presiden soekarno 1
Satu pengalaman, beberapa tahun yang lalu, waktu saya
masih “orang interniran”.
Pada suatu hari, saya datang bertamu bersama-sama seorang
kawan dan isteri kawan itu pada salah seorang kenalan saya,
yang memiliki toko kecil. Rumah kediaman dan toko
kenalan saya itu bersambung satu sama lain: bahagian muka
dipakai buat toko, bahagian belakang dipakai buat tempat
kediaman.
Dengan budi yang amat manis kami diterima oleh kenalan itu,
dipersiIakan duduk. Kami, -yaitu kawan saya, isterinya, saya,
dan tuan rumah-, duduk berempat dekat meja tulis toko itu.
Sigaret dikeluarkan, teh dihidangkan. Sesudah bercakap-
cakap sebentar, -“bagaimana kesehatan?”, “bagaimana per-
dagangan?”- maka kami (para tetamu) menerangkan kepada
tuan-rumah, bahwa maksud kami datang, bukanlah untuk
membeli ini atau itu, melainkan semata-mata hanya buat
bertamu saja.
Isteri kawan saya menanyakan: bagaimanakah keadaan
nyonyah rumah? -ia ingin ajar-kenal dengan nyonyah rumah.
Di sini tuan rumah nampak menjadi sedikit kemalu-maluan.
Rupanya ia dalam kesukaran untuk menjawab pertanyaan itu.
Sebentar telinganya menjadi kemerah-merahan, tapi ia
menjawab dengan ramah-tamah: “O, terima kasih, ia dalam
keadaan baik-baik saja, namun sayang seribu sayang ia
kebetulan tidak ada di rumah, -ia menengok bibinya yang
sedang sakit”.
Isteri kawan saya menyesal sekali bahwa nyonyah rumah
tidak ada di rumah; terpaksa ia belum dapat ajar-kenal
dengan dia hari itu.
namun ... tak lama lalu ... saya, yang duduk berhadapan
kain tabir yang tergantung di pintu yang memisah bagian toko
dengan bagian rumah tinggal, saya melihat kain tabir itu
bergerak sedikit, dan saya melihat mata orang mengintai.
Mata orang wanita ! Saya melihat dengan nyata: kaki dan
ujung sarung yang kelihatan dari bawah tabir itu, yaitu kaki
dan ujung sarung wanita !
Dengan segera saya palingkan muka saya, berbicara dengan
tuan rumah dengan memandang muka dia saja. namun pikiran
saya tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar di kepala saya.
Bukankah wanita yang mengintai tadi itu isterinya tuan
rumah? Mana bisa, tuan rumah toh mengatakan, bahwa
isterinya sedang merawat orang sakit? namun ... mengapa ia
tadi kelihatan malu-malu, telinganya kemerah-merahan,
tatkala ditanya di mana isterinya?
Saya ada dugaan keras, bahwa tuan rumah itu tidak berterus-
terang. Rupa-rupanya, isterinya ada di rumah. namun ia tak
mau memanggilnya keluar, supaya duduk di toko bersama-
sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilakan isteri
kawan saya supaya masuk ke dalam, ke bagian belakang,
tempat kediamannya sehari-hari. Barangkali memang tidak
ada tempat penerimaan tamu yang layak, di tempat kediaman
itu. Ia nyata malu ...
Sesudah bercakap-cakap seperlunya, kami bertiga permisi
pulang. Kami mengambil jalan melalui kedai-kedai, dan pasar
pula. Tapi pikiran saya terus melayang. Melayang memikirkan
satu soal, -soal wanita.
Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat
kemerdekaan?
namun , ya -kemerdekaan yang bagaimana?
Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan
feminismekah, yang hendak menyamaratakan wanita
dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini?
Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala
Kollontay?
Seorang kawan saya, -guru sekolah di Bengkulu-, memiliki
seorang isteri yang ia cintai benar. Kedua laki-isteri ini saya
kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti adik
saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan
“modern”, namun isterinya kadang-kadang mengeluh kepada
saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu terkurung.
Di luar pengetahuan isterinya, saya anjurkan kepada kawan
saya itu, supaya ia memberi kemerdekaan sedikit kepada
isterinya. Ia menjawab: Ia tak mengizinkan isterinya ke luar
rumah, justru oleh sebab ia amat cinta dan menjunjung
tinggi kepadanya. Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah,
untuk menjaga jangan sampai isterinya itu dihina orang.
“Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi
kebahagiaannya; saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara”.
. . . “sebagai sebutir mutiara”. . .
Ah, tidakkah banyak suami-suami yang menghargakan
isterinya sebagai mutiara, -namun sebenarnya merusak atau
sedikitnya mengurangi kebahagiaan isterinya itu?
Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai
barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya “sebagai
mutiara”, -namun justru sebagaimana orang menyimpan
mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan
isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk
memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk
merendahkannya, katanya, melainkan justru untuk
menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya.
wanita mereka hargai sebagai Dewi, wanita mereka
pundi-pundikan sebagai Dewi, namun mereka jaga dan awas-
awaskan dan “selalu tolong” juga sebagai satu makhluk yang
sampai mati tidak akan menjadi akil-balig. Kalau saya
memikirkan hal yang demikian ini, maka teringatlah saya
kepada perkataan Professor Havelock Ellis yang berkata,
bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang wanita
sebagai “suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang
tolol”. Dipundi-pundikan sebagai seorang Dewi, dianggap tidak
penuh sebagai seorang tolol!
Tidakkah masih banyak laki-laki yang men-dewi-tolol-kan
isterinya itu? Malahan, tidakkah pada hakekatnya seluruh
peradaban borjuis di negeri-negeri yang telah “sopan” pada
waktu sekarang ini, terhadap kaum wanita berdiri atas
kenyataan “Dewi tolol” itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum
sipil dan adat-istiadat di negeri-negeri borjuis itu sebenarnya
masih men-dewi-tolol-kan wanita ?
Kita, bangsa negara kita , kita terbelakang di dalam banyak
urusan kemajuan. Kita (terutama sekali di luar tanah Jawa) di
dalam urusan posisi wanita pun terbelakang, namun
kebelakangan ini bermanfaat pula: Kita dapat melihat dari
keadaan kaum wanita di negeri-negeri yang lain,
bagaimana soal wanita harus kita pecahkan. Kita dapat
melihat mana yang baik bagi kita, dan mana yang buruk. Yang
baik kita ambil, yang buruk kita buang.
Adakah, misalnya hasil-hasil pergerakan feminisme di Eropa
sudah memuaskan, -memuaskan kepada kaum wanita
Eropa sendiri? Adakah pergerakan neo-feminisme memuaskan
pula kepada kaum wanita Eropa itu? Saya mengetahui, di
negara kita ada wanita-wanita: feminis dan neo-feminis. namun
kepada mereka itu saya ingin bertanya: Tahukan tuan, bahwa
kaum wanita Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil
feminisme atau neo-feminisme itu?
Henriette Roland Holst, itu pemimpin yang berkaliber besar,
pernah mengatakan; bahwa feminisme atau neo-feminisme tak
mampu menutup “scheur” (retak) yang meretakkan peri -
kehidupan dan jiwa kaum wanita , sejak kaum wanita
itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan
sebagai buruh: “scheur” antara wanita sebagai ibu dan
isteri, dan wanita sebagai pekerja di warga . Jiwa
wanita dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan isteri,
namun peri -kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu
cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan
isteri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternyata tidak
mampu menyembuhkan retak ini.
Lagi pula, tidakkah kita melihat ekses (“keliwat batasan”)
pergerakan feminisme di Eropa itu, yang mau
menyamaratakan saja wanita dengan laki-laki, dengan
tak mengingati lagi, bahwa kodrat wanita memang tidak
sama dengan kodrat laki-laki? Maksud feminisme yang mula-
mula baik, yakni persamaan hak antara wanita dan laki-
laki, maksud baik itu di-eksesi (diliwati batasnya dengan
ekses) dengan mencari persamaan segala hal dengan kaum
laki-laki: persamaan tingkah laku, persamaan cara hidup,
persamaan bentuk pakaian, dan lain-lain sebagainya lagi.
Kodrat wanita diperkosa, dipaksa, disuruh menjadi sama
dengan kodrat laki-laki. Ekses yang demikian itu tak boleh
tidak tentu akhirnya membawa kerusakan!
Oleh sebab itu, sekali lagi saya katakan, bahwa kita, di dalam
segala kebelakangan kita itu, berada di dalam posisi manfaat
pula, yaitu dapat mencerminkan warga Republik
negara kita yang hendak kita susun itu, kepada pengalaman-
pengalaman warga wanita di negeri-negeri yang
telah maju. Pelajarilah lebih dulu dalam-dalam pergerakan-
pergerakan wanita di Eropa, sebelum kita mengoper saja
segala cita-citanya dan sepak terjangnya! “Kita mempelajari
sejarah untuk menjadi bijaksana terlebih dahulu”,
demikianlah perkataan John Seeley yang termasyhur.
Perkataan yang ditujukan kepada arti mempelajari sejarah itu,
boleh pula dipakai untuk menjadi pedoman di atas jalan
perjoangan kaum wanita di dalam Republik negara kita
Merdeka.
“Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa,
janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit,
namun cocokkanlah semua barang dengan kodratnya”. Inilah
perkataan Ki Hajar Dewantara yang pernah saya baca. Saya
kira buat soal wanita kalimat ini pun menjadi pedoman
yang baik sekali.
Benar atau tidakkah perasaan saya ini? Sinar mata yang
mengintai itu seakan-akan satu simbul bagi saya, satu
lambang. Sinar mata si nyonya rumah tadi itu yaitu sinar
mata sebagian besar wanita -wanita kita. Kasihan
nyonya rumah tadi itu! Duduk di ruangan muka, di “tempat-
umum”, tidak boleh; namun ia dikurung, ditutup, dipingit;
bukan ditempat yang luas, yang banyak sinar matahari, tidak,
melainkan di satu tempat yang gelap, yang sempit, yang tidak
terpelihara. Tidakkah masih banyak wanita kita bernasib
begini? Merdeka, melihat dunia, tidak boleh, -namun dikurung
pun di satu tempat yang tidak selayaknya!
Ternak masih melihat dunia luaran, namun di beberapa daerah
di negara kita masih banyak Zubaida-Zubaida dan Saleha-
Saleha yang dikurung antara dinding-dinding yang tinggi.
Yang mereka lihat sehari-hari hanyalah suami dan anak,
periuk nasi dan batu pipisan saja. Ya, sekali-sekali mereka
boleh keluar, sekali-sekali, kalau Sang Suami mengizinkan.
Cahaya matanya, yang dulu, waktu mereka masih kanak-
kanak kecil, yaitu begitu hidup dan bersinar, cahaya
matanya itu, lalu , kalau mereka sudah setengah tua,
menjadilah cahaya mata yang seperti mengandung hikayat
yang tiada akhirnya. Cahaya mata, yang seperti memandang
ke dalam keabadian!
Cahaya mata yang demikian itulah yang kulihat mengintai
dari belakang tabir ...
Bagaimanakah pendirian Islam tentang soal wanita ini?
Apakah Islam tidak memiliki hukum-hukum tertentu
tentang wanita , sehingga di dalam Islam tidak ada lagi
soal wanita ?
Saya bukan ahli fiqh. Tentunya agama Islam memiliki
hukum-hukum tertentu tentang wanita .
namun saya mengetahui, bahwa di dalam warga Islam,
dulu dan sekarang, ada beberapa aliran tentang posisi
wanita . Ada yang “kolot”, ada yang “modern”. Ada yang
“sedang”. Semuanya membawa dalil-dalilnya sendiri. Mana
yang benar? Mana yang salah?
Sekali lagi saya berkata: saya bukan ahli fiqh. Saya beragama
Islam, saya cinta Islam, saya banyak mempelajari sejarah
Islam dan gerak-gerik warga Islam, namun sayang seribu
sayang, saya bukan ahli fiqh. Walaupun demikian, saya telah
mencari beberapa tahun lamanya di banyak buku-buku yang
dapat saya baca, bagaimanakah sebenarnya posisi wanita
dalam Islam. Sebagai saya katakan tadi, tentang hal ini saya
menjumpai banyak aliran. Sehingga bolehlah saya katakan di
sini, bahwa di dalam warga Islam pun masih ada soal
wanita . Kesan yang saya dapat dibandingkan apa yang saya
baca itu, yaitu sama dengan kesan yang didapat oleh Miss
Frances Woodsman sesudah beliau mempelajari posisi
wanita di dalam warga Islam itu, yakni kesan,
bahwa soal wanita yaitu justru bagian yang “most
debated” -bagian yang paling menimbulkan pertikaian- di
dalam warga Islam.
Malahan seorang wanita Islam negara kita sendiri, Encik Ratna
Sari, yang dulu di Padang -di dalam satu risalah yang
membicarakan soal wanita , ada menulis: “warga
kita pun masih megandung dilemma’s, soal-soal yang pelik,
yang masih teka-teki sekarang, tapi sangat penting”.
Demikianlah. Saya berpendapat, bahwa soal wanita
seluruhnya (juga dalam warga Islam) masih harus
dipecahkan. Masih satu “soal”. Atau, jikalau, memakai
perkataan Encik Ratna Sari: masih satu “dilemma”, masih
satu “soal yang pelik”. Sekali lagi, soal wanita seluruhnya,
- dan bukan hanya misalnya soal tabir atau lain-lain soal yang
kecil saja! Soal wanita seluruhnya, posisi wanita
seluruhnya di dalam warga , -itulah yang harus
mendapat perhatian sentral, itulah yang harus kita fikirkan
dan pecahkan, agar supaya posisi wanita di dalam
Republik negara kita bisa kita susun sesempurna-
sempurnanya.
Jadi: baik buat fihak yang meneropong soal wanita
dengan teropong fiqh Islam, maupun buat fihak yang
meneropong soal ini dengan teropong Rasionalisme belaka,
soal ini haruslah masih dipandang sebagai satu soal yang
masih perlu kita pecahkan. Dipecahkan, difikirkan, dibolak-
balikkan, bukan saja oleh kaum wanita kita, namun juga
oleh kaum laki-1aki kita, oleh sebab soal wanita yaitu
memang satu soal warga yang teramat penting. Dan
tidakkah Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, bahwa:
“wanita itu tiang negeri. Manakala baik wanita ,
baiklah negeri. Manakala rusak wanita , rusaklah negeri”?
Kaum laki-laki, marilah kita ikut memikirkan soal wanita
ini! Dan marilah kita memikirkan soal wanita ini
bersama-sama dengan kaum wanita !
Sebab di dalam warga sekarang ini, saya melihat bahwa
kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di
atas soal-soal yang mengenai kaum wanita . Dia, kaum
laki-laki, dia lah kadang-kadang merasa dirinya diserahi
memikirkan dan memecahkan soal-soal semacam ini, dia lah
kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana untuk
mengambil keputusan, -sedang kaum wanita tidak diajak
ikut bicara, dan disuruh terima saja apa yang diputuskan oleh
kaum laki-laki itu. Tidakkah misalnya janggal, bahwa soal
tabir di dalam rapat, yang dulu saya persembahkan ke dalam
pertimbangan para pemimpin, diputuskan oleh satu majelis
laki-laki saja, sedang fihak wanita tidak ditanya
pendapatnya sama sekali?
Sesungguhnya, kita harus belajar insyaf, bahwa soal
warga dan negara yaitu soal laki-laki dan wanita ,
soal wanita dan laki-laki. Dan soal wanita yaitu
satu soal warga dan negara. Nanti, jikalau pembaca
telah membaca uraian saya lebih lanjut, maka pembaca akan
mengerti, bahwa soal wanita bukanlah soal buat kaum
wanita saja, namun soal warga , soal wanita dan
laki-laki. Dan sungguh, satu soal warga dan negara yang
amat penting!
Dan oleh sebab soal wanita yaitu soal warga ,
maka soal wanita yaitu sama tuanya dengan
warga ; soal wanita yaitu sama tuanya dengan
kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal laki-laki-wanita
yaitu sama tuanya dengan kemanusiaan. Sejak manusia
hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba dan belum mengenal
rumah, sejak “zaman Adam dan Hawa”, kemanusiaan itu
pincang, terganggu oleh soal ini. Manusia zaman sekarang
mengenal “soal wanita ”, manusia zaman purbakala
mengenal “soal laki-laki”. Sekarang kaum wanita duduk
di tingkatan bawah, di zaman purbakala kaum laki-laki lah
duduk di tingkatan bawah. Sekarang kaum laki-laki yang
berkuasa, di zaman purbakala kaum wanita lah yang
berkuasa. Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki-laki-
wanita , selalu pincang. Dan kemanusiaan akan terus
pincang, selama saf yang satu menindas saf yang lain.
Harmoni hanyalah dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di
atas saf yang lain, namun dua “saf” itu sama derajat, -berjajar-
yang satu di sebelah yang lain, yang satu memperkuat
kedudukan yang lain.
namun masing-masing menurut kodratnya sendiri. Sebab siapa
melanggar kodrat alam ini, ia akhirnya niscaya digilas remuk-
redam oleh Alam itu sendiri. Alam benar yaitu “sabar”, Alam
benar tampaknya diam, -namun ia tak dapat diperkosa, ia tak
mau diperkosa. Ia tak mau ditundukkan.
Ia menurut kata Vivekananda yaitu “berkepala batu”!
Allah telah berfirman, bahwa Ia membuat segala hal
berpasang-pasangan. Firman ini tertulis dalam surat Yasin
ayat 36: “Maha mulia lah Dia, yang menjadikan segala sesuatu
berpasang-pasangan”; dalam surat Az-Zukhruf ayat 1.2: “Dan
Dia yang menjadikan segala hal berpasang-pasangan dan
membuat bagimu perahu-perahu dan ternak, yang kamu
tunggangi”; dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49: “Dan dari tiap-
tiap barang kita membuat pasang-pasangan, agar supaya
kamu ingat”. Perhatikan: Segala barang, segala hal. Jadi
bukan saja manusia berpasang-pasangan, bukan saja kita ada
lelakinya dan ada wanitanya.
Binatang ada jantannja, bunga-bungapun ada lelakinya dan
wanita nya, alam ada malamnya dan siangnya-, barang-
barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada
aksinya dan reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan
negatifnya, segala kedudukan ada these dan anti-thesenya.
Ilmu yang maha hebat, yang maha mengagumkan ini telah
keluar dari Mulutnya Muhammad s.a.w. ditengah-tengah
padang pasir, beratus-ratus tahun sebelum di Eropa ada
maha-guru maha-guru sebagai Maxwell, Pharaday, Nicola
Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau William Thompson.
Maha bijaksanalah Mulut yang mengikrarkan perkataan-
perkataan itu, maha hikmatlah isi yang tercantum di dalam
perkataan-perkataan itu! Sebab di dalam beberapa perkataan
itu saja termaktublah segala sifat dan hakekat alam!
Alam membuat manusia berpasang-pasangan. Laki-laki tak
dapat ada jika tak ada wanita , wanita tak dapat ada
jika tak ada laki-laki. Laki-laki tak dapat hidup normal dan
subur tak dengan wanita , wanita pun tak dapat
hidup normal dan subur tak dengan laki-laki. Olive Schreiner,
seorang idealis wanita bangsa Eropa, di dalam bukunya
“Drie dromen in de Woestijn”, pernah memperlambangkan
lelaki dan wanita itu sebagai dua makhluk yang terikat
satu kepada yang lain oleh satu tali gaib, satu “tali hidup”, -
begitu terikat yang satu kepada yang lain, sehingga yang satu
tak dapat mendahului selangkah-pun kepada yang lain, tak
dapat maju setapakpun dengan tidak membawa juga kepada
yang lain. Olive Schreiner yaitu benar: Memang begitulah
keadaan manusia! Bukan saja laki dan wanita tak dapat
terpisah satu dibandingkan yang lain, namun juga tiada warga
manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-wanita
yang satu tidak membawa yang lain. sebab nya, janganlah
warga laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju dan
subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan warga
wanita pula.
Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu
kultur yang sewajar-wajarnja kultur, kalau wanita
dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarikh
menetapkan, bahwa kultur Yunani jatuh, sebab wanita
dihinakan di dalam kultur Yunani itu. Nazi Jerman jatuh, oleh
sebab di Nazi Jerman wanita dianggap hanya baik buat
Kirche-Kiiche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur
warga Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan
kaum wanita pula ditempatnya yang seharusnya, maka
matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnya suram!
Sesungguhnya benarlah perkataan Charles Fourrier kalau ia
mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan
sesuatu warga , yaitu ditetapkan oleh tinggi rendahnya
tingkat kedudukan wanita di dalam warga itu. Atau,
benarlah pula perkataan Baba O’illah, yang menulis, bahwa
“laki-laki dan wanita yaitu sebagai dua sayapnya seekor
burung”. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah
burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika
patah satu dibandingkan dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang
burung itu sama sekali.
Perkataan Baba O’illah ini sudah sering kali kita baca.
namun walaupun perkataannya itu hampir basi, -
kebenarannya akan tinggal ada, buat selama-lamanya.
Jadi: laki-laki dan wanita menetapkan sifat hakekat
masing-masing. Tali hidup yang ditamsilkan oleh Olive
Schreiner itu, bukan tali hidup sosial saja, bukan tali hidup
yang sebab bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja.
Lebih asli dibandingkan pertalian perumahan yang satu dan piring
nasi yang satu, yaitu tali hidupnya kodrat alam sendiri. Tali
hidup “sekse”! Laki-laki tak dapat subur jika tak ada tali sekse
ini, wanita pun tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini.
Dan bukan tali sekse yang tali seksenya fungsi biologis saja,
tapi juga tali seksenya jiwa. Tiap-tiap sundal yang setiap hari
barangkali menjual tubuhnya lima atau sepuluh kali,
mengetahui, bahwa “tubuh” masih lain lagi dibandingkan “jiwa”.
Dengan menjual tubuh yang sampai sekian kali setiap hari itu,
masih banyak sekali sundal yang dahaga kepada cinta. Tali
sekse jasmani dan tali sekse rohani, -itulah satu bagian dari
“tali hidup” yang dimaksudkan oleh Olive Schreiner, yang
mempertalikan laki-laki dan wanita itu. Memang tali
sekse jasmani dan rohani inilah kodrat tiap-tiap makhluk, dus
juga kodrat tiap-tiap manusia. Manakala tali sekse rohani
dihilangkan dan hanya tali sekse jasmani saja yang
dipuaskan, maka tidak puaslah kodrat alam itu. Pada
permulaan diadakan kultur baru di Sovyet Rusia, maka ekses
perhubungan antara laki-laki dan wanita yaitu keliwat.
“Tali sekse” dianggap sebagai suatu keperluan tubuh saja,
sebagai misalnya tubuh perlu kepada segelas air kalau tubuh
itu dahaga. “Teori air segelas” ini di tahun-tahun yang mula-
mula sangat laku di kalangan pemuda-pemuda di Rusia.
Madame Kollontay menjadi salah seorang penganjurnya. Siapa
merasa dahaga seksuil, ia mengambil air yang segelas itu; -
“habis minum”, sudahlah pula. Beberapa tahun lamanya teori
air segelas ini laku. namun lalu ... lalu kodrat alam
bicara. Kodrat alam tidak puas dengan segelas air saja, kodrat
alam minta pula minuman jiwa. Kodrat alam minta “cinta”
yang lebih memuaskan cita, “cinta” yang lebih suci. Lenin
sendiri gasak teori air segelas ini habis-habisan dari
semulanya ia muncul. Dan sekarang orang di sana telah
meninggalkan sama sekali teori itu, orang telah mendapat
pengalaman, bahwa Alam tak dapat didurhakai oleh sesuatu
teori.
Semua ahli-ahli fiIsafat dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali
sekse itu yaitu salah satu faktor yang terpenting, salah satu
motor yang terpenting dari peri-kehidupan manusia. Di
samping-nya nafsu makan dan minum, ia yaitu motor yang
terkuat. Di samping nafsu makan dan minum, ia menentukan
perikehidupan manusia.
Malahan ahli fiIsafat Schopenhauer ada berkata: “Syahwat
yaitu penjelmaan yang paling keras dibandingkan kemauan akan
hidup. Keinsyafan kemauan akan hidup ini memusat kepada
fi’il membuat turunan,” begitulah ia berkata.
Kalau tali sekse diputuskan buat beberapa tahun saja, maka
manusia umumnya menjadi abnormal. Lihatlah keadaan di
dalam penjara, baik penjara buat orang laki-laki, maupun
penjara buat orang wanita . Dua kali saya pernah
meringkuk agak lama dalam penjara, dan tiap-tiap kali yang
paling mendirikan bulu saya ialah keabnormalan manusia-
manusia di dalam penjara itu. Percakapan-percakapan
menjadi abnormal, tingkah laku menjadi abnormal. Sering
saya melihat orang-orang di dalam penjara, yang seperti
seperempat gila! Laki-laki mencari kepuasan kepada laki-laki,
dan direksi terpaksa memberi hukuman yang berat-berat.
Pembaca barangkali tersenyum akan pemandangan saya yang
“mentah” ini, dan barangkali malahan menyesali
kementahannya. Pembaca barangkali mengemukakan nama
orang-orang besar, nama Nabi Isa, nama Gandhi, nama
Mazzini, yang menjadi besar, antara lain-lain sebab tidak
memiliki isteri atau tidak mencampuri isteri. Ah, ...
beberapa nama! Apakah artinya beberapa nama itu, jika
dibandingkan dengan ratusan juta manusia biasa di muka
bumi ini, yang semuanya hidup menurut kodrat alam? Kita di
sini membicarakan kodrat alam, kita tidak membawa-bawa
moral. Alam tidak mengenal moral, -begitulah Luther berkata.
Beliau berkata lagi: “Siapa hendak menghalangi perlaki-
isterian, dan tidak mau memberi haknya kepadanya,
sebagai yang dikehendaki dan dimustikan oleh alam, -ia sama
saja dengan menghendaki yang alam jangan alam, yang api
jangan menyala, yang air jangan basah, yang manusia jangan
makan, jangan minum, jangan tidur!” Tali sekse itu memang
bukan perkara moral. Tali sekse itu tidak moril, ia tidak pula
immoril. Tali sekse itu yaitu menurut kodrat, sebagai lapar
yaitu menurut kodrat, dan sebagai dahaga yaitu menurut
kodrat pula!
Apakah maksud saya dengan uraian tentang tali sekse ini?
Pembaca, nyatalah, bahwa baik laki-laki, maupun wanita
tak dapat normal, tak dapat hidup sebagai manusia normal,
kalau tidak ada tali sekse ini. namun bagaimanakah pergaulan
hidup di zaman sekarang? warga sekarang di dalam hal
inipun, -kita belum membicarakan hal lain-lain!- tidak adil
kepada wanita . wanita di dalam hal inipun suatu
makhluk yang tertindas. wanita bukan saja makhluk
yang tertindas kewarga annya, namun juga makhluk yang
tertindas ke-sekse-annya. warga kapitalistis zaman
sekarang yaitu warga , yang membuat pernikahan
suatu hal yang sukar, sering kali pula suatu hal yang tak
mungkin. Pencaharian nafkah, -struggle for life- di dalam
warga sekarang yaitu begitu berat, sehingga banyak
pemuda sebab kekurangan nafkah tak berani kawin, dan tak
dapat kawin. Perkawinan hanyalah menjadi privilegenya (hak-
lebihnya) pemuda-pemuda yang ada kemampuan rezeki
sahaja. Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu
sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-
kadang sampai umur empat puluh tahun. Pada waktu ke-
sekse-an sedang sekeras-kerasnya, pada waktu ke-sekse-an
itu menyala-nyala, berkobar-kobar sampai kepuncak-
puncaknya jiwa, maka perkawinan buat sebagian dari
kemanusiaan yaitu suatu kesukaran, suatu hal yang tak
mungkin. namun , ... api yang menyala-nyala di dalam jiwa laki-
laki dapat mencari jalan keluar -meliwati satu “pintu
belakang” yang hina-, menuju kepada perzinahan dengan
sundal dan perbuatan-perbuatan lain-lain jang keji-keji. Dunia
biasanya tidak akan menunjuk laki-laki yang demikian itu
dengan jari tunjuk, dan berkata: cih, engkau telah berbuat
dosa yang amat besar! Dunia akan anggap hal itu sebagai satu
“hal biasa”, yang “boleh juga diampuni”. namun bagi
wanita “pintu belakang” ini tidak ada, atau lebih benar:
tidak dapat dibuka, dengan tak (alhamdulillah) bertabrakan
dengan moral, dengan tak berhantaman dengan kesusilaan, -
dengan tak meninggalkan cap kehinaan di atas dahi
wanita itu buat selama-lamanya. Jari telunjuk
warga hanya menuding kepada wanita saja, tidak
menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua
fihak secara adil. Keseksean laki-laki setiap waktu dapat
merebut haknya dengan leluasa, -kendati warga tak
memudahkan perkawinan-, namun keseksean wanita
terpaksa tertutup, dan membakar dan menghanguskan kalbu.
wanita banyak yang menjadi “terpelanting mizan” oleh
sebab nya, banyak yang menjadi putus asa oleh sebab nya.
Bunuh diri kadang-kadang menjadi ujungnya. Statistik Eropa
menunjukkan, bahwa di kalangan kaum pemuda, antara
umur 15 tahun dan 30 tahun, yakni waktu keseksean sedang
sehebat-hebatnya mengamuk di kalbu manusia, lebih banyak
wanita yang bunuh diri, dibandingkan kaum laki-laki. Jikalau
diambil prosen dari semua pembunuhan diri, maka buat
empat negeri di Eropa pada permulaan abad ke-20,
Ternyatalah, bahwa di semua negeri ini lebih banyak
wanita muda bunuh diri dibandingkan laki-laki muda.
Sebabnya? Sebabnya tak sukar kita dapatkan. Keseksean
yang terhalang, cinta yang tak sampai; kehamilan yang
rahasia, itulah biasanya yang menjadi sebab.
Adakah keadaan di negeri kita berlainan? Di sini tidak ada
statistik bunuh diri, tapi saya jaminkan kepada tuan: enam
atau tujuh dibandingkan sepuluh kali tuan membaca kabar
seorang pemuda bunuh diri di surat-surat kabar, yaitu
dikerjakan oleh pemuda wanita . Di dalam warga
sekarang, wanita yang mau hidup menurut kodrat alam
tak selamanya dapat, sebab warga itu tak mengasih
kemungkinannya. Di beberapa tempat di Sumatera Selatan
saya melihat “gadis-gadis tua”, yang tak dapat perjodohan,
sebab adat memasang banyak-banyak “rintangan, misalnya
uang-antaran yang selalu terlalu mahal, kadang-kadang
sampai ribuan rupiah. Roman mukanya gadis-gadis itu seperti
sudah tua, padahal mereka ada yang baru berumur 25 tahun,
30 tahun, 35 tahun. Di daerah negara kita yang lain-lain, saya
melihat wanita -wanita yang sudah umur 40 atau 45
tahun, namun yang roman-mukanya masih seperti muda-
muda. Adakah ini oleh sebab wanita -wanita di lain-
lain tempat itu barangkali lebih cakap “make-up”-nya dibandingkan
wanita di beberapa tempat di Sumatera Selatan itu? Lebih
cakap memakai bedak, menyisir rambut, memotong baju,
mengikatkan sarung? Tidak, sebab wanita di tempat-
tempat yang saya maksudkan itupun tahu betul rahasianya
bedak, menyisir rambut, memotong baju dan mengikatkan
kain. namun sebabnya “muka tua” itu ialah oleh sebab
mereka terpaksa hidup sebagai “gadis tua”, -tak ada suami,
tak ada teman hidup, tak ada kemungkinan menemui kodrat
alami. Di dalum bukunya tentang soal wanita , August
Bebel mengutip perkataan Dr. H. Plosz yang mengatakan,
bahwa sering ia melihat, betapa wanita -wanita yang
sudah hnmpir peyot lantas seakan-akan menjadi muda
kembali, kalau mereka itu mendapat suami. “Tidak jarang
orang melihat bahwa gadis-gadis yang sudah layu atau yang
hampir-hampir peyot, kalau mereka mendapat kesempatan
bersuami, tidak lama sesudah perkawinannya itu lantas
menjadi sedap kembali bentuk-bentuk badannya, merah
kembali pipi-pipinya, bersinar lagi sorot matanya. Maka oleh
sebab itu, perkawinan boleh dinamakan sumber ke-muda-an
yang sejati bagi kaum wanita ”, begitulah kata Dr. Plosz
itu.
namun kembali lagi kepada apa yang saya katakan tadi:
warga kapitalistis yang sekarang ini, yang menyukarkan
sekali struggle for life bagi kaum bawahan, yang di dalamnya
amat sukar sekaIi orang mencari nafkah, warga
sekarang ini tidak menggampangkan pernikahan antura laki-
laki dan wanita . Alangkah baiknya sesuatu warga
yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang
mau nikah! Orang pernah tanya kepada saya: “Bagaimanakah
rupanya warga yang tuan cita-citakan?” Saya menjawab:
“Di dalam warga yang saya cita-citakan itu, tiap-tiap
orang lelaki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang wanita
bisa mendapat suami”. Ini terdengarnya mentah sekaIi, tuan
barangkali akan tertawa atau mengangkat pundak tuan, namun
renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan
saya di atas tadi, dan lalu katakanlah, apa saya tidak
benar? Di dalam warga yang struggle for life tidak
seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin,
di dalam warga yang demikian itu, niscaya persundalan
boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi “luar biasa” dan
bukan satu kanker sosial yang permanen yang banyak
korbannya. Prof. Rudolf Eisler di dalam buku kecilnya tentang
sosiologi pernah menulis tentang persundalan ini: “Keadaan
sekarang ini hanyalah dapat menjadi baik kalau peri-
kehidupan ekonomi menjadi baik, dan mengasih kesempatan
kepada laki-laki akan menikah pada umur yang lebih muda,
dan mengasih kesempatan kepada wanita -wanita
yang tidak nikah, buat mencari nafkah sonder pencaharian-
pencaharian tambahan yang merusak kehormatan”.
Pendek kata: pada hakekat yang sedalam-dalamnya, soal
perhubungan antara laki-laki dan wanita , jadi sebagian
dibandingkan “soal wanita ” pula, bolehlah kita kembalikan
kepada pokok yang saya sebutkan tadi: yakni soal dapat atau
tidak dapat haknya keseksean, soal dapat atau tidak dapat
alam bertindak sebagai alam. Di mana alam ini mendapat
kesukaran, di mana alam ini dikurangi haknya, di situlah soal
ini menjadi genting. Saya tidak ingin kebiadaban, saya tidak
ingin tiap-tiap manusia mengumbar hantam-kromo saja
meliwat-bataskan ke-sekse-annya, saya cinta kepada
ketertiban dan peraturan, saya cinta kepada hukum, yang
mengatur perhubungan laki-wanita di dalam pernikahan
menjadi satu hal yang luhur dan suci, namun saya kata, bahwa
warga yang sekarang ini di dalam hal ini tidak adil
antara laki-laki dan wanita . Laki-laki minta haknya
menurut kodrat alam, wanita pun minta haknya menurut
kodrat alam. Ditentang haknya menurut kodrat alam ini tidak
ada perbedaan antara lelaki dan wanita . Tapi, dari
warga sekarang, lelaki nyata mendapat hak yang lebih,
nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan.
Sebagai makhluk perseksean, sebagai geslachtswezen,
wanita nyata terjepit, sebagaimana ia sebagai makhluk
warga atau makhluk sosial juga terjepit. Laki-laki hanya
terjepit sebagai makhluk sosial saja di dalam warga
sekarang ini, tapi wanita yaitu terjepit sebagai makhluk
sosial dan sebagai makhluk perseksean.
Alangkah baiknya warga yang sama adil di dalam hal ini.
Yang sama adil pula di dalam segala hal yang lain-lain.
Saya akui, yaitu perbedaan yang fundamentil antara lelaki
dan wanita . wanita tidak sama dengan laki-laki, laki-
laki tidak sama dengan wanita . Itu tiap-tiap hidung
mengetahuinya. Lihatlah perbedaan antara tubuh wanita
dengan tubuh laki-laki; anggota-anggotanya lain, susunan
anggotanya lain, fungsi-fungsi anggotanya (pekerjaannya) lain.
namun perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini
hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat
alam, yaitu tujuan mengadakan turunan, dan memelihara
turunan itu.
Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam
mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi
masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya
tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat
“kelaki-lakian” kepada laki-laki, dan mengasih fungsi serta
alat-alat “kewanita an” kepada wanita : Buat laki-laki:
memberi dzat anak; buat wanita : menerima dzat anak,
mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak,
memelihara anak. namun tidaklah perbedaan-perbedaan ini
harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-
kehidupan wanita dan laki-laki sebagai makhluk
warga .
Sekali lagi: ada perbedaan antara laki-laki dan wanita .
namun sekali lagi pula saya ulangi di sini, bahwa perbedaan-
perbedaan itu HANYALAH sebab dan untuk tujuan kodrat
alam, yakni HANYALAH sebab dan untuk tujuan perlaki-
isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi saya katakan,
kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini yaitu perbedaan
psikhis pula antara laki-laki dan wanita , yakni perbedaan
jiwa. Professor Heymans, itu ahli jiwa yang kesohor, yang
mempelajari jiwa wanita dalam-dalam, mengatakan,
bahwa wanita itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat
a1am itu, yaitu melebihi laki-laki di lapangan “emotionalitas”
(rasa terharu), “aktivitas” (kegiatan), dan “kharitas”
(kedermawaan). wanita lebih lekas tergoyang jiwanya
dibandingkan laki-laki, lebih lekas marah namun juga lebih lekas
cinta lagi dibandingkan laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas
“termakan” oleh kepercayaan, lebih ikhlas. dan kurang
serakah, lebih lekas terharu, lebih lekas meng-idealisirkan
orang lain, lebih boleh dipercaya, lebih gemar kepada anak-
anak dan perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini
mengenai jiwa. namun anggapan orang, bahwa wanita itu
akalnya kalah dengan laki-laki, ketajaman otaknya kalah
dengan laki-laki, anggapan orang demikian itu dibantah oleh
Prof. Heymans itu dengan tegas dan jitu: “Menurut pendapat
saya, kita tidak memiliki hak sedikitpun, buat mengatakan,
bahwa akal wanita kalah dengan akal laki-laki”...
Tiap-tiap guru dapat membenarkan perkataan Profesor
Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di H.B.S.
mengalami, bahwa seringkali murid lelaki “payah” berlomba
kepandaian dengan teman-teman wanita dan malahan
pula sering-sering “terpukul” oleh teman-teman wanita
itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun
saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang
wanita umumnya tak kalah dengan murid-murid saya
yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya
Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929
mengunjungi negara kita , dan lalu menjadi maha guru di
sekolah tinggi Istambul di dalam mata pelajaran itu pula,
menerangkan, bahwa studen-studennya yang wanita tak
kalah dengan studen-studen laki-laki “Mereka selamanya
boleh diajak memutarkan otaknya di atas soal-soal yang maha
sukar”. Profesor O’Conroy yang dulu menjadi maha guru di
Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya
tentang negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan
ujian-ujian perbandingan (vergelijkende examens) antara lelaki
dan wanita oleh kantor-kantor gubernemen atau kantor-
kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum
wanita nyata lebih unggul dibandingkan kaum laki-laki.
Ada-ada saja alasan yang orang cari buat “membuktikan”,
bahwa kaum wanita “tak mungkin” menyamai (jangan lagi
melebihi!) kaum laki-laki ditentang ketajaman otak. Orang
katakan, bahwa otak wanita kalah banyaknya dengan
otak laki-laki! Orang lantas keluarkan angka-angka hasil
penyelidikan ahli-ahli, seperti Bischoff, seperti Boyd, seperti
Marchand, seperti Retzius, seperti Grosser. Orang lantas
membuat daftar sebagai di bawah ini:
Nah, kata mereka, mau apa lagi? Kalau ambil angka-angka
Retzius dan Grosser, maka otak laki-laki rata-rata beratnya
1.388 gram, dan otak wanita rata-rata 1.252 gram! Mau
apa lagi? Tidakkah ternyata laki-laki lebih banyak otaknya
dibandingkan wanita ?
Ini jago-jago kaum laki-laki lupa, bahwa tubuh laki-laki juga
lebih berat dan lebih besar dibandingkan tubuh wanita !
Berhubungan dengan lebih besarnya tubuh laki-laki itu, maka
Charles Darwin yang termasyhur itu berkata: “Otak laki-laki
memang lebih banyak dari otak wanita . namun , jika
dihitung dalam perbandingan dengan lebih besarnya badan
laki-laki, apakah otak laki-laki itu benar lebih besar?” Kalau
dihitung di dalam perbandingan dengan beratnya tubuh, maka
ternyatalah (demikianlah dihitung) bahwa otak wanita
yaitu rata-rata 23,6 gram per kg. tubuh, namun otak laki-laki
hanya ... 21,6 gram per kg. tubuh! Jadi kalau betul ketajaman
akal itu tergantung dari banyak atau sedikitnya otak, kalau
betul banyak-sedikitnya otak menjadi ukuran buat tajam atau
tidak-tajamnya fikiran maka wanita musti selalu lebih
pandai dari kaum laki-laki!
Ya, kalau betul ketajaman akal tergantung dari banyak
sedikitnya otak! namun bagaimana kenyataan? Bagaimana
hasil penyelidikan otaknya orang-orang yang termasyhur
sesudah mereka mati? Ada ahli-ahli fikir yang banyak
otaknya, namun ada pula harimau-harimau fikir yang tidak
begitu banyak otaknya! Cuvier, itu ahli fikir, otaknya 1.830
gram, Byron itu penyair besar, 1.807 gram, Mommsen 1.429,4
gram, namun gembong ilmu hitung Gausz hanya 1.492 gram,
ahli faIsafah Hermann hanya 1.358 gram, (di bawah “nomor”!),
gajah faIsafah dan ilmu hitung Leibniz hanya 1.300 gram (di
bawah “nomor”!), jago phisica Bunsen hanya 1.295 gram (di
bawah “nomor”!), kampiun politik Perancis Gambetta hanya
1.180 gram (malahan di bawah “nomor-wanita ” sama
sekali!).
Sebaliknya, Broca, itu ahli fisiologi Paris yang termasyhur,
pernah mengukur isi tengkorak-tengkorak manusia dari
Zaman Batu, - dari zaman tatkala manusia masih biadab dan
bodoh! - dan ia mendapat hasil rata-rata 1.606 cms, satu
angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan angka-angka isi
tengkorak dari zaman sekarang. Malahan teori “lebih banyak
otak lebih pandai” ini ternyata pula menggelikan, sebab
Bischoff pernah menimbang otak mayat seorang kuli biasa, -
tentu seorang-orang bodoh-, dan dia mendapat record 2.222
gram!, sedang Kohlbrugge berkata, bahwa “otak orang-orang
yang gila atau idioot sering sekali sangat berat”! Dari mana
orang masih mau tetap menuduh bahwa orang wanita
kurang tajam fikiran, sebab orang wanita kurang banyak
otaknya kalau dibandingkan dengan orang laki-laki?
Tidak, “alasan otak” ini yaitu alasan kosong. “Alasan otak”
ini sudah lama dibantah, dihantam, dibinasakan oleh ilmu
pengetahuan! Bebel di dalam bukunya mengumpulkan
ucapan-ucapan ahli wetenschap tentang “alasan otak” ini.
Raymond Pearl berkata: “Tidak ada satu bukti, bahwa antara
ketajaman akal dan beratnya otak ada perhubungan satu
dengan yang lain”; Duckworth menetapkan: “Tidak ada bukti,
bahwa manusia yang banyak otaknya itu tentu orang yang
tajam akal”; dan Kohlbrugge menulis pula: “Antara ketajaman
akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa”. Dan
tidakkah ada cukup bukti, bahwa wanita sama tajam
fikirannya dengan kaum laki-laki, sebagai dikatakan oleh
Profesor Heymans, Prof. Freundlich, Profesor O’Conroy itu tadi,
dan boleh ditambah lagi dengan berpuluh-puluh lagi
keterangan ahli-ahli lain yang mengakui hal ini, kalau kita
mau? Tidakkah kita sering mendengar nama wanita -
wanita yang menjadi bintang ilmu pengetahuan atau
politik, sebagai Madame Curie, Eva Curie, Clara Zetkin,
Henriette Roland Holst, Sarojini Naidu, dll?
Tuan barangkali akan membantah, bahwa jumlah wanita -
wanita kenamaan itu belum banyak, dan bahwa di dalam
warga sekarang kebanyakannya kaum laki-lakilah yang
memegang obor ilmu pengetahuan dan faIsafah dan politik.
Benar sekali, tuan-tuan: Di dalam warga sekarang!
Benar sekali: di dalam warga sekarang ini, di mana laki-
laki mendapat lebih banyak kesempatan buat menggeladi
akal-fikirannya, maka kaum laki-lakilah yang kebanyakan
menduduki tempat-tempat kemegahan ilmu dan pengetahuan.
Di dalam warga sekarang ini, di mana kaum wanita
banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih
kesempatan maju ke muka di lapangan warga , banyak
yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu, maka tidak
heran kita, bahwa kurang banyak kaum wanita yang ilmu
dan pengetahuannya membubung ke udara. Tapi ini tidak
menjadi bukti bahwa dus kwalitas otak wanita itu kurang
dari kwalitas otak kaum lelaki, atau ketajaman otak
wanita kalah dengan ketajaman otak laki-laki.
Kwalitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya
sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama,
kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh
sebab itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya
kesempatan oleh warga sekarang kepada kaum
wanita , maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidak-
adilan warga terhadap kepada kaum wanita itu!
Bahkan terhadap fungsi kodrat dari kaum wanita yang
kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima
benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui
anak, memelihara anak, -terhadap fungsi kodrat inipun dunia
laki-laki masih kurang menghargakan kaum wanita !
Orang laki-laki membusungkan dadanja, seraya berkata -kita,
kaum laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani
menghadapi bahaya- bahaya yang besar. “Apakah yang
wanita perbuat?” Orang laki-laki mengagul-agulkan
kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah
jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah, seraya
berkata: “Bahaya apakah yang wanita hadapi?” Orang
lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di
zaman purbakala, tatkala hukum warga belum seperti
sekarang ini, ialah di dalam zaman “hukum per-ibuan” alias
matriatchat, -yang di dalam Bab III dan. IV akan saya
terangkan panjang lebar-, kaum wanita lah yang
mengemudi warga , kaum wanita lah yang kuasa,
kaum wanita lah yang mengepalai peperangan, kaum
wanita lah memanggul senjata, kaum wanita lah
mengorbankan jiwanya guna sejarah. Dan lagi ... apakah
benar peperangan lebih berbahaya dibandingkan melahirkan anak?
Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban
dibandingkan melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat menerangkan,
bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di
sepanjang hidup seseorang manusia. Tiap-tiap ibu pernah
menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam hidupnya, yakni
pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah
berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita
pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir di
muka kita?
Terutama di negeri-negeri yang belum besar usaha
kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia di
zaman sekarang, tidak sedikit jumlah wanita yang jatuh
di atas padang kehormatan melahirkan anak. Dulu di negeri
Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman seluruhnya)
antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran
sudah mulai subur, jumlah wanita yang meninggal
sebab melahirkan anak yaitu 321.791 orang, -yakni rata-
rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri 1nggeris
antara tahun 1.847 dan 1.901 yaitu 213.533, yakni, kendati
waktu itu ilmu dan ikhtiar kedokteran telah maju pula, tak
kurang dari 4.000 setahun tahunnya! “Coba orang laki-laki
musti menanggung sengsara seperti wanita ini, maka
barangkali segala apa diributkan untuk menolongnya!”,
begitulah kata Profesor Herff. Di Eropa, jumlah-jumlah itu
sekian besarnya! Betapa pula di kampung-kampung dan di
dusun-dusun kita, di mana dokter belum dikenal orang!
Betapa pula keadaan di kalangan Sarinah! Maka benar sekali
konklusi August Hebel, kalau ia mengatakan, bahwa di dalam
sejarah manusia ini, kalau dijumlahkan, lebih banyak
wanita melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan
melahirkan bayi, dari pada laki-laki melepaskan jiwanya di
atas padang kehormatan peperangan.
Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum
wanita . Ia mentertawakan wanita yang hamil, ia
meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia
sendiri yaitu hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya
yang bertahun-tahun. “Bagi dia, bagi laki-laki”; -begitulah
Edward Carpenter, seorang pembela wanita di negeri
Inggeris, berkata –“bagi laki-laki maka persetubuhan itu
yaitu satu peringanan dan satu kenikmatan. Ia lalu
pergi, dan tidak ingat lagi akan perbuatannya itu. namun buat
wanita fi’il ini yaitu satu hal yang paling mulia dan
paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang
maha rahasia dan maha penting. Bagi wanita , fi’il ini
yaitu satu perbuatan yang banyak akibat-akibatnya, satu
perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan lagi,
-satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan
segala akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ...
Hanya sedikit kaum laki-laki, barangkali tidak ada
seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa ibu
di dalam kalbu seorang wanita , tidak seorangpun yang
ikut merasakan kebahagiaannya dan harapan-harapannya,
atau keluh-kesahnya dan ketakutannya yang maha pedih.
Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat,
bahwa apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat;
ketakutannya, kalau-kalau apa yang dikandungnya itu tidak
selamat seperti yang diharap-harapkannya, keridlaannya buat
kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi
itu bisa lahir dengan selamat, semua yaitu hal-hal yang
orang laki-laki tak dapat mengira-ngirakan atau meraba-
rabakan. lalu , lalu dibandingkan itu, pengorbanan
yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil;
keletihan dan kepayahan yang bertahun-tahun, yang
semasekali mendorong ke belakang segala fikiran-fikiran akan
kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang
tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan
lalu lagi, rasa pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-
laki dan anak wanita itu masuk ke dunia ramai dan
memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini
tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali
ari-ari diputuskan pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini,
wanita tak boleh mengharap akan dapat rasa simpati dari
fihak kaum laki-laki”.
Begitulah perkataan Edward Carpenter. Moga-moga Allah
melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di dunia, yang
semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah
limpahkan rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan
itu, kepada ini “Bouwsters der Menschheid” yang semuanya
tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta
dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita
semua, agar supaya kita lebih menghormati dan menghargai
kaum wanita itu!
Janganlah kaum laki-laki lupa, bahwa sifat-sifat yang kita
dapatkan sekarang pada kaum wanita itu, dan membuat
kaum wanita itu menjadi dinamakan “kum lemah”, “kaum
bodo”, “kaum singkat pikiran”, “kum nerimo”, dan 1ain-1ain
bukanlah sifat-sifat yang sebab kodrat ada terlekat pada
kaum wanita , namun yaitu buat sebagian besar hasilnya
pengurungan dan perbudakan kaum wanita yang turun-
temurun, beratus tahun, beribu tahun. Di zaman dulu,
sebagai saya katakan tadi, di zamannya matriarchat yang
nanti di dalam Bab III dan IV akan saya terangkan lebih jelas,
di zaman dulu itu sifat-sifat kelemahan itu tidak ada. Ilmu
pegetahuan yang modern telah menetapkan pengaruh
keadaan (milieu) di atas jasmani dan rohani manusia. Apa
sebab kaum kuli dan tani badannya umumnya lebih besar dan
kuat dibandingkan kaum “atasan”? Oleh sebab milieu kuli yaitu
mengasih kesempatan kepada badan si kuli itu untuk menjadi
besar dan menjadi kuat. Apa sebab wanita -wanita
kuli lebih kuat dan besar dari wanita kaum “atasan”?
Oleh sebab milieu wanita kuli yaitu lain dibandingkan
milieu wanita kaum atasan. Apa sebab bangsa-bangsa
negeri dingin tabiatnya lebih dinamis, lebih giat, lebih ulet
dibandingkan bangsa-bangsa di negeri panas? Oleh sebab milieu
di negeri dingin memaksa kepada manusia supaya sangat giat
di dalam struggle for life, sedang di negeri panas seperti
misalnya di negara kita sini manusia bisa hidup dengan
setengah menganggur, -dengan tak berbaju, tak berumah,
dengan tak usah banyak membanting tulang. H.H.Van Kol di
dalam bukunya tentang negeri Nippon menerangkan, bahwa
bangsa Nippon di zaman yang akhir-akhir ini yaitu kurang
cebol dibandingkan dulu (kakinya menjadi lebih panjang dengan
rata-rata 2 cm!), sesudah orang Nippon itu banyak meniru
milieu Eropah, yakni duduk di atas kursi.
Maka begitu jugalah ada akibat milieu atas kaum wanita .
Dulu kaum wanita tidak lemah-lemah badan seperti
sekarang ini; dulu kaum wanita sigap-sigap badan
perawak-annya, jauh berbeda dengan badan-badan ramping
dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman sekarang.
Dulu wanita -wanita yaitu cerdik dan tajam
otaknya, lebar dan luas penglihat-annya, ulet dan besar
tenaganya, menaklukkan kaum laki-laki, yang seakan-akan
“mengambing saja di belakang mereka”, sebagai ternyata
buktinya dibanyak sejarah-sejarah. Dulu di zaman
matriarchat wanita -wanita menjadi raja, menjadi
panglima perang, menjadi ketua di rapat-rapat, menjadi
kepala rumah tangga, menjadi prajurit, menjadi hakim,
menjadi kepala agama. Dulu kaum wanita tidak banyak
berbedaan dengan kaum laki-laki, ya malahan ditentang
beberapa sifat-sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan
kaum laki-laki.
Dan di zaman sekarangpun, di zaman kita ini, dapatlah kita
tunjukkan, bahwa pada bangsa-bangsa, yang wanita nya
tidak tertindas dan terkurung, kaum wanita itu sigap-
sigap badan, tangkas-tangkas gerak, perkasa-perkasa tabiat
dan perangainya, cerdik dan luas fikirannya. Havelock Ellis
memberi tahukan keterangannya Johnstone yang lama
bergaul dengan bangsa-bangsa Andombies di Afrika, bahwa
wanita -wanita Andombies itu kerja berat namun
senang hidupnya, dan bahwa “seringkali mereka lebih kuat
dari laki-lakinya, lebih subur, dan bentuk-bentuk badannya
sigap dan menarik hati”. Dan tentang bangsa Manymema di
Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini
“makhluk-makhluk yang sigap, yang wanita -
wanita nya sangat kenes dan sama kuatnya memikul
beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya”. Menurut
Duveyrier maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita
Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan, malah Paul
Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu
lebih kuat dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka
ada satu suku bangsa Indian yang wanita -wanita nya
lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu pula
di bagian Papua Timur yaitu menurut Schellong suku-suku,
yang wanita nya lebih kuat dibandingkan putera-putera
Adamnya. Di Sentral Australia orang laki-laki kalau memukul
wanita , seringkali mendapat balasan pukulan kontan-
kontanan dengan rente dari wanita itu, sehingga “kapok”
ia buat selama-lamanya. (sebab wanita nya lebih kuat).
Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo di Amerika Utara, dan di
Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada perbedaan
yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh
wanita ! Demikianlah keterangan-keterangan Havelock
Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka dengan mengingat
bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu,
Henriette Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan
jitu, bahwa: “Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan
besarnya badan antara laki-laki dan wanita , perbedaan-
perbedaan tulang dan urat-urat, yaitu jauh lebih kecil pada
bangsa-bangsa yang biadab dibandingkan pada bangsa-bangsa
yang sudah sopan; apa yang orang namakan kelemahan kaum
wanita itu yaitu buat sebagian besar satu sifat, yang
ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di
zaman kekuasaan kaum laki-laki”. Begitu juga pendapat
August Bebel: “Pada umumnya, maka di zaman purbakala,
perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki
dan kaum wanita itu yaitu jauh lebih kecil dibandingkan
dalam warga kita sekarang ini. Pada hampir semua
bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup liar, maka
perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak
wanita yaitu jauh lebih kecil dibandingkan pada bangsa-
bangsa yang sudah beradab”.
Maka oleh sebab itu, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan,
jika orang mengatakan, bahwa wanita itu pada kodratnya
di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam
segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan
ilmu pengetahuan pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah
dibahagikan oleh alam kepada laki-laki buat berjoang di
warga , menduduki jabatan-jabatan warga , menjadi
kampiun-kampiun warga , sedang sudah dibahagikan
oleh alam pula kepada wanita untuk menanak nasi saja
di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda
saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan
ilmu pengetahuan jika orang mengatakan demikian itu dengan
membawa alasan bahwa “sepa