Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 13
dah 1954 menjadi sering lagi. Di Aceh Barat,
Tengah, dan Timur pun—daerah-daerah yang dianggap Pemerintah Repubtik relatif aman—
Darul Islam menjadi lebih aktif, sebagian akibat kemarahan terhadap tingkah laku pasukan
Republik dan sebagian sebab gerakan pasukan Tentara Islam. Pada awal 1955 Hasan Saleh
pindah dari Pidie ke Aceh Barat. Sesudah meninggalkan saudaranya Ibrahim Saleh memimpin di
sini, dia lalu terus ke Aceh Timur, dengan tujuan terakhir Tapanuli. Pasukannya di Aceh Timur
diperkuat satuan-satuan yang dipimpin Banda Chairullah (Banda Khairullah), yang juga berasal
dari Pidie. Pasukan lain dari Pidie, yang dipimpin A.G. Mutiara, masuk di Aceh Barat.
Lebih daripada sebelumnya, Darul Islam di Aceh kini juga berusaha merugikan Pemerintah
Republik secara ekonomis. Bukan saja mereka terus melakukan upaya mengganggu
perhubungan, namun juga menujukan serangan pada bermacam perkebunan dan perusahaan
industri. Sejumlah perkebunan damar di Aceh Tengah diserang dan dibakar. Di Aceh Timur
ladang-ladang minyak menjadi sasaran serangan kaum pejuang mujahidin. Pejuang mencatat
salah satu hasilnya yang terbesar pada Maret 1955, saat meleka menyerang Pelabuhan Kuala
Langsa, dengan membakari semua gudang (hanya gudang KPM yang luput secara misterius),
dan mengakibatkan banyak sekali kerugian.
Sulit sekali Tentara Republik menumpas kegiatan-kegiatan pejuang . Pada 1956 Komando Militer
Sumatera Utara terpaksa mengakui, semangat tinggi tentara pejuang mujahidin—yang
kekuatannya ditaksir 1.400 orang, musuh mempunyai pendukung dan simpatisan di hampir
setiap desa. Di Aceh, demikian dinyatakan, satu syarat utama untuk melakukan perang gerilya
dengan berhasil terpenuhi, yaitu dukungan rakyat setempat. Bahkan orang-orang yang pada
mulanya menentang Negara Islam Indonesia, atau bersikap netral, dapat ditarik ke pihak pejuang
mujahidin sebab propaganda yang mereka lakukan.
Pimpinan tentara mengakui, tingkah laku yang tidak senonoh para prajuritnya sendiri menambah
keberhasilan propaganda Darul Islam. Prajurit-prajurit dari luar daerah—Batak Minangkabau,
dan Jawa—kadang-kadang sangat menyakitkan hati orang Aceh dengan kelakuan mereka.
Untuk memperbaiki hal ini Angkatan Darat mengeluarkan perintah kepada anggotanya agar
berlaku baik terhadap rakyat setempat, dengan memberi keterangan tentang masyarakat
Aceh maupun nasihat bagaimana harus bersikap dalam masyarakat ini. Demikianlah mereka
dilarang memasuki masjid memakai sepatu dan main judi serta minum minuman keras, dan
diperingatkan agar menghormati adat istiadat setempat. Dalam hubungan ini mereka diberi tahu
bagaimana bersikap sopan dalam menghadapi wanita Aceh, dengan menasihatkan mereka, bila
ingin kawin dengan seorang gadis setempat, agar menghubungi orang tuanya dan kerabatnya,
dan mengetahui aturan-aturan yang bersangkutan lebih dahulu.
Peristiwa-peristiwa lain menyangkut perampokan oleh pasukan Republik, pembakaran rumah-
rumah yang ditinggalkan pemiliknya sebab mereka dicurigai telah menyeberang ke pihak
pejuang mujahidin, dan pembunuhan serta penyiksaan para tawanan dan penduduk-penduduk
desa yang tidak berdosa.
Menurut laporan, dua peristiwa yang paling hebat yaitu di Cot Jeumpa dan Pulot Leupung, dua
desa dekat Banda Aceh di Aceh Besar, suatu daerah yang dianggap aman oleh Angkatan Darat,
pada Februari 1955. Kedua peristiwa ini disingkapkan harian Peristiwa, yang terbit di Banda Aceh.
Menurut berita Peristiwa, pasukan Republik pada 26 Februari menangkapi semua penduduk Cot
Jeumpa dan menembak mati mereka semua. Peristiwa yang serupa terjadi dekat Pulot Leupung
dua hari lalu . Peristiwa mengatakan, dalam kedua kejadian ini kira-kira dua ratus orang
seluruhnya terbunuh, termasuk anak-anak. namun versi yang dikemukakan Tentara berbeda.
Dengan tidak menyangkal besarnya jumlah kematian, mereka berusaha memberi alasan dengan
mengatakan, korban-korban ini semua tewas dalam pertempuran. Beberapa hari sebelum
kejadian-kejadian ini, juru bicara Angkatan Darat menjelaskan, tembakan-tembakan dilepaskan
terhadap sebuah truk tentara pada sebuah jembatan dekat Cot Jeumpa. Salah sebuah peluru
mengenai tank bensin, truk terbakar, akibatnya lima belas prajurit mati terbakar. Jebakan itu
dipasang Pawang Leman, bekas mayor pada zaman revolusi dan bekas camat setempat.
Keterangan yang dikumpulkan Tentara Republik menyatakan, rakyat setempat pada hari yang
nahas itu menyuruh pulang kembali semua lalu lintas—kecuali truk tentara itu—dengan dalih
bahwa jembatan putus. Menurut sumber yang sama, Pawang Leman telah menghasut rakyat
untuk memulai perang sabil. lalu komandan pasukan Angkatan Darat setempat
memutuskan menyelidiki berdasar keterangan ini, dan mengirimkan sebuah patroli ke Cot
Jeumpa. Di sini patroli ini ditembaki dan diserang pasukan Darul Islam (dengan ini dimaksudkan
rakyat setempat) dengan parang dan pisau dan harus menjawab serangan ini. Hal seperti itu
terjadi di Pulot Leupung. Di sini sebuah patroli tentara diserang penduduk desa. Sebuah
keterangan lain yang dikeSuarkan menekankan, tidaklah mungkin membedakan pejuang
mujahidin dari penduduk desa biasa, sebab para pejuang mujahidin telah bercampur dengan
rakyat setempat atau memaksa penduduk desa maju di barisan depan.
Pembunuhan di Cot Jeumpa dan Pulot Leupung memicu protes hebat dari organisasi-
organisasi Islam dan Aceh. Front Pemuda Aceh mengancam akan melaporkan peristiwa ini
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara Konperensi Asia-Afrika, bila tidak
ditindak demi keadilan dan suatu penyelidikan dimulai Pemerintah. Dalam Parlemen pernyataan-
pernyataan diajukan Muhammad Nur el Ibrahimy, Amelz, dan Sutardjo Kartohadikusumo. Di
pihak Pemerintah Menteri Dalam Negeri dikirim ke Aceh, sedangkan wakil-wakil Staf Tentara
Pusat dan Jaksa Agung pun mengunjungi daerah itu. Selanjutnya, gubernur Sumatera Utara, S.M.
Amin, mulai penyelidikan. saat mengunjungi kedua desa itu didapatinya Cot Jeumpa
seluruhnya kosong, sedangkan di Pulot Leupung semua mereka yang luput dari pembantaian
telah lari ke gunung. Sesudah ini Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberi keterangan
kepada DPR atas nama Pemerintah dalam pertengahan April. Keterangan tentang peristiwa-
peristiwa ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan Angkatan Darat.
Peristiwa yang menyangkut pasukan Republik digunakan mereka yang menyetujui penyelesaian
damai untuk mendesak sekali lagi diadakan perundingan dan diberikan konsesi kepada beberapa
tuntutan kaum pejuang mujahidin. Sejauh ini upaya untuk meyakinkan pejuang mujahidin-
pejuang mujahidin Darul Islam di Aceh untuk menghentikan perjuangan mereka dan berunding
dengan Republik telah gagal. Gubernur baru Sumatera Utara, S.M. Amin, melakukan surat-
menyurat dengan pemimpin-pemimpin pejuang mujahidin yang terkemuka sejak akhir 1953.
Walaupun dia sendiri bukan orang Aceh (dia sendiri seorang Batak Mandailing), hubungan Amin
dengan Daud Beureueh dan rekan-rekannya yang akrab baik. Sebenarnya, pengangkatannya
sebagai pengganti Abdul Hakim, yang menjauhi pemimpin-pemimpin Aceh dengan sikapnya,
sebagian yaitu sebab didorong perkenalannya yang akrab dengan pemimpin-pemimpin ini.
sebab , selama masa Jepang dia menjadi kepala sekolah menengah di Banda Aceh, sedangkan
lalu dia menjadi anggota mahkamah pengadilan di Sigli bersama Usman Raliby dan Hasan
Aly. Sesudah proklamasi kemerdekaan ia menjadi anggota dan lalu , Januari 1946, Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh. lalu menyusul pula pengangkatannya sebagai
gubernur Sumatera Utara.
Sejak mula jihad suci menegakkan Negara Islam Amin memperlihatkan dirinya sebagai seorang
yang membela perundingan dengan pejuang mujahidin sebagai cara memperoleh penyelesaian
damai. Berpegang pada prinsip ini, ia melakukan kontak dengan Said Abubakar. Selanjutnya ia
mengadakan surat-menyurat dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam secara diam-diam, tanpa
lebih dahulu memberitahukan kepada Pemerintah Pusat, Desember 1953. Dalam surat-surat ini—
yang dinyatakannya sendiri dengan tegas, ia menulis sebagai seorang warga negara pribadi — ia
menyatakan, menyetujui tujuan pejuang mujahidin yang merupakan cita-cita semua umat muslim
dan ia merasa peristiwa-peristiwa yang telah mencetuskan jihad suci menegakkan Negara Islam
yaitu akibat salah paham. namun cara-cara yang dipilih kaum pejuang mujahidin tidak disetujui
semua umat muslim. sebab itu ia meminta kaum pejuang mujahidin mengemukakan gagasan
bagaimana mengakhiri pertumpahan darah.
Amin menerima jawaban dari Husin Jusuf dan Daud Beureueh. Keduanya menggarisbawahi
kewajiban setiap muslim Indonesia untuk turut serta dalam jihad mempertahankan Negara Islam
Indonesia, yang demikian mereka kemukakan, telah menjadi suatu fakta yang tidak bisa
diabaikan. Lalu mereka menyatakan, konflik dapat berakhir segera sesudah Pemerintah Republik
memperhatikan hasrat masyarakat Islam. Mereka menyangkal, revolusi sosial atau keinginan
memperoleh otonomi mengilhami jihad suci menegakkan Negara Islam mereka, dengan
menegaskan, penyebab pangkalnya terletak dalam agama. Mereka tidak sependapat dengan
pandangan Amin bahwa kekacauan yang terjadi yaitu disebabkan kesalahpahaman. Politik
kebijaksanaan yang dijalankan Pemerintah Republik, reaksi Pemerintah terhadap Peristiwa
Cumbok dan terhadap tuntutan otonomi, reorganisasi Tentara di Aceh, dan sebagainya
merupakan cukup bukti kebalikannya..
Amin menjawab pada Agustus 1954. Dengan menolak menemui pemimpim-pemimpin gerilya ini
sendiri, ia mengirim suatu rancangan surat untuk ditandatangani Daud Beureueh dan Hasan Aly
yang menyatakan, keduanya berjanji akan mengakhiri perlawanan mereka, meletakkan senjata
mereka, dan akan menemui wakil-wakil Pemerintah Republik bila yang belakangan ini bersedia
mengakui hak mereka untuk memperjuangkan Negara Islam bukan dengan jalan kekerasan,
memberi lebih banyak perhatian demi kepentingan Aceh di masa depan dan memberi
amnesti kepada para pejuang mujahidin. Bila Daud Beureueh dan Hasan Aly menandatangani
rancangan ini, ia, Amin, pribadi akan ke Jakarta untuk memperjuangkan agar persetujuan ini
diterima Pemerintah.
namun Daud Beureueh dan Hasan Aly tidak menandatanganinya. Sebaliknya mereka
merancangkan suatu peraturan pemerintah untuk ditandatangani Ali Sastroamidjojo yang
mereka minta dibawa Amin ke Jakarta. Di dalamnya dinyatakan, Pemerintah Republik berusaha
membuka perundingan dengan pendiri-pendiri Negara Islam Indonesia di Jawa, Aceh,
Kalimantan, dan Sulawesi, dan melindungi serta membantu para anggota delegasi Negara Islam
selama perundingan-perundingan ini berlangsung. Dalam surat pengiringnya, tertanggal 5
Oktober 1954, mereka menjelaskan, apa yang mereka inginkan bukanlah amnesti namun
perundingan.
Semua surat ini dikirim Amin ke Jakarta, namun Pemerintah tidak memberi reaksi. lalu
surat-menyuratnya untuk sementara dihentikan, dan baru dimulai lagi sesudah Kabinet Ali
Sastroamidjojo jatuh, dan digantikan pemerintah baru yang dikepalai Burhanuddin Harahap dari
Masyumi pada Agustus 1955.
Konperensi Batee Kureng merupakan salah satu tanda yang paling tidak mungkin diragukan lagi
akan adanya perselisihan pendapat di kalangan pejuang mujahidin-pejuang mujahidin Darul Islam
di Aceh. Ini membuktikan ketidakpuasan akan cara semua keputusan dibuat Daud Beureueh
dengan sekelompok kecil penasihat, dan tunduknya urusan sipil kepada militer.
Walaupun pasti terdapat persaingan dan pertentangan di kalangan pemimpin-pemimpin Negara
Islam di Aceh, berbeda dengan daerah-daerah lain, tampaknya di sini ini tidak sampai
mengakibatkan sering terjadi bentrokan antara komandan pasukan. Dengan penggeseran
beberapa pemimpin angkatan pertama dari pusat kekuasaan pada tahun-tahun pertama,
konperensi Batee Kureng mengadakan perubahan tertentu. Pemusatan kekuasaan dan
lenyapnya pemimpin-pemimpin tertentu terjadi pada 1954, saat Dewan Syura, Majelis Syura,
dan Dewan Militer dibubarkan. saat itu Husin Jusuf kehilangan jabatannya sebagai Kepala Staf
Divisi Tengku Chik Ditiro beralih kepada Amir Husin al Mujahid. Walau pun ia diangkat sebagai
koordinator keamanan untuk Aceh, kenaikan ini berarti kehilangan kekuasaan atas sebagian
besar pasukan tempur. Hal yang sama terjadi lalu pada penggantinya, Amir Husin al
Mudjahid, yang digantikan oleh Hasan Aly.
Di samping itu terdapat perlawanan terhadap reaksi Daud Beureueh mengenai tawaran dari
pihak Republik Indonesia. Sementara orang tidak menyetujui penolakannya yang terang-
terangan akan kemungkinan tawaran amnesti, dan khususnya dalam Tentara Islam yang
sebenarnya, ada sekelompok besar yang kuat menyetujui menerima tawaran yang demikian.
Mengingat hal yang di atas dan banyaknya jumlah prajurit yang sudah kembali ke desa mereka,
salah seorang komandan daerah, Iljas Lebai (Ilyas Lebai) dari Aceh Tengah, mengeluarkan
komunike pada November 1955 yang mengumumkan, tidak akan diambil tindakan terhadap para
prajurit resimennya yang pulang ke rumah, asal saja ini tidak merugikan perjuangan. Dia sendiri
pun diminta melapor kepada para penguasa, katanya, namun ia jngin menantikan hasil pemilihan
umum. Dia memikirkan akan melapor demikian sebab kabinet yang memerintah sekarang,
Kabinet Burhanuddin Harahap, ideologinya berdekatan dengan cita-cita perjuangan di Aceh
(Pengumuman 20 Novemeber 1955).
Pada umumnya sikap kaum mujahidin Darul Islam di Aceh terhadap pemilihan umum lunak. Mula-
mula, saat jihad suci menegakkan Negara Islam meletus, sikap mereka terhadap ini mendua. Di
satu pihak mereka menuduh Pemerintah Republik berusaha membiarkan mereka menunggu
tanpa batas waktu, sedangkan di pihak lain pemilihan umum mereka cap sebagai alat Pemerintah
Pusat untuk melakukan kehendaknya. Kini saat pemilihan umum telah di ambang pintu,
mereka tidak melakukan apa pun untuk merintanginya.
Hasil pemilihan umum yang memuaskan di Aceh, yaitu Masyumi memperoleh dua pertiga jumlah
suara, memberi mereka yang menyetujui diakhirinya jihad suci menegakkan Negara Islam alasan
lain untuk menyokong sikap mereka. Kasus mereka lebih diperkukuh saat , kali ini di bawah
Kabinet Ali Satroamidjojo lagi; pada akhir 1956 suatu rancangan undang-undang disahkan, yang
memberi status provinsi otonom kepada Aceh. Undang-undang ini berlaku sejak Januari 1957.
A. Hasjmy pemimpin Pemuda PUSA Aceh Besar sebelum Perang dan bekas Ketua BPI/Pesindo,
menjadi gubernur pertama provinsi ini.
Namun, faktor lain yang menyokong diakhirinya permusuhan yaitu di bidang militer pun
diangkat seorang bekas pemimpin gerilya menjadi pimpinan tertinggi di Aceh. Dia yaitu
Sjammaun Gaharu, panglima Tentara Republik di Aceh untuk masa singkat selama revolusi dan
salah seorang penandatangan ultimatum terhadap uleebalang di Lammeulo (sebelum
jabatannya direbut Amir Husin al Mudjahid).
berdasar keterangannya sendiri Sjammaun Gaharu mendapat pengangkatannya berkat
dukungan yang diterimanya dari Nasution akan gagasannya untuk mengakhiri jihad suci
menegakkan Negara Islam di Aceh. Sering kali ia bertemu dengan Nasution dalam masa antara
1952 dan 1955, saat Nasution dibebaskan dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat,
untuk memberi keterangan bagi buku-buku yang tengah ditulisnya tentang revolusi
Indonesia dan tentang perang gerilya pada umumnya. Selama wawancara-wawancara ini
Sjammaun Gaharu berangsur-angsur mengungkapkan pandangannya tentang cara-cara yang
terbaik untuk menyelesaikan permasalahan di Aceh. Intisari teori ini yaitu , situasi Aceh berbeda
dengan di tempat lain dan rumit sekali, dan persoalan ini paling baik diselesaikan orang Aceh
sendiri dengan cara Acoh. Wakil Presiden juga tertarik akan gagasan Sjammaun Gaharu tentang
masalah ini dan meminta dia menuliskannya. Pada Oktober 1955 ia menyampaikan hasilnya
kepada Hatta, dan saat beberapa hari lalu Nasution diangkat kembali menjadi Kepala
Staf Angkatan Darat, ia pun mengirimkan sebuah salinan kepada Nasution.
Nasution lalu menyambutnya dengan menawarkan kepadanya jabatan pimpinan militer
Aceh. Pada mulanya Sjammaun Gaharu bermaksud menolak tawaran ini, sebab dia merasa,
pandangannya tidak sesuai dengan kebijaksanaan panglima Sumatera Utara, Maludin Simbolon.
namun dengan janji Nasution bahwa Maludin Simbolon akan dipindahkan dalam waktu dekat, ia
menerima kedudukan ini. ltesempatan untuk melaksanakan gagasannya dalam praktek
diperolehnya saat pada akhir 1956 Maludin Simbolon—yang merupakan saingan utama
Nasution untuk jabatan kepala staf—dalam upaya mencegah kepindahannya memutuskan
hubungan Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara dengan Pimpinan Angkatan Darat.
Segera Sjammaun Gaharu menjauhkan diri dari Maludin Simbolon dan tetap berhubungan erat
dengan Nasution.
Sekarang Sjammaun Gaharu bebas melaksanakan rencananya. Bersama dengan gubernur yang
baru diangkat, A. Hasjmy, dan dengan sokongan tegas Nasution, ia menempuh politik
kebijaksanaan perukunan. Pada pertengahan April 1957, pertengahan puasa, diadakan
perundingan dengan sejumlah pemimpin Darul Islam terkemuka di Lamteh, sebuah desa
beberapa kilometer dari Aceh. Pembicaraan mencapai puncaknya dalam Ikrar Lamteh yang di
dalamnya keduanya berjanji masing-masing untuk memajukan Islam, mendorong pembangunan
Aceh dalam arti kata yang seluas-luasnya, dan berusaha mendatangkan kemakmuran dan
keamanan kepada rakyat dan masyarakat Aceh. Di pihak Republik piagam itu ditandatangani
Sjammaun Gaharu dan kepala stafnya, Teuku Hamzah, Hasjmy, dan Kepala Polisi untuk Aceh, M.
Insya. Pemimpin-pemimpin Darul Islam yang menandatanganinya yaitu Hasan Aly, Hasan Saleh,
dan Ishak Amin (bupati Aceh Besar). lalu , disertai A. Hasjmy, dan M. Insja, jammaun Gaharu
juga menjumpai Daud Beureueh, yang pada waktu itu masih tidak ingin mendengarkan
penyelesaian .
Sesuai dengan kebijaksanaannya, yang dinamakannya Konsepsi prinsipiel dan bijaksana,
Sjammaun Gaharu bersama dengan A. Hasjmy melanjutkan usaha-usahanya mencari
penyelesaian. Keduanya tetap berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam dan
mengunjungi Jakarta berkali-kali untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat melangkah
dalam perundingan mereka dengan kaum pejuang mujahidin. Pada September 1957 Perdana
Menteri Juanda mengatakan kepada mereka, mereka boleh memberi konsep otonomi
daerah penafsiran yang seluas mungkin, bahkan sampai kepada pengertian bahwa Aceh
diperlakukan sebagai negara terselldiri, asal saja mereka tetap dalam batas-batas UUDS
Indonesia yang masih mengakui suatu republik kesatuan (Hasjmy 1958:57-58j.
namun tak tercapai penyelesaian pada waktu itu. Sebagiannya ini yaitu disebabkan fakta
bahwa jihad suci menegakkan Negara Islam PRRI-Permesta menarik perhatian, dan sebagiannya
sebab adanya dalam Negara Islam Aceh suatu faksi yang amat kuat, yang dipimpin Daud
Beureueh, yang tidak ingin mendengarkan kompromi apa pun juga dan berpegang pada prinsip
perundingan resmi antara Negara Islam Aceh dan Republik Indonesia.
Namun, sikap pendirian Daud Beureueh makin ditentang. Khususnya di dalam Tentara Islam
Indonesia Aceh terdapat banyak yang memikirkan untuk menyerah. Kelompok ini dipimpin
Hasan Saleh, Panglima Divisi Tengku Chik Ditiro dan Kepala Staf Tentara Islam. Ia menuduh Daud
Beureueh berusaha menjerumuskan Aceh ke dalam suatu perang baru tanpa memikirkan nasib
prajurit biasa dan rakyat pada umumnya yang harus menanggung akibat-akibatnya.
Akibatnya pertempuran sangat banyak berkurang sesudah Ikrar Lamteh. Namun, belum juga
tampak akhir jihad suci menegakkan Negara Islam. Dua tahun lamanya lagi barulah lawan-lawan
Daud Beureueh bulat hatinya dan benar-benar memisahkan diri dari padanya.
Hal ini terjadi pada Maret 1959, saat , dengan menuduh Daud Beureueh bertindak sewenang-
wenang, Hasan Saleh dan pendukungpendukungnya menggulingkannya. Mereka membentuk
pemerintah mereka sendiri pada suatu pertemuan di Pidie yang dihadiri kira-kira seribu orang
pada 15 Maret, mereka yang berlainan pendapat ini menamakan dirinya Gerakan Revolusioner
Islam Indonesia, lalu membentuk Dewan Revolusi (Negara Bagian Aceh). Ketuanya yaitu
Abdul Gani Usman, dan wakil ketuanya yaitu Hasan Saleh, dengan Abdul Gani Mutiara sebagai
sekretaris umum dan kepala Bagian Penerangan. Sebagai anggota termasuk pemimpin-
pemimpin Darul Islam terkemuka seperti Amir Husin al Mudjahid, T.A. Hasan, Ibrahim Salehs T.M.
Amin, dan Husin Jusuf.
Langkah pertama Abdul Gani Usman dalam kedudukannya sebagai ketua Dewan Revolusi yaitu
membuat pengumuman yang menyatakan, jabatan kepala negara untuk sementara
dilaksanakan Dewan Pertimbangan Revolusi, yang diketuai Amir Husin al Mudjahid. Pada waktu
yang bersamaan ia memerintahkan para pengikutnya menghentikan pemungutan pajak di desa-
desa, disertai ancaman terhadap siapa saja yang masih terus melakukannya. Mengenai Tentara
Islam, Hasan Saleh membatasi gerak para prajurit Divisi Tengku Chik Ditiro dalam asrama mereka,
dengan menarik mereka dari desa-desa tempat mereka ditempatkan. Selanjutnya ia
mengumumkan, Dewan Revolusi akan mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk membicarakan
berakhirnya jihad suci menegakkan Negara Islam dengan para penguasa Republik. Pada bulan-
bulan berikutnya Dewan Revolusi diikuti pasukan dari Aceh Barat yang dipimpin T.R. Idris dan
Komandan Resimen VII Sumatera Timur, Haji Hasanuddin. Pada Agustus, Abdul Gani Mutiara
menyatakan Dewan revolusi didukung 25.000 anggota Darul Islam.
Perkembangan-perkembangan ini memulai serangkaian perundingan baru. Pada awal Mei
Sjammaun Gaharu dan A. Hasjmy bertolak lagi ke Jakarta, kali ini atas undangan Perdana Menteri
Djuanda. Mereka menjelaskan situasi yang baru kepada Kabinet dan kepada Presiden Soekarno
serta memberi sejumlah anjuran tentang langkah-langkah yang harus diambil sehubungan
dengan ini. lalu Juanda mengeluarkan keputusan yang menyatakan, sejak 26 Mei Provinsi
Aceh dapat menamakan dirinya Daerah Istimewa Aceh. Ini menempatkan Aceh dalam
kedudukan yang agak khas, sebab dari provinsi-provinsi yang lain hanyalah ibukota, Jakarta, dan
Yogyakarta yang memiliki status istimewa. Kepada Aceh selanjutnya dijanjikan otonomi yang
seluas mungkin, terutama dalam bidang agama, pendidikan dan hukum adat, namun dengan
ketentuan, seperti dinyatakan Djuanda dalam keputusannya, tidak bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada waktu yang sama Pemerintah Pusat mengirimkan sebuah misi ke Aceh untuk berunding
dengan Dewan Revolusi. Misi ini dipimpin Wakil Perdana Menteri Pertama Hardi, dan di dalamnya
termasuk Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Gatot Subroto dan Menteri
Kestabilan Ekonomi tanpa Portfolio, Kolonel Suprayogi. Dua hari lalu , 26 Mei 1959, sesudah
melalui usaha A. Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah menembus jalan buntu, tercapai
persetujuan sementara dengan pemimpin-pemimpin Dewan Revolusi yang menerima usul-usul
Pemerintah Pusat. Secara tertulis mereka sendiri berjanji kembali ke dalam haribaan Republik
dan mengucapkan sumpah setia kepada Undang-Undang Dasar.
Sifat yang sebenar-benarnya dari kompromi itu tetap samar-samar. Seperti telah ditetapkan
Djuanda sebelumnya, otonomi janganlah ditafsirkan sedemikian rupa hingga setiap ketentuan
baru yang diadakan akan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Hardi
menambahkan di Banda Aceh, masalah apakah masyarakat Islam di Aceh dapat dipaksakan
melaksanakan syariat Islam atau tidak, merupakan persoalan yang akan diputuskan Konstituante,
yang saat itu sedang membicarakan kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945. Ia
menghubungkan hal ini dengan Piagam Jakarta, yang kini kembali menjadi masalah yang hangat
diperdebatkan dalam Konstituante di Jakarta. Seperti ternyata, kaum politisi Islam tidak cukup
kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang mereka peroleh ialah diakuinya oleh
Soekarno dalam Dekret yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Piagam
Jakarta telah mengilhami Undang-Undang Dasar ini dan merupakan kesatuan dengannya.
Selanjutnya disetujui secara prinsip, sebagian prajurit Tentara Islam, sesudah melalui screening
wajib, akan dijadikan wajib militer darurat. lalu , pada 1 Oktober disetujui akan dibentuk
Divisi Tengku Chik Ditiro sebagai bagian khusus dari Divisi Tentara di Aceh. Pegawai-pegawai
negeri Darul Islam yang mengikuti Dewan Revolusi mendapat perlakuan yang sedikit banyaknya
sama. Usaha yang menyatakan bahwa di mana mungkin mereka akan diintegrasikan ke dalam
Pemerintahan Republik dikukuhkan para penguasa militer pusat pada akhir Oktober. Ini berarti
memberi kuasa kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk mengangkat bekas pejuang
mujahidin yang telah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonsia pada jabatanjabatan
dalam pemerintahan sipil.
Daud Beureueh tidak menerima persetujuan itu. Dia dan Hasan Aly melanjutkan bertempur.
Menurut gubernur Aceh saat itu A. Hasjmy, mereka masih dapat mengharapkan dukungan dari
kira-kira tiga puluh persen pengikut pertamanya. Seperti juga rekannya di Sulawesi Selatan—
Kahar Muzakkar—Daud Beureueh bergabung dengan sisa-sisa pasukan PRRI/Permesta. Mula-
mula pasukannya bergerak bersama dengan sejumlah komandan PRRI bawahan dengan anak-
anak buahnya. lalu diperkuat dengan satuan-satuan pejuang mujahidin yang dipimpin
Mayor Nukum dan Kapten Hasanuddin, bekas kapten Polisi Militer. Kedua mereka ini ditawari
kedudukan menteri oleh Daud Beureueh untuk mengisi jabatan yang lowong sebab mereka
yang membelot ke Dewan Revolusi.
Pada waktu yang bersamaan dilakukan pembicaraan oleh pemimpin-pemimpin PRRI dan Darul
Islam di Aceh. Ini menghasilkan proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) federal, Februari
1960, yang mewakili koalisi mereka yang kalah, orang-orang yang merasa dirinya bertempur
dalam perang yang kalah di rimba. Di samping itu, RPI mempersatukan mereka yang di masa lalu
berada dalam dua kubu yang berbeda dan paling-paling secara baik mereka memiliki simpati satu
sama lain, dan secara jelek, mereka sama sekali bermusuhan. Tambahan lagi, Republik Persatuan
Indonesia merupakan urusan Sumatera dan Sulawesi semata-mata. Ini membatalkan pengakuan
yang masih dinyatakan oleh Negara Islam Indonesia dan PRR8Permesta, bahwa wilayahnya
meliputi seluruh Indonesia.
RPI terdiri dari sepuluh negara, semuanya kecuali dua negara yang berada di Sumatera dan
Sulawesi. Aceh, sebagai Republik Islam Aceh (RIA), yaitu salah satu dari enam negara Sumatera,
dan Sulawesi Selatan satu dari dua negara di pulau itu. Selain dari delapan negara ini, barangkali
sebagai tindakan mengambil hati terhadap RMS, terdapat Negara Maluku dan Negara Maluku
Selatan. Secara menyolok tidak terdapat negara-negara di Jawa, seperti Negara Jawa Barat,
bumi kelahiran gerakan Darul Islam, dan di Kalimantan Selatan, tempat Ibnu Hadjar beroperasi.
Kedua pihak memasuki federasi baru ini dengan rasa enggan. Perundingan-perundingan
sebelumnya antara pemimpin-pemimpin Darul Islam dan PRRI/Permesta hampir tak ada hasilnya.
Sekalipun telah dijanjikan kerjasama dan dukungan militer, hal ini tidak pernah terlaksana. Dalam
kedua pihak juga terdapat orang yang terangterangan menolak setiap bentuk kerja sama resmi.
Di Sulawesi Selatan cumbu rayu Kahar Muzakkar dengan Permesta sebagian menjadi sebab
menyerahnya Bahar Mattaliu, sementara di Aceh hubungan yang demikian merupakan salah satu
faktor yang mendorong terbentuknya Dewan Revolusi. Pembelotan-pembelotan sekaligus
memaksa kaum pejuang mujahidin Darul Islam yang tersisa untuk bekerja sama lebih erat dengan
PRRI/Permesta.
Kaum pejuang mujahidin PRRI di Sumatera pada akhir 1959 terbagi dalam tiga kelompok yang
berbeda, yang menganjurkan jalan yang berbedabeda. Satu kelompok ingin semata-mata
melanjutkan PRRI, bagaimana pun sudah hampir tidak ada artinya lagi akibat aksi-aksi Angkatan
Darat, Kelompok lain, dengan Zulkifli Lubis dan Maludin Simbolon sebagai wakil-wakil utamanya,
menyetujui proklamasi Republik Indonesia Federal, sekalipun menentang kerja sama dengan
Darul Islam. Faksi yang ketiga menyetujui bergabung dengan Darul Islam. Jurubicara utamanya
yaitu dua bekas perdana menteri, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, dan politikus
Indonesia yang berpengaruh, Sjafruddin Prawiranegara. Ketiga mereka ini lari dari Jakarta untuk
bergabung dengan panglima-panglima daerah yang merasa tidak puas di Sumatera pada
Desember 1957.
RPI tidak banyak harganya baik dalam arti militer atau pun arti politik. Persekutuan yang
mengkhawatirkan antara orang-orang muslim seperti Daud Beureueh dan Kahar Muzakkar yang
selama bertahuntahun telah bertempur untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Islam
Indonesia, orang-orang muslim yang terus-menerus dalam waktu yang lama menduduki jabatan-
jabatan penting di Republik Indonesia, dan panglima-panglima militer seperti Maludin Simbolon
Kawilarang, dan Warouw yang selama masa berikutnya telah memimpin aksi-aksi militer
Republik Indonesia terhadap Darul Islam, dan beberapa orang dari mereka itu Kristen pula,
sangatlah berbahaya. RPI mungkin mewakili, seperti yang dilukiskan Hasan Muhammad Tiro,
suatu tindakan "untuk menjamin hak suci mereka untuk membentuk pemerintahan sendiri yang
diingkari kediktatoran Soekarno di Jakarta yang memaksakan kolonialisme Jawa terhadap lebih
dari selusin bangsa", atau penolakan terhadap "kolonialisme baru, Jawa sawo matang", namun
hanya dendam terhadap Soekarno dan orang Jawa sajalah yang merupakan persamaan mereka.
Akibatnya, RPI sangat singkat usianya. Pada April 1961 Maludin Simbolon dan seorang panglima
militer lain, Achmad Husein (Achmad Husein), memisahkan diri dari RPI untuk membentuk
Pemerintah Darurat Militer. lalu mereka mengeluarkan imbauan kepada para pejuang
mujahidin untuk menghentikan perlawanan mereka dan menyerahkan diri pada Juni dan Juli.
Pemimpin-pemimpin sipil menyusul sesudah menerima janji diberi ampun oleh Soekarno.
Sjafruddin Prawiranegara menasihati para pengikutnya untuk menyerah, dia sendiri melapor
kepada penguasa pada akhir Agustus.
Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari jihad suci menegakkan Negara Islam, termasuk jihad suci
menegakkan Negara Islam Darul Islam di Aceh. Di sini pada bulan-bulan sebelumnya banyak
orang telah melaporkan diri. Keamanan sepenuhnya pulih di Aceh, Mei 1962, saat Daud
Beureueh pun menghentikan perlawanannya.
Untuk merayakan perubahan Aceh dari Dar al harb, wilayah perang, ke Dar al-salam, daerah
damai (untuk memakai ungkapan yang berlaku saat itu), dan selanjutnya guna
mengungkapkan pernyataan resmi akan persatuan Aceh yang telah pulih, diselenggarakan suatu
upacara akbar pada akhir tahun itu, yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA), yang
berlangsung di Blangpadang dari 18 sampai 22 Desember 1962. Puncak hasilnya yaitu Ikrar
Blangpadang, yang ditandatangani tujuh ratus orang Aceh terkemuka yang hadir. Mereka
berjanji akan memelihara dan membina kerukunan serta memancarkan persatuan dan
persahabatan.
Sesudah itu Aceh tetap tenang selama kira-kira lima belas tahun. Pada awal 1977, saat
diberitakan lagi tentang kegiatan-kegiatan Darul Islam juga di Jawa dan bagian-bagian lain di
Sumatera, Hasan Muhammad Tiro memproklamasikan Aceh sebagai negara merdeka. Dengan
menamakan dirinya Ketua Front Pembebasan Nasional dan Kepala Negara, ia kembali ke Aceh
untuk secara pribadi memimpin perjuangan Gerakan Aceh Merdeka, namun gerakan ini tidak
banyak memperoleh momentum.
Kekuatan perjuangan Darul Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo sesungguhnya
terletak dalam kemampuan untuk mengatur, menyusun dan menyelenggarakan susunan
ketentaraan dan susunan organisasi kenegaraan NII. Pergerakan menuju berdirinya Negara Islam
Indonesia sejak tahun 1939 telah dirumuskan dengan langkah langkah yang jelas, namun
mengapa pada akhirnya mujahid besar ini ditangkap lawan dan ditinggalkan para pengawalnya
sendiri, ini merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Bila kita lakukan kilas balik, maka dalam
sebuah konferensi di Cisayong, bersama para Ulama dalam Majlis Islam, telah disepakati bahwa
langkah perjuangan haruslah melalui langkah langkah berikut :
1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.
2. memberi penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan
Feblisit (referendum)
3. Membangun daerah daerah basis.
4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
5. Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di
dalam negeri bisa melaksanakan syari’at Islam seluas luasnya dan sesempurna
sempurnanya, sedang keluar, sanggup berdiri sejajar dengan negara negara lain.
6. Membantu perjuangan muslimin di negeri negeri lain sehingga cepat bisa melaksanakan
wajib sucinya.
7. Bersama negara negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat
Kholifah dunia.
Tahapan tahapan di atas demikian realistis, jauh dari kesan tergesa gesa, atau perlawanan
sekedar sebab tidak kebagian jatah kekuasaan, namun muncul dari kebeningan hati, keteguhan
jiwa dan langkah langkah yang istiqomah dalam tahapan yang demikian sistematik.
Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi
Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa
yaitu sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit.
Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah,
sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja
menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan
jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur figur yang
memiliki sebersih bersih tauhid, setinggi tinggi ilmu dan sepandai pandai siasat. Namun sayang
jumlahnya tidak banyak, dan sebagai pejuang, para pemimpin mujahidin tampil di gelanggang
terdepan perjuangan, sehingga satu demi satu bunga Negara Islam Indonesia ini gugur sebagai
Syuhada. Dan pada giliran berikutnya, saat perang Totaliter terus berlanjut, rakyat banyak yang
bersimpati pada Negara Islam ini, bahkan berbondong bondong menjadi warga dan tentara
Islam, namun pengkaderan berbobot semacam Institut Suffah tidak sempat lagi dilakukan. Pada
akhirnya mereka yang berduyun duyun meninggalkan Republik Indonesia di saat perjuangan
bersenjata NII tengah naik daun ini, mereka itu pula yang berbondong bondong kembali ke
pangkuan ibu pertiwi mereka, di saat kekuatan NII terdesak.
Disamping itu Kartosoewirjo juga pandai memakai situasi kondisi politik dan militer dalam
menyusun dan mengatur administrasi pemerintah NII yang dia selalu sesuaikan dengan keadaan
yang berlaku atau dengan perubahan-perubahan keadaan di dalam maupun di luar negeri. Setiap
perubahan dan perkembangan politik telah dijadikan dasar pertimbangannya dalam mengatur
dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
Tentara Nasional Indonesia, sebagai tulang punggung Republik Indonesia mempersiapkan
rencana operasi untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia ini, peperangan antara RI dan NII
benar benar total meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari perang propaganda, perang
intellijen sampai penghancuran satuan satuan militer TII. Keberhasilan TNI menghancurkan TII
didahului dengan keberhasilan operasi intellijen.
Pada tahun 1951 Sersan Mayor Ukon Sukandi yang bertugas sebagai intel dengan nama samaran
Sukarta, memperoleh informasi adanya bekas komandan/tokoh TII, dari Batalyon Kalipaksi yang
berkedudukan di Garut, bernama Ali Murtado, telah melemah semangat tempurnya dan kembali
ke kota. Ukon Sukandi mendatanginya dan berusaha merebut simpati bekas komandan ini
dengan berbagai kebaikan. Ali Murtado tertarik dengan segala kebaikan Ukon Sukandi tadi
bahkan Ali Murtado melaporkan pada pimpinan TII di atasnya –pamannya sendiri- Bapak Sujai
bahwa Ukon Sukandi ini pantas untuk direkrut demi kepentingan TII dalam menjalankan aksi
intellijen di kota.
Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado
berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi
masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi
berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberi banyak bantuan kepada komandan TII ini ,
baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan
rasa simpati terhadap perjuangan Negara Islam. Bapak Sudjai terkecoh dengan kemurahan ini,
lalu ia mengirim surat balasan pada Ukon Sukandi bahkan dalam surat itu ia menjelaskan
dirinya sudah mengusulkan kepada Panglima Wilayah Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah
agar mengangkat Ali Murtado sebagai petugas khusus di Jakarta, yang setiap saat bisa dihubungi
oleh Ukon Sukandi.
Dua hari lalu datang surat penetapan dari Komandan Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus
Abdullah yang menetapkan dan mengangkat Ali Murtado sebagai Kepala Pos Hubungan Wilayah
I dan berkedudukan di Jakarta. Penugasan ini terasa membawa dampak positif bagi lalu lintas
surat menyurat untuk kepentingan perjuangan NII, dan Agus Abdullah melaporkan hal positif ini
kepada Imam Kartosoewirjo, yang selanjutnya Imam memerintahkan Agus Abdullah untuk
meningkatkan hubungan dan kegiatan di Jakarta, bahkan kalau memungkinkan dibentuk
perwakilan pemerintah NII di Jakarta. Akhirnya Agus Abdullah memerintahkan kepada Ali
Murtado untuk menyusun personalia guna mengisi jabatan dalam perwakilan Pemerintah NII di
Jakarta. Kartosoewirjo mempercayai Ali Murtado, sebab usulan ini datang dari orang
kepercayaan Kartosoewirjo sendiri di Jawa Barat (Komandan Divisi).
Ali Murtado menyampaikan surat ini kepada Ukon Sukandi, segera saja ia membahasnya
bersama Komandan Intellijen TNI, Letnan Muda Satiri dan Kepala seksi I KMKB – DR (Komando
Militer Kota Besar Djakarta raya) , Lettu Suhadi. Dengan persetujuan Seksi I KMKB – DR, sesudah
berhasil menyusupkan anggota kepolisian dari seksi Djatinegara, segera Ukon Sukandi dan Ali
Murtado menyusun personalia perwakilan Pemerintah NII sebagai berikut :
Komandan : Ali Murtado
Wakil Komandan : Sukarta (nama samaran Sersan Mayor TNI Ukon Sukandi)
Kepala Kepolisian : Among (Anggota POLRI sesksi Djatinegara)
Perwakilan pemerintahan ini menunjukkan keberhasilan kerja yang lumayan (maklum sebab
memang disponsori oleh agen intellijen RI), saat Sukarta berhasil meluluskan transaksi jual beli
senjata. Walaupun akhirnya senjata yang telah berhasil dibeli NII itu berhasil dirampas kembali
dalam sebuah pemeriksaan truk di jalan Karawang – Purwakarta. Terbongkarnya truk yang
membawa senjata ini bukanlah kebetulan, namun demikianlah rencana TNI untuk menjebak
aparat NII yang telah berhasil disusupinya.
Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan
pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, sebab pihak
intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur
kontra intellijen RI di tubuh NII namun sebab kecerobahan para prajurit TII sendiri di Karawang.
Pada tahun itu juga Agus Abdullah memberitahukan Ali Murtado dan Sukarta bahwa Kolonel TII,
wakil Komandan wilayah I Sunan Rahmat akan datang mengontrol pasukan ke Jakarta, sebab
sebelumnya Sukarta berhasil menipu Ali Murtado dengan mengatakan bahwa dirinya berhasil
menyusun satuan satuan rakyat terlatih yang mendukung perjuangan NII.
saat Kolonel TII Sohby datang ke Jakarta dan menyatakan keinginannya untuk menginspeksi
pasukan, Sukarta menyampaikan alasan bahwa para prajurit yang dilatihnya tersebar di berbagai
wilayah Jakarta, dan ia minta waktu dua hari saja untuk mengumpulkan mereka. Untuk
memenuhi keinginan ini dan demi memperkuat rasa percaya pemerintah NII terhadap dirinya,
maka “simunafiq” Ukon Sukandi ini mengontak pimpinan intel Jakarta untuk meminjam
beberapa puluh karaben dari Detasemen Markas. Bersamaan dengan itu juga dikumpulkan 40
orang intel yang secara kilat dilatih tatacara upacara militer TII oleh Ali Murtadho. untuk hadir di
sekitar Rawa Buaya daerah Tangerang, berpura pura sebagai pasukan TII yang siap menyambut
kedatangan komandannya.
Kolonel TII Sohby menyatakan kepuasaannya melihat kesigapan ‘para prajurit’ itu, bahkan
mengomentari, “sekalipun berada di daerah jantung musuh, namu semangat dan disiplinnya
melibihi pasukan TII yang kini beroperasi di gunung gunung.” Selama seminggu di Jakarta Sohby
menyuruh Ali Murtado untuk mengetik surat buat Imam Kartosoewirjo dan kepada Agus
Abdullah dan ditembuskan kepada semua panglima wilayah TII, bahwa sesudah mendapat restu
dari Imam NII ia (Kolonel TII Sohby) akan melanjutkan tugasnya sebagai Duta Keliling di luar
negeri .
Berita ini tentu saja amat bernilai di mata intellijen RI, Sersan Mayoor Ukon Sukandi segera saja
melaporkan hal ini kepada Kepala Seksi I Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. Si munafik
Ukon Sukandi mengusulkan agar Sohby tidak ditangkap di Jakarta, sebab itu akan memicu
kecurigaan pemerintah pusat NII kepadanya. Akhirnya Sohby dijebak di Bogor, sekaligus Ukon
Sukandi memfitnah, melaporkan pada pemerintah pusat, bahwa tertangkapnya Duta besar
keliling NII ini disebabkan pengkhianatan A.M Firdaus. Dengan demikian pihak TNI berhasil
menghancurkan dua orang sosok pilihan Negara Islam sekaligus. Sohby ditangkapnya, sedang
tentara Islam yang asli A.M. Firdaus dihukum mati oleh kawannya sendiri.
Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, saat ia
menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan
Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian
meminta Ukon Sukandi untuk membeli beberapa peti peluru untuk pasukan TII yang dipimpin
Letkol TII Ahmad Sungkawa. Ukon Sukandi berhasil membobol keuangan NII dengan cara
menjual peluru jelek yang bisa membuat senjata rusak, disamping itu Sohby pun sengaja
dilepaskan, dengan skenario melarikan diri loncat dari pickup di tikungan Jalan Setiabudi,
tanjakan Lembang Bandung. Dan dalam upaya melarikan diri itulah Sohby ditembak dengan
penembakan yang sudah dipersiapkan, sehingga terjangan peluru sulit dihindarkan. Licin sekali
siasat ini, Ukon Sukandi sempurna melaksanakan tugasnya. Tanpa curiga karir si munafik ini terus
menanjak, ia berhasil menguasai KBW I NII (Kantor Berita Wilayah) yang berdasar keputusan
Kartosoewirjo semua surat keluar masuk pulau Jawa harus melalui Jakarta.
Demikian strategisnya posisi yang berhasil dicaplok Ukon Sukandi sehingga seluruh jaringan
Koordinasi Pemerintah Pusat NII dengan wilayah lainnya berhasil d lacak lewat KBW I Jakarta ini.
Tidak Heran bila pada tahun 1953 KUKT APNII Abdul Fatah Tanu Wirananggapati yang baru saja
pulang menggalang wilayah Aceh menjadi bagian dari NII, tertangkap di Jakarta.
Penyusupan yang dilakukan lewat Ukon Sukandi dengan memperalat Ali Murtado ini, terus
berkembang, sehingga pada tahun 1955, di Bandung saja, antara pejuang TII asli dengan pasukan
Intellijen RI yang berhasil disusupkan sudah fifty-fifty . Akibatnya mudah diduga, apapun perintah
Kartosoewirjo dalam mengatur strategi perang, dengan mudah digagalkan oleh TNI. Ini
diakibatkan oleh kecerobohan aparat TII yang dengan mudahnya menerima kembali seorang
yang telah berhenti berjuang dan kembali ke kota (Ali Murtado), yang lalu hanya sebab
dianggap berhasil merekrut seorang kader potensial, langsung diangkat kembali untuk menjabat
posisi penting, tanpa memproses pelanggarannya.
Kartosoewirjo semakin terdesak , secara militer digerogoti oleh agen agen kontra intellijen RI,
dan secara politik dengan semakin menancapnya kuku kekuasaan Presiden Sukarno. Dekrit
Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 di mana Presiden Soekarno mengemukakan dasar-dasar
yang akan dijadikan GBHN, dan lalu terkenal sebagai Manipol USDEK. Pada waktu itu bagi
Kartosoewirjo sudah jelas, bahwa sesudah Soekarno dapat memegang kembali kekuasaan di
tangannya, bagi Negara Islam Indonesia akan timbul masa-masa yang sulit.
Dalang peperangan strategi pertempuran masing masing negara bisa berbah sesuai keperluan,
pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1958 merevisi doktrin militer yang
selama itu dipraktekkan . Hasilnya yaitu konsep Perang Wilayah dengan dasar pemikiran,
bahwa tanpa adanya bantuan aktif dari masyarakat, perjuangan suci tidak akan dapat ditumpas.
Untuk itu keadaan masyarakat harus distabilisasikan dan cara berpikir yang konstruktif serta
integrasi nasional perlu didukung untuk mencapai partisipasi yang aktif dari rakyat dalam tugas-
tugas pertahanan. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan doktrin Perang Wilayah yaitu
Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang pernah menjabat sebagai atase militer di Beograd.
Rupanya Ibrahim Adjie berorientasi pada pengalaman perang gerilya Jugoslavia selama perang
dunia kedua. lalu konsep Perang Wilayah disyahkan oleh Ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960.
Namun sebelumnya, pada bulan Februari 1959 telah disusun “Petunjuk Pokok Pelaksanaan
Pemulihan Keamanan (P4K) yang bersandar pada konsep Perang Wilayah dan yang merupakan
suatu petunjuk untuk pemakaian seluruh sarana militer seefisien mungkin. Akhirnya lahirlah
Rencana Pokok 2.1. (RP 2.1.) untuk membatasi kebebasan bergerak lawan sehingga lawan
terdorong ke dalam daerah-daerah tertentu yang lalu diselesaikan satu per satu. Untuk
melaksanakan rencana ini , pada bulan Desember 1959 disusun Rencana Operasi 2.1.2. dan
lalu pada bulan Februari 1961 dikeluarkan RO 2.1.2.1. yang merupakan percepatan dari
Rencana Operasi 2.1.2. Kalau dalam RO 2.1.2. pemulihan keamanan wilayah Jawa Barat
direncanakan dalam waktu 5 tahun, yaitu sampai tahun 1965, dalam RO 2.1.2.1. waktu dipercepat
sampai akhir tahun 1962.
Tak lama sesudah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45,
di seluruh Jawa Barat serempak Operasi Wilayah GERAK, TANAH dan GODAM. Sesuai dengan
Rencana Pokok 2.1.2. wilayah Jawa Barat dibagi menjadi tiga daerah operasi, Daerah Operasi A
(DO-A), dimana telah tercapai normalisasi keadaan, Daerah Operasi B (DO-B) yang sudah
dikontrol oleh TNI namun belum 100 % bersih dari pemberontak Darul Islam dan Daerah Operasi C
(DO-C) yang masih sepenuhnya dikontrol oleh perjuangan suci Darul Islam. Pihak militer dengan
demikian menjiplak sistem D.I/D.II/D.III yang dipraktekkan perjuangan suci Darul Islam.
Penumpasan dan pengisolasian perjuangan suci Darul Islam dimulai pada pertengahan tahun
1960 di Kabupaten Lebak (DO-C 19) yang termasuk Korem Banten, untuk menutup kemungkinan
adanya anggota pejuang mujahid Darul Islam dapat menyeberang ke Sumatra. Di daerah Banten
ini juga untuk pertama kali penduduk setempat diikut sertakan dalam operasi militer yang mula-
mula dinamakan sebagai “Perang Bedok” dan lalu terkenal sebagai sistem “Pagar Betis”.
Pada mulanya sistem ini kurang berhasil, namun sesudah ada perbaikan maka sistem Pagar Betis
merupakan salah satu syarat untuk berhasil dalam peningkatan dan pengisolasian Tentara Islam
Indonesia, terutama di daerah Banten dan Priangan.
Situasi yang demikian menjepit, dimana rakyat yang semula berpartisifasi aktif dalam
mempertahankan berdirinya negara Islam Indonesia, perlahan lahan menarik bantuannya. Hal ini
disebabkan oleh dua hal, pertama, akibat adanya usaha usaha musuh NII yang membuat satuan
satuan TII palsu yang melakukan tindakan tindakan kejam terhadap rakyat, dimana mereka
membunuh, membakar dan merampok, sedang pada saat melakukan tindakan keji itu mereka
memakai tanda tanda yang membuat mereka dikenal sebagai gerilyawan NII. Ke dua, akibat
tekanan TNI, dimana seluruh rakyat harus terlibat dalam gerakan “Pagar Betis”, jika menolak,
maka langsung dituduh sebagai pendukung NII. Pada saat saat genting itu Imam Kartosoewirjo
mengeluarkan sebuah “washijat” sebagai berikut. :
WASHIJAT IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA S.M. KARTOSOEWIRJO
Bismillaahirrohmaanirrohiem
Washijat Imam pada pertemuan dengan para Panglima/Pradjurit (Mudjahid) pada tahun 1959
diantaranja berbunyi begini : “saja (Imam) melihat tanda tanda bentjana angin jang akan
menjapu bersih seluruh mudjahid ketjuali jang tertinggal hanya serah/bidji mudjahid yang benar2
memperdjuangkan/mempertahankan tetap tegaknja Negara islam Indonesia sebagaimana
diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949. Disa’at terdjadinja bentjana angin ini ingatlah
akan semua Washijat saja ini :
1. Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan.
2. Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima.
3. Mudjahid djadi luar Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid.
4. Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui
Strategi dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi
kelandjutan tetap berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia.
5. Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang
tertinggal hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi
Imam.
6. Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan
terus berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT.
7. Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila
masih ada, walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang stu itu untuk mengigit.
8. Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun.
Washijat di atas seharusnya dipegang oleh setiap Tentara Islam, sebagai amanat
perpisahan, dimana sekalipun sesudah ini mereka tidak lagi bertemu dengan Imam.
Perjuangan tidak boleh terhenti apalagi menyerah, sebab selama kebathilan masih tegak,
maka selama itu perlawanan harus dilanjutkan, sekalipun yang tersisa tinggal satu gigi,
maka gunakanlah gigi yang tinggal satu itu untuk menggigit !
Di pihak lain TNI dalam merealisasikan Konsep Perang wilayah ini , Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia ini merencanakan Operasi Cepat I-XII dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31
Januari 1962, Operasi Brata Yudha I-IV dari bulan Maret sampai bulan Juni 1962 dan Operasi
Pamungkas dari bulan Agustus 1962 sampai bulan Januari 1963, yang akan merupakan operasi
militer terakhir.
Dalam keadaan terdesak pihak pejuang mujahid Darul Islam pada tanggal 11 Juni 1961
mengeluarkan “Perintah Perang Semesta” (PPS) yang tidak ditandatangani oleh Kartosoewirjo,
melainkan oleh Taruna, seorang sekretaris pribadi Kartosoewirjo. Tapi tanpa melihat siapa yang
mengeluarkan perintah ini , PPS tidak dapat lagi mencegah berakhirnya perjuangan suci
Darul Islam. Sebab sementara itu kesatuan-kesatuan TII di daerah Banten, Pangrango-Gede,
Burangrang dan Tangkuban Perahu telah dapat ditumpas atau mereka menyerah kepada
pasukan pemerintah dalam rangka pemberian amnesti yang berlaku sampai bulan Oktober 1961.
Juga peningkatan perjuangan suci Darul Islam yang dilakukan terus menerus oleh pasukan TNI
menyulitkan komunikasi antara masing-masing kelompok kesatuan TII.
Sebagai akibat “Perintah Perang Semesta” yang merupakan reaksi terhadap penumpasan
perjuangan suci Darul Islam di daerah Banten, kini TII melakukan tindakan balasan terhadap TNI
dimana banyak jumlah korban dari pihak TNI saat kesatuan-kesatuan TNI di pedalaman
dihadang oleh pejuang mujahidin TII atau perkemahan mereka diserang pada malam hari. Pada
bulan September 1961 Menteri Keamanan Nasional A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi
tentang pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuang mujahidin TII yang menyerang dalam
rangka amnesti yang dikeluarkan pemerintah. Mereka dibagi ke dalam lima golongan, yaitu
golongan A yang terdiri dari pemikir, pejabat dan menteri; golongan B terdiri dari perwira;
golongan C hanya terdiri dari para pengikut saja dan golongan D yaitu mereka yang tidak
tercantum dalam A-C golongan terakhir yaitu golongan X yaitu warga asing. Untuk golongan A
ditetapkan, bahwa mereka dipulangkan ke tempat asalnya dan diberi lapangan kerja. Juga
mereka yang termasuk golongan B di bagikan lapangan kerja atau mereka dipekerjakan di
perusahaan negara asal mereka memenuhi syarat. Sebaliknya mereka yang termasuk golongan
C ditransmigrasikan. Bagi semua yang termasuk dalam kelima golongan ini di atas
dikenakan “karantina politik” dan mereka tidak boleh turut lagi dalam kegiatan politik. Pada
bulan November A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi lagi “tentang petunjuk persoalan
khusus dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuangan mujahidin Darul Islam,
yang menyerah”. berdasar instruksi ini masing-masing golongan A sampai D dibagi-
bagi lagi kedalam golongan-golongan yang lebih kecil. Dengan demikian Kartosoewirjo sekarang
termasuk golongan A1.
namun Kartosoewirjo tidak menyerah, meskipun dia sadar bahwa akhir perjuangan sucinya telah
dekat. Bahkan dengan semangat juang yang tinggi Kartosoewirjo masih berpidato di markasnya
di daerah gunung Galunggung untuk meneguhkan moral para pejuang mujahidin, dan dia
mengatakan antara lain bahwa “untuk memasuki gedung Darul Islam itu tidak tanpa melalui
proses pengaliran darah secara besar-besaran”. Dalam sindiran terhadap tauhid, Kartosoewirjo
mengatakan bahwa kalau di dalam suatu negeri terdapat dua kepala negara, maka salah satu
dari mereka, Soekarno atau dia harus menyingkir.
Pada tanggal 2 Januari 1962 Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie mengeluarkan perintah harian
kepada pasukannya. Sementara itu kesatuan-kesatuan Darul Islam yang bermarkas di
Cakrabuana dan Galunggung, dimana diperkirakan juga terdapat markas Kartosoewirjo,
menghadapi pengepungan total. Pengepungan terhadap para pejuang mujahidin TII hanya
dimungkinkan berdasar partisipasi rakyat dalam sistem Pagar Betis. Dengan demikian di
Kecamatan Ciawi dikerahkan 5653 orang yang dibagi atas 1127 pos penjagaan. Sementara itu
pemimpin-pemimpin Darul Islam, diantaranya Zainal Abidin dan Ateng Djaelani telah menyerah
kepada pasukan pemerintah RI.
Pada tanggal 1 April 1962 mulai dilancarkan Operasi Brata Yudha I. Dalam operasi ini daerah
operasi dibagi menjadi 4 Kuru Setra, suatu istilah yang diambil dari epos Brata Yudha. Yakni: Kuru
Setra I (DO-C-5) yang meliputi seluruh kompleks Gunung Galunggung; Kuru Setra II (DO-C 8-9)
meliputi kompleks Guntur dan Batara Guru; dalam Kuru Setra III (DO-C 6) termasuk Rangas dan
Baroko dan Kuru Setra IV (DO-C 12) meliputi kompleks Cimareme. Pada tanggal 24 April 1962
terjadi pertempuran antara pasukan TII dengan pasukan TNI di daerah Bandung Selatan tepatnya
di Gunung Pedang dekat desa Cipaku. Dalam pertempuran ini Kartosoewirjo tertembak di
pantatnya. Perjuangan yang penuh de