presiden soekarno 4

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 4



 aitu  hukumnya masa yang telah silam. Lihatlah, di dalam 

kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum 

peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman 

yang lalu : di dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada 

tertulis: “Maka oleh sebab  itu, orang laki-laki akan 

meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada 

isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging”. Benar 

kalimat ini terdapat juga di Perjanjian Baru (misalnya 

Mattheus 19,5 dan Markus 10, 7), dan diartikan sebagai 

kesetiaan laki-laki kepada isterinya, namun  asal-asalnya 

nyatalah dari kitab Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama 

pula, Numeri 32,41 ada diceritakan hal yang berikut: Yair 

memiliki  bapa yang asalnya dari suku Yuda, namun  ibunya 

Yair yaitu  dari suku Manasse, maka dengan nyata Yair di 

situ disebutkan “ibnu Manasse”, dan mendapat warisan dari 

suku Manasse itu. Begitu pula di dalam Nehemia 7,63: Di sini 

anak-anak seorang pendeta yang beristerikan seorang 

wanita  dari suku Barzillai, dinamakan anak-anak 

Barzillai, jadi menurut nama suku ibunya. Tidakkah, sebagai 

di muka saya sebutkan juga, Nabi 1sa masih disebutkan Isa 

Ibnu Maryam? 

 

Di dalam kitab sejarah dunia Dr. Jan Romein, jilid I, 

diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno di kanan 


 

kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan 

tahun sebelum zaman Nabi 1sa, yaitu  timbul dari aturan-

aturan matriarchat. Semua itu membuktikan, bahwa hukum 

peribuan itu yaitu  hukumnya warga  kuno, timbul dari 

perbandingan-perbandingan sosial-ekonomis di warga  

kuno. Ia yaitu  tiugkatan atas rohaniah perbandingan 

produksi di warga  kuno, yang tidak dapat diadakan lagi 

di suatu warga  sekarang, di mana perbandingan sosial 

ekonomis yaitu  lain. Dan sejarah duniapun membuktikan, 

bahwa hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang 

ratusan, ribuan tahun itu, makin lama makin surut, makin 

lama makin tak laku, makin lama makin lenyap. Di mana 

sekarang masih ada hukum peribuan, -di Minangkabau atau 

di Oceania, di beberapa daerah Neger atau di kepulauan 

Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, -di mana 

sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih 

dibandingkan  sisa-sisa belaka, runtuh-runtuhan belaka dibandingkan  

sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya selalu 

diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin 

menghidup-kan kembali atau memelihara hukum peribuan 

itu, dia yaitu  mau menghidupkan kembali atau memelihara 

sebuah bangkai. Dia yaitu  menuju arah yang bertentangan 

180 derajat dengan arah tujuan evolusi warga ; dia 

yaitu  reaksioner; dia yaitu  sosial reaksioner. 

 

Bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara 

restan-restan matriarchat lah caranya kita musti 

memerdekakan wanita  dari perbudakannya sekarang ini, 

bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu 

sistim yang basisnya yaitu  di dalam fase warga  yang 

zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan 

kaum wanita  itu dengan basis warga  sekarang, atau 

dengan basis warga  yang akan datang. Yang telah silam 

tak dapat timbul kembali, namun  yang sekarang ada, itulah 

yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita 

alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran primitif yang mau 

kembali kepada hukum-hukum primitif itu! Sebab kalau tidak, 

lenyaplah nanti di dalam kalbu tuan segala harapan, segala 

cita-cita, segala kegembiraan. 

 

 

Angan-angan tuan itu tidak akan tercapai, melainkan 

sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan gugur sama-

sekali. 

 

Lagi pula: adakah hukum peribuan di Minangkabau itu 

mengasih kedudukan baik dan mulia kepada wanita ? 

Saya kira, semua orang yang telah pernah berdiam di 

Minangkabau, atau membaca buku-buku atau uraian-uraian 

tentang Minang-kabau, mengetahui, bahwa di sana 

wanita  belum boleh dikatakan hidup di dalam sorga. 

Beberapa akibat hukum peribuan di sana itu ia1ah: banyak 

laki-laki meninggalkan Minangkabau untuk “mancari” ke 

daerah lain, banyak perceraian, wanita  susah mencari 

suami, sukar berkembangnya ekonomi individuil, dan lain 

sebagainya. 

 

Ya, kembali lagi kepada kesalahan Bachofen tadi: hukum 

peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik kepada 

wanita ! Sebaliknya, manakala ia ada mengasih 

kedudukan baik, maka hukum peribuan itu kadang-kadang 

dan sering sekali membawa akibat laki-laki  menjadi hamba 

wanita ! Rudolf Eisler menerangkan bahwa di dalam 

hukum peribuan ini “sering sekali laki-laki musti bekerja 

sebagai budak buat wanita ”. Keadaan yang semacam ini 

tentu bukan keadaan yang sehat. Satu sistim yang 

memperbudakkan wanita  tidaklah sehat, satu sistim yang 

memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat 

hanyalah satu sistim, di mana laki-laki dan wanita  sama-

sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia. 

Maka oleh sebab  itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan 

di sini, bahwa pemecahan “soal wanita ” itu bukanlah 

harus kita cari di dalam hukum peribuan dan bukanlah pula 

di dalam matriarchat, namun  di dalam warga  yang lain, 

dengan aturan-aturan yang lain! 

 

Di manakah di zaman dulu ada hukum peribuan? Boleh 

dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. 

Malah ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum 

peribuannya dilukiskan dengan saksama dalam catatan-

catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen 

dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum 


 

peribuan suku Nair di India beberapa abad yang lalu, sebab  

ia mempelajari catatan-catatan pengembara bangsa Arab, 

Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang 

mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh 

dikatakan, di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. 

Malahan Bachofen mengatakan, bahwa semua bangsa-bangsa 

yang primitif yaitu  berhukum peribuan. Friederich Engels 

pun berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase warga  

yang umum. Pada bangsa Israil, pada bangsa Mesir, pada 

bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia, di 

semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua, 

bangsa Indian di Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di 

benua Asia serta kepulauan Asia dan Oceania, -di semua 

tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu. 

Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-

tiap orang mengerti apa sebabnya hukum peribuanlah yang 

menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak ada hukum lain 

yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan 

seseorang manusia, melainkan hukum peribuan ini. “Ibunya 

si anu ialah si anu”. Sebab, pada waktu itu keluarga belum 

bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu 

gelombolan laki-laki kawin dengan satu gerombolan 

wanita : inilah yang dinamakan “kawin gerombolan”. 

“Siapa bapa” di situ tidak terang. sebab  itu hukum peribuan 

menjadi hukumnya orang di waktu itu. 

 

lalu  dibandingkan  kawin gerombolan ini, datanglah kawin 

pasangan, di mana wanita  menjadi isterinya satu orang 

laki-laki saja. Di dalam fase kawin pasangan inilah (di dalam 

waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin 

pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu 

“perpindahan” antara kawin gerombolan ke kawin pasangan 

itu, yaitu  satu zaman yang membolehkan atau 

mengharuskan seseorang wanita  sebelum ia memiliki  

suami satu, bergaul merdeka dengan laki-laki mana saja. 

Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal ini dinamakan 

“heaerisme”, “persundalan”, yang sebenarnya berlainan sekali 

dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu 

wanita  dianggap sebagai “ibu sekalian manusia”, yang 

mengasih hidup kepada semua orang. namun  kini ia akan 

memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti “dapat 


 

kerugian” lebih dulu, atau “bayar kerugian” lebih dulu! Ia 

lantas dibolehkan menjalankan “persundalan” pada waktu 

gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada 

umum sebelum ia kawin resmi kepada satu orang laki-laki 

saja. 

 

Menurut agama di Babylon, dulu seorang anak dara kalau ia 

hendak menikah, diwajibkan lebih dulu pergi ke kuil Mylitta, 

dan di situ ia musti mengorbankan kegadisannya kepada 

banyak laki-laki. Begitu pula keadaan di Memphis, di Cyprus, 

di Tyrus, di Sydonia, di dalam perayaan-perayaan Dewi Isis di 

Mesir, di  Asia Depan di dalam kuil Anaitis. Engels berkata: 

“Adat kebiasaan yang semacam itu dikerjakan oleh hampir 

semua bangsa Asia di antara Laut Tengah dan sungai 

Gangga”. 

 

wanita  ibu umum! Sebelum ia bersuami satu orang saja, 

ia musti memuaskan semua orang lebih dahulu! 

 

Sebelum ia memuaskan satu orang saja, ia musti bayar dulu 

upeti kepada dewa-dewa. “Sebab bukan supaya menjadi layu 

di dalam tangannya satu orang laki saja, maka wanita  itu 

dikaruniai keelokan dan kecantikan oleh alam. Hukum 

jasmani menolak semua pembatasan, benci kepada semua 

perikatan, dan memandang tiap-tiap perkhususan sebagai 

satu dosa kepada sifat kedewaan wanita  itu”, begitulah 

Bachofen menulis di dalam kitabnya “Mutterrecht”. Sampai 

zaman sekarangpun, misalnya di Flores, di mana saya 

berdiam hampir lima tahun, ada satu daerah (Keo), di mana 

gadis-gadis boleh bergaul dengan laki-laki mana saja yang 

mereka sukai, dan yang paling “jempol” di antara “gadis-gadis” 

itu, -jempol memuaskan laki-laki-, itulah yang nanti paling 

lekas laku mendapat suami. Di kepulauan Mariana, di ulu-

uluan Philipina, di kepulauan Polynesia, di beberapa suku di 

Afrika, sampai sekarang masih berlaku pula adat ini. 

 

Di kepulauan Baleara, maka belum selang berapa lamanya 

masih ada adat, yang pada “malam pernikahan”, semua 

keluarga laki-laki dari pengantin lelaki meniduri pengantin 

wanita  itu berganti-ganti. Di Malabar, di uluan India 

Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala 


 

agamalah yang menyelesai-kan pekerjaan ini. Dan mungkin 

juga hak “malam pertama” yang dulu diberikan kepada raja-

raja di negara kita  dan di Eropa, -di beberapa negeri Eropa 

sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak “jus 

primae noctis” itu-, pada asalnya haruslah dianggap sebagai 

“belian” kepada dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah 

sebab  wanita  menjadi isteri satu orang laki-laki saja!) 

Dan tahukah tuan, bahwa sampai di dalam abad ke-15 di 

Nederland pun menurut keterangan Murner, tamu-tamu di 

“suguh” nyonya rumah atau puteri rumah pada malam hari? 

 

Ya, wanita  ibu umum! Tidakkah pada hakekatnya ini 

suatu anggapan tinggi kepada wanita  itu? namun  tidakkah 

pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak 

baik kita pakai? Maka oleh sebab  itu, meskipun ada kalanya 

hukum peribuan itu di dalam bentuk matriarchatnya 

mengasih kedudukan yang mulia kepada wanita , 

meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang 

masih ada restan-restan matriarchat itu di mana wanita  

seperti berkedudukan mulia, maka janganlah matriarchat itu 

menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum 

peribuan itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu 

belumlah menjadi satu bukti, bahwa dus hukum peribuan itu 

dapat tegak terus di warga  sekarang, dan dus boleh 

dipakai sebagai cita-cita dan pedoman di warga  

sekarang. Tidak! Kalau sekarang masih ada hukum-peribuan, 

maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa 

dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang 

telah gugur. Itu hanyalah satu “kematian yang terlambat”. 

 

Hukum peribuan pasti mati, pasti gugur, pasti lenyap dari 

warga  industrialisme dan warga  hak milik pribadi 

sebagai yang sekarang ini, walaupun ia ulet nyawa. (Misalnya 

sampai di zamannya August Bebel (permulaan abad ini) masih 

ada hukum peribuan itu di negeri modern, seperti Jermania 

(di propinsi Westfalen) di mana si anak mewaris dari ibu, dan 

tidak dari bapa).  

 

Pembaca barangkali ada yang ingin tahu, apakah adat satu 

orang wanita  bersuami banyak (poliandri) juga 

disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab 


 

pertanyaan ini! Mungkin disebabkan oleh hukum peribuan, 

mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan. Eisler 

mengatakan, bahwa poliandri itu “bukan satu perkembangan 

yang umum” (bukan satu tingkat perubahan yang umum). 

Engels menamakan dia “perkecualian”, serta, “hasil-hasil yang 

mewah dibandingkan  sejarah”. Dan Bebel berkata, bahwa “belum 

diketahui orang benar-benar, perbandingan-perbandingan 

apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu”. namun  

ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam 

hal mencari sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri 

didapatkan terutama sekali hanya di negeri-negeri 

pegunungan yang tinggi saja; seperti di Tibet. Di negeri-

negeri pegunungan yang tinggi-tinggi ini, di mana hampir 

tiada tumbuh-tumbuhan sama sekali, sudah barang tentu 

sangat berat struggle for life. Maka poliandri atau persuamian 

banyak itu, menjadi satu jalan buat mencegah terlalu 

bertambahnya jumlah keturunan,  dengan tidak merugikan 

dan menghalangi kepada syahwat laki-laki. Benarkah 

keterangan ini? Entah. Ada lain keterangan lagi, yakni yang 

berikut: menurut seorang penjelidik yang bernama Tarnowsky, 

maka udara yang terlalu dingin berakibat melemahkan kepada 

syahwat. (Dikatakan: orang-orang yang naik ke puncak-

puncak gunung yang terlalu tinggi, menjadi lemah 

syahwatnya, dan syahwatnya ini sekonyong-konyong menjadi 

keras kembali manakala mereka turun ke tempat-tempat yang 

lebih rendah. Orang-orang di kutub Utara tidak begitu keras 

syahwatnya seperti orang-orang di negeri-negeri kanan-kiri 

khatulistiwa. Orang-orang wanita  di negeri-negeri dingin 

kadang-kadang baru pada umur 18 atau 19 tahun mendapat 

haid, tapi gadis-gadis di negeri Arabia kadang-kadang pada 

umur sepuluh atau sebelas tahun sudah mendapat haid). 

Maka oleh sebab  syahwat, terutama sekali syahwat laki-laki, 

di negeri-negeri dingin ada kurang, maka tidak merusak 

kesehatan wanita  manakala di negeri seperti Tibet itu 

satu wanita  bersuamikan dua, tiga, empat, lima orang 

laki-laki. Jadi di negeri yang sangat dingin tidak heran kita 

melihat poliandri, dan di negeri-negeri panas tak heran kita 

melihat poligami. Lagi pula, bukan barang yang tidak 

diketahui umum, bahwa wanita  yang banyak laki-lakinya 

itu kurang menjadi hamil dibandingkan  wanita  yang bersuami 

hanya seorang saja. Lihatlah misalnya kepada sundal. Sundal 


 

yang saban hari menerima syahwat laki-laki sampai lima, 

enam, sepuluh kali, jarang menjadi hamil, meski ia tidak 

minum obat-obatan pencegah hamil atau tidak mengambil 

ikhtiar satu juapun untuk mencegah bertumbuhnya benih. 

Dengan sebab-sebab yang demikian itu, maka poliandri di 

negeri-negeri pegunungan tinggi itu bukan saja tidak 

merusakkan kesehatan wanita , namun  ada juga berakibat 

mengurangi jumlah turunan, yang sangat susah 

memeliharanya di negeri yang kurang rezeki itu. Bersangkutan 

atau tidak bersangkutan poliandri itu dengan hukum peribuan 

belum terang kepada kita. namun  ternyatalah di sini sekali lagi 

kebenaran teori, bahwa moral, anggapan-anggapan tentang 

sopan dan tidak sopan, adat lembaga, etik, recht, dan lain-lain 

sebagainya itu, bukanlah hasil pekerjaan budi pekerti 

manusia, namun  yaitu  tergantung dan ditetapkan oleh 

perbandingan-perbandingan sosial dan materiil. 

 

Di manakah di negeri tumpah darah kita ini, kecuali 

Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan? Pertama, 

boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan 

dengan Minangkabau itu masih memakai hukum peribuan 

bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu, bagian-bagian dari 

Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu 

semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi, 

melainkan sudah tercampur bawur dengan hukum-hukum 

lain, terutama sekali tercampur dengan syariat Islam. 

Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli 

hukum peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini 

hukum peribuan bukan asli hukum-peribuan lagi. Hanya 

kadang-kadang saya heran melihat “uletnya” hukum peribuan 

itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di 

negeri Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya 

memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa hukum peribuan 

yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah yang 

wanita , sesudah nikah, masih tetap saja menjadi 

“haknya” rumah orang tuanya, sedang suaminya, kalau ia 

tidak ikut diam di rumah isterinya itu, datang kepadanya 

hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari 

perkawinannya itu tetap di rumah ibunya, “gampung” anak-

anak itu yaitu  -“gampung” ibunya! Adat hukum peribuan 

inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di 


 

Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan “ambil anak” 

atau “cambur sumbai” di tanah Lampung. Di situ si suami 

memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu sendiri, dan 

menjadi “anaknya” mertuanya, berdiam di rumah mertuanya, 

bekerja pada pekerjaan mertuanya. Ia “ikut” kepada isterinya, 

ia menyerahkan anak-anaknya kepada isterinya, ia hanyalah 

bertindak sebagai “jantan” bagi isterinya, anak-anaknya 

menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau orang 

hanya memiliki  anak-anak wanita  saja, (jadi tiada 

anak laki-laki), maka selalu perkawinan “cambur-sumbai” ini 

yang dipilih. Dengan begitu si anak wanita  itu 

meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau 

dengan perkataan adat; buat “tunggu jurai”, buat 

“menegakkan jurai”. Malahan di daerah Semendo anak 

wanita  yang tertua tetap menjadi penunggu dan penegak 

jurai itu, meski ia memiliki  saudara laki-laki atau tidak 

memiliki  saudara laki-laki. Suaminya wajib ikut 

kepadanya. Anak-anaknyalah yang meneruskan jurai, dan 

bukan anak saudaranya yang laki-laki. Pendek kata, di 

daerah-daerah Sumatera Tengah dan sebagian dari Sumatera 

Selatan, masih nyata ada sisa-sisa hukum peribuan, begitu 

pula di Batanghari atas, di Kerinci, dan tempat-lain-lain. 

 

Di pulau Mentawai masih ada sisa adat hukum peribuan yang 

berupa “hetaerisme” (lihat di muka) antara “gadis-gadis” 

dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di 

pulau Mentawai itu sama sekali bukan satu kedurhakaan, 

kalau seorang “gadis” sebelum ia memiliki  suami sudah 

memiliki  anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa 

hatinya kalau wanita  yang ia kawin itu sudah memiliki  

anak! Begitu pula keadaan di pulau Enggano. Anak-anak di 

luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya. Di 

Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala) 

masih ada adat, yang seorang suami diwajibkan berdiam di 

rumah isterinya, dan di Sulawesi Selatan ada adat 

“mapuwoawo” yang menentukan, bahwa anak yang tertua dan 

yang ketiga ditentukan menjadi hak ibunya, sedang bapa 

hanya mendapat hak atas anak yang kedua atau keempat 

saya. Malah bukan saja hukum peribuan ada sisa-sisanya di 

situ, namun  juga ada matriarchat: dulu sering-sering di 

Sulawesi Selatan orang wanita  dijadikan raja. Di Keo, 

 

yaitu di satu daerah Flores, “gadis-gadis” selalu bergaul bebas 

dengan laki-laki, dan “gadis-gadis” yang paling “jempol” 

memuaskan hati laki-laki, merekalah yang nanti paling besar 

harapan buat lekas mendapat suami.  

 

Maka nyatalah dengan bukti-bukti dari daerah-daerah primitif 

dari negeri sendiri itu, bahwa hukum peribuan yaitu  hukum 

primitif, hukum sesuatu rakyat yang belum tinggi tingkat 

kemajuannya. Hukum yang masih primitif itu tak mungkin 

baik buat warga  modern, dan pantas diganti dengan 

hukum yang lebih sesuai dengan warga  modern! 

 

Bagaimanakah hukum perbapaan? Sebagaimana saya sudah 

uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum peribuan, 

yaitu  hukum perbapaan itu satu kemajuan: dengan hukum 

perbapaan dapatlah berkembang somah,  dengan hukum 

perbapaan dapatlah berkembang indivualisme yang perlu buat 

berkembangnya warga . Marx menamakan perpindahan 

dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu 

“perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam”, dan 

Engels menamakan dia satu “kemajuan dalam sejarah yang 

besar”. Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi 

dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan 

pertuanannya fihak yang lain! 

 

Pokok hukum perbapaan itu digambarkan oleh Engels dengan 

satu kalimat yang amat jitu: “Ia berazaskan pertuanan orang 

laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-

anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan 

perbapaan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh 

sebab  anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapa 

itu”. Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang 

wanita , yang akan membantah bahwa pada azasnya 

hukum perbapaan itu lebih baik bagi warga  dibandingkan  

hukum peribuan. Ah ya, ada wanita  yang mengatakan 

hukum perbapaan itu masih “berat sebelah”, dan lantas 

bercita-cita satu hukum yang di tengah-tengah hukum 

perbapaan dan hukum peribuan, ada pula yang bercita-cita 

campuran hukum peribuan dan hukum perbapaan itu, -namun  

baiklah direnungkan dengan tenang dan dalam: hukum 

perbapaan bukan satu hal adil atau tidak adil, hukum 


 

perbapaan yaitu  satu hukum yang perlu buat evolusi 

warga . Yang tidak adil bukan hukum perbapaan itu, 

melainkan ekses-ekses hukum perbapaan itu, “keliwat 

batasan-keliwat batasan” hukum perbapaan itu. Ekses-ekses 

hukum perbapaan inilah nanti akan saya bicarakan di dalam 

bab ini juga. namun  marilah saya sekarang membicarakan 

lain-lain hal dari hukum perbapaan itu lebih dulu. 

 

Sebagai telah saya terangkan, maka hukum perbapaan ini 

timbul, sesudah warga  mengenal “milik”, yakni mengenal 

“milik perseorangan”. Laki-laki yang meninggalkan 

perburuan, menyusun “milik” itu dengan keringat sendiri-

sendiri: Peternakan mengasih kekayaan yang berupa hewan, 

orang-orang tawanan tidak dibunuh lagi namun  dijadikan 

kekayaan yang berupa budak belian, hasil pertanianpun 

membesar-besarkan harta pusaka. Untuk menetapkan milik 

ini di dalam tangan anak-anaknya sendiri, menjaga jangan 

sampai ia jatuh di tangan anak-anaknya orang lain, maka 

diadakanlah hukum perbapaan itu. 

 

namun  jangan pembaca kira, bahwa ia diadakan dengan 

sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia yaitu  akibat dari 

satu proses,  sebagaimana tiap-tiap revolusi warga  

yaitu  akibat dari satu proses.  Ia bukan hasil pemutaran 

otak seorang-orang “di suatu malam yang ia tak dapat tidur”, 

sebagai-mana juga tiada revolusi warga  hasil pemutaran 

otak “di suatu malam yang ia tak dapat tidur”. Ia menurut 

keterangan Engels (berlawanan dengan Bachofen), sama sekali 

bukan satu revolusi yang membuat banyak ribut-ribut, 

melainkan hanyalah satu perubahan yang berangsur-angsur 

tenang. “Ini”, begitulah ia berkata, “ini sama sekali tidak 

begitu sukar, sebagai yang kita kirakan di zaman sekarang. 

Sebab revolusi ini, -salah satu revolusi yang terbesar, yang 

pernah dialamkan oleh manusia-, tak harus mengenai 

seseorang anggota gens yang masih hidup. Semua keluarga 

gens itu hidup tetap secara yang sudah-sudah. Hanyalah 

cukup mengambil satu keputusan, bahwa dilalu  hari 

turunan anggota laki-laki dari gens tinggal di dalam gens itu, 

namun  turunan anggota wanita  keluar dari gens sendiri 

dan pindah ke gens bapanya. Dengan keputusan ini, maka 

sudah gugurlah aturan keturunan menurut garis ibu serta 


 

hukum waris dari ibu, dan sudah ditegakkan aturan 

keturunan menurut garis bapa serta hukum waris dari bapa 

... Betapa mudahnya revolusi ini, itu kita dapat lihat pada 

beberapa suku-suku Indian, di mana perubahan itu belum 

selang berapa lama telah terjadi, atau sedang pula terjadi, 

buat sebagian sebab  bertambahnya kekayaan ... dan buat 

sebagian lagi sebab  pengaruh zaman baru serta pengaruh 

pendeta-pendeta Nasrani”. Begitulah pendapat Engels. 

Bachofen lebih percaja kepada perubahan yang mendatangkan 

banyak peperangan. Mungkin kebenaran yaitu  ditengah-

tengah: ada yang tenang, ada yang dengan peperangan. Saya 

sudah tuliskan di muka, bahwa ada pula daerah-daerah yang 

wanita -wanita nya tidak mau tunduk begitu saja 

kepada aturan baru ini, dan ini lah asal-asalnya cerita-cerita 

atau dongeng-dongeng Amazone atau Wanita Nusa Tembini. 

Kalau kita sekarang datang di negeri kanan-kirinya gunung 

Kaukasus, kita akan melihat, bahwa masih amat hidup di 

ingatan rakyat di situ dongengnya Raja Puteri Tamara, yang 

sebagai harimau betina telah memerangi dan menaklukkan 

banyak raja-raja laki-laki. Raja Puteri Tamara sampai kini 

malahan masih diagungkan oleh rakyat-rakyat Kaukasia. 

Kecan-tikannya, kebijaksanaannya, kegagahberani-annya, 

kesaktiannya sampai kini masih dituliskan di atas pedang-

pedang, di piala-piala, di alat-alat musik, dengan kata-kata, 

syair-syair serta pujian-pujian yang berapi-api. Satu nyanyian 

Kaukasia berbunyi: “Tamara memakai tudung perang, dan 

telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang. 

Matanya seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya 

seperti yaspis. Ia memakai baju perisai, menaiki kuda yang 

berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia memakai baju 

kain atlas”. 

 

Batu kuburan Tamara dikatakan bertulis: “Aku Raja Puteri 

Tamara. Aku mengisi negeri-negeri dan laut-laut dengan 

namaku. Aku menyuruh ikan-ikan berpindah dari Laut Hitam 

ke Laut Kaspia. Kudaku telah masuk kota Ispahan, dan 

pedang telah kutanamkan di alun-alun Meidan di kota 

Istambul. Sesudah aku berbuat ini semua, aku pindah ke 

akhirat dengan membawa kain sembilan depa.”  

 

 

Tamara telah menaklukkan semua musuhnya. Hanya Laut 

Kaspia sajalah yang belum mau tunduk. “Apakah yang 

Tamara, Raja Puteri dari semua raja-raja, dapat perbuat akan 

daku?”, begitulah Laut Kaspia menanya. “Kekuasaan Tamara 

memang besar, namun  lebih besar ialah ombakku dan 

gelombangku”. 

 

Raja Puteri Tamara mendengar perkataan ini, dan dengan 

pelahan ia menghadapkan mukanya kepada penantang itu. Di 

antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit 

mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya 

kepada Laut yang memberontak itu, dan pantai-pantai Laut 

Kaspia memekik-mekik sebab  sakit. Ombak-ombak Laut itu 

diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala 

menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di 

dalam nyalanya api, dan memekik memohon ampun. la 

sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan sanggup 

takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh 

Sang Raja Puteri kepadanya. 

 

Demikianlah Raja Puteri Tamara. Fanina W. Halle 

menunjukkan kepada kita, bahwa di dalam dongeng ini 

diceritakan satu amazone motif yang tulen: perang melawan 

laut. Sebab, simbul apakah laut itu? Laut yaitu  simbulnya 

laki-laki! Bumi, tanah, yaitu  simbul wanita , namun  laut 

yaitu  simbul laki-laki. Sebagaimana juga kita bangsa 

negara kita  menganggap bumi itu sebagai simbul wanita : 

simbul Ibu, simbul Ibu Pratiwi, maka bagi orang Kaukasia 

bumi yaitu  juga simbul wanita . namun  manakala kita 

menganggap langit sebagai simbul laki-laki, manakala kita 

berkata: “Bapa Angkasa, Ibu Pratiwi”, maka bangsa Kaukasia 

dan juga bangsa Yunani, menganggap laut sebagai simbul 

laki-laki. Bukankah tanah tidak dapat subur kalau tidak 

menerima kesuburannya itu dari airnya laut? Maka dongeng 

perjuangan Tamara yang Maha cantik itu, dapat pula dianggap 

sebagai gambar perjuangan antara azas peribuan dan azas 

perbapaan, antara hukum peribuan dan hukum perbapaan, 

antara matriarchat dan patriarchat. 

 

Tamara hanyalah satu contoh saja. Negeri lain-lain 

memiliki  “Tamara” yang lain-lain pula. namun  ada satu hal 


 

yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia 

itu: Tamara Kaukasia sebenarnya yaitu  satu figur yang 

bukan sama sekali “dongeng”! Ia yaitu  satu figur yang juga 

oleh tarikh diakui adanya. Ia satu figur historis. la menjadi 

Raja Puteri di Kaukasia di antara tahun 1185 dan tahun 1214, 

-jadi belum sampai 800 tahun di belakang kita. Apakah 

artinya ini? Ini berarti bahwa, kalau benar perjuangan Tamara 

itu satu perjuangan matriarchat melawan patriarchat, maka 

perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan 

itu tidak terjadi sama-sama waktu di seluruh dunia, tidak 

serempak, melainkan berbeda-beda waktu. Ada negeri yang 

sudah ribuan tahun menegakkan hukum perbapaan, ada 

negeri (sebagai Kaukasia) yang baru ratusan tahun saja 

memakai hukum ini, dan ada pula negeri yang sampai zaman 

sekarang belum meninggalkan hukum peribuan sama sekali. 

Engels dan Bachofen memang juga mengatakan begitu! Dan 

bukan saja tidak serempak, -caranya pun menurut Bebel 

berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannya sendiri-

sendiri. 

 

Ambillah misalnya daerah-daerah di lingkungan negeri kita 

sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda sifat restan-restan 

hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula 

caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih 

lapangan kepada hukum perbapaan Islam? Ya, negeri kita 

memang salah satu negeri di mana perjuangan antara hukum 

peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai. 

Sampai sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih 

dapat melihat berjalannya “revolusi-warga ” yang maha 

hebat ini. namun  janganlah pembaca mengira, bahwa di negeri 

lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan begitu 

tenang sebagai misalnya perjuangan antara “kaum-adat” dan 

“kaum agama” di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern 

berpengaruh besar atas sifat perjuangan di Minangkabau 

sekarang ini. Kesopanan modern itu “menghaluskan”, 

“menyopankan” sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman 

tua, keadaan-keadaan yaitu  lain, dan manusia-manusia pun 

yaitu  lain. Orang zaman sekarang yaitu  orang “beradab”, 

orang “sopan”, - namun  dulu? Dulu segala hal lebih “mentah”, 

lebih “hantam-kromo”. Dulu orang merantai dengan rantai 

besi, memukul dengan kentes galih asam, menyembelih 


 

dengan golok terang-terangan. sebab  itu maka perjuangan 

antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu 

mungkin tidak begitu tenang sebagai di Minangkabau 

sekarang ini. 

 

Ya, dulu orang lebih “mentah”. Patriarchat pun lebih 

“mentah”. Sudah saya katakan, bahwa nafsu kepada milik, 

nafsu kepada milik perseorangan motornya patriarchat ini, 

dan bahwa wanita  pun dijadikan milik, dijadikan milik 

perseorangan. Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik 

menjadi sifat dimilik, dari subyek menjadi obyek. Ia tadinya 

cakrawarti, kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang 

harus disimpan, harus disembunyikan, tak boleh dilihat orang 

lain, apalagi disentuh orang lain. wanita  yang suka 

disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan. 

 

Edward Carpenter berkata: “Nafsu kepada milik itu membuat 

laki-laki menutup dan memperbudakkan wanita  yang ia 

cintai itu”. 

 

Ya, -“milik”! sebab  itupun, tidak, kalau “milik” itu (dulu lebih 

“mentah-mentahan” dibandingkan  sekarang) bukan saja disimpan 

dan disembunyikan, namun  juga ditambah, sebagaimana orang 

menambah juga barang milik yang biasa: di mana-mana 

patriarchat datang, di situ datanglah pula poligami, atau lebih 

benar: poligine, polyginie, yakni peristerian yang banyak-

banyak. Makin banyak wanita , makin baik; sebab makin 

bertambah banyaknya “milik” itu, berarti bertambahnya 

kesejahteraan dan kemuliaan, bertambahnya tenaga bekerja 

dan kekuasaan, bertambahnya rezeki dan kemegahan. 

Manakala laki-laki hanya memiliki  isteri seorang saja, 

maka isteri satu ini tidak menjadi halangan buat mengambil 

“selir” berapa banyaknya pun juga. Menurut keterangan Injil, 

maka Koning Salomo (Sulaiman) memiliki  700 isteri dan 

300 orang selir!  Demikianlah memang; adatnya patriarchat di 

zaman dulu! Perhatikanlah lagi beberapa contoh yang berikut 

ini: Di dalam kitab Perjanjian Lama, Genesis, fasal 16, ayat 1 

dan 2, diceritakan bahwa Nabi Ibrahim disuruh oleh Sarah 

buat “mengambil” budaknya yang bernama Hajar; juga di 

dalam Genesis, fasal 30, ayat 1 dan berikutnya, diceritakan 

bahwa Yakub disuruh oleh Rachel buat “mengambil” 


 

budaknya yang bernama Bilha, dan disuruh pula oleh Lea 

(saudara Rachel) buat “mengambil” budaknya yang bernama 

Zilpa. 

 

Dan ada lagi satu hal yang boleh kita ambil dari cerita Yakub. 

Menurut Injil, maka isteri-isteri Yakub yang bernama Rachel 

dan Lea itu, yaitu  dua saudara.  Mereka kedua-duanya 

yaitu  anak Laban. Entah, mereka dua-duanya menjadi isteri 

satu orang! Inipun oleh patriarchat dianggap sopan, tidak 

melanggar kesusilaan. 

 

Dan masih ada lagi satu hal penting dalam cerita Yakub. 

Menurut Injil, Yakub mendapat Rachel dan Lea itu dengan 

jalan membelinya dari bapanya: baik Rachel maupun Lea ia 

beli dengan menjual tenaganya, kepada Laban, masing-masing 

tujuh tahun lamanya. Maka kita di sini menginjak satu sifat 

penting dari patriarchat pula: wanita  milik yang harus 

dibeli. Inilah yang di dalam salah satu bab di muka sudah 

pula saya terangkan: kawin beli, perkawinan dengan jalan 

membeli, perkawinan dengan menganggap wanita  itu 

sebagai satu benda perdagangan. Orang Yunani di zaman 

dulu menyebutkan wanita-wanitanya “alphesiboiai”, yang 

artinya: menghasilkan sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan 

dengan sapi! Ya, wanita  satu benda perdagangan, yang, 

kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan semau-

maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang 

sebagai benda perhiasan rumah, boleh disimpan dan 

disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh bekerja mati-

matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh, 

boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-

lain. Ia boleh dihidupi atau tidak dihidupi, boleh 

dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di zaman Rumawi 

dahulu, menurut keterangan Engels yaitu  satu kebiasaan, 

bahwa wanita  itu, beserta semua famili, sebelum 

suaminja mati, sudah ditentukan dengan testamen kepada 

siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati. Ya, 

ia memang benda belaka, milik ia punja suami! Kalau ia 

dibunuh oleh suaminya itu, maka itupun hak suaminya. 

(Engels). Sampai di abad kelimabelas di Jerman dan di negeri 

Belanda menurut keterangan Murner wanita  masih 

“disuguhkan” kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan 


 

sepotong kuih. “Het is in Nederland het gebruik, wanneer de 

man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw op goed geloof 

toevertrouwt”. Atau mungkinkah ini sisa “ibu umum” dibandingkan  

hukum peribuan?  

 

Dan kalau laki-laki tidak memiliki  cukup syarat untuk 

membeli wanita  itu? Tidak cukup harta benda, atau tidak 

mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada 

Laban? Sudah saya terangkan di muka: zaman dulu zaman 

“mentah-mentahan”. Kalau tidak dapat dibeli wanita  itu, 

maka tiada keberatan moral sama sekali, jika wanita  itu 

dicuri, dirampok mentah-mentahan. Kawin rampas,  itulah 

menurut keterangan saya di muka tadi juga salah satu sifat 

patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita 

“Perampokan perawan Saba”, dan kita malah sering sekali 

melihat cerita wayang di mana wanita  dicuri dan dibawa 

lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek der Richteren, 21, 

diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis 

Silo. 

 

“Kawin beli” dan “kawin rampas”, … sampai sekarang kita 

masih mengalaminya dan mengerjakannya, meskipun dengan 

jalan yang lebih “sopan”. Sampai di zaman sekarang masih 

ada adat “marlojong” di tanah Batak. Dan di Chili Selatan tiap-

tiap pengantin wanita  “harus dirampas lebih dulu” oleh 

suaminya, dengan persetujuan orang tua atau tidak dengan 

persetujuan orang tua. Tapi justru perkawinan yang demikian 

itu yang dianggap syah. Dan apakah asalnya uang “antaran”, 

“uang belis”, uang “sasrahan” atau barang “sasrahan” yang di 

kalangan bangsa Eropa dan di kalangan bangsa kita sampai 

sekarang masih saja orang bayarkan kepada pengantin 

wanita  atau bakal mertua, -lain dibandingkan  uang pembeli 

wanita  di zamannya patriarchat liar itu?  

 

Di kalangan Eropa, terutama sekali di lapisan-lapisan yang 

atas, orang tidak segan-segan memperhubungkan perkawinan 

dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan bangsa 

kitapun, terutama sekali di “tanah seberang”, nyata 

wanita  masih dianggap barang dagangan. Di Flores masih 

kuat sekali adat pembayaran “uang belis” sampai ratusan 

rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain negeri 


 

pun “uang antaran” kadang-kadang sampai ribuan rupiah! 

Sudah saya terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu 

banyak “gadis tua” yang sampai tinggi umur belum mempunjai 

suami: orang lelaki terhalang kepada perkawinan, oleh sebab  

uang pembeliannya begitu mahal! Dan bukan saja kawin beli 

dengan kontan kita kenal, kita di negara kita  pun mengenal 

kawin beli dengan kredit, (boleh dicicil) dan kita kenal juga 

kawin beli yang dibelinya dengan menjual tenaga buruh. Inilah 

yang oleh ahli etnologi dan sosiologi dinamakan kawin jasa,  

dan inilah yang kita jumpai pula di beberapa bagian di negeri 

kita, antara lain di negeri Batak.  

 

Dan kawin rampas? Lihatlah adat kebiasaan bangsa Eropa, 

mengadakan “perjalanan perkawinan” sesudah nikah! Pada 

asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain dibandingkan  

adat kebiasaan mencuri (melarikan) wanita  itu dari 

kekuasaan orang tua. Dulu di zaman purbakala waktu segala 

hal masih “mentah”, orang tentu saja melawan atau 

menyerang kepada pencuri itu dengan senjata, mengejar dia 

dengan tombak dan panah, melempari dia dengan batu atau 

pentung. Kini orang sudah “sopan”; kini orang melempari 

pengantin yang mau berangkat untuk perjalanan perkawinan 

itu dengan ... beras!  

 

Di kalangan bangsa kita masih banyak juga daerah-daerah 

yang wanita  itu dicuri lebih dulu, misalnya saja di negeri 

Tapanuli, yang di situ masih ada adat “marlojong” atau 

“dilojongkon” (dilarikan) atau adat “tangko babiat” (seperti 

macan). Di daerah Pasemah adat inipun masih ada. Menurut 

keterangan Eisler, maka pencurian wanita  inilah yang 

menjadi asalnya adat “pembalasan darah” di zaman dulu, 

yakni asalnya adat bela pati, ambil nyawa balas nyawa, yang 

lazim terdapat di semua bangsa-bangsa di seluruh muka 

bumi. 

 

Tahukah tuan asalnya adat “tukar cincin” pada bangsa Eropa? 

Adat ini yaitu  berasal dari adat merampas wanita : si 

wanita  diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat 

laun “rantai” ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini 

sudah menyopan sedikit; sebagai tanda menjadi hamba sang 

suami, maka pengantin wanita  di Roma mendapat cincin 


 

besi dari ia punya suami. Di lalu  hari, maka diubahlah 

cincin besi ini menjadi cincin tembaga, cincin perak, cincin 

emas, dan lalu  lagi terjadilah adat sekarang, jaitu lelaki 

dan wanita  “tukar cincin”, sebagai tanda setia satu sama 

lain dari dunia sampai akhirat ... 

 

Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja 

berkesan dalam adat-istiadat di zaman sekarang, bukan saja 

pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, namun  juga 

pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa 

dan Amerika. Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap 

“benda” itu masih saja melekat pada wanita . Ia masih 

tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh diperlakukan 

sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu 

kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan, 

kini sopan-sopanan; tapi pada hakekatnya sama: laki-laki 

kuasa, isteri benda; laki-laki tuan, isteri hamba. Malah adat 

kebiasaan levirat masih juga terus berjalan sampai sekarang. 

Apakah levirat itu? Levirat yaitu  perkataan yang asalnya 

dari perkataan levir, yang artinya ipar. Levirat yaitu  adat, 

yang menetapkan, bahwa kalau sang suami mati, maka 

jandanya lantas menjadi isterinya saudara-suami itu, -isteri 

iparnya sendiri-, atau isterinya keluarga dekat dari suami itu. 

Nyatalah di sini wanita  itu dianggap sebagai satu milik 

yang dioperkan ke saudara suaminya, satu benda yang 

diwariskan pindah ke tangan saudaranya suami yang mati. 

Atau setidak-tidaknya, ia hanyalah dianggap sebagai alat 

penegakkan keturunan saja, satu alat pelahirkan anak, satu 

“mesin pengeram”! Di India orang wanita  yang tidak dapat 

hamil, dioperkan kepada saudara suaminya, sebelum 

suaminya itu mati, -coba-coba barangkali dengan saudara 

suami inilah mesin pengeram itu dapat mengeluarkan anak. 

Inilah yang dinamakan “perkawinan nyoga”, satu macam 

perkawinan yang dasar ideologinya sama dengan levirat itu. 

Dan ambillah adat kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab 

Perjanjian Lama, bagian kitab Musa Deuteronomium, 25, ayat 

5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang wanita  yang tak 

memiliki  anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya 

meninggal dunia. Benar di dalam hukum Yahudi pengoperan 

ini yaitu  satu hak yang boleh dituntut oleh janda itu, -kalau 

si ipar tak mau mengoper dia, dia boleh meludahi muka 

101 

 

iparnya itu di muka umum!-, namun  hal ini tidak mengubah 

kepada dasarnya ideologi itu tadi: wanita  obyek, 

wanita  benda, wanita  milik, yang di sini menuntut 

pemeliharaan. Sebab, mencari kecintaan menurut kehendak 

hatinya sendiri, kawin dengan orang yang bukan ipar itu, dus 

menegakkan keturunan di luar lingkungan darah suami-nya 

yang mati itu, ia tidak boleh!  Ia  musti  kawin dengan ipar 

itu saja, kalau ipar itu mau. 

 

Lain-lain bangsa masih juga ada yang mengerjakan levirat itu, 

sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa Afghan, yang dua-

duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di 

negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah 

(telah beragama Islam) dan orang Batak (telah beragama 

Serani) masih juga belum melepaskan levirat itu. Sungguh 

dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di 

dalam ideologinya sesuatu rakyat! 

 

Ada lagi dua hal yang perlu saya terangkan lebih jelas di sini 

berhubungan dengan anggapan bahwa wanita  itu 

“benda”: pertama hal persundalan, kedua hal “wanita  

makhluk dosa”. 

 

Salah satu sifat patriarchat ialah persundalan. Bukan 

persundalan atau hetaerisme seperti di zaman hukum 

peribuan, tatkala wanita  dianggap ibu umum, tapi 

persundalan yang benar-benar persundalan: menjual diri 

kepada laki-laki dengan mendapat uang, atau menjual diri 

kepada laki-laki dengan mendapat barang “harga” yang lain-

lain. Dulu di zaman hukum peribuan persundalan itu satu 

“amal keagamaan”, satu religieuze daad, satu perbuatan yang 

diwajibkan oleh ibadat. namun  kini ia menjadi amal 

perdagangan. wanita , yang kini satu barang, satu benda 

yang ada harga, yang tak dimiliki kalau tidak dibeli atau 

dirampas, wanita  itu kini menjadi satu barang yang tidak 

tiap-tiap orang laki-laki mempunjainya. Maka buat 

memuaskan syahwat kaum laki-laki yang belum cukup 

kekayaan untuk membeli seorang isteri atau belum cukup 

keberanian untuk merampas seorang isteri, timbullah 

perdagangan wanita  secara “barang eceran”.  Siapa 

belum mampu membeli seekor sapi, dapatlah ia membeli 

102 

 

daging sekati saja! Dan yang betul-betul menggambarkan 

ideologi patriarchat ialah, bahwa anggapan umum tidak 

terlalu menolak atau membecji persundalan ini. Orang 

wanita  diwajibkan setia, orang wanita  tidak boleh 

mendurhakai suami, orang gadis harus menjaga betul-betul 

kegadisannya, namun  orang lelaki, bujang atau tidak bujang, 

boleh mengerjakan perzinahan di luar rumah sebanyak kali ia 

mau. Ya, bukan saja anggapan umum, namun  hukum negeri 

pun hampir semua mengsyahkan persundalan itu! Dulu di 

negeri Yunani, negaralah  yang mengadakan deikterion-

deikterion (rumah-rumah sundal), di mana tiap-tiap orang 

boleh melepaskan syahwatnya dengan bayar tarif yang tetap, 

yakni kurang lebih lima gobang satu kalinya. Dan di lain-lain 

negeri, di Romawi, di Yeruzalem, di India, di Nippon, di situ 

pun dulu negara  yang menjadi germo (pengurus rumah 

persundalan) yang pertama. Solon, pembuat hukum Yunani 

jang termasyhur, yang mula-mula mengadakan deikterion-

deikterion itu, mendapat pujian khalayak buat kebijaksanaan 

itu dengan kata-kata: “Solon, terpujilah engkau! Sebab engkau 

telah mengadakan sundal-sundal buat keselamatan kota, buat 

kesucian kota yang penuh dengan pemuda-pemuda yang kuat, 

yang, umpama engkau tidak mengadakan aturan yang 

bijaksana itu, niscaya akan mengganggu keamanan 

wanita -wanita  yang mulia!” Sudahkah tuan pernah 

mengetahui termasyhurnya rumah-rumah persundalan 

Yoshiwara di kota Tokyo, yang mendapat perlindungan dari 

negara? Ingatkah tuan pula keadaan di negeri kita sendiri 

beberapa puluh tahun yang lalu, waktu pemerintah Belanda 

juga mengakui syahnya dan mereglementir persundalan itu? 

Maka begitu pula belum selang berapa lamanya, semua negara 

di Eropa mengsyahkan dan mereglementir persundalan itu. 

Yang dibekuk dan dimasukkan penjara hanyalah sundal-

sundal yang tidak memegang “surat” saja, yakni sundal-

sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register! 

 

Memang tak dapat disangkal, bahwa persundalan itu bukan 

sekadar akibat “kebejatan moral” saja, bukan sekedar satu 

akibat dari nafsu birahi wanita -wanita  liar, namun  

ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak pasti lahir sebab  

salahnya susunan warga  dan salahnya anggapan 

terhadap harga wanita . Ia yaitu  satu “buatan 


 

warga ” (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiri 

pun satu buatan warga . “Ia yaitu  suatu buatan 

warga  seperti yang lain-lain; ia melanjutkan adanya 

kebebasan seksuil, -untuk kepentingan kaum lelaki”. Ia tak 

dapat lenyap, kalau susunan warga  yang salah itu tidak 

lenyap dan anggapan salah terhadap wanita  itu tidak 

dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap mengikuti peri-

kemanusiaan “sebagai satu bayangan”, sampai ke alamnya 

“peradaban” sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan 

membangunkan satu “buatan warga ” yang lain lagi, yang 

juga tak dapat lenyap di zaman sekarang ini: ia 

membangunkan Figurnya isteri yang mendurhakai suami, 

sebab  suami mendurhakai isteri. 

 

Laki-laki pergi bercinta dengan sundal di luar rumah tangga, 

isteri pun yang ditinggalkan di rumah itu menerima 

percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak 

setia, wanita  tidak setia pula. “Di samping perlaki-isterian 

tunggal (antara seorang suami dan seorang isteri) dan 

hetaerisme (maksudnya: pelacuran) perceraian yaitu  suatu 

peristiwa warga  yang tak dapat dihindari -dilarang, 

dihukum keras, namun  tak dapat ditindas.” Begitulah Engels 

menulis.  

 

Persundalan yaitu  satu buatan warga , namun  

pendurhakaan suami pun yaitu  satu buatan warga . 

Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat, 

diperangi dengan wet dan penjara, ia tidak dapat ditindas dan 

dihilangkan. 

 

Itulah sebabnya, maka meskipun patriarchat itu pertama-

tama dan terutama sekali diadakan untuk “memastikan 

turunan”, toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet, 

kendati ancaman neraka yang bagaimanapun juga “siapa 

bapa” masih tetap satu soal “kepercayaan” saja, dan bukan 

satu hal yang dapat dijamin kepastiannya. Satu hal 

“kepercayaan”, dan bukan satu hal kenyataan. Satu hal kira-

kira, dan bukan satu hal kepastian. Sehingga kitab hukum 

Code Napoleonpun, yang menjadi contoh bagi banyak kitab-

kitab hukum di Eropa, (antara lain-lain juga menjadi contoh 

hukum Nederland), di dalam artikel 312 ada menulis: “L’enfant 

104 

 

concu pendant le mariage a pour pere le mari”. -“Anak yang 

dihamilkan di dalam persuami-istrian, yang dianggap menjadi 

bapanya ialah sang suami”. Dengan jitu dan jenaka sekali 

Engels membubuhi komentar atas artikel 312 Code Napoleon 

ini: Inilah hasil yang paling baru     tiga ribu tahun 

persuami-isterian satu! ... 

 

Marilah sekarang kita bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi 

itu: wanita  sebagai “makhluk dosa”. Inipun sudah saya 

ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka. 

Patriarchat dengan jalan parit-paritnya “agama” telah 

merendahkan kedudukan wanita , antara lain dengan 

mengatakan, bahwa wanita  itu bikinan syaitan. 

Sebagaimana di antara kaum agama ada yang mengatakan, 

bahwa buat kemuliaan di akhirat nanti, segala hal keduniaan 

harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian roh 

hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap 

nafsu kepada kekayaan milik dan kekayaan benda, 

sebagaimana bagi setengah kaum agama, kemiskinan yaitu  

satu ideal dan satu pedoman hidup-, maka terhadap kepada 

wanita pun, (yang juga benda, juga milik, juga kekayaan!), 

mereka berkata: jauhilah dan bencilah wanita  itu, sebab  

ia yaitu  menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh 

sekali pertentangan ini: Kaum “dunia” mencari kemuliaan 

Clan kenikmatan sebesar-besarnya dengan mengumpulkan 

sebanyak mungkin wanita  di dalam rumah tangganya 

laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam 

kandang, kaum “agama” mencari kemuliaan dan kenikmatan 

dengan mensyaitankan tiap-tiap perhubungan, ya tiap-tiap 

angan-angan kepada wanita ! Faham benci dan 

mensyaitan-kan wanita  di kalangan agama ini dinamakan 

asketisme dan selibat (ascetisme dan celibaat). 

 

Apakah arti asketisme dan selibat itu? Asketisme memuliakan 

cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan memerangi tiap-tiap 

nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada 

harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan 

minum, maupun nafsu kepada kerumah-tanggaan, maupun 

nafsu kepada kepuasan syahwat. Selibat memuliakan cara 

hidup tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan 

wanita , wanita  tidak dengan lelaki. Asketisme dan 


 

selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di zaman 

dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai 

kepada berontaknya Maarten Luther di abad yang 

keenambelas, semuanya dimasukinya. wanita  dianggap 

sebagai asal segala dosa. wanita lah yang dulu 

menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga, dan wanita lah 

yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya 

menjatuhkan anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada 

satu fihak yang berkata, bahwa memotong kemaluan (lelaki) 

yaitu  satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah; fihak ini 

menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dim 

12 ada tertulis: “Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan 

demikian oleh ibunya; dan ada orang yang terpotong, yang 

dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang terpotong, yang 

memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat”. 

Menurut fihak ini, pengebirian yaitu  satu perbuatan ulia, 

tidak kawin satu perbuatan terpuji, benci wanita  satu 

tabiat yang maha luhur. Origenes berkata: “Perkawinan yaitu  

tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat pemuaskan 

syahwat”, dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri 

dirinya sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah, 

bahwa memang sering pendeta-pendeta yang sebab  merasa 

dirinya kurang kuat mengekang kehendak syahwatnya dengan 

kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti 

Origenes itu. Tertullianus berkata: “wanita , engkau akan 

selalu mengeluh dan berpakaian koyak-koyak, matamu akan 

selalu penuh dengan air: mata kemasygulan, buat melupakan, 

bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke 

dalam lumpur kebinasaan. wanita , engkaulah pintu 

gerbang neraka jahanam!”.  

 

Di muka sudah saya tuliskan, bahwa di dalam agama yang 

lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan Manu, ada aturan 

keras yang mengharamkan wanita  itu. Di dalam Sufi 

Islam pun aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya 

kira, di dalam patriarchat liar asketisme dan selibat di 

kalangan kaum agama yaitu  sama-sama satu buatan 

warga  sebagai persundalan yaitu  satu buatan 

warga . Sebab, baik persundalan, maupun asketisme dan 

selibat, yaitu  sama-sama akibat dibandingkan  anggapan bahwa 

wanita  yaitu  milik dan benda; milik dan benda yang 


 

boleh dijual-belikan, atau -yang harus dijauhi, agar dapat 

mencapai kenikmatan akhirat. 

 

Sudah barang tentu golongan-golongan agama yang mengikuti 

aliran asketisme dan selibat itu tidak mau mengakui, bahwa 

mereka merendahkan wanita . Mereka selalu mengatakan, 

bahwa mereka justru memuliakan wanita . Mereka malah 

mengakui, bahwa Tuhan “kadang-kadang” mensucikan 

wanita  juga! Fihak Islam Sufi menyebutkan nama Siti 

Aminah yang ditakdirkan oleh Tuhan buat mengandung 

Muhammad; fihak selibat Nasrani menyebutkan nama Siti 

Maryam; dan fihak Buddha menyebutkan nama Maya. 

Tidakkah mereka semuanya wanita -wanita  yang 

dimuliakan? 

 

Mereka tidak mengetahui, bahwa di lain-lain agama pun ada 

wanita -wanita  yang dimuliakan, bahkan disembah!, 

namun  yang di situ wanita  sebagai makhluk warga  

ditindas clan direndahkan. Dewi Kybele, dewi Mylitta, dewi 

Aphrodite, dewi Venus, dewi Ceres di Eropa Selatan, dewi 

Edda, dewi Freya di Eropa Utara, dewi Syri, dewi Pratiwi, 

dewi Lakshmi, dewi Kwan Im atau Kwannon di dunia Timur, -

tidakkah mereka ini semuanya wanita -wanita  yang 

disembah? namun  tidakkah di negerinya dewi-dewi itu posisi 

sosial dibandingkan  kaum wanita  amat rendah sekali? 

 

Marilah sekarang kita palingkan muka ke negara kita . 

 

Di manakah di negara kita  masih ada patriarchat? Pertanyaan 

yang demikian ini kurang tegas. Yang dimaksudkan tentunya: 

di manakah di negara kita  masih ada patriarchat liar? Sebab 

kita bangsa negara kita  hampir semua hidup di dalam sistim 

patriarchat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat, 

maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua 

patri-archat. Malahan di muka telah saya katakan, bahwa 

agama Islam dan agama Keristen sebenarnya yaitu  koreksi 

atas patriarchat yang mengekses, koreksi  atas hukum 

perbapaan yang bersifat kebiadaban. Hukum perbapaan yang 

menindas dan merampok, memperlakukan wanita  sebagai 

benda dan sebagai ternak, hukum perbapaan yang “liar” itu 

dikoreksi, hendak diganti dengan hukum perbapaan yang adil 


 

dan baik. namun  agama sering sekali belum cukup 

“mendalam”, atau agama nyata diabaikan oleh pengikut-

pengikutnya, sehingga di berapa daerah negara kita  yang 

penduduknya telah “Islam” atau telah “Keristen”, patriarchat 

liar masih tampak dengan nyata. 

 

Saya di muka telah menceritakan hal adat “marlojong”. 

 

Tanah Batak memang masih tampak sekali “klassik” ditentang 

kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas, kawin jual tenaga, 

levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk, levirat) 

masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang 

hendak kawin, harus lebih dulu membayar uang “mangoli”, 

yakni uang membeli. Orang yang tidak memiliki  cukup 

uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia 

harus “sumondo”. Dengan dibelinya wanita . itu, 

pindahlah perem-puan itu dari tangan bapanya menjadi milik 

suaminya sama sekali. Ia keluar dari marga sendiri, masuk ke 

dalam marga suaminya sama sekali. Ia tidak mewaris harta 

benda suaminya itu, kalau suaminya itu meninggal. Ia tidak 

boleh mewaris, malahan akan diwariskan. Kalau suaminya itu 

tidak memiliki  saudara atau tidak memiliki  keluarga 

yang dekat, maka sepeninggal suaminya itu ia boleh kembali 

kepada marganya sendi