Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 13

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 13


 


dah 1954 menjadi sering lagi. Di Aceh Barat, 

Tengah, dan Timur pun—daerah-daerah yang dianggap Pemerintah Repubtik relatif aman—

Darul Islam menjadi lebih aktif, sebagian akibat kemarahan terhadap tingkah laku pasukan 

Republik dan sebagian sebab  gerakan pasukan Tentara Islam. Pada awal 1955 Hasan Saleh 

pindah dari Pidie ke Aceh Barat. Sesudah meninggalkan saudaranya Ibrahim Saleh memimpin di 

sini, dia lalu terus ke Aceh Timur, dengan tujuan terakhir Tapanuli. Pasukannya di Aceh Timur 

diperkuat satuan-satuan yang dipimpin Banda Chairullah (Banda Khairullah), yang juga berasal 

dari Pidie. Pasukan lain dari Pidie, yang dipimpin A.G. Mutiara, masuk di Aceh Barat.  

Lebih daripada sebelumnya, Darul Islam di Aceh kini juga berusaha merugikan Pemerintah 

Republik secara ekonomis. Bukan saja mereka terus melakukan upaya mengganggu 

perhubungan, namun  juga menujukan serangan pada bermacam perkebunan dan perusahaan 

industri. Sejumlah perkebunan damar di Aceh Tengah diserang dan dibakar. Di Aceh Timur 

ladang-ladang minyak menjadi sasaran serangan kaum pejuang mujahidin. Pejuang mencatat 

salah satu hasilnya yang terbesar pada Maret 1955, saat  meleka menyerang Pelabuhan Kuala 

Langsa, dengan membakari semua gudang (hanya gudang KPM yang luput secara misterius), 

dan mengakibatkan banyak sekali kerugian.  

Sulit sekali Tentara Republik menumpas kegiatan-kegiatan pejuang . Pada 1956 Komando Militer 

Sumatera Utara terpaksa mengakui, semangat tinggi tentara pejuang mujahidin—yang 

kekuatannya ditaksir 1.400 orang, musuh mempunyai pendukung dan simpatisan di hampir 

setiap desa. Di Aceh, demikian dinyatakan, satu syarat utama untuk melakukan perang gerilya 

dengan berhasil terpenuhi, yaitu dukungan rakyat setempat. Bahkan orang-orang yang pada 

mulanya menentang Negara Islam Indonesia, atau bersikap netral, dapat ditarik ke pihak pejuang 

mujahidin sebab  propaganda yang mereka lakukan. 

Pimpinan tentara mengakui, tingkah laku yang tidak senonoh para prajuritnya sendiri menambah 

keberhasilan propaganda Darul Islam. Prajurit-prajurit dari luar daerah—Batak Minangkabau, 

dan Jawa—kadang-kadang sangat menyakitkan hati orang Aceh dengan kelakuan mereka. 

Untuk memperbaiki hal ini Angkatan Darat mengeluarkan perintah kepada anggotanya agar 

berlaku baik terhadap rakyat setempat, dengan memberi  keterangan tentang masyarakat 

Aceh maupun nasihat bagaimana harus bersikap dalam masyarakat ini. Demikianlah mereka 

dilarang memasuki masjid memakai sepatu dan main judi serta minum minuman keras, dan 

diperingatkan agar menghormati adat istiadat setempat. Dalam hubungan ini mereka diberi tahu 

bagaimana bersikap sopan dalam menghadapi wanita Aceh, dengan menasihatkan mereka, bila 

ingin kawin dengan seorang gadis setempat, agar menghubungi orang tuanya dan kerabatnya, 

dan mengetahui aturan-aturan yang bersangkutan lebih dahulu.  

Peristiwa-peristiwa lain menyangkut perampokan oleh pasukan Republik, pembakaran rumah-

rumah yang ditinggalkan pemiliknya sebab  mereka dicurigai telah menyeberang ke pihak 

pejuang mujahidin, dan pembunuhan serta penyiksaan para tawanan dan penduduk-penduduk 

desa yang tidak berdosa.  

Menurut laporan, dua peristiwa yang paling hebat yaitu  di Cot Jeumpa dan Pulot Leupung, dua 

desa dekat Banda Aceh di Aceh Besar, suatu daerah yang dianggap aman oleh Angkatan Darat, 

pada Februari 1955. Kedua peristiwa ini disingkapkan harian Peristiwa, yang terbit di Banda Aceh. 

Menurut berita Peristiwa, pasukan Republik pada 26 Februari menangkapi semua penduduk Cot 

Jeumpa dan menembak mati mereka semua. Peristiwa yang serupa terjadi dekat Pulot Leupung 

dua hari lalu . Peristiwa mengatakan, dalam kedua kejadian ini kira-kira dua ratus orang 

seluruhnya terbunuh, termasuk anak-anak. namun  versi yang dikemukakan Tentara berbeda. 

Dengan tidak menyangkal besarnya jumlah kematian, mereka berusaha memberi alasan dengan 

mengatakan, korban-korban ini semua tewas dalam pertempuran. Beberapa hari sebelum 

kejadian-kejadian ini, juru bicara Angkatan Darat menjelaskan, tembakan-tembakan dilepaskan 

terhadap sebuah truk tentara pada sebuah jembatan dekat Cot Jeumpa. Salah sebuah peluru 

mengenai tank bensin, truk terbakar, akibatnya lima belas prajurit mati terbakar. Jebakan itu 

dipasang Pawang Leman, bekas mayor pada zaman revolusi dan bekas camat setempat. 

Keterangan yang dikumpulkan Tentara Republik menyatakan, rakyat setempat pada hari yang 

nahas itu menyuruh pulang kembali semua lalu lintas—kecuali truk tentara itu—dengan dalih 

bahwa jembatan putus. Menurut sumber yang sama, Pawang Leman telah menghasut rakyat 

untuk memulai perang sabil. lalu  komandan pasukan Angkatan Darat setempat 

memutuskan menyelidiki berdasar  keterangan ini, dan mengirimkan sebuah patroli ke Cot 

Jeumpa. Di sini patroli ini ditembaki dan diserang pasukan Darul Islam (dengan ini dimaksudkan 

rakyat setempat) dengan parang dan pisau dan harus menjawab serangan ini. Hal seperti itu 

terjadi di Pulot Leupung. Di sini sebuah patroli tentara diserang penduduk desa. Sebuah 

keterangan lain yang dikeSuarkan menekankan, tidaklah mungkin membedakan pejuang 

mujahidin dari penduduk desa biasa, sebab  para pejuang mujahidin telah bercampur dengan 

rakyat setempat atau memaksa penduduk desa maju di barisan depan. 

Pembunuhan di Cot Jeumpa dan Pulot Leupung memicu  protes hebat dari organisasi-

organisasi Islam dan Aceh. Front Pemuda Aceh mengancam akan melaporkan peristiwa ini 

kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara Konperensi Asia-Afrika, bila tidak 

ditindak demi keadilan dan suatu penyelidikan dimulai Pemerintah. Dalam Parlemen pernyataan-

pernyataan diajukan Muhammad Nur el Ibrahimy, Amelz, dan Sutardjo Kartohadikusumo. Di 

pihak Pemerintah Menteri Dalam Negeri dikirim ke Aceh, sedangkan wakil-wakil Staf Tentara 

Pusat dan Jaksa Agung pun mengunjungi daerah itu. Selanjutnya, gubernur Sumatera Utara, S.M. 

Amin, mulai penyelidikan. saat  mengunjungi kedua desa itu didapatinya Cot Jeumpa 

seluruhnya kosong, sedangkan di Pulot Leupung semua mereka yang luput dari pembantaian 

telah lari ke gunung. Sesudah ini Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberi  keterangan 

kepada DPR atas nama Pemerintah dalam pertengahan April. Keterangan tentang peristiwa-

peristiwa ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan Angkatan Darat.  

Peristiwa yang menyangkut pasukan Republik digunakan mereka yang menyetujui penyelesaian 

damai untuk mendesak sekali lagi diadakan perundingan dan diberikan konsesi kepada beberapa 

tuntutan kaum pejuang mujahidin. Sejauh ini upaya untuk meyakinkan pejuang mujahidin-

pejuang mujahidin Darul Islam di Aceh untuk menghentikan perjuangan mereka dan berunding 

dengan Republik telah gagal. Gubernur baru Sumatera Utara, S.M. Amin, melakukan surat-

menyurat dengan pemimpin-pemimpin pejuang mujahidin yang terkemuka sejak akhir 1953. 

Walaupun dia sendiri bukan orang Aceh (dia sendiri seorang Batak Mandailing), hubungan Amin 

dengan Daud Beureueh dan rekan-rekannya yang akrab baik. Sebenarnya, pengangkatannya 

sebagai pengganti Abdul Hakim, yang menjauhi pemimpin-pemimpin Aceh dengan sikapnya, 

sebagian yaitu  sebab  didorong perkenalannya yang akrab dengan pemimpin-pemimpin ini. 

sebab , selama masa Jepang dia menjadi kepala sekolah menengah di Banda Aceh, sedangkan 

lalu  dia menjadi anggota mahkamah pengadilan di Sigli bersama Usman Raliby dan Hasan 

 

Aly. Sesudah proklamasi kemerdekaan ia menjadi anggota dan lalu , Januari 1946, Ketua 

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh. lalu  menyusul pula pengangkatannya sebagai 

gubernur Sumatera Utara. 

Sejak mula jihad suci menegakkan Negara Islam Amin memperlihatkan dirinya sebagai seorang 

yang membela perundingan dengan pejuang mujahidin sebagai cara memperoleh penyelesaian 

damai. Berpegang pada prinsip ini, ia melakukan kontak dengan Said Abubakar. Selanjutnya ia 

mengadakan surat-menyurat dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam secara diam-diam, tanpa 

lebih dahulu memberitahukan kepada Pemerintah Pusat, Desember 1953. Dalam surat-surat ini—

yang dinyatakannya sendiri dengan tegas, ia menulis sebagai seorang warga negara pribadi — ia 

menyatakan, menyetujui tujuan pejuang mujahidin yang merupakan cita-cita semua umat muslim 

dan ia merasa peristiwa-peristiwa yang telah mencetuskan jihad suci menegakkan Negara Islam 

yaitu  akibat salah paham. namun  cara-cara yang dipilih kaum pejuang mujahidin tidak disetujui 

semua umat muslim. sebab  itu ia meminta kaum pejuang mujahidin mengemukakan gagasan 

bagaimana mengakhiri pertumpahan darah.  

Amin menerima jawaban dari Husin Jusuf dan Daud Beureueh. Keduanya menggarisbawahi 

kewajiban setiap muslim Indonesia untuk turut serta dalam jihad mempertahankan Negara Islam 

Indonesia, yang demikian mereka kemukakan, telah menjadi suatu fakta  yang tidak bisa 

diabaikan. Lalu mereka menyatakan, konflik dapat berakhir segera sesudah Pemerintah Republik 

memperhatikan hasrat masyarakat Islam. Mereka menyangkal, revolusi sosial atau keinginan 

memperoleh otonomi mengilhami jihad suci menegakkan Negara Islam mereka, dengan 

menegaskan, penyebab pangkalnya terletak dalam agama. Mereka tidak sependapat dengan 

pandangan Amin bahwa kekacauan yang terjadi yaitu  disebabkan kesalahpahaman. Politik 

kebijaksanaan yang dijalankan Pemerintah Republik, reaksi Pemerintah terhadap Peristiwa 

Cumbok dan terhadap tuntutan otonomi, reorganisasi Tentara di Aceh, dan sebagainya 

merupakan cukup bukti kebalikannya..  

Amin menjawab pada Agustus 1954. Dengan menolak menemui pemimpim-pemimpin gerilya ini 

sendiri, ia mengirim suatu rancangan surat untuk ditandatangani Daud Beureueh dan Hasan Aly 

yang menyatakan, keduanya berjanji akan mengakhiri perlawanan mereka, meletakkan senjata 

mereka, dan akan menemui wakil-wakil Pemerintah Republik bila yang belakangan ini bersedia 

mengakui hak mereka untuk memperjuangkan Negara Islam bukan dengan jalan kekerasan, 

memberi  lebih banyak perhatian demi kepentingan Aceh di masa depan dan memberi  

amnesti kepada para pejuang mujahidin. Bila Daud Beureueh dan Hasan Aly menandatangani 

rancangan ini, ia, Amin, pribadi akan ke Jakarta untuk memperjuangkan agar persetujuan ini 

diterima Pemerintah. 

namun  Daud Beureueh dan Hasan Aly tidak menandatanganinya. Sebaliknya mereka 

merancangkan suatu peraturan pemerintah untuk ditandatangani Ali Sastroamidjojo yang 

mereka minta dibawa Amin ke Jakarta. Di dalamnya dinyatakan, Pemerintah Republik berusaha 

membuka perundingan dengan pendiri-pendiri Negara Islam Indonesia di Jawa, Aceh, 

Kalimantan, dan Sulawesi, dan melindungi serta membantu para anggota delegasi Negara Islam 

selama perundingan-perundingan ini berlangsung. Dalam surat pengiringnya, tertanggal 5 

Oktober 1954, mereka menjelaskan, apa yang mereka inginkan bukanlah amnesti namun  

perundingan.  

Semua surat ini dikirim Amin ke Jakarta, namun  Pemerintah tidak memberi reaksi. lalu  

surat-menyuratnya untuk sementara dihentikan, dan baru dimulai lagi sesudah Kabinet Ali 

Sastroamidjojo jatuh, dan digantikan pemerintah baru yang dikepalai Burhanuddin Harahap dari 

Masyumi pada Agustus 1955.  

Konperensi Batee Kureng merupakan salah satu tanda yang paling tidak mungkin diragukan lagi 

akan adanya perselisihan pendapat di kalangan pejuang mujahidin-pejuang mujahidin Darul Islam 

di Aceh. Ini membuktikan ketidakpuasan akan cara semua keputusan dibuat Daud Beureueh 

dengan sekelompok kecil penasihat, dan tunduknya urusan sipil kepada militer. 

Walaupun pasti terdapat persaingan dan pertentangan di kalangan pemimpin-pemimpin Negara 

Islam di Aceh, berbeda dengan daerah-daerah lain, tampaknya di sini ini tidak sampai 

mengakibatkan sering terjadi bentrokan antara komandan pasukan. Dengan penggeseran 

beberapa pemimpin angkatan pertama dari pusat kekuasaan pada tahun-tahun pertama, 

konperensi Batee Kureng mengadakan perubahan tertentu. Pemusatan kekuasaan dan 

lenyapnya pemimpin-pemimpin tertentu terjadi pada 1954, saat  Dewan Syura, Majelis Syura, 

dan Dewan Militer dibubarkan. saat  itu Husin Jusuf kehilangan jabatannya sebagai Kepala Staf 

Divisi Tengku Chik Ditiro beralih kepada Amir Husin al Mujahid. Walau pun ia diangkat sebagai 

koordinator keamanan untuk Aceh, kenaikan ini berarti kehilangan kekuasaan atas sebagian 

besar pasukan tempur. Hal yang sama terjadi lalu  pada penggantinya, Amir Husin al 

Mudjahid, yang digantikan oleh Hasan Aly. 

Di samping itu terdapat perlawanan terhadap reaksi Daud Beureueh mengenai tawaran dari 

pihak Republik Indonesia. Sementara orang tidak menyetujui penolakannya yang terang-

terangan akan kemungkinan tawaran amnesti, dan khususnya dalam Tentara Islam yang 

sebenarnya, ada sekelompok besar yang kuat menyetujui menerima tawaran yang demikian.  

Mengingat hal yang di atas dan banyaknya jumlah prajurit yang sudah kembali ke desa mereka, 

salah seorang komandan daerah, Iljas Lebai (Ilyas Lebai) dari Aceh Tengah, mengeluarkan

komunike pada November 1955 yang mengumumkan, tidak akan diambil tindakan terhadap para 

prajurit resimennya yang pulang ke rumah, asal saja ini tidak merugikan perjuangan. Dia sendiri 

pun diminta melapor kepada para penguasa, katanya, namun  ia jngin menantikan hasil pemilihan 

umum. Dia memikirkan akan melapor demikian sebab  kabinet yang memerintah sekarang, 

Kabinet Burhanuddin Harahap, ideologinya berdekatan dengan cita-cita perjuangan di Aceh 

(Pengumuman 20 Novemeber 1955). 

Pada umumnya sikap kaum mujahidin Darul Islam di Aceh terhadap pemilihan umum lunak. Mula-

mula, saat  jihad suci menegakkan Negara Islam meletus, sikap mereka terhadap ini mendua. Di 

satu pihak mereka menuduh Pemerintah Republik berusaha membiarkan mereka menunggu 

tanpa batas waktu, sedangkan di pihak lain pemilihan umum mereka cap sebagai alat Pemerintah 

Pusat untuk melakukan kehendaknya. Kini saat  pemilihan umum telah di ambang pintu, 

mereka tidak melakukan apa pun untuk merintanginya.  

Hasil pemilihan umum yang memuaskan di Aceh, yaitu Masyumi memperoleh dua pertiga jumlah 

suara, memberi mereka yang menyetujui diakhirinya jihad suci menegakkan Negara Islam alasan 

lain untuk menyokong sikap mereka. Kasus mereka lebih diperkukuh saat , kali ini di  bawah 

Kabinet Ali Satroamidjojo lagi; pada akhir 1956 suatu rancangan undang-undang disahkan, yang 

memberi  status provinsi otonom kepada Aceh. Undang-undang ini berlaku sejak Januari 1957. 

A. Hasjmy pemimpin Pemuda PUSA Aceh Besar sebelum Perang dan bekas Ketua BPI/Pesindo, 

menjadi gubernur pertama provinsi ini. 

Namun, faktor lain yang menyokong diakhirinya permusuhan yaitu  di bidang militer pun 

diangkat seorang bekas pemimpin gerilya menjadi pimpinan tertinggi di Aceh. Dia yaitu  

Sjammaun Gaharu, panglima Tentara Republik di Aceh untuk masa singkat selama revolusi dan 

salah seorang penandatangan ultimatum terhadap uleebalang di Lammeulo (sebelum 

jabatannya direbut Amir Husin al Mudjahid). 

berdasar  keterangannya sendiri Sjammaun Gaharu mendapat pengangkatannya berkat 

dukungan yang diterimanya dari Nasution akan gagasannya untuk mengakhiri jihad suci 

menegakkan Negara Islam di Aceh. Sering kali ia bertemu dengan Nasution dalam masa antara 

1952 dan 1955, saat  Nasution dibebaskan dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, 

untuk memberi  keterangan bagi buku-buku yang tengah ditulisnya tentang revolusi 

Indonesia dan tentang perang gerilya pada umumnya. Selama wawancara-wawancara ini 

Sjammaun Gaharu berangsur-angsur mengungkapkan pandangannya tentang cara-cara yang 

terbaik untuk menyelesaikan permasalahan di Aceh. Intisari teori ini yaitu , situasi Aceh berbeda 

dengan di tempat lain dan rumit sekali, dan persoalan ini paling baik diselesaikan orang Aceh 

sendiri dengan cara Acoh. Wakil Presiden juga tertarik akan gagasan Sjammaun Gaharu tentang 

masalah ini dan meminta dia menuliskannya. Pada Oktober 1955 ia menyampaikan hasilnya 

kepada Hatta, dan saat  beberapa hari lalu  Nasution diangkat kembali menjadi Kepala 

Staf Angkatan Darat, ia pun mengirimkan sebuah salinan kepada Nasution. 

Nasution lalu  menyambutnya dengan menawarkan kepadanya jabatan pimpinan militer 

Aceh. Pada mulanya Sjammaun Gaharu bermaksud menolak tawaran ini, sebab  dia merasa, 

pandangannya tidak sesuai dengan kebijaksanaan panglima Sumatera Utara, Maludin Simbolon. 

namun  dengan janji Nasution bahwa Maludin Simbolon akan dipindahkan dalam waktu dekat, ia 

menerima kedudukan ini. ltesempatan untuk melaksanakan gagasannya dalam praktek 

diperolehnya saat  pada akhir 1956 Maludin Simbolon—yang merupakan saingan utama 

Nasution untuk jabatan kepala staf—dalam upaya mencegah kepindahannya memutuskan 

hubungan Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara dengan Pimpinan Angkatan Darat. 

Segera Sjammaun Gaharu menjauhkan diri dari Maludin Simbolon dan tetap berhubungan erat 

dengan Nasution.  

Sekarang Sjammaun Gaharu bebas melaksanakan rencananya. Bersama dengan gubernur yang 

baru diangkat, A. Hasjmy, dan dengan sokongan tegas Nasution, ia menempuh politik 

kebijaksanaan perukunan. Pada pertengahan April 1957, pertengahan puasa, diadakan 

perundingan dengan sejumlah pemimpin Darul Islam terkemuka di Lamteh, sebuah desa 

beberapa kilometer dari Aceh. Pembicaraan mencapai puncaknya dalam Ikrar Lamteh yang di 

dalamnya keduanya berjanji masing-masing untuk memajukan Islam, mendorong pembangunan 

Aceh dalam arti kata yang seluas-luasnya, dan berusaha mendatangkan kemakmuran dan 

keamanan kepada rakyat dan masyarakat Aceh. Di pihak Republik piagam itu ditandatangani 

Sjammaun Gaharu dan kepala stafnya, Teuku Hamzah, Hasjmy, dan Kepala Polisi untuk Aceh, M. 

Insya. Pemimpin-pemimpin Darul Islam yang menandatanganinya yaitu  Hasan Aly, Hasan Saleh, 

dan Ishak Amin (bupati Aceh Besar). lalu , disertai A. Hasjmy, dan M. Insja, jammaun Gaharu 

juga menjumpai Daud Beureueh, yang pada waktu itu masih tidak ingin mendengarkan 

penyelesaian .  

Sesuai dengan kebijaksanaannya, yang dinamakannya Konsepsi prinsipiel dan bijaksana, 

Sjammaun Gaharu bersama dengan A. Hasjmy melanjutkan usaha-usahanya mencari 

penyelesaian. Keduanya tetap berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam dan 

mengunjungi Jakarta berkali-kali untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat melangkah 

dalam perundingan mereka dengan kaum pejuang mujahidin. Pada September 1957 Perdana 

Menteri Juanda mengatakan kepada mereka, mereka boleh memberi  konsep otonomi 

daerah penafsiran yang seluas mungkin, bahkan sampai kepada  pengertian bahwa Aceh 

diperlakukan sebagai negara terselldiri, asal saja mereka tetap dalam batas-batas UUDS 

Indonesia yang masih mengakui suatu republik kesatuan (Hasjmy 1958:57-58j. 

namun  tak tercapai penyelesaian pada waktu itu. Sebagiannya ini yaitu  disebabkan fakta  

bahwa jihad suci menegakkan Negara Islam PRRI-Permesta menarik perhatian, dan sebagiannya 

sebab  adanya dalam Negara Islam Aceh suatu faksi yang amat kuat, yang dipimpin Daud 

Beureueh, yang tidak ingin mendengarkan kompromi apa pun juga dan berpegang pada prinsip 

perundingan resmi antara Negara Islam Aceh dan Republik Indonesia. 

Namun, sikap pendirian Daud Beureueh makin ditentang. Khususnya di dalam Tentara Islam 

Indonesia Aceh terdapat banyak yang memikirkan untuk menyerah. Kelompok ini dipimpin 

Hasan Saleh, Panglima Divisi Tengku Chik Ditiro dan Kepala Staf Tentara Islam. Ia menuduh Daud 

Beureueh berusaha menjerumuskan Aceh ke dalam suatu perang baru tanpa memikirkan nasib 

prajurit biasa dan rakyat pada umumnya yang harus menanggung akibat-akibatnya.  

Akibatnya pertempuran sangat banyak berkurang sesudah Ikrar Lamteh. Namun, belum juga 

tampak akhir jihad suci menegakkan Negara Islam. Dua tahun lamanya lagi barulah lawan-lawan 

Daud Beureueh bulat hatinya dan benar-benar memisahkan diri dari padanya. 

Hal ini terjadi pada Maret 1959, saat , dengan menuduh Daud Beureueh bertindak sewenang-

wenang, Hasan Saleh dan pendukungpendukungnya menggulingkannya. Mereka membentuk 

pemerintah mereka sendiri pada suatu pertemuan di Pidie yang dihadiri kira-kira seribu orang 

pada 15 Maret, mereka yang berlainan pendapat ini menamakan dirinya Gerakan Revolusioner 

Islam Indonesia, lalu  membentuk Dewan Revolusi (Negara Bagian Aceh). Ketuanya yaitu  

Abdul Gani Usman, dan wakil ketuanya yaitu  Hasan Saleh, dengan Abdul Gani Mutiara sebagai 

sekretaris umum dan kepala Bagian Penerangan. Sebagai anggota termasuk pemimpin-

pemimpin Darul Islam terkemuka seperti Amir Husin al Mudjahid, T.A. Hasan, Ibrahim Salehs T.M. 

Amin, dan Husin Jusuf. 

Langkah pertama Abdul Gani Usman dalam kedudukannya sebagai ketua Dewan Revolusi yaitu  

membuat pengumuman yang menyatakan, jabatan kepala negara untuk sementara 

dilaksanakan Dewan Pertimbangan Revolusi, yang diketuai Amir Husin al Mudjahid. Pada waktu 

yang bersamaan ia memerintahkan para pengikutnya menghentikan pemungutan pajak di desa-

desa, disertai ancaman terhadap siapa saja yang masih terus melakukannya. Mengenai Tentara 

Islam, Hasan Saleh membatasi gerak para prajurit Divisi Tengku Chik Ditiro dalam asrama mereka, 

dengan menarik mereka dari desa-desa tempat mereka ditempatkan. Selanjutnya ia 

mengumumkan, Dewan Revolusi akan mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk membicarakan 

berakhirnya jihad suci menegakkan Negara Islam dengan para penguasa Republik. Pada bulan-

bulan berikutnya Dewan Revolusi diikuti pasukan dari Aceh Barat yang dipimpin T.R. Idris dan 

Komandan Resimen VII Sumatera Timur, Haji Hasanuddin. Pada Agustus, Abdul Gani Mutiara 

menyatakan Dewan revolusi didukung 25.000 anggota Darul Islam.  

Perkembangan-perkembangan ini memulai serangkaian perundingan baru. Pada awal Mei 

Sjammaun Gaharu dan A. Hasjmy bertolak lagi ke Jakarta, kali ini atas undangan Perdana Menteri 

Djuanda. Mereka menjelaskan situasi yang baru kepada Kabinet dan kepada Presiden Soekarno 

serta memberi  sejumlah anjuran tentang langkah-langkah yang harus diambil sehubungan 

dengan ini. lalu  Juanda mengeluarkan keputusan yang menyatakan, sejak 26 Mei Provinsi 

Aceh dapat menamakan dirinya Daerah Istimewa Aceh. Ini menempatkan Aceh dalam 

kedudukan yang agak khas, sebab  dari provinsi-provinsi yang lain hanyalah ibukota, Jakarta, dan 

Yogyakarta yang memiliki status istimewa. Kepada Aceh selanjutnya dijanjikan otonomi yang 

seluas mungkin, terutama dalam bidang agama, pendidikan dan hukum adat, namun  dengan 

ketentuan, seperti dinyatakan Djuanda dalam keputusannya, tidak bertentangan dengan 

perundang-undangan yang berlaku. 

Pada waktu yang sama Pemerintah Pusat mengirimkan sebuah misi ke Aceh untuk berunding 

dengan Dewan Revolusi. Misi ini dipimpin Wakil Perdana Menteri Pertama Hardi, dan di dalamnya 

termasuk Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Gatot Subroto dan Menteri 

Kestabilan Ekonomi tanpa Portfolio, Kolonel Suprayogi. Dua hari lalu , 26 Mei 1959, sesudah 

melalui usaha A. Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah menembus jalan buntu, tercapai 

persetujuan sementara dengan pemimpin-pemimpin Dewan Revolusi yang menerima usul-usul 

Pemerintah Pusat. Secara tertulis mereka sendiri berjanji kembali ke dalam haribaan Republik 

dan mengucapkan sumpah setia kepada Undang-Undang Dasar. 

Sifat yang sebenar-benarnya dari kompromi itu tetap samar-samar. Seperti telah ditetapkan 

Djuanda sebelumnya, otonomi janganlah ditafsirkan sedemikian rupa hingga setiap ketentuan 

baru yang diadakan akan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Hardi 

menambahkan di Banda Aceh, masalah apakah masyarakat Islam di Aceh dapat dipaksakan 

melaksanakan syariat Islam atau tidak, merupakan persoalan yang akan diputuskan Konstituante, 

yang saat  itu sedang membicarakan kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945. Ia 

menghubungkan hal ini dengan Piagam Jakarta, yang kini kembali menjadi masalah yang hangat 

diperdebatkan dalam Konstituante di Jakarta. Seperti ternyata, kaum politisi Islam tidak cukup 

kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang mereka peroleh ialah diakuinya oleh 

Soekarno dalam Dekret yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Piagam 

Jakarta telah mengilhami Undang-Undang Dasar ini dan merupakan kesatuan dengannya.  

Selanjutnya disetujui secara prinsip, sebagian prajurit Tentara Islam, sesudah  melalui screening 

wajib, akan dijadikan wajib militer darurat. lalu , pada 1 Oktober disetujui akan dibentuk 

Divisi Tengku Chik Ditiro sebagai bagian khusus dari Divisi Tentara di Aceh. Pegawai-pegawai 

negeri Darul Islam yang mengikuti Dewan Revolusi mendapat perlakuan yang sedikit banyaknya 

sama. Usaha yang menyatakan bahwa di mana mungkin mereka akan diintegrasikan ke dalam 

Pemerintahan Republik dikukuhkan para penguasa militer pusat pada akhir Oktober. Ini berarti 

memberi  kuasa kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk mengangkat bekas pejuang 

mujahidin yang telah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonsia pada jabatanjabatan 

dalam pemerintahan sipil.  

Daud Beureueh tidak menerima persetujuan itu. Dia dan Hasan Aly melanjutkan bertempur. 

Menurut gubernur Aceh saat  itu A. Hasjmy, mereka masih dapat mengharapkan dukungan dari 

kira-kira tiga puluh persen pengikut pertamanya. Seperti juga rekannya di Sulawesi Selatan—

Kahar Muzakkar—Daud Beureueh bergabung dengan sisa-sisa pasukan PRRI/Permesta. Mula-

mula pasukannya bergerak bersama dengan sejumlah komandan PRRI bawahan dengan anak-

anak buahnya. lalu  diperkuat dengan satuan-satuan pejuang mujahidin yang dipimpin 

Mayor Nukum dan Kapten Hasanuddin, bekas kapten Polisi Militer. Kedua mereka ini ditawari 

kedudukan menteri oleh Daud Beureueh untuk mengisi jabatan yang lowong sebab  mereka 

yang membelot ke Dewan Revolusi.  

Pada waktu yang bersamaan dilakukan pembicaraan oleh pemimpin-pemimpin PRRI dan Darul 

Islam di Aceh. Ini menghasilkan proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) federal, Februari 

1960, yang mewakili koalisi mereka yang kalah, orang-orang yang merasa dirinya bertempur 

dalam perang yang kalah di rimba. Di samping itu, RPI mempersatukan mereka yang di masa lalu 

berada dalam dua kubu yang berbeda dan paling-paling secara baik mereka memiliki simpati satu 

sama lain, dan secara jelek, mereka sama sekali bermusuhan. Tambahan lagi, Republik Persatuan 

Indonesia merupakan urusan Sumatera dan Sulawesi semata-mata. Ini membatalkan pengakuan 

yang masih dinyatakan oleh Negara Islam Indonesia dan PRR8Permesta, bahwa wilayahnya 

meliputi seluruh Indonesia. 

RPI terdiri dari sepuluh negara, semuanya kecuali dua negara yang berada di Sumatera dan 

Sulawesi. Aceh, sebagai Republik Islam Aceh (RIA), yaitu  salah satu dari enam negara Sumatera, 

dan Sulawesi Selatan satu dari dua negara di pulau itu. Selain dari delapan negara ini, barangkali 

sebagai tindakan mengambil hati terhadap RMS, terdapat Negara Maluku dan Negara Maluku 

Selatan. Secara menyolok tidak terdapat negara-negara di Jawa, seperti Negara Jawa Barat, 

bumi kelahiran gerakan Darul Islam, dan di Kalimantan Selatan, tempat Ibnu Hadjar beroperasi.  

  

 

Kedua pihak memasuki federasi baru ini dengan rasa enggan. Perundingan-perundingan 

sebelumnya antara pemimpin-pemimpin Darul Islam dan PRRI/Permesta hampir tak ada hasilnya. 

Sekalipun telah dijanjikan kerjasama dan dukungan militer, hal ini tidak pernah terlaksana. Dalam 

kedua pihak juga terdapat orang yang terangterangan menolak setiap bentuk kerja sama resmi. 

Di Sulawesi Selatan cumbu rayu Kahar Muzakkar dengan Permesta sebagian menjadi sebab 

menyerahnya Bahar Mattaliu, sementara di Aceh hubungan yang demikian merupakan salah satu 

faktor yang mendorong terbentuknya Dewan Revolusi. Pembelotan-pembelotan sekaligus 

memaksa kaum pejuang mujahidin Darul Islam yang tersisa untuk bekerja sama lebih erat dengan 

PRRI/Permesta. 

Kaum pejuang mujahidin PRRI di Sumatera pada akhir 1959 terbagi dalam tiga kelompok yang 

berbeda, yang menganjurkan jalan yang berbedabeda. Satu kelompok ingin semata-mata 

melanjutkan PRRI, bagaimana pun sudah hampir tidak ada artinya lagi akibat aksi-aksi Angkatan 

Darat, Kelompok lain, dengan Zulkifli Lubis dan Maludin Simbolon sebagai wakil-wakil utamanya, 

menyetujui proklamasi Republik Indonesia Federal, sekalipun menentang kerja sama dengan 

Darul Islam. Faksi yang ketiga menyetujui bergabung dengan Darul Islam. Jurubicara utamanya 

yaitu  dua bekas perdana menteri, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, dan politikus 

Indonesia yang berpengaruh, Sjafruddin Prawiranegara. Ketiga mereka ini lari dari Jakarta untuk 

bergabung dengan panglima-panglima daerah yang merasa tidak puas di Sumatera pada 

Desember 1957.  

RPI tidak banyak harganya baik dalam arti militer atau pun arti politik. Persekutuan yang 

mengkhawatirkan antara orang-orang muslim seperti Daud Beureueh dan Kahar Muzakkar yang 

selama bertahuntahun telah bertempur untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Islam 

Indonesia, orang-orang muslim yang terus-menerus dalam waktu yang lama menduduki jabatan-

jabatan penting di Republik Indonesia, dan panglima-panglima militer seperti Maludin Simbolon 

Kawilarang, dan Warouw yang selama masa berikutnya telah memimpin aksi-aksi militer 

Republik Indonesia terhadap Darul Islam, dan beberapa orang dari mereka itu Kristen pula, 

sangatlah berbahaya. RPI mungkin mewakili, seperti yang dilukiskan Hasan Muhammad Tiro, 

suatu tindakan "untuk menjamin hak suci mereka untuk membentuk pemerintahan sendiri yang 

diingkari kediktatoran Soekarno di Jakarta yang memaksakan kolonialisme Jawa terhadap lebih 

dari selusin bangsa", atau penolakan terhadap "kolonialisme baru, Jawa sawo matang", namun  

hanya dendam terhadap Soekarno dan orang Jawa sajalah yang merupakan persamaan mereka. 

Akibatnya, RPI sangat singkat usianya. Pada April 1961 Maludin Simbolon dan seorang panglima 

militer lain, Achmad Husein (Achmad Husein), memisahkan diri dari RPI untuk membentuk

 

Pemerintah Darurat Militer. lalu  mereka mengeluarkan imbauan kepada para pejuang 

mujahidin untuk menghentikan perlawanan mereka dan menyerahkan diri pada Juni dan Juli. 

Pemimpin-pemimpin sipil menyusul sesudah  menerima janji diberi ampun oleh Soekarno. 

Sjafruddin Prawiranegara menasihati para pengikutnya untuk menyerah, dia sendiri melapor 

kepada penguasa pada akhir Agustus.  

Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari jihad suci menegakkan Negara Islam, termasuk jihad suci 

menegakkan Negara Islam Darul Islam di Aceh. Di sini pada bulan-bulan sebelumnya banyak 

orang telah melaporkan diri. Keamanan sepenuhnya pulih di Aceh, Mei 1962, saat  Daud 

Beureueh pun menghentikan perlawanannya. 

Untuk merayakan perubahan Aceh dari Dar al harb, wilayah perang, ke Dar al-salam, daerah 

damai (untuk memakai  ungkapan yang berlaku saat  itu), dan selanjutnya guna 

mengungkapkan pernyataan resmi akan persatuan Aceh yang telah pulih, diselenggarakan suatu 

upacara akbar pada akhir tahun itu, yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA), yang 

berlangsung di Blangpadang dari 18 sampai 22 Desember 1962. Puncak hasilnya yaitu  Ikrar 

Blangpadang, yang ditandatangani tujuh ratus orang Aceh terkemuka yang hadir. Mereka 

berjanji akan memelihara dan membina kerukunan serta memancarkan persatuan dan 

persahabatan.  

Sesudah itu Aceh tetap tenang selama kira-kira lima belas tahun. Pada awal 1977, saat  

diberitakan lagi tentang kegiatan-kegiatan Darul Islam juga di Jawa dan bagian-bagian lain di 

Sumatera, Hasan Muhammad Tiro memproklamasikan Aceh sebagai negara merdeka. Dengan 

menamakan dirinya Ketua Front Pembebasan Nasional dan Kepala Negara, ia kembali ke Aceh 

untuk secara pribadi memimpin perjuangan Gerakan Aceh Merdeka, namun  gerakan ini tidak 

banyak memperoleh momentum. 

 

Kekuatan perjuangan Darul Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo sesungguhnya 

terletak dalam kemampuan untuk mengatur, menyusun dan menyelenggarakan susunan 

ketentaraan dan susunan organisasi kenegaraan NII. Pergerakan menuju berdirinya Negara Islam 

Indonesia sejak tahun 1939 telah dirumuskan dengan langkah langkah yang jelas, namun 

mengapa pada akhirnya mujahid besar ini ditangkap lawan dan ditinggalkan para pengawalnya 

sendiri, ini merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Bila kita lakukan kilas balik, maka dalam 

sebuah konferensi di Cisayong, bersama para Ulama dalam Majlis Islam, telah disepakati bahwa 

langkah perjuangan haruslah melalui langkah langkah berikut : 

1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam. 

2. memberi  penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan 

Feblisit (referendum) 

3. Membangun daerah daerah basis. 

4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia. 

5. Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di 

dalam negeri bisa melaksanakan syari’at Islam seluas luasnya dan sesempurna 

sempurnanya, sedang keluar, sanggup berdiri sejajar dengan negara negara lain. 

6. Membantu perjuangan muslimin di negeri negeri lain sehingga cepat bisa melaksanakan 

wajib sucinya. 

7. Bersama negara negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat 

Kholifah dunia. 

Tahapan tahapan di atas demikian realistis, jauh dari kesan tergesa gesa, atau perlawanan 

sekedar sebab  tidak kebagian jatah kekuasaan, namun  muncul dari kebeningan hati, keteguhan 

jiwa dan langkah langkah yang istiqomah dalam tahapan yang demikian sistematik. 

Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi 

Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa 

yaitu  sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit. 

Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah, 

sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja 

menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan 

jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur figur yang 

memiliki sebersih bersih tauhid, setinggi tinggi ilmu dan sepandai pandai siasat. Namun sayang 

jumlahnya tidak banyak, dan sebagai pejuang, para pemimpin mujahidin tampil di gelanggang 

terdepan perjuangan, sehingga satu demi satu bunga Negara Islam Indonesia ini gugur sebagai 

Syuhada. Dan pada giliran berikutnya, saat  perang Totaliter terus berlanjut, rakyat banyak yang 

bersimpati pada Negara Islam ini, bahkan berbondong bondong menjadi warga dan tentara 

Islam, namun pengkaderan berbobot semacam Institut Suffah tidak sempat lagi dilakukan. Pada 

akhirnya mereka yang berduyun duyun meninggalkan Republik Indonesia di saat perjuangan 

bersenjata NII tengah naik daun ini, mereka itu pula yang berbondong bondong kembali ke 

pangkuan ibu pertiwi mereka, di saat kekuatan NII terdesak. 

Disamping itu Kartosoewirjo juga pandai memakai  situasi kondisi politik dan militer dalam 

menyusun dan mengatur administrasi pemerintah NII yang dia selalu sesuaikan dengan keadaan 

yang berlaku atau dengan perubahan-perubahan keadaan di dalam maupun di luar negeri. Setiap 

perubahan dan perkembangan politik telah dijadikan dasar pertimbangannya dalam mengatur 

dan menyempurnakan susunan pemerintahan. 

Tentara Nasional Indonesia, sebagai tulang punggung Republik Indonesia mempersiapkan 

rencana operasi untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia ini, peperangan antara RI dan NII 

benar benar total meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari perang propaganda, perang 

intellijen sampai penghancuran satuan satuan militer TII. Keberhasilan TNI menghancurkan TII 

didahului dengan keberhasilan operasi intellijen.  

Pada tahun 1951 Sersan Mayor Ukon Sukandi yang bertugas sebagai intel dengan nama samaran 

Sukarta, memperoleh informasi adanya bekas komandan/tokoh TII, dari Batalyon Kalipaksi yang 

berkedudukan di Garut, bernama Ali Murtado, telah melemah semangat tempurnya dan kembali 

ke kota. Ukon Sukandi mendatanginya dan berusaha merebut simpati bekas komandan ini 

dengan berbagai kebaikan. Ali Murtado tertarik dengan segala kebaikan Ukon Sukandi tadi 

bahkan Ali Murtado melaporkan pada pimpinan TII di atasnya –pamannya sendiri- Bapak Sujai 

bahwa Ukon Sukandi ini pantas untuk direkrut demi kepentingan TII dalam menjalankan aksi 

intellijen di kota. 

Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado 

berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi 

masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi 

berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberi  banyak bantuan kepada komandan TII ini , 

baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan 

rasa simpati terhadap perjuangan Negara Islam. Bapak Sudjai terkecoh dengan kemurahan ini, 

lalu  ia mengirim surat balasan pada Ukon Sukandi bahkan dalam surat itu ia menjelaskan 

dirinya sudah mengusulkan kepada Panglima Wilayah Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah 

agar mengangkat Ali Murtado sebagai petugas khusus di Jakarta, yang setiap saat bisa dihubungi 

oleh Ukon Sukandi. 

Dua hari lalu  datang surat penetapan dari Komandan Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus 

Abdullah yang menetapkan dan mengangkat Ali Murtado sebagai Kepala Pos Hubungan Wilayah 

I dan berkedudukan di Jakarta. Penugasan ini terasa membawa dampak positif bagi lalu lintas 

surat menyurat untuk kepentingan perjuangan NII, dan Agus Abdullah melaporkan hal positif ini 

kepada Imam Kartosoewirjo, yang selanjutnya Imam memerintahkan Agus Abdullah untuk 

meningkatkan hubungan dan kegiatan di Jakarta, bahkan kalau memungkinkan dibentuk 

perwakilan pemerintah NII di Jakarta. Akhirnya Agus Abdullah memerintahkan kepada Ali 

Murtado untuk menyusun personalia guna mengisi jabatan dalam perwakilan Pemerintah NII di 

Jakarta. Kartosoewirjo mempercayai Ali Murtado, sebab  usulan ini datang dari orang 

kepercayaan Kartosoewirjo sendiri di Jawa Barat (Komandan Divisi). 

Ali Murtado menyampaikan surat ini kepada Ukon Sukandi, segera saja ia membahasnya 

bersama Komandan Intellijen TNI, Letnan Muda Satiri dan Kepala seksi I KMKB – DR (Komando 

Militer Kota Besar Djakarta raya) , Lettu Suhadi. Dengan persetujuan Seksi I KMKB – DR, sesudah  

berhasil menyusupkan anggota kepolisian dari seksi Djatinegara, segera Ukon Sukandi dan Ali 

Murtado menyusun personalia perwakilan Pemerintah NII sebagai berikut : 

Komandan : Ali Murtado 

Wakil Komandan : Sukarta (nama samaran Sersan Mayor TNI Ukon Sukandi) 

Kepala Kepolisian : Among (Anggota POLRI sesksi Djatinegara) 

Perwakilan pemerintahan ini menunjukkan keberhasilan kerja yang lumayan (maklum sebab  

memang disponsori oleh agen intellijen RI), saat  Sukarta berhasil meluluskan transaksi jual beli 

senjata. Walaupun akhirnya senjata yang telah berhasil dibeli NII itu berhasil dirampas kembali 

dalam sebuah pemeriksaan truk di jalan Karawang – Purwakarta. Terbongkarnya truk yang 

membawa senjata ini bukanlah kebetulan, namun demikianlah rencana TNI untuk menjebak 

aparat NII yang telah berhasil disusupinya. 

Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan 

pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, sebab  pihak 

intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur 

  

 

kontra intellijen RI di tubuh NII namun  sebab  kecerobahan para prajurit TII sendiri di Karawang. 

Pada tahun itu juga Agus Abdullah memberitahukan Ali Murtado dan Sukarta bahwa Kolonel TII, 

wakil Komandan wilayah I Sunan Rahmat akan datang mengontrol pasukan ke Jakarta, sebab 

sebelumnya Sukarta berhasil menipu Ali Murtado dengan mengatakan bahwa dirinya berhasil 

menyusun satuan satuan rakyat terlatih yang mendukung perjuangan NII. 

saat  Kolonel TII Sohby datang ke Jakarta dan menyatakan keinginannya untuk menginspeksi 

pasukan, Sukarta menyampaikan alasan bahwa para prajurit yang dilatihnya tersebar di berbagai 

wilayah Jakarta, dan ia minta waktu dua hari saja untuk mengumpulkan mereka. Untuk 

memenuhi keinginan ini dan demi memperkuat rasa percaya pemerintah NII terhadap dirinya, 

maka “simunafiq” Ukon Sukandi ini mengontak pimpinan intel Jakarta untuk meminjam 

beberapa puluh karaben dari Detasemen Markas. Bersamaan dengan itu juga dikumpulkan 40 

orang intel yang secara kilat dilatih tatacara upacara militer TII oleh Ali Murtadho. untuk hadir di 

sekitar Rawa Buaya daerah Tangerang, berpura pura sebagai pasukan TII yang siap menyambut 

kedatangan komandannya. 

Kolonel TII Sohby menyatakan kepuasaannya melihat kesigapan ‘para prajurit’ itu, bahkan 

mengomentari, “sekalipun berada di daerah jantung musuh, namu semangat dan disiplinnya 

melibihi pasukan TII yang kini beroperasi di gunung gunung.” Selama seminggu di Jakarta Sohby 

menyuruh Ali Murtado untuk mengetik surat buat Imam Kartosoewirjo dan kepada Agus 

Abdullah dan ditembuskan kepada semua panglima wilayah TII, bahwa sesudah  mendapat restu 

dari Imam NII ia (Kolonel TII Sohby) akan melanjutkan tugasnya sebagai Duta Keliling di luar 

negeri .  

Berita ini tentu saja amat bernilai di mata intellijen RI, Sersan Mayoor Ukon Sukandi segera saja 

melaporkan hal ini kepada Kepala Seksi I Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. Si munafik 

Ukon Sukandi mengusulkan agar Sohby tidak ditangkap di Jakarta, sebab itu akan memicu  

kecurigaan pemerintah pusat NII kepadanya. Akhirnya Sohby dijebak di Bogor, sekaligus Ukon 

Sukandi memfitnah, melaporkan pada pemerintah pusat, bahwa tertangkapnya Duta besar 

keliling NII ini disebabkan pengkhianatan A.M Firdaus. Dengan demikian pihak TNI berhasil 

menghancurkan dua orang sosok pilihan Negara Islam sekaligus. Sohby ditangkapnya, sedang 

tentara Islam yang asli A.M. Firdaus dihukum mati oleh kawannya sendiri. 

Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, saat  ia 

menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan 

Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian  

 

meminta Ukon Sukandi untuk membeli beberapa peti peluru untuk pasukan TII yang dipimpin 

Letkol TII Ahmad Sungkawa. Ukon Sukandi berhasil membobol keuangan NII dengan cara 

menjual peluru jelek yang bisa membuat senjata rusak, disamping itu Sohby pun sengaja 

dilepaskan, dengan skenario melarikan diri loncat dari pickup di tikungan Jalan Setiabudi, 

tanjakan Lembang Bandung. Dan dalam upaya melarikan diri itulah Sohby ditembak dengan 

penembakan yang sudah dipersiapkan, sehingga terjangan peluru sulit dihindarkan. Licin sekali 

siasat ini, Ukon Sukandi sempurna melaksanakan tugasnya. Tanpa curiga karir si munafik ini terus 

menanjak, ia berhasil menguasai KBW I NII (Kantor Berita Wilayah) yang berdasar  keputusan 

Kartosoewirjo semua surat keluar masuk pulau Jawa harus melalui Jakarta. 

Demikian strategisnya posisi yang berhasil dicaplok Ukon Sukandi sehingga seluruh jaringan 

Koordinasi Pemerintah Pusat NII dengan wilayah lainnya berhasil d lacak lewat KBW I Jakarta ini. 

Tidak Heran bila pada tahun 1953 KUKT APNII Abdul Fatah Tanu Wirananggapati yang baru saja 

pulang menggalang wilayah Aceh menjadi bagian dari NII, tertangkap di Jakarta.  

Penyusupan yang dilakukan lewat Ukon Sukandi dengan memperalat Ali Murtado ini, terus 

berkembang, sehingga pada tahun 1955, di Bandung saja, antara pejuang TII asli dengan pasukan 

Intellijen RI yang berhasil disusupkan sudah fifty-fifty . Akibatnya mudah diduga, apapun perintah 

Kartosoewirjo dalam mengatur strategi perang, dengan mudah digagalkan oleh TNI. Ini 

diakibatkan oleh kecerobohan aparat TII yang dengan mudahnya menerima kembali seorang 

yang telah berhenti berjuang dan kembali ke kota (Ali Murtado), yang lalu  hanya sebab  

dianggap berhasil merekrut seorang kader potensial, langsung diangkat kembali untuk menjabat 

posisi penting, tanpa memproses pelanggarannya. 

Kartosoewirjo semakin terdesak , secara militer digerogoti oleh agen agen kontra intellijen RI, 

dan secara politik dengan semakin menancapnya kuku kekuasaan Presiden Sukarno. Dekrit 

Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 di mana Presiden Soekarno mengemukakan dasar-dasar 

yang akan dijadikan GBHN, dan lalu  terkenal sebagai Manipol USDEK. Pada waktu itu bagi 

Kartosoewirjo sudah jelas, bahwa sesudah  Soekarno dapat memegang kembali kekuasaan di 

tangannya, bagi Negara Islam Indonesia akan timbul masa-masa yang sulit.  

Dalang peperangan strategi pertempuran masing masing negara bisa berbah sesuai keperluan, 

pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1958 merevisi doktrin militer yang 

selama itu dipraktekkan . Hasilnya yaitu  konsep Perang Wilayah dengan dasar pemikiran, 

bahwa tanpa adanya bantuan aktif dari masyarakat, perjuangan suci tidak akan dapat ditumpas. 

Untuk itu keadaan masyarakat harus distabilisasikan dan cara berpikir yang konstruktif serta 

integrasi nasional perlu didukung untuk mencapai partisipasi yang aktif dari rakyat dalam tugas-

tugas pertahanan. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan doktrin Perang Wilayah yaitu  

Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang pernah menjabat sebagai atase militer di Beograd. 

Rupanya Ibrahim Adjie berorientasi pada pengalaman perang gerilya Jugoslavia selama perang 

dunia kedua. lalu  konsep Perang Wilayah disyahkan oleh Ketetapan MPRS No. 

II/MPRS/1960.  

Namun sebelumnya, pada bulan Februari 1959 telah disusun “Petunjuk Pokok Pelaksanaan 

Pemulihan Keamanan (P4K) yang bersandar pada konsep Perang Wilayah dan yang merupakan 

suatu petunjuk untuk pemakaian  seluruh sarana militer seefisien mungkin. Akhirnya lahirlah 

Rencana Pokok 2.1. (RP 2.1.) untuk membatasi kebebasan bergerak lawan sehingga lawan 

terdorong ke dalam daerah-daerah tertentu yang lalu  diselesaikan satu per satu. Untuk 

melaksanakan rencana ini , pada bulan Desember 1959 disusun Rencana Operasi 2.1.2. dan 

lalu  pada bulan Februari 1961 dikeluarkan RO 2.1.2.1. yang merupakan percepatan dari 

Rencana Operasi 2.1.2. Kalau dalam RO 2.1.2. pemulihan keamanan wilayah Jawa Barat 

direncanakan dalam waktu 5 tahun, yaitu sampai tahun 1965, dalam RO 2.1.2.1. waktu dipercepat 

sampai akhir tahun 1962. 

Tak lama sesudah  Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, 

di seluruh Jawa Barat serempak Operasi Wilayah GERAK, TANAH dan GODAM. Sesuai dengan 

Rencana Pokok 2.1.2. wilayah Jawa Barat dibagi menjadi tiga daerah operasi, Daerah Operasi A 

(DO-A), dimana telah tercapai normalisasi keadaan, Daerah Operasi B (DO-B) yang sudah 

dikontrol oleh TNI namun  belum 100 % bersih dari pemberontak Darul Islam dan Daerah Operasi C 

(DO-C) yang masih sepenuhnya dikontrol oleh perjuangan suci Darul Islam. Pihak militer dengan 

demikian menjiplak sistem D.I/D.II/D.III yang dipraktekkan perjuangan suci Darul Islam. 

Penumpasan dan pengisolasian perjuangan suci Darul Islam dimulai pada pertengahan tahun 

1960 di Kabupaten Lebak (DO-C 19) yang termasuk Korem Banten, untuk menutup kemungkinan 

adanya anggota pejuang mujahid Darul Islam dapat menyeberang ke Sumatra. Di daerah Banten 

ini juga untuk pertama kali penduduk setempat diikut sertakan dalam operasi militer yang mula-

mula dinamakan sebagai “Perang Bedok” dan lalu  terkenal sebagai sistem “Pagar Betis”. 

Pada mulanya sistem ini kurang berhasil, namun sesudah  ada perbaikan maka sistem Pagar Betis 

merupakan salah satu syarat untuk berhasil dalam peningkatan dan pengisolasian Tentara Islam 

Indonesia, terutama di daerah Banten dan Priangan. 

Situasi yang demikian menjepit, dimana rakyat yang semula berpartisifasi aktif dalam 

mempertahankan berdirinya negara Islam Indonesia, perlahan lahan menarik bantuannya. Hal ini

disebabkan oleh dua hal, pertama, akibat adanya usaha usaha musuh NII yang membuat satuan 

satuan TII palsu yang melakukan tindakan tindakan kejam terhadap rakyat, dimana mereka 

membunuh, membakar dan merampok, sedang pada saat melakukan tindakan keji itu mereka 

memakai  tanda tanda yang membuat mereka dikenal sebagai gerilyawan NII. Ke dua, akibat 

tekanan TNI, dimana seluruh rakyat harus terlibat dalam gerakan “Pagar Betis”, jika menolak, 

maka langsung dituduh sebagai pendukung NII. Pada saat saat genting itu Imam Kartosoewirjo 

mengeluarkan sebuah “washijat” sebagai berikut. : 

WASHIJAT IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA S.M. KARTOSOEWIRJO 

Bismillaahirrohmaanirrohiem 

 

Washijat Imam pada pertemuan dengan para Panglima/Pradjurit (Mudjahid) pada tahun 1959 

diantaranja berbunyi begini : “saja (Imam) melihat tanda tanda bentjana angin jang akan 

menjapu bersih seluruh mudjahid ketjuali jang tertinggal hanya serah/bidji mudjahid yang benar2 

memperdjuangkan/mempertahankan tetap tegaknja Negara islam Indonesia sebagaimana 

diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949. Disa’at terdjadinja bentjana angin ini  ingatlah 

akan semua Washijat saja ini : 

1. Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan. 

2. Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima. 

3. Mudjahid djadi luar Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid. 

4. Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui 

Strategi dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi 

kelandjutan tetap berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia. 

5. Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang 

tertinggal hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi 

Imam. 

6. Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan 

terus berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT. 

7. Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila 

masih ada, walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang stu itu untuk mengigit. 

8. Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun. 

Washijat di atas seharusnya dipegang oleh setiap Tentara Islam, sebagai amanat 

perpisahan, dimana sekalipun sesudah  ini mereka tidak lagi bertemu dengan Imam. 

Perjuangan tidak boleh terhenti apalagi menyerah, sebab selama kebathilan masih tegak, 

 

maka selama itu perlawanan harus dilanjutkan, sekalipun yang tersisa tinggal satu gigi, 

maka gunakanlah gigi yang tinggal satu itu untuk menggigit ! 

Di pihak lain TNI dalam merealisasikan Konsep Perang wilayah ini , Angkatan Bersenjata 

Republik Indonesia ini merencanakan Operasi Cepat I-XII dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31 

Januari 1962, Operasi Brata Yudha I-IV dari bulan Maret sampai bulan Juni 1962 dan Operasi 

Pamungkas dari bulan Agustus 1962 sampai bulan Januari 1963, yang akan merupakan operasi 

militer terakhir.  

Dalam keadaan terdesak pihak pejuang mujahid Darul Islam pada tanggal 11 Juni 1961 

mengeluarkan “Perintah Perang Semesta” (PPS) yang tidak ditandatangani oleh Kartosoewirjo, 

melainkan oleh Taruna, seorang sekretaris pribadi Kartosoewirjo. Tapi tanpa melihat siapa yang 

mengeluarkan perintah ini , PPS tidak dapat lagi mencegah berakhirnya perjuangan suci 

Darul Islam. Sebab sementara itu kesatuan-kesatuan TII di daerah Banten, Pangrango-Gede, 

Burangrang dan Tangkuban Perahu telah dapat ditumpas atau mereka menyerah kepada 

pasukan pemerintah dalam rangka pemberian amnesti yang berlaku sampai bulan Oktober 1961. 

Juga peningkatan perjuangan suci Darul Islam yang dilakukan terus menerus oleh pasukan TNI 

menyulitkan komunikasi antara masing-masing kelompok kesatuan TII. 

Sebagai akibat “Perintah Perang Semesta” yang merupakan reaksi terhadap penumpasan 

perjuangan suci Darul Islam di daerah Banten, kini TII melakukan tindakan balasan terhadap TNI 

dimana banyak jumlah korban dari pihak TNI saat  kesatuan-kesatuan TNI di pedalaman 

dihadang oleh pejuang mujahidin TII atau perkemahan mereka diserang pada malam hari. Pada 

bulan September 1961 Menteri Keamanan Nasional A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi 

tentang pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuang mujahidin TII yang menyerang dalam 

rangka amnesti yang dikeluarkan pemerintah. Mereka dibagi ke dalam lima golongan, yaitu 

golongan A yang terdiri dari pemikir, pejabat dan menteri; golongan B terdiri dari perwira; 

golongan C hanya terdiri dari para pengikut saja dan golongan D yaitu  mereka yang tidak 

tercantum dalam A-C golongan terakhir yaitu golongan X yaitu  warga asing. Untuk golongan A 

ditetapkan, bahwa mereka dipulangkan ke tempat asalnya dan diberi lapangan kerja. Juga 

mereka yang termasuk golongan B di bagikan lapangan kerja atau mereka dipekerjakan di 

perusahaan negara asal mereka memenuhi syarat. Sebaliknya mereka yang termasuk golongan 

C ditransmigrasikan. Bagi semua yang termasuk dalam kelima golongan ini  di atas 

dikenakan “karantina politik” dan mereka tidak boleh turut lagi dalam kegiatan politik. Pada 

bulan November A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi lagi “tentang petunjuk persoalan 

khusus dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuangan mujahidin Darul Islam,

 

yang menyerah”. berdasar  instruksi ini  masing-masing golongan A sampai D dibagi-

bagi lagi kedalam golongan-golongan yang lebih kecil. Dengan demikian Kartosoewirjo sekarang 

termasuk golongan A1. 

namun  Kartosoewirjo tidak menyerah, meskipun dia sadar bahwa akhir perjuangan sucinya telah 

dekat. Bahkan dengan semangat juang yang tinggi Kartosoewirjo masih berpidato di markasnya 

di daerah gunung Galunggung untuk meneguhkan moral para pejuang mujahidin, dan dia 

mengatakan antara lain bahwa “untuk memasuki gedung Darul Islam itu tidak tanpa melalui 

proses pengaliran darah secara besar-besaran”. Dalam sindiran terhadap tauhid, Kartosoewirjo 

mengatakan bahwa kalau di dalam suatu negeri terdapat dua kepala negara, maka salah satu 

dari mereka, Soekarno atau dia harus menyingkir.  

Pada tanggal 2 Januari 1962 Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie mengeluarkan perintah harian 

kepada pasukannya. Sementara itu kesatuan-kesatuan Darul Islam yang bermarkas di 

Cakrabuana dan Galunggung, dimana diperkirakan juga terdapat markas Kartosoewirjo, 

menghadapi pengepungan total. Pengepungan terhadap para pejuang mujahidin TII hanya 

dimungkinkan berdasar  partisipasi rakyat dalam sistem Pagar Betis. Dengan demikian di 

Kecamatan Ciawi dikerahkan 5653 orang yang dibagi atas 1127 pos penjagaan. Sementara itu 

pemimpin-pemimpin Darul Islam, diantaranya Zainal Abidin dan Ateng Djaelani telah menyerah 

kepada pasukan pemerintah RI. 

Pada tanggal 1 April 1962 mulai dilancarkan Operasi Brata Yudha I. Dalam operasi ini  daerah 

operasi dibagi menjadi 4 Kuru Setra, suatu istilah yang diambil dari epos Brata Yudha. Yakni: Kuru 

Setra I (DO-C-5) yang meliputi seluruh kompleks Gunung Galunggung; Kuru Setra II (DO-C 8-9) 

meliputi kompleks Guntur dan Batara Guru; dalam Kuru Setra III (DO-C 6) termasuk Rangas dan 

Baroko dan Kuru Setra IV (DO-C 12) meliputi kompleks Cimareme. Pada tanggal 24 April 1962 

terjadi pertempuran antara pasukan TII dengan pasukan TNI di daerah Bandung Selatan tepatnya 

di Gunung Pedang dekat desa Cipaku. Dalam pertempuran ini  Kartosoewirjo tertembak di 

pantatnya. Perjuangan yang penuh de