Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 8
mampuan negara untuk “mempenetrasi” masyarakat, untuk “mengatur” hubungan-hubungan
dengan berbagai pengelompokan sosial-politik, dan untuk “menggali” serta “mendistribusikan”
baik sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dalam cara-cara yang kurang-lebih tegas,
turut menyebabkan munculnya beberapa gejolak sosial-politik yang amat merepotkan
kepemimpinan nasional. Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu yaitu
"pemberontakan" Darul Islam (DI), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
Perjuangan Semesta Alam (Permesta).
Salah satu di antara butir-butir agenda terpenting dari kabinet-kabinet Indonesia pasca
kemerdekaan yaitu penyelenggaraan pemilihan umum untuk Parlemen dan Majelis
Konstituante. Kabinet Sjahrir berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada
awal Januari 1946. Sayangnya, situasi revolusi fisik (1945-1949) tidak memungkinkan
dilaksanakannya pemilihan umum itu. saat kedaulatan negara diserahkan Belanda ke Republik
Indonesia, sebagaimana dicatat Feith, “setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk
menyusun Majelis Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya. Meskipun
demikian, baru pada kabinet Burhanuddin Harahap sajalah pemilihan umum pertama berhasil
diselenggarakan (1955).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilihan umum itu.
Yang paling penting yaitu ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang
berasal dari kelompok nasionalis sekuler, bahwa pesta-pora demokrasi itu dapat mengancam
hubungan politik antara agama (Islam) dan negara yang sudah di-“dekonfessionalisasi” seperti
yang berlangsung saat itu. Mereka percaya bahwa peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan
umum dapat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun dukungan rakyat guna
merealisasikan gagasan negara Islam. Mengingat potensi mereka untuk memenangkan suara
mayoritas, sukses kelompok Islam dalam pemilihan umum akan melempangkan jalan bagi
mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante yang artinya akan
menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.
Sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode Demokrasi Konstitusional,
Indonesia berada di bawah UUD Semenetara 1950. Terlepas dari fakta bahwa negara telah
mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. sebab
itu, dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstituante yaitu menyusun sebuah
rancangan konstitusi yang permanen. Dalam kerangka legal-konstitusional inilah para anggota
Majelis Konstituante terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis yang sengit dan
panas. Meski bukan tanpa kesulitan, Majelis Konstituante akhirnya dapat menyelesaikan 90%
tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah unsur-unsur substansif
konstitusi seperti hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara, dan bentuk
pemerintahan.
Dalam diskursus ini, kelompok Islam pada intinya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi-
politik yang sudah mereka kemukakan pada masa pra-kemerdekaan, yakni mendirikan negara
yang jelas-jelas berdasar Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara
berdasar argumen-argumen mengenai (1) watak holistik Islam, (2) keunggulan Islam atas
semua ideologi dunia lain, dan (3) fakta bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara
Indonesia.
Dipimpin Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin Ahmad, Isa Anshari, dan K.H.
Masjkur, mereka kukuh mempertahankan watak Islam yang holistik. Mereka percaya bahwa
Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Menurut mereka, negara —yang pada dasarnya
merupakan sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga, yang memiliki
kekuasaan untuk membuat dan menerapkan aturan-aturan yang mengikat — tidak bisa lain
kecuali mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip Ilahiyah.
Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi negara, mengingat bahwa Indonesia yaitu sebuah
negara yang heterogen secara keagamaan, beberapa tokoh kelompok nasionalis memandang
Pancasila sebagai suatu kesepakatan bersama. Bagi para politisi PNI dan aktivis Kristen seperti
Arnold Mononutu, Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok
agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara, yang terutama ia khawatirkan
yaitu tempat kelompok-kelompok agama lain di Nusantara. Bagaimana pun, hal itu
mengandung citra diskriminasi konstitusional.
Diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara serta dihapusnya “tujuh kata" dari Piagam Jakarta
dapat ditafsirkan sebagai kekalahan politik Islam. Kendatipun demikian, para pendukung
gagasan negara Islam ini , untuk sebagian besar, tidak menyerah begitu saja. Perjuangan
suci Darul Islam sewaktu perang frontal (1949-1964) dan diproklamsikan berdirinya negara Islam
Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo dan perjuangan wakil-wakil
Islam di dalam sidang Konstituante hasil pemilu 1955 untuk menggolkan kembali gagasan negara
Islam, merupakan indikasi konsistensi perjuangan mereka.
Pergulatan Islam dan Negara telah menghasilkan banyak pemberontakan, yang secara ekologi
kultural dapat dijelaskan sebagai berikut: secara ekonomi, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan
Selatan, yaitu wilayah pengekspor hasil alam utama, sedangkan Jawa dengan tingkat
perkembangan penduduk dan urbanisasi yang tinggi menjadi pengimpor; wilayah wilayah
perjuangan suci Islam yang utama di tahun 1957 1958 yaitu wilayah wilayah yang surplus
ekspornya lebih sejahtera yang mencari jalan untuk memotong garis kekuasaan Jawa dan
Pemerintah Pusat dan dengan cara mengambil perdagangan di tangan mereka sendiri dan
mencegahnya mengalir ke Jawa.
Pada tahun 1949, tepatnya pada tanggal 7 Agustus, diproklamasikan berdirinya "Negara Islam
Indonesia" oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Malangbong, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat selain sebagai tanggapan terhadap kecenderungan republik ke arah
sekuler, juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita teologis Negara Islam. Perjuangan suci
yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan
pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.
Pemimpin Darul Islam ini, Kartosoewirjo, yaitu seorang pemimpin pergerakan umat Islam yang
semenjak zaman Hindia Belanda telah lama (mulai 1934-1942) mencita citakan berdirinya suatu
negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk
melawan Belanda dan berjuang tidak secara ko operatif dan tidak mau melalui parlemen
(volksraad) atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia)
maupun Masjumi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia).
Perjuangan suci Darul Islam ini pada awalnya berkesempatan mengkonsolidasikan diri saat
Divisi Siliwangi TNI dipindah ke Jawa Tengah sebagai pelaksanaan perjanjian Renville, pasukan
pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang berada di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo tetap
tinggal di Jawa Barat sebab memang tidak setuju dengan Perjanjian Renville. Pasukan Hizbullah
dan Sabilillah secepatnya mengambil sikap dalam menanggapi kekosongan kekuasaan di wilayah
tak bertuan Jawa Barat dengan segera menyusun struktur pertahanan yang merupakan cikal
bakal sebuah negara. saat pasukan TNI Divisi Siliwangi kembali dari Jawa Tengah untuk
melakukan perang gerilya, sesudah Belanda melancarkan Agresi Militer II, mereka menjumpai
kesatuan kesatuan Hisbullah dan Sabilillah dan kesatuan kesatuan bersenjata lainnya yang
lalu bernama Tentara Islam Indonesia (TII). DI/TII mencoba untuk menghalang halangi
kembalinya TNI ke Jawa Barat dan berusaha untuk menarik anggota anggota TNI ke pihaknya.
Pertempuran antara pasukan DI/TII dan TNI Divisi Siliwangi pun tidak dapat dihindarkan.
Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di desa Antralina, Malangbong,
antara Batalyon M. Rivai yang baru tiba dari Jawa Tengah dengan pasukan Tentara Islam
Indonesia (TII).
Jika di zaman kolonial Belanda, perjuangan Islam lebih menyangkut tarik menarik dan
perdebatan strategi perjuangan antara "perjuangan politik" dan "pembangunan moral", maka
saat meletusnya perjuangan suci DI/TII ini pembeda utamanya yaitu soal keabsahan Republik
Indonesia. Sementara partai partai politik Islam bertolak dari sikap dasar bahwa RI yaitu negara
sah, maka Darul Islam (DI) mengingkari keabsahannya. Betapapun masalah DI lalu berhasil
"diturunkan" menjadi masalah keamanan, tidak lagi soal ideologis, corak pendekatan yang
diajukannya di samping bisa menunjukkan lubang lubang dalam argumen politik Islam, juga
memberi kesempatan kepada faktor luar untuk mengambil inisiatif politik yang pasti, tanpa
ambivalensi moral. Sementara itu faktor luar telah makin mendesak dan masalah konstitusional
pun makin mengabur, maka terjadilah kegagalan Konstituante, PRRI/Permesta meletus yang
melibatkan orang orang Masyumi dan PSI dan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pun
makin kuat.
Perbedaan yang paling mendasar antara Masyumi dengan Darul Islam (DI/TII) yaitu bahwa
Masyumi menyetujui rumusan rumusan Pancasila sekaligus berbicara tentang suatu "masyarakat
yang Islami", namun tidak berbicara tentang "Negara Islam" sebagaimana Darul Islam (DI/TII).
Perkembangan perjuangan suci Islam selanjutnya pasca Darul Islam hingga masa Orde Baru
yaitu gerakan yang terpecah dalam dua arus aktivisme sosial yaitu tradisionalis dan modernis.
Yang Tradisionalis yaitu gerakan gerakan yang diwakili oleh NU (Nahdlatul Ulama) dan Perti
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah), sementara yang modernis yaitu yang diwakili oleh
Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al Irsjad dan lain lain. Aktivisme dan idealisme politik
tidak lagi berani mengemuka sesudah kegagalan politik ini. Semenjak itu Islam terus menjadi
sasaran kecurigaan Negara, seberapapun positifnya sumbangan Islam yang bisa diberikan
kepada negara. Sejak itu, posisi politik Islam pun mengalami kelumpuhan total.
Kelumpuhan politik ini selanjutnya diperparah oleh perpecahan politik umat Islam masa
kemerdekaan yang dimulai dari terpecahnya kekuatan politik Islam Masyumi yang selama tujuh
tahun menjadi wakil tunggal politik Islam. Tidak lagi bergabungnya PSII dan NU dalam Masyumi
tampaknya memang harus dijelaskan melalui pendekatan sebagaimana telah disebutkan tadi,
terutama yang menyangkut persoalan alokasi peran politik antar berbagai faksi kekuatan yang
terfusikan dalam Masyumi. Untuk kasus PSII, Soemarso Soemarsono melihat bahwa hal itu
disebabkan oleh tak kunjung datangnya kesempatan bagi PSII untuk duduk dalam kabinet.
Namun demikian, persoalan ini tidak begitu mempengaruhi perjalanan Masyumi, sebab kecilnya
kekuatan PSII itu sendiri. Akan namun , di sisi lain, hal ini merupakan awal melemahnya kekuatan
Islam dalam diri partai Masyumi.
Melemahnya Masyumi sebagai kekuatan politik Islam lebih terasakan lagi sesudah NU
mengikrarkan diri keluar dari partai ini . Hal ini disebabkan NU mempunyai massa sangat
besar, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sejak itu (1952) NU
mengubah dirinya dari jam'iyyah, organisasi sosial keagamaan, menjadi partai politik. Kebesaran
massa NU ini dibuktikan pada Pemilu 1955, di mana NU muncul sebagai partai terbesar nomor
tiga sesudah PNI dan Masyumi dengan meraih 18,4 persen suara dari seluruh jumlah peserta
Pemilu. sebab itu, NU mendapatkan 45 kursi dalam Parlemen.
Orang boleh melihat bahwa keluarnya NU dari Masyumi sebagai tindakan oportunistik. namun ,
bagi NU sendiri hal itu merupakan cara terbaik untuk membebaskan diri dan jamaahnya dari rasa
tidak puas, baik politik maupun religius, dalam tubuh Masyumi.
Perpecahan-perpecahan politik Islam, tetap tidak mengubah orientasi perjuangan sebagian
umat Islam untuk terus memperjuangkan gagasan negara Islam. Di dalam berbagai sidang
Dewan Konstituante, khususnya Masyumi, tetap menyuarakan ide-ide negara Islam. Sementara
itu masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Konstitusional yang ditandai dengan jatuh
bangunnya kabinet-kabinet, baik oleh alasan-alasan politis-sekuler maupun politis keagamaan,
telah mendorong Presiden Soekarno untuk membubarkan Konstituante. Sejak Soekarno
memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin (1957-1965), Indonesia memasuki masa di mana
peranan demokrasi telah termanipulasikan oleh prinsip-prinsip kediktatoran, merupakan
sebentuk pemerintahan otokratis yang menumpas tanpa setiap oposisi atau pandangan yang
tidak menyetujuinya. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup (1962) pada periode
Demokrasi Terpimpin ini. Ironisnya, dukungan besar untuk itu justru diberikan oleh kaum
nasionalis dari kalangan NU. Posisi Presiden pada masa ini sangat dominan dalam hampir semua
bidang kehidupan dan diharapkan sebagai pemeberi kata putus terhadap segala persoalan. Masa
ini juga ditandai oleh keengganan kelompok militer sebab keberhasilan PKI (Partai Komunis
Indonesia) mendekati Soekarno. Meski pernah digunting tahun 1948 oleh pemberontakan
Komunis di Madiun, Presiden Soekarno justru memberi keleluasan lebih besar kepada PKI
untuk bergerak dan menguasai panggung politik nasional. Hal ini mendatangkan implikasi cukup
serius terhadap seluruh aspek kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai relevansi dengan
kehidupan keagamaan umat Islam. Kebijaksanaan Soekarno itu, menurut W.F. Wertheim, telah
"menjinakkan” kekuatan Islam.
Kebijaksanaan lain Soekarno yang dinilai sangat merugikan Islam yaitu keputusannya untuk
membubarkan Masyumi yang pernah bekerjasama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk
membuat demokrasi tandingan yang diberi nama Liga Demokrasi, sebab keterlibatan sebagian
pemimpin dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan dibubarkannya Masyumi pada bulan
Agustus 1960 itu, NU yang telah menjadi partai politik dan keluar dari keanggotaannya sebagai
salah satu partai pendukung Masyumi, tampil sebagai wakil politik Islam. Namun juga
memperbesar potensi PKI untuk menguasai massa. PKI tidak hanya berhasil dalam
meningkatkan peranannya dalam pemerintahan dan masyarakat, juga lambat laut bekerja sama
dengan Presiden lebih erat apalagi sebab Presiden tambah lama tambah bergantung pada
negara-negara komunis, terutama Cina. Hubungan dengan Cina semakin membuat ekonomi
Indonesia terwarnai oleh sistem negara ini dan pengaruh orang-orang Cina yang
menguasai perekonomian Indonesia.
Data perjuangan umat Islam yang terentang di atas ini sesungguhnya menggambarkan
pergolakan pemikiran dan perjuangan politik umat Islam. pada periode itu, terutama periode
menjelang kemerdekaan dan pada masa Demokrasi Liberal, perhatian sebagian besar pemimpin
Islam terpusatkan pada persoalan-persoalan Islam dalam hubungannya dengan pembangunan
politik-ideologi. Yang berkembang saat itu, misalnya, konsepsi bahwa Islam itu yaitu dinun
wa daulah (agama sekaligus terlibat dalam persoalan-persoalan kenegaraan); Islam itu meliputi
kehidupan dunya wa al-akhirah (dunia dan akhirat) dan lain sebagainya.
Apa yang dimaksud sebagai perjuangan politik-ideologi itu yaitu Islam sebagai dasar dan
ideologi Negara, yang pada awalnya diperjuangkan oleh para pemimpin Islam seperti Ki Bagus
Hadikusumo, KH A. Sanusi, KH Mas Mansyur, Abdul Khahar Muzakir, KH A. Wahid Hasyim, KH
Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, Agus Salim dan lain sebagainya. Di
dalam periode Konstituante (1956-1959), perjuangan itu dilanjutkan oleh Mohammad Natsir,
Masykur, Hamka, Isa Anshari dan Osman Raliby.
Tentang Islam sebagai dasar negara, misalnya, Mohammad Natsir menegaskan pendiriannya
bahwa Islam harus dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, mengingat mayoritas penduduknya
beragama Islam. Menurutnya, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la-
dieniyah) atau paham keagamaan (dien). Dan menurut pendapatnya, Pancasila bercorak la-
dieniyah, sebab itu ia sekuler, sebab tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Artinya,
Pancasila hanyalah semacam produk non-Tuhan, atau produk setan. Adapun sepanjang
menyangkut persoalan pemberian gelar Kepala Negara, Natsir tidak mengikuti tradisi pemberian
gelar sebagaimana diwajibkan oleh teori politik Islam klasik, yaitu Khalifah. Baginya, sebutan apa
saja boleh. Yang penting, seorang kepala negara memiliki sifat, hak dan kewajiban yang sesuai
dengan ajaran agama Islam, di antaranya yaitu dengan memberlakukan prinsip-prinsip Syura
(musyawarah) yang dikembangkan dan disesuaikan menurut hasil ijtihad umat. Demikian, corak
pemikiran politik Islam Indonesia yang tidak terikat oleh tradisi politik Islam Klasik, melainkan
bersiteguh pada esensi ajaran Islam yang menyangkut masalah kenegaraan dan kepemerintahan.
Tidak satupun keinginan para pemimpin Islam, dalam hal ini Islam sebagai dasar dan ideologi
negara, terwujud. Kendatipun demikian, hal ini tidak menjadikan proses Islamisasi terhenti sama
sekali. Pada masa Soekarno, kendatipun banyak menggariskan kebijaksanaan politik yang kurang
menguntungkan perkembangan politik Islam, sebagian langkahnya cukup berarti untuk dinilai
sebagai gerak Islamisasi birokrasi. Gagasan-gagasannya untuk menyelenggarakan peringatan
hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Israj Mi'raj, Nuzul Qur'an dan lain sebagainya di
lingkungan Istana Merdeka, serta upaya membangun mesjid Istana Baiturrahim dan Masjid
Istiqlal yang megah itu, merupakan kegiatan yang secara tidak langsung mengarah pada adanya
proses 'ofisialisasi Islam'. Jika boleh disimpulkan, sementara pemimimpin Islam berusaha keras
agar gagasan tentang Islam sebagai dasar dan ideologi negara diterima, Soekarno, untuk maksud
perimbangan kekuasaan, melakukan gerak ofisialisasi Islam. sebab nya, dapat dikatakan bahwa
perkembangan Islam pada masa Soekarno hanya menampilkan dimensi eksoterismenya saja.
Yang menarik dari penjelasan tentang pola-pola pemikiran politik umat Islam pasca kemerdekaan
ini yaitu munculnya beberapa asumsi tentang persatuan dan perpecahan umat Islam dalam
hubungannya dengan persoalan politik-pemerintahan, kekuasaan, dan pemahaman keagamaan
itu sendiri. Di bidang politik, sepanjang hal itu menyangkut perjuangan untuk mendirikan negara
Islam, terutama pada masa pasca kemerdekaan dan Demokrasi Liberal, sebab sifat liberalisasi
politik Indonesia saat itu, umat Islam bersatu untuk membuat gagasan ini berhasil.
Sementara itu, perkembangan partai politik Islam Masyumi yang berjalan dengan sistem alokasi
peran dan kekuasaan yang tidak memuaskan sementara pihak, dalam sejarah telah dianggap
sebagai faktor perpecahan. Hal ini nampak benar pada kasus keluarnya PSII dan NU dari Masyumi.
fakta demikian, memicu asumsi lain, bahwa sepanjang menyangkut kekuasaan, umat
Islam cenderung melupakan prinsip ukhuwwah Islamiyah (persatuan), cita-cita bersama dan lain
sebagainya. fakta ini tampak pada upaya Masyumi untuk membuat PSII dan NU merasa
tidak puas dengan alokasi peran dan kekuasaan yang dirancang.
Sementara itu, NU yang telah mengubah dirinya menjadi partai politik menyadari kegagalan demi
kegagalan perjuangan politik Islam yang bersifat oposan terhadap kekuasaan pemerintahan,
tampil dengan manuver-manuver politik yang sama sekali baru. Dalam perjalanannya sebagai
partai politik pada periode Demokrasi Terpimpin, NU tampil sebagai partner pemerintah dalam
pembangunan politik nasional, dengan harapan mendapatkan kedudukan politik tertentu —
seperti pos Departemen Agama. Untuk mempertahankan alokasi itu, tak jarang NU melangkah
terlalu jauh, meninggalkan prinsip-prinsip yang ada pada partai-partai Islam lainnya. Kesediaan
NU untuk menyuarakan perjuangan suci Darul Islam sebagai bughat (pemberontakan) dan
menerima nasakom, merupakan indikasi betapa organisasi ini berusaha keras untuk dapat tetap
menjadi partner pemerintah. Dan, sebab nya tetap mendapatkan alokasi kekuasaan dalam
struktur pemerintahan. Perebutan demi alokasi kekuasaan yang sempit ini harus dibayar dengan
kekalahan demi kekalahan politik Islam secara keseluruhan.
Sekali lagi, kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik
itu, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik
gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai
menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif. Kecuali NU, yang segera
mengarahkan kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya soekarno,
kekuatan politik Islam menurun drastis. Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal
diskursus ideologi di indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara
Islam, dijebloskan ke dalam penjara sebab oposisi mereka terhadap rezim yang terus
berkelanjutan. Dan akhirnya, Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dengan alasan
bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara)
terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sebagaimana dikatakan oleh Natsir, “selama masih ada
kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau partai dikubur, demokrasi pun
otomatis akan terkubur, dan di atas kuburan ini hanya diktatur yang akan memerintah.”
Kedekatan nilai-nilai Islam dengan demokrasi dapat kita lihat seperti “zat dengan sifat Tuhan”.
Sepeninggal Masyumi, politik Islam yang berlangsung yaitu politik penyesuaian diri. Di antara
partai-partai Islam di Indonesia, tiga partai yaitu NU, PSII dan Perti berhasil bertahan hidup
selama periode Demokrasi Terpimpin. Keberhasilan partai-partai ini bertahan sebab mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan Demokrasi Terpimpin seperti yang dikehendak
Presiden Soekarno.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Dewan Konstituante dibubarkan, dan Presiden mendekritkan
berlakunya kembali UUD 1945. Dengan dekrit itu, otomatis persoalan Piagam Jakarta terungkit
kembali. Untuk itu, Presiden memutuskan bahwa Piagam Jakarta mempunyai hubungan
kesejarahan khusus dengan Undang-Undang Dasar (UUD), sebab nya dianggap sebagai suatu
bagian integral dari UUD itu sendiri. Pengakuan semacam ini terhadap Piagam Jakarta dapat
diartikan sebagai indikasi adanya posisi khusus yang dimiliki umat Islam. Dan tampaknya umat
Islam, baik disebab kan oleh problematika intern yang mereka hadapi, seperti konflik-konflik
keagamaan, konsep politik yang tidak begitu jelas dan lain sebagainya, membuat mereka tidak
begitu tanggap dalam mempergunakan kemunculan pengakuan terhadap Piagam Jakarta yang
kedua kalinya itu.
Di sinilah “politik ketakutan akan mayoritas” dari kalangan minoritas yang ademokratis ikut
memainkan peran. Keprihatinan terhadap kemungkinan bahwa kelompok Islam akan
memenangkan pemilihan umum menyebabkan para pemimpin dan aktivis politik kelompok
nasionalis meninjau kembali strategi mereka berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan
umum. Dalam hal ini, salah satu pilihan yang paling memadai yaitu menunda waktu
penyelenggaraan pemilihan umum. Seperti dinyatakan A.R. Djokoprawiro dari Partai Indonesia
Raya (PIR), strategi partainya yaitu ”menunda pemilihan umum sampai posisi para pendukung
Pancasila lebih kuat“. Pemimpin-pemimpin lain seperti Soekarno, yang saat itu kepala negara,
berusaha keras mempengaruhi diskursus politik negara untuk mendukung politik yang sudah di -
“dekonfessionalisasi”. Pada 27 Januari 1953, dalam safari politiknya di Amunta i (terletak di
sebelah selatan Kalimantan yang komunitas Muslimnya sangat kuat), ia mengingatkan para
pendengarnya akan pentingnya upaya mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan
nasional. “Negara yang kita inginkan,” katanya, “yaitu sebuah negara nasional yang mencakup
seluruh Indonesia. Jika kita mendirikan negara yang di dasarkan atas Islam, beberapa wilayah
yang penduduknya bukan Muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kai, dan
Sulawesi, akan melepaskan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian dari wilayah
Indonesia, Akan tidak mau menjadi bagian dari Republik.”
saat pesta demokrasi yang pertama berlangsung (1955) kelompok Islam hanya menguasai
43,5% kursi di Parlemen membuat mereka sulit untuk segera memutuskan apakah mereka akan
terus mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara atau tidak. Para politisi Islam
menghadapi dilema berat antara agama dan politik. Secara keagamaan, seperti ditunjukkan oleh
salah seorang pemimpin mereka, mereka digerakkan oleh kewajiban transendental untuk
menghadirkan watak holistik Islam ke dalam realitas. Secara politis, bagaimanapun mereka tetap
harus menunjukkan bahwa mereka yaitu politisi-politisi yang tidak mengingkari janji mereka
dalam kampanye. Setidak-tidaknya, sementara pada akhirnya akan menerima Pancasila sebagai
ideologi negara, upaya mendesak dijadikannya Islam sebagai dasar ideologi negara berfungsi
sebagai alat tawar-menawar politik untuk memenangkan tujuan-tujuan politik yang lebih kecil
(yakni dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta dan Islam sebagai agama negara).
Pada tanggal 4 Agustus 1949 disusun Delegasi Indonesia yang akan mengikuti perundingan-
perundingan dengan Belanda di Den Haag selama Konferensi Meja Bundar. Bertepatan dengan
itu Moh. Hatta menyarankan kepada Muhammad Natsir untuk mengadakan hubungan dengan
Kartosoewirjo, agar Kartosoewirjo menghentikan semua permusuhan terhadap angkatan
Bersenjata Republik. lalu Muhammad Natsir menugaskan A. Hassan seorang pemimpin
Persis yang juga mengenal Kartosoewirjo untuk menyampaikan surat yang dibuat oleh M. Natsir
dengan memakai kertas surat hotel, surat ini tidak dianggap sebagai surat resmi, dan
ditahan selama tiga hari sebelum diteruskan kepada Kartosoewirjo.
Sementara itu, Islam Modern mencapai puncak-puncak baru. Pada tahun 1923 sekelompok
pedagang mendirikan Persatuan Islam di Bandung. Pada tahun 1924 seorang Tamil kelahiran
Singapura bernama A. Hassan (lahir tahun 1887) yang beribukan orang Jawa bergabung dengan
organisasi ini . Pembelaannya yang gigih terhadap doktrin-doktrin Islam Modern,
kecamannya terhadap segala sesuatu yang berbau takhyul (yaitu banyak dari apa yang diterima
sebagai Islam yang sebenarnya oleh kaum muslim lokal), perlawanannya yang berapi-api
terhadap nasionalisme dengan alasan bahwa nasionalisme telah memecah belah kaum muslim
daerah yang satu dengan daerah lainnya, kesemuanya itu membenarkan julukan organisasi
ini , yaitu 'Persis' (berdasar atas kata Belanda precies, yaitu tepat). Hal ini
mengakibatkan keluarnya banyak anggota kelompok ini yang lebih moderat; pada tahun 1926
mereka mendirikan organisasi tersendiri yang bernama Permufakatan Islam.
Pada tanggal 6 Agustus 1949 Mohammad Hatta berangkat ke Den Haag untuk mengikuti
Konferensi Meja Bundar yang dimulai 12 hari lalu . Kejadian ini bagi Kartosoewirjo
merupakan pertanda untuk bertindak, sebab dengan keberangkatan Hatta ke Holland baginya
kini terdapat “vakuum kekuasaan” namun tentunya Kartosoewirjo juga bermaksud untuk
menghadapkan Hatta pada suatu fait accompli sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag
dimulai.
lalu Kartosoewirjo sekali lagi menandaskan perlunya berdiri Negara Islam Indonesia dalam
masa “vacuum of power” dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah NII no.II/7 yang berbunyi:
Bismillahirachman nirrachim
MAKLOEMAT PEMERINTAH
Negara Islam Indonesia
No. II/7
Sjahdan, maka perdjoeangan kemerdekaan nasional, jang dimoelaikan dengan Proklamasi
berdirinja Repoeblik Indonesia, 17 Agoestoes 1945, soedahlah mengachiri riwajatnja. Orang boleh
memberi tafsir jang moeloek2, jang memboeboeng tinggi menemboes angkasa; orang boleh tjari
lagi alasan2 jang lebih litjin, lebih juridis, lebih staasrechtelijk, lehin volkenrechtelijk; namun meski
dipoetar balik betapa poela, dengan lakoe jang serong dan alasan jang tjurang sekalipoen, orang
tak koeasa membalik hitam mendjadi poetih, bathil mendjadi haq, haram mendjadi
halal………sepandai-pandai manoesia bersilat, tidaklah ia koeasa membalik Timoer mendjadi
Barat!
Setinggi-tinggi bangau terbang, kembali kekoebangan djoega. Maka Repoeblik djatoeh poela
kepada tingkatan sebeloem proklamasi; kembali kepada pokok-pangkal pertama, di tangan
moesoeh, di tangan Belanda pendjadjah.
Alhamdoelillah, pada saat kosong (vacuum), saat di mana tiada kekoeasaan, dan pemerintahan
jang bertanggoeng jawab (gezags en regringsvacuum), maka pada saat jang kritis
(membahajakan) dan psychologisch lemah itoelah Oemmat Islam Bangsa Indonesia
memberanikan dirinja menjatakan sikap dan pendiriannja jang djelas-tegas, kepada seloeroeh
doenia: Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia, 7 Agoestoes 1949.
Pada saat itoe, maka automatis (dengan sendirinja) perdjoeangan kemerdekaan Indonesia
beralih arah, bentoek, sifat, tjorak dan toedjoeannja, mendjadilah: perdjoeangan Islam Indonesia.
sesudah bermusyawarah dengan petinggi-petinggi Dewan Imamah dan semua unsur-unsur yang
terkait dalam wadah T.I.I., maka dengan kebulatan tekad bersama untuk menerima Kurnia Allah
yang maha besar akan Lahirnya Negara Islam Indonesia, maka pada tanggal 12 Sjawal 1368/7
Agustus 1949 di desa Cisampah, kecamatan Cilugalar, kawedanan Cisayong Tasikmalaya di
proklamasikannya NEGARA ISLAM INDONESIA. Yang ditanda-tangani oleh Kartosoewirjo sendiri
atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia. Selengkapnya teks proklamasi N.I.I. yaitu sebagai
berikut:
PROKLAMASI
Berdirinja
NEGARA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim
Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar Rasoeloellah
Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia
MENJATAKAN:
Berdirinja
,,NEGARA ISLAM INDONESIA”
Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah:
HOEKOEM ISLAM
Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!
Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia
NEGARA ISLAM INDONESIA
ttd.
(S.M. KARTOSOEWIRJO)
MADINAH-INDONESIA, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 1949
Proklamasi itu selanjutnya diberi penjelasan terdiri atas 10 pasal sebagai berikut:
Pendjelasan singkat:
1. Alhamdoelillah, maka Allah telah berkenan menganoegerahkan Koernianja jang Maha
Besar atas Oemmat Islam Bangsa Indonesia, ialah: Negara Koernia Allah, jang melipoeti
seloeroeh Indonesia.
2. Negara Koernia Allah itoe, yaitu ,,Negara Islam Indonesia”. Atau dengan kata
lain ,,Ad-daoelat-oel-Islamijah” atau ,,Daroel Islam” atau dengan singkatan jang sering
dipakai orang ,,D.I.” selandjoetnja hanja dipakai satoe istilah jang resmi, ja’ni ,,NEGARA
ISLAM INDONESIA”.
3. Sedjak boelan September 1945, pada saat toeroennja Belanda di Indonesia choesoes
di Poelau Djawa, atau seboelan kemoedian daripada Proklamasi berdirinja ,,Negara
Repoeblik Indonesia” maka revoloesi Nasional jang dimoelai menjala pada tanggal 17
Agoestoes 1945 itoe, meroepakan ,,perang” sehingga sedjak masa itoe seloeroeh
Indonesia di dalam Keadaan Perang.
4. Negara Islam Indonesia toemboeh di masa perang, di tengah-tengah revoloesi
Nasional, jang pada achir kemoediannja, sesudah Naskah Renville dan Oemmat Islam
bangoen serta berbangkit melawan keganasan pendjadjahan dan perboedakan jang
dilakoekan oleh Belanda, beralih sifat dan woedjoednja mendjadilah Revoloesi Islam
atau Perang Soetji.
5. Insja Allah, perang soetji atau revoloesi Islam itoe akan berdjalan teroes hingga:
a. N.I.I. berdiri dengan sentaoesa dan tegak tegoehnja, keloear dan ke dalam 100% de-
facto dan de jure di seloeroeh Indonesia.
b. Lenjapnja segala matjam pendjadjahan dan perboedakan.
c. Teroesirnja segala moesoeh Allah, moesoeh Agama dan moesoeh N.I.I.
d. Hoekoem2 Islam berlakoe dengan sempoerna di seloeroeh N.I.I.
6. Selama itoe ,,N.I.I.” meroepakan: Negara Islam di masa Perang, atau Daroel Islam Fi
Waqtil-Harbi.
7. Maka segala Hoekoem jang berlakoe dalam masa itoe, di dalam lingkoengan N.I.I. ialah
Hoekoem Islam di masa Perang.
8. Proklamasi ini disiarkan ke seloeroeh doenia, sebab Oemmat Islam Bangsa Indonesia
berpendapat dan berkejakinan bahwa kini yaitu tiba saatnja melakoekan wadjib
soetji, jang seroepa itoe bagi mendjaga keselamatan N.I.I. dan segenap Ra’iatnja, serta
bagi memelihara kesoetjian Agama, teroetama sekali bagi ,,Mendhohirkan Keadilan
Allah di Doenia”.
9. Pada dewasa ini Perdjoeangan Kemerdekaan Nasional jang dioesahakan selama
hampir boelat 4 (empat) tahoen itoe kandaslah soedah.
10. Semoga Allah membenarkan Proklamasi Berdirinja Negara Islam Indonesia itoe, djoea
adanja.
Insja Allah Amin.
Bismillahi………………… Allahoe Akbar.
Lahirnya Negara Islam Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil rekayasa manusia dalam hal ini
yaitu Kartosoewirjo, melainkan af’alullah. Yaitu perbuatan serta program langsung dari Allah
SWT. Manakala kita mau mengamati dengan arif dan bijaksana perjalanannya sejarah Indonesia,
di situ terlihat jelas bahwa manusia hanyalah sebagai fa’il. Pelaksana program dari keinginan
Allah ini .
Pada saat proklamasi ini diikrarkan, sejak saat itulah Umat Islam di seluruh Indonesia khususnya,
telah memperoleh kemerdekaannya secara hakiki. Mereka telah memiliki negara dan
pemerintahan yang akan melaksanakan syari’at Islam. sebab sesungguhnya Islam datang untuk
memerdekakan seluruh umat manusia. Jika kaum muslimin berada di suatu negara, di manapun
di seluruh muka bumi ini, baik mereka menjadi penduduk mayoritas ataukah minoritas.
Sementara mereka tidak bebas melaksanakan syari’at Islam dan tidak pula diperintah oleh aturan
serta undang-undang Islam. Hakekatnya mereka belum merdeka, tidak akan pernah ada
kebebasan. Apalagi kemerdekaan dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam di sebuah negara yang
menolak berlakunya hukum Allah berdasar Al-Qur’an dan Hadits shahih. Maka menjadi
kewajiban setiap muslim untuk memperjuangkan kemerdekaannya bebas dari segala bentuk
belenggu jahiliyah demi kemanusiaan, keadilan, serta kebebasan melaksanakan syari’at Islam.
Sebesar apapun aktivitas yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam di negara yang bukan
negara Islam. Dan betapapun barangkali menguntungkannya, segala itu tidak akan dapat
menghapus kewajiban mereka untuk berjuang menegakkan Negara Islam, yang menjamin
terlaksananya hukum Allah dan Rasul-Nya di muka bumi ini. Sekarang timbul satu pertanyaan,
apakah setiap pribadi muslim menginginkan agar Darul Islam (Negara Islam) itu tegak?
Pertanyaan ini patut disertakan, sebab masalah Negara Islam ini menjadi polemik yang
berkepanjangan di sekitar pandangan kaum muslimin bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada istilah
yang memuat tentang Negara Islam ini , terlebih lagi bahwa Rasulullah Muhammad saw itu
tidak pernah mendirikan Negara Islam atau Daulah Islam atau Darul Islam. Wallahu ‘alam !
Kartosoewirjo sebelumnya telah merealisasikan gambaran tentang sebuah Negara Islam, saat
pada bulan Mei 1948 membentuk Dewan Imamah, begitu pula Undang-undang Dasar Negara
Islam Indonesia (Qanun Asasi) disertakan penjelasan singkat yang terdiri atas 10 pokok yang
konsepnya telah disusun pada bulan Agustus 1948. Maka dengan demikian secara formal telah
mendirikan Negara Islam.
Susunan organisasi kenegaraan dari Negara Islam Indonesia pada hakekatnya hanyalah
sederhana saja, namun cukup praktis. Bahkan dalam kesederhanaan ini tampak adanya
originalitet pemikiran Kartosoewirjo dalam mengatur administrasi “pemerintahan” dan
“kenegaraan” dan “ketentaraan” yang sedang tumbuh. saat Negara Islam Indonesia masih
dalam prototype, yaitu pengaturan kekuasaan sebelum proklamasi, maka pada tanggal 25
Agustus 1948 dikeluarkan apa yang disebut “Maklumat Imam No 1”, di mana disebutkan
peraturan-peraturan yang menyangkut bidang pemerintahan baik pemerintahan sipil maupun
militer. Dalam maklumat No 1 itu disebutkan juga antara lain bahwa seluruh pimpinan
pemerintahan sipil diberi tugas sebagai “Komandan pertahanan” di daerahnya masing-masing,
sedang pemimpin ketentaraan diberi tugas sebagai “komadan pertempuran”. Dalam mengatur
kekuasaan yang sedang tumbuh ini Kartosoewirjo mengerahkan potensi yang berada di bawah
kekuasaannya. Adapun pembagian administrasi pemerintahan Negara Islam Indonesia sebelum
proklamasi yaitu sebagai berikut:
1. Divisi dan Wilayah. (Wilayah = Propinsi).
Divisi yaitu pemerintahan militer yang dipimpin oleh panglima Divisi dan Gubernur
bertindak selaku Komandan Pertahanan bagian Politik.
2. Resimen dan Residensi. (Karesidenan).
Pemerintahan militer dipimpin oleh Komandan Resimen dan Residen bertindak selaku
komandan Pertahanan Daerah dan bagian politik.
3. Batalyon dan Kabupaten.
Pemerintahan militer dipimpin Komandan Batalyon dan Komandan Pertahanan
Kabupaten I dan II dipimpin oleh Bupati I dan II.
4. Kecamatan.
Dipimpin oleh Camat/Wakil Camat dan Komandan pertahanan kecamatan I dan II.
Berhubung tidak ada parlemen, semua peraturan Negara Islam Indonesia dikeluarkan oleh
Komandemen Tertinggi, yaitu Dewan Imamah yang dulu, dalam bentuk Maklumat yang
ditandatangani oleh Imam dan lalu dibagi-bagikan. Adapun anggota Dewan Imamah yang
pertama kali terbentuk sesudah proklamasi Negara Islam Indonesia yaitu :
Imam dan Panglima Tertinggi merangkap Kuasa Usaha (Menteri Luar Negeri).-- S.M.
Kartosoewirjo.
Wakil Imam dan Komandan Divisi -- Kamran.
Menteri Dalam Negeri -- Sanusi Partawidjaja.
Menteri Penerangan -- Toha Arsyad.
Menteri Keuangan -- Udin Kartasasmita.
Menteri Pertahanan -- R. Oni.
Menteri Kehakiman -- Gozali Tusi.
Pada tanggal 3 Oktober 1949 keluarlah Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1 tentang
penyesuaian susunan pemerintahan (Administrasi Pemerintahan N.I.I.) dengan situasi dan
kondisi yang sedang berlangsung saat itu. Dalam penjelasan maklumat Komandemen Tertinggi
No. 1 ini antara lain dikatakan sebagai berikut:
“Segala model organisasi dibentoek dengan tjara jang amat praktis jang sekiranja dapat
menoenaikan wadjibnja dengan tjepat dan tepat sesoeai dengan toentoetan pergolakan revoloesi.
Dan segala sesoeatoe jang menghambat, memperlambat, menghalangi dan menentang kepada
hoekoem revoloesi itoe haroes dan wadjiblah diloempoehkan, dipatahkan dan dimoesnahkan”.
Inilah beberapa sebab, maka “Komandemen Tertinggi merasa wadjib, dengan selekas moengkin
mengoebah Soesoenan Pemerintahan Negara Islam Indonesia dengan
woedjoed ,,Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII”. Dengan bentoek sekarang, maka
oeroesan politik dan militer dipersatoekan. Bahkan segala oesaha dan
tjabang2nja ,,Pemerintahan Negara Islam Indonesia” disesoeaikan dengan beleid politik dan
gerakan militer. Ahli politik haroes di-permiliter-kan (gemilitairieseerde politici). Sebaliknja ahli
militer haroes di-perpolitik-kan (verpolitiseerde militaren).
Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1 ini dalam batas-batas tertentu juga dapat
memberi gambaran sampai di mana dinamika cara berpikir Kartosoewirjo dalam usahanya
untuk mengemudikan dan menguasai NII yang sedang tumbuh dalam masa pancaroba itu.
Pemisahan kekuasaan politik dan militer sebagaimana dipraktekkan oleh RI dan yang ternyata
banyak merugikan perjuangan itu telah memberi pelajaran bagi Kartosoewirjo untuk
mengeluarkan MKT No 1 ini . Dengan demikian maka pimpinan pemerintahan dan
kenegaraan dapat dipersatukan dan tidak akan terjadi dualisme dalam pimpinan.
Terutama untuk mencegah dualisme dan pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan
superior antara satu golongan dengan golongan lainnya. Misalnya golongan militer yang merasa
lebih tinggi daripada golongan sipil atau sebaliknya. Program yang telah dirancang oleh
Kartosoewirjo ini pada hakekatnya memang baik untuk dipraktekkan dalam negara yang
sedang masa bergolak atau dalam keadaan perang. Kepentingannya terutama terletak pada
penyatuan pimpinan dan potensi yang ada dalam negara ini . Masing-masing pemimpin dari
suatu daerah, baik ia militer maupun sipil dapat dengan mudah dan lancar menggerakkan alat-
alat kekuasaan yang ada pada mereka. Seorang komandan sipil yang telah dimiliterisir kalau perlu
dapat memberi perintah kepada anggota-anggota pasukan bersenjata untuk menghadapi
suatu keadaan yang timbulnya secara tiba-tiba. Demikian pula seorang Komandan militer yang
telah diverpolitisir dapat memerintahkan alat-alat kekuasaan sipil, sekiranya memang diperlukan.
Jika di suatu daerah yang dikuasi DI antara pimpinan militer dan sipil tidak ada persesuaian paham
dalam menghadapi sesuatu persoalan, maka pimpinan yang lebih tinggi akan mengambil
kebijaksanaan untuk menyelesaikan persoalan ini dan mendamaikan perselisihan yang
terjadi antara kedua pimpinan daerah ini . Dan apabila usaha dari pimpinan yang lebih tinggi
ini tidak berhasil maka diadakanlah mutasi atau pemindahan dari salah seorang pimpinan
daerah ini sampai kedua pimpinan dalam suatu daerah ini benar-benar merupakan
dwi-tunggal. Demikianlah salah satu dari segi kebaikan dari sistim penyatuan pimpinan yang
pernah dipraktekkan oleh Kartosoewirjo untuk mengatur kekuasaan dalam Negara Islam
Indonesia.
Selanjutnya mari kita lihat bagaimana susunan bagian dari sistem pemerintahan Negara Islam
Indonesia dalam keadaan perang berdasar maklumat Komandemen Tertingi Negara Islam
Indonesia No.1 ini :
ORGANISASI PEMERINTAHAN
NEGARA ISLAM INDONESIA
Menurut Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1
1. Komandemen Tertinggi (K.T). Pimpinan Umum, politis dan milite dipegang oleh Imam
sebagai Panglima Tertinggi. Pimpinan Harian, dilakukan oleh Kepala Staf Umum (K.S.U.)
atau “Generale-Staf”.
2. Komandemen Wilayah (K.W). Pimpinan Umum, politis dan militer dilakukan oleh Panglima
Komandemen Wilayah (Plm. K.W.), selanjutnya bila berhalangan, maka kewajiban itu
dilakukan oleh Kmd. II dan Kmd. III (wkl. I dan wkl. II Plm. K.W.). Selainnya, jika dilakukan
pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian tugas. Pimpinan Harian, oleh Kepala
Staf Komandemen Wilayah (K.S. K.W.).
3. Komandemen Daerah (K.D). Pimpinan Umum, oleh Kmd. K.D. (Kmd. I). Jika berhalangan,
pindah tugas itu kepada Kmd. II dan Kmd. III (wkl. 1 Kmd. K.D dan wkl. Kmd. K.D.). Selainnya,
jika dilakukan pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian tugas. Pimpinan Harian,
dilakukan oleh Kepala Staf (K.D) (K.S.K.D.)
4. Komandemen Kabupaten (K.K.). Pimpinan Umum, oleh Kmd. K.K. (Kmd.I.) Jika
berhalangan, maka kewajiban itu beralih kepada Kmd. II dan Kmd. III (wkl. I dan wkl. II Kmd.
Kmd. K.K.). Selainnya, jika dilakukan pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian
tugas. Pimpinan Harian, dipegang oleh Kepala Staf K.K. (K.S.K.K.).
5. Komandemen Kecamatan (K. Kt). Pimpinan Umum, oleh K. Kt. (Kmd. I), atau Kmd. II, (wkl.
I Kmd. K. Kt.). Pimpinan Harian, oleh Kepala Staf K. Kt. (K.S.K.Kt.).
Untuk melengkapi administrasi kenegaraan, maka Negara Islam Indonesia menetapkan
“Administrasi Keuangan Negara” guna menstabilkan roda pemerintahan negara yang serasi
dengan tuntutan negara di masa perang, hingga sanggup dan siap sedia untuk menghadapi
segala kemungkinan (war minded). Adapun keterangannya sebagai berikut:
Hal: Ma’na beberapa istilah:
1. Infaq
Infaq ialah: kewajiban tiap-tiap warga negara terhadap negara, baik yang merupakan
harta ataupun benda, yang ditunaikan:
a. Di tiap-tiap masa, damai atau perang (infaquddin); dan
b. hanya di dalam masa perang (infaq fi sabilillah).
2. Sidkah tathawu’…………………………………………………. ma’lum.
3. Zakat ……………………………………………………………. ma’lum.
4. Fitrah …………………………………………………………… ma’lum.
5. Ta’zir ialah: denda, sepanjang hukum yang dijatuhkan oleh mahkamah.
6. Harta Ma’sum ialah: harta-benda kepunyaan seorang Muslim warga-negara (Mujahid)
yang :
a. meninggalkan tempat-kedudukannya, sebab tugas atau sebab tertawan oleh musuh;
dan
b. tiada orang atau keluarga yang memelihara harta bendanya.
7. Harta Mauquf ialah: harta-benda kepunyaan seorang warga-negara Muslim yang:
a. meninggalkan tempat kedudukannya;
b. tiada persekutuan, sangkutan dan hubungan dengan fihak musuh atau/dan penghianat;
dan
c. tiada orang atau keluarga yang memelihara harta bendanya.
8. Fai ialah:
a. barang/harta yang dirampas dari musuh, tidak dengan jalan perang;
b. barang/harta penghianat;
c. barang/harta orang yang bersekutu dengan golongan a. dan b.;
d. barang/harta orang murtad kepada Agama dan Negara;
e. barang/harta yang disediakan untuk atau/dan dipergunakan oleh musuh; dan
f. barang/harta orang dzimi (orang kafir yang di bawah perlindungan Pemerintah Negara
Islam Indonesia), yang meninggal dunia, sedang dia tidak mempunyai ahli waris.
9. Ghanimah ialah: segala harta-benda yang diperdapat daripada hasil pertempuran.
10. Harta Shalab ialah: semua barang, kecuali alat perang, yang ada dan melekat pada badan
musuh (tentara atau/dan penghianat), saat dia dibunuh di luar keputusan mahkamah.
Barang-barang yang dibawa, di luar yang ada dan melekat pada badannya, saat ia
dibunuh, maka barang-barang itu yaitu Ghanimah. Sedang barang-barang yang
ditinggalkannya (di rumah dan kekayaan lainnya) yaitu harta Fai.
11. Adapun barang-barang yang diperdapat dari musuh atau/dan penghianat, sebab
menjalani hukuman mati atas keputusan Mahkamah, maka barang itu bukanlah Shalab,
melainkan masuk barang Fai.
Hal Pembagian Infaq Negara:
1. Desa ………………………………………………………. 25 %
2. K. Kt. (Komandemen Kecamatan) ……………………….. 20 %
3. K.K. (Komandemen Kabupaten) …………………………. 15 %
4. K.D. (Komandemen Daerah) ……………………………... 15 %
5. K.W. (Komandemen Wilayah) …………………………… 15 %
6. K.T. (Komandemen Tertinggi) …………………………… 10 %
Pembagian Sidkah, Zakat dan Fitrah:
Seperti yang telah diatur oleh Hukum Syara’ Hal Pemeliharaan harta Ma’sum dan Mauquf.
Harta Ma’sum dan Mauquf dibagi menjadi dua macam:
(1). Barang dan harta, yang tidak dapat diangkat; dan
(2). Barang dan harta yang dapat diangkat.
1. Pemeliharaan harta Ma’sum dan Mauquf, yang tidak dapat diangkat.
Jika harta Ma’sum dan Mauquf yang dipelihara itu membuahkan hasil, maka pendapatan
bersih daripadanya, dibagi sebagai yang berikut:
(1). 20 % untuk Pemelihara atau pengusaha;
(2). 20 % ,, Desa;
(3). 15 % ,, K.Kt. (Komandemen Kecamatan).
(4). 15 % ,, K.K. (Komandemen Kabupaten).
(5). 10 % ,, K.D. (Komandemen Daerah).
(6). 10 % ,, K.W. (Komandemen Wilayah).
(7). 10 % ,, K.T. (Komandemen Tertinggi).
2. Pemeliharaan harta Ma’sum dan Mauquf, yang dapat diangkat:
(1). Pengangkutan dan pemeliharaan atasnya, di tugaskan kepada Kmd. K.Kt. yang
bersangkutan, dengan pengawasan K.K.
(2). Tiap-tiap instansi Negara mempunyai hak untuk mempergunakan harta Ma’sum dan
Mauquf ini di atas, dengan pemeliharaan baik-baik, sesudah berdamai dengan Kmd.
K.Kt. yang bersangkutan.
(3). Laporan ini dikirimkan oleh Kmd. K.Kt. ini , kepada Kepala Majelis Keuangan,
dan tembusannya kepada K.K.
Catatan:
(1). Harta Ma’sum yang dipelihara dan dipergunakan oleh Negara itu, boleh dipulangkan
kembali kepada yang mempunyai, apabila ia telah kembali di tempat tinggalnya dan
ternyata bebas daripada tuntutan hukum, sepanjang keputusan Mahkamah.
(2). Harta benda Mauquf yang dipergunakan dan dipelihara oleh Negara itu, boleh
dipulangkan kembali kepada yang mempunyainya, apabila ia telah kembali di tempat
tinggalnya dan ternyata bebas daripada tuntutan hukum, sepanjang keputusan
Mahkamah.
(3). Harta Mauquf yang termaktub di dalam lampiran III catatan (2), beralih sifat dan
hukumnya menjadi Harta Fai, bila yang empunya ternyata masuk salah satu golongan,
seperti yang tertulis dalam Lampiran I angka 8 huruf a. hingga f.
Hal Pembagian harta Fai
Harta Fai dibagi menjadi dua macam, ya’ni:
(1). Barang-barang yang dapat diangkat (roorende goederen) dan
(2). Barang-barang yang tidak dapat diangkat (on roerende goederen).
1. Pembagian barang-barang Fai yang dapat diangkat:
(1). 4 % untuk Imam/Plm. Tertinggi dan keluarganya;
(2). 4 % ,, Mashalihul-Muslimin, di bawah kekuasaan Imam/Plm. Tertinggi;
(3). 4 % ,, Fukara dan Masakin;
(4). 4 % ,, Yatama;
(5). 4 % ,, Ibnu-Sabil;
(6). 20 % ,, Tentara-pendudukan, atau / dan Tentara yang ikut serta dan ditugaskan untuk
perampasan tsb., kesatuan polisi dan Baris yang bersangkutan (yang mengerjakan).
(7). 10 % ,, Desa, di mana barang itu dirampas;
(8). 10 % ,, K.Kt. yang bersangkutan;
(9). 10 % ,, K.K. yang bersangkutan;
(10). 10 % ,, K.D. yang bersangkutan;
(11). 10 % ,, K.W. yang bersangkutan;
(12). 10 % ,, K.T.
2. Pembagian barang harta Fai yang tidak dapat diangkat: Jika pemeliharaan dan
pengusahaan barang-barang itu memberikab hasil, maka pendapatan bersih daripadanya
diatur sebagai berikut:
(1). 4 % Untuk Imam/Plm. Tertinggi dan keluarganya;
(2). 4 % ,, Mashalihul Muslimin, di bawah kekuasaan Imam/Plm. Tertinggi;
(3). 4 % ,, Yatama;
(4). 4 % ,, Fuqara dan Masakin;
(5). 4 % ,, Ibnu Sabil;
(6). 20% ,, Pengusaha;
(7). 15% ,, Desa;
(8). 15% ,, K.Kt.;
(9). 10% ,, K.K.;
(10). 7 ½% ,, K.D.;
(11). 7 ½% ,, K.W.; dan
(12). 5 % ,, K.T.
Hal Pembagian Ghanimah Semuanya pendapatan Ghanimah, dengan segera harus dibagi
menurut aturan sebagai berikut:
(1). 4 % untuk Imam/Plm. Tertinggi dan keluarganya;
(2). 4 % ,, Mashalihul Muslimin, di bawah kekuasaan Imam/Plm. Tertinggi;
(3). 4 % ,, Fuqara dan Masakin;
(4). 4 % ,, Yatama;
(5). 4 % ,, Ibnu Sabil;
(6). 25 % ,, Kesatuan Tentara, Polisi, Baris dll, yang ikut serta dalam gerakan di waktu
mendapatkan Ghanimah (mengerjakan);
(7). 10 % ,, Batalyon yang kesatuannya ikut serta melakukan tugas ini , dalam (6); jika
dalam kesatuan daripada beberapa batalyon, maka jumlah ini (10%) dibagi rata atas
banyaknya batalyon yang bersangkutan.
(8). 5 % ,, Batalyon yang memegang Teritorium;
(9). 5 % ,, Detasemen Polisi, yang memegang Daerah;
(10). 15% ,, Komandemen Kecamatan, darimana Ghanimah itu diperoleh.
(11). 10% ,, Resimen yang daerah gerakannya itu masuk dalam daerah tugasnya; dan
(12). 10% ,, Divisi yang bersangkutan.
Hal Pembagian Shalab. Shalab harus diberikan kepada pembunuh atas musuh atau dan
penghianat, di luar keputusan Mahkamah.
Tentang kedudukan Tentara Islam Indonesia, secara singkat dapat diterangkan sebagai
berikut:
Sebagai tentara Allah, jang menerima dan bertanggoeng djawab langsoeng atas
penoenaian toegas Ilahy moetlak, toegas mendhohirkan Keradjaan Allah di doenia,
toegas menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. Kiranja toegas jang
maha soetji ini dapat dilaksanakan dengan sempoernanja. Dengan Koernia Tolong dan
Koernia Allah djoega Insja Allah Amin.
Sebagai Tentara Ideologi, tegasnja: Ideologi Islam. Oleh sebab nja, maka tiap-tiap
anggota Tentara Islam Indonesia, dan setiap Moedjahid oemoemnja, haroeslah jakin akan:
1. Kesabaran Islam dan Keadilan Hoekoem-hoekoem Allah dan
2. Wadjib membela berdirinja Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia.
Realisasi daripada kejakinan itoe toemboeh daripada:
1. Tekad jang soetji, (Tasdiq bil-qalbi), menanam dalam-dalam dan hidoepan sehari-hari
tampak kejakinan jang koeat dan semangat membadja.
2. Pernjataan jang tegas dan pasti, (Iqrar billisan), dengan kesanggoepan jang soenggoeh-
soenggoeh dan sempoernanja, bagi melakoekan toegas maha soetji: mendhohirkan
ke’adilan dan kebesaran Islam, dipermoekaan boemi Allah, Indonesia. Dan
3. Kemadjoean, ketjakapan, kemahiran, kepandaian dll., (Qalboel bil amal), oentoek
melaksanakan wadjib soetji : Menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia!
Dengan peloeh (keringat) dan darah, dengan djiwa dan raga.
Sebagai Tentara Islam wadjib:
1. Taat dengan sepenoeh-penoehnja kepada Allah, kepada Rasoeloelah, dan kepada Oelil
Amri.
2. Patoeh kepada Pimpinan atasan, dengan dasar disiplin tentara jang tanggoeh.
3. Mentjontoh soennah Nabi Moehammad Clm., dan sahabat-sahabat beliaoe, serta
pahlawan-pahlawan Islam kemoedian daripada itoe, jang telah mendapat kesempatan
dan anoegerah Allah, oentoek dan memoeliakan Agama Allah, lebih daripada sesoedah
jang boleh dipikirkan.
4. Mendjadi tjontoh dan pelopor bagi Oemmat Islam dan Moedjahidin seloeroehnja,
dalam mempersembahkan dharma-soetji, dalam melakoekan perang (totaliter) dan
menggelorakan revoloesi Islam, sehingga hoekoem Alllah berlakoe dengan
sempoernanja, di tengah-tengah Oemat Islam dan masjarakat Indonesia.
5. Mendjadi pembela Agama, teroetama agama Islam, dalam arti kata jang loeas dan
sempoerna.
Sebagai Tentara Rakjat haroes pandai, tjakap dan tjoekoep mendjadi:
1. Pembela Rakjat kearah Mardlotillah jang sedjati.
2. Pembela Rakjat teroetama fakir-miskin dan jang tertindas oleh kekoeasaan djahiliyah
(seperti: R.I. – R.I.K.) dan Moedjahidin oemoemnja.
3. Hamba Allah (Moeslim, Moedjahid, Moewahid, jang berachlak, berboedi pekerti dan
berboeat demikian roepa, sehingga patoet menerima dan mendapat kepertjajaan,
penghargaan dan ketjintaan Rakjat.
P.P.T. I (Peraturan Panglima Tertinggi).
Tentara Islam Indonesia:
Hendaklah diperhatikan poela dengan soenggoeh-soenggoeh:
1. Disiplin Tentara haroes dan wadjib diperhebat.
2. Tata tertib dan ketentaraan haroes selaloe diingati dan dipergoenakan sebaik-baiknja,
teroetama di lapang peperangan.
3. Latihan ketentaraan hendaknja dilakoekan, menoeroet keadaan dan kesempatan,
walaupoen masih di medan gerilja.
P.P.T. II
Tentara Islam Indonesia:
Boekanlah Tentara boeroeh, tentara belian dan tentara pendjadjah jang berlakoe sebagai
“alat mati” jang diperintah dan digerakkan oleh toeannja, komandannja, jang memberi
makan pakaian kepadanja.
Boekanlah Tentara jang kosong daripada ideologi, sepi dari pada kejakinan dan djaoeh
daripada keagamaan dan ketoehanan (Islam), serta tiada berdjiwa hidoep.
Boekanlah Tentara Djahilijah, seperti tentara R.I (T.N.I), jang tidak mengenal hoekoem-
hoekoem keadilan, kebenaran, dan kemanoesiaan; bahkan, djika mereka satoe-satoe kali
tahoe, maka mereka selaloe sengadja melanggar dan mengindjak-indjaknja.
Dan boekanlah poela Tentara alat dan kekoeasaan negara jang dholim dan angkara
moerka (imperialisme, fascisme dll.).
P.P.T. III
Sapta Subaja:
Di samping Bai’at jang telah dinjatakan oleh tiap-tiap Tentara Islam Indonesia, maka di
waktoe jang tertentoe, menoeroet lapang dan keadaan, hendaklah dinjatakan bersama
atau masing-masing oleh anggota Tentara Islam Indonesia, djandji-djandji Tentara,
sebagaimana jang tertjantoem dalam Sapta Soebaja ini:
SAPTA SOEBAJA
1. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes berdisiplin.
2. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes berani.
3. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes membela Pemimpin Negara dan Komandan
Tentara, sebagai toelang poenggoeng Negara.
4. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes d