presiden soekarno 2
njang ingatan kita” wanita
selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam warga . Sebab
perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan
perkataan, bahwa misalnya wanita qua kodrat alam
selalu rambutnya panjang, sebab sepanjang ingatan kita, kita
belum pernah melihat wanita yang tidak berambut
panjang. Dan bukan saja tidak sesuai dengan ilmu
pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat lebih jauh
dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir
ini kita melihat dengan mata sendiri ribuan wanita -
wanita negara kita yang tidak mendekam di rumah, namun
bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun, di paberik-
paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, -
menjadi kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis,
guru, dokter, wartawan dan lain-lain Tidakkah kita melihat
saban hari dengan mata sendiri juga isteri si bapa tani
berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke
kota dan ke pasar-pasar, dengan membawa macam-macam
hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota dan di pasar-
pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan
menurut kodrat alam mereka, untuk mendekam di rumah itu?
Bahwasanya, memang di kalangan si Marhaen inilah, sebab
dorongan “struggle for life”, kaum wanita lebih merdeka,
lebih tidak terikat di rumah dibandingkan di kalangannya kaum-
kaum yang agak mampu, yang kadang-kadang mengurung
wanita nya itu seperti mengurung ternak di dalam
kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung
wanita nya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup
isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk
memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka,
untuk memu1iakan kedudukan mereka. Ya ... “memuliakan”
mereka ... namun “memuliakan” mereka dengan
memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol!
Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli wanita atau si
tani wanita yang tidak sangat terikat kepada rumah
tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, wanita
Marhaen! Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau di
kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang
berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada
mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak.
Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi,
mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai. Sang
suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ...
tunggu dipanggil makan, namun Sarinah, -habis kerja di luar
rumah masih yaitu kerja lagi baginya di dalam dapur atau di
dekat sumur. Bagi laki-laki yaitu “kerja delapan jam sehari”
atau “kerja sepuluh jam sehari”. namun bagi Sarinah zaman
sekarang ini, hidup yaitu berarti keluh-kesah terus-menerus,
gangguan fikiran terus-menerus, dari fajar menyingsing
sampai di tengah malam ...
Kapankah matahari akan bersinar lagi bagi Sarinah itu?
Dulu, di dalam kabutnya zaman purbakala, dulu pernah
Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu pernah
ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo
Kandung di negeri Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama
Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu, di Nippon, ia,
menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad
lamanya memegang kecakrawartian warga : “Urusan
rumah tangga dan urusan anak-anak mereka serahkan
kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka
dengan orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan
perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir mereka sama tingginya
dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka
memukul sama sekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di
abad-abad yang lalu pun, dan terutama sekali di zaman
berkembangnya perpustakaan Tionghoa, maka kultur
perpustakaan hampir semasekali di dalam tangannya “kaum
lemah” itu ... Tidak kurang dari 10 Rajaputeri tercatat
namanya di buku sejarah, (antaranya Rajaputeri Jinzo yang
termasyhur, yang menaklukkan negeri Korea di abad yang
ketiga), yang semuanya menjalankan rol yang penting di
dalam sejarah. Di dalam buku-buku Tionghoa kuno, Nippon
selalu disebutkan “negeri kaum wanita ” atau “negeri raja-
raja puteri”. Pada abad ke-10 dan ke-11 kaum wanita lah
yang membuat hukum-hukum negara; ahli-ahli sya’ir
menamakan wanita itu “semennya warga ”. Di
zaman-zaman kuno itu tak pernah wanita Nippon
menekukkan lututnya di muka laki-laki. Di zaman Heian,
anak laki-laki dan anak wanita mendapat warisan yang
sama besarnya. Di dalam hukum-hukum negara Kamakura-
shogun yaitu ditetapkan, “bahwa laki-laki yang
meninggalkan isterinya, segala hak-hak miliknya jatuh kepada
isterinya itu”.
Dan bukan di Nippon saja Sarinah pernah berkuasa di dalam
warga . Di negeri-negeri lainpun, bangsa mana dan negeri
manapun juga, -sejarah banyak mencatat nama-nama raja-
raja puteri, nama-nama kepala-kepala pemerintah puteri, yang
umumnya sangat baik pemerintahannya, begitu baik, sehingga
misalnya Burbach berpendapat, bahwa sangat boleh jadi
kaum wanita itu lebih cakap buat urusan politik dibandingkan
kaum laki-laki.
Dulu! ... namun sekarang bagaimana? Di Nippon yang dulu
warga mengasih kedudukan yang begitu tinggi kepada
wanita , kini kaum isteri menjadi sampah, pelayan laki-
laki, budak laki-laki, yang tiada kekuasaan dan kemerdekaan
sedikit juapun. Kini wanita di Nippon itu, yang dulu
begitu gagah dan sigap dan dinamis, menjadi satu makhluk
yang tunduk, yang penurut, yang nerimo, yang taat di dalam
segala hal baik dan buruk kepada kaum laki-laki. Siapa
membaca tulisan-tulisan Van Kol, De Visser, O’Conroy,
Lafcadio Hearn, dll, tentang ketundukan dan kenurutan isteri
Nippon itu, ia niscaya terharu hatinya, ia niscaya sukar pula
mengenang-ngenangkan di dalam ingatannya, bahwa ini
makhluk-makhluk yang begitu menurut dan menerima, dulu
di zaman sediakala yaitu tunggak-tunggaknya warga !
Ya, makin nyatalah kepada kita, bahwa penghidupan menurut
kodrat yang menempatkan wanita ke sisi periuk-nasi dan
panci-gulai itu, tak lain tak bukan yaitu bukan penghidupan
menurut kodrat, bukan penentuan kodrat, (sebagai menerima
dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, memelihara
anak), namun yaitu penghidupan yang warga sekarang
dan hukum warga sekarang kasihkan kepadanya. Kalau
hukum warga ini tidak menempatkan wanita itu ke
sisi api dapur dan pipisan lada saja, kalau hukum warga
ini mengasih kelapangan kepada kaum wanita buat
berlomba-lomba di lapangan warga , maka wanita
tidaklah seperti wanita sekarang. Tidaklah ia “kaum
lemah”, tidaklah ia “kaum bodoh”, tidaklah ia “penakut”,
tidaklah ia kaum singkat fikiran, tidaklah ia kaum “nerimo”.
Tidaklah ia makhluk yang mengambing saja sebagai ternak;
tidaklah ia kaum yang selamanya harus dijagai dan ditolong
saja sebagai “blasteran dewi dan si tolol”. Tidaklah ia menjadi
sebab, yang Plato, itu ahli faIsafah Yunani, tiap-tiap hari
mengucap terima kasih kepada dewa-dewa, bahwa dewa-dewa
itu melahirkan dia sebagai orang merdeka, dan bukan sebagai
budak belian, sebagai laki-laki, dan bukan sebagai
wanita . Tidaklah ia menjadi sebab, yang orang Yahudi
sekarang tiap-tiap pagi mengucapkan kalimat: “Terpujilah
Engkau, ya Allah, Robbul’alamin, bahwa Engkau tidak
membuat akan daku seorang wanita ”. Tidaklah ia menjadi
sebab, yang bangsa Inggeris tidak memiliki kata buat
manusia melainkan “man” (laki-laki), dan bangsa Perancis tak
memiliki perkataan buat manusia pula, melainkan
“homme” (laki-laki)!
Pendek kata, soal wanita tak dapat kita nilaikan betul-
betul harganya buat warga , kalau kita pisahkan dia dari
sejarahnya warga , sejarahnya perhubungan wanita
dan laki-laki di dalam warga .
Sejarah wanita yaitu bergandengan dengan sejarah laki-
laki, soal wanita tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki.
Di muka telah berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman
Matriarchat (peribuan), kedudukan wanita yaitu lain
dari di zaman sekarang, berganda-ganda lebih tinggi dari di
zaman sekarang. namun , apakah ini berarti, bahwa kita dus
lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali
tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat)
sekarang ini kaum isteri menjadi kaum yang tertindas, maka
di zaman peribuan yaitu kaum laki-laki kaum yang
tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa
ketidakadilan warga kepada kaum wanita , maka
matriarchat yaitu membawa ketidakadilan warga
kepada kaum laki-laki. warga tidak terdiri dari kaum
laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum wanita
saja. warga yaitu terdiri dari kaum laki-laki dan kaum
wanita , dari kaum wanita dan kaum laki-laki. Tak
sehatlah warga itu, manakala salah satu fihak menindas
kepada yang lain, tak perduli fihak mana yang menindas, dan
tak perduli fihak mana yang tertindas.
warga itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan
hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan
wanita , yang sama tengahnya, sama beratnya, sama
adilnya.
Saya bukan pencinta matriarchat, saya yaitu pencinta
patriarchat, bukan oleh sebab saya seorang laki-laki, akan
namun ialah sebab kodrat alam menetapkan patriarchat lebih
utama dibandingkan matriarchat. Kodrat menetapkan hukum
keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan, sebab
hanya dengan hukum keturunan menurut garis perbapaanlah,
-di mana wanita diperisterikan oleh satu orang laki-laki
saja, dan tidak lebih-, orang dapat mengatakan dengan pasti:
siapa ibunya, siapa bapaknya, -siapa yang mengandungnya,
namun juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan
itu. namun di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan
keturunan itu menurut garis peribuan), maka orang hanyalah
dapat yakin siapa ibunya, namun tidak dapat yakin siapa
bapaknya. Di dalam bab-bab berikut akan saya kupas hal ini
lebih lanjut.
Saya pencinta patriarchat, namun hendaklah patriarchat itu
satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak
menindas kepada kaum wanita , satu patriarchat yang
tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum
wanita . Satu patri-archat yang sebenarnya “parental”.
Saya yakin, bahwa agama-agama yaitu dimaksudkan sebagai
“pengatur” patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya
patriarchat. Saya yakin, bahwa itu lah salah satu maksud
agama, -namun apa yang kini telah terjadi? Lihatlah di
warga Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama
didurhakai. wanita sesudah kawin, hampir hilang haknya
sama sekali, dan wanita menjadi pula barang dagangan
persundalan. Dan lihatlah di warga Islam. Maksud
agama Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum
wanita dari ekses-eksesnya patriarchat itu, kadang-
kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-
timbunan tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari
kaum-kaum kuno, sehingga kedudukan kaum wanita
yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu kadang-kadang
menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada
ubahny dibandingkan kedudukan seorang budak. Pendapat-
pendapat dari setengah kaum yang demikian itu di beberapa
kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran.
Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan
laki-laki dan wanita di dalam sistim patriarchat itu,
firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan kacamata
tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat
buat menundukkan kaum wanita di bawah lutut laki-laki,
dijadikan alat-alat buat memperlakukan kaum wanita itu
sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing saja
kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah
Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistim
kewarga an yang cocok dengan kodrat alam, namun maha
piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat
patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat
kezaliman dan penindasan!
Ilmu pengetahuan (wetenschap) sudah lama membantah
pendapat setengah orang, bahwa adanya manusia di muka
bumi ini barulah 6.000 tahun atau kurang lebih 7.600 tahun
saja. Ilmu geologi, anthropologi, archeologi, histori dan
praehistori menetapkan dengan bukti-bukti yang nyata, yang
dapat diraba, bahwa manusia itu telah ratusan ribu tahun
mendiami muka bumi ini: Sir Arthur Keith misalnya
menghitung zaman manusia itu pada kurang lebih 800.000
atau 900.000 tahun. Setidak-tidaknya tak kurang dari
300.000 tahun (I.H.Jeans). Hanya saja harus diketahui, bahwa
manusia purbakala itu belum begitu sempurna sebagai
manusia zaman sekarang.
Manusia zaman purbakala yang bernama Pithecanthropus
Erectus (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Homo
Heidelbergensis (sekitar 250.000 tahun yang lalu),
Eoanthropus (sekitar 100.000 tahun yang lalu.),
Neanderthalmensch (sekitar 50.000 tahun yang lalu),
manusia-manusia ini semuanya kalah kesempurnaannya
dengan manusia zaman sekarang. namun 35.000 tahun yang
akhir ini, sudahlah ternyata dengan bukti-bukti, bahwa
manusia sudah “sempurna” seperti kita zaman sekarang.
Sudah barang tentu jumlah manusia itu dulu jauh kurang
pula dibandingkan sekarang. Sudah barang tentu pula tidak di
mana-mana di muka bumi itu selalu ada manusia, dan tidak
di mana-mana pula zaman manusia itu sama tuanya.
Ada negeri-negeri yang sudah lama didiami manusia, ada
negeri-negeri yang belum begitu lama didiami oleh manusia.
Sebaliknya, ada pula negeri-negeri, yang dulu didiami oleh.
manusia, namun sekarang kosong dan sunyi.
Misalnya saja padang pasir Sahara. Ada bekas-bekas kultur
manusia di Sahara itu, yang membuktikan, bahwa di situ di
zaman dulu banyak air dan rumput dan pohon-pohonan,
banyak syarat-syarat untuk manusia dan binatang untuk
hidup, dan tidak padang pasir yang kering, terik, dan kosong
seperti sekarang. Sebaliknya, negeri-negeri Utara seperti
Swedia dan Norwegia, yang sekarang begitu banyak
manusianya, di zaman dulu yaitu kosong oleh sebab sama
sekali tertutup dengan es yang bermeter-meter tebalnya.
Perhitungan Sir Arthur Keith itu disendikan kepada bukti-
bukti yang ada. namun mungkin juga ilmu pengetahuan nanti
mendapat lagi bukti-bukti yang lebih “tua” dari itu, sehingga
perhitungan Sir Arthur Keith itu terpaksa dijadikan “lebih tua”
lagi. Maka lantas terpaksa kita mengatakan, bahwa bukan
800.000 tahun, bukan 900.000 tahun sudah ada manusia,
namun bisa juga 1.000.000 tahun, atau 1.100.000 tahun, atau
1.200.000 tahun. namun bagaimanapun juga, nyatalah sudah
salahnya pendapat setengah orang, bahwa manusia itu baru
7.600 tahun saja mendiami dunia ini.
Sudah barang tentu manusia purbakala itu (meskipun kita
mengambil manusia-manusia “yang betul-betul manusia” dari
zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara
hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya,
kebutuhan-kebutuhan-nya, pergaulan hidupnya, lain dibandingkan
manusia zaman sekarang. Manusia-manusia purbakala itu
pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua.
Mereka belum memiliki perkakas, mereka belum kenal
besi, mereka belum cukup cerdas membuat rumah. Malahan
rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, namun juga ...
akan merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang
pertama itu, manusia hidup dari memburu dan mencari ikan,
seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan,
seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan
mencari ikan. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, tempat
yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka
tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak
binatangnya dan banyak ikannya pula. Mereka yaitu hidup
secara “nomade”, yang selalu berpindah kian kemari, jadi yang
tak perlu memiliki “rumah”. Hutan dan gua, itulah rumah
mereka.
Di dalam tingkat yang pertama itu, mereka belum memiliki
warga . Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-
golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang
dinamakan horde (ke1ompok), dengan tak ada pertalian apa-
apa melainkan pertalian kerja bersama dan perlindungan-
bersama, dengan tak ada “moral” melainkan moral cari makan
dan cari hidup. Mereka tak banyak ubahnya dibandingkan anjing-
anjing serigala atau gajah-gajah, yang juga hidup di dalam
gerombolan-gerombolan kelompok. Mereka sebagai anjing-
anjing dan gajah-gajah itu, selalu berpindah kian-kemari
menurut keperluan pencaharian hidup dan keselamatan
hidup.
Kalau pada satu tempat, buruan dan ikan sudah habis,
ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah tempat lain.
Di dalam kelompok inilah wanita telah mulai menjadi
makhluk yang ditaklukkan. “Pembahagian pekerjaan yaitu
sebabnya ketaklukan itu. Laki-laki semuanya pergi kian-
kemari, semuanya memburu, mencari ikan, semuanya
berkelahi dengan binatang-binatang buas atau dengan
kelompok-kelompok manusia yang lain, namun wanita
hanya sebagian saja yang ikut pekerjaan itu: wanita yang
hamil atau yang membawa anak-anak kecil, tak dapat ikut
lari-lari, tak dapat ikut memburu atau berjuang. Ia bersama-
sama laki-laki. yang sudah kakek-kakek tinggal di dalam gua
atau di bawah pohon “kediamannya”, menunggu kaum laki-
laki pulang dari perburuan atau perkelahiannya itu. Ia
bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan
kebinatangan semua makhluk yang masih liar, maka niscaya
nasib wanita di waktu itu pada umumnya sangat tersia-
sia. Ia diperintah saja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh
mencari daun-daunan dan akar akaran, disuruh memelihara
api siang dan malam, dibebani dengan segala pekerjaan yang
tidak termasuk perburuan dan pencarian ikan. Ia, menurut
August Bebel yaitu budak yang pertama. Bebel berkata:
“wanita yaitu budak sebelum ada budak”. Ia yaitu
bernasib sama dengan anjing betina, yang kalau yang jantan
tak senang, terus digigit dan dihantam saja, -atau ditinggalkan
oleh anjing jantan itu mentah-mentahan. Malah kadang-
kadang ia dibunuh, sebagaimana kakek-kakek dan nenek-
nenekpun dibunuh, sebab terlalu membebani kelompok itu.
Hukum persuami-isterian belum ada di dalam kelompok itu.
Menurut Prof. Bachofen yaitu di dalam kelompok itu
“promiskuiteit”, artinya: bahwa di dalam kelompok itu
hantam-kromo campuran saja laki-laki dan wanita
mencari kepuasan syahwat satu dengan yang lain. Hantam-
kromo saja urusan syahwat itu, -mana yang disukai pada
sesuatu saat, itulah yang jadi. Tidak dapat laki-laki di dalam
kelompok itu berkata “ini isteriku”, tidak dapat pula
wanita menunjukkan seorang laki-laki seraya berkata “ini
suamiku”. Begitulah pendapat Bachofen. namun ada aliran lain
pula mengoreksi teori Bachofen ini, misalnya Eisler, yang
berkata: bahwa benar belum ada “pernikahan” di dalam
kelompok itu, namun pun tidak ada itu promiskuiteit yang
hantam-hantaman kromo sama sekali. Menurut Eisler, di
dalam kelompok tidak ada anarkhi seksuil yang absolut. Laki-
laki selalu “berkawin” buat sementara dengan wanita
yang ia senangi. Di dalam kelompok itu bukan “promiskuiteit”
yang orang lihat, begitulah kata Eisler, tapi “pasangan-
pasangan yang sementara”, tijdelijke paring, atau di dalam
bahasa Jerman “Zeit-Ehe”. Zeit-Ehe ini nanti kalau sudah
“bosan”, dilepaskan lagi atau ditiadakan lagi, buat menjadi lagi
pasangan-pasangan baru dengan laki-laki lain atau
wanita -wanita lain. Sudahkah tuan pernah
perhatikan pasangan sementara di kalangan anjing? Anjing
jantan selalu berganti isteri, dan anjing betina selalu berganti
suami, namun “persuami-isterian” itu bukan hanya buat satu
saat beberapa detik saja, melainkan “luku” sampai beberapa
minggu lamanya. Anjing selalu “berlaki-bini”, sungguhpun
hanya buat sementara.
Demikianlah pula perlaki-isterian di dalam kelompok
manusia. Benar lelaki mengambil isteri mana saja di dalam
kelompok itu yang ia sukai, benar wanita pun berbuat
begitu namun “pasangan-sementara” selalu ada. Hanya saja
“pasangan-sementara” ini tidak membuat nasib orang
wanita itu menjadi ringan. Laki-laki tidak menanggung
tanggungan sedikit-pun atas akibat-akibatnya “pasangan
sementara” itu, namun wanita lah yang menanggung
hamilnya, wanita lah yang menanggung pemeliharaan
anak, wanita lah yang menanggung segala konsekwensi
“pasangan-sementara” itu.
Di dalam periode kelompok sudahlah wanita sengsara, -
budak yang pertama- sebagai kata Bebel tadi itu. Hanyalah
menurut ahli-ahli penyelidikan bangsa-bangsa yang masih
biadab, kesengsaraan ini tidak begitu berat dirasanya sebagai
kesengsaraan yang musti ditanggung oleh setengah
wanita -wanita di zaman sekarang, yang bukan saja
tertutup sama sekali jasmaninya seperti di dalam penjara,
namun juga tertutup fikirannya, kesenangan-kesenangannya,
rohaninya, dan diperbudak serta disiksa pula. Menurut
keterangan ahli-ahli ini, maka bagaimapun juga jeleknya nasib
wanita di dalam kelompok itu, belumlah ia menjadi
siksaan jiwa yang begitu sangat sebagai wanita -
wanita tutupan di zaman sekarang ini. Sorot mata
wanita -wanita kelompok tentu masih sorot mata
“merdeka”, menilik gambar-gambar di dalam gua dari puluhan
ribu tahun yang lalu, yang menggambarkan wanita ikut
“berpesta” dengan kaum laki-laki. Sebagaimana nasib serigala
betina di dalam kelompok serigala bukan nasib yang jelek
sama sekali, -anjing serigala betina masih banyak
kesenangannya dan kemerdekaannya, maka wanita
kelompok pun masih banyak kesenangannya dan
kemerdekaannya.
Lama sekali periode ini. namun lambat laun datanglah
perubahan. Periode mencari hidup dengan berburu dan
mencari ikan berganti dengan periode, yang pencaharian
hidupnya secara lain. Banyak ahli mengatakan, bahwa periode
perburuan dan pencaharian ikan itu, diikuti oleh periode
menternakkan binatang, periode penggembalaan. Binatang-
binatang yang orang tangkap di waktu perburuan itu, yang
tidak mati, orang peliharakan, dan ini menjadi asal-asalnya
orang memelihara ternak: memelihara sapi, memelihara kuda,
memelihara kambing, memelihara kerbau. namun setengah lagi
kaum ahli, -misalnya Dr. Fleure dari University College of
Wales-, mengatakan, bahwa periode perburuan dan
pencaharian ikan itu bukan diikuti oleh periode peternakan,
melainkan oleh periode menanam tumbuh-tumbuhan, yakni
periode pertanian. (Morgan, seorang ahli yang lain, ada
berpendapat lain lagi. Menurut beliau maka tidak yaitu
periode yang manusia hanya melulu berburu dan mencari
ikan saja. Makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah
dikenal manusia sejak mulanya). namun bagaimana juga,
nyatalah bahwa pertanian yaitu satu tingkatan yang lebih
tinggi dibandingkan perburuan. Dr. Fleure menyandarkan teorinya
kepada alasan, bahwa sering terdapat bekas-bekas atau
tanda-tanda pertanian purbakala, yang tidak disertai pula
dengan bekas-bekas atau tanda-tanda peternakan. Jadi: ada
pertanian dengan tak ada peternakan; dan ini dianggap-nya
sebagai bukti, bahwa pertanianlah yang lebih dulu. Orang di
kelompok itu, kata Dr. Fleure, tidak hanya makan daging dan
ikan saja, namun niscaya makan juga tumbuh-tumbuhan liar.
Manusia bukan pemakan daging saja sebagai harimau dan
serigala, manusia bukan carnivor, -manusia yaitu perlu juga
kepada tumbun-tumbuhan, kepada daun-daunan, kepada
buah-buahan, kepada akar-akaran. Dia yaitu “omnivor”.
Maka oleh sebab manusia omnivor, maka orang-orang
wanita di kelompok itu, kalau kaum laki-laki berburu,
mencari tumbuh-tumbuhan, dan lambat-laun terbuka
ingatannya akan menanam benih-benih tumbuh-tumbuhan
itu. Maka dia, wanita yaitu berjasa besar kepada
kemanusiaan sebagai makhluk yang pertama-tama
mendapatkan ilmu bercocok tanam, yang sampai sekarang
menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Dan
bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian! -ia juga
yaitu pekerja pertanian yang pertama. Ia juga yaitu petani
yang pertama, sebagai nanti akan saya uraikan lebih lanjut.
Buat jasa ini saja kemanusiaan pantas mendirikan patung
terima-kasih bagi wanita itu!
Bagaimanapun juga, -peternakan lebih dulu, atau langsung
kepada pertanian, -pada kira-kira 10.000 tahun atau 12.000
tahun yang lalu dunia manusia masuk ke dalam periode
pertanian itu. Dan apa yang kita lihat? Perubahan cara
pencaharian hidup ini, perubahan proses pencaharian ini,
membawa perubahan besar di dalam nasib wanita itu.
Mulai sekarang dia menjadi makhluk yang penting, oleh
sebab dialah mulai sekarang menjadi pembuat bekal hidup
yang penting, yakni ubi, keladi, jagung dan lain sebagainya
yang dia perdapat dengan pertaniannya itu, meski
pertaniannya itu masih sederhana sekali. Dia mulai sekarang
menjadi produsen yang berharga. Malahan dialah yang
menjadi induk kemajuan, induknya “kultur”, yang mula-mula.
Dialah petani yang pertama, namun dia pulalah yang pertama
sekali mulai terbuka ingatannya membuat rumah. Laki-laki
masih banyak lari kian-kemari di hutan, ditepi-tepi sungai, di
pantai laut, di padang-padang rumput, di rawa-rawa, namun
dia, wanita , sebab menjaga hamilnya, atau menjaga
anak-anaknya yang kecil serta kebunnya yang sederhana,
namun tak dapat ditinggalkan itu, dia mulai mencoba membuat
tempat kediaman yang tetap. Dia mulai mencoba-coba
mendirikan “rumah” yang akan melindungi dirinya serta anak-
anaknya dibandingkan panasnya matahari dan basahnya air
hujan, dinginnya hawa malam dan tajamnya angin. Dialah
yang dengan dahan-dahan kayu, ranting-ranting dan daun-
daun mula-mula mendirikan gubug yang amat bersahaja. Dan
bukan saja “rumah” Dia jugalah yang pertama-tama duduk di
samping buaian kesenian. Dia, kaum wanita itu, dialah
yang mula-mula terbuka ingatannya membuat tali guna
mengikat bagian-bagian gubugnya, membuat barang-barang
keperluan hidup yang sangat perlu, sebagai misalnya
melunakkan kulit binatang yang sudah kering, menganyam
tikar atau menganyam keranjang, memintal serat kayu
menjadi benang, menenun benang itu menjadi kain kasar,
membentuk tanah liat menjadi semacam periuk atau semacam
pinggan. Dia, kaum wanita , dialah yang mula-mula
induknya kultur. Dialah pembangun kultur yang pertama, dia
dan bukan laki-laki. Dialah menurut Kautsky “pembangun
peradaban manusia yang pertama”. Juga buat ini ia pantas
mendapat patung terimakasih di dalam ingatan kita!
Makin lama makin “laku” pertanian itu. Hasil perburuan dan
pencaharian ikan tidak selamanya tetap, -kadang-kadang
dapat, kadang-kadang tidak dapat. namun pertanian hasilnya
selalu mengalir. Oleh sebab itu, maka pertanian itu
diperbesar, dan lambat-laun menjadi tiang hidup yang nomor
satu. Perburuan dan pencarian ikan itu makin surut, makin
diabaikan, makin dikesampingkan. Orang laki-laki yang kini
banyak tempo terluang, mulai mengerjakan peternakan. Maka
di sini yaitu pertanian itu disampingi oleh peternakan. Tapi
kecuali di negeri-negeri yang memang negeri rumput, tak
mampu peternakan itu mengalahkan pertanian. Pertanian
tetap sumber hidup yang paling penting.
Maka makin tambah pentingnya arti pertanian di dalam
kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin naiklah
derajat wanita , makin naiklah kekuasaannya. Makin
naiklah “bintangnya”, - naik, buat pertama kali di dalam
sejarah kemanusiaan. Sebab dialah yang kini menjadi
produsen yang terpenting di dalam warga , dari
padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya
warga . Cara hidup yang berpindah-pindah tempat itu
berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu tempat,
manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindah-
pindah, berganti sifat menjadi manusia yang “berdiam”. Dan di
tempat kediaman itu wanita lah yang menjadi pusatnya!
Tidak lagi ia kini dianggap seperti “benda yang orang terpaksa
bawa juga” seperti di zamannya kelompok, tidak lagi ia kini
dianggap seperti “noodzakelijk kwaad”, namun menjadilah ia
makhluk yang sangat berharga. Ia menjadi tiang warga ,
pengatur warga , tunggak warga !
Maka perubahan di dalam cara hidup ini membawa pula
perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu perlaki-
isterian itu secara anjing serigala saja, dulu yaitu “Zeit-Ehe”
ataupun “Promiskuiteit”. Tapi kini perlaki-isterian ini mulai
diatur sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki
dan wanita , dan diatur pula hal-hal yang mengenai
keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan laki-laki
dan wanita itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah
kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian
dan keturunan itu. Memang urusan keturunan inilah pokok-
pangkal semua hukum perlaki-isterian, asal-mula segala
hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat
keturunan, yaitu mudah-, namun memelihara keturunan itu
tidaklah mudah. Memelihara keturunan itu hajat kepada
kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing
kepala. Dulu di dalam kelompok wanita saja yang
mendapat bagian pusing kepala ini. Laki-laki tinggal
bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih jauh apakah
akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau
si anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak
memusingkan kepala lagi dengan pemeliharaannya, namun
sebaliknya menguntungkan kepada yang memiliki nya,
maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia
lantas berkata: “Dia anakku”. Tapi, ... orang laki-laki lain
berkata pula: “Dia anakku”! Ya, anak siapa dia itu
sebenarnya? Ia tak tentu bapanya! Ia banyak sekali “bapanya”!
Laki-laki yang satu mengaku menjadi bapanya, lelaki yang lain
membantah: tidak, akulah bapanya. Memang begitulah akibat
Zeit-Ehe atau Promiskuiteit. Orang selalu berkelahi, kadang-
kadang sampai pecah tercerai-berai kelompok itu, -nyatalah
perlu sekali kini diadakan hukum.
Maka kaum wanita , yang kini menduduki derajat yang
penting itu, kaum wanita itulah yang membuat hukum
itu. Kaum wanita itu mengadakan hukum keturunan
menurut garis peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka
keturunan disebutkan menurut garis ibu, bukan ditangan
bapa. Orang tidak menanya “siapakah bapanya”, namun orang
menanya “siapakah ibunya”. Memang (juga di warga
sekarang ini), manusia sebenarnya hanyalah dapat ditetapkan
dengan kenyataan-bukti: siapa ibunya, dan tidak dengan
yakin siapa bapanya. Juga buat zaman sekarang, dengan
hukum-hukum perkawinan, “siapa bapa” itu sebenarnya
hanyalah satu hal kepercayaan saja. Goethe, itu penyair dan
ahli faIsafah Jerman yang termasyhur, mengatakan, bahwa
“siapa bapa” itu hanyalah berdasar “nur auf gutem Glauben”
belaka. Artinya: hanya berdasar atas kepercayaan, bukan atas
kenyataan bukti! Sehingga sampai sekarang yaitu satu
peribahasa Eropa yang berbunyi: “Anak bijaksana, yang
mengenal bapanya”. namun dengan bapa banyak atau dengan
bapa satu, dengan hukum perkawinan atau tidak dengan
hukum perkawinan, dapatlah ditentukan dengan pasti dan
yakin: inilah ibunya, inilah orang yang mengandungkan dia,
inilah orang yang melahirkan dia! Itulah sebabnya, maka
wanita di zaman periode kedua dari evolusi kemanusiaan
itu, lantas menetapkan “hukum keturunan menurut garis
peribuan” itu menjadi hukum perlaki-isterian dan hukum-
keturunan. Hukum peribuan ini menjadi hukum yang
pertama-tama di dalam pergaulan manusia. Jadi
wanita lah yang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan
dengan hukum, wanita lah pembuat hukum yang
pertama.
Menjadi: wanita petani yang pertama. wanita
pembangun kultur yang pertama. wanita pembuat hukum
yang pertama. Buat ketiga kalinya saya undang tuan-tuan
mendirikan patung terima kasih kepadanya di dalam kalbu!
Maka dengan diadakannya hukum peribuan ini, serta
hilangnya sifat nomade menjadi sifat “perumahan yang tetap”,
hilang pula sifat kelompok, dan menjadilah ia bersifat gens, -
yakni menjadilah ia “keluarga besar”. wanita dengan
semua keluarganya tua-muda berdiam menjadi satu di satu
tempat, -yang bukan keluarga tidak boleh berkumpul di situ,
tapi berdiam menjadi gerombolan lain dengan keluarga-
keluarganya sendiri pula. Di dalam gens yang demikian itu
cara hidup yaitu cara hidup sama-rata. Boleh dikatakan cara
hidup mereka itu yaitu cara hidup komunistis! Dr. F. Muller-
Lyer, itu ahli warga yang termasyhur, ada menceritakan
dari hal gens pada tingkatan ini: “Anggota-anggota
pergabungan keluarga itu memiliki tanah sebagai milik
bersama, mereka kerjakan tanah itu bersama-sama pula, dan
mereka bagikan buah tanamannya itu di antara keluarga-
keluarganya menurut keperluan masing-masing. Sering sekali
mereka berdiam berkumpul di dalam rumah-rumah yang
besar. Tiap-tiap anggota memiliki hak yang sama atas
ladang itu, dan menerima segala apa yang ia perlukan dari
hasil pertanian-bersama itu. Pada hampir semua rakyat-
rakyat pertanian yang bertingkat sederhana ini, yaitu cara
kerja komunistis itu cara-kerja yang asli”.
Keluarga (Jawa: somah) seperti yang kita kenal sekarang ini, -
satu suami, satu isteri, anak, di dalam satu rumah, pahit-
manis dipikul bersama-sama-, keluarga yang demikian itu
belum dikenal orang di masa itu. Orang hidup dengan semua
sanak-sanak-familinya menjadi satu gerombolan besar, satu
persatuan darah yang besar, satu keluarga besar, -rukun dan
rapat, mati-hidup bersama-sama, mengerjakan ladang
bersama-sama, menentang musuh bersama-sama. Justru
persekutuan dan kerukunan gens inilah menghambat
terjadinya “somah” itu. Sebab, oleh sebab kini wanita itu
menjadi satu makhluk yang sangat berharga, -tidak seperti
dulu di zaman kelompok-, maka gens tidak mau melepaskan
dia pindah mengikuti suaminya kelain gens. (Suaminya
wanita itu lebih dari satu. Sebalikya, laki-lakipun
isterinya lebih dari satu). Orang lelaki dari lain gens yang
kawin dengan dia, tidak boleh membawa dia pindah
kerumahnya, namun si laki itulah yang musti pindah ke rumah
wanita nja itu, atau, kalau si laki itu tinggal di gens-nya
sendiri, - ia datang di rumah isterinya itu hanya pada waktu
ada keperluan saja. (Sisanya aturan begini sekarang misalnya
masih ada di Minangkabau, begitu pula pada orang Indian di
Amerika Utara, pada beberapa bangsa di Oceania, pada
sebagian bangsa Neger, dll. Dulu aturan ini nyata benar ada
pada bangsa Israil; sampai di zaman Yesus, orang masih
menamakan beliau Isa Ibnu Maryam! Juga pada bangsa Mesir,
Phunicia, Etruska, Lykia, Iberia, Inggeris, dll dulu berlaku
aturan ini). Tuan mengerti, aturan yang demikian ini tentu
tidak mengasih jalan kepada timbulnya satu “persomahan”
yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak saja, yang
seperti kita kenal di zaman lalu . namun kendati begitu,
kedudukan wanita di dalam gens itu yaitu kedudukan
yang sangat mulia sekali. Sudah barang tentu! Sebab yang
berkumpul men-jadi satu di dalam gens itu, -laki-wanita -,
yaitu keluarga-keluarga dari fihak wanita . Meski
seseorang wanita sudah kawin dengan orang laki-laki dari
lain gens pun, ia masih berkumpul dengan sanak-famili se
gens, dan sebab nya ia masih terus mendapat sokongan dari
sanak-famili se gens itu. Tapi laki-laki tidak mendapat
sokongan itu, laki-laki bertindak terhadap isterinya itu seperti
“orang sendirian”, sebagai individu. Orang wanita jadi
lebih kuasa dibandingkan nya. Orang wanita di waktu itu
misalnya di Eropa disebutkan Frowa, -yang maknanya tuan
puteri. (Ingatkan perkataan mevrouw, atau Frau). Malahan,
seringkali, di tingkat yang lalu , kalau gens-gens itu
sudah bertalikan satu dengan lain meliputi satu daerah, dan
pemerintahan sudah dijalankan oleh satu kepala atau satu
raja-, maka ditetapkanlah bahwa kepala itu harus kepala
puteri, rajanya raja puteri, pahlawannya pahlawan puteri,
pemimpin rapat pemimpin-puteri. Maka bertambahlah hukum
peribuan itu menjadi pemerintahan -ibu, -menjadi
Matriarchat. Dari bangsa Indian Irokees misalnya, Lafitau
menulis: “Semua pemerintahan di negeri itu yaitu di tangan
wanita : merekalah yang menguasai ladang-ladang dan
hasil-hasil ladang itu, merekalah menjadi jiwa persidangan-
persidangan majelis negeri, merekalah berkuasa atas perang
atau damai, merekalah mengurus cukai, mengurus kekayaan
suku, kepada merekalah orang serahkan orang-orang
tawanan, merekalah menetapkan perkawinan-perkawinan,
merekalah berkuasa atas anak-anak, dan menurut garis
merekalah diambil keturunan”. Pada bangsa Indian Wyandot
keadaan juga begitu, majelis pemerintahan mereka yaitu
terdiri dari 55 orang; anggota laki-laki dari majelis ini hanya
11 orang; tapi anggota wanita ... 44 orang!
Dan juga di dalam urusan agama kaum wanita dijadikan
pemimpin. Mrs. Ray Strachey menerangkan, bahwa justru di
dalam urusan agamalah kaum wanita di zaman dulu
hampir selamanya diutamakan dari kaum laki-laki;
wanita dianggap lebih suci dibandingkan kaum laki-laki. Di
dalam kehidupan sehari-haripun orang lebih mencintai dewi-
dewi dibandingkan dewa-dewa. Agama Sumeria, agama Shinto,
yang kedua-duanya agama tua sekali, sangat memuliakan
wanita . Pada banyak bangsa di lautan Teduh masih selalu
wanita yang mengepalai agama.
Sekianlah keadaan kaum wanita di zaman hukum
peribuan atau matriarchat itu. Di dalam bab IV hal ini akan
saya terangkan lebih lebar. Di dalam bab II pun sudah saya
ceritakan sedikit-sedikit tentang zaman peribuan ini. Di zaman
itu kaum wanita , sebab kemerdekaannya, yaitu besar-
besar dan sigap-sigap badan, cerdas-cerdas dan tangkas-
tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan, -tidak
seperti wanita -wanita di zaman sekarang, yang kecil-
kecil dan takut-takut. Di zaman peribuan itu mereka bukan
“kaum lemah”, bukan ”kaum bodoh”, bukan “kaum sempit
pikiran”, bukan “kaum penakut”. Di zaman itu wanita
bukan “kaum dapur” saja, bukan “bunga rumah tangga” saja.
Mereka berkuasa, menduduki warga , mengendali
warga , menguasai warga . Malah kaum laki-lakilah
yang di zaman itu dianggap sebagai kaum embel-embel
semata-mata. Mereka hanya dianggap sebagai anasir
“pemacek”, -anasir “pembuat turunan”. Mereka, kaum laki-
laki itu, di zaman peribuan berkedudukan seperti semut laki
atau lebah laki dalam warga semut dan warga
lebah. Juga dalam warga semut dan warga lebah
itu betina lebih penting dibandingkan laki; juga di situ si laki hanya
pemacek. Malahan di warga semut dan lebah itu si laki
dibunuh sesudah ia selesai mengerjakan pacekannya! Maka
pantaslah orang menanya: Manakah kebenaran semua “teori”
yang mengatakan, bahwa sudah kodrat wanita -
wanita . menjadi penunggu rumah tangga dan penunggu
periuk-nasi saja?*)
namun ... zaman selalu berjalan, zaman selalu beralih.
Datanglah phase (tingkat) ketiga di dalam sejarah peri-
kemanusiaan itu, yang menggugurkan lagi kaum wanita
dari singgasananya. Kaum laki-laki yang dulu berburu dan
mencari ikan itu, yang kadang-kadang berminggu-minggu
meninggalkan kelompok atau gensnya buat berjuang di dalam
rimba atau bersenang-senang di dalam rimba, kaum laki-laki
itu lambat-laun makin lama makin meninggalkan cara
pencarian hidup dengan berburu dan mencari ikan itu. Buat
apa cape-cape lagi membahayakan diri di dalam perburuan,
yang juga tidak selamanya berhasil baik itu, kalau ada sumber
rezeki lain yang lebih menyenangkan? Tidakkah hasil
pertanian telah mencukupi segala-gala keperluan hidup?
Dulu, tatkala orang belum kenal pertanian, dulu orang
terpaksa hidup di gunung-gunung dan di rimba-rimba yang
banyak binatang-binatang dan sato hewannya. Kini orang
meninggalkan rimba-rimba itu, meninggalkan tempat-tempat
yang sukar dan sempit, kini orang mencari tanah-tanah datar
dan tanah-tanah rata yang baik buat pertanian itu. Kini tanah
yang subur dan yang berisi banyak zatlah yang orang
perlukan, -meskipun tidak ada binatang sato khewan di situ.
Kini ditanah yang bukan rimba dan bukan gunung itu
perburuan itu menjadi sangat terdorong ke belakang.
Lagipula, sudah lama pula orang laki-laki terbuka ingatannya
buat menternakkan binatang sato khewan. Juga buat
peternakan ini, bukan rimba dan gunung-gunung yang
diperlukan, namun tanah rata yang banyak rumput. sebab
peternakan inipun, maka laki-laki lantas banyak waktunya
*) Perlu diterangkan di sini bahwa kedudukan yang baik dari wanita di dalam zaman
hukum peribuan itu ialah di dalam hukum peribuan yang sebab perezekian, sebagai yang
saya terangkan di atas ini. namun ada pula hukum peribuan yang tidak sebab perezekian,
melainkan hanya buat mengurus keturunan saja. Maka di sini tidak selalu kedudukan
wanita itu baik. Teori Bachofen yang mengatakan, bahwa hukum peribuan selalu
mengasih kedudukan mulia kepada wanita , harus dianggap belum mutlak.
yang senggang, banyak waktunya yang tak terpakai, tidak
seperti dulu, tatkala ia berhari-hari musti mengintai atau
mengejar buruan. Maka lambat-laun laki-laki lantas ikut-ikut
menjadi tani pula. Malahan lambat-laun laki-laki itu lantas
“memborong” pekerjaan pertanian, -wanita disuruh
tinggal di rumah saja, atau, kalau diajak ke ladang, hanya
dipakai sebagai pembantunya saja. Maka lambat-laun
merosotlah kedudukan wanita sebagai produsen, lambat-
laun lunturlah pamor wanita sebagai pemberi makan kepada
semua keluarganya. Sebaliknya si laki-lakilah yang makin
naik derajat, si laki-lakilah yang makin bertambah nama dan
kekuasaannya. Sebab kini dialah yang bekerja di ladang,
dialah yang menguasai ladang. Dialah kini produsen yang
pertama, dialah kini pemberi-hidup.
Dialah kini menjadi penjaga dan pemelihara milik. Dulu di
zaman mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa
rumah, senjata-senjata, perkakas-perkakas, perahu, sedikit
pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja. Tapi kini, ternak
semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat
bertambah dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak
itu kadang-kadang menjadi berpuluh-puluh ekor atau
beratus-ratus ekor!
Perdagangan bertukar dengan gens-gens atau suku-suku yang
lainpun, yang kini mulai berkembang, menambah pula jumlah
milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh
saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini
berarti penambahan milik pula. Maka kini timbullah satu soal
yang maha penting: kepada siapakah laki-laki akan
mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah
laki-laki memikirkan hukum keturunan pula. Kini timbullah
keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak dia sendiri
sajalah, -bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam
hukum peribuan-, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik
hasil keringatnya itu. Kini ia mau yakin, mau pasti, bahwa
anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi ternak,
perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak
pembantu itu. Ia tidak mau membanting tulang buat hari
lalu anak orang-lain, ia hanya mau membanting tulang
buat hari lalu anak dia sendiri. Maka oleh sebab itu,
kini ia tentukan, bahwa wanita -wanita nya!-, tidak
bo1eh berkawin dengan lelaki lain, melainkan hanya dengan
dia sendiri saja. Kini ia tuntut kepada wanita itu dengan
ancaman hukum mati kesetiaan perkawinan, kesetiaan
perlaki-isterian. Kini ia mau bekerja buat isteri-isteri dan
anak-anaknya sendiri saja, dan tidak buat gens seumumnya.
Maka lambat-laun pecahlah persatuan gens yang sediakala
itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata sama rata itu.
Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri
dari tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki
membentuk satu “gezin”, membentuk somah, yang di situlah
ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan, segala
energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya
sendiri! Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan
menerima kekayaan itu. Hak keturunan dari ibu dihapuskan,
diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan Sarinah, yang
dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi
makhluk yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan
lalu lagi, bapa lebih mementingkan anak dibandingkan isteri,
dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan yang ketiga.
Sebab anak inilah yang menerus-kan darahnya, isteri
hanyalah satu “perantaraan” saja. Sarinah bukan lagi
penguasa warga , tapi menjadi benda dalam rumah
tangga saja, benda penglahirkan anak dan benda pemelihara
anak, yang tak lebih dan tak kurang menjadi miliknya laki-
laki.
Kini bukan Sarinah yang menerima laki-laki namun laki-laki
yang menerima Sarinah. Kini perkawinan bukan berarti si laki
menghamba kepada si wanita , namun si wanita
menghamba kepada si laki-laki. Kini gens terpecah menjadi
beberapa somah, namun somah (famili) ini benar-benar satu
tempat perhambaan bagi Sarinah itu. Perkataan famili yaitu
berasal dari perkataan Latin famulus, yang artinya hamba,
pelayan, budak, atau dari perkataan Oskia “famel” yang juga
bermakna budak. Kini menjadi adat, si laki itu membeli
wanita waktu ia berkawin dengan dia, sebagaimana ia
membeli satu barang atau satu milik di kedai atau di pekan.
Inilah yang dinamakan kawin beli, yang kita jumpai di mana-
mana di zaman hukum perbapaan itu, sampai sekarang. Atau,
kalau si laki tak mampu membeli, maka wanita dicuri
atau dirampas mentah-mentahan oleh si laki itu, seperti orang
merampas atau mencuri sesuatu barang atau sesuatu milik di
waktu malam. Kawin beli dan kawin rampas yaitu
gambarnya hukum perbapaan itu. Sarinah menjadi benda.
Ditutuplah ia dan disimpanlah ia di dalam rumah seperti
benda, dilaranglah ia keluar dari rumah itu, supaya tidak
dicuri orang, sebab ia suatu benda; ditabirkanlah ia rapat-
rapat manakala ada laki-laki asing, kalau-kalau si laki asing
itu timbul keinginan birahi kepadanya atau keinginan mencuri
kepadanya, sebab ia sebuah benda. Kalau suaminya mati,
maka bukan dia yang menerima barang-barang warisannya
suami, namun dia sendiri diwariskan kepada saudara suaminya
atau keluarga suaminya, sebagaimana juga halnya dengan
lain-lain benda milik suami yang mati itu. Segala susunan-
susunan dan sifat-sifat warga berbalik sama sekali.
Hukum pemerin-tahan, hukum kemilikan, hukum persuami-
isterian, hukum keturunan, hukum perwarisan, semua itu
berubah sebagai ubahnya siang menjadi malam. Segala
kemerdekaan wanita yang sediakala, hilang sama-sekali,
hilang sebab menjadi famulus di dalam famili. Sarinah
dikungkung, ditutup, dipingit, diperhambakan. Friederich
Engels mengatakan, bahwa perpindahan dari hukum peribuan
kepada hukum perbapaan itu yaitu satu “kekalahan
wanita yang paling hebat di dalam sejarah kemanusiaan”.
August Bebel menamakan dia revolusi besar yang pertama di
dalam sejarah manusia.
Perobahan ini, sebagai satu revolusi besar di dalam susunan
warga , sudah tentu tidak terjadi sekaligus, namun
mungkin makan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun.
namun sudah barang tentu pula, wanita tidak selamanya
mau menyerah begitu saja digugurkan dari kedudukannya
jang tinggi itu. Sebelum menyerah, berjoang ia mati-matian.
Sejarah dunia tak sunyi dari cerita-cerita perjoangan hebat
antara laki-laki dan wanita di zaman perpindahan
kekuasaan itu. sebab sudah tuanya kejadian-kejadian ini, -
sudah hampir hilang di dalam kabut zaman purbakala-, maka
banyak dari cerita-cerita itu menjadi bersifat dongeng saja,
legende saja, saga saja. Kita di negara kita ini kenal akan
dongengnya wanita “Nusa Tembini” yang berjoang mati-matian
dengan kaum lelaki, mengusir kaum laki-laki dari negeri-
negeri daerahnya. Atau dongengnya Dewi Rayungwulan dari
negeri Sigaluh, dalam cerita Banjaransari. Kita juga kenal
akan dongeng Ratu Roro Kidul, yang tak mau tunduk kepada
siapa juga, tak mau terambil kekuasaannya oleh siapapun
juga. Mungkinkah di zaman purbakala di Selatan tanah Jawa
ada satu kerajaan matriarchat, yang kini sudah lenyap, atau
satu pulau matriarchat, yang kini sudah tenggelam, sebagai di
dalam dongeng Eropa ada pula diceritakan satu negeri
tenggelam yang bernama Atlantis? Di negeri Eropa pun ada
dongeng-dongeng perjoangan antara wanita dengan laki-
laki itu. Tiap-tiap murid sekolah menengah telah pernah
mendengar dari hal kaum “Amazone” yang berperang dengan
kaum laki-laki gagah-gagah dan sigap-sigap, berkuda seperti
pahlawan-pahlawan yang gagah berani, yang pedangnya
menyambar-nyambar ke kanan dan ke kiri seperti kilat.
Perhiasan-perhiasan yang orang pahatkan di gedung-gedung
Yunani atau Rumawi zaman dulu, banyak pula yang
menggambarkan peperangan antara kaum laki-laki dan
wanita itu. Tapi kecuali di beberapa tempat, hampir di
mana-mana, di dalam perjoangan ini kaum wanita
terpaksa kalah dan takluk.
Sesudah kaum laki-laki berkuasa, maka bukan saja segala
hukum-hukum warga , hukum-hukum perkawinan,
hukum-hukum keturunan dan perwarisan, diubah dan
dibentuk menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu, namun
semua moral, adat-istiadat, kepercajaan, seni, ideologi-
ideologi, agama, berubah pula menurut kemanfaatan hukum
perbapaan itu. Agama-agama penyembahan alam yang
dahulu, terdesak oleh agama-agama baru, yang semuanya
merendahkan deradat wanita . Cerita Yahudi tua tentang
pembuatan Sitti Hawa, bukan menurut “gambarnya Tuhan”,
namun dari tulang rusuk Adam, (Qur’an tidak mengatakan
begitu, meski setengah kaum mengatakannya, namun dibantah
oleh kaum muda), tidakkah cerita ini bermaksud
menggambarkan bahwa wanita itu yaitu “kelas dua”
dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa
Hawalah, -ai dia! wanita !-, yang menjadi sebabnya Adam
terusir dari sorga? Bukankah oleh sebab itu wanita
lantas dikatakan “makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci?
Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan
mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan
Dewa Apollo yang berbunyi: “Bukan Ibu yang membuat anak,
dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh
orang laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak
beristeri”. Maka dibuktikan oleh Apollo kebenaran
perkataannya yang terakhir ini dengan menunjuk kepada
Dewi Minerva, yang dilahirkan tidak dengan Ibu, namun keluar
“sudah jadi sama sekali” dari kepala bapanya, yaitu Dewa
Yupiter. Begitu pula di dalam agama Hindu tua wanita
direndahkan. Di dalam kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu,
bahwa wanita itu “selalu memikir kesyahwatan, selalu
marah, selalu palsu dan tidak jujur ... Menurut tabiatnya,
wanita itu selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh
sebab itu laki-laki musti selalu hati-hati terhadap kepadanya
... wanita tak pernah dapat berdiri sendiri”.
Di lain tempat Manu berkata: “Orang hilang kehormatan
sebab wanita ; asalnya permusuhan yaitu wanita ;
sebab itu jauhilah wanita ”.
Agama Buddha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-
konyong menjadi tidak adil kalau membicarakan kedudukan
kaum wanita : “wanita itu makhluk dosa; roman-
muka wanita seperti keramat, tapi hatinya seperti
syaitan”.
Marilah di sini saya ceritakan satu hal yang lucu.
Sudahkah pembaca pernah mendengar perkataan “couvade”?
Couvade yaitu satu adat-kebiasaan yang sampai
sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di
kanan-kiri gunung Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita
Baskia bersalin, maka terjadilah “sandiwara” berikut: Segera
sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat
pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat
itu, mengaduh, merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah
yang melahirkan anak. Ia berbuat demikian itu dengan
disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang “menolong” dia, dan
ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya!
Segala sesuatu berlaku seolah-olah dia, -laki-laki itu-, yang
melahirkan anak. Isterinya harus berbuat seakan-akan
padanya “tidak ada apa-apa”. Tamu-tamu itupun sama sekali
tidak memperdulikan isteri itu. Sebaliknya, sang suami itu
tadi yang diladeni, sang suami itu tadi yang dijaga, ditolong.
Sebab sang suami itu tadi yang baru saja “bersalin”! ...
Inilah adat yang dinamakan couvade. Mula-mula orang kira,
bahwa adat ini hanya terdapat pada bangsa Baskia saja.
namun ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika Selatan!
Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa
suku di Afrika dan di Asia Marco Polo menjumpainya di
Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam; Plutarchus di pulau
Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar di
mana-mana!
Apa arti couvade itu? Lihatlah, demikian munafiknya laki-laki!
Wanita yang mengandung, wanita yang melahirkan bayi,
wanita yang sakit, -namun itu harus disulap hilang. Dia, laki-
laki, dia yang “bersalin”, dia yang “mengadakan anak”, dia
yang kuasa. Dia yang berhak! Sungguh menggelikan!
Tentang couvade ini, maka Paul Lafargue menulis dalam
kitabnya tentang hukum peribuan: “Manusia, makhluk yang
paling kejam dan paling edan antara segala hewan, sering
sekali membungkus keadaan-keadaan warga yang
penting dengan adat-adat kebiasaan yang paling menggelikan.
Couvade yaitu salah satu tipuan yang dijalankan oleh laki-
laki, untuk mengusir wanita dari kedudukannya dan miliknja.
Fi’il bersalin yaitu tadinya tanda hak lebih dibandingkan wanita
dalam famili namun laki-laki telah menirukan fi’il ini dengan
cara yang amat menggeli-kan, untuk meyakinkan dirinya
sendiri, bahwa dari dialah bayi itu mendapat hidupnya”.
Dari dia! Dari dia! Wanita tidak kuasa apa-apa, wanita
sekadar alat!
Begitulah kecelakaan yang menimpa Sarinah itu. Alangkah
kerasnya kejatuhannya itu, dari kedudukan yang. begitu
mulia kepada kedudukan hina, yang ia nanti musti derita
beribu-ribu tahun lamanya: tertutup, terkunci, terlantar,
terabaikan sebagai benda, terhina, tersiksa, terperas
tenaganya seperti sapi. Bagi kita kaum yang sadar di zaman
sekarang, kejatuhan ini kita rasakan sebagai satu kesedihan
yang maha sedih, satu tragedi yang maha tragis. namun
ditinjau dari sudut pertumbuhan warga , maka
perpindahan hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu
yaitu satu kemajuan yang maha besar, satu evolusi
warga yang maha penting. Bagi warga di zaman itu
perpindahan itu yaitu satu keharusan sejarah. Sebab
warga tak dapat berkembang-biak benar-benar, kalau
warga itu terikat kepada perikatan gens dan hukum
peribuan yang di situ individualitas (keperibadian manusia
seorang-orang) tak dapat merdeka dan leluasa, tak dapat
“bertumbuh” dan “berkembang” menurut kehendaknya
sendiri-sendiri, menurut hasrat sosial sendiri-sendiri. Maka
oleh sebab itulah tenaga-tenaga warga dan tenaga-
tenaga individualitas lantas memberontak kepada ikatan gens
dan hukum peribuan itu, menghantam hancur perikatan-
perikatan itu, menyapu bersih segala rintangan-rintangan
yang menghalangi kepada berkembangnya individualitas itu.
“Kita laki-laki mau merdeka dari asuhan ibu, kita mau
merdeka mengeluarkan keringat kita buat kita sendiri, dan
buat anak kita sendiri, kita mau merdeka menyusun
keluarga!” -itulah semboyan revolusi sosial pertama yang
maha hebat ini.
Dan r