Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 15
melatih diri demikian
rupa, sehingga rasa-disiplin sungguh-sungguh meresap dan terbukti dalam segala
hal, sampai-sampai kepada tingkah-laku dan perbuatannya sehari-hari.
Beberapa pokok, yang boleh dijadikan anak-tangga mencapai disiplin yaitu
sebagai berikut:
Disiplin kepada Allah, dalam arti kata: tha’at, patuh dan setia melaksanakan
setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan hati nan
jujur, ikhlas dan ridla, tanpa tawar-menawar, tanpa syarat dan tanpa kajid apa
dan manapun.
Disiplin kepada Rasulullah Saw., dengan fakta mengikuti jejak Saw.,
sesempurna mungkin, terutama dalam Jihad membina Negara Basis
Madinah.
Disiplin terhadap kepada Ulil-Amri Islam, tegasnya tha’at, patuh dan setia
melaksanakan segala perintah Imam-Plm.T., dengan penuh keyakinan dan
kepercayaan, dan lepas daripada sjak, nifaq, dan dhan.
Catatan.
Sikap dan perbuatan disipliner terhadap kepada Ulil-Amri, boleh dianggap
sebagai tanda-bukti yang nyata akan benarnya apa yang termaktub pada
huruf C, 1., dan E diatas. Sepanyang qiyas dan dalam batas-batas tertentu,
maka termasuk pula dalam golongan C
9. Ini: Disiplin terhadap kepada para Panglima (Perang), para Komandan (Lapangan-
Pertempuran) dan para Pemimpin N.I.I. (atasan) lainnya. Disiplin terhadap sesuatu lain
diluarnya, termasuk didalamnya disiplin terhadap diri-pribadi. Mitsalnya:
pandai mengawasi dan menguasai ‘amal dan tindakan sendiri;
pandai mengekang dan mengatur segala nafsu getaran jiwa, niat, hajat, ‘adzam,
rencana dan segala gerak-gerik panca-indranya sendiri;
sehingga tetap berjalan dan tersalurkan pada jalan dan melalui Hukum-hukum
yang ditaburi Rahmat dan Ridla Ilahy; tegasnya: tetap tertib, teliti dan hati-hati
dalam melakukan Hukum-hukum Jihad. Hukum-hukum militer, ketentuan-
ketentuan militer, tata-tertib Militer, siasat militer, dst. dst.; dalam pada itu segala
hal yang membawa kepada daerah dan lalai, ceroboh, dan sembrono/lalainya
harus dijauhkan dan dienyahkan, tegasnya sikap tawakkal ‘alallah secara muthlak
harus dipersatu-padukan dengan perbuatan-perbuatan taqwa, sifat-sifat ittiqa
sepanjang Sunnah; dan kedua unsur jiwa ini harus ditanam dan diperkembangkan
dalam jiwa dan ‘amal setiap Mujahid !
Disinilah setiap Mujahid memperoleh kesempatan melakukan Jihadul-Akbar,
disamping dan bersama-sama Jihadul-Asghar. Alangkah tinggi nilai setiap Mujahid,
yang tahu dan sadar sepenuhnya akan keluhuran fungsinya, dan yang pandai serta
cakap-cukup menunaikan tugasnya nan maha-mulia dan maha-suci itu, walau
acapkali terasa maha-berat sekalipun!
Beberapa Macam Kualitas Pejuang Sekalipun S.M. Kartosoewirjo demikian telaten
membina aparat dan tentaranya untuk berakhlaq Islam. Namun akibat dari situasi revolusi
yang sungguh mendesak maka dalam situasi demikian, pada waktu itu Negara Islam
Indonesia ditegakkan dengan beberapa keterbatasan, terutama mengenai kualitas para
pejuangnya. Diantaranya kurang lebih ada lima tipe gerilyawan NII yang berjuang di tengah
tengah berkecamuknya peperangan :
Pertama, yaitu kader yang khusus sudah dipersiapkan untuk menempati posisi dan fungsi
fungsi vital dalam struktur Negara Islam Indonesia. Jauh sebelum revolusi proklamasi
dikumandangkan Imam S.M. Kartosoewirjo telah menggembleng mereka dalam Institut
Suffah di Malangbong. Mereka bukan hanya berani dan siap syahid untuk tugas suci ini,
namun betul betul berangkat dari semurni murninya jiwa tauhid, setinggi tinggi ilmu dan
sepandai pandai siasat. Siap memimpin perang, siap pula mengelola negara di saat
kemenangan telah dicapai. Mampu memelihara diri dan menjadi contoh teladan bagi
mujahidin lainnya -baik di masa damai maupun di masa perang. Dan merekalah yang selalu
berada di pront terdepan memimpin perjuangan, membangun kesadaran rakyat dalam
melawan kebathilan, pada perjalanan jihad NII kader pilihan ini banyak yang memperoleh
syahidnya lebih dahulu. Akibat kekurangan kader yang mengerti persis langkah strategi
perjuangan NII, akhirnya perjalanan jihad NII bisa bergeser ke arah yang lain tergantung
siapa yang ikut bergabung kepadanya. Imam memang terus memimpin hingga tahun 1962,
namun pengelolaan jumlah besar dengan sedikit orang kader negarawan, membuat
jalannya negara tidak lagi seperti direncanakan semula.
Kedua, pejuang yang bergabung sebab kesadarannya didorong oleh ilmu yang telah
dimilikinya, walaupun tidak dikader secara khusus di Institut Suffah. Sehingga rasa setianya
pada NII sebatas pandangan dirinya saja, belum tentu sejalan dengan misi dan visi NII
sebagaimana dicanangkan sebelum proklamasi. Dengan kesadaran ilmu yang dimilikinya,
ia bersegera mendukung dan membela Negara Islam, dengan kesadarannya ia tinggalkan
“Darul Kufur” Republik Indonesia, namun sebab kesadaran sebatas muncul dari dirinya,
apalagi di saat berkecamuknya perang, proses penyamaan visi pemikiran mujahidin agak
sulit dilakukan. Hal ini disebabkan tuntutan keadaan untuk mendahulukan pertahanan,
berjuang menahan gempuran pasukan TNI yang terus menerus memberondong daerah
daerah basis. Waktu untuk duduk bersama, merundingkan jalannya negara, pada tingkat
komandemen wilayah ke bawah relatif agak sulit dilakukan. Akhirnya pasukan pasukan TII
perlahan lahan bermetamorphosis mimiliki kekhasan masing masing tergantung latar
belakang pemikiran para perjuang sebelum menggabungkan diri dengan NII. Jejak langkah
pasukan yang dipimpin komandan yang berasal dari suffah, menjadi berbeda dengan
karakter pasukan yang dipimpin oleh seorang kiayi dari sebuah pasantren yang
menekankan nilai nilai kesufian misalnya. Namun sebab kesadarannya yang tulus tadi,
mereka menjadi mujahid mujahid yang tangguh membela Negara Islam. Di Jawa Tengah di
antaranya ialah kiayi Ghafur Ismail. Beliau Syahid saat mereka yang di Jawa Barat tahun
1962 sudah turun. Kiayi Ghafur tidak mau menyerah, meski bersama sanak keluarganya
disergap oleh tentara Republik. Beliau kena tembak. lalu sesudah Syahid, maka
istrinya mengambil senjata dari suaminya langsung menghantam musuh, tapi kehabisan
peluru, lalu istrinya juga menjadi Syahidah. lalu seperti halnya juga di Jawa
Barat,Kiayi Khoer Affandi dari Manonjaya dirinya bergabung dengan NII hanya sebab
keilmuan, dan sesudah turun gunung Kiayi Khoir Affandi tidak merancang taktik gerilya
selanjutnya untuk menggalang Negara Karunia Alloh NII, namun membuka pasantren.
Walaupun memang ruh tauhid dan ruh jihadnya demikian kental, cintanya pun pada NII
tidak diragukan, namun beliau bukanlah seorang negarawan yang terus membela
eksistensi Negara Islam Berjuang sebagaimana layaknya sebuah negara dipertahankan.
Ketiga, gerilyawan dan rakyat berjuang yang bergabung saat revolusi (perang fisik)
dimulai. Dalam suasana seperti ini, disaat kebutuhan akan tenaga tempur begitu mendesak,
demikian juga keperluan atas rakyat yang mendukung, maka proses rekruitment menjadi
kurang memperhatikan unsur kualitas lagi. Saat itu siapa yang siap membantu gerilyawan,
siapa yang mendukung mujahidin, maka dia bisa ikut berjuang bersama. Tidak lagi melihat
sejauh mana kedalaman ilmunya, sedalam apa kesadarannya dan apakah mereka
mengetahui tentang visi negara Islam atau tidak, sebab keperluan akan tenaga demikian
mendesak maka diterimalah mereka sebagai pasukan TII dan warga Berjuang NII. Masalah
yang timbul lalu yaitu , kesulitan memelihara kebersihan citra perjuangan NII itu
sendiri, sebab akhlak saat bertempur, baik keshabaran dan ketabahannya, atau akhlak
disaat mereka berinteraksi dengan masyarakat tidaklah sama. Berbeda dengan kader
pertama yang benar benar terdidik dengan nilai nilai perjuangan Nabi. Gerilyawan yang
bergabung di tengah jalan ini terkadang melangkah atas dasar kemauannya sendiri dan
mengabaikan akhlak tentara Islam. Dalam hal ini NII terpaksa harus memikul tanggung
jawab kelompok, walaupun itu dilakukan bukan oleh kadernya, maka semua tindakan tidak
disiplin mereka berakibat buruk pada citra Negara Islam.
Kempat, yaitu gerilyawan dari yang membelot dari TNI kepada TII, saat pasukan tentara
Republik kembali dari Yogyakarta menuju Jawa Barat, mereka dicegat oleh kawan
kawannya yang tidak ikut mundur ke Yogya, kepada mereka dikatakan bahwa sekarang di
Jawa Barat telah diproklamasikan Negara Islam, sebagai wadah bagi tegaknya hukum-
hukum Allah secara sempurna. Mendengar itu, berbekal dorongan hati nuraninya yang
tulus maka langsung bergabung dengan TII. Misalnya Kadar Solihat seorang perwira TNI
yang lalu bergabung dengan NII, dan menjadi perwira Tentara Islam Indonesia.
Kelima, yaitu pejuang yang lahir dan tumbuh dari daerah yang berhasil dikuasai TII,
meskipun mereka bukan dari daerah santri atau kiayi.Mereka pun tidak pernah menjalani
masa pengkaderan, bahkan surat Al Fatihah saja banyak yang sama sekali tidak tahu artinya.
Namun, sebab daerahnya bisa dikuasai TII dan lalu menjadi basis , maka lama
kelamaan mengetahui tujuan Darul Islam. Bahkan tertarik dengan akhlak TII yang demikian
wara, membuat mereka pun tertempa menjadi kader mujahid pula, bahkan tidak bisa
dianggap sepele. Sebab fakta nya pada tahun 1962 bulan Juni saja dari salah satu
daerah di Brebes, masih banyak baik laki-laki maupun perempuan ada yang masih
berangkat ke hutan bergerilya padahal sebelumnya itu sudah banyak pamlet dari pihak
musuh yang isinya bahwa Darul Islam di Jawa Barat sudah cease fire. Dari itu para mujahid
NII tidak semuanya menyerah kepada musuh. Itu yaitu Sunnattullah. Firman Allah:
“Di antara orang-orang mu’min ada yang menepati apa yang sudah mereka janjikan kepada
Allah; maka di antara mereka ada (juga) yang menunggu-nunggu (apa yang Allah janjikan
kepadanya) dan mereka sedikitpun tidak merobah (janjinya).” (Q.S.33:23).
Di samping ke lima unsur di atas ada pula mereka yang sengaja disusupkan musuh ke dalam
tubuh TII, dengan memperalat orang orang yang telah luntur semangat jihadnya dan turun
ke kota. Dari mereka yang telah turun ke kota inilah mereka memperoleh jalan masuk ke
pusat pemerintahan NII, seperti yang dilakukan oleh Serma Ukon Sukandi. Yang lebih
potensial lagi untuk menghancurkan dukungan rakyat muslim terhadap perjuangan Islam
yang dilakukan para mujahid ini yaitu ; adanya pasukan liar yang sengaja memakai
tanda tanda pengenal TII, lalu melakukan aksi aksi brutalnya membunuhi setiap
ulama yang mendukung perjuangan NII, merampok dan membakar rumah rumah
penduduk yang dicurigai memihak pada Darul Islam dan merusak kehormatan wanita
wanita mereka. Dengan didukung oleh mass media yang memang dikuasai pemerintah
Republik Indonesia, maka bermunculanlah kabar kabar buruk mengenai Darul Islam. Di
sebut gerombolan, perampok bahkan DI diidentikan dengan Duruk Imah (bahasa Sunda
yang artinya Bakar Rumah).
Namun demikian, betapapun kejinya fitnah yang dilemparkan fihak fihak yang membenci
mereka. NII sebagai wadah Al-H Mnb ak di Indonesia maka jelas estafeta kepemimpinannya
tetap berlanjut. Firman Allah:
“lalu Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah
menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S.10:103).
KELANJUTAN NEGARA ISLAM INDONESIA
DALAM ORDE BARU: DARI PEMANFAATAN KEPADA PENGHANCURAN
sesudah syahidnya Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, banyak peristiwa-
peristiwa penting sebagai kelanjutan resistensi politik Umat Islam dan juga perjuangan Negara
Islam Indonesia pada generasi penerusnya. sesudah berakhirnya rezim kekuasaan Orde Lama,
pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat dari awalnya telah menyadari betul mengenai adanya
kemungkinan naiknya pamor politik umat Islam. Berawal saat jatuhnya kekuatan PKI yang telah
gagal dalam aksi kudetanya lalu secara formal diperkuat dengan keputusan politis yang
dikeluarkan oleh pemerintah tentang pembubaran partai PKI, secara tidak langsung telah
mengangkat citra politik Islam di pentas perjuangan nasional. Yang mana kekita itu dari setiap
partai politik Islam banyak mengecam dan mengutuk terhadap perlakuan PKI dan mereka
menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus PKI ini, sehingga dengan demikian di
dalam struktur peta kekuatan politik Indonesia saat itu terjadilah ketidakseimbangan
(imbalance). Gejala yang muncul dari adanya kekalahan PKI membuat Politik Umat Islam sedang
mendapat angin, dan ditangkap gejala ini oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa
politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya. Di mana kekuatan
ini yang akan menghancurkan cita-cita nasionalis sekuler yang telah menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dan hal itu disadari betul oleh Angkatan Darat, bahwa
di dalam kalangan umat Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial yang
suatu saat bisa muncul kepermukaan.
Maka pada tanggal 21 Desember 1966 diumumkannya suatu pernyataan politik oleh perwira-
perwira tentara Angkatan Darat bahwa mereka "akan mengambil tindakan tegas terhadap
siapapun, dari pihak mana pun, dan golongan apa pun yang akan menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945 seperti yang telah dilakukan oleh Pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu,
Darul Islam ...dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia...."
Untuk hal ini di atas banyak sekali rekayasa politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde
Baru melalui operasi badan intelejennya terhadap umat Islam di segala segmen kehidupan.
Selama masih bertumbuhnya kekuatan-kekuatan politik umat Islam, selama itu pula gerakan
ini dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan Orde Baru yang sedang mencari jati
dirinya, sehingga sangat diperlukan sekali peredaman bahkan pemusnahannya. Hal ini
persis sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surah 9: 33.
"Mereka berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah (Al Islam) dengan sarana propaganda
yang mereka miliki, namun Allah berkehendak lain untuk tetap menyempurnakan cahaya-Nya
walaupun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya".
Dimana dan sampai kapan pun, selama Islam diyakini oleh ummatnya sebagai minhajul hayat ,
satu satunya jalan kehidupan yang harus ditegakkan, selama itu pula kekuatan-kekuatan kaum
kafir dan musyrik akan menjalin kerjasama bahu membahu dalam menekan laju Islam . Dan
kemungkinan yang terburuk yang akan didapat oleh umat Islam dari adanya kerjasama ini
yaitu bagaimana mereka membasmi para pejuang Islam dengan kekuatan senjata yang
didukung oleh pasukan militer.
Konspirasi Yahudi dan Nasrani di dalam tubuh pemerintah Orde baru telah mewarnai corak
kekuasaan rezim Suharto. Ditandai dengan pelarangan rehabilatasi nama partai Masyumi,
pengangkatan elit politik dari golongan nasrani sampai kepada adanya penyederhanaan partai
yang bertujuan depolitisasi massa, yang dari program ini cukup efektif memarjinalkan
posisi politik Islam. Demikianlah mereka berdaya upaya agar jangan sampai Islam memainkan
peran dalam panggung politik Indonesia. Allah telah berfirman:
"Dan amat sangat tidak suka kaum Yahudi dan Nasrani terhadap Umat Islam, sehingga Umat
Islam mau tunduk, patuh dan setia mengikuti pola sistem yang telah mereka buat".( Al-Baqarah:
218).
Untuk mengantisipasi setiap kekuatan arus politik Islam ini, pemerintah Orde Baru dan kaum
misionaris menjalankan beberapa pola aksi melalui badan intelejennya. Sasaran pertama yang
mereka goyang dengan jalan rekayasa politik yaitu partai Parmusi (Partai Muslimin Indonesia),
Pemerintah melakukan rekayasanya terhadap Parmusi sebab melihat bahwa di dalam partai
Masyumi masih banyak bercokol para politikus Islam yang mempunyai militansi Islam sehingga
berpotensi untuk membangkitkan kembali misi Islam dalam ajang pemilu dengan menjadikan
umat Islam sebagai basis pendukungnya. Oleh sebab itu, Pemerintah Orde Baru mengambil satu
kebijakan terhadap partai ini. Pada tanggal 5 Februari 1968, Jenderal Suharto memberitahukan
bahwa Pemerintah menyetujui pembentukan Partai Parmusi, namun Pemerintah tidak
mengizinkan seorang pun kepada pemimpin bekas partai Masyumi memegang peranan dalam
kepengurusan partai ini , Dan kepada mereka dihimbau untuk menunggu sampai
selesainya pemilihan umum. Begitu juga tentang RUU Perkawinan, pada tanggal 31 Juli 1973,
saat pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan kepada DPR.
lalu RUU ini mendapat reaksi keras dari umat Islam. Puncaknya, lebih dari 300
mahasiswa muslim menyerbu ke DPR dan membuat kerusakan saat Menteri Agama Mukti Ali
sedang membacakan jawaban pemerintah dalam sidang pleno DPR.
Disamping itu pemerintah Orde Baru melakukan manuver politiknya terhadap Islam tradisional
seperti organisasi NU—yang nota bene memiliki banyak pengikutnya, badan intelejen yang
diwakili oleh Opsus melakukan intrik politiknya dengan menciptakan organisasi massa GUPPI
(Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam),—dengan pimpinannya yang bernama
Ramadi ,—dalam penggalangan rakyat. Mereka berharap dengan melalui organisasi yang
dibentuk, kekuatan umat Islam dapat ditekan. Selanjutnya, sesudah bergabungnya umat Islam
dalam mesin giling GUPPI ini, dengan sistematis badan intelejen menggarap massa Islam
tradisional ini untuk ditariknya sebagai penyokong dan pembela Golkar. Demikianlah
pemerintah Orde Baru menerapkan strategi kebijakannya, yang intinya yaitu bagaimana
mengendalikan umat Islam.
Begitu juga badan intelejen dengan program Opsusnya melakukan hal yang sama terhadap
mantan para pejuang Darul Islam, mereka membuat rekayasa-rekayasa yang canggih terhadap
para pejuang Darul Islam dengan pola "Pancing dan Jaring", para pejuang itu dikumpulkan dalam
satu wadah dan lalu dikorbankan dengan melalui berbagai peristiwa berdarah. Seolah-olah
bahwa para pejuang Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan
penguasa, dengan tindakan pengacauan, pemberontakan dan lain sebagainya. Dengan
terciptanya suasana persinggungan itu maka apa yang menjadi keinginan para penguasa dzalim
terkabul, ya'ni membuat umat Islam merasa alergi terhadap Negara Islam dan selalu menutup
diri bila diceritakannya. Sungguh perbuatan yang sangat keji, seperti kekejian yang dilakukan
oleh raja Fir'aun saat pada masa Nabi Musa a.s..
Kejadian rekayasa ini merupakan gambaran yang terang dari pemerintah Orde Baru, bahwa
mereka tidak ingin sama sekali resistensi politik Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam pada
umumnya dan para pejuang Darul Islam khususnya untuk mengembangkan ideologi Islam di
percaturan politik. Yang mereka kehendaki yaitu bahwa Islam hanya sebatas ritualitas belaka
tanpa ikut campur dalam urusan negara. Demikianlah rencana makar yang sedang diperjuangkan
oleh thagut, untuk memberdayakan umat Islam sebagai alat komoditas politik bagi manusia-
manusia yang jahil (bodoh).
Yang paling giat dan menonjol dalam usahanya untuk melaksanakan devide et impera nya
terhadap umat Islam` di dalam perjuangan suci Darul Islam yaitu Ali Moertopo. Menurut hemat
dia, siapa dan darimana orang tidak menjadi masalah, bila mau diajak bekerjasama maka akan
dirangkulnya untuk bersama-sama melaksanakan program setan Opsus. Salah satu modus
operasi Ali Moertopo yaitu dengan mengumpulkan para advonturir yang rakus kekayaan untuk
dilibatkan dalam setiap aksi Opsus. Dengan keahliannya dalam merangkul massa, dia banyak
sekali memanfaatkan kekuatan-kekuatan Islam bukan hanya terhadap para pejuang Darul Islam
namun juga terhadap kekuatan-kekuatan bekas Permesta, Masyumi. Berbagai cara pendekatan
dia tempuh termasuk juga menginsentifkan material lalu sesudah mereka terbujuk lalu
dimasukkannya ke dalam "kandang" yang telah mereka siapkan. Dengan teori 'penggalangan'
—dimana dalam teori itu menggariskan bahwa tidak adanya kawan dan lawan,—Ali Murtopo
menjalankan taktik dan strateginya dalam memupuk kekuatan-kekuatan ini demi
kepentingan politiknya.
Sudah sejak awal tahun 1970-an, Ali Moertopo mengadakan jalinan kerjasama dengan sejumlah
pejuang DI/TII.. saat itu Ali Moertopo giat pergi ke Jawa Barat untuk menarik mereka ke
Jakarta,—yang sebelumnya para pejuang ini masih di bawah binaan Kodam Siliwangi
Bandung—antara lain yaitu Dodo Kartosuwiryo, sebagian lagi yaitu seperti Adah Jaelani, Danu
Muhammad Hasan. Namun garis kebijakan yang telah dibuat oleh Ali Moertopo untuk mendekati
para pejuang DI/TII itu memicu permasalahan di dalam tubuh Bakin. Sesungguhnya, biar
bagaimanapun yang namanya perjuangan Islam itu seharusnya tidak membutuhkan jalinan
kerjasama dengan penguasa yang dzalim. Bahkan seharusnya ada yang tampil dari orang
pemberani menyatakan kebenaran di depan penguasa tiran. Sebagaimana sabda Rasulullah.
"Afdhalu Jihad Kulil haq 'inda sulthonin jair" (Seutama-utama Jihad yaitu Katakanlah kebenaran
itu kepada penguasa yang lalim). Dengan digelarnya Opsus oleh pemerintah, dikalangan petinggi
militer sendiri banyak yang merasa heran dan kaget, kenapa berani-beraninya Ali Moertopo
merangkul para pejuang Darul Islam ini . Menurut pengakuan Ketua Bakin Sutopo Juwono,
ia sudah beberapa kali memperingatkan Ali agar jangan main-main dengan para pejuang Darul
Islam. Sebab katanya, bisa jadi para pejuang Darul Islam nantinya suka macam-macam, sebab
merasa punya jasa ikut menghancurkan PKI segala macam, nanti mereka bisa menagih janji.
Maka lebih baik jangan. Adanya peringatan ini pada dasarnya memberi isyarat kepada
Ali bahwa satu di antara dua kemungkinan pasti terjadi tentang para pejuang Darul Islam: satu
kemungkinan bahwa para pejuang Darul Islam itu akan memperalat Opsus; atau sebaliknya,
Opsus memperalat mereka.
Dengan adanya peristiwa perselisihan didalam tubuh militer Republik Indonesia kelihatannya
bahwa kekuasaan Orde Baru bersatu, secara lahiriyah terlihat kompak dengan kerjasamanya
untuk menekan resistensi politik Islam, namun sesungguhnya di dalam tubuh mereka sendiri
terdapat permusuhan dan pertentangan intern yang sangat hebat. Hati mereka terpecah belah
tidak dalam persatuan dan kesaatuan, jiwa para militer mereka kosong dari aqidah Islamiah,
bahkan nyaris seperti yang digambarkan oleh Kartosoewirjo dahulu. Allah telah berfirman:
"Mereka tidak akan memerangimu secara serentak, kecuali hanya di desa-desa yang telah
dibentengi, atau dari balik tembok perlindungan saja. Permusuhan dikalangan mereka telah
memuncak. Kamu kira mereka kompak, namun sesungguhnya hati mereka terpecah belah.
Perpecahan itu timbul, sebab mereka tidak mengerti makna persatuan".(Q.S. 59: 14)
Sebagaimana yang dituturkan oleh Ramadi, bahwa banyak para pejuang Darul Islam yang hilir -
mudik di rumahnya, di antaranya Danu, Dodo M. Darda Kartosoewirjo. Ada pula nama-nama
dengan panggilan khas, seperti Ki Acun atau Ki Mansyur. Menurut penuturan dari salah seorang
anak buah Ali Moertopo di Opsus, dukungan yang diperlihatkan para pejuang Darul Islam
terhadap Opsus sangat kuat. Saking kuatnya mereka lalai akan tugas dan fungsi yang
diamanahkan oleh pendahulu mereka. Lupa akan ma'na sebuah hadis yang menyatakan "Nahnu
kaumun la nuharribu bima'unatil musyrikin". Arti lepasnya: "Kami para mujahid Allah tidak
pernah berjuang tanpa adanya dukungan sedikitpun berupa fasilitas yang telah disediakan oleh
orang Musyrik". Sebenarnya sudah menjadi kebiasaan orang kafir yang telah digambarkan oleh
Allah.:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka dalam upayanya untuk
menghalang-halangi orang mu'min dari beribadah Kepada-Nya". (QS 8: 36.)
Kehadiran Opsus dengan segala programnya, rupanya telah dan selalu menjebak para pejuang
Darul Islam, dengan iming-iming bahwa mereka akan siap membantu dalam pendirian kembali
Negara Islam. Para pejuang Darul Islam percaya betul atas "ucapan" Ali Moertopo ini . Di
mata mereka, apabila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan negara Islam. Sungguh
satu dusta telah dilakukan oleh orang kafir untuk menutup-nutupi tujuannya, biar siapapun
orangnya kalau tetap menjalankan roda pemerintahan jahiliyah, maka hukum-hukum Islam tidak
akan pernah diberlakukan. Tipu daya orang kafir telah masuk ke dalam jiwa para pejuang,
sehingga mereka lebih mempercayakan orang kafir sebagai teman setianya untuk bersama-sama
berkoalisi menegekkan kembali Negara Islam. Padahal Allah telah menegaskan terhadap orang
mu'min dalam Al-qur'an.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita Muhammad)...." (QS. 60: 1)
Tidaklah orang-orang kafir itu berkawan, sesungguhnya hanya untuk menyusahkan urusan yang
akan dilaksanakan oleh orang mu'min. Allah berfirman:
"Jika mereka berhasil menangkapmu, mereka akan menindakmu sebagai musuh. Mereka akan
melepas tangan untuk membunuh, dan menjulurkan lidah untuk mencacimu, Selanjutnya yang
mereka inginkan ialah kamu kafir kembali seperti mereka". (QS. 60: 2).
Pada sekitar tahun 1978, berdasar cerita seorang pejuang Darul Islam, bahwa Ali Moertopo
sangat berambisi untuk menjadi wakil presiden. andai saja Ali Moertopo berhasil menjadi wapres
maka yang menjadi sasaran berikutnya yaitu Presiden Soeharto, ditambahkannya, Ali
Moertopo selanjutnya akan menetralisasi keadaan dengan cara apa pun sehingga Ali Moertopo
bisa duduk dikursi kepresidenan. Begitulah gambaran hidup orang kafir yang ambisius. Allah swt.
Berfirman:
"Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri,
bahwa mereka yaitu orang-orang yang kafir". (QS. 6: 130)
Program Opsus yang diketuai oleh Ali Moertopo ini, pada permulaan Orde Baru memang sangat
berfungsi dalam reformasi politik (political reform), guna memperkuat poros Pancasila dan UUD
45, juga menetralisasi kekuatan politik umat Islam melalui usaha rekayasa politiknya terhadap
semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi.
Yang menjadi target politik dari Ali Moertopo dengan menciptakan gagasan ini yaitu
bagaimana menguasai badan intelijen Negara untuk menjalankan roda pemerintahan Orde Baru
yang sedang dalam perkembangannya. Namun sebab adanya kendala didalam tubuh Opsus
yang disebabkan banyak berkumpul segala aliran disana, sehingga pada akhirnya Ali mempunyai
kesimpulan bahwa Opsus tidaklah efektif. Memang disatu sisi bisa berkumpulnya segala aliran di
Opsus menandakan akan kapasitas Ali Moertopo. namun dari sisi organisasi, keberadaan Opsus
sangat rentan terhadap timbulnya pertikaian yang dibawa oleh setiap aliran yang ada. Masing-
masing interest itu lalu saling berhadapan di dalam tubuh Opsus sendiri (intemal
infighting).
Untuk memperlihatkan kelemahan dari strategi Ali Moertopo perlu dikutip sebuah peribahasa,
Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Ia melakukan kekeliruan saat tidak
mendasarkan operasi intelijennya pada anggota organik, tapi acap kali justru lebih mempercayai
anggota jaring seperti Aulia Rahman, Leo Tomasoa, Bambang Trisulo. Atau lebih percaya pada
Liem Bian Khoen, maupun para pejuang Darul Islam.
Dalam dunia intelijen, membina jaringan merupakan salah satu hal yang penting, sehingga selain
memiliki anggota organisasi yang resmi, intelijen juga mengembangkan anggota jaringan (yang
tak resmi) di mana-mana. Tergantung pada sasaran apa yang hendak dicapai. Namun, rahasia-
rahasia operasi Ali agaknya lebih banyak diketahui oleh anggota jaring daripada anggota organik.
Akibatnya permainan Ali dibongkar oleh anggota-anggota jaringnya sendiri. Di dalam hal ini Ali
Moertopo dikritik kurang mematuhi hukum-hukum manajemen intelijen yang menyebutkan:
tidak boleh terlalu percaya pada anggota jaring! Mungkin ia mau berimprovisasi, atau bermaksud
nyleneh.
Disamping itu Anggota jaring dikenal pula memiliki disiplin yang rendah sehingga biasanya
mereka gampang buka kartu, membuka belang intelijen yang mestinya dirahasiakan. Jadi
tidaklah mengherankan bila rahasia keterlibatan Ali dibongkar sendiri oleh bekas-bekas anak
buah jaringnya di dalam tahanan. Ramadi cs, mungkin lantaran tidak tahan tekanan hidup di
tahanan, maka mereka mengungkap semua permainan Ali Moertopo. Mereka ramai-ramai
"bernyanyi". Sebaliknya, anggota organisasi umumnya lebih terdidik, lebih disiplin dan teguh
dalam memegang rahasia. Anggota organik juga dapat berlindung di balik suatu peraturan yang
tidak mengizinkan mereka membuka rahasia. Perbedaannya yang lain antara anggota organik
dengan anggota jaring ialah anggota organik mengetahui tugasnya secara menyeluruh,
sementara anggota jaring biasanya hanya tahu per sektor. Misalnya, seseorang anggota jaring
ditugaskan membina ulama, maka ia tahunya hanya soal ulama. Lain itu tidak.
Menjelang akhir 1970-an banyak yang ditangkapi dari sejumlah pejuang DI/TII binaan Ali
Moertopo seperti, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hassan, serta dua putra
Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. saat pengadilan para
mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, maka terungkaplah apa yang sebenarnya target
dari digelarnya aksi lapangan ini . Dan dengan adanya hal itu dicurigai sebagai upaya untuk
memojokkan posisi umat Islam. Sebagai salah satu bukti yaitu dalam kasus persidangan Danu
Mohammad Hassan. Pada saat dia dalam persidangan dia mengaku sebagai orang Bakin.
Mungkin inilah akibat yang harus dialami oleh para pejuang Darul Islam sesudah mengadakan
kerjasamanya dengan organisasi Opsus yang telah dibuat oleh Syaitan yang dzalim itu. Padahal
Allah telah memperingatkan sebelumnya.
"Barang siapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu yaitu teman
yang seburuk-buruknya". (QS. 4: 38).
Dan ditegaskan lagi oleh Allah dalam firmannya.
"Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan itu kepada mereka melainkan tipuan belaka". (QS. 17:
64).
Peristiwa pahit yang dialami oleh para mujahid NII sejak tahun 1970-an, penyebab utamanya yaitu
telah kehilangan rujukan, sehingga telah menyimpang dari hukum / perundang-undangan,
sehingga pula mengangkat kepemimpinan diluar jalur Konstitusi NII. Sebab, jika pengangkatan
Imam NII tidak berdasar undang-undangnya, maka bisa saja terkendalikan oleh intelijen
kuffar, dan pasti didalamnya terjadi kekacauan. Dalam keadaan Darurat Perang dimana wilayah
NII dikuasai oleh musuh, maka musuh pun bisa membuat rekayasa pemimpin NII palsu. sebab
tanpa undang-undang itu secara hukum tidak ada perbedaan mengenai figur seseorang dengan
yang lainnya, sehingga tidak ada perbedaan pula antara nilai yang tidak menyerah dengan yang
sudah menyerah kepada musuh. Tanpa undang-undang itu orang tidak bisa membedakan mana
pemimipin NII yang sebenarnya dan mana pemimpin NII sempalan.
Sesungguhnya perjuangan NII dari mulai diproklamasikan tahun 1949 hingga tahun 1962 tidak
ada kelompok-kelompok dalam perjuangan menggalang Negara Karunia Allah ini. namun apa
yang lalu lahir sesudahnya yaitu terjadinya perselisihan pendapat dan faham tentang
siapakah yang berhak dan pantas untuk melanjutkan tugas suci sebagai pemimpin. Munculnya
bibit perselisihan sekitar tahun 1974 –1979, dimana saat mujahidin NII pecah kedalam tiga
kelompok. Hal demikian diakui oleh Adah Djaelani dalam kesaksiannya dalam sidang
pengadilan.”Menurut saksi, organisasi NII di Indonesia ada tiga kelompok yaitu; Kelompok yang
Imam-nya Daud Beureuh, wakilnya saksi, kelompok yang Imam-nya Djadja Sudjadi (Garut Timur)
dan kelompok Imam-nya H.Sobari (Rajapolah , Tasik Malaya). Sebab-sebab terjadinya
pengelompokkan sebab masing-masing ingin memisahkan diri dengan alasan seperti dikatakan
oleh saksi: “H. Sobari menganggap kami yang menyerah tahun 1962 sebagai pengkhianat
sehingga ia membentuk NII sendiri, sedangkan kelompok Djadja Sudjadi menyayangkan kami
mengangkat Imam orang Sumatera sehingga ia membentuk NII sendiri”. Kelompok Djadja Sujadi
dikenal dalam wadah Fillah. Sedangkan yang lainnya dikenal dalam wadah Sabilillah.
Pada sekitar tahun 90-an, kembali muncul perselisihan faham dalam pergerakan Darul Islam,
sesudah Adah Jaelani melimpahkan kekuasaan kepada Abu Toto (Toto As-Salam) sebagai
Warasatul Mafasid (pewaris orang-orang yang membuat kerusakan). Sebenarnya Toto As-Salam
ini tidak pernah terdaftar sebagai anggota DI, namun memakai nama NII. Dengan segala
kemampuan "intelektual jahili" yang dimilikinya, dia melanjutkan warisan kepemimpinan
mengatasnamakan NII dan membawahi jama’ah sekitar 50.000 orang untuk menghambur -
hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya.
dengan penuh semangat pengabdian jahiliyahnya menghambur-hamburkan harta umat demi
kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya.
Maka apa yang dikenal dan diyakini oleh sementara orang hari ini tentang Negara Islam Indonesia
yang diproduk oleh kaki tangan Pemerintah RI, hanyalah merupakan rekayasa sesat dan
menyesatkan (dhoollun wa mudhillun) dari tingkah polah oknum-oknum fasikun yang tidak
bertanggung jawab terhadap nilai-nilai suci yang terkandung dalam Al-Quran, Al Hadist dan
Qanun Asasi Negara Islam Indonesia. Prosedur syari'ah dan manhaj harakah yang telah
digariskan pun banyak yang dilanggar dan diacuhkan, sehingga timbullah tajassus (saling
mencari kesalahan ) diantara kalangan penerus perjuangan Darul Islam untuk menganggap
bahwa pihaknyalah yang paling benar menurut ukuran masing-masing pemimpinnya serta para
pengikutnya, dan bukan berdasar Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w. bukan pula menurut
Undang-Undang NII. Padahal perbuatan ini dilarang oleh Allah.
......" Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah bergunjing antara sesamamu.
Adakah seseorang di antaramu mau memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah hal
itu menjijikkan kepadamu. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat dan Penyayang". (Q.S. 49: 12).
Sebagai sunnatullah yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi,
perburuan harta dan kekuasaan, hari ini mewarnai juga dalam perjuangan kaum fasikun dalam
melanjutkan estafeta tugas suci yang telah Allah amanahkan untuk umat Islam Indonesia.
Bahkan sudah terjadi rekayasa dengan 'kaum kuffar' untuk mengaburkan harakah Darul Islam
yang nantinya dari usaha-usaha ini , akan mencemarkan nama baik perjuangan NII hingga
umat Islam "kembali menjadi kafir" dengan mengikuti langkah-langkah yang telah dirancang
oleh Setan. Sebagian pejuang Darul Islam sudah lari dari garis-garis dasar perjuangan yang telah
ditetapkan oleh Imam Negara Islam Kartosoewirjo yaitu: " tegaknya li'ilai kalimatillah fil ardhi".
Padahal Imam Assyahid Kartosoewirjo telah menasehati para pejuang Darul Islam melalui firman
Allah yang berbunyi:
“Innallaaha yuhibbulladziina yuqaatiluuna fi sabiilillaahi shaffan ka annahum bunyaanun
marshuush”. (Q.S. 61: 4 ),
dengan terjemahan bebas:
“Bahwasanya Allah berkenan menumpahkan (segenap) kasih-sayang-Nya (hanyalah) kepada
(golongan, ummat dan bangsa) orang-orang yang jihad-berperang pada jalan-Nya dengan
teratur (berorganisasi, bersaf-saf, tersusun rapih, sepanjang hajat dan keperluan Jama’tul-
Mujahidin tsb.), (yang bentuk, sifat, dan fungsinya) laksana bina-bina daripada sebuah tembok
(bantu-membantu, bela-membela, junjung-menjunjung dst.)”.
lalu ditambahkan tentang penjelasan maksud ini oleh Kartosoewirjo, dengan satu
penjelasan yang sangat rinci yang antara lain berbunyi:
"Selain dari pada itoe, dari pada isi dan djiwa Firman Allah terloekis diatas, bolehlah kiranja ditarik
dan dipetik peladjaran daripadanja, jang menoendjoekkan akan pentingnja kedoedoekan,
peranan dan foengsi Pimpinan dimasa Perang, dimasa Revolusi. Tegasnja: Pimpinan jang
djoedjoer dan ichlas, benar dan ‘adil serta tegas, tapi bidjaksana. Ialah Pemimpin jang sanggoep
hidoep dan berdjoeang bersama-sama ra’iat, sehidoep semati, senasib-sepenanggoengan, dan
timboel-tenggelam bersama-sama bawahan dan ra’iat, jang mendjadi tanggoeng-djawabnja,
didoenia hingga diachirat".
Peristiwa pahit yang dialami oleh kaum Nabi Musa AS, yaitu dengan dipusingkan oleh Allah
sebab tidak maunya mereka masuk ke Baitul Maqdis, padahal Allah telah menjanjikan hal
ini untuk kaum Nabi Musa, ternyata dialami juga oleh pejuang NII sekarang ini, Mungkin
sebagai sunnatullah pula, bahwa hal ini diturunkan kepada mereka semua sebagai bahan
tadabbur dan tafakkur untuk tetap istiqomah dan hanif melaksanakan tugas menegakkan
kalimatullah. Tidak seperti mereka yang pada tahun 1962 menyerahkan diri kepada musuh.
Jangan diulangi agar diri tidak dicatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang menyerah kepada
musuh.
Jalan keluar dari perpecahan yaitu kembali kepada Konstitusi / perundang-undangan NII. Kaum
Bani Israil terlepas dari kebingungan, yaitu sesudah menemukan Tabut sebagai peninggalan
keluarga Nabi Musa dan keluarga Harun (Q.S.2 : 248). Sunnatullah bagi Al-Hak, maka apapun
yang sudah menimpa warga NII, persatuan pada akhirnya akan terwujud, jika sudah menemukan
kembali alat pemersatunya, yakni merujuk kepada M.K.T. No.11 tahun 1959 mengenai estapeta
Imam dalam Darurat Perang, yang merupakan peninggalan Dewan Imamah NII. Sebagai
embriyonya, yaitu sesudah Abdul Fattah Wirananggapati keluar dari penjara musuh tahun 1982,
mengadakan penggalangan terhadap para mujahid untuk merujuk kepada perundang-undangan
NII. Hasil dari penggalangan itu terjalinlah kepemimpinan NII dengan rujukan hukum yang jelas.
Solusi kembali kepada undang undang ini membuat kader kader mujahid bersikap demikian ketat
dalam memelihara nilai hukum. saat Abdul Fattah Wirananggapati ditawan tahun 1991-1996,
dan pada saat itu kepemimpinan atas perintah Abdul Fattah Wirananggapati beralih pada
mujahid yang bebas di luar. Kepemimpinan ini atas kesepakatan Dewan Imamah dikembalikan
padanya sesudah Abdul Fattah bebas. Namun saat belakangan terbukti bahwa dirinya yang
telah diangkat sebagai Imam itu memberi pernyataan pernyataan bernada negatif saat
diwawancarai oleh wartawan dari Majalah Ummat . Dewan imamah menyidangkan kasus ini,
lalu memberhentikannya pada awal tahun 1997. Adanya badan usaha yang menopang
perjuangan, maka penggalangan NII berkembang semakin pesat meliputi banyak propinsi.
Kebingungan lenyap.
Alhamdulillaah.