Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 11

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 11


 


ara penguasa 

tradisional dengan paksa bahkan selama revolusi.Sejumlah mereka itu benar-benar terbunuh. 

Namun, kecenderungan yang relevan tak pernah memperoleh momentum, sebab  penguasa 

daerah itu, Maraddi dari Balanipa, mendukung perjuangan Republik. Dia jugalah yang menjadi 

kepala Pemerintahan Sipil dari distriknya yang dipilih rakyat pada 1950. Kecenderungan-

kecenderungan yang sama ini terlihat dalam tujuan-tujuan Gukrindo, yang dibentuk Kahar 

Muzakkar, 1951. Seperti ternyata dari anggaran dasarnya, tujuannya termasuk melindungi rakyat 

terhadap kapitalisme monopoli, didirikannya lembaga-lembaga untuk mendidik rakyat dan 

poliklinik-poliklinik di desa-desa, dan penghapusan buta huruf dan pengangguran. 

Kahar Muzakkar berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional di Sulawesi Selatan dengan 

menanggulangi jebakan-jebakan luarnya. Demikianlah Piagam Makalua berusaha menghapuskan 

pemakaian  gelar atau kehormatan sengaja atau tidak sengaja. Sesuai dengan itu pemakaian  

gelar.gelar seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden dilarang. Dalam kegiatannya untuk 

menegakkan persamaan, dia juga melarang pemakaian  gelar khas Islam seperti haji, demikian 

pula kata-kata umum yang digunakan untuk menghormat, seperti bapak atau ibu. Kata-kata ini 

juga dicap feodal. Selanjutnya Piagam Makalua menyatakan perang terhadap semua orang 

turunan bangsawan atau aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya, demikian pula terhadap 

kelompok-kelompok mistik yang fanatik (pasal 15-16). 

Bagian lain dari bab yang sama membicarakan pemilikan harta benda pribadi oleh "Pejuang-

pejuang Islam revolusioner" dan keluarganya. Demikianlah mereka dilarang memiliki atau 

memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol 

atau sutera, memakai  minyak rambut, pemerah bibir atau bedak, dan memakan makanan 

atau minuman yang dibeli di kota yang dikuasai musuh, seperti susu, coklat, mentega, keju, 

daging atau ikan kalengan, biskuit, gandum, gula tebu, dan teh (pasal 50). Bila barang-barang ini 

dengan sah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka organisasi revolusioner akan 

membeli atau meminjamnya: bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui "penipuan 

moral", maka barang-barang ini akan disita (pasal 52).  

Masih dalam hubungan ini, peraturan-peraturan yang lebih ketat ditetapkan dalam Catatan 

Bathin Pejuang Islam Revolusioner. Kahar Muzakkar di sini menganut pandangan revolusi moral 

dan spiritual. Di samping itu dia yakin, tidak mungkin terdapat perbaikan materiil tanpa 

perubahan revolusioner dalam pemikiran. saat  mendengar keluhan-keluhan rakyat dan 

menyaksikan "krisis moral" dan "kecenderungan anak buahnya terhadap kesenangan dan hidup 

yang mewah", Kahar Muzakkar menempuh gerakan sosialisme primitif. Gerakannya mulai 1 

Maret 1955, dan direncanakan berlangsung enam bulan, dan selama masa ini prajurit-prajurit 

Kahar Muzakkar dan keluarga mereka harus menyerahkan semua milik yang dianggap Kahar 

Muzakkar bersifat mewah atau berlebihan. Emas dan intan gosokan harus "dipinjamkan" kepada 

Pemerintah Militer, yang akan mengubah barang-barang ini menjadi uang tunai melalui 

pedagang-pedagang tepercaya di kota-kota. Dengan uang yang terkumpul lewat cara ini akan 

dibeli senjata dan keperluan yang lain-lain.  

Dalam usahanya memberi  isi kepada gagasannya, Kahar Muzakkar mulai mendirikan 

poliklinik-poliklinik, sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan akademi ilmu sastra. Agar akademi 

ini memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya, pasukannya menggedor perpustakaan di 

Majene, dan menurut laporan 2.500 judul. Diculiknya pula dokter-dokter untuk bekerja di 

poliklinik-polikliniknya. 

Kahar Muzakkar juga seorang Muslim yang saleh. Walaupun ada kalanya orang-orang Kristen 

yang menjadi korban serangan yang dilakukan pasukannya, dan hal ini biasanya banyak 

dipersoalkan, tampaknya orang yang bersangkutan hanya dibunuh bila mereka melawan para 

pejuang mujahidin dan menolak memberi  makanan dan informasi kepada mereka. Pada 

umumnya orang-orang sipil—Muslim dan Kristen sama saja—diperlakukannya dengan baik. 

Demikianlah dilaporkan, "gerombolan-gerombolan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar masih 

menghormati hak-hak kemanusiaan" ... dan ... "yang menjadi fakta  ialah, para pejuang 

melakukan tekanan pada orang-orang Muslim agar mematuhi suruhan Tuhan dan sembahyang 

lima kali sehari"  

Pada 1950 dan 1951 banyak orang yang sebab  memikirkan jasa-jasa pejuang mujahidin selama 

perjuangan kemerdekaan, terus juga mendesak adanya suatu penyelesaian lewat perundingan. 

Panglima Tentara Indonesia Timur mula-mula menganut sikap yang lunak, dan berhasil dalam 

paruh pertama 1952 memikat beberapa komandan bawahan Kahar Muzakkar. namun  sesudah 

Peristiwa Oktober, J. F Warouw mengambil alih pimpinan Tentara Republik, sikapnya tadi makin 

tidak kenal kompromi. 

Sikap tidak kenal kompromi yang sama diperlihatkan Warouw dan komandonya pada Februari 

tahun berikutnya, saat  Presiden Soekarno mengunjungi Sulawesi Selatan dan minta Kahar 

Muzakkar menyerahkan diri—salah satu upaya pribadi Soekarno yang banyak untuk meyakinkan 

kelompok-kelompok yang memberontak agar menghentikan pertempuran. Kunjungan khusus 

Soekarno ini merupakan bagian dari jenis perjalanan ke daerah-daerah pusat kekacauan yang 

istimewa. Sebelum mengunjungi Sulawesi Selatan dia ke Kalimantan dulu. Di sini pun terjadi jihad 

bekas pejuang mujahidin, yang beberapa waktu lalu  turut gerakan Darul Islam. Perjalanan 

ini merupakan petunjuk ketegangan dan keresahan yang terdapat pada tahun-tahun mula 

sesudah 1949 saat  Pemerintah Republik dihadapkan pada segala macam resistensi politik Islam 

besar dan kecil serta kekacauan dan pertentangan dalam negeri.  

Kahar Muzakkar menulis surat-suratnya ini  di atas kepada Soekarno dan J.F. Warouw 

hanya dua bulan sebelum kunjungan Soekarno ke Sulawesi Selatan. Terdapat harapan akan 

tercapainya penyelesaian. Bahkan desas-desus beredar mengenai pertemuan Kahar Muzakkar 

dengan Soekarno pada kunjungan Soekarno ke Pare-pare. Soekarno sendiri tidak pula 

meniadakan kemungkinan penyelesaian damai. Dalam pidatonya di Pare-pare sesungguhnya 

secara tidak langsung diimbaunya Kahar Muzakkar agar keluar dari hutan dengan menyatakan, 

"Kemerdekaan Indonesia bukanlah miliknya Bung Karno atau rakyat di kota-kota saja, namun  juga 

miliknya Kahar Muzakkar, miliknya Hamid Gali, miliknya yang lain-lain juga". Penekanan pada 

persatuan dan keinginan akan menguburkan perbedaan-perbedaan yang lampau juga jelas 

dalam suatu pesan tertulis yang ditinggalkan Soekarno di Pangkajene. Katanya dalam tulisan itu, 

"Rakyat Pangkajene, kemerdekaan Indonesia yaitu  buah hasil perjuangan kita bersama. 

  

 

Marilah kita waspada, agar jangan ada hal yang jadi ternoda oleh tindakan-tindakan kita sendiri". 

Pada bulan Oktober, pada kunjungan singkat yang kedua ke Sulawesi, Soekarno mengulangi 

himbauannya kepada kaum pejuang mujahidin dan sekali lagi meminta dengan sangat kepada 

Kahar Muzakkar agar kembali ke jalan yang benar dan menyerukan kekacauan di pulau itu 

diakhiri. Walaupun Tentara menentang, imbauan Soekarno yang diperbaharui ini berarti 

kesempatan baru bagi para pejuang mujahidin untuk menyerah. Mei tahun berikutnya Soekarno 

menyampaikan; imbauannya yang ketiga. Kali ini diperingatkannya, tidak mungkin terus-

menerus dia meminta kaum pejuang mujahidin agar meletakkan senjatanya, dan bahwa 

kesabarannya dapat berakhir. Dalam hal demikian akan diperintahkannya semua cabang-

Angkatan Bersenjata menumpas kaum mujahidin Darul Islam. Lagi-lagi imbauan ini gagal. 

Walaupun Perdana Menteri saat  itu, Wongsonegoro, melaporkan menyerahnya dua pertiga 

kaum pejuang mujahidin, keterangannya jauh dari kebenaran dan tidak jelas dari mana 

informasinya diperoleh. Pemerintah Pusat, yang percaya bahwa setidak-tidaknya terdapat 

ribuan orang, mengirimkan sebuah tim ke Sulawesi Selatan untuk mengatur penerimaan. saat  

tiba di sana tim ini terheran-heran sekali sebab  hanya beberapa orang ternyata yang menyerah, 

bahkan disebut angka hanya sembilan orang. 

Salah satu sebab tidak berhasilnya Tentara Republik di daerah itu yaitu , kesatuan-kesatuan 

yang sebagian terdiri dari orang Jawa Timur harus bertempur dalam medan yang tidak dikenal 

dan lingkungan yang tidak bersahabat. Hal ini sangat merugikan mereka, apalagi sebab  

topografi daerah menyulitkan bagi mereka untuk memanfaatkan senjata-senjata mereka yang 

unggul. Ada kalanya tidak mungkin memberi  dukungan artileri kepada para prajurit yqng 

melakukan patroli medan. sebab  kurangnya perhubungan, dukungan artileri atau udara 

biasanya terlambat datang atau tidak datang sama sekali. 

Di samping itu pejuang mujahidin Kahar Muzakkar, yang berpegang pada prinsip moment 

operasi pemimpin mereka, menghindarkan pertempuran sedapat-dapatnya bila keadaan tidak 

menguntungkan mereka. Bertahun-tahun barulah pasukan Republik mendapatkan metode 

menghadapi taktik gerilya ini. Celakanya lagi bagi Tentara, koordinasi antara satuan-satuan 

gerilya yang tersendiri berangsur-angsur membaik, sementara Kahar Muzakkar pun berhasil 

meningkatkan kapasitas tempur pasukannya, Yang akhir ini dicapainya dengan membentuk 

empat satuan kawakan, sebagian dengan maksud untuk menumpas Tentara Kemerdekaan 

Rakyat Usman Balo. Satuan-satuan ini diberinya nama Momok (Moment Mobile Komando). 

Keempat satuan Momok ini masing-masing mempunyai ukurannya sendiri menurut warna yang 

dinyatakan oleh namanya—merah, hitam, hijau, dan putih—dengan bulan bintang dicat di 

atasnya. Menurut laporan inteligen Batalyon 711 sejak awal 1957 Kahar Muzakkar pribadi 

memimpin satuan yang putih, sedangkan Momok yang hijau, hitam, dan merah dipimpin masing-

masing oleh Partawari, Sjamsul Bachri, dan Andi Masse.  

Disamping itu Kahar Muzakkar sendiri menolak setiap tawaran perdamaian. Dengan penuh 

Istiqomah terhadap keislaman dia benar-benar sepenuhnya mengabdikan diri kepada 

perjuangan Darul Islam dan tidak mau tahu tentang setiap perundingan selain pengakuannya 

terhadap Negara Islam Indonesia. Keadaan masih baik sekali baginya, dan di samping menguasai 

bagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dia berusaha meluaskan pengaruhnya ke 

daerah-daerah di 1uar Sulawesi. Demikianlah dikirimnya pasukan ke Kalimantan Selatan untuk 

membantu pejuang mujahidin Ibnu Hadjar, dan ke Halmahera serta Maluku untuk melakukan 

resistensi politik gerakan Darul Islam di bagian-bagian ini. Walaupun ada berita-berita tentang 

kegiatan Darul Islam di dua daerah yang terakhir, ini tidaklah banyak jumlahnya. Di Maluku Kahar 

Muzakkar berusaha memperoleh kerja sama dari apa yang tersisa dari RMS. Sesungguhnya ada 

rencana untuk memproklamasikan Maluku sebagai bagian dari wilayah Negara Islam Indonesia 

pada 1 Februari 1955. namun  sebelum rencana ini dapat terlaksana, bakal panglima Tentara Islam 

Maluku, Latang, ditangkap.  

Demikianlah tentara Kahar Muzakkar pada tahun-tahun lalu  terdiri dari tiga pasukan yang 

berlainan: Momok, Tentara Islam Indonesia (sekarang terdiri hanya dari dua "divisi", yaitu Divisi 

40.000 yang dipimpin Bahar Mattaliu dan Divisi Hasanuddin pimpinan Sjamsul Bachri), dan suatu 

Kesatuan Permesta. Pada masa pemberontakan PRRI/Permesta diadakannya reorganisasi lagi, 

dengan membentuk Momok baru, Momok Ansharullah (pembantu-pembantu Allah); rupanya 

Kahar Muzakkar ingin mengintegrasikan ke dalamnya tidak hanya Momok lama, namun  juga 

bagian terbesar kedua divisi TII yang tersisa. Rencana ini memicu  pertentangan antara dia 

dan beberapa komandan bawahannya, terutama dua wakilnya yang terpenting saat  itu — 

Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri. Bahar Mattaliu menuduhnya bermaksud menghancurkan 

Tentara Islam Indonesia di Sulawesi, dan lalu  menulis, mengenai Momok Ansharullah: 

"Baru sesudah Momok Ansharullah dibentuk mulai ketahuan, gagasan Kahar Muzakkar untuk 

membentuk Momok ini tidak lain daripada pendahuluan rasionalisasi TII besar-besaran atau 

bahkan menghapuskannya seluruhnya, sebab  TII telah ketularan panyakit krisis moral yang 

menyebabkan merosotnya sama sekali daya tempurnya". Akibat perlawanan komandan-

komandan ini TII tetap dipertahankan hidup, walapun kurang mutunya. Momok berfungsi 

sebagai pasukan gerak cepat, dan jauh lebih baik persenjataannya ketimbang yang lain. Dalam 

konfrontasi dengan pasukan Republik biasanya TII yang menyerang lebih dulu, bersama-sama 

dengan satuan-satuan yang hanya bersenjatakan golok dan pisau. Sesudah mereka kena pukulan 

pertama, satuan-satuan Momok pun mulai digerakkan, maju "besar-besaran, gelombang demi 

gelombang".  

Dengan adanya pertentangan ini  hampir saja terjadi konflik bersenjata antara kedua pihak, 

yaitu Kahar Muzakkar yang memimpin pasukannya melawan Bahar Mattaliu dan komandan-

komandan divisi 40.000 yang menolak dimasukkan dalam Momok Ansharullah. Pada akhirnya 

Kahar Muzakkar memberi  Bahar Mattaliu pilihan menjadi Wakil Menteri Pertahanan Negara 

Islam Indonesia—mestinya dia sendiri—, atau pergi ke luar negeri melakukan wisata studi. 

Menurut Bahar Mattaliu dia memilih alternatif yang kedua sebab  takut dituduh menyaingi Kahar 

Muzakkar.  

Dalam fakta  yang sesungguhnya dia mempersiapkan diri untuk menyerah. Pada 5 

September 1959 seorang utusannya mengunjungi Pimpinan Militer Sulawesi Selatan dan 

Tenggara. Pada sat mendengar maksud Bahar Mattaliu akan menyerah, Pimpinan Militer lalu 

mengumumkan amnesti. Pada 12 September, Bahar Mattaliu yang menyebut dirinya Panglima 

DI/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara, secara resmi menyerahkan diri dan mengimbau kepada 

anggota-anggota Tentara Islam lainnya untuk berbuat demikian pula. Di samping itu surat-surat 

selebaran dijatuhkan pesawat-pesawat Tentara Republik. Di dalamnya Bahar Mattaliu dalam 

dengan memanpaatkan jabatan yang telah dikhianatinya sendiri, bahkan mengaku ngaku 

sebagai Panglima Divisi IV, atau Divisi Hasanuddin DI/TII memerintahkan semua perwira militer 

dan pejabat sipil Negara Islam di Sulawesi Selatan menyerah kepada Republik. Selanjutnya 

dilarangnya anggota-anggota DI/III masuk ke dalam Momok Ansharullah atau Permesta sebab , 

katanya menegaskan, kegiatan kedua kelompok pemberontak ini bertanggung jawab akan 

kehancuran Sulawesi Selatan. Sebuah perintah bathil dibungkus keindahan kata yang menipu 

(lihat Q.S. 6:112) 

Momok Ansharullah juga menjadi sasaran serangan dalam suatu pamflet yang ditulis Bahar 

Mattaliu dengan judul Manifesto Tahun 1379 H yang di dalamnya dikemukakan, "langkah-langkah 

Kahar Muzakkar semuanya bertentangan dengan Islam". Pamflet ini, walaupun pengantarnya 

diberi bertanggal 25 September 1950 (1959), yaitu dua minggu sesudah penulisnya menyerah, 

namun Bahar mattaliu berusaha memicu  kesan seakan akan pamflet itu ditulis saat  ia 

masih di hutan. Di dalamnya disebutkan sejumlah faktor yang merugikan revolusi Islam, antara 

lain berkembangnya Momok Ansharullah menjadi sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang 

semula dimaksudkan atau yang disepakati, yaitu suatu kesatuan khusus yang bergerak bahu 

membahu dengan Tentara Islam dan berfungsi juga sebagai pengawal Kahar Muzakkar. Ia 

menyesalkan kebijaksanaan Kahar Muzakkar yang memberi  senjata yang terbaik ini selalu 

kepada Momok dan upayanya untuk memasukkan kesatuan-kesatuan militer yang lain ke 

dalamnya. Faktor merugikan kedua, demikian yang disebutnya, ialah kegagalan untuk mengubah 

pasukan Permesta Gerungan menjadi pasukan pembantu mendukung TII dalam 

memperjuangkan negara Islam.  

Pada 28 November Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang memberi  amnesti 

kepada semua yang berada di Sulawesi Selatan, yang telah menyerah antara 12 September dan 

28 November. Bahar Mattaliu sebab  itu diperlakukan dengan amat bermurah hati oleh 

Pemerintah Republik. Penyerahannya dihubungkan dengan keberhasilan operasi-operasi militer 

Tentara Republik dan sebab  itu digunakan untuk tujuan propaganda. Sebaliknya, kaum pejuang 

mujahidin menuduhnya berkhianat serta kena suap dan berusahaa mengecilkan pengaruh 

pembelotannya. Menurut pandangan mereka, seperti dinyatakan majalah PRRI Information ".... 

Bahar Mattaliu dan sebagian kecil dari kesatuannya, namun  bersama beberapa puluh ribu 

penduduk desa dari sekitarnya yang tidak sanggup lebih lama lagi menahan tekanan ekonomi 

dewasa ini, "menyeberang" ke pihak Pemerintah dan diterima dengan tangan terbuka serta 

dijanjikan mendapat tunjangan Rp 250.000",  

Bahar Mattaliu sendiri menyombong, pada masa segera sesudah dia menyerah Kahar Muzakkar 

kehilangan kira-kira tujuh puluh persen pengikutnya. Pembelotannya memang merupakan 

kemerosotan bagi Kahar Muzakkar. Untuk kedua kalinya dalam masa resistensi politik harakah 

Darul Islam-nya dia kehilangan sebagian pengikutnya sebab  perselisihan intern. Di pihak lain, hal 

ini membebaskannya dari salah seorang saingannya, yang seperti telah kita lihat di atas, telah 

dipikirkannya akan mengambil langkah untuk menggesernya dari komandonya. Dengan 

tersingkirnya Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri —yang telah dikirimnya ke luar negeri —dia 

telah melepaskan dirinya dari dua lawan utamanya yang potensial. namun  sebelum dia dapat 

berkuasa lagi dengan kukuh, dia harus pula menyelesaikan persoalannya dengan pasukan 

Gerungan. Pasukan yang sebagian besarnya beragama Kristen ini juga bermaksud membelot dan 

harus dengan paksa ditundukkan. Terjadi pertempuran antara kedua kekuatan yang 

bertentangan ini pada awal 1960, dengan kemenangan di pihak Kahar Muzakkar. Dia lalu 

menangkap Gerugan bersama 150 pengikutnya, yang lalu  beralih menganut agama Islam. 

Sesudah ini Gerungan menjadi salah seorang pengikut Kahar Muzakkar "yang paling tepercaya" 

dan akhirnya malahan menjadi Menteri Pertahanannya.  

Pada tahun-tahun ini operasi-operasi militer yang kini lebih baik terorganisasi dan terkoordinasi, 

akhirnya membuahkan hasil. Berangsur-angsur jalan raya di bagian paling selatan dibersihkan, 

dan jalan yang menghubungkan Bone dengan Camba melalui Maros dapat lagi normal digunakan 

untuk pertama kalinya sesudah  bertahun-tahun. Kahar Muzakkar kian lama kian terdesak ke 

pedalaman dan harus mundur ke dua benteng pertahanannya tahun-tahun awal perjuangannya, 

yang satu tempatnya di Sulawesi Tenggara, di pegunungan sebelah utara Kolaka, yang lain di 

daerah Latumojang, dekat Palopo, yang sejak dulu merupakan tempat perlindungan bagi rakyat 

yang melarikan diri dari pengejaran sebab  melanggar hukum adat.  

Kepastian akhir gerakan Darul Islam menyusul pada 1964 dan 1965. Dalam operasi militer berurut-

turut yang mendahuluinya Kahar Muzakkar berangsur-angsur makin mengalami kemunduran. 

Sebagian berkat fakta  kini mampu menggerakkan lebih banyak pasukan dalam aksi, namun  

sebagian juga berkat keadaan bahwa prajurit-prajurit yang berasal Sulawesi Selatan kian 

memainkan peranan penting dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi-operasi ini, Tentara 

Republik kini berhasil. Dalam hal yang akhir ini termasuk panglima militer Sulawesi Selatan dan 

Tenggara yang ini  di atas, Jusuf, seorang putra asli Bone, dan kawan-kawan seperjuangan 

lama Kahar Muzakkar, Andi Sose dan Azis Taba. Sebagai panglima militer daerah, M.Jusuf pribadi 

memimpin operasi-operasi terakhir terhadap Darul Islam Kahar Muzakkar, Operasi Tumpas dan 

Operasi Kilat, dengan Solihin sebagai kepala staf, yang sebagai panglima Divisi Siliwangi telah 

banyak pengalamannya dalam aksi-aksi membasmi berbagai perjuangan politik Islam dan 

berbagai harakah politik Islam. Walaupun pada mulanya Andi Sose juga turut aktif ambil bagian 

dalam gerakan terhadap Kahar Muzakkar, malahan pada suatu waktu sempat memimpin 

operasi-operasi pokok terhadapnya, Pimpinan Tentara tetap tidak mempercayainya sebagai 

bekas komandan KGSS yang masih mempunyai banyak dukungan di kalangan para prajuritnya 

dan di kalangan rakyat setempat, dan yang mau bertindak menurut keinginannya sendiri. 

Akhirnya ia dipindahkan dari kesatuannya, dan pada 1964 ia ditangkap.  

Seorang bekas komandan batalyon KGSS lain yang menjadi korban kebijaksanaan Komando 

Tentara Sulawesi Selatan dan Tenggara yang mengetatkan pengawasannya atas komandan-

komandan militernya dan —seperti Andi Sose—kehilangan kekuasaannya, ialah Andi Selle. 

Penyelesaian kasusnya terjadi pada 1964. Dia masuk hutan dan guna membicarakan perbedaan-

perbedaan-antara mereka secara tuntas, diundangnya Jusuf untuk mengunjunginya dekat 

Pinrang. Pada pertemuan ini tampaknya semua berjalan lancar dan telah tercatat persetujuan. 

namun  lalu , saat  Andi Selle menyertai Jusuf dalam mobilnya menuju Pare-pare untuk 

menunjukkan kepada rakyat "bahwa ia benar-benar bersedia bekerja sama", beberapa orang 

anak buahnya yang turut serta dalam mobil-mobil tersendiri memotong jalan mobil yang 

dikendarai Andi Selle dan Jusuf. lalu  Jusuf dan Andi Selle keluar, dan Andi Selle 

memerintahkan anak buahnya menembak Jusuf. Jusuf tidak kena, namun  dalam tembak-

menembak yang terjadi Andi Selle, yang berhasil melarikan diri tertembak bahunya. Lalu ia pun 

dinyatakan sebagai pejuang mujahidin. Sejak itu aksi militer Republik tidak hanya ditujukan 


terhadap Kahar Muzakkar, namun  juga terhadap Andi Selle yang bergerak di jajaran Gunung 

Sawitto dekat Pinrang. namun  perjuangan Andi Selle tidak panjang usianya. Dikhianati salah 

seorang pengikutnya sendiri, Andi Selle diserang pasukan Republik pada akhir Agustus. Dia 

sendiri sempat lolos, namun  saat  melarikan diri dia terjatuh ke dalam jurang, luka-luka dan 

meninggal keesokan harinya, 1 September 1964. Kini Tentara dapat memusatkan perhatiannya 

seluruhnya pada Kahar Muzakkar. Pertama-tama mereka mengadakan pembersihan di daerah 

Latumojang, dengan memaksa Kahar Muzakkar mengundurkan diri ke Sulawesi Tenggara. Di sini 

dia dikejar oleh pasukan Republik yang—seperti juga yang dihadapi kesatuan-kesatuan yang 

digerakkan terhadap Andi Selle—mendapat perintah tidak boleh kembali sebelum mereka 

menangkap si pemimpin pejuang mujahidin hidup atau mati. Pada 1 Februari 1965 akhirnya 

mereka menemukan tempat persembunyiannya di Sungai Lasolo yang pada 3 Agustus terus 

mulai mereka serang. Gubuk yang diduga tempat Kahar berlindung habis berlubang-lubang 

ditembaki peluru, sehingga terpaksa dia keluar. Dia ditembak dan tewas sebelum sempat lima 

meter melangkah  

Dengan meninggalnya Kahar Muzakkar pejuang mujahidin Darul Islam di Sulawesi Selatan benar-

benar berakhir. Menteri Pertahanannya, Gerungan, ditangkap pada bulan Juli, dan lalu  

diadili serta ditembak mati. Sesudah itu Pemerintah tetap waspada terhadap sisa-sisa pejuang 

mujahidin sampai akhir 1960-an. saat  kunjungan Soeharto ke Sulawesi Selatan pada 1969 

kemungkinan kegiatan-kegiatan Darul Islam sekitar Kolaka dan Kendari masih merupakan 

pertimbangan keamanan, walaupun bersamaan dengan itu diumumkan, mereka tidak lagi 

merupakan ancaman yang nyata bagi keamanan umum daerah itu.  

Bila di Jawa Barat kehancuran jihad diawali dengan memposisikan Ali Murtado yang jelas jelas 

telah turun gunung menjadi wakil pemerintah NII di Jakarta, maka di Sulawesi selatan kita 

melihat betapa akibat akibat yang bisa ditimbulkan oleh pengkhianat perjuangan Islam. Dalam 

sebuah perumpamaan dikatakan bahwa sebuah pohon kayu yang besar mengeluhkan deritanya 

kepada kampak yang terus menerus dihantamkan penebang kayu untuk menumbangkannya. 

Kampak mengatakan bahwa dirinya memjadi mampu digunakan orang untuk 

menumbangkannya, sebab  ada kawanmu juga (sesama kayu) yang mau menjadi gagang 

kampak ini. Alloh tidak pernah membuka jalan bagi orang orang kafir untuk mengalahkan orang 

orang yang beriman, kekalahan itu dibuka oleh kalangan muslimin sendiri yang telah 

mengkhianati keimanannya . 

DARUL ISLAM KALIMANTAN SELATAN 

 

Sebagaimana halnya peristiwa yang terjadi di Sulawesi, perlawanan terhadap Pemerintah 

Republik meletus di Kalimantan, dimana kejadiannya baru saja sesudah  pengakuan resmi 

kedaulatan Indonesia, akhir tahun 1949. Adapun yang menjadi daerah utama yang dipengaruhi 

oleh gerakan perlawanan yang bergabung dengan Darul Islam ini yaitu  bagian tenggara 

Kalimantan, kira-kira bersamaan dengan provinsi Kalimantan Selatan yang sekarang. Pusatnya 

ialah Kabupaten Hulusungai, khususnya daerah antara Barabai dan Kandangan. Di samping itu 

daerah sebelah timur ini, terdiri dari Kabupaten Kota Baru, dan ke selatannya, yaitu Kabupaten 

Banjar. 

Sesudah dibentuk Tentara dan Territorium Kalimantan dan subdivisinya nama Divisi Lambung 

Mangkurat berangsur-angsur kurang dipakai, akhirnya-hilang sama sekali, dan sebagian 

anggotanya ditempatkan di bagian-bagian lain Indonesia. sebab  itu pasukan Hassan Basry 

hanya disebut pasukan Subwilayah Tiga saja. Satuan-satuannya yang terdiri dari bekas pejuang 

ALRI Divisi IV dikirim ke Kalimantan Timur, Tenggara, dan Barat. Yang lain-lainnya dikirim guna 

membantu menumpas perjuangan suci Darul Islam di Jawa Barat. Selanjutnya Divisi ini banyak 

kehilangan perwiranya, saat  empat puluh sampai lima puluh orang dari mereka ini dikirim ke 

Yogyakarta untuk mengikuti kursus khusus untuk para perwira di Akademi Militer Nasional. 

Barangkali sebab  kesalahan komunikasi— bukan terutama sebab  maksud-maksud buruk—

para perwira ini tiba di Yogyakarta hanya untuk mengetahui, Akademi Militer Nasional telah 

ditutup lebih dari setahun, sudah sejak didudukinya kota itu oleh pasukan Belanda sejak "aksi 

militer" kedua. Sejumlah dari mereka itu lalu terus berangkat ke Surabaya; memang di sini 

terdapat pusat pendidikan militer. Hanya satu orang dari mereka itu akhirnya menyelesaikan 

pelajarannya. Yang lain-lainnya kembali ke Kalimantan; tak lama lalu  mereka yang menolak 

masuk Tentara Republik atau tidak mau didemobilisasikan, turut bersama pejuang mujahidin 

masuk hutan. namun  kali ini mereka masuk hutan untuk menentang Tentara Republik. 

Dalam golongan yang akhir ini termasuk Ibnu Hadjar, nama aslinya Haderi. Lahir di Kandangan, 

April 1920, kata orang wataknya keras dan suka berkelahi sejak kanak-kanak, dan benar-benar 

jadi kepala jagoan dalam setiap percekcokan. Haderi memakai  nama Ibnu Hadjar saat  

turut berjuang untuk kemerdekaan melawan Belanda. Kelak dia menjadi perwira dalam ALRI 

Divisi IV dengan pangkat letnan dua, memimpin satuan-satuan gerilya sekitar Kandangan. 

Pada masa mula sejak pembelotannya dalam triwulan pertama 1950, pengikutnya hanyalah kira-

kira enam puluh orang. Selama kira-kira tiga bulan pertama mereka berdiam diri dan tidak 

melakukan sesuatu. Serangan pertama terhadap pasukan Republik dilancarkan pada 

pertengahan 1950. Pada waktu itu kekuatan Ibnu Hadjar telah membesar sampai kira-kira dua 

ratus orang bersenjata dengan kira-kira lima puluh bedil. Walaupun cepat pertumbuhannya 

sebab  kian banyak bekas pejuang mujahidin yang tidak puas masuk pasukannya, kemungkinan 

akan tercapainya persetujuan masih belum tertutup. Pada awal Oktober, dalam menyambut 

upaya Republik Indonesia mencari penyelesaian damai terhadap masalah ini, Ibnu Hadjar 

melapor kepada penguasa di Kandangan. Sesudah dibebaskan agar berusaha membujuk 

pengikutnya untuk menyerah pula, dia pun menghilang ke dalam hutan untuk selama-lamanya. 

Ibnu Hadjar menemukan organisasi gerilya baru yang dipimpinnya Kesatuan Rakyat Indonesia 

yang Tertindas (KRIyT). Nama ini diambil untuk menyatakan solidaritas nasib para bekas pejuang 

mujahidin. Dalam hal ini Pemerintah Republik menyalahkan mereka sebagai penyebab kerusuhan 

yang terjadi di Kalimantan, namun  dari pihak pejuang mujahidin menuduh Pemerintahlah yang 

melakukan pengkhianatan dan penindasan. Ada dua penyebab yang menambahi perasaan ini 

timbul yaitu: tentang cara menangani demobilisasi bekas pejuang gerilya di Kalimantan, dan 

perlakuan Pemerintah dan Tentara Republik terhadap rakyat pedesaan di daerah ini. 

Tugas untuk menyelesaikan masalah ini diserahkan kepada orang yang paling memenuhi syarat 

untuk ini: Hassan Basry, bekas komandan gerilya. Pada 20 September 1950 dia diserahi pimpinan 

Komando Penyelesaian Hulusungai. Bulan berikutnya daerah itu diberi Bantuan Militer (Militaire 

Bijstand), dan satuan-satuan Tentara Republik masuk lagi untuk memulihkan keamanan. 

Pertama-tama Hassan Basry mencari penyelesaian damai. sebab  itu ia mengeluarkan perintah 

kepada semua pejuang yang belum menyerah untuk berbuat demikian sebelum 10 Oktober, dan 

dia berusaha berhubungan dengan pemimpin-pemimpin gerilya untuk berusaha mengetahui 

kehendak mereka. 

Seperti terlihat di atas, Ibnu Hadjar termasuk mereka yang mematuhinya. namun  dia menghilang, 

untuk tidak kembali lagi untuk selama-lamanya, saat  diberi kesempatan kembali ke hutan untuk 

berhubungan dengan para pengikutnya dan membujuk mereka supaya menyerah pula. 

saat  pejuang di hutan tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan tindakan mereka, mula-

mula di daerah Barabai, Birayang, Batumandi, dan Paringin lalu  juga sekitar Kelua dan 

Kandangan, habislah kesabaran Hassan Basry. Walaupun pasti dia menaruh simpati akan 

tuntutan mereka, diputuskannya melakukan tindakan militer terhadap mereka. sebab  itu pada 

16 Oktober Komando Penyelesaian Hulusungai mengumumkan, penyelesaian secara damai kini 

sudah tidak mungkin, Tentara dan Polisi memulai pembersihan daerah itu. Bersamaan dengan 

itu diadakan jam malam—di Hulusungai Utara dari pukul 2 pagi sampai 5 pagi, dan di Hulusungai 

Selatan, yang keadaannya dianggap paling berbahaya, dari pukul 8 malam sampai pukul 5 pagi. 

Ibnu Hadjar membalas pembersihan yang dilancarkan Pemerintah dengan meningkatkan 

kegiatan-kegiatannya sendiri. Dalam waktu sepuluh hari sesudah gerakan Tentara dan Polisi 

dimulai, kaum pejuang mujahidin menyerang Kota Kandangan tiga kali. Namun Bantuan Militer 

untuk Hulusungai, yang baru saja berlangsung sebulan, ditarik pada awal November. 

Demikianlah usaha-usaha Komando Penyelesaian Hulusungai tak berhasil apa-apa. Pada 11 

November komando ini dibubarkan, dan cara-caranya, terutama pemakaian  paksaan oleh 

Hassan Basry, ditolak penguasa. Alasan mereka untuk membenarkan langkah membubarkan 

komando ini ialah, yang diperlukan ialah penyelesaian secara damai. Tanggung jawab untuk 

ketenteraman dan ketertiban kini dipercayakan kepada Komando Petak Pertahanan Utara, yang 

terdiri dari Hulusungai dan Barito. Tak lama sesudah itu Hassan Basry menyerahkan pimpinan 

pasukan Republik di Kalimantan Selatan— kini disebut Brigade F—yang diambil alih oleh Mayor 

H.T. Sitompul.  

Keputusan untuk membubarkan Komando Penyelesaian Hulusungai dan untuk berusaha lagi 

membujuk pejuang meletakkan senjata mereka melalui perundingan diambil hanya beberapa 

hari sebelum pengumuman Pemerintah Pusat tentang tawaran amnesti, November 1950. Seperti 

terlihat di atas, tawaran ini tidak berlaku bagi Sulawesi Selatan dan Kalimantan; untuk daerah-

daerah ini diusahakan penyelesaian tersendiri. Jangka waktu bagi kaum pejuang mujahidin untuk 

menyerah di Kalimantan berlaku dari 5 Desember 1950 sampai 15 Januari 1951. Pejuang yang 

menyerahkan diri pertama-tama diperiksa daftar kejahatannya. Bila daftar ini bersih, mereka 

diberi pilihan masuk Angkatan Bersenjata atau menjadi pegawai negeri, atau kembali ke 

kehidupan sipil.  

namun  hasil imbauan ini mengecewakan. Walaupun ada kabar-kabar Ibnu Hadjar bersedia 

menyerah, hal ini tidak terjadi. Zafry Zamzam, yang saat  itu menjadi ketua Dewan Perwakilan 

Rakyat Daerah Hulusungai, diutus untuk berunding dengan dia. Dia memang bertemu dengan 

Ibnu Hadjar dan dijelaskannya syarat-syarat Pemerintah yang ditawarkan kepadanya, namun  tak 

berhasil dia membujuknya agar menyerah.  

Hanya sebagian kecil pejuang yang menyerah minggu-minggu sebelumnya. Di Kandangan hanya 

delapan, tak seorang pun membawa senjata. Di luar Kandangan, hasilnya sedikit lebih baik, 

dengan 1.063 pejuang menyerah. namun  jumlah senjata api yang diserahkan masih 

mengecewakan sedikitnya, yaitu hanya kira-kira tiga puluh. Mayoritas mereka yang menyerah 

(kira-kira 400) tergolong pada kelompok yang menamakan dirinya Perkumpulan Banteng 

Borneo.  

Dengan dimulainya aksi-aksi militer yang baru, Kandangan dinyatakan sebagai daerah militer, dan 

pos-pos tentara didirikan di seluruh daerah. Pada 26 Februari terjadi pertempuran pertama 

secara besar besaran dengan suatu kelompok kira-kira seratus pejuang yang berlangsung kira-

kira tiga jam.  

Dalam suasana tegang di Kalimantan Selatan, kehadiran Hassan Basry, yang masih tinggi dalam 

pandangan kaum pejuang , dianggap terlalu berbahaya. sebab  itu Kementerian Pertahanan 

memberi nya beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Maka Hassan Basry pun meninggalkan 

Kalimantan, pertama-tama menuju Jakarta dan lalu  menuju Mesir, Februari 1951. 

Keberangkatannya didorong pihak penguasa, sebab  mereka khawatir akan pengaruhnya di 

kalangan prajurit yang kecewa dan pejuang gerilya yang didemobilisasikan dan menganggapnya 

sebagai bahaya keamanan. Walaupun Hassan Basry harus tinggal di Mesir lebih dari empat tahun, 

perjalanannya tidak berhasil baik. Dia tak diterima sebagai mahasiswa di Mesir, dan harus 

melanjutkan pelajarannya pada tingkatan yang lebih rendah, mengikuti kursus dalam agama dan 

ilmu kemiliteran.  

Keberangkatan Hassan Basry—yang tidak akan berada di Banjarmasin sampai Desember 1955 — 

memperkuat kecurigaan, kalangan penguasa militer berusaha menggerogoti pengaruh bekas 

ALRI Divisi IV dengan mencerai-beraikan anggotanya. Selanjutnya hal ini mengukuhkan Ibnu 

Hadjar dan pejuang mujahidin-pejuang mujahidinnya dalam keyakinan, mereka yang telah 

mengorbankan diri untuk perjuangan Republik Indonesia di Kalimantan selama revolusi kini 

ditempatkan di kedudukan bawahan. Semua ini memicu  yang disebut "gerakan anti-Jawa". 

Kalangan penguasa menyangkal, gerakan ini terjadi spontan, dan menyalahkan unsur-unsur 

tertentu yang berambisi hendak berkuasalah yang memicu  perasaan anti-Jawa. Rakyat 

daerah ini sendiri tidak menaruh dendam kepada orang Jawa, demikian Inspektur Polisi Banjar, 

Mahmud, menegaskan.  

Dalam iklim ini Ibnu Hadjar dengan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindasnya jadi menonjol. 

Dibandingkan dengan perjuangan harakah Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh, 

gerakan ini hanyalah gerakan kecil. Dengan jumlah pengikut mula hanya kurang dari seratus 

orang. Pada umumnya mereka hanya terdiri dari lima sampai lima puluh pejuang . Di samping itu, 

persenjataan mereka sangat kurang dan terus-menerus mereka dikejar pasukan Republik dan 

Polisi. Pada waktu Ibnu Hadjar masuk hutan, para pejuang mujahidin ditaksir memiliki empat bren 

dan enam sten gun dan satu-dua kodi bedil. Taksiran akhir 1953 mengatakan masing-masing lima 

puluh dan 148 senjata api seluruhnya selama masa mula, namun  ini masih angka rendah juga. Sisa 

anak buah Ibnu Hadjar lainnya memakai  senjata seperti pisau, pedang, tombak, dan 

sebagainya. 

sebab  kelompok-kelompok KRIyT kurang sekali persenjataannya dan begitu kecil jumlah 

anggotanya, gerakan Tentara Republik mula-mula berhasil. Sebagian besar senjata pejuang 

mujahidin yang sedikit itu dirampas, sehingga kelihatannya seolah-olah KRIyT tidak dapat 

bertahan. Taktik Tentara Republik bertujuan mengisolasikan musuh di pegunungan dan 

membiarkan mereka kelaparan sampai menyerah. sebab  itu, mereka menutup semua jalan 

menuju ke daerah-daerah tempat pejuang mengundurkan diri, dengan hanya memperbolehkan 

orang yang ingin melaluinya membawa makanan cukup untuk satu hari saja. Akibatnya, banya.k 

pejuang mujahidin yang menyerah sebab  kekurangan makanan. Yang lain-lainnya ditangkap 

rakyat setempat, yang dijanjikan akan diberi hadiah untuk setiap pejuang yang mereka serahkan. 

Ini merupakan sumber pendapatan tambahan yang baik dan juga mengakibatkan orang 

berusaha menyimpan sendiri rahasia tempat persembunyian para pejuang . Ada perkelahian, 

sebab  seorang tertangkap dan masing-masing ingin mengakui dialah yang menangkapnya dan 

dengan demikian menerima hadiah. Dengan alasan yang bisa dimengerti, permintaan agar 

dibagikan senjata kepada penduduk dalam perlawanannya terhadap KRIyT ditolak. Hanya di 

Rantau dibagikan beberapa senjata. saat  pada akhir 1952 rakyat Riam Kanan mengajukan 

permohonan memperoleh senjata, hal ini ditolak dengan keterangan, bila dalam masa revolusi 

mungkin mengalahkan Belanda dengan senjata tidak lebih dari bambu runcing, mengapa 

pejuang mujahidin, yang (dianggap oleh Pemerintah RI, pen.) yaitu  penjahat, tidak bisa 

dikalahkan dengan senjata demikian.  

Pada akhir 1951 Pemerintah punya alasan untuk percaya, para gerilyawan KRIyT terisolasi di 

Hulusungai. Kalimantan Timur dan Barat — daerah yang akhir ini dengan pengecualian Ketapang 

— dianggap aman dan bebas dari pejuang dan penjahat. Maka, tanggung jawab 

mempertahankan hukum dan ketertiban di sini diserahkan kepada Polisi dan Pemerintahan Sipil 

oleh Tentara Republik. Di Hulusungai, di pihak lain, keadaan masih terasa kritis. Staat van Oorlog 

en Beleg atau Keadaan Darurat Perang dinyatakan berlaku untuk seluruh daerah ini, 1 November 

1951. Kabupaten-kabupaten yang lain di Kalimantan Selatan, terutama Kotabaru, dianggap dalam 

keadaan pertengahan. Ada pula pejuang beroperasi di sini, namun  lebih kecil ketimbang di 

Hulusungai. Selama bertahun-tahun Kotabaru mendapat perhatian khusus penguasa sebab  di 

sini mendarat bala bantuan untuk Ibnu Hadjar yang dikirim Kahar Muzakkar. 

Namun, KRIyT selamat dari gerakan pengamanan, dan sesudah SOB dicabut Juli 1952 berangsur-

angsur mereka pulih dari pukulan-pukulan pertama. Ini sebagian sebab -pihak penguasa salah 

perhitungan. Pada waktu SOB berakhir mereka memutuskan — mengingat kegiatan gerilya yang 

berkelanjutan—Tentara Republik harus terus memberi  bantuan militer. namun  enam bulan 

lalu  mereka mencabut putusan ini. Bencana yang diakibatkan KRIyT dalam dua setengah 

tahun bergeraknya sampai saat  itu banyak sekali, walaupun tampaknya tidak berarti apa-apa 

dibandingkan dengan bencana di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.  

Pemerintahan sipil—yang sesudah bantuan militer berakhir seluruhnya bertanggung jawab 

memelihara hukum dan ketertiban—memulai tugasnya dengan gairah. Gubernur Kalimantan, Dr. 

Murdjani, segera memulai serangkaian pembicaraan dengan anggota-anggota yang terpenting 

dari kalangan pamong praja dan Angkatan Kepolisian, alimulama, wakil partai -partai politik, dan 

pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya di Kalimantan Selatan. Selama pembicaraan ini 

diyakinkannya para pemimpin agama agar mengeluarkan fatwa kepada para pengikutnya untuk 

melawan KRIyT, dan diumumkannya, ia tengah menyusun suatu rencana perang melawan kaum 

pejuang mujahidin. Menyinggung kurangnya komunikasi dan pengertian antara Tentara 

Republik, Polisi, dan Pemerintahan Sipil dalam operasi-operasi yang lalu, Murdjani menyatakan, 

dia pribadi akan memimpin semua operasi pada masa depan. Akhirnya ia menguraikan 

rencananya sesudah berhari-hari pembicaraan, 24 Februari 1953. 

Ibnu Hadjar beroperasi antara Kandangan dan Barabai. Markas besarnya dibuatnya di sebuah 

gunung tidak jauh dari Kandangan, di Desa Datar Laga. Biasanya juga disebut, sebab  bentuknya 

dan mungkin pula sebab  di situ tempat markas besar KRIyT, Gunung Hantu. Ini merupakan 

tempat persembunyian yang ideal, hanya dapat dimasuki dari satu jurusan: lagi pula, dari sini 

musuh yang mendekat harus menempuh tiga kilometer rumput panjang, jadi mudah terlihat. 

Dari Jurusan lain mana pun tempat ini hanya dapat didekati melalui daerah pegunungan yang di 

dalamnya terdapat banyak kubu KRIyT. Dari markas besar ini Ibnu Hadjar menjalani seluruh 

Hulusungai untuk bermusyawarah dengan para komandannya atau memimpin sendiri serangan, 

dan sering dia menyerbu ke Kabupaten Kotabaru. 

Lebih jauh ke utara, sekitar Tanjung, terdapat suatu kelompok yang dipimpin Kartolo yang 

bergerak sejak awal 1950. Kartolo, nama sebenarnya ialah Asmuni, pangkalannya di Tanjung 

namun  juga menggerayangi ke dalam Hulusungai dan jangkauannya sampai ke selatan seperti 

Alabio. Dia tertangkap sesudah dilakukan operasi bersama oleh satuan-satuan Tentara dan 

rakyat setempat, Januari 1953. Di daerah Sungai Bulungan pemimpin KRIyT yang utama ialah 

Utuh Tjilik (Utuh Cilik), sedangkan ke sebelah selatannya, di daerah Batumandi, beroperasi Kurdi, 

alias Subrata, dan Dahlan.  

Komandan-komandan gerilya lainnya dari tahun-tahun mula ini yaitu  Daeng Matelo, yang 

bergerak di daerah Sungai Amandit, Rasjaidi dan Mardjajana di Rantau, Tamberani di Sei Pinang, 

Chairul Muis (Khairul Muis, sesudah meninggal 1954 digantikan A.K. Munsi), dan Gusti Surjah 

(Gusti Suryah), yang seperti halnya dengan banyak lainnya juga "tertembak saat  berusaha 

  

 

melarikan diri" Agustus 1954 di Banjar, dan Mawardi dan wakilnya Raden Mochtar Djaja (Mokhtar 

Jaya) antara Martapura dan Pleihari. Tamberani tertembak pada akhir 1953 dan digantikan 

wakilnya, Ipul, yang selanjutnya tak lama lalu  ditembak mati salah seorang pembantu Ibnu 

Hadjar Djumberi (Jumberi), sebab  dinyatakan menteror rakyat. Mawardi terbunuh pada 1954.  

Peningkatan kegiatan-kegiatan pejuang mujahidin pada 1953 mungkin dimaksudkan KRIyT 

sebagai petunjuk bahwa mereka masih ada. Kaum pejuang mujahidin dalam hal ini didorong 

bukan saja sebab  diakhirinya bantuan militer, yang dapat ditafsirkan sebagai tanda, dalam 

pandangan penguasa masalah keamanan di Kalimantan Selatan telah beres, namun  mungkin juga 

ada faktor lain. Yang pertama yaitu  perselisihan intern, yang kedua kunjungan sial Soekarno ke 

Kalimantan. 

Akibat imbauan-imbauan baru pemerintah RI kepada kaum pejuang untuk menyerah, dan sebab  

kedudukan satuan-satuan KRIyT yang sulit akibat aksi-aksi militer Republik, pihak gerilya jadi 

terpecah-belah. Satu kelompok—sesudah gagal bertempur selama lebih dari dua tahun —yang 

menghendaki menyerah, termasuk salah seorang komandan gerilya tertinggi, Haji Machfudz 

Siddik (Makhfudz Siddik). Pada awal perjuangan dia yaitu  salah seorang pembantu Ibnu Hadjar 

yang paling tepercaya dan dianggap hampir sama berkuasanya sebagai Ibnu Hadjar sendiri. 

Desember 1950, saat  berlangsung perundingan Zafry Zamzam dengan Ibnu Hadjar, Hadji 

Machfudz Siddik-lah dan bukan Ibnu Hadjar yang mengeluarkan perintah kepada para prajurit 

KRIyT untuk tidak menyerah. namun , dua tahun lalu , saat  kehilangan pengaruh dalam 

KRIyT, dia menjadi penganjur utama untuk menyerah. Akibatnya, dia ditembak salah seorang 

anak buah Ibnu Hadjar atas perintah yang akhir ini saat  sedang mandi, 16 Februari 1953. 

lalu , dia digantikan Dardiansjah (Dardiansyah), adik laki-laki Ibnu Hadjar, yang dalam 

kedudukannya sebagai wakil komandan KRIyT kadang-kadang memimpin pasukan KRIyT di 

Hulusungai bila Ibnu Hadjar pergi ke Kabupaten Kotabaru.  

Dengan menyerang pos-pos Polisi yang terpencil dan terlibat dalam pertempuran kecil dengan 

satuan-satuan Polisi, KRIyT, dan ini yang lebih penting, memperoleh beberapa senjata lagi. 

Dengan bertambah kekuatannya, ia pun lebih berani. Para gerilyawan KRIyT berkeliaran keluar 

dari pegunungan dan mulai menyerang kota-kota yang terpencil yang hanya memiliki ada 

detasemen Polisi kecil-kecil atau tidak ada sama sekali. Demikianlah, pada September pos-pos 

polisi yang kekurangan orang di Pengaron dan Karang Intan diserang kira-kira seratus pejuang . 

Kota-kota yang lebih besar tidak aman pula. Pada September, Rantau dan Pengaron diserang 

pada hari yang sama; pada November Negara dapat giliran, sementara Kotabaru juga diduduki 

kaum pejuang mujahidin sebentar. Pada 12 Desember 1953 malam7 Kandangan diserang dari 

  


 224 

 

empat jurusan. Dari suara teriakan komando disimpulkan, serangan ini kiranya dipimpin sendiri 

oleh Ibnu Hadjar.  

sebab  kegiatan KRIyT yang meningkat, diminta lagi bantuan Tentara, sedangkan Brigade Mobil 

diperkuat dengan suatu kompi dari Jawa Timur. Bahkan dipikirkan untuk membentuk korps 

sukarelawan. namun  gagasan ini pada umumnya diterima dengan sikap hati-hati sebab  mereka 

yang menentang khawatir, korps sukarelawan demikian dapat menjadi alat bagi bekas pejuang 

untuk memaksakan tuntutan mereka agar diakui sebagai prajurit Tentara Republik. 

Salah satu gejala menonjol yang menjadi ciri ALRI Divisi IV selama perjuangan kemerdekaan ialah 

teguhnya mereka berpegang pada ajaran-ajaran Islam. Pemerintah Militer, selain bertujuan 

melakukan perubahan sosial dan ekonomi yang radikal di daerah-daeTah pedesaan, melakukan 

banyak usaha untuk memajukan Islam dan pelaksanaan syariahnya. Dengan bangga mereka 

mengemukakan, selama pemerintahan mereka Islam berkembang. Pendidikan agama dan 

pengajian Quran mengalami kebangkitan kembali, kata mereka, sementara terdapat pula 

kemajuan yang nyata dalam kalangan rakyat yang melaksanakan kewajiban-kewajiban 

agamanya dan meningkatnya jumlah mereka yang mengunjungi masjid-masjid dan pusat-pusat 

pendidikan agama. Selanjutnya dikatakan, akibat semuanya ini pencurian, judi perzinaan, dan 

pelacuran lenyap.  

Juga KRIyT, yang di dalamnya terdapat banyak pejuang dari ALRI Divisi IV, mengakui bertindak 

demi kepentingan Islam. Di samping Departemen Penerangan yang umum, segera mereka 

bentuk suatu badan khusus guna penyebaran penerangan agama. Para pejuang KRIyT 

dinyatakan sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan sembahyang sehari-hari, sedangkan 

Ibnu Hadjar menurut cerita marah sekali bila para prajuritnya lalai dalam hal ini.  

Bilamana prajurit KRIyT mengunjungi sebuah desa, mereka desak rakyat untuk mematuhi syariat 

Islam, sembahyang lima waktu sehari, dan sering mengunjungi masjid. Mereka yang lalai dalam 

hal ini diancam, dan kadang-kadang didenda. Demikianlah ada laporan pada 1953 tentang orang-

orang desa yang mengabaikan sembahyang seharihari didenda Rp. 900,—sampai Rp. 1.000. 

Pada kesempatan lain pejuang mujahidin KRIyT khusus menyerang orang-orang yang tidak 

membayar zakat atau membayar tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam suatu seruan 

untuk syariat Islam, diperingatkan bahwa mereka yang didapati bersalah mencuri akan dipotong 

tangannya, penjudi akan dipotong sebuah telinganya, dan pezina akan dilempari batu sampai 

mati.  

  


 225 

 

Pemerintah Daerah Kalimantan, dalam menyambut seruan gerilyawan pejuang mujahidin 

terhadap agama, melakukan usaha untuk memperoleh dukungan para ulama dan pemimpin 

agama Islam lainnya dalam gerakannya melawan KRIyT.  

Melihat fakta  ini maka TNI meminta kepada semua pemimpin agama yang bersimpati 

dengan Republik diminta secara umum mengutuk KRIyT dan kegiatan-kegiatannya, dan untuk 

mengeluarkan fatwa yang menyatakan demikian. Pemerintah agak berhasil dalam hal ini. Pada 

16 November 1952 sekelompok pemimpin Islam Hulusungai mengeluarkan sebuah pernyataan di 

Amuntai.. Menentang KRIyT. dengan tegas demikian bukan tanpa bahaya. Pada Maret 1953 dua 

dari para ulama yang mendukung pernyataan ini, Haji Fadhli dari Kandangan dan Haji Kusan dari 

Rantau, dibunuh.  

Mengingat dasar Islam organisasi pejuang mujahidin setempat ini, tidaklah mengherankan sejak 

mulanya terdapat desas-desus dan dugaan tentang infiltrasi Darul Islam di Kalimantan, 

khususnya daerah-daerah selatan, tempat beroperasi KRIyT dan tempat selama perjuangan 

untuk kemerdekaan ALRI Divisi IV sangat berpengaruh. Desas-desus ini berlangsung terus 

sesudah orang-orang tertentu dengan latar belakang Darul Islam ditangkap dan sesudah  pamflet-

pamflet dan surat-surat Darul Islam mulai beredar, walaupun secara kecil-kecilan.  

Pada Juni 1952 umpamanya, seorang yang bernama Anang Sulaiman ditangkap sebab  dituduh 

melakukan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pada 

akhir tahun itu seorang buron dari Angkatan Umat Islam Jawa Tengah, yang lari ke Kalimantan 

sesudah penumpasan organisasi itu, tertangkap di Kalimantan Barat. Pelariannya ke Kalimantan 

diduga diatur penduduk Kalimantan yang terkemuka, yang bersimpati dengan gerakan Darul 

Islam di Jawa. namun  semua ini masih kecil saja artinya, dan berita-berita yang sedikit tentang 

kegiatan Darul Islam yang mencapai daerah ini berasal dari luar Kalimantan Selatan dan 

Hulusungai. 

Februari 1953 ada berita radio PJC (Siaran Dunia Belanda) bahwa Kalimantan akan segera menjadi 

Jawa kedua. Mengingat keadaan yang sesungguhnya, berita ini—dan khususnya keterangan 

bahwa pedalaman Kalimantan merupakan sarang simpatisan Darul Islam—sangat dibesar-

besarkan. Demikian juga halnya tentang tuntutan untuk menumpas Darul Islam di Kalimantan 

Selatan, yang sering terdengar pada pertengahan 1953. Rakyat di Kalimantan benar-benar 

diresahkan protes-protes di Jawa Barat yang dipimpin kalangan nasionalis dan komunis untuk 

turut berteriak menuntut keputusan yang melarang Darul Islam sebagai suatu gerakan yang 

berbahaya untuk negara.  

  


 226 

 

Untuk mewujudkan usaha ini di Banjarmasin dibentuk suatu panitia "untuk keamanan 

Kalimantan". Panitia ini menyelenggarakan rapat-rapat yang menonjolkan slogan-slogan seperti 

"DI-TII dan perjuangan resistensi politik Islam lain yaitu  musuh Negara dan Rakyat", "Kaum 

pejuang pemberontak bertanggung jawab akan bertambahnya pengangguran", "Ganyang kaum 

gerombolan, tukang catut, dan koruptor". Seperti dengan tepat diucapkan Zafry Zamzam, aneh 

sekali para demonstran tidak menuntut penumpasan KRIyT, malahan lebih menuntut menumpas 

Darul Islam yang pada waktu itu hampir-hampir belum terdapat di Kalimantan. Namun, ada 

petunjuk bahwa pikiran untuk masuk ke dalam Negara Islam Indonesia mulai digunakan di 

Kalimantan, khususnya sesudah Kahar Muzakkar melakukannya di Sulawesi. Segera sesudah 

pernyataan Kahar Muzakkar bahwa Sulawesi merupakan bagian dari wilayah Negara Islam 

Indonesia, ditemukan di Hulusungai pamflet-pamflet yang menyatakan daerah-daerah yang 

dikuasai KRIyT telah masuk ke dalam wilayah Darul Islam.  

Juga terdapat beberapa tanda kegiatan Darul Islam di pantai timur Kalimantan. Di sini Imbran 

Kamarullah yang menamakan dirinya Kepala Staf Divisi Panglima Batur KRIyT, telah membentuk 

cabang Darul Islam. Semua perintahnya ditandatanganinya atas nama KRIyT dan Tentara Islam 

Indonesia, dengan memakai  cap bujur telur yang memperlihatkan bulan sabit dan bintang. 

namun  cabang Darul Islam ini sama sekali tak sempat mempunyai arti. Imbran Abdullah segera 

ditangkap (Agustus 1953), dan dalam rangka persidangan perkaranya menjadi jelas bahwa 

kekuatannya tahap penyusunan. Pada saat penangkapannya yang telah dilakukannya hanyalah 

memilih anggota-anggota stafnya.  

Sementara itu, di Jawa Kartosoewirjo masih menganggap Ibnu Hadjar dan KRIyT sebagai sekutu 

yang potensial. sebab  itu diperintahkannya pembantu pertamanya, Sanusi Partawidjaja 

Februari 1954 meningkatkan usaha-usaha untuk memasukkan Kalimantan ke dalam wilayah de 

facto Negara Islam dan membentuk Komando Teritorial VI Tentara Islam Indonesia di sini.  

Ibnu Hadjar sendiri barulah membulatkan pikirannya untuk masuk Negara Islam pada akhir 1954. 

Ini sesudah Kartosoewirjo mengajaknya untuk berperan serta dalam mempertahankan Negara 

Islam ini, masuk dalam struktur pemerintahan NII bersama sama dengan tokoh lain dari gerakan-

gerakan pejuang mujahidin di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan. Relatif kecilnya 

cakupan resistensi politik Islam KRIyT di Kalimantan dibandingkan dengan perlawanan di Jawa 

Barat, Aceh, dan Sulawesi tecermin dalam komposisi Kabinet ini. Tidak diberikan portfolio penuh 

untuk Ibnu Hadjar, namun  hanyalah pengangkatan sebagai menteri negara. Ia diangkat pula 

menjadi Panglima TII untuk Kalimantan. 

lalu  Ibnu Hadjar lalu mereorganisasi pasukannya. Mulailah ia menamakan dirinya "ulul 

amri". Demikian pula diberinya nama markas besarnya, dengan dijuluki nama hebat-hebat seperti 

Istana Islam Merdeka atau Istana Agama Islam Agung. Pasukannya berangsur-angsur diberi 

nama Angkatan Perang Tentara Islam (APTI), sementara kadang-kadang disebut juga Pasukan 

Islam, kedua nama dengan atau tanpa dibubuhi KRIyT. Kepala Pasukan Islam (Kapai) yaitu  

Paduka yang Mulia Ibnu Hadjar. Untuk menggarisbawahi perpecahannya dengan Republik 

sekuler, selanjutnya Ibnu Hadjar menggubah versi lain dari lagu kebangsaan. Untuk ini Indonesia 

Raya diubah dan disesuaikan dengan cita-cita Islam perjuangan bersenjata KRIyT.  

namun  selain dari nama-nama baru ini, tak ada lagi yang berubah. Tak dilancarkan serangan baru. 

Bahkan pemilihan umum 1955 tidak digunakan KRIyT untuk meningkatkan kegiatannya. KRIyT 

tidak menyerang desa-desa, dan tidak menghalangi petugas-petugas atau para pemilih. Mereka 

tidak merintangi pemilihan umum walaupun pernah menyatakannya akan melakukan yang 

demikian pada awal 1955, dan turut bertarung sendiri dengan mendesak rakyat agar memberi  

suara untuk partai Islam.  

Sesudah pasukan Ibnu Hadjar masuk gerakan Darul Islam KRIyT, demikian masih disebut 

namanya, atau APTI, sebagai namanya yang baru, terus juga beroperasi dalam kelompok yang 

kecil-kecil. Serangan dilakukan oleh bagian gerilyawan yang sangat kecil, yang terdiri dari paling 

banyak dua puluh orang. Namun, pada 1955, terdapat struktur pimpinan yang lebih tegas 

pembatasannya. Maka, diangkat komandan-komandan daerah yang merangkap sebagai kepala 

Pemerintahan Daerah pejuang mujahidin dan masing-masing mempunyai daerah operasi khusus. 

Di Hulusungai Utara, misalnya, Bahranu yaitu  kepala Komando Pertahanan Paringin dan 

Batumandi. Di Amandit Utara, selain dari Balhum yang disebut terdahulu, Aman dan Samsi, 

Dardiansyah, adik laki-laki Ibnu Hadjar, yang menjadi komandan KRIyT paling terkemuka. Di 

Amandit Selatan Djohansjah (Johansyah), nama sebenarnya ialah Djahri bin Bako (Jahri bin Bako), 

komandan, sampai ia tertangkap pada 1954. Seorang komandan KRIyT yang sangat terkenal 

masa itu yaitu  Djarman (Jarman) di Pleihari. Riam Kanan merupakan basis operasi Guru 

Budjanab (Guru Bujanab) dan Djenggot (Jenggot).  

Jauh lebih terkenal dahsyat ketimbang pemimpin-pemimpin yang ini  di atas yaitu  dua 

orang komandan KRIyT Djumberi dan Raden Mochtar Djaja. Djumberi, yang menjadi Komandan 

Batalyon Garuda Putih, beroperasi sekitar Riam Kiwa dan gugur dalam aksi Agustus 1955. Raden 

Mochtar Djaja, yang memulai kariernya dalam KRIyT sebagai pembantu Mawardi, beroperasi 

sekitar Martapura, pada waktunya menjadi komandan KRIyT untuk seluruh Kabupaten Banjar, 

dengan memimpin pasukan KRIyT Mobil. Dalam kedudukannya yang akhir ini ia yaitu  salah 

seorang pemimpin gerilya yang dicari dan salah satu sasaran pokok operasi keamanan 

Pemerintah. Sekali pada 1952 dia tertangkap, namun  berhasil lolos lagi. Tahun berikutnya hampir 

dia tertangkap untuk kedua kalinya, sementara turut dalam suatu pertandingan bola di Desa 

Sungai Ulin. saat  pasukan Tentara mendatangi lapangan bola, tepat pada waktunya benar dia 

berhasil lolos.  

Kalangan sipil sementara itu terus juga mendesak diadakannya amnesti umum. Pada akhir 1953 

PNI cabang Amandit mendesak Presiden Soekarno agar di depan umum meminta Ibnu Hadjar 

menghentikan perlawanannya. Semua mereka yang menyerah akan diberi kesempatan 

memasuki Angkatan Bersenjata atau suatu badan Pemerintah lain. Cabang Amandit selanjutnya 

mendesak digantinya Murdjani sebagai