presiden soekarno 1

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 1


   

 



 

Satu pengalaman, beberapa tahun yang lalu, waktu saya 

masih “orang interniran”. 

 

Pada suatu hari, saya datang bertamu bersama-sama seorang 

kawan dan isteri kawan itu pada salah seorang kenalan saya, 

yang memiliki  toko kecil. Rumah kediaman dan toko 

kenalan saya itu bersambung satu sama lain: bahagian muka 

dipakai buat toko, bahagian belakang dipakai buat tempat 

kediaman. 

 

Dengan budi yang amat manis kami diterima oleh kenalan itu, 

dipersiIakan duduk. Kami, -yaitu kawan saya, isterinya, saya, 

dan tuan rumah-, duduk berempat dekat meja tulis toko itu. 

Sigaret dikeluarkan, teh dihidangkan. Sesudah bercakap-

cakap sebentar, -“bagaimana kesehatan?”, “bagaimana per-

dagangan?”- maka kami (para tetamu) menerangkan kepada 

tuan-rumah, bahwa maksud kami datang, bukanlah untuk 

membeli ini atau itu, melainkan semata-mata hanya buat 

bertamu saja. 

 

Isteri kawan saya menanyakan: bagaimanakah keadaan 

nyonyah rumah? -ia ingin ajar-kenal dengan nyonyah rumah. 

 

Di sini tuan rumah nampak menjadi sedikit kemalu-maluan. 

Rupanya ia dalam kesukaran untuk menjawab pertanyaan itu. 

Sebentar telinganya menjadi kemerah-merahan, tapi ia 

menjawab dengan ramah-tamah: “O, terima kasih, ia dalam 

keadaan baik-baik saja, namun  sayang seribu sayang ia 

kebetulan tidak ada di rumah, -ia menengok bibinya yang 

sedang sakit”. 

 

Isteri kawan saya menyesal sekali bahwa nyonyah rumah 

tidak ada di rumah; terpaksa ia belum dapat ajar-kenal 

dengan dia hari itu. 

 

namun  ... tak lama lalu  ... saya, yang duduk berhadapan 

kain tabir yang tergantung di pintu yang memisah bagian toko 

dengan bagian rumah tinggal, saya melihat kain tabir itu 

 

bergerak sedikit, dan saya melihat mata orang mengintai. 

Mata orang wanita ! Saya melihat dengan nyata: kaki dan 

ujung sarung yang kelihatan dari bawah tabir itu, yaitu  kaki 

dan ujung sarung wanita ! 

 

Dengan segera saya palingkan muka saya, berbicara dengan 

tuan rumah dengan memandang muka dia saja. namun  pikiran 

saya tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar di kepala saya. 

Bukankah wanita  yang mengintai tadi itu isterinya tuan 

rumah? Mana bisa, tuan rumah toh mengatakan, bahwa 

isterinya sedang merawat orang sakit? namun  ... mengapa ia 

tadi kelihatan malu-malu, telinganya kemerah-merahan, 

tatkala ditanya di mana isterinya? 

 

Saya ada dugaan keras, bahwa tuan rumah itu tidak berterus-

terang. Rupa-rupanya, isterinya  ada di rumah. namun  ia tak 

mau memanggilnya keluar, supaya duduk di toko bersama-

sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilakan isteri 

kawan saya supaya masuk ke dalam, ke bagian belakang, 

tempat kediamannya sehari-hari. Barangkali memang tidak 

ada tempat penerimaan tamu yang layak, di tempat kediaman 

itu. Ia nyata malu ... 

 

Sesudah bercakap-cakap seperlunya, kami bertiga permisi 

pulang. Kami mengambil jalan melalui kedai-kedai, dan pasar 

pula. Tapi pikiran saya terus melayang. Melayang memikirkan 

satu  soal, -soal wanita. 

 

Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat 

kemerdekaan? 

 

namun , ya -kemerdekaan yang bagaimana? 

 

Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan 

feminismekah, yang hendak menyamaratakan wanita  

dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? 

Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala 

Kollontay? 

 

Seorang kawan saya, -guru sekolah di Bengkulu-, memiliki  

seorang isteri yang ia cintai benar. Kedua laki-isteri ini saya 

 

kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti adik 

saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan 

“modern”, namun  isterinya kadang-kadang mengeluh kepada 

saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu terkurung. 

 

Di luar pengetahuan isterinya, saya anjurkan kepada kawan 

saya itu, supaya ia memberi kemerdekaan sedikit kepada 

isterinya. Ia menjawab: Ia tak mengizinkan isterinya ke luar 

rumah, justru oleh sebab  ia amat cinta dan menjunjung 

tinggi kepadanya. Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, 

untuk menjaga jangan sampai isterinya itu dihina orang. 

“Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi 

kebahagiaannya; saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara”. 

. . . “sebagai sebutir mutiara”. . .  

 

Ah, tidakkah banyak suami-suami yang menghargakan 

isterinya sebagai mutiara, -namun  sebenarnya merusak atau 

sedikitnya mengurangi kebahagiaan isterinya itu? 

 

Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai 

barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya “sebagai 

mutiara”, -namun  justru sebagaimana orang menyimpan 

mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan 

isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk 

memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk 

merendahkannya, katanya, melainkan justru untuk 

menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya. 

wanita  mereka hargai sebagai Dewi, wanita  mereka 

pundi-pundikan sebagai Dewi, namun  mereka jaga dan awas-

awaskan dan “selalu tolong” juga sebagai satu makhluk yang 

sampai mati tidak akan menjadi akil-balig. Kalau saya 

memikirkan hal yang demikian ini, maka teringatlah saya 

kepada perkataan Professor Havelock Ellis yang berkata, 

bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang wanita  

sebagai “suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang 

tolol”. Dipundi-pundikan sebagai seorang Dewi, dianggap tidak 

penuh sebagai seorang tolol! 

 

Tidakkah masih banyak laki-laki yang men-dewi-tolol-kan 

isterinya itu? Malahan, tidakkah pada hakekatnya seluruh 

peradaban borjuis di negeri-negeri yang telah “sopan” pada 


 

waktu sekarang ini, terhadap kaum wanita  berdiri atas 

kenyataan “Dewi tolol” itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum 

sipil dan adat-istiadat di negeri-negeri borjuis itu sebenarnya 

masih men-dewi-tolol-kan wanita ?  

 

Kita, bangsa negara kita , kita terbelakang di dalam banyak 

urusan kemajuan. Kita (terutama sekali di luar tanah Jawa) di 

dalam urusan posisi wanita  pun terbelakang, namun  

kebelakangan ini bermanfaat pula: Kita dapat melihat dari 

keadaan kaum wanita  di negeri-negeri yang lain, 

bagaimana soal wanita  harus kita pecahkan. Kita dapat 

melihat mana yang baik bagi kita, dan mana yang buruk. Yang 

baik kita ambil, yang buruk kita buang. 

 

Adakah, misalnya hasil-hasil pergerakan feminisme di Eropa 

sudah memuaskan, -memuaskan kepada kaum wanita  

Eropa sendiri? Adakah pergerakan neo-feminisme memuaskan 

pula kepada kaum wanita  Eropa itu? Saya mengetahui, di 

negara kita  ada wanita-wanita: feminis dan neo-feminis. namun  

kepada mereka itu saya ingin bertanya: Tahukan tuan, bahwa 

kaum wanita  Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil 

feminisme atau neo-feminisme itu? 

 

Henriette Roland Holst, itu pemimpin yang berkaliber besar, 

pernah mengatakan; bahwa feminisme atau neo-feminisme tak 

mampu menutup “scheur” (retak) yang meretakkan peri -

kehidupan dan jiwa kaum wanita , sejak kaum wanita  

itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan 

sebagai buruh: “scheur” antara wanita  sebagai ibu dan 

isteri, dan wanita  sebagai pekerja di warga . Jiwa 

wanita  dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan isteri, 

namun  peri -kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu 

cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan 

isteri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternyata tidak 

mampu menyembuhkan retak ini. 

 

Lagi pula, tidakkah kita melihat ekses (“keliwat batasan”) 

pergerakan feminisme di Eropa itu, yang mau 

menyamaratakan saja wanita  dengan laki-laki, dengan 

tak mengingati lagi, bahwa kodrat wanita  memang tidak 

sama dengan kodrat laki-laki? Maksud feminisme yang mula-

 

mula baik, yakni persamaan hak antara wanita  dan laki-

laki, maksud baik itu di-eksesi (diliwati batasnya dengan 

ekses) dengan mencari persamaan segala hal dengan kaum 

laki-laki: persamaan tingkah laku, persamaan cara hidup, 

persamaan bentuk pakaian, dan lain-lain sebagainya lagi. 

Kodrat wanita  diperkosa, dipaksa, disuruh menjadi sama 

dengan kodrat laki-laki. Ekses yang demikian itu tak boleh 

tidak tentu akhirnya membawa kerusakan! 

 

Oleh sebab  itu, sekali lagi saya katakan, bahwa kita, di dalam 

segala kebelakangan kita itu, berada di dalam posisi manfaat 

pula, yaitu dapat mencerminkan warga  Republik 

negara kita  yang hendak kita susun itu, kepada pengalaman-

pengalaman warga  wanita  di negeri-negeri yang 

telah maju. Pelajarilah lebih dulu dalam-dalam pergerakan-

pergerakan wanita  di Eropa, sebelum kita mengoper saja 

segala cita-citanya dan sepak terjangnya! “Kita mempelajari 

sejarah untuk menjadi bijaksana terlebih dahulu”, 

demikianlah perkataan John Seeley yang termasyhur. 

Perkataan yang ditujukan kepada arti mempelajari sejarah itu, 

boleh pula dipakai untuk menjadi pedoman di atas jalan 

perjoangan kaum wanita  di dalam Republik negara kita  

Merdeka. 

 

“Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, 

janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, 

namun  cocokkanlah semua barang dengan kodratnya”. Inilah 

perkataan Ki Hajar Dewantara yang pernah saya baca. Saya 

kira buat soal wanita  kalimat ini pun menjadi pedoman 

yang baik sekali. 

 

Benar atau tidakkah perasaan saya ini? Sinar mata yang 

mengintai itu seakan-akan satu simbul bagi saya, satu 

lambang. Sinar mata si nyonya rumah tadi itu yaitu  sinar 

mata sebagian besar wanita -wanita  kita. Kasihan 

nyonya rumah tadi itu! Duduk di ruangan muka, di “tempat-

umum”, tidak boleh; namun  ia dikurung, ditutup, dipingit; 

bukan ditempat yang luas, yang banyak sinar matahari, tidak, 

melainkan di satu tempat yang gelap, yang sempit, yang tidak 

terpelihara. Tidakkah masih banyak wanita  kita bernasib 


 

begini? Merdeka, melihat dunia, tidak boleh, -namun  dikurung 

pun di satu tempat yang tidak selayaknya! 

 

Ternak masih melihat dunia luaran, namun  di beberapa daerah 

di negara kita  masih banyak Zubaida-Zubaida dan Saleha-

Saleha yang dikurung antara dinding-dinding yang tinggi. 

Yang mereka lihat sehari-hari hanyalah suami dan anak, 

periuk nasi dan batu pipisan saja. Ya, sekali-sekali mereka 

boleh keluar, sekali-sekali, kalau Sang Suami mengizinkan. 

Cahaya matanya, yang dulu, waktu mereka masih kanak-

kanak kecil, yaitu  begitu hidup dan bersinar, cahaya 

matanya itu, lalu , kalau mereka sudah setengah tua, 

menjadilah cahaya mata yang seperti mengandung hikayat 

yang tiada akhirnya. Cahaya mata, yang seperti memandang 

ke dalam keabadian! 

 

Cahaya mata yang demikian itulah yang kulihat mengintai 

dari belakang tabir ... 

 

Bagaimanakah pendirian Islam tentang soal wanita  ini? 

Apakah Islam tidak memiliki  hukum-hukum tertentu 

tentang wanita , sehingga di dalam Islam tidak ada lagi 

soal wanita ? 

 

Saya bukan ahli fiqh. Tentunya agama Islam memiliki   

hukum-hukum tertentu tentang wanita . 

 

namun  saya mengetahui, bahwa di dalam warga  Islam, 

dulu dan sekarang, ada beberapa aliran tentang posisi 

wanita . Ada yang “kolot”, ada yang “modern”. Ada yang 

“sedang”. Semuanya membawa dalil-dalilnya sendiri. Mana 

yang benar? Mana yang salah? 

 

Sekali lagi saya berkata: saya bukan ahli fiqh. Saya beragama 

Islam, saya cinta Islam, saya banyak mempelajari sejarah 

Islam dan gerak-gerik warga  Islam, namun  sayang seribu 

sayang, saya bukan ahli fiqh. Walaupun demikian, saya telah 

mencari beberapa tahun lamanya di banyak buku-buku yang 

dapat saya baca, bagaimanakah sebenarnya posisi wanita  

dalam Islam. Sebagai saya katakan tadi, tentang hal ini saya 

menjumpai banyak aliran. Sehingga bolehlah saya katakan di 


 

sini, bahwa di dalam  warga  Islam pun masih ada soal 

wanita . Kesan yang saya dapat dibandingkan  apa yang saya 

baca itu, yaitu  sama dengan kesan yang didapat oleh Miss 

Frances Woodsman sesudah beliau mempelajari posisi 

wanita  di dalam warga  Islam itu, yakni kesan, 

bahwa soal wanita  yaitu  justru bagian yang “most 

debated” -bagian yang paling menimbulkan pertikaian- di 

dalam warga  Islam. 

 

Malahan seorang wanita Islam negara kita  sendiri, Encik Ratna 

Sari, yang dulu di Padang -di dalam satu risalah yang 

membicarakan soal wanita , ada menulis: “warga  

kita pun masih megandung dilemma’s, soal-soal yang pelik, 

yang masih teka-teki sekarang, tapi sangat penting”. 

 

Demikianlah. Saya berpendapat, bahwa soal wanita  

seluruhnya (juga dalam warga  Islam) masih harus 

dipecahkan. Masih satu “soal”. Atau, jikalau, memakai 

perkataan Encik Ratna Sari: masih satu “dilemma”, masih 

satu “soal yang pelik”. Sekali lagi, soal wanita  seluruhnya, 

- dan bukan hanya misalnya soal tabir atau lain-lain soal yang 

kecil saja! Soal wanita  seluruhnya, posisi wanita  

seluruhnya di dalam warga , -itulah yang harus 

mendapat perhatian sentral, itulah yang harus kita fikirkan 

dan pecahkan, agar supaya posisi wanita  di dalam 

Republik negara kita  bisa kita susun sesempurna-

sempurnanya. 

 

Jadi: baik buat fihak yang meneropong soal wanita  

dengan teropong fiqh Islam, maupun buat fihak yang 

meneropong soal ini dengan teropong Rasionalisme belaka, 

soal ini haruslah masih dipandang sebagai satu soal yang 

masih perlu kita pecahkan. Dipecahkan, difikirkan, dibolak-

balikkan, bukan saja oleh kaum wanita  kita, namun  juga 

oleh kaum laki-1aki kita, oleh sebab  soal wanita  yaitu  

memang satu soal warga  yang teramat penting. Dan 

tidakkah Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, bahwa: 

“wanita  itu tiang negeri. Manakala baik wanita , 

baiklah negeri. Manakala rusak wanita , rusaklah negeri”? 

 

 

Kaum laki-laki, marilah kita ikut memikirkan soal wanita  

ini! Dan marilah kita memikirkan soal wanita  ini 

bersama-sama dengan kaum wanita ! 

 

Sebab di dalam warga  sekarang ini, saya melihat bahwa 

kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di 

atas soal-soal yang mengenai kaum wanita . Dia, kaum 

laki-laki, dia lah kadang-kadang merasa dirinya diserahi 

memikirkan dan memecahkan soal-soal semacam ini, dia lah 

kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana untuk 

mengambil keputusan, -sedang kaum wanita  tidak diajak 

ikut bicara, dan disuruh terima saja apa yang diputuskan oleh 

kaum laki-laki itu. Tidakkah misalnya janggal, bahwa soal 

tabir di dalam rapat, yang dulu saya persembahkan ke dalam 

pertimbangan para pemimpin, diputuskan oleh satu majelis 

laki-laki saja, sedang fihak wanita  tidak ditanya 

pendapatnya sama sekali? 

 

Sesungguhnya, kita harus belajar insyaf, bahwa soal 

warga  dan negara yaitu  soal laki-laki dan wanita , 

soal wanita  dan laki-laki. Dan soal wanita  yaitu  

satu soal warga  dan negara. Nanti, jikalau pembaca 

telah membaca uraian saya lebih lanjut, maka pembaca akan 

mengerti, bahwa soal wanita  bukanlah soal buat kaum 

wanita  saja, namun  soal warga , soal wanita  dan 

laki-laki. Dan sungguh, satu soal warga  dan negara yang 

amat penting! 

 

Dan oleh sebab  soal wanita  yaitu  soal warga , 

maka soal wanita  yaitu  sama tuanya dengan 

warga ; soal wanita  yaitu  sama tuanya dengan 

kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal laki-laki-wanita  

yaitu  sama tuanya dengan kemanusiaan. Sejak manusia 

hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba dan belum mengenal 

rumah, sejak “zaman Adam dan Hawa”, kemanusiaan itu 

pincang, terganggu oleh soal ini. Manusia zaman sekarang 

mengenal “soal wanita ”, manusia zaman purbakala 

mengenal “soal laki-laki”. Sekarang kaum wanita  duduk 

di tingkatan bawah, di zaman purbakala kaum laki-laki lah 

duduk di tingkatan bawah. Sekarang kaum laki-laki yang 

berkuasa, di zaman purbakala kaum wanita  lah yang 


 

berkuasa. Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki-laki-

wanita , selalu pincang. Dan kemanusiaan akan terus 

pincang, selama saf yang satu menindas saf yang lain. 

Harmoni hanyalah dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di  

atas  saf yang lain, namun  dua “saf” itu sama derajat, -berjajar- 

yang satu  di sebelah yang lain, yang satu  memperkuat 

kedudukan  yang lain. 

 

namun  masing-masing menurut kodratnya sendiri. Sebab siapa 

melanggar kodrat alam ini, ia akhirnya niscaya digilas remuk-

redam oleh Alam itu sendiri. Alam benar yaitu  “sabar”, Alam 

benar tampaknya diam, -namun  ia tak dapat diperkosa, ia tak 

mau diperkosa. Ia tak mau ditundukkan. 

 

Ia menurut kata Vivekananda yaitu  “berkepala batu”! 


 

Allah telah berfirman, bahwa Ia membuat segala hal 

berpasang-pasangan. Firman ini tertulis dalam surat Yasin 

ayat 36: “Maha mulia lah Dia, yang menjadikan segala sesuatu 

berpasang-pasangan”; dalam surat Az-Zukhruf ayat 1.2: “Dan 

Dia yang menjadikan segala hal berpasang-pasangan dan 

membuat bagimu perahu-perahu dan ternak, yang kamu 

tunggangi”; dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49: “Dan dari tiap-

tiap barang kita membuat pasang-pasangan, agar supaya 

kamu ingat”. Perhatikan: Segala barang, segala hal. Jadi 

bukan saja manusia berpasang-pasangan, bukan saja kita ada 

lelakinya dan ada wanitanya. 

 

Binatang ada jantannja, bunga-bungapun ada lelakinya dan 

wanita nya, alam ada malamnya dan siangnya-, barang-

barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada 

aksinya dan reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan 

negatifnya, segala kedudukan ada these dan anti-thesenya. 

 

Ilmu yang maha hebat, yang maha mengagumkan ini telah 

keluar dari Mulutnya Muhammad s.a.w. ditengah-tengah 

padang pasir, beratus-ratus tahun sebelum di Eropa ada 

maha-guru maha-guru sebagai Maxwell, Pharaday, Nicola 

Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau William Thompson. 

 

Maha bijaksanalah Mulut yang mengikrarkan perkataan-

perkataan itu, maha hikmatlah isi yang tercantum di dalam 

perkataan-perkataan itu! Sebab di dalam beberapa perkataan 

itu saja termaktublah segala sifat dan hakekat alam! 

 

Alam membuat manusia berpasang-pasangan. Laki-laki tak 

dapat ada jika tak ada wanita , wanita  tak dapat ada 

jika tak ada laki-laki. Laki-laki tak dapat hidup normal dan 

subur tak dengan wanita , wanita  pun tak dapat 

hidup normal dan subur tak dengan laki-laki. Olive Schreiner, 

seorang idealis wanita  bangsa Eropa, di dalam bukunya 

“Drie dromen in de Woestijn”, pernah memperlambangkan 

lelaki dan wanita  itu sebagai dua makhluk yang terikat 

satu kepada yang lain oleh satu tali gaib, satu “tali hidup”, - 


 

begitu terikat yang satu kepada yang lain, sehingga yang satu 

tak dapat mendahului selangkah-pun kepada yang lain, tak 

dapat maju setapakpun dengan tidak membawa juga kepada 

yang lain. Olive Schreiner yaitu  benar: Memang begitulah 

keadaan manusia! Bukan saja laki dan wanita  tak dapat 

terpisah satu dibandingkan  yang lain, namun  juga tiada warga  

manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-wanita  

yang satu tidak membawa yang lain. sebab nya, janganlah 

warga  laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju dan 

subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan warga  

wanita  pula. 

 

Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu 

kultur yang sewajar-wajarnja kultur, kalau wanita  

dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarikh 

menetapkan, bahwa kultur Yunani jatuh, sebab  wanita  

dihinakan di dalam kultur Yunani itu. Nazi Jerman jatuh, oleh 

sebab  di Nazi Jerman wanita  dianggap hanya baik buat 

Kirche-Kiiche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur 

warga  Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan 

kaum wanita  pula ditempatnya yang seharusnya, maka 

matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnya suram! 

 

Sesungguhnya benarlah perkataan Charles Fourrier kalau ia 

mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan 

sesuatu warga , yaitu  ditetapkan oleh tinggi rendahnya 

tingkat kedudukan wanita  di dalam warga  itu. Atau, 

benarlah pula perkataan Baba O’illah, yang menulis, bahwa 

“laki-laki dan wanita  yaitu  sebagai dua sayapnya seekor 

burung”. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah 

burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika 

patah satu dibandingkan  dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang 

burung itu sama sekali. 

 

Perkataan Baba O’illah ini sudah sering kali kita baca. 

 

namun  walaupun perkataannya itu hampir basi, -

kebenarannya akan tinggal ada, buat selama-lamanya. 

 

Jadi: laki-laki dan wanita  menetapkan sifat hakekat 

masing-masing. Tali hidup yang ditamsilkan oleh Olive 

 

Schreiner itu, bukan tali hidup sosial saja, bukan tali hidup 

yang sebab  bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja. 

Lebih asli dibandingkan  pertalian perumahan yang satu dan piring 

nasi yang satu, yaitu  tali hidupnya kodrat alam sendiri. Tali 

hidup “sekse”! Laki-laki tak dapat subur jika tak ada tali sekse 

ini, wanita  pun tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini. 

Dan bukan tali sekse yang tali seksenya fungsi biologis saja, 

tapi juga tali seksenya jiwa. Tiap-tiap sundal yang setiap hari 

barangkali menjual tubuhnya lima atau sepuluh kali, 

mengetahui, bahwa “tubuh” masih lain lagi dibandingkan  “jiwa”. 

Dengan menjual tubuh yang sampai sekian kali setiap hari itu, 

masih banyak sekali sundal yang dahaga kepada cinta. Tali 

sekse jasmani dan tali sekse rohani, -itulah satu bagian dari 

“tali hidup” yang dimaksudkan oleh Olive Schreiner, yang 

mempertalikan laki-laki dan wanita  itu. Memang tali 

sekse jasmani dan rohani inilah kodrat tiap-tiap makhluk, dus 

juga kodrat tiap-tiap manusia. Manakala tali sekse rohani 

dihilangkan dan hanya tali sekse jasmani saja yang 

dipuaskan, maka tidak puaslah kodrat alam itu. Pada 

permulaan diadakan kultur baru di Sovyet Rusia, maka ekses 

perhubungan antara laki-laki dan wanita  yaitu  keliwat. 

“Tali sekse” dianggap sebagai suatu keperluan tubuh saja, 

sebagai misalnya tubuh perlu kepada segelas air kalau tubuh 

itu dahaga. “Teori air segelas” ini di tahun-tahun yang mula-

mula sangat laku di kalangan pemuda-pemuda di Rusia. 

Madame Kollontay menjadi salah seorang penganjurnya. Siapa 

merasa dahaga seksuil, ia mengambil air yang segelas itu; -

“habis minum”, sudahlah pula. Beberapa tahun lamanya teori 

air segelas ini laku. namun  lalu  ... lalu  kodrat alam 

bicara. Kodrat alam tidak puas dengan segelas air saja, kodrat 

alam minta pula minuman jiwa. Kodrat alam minta “cinta” 

yang lebih memuaskan cita, “cinta” yang lebih suci. Lenin 

sendiri gasak teori air segelas ini habis-habisan dari 

semulanya ia muncul. Dan sekarang orang di sana telah 

meninggalkan sama sekali teori itu, orang telah mendapat 

pengalaman, bahwa Alam tak dapat didurhakai oleh sesuatu 

teori. 

 

Semua ahli-ahli fiIsafat dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali 

sekse itu yaitu  salah satu faktor yang terpenting, salah satu  

motor yang terpenting dari peri-kehidupan manusia. Di 


 

samping-nya nafsu makan dan minum, ia yaitu  motor yang 

terkuat. Di samping nafsu makan dan minum, ia menentukan 

perikehidupan manusia. 

 

Malahan ahli fiIsafat Schopenhauer ada berkata: “Syahwat 

yaitu  penjelmaan yang paling keras dibandingkan  kemauan akan 

hidup. Keinsyafan kemauan akan hidup ini memusat kepada 

fi’il membuat turunan,”  begitulah ia berkata. 

 

Kalau tali sekse diputuskan buat beberapa tahun saja, maka 

manusia umumnya menjadi abnormal. Lihatlah keadaan di 

dalam penjara, baik penjara buat orang laki-laki, maupun 

penjara buat orang wanita . Dua kali saya pernah 

meringkuk agak lama dalam penjara, dan tiap-tiap kali yang 

paling mendirikan bulu saya ialah keabnormalan manusia-

manusia di dalam penjara itu. Percakapan-percakapan 

menjadi abnormal, tingkah laku menjadi abnormal. Sering 

saya melihat orang-orang di dalam penjara, yang seperti 

seperempat gila! Laki-laki mencari kepuasan kepada laki-laki, 

dan direksi terpaksa memberi hukuman yang berat-berat. 

 

Pembaca barangkali tersenyum akan pemandangan saya yang 

“mentah” ini, dan barangkali malahan menyesali 

kementahannya. Pembaca barangkali mengemukakan nama 

orang-orang besar, nama Nabi Isa, nama Gandhi, nama 

Mazzini, yang menjadi besar, antara lain-lain sebab  tidak 

memiliki  isteri atau tidak mencampuri isteri. Ah, ... 

beberapa nama! Apakah artinya beberapa nama itu, jika 

dibandingkan dengan ratusan juta manusia biasa di muka 

bumi ini, yang semuanya hidup menurut kodrat alam? Kita di 

sini membicarakan kodrat alam, kita tidak membawa-bawa 

moral. Alam tidak mengenal moral, -begitulah Luther berkata. 

Beliau berkata lagi: “Siapa hendak menghalangi perlaki-

isterian, dan tidak mau memberi  haknya kepadanya, 

sebagai yang dikehendaki dan dimustikan oleh alam, -ia sama 

saja dengan menghendaki yang alam jangan alam, yang api 

jangan menyala, yang air jangan basah, yang manusia jangan 

makan, jangan minum, jangan tidur!” Tali sekse itu memang 

bukan perkara moral. Tali sekse itu tidak moril, ia tidak pula 

immoril. Tali sekse itu yaitu  menurut kodrat, sebagai lapar 


 

yaitu  menurut kodrat, dan sebagai dahaga yaitu  menurut 

kodrat pula! 

 

Apakah maksud saya dengan uraian tentang tali sekse ini? 

Pembaca, nyatalah, bahwa baik laki-laki, maupun wanita  

tak dapat normal, tak dapat hidup sebagai manusia normal, 

kalau tidak ada tali sekse ini. namun  bagaimanakah pergaulan 

hidup di zaman sekarang? warga  sekarang di dalam hal 

inipun, -kita belum membicarakan hal lain-lain!- tidak adil 

kepada wanita . wanita  di dalam hal inipun suatu 

makhluk yang tertindas. wanita  bukan saja makhluk 

yang tertindas kewarga annya, namun  juga makhluk yang 

tertindas ke-sekse-annya. warga  kapitalistis zaman 

sekarang yaitu  warga , yang membuat pernikahan 

suatu hal yang sukar, sering kali pula suatu hal yang tak 

mungkin. Pencaharian nafkah, -struggle for life- di dalam 

warga  sekarang yaitu  begitu berat, sehingga banyak 

pemuda sebab  kekurangan nafkah tak berani kawin, dan tak 

dapat kawin. Perkawinan hanyalah menjadi privilegenya (hak-

lebihnya) pemuda-pemuda yang ada kemampuan rezeki 

sahaja. Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu 

sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-

kadang sampai umur empat puluh tahun. Pada waktu ke-

sekse-an sedang sekeras-kerasnya, pada waktu ke-sekse-an 

itu menyala-nyala, berkobar-kobar sampai kepuncak-

puncaknya jiwa, maka perkawinan buat sebagian dari 

kemanusiaan yaitu  suatu kesukaran, suatu hal yang tak 

mungkin. namun , ... api yang menyala-nyala di dalam jiwa laki-

laki dapat mencari jalan keluar -meliwati satu “pintu 

belakang” yang hina-, menuju kepada perzinahan dengan 

sundal dan perbuatan-perbuatan lain-lain jang keji-keji. Dunia 

biasanya tidak akan menunjuk laki-laki yang demikian itu 

dengan jari tunjuk, dan berkata: cih, engkau telah berbuat 

dosa yang amat besar! Dunia akan anggap hal itu sebagai satu 

“hal biasa”, yang “boleh juga diampuni”. namun  bagi 

wanita  “pintu belakang” ini tidak ada, atau lebih benar: 

tidak dapat dibuka, dengan tak (alhamdulillah) bertabrakan 

dengan moral, dengan tak berhantaman dengan kesusilaan, -

dengan tak meninggalkan cap kehinaan di atas dahi 

wanita  itu buat selama-lamanya. Jari telunjuk 

warga  hanya menuding kepada wanita  saja, tidak 


 

menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua 

fihak secara adil. Keseksean laki-laki setiap waktu dapat 

merebut haknya dengan leluasa, -kendati warga  tak 

memudahkan perkawinan-, namun  keseksean wanita  

terpaksa tertutup, dan membakar dan menghanguskan kalbu. 

wanita  banyak yang menjadi “terpelanting mizan” oleh 

sebab nya, banyak yang menjadi putus asa oleh sebab nya. 

Bunuh diri kadang-kadang menjadi ujungnya. Statistik Eropa 

menunjukkan, bahwa di kalangan kaum pemuda, antara 

umur 15 tahun dan 30 tahun, yakni waktu keseksean sedang 

sehebat-hebatnya mengamuk di kalbu manusia, lebih banyak 

wanita  yang bunuh diri, dibandingkan  kaum laki-laki. Jikalau 

diambil prosen dari semua pembunuhan diri, maka buat 

empat negeri di Eropa pada permulaan abad ke-20, 

 

Ternyatalah, bahwa di semua negeri ini lebih banyak 

wanita  muda bunuh diri dibandingkan  laki-laki muda. 

 

Sebabnya? Sebabnya tak sukar kita dapatkan. Keseksean 

yang terhalang, cinta yang tak sampai; kehamilan yang 

rahasia, itulah biasanya yang menjadi sebab. 

 

Adakah keadaan di negeri kita berlainan? Di sini tidak ada 

statistik bunuh diri, tapi saya jaminkan kepada tuan: enam 

atau tujuh dibandingkan  sepuluh kali tuan membaca kabar 

seorang pemuda bunuh diri di surat-surat kabar, yaitu  

dikerjakan oleh pemuda wanita . Di dalam warga  

sekarang, wanita  yang mau hidup menurut kodrat alam 


 

tak selamanya dapat, sebab  warga  itu tak mengasih 

kemungkinannya. Di beberapa tempat di Sumatera Selatan 

saya melihat “gadis-gadis tua”, yang tak dapat perjodohan, 

sebab  adat memasang banyak-banyak “rintangan, misalnya 

uang-antaran yang selalu terlalu mahal, kadang-kadang 

sampai ribuan rupiah. Roman mukanya gadis-gadis itu seperti 

sudah tua, padahal mereka ada yang baru berumur 25 tahun, 

30 tahun, 35 tahun. Di daerah negara kita  yang lain-lain, saya 

melihat wanita -wanita  yang sudah umur 40 atau 45 

tahun, namun  yang roman-mukanya masih seperti muda-

muda. Adakah ini oleh sebab  wanita -wanita  di lain-

lain tempat itu barangkali lebih cakap “make-up”-nya dibandingkan  

wanita  di beberapa tempat di Sumatera Selatan itu? Lebih 

cakap memakai bedak, menyisir rambut, memotong baju, 

mengikatkan sarung? Tidak, sebab wanita  di tempat-

tempat yang saya maksudkan itupun tahu betul rahasianya 

bedak, menyisir rambut, memotong baju dan mengikatkan 

kain. namun  sebabnya “muka tua” itu ialah oleh sebab  

mereka terpaksa hidup sebagai “gadis tua”, -tak ada suami, 

tak ada teman hidup, tak ada kemungkinan menemui kodrat 

alami. Di dalum bukunya tentang soal wanita , August 

Bebel mengutip perkataan Dr. H. Plosz yang mengatakan, 

bahwa sering ia melihat, betapa wanita -wanita  yang 

sudah hnmpir peyot lantas seakan-akan menjadi muda 

kembali, kalau mereka itu mendapat suami. “Tidak jarang 

orang melihat bahwa gadis-gadis yang sudah layu atau yang 

hampir-hampir peyot, kalau mereka mendapat kesempatan 

bersuami, tidak lama sesudah perkawinannya itu lantas 

menjadi sedap kembali bentuk-bentuk badannya, merah 

kembali pipi-pipinya, bersinar lagi sorot matanya. Maka oleh 

sebab  itu, perkawinan boleh dinamakan sumber ke-muda-an 

yang sejati bagi kaum wanita ”, begitulah kata Dr. Plosz 

itu. 

 

namun  kembali lagi kepada apa yang saya katakan tadi: 

warga  kapitalistis yang sekarang ini, yang menyukarkan 

sekali struggle for life bagi kaum bawahan, yang di dalamnya 

amat sukar sekaIi orang mencari nafkah, warga  

sekarang ini tidak menggampangkan pernikahan antura laki-

laki dan wanita . Alangkah baiknya sesuatu warga  

yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang 


 

mau nikah! Orang pernah tanya kepada saya: “Bagaimanakah 

rupanya warga  yang tuan cita-citakan?” Saya menjawab: 

“Di dalam warga  yang saya cita-citakan itu, tiap-tiap 

orang lelaki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang wanita  

bisa mendapat suami”. Ini terdengarnya mentah sekaIi, tuan 

barangkali akan tertawa atau mengangkat pundak tuan, namun  

renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan 

saya di atas tadi, dan lalu  katakanlah, apa saya tidak 

benar? Di dalam warga  yang struggle for life tidak 

seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, 

di dalam warga  yang demikian itu, niscaya persundalan 

boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi “luar biasa” dan 

bukan satu kanker sosial yang permanen yang banyak 

korbannya. Prof. Rudolf Eisler di dalam buku kecilnya tentang 

sosiologi pernah menulis tentang persundalan ini: “Keadaan 

sekarang ini hanyalah dapat menjadi baik kalau peri-

kehidupan ekonomi menjadi baik, dan mengasih kesempatan 

kepada laki-laki akan menikah pada umur yang lebih muda, 

dan mengasih kesempatan kepada wanita -wanita  

yang tidak nikah, buat mencari nafkah sonder pencaharian-

pencaharian tambahan yang merusak kehormatan”.  

 

Pendek kata: pada hakekat yang sedalam-dalamnya, soal 

perhubungan antara laki-laki dan wanita , jadi sebagian 

dibandingkan  “soal wanita ” pula, bolehlah kita kembalikan 

kepada pokok yang saya sebutkan tadi: yakni soal dapat atau 

tidak dapat haknya keseksean, soal dapat atau tidak dapat 

alam bertindak sebagai alam. Di mana alam ini mendapat 

kesukaran, di mana alam ini dikurangi haknya, di situlah soal 

ini menjadi genting. Saya tidak ingin kebiadaban, saya tidak 

ingin tiap-tiap manusia mengumbar hantam-kromo saja 

meliwat-bataskan ke-sekse-annya, saya cinta kepada 

ketertiban dan peraturan, saya cinta kepada hukum, yang 

mengatur perhubungan laki-wanita  di dalam pernikahan 

menjadi satu hal yang luhur dan suci, namun  saya kata, bahwa 

warga  yang sekarang ini di dalam hal ini tidak adil 

antara laki-laki dan wanita . Laki-laki minta haknya 

menurut kodrat alam, wanita  pun minta haknya menurut 

kodrat alam. Ditentang haknya menurut kodrat alam ini tidak 

ada perbedaan antara lelaki dan wanita . Tapi, dari 

warga  sekarang, lelaki nyata mendapat hak yang lebih, 

 

nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan. 

Sebagai makhluk perseksean, sebagai geslachtswezen, 

wanita  nyata terjepit, sebagaimana ia sebagai makhluk 

warga  atau makhluk sosial juga terjepit. Laki-laki hanya 

terjepit sebagai makhluk sosial saja di dalam warga  

sekarang ini, tapi wanita  yaitu  terjepit sebagai makhluk 

sosial dan sebagai makhluk perseksean. 

 

Alangkah baiknya warga  yang sama adil di dalam hal ini. 

Yang sama adil pula di dalam segala hal yang lain-lain. 

 

Saya akui, yaitu  perbedaan yang fundamentil antara lelaki 

dan wanita . wanita  tidak sama dengan laki-laki, laki-

laki tidak sama dengan wanita . Itu tiap-tiap hidung 

mengetahuinya. Lihatlah perbedaan antara tubuh wanita  

dengan tubuh laki-laki; anggota-anggotanya lain, susunan 

anggotanya lain, fungsi-fungsi anggotanya (pekerjaannya) lain. 

namun  perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini 

hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat 

alam, yaitu tujuan mengadakan turunan, dan memelihara 

turunan itu. 

 

Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam 

mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi 

masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya 

tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat 

“kelaki-lakian” kepada laki-laki, dan mengasih fungsi serta 

alat-alat “kewanita an” kepada wanita : Buat laki-laki: 

memberi dzat anak; buat wanita : menerima dzat anak, 

mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, 

memelihara anak. namun  tidaklah perbedaan-perbedaan ini 

harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-

kehidupan wanita  dan laki-laki sebagai makhluk 

warga . 

 

Sekali lagi: ada perbedaan antara laki-laki dan wanita . 

namun  sekali lagi pula saya ulangi di sini, bahwa perbedaan-

perbedaan itu HANYALAH sebab  dan untuk tujuan kodrat 

alam, yakni HANYALAH sebab  dan untuk tujuan perlaki-

isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi saya katakan, 

kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini yaitu  perbedaan 


 

psikhis pula antara laki-laki dan wanita , yakni perbedaan 

jiwa. Professor Heymans, itu ahli jiwa yang kesohor, yang 

mempelajari jiwa wanita  dalam-dalam, mengatakan, 

bahwa wanita  itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat 

a1am itu, yaitu  melebihi laki-laki di lapangan “emotionalitas” 

(rasa terharu), “aktivitas” (kegiatan), dan “kharitas” 

(kedermawaan). wanita  lebih lekas tergoyang jiwanya 

dibandingkan  laki-laki, lebih lekas marah namun  juga lebih lekas 

cinta lagi dibandingkan  laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas 

“termakan” oleh kepercayaan, lebih ikhlas. dan kurang 

serakah, lebih lekas terharu, lebih lekas meng-idealisirkan 

orang lain, lebih boleh dipercaya, lebih gemar kepada anak-

anak dan perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini 

mengenai jiwa. namun  anggapan orang, bahwa wanita  itu 

akalnya kalah dengan laki-laki, ketajaman otaknya kalah 

dengan laki-laki, anggapan orang demikian itu dibantah oleh 

Prof. Heymans itu dengan tegas dan jitu: “Menurut pendapat 

saya, kita tidak memiliki  hak sedikitpun, buat mengatakan, 

bahwa akal wanita  kalah dengan akal laki-laki”... 

 

Tiap-tiap guru dapat membenarkan perkataan Profesor 

Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di H.B.S. 

mengalami, bahwa seringkali murid lelaki “payah” berlomba 

kepandaian dengan teman-teman wanita  dan malahan 

pula sering-sering “terpukul” oleh teman-teman wanita  

itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun 

saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang 

wanita  umumnya tak kalah dengan murid-murid saya 

yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya 

Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929 

mengunjungi negara kita , dan lalu  menjadi maha guru di 

sekolah tinggi Istambul di dalam mata pelajaran itu pula, 

menerangkan, bahwa studen-studennya yang wanita  tak 

kalah dengan studen-studen laki-laki “Mereka selamanya 

boleh diajak memutarkan otaknya di atas soal-soal yang maha 

sukar”. Profesor O’Conroy yang dulu menjadi maha guru di 

Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya 

tentang negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan 

ujian-ujian perbandingan (vergelijkende examens) antara lelaki 

dan wanita  oleh kantor-kantor gubernemen atau kantor-

 

kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum 

wanita  nyata lebih unggul dibandingkan  kaum laki-laki. 

 

Ada-ada saja alasan yang orang cari buat “membuktikan”, 

bahwa kaum wanita  “tak mungkin” menyamai (jangan lagi 

melebihi!) kaum laki-laki ditentang ketajaman otak. Orang 

katakan, bahwa otak wanita  kalah banyaknya dengan 

otak laki-laki! Orang lantas keluarkan angka-angka hasil 

penyelidikan ahli-ahli, seperti Bischoff, seperti Boyd, seperti 

Marchand, seperti Retzius, seperti Grosser. Orang lantas 

membuat daftar sebagai di bawah ini: 

 


 

Nah, kata mereka, mau apa lagi? Kalau ambil angka-angka 

Retzius dan Grosser, maka otak laki-laki rata-rata beratnya 

1.388 gram, dan otak wanita  rata-rata 1.252 gram! Mau 

apa lagi? Tidakkah ternyata laki-laki lebih banyak otaknya 

dibandingkan  wanita ? 

 

Ini jago-jago kaum laki-laki lupa, bahwa tubuh laki-laki juga 

lebih berat dan lebih besar dibandingkan  tubuh wanita ! 

Berhubungan dengan lebih besarnya tubuh laki-laki itu, maka 

Charles Darwin yang termasyhur itu berkata: “Otak laki-laki 

memang lebih banyak dari otak wanita . namun , jika 

dihitung dalam perbandingan dengan lebih besarnya badan 

laki-laki, apakah otak laki-laki itu benar lebih besar?” Kalau 

dihitung di dalam perbandingan dengan beratnya tubuh, maka 

ternyatalah (demikianlah dihitung) bahwa otak wanita  

yaitu  rata-rata 23,6 gram per kg. tubuh, namun  otak laki-laki 

hanya ... 21,6 gram per kg. tubuh! Jadi kalau betul ketajaman 

akal itu tergantung dari banyak atau sedikitnya otak, kalau 

betul banyak-sedikitnya otak menjadi ukuran buat tajam atau 

 

tidak-tajamnya fikiran maka wanita  musti selalu lebih 

pandai dari kaum laki-laki! 

 

Ya, kalau betul ketajaman akal tergantung dari banyak 

sedikitnya otak! namun  bagaimana kenyataan? Bagaimana 

hasil penyelidikan otaknya orang-orang yang termasyhur 

sesudah mereka mati? Ada ahli-ahli fikir yang banyak 

otaknya, namun  ada pula harimau-harimau fikir yang tidak 

begitu banyak otaknya! Cuvier, itu ahli fikir, otaknya 1.830 

gram, Byron itu penyair besar, 1.807 gram, Mommsen 1.429,4 

gram, namun  gembong ilmu hitung Gausz hanya 1.492 gram, 

ahli faIsafah Hermann hanya 1.358 gram, (di bawah “nomor”!), 

gajah faIsafah dan ilmu hitung Leibniz hanya 1.300 gram (di 

bawah “nomor”!), jago phisica Bunsen hanya 1.295 gram (di 

bawah “nomor”!), kampiun politik Perancis Gambetta hanya 

1.180 gram (malahan di bawah “nomor-wanita ” sama 

sekali!). 

 

Sebaliknya, Broca, itu ahli fisiologi Paris yang termasyhur, 

pernah mengukur isi tengkorak-tengkorak manusia dari 

Zaman Batu, - dari zaman tatkala manusia masih biadab dan 

bodoh! - dan ia mendapat hasil rata-rata 1.606 cms, satu 

angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan  angka-angka isi 

tengkorak dari zaman sekarang. Malahan teori “lebih banyak 

otak lebih pandai” ini ternyata pula menggelikan, sebab 

Bischoff pernah menimbang otak mayat seorang kuli biasa, -

tentu seorang-orang bodoh-, dan dia mendapat record 2.222 

gram!, sedang Kohlbrugge berkata, bahwa “otak orang-orang 

yang gila atau idioot sering sekali sangat berat”! Dari mana 

orang masih mau tetap menuduh bahwa orang wanita  

kurang tajam fikiran, sebab  orang wanita  kurang banyak 

otaknya kalau dibandingkan dengan orang laki-laki? 

 

Tidak, “alasan otak” ini yaitu  alasan kosong. “Alasan otak” 

ini sudah lama dibantah, dihantam, dibinasakan oleh ilmu 

pengetahuan! Bebel di dalam bukunya mengumpulkan 

ucapan-ucapan ahli wetenschap tentang “alasan otak” ini. 

Raymond Pearl berkata: “Tidak ada satu bukti, bahwa antara 

ketajaman akal dan beratnya otak ada perhubungan satu 

dengan yang lain”; Duckworth menetapkan: “Tidak ada bukti, 

bahwa manusia yang banyak otaknya itu tentu orang yang 

 

tajam akal”; dan Kohlbrugge menulis pula: “Antara ketajaman 

akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa”. Dan 

tidakkah ada cukup bukti, bahwa wanita  sama tajam 

fikirannya dengan kaum laki-laki, sebagai dikatakan oleh 

Profesor Heymans, Prof. Freundlich, Profesor O’Conroy itu tadi, 

dan boleh ditambah lagi dengan berpuluh-puluh lagi 

keterangan ahli-ahli lain yang mengakui hal ini, kalau kita 

mau? Tidakkah kita sering mendengar nama wanita -

wanita  yang menjadi bintang ilmu pengetahuan atau 

politik, sebagai Madame Curie, Eva Curie, Clara Zetkin, 

Henriette Roland Holst, Sarojini Naidu, dll? 

 

Tuan barangkali akan membantah, bahwa jumlah wanita -

wanita  kenamaan itu belum banyak, dan bahwa di dalam 

warga  sekarang kebanyakannya kaum laki-lakilah yang 

memegang obor ilmu pengetahuan dan faIsafah dan politik. 

Benar sekali, tuan-tuan: Di dalam warga  sekarang! 

Benar sekali: di dalam warga  sekarang ini, di mana laki-

laki mendapat lebih banyak kesempatan buat menggeladi 

akal-fikirannya, maka kaum laki-lakilah yang kebanyakan 

menduduki tempat-tempat kemegahan ilmu dan pengetahuan. 

Di dalam warga  sekarang ini, di mana kaum wanita  

banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih 

kesempatan maju ke muka di lapangan warga , banyak 

yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu, maka tidak 

heran kita, bahwa kurang banyak kaum wanita  yang ilmu 

dan pengetahuannya membubung ke udara. Tapi ini tidak 

menjadi bukti bahwa dus kwalitas otak wanita  itu kurang 

dari kwalitas otak kaum lelaki, atau ketajaman otak 

wanita  kalah dengan ketajaman otak laki-laki. 

Kwalitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya 

sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, 

kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh 

sebab  itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya 

kesempatan oleh warga  sekarang kepada kaum 

wanita , maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidak-

adilan warga  terhadap kepada kaum wanita  itu! 

 

Bahkan terhadap fungsi kodrat dari kaum wanita  yang 

kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima 

benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui 


 

anak, memelihara anak, -terhadap fungsi kodrat inipun dunia 

laki-laki masih kurang menghargakan kaum wanita ! 

Orang laki-laki membusungkan dadanja, seraya berkata -kita, 

kaum laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani 

menghadapi bahaya- bahaya yang besar. “Apakah yang 

wanita  perbuat?” Orang laki-laki mengagul-agulkan 

kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah 

jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah, seraya 

berkata: “Bahaya apakah yang wanita  hadapi?” Orang 

lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di 

zaman purbakala, tatkala hukum warga  belum seperti 

sekarang ini, ialah di dalam zaman “hukum per-ibuan” alias 

matriatchat, -yang di dalam Bab III dan. IV akan saya 

terangkan panjang lebar-, kaum wanita lah yang 

mengemudi warga , kaum wanita lah yang kuasa, 

kaum wanita lah yang mengepalai peperangan, kaum 

wanita lah memanggul senjata, kaum wanita lah 

mengorbankan jiwanya guna sejarah. Dan lagi ... apakah 

benar peperangan lebih berbahaya dibandingkan  melahirkan anak? 

Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban 

dibandingkan  melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat  menerangkan, 

bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di 

sepanjang hidup seseorang manusia. Tiap-tiap ibu pernah 

menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam hidupnya, yakni 

pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah 

berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita 

pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir di 

muka kita? 

 

Terutama di negeri-negeri yang belum besar usaha 

kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia di 

zaman sekarang, tidak sedikit jumlah wanita  yang jatuh 

di atas padang kehormatan melahirkan anak. Dulu di negeri 

Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman seluruhnya) 

antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran 

sudah mulai subur, jumlah wanita  yang meninggal 

sebab  melahirkan anak yaitu  321.791 orang, -yakni rata-

rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri 1nggeris 

antara tahun 1.847 dan 1.901 yaitu  213.533, yakni, kendati 

waktu itu ilmu dan ikhtiar kedokteran telah maju pula, tak 

kurang dari 4.000 setahun tahunnya! “Coba orang laki-laki 


 

musti menanggung sengsara seperti wanita  ini, maka 

barangkali segala apa diributkan untuk menolongnya!”, 

begitulah kata Profesor Herff. Di Eropa, jumlah-jumlah itu 

sekian besarnya! Betapa pula di kampung-kampung dan di 

dusun-dusun kita, di mana dokter belum dikenal orang! 

Betapa pula keadaan di kalangan Sarinah! Maka benar sekali 

konklusi August Hebel, kalau ia mengatakan, bahwa di dalam 

sejarah manusia ini, kalau dijumlahkan, lebih banyak 

wanita  melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan 

melahirkan bayi, dari pada laki-laki melepaskan jiwanya di 

atas padang kehormatan peperangan. 

 

Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum 

wanita . Ia mentertawakan wanita  yang hamil, ia 

meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia 

sendiri yaitu  hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya 

yang bertahun-tahun. “Bagi dia, bagi laki-laki”; -begitulah 

Edward Carpenter, seorang pembela wanita  di negeri 

Inggeris, berkata –“bagi laki-laki maka persetubuhan itu 

yaitu  satu peringanan dan satu kenikmatan. Ia lalu  

pergi, dan tidak ingat lagi akan perbuatannya itu. namun  buat 

wanita  fi’il ini yaitu  satu hal yang paling mulia dan 

paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang 

maha rahasia dan maha penting. Bagi wanita , fi’il ini 

yaitu  satu perbuatan yang banyak akibat-akibatnya, satu 

perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan lagi, 

-satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan 

segala akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ... 

Hanya sedikit kaum laki-laki, barangkali tidak ada 

seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa ibu 

di dalam kalbu seorang wanita , tidak seorangpun yang 

ikut merasakan kebahagiaannya dan harapan-harapannya, 

atau keluh-kesahnya dan ketakutannya yang maha pedih. 

Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat, 

bahwa apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat; 

ketakutannya, kalau-kalau apa yang dikandungnya itu tidak 

selamat seperti yang diharap-harapkannya, keridlaannya buat 

kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi 

itu bisa lahir dengan selamat, semua yaitu  hal-hal yang 

orang laki-laki tak dapat mengira-ngirakan atau meraba-

rabakan. lalu , lalu  dibandingkan  itu, pengorbanan 


 

yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil; 

keletihan dan kepayahan yang bertahun-tahun, yang 

semasekali mendorong ke belakang segala fikiran-fikiran akan 

kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang 

tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan 

lalu  lagi, rasa pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-

laki dan anak wanita  itu masuk ke dunia ramai dan 

memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini 

tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali 

ari-ari diputuskan pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini, 

wanita  tak boleh mengharap akan dapat rasa simpati dari 

fihak kaum laki-laki”. 

 

Begitulah perkataan Edward Carpenter. Moga-moga Allah 

melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di dunia, yang 

semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah 

limpahkan rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan 

itu, kepada ini “Bouwsters der Menschheid” yang semuanya 

tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta 

dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita 

semua, agar supaya kita lebih menghormati dan menghargai 

kaum wanita  itu! 

 

Janganlah kaum laki-laki lupa, bahwa sifat-sifat yang kita 

dapatkan sekarang pada kaum wanita  itu, dan membuat 

kaum wanita  itu menjadi dinamakan “kum lemah”, “kaum 

bodo”, “kaum singkat pikiran”, “kum nerimo”, dan 1ain-1ain 

bukanlah sifat-sifat yang sebab  kodrat ada terlekat pada 

kaum wanita , namun  yaitu  buat sebagian besar hasilnya 

pengurungan dan perbudakan kaum wanita  yang turun-

temurun, beratus tahun, beribu tahun. Di zaman dulu, 

sebagai saya katakan tadi, di zamannya matriarchat yang 

nanti di dalam Bab III dan IV akan saya terangkan lebih jelas, 

di zaman dulu itu sifat-sifat kelemahan itu tidak ada. Ilmu 

pegetahuan yang modern telah menetapkan pengaruh 

keadaan (milieu) di atas jasmani dan rohani manusia. Apa 

sebab kaum kuli dan tani badannya umumnya lebih besar dan 

kuat dibandingkan  kaum “atasan”? Oleh sebab  milieu kuli yaitu  

mengasih kesempatan kepada badan si kuli itu untuk menjadi 

besar dan menjadi kuat. Apa sebab wanita -wanita  

kuli lebih kuat dan besar dari wanita  kaum “atasan”? 


 

Oleh sebab  milieu wanita  kuli yaitu  lain dibandingkan  

milieu wanita  kaum atasan. Apa sebab bangsa-bangsa 

negeri dingin tabiatnya lebih dinamis, lebih giat, lebih ulet 

dibandingkan  bangsa-bangsa di negeri panas? Oleh sebab  milieu 

di negeri dingin memaksa kepada manusia supaya sangat giat 

di dalam struggle for life, sedang di negeri panas seperti 

misalnya di negara kita  sini manusia bisa hidup dengan 

setengah menganggur, -dengan tak berbaju, tak berumah, 

dengan tak usah banyak membanting tulang. H.H.Van Kol di 

dalam bukunya tentang negeri Nippon menerangkan, bahwa 

bangsa Nippon di zaman yang akhir-akhir ini yaitu  kurang 

cebol dibandingkan  dulu (kakinya menjadi lebih panjang dengan 

rata-rata 2 cm!), sesudah orang Nippon itu banyak meniru 

milieu Eropah, yakni duduk di atas kursi. 

 

Maka begitu jugalah ada akibat milieu atas kaum wanita . 

Dulu kaum wanita  tidak lemah-lemah badan seperti 

sekarang ini; dulu kaum wanita  sigap-sigap badan 

perawak-annya, jauh berbeda dengan badan-badan ramping 

dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman sekarang.  

 

Dulu wanita -wanita  yaitu  cerdik dan tajam 

otaknya, lebar dan luas penglihat-annya, ulet dan besar 

tenaganya, menaklukkan kaum laki-laki, yang seakan-akan 

“mengambing saja di belakang mereka”, sebagai ternyata 

buktinya dibanyak sejarah-sejarah. Dulu di zaman 

matriarchat wanita -wanita  menjadi raja, menjadi 

panglima perang, menjadi ketua di rapat-rapat, menjadi 

kepala rumah tangga, menjadi prajurit, menjadi hakim, 

menjadi kepala agama. Dulu kaum wanita  tidak banyak 

berbedaan dengan kaum laki-laki, ya malahan ditentang 

beberapa sifat-sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan 

kaum laki-laki. 

 

Dan di zaman sekarangpun, di zaman kita ini, dapatlah kita 

tunjukkan, bahwa pada bangsa-bangsa, yang wanita nya 

tidak tertindas dan terkurung, kaum wanita  itu sigap-

sigap badan, tangkas-tangkas gerak, perkasa-perkasa tabiat 

dan perangainya, cerdik dan luas fikirannya. Havelock Ellis 

memberi tahukan keterangannya Johnstone yang lama 

bergaul dengan bangsa-bangsa Andombies di Afrika, bahwa 

 

wanita -wanita  Andombies itu kerja berat namun  

senang hidupnya, dan bahwa “seringkali mereka lebih kuat 

dari laki-lakinya, lebih subur, dan bentuk-bentuk badannya 

sigap dan menarik hati”. Dan tentang bangsa Manymema di 

Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini 

“makhluk-makhluk yang sigap, yang wanita -

wanita nya sangat kenes dan sama kuatnya memikul 

beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya”. Menurut 

Duveyrier maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita 

Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan, malah Paul 

Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu 

lebih kuat dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka 

ada satu suku bangsa Indian yang wanita -wanita nya 

lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu pula 

di bagian Papua Timur yaitu  menurut Schellong suku-suku, 

yang wanita nya lebih kuat dibandingkan  putera-putera 

Adamnya. Di Sentral Australia orang laki-laki kalau memukul 

wanita , seringkali mendapat balasan pukulan kontan-

kontanan dengan rente dari wanita  itu, sehingga “kapok” 

ia buat selama-lamanya. (sebab  wanita nya lebih kuat). 

Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo di Amerika Utara, dan di 

Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada perbedaan 

yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh 

wanita ! Demikianlah keterangan-keterangan Havelock 

Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka dengan mengingat 

bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu, 

Henriette Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan 

jitu, bahwa: “Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan 

besarnya badan antara laki-laki dan wanita , perbedaan-

perbedaan tulang dan urat-urat, yaitu  jauh lebih kecil pada 

bangsa-bangsa yang biadab dibandingkan  pada bangsa-bangsa 

yang sudah sopan; apa yang orang namakan kelemahan kaum 

wanita  itu yaitu  buat sebagian besar satu sifat, yang 

ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di 

zaman kekuasaan kaum laki-laki”. Begitu juga pendapat 

August Bebel: “Pada umumnya, maka di zaman purbakala, 

perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki 

dan kaum wanita  itu yaitu  jauh lebih kecil dibandingkan  

dalam warga  kita sekarang ini. Pada hampir semua 

bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup liar, maka 

perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak 


 

wanita  yaitu  jauh lebih kecil dibandingkan  pada bangsa-

bangsa yang sudah beradab”. 

 

Maka oleh sebab  itu, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, 

jika orang mengatakan, bahwa wanita  itu pada kodratnya 

di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam 

segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan 

ilmu pengetahuan pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah 

dibahagikan oleh alam kepada laki-laki buat berjoang di 

warga , menduduki jabatan-jabatan warga , menjadi 

kampiun-kampiun warga , sedang sudah dibahagikan 

oleh alam pula kepada wanita  untuk menanak nasi saja 

di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda 

saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan 

ilmu pengetahuan jika orang mengatakan demikian itu dengan 

membawa alasan bahwa “sepa