Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 10
yang dilakukan oleh Amir Fatah, yaitu : ”kemunafikan" yang setiap saat diperankan baik oleh
pemerintah dan tentara Republik Indonesia terhadap para pejuang yang dengan kesetiaan dan
keikhlasannya berperang melawan penjajah Belanda.
Aksi perjuangan jihad pertama yang diarahkan untuk menyerang posisi Republik dan merebut
pos komando Sub Wehrkreise di Bentarsari, Amir Fatah dan pasukan mujahidinnya berhasil
dengan baik, pos komando itu telah ditinggalkan pasukan Republik sebab takut dikepung
Tentara Islam yang jumlahnya lebih besar. saat terjadi pertempuran di daerah ini Tentara Islam
dapat menangkap komandan distrik militer (KDM) Brebes yang bernama Abduljalil, yang sebab
suatu sebab tidak turut bersama Tentara Republik mengundurkan diri.
Selanjutnya Amir Fatah dan pejuang mujahidin menyerang dan melucuti satuan Brigade Mobil
milik tentara Pemerintah yang dikirim ke daerah ini beberapa bulan sebelumnya dengan maksud
memperkuat pasukan Republik, mengingat adanya persoalan dengan Majelis Islam, lalu para
pejuang mujahidin menangkap komandannya yang bernama R.M. Bambang Suprapto. Beberapa
hari lalu , dia bersama dengan Abduldjalil ditembak mati oleh pejuang mujahidin Darul
Islam Pemimpin pejuang mujahidin Darul Islam Amir Fatah, selanjutnya meluaskan pengaruh
pada bulan-bulan berikutnya.
Dengan memakai basis perjuangan sebagai bentengnya di daerah sekitar Bumiayu, Amir Fatah
mengalihkan perjuangannya ke utara dengan memasuki daerah Pekalongan, dan di daerah ini
pasukan pejuang mujahidin menyerang pos-pos tentara di berbagai tempat, seperti Margasari,
Prupuk, Larangan, dan Tonjong. Pada tanggal 11 November pasukan pejuang mujahidin Darul
Islam memasuki daerah Wonosari dan Siasem, dua desa di pinggiran Brebes. Serangan ini
dipimpin langsung oleh Amir Fatah sendiri yang mengendalikan pasukannya dari sebuah tandu
190
yang diusung prajurit-prajuritnya, sebab kepalanya terluka dalam suatu pertempuran kecil
sebelumnya dengan pasukan Republik. Langkah berikutnya yang direncanakan para pejuang
mujahidin yaitu menyerang Brebes sendiri. Sebagai ekspresi kekecewaan mereka terhadap
"penyerahan kedaulatan", adapun tanggal yang sudah ditetapkan dalam penyerangan ini yaitu
27 Desember. sebab rencana para pejuang mujahidin ini sudah terdengar oleh pasukan tentara
Republik, maka tentara Republik dalam menghadang serangan Amir Fatah mendapat
kemudahan sehingga memudahkannya untuk dipukul mundur. Namun perjuangan Amir Fatah
dapat berhasil beberapa hari lalu , pada hari Tahun Baru, saat pasukannya akhirnya
memasuki Brebes dan menduduki sebagian dari kota.
lalu tentara republik melancarkan serangan pula dengan pasukan yang diberi nama
Gerakan Banteng Nasional di Tegal, Bumiayu, purwokerto, Majenang, dan Cilacap. Dalam operasi
GBN ini, diikut sertakan pasukan infantri dari tiga divisi tentara Jawa -- Diponegoro, Brawijaya,
dan Siliwangi. Tujuan gabungan operasi itu tidak lain yaitu untuk mengisolasi pasukan Amir
Fatah di Tegal dan Bumiayu, di sampin itu untuk mencegah para mujahidin Amir Fatah
mngadakan kontak dengan pusat gerakan yang ada di Jawa Barat . Dalam operasi ini ada segi
keberhasilan dan kegagalannya. Sebagian sebab ada bujukan yang didukung oleh kekuatan
militer sehingga sejumlah pemimpin NII wilayah Jawa Tengah jadi menyerah. Di pihak lain, tujuan
untuk menutup batas propinsi, tidak tercapai. Mengakibatkan masih sering terdapat serangan
oleh pasukan mujahidin dari Brebes dan Tegal ke Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Dengan adanya
serangan ini menunjukkan sebagian besar aktifitas tentara mujahidin di wilayah yang dikuasai
pihak NII.
Amir Fatah bersama prajuritnya, diantar oleh Kamran berangkat menuju Jawa Barat untuk
menjumpai Kartosoewirjo. Dalam perjalanan ke Tasikmalaya mengalami dua puluh satu kali
pertempuran. Sesampainya di Ciamis, Amir Fatah bersama pasukannya, terpisah dari Kamran
yang mengetahui keberadaannya Kartosoewirjo. Akibat keterpisahan itu Amir Fatah kehilangan
jejak, gagal untuk bertemu dengan Kartosoewirjo, sehingga pasukannya tidak sempat
bergabung dengan TII (Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dalam kondisi sedemikian, Amir
Fatah bersama sisa prajurit yang tinggal 150 orang lagi, terkepung oleh pasukan Republik yang
jumlah kekuatannya berkali lipat daripada pasukan Amir Fatah. Akhirnya dalam kontak senjata
dengan tentara Republik itu Amir Fatah tertangkap pada tanggal 22 Desember 1950. Sebagian
dari prajuritnya silam dan sebagian lagi gugur menjadi Syuhaada, sesudah jual beli dengan Allah
(Qur’an.Surat 9:111), yakni berperang agar berlakunya hukum-hukum Islam di bumi Indonesia
secara Kaffah (sempurna).
191
Di Surakarta timbul gerakan yang dilakukan Batalion 426. Motif para anggota Batalyon 426 untuk
memberontak dan memihak Darul Islam sebagian yaitu berdasar keagamaan. Sebagai
pasukan Islam dan bekas pejuang Hizbullah mereka bersimpati dengan berdirinya Negara Islam
Indonesia. Sehingga selanjutnya mereka berhubungan erat dengan rakyat Muslim tidak hanya
yang dari Klaten, namun juga dari Surakarta kota. sebab itu di Klaten banyak sekali orang yang
diinterogasi sebab dicurigai membantu kaum pejuang mujahidin, dan di Surakarta pun banyak
yang ditahan dalam hubungan ini. Dalam suatu gerakan di Surakarta pada malam tanggal 12
Desember saja tujuh puluh lima orang yang dimasukkan dalam tahanan. Pada 2 Januari 1952 ini
diikuti lagi dengan penangkapan pemimpin-pemimpin Islam terkemuka di Kauman, Surakarta—
pusat Islam — termasuk di dalamnya R.H. Adnan, Ketua Mahkamah Tinggi Islam.
Divisi Diponegoro melancarkan gerakan besar-besaran terhadap batalyon pejuang mujahidin dan
melakukan pengejaran yang gencar. Berjam-jam, kadang-kadang bahkan berhari-hari
pertempuran berlangsung, dan banyak penduduk yang tewas. Semua jalan raya sekitar
Yogyakarta dan Surakarta ditutup selama operasi berlaku. Kaum pejuang mujahidin terlalu letih
akhirnya sebab terus-menerus terganggu. Seperti dilaporkan sebuah surat kabar pada awal
April: "Sering kali korban-korban manusia didapati TNI yang sudah meninggal dunia atau
keadaannya amat menyedihkan. Banyak senjata yang tak bisa dibawa harus disembunyikan
dalam tanah".
Tidak selalu Tentara Republik bertindak sangat bijaksana dalam operasinya. Sebaliknya,
sayangnya ada saja kelihaian khusus untuk memicu kemarahan rakyat. sebab itu, Februari
1952 suatu pertanyaan tertulis diajukan Prawoto Mangkusasmito, seorang anggota Parlemen
mewakili Masyumi,—suatu partai yang sebab sifat Islamnya bukan tanpa simpati terhadap
kaum pejuang mujahidin Islam—kepada Pemerintah. Contoh-contoh tindakan yang dinyatakan
sebagai tingkah laku yang buruk di pihak prajurit Republik yang dikemukakan di sini melukiskan
suatu tipe peri laku yang diperhitungkan untuk memperhebat dendam masyarakat Islam. Di
Klaten, di Desa Kardirejo umpamanya, prajurit-prajurit Tentara Republik Indonesia dikatakan
telah membakar masjid-masjid. Dalam daerah Surakarta mereka menodai masjid-masjid dengan
memasukinya seraya memakai sepatu dan membawa anjing masuk ke dalam.
Prawoto Mangkusasmito minta perhatian akan perilaku sewenang-wenang terhadap rakyat
setempat dan para tahanan. Dikatakannya, kadang-kadang rakyat dimasukkan dalam tahanan
perlindungan begitu saja untuk mencegah mereka membantu kaum pejuang mujahidin, baik
secara sukarela ataupun secara paksaan. Dalam hal-hal lain, orang ditangkap sebagai sandera
para kerabat yang lari atau menghilang. Di samping itu ia menyebut laporan tentang
pembunuhan atas tawanantawanan yang ditangkap tidak dalam pertempuran namun dalam
192
operasi pembersihan. Semua ini, menurut Prawoto Mangkusasmito, telah membuat rakyat
memihak pejuang mujahidin, sehingga sulitlah untuk menaklukkan Batalyon 426.
Mujahid dan Mujahidah yang Bertahan dari Jawa Tengah
Untuk menceritakan mujahidin yang bertahan, terlebih dulu renungkan Firman Allah S.W.T. :
“Diantara orang-orang mu’min itu ada yang menepati apa yang sudah mereka janjikan kepada
Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (juga) yang menunggu-
nunggu dan mereka sedikit pun tidak merobah (janjinya)”. Q.S.33 Al-Ahzaab 23).
Mujahid yang bertahan ialah mujahid yang tidak merobah janjinya kepada Allah untuk tetap
menegakkan hukum-hukum-Nya selama mata bisa berkedip. Dirinya merasa dibayangi siksaan
Api Jahannam, jika berhenti jihad. Sebab, ingatannya, apabila dirinya mundur dari jihad berarti
maju ke Jahannam. Jiwanya merasa hina bilamana matinya dalam keadaan pengecut, sementara
pelaksanaan hukum-hukum Al-Qur’an sedang dijegal oleh kaum Thogut. Hatinya akan sedih jika
kalah berani daripada tentara Thoghut. Dari itu bahwa semboyan “Pilih hidup dalam keadaan
mulia atau mati dalam keadaan Syahid”, bukanlah hanya dalam ungkapan lisan, melainkan juga
berwujud perbuatan. Hal demikian dilakukan di antaranya oleh para mujahid yang dituturkan
dalam sejarah di bawah ini.
Seorang mujahid pelaku sejarah dari daerah Brebes, Jawa Tengah menuturkan bahwa dirinya
menyaksikan sekitar sebulan sebelum Imam S.M.Kartosoewirjo tertangkap 4 Juni 1962
ditemukan banyak pamplet yang melekat pada pohon-pohon di daerah Gunung Kembang. Isi
pamplet-pamplet itu bahwa Kartosoewirjo di Jawa Barat sedang berunding, Darul Islam dalam
keadaan Cease fire. namun sebab di daerah itu pimpinan yang paling tinggi hanya komandan
tingkat kecamatan, maka tidak bisa menentukan sikap menanggapi banyaknya pamplet, sebab
sudah sering adanya propaganda pihak lawan, sehingga tidak diambil pusing oleh para mujahid.
Hanya kurang lebih dua bulan sesudah menerima pamplet, para mujahid di daerah itu didatangi
rombongan dari Jawa Tengah ujung timur daerah Gunung Slamet yang kebetulan di antaranya
ialah H.Ismail Pranoto (Hispran), Panglima Divisi NII Jawa Tengah. Datang ke daerah perbatasan
Jawa Barat itu bermaksud mengecek pamlet-pamlet guna meyakinkan sebenarnya.
Sesudah dua bulan lamanya Hispran bersama mujahid di daerah itu, datang pula beberapa orang
dari anak buah Hispran sendiri. Di antaranya, Miftah, Abu Kisno, Rakun, Sahwad, dan Saki.
Sesampainya mereka di bukit Gunung Kumbang tepi Sungai Cigorek, menghadap kepada Hispran
maksudnya memberi informasi bahwa pasukan pak Hispran yang di gunung Slamet sudah turun
193
ke Tegal (maksudnya ke masyarakat). Beberapa macam informasi yang disampaikan oleh kawan-
kawan mereka yang sudah menyerah di Jawa Barat, di antaranya Nasrun yang pertama kali
datang. Satu kali, dua kali, dan ketiga kalinya ditembak, sebab mengajak turun menyerah.
Pasukan mujahidin memang siap menembak siapa saja yang memerintahkan menyerah. Walau
begitu, beberapa lama lalu Nasrun mengajak turun lagi merayu pasukan pak Hispran.
sesudah tidak mempan dengan cara pamplet dan speker, akhirnya Nasrun itu datang waktu
subuh, ia lolos dari tempat penjagaan. lalu sesudah ia tiba di hadapan para mujahid ia
bersumpah: ” Demi Allah saya datang ke sini lillaahi ta’alaa. Saya mau ditembak terserah,
diapakan terserah, saya datang ke sini bahwa Kartosoewirjo dalam keadaan Cease Fire dan
berunding. Mungkin Indonesia dalam perundingan bisa menjadi negara Islam, atau setidak-
tidaknya indonesia dibagi dua, NII dan RI .
Sebagian mujahidin pada bingung, bimbang sesudah mendengar persaksian ini. Akhirnya,
mujahidin yang didatangi Nasrun itu, berijtihad. sesudah bermusyawarah akhirnya
mengemukakan kepada Nasrun:’Kalau memang telah terjadi Cease Fire, coba buktikan: “Satu,
kami minta dijemput oleh satu kompi TNI di Desa Kebantingan, Kecamatan Margasari,
Kabupaten Tegal. Kedua, senjata TNI ujungnya kebawahkan sebagai ciri damai. Ketiga, Tidak ada
tanda-tanda perampasan apapun. Dan keempat kami tidak dipisahkan, tidak dipencar-pencar”.
Hal demikian dikabulkan oleh Nasrun. Pada jam-jam yang sudah ditentukan di Desa Kebantingan
Kecamatan Margasari itu pasukan TNI hanya satu kompi. Pasukan Hispran pada waktu itu ada
satu resimen. Dan yang turun pada waktu itu, senjata brennya ada sepuluh, biasanya bila satu
bren itu sepuluh senjata ringan. Pada waktu yang ditentukan, betul di Desa Kebantingan
dijemput, ujung senjata dikebahwahkan dan tidak ada perampasan apapun. lalu pasukan
tidak ada yang dipencar, laki-laki, wanita disamakan ke Tegal, ke Panggungan , asrama TNI.
sesudah di sana selama satu minggu pasukan-pasukan tidak ada yang dilucuti senjatanya, anak-
anak seperti saudara, Bajo yang tadinya dari Batalion 426, Marjuki dan Kholil ke pasar itu bawa
senjata seperti TNI, belanja dan segala macam.
Demikianlah inti informasi yang disampaikan oleh lima orang anak buah Hispran sebagaimana
yang telah disebutkan tadi di atas. Hispran, sebab sebagai Panglima Divisi, lain lagi
sinyalemennya, dia tidak menanyakan cara bertele-tele. Cukup dengan analisa bahwa mereka
tidak melucuti senjata pasukan yang turun ke kota itu, sebab merayu Panglima Divisi-nya
(Hispran). Selama satu minggu pasukan yang sudah di kota Tegal itu belum mengetahui
sebenarnya mau diapakan. Mereka mengutus lima orang untuk memberi informasi kepadanya
bahwa pasukan sudah ada di kota Tegal.
194
sesudah menerima laporan itu Hispran mengumpulkan pasukan termasuk Kastolani, H. Anas,
Komandan Batalyon merangkap Komandan kompi. lalu Hispran berpidato dihadapan
pasukan,” Ini tipu muslihat musuh. Saya tidak diajak oleh Kartosoewiryo jihad bersama-sama
kalau terdesak lalu damai, tidak pernah ! Jadi, kalian mau turun terserah, turun kembali, mau ikut
saya terserah, saya cukup dengan Allah dan malaikat-Nya. Kalau kalian tidak mau ikut saya, kalian
mau kembali silahkan”. lalu Hispran memberi beberapa kalimat amanat atau nasihat-
nasihat dari Kartosoewiryo, sewaktu Hispran dipanggil menghadap Imam pada tahun 1959, yang
waktu dihadiri oleh para panglima lainnya. Adapun amanat Kartosoewiryo itu diantaranya ialah:
Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan.
Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima. Mudjahid djadi luar
Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid.
Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui Strategi
dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi kelandjutan tetap
berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia.
Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang tertinggal
hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi Imam.
Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan terus
berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT.
Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila masih ada,
walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang satu itu untuk menggigit.
Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun.
sesudah Hispran menjawab demikian, dan menyampaikan sebagian amanat- amanat Imam
S.M.Kartosoewirjo, maka pasukan yang lima orang yang tadi turun di kota Tegal itu akhirnya
kembali lagi bersama Hispran. Tahun 1963-1964 di antara yang lima itu empat orang sudah Syahid.
Washijat ini membangkitkan ruhul jihad, sehingga mereka yang sudah turunpun
mengurungkan niatnya dan kembali berjihad, apalagi yang masih bertahan di gunung,mereka
semakin teguh dalam perlawanannya.
lalu sesudah nyata-nyata Hispran tidak mau menyerah, maka lain lagi bentuk kalimatnya,
yakni bukan Sease Fire lagi, melainkan sifatnya sudah merupakan ancaman dari mereka yang
sudah turun menyerah. Di antara yang menandatanganinya waktu itu kiayi Maskur yang dari
Kebumen, bekas KW.- Ks-nya Hispran. Mereka memberi ancaman: “Jika kalian tidak turun,
kami akan kerahkan seluruh kekuatan kawan-kawan yang sudah turun dan segala alat negara
195
akan kami kerahkan”. Maksud mereka untuk menghancurkan yang masih bertahan. Kurang lebih
pasukan NII pada waktu kejadian itu ada seratus orang. lalu pasukan diatur, maksudnya
mencari tempat yang lebar dan mengatur siasat. Mujahid yang seratus itu dibagi-bagi supaya
menghilangkan jejak. Pasukan dibagi-bagi dalam grup-grup yang kecil, dan ada yang terdiri tiga
orang. Secara kebetulan di antara yang terdiri dari tiga orang itu tatkala akan pergi ke perbatasan
Jawa Barat, di perjalanan bertemu dengan “pagar betis”. Dalam pikiran yang tiga orang pada
waktu itu jelas bahwa Cease Fire itu ada, nyatanya musuh hanya jarak dua meter dengan pasukan,
mereka tidak menembak. sesudah musuh tidak menembak maka, pasukan pun tidak menembak,
sebab bawa rombongan di belakang, ditambah lagi dugaan barangkali itu itu Cease Fire, hanya
pasukan ingin mencari kejernihan informasi dari Jawa Barat. Rombomgan para mujahid
berpencar-pencar selama tiga bulan. lalu pasukan pulih kembali sesudah tahun 1963.
sesudah terkoordinir kembali lalu pasukan dipimpin oleh Kastolani, sebab Haji Anas dan
Miftah telah gugur.
Mungkin sebab keilmuannya belum masuk bagi salah seorang pasukan pada waktu itu, yang
ingat pada dirinya cuma bai’at, bahwa dalam bai’at pada point tiga disebutkan ” Saya sanggup
berkorban dengan jiwa, raga dan nyawa saya serta apapun yang ada pada saya, berdasar
sebesar-besar taqwa dan sesempurna-sempurna tawakal ‘alallah, bagi mentegakkan Kalimatillah,
li-I’lai Kalimatillah, dan mempertahankan berdirinya Negara Islam Indonesia; hingga hukum
Syari’at Islam seluruhnya berlaku dengan seluas-luasnya dalam kalangan Umat Islam Bangsa
Indonesia di Indonesia,: a. mentegakkan kalimatillah. Yang jika disimpulkan dengan Qur’an surat
8 ayat 39 yang bunyinya:”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (gangguan-
gangguan terhadap Hukum-hukum Allah) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah
(tegaknya hukum Islam secara sempurna dan lenyapnya kebathilan), maka sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. Maka Ridwan salah seorang dari mujahid yang pernah
melihat Pagar Betis tidak menembak, bertanya kepada Abu Kisno,” Mana yang benar, apakah
mereka yang mengatakan adanya Cease Fire ataukah kita”? Abu Kisno menjawabnya,”Kita yang
benar !” Disambut oleh Ridwan,”Jika kita yang benar biar kita jadi ‘lutung’ dari pada turun
gunung”, maksudnya apapun risikonya bertahan saja di hutan melanjutkan jihad jangan
menyerah kepada musuh.
Sehingga pada waktu itu betul, ancaman ultimatum itu terbukti. Tidak ada tempat tanah yang
bisa ditempati, semua kena operasi musuh. Mungkin sebab kebodohan atau wallaahu’alam
sehingga yang tadinya menjadi mujahid mengoperasi mujahid pula. Sehingga selama dua tahun
itu dalam darurat sungguh berat, sulit air untuk bisa mandi, untuk minum saja sampai potong
196
bogol pisang dan dilobangi. Memotong –motong areuy dan dedaunan, berbulan bulan tidak
bertemu dengan nasi.
Disebabkan jihad mesti terus berlanjut, namun bagaimanapun harus mengurangi risiko, Para
mujahid bemusyawarah untuk menghindari musuh, Hispran mencari basis ke Yogya, maksudnya
akan selam, menyilamkan seluruh pasukan yang ada di Jabal, Hispran mengatur komunikasi
antara pasukan yang dibawa ke Yogya dan pasukan yang ditinggalkan bersama Kastolani.
Hispran membawa beberapa orang pengawal, di antaranya Hanif, Safri, Nahdhor, Sahwad dan
Muhtar. Sesudah itu selama dua bulan di Yogya tidak ada komunikasi antara Jabal dan Hispran.
Menerima informasi terakhir, bahwa Hispran sudah menemui beberapa orang kiayi, mereka
sanggup menempatkan pasukan yang berada di Jabal itu. lalu Hispran mempunyai basis di
daerah Klasan Kaliurang antara jalan yang ke Boyolali dan ke Kaliurang. Pasukan punya basis di
sana sampai tahun 1964. Akan namun , kebetulan penghubung yang diutus menyampaikan
informasi ke pasukan di Jabal, ada yang gugur dan ada yang menyerah memberi informasi
kepada musuh bahwa Hispran berada di Yogya, maka tempatnya digerebeg , dioperasi. Yang
menyerah tadi itu Nahdhor bekas pengawal Hispran sendiri yang dari Kecamatan Bantar Kawung.
Pada waktu itu para mujahid tidak ketinggalan masalah penghubung untuk mengetahui keadaan
lawan sampai dimana, sehingga Hispran bisa menyelamatkan diri, waktu digerebeg sudah ke
Sumatera. Di Sumatera Hispran bergerak idhar, sebab beda nama, terkenalnya ialah Kiayi
Maksum, tidak diam operasi mencari basis hingga bertemu dengan Rivai yang dulunya pasukan
Amir Fatah, Hispran tidak mengalami kesulitan. sesudah di sana putus dengan pasukan, sebab
ada yang menyerah. namun , Alhadulillah, tutur seorang yang pernah mengikutinya, Hispran
waspada sebelumnya dengan berpesan,”Kalau kalian putus hubungan dengan saya, tentukan
gerakan menurut ijtihad kalian, tidak usah menunggu komando dari saya”. Sebab, tahun 65-an
digambarkan olehnya akan ada probahan di RI. Nyatanya, betul tanggal 30 September ada
gerakan PKI. Dan yang tidak lepas dari rombongan pasukan yaitu radio meski beritanya dari
musuh, tapi kebetulan ada suara dari Radio Suara Indonesia Bebas yang mungkin dari Aceh , dan
Radio Suara Mujahid dari Sulawesi Selatan. Dengan situasi demikian menurut Kastolani dan
pasukannya bahwa gerakan harus idhhar. Maka gerakan yang tadinya bersifat dipensif,
bersembunyi, selam, akhirnya tahun 1965 itu idhar gerakan jadi menghancurkan PKI dengan
rakyat-rakyat yang berada didaerah basis pasukan. Kastolani terbuka kepada masyarakat dan
menyatakan,” Kami yaitu pasukan Kastolani yang ada di Jabal”. Tapi tanggapan dari musuh
untuk menyedikitkan atau melemahkan Kastolani, dipropagandakannya, ”bahwa itu PKI yang lari
ke Jabal dan Kastolani sudah tidak ada”, dihadapan umum sambil TNI itu beroperasi. Namun,
pada tahun 1965 itu beberapa daerah PKI yang tidak bisa dihancurkan oleh rakyat, pasukan
197
Kastolani menghancurkannya. Mujahid pada waktu itu tinggal dua belas orang dari yang seratus
orang pada tahun 1962, ada yang Syahid, meninggal dan macam-macam lainnya.
Dari gerakan idhar itu akhinya rakyat yang pernah putus kumunikasi pun daerahnya bisa dijadikan
basis. Gerilya jarang di Jabal lagi. Gerilya kebanyakan di Masyarakat. Sehingga ukuran ekonomi
boleh dikatakan jauh berbeda dari masa yang sudah lalu, baik itu dalam hal makan, maupun alat-
alat, yang biasanya peluru untuk satu orang cuma 10 atau 15 butir, namun sewaktu idhar gerakan
menjadi tidak kekurangan bahkan sampai tidak terbawa sehingga harus disembunyikan atau
dititipkan kepada rakyat di daerah basis. lalu pasukan mujahid itu malah bisa menjamin
rakyat yang lemah, dijadikan rahmat. Mujahid operasi kepada musuh, rakyat bisa mengenyam.
lalu pada tahun 1967 para mujahid itu kena tipu, sebab kekurangan pemberitahuan
sehingga tidak tahu informasi keadaan yang sesungguhnya. Pada tahun itu dihubungi oleh yang
bernama Khairuddin, bekas Bupati NII Purwokerto yang istrinya orang Salem Sadiyah. Khairuddin
bercerita,”Kalian harus tinggalkan ini Jabal, ini sudah tidak memungkinkan lagi. Bukan untuk
menghentikan jihad. Jihad tetap, namun hanya ada tiga tempat yang kemungkinan kalian bisa
tempati, bisa pilih apakah nanti ke Sulawesi, sebab pasukan Kahar Muzakar pun masih punya
daerah-daerah basis di masyarakat. lalu apakah ke Aceh, sebab Daud Beureuh juga punya
daerah otonomi. lalu apakah langsung dengan Siliwangi sebab Siliwangi separohnya
sudah NII”. Dengan kalimat-kalimat itu mungkin Kastolani dan Zaenal Asikin sebagai Camat Darul
Islam itu kena rayu juga tidak kontrol, wallaahu’alam, kata seorang pasukan yang tidak diajak
berunding. Dengan demikian itu diaturlah rombongan dari yang ada 12 orang itu, diberangkatkan
dari Jawa Tengah menuju Bandung empat orang untuk mengetahui situasi. Sesampainya di Kota
Bandung dijemput oleh Fajri, bekas Resimen Cilacap NII, dan dibawa olehnya ke rumah Kadar
Solihat, Jalan Kancra XI No.13. Keempat orang itu yakni, Mumtahar, Ridwan, Zaenal Asikin dan
Tarmunah, istrinya Zaenal Asikin. Mereka tidak mau keluar dari rumah, sebab menyangka
sekedar bersembunyi sebab sudah biasa bila dalam bergerilya di masyarakat harus demikian. Di
tempat itu bertemu dengan Tahmid, putranya Kartosoewiryo, Djadja Sudjadi. Keempat mujahid
dan mujahidah tidak tahu mau dibawa kemana. Akhirnya, sesudah satu minggu mereka itu dibawa
ke Brigif 13 Tasikmalaya oleh Kadar Solihat. Waktu itu komandan brigifnya Kolonel Suprapto,
Komandan Camp-nya Mayor Ilyas, Kapten Siswadi. saat masih di rumah Kadar Solihat belum
merasa ditipu. Merasa ditipu itu sesudah diserahkan ke Brigif 13 Galuh Tasikmalaya, dan
dimasukkan ke sel , saat mau ambil air wudhu dikawal dengan senjata otomatis, sampai mau
shalat pun dikawal dengan geren. Hal itu terjadi pada bulan September 1967, artinya tidak semua
mujahid menyerah (perhatikan Q.S.33: 23).
198
Sementara itu Kastolani di Jawa Tengah belum mengetahui hal yang menimpa keempat anak
buahnya yang diutus ke Bandung. Kira-kira dua minggu sesudah kedatangan Abdullah dan
Khairuddin atau seminggu sesudah empat mujahid dan mujahidah tadi ditangkap, datang lagi
Khairuddin mengantar Kadar Sholihat bersama Sam’un, bekas komandan kompi TII di Jawa Barat,
disertai tiga orang TNI yang menyamar dengan pakaian preman yang sebelumnya tidak diketahui
oleh Kastolani pada masing-masing pinggangnya terselip pistol. Dalam pembicaran waktu itu
Kastolani bertanya kepada Kadar Sholihat, apakah hal ini tidak memakai sarana musuh
(maksudnya tidak diketahui musuh)? Kadar Solihat meyakinkan bahwa tugas mereka akan
dimutasikan dalam rangka melanjutkan perjuangan. Kastolani mempercayainya, sebab ingat
pesan dari Ismail Pranoto (Hispran) yang berusaha menyediakan tempat di Sumatera, dan inilah
dianggap hasilnya. Selain itu juga Kastolani pada waktu itu percaya bila Siliwangi separohnya
sudah NII, sehingga tidak curiga saat diperintahkan naik pickup oleh Kadar Solihat. Maka
Kastolani,Tamdjid, Tami, Ahmad, Zaenudin, Rahmat, Rusmi (istrinya Rama, dan tiga mujahid
lainnya naik ke atas pickup. Rombongan Kastolani, bersama kelima orang penjemput
meninggalkan Brebes. Kastolani baru sadar dirinya ditipu takala pickup yang ditumpanginya itu
masuk ke markas Brigif 13 Galuh Tasikmalaya.
Dari sekian mujahid yang diinterogasi yaitu Kastolani dan Ridwan. Kastolani diinterogasi
mungkin sebab sebagai komandan keseluruhan. Sedangkan Ridwan diinterogasi mungkin
dianggap yang paling bisa membuka rahasia, sebab yang paling muda usianya. Maksud TNI
menyudutkan para mujahid. Yang ditanyakan di antaranya:
Dasarnya apa kamu jadi Darul Islam? Mengapa kamu tidak turun menyerah dan dimana saja?
Begitulah pokok pemeriksaan. “Tapi alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, mujahid
menjawab sebagaimana mestinya seorang kader. Betapapun beratnya siksaan ketiga
diinterograsi ini , mereka tetap istiqamah, mereka berkeyakinan bahwa dalam tekanan
bagaimanapun tetap harus bisa menyelamatkan tiga hal : Pertama, pemimpin sesuai dengan
bai’at point ke 6. Kedua, perjuangan. Ketiga, kawan. Sebab, diselamatkan kawan, berarti
menyelamatkan perjuangan. Demikian tutur dari seorang mujahid yang diperiksa pada waktu itu.
lalu sesudah selama dua bulan di Tasikmalaya diperiksa, mungkin dianggap tidak selesai,
maka dibawa ke Bandung ke Jalan Sumatera.
Bila di Jawa Barat jihad Islam itu hancur sebab disusupi musuhnya, akibat membuka akses
informasi terhadap orang yang telah menyerah. Tanpa proses hukum lebih dahulu langsung
mengangkat Ali Murtado (lihat Bab VIII) sebagai penghubung di kota. Maka di Jawa tengah
mujahid yang tersisa, pasukan perlawanan yang masih bertahan berhasil diangkut ke kota,
199
tertipu oleh kemanisan mulut Nasrun, yang sebelumnya telah berkali kali meminta mujahidin
untuk menyerah. Seharusnya sesuai dengan amanat Imam, mereka yang mengajak menyerah
haruslah ditembak -sebab berarti dia iblis- bukan sekedar diancam mau ditembak tapi tidak jadi.
Kekeliruan ini berlanjut dengan “menerima kesaksian” Nasrun, sang pengkhianat itu, bahwa
keadaan sudah cease fire. Bukannya menyelidiki berita orang fasik ini (lihat Q.S. 49 : 6), malah
mujahidin itu meminta sipengkhianat untuk membuktikannya. Terbukalah kesempatan bagi
Nasrun untuk membuat sandiwara cease fire tadi, dan siasat licin ini berhasil dijalankan TNI untuk
menghentikan perlawanan suci mereka.
Di sini pun kita melihat persekongkolan kotor orang orang yang telah menyerah, untuk
membawa para mujahid yang masih istiqamah berjuang. Nyatalah washijat Imam tahun 1959,
bahwa mujahid yang telah ingkar itu lebih berbahaya dari pada Iblis, sebab pengkhianat itu
memiliki akses informasi ke jaringan Jihad, sedangkan musuh tidak. Dan akses ini bukannya
disyukuri dan dimanfaatkan untuk mengkoordinasikan jihad, dasar mentalnya sudah busuk,
malah digunakan untuk menggusur mereka yang masih berjihad. Na’udzubillah.
DARUL ISLAM SULAWESI SELATAN
Di Sulawesi Selatan meletus pula suatu perlawanan terhadap Republik Indonesia. Para mujahid
di daerah itu menggabungkan diri ke dalam Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan
Kartosoewirjo. Perlawanan rakyat terhadap Republik di Sulawesi dipimpin oleh Kahar Muzzakar.
Dengan dimulainya perlawanan di daerah ini sangat mempengaruhi bagian-bagian luas lainnya di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk mengadakan perlawanan selama bertahun-tahun.
Abdul Kahar Muzakkar lahir pada tanggal 24 Maret 1921 di Desa Lanipa dekat Palopo, Distrik
Ponrang, Kabupaten Luwu, di pantai barat laut Teluk Bone. Pada saat kanak-kanaknya dia lebih
dikenal oleh keluarga dan masyarakat di desanya dengan nama La Domeng. Adapun orang
tuanya bernama Malinrang yaitu seorang petani yang cukup mampu dan tergolong pada
aristokrasi rendah. Dengan kedudukan dan kemampuan orang tuanya, saat usianya sudah
mencapai tujuh belas tahun ia dikirim ke Surakarta untuk belajar di sebuah sekolah Perguruan
Islam (Kweekschool Muhammadiyah), dari tahun 1938 sampai tahun 1941. Pada masa-masa
pendidikannya dia tergolong anak yang cerdas dan supel dalam pergaulan. Oleh sebab itu dia
begitu aktif di berbagai kegiatan organisasi yang dibuka oleh Perguruan Islam ini ,
diantaranya ialah menjadi salah seorang pemimpin lokal Pemuda Muhammadiyah di Hizbul
Wathon, gerakan kepanduan Muhammadiyah. Kegiatan ini dilakukannya sampai mendaratnya
Bala Tentara Kerajaan Jepang. Pada awal pendudukan Jepang dia bekerja sebagai pegawai
Nippon Dohobu di Ujungpandang, namun tak lama lalu ia berhenti.
200
sesudah menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke daerah asalnya, Kahar Muzakkar bentrok
dengan kepala-kepala adat setempat sebab pengaruh faham modernisme Islam yang
dibawanya. Dampak dari kritikan yang dilancarkan oleh Kahar itu telah membawa dirinya kepada
satu pertentangan terbuka dengan pihak kepala adat. Akibatnya timbullah kemarahan pada
sebagian kepala adat, dan dari kemarahan itu selanjutnya beralih kepada tuduhan kepada Kahar
Mudzakkar yang mana telah menghasut terhadap kepala-kepala. Menurut kepala adat, Kahar
telah "mengutuk sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan dan menganjurkan
dihapuskannya aristokrasi". Oleh sebab itu resiko yang diambil Kahar yakni dibuang dari pulau
itu—atau secara lebih tepat diasingkan untuk seumur hidup — selanjutnya Kahar Muzakkar
kembali ke Surakarta pada tahun 1943. Dan mulailah dia membuka hidup baru. Ia yang
didampingi oleh isterinya membuka sebuah perusahaan yang diberinama "Usaha Semangat
Muda", selanjutnya menjadikan Jawa sebagai tempat tinggalnya.
saat proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Sukarno, dimana
memanggil segenap pejuang untuk membela dan mempertahankannya. Dia pun turut serta
dalam perjuangan kemerdekaan ini , dan di dalam perjalanan perjuangannya itu dialah
salah seorang barisan pengawal Soekarno, saat Soekarno menyampaikan salah satu pidato
rapat umumnya di lapangan Merdeka di Jakarta pada tanggal 19 September 1945. Tentang
pertemuan ini Kahar Muzakkar sendiri membanggakan dirinya bahwa dia yaitu satu-satunya
orang — saat itu ia hanya bersenjatakan golok — yang siap melindungi Soekarno dan
Mohammad Hatta — dengan melingkari mobil yang di kendarai oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta — terhadap bayonet serdadu Jepang yang berusaha membubarkan pertemuan.
Begitulah Kahar Muzakkar dengan darah Makasarnya telah muncul ke pentas nasional sebagai
seorang tokoh yang berwatak pemberani dengan daya tarik pribadi yang besar. Pada dirinya
terdapat "keberanian yang nekat dalam pertempuran, ketangkasan yang tiada taranya dalam
memakai senjata dan dalam olahraga, dan kecerdasan yang tajam, disertai prakarsa
cemerlang yang nyerempet-nyerempet", sedangkan "kemampuannya untuk menggerakkan
massa oleh pidato-pidatonya bolehlah dibandingkan dengan kemampuan Soekarno ...."
Sesudah proklamasi kemerdekaan Kahar Muzakkar menjadi salah seorang pendiri suatu
organisasi pemuda dari Sulawesi yang menetap di Jawa, Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi
(Gepis). Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1945 Gepis berfusi dengan suatu organisasi gerilya
lain yang terdiri dari pemuda Sulawesi juga, yaitu Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS).
sesudah penggabungan dua organisasi ini, maka dihasilkan satu kesepakatan untuk membuat
nama baru yaitu Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
201
Dalam sebuah rapat yang diselenggarakan KRIS, Kahar Muzakkar diangkat menjadi sekretaris
pertama KRIS, dan dalam kedudukannya ini dia ditugaskan untuk mendirikan cabang-cabang
KRIS di Jawa Tengah dan Jawa Timur. berdasar penelitian yang dilakukan oleh Harvey,
mayoritas yang turut dalam KRIS yaitu pemuda yang datang dari Minahasa, bagian timur laut
Semenanjung Sulawesi. Dan sebagian besar rakyat dari Minahasa dan Manado ini
beragama Kristen, dan tergolong salah satu kelompok etnis. Sebelum terjadinya Perang Dunia
Kedua, di daerah Jawa inilah Tentara Kolonial Hindia Belanda (KNIL) banyak merekrut
serdadunya yang didatangkan dari sana, sebab pertautan dengan rezim kolonial Belanda ini pula
orang Minahasa dan Manado dicurigai bersikap pro Belanda atau bekerja sebagai kaki tangan
Belanda, sehingga mereka merasa dirinya dalam suatu lingkungan yang bermusuhan. Oleh
sebab itu, mereka bentuk KRIS dengan maksud untuk membela diri dan memperlihatkan
kesediaan mereka bertempur melawan Belanda di berpihak kepada Republik. Organisasi yang
serupa juga didirikan oleh orang dari Ambon yang berdiam di Jawa, seperti Angkatan Pemuda
Indonesia (API) Ambon dan Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Khusus untuk KRIS sebab
pertautan KNIL-nya memperoleh nama sebagai kesatuan militer yang terorganisasi baik dan
berdisiplin.
sesudah lepas dari organisasi KRIS, Kahar Muzakkar mempunyai peranan sangat penting dalam
membentuk Batalyon Kesatuan Indonesia (BKI) pada akhir bulan Desember 1945, selanjutnya
aktif pula dalam mengatur penyusupan para pejuang ke Sulawesi—Belanda saat itu telah
menegakkan kembali kekuasaannya di Sulawesi—dengan memakai perahu dari Jawa.
Adapun pasukan yang tergabung dalam Batalyon Kesatuan Indonesia yang dipersiapkan oleh
Kahar yaitu terbentuk dari orang-orang yang berasal dari pulau-pulau seberang yang
dipenjarakan di Nusakambangan Cilacap. Dengan melalui keterlibatannya para tahanan ini
banyak yang dibebaskan dan selanjutnya kepada mereka diberi latihan militer secara singkat.
Menurut beberapa sumber, awalnya batalyon ini ditugaskan sebagai pengawal Presiden
Soekarno pada waktu Pemerintah Republik pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, namun lalu
ada perubahan nama menjadi "pasukan gerak cepat Penyelidik Militer Khusus (PMC)" yang
dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis di Yogyakarta. Akan namun pembentukan pasukan ini hanya
berlangsung beberapa bulan saja. Pada tanggal 24 Maret 1946 Kahar Muzakkar mendapat kuasa
penuh dari Panglima Tentara Republik Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik
Indonesia Persiapan di Sulawesi (TRIPS). Adapun untuk membentuk pasukan ini Kahar
Muzakkar banyak mengambil pasukannya dari yang telah tergabung sebelumnya dalam BKI.
Untuk menjalankan tugas ini Kahar Muzakkar mulai mengatur penyusupan ke Sulawesi Selatan
dengan memakai perahu layar. Pada mulanya ekspedisi pasukan ini berjalan lancar, kurang
202
lebih ada sepuluh ekspedisi dikirimkan dari Jawa oleh TRIPES dengan jumlah 1200 orang prajurit
sudah dikirimkan selama tahun 1946 dan lebih terutama ekspedisi yang keempat dan keenam
yang kelak menjadi bagian penting bagi perkembangan sejarah. namun sesudah 1946, kegiatan
penyusupan benar-benar terhenti. Yang menjadi penyebabnya yaitu sebab penyusupan
digagalkan oleh taktik anti kekacauan Belanda yang digunakan Westerling oleh sebab nya
harapan bagi pasukan Republik di Sulawesi agak suram. Sebagian besar pejuang gerilya yang
datang dari Jawa tertangkap atau terbunuh. Sisanya kembali ke Jawa. Begitu juga yang dialami
para pejuang setempat yang tidak pernah meninggalkan Sulawesi pun menderita pukulan hebat
sebab aksi-aksi Westerling ini .
Sementara itu orang-orang Sulawesi yang berdomisili di Jawa, terus melakukan perlawanannya
dalam bertempur dengan Belanda. Dan dalam masa perjuangan ini nama dan kedudukan TRIPES
beberapa kali mengalami perubahan. Pada bulan November tidak lama sesudah diadakannya
perjanjian Linggarjati, namanya berubah menjadi Lasykar Sulawesi. Bersamaan waktunya, saat
itu Kahar Muzakkar dan anak buahnya yang sedang berjuang di Madiun membentuk pasukan
penggempurnya sendiri, Barisan Berani Mati (BBM), mereka diambil dari prajurit-prajurit TRIPES
yang terbaik, dan dalam teori juga terdapat cabangnya di Sulawesi.
Pada bulan Juni 1947 Tentara Republik berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam kedudukan yang barunya, Kahar Muzakkar diberi tugas mengkoordinasi satuan-satuan
gerilya di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara—sesungguhnya, seluruh daerah
seberang. Disamping itu pula, dia ditugasi membina kader militer di daerah-daerah ini; usaha ini
pada tahun-tahun 1946 dan 1947 gagal sebab aksi-aksi Westerling. Kahar Muzakkar dalam hal ini
memulai dengan awal yang baik dengan mengirimkan dua perwira stafnya—Saleh Sjahban
(Saleh Syahban) dan Bahar Mattaliu—ke Sulawesi untuk mengadakan hubungan dengan
pasukan-pasukan gerilya yang tersisa di sini bahkan sebelum pengangkatannya Oktober.
lalu pada tanggal 17 Agustus 1949, dibentuklah Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS)
oleh Saleh Sjahban dengan tujuan mempersatukan demikian banyaknya pejuang yang terpencar
dan terpencil yang beroperasi sendiri-sendiri di daerah itu.
Kahar Muzakkar sendiri tiba di Ujungpandang 22 Juni 1950. Selama beberapa hari sesudah
kedatangannya, dia melakukan wawancara dengan Kawilarang lalu melakukan kunjungan
singkat ke Sulawesi Selatan untuk berusaha meyakinkan para pejuang agar menerima syarat
yang diusulkan Tentara Republik, "mereka diakui sebagai prajurit dulu, dan rasionalisasi
seyogyanya barulah dijalankan sesudah itu". Syarat ini, menurut Harvey sejalan dengan
kompromi yang sebelumnya diajukan para pemimpin KGSS sendiri. namun sekembalinya dari
203
perjalanannya, Kahar Muzakkar mengajukan usul balasan yang diinginkan oleh para pejuang .
Mereka menghendaki agar jumlah pejuang yang akan diterima mencapai sedikit-dikitnya
kekuatan satu brigade. Disamping itu, Kahar Muzakkar dan para pejuang ini menghendaki
mereka membentuk brigade tersendiri, tidak terpencar dalam sejumlah satuan yang berbeda-
beda.
Usul KGSS itu ditolak oleh Kawilarang dalam suatu pertemuan dengan Kahar Muzakkar pada
tanggal 1 Juli 1950. lalu Kawilarang mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan, dan pada hari yang sama melarang semua kegiatan yang
berkaitan dengan pembentukan organisasi gerilya baru, menurut Kawilarang, sebab masa
integrasi pejuang ke dalam Tentara telah berakhir. Pada Agustus Kawilarang menyatakan, 70%
pejuang telah memasuki Tentara, dan hanya 30% yang menolak melakukan demikian, lalu
dia memperingatkan terhadap yang belakangan ini Tentara akan bertindak.
saat mendengar reaksi Kawilarang atas usul-usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar
menyatakan mengundurkan diri dari Tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima.
Beberapa hari lalu dia masuk hutan. Dalam fakta yang sesungguhnya, dia diculik KGSS,
atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasar
perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Kahar Muzakkar diam-diam.
Kahar Muzakkar mengintruksikan para pejuang lain untuk mengabaikan larangan yang
dikeluarkan oleh Kawilarang tentang KGSS. Oleh sebab itu KGSS terus berfungsi walaupun
sekarang sebagai organisasi ilegal. Seluruh keadaan menjadi lebih ironis, beberapa bulan
ketegangan berkelanjutan dengan pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI dengan
pasukan Kahar Muzakkar.
berdasar keterangan resmi Tentara yang dikeluarkan oleh Letnan Kolonel Kosasih, Kepala
Staf Tentara Republik untuk Sulawesi Selatan, Tentara memutuskan melancarkan serangan
terhadap kaum pejuang sebab barisan mereka telah disusupi penjahat-penjahat. Tudingan yang
demikian kerap dilontarkan oleh Tentara Republik dengan maksud memojokkan setiap orang
yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Republik, dan terus menentangnya.
sesudah adanya sikap keras Tentara yang tidak kenal kompromi ini berbuntut panjang. Kini di
kalangan sipil di Sulawesi Selatan sendiri maupun di Jakarta tidak sependapat dengan sikap yang
diambil oleh Tentara. Mereka berpendapat, bahwa pada setiap pejuang ada sifat patriotismenya.
Namun oleh kalangan Tentara dianggapnya sebagai gerombolan pengacau. Ditambahkannya,
sesungguhnya di Sulawesi Selatan lebih banyak terdapat simpati terhadap kaum pejuang,
dimana mereka banyak yang diberi makanan oleh penduduk desa, ketimbang terhadap Tentara
204
Republik. Mengenai dukungan rakyat setempat ini Andaya menulis: "Sejak semula benar, Kahar
dan para pejuang mendapat dukungan luar biasa dari rakyat setempat yang memperlihatkan
simpati yang besar dengan penderitaan mereka ini", dan "mereka anggap kehadiran pasukan-
pasukan orang Jawa, pemimpin-pemimpin pemerintah, dan unsur-unsur kebudayaan Jawa di
pantai mereka, sebagai penghinaan terhadap rakyat Sulawesi, padahal rakyat Sulawesi telah
demikian banyaknya menyumbang harta dan darah sehingga mengalami penderitaan yang amat
sangat untuk memperoleh kemerdekaan dari Belanda".
Begitu juga ada indikasi kuat yang menyatakan bahwa, Tentara Republiklah yang menyebabkan
terjadinya pertempuran sebab menduduki pangkalan-pangkalan gerilya. Hal ini pula yang
memperkuat kecurigaan para pejuang mujahidin. Dari pihak pejuang menyatakan, sesungguhnya
mereka mengundurkan diri ke hutan untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah, dan
mereka hanya membalas dan bertempur dalam keadaan terpaksa. Para pejuang sendiri
sebenarnya lebih menginginkan jalan kompromi dalam menyelesaikan kemelut yang ada. Pada
bulan September Kahar Muzakkar memberitahukan, tuntutan menghendaki Brigade
Hasanuddin dan dia sendiri yang menjadi komandannya bukanlah tuntutan yang mutlak. Dalam
hal masuknya Kahar Muzakkar sendiri beserta anak buahnya kedalam Tentara, dia sama sekali
bersedia menyerahkan kepada Tentara berapa jumlah tepatnya dan siapa yang tetap dan siapa
yang akan di demobilisasikan. Pendirian sikap ini jelas-jelas dikatakan oleh seorang juru bicara
pejuang pada akhir Oktober. Juru bicara ini menekankan, perbedaan antara Tentara Republik
dan pejuang bukanlah perbedaan prinsip atau ideologi. Satu-satunya masalah yang tetap harus
diselesaikan ialah masalah integrasi Brigade Hasanuddin ke dalam Tentara Republik. Begitu
masalah ini dapat diselesaikan, demikian dikemukakannya, para pejuang bersedia memasuki
batalyon "depot" dan akan mematuhi perintah para atasannya sebagai prajurit yang setia.
Bukti sebagai syarat yang jelas akan kesetiaan mereka bahwa para pejuang membantu Tentara
dalam bulan Mei dan Agustus. Oleh sebab itu ada permintaan dari banyak kalangan untuk
berusaha mencari penyelesaiannya dengan cara damai. Suatu resolusi yang mendesak
Pemerintah untuk tidak memakai kekerasan disampaikan oleh dua puluh dua partai politik
dan organisasi Sulawesi Selatan, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas prakarsa fraksi
Kerakyatan. Di samping itu, pada 18 Agustus, sebuah Panitia Jasa Baik dibentuk penduduk
setempat yang terkemuka. Panitia ini diketuai Jusuf Bauti, anggota Dewan Pemerintah Daerah
Sulawesi Selatan, beserta seorang anggotanya yang paling aktif Nyonya Salawati Daud, istri
seorang pejabat pemerintah di Maros, salah satu benteng pejuang mujahidin.
Pada tanggal 25 Maret 1951, akhirnya tibalah hari yang lama dinanti-nantikan: pembentukan
resmi Persiapan Brigade Hasanuddin sebagai bagian dari Korps Cadangan Nasional Tentara
205
Republik. Pada hari ini juga Kahar Muzakkar meninggalkan tempat persembunyiannya. Suatu
upacara khusus untuk menyambutnya diadakan di Maros: sebanyak lima sampai enam ribu orang
telah berkumpul untuk menyaksikan dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh
malam hari. Salawati Daud dan Kahar Muzakkar sendiri yang bicara kepada pasukan. Kahar
Muzakkar dalam pidatonya, yang berlangsung kira-kira setengah jam, secara panjang lebar
membicarakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya bahwa ia terlalu ambisius, ia
masuk hutan semata-mata untuk melanjutkan tujuannya, dan ia sengaja melarut-larutkan
perundingan agar terjamin pengukuhan pangkatnya sebagai letnan kolonel. Walaupun banyak
orang yang percaya, dia dan Saleh Sjahban "haus pangkat dan kedudukan", disangkalnya
tuduhan-tuduhan ini dengan mengemukakan, walaupun fakta membuktikan ia memiliki
"kursi-kursi besar, meja-meja besar, dan telah menghadapi orang-orang penting "di masa lampau,
semuanya ini bukanlah satu-satunya tujuan hidupnya. Saya dicurigai sangat mendambakan
pangkat letnan kolonel, namun pangkat letnan kolonel ini yang didesakkan kepada saya",
ditegaskannya, sambil menambahkan, bila ada orang yang menginginkan mengambil alih
pimpinan Brigade Hasanuddin, mereka dipersilakan maju ke depan dan melakukan keinginan itu;
hanya saja dia tidak sudi menyerahkan tugas ini kepada mereka yang telah membakari rumah-
rumah rakyat yang tidak berdosa.
Namun amat disayangkan adanya pembentukan Korps Cadangan Nasional pada bulan Maret
sama sekali tidak berarti, pejuang-pejuang muslim Kahar Muzakkar telah menjadi prajurit biasa
dari Tentara Republik. Penggabungan resminya direncanakan pada bulan Agustus. namun antara
Maret dan Agustus 1951 terjadi serangkaian insiden yang mengakibatkan perpecahan baru lagi
antara Tentara dan Kahar Muzakkar. Pertentangan baru ini pada akhirnya menuju keretakan
terbuka dan tak terdamaikan.
Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan
Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar
terjadi saat Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan
Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak.
Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada
7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar Muzakkar dan Tentara,
selanjutnya. Namun tidak seluruh Batalyon Bau Masseppe mengikuti komandannya, melainkan
sebagian dari padanya dengan Hamid Gali dan Usman Balo sebagai pemimpin-pemimpin
utamanya dan tetap setia kepada Kahar Muzakkar. sesudah terjadi sedikit pertempuran dengan
para pengikut Andi Selle mereka mengundurkan diri ke bagian lain Pare-pare dan membentuk
batalyon baru, yang dipimpin Hamid Gali. Tidak pula hubungan-hubungan antara Kahar Muzakkar
206
dan Andi Selle putus sama sekali, dan pada waktunya hubungan antara keduanya membaik lagi.
Bahar Mattaliu menyebut Andi Selle sebagai salah satu sumber pokok senjata Kahar Muzakkar,
dan benar-benar dikatakannya: "Ini berarti, bahan-bahan mentah terus dikirimkan Kahar kepada
Andi Selle yang membayarya dengan pelor, senjata berat dan ringan, dan dengan pakaian
seragam tentara".
Dalam menghadapi perjuangan Kahar Muzakkar, Tentara Republik berusaha menghadapinya
dengan melakukan serangkaian operasi militer. Terutama sekali pada tahun-tahun mula
kerusuhan dengan mengajak kesatuan-kesatuan pejuang yang merasa tidak puas dengan Kahar
Muzakkar untuk menyerah. Dan mengenai hal yang akhir ini, Tentara Republik mengambil sedikit
keuntungan dari adanya perselisihan antar pejuang sendiri. Pertikaian ini bisa muncul sebab
sebagian ambisi dan dendam pribadi, sebagian lagi sebab perbedaan ideologi mengenai jalan
yang harus ditempuh dalam perlawanannya terhadap Pemerintah Republik.
Bertepatan waktunya dengan saat Pemerintah menganjurkan penyelesaian "politik psikologis",
Kahar Muzakkar memperkuat posisinya. Dalam masa inilah dilakukan pembaharuan hubungan
antara dia dan Kartosoewirjo. Hubungan pertama antara mereka telah dilakukan Agustus tahun
sebelumnya, saat Kahar Muzakkar masuk hutan. Pada waktu itu Kahar Muzakkar didesak
melalui perantaraan Bukhari, saat itu wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan
Abdullah Riau Soshby, salah seorang tampuk pimpinan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat,
untuk membentuk "Komandemen TII" untuk Sulawesi. Kartosoewirjo secara pribadi
mengirimkan sepucuk surat kepada Kahar Muzakkar yang menawarkan kepadanya pimpinan
Tentara Islam Indonesia di Sulawesi beberapa bulan lalu .
Secara resmi tawaran ini diterima Kahar Muzakkar pada 20 Januari 1952. Demikianlah ia menjadi
panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia, yang juga disebut Divisi Hasanuddin. Syamsul Bachri
diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Dalam sepucuk surat tanggal yang ini
di atas yang ditulis Kahar Muzakkar dalam menerima pengangkatannya, dinyatakan bahwa ia
sendiri merasa berterima kasih dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diperlihatkan
Kartosoewirjo kepadanya dengan keputusan mengangkatnya menjadi panglima Tentara Islam
Indonesia untuk Sulawesi. Bersamaan dengan itu dinyatakannya, tak dapat sepenuhnya ia
mengabdikan diri, sebab berbagai keadaan yang mungkin merintanginya dalam setiap tindakan
yang diambilnya sebagai panglima Tentara Islam. Selanjutnya dikemukakannya, dari l ima
batalyon yang dipimpinnya beberapa di antaranya meliputi kelompok bukan Muslim yang
dipengaruhi ide-ide Komunis. Dilanjutkannya dengan menyatakan, dia ingin memulai suatu
revolusi Islam sejak 16 Agustus 1951, dan segala sesuatunya telah direncanakan bersama
komandan-komandan bawahan Saleh Sjahban dan Abdul Fatah, namun yang belakangan ini
207
ternyata tidak teguh pendiriannya sehingga rencana itu gagal. Dia dirintangi, katanya, oleh
kekuatan yang lebih perkasa dengan pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat, yaitu "kaum
feodalis dan rakyat banyak". Mengenai penduduk Islam di Sulawesi Selatan menurut
pendapatnya "diperlukan waktu untuk menanamkan dan memupuk semangat Islam yang sejati
dalam diri mereka". Dalam sebuah surat jawaban pada 27 Februari, Kartosoewirjo mendesak
Kahar Muzakkar melakukan segala upaya untuk menjadikan rakyat "bersemangat Islam" dan
"bersemangat Negara Islam", serta melanjutkan melakukan apa saja yang dianjurkan syariat
Islam di masa perang.
Walaupun ada pengangkatannya sebagai panglima daerah Tentara Islam Indonesia Kahar
Muzakkar untuk sementara tidak mau memakai nama ini bagi pasukan-pasukannya. Pada
bulan Maret 1952 sesungguhnya pasukannya diberinya nama Tentara Kemerdekaan Rakyat
(TKR). Baru pada 7 Agustus 1953, tepat empat tahun sesudah proklamasi Negara Islam
Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar mempermaklumkan bahwa daerah Sulawesi dan daerah-daerah
sekitarnya (yaitu Indonesia Timur lainnya, termasuk Irian Barat) menyatakan bagian dari Negara
Islam Indonesia. Bersamaan dengan ini ia menamakan pasukannya Tentara Islam Indonesia.
Kahar Muzakkar bahkan menjadi lebih terlibat dalam Negara Islam Indonesia dengan
pengangkatannya pada 1 Januari 1955, sebagai Wakil Pertama Menteri Pertahanan Negara Islam
Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Politik Kahar Muzakkar yang lebih agresif pada bulan-bulan awal 1952 oleh sementara pengamat
dinyatakan, susungguhnya, sebab hubungannya dengan gerakan Darul Islam Jawa Barat. Dia
sendiri mendasarkan serangannya terhadap posisi Tentara dan Pemerintah Indonesia dengan
menyatakannya sebagai pembalasan untuk aksi-aksi militer Tentara yang dilakukan terhadapnya.
Yang demikian ini secara tegas dikemukakannya dalam perintah yang dikeluarkan 5 April 1952. Di
dalamnya disebutnya moment operasi-nya, dengan memerintahkan pasukannya menerapkan
taktik tabrak lari, yaitu, mengejutkan pasukan Republik dengan serangan mendadak dan
mengundurkan diri sebelum tentara dapat memukul kembali, sebagai aksi balasan terhadap
sweeps operasi (operasi pembersihan) Tentara. Taktik-taktik khas militer ini digabungkan
dengan cara perang psikologis, yang sebagian besar mengungkapkan kejahatan-kejahatan
Pemerintah Indonesia.
Pada konperensi pemimpin gerilya sebelum proklamasi Sulawesi sebagai bagian dari Negara
Islam Indonesia, disusun sebuah konstitusi Negara Republik Islam Indonesia, atau, disebut juga
Republik Islam Indonesia. Konstitusi ini dikenal sebagai Piagam Makalua, menurut nama tempat
konperensi.Di dalam dokumen ini Kahar Muzakkar memuat lebih banyak dan lebih teliti
208
mengenai pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial dan ekonomi dibandingkan dengan
perjuangan Darul Islam di Jawa Barat.
Butir kedua yang timbul dari bahan-bahan ini yaitu bahwa Darul Islam bertujuan menciptakan
ragam masyarakat sama derajat, dan dalam beberapa hal masyarakat puritan. Ingin
menghilangkan semua sisa norma sosial tradisional, membayangkan land reform yang
sederhana, dan bertujuan melenyapkan perbedaan-perbedaan dalam kekayaan pribadi pada
umumnya.
Kedua kecenderungan pokok yang dikemukakan ini tidaklah sangat baru. Kahar Muzakkar sudah
sejak lama musuh kaum penguasa tradisional dan telah lama bertentangan dengan pemimpin-
pemimpin adat sejak 1943. Sebagian para pengikutnya pun di samping itu menginginkan
perubahan sosial. Sikap kaum bangsawan yang pada mulanya menyokong proklamasi
kemerdekaan Indonesia dan kehadiran militer Belanda yang kuat lalu di daerah itu,
mungkin yang mencegah meletusnya di sini suatu "revolusi sosial" sejenis yang terjadi di
Pekalongan dan Aceh. Ada beberapa petunjuk tentang dasar-dasar mula revolusi sosial demikian
pada 1950, sesudah Belanda berangkat dan sebelum Pemerintah Republik menegakkan
kekuasaanya didaerah ini. Demikianlah Jusuf Bauti melihat pada akhir 1950 ada tanda-tanda ke
arah "revolusi sosial" di Makale. Kelompok-kelompok yang menginginkan dihapuskannya
pranata-pranata dan praktek tradisional kuat sekali menurut dia. Keadaan yang serupa
dilaporkan tentang Mandar; disini para pejuang Republik berusaha melenyapkan p