presiden soekarno 4
aitu hukumnya masa yang telah silam. Lihatlah, di dalam
kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum
peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman
yang lalu : di dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada
tertulis: “Maka oleh sebab itu, orang laki-laki akan
meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada
isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging”. Benar
kalimat ini terdapat juga di Perjanjian Baru (misalnya
Mattheus 19,5 dan Markus 10, 7), dan diartikan sebagai
kesetiaan laki-laki kepada isterinya, namun asal-asalnya
nyatalah dari kitab Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama
pula, Numeri 32,41 ada diceritakan hal yang berikut: Yair
memiliki bapa yang asalnya dari suku Yuda, namun ibunya
Yair yaitu dari suku Manasse, maka dengan nyata Yair di
situ disebutkan “ibnu Manasse”, dan mendapat warisan dari
suku Manasse itu. Begitu pula di dalam Nehemia 7,63: Di sini
anak-anak seorang pendeta yang beristerikan seorang
wanita dari suku Barzillai, dinamakan anak-anak
Barzillai, jadi menurut nama suku ibunya. Tidakkah, sebagai
di muka saya sebutkan juga, Nabi 1sa masih disebutkan Isa
Ibnu Maryam?
Di dalam kitab sejarah dunia Dr. Jan Romein, jilid I,
diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno di kanan
kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan
tahun sebelum zaman Nabi 1sa, yaitu timbul dari aturan-
aturan matriarchat. Semua itu membuktikan, bahwa hukum
peribuan itu yaitu hukumnya warga kuno, timbul dari
perbandingan-perbandingan sosial-ekonomis di warga
kuno. Ia yaitu tiugkatan atas rohaniah perbandingan
produksi di warga kuno, yang tidak dapat diadakan lagi
di suatu warga sekarang, di mana perbandingan sosial
ekonomis yaitu lain. Dan sejarah duniapun membuktikan,
bahwa hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang
ratusan, ribuan tahun itu, makin lama makin surut, makin
lama makin tak laku, makin lama makin lenyap. Di mana
sekarang masih ada hukum peribuan, -di Minangkabau atau
di Oceania, di beberapa daerah Neger atau di kepulauan
Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, -di mana
sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih
dibandingkan sisa-sisa belaka, runtuh-runtuhan belaka dibandingkan
sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya selalu
diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin
menghidup-kan kembali atau memelihara hukum peribuan
itu, dia yaitu mau menghidupkan kembali atau memelihara
sebuah bangkai. Dia yaitu menuju arah yang bertentangan
180 derajat dengan arah tujuan evolusi warga ; dia
yaitu reaksioner; dia yaitu sosial reaksioner.
Bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara
restan-restan matriarchat lah caranya kita musti
memerdekakan wanita dari perbudakannya sekarang ini,
bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu
sistim yang basisnya yaitu di dalam fase warga yang
zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan
kaum wanita itu dengan basis warga sekarang, atau
dengan basis warga yang akan datang. Yang telah silam
tak dapat timbul kembali, namun yang sekarang ada, itulah
yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita
alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran primitif yang mau
kembali kepada hukum-hukum primitif itu! Sebab kalau tidak,
lenyaplah nanti di dalam kalbu tuan segala harapan, segala
cita-cita, segala kegembiraan.
Angan-angan tuan itu tidak akan tercapai, melainkan
sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan gugur sama-
sekali.
Lagi pula: adakah hukum peribuan di Minangkabau itu
mengasih kedudukan baik dan mulia kepada wanita ?
Saya kira, semua orang yang telah pernah berdiam di
Minangkabau, atau membaca buku-buku atau uraian-uraian
tentang Minang-kabau, mengetahui, bahwa di sana
wanita belum boleh dikatakan hidup di dalam sorga.
Beberapa akibat hukum peribuan di sana itu ia1ah: banyak
laki-laki meninggalkan Minangkabau untuk “mancari” ke
daerah lain, banyak perceraian, wanita susah mencari
suami, sukar berkembangnya ekonomi individuil, dan lain
sebagainya.
Ya, kembali lagi kepada kesalahan Bachofen tadi: hukum
peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik kepada
wanita ! Sebaliknya, manakala ia ada mengasih
kedudukan baik, maka hukum peribuan itu kadang-kadang
dan sering sekali membawa akibat laki-laki menjadi hamba
wanita ! Rudolf Eisler menerangkan bahwa di dalam
hukum peribuan ini “sering sekali laki-laki musti bekerja
sebagai budak buat wanita ”. Keadaan yang semacam ini
tentu bukan keadaan yang sehat. Satu sistim yang
memperbudakkan wanita tidaklah sehat, satu sistim yang
memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat
hanyalah satu sistim, di mana laki-laki dan wanita sama-
sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia.
Maka oleh sebab itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan
di sini, bahwa pemecahan “soal wanita ” itu bukanlah
harus kita cari di dalam hukum peribuan dan bukanlah pula
di dalam matriarchat, namun di dalam warga yang lain,
dengan aturan-aturan yang lain!
Di manakah di zaman dulu ada hukum peribuan? Boleh
dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan.
Malah ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum
peribuannya dilukiskan dengan saksama dalam catatan-
catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen
dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum
peribuan suku Nair di India beberapa abad yang lalu, sebab
ia mempelajari catatan-catatan pengembara bangsa Arab,
Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang
mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh
dikatakan, di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan.
Malahan Bachofen mengatakan, bahwa semua bangsa-bangsa
yang primitif yaitu berhukum peribuan. Friederich Engels
pun berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase warga
yang umum. Pada bangsa Israil, pada bangsa Mesir, pada
bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia, di
semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua,
bangsa Indian di Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di
benua Asia serta kepulauan Asia dan Oceania, -di semua
tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu.
Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-
tiap orang mengerti apa sebabnya hukum peribuanlah yang
menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak ada hukum lain
yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan
seseorang manusia, melainkan hukum peribuan ini. “Ibunya
si anu ialah si anu”. Sebab, pada waktu itu keluarga belum
bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu
gelombolan laki-laki kawin dengan satu gerombolan
wanita : inilah yang dinamakan “kawin gerombolan”.
“Siapa bapa” di situ tidak terang. sebab itu hukum peribuan
menjadi hukumnya orang di waktu itu.
lalu dibandingkan kawin gerombolan ini, datanglah kawin
pasangan, di mana wanita menjadi isterinya satu orang
laki-laki saja. Di dalam fase kawin pasangan inilah (di dalam
waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin
pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu
“perpindahan” antara kawin gerombolan ke kawin pasangan
itu, yaitu satu zaman yang membolehkan atau
mengharuskan seseorang wanita sebelum ia memiliki
suami satu, bergaul merdeka dengan laki-laki mana saja.
Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal ini dinamakan
“heaerisme”, “persundalan”, yang sebenarnya berlainan sekali
dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu
wanita dianggap sebagai “ibu sekalian manusia”, yang
mengasih hidup kepada semua orang. namun kini ia akan
memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti “dapat
kerugian” lebih dulu, atau “bayar kerugian” lebih dulu! Ia
lantas dibolehkan menjalankan “persundalan” pada waktu
gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada
umum sebelum ia kawin resmi kepada satu orang laki-laki
saja.
Menurut agama di Babylon, dulu seorang anak dara kalau ia
hendak menikah, diwajibkan lebih dulu pergi ke kuil Mylitta,
dan di situ ia musti mengorbankan kegadisannya kepada
banyak laki-laki. Begitu pula keadaan di Memphis, di Cyprus,
di Tyrus, di Sydonia, di dalam perayaan-perayaan Dewi Isis di
Mesir, di Asia Depan di dalam kuil Anaitis. Engels berkata:
“Adat kebiasaan yang semacam itu dikerjakan oleh hampir
semua bangsa Asia di antara Laut Tengah dan sungai
Gangga”.
wanita ibu umum! Sebelum ia bersuami satu orang saja,
ia musti memuaskan semua orang lebih dahulu!
Sebelum ia memuaskan satu orang saja, ia musti bayar dulu
upeti kepada dewa-dewa. “Sebab bukan supaya menjadi layu
di dalam tangannya satu orang laki saja, maka wanita itu
dikaruniai keelokan dan kecantikan oleh alam. Hukum
jasmani menolak semua pembatasan, benci kepada semua
perikatan, dan memandang tiap-tiap perkhususan sebagai
satu dosa kepada sifat kedewaan wanita itu”, begitulah
Bachofen menulis di dalam kitabnya “Mutterrecht”. Sampai
zaman sekarangpun, misalnya di Flores, di mana saya
berdiam hampir lima tahun, ada satu daerah (Keo), di mana
gadis-gadis boleh bergaul dengan laki-laki mana saja yang
mereka sukai, dan yang paling “jempol” di antara “gadis-gadis”
itu, -jempol memuaskan laki-laki-, itulah yang nanti paling
lekas laku mendapat suami. Di kepulauan Mariana, di ulu-
uluan Philipina, di kepulauan Polynesia, di beberapa suku di
Afrika, sampai sekarang masih berlaku pula adat ini.
Di kepulauan Baleara, maka belum selang berapa lamanya
masih ada adat, yang pada “malam pernikahan”, semua
keluarga laki-laki dari pengantin lelaki meniduri pengantin
wanita itu berganti-ganti. Di Malabar, di uluan India
Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala
agamalah yang menyelesai-kan pekerjaan ini. Dan mungkin
juga hak “malam pertama” yang dulu diberikan kepada raja-
raja di negara kita dan di Eropa, -di beberapa negeri Eropa
sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak “jus
primae noctis” itu-, pada asalnya haruslah dianggap sebagai
“belian” kepada dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah
sebab wanita menjadi isteri satu orang laki-laki saja!)
Dan tahukah tuan, bahwa sampai di dalam abad ke-15 di
Nederland pun menurut keterangan Murner, tamu-tamu di
“suguh” nyonya rumah atau puteri rumah pada malam hari?
Ya, wanita ibu umum! Tidakkah pada hakekatnya ini
suatu anggapan tinggi kepada wanita itu? namun tidakkah
pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak
baik kita pakai? Maka oleh sebab itu, meskipun ada kalanya
hukum peribuan itu di dalam bentuk matriarchatnya
mengasih kedudukan yang mulia kepada wanita ,
meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang
masih ada restan-restan matriarchat itu di mana wanita
seperti berkedudukan mulia, maka janganlah matriarchat itu
menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum
peribuan itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu
belumlah menjadi satu bukti, bahwa dus hukum peribuan itu
dapat tegak terus di warga sekarang, dan dus boleh
dipakai sebagai cita-cita dan pedoman di warga
sekarang. Tidak! Kalau sekarang masih ada hukum-peribuan,
maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa
dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang
telah gugur. Itu hanyalah satu “kematian yang terlambat”.
Hukum peribuan pasti mati, pasti gugur, pasti lenyap dari
warga industrialisme dan warga hak milik pribadi
sebagai yang sekarang ini, walaupun ia ulet nyawa. (Misalnya
sampai di zamannya August Bebel (permulaan abad ini) masih
ada hukum peribuan itu di negeri modern, seperti Jermania
(di propinsi Westfalen) di mana si anak mewaris dari ibu, dan
tidak dari bapa).
Pembaca barangkali ada yang ingin tahu, apakah adat satu
orang wanita bersuami banyak (poliandri) juga
disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab
pertanyaan ini! Mungkin disebabkan oleh hukum peribuan,
mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan. Eisler
mengatakan, bahwa poliandri itu “bukan satu perkembangan
yang umum” (bukan satu tingkat perubahan yang umum).
Engels menamakan dia “perkecualian”, serta, “hasil-hasil yang
mewah dibandingkan sejarah”. Dan Bebel berkata, bahwa “belum
diketahui orang benar-benar, perbandingan-perbandingan
apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu”. namun
ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam
hal mencari sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri
didapatkan terutama sekali hanya di negeri-negeri
pegunungan yang tinggi saja; seperti di Tibet. Di negeri-
negeri pegunungan yang tinggi-tinggi ini, di mana hampir
tiada tumbuh-tumbuhan sama sekali, sudah barang tentu
sangat berat struggle for life. Maka poliandri atau persuamian
banyak itu, menjadi satu jalan buat mencegah terlalu
bertambahnya jumlah keturunan, dengan tidak merugikan
dan menghalangi kepada syahwat laki-laki. Benarkah
keterangan ini? Entah. Ada lain keterangan lagi, yakni yang
berikut: menurut seorang penjelidik yang bernama Tarnowsky,
maka udara yang terlalu dingin berakibat melemahkan kepada
syahwat. (Dikatakan: orang-orang yang naik ke puncak-
puncak gunung yang terlalu tinggi, menjadi lemah
syahwatnya, dan syahwatnya ini sekonyong-konyong menjadi
keras kembali manakala mereka turun ke tempat-tempat yang
lebih rendah. Orang-orang di kutub Utara tidak begitu keras
syahwatnya seperti orang-orang di negeri-negeri kanan-kiri
khatulistiwa. Orang-orang wanita di negeri-negeri dingin
kadang-kadang baru pada umur 18 atau 19 tahun mendapat
haid, tapi gadis-gadis di negeri Arabia kadang-kadang pada
umur sepuluh atau sebelas tahun sudah mendapat haid).
Maka oleh sebab syahwat, terutama sekali syahwat laki-laki,
di negeri-negeri dingin ada kurang, maka tidak merusak
kesehatan wanita manakala di negeri seperti Tibet itu
satu wanita bersuamikan dua, tiga, empat, lima orang
laki-laki. Jadi di negeri yang sangat dingin tidak heran kita
melihat poliandri, dan di negeri-negeri panas tak heran kita
melihat poligami. Lagi pula, bukan barang yang tidak
diketahui umum, bahwa wanita yang banyak laki-lakinya
itu kurang menjadi hamil dibandingkan wanita yang bersuami
hanya seorang saja. Lihatlah misalnya kepada sundal. Sundal
yang saban hari menerima syahwat laki-laki sampai lima,
enam, sepuluh kali, jarang menjadi hamil, meski ia tidak
minum obat-obatan pencegah hamil atau tidak mengambil
ikhtiar satu juapun untuk mencegah bertumbuhnya benih.
Dengan sebab-sebab yang demikian itu, maka poliandri di
negeri-negeri pegunungan tinggi itu bukan saja tidak
merusakkan kesehatan wanita , namun ada juga berakibat
mengurangi jumlah turunan, yang sangat susah
memeliharanya di negeri yang kurang rezeki itu. Bersangkutan
atau tidak bersangkutan poliandri itu dengan hukum peribuan
belum terang kepada kita. namun ternyatalah di sini sekali lagi
kebenaran teori, bahwa moral, anggapan-anggapan tentang
sopan dan tidak sopan, adat lembaga, etik, recht, dan lain-lain
sebagainya itu, bukanlah hasil pekerjaan budi pekerti
manusia, namun yaitu tergantung dan ditetapkan oleh
perbandingan-perbandingan sosial dan materiil.
Di manakah di negeri tumpah darah kita ini, kecuali
Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan? Pertama,
boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan
dengan Minangkabau itu masih memakai hukum peribuan
bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu, bagian-bagian dari
Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu
semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi,
melainkan sudah tercampur bawur dengan hukum-hukum
lain, terutama sekali tercampur dengan syariat Islam.
Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli
hukum peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini
hukum peribuan bukan asli hukum-peribuan lagi. Hanya
kadang-kadang saya heran melihat “uletnya” hukum peribuan
itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di
negeri Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya
memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa hukum peribuan
yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah yang
wanita , sesudah nikah, masih tetap saja menjadi
“haknya” rumah orang tuanya, sedang suaminya, kalau ia
tidak ikut diam di rumah isterinya itu, datang kepadanya
hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari
perkawinannya itu tetap di rumah ibunya, “gampung” anak-
anak itu yaitu -“gampung” ibunya! Adat hukum peribuan
inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di
Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan “ambil anak”
atau “cambur sumbai” di tanah Lampung. Di situ si suami
memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu sendiri, dan
menjadi “anaknya” mertuanya, berdiam di rumah mertuanya,
bekerja pada pekerjaan mertuanya. Ia “ikut” kepada isterinya,
ia menyerahkan anak-anaknya kepada isterinya, ia hanyalah
bertindak sebagai “jantan” bagi isterinya, anak-anaknya
menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau orang
hanya memiliki anak-anak wanita saja, (jadi tiada
anak laki-laki), maka selalu perkawinan “cambur-sumbai” ini
yang dipilih. Dengan begitu si anak wanita itu
meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau
dengan perkataan adat; buat “tunggu jurai”, buat
“menegakkan jurai”. Malahan di daerah Semendo anak
wanita yang tertua tetap menjadi penunggu dan penegak
jurai itu, meski ia memiliki saudara laki-laki atau tidak
memiliki saudara laki-laki. Suaminya wajib ikut
kepadanya. Anak-anaknyalah yang meneruskan jurai, dan
bukan anak saudaranya yang laki-laki. Pendek kata, di
daerah-daerah Sumatera Tengah dan sebagian dari Sumatera
Selatan, masih nyata ada sisa-sisa hukum peribuan, begitu
pula di Batanghari atas, di Kerinci, dan tempat-lain-lain.
Di pulau Mentawai masih ada sisa adat hukum peribuan yang
berupa “hetaerisme” (lihat di muka) antara “gadis-gadis”
dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di
pulau Mentawai itu sama sekali bukan satu kedurhakaan,
kalau seorang “gadis” sebelum ia memiliki suami sudah
memiliki anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa
hatinya kalau wanita yang ia kawin itu sudah memiliki
anak! Begitu pula keadaan di pulau Enggano. Anak-anak di
luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya. Di
Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala)
masih ada adat, yang seorang suami diwajibkan berdiam di
rumah isterinya, dan di Sulawesi Selatan ada adat
“mapuwoawo” yang menentukan, bahwa anak yang tertua dan
yang ketiga ditentukan menjadi hak ibunya, sedang bapa
hanya mendapat hak atas anak yang kedua atau keempat
saya. Malah bukan saja hukum peribuan ada sisa-sisanya di
situ, namun juga ada matriarchat: dulu sering-sering di
Sulawesi Selatan orang wanita dijadikan raja. Di Keo,
yaitu di satu daerah Flores, “gadis-gadis” selalu bergaul bebas
dengan laki-laki, dan “gadis-gadis” yang paling “jempol”
memuaskan hati laki-laki, merekalah yang nanti paling besar
harapan buat lekas mendapat suami.
Maka nyatalah dengan bukti-bukti dari daerah-daerah primitif
dari negeri sendiri itu, bahwa hukum peribuan yaitu hukum
primitif, hukum sesuatu rakyat yang belum tinggi tingkat
kemajuannya. Hukum yang masih primitif itu tak mungkin
baik buat warga modern, dan pantas diganti dengan
hukum yang lebih sesuai dengan warga modern!
Bagaimanakah hukum perbapaan? Sebagaimana saya sudah
uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum peribuan,
yaitu hukum perbapaan itu satu kemajuan: dengan hukum
perbapaan dapatlah berkembang somah, dengan hukum
perbapaan dapatlah berkembang indivualisme yang perlu buat
berkembangnya warga . Marx menamakan perpindahan
dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu
“perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam”, dan
Engels menamakan dia satu “kemajuan dalam sejarah yang
besar”. Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi
dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan
pertuanannya fihak yang lain!
Pokok hukum perbapaan itu digambarkan oleh Engels dengan
satu kalimat yang amat jitu: “Ia berazaskan pertuanan orang
laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-
anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan
perbapaan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh
sebab anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapa
itu”. Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang
wanita , yang akan membantah bahwa pada azasnya
hukum perbapaan itu lebih baik bagi warga dibandingkan
hukum peribuan. Ah ya, ada wanita yang mengatakan
hukum perbapaan itu masih “berat sebelah”, dan lantas
bercita-cita satu hukum yang di tengah-tengah hukum
perbapaan dan hukum peribuan, ada pula yang bercita-cita
campuran hukum peribuan dan hukum perbapaan itu, -namun
baiklah direnungkan dengan tenang dan dalam: hukum
perbapaan bukan satu hal adil atau tidak adil, hukum
perbapaan yaitu satu hukum yang perlu buat evolusi
warga . Yang tidak adil bukan hukum perbapaan itu,
melainkan ekses-ekses hukum perbapaan itu, “keliwat
batasan-keliwat batasan” hukum perbapaan itu. Ekses-ekses
hukum perbapaan inilah nanti akan saya bicarakan di dalam
bab ini juga. namun marilah saya sekarang membicarakan
lain-lain hal dari hukum perbapaan itu lebih dulu.
Sebagai telah saya terangkan, maka hukum perbapaan ini
timbul, sesudah warga mengenal “milik”, yakni mengenal
“milik perseorangan”. Laki-laki yang meninggalkan
perburuan, menyusun “milik” itu dengan keringat sendiri-
sendiri: Peternakan mengasih kekayaan yang berupa hewan,
orang-orang tawanan tidak dibunuh lagi namun dijadikan
kekayaan yang berupa budak belian, hasil pertanianpun
membesar-besarkan harta pusaka. Untuk menetapkan milik
ini di dalam tangan anak-anaknya sendiri, menjaga jangan
sampai ia jatuh di tangan anak-anaknya orang lain, maka
diadakanlah hukum perbapaan itu.
namun jangan pembaca kira, bahwa ia diadakan dengan
sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia yaitu akibat dari
satu proses, sebagaimana tiap-tiap revolusi warga
yaitu akibat dari satu proses. Ia bukan hasil pemutaran
otak seorang-orang “di suatu malam yang ia tak dapat tidur”,
sebagai-mana juga tiada revolusi warga hasil pemutaran
otak “di suatu malam yang ia tak dapat tidur”. Ia menurut
keterangan Engels (berlawanan dengan Bachofen), sama sekali
bukan satu revolusi yang membuat banyak ribut-ribut,
melainkan hanyalah satu perubahan yang berangsur-angsur
tenang. “Ini”, begitulah ia berkata, “ini sama sekali tidak
begitu sukar, sebagai yang kita kirakan di zaman sekarang.
Sebab revolusi ini, -salah satu revolusi yang terbesar, yang
pernah dialamkan oleh manusia-, tak harus mengenai
seseorang anggota gens yang masih hidup. Semua keluarga
gens itu hidup tetap secara yang sudah-sudah. Hanyalah
cukup mengambil satu keputusan, bahwa dilalu hari
turunan anggota laki-laki dari gens tinggal di dalam gens itu,
namun turunan anggota wanita keluar dari gens sendiri
dan pindah ke gens bapanya. Dengan keputusan ini, maka
sudah gugurlah aturan keturunan menurut garis ibu serta
hukum waris dari ibu, dan sudah ditegakkan aturan
keturunan menurut garis bapa serta hukum waris dari bapa
... Betapa mudahnya revolusi ini, itu kita dapat lihat pada
beberapa suku-suku Indian, di mana perubahan itu belum
selang berapa lama telah terjadi, atau sedang pula terjadi,
buat sebagian sebab bertambahnya kekayaan ... dan buat
sebagian lagi sebab pengaruh zaman baru serta pengaruh
pendeta-pendeta Nasrani”. Begitulah pendapat Engels.
Bachofen lebih percaja kepada perubahan yang mendatangkan
banyak peperangan. Mungkin kebenaran yaitu ditengah-
tengah: ada yang tenang, ada yang dengan peperangan. Saya
sudah tuliskan di muka, bahwa ada pula daerah-daerah yang
wanita -wanita nya tidak mau tunduk begitu saja
kepada aturan baru ini, dan ini lah asal-asalnya cerita-cerita
atau dongeng-dongeng Amazone atau Wanita Nusa Tembini.
Kalau kita sekarang datang di negeri kanan-kirinya gunung
Kaukasus, kita akan melihat, bahwa masih amat hidup di
ingatan rakyat di situ dongengnya Raja Puteri Tamara, yang
sebagai harimau betina telah memerangi dan menaklukkan
banyak raja-raja laki-laki. Raja Puteri Tamara sampai kini
malahan masih diagungkan oleh rakyat-rakyat Kaukasia.
Kecan-tikannya, kebijaksanaannya, kegagahberani-annya,
kesaktiannya sampai kini masih dituliskan di atas pedang-
pedang, di piala-piala, di alat-alat musik, dengan kata-kata,
syair-syair serta pujian-pujian yang berapi-api. Satu nyanyian
Kaukasia berbunyi: “Tamara memakai tudung perang, dan
telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang.
Matanya seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya
seperti yaspis. Ia memakai baju perisai, menaiki kuda yang
berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia memakai baju
kain atlas”.
Batu kuburan Tamara dikatakan bertulis: “Aku Raja Puteri
Tamara. Aku mengisi negeri-negeri dan laut-laut dengan
namaku. Aku menyuruh ikan-ikan berpindah dari Laut Hitam
ke Laut Kaspia. Kudaku telah masuk kota Ispahan, dan
pedang telah kutanamkan di alun-alun Meidan di kota
Istambul. Sesudah aku berbuat ini semua, aku pindah ke
akhirat dengan membawa kain sembilan depa.”
Tamara telah menaklukkan semua musuhnya. Hanya Laut
Kaspia sajalah yang belum mau tunduk. “Apakah yang
Tamara, Raja Puteri dari semua raja-raja, dapat perbuat akan
daku?”, begitulah Laut Kaspia menanya. “Kekuasaan Tamara
memang besar, namun lebih besar ialah ombakku dan
gelombangku”.
Raja Puteri Tamara mendengar perkataan ini, dan dengan
pelahan ia menghadapkan mukanya kepada penantang itu. Di
antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit
mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya
kepada Laut yang memberontak itu, dan pantai-pantai Laut
Kaspia memekik-mekik sebab sakit. Ombak-ombak Laut itu
diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala
menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di
dalam nyalanya api, dan memekik memohon ampun. la
sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan sanggup
takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh
Sang Raja Puteri kepadanya.
Demikianlah Raja Puteri Tamara. Fanina W. Halle
menunjukkan kepada kita, bahwa di dalam dongeng ini
diceritakan satu amazone motif yang tulen: perang melawan
laut. Sebab, simbul apakah laut itu? Laut yaitu simbulnya
laki-laki! Bumi, tanah, yaitu simbul wanita , namun laut
yaitu simbul laki-laki. Sebagaimana juga kita bangsa
negara kita menganggap bumi itu sebagai simbul wanita :
simbul Ibu, simbul Ibu Pratiwi, maka bagi orang Kaukasia
bumi yaitu juga simbul wanita . namun manakala kita
menganggap langit sebagai simbul laki-laki, manakala kita
berkata: “Bapa Angkasa, Ibu Pratiwi”, maka bangsa Kaukasia
dan juga bangsa Yunani, menganggap laut sebagai simbul
laki-laki. Bukankah tanah tidak dapat subur kalau tidak
menerima kesuburannya itu dari airnya laut? Maka dongeng
perjuangan Tamara yang Maha cantik itu, dapat pula dianggap
sebagai gambar perjuangan antara azas peribuan dan azas
perbapaan, antara hukum peribuan dan hukum perbapaan,
antara matriarchat dan patriarchat.
Tamara hanyalah satu contoh saja. Negeri lain-lain
memiliki “Tamara” yang lain-lain pula. namun ada satu hal
yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia
itu: Tamara Kaukasia sebenarnya yaitu satu figur yang
bukan sama sekali “dongeng”! Ia yaitu satu figur yang juga
oleh tarikh diakui adanya. Ia satu figur historis. la menjadi
Raja Puteri di Kaukasia di antara tahun 1185 dan tahun 1214,
-jadi belum sampai 800 tahun di belakang kita. Apakah
artinya ini? Ini berarti bahwa, kalau benar perjuangan Tamara
itu satu perjuangan matriarchat melawan patriarchat, maka
perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan
itu tidak terjadi sama-sama waktu di seluruh dunia, tidak
serempak, melainkan berbeda-beda waktu. Ada negeri yang
sudah ribuan tahun menegakkan hukum perbapaan, ada
negeri (sebagai Kaukasia) yang baru ratusan tahun saja
memakai hukum ini, dan ada pula negeri yang sampai zaman
sekarang belum meninggalkan hukum peribuan sama sekali.
Engels dan Bachofen memang juga mengatakan begitu! Dan
bukan saja tidak serempak, -caranya pun menurut Bebel
berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannya sendiri-
sendiri.
Ambillah misalnya daerah-daerah di lingkungan negeri kita
sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda sifat restan-restan
hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula
caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih
lapangan kepada hukum perbapaan Islam? Ya, negeri kita
memang salah satu negeri di mana perjuangan antara hukum
peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai.
Sampai sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih
dapat melihat berjalannya “revolusi-warga ” yang maha
hebat ini. namun janganlah pembaca mengira, bahwa di negeri
lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan begitu
tenang sebagai misalnya perjuangan antara “kaum-adat” dan
“kaum agama” di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern
berpengaruh besar atas sifat perjuangan di Minangkabau
sekarang ini. Kesopanan modern itu “menghaluskan”,
“menyopankan” sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman
tua, keadaan-keadaan yaitu lain, dan manusia-manusia pun
yaitu lain. Orang zaman sekarang yaitu orang “beradab”,
orang “sopan”, - namun dulu? Dulu segala hal lebih “mentah”,
lebih “hantam-kromo”. Dulu orang merantai dengan rantai
besi, memukul dengan kentes galih asam, menyembelih
dengan golok terang-terangan. sebab itu maka perjuangan
antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu
mungkin tidak begitu tenang sebagai di Minangkabau
sekarang ini.
Ya, dulu orang lebih “mentah”. Patriarchat pun lebih
“mentah”. Sudah saya katakan, bahwa nafsu kepada milik,
nafsu kepada milik perseorangan motornya patriarchat ini,
dan bahwa wanita pun dijadikan milik, dijadikan milik
perseorangan. Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik
menjadi sifat dimilik, dari subyek menjadi obyek. Ia tadinya
cakrawarti, kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang
harus disimpan, harus disembunyikan, tak boleh dilihat orang
lain, apalagi disentuh orang lain. wanita yang suka
disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan.
Edward Carpenter berkata: “Nafsu kepada milik itu membuat
laki-laki menutup dan memperbudakkan wanita yang ia
cintai itu”.
Ya, -“milik”! sebab itupun, tidak, kalau “milik” itu (dulu lebih
“mentah-mentahan” dibandingkan sekarang) bukan saja disimpan
dan disembunyikan, namun juga ditambah, sebagaimana orang
menambah juga barang milik yang biasa: di mana-mana
patriarchat datang, di situ datanglah pula poligami, atau lebih
benar: poligine, polyginie, yakni peristerian yang banyak-
banyak. Makin banyak wanita , makin baik; sebab makin
bertambah banyaknya “milik” itu, berarti bertambahnya
kesejahteraan dan kemuliaan, bertambahnya tenaga bekerja
dan kekuasaan, bertambahnya rezeki dan kemegahan.
Manakala laki-laki hanya memiliki isteri seorang saja,
maka isteri satu ini tidak menjadi halangan buat mengambil
“selir” berapa banyaknya pun juga. Menurut keterangan Injil,
maka Koning Salomo (Sulaiman) memiliki 700 isteri dan
300 orang selir! Demikianlah memang; adatnya patriarchat di
zaman dulu! Perhatikanlah lagi beberapa contoh yang berikut
ini: Di dalam kitab Perjanjian Lama, Genesis, fasal 16, ayat 1
dan 2, diceritakan bahwa Nabi Ibrahim disuruh oleh Sarah
buat “mengambil” budaknya yang bernama Hajar; juga di
dalam Genesis, fasal 30, ayat 1 dan berikutnya, diceritakan
bahwa Yakub disuruh oleh Rachel buat “mengambil”
budaknya yang bernama Bilha, dan disuruh pula oleh Lea
(saudara Rachel) buat “mengambil” budaknya yang bernama
Zilpa.
Dan ada lagi satu hal yang boleh kita ambil dari cerita Yakub.
Menurut Injil, maka isteri-isteri Yakub yang bernama Rachel
dan Lea itu, yaitu dua saudara. Mereka kedua-duanya
yaitu anak Laban. Entah, mereka dua-duanya menjadi isteri
satu orang! Inipun oleh patriarchat dianggap sopan, tidak
melanggar kesusilaan.
Dan masih ada lagi satu hal penting dalam cerita Yakub.
Menurut Injil, Yakub mendapat Rachel dan Lea itu dengan
jalan membelinya dari bapanya: baik Rachel maupun Lea ia
beli dengan menjual tenaganya, kepada Laban, masing-masing
tujuh tahun lamanya. Maka kita di sini menginjak satu sifat
penting dari patriarchat pula: wanita milik yang harus
dibeli. Inilah yang di dalam salah satu bab di muka sudah
pula saya terangkan: kawin beli, perkawinan dengan jalan
membeli, perkawinan dengan menganggap wanita itu
sebagai satu benda perdagangan. Orang Yunani di zaman
dulu menyebutkan wanita-wanitanya “alphesiboiai”, yang
artinya: menghasilkan sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan
dengan sapi! Ya, wanita satu benda perdagangan, yang,
kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan semau-
maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang
sebagai benda perhiasan rumah, boleh disimpan dan
disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh bekerja mati-
matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh,
boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-
lain. Ia boleh dihidupi atau tidak dihidupi, boleh
dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di zaman Rumawi
dahulu, menurut keterangan Engels yaitu satu kebiasaan,
bahwa wanita itu, beserta semua famili, sebelum
suaminja mati, sudah ditentukan dengan testamen kepada
siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati. Ya,
ia memang benda belaka, milik ia punja suami! Kalau ia
dibunuh oleh suaminya itu, maka itupun hak suaminya.
(Engels). Sampai di abad kelimabelas di Jerman dan di negeri
Belanda menurut keterangan Murner wanita masih
“disuguhkan” kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan
sepotong kuih. “Het is in Nederland het gebruik, wanneer de
man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw op goed geloof
toevertrouwt”. Atau mungkinkah ini sisa “ibu umum” dibandingkan
hukum peribuan?
Dan kalau laki-laki tidak memiliki cukup syarat untuk
membeli wanita itu? Tidak cukup harta benda, atau tidak
mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada
Laban? Sudah saya terangkan di muka: zaman dulu zaman
“mentah-mentahan”. Kalau tidak dapat dibeli wanita itu,
maka tiada keberatan moral sama sekali, jika wanita itu
dicuri, dirampok mentah-mentahan. Kawin rampas, itulah
menurut keterangan saya di muka tadi juga salah satu sifat
patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita
“Perampokan perawan Saba”, dan kita malah sering sekali
melihat cerita wayang di mana wanita dicuri dan dibawa
lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek der Richteren, 21,
diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis
Silo.
“Kawin beli” dan “kawin rampas”, … sampai sekarang kita
masih mengalaminya dan mengerjakannya, meskipun dengan
jalan yang lebih “sopan”. Sampai di zaman sekarang masih
ada adat “marlojong” di tanah Batak. Dan di Chili Selatan tiap-
tiap pengantin wanita “harus dirampas lebih dulu” oleh
suaminya, dengan persetujuan orang tua atau tidak dengan
persetujuan orang tua. Tapi justru perkawinan yang demikian
itu yang dianggap syah. Dan apakah asalnya uang “antaran”,
“uang belis”, uang “sasrahan” atau barang “sasrahan” yang di
kalangan bangsa Eropa dan di kalangan bangsa kita sampai
sekarang masih saja orang bayarkan kepada pengantin
wanita atau bakal mertua, -lain dibandingkan uang pembeli
wanita di zamannya patriarchat liar itu?
Di kalangan Eropa, terutama sekali di lapisan-lapisan yang
atas, orang tidak segan-segan memperhubungkan perkawinan
dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan bangsa
kitapun, terutama sekali di “tanah seberang”, nyata
wanita masih dianggap barang dagangan. Di Flores masih
kuat sekali adat pembayaran “uang belis” sampai ratusan
rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain negeri
pun “uang antaran” kadang-kadang sampai ribuan rupiah!
Sudah saya terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu
banyak “gadis tua” yang sampai tinggi umur belum mempunjai
suami: orang lelaki terhalang kepada perkawinan, oleh sebab
uang pembeliannya begitu mahal! Dan bukan saja kawin beli
dengan kontan kita kenal, kita di negara kita pun mengenal
kawin beli dengan kredit, (boleh dicicil) dan kita kenal juga
kawin beli yang dibelinya dengan menjual tenaga buruh. Inilah
yang oleh ahli etnologi dan sosiologi dinamakan kawin jasa,
dan inilah yang kita jumpai pula di beberapa bagian di negeri
kita, antara lain di negeri Batak.
Dan kawin rampas? Lihatlah adat kebiasaan bangsa Eropa,
mengadakan “perjalanan perkawinan” sesudah nikah! Pada
asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain dibandingkan
adat kebiasaan mencuri (melarikan) wanita itu dari
kekuasaan orang tua. Dulu di zaman purbakala waktu segala
hal masih “mentah”, orang tentu saja melawan atau
menyerang kepada pencuri itu dengan senjata, mengejar dia
dengan tombak dan panah, melempari dia dengan batu atau
pentung. Kini orang sudah “sopan”; kini orang melempari
pengantin yang mau berangkat untuk perjalanan perkawinan
itu dengan ... beras!
Di kalangan bangsa kita masih banyak juga daerah-daerah
yang wanita itu dicuri lebih dulu, misalnya saja di negeri
Tapanuli, yang di situ masih ada adat “marlojong” atau
“dilojongkon” (dilarikan) atau adat “tangko babiat” (seperti
macan). Di daerah Pasemah adat inipun masih ada. Menurut
keterangan Eisler, maka pencurian wanita inilah yang
menjadi asalnya adat “pembalasan darah” di zaman dulu,
yakni asalnya adat bela pati, ambil nyawa balas nyawa, yang
lazim terdapat di semua bangsa-bangsa di seluruh muka
bumi.
Tahukah tuan asalnya adat “tukar cincin” pada bangsa Eropa?
Adat ini yaitu berasal dari adat merampas wanita : si
wanita diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat
laun “rantai” ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini
sudah menyopan sedikit; sebagai tanda menjadi hamba sang
suami, maka pengantin wanita di Roma mendapat cincin
besi dari ia punya suami. Di lalu hari, maka diubahlah
cincin besi ini menjadi cincin tembaga, cincin perak, cincin
emas, dan lalu lagi terjadilah adat sekarang, jaitu lelaki
dan wanita “tukar cincin”, sebagai tanda setia satu sama
lain dari dunia sampai akhirat ...
Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja
berkesan dalam adat-istiadat di zaman sekarang, bukan saja
pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, namun juga
pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa
dan Amerika. Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap
“benda” itu masih saja melekat pada wanita . Ia masih
tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh diperlakukan
sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu
kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan,
kini sopan-sopanan; tapi pada hakekatnya sama: laki-laki
kuasa, isteri benda; laki-laki tuan, isteri hamba. Malah adat
kebiasaan levirat masih juga terus berjalan sampai sekarang.
Apakah levirat itu? Levirat yaitu perkataan yang asalnya
dari perkataan levir, yang artinya ipar. Levirat yaitu adat,
yang menetapkan, bahwa kalau sang suami mati, maka
jandanya lantas menjadi isterinya saudara-suami itu, -isteri
iparnya sendiri-, atau isterinya keluarga dekat dari suami itu.
Nyatalah di sini wanita itu dianggap sebagai satu milik
yang dioperkan ke saudara suaminya, satu benda yang
diwariskan pindah ke tangan saudaranya suami yang mati.
Atau setidak-tidaknya, ia hanyalah dianggap sebagai alat
penegakkan keturunan saja, satu alat pelahirkan anak, satu
“mesin pengeram”! Di India orang wanita yang tidak dapat
hamil, dioperkan kepada saudara suaminya, sebelum
suaminya itu mati, -coba-coba barangkali dengan saudara
suami inilah mesin pengeram itu dapat mengeluarkan anak.
Inilah yang dinamakan “perkawinan nyoga”, satu macam
perkawinan yang dasar ideologinya sama dengan levirat itu.
Dan ambillah adat kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab
Perjanjian Lama, bagian kitab Musa Deuteronomium, 25, ayat
5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang wanita yang tak
memiliki anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya
meninggal dunia. Benar di dalam hukum Yahudi pengoperan
ini yaitu satu hak yang boleh dituntut oleh janda itu, -kalau
si ipar tak mau mengoper dia, dia boleh meludahi muka
101
iparnya itu di muka umum!-, namun hal ini tidak mengubah
kepada dasarnya ideologi itu tadi: wanita obyek,
wanita benda, wanita milik, yang di sini menuntut
pemeliharaan. Sebab, mencari kecintaan menurut kehendak
hatinya sendiri, kawin dengan orang yang bukan ipar itu, dus
menegakkan keturunan di luar lingkungan darah suami-nya
yang mati itu, ia tidak boleh! Ia musti kawin dengan ipar
itu saja, kalau ipar itu mau.
Lain-lain bangsa masih juga ada yang mengerjakan levirat itu,
sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa Afghan, yang dua-
duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di
negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah
(telah beragama Islam) dan orang Batak (telah beragama
Serani) masih juga belum melepaskan levirat itu. Sungguh
dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di
dalam ideologinya sesuatu rakyat!
Ada lagi dua hal yang perlu saya terangkan lebih jelas di sini
berhubungan dengan anggapan bahwa wanita itu
“benda”: pertama hal persundalan, kedua hal “wanita
makhluk dosa”.
Salah satu sifat patriarchat ialah persundalan. Bukan
persundalan atau hetaerisme seperti di zaman hukum
peribuan, tatkala wanita dianggap ibu umum, tapi
persundalan yang benar-benar persundalan: menjual diri
kepada laki-laki dengan mendapat uang, atau menjual diri
kepada laki-laki dengan mendapat barang “harga” yang lain-
lain. Dulu di zaman hukum peribuan persundalan itu satu
“amal keagamaan”, satu religieuze daad, satu perbuatan yang
diwajibkan oleh ibadat. namun kini ia menjadi amal
perdagangan. wanita , yang kini satu barang, satu benda
yang ada harga, yang tak dimiliki kalau tidak dibeli atau
dirampas, wanita itu kini menjadi satu barang yang tidak
tiap-tiap orang laki-laki mempunjainya. Maka buat
memuaskan syahwat kaum laki-laki yang belum cukup
kekayaan untuk membeli seorang isteri atau belum cukup
keberanian untuk merampas seorang isteri, timbullah
perdagangan wanita secara “barang eceran”. Siapa
belum mampu membeli seekor sapi, dapatlah ia membeli
102
daging sekati saja! Dan yang betul-betul menggambarkan
ideologi patriarchat ialah, bahwa anggapan umum tidak
terlalu menolak atau membecji persundalan ini. Orang
wanita diwajibkan setia, orang wanita tidak boleh
mendurhakai suami, orang gadis harus menjaga betul-betul
kegadisannya, namun orang lelaki, bujang atau tidak bujang,
boleh mengerjakan perzinahan di luar rumah sebanyak kali ia
mau. Ya, bukan saja anggapan umum, namun hukum negeri
pun hampir semua mengsyahkan persundalan itu! Dulu di
negeri Yunani, negaralah yang mengadakan deikterion-
deikterion (rumah-rumah sundal), di mana tiap-tiap orang
boleh melepaskan syahwatnya dengan bayar tarif yang tetap,
yakni kurang lebih lima gobang satu kalinya. Dan di lain-lain
negeri, di Romawi, di Yeruzalem, di India, di Nippon, di situ
pun dulu negara yang menjadi germo (pengurus rumah
persundalan) yang pertama. Solon, pembuat hukum Yunani
jang termasyhur, yang mula-mula mengadakan deikterion-
deikterion itu, mendapat pujian khalayak buat kebijaksanaan
itu dengan kata-kata: “Solon, terpujilah engkau! Sebab engkau
telah mengadakan sundal-sundal buat keselamatan kota, buat
kesucian kota yang penuh dengan pemuda-pemuda yang kuat,
yang, umpama engkau tidak mengadakan aturan yang
bijaksana itu, niscaya akan mengganggu keamanan
wanita -wanita yang mulia!” Sudahkah tuan pernah
mengetahui termasyhurnya rumah-rumah persundalan
Yoshiwara di kota Tokyo, yang mendapat perlindungan dari
negara? Ingatkah tuan pula keadaan di negeri kita sendiri
beberapa puluh tahun yang lalu, waktu pemerintah Belanda
juga mengakui syahnya dan mereglementir persundalan itu?
Maka begitu pula belum selang berapa lamanya, semua negara
di Eropa mengsyahkan dan mereglementir persundalan itu.
Yang dibekuk dan dimasukkan penjara hanyalah sundal-
sundal yang tidak memegang “surat” saja, yakni sundal-
sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register!
Memang tak dapat disangkal, bahwa persundalan itu bukan
sekadar akibat “kebejatan moral” saja, bukan sekedar satu
akibat dari nafsu birahi wanita -wanita liar, namun
ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak pasti lahir sebab
salahnya susunan warga dan salahnya anggapan
terhadap harga wanita . Ia yaitu satu “buatan
warga ” (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiri
pun satu buatan warga . “Ia yaitu suatu buatan
warga seperti yang lain-lain; ia melanjutkan adanya
kebebasan seksuil, -untuk kepentingan kaum lelaki”. Ia tak
dapat lenyap, kalau susunan warga yang salah itu tidak
lenyap dan anggapan salah terhadap wanita itu tidak
dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap mengikuti peri-
kemanusiaan “sebagai satu bayangan”, sampai ke alamnya
“peradaban” sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan
membangunkan satu “buatan warga ” yang lain lagi, yang
juga tak dapat lenyap di zaman sekarang ini: ia
membangunkan Figurnya isteri yang mendurhakai suami,
sebab suami mendurhakai isteri.
Laki-laki pergi bercinta dengan sundal di luar rumah tangga,
isteri pun yang ditinggalkan di rumah itu menerima
percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak
setia, wanita tidak setia pula. “Di samping perlaki-isterian
tunggal (antara seorang suami dan seorang isteri) dan
hetaerisme (maksudnya: pelacuran) perceraian yaitu suatu
peristiwa warga yang tak dapat dihindari -dilarang,
dihukum keras, namun tak dapat ditindas.” Begitulah Engels
menulis.
Persundalan yaitu satu buatan warga , namun
pendurhakaan suami pun yaitu satu buatan warga .
Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat,
diperangi dengan wet dan penjara, ia tidak dapat ditindas dan
dihilangkan.
Itulah sebabnya, maka meskipun patriarchat itu pertama-
tama dan terutama sekali diadakan untuk “memastikan
turunan”, toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet,
kendati ancaman neraka yang bagaimanapun juga “siapa
bapa” masih tetap satu soal “kepercayaan” saja, dan bukan
satu hal yang dapat dijamin kepastiannya. Satu hal
“kepercayaan”, dan bukan satu hal kenyataan. Satu hal kira-
kira, dan bukan satu hal kepastian. Sehingga kitab hukum
Code Napoleonpun, yang menjadi contoh bagi banyak kitab-
kitab hukum di Eropa, (antara lain-lain juga menjadi contoh
hukum Nederland), di dalam artikel 312 ada menulis: “L’enfant
104
concu pendant le mariage a pour pere le mari”. -“Anak yang
dihamilkan di dalam persuami-istrian, yang dianggap menjadi
bapanya ialah sang suami”. Dengan jitu dan jenaka sekali
Engels membubuhi komentar atas artikel 312 Code Napoleon
ini: Inilah hasil yang paling baru tiga ribu tahun
persuami-isterian satu! ...
Marilah sekarang kita bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi
itu: wanita sebagai “makhluk dosa”. Inipun sudah saya
ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka.
Patriarchat dengan jalan parit-paritnya “agama” telah
merendahkan kedudukan wanita , antara lain dengan
mengatakan, bahwa wanita itu bikinan syaitan.
Sebagaimana di antara kaum agama ada yang mengatakan,
bahwa buat kemuliaan di akhirat nanti, segala hal keduniaan
harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian roh
hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap
nafsu kepada kekayaan milik dan kekayaan benda,
sebagaimana bagi setengah kaum agama, kemiskinan yaitu
satu ideal dan satu pedoman hidup-, maka terhadap kepada
wanita pun, (yang juga benda, juga milik, juga kekayaan!),
mereka berkata: jauhilah dan bencilah wanita itu, sebab
ia yaitu menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh
sekali pertentangan ini: Kaum “dunia” mencari kemuliaan
Clan kenikmatan sebesar-besarnya dengan mengumpulkan
sebanyak mungkin wanita di dalam rumah tangganya
laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam
kandang, kaum “agama” mencari kemuliaan dan kenikmatan
dengan mensyaitankan tiap-tiap perhubungan, ya tiap-tiap
angan-angan kepada wanita ! Faham benci dan
mensyaitan-kan wanita di kalangan agama ini dinamakan
asketisme dan selibat (ascetisme dan celibaat).
Apakah arti asketisme dan selibat itu? Asketisme memuliakan
cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan memerangi tiap-tiap
nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada
harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan
minum, maupun nafsu kepada kerumah-tanggaan, maupun
nafsu kepada kepuasan syahwat. Selibat memuliakan cara
hidup tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan
wanita , wanita tidak dengan lelaki. Asketisme dan
selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di zaman
dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai
kepada berontaknya Maarten Luther di abad yang
keenambelas, semuanya dimasukinya. wanita dianggap
sebagai asal segala dosa. wanita lah yang dulu
menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga, dan wanita lah
yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya
menjatuhkan anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada
satu fihak yang berkata, bahwa memotong kemaluan (lelaki)
yaitu satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah; fihak ini
menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dim
12 ada tertulis: “Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan
demikian oleh ibunya; dan ada orang yang terpotong, yang
dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang terpotong, yang
memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat”.
Menurut fihak ini, pengebirian yaitu satu perbuatan ulia,
tidak kawin satu perbuatan terpuji, benci wanita satu
tabiat yang maha luhur. Origenes berkata: “Perkawinan yaitu
tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat pemuaskan
syahwat”, dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri
dirinya sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah,
bahwa memang sering pendeta-pendeta yang sebab merasa
dirinya kurang kuat mengekang kehendak syahwatnya dengan
kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti
Origenes itu. Tertullianus berkata: “wanita , engkau akan
selalu mengeluh dan berpakaian koyak-koyak, matamu akan
selalu penuh dengan air: mata kemasygulan, buat melupakan,
bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke
dalam lumpur kebinasaan. wanita , engkaulah pintu
gerbang neraka jahanam!”.
Di muka sudah saya tuliskan, bahwa di dalam agama yang
lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan Manu, ada aturan
keras yang mengharamkan wanita itu. Di dalam Sufi
Islam pun aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya
kira, di dalam patriarchat liar asketisme dan selibat di
kalangan kaum agama yaitu sama-sama satu buatan
warga sebagai persundalan yaitu satu buatan
warga . Sebab, baik persundalan, maupun asketisme dan
selibat, yaitu sama-sama akibat dibandingkan anggapan bahwa
wanita yaitu milik dan benda; milik dan benda yang
boleh dijual-belikan, atau -yang harus dijauhi, agar dapat
mencapai kenikmatan akhirat.
Sudah barang tentu golongan-golongan agama yang mengikuti
aliran asketisme dan selibat itu tidak mau mengakui, bahwa
mereka merendahkan wanita . Mereka selalu mengatakan,
bahwa mereka justru memuliakan wanita . Mereka malah
mengakui, bahwa Tuhan “kadang-kadang” mensucikan
wanita juga! Fihak Islam Sufi menyebutkan nama Siti
Aminah yang ditakdirkan oleh Tuhan buat mengandung
Muhammad; fihak selibat Nasrani menyebutkan nama Siti
Maryam; dan fihak Buddha menyebutkan nama Maya.
Tidakkah mereka semuanya wanita -wanita yang
dimuliakan?
Mereka tidak mengetahui, bahwa di lain-lain agama pun ada
wanita -wanita yang dimuliakan, bahkan disembah!,
namun yang di situ wanita sebagai makhluk warga
ditindas clan direndahkan. Dewi Kybele, dewi Mylitta, dewi
Aphrodite, dewi Venus, dewi Ceres di Eropa Selatan, dewi
Edda, dewi Freya di Eropa Utara, dewi Syri, dewi Pratiwi,
dewi Lakshmi, dewi Kwan Im atau Kwannon di dunia Timur, -
tidakkah mereka ini semuanya wanita -wanita yang
disembah? namun tidakkah di negerinya dewi-dewi itu posisi
sosial dibandingkan kaum wanita amat rendah sekali?
Marilah sekarang kita palingkan muka ke negara kita .
Di manakah di negara kita masih ada patriarchat? Pertanyaan
yang demikian ini kurang tegas. Yang dimaksudkan tentunya:
di manakah di negara kita masih ada patriarchat liar? Sebab
kita bangsa negara kita hampir semua hidup di dalam sistim
patriarchat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat,
maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua
patri-archat. Malahan di muka telah saya katakan, bahwa
agama Islam dan agama Keristen sebenarnya yaitu koreksi
atas patriarchat yang mengekses, koreksi atas hukum
perbapaan yang bersifat kebiadaban. Hukum perbapaan yang
menindas dan merampok, memperlakukan wanita sebagai
benda dan sebagai ternak, hukum perbapaan yang “liar” itu
dikoreksi, hendak diganti dengan hukum perbapaan yang adil
dan baik. namun agama sering sekali belum cukup
“mendalam”, atau agama nyata diabaikan oleh pengikut-
pengikutnya, sehingga di berapa daerah negara kita yang
penduduknya telah “Islam” atau telah “Keristen”, patriarchat
liar masih tampak dengan nyata.
Saya di muka telah menceritakan hal adat “marlojong”.
Tanah Batak memang masih tampak sekali “klassik” ditentang
kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas, kawin jual tenaga,
levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk, levirat)
masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang
hendak kawin, harus lebih dulu membayar uang “mangoli”,
yakni uang membeli. Orang yang tidak memiliki cukup
uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia
harus “sumondo”. Dengan dibelinya wanita . itu,
pindahlah perem-puan itu dari tangan bapanya menjadi milik
suaminya sama sekali. Ia keluar dari marga sendiri, masuk ke
dalam marga suaminya sama sekali. Ia tidak mewaris harta
benda suaminya itu, kalau suaminya itu meninggal. Ia tidak
boleh mewaris, malahan akan diwariskan. Kalau suaminya itu
tidak memiliki saudara atau tidak memiliki keluarga
yang dekat, maka sepeninggal suaminya itu ia boleh kembali
kepada marganya sendi