Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 11
ara penguasa
tradisional dengan paksa bahkan selama revolusi.Sejumlah mereka itu benar-benar terbunuh.
Namun, kecenderungan yang relevan tak pernah memperoleh momentum, sebab penguasa
daerah itu, Maraddi dari Balanipa, mendukung perjuangan Republik. Dia jugalah yang menjadi
kepala Pemerintahan Sipil dari distriknya yang dipilih rakyat pada 1950. Kecenderungan-
kecenderungan yang sama ini terlihat dalam tujuan-tujuan Gukrindo, yang dibentuk Kahar
Muzakkar, 1951. Seperti ternyata dari anggaran dasarnya, tujuannya termasuk melindungi rakyat
terhadap kapitalisme monopoli, didirikannya lembaga-lembaga untuk mendidik rakyat dan
poliklinik-poliklinik di desa-desa, dan penghapusan buta huruf dan pengangguran.
Kahar Muzakkar berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional di Sulawesi Selatan dengan
menanggulangi jebakan-jebakan luarnya. Demikianlah Piagam Makalua berusaha menghapuskan
pemakaian gelar atau kehormatan sengaja atau tidak sengaja. Sesuai dengan itu pemakaian
gelar.gelar seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden dilarang. Dalam kegiatannya untuk
menegakkan persamaan, dia juga melarang pemakaian gelar khas Islam seperti haji, demikian
pula kata-kata umum yang digunakan untuk menghormat, seperti bapak atau ibu. Kata-kata ini
juga dicap feodal. Selanjutnya Piagam Makalua menyatakan perang terhadap semua orang
turunan bangsawan atau aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya, demikian pula terhadap
kelompok-kelompok mistik yang fanatik (pasal 15-16).
Bagian lain dari bab yang sama membicarakan pemilikan harta benda pribadi oleh "Pejuang-
pejuang Islam revolusioner" dan keluarganya. Demikianlah mereka dilarang memiliki atau
memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol
atau sutera, memakai minyak rambut, pemerah bibir atau bedak, dan memakan makanan
atau minuman yang dibeli di kota yang dikuasai musuh, seperti susu, coklat, mentega, keju,
daging atau ikan kalengan, biskuit, gandum, gula tebu, dan teh (pasal 50). Bila barang-barang ini
dengan sah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka organisasi revolusioner akan
membeli atau meminjamnya: bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui "penipuan
moral", maka barang-barang ini akan disita (pasal 52).
Masih dalam hubungan ini, peraturan-peraturan yang lebih ketat ditetapkan dalam Catatan
Bathin Pejuang Islam Revolusioner. Kahar Muzakkar di sini menganut pandangan revolusi moral
dan spiritual. Di samping itu dia yakin, tidak mungkin terdapat perbaikan materiil tanpa
perubahan revolusioner dalam pemikiran. saat mendengar keluhan-keluhan rakyat dan
menyaksikan "krisis moral" dan "kecenderungan anak buahnya terhadap kesenangan dan hidup
yang mewah", Kahar Muzakkar menempuh gerakan sosialisme primitif. Gerakannya mulai 1
Maret 1955, dan direncanakan berlangsung enam bulan, dan selama masa ini prajurit-prajurit
Kahar Muzakkar dan keluarga mereka harus menyerahkan semua milik yang dianggap Kahar
Muzakkar bersifat mewah atau berlebihan. Emas dan intan gosokan harus "dipinjamkan" kepada
Pemerintah Militer, yang akan mengubah barang-barang ini menjadi uang tunai melalui
pedagang-pedagang tepercaya di kota-kota. Dengan uang yang terkumpul lewat cara ini akan
dibeli senjata dan keperluan yang lain-lain.
Dalam usahanya memberi isi kepada gagasannya, Kahar Muzakkar mulai mendirikan
poliklinik-poliklinik, sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan akademi ilmu sastra. Agar akademi
ini memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya, pasukannya menggedor perpustakaan di
Majene, dan menurut laporan 2.500 judul. Diculiknya pula dokter-dokter untuk bekerja di
poliklinik-polikliniknya.
Kahar Muzakkar juga seorang Muslim yang saleh. Walaupun ada kalanya orang-orang Kristen
yang menjadi korban serangan yang dilakukan pasukannya, dan hal ini biasanya banyak
dipersoalkan, tampaknya orang yang bersangkutan hanya dibunuh bila mereka melawan para
pejuang mujahidin dan menolak memberi makanan dan informasi kepada mereka. Pada
umumnya orang-orang sipil—Muslim dan Kristen sama saja—diperlakukannya dengan baik.
Demikianlah dilaporkan, "gerombolan-gerombolan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar masih
menghormati hak-hak kemanusiaan" ... dan ... "yang menjadi fakta ialah, para pejuang
melakukan tekanan pada orang-orang Muslim agar mematuhi suruhan Tuhan dan sembahyang
lima kali sehari"
Pada 1950 dan 1951 banyak orang yang sebab memikirkan jasa-jasa pejuang mujahidin selama
perjuangan kemerdekaan, terus juga mendesak adanya suatu penyelesaian lewat perundingan.
Panglima Tentara Indonesia Timur mula-mula menganut sikap yang lunak, dan berhasil dalam
paruh pertama 1952 memikat beberapa komandan bawahan Kahar Muzakkar. namun sesudah
Peristiwa Oktober, J. F Warouw mengambil alih pimpinan Tentara Republik, sikapnya tadi makin
tidak kenal kompromi.
Sikap tidak kenal kompromi yang sama diperlihatkan Warouw dan komandonya pada Februari
tahun berikutnya, saat Presiden Soekarno mengunjungi Sulawesi Selatan dan minta Kahar
Muzakkar menyerahkan diri—salah satu upaya pribadi Soekarno yang banyak untuk meyakinkan
kelompok-kelompok yang memberontak agar menghentikan pertempuran. Kunjungan khusus
Soekarno ini merupakan bagian dari jenis perjalanan ke daerah-daerah pusat kekacauan yang
istimewa. Sebelum mengunjungi Sulawesi Selatan dia ke Kalimantan dulu. Di sini pun terjadi jihad
bekas pejuang mujahidin, yang beberapa waktu lalu turut gerakan Darul Islam. Perjalanan
ini merupakan petunjuk ketegangan dan keresahan yang terdapat pada tahun-tahun mula
sesudah 1949 saat Pemerintah Republik dihadapkan pada segala macam resistensi politik Islam
besar dan kecil serta kekacauan dan pertentangan dalam negeri.
Kahar Muzakkar menulis surat-suratnya ini di atas kepada Soekarno dan J.F. Warouw
hanya dua bulan sebelum kunjungan Soekarno ke Sulawesi Selatan. Terdapat harapan akan
tercapainya penyelesaian. Bahkan desas-desus beredar mengenai pertemuan Kahar Muzakkar
dengan Soekarno pada kunjungan Soekarno ke Pare-pare. Soekarno sendiri tidak pula
meniadakan kemungkinan penyelesaian damai. Dalam pidatonya di Pare-pare sesungguhnya
secara tidak langsung diimbaunya Kahar Muzakkar agar keluar dari hutan dengan menyatakan,
"Kemerdekaan Indonesia bukanlah miliknya Bung Karno atau rakyat di kota-kota saja, namun juga
miliknya Kahar Muzakkar, miliknya Hamid Gali, miliknya yang lain-lain juga". Penekanan pada
persatuan dan keinginan akan menguburkan perbedaan-perbedaan yang lampau juga jelas
dalam suatu pesan tertulis yang ditinggalkan Soekarno di Pangkajene. Katanya dalam tulisan itu,
"Rakyat Pangkajene, kemerdekaan Indonesia yaitu buah hasil perjuangan kita bersama.
Marilah kita waspada, agar jangan ada hal yang jadi ternoda oleh tindakan-tindakan kita sendiri".
Pada bulan Oktober, pada kunjungan singkat yang kedua ke Sulawesi, Soekarno mengulangi
himbauannya kepada kaum pejuang mujahidin dan sekali lagi meminta dengan sangat kepada
Kahar Muzakkar agar kembali ke jalan yang benar dan menyerukan kekacauan di pulau itu
diakhiri. Walaupun Tentara menentang, imbauan Soekarno yang diperbaharui ini berarti
kesempatan baru bagi para pejuang mujahidin untuk menyerah. Mei tahun berikutnya Soekarno
menyampaikan; imbauannya yang ketiga. Kali ini diperingatkannya, tidak mungkin terus-
menerus dia meminta kaum pejuang mujahidin agar meletakkan senjatanya, dan bahwa
kesabarannya dapat berakhir. Dalam hal demikian akan diperintahkannya semua cabang-
Angkatan Bersenjata menumpas kaum mujahidin Darul Islam. Lagi-lagi imbauan ini gagal.
Walaupun Perdana Menteri saat itu, Wongsonegoro, melaporkan menyerahnya dua pertiga
kaum pejuang mujahidin, keterangannya jauh dari kebenaran dan tidak jelas dari mana
informasinya diperoleh. Pemerintah Pusat, yang percaya bahwa setidak-tidaknya terdapat
ribuan orang, mengirimkan sebuah tim ke Sulawesi Selatan untuk mengatur penerimaan. saat
tiba di sana tim ini terheran-heran sekali sebab hanya beberapa orang ternyata yang menyerah,
bahkan disebut angka hanya sembilan orang.
Salah satu sebab tidak berhasilnya Tentara Republik di daerah itu yaitu , kesatuan-kesatuan
yang sebagian terdiri dari orang Jawa Timur harus bertempur dalam medan yang tidak dikenal
dan lingkungan yang tidak bersahabat. Hal ini sangat merugikan mereka, apalagi sebab
topografi daerah menyulitkan bagi mereka untuk memanfaatkan senjata-senjata mereka yang
unggul. Ada kalanya tidak mungkin memberi dukungan artileri kepada para prajurit yqng
melakukan patroli medan. sebab kurangnya perhubungan, dukungan artileri atau udara
biasanya terlambat datang atau tidak datang sama sekali.
Di samping itu pejuang mujahidin Kahar Muzakkar, yang berpegang pada prinsip moment
operasi pemimpin mereka, menghindarkan pertempuran sedapat-dapatnya bila keadaan tidak
menguntungkan mereka. Bertahun-tahun barulah pasukan Republik mendapatkan metode
menghadapi taktik gerilya ini. Celakanya lagi bagi Tentara, koordinasi antara satuan-satuan
gerilya yang tersendiri berangsur-angsur membaik, sementara Kahar Muzakkar pun berhasil
meningkatkan kapasitas tempur pasukannya, Yang akhir ini dicapainya dengan membentuk
empat satuan kawakan, sebagian dengan maksud untuk menumpas Tentara Kemerdekaan
Rakyat Usman Balo. Satuan-satuan ini diberinya nama Momok (Moment Mobile Komando).
Keempat satuan Momok ini masing-masing mempunyai ukurannya sendiri menurut warna yang
dinyatakan oleh namanya—merah, hitam, hijau, dan putih—dengan bulan bintang dicat di
atasnya. Menurut laporan inteligen Batalyon 711 sejak awal 1957 Kahar Muzakkar pribadi
memimpin satuan yang putih, sedangkan Momok yang hijau, hitam, dan merah dipimpin masing-
masing oleh Partawari, Sjamsul Bachri, dan Andi Masse.
Disamping itu Kahar Muzakkar sendiri menolak setiap tawaran perdamaian. Dengan penuh
Istiqomah terhadap keislaman dia benar-benar sepenuhnya mengabdikan diri kepada
perjuangan Darul Islam dan tidak mau tahu tentang setiap perundingan selain pengakuannya
terhadap Negara Islam Indonesia. Keadaan masih baik sekali baginya, dan di samping menguasai
bagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dia berusaha meluaskan pengaruhnya ke
daerah-daerah di 1uar Sulawesi. Demikianlah dikirimnya pasukan ke Kalimantan Selatan untuk
membantu pejuang mujahidin Ibnu Hadjar, dan ke Halmahera serta Maluku untuk melakukan
resistensi politik gerakan Darul Islam di bagian-bagian ini. Walaupun ada berita-berita tentang
kegiatan Darul Islam di dua daerah yang terakhir, ini tidaklah banyak jumlahnya. Di Maluku Kahar
Muzakkar berusaha memperoleh kerja sama dari apa yang tersisa dari RMS. Sesungguhnya ada
rencana untuk memproklamasikan Maluku sebagai bagian dari wilayah Negara Islam Indonesia
pada 1 Februari 1955. namun sebelum rencana ini dapat terlaksana, bakal panglima Tentara Islam
Maluku, Latang, ditangkap.
Demikianlah tentara Kahar Muzakkar pada tahun-tahun lalu terdiri dari tiga pasukan yang
berlainan: Momok, Tentara Islam Indonesia (sekarang terdiri hanya dari dua "divisi", yaitu Divisi
40.000 yang dipimpin Bahar Mattaliu dan Divisi Hasanuddin pimpinan Sjamsul Bachri), dan suatu
Kesatuan Permesta. Pada masa pemberontakan PRRI/Permesta diadakannya reorganisasi lagi,
dengan membentuk Momok baru, Momok Ansharullah (pembantu-pembantu Allah); rupanya
Kahar Muzakkar ingin mengintegrasikan ke dalamnya tidak hanya Momok lama, namun juga
bagian terbesar kedua divisi TII yang tersisa. Rencana ini memicu pertentangan antara dia
dan beberapa komandan bawahannya, terutama dua wakilnya yang terpenting saat itu —
Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri. Bahar Mattaliu menuduhnya bermaksud menghancurkan
Tentara Islam Indonesia di Sulawesi, dan lalu menulis, mengenai Momok Ansharullah:
"Baru sesudah Momok Ansharullah dibentuk mulai ketahuan, gagasan Kahar Muzakkar untuk
membentuk Momok ini tidak lain daripada pendahuluan rasionalisasi TII besar-besaran atau
bahkan menghapuskannya seluruhnya, sebab TII telah ketularan panyakit krisis moral yang
menyebabkan merosotnya sama sekali daya tempurnya". Akibat perlawanan komandan-
komandan ini TII tetap dipertahankan hidup, walapun kurang mutunya. Momok berfungsi
sebagai pasukan gerak cepat, dan jauh lebih baik persenjataannya ketimbang yang lain. Dalam
konfrontasi dengan pasukan Republik biasanya TII yang menyerang lebih dulu, bersama-sama
dengan satuan-satuan yang hanya bersenjatakan golok dan pisau. Sesudah mereka kena pukulan
pertama, satuan-satuan Momok pun mulai digerakkan, maju "besar-besaran, gelombang demi
gelombang".
Dengan adanya pertentangan ini hampir saja terjadi konflik bersenjata antara kedua pihak,
yaitu Kahar Muzakkar yang memimpin pasukannya melawan Bahar Mattaliu dan komandan-
komandan divisi 40.000 yang menolak dimasukkan dalam Momok Ansharullah. Pada akhirnya
Kahar Muzakkar memberi Bahar Mattaliu pilihan menjadi Wakil Menteri Pertahanan Negara
Islam Indonesia—mestinya dia sendiri—, atau pergi ke luar negeri melakukan wisata studi.
Menurut Bahar Mattaliu dia memilih alternatif yang kedua sebab takut dituduh menyaingi Kahar
Muzakkar.
Dalam fakta yang sesungguhnya dia mempersiapkan diri untuk menyerah. Pada 5
September 1959 seorang utusannya mengunjungi Pimpinan Militer Sulawesi Selatan dan
Tenggara. Pada sat mendengar maksud Bahar Mattaliu akan menyerah, Pimpinan Militer lalu
mengumumkan amnesti. Pada 12 September, Bahar Mattaliu yang menyebut dirinya Panglima
DI/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara, secara resmi menyerahkan diri dan mengimbau kepada
anggota-anggota Tentara Islam lainnya untuk berbuat demikian pula. Di samping itu surat-surat
selebaran dijatuhkan pesawat-pesawat Tentara Republik. Di dalamnya Bahar Mattaliu dalam
dengan memanpaatkan jabatan yang telah dikhianatinya sendiri, bahkan mengaku ngaku
sebagai Panglima Divisi IV, atau Divisi Hasanuddin DI/TII memerintahkan semua perwira militer
dan pejabat sipil Negara Islam di Sulawesi Selatan menyerah kepada Republik. Selanjutnya
dilarangnya anggota-anggota DI/III masuk ke dalam Momok Ansharullah atau Permesta sebab ,
katanya menegaskan, kegiatan kedua kelompok pemberontak ini bertanggung jawab akan
kehancuran Sulawesi Selatan. Sebuah perintah bathil dibungkus keindahan kata yang menipu
(lihat Q.S. 6:112)
Momok Ansharullah juga menjadi sasaran serangan dalam suatu pamflet yang ditulis Bahar
Mattaliu dengan judul Manifesto Tahun 1379 H yang di dalamnya dikemukakan, "langkah-langkah
Kahar Muzakkar semuanya bertentangan dengan Islam". Pamflet ini, walaupun pengantarnya
diberi bertanggal 25 September 1950 (1959), yaitu dua minggu sesudah penulisnya menyerah,
namun Bahar mattaliu berusaha memicu kesan seakan akan pamflet itu ditulis saat ia
masih di hutan. Di dalamnya disebutkan sejumlah faktor yang merugikan revolusi Islam, antara
lain berkembangnya Momok Ansharullah menjadi sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang
semula dimaksudkan atau yang disepakati, yaitu suatu kesatuan khusus yang bergerak bahu
membahu dengan Tentara Islam dan berfungsi juga sebagai pengawal Kahar Muzakkar. Ia
menyesalkan kebijaksanaan Kahar Muzakkar yang memberi senjata yang terbaik ini selalu
kepada Momok dan upayanya untuk memasukkan kesatuan-kesatuan militer yang lain ke
dalamnya. Faktor merugikan kedua, demikian yang disebutnya, ialah kegagalan untuk mengubah
pasukan Permesta Gerungan menjadi pasukan pembantu mendukung TII dalam
memperjuangkan negara Islam.
Pada 28 November Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang memberi amnesti
kepada semua yang berada di Sulawesi Selatan, yang telah menyerah antara 12 September dan
28 November. Bahar Mattaliu sebab itu diperlakukan dengan amat bermurah hati oleh
Pemerintah Republik. Penyerahannya dihubungkan dengan keberhasilan operasi-operasi militer
Tentara Republik dan sebab itu digunakan untuk tujuan propaganda. Sebaliknya, kaum pejuang
mujahidin menuduhnya berkhianat serta kena suap dan berusahaa mengecilkan pengaruh
pembelotannya. Menurut pandangan mereka, seperti dinyatakan majalah PRRI Information "....
Bahar Mattaliu dan sebagian kecil dari kesatuannya, namun bersama beberapa puluh ribu
penduduk desa dari sekitarnya yang tidak sanggup lebih lama lagi menahan tekanan ekonomi
dewasa ini, "menyeberang" ke pihak Pemerintah dan diterima dengan tangan terbuka serta
dijanjikan mendapat tunjangan Rp 250.000",
Bahar Mattaliu sendiri menyombong, pada masa segera sesudah dia menyerah Kahar Muzakkar
kehilangan kira-kira tujuh puluh persen pengikutnya. Pembelotannya memang merupakan
kemerosotan bagi Kahar Muzakkar. Untuk kedua kalinya dalam masa resistensi politik harakah
Darul Islam-nya dia kehilangan sebagian pengikutnya sebab perselisihan intern. Di pihak lain, hal
ini membebaskannya dari salah seorang saingannya, yang seperti telah kita lihat di atas, telah
dipikirkannya akan mengambil langkah untuk menggesernya dari komandonya. Dengan
tersingkirnya Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri —yang telah dikirimnya ke luar negeri —dia
telah melepaskan dirinya dari dua lawan utamanya yang potensial. namun sebelum dia dapat
berkuasa lagi dengan kukuh, dia harus pula menyelesaikan persoalannya dengan pasukan
Gerungan. Pasukan yang sebagian besarnya beragama Kristen ini juga bermaksud membelot dan
harus dengan paksa ditundukkan. Terjadi pertempuran antara kedua kekuatan yang
bertentangan ini pada awal 1960, dengan kemenangan di pihak Kahar Muzakkar. Dia lalu
menangkap Gerugan bersama 150 pengikutnya, yang lalu beralih menganut agama Islam.
Sesudah ini Gerungan menjadi salah seorang pengikut Kahar Muzakkar "yang paling tepercaya"
dan akhirnya malahan menjadi Menteri Pertahanannya.
Pada tahun-tahun ini operasi-operasi militer yang kini lebih baik terorganisasi dan terkoordinasi,
akhirnya membuahkan hasil. Berangsur-angsur jalan raya di bagian paling selatan dibersihkan,
dan jalan yang menghubungkan Bone dengan Camba melalui Maros dapat lagi normal digunakan
untuk pertama kalinya sesudah bertahun-tahun. Kahar Muzakkar kian lama kian terdesak ke
pedalaman dan harus mundur ke dua benteng pertahanannya tahun-tahun awal perjuangannya,
yang satu tempatnya di Sulawesi Tenggara, di pegunungan sebelah utara Kolaka, yang lain di
daerah Latumojang, dekat Palopo, yang sejak dulu merupakan tempat perlindungan bagi rakyat
yang melarikan diri dari pengejaran sebab melanggar hukum adat.
Kepastian akhir gerakan Darul Islam menyusul pada 1964 dan 1965. Dalam operasi militer berurut-
turut yang mendahuluinya Kahar Muzakkar berangsur-angsur makin mengalami kemunduran.
Sebagian berkat fakta kini mampu menggerakkan lebih banyak pasukan dalam aksi, namun
sebagian juga berkat keadaan bahwa prajurit-prajurit yang berasal Sulawesi Selatan kian
memainkan peranan penting dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi-operasi ini, Tentara
Republik kini berhasil. Dalam hal yang akhir ini termasuk panglima militer Sulawesi Selatan dan
Tenggara yang ini di atas, Jusuf, seorang putra asli Bone, dan kawan-kawan seperjuangan
lama Kahar Muzakkar, Andi Sose dan Azis Taba. Sebagai panglima militer daerah, M.Jusuf pribadi
memimpin operasi-operasi terakhir terhadap Darul Islam Kahar Muzakkar, Operasi Tumpas dan
Operasi Kilat, dengan Solihin sebagai kepala staf, yang sebagai panglima Divisi Siliwangi telah
banyak pengalamannya dalam aksi-aksi membasmi berbagai perjuangan politik Islam dan
berbagai harakah politik Islam. Walaupun pada mulanya Andi Sose juga turut aktif ambil bagian
dalam gerakan terhadap Kahar Muzakkar, malahan pada suatu waktu sempat memimpin
operasi-operasi pokok terhadapnya, Pimpinan Tentara tetap tidak mempercayainya sebagai
bekas komandan KGSS yang masih mempunyai banyak dukungan di kalangan para prajuritnya
dan di kalangan rakyat setempat, dan yang mau bertindak menurut keinginannya sendiri.
Akhirnya ia dipindahkan dari kesatuannya, dan pada 1964 ia ditangkap.
Seorang bekas komandan batalyon KGSS lain yang menjadi korban kebijaksanaan Komando
Tentara Sulawesi Selatan dan Tenggara yang mengetatkan pengawasannya atas komandan-
komandan militernya dan —seperti Andi Sose—kehilangan kekuasaannya, ialah Andi Selle.
Penyelesaian kasusnya terjadi pada 1964. Dia masuk hutan dan guna membicarakan perbedaan-
perbedaan-antara mereka secara tuntas, diundangnya Jusuf untuk mengunjunginya dekat
Pinrang. Pada pertemuan ini tampaknya semua berjalan lancar dan telah tercatat persetujuan.
namun lalu , saat Andi Selle menyertai Jusuf dalam mobilnya menuju Pare-pare untuk
menunjukkan kepada rakyat "bahwa ia benar-benar bersedia bekerja sama", beberapa orang
anak buahnya yang turut serta dalam mobil-mobil tersendiri memotong jalan mobil yang
dikendarai Andi Selle dan Jusuf. lalu Jusuf dan Andi Selle keluar, dan Andi Selle
memerintahkan anak buahnya menembak Jusuf. Jusuf tidak kena, namun dalam tembak-
menembak yang terjadi Andi Selle, yang berhasil melarikan diri tertembak bahunya. Lalu ia pun
dinyatakan sebagai pejuang mujahidin. Sejak itu aksi militer Republik tidak hanya ditujukan
terhadap Kahar Muzakkar, namun juga terhadap Andi Selle yang bergerak di jajaran Gunung
Sawitto dekat Pinrang. namun perjuangan Andi Selle tidak panjang usianya. Dikhianati salah
seorang pengikutnya sendiri, Andi Selle diserang pasukan Republik pada akhir Agustus. Dia
sendiri sempat lolos, namun saat melarikan diri dia terjatuh ke dalam jurang, luka-luka dan
meninggal keesokan harinya, 1 September 1964. Kini Tentara dapat memusatkan perhatiannya
seluruhnya pada Kahar Muzakkar. Pertama-tama mereka mengadakan pembersihan di daerah
Latumojang, dengan memaksa Kahar Muzakkar mengundurkan diri ke Sulawesi Tenggara. Di sini
dia dikejar oleh pasukan Republik yang—seperti juga yang dihadapi kesatuan-kesatuan yang
digerakkan terhadap Andi Selle—mendapat perintah tidak boleh kembali sebelum mereka
menangkap si pemimpin pejuang mujahidin hidup atau mati. Pada 1 Februari 1965 akhirnya
mereka menemukan tempat persembunyiannya di Sungai Lasolo yang pada 3 Agustus terus
mulai mereka serang. Gubuk yang diduga tempat Kahar berlindung habis berlubang-lubang
ditembaki peluru, sehingga terpaksa dia keluar. Dia ditembak dan tewas sebelum sempat lima
meter melangkah
Dengan meninggalnya Kahar Muzakkar pejuang mujahidin Darul Islam di Sulawesi Selatan benar-
benar berakhir. Menteri Pertahanannya, Gerungan, ditangkap pada bulan Juli, dan lalu
diadili serta ditembak mati. Sesudah itu Pemerintah tetap waspada terhadap sisa-sisa pejuang
mujahidin sampai akhir 1960-an. saat kunjungan Soeharto ke Sulawesi Selatan pada 1969
kemungkinan kegiatan-kegiatan Darul Islam sekitar Kolaka dan Kendari masih merupakan
pertimbangan keamanan, walaupun bersamaan dengan itu diumumkan, mereka tidak lagi
merupakan ancaman yang nyata bagi keamanan umum daerah itu.
Bila di Jawa Barat kehancuran jihad diawali dengan memposisikan Ali Murtado yang jelas jelas
telah turun gunung menjadi wakil pemerintah NII di Jakarta, maka di Sulawesi selatan kita
melihat betapa akibat akibat yang bisa ditimbulkan oleh pengkhianat perjuangan Islam. Dalam
sebuah perumpamaan dikatakan bahwa sebuah pohon kayu yang besar mengeluhkan deritanya
kepada kampak yang terus menerus dihantamkan penebang kayu untuk menumbangkannya.
Kampak mengatakan bahwa dirinya memjadi mampu digunakan orang untuk
menumbangkannya, sebab ada kawanmu juga (sesama kayu) yang mau menjadi gagang
kampak ini. Alloh tidak pernah membuka jalan bagi orang orang kafir untuk mengalahkan orang
orang yang beriman, kekalahan itu dibuka oleh kalangan muslimin sendiri yang telah
mengkhianati keimanannya .
DARUL ISLAM KALIMANTAN SELATAN
Sebagaimana halnya peristiwa yang terjadi di Sulawesi, perlawanan terhadap Pemerintah
Republik meletus di Kalimantan, dimana kejadiannya baru saja sesudah pengakuan resmi
kedaulatan Indonesia, akhir tahun 1949. Adapun yang menjadi daerah utama yang dipengaruhi
oleh gerakan perlawanan yang bergabung dengan Darul Islam ini yaitu bagian tenggara
Kalimantan, kira-kira bersamaan dengan provinsi Kalimantan Selatan yang sekarang. Pusatnya
ialah Kabupaten Hulusungai, khususnya daerah antara Barabai dan Kandangan. Di samping itu
daerah sebelah timur ini, terdiri dari Kabupaten Kota Baru, dan ke selatannya, yaitu Kabupaten
Banjar.
Sesudah dibentuk Tentara dan Territorium Kalimantan dan subdivisinya nama Divisi Lambung
Mangkurat berangsur-angsur kurang dipakai, akhirnya-hilang sama sekali, dan sebagian
anggotanya ditempatkan di bagian-bagian lain Indonesia. sebab itu pasukan Hassan Basry
hanya disebut pasukan Subwilayah Tiga saja. Satuan-satuannya yang terdiri dari bekas pejuang
ALRI Divisi IV dikirim ke Kalimantan Timur, Tenggara, dan Barat. Yang lain-lainnya dikirim guna
membantu menumpas perjuangan suci Darul Islam di Jawa Barat. Selanjutnya Divisi ini banyak
kehilangan perwiranya, saat empat puluh sampai lima puluh orang dari mereka ini dikirim ke
Yogyakarta untuk mengikuti kursus khusus untuk para perwira di Akademi Militer Nasional.
Barangkali sebab kesalahan komunikasi— bukan terutama sebab maksud-maksud buruk—
para perwira ini tiba di Yogyakarta hanya untuk mengetahui, Akademi Militer Nasional telah
ditutup lebih dari setahun, sudah sejak didudukinya kota itu oleh pasukan Belanda sejak "aksi
militer" kedua. Sejumlah dari mereka itu lalu terus berangkat ke Surabaya; memang di sini
terdapat pusat pendidikan militer. Hanya satu orang dari mereka itu akhirnya menyelesaikan
pelajarannya. Yang lain-lainnya kembali ke Kalimantan; tak lama lalu mereka yang menolak
masuk Tentara Republik atau tidak mau didemobilisasikan, turut bersama pejuang mujahidin
masuk hutan. namun kali ini mereka masuk hutan untuk menentang Tentara Republik.
Dalam golongan yang akhir ini termasuk Ibnu Hadjar, nama aslinya Haderi. Lahir di Kandangan,
April 1920, kata orang wataknya keras dan suka berkelahi sejak kanak-kanak, dan benar-benar
jadi kepala jagoan dalam setiap percekcokan. Haderi memakai nama Ibnu Hadjar saat
turut berjuang untuk kemerdekaan melawan Belanda. Kelak dia menjadi perwira dalam ALRI
Divisi IV dengan pangkat letnan dua, memimpin satuan-satuan gerilya sekitar Kandangan.
Pada masa mula sejak pembelotannya dalam triwulan pertama 1950, pengikutnya hanyalah kira-
kira enam puluh orang. Selama kira-kira tiga bulan pertama mereka berdiam diri dan tidak
melakukan sesuatu. Serangan pertama terhadap pasukan Republik dilancarkan pada
pertengahan 1950. Pada waktu itu kekuatan Ibnu Hadjar telah membesar sampai kira-kira dua
ratus orang bersenjata dengan kira-kira lima puluh bedil. Walaupun cepat pertumbuhannya
sebab kian banyak bekas pejuang mujahidin yang tidak puas masuk pasukannya, kemungkinan
akan tercapainya persetujuan masih belum tertutup. Pada awal Oktober, dalam menyambut
upaya Republik Indonesia mencari penyelesaian damai terhadap masalah ini, Ibnu Hadjar
melapor kepada penguasa di Kandangan. Sesudah dibebaskan agar berusaha membujuk
pengikutnya untuk menyerah pula, dia pun menghilang ke dalam hutan untuk selama-lamanya.
Ibnu Hadjar menemukan organisasi gerilya baru yang dipimpinnya Kesatuan Rakyat Indonesia
yang Tertindas (KRIyT). Nama ini diambil untuk menyatakan solidaritas nasib para bekas pejuang
mujahidin. Dalam hal ini Pemerintah Republik menyalahkan mereka sebagai penyebab kerusuhan
yang terjadi di Kalimantan, namun dari pihak pejuang mujahidin menuduh Pemerintahlah yang
melakukan pengkhianatan dan penindasan. Ada dua penyebab yang menambahi perasaan ini
timbul yaitu: tentang cara menangani demobilisasi bekas pejuang gerilya di Kalimantan, dan
perlakuan Pemerintah dan Tentara Republik terhadap rakyat pedesaan di daerah ini.
Tugas untuk menyelesaikan masalah ini diserahkan kepada orang yang paling memenuhi syarat
untuk ini: Hassan Basry, bekas komandan gerilya. Pada 20 September 1950 dia diserahi pimpinan
Komando Penyelesaian Hulusungai. Bulan berikutnya daerah itu diberi Bantuan Militer (Militaire
Bijstand), dan satuan-satuan Tentara Republik masuk lagi untuk memulihkan keamanan.
Pertama-tama Hassan Basry mencari penyelesaian damai. sebab itu ia mengeluarkan perintah
kepada semua pejuang yang belum menyerah untuk berbuat demikian sebelum 10 Oktober, dan
dia berusaha berhubungan dengan pemimpin-pemimpin gerilya untuk berusaha mengetahui
kehendak mereka.
Seperti terlihat di atas, Ibnu Hadjar termasuk mereka yang mematuhinya. namun dia menghilang,
untuk tidak kembali lagi untuk selama-lamanya, saat diberi kesempatan kembali ke hutan untuk
berhubungan dengan para pengikutnya dan membujuk mereka supaya menyerah pula.
saat pejuang di hutan tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan tindakan mereka, mula-
mula di daerah Barabai, Birayang, Batumandi, dan Paringin lalu juga sekitar Kelua dan
Kandangan, habislah kesabaran Hassan Basry. Walaupun pasti dia menaruh simpati akan
tuntutan mereka, diputuskannya melakukan tindakan militer terhadap mereka. sebab itu pada
16 Oktober Komando Penyelesaian Hulusungai mengumumkan, penyelesaian secara damai kini
sudah tidak mungkin, Tentara dan Polisi memulai pembersihan daerah itu. Bersamaan dengan
itu diadakan jam malam—di Hulusungai Utara dari pukul 2 pagi sampai 5 pagi, dan di Hulusungai
Selatan, yang keadaannya dianggap paling berbahaya, dari pukul 8 malam sampai pukul 5 pagi.
Ibnu Hadjar membalas pembersihan yang dilancarkan Pemerintah dengan meningkatkan
kegiatan-kegiatannya sendiri. Dalam waktu sepuluh hari sesudah gerakan Tentara dan Polisi
dimulai, kaum pejuang mujahidin menyerang Kota Kandangan tiga kali. Namun Bantuan Militer
untuk Hulusungai, yang baru saja berlangsung sebulan, ditarik pada awal November.
Demikianlah usaha-usaha Komando Penyelesaian Hulusungai tak berhasil apa-apa. Pada 11
November komando ini dibubarkan, dan cara-caranya, terutama pemakaian paksaan oleh
Hassan Basry, ditolak penguasa. Alasan mereka untuk membenarkan langkah membubarkan
komando ini ialah, yang diperlukan ialah penyelesaian secara damai. Tanggung jawab untuk
ketenteraman dan ketertiban kini dipercayakan kepada Komando Petak Pertahanan Utara, yang
terdiri dari Hulusungai dan Barito. Tak lama sesudah itu Hassan Basry menyerahkan pimpinan
pasukan Republik di Kalimantan Selatan— kini disebut Brigade F—yang diambil alih oleh Mayor
H.T. Sitompul.
Keputusan untuk membubarkan Komando Penyelesaian Hulusungai dan untuk berusaha lagi
membujuk pejuang meletakkan senjata mereka melalui perundingan diambil hanya beberapa
hari sebelum pengumuman Pemerintah Pusat tentang tawaran amnesti, November 1950. Seperti
terlihat di atas, tawaran ini tidak berlaku bagi Sulawesi Selatan dan Kalimantan; untuk daerah-
daerah ini diusahakan penyelesaian tersendiri. Jangka waktu bagi kaum pejuang mujahidin untuk
menyerah di Kalimantan berlaku dari 5 Desember 1950 sampai 15 Januari 1951. Pejuang yang
menyerahkan diri pertama-tama diperiksa daftar kejahatannya. Bila daftar ini bersih, mereka
diberi pilihan masuk Angkatan Bersenjata atau menjadi pegawai negeri, atau kembali ke
kehidupan sipil.
namun hasil imbauan ini mengecewakan. Walaupun ada kabar-kabar Ibnu Hadjar bersedia
menyerah, hal ini tidak terjadi. Zafry Zamzam, yang saat itu menjadi ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Hulusungai, diutus untuk berunding dengan dia. Dia memang bertemu dengan
Ibnu Hadjar dan dijelaskannya syarat-syarat Pemerintah yang ditawarkan kepadanya, namun tak
berhasil dia membujuknya agar menyerah.
Hanya sebagian kecil pejuang yang menyerah minggu-minggu sebelumnya. Di Kandangan hanya
delapan, tak seorang pun membawa senjata. Di luar Kandangan, hasilnya sedikit lebih baik,
dengan 1.063 pejuang menyerah. namun jumlah senjata api yang diserahkan masih
mengecewakan sedikitnya, yaitu hanya kira-kira tiga puluh. Mayoritas mereka yang menyerah
(kira-kira 400) tergolong pada kelompok yang menamakan dirinya Perkumpulan Banteng
Borneo.
Dengan dimulainya aksi-aksi militer yang baru, Kandangan dinyatakan sebagai daerah militer, dan
pos-pos tentara didirikan di seluruh daerah. Pada 26 Februari terjadi pertempuran pertama
secara besar besaran dengan suatu kelompok kira-kira seratus pejuang yang berlangsung kira-
kira tiga jam.
Dalam suasana tegang di Kalimantan Selatan, kehadiran Hassan Basry, yang masih tinggi dalam
pandangan kaum pejuang , dianggap terlalu berbahaya. sebab itu Kementerian Pertahanan
memberi nya beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Maka Hassan Basry pun meninggalkan
Kalimantan, pertama-tama menuju Jakarta dan lalu menuju Mesir, Februari 1951.
Keberangkatannya didorong pihak penguasa, sebab mereka khawatir akan pengaruhnya di
kalangan prajurit yang kecewa dan pejuang gerilya yang didemobilisasikan dan menganggapnya
sebagai bahaya keamanan. Walaupun Hassan Basry harus tinggal di Mesir lebih dari empat tahun,
perjalanannya tidak berhasil baik. Dia tak diterima sebagai mahasiswa di Mesir, dan harus
melanjutkan pelajarannya pada tingkatan yang lebih rendah, mengikuti kursus dalam agama dan
ilmu kemiliteran.
Keberangkatan Hassan Basry—yang tidak akan berada di Banjarmasin sampai Desember 1955 —
memperkuat kecurigaan, kalangan penguasa militer berusaha menggerogoti pengaruh bekas
ALRI Divisi IV dengan mencerai-beraikan anggotanya. Selanjutnya hal ini mengukuhkan Ibnu
Hadjar dan pejuang mujahidin-pejuang mujahidinnya dalam keyakinan, mereka yang telah
mengorbankan diri untuk perjuangan Republik Indonesia di Kalimantan selama revolusi kini
ditempatkan di kedudukan bawahan. Semua ini memicu yang disebut "gerakan anti-Jawa".
Kalangan penguasa menyangkal, gerakan ini terjadi spontan, dan menyalahkan unsur-unsur
tertentu yang berambisi hendak berkuasalah yang memicu perasaan anti-Jawa. Rakyat
daerah ini sendiri tidak menaruh dendam kepada orang Jawa, demikian Inspektur Polisi Banjar,
Mahmud, menegaskan.
Dalam iklim ini Ibnu Hadjar dengan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindasnya jadi menonjol.
Dibandingkan dengan perjuangan harakah Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh,
gerakan ini hanyalah gerakan kecil. Dengan jumlah pengikut mula hanya kurang dari seratus
orang. Pada umumnya mereka hanya terdiri dari lima sampai lima puluh pejuang . Di samping itu,
persenjataan mereka sangat kurang dan terus-menerus mereka dikejar pasukan Republik dan
Polisi. Pada waktu Ibnu Hadjar masuk hutan, para pejuang mujahidin ditaksir memiliki empat bren
dan enam sten gun dan satu-dua kodi bedil. Taksiran akhir 1953 mengatakan masing-masing lima
puluh dan 148 senjata api seluruhnya selama masa mula, namun ini masih angka rendah juga. Sisa
anak buah Ibnu Hadjar lainnya memakai senjata seperti pisau, pedang, tombak, dan
sebagainya.
sebab kelompok-kelompok KRIyT kurang sekali persenjataannya dan begitu kecil jumlah
anggotanya, gerakan Tentara Republik mula-mula berhasil. Sebagian besar senjata pejuang
mujahidin yang sedikit itu dirampas, sehingga kelihatannya seolah-olah KRIyT tidak dapat
bertahan. Taktik Tentara Republik bertujuan mengisolasikan musuh di pegunungan dan
membiarkan mereka kelaparan sampai menyerah. sebab itu, mereka menutup semua jalan
menuju ke daerah-daerah tempat pejuang mengundurkan diri, dengan hanya memperbolehkan
orang yang ingin melaluinya membawa makanan cukup untuk satu hari saja. Akibatnya, banya.k
pejuang mujahidin yang menyerah sebab kekurangan makanan. Yang lain-lainnya ditangkap
rakyat setempat, yang dijanjikan akan diberi hadiah untuk setiap pejuang yang mereka serahkan.
Ini merupakan sumber pendapatan tambahan yang baik dan juga mengakibatkan orang
berusaha menyimpan sendiri rahasia tempat persembunyian para pejuang . Ada perkelahian,
sebab seorang tertangkap dan masing-masing ingin mengakui dialah yang menangkapnya dan
dengan demikian menerima hadiah. Dengan alasan yang bisa dimengerti, permintaan agar
dibagikan senjata kepada penduduk dalam perlawanannya terhadap KRIyT ditolak. Hanya di
Rantau dibagikan beberapa senjata. saat pada akhir 1952 rakyat Riam Kanan mengajukan
permohonan memperoleh senjata, hal ini ditolak dengan keterangan, bila dalam masa revolusi
mungkin mengalahkan Belanda dengan senjata tidak lebih dari bambu runcing, mengapa
pejuang mujahidin, yang (dianggap oleh Pemerintah RI, pen.) yaitu penjahat, tidak bisa
dikalahkan dengan senjata demikian.
Pada akhir 1951 Pemerintah punya alasan untuk percaya, para gerilyawan KRIyT terisolasi di
Hulusungai. Kalimantan Timur dan Barat — daerah yang akhir ini dengan pengecualian Ketapang
— dianggap aman dan bebas dari pejuang dan penjahat. Maka, tanggung jawab
mempertahankan hukum dan ketertiban di sini diserahkan kepada Polisi dan Pemerintahan Sipil
oleh Tentara Republik. Di Hulusungai, di pihak lain, keadaan masih terasa kritis. Staat van Oorlog
en Beleg atau Keadaan Darurat Perang dinyatakan berlaku untuk seluruh daerah ini, 1 November
1951. Kabupaten-kabupaten yang lain di Kalimantan Selatan, terutama Kotabaru, dianggap dalam
keadaan pertengahan. Ada pula pejuang beroperasi di sini, namun lebih kecil ketimbang di
Hulusungai. Selama bertahun-tahun Kotabaru mendapat perhatian khusus penguasa sebab di
sini mendarat bala bantuan untuk Ibnu Hadjar yang dikirim Kahar Muzakkar.
Namun, KRIyT selamat dari gerakan pengamanan, dan sesudah SOB dicabut Juli 1952 berangsur-
angsur mereka pulih dari pukulan-pukulan pertama. Ini sebagian sebab -pihak penguasa salah
perhitungan. Pada waktu SOB berakhir mereka memutuskan — mengingat kegiatan gerilya yang
berkelanjutan—Tentara Republik harus terus memberi bantuan militer. namun enam bulan
lalu mereka mencabut putusan ini. Bencana yang diakibatkan KRIyT dalam dua setengah
tahun bergeraknya sampai saat itu banyak sekali, walaupun tampaknya tidak berarti apa-apa
dibandingkan dengan bencana di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pemerintahan sipil—yang sesudah bantuan militer berakhir seluruhnya bertanggung jawab
memelihara hukum dan ketertiban—memulai tugasnya dengan gairah. Gubernur Kalimantan, Dr.
Murdjani, segera memulai serangkaian pembicaraan dengan anggota-anggota yang terpenting
dari kalangan pamong praja dan Angkatan Kepolisian, alimulama, wakil partai -partai politik, dan
pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya di Kalimantan Selatan. Selama pembicaraan ini
diyakinkannya para pemimpin agama agar mengeluarkan fatwa kepada para pengikutnya untuk
melawan KRIyT, dan diumumkannya, ia tengah menyusun suatu rencana perang melawan kaum
pejuang mujahidin. Menyinggung kurangnya komunikasi dan pengertian antara Tentara
Republik, Polisi, dan Pemerintahan Sipil dalam operasi-operasi yang lalu, Murdjani menyatakan,
dia pribadi akan memimpin semua operasi pada masa depan. Akhirnya ia menguraikan
rencananya sesudah berhari-hari pembicaraan, 24 Februari 1953.
Ibnu Hadjar beroperasi antara Kandangan dan Barabai. Markas besarnya dibuatnya di sebuah
gunung tidak jauh dari Kandangan, di Desa Datar Laga. Biasanya juga disebut, sebab bentuknya
dan mungkin pula sebab di situ tempat markas besar KRIyT, Gunung Hantu. Ini merupakan
tempat persembunyian yang ideal, hanya dapat dimasuki dari satu jurusan: lagi pula, dari sini
musuh yang mendekat harus menempuh tiga kilometer rumput panjang, jadi mudah terlihat.
Dari Jurusan lain mana pun tempat ini hanya dapat didekati melalui daerah pegunungan yang di
dalamnya terdapat banyak kubu KRIyT. Dari markas besar ini Ibnu Hadjar menjalani seluruh
Hulusungai untuk bermusyawarah dengan para komandannya atau memimpin sendiri serangan,
dan sering dia menyerbu ke Kabupaten Kotabaru.
Lebih jauh ke utara, sekitar Tanjung, terdapat suatu kelompok yang dipimpin Kartolo yang
bergerak sejak awal 1950. Kartolo, nama sebenarnya ialah Asmuni, pangkalannya di Tanjung
namun juga menggerayangi ke dalam Hulusungai dan jangkauannya sampai ke selatan seperti
Alabio. Dia tertangkap sesudah dilakukan operasi bersama oleh satuan-satuan Tentara dan
rakyat setempat, Januari 1953. Di daerah Sungai Bulungan pemimpin KRIyT yang utama ialah
Utuh Tjilik (Utuh Cilik), sedangkan ke sebelah selatannya, di daerah Batumandi, beroperasi Kurdi,
alias Subrata, dan Dahlan.
Komandan-komandan gerilya lainnya dari tahun-tahun mula ini yaitu Daeng Matelo, yang
bergerak di daerah Sungai Amandit, Rasjaidi dan Mardjajana di Rantau, Tamberani di Sei Pinang,
Chairul Muis (Khairul Muis, sesudah meninggal 1954 digantikan A.K. Munsi), dan Gusti Surjah
(Gusti Suryah), yang seperti halnya dengan banyak lainnya juga "tertembak saat berusaha
melarikan diri" Agustus 1954 di Banjar, dan Mawardi dan wakilnya Raden Mochtar Djaja (Mokhtar
Jaya) antara Martapura dan Pleihari. Tamberani tertembak pada akhir 1953 dan digantikan
wakilnya, Ipul, yang selanjutnya tak lama lalu ditembak mati salah seorang pembantu Ibnu
Hadjar Djumberi (Jumberi), sebab dinyatakan menteror rakyat. Mawardi terbunuh pada 1954.
Peningkatan kegiatan-kegiatan pejuang mujahidin pada 1953 mungkin dimaksudkan KRIyT
sebagai petunjuk bahwa mereka masih ada. Kaum pejuang mujahidin dalam hal ini didorong
bukan saja sebab diakhirinya bantuan militer, yang dapat ditafsirkan sebagai tanda, dalam
pandangan penguasa masalah keamanan di Kalimantan Selatan telah beres, namun mungkin juga
ada faktor lain. Yang pertama yaitu perselisihan intern, yang kedua kunjungan sial Soekarno ke
Kalimantan.
Akibat imbauan-imbauan baru pemerintah RI kepada kaum pejuang untuk menyerah, dan sebab
kedudukan satuan-satuan KRIyT yang sulit akibat aksi-aksi militer Republik, pihak gerilya jadi
terpecah-belah. Satu kelompok—sesudah gagal bertempur selama lebih dari dua tahun —yang
menghendaki menyerah, termasuk salah seorang komandan gerilya tertinggi, Haji Machfudz
Siddik (Makhfudz Siddik). Pada awal perjuangan dia yaitu salah seorang pembantu Ibnu Hadjar
yang paling tepercaya dan dianggap hampir sama berkuasanya sebagai Ibnu Hadjar sendiri.
Desember 1950, saat berlangsung perundingan Zafry Zamzam dengan Ibnu Hadjar, Hadji
Machfudz Siddik-lah dan bukan Ibnu Hadjar yang mengeluarkan perintah kepada para prajurit
KRIyT untuk tidak menyerah. namun , dua tahun lalu , saat kehilangan pengaruh dalam
KRIyT, dia menjadi penganjur utama untuk menyerah. Akibatnya, dia ditembak salah seorang
anak buah Ibnu Hadjar atas perintah yang akhir ini saat sedang mandi, 16 Februari 1953.
lalu , dia digantikan Dardiansjah (Dardiansyah), adik laki-laki Ibnu Hadjar, yang dalam
kedudukannya sebagai wakil komandan KRIyT kadang-kadang memimpin pasukan KRIyT di
Hulusungai bila Ibnu Hadjar pergi ke Kabupaten Kotabaru.
Dengan menyerang pos-pos Polisi yang terpencil dan terlibat dalam pertempuran kecil dengan
satuan-satuan Polisi, KRIyT, dan ini yang lebih penting, memperoleh beberapa senjata lagi.
Dengan bertambah kekuatannya, ia pun lebih berani. Para gerilyawan KRIyT berkeliaran keluar
dari pegunungan dan mulai menyerang kota-kota yang terpencil yang hanya memiliki ada
detasemen Polisi kecil-kecil atau tidak ada sama sekali. Demikianlah, pada September pos-pos
polisi yang kekurangan orang di Pengaron dan Karang Intan diserang kira-kira seratus pejuang .
Kota-kota yang lebih besar tidak aman pula. Pada September, Rantau dan Pengaron diserang
pada hari yang sama; pada November Negara dapat giliran, sementara Kotabaru juga diduduki
kaum pejuang mujahidin sebentar. Pada 12 Desember 1953 malam7 Kandangan diserang dari
224
empat jurusan. Dari suara teriakan komando disimpulkan, serangan ini kiranya dipimpin sendiri
oleh Ibnu Hadjar.
sebab kegiatan KRIyT yang meningkat, diminta lagi bantuan Tentara, sedangkan Brigade Mobil
diperkuat dengan suatu kompi dari Jawa Timur. Bahkan dipikirkan untuk membentuk korps
sukarelawan. namun gagasan ini pada umumnya diterima dengan sikap hati-hati sebab mereka
yang menentang khawatir, korps sukarelawan demikian dapat menjadi alat bagi bekas pejuang
untuk memaksakan tuntutan mereka agar diakui sebagai prajurit Tentara Republik.
Salah satu gejala menonjol yang menjadi ciri ALRI Divisi IV selama perjuangan kemerdekaan ialah
teguhnya mereka berpegang pada ajaran-ajaran Islam. Pemerintah Militer, selain bertujuan
melakukan perubahan sosial dan ekonomi yang radikal di daerah-daeTah pedesaan, melakukan
banyak usaha untuk memajukan Islam dan pelaksanaan syariahnya. Dengan bangga mereka
mengemukakan, selama pemerintahan mereka Islam berkembang. Pendidikan agama dan
pengajian Quran mengalami kebangkitan kembali, kata mereka, sementara terdapat pula
kemajuan yang nyata dalam kalangan rakyat yang melaksanakan kewajiban-kewajiban
agamanya dan meningkatnya jumlah mereka yang mengunjungi masjid-masjid dan pusat-pusat
pendidikan agama. Selanjutnya dikatakan, akibat semuanya ini pencurian, judi perzinaan, dan
pelacuran lenyap.
Juga KRIyT, yang di dalamnya terdapat banyak pejuang dari ALRI Divisi IV, mengakui bertindak
demi kepentingan Islam. Di samping Departemen Penerangan yang umum, segera mereka
bentuk suatu badan khusus guna penyebaran penerangan agama. Para pejuang KRIyT
dinyatakan sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan sembahyang sehari-hari, sedangkan
Ibnu Hadjar menurut cerita marah sekali bila para prajuritnya lalai dalam hal ini.
Bilamana prajurit KRIyT mengunjungi sebuah desa, mereka desak rakyat untuk mematuhi syariat
Islam, sembahyang lima waktu sehari, dan sering mengunjungi masjid. Mereka yang lalai dalam
hal ini diancam, dan kadang-kadang didenda. Demikianlah ada laporan pada 1953 tentang orang-
orang desa yang mengabaikan sembahyang seharihari didenda Rp. 900,—sampai Rp. 1.000.
Pada kesempatan lain pejuang mujahidin KRIyT khusus menyerang orang-orang yang tidak
membayar zakat atau membayar tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam suatu seruan
untuk syariat Islam, diperingatkan bahwa mereka yang didapati bersalah mencuri akan dipotong
tangannya, penjudi akan dipotong sebuah telinganya, dan pezina akan dilempari batu sampai
mati.
225
Pemerintah Daerah Kalimantan, dalam menyambut seruan gerilyawan pejuang mujahidin
terhadap agama, melakukan usaha untuk memperoleh dukungan para ulama dan pemimpin
agama Islam lainnya dalam gerakannya melawan KRIyT.
Melihat fakta ini maka TNI meminta kepada semua pemimpin agama yang bersimpati
dengan Republik diminta secara umum mengutuk KRIyT dan kegiatan-kegiatannya, dan untuk
mengeluarkan fatwa yang menyatakan demikian. Pemerintah agak berhasil dalam hal ini. Pada
16 November 1952 sekelompok pemimpin Islam Hulusungai mengeluarkan sebuah pernyataan di
Amuntai.. Menentang KRIyT. dengan tegas demikian bukan tanpa bahaya. Pada Maret 1953 dua
dari para ulama yang mendukung pernyataan ini, Haji Fadhli dari Kandangan dan Haji Kusan dari
Rantau, dibunuh.
Mengingat dasar Islam organisasi pejuang mujahidin setempat ini, tidaklah mengherankan sejak
mulanya terdapat desas-desus dan dugaan tentang infiltrasi Darul Islam di Kalimantan,
khususnya daerah-daerah selatan, tempat beroperasi KRIyT dan tempat selama perjuangan
untuk kemerdekaan ALRI Divisi IV sangat berpengaruh. Desas-desus ini berlangsung terus
sesudah orang-orang tertentu dengan latar belakang Darul Islam ditangkap dan sesudah pamflet-
pamflet dan surat-surat Darul Islam mulai beredar, walaupun secara kecil-kecilan.
Pada Juni 1952 umpamanya, seorang yang bernama Anang Sulaiman ditangkap sebab dituduh
melakukan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pada
akhir tahun itu seorang buron dari Angkatan Umat Islam Jawa Tengah, yang lari ke Kalimantan
sesudah penumpasan organisasi itu, tertangkap di Kalimantan Barat. Pelariannya ke Kalimantan
diduga diatur penduduk Kalimantan yang terkemuka, yang bersimpati dengan gerakan Darul
Islam di Jawa. namun semua ini masih kecil saja artinya, dan berita-berita yang sedikit tentang
kegiatan Darul Islam yang mencapai daerah ini berasal dari luar Kalimantan Selatan dan
Hulusungai.
Februari 1953 ada berita radio PJC (Siaran Dunia Belanda) bahwa Kalimantan akan segera menjadi
Jawa kedua. Mengingat keadaan yang sesungguhnya, berita ini—dan khususnya keterangan
bahwa pedalaman Kalimantan merupakan sarang simpatisan Darul Islam—sangat dibesar-
besarkan. Demikian juga halnya tentang tuntutan untuk menumpas Darul Islam di Kalimantan
Selatan, yang sering terdengar pada pertengahan 1953. Rakyat di Kalimantan benar-benar
diresahkan protes-protes di Jawa Barat yang dipimpin kalangan nasionalis dan komunis untuk
turut berteriak menuntut keputusan yang melarang Darul Islam sebagai suatu gerakan yang
berbahaya untuk negara.
226
Untuk mewujudkan usaha ini di Banjarmasin dibentuk suatu panitia "untuk keamanan
Kalimantan". Panitia ini menyelenggarakan rapat-rapat yang menonjolkan slogan-slogan seperti
"DI-TII dan perjuangan resistensi politik Islam lain yaitu musuh Negara dan Rakyat", "Kaum
pejuang pemberontak bertanggung jawab akan bertambahnya pengangguran", "Ganyang kaum
gerombolan, tukang catut, dan koruptor". Seperti dengan tepat diucapkan Zafry Zamzam, aneh
sekali para demonstran tidak menuntut penumpasan KRIyT, malahan lebih menuntut menumpas
Darul Islam yang pada waktu itu hampir-hampir belum terdapat di Kalimantan. Namun, ada
petunjuk bahwa pikiran untuk masuk ke dalam Negara Islam Indonesia mulai digunakan di
Kalimantan, khususnya sesudah Kahar Muzakkar melakukannya di Sulawesi. Segera sesudah
pernyataan Kahar Muzakkar bahwa Sulawesi merupakan bagian dari wilayah Negara Islam
Indonesia, ditemukan di Hulusungai pamflet-pamflet yang menyatakan daerah-daerah yang
dikuasai KRIyT telah masuk ke dalam wilayah Darul Islam.
Juga terdapat beberapa tanda kegiatan Darul Islam di pantai timur Kalimantan. Di sini Imbran
Kamarullah yang menamakan dirinya Kepala Staf Divisi Panglima Batur KRIyT, telah membentuk
cabang Darul Islam. Semua perintahnya ditandatanganinya atas nama KRIyT dan Tentara Islam
Indonesia, dengan memakai cap bujur telur yang memperlihatkan bulan sabit dan bintang.
namun cabang Darul Islam ini sama sekali tak sempat mempunyai arti. Imbran Abdullah segera
ditangkap (Agustus 1953), dan dalam rangka persidangan perkaranya menjadi jelas bahwa
kekuatannya tahap penyusunan. Pada saat penangkapannya yang telah dilakukannya hanyalah
memilih anggota-anggota stafnya.
Sementara itu, di Jawa Kartosoewirjo masih menganggap Ibnu Hadjar dan KRIyT sebagai sekutu
yang potensial. sebab itu diperintahkannya pembantu pertamanya, Sanusi Partawidjaja
Februari 1954 meningkatkan usaha-usaha untuk memasukkan Kalimantan ke dalam wilayah de
facto Negara Islam dan membentuk Komando Teritorial VI Tentara Islam Indonesia di sini.
Ibnu Hadjar sendiri barulah membulatkan pikirannya untuk masuk Negara Islam pada akhir 1954.
Ini sesudah Kartosoewirjo mengajaknya untuk berperan serta dalam mempertahankan Negara
Islam ini, masuk dalam struktur pemerintahan NII bersama sama dengan tokoh lain dari gerakan-
gerakan pejuang mujahidin di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan. Relatif kecilnya
cakupan resistensi politik Islam KRIyT di Kalimantan dibandingkan dengan perlawanan di Jawa
Barat, Aceh, dan Sulawesi tecermin dalam komposisi Kabinet ini. Tidak diberikan portfolio penuh
untuk Ibnu Hadjar, namun hanyalah pengangkatan sebagai menteri negara. Ia diangkat pula
menjadi Panglima TII untuk Kalimantan.
lalu Ibnu Hadjar lalu mereorganisasi pasukannya. Mulailah ia menamakan dirinya "ulul
amri". Demikian pula diberinya nama markas besarnya, dengan dijuluki nama hebat-hebat seperti
Istana Islam Merdeka atau Istana Agama Islam Agung. Pasukannya berangsur-angsur diberi
nama Angkatan Perang Tentara Islam (APTI), sementara kadang-kadang disebut juga Pasukan
Islam, kedua nama dengan atau tanpa dibubuhi KRIyT. Kepala Pasukan Islam (Kapai) yaitu
Paduka yang Mulia Ibnu Hadjar. Untuk menggarisbawahi perpecahannya dengan Republik
sekuler, selanjutnya Ibnu Hadjar menggubah versi lain dari lagu kebangsaan. Untuk ini Indonesia
Raya diubah dan disesuaikan dengan cita-cita Islam perjuangan bersenjata KRIyT.
namun selain dari nama-nama baru ini, tak ada lagi yang berubah. Tak dilancarkan serangan baru.
Bahkan pemilihan umum 1955 tidak digunakan KRIyT untuk meningkatkan kegiatannya. KRIyT
tidak menyerang desa-desa, dan tidak menghalangi petugas-petugas atau para pemilih. Mereka
tidak merintangi pemilihan umum walaupun pernah menyatakannya akan melakukan yang
demikian pada awal 1955, dan turut bertarung sendiri dengan mendesak rakyat agar memberi
suara untuk partai Islam.
Sesudah pasukan Ibnu Hadjar masuk gerakan Darul Islam KRIyT, demikian masih disebut
namanya, atau APTI, sebagai namanya yang baru, terus juga beroperasi dalam kelompok yang
kecil-kecil. Serangan dilakukan oleh bagian gerilyawan yang sangat kecil, yang terdiri dari paling
banyak dua puluh orang. Namun, pada 1955, terdapat struktur pimpinan yang lebih tegas
pembatasannya. Maka, diangkat komandan-komandan daerah yang merangkap sebagai kepala
Pemerintahan Daerah pejuang mujahidin dan masing-masing mempunyai daerah operasi khusus.
Di Hulusungai Utara, misalnya, Bahranu yaitu kepala Komando Pertahanan Paringin dan
Batumandi. Di Amandit Utara, selain dari Balhum yang disebut terdahulu, Aman dan Samsi,
Dardiansyah, adik laki-laki Ibnu Hadjar, yang menjadi komandan KRIyT paling terkemuka. Di
Amandit Selatan Djohansjah (Johansyah), nama sebenarnya ialah Djahri bin Bako (Jahri bin Bako),
komandan, sampai ia tertangkap pada 1954. Seorang komandan KRIyT yang sangat terkenal
masa itu yaitu Djarman (Jarman) di Pleihari. Riam Kanan merupakan basis operasi Guru
Budjanab (Guru Bujanab) dan Djenggot (Jenggot).
Jauh lebih terkenal dahsyat ketimbang pemimpin-pemimpin yang ini di atas yaitu dua
orang komandan KRIyT Djumberi dan Raden Mochtar Djaja. Djumberi, yang menjadi Komandan
Batalyon Garuda Putih, beroperasi sekitar Riam Kiwa dan gugur dalam aksi Agustus 1955. Raden
Mochtar Djaja, yang memulai kariernya dalam KRIyT sebagai pembantu Mawardi, beroperasi
sekitar Martapura, pada waktunya menjadi komandan KRIyT untuk seluruh Kabupaten Banjar,
dengan memimpin pasukan KRIyT Mobil. Dalam kedudukannya yang akhir ini ia yaitu salah
seorang pemimpin gerilya yang dicari dan salah satu sasaran pokok operasi keamanan
Pemerintah. Sekali pada 1952 dia tertangkap, namun berhasil lolos lagi. Tahun berikutnya hampir
dia tertangkap untuk kedua kalinya, sementara turut dalam suatu pertandingan bola di Desa
Sungai Ulin. saat pasukan Tentara mendatangi lapangan bola, tepat pada waktunya benar dia
berhasil lolos.
Kalangan sipil sementara itu terus juga mendesak diadakannya amnesti umum. Pada akhir 1953
PNI cabang Amandit mendesak Presiden Soekarno agar di depan umum meminta Ibnu Hadjar
menghentikan perlawanannya. Semua mereka yang menyerah akan diberi kesempatan
memasuki Angkatan Bersenjata atau suatu badan Pemerintah lain. Cabang Amandit selanjutnya
mendesak digantinya Murdjani sebagai