Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 12
gubernur oleh Burhanuddin, bekas perunding ALRI Divisi
IV.
Lama Soekarno baru berbuat demikian. Baru pada kunjungan lain ke Banjarmasin pada akhir 1955
dia mengimbau Ibnu Hadjar dalam salah satu pidatonya untuk meletakkan senjatanya. namun tak
ada jawaban yang positif terhadap ini dari pihak pejuang mujahidin, dan kegiatan-kegiatan KRIyT
tidak juga berkurang. Sebaliknya, tahun berikutnya bantuan militer diperlukan lagi untuk
Kalimantan Selatan. Untuk menambah peluang berhasilnya operasi, tentara Hassan Basry
dipanggil lagi dalam dinas aktif untuk memimpin operasi-operasi ini. Diharapkan agar dia
memanfaatkan pengaruhnya yang masih terdapat di kalangan gerilyawan untuk menumpas
perjuangan Islam untuk selama-lamanya. Hassan Basry sendiri pun optimistis tentang
keberhasilan tugasnya; dia diberi waktu setahun seluruhnya. Operasi sesungguhnya berlangsung
dari Mei sampai akhir tahun itu.
Langkah Hassan Basry yang pertama ialah melancarkan "gerakan dari mulut ke mulut" untuk
meyakinkan kaum pejuang mujahidin bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik sesuai
dengan hukum yang berlaku bila mereka menyerah. Di samping itu ia mengimbau mereka agar
menyerah dengan memakai selebaran dan siaran radio. Untuk menambah tekan moril,
diatur kunjungan ke Kalimantan Selatan yang dilakukan "dua orang putra daerah" lainnya—
Firmansjah, bekas Kepala Staf Pesindo Kalimantan, dan Idham Chalid (Idham Khalid), seorang
politikus Nahdatul Ulama terkenal. Idham Chalid berusaha memperoleh dukungan pemimpin-
pemimpin agama untuk usaha-usaha Pemerintah mengakhiri perjuangan Islam. Pemimpin-
pemimpin ini menyambut dengan menyampaikan permintaan kepada para pejuang mujahidin
agar menyerahkan diri.
Sambutan luar biasa besarnya. Dalam waktu satu bulan kira-kira empat ratus orang melapor
kepada penguasa, di antara mereka terdapat beberapa pemimpin gerilya yang terkenal seperti
Raden Mochtar Djaja. Pada Agustus menyusul pula Dardiansjah, adik laki-laki Ibnu Hadjar, dan
Tjinaby (Cinaby), Kepala Staf dan Jaksa Agung pejuang mujahidin. Keduanya dikirim ke Jakarta
untuk mengadakan pembicaraan dengan Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution,
tentang cara untuk menyelesaikan pertikaian ini secara tuntas. Beberapa hari sebelumnya,
Dardiansjah, saat masih di Banjarmasin, bicara melalui siaran radio memuji maksud Pemerintah
Pusat dalam mengakhiri perjuangan politik Negara Islam ini.
Sejenak tampaknya perjuangan Negara Islam di Kalimantan seolah-olah berakhir. Ibnu Hadjar
kehilangan rekan-rekannya yang paling tepercaya, seperti Dardiansjah dan Tjinaby, dan terdapat
kabar-kabar yang meyakinkan, didorong oleh fakta -fakta ini bahwa ia pun sungguh-
sungguh memikirkan untuk menyerah. Pada September Hassan Basry bahkan berangkat ke
Pegatan, di pantai Kotabaru, untuk berunding pribadi dengan dia mengenai penyerahan.
Pada akhirnya ternyata harapan tentang menyerahnya Ibnu Hadjar lenyap. Dan ia terus
memberi perlawanan selama tujuh tahun lagi. Bahkan dia bisa menarik manfaat dari gejolak
umum dalam sentimen kedaerahan di luar Jawa pada akhir 1950-an. Walaupun di Kalimantan hal
ini tidak sampai memuncak menjadi perjuangan terang-terangan seperti di Sumatera dan
Sulawesi, orang-orang yang tidak puas di sini lalu membentuk dewan daerah, Dewan Lambung
Mangkurat diketuai oleh panglima daerah. Akibatnya, kalangan militer di daerah ini lebih banyak
mengarahkan waktu serta daya-upayanya kepada perselisihan mereka dengan Pemerintah Pusat
dan Pimpinan Tentara ketimbang kepada penumpasan gerakan Darul Islam. Dengan demikian
Ibnu Hadjar memperoleh kesempatan meningkatkan kegiatannya sekali lagi.
Gerakan perlawanan baru berakhir Juli 1963. Pada akhir bulan ini Ibnu Hadjar dan anak buahnya
dengan resmi menyerah kepada pejabat dalam suatu upacara singkat di Desa Ambun di
Hulusungai Selatan. Pada awal September dia ditangkap. Pada Maret 1965 dia diadili sebuah
pengadilan militer khusus dan dijatuhi hukuman mati. Pada saat persidangan perkaranya, Ibnu
Hadjar mengenakan pakaian seragam tentara dengan tanda pangkat letnan dua.
DARUL ISLAM ACEH
Daerah yang terakhir dalam pembelaannya terhadap Islam dari penjajahan Republik Indonesia
yaitu daerah Aceh. Disana para pejuang mujahidin masuk dalam Negara Islam Indonesia
Kartosoewirjo. Permaklumannya dalam perjuangan membela Negara Islam Indonesia ini pada
bulan September 1953. saat salah seorang pemimpin Islam yang sangat berpengaruh di daerah
itu, Daud Beureueh menyatakan bahwa Aceh dan daerah-daerahnya yang berbatasan
dengannya menjadi bagian Negara Islam Indonesia.
Perjuangan politik Negara Islam yang diilhami oleh Darul Islam di Aceh ini berakhir secara damai
melalui musyawarah sesudah Pemerintah Pusat pada tahun 1959, akhirnya memenuhi juga
beberapa tuntutan dari rakyat Aceh dengan memberi status Provinsi Istimewa untuk daerah
Aceh, dengan otonomi di bidang agama, hukum adat, dan pendidikan. Di samping itu, Daud
Beureueh merupakan salah seorang pejuang mujahidin terakhir yang kembali dari hutan pada
tahun 1962. Dia tidak tewas dalam pertempuran atau dihukum mati, namun diberi ampun.
Nama-nama yang paling sering muncul sehubungan dengan persiapan-persiapan perjuangan
jihad suci dalam masa ini yaitu Daud Beureueh, Hasan Aly, Husin Jusuf, dan Amir Husin al
Mudjahid. Dalam awal perjuangannya, kaum pejuang mujahidin menguasai hampir seluruh Aceh.
Hanya kota-kota besar yang utama saja yang belum dikuasainya, seperti Banda Aceh (atau
Kutaradja, demikian namanya saat itu), Sigli dan Langsa di utara, dan Meulaboh di pantai
selatan, daerah ini masih tetap dalam tangan Republik. sesudah dalam beberapa minggu di
awal perjuangan ini , kaum pejuang mujahidin Darul Islam dapat dihalau keluar pusat-pusat
perkotaan lagi. Oleh sebab itu, untuk melanjutkan perjuangan, mereka mengalihkan basis
perjuangannya ke daerah-daerah pedesaan. Dan terbukti lalu , bahwa sesudah pengalihan
ini para kaum pejuang mujahidin dapat bertahan selama bertahun-tahun, terutama di
bagian utara mereka sangat kuat sekali, begitu juga di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie,
dan Kabupaten Aceh Utara.
Sebelum bulan September 1953, bahwa sudah terdapat hubungan antara Daud Beureueh dan
gerakan Darul Islam. namun kurang dapat dipastikan, siapa yang mengambil prakarsa: para
pejuang mujahidin di Aceh atau Kartosoewirjo. Menurut sebuah laporan rahasia, Daud Beureueh
dan Amir Husin al Mudjahid dikatakan telah pergi ke Jawa untuk berunding dengan
Kartosoewirjo di Bandung sesudah suatu pertemuan rahasia yang diadakan Daud Beureueh pada
tanggal 13 Maret 1953, yang dalam pertemuan ini juga dihadiri oleh Amir Husin al Mudjahid,
Husin Jusuf, Sulaiman Daud, Hasan Aly (Kepala Kejaksaan di Aceh, saat itu sedang cuti resmi),
Said Abubakar, dan A.R. Hanafiah (pegawai Kantor Agama Aceh Timur). Dalam pertemuan ini
telah mengutus dua orang untuk pergi ke Jawa untuk melakukan hubungan dengan pemimpin-
pemimpin Darul Islam di sini. Menurut laporan yang sama, sekembalinya dari Jawa, Amir Husin al
Mudjahid tinggal beberapa hari di Medan untuk menemui wakil organisasi-organisasi lainnya di
sana, seperti Masyumi dan cabang pemudanya, GPII.
Oleh sebab itu dapat dipastikan antara Daud Beureueh dan Kartosoewirjo saling mengadakan
kontak hubungan melalui para utusan. Pada bulan Mei 1953, Kartosoewirjo pernah mengirim
utusannya yang bernama Abdul Fattah Wirananggapati dengan nama samarannya Mustafa
Rasjid sebagai K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi ) Negara Islam Indonesia ke Aceh
untuk membicarakan penggabungan wilayah Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia sekaligus
untuk mengangkat Daud Beureueh sebagai Panglima Wilayah V TII (Tentara Islam Indonesia)
Chik Di Tiro. Namun nasib kurang baik menimpa utusan itu, saat kembali ke Jawa ia tertangkap
oleh Tentara Republik. Pada saat kejadian itu pun juga tertangkap seorang utusan Daud
Beureueh. Dengan adanya peristiwa ini , pihak Pemerintah Pusat tidak cepat mengambil
reaksi, namun berusaha merahasiakan penangkapan terhadap dua utusan itu, dan juga tidak
langsung mengadakan penangkapan terhadap Daud Beureueh, hanya saja pihak Pemerintah
menambah jumlah satuan Brigade Mobil di Aceh.
Dalam pada itu sebelumnya, pada bulan April 1953 ada dua peristiwa penting yang sedang
berlangsung di Aceh, yaitu telah berlangsungnya dua kongres. Pertama diadakannya kongres
alim ulama di Medan dari 11 sampai 15 April. Kedua, kongres untuk menilai hasil-hasil kongres
Medan diadakan PUSA di Langsa dari 15 sampai 29 April. Kedua pertemuan ini diketuai Daud
Beureueh, yang dengan demikian mendapat kesempatan yang baik sekali untuk menyampaikan
kepada para peserta rencananya dan membicarakan bersama mereka kemungkinan
mengadakan resistensi politik dan jihad suci.
Kedua kongres ini merupakan titik awal dari suatu gerakan luas yang meliputi seluruh Aceh, yang
digunakan pemimpin-pemimpin Islam untuk mendesak rakyat memberi suara untuk partai
Islam dalam pemilihan umum yang akan datang (yang saat itu tampaknya sudah dekat), dan
untuk Islam sebagai dasar konstitusional Negara Indonesia. Di samping itu mereka
mengemukakan sejumlah persoalan yang sejak lama telah memicu kemarahan sebagian
besar rakyat Aceh, yaitu sikap Pemerintah Indonesia yang dinyatakan anti-atau bukan-Islam,
kelalaian Pemerintah terhadap Aceh, dan penggantian orang Aceh dengan orang dari luar daerah
dalam pemerintahan daerah dan tentara. Dalam rapat-rapat umum dan khotbah-khotbah
mereka selanjutnya menuduh orang Jawa dan orang Batak mengandung maksud untuk
mengambil alih Aceh. Menurut mereka, pasukan Angkatan Darat yang dikirim ke Aceh terdiri dari
bekas serdadu-serdadu KNIL dan orang-orang kafir, dan mereka menyerang Soekarno sebab
ingin memajukan agama Hindu. Sebuah monografi tentang perjuangan jihad suci Aceh
menyatakan, para alim ulama "dengan tegas bersumpah ... bahwa sekembalinya mereka ke
daerah mereka, mereka akan mengusahakan dengan sekuat tenaga untuk meyakinkan rakyat
memperjuangkan Negara Islam dalam pemilihan umum yang akan datang untuk DPR dan
Konstituante, dan bahwa bila kemenangan tidak tercapai dengan jalan ini, mereka tidak akan
ragu-ragu memakai cara-cara yang melanggar hukum Pemerintah RI guna mencapai tujuan
ini".
Kedua kongres ini tidak hanya memberi titik awal untuk gerakan seluruh Aceh guna
menjelaskan pandangan pemimpin-pemimpin Islam tentang Negara Islam dan menghasut rakyat
memberontak terhadap Pemerintah Pusat. Juga memberi dorongan guna memperbaharui
usaha meluaskan pengaruh PUSA dalam masyarakat. Struktur organisasi PUSA diperkukuh
dengan dibentuknya organisasi-organisasi massa untuk mengerahkan para pendukung.
Demikianlah cabang Pemuda PUSA yang selama bertahun-tahun tidak aktif dihidupkan kembali,
didirikan Persatuan Bekas Pejuang Mujahidin Islam yang ini di atas, dan PUSA memperkuat
penguasaannya atas gerakan Pandu Aceh, Pandu Islam, dengan mengangkat A.G. Mutiara
sebagai pemimpinnya. Ketiga organisasi ini memainkan peranan penting dalam persiapan-
persiapan militer bagi perjuangan Negara Islam yang akan datang. Di samping memberi Darul
Islam Aceh bagian terbesar pasukannya, mereka barsyak memudahkan perencanaan untuk aksi-
aksi yang terkoordinasi pada saat resistensi politik meletus dengan menyerang kota-kota utama
Aceh sekaligus. Para bekas gerilyawan yang dipersatukan dalam Persatuan Bekas Pejuang Islam
Aceh merupakan pasukan tempur pokok, disokong para pemuda dari Pemuda PUSA dan Pandu
Islam sebagai pembantunya.
Pandu Islam ini tidak hanya sebagai gerakan Pandu biasa. Di samping latihan militer-militeran,
kepada para anggota yang tergabung di dalamnya diberikan latihan dasar militer sesungguhnya.
"Pandu Islam hari demi hari bertambah sehat dan pengikutnya makin bertambah banyak.
lalu ternyata, para anggotanya menerima latihan militer dari prajurit-prajurit
berpengalaman pilihan khusus dan diajarkan metode menyerang dan menyerbu. Latihan ini
mereka terima tidak hanya siang namun juga malam hari". Menurut taksiran Pemerintah, sebagian
dari Pandu yang jumlahnya yaitu 4.000 orang, juga bekas para gerilyawan .
sesudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, maka tibalah saatnya menentukan hari
dimulainya jihad suci. Dari titik pandangan ideologis hari yang paling cocok mestinya yaitu 7
Agustus, hari Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Sebenarnya ada tanda-
tanda, para pemimpin Darul Islam menganggap ini sebagai hari yang layak. Sebagaimana yang
dituturkan dalam majalah Singapura Asia Newsletter, "Pada mulanya kaum pejuang mujahidin
memutuskan akan mulai jihad suci pada 7 Agustus, namun rencana mereka berubah sesudah
Pemerintah Pusat mengetahui informasi ini. Yang lalu Wakil Presiden Mohammad Hatta
mendesak pemimpin-pemimpin pejuang mujahidin untuk membatalkan rencananya". Tanggal
kemungkinan yang lain disebut yaitu 17 Agustus, hari ulang tahun pernyataan kemerdekaan
Indonesia. Menurut laporan rahasia ini , tanggal 17 Agustus telah diputuskan pada suatu
rapat 1 Agustus. Pada rapat ini dua belas orang, termasuk Amir Husin al Mudjahid namun Daud
Beureueh tidak berkumpul di rumah Zainy Bakri, bupati di Langsa. Juga telah disetujui pada
pertemuan ini, yaitu untuk mengundurkan awal jihad suci sampai selambat-lambatnya
pertengahan September, bila persiapan-persiapan masih belum selesai pada tanggal 17 Agustus.
Upaya Pemerintah Pusat untuk meredakan situasi di Aceh, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Hatta melakukan kunjungan ke daerah ini. Kunjungan yang pertama berlangsung Maret 1953.
namun dengan adanya kunjungannya ini tidak banyak mengurangi ketegangan daerah Aceh, yang
menjadi sebab yaitu sebab rakyat Aceh terlalu banyak dikuasai pidatonya Sukarno di Amuntai,
yang juga telah memicu amarah umat Muslim yang saleh di Aceh. Kedatang Soekarno ke
Aceh disambut dengan tulisan-tulisan slogan seperti "Kami cinta presiden, namun kami lebih
mencintai agama". Yang nampak berhasil dalam kunjungan itu yaitu usaha Hatta. Selama
kunjungannya — yang berlangsung pada bulan Juli — dia dapat berunding dengan Daud
Beureueh. sesudah mengadakan perundingan, Hatta kembali ke Jakarta dengan kerangka pikiran
yang optimistis, bahwa ia merasa yakin suatu persoalan telah dipecahkan dan bahwa keadaan
masih dapat dikendalikan. Namun belakangan timbul kecaman dari berbagai kalangan. Termasuk
Partai Komunis Indonesia (PKI) — partai politik yang paling mengecam jihad suci ini — mereka
menyalahkan Hatta sebab secara pribadi telah mencampuri urusan Pemerintah dengan
memerintahkan Perdana Menteri Wilopo agar tidak mengambil tindakan pencegahan di Aceh.
Menurut para juru bicara PKI, tidak berbeda sikap Hatta sebelum dan sesudah kunjungannya ke
Aceh. Sebelum berangkat dia merasa yakin akan sanggup menghadapi masalah-masalah di Aceh.
Sekembalinya, ia memberi tahu Wilopo bahwa tak akan terjadi apa-apa dan ia merasa pasti,
keamanan dan ketenteraman dapat dipelihara.
Melihat sikap Pemerintah yang lunak terhadap perjuangan para mujahid. Kalangan penguasa
Pemerintah Daerah di Sumatera Utara dan Aceh mengikuti garis Pemerintah Pusat di Jakarta dan
berusaha sungguh-sungguh menghilangkan kesan bahwa suatu jihad sedang bergolak. Berulang
kali mereka menyangkal bahwa keadaan gawat atau bahwa terjadi suatu gerakan Negara Islam.
Dalam beberapa hal pernyataan ini memang dibuat sebab benar-benar tidak tahu, dalam hal-hal
yang lain disebabkan keinginan menenangkan pikiran rakyat.
Pada tanggal 14 September 1952, diadakan rapat resmi — tepatnya seminggu sebelum jihad suci
Negara Islam pecah — untuk membicarakan situasi keamanan di Aceh. Dalam rapat ini dihadiri
bupati Aceh Timur, Zainy Bakri, bupati Pidie, T.A. Hasan, dan bupati Aceh Utara, Usman Azis,
dalam rapat ini mereka menguraikan secara singkat kepada gubernur Sumatera Utara,
Abdul Hakim, tentang keadaan dalam daerahnya masing-masing dan memberi jaminan
kepadanya bahwa segalanya beres dan tidak terdapat ancaman langsung bagi keamanan. Rapat
ini juga dihadiri Sulaiman Daud, pejabat residen-koordinator Aceh, Dalam rapat itu terjadi silang
pendapat tentang situasi yang sedang terjadi di Aceh. Menurut berita yang disampaikan oleh
Nya' Umar, koordinator Polisi untuk Aceh, bahwa keadaan di Aceh demikian gawat hingga ia
memerintahkan penempatan pengawal di gedung-gedung pemerintah yang penting. Tentu saja
Abdul Hakim juga menerima informasi yang bertentangan dengan pandangan yang
dikemukakan para bupati. Dalam informasi yang berbeda ini, Posisi Abdul Hakim lebih percaya
kepada jenis informasi yang belakangan ini. Pada akhir September, saat bebas untuk
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya, ia mengakui, suasana memang "hangat" pada
Agustus, lalu keadaan menenang kembali, namun mencapai klimaks baru pada pertengahan
September, saat jihad suci mempertahankan Negara Islam meletus.
Pada bula Agustus situasi di Aceh semakin tidak menentu. Oleh sebab nya, rakyat mulai
mempersiapkan diri untuk meninggalkan daerah Aceh menuju Medan dan Sumatera Timur
dalam jumlah yang besar. Kebanyakan mereka ini yaitu keluarga uleebalang dan anggota atau
simpatisan partai-partai sekuler, terutama PKI, para pimpinan yang tergabung dalam PUSA juga
merasa tidak aman. Para pimpinan PUSA merasa khawatir akan tindakan yang akan dilakukan
oleh Angkatan Darat dalam usahanya menghentikan setiap aksi perlawanan di daerah,— seperti
yang mereka saksikan pada Agustus 1951—saat tersebar kabar, bahwa Pemerintah telah
menyusun daftar nama orang Aceh terkemuka yang dinyatakan akan ditangkap. Menurut
sementara orang, daftar ini memuat tiga ratus, menurut yang lain-lain, seratus sembilan puluh
nama.
Beberapa penulis menyatakan, daftar inilah yang menjadi penyebab langsung resistensi politik
umat Islam. Boland menulis, "Menurut informasi yang diperoleh di Aceh, para kaum politisi sayap
kiri di Jakarta telah menyebarkan isu bahwa Aceh benar-benar mengatur suatu perlawanan
politik berdasar Islam. Akibatnya "Djakarta" mencantumkan dalam daftar 190 orang Aceh
terkemuka yang harus ditangkap. Hal ini diketahui di Aceh pada Juli 1953, belakangan ternyata
bahwa daftar nama ini barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. sebab orang-
orang Aceh terkemuka ini merasa bahwa mereka mungkin akan ditangkap, mereka memutuskan
lari ke gunung pada 19 September 1953. Kejadian ini merupakan pemutusan resmi dengan
"Djakarta", dan awal dari apa yang disebut pemberontakan Darul Islam di Aceh."
Dalam persoalan yang sama juga dikemukan oleh Amelz, dia memberi pandangannya dalam
suatu perdebatan parlemen saat meletus jihad suci menegakkan Negara Islam. Amlez
menyatakan, bahwa kebocoran daftar itu pada tanggal lebih belakangan, yaitu sesudah terjadi
tindakan jihad suci menegakkan Negara Islam pertama pada 20 dan 21 September. namun dia
menyetujui pendapat Boland bahwa hadirnya nama mereka di daftar menyebabkan sejumlah
pemimpin mengikuti jihad suci menegakkan Negara Islam. Mereka yang bermaksud tidak akan
bertindak sebelum Pemerintah lebih dulu bertindak, kini sesudah diberitahu tentang daftar itu,
menurut Amelz, mereka memutuskan untuk membelot.
Dalam dua minggu pertama melaksanakan jihad suci menegakkan Negara Islam berbagai kota
kecil dan kota besar diserang, termasuk Banda Aceh. Rencana penyerang kota ini belakangan
baru diketahui Polisi sehari sebelum malam jihad suci menegakkan Negara Islam dimulai, yaitu 19
September. Di pantai timur serangan dipusatkan pada kota-kota yang tempatnya pada jalan
kereta api dari Banda Aceh, lewat Seulimeum di Aceh Besar, Sigli dan Meureudu di Pidie, Bireuen
dan Lhokseumawe di Aceh Utara, dan Idi, Peureulak dan Langsa di Aceh Timur ke Medan.
Di Peureulak penyerangan pertama dilakukan terhadap Pos Polisi kecil yang anggotanya kira-kira
sepuluh petugas. sebab tidak ada perlawanan yang diperlihatkan oleh pasukan polisi setempat,
maka baik pos polisi maupun kota Peureulak diduduki pasukan pejuang mujahidin yang dipimpin
Ghazali Idris tanpa suatu perlawanan pun dalam waktu dua jam. Pada tempat-tempat yang
strategis diadakan penjagaan dan bendera Darul Islam pun dikibarkan dari gedung-gedung
penting di kota itu. Sesudah itu dalam beberapa hari berikutnya kota-kota yang berdekatan, Idi
dan Bayeuen, pun direbut lagi-lagi tanpa perlawanan sedikit pun. Pendudukan semua kota ini
banyak dipermudah sebab adanya dukungan yang diperolehnya kaum pejuang mujahidin dari
sejumlah pegawai negeri setempat. Di Peureulak yang membantu kaum pejuang mujahidin
yaitu asisten wedana A.R. Hasan, dan di Idi inspektur polisi Aminuddin Ali.
Sesudah merebut Idi, Bayeuen, dan Peureulak dan menghentikan semua lalu lintas kereta api,
pasukan pejuang mujahidin bergabung menuju Langsa, ibukota Aceh Timur. Untuk tujuan ini
semua bus dan mobil pribadi disita untuk mengangkut pasukan. Sampai pada saat itu kaum
pejuang mujahidin hanya sedikit mendapat perlawanan dan tanpa mengalami kesulitan sama
sekali. Sejenak tampaknya seolah-olah mungkin pula Langsa mereka rebut tanpa melepaskan
sekali tembakan pun. sebab penduduk kota ini, dengan tidak adanya bupati Aceh Timur (yang
bagaimana pun memihak kaum pejuang mujahidin) dan kepala Polisi, yang kedua-duanya masih
berada di Medan, sangat ingin menyerah. sebab itu dikirimkanlah utusan ke Peureulak dan
Bayeuen untuk menyampaikan kepada kaum pejuang mujahidin maksud keinginan mereka dan
membicarakan syarat-syarat penyerahan dengan mereka. Mereka ini kembali dengan pesan,
pasukan Darul Islam bagaimana pun akan menuju Langsa untuk mengumpulkan senjata Tentara
dan Polisi yang ditempatkan di sana. Rencana menyerah ini dihalangi kepala Polisi saat kembali
dari Medan yang sebaliknya menyodorkan ultimatum kepada kaum pejuang mujahidin untuk
menyerahkan senjata mereka. Pasukan Darul Islam mendekati Langsa dari barat dan utara serta
melancarkan serangan bersama terhadap asrama Polisi Militer dan Brigade Mobil pada 21
September. Tentara Republik yang telah mendapat bala bantuan baru dari Medan dapat
memukul serangan ini. Kekalahan kaum pejuang mujahidin di Langsa merupakan titik balik dalam
pertempuran di Aceh Timur. Pada 23 September pasukan Republik merebut kembali Bayeuen,
dan dalam dua hari berikutnya Idi dan Peureulak.
Dalam pertempuran di Aceh Utara ibukota daerah Lhokseumawe, pagi hari 21 September
pasukan pejuang mujahid mengadakan aksinya, namun menghadapi perlawanan yang berarti
dari pasukan Republik. Oleh sebab itu serangan pasukan mujahidin mengalami kegagalan.
Dengan kegagalannya itu pasukan pejuang mujahidin mengundurkan diri sesudah bertempur
kira-kira empat jam. Mereka perbaharui lagi siasat dalam penggempurannya, namun sebab
kuatnya pertahanan yang diperlihatkan oleh pasukan Republik lagi-lagi tanpa hasil. Walaupun
pada satu saat keadaan menjadi begitu gawat hingga dipertimbangkan untuk mengungsikan
penduduk. Sebuah kota lain di Aceh Utara, Bireuen, mereka duduki sebentar. Demikian pula
Seulimeum di Aceh Besar, yang direbut pada 21 September. saat kaum pejuang mujahidin
menyerangnya, garnisun Polisi Republik tidak memberi perlawanan.
Di daerah Pidie Aceh Barat, kaum pejuang mujahidin gagal merebut Sigli. Mereka lebih berhasil
di Tangse, Geumpang, dan Meureudu, namun kota yang terakhir ini sempat banyak menyulitkan
mereka. Di samping itu, baru direbut sesudah serangan dilakukan "pasukan kawakan Darul Islam
Aceh" dan sesudah pembela-pembelanya kehabisan peluru. Pasukan yang menduduki Meureudu
terdiri dari satuan prajurit Angkatan Darat yang berasal dari Aceh, dipimpin Hasan Saleh, yang
saat pejuang mujahidinan meletus melakukan desersi dan bergerak dari Sidikalang di Tapanuli,
tempat mereka bertugas kembali ke Aceh Utara. Hasan Saleh sendiri sudah diberi cuti panjang
sebelum meletus jihad suci menegakkan Negara Islam.
Di Aceh Tengah pasukan Darul Islam menduduki Takengon. Seperti juga di Meureudu, mereka
baru dapat memasuki kota sesudah pasukan Republik kehabisan amunisi. Kota lain yang jatuh
yaitu Tapak Tuan di Aceh Selatan.
Tidak banyak yang dicapai kaum pejuang mujahidin dengan menduduki kota-kota ini. Mungkin
pemimpin-pemimpin mereka mengharapkan, mereka cukup kuat menghalau Tentara Republik
paling tidak dari sebagian besar wilayah Aceh dan memukul setiap serangan balasan, namun
ternyata ini merupakan taksiran yang terlalu tinggi tentang pasukan Darul Islam. Mereka tidak
mampu menguasai terlalu lama kota-kota kecil dan kota-kota besar. Ternyata mudah saja
pasukan Pemerintah Republik dalam serangan balasan menghalau pasukan Darul Islam ke luar
kota-kota ini. Beberapa kota dikuasai kembali dalam beberapa hari. Yang lain-lain lebih lama
tahan. namun dengan jatuhnya Takengon, Tangse dan Geumpang pada akhir November, kaum
pejuang mujahidin telah terusir dari daerah-daerah perkotaan. Mereka mengundurkan diri ke
daerah pedalaman. Di sini, terutama di kabupaten-kabupaten sepanjang pantai utara, mereka
melakukan perlawanan gigih.
Para pejabat pemerintah sendiri menyatakan sangat gembira akan hasil yang cepat dari aksi-aksi
militer pertama. Demikianlah S.M. Amin, yang segera sesudah itu diangkat menjadi gubernur
Sumatera Utara, mengemukakan, dari segi pandangan militer jihad suci menegakkan Negara
Islam telah berakhir dan apa yang masih perlu harus dilancarkan Pemerintah yaitu gerakan
pengamanan. Namun, tentulah jelas waktu itu juga— mengingat keadaan di Jawa Barat,
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan — pengamanan bukanlah masalah yang mudah. Pasti
ini disadari panglima Divisi Sumatera Utara Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon, yang sejak
semula mengemukakan pendapat, keadaan sangat gawat dan terus demikian, sehingga para
pejuang mujahidin tidak mungkin ditaklukkan dengan cara militer saja.
Tambahan lagi pecahnya jihad suci menegakkan Negara Islam membuat pemerintahan daerah
ini jadi sangat sulit bagi Pemerintah Republik dan sangat mengganggu berfungsinya pemerintah
dan ekonomi daerah. Mulanya departemen yang paling banyak pengikut PUSA-nyalah yang
paling banyak terkena sebab pegawai-pegawainya membelot. Amin dalam suatu penilaian
sementara akan keadaan memperkirakan sekitar tujuh puluh persen pegawai Pemerintah
Daerah di Jawatan Agama, Urusan Sosial, dan Penerangan telah meninggalkan pekerjaannya dan
mengikuti kaum pejuang mujahidin. Jawatan Pendidikan menghadapi masalah yang berbeda
walaupun sama gawatnya, yaitu sebagian besar para guru melarikan diri ke Medan atau
mengungsi. Pada bulan-bulan pertama jihad suci menegakkan Negara Islam mereka menolak
kembali ke Aceh dengan mengatakan, mereka lebih suka dipecat. Terdapat soal-soal yang sama
dalam pemerintahan setempat. Seperti telah kita lihat, sejumlah bupati memihak kaum pejuang
mujahidin. Keadaan pada tingkatan yang lebih rendah lebih buruk lagi. Banyak dari pejabat
tingkat yang terendah, para keuchik dan imam mukim, menyeberang ke pihak pejuang mujahidin.
Yang paling parah terkena yaitu Pidie, yang bupatinya, semua wedana, dan semua camat
kecuali seorang, dan 99 dari 188 imam mukim berubah pengabdian kesetiaannya. Seperti juga di
daerah-daerah lain yang terkena jihad suci menegakkan Negara Islam Darul Islam, pejabat-
pejabat paling rendahlah yang merasakan dampak jihad suci menegakkan Negara Islam paling
langsung. Melaksanakan pekerjaan di daerah-daerah yang pengaruh Darul Islam-nya kuat
berbahaya sekali. Jadi tidaklah mengherankan, Pemerintah Republik—dalam usahanya untuk
membangun pemerintahan lokalnya lagi—menghadapi kesulitan mendapatkan orang yang
bersedia mewakilinya di tingkat desa. Walaupun berhasil mengisi lowongan-lowongan dan
mengganti para pejabat yang kesetiaannya diragukan dalam eselon-eselon pemerintahan yang
lebih tinggi, Pemerintah tidak bisa mendapatkan cukup calon yang setia untuk jabatan-jabatan
yang lebih rendah ini. Pada April 1954 Pemerintah Republik berhasil membangun pemerintahan
lagi dari tingkat camat ke atas, yaitu di daerah-daerah perkotaan yang relatif aman. Namun suatu
komisi parlemen yang mengunjungi Aceh pada awal 1954 terpaksa melaporkan bahwa para
bupati, wedana, dan camat yang baru diangkat di Aceh Besar dan Pidie masih tidak bisa
melakukan perjalanan tugas di daerah-daerahnya dan hanyalah Saman di kota-kota dan tempat-
tempat tugas pasukan Angkatan Darat. Beberapa camat harus diiringi pengawalan bersenjata ke
posnya pada pagi hari dan kembali ke kota dengan cara yang sama pada malam hari. Bersamaan
dengan itu dua puluh persen jabatan imam mukim dan keuchik masih lowong. Tambahan lagi, di
sejumlah desa, imam mukim pemerintah Republik Indonesia dan keuchik juga diam-diam bekerja
untuk kaum mujahidin.
Pada mulanya jihad suci menegakkan Negara Islam tampaknya tidak mengakibatkan terjadinya
kekurangan pangan secara mendadak atau penurunan dalam produktivitas perkebunan
pertanian. Ada laporan-laporan menggelisahkan yang beredar tentang pengaruh jihad suci
menegakkan Negara Islam yang negatif di ekonomi perkebunan, seperti larinya buruh dalam
jumlah besar dan bahwa pekerjaan pertanian dan pengurusan perkebunan sangat menderita.
Personil asing dianjurkan mengungsi dari perkebunan, sedangkan dalam beberapa hal di
samping itu manajemen Indonesia lari mengikuti pejuang mujahidin. Ada laporan tentang Said
Abubakar, yang mengontrak sebuah perkebunan di Langsa, lenyap dengan membawa serta Rp
300.000,— uang gaji. Selanjutnya di ladang-ladang minyak Aceh Timur, seluruh manajemen,
termasuk Direktur Umum Amir Husin al Mudjahid menghilang. namun sumber-sumber resmi
pemerintah menyatakan semua ini tidak mempengaruhi produktivitas. Ladang-ladang minyak
masih berfungsi normal (artinya sedikit sekali) sedangkan hasil perkebunan malahan naik dengan
15 persen, demikian penuturan Amin.
Masalah pelik yang dihadapi oleh Pemerintah waktu itu bukan hanya aksi-aksi militer saja,
disamping itu yaitu masalah pengurusan dan akomodasi tawanan. Sampai pada akhir Maret
1954, sudah ada 4.666 orang yang ditangkap. Namun kapasitas dan ruangan penjara-penjara
yang ada tidak cukup untuk menampung jumlah yang besar ini. Lalu Pemerintah mengambil
kebijakan terhadap para tawanan yaitu diangkutnya para tawanan ke tempat-tempat di luar
Aceh. Dengan cara yang terakhir ini Pemerintah Republik juga mengharapkan ingin
mempercepat pemeriksaan para tawanan, sebab di Aceh tidak cukup jumlah personil yang
memenuhi syarat untuk masalah seperti ini. Sebenarnya langkah ini pun tidak mencapai hasil
yang diharapkan. Penjara dan kamp-kamp di Aceh terus juga dipenuhi hingga melimpah, dan
proses pemeriksaan para tawanan sangat lambat. saat pemeriksaan benar-benar berlangsung,
sebagian besar tawanan ternyata tidak bersalah dan ditangkap hanyalah berdasar kecurigaan
yang sangat kecil. Pada 1956 kecuali 400 orang semua tawanan dibebaskan lagi.
saat jihad suci menegakkan Negara Islam meletus, Daud Beureueh mengumumkan proklamasi:
atas nama masyarakat Islam Aceh, ia menyatakan Aceh dan daerah-daerah sekitarnya menjadi
bagian dari Negara Islam Indonesia. Untuk membenarkan proklamasi ini ia mengemukakan
alasan, bahwa pemimpin-pemimpin Republik di Jakarta telah menyimpang dari jalan yang benar.
Republik Indonesia tidak berkembang menjadi suatu negara yang berdasar Islam.
Demikianlah, unsur pokok yang dikemukakannya mengenai pidato Soekarno "yang malang" di
Amuntai. Dengan mengemukakan keterangan Soekarno bahwa dia memilih negara nasional
sebab takut kalau-kalau jika terbentuk negara Islam beberapa daerah akan memisahkan diri,
Daud Beureueh menyatakan memelopori dalam memisahkan diri dari suatu negara yang hanya
didasarkan atas nasionalisme. Kata-kata Daud Beureueh membuktikan, tentang perbedaan
antara negara agama atau Islam dan negara nasional tidak lagi merupakan masalah peristilahan,
namun telah berkembang menjadi suatu penentangan sesungguhnya. Daud Beureueh
menyatakan, rakyat Aceh memahami arti sebenarnya kata-kata "agama" dan "nasionalisme" dan
setiap orang yang percaya bahwa orang yang beragama tidak mencintai negerinya barangkali
tidak memahami Islam. Selanjutnya ia menegaskan, sebenarnya Republik Indonesia tidak
menjamin kebebasan beragama dalam arti kata sesungguhnya. Dia tidak menerima fakta
bahwa Islam tidak membedakan bidang keagamaan dengan bidang sekuler atau pandangan
Muslim bahwa prinsip-prinsip Islam harus diterapkan dalam semua lapangan kehidupan. Jika
memang terdapat kebebasan beragama yang sesungguhnya, maka syariat Islam haruslah
berlaku di Aceh, mengingat bahwa seratus persen rakyat di Aceh yaitu Muslim. Dalam keadaan
seperti itu sama sekali tidak mungkin Jaksa Agung melarang khotbah yang mengandung politik,
katanya, sebab politik dan agama tak dapat dibedakan.
Hal lain yang diserang oleh Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat yaitu bahwa
Pemerintah ini tidak pernah mengabulkan suatu permintaan Aceh apa pun dan bahwa ia
sekarang menganggap Aceh— yang selama revolusi merupakan daerah "modal" Republik—
sebagai daerah yang tidak patuh. Tidak pula diberikan suatu konsesi apa pun terhadap
permohonan otonomi Aceh yang saat itu masih dibayangkan dalam kerangka Republik
Indonesia. Daud Beureueh mempertanyakan mengapa perdebatan tentang ini harus menunggu
terbentuknya Konstituante, dan apakah ini barangkali sebab Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Pusat hanya ingin menyisihkan persoalan ini. Padahal, bahwa lembaga yang akhir ini
mampu bertindak cepat telah diperlihatkan pada waktu pengubahan Republik Indonesia Serikat
menjadi Republik Indonesia kesatuan. Daud Beureueh menggarisbawahi fakta , rakyat Aceh
dengan sabar telah menanti terbentuknya Konstituante selama bertahun-tahun, namun
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyadari ini dan bahkan memutuskan
menunda pemilihan umum. Ia menduga, barangkali pemerintah lebih mengutamakan
kepentingannya sendiri daripada kepentingan rakyat. Selanjutnya dipertanyakannya, apakah
pemerintah mungkin lebih memberi bantuan dan dorongan kepada kelompok kecil mereka
yang mempercayai Ketuhanan yang Maha Esa suatu keyakinan lain, atau kepada orang-orang
yang tidak percaya kepada Tuhan sama sekali, dengan secara menyolok bertentangan dengan
cita-cita dan hasrat mayoritas.
Rakyat Aceh tidak ingin memisahkan diri dari saudara-saudaranya, Daud Beureueh menegaskan,
namun tidak pula mereka ingin diperlakukan sebagai anak tiri. Dalam hubungan ini ia
mengemukakan kurangnya fasilitas pendidikan yang baik dan kesempatan kerja bagi anak-anak
Aceh, sedangkan tidak adanya sistem perhubungan yang memadai menghalangi rakyat dalam
kegiatan ekonominya. Ia menambahkan, proklamasi Negara Islam Aceh tidaklah berarti bahwa
telah terbentuk suatu negara dalam negara. Pada masa lalu Republik Indonesia dianggap sebagai
jembatan emas menuju pelaksanaan cita-cita negara yang diidamkan sejak semula. namun kini
jembatan ini tidak lagi dianggap sebagai sarana komunikasi, melainkan lebih merupakan
rintangan. Kesetiaan kepada Republik, yang didasarkan pada nasionalisme, telah lenyap
sedangkan selanjutnya rakyat pun tidak merasa dipersatukan oleh suatu sistem hukum yang
sama.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan bahwa proklamasi Negara Islam akan memicu
kekacauan dan bertentangan dengan hukum, Daud Beureueh menegaskan, sebaliknya
kekacauan hukum yang berlakulah yang telah memicu jihad suci menegakkan Negara Islam.
Ia menasihati para pemimpin Republik agar tidak memakai kekerasan, namun
menanggulangi inti pokok persoalan dan memperlabaiki. dasar-dasar negara mereka, juga
kebijaksanaan mereka.
Dalam pernyataan-pernyataan yang lain jihad suci menegakkan Negara Islam ini ditandai sebagai
suatu gerakan untuk membebaskan Aceh dari kolonialisme Jawa yang memberlakukan hukum-
hukm yang betentangan dengan hukum-hukum Allah S.W.T. Di sini pemimpin-pemimpin di
Jakarta dilukiskan sebagai orang kafir sesudah Islam dihancurkan, umpamanya melalui
pengubahan sistem pendidikan. Selanjutnya mereka dicap sebagai pejabat-pejabat yang korup,
mengangkat teman-teman sendiri pada jabatan-jabatan yang penting, dan dinyatakan memecat
atau memberhentikan dengan sewenang-wenang setiap orang yang tidak termasuk
kalangannya "sebab kesehatan mereka tidak seratus persen, sebab mereka tidak
berpendidikan, ada yang tidak beres dengan penampilan mereka, pendeknya senbu satu alasan".
Sambil lalu, kutipan yang akhir ini menunjukkan, kebijaksanaan Pemerintah Pusat memakai
ukuran-ukuran tertentu untuk diterima menjadi pegawai negeri dan tentara juga memicu
kemarahan yang sangat besar di Aceh.
Pemimpin-pemimpin Republik di Jakarta dituduh berusaha mengutamakan kepentingan Jawa
dan orang Jawa. Banyak dikemukakan latar belakang Hindu mereka. Pada April 1954 umpamanya,
Daud Beureueh melukiskan Pemerintah Republik sebagai pemerintah Hindu yang mengenakan
baju nasionalis yang sangat mirip dengan komunisme. Hasrat pokoknya, dalam mata kaum
pejuang mujahidin Aceh, yaitu untuk mengembalikan zaman kerajaan Majapahit dalam masa
jayanya. Dikatakan, penyebaran ide-idenya dilakukan melalui saluran undang-undang, peraturan-
peraturan, dan sebagainya yang dikeluarkan Republik Indonesia, yang semuanya bernapaskan
semangat Hinduisme. PNI dan sejumlah partai kecil dituduh menjadi alat dalam usaha-usaha ini.
sebab partai-partai ini semuanya menekankan sila Pancasila nasionalisme Indonesia sebagai
kedok politik bagi usaha-usaha mereka melanjutkan Hinduisme. Banyak orang muslim menurut
laporan masuk dalam perangkap dan mendukung orang-orang yang sesungguhnya berusaha
menghancurkan Islam.
Jihad suci menegakkan Negara Islam selanjutnya digambarkan kepada rakyat Aceh sebagai
kelanjutan perlawanan sebelum Perang terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan mereka
untuk kemerdekaan. Republik Indonesia secara tegas dinyatakan telah kehilangan hak untuk
bertindak atas nama proklamasi kemerdekaan. Bukan saja ia tidak memberi kepada Islam
tempat yang layak dalam masyarakat, namun lebih celaka lagi, sesungguhnya ia merupakan
produk Belanda. Menurut kebiasaan gerakan-gerakan pejuang mujahidin lain, ia dijuluki nama
"Republik Konperensi Meja Bundar". Ahli waris yang sah dari proklamasi Agustus 1945 yaitu
Negara Islam Indonesia, yang telah mengambil alih perjuangan untuk kemerdekaan sesudah
eksistensi Republik Indonesia berakhir sebagai akibat Pemerintahnya ditangkap Belanda
Desember 1948.
saat mengajukan alasan yang terakhir, para pemimpin pejuang mujahidin mengalami sedikit
kesulitan dalam menjelaskan mengapa mereka baru sekarang masuk Negara Islam Indonesia dan
tidak sejak lahirnya pada 1949. sebab itu tekanan pada penangguhan pemilihan umum dan pada
perubahan dalam pemerintah. Walaupun rakyat Aceh terus menerus telah mengharapkan dan
dengan sabar menantikan permohonan mereka dikabulkan Jakarta, dua peristiwa ini merupakan
bahan yang terakhir.
Pada mulanya Aceh dibayangkan sebagai suatu provinsi Negara Islam Indonesia dengan otonomi
yang luas. Kepala provinsi ini yaitu Daud Beureueh, yang seperti semasa perjuangan
kemerdekaan menduduki jabatan gubernur sipil dan militer dan dalam kedudukan ini juga
menjadi panglima Divisi Territorium V Tentara Islam Indonesia, Divisi Tengku Chik Ditiro, dan
wakil Pemerintah Pusat Negara Islam Indonesia. Dalam urusan sipil ia dibantu suatu dewan
pemerintahan, yang disebut Dewan Syura. Juga diumumkan terbentuknya suatu parlemen,
Majelis Syura. Dalam urusan militer ia dibantu Dewan Militer, yang terdiri dari tiga orang: Daud
Beureueh sendiri, Amir Husin al Mudjahid, sebagai wakil ketua Dewan Syura, dan Husin Jusuf,
sebagai Kepala Staf Divisi Tengku Chik Ditiro. Pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tingkat
kabupaten dan kecamatan, urusan militer dan sipil untuk sementara tetap terpisah, setidak-
tidaknya dalam prinsip. Para komandan satuan tentara setempat tidak perlu menjadi kepala
pemerintahan sipil, dan sebaliknya.
Dalam dua tahun berikutnya struktur pemerintahan dua kali berubah. Penyesuaian-penyesuaian
yang pertama dilakukan sesudah kaum pejuang mujahidin pulih dari kejutan yang diderita akibat
gagalnya rencana menduduki kota-kota besar dan kecil dan- pasukan Darul Islam terusir ke hutan.
Mereka terdorong kesadaran, strategi harus diubah dari strategi serangan frontal terhadap
pasukan Republik Indonesia menjadi strategi perang gerilya dan kesadaran, jumlah rakyat yang
dengan suatu dan cara lain membantu musuh hari demi hari bertambah.
Demi perang gerilya yang lebih efektif, pemerintah militer dan sipil dijadikan dalam satu tangan
dengan pembentukan komandemen-komandemen. Maka terdapat suatu komandemen
demikian untuk Aceh secara menyeluruh maupun untuk masing-masing kabupaten (yang terbagi
dalam sejumlah sub-komandemen) dan kecamatan. Komandan satuan militer yang
bersangkutan menjadi komandan pertama komandemen dan kepala stafnya menjadi kepala staf
komandemen. Para kepala pemerintahan sipil, bupati atau camat (dan dalam hal subkomandan
kabupaten wedana), dijadikan komandan kedua. Ketiga fungsionaris ini—komandan pertama
dari mereka ini yaitu pimpinan tertinggi—dengan demikian merupakan komite pelaksana dari
setiap komandemen.
Perubahan-perubahan ini selanjutnya memperkukuh kedudukan Daud Beureueh, sebab kini dia
mengepalai baik pemerintahan sipil maupun militer. Bagi Komando Aceh secara menyeluruh ini
berarti, dia yaitu hampir seluruh komite pelaksana. Di samping itu, Dewan Syura, Majelis Syura
dan Dewan Militer dinyatakan "pasif", sedangkan komandemen diberi kekuasaan legislatif.
Sebagai imbalan, diumumkan bersamaan waktunya bahwa semua keputusan yang bersifat
legislatif harus dibicarakan dengan suatu badan konsultatif yang baru dibentuk. namun badan ini
terdiri dari pelaksana komandemen dilengkapi dengan kepala-kepala perwakilan pemerintah
dari daerah yang bersangkutan— yang semuanya termasuk dalam staf komandemen dan tunduk
kepada komandan pertamanya—dan paling-paling tiga orang luar, biasanya pemimpin-
pemimpin agama.
Untuk menghasilkan perubahan-perubahan, struktur Tentara Islam Aceh juga harus diubah.
Mula-mula Divisi Tengku Chik Ditiro terdiri dari lima resimen, masing-masing terbagi dalam
sejumlah batalyon. Sejak akhir 1953 resimen-resimen ini disebut "pangkalan", dan dianggap
dalam teori setidak-tidaknya terdiri dari pasukan mobil dan teritorial, yang belakangan ini terdiri
sebagian besar dari rakyat setempat yang bersenjatakan parang, pisau, dan sebagainya. Kini, Juni
1954, divisi ini dibagi lagi dalam enam resimen, satu resimen untuk tiap kabupaten. lalu
resimen yag ketujuh, Resimen Tharmihim, terbentuk, untuk melakukan operasi-operasi gerilya di
Sumatera bagian timur.
Perubahan-perubahan selanjutnya dilakukan pada September tahun berikutnya, saat para
pejuang mujahidin melakukan konperensi di Batee Kureng, di Aceh Besar. Konperensi ini dihadiri
sembilan puluh orang, dua orang dari mereka mewakili Sumatera Timur. Konperensi ini
diselenggarakan beberapa bulan sesudah Daud Beureueh diangkat Kartosoewirjo sebagai wakil
presiden Negara Islam Indonesia, Januari 1955. Selain dari Daud Beureueh dimasukkan orang-
orang Aceh lainnya dalam kabinet baru seluruh Indonesia Negara Islam Indonesia. Demikianlah
Al Murthada (Amin Husin al Mudjahid) diangkat menjadi Wakil Kedua Menteri Pertahanan, Hasan
Ali Menteri Urusan Luar Negeri dan Tengku Nya' Tjut (Nya' Cut) Menteri Pendidikan. Di
konperensi Batee Kureng dibicarakan kedudukan Aceh dalam Negara Islam Indonesia dan
struktur pemerintahan daerah. Mula-mula Daud Beureueh hanya bermaksud mengadakan
perundingan dengan penasihat-penasihatnya yang terdekat, para anggota badan konsultatif
Komandemen Aceh, tentang hubungan daerah dengan Negara Islam Indonesia dan Republik
Indonesia. Ia menganjurkan pembentukan suatu negara Aceh yang tersendiri, masih dalam
kerangka Negara Islam (federal). Hadirnya benar-benar sejumlah pemimpin Darul Islam lebih
banyak di Batee Kureng sehubungan dengan rencana untuk merayakan ulang tahun kedua
proklamasi 1953 memaksa Daud Beureueh mengadakan pertemuan yang lebih besar. Pada
pertemuan kedua ini para pemimpin sepakat tentang pembentukan suatu negara tersendiri,
walaupun beberapa orang, seperti T.A. Hasan, enggan berbuat yang demikian. Sebagai gantinya
mereka mengajukan keinginan mereka menghendaki struktur negara ini yang lebih demokratis,
yang di dalamnya pemerintah sipil akan bebas lagi dari pengawasan militer dan akan dibentuk
parlemen. Konperensi mencapai puncaknya dalam Piagam Batee Kureng, dengan mengubah
status Aceh dari status provinsi menjadi negara dalam Negara Islam Indonesia.
Piagam, yang menjadi semacam undang-undang dasar sementara, lagi-lagi mengemukakan
pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala negara, wali negara, yang akan dipilih
rakyat Aceh, akan menjadi kepala eksekutif. namun untuk sementara Daud Beureueh-lah yang
ditunjuk para hadirin. (pasal. 3). Dia dibantu dalam fungsinya oleh suatu kabinet yang diketuai
seorang perdana menteri. Kabinet dan para menteri bertanggung jawab kepada kepala negara
(pasal 4). Dalam Piagam ini Majelis Syura muncul lagi. Walaupun para anggota parlemen ini dipilih
rakyat, untuk sementara waktu mereka ditunjuk Kepala Negara (pasal 5) Majelis Syura yang
disetujui di Batee Kureng terdiri dari seorang ketua (Amir Husin al Mudjahid), dua wakil ketua
dan enam puluh satu anggota. Tidak dibuat ketentuan-ketentuan khusus mengenai masa jabatan
para anggota atau kekuasaannya. Di samping Majelis Syura, dibentuk Majelis Ifta, dewan untuk
memberi fatwa yang diketuai Tengku Hasbullah Indrapuri. Tentang masalah hubungan
daerah terhadap Pemerintah Pusat Negara Islam Indonesia, Piagam Batee Kureng menyatakan,
Negara Aceh melaksanakan urusannya sendiri kecuali dalam soal-soal kebijaksanaan luar negeri,
politik pertahanan, dan ekonomi (pasal 6). Bersamaan dengan itu ditekankan, selama Negara
Islam Indonesia berada dalam perang dan terus bertempur mempertahankan Islam, satuan-
satuan Tentara Islam Indonesia yang beroperasi di Aceh harus tetap merupakan alat Negara
Aceh seperti juga Angkatan Kepolisian dan lasykar (pasal 8). Dalam kabinet yang baru terbentuk,
yang diketuai Hasan Aly sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Husin Jusuf
menduduki jabatan Menteri Keamanan, dan T.A. Hasan memegang portfolio Keuangan dan
Kesehatan, sedangkan T.M. Amin diangkat menjadi Menteri Urusan Ekonomi dan Kesejahteraan,
Zainul Abidin Muhammad Tiro Menteri Kehakiman. M. Ali Kasim Menteri Pendidikan, dan Abdul
Gani Mutiara Menteri Penerangan.
Kabinet baru ini menyusun program sembilan pasal yang di dalamnya mengadakan reorganisasi
dan memperbaiki Pemerintahan Sipil, Tentara dan Angkatan Kepolisian, dan untuk memperbaiki
keadaan sosial pegawai sipil dan militernya, maupun rakyat pada umumnya. Langkah-langkah ke
arah ini telah diambil dengan pembentukan Akademi Militer di Aceh Timur dan pembangunan
rumah- rumah sakit.
Kabinet baru selanjutnya berjanji dalam programnya untuk meluaskan peradilan, yang secara
tegas dinyatakan dalam Piagam Batee Kureng merupakan kekuatan terpisah. namun ,
sebagaimana halnya dengan Pemerintahan Sipil, ia mengemukakan syarat nyata dalam program
itu bahwa harus disadari fakta , negara masih dalam perang (gerilya) harus diperhitungkan
dalam pelaksanaannya.
Kabinet tidak mempunyai menteri luar negeri, sebab Piagam menyerahkan urusan luar negeri
kepada Pemerintah Pusat. Sungguhpun begitu, persis seperti ia pun mempunyai politik
pertahanannya, demikian pula Aceh mempunyai hubungan luar negerinya sendiri. Dalam hal ini
ia jauh lebih beruntung ketimbang daerah-daerah Darul Islam yang lain. Sebagian ini yaitu
akibat dekatnya dengan Semenanjung Malaysia, yang memudahkan penyelundupan senjata dan
barang-barang lain serta uang, maupun hubungan yang akrab dengan para wakil dan simpatisan
di pantai yang berseberangan. Sesewaktu beredar desas-desus, Daud Beureueh telah
menyeberangi Selat untuk memperoleh dukungan di Malaysia. Di samping itu, Said Abubakar
sering disebut berada di Penang atau Singapura untuk mengumpulkan bantuan keuangan. ( J.
Mossman, Rebels in Paradise Indonesia’s Civil War, London:Jonathan Cap,1961, hal 44.
Dalam paruh kedua tahun 1954 dia memicu hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik.
Dengan menamakan dirinya "Menteri Berkuasa Penuh" dan "Dutabesar pada Perserikatan
BangsaBangsa dan Amerika Serikat" Republik Islam Indonesia, demikian disebutnya Negara
Islam ini, ia mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada awal
September tahun itu. Dalam ultimatum ini ia menuduh pemerintah "fasis-komunis" membawa
bangsa Indonesia hampir ke dalam kehancuran ekonomi dan politik, kemiskinan, percekcokan,
dan perang saudara, serta melakukan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan dan Tengah dan Kalimantan, dan selanjutnya menjalankan politik divide et
impera dan kolonialisme, dan mengadu domba berbagai suku bangsa dan agama satu sama lain.
Langkah-langkah lain yang dipertimbangkan Hasan Muhammad Tiro mengadukan Pemerintah
Republik Indonesia di depan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal untuk
memberitahu Dunia Islam akan kekejaman yang dilakukan terhadap para alim ulama di Aceh,
Jawa Barat dan Tengah, Kalimantan dan Sulawesi dan memperjuangkan pengakuan
internasional akan dukungan moril dan materiil untuk Republik Islam Indonesia. Di samping itu
ia mengumumkan, bila Pemerintah Republik tidak memenuhi tuntutan-tuntutannya, ia akan
mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik
Indonesia juga penghentian bantuan yang diberikan lewat Rencana Kolombo atau oleh
Perserikatan BangsaBangsa dan Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia menolak tuntutan-tuntutan Hasan Muhammad Tiro dan memberinya
waktu sampai 22 September untuk kembali ke Indonesia. Bila perintah ini diabaikannya, maka
paspornya ditarik. Hasan Muhammad Tiro lalu dimasukkan dalam tahanan oleh Imigrasi Amerika
dan disekap di Ellis Island. Dia dibebaskan lagi sesudah membayar denda US$ 500,—Ia membalas
dengan mengumumkan sepucuk surat dalam New York Times yang meminta perhatian akan
kemajuan komunisme di Indonesia sejak Pemerintah Ali Sastroamidjojo berkuasa dan
menyampaikan sebuah laporan tentang "Pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia oleh rezim
Sastroamidjojo di Indonesia".
Pemerintah Indonesia tidak mampu membungkam Muhammad Hasan Tiro, atau memintanya
diekstradisikan dari Amerika Serikat. Hasan Muhammad Tiro dengan demikian dapat
melanjutkan kampanye propaganda anti-Indonesia-nya di New York. Pada awal 1955 ia mengirim
surat kepada dua belas negara Islam dengan meminta kepada mereka memboikot Konperensi
Asia-Afrika, kebanggaan Pemerintah Republik, yang akan diadakan di Bandung pada bulan April.
Sebagai alasan mendasari permintaannya, ia mengemukakan, pemimpin-pemimpin Islam dan
para pengikutnya—kecuali mereka yang membungkuk terhadap kaum komunis—disiksa dan
dibunuh Tentara dan Polisi Pemerintah Ali Sastroamidjojo yang "didominasi komunis".
Segera sesudah proklamasi jihad suci menegakkan Negara Islam Daud Beureueh gubernur
Sumatera Utara meminta bantuan militer kepada Pemerintah Pusat. Permintaannya cepat
dikabulkan, dan pasukan dari Sumatera Tengah dan daerah lain Sumatera pun digerakkan untuk
bertindak. lalu satuan-satuan Divisi Jawa Tengah Diponegoro juga diperiritahkan ke Aceh.
Pemerintah bertekad akan menghadapi situasi dengan keteguhan hati dan menyapu jihad suci
menegakkan Negara Islam dengan cepat. Seperti dikemukakan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo: "Bila rumah terbakar, padamkanlah api tanpa berhenti menanyakan macam-
macam" . Namun tanggung jawab terakhir untuk operasi-operasi keamanan terus juga terletak
pada para penguasa sipil. Ini disebabkan sifat khusus daerah, dan lebih khusus ialah sifat-sifat
khusus Aceh dan kekuatan Islam di daerah ini, seperti dijelaskan Ali Sastroamidjojo dalam DPR
pada 1955. Tidak ada pengumuman keadaan perang, yang membuat militer mengambil alih
pimpinan. Di samping itu, sejak mula jihad suci menegakkan Negara Islam Pemerintah berjanji
menyelidiki masalah otonomi untuk Aceh dan memberi lebih banyak perhatian terhadap
perkembangan ekonomi daerah. Dalam menyusun kebijaksanaannya, Pemerintah harus
mempertimbangkan di satu pihak tuntutan PNI dan PKI untuk mengambil tindakan militer yang
lebih keras, dan di pihak lain tekanan untuk melakukan perundingan dan memenuhi beberapa
tuntutan kaum pejuang mujahidin.
Pemerintah dikecam tentang ketidakamanan Aceh maupun kelakuan pasukan yang tidak
senonoh. Walau pun aksi-aksi militer ada hasilnya, keadaan jauh dari memuaskan. Hasil operasi-
operasi Angkatan Darat dan Brigade Mobil demikian rupa hingga pada pertengahan 1954 hampir
setengah dari Aceh cukup aman untuk bisa menarik bantuan militer dan menyerahkan
pemeliharaan hukum dan ketertiban kepada Angkatan Kepolisian daerah. Hanya di Kabupaten
Aceh Besar (di sini kaum pejuang mujahidin bergerak hanya beberapa mil dari Banda Aceh),
Kabupaten Pidie (tempat Daud Beureueh memusatkan pemerintahan sipil dan militernya),
Kabupaten Aceh Utara dan daerah Takengon di Aceh Tengah—daerah-daerah tempat kaum
pejuang mujahidin yang paling kuat—dilanjutkan bantuan militer.
Di daerah-daerah yang belakangan ini Darul Islam tetap sangat aktif. Di desa-desa di bawah
pengawasannya ini mereka menetapkan pajak— dalam beberapa hal juga dikenakan pada guru-
guru sekolah dan para pejabat Pemerintah Republik yang terus bekerja —, melakukan
pencatatan perkawinan dan perceraian, dan pada umumnya menjalankan hukum, mengadili
kasus-kasus kejahatan rutin dan kasus-kasus yang merupakan pelanggaran syariat Islam, seperti
membatalkan puasa, dan kadang-kadang juga menjatuhkan hukuman pada mereka yang ragu-
ragu mengambil keputusan apakah memihak Negara Islam atau memihak Republik Indonesia.
Dari posisi mereka di gunung-gunung dan hutan-hutan kaum pejuang mujahidin terus juga
mengganggu lalu lintas dan menyerang patroli dan pos-pos tentara, dengan beroperasi dalam
kelompok-kelompok yang kadang-kadang terdiri dari beberapa ratus orang. Sekali-sekali mereka
lakukan pula serangan pada kota-kota kecil dan besar. Pada kunjungan komisi parlemen ke Aceh
pada Januari 1954 para anggotanya sempat mencatat beberapa kali tembak-menembak di
sekitar Banda Aceh dan Sigli. Selama komisi tinggal di Banda Aceh kaum pejuang mujahidin
melemparkan bom-bom pembakar dan berusaha mengadakan pembakaran di dalam kota. Pada
17 Agustus 1954, pasukan Darul Islam memasuki dan menduduki Lamno, yang dikuasai selama
dua hari. Sekitar waktu yang sama mereka menyerang Seulimeum, juga di Aceh Besar. Tahun
berikutnya kaum pejuang mujahidin berusaha memasuki Idi dan menembaki Sigli. Serangan
terhadap Idi merupakan satu petunjuk bahwa juga daerah-daerah lain Aceh ini masih
menghadapi kegiatan-kegiatan Darul Islam, yang sesu