Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 8

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 8



 



mampuan negara untuk “mempenetrasi” masyarakat, untuk “mengatur” hubungan-hubungan 

dengan berbagai pengelompokan sosial-politik, dan untuk “menggali” serta “mendistribusikan” 

baik sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dalam cara-cara yang kurang-lebih tegas, 

turut menyebabkan munculnya beberapa gejolak sosial-politik yang amat merepotkan 

kepemimpinan nasional. Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu yaitu  

"pemberontakan" Darul Islam (DI), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan 

Perjuangan Semesta Alam (Permesta). 

Salah satu di antara butir-butir agenda terpenting dari kabinet-kabinet Indonesia pasca 

kemerdekaan yaitu  penyelenggaraan pemilihan umum untuk Parlemen dan Majelis 

Konstituante. Kabinet Sjahrir berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada 

awal Januari 1946. Sayangnya, situasi revolusi fisik (1945-1949) tidak memungkinkan 

dilaksanakannya pemilihan umum itu. saat  kedaulatan negara diserahkan Belanda ke Republik 

Indonesia, sebagaimana dicatat Feith, “setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk 

menyusun Majelis Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya. Meskipun 

demikian, baru pada kabinet Burhanuddin Harahap sajalah pemilihan umum pertama berhasil 

diselenggarakan (1955). 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilihan umum itu. 

Yang paling penting yaitu  ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang 

berasal dari kelompok nasionalis sekuler, bahwa pesta-pora demokrasi itu dapat mengancam 

hubungan politik antara agama (Islam) dan negara yang sudah di-“dekonfessionalisasi” seperti 

yang berlangsung saat itu. Mereka percaya bahwa peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan 

umum dapat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun dukungan rakyat guna 

merealisasikan gagasan negara Islam. Mengingat potensi mereka untuk memenangkan suara 

mayoritas, sukses kelompok Islam dalam pemilihan umum akan melempangkan jalan bagi 

mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante yang artinya akan 

menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. 

Sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode Demokrasi Konstitusional, 

Indonesia berada di bawah UUD Semenetara 1950. Terlepas dari fakta  bahwa negara telah 

mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. sebab  

itu, dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstituante yaitu  menyusun sebuah 

rancangan konstitusi yang permanen. Dalam kerangka legal-konstitusional inilah para anggota 

Majelis Konstituante terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis yang sengit dan 

panas. Meski bukan tanpa kesulitan, Majelis Konstituante akhirnya dapat menyelesaikan 90% 

tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah unsur-unsur substansif 

konstitusi seperti hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara, dan bentuk 

pemerintahan. 

Dalam diskursus ini, kelompok Islam pada intinya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi-

politik yang sudah mereka kemukakan pada masa pra-kemerdekaan, yakni mendirikan negara 

yang jelas-jelas berdasar  Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara 

berdasar  argumen-argumen mengenai (1) watak holistik Islam, (2) keunggulan Islam atas 

semua ideologi dunia lain, dan (3) fakta  bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara 

Indonesia. 

Dipimpin Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin Ahmad, Isa Anshari, dan K.H. 

Masjkur, mereka kukuh mempertahankan watak Islam yang holistik. Mereka percaya bahwa 

Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Menurut mereka, negara —yang pada dasarnya 

merupakan sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga, yang memiliki 

kekuasaan untuk membuat dan menerapkan aturan-aturan yang mengikat — tidak bisa lain 

kecuali mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip Ilahiyah. 

Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi negara, mengingat bahwa Indonesia yaitu  sebuah 

negara yang heterogen secara keagamaan, beberapa tokoh kelompok nasionalis memandang 

Pancasila sebagai suatu kesepakatan bersama. Bagi para politisi PNI dan aktivis Kristen seperti 

Arnold Mononutu, Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok 

agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara, yang terutama ia khawatirkan 

yaitu  tempat kelompok-kelompok agama lain di Nusantara. Bagaimana pun, hal itu 

mengandung citra diskriminasi konstitusional. 

Diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara serta dihapusnya “tujuh kata" dari Piagam Jakarta 

dapat ditafsirkan sebagai kekalahan politik Islam. Kendatipun demikian, para pendukung 

gagasan negara Islam ini , untuk sebagian besar, tidak menyerah begitu saja. Perjuangan 

suci Darul Islam sewaktu perang frontal (1949-1964) dan diproklamsikan berdirinya negara Islam 

Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo dan perjuangan wakil-wakil 

Islam di dalam sidang Konstituante hasil pemilu 1955 untuk menggolkan kembali gagasan negara 

Islam, merupakan indikasi konsistensi perjuangan mereka.  

Pergulatan Islam dan Negara telah menghasilkan banyak pemberontakan, yang secara ekologi 

kultural dapat dijelaskan sebagai berikut: secara ekonomi, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan 

Selatan, yaitu  wilayah pengekspor hasil alam utama, sedangkan Jawa dengan tingkat 

perkembangan penduduk dan urbanisasi yang tinggi menjadi pengimpor; wilayah wilayah 

perjuangan suci Islam yang utama di tahun 1957 1958 yaitu  wilayah wilayah yang surplus 

ekspornya lebih sejahtera yang mencari jalan untuk memotong garis kekuasaan Jawa dan 

Pemerintah Pusat dan dengan cara mengambil perdagangan di tangan mereka sendiri dan 

mencegahnya mengalir ke Jawa.  

Pada tahun 1949, tepatnya pada tanggal 7 Agustus, diproklamasikan berdirinya "Negara Islam 

Indonesia" oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Malangbong, Kabupaten 

Tasikmalaya, Jawa Barat selain sebagai tanggapan terhadap kecenderungan republik ke arah 

sekuler, juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita teologis Negara Islam. Perjuangan suci 

yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan 

pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. 

Pemimpin Darul Islam ini, Kartosoewirjo, yaitu  seorang pemimpin pergerakan umat Islam yang 

semenjak zaman Hindia Belanda telah lama (mulai 1934-1942) mencita citakan berdirinya suatu 

negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk 

melawan Belanda dan berjuang tidak secara ko operatif dan tidak mau melalui parlemen 

(volksraad) atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia) 

maupun Masjumi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia). 

Perjuangan suci Darul Islam ini pada awalnya berkesempatan mengkonsolidasikan diri saat  

Divisi Siliwangi TNI dipindah ke Jawa Tengah sebagai pelaksanaan perjanjian Renville, pasukan 

pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang berada di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo tetap 

tinggal di Jawa Barat sebab  memang tidak setuju dengan Perjanjian Renville. Pasukan Hizbullah 

dan Sabilillah secepatnya mengambil sikap dalam menanggapi kekosongan kekuasaan di wilayah 

tak bertuan Jawa Barat dengan segera menyusun struktur pertahanan yang merupakan cikal 

bakal sebuah negara. saat  pasukan TNI Divisi Siliwangi kembali dari Jawa Tengah untuk 

melakukan perang gerilya, sesudah  Belanda melancarkan Agresi Militer II, mereka menjumpai 

kesatuan kesatuan Hisbullah dan Sabilillah dan kesatuan kesatuan bersenjata lainnya yang 

lalu  bernama Tentara Islam Indonesia (TII). DI/TII mencoba untuk menghalang halangi 

kembalinya TNI ke Jawa Barat dan berusaha untuk menarik anggota anggota TNI ke pihaknya. 

Pertempuran antara pasukan DI/TII dan TNI Divisi Siliwangi pun tidak dapat dihindarkan. 

Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di desa Antralina, Malangbong, 

antara Batalyon M. Rivai yang baru tiba dari Jawa Tengah dengan pasukan Tentara Islam 

Indonesia (TII). 

Jika di zaman kolonial Belanda, perjuangan Islam lebih menyangkut tarik menarik dan 

perdebatan strategi perjuangan antara "perjuangan politik" dan "pembangunan moral", maka 

saat  meletusnya perjuangan suci DI/TII ini pembeda utamanya yaitu  soal keabsahan Republik 

Indonesia. Sementara partai partai politik Islam bertolak dari sikap dasar bahwa RI yaitu  negara 

sah, maka Darul Islam (DI) mengingkari keabsahannya. Betapapun masalah DI lalu  berhasil 

"diturunkan" menjadi masalah keamanan, tidak lagi soal ideologis, corak pendekatan yang 

diajukannya di samping bisa menunjukkan lubang lubang dalam argumen politik Islam, juga 

memberi kesempatan kepada faktor luar untuk mengambil inisiatif politik yang pasti, tanpa 

ambivalensi moral. Sementara itu faktor luar telah makin mendesak dan masalah konstitusional 

pun makin mengabur, maka terjadilah kegagalan Konstituante, PRRI/Permesta meletus yang 

melibatkan orang orang Masyumi dan PSI dan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pun 

makin kuat. 

Perbedaan yang paling mendasar antara Masyumi dengan Darul Islam (DI/TII) yaitu bahwa 

Masyumi menyetujui rumusan rumusan Pancasila sekaligus berbicara tentang suatu "masyarakat 

yang Islami", namun  tidak berbicara tentang "Negara Islam" sebagaimana Darul Islam (DI/TII). 

Perkembangan perjuangan suci Islam selanjutnya pasca Darul Islam hingga masa Orde Baru 

yaitu  gerakan yang terpecah dalam dua arus aktivisme sosial yaitu tradisionalis dan modernis. 

Yang Tradisionalis yaitu  gerakan gerakan yang diwakili oleh NU (Nahdlatul Ulama) dan Perti 

(Persatuan Tarbiyah Islamiyah), sementara yang modernis yaitu  yang diwakili oleh 

Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al Irsjad dan lain lain. Aktivisme dan idealisme politik 

tidak lagi berani mengemuka sesudah  kegagalan politik ini. Semenjak itu Islam terus menjadi 

sasaran kecurigaan Negara, seberapapun positifnya sumbangan Islam yang bisa diberikan 

kepada negara. Sejak itu, posisi politik Islam pun mengalami kelumpuhan total. 

Kelumpuhan politik ini selanjutnya diperparah oleh perpecahan politik umat Islam masa 

kemerdekaan yang dimulai dari terpecahnya kekuatan politik Islam Masyumi yang selama tujuh 

tahun menjadi wakil tunggal politik Islam. Tidak lagi bergabungnya PSII dan NU dalam Masyumi 

tampaknya memang harus dijelaskan melalui pendekatan sebagaimana telah disebutkan tadi, 

terutama yang menyangkut persoalan alokasi peran politik antar berbagai faksi kekuatan yang 

terfusikan dalam Masyumi. Untuk kasus PSII, Soemarso Soemarsono melihat bahwa hal itu 

disebabkan oleh tak kunjung datangnya kesempatan bagi PSII untuk duduk dalam kabinet. 

Namun demikian, persoalan ini tidak begitu mempengaruhi perjalanan Masyumi, sebab  kecilnya 

kekuatan PSII itu sendiri. Akan namun , di sisi lain, hal ini merupakan awal melemahnya kekuatan 

Islam dalam diri partai Masyumi. 

Melemahnya Masyumi sebagai kekuatan politik Islam lebih terasakan lagi sesudah  NU 

mengikrarkan diri keluar dari partai ini . Hal ini disebabkan NU mempunyai massa sangat 

besar, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sejak itu (1952) NU 

mengubah dirinya dari jam'iyyah, organisasi sosial keagamaan, menjadi partai politik. Kebesaran 

massa NU ini dibuktikan pada Pemilu 1955, di mana NU muncul sebagai partai terbesar nomor 

tiga sesudah PNI dan Masyumi dengan meraih 18,4 persen suara dari seluruh jumlah peserta 

Pemilu. sebab  itu, NU mendapatkan 45 kursi dalam Parlemen. 

Orang boleh melihat bahwa keluarnya NU dari Masyumi sebagai tindakan oportunistik. namun , 

bagi NU sendiri hal itu merupakan cara terbaik untuk membebaskan diri dan jamaahnya dari rasa 

tidak puas, baik politik maupun religius, dalam tubuh Masyumi.  

Perpecahan-perpecahan politik Islam, tetap tidak mengubah orientasi perjuangan sebagian 

umat Islam untuk terus memperjuangkan gagasan negara Islam. Di dalam berbagai sidang 

Dewan Konstituante, khususnya Masyumi, tetap menyuarakan ide-ide negara Islam. Sementara 

itu masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Konstitusional yang ditandai dengan jatuh 

bangunnya kabinet-kabinet, baik oleh alasan-alasan politis-sekuler maupun politis keagamaan, 

telah mendorong Presiden Soekarno untuk membubarkan Konstituante. Sejak Soekarno 

memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin (1957-1965), Indonesia memasuki masa di mana 

peranan demokrasi telah termanipulasikan oleh prinsip-prinsip kediktatoran, merupakan 

sebentuk pemerintahan otokratis yang menumpas tanpa setiap oposisi atau pandangan yang 

tidak menyetujuinya. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup (1962) pada periode 

Demokrasi Terpimpin ini. Ironisnya, dukungan besar untuk itu justru diberikan oleh kaum 

nasionalis dari kalangan NU. Posisi Presiden pada masa ini sangat dominan dalam hampir semua 

bidang kehidupan dan diharapkan sebagai pemeberi kata putus terhadap segala persoalan. Masa 

ini juga ditandai oleh keengganan kelompok militer sebab  keberhasilan PKI (Partai Komunis 

Indonesia) mendekati Soekarno. Meski pernah digunting tahun 1948 oleh pemberontakan 

Komunis di Madiun, Presiden Soekarno justru memberi  keleluasan lebih besar kepada PKI 

untuk bergerak dan menguasai panggung politik nasional. Hal ini mendatangkan implikasi cukup 

serius terhadap seluruh aspek kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai relevansi dengan 

kehidupan keagamaan umat Islam. Kebijaksanaan Soekarno itu, menurut W.F. Wertheim, telah 

"menjinakkan” kekuatan Islam. 

  

 

Kebijaksanaan lain Soekarno yang dinilai sangat merugikan Islam yaitu  keputusannya untuk 

membubarkan Masyumi yang pernah bekerjasama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk 

membuat demokrasi tandingan yang diberi nama Liga Demokrasi, sebab  keterlibatan sebagian 

pemimpin dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan dibubarkannya Masyumi pada bulan 

Agustus 1960 itu, NU yang telah menjadi partai politik dan keluar dari keanggotaannya sebagai 

salah satu partai pendukung Masyumi, tampil sebagai wakil politik Islam. Namun juga 

memperbesar potensi PKI untuk menguasai massa. PKI tidak hanya berhasil dalam 

meningkatkan peranannya dalam pemerintahan dan masyarakat, juga lambat laut bekerja sama 

dengan Presiden lebih erat apalagi sebab  Presiden tambah lama tambah bergantung pada 

negara-negara komunis, terutama Cina. Hubungan dengan Cina semakin membuat ekonomi 

Indonesia terwarnai oleh sistem negara ini  dan pengaruh orang-orang Cina yang 

menguasai perekonomian Indonesia.  

Data perjuangan umat Islam yang terentang di atas ini sesungguhnya menggambarkan 

pergolakan pemikiran dan perjuangan politik umat Islam. pada periode itu, terutama periode 

menjelang kemerdekaan dan pada masa Demokrasi Liberal, perhatian sebagian besar pemimpin 

Islam terpusatkan pada persoalan-persoalan Islam dalam hubungannya dengan pembangunan 

politik-ideologi. Yang berkembang saat  itu, misalnya, konsepsi bahwa Islam itu yaitu  dinun 

wa daulah (agama sekaligus terlibat dalam persoalan-persoalan kenegaraan); Islam itu meliputi 

kehidupan dunya wa al-akhirah (dunia dan akhirat) dan lain sebagainya. 

Apa yang dimaksud sebagai perjuangan politik-ideologi itu yaitu  Islam sebagai dasar dan 

ideologi Negara, yang pada awalnya diperjuangkan oleh para pemimpin Islam seperti Ki Bagus 

Hadikusumo, KH A. Sanusi, KH Mas Mansyur, Abdul Khahar Muzakir, KH A. Wahid Hasyim, KH 

Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, Agus Salim dan lain sebagainya. Di 

dalam periode Konstituante (1956-1959), perjuangan itu dilanjutkan oleh Mohammad Natsir, 

Masykur, Hamka, Isa Anshari dan Osman Raliby. 

Tentang Islam sebagai dasar negara, misalnya, Mohammad Natsir menegaskan pendiriannya 

bahwa Islam harus dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, mengingat mayoritas penduduknya 

beragama Islam. Menurutnya, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la-

dieniyah) atau paham keagamaan (dien). Dan menurut pendapatnya, Pancasila bercorak la-

dieniyah, sebab  itu ia sekuler, sebab tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Artinya, 

Pancasila hanyalah semacam produk non-Tuhan, atau produk setan. Adapun sepanjang 

menyangkut persoalan pemberian gelar Kepala Negara, Natsir tidak mengikuti tradisi pemberian 

gelar sebagaimana diwajibkan oleh teori politik Islam klasik, yaitu Khalifah. Baginya, sebutan apa 

saja boleh. Yang penting, seorang kepala negara memiliki sifat, hak dan kewajiban yang sesuai 

dengan ajaran agama Islam, di antaranya yaitu  dengan memberlakukan prinsip-prinsip Syura 

(musyawarah) yang dikembangkan dan disesuaikan menurut hasil ijtihad umat. Demikian, corak 

pemikiran politik Islam Indonesia yang tidak terikat oleh tradisi politik Islam Klasik, melainkan 

bersiteguh pada esensi ajaran Islam yang menyangkut masalah kenegaraan dan kepemerintahan. 

Tidak satupun keinginan para pemimpin Islam, dalam hal ini Islam sebagai dasar dan ideologi 

negara, terwujud. Kendatipun demikian, hal ini tidak menjadikan proses Islamisasi terhenti sama 

sekali. Pada masa Soekarno, kendatipun banyak menggariskan kebijaksanaan politik yang kurang 

menguntungkan perkembangan politik Islam, sebagian langkahnya cukup berarti untuk dinilai 

sebagai gerak Islamisasi birokrasi. Gagasan-gagasannya untuk menyelenggarakan peringatan 

hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Israj Mi'raj, Nuzul Qur'an dan lain sebagainya di 

lingkungan Istana Merdeka, serta upaya membangun mesjid Istana Baiturrahim dan Masjid 

Istiqlal yang megah itu, merupakan kegiatan yang secara tidak langsung mengarah pada adanya 

proses 'ofisialisasi Islam'. Jika boleh disimpulkan, sementara pemimimpin Islam berusaha keras 

agar gagasan tentang Islam sebagai dasar dan ideologi negara diterima, Soekarno, untuk maksud 

perimbangan kekuasaan, melakukan gerak ofisialisasi Islam. sebab nya, dapat dikatakan bahwa 

perkembangan Islam pada masa Soekarno hanya menampilkan dimensi eksoterismenya saja. 

Yang menarik dari penjelasan tentang pola-pola pemikiran politik umat Islam pasca kemerdekaan 

ini yaitu  munculnya beberapa asumsi tentang persatuan dan perpecahan umat Islam dalam 

hubungannya dengan persoalan politik-pemerintahan, kekuasaan, dan pemahaman keagamaan 

itu sendiri. Di bidang politik, sepanjang hal itu menyangkut perjuangan untuk mendirikan negara 

Islam, terutama pada masa pasca kemerdekaan dan Demokrasi Liberal, sebab  sifat liberalisasi 

politik Indonesia saat  itu, umat Islam bersatu untuk membuat gagasan ini  berhasil. 

Sementara itu, perkembangan partai politik Islam Masyumi yang berjalan dengan sistem alokasi 

peran dan kekuasaan yang tidak memuaskan sementara pihak, dalam sejarah telah dianggap 

sebagai faktor perpecahan. Hal ini nampak benar pada kasus keluarnya PSII dan NU dari Masyumi. 

fakta  demikian, memicu  asumsi lain, bahwa sepanjang menyangkut kekuasaan, umat 

Islam cenderung melupakan prinsip ukhuwwah Islamiyah (persatuan), cita-cita bersama dan lain 

sebagainya. fakta  ini tampak pada upaya Masyumi untuk membuat PSII dan NU merasa 

tidak puas dengan alokasi peran dan kekuasaan yang dirancang. 

Sementara itu, NU yang telah mengubah dirinya menjadi partai politik menyadari kegagalan demi 

kegagalan perjuangan politik Islam yang bersifat oposan terhadap kekuasaan pemerintahan, 

tampil dengan manuver-manuver politik yang sama sekali baru. Dalam perjalanannya sebagai 

partai politik pada periode Demokrasi Terpimpin, NU tampil sebagai partner pemerintah dalam 

pembangunan politik nasional, dengan harapan mendapatkan kedudukan politik tertentu — 

seperti pos Departemen Agama. Untuk mempertahankan alokasi itu, tak jarang NU melangkah 

terlalu jauh, meninggalkan prinsip-prinsip yang ada pada partai-partai Islam lainnya. Kesediaan 

NU untuk menyuarakan perjuangan suci Darul Islam sebagai bughat (pemberontakan) dan 

menerima nasakom, merupakan indikasi betapa organisasi ini berusaha keras untuk dapat tetap 

menjadi partner pemerintah. Dan, sebab nya tetap mendapatkan alokasi kekuasaan dalam 

struktur pemerintahan. Perebutan demi alokasi kekuasaan yang sempit ini harus dibayar dengan 

kekalahan demi kekalahan politik Islam secara keseluruhan. 

Sekali lagi, kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik 

itu, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik 

gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai 

menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif. Kecuali NU, yang segera 

mengarahkan kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya soekarno, 

kekuatan politik Islam menurun drastis. Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal 

diskursus ideologi di indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara 

Islam, dijebloskan ke dalam penjara sebab  oposisi mereka terhadap rezim yang terus 

berkelanjutan. Dan akhirnya, Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dengan alasan 

bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara) 

terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sebagaimana dikatakan oleh Natsir, “selama masih ada 

kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau partai dikubur, demokrasi pun 

otomatis akan terkubur, dan di atas kuburan ini hanya diktatur yang akan memerintah.” 

Kedekatan nilai-nilai Islam dengan demokrasi dapat kita lihat seperti “zat dengan sifat Tuhan”. 

Sepeninggal Masyumi, politik Islam yang berlangsung yaitu  politik penyesuaian diri. Di antara 

partai-partai Islam di Indonesia, tiga partai yaitu NU, PSII dan Perti berhasil bertahan hidup 

selama periode Demokrasi Terpimpin. Keberhasilan partai-partai ini bertahan sebab  mampu 

menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan Demokrasi Terpimpin seperti yang dikehendak 

Presiden Soekarno.  

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Dewan Konstituante dibubarkan, dan Presiden mendekritkan 

berlakunya kembali UUD 1945. Dengan dekrit itu, otomatis persoalan Piagam Jakarta terungkit 

kembali. Untuk itu, Presiden memutuskan bahwa Piagam Jakarta mempunyai hubungan 

kesejarahan khusus dengan Undang-Undang Dasar (UUD), sebab nya dianggap sebagai suatu 

bagian integral dari UUD itu sendiri. Pengakuan semacam ini terhadap Piagam Jakarta dapat 

diartikan sebagai indikasi adanya posisi khusus yang dimiliki umat Islam. Dan tampaknya umat 

Islam, baik disebab kan oleh problematika intern yang mereka hadapi, seperti konflik-konflik 

keagamaan, konsep politik yang tidak begitu jelas dan lain sebagainya, membuat mereka tidak 

begitu tanggap dalam mempergunakan kemunculan pengakuan terhadap Piagam Jakarta yang 

kedua kalinya itu. 

Di sinilah “politik ketakutan akan mayoritas” dari kalangan minoritas yang ademokratis ikut 

memainkan peran. Keprihatinan terhadap kemungkinan bahwa kelompok Islam akan 

memenangkan pemilihan umum menyebabkan para pemimpin dan aktivis politik kelompok 

nasionalis meninjau kembali strategi mereka berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan 

umum. Dalam hal ini, salah satu pilihan yang paling memadai yaitu  menunda waktu 

penyelenggaraan pemilihan umum. Seperti dinyatakan A.R. Djokoprawiro dari Partai Indonesia 

Raya (PIR), strategi partainya yaitu  ”menunda pemilihan umum sampai posisi para pendukung 

Pancasila lebih kuat“. Pemimpin-pemimpin lain seperti Soekarno, yang saat itu kepala negara, 

berusaha keras mempengaruhi diskursus politik negara untuk mendukung politik yang sudah di -

“dekonfessionalisasi”. Pada 27 Januari 1953, dalam safari politiknya di Amunta i (terletak di 

sebelah selatan Kalimantan yang komunitas Muslimnya sangat kuat), ia mengingatkan para 

pendengarnya akan pentingnya upaya mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan 

nasional. “Negara yang kita inginkan,” katanya, “yaitu  sebuah negara nasional yang mencakup 

seluruh Indonesia. Jika kita mendirikan negara yang di dasarkan atas Islam, beberapa wilayah 

yang penduduknya bukan Muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kai, dan 

Sulawesi, akan melepaskan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian dari wilayah 

Indonesia, Akan tidak mau menjadi bagian dari Republik.” 

saat  pesta demokrasi yang pertama berlangsung (1955) kelompok Islam hanya menguasai 

43,5% kursi di Parlemen membuat mereka sulit untuk segera memutuskan apakah mereka akan 

terus mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara atau tidak. Para politisi Islam 

menghadapi dilema berat antara agama dan politik. Secara keagamaan, seperti ditunjukkan oleh 

salah seorang pemimpin mereka, mereka digerakkan oleh kewajiban transendental untuk 

menghadirkan watak holistik Islam ke dalam realitas. Secara politis, bagaimanapun mereka tetap 

harus menunjukkan bahwa mereka yaitu  politisi-politisi yang tidak mengingkari janji mereka 

dalam kampanye. Setidak-tidaknya, sementara pada akhirnya akan menerima Pancasila sebagai 

ideologi negara, upaya mendesak dijadikannya Islam sebagai dasar ideologi negara berfungsi 

sebagai alat tawar-menawar politik untuk memenangkan tujuan-tujuan politik yang lebih kecil 

(yakni dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta dan Islam sebagai agama negara). 

Pada tanggal 4 Agustus 1949 disusun Delegasi Indonesia yang akan mengikuti perundingan-

perundingan dengan Belanda di Den Haag selama Konferensi Meja Bundar. Bertepatan dengan 

itu Moh. Hatta menyarankan kepada Muhammad Natsir untuk mengadakan hubungan dengan 

Kartosoewirjo, agar Kartosoewirjo menghentikan semua permusuhan terhadap angkatan 

Bersenjata Republik. lalu  Muhammad Natsir menugaskan A. Hassan seorang pemimpin 

Persis yang juga mengenal Kartosoewirjo untuk menyampaikan surat yang dibuat oleh M. Natsir 

dengan memakai  kertas surat hotel, surat ini  tidak dianggap sebagai surat resmi, dan 

ditahan selama tiga hari sebelum diteruskan kepada Kartosoewirjo.  

Sementara itu, Islam Modern mencapai puncak-puncak baru. Pada tahun 1923 sekelompok 

pedagang mendirikan Persatuan Islam di Bandung. Pada tahun 1924 seorang Tamil kelahiran 

Singapura bernama A. Hassan (lahir tahun 1887) yang beribukan orang Jawa bergabung dengan 

organisasi ini . Pembelaannya yang gigih terhadap doktrin-doktrin Islam Modern, 

kecamannya terhadap segala sesuatu yang berbau takhyul (yaitu banyak dari apa yang diterima 

sebagai Islam yang sebenarnya oleh kaum muslim lokal), perlawanannya yang berapi-api 

terhadap nasionalisme dengan alasan bahwa nasionalisme telah memecah belah kaum muslim 

daerah yang satu dengan daerah lainnya, kesemuanya itu membenarkan julukan organisasi 

ini , yaitu 'Persis' (berdasar  atas kata Belanda precies, yaitu tepat). Hal ini 

mengakibatkan keluarnya banyak anggota kelompok ini yang lebih moderat; pada tahun 1926 

mereka mendirikan organisasi tersendiri yang bernama Permufakatan Islam.  

Pada tanggal 6 Agustus 1949 Mohammad Hatta berangkat ke Den Haag untuk mengikuti 

Konferensi Meja Bundar yang dimulai 12 hari lalu . Kejadian ini bagi Kartosoewirjo 

merupakan pertanda untuk bertindak, sebab  dengan keberangkatan Hatta ke Holland baginya 

kini terdapat “vakuum kekuasaan” namun  tentunya Kartosoewirjo juga bermaksud untuk 

menghadapkan Hatta pada suatu fait accompli sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag 

dimulai. 

lalu  Kartosoewirjo sekali lagi menandaskan perlunya berdiri Negara Islam Indonesia dalam 

masa “vacuum of power” dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah NII no.II/7 yang berbunyi: 

Bismillahirachman nirrachim 

MAKLOEMAT PEMERINTAH 

Negara Islam Indonesia 

No. II/7 

Sjahdan, maka perdjoeangan kemerdekaan nasional, jang dimoelaikan dengan Proklamasi 

berdirinja Repoeblik Indonesia, 17 Agoestoes 1945, soedahlah mengachiri riwajatnja. Orang boleh 

memberi tafsir jang moeloek2, jang memboeboeng tinggi menemboes angkasa; orang boleh tjari 

lagi alasan2 jang lebih litjin, lebih juridis, lebih staasrechtelijk, lehin volkenrechtelijk; namun  meski 

dipoetar balik betapa poela, dengan lakoe jang serong dan alasan jang tjurang sekalipoen, orang 


tak koeasa membalik hitam mendjadi poetih, bathil mendjadi haq, haram mendjadi 

halal………sepandai-pandai manoesia bersilat, tidaklah ia koeasa membalik Timoer mendjadi 

Barat! 

Setinggi-tinggi bangau terbang, kembali kekoebangan djoega. Maka Repoeblik djatoeh poela 

kepada tingkatan sebeloem proklamasi; kembali kepada pokok-pangkal pertama, di tangan 

moesoeh, di tangan Belanda pendjadjah. 

Alhamdoelillah, pada saat kosong (vacuum), saat di mana tiada kekoeasaan, dan pemerintahan 

jang bertanggoeng jawab (gezags en regringsvacuum), maka pada saat jang kritis 

(membahajakan) dan psychologisch lemah itoelah Oemmat Islam Bangsa Indonesia 

memberanikan dirinja menjatakan sikap dan pendiriannja jang djelas-tegas, kepada seloeroeh 

doenia: Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia, 7 Agoestoes 1949. 

Pada saat itoe, maka automatis (dengan sendirinja) perdjoeangan kemerdekaan Indonesia 

beralih arah, bentoek, sifat, tjorak dan toedjoeannja, mendjadilah: perdjoeangan Islam Indonesia.  

sesudah  bermusyawarah dengan petinggi-petinggi Dewan Imamah dan semua unsur-unsur yang 

terkait dalam wadah T.I.I., maka dengan kebulatan tekad bersama untuk menerima Kurnia Allah 

yang maha besar akan Lahirnya Negara Islam Indonesia, maka pada tanggal 12 Sjawal 1368/7 

Agustus 1949 di desa Cisampah, kecamatan Cilugalar, kawedanan Cisayong Tasikmalaya di 

proklamasikannya NEGARA ISLAM INDONESIA. Yang ditanda-tangani oleh Kartosoewirjo sendiri 

atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia. Selengkapnya teks proklamasi N.I.I. yaitu  sebagai 

berikut: 

PROKLAMASI 

Berdirinja 

NEGARA ISLAM INDONESIA 

Bismillahirrahmanirrahim 

Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar Rasoeloellah 

Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia 

MENJATAKAN: 

Berdirinja 

,,NEGARA ISLAM INDONESIA” 

Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: 

HOEKOEM ISLAM 

Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! 

Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia  

  


 

NEGARA ISLAM INDONESIA 

ttd. 

(S.M. KARTOSOEWIRJO) 

MADINAH-INDONESIA, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 1949 

 

 

Proklamasi itu selanjutnya diberi penjelasan terdiri atas 10 pasal sebagai berikut: 

Pendjelasan singkat: 

1. Alhamdoelillah, maka Allah telah berkenan menganoegerahkan Koernianja jang Maha 

Besar atas Oemmat Islam Bangsa Indonesia, ialah: Negara Koernia Allah, jang melipoeti 

seloeroeh Indonesia. 

2. Negara Koernia Allah itoe, yaitu  ,,Negara Islam Indonesia”. Atau dengan kata 

lain ,,Ad-daoelat-oel-Islamijah” atau ,,Daroel Islam” atau dengan singkatan jang sering 

dipakai orang ,,D.I.” selandjoetnja hanja dipakai satoe istilah jang resmi, ja’ni ,,NEGARA 

ISLAM INDONESIA”. 

3. Sedjak boelan September 1945, pada saat  toeroennja Belanda di Indonesia choesoes 

di Poelau Djawa, atau seboelan kemoedian daripada Proklamasi berdirinja ,,Negara 

Repoeblik Indonesia” maka revoloesi Nasional jang dimoelai menjala pada tanggal 17 

Agoestoes 1945 itoe, meroepakan ,,perang” sehingga sedjak masa itoe seloeroeh 

Indonesia di dalam Keadaan Perang. 

4. Negara Islam Indonesia toemboeh di masa perang, di tengah-tengah revoloesi 

Nasional, jang pada achir kemoediannja, sesudah  Naskah Renville dan Oemmat Islam 

bangoen serta berbangkit melawan keganasan pendjadjahan dan perboedakan jang 

dilakoekan oleh Belanda, beralih sifat dan woedjoednja mendjadilah Revoloesi Islam 

atau Perang Soetji. 

5. Insja Allah, perang soetji atau revoloesi Islam itoe akan berdjalan teroes hingga: 

a. N.I.I. berdiri dengan sentaoesa dan tegak tegoehnja, keloear dan ke dalam 100% de-

facto dan de jure di seloeroeh Indonesia. 

b. Lenjapnja segala matjam pendjadjahan dan perboedakan. 

c. Teroesirnja segala moesoeh Allah, moesoeh Agama dan moesoeh N.I.I. 

d. Hoekoem2 Islam berlakoe dengan sempoerna di seloeroeh N.I.I. 

6. Selama itoe ,,N.I.I.” meroepakan: Negara Islam di masa Perang, atau Daroel Islam Fi 

Waqtil-Harbi. 

  

 

7. Maka segala Hoekoem jang berlakoe dalam masa itoe, di dalam lingkoengan N.I.I. ialah 

Hoekoem Islam di masa Perang. 

8. Proklamasi ini disiarkan ke seloeroeh doenia, sebab  Oemmat Islam Bangsa Indonesia 

berpendapat dan berkejakinan bahwa kini yaitu  tiba saatnja melakoekan wadjib 

soetji, jang seroepa itoe bagi mendjaga keselamatan N.I.I. dan segenap Ra’iatnja, serta 

bagi memelihara kesoetjian Agama, teroetama sekali bagi ,,Mendhohirkan Keadilan 

Allah di Doenia”. 

9. Pada dewasa ini Perdjoeangan Kemerdekaan Nasional jang dioesahakan selama 

hampir boelat 4 (empat) tahoen itoe kandaslah soedah. 

10. Semoga Allah membenarkan Proklamasi Berdirinja Negara Islam Indonesia itoe, djoea 

adanja. 

Insja Allah Amin. 

Bismillahi………………… Allahoe Akbar.  

 

Lahirnya Negara Islam Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil rekayasa manusia dalam hal ini 

yaitu  Kartosoewirjo, melainkan af’alullah. Yaitu perbuatan serta program langsung dari Allah 

SWT. Manakala kita mau mengamati dengan arif dan bijaksana perjalanannya sejarah Indonesia, 

di situ terlihat jelas bahwa manusia hanyalah sebagai fa’il. Pelaksana program dari keinginan 

Allah ini .  

Pada saat proklamasi ini diikrarkan, sejak saat itulah Umat Islam di seluruh Indonesia khususnya, 

telah memperoleh kemerdekaannya secara hakiki. Mereka telah memiliki negara dan 

pemerintahan yang akan melaksanakan syari’at Islam. sebab  sesungguhnya Islam datang untuk 

memerdekakan seluruh umat manusia. Jika kaum muslimin berada di suatu negara, di manapun 

di seluruh muka bumi ini, baik mereka menjadi penduduk mayoritas ataukah minoritas. 

Sementara mereka tidak bebas melaksanakan syari’at Islam dan tidak pula diperintah oleh aturan 

serta undang-undang Islam. Hakekatnya mereka belum merdeka, tidak akan pernah ada 

kebebasan. Apalagi kemerdekaan dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam di sebuah negara yang 

menolak berlakunya hukum Allah berdasar  Al-Qur’an dan Hadits shahih. Maka menjadi 

kewajiban setiap muslim untuk memperjuangkan kemerdekaannya bebas dari segala bentuk 

belenggu jahiliyah demi kemanusiaan, keadilan, serta kebebasan melaksanakan syari’at Islam. 

Sebesar apapun aktivitas yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam di negara yang bukan 

negara Islam. Dan betapapun barangkali menguntungkannya, segala itu tidak akan dapat 

menghapus kewajiban mereka untuk berjuang menegakkan Negara Islam, yang menjamin 

terlaksananya hukum Allah dan Rasul-Nya di muka bumi ini. Sekarang timbul satu pertanyaan, 

 

apakah setiap pribadi muslim menginginkan agar Darul Islam (Negara Islam) itu tegak? 

Pertanyaan ini patut disertakan, sebab  masalah Negara Islam ini menjadi polemik yang 

berkepanjangan di sekitar pandangan kaum muslimin bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada istilah 

yang memuat tentang Negara Islam ini , terlebih lagi bahwa Rasulullah Muhammad saw itu 

tidak pernah mendirikan Negara Islam atau Daulah Islam atau Darul Islam. Wallahu ‘alam !  

Kartosoewirjo sebelumnya telah merealisasikan gambaran tentang sebuah Negara Islam, saat  

pada bulan Mei 1948 membentuk Dewan Imamah, begitu pula Undang-undang Dasar Negara 

Islam Indonesia (Qanun Asasi) disertakan penjelasan singkat yang terdiri atas 10 pokok yang 

konsepnya telah disusun pada bulan Agustus 1948. Maka dengan demikian secara formal telah 

mendirikan Negara Islam. 

Susunan organisasi kenegaraan dari Negara Islam Indonesia pada hakekatnya hanyalah 

sederhana saja, namun cukup praktis. Bahkan dalam kesederhanaan ini  tampak adanya 

originalitet pemikiran Kartosoewirjo dalam mengatur administrasi “pemerintahan” dan 

“kenegaraan” dan “ketentaraan” yang sedang tumbuh. saat  Negara Islam Indonesia masih 

dalam prototype, yaitu pengaturan kekuasaan sebelum proklamasi, maka pada tanggal 25 

Agustus 1948 dikeluarkan apa yang disebut “Maklumat Imam No 1”, di mana disebutkan 

peraturan-peraturan yang menyangkut bidang pemerintahan baik pemerintahan sipil maupun 

militer. Dalam maklumat No 1 itu disebutkan juga antara lain bahwa seluruh pimpinan 

pemerintahan sipil diberi tugas sebagai “Komandan pertahanan” di daerahnya masing-masing, 

sedang pemimpin ketentaraan diberi tugas sebagai “komadan pertempuran”. Dalam mengatur 

kekuasaan yang sedang tumbuh ini Kartosoewirjo mengerahkan potensi yang berada di bawah 

kekuasaannya. Adapun pembagian administrasi pemerintahan Negara Islam Indonesia sebelum 

proklamasi yaitu  sebagai berikut: 

1. Divisi dan Wilayah. (Wilayah = Propinsi). 

Divisi yaitu  pemerintahan militer yang dipimpin oleh panglima Divisi dan Gubernur 

bertindak selaku Komandan Pertahanan bagian Politik. 

2. Resimen dan Residensi. (Karesidenan). 

Pemerintahan militer dipimpin oleh Komandan Resimen dan Residen bertindak selaku 

komandan Pertahanan Daerah dan bagian politik. 

3. Batalyon dan Kabupaten. 

Pemerintahan militer dipimpin Komandan Batalyon dan Komandan Pertahanan 

Kabupaten I dan II dipimpin oleh Bupati I dan II. 

4. Kecamatan. 

Dipimpin oleh Camat/Wakil Camat dan Komandan pertahanan kecamatan I dan II. 

 

 

Berhubung tidak ada parlemen, semua peraturan Negara Islam Indonesia dikeluarkan oleh 

Komandemen Tertinggi, yaitu Dewan Imamah yang dulu, dalam bentuk Maklumat yang 

ditandatangani oleh Imam dan lalu  dibagi-bagikan. Adapun anggota Dewan Imamah yang 

pertama kali terbentuk sesudah  proklamasi Negara Islam Indonesia yaitu : 

Imam dan Panglima Tertinggi merangkap Kuasa Usaha (Menteri Luar Negeri).-- S.M. 

Kartosoewirjo.  

Wakil Imam dan Komandan Divisi -- Kamran. 

Menteri Dalam Negeri -- Sanusi Partawidjaja. 

Menteri Penerangan -- Toha Arsyad. 

Menteri Keuangan -- Udin Kartasasmita. 

Menteri Pertahanan -- R. Oni. 

Menteri Kehakiman -- Gozali Tusi. 

 

Pada tanggal 3 Oktober 1949 keluarlah Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1 tentang 

penyesuaian susunan pemerintahan (Administrasi Pemerintahan N.I.I.) dengan situasi dan 

kondisi yang sedang berlangsung saat itu. Dalam penjelasan maklumat Komandemen Tertinggi 

No. 1 ini  antara lain dikatakan sebagai berikut: 

“Segala model organisasi dibentoek dengan tjara jang amat praktis jang sekiranja dapat 

menoenaikan wadjibnja dengan tjepat dan tepat sesoeai dengan toentoetan pergolakan revoloesi. 

Dan segala sesoeatoe jang menghambat, memperlambat, menghalangi dan menentang kepada 

hoekoem revoloesi itoe haroes dan wadjiblah diloempoehkan, dipatahkan dan dimoesnahkan”.  

Inilah beberapa sebab, maka “Komandemen Tertinggi merasa wadjib, dengan selekas moengkin 

mengoebah Soesoenan Pemerintahan Negara Islam Indonesia dengan 

woedjoed ,,Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII”. Dengan bentoek sekarang, maka 

oeroesan politik dan militer dipersatoekan. Bahkan segala oesaha dan 

tjabang2nja ,,Pemerintahan Negara Islam Indonesia” disesoeaikan dengan beleid politik dan 

gerakan militer. Ahli politik haroes di-permiliter-kan (gemilitairieseerde politici). Sebaliknja ahli 

militer haroes di-perpolitik-kan (verpolitiseerde militaren). 

Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1 ini  dalam batas-batas tertentu juga dapat 

memberi  gambaran sampai di mana dinamika cara berpikir Kartosoewirjo dalam usahanya 

untuk mengemudikan dan menguasai NII yang sedang tumbuh dalam masa pancaroba itu. 

Pemisahan kekuasaan politik dan militer sebagaimana dipraktekkan oleh RI dan yang ternyata 

banyak merugikan perjuangan itu telah memberi  pelajaran bagi Kartosoewirjo untuk 

 

 

mengeluarkan MKT No 1 ini . Dengan demikian maka pimpinan pemerintahan dan 

kenegaraan dapat dipersatukan dan tidak akan terjadi dualisme dalam pimpinan. 

Terutama untuk mencegah dualisme dan pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan 

superior antara satu golongan dengan golongan lainnya. Misalnya golongan militer yang merasa 

lebih tinggi daripada golongan sipil atau sebaliknya. Program yang telah dirancang oleh 

Kartosoewirjo ini  pada hakekatnya memang baik untuk dipraktekkan dalam negara yang 

sedang masa bergolak atau dalam keadaan perang. Kepentingannya terutama terletak pada 

penyatuan pimpinan dan potensi yang ada dalam negara ini . Masing-masing pemimpin dari 

suatu daerah, baik ia militer maupun sipil dapat dengan mudah dan lancar menggerakkan alat-

alat kekuasaan yang ada pada mereka. Seorang komandan sipil yang telah dimiliterisir kalau perlu 

dapat memberi  perintah kepada anggota-anggota pasukan bersenjata untuk menghadapi 

suatu keadaan yang timbulnya secara tiba-tiba. Demikian pula seorang Komandan militer yang 

telah diverpolitisir dapat memerintahkan alat-alat kekuasaan sipil, sekiranya memang diperlukan. 

Jika di suatu daerah yang dikuasi DI antara pimpinan militer dan sipil tidak ada persesuaian paham 

dalam menghadapi sesuatu persoalan, maka pimpinan yang lebih tinggi akan mengambil 

kebijaksanaan untuk menyelesaikan persoalan ini  dan mendamaikan perselisihan yang 

terjadi antara kedua pimpinan daerah ini . Dan apabila usaha dari pimpinan yang lebih tinggi 

ini  tidak berhasil maka diadakanlah mutasi atau pemindahan dari salah seorang pimpinan 

daerah ini  sampai kedua pimpinan dalam suatu daerah ini  benar-benar merupakan 

dwi-tunggal. Demikianlah salah satu dari segi kebaikan dari sistim penyatuan pimpinan yang 

pernah dipraktekkan oleh Kartosoewirjo untuk mengatur kekuasaan dalam Negara Islam 

Indonesia. 

Selanjutnya mari kita lihat bagaimana susunan bagian dari sistem pemerintahan Negara Islam 

Indonesia dalam keadaan perang berdasar  maklumat Komandemen Tertingi Negara Islam 

Indonesia No.1 ini : 

ORGANISASI PEMERINTAHAN 

NEGARA ISLAM INDONESIA 

Menurut Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1 

1. Komandemen Tertinggi (K.T). Pimpinan Umum, politis dan milite dipegang oleh Imam 

sebagai Panglima Tertinggi. Pimpinan Harian, dilakukan oleh Kepala Staf Umum (K.S.U.) 

atau “Generale-Staf”. 


 

2. Komandemen Wilayah (K.W). Pimpinan Umum, politis dan militer dilakukan oleh Panglima 

Komandemen Wilayah (Plm. K.W.), selanjutnya bila berhalangan, maka kewajiban itu 

dilakukan oleh Kmd. II dan Kmd. III (wkl. I dan wkl. II Plm. K.W.). Selainnya, jika dilakukan 

pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian tugas. Pimpinan Harian, oleh Kepala 

Staf Komandemen Wilayah (K.S. K.W.). 

3. Komandemen Daerah (K.D). Pimpinan Umum, oleh Kmd. K.D. (Kmd. I). Jika berhalangan, 

pindah tugas itu kepada Kmd. II dan Kmd. III (wkl. 1 Kmd. K.D dan wkl. Kmd. K.D.). Selainnya, 

jika dilakukan pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian tugas. Pimpinan Harian, 

dilakukan oleh Kepala Staf (K.D) (K.S.K.D.) 

4. Komandemen Kabupaten (K.K.). Pimpinan Umum, oleh Kmd. K.K. (Kmd.I.) Jika 

berhalangan, maka kewajiban itu beralih kepada Kmd. II dan Kmd. III (wkl. I dan wkl. II Kmd. 

Kmd. K.K.). Selainnya, jika dilakukan pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian 

tugas. Pimpinan Harian, dipegang oleh Kepala Staf K.K. (K.S.K.K.). 

5. Komandemen Kecamatan (K. Kt). Pimpinan Umum, oleh K. Kt. (Kmd. I), atau Kmd. II, (wkl. 

I Kmd. K. Kt.). Pimpinan Harian, oleh Kepala Staf K. Kt. (K.S.K.Kt.). 

 

Untuk melengkapi administrasi kenegaraan, maka Negara Islam Indonesia menetapkan 

“Administrasi Keuangan Negara” guna menstabilkan roda pemerintahan negara yang serasi 

dengan tuntutan negara di masa perang, hingga sanggup dan siap sedia untuk menghadapi 

segala kemungkinan (war minded). Adapun keterangannya sebagai berikut: 

Hal: Ma’na beberapa istilah:  

1. Infaq  

Infaq ialah: kewajiban tiap-tiap warga negara terhadap negara, baik yang merupakan 

harta ataupun benda, yang ditunaikan: 

a. Di tiap-tiap masa, damai atau perang (infaquddin); dan 

b. hanya di dalam masa perang (infaq fi sabilillah). 

2. Sidkah tathawu’…………………………………………………. ma’lum. 

3. Zakat ……………………………………………………………. ma’lum. 

4. Fitrah …………………………………………………………… ma’lum. 

5. Ta’zir ialah: denda, sepanjang hukum yang dijatuhkan oleh mahkamah. 

6. Harta Ma’sum ialah: harta-benda kepunyaan seorang Muslim warga-negara (Mujahid) 

yang : 

a. meninggalkan tempat-kedudukannya, sebab  tugas atau sebab  tertawan oleh musuh; 

dan 

b. tiada orang atau keluarga yang memelihara harta bendanya. 


 

7. Harta Mauquf ialah: harta-benda kepunyaan seorang warga-negara Muslim yang: 

a. meninggalkan tempat kedudukannya; 

b. tiada persekutuan, sangkutan dan hubungan dengan fihak musuh atau/dan penghianat; 

dan 

c. tiada orang atau keluarga yang memelihara harta bendanya. 

8.  Fai ialah:  

a. barang/harta yang dirampas dari musuh, tidak dengan jalan perang; 

b. barang/harta penghianat; 

c. barang/harta orang yang bersekutu dengan golongan a. dan b.; 

d. barang/harta orang murtad kepada Agama dan Negara; 

e. barang/harta yang disediakan untuk atau/dan dipergunakan oleh musuh; dan 

f. barang/harta orang dzimi (orang kafir yang di bawah perlindungan Pemerintah Negara 

Islam Indonesia), yang meninggal dunia, sedang dia tidak mempunyai ahli waris. 

9. Ghanimah ialah: segala harta-benda yang diperdapat daripada hasil pertempuran. 

10. Harta Shalab ialah: semua barang, kecuali alat perang, yang ada dan melekat pada badan 

musuh (tentara atau/dan penghianat), saat  dia dibunuh di luar keputusan mahkamah. 

Barang-barang yang dibawa, di luar yang ada dan melekat pada badannya, saat  ia 

dibunuh, maka barang-barang itu yaitu  Ghanimah. Sedang barang-barang yang 

ditinggalkannya (di rumah dan kekayaan lainnya) yaitu  harta Fai. 

11. Adapun barang-barang yang diperdapat dari musuh atau/dan penghianat, sebab  

menjalani hukuman mati atas keputusan Mahkamah, maka barang itu bukanlah Shalab, 

melainkan masuk barang Fai. 

Hal Pembagian Infaq Negara: 

1. Desa ………………………………………………………. 25 %  

2. K. Kt. (Komandemen Kecamatan) ……………………….. 20 %  

3. K.K. (Komandemen Kabupaten) …………………………. 15 % 

4. K.D. (Komandemen Daerah) ……………………………... 15 % 

5. K.W. (Komandemen Wilayah) …………………………… 15 % 

6. K.T. (Komandemen Tertinggi) …………………………… 10 % 

 

Pembagian Sidkah, Zakat dan Fitrah: 

Seperti yang telah diatur oleh Hukum Syara’ Hal Pemeliharaan harta Ma’sum dan Mauquf. 

Harta Ma’sum dan Mauquf dibagi menjadi dua macam: 

(1). Barang dan harta, yang tidak dapat diangkat; dan 

(2). Barang dan harta yang dapat diangkat. 

 

 

1. Pemeliharaan harta Ma’sum dan Mauquf, yang tidak dapat diangkat. 

Jika harta Ma’sum dan Mauquf yang dipelihara itu membuahkan hasil, maka pendapatan 

bersih daripadanya, dibagi sebagai yang berikut: 

(1). 20 % untuk Pemelihara atau pengusaha; 

(2). 20 % ,, Desa; 

(3). 15 % ,, K.Kt. (Komandemen Kecamatan). 

(4). 15 % ,, K.K. (Komandemen Kabupaten). 

(5). 10 % ,, K.D. (Komandemen Daerah). 

(6). 10 % ,, K.W. (Komandemen Wilayah). 

(7). 10 % ,, K.T. (Komandemen Tertinggi). 

2. Pemeliharaan harta Ma’sum dan Mauquf, yang dapat diangkat: 

(1). Pengangkutan dan pemeliharaan atasnya, di tugaskan kepada Kmd. K.Kt. yang 

bersangkutan, dengan pengawasan K.K. 

(2). Tiap-tiap instansi Negara mempunyai hak untuk mempergunakan harta Ma’sum dan 

Mauquf ini  di atas, dengan pemeliharaan baik-baik, sesudah  berdamai dengan Kmd. 

K.Kt. yang bersangkutan. 

(3). Laporan ini dikirimkan oleh Kmd. K.Kt. ini , kepada Kepala Majelis Keuangan, 

dan tembusannya kepada K.K. 

Catatan: 

(1). Harta Ma’sum yang dipelihara dan dipergunakan oleh Negara itu, boleh dipulangkan 

kembali kepada yang mempunyai, apabila ia telah kembali di tempat tinggalnya dan 

ternyata bebas daripada tuntutan hukum, sepanjang keputusan Mahkamah. 

(2). Harta benda Mauquf yang dipergunakan dan dipelihara oleh Negara itu, boleh 

dipulangkan kembali kepada yang mempunyainya, apabila ia telah kembali di tempat 

tinggalnya dan ternyata bebas daripada tuntutan hukum, sepanjang keputusan 

Mahkamah. 

(3). Harta Mauquf yang termaktub di dalam lampiran III catatan (2), beralih sifat dan 

hukumnya menjadi Harta Fai, bila yang empunya ternyata masuk salah satu golongan, 

seperti yang tertulis dalam Lampiran I angka 8 huruf a. hingga f. 

 

Hal Pembagian harta Fai 

Harta Fai dibagi menjadi dua macam, ya’ni: 

(1). Barang-barang yang dapat diangkat (roorende goederen) dan 

(2). Barang-barang yang tidak dapat diangkat (on roerende goederen). 

 

1. Pembagian barang-barang Fai yang dapat diangkat: 

(1). 4 % untuk Imam/Plm. Tertinggi dan keluarganya; 

(2). 4 % ,, Mashalihul-Muslimin, di bawah kekuasaan Imam/Plm. Tertinggi; 

(3). 4 % ,, Fukara dan Masakin; 

(4). 4 % ,, Yatama; 

(5). 4 % ,, Ibnu-Sabil; 

(6). 20 % ,, Tentara-pendudukan, atau / dan Tentara yang ikut serta dan ditugaskan untuk 

perampasan tsb., kesatuan polisi dan Baris yang bersangkutan (yang mengerjakan). 

(7). 10 % ,, Desa, di mana barang itu dirampas; 

(8). 10 % ,, K.Kt. yang bersangkutan; 

(9). 10 % ,, K.K. yang bersangkutan; 

(10). 10 % ,, K.D. yang bersangkutan; 

(11). 10 % ,, K.W. yang bersangkutan; 

(12). 10 % ,, K.T. 

2. Pembagian barang harta Fai yang tidak dapat diangkat: Jika pemeliharaan dan 

pengusahaan barang-barang itu memberikab hasil, maka pendapatan bersih daripadanya 

diatur sebagai berikut: 

(1). 4 % Untuk Imam/Plm. Tertinggi dan keluarganya; 

(2). 4 % ,, Mashalihul Muslimin, di bawah kekuasaan Imam/Plm. Tertinggi; 

(3). 4 % ,, Yatama; 

(4). 4 % ,, Fuqara dan Masakin;  

(5). 4 % ,, Ibnu Sabil; 

(6). 20% ,, Pengusaha; 

(7). 15% ,, Desa; 

(8). 15% ,, K.Kt.; 

(9). 10% ,, K.K.; 

(10). 7 ½% ,, K.D.; 

(11). 7 ½% ,, K.W.; dan 

(12). 5 % ,, K.T. 

 

Hal Pembagian Ghanimah Semuanya pendapatan Ghanimah, dengan segera harus dibagi 

menurut aturan sebagai berikut: 

(1). 4 % untuk Imam/Plm. Tertinggi dan keluarganya; 

(2). 4 % ,, Mashalihul Muslimin, di bawah kekuasaan Imam/Plm. Tertinggi; 

  

 

(3). 4 % ,, Fuqara dan Masakin; 

(4). 4 % ,, Yatama; 

(5). 4 % ,, Ibnu Sabil; 

(6). 25 % ,, Kesatuan Tentara, Polisi, Baris dll, yang ikut serta dalam gerakan di waktu 

mendapatkan Ghanimah (mengerjakan);  

(7). 10 % ,, Batalyon yang kesatuannya ikut serta melakukan tugas ini , dalam (6); jika 

dalam kesatuan daripada beberapa batalyon, maka jumlah ini (10%) dibagi rata atas 

banyaknya batalyon yang bersangkutan. 

(8). 5 % ,, Batalyon yang memegang Teritorium; 

(9). 5 % ,, Detasemen Polisi, yang memegang Daerah; 

(10). 15% ,, Komandemen Kecamatan, darimana Ghanimah itu diperoleh. 

(11). 10% ,, Resimen yang daerah gerakannya itu masuk dalam daerah tugasnya; dan 

(12). 10% ,, Divisi yang bersangkutan. 

 

 

Hal Pembagian Shalab. Shalab harus diberikan kepada pembunuh atas musuh atau dan 

penghianat, di luar keputusan Mahkamah. 

 

Tentang kedudukan Tentara Islam Indonesia, secara singkat dapat diterangkan sebagai 

berikut: 

Sebagai tentara Allah, jang menerima dan bertanggoeng djawab langsoeng atas 

penoenaian toegas Ilahy moetlak, toegas mendhohirkan Keradjaan Allah di doenia, 

toegas menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. Kiranja toegas jang 

maha soetji ini dapat dilaksanakan dengan sempoernanja. Dengan Koernia Tolong dan 

Koernia Allah djoega Insja Allah Amin.  

Sebagai Tentara Ideologi, tegasnja: Ideologi Islam. Oleh sebab nja, maka tiap-tiap 

anggota Tentara Islam Indonesia, dan setiap Moedjahid oemoemnja, haroeslah jakin akan: 

1. Kesabaran Islam dan Keadilan Hoekoem-hoekoem Allah dan 

2. Wadjib membela berdirinja Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. 

 

Realisasi daripada kejakinan itoe toemboeh daripada: 

1. Tekad jang soetji, (Tasdiq bil-qalbi), menanam dalam-dalam dan hidoepan sehari-hari 

tampak kejakinan jang koeat dan semangat membadja. 

  

 

2. Pernjataan jang tegas dan pasti, (Iqrar billisan), dengan kesanggoepan jang soenggoeh-

soenggoeh dan sempoernanja, bagi melakoekan toegas maha soetji: mendhohirkan 

ke’adilan dan kebesaran Islam, dipermoekaan boemi Allah, Indonesia. Dan 

3. Kemadjoean, ketjakapan, kemahiran, kepandaian dll., (Qalboel bil amal), oentoek 

melaksanakan wadjib soetji : Menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia! 

Dengan peloeh (keringat) dan darah, dengan djiwa dan raga. 

 

Sebagai Tentara Islam wadjib: 

 

1. Taat dengan sepenoeh-penoehnja kepada Allah, kepada Rasoeloelah, dan kepada Oelil 

Amri. 

2. Patoeh kepada Pimpinan atasan, dengan dasar disiplin tentara jang tanggoeh.  

3. Mentjontoh soennah Nabi Moehammad Clm., dan sahabat-sahabat beliaoe, serta 

pahlawan-pahlawan Islam kemoedian daripada itoe, jang telah mendapat kesempatan 

dan anoegerah Allah, oentoek dan memoeliakan Agama Allah, lebih daripada sesoedah 

jang boleh dipikirkan. 

4. Mendjadi tjontoh dan pelopor bagi Oemmat Islam dan Moedjahidin seloeroehnja, 

dalam mempersembahkan dharma-soetji, dalam melakoekan perang (totaliter) dan 

menggelorakan revoloesi Islam, sehingga hoekoem Alllah berlakoe dengan 

sempoernanja, di tengah-tengah Oemat Islam dan masjarakat Indonesia. 

5. Mendjadi pembela Agama, teroetama agama Islam, dalam arti kata jang loeas dan 

sempoerna. 

 

Sebagai Tentara Rakjat haroes pandai, tjakap dan tjoekoep mendjadi: 

1. Pembela Rakjat kearah Mardlotillah jang sedjati. 

2. Pembela Rakjat teroetama fakir-miskin dan jang tertindas oleh kekoeasaan djahiliyah 

(seperti: R.I. – R.I.K.) dan Moedjahidin oemoemnja. 

3. Hamba Allah (Moeslim, Moedjahid, Moewahid, jang berachlak, berboedi pekerti dan 

berboeat demikian roepa, sehingga patoet menerima dan mendapat kepertjajaan, 

penghargaan dan ketjintaan Rakjat. 

 

P.P.T. I (Peraturan Panglima Tertinggi). 

Tentara Islam Indonesia: 

Hendaklah diperhatikan poela dengan soenggoeh-soenggoeh: 

1. Disiplin Tentara haroes dan wadjib diperhebat. 

2. Tata tertib dan ketentaraan haroes selaloe diingati dan dipergoenakan sebaik-baiknja, 

teroetama di lapang peperangan. 

3. Latihan ketentaraan hendaknja dilakoekan, menoeroet keadaan dan kesempatan, 

walaupoen masih di medan gerilja. 

 

 

P.P.T. II 

Tentara Islam Indonesia: 

Boekanlah Tentara boeroeh, tentara belian dan tentara pendjadjah jang berlakoe sebagai 

“alat mati” jang diperintah dan digerakkan oleh toeannja, komandannja, jang memberi 

makan pakaian kepadanja. 

Boekanlah Tentara jang kosong daripada ideologi, sepi dari pada kejakinan dan djaoeh 

daripada keagamaan dan ketoehanan (Islam), serta tiada berdjiwa hidoep. 

Boekanlah Tentara Djahilijah, seperti tentara R.I (T.N.I), jang tidak mengenal hoekoem-

hoekoem keadilan, kebenaran, dan kemanoesiaan; bahkan, djika mereka satoe-satoe kali 

tahoe, maka mereka selaloe sengadja melanggar dan mengindjak-indjaknja. 

Dan boekanlah poela Tentara alat dan kekoeasaan negara jang dholim dan angkara 

moerka (imperialisme, fascisme dll.). 

 

P.P.T. III 

Sapta Subaja: 

Di samping Bai’at jang telah dinjatakan oleh tiap-tiap Tentara Islam Indonesia, maka di 

waktoe jang tertentoe, menoeroet lapang dan keadaan, hendaklah dinjatakan bersama 

atau masing-masing oleh anggota Tentara Islam Indonesia, djandji-djandji Tentara, 

sebagaimana jang tertjantoem dalam Sapta Soebaja ini: 

 

SAPTA SOEBAJA 

1. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes berdisiplin. 

2. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes berani. 

3. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes membela Pemimpin Negara dan Komandan 

Tentara, sebagai toelang poenggoeng Negara. 

4. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes d