presiden soekarno 3

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 3



 evolusi yang menjelmakan faham milik perseorangan 

memang berhasil! Berhasil, oleh sebab  memang disuruh dan 

dibuat oleh warga . Nyata warga  beruntung dengan 

merdekanya individuaitas, nyata warga  akan dapat 

merdeka berkembang dengan merdekanya individualitas itu. 

Nyata hukum keturunan menurut garis ibu itu yaitu  kurang 

cocok, kurang sesuai, kurang mendorong maju, kurang 

menjadi stimulasi kepada individualitas itu. Nyata di dalam 

hukum tua itu somah (keluarga) tak dapat berkembang, -

somah, yaitu satu-satunya benteng tempat berkembang 

individu-alitas itu. Maka oleh sebab  itu, terteropong dengan 

teropong umum, terpandang dari pandangan kewarga an, 

maka revolusi ini yaitu  revolusi kemajuan, dan bukan 

revolusi kemunduran, bukan revolusi reaksioner. Maka 

benarlah kita, kalau kita bersorak syukur, bersorak “horas” 

atas berhasilnya perjoangan mengganti hukum ... tua dengan 


 

hukum baru itu. namun  tiap-tiap revolusi senantiasa 

mengekses, mengujung kapada ujung yang meliwati batas 

kemustian. Revolusi patriarchat ini bukan revolusi yang 

memerdekakan kaum laki-laki dengan memelihara 

kemerdekaan wanita , namun  menjadilah satu revolusi yang 

memerdekakan kaum laki-laki dengan mengorbankan 

kemerdekaan wanita ! Perlawanan kaum wanita  

terhadap pada revolusi ini tentu menjadi sebab pula bagi 

kaum laki-laki itu untuk “melipat” kaum wanita  itu sama 

sekali, merampas segala kemerdekaan yang ada pada 

wanita  itu sama sekali, agar supaya perlawanan 

wanita  itu menjadi patah sama sekali. Perlawanan kaum 

wanita  itu, -sebagai di dalam tiap-tiap revolusi-, 

menjadilah sebabnya kaum yang membuat revolusi itu 

mengadakan “diktatur”: Diktatur kaum laki-laki untuk 

mematahkan kontra revolusinya kaum wanita . 

 

namun  sesudah kaum wanita  patah, maka inilah 

celakanya wanita  -kaum laki-laki itu tidak 

mengembalikan kepadanya sebagian dibandingkan  

kemerdekaannya yang sediakala. Beribu-ribu tahun Sarinah 

tetap dan terus di-“diktaturi” saja. Beribu-ribu tahun ia tetap 

dipisahkan dari warga , dipisah-kan dari pergolakan 

hidup sehari-hari, dipisahkan dari “struggle for life” yang dulu 

membuat dia menjadi sehat dan sigap badan, sehat dan sigap 

fikiran, sehat dan sigap jiwa. Beribu-ribu tahun ia ditutup di 

dalam kegelapannya rumah, diperlakukan seperti benda, 

diperhambakan secara budak, atau paling mujur 

dipeliharakan seperti blasteran dewi dan si tolol. Akhirnya, 

sebab  perhambaan yang turun-temurun itu, ia menjadi 

makhluk yang lemah dan kecil badan, makkhluk yang bodoh, 

makhluk yang tumpul fikiran, makhluk yang singkat 

pemandangan, makhluk yang selalu takut, makhluk yang 

tiada kekerasan kemauan, makhluk yang sebab  tiada melihat 

dunia lantas gemar bicara tetek-bengek, makhluk yang sebab  

selalu didurhakai lantas banyak akal “tipu-muslihat”. “Dia 

mengkerat menjadi kecil”, demikianlah kata Bebel dalam satu 

tulisan. Nasib dia sekarang, nasib miskin atau nasib kaya, 

nasib lapar atau nasib kenyang, nasib dia sekarang tidak lagi 

tergantung dari kepribadian sendiri, namun  sama sekali 

tergantung dibandingkan  laki-laki yang menjadi suaminya. Laki-


 

laki inilah yang kini menjadi Maha Dewanya. Sebagai fihak 

yang memelihara jiwanya, maka menjadilah laki-laki itu satu 

kekuasaan yang membentuk hidupnya. Perkawinan, 

mendapat jodoh, itulah kini menjadi soal yang terbesar bagi 

wanita , soal yang mengisi segenap jiwanya, satu tanda 

besar di dalam hidupnya. Mendapatkan seorang laki-laki yang 

sanggup mengangkat hidupnya itu ke derajat yang mulia, yang 

dapat mengasih kepadanya keamanan dan kekayaan, -itulah 

kini menjadi pusat segenap idam-idamannya, ke situlah 

diarahkan segenap kecantikannya. 

 

Bukan lagi kepribadiannya yang kini menentukan hidupnya, 

namun  kecantikannya, kejelitaannya, “sex-appeal”-nya. 

Keelokannya itu kini menjadi senjata ekonomis, fungsi 

kelaminnya menjadi fungsi ekonomi. Dengan keelokannya 

inilah ia kadang-kadang dapat merebut kedudukan yang 

tinggi, -menjadi isteri orang besar, bini orang yang termasyhur 

nama, gundik orang yang kaya-raya. Dengan keelokannya 

itulah malahan ia kadang-kadang dapat menjadi permaisuri 

seorang raja. Kita mengetahui dari dongeng-dongeng, dari 

cerita-cerita wayang, dari bukti-bukti dalam sejarah, betapa 

kadang-kadang seorang laki-laki miskin, sebab  kecakapan, 

keberanian, keuletan, perjoangan, kelaki-lakian, pendek kata 

sebab  kepribadian, dapat menjadi seorang pahlawan besar 

atau seorang raja. Ken Arok, itu penggembala kerbau, menjadi 

Maharajadiraja di Singasari sebab  kepribadian; Ciung 

Wanara, itu anak tukang besi, menjadi Sang Perabu Pejajaran, 

sebab  “kepribadian”. Tapi bagi wanita  hanyalah 

kecantikan paras muka dan kecantikan badan saja, bukan 

kepribadian yang dapat mendatangkan “keajaiban” yang 

demikian itu. Kalau tidak kebetulan Sang Arjuna berjalan 

meliwati tempat kediamannya, dan tertarik oleh keelokannya 

yang “seperti bulan purnama”, maka tak mungkin si gadis 

miskin naik derajat menjadi puteri di dalam keraton. 

 

sebab  itu, maka segenap jiwanya, segenap fikirannya, 

segenap angan-angannya, dipusatkan kepada soal yang satu 

itu: mendapat jodoh yang menyenangkan, dan kalau sudah 

mendapat jodoh, menjaga jangan sampai diceraikan lagi; 

menjaga jangan sampai sang suami tak senang kepadanya, 

jangan sampai ia dialahkan oleh lain wanita . Maka sebab  


 

itu pula, semua pendidikan yang dikasihkan kepada gadis-

gadis yaitu  ditujukan kepada hal yang satu ini. Dan apakah 

sifat-sifat wanita  yang  kini disenangi oleh laki-laki? Tak 

lain dan tak bukan sifat-sifat yang menetapkan wanita  itu 

di dalam perhambaan; ia tak perlu pintar, namun  ia harus 

tenang, harus menurut, harus taat, harus merendah, harus 

sabar, harus sedia berkurban, harus halus suara, harus benci 

kepada dunia luaran, harus cinta rumah tangga saja. 

wanita  harus cantik, namun  kecantikannya itu harus lain 

lagi dari kecantikan Srikandi yang sigap dan tangkas, atau 

lain lagi dari kecantikan Brunhilde yang laksana kecantikan 

singa betina, melainkan haruslah kecantikan jelita, halus 

seperti sutera, harus “tunduk mata”, ramping badan, jatmika, 

seperti kecantikan bunga melati. Pendek kata, idam-idaman 

kaum laki-laki yaitu  orang wanita  yang cukup 

memuaskan kebirahiannya namun  harus “halus” dan “lemah 

lembut”, yang sesuai dengan status perhambaan dan 

ketaatan. Jadi yang sama sekali bertentangan benar dengan 

sifat-sifat yang ia senang melihat kepada kaum laki-laki 

sendiri: Laki-laki harus kuat, harus berani, harus besar 

badan, harus dinamis, harus bersuara sebagai guntur, harus 

suka berjoang mati-matian, namun  wanita  harus 

kebalikannya sama sekali dibandingkan  itu. Ia harus lemah, harus, 

merasa dirinya lemah, perlu mohon tolong dari orang laki-laki, 

mohon per-lindungan, mohon hidup dari orang laki-laki. 

Orang wanita  yang demikian ini, orang laki-laki sedia 

menganggapnya sebagai bidadari atau dewi; buat orang 

wanita  yang demikian ini orang laki-laki bersedia 

berkurban dan berjoang. Di Eropa sebagai salah satu akibat 

anggapan ini timbullah ridderisme, yang menganggap 

wanita  itu sebagai satu makhluk jelita yang musti 

dihormati setinggi langit dan diperlindungi. Pada kulitnya 

sahaja ridderisme ini seperti mengangkat tinggi kepada 

wanita , namun  sebenarnya ridderisme itu yaitu  justru 

memandang wanita  itu sebagai makhluk yang sangat 

lemah, yang selalu harus ditolong. Tidakkah “kegentlemanan” 

zaman sekarang ini, yang bersemboyan “kehormatan bagi para 

wanita”, pada hakekatnya berbatin juga menganggap lemah 

kepada wanita  itu? 

 

 

Dan lama-lama idam-idaman kaum lelaki tentang wanita ini 

“mewujud” kepada wanita  pula! Beratus-ratus tahun 

wanita  hidup di dalam udara “idam-idaman kaum lelaki 

tentang wanita” ini, beratus-ratus tahun ia dipaksa hidup 

menurut “idam-idaman kaum lelaki tentang wanita” ini, -

sebab kalau tidak, tak mungkin ia mendapat suami-, maka 

lama-kelamaan idam-idaman kaum laki-laki ini menjadi idam-

idaman kaum wanita tentang dirinya sendiri pula! Rohaninya, 

jiwanya, fikirannya, kemauannya, perangainya, batinnya, 

semua itu menjadi lemah dan tunduk, jelita dan sabar, ikhlas 

dan taat, -lain lagi dibandingkan  jiwa, fikiran, nafsu, perangai 

kaum Amazone atau kaum wanita Nusa Tembini di zaman 

matriarchat purbakala. Dan bukan saja jiwa dan sukma 

wanita  itu menjadi lemah, bentuk badannya pun menjadi 

lemah. Kini jarang sekali terlihat orang wanita  yang 

badannya subur dan besar, sigap dan kuat seperti di zaman 

purbakala itu. Kini umumnya tubuh wanita  itu kecil-kecil 

dan lemah-lemah. “Kultur” tidak berarti wanita  menjadi 

lebih kuat rohani dan badani, “kultur” yaitu  membuat roh 

dan badan wanita  itu menjadi lemah dan jelita. Lihatlah 

di kalangan kaum atasan, di mana “kultur” ini pjaling 

mendalam, maka kelemahan ini tampak dengan terang 

seterang-terangnya. “Awake koyo putri, antenge koyo putri”, 

itu sampai sekarang masih menjadi sebutan orang Jawa. Di 

dalam kalangan kaum bawahan, kaum tani dan kaum buruh, 

yang wanita nya tidak terlalu dikurung, tapi diajak 

berjoang mencari sesuap nasi, maka kelemahan dan kejelitaan 

itu kurang tampak padanya. namun  pada umumnya tak dapat 

dibantah lagi, bahwa perbedaan kekuatan dan kebesaran 

tubuh serta perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan 

wanita  itu, di dalam zaman patriarchat itulah bertambah-

tambahnya, di zaman patriarchat itulah dipelihara-

peliharakannya.  

 

Demikianlah umumnya keadaan kaum wanita  di zaman 

kekuasaan dipegang oleh kaum lelaki itu. Benar sekali 

perkataan seorang wanita  bangsa Belanda, Clara Meyer 

Wichmann, bahwa famili itu dus yaitu  satu machts 

verhouding, artinya, satu tempat laki-laki menjalankan 

kekuasaannya atas wanita . 

 

 

Tatkala Nabi Isa dan lalu  Nabi Muhammad datang 

membawa agamanya masing-masing, maka sudahlah keadaan 

ini keadaan biasa di mana-mana. Kedua-dua Nabi itu lantas 

mencoba menjunjung kaum wanita  itu dari keada-annya 

yang hina-dina itu, mencoba menolong wanita  itu dari 

ekses-ekses patriarchat, mengadakan aturan-aturan guna 

mengatur serta mengadilkan patriarchat itu. Bukan 

menghapuskan hukum perbapaan, namun  mengaturnya, 

mengadilkannya. Sebab kedua-duanya beranggapan, bahwa 

memang hukum perbapaanlah, dan bukan hukum peribuan 

yang lebih cocok dengan kehendak alam, lebih sesuai dengan 

kehendak kodrat. namun  pengajaran kedua-duanya pula telah 

tidak diperdulikan sama sekali oleh sebagian pengikut-

pengikut dan pemuka-pemuka agama yang lalu . Tradisi 

kaum penghina wanita  yang diperangi oleh dua Nabi ini, 

diteruskan oleh pengikut-pengikut itu. Nabi Isa mengajarkan 

persamaan laki-laki dan wanita  di hadapan Allah, namun  

pengikut-pengikutnya mengadakan lagi aturan-aturan yang 

mengungkung kaum wanita  itu. Padahal! Sejarah telah 

membuktikan dengan yakin, bahwa justru kaum 

wanita lah yang menjadi pengikut-pengikut dan 

propagandis-propagandis agama Nasrani yang paling ulet. 

Kaum wanita lah yang dibakar mati oleh Raja di Roma, 

kaum wanita lah yang dilemparkan kepada singa-singa 

dan dicabik-cabik tubuhnya oleh binatang-binatang buas itu, 

oleh sebab  mereka menjadi pengikut atau propagandis agama 

Nasrani itu. Ya, oleh sebab  memang kaum wanita lah 

salah satu dari bagian-bagian warga  yang dibela oleh 

Nabi Isa itu, maka kaum wanita lah berduyun-duyun 

masuk agama Isa; namun  pengikut-pengikut Isa yang laki-laki 

tak dapat melepaskan dirinya dari tradisi merendahkan 

wanita ; mereka itu tak dapat membalas budi kepada 

kaum wanita  yang telah bekerja dan berkurban begitu 

banyak untuk agama Isa. “Orang wanita  tak boleh bicara 

di dalam “jemaah”; “wanita  harus menurut dan 

menghormat kepada laki-laki”; “Tapi aku tak mengizinkan 

wanita  belajar, atau wanita  memerintah laki-laki, 

tapi aku mau wanita  itu diam”; “Tak diizinkan kepada 

mereka untuk berbicara, namun  diperintahkan kepada mereka, 

supaya mereka tunduk”. Kalimat-kalimat yang merendahkan 

kepada wanita  ini, terdapat di dalam kitab Nasrani, namun  


 

kalimat-kalimat itu bukan kalimat-kalimat yang keluar dari 

mulut Isa. Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut pengikut-

pengikutnya. Begitu pula maka dongeng Yahudi tua tentang 

kejadian Adam dan Hawa, yang mengatakan bahwa 

wanita  tidak terbuat “menurut gambar Allah”, melainkan 

hanya dari tulang rusuk Adam saja, dan bahwa dialah yang 

menarik Adam ke dalam dosa, sehingga dipandang perlu 

wanita  itu dianggap tidak suci dan selalu ditundukkan 

saja kepada laki-laki, -dongeng Yahudi tua inipun dimasukkan 

oleh pengikut-pengikut Isa itu ke dalam kitab. Dan sebagai 

“gong”-nya ini semua, maka pada penghabisan abad keenam, 

satu rapat besar dari semua kepala-kepala agama di kota 

Macon sudah membuang tempo banyak-banyak buat 

membicarakan soal, apakah wanita  itu benar-benar satu 

makhluk yang memiliki  nyawa atau tidak! 

 

Kasihan kaum wanita ! Dia yang paling banyak 

mengorbankan jiwa buat mempropagandakan agama Isa, dia 

yang dibakar, dia yang dicabik-cabik singa, dia yang 

menyebar-kan agama Isa itu kemana-mana, -Chlotilde yang 

menanam agama Nasrani di Franka, Berta di Kent, Gisela di 

Hongaria-, namun  dia pula yang selalu dikalahkan saja. Sampai 

sekarang, dia, pada waktu dia dinikahkan oleh paderi kepada 

seorang laki-laki, musti bersanggup di muka altar lebih dulu, 

bahwa dia “akan taat dan menurut kepada suami buat 

selama-lamanya”. Dan kasihan pula wanita  di dalam 

warga  Islam! Nabi Muhammad menjunjung derajat 

wanita dari ekses-ekses patriarchat jahiliah, memerdekakan 

dia dari perhambaan, namun  kaum-kaum yang sempit fikiran 

dan sempit mata menyeret dia kembali ke dalam lumpur 

derajat rendah dan lumpur derajat hina. Kaum-kaum yang 

sempit fikiran dan sempit mata ini meneruskan saja tradisi 

kaum jahiliah, atau ambil oper saja tradisi Persia dan Yunani 

Byzantia yang amat menyempitkan hak-hak kaum 

wanita . “wanita  di dalam warga  Islam”, -

tidakkah ini di dalam telinga dunia ramai terdengarnya sama 

saja dengan: “wanita  di dalam penutupan dan 

perhambaan”? 

 

Ya, benar-benar malang nasib wanita  itu! Sejak 

datangnya aturan patriarchat sampai kepada zaman-zaman 


 

yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu 

tahun lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di 

dalam satu dunia yang penuh dengan kegelapan dan 

kesempitan. Orang Yunani menamakan dia “Oikurema”, yang 

berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa 

beralih, abad berganti, kerajaan-kerajaan bangun dan 

kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban berubah 

berganti-ganti, namun  di dalam nasib wanita  tiada 

perubahan, sama sekali. Tetap ia musti hidup di dalam 

kegelapan dan kesempitan yang sediakala, tetap ia dianggap 

sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang 

mengerti ilmu warga  tidak mengherankan! Sebab, 

meskipun abad dan peradaban itu berubah berganti-ganti, 

maka belum bangkitlah keharusan-keharusan -warga  

yang memerdekakan wanita  itu dari ikatan rumah tangga. 

Belum bangkitlah keharusan-keharusan -warga  yang 

“mengusir” dia dari tutupan rumah, menghela dia ke dalam 

struggle for life dunia ramai. Zaman beredar melalui tahun-

tahun yang beribu-ribu bilangannya, namun  masih tetap 

wanita  paling mujur menjadi produsen buat somah, 

produsen buat ... keluarga, -belumlah ia terhela keluar 

menjadi produsen warga  pula. Itulah sebabnya, maka, 

semua kejadian-kejadian warga  terjadi tidak dengan 

bantuannya, tidak dengan bahagiannya, tidak dengan 

pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya. Ia tetap hidup 

sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam 

pergolakan warga , dan oleh sebab  itu, maka 

kedudukannyapun tetap “kedudukan rumah tangga” saja. 

 

Tetap demikian, ... sampai abad delapanbelas hampir silam! 

Sampai timbulnya zaman industria1isme di Eropa yang 

menghela wanita  itu keluar dari kegelapan rumah, 

masuk ke dalam struggle for life produksi warga . Pada 

akhir abad kedelapanbelas itu mulai timbul di Eropa zaman 

kepaberikan, dan kepaberikan inilah nanti membongkar sama 

sekali aturan-aturan warga  yang kuno, merobek-robek 

hukum adat dan hukum moral yang telah ribuan tahun 

tuanya, menghela keluar semua makhluk-makhluk yang 

tadinya tertutup di antara dinding-dinding kekeluargaan. Apa 

yang disusun dan diperkokoh oleh tradisi berabad-abad 

lamanya itu, dibongkar sama sekali oleh mesin di dalam 

 

tempo yang hanya puluhan tahun saja. Mesin pemintal, dan 

mesin tenun, yang terdapatnya hampir satu saat dengan 

mesin uap, mesin-mesin ini mengadakan revolusi yang maha 

hebat di dalam susunan warga , adat, moral; di benua 

Eropa pada waktu itu. Dulu wanita  tinggal di dalam 

rumah tangga untuk (kecuali memasak) membuatkan pakaian 

bagi suami dan anak. Dulu wanita  sendiri yang memintal, 

menenun, menyulam, menjahit, sebagai juga di negeri kita 

dulu tiap-tiap wanita  tinggal di rumah untuk menenun 

atau membatik. Dulu perkataan “ia saleh dan menenun” 

yaitu  pujian yang tertinggi yang orang tuliskan di atas batu 

kuburan orang wanita  yang sudah mati. 

 

namun  kini pada akhir abad kedelapanbelas itu, sebab  

revolusi industri itu, maka bukan saja semua bahan-bahan 

pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak 

susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat 

murah, sehingga banyak wanita  menjadi merdeka dari 

pekerjaan di rumah itu, -namun  mesin-mesin yang dipakai di 

paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh banyak 

tenaga laki-laki. Tenaga wanita  dan tenaga kanak-kanak  

mencukupi buat pekerjaan meladeni mesin-mesin itu. 

wanita  dan kanak-kanak diundang bekerja ke dalam 

paberik. Maka wanita , yang berwindu-windu; berabad-

abad tadinya tertutup di dalam rumah tangga itu, sebab  

kesempitan nafkah hidupnya, menjadi terhela bersama-sama 

anak-anaknya ke dalam paberik, ke dalam warga , ke 

dalam produksi warga . wanita -wanita  dan 

anak-anak itu menjadi kaum buruh. Di dalam tahun 1790 

saja sudah yaitu  60.000 wanita  Inggeris dan 40.000 

anak-anak Inggeris menjadi kaum buruh di paberik-paberik 

benang, di dalam tahun 1840 jumlah kuli perem-puan Inggeris 

itu sudah menjadi 500.000 dan di dalam tahun 1890 naik lagi 

menjadi 1.500.000 orang! Dan bukan di negeri Inggeris saja! 

Di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, di mana-

mana saja industrialisme ini menghancurkan tembok-tembok 

beton pengurungan wanita , di mana-mana saja terhela 

wanita  itu dari cengkeraman kemiskinan rumah tangga, -

keluar! keluar! Ke dalam struggle for life di dalam paberik, 

keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi 

warga , keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam 

 

tahun 1909 di negeri. Belanda yaitu  28% dari semua 

wanita  bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini yaitu  

18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya. 

 

Gugurlah kini tradisi, gugurlah segala moral, gugurlah segala 

kebiasaan anggapan, bahwa sudah penghidupan menurut 

kodrat wanita  mendekam di dalam rumah tangga, 

gugurlah semua anggapan, bahwa wanita  tak dapat 

makan kalau tidak disuap oleh kaum laki-laki. Gugurlah 

semua faham, bahwa wanita  tidak dapat dipakai buat 

pekerjaan warga . Di manakah orang mau berkepala batu 

menetapkan penghidupan menurut kodrat wanita  

menenun di rumah dan menanak nasi, kalau wanita  itu 

sendiri di akhir abad ke-18 dan di abad ke-19 dengan 

bermiliun-miliun membuktikan kepada dunia, bahwa ia cakap 

memegang mesin, cakap ikut menjalankan teknik, cakap 

menjadi pekerja industri, cakap campur di dalam perusahaan? 

Di negeri Jerman saja di dalam tahun 1882 sudah ada 

4.250.000 kaum buruh wanita , di dalam tahun 1895 

lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah 

ini telah menjadi 9.500.000 orang! Memang sebelum di Eropa 

ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di 

situ ada undang-undang perburuhan, maka kaum wanita  

dan anak-anak itulah yang paling laku sebagai kaum buruh. 

Apa sebab? Tak lain tak bukan, justru sebab  tabiat 

tunduknya dan nerimonya wanita  yang telah menjadi 

darah-daging-tulang-sungsum itu. Kaum wanita  lebih 

menurut, lebih sabar, lebih takut, lebih murah, lebih 

mengetahui kewajiban, dibandingkan  kaum buruh laki-laki. Yang 

tersebut belakangan ini selalu besar mulut, sering mabuk, 

sering memberontak, dan -mahal upahnya! Upah satu orang 

laki-laki boleh dipakai buat dua orang wanita , dan mesin 

tenun dan mesin pintal memang lebih sempurna dijalankan 

oleh tangan wanita  yang lebih halus dibandingkan  tangan laki-

laki. Itulah sebabnya, maka akibat revolusi industri di Eropa 

itu yang paling dulu tampak ialah sangat lakunya tenaga 

kaum wanita  sebagai kaum buruh. Revolusi di dalam cara 

produksi warga  menyebabkan revolusi menghancur-

leburkan adat memingit kaum wanita ! 

 

 

Dan bukan di Eropa saja! Industrialisme itupun menjalar ke 

Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak terlambat. Sejak 

pertengahan abad ke-19 sudahlah industrialisme ini mulai 

meng-hantam pula tembok beton penutupan wanita  di 

dunia Timur. Juga di dunia Timur orang pada waktu silamnya 

abad ke-19 itu mulai melihat wanita -wanita  dan 

anak-anak keluar dari tutupan rumah tangga, masuk ke 

dalam paberik tenun, paberik gula, paberik teh, atau ke dalam 

kebun-kebun “kontrakan”. Juga di dunia Timur gugurlah 

lambat-laun segala belenggu-belenggu tradisi, segala faham-

faham dan moral-moral yang mau terus menetapkan 

wanita  itu sebagai makhluk tutupan di rumah. Di negeri-

negeri yang tidak terlalu keras ikatan agama, maka kaum 

buruh wanita  segera menjadi barang yang biasa. Di India, 

di Tiongkok, dan terutama sekali di Nippon, perwarga an 

ini berjalan dengan cepat. namun  di lain-lain tempat masih 

keras juga ikatan belenggu tradisi. Meredith Towsend, yang 

dulu membuat perbandingan antara kedudukan wanita  di 

pelbagai negeri-negeri Asia, mengatakan bahwa, walaupun 

wanita -wanita  Nippon masih saja dihina dan ditindas 

oleh kaum laki-lakinya, mereka toh masih agak bagus 

kedudukannya kalau dibandingkan dengan kedudukan 

wanita  di beberapa bagian negeri-negeri Islam. Hukum-

hukum Qur’an yang mengasih kedudukan baik kepada 

mereka itu, diabaikan orang sehingga seperti huruf mati 

belaka kalau melihat praktek penindasan sehari-hari. Faham-

faham yang asal-nya dari zaman kaum kolot, masih 

ditegakkan orang di banyak bagian negeri-negeri Islam. namun , 

-bagi siapa yang mempelajari gerak warga  dan sejarah, 

dan cukup lebar-lebar matanya untuk membanding-

bandingkan tingkatan-tingkatan masa dan sejarah, bagi dia 

tampak pula, bahwa kaum kolot itu sebenarnya 

memperjoangkan satu perjoangan yang kalah. Juga di negeri-

negeri Islam, proses warga  ini akan menghancurkan 

anggapan, bahwa penghidupan menurut kodrat wanita  

hanyalah “melahirkan anak-anak, serta menjadi penjaga yang 

setia dari rumah tangga saja”. Juga di negeri-negeri Islam 

proses warga  ini menghela, menarik, mendorong 

wanita  itu ke dalam gelanggang pergolakan warga , 

menaikkan derajat wanita  itu menurut tinggi bagiannya di 

dalam proses produksi warga . Sebab di dalam hal ini 

 

tiyaitu  perbedaan antara kekuatan tenaga proses 

warga  di Timur dan di Barat. Yang berbeda hanyalah 

temponya belaka, cepatnya atau lambatnya. 

 

Demikianlah pengaruh industrialisme itu atas nasib kaum 

wanita  Marhaen di benua Eropa dan Asia. Tradisi 

penutupan dan pengurungan dihantam hancur-lebur oleh 

industrialisme itu, dan begitu pula tradisi, bahwa hidupnya 

wanita  harus selalu tergantung kepada nafkah dari laki-

laki. namun  industrialisme itu tidak menghancurkan pula 

tradisi wanita  sebagai kuda-beban di dalam rumah 

tangga. Tradisi pengurungan hancur-lebur, namun  tradisi 

budak rumah tangga berjalan terus. Pekerjaan memasak, 

mencuci; menjahit pakaian yang robek, memelihara anak, dan 

lain sebagainya masihlah menjadi tanggungan wanita . 

Sepuluh, duabelas, empatbelas jam lamanya kadang-kadang 

ia musti bekerja di paberik, namun  sebelum berangkat ke 

paberik itu dan sesudah pulang dari paberik itu pula, ia masih 

harus berkeluh-kesah bekerja buat pelbagai urusan rumah 

tangga. Ia menjadi kuda beban yang “dobel”, kuda-beban di 

paberik DAN kuda-beban di rumah tangga. Ia mengerjakan 

pekerjaan dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik 

dan pekerjaan produsen di dalam rumah tangga. Orang 

Inggeris ada mempunjai sya’ir yang bunyinya: Man works from 

rise to set of sun Woman’s work is never done. Artinya: Laki 

kerja dari matahari terbit sampai terbenam, wanita  kerja 

tiada hentinya siang dan malam. 

 

Ini sya’ir yaitu  jitu sekali buat menggambarkan beban 

wanita  itu. Betul barang-barang keluaran paberik kini 

banyak dijual dipekan-pekan dan kedai-kedai, namun  ia tak 

dapat membelinya semuanya, sebab  tidak cukup memiliki  

uang. Betul industrialisme itu bagi siapa yang sedikit mampu 

yaitu  satu hal yang meringankan hidup di dalam banyak 

urusan sehari-hari, namun  wanita  kaum bawahan itu tidak 

mampu membelanjai semua urusan sehari-hari itu. Maka oleh 

sebab  itu masih banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang 

masih tetap menjadi tanggungannya. Tetap ia masih musti 

membuat sendiri seribu satu barang yang kecil-kecil. Kedai-

kedai penuh sigaret atau serutu bermacam-macam, namun  ia 

masih tetap menggulung-gulungkan rokok bagi sang suami 


 

sampai ayam jantan hampir berkokok. Toko penuh dengan 

barang pakaian yang murah-murah, namun  ia masih tetap 

menisik pakaian anaknya yang sudah amoh sampai jatuh 

tertidur sebab  tak tahan lagi kantuk matanya. Kedai dan toko 

sedia mengasih peringanan hidup macam macam, asal saja 

ada uangnya, namun  justru uang inilah yang ia tak dapat 

adakan. Sesungguhnya, -telah hancur tradisi yang membuat 

dia makhluk pingitan dan makhluk yang isi perutnya 

tergantung pada laki-laki saja, namun  masih tetap berjalan 

tradisi yang membuat dia kuda beban di dalam rumah tangga. 

Ia mendapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, namun  

kemerdekaan itu harus dibelinya dengan memikul dua beban 

yang hampir mematahkan tulang belakangnya. Kesehatan 

tubuhnya selalu terganggu. Menurut statistik, maka rata-rata 

setahun-tahunnya orang laki mangkir kerja 43/4 hari, tapi 

orang wanita  71/2 hari. Di Jerman dulu jumlah kaum 

buruh wanita  yang kena penyakit tuberculose yaitu  3 

kali jumlah kaum buruh laki-laki yang kena penyakit ini. Tak 

salahlah perkataan seorang pemimpin wanita , Lily Braun, 

bahwa wanita  di dalam abad ke-19 dan ke-20 itu sama 

nasibnya dengan “keledai kecil yang musti menarik dua 

kereta”: kereta rumah tangga dan kereta pencaharian nafkah. 

namun  lebih jitu yaitu  perkataan Henriette Roland Holst: 

“jiwa-raganya yaitu  retak”, “door haar wezen loopt een 

scheur”: sepihak musti ingat kepada rumah tangga, sepihak 

lagi kepada pencaha-rian nafkah di dunia ramai. Yang satu 

tak dapat berjalan dengan tidak merugikan atau mengkonflik 

kepada yang lain. Fikirannya, tubuhnya, jiwa-raganya, 

menjadi terombang-ambing antara dua kewajiban ini, 

terbanting-banting antara dua tanggungan ini. Ia menjadi satu 

makhluk yang “senewen”, yang lari dari satu kebingungan ke 

lain kebingungan, tersepak sebagai satu bola dari satu goal ke 

lain goal. 

 

Sebab, meskipun dia sudah bekerja di warga , yaitu 

bekerja sebagai produsen warga  di dalam paberik atau di 

perusahaan lain, -tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang 

Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan 

suaminya, tetap ia ingin membahagiakan anak-anaknya. 

Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak dapat dan tak 

mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan 


 

kecintaan kepada anak, yaitu  memang Jiwa Wanita. Wanita 

boleh modern, boleh “feminis”, boleh menjadi orang pangkat 

tinggi, atau orang kuli hina-dina yang limabelas jam sehari 

membanting tulang di paberik, -namun  ia tetap Wanita, yang 

ingin cinta, yang ingin kasih, yang ingin membahagiakan 

kepada suami dan anak. Meskipun badan telah letih seperti 

remuk, pinggang telah patah sebab  cape, -setiba wanita di 

rumah dari pekerjaan di paberik atau di kebun, ia akan 

bekerja lagi, membanting-tulang lagi” memeras keringat lagi, 

... buat suami, ... buat anak. Ia tidak akan dapat melepaskan 

diri dari tarikan jiwa yang demikian itu. Sebab ia ... wanita! 

Henriette Roland Holst menggambarkan jiwa wanita ini dengan 

kata-kata yang berbunyi: “Diep op den bodem van de ziel 

van iedere vrouw, leeft de wens naar liefde en 

moederschap”. Artinya: “Di dalam jiwa tiap-tiap wanita yang 

sedalam-dalamnya, bersemayam keingingan kepada Cinta 

dan Keibuan”. 

 

Maka oleh sebab  itu, bagi wanita  kelas rendahan yang 

dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh di luar rumah, 

kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati 

kesempatan memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-

laki, masih tetaplah peri-kehidupan baginya berarti satu 

kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit matahari baru 

baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu. 

 

Dan yang tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai kaum 

buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka pula, 

namun  merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal. 

Sundal menjadi salah satu peristiwa sosial dari zaman 

industrialisme ini. Havelock Ellis mengatakan, bahwa abad ke-

19 itu yaitu  “abadnya sundal”. Tiap-tiap kota besar di zaman 

ini yaitu  “satu rumah sundal yang amat besar!”. 

 

Bagaimana keadaan kaum wanita  fihak atasan? 

 

Juga di sini wanita  masih saja tersia-sia. Mesin berputar 

di paberik-paberik, membuat pelbagai barang yang dulu harus 

dibuat oleh wanita  di kalangan kaum atasan pula. Mesin 

itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga 

mereka, namun  toh tidak membuat peri-kehidupan mereka 


 

menjadi senang. Apa sebab? Bukan di kalangan kaum 

rendahan saja, namun  juga di kalangan amtenar dan kaum 

pertengahan dulu wanita  harus memintal dan menenun 

sendiri, menjahit dan menyulam sendiri, membuat kuwih dan 

mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga sendiri, 

meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan  

pekerjaan wanita -wanita  di kelas bawahan. Pelayan-

pelayan yaitu  di kalangan kaum atasan itu buat 

mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup 

kaum wanita  atasan itu dari dulu mula satu “kehidupan 

rumah tangga” belaka. Sekolah-sekolah, kantor-kantor, 

tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan sebagai 

klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi 

mereka. Di rumah tangga saja mereka musti mendekam. 

Tulisan “dia saleh dan menenun”, tulisan batu kubur yang 

berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada kubur-

kubur kaum wanita  kelas atasan. Hari yang satu, sama 

saja dengan hari yang lain; tiada perubahan sama sekali di 

dalam mereka punya daftar hidup; hari-hari mereka duduk 

saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu, bercakap-

cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh 

“ridder-ridder” lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu 

ditolong dan dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan 

saputangan mereka kalau saputangan-nya jatuh, laki-laki 

inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak duduk. 

Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam 

pada itu juga, mereka diperlakukan oleh “ridder-ridder” itu 

sebagai makhluk yang tak cakap hidup sendiri, tak cukup 

kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul pekerjaan 

pekerjaan warga , tak penuh fikiran dan ingatan. Di 

dalam kalangan kaum atasan inilah, kaum wanita  benar-

benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh “ridder-ridder” itu 

sebagai blasterannya dewi dan si tolol. 

 

Kini barang-barang paberik itu masuk ke dalam salon dan 

boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal benang lagi, tak 

perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu 

membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu 

membeli semua keperluan-keperluan rumah tangga itu dari 

paberik dan dari toko. Maka kehidupan mereka semakin 

menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang. 


 

Mereka semakin “nganggur”. Mau masuk paberik menjadi kuli 

seperti wanita  bawahan, tak mungkin baginya, -mereka 

musti “jaga nama”, dan upah satu dua picis itupun mereka 

tak perlukan sama sekali- mau masuk kantor-kantor atau 

sekolah-sekolah, belumlah mereka mendapat pintu yang 

terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh kasaran 

mereka tak mau, bekerja di kantor atau di warga  sebagai 

kaum buruh halusan masih ditabukan kepadanya. Maka 

datanglah di dalam hidup mereka itu satu siksaan pedih, lebih 

pedih dibandingkan  siksaan yang lain-lain; datanglah kepadanya 

siksaan “kesalnya menganggur” siksaan beratnya “duduk 

tenguk-tenguk”. Jeltje de Bosch Kemper, seorang wanita  

Belanda, mengeluhkan keadaan yang demikian ini dengan 

keluhan: “Apa yang saya kerjakan dari umur delapan belas 

tahun”, ... tak tahulah saya. Tinggal di rumah saja menyulam, 

menggambar, main piano, menjahit sedikit, menulis surat, 

bertamu, jalan-jalan sedikit, ... Kadang-kadang ada banyak 

juga hasil pekerjaan itu, tapi kadang-kadang juga banyak yang 

tersia-sia”. Inilah keluhan seorang-orang yang menderita 

penyakit “verveling” itu. Adakah keadaan di kalangan atasan 

dari perem-puan negara kita  berbeda? Siapa yang membaca 

kitab R.A. Kartini “Door duisternis tot licht”, akan mendapat 

kesan yang sama: verveling, verveling, dan sekali 1agi 

verveling! “Saya tak tahu, bagaimanakah saya dapat 

melakukan waktu”, begitulah selalu keluhannya. Maka baik di 

dunia Eropa, maupun di dunia negara kita , “puteri-puteri”, 

yang terlalu banyak tempo, menganggur ini, menjadi “mesin 

ngomong” yang paling jempol, tukang ngobrol yang paling 

ulung, yang hari-hari, dari pagi sampai sore, dari sore sampai 

malam, pekerjaannya cuma meng-obrol saja tiada putusnya, 

mengobrol tentang kucing, tentang meja, tentang kuih, 

tentang baju, tentang bedak, tentang seribu satu hal tetek-

bengek. Dan terutama sekali mengobrol tentang ... orang lain! 

 

Dan ada akibat lain pula dibandingkan  keadaan di kalangan kaum 

atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat “gadis sukar 

laku”, dan “laki-laki kawin tua”. wanita -wanita  

atasan yang tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah 

sendiri itu, (di paberik tidak dan di kantorpun tidak), sama 

sekali menjadi tanggungan bapanya atau sanak-saudaranya 

jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada 


 

“menyimpan” beberapa “biji” dari mereka itu: adik, atau 

saudara sepupu, atau bibi, yang harus ia tanggung sama 

sekali hidupnya. Benar di zaman dulu pun begitu. namun  

sekarang puteri-puteri ini tidak 1agi berarti penting sebagai 

produsen di rumah tangga, yakni tidak berarti penting sebagai 

pembantu di rumah tangga. Dulu mereka yang menenun kain, 

dulu mereka yang menjahit pakaian, dulu mereka yang 

membuat makanan. Dulu mereka produktif. Kini sebagai 

akibat produksi barang dagangan, maka kain dibeli dari toko, 

pakaian dijahit oleh tukang menjahit, kuih-kuih banyak dibeli 

sudah matang. Dan segala itu dengan uang, -uang orang laki-

laki. Tanggungan orang laki-laki naik. Segala hal dialah yang 

musti mengongkosi, segala hal dialah yang musti bayar. Ia 

menjadi takut kawin, takut mendirikan somah sendiri, di 

mana masih begitu banyak “embel-embel” yang musti ia 

tanggung. Gadis-gadis tidak banyak yang meminangnya, 

mereka banyak yang menjadi “gadis-tua” yang selalu 

menertawakan segala hal yang tetek-bengek. 

 

Ya, alangkah celakanya nasib “puteri-puteri” dan “nyonya-

nyonya” itu! Mereka menjadi satu peristiwa warga ! 

Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip 

perkataanya, menuliskan satu petikan dari kitab: “Het 

Vrouwenvraagstuk”, yang menggambarkan hidup puteri-puteri 

di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang dapat 

melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang 

berpakaian bagus-, duduk di muka jendela masing-masing, 

semuanya matanya memandang kepada pita-pita berwarna 

yang ada di dalam tangannya: Duduk di muka jendela dengan 

berbedak dan berdandan seperti boneka, sambil tiada lain 

“kerja” melainkan mengatur pita! Ingatkah tuan-tuan kepada 

puteri-puteri negara kita  yang juga berbedak dan berdandan 

seperti boneka, duduk di serambi rumah dan “rajin bekerja”, -

misalnya menyongket renda kain tempat-tidur? 

 

Siapakah yang lebih celaka, si wanita  rendahan yang 

“senewen” sebab  terlalu banyak kerja, atau “boneka-boneka” 

ini? “Nyonya, dan wanita  rendahan yang bekerja seperti 

kuda beban di rumah tangga, dan sundal -itulah tiga type 

perem-puan yang keluar dari proses warga  yang dahulu, 

muncul ke dalam warga  yang sekarang, dan sukar bagi 


 

kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling 

menyimpang dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap 

wanita  di dalam hatinya”, begitulah Edward Carpenter 

tadi itu berkata. 

 

namun  lambat-laun datanglah perubahan juga di dalam 

kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan ekonomi 

mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti 

menanggung segala ongkos rumah tangga itu. Mendesak 

kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang menutup 

pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum 

wanita  itu. Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan 

pergerakan feminisme mengadakan desakan yang maha 

hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu yang 

menolak mereka dari proses warga  itu. Lambat-laun 

kaum laki-laki sendiri merasa beratnya menanggung hidupnya 

keluarga-keluarga wanita  yang di dalam segala-galanya 

harus ditulung itu, dan merasa manfaatnya kalau wanita -

wanita  ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk 

tidak berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit 

dan ke kaum laki-Iaki, namun  dapat mencari nafkah hidup 

sendiri-sendiri. Lambat-laun puteri-puteri itu diijinkan masuk 

sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-

kantor dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter, 

insinyur, adpokat. Lambat-laun berubahlah idam-idaman laki-

laki tentang wanita  yang telah ratusan dan ribuan tahun 

terpaku di dalam angan-angannya itu. Kini idam-idaman itu 

bukan lagi wanita  yang seperti sutera, yang lemah-

lembut, menadahkan tangan kepadanya dan memandang 

kepadanya sebagai memandang kepada seorang Maha Dewa, 

memohonkan tolong dan perlindungan, -kini idam-idaman 

laki-laki bergantilah menjadi: wanita  yang “sportif”, yang 

cakap, yang tak selalu butuh pertolongan, yang dapat 

meringankan bebannya. wanita -wanita  yang 

demikian itulah, -gadis-gadis yang riang, sigap, sehat, sportif, 

cakap bicara, “sedikit kurang-ajar”, tangkas sebagai rusa 

betina, -klerk-klerk, juru tik-juru tik, guru-guru, studen-

studen wanita, dsb. -wanita -wanita  yang demikian 

itulah yang kini paling dapat memikat hati orang laki-laki. 

wanita -wanita  yang demikian itulah yang kini paling 

banyak harapan segera mendapat jodoh. namun  yang tidak 


 

begitu, yang “model kuno”, terpaksa terus hidup 

kehidupannya yang sediakala, tersia-sia menunggu-nunggu 

datangnya seorang jejaka, sampai ia sendiri menjadi gadis tua 

yang layu dan hilang keelokan dan kesegarannya. 

 

namun  warga  kapitalistis sekarang inipun tidak selalu 

mengasih kesempatan bekerja kepada semua orang yang mau 

bekerja, tidak selalu mengasih kesempatan kawin kepada 

semua orang yang mau kawin. Di dalam bab II telah saya 

terangkan hal ini sedikit-sedikit. Maka oleh sebab  itu, masih 

banyak sekali gadis-gadis dan wanita -wanita  yang 

tidak mendapat suami, -kendati ketangkasan, kendati 

kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun cakap, meskipun 

tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi 

jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling 

jempol sajalah, yang paling cakap, yang paling cantik, yang 

paling menarik, yang paling ber-“sex-appea1”, memiliki  

harapan akan mendapat jodoh. “Struggle for life” kini juga 

menjadi “struggle for man”. Maka oleh sebab  itu, timbullah, 

-mula-mula di Amerika di mana “cari suami” itu yang paling 

susah-, satu pergerakan “menambah kecantikan”, satu make-

up-movement, yang maksudnya mempelajari dan 

mempraktekkan, betapakah cara mustinya wanita  

menarik hati kaum laki-laki. Menghaluskan kulit, mengatur 

rambut, memerahkan bibir, memilih warnanya bedak, 

mencabut bulu alis supaya alis ini menjadi kecil seperti bulan 

tanggal satu, menentukan warna creme dan menyapukan 

creme, mengatur badan waktu duduk, menggerakkan badan 

waktu berjalan, itu semua-nya menjadi satu ilmu”, yang siang 

dan malam berputar di dalam otaknya wanita -wanita  

fihak atasan itu. Roman muka dan tingkah laku wanita  

itu menjadi berubah sama sekali. Kulit jelita, bibir merah dan 

alis melengkung, bukan lagi satu hadiah alam yang terdapat 

pada satu dua perempun saja, namun  menjadi milik tiap-tiap 

hidung yang mampu membelinya. Kadang-kadang sungguh 

menarik benar wanita -wanita  yang telah di “make-

up” itu, tapi kadang-kadang juga menjadilah mereka itu justru 

seperti “hantu”, sebab  “cap” di atas muka mereka itu terlalu 

melebih-lebihi batasnya kesederhanaan! namun  sebagai satu 

peristiwa sosial yaitu  ini akibat dari warga  yang di situ 

“struggle for man” menjadi sukar sesukar-sukarnya. Juga di 


 

negara kita , ini “movement”, walaupun sebab-sebabnya yang 

dalam tidak diinsyafi oleh tiap-tiap orang, sudah mulai 

menjalar, tentu saja di bawah pimpinan beberapa nyonya dari 

kalangan atasan! 

 

Jadi: juga di kalangan wanita  atasan, dunia belum 

menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah banyak 

hasil pergerakan feminisme itu. 

 

Ya, sekali lagi, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil 

pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri Eropa 

wanita  sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia 

ramai, sudah banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi 

wartawan, peniaga, insinyur, dokter, adpokat. Di banyak 

negeri Eropa wanita  malahan sudah mendapat hak-hak 

politik yang sama dengan kaum lelaki, sehingga banyak dari 

mereka telah menjadi anggota dewan haminte, dewan propinsi 

atau dewan parlemen. namun  kendati hasil-hasil baik dari 

perjoang-annya ini, juga pada mereka dirasakan oleh mereka 

sendiri adanya satu scheur. Juga pada mereka ada satu 

“retak”, namun  satu retak yang berbeda sedikit dibandingkan  retak 

di kalangan wanita  kaum buruh. Di kalangan kaum 

buruh itu retaknya ialah: terombang-ambing dan terbanting-

banting antara dua tanggungan, tanggungan mencari nafkah 

di luar, dan tanggungan mengurus rumah tangga, terbanting-

banting antara tanggungan sebagai pekerja warga , dan 

tanggungan sebagai isteri dan ibu di rumah tangganya. Bagi 

wanita  kaum buruh itu, sebenarnya yaitu  satu ideal, 

satu keinginan jiwa yang maha tinggi: ingin merdeka di dalam 

warga  dengan jalan ikut menjadi produsen warga , 

dan ingin menjadi isteri dan ibu yang mencinta, mengasih, 

menyayang, memelihara suami serta anak-anak menurut 

kodrat alam. namun  tidak satu dari dua keinginan ini dapat ia 

capai dengan sempurna, tidak satu dari dua ideal ini dapat 

menjadi satu realitas baginya. Sebab di dalam warga  

kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua 

kewajiban ini yaitu  terlalu membebani kepadanya, terlalu 

berat bagi tenaganya satu orang, sehingga ia menjadi 

“senewen” dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja 

di dalam warga  tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya 

sesuap nasi dan hilangnya kemerdekaan; mau melepaskan 


 

suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu yaitu  

bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah 

gambarnya retak yang membelah jiwa-raga wanita  kaum 

bawahan menjadi dua belahan yang terombang-ambing satu 

sama lain. 

 

Bagaimanakah retak wanita  kaum atasan? Juga di sini ia 

kini telah banyak menjabat pekerjaan warga . Juga di sini 

ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di sinipun 

ia, selain memikirkan kerja di warga  itu, harus juga 

memikirkan kerja sebagai isteri dan sebagai ibu. namun  

manakala dua pekerjaan ini di kalangan kaum buruh 

mendatangkan “senewen”, maka di kalangan atasan hanyalah 

mendatangkan “rasa kurang puas” sahaja. Sebab wanita  

atasan itu di rumah tangganya cukup mendapat bantuan, 

bantuan alat-alat teknik sebagai gas dan listrik, bantuan harta 

yang dapat membeli semua keperluan, dan bantuan pelayan-

pelayan yang tinggal memerintah saja. Ketidakpuasan yang ia 

rasakan itu bukan ketidakpuasan sebab  “patahnya tulang 

belakang”, namun  yaitu  ketidakpuasan terganggunya waktu 

untuk menumpahkan cinta kasih kepada suami dan terutama 

sekali kepada anak-anak, sebagai panggilan jiwanya dan 

panggilan kodratnja. Kerja di warga  itu menjadi satu 

halangan baginya buat kesempurnaan kehidupan laki-isteri 

anak, satu rintangan bagi kehidupan laki-isteri yang 

sempurna dan bahagia. 

 

Dan bukan saja rintangan bagi kesempurnaan kehidupan laki-

isteri manakala kehidupan itu sudah ada, -artinya: manakala 

sudah hidup berlaki-isteri, sudah ada suami, sudah ada anak-

, namun  bagi banyak kaum wanita  atasan kehidupan laki-

isteri inipun satu hal yang susah didapatnya. Bagi banyak 

kaum atasan, sebagai tadi sudah saya katakan, mendapat 

suami masih satu teka teki, -sehingga timbul peristiwa “gadis-

tua” dan “make-up movement”. Maka oleh sebab  itu, kini, 

sebagai reaksi atas keadaan yang demikian itu, bukan lagi 

kerja di dalam warga lah yang menjadi tujuan dan cita-

cita, namun  kehidupan laki-isteri yang bahagia.  Bersuami, 

beranak, berumah tangga bahagia, itulah kini idam-idaman 

yang pertama, keinginan jiwa yang paling tinggi. Kini timbul 

satu aliran baru di kalangan kaum wanita  atasan itu, 


 

yang mengatakan, bahwa feminisme tak cukup untuk 

mendatangkan kebahagiaan. Kini timbul aliran neo-

feminisme, feminisme baru, yang menganggap pekerjaan 

warga  itu “nomor dua”, namun  perkawinan, menjadi ibu, 

memimpin  keuarga  nomor satu. 

 

Sebelum kita lebih lanjut, izinkanlah saya nanti dalam bab IV 

lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan patriarchat dengan 

kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan 

mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita 

akan dapat mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-

kesusahan yang diderita oleh kaum wanita . Sudah barang 

tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih dibandingkan  satu 

“peninjauan” saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini 

mengupas soal itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam 

itu, perlu satu buku tebal yang spesial! 

 

Maka sekarang kita, di dalam perjalanan “dari gua ke kota” 

itu, sudah menginjak halaman zaman kita sendiri. Dengan 

cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari 

zaman kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik. 

Satu kali kita melihat Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu 

kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu di zaman 

berkembangnya sistim matriarchat. namun  di bagian yang lain-

lain, di dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori 

baru, di zaman histori paling baru, -di semua bagian-bagian 

sejarah itu Sarinah selalu menjadi makhluk yang celaka, 

makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk 

yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya “Die Frau 

und der Sozialismus” berkata, bahwa wanita  yaitu  

“makhluk yang paling dulu diperbudak”. namun  di lain tempat, 

di dalam majalah “Neue Zeit”, ia pernah berkata pula, bahwa 

wanita  itu yaitu  “makhluk jang diperbudak selama-

lamanya”. Kecuali perkecualian di zamannya matriarchat itu, 

maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah datang 

satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali? 

Ataukah sudah memang “kodrat” wanita , hidup di bawah 

telapak laki-laki?  

  


 

Satu kali wanita  berkedudukan mulia, yakni di zaman 

berkembangnya matriarchat. Adakah ini berarti, bahwa kita, 

untuk kemuliaan wanita  itu musti mengharap diadakan 

kembali sistim matriarchat itu? 

 

Anggapan yang demikian ini yaitu  anggapan yang salah, 

walaupun misalnya orang wanita  sekalipun yang ber-

anggapan begitu. Sering sekali ada wanita  menanya 

kepada saya: tidakkah lebih baik bagi kami sistim peribuan itu 

dibandingkan  sistim yang sekarang ini? Sebab, tidakkah di dalam 

sistim peribuan itu wanita  berkedudukan mulia? Saya 

selalu menjawab: Jangan tertarik oleh nama saja! Buangkan 

fikiran yang demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh 

sebab  kita harus mencari keselamatan warga  

seumumnya, dan tidak keselamatan wanita  saja; kedua 

oleh sebab  matriarchat itu yaitu  hasil perbandingan-

perbandingan warga  yang kuno dan tidak dapat 

diadakan lagi di dalam warga  sekarang; dan ketiga oleh 

sebab  tidak selamanya peribuan itu mengasih tempat mulia 

kepada kaum wanita . 

 

Lebih dulu marilah kita ingati, bahwa perkataan Bachofen, 

bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di situ pasti 

kedudukan wanita  tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh 

ilmu pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa 

kemuliaan bagi wanita , namun  ada juga yang tidak 

membawa kemuliaan bagi wanita . Sebab, apakah hukum 

peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya 

hanyalah satu aturan untuk menjaga, jangan sampai 

manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam-kromo saja 

kawin satu sama lain, sehingga hantam-kromo pula 

turunannya bercampuran darah. Ia yaitu  reaksi kepada 

kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan laki-wanita  hantam-

kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki wanita  tak 

mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim 

peribuan itu lantas ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari 

lain gerombolan saja yang boleh berkawin dengan seseorang 

wanita , dan turunannya dihitung menurut garis 


 

peribuan dan menjadi hak wanita  itu. Hanya ini sajalah 

asalnya maksud hukum peribuan itu, dan tidak lain. “Aturan 

ini tidak tentu membawa kedudukan wanita  yang lebih 

baik dan lebih merdeka; di dalam banyak sekali suku-suku 

yang memakai aturan peribuan kedudukan wanita  sama 

sengsaranya dengan kedudukan wanita  di dalam suku-

suku yang memakai aturan perbapaan”, begitulah Henriette 

Roland Holst berkata. Begitu pula pendapat Mrs Ray Strachey. 

Beliau mengatakan, bahwa peribuan itu “kadang-kadang 

mendatangkan perbudakan wanita , kadang-kadang pula 

mengekalkan milik-milik dan kekayaan-kekayaan di dalam 

tangannya, sehingga ia lantas mendapat satu kedudukan yang 

lebih berkuasa”. Muller Lyer pun berpendapat begitu, dan 

begitu pula ahli-ahli penyelidik lain seperti Schurz, Eisler dll. 

 

Hanya di mana hukum peribuan ini menjadi pemerintahan 

peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi matriarchat, 

menjadi sistim pemerintahan -ibu, maka di situlah 

wanita  berderajat, di situlah wanita  bermartabat 

tinggi. namun  kitapun tidak boleh lupa memikirkan dan 

menanya: Apa sebab pernah terjadi satu masa, yang 

wanita  yang berkuasa, dan tidak laki-laki? Sebabnya 

ialah, oleh sebab  pada bagian pertama dari zaman pertanian 

itu, wanita lah produsen warga  yang terpenting. 

Dialah yang mengerjakan dan memimpin pertanian, dialah 

yang menggenggam nasib perekonomiannya gens. Kalau dia 

tidak bekerja, laparlah semua orang. Maka kedudukan sebagai 

produksi pokok itulah yang menjunjung derajatnja; harganya 

sebagai pengasih hidup kepada anggota-anggota gens itulah 

yang mengangkat namanya. Bukan hukum peribuan, bukan 

sesuatu hukum, bukan sesuatu timbangan moral, yang 

menjadi sebab kedudukannya penting. Sebaliknya, hukum 

peribuan, moral, hukum itu, yaitu  akibat dibandingkan  

kedudukannya yang penting itu. 

 

Maka oleh sebab  itu, tak dapat matriarchat itu datang 

kembali, kalau kedudukan wanita  sebagai produsen 

masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu. 

Mungkinkah ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu 

balik kembali? Atau mungkinkah datang lagi satu sistim 

produksi warga , yang kaum wanita  saja menjadi 


 

pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh 

memasang cita-cita yang setinggi langit, namun  jangan 

mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik kembali. 

Pembaca boleh mengharapkan susunan warga  yang 

lebih baik, kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan 

kepada manusia satu sama lain yang lebih adil, namun  

janganlah pembaca mengharapkan jarum warga  

diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu yaitu  

harapan yang mustahil, harapan yang kosong. warga  tak 

dapat diharap balik kembali kepada tingkat yang terdahulu, -

tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh perjalanan warga , 

sudahlah termasuk ke dalam alamnya “kemarin”. Pertanian 

kini bukan alam orang wanita  saja, dan fase pertanian 

itupun sebagai fase kewarga an sudah terbenam di dalam 

kabutnya “zaman dahulu”. Kini fase warga  yaitu  fase 

kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak 

dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali 

kepada fase pertanian, dan tidak dapat pula di dalam 

industrialisme ini wanita  saja yang memegang kendali 

produksi! wanita  dan laki-laki, laki-laki dan wanita , 

kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu. 

Maka oleh sebab  itu, juga di dalam warga  sekarang ini 

matriarchat tak dapat datang kembali. 

 

Saudara barangkali bertanya, tidakkah di Minangkabau kini 

ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau sekarang sudah 

tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan 

dari hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk. 

Hak keturunan menurut garis peribuan masih ada di situ, 

perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari suku 

lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ, 

hak harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu masih 

ditegakkan di situ, namun  matriarchat sudah lama lenyap, 

sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar Ruyung. Yang 

masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum 

peribuan, sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat 

pula di beberapa daerah di luar Minangkabau di daerah-

daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah 

Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di 

Waihala, di Sulawesi Selatan, dll, -dan di luar negara kita  pada 

beberapa suku Indian di Amerika Utara, di kepulauan 


 

Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di Oceania, 

di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-

restan hukum peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah 

terdapat pada bangsa-bangsa yang masih sangat terbelakang 

saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas dan 

tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum 

peribuan di Minangkabau itu yaitu  restan-restan dari 

Minangkabau tingkat rendah, dan bukan milik Minangkabau 

tingkat sekarang. Siapa mau memelihara hukum peribuan itu 

di Minangkabau sekarang ini, dia yaitu  memelihara restan-

restan Minangkabau tingkat rendah, memelihara sisa-sisa 

bangkai periode kultur yang telah silam. Dia dapat kita 

bandingkan dengan orang yang menghiaskan bunga melati di 

sekeliling muka gadis cantik yang sudah mati: Cantik, 

merindukan, memilukan, menggoyangkan jiwa, namun  -mati! 

 

Memang tak dapat dibantah, bahwa hukum peribuan itu 

y