Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 14
ngan segala resiko tetap diperlihatkan Kartosoewirjo
dengan para pejuang mujahidin TII untuk mempertahankan cita-cita bersama, agar tetap
tegaknya negara yang sudah diproklamasikan.
Pada bulan Mei 1962 Toha Machfoed dan Danoe Moehammad Hasan —yang sementara itu telah
meletakkan senjata— menyerukan kepada Kartosoewirjo, Agus Abdullah dan Adah Djaelani
Tirtapradja agar mereka menghentikan perlawanannya sesudah banyak pemimpin pejuang
mujahidin Darul Islam bersama-sama dengan pasukannya menyerahkan diri kepada tentara RI.
Satu-satu pejuang Islam turun dan menyerahkan diri, lebih memilih menjadi murtad, fasiq dan
dzhalim ketimbang menghadapi fakta "terbunuh" atau "menang". Spirit untuk menang
begitu terbatas sehingga satu-per-satu pejuang-pejuang itu berusaha untuk melepaskan diri dari
tali Allah dan mulai meyakini tali RI yang dirajut oleh Soekarno dan tokoh-tokoh jahilayah lainnya.
Pada akhir bulan Mei, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang Komandan Wilayah dari pejuang Darul
Islam, menyerahkan diri kepada Pos Pagar Betis di Gunung Cibitung. Maka dengan menyerahnya
Adah Djaelani, tokoh-tokoh pejuang mujahid Darul Islam yang masih tinggal di hutan hanyalah
Kartosoewirjo dan Agus Abdullah, “Panglima APNII untuk Jawa dan Madura”. Tidak ada istilah
menyerah terhadap musuh, juga tidak ada istilah bunuh diri jika menghadapi musuh dengan
kekuatan besar. Yang ada hanya maju terus untuk mati atau tertawan untuk masuk penjara dan
tetap konsisten mempertahankan keyakinan hingga ajal merenggut. Itulah kemenangan
terbesar bagi mujahidin yang berperang di jalan Allah. Inilah pilihan-pilihan yang sangat terbatas
dalam etika perang Islam.
sesudah Negara Islam Indonesia kehilangan ideolog ideolog nya, ummat satu persatu luntur daya
tahan juangnya. Warga Negara Islam Berjuang yang tadinya telah berjanji, “sungguh sungguh
dan setia hati akan membela pimpinan dan komandan tentara Islam daripada bencana dan
khianat dari mana dan apapun juga” satu demi satu melupakan janjinya, dan turun meninggalkan
Imam. Mereka seakan akan Ummat Nabi Musa AS yang berkata kepada nabi mereka : “.. Pergilah
kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk
menanti di sini saja.” Apa yang dialami Cucu Rasululloh SAW terulang pada dirinya. Ribuan orang
berbai’at pada saat perjuangan hendak dimulai, tapi ribuan orang pula melepas bai’atnya saat
ancaman kematian telah di depan mata. Namun sebagai pejuang yang istiqomah, yang ditempa
oleh tekad yang bulat, bukan sekedar terombang ambing keadaan. Kita akan melihat nanti,
dalam kesendiriannya pun Kartosoewirjo tetap kukuh dengan prinsip prinsipnya.
Pasukan tentara "Jalut" RI dengan segala kebenciannya yang menggumpal di dada berusaha
dengan segala cara untuk memojokkan dan mempersempit ruang gerak kaum gerilyawan
mujahidin Darul Islam. Menjelang hari-hari pertama bulan Juni, Kompi C Batalyon Kujang II
Siliwangi mengejar satu kelompok pasukan Darul Islam yang sedang berjalan pulang ke markas
mereka. Tidak hanya tentara mujahidin Darul Islam yang diserang, rakyat sipil kampung pun
disikat habis oleh tentara RI sehingga para mujahin tidak ada lagi yang mensuplai makanan dan
logistik lainnya. Sudah sejak akhir bulan April Letda Suhanda Komandan Kompi ini
mengetahui bahwa markas Kartosoewirjo berada di daerah dimana sedang diadakan gerakan
operasi. Keadaan pasukan Darul Islam yang lapar selama tiga bulan hanya makan dedaunan,
menjadikan semua daunan di hutan sebagai lahapan segar para mujahid agung. Tentara RI
semakin yakin bahwa pasukan-pasukan Darul Islam tinggal menunggu ajalnya dan terus-menerus
digempur dengan segala kekuatan. Kejakinan ini diperolehnya dari benda-benda yang
ditinggalkan anggota pejuang suci Darul Islam sewaktu mereka melarikan diri dan yang
mengandung petunjuk tentang kehadiran Kartosoewirjo di daerah ini. Maka jelaslah pula bagi
Komandan Kompi Suhanda, bahwa di depan mereka terdapat sebuah pasukan TII yang kuat.
sebab telah kehilangan jejak-jejak pasukan TII ini , Suhanda membagi kesatuannya
menjadi tiga Peleton yang masing-masing terdiri dari 45 anggota tentara, agar secara terpisah
dapat melanjutkan pencarian. Pada tanggal 4 Juni anggota pengintai dari pasukan Suhanda
menemukan pada waktu turun hujan deras yang disertai angin kencang, sebuah tempat
persembunyian TII yang terdapat di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber.
Pos-pos penjagaan DI yang ditempatkan di bukit-bukit tidak dapat mendengar apa-apa sebab
hujan yang deras dan dengan demikian pasukan Suhanda dapat melangkah maju sampai sebuah
pohon yang roboh. Dari tempat itu dalam kejauhan kurang-lebih 50 meter mereka dapat melihat
sebuah gubuk yang dibangun secara darurat di bawah sebuah pohon rimba, yang cabang-
cabangnya hampir menyentuh tanah. saat Suhanda memerintahkan pasukannya untuk
melepaskan tembakan serbuan, kesatuannya juga ditembak dari arah bukit-bukit, namun
anggota pasukannya yang lain dapat mematahkan perlawanan pasukan Darul Islam yang
ditempatkan di situ. sesudah dari arah gubuk itu tidak ada lagi perlawanan sebab memang sudah
tidak adanya amunisi, Suhanda mendekati gubuk itu dan bertanya, "Siapa komandannya di situ?".
Kepadanya ditunjukkan sebuah gubuk berikutnya yang terletak di belakang gubuk pertama. Di
gubuk ini mereka menemukan Kartosoewirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia;
seluruhnya yang menyerah berjumlah 46 orang. Kartosoewirjo menanyakan nama Suhanda, dan
Suhanda bertanya, apakah Kartosoewirjo masih dapat berjalan kaki, namun Kartosoewirjo
menyatakan tidak. Dia dalam keadaan sakit payah terbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan
sebuah jaket militer dan sebuah sarung. Pada saat itu usia Kartosoewirjo sudah 57 tahun.
Suhanda menyuruh anggota pasukannya untuk membuat sebuah tandu untuk Kartosoewirjo
yang dibikin dari cabang-cabang pohon, rotan dan mantel. Sejam sesudah dia memerintahkan
kelompok pertama pasukannya untuk turun, Suhanda menyusul dengan Kartosoewirjo, dengan
membawa sisa tawanan dan semua dokumen. Untuk melewati danau Petalengan, Kartosoewirjo
minta istirahat. Suhanda mengabulkan permintaan Kartosoewirjo. Barulah menjelang malam
hari pasukan ini sampai pada desa terdekat di mana ratusan penduduk desa dengan membawa
obor yang menyala menyambut kedatangan Kartosoewirjo yang selanjutnya Kartosoewirjo,
putranya Darda dan Atjeng Kurnia dari desa ini dibawa ke Cicalengka. Dari kota itu
Kartosoewirjo dengan mobil ambulans dibawa ke markas Ibrahim Adjie dan seterusnya ke Garut.
Dan pada tanggal 7 Agustus Kartosoewirjo dibawa dari Bandung ke Jakarta.
sesudah tertawan, Kartosoewirjo dipaksa untuk mencabut proklamasi, membatalkan jihad dan
menyatakan menyerah. Namun ketiga hal ini ditolak oleh Kartosoewirjo. Akhirnya pihak TNI
berhasil mengintimidasi anak Kartosoewirjo untuk menyusun sebuah perintah harian yang
diatasnamakan ayahnya, sebagai berikut :
“Kepada seluruh anggota APNII dan Jama’atul Mujahidin di manapun mereka berada untuk
menghentikan tembak menembak dan permusuhan antara APNII dan TNI/APRI dan melaporkan diri
kepada pos-pos TNI yang terdekat dengan membawa segala alat perang dan dokumen-dokumen”.
“Segala pertanggung jawab dlohir-bathin dan dunia achirat yang boleh tumbuh daripada perintah
Harian ini menjadi pikulan kami selaku Imam-Plm T.- APNII sepenuhnja”.
Perintah harian yang dikeluarkan atas nama Imam NII ini disebarkan kemana mana, dan berhasil
meruntuhkan daya perjuangan pasukan TII yang masih ada di dalam hutan, sebab tertipu oleh
bunyi perintah itu –yang seakan akan pertanggung jawaban itu resmi dari Imam.
sebab kondisi kesehatan Kartosoewirjo kurang baik sewaktu tertawan, maka dia mendapat
perawatan dokter. Menurut diagnose dokter, ada beberapa penyakit yang dideritanya,
diantaranya yaitu , dia menderita penyakit gula (diabetes), pembengkakan hati, denyutan
jantungnya kurang teratur dan juga menderita kekurangan gizi.
sesudah kesehatan Kartosoewirjo pulih kembali, mulailah diadakan penyelidikan-penyelidikan
dan pemeriksaan untuk dapat mengadili perkara tersangka S.M. Kartosoewirjo. Tes analisa
dilakukan saat S.M. Kartosoewirjo berumur 57 tahun, di kamar tahanannya sesudah tertangkap
pada tanggal 4 Juni 1962. Hasil evaluasi didasarkan pada penilaian grafologis dari tulisan tangan
berupa buku harian dari tahun 1960. Di samping itu, juga melalui observasi dan analisa
pembicaraan sewaktu diadakan introgasi oleh AS-1 KASKODAM VI/Slw, 27 Juni 1962. Dan
observasi sewaktu diadakan interview oleh PA ROKDAM V1/Siliwangi 18 Juli 1962.
Kecerdasan SM. Kartosoewirjo, berdasar hasil evaluasi psychologi yaitu bertarap tinggi.
Mutunya tidak bertitik berat pada kemampuan akademis semata-mata, melainkan juga pada
pemakaian fungsi-fungsi intelektual yang ada padanya. Mengingat pada umurnya yang sudah
agak lanjut, fungsi intelektual ini masih tampak baik. Bahkan daya ingat, yang pada tarap umur
ini biasanya sudah mulai berkurang, hanya memperlihatkan kemunduran sedikit. Di dalam
struktur kecerdasannya terdapat keseimbangan antara kemampuan yang bersifat teoritis dan
yang praktis.
Faktor kedua yang menarik perhatian di dalam struktur intelegensinya ialah, bahwa kemampuan
intuisi (intuitievermogen) juga besar. Terutama dibidang inter human relation. Jadi dalam
menghadapi manusia lain sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok yang ia secara
intuitif dapat mengambil langkah-langkah yang paling sesuai dijalankan untuk dapat mencapai
maksudnya. Faktor ini dapat memperkuat kedudukannya sebagai pimpinan. Intuisi yang kuat ini
juga menyebabkan, interest terhadap mistik dan metaphysik ada. Akan namun di lain pihak,
rationalitasnya demikian besar sehingga daya kritik yang obyektif tetap terpelihara.
Segi lain dari pada struktur intelegensianya yang pantas disebut yaitu jalan fikirannya yang
sangat kausal. Kausalitasnya bertitik tolak pada prinsip-prinsipnya, sehingga pembahasan segala
persoalan dilakukannya menurut garis-garis tertentu yang tidak dapat dirobah lagi. Dengan
demikian, suatu poblem tertentu, bagi dia, mempunyai suatu cara pemecahan yang tertentu pula.
Tindakan-tindakannya yang konsekuen dapat dipandang dari sudut ini. Fantasinya yaitu konkrit
dan disesuaikan dengan keadaan realita. Itu sebabnya ia dapat menunjukkan akal dan siasat yang
tepat untuk mengatasi problema-problema yang nyata. Ia yaitu seorang intelektual yang
sangat produktif.
Sebagaimana manusia umumnya, SM. Kartosoewirjo juga memiliki emosi. namun sebab kuatnya
kontrol rasional terhadap pergolakan emosinya, menyebabkan ia tidak mudah terangsang oleh
kejadian-kejadian sekitarnya. Secara fisik ia dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan
keadaan di mana ia berada. Berkat intelegensianya yang penuh dengan perhitungan dan
pertimbangan yang konkrit, maka ia mampu menghadapi dan menerima situasi aktual secara
obyektif, tanpa mengalami perasaan-perasaan depressif.
Menurut hasil tes psikologis yang dilakukan oleh Kapten Drs. Suyono HW, melanjutkan
analisisnya, bahwa struktur pribadi S.M. Kartosoewirjo menggambarkan adanya dorongan-
dorongan jasmaniah yang benar, dorongan mana berada di bawah dominasi intelektual secara
keras. Terdapat keseimbangan yang sangat luar biasa dalam kepribadiannya antara id dan
superego. Oleh sebab itu, bisalah kita pahami bagaimana higenisnya cara hidup dan cara
mengatur lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya dan politik.
Energi vital yang berakar kuat dari dalam jiwa seorang ulama besar yang penuh kesabaran di
tengah penderitaan diri dan pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa orang pelanjutnya
meperlihatkan suatu dorongan manusiawi yang menyebabkan dia tidak dapat tinggal diam,
melainkan memerlukan penyaluran melalui kegiatan-kegiatan yang produktif. Arus dari
penyaluran energi ini yaitu keras dan terpusat. Hal ini dapat dilihat dari usaha-usaha yang
dijalankan dengan intensif, agresif dan terfokus pada inti persoalan.
Pragnosa mengenai sikapnya dapat pula dievaluasi. Pada waktu itu SM. Kartosoewirjo telah
dapat mengatasi proses penyesuaian dari secara rasional dengan situasinya yang baru sebagai
tahanan. Berkat intuisi dan daya analisanya yang tajam, maka ia makin hari makin tambah
kewaspadaan. Ia sudah dan akan dapat membuat estimate (perkiraan) yang tepat mengenai
maksud dan tujuan sebenarnya dari orang-orang yang datang untuk mengadakan introgasi,
interview, wawancara dan sebagainya. Sehingga akan dapat menyesuaikan sikapnya sedemikian
rupa, yang praktis menguntungkan bagi dirinya.
Hasil evaluasi psychologi seperti yang sudah dikutip di atas terhadap pribadi S.M. Kartosoewirjo
menunjukkan, bahwa motivasi dan kesadaran spiritual yang menjadi dasar perjuangan suci Darul
Islam, berpengaruh nyata terhadap kehidupan individu muslim. Memang kesadaran demikian
akan bereaksi dalam jiwa seseorang yang menghendaki agar setiap individu memiliki intuisi yang
peka, yang dengan itu dapat membedakan “yang ini benar dan yang itu salah”. Serta dapat
merasakan antara yang indah dan yang buruk. Bukankah Islam mengajarkan cara paling utama
untuk menghubungkan hati seorang muslim dengan khaliqnya, yaitu dengan mujahadah,
mendidik intuisi yang peka dan perasaan halus. Pemikiran Islam dapat meningkatkan dan
mendorong kepada penemuan baru yang dapat mempengaruhi alam dan mengetahui
rahasianya. sebab itu manusia muslim diwajibkan agar senantiasa menjaga ibadah dan
mengikuti perintah Allah guna meningkatnya intuisi, mempelajari apa-apa yang dapat
memperluas wawasan pengetahuan, agar pengamatannya semakin luas, tajam serta
menjangkau ke depan.
Menurut pengadilan MAHADPER dalam sidang ke 3 pada tanggal 16 Agustus 1962 telah terbukti,
bahwa segala daya usaha yang telah dilakukan selama kurang lebih 13 tahun oleh Kartosoewirjo
dengan mendirikan dan memperjuangkan Negara Islam Indonesia (DI/TII) itu yaitu rencana
makar yang bertujuan akan menggulingkan pemerintahan RI yang syah. Dan pengadilan
menyatakan, bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia
itu yaitu sebuah "pemberontakan". Disamping itu, bahwa dia telah memerintahkan kepada
anak buahnya untuk mengadakan aksi pembunuhan terhadap diri Presiden Soekarno. Oleh
sebab itu ketua sidang mengumumkan keputusan Mahkamah, yaitu hukuman mati atas
terdakwa Kartosoewirjo..
Tuduhan-tuduhan fitnah ini semua tidak diakui oleh Kartosoewirjo. Dengan segala ketegarannya,
meskipun fisiknya dalam keadaan lemah dan kurus, ia tetap konsisten mempertahankan
idealismenya, sebuah cita-cita mewujudkan Daulah Islamiyah di Indonesia yaitu perintah Ilahy
yang harus diadakan dan diperjuangkan oleh umat Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menyusun
surat wasiat yang terdiri dari empat bagian. Dalam bagian pertama (wasiat A) Kartosoewirjo
menerangkan kepada anggota-anggota keluarganya tentang jalannya persidangan dan dia
meminta agar supaya seluruh anggauta keluarga untuk tetap bersabar dalam menerima Kadar
Allah yang pahit itu. Kepada isterinya Siti Dewi Kalsum dia berpesan untuk selalu terus menerus
membimbing anak-anaknya menjadi putra-putri Islam yang sejati. Dalam bagian kedua (Wasiat B)
Kartosoewirjo mengucapkan selamat berpisah kepada eks-Mujahidin dan bawahannya. Mereka
perlu mengetahui, demikian Kartosoewirjo, bahwa dia hingga saat-saat terakhir bertindak dan
berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi APNII. Dan dia tidak ragu-ragu, bahwa apa yang dia
lakukan bersumberkan perintah-perintah Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w, dan siap menjadi
saksi kelak di achirat. Dalam wasiat itu juga dituliskan, bahwa dia haqqul yaqin suatu waktu cita-
cita Islam yang telah diperjuangkannya akan terlaksana di bumi Indonesia, walaupun lawannya
tetap menentang. Dalam kedua bagian terakhir wasiatnya (Wasiat C) Kartosoewirjo mohon
kepada instansi yang berwenang, supaya barang-barang milik pribadi diberikan kepada
keluarganya. Dia juga menyatakan keinginannya, (Wasiat D) bahwa jika nanti dia mati, supaya dia
dikuburkan di tanah miliknya sendiri, yaitu di Suffah yang terletak di desa Cisitu, kecamatan
Malangbong. Kepada pemerintah RI dia mengajukan permintaan, supaya wasiat-wasiatnya
disiarkan lewat pers dan radio. Namun tidak ada satupun dari wasiat yang ditujukan kepada
pemerintah RI yang dilaksanakan. Pemerintah RI memang merupakan pemerintah yang sejak
dari dulu tidak pernah amanah.
Kartosoewirjo yaitu seorang ulama besar yang berjuang tidak hanya berdasar ilmu agama,
melainkan juga praktek kehidupan nabawi yang sangat konsisten. Ia saat ditawarkan untuk
mendapatkan "pengampunan" (amnesti) kepada Presiden Soekarno, dengan tegas dan tenang
ia mengatakan: "Saya tidak akan pernah meminta ma'af kepada manusia Soekarno. Secepatnya
laksanakan hukuman yang sudah Bapak Hakim Terhormat putuskan." Maka segenap manusia
yang berada dalam ruang sidang itu terkejut dan tidak sanggup menjangkau mengapa ia lebih
mencari "mati" ketimbang "hidup dengan pengampunan Presiden". MAHADPER ini dibentuk
dan dibubarkan hanya untuk memberi hukuman bagi Kartosoewirjo, tidak lebih dari itu.
Menarik untuk disimak sebuah kejadian di akhir-akhir persidangan dimana MAHADPER
memutuskan eksekusi mati terhadap diri Kartosoewirjo, yaitu upaya dari pihak keluarga
Kartosoewirjo dalam hal ini diwakili oleh anak-anaknya, meminta kepada pihak pengadilan untuk
menyaksikan eksekusi. Namun dari pihak MAHADPER sesudah berkonsultasi dengan Presiden
Soekarno tidak mengabulkan permintaan ini . Panglima Kodam Jaya Umar
Wirahadikusuma telah memerintahkan untuk melaksanakan keputusan MAHADPER dan
menyusun regu tembak yang terdiri dari keempat angkatan.
Pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo minta diri dari keluarganya dan keesokan hari di
pagi buta, Kartosoewirjo bersama-sama dengan regu penembak dibawa dengan sebuah kapal
pendarat kepunyaan Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau di teluk
Jakarta. Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan dan beliau menemui syahidnya
dihadapan regu tembak disaksikan 7 orang Jenderal RI. Seorang Ulama, Mujahid dan Intelektual
yang konsisten telah menyirami bumi ini dengan tetesan darahnya. Dia syahid untuk
menyongsong kehidupan abadi di surga Firdaus, dengan sebelumnya telah meninggalkan 12
mujahid dan mujahidah penerusnya yang dalam hal ini yaitu anak-anaknya, seperti:
1. Tati lahir pada tahun 1934 (telah meninggal).
2. Sri Rahajoe lahir pada tahun 1935 (telah meninggal).
3. Moehammad Darda (Dodo) lahir tahun 1936 (masih hidup).
4. Rachmat lahir tahun 1939 (telah meninggal).
5. Saleh lahir tahun 1940-an (telah meninggal).
6. Moehammad Tachmid lahir tahun 1942 (masih hidup).
7. Abdoellah lahir tahun 1943/44 (telah meninggal).
8. Semaoen Sjuhada lahir tahun 1945 (telah meninggal).
9. Danti lahir tahun 1947 (masih hidup).
10. Kartika lahir tahun 1950 (masih hidup).
11. Koemala Sari lahir tahun 1952 (masih hidup).
12. Sardjana lahir tahun 1956/57 (masih hidup).
Tiga anak Kartosoewirjo yang terakhir lahir dan besar di hutan dan suatu kondisi perang gerilya
yang serba payah. Keluarga ini, mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer, yaitu "keluarga
gerilya", sebenar-benarnya gerilya bahkan hingga zaman sekarang.
Syahidnya Seorang Ulama Besar/Negarawan Sejati dan Estafeta Kepemimpinan
Tentang kisah wafatnya S.M. Kartosoewirjo, ternyata Sukarno dan A.H. Nasution cukup
menyadari bahwa S.M. Kartosoewirjo yaitu tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus
dirindukan umat, maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung oleh Umar
Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka saat mengeksekusi Imam
Negara Islam ini. saat pihak keluarga Kartosoewirjo mengajukan permintaan kepada
pemerintah untuk mengambil jenazah orangtuanya yang seterusnya akan dikebumikan di
Tasikmalaya, sebagaimana wasiat yang ditulis sebelum meninggalnya. Namun lagi-lagi
permintaan ini ditolak oleh A.H. Nasution yang disaat itu menjadi Menhankam sesudah
berkonsultasi dengan Soekarno. Kalau jenazahnya tidak dikembalikan ke keluarganya, maka
pihak keluarganya juga meminta agar bisa melihat di mana kuburan atau pusaranya. Namun,
anehnya, permintaan ini pun tidak diberikan oleh Soekarno. Kartosoewirjo benar-benar berpisah
dengan keluarganya dan juga dengan umat Islam Indonesia. Pemisahan ini memang disengaja
oleh Soekarno yang ketakutan terhadap kekuatan spiritual yang bisa dimunculkan oleh tokoh
S.M. Kartosoewirjo ini di masa depan.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada sebab alasan-
alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup.
Itulah makna dari firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka
itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, namun kamu tidak menyadarinya”. (QS. 2:154).
Terbukti saat seminggu sebelum eksekusi dilaksanakan terhadap Imam Negara Islam Indonesia
Kartosoewirjo, melalui dialog antara Kartosoewirjo dengan seorang Mujahid Darul Islam, yang
waktu itu sama-sama menjadi tawanan Pemerintah RI antara lain sebagai berikut ini:
Z.H. : “Kalau saya mau tanya Imam, bagaimana ya, bisa atau tidak?”
K. : “Hayo tanya apa !
Z.H. : “Ini, seandainya Imam berhalangan, untuk selanjutnya itu bagaimana kira-kira?”
K. : “Itu bagus sekali kalau begitu. Ya, lanjutkan !
Z.H. : “ Ya, kalau lanjutkan itukan mesti saya konsolidasi dulu nanti”.
K. : “Tidak begitu ! Disini !
Z.H. : “Kalau di sini bagaimana ini ya?”
K. : “Begini, di sana sahabat kita ada beberapa orang?
Z.H. : “Ada banyak, ada Pak Kiayi Maksum, Haji Sobari”.
K. : “ Nah, sekarang begini, kalau memang ada Pak Kiayi Sobari, ya, tolonglah bantu dengar
dengan Pak Kiayi Maksum supaya saya ini mengamanatkan kepada beliau sampaikanlah
kepada Pak Kiayi Haji Sobari, lanjutkan dan bentuklah di sini secara sederhana bentuk
organisasi sementara. Nah, lalu pimpinlah sementara !”.
Z.H. : “ Ini, bagaimana Imam kalau Pak Kiayi haji Sobari itu bertahan tidak mau terima, sebab
ini urusannya berat?”.
K. : “Sementara ini ! Ini harus terima, sebab ini kan tidak permanen. Di situ ada struktur
organisasi negara yang perlu menangani nanti kalau sudah ketemu dengan dia, serahkanlah
pada dia. Dia yang harus mampu mengembalikan. Jadi, lanjutkan perjuangan ini. Ikutilah
kondisi dan situasi !”.
Z.H. : “Bagaimana kalau nanti saya dapat keluar lalu saya mau mengunjungi putra bapak
Den Dodo atau yang lain-lainnya?’.
K. : “Nanti dulu, ya, sekalipun Dodo itu anak saya atau yang lain anak saya, itukan harus
“wudhu” lagi !”.
Imam mengatakan harus wudhu lagi, sebab beberapa hari sebelum dialog itu, telah datang
seorang Letnan Kolonel yang pada dadanya dicabut namanya, membawa map. Pertama ia
hormat kepada Imam. Ia hormat juga kepada pemeriksa. Ia menyodorkan isi daripada
pernyataan dari yang 32 orang. Ia memperlihatkan juga kepada Imam . Imam tidak kelihatan
panik. Bahkan beliau ditanya, “Bagaimana Pak Imam mengenai pernyataan ini?”. Imam dengan
tenang, jawab beliau, “Keseluruhannya orang itu sudah mengundurkan diri dan sudah dianggap
batal. Jadi, itu bukannya hanya menyerah, tapi menyeberang !”. Dari dialog ini diambil
kesimpulan bahwa dalam keadaan sedarurat apapun perjuangan harus terus dilanjutkan.
Pemimpin perjuangan harus tetap ada, seperti diwashiyatkannya di tahun 1959, bahwa prajurit
petit pun dalam keadaan terputus hubungan dengan para perwira harus sanggup tampil
mengemban tugas sebagaimana Imam. Apabila keadaan telah berangsur pulih dan hubungan
dengan para panglima yang lain bisa dilakukan kembali, maka struktur kepemimpinan negara
harus kembali kepada seperti apa yang dinyatakan dalam perundang undangan.
Keteguhan Kartosoewirjo seperti dinyatakan di atas menjadi bukti bahwa dia berjuang di atas
keyakinannya yang utuh. Syahidnya Kartosoewirjo tidak menghancur kan nilai negara yang telah
didirikannya. Ia tidak menyerah, lebih baik pergi menyongsong syahid, dari pada harus menyerah
seperti bawahannya. Ia rela menyaksikan nyawanya lepas dari badan, daripada proklamasi
Negara Islam Indonesia dicabut kembali.
Kartosoewirjo tetap konsisten seperti diwashiyatkannya pada tahun 1959, kalaupun warga
negara Islam berjuang, baik angkatan perang maupun sipilnya, terputus hubungan dengan
pimpinan, maka perjuangan harus terus dilanjutkan. Prajurit petit pun harus sanggup tampil
sebagaimana Imam, dalam keadaan hilang syarat berjuang pun, selama kebathilan masih ada,
selama itu pula perjuangan harus terus dilanjutkan –kalaupun hanya tinggal punya satu gigi,
gunakan gigi yang satu itu untuk menggigit ! Permasalahnnya sekarang, siapakah yang
melanjutkan perjuangan ini sesudah Kartosoewirjo menemui syahidnya?
Banyak kalangan berpendapat bahwa dari tahun 1962 hingga tahun 1965 tampuk kepemimpinan
NII dipegang oleh Kahar Muzakar. Dilanjutkan oleh Agus Abdullah hingga tahun 1970. sesudah
Agus Abdullah wafat, kepemimpinan dipegang oleh Tengku Daud beureueh dari tahun 1973
hingga 1978. Dan dari tahun 1978 – 1981 dipegang oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Dibalik
kepemimpinan Adah Djaelani Tirtapradja itu ada juga yang dipimpin oleh Djadja Sudjadi dari
Malangbong – Garut.
Adanya pandangan sedemikian di atas itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu:
a) Tidak memakai peraturan estapeta kepemimpinan NII yang berdasar perundang-
undangan NII sehingga mengangkat pemimpin hanya berdasar figuritas atau idolanya
masing-masing.
b) Sebagian besar dari para mujahid belum memahami nilai hukum mengenai yang sudah desersi
dari NII atau menyerahkan diri kepada musuh sehingga dianggap masih bisa diangkat sebagai
pemimpin NII.
Padahal mengenai estapeta (kelanjutan) kepemimpinan NII Dalam Darurat Perang itu sudah ada
undang-undangnya. Hal demikian tercantum dalam MKT (Maklumat komandemen Tertinggi)
No.11 tahun 1959 . Dengan tegas bahwa dalam Negara Islam Indonesia yang berhak memegang
estapeta Imam NII itu ialah yang terdiri dari A.K.T. atau yang jabatannya setaraf dengan A.K.T.
seperti halnya K.S.U. dan K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi).
Ditinjau dari sudut sejarah bahwa sebelum Imam S.M. Kartosoewirjo tertangkap musuh tanggal
4 Juni 1962, beberapa tokoh ini di atas memiliki catatan sendiri sendiri diantaranya : Kahar
Muzakar sudah membatalkan NII dengan memproklamirkan R.P.I.I tanggal 14 Mei 1962, artinya
sejak itu Kahar Muzakar bukan lagi sebagai pejabat NII. Agus Abdullah masih bertahan sewaktu
Imam tertangkap 4 Juni 1962, namun dua puluh hari lalu Agus Abdullah itu menyerah
kepada pemerintah R.I. Dengan itu bukan lagi sebagai A.K.T.
Daud Beureuh, dirinya sudah kembali kepada Pemerintah RI tanggal 9 Mei 1962 sebelum Imam
tertangkap tanggal 4 Juni 1962. Jadi, sebelumnya juga sudah bukan lagi sebagai A.K.T.
Adah Djaelani Tirtapradja menyerah kepada musuh tanggal 28 Mei 1962, dengan itu dirinya sudah
bukan A.K.T. lagi.
Djadja Sudjadi memang dirinya sampai Imam tertangkap 4 Juni 1962, tidak menyerah yakni tidak
datang melaporkan diri kepada musuh, namun akhirnya ikut juga menandatangani “Ikrar
Bersama” 1Agustus 1962 sehingga lenyap pula jabatan yang diembannya dalam NII.
Dengan gugurnya jabatan mereka dalam NII, maka secara hukum pengangkatan mereka
bertentangan dengan undang-undang NII.
Sungguh penting mengetahui sejarah. Firman Allah: “…Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (Q.S.7:176). Dari ayat di atas itu diambil arti, bagi yang tidak
mau mengetahui sejarah sama artinya dengan yang tidak mau berpikir secara obyektif sehingga
tidak bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mensitir
mengenai orang-orang yang meninggalkan tugas (Q.S.5:54, 33:13-15) dari medan perang. Tentu,
hal itu supaya menjadi peringatan bagi generasi penerusnya sehingga jangan terulang kembali.
Allah memerintahkan kita menceritakan sejarah (Q.S.7:176), berarti sejarah itu cepat atau lambat
akhirnya akan terungkap pula, walau tidak sedap dibacanya. Seperti halnya lembaran “Ikrar
Bersama” 1 Agustus 1959 di bawah ini :
Untuk lebih jelasnya, berikut salinan dari ikrar bersama ini :
IKRAR BERSAMA
Bismillahirrachmanirrachim.
Allah Jang Maha pengasih dan Penjajang telah membukakan mata-hati nurani kami, memberi
kesadaran dan keinsjafan kepada kami tentang kesesatan kami dan kemelaratan jang
diakibatkan oleh perbuatan2 kami, maka kami bekas pimpinan apa jang dinamakan DI/TII/NII
dengan ini menjatakan:
1. Bahwa gerakan kami dulu (DI/TII/NII dan segala sesuatu jang berhubungan kepadanja)
yaitu sesat, salah dan menjalahi Hukum2 Islam, Hukum2 Kenegaraan, norma2
kemanusiaan dan bertentangan dengan djalan jang seharusnja ditempuh untuk
memperdjoangkan idiologie Islam menurut petundjuk2 Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an dan
Sabda Nabi Muhammad s.a.w.
2. Bahwa kami telah berbuat dosa terhadap Masjarakat Djawa-Barat chususnja dan
masjarakat Indonesia umumnja atas gerakan2 kami pada masa jang lalu, atas dosa2 mana
kami mengharapkan ampunan masjarakat dan kami sanggup menebus dosa ini
dengan djalan mewudjudkan perbuatan jang berfaedah, demi kepentingan masjarakat
dan Negara R.I.
3. Bahwa kami telah melepaskan diri lachir dan bathin dari ikatan apa jang dinamakan DI/TII
dan NII seraja bertaubat memohon ampunan Allah s.w.t. menjesal sebesar-besarnja atas
perbuatan2 kami dulu dan berdjandji untuk tidak mengulanginja.
4. Bahwa djalan jang ditempuh oleh Pemerintah R.I. dengan segala dasar/haluan politik dan
pembangunannja yaitu djalan jang benar dan diridloi Allah s.w.t. dan oleh sebab nja
dalam pengabdian kepada Agama dan Negara, kami bersumpah:
Demi Allah:
Setia kepada Pemerintah R.I. dan tunduk kepada Undang2 Dasar R.I. 1945.
Setia kepada Manifesto Politik R.I., Usdek, Djarek jang telah mendjadi garis besar haluan
Politik Negara R.I.
Sanggup menjerahkan tenaga dan fikiran kami guna membantu Pemerintah R.I. cq.
Alat2 Negara R.I.
Selalu berusaha mendjadi Warga Negara R.I. jang ta’at, baik dan berguna dengan
didjiwai Pantja sila.
5. Bahwa kami mempertjajakan serta akan menerima dan menta’ati seluruh tjara
penjelesaian nasib kami, jang meliputi lapangan hukum, politik dan sosial, kepada
kebidjaksanaan Pemerintah Republik Indonesia.
6. Kami jakin bahwa Mudjahidin lainnja akan mengikuti djedjak kami.
Semoga pernjataan kami ini diberkahi Allah s.w.t.
Amien Jaa Robbal A’lamien.-
Bandung, tgl. 1 Agustus 1962.-
Kami jang mengeluarkan Ikrar.-
Agus Abdullah Sukunsari.
Djadja Sudjadi Widjaja.
Adah Djaelani Tirtapradja.
Hadji Zaenal Abidin.
Ateng Djaelani Setiawan.
Danu Mohamad Hassan.
Mohamad Godjin.
Toha Machfud.
Dodo Mohamad Darda.
Tachmid.
Cholil.
Hassan Anwar.
Atjeng Abdullah Mudjahid.
Maskun Sudarmi.
Atjeng Hadjar.
Rahmat Slamet.
Ules Sudja’i.
Engkar Rusbandi.
Hadji Jusuf Kamal.
Usman.
Sjarif Muslim.
Hadji Zakaria.
Bakar Misbah.
Emod Hasan Saputra.
Achmad Mustofa Hidajat.
Sobir.
Mubaroq.
Zainudin Abd. Rahman.
Hadji Djunaedi.
Tohir.
Salam.
O.Z.Mansjur
Ada yang berdalih bahwa hal di atas itu sebab dipaksa. Namun, bisanya dipaksa sebab didahului
dengan sebab datang lapor kepada musuh. Jadi, masalahnya itu ialah penyebabnya, dan bukan
akibatnya .
Para mujahid NII, baik itu pada strata bawah maupun atas tidak semuanya memiliki nilai
menyerah kepada musuh. Jadi, pada saat Imam S.M. Kartosoewirjo menjalani eksekusi di
hadapan regu tembak, masih ada figur yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. yaitu Abdul Fattah
Wirananggapati sebagai K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi). Beliau tidak menyerah
kepada musuh, melainkan tertangkap di Jakarta tahun 1953 sekembalinya dari Aceh
melaksanakan tugas dari Imam mengangkat Daud Beureuh sebagai Panglima Wilayah V TII
(Tentara Islam Indonesia) Cik Di Tiro. Dan dikeluarkan dari penjara Nusakambangan tahun 1963.
lalu sesudah aktivitasnya tercium oleh Pemerintah RI maka tahun 1975 dipenjarakan lagi,
dan keluar tahun 1982. sesudah beliau aktif memberi penjelasan mengenai perundang-
undangan NII serta mengkoordinasi para mujahid, maka pada tahun 1991 Abdul Fattah
Wirananggapati itu tertangkap kembali, dan dibebaskan tanggal 2 Agustus 1996. Mengenai
kelanjutan estapeta kepemimpinan NII sesudah Abdul Fattah Wirananggapati bukan pada
tempatnya dikemukan dalam uraian ini.
Adanya kekeliruan pada masa yang telah lampau mengenai estapeta kepemimpinan NII yaitu
lumrah sebab ketidakpahaman akibat proses memiliki keilmuan serta menerima pemahaman
sedemikian adanya. Akan namun , jika sudah datang Bayyinah (penjelasan) mengenai perundang-
undangan serta sejarah mengenai figur-figur yang jabatannya tertera dalam undang-undang itu,
maka wajib mengikuti bayyinah sehingga tidak berselisih. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang meendapat siksa yang
berat.” (Q.S.3:105).
Kartosoewirjo memerintahkan dalam MKT No. 11 antara lain berbunyi:
"Ikutilah zaman, jang beredar setjepat kilat dan kedjarlah waktu, dan djanganlah biarkan waktoe
mengejar-ngejar kita !. Goenakanlah tiap sa’at dan detik oentoek menoenaikan perang
mentegakkan Kalimatillah, dalam bentoek dan sifat apa dan manapoen !. Ketahoeilah ! Sekali
lampau, ia tidak beroelang kembali !. Songsonglah kedatangan kembali Imam Plm. T., dengan
realisasi M.K.T. Nomor 11 ini !".
lalu ditambahkannya lagi:
"Toenjoekkanlah boekti patoeh-setiamoe kepada Allah ! kepada Rasoeloellah Çlm. ! Dan kepada
Oelil-Amrimoe, Oelil Amir Islam, tegasnja: Imam-Plm. T. !. Itoelah jalan Jihad fi Sabilillah, satoe-
satoenja Sirathal-Moestaqim !".
Begitu dalamnya ungkapan yang diucapkan oleh Kartosoewirjo, dan mengisyaratkan kepada kita
bahwa totalitas kehidupan dalam mendarma baktikan diri kepada Allah sudah terpatri begitu
kuat dalam jiwa Kartosoewirjo sehingga tidak ada kesempatan barang sedikitpun untuk dia
bermain-main dengan kehidupan dunia."Hayatuna kulluha ibadatun" (Kehidupan kami
seluruhnya hanya untuk satu pengabdian). Mungkin ungkapan ini, dapat menggambarkan
tentang kepribadiannya secara menyeluruh.
Estafet kepemimpinan Negara Islam Indonesia tetap berlanjut dan eksis untuk beberapa waktu
sebab dipegang oleh orang-orang hanif dan konsekwen sebagai penerus perjuangannya, dan
hal itu memang sudah digariskan oleh Kartosoewirjo dalam penjelasan lain di MKT No. 11 yang
berisi:
"Pada ‘oemoemnja segala saloeran kenegaraan, dalam bidang-bidang Militer maoepoen dalam
lapangan politik, joega selama masa perang ini, berjalan teroes melaloei systeem Komandemen,
seperti jang tetap berlakoe hingga sa’at ini. namun disa’at-sa’at genting-roencing, dimana Imam.
Plm.T. mengeloearkan Komando ‘Oemoem, maka disa’at itoe kita hanja akan mengenai 2 (doea)
tingkatan Pimpinan Perang, Pimpinan Negara dan Pimpinan Jama’ah Mujahidin, Pimpinan
Oemmat berjoeang, Ja’ni:
Tingkatan Pimpinan Perang pertama selakoe pemberi Komando, ialah: 1. Imam-Plm.T., 2. Plm. Per.
K.P.W.B., 3, Plm. Per. K.P.W., dan 4. Kmd. Pertempoeran Kompas;dan Tingkatan Pimpinan
Perang kedoea selakoe pelaksana Komando, terdiri daripada Kmd.2 Pertempoeran sejak Kmd.
Pertempoeran Soeb-Sektor/Kmd. Lapangan/Kmd.2 Komandemen hingga sampai Kmd2. Baris,
pelaksanaan mana akan melipoeti lapisan-lapisan ra’iat jelata seloeroehnja, tanpa kecoeali.
Sendi-dasar bagi tiap gerak-langkah kedepan, teroetama disa’at-sa’at jang menentoekan, seperti
tergambarkan diatas, perloe diletakkan moelai sekarang oentoek menghindarkan tiap-tiap
pengjimpangan, penjelewengan, persimpang-sioeran, atau pertentangan dalam saloeran,
pimpinan dan pelaksanaan segala toegas-toegas moethlak, menoenaikan hoekoem-hoekoem
Jihad, Hoekoem-hoekoem Perang sepanjang ajaran Islam.
Dengan cara, sifat dan bentoek, sepanjang isi dan jiwa M.K.T. Nomor 11 ini, maka Insja Allah
terhindarlah Negara kita, Negara Islam Indonesia, istimewa dimasa Hoekoem Perang masih
berkobar, daripada setiap jenis, sifat dan bentoek Doealisme, dalam bidang dan lapangan apa
dan manapoen. Sehingga dilingkoengan Negara kita hanja dikenal satoe Pimpinan Negara, jang
joega bertoegas memegang Pimpinan Perang dan Pimpinan Oemmat Berperang.
Dalam pada itoe, tiap-tiap Moejahid, teroetama Pemimpinannja, haroes percaja dan jakin dengan
sepenoeh jiwanja, akan benarnja perintah-perintah Allah, perintah-perintah Nabi Çlm. Dan
perintah-perintah Imam-Plm. T., jang terealisasi dalam Hoekoem-hoekoem Jihad dan Perintah-
perintah Jihad beserta pelaksanaannja. Tegasnja tiap Moejahid, choesoes Pemimpin Moejahid,
haroes percaja, dan jakin akan benarnja tiap-tiap tingkah-lakoenja, berwoejoedkan amal-amal
pembinaan Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. Dikala Jama’atoel-Moedjahidin
meroepakan satoe kesatoean Oemmat kompak, dlahir dan bathin, tidak tercerai berai dan tidak
berpecah belah, maka baroelah setiap anggauta atau bagian Djama’ah tsb. berhak menerima dan
menikmati kasih-sajang dan Koernia Allah.
Tapi apa yang terjadi sebaliknya dari hal di atas itu, pada tahun 1978 terjadi pembunuhan
terhadap Djadja Sudjadi oleh Adah Djaelani cs . Saksi Toha Machfud dalam persidangan
‘membenarkan tahun 1978 ia mendapat perintah dari terdakwa untuk memimpin pelaksanaan
pembunuhan. Namun saat operasi berlangsung, saksi hanya menunjukkan rumah Djadja
Sudjadi, sedangkan yang membunuhnya yaitu Komandan Pasus, Syarif Hidayat .
Tanpa satu alasan yang syar'i dengan begitu mudahnya mereka menghilangkan nyawa seorang
mu'min. Padahal membunuh manusia merupakan satu dosa besar setingkat dibawah dosa
melakukan kemusyrikan. Allah berfirman:
"Dan barang siapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahanam." (Q.S. 4: 93).
Terjadinya pembunuhan terhadap Jaja ini awal mula dari kehancuran sendi-sendi moral para
pejuang Darul Islam dan terpecah belahnya kesatuan jama'ah mujahidin. Selanjutnya, sesudah
terbunuhnya Jaja, Adah Jaelani dengan cara yang sangat kontroversial bekerja sama dengan Ali
Moertopo, ketua CSIS (Center for Strategic and International Studies), L.B. Moerdany dan
Soedjono Hoemardhani untuk menghidupkan kembali NII atau DI, yang rencananya pun telah
disiapkan begitu matangnya, sampai orang yang mutaakhir tidak mengetahui tentang kejadian
ini. Maka terhadap orang yang belum mengerti betul akan sejarah perjuangan Darul Islam yang
sekarang, hendaklah mentabayyunkan dengan orang yang berpengetahuan jangan sampai
tersesat dari jalan yang lurus. sebab Allah telah berfirman:
"Jika datang kepadamu orang-orang yang fasik dengan membawa berita, maka telitilah terlebih
dahulu dengan seksama. Supaya kamu jangan sampai mencelakakan orang lain tanpa mengetahui
keadaan yang sebenarnya, sehingga kamu nanti akan menyesal atas kecerobohanmu itu." (Q.S. 49:
6).
Begitupun program yang dilaksanakan Adah Jaelani hanyalah untuk memeras uang rakyat demi
kekayaannya sendiri. Sungguh satu perbuatan yang tercela bila hal itu terjadi pada kehidupan
seorang mu'min. Allah swt. Berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang
bathil,......." (QS. 4: 29).
Ternyata, bagian dari kehidupan yang rendah telah menodai langkah perjuangan mereka,
dibandingkan mengambil kehidupan yang hakiki di akhirat kelak. Dalam kondisi hidup
perjuangan yang sedang mengalami pasang surut ini, Kartosoewirjo telah memberi
penjelasan yang sangat rinci tentang bagaimana cara mengorganisir Negara untuk bekal para
pejuang Darul Islam. Di dalam sebuah penjelasan maklumatnya, ia menerangkan:
"Soedah agak lama kita beladjar hidoep berorganisasi, dan memang tiada manoesia, djiwa
moedjahid, jang pandai berdiri sendiri, jang tidak tergantoeng, tidak terpengaroeh atau tidak
memerloekan sesoeatoe diloear pribadinja. Moela pertama kita merasa hidoep seorang diri.
Lambat-laoen perasaan itoe meningkat hingga mendjadi kesadaran dan keinsjafan selakoe
anggauta sesoeatoe keloearga. Dan selandjoetnja meningkat lagi, hingga kita merasa dan
menganggap diri kita, insjaf dan sadar sepenoehnja, sebagai warga masjarakat dan negara,
warga oemmat dan bangsa. Dengan meningkatnja nilai perasaan dan anggapan, jang kemoedian
terrealisir dalam kelakoean dan perboeatan, maka makin bertambah2 meningkat poela rasa
tanggoeng djawab kita. Sebagai seorang diri, kita hanja bertanggoeng djawab atas diri kita.
Sebagai warga sesoeatoe keloearga atau kelompok, tanggoeng djawab kita meningkat mendjadi
tanggoeng djawab terhadap keloearga dan kelompok".
"Begitoelah selandjoetnja, sebagai warga sesoeatoe oemmmat, bangsa atau djama’ah, maka
pertanggoeng djawab kita akan melipoeti seloeroeh oemmat, bangsa dan djama’ah itoe. Rasa
tanggoeng-djawab jang makin meningkat itoe, tidak hanja akan menambah besarnja hak kita,
melainkan djoega makin menambah besar dan beratnja kewadjiban antar-warga, antar-
kelompok dan antar-oemmat."
"Sjahdan, dengan sandaran Ma’loemat K.T. jang mendjadi sendi-dasar hidoep dan perdjoeangan
kita, hidoep dan berdjoeang hanja oentoek melaksanakan toegas Ilahy moethlak, merealisir
dharma jang tertanam dalam djiwa setiap Moedjahid, maka seloeroeh Barisan Moedjahidin
tanpa kecoeali, dimanapoen mereka berada dan bertoegas, terikat erat satoe sama lain demikian
roepa, baik oleh Bai’at Negara, Bai’at Djabatan, Bai’at Setia maoepoen Bai’at selakoe Moedjahid,
sehingga mereka itoe berwoedjoedkan satoe Djama’ah Besar, jang anggauta-anggautanja terdiri
daripada tiap-tiap Moedjahid dan Moedjahidah, tegasnja: Djama’ah Besar Moedjahidin. Selakoe
warga Djama’ah Besar Moedjahidin, maka tiap-tiap Moedjahid akan merasa makin bertambah-
tambah besar dan mendalamnja rasa-setiakawannja, rasa-tanggoeng-djawabnja, rasa wadjibnja.
dst. dst. dst., sampai-sampai achirnja melipoeti seloeroeh Oemmat dan Bangsa, Negara dan
Agama. Hendaklah semangat, kesadaran dan keinsjafan seroepa itoe ditanam dalam-dalam dan
dipoepoek baik-baik dalam djiwa setiap Moedjahid, dan kemoedian diperkembangkan dan
diwoedjoedkan dalam bentoek amal dan djasa2, baik djasa terhadap Oemmat dan Bangsa
maoepoen terhadap Negara dan Agama. Djika demikian halnja, maka cita-cita Baldatoen
Thajibatoen wa Rabboe Ghafoer boekan impian atau khajalan belaka. Daja selamat-
menjelamatkan, daja rahmat merahmati dst. dst. akan samboeng menjamboeng tidak
koendjoeng-poetoes, sehingga melipoeti seloeroeh Oemmat dan bangsa, seloeroeh Negara dan
Agama. Demikianlah “dharmaning ksatrija soeci” pentegak-Kalimatillah ! Harap direnoeng-
resapkan sebaik-baik dan sedalam-dalamnja, hingga terwoedjoed dalam bentoek boekti-
kenjataan jang sebenarnja."
Jika para pejuang belum insyaf terhadap kekeliruannya bahwa apa yang telah mereka lakukan
sebelumnya hanyalah menguntungkan kaum kafir dan sangat melemahkan posisi keberadaan
Negara Islam. Dan terlebih lagi mereka telah melupakan statemen Imam Negara Islam
kartosoewirjo tentang hal ini di atas. Padahal kalau dibandingkan dengan Soekarno—yang
menyandang gelar Paduka Yang Mulia—belumlah seberapa kemampuannya untuk menciptakan
sebuah negara yang begitu kuat dan kokohnya, hanya sebab dibelakang Kartosoewirjo para
pejuang tidak siap untuk berjiwa militan maka mengalami kemunduran sesudah meninggalnya
Kartosoewirjo. Semoga dalam hal ini janji Allah untuk mendatangkan satu kaum yang lebih baik
dan lebih siap melanjutkan misi-Nya segera hadir dengan segala kebenarannya sebagaimana
yang tertera dalam Al-Quran, Surah Al Maidah, ayat 54.
"Siapa saja diantara kalanganmu yang murtad dari din-Nya , maka Allah akan mendatangkan satu
kaum yang Allah cinta kepada mereka, begitupun mereka cinta kepada-Nya,..."
Padahal kalaulah mereka para pejuang mujahidin mau mengerti tentang situasi dan kondisi umat
hari ini, yang mereka semua merindukan kehadiran " Juru Penyelamat" untuk melepaskan dan
mengeluarkan mereka dari kondisi keterjajahannya dari penguasa dzalim di bumi Indonesia.
Maka tentulah mereka semua umat Islam siap dibelakang para pejuang untuk membela jihad suci
baik berupa harta bendanya atau jiwanya sekalipun.namun sangat disayangkan, risalatul haq
kepada mereka untuk saat ini belum sampai, mungkin juga disebabkan para pejuang mujahid
Darul Islam belum memberi kontribusi apa-apa demi kemajuan Islam pada umumnya.
Belumlah tampil untuk waktu sekarang sosok pejuang sejati pengganti para mujahidin terdahulu
sebelum mereka.
Imam Assyahid Kartosoewirjo telah meletakkan dasar-dasar manhaj harakah Darul Islam dari segi
akhlakul karimah, bagaimana seharusnya Negara Islam Indonesia yang telah diproklamasikannya
dibawa oleh para penerusnya.
1. Membina rasa cinta, tha'at, setia dan patuh.
2. Tha’at-patuh tanpa rasa-cinta setia, akan merasakan kaku-tegang dan kurus-kering-
tandus, laksana suara irama. Bahkan kadang-kadang terasakan sebagai sesuatu yang
keras dan kejam, kasar dan bengis. Demikian pula benar dan adil, tanpa qisthi dan
palamarta. Maka untuk memperoleh hasil amal jang sempurna, jasa-jasa jang besar
manfa’at dan maslahat untuk umum, untuk Ummat, Negara dan Agama, maka kuncinja
terletak dalam jiwa, atau lebih tegasnja: jiwa Mujahid yang harmonis, selaras dengan
tugasnja.
3. Mujahid yang memiliki keselarasan jiwa ini akan menunaikan segala tugas wajibnja
dengan sepenuh-jiwanja, dengan tekun, dengan khusu’ dan khudlu tanpa menghiraukan
atau terpengaruh oleh sesuatu diluarnya. Dan keselarasan jiwa itu hendaknya bersifat
vertikal (1) mulai tingkatan pemimpin teratasi hingga bawahan yang terendah, dan
sebaliknya, dan bersifat pula horizontal (2), merata-mendatar, hingga sampai meliputi
Jama’atul-Mujahidin sebagai kesatuan dan keseluruhan.
4. Maka pokok-pangkal daripada keselarasan jiwa itu terletak pada rasa-cinta, ialah rasa-
suci-murni. Yang bersemajam dalam lubuk kalbu setiap Mujahid sejati.
Bagi membina jiwa baru, atau menanam jiwa jihad, jiwa yang sanggup dan mampu
menyelaraskan diri dengan hukum-hukum Jahad, jiwa yang berani bertindak menyalurkan
tingkat-laku dan amal-perbuatannya dengan Hukum-hukum Jihad, maka landasan
pembinaan jiwa kesatria suci semacam ini a.l.l. yaitu sbb:
5. Rasa-cinta setia kepada Allah (Mahabbah) dalam ma’na dan wujudnya:
= sanggup dan mampu melaksanakan tiap-tiap perintah-Nya dan menjauhi tiap- tiap
larangan-Nya, tanpa kecuali dan tanpa tawar-menawar; = mendahulukan dan
mengutamakan pelaksanaan perintah-perintah Allah, daripada sesuatu diluarnya; dan
= mendasarkan tiap-tiap laku lampah dan amalnya atas Wahdanijat Allah, tegasnya: atas
Tauhid sejati, dan tidak atas alasan, pertimbangan dan dalil apapun, melainkan hanya
berdasar Khulishan-mukhlisan semata, atau dengan kata-kata lain: “Allah-minded
100%.
6. Rasa-cinta-setia kepada Rasulullah Çlm., dalam ma’na dan wujud:
= sanggup dan mampu merealisir ajaran dan Sunnah Çlm., dengan kepercajaan dan
kejakinan sepenuhnya, bahwa tiada contoh dan tauladan lebih utama daripada ajaran dan
Sunnahnya: khusus dalam rangka jihad, tegasnya rangka usaha membina Negara Madinah
Indonesia; dan = pantang melakukan sesuatu diluar ajaran dan hukum Islam, sepanjang
Sunnah, hingga mencapai taraf “Islam-minded 100%”.
7. Rasa-cinta setia kepada Ulil-Amri Islam, atau Imam N.I.I., atau Plm. T. A.P.N.I.I., yang
didalamnya termasuk (1) rasa-cinta-setia kepada pemerintah Negara Islam Indonesia, dan
tidak kepada sesuatu Pemerintah diluarnya; (2) rasa cinta-setia kepada Negara Islam
Indonesia, dan tidak kepada sesuatu Negara diluarnya; (3) rasa-cinta-setia kepada
Undang-Undang (Qanun-Asasy) N.I.I., dan tidak kepada Undang-undang negara manapun;
dst. dst. dst., yang semuanya itu tercakup dalam istilah “Negara Islam Indonesia-minded
100%”.
Catatan.
Kita hanya mengenal satu Ulil Amri Islam, satu Imam-Plm. T. A.P.N.I.I., tidak lebih, dan
tidak kurang.
Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakuan, yang menyimpang atau
bertentangan dengan dia, yaitu sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka.
Rasa-cinta-setia kepada tanah-air, ummat dan masyarakat, sampai-sampai kepada diri –
pribadi, dengan catatan dan perhatian:
bahwa kecintaan dan kesetiaan kita dalam hubungan ini tidak sekali-kali boleh
melanggar atau menyimpang, melebihi atau mengurangi barang apa yang
termaktub pada huruf-huruf A., B. dan C. diatas; melainkan semuanya tetap
berlaku dalam batas-batas rangka jihad dan usaha jihad, dan tidak sesuatu
diluarnya.
Dan rasa-cinta-setia kepada tugasnya, tugas dan wajibnya melaksanakan Jihad-
berperang pada Jalan Allah, sebab Allah, untuk mentegakkan Kalimatillah,
langsung menuju Mardlatillah, lebih dan dilebihkan daripada setiap kecintaan
diluarnya, dalam makna dan wujud:
percaya dan yakin dengan sepenuh jiwanya, bahwa Jihad yaitu satu-satunya
dharma-bakti muthlak dan maha-suci ‘indallah wa ‘indannas, yang boleh
membawa pelakunya naik meninggi sampai kepada harkat-derajat yang termulia,
dibawah para Anbiya-Allah dan para Rasulullah;
sebab Jihad berhukumkan Fardlu’ain dan Fardlu kifayah (bersama-sama), maka
pada tiap-tiap sa’at Allah berkenan mengidzinkannya, wajib jihad itu diletakkan
atas pundak tiap-tiap Mujahid dan atas pundak seluruh Jama’ah Mujahidin, atau
dengan kata-kata lain; atas seluruh ummat, tanpa kecuali.
percaya dan yakin sepenuhnya, bahwa Jihad fi sabilillah yaitu satu-satunya cara,
laku, usaha dan ‘amal memperjuangkan Keluhuran Agama Islam, Kedaulatan
Negara Islam Indonesia beserta Hukum-hukum Syari’at Islam yang menjadi sendi-
dasarnya, dan Kebahagiaan Ummat dan Bangsa, yang berharap ingin mengucap-
menikmati Kurnia Allah yang Maha-Besar, dalam Kerajaan Allah didunia dan
diakhirat, atau sekurang-kurangnya dalam lingkungan Baldatun Thayyibatun wa
Rabbun Ghafur di Indonesia atau Negara Islam Indonesia, ialah ujung kesudahan
cita-cita Ummatul-Mujahidin, Ummat pilihan dan kekasih-Allah di Indonesia; dan
sanggup serta mampu menyalurkan tiap-tiap gerak-langkah dan tingkah-lakunya,
dlahir maupun bathin, sepanjang Hukum-hukum Jihad; Hukum-hukum Islam
dimasa Perang, sehingga menjadi Mujahid tulen dan Mujahid sejati genap-lengkap
dlahir-bathin, tegasnya Mujahid yang “Jihad minded 100%, kejakinan mana akan
mendorong Mujahid-pelakunya:
Untuk menumpahkan dan mengorbankan segenap tenaga dan hartanya hanya
pada Jalan yang ditaburi rahmat dan ridla Ilahy;
- Untuk memakai tiap detik sepanyang umurnya hanya bagi jihad
mentegakkan Kalimatillah; Untuk mempertaruhkan jiwa, raga dan nyawanya
hanya untuk persembahan dharma-bakti muthlak kepada Dzat ‘Azza wa Jalla
semata; tegasnya hanya untuk mentegakkan Kalimatillah, mendhahirkan Kerajaan
Allah didunia, khusus dipermukaan bumi Allah Indonesia. Dan tiada sesuatu
diluarnya.
8. Menggalang Benteng Islam Nan Kuat Sentausa. Jika Jama’atul-Mujahidin sungguh-
sungguh sanggup, mampu dan kuasa mewujudkan ajaran-ajaran Kitabullah, Al-Qur-anul-
‘adzim, dan mengikuti Sunnah Çlm., dengan tepat dan seksama, setingkat demi setingkat,
selangkah demi selangkah, sepanjang rangka Jihad dan Hukum Jihad, Insja Allah dalam
waktu yang singkat gelombang Jama’ah tsb. akan merupakan satu Benteng Islam raksasa
yang maha-kuat dan maha-sen tausa, dlahir maupun bathin, yang sanggup dan mampu
menghadapi serta mengatasi segala kemungkinan dan keadaan betapapun sifat dan
bentuknya. Beberapa fakta utama, yang akan dapat dijadikan landasan-landasan dan
pembinaan ini antara lain ialah: Memupuk dan memperkembangkan rasa-tanggung-
jawab dlahir-bathin yang makin bertambah-tambah besar, dalam ma’na:
Bertanggung-jawab sepenuhnya akan berlakunya Hukum-hukum Allah, Hukum-
hukum sepanjang ajaran Al-Qur-an, dan Sunnah Çlm., tegasnya: Hukum-hukum
Sjari’at Islam, atau Undang-undang Islam, atau Undang-undang Negara Islam
Indonesia; dan
Bertanggung jawab sepenuhnya akan berlakunya dan dilaksanakannya dengan
tepat Hukum-hukum Islam dimasa Perang. Memupuk dan memperkembangkan
rasa-setiakawan yang makin bertambah-tambah mendalam, terutama, dalam
lingkungan Jama’atul-Mujahidin, sepanjang ajaran Islam, sebagaimana yang telah
terlaksana dalam pergaulan antara kaum Anshar dan Muhajirin, ialah kaum
Mujahidin dibawah pimpinan, bimbingan, tuntunan dan asuhan langsung
Rasulullah Çlm. Pada zaman Madinah awal, di Negara Basis Islam Pertama di
Jaziratul-Islamijah termaksud meliputi segala bidang dan segi, khusus dan umum,
sakhsy dan ijtima’I, dalam sepanjang ajaran suci, terutama dalam menanam,
membangkitkan dan mengobar-ngobarkan Semangat Jihad dalam membina dan
memperkembangkan Jiwa Jihad, dan dalam melaksanakan Hukum-hukum Jihad.
Dengan demikian, maka cita-cita hendak menggalang Persatuan Islam dan
Persatuan Ummat, terutama Ummatul-Mujahidin yang kuat-kompak dlahir-bathin
bukanlah satu impian khajal ! Jadikanlah Tali-tali Allah, perintah-perintah Allah
beserta Sunnah Çlm. Selaku tafsirnya, sebagai daya-pengikat antar-jiwa dalam
lingkungan Jama’atul-Mujahidin! Dan lalu perkuat dan sempurnakanlah
segala usahamu dalam jurusan itu, hingga seluruh tubuh Jama’ah akan merupakan
satu Benteng Islam raksasa nan kuat-sentausa ! Dalam pada itu, hendaklah diingati
pula, tanda setia-kawan itu hendaknya dibuktikan lebih dahulu dari atas kebawah,
dan bukan dari bawah keatas, sebab pihak atasan Komandan atau Pemimpin,
harus lebih dahulu pandai menunjukkan kesungguh-sungguhnya melaksanakan
wajibnya: memperlindungi, menuntun dan membimbing pihak bawahan atau anak
buahnya, daripada hanya pandai menuntut kepatuhan, kesetiaan, kesetiakawanan,
pembelaan dan pertanggung-jawab pihak bawahan terhadap pihak atasnya!
Itulah bukti yang nyata daripada apa yang disebut Mahabbah kepada Allah dan
Mushahabah terhadap sesama Mujahidin, sesama Ummatul Muslimin !
Menanam dan memperkuat disiplin, umum dan terutama militer.
Disiplin (Dicipline), dalam ma’na Tha’at patuh dan setia, baik dalam bidang-bidang
umum maupun dalam segi-segi kemiliteran, wajib ditanam, dipupuk,
diperkembangkan dan diperkuat dalam dada, jiwa, tekad dan ‘amal setiap Mujahid.
sebab tiap Mujahid selaku pelaksana hukum-hukum Jihad, Hukum-hukum Islam
dimasa Perang, dengan automatis sesungguhnya yaitu Prajurit-Tentara Allah.
Tanpa disiplin, maka seorang Mujahid hanya merupakan pejuang liar, pejuang
yang ingkar, menyimpang dan menyeleweng daripada Jama’ah Besar, Jama’atul-
Mujahidin.
Dalam keadaan biasa, sikap liar itu hanya akan mengecewakan. Tapi dimasa
berlaku Perang Semesta, Perang Totaliter, maka disiplin masuk salah satu
kewajiban muthlak, yang harus berlaku tanpa sjarat, tanpa kajid dan tanpa tawar-
menawar.Oleh sebab itu, hendaklah setiap Mujahid suka