “tingkatan kesatu” dibandingkan pergerakan
wanita. Sebenarnya perkataan pergerakan wanita buat
tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab “kerajinan” atau
“kegiatan” itu sama sekali bukan pergerakan, -apalagi
gerakan! “Kerajinan” dan “kegiatan” itu hanyalah satu “onder-
onsje” (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ... -satu
“kelangenan” (J.) Bukan satu “aksi”, bukan satu “perlawanan
tersusun”, bukan satu “gelombang kesedaran”. Ia hanyalah
satu “kesukaan”, satu “pengisi waktu nganggur”. Ia terutama
sekali dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan
yang jemu dengan terlalu banyaknya waktu menganggur.
Ada gunanya “kegiatan” semacam itu saya namakan satu
tingkat kesatu dibandingkan pergerakan wanita!
Sebab di negara kita sini, terutama sekali sebelum negara kita
merdeka kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang
disebutkan orang “pergerakan wanita negara kita ”, sebenarnya
tidak lebih dibandingkan kegiatan semacam “onder-onsje” atau
“kelangenan” pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan,
yang sama sekali jauh terasing dibandingkan massa, dan tidak
berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali!
Apakah kegiatan “tingkatan kesatu” di benua Barat itu?
Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-
perserikatan, -club-club-, yang anggotanya rata-rata dari
kalangan kaum wanita atasan, dan yang tujuannya serta
usaha-nya ialah memperhatikan kerumah tanggaan. Ilmu
masak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu bergaul,
ilmu kecantikan, ilmu estetik, serta prakteknya, -hal-hal yang
semacam itu yang men-jadi lapangan usahanya. Club-club itu
“menyempurnakan” wanita sebagai isteri dan sebagai ibu.
131
“Menyempurnakan” anggota-anggotanya untuk cakap
memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, cakap mem-
berahikan suami, cakap menjadi ibu. Perbandingan hak
antara laki-laki dan wanita tidak disinggungnya, ekses-
ekses patriarchat tidak ditentangnya. Kegiatan mereka ialah
justru untuk menyempurnakan diri mereka di dalam ekses-
ekses patriarchat itu.
Suami tetap diakuinya sebagai Yang Dipertuan, Yang Maha
Kuasa, usaha mereka ialah -justru menyempurnakan diri
mereka untuk menyenangkan hati Yang Dipertuan, Yang
Maha Kuasa itu. Mereka kadang-kadang mendirikan
sekolahan-sekolahan buat gadis-gadis, dan sifatnya
sekolahan-sekolahan itu tak banyak bedanya dengan
“sekolah-sekolah rumah tangga” di zaman sekarang, -hanya
lebih “mondaine”, lebih “mriyantun”. Mereka merasa diri
mereka setingkat lebih tinggi dibandingkan wanita -wanita
yang kurang mahir di dalam ilmu “kewanita an”. Mereka
mendidik gadis-gadis, supaya nantinya “laku” di kalangan
kaum pemuda bangsawan dan hartawan, untuk dikawin, dan
menjadi “grande dame”. Usaha mereka ialah untuk
menyempurnakan dan menyediakan wanita buat perjodohan,
buat sang suami yang harus dipuja, buat “Sang Junjungan”
yang harus ditaati. Promotor-promotor mereka, -yang paling
terkenal ialah Madame de Maintenon di Perancis, dan A. H.
Francke di Jerman-, promotor-promotor mereka tidak
membangunkan semangat kesadaran yang lebih berarti, tidak
menunjukkan jalan kepada kaum wanita untuk menjadi
manusia yang lebih berisi. Kodrat alam menetapkan
wanita di bawah laki-laki, -sempurnakanlah wanita
itu untuk lebih sempurna mengabdi laki-laki! “Kelebihan” laki-
laki itu diakui, dihormati, ditaati. Manakala nasib wanita
kurang menyenangkan, itu menurut pemimpin-pemimpin
wanita tingkatan kesatu itu bukan disebabkan tidak adilnya
perbandingan hak antara wanita dan laki-laki, namun
melulu disebabkan si wanita itu sendiri kurang sempurna
menjalankan kewanita nya. Oleh sebab itu:
Sempurnakanlah dirimu! Sempurnakanlah kecantikanmu,
sempurnakanlah kecakapanmu berumah tangga,
sempurnakanlah kepandaianmu meladeni suami, maka
132
dengan sendirinja kedudukanmu sebagai wanita akan lebih
berharga dan lebih menyenangkan!
Begitulah, dengan singkat, gambarnya “tingkatan kesatu”.
Tepat dan jitu sekali perkataan Henriette Roland Holst, bahwa
usaha dan ikhtiar wanita dalam tingkatan ini pada
hakekatnya ialah “om den man tebekoren”: -“buat memikat
hati laki-laki”. Tingkatan ini sering saya namakan “Tingkatan
kewanita an”.
Mudah difahamkan, bahwa “tingkatan kewanita an” itu
hanya dapat manarik perhatian kaum wanita atasan saja, dan
tidak diikuti oleh kaum wanita kalangan rakyat jelata. Begitu
pula mudah difahamkan, bahwa pergerakan semacam itu
tidak dapat memuaskan buat selama-lamanya. Maka oleh
sebab itu, segeralah sesudahnya mode tingkatan ini surut, di
dunia Barat lantas timbul satu tingkatan lain, -tingkatan
yang kedua-, yang bukan lagi satu tingkatan “om den man te
bekoren”, melainkan satu tingkatan yang dengan sedar
membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Tingkatan ini,
bukan lagi satu tingkatan yang hendak “menyempurnakan”
kaum wanita buat kesempurnaan pengabdian kepada
kaum laki-laki, namun satu tingkatan yang dengan sadar
menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum
laki-laki. wanita -wanita dari tingkatan ini sadar,
bahwa wanita di hampir segala lapangan tidak dikasih
jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh sebab itu hampir
semua hal kewarga an menjadi monopoli kaum laki-laki.
Mereka merasa tidak adil, bahwa wanita di lapangan
warga tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan kaum
laki-laki. Tidak dibolehkan masuk kantor, tidak dibolehkan
masuk sekolah tinggi, tidak dibolehkan ikut politik, tidak
dibolehkan menjadi anggota parlemen, tidak dibolehkan
menjadi hakim, dan lain-lain sebagainya. Maka membanteras
ketidak-adilan ini, membanteras tidak samanya hak dan
derajat antara wanita dan laki-laki, menuntut adanya
persamaan hak dan persamaan derajat itu, -itulah pokok-
tujuannya tingkatan kedua itu.
Apakah pada hakekatnya sebab-sebab timbulnya tingkatan
ini? Sebagaimana telah saya uraikan di fasal-fasal yang
133
terdahulu, maka pada hakekatnya perobahan dalam
warga lah yang menjadi asal segala perobahan-
perobahan ideologi. Sebagaimana perobahan dalam proses
produksi merobah anggapan-anggapan di dalam warga
itu, merobah moral, merobah adat, merobah isme-isme, maka
perobahan dalam proses produksi itu juga merobah ideologi-
ideologi wanita tentang caranya mencari perbaikan nasib.
Dulu mereka mengira, bahwa nasib mereka itu dapat
diperbaiki dengan jalan menyempurnakan
kewanita annya, -“om den man te bekoren”!-, dengan
menambah kecakapan bersolek, memasak, memegang rumah
tangga, memelihara anak, kejuitaan dalam pergaulan, -dulu
mereka mengira, bahwa keburukan nasib mereka itu melulu
hanya akibat dibandingkan kekurangan kekurangan pada diri
mereka sendiri saja, - kini mereka berganti kepada anggapan,
bahwa sebagian besar dibandingkan keburukan nasib itu ialah
akibat dibandingkan ketiadaan hak-hak wanita di dalam
warga yang sekarang.
Selama warga itu masih warga kuno, warga
yang proses produksinya belum secara baru, maka belum
terasa oleh mereka akan ketiadaan hak-hak dalam
warga itu. namun sesudah industrialisme berkembang
biak, sesudah proses