presiden soekarno 3
evolusi yang menjelmakan faham milik perseorangan
memang berhasil! Berhasil, oleh sebab memang disuruh dan
dibuat oleh warga . Nyata warga beruntung dengan
merdekanya individuaitas, nyata warga akan dapat
merdeka berkembang dengan merdekanya individualitas itu.
Nyata hukum keturunan menurut garis ibu itu yaitu kurang
cocok, kurang sesuai, kurang mendorong maju, kurang
menjadi stimulasi kepada individualitas itu. Nyata di dalam
hukum tua itu somah (keluarga) tak dapat berkembang, -
somah, yaitu satu-satunya benteng tempat berkembang
individu-alitas itu. Maka oleh sebab itu, terteropong dengan
teropong umum, terpandang dari pandangan kewarga an,
maka revolusi ini yaitu revolusi kemajuan, dan bukan
revolusi kemunduran, bukan revolusi reaksioner. Maka
benarlah kita, kalau kita bersorak syukur, bersorak “horas”
atas berhasilnya perjoangan mengganti hukum ... tua dengan
hukum baru itu. namun tiap-tiap revolusi senantiasa
mengekses, mengujung kapada ujung yang meliwati batas
kemustian. Revolusi patriarchat ini bukan revolusi yang
memerdekakan kaum laki-laki dengan memelihara
kemerdekaan wanita , namun menjadilah satu revolusi yang
memerdekakan kaum laki-laki dengan mengorbankan
kemerdekaan wanita ! Perlawanan kaum wanita
terhadap pada revolusi ini tentu menjadi sebab pula bagi
kaum laki-laki itu untuk “melipat” kaum wanita itu sama
sekali, merampas segala kemerdekaan yang ada pada
wanita itu sama sekali, agar supaya perlawanan
wanita itu menjadi patah sama sekali. Perlawanan kaum
wanita itu, -sebagai di dalam tiap-tiap revolusi-,
menjadilah sebabnya kaum yang membuat revolusi itu
mengadakan “diktatur”: Diktatur kaum laki-laki untuk
mematahkan kontra revolusinya kaum wanita .
namun sesudah kaum wanita patah, maka inilah
celakanya wanita -kaum laki-laki itu tidak
mengembalikan kepadanya sebagian dibandingkan
kemerdekaannya yang sediakala. Beribu-ribu tahun Sarinah
tetap dan terus di-“diktaturi” saja. Beribu-ribu tahun ia tetap
dipisahkan dari warga , dipisah-kan dari pergolakan
hidup sehari-hari, dipisahkan dari “struggle for life” yang dulu
membuat dia menjadi sehat dan sigap badan, sehat dan sigap
fikiran, sehat dan sigap jiwa. Beribu-ribu tahun ia ditutup di
dalam kegelapannya rumah, diperlakukan seperti benda,
diperhambakan secara budak, atau paling mujur
dipeliharakan seperti blasteran dewi dan si tolol. Akhirnya,
sebab perhambaan yang turun-temurun itu, ia menjadi
makhluk yang lemah dan kecil badan, makkhluk yang bodoh,
makhluk yang tumpul fikiran, makhluk yang singkat
pemandangan, makhluk yang selalu takut, makhluk yang
tiada kekerasan kemauan, makhluk yang sebab tiada melihat
dunia lantas gemar bicara tetek-bengek, makhluk yang sebab
selalu didurhakai lantas banyak akal “tipu-muslihat”. “Dia
mengkerat menjadi kecil”, demikianlah kata Bebel dalam satu
tulisan. Nasib dia sekarang, nasib miskin atau nasib kaya,
nasib lapar atau nasib kenyang, nasib dia sekarang tidak lagi
tergantung dari kepribadian sendiri, namun sama sekali
tergantung dibandingkan laki-laki yang menjadi suaminya. Laki-
laki inilah yang kini menjadi Maha Dewanya. Sebagai fihak
yang memelihara jiwanya, maka menjadilah laki-laki itu satu
kekuasaan yang membentuk hidupnya. Perkawinan,
mendapat jodoh, itulah kini menjadi soal yang terbesar bagi
wanita , soal yang mengisi segenap jiwanya, satu tanda
besar di dalam hidupnya. Mendapatkan seorang laki-laki yang
sanggup mengangkat hidupnya itu ke derajat yang mulia, yang
dapat mengasih kepadanya keamanan dan kekayaan, -itulah
kini menjadi pusat segenap idam-idamannya, ke situlah
diarahkan segenap kecantikannya.
Bukan lagi kepribadiannya yang kini menentukan hidupnya,
namun kecantikannya, kejelitaannya, “sex-appeal”-nya.
Keelokannya itu kini menjadi senjata ekonomis, fungsi
kelaminnya menjadi fungsi ekonomi. Dengan keelokannya
inilah ia kadang-kadang dapat merebut kedudukan yang
tinggi, -menjadi isteri orang besar, bini orang yang termasyhur
nama, gundik orang yang kaya-raya. Dengan keelokannya
itulah malahan ia kadang-kadang dapat menjadi permaisuri
seorang raja. Kita mengetahui dari dongeng-dongeng, dari
cerita-cerita wayang, dari bukti-bukti dalam sejarah, betapa
kadang-kadang seorang laki-laki miskin, sebab kecakapan,
keberanian, keuletan, perjoangan, kelaki-lakian, pendek kata
sebab kepribadian, dapat menjadi seorang pahlawan besar
atau seorang raja. Ken Arok, itu penggembala kerbau, menjadi
Maharajadiraja di Singasari sebab kepribadian; Ciung
Wanara, itu anak tukang besi, menjadi Sang Perabu Pejajaran,
sebab “kepribadian”. Tapi bagi wanita hanyalah
kecantikan paras muka dan kecantikan badan saja, bukan
kepribadian yang dapat mendatangkan “keajaiban” yang
demikian itu. Kalau tidak kebetulan Sang Arjuna berjalan
meliwati tempat kediamannya, dan tertarik oleh keelokannya
yang “seperti bulan purnama”, maka tak mungkin si gadis
miskin naik derajat menjadi puteri di dalam keraton.
sebab itu, maka segenap jiwanya, segenap fikirannya,
segenap angan-angannya, dipusatkan kepada soal yang satu
itu: mendapat jodoh yang menyenangkan, dan kalau sudah
mendapat jodoh, menjaga jangan sampai diceraikan lagi;
menjaga jangan sampai sang suami tak senang kepadanya,
jangan sampai ia dialahkan oleh lain wanita . Maka sebab
itu pula, semua pendidikan yang dikasihkan kepada gadis-
gadis yaitu ditujukan kepada hal yang satu ini. Dan apakah
sifat-sifat wanita yang kini disenangi oleh laki-laki? Tak
lain dan tak bukan sifat-sifat yang menetapkan wanita itu
di dalam perhambaan; ia tak perlu pintar, namun ia harus
tenang, harus menurut, harus taat, harus merendah, harus
sabar, harus sedia berkurban, harus halus suara, harus benci
kepada dunia luaran, harus cinta rumah tangga saja.
wanita harus cantik, namun kecantikannya itu harus lain
lagi dari kecantikan Srikandi yang sigap dan tangkas, atau
lain lagi dari kecantikan Brunhilde yang laksana kecantikan
singa betina, melainkan haruslah kecantikan jelita, halus
seperti sutera, harus “tunduk mata”, ramping badan, jatmika,
seperti kecantikan bunga melati. Pendek kata, idam-idaman
kaum laki-laki yaitu orang wanita yang cukup
memuaskan kebirahiannya namun harus “halus” dan “lemah
lembut”, yang sesuai dengan status perhambaan dan
ketaatan. Jadi yang sama sekali bertentangan benar dengan
sifat-sifat yang ia senang melihat kepada kaum laki-laki
sendiri: Laki-laki harus kuat, harus berani, harus besar
badan, harus dinamis, harus bersuara sebagai guntur, harus
suka berjoang mati-matian, namun wanita harus
kebalikannya sama sekali dibandingkan itu. Ia harus lemah, harus,
merasa dirinya lemah, perlu mohon tolong dari orang laki-laki,
mohon per-lindungan, mohon hidup dari orang laki-laki.
Orang wanita yang demikian ini, orang laki-laki sedia
menganggapnya sebagai bidadari atau dewi; buat orang
wanita yang demikian ini orang laki-laki bersedia
berkurban dan berjoang. Di Eropa sebagai salah satu akibat
anggapan ini timbullah ridderisme, yang menganggap
wanita itu sebagai satu makhluk jelita yang musti
dihormati setinggi langit dan diperlindungi. Pada kulitnya
sahaja ridderisme ini seperti mengangkat tinggi kepada
wanita , namun sebenarnya ridderisme itu yaitu justru
memandang wanita itu sebagai makhluk yang sangat
lemah, yang selalu harus ditolong. Tidakkah “kegentlemanan”
zaman sekarang ini, yang bersemboyan “kehormatan bagi para
wanita”, pada hakekatnya berbatin juga menganggap lemah
kepada wanita itu?
Dan lama-lama idam-idaman kaum lelaki tentang wanita ini
“mewujud” kepada wanita pula! Beratus-ratus tahun
wanita hidup di dalam udara “idam-idaman kaum lelaki
tentang wanita” ini, beratus-ratus tahun ia dipaksa hidup
menurut “idam-idaman kaum lelaki tentang wanita” ini, -
sebab kalau tidak, tak mungkin ia mendapat suami-, maka
lama-kelamaan idam-idaman kaum laki-laki ini menjadi idam-
idaman kaum wanita tentang dirinya sendiri pula! Rohaninya,
jiwanya, fikirannya, kemauannya, perangainya, batinnya,
semua itu menjadi lemah dan tunduk, jelita dan sabar, ikhlas
dan taat, -lain lagi dibandingkan jiwa, fikiran, nafsu, perangai
kaum Amazone atau kaum wanita Nusa Tembini di zaman
matriarchat purbakala. Dan bukan saja jiwa dan sukma
wanita itu menjadi lemah, bentuk badannya pun menjadi
lemah. Kini jarang sekali terlihat orang wanita yang
badannya subur dan besar, sigap dan kuat seperti di zaman
purbakala itu. Kini umumnya tubuh wanita itu kecil-kecil
dan lemah-lemah. “Kultur” tidak berarti wanita menjadi
lebih kuat rohani dan badani, “kultur” yaitu membuat roh
dan badan wanita itu menjadi lemah dan jelita. Lihatlah
di kalangan kaum atasan, di mana “kultur” ini pjaling
mendalam, maka kelemahan ini tampak dengan terang
seterang-terangnya. “Awake koyo putri, antenge koyo putri”,
itu sampai sekarang masih menjadi sebutan orang Jawa. Di
dalam kalangan kaum bawahan, kaum tani dan kaum buruh,
yang wanita nya tidak terlalu dikurung, tapi diajak
berjoang mencari sesuap nasi, maka kelemahan dan kejelitaan
itu kurang tampak padanya. namun pada umumnya tak dapat
dibantah lagi, bahwa perbedaan kekuatan dan kebesaran
tubuh serta perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan
wanita itu, di dalam zaman patriarchat itulah bertambah-
tambahnya, di zaman patriarchat itulah dipelihara-
peliharakannya.
Demikianlah umumnya keadaan kaum wanita di zaman
kekuasaan dipegang oleh kaum lelaki itu. Benar sekali
perkataan seorang wanita bangsa Belanda, Clara Meyer
Wichmann, bahwa famili itu dus yaitu satu machts
verhouding, artinya, satu tempat laki-laki menjalankan
kekuasaannya atas wanita .
Tatkala Nabi Isa dan lalu Nabi Muhammad datang
membawa agamanya masing-masing, maka sudahlah keadaan
ini keadaan biasa di mana-mana. Kedua-dua Nabi itu lantas
mencoba menjunjung kaum wanita itu dari keada-annya
yang hina-dina itu, mencoba menolong wanita itu dari
ekses-ekses patriarchat, mengadakan aturan-aturan guna
mengatur serta mengadilkan patriarchat itu. Bukan
menghapuskan hukum perbapaan, namun mengaturnya,
mengadilkannya. Sebab kedua-duanya beranggapan, bahwa
memang hukum perbapaanlah, dan bukan hukum peribuan
yang lebih cocok dengan kehendak alam, lebih sesuai dengan
kehendak kodrat. namun pengajaran kedua-duanya pula telah
tidak diperdulikan sama sekali oleh sebagian pengikut-
pengikut dan pemuka-pemuka agama yang lalu . Tradisi
kaum penghina wanita yang diperangi oleh dua Nabi ini,
diteruskan oleh pengikut-pengikut itu. Nabi Isa mengajarkan
persamaan laki-laki dan wanita di hadapan Allah, namun
pengikut-pengikutnya mengadakan lagi aturan-aturan yang
mengungkung kaum wanita itu. Padahal! Sejarah telah
membuktikan dengan yakin, bahwa justru kaum
wanita lah yang menjadi pengikut-pengikut dan
propagandis-propagandis agama Nasrani yang paling ulet.
Kaum wanita lah yang dibakar mati oleh Raja di Roma,
kaum wanita lah yang dilemparkan kepada singa-singa
dan dicabik-cabik tubuhnya oleh binatang-binatang buas itu,
oleh sebab mereka menjadi pengikut atau propagandis agama
Nasrani itu. Ya, oleh sebab memang kaum wanita lah
salah satu dari bagian-bagian warga yang dibela oleh
Nabi Isa itu, maka kaum wanita lah berduyun-duyun
masuk agama Isa; namun pengikut-pengikut Isa yang laki-laki
tak dapat melepaskan dirinya dari tradisi merendahkan
wanita ; mereka itu tak dapat membalas budi kepada
kaum wanita yang telah bekerja dan berkurban begitu
banyak untuk agama Isa. “Orang wanita tak boleh bicara
di dalam “jemaah”; “wanita harus menurut dan
menghormat kepada laki-laki”; “Tapi aku tak mengizinkan
wanita belajar, atau wanita memerintah laki-laki,
tapi aku mau wanita itu diam”; “Tak diizinkan kepada
mereka untuk berbicara, namun diperintahkan kepada mereka,
supaya mereka tunduk”. Kalimat-kalimat yang merendahkan
kepada wanita ini, terdapat di dalam kitab Nasrani, namun
kalimat-kalimat itu bukan kalimat-kalimat yang keluar dari
mulut Isa. Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut pengikut-
pengikutnya. Begitu pula maka dongeng Yahudi tua tentang
kejadian Adam dan Hawa, yang mengatakan bahwa
wanita tidak terbuat “menurut gambar Allah”, melainkan
hanya dari tulang rusuk Adam saja, dan bahwa dialah yang
menarik Adam ke dalam dosa, sehingga dipandang perlu
wanita itu dianggap tidak suci dan selalu ditundukkan
saja kepada laki-laki, -dongeng Yahudi tua inipun dimasukkan
oleh pengikut-pengikut Isa itu ke dalam kitab. Dan sebagai
“gong”-nya ini semua, maka pada penghabisan abad keenam,
satu rapat besar dari semua kepala-kepala agama di kota
Macon sudah membuang tempo banyak-banyak buat
membicarakan soal, apakah wanita itu benar-benar satu
makhluk yang memiliki nyawa atau tidak!
Kasihan kaum wanita ! Dia yang paling banyak
mengorbankan jiwa buat mempropagandakan agama Isa, dia
yang dibakar, dia yang dicabik-cabik singa, dia yang
menyebar-kan agama Isa itu kemana-mana, -Chlotilde yang
menanam agama Nasrani di Franka, Berta di Kent, Gisela di
Hongaria-, namun dia pula yang selalu dikalahkan saja. Sampai
sekarang, dia, pada waktu dia dinikahkan oleh paderi kepada
seorang laki-laki, musti bersanggup di muka altar lebih dulu,
bahwa dia “akan taat dan menurut kepada suami buat
selama-lamanya”. Dan kasihan pula wanita di dalam
warga Islam! Nabi Muhammad menjunjung derajat
wanita dari ekses-ekses patriarchat jahiliah, memerdekakan
dia dari perhambaan, namun kaum-kaum yang sempit fikiran
dan sempit mata menyeret dia kembali ke dalam lumpur
derajat rendah dan lumpur derajat hina. Kaum-kaum yang
sempit fikiran dan sempit mata ini meneruskan saja tradisi
kaum jahiliah, atau ambil oper saja tradisi Persia dan Yunani
Byzantia yang amat menyempitkan hak-hak kaum
wanita . “wanita di dalam warga Islam”, -
tidakkah ini di dalam telinga dunia ramai terdengarnya sama
saja dengan: “wanita di dalam penutupan dan
perhambaan”?
Ya, benar-benar malang nasib wanita itu! Sejak
datangnya aturan patriarchat sampai kepada zaman-zaman
yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu
tahun lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di
dalam satu dunia yang penuh dengan kegelapan dan
kesempitan. Orang Yunani menamakan dia “Oikurema”, yang
berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa
beralih, abad berganti, kerajaan-kerajaan bangun dan
kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban berubah
berganti-ganti, namun di dalam nasib wanita tiada
perubahan, sama sekali. Tetap ia musti hidup di dalam
kegelapan dan kesempitan yang sediakala, tetap ia dianggap
sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang
mengerti ilmu warga tidak mengherankan! Sebab,
meskipun abad dan peradaban itu berubah berganti-ganti,
maka belum bangkitlah keharusan-keharusan -warga
yang memerdekakan wanita itu dari ikatan rumah tangga.
Belum bangkitlah keharusan-keharusan -warga yang
“mengusir” dia dari tutupan rumah, menghela dia ke dalam
struggle for life dunia ramai. Zaman beredar melalui tahun-
tahun yang beribu-ribu bilangannya, namun masih tetap
wanita paling mujur menjadi produsen buat somah,
produsen buat ... keluarga, -belumlah ia terhela keluar
menjadi produsen warga pula. Itulah sebabnya, maka,
semua kejadian-kejadian warga terjadi tidak dengan
bantuannya, tidak dengan bahagiannya, tidak dengan
pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya. Ia tetap hidup
sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam
pergolakan warga , dan oleh sebab itu, maka
kedudukannyapun tetap “kedudukan rumah tangga” saja.
Tetap demikian, ... sampai abad delapanbelas hampir silam!
Sampai timbulnya zaman industria1isme di Eropa yang
menghela wanita itu keluar dari kegelapan rumah,
masuk ke dalam struggle for life produksi warga . Pada
akhir abad kedelapanbelas itu mulai timbul di Eropa zaman
kepaberikan, dan kepaberikan inilah nanti membongkar sama
sekali aturan-aturan warga yang kuno, merobek-robek
hukum adat dan hukum moral yang telah ribuan tahun
tuanya, menghela keluar semua makhluk-makhluk yang
tadinya tertutup di antara dinding-dinding kekeluargaan. Apa
yang disusun dan diperkokoh oleh tradisi berabad-abad
lamanya itu, dibongkar sama sekali oleh mesin di dalam
tempo yang hanya puluhan tahun saja. Mesin pemintal, dan
mesin tenun, yang terdapatnya hampir satu saat dengan
mesin uap, mesin-mesin ini mengadakan revolusi yang maha
hebat di dalam susunan warga , adat, moral; di benua
Eropa pada waktu itu. Dulu wanita tinggal di dalam
rumah tangga untuk (kecuali memasak) membuatkan pakaian
bagi suami dan anak. Dulu wanita sendiri yang memintal,
menenun, menyulam, menjahit, sebagai juga di negeri kita
dulu tiap-tiap wanita tinggal di rumah untuk menenun
atau membatik. Dulu perkataan “ia saleh dan menenun”
yaitu pujian yang tertinggi yang orang tuliskan di atas batu
kuburan orang wanita yang sudah mati.
namun kini pada akhir abad kedelapanbelas itu, sebab
revolusi industri itu, maka bukan saja semua bahan-bahan
pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak
susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat
murah, sehingga banyak wanita menjadi merdeka dari
pekerjaan di rumah itu, -namun mesin-mesin yang dipakai di
paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh banyak
tenaga laki-laki. Tenaga wanita dan tenaga kanak-kanak
mencukupi buat pekerjaan meladeni mesin-mesin itu.
wanita dan kanak-kanak diundang bekerja ke dalam
paberik. Maka wanita , yang berwindu-windu; berabad-
abad tadinya tertutup di dalam rumah tangga itu, sebab
kesempitan nafkah hidupnya, menjadi terhela bersama-sama
anak-anaknya ke dalam paberik, ke dalam warga , ke
dalam produksi warga . wanita -wanita dan
anak-anak itu menjadi kaum buruh. Di dalam tahun 1790
saja sudah yaitu 60.000 wanita Inggeris dan 40.000
anak-anak Inggeris menjadi kaum buruh di paberik-paberik
benang, di dalam tahun 1840 jumlah kuli perem-puan Inggeris
itu sudah menjadi 500.000 dan di dalam tahun 1890 naik lagi
menjadi 1.500.000 orang! Dan bukan di negeri Inggeris saja!
Di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, di mana-
mana saja industrialisme ini menghancurkan tembok-tembok
beton pengurungan wanita , di mana-mana saja terhela
wanita itu dari cengkeraman kemiskinan rumah tangga, -
keluar! keluar! Ke dalam struggle for life di dalam paberik,
keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi
warga , keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam
tahun 1909 di negeri. Belanda yaitu 28% dari semua
wanita bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini yaitu
18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya.
Gugurlah kini tradisi, gugurlah segala moral, gugurlah segala
kebiasaan anggapan, bahwa sudah penghidupan menurut
kodrat wanita mendekam di dalam rumah tangga,
gugurlah semua anggapan, bahwa wanita tak dapat
makan kalau tidak disuap oleh kaum laki-laki. Gugurlah
semua faham, bahwa wanita tidak dapat dipakai buat
pekerjaan warga . Di manakah orang mau berkepala batu
menetapkan penghidupan menurut kodrat wanita
menenun di rumah dan menanak nasi, kalau wanita itu
sendiri di akhir abad ke-18 dan di abad ke-19 dengan
bermiliun-miliun membuktikan kepada dunia, bahwa ia cakap
memegang mesin, cakap ikut menjalankan teknik, cakap
menjadi pekerja industri, cakap campur di dalam perusahaan?
Di negeri Jerman saja di dalam tahun 1882 sudah ada
4.250.000 kaum buruh wanita , di dalam tahun 1895
lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah
ini telah menjadi 9.500.000 orang! Memang sebelum di Eropa
ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di
situ ada undang-undang perburuhan, maka kaum wanita
dan anak-anak itulah yang paling laku sebagai kaum buruh.
Apa sebab? Tak lain tak bukan, justru sebab tabiat
tunduknya dan nerimonya wanita yang telah menjadi
darah-daging-tulang-sungsum itu. Kaum wanita lebih
menurut, lebih sabar, lebih takut, lebih murah, lebih
mengetahui kewajiban, dibandingkan kaum buruh laki-laki. Yang
tersebut belakangan ini selalu besar mulut, sering mabuk,
sering memberontak, dan -mahal upahnya! Upah satu orang
laki-laki boleh dipakai buat dua orang wanita , dan mesin
tenun dan mesin pintal memang lebih sempurna dijalankan
oleh tangan wanita yang lebih halus dibandingkan tangan laki-
laki. Itulah sebabnya, maka akibat revolusi industri di Eropa
itu yang paling dulu tampak ialah sangat lakunya tenaga
kaum wanita sebagai kaum buruh. Revolusi di dalam cara
produksi warga menyebabkan revolusi menghancur-
leburkan adat memingit kaum wanita !
Dan bukan di Eropa saja! Industrialisme itupun menjalar ke
Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak terlambat. Sejak
pertengahan abad ke-19 sudahlah industrialisme ini mulai
meng-hantam pula tembok beton penutupan wanita di
dunia Timur. Juga di dunia Timur orang pada waktu silamnya
abad ke-19 itu mulai melihat wanita -wanita dan
anak-anak keluar dari tutupan rumah tangga, masuk ke
dalam paberik tenun, paberik gula, paberik teh, atau ke dalam
kebun-kebun “kontrakan”. Juga di dunia Timur gugurlah
lambat-laun segala belenggu-belenggu tradisi, segala faham-
faham dan moral-moral yang mau terus menetapkan
wanita itu sebagai makhluk tutupan di rumah. Di negeri-
negeri yang tidak terlalu keras ikatan agama, maka kaum
buruh wanita segera menjadi barang yang biasa. Di India,
di Tiongkok, dan terutama sekali di Nippon, perwarga an
ini berjalan dengan cepat. namun di lain-lain tempat masih
keras juga ikatan belenggu tradisi. Meredith Towsend, yang
dulu membuat perbandingan antara kedudukan wanita di
pelbagai negeri-negeri Asia, mengatakan bahwa, walaupun
wanita -wanita Nippon masih saja dihina dan ditindas
oleh kaum laki-lakinya, mereka toh masih agak bagus
kedudukannya kalau dibandingkan dengan kedudukan
wanita di beberapa bagian negeri-negeri Islam. Hukum-
hukum Qur’an yang mengasih kedudukan baik kepada
mereka itu, diabaikan orang sehingga seperti huruf mati
belaka kalau melihat praktek penindasan sehari-hari. Faham-
faham yang asal-nya dari zaman kaum kolot, masih
ditegakkan orang di banyak bagian negeri-negeri Islam. namun ,
-bagi siapa yang mempelajari gerak warga dan sejarah,
dan cukup lebar-lebar matanya untuk membanding-
bandingkan tingkatan-tingkatan masa dan sejarah, bagi dia
tampak pula, bahwa kaum kolot itu sebenarnya
memperjoangkan satu perjoangan yang kalah. Juga di negeri-
negeri Islam, proses warga ini akan menghancurkan
anggapan, bahwa penghidupan menurut kodrat wanita
hanyalah “melahirkan anak-anak, serta menjadi penjaga yang
setia dari rumah tangga saja”. Juga di negeri-negeri Islam
proses warga ini menghela, menarik, mendorong
wanita itu ke dalam gelanggang pergolakan warga ,
menaikkan derajat wanita itu menurut tinggi bagiannya di
dalam proses produksi warga . Sebab di dalam hal ini
tiyaitu perbedaan antara kekuatan tenaga proses
warga di Timur dan di Barat. Yang berbeda hanyalah
temponya belaka, cepatnya atau lambatnya.
Demikianlah pengaruh industrialisme itu atas nasib kaum
wanita Marhaen di benua Eropa dan Asia. Tradisi
penutupan dan pengurungan dihantam hancur-lebur oleh
industrialisme itu, dan begitu pula tradisi, bahwa hidupnya
wanita harus selalu tergantung kepada nafkah dari laki-
laki. namun industrialisme itu tidak menghancurkan pula
tradisi wanita sebagai kuda-beban di dalam rumah
tangga. Tradisi pengurungan hancur-lebur, namun tradisi
budak rumah tangga berjalan terus. Pekerjaan memasak,
mencuci; menjahit pakaian yang robek, memelihara anak, dan
lain sebagainya masihlah menjadi tanggungan wanita .
Sepuluh, duabelas, empatbelas jam lamanya kadang-kadang
ia musti bekerja di paberik, namun sebelum berangkat ke
paberik itu dan sesudah pulang dari paberik itu pula, ia masih
harus berkeluh-kesah bekerja buat pelbagai urusan rumah
tangga. Ia menjadi kuda beban yang “dobel”, kuda-beban di
paberik DAN kuda-beban di rumah tangga. Ia mengerjakan
pekerjaan dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik
dan pekerjaan produsen di dalam rumah tangga. Orang
Inggeris ada mempunjai sya’ir yang bunyinya: Man works from
rise to set of sun Woman’s work is never done. Artinya: Laki
kerja dari matahari terbit sampai terbenam, wanita kerja
tiada hentinya siang dan malam.
Ini sya’ir yaitu jitu sekali buat menggambarkan beban
wanita itu. Betul barang-barang keluaran paberik kini
banyak dijual dipekan-pekan dan kedai-kedai, namun ia tak
dapat membelinya semuanya, sebab tidak cukup memiliki
uang. Betul industrialisme itu bagi siapa yang sedikit mampu
yaitu satu hal yang meringankan hidup di dalam banyak
urusan sehari-hari, namun wanita kaum bawahan itu tidak
mampu membelanjai semua urusan sehari-hari itu. Maka oleh
sebab itu masih banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang
masih tetap menjadi tanggungannya. Tetap ia masih musti
membuat sendiri seribu satu barang yang kecil-kecil. Kedai-
kedai penuh sigaret atau serutu bermacam-macam, namun ia
masih tetap menggulung-gulungkan rokok bagi sang suami
sampai ayam jantan hampir berkokok. Toko penuh dengan
barang pakaian yang murah-murah, namun ia masih tetap
menisik pakaian anaknya yang sudah amoh sampai jatuh
tertidur sebab tak tahan lagi kantuk matanya. Kedai dan toko
sedia mengasih peringanan hidup macam macam, asal saja
ada uangnya, namun justru uang inilah yang ia tak dapat
adakan. Sesungguhnya, -telah hancur tradisi yang membuat
dia makhluk pingitan dan makhluk yang isi perutnya
tergantung pada laki-laki saja, namun masih tetap berjalan
tradisi yang membuat dia kuda beban di dalam rumah tangga.
Ia mendapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, namun
kemerdekaan itu harus dibelinya dengan memikul dua beban
yang hampir mematahkan tulang belakangnya. Kesehatan
tubuhnya selalu terganggu. Menurut statistik, maka rata-rata
setahun-tahunnya orang laki mangkir kerja 43/4 hari, tapi
orang wanita 71/2 hari. Di Jerman dulu jumlah kaum
buruh wanita yang kena penyakit tuberculose yaitu 3
kali jumlah kaum buruh laki-laki yang kena penyakit ini. Tak
salahlah perkataan seorang pemimpin wanita , Lily Braun,
bahwa wanita di dalam abad ke-19 dan ke-20 itu sama
nasibnya dengan “keledai kecil yang musti menarik dua
kereta”: kereta rumah tangga dan kereta pencaharian nafkah.
namun lebih jitu yaitu perkataan Henriette Roland Holst:
“jiwa-raganya yaitu retak”, “door haar wezen loopt een
scheur”: sepihak musti ingat kepada rumah tangga, sepihak
lagi kepada pencaha-rian nafkah di dunia ramai. Yang satu
tak dapat berjalan dengan tidak merugikan atau mengkonflik
kepada yang lain. Fikirannya, tubuhnya, jiwa-raganya,
menjadi terombang-ambing antara dua kewajiban ini,
terbanting-banting antara dua tanggungan ini. Ia menjadi satu
makhluk yang “senewen”, yang lari dari satu kebingungan ke
lain kebingungan, tersepak sebagai satu bola dari satu goal ke
lain goal.
Sebab, meskipun dia sudah bekerja di warga , yaitu
bekerja sebagai produsen warga di dalam paberik atau di
perusahaan lain, -tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang
Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan
suaminya, tetap ia ingin membahagiakan anak-anaknya.
Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak dapat dan tak
mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan
kecintaan kepada anak, yaitu memang Jiwa Wanita. Wanita
boleh modern, boleh “feminis”, boleh menjadi orang pangkat
tinggi, atau orang kuli hina-dina yang limabelas jam sehari
membanting tulang di paberik, -namun ia tetap Wanita, yang
ingin cinta, yang ingin kasih, yang ingin membahagiakan
kepada suami dan anak. Meskipun badan telah letih seperti
remuk, pinggang telah patah sebab cape, -setiba wanita di
rumah dari pekerjaan di paberik atau di kebun, ia akan
bekerja lagi, membanting-tulang lagi” memeras keringat lagi,
... buat suami, ... buat anak. Ia tidak akan dapat melepaskan
diri dari tarikan jiwa yang demikian itu. Sebab ia ... wanita!
Henriette Roland Holst menggambarkan jiwa wanita ini dengan
kata-kata yang berbunyi: “Diep op den bodem van de ziel
van iedere vrouw, leeft de wens naar liefde en
moederschap”. Artinya: “Di dalam jiwa tiap-tiap wanita yang
sedalam-dalamnya, bersemayam keingingan kepada Cinta
dan Keibuan”.
Maka oleh sebab itu, bagi wanita kelas rendahan yang
dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh di luar rumah,
kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati
kesempatan memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-
laki, masih tetaplah peri-kehidupan baginya berarti satu
kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit matahari baru
baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu.
Dan yang tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai kaum
buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka pula,
namun merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal.
Sundal menjadi salah satu peristiwa sosial dari zaman
industrialisme ini. Havelock Ellis mengatakan, bahwa abad ke-
19 itu yaitu “abadnya sundal”. Tiap-tiap kota besar di zaman
ini yaitu “satu rumah sundal yang amat besar!”.
Bagaimana keadaan kaum wanita fihak atasan?
Juga di sini wanita masih saja tersia-sia. Mesin berputar
di paberik-paberik, membuat pelbagai barang yang dulu harus
dibuat oleh wanita di kalangan kaum atasan pula. Mesin
itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga
mereka, namun toh tidak membuat peri-kehidupan mereka
menjadi senang. Apa sebab? Bukan di kalangan kaum
rendahan saja, namun juga di kalangan amtenar dan kaum
pertengahan dulu wanita harus memintal dan menenun
sendiri, menjahit dan menyulam sendiri, membuat kuwih dan
mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga sendiri,
meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan
pekerjaan wanita -wanita di kelas bawahan. Pelayan-
pelayan yaitu di kalangan kaum atasan itu buat
mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup
kaum wanita atasan itu dari dulu mula satu “kehidupan
rumah tangga” belaka. Sekolah-sekolah, kantor-kantor,
tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan sebagai
klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi
mereka. Di rumah tangga saja mereka musti mendekam.
Tulisan “dia saleh dan menenun”, tulisan batu kubur yang
berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada kubur-
kubur kaum wanita kelas atasan. Hari yang satu, sama
saja dengan hari yang lain; tiada perubahan sama sekali di
dalam mereka punya daftar hidup; hari-hari mereka duduk
saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu, bercakap-
cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh
“ridder-ridder” lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu
ditolong dan dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan
saputangan mereka kalau saputangan-nya jatuh, laki-laki
inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak duduk.
Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam
pada itu juga, mereka diperlakukan oleh “ridder-ridder” itu
sebagai makhluk yang tak cakap hidup sendiri, tak cukup
kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul pekerjaan
pekerjaan warga , tak penuh fikiran dan ingatan. Di
dalam kalangan kaum atasan inilah, kaum wanita benar-
benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh “ridder-ridder” itu
sebagai blasterannya dewi dan si tolol.
Kini barang-barang paberik itu masuk ke dalam salon dan
boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal benang lagi, tak
perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu
membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu
membeli semua keperluan-keperluan rumah tangga itu dari
paberik dan dari toko. Maka kehidupan mereka semakin
menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang.
Mereka semakin “nganggur”. Mau masuk paberik menjadi kuli
seperti wanita bawahan, tak mungkin baginya, -mereka
musti “jaga nama”, dan upah satu dua picis itupun mereka
tak perlukan sama sekali- mau masuk kantor-kantor atau
sekolah-sekolah, belumlah mereka mendapat pintu yang
terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh kasaran
mereka tak mau, bekerja di kantor atau di warga sebagai
kaum buruh halusan masih ditabukan kepadanya. Maka
datanglah di dalam hidup mereka itu satu siksaan pedih, lebih
pedih dibandingkan siksaan yang lain-lain; datanglah kepadanya
siksaan “kesalnya menganggur” siksaan beratnya “duduk
tenguk-tenguk”. Jeltje de Bosch Kemper, seorang wanita
Belanda, mengeluhkan keadaan yang demikian ini dengan
keluhan: “Apa yang saya kerjakan dari umur delapan belas
tahun”, ... tak tahulah saya. Tinggal di rumah saja menyulam,
menggambar, main piano, menjahit sedikit, menulis surat,
bertamu, jalan-jalan sedikit, ... Kadang-kadang ada banyak
juga hasil pekerjaan itu, tapi kadang-kadang juga banyak yang
tersia-sia”. Inilah keluhan seorang-orang yang menderita
penyakit “verveling” itu. Adakah keadaan di kalangan atasan
dari perem-puan negara kita berbeda? Siapa yang membaca
kitab R.A. Kartini “Door duisternis tot licht”, akan mendapat
kesan yang sama: verveling, verveling, dan sekali 1agi
verveling! “Saya tak tahu, bagaimanakah saya dapat
melakukan waktu”, begitulah selalu keluhannya. Maka baik di
dunia Eropa, maupun di dunia negara kita , “puteri-puteri”,
yang terlalu banyak tempo, menganggur ini, menjadi “mesin
ngomong” yang paling jempol, tukang ngobrol yang paling
ulung, yang hari-hari, dari pagi sampai sore, dari sore sampai
malam, pekerjaannya cuma meng-obrol saja tiada putusnya,
mengobrol tentang kucing, tentang meja, tentang kuih,
tentang baju, tentang bedak, tentang seribu satu hal tetek-
bengek. Dan terutama sekali mengobrol tentang ... orang lain!
Dan ada akibat lain pula dibandingkan keadaan di kalangan kaum
atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat “gadis sukar
laku”, dan “laki-laki kawin tua”. wanita -wanita
atasan yang tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah
sendiri itu, (di paberik tidak dan di kantorpun tidak), sama
sekali menjadi tanggungan bapanya atau sanak-saudaranya
jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada
“menyimpan” beberapa “biji” dari mereka itu: adik, atau
saudara sepupu, atau bibi, yang harus ia tanggung sama
sekali hidupnya. Benar di zaman dulu pun begitu. namun
sekarang puteri-puteri ini tidak 1agi berarti penting sebagai
produsen di rumah tangga, yakni tidak berarti penting sebagai
pembantu di rumah tangga. Dulu mereka yang menenun kain,
dulu mereka yang menjahit pakaian, dulu mereka yang
membuat makanan. Dulu mereka produktif. Kini sebagai
akibat produksi barang dagangan, maka kain dibeli dari toko,
pakaian dijahit oleh tukang menjahit, kuih-kuih banyak dibeli
sudah matang. Dan segala itu dengan uang, -uang orang laki-
laki. Tanggungan orang laki-laki naik. Segala hal dialah yang
musti mengongkosi, segala hal dialah yang musti bayar. Ia
menjadi takut kawin, takut mendirikan somah sendiri, di
mana masih begitu banyak “embel-embel” yang musti ia
tanggung. Gadis-gadis tidak banyak yang meminangnya,
mereka banyak yang menjadi “gadis-tua” yang selalu
menertawakan segala hal yang tetek-bengek.
Ya, alangkah celakanya nasib “puteri-puteri” dan “nyonya-
nyonya” itu! Mereka menjadi satu peristiwa warga !
Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip
perkataanya, menuliskan satu petikan dari kitab: “Het
Vrouwenvraagstuk”, yang menggambarkan hidup puteri-puteri
di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang dapat
melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang
berpakaian bagus-, duduk di muka jendela masing-masing,
semuanya matanya memandang kepada pita-pita berwarna
yang ada di dalam tangannya: Duduk di muka jendela dengan
berbedak dan berdandan seperti boneka, sambil tiada lain
“kerja” melainkan mengatur pita! Ingatkah tuan-tuan kepada
puteri-puteri negara kita yang juga berbedak dan berdandan
seperti boneka, duduk di serambi rumah dan “rajin bekerja”, -
misalnya menyongket renda kain tempat-tidur?
Siapakah yang lebih celaka, si wanita rendahan yang
“senewen” sebab terlalu banyak kerja, atau “boneka-boneka”
ini? “Nyonya, dan wanita rendahan yang bekerja seperti
kuda beban di rumah tangga, dan sundal -itulah tiga type
perem-puan yang keluar dari proses warga yang dahulu,
muncul ke dalam warga yang sekarang, dan sukar bagi
kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling
menyimpang dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap
wanita di dalam hatinya”, begitulah Edward Carpenter
tadi itu berkata.
namun lambat-laun datanglah perubahan juga di dalam
kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan ekonomi
mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti
menanggung segala ongkos rumah tangga itu. Mendesak
kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang menutup
pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum
wanita itu. Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan
pergerakan feminisme mengadakan desakan yang maha
hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu yang
menolak mereka dari proses warga itu. Lambat-laun
kaum laki-laki sendiri merasa beratnya menanggung hidupnya
keluarga-keluarga wanita yang di dalam segala-galanya
harus ditulung itu, dan merasa manfaatnya kalau wanita -
wanita ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk
tidak berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit
dan ke kaum laki-Iaki, namun dapat mencari nafkah hidup
sendiri-sendiri. Lambat-laun puteri-puteri itu diijinkan masuk
sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-
kantor dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter,
insinyur, adpokat. Lambat-laun berubahlah idam-idaman laki-
laki tentang wanita yang telah ratusan dan ribuan tahun
terpaku di dalam angan-angannya itu. Kini idam-idaman itu
bukan lagi wanita yang seperti sutera, yang lemah-
lembut, menadahkan tangan kepadanya dan memandang
kepadanya sebagai memandang kepada seorang Maha Dewa,
memohonkan tolong dan perlindungan, -kini idam-idaman
laki-laki bergantilah menjadi: wanita yang “sportif”, yang
cakap, yang tak selalu butuh pertolongan, yang dapat
meringankan bebannya. wanita -wanita yang
demikian itulah, -gadis-gadis yang riang, sigap, sehat, sportif,
cakap bicara, “sedikit kurang-ajar”, tangkas sebagai rusa
betina, -klerk-klerk, juru tik-juru tik, guru-guru, studen-
studen wanita, dsb. -wanita -wanita yang demikian
itulah yang kini paling dapat memikat hati orang laki-laki.
wanita -wanita yang demikian itulah yang kini paling
banyak harapan segera mendapat jodoh. namun yang tidak
begitu, yang “model kuno”, terpaksa terus hidup
kehidupannya yang sediakala, tersia-sia menunggu-nunggu
datangnya seorang jejaka, sampai ia sendiri menjadi gadis tua
yang layu dan hilang keelokan dan kesegarannya.
namun warga kapitalistis sekarang inipun tidak selalu
mengasih kesempatan bekerja kepada semua orang yang mau
bekerja, tidak selalu mengasih kesempatan kawin kepada
semua orang yang mau kawin. Di dalam bab II telah saya
terangkan hal ini sedikit-sedikit. Maka oleh sebab itu, masih
banyak sekali gadis-gadis dan wanita -wanita yang
tidak mendapat suami, -kendati ketangkasan, kendati
kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun cakap, meskipun
tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi
jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling
jempol sajalah, yang paling cakap, yang paling cantik, yang
paling menarik, yang paling ber-“sex-appea1”, memiliki
harapan akan mendapat jodoh. “Struggle for life” kini juga
menjadi “struggle for man”. Maka oleh sebab itu, timbullah,
-mula-mula di Amerika di mana “cari suami” itu yang paling
susah-, satu pergerakan “menambah kecantikan”, satu make-
up-movement, yang maksudnya mempelajari dan
mempraktekkan, betapakah cara mustinya wanita
menarik hati kaum laki-laki. Menghaluskan kulit, mengatur
rambut, memerahkan bibir, memilih warnanya bedak,
mencabut bulu alis supaya alis ini menjadi kecil seperti bulan
tanggal satu, menentukan warna creme dan menyapukan
creme, mengatur badan waktu duduk, menggerakkan badan
waktu berjalan, itu semua-nya menjadi satu ilmu”, yang siang
dan malam berputar di dalam otaknya wanita -wanita
fihak atasan itu. Roman muka dan tingkah laku wanita
itu menjadi berubah sama sekali. Kulit jelita, bibir merah dan
alis melengkung, bukan lagi satu hadiah alam yang terdapat
pada satu dua perempun saja, namun menjadi milik tiap-tiap
hidung yang mampu membelinya. Kadang-kadang sungguh
menarik benar wanita -wanita yang telah di “make-
up” itu, tapi kadang-kadang juga menjadilah mereka itu justru
seperti “hantu”, sebab “cap” di atas muka mereka itu terlalu
melebih-lebihi batasnya kesederhanaan! namun sebagai satu
peristiwa sosial yaitu ini akibat dari warga yang di situ
“struggle for man” menjadi sukar sesukar-sukarnya. Juga di
negara kita , ini “movement”, walaupun sebab-sebabnya yang
dalam tidak diinsyafi oleh tiap-tiap orang, sudah mulai
menjalar, tentu saja di bawah pimpinan beberapa nyonya dari
kalangan atasan!
Jadi: juga di kalangan wanita atasan, dunia belum
menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah banyak
hasil pergerakan feminisme itu.
Ya, sekali lagi, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil
pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri Eropa
wanita sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia
ramai, sudah banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi
wartawan, peniaga, insinyur, dokter, adpokat. Di banyak
negeri Eropa wanita malahan sudah mendapat hak-hak
politik yang sama dengan kaum lelaki, sehingga banyak dari
mereka telah menjadi anggota dewan haminte, dewan propinsi
atau dewan parlemen. namun kendati hasil-hasil baik dari
perjoang-annya ini, juga pada mereka dirasakan oleh mereka
sendiri adanya satu scheur. Juga pada mereka ada satu
“retak”, namun satu retak yang berbeda sedikit dibandingkan retak
di kalangan wanita kaum buruh. Di kalangan kaum
buruh itu retaknya ialah: terombang-ambing dan terbanting-
banting antara dua tanggungan, tanggungan mencari nafkah
di luar, dan tanggungan mengurus rumah tangga, terbanting-
banting antara tanggungan sebagai pekerja warga , dan
tanggungan sebagai isteri dan ibu di rumah tangganya. Bagi
wanita kaum buruh itu, sebenarnya yaitu satu ideal,
satu keinginan jiwa yang maha tinggi: ingin merdeka di dalam
warga dengan jalan ikut menjadi produsen warga ,
dan ingin menjadi isteri dan ibu yang mencinta, mengasih,
menyayang, memelihara suami serta anak-anak menurut
kodrat alam. namun tidak satu dari dua keinginan ini dapat ia
capai dengan sempurna, tidak satu dari dua ideal ini dapat
menjadi satu realitas baginya. Sebab di dalam warga
kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua
kewajiban ini yaitu terlalu membebani kepadanya, terlalu
berat bagi tenaganya satu orang, sehingga ia menjadi
“senewen” dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja
di dalam warga tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya
sesuap nasi dan hilangnya kemerdekaan; mau melepaskan
suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu yaitu
bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah
gambarnya retak yang membelah jiwa-raga wanita kaum
bawahan menjadi dua belahan yang terombang-ambing satu
sama lain.
Bagaimanakah retak wanita kaum atasan? Juga di sini ia
kini telah banyak menjabat pekerjaan warga . Juga di sini
ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di sinipun
ia, selain memikirkan kerja di warga itu, harus juga
memikirkan kerja sebagai isteri dan sebagai ibu. namun
manakala dua pekerjaan ini di kalangan kaum buruh
mendatangkan “senewen”, maka di kalangan atasan hanyalah
mendatangkan “rasa kurang puas” sahaja. Sebab wanita
atasan itu di rumah tangganya cukup mendapat bantuan,
bantuan alat-alat teknik sebagai gas dan listrik, bantuan harta
yang dapat membeli semua keperluan, dan bantuan pelayan-
pelayan yang tinggal memerintah saja. Ketidakpuasan yang ia
rasakan itu bukan ketidakpuasan sebab “patahnya tulang
belakang”, namun yaitu ketidakpuasan terganggunya waktu
untuk menumpahkan cinta kasih kepada suami dan terutama
sekali kepada anak-anak, sebagai panggilan jiwanya dan
panggilan kodratnja. Kerja di warga itu menjadi satu
halangan baginya buat kesempurnaan kehidupan laki-isteri
anak, satu rintangan bagi kehidupan laki-isteri yang
sempurna dan bahagia.
Dan bukan saja rintangan bagi kesempurnaan kehidupan laki-
isteri manakala kehidupan itu sudah ada, -artinya: manakala
sudah hidup berlaki-isteri, sudah ada suami, sudah ada anak-
, namun bagi banyak kaum wanita atasan kehidupan laki-
isteri inipun satu hal yang susah didapatnya. Bagi banyak
kaum atasan, sebagai tadi sudah saya katakan, mendapat
suami masih satu teka teki, -sehingga timbul peristiwa “gadis-
tua” dan “make-up movement”. Maka oleh sebab itu, kini,
sebagai reaksi atas keadaan yang demikian itu, bukan lagi
kerja di dalam warga lah yang menjadi tujuan dan cita-
cita, namun kehidupan laki-isteri yang bahagia. Bersuami,
beranak, berumah tangga bahagia, itulah kini idam-idaman
yang pertama, keinginan jiwa yang paling tinggi. Kini timbul
satu aliran baru di kalangan kaum wanita atasan itu,
yang mengatakan, bahwa feminisme tak cukup untuk
mendatangkan kebahagiaan. Kini timbul aliran neo-
feminisme, feminisme baru, yang menganggap pekerjaan
warga itu “nomor dua”, namun perkawinan, menjadi ibu,
memimpin keuarga nomor satu.
Sebelum kita lebih lanjut, izinkanlah saya nanti dalam bab IV
lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan patriarchat dengan
kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan
mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita
akan dapat mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-
kesusahan yang diderita oleh kaum wanita . Sudah barang
tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih dibandingkan satu
“peninjauan” saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini
mengupas soal itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam
itu, perlu satu buku tebal yang spesial!
Maka sekarang kita, di dalam perjalanan “dari gua ke kota”
itu, sudah menginjak halaman zaman kita sendiri. Dengan
cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari
zaman kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik.
Satu kali kita melihat Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu
kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu di zaman
berkembangnya sistim matriarchat. namun di bagian yang lain-
lain, di dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori
baru, di zaman histori paling baru, -di semua bagian-bagian
sejarah itu Sarinah selalu menjadi makhluk yang celaka,
makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk
yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya “Die Frau
und der Sozialismus” berkata, bahwa wanita yaitu
“makhluk yang paling dulu diperbudak”. namun di lain tempat,
di dalam majalah “Neue Zeit”, ia pernah berkata pula, bahwa
wanita itu yaitu “makhluk jang diperbudak selama-
lamanya”. Kecuali perkecualian di zamannya matriarchat itu,
maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah datang
satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali?
Ataukah sudah memang “kodrat” wanita , hidup di bawah
telapak laki-laki?
Satu kali wanita berkedudukan mulia, yakni di zaman
berkembangnya matriarchat. Adakah ini berarti, bahwa kita,
untuk kemuliaan wanita itu musti mengharap diadakan
kembali sistim matriarchat itu?
Anggapan yang demikian ini yaitu anggapan yang salah,
walaupun misalnya orang wanita sekalipun yang ber-
anggapan begitu. Sering sekali ada wanita menanya
kepada saya: tidakkah lebih baik bagi kami sistim peribuan itu
dibandingkan sistim yang sekarang ini? Sebab, tidakkah di dalam
sistim peribuan itu wanita berkedudukan mulia? Saya
selalu menjawab: Jangan tertarik oleh nama saja! Buangkan
fikiran yang demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh
sebab kita harus mencari keselamatan warga
seumumnya, dan tidak keselamatan wanita saja; kedua
oleh sebab matriarchat itu yaitu hasil perbandingan-
perbandingan warga yang kuno dan tidak dapat
diadakan lagi di dalam warga sekarang; dan ketiga oleh
sebab tidak selamanya peribuan itu mengasih tempat mulia
kepada kaum wanita .
Lebih dulu marilah kita ingati, bahwa perkataan Bachofen,
bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di situ pasti
kedudukan wanita tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh
ilmu pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa
kemuliaan bagi wanita , namun ada juga yang tidak
membawa kemuliaan bagi wanita . Sebab, apakah hukum
peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya
hanyalah satu aturan untuk menjaga, jangan sampai
manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam-kromo saja
kawin satu sama lain, sehingga hantam-kromo pula
turunannya bercampuran darah. Ia yaitu reaksi kepada
kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan laki-wanita hantam-
kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki wanita tak
mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim
peribuan itu lantas ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari
lain gerombolan saja yang boleh berkawin dengan seseorang
wanita , dan turunannya dihitung menurut garis
peribuan dan menjadi hak wanita itu. Hanya ini sajalah
asalnya maksud hukum peribuan itu, dan tidak lain. “Aturan
ini tidak tentu membawa kedudukan wanita yang lebih
baik dan lebih merdeka; di dalam banyak sekali suku-suku
yang memakai aturan peribuan kedudukan wanita sama
sengsaranya dengan kedudukan wanita di dalam suku-
suku yang memakai aturan perbapaan”, begitulah Henriette
Roland Holst berkata. Begitu pula pendapat Mrs Ray Strachey.
Beliau mengatakan, bahwa peribuan itu “kadang-kadang
mendatangkan perbudakan wanita , kadang-kadang pula
mengekalkan milik-milik dan kekayaan-kekayaan di dalam
tangannya, sehingga ia lantas mendapat satu kedudukan yang
lebih berkuasa”. Muller Lyer pun berpendapat begitu, dan
begitu pula ahli-ahli penyelidik lain seperti Schurz, Eisler dll.
Hanya di mana hukum peribuan ini menjadi pemerintahan
peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi matriarchat,
menjadi sistim pemerintahan -ibu, maka di situlah
wanita berderajat, di situlah wanita bermartabat
tinggi. namun kitapun tidak boleh lupa memikirkan dan
menanya: Apa sebab pernah terjadi satu masa, yang
wanita yang berkuasa, dan tidak laki-laki? Sebabnya
ialah, oleh sebab pada bagian pertama dari zaman pertanian
itu, wanita lah produsen warga yang terpenting.
Dialah yang mengerjakan dan memimpin pertanian, dialah
yang menggenggam nasib perekonomiannya gens. Kalau dia
tidak bekerja, laparlah semua orang. Maka kedudukan sebagai
produksi pokok itulah yang menjunjung derajatnja; harganya
sebagai pengasih hidup kepada anggota-anggota gens itulah
yang mengangkat namanya. Bukan hukum peribuan, bukan
sesuatu hukum, bukan sesuatu timbangan moral, yang
menjadi sebab kedudukannya penting. Sebaliknya, hukum
peribuan, moral, hukum itu, yaitu akibat dibandingkan
kedudukannya yang penting itu.
Maka oleh sebab itu, tak dapat matriarchat itu datang
kembali, kalau kedudukan wanita sebagai produsen
masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu.
Mungkinkah ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu
balik kembali? Atau mungkinkah datang lagi satu sistim
produksi warga , yang kaum wanita saja menjadi
pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh
memasang cita-cita yang setinggi langit, namun jangan
mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik kembali.
Pembaca boleh mengharapkan susunan warga yang
lebih baik, kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan
kepada manusia satu sama lain yang lebih adil, namun
janganlah pembaca mengharapkan jarum warga
diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu yaitu
harapan yang mustahil, harapan yang kosong. warga tak
dapat diharap balik kembali kepada tingkat yang terdahulu, -
tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh perjalanan warga ,
sudahlah termasuk ke dalam alamnya “kemarin”. Pertanian
kini bukan alam orang wanita saja, dan fase pertanian
itupun sebagai fase kewarga an sudah terbenam di dalam
kabutnya “zaman dahulu”. Kini fase warga yaitu fase
kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak
dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali
kepada fase pertanian, dan tidak dapat pula di dalam
industrialisme ini wanita saja yang memegang kendali
produksi! wanita dan laki-laki, laki-laki dan wanita ,
kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu.
Maka oleh sebab itu, juga di dalam warga sekarang ini
matriarchat tak dapat datang kembali.
Saudara barangkali bertanya, tidakkah di Minangkabau kini
ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau sekarang sudah
tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan
dari hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk.
Hak keturunan menurut garis peribuan masih ada di situ,
perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari suku
lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ,
hak harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu masih
ditegakkan di situ, namun matriarchat sudah lama lenyap,
sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar Ruyung. Yang
masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum
peribuan, sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat
pula di beberapa daerah di luar Minangkabau di daerah-
daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah
Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di
Waihala, di Sulawesi Selatan, dll, -dan di luar negara kita pada
beberapa suku Indian di Amerika Utara, di kepulauan
Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di Oceania,
di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-
restan hukum peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah
terdapat pada bangsa-bangsa yang masih sangat terbelakang
saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas dan
tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum
peribuan di Minangkabau itu yaitu restan-restan dari
Minangkabau tingkat rendah, dan bukan milik Minangkabau
tingkat sekarang. Siapa mau memelihara hukum peribuan itu
di Minangkabau sekarang ini, dia yaitu memelihara restan-
restan Minangkabau tingkat rendah, memelihara sisa-sisa
bangkai periode kultur yang telah silam. Dia dapat kita
bandingkan dengan orang yang menghiaskan bunga melati di
sekeliling muka gadis cantik yang sudah mati: Cantik,
merindukan, memilukan, menggoyangkan jiwa, namun -mati!
Memang tak dapat dibantah, bahwa hukum peribuan itu
y