presiden soekarno 2

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 2



 njang ingatan kita” wanita  

selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam warga . Sebab 

perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan 

perkataan, bahwa misalnya wanita  qua kodrat alam 

selalu rambutnya panjang, sebab  sepanjang ingatan kita, kita 

belum pernah melihat wanita  yang tidak berambut 

panjang. Dan bukan saja tidak sesuai dengan ilmu 

pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat lebih jauh 

dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir 

ini kita melihat dengan mata sendiri ribuan wanita -

wanita  negara kita  yang tidak mendekam di rumah, namun  

bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun, di paberik-

paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, -

menjadi kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis, 

guru, dokter, wartawan dan lain-lain Tidakkah kita melihat 

saban hari dengan mata sendiri juga isteri si bapa tani 

berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke 

kota dan ke pasar-pasar, dengan membawa macam-macam 

hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota dan di pasar-

pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan 

menurut kodrat alam mereka, untuk mendekam di rumah itu? 

Bahwasanya, memang di kalangan si Marhaen inilah, sebab  

dorongan “struggle for life”, kaum wanita  lebih merdeka, 

lebih tidak terikat di rumah dibandingkan  di kalangannya kaum-

kaum yang agak mampu, yang kadang-kadang mengurung 

wanita nya itu seperti mengurung ternak di dalam 


 

kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung 

wanita nya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup 

isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk 

memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, 

untuk memu1iakan kedudukan mereka. Ya ... “memuliakan” 

mereka ... namun  “memuliakan” mereka dengan 

memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol! 

 

Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli wanita  atau si 

tani wanita  yang tidak sangat terikat kepada rumah 

tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, wanita  

Marhaen! Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau di 

kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang 

berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada 

mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak. 

Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi, 

mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai. Sang 

suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ... 

tunggu dipanggil makan, namun  Sarinah, -habis kerja di luar 

rumah masih yaitu  kerja lagi baginya di dalam dapur atau di 

dekat sumur. Bagi laki-laki yaitu  “kerja delapan jam sehari” 

atau “kerja sepuluh jam sehari”. namun  bagi Sarinah zaman 

sekarang ini, hidup yaitu  berarti keluh-kesah terus-menerus, 

gangguan fikiran terus-menerus, dari fajar menyingsing 

sampai di tengah malam ... 

 

Kapankah matahari akan bersinar lagi bagi Sarinah itu? 

 

Dulu, di dalam kabutnya zaman purbakala, dulu pernah 

Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu pernah 

ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo 

Kandung di negeri Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama 

Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu, di Nippon, ia, 

menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad 

lamanya memegang kecakrawartian warga : “Urusan 

rumah tangga dan urusan anak-anak mereka serahkan 

kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka 

dengan orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan 

perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir mereka sama tingginya 

dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka 

memukul sama sekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di 


 

abad-abad yang lalu  pun, dan terutama sekali di zaman 

berkembangnya perpustakaan Tionghoa, maka kultur 

perpustakaan hampir semasekali di dalam tangannya “kaum 

lemah” itu ... Tidak kurang dari 10 Rajaputeri tercatat 

namanya di buku sejarah, (antaranya Rajaputeri Jinzo yang 

termasyhur, yang menaklukkan negeri Korea di abad yang 

ketiga), yang semuanya menjalankan rol yang penting di 

dalam sejarah. Di dalam buku-buku Tionghoa kuno, Nippon 

selalu disebutkan “negeri kaum wanita ” atau “negeri raja-

raja puteri”. Pada abad ke-10 dan ke-11 kaum wanita lah 

yang membuat hukum-hukum negara; ahli-ahli sya’ir 

menamakan wanita  itu “semennya warga ”. Di 

zaman-zaman kuno itu tak pernah wanita  Nippon 

menekukkan lututnya di muka laki-laki. Di zaman Heian, 

anak laki-laki dan anak wanita  mendapat warisan yang 

sama besarnya. Di dalam hukum-hukum negara Kamakura-

shogun yaitu  ditetapkan, “bahwa laki-laki yang 

meninggalkan isterinya, segala hak-hak miliknya jatuh kepada 

isterinya itu”. 

 

Dan bukan di Nippon saja Sarinah pernah berkuasa di dalam 

warga . Di negeri-negeri lainpun, bangsa mana dan negeri 

manapun juga, -sejarah banyak mencatat nama-nama raja-

raja puteri, nama-nama kepala-kepala pemerintah puteri, yang 

umumnya sangat baik pemerintahannya, begitu baik, sehingga 

misalnya Burbach berpendapat, bahwa sangat boleh jadi 

kaum wanita  itu lebih cakap buat urusan politik dibandingkan  

kaum laki-laki. 

 

Dulu! ... namun  sekarang bagaimana? Di Nippon yang dulu 

warga  mengasih kedudukan yang begitu tinggi kepada 

wanita , kini kaum isteri menjadi sampah, pelayan laki-

laki, budak laki-laki, yang tiada kekuasaan dan kemerdekaan 

sedikit juapun. Kini wanita  di Nippon itu, yang dulu 

begitu gagah dan sigap dan dinamis, menjadi satu makhluk 

yang tunduk, yang penurut, yang nerimo, yang taat di dalam 

segala hal baik dan buruk kepada kaum laki-laki. Siapa 

membaca tulisan-tulisan Van Kol, De Visser, O’Conroy, 

Lafcadio Hearn, dll, tentang ketundukan dan kenurutan isteri 

Nippon itu, ia niscaya terharu hatinya, ia niscaya sukar pula 

mengenang-ngenangkan di dalam ingatannya, bahwa ini 


 

makhluk-makhluk yang begitu menurut dan menerima, dulu 

di zaman sediakala yaitu  tunggak-tunggaknya warga ! 

 

Ya, makin nyatalah kepada kita, bahwa penghidupan menurut 

kodrat yang menempatkan wanita  ke sisi periuk-nasi dan 

panci-gulai itu, tak lain tak bukan yaitu  bukan penghidupan 

menurut kodrat, bukan penentuan kodrat, (sebagai menerima 

dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, memelihara 

anak), namun  yaitu  penghidupan yang warga  sekarang 

dan hukum warga  sekarang kasihkan kepadanya. Kalau 

hukum warga  ini tidak menempatkan wanita  itu ke 

sisi api dapur dan pipisan lada saja, kalau hukum warga  

ini mengasih kelapangan kepada kaum wanita  buat 

berlomba-lomba di lapangan warga , maka wanita  

tidaklah seperti wanita  sekarang. Tidaklah ia “kaum 

lemah”, tidaklah ia “kaum bodoh”, tidaklah ia “penakut”, 

tidaklah ia kaum singkat fikiran, tidaklah ia kaum “nerimo”. 

Tidaklah ia makhluk yang mengambing saja sebagai ternak; 

tidaklah ia kaum yang selamanya harus dijagai dan ditolong 

saja sebagai “blasteran dewi dan si tolol”. Tidaklah ia menjadi 

sebab, yang Plato, itu ahli faIsafah Yunani, tiap-tiap hari 

mengucap terima kasih kepada dewa-dewa, bahwa dewa-dewa 

itu melahirkan dia sebagai orang merdeka, dan bukan sebagai 

budak belian, sebagai laki-laki, dan bukan sebagai 

wanita . Tidaklah ia menjadi sebab, yang orang Yahudi 

sekarang tiap-tiap pagi mengucapkan kalimat: “Terpujilah 

Engkau, ya Allah, Robbul’alamin, bahwa Engkau tidak 

membuat akan daku seorang wanita ”. Tidaklah ia menjadi 

sebab, yang bangsa Inggeris tidak memiliki  kata buat 

manusia melainkan “man” (laki-laki), dan bangsa Perancis tak 

memiliki  perkataan buat manusia pula, melainkan 

“homme” (laki-laki)! 

 

Pendek kata, soal wanita  tak dapat kita nilaikan betul-

betul harganya buat warga , kalau kita pisahkan dia dari 

sejarahnya warga , sejarahnya perhubungan wanita  

dan laki-laki di dalam warga . 

 

Sejarah wanita  yaitu  bergandengan dengan sejarah laki-

laki, soal wanita  tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki. 

 

 

Di muka telah berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman 

Matriarchat (peribuan), kedudukan wanita  yaitu  lain 

dari di zaman sekarang, berganda-ganda lebih tinggi dari di 

zaman sekarang. namun , apakah ini berarti, bahwa kita dus 

lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali 

tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat) 

sekarang ini kaum isteri menjadi kaum yang tertindas, maka 

di zaman peribuan yaitu  kaum laki-laki kaum yang 

tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa 

ketidakadilan warga  kepada kaum wanita , maka 

matriarchat yaitu  membawa ketidakadilan warga  

kepada kaum laki-laki. warga  tidak terdiri dari kaum 

laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum wanita  

saja. warga  yaitu  terdiri dari kaum laki-laki dan kaum 

wanita , dari kaum wanita  dan kaum laki-laki. Tak 

sehatlah warga  itu, manakala salah satu fihak menindas 

kepada yang lain, tak perduli fihak mana yang menindas, dan 

tak perduli fihak mana yang tertindas. 

 

warga  itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan 

hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan 

wanita , yang sama tengahnya, sama beratnya, sama 

adilnya. 

 

Saya bukan pencinta matriarchat, saya yaitu  pencinta 

patriarchat, bukan oleh sebab  saya seorang laki-laki, akan 

namun  ialah sebab  kodrat alam menetapkan patriarchat lebih 

utama dibandingkan  matriarchat. Kodrat menetapkan hukum 

keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan, sebab  

hanya dengan hukum keturunan menurut garis perbapaanlah, 

-di mana wanita  diperisterikan oleh satu orang laki-laki 

saja, dan tidak lebih-, orang dapat mengatakan dengan pasti: 

siapa ibunya, siapa bapaknya, -siapa yang mengandungnya, 

namun  juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan 

itu. namun  di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan 

keturunan itu menurut garis peribuan), maka orang hanyalah 

dapat yakin siapa ibunya, namun  tidak dapat yakin siapa 

bapaknya. Di dalam bab-bab berikut akan saya kupas hal ini 

lebih lanjut. 

 


 

Saya pencinta patriarchat, namun  hendaklah patriarchat itu 

satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak 

menindas kepada kaum wanita , satu patriarchat yang 

tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum 

wanita . Satu patri-archat yang sebenarnya “parental”. 

Saya yakin, bahwa agama-agama yaitu  dimaksudkan sebagai 

“pengatur” patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya 

patriarchat. Saya yakin, bahwa itu lah salah satu maksud 

agama, -namun  apa yang kini telah terjadi? Lihatlah di 

warga  Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama 

didurhakai. wanita  sesudah kawin, hampir hilang haknya 

sama sekali, dan wanita  menjadi pula barang dagangan 

persundalan. Dan lihatlah di warga  Islam. Maksud 

agama Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum 

wanita  dari ekses-eksesnya patriarchat itu, kadang-

kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-

timbunan tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari 

kaum-kaum kuno, sehingga kedudukan kaum wanita  

yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu kadang-kadang 

menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada 

ubahny dibandingkan  kedudukan seorang budak. Pendapat-

pendapat dari setengah kaum yang demikian itu di beberapa 

kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran. 

Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan 

laki-laki dan wanita  di dalam sistim patriarchat itu, 

firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan kacamata 

tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat 

buat menundukkan kaum wanita  di bawah lutut laki-laki, 

dijadikan alat-alat buat memperlakukan kaum wanita  itu 

sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing saja 

kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah 

Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistim 

kewarga an yang cocok dengan kodrat alam, namun  maha 

piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat 

patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat 

kezaliman dan penindasan! 

  


Ilmu pengetahuan (wetenschap) sudah lama membantah 

pendapat setengah orang, bahwa adanya manusia di muka 

bumi ini barulah 6.000 tahun atau kurang lebih 7.600 tahun 

saja. Ilmu geologi, anthropologi, archeologi, histori dan 

praehistori menetapkan dengan bukti-bukti yang nyata, yang 

dapat diraba, bahwa manusia itu telah ratusan ribu tahun 

mendiami muka bumi ini: Sir Arthur Keith misalnya 

menghitung zaman manusia itu pada kurang lebih 800.000 

atau 900.000 tahun. Setidak-tidaknya tak kurang dari 

300.000 tahun (I.H.Jeans). Hanya saja harus diketahui, bahwa 

manusia purbakala itu belum begitu sempurna sebagai 

manusia zaman sekarang. 

 

Manusia zaman purbakala yang bernama Pithecanthropus 

Erectus (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Homo 

Heidelbergensis (sekitar 250.000 tahun yang lalu), 

Eoanthropus (sekitar 100.000 tahun yang lalu.), 

Neanderthalmensch (sekitar 50.000 tahun yang lalu), 

manusia-manusia ini semuanya kalah kesempurnaannya 

dengan manusia zaman sekarang. namun  35.000 tahun yang 

akhir ini, sudahlah ternyata dengan bukti-bukti, bahwa 

manusia sudah “sempurna” seperti kita zaman sekarang. 

Sudah barang tentu jumlah manusia itu dulu jauh kurang 

pula dibandingkan  sekarang. Sudah barang tentu pula tidak di 

mana-mana di muka bumi itu selalu ada manusia, dan tidak 

di mana-mana pula zaman manusia itu sama tuanya. 

 

Ada negeri-negeri yang sudah lama didiami manusia, ada 

negeri-negeri yang belum begitu lama didiami oleh manusia. 

Sebaliknya, ada pula negeri-negeri, yang dulu didiami oleh. 

manusia, namun  sekarang kosong dan sunyi. 

 

Misalnya saja padang pasir Sahara. Ada bekas-bekas kultur 

manusia di Sahara itu, yang membuktikan, bahwa di situ di 

zaman dulu banyak air dan rumput dan pohon-pohonan, 

banyak syarat-syarat untuk manusia dan binatang untuk 

hidup, dan tidak padang pasir yang kering, terik, dan kosong 

seperti sekarang. Sebaliknya, negeri-negeri Utara seperti 


 

Swedia dan Norwegia, yang sekarang begitu banyak 

manusianya, di zaman dulu yaitu  kosong oleh sebab  sama 

sekali tertutup dengan es yang bermeter-meter tebalnya. 

 

Perhitungan Sir Arthur Keith itu disendikan kepada bukti-

bukti yang ada. namun  mungkin juga ilmu pengetahuan nanti 

mendapat lagi bukti-bukti yang lebih “tua” dari itu, sehingga 

perhitungan Sir Arthur Keith itu terpaksa dijadikan “lebih tua” 

lagi. Maka lantas terpaksa kita mengatakan, bahwa bukan 

800.000 tahun, bukan 900.000 tahun sudah ada manusia, 

namun  bisa juga 1.000.000 tahun, atau 1.100.000 tahun, atau 

1.200.000 tahun. namun  bagaimanapun juga, nyatalah sudah 

salahnya pendapat setengah orang, bahwa manusia itu baru 

7.600 tahun saja mendiami dunia ini. 

 

Sudah barang tentu manusia purbakala itu (meskipun kita 

mengambil manusia-manusia “yang betul-betul manusia” dari 

zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara 

hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya, 

kebutuhan-kebutuhan-nya, pergaulan hidupnya, lain dibandingkan  

manusia zaman sekarang. Manusia-manusia purbakala itu 

pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua. 

Mereka belum memiliki  perkakas, mereka belum kenal 

besi, mereka belum cukup cerdas membuat rumah. Malahan 

rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, namun  juga ... 

akan merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang 

pertama itu, manusia hidup dari memburu dan mencari ikan, 

seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan, 

seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan 

mencari ikan. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, tempat 

yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka 

tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak 

binatangnya dan banyak ikannya pula. Mereka yaitu  hidup 

secara “nomade”, yang selalu berpindah kian kemari, jadi yang 

tak perlu memiliki  “rumah”. Hutan dan gua, itulah rumah 

mereka. 

 

Di dalam tingkat yang pertama itu, mereka belum memiliki  

warga . Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-

golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang 

dinamakan horde (ke1ompok), dengan tak ada pertalian apa-

 

apa melainkan pertalian kerja bersama dan perlindungan-

bersama, dengan tak ada “moral” melainkan moral cari makan 

dan cari hidup. Mereka tak banyak ubahnya dibandingkan  anjing-

anjing serigala atau gajah-gajah, yang juga hidup di dalam 

gerombolan-gerombolan kelompok. Mereka sebagai anjing-

anjing dan gajah-gajah itu, selalu berpindah kian-kemari 

menurut keperluan pencaharian hidup dan keselamatan 

hidup. 

 

Kalau pada satu tempat, buruan dan ikan sudah habis, 

ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah tempat lain. 

 

Di dalam kelompok inilah wanita  telah mulai menjadi 

makhluk yang ditaklukkan. “Pembahagian pekerjaan yaitu  

sebabnya ketaklukan itu. Laki-laki semuanya pergi kian-

kemari, semuanya memburu, mencari ikan, semuanya 

berkelahi dengan binatang-binatang buas atau dengan 

kelompok-kelompok manusia yang lain, namun  wanita  

hanya sebagian saja yang ikut pekerjaan itu: wanita  yang 

hamil atau yang membawa anak-anak kecil, tak dapat ikut 

lari-lari, tak dapat ikut memburu atau berjuang. Ia bersama-

sama laki-laki. yang sudah kakek-kakek tinggal di dalam gua 

atau di bawah pohon “kediamannya”, menunggu kaum laki-

laki pulang dari perburuan atau perkelahiannya itu. Ia 

bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan 

kebinatangan semua makhluk yang masih liar, maka niscaya 

nasib wanita  di waktu itu pada umumnya sangat tersia-

sia. Ia diperintah saja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh 

mencari daun-daunan dan akar akaran, disuruh memelihara 

api siang dan malam, dibebani dengan segala pekerjaan yang 

tidak termasuk perburuan dan pencarian ikan. Ia, menurut 

August Bebel yaitu  budak yang pertama. Bebel berkata: 

“wanita  yaitu  budak sebelum ada budak”. Ia yaitu  

bernasib sama dengan anjing betina, yang kalau yang jantan 

tak senang, terus digigit dan dihantam saja, -atau ditinggalkan 

oleh anjing jantan itu mentah-mentahan. Malah kadang-

kadang ia dibunuh, sebagaimana kakek-kakek dan nenek-

nenekpun dibunuh, sebab  terlalu membebani kelompok itu. 

Hukum persuami-isterian belum ada di dalam kelompok itu. 

Menurut Prof. Bachofen yaitu  di dalam kelompok itu 

“promiskuiteit”, artinya: bahwa di dalam kelompok itu 


 

hantam-kromo campuran saja laki-laki dan wanita  

mencari kepuasan syahwat satu dengan yang lain. Hantam-

kromo saja urusan syahwat itu, -mana yang disukai pada 

sesuatu saat, itulah yang jadi. Tidak dapat laki-laki di dalam 

kelompok itu berkata “ini isteriku”, tidak dapat pula 

wanita  menunjukkan seorang laki-laki seraya berkata “ini 

suamiku”. Begitulah pendapat Bachofen. namun  ada aliran lain 

pula mengoreksi teori Bachofen ini, misalnya Eisler, yang 

berkata: bahwa benar belum ada “pernikahan” di dalam 

kelompok itu, namun  pun tidak ada itu promiskuiteit yang 

hantam-hantaman kromo sama sekali. Menurut Eisler, di 

dalam kelompok tidak ada anarkhi seksuil yang absolut. Laki-

laki selalu “berkawin” buat sementara dengan wanita  

yang ia senangi. Di dalam kelompok itu bukan “promiskuiteit” 

yang orang lihat, begitulah kata Eisler, tapi “pasangan-

pasangan yang sementara”, tijdelijke paring, atau di dalam 

bahasa Jerman “Zeit-Ehe”. Zeit-Ehe ini nanti kalau sudah 

“bosan”, dilepaskan lagi atau ditiadakan lagi, buat menjadi lagi 

pasangan-pasangan baru dengan laki-laki lain atau 

wanita -wanita  lain. Sudahkah tuan pernah 

perhatikan pasangan sementara di kalangan anjing? Anjing 

jantan selalu berganti isteri, dan anjing betina selalu berganti 

suami, namun  “persuami-isterian” itu bukan hanya buat satu 

saat beberapa detik saja, melainkan “luku” sampai beberapa 

minggu lamanya. Anjing selalu “berlaki-bini”, sungguhpun 

hanya buat sementara. 

 

Demikianlah pula perlaki-isterian di dalam kelompok 

manusia. Benar lelaki mengambil isteri mana saja di dalam 

kelompok itu yang ia sukai, benar wanita pun berbuat 

begitu namun  “pasangan-sementara” selalu ada. Hanya saja 

“pasangan-sementara” ini tidak membuat nasib orang 

wanita  itu menjadi ringan. Laki-laki tidak menanggung 

tanggungan sedikit-pun atas akibat-akibatnya “pasangan 

sementara” itu, namun  wanita lah yang menanggung 

hamilnya, wanita lah yang menanggung pemeliharaan 

anak, wanita lah yang menanggung segala konsekwensi 

“pasangan-sementara” itu.  

 

Di dalam periode kelompok sudahlah wanita  sengsara, -

budak yang  pertama- sebagai kata Bebel tadi itu. Hanyalah 


 

menurut ahli-ahli penyelidikan bangsa-bangsa yang masih 

biadab, kesengsaraan ini tidak begitu berat dirasanya sebagai 

kesengsaraan yang musti ditanggung oleh setengah 

wanita -wanita  di zaman sekarang, yang bukan saja 

tertutup sama sekali jasmaninya seperti di dalam penjara, 

namun  juga tertutup fikirannya, kesenangan-kesenangannya, 

rohaninya, dan diperbudak serta disiksa pula. Menurut 

keterangan ahli-ahli ini, maka bagaimapun juga jeleknya nasib 

wanita  di dalam kelompok itu, belumlah ia menjadi 

siksaan jiwa yang begitu sangat sebagai wanita -

wanita  tutupan di zaman sekarang ini. Sorot mata 

wanita -wanita  kelompok tentu masih sorot mata 

“merdeka”, menilik gambar-gambar di dalam gua dari puluhan 

ribu tahun yang lalu, yang menggambarkan wanita  ikut 

“berpesta” dengan kaum laki-laki. Sebagaimana nasib serigala 

betina di dalam kelompok serigala bukan nasib yang jelek 

sama sekali, -anjing serigala betina masih banyak 

kesenangannya dan kemerdekaannya, maka wanita  

kelompok pun masih banyak kesenangannya dan 

kemerdekaannya. 

 

Lama sekali periode ini. namun  lambat laun datanglah 

perubahan. Periode mencari hidup dengan berburu dan 

mencari ikan berganti dengan periode, yang pencaharian 

hidupnya secara lain. Banyak ahli mengatakan, bahwa periode 

perburuan dan pencaharian ikan itu, diikuti oleh periode 

menternakkan binatang, periode penggembalaan. Binatang-

binatang yang orang tangkap di waktu perburuan itu, yang 

tidak mati, orang peliharakan, dan ini menjadi asal-asalnya 

orang memelihara ternak: memelihara sapi, memelihara kuda, 

memelihara kambing, memelihara kerbau. namun  setengah lagi 

kaum ahli, -misalnya Dr. Fleure dari University College of 

Wales-, mengatakan, bahwa periode perburuan dan 

pencaharian ikan itu bukan diikuti oleh periode peternakan, 

melainkan oleh periode menanam tumbuh-tumbuhan, yakni 

periode pertanian. (Morgan, seorang ahli yang lain, ada 

berpendapat lain lagi. Menurut beliau maka tidak yaitu  

periode yang manusia hanya melulu berburu dan mencari 

ikan saja. Makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah 

dikenal manusia sejak mulanya). namun  bagaimana juga, 

nyatalah bahwa pertanian yaitu  satu tingkatan yang lebih 


 

tinggi dibandingkan  perburuan. Dr. Fleure menyandarkan teorinya 

kepada alasan, bahwa sering terdapat bekas-bekas atau 

tanda-tanda pertanian purbakala, yang tidak disertai pula 

dengan bekas-bekas atau tanda-tanda peternakan. Jadi: ada 

pertanian dengan tak ada peternakan; dan ini dianggap-nya 

sebagai bukti, bahwa pertanianlah yang lebih dulu. Orang di 

kelompok itu, kata Dr. Fleure, tidak hanya makan daging dan 

ikan saja, namun  niscaya makan juga tumbuh-tumbuhan liar. 

Manusia bukan pemakan daging saja sebagai harimau dan 

serigala, manusia bukan carnivor, -manusia yaitu  perlu juga 

kepada tumbun-tumbuhan, kepada daun-daunan, kepada 

buah-buahan, kepada akar-akaran. Dia yaitu  “omnivor”. 

Maka oleh sebab  manusia omnivor, maka orang-orang 

wanita  di kelompok itu, kalau kaum laki-laki berburu, 

mencari tumbuh-tumbuhan, dan lambat-laun terbuka 

ingatannya akan menanam benih-benih tumbuh-tumbuhan 

itu. Maka dia, wanita  yaitu  berjasa besar kepada 

kemanusiaan sebagai makhluk yang pertama-tama 

mendapatkan ilmu bercocok tanam, yang sampai sekarang 

menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Dan 

bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian! -ia juga 

yaitu  pekerja pertanian yang pertama. Ia juga yaitu  petani 

yang pertama, sebagai nanti akan saya uraikan lebih lanjut. 

 

Buat jasa ini saja kemanusiaan pantas mendirikan patung 

terima-kasih bagi wanita  itu! 

 

Bagaimanapun juga, -peternakan lebih dulu, atau langsung 

kepada pertanian, -pada kira-kira 10.000 tahun atau 12.000 

tahun yang lalu dunia manusia masuk ke dalam periode 

pertanian itu. Dan apa yang kita lihat? Perubahan cara 

pencaharian hidup ini, perubahan proses pencaharian ini, 

membawa perubahan besar di dalam nasib wanita  itu. 

Mulai sekarang dia menjadi makhluk yang penting, oleh 

sebab  dialah mulai sekarang menjadi pembuat bekal hidup 

yang penting, yakni ubi, keladi, jagung dan lain sebagainya 

yang dia perdapat dengan pertaniannya itu, meski 

pertaniannya itu masih sederhana sekali. Dia mulai sekarang 

menjadi produsen yang berharga. Malahan dialah yang 

menjadi induk kemajuan, induknya “kultur”, yang mula-mula. 

Dialah petani yang pertama, namun  dia pulalah yang pertama 


 

sekali mulai terbuka ingatannya membuat rumah. Laki-laki 

masih banyak lari kian-kemari di hutan, ditepi-tepi sungai, di 

pantai laut, di padang-padang rumput, di rawa-rawa, namun  

dia, wanita , sebab  menjaga hamilnya, atau menjaga 

anak-anaknya yang kecil serta kebunnya yang sederhana, 

namun  tak dapat ditinggalkan itu, dia mulai mencoba membuat 

tempat kediaman yang tetap. Dia mulai mencoba-coba 

mendirikan “rumah” yang akan melindungi dirinya serta anak-

anaknya dibandingkan  panasnya matahari dan basahnya air 

hujan, dinginnya hawa malam dan tajamnya angin. Dialah 

yang dengan dahan-dahan kayu, ranting-ranting dan daun-

daun mula-mula mendirikan gubug yang amat bersahaja. Dan 

bukan saja “rumah” Dia jugalah yang pertama-tama duduk di 

samping buaian kesenian. Dia, kaum wanita  itu, dialah 

yang mula-mula terbuka ingatannya membuat tali guna 

mengikat bagian-bagian gubugnya, membuat barang-barang 

keperluan hidup yang sangat perlu, sebagai misalnya 

melunakkan kulit binatang yang sudah kering, menganyam 

tikar atau menganyam keranjang, memintal serat kayu 

menjadi benang, menenun benang itu menjadi kain kasar, 

membentuk tanah liat menjadi semacam periuk atau semacam 

pinggan. Dia, kaum wanita , dialah yang mula-mula 

induknya kultur. Dialah pembangun kultur yang pertama, dia 

dan bukan laki-laki. Dialah menurut Kautsky “pembangun 

peradaban manusia yang pertama”. Juga buat ini ia pantas 

mendapat patung terimakasih di dalam ingatan kita! 

 

Makin lama makin “laku” pertanian itu. Hasil perburuan dan 

pencaharian ikan tidak selamanya tetap, -kadang-kadang 

dapat, kadang-kadang tidak dapat. namun  pertanian hasilnya 

selalu mengalir. Oleh sebab  itu, maka pertanian itu 

diperbesar, dan lambat-laun menjadi tiang hidup yang nomor 

satu. Perburuan dan pencarian ikan itu makin surut, makin 

diabaikan, makin dikesampingkan. Orang laki-laki yang kini 

banyak tempo terluang, mulai mengerjakan peternakan. Maka 

di sini yaitu  pertanian itu disampingi oleh peternakan. Tapi 

kecuali di negeri-negeri yang memang negeri rumput, tak 

mampu peternakan itu mengalahkan pertanian. Pertanian 

tetap sumber hidup yang paling penting. 

 

 

Maka makin tambah pentingnya arti pertanian di dalam 

kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin naiklah 

derajat wanita , makin naiklah kekuasaannya. Makin 

naiklah “bintangnya”, - naik, buat pertama kali di dalam 

sejarah kemanusiaan. Sebab dialah yang kini menjadi 

produsen yang terpenting di dalam warga , dari 

padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya 

warga . Cara hidup yang berpindah-pindah tempat itu 

berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu tempat, 

manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindah-

pindah, berganti sifat menjadi manusia yang “berdiam”. Dan di 

tempat kediaman itu wanita lah yang menjadi pusatnya! 

Tidak lagi ia kini dianggap seperti “benda yang orang terpaksa 

bawa juga” seperti di zamannya kelompok, tidak lagi ia kini 

dianggap seperti “noodzakelijk kwaad”, namun  menjadilah ia 

makhluk yang sangat berharga. Ia menjadi tiang warga , 

pengatur warga , tunggak warga ! 

 

Maka perubahan di dalam cara hidup ini membawa pula 

perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu perlaki-

isterian itu secara anjing serigala saja, dulu yaitu  “Zeit-Ehe” 

ataupun “Promiskuiteit”. Tapi kini perlaki-isterian ini mulai 

diatur sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki 

dan wanita , dan diatur pula hal-hal yang mengenai 

keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan laki-laki 

dan wanita  itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah 

kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian 

dan keturunan itu. Memang urusan keturunan inilah pokok-

pangkal semua hukum perlaki-isterian, asal-mula segala 

hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat 

keturunan, yaitu  mudah-, namun  memelihara keturunan itu 

tidaklah mudah. Memelihara keturunan itu hajat kepada 

kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing 

kepala. Dulu di dalam kelompok wanita  saja yang 

mendapat bagian pusing kepala ini. Laki-laki tinggal 

bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih jauh apakah 

akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau 

si anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak 

memusingkan kepala lagi dengan pemeliharaannya, namun  

sebaliknya menguntungkan kepada yang memiliki nya, 

maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia 


 

lantas berkata: “Dia anakku”. Tapi, ... orang laki-laki lain 

berkata pula: “Dia anakku”! Ya, anak siapa dia itu 

sebenarnya? Ia tak tentu bapanya! Ia banyak sekali “bapanya”! 

Laki-laki yang satu mengaku menjadi bapanya, lelaki yang lain 

membantah: tidak, akulah bapanya. Memang begitulah akibat 

Zeit-Ehe atau Promiskuiteit. Orang selalu berkelahi, kadang-

kadang sampai pecah tercerai-berai kelompok itu, -nyatalah 

perlu sekali kini diadakan hukum. 

 

Maka kaum wanita , yang kini menduduki derajat yang 

penting itu, kaum wanita  itulah yang membuat hukum 

itu. Kaum wanita  itu mengadakan hukum keturunan 

menurut garis peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka 

keturunan disebutkan menurut garis ibu, bukan ditangan 

bapa. Orang tidak menanya “siapakah bapanya”, namun  orang 

menanya “siapakah ibunya”. Memang (juga di warga  

sekarang ini), manusia sebenarnya hanyalah dapat ditetapkan 

dengan kenyataan-bukti: siapa ibunya, dan tidak dengan 

yakin siapa bapanya. Juga buat zaman sekarang, dengan 

hukum-hukum perkawinan, “siapa bapa” itu sebenarnya 

hanyalah satu hal kepercayaan saja. Goethe, itu penyair dan 

ahli faIsafah Jerman yang termasyhur, mengatakan, bahwa 

“siapa bapa” itu hanyalah berdasar “nur auf gutem Glauben” 

belaka. Artinya: hanya berdasar atas kepercayaan, bukan atas 

kenyataan bukti! Sehingga sampai sekarang yaitu  satu 

peribahasa Eropa yang berbunyi: “Anak bijaksana, yang 

mengenal bapanya”. namun  dengan bapa banyak atau dengan 

bapa satu, dengan hukum perkawinan atau tidak dengan 

hukum perkawinan, dapatlah ditentukan dengan pasti dan 

yakin: inilah ibunya, inilah orang yang mengandungkan dia, 

inilah orang yang melahirkan dia! Itulah sebabnya, maka 

wanita  di zaman periode kedua dari evolusi kemanusiaan 

itu, lantas menetapkan “hukum keturunan menurut garis 

peribuan” itu menjadi hukum perlaki-isterian dan hukum-

keturunan. Hukum peribuan ini menjadi hukum yang 

pertama-tama di dalam pergaulan manusia. Jadi 

wanita lah yang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan 

dengan hukum, wanita lah pembuat hukum yang 

pertama.  

 

 

Menjadi: wanita  petani yang pertama. wanita  

pembangun kultur yang pertama. wanita  pembuat hukum 

yang pertama. Buat ketiga kalinya saya undang tuan-tuan 

mendirikan patung terima kasih kepadanya di dalam kalbu! 

 

Maka dengan diadakannya hukum peribuan ini, serta 

hilangnya sifat nomade menjadi sifat “perumahan yang tetap”, 

hilang pula sifat kelompok, dan menjadilah ia bersifat gens, -

yakni menjadilah ia “keluarga besar”. wanita  dengan 

semua keluarganya tua-muda berdiam menjadi satu di satu 

tempat, -yang bukan keluarga tidak boleh berkumpul di situ, 

tapi berdiam menjadi gerombolan lain dengan keluarga-

keluarganya sendiri pula. Di dalam gens yang demikian itu 

cara hidup yaitu  cara hidup sama-rata. Boleh dikatakan cara 

hidup mereka itu yaitu  cara hidup komunistis! Dr. F. Muller-

Lyer, itu ahli warga  yang termasyhur, ada menceritakan 

dari hal gens pada tingkatan ini: “Anggota-anggota 

pergabungan keluarga itu memiliki tanah sebagai milik 

bersama, mereka kerjakan tanah itu bersama-sama pula, dan 

mereka bagikan buah tanamannya itu di antara keluarga-

keluarganya menurut keperluan masing-masing. Sering sekali 

mereka berdiam berkumpul di dalam rumah-rumah yang 

besar. Tiap-tiap anggota memiliki  hak yang sama atas 

ladang itu, dan menerima segala apa yang ia perlukan dari 

hasil pertanian-bersama itu. Pada hampir semua rakyat-

rakyat pertanian yang bertingkat sederhana ini, yaitu  cara 

kerja komunistis itu cara-kerja yang asli”. 

 

Keluarga (Jawa: somah) seperti yang kita kenal sekarang ini, -

satu suami, satu isteri, anak, di dalam satu rumah, pahit-

manis dipikul bersama-sama-, keluarga yang demikian itu 

belum dikenal orang di masa itu. Orang hidup dengan semua 

sanak-sanak-familinya menjadi satu gerombolan besar, satu 

persatuan darah yang besar, satu keluarga besar, -rukun dan 

rapat, mati-hidup bersama-sama, mengerjakan ladang 

bersama-sama, menentang musuh bersama-sama. Justru 

persekutuan dan kerukunan gens inilah menghambat 

terjadinya “somah” itu. Sebab, oleh sebab  kini wanita  itu 

menjadi satu makhluk yang sangat berharga, -tidak seperti 

dulu di zaman kelompok-, maka gens tidak mau melepaskan 

dia pindah mengikuti suaminya kelain gens. (Suaminya 


 

wanita  itu lebih dari satu. Sebalikya, laki-lakipun 

isterinya lebih dari satu). Orang lelaki dari lain gens yang 

kawin dengan dia, tidak boleh membawa dia pindah 

kerumahnya, namun  si laki itulah yang musti pindah ke rumah 

wanita nja itu, atau, kalau si laki itu tinggal di gens-nya 

sendiri, - ia datang di rumah isterinya itu hanya pada waktu 

ada keperluan saja. (Sisanya aturan begini sekarang misalnya 

masih ada di Minangkabau, begitu pula pada orang Indian di 

Amerika Utara, pada beberapa bangsa di Oceania, pada 

sebagian bangsa Neger, dll. Dulu aturan ini nyata benar ada 

pada bangsa Israil; sampai di zaman Yesus, orang masih 

menamakan beliau Isa Ibnu Maryam! Juga pada bangsa Mesir, 

Phunicia, Etruska, Lykia, Iberia, Inggeris, dll dulu berlaku 

aturan ini). Tuan mengerti, aturan yang demikian ini tentu 

tidak mengasih jalan kepada timbulnya satu “persomahan” 

yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak saja, yang 

seperti kita kenal di zaman lalu . namun  kendati begitu, 

kedudukan wanita  di dalam gens itu yaitu  kedudukan 

yang sangat mulia sekali. Sudah barang tentu! Sebab yang 

berkumpul men-jadi satu di dalam gens itu, -laki-wanita -, 

yaitu  keluarga-keluarga dari fihak wanita . Meski 

seseorang wanita  sudah kawin dengan orang laki-laki dari 

lain gens pun, ia masih berkumpul dengan sanak-famili se 

gens, dan sebab nya ia masih terus mendapat sokongan dari 

sanak-famili se gens itu. Tapi laki-laki tidak mendapat 

sokongan itu, laki-laki bertindak terhadap isterinya itu seperti 

“orang sendirian”, sebagai individu. Orang wanita  jadi 

lebih kuasa dibandingkan nya. Orang wanita  di waktu itu 

misalnya di Eropa disebutkan Frowa, -yang maknanya tuan 

puteri. (Ingatkan perkataan mevrouw, atau Frau). Malahan, 

seringkali, di tingkat yang lalu , kalau gens-gens itu 

sudah bertalikan satu dengan lain meliputi satu daerah, dan 

pemerintahan sudah dijalankan oleh satu kepala atau satu 

raja-, maka ditetapkanlah bahwa kepala itu harus kepala 

puteri, rajanya raja puteri, pahlawannya pahlawan puteri, 

pemimpin rapat pemimpin-puteri. Maka bertambahlah hukum 

peribuan itu menjadi pemerintahan -ibu, -menjadi 

Matriarchat. Dari bangsa Indian Irokees misalnya, Lafitau 

menulis: “Semua pemerintahan di negeri itu yaitu  di tangan 

wanita : merekalah yang menguasai ladang-ladang dan 

hasil-hasil ladang itu, merekalah menjadi jiwa persidangan-


 

persidangan majelis negeri, merekalah berkuasa atas perang 

atau damai, merekalah mengurus cukai, mengurus kekayaan 

suku, kepada merekalah orang serahkan orang-orang 

tawanan, merekalah menetapkan perkawinan-perkawinan, 

merekalah berkuasa atas anak-anak, dan menurut garis 

merekalah diambil keturunan”. Pada bangsa Indian Wyandot 

keadaan juga begitu, majelis pemerintahan mereka yaitu  

terdiri dari 55 orang; anggota laki-laki dari majelis ini hanya 

11 orang; tapi anggota  wanita  ... 44 orang! 

 

Dan juga di dalam urusan agama kaum wanita  dijadikan 

pemimpin. Mrs. Ray Strachey menerangkan, bahwa justru di 

dalam urusan agamalah kaum wanita  di zaman dulu 

hampir selamanya diutamakan dari kaum laki-laki; 

wanita  dianggap lebih suci dibandingkan  kaum laki-laki. Di 

dalam kehidupan sehari-haripun orang lebih mencintai dewi-

dewi dibandingkan  dewa-dewa. Agama Sumeria, agama Shinto, 

yang kedua-duanya agama tua sekali, sangat memuliakan 

wanita . Pada banyak bangsa di lautan Teduh masih selalu 

wanita  yang mengepalai agama. 

 

Sekianlah keadaan kaum wanita  di zaman hukum 

peribuan atau matriarchat itu. Di dalam bab IV hal ini akan 

saya terangkan lebih lebar. Di dalam bab II pun sudah saya 

ceritakan sedikit-sedikit tentang zaman peribuan ini. Di zaman 

itu kaum wanita , sebab  kemerdekaannya, yaitu  besar-

besar dan sigap-sigap badan, cerdas-cerdas dan tangkas-

tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan, -tidak 

seperti wanita -wanita  di zaman sekarang, yang kecil-

kecil dan takut-takut. Di zaman peribuan itu mereka bukan 

“kaum lemah”, bukan ”kaum bodoh”, bukan “kaum sempit 

pikiran”, bukan “kaum penakut”. Di zaman itu wanita  

bukan “kaum dapur” saja, bukan “bunga rumah tangga” saja. 

Mereka berkuasa, menduduki warga , mengendali 

warga , menguasai warga . Malah kaum laki-lakilah 

yang di zaman itu dianggap sebagai kaum embel-embel 

semata-mata. Mereka hanya dianggap sebagai anasir 

“pemacek”, -anasir “pembuat turunan”. Mereka, kaum laki-

laki itu, di zaman peribuan berkedudukan seperti semut laki 

atau lebah laki dalam warga  semut dan warga  

lebah. Juga dalam warga  semut dan warga  lebah 


 

itu betina lebih penting dibandingkan  laki; juga di situ si laki hanya 

pemacek. Malahan di warga  semut dan lebah itu si laki 

dibunuh sesudah ia selesai mengerjakan pacekannya! Maka 

pantaslah orang menanya: Manakah kebenaran semua “teori” 

yang mengatakan, bahwa sudah kodrat wanita -

wanita . menjadi penunggu rumah tangga dan penunggu 

periuk-nasi saja?*) 

 

namun  ... zaman selalu berjalan, zaman selalu beralih. 

Datanglah phase (tingkat) ketiga di dalam sejarah peri-

kemanusiaan itu, yang menggugurkan lagi kaum wanita  

dari singgasananya. Kaum laki-laki yang dulu berburu dan 

mencari ikan itu, yang kadang-kadang berminggu-minggu 

meninggalkan kelompok atau gensnya buat berjuang di dalam 

rimba atau bersenang-senang di dalam rimba, kaum laki-laki 

itu lambat-laun makin lama makin meninggalkan cara 

pencarian hidup dengan berburu dan mencari ikan itu. Buat 

apa cape-cape lagi membahayakan diri di dalam perburuan, 

yang juga tidak selamanya berhasil baik itu, kalau ada sumber 

rezeki lain yang lebih menyenangkan? Tidakkah hasil 

pertanian telah mencukupi segala-gala keperluan hidup? 

Dulu, tatkala orang belum kenal pertanian, dulu orang 

terpaksa hidup di gunung-gunung dan di rimba-rimba yang 

banyak binatang-binatang dan sato hewannya. Kini orang 

meninggalkan rimba-rimba itu, meninggalkan tempat-tempat 

yang sukar dan sempit, kini orang mencari tanah-tanah datar 

dan tanah-tanah rata yang baik buat pertanian itu. Kini tanah 

yang subur dan yang berisi banyak zatlah yang orang 

perlukan, -meskipun tidak ada binatang sato khewan di situ. 

Kini ditanah yang bukan rimba dan bukan gunung itu 

perburuan itu menjadi sangat terdorong ke belakang. 

Lagipula, sudah lama pula orang laki-laki terbuka ingatannya 

buat menternakkan binatang sato khewan. Juga buat 

peternakan ini, bukan rimba dan gunung-gunung yang 

diperlukan, namun  tanah rata yang banyak rumput. sebab  

peternakan inipun, maka laki-laki lantas banyak waktunya 

                                                 

*) Perlu diterangkan di sini bahwa kedudukan yang baik dari wanita  di dalam zaman 

hukum peribuan itu ialah di dalam hukum peribuan yang sebab  perezekian, sebagai yang 

saya terangkan di atas ini. namun  ada pula hukum peribuan yang tidak sebab  perezekian, 

melainkan hanya buat mengurus keturunan saja. Maka di sini tidak selalu kedudukan 

wanita  itu baik. Teori Bachofen yang mengatakan, bahwa hukum peribuan selalu 

mengasih kedudukan mulia kepada wanita , harus dianggap belum mutlak. 


 

yang senggang, banyak waktunya yang tak terpakai, tidak 

seperti dulu, tatkala ia berhari-hari musti mengintai atau 

mengejar buruan. Maka lambat-laun laki-laki lantas ikut-ikut 

menjadi tani pula. Malahan lambat-laun laki-laki itu lantas 

“memborong” pekerjaan pertanian, -wanita  disuruh 

tinggal di rumah saja, atau, kalau diajak ke ladang, hanya 

dipakai sebagai pembantunya saja. Maka lambat-laun 

merosotlah kedudukan wanita  sebagai produsen, lambat-

laun lunturlah pamor wanita sebagai pemberi makan kepada 

semua keluarganya. Sebaliknya si laki-lakilah yang makin 

naik derajat, si laki-lakilah yang makin bertambah nama dan 

kekuasaannya. Sebab kini dialah yang bekerja di ladang, 

dialah yang menguasai ladang. Dialah kini produsen yang 

pertama, dialah kini pemberi-hidup.  

 

Dialah kini menjadi  penjaga dan pemelihara milik. Dulu di 

zaman mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa 

rumah, senjata-senjata, perkakas-perkakas, perahu, sedikit 

pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja. Tapi kini, ternak 

semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat 

bertambah dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak 

itu kadang-kadang menjadi berpuluh-puluh ekor atau 

beratus-ratus ekor!  

 

Perdagangan bertukar dengan gens-gens atau suku-suku yang 

lainpun, yang kini mulai berkembang, menambah pula jumlah 

milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh 

saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini 

berarti penambahan milik pula. Maka kini timbullah satu soal 

yang maha penting: kepada siapakah laki-laki akan 

mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah 

laki-laki memikirkan hukum keturunan pula. Kini timbullah 

keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak dia sendiri 

sajalah, -bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam 

hukum peribuan-, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik 

hasil keringatnya itu. Kini ia mau yakin, mau pasti, bahwa 

anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi ternak, 

perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak 

pembantu itu. Ia tidak mau membanting tulang buat hari 

lalu  anak orang-lain, ia hanya mau membanting tulang 

buat hari lalu  anak dia sendiri. Maka oleh sebab  itu, 

 

kini ia tentukan, bahwa wanita -wanita nya!-, tidak 

bo1eh berkawin dengan lelaki lain, melainkan hanya dengan 

dia sendiri saja. Kini ia tuntut kepada wanita  itu dengan 

ancaman hukum mati kesetiaan perkawinan, kesetiaan 

perlaki-isterian. Kini ia mau bekerja buat isteri-isteri dan 

anak-anaknya sendiri saja, dan tidak buat gens seumumnya. 

 

Maka lambat-laun pecahlah persatuan gens yang sediakala 

itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata sama rata itu. 

Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri 

dari tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki 

membentuk satu “gezin”, membentuk somah, yang di situlah 

ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan, segala 

energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya 

sendiri! Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan 

menerima kekayaan itu. Hak keturunan dari ibu dihapuskan, 

diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan Sarinah, yang 

dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi 

makhluk yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan 

lalu  lagi, bapa lebih mementingkan anak dibandingkan  isteri, 

dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan yang ketiga. 

Sebab anak inilah yang menerus-kan darahnya, isteri 

hanyalah satu “perantaraan” saja. Sarinah bukan lagi 

penguasa warga , tapi menjadi benda dalam rumah 

tangga saja, benda penglahirkan anak dan benda pemelihara 

anak, yang tak lebih dan tak kurang menjadi miliknya laki-

laki. 

 

Kini bukan Sarinah yang menerima laki-laki namun  laki-laki 

yang menerima Sarinah. Kini perkawinan bukan berarti si laki 

menghamba kepada si wanita , namun  si wanita  

menghamba kepada si laki-laki. Kini gens terpecah menjadi 

beberapa somah, namun  somah (famili) ini benar-benar satu 

tempat perhambaan bagi Sarinah itu. Perkataan famili yaitu  

berasal dari perkataan Latin famulus, yang artinya hamba, 

pelayan, budak, atau dari perkataan Oskia “famel” yang juga 

bermakna budak. Kini menjadi adat, si laki itu membeli 

wanita  waktu ia berkawin dengan dia, sebagaimana ia 

membeli satu barang atau satu milik di kedai atau di pekan. 

Inilah yang dinamakan kawin beli, yang kita jumpai di mana-

mana di zaman hukum perbapaan itu, sampai sekarang. Atau, 


 

kalau si laki tak mampu membeli, maka wanita  dicuri 

atau dirampas mentah-mentahan oleh si laki itu, seperti orang 

merampas atau mencuri sesuatu barang atau sesuatu milik di 

waktu malam. Kawin beli dan kawin rampas yaitu  

gambarnya hukum perbapaan itu. Sarinah menjadi benda. 

Ditutuplah ia dan disimpanlah ia di dalam rumah seperti 

benda, dilaranglah ia keluar dari rumah itu, supaya tidak 

dicuri orang, sebab ia suatu benda; ditabirkanlah ia rapat-

rapat manakala ada laki-laki asing, kalau-kalau si laki asing 

itu timbul keinginan birahi kepadanya atau keinginan mencuri 

kepadanya, sebab  ia sebuah benda. Kalau suaminya mati, 

maka bukan dia yang menerima barang-barang warisannya 

suami, namun  dia sendiri diwariskan kepada saudara suaminya 

atau keluarga suaminya, sebagaimana juga halnya dengan 

lain-lain benda milik suami yang mati itu. Segala susunan-

susunan dan sifat-sifat warga  berbalik sama sekali. 

Hukum pemerin-tahan, hukum kemilikan, hukum persuami-

isterian, hukum keturunan, hukum perwarisan, semua itu 

berubah sebagai ubahnya siang menjadi malam. Segala 

kemerdekaan wanita  yang sediakala, hilang sama-sekali, 

hilang sebab  menjadi famulus di dalam famili. Sarinah 

dikungkung, ditutup, dipingit, diperhambakan. Friederich 

Engels mengatakan, bahwa perpindahan dari hukum peribuan 

kepada hukum perbapaan itu yaitu  satu “kekalahan 

wanita  yang paling hebat di dalam sejarah kemanusiaan”. 

August Bebel menamakan dia revolusi besar yang pertama di 

dalam sejarah manusia. 

 

Perobahan ini, sebagai satu revolusi besar di dalam susunan 

warga , sudah tentu tidak terjadi sekaligus, namun  

mungkin makan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. 

namun  sudah barang tentu pula, wanita  tidak selamanya 

mau menyerah begitu saja digugurkan dari kedudukannya 

jang tinggi itu. Sebelum menyerah, berjoang ia mati-matian. 

Sejarah dunia tak sunyi dari cerita-cerita perjoangan hebat 

antara laki-laki dan wanita  di zaman perpindahan 

kekuasaan itu. sebab  sudah tuanya kejadian-kejadian ini, -

sudah hampir hilang di dalam kabut zaman purbakala-, maka 

banyak dari cerita-cerita itu menjadi bersifat dongeng saja, 

legende saja, saga saja. Kita di negara kita  ini kenal akan 

dongengnya wanita “Nusa Tembini” yang berjoang mati-matian 


 

dengan kaum lelaki, mengusir kaum laki-laki dari negeri-

negeri daerahnya. Atau dongengnya Dewi Rayungwulan dari 

negeri Sigaluh, dalam cerita Banjaransari. Kita juga kenal 

akan dongeng Ratu Roro Kidul, yang tak mau tunduk kepada 

siapa juga, tak mau terambil kekuasaannya oleh siapapun 

juga. Mungkinkah di zaman purbakala di Selatan tanah Jawa 

ada satu kerajaan matriarchat, yang kini sudah lenyap, atau 

satu pulau matriarchat, yang kini sudah tenggelam, sebagai di 

dalam dongeng Eropa ada pula diceritakan satu negeri 

tenggelam yang bernama Atlantis? Di negeri Eropa pun ada 

dongeng-dongeng perjoangan antara wanita  dengan laki-

laki itu. Tiap-tiap murid sekolah menengah telah pernah 

mendengar dari hal kaum “Amazone” yang berperang dengan 

kaum laki-laki gagah-gagah dan sigap-sigap, berkuda seperti 

pahlawan-pahlawan yang gagah berani, yang pedangnya 

menyambar-nyambar ke kanan dan ke kiri seperti kilat. 

Perhiasan-perhiasan yang orang pahatkan di gedung-gedung 

Yunani atau Rumawi zaman dulu, banyak pula yang 

menggambarkan peperangan antara kaum laki-laki dan 

wanita  itu. Tapi kecuali di beberapa tempat, hampir di 

mana-mana, di dalam perjoangan ini kaum wanita  

terpaksa kalah dan takluk. 

 

Sesudah kaum laki-laki berkuasa, maka bukan saja segala 

hukum-hukum warga , hukum-hukum perkawinan, 

hukum-hukum keturunan dan perwarisan, diubah dan 

dibentuk menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu, namun  

semua moral, adat-istiadat, kepercajaan, seni, ideologi-

ideologi, agama, berubah pula menurut kemanfaatan hukum 

perbapaan itu. Agama-agama penyembahan alam yang 

dahulu, terdesak oleh agama-agama baru, yang semuanya 

merendahkan deradat wanita . Cerita Yahudi tua tentang 

pembuatan Sitti Hawa, bukan menurut “gambarnya Tuhan”, 

namun  dari tulang rusuk Adam, (Qur’an tidak mengatakan 

begitu, meski setengah kaum mengatakannya, namun  dibantah 

oleh kaum muda), tidakkah cerita ini bermaksud 

menggambarkan bahwa wanita  itu yaitu  “kelas dua” 

dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa 

Hawalah, -ai dia! wanita !-, yang menjadi sebabnya Adam 

terusir dari sorga? Bukankah oleh sebab  itu wanita  

lantas dikatakan “makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci? 

 

Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan 

mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan 

Dewa Apollo yang berbunyi: “Bukan Ibu yang membuat anak, 

dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh 

orang laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak 

beristeri”. Maka dibuktikan oleh Apollo kebenaran 

perkataannya yang terakhir ini dengan menunjuk kepada 

Dewi Minerva, yang dilahirkan tidak dengan Ibu, namun  keluar 

“sudah jadi sama sekali” dari kepala bapanya, yaitu Dewa 

Yupiter. Begitu pula di dalam agama Hindu tua wanita  

direndahkan. Di dalam kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu, 

bahwa wanita  itu “selalu memikir kesyahwatan, selalu 

marah, selalu palsu dan tidak jujur ... Menurut tabiatnya, 

wanita  itu selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh 

sebab  itu laki-laki musti selalu hati-hati terhadap kepadanya 

... wanita  tak pernah dapat berdiri sendiri”.  

 

Di lain tempat Manu berkata: “Orang hilang kehormatan 

sebab  wanita ; asalnya permusuhan yaitu  wanita ; 

sebab  itu jauhilah wanita ”. 

 

Agama Buddha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-

konyong menjadi tidak adil kalau membicarakan kedudukan 

kaum wanita : “wanita  itu makhluk dosa; roman-

muka wanita  seperti keramat, tapi hatinya seperti 

syaitan”. 

 

Marilah di sini saya ceritakan satu hal yang lucu. 

 

Sudahkah pembaca pernah mendengar perkataan “couvade”? 

Couvade yaitu  satu adat-kebiasaan yang sampai 

sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di 

kanan-kiri gunung Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita 

Baskia bersalin, maka terjadilah “sandiwara” berikut: Segera 

sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat 

pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat 

itu, mengaduh, merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah 

yang melahirkan anak. Ia berbuat demikian itu dengan 

disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang “menolong” dia, dan 

ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya! 

Segala sesuatu berlaku seolah-olah dia, -laki-laki itu-, yang 


 

melahirkan anak. Isterinya harus berbuat seakan-akan 

padanya “tidak ada apa-apa”. Tamu-tamu itupun sama sekali 

tidak memperdulikan isteri itu. Sebaliknya, sang suami itu 

tadi yang diladeni, sang suami itu tadi yang dijaga, ditolong. 

Sebab sang suami itu tadi yang baru saja “bersalin”! ... 

 

Inilah adat yang dinamakan couvade. Mula-mula orang kira, 

bahwa adat ini hanya terdapat pada bangsa Baskia saja. 

namun  ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika Selatan! 

Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa 

suku di Afrika dan di Asia Marco Polo menjumpainya di 

Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam; Plutarchus di pulau 

Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar di 

mana-mana! 

 

Apa arti couvade itu? Lihatlah, demikian munafiknya laki-laki! 

Wanita yang mengandung, wanita yang melahirkan bayi, 

wanita yang sakit, -namun  itu harus disulap hilang. Dia, laki-

laki, dia yang “bersalin”, dia yang “mengadakan anak”, dia 

yang kuasa. Dia yang berhak! Sungguh menggelikan! 

 

Tentang couvade ini, maka Paul Lafargue menulis dalam 

kitabnya tentang hukum peribuan: “Manusia, makhluk yang 

paling kejam dan paling edan antara segala hewan, sering 

sekali membungkus keadaan-keadaan warga  yang 

penting dengan adat-adat kebiasaan yang paling menggelikan. 

Couvade yaitu  salah satu tipuan yang dijalankan oleh laki-

laki, untuk mengusir wanita dari kedudukannya dan miliknja. 

Fi’il bersalin yaitu  tadinya tanda hak lebih dibandingkan  wanita 

dalam famili namun  laki-laki telah menirukan fi’il ini dengan 

cara yang amat menggeli-kan, untuk meyakinkan dirinya 

sendiri, bahwa dari dialah bayi itu mendapat hidupnya”. 

 

Dari dia! Dari dia! Wanita tidak kuasa apa-apa, wanita 

sekadar alat! 

 

Begitulah kecelakaan yang menimpa Sarinah itu. Alangkah 

kerasnya kejatuhannya itu, dari kedudukan yang. begitu 

mulia kepada kedudukan hina, yang ia nanti musti derita 

beribu-ribu tahun lamanya: tertutup, terkunci, terlantar, 

terabaikan sebagai benda, terhina, tersiksa, terperas 


 

tenaganya seperti sapi. Bagi kita kaum yang sadar di zaman 

sekarang, kejatuhan ini kita rasakan sebagai satu kesedihan 

yang maha sedih, satu tragedi yang maha tragis. namun  

ditinjau dari sudut pertumbuhan warga , maka 

perpindahan hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu 

yaitu  satu kemajuan yang maha besar, satu evolusi 

warga  yang maha penting. Bagi warga  di zaman itu 

perpindahan itu yaitu  satu keharusan sejarah. Sebab 

warga  tak dapat berkembang-biak benar-benar, kalau 

warga  itu terikat kepada perikatan gens dan hukum 

peribuan yang di situ individualitas (keperibadian manusia 

seorang-orang) tak dapat merdeka dan leluasa, tak dapat 

“bertumbuh” dan “berkembang” menurut kehendaknya 

sendiri-sendiri, menurut hasrat sosial sendiri-sendiri. Maka 

oleh sebab  itulah tenaga-tenaga warga  dan tenaga-

tenaga individualitas lantas memberontak kepada ikatan gens 

dan hukum peribuan itu, menghantam hancur perikatan-

perikatan itu, menyapu bersih segala rintangan-rintangan 

yang menghalangi kepada berkembangnya individualitas itu. 

“Kita laki-laki mau merdeka dari asuhan ibu, kita mau 

merdeka mengeluarkan keringat kita buat kita sendiri, dan 

buat anak kita sendiri, kita mau merdeka menyusun 

keluarga!” -itulah semboyan revolusi sosial pertama yang 

maha hebat ini. 

 

Dan r