Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 14

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 14


 


ngan segala resiko tetap diperlihatkan Kartosoewirjo 

dengan para pejuang mujahidin TII untuk mempertahankan cita-cita bersama, agar tetap 

tegaknya negara yang sudah diproklamasikan.  

Pada bulan Mei 1962 Toha Machfoed dan Danoe Moehammad Hasan —yang sementara itu telah 

meletakkan senjata— menyerukan kepada Kartosoewirjo, Agus Abdullah dan Adah Djaelani 

Tirtapradja agar mereka menghentikan perlawanannya sesudah  banyak pemimpin pejuang 

mujahidin Darul Islam bersama-sama dengan pasukannya menyerahkan diri kepada tentara RI. 

Satu-satu pejuang Islam turun dan menyerahkan diri, lebih memilih menjadi murtad, fasiq dan 

dzhalim ketimbang menghadapi fakta  "terbunuh" atau "menang". Spirit untuk menang 

begitu terbatas sehingga satu-per-satu pejuang-pejuang itu berusaha untuk melepaskan diri dari 

tali Allah dan mulai meyakini tali RI yang dirajut oleh Soekarno dan tokoh-tokoh jahilayah lainnya. 

Pada akhir bulan Mei, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang Komandan Wilayah dari pejuang Darul 

Islam, menyerahkan diri kepada Pos Pagar Betis di Gunung Cibitung. Maka dengan menyerahnya 

Adah Djaelani, tokoh-tokoh pejuang mujahid Darul Islam yang masih tinggal di hutan hanyalah 

Kartosoewirjo dan Agus Abdullah, “Panglima APNII untuk Jawa dan Madura”. Tidak ada istilah 

menyerah terhadap musuh, juga tidak ada istilah bunuh diri jika menghadapi musuh dengan 

kekuatan besar. Yang ada hanya maju terus untuk mati atau tertawan untuk masuk penjara dan 

tetap konsisten mempertahankan keyakinan hingga ajal merenggut. Itulah kemenangan 

terbesar bagi mujahidin yang berperang di jalan Allah. Inilah pilihan-pilihan yang sangat terbatas 

dalam etika perang Islam.  

sesudah  Negara Islam Indonesia kehilangan ideolog ideolog nya, ummat satu persatu luntur daya 

tahan juangnya. Warga Negara Islam Berjuang yang tadinya telah berjanji, “sungguh sungguh 

dan setia hati akan membela pimpinan dan komandan tentara Islam daripada bencana dan 

khianat dari mana dan apapun juga” satu demi satu melupakan janjinya, dan turun meninggalkan 

Imam. Mereka seakan akan Ummat Nabi Musa AS yang berkata kepada nabi mereka : “.. Pergilah 

kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk 

menanti di sini saja.” Apa yang dialami Cucu Rasululloh SAW terulang pada dirinya. Ribuan orang 

berbai’at pada saat perjuangan hendak dimulai, tapi ribuan orang pula melepas bai’atnya saat  

ancaman kematian telah di depan mata. Namun sebagai pejuang yang istiqomah, yang ditempa 

oleh tekad yang bulat, bukan sekedar terombang ambing keadaan. Kita akan melihat nanti, 

dalam kesendiriannya pun Kartosoewirjo tetap kukuh dengan prinsip prinsipnya. 

Pasukan tentara "Jalut" RI dengan segala kebenciannya yang menggumpal di dada berusaha 

dengan segala cara untuk memojokkan dan mempersempit ruang gerak kaum gerilyawan 

mujahidin Darul Islam. Menjelang hari-hari pertama bulan Juni, Kompi C Batalyon Kujang II 

Siliwangi mengejar satu kelompok pasukan Darul Islam yang sedang berjalan pulang ke markas 

mereka. Tidak hanya tentara mujahidin Darul Islam yang diserang, rakyat sipil kampung pun 

disikat habis oleh tentara RI sehingga para mujahin tidak ada lagi yang mensuplai makanan dan 

logistik lainnya. Sudah sejak akhir bulan April Letda Suhanda Komandan Kompi ini  

mengetahui bahwa markas Kartosoewirjo berada di daerah dimana sedang diadakan gerakan 

operasi. Keadaan pasukan Darul Islam yang lapar selama tiga bulan hanya makan dedaunan, 

menjadikan semua daunan di hutan sebagai lahapan segar para mujahid agung. Tentara RI 

semakin yakin bahwa pasukan-pasukan Darul Islam tinggal menunggu ajalnya dan terus-menerus 

digempur dengan segala kekuatan. Kejakinan ini  diperolehnya dari benda-benda yang 

ditinggalkan anggota pejuang suci Darul Islam sewaktu mereka melarikan diri dan yang 

mengandung petunjuk tentang kehadiran Kartosoewirjo di daerah ini. Maka jelaslah pula bagi 

Komandan Kompi Suhanda, bahwa di depan mereka terdapat sebuah pasukan TII yang kuat. 

sebab  telah kehilangan jejak-jejak pasukan TII ini , Suhanda membagi kesatuannya 

menjadi tiga Peleton yang masing-masing terdiri dari 45 anggota tentara, agar secara terpisah 

dapat melanjutkan pencarian. Pada tanggal 4 Juni anggota pengintai dari pasukan Suhanda 

menemukan pada waktu turun hujan deras yang disertai angin kencang, sebuah tempat 

persembunyian TII yang terdapat di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber. 

Pos-pos penjagaan DI yang ditempatkan di bukit-bukit tidak dapat mendengar apa-apa sebab  

hujan yang deras dan dengan demikian pasukan Suhanda dapat melangkah maju sampai sebuah 

pohon yang roboh. Dari tempat itu dalam kejauhan kurang-lebih 50 meter mereka dapat melihat 

sebuah gubuk yang dibangun secara darurat di bawah sebuah pohon rimba, yang cabang-

cabangnya hampir menyentuh tanah. saat  Suhanda memerintahkan pasukannya untuk 

melepaskan tembakan serbuan, kesatuannya juga ditembak dari arah bukit-bukit, namun 

anggota pasukannya yang lain dapat mematahkan perlawanan pasukan Darul Islam yang 

ditempatkan di situ. sesudah  dari arah gubuk itu tidak ada lagi perlawanan sebab  memang sudah 

tidak adanya amunisi, Suhanda mendekati gubuk itu dan bertanya, "Siapa komandannya di situ?". 

Kepadanya ditunjukkan sebuah gubuk berikutnya yang terletak di belakang gubuk pertama. Di 

gubuk ini  mereka menemukan Kartosoewirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia; 

seluruhnya yang menyerah berjumlah 46 orang. Kartosoewirjo menanyakan nama Suhanda, dan 

Suhanda bertanya, apakah Kartosoewirjo masih dapat berjalan kaki, namun  Kartosoewirjo 

menyatakan tidak. Dia dalam keadaan sakit payah terbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan 

sebuah jaket militer dan sebuah sarung. Pada saat itu usia Kartosoewirjo sudah 57 tahun. 

Suhanda menyuruh anggota pasukannya untuk membuat sebuah tandu untuk Kartosoewirjo 

yang dibikin dari cabang-cabang pohon, rotan dan mantel. Sejam sesudah  dia memerintahkan 

kelompok pertama pasukannya untuk turun, Suhanda menyusul dengan Kartosoewirjo, dengan 

membawa sisa tawanan dan semua dokumen. Untuk melewati danau Petalengan, Kartosoewirjo 

minta istirahat. Suhanda mengabulkan permintaan Kartosoewirjo. Barulah menjelang malam 

hari pasukan ini sampai pada desa terdekat di mana ratusan penduduk desa dengan membawa 

obor yang menyala menyambut kedatangan Kartosoewirjo yang selanjutnya Kartosoewirjo, 

putranya Darda dan Atjeng Kurnia dari desa ini  dibawa ke Cicalengka. Dari kota itu 

Kartosoewirjo dengan mobil ambulans dibawa ke markas Ibrahim Adjie dan seterusnya ke Garut. 

Dan pada tanggal 7 Agustus Kartosoewirjo dibawa dari Bandung ke Jakarta. 

sesudah  tertawan, Kartosoewirjo dipaksa untuk mencabut proklamasi, membatalkan jihad dan 

menyatakan menyerah. Namun ketiga hal ini ditolak oleh Kartosoewirjo. Akhirnya pihak TNI 

berhasil mengintimidasi anak Kartosoewirjo untuk menyusun sebuah perintah harian yang 

diatasnamakan ayahnya, sebagai berikut : 

“Kepada seluruh anggota APNII dan Jama’atul Mujahidin di manapun mereka berada untuk 

menghentikan tembak menembak dan permusuhan antara APNII dan TNI/APRI dan melaporkan diri 

kepada pos-pos TNI yang terdekat dengan membawa segala alat perang dan dokumen-dokumen”. 

“Segala pertanggung jawab dlohir-bathin dan dunia achirat yang boleh tumbuh daripada perintah 

Harian ini menjadi pikulan kami selaku Imam-Plm T.- APNII sepenuhnja”.  

Perintah harian yang dikeluarkan atas nama Imam NII ini disebarkan kemana mana, dan berhasil 

meruntuhkan daya perjuangan pasukan TII yang masih ada di dalam hutan, sebab  tertipu oleh 

bunyi perintah itu –yang seakan akan pertanggung jawaban itu resmi dari Imam. 

sebab  kondisi kesehatan Kartosoewirjo kurang baik sewaktu tertawan, maka dia mendapat 

perawatan dokter. Menurut diagnose dokter, ada beberapa penyakit yang dideritanya, 

diantaranya yaitu , dia menderita penyakit gula (diabetes), pembengkakan hati, denyutan 

jantungnya kurang teratur dan juga menderita kekurangan gizi.  

sesudah  kesehatan Kartosoewirjo pulih kembali, mulailah diadakan penyelidikan-penyelidikan 

dan pemeriksaan untuk dapat mengadili perkara tersangka S.M. Kartosoewirjo. Tes analisa 

dilakukan saat  S.M. Kartosoewirjo berumur 57 tahun, di kamar tahanannya sesudah  tertangkap 

pada tanggal 4 Juni 1962. Hasil evaluasi didasarkan pada penilaian grafologis dari tulisan tangan 

berupa buku harian dari tahun 1960. Di samping itu, juga melalui observasi dan analisa 

pembicaraan sewaktu diadakan introgasi oleh AS-1 KASKODAM VI/Slw, 27 Juni 1962. Dan 

observasi sewaktu diadakan interview oleh PA ROKDAM V1/Siliwangi 18 Juli 1962. 

Kecerdasan SM. Kartosoewirjo, berdasar  hasil evaluasi psychologi yaitu  bertarap tinggi. 

Mutunya tidak bertitik berat pada kemampuan akademis semata-mata, melainkan juga pada 

pemakaian  fungsi-fungsi intelektual yang ada padanya. Mengingat pada umurnya yang sudah 

agak lanjut, fungsi intelektual ini masih tampak baik. Bahkan daya ingat, yang pada tarap umur 

ini biasanya sudah mulai berkurang, hanya memperlihatkan kemunduran sedikit. Di dalam 

struktur kecerdasannya terdapat keseimbangan antara kemampuan yang bersifat teoritis dan 

yang praktis. 

Faktor kedua yang menarik perhatian di dalam struktur intelegensinya ialah, bahwa kemampuan 

intuisi (intuitievermogen) juga besar. Terutama dibidang inter human relation. Jadi dalam 

menghadapi manusia lain sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok yang ia secara 

intuitif dapat mengambil langkah-langkah yang paling sesuai dijalankan untuk dapat mencapai 

maksudnya. Faktor ini dapat memperkuat kedudukannya sebagai pimpinan. Intuisi yang kuat ini 

juga menyebabkan, interest terhadap mistik dan metaphysik ada. Akan namun  di lain pihak, 

rationalitasnya demikian besar sehingga daya kritik yang obyektif tetap terpelihara. 

Segi lain dari pada struktur intelegensianya yang pantas disebut yaitu  jalan fikirannya yang 

sangat kausal. Kausalitasnya bertitik tolak pada prinsip-prinsipnya, sehingga pembahasan segala 

persoalan dilakukannya menurut garis-garis tertentu yang tidak dapat dirobah lagi. Dengan 

demikian, suatu poblem tertentu, bagi dia, mempunyai suatu cara pemecahan yang tertentu pula. 

Tindakan-tindakannya yang konsekuen dapat dipandang dari sudut ini. Fantasinya yaitu  konkrit 

dan disesuaikan dengan keadaan realita. Itu sebabnya ia dapat menunjukkan akal dan siasat yang 

tepat untuk mengatasi problema-problema yang nyata. Ia yaitu  seorang intelektual yang 

sangat produktif. 

Sebagaimana manusia umumnya, SM. Kartosoewirjo juga memiliki emosi. namun  sebab  kuatnya 

kontrol rasional terhadap pergolakan emosinya, menyebabkan ia tidak mudah terangsang oleh 

kejadian-kejadian sekitarnya. Secara fisik ia dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan 

keadaan di mana ia berada. Berkat intelegensianya yang penuh dengan perhitungan dan 

pertimbangan yang konkrit, maka ia mampu menghadapi dan menerima situasi aktual secara 

obyektif, tanpa mengalami perasaan-perasaan depressif. 

Menurut hasil tes psikologis yang dilakukan oleh Kapten Drs. Suyono HW, melanjutkan 

analisisnya, bahwa struktur pribadi S.M. Kartosoewirjo menggambarkan adanya dorongan-

dorongan jasmaniah yang benar, dorongan mana berada di bawah dominasi intelektual secara 

keras. Terdapat keseimbangan yang sangat luar biasa dalam kepribadiannya antara id dan 

superego. Oleh sebab  itu, bisalah kita pahami bagaimana higenisnya cara hidup dan cara 

mengatur lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya dan politik. 

Energi vital yang berakar kuat dari dalam jiwa seorang ulama besar yang penuh kesabaran di 

tengah penderitaan diri dan pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa orang pelanjutnya 

meperlihatkan suatu dorongan manusiawi yang menyebabkan dia tidak dapat tinggal diam, 

melainkan memerlukan penyaluran melalui kegiatan-kegiatan yang produktif. Arus dari 

penyaluran energi ini yaitu  keras dan terpusat. Hal ini dapat dilihat dari usaha-usaha yang 

dijalankan dengan intensif, agresif dan terfokus pada inti persoalan. 

Pragnosa mengenai sikapnya dapat pula dievaluasi. Pada waktu itu SM. Kartosoewirjo telah 

dapat mengatasi proses penyesuaian dari secara rasional dengan situasinya yang baru sebagai 

tahanan. Berkat intuisi dan daya analisanya yang tajam, maka ia makin hari makin tambah 

kewaspadaan. Ia sudah dan akan dapat membuat estimate (perkiraan) yang tepat mengenai 

maksud dan tujuan sebenarnya dari orang-orang yang datang untuk mengadakan introgasi, 

interview, wawancara dan sebagainya. Sehingga akan dapat menyesuaikan sikapnya sedemikian 

rupa, yang praktis menguntungkan bagi dirinya. 

Hasil evaluasi psychologi seperti yang sudah dikutip di atas terhadap pribadi S.M. Kartosoewirjo 

menunjukkan, bahwa motivasi dan kesadaran spiritual yang menjadi dasar perjuangan suci Darul 

Islam, berpengaruh nyata terhadap kehidupan individu muslim. Memang kesadaran demikian 

akan bereaksi dalam jiwa seseorang yang menghendaki agar setiap individu memiliki intuisi yang 

peka, yang dengan itu dapat membedakan “yang ini benar dan yang itu salah”. Serta dapat 

merasakan antara yang indah dan yang buruk. Bukankah Islam mengajarkan cara paling utama 

untuk menghubungkan hati seorang muslim dengan khaliqnya, yaitu dengan mujahadah, 

mendidik intuisi yang peka dan perasaan halus. Pemikiran Islam dapat meningkatkan dan 

mendorong kepada penemuan baru yang dapat mempengaruhi alam dan mengetahui 

rahasianya. sebab  itu manusia muslim diwajibkan agar senantiasa menjaga ibadah dan 

mengikuti perintah Allah guna meningkatnya intuisi, mempelajari apa-apa yang dapat 

memperluas wawasan pengetahuan, agar pengamatannya semakin luas, tajam serta 

menjangkau ke depan. 

Menurut pengadilan MAHADPER dalam sidang ke 3 pada tanggal 16 Agustus 1962 telah terbukti, 

bahwa segala daya usaha yang telah dilakukan selama kurang lebih 13 tahun oleh Kartosoewirjo 

dengan mendirikan dan memperjuangkan Negara Islam Indonesia (DI/TII) itu yaitu  rencana 

makar yang bertujuan akan menggulingkan pemerintahan RI yang syah. Dan pengadilan 

menyatakan, bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia 

itu yaitu  sebuah "pemberontakan". Disamping itu, bahwa dia telah memerintahkan kepada 

anak buahnya untuk mengadakan aksi pembunuhan terhadap diri Presiden Soekarno. Oleh 

sebab  itu ketua sidang mengumumkan keputusan Mahkamah, yaitu hukuman mati  atas 

terdakwa Kartosoewirjo..  

Tuduhan-tuduhan fitnah ini semua tidak diakui oleh Kartosoewirjo. Dengan segala ketegarannya, 

meskipun fisiknya dalam keadaan lemah dan kurus, ia tetap konsisten mempertahankan 

idealismenya, sebuah cita-cita mewujudkan Daulah Islamiyah di Indonesia yaitu  perintah Ilahy 

yang harus diadakan dan diperjuangkan oleh umat Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menyusun 

surat wasiat yang terdiri dari empat bagian. Dalam bagian pertama (wasiat A) Kartosoewirjo 

menerangkan kepada anggota-anggota keluarganya tentang jalannya persidangan dan dia 

meminta agar supaya seluruh anggauta keluarga untuk tetap bersabar dalam menerima Kadar 

Allah yang pahit itu. Kepada isterinya Siti Dewi Kalsum dia berpesan untuk selalu terus menerus 

membimbing anak-anaknya menjadi putra-putri Islam yang sejati. Dalam bagian kedua (Wasiat B) 

Kartosoewirjo mengucapkan selamat berpisah kepada eks-Mujahidin dan bawahannya. Mereka 

perlu mengetahui, demikian Kartosoewirjo, bahwa dia hingga saat-saat terakhir bertindak dan 

berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi APNII. Dan dia tidak ragu-ragu, bahwa apa yang dia 

lakukan bersumberkan perintah-perintah Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w, dan siap menjadi 

saksi kelak di achirat. Dalam wasiat itu juga dituliskan, bahwa dia haqqul yaqin suatu waktu cita-

cita Islam yang telah diperjuangkannya akan terlaksana di bumi Indonesia, walaupun lawannya 

tetap menentang. Dalam kedua bagian terakhir wasiatnya (Wasiat C) Kartosoewirjo mohon 

kepada instansi yang berwenang, supaya barang-barang milik pribadi diberikan kepada 

keluarganya. Dia juga menyatakan keinginannya, (Wasiat D) bahwa jika nanti dia mati, supaya dia 

dikuburkan di tanah miliknya sendiri, yaitu di Suffah yang terletak di desa Cisitu, kecamatan 

Malangbong. Kepada pemerintah RI dia mengajukan permintaan, supaya wasiat-wasiatnya 

disiarkan lewat pers dan radio. Namun tidak ada satupun dari wasiat yang ditujukan kepada 

pemerintah RI yang dilaksanakan. Pemerintah RI memang merupakan pemerintah yang sejak 

dari dulu tidak pernah amanah. 

Kartosoewirjo yaitu  seorang ulama besar yang berjuang tidak hanya berdasar  ilmu agama, 

melainkan juga praktek kehidupan nabawi yang sangat konsisten. Ia saat  ditawarkan untuk 

mendapatkan "pengampunan" (amnesti) kepada Presiden Soekarno, dengan tegas dan tenang 

ia mengatakan: "Saya tidak akan pernah meminta ma'af kepada manusia Soekarno. Secepatnya 

laksanakan hukuman yang sudah Bapak Hakim Terhormat putuskan." Maka segenap manusia 

yang berada dalam ruang sidang itu terkejut dan tidak sanggup menjangkau mengapa ia lebih 

mencari "mati" ketimbang "hidup dengan pengampunan Presiden". MAHADPER ini dibentuk 

dan dibubarkan hanya untuk memberi  hukuman bagi Kartosoewirjo, tidak lebih dari itu. 

Menarik untuk disimak sebuah kejadian di akhir-akhir persidangan dimana MAHADPER 

memutuskan eksekusi mati terhadap diri Kartosoewirjo, yaitu  upaya dari pihak keluarga 

Kartosoewirjo dalam hal ini diwakili oleh anak-anaknya, meminta kepada pihak pengadilan untuk 


menyaksikan eksekusi. Namun dari pihak MAHADPER sesudah  berkonsultasi dengan Presiden 

Soekarno tidak mengabulkan permintaan ini . Panglima Kodam Jaya Umar 

Wirahadikusuma telah memerintahkan untuk melaksanakan keputusan MAHADPER dan 

menyusun regu tembak yang terdiri dari keempat angkatan.  

Pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo minta diri dari keluarganya dan keesokan hari di 

pagi buta, Kartosoewirjo bersama-sama dengan regu penembak dibawa dengan sebuah kapal 

pendarat kepunyaan Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau di teluk 

Jakarta. Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan dan beliau menemui syahidnya 

dihadapan regu tembak disaksikan 7 orang Jenderal RI. Seorang Ulama, Mujahid dan Intelektual 

yang konsisten telah menyirami bumi ini dengan tetesan darahnya. Dia syahid untuk 

menyongsong kehidupan abadi di surga Firdaus, dengan sebelumnya telah meninggalkan 12 

mujahid dan mujahidah penerusnya yang dalam hal ini yaitu  anak-anaknya, seperti: 

1. Tati lahir pada tahun 1934 (telah meninggal). 

2. Sri Rahajoe lahir pada tahun 1935 (telah meninggal). 

3. Moehammad Darda (Dodo) lahir tahun 1936 (masih hidup). 

4. Rachmat lahir tahun 1939 (telah meninggal). 

5. Saleh lahir tahun 1940-an (telah meninggal). 

6. Moehammad Tachmid lahir tahun 1942 (masih hidup). 

7. Abdoellah lahir tahun 1943/44 (telah meninggal). 

8. Semaoen Sjuhada lahir tahun 1945 (telah meninggal). 

9. Danti lahir tahun 1947 (masih hidup). 

10. Kartika lahir tahun 1950 (masih hidup). 

11. Koemala Sari lahir tahun 1952 (masih hidup). 

12. Sardjana lahir tahun 1956/57 (masih hidup). 

Tiga anak Kartosoewirjo yang terakhir lahir dan besar di hutan dan suatu kondisi perang gerilya 

yang serba payah. Keluarga ini, mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer, yaitu  "keluarga 

gerilya", sebenar-benarnya gerilya bahkan hingga zaman sekarang. 

  

Syahidnya Seorang Ulama Besar/Negarawan Sejati dan Estafeta Kepemimpinan 

 

Tentang kisah wafatnya S.M. Kartosoewirjo, ternyata Sukarno dan A.H. Nasution cukup 

menyadari bahwa S.M. Kartosoewirjo yaitu  tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus 

dirindukan umat, maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung oleh Umar 

Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka saat  mengeksekusi Imam 

Negara Islam ini. saat  pihak keluarga Kartosoewirjo mengajukan permintaan kepada 

pemerintah untuk mengambil jenazah orangtuanya yang seterusnya akan dikebumikan di 

Tasikmalaya, sebagaimana wasiat yang ditulis sebelum meninggalnya. Namun lagi-lagi 

permintaan ini ditolak oleh A.H. Nasution yang disaat itu menjadi Menhankam sesudah  

berkonsultasi dengan Soekarno. Kalau jenazahnya tidak dikembalikan ke keluarganya, maka 

pihak keluarganya juga meminta agar bisa melihat di mana kuburan atau pusaranya. Namun, 

anehnya, permintaan ini pun tidak diberikan oleh Soekarno. Kartosoewirjo benar-benar berpisah 

dengan keluarganya dan juga dengan umat Islam Indonesia. Pemisahan ini memang disengaja 

oleh Soekarno yang ketakutan terhadap kekuatan spiritual yang bisa dimunculkan oleh tokoh 

S.M. Kartosoewirjo ini di masa depan. 

Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada sebab  alasan-

alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup. 

Itulah makna dari firman Allah:  

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka 

itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, namun  kamu tidak menyadarinya”. (QS. 2:154). 

Terbukti saat  seminggu sebelum eksekusi dilaksanakan terhadap Imam Negara Islam Indonesia 

Kartosoewirjo, melalui dialog antara Kartosoewirjo dengan seorang Mujahid Darul Islam, yang 

waktu itu sama-sama menjadi tawanan Pemerintah RI antara lain sebagai berikut ini: 

Z.H. : “Kalau saya mau tanya Imam, bagaimana ya, bisa atau tidak?” 

K. : “Hayo tanya apa ! 

Z.H. : “Ini, seandainya Imam berhalangan, untuk selanjutnya itu bagaimana kira-kira?” 

K. : “Itu bagus sekali kalau begitu. Ya, lanjutkan ! 

Z.H. : “ Ya, kalau lanjutkan itukan mesti saya konsolidasi dulu nanti”. 

K. : “Tidak begitu ! Disini ! 

Z.H. : “Kalau di sini bagaimana ini ya?” 

K. : “Begini, di sana sahabat kita ada beberapa orang? 

 

Z.H. : “Ada banyak, ada Pak Kiayi Maksum, Haji Sobari”. 

K. : “ Nah, sekarang begini, kalau memang ada Pak Kiayi Sobari, ya, tolonglah bantu dengar 

dengan Pak Kiayi Maksum supaya saya ini mengamanatkan kepada beliau sampaikanlah 

kepada Pak Kiayi Haji Sobari, lanjutkan dan bentuklah di sini secara sederhana bentuk 

organisasi sementara. Nah, lalu  pimpinlah sementara !”.  

Z.H. : “ Ini, bagaimana Imam kalau Pak Kiayi haji Sobari itu bertahan tidak mau terima, sebab 

ini urusannya berat?”. 

K. : “Sementara ini ! Ini harus terima, sebab  ini kan tidak permanen. Di situ ada struktur 

organisasi negara yang perlu menangani nanti kalau sudah ketemu dengan dia, serahkanlah 

pada dia. Dia yang harus mampu mengembalikan. Jadi, lanjutkan perjuangan ini. Ikutilah 

kondisi dan situasi !”. 

Z.H. : “Bagaimana kalau nanti saya dapat keluar lalu  saya mau mengunjungi putra bapak 

Den Dodo atau yang lain-lainnya?’. 

K. : “Nanti dulu, ya, sekalipun Dodo itu anak saya atau yang lain anak saya,  itukan harus 

“wudhu” lagi !”.  

Imam mengatakan harus wudhu lagi, sebab  beberapa hari sebelum dialog itu, telah datang 

seorang Letnan Kolonel yang pada dadanya dicabut namanya, membawa map. Pertama ia 

hormat kepada Imam. Ia hormat juga kepada pemeriksa. Ia menyodorkan isi daripada 

pernyataan dari yang 32 orang. Ia memperlihatkan juga kepada Imam . Imam tidak kelihatan 

panik. Bahkan beliau ditanya, “Bagaimana Pak Imam mengenai pernyataan ini?”. Imam dengan 

tenang, jawab beliau, “Keseluruhannya orang itu sudah mengundurkan diri dan sudah dianggap 

batal. Jadi, itu bukannya hanya menyerah, tapi menyeberang !”. Dari dialog ini  diambil 

kesimpulan bahwa dalam keadaan sedarurat apapun perjuangan harus terus dilanjutkan. 

Pemimpin perjuangan harus tetap ada, seperti diwashiyatkannya di tahun 1959, bahwa prajurit 

petit pun dalam keadaan terputus hubungan dengan para perwira harus sanggup tampil 

mengemban tugas sebagaimana Imam. Apabila keadaan telah berangsur pulih dan hubungan 

dengan para panglima yang lain bisa dilakukan kembali, maka struktur kepemimpinan negara 

harus kembali kepada seperti apa yang dinyatakan dalam perundang undangan. 

Keteguhan Kartosoewirjo seperti dinyatakan di atas menjadi bukti bahwa dia berjuang di atas 

keyakinannya yang utuh. Syahidnya Kartosoewirjo tidak menghancur kan nilai negara yang telah 

didirikannya. Ia tidak menyerah, lebih baik pergi menyongsong syahid, dari pada harus menyerah 

seperti bawahannya. Ia rela menyaksikan nyawanya lepas dari badan, daripada proklamasi 

Negara Islam Indonesia dicabut kembali. 

Kartosoewirjo tetap konsisten seperti diwashiyatkannya pada tahun 1959, kalaupun warga 

negara Islam berjuang, baik angkatan perang maupun sipilnya, terputus hubungan dengan 

pimpinan, maka perjuangan harus terus dilanjutkan. Prajurit petit pun harus sanggup tampil 

sebagaimana Imam, dalam keadaan hilang syarat berjuang pun, selama kebathilan masih ada, 

selama itu pula perjuangan harus terus dilanjutkan –kalaupun hanya tinggal punya satu gigi, 

gunakan gigi yang satu itu untuk menggigit ! Permasalahnnya sekarang, siapakah yang 

melanjutkan perjuangan ini sesudah  Kartosoewirjo menemui syahidnya? 

Banyak kalangan berpendapat bahwa dari tahun 1962 hingga tahun 1965 tampuk kepemimpinan 

NII dipegang oleh Kahar Muzakar. Dilanjutkan oleh Agus Abdullah hingga tahun 1970. sesudah  

Agus Abdullah wafat, kepemimpinan dipegang oleh Tengku Daud beureueh dari tahun 1973 

hingga 1978. Dan dari tahun 1978 – 1981 dipegang oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Dibalik 

kepemimpinan Adah Djaelani Tirtapradja itu ada juga yang dipimpin oleh Djadja Sudjadi dari 

Malangbong – Garut. 

Adanya pandangan sedemikian di atas itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu:  

a) Tidak memakai peraturan estapeta kepemimpinan NII yang berdasar  perundang-

undangan NII sehingga mengangkat pemimpin hanya berdasar  figuritas atau idolanya 

masing-masing.  

b) Sebagian besar dari para mujahid belum memahami nilai hukum mengenai yang sudah desersi 

dari NII atau menyerahkan diri kepada musuh sehingga dianggap masih bisa diangkat sebagai 

pemimpin NII.  

Padahal mengenai estapeta (kelanjutan) kepemimpinan NII Dalam Darurat Perang itu sudah ada 

undang-undangnya. Hal demikian tercantum dalam MKT (Maklumat komandemen Tertinggi) 

No.11 tahun 1959 . Dengan tegas bahwa dalam Negara Islam Indonesia yang berhak memegang 

estapeta Imam NII itu ialah yang terdiri dari A.K.T. atau yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. 

seperti halnya K.S.U. dan K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi).  

Ditinjau dari sudut sejarah bahwa sebelum Imam S.M. Kartosoewirjo tertangkap musuh tanggal 

4 Juni 1962, beberapa tokoh ini  di atas memiliki catatan sendiri sendiri diantaranya : Kahar 

Muzakar sudah membatalkan NII dengan memproklamirkan R.P.I.I tanggal 14 Mei 1962, artinya 

sejak itu Kahar Muzakar bukan lagi sebagai pejabat NII.  Agus Abdullah masih bertahan sewaktu 

Imam tertangkap 4 Juni 1962, namun dua puluh hari lalu  Agus Abdullah itu menyerah 

kepada pemerintah R.I. Dengan itu bukan lagi sebagai A.K.T.  

   

 

Daud Beureuh, dirinya sudah kembali kepada Pemerintah RI tanggal 9 Mei 1962 sebelum Imam 

tertangkap tanggal 4 Juni 1962. Jadi, sebelumnya juga sudah bukan lagi sebagai A.K.T. 

Adah Djaelani Tirtapradja menyerah kepada musuh tanggal 28 Mei 1962, dengan itu dirinya sudah 

bukan A.K.T. lagi.  

Djadja Sudjadi memang dirinya sampai Imam tertangkap 4 Juni 1962, tidak menyerah yakni tidak 

datang melaporkan diri kepada musuh, namun akhirnya ikut juga menandatangani “Ikrar 

Bersama” 1Agustus 1962 sehingga lenyap pula jabatan yang diembannya dalam NII.  

Dengan gugurnya jabatan mereka dalam NII, maka secara hukum pengangkatan mereka 

bertentangan dengan undang-undang NII.  

Sungguh penting mengetahui sejarah. Firman Allah: “…Maka ceritakanlah (kepada mereka) 

kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (Q.S.7:176). Dari ayat di atas itu diambil arti, bagi yang tidak 

mau mengetahui sejarah sama artinya dengan yang tidak mau berpikir secara obyektif sehingga 

tidak bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mensitir 

mengenai orang-orang yang meninggalkan tugas (Q.S.5:54, 33:13-15) dari medan perang. Tentu, 

hal itu supaya menjadi peringatan bagi generasi penerusnya sehingga jangan terulang kembali. 

Allah memerintahkan kita menceritakan sejarah (Q.S.7:176), berarti sejarah itu cepat atau lambat 

akhirnya akan terungkap pula, walau tidak sedap dibacanya. Seperti halnya lembaran “Ikrar 

Bersama” 1 Agustus 1959 di bawah ini :  

Untuk lebih jelasnya, berikut salinan dari ikrar bersama ini  : 

IKRAR BERSAMA 

Bismillahirrachmanirrachim. 

Allah Jang Maha pengasih dan Penjajang telah membukakan mata-hati nurani kami, memberi 

kesadaran dan keinsjafan kepada kami tentang kesesatan kami dan kemelaratan jang 

diakibatkan oleh perbuatan2 kami, maka kami bekas pimpinan apa jang dinamakan DI/TII/NII 

dengan ini menjatakan: 

1. Bahwa gerakan kami dulu (DI/TII/NII dan segala sesuatu jang berhubungan kepadanja) 

yaitu  sesat, salah dan menjalahi Hukum2 Islam, Hukum2 Kenegaraan, norma2 

kemanusiaan dan bertentangan dengan djalan jang seharusnja ditempuh untuk 

memperdjoangkan idiologie Islam menurut petundjuk2 Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an dan 

Sabda Nabi Muhammad s.a.w. 

2. Bahwa kami telah berbuat dosa terhadap Masjarakat Djawa-Barat chususnja dan 

masjarakat Indonesia umumnja atas gerakan2 kami pada masa jang lalu, atas dosa2 mana 

  

 

kami mengharapkan ampunan masjarakat dan kami sanggup menebus dosa ini  

dengan djalan mewudjudkan perbuatan jang berfaedah, demi kepentingan masjarakat 

dan Negara R.I. 

3. Bahwa kami telah melepaskan diri lachir dan bathin dari ikatan apa jang dinamakan DI/TII 

dan NII seraja bertaubat memohon ampunan Allah s.w.t. menjesal sebesar-besarnja atas 

perbuatan2 kami dulu dan berdjandji untuk tidak mengulanginja. 

4. Bahwa djalan jang ditempuh oleh Pemerintah R.I. dengan segala dasar/haluan politik dan 

pembangunannja yaitu  djalan jang benar dan diridloi Allah s.w.t. dan oleh sebab nja 

dalam pengabdian kepada Agama dan Negara, kami bersumpah: 

Demi Allah: 

 Setia kepada Pemerintah R.I. dan tunduk kepada Undang2 Dasar R.I. 1945. 

 Setia kepada Manifesto Politik R.I., Usdek, Djarek jang telah mendjadi garis besar haluan 

Politik Negara R.I. 

 Sanggup menjerahkan tenaga dan fikiran kami guna membantu Pemerintah R.I. cq. 

Alat2 Negara R.I. 

 Selalu berusaha mendjadi Warga Negara R.I. jang ta’at, baik dan berguna dengan 

didjiwai Pantja sila. 

5. Bahwa kami mempertjajakan serta akan menerima dan menta’ati seluruh tjara 

penjelesaian nasib kami, jang meliputi lapangan hukum, politik dan sosial, kepada 

kebidjaksanaan Pemerintah Republik Indonesia. 

6. Kami jakin bahwa Mudjahidin lainnja akan mengikuti djedjak kami. 

Semoga pernjataan kami ini diberkahi Allah s.w.t. 

Amien Jaa Robbal A’lamien.- 

Bandung, tgl. 1 Agustus 1962.- 

Kami jang mengeluarkan Ikrar.- 

 

Agus Abdullah Sukunsari.  

Djadja Sudjadi Widjaja.  

Adah Djaelani Tirtapradja.  

Hadji Zaenal Abidin.  

Ateng Djaelani Setiawan.  

Danu Mohamad Hassan.  

Mohamad Godjin.  

Toha Machfud.  

Dodo Mohamad Darda.  

  

 

 

Tachmid.  

Cholil.  

Hassan Anwar.  

Atjeng Abdullah Mudjahid.  

Maskun Sudarmi.  

Atjeng Hadjar.  

Rahmat Slamet.  

Ules Sudja’i.  

Engkar Rusbandi.  

Hadji Jusuf Kamal.  

Usman.  

Sjarif Muslim.  

Hadji Zakaria.  

Bakar Misbah.  

Emod Hasan Saputra.  

Achmad Mustofa Hidajat.  

Sobir.  

Mubaroq.  

Zainudin Abd. Rahman.  

Hadji Djunaedi.  

Tohir.  

Salam. 

O.Z.Mansjur  

Ada yang berdalih bahwa hal di atas itu sebab  dipaksa. Namun, bisanya dipaksa sebab  didahului 

dengan sebab datang lapor kepada musuh. Jadi, masalahnya itu ialah penyebabnya, dan bukan 

akibatnya .  

Para mujahid NII, baik itu pada strata bawah maupun atas tidak semuanya memiliki nilai 

menyerah kepada musuh. Jadi, pada saat Imam S.M. Kartosoewirjo menjalani eksekusi di 

hadapan regu tembak, masih ada figur yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. yaitu Abdul Fattah 

Wirananggapati sebagai K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi). Beliau tidak menyerah 

kepada musuh, melainkan tertangkap di Jakarta tahun 1953 sekembalinya dari Aceh 

melaksanakan tugas dari Imam mengangkat Daud Beureuh sebagai Panglima Wilayah V TII 

(Tentara Islam Indonesia) Cik Di Tiro. Dan dikeluarkan dari penjara Nusakambangan tahun 1963. 

lalu  sesudah  aktivitasnya tercium oleh Pemerintah RI maka tahun 1975 dipenjarakan lagi, 

dan keluar tahun 1982. sesudah  beliau aktif memberi  penjelasan mengenai perundang- 

undangan NII serta mengkoordinasi para mujahid, maka pada tahun 1991 Abdul Fattah 

Wirananggapati itu tertangkap kembali, dan dibebaskan tanggal 2 Agustus 1996. Mengenai 

kelanjutan estapeta kepemimpinan NII sesudah Abdul Fattah Wirananggapati bukan pada 

tempatnya dikemukan dalam uraian ini.  

Adanya kekeliruan pada masa yang telah lampau mengenai estapeta kepemimpinan NII yaitu  

lumrah sebab  ketidakpahaman akibat proses memiliki keilmuan serta menerima pemahaman 

sedemikian adanya. Akan namun , jika sudah datang Bayyinah (penjelasan) mengenai perundang-

undangan serta sejarah mengenai figur-figur yang jabatannya tertera dalam undang-undang itu, 

maka wajib mengikuti bayyinah sehingga tidak berselisih. Firman Allah:  

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang 

keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang meendapat siksa yang 

berat.” (Q.S.3:105). 

Kartosoewirjo memerintahkan dalam MKT No. 11 antara lain berbunyi:  

"Ikutilah zaman, jang beredar setjepat kilat dan kedjarlah waktu, dan djanganlah biarkan waktoe 

mengejar-ngejar kita !. Goenakanlah tiap sa’at dan detik oentoek menoenaikan perang 

mentegakkan Kalimatillah, dalam bentoek dan sifat apa dan manapoen !. Ketahoeilah ! Sekali 

lampau, ia tidak beroelang kembali !. Songsonglah kedatangan kembali Imam Plm. T., dengan 

realisasi M.K.T. Nomor 11 ini !".  

lalu  ditambahkannya lagi: 

"Toenjoekkanlah boekti patoeh-setiamoe kepada Allah ! kepada Rasoeloellah Çlm. ! Dan kepada 

Oelil-Amrimoe, Oelil Amir Islam, tegasnja: Imam-Plm. T. !. Itoelah jalan Jihad fi Sabilillah, satoe-

satoenja Sirathal-Moestaqim !".  

Begitu dalamnya ungkapan yang diucapkan oleh Kartosoewirjo, dan mengisyaratkan kepada kita 

bahwa totalitas kehidupan dalam mendarma baktikan diri kepada Allah sudah terpatri begitu 

kuat dalam jiwa Kartosoewirjo sehingga tidak ada kesempatan barang sedikitpun untuk dia 

bermain-main dengan kehidupan dunia."Hayatuna kulluha ibadatun" (Kehidupan kami 

seluruhnya hanya untuk satu pengabdian). Mungkin ungkapan ini, dapat menggambarkan 

tentang kepribadiannya secara menyeluruh.  

Estafet kepemimpinan Negara Islam Indonesia tetap berlanjut dan eksis untuk beberapa waktu 

sebab  dipegang oleh orang-orang hanif dan konsekwen sebagai penerus perjuangannya, dan 

hal itu memang sudah digariskan oleh Kartosoewirjo dalam penjelasan lain di MKT No. 11 yang 

berisi:  

"Pada ‘oemoemnja segala saloeran kenegaraan, dalam bidang-bidang Militer maoepoen dalam 

lapangan politik, joega selama masa perang ini, berjalan teroes melaloei systeem Komandemen, 

seperti jang tetap berlakoe hingga sa’at ini. namun  disa’at-sa’at genting-roencing, dimana Imam. 

Plm.T. mengeloearkan Komando ‘Oemoem, maka disa’at itoe kita hanja akan mengenai 2 (doea) 

tingkatan Pimpinan Perang, Pimpinan Negara dan Pimpinan Jama’ah Mujahidin, Pimpinan 

Oemmat berjoeang, Ja’ni: 

Tingkatan Pimpinan Perang pertama selakoe pemberi Komando, ialah: 1. Imam-Plm.T., 2. Plm. Per. 

K.P.W.B., 3, Plm. Per. K.P.W., dan 4. Kmd. Pertempoeran Kompas;dan Tingkatan Pimpinan 

Perang kedoea selakoe pelaksana Komando, terdiri daripada Kmd.2 Pertempoeran sejak Kmd. 

Pertempoeran Soeb-Sektor/Kmd. Lapangan/Kmd.2 Komandemen hingga sampai Kmd2. Baris, 

pelaksanaan mana akan melipoeti lapisan-lapisan ra’iat jelata seloeroehnja, tanpa kecoeali. 

Sendi-dasar bagi tiap gerak-langkah kedepan, teroetama disa’at-sa’at jang menentoekan, seperti 

tergambarkan diatas, perloe diletakkan moelai sekarang oentoek menghindarkan tiap-tiap 

pengjimpangan, penjelewengan, persimpang-sioeran, atau pertentangan dalam saloeran, 

pimpinan dan pelaksanaan segala toegas-toegas moethlak, menoenaikan hoekoem-hoekoem 

Jihad, Hoekoem-hoekoem Perang sepanjang ajaran Islam. 

Dengan cara, sifat dan bentoek, sepanjang isi dan jiwa M.K.T. Nomor 11 ini, maka Insja Allah 

terhindarlah Negara kita, Negara Islam Indonesia, istimewa dimasa Hoekoem Perang masih 

berkobar, daripada setiap jenis, sifat dan bentoek Doealisme, dalam bidang dan lapangan apa 

dan manapoen. Sehingga dilingkoengan Negara kita hanja dikenal satoe Pimpinan Negara, jang 

joega bertoegas memegang Pimpinan Perang dan Pimpinan Oemmat Berperang. 

Dalam pada itoe, tiap-tiap Moejahid, teroetama Pemimpinannja, haroes percaja dan jakin dengan 

sepenoeh jiwanja, akan benarnja perintah-perintah Allah, perintah-perintah Nabi Çlm. Dan 

perintah-perintah Imam-Plm. T., jang terealisasi dalam Hoekoem-hoekoem Jihad dan Perintah-

perintah Jihad beserta pelaksanaannja. Tegasnja tiap Moejahid, choesoes Pemimpin Moejahid, 

haroes percaja, dan jakin akan benarnja tiap-tiap tingkah-lakoenja, berwoejoedkan amal-amal 

pembinaan Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. Dikala Jama’atoel-Moedjahidin 

meroepakan satoe kesatoean Oemmat kompak, dlahir dan bathin, tidak tercerai berai dan tidak 

berpecah belah, maka baroelah setiap anggauta atau bagian Djama’ah tsb. berhak menerima dan 

menikmati kasih-sajang dan Koernia Allah. 

Tapi apa yang terjadi sebaliknya dari hal di atas itu, pada tahun 1978 terjadi pembunuhan 

terhadap Djadja Sudjadi oleh Adah Djaelani cs . Saksi Toha Machfud dalam persidangan 

‘membenarkan tahun 1978 ia mendapat perintah dari terdakwa untuk memimpin pelaksanaan 

pembunuhan. Namun saat  operasi berlangsung, saksi hanya menunjukkan rumah Djadja 

Sudjadi, sedangkan yang membunuhnya yaitu  Komandan Pasus, Syarif Hidayat .  

Tanpa satu alasan yang syar'i dengan begitu mudahnya mereka menghilangkan nyawa seorang 

mu'min. Padahal membunuh manusia merupakan satu dosa besar setingkat dibawah dosa 

melakukan kemusyrikan. Allah berfirman:  

"Dan barang siapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah 

Jahanam." (Q.S. 4: 93). 

Terjadinya pembunuhan terhadap Jaja ini awal mula dari kehancuran sendi-sendi moral para 

pejuang Darul Islam dan terpecah belahnya kesatuan jama'ah mujahidin. Selanjutnya, sesudah  

terbunuhnya Jaja, Adah Jaelani dengan cara yang sangat kontroversial bekerja sama dengan Ali 

Moertopo, ketua CSIS (Center for Strategic and International Studies), L.B. Moerdany dan 

Soedjono Hoemardhani untuk menghidupkan kembali NII atau DI, yang rencananya pun telah 

disiapkan begitu matangnya, sampai orang yang mutaakhir tidak mengetahui tentang kejadian 

ini. Maka terhadap orang yang belum mengerti betul akan sejarah perjuangan Darul Islam yang 

sekarang, hendaklah mentabayyunkan dengan orang yang berpengetahuan jangan sampai 

tersesat dari jalan yang lurus. sebab  Allah telah berfirman: 

"Jika datang kepadamu orang-orang yang fasik dengan membawa berita, maka telitilah terlebih 

dahulu dengan seksama. Supaya kamu jangan sampai mencelakakan orang lain tanpa mengetahui 

keadaan yang sebenarnya, sehingga kamu nanti akan menyesal atas kecerobohanmu itu." (Q.S. 49: 

6).  

Begitupun program yang dilaksanakan Adah Jaelani hanyalah untuk memeras uang rakyat demi 

kekayaannya sendiri. Sungguh satu perbuatan yang tercela bila hal itu terjadi pada kehidupan 

seorang mu'min. Allah swt. Berfirman: 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang 

bathil,......." (QS. 4: 29). 

Ternyata, bagian dari kehidupan yang rendah telah menodai langkah perjuangan mereka, 

dibandingkan mengambil kehidupan yang hakiki di akhirat kelak. Dalam kondisi hidup 

perjuangan yang sedang mengalami pasang surut ini, Kartosoewirjo telah memberi  

penjelasan yang sangat rinci tentang bagaimana cara mengorganisir Negara untuk bekal para 

pejuang Darul Islam. Di dalam sebuah penjelasan maklumatnya, ia menerangkan:  

"Soedah agak lama kita beladjar hidoep berorganisasi, dan memang tiada manoesia, djiwa 

moedjahid, jang pandai berdiri sendiri, jang tidak tergantoeng, tidak terpengaroeh atau tidak 

memerloekan sesoeatoe diloear pribadinja. Moela pertama kita merasa hidoep seorang diri. 

Lambat-laoen perasaan itoe meningkat hingga mendjadi kesadaran dan keinsjafan selakoe 

anggauta sesoeatoe keloearga. Dan selandjoetnja meningkat lagi, hingga kita merasa dan 

menganggap diri kita, insjaf dan sadar sepenoehnja, sebagai warga masjarakat dan negara, 

warga oemmat dan bangsa. Dengan meningkatnja nilai perasaan dan anggapan, jang kemoedian 

terrealisir dalam kelakoean dan perboeatan, maka makin bertambah2 meningkat poela rasa 

tanggoeng djawab kita. Sebagai seorang diri, kita hanja bertanggoeng djawab atas diri kita. 

Sebagai warga sesoeatoe keloearga atau kelompok, tanggoeng djawab kita meningkat mendjadi 

tanggoeng djawab terhadap keloearga dan kelompok". 

"Begitoelah selandjoetnja, sebagai warga sesoeatoe oemmmat, bangsa atau djama’ah, maka 

pertanggoeng djawab kita akan melipoeti seloeroeh oemmat, bangsa dan djama’ah itoe. Rasa 

tanggoeng-djawab jang makin meningkat itoe, tidak hanja akan menambah besarnja hak kita, 

melainkan djoega makin menambah besar dan beratnja kewadjiban antar-warga, antar-

kelompok dan antar-oemmat." 

"Sjahdan, dengan sandaran Ma’loemat K.T. jang mendjadi sendi-dasar hidoep dan perdjoeangan 

kita, hidoep dan berdjoeang hanja oentoek melaksanakan toegas Ilahy moethlak, merealisir 

dharma jang tertanam dalam djiwa setiap Moedjahid, maka seloeroeh Barisan Moedjahidin 

tanpa kecoeali, dimanapoen mereka berada dan bertoegas, terikat erat satoe sama lain demikian 

roepa, baik oleh Bai’at Negara, Bai’at Djabatan, Bai’at Setia maoepoen Bai’at selakoe Moedjahid, 

sehingga mereka itoe berwoedjoedkan satoe Djama’ah Besar, jang anggauta-anggautanja terdiri 

daripada tiap-tiap Moedjahid dan Moedjahidah, tegasnja: Djama’ah Besar Moedjahidin. Selakoe 

warga Djama’ah Besar Moedjahidin, maka tiap-tiap Moedjahid akan merasa makin bertambah-

tambah besar dan mendalamnja rasa-setiakawannja, rasa-tanggoeng-djawabnja, rasa wadjibnja. 

dst. dst. dst., sampai-sampai achirnja melipoeti seloeroeh Oemmat dan Bangsa, Negara dan 

Agama. Hendaklah semangat, kesadaran dan keinsjafan seroepa itoe ditanam dalam-dalam dan 

dipoepoek baik-baik dalam djiwa setiap Moedjahid, dan kemoedian diperkembangkan dan 

diwoedjoedkan dalam bentoek amal dan djasa2, baik djasa terhadap Oemmat dan Bangsa 

maoepoen terhadap Negara dan Agama. Djika demikian halnja, maka cita-cita Baldatoen 

Thajibatoen wa Rabboe Ghafoer boekan impian atau khajalan belaka. Daja selamat-

menjelamatkan, daja rahmat merahmati dst. dst. akan samboeng menjamboeng tidak 

koendjoeng-poetoes, sehingga melipoeti seloeroeh Oemmat dan bangsa, seloeroeh Negara dan 

Agama. Demikianlah “dharmaning ksatrija soeci” pentegak-Kalimatillah ! Harap direnoeng-

resapkan sebaik-baik dan sedalam-dalamnja, hingga terwoedjoed dalam bentoek boekti-

kenjataan jang sebenarnja."  

Jika para pejuang belum insyaf terhadap kekeliruannya bahwa apa yang telah mereka lakukan 

sebelumnya hanyalah menguntungkan kaum kafir dan sangat melemahkan posisi keberadaan 

Negara Islam. Dan terlebih lagi mereka telah melupakan statemen Imam Negara Islam 

kartosoewirjo tentang hal ini  di atas. Padahal kalau dibandingkan dengan Soekarno—yang 

menyandang gelar Paduka Yang Mulia—belumlah seberapa kemampuannya untuk menciptakan 

sebuah negara yang begitu kuat dan kokohnya, hanya sebab  dibelakang Kartosoewirjo para 

pejuang tidak siap untuk berjiwa militan maka mengalami kemunduran sesudah  meninggalnya 

Kartosoewirjo. Semoga dalam hal ini janji Allah untuk mendatangkan satu kaum yang lebih baik 

dan lebih siap melanjutkan misi-Nya segera hadir dengan segala kebenarannya sebagaimana 

yang tertera dalam Al-Quran, Surah Al Maidah, ayat 54. 

"Siapa saja diantara kalanganmu yang murtad dari din-Nya , maka Allah akan mendatangkan satu 

kaum yang Allah cinta kepada mereka, begitupun mereka cinta kepada-Nya,..."  

Padahal kalaulah mereka para pejuang mujahidin mau mengerti tentang situasi dan kondisi umat 

hari ini, yang mereka semua merindukan kehadiran " Juru Penyelamat" untuk melepaskan dan 

mengeluarkan mereka dari kondisi keterjajahannya dari penguasa dzalim di bumi Indonesia. 

Maka tentulah mereka semua umat Islam siap dibelakang para pejuang untuk membela jihad suci 

baik berupa harta bendanya atau jiwanya sekalipun.namun  sangat disayangkan, risalatul haq 

kepada mereka untuk saat ini belum sampai, mungkin juga disebabkan para pejuang mujahid 

Darul Islam belum memberi  kontribusi apa-apa demi kemajuan Islam pada umumnya. 

Belumlah tampil untuk waktu sekarang sosok pejuang sejati pengganti para mujahidin terdahulu 

sebelum mereka. 

Imam Assyahid Kartosoewirjo telah meletakkan dasar-dasar manhaj harakah Darul Islam dari segi 

akhlakul karimah, bagaimana seharusnya Negara Islam Indonesia yang telah diproklamasikannya 

dibawa oleh para penerusnya.  

  

1. Membina rasa cinta, tha'at, setia dan patuh.  

2. Tha’at-patuh tanpa rasa-cinta setia, akan merasakan kaku-tegang dan kurus-kering-

tandus, laksana suara irama. Bahkan kadang-kadang terasakan sebagai sesuatu yang 

keras dan kejam, kasar dan bengis. Demikian pula benar dan adil, tanpa qisthi dan 

palamarta. Maka untuk memperoleh hasil amal jang sempurna, jasa-jasa jang besar 

manfa’at dan maslahat untuk umum, untuk Ummat, Negara dan Agama, maka kuncinja 

terletak dalam jiwa, atau lebih tegasnja: jiwa Mujahid yang harmonis, selaras dengan 

tugasnja. 

3. Mujahid yang memiliki keselarasan jiwa ini akan menunaikan segala tugas wajibnja 

dengan sepenuh-jiwanja, dengan tekun, dengan khusu’ dan khudlu tanpa menghiraukan 

atau terpengaruh oleh sesuatu diluarnya. Dan keselarasan jiwa itu hendaknya bersifat 

vertikal (1) mulai tingkatan pemimpin teratasi hingga bawahan yang terendah, dan 

sebaliknya, dan bersifat pula horizontal (2), merata-mendatar, hingga sampai meliputi 

Jama’atul-Mujahidin sebagai kesatuan dan keseluruhan. 

4. Maka pokok-pangkal daripada keselarasan jiwa itu terletak pada rasa-cinta, ialah rasa-

suci-murni. Yang bersemajam dalam lubuk kalbu setiap Mujahid sejati. 

Bagi membina jiwa baru, atau menanam jiwa jihad, jiwa yang sanggup dan mampu 

menyelaraskan diri dengan hukum-hukum Jahad, jiwa yang berani bertindak menyalurkan 

tingkat-laku dan amal-perbuatannya dengan Hukum-hukum Jihad, maka landasan 

pembinaan jiwa kesatria suci semacam ini a.l.l. yaitu  sbb: 

5. Rasa-cinta setia kepada Allah (Mahabbah) dalam ma’na dan wujudnya: 

= sanggup dan mampu melaksanakan tiap-tiap perintah-Nya dan menjauhi tiap- tiap 

larangan-Nya, tanpa kecuali dan tanpa tawar-menawar; = mendahulukan dan 

mengutamakan pelaksanaan perintah-perintah Allah, daripada sesuatu diluarnya; dan 

= mendasarkan tiap-tiap laku lampah dan amalnya atas Wahdanijat Allah, tegasnya: atas 

Tauhid sejati, dan tidak atas alasan, pertimbangan dan dalil apapun, melainkan hanya 

berdasar  Khulishan-mukhlisan semata, atau dengan kata-kata lain: “Allah-minded 

100%. 

6. Rasa-cinta-setia kepada Rasulullah Çlm., dalam ma’na dan wujud: 

= sanggup dan mampu merealisir ajaran dan Sunnah Çlm., dengan kepercajaan dan 

kejakinan sepenuhnya, bahwa tiada contoh dan tauladan lebih utama daripada ajaran dan 

Sunnahnya: khusus dalam rangka jihad, tegasnya rangka usaha membina Negara Madinah 

Indonesia; dan = pantang melakukan sesuatu diluar ajaran dan hukum Islam, sepanjang 

Sunnah, hingga mencapai taraf “Islam-minded 100%”. 

7. Rasa-cinta setia kepada Ulil-Amri Islam, atau Imam N.I.I., atau Plm. T. A.P.N.I.I., yang 

didalamnya termasuk (1) rasa-cinta-setia kepada pemerintah Negara Islam Indonesia, dan 

tidak kepada sesuatu Pemerintah diluarnya; (2) rasa cinta-setia kepada Negara Islam 

Indonesia, dan tidak kepada sesuatu Negara diluarnya; (3) rasa-cinta-setia kepada 

Undang-Undang (Qanun-Asasy) N.I.I., dan tidak kepada Undang-undang negara manapun; 

dst. dst. dst., yang semuanya itu tercakup dalam istilah “Negara Islam Indonesia-minded 

100%”. 

Catatan. 

Kita hanya mengenal satu Ulil Amri Islam, satu Imam-Plm. T. A.P.N.I.I., tidak lebih, dan 

tidak kurang.  

Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakuan, yang menyimpang atau 

bertentangan dengan dia, yaitu  sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka. 

Rasa-cinta-setia kepada tanah-air, ummat dan masyarakat, sampai-sampai kepada diri – 

pribadi, dengan catatan dan perhatian:  

 bahwa kecintaan dan kesetiaan kita dalam hubungan ini tidak sekali-kali boleh 

melanggar atau menyimpang, melebihi atau mengurangi barang apa yang 

termaktub pada huruf-huruf A., B. dan C. diatas; melainkan semuanya tetap 

berlaku dalam batas-batas rangka jihad dan usaha jihad, dan tidak sesuatu 

diluarnya. 

 Dan rasa-cinta-setia kepada tugasnya, tugas dan wajibnya melaksanakan Jihad-

berperang pada Jalan Allah, sebab  Allah, untuk mentegakkan Kalimatillah, 

langsung menuju Mardlatillah, lebih dan dilebihkan daripada setiap kecintaan 

diluarnya, dalam makna dan wujud:  

 percaya dan yakin dengan sepenuh jiwanya, bahwa Jihad yaitu  satu-satunya 

dharma-bakti muthlak dan maha-suci ‘indallah wa ‘indannas, yang boleh 

membawa pelakunya naik meninggi sampai kepada harkat-derajat yang termulia, 

dibawah para Anbiya-Allah dan para Rasulullah;  

 sebab  Jihad berhukumkan Fardlu’ain dan Fardlu kifayah (bersama-sama), maka 

pada tiap-tiap sa’at Allah berkenan mengidzinkannya, wajib jihad itu diletakkan 

atas pundak tiap-tiap Mujahid dan atas pundak seluruh Jama’ah Mujahidin, atau 

dengan kata-kata lain; atas seluruh ummat, tanpa kecuali.  

 percaya dan yakin sepenuhnya, bahwa Jihad fi sabilillah yaitu  satu-satunya cara, 

laku, usaha dan ‘amal memperjuangkan Keluhuran Agama Islam, Kedaulatan 

Negara Islam Indonesia beserta Hukum-hukum Syari’at Islam yang menjadi sendi-

dasarnya, dan Kebahagiaan Ummat dan Bangsa, yang berharap ingin mengucap-

menikmati Kurnia Allah yang Maha-Besar, dalam Kerajaan Allah didunia dan 

diakhirat, atau sekurang-kurangnya dalam lingkungan Baldatun Thayyibatun wa 

Rabbun Ghafur di Indonesia atau Negara Islam Indonesia, ialah ujung kesudahan 

cita-cita Ummatul-Mujahidin, Ummat pilihan dan kekasih-Allah di Indonesia; dan 

 sanggup serta mampu menyalurkan tiap-tiap gerak-langkah dan tingkah-lakunya, 

dlahir maupun bathin, sepanjang Hukum-hukum Jihad; Hukum-hukum Islam 

dimasa Perang, sehingga menjadi Mujahid tulen dan Mujahid sejati genap-lengkap 

dlahir-bathin, tegasnya Mujahid yang “Jihad minded 100%, kejakinan mana akan 

mendorong Mujahid-pelakunya: 

 Untuk menumpahkan dan mengorbankan segenap tenaga dan hartanya hanya 

pada Jalan yang ditaburi rahmat dan ridla Ilahy; 

- Untuk memakai  tiap detik sepanyang umurnya hanya bagi jihad 

mentegakkan Kalimatillah; Untuk mempertaruhkan jiwa, raga dan nyawanya 

hanya untuk persembahan dharma-bakti muthlak kepada Dzat ‘Azza wa Jalla 

semata; tegasnya hanya untuk mentegakkan Kalimatillah, mendhahirkan Kerajaan 

Allah didunia, khusus dipermukaan bumi Allah Indonesia. Dan tiada sesuatu 

diluarnya. 

8. Menggalang Benteng Islam Nan Kuat Sentausa.  Jika Jama’atul-Mujahidin sungguh-

sungguh sanggup, mampu dan kuasa mewujudkan ajaran-ajaran Kitabullah, Al-Qur-anul-

‘adzim, dan mengikuti Sunnah Çlm., dengan tepat dan seksama, setingkat demi setingkat, 

selangkah demi selangkah, sepanjang rangka Jihad dan Hukum Jihad, Insja Allah dalam 

waktu yang singkat gelombang Jama’ah tsb. akan merupakan satu Benteng Islam raksasa 

yang maha-kuat dan maha-sen tausa, dlahir maupun bathin, yang sanggup dan mampu 

menghadapi serta mengatasi segala kemungkinan dan keadaan betapapun sifat dan 

bentuknya. Beberapa fakta utama, yang akan dapat dijadikan landasan-landasan dan 

pembinaan ini antara lain ialah: Memupuk dan memperkembangkan rasa-tanggung-

jawab dlahir-bathin yang makin bertambah-tambah besar, dalam ma’na: 

 Bertanggung-jawab sepenuhnya akan berlakunya Hukum-hukum Allah, Hukum-

hukum sepanjang ajaran Al-Qur-an, dan Sunnah Çlm., tegasnya: Hukum-hukum 

Sjari’at Islam, atau Undang-undang Islam, atau Undang-undang Negara Islam 

Indonesia; dan 

 Bertanggung jawab sepenuhnya akan berlakunya dan dilaksanakannya dengan 

tepat Hukum-hukum Islam dimasa Perang. Memupuk dan memperkembangkan 

rasa-setiakawan yang makin bertambah-tambah mendalam, terutama, dalam 

lingkungan Jama’atul-Mujahidin, sepanjang ajaran Islam, sebagaimana yang telah 

terlaksana dalam pergaulan antara kaum Anshar dan Muhajirin, ialah kaum 

Mujahidin dibawah pimpinan, bimbingan, tuntunan dan asuhan langsung 

Rasulullah Çlm. Pada zaman Madinah awal, di Negara Basis Islam Pertama di 

Jaziratul-Islamijah termaksud meliputi segala bidang dan segi, khusus dan umum, 

sakhsy dan ijtima’I, dalam sepanjang ajaran suci, terutama dalam menanam, 

membangkitkan dan mengobar-ngobarkan Semangat Jihad dalam membina dan 

memperkembangkan Jiwa Jihad, dan dalam melaksanakan Hukum-hukum Jihad. 

 Dengan demikian, maka cita-cita hendak menggalang Persatuan Islam dan 

Persatuan Ummat, terutama Ummatul-Mujahidin yang kuat-kompak dlahir-bathin 

bukanlah satu impian khajal ! Jadikanlah Tali-tali Allah, perintah-perintah Allah 

beserta Sunnah Çlm. Selaku tafsirnya, sebagai daya-pengikat antar-jiwa dalam 

lingkungan Jama’atul-Mujahidin! Dan lalu  perkuat dan sempurnakanlah 

segala usahamu dalam jurusan itu, hingga seluruh tubuh Jama’ah akan merupakan 

satu Benteng Islam raksasa nan kuat-sentausa ! Dalam pada itu, hendaklah diingati 

pula, tanda setia-kawan itu hendaknya dibuktikan lebih dahulu dari atas kebawah, 

dan bukan dari bawah keatas, sebab  pihak atasan Komandan atau Pemimpin, 

harus lebih dahulu pandai menunjukkan kesungguh-sungguhnya melaksanakan 

wajibnya: memperlindungi, menuntun dan membimbing pihak bawahan atau anak 

buahnya, daripada hanya pandai menuntut kepatuhan, kesetiaan, kesetiakawanan, 

pembelaan dan pertanggung-jawab pihak bawahan terhadap pihak atasnya! 

Itulah bukti yang nyata daripada apa yang disebut Mahabbah kepada Allah dan 

Mushahabah terhadap sesama Mujahidin, sesama Ummatul Muslimin ! 

 Menanam dan memperkuat disiplin, umum dan terutama militer. 

Disiplin (Dicipline), dalam ma’na Tha’at patuh dan setia, baik dalam bidang-bidang 

umum maupun dalam segi-segi kemiliteran, wajib ditanam, dipupuk, 

diperkembangkan dan diperkuat dalam dada, jiwa, tekad dan ‘amal setiap Mujahid. 

sebab  tiap Mujahid selaku pelaksana hukum-hukum Jihad, Hukum-hukum Islam 

dimasa Perang, dengan automatis sesungguhnya yaitu  Prajurit-Tentara Allah. 

Tanpa disiplin, maka seorang Mujahid hanya merupakan pejuang liar, pejuang 

yang ingkar, menyimpang dan menyeleweng daripada Jama’ah Besar, Jama’atul-

Mujahidin. 

 Dalam keadaan biasa, sikap liar itu hanya akan mengecewakan. Tapi dimasa 

berlaku Perang Semesta, Perang Totaliter, maka disiplin masuk salah satu 

kewajiban muthlak, yang harus berlaku tanpa sjarat, tanpa kajid dan tanpa tawar-

menawar.Oleh sebab itu, hendaklah setiap Mujahid suka