Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 10

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 10



 yang dilakukan oleh Amir Fatah, yaitu : ”kemunafikan" yang setiap saat diperankan baik oleh 

pemerintah dan tentara Republik Indonesia terhadap para pejuang yang dengan kesetiaan dan 

keikhlasannya berperang melawan penjajah Belanda. 

Aksi perjuangan jihad pertama yang diarahkan untuk menyerang posisi Republik dan merebut 

pos komando Sub Wehrkreise di Bentarsari, Amir Fatah dan pasukan mujahidinnya berhasil 

dengan baik, pos komando itu telah ditinggalkan pasukan Republik sebab  takut dikepung 

Tentara Islam yang jumlahnya lebih besar. saat  terjadi pertempuran di daerah ini Tentara Islam 

dapat menangkap komandan distrik militer (KDM) Brebes yang bernama Abduljalil, yang sebab  

suatu sebab tidak turut bersama Tentara Republik mengundurkan diri.  

Selanjutnya Amir Fatah dan pejuang mujahidin menyerang dan melucuti satuan Brigade Mobil 

milik tentara Pemerintah yang dikirim ke daerah ini beberapa bulan sebelumnya dengan maksud 

memperkuat pasukan Republik, mengingat adanya persoalan dengan Majelis Islam, lalu para 

pejuang mujahidin menangkap komandannya yang bernama R.M. Bambang Suprapto. Beberapa 

hari lalu , dia bersama dengan Abduldjalil ditembak mati oleh pejuang mujahidin Darul 

Islam Pemimpin pejuang mujahidin Darul Islam Amir Fatah, selanjutnya meluaskan pengaruh 

pada bulan-bulan berikutnya.  

Dengan memakai basis perjuangan sebagai bentengnya di daerah sekitar Bumiayu, Amir Fatah 

mengalihkan perjuangannya ke utara dengan memasuki daerah Pekalongan, dan di daerah ini 

pasukan pejuang mujahidin menyerang pos-pos tentara di berbagai tempat, seperti Margasari, 

Prupuk, Larangan, dan Tonjong. Pada tanggal 11 November pasukan pejuang mujahidin Darul 

Islam memasuki daerah Wonosari dan Siasem, dua desa di pinggiran Brebes. Serangan ini 

dipimpin langsung oleh Amir Fatah sendiri yang mengendalikan pasukannya dari sebuah tandu 

  


 190 

 

yang diusung prajurit-prajuritnya, sebab  kepalanya terluka dalam suatu pertempuran kecil 

sebelumnya dengan pasukan Republik. Langkah berikutnya yang direncanakan para pejuang 

mujahidin yaitu  menyerang Brebes sendiri. Sebagai ekspresi kekecewaan mereka terhadap 

"penyerahan kedaulatan", adapun tanggal yang sudah ditetapkan dalam penyerangan ini yaitu  

27 Desember. sebab  rencana para pejuang mujahidin ini sudah terdengar oleh pasukan tentara 

Republik, maka tentara Republik dalam menghadang serangan Amir Fatah mendapat 

kemudahan sehingga memudahkannya untuk dipukul mundur. Namun perjuangan Amir Fatah 

dapat berhasil beberapa hari lalu , pada hari Tahun Baru, saat  pasukannya akhirnya 

memasuki Brebes dan menduduki sebagian dari kota.  

lalu  tentara republik melancarkan serangan pula dengan pasukan yang diberi nama 

Gerakan Banteng Nasional di Tegal, Bumiayu, purwokerto, Majenang, dan Cilacap. Dalam operasi 

GBN ini, diikut sertakan pasukan infantri dari tiga divisi tentara Jawa -- Diponegoro, Brawijaya, 

dan Siliwangi. Tujuan gabungan operasi itu tidak lain yaitu  untuk mengisolasi pasukan Amir 

Fatah di Tegal dan Bumiayu, di sampin itu untuk mencegah para mujahidin Amir Fatah 

mngadakan kontak dengan pusat gerakan yang ada di Jawa Barat . Dalam operasi ini ada segi 

keberhasilan dan kegagalannya. Sebagian sebab  ada bujukan yang didukung oleh kekuatan 

militer sehingga sejumlah pemimpin NII wilayah Jawa Tengah jadi menyerah. Di pihak lain, tujuan 

untuk menutup batas propinsi, tidak tercapai. Mengakibatkan masih sering terdapat serangan 

oleh pasukan mujahidin dari Brebes dan Tegal ke Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Dengan adanya 

serangan ini menunjukkan sebagian besar aktifitas tentara mujahidin di wilayah yang dikuasai 

pihak NII.  

Amir Fatah bersama prajuritnya, diantar oleh Kamran berangkat menuju Jawa Barat untuk 

menjumpai Kartosoewirjo. Dalam perjalanan ke Tasikmalaya mengalami dua puluh satu kali 

pertempuran. Sesampainya di Ciamis, Amir Fatah bersama pasukannya, terpisah dari Kamran 

yang mengetahui keberadaannya Kartosoewirjo. Akibat keterpisahan itu Amir Fatah kehilangan 

jejak, gagal untuk bertemu dengan Kartosoewirjo, sehingga pasukannya tidak sempat 

bergabung dengan TII (Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dalam kondisi sedemikian, Amir 

Fatah bersama sisa prajurit yang tinggal 150 orang lagi, terkepung oleh pasukan Republik yang 

jumlah kekuatannya berkali lipat daripada pasukan Amir Fatah. Akhirnya dalam kontak senjata 

dengan tentara Republik itu Amir Fatah tertangkap pada tanggal 22 Desember 1950. Sebagian 

dari prajuritnya silam dan sebagian lagi gugur menjadi Syuhaada, sesudah  jual beli dengan Allah 

(Qur’an.Surat 9:111), yakni berperang agar berlakunya hukum-hukum Islam di bumi Indonesia 

secara Kaffah (sempurna). 

  


 191 

 

Di Surakarta timbul gerakan yang dilakukan Batalion 426. Motif para anggota Batalyon 426 untuk 

memberontak dan memihak Darul Islam sebagian yaitu  berdasar  keagamaan. Sebagai 

pasukan Islam dan bekas pejuang Hizbullah mereka bersimpati dengan berdirinya Negara Islam 

Indonesia. Sehingga selanjutnya mereka berhubungan erat dengan rakyat Muslim tidak hanya 

yang dari Klaten, namun  juga dari Surakarta kota. sebab  itu di Klaten banyak sekali orang yang 

diinterogasi sebab  dicurigai membantu kaum pejuang mujahidin, dan di Surakarta pun banyak 

yang ditahan dalam hubungan ini. Dalam suatu gerakan di Surakarta pada malam tanggal 12 

Desember saja tujuh puluh lima orang yang dimasukkan dalam tahanan. Pada 2 Januari 1952 ini 

diikuti lagi dengan penangkapan pemimpin-pemimpin Islam terkemuka di Kauman, Surakarta— 

pusat Islam — termasuk di dalamnya R.H. Adnan, Ketua Mahkamah Tinggi Islam. 

Divisi Diponegoro melancarkan gerakan besar-besaran terhadap batalyon pejuang mujahidin dan 

melakukan pengejaran yang gencar. Berjam-jam, kadang-kadang bahkan berhari-hari 

pertempuran berlangsung, dan banyak penduduk yang tewas. Semua jalan raya sekitar 

Yogyakarta dan Surakarta ditutup selama operasi berlaku. Kaum pejuang mujahidin terlalu letih 

akhirnya sebab  terus-menerus terganggu. Seperti dilaporkan sebuah surat kabar pada awal 

April: "Sering kali korban-korban manusia didapati TNI yang sudah meninggal dunia atau 

keadaannya amat menyedihkan. Banyak senjata yang tak bisa dibawa harus disembunyikan 

dalam tanah".  

Tidak selalu Tentara Republik bertindak sangat bijaksana dalam operasinya. Sebaliknya, 

sayangnya ada saja kelihaian khusus untuk memicu  kemarahan rakyat. sebab  itu, Februari 

1952 suatu pertanyaan tertulis diajukan Prawoto Mangkusasmito, seorang anggota Parlemen 

mewakili Masyumi,—suatu partai yang sebab  sifat Islamnya bukan tanpa simpati terhadap 

kaum pejuang mujahidin Islam—kepada Pemerintah. Contoh-contoh tindakan yang dinyatakan 

sebagai tingkah laku yang buruk di pihak prajurit Republik yang dikemukakan di sini melukiskan 

suatu tipe peri laku yang diperhitungkan untuk memperhebat dendam masyarakat Islam. Di 

Klaten, di Desa Kardirejo umpamanya, prajurit-prajurit Tentara Republik Indonesia dikatakan 

telah membakar masjid-masjid. Dalam daerah Surakarta mereka menodai masjid-masjid dengan 

memasukinya seraya memakai sepatu dan membawa anjing masuk ke dalam. 

Prawoto Mangkusasmito minta perhatian akan perilaku sewenang-wenang terhadap rakyat 

setempat dan para tahanan. Dikatakannya, kadang-kadang rakyat dimasukkan dalam tahanan 

perlindungan begitu saja untuk mencegah mereka membantu kaum pejuang mujahidin, baik 

secara sukarela ataupun secara paksaan. Dalam hal-hal lain, orang ditangkap sebagai sandera 

para kerabat yang lari atau menghilang. Di samping itu ia menyebut laporan tentang 

pembunuhan atas tawanantawanan yang ditangkap tidak dalam pertempuran namun  dalam 

  


 192 

 

operasi pembersihan. Semua ini, menurut Prawoto Mangkusasmito, telah membuat rakyat 

memihak pejuang mujahidin, sehingga sulitlah untuk menaklukkan Batalyon 426.  

 

Mujahid dan Mujahidah yang Bertahan dari Jawa Tengah 

Untuk menceritakan mujahidin yang bertahan, terlebih dulu renungkan Firman Allah S.W.T. : 

“Diantara orang-orang mu’min itu ada yang menepati apa yang sudah mereka janjikan kepada 

Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (juga) yang menunggu-

nunggu dan mereka sedikit pun tidak merobah (janjinya)”. Q.S.33 Al-Ahzaab 23). 

Mujahid yang bertahan ialah mujahid yang tidak merobah janjinya kepada Allah untuk tetap 

menegakkan hukum-hukum-Nya selama mata bisa berkedip. Dirinya merasa dibayangi siksaan 

Api Jahannam, jika berhenti jihad. Sebab, ingatannya, apabila dirinya mundur dari jihad berarti 

maju ke Jahannam. Jiwanya merasa hina bilamana matinya dalam keadaan pengecut, sementara 

pelaksanaan hukum-hukum Al-Qur’an sedang dijegal oleh kaum Thogut. Hatinya akan sedih jika 

kalah berani daripada tentara Thoghut. Dari itu bahwa semboyan “Pilih hidup dalam keadaan 

mulia atau mati dalam keadaan Syahid”, bukanlah hanya dalam ungkapan lisan, melainkan juga 

berwujud perbuatan. Hal demikian dilakukan di antaranya oleh para mujahid yang dituturkan 

dalam sejarah di bawah ini. 

Seorang mujahid pelaku sejarah dari daerah Brebes, Jawa Tengah menuturkan bahwa dirinya 

menyaksikan sekitar sebulan sebelum Imam S.M.Kartosoewirjo tertangkap 4 Juni 1962 

ditemukan banyak pamplet yang melekat pada pohon-pohon di daerah Gunung Kembang. Isi 

pamplet-pamplet itu bahwa Kartosoewirjo di Jawa Barat sedang berunding, Darul Islam dalam 

keadaan Cease fire. namun  sebab  di daerah itu pimpinan yang paling tinggi hanya komandan 

tingkat kecamatan, maka tidak bisa menentukan sikap menanggapi banyaknya pamplet, sebab  

sudah sering adanya propaganda pihak lawan, sehingga tidak diambil pusing oleh para mujahid.  

Hanya kurang lebih dua bulan sesudah menerima pamplet, para mujahid di daerah itu didatangi 

rombongan dari Jawa Tengah ujung timur daerah Gunung Slamet yang kebetulan di antaranya 

ialah H.Ismail Pranoto (Hispran), Panglima Divisi NII Jawa Tengah. Datang ke daerah perbatasan 

Jawa Barat itu bermaksud mengecek pamlet-pamlet guna meyakinkan sebenarnya.  

Sesudah dua bulan lamanya Hispran bersama mujahid di daerah itu, datang pula beberapa orang 

dari anak buah Hispran sendiri. Di antaranya, Miftah, Abu Kisno, Rakun, Sahwad, dan Saki. 

Sesampainya mereka di bukit Gunung Kumbang tepi Sungai Cigorek, menghadap kepada Hispran 

maksudnya memberi informasi bahwa pasukan pak Hispran yang di gunung Slamet sudah turun 

  


 193 

 

ke Tegal (maksudnya ke masyarakat). Beberapa macam informasi yang disampaikan oleh kawan-

kawan mereka yang sudah menyerah di Jawa Barat, di antaranya Nasrun yang pertama kali 

datang. Satu kali, dua kali, dan ketiga kalinya ditembak, sebab  mengajak turun menyerah. 

Pasukan mujahidin memang siap menembak siapa saja yang memerintahkan menyerah. Walau 

begitu, beberapa lama lalu  Nasrun mengajak turun lagi merayu pasukan pak Hispran. 

sesudah  tidak mempan dengan cara pamplet dan speker, akhirnya Nasrun itu datang waktu 

subuh, ia lolos dari tempat penjagaan. lalu  sesudah  ia tiba di hadapan para mujahid ia 

bersumpah: ” Demi Allah saya datang ke sini lillaahi ta’alaa. Saya mau ditembak terserah, 

diapakan terserah, saya datang ke sini bahwa Kartosoewirjo dalam keadaan Cease Fire dan 

berunding. Mungkin Indonesia dalam perundingan bisa menjadi negara Islam, atau setidak-

tidaknya indonesia dibagi dua, NII dan RI .  

Sebagian mujahidin pada bingung, bimbang sesudah  mendengar persaksian ini. Akhirnya, 

mujahidin yang didatangi Nasrun itu, berijtihad. sesudah  bermusyawarah akhirnya 

mengemukakan kepada Nasrun:’Kalau memang telah terjadi Cease Fire, coba buktikan: “Satu, 

kami minta dijemput oleh satu kompi TNI di Desa Kebantingan, Kecamatan Margasari, 

Kabupaten Tegal. Kedua, senjata TNI ujungnya kebawahkan sebagai ciri damai. Ketiga, Tidak ada 

tanda-tanda perampasan apapun. Dan keempat kami tidak dipisahkan, tidak dipencar-pencar”. 

Hal demikian dikabulkan oleh Nasrun. Pada jam-jam yang sudah ditentukan di Desa Kebantingan 

Kecamatan Margasari itu pasukan TNI hanya satu kompi. Pasukan Hispran pada waktu itu ada 

satu resimen. Dan yang turun pada waktu itu, senjata brennya ada sepuluh, biasanya bila satu 

bren itu sepuluh senjata ringan. Pada waktu yang ditentukan, betul di Desa Kebantingan 

dijemput, ujung senjata dikebahwahkan dan tidak ada perampasan apapun. lalu  pasukan 

tidak ada yang dipencar, laki-laki, wanita disamakan ke Tegal, ke Panggungan , asrama TNI. 

sesudah  di sana selama satu minggu pasukan-pasukan tidak ada yang dilucuti senjatanya, anak-

anak seperti saudara, Bajo yang tadinya dari Batalion 426, Marjuki dan Kholil ke pasar itu bawa 

senjata seperti TNI, belanja dan segala macam.  

Demikianlah inti informasi yang disampaikan oleh lima orang anak buah Hispran sebagaimana 

yang telah disebutkan tadi di atas. Hispran, sebab  sebagai Panglima Divisi, lain lagi 

sinyalemennya, dia tidak menanyakan cara bertele-tele. Cukup dengan analisa bahwa mereka 

tidak melucuti senjata pasukan yang turun ke kota itu, sebab  merayu Panglima Divisi-nya 

(Hispran). Selama satu minggu pasukan yang sudah di kota Tegal itu belum mengetahui 

sebenarnya mau diapakan. Mereka mengutus lima orang untuk memberi informasi kepadanya 

bahwa pasukan sudah ada di kota Tegal.  

  


 194 

 

sesudah  menerima laporan itu Hispran mengumpulkan pasukan termasuk Kastolani, H. Anas, 

Komandan Batalyon merangkap Komandan kompi. lalu  Hispran berpidato dihadapan 

pasukan,” Ini tipu muslihat musuh. Saya tidak diajak oleh Kartosoewiryo jihad bersama-sama 

kalau terdesak lalu damai, tidak pernah ! Jadi, kalian mau turun terserah, turun kembali, mau ikut 

saya terserah, saya cukup dengan Allah dan malaikat-Nya. Kalau kalian tidak mau ikut saya, kalian 

mau kembali silahkan”. lalu  Hispran memberi  beberapa kalimat amanat atau nasihat-

nasihat dari Kartosoewiryo, sewaktu Hispran dipanggil menghadap Imam pada tahun 1959, yang 

waktu dihadiri oleh para panglima lainnya. Adapun amanat Kartosoewiryo itu diantaranya ialah:  

Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan. 

Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima. Mudjahid djadi luar 

Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid. 

Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui Strategi 

dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi kelandjutan tetap 

berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia. 

Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang tertinggal 

hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi Imam. 

Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan terus 

berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT. 

Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila masih ada, 

walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang satu itu untuk menggigit. 

Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun. 

sesudah  Hispran menjawab demikian, dan menyampaikan sebagian amanat- amanat Imam 

S.M.Kartosoewirjo, maka pasukan yang lima orang yang tadi turun di kota Tegal itu akhirnya 

kembali lagi bersama Hispran. Tahun 1963-1964 di antara yang lima itu empat orang sudah Syahid. 

Washijat ini  membangkitkan ruhul jihad, sehingga mereka yang sudah turunpun 

mengurungkan niatnya dan kembali berjihad, apalagi yang masih bertahan di gunung,mereka 

semakin teguh dalam perlawanannya. 

lalu  sesudah  nyata-nyata Hispran tidak mau menyerah, maka lain lagi bentuk kalimatnya, 

yakni bukan Sease Fire lagi, melainkan sifatnya sudah merupakan ancaman dari mereka yang 

sudah turun menyerah. Di antara yang menandatanganinya waktu itu kiayi Maskur yang dari 

Kebumen, bekas KW.- Ks-nya Hispran. Mereka memberi  ancaman: “Jika kalian tidak turun, 

kami akan kerahkan seluruh kekuatan kawan-kawan yang sudah turun dan segala alat negara 

  


 195 

 

akan kami kerahkan”. Maksud mereka untuk menghancurkan yang masih bertahan. Kurang lebih 

pasukan NII pada waktu kejadian itu ada seratus orang. lalu  pasukan diatur, maksudnya 

mencari tempat yang lebar dan mengatur siasat. Mujahid yang seratus itu dibagi-bagi supaya 

menghilangkan jejak. Pasukan dibagi-bagi dalam grup-grup yang kecil, dan ada yang terdiri tiga 

orang. Secara kebetulan di antara yang terdiri dari tiga orang itu tatkala akan pergi ke perbatasan 

Jawa Barat, di perjalanan bertemu dengan “pagar betis”. Dalam pikiran yang tiga orang pada 

waktu itu jelas bahwa Cease Fire itu ada, nyatanya musuh hanya jarak dua meter dengan pasukan, 

mereka tidak menembak. sesudah  musuh tidak menembak maka, pasukan pun tidak menembak, 

sebab  bawa rombongan di belakang, ditambah lagi dugaan barangkali itu itu Cease Fire, hanya 

pasukan ingin mencari kejernihan informasi dari Jawa Barat. Rombomgan para mujahid 

berpencar-pencar selama tiga bulan. lalu  pasukan pulih kembali sesudah tahun 1963. 

sesudah  terkoordinir kembali lalu  pasukan dipimpin oleh Kastolani, sebab Haji  Anas dan 

Miftah telah gugur.  

Mungkin sebab  keilmuannya belum masuk bagi salah seorang pasukan pada waktu itu, yang 

ingat pada dirinya cuma bai’at, bahwa dalam bai’at pada point tiga disebutkan ” Saya sanggup 

berkorban dengan jiwa, raga dan nyawa saya serta apapun yang ada pada saya, berdasar  

sebesar-besar taqwa dan sesempurna-sempurna tawakal ‘alallah, bagi mentegakkan Kalimatillah, 

li-I’lai Kalimatillah, dan mempertahankan berdirinya Negara Islam Indonesia; hingga hukum 

Syari’at Islam seluruhnya berlaku dengan seluas-luasnya dalam kalangan Umat Islam Bangsa 

Indonesia di Indonesia,: a. mentegakkan kalimatillah. Yang jika disimpulkan dengan Qur’an surat 

8 ayat 39 yang bunyinya:”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (gangguan-

gangguan terhadap Hukum-hukum Allah) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah 

(tegaknya hukum Islam secara sempurna dan lenyapnya kebathilan), maka sesungguhnya Allah 

Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. Maka Ridwan salah seorang dari mujahid yang pernah 

melihat Pagar Betis tidak menembak, bertanya kepada Abu Kisno,” Mana yang benar, apakah 

mereka yang mengatakan adanya Cease Fire ataukah kita”? Abu Kisno menjawabnya,”Kita yang 

benar !” Disambut oleh Ridwan,”Jika kita yang benar biar kita jadi ‘lutung’ dari pada turun 

gunung”, maksudnya apapun risikonya bertahan saja di hutan melanjutkan jihad jangan 

menyerah kepada musuh.  

Sehingga pada waktu itu betul, ancaman ultimatum itu terbukti. Tidak ada tempat tanah yang 

bisa ditempati, semua kena operasi musuh. Mungkin sebab  kebodohan atau wallaahu’alam 

sehingga yang tadinya menjadi mujahid mengoperasi mujahid pula. Sehingga selama dua tahun 

itu dalam darurat sungguh berat, sulit air untuk bisa mandi, untuk minum saja sampai potong 

  


 196 

 

bogol pisang dan dilobangi. Memotong –motong areuy dan dedaunan, berbulan bulan tidak 

bertemu dengan nasi.  

Disebabkan jihad mesti terus berlanjut, namun  bagaimanapun harus mengurangi risiko, Para 

mujahid bemusyawarah untuk menghindari musuh, Hispran mencari basis ke Yogya, maksudnya 

akan selam, menyilamkan seluruh pasukan yang ada di Jabal, Hispran mengatur komunikasi 

antara pasukan yang dibawa ke Yogya dan pasukan yang ditinggalkan bersama Kastolani. 

Hispran membawa beberapa orang pengawal, di antaranya Hanif, Safri, Nahdhor, Sahwad dan 

Muhtar. Sesudah itu selama dua bulan di Yogya tidak ada komunikasi antara Jabal dan Hispran. 

Menerima informasi terakhir, bahwa Hispran sudah menemui beberapa orang kiayi, mereka 

sanggup menempatkan pasukan yang berada di Jabal itu. lalu  Hispran mempunyai basis di 

daerah Klasan Kaliurang antara jalan yang ke Boyolali dan ke Kaliurang. Pasukan punya basis di 

sana sampai tahun 1964. Akan namun , kebetulan penghubung yang diutus menyampaikan 

informasi ke pasukan di Jabal, ada yang gugur dan ada yang menyerah memberi  informasi 

kepada musuh bahwa Hispran berada di Yogya, maka tempatnya digerebeg , dioperasi. Yang 

menyerah tadi itu Nahdhor bekas pengawal Hispran sendiri yang dari Kecamatan Bantar Kawung.  

Pada waktu itu para mujahid tidak ketinggalan masalah penghubung untuk mengetahui keadaan 

lawan sampai dimana, sehingga Hispran bisa menyelamatkan diri, waktu digerebeg sudah ke 

Sumatera. Di Sumatera Hispran bergerak idhar, sebab  beda nama, terkenalnya ialah Kiayi 

Maksum, tidak diam operasi mencari basis hingga bertemu dengan Rivai yang dulunya pasukan 

Amir Fatah, Hispran tidak mengalami kesulitan. sesudah  di sana putus dengan pasukan, sebab  

ada yang menyerah. namun , Alhadulillah, tutur seorang yang pernah mengikutinya, Hispran 

waspada sebelumnya dengan berpesan,”Kalau kalian putus hubungan dengan saya, tentukan 

gerakan menurut ijtihad kalian, tidak usah menunggu komando dari saya”. Sebab, tahun 65-an 

digambarkan olehnya akan ada probahan di RI. Nyatanya, betul tanggal 30 September ada 

gerakan PKI. Dan yang tidak lepas dari rombongan pasukan yaitu  radio meski beritanya dari 

musuh, tapi kebetulan ada suara dari Radio Suara Indonesia Bebas yang mungkin dari Aceh , dan 

Radio Suara Mujahid dari Sulawesi Selatan. Dengan situasi demikian menurut Kastolani dan 

pasukannya bahwa gerakan harus idhhar. Maka gerakan yang tadinya bersifat dipensif, 

bersembunyi, selam, akhirnya tahun 1965 itu idhar gerakan jadi menghancurkan PKI dengan 

rakyat-rakyat yang berada didaerah basis pasukan. Kastolani terbuka kepada masyarakat dan 

menyatakan,” Kami yaitu  pasukan Kastolani yang ada di Jabal”. Tapi tanggapan dari musuh 

untuk menyedikitkan atau melemahkan Kastolani, dipropagandakannya, ”bahwa itu PKI yang lari 

ke Jabal dan Kastolani sudah tidak ada”, dihadapan umum sambil TNI itu beroperasi. Namun, 

pada tahun 1965 itu beberapa daerah PKI yang tidak bisa dihancurkan oleh rakyat, pasukan 

  


 197 

 

Kastolani menghancurkannya. Mujahid pada waktu itu tinggal dua belas orang dari yang seratus 

orang pada tahun 1962, ada yang Syahid, meninggal dan macam-macam lainnya.  

Dari gerakan idhar itu akhinya rakyat yang pernah putus kumunikasi pun daerahnya bisa dijadikan 

basis. Gerilya jarang di Jabal lagi. Gerilya kebanyakan di Masyarakat. Sehingga ukuran ekonomi 

boleh dikatakan jauh berbeda dari masa yang sudah lalu, baik itu dalam hal makan, maupun alat-

alat, yang biasanya peluru untuk satu orang cuma 10 atau 15 butir, namun  sewaktu idhar gerakan 

menjadi tidak kekurangan bahkan sampai tidak terbawa sehingga harus disembunyikan atau 

dititipkan kepada rakyat di daerah basis. lalu  pasukan mujahid itu malah bisa menjamin 

rakyat yang lemah, dijadikan rahmat. Mujahid operasi kepada musuh, rakyat bisa mengenyam.  

lalu  pada tahun 1967 para mujahid itu kena tipu, sebab  kekurangan pemberitahuan 

sehingga tidak tahu informasi keadaan yang sesungguhnya. Pada tahun itu dihubungi oleh yang 

bernama Khairuddin, bekas Bupati NII Purwokerto yang istrinya orang Salem Sadiyah. Khairuddin 

bercerita,”Kalian harus tinggalkan ini Jabal, ini sudah tidak memungkinkan lagi. Bukan untuk 

menghentikan jihad. Jihad tetap, namun  hanya ada tiga tempat yang kemungkinan kalian bisa 

tempati, bisa pilih apakah nanti ke Sulawesi, sebab  pasukan Kahar Muzakar pun masih punya 

daerah-daerah basis di masyarakat. lalu  apakah ke Aceh, sebab  Daud Beureuh juga punya 

daerah otonomi. lalu  apakah langsung dengan Siliwangi sebab  Siliwangi separohnya 

sudah NII”. Dengan kalimat-kalimat itu mungkin Kastolani dan Zaenal Asikin sebagai Camat Darul 

Islam itu kena rayu juga tidak kontrol, wallaahu’alam, kata seorang pasukan yang tidak diajak 

berunding. Dengan demikian itu diaturlah rombongan dari yang ada 12 orang itu, diberangkatkan 

dari Jawa Tengah menuju Bandung empat orang untuk mengetahui situasi. Sesampainya di Kota 

Bandung dijemput oleh Fajri, bekas Resimen Cilacap NII, dan dibawa olehnya ke rumah Kadar 

Solihat, Jalan Kancra XI No.13. Keempat orang itu yakni, Mumtahar, Ridwan, Zaenal Asikin dan 

Tarmunah, istrinya Zaenal Asikin. Mereka tidak mau keluar dari rumah, sebab  menyangka 

sekedar bersembunyi sebab sudah biasa bila dalam bergerilya di masyarakat harus demikian. Di 

tempat itu bertemu dengan Tahmid, putranya Kartosoewiryo, Djadja Sudjadi. Keempat mujahid 

dan mujahidah tidak tahu mau dibawa kemana. Akhirnya, sesudah  satu minggu mereka itu dibawa 

ke Brigif 13 Tasikmalaya oleh Kadar Solihat. Waktu itu komandan brigifnya Kolonel Suprapto, 

Komandan Camp-nya Mayor Ilyas, Kapten Siswadi. saat  masih di rumah Kadar Solihat belum 

merasa ditipu. Merasa ditipu itu sesudah diserahkan ke Brigif 13 Galuh Tasikmalaya, dan 

dimasukkan ke sel , saat  mau ambil air wudhu dikawal dengan senjata otomatis, sampai mau 

shalat pun dikawal dengan geren. Hal itu terjadi pada bulan September 1967, artinya tidak semua 

mujahid menyerah (perhatikan Q.S.33: 23). 

  


 198 

 

Sementara itu Kastolani di Jawa Tengah belum mengetahui hal yang menimpa keempat anak 

buahnya yang diutus ke Bandung. Kira-kira dua minggu sesudah kedatangan Abdullah dan 

Khairuddin atau seminggu sesudah empat mujahid dan mujahidah tadi ditangkap, datang lagi 

Khairuddin mengantar Kadar Sholihat bersama Sam’un, bekas komandan kompi TII di Jawa Barat, 

disertai tiga orang TNI yang menyamar dengan pakaian preman yang sebelumnya tidak diketahui 

oleh Kastolani pada masing-masing pinggangnya terselip pistol. Dalam pembicaran waktu itu 

Kastolani bertanya kepada Kadar Sholihat, apakah hal ini tidak memakai  sarana musuh 

(maksudnya tidak diketahui musuh)? Kadar Solihat meyakinkan bahwa tugas mereka akan 

dimutasikan dalam rangka melanjutkan perjuangan. Kastolani mempercayainya, sebab  ingat 

pesan dari Ismail Pranoto (Hispran) yang berusaha menyediakan tempat di Sumatera, dan inilah 

dianggap hasilnya. Selain itu juga Kastolani pada waktu itu percaya bila Siliwangi separohnya 

sudah NII, sehingga tidak curiga saat  diperintahkan naik pickup oleh Kadar Solihat. Maka 

Kastolani,Tamdjid, Tami, Ahmad, Zaenudin, Rahmat, Rusmi (istrinya Rama, dan tiga mujahid 

lainnya naik ke atas pickup. Rombongan Kastolani, bersama kelima orang penjemput 

meninggalkan Brebes. Kastolani baru sadar dirinya ditipu takala pickup yang ditumpanginya itu 

masuk ke markas Brigif 13 Galuh Tasikmalaya.  

Dari sekian mujahid yang diinterogasi yaitu  Kastolani dan Ridwan. Kastolani diinterogasi 

mungkin sebab  sebagai komandan keseluruhan. Sedangkan Ridwan diinterogasi mungkin 

dianggap yang paling bisa membuka rahasia, sebab  yang paling muda usianya. Maksud TNI 

menyudutkan para mujahid. Yang ditanyakan di antaranya: 

Dasarnya apa kamu jadi Darul Islam? Mengapa kamu tidak turun menyerah dan dimana saja?  

Begitulah pokok pemeriksaan. “Tapi alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, mujahid 

menjawab sebagaimana mestinya seorang kader. Betapapun beratnya siksaan ketiga 

diinterograsi ini , mereka tetap istiqamah, mereka berkeyakinan bahwa dalam tekanan 

bagaimanapun tetap harus bisa menyelamatkan tiga hal : Pertama, pemimpin sesuai dengan 

bai’at point ke 6. Kedua, perjuangan. Ketiga, kawan. Sebab, diselamatkan kawan, berarti 

menyelamatkan perjuangan. Demikian tutur dari seorang mujahid yang diperiksa pada waktu itu. 

lalu  sesudah selama dua bulan di Tasikmalaya diperiksa, mungkin dianggap tidak selesai, 

maka dibawa ke Bandung ke Jalan Sumatera. 

Bila di Jawa Barat jihad Islam itu hancur sebab  disusupi musuhnya, akibat membuka akses 

informasi terhadap orang yang telah menyerah. Tanpa proses hukum lebih dahulu langsung 

mengangkat Ali Murtado (lihat Bab VIII) sebagai penghubung di kota. Maka di Jawa tengah 

mujahid yang tersisa, pasukan perlawanan yang masih bertahan berhasil diangkut ke kota, 

  


 199 

 

tertipu oleh kemanisan mulut Nasrun, yang sebelumnya telah berkali kali meminta mujahidin 

untuk menyerah. Seharusnya sesuai dengan amanat Imam, mereka yang mengajak menyerah 

haruslah ditembak -sebab berarti dia iblis- bukan sekedar diancam mau ditembak tapi tidak jadi. 

Kekeliruan ini berlanjut dengan “menerima kesaksian” Nasrun, sang pengkhianat itu, bahwa 

keadaan sudah cease fire. Bukannya menyelidiki berita orang fasik ini (lihat Q.S. 49 : 6), malah 

mujahidin itu meminta sipengkhianat untuk membuktikannya. Terbukalah kesempatan bagi 

Nasrun untuk membuat sandiwara cease fire tadi, dan siasat licin ini berhasil dijalankan TNI untuk 

menghentikan perlawanan suci mereka.  

Di sini pun kita melihat persekongkolan kotor orang orang yang telah menyerah, untuk 

membawa para mujahid yang masih istiqamah berjuang. Nyatalah washijat Imam tahun 1959, 

bahwa mujahid yang telah ingkar itu lebih berbahaya dari pada Iblis, sebab pengkhianat itu 

memiliki akses informasi ke jaringan Jihad, sedangkan musuh tidak. Dan akses ini bukannya 

disyukuri dan dimanfaatkan untuk mengkoordinasikan jihad, dasar mentalnya sudah busuk, 

malah digunakan untuk menggusur mereka yang masih berjihad. Na’udzubillah. 

 

DARUL ISLAM SULAWESI SELATAN 

Di Sulawesi Selatan meletus pula suatu perlawanan terhadap Republik Indonesia. Para mujahid 

di daerah itu menggabungkan diri ke dalam Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan 

Kartosoewirjo. Perlawanan rakyat terhadap Republik di Sulawesi dipimpin oleh Kahar Muzzakar. 

Dengan dimulainya perlawanan di daerah ini sangat mempengaruhi bagian-bagian luas lainnya di 

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk mengadakan perlawanan selama bertahun-tahun. 

Abdul Kahar Muzakkar lahir pada tanggal 24 Maret 1921 di Desa Lanipa dekat Palopo, Distrik 

Ponrang, Kabupaten Luwu, di pantai barat laut Teluk Bone. Pada saat kanak-kanaknya dia lebih 

dikenal oleh keluarga dan masyarakat di desanya dengan nama La Domeng. Adapun orang 

tuanya bernama Malinrang yaitu  seorang petani yang cukup mampu dan tergolong pada 

aristokrasi rendah. Dengan kedudukan dan kemampuan orang tuanya, saat  usianya sudah 

mencapai tujuh belas tahun ia dikirim ke Surakarta untuk belajar di sebuah sekolah Perguruan 

Islam (Kweekschool Muhammadiyah), dari tahun 1938 sampai tahun 1941. Pada masa-masa 

pendidikannya dia tergolong anak yang cerdas dan supel dalam pergaulan. Oleh sebab  itu dia 

begitu aktif di berbagai kegiatan organisasi yang dibuka oleh Perguruan Islam ini , 

diantaranya ialah menjadi salah seorang pemimpin lokal Pemuda Muhammadiyah di Hizbul 

Wathon, gerakan kepanduan Muhammadiyah. Kegiatan ini dilakukannya sampai mendaratnya 

Bala Tentara Kerajaan Jepang. Pada awal pendudukan Jepang dia bekerja sebagai pegawai 

Nippon Dohobu di Ujungpandang, namun tak lama lalu  ia berhenti.  

  


 200 

 

sesudah  menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke daerah asalnya, Kahar Muzakkar bentrok 

dengan kepala-kepala adat setempat sebab  pengaruh faham modernisme Islam yang 

dibawanya. Dampak dari kritikan yang dilancarkan oleh Kahar itu telah membawa dirinya kepada 

satu pertentangan terbuka dengan pihak kepala adat. Akibatnya timbullah kemarahan pada 

sebagian kepala adat, dan dari kemarahan itu selanjutnya beralih kepada tuduhan kepada Kahar 

Mudzakkar yang mana telah menghasut terhadap kepala-kepala. Menurut kepala adat, Kahar 

telah "mengutuk sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan dan menganjurkan 

dihapuskannya aristokrasi". Oleh sebab  itu resiko yang diambil Kahar yakni dibuang dari pulau 

itu—atau secara lebih tepat diasingkan untuk seumur hidup — selanjutnya Kahar Muzakkar 

kembali ke Surakarta pada tahun 1943. Dan mulailah dia membuka hidup baru. Ia yang 

didampingi oleh isterinya membuka sebuah perusahaan yang diberinama "Usaha Semangat 

Muda", selanjutnya menjadikan Jawa sebagai tempat tinggalnya.  

saat  proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Sukarno, dimana 

memanggil segenap pejuang untuk membela dan mempertahankannya. Dia pun turut serta 

dalam perjuangan kemerdekaan ini , dan di dalam perjalanan perjuangannya itu dialah 

salah seorang barisan pengawal Soekarno, saat  Soekarno menyampaikan salah satu pidato 

rapat umumnya di lapangan Merdeka di Jakarta pada tanggal 19 September 1945. Tentang 

pertemuan ini Kahar Muzakkar sendiri membanggakan dirinya bahwa dia yaitu  satu-satunya 

orang — saat itu ia hanya bersenjatakan golok — yang siap melindungi Soekarno dan 

Mohammad Hatta — dengan melingkari mobil yang di kendarai oleh Soekarno dan Mohammad 

Hatta — terhadap bayonet serdadu Jepang yang berusaha membubarkan pertemuan. 

Begitulah Kahar Muzakkar dengan darah Makasarnya telah muncul ke pentas nasional sebagai 

seorang tokoh yang berwatak pemberani dengan daya tarik pribadi yang besar. Pada dirinya 

terdapat "keberanian yang nekat dalam pertempuran, ketangkasan yang tiada taranya dalam 

memakai  senjata dan dalam olahraga, dan kecerdasan yang tajam, disertai prakarsa 

cemerlang yang nyerempet-nyerempet", sedangkan "kemampuannya untuk menggerakkan 

massa oleh pidato-pidatonya bolehlah dibandingkan dengan kemampuan Soekarno ...."  

Sesudah proklamasi kemerdekaan Kahar Muzakkar menjadi salah seorang pendiri suatu 

organisasi pemuda dari Sulawesi yang menetap di Jawa, Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi 

(Gepis). Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1945 Gepis berfusi dengan suatu organisasi gerilya 

lain yang terdiri dari pemuda Sulawesi juga, yaitu Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS). 

sesudah  penggabungan dua organisasi ini, maka dihasilkan satu kesepakatan untuk membuat 

nama baru yaitu Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).  

  


 201 

 

Dalam sebuah rapat yang diselenggarakan KRIS, Kahar Muzakkar diangkat menjadi sekretaris 

pertama KRIS, dan dalam kedudukannya ini dia ditugaskan untuk mendirikan cabang-cabang 

KRIS di Jawa Tengah dan Jawa Timur. berdasar  penelitian yang dilakukan oleh Harvey, 

mayoritas yang turut dalam KRIS yaitu  pemuda yang datang dari Minahasa, bagian timur laut 

Semenanjung Sulawesi. Dan sebagian besar rakyat dari Minahasa dan Manado ini  

beragama Kristen, dan tergolong salah satu kelompok etnis. Sebelum terjadinya Perang Dunia 

Kedua, di daerah Jawa inilah Tentara Kolonial Hindia Belanda (KNIL) banyak merekrut 

serdadunya yang didatangkan dari sana, sebab  pertautan dengan rezim kolonial Belanda ini pula 

orang Minahasa dan Manado dicurigai bersikap pro Belanda atau bekerja sebagai kaki tangan 

Belanda, sehingga mereka merasa dirinya dalam suatu lingkungan yang bermusuhan. Oleh 

sebab  itu, mereka bentuk KRIS dengan maksud untuk membela diri dan memperlihatkan 

kesediaan mereka bertempur melawan Belanda di berpihak kepada Republik. Organisasi yang 

serupa juga didirikan oleh orang dari Ambon yang berdiam di Jawa, seperti Angkatan Pemuda 

Indonesia (API) Ambon dan Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Khusus untuk KRIS sebab  

pertautan KNIL-nya memperoleh nama sebagai kesatuan militer yang terorganisasi baik dan 

berdisiplin.  

sesudah  lepas dari organisasi KRIS, Kahar Muzakkar mempunyai peranan sangat penting dalam 

membentuk Batalyon Kesatuan Indonesia (BKI) pada akhir bulan Desember 1945, selanjutnya 

aktif pula dalam mengatur penyusupan para pejuang ke Sulawesi—Belanda saat itu telah 

menegakkan kembali kekuasaannya di Sulawesi—dengan memakai  perahu dari Jawa. 

Adapun pasukan yang tergabung dalam Batalyon Kesatuan Indonesia yang dipersiapkan oleh 

Kahar yaitu  terbentuk dari orang-orang yang berasal dari pulau-pulau seberang yang 

dipenjarakan di Nusakambangan Cilacap. Dengan melalui keterlibatannya para tahanan ini 

banyak yang dibebaskan dan selanjutnya kepada mereka diberi latihan militer secara singkat. 

Menurut beberapa sumber, awalnya batalyon ini ditugaskan sebagai pengawal Presiden 

Soekarno pada waktu Pemerintah Republik pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, namun lalu  

ada perubahan nama menjadi "pasukan gerak cepat Penyelidik Militer Khusus (PMC)" yang 

dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis di Yogyakarta. Akan namun  pembentukan pasukan ini hanya 

berlangsung beberapa bulan saja. Pada tanggal 24 Maret 1946 Kahar Muzakkar mendapat kuasa 

penuh dari Panglima Tentara Republik Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik 

Indonesia Persiapan di Sulawesi (TRIPS). Adapun untuk membentuk pasukan ini  Kahar 

Muzakkar banyak mengambil pasukannya dari yang telah tergabung sebelumnya dalam BKI.  

Untuk menjalankan tugas ini Kahar Muzakkar mulai mengatur penyusupan ke Sulawesi Selatan 

dengan memakai  perahu layar. Pada mulanya ekspedisi pasukan ini berjalan lancar, kurang 

  


 202 

 

lebih ada sepuluh ekspedisi dikirimkan dari Jawa oleh TRIPES dengan jumlah 1200 orang prajurit 

sudah dikirimkan selama tahun 1946 dan lebih terutama ekspedisi yang keempat dan keenam 

yang kelak menjadi bagian penting bagi perkembangan sejarah. namun  sesudah 1946, kegiatan 

penyusupan benar-benar terhenti. Yang menjadi penyebabnya yaitu  sebab  penyusupan 

digagalkan oleh taktik anti kekacauan Belanda yang digunakan Westerling oleh sebab nya 

harapan bagi pasukan Republik di Sulawesi agak suram. Sebagian besar pejuang gerilya yang 

datang dari Jawa tertangkap atau terbunuh. Sisanya kembali ke Jawa. Begitu juga yang dialami 

para pejuang setempat yang tidak pernah meninggalkan Sulawesi pun menderita pukulan hebat 

sebab  aksi-aksi Westerling ini .  

Sementara itu orang-orang Sulawesi yang berdomisili di Jawa, terus melakukan perlawanannya 

dalam bertempur dengan Belanda. Dan dalam masa perjuangan ini nama dan kedudukan TRIPES 

beberapa kali mengalami perubahan. Pada bulan November tidak lama sesudah diadakannya 

perjanjian Linggarjati, namanya berubah menjadi Lasykar Sulawesi. Bersamaan waktunya, saat  

itu Kahar Muzakkar dan anak buahnya yang sedang berjuang di Madiun membentuk pasukan 

penggempurnya sendiri, Barisan Berani Mati (BBM), mereka diambil dari prajurit-prajurit TRIPES 

yang terbaik, dan dalam teori juga terdapat cabangnya di Sulawesi.  

Pada bulan Juni 1947 Tentara Republik berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Dalam kedudukan yang barunya, Kahar Muzakkar diberi tugas mengkoordinasi satuan-satuan 

gerilya di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara—sesungguhnya, seluruh daerah 

seberang. Disamping itu pula, dia ditugasi membina kader militer di daerah-daerah ini; usaha ini 

pada tahun-tahun 1946 dan 1947 gagal sebab  aksi-aksi Westerling. Kahar Muzakkar dalam hal ini 

memulai dengan awal yang baik dengan mengirimkan dua perwira stafnya—Saleh Sjahban 

(Saleh Syahban) dan Bahar Mattaliu—ke Sulawesi untuk mengadakan hubungan dengan 

pasukan-pasukan gerilya yang tersisa di sini bahkan sebelum pengangkatannya Oktober. 

lalu  pada tanggal 17 Agustus 1949, dibentuklah Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) 

oleh Saleh Sjahban dengan tujuan mempersatukan demikian banyaknya pejuang yang terpencar 

dan terpencil yang beroperasi sendiri-sendiri di daerah itu.  

Kahar Muzakkar sendiri tiba di Ujungpandang 22 Juni 1950. Selama beberapa hari sesudah 

kedatangannya, dia melakukan wawancara dengan Kawilarang lalu  melakukan kunjungan 

singkat ke Sulawesi Selatan untuk berusaha meyakinkan para pejuang agar menerima syarat 

yang diusulkan Tentara Republik, "mereka diakui sebagai prajurit dulu, dan rasionalisasi 

seyogyanya barulah dijalankan sesudah itu". Syarat ini, menurut Harvey sejalan dengan 

kompromi yang sebelumnya diajukan para pemimpin KGSS sendiri. namun  sekembalinya dari 

  


 203 

 

perjalanannya, Kahar Muzakkar mengajukan usul balasan yang diinginkan oleh para pejuang . 

Mereka menghendaki agar jumlah pejuang yang akan diterima mencapai sedikit-dikitnya 

kekuatan satu brigade. Disamping itu, Kahar Muzakkar dan para pejuang ini menghendaki 

mereka membentuk brigade tersendiri, tidak terpencar dalam sejumlah satuan yang berbeda-

beda.  

Usul KGSS itu ditolak oleh Kawilarang dalam suatu pertemuan dengan Kahar Muzakkar pada 

tanggal 1 Juli 1950. lalu  Kawilarang mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan 

Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan, dan pada hari yang sama melarang semua kegiatan yang 

berkaitan dengan pembentukan organisasi gerilya baru, menurut Kawilarang, sebab  masa 

integrasi pejuang ke dalam Tentara telah berakhir. Pada Agustus Kawilarang menyatakan, 70% 

pejuang telah memasuki Tentara, dan hanya 30% yang menolak melakukan demikian, lalu  

dia memperingatkan terhadap yang belakangan ini Tentara akan bertindak. 

saat  mendengar reaksi Kawilarang atas usul-usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar 

menyatakan mengundurkan diri dari Tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima. 

Beberapa hari lalu  dia masuk hutan. Dalam fakta  yang sesungguhnya, dia diculik KGSS, 

atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasar  

perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Kahar Muzakkar diam-diam.  

Kahar Muzakkar mengintruksikan para pejuang lain untuk mengabaikan larangan yang 

dikeluarkan oleh Kawilarang tentang KGSS. Oleh sebab  itu KGSS terus berfungsi walaupun 

sekarang sebagai organisasi ilegal. Seluruh keadaan menjadi lebih ironis, beberapa bulan 

ketegangan berkelanjutan dengan pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI dengan 

pasukan Kahar Muzakkar.  

berdasar  keterangan resmi Tentara yang dikeluarkan oleh Letnan Kolonel Kosasih, Kepala 

Staf Tentara Republik untuk Sulawesi Selatan, Tentara memutuskan melancarkan serangan 

terhadap kaum pejuang sebab  barisan mereka telah disusupi penjahat-penjahat. Tudingan yang 

demikian kerap dilontarkan oleh Tentara Republik dengan maksud memojokkan setiap orang 

yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Republik, dan terus menentangnya.  

sesudah  adanya sikap keras Tentara yang tidak kenal kompromi ini berbuntut panjang. Kini di 

kalangan sipil di Sulawesi Selatan sendiri maupun di Jakarta tidak sependapat dengan sikap yang 

diambil oleh Tentara. Mereka berpendapat, bahwa pada setiap pejuang ada sifat patriotismenya. 

Namun oleh kalangan Tentara dianggapnya sebagai gerombolan pengacau. Ditambahkannya, 

sesungguhnya di Sulawesi Selatan lebih banyak terdapat simpati terhadap kaum pejuang, 

dimana mereka banyak yang diberi makanan oleh penduduk desa, ketimbang terhadap Tentara 

  


 204 

 

Republik. Mengenai dukungan rakyat setempat ini Andaya menulis: "Sejak semula benar, Kahar 

dan para pejuang mendapat dukungan luar biasa dari rakyat setempat yang memperlihatkan 

simpati yang besar dengan penderitaan mereka ini", dan "mereka anggap kehadiran pasukan-

pasukan orang Jawa, pemimpin-pemimpin pemerintah, dan unsur-unsur kebudayaan Jawa di 

pantai mereka, sebagai penghinaan terhadap rakyat Sulawesi, padahal rakyat Sulawesi telah 

demikian banyaknya menyumbang harta dan darah sehingga mengalami penderitaan yang amat 

sangat untuk memperoleh kemerdekaan dari Belanda".  

Begitu juga ada indikasi kuat yang menyatakan bahwa, Tentara Republiklah yang menyebabkan 

terjadinya pertempuran sebab  menduduki pangkalan-pangkalan gerilya. Hal ini pula yang 

memperkuat kecurigaan para pejuang mujahidin. Dari pihak pejuang menyatakan, sesungguhnya 

mereka mengundurkan diri ke hutan untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah, dan 

mereka hanya membalas dan bertempur dalam keadaan terpaksa. Para pejuang sendiri 

sebenarnya lebih menginginkan jalan kompromi dalam menyelesaikan kemelut yang ada. Pada 

bulan September Kahar Muzakkar memberitahukan, tuntutan menghendaki Brigade 

Hasanuddin dan dia sendiri yang menjadi komandannya bukanlah tuntutan yang mutlak. Dalam 

hal masuknya Kahar Muzakkar sendiri beserta anak buahnya kedalam Tentara, dia sama sekali 

bersedia menyerahkan kepada Tentara berapa jumlah tepatnya dan siapa yang tetap dan siapa 

yang akan di demobilisasikan. Pendirian sikap ini jelas-jelas dikatakan oleh seorang juru bicara 

pejuang pada akhir Oktober. Juru bicara ini menekankan, perbedaan antara Tentara Republik 

dan pejuang bukanlah perbedaan prinsip atau ideologi. Satu-satunya masalah yang tetap harus 

diselesaikan ialah masalah integrasi Brigade Hasanuddin ke dalam Tentara Republik. Begitu 

masalah ini dapat diselesaikan, demikian dikemukakannya, para pejuang bersedia memasuki 

batalyon "depot" dan akan mematuhi perintah para atasannya sebagai prajurit yang setia.  

Bukti sebagai syarat yang jelas akan kesetiaan mereka bahwa para pejuang membantu Tentara 

dalam bulan Mei dan Agustus. Oleh sebab  itu ada permintaan dari banyak kalangan untuk 

berusaha mencari penyelesaiannya dengan cara damai. Suatu resolusi yang mendesak 

Pemerintah untuk tidak memakai  kekerasan disampaikan oleh dua puluh dua partai politik 

dan organisasi Sulawesi Selatan, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas prakarsa fraksi 

Kerakyatan. Di samping itu, pada 18 Agustus, sebuah Panitia Jasa Baik dibentuk penduduk 

setempat yang terkemuka. Panitia ini diketuai Jusuf Bauti, anggota Dewan Pemerintah Daerah 

Sulawesi Selatan, beserta seorang anggotanya yang paling aktif Nyonya Salawati Daud, istri 

seorang pejabat pemerintah di Maros, salah satu benteng pejuang mujahidin.  

Pada tanggal 25 Maret 1951, akhirnya tibalah hari yang lama dinanti-nantikan: pembentukan 

resmi Persiapan Brigade Hasanuddin sebagai bagian dari Korps Cadangan Nasional Tentara 

  


 205 

 

Republik. Pada hari ini juga Kahar Muzakkar meninggalkan tempat persembunyiannya. Suatu 

upacara khusus untuk menyambutnya diadakan di Maros: sebanyak lima sampai enam ribu orang 

telah berkumpul untuk menyaksikan dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh 

malam hari. Salawati Daud dan Kahar Muzakkar sendiri yang bicara kepada pasukan. Kahar 

Muzakkar dalam pidatonya, yang berlangsung kira-kira setengah jam, secara panjang lebar 

membicarakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya bahwa ia terlalu ambisius, ia 

masuk hutan semata-mata untuk melanjutkan tujuannya, dan ia sengaja melarut-larutkan 

perundingan agar terjamin pengukuhan pangkatnya sebagai letnan kolonel. Walaupun banyak 

orang yang percaya, dia dan Saleh Sjahban "haus pangkat dan kedudukan", disangkalnya 

tuduhan-tuduhan ini dengan mengemukakan, walaupun fakta  membuktikan ia memiliki 

"kursi-kursi besar, meja-meja besar, dan telah menghadapi orang-orang penting "di masa lampau, 

semuanya ini bukanlah satu-satunya tujuan hidupnya. Saya dicurigai sangat mendambakan 

pangkat letnan kolonel, namun  pangkat letnan kolonel ini yang didesakkan kepada saya", 

ditegaskannya, sambil menambahkan, bila ada orang yang menginginkan mengambil alih 

pimpinan Brigade Hasanuddin, mereka dipersilakan maju ke depan dan melakukan keinginan itu; 

hanya saja dia tidak sudi menyerahkan tugas ini kepada mereka yang telah membakari rumah-

rumah rakyat yang tidak berdosa.  

Namun amat disayangkan adanya pembentukan Korps Cadangan Nasional pada bulan Maret 

sama sekali tidak berarti, pejuang-pejuang muslim Kahar Muzakkar telah menjadi prajurit biasa 

dari Tentara Republik. Penggabungan resminya direncanakan pada bulan Agustus. namun  antara 

Maret dan Agustus 1951 terjadi serangkaian insiden yang mengakibatkan perpecahan baru lagi 

antara Tentara dan Kahar Muzakkar. Pertentangan baru ini pada akhirnya menuju keretakan 

terbuka dan tak terdamaikan. 

Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan 

Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar 

terjadi saat  Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan 

Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak. 

Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 

7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar Muzakkar dan Tentara, 

selanjutnya. Namun tidak seluruh Batalyon Bau Masseppe mengikuti komandannya, melainkan 

sebagian dari padanya dengan Hamid Gali dan Usman Balo sebagai pemimpin-pemimpin 

utamanya dan tetap setia kepada Kahar Muzakkar. sesudah  terjadi sedikit pertempuran dengan 

para pengikut Andi Selle mereka mengundurkan diri ke bagian lain Pare-pare dan membentuk 

batalyon baru, yang dipimpin Hamid Gali. Tidak pula hubungan-hubungan antara Kahar Muzakkar 

  


 206 

 

dan Andi Selle putus sama sekali, dan pada waktunya hubungan antara keduanya membaik lagi. 

Bahar Mattaliu menyebut Andi Selle sebagai salah satu sumber pokok senjata Kahar Muzakkar, 

dan benar-benar dikatakannya: "Ini berarti, bahan-bahan mentah terus dikirimkan Kahar kepada 

Andi Selle yang membayarya dengan pelor, senjata berat dan ringan, dan dengan pakaian 

seragam tentara". 

Dalam menghadapi perjuangan Kahar Muzakkar, Tentara Republik berusaha menghadapinya 

dengan melakukan serangkaian operasi militer. Terutama sekali pada tahun-tahun mula 

kerusuhan dengan mengajak kesatuan-kesatuan pejuang yang merasa tidak puas dengan Kahar 

Muzakkar untuk menyerah. Dan mengenai hal yang akhir ini, Tentara Republik mengambil sedikit 

keuntungan dari adanya perselisihan antar pejuang sendiri. Pertikaian ini bisa muncul sebab  

sebagian ambisi dan dendam pribadi, sebagian lagi sebab  perbedaan ideologi mengenai jalan 

yang harus ditempuh dalam perlawanannya terhadap Pemerintah Republik. 

Bertepatan waktunya dengan saat  Pemerintah menganjurkan penyelesaian "politik psikologis", 

Kahar Muzakkar memperkuat posisinya. Dalam masa inilah dilakukan pembaharuan hubungan 

antara dia dan Kartosoewirjo. Hubungan pertama antara mereka telah dilakukan Agustus tahun 

sebelumnya, saat  Kahar Muzakkar masuk hutan. Pada waktu itu Kahar Muzakkar didesak 

melalui perantaraan Bukhari, saat  itu wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan 

Abdullah Riau Soshby, salah seorang tampuk pimpinan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, 

untuk membentuk "Komandemen TII" untuk Sulawesi. Kartosoewirjo secara pribadi 

mengirimkan sepucuk surat kepada Kahar Muzakkar yang menawarkan kepadanya pimpinan 

Tentara Islam Indonesia di Sulawesi beberapa bulan lalu . 

Secara resmi tawaran ini diterima Kahar Muzakkar pada 20 Januari 1952. Demikianlah ia menjadi 

panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia, yang juga disebut Divisi Hasanuddin. Syamsul Bachri 

diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Dalam sepucuk surat tanggal yang ini  

di atas yang ditulis Kahar Muzakkar dalam menerima pengangkatannya, dinyatakan bahwa ia 

sendiri merasa berterima kasih dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diperlihatkan 

Kartosoewirjo kepadanya dengan keputusan mengangkatnya menjadi panglima Tentara Islam 

Indonesia untuk Sulawesi. Bersamaan dengan itu dinyatakannya, tak dapat sepenuhnya ia 

mengabdikan diri, sebab  berbagai keadaan yang mungkin merintanginya dalam setiap tindakan 

yang diambilnya sebagai panglima Tentara Islam. Selanjutnya dikemukakannya, dari l ima 

batalyon yang dipimpinnya beberapa di antaranya meliputi kelompok bukan Muslim yang 

dipengaruhi ide-ide Komunis. Dilanjutkannya dengan menyatakan, dia ingin memulai suatu 

revolusi Islam sejak 16 Agustus 1951, dan segala sesuatunya telah direncanakan bersama 

komandan-komandan bawahan Saleh Sjahban dan Abdul Fatah, namun  yang belakangan ini 

  


 207 

 

ternyata tidak teguh pendiriannya sehingga rencana itu gagal. Dia dirintangi, katanya, oleh 

kekuatan yang lebih perkasa dengan pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat, yaitu "kaum 

feodalis dan rakyat banyak". Mengenai penduduk Islam di Sulawesi Selatan menurut 

pendapatnya "diperlukan waktu untuk menanamkan dan memupuk semangat Islam yang sejati 

dalam diri mereka". Dalam sebuah surat jawaban pada 27 Februari, Kartosoewirjo mendesak 

Kahar Muzakkar melakukan segala upaya untuk menjadikan rakyat "bersemangat Islam" dan 

"bersemangat Negara Islam", serta melanjutkan melakukan apa saja yang dianjurkan syariat 

Islam di masa perang.  

Walaupun ada pengangkatannya sebagai panglima daerah Tentara Islam Indonesia Kahar 

Muzakkar untuk sementara tidak mau memakai  nama ini bagi pasukan-pasukannya. Pada 

bulan Maret 1952 sesungguhnya pasukannya diberinya nama Tentara Kemerdekaan Rakyat 

(TKR). Baru pada 7 Agustus 1953, tepat empat tahun sesudah proklamasi Negara Islam 

Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar mempermaklumkan bahwa daerah Sulawesi dan daerah-daerah 

sekitarnya (yaitu Indonesia Timur lainnya, termasuk Irian Barat) menyatakan bagian dari Negara 

Islam Indonesia. Bersamaan dengan ini ia menamakan pasukannya Tentara Islam Indonesia.  

Kahar Muzakkar bahkan menjadi lebih terlibat dalam Negara Islam Indonesia dengan 

pengangkatannya pada 1 Januari 1955, sebagai Wakil Pertama Menteri Pertahanan Negara Islam 

Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. 

Politik Kahar Muzakkar yang lebih agresif pada bulan-bulan awal 1952 oleh sementara pengamat 

dinyatakan, susungguhnya, sebab  hubungannya dengan gerakan Darul Islam Jawa Barat. Dia 

sendiri mendasarkan serangannya terhadap posisi Tentara dan Pemerintah Indonesia dengan 

menyatakannya sebagai pembalasan untuk aksi-aksi militer Tentara yang dilakukan terhadapnya. 

Yang demikian ini secara tegas dikemukakannya dalam perintah yang dikeluarkan 5 April 1952. Di 

dalamnya disebutnya moment operasi-nya, dengan memerintahkan pasukannya menerapkan 

taktik tabrak lari, yaitu, mengejutkan pasukan Republik dengan serangan mendadak dan 

mengundurkan diri sebelum tentara dapat memukul kembali, sebagai aksi balasan terhadap 

sweeps operasi (operasi pembersihan) Tentara. Taktik-taktik khas militer ini digabungkan 

dengan cara perang psikologis, yang sebagian besar mengungkapkan kejahatan-kejahatan 

Pemerintah Indonesia.  

Pada konperensi pemimpin gerilya sebelum proklamasi Sulawesi sebagai bagian dari Negara 

Islam Indonesia, disusun sebuah konstitusi Negara Republik Islam Indonesia, atau, disebut juga 

Republik Islam Indonesia. Konstitusi ini dikenal sebagai Piagam Makalua, menurut nama tempat 

konperensi.Di dalam dokumen ini  Kahar Muzakkar memuat lebih banyak dan lebih teliti 

  


 208 

 

mengenai pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial dan ekonomi dibandingkan dengan 

perjuangan Darul Islam di Jawa Barat. 

Butir kedua yang timbul dari bahan-bahan ini yaitu  bahwa Darul Islam bertujuan menciptakan 

ragam masyarakat sama derajat, dan dalam beberapa hal masyarakat puritan. Ingin 

menghilangkan semua sisa norma sosial tradisional, membayangkan land reform yang 

sederhana, dan bertujuan melenyapkan perbedaan-perbedaan dalam kekayaan pribadi pada 

umumnya. 

Kedua kecenderungan pokok yang dikemukakan ini tidaklah sangat baru. Kahar Muzakkar sudah 

sejak lama musuh kaum penguasa tradisional dan telah lama bertentangan dengan pemimpin-

pemimpin adat sejak 1943. Sebagian para pengikutnya pun di samping itu menginginkan 

perubahan sosial. Sikap kaum bangsawan yang pada mulanya menyokong proklamasi 

kemerdekaan Indonesia dan kehadiran militer Belanda yang kuat lalu  di daerah itu, 

mungkin yang mencegah meletusnya di sini suatu "revolusi sosial" sejenis yang terjadi di 

Pekalongan dan Aceh. Ada beberapa petunjuk tentang dasar-dasar mula revolusi sosial demikian 

pada 1950, sesudah Belanda berangkat dan sebelum Pemerintah Republik menegakkan 

kekuasaanya didaerah ini. Demikianlah Jusuf Bauti melihat pada akhir 1950 ada tanda-tanda ke 

arah "revolusi sosial" di Makale. Kelompok-kelompok yang menginginkan dihapuskannya 

pranata-pranata dan praktek tradisional kuat sekali menurut dia. Keadaan yang serupa 

dilaporkan tentang Mandar; disini para pejuang Republik berusaha melenyapkan p