Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 9
joedjoer dan hemat.
5. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes bidjaksana.
6. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes mentjintai dan membela sesama Moedjahid.
7. Seorang Tentara Islam Indonesia pantang menjerah.
P.P.T. IV
Kedoedoekan Polisi Islam Indonesia dan Baris.
Kedoedoekan (Polisi Islam Indonesia) menghampiri (mendekati) kedoedoekan Tentara
Islam Indonesia. Oleh sebab itoe, maka Polisi mendjadi pembantoe tentara jang pertama
dan teroetama, istimewa dalam soal-soal militer dan kemiliteran. Adapoen Baris (Barisan
Rakyat Islam) hendaknja betoel-betoel meroepakan Barisan Rakjat, Pembela Rakjat dan
Tentara Rakjat.
P.P.T. V
Kedoedoekan Rois dan Baris.
Golongan Rois dan Baris tidak masoek Angkatan Perang Negara Islam Indonesia,
melainkan mendjadi Pembantoe yang aktif, di dalam menoenaikan toegas-soetji,
menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia.
Kepada Panglima K.W./Div., Kmd./Res., Kmd. K.K/Bat., dibolehkan mengeloearkan
peratoeran-peratoeran tersendiri, bagi keperloean golongan Rois dan Baris, sesoeai
dengan isi dan maksoed jang terkandoeng dalam M.K.T. (Makloemat Komandemen
Tertinggi).
Bendera NII
Dalam maklumat Militer Negara Islam Indonesia No. II, memutuskan bahwa Negara Islam
Indonesia memiliki 3 macam bendera di antaranya:
1. Bendera Negara: Merah-Putih berbulan bintang;
2. Bendera Tentara: Dasar (warna hijau), bergambar bulan bintang (putih);
3. Bendera Negara/Tentara dalam keadaan Perang: Dasar (warna merah) bergambar
bulan bintang (warna putih).
Dalam manifesto politiknya yang dikeluarkan tak lama sesudah proklamasi NII,
Kartosoewirjo menentang KMB dan pembentukan Republik Indonesia Serikat.
Pernyataan dia dalam manifesto ini yaitu sebagai berikut:
“Telah tiba saat jang menentoekan nasib bangsa Indonesia, teroetama nasib Oemat Islam
Indonesia. Perdjoeangan kini haroes diteroeskan dengan Islam sampai Mardlotillah
tertjapai, itoe yaitu satoe-satoenja djalan oentoek membebaskan Oemmat Islam dari
segala penderitaan di doenia dan di achirat.
Moesoeh-moesoeh Allah, moesoeh-moesoeh agama Islam dan moesoeh Negara Islam
Indonesia haroes dihantjoerkan agar hoekoem Islam jang sesoeai dengan adjaran Al-
Qoer’an dan Soennah Nabi setjara menjeloeroeh dan oetoeh dapat dilaksanakan di
seloeroeh Indonesia.
Menurut Manifesto Politiknya Kartosoewirjo menjelaskan bahwa “Negara Islam
Indonesia dapat mendjalin hoeboengan dengan setiap negara lain, namun dengan sjarat,
negara terseboet haroes mengakoei Negara Islam Indonesia, bahkan djoega dengan
Belanda Negara Islam Indonesia dapat mengadakan hoeboengan berdasar sjarat
terseboet”.
sebab Islam mentjakoep semoea aspek kehidoepan manoesia, boekan hanja jang
berhoeboengan dengan keachiratan, melainkan djoega jang berhoeboengan dengan
kehidoepan bermasjarkat dan bernegara, maka setjara teoritis di dalam seboeh negara
Islam tidak terdapat pemisahan antara negara dan pemerintah, antara politik dan agama.
Ada doea anasir jang haroes disatoekan, pertama: “Satoe negara jang berdaoelat penoeh
100 % keloear dan kedalam, "de facto dan de jure”. Kedoea: “Haroes ada peratoeran Allah,
jang meroepakan agama Allah, atau agama Islam”. Kedoea anasir ini haroes bersatoe
atau dipersatoekan. Boekan sebagai minjak dan air jang ada di seboeh perioek.
Sementara itu sejak tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 dalam Konferensi Meja
Bundar Di Den Haag dibahas masa depan Indonesia, salah satu hasilnya yaitu perjanjian
tentang “penyerahan” kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Di
samping itu dari perjanjian-perjanjian ini banyak dikaitkan dengan persetujuan lain
yang mengarah ke suatu ketergantungan langsung RIS kepada Belanda dan
memungkinkan Belanda mengontrol politik dalam dan luar negeri RIS. Masalah
berikutnya yaitu peleburan anggota-anggota KNIL ke dalam APRIS dan pembentukan
misi militer Belanda yang akan ditugaskan untuk melatih anggota-anggota APRIS. Dan
yang terpenting dari masalah itu yaitu bagaimana upaya pemerintah RIS yang dipimpin
oleh Soekarno menyelesaikan kasus Darul Islam sampai tuntas.
Pada akhir bulan Oktober 1949 rancangan Undang-Undang Dasar RIS selesai disusun, dan
pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penyerahan kedaulatan oleh Belanda
kepada RIS. Sehari lalu Soekarno diangkat kembali menjadi Presiden Republik
Indonesia Serikat.
Dalam sebuah keterangan pemerintah NII pada awal Oktober 1949, Kartosoewirjo
mengumumkan pendapatnya tentang Konferensi Meja Bundar: “Konferensi terseboet
boekanlah seboeah konferensi antara doea negara jang berdaoelat. Negara soedah
didjoeal! Kedaoelatan telah moesnah! Kemerdekaan djatoeh di tangan moesoeh!”.
Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda membuat keadaan lebih
mendesak bagi Soekarno, Bagaimana caranya untuk mencari penyelesaian masalah
secepatnya tentang Negara Islam Indonesia yang telah diproklamasikan oleh
Kartosoewirjo. Namun Pemerintah RIS dan Tentara Republik merasa dihadapkan pada
suatu dilema. sebab sebagian dari Tentara Republik yang tergabung di dalam TNI
tidaklah mungkin menindak secara cepat para Tentara Islam Indonesia disebabkan
sedikitnya jumlah pasukan dan tidak dimilikinya senjata serta perlengkapan. Di samping
itu, lawan mereka walaupun dipandang dengan sebelah mata ternyata memperoleh
simpati yang sangat besar dari rakyat Jawa Barat. Itulah sebabnya mengapa
kebijaksanaan pemerintah sering berubah dalam menghadapi persoalan ini. Apakah ingin
melakukan tindakan operasi militer atau memberi amnesti? Selain daripada itu banyak
sekali kritikan yang dialamatkan kepada pemerintah tentang penyelesaian masalahnya,
terutama dari kalangan politisi Islam yang mendesak untuk diadakan perundingan.
Maka pada bulan Desember 1949 diadakan sebuah usaha untuk membujuk atau
menyadarkan Kartosoewirjo supaya dia kembali ke dalam pangkuan Republik. Usaha
pertama yang dilakukan oleh pemerintah RIS yaitu dengan menugaskan menteri agama
K.H. Masjkur yang akan berangkat ke Yogyakarta untuk mengadakan pembicaraan
dengan Kartosoewirjo. Namun gagal disebabkan K.H. Masjkur tidak bertemu dengannya.
Dalam kongres Muslimin Indonesia pada tangal 20-25 Desember 1949, ada usaha untuk
memasukkan pembahasan mengenai perjuangan suci DI/TII. Di mana sebagian besar dari
pembicaraan para peserta kongres membela Kartosoewirjo, mereka menerangkan
bahwa perjuangan suci DI/TII itu bukan menentang Republik melainkan ditujukan
menentang Belanda, dan “anak-anak kita” yang telah mempertahankan Jawa Barat
dengan gigihnya berperang, telah melemahkan pengaruh Belanda di mata Internasional
dan melemahkan kekuatan militer Belanda. Justru sebaliknya memperkuat posisi
Republik dalam setiap perundingannya. Dalam kongres itu juga dinyatakan, mengapa
Republik lalu tidak berusaha untuk mengadakan kompromi dengan perjuangan
suci DI/TII. Bila Republik telah bersedia untuk bekerja sama dengan negara-negara boneka
yang mengkhianati Republik, mengapa Republik tidak pula menempuh jalan kompromi
dengan perjuangan suci DI/TII. Bagaimanapun pemakaian kekerasan tidak akan
membawa penyelesaian masalah melainkan hanya menyebarkan benih dendam dalam
hati umat Islam terhadap Republik. Selanjutnya dianjurkan supaya pemerintah RIS
menyelesaikan masalah DI/TII dengan jalan damai, dan dalam kongres Muslimin ini
menyokong resolusi Muktamar Masjumi untuk membentuk sebuah komisi pemerintah
untuk menyelesaikan masalah DI/TII. Yang dikritik pula yaitu Maklumat Rahasia MBKD
NO. V. Dalam maklumat ini diperintahkan kepada semua instansi, militer, polisi, dan
pamongpraja untuk mengawasi gerak-gerik umat Islam. Sebagai akibat adanya maklumat
itu, anggota Masjumi didaftar, di setiap rapat-rapat Masjumi dihadiri oleh wakil
pemerintah. Penderitaan dan korban yang diberikan umat Islam demikian diterangkan,
umat Islam dihukum dengan sikap curiga, tuduhan dan pengawasan.
Melihat fakta pahit yang dirasakan oleh setiap partai, pada tanggal 1 Januari 1950
Kartosoewirjo mengeluarkan Maklumat Komandemen Tertinggi No. 5 yang isinya antara
lain: “Menimbang bahwa lebih besar moedharat dan keroegiannja, bagi Negara dan
Agama Allah serta Oemmat Islam Bangsa Indonesia, akan adanja soeatoe organisasi,
party, perhimpoenan, perkoempoelan, gerakan atau apapoen djoega, di loear organisasi
Negara, atau di loear organisasi jang dibentoek/disahkan oleh pemerintah. Maka
memoetoeskan dilarang keras mendirikan, membentoek dan mempropagandakan satoe
organisasi, di loear dan selain daripada organisasi Negara, atau organisasi jang
dibentoek/disahkan oleh Pemerintah. Dan dileboer dalam salah satoe bagian daripada
organisasi Negara, atau salah satoe bagian daripada organisasi jang dibentoek/disahkan
oleh Pemerintah.
sesudah Belanda meninggalkan kekuasaanya di Indonesia, maka semakin hebatlah
pertarungan politik di Indonesia. Kini ada 3 kekuatan yang saling tarik menarik untuk
mempengaruhi peta politik yang sedang berkembang saat itu. Terutama dari kalangan
Komunis, mereka berusaha selalu masuk dalam sendi-sendi kehidupan politik Indonesia
dan mereka berupaya untuk mengadu kekuatan Nasionalis Islam dengan Darul Islam yang
dipimpin oleh Kartosoewirjo. Oleh sebab itu dalam setiap maklumat-maklumat yang
dibuat oleh Komandemen Tertinggi makin sering menyerang Komunis yang
dinyatakannya sebagai musuh utama. Dalam nota rahasia pada bulan Oktober 1950 yang
dikirim kepada Soekarno, Kartosoewirjo menawarkan pada Soekarno agar bersama-sama
dengan Negara Islam Indonesia membasmi komunisme dan meninggalkan politik netral
yang dipraktekkan selama itu. Apabila RI mengakui NII, Kartosoewirjo menjamin bahwa
RI akan mempunyai “sahabat sehidup semati” dalam menghadapi segala kemungkinan,
terutama menghadapi komunisme, sebab nasionalisme tidak dapat mengikat jiwa rakyat
Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam. Kekuatan untuk membendung
komunisme, menurut Kartosoewirjo hanya dimiliki Islam, sebab itu secepatnya membuat
Islam sebagai dasar negara.
Sebuah nota rahasia berikutnya yang isinya mirip seperti nota di atas, dikirimkan
Kartosoewirjo kepada Sukarno pada bulan Februari 1951. Nota ini merupakan
penjelasan nota sebelumnya. Kata Kartosoewirjo, “Pemimpin RI mempoenjai
tanggoengdjawab oentoek membendoeng “aroes merah” dan sekaligoes haroes siap
oentoek menghadapi “Perang Barata Joeda Djaja Binangoen”. Dia meramalkan dalam
notanya ini, bahwa nasionalisme Indonesia akan mengalami perpecahan, sebagian akan
mengikuti komunisme dan sebagian lagi menggabungkan diri dengan golongan Islam.
Kartosoewirjo menerangkan, bahwa di Indonesia sejak tiga tahun berdirilah dua negara
yang berbeda dalam hukum dan pendirinya, berlainan sikap dan haluan politiknya,
bertentangan maksud dan tujuannya; pendek kata berselisih hampir dalam setiap hal.
Filsafat Pancasila dinamakannya sebagai satu campuran masakan yang terdiri dari pada
Sintoisme, Hokko Itciu, Islam-syirik dan nasionalisme jahil yang kemerah-merahan.
Namun amat disayangkan kedua nota ini tidak pernah dijawab oleh Soekarno,
sehingga Kartosoewirjo menyesalkan, bahwa pemerintah RI tidak menjawab kedua nota
rahasianya, melainkan mencap negaranya sebagai “gerombolan Darul Islam”,
pemberontak, perampok, dll, dan menyerang negaranya dengan kekuatan senjata.
Semua usaha pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah DI/TII secara damai
dinamakannya sebagai perbuatan khianat dan sebagai penipuan. Yang sangat
memalukan sekali bahwa diikut sertakannya para alim ulama sebagai penghubung dan
pengantara. Yang pada akhirnya Kartosoewirjo menamakan Republik Indonesia sebagai
“Repoeblik Indonesia Komoenis” (RIK) dan angkatan perangnya sebagai “Tentara
Repoeblik Indonesia Komoenis (TRIK)”. Dalam sebuah Manifesto Politik, Kartosoewirjo
memberi restrospeksi pada perkembangan politik Indonesia secara menyeluruh dan
menjelaskan pandangannya tentang masa depan negeri ini. Dengan judul Manifesto
politiknya “Heru Tjokro bersabda: Indonesia kini dan kelak”. Menurutnya “Heru Tjokro”
menggambarkan satu makhluk Allah yang menguasai dan memutarkan roda dunia
menuju Mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam Indonesia. Heru Tjokro artikan sebagai:
“Penjapoe masjarakat Djahilijah, pembela gelap goelita, pembasmi barang siapa jang
chianat dan moertad, koefoer, dan moenafiq tjoerang dan serong, pendjoeal Agama dan
Negara. Tegasnja: segala anak-tjoetjoe iblis la’natoellah jang kini masih leloeasa
berkeliaran di tengah-tengah masjarakat dan rakjat Indonesia”. Dan sebagai: “Pelepas
dan pembebas bagi segenap perikemanoesiaan, daripada bentjana dan malapetaka,
dlohir dan batin, di doenia dan achirat kelak”.
Selanjutnya Kartosoewirjo menulis di dalam statement Negara Islam Indonesia, bahwa
Soekarno telah menerangkan, Negara Islam Indonesia tidak bersedia diadjak beroending.
“Kapan RIK mengadjak beroending, atau kapan mereka maoe beroending, demikian
pertanjaannja: “Negara Islam Indonesia doea kali kirim nota rahasia, apa reaksi atas nota
terseboet? Lebih baik Soekarno soeroeh periksa otak dan hatinja oleh achli djiwa jang
tjakap dan berani teroes terang menjatakan penjakit Bung Karno beserta RIK….
“Lebih baik istirahat di Tjikeumeuh, Bogor (R.S. Gila) daripada memboeat bentjana di
tengah-tengah oemmat dan negara, hanja oentoek menoeroet nafsoe merah moskow
belaka”.
Demikianlah cara Soekarno yang tidak terpuji, dengan seenak hatinya tanpa berpikir
panjang telah menjatuhkan vonis salah kepada temannya sendiri yang telah lama
dikenalnya hanya sebab teman ini menjalankan sebuah misi dari Sang Kholik yang
sangat mulia dan terpuji. Dengan pikiran komunis yang telah lama dipelajarinya, Soekarno
hendak memadamkan Nur Ilahy berupa Surganya Allah di dunia (Negara Islam), namun
Allah senantiasa menjaga agar cahaya-Nya tetap terang benderang di bumi Indonesia ini.
Sehingga menerangi alam Indonesia yang dipenuhi kabut kejahiliyahan dan kemunafikan.
saat Muh. Natsir mulai menjabat sebagai Perdana Menteri, dia memasukkan pesoalan
DI/TII dalam program kabinetnya. Awal mula yang dijalankannya dia berusaha untuk
memecahkan masalah perjuangan D.I lewat cara damai dengan mengutus beberapa
tokoh yang dekat dengan Kartosoewirjo. Pada tanggal 14 Mei 1950, Natsir mengutus Wali
Alfatah untuk berangkat ke Priangan menemui Kartosoewirjo. Namun pertemuan itu
gagal sebab pasukan APRIS di bawah perintah Kolonel Nasuhi yang sebelumnya telah
membuat perencanaan pertemuan ini mengepung sebuah kesatuan TII terdiri dari
kira-kira 100 tentara yang ditugaskan untuk menjamin keamanan pertemuan itu. Dalam
pertempuran yang selanjutnya terjadi, gugurlah Toha Arsjad Menteri Penerangan NII.
lalu PM Natsir mengadakan usaha berikutnya, saat dia pada tanggal 14 November
1950 menawarkan amnesti bagi semua kelompok bersenjata yang belum
menggabungkan diri dengan Republik dan masih memusuhi pemerintah RI. Natsir
menugaskan Kyai Muslich, kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Tengah untuk
menyampaikan pesan pemerintah kepada Amir Fatah, pemimpin perjuangan suci Darul
Islam di Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju Jawa Barat Amir Fatah dan pasukannya
selalu diikuti pasukan pemerintah hingga dia akhirnya menyerah di Jawa Barat tanpa
bertemu dengan Kartosoewirjo.
Pada akhir Desember 1950 Natsir menugaskan kembali Kyai Muslich untuk
menyampaikan amanat pemerintah RI kepada “Tuan Kartosoewirjo”. Muslich dibawa ke
markasnya Kartosoewirjo di Gunung Galunggung oleh seorang penghubung perjuangan
suci Darul Islam yang hidup di Bandung. Sebelum keberangkatannya, Kyai Muslich masih
menemui Panglima Teritorium III/Siliwangi, Kol. Sadikin dan lalu mendapat disposisi
yang ditandatangani oleh Kepala Staf Letkol Soetoko yang berbunyi: “Berikan bantuan
seperlunya, supaya order YM Perdana Menteri dapat dilaksanakan dalam tempo dekat”.
sesudah tiba di tempat tujuan Kyai Muslich tidak bertemu muka dengan Katosoewirjo
yang dia sudah kenal sejak tahun tigapuluhan saat sama-sama menjadi anggota PSII.
Lewat ajudannya Kartosoewirjo menyampaikan pesan, bahwa sebenarnya dia ingin
bertemu dengan Kyai Muslich, namun sebagai Imam dan Panglima Tertinggi NII dia tidak
dapat menerima seorang kurir dari kedudukan serendah Kyai Muslich. Sebaiknya
pemerintah di Jakarta mengirimkan seorang utusan yang resmi, maka dia akan
menerimanya. namun sebelumnya, pemerintah RI harus mengakui Negara Islam Indonesia
dulu. Menurut Kyai Muslich, dia dititipi 2 surat untuk PM Natsir, yang satu katanya untuk
Natsir pribadi. Dalam surat ini Kartosoewirjo menulis pada Natsir, bahwa sebagai
Perdana Menteri, Natsir punya kekuasaan untuk menambahkan huruf “I” berikutnya di
belakang RI, menjadi “Republik Islam Indonesia”. Sekiranya Natsir berbuat demikian
maka dia akan mempunyai dukungan sepenuhnya dari pihak NII dalam segala hal. Dalam
surat berikutnya yang ditujukan kepada Moh. Natsir sebagai Perdana Menteri,
Kartosoewirjo menamakan amanat pemerintah RI sebagai “panggilan daun nyiur” sebab
semua anggota kelompok bersenjata yang menyerah, harus membawa daun nyiur
sebagai tanda tekad mereka yang damai.
namun selama masa berlakunya amnesti yang dikeluarkan oleh Muh. Natsir atas nama
pemerintah, hanya sedikit dari anggota kelompok bersenjata TII yang turun gunung. Lagi
pula, sementara amnesti ini masih berlaku, Panglima Teritorium III Jawa Barat
mengeluarkan instruksi yang menyatakan 16 organisasi sebagai organisasi terlarang,
termasuk perjuangan suci DI/TII. Banyak dari mereka yang tertangkap yaitu politisi dari
kalangan Masjumi. Sebagai akibat kegagalan himbauan pemerintah RI, dan Moh. Natsir
juga menyesalkan, bahwa dia dikecam. Maka pada bulan Desember, Natsir didukung oleh
pihak militer mengambil langkah-langkah yang lebih keras dengan menjalankan operasi
Merdeka untuk menjawab seluruh permasalahan tentang Darul Islam.
Menurut Nasution, sudah tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini yaitu keadaan perang
yang harus dihadapi secara perang pula sebab intensitas peperangan ini tidak kalah
dengan perang gerilya melawan Belanda. Nasution juga menyesalkan sikap pemerintah
yang sampai saat itu hanya mengambil tindakan “setengah hati” saja terhadap
pemberontahakan Darul Islam. Lagi pula semua tindakan tidak pernah dikoordinasi satu
dengan yang lainnya. Juga hanya 10% dari seluruh pasukan Divisi Siliwangi mengambil
bagian dalam penumpasan perjuangan suci Darul Islam pada waktu itu.
Semakin pihak RI mengadakan penumpasan terhadap perjuangan Darul Islam, disitu pula
kiranya Allah memberi pertolongan-Nya terhadap perjuangan suci Kartosoewirjo ini.
Dengan "Kurnia Allah" pada tanggal 20 Januari 1952, Negara Islam Indonesia yang
diproklamasikan Kartosoewirjo diterima oleh Kahar Mudzakar yang siap menggabungkan
diri dalam NII. Dan siap pula menerima tawaran Kartosoewirjo untuk memegang
pimpinan Tentara Islam Indonesia. Yang berdasar keputusan Komandemen Tertinggi
APNII dia diangkat sebagai Panglima Divisi IV TII untuk daerah Sulawesi dan Indonesia
Timur. Menyusul lalu pada tanggal 21 September 1953, Abu Daud Beureueh
menyatakan bahwa daerah Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia dan
memutuskan semua hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Melalui kurir yang
bernama Mustafa Rasjid, Kartosoewirjo mengirimkan surat pengangkatan Daud
Beureueh sebagai Panglima TII untuk daerah Aceh. Maka dengan demikian bertambah
kuatlah kedudukan Negara Islam Indonesia dengan masuknya kedua tokoh besar itu.
Dalam usaha Kartosoewirjo untuk terus menggalang Darul Islam Pada bulan Oktober 1952,
Kartosoewirjo memerintahkan untuk mempercepat dan memperhebat semua usaha
menyelenggarakan persiapan perang totaliter dan memperbaiki organisasi Polisi dan
BARIS begitu juga sistem Komandemen. Badan-badan ini haroes membentoek seboeah
“Benteng Islam” agar apabila dalam memasoeki tahap ketiga dapat menyelenggarakan
negara basis atau “Madinah Indonesia” jang mana: “Kedalam, berlakoe sebagai alat -alat
pembersih dan penjapoe segala matjam koetoe-koetoe masjarakat, dan obat
penjemboeh beraneka warna penjakit, pemelihara kadaoelatan Negara Islam Indonesia
dan kesoetjian Agama Islam. Keloear, meroepakan Benteng Islam jang koeat sentaoesa,
jang sanggoep menghadapi tiap-tiap moesoeh Allah (Islam), dari djoeroesan manapoen
djoega”.
Juga penganugerahan pangkat militer dan pemakaian lencana kepangkatan, serta
bentuk dan pembuatan lencana ini kini diatur oleh sebuah Maklumat Komando
Tertinggi. Selanjutnya ditetapkan konsolidasi militer dan aparatur Negara Islam Indonesia,
agar negara ini juga dalam pandangan internasional sesuai dengan negara yang bebas
merdeka. Konsolidasi ini terutama mencakup kekuatan tentara dan persenjataan
kesatuan militer Tentara Islam Indonesia yang masih tetap jauh tertinggal dari standar
seharusnya. Sebuah batalyon Tentara Isalm Indonesia harus terdiri dari 4 kompi masing-
masing dengan 290 tentara dan masing-masing kompi harus mempunyai 12 senjata
otomatis berat dan ringan, 3 mortir, 189 pucuk senapan, dan 12 pucuk pistol. Namun
standar persenjataan yang ideal ini tidak pernah tercapai, sebab selalu kekurangan
senjata berat.
Lambat laun situasi di bidang militer mulai berubah dan terlihat tanda-tanda yang lebih
menguntungkan pihak perjuangan suci TII. Pada tahun 1953, rata-rata setiap hari ada saja
yang gugur dari tentara Republik dalam pertempuran dengan pasukan TII. Sebaliknya
pada tahun 1954 kerugian akibat serangan perjuangan suci TII setiap tahun sudah
meningkat dua kali lipat.
Dari berita “kemenangan” dan laporan-laporan yang disampaikan dalam setiap brifing
pasukan juga menjadi jelas, bahwa sebagian besar senjata yang dimiliki perjuangan suci
DI/TII yaitu hasil rampasan dalam pertempuran. Dengan demikian pada tahun 1956, rata-
rata dalam satu bulan jatuh 15 senjata ke tangan sebuah kesatuan TII.
Sadar akan kekuatannya sendiri yang pada tahun 1957 T.I.I. mencapai 13.129 tentara, serta
mengingat keadaan politik dan ekonomi pemerintah pusat di Jakarta sedang terjadi
kekacauan yang diakibatkan oleh intrik politik Komunis yang semakin mempengaruhi
kebijakan pemerintah, keyakinan nampak pada setiap anggota TII bahwa sesungguhnya
dalam waktu dekat tujuan perjuangan akan tercapai.
“Dalam keadaan RIK jang soenggoeh katjau balau seperti sekarang ini, kita haroes pandai
dalam menoendjoekkan segenap tindakan revoloesioner kita jang memoengkinkan lebih
besar oentoek dapat menarik hati ra’iat, sekali lagi: Hati ra’iat! Sebaliknja, djanganlah kita
melakoekan tindakan-tindakan jang membawa akibat bertambah sakitnja djiwa ra’iat jang
memang telah loeka hatinja oleh sebab tindakan kekedjaman dari serdadoe-serdadoe
pantjasila. Tindakan-tindakan kita jang langsoeng berhoeboengan dengan kepentingan
dan keselamatan ra’iat banjak, hendaklah dilakoekan sebidjaksana-bidjaksananja”.
Dengan adanya kekalahan demi kekalahan yang diterima oleh tentara Republik dalam
menghadapi perjuangan suci DI/TII, maka membuat hati Soekarno menjadi resah dan
gelisah. sebab dia khawatir manakala perjuangan suci yang dipimpin oleh Kartosoewirjo
menang dalam gelanggang pertempuran baik ideologi maupun fisik akan mengancam
eksistensi dia sebagai presiden, terlebih dia masih punya hutang “PR” kepada Belanda
bahwa masalah perjuangan suci DI/TII harus diselesaikan dengan secepatnya.
Untuk tetap mempertahankan kedudukan bahwa dialah sebagai presiden yang sah di
Indonesia dan dia pulalah yang berhak mengatur jalannya roda pemerintahan Indonesia,
maka Soekarno mengadakan perjalanan keliling kebeberapa provinsi dan menegaskan
dalam setiap pidatonya, bahwa “Negara Indonesia ini yaitu negara nasional yang
berdasar Pancasila, dan bukan negara berdasar Islam maka banyak daerah-daerah
yang penduduknya yang tidak beragama Islam akan melepaskan diri dari Republik”.
Pidato Soekarno memicu reaksi yang sangat keras di kalangan kaum Muslimin dan
para politisi partai-partai Islam. Salah satu di antara politisi ini , yaitu Isa Anshori dari
Masjumi yang sejak dulu memperjuangkan ide sebuah negara Islam. Sebagai jawaban atas
kericuhan politik yang diakibatkan pidatonya, Soekarno pada bulan Mei 1953 memberi
sebuah ceramah kuliah di hadapan mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia di
Jakarta, mengenai “Negara Nasional dan Cita-cita Islam”. Dalam ceramahnya itu
Soekarno menyatakan, bahwa dia belum pernah menjumpai perkataan “negara” dalam
kitab-kitab Islam, yang dia jumpai yaitu perkataan-perkataan seperti Darul-Islam, Darul-
Salam, atau Ad-Daulah, namun istilah yang terakhir ini berarti “Kedaulatan”.
Begitu juga dalam pidato pada malam resepsi penutupan Muktamar ke 7 Partai Masjumi
Sukarno pernah mengatakan, bahwa menurut anggapannya segala sesuatu akhir-akhir ini
berkembang ke arah yang kurang sehat. Bagi setiap orang terbukalah kesempatan untuk
mendukung pemerintahan atau beroposisi, namun janganlah melupakan toleransi sebab
demokrasi yang sejati tidak dapat hidup dengan tiada toleransi.
Masih sebelum dimulainya sidang-sidang Konstituante pada 2-7 Maret 1954, untuk tetap
melanggengkan kekuasaannya, Soekarno mengumpulkan 3000 orang ulama NU dan
lainnya dalam suatu konferensi di Cipanas Jawa Barat. Menurut mantan menteri agama
K.H. Masjkur yang turut serta dalam konferensi itu bahwa “Dalam prinsip keislaman
negara dianggap sah dan dituruti bila pemimpinnya memenuhi syarat Waliyul Amri. Yaitu
ia seorang yang jujur, mempunyai kekuatan dan kewibawaan, yang terpenting dia muslim
yang taat. Apabila ada pihak lain yang menentang dan memberontak, maka hukumnya
bughat, wajib dibasmi. Persoalannya, apakah Soekarno memenuhi syarat dan siap diuji
sebagai Waliyul Amri? yaitu jawaban Soekarno saat itu sanggup diperiksa. Maka selama
tiga hari pada tahun 1954 para ulama seluruh Indonesia berkumpul di Cipanas dengan
membawa kitab-kitab untuk membicarakan soal ini. Dari pertemuan ulama itu dan dialog
dengan Bung Karno, akhirnya disimpulkan bahwa Bung Karno memang seorang yang
jujur, berwibawa dan seorang muslim. Tapi Bung Karno sholat Jum’at di mana? Mendapat
pertanyaan ini Bung Karno lalu mendirikan masjid di istana negara. Sebelumnya
masjid ini memang belum ada. Dari penilaian ini Bung Karno dianggap
memenuhi syarat sebagai “Waliyul Amri Addharuri Bisy Syaukah”. Menyinggung soal
shalat Jum’at, dari beberapa sumber yang dapat dipercaya menerangkan, bahwa
Soekarno dikenal tidak pernah melakukan shalat Jum’at, kecuali pada saat pembukaan
atau peresmian masjid Baitur rahim yang terletak di kompleks Istana Jakarta. Dengan
adanya pemberian gelar ini banyak kecaman yang datang dari tokoh-tokoh Islam dan
organisasi Islam yang menyatakan, bahwa istilah Waliyul Amri Ad-dharuri hanya dapat
dipergunakan pada negara yang berdasar Islam, dan selanjutnya dikatakan, bahwa
tiap-tiap negara dalam Islam, termasuk Waliyul Amri harus bertanggung jawab kepada
rakyat atau lembaga perwakilan rakyat Islam yang tidak dianut dalam UUD Sementara
1950. Oleh sebab itu presiden Indonesia tidak bisa menjadi Waliyul Amri Ad-dharuri. Di
sisi lain presiden dan kabinetnya bersumpah untuk setia kepada Pancasila dan bukan
kepada Islam.
Pertemuan para ulama di Cipanas itu jelas merupakan rekayasa politik, semata-mata
dimaksudkan memberi legalitas pada Soekarno untuk menumpas perjuangan Darul
Islam. Dan untuk itu dia memerlukan bantuan para ulama pendukungnya guna
menentukan. “siapa bughat yang harus diperangi dan siapa Waliyul Amri yang mesti
dita’ati”. Topeng yang menutupi wajah para pengkhianat agama sedikit demi sedikit
mulai tersingkap. Dari pengakuan yang dituturkan ini saja, orang dapat mengerti bahwa
ini semua yaitu permainan politik. Sekalipun mereka memikul sekeranjang kitab laksana
“keledai”, pertemuan para ulama di Cipanas itu pasti tidak akan menemukan hujjah yang
benar bagi penumpasan suatu perjuangan suci Darul Islam yang berjuang kearah
terlaksananya hukum Allah. Begitu pula mereka tidak akan bisa meyakinkan dirinya
sendiri, bahwa manusia macam Soekarno yang mempelajari Islam sekedar kebutuhan,
layak dinobatkan sebagai Waliyul Amri. Jika pada akhirnya mereka memutuskan “yang ini
bughat dan yang itu Ulil Amri”, maka itu tidak lain hanya sekedar rekayasa guna
memenuhi tuntutan politik penguasa dengan memperalat Islam serta memanfaatkan
kebodohan ulamanya. Allah menegaskan dalam firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat:
Muhammad, ayat 14.
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabb-Nya sama
dengan orang yang (syetan) menjadikan ia memandang baik perbuatannya yang buruk itu
dan mengikuti hawa nafsunya?”.
Dalam sebuah keterangan pemerintah Negara Islam Indonesia pada bulan Mei 1955, yang
dianggap Kartosoewirjo sebagai jawaban atas “permakluman perang resmi oleh RIK
terhadap Negara Islam Indonesia”, dan yang juga merupakan sebuah jawaban atas sikap
kabinet Ali Sastromidjojo, Kartosoewirjo kembali lagi mengingatkan bentrokan senjata
yang pertama antara TNI dan TII di Antarlina. Pada saat itu umat Islam merasa haknya
diperkosa, sebab TNI “melanggar batas-batas daerah de facto Negara Islam Indonesia”,
demikian keterangan Kartosoewirjo. Dia juga membenarkan aksi-aksi teror terhadap
pengkhianat-pengkhianat Negara Islam Indonesia, pengkhianat Agama (Islam) dan
pengkhianat Allah beserta kaki tangannya, sedang pembakaran dilakukan atas serangan
serdadu TRIK dan hak milik anak cucu Iblis la-natullah, yang haram mutlak itu. Merampas
hak milik pengkhianat bukanlah barang baru. Semua itu berlaku atas sendi-sendi tegasnya
hukum perang".
Seluruh anggota Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII) kini dilarang memiliki
radio, kamera dan dilarang main kartu, catur, bulutangkis, dan sepak bola. Waktu
senggang mereka harus diisi hanya dengan pendidikan militer dan politik. Selanjutnya
penduduk di daerah Negara Islam Indonesia berada dalam keadaan perang. Setiap orang
diwajibkan untuk menyediakan harta kekayaannya untuk Negara Islam Indonesia.
Seandainya masih tetap ada yang melakukan perjalanan Haji meskipun ada larangan
ini , maka sebagai hukumannya dia harus membayar pada Negara Islam Indonesia
jumlah uang yang digunakannya untuk perjalanan ini . Sebagai alasan atas larangan
ini dijelaskan, bahwa perjalanan naik haji hanya dapat dilakukan atas nama Republik
Indonesia, dan ini akan merusak citra Negara Islam Indonesia. namun dalam fakta
memang banyak surat-surat Negara Islam Indonesia dibawa ke Mekkah oleh Haji-haji dari
daerah Priangan, seperti terbukti oleh sebuat surat rahasia dari seorang Sunda yang
berdiam di Mekkah.
Sistem komandemen kini tetap bertahan pada bentuknya yang lama selama 7 tahun
mendatang, dan juga semua peraturan dan perundang-undangan Negara Islam Indonesia
terus berlaku. Maklumat yang berikutnya dari komandemen Tertinggi APNII baru
dikeluarkan pada bulan Agustus 1959, saat diadakan reorganisasi militer dan aparatur
Negara Islam Indonesia secara menyeluruh namun pada saat itu titik klimaks Negara Islam
Indonesia telah berlalu. Menurut keterangan Kartosoewirjo sendiri, bahwa dia dan
keluarganya antara tahun 1954-1959 pindah ke daerah pegunungan selatan Jawa Barat di
sekitar Karangnunggal (hutan Denuh). Sementara itu dia mengangkat Sanusi Partawidjaja
sebagai wakilnya. Namun selama tahun-tahun itu semua Maklumat NII masih tetap
ditandatangani oleh beliau sendiri.
saat Kartosoewirjo mendengar, bahwa Sanusi Partawidjaja bersama-sama dengan van
Kleef, seorang Belanda yang bergabung dengan Darul Islam, merencanakan kup untuk
menggulingkan Kartosoewirjo, maka Kartosoewirjo mengambil alih kembali pimpinan NII
dan pada bulan Juli 1959, dia berangkat kembali ke daerah pusat Perjuangan suci Darul
Islam. Pada waktu itu Kartosoewirjo rupanya benar-benar prihatin melihat keadaan
perjuangan sucinya, sehingga dia pada bulan Juli 1959 mengatakan, bahwa kalau
kemenangan tidak dapat dicapai dalam waktu dekat ini, kesempatan berikutnya baru
akan tiba dalam waktu 32 tahun. Dalam pidatonya pada waktu penyerahan ijazah pada
lulusan akademi Wana Yudha, semacam akademi militer NII, Kartosoewirjo juga
menyindir rencana Sanusi Partawidjaja untuk menggulingkannya dan dia berkata:
“Soenggoeh pahit bagi Bapak, dengan keadaan Negara kita sekarang sebab banjak hal-
hal jang menjeleweng. Bahaja akan datang, apabila ada doealisme dan bertengkaran
dalam tiap-tiap komandemen. Ada pertengkaran antara komandan-komandan, maka
kebawahannja apalagi”.
Untuk dapat kembali mengendalikan secara menyeluruh perjuangan suci Darul Islam
yang telah didirikan, Kartosoewirjo kini mengadakan reorganisasi dan pengetatan seluruh
pimpinan militer, begitu juga Kartosoewirjo sebagai Imam dan Panglima Tertinggi.
Tampaknya selama Kartosoewirjo diwakili oleh Sanusi Partawidjaja telah terjadi beberapa
perkembangan dalam perjuangan suci DI yang tidak lagi dapat ditolerir oleh
Kartosoewirjo. Seruan akan tanggung jawab setiap orang terhadap pimpinan dan
terhadap tujuan-tujuan perjuangan suci, terhadap solidaritas Islam dan kewajiban untuk
menegakkan hukum Islam yaitu petunjuk, bahwa Kartosoewirjo sangat khawatir
tentang keadaan perjuangan suci Darul Islam pada waktu itu.
Dijelaskan Kartosoewirjo dalam Maklumat Komandemen Tertinggi APNII No. 11.
“Mengingat, bahwa perloe dibentoek Pimpinan Perang atau Komando Perang jang lebih
koeat, dan penjempoernaan systeem atau Stelsel Komandemen jang lebih effektif
demikian roepa, sehingga lebih terdjamin makin hebat dan bergeloranja peperangan, dan
sehingga tertjapailah dengan tolong dan koernia Allah djoea kemenangan perang terachir,
tegasnja kemenangan Islam dan Negara Islam Indonesia, ialah satoe-satoenja pintoe
gerbang menoedjoe dan memasoeki Negara Madinah Indonesia, atau/dan Negara Islam
Indonesia boelat sempoerna, merdeka dan berdaoelat sepenoehnja, kedalam dan
keloear, de facto dan de jure, sepanjang boekti-boekti kenjataan dan hoekoem. Dan
berpendapat, bahwa perloe dalam waktoe jang sesingkat-singkatnja diselenggarkan
Soesoenan Pimpinan Perang dalam bentoek baroe, ialah perpadoean antara Stelsel
Komandemen lama jang tetap berlakoe hingga sa’at ini, dan peratoeran-peratoeran
perang baroe atau jang diperbaroekan, demikian roepa:
A. Sehingga terdjaminlah dengan pasti berlakoenja dan pelaksanaan Komando Perang
jang berdaja goena sebesar-besarnja, teroetama pada sa’at-sa’at dikeloerkannja
Komando Perang Semesta atau Komando Perang Totaliter dalam kata jang seloeas-
loeasnja, dan terlebih-lebih lagi mendjelang sa’at moestari, atau sa’at di
keloearkannja Komado Perang Moethlak, Komando Oemoem, ialah Komando Allah
langsoeng melaloei Imam Panglima Tertinggi Angkatan Perang NII, selakoe
Chalifatoellah dan Chalifatoen-Nabi di noesantara Indonesia; ialah Perang Semesta
dan Perang Moethlak, jang akan menentoekan nasibnja Negara Islam Indonesia dan
hari depan Oemat Islam Bangsa Indonesia di masa mendatang; dan
B. Sehingga seloeroeh Negara Islam Indonesia, beserta segenap Angkatan perang dan
ra’iat warga negaranja, tanpa ketjoeali soenggoeh-soenggoeh ikoet serta
mewoedjoedkan tenaga perang raksasa maha/dahsjat, satoe gelombang Jamaah
Moedjahidin maha-Besar, jang lagi madjoe-bergerak memenoehi panggilan dan
seroean Allah, langsoeng menoedjoe arah Mardlatillah sejati, di doenia dan di akhirat;
ialah potensi perang maha-berat, persatoe-padoean segenap tenaga dan kekoeatan
seloeroeh Oemmat Moedjahidin; Oemmat-pilihan dan kekasih Allah, jang sanggoep
dan mampoe menghadapi serta mengatasi, dan akhirnja menghantjoer-lidaskan
segala jenis dan bentoek moesoeh-moesoeh Allah, moesoeh Islam, moesoeh Negara
Islam Indonesia dan moesoeh-moesoeh seloeroeh Barisan Moedjahidin, hingga
tekoek-loetoet atau hancoer-binasa; dengan sebab berkat kehendak dan
kekoeasaan, tolong dan koernia Allah, Dzat Jang Maha Agoeng djoea adanja.
Dalam Maklumat No.11 itu Kartosoewirjo memutuskan Membagi Indonesia dalam 7
(tujuh) Daerah Perang, atau “Sapta Palagan”. Yang klasifikasi dan penggolongannya
secara administratif yaitu sebagai berikut:
1. Daerah Perang Pertama melipoeti seloeroeh Indonesia dan diseboet “Komando
Perang Seloeroeh Indonesia” (KPSI) jang dipimpin langsoeng oleh Imam dan
Panglima Besar APNII, jang djoega berwenang oentoek mengeloearkan
“Komando Oemoem”. KPSI terseboet yaitu identik dengan Dewan Imamah
jang doeloe dan Komandemen Tertinggi.
2. Daerah Perang Kedoea melipoeti beberapa wilayah NII dan diseboet sebagai
“Komado Perang Wilajah Besar” (KPWB), dengan tjatatan, bahwa oentoek
seloeroeh Indonesia ditetapkan 3 KPWB jang masing-masing dipimpin oleh
seorang Panglima Perang KPWB, ja’ni:
a. KPWB I, terdiri atas poelau Jawa dan Madoera dan dipimpin oleh Agoes
Abdoellah.
b. KPWB II, terdiri atas seloeroeh Indonesia Timoer termasoek Soelawesi,
Noesatenggara, Maloekoe, Irian Barat dan Kalimantan dan di pimpin oleh Kahar
Muzakkar.
c. KPWB III, terdiri atas seloeroeh Soematra dan kepoelauan sekitarnja di bawah
pimpinan Daud Beureueh.
3. Daerah Perang Ketiga hanya melipoeti satoe wilayah NII dan diseboet sebagai
“Komando Perang Wilayah” (KPW). Dengan demikian beberapa KPW
meroepakan satoe KPWB. Djoega setiap KPW dipimpin oleh seorang Panglima
Perang KPW. Seluruhnya terdapat 7 KPW di Indonesia.
KPW I.
Terdiri dari daerah keresidenan Jakarta, Purwakarta, Cirebon dan Priangan Timur.
KPW II.
Hanya terdiri dari Jawa Tengah, namun wilayah ini dihapus, sebab Perjuangan
suci DI yang dipimpin oleh Amir Fattah telah lama gagal.
KPW III.
Direncanakan Jawa Timur di bawah pimpinan Masduki.
KPW IV.
Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
KPW V.
Sumatra dipimpin oleh Daud Beureueh.
KPW VI.
Direncanakan daerah Kalimantan, tapi gagal.
KPW VII.
Keresidenan Bogor, Kabupaten/Kota Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten
Sumedang dan Keresidenan Banten dipimpin oleh Ateng Djaelani Selatan.
4. Daerah Perang Keempat melipoeti satoe Keresidenan/Resimen dan diseboet
“Komando Militer Pangkalan Setempat” (Komando Operasi Resimen
Pertempoeran Setempat) djoega dioebah mendjadi “Kompas” jang hanja
mempoenjai foengsi taktis dan tidak boleh lagi mentjampoeri administrasi
negara. Setiap Kompas dipimpin oleh seorang Komandan Pertempoeran Kompas.
5. Daerah Perang Kelima hanjalah melipoeti satoe Kaboepaten/Batalyon dan
diseboet “Sub-Kompas” dan dipimpin oleh seorang Komandan Pertempoeran
Sub-Kompas.
6. Daerah Perang Keenam hanjalah melipoeti satoe Ketjamatan/Kompi atau lebih
dan diseboet “Sektor”. Setiap Sektor dipimpin oleh seorang Komandan
Pertempoeran Sektor.
7. Daerah Perang Ketoedjoeh melipoeti satoe desa atau lebih dan diseboet sebagai
“Sub-Sektor” jang dipimpin oleh seorang Komandan Pertempoeran Sub-Sektor.
Memerintahkan kepada seloeroeh Komandan dan Komandemen, serta segenap
Pedjabat/Foengsionaris dan Petoegas Negara dalam lingkoengan Negara Islam
Indonesia: Soepaja segera, dengan tjepat dan tepat, tapi tetap tertib, teratoer dan
berentjana, menjelenggarakan isi dan djiwa Makloemat Komandemen Tertinggi No.
11 ini, dengan sebaik-baik dan sesempoerna-sempoernanja, sehingga segala
persiapan dan pelaksanaannja soedah boleh diselesaikan pada tanggal 1 Januari 1960
dengan tjatatan, bahwa oentoek daerah-daerah Negara Islam Indonesia jang
terpentjil letaknja, sehingga terhalang oleh djarak djaoeh dan kesoelitan
perhoeboengan, diberi batas waktoe hingga tanggal 1 Februari 1960”.
Menurut struktur komando yang baru, hampir semua perjuangan suci militer dan
komandonya kini dipertanggungjawabkan kepada Komandan Pertempuran Kompas,
yang mengatur langsung setiap pasukan yang ada di bawah pimpinannya. Juga
Komandan Kompas yaitu pengantara terakhir untuk menyalurkan dan melanjutkan
segala instruksi atasannya kepada bawahannya. Sebagai komadan lapangan,
Komandan Kompas juga harus menentukan siasat dan strategi militer, Kartosoewirjo
berharap, bahwa dengan pelaksanaan penyusunan struktur komando yang baru,
Negara Islam Indonesia terhindar daripada “setiap jenis, sifat dan bentuk dualisme”,
dalam bidang dan lapangan apa dan manapun sehingga di lingkungan NII hanya
dikenal satu pimpinan negara yang juga bertugas memegang Pimpinan Perang dan
Pimpinan Umat Berperang.
Darul Islam Jawa Tengah
Terjadinya perlawanan Darul Islam terhadap pemerintahan RI di Jawa Tengah, berasal dari tiga
kelompok yang berbeda. Pertama, yang berasal dari wilayah barat berbatasan dengan Jawa
Barat, terutama daerah Brebes dan Tegal yang merupakan basis gerakan Darul Islam untuk Jawa
Tengah yang dipimpin Amir Fatah. sebab kedekatan daerah, kelompok ini mendapat
pengawasan dari pusat gerakan yang ada di Jawa Barat. Kedua, yang dimotori oleh pergerakan
Angkatan Umat Islam di Kebumen, di mana organisasi ini menjadi penentang Pemerintah
Indonesia (Soekarno) sebab keterlibatan pihak pemerintah pada masa pendudukan Jepang.
Dan kelompok ketiga yang terbentuk dari pembelotan sebagian pasukan Tentara Republik dari
kesatuan Divisi Diponegoro.
Perlawanan Darul Islam pimpinan Amir Fatah terjadi menyusul berakhirnya perlawanan rakyat
pimpinan Kutil dan rekan-rekannya, yang mengikutsertakan satuan-satuan lokal seperti Barisan
Pelopor. Peristiwa ini memicu penangkapan besar-besaran dan pembalasan kejam
dalam upaya "untuk memberi pelajaran kepada rakyat" yang dilakukan Tentara Republik,
dalam masa yang singkat. Lebih lanjut untuk menenangkan keadaan di daerah ini
dilaksanakanlah suatu sikap yang lebih luwes. Sukarno, dengan didampingi Wakil Presiden
Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Panglima Tentara Republik Sudirman
mengadakan kunjungan ke daerah itu. Di dalam kunjungan ini , Sukarno — pada suatu
rapat umum yang dilangsungkan di Tegal — mendesak rakyat untuk tetap setia kepada Republik
Indonesia dengan mengatakan, "Rakyat Tegal-Brebes-Pekalongan, janganlah membentuk
republik kecil-kecilan, suatu Republik Talang, Republik Slawi, Republik Tegal". Peristiwa revolusi
sosial yang terjadi sebelumnya di Jawa Tengah telah memicu kesadaran rakyat akan hak-
hak politiknya. Namun sebab sikap pemerintah yang setengah hati dalam menangani setiap
keinginannya telah membawa mereka kepada konflik yang semakin terbuka.
Sesungguhnya rakyat berkeinginan, bahwa kemerdekaan yang telah diraih dengan darah itu
tidak dikhianati para pemimpin Republik yang hanya menyelesaikan masalah negerinya dari satu
perundingan ke perundingan lain. Tentu saja hal ini sangat merugikan perjuangan rakyat
seluruhnya, yang merasa tertipu dengan diplomasi RI-Belanda yang sering diingkari Belanda.
Apalagi Belanda selalu mengadakan aksi-aksi militernya untuk menancapkan kembali
penjajahannya di Republik Indonesia sesudah perundingan dengan RI disepakati kedua belah
pihak.
Agresi militer pertama yang dilakukan Belanda merupakan ancaman yang mengkhawatirkan bagi
kedudukan wilayah RI, dimana wilayah pedesaan di sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Jawa
Tengah sebelah barat dapat diduduki Belanda. Disamping itu Belanda juga menduduki daerah
yang mengelilingi pusat-pusat wilayah RI. Walau pasukan TNI mengadakan perlawanan di distrik-
distrik luar wilayahnya, namun tidak membawa hasil yang memuaskan. sebab ketidakmampuan
ini , pihak pemerintah yang diwakili Syahrir mengadakan perundingan dengan pihak
Belanda. Dan berdasar hasil Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948, Karesidenan
Pekalongan menjadi daerah yang dikuasai Belanda. Dalam perjanjian Renville, seperti juga
sebagian besar wilayah Jawa Barat, pasukan TNI harus meninggalkan daerah yang telah dikuasai
Belanda. Baik pasukan TNI maupun pasukan lain yang bergerak di Karesidenan Pekalongan
diperintahkan meninggalkan daerah ini. lalu kesatuan TNI menarik diri ke Desa
Karangkobar di Banjarnegara, dan satuan pasukan lainnya, seperti Hizbullah dan BPRI, ke
Wonosobo.
Berbeda di daerah Brebes. saat ada perintah untuk mengosongkan daerah kantong-kantong
Republik, sebagaimana yang diisyaratkan sebagai hasil perundingan dengan Belanda, masih ada
para pejuang yang tetap tinggal di daerah ini . lalu para pejuang itu melakukan
operasi militernya, dengan membagi pasukannya dalam dua kelompok, masing-masing bernama
Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI). Gerakan
perlawanan yang diperlihatkan kedua kelompok pasukan ini, beberapa bulan lalu diikuti
juga satuan Hizbullah yang merasakan ketidakpuasan dengan hasil perundingan, walaupun pada
permulaan penarikan mundur pasukan turut bersama TNI, namun lalu kembali ke
pangkalan asalnya. Adapun pemisahan diri yang dilakukan lasykar Hizbullah lebih banyak
disebabkan adanya gelombang baru reorganisasi yang diprogramkan pemerintah di dalam TNI.
Adanya program pemerintah berupa rasionalisasi pasukan, memicu kekecewaan dan
kemarahan anggota satuan-satuan pasukan lain di luar TNI, baik satuan pasukan yang
didemobilisasikan maupun yang tidak Peristiwa inilah yang menjadi dasar bagi satuan-satuan
Hizbullah untuk menginfiltrasi ke daerah Brebes dan Tegal. Kelompok pertama yang kembali ke
daerah ini dipimpin Abas Abdullah. saat Abas Abdullah kembali ke Brebes, ia mendirikan
Majelis Islam, dan memberi nama bagi pasukannya, Pasukan Mujahidin (Pejuang-pejuang di
jalan Allah). Ia menganggap bahwa Majelis Islam yang didirikannya sebagai pemerintah daerah
sementara yang sah, dan berusaha mencoba menaklukkan pasukan yang tergabung dalam GARI
dan GRI dengan paksa.
Seperti yang terjadi di Jawa Barat, dimana terlihat ketidaksungguhan para elit pemerintah RI
dalam menghadapi Belanda baik di meja perundingan maupun di medan perang untuk
mengeksiskan Republik sendiri di mata dunia internasional, telah memberi dorongan yang
sangat kuat bagi timbulnya perjuangan jihad suci Darul Islam. Kelahiran perjuangan Darul Islam
di Jawa Tengah pun dalam banyak hal ada persamaan dengan lahirnya perjuangan Darul Islam di
Jawa Barat. Dimana adanya sejumlah satuan militer yang tergabung dalam setiap kelompok
menolak mengundurkan diri dari daerahnya dan tetap tinggal di sana. Tambahan lagi terdapat
rasa tidak senang akan cara Tentara Republik memperlakukan satuan-satuan pasukan ini .
namun , suatu gerakan Islam merdeka yang baru lahir, sesudah Amir Fatah muncul di gelanggang,
gerakan ini memperoleh momentumnya hanya beberapa bulan lalu . Amir Fatah yang
menjadi komandannya yaitu nama lengkap dari Amir Fatah Wijayakusuma, dia seorang pribumi
Kroya di Banyumas. Dalam karir politiknya, dia pernah menjabat sebagai ketua Dewan
Pembelaan Masyumi Pusat. Dan dia yaitu seorang rekan akrab Kartosoewirjo, pernah juga
memimpin pasukan Hizbullah untuk menyertai Kartosoewirjo ke Malang dalam rangka
menghadiri sidang paripurna kelima Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai semacam
pengawal, Februari 1947. Di Malang dia menjadi Kepala Staf Divisi 17 Agustus, yaitu campuran
pasukan yang menentang Persetujuan Linggarjati — masalah inilah yang menjadi persoalan
pokok dalam acara.
Banyak analisa yang sangsi sekitar kepindahan Amir Fatah dari Jawa Barat, dan juga status dan
peranan Hizbullah. Namun melihat dari hasil Persetujuan Linggarjati yang dilakukan oleh
pemerintah Republik telah banyak mempengaruhi pemikiran Amir Fatah untuk mengadakan
perlawanan dalam upaya menentang Perjanjian ini . Usaha yang dilakukannya ialah dengan
menggabungkan diri dengan pejuang mujahidin T.I.I. yang memang telah dipersiapkan oleh
Kartosoewirjo dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan mendatang saat dia dan
sebagian besar pasukan Hizubullah yang telah dipersiapkannya tidak turut serta hijrah dalam
upayanya menentang Belanda. Disamping itu bukti yang menguatkannya yaitu sekitar tahun
1948, Sudirman memerintahkan Amir Fatah untuk melanjutkan kegiatan gerilya melawan
Belanda di Jawa Barat, dan dengan demikian mengisi kekosongan yang ditinggalkan Divisi
Siliwangi. Walaupun pada saat itu Tentara Republik telah mengangkat Letnan Kolonel Sutoko
sebagai koordinator operasi gerilya di Jawa Barat.
saat bergabungnya Amir Fatah dengan perjuangan jihad suci Kartosoerwirjo, oleh suatu sebab,
Amir Fatah lalu diinstruksikan untuk mengundurkan diri ke daerah Brebes dan Tegal,
tempat asal sebagian besar anak buahnya. Dan seperti terlihat lalu , keadaan yang terakhir
ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan gerilya Amir Fatah
melawan Republik, sekitar tahun 1949. Dalam usaha menumpas kegiatan Darul Islam di Jawa
Tengah ini, Tentara Republik menghadapi rintangan yang berat sebab dukungan yang sangat
besar diberikan rakyat Brebes dan Tegal kepada perjuangan jihad suci Amir Fatah, disamping itu
banyak dari mereka ini yang punya hubungan kekerabatan dengan para pejuang mujahid.
Kemungkinan Amir Fatah memasuki Brebes dan Tegal lewat Wonosobo, sekitar Oktober 1948,
saat itu pun di daerah ini telah ditempatkan Batalyon 52 Hizbullah. Pada saat itu dia berhasil
mengajak batalyon 52 Hizbullah ini kembali ke Brebes dan Tegal bersamanya, walaupun
ditentang komandannya, Muh. Bakhrin. saat batalyon yang kini di bawah pimpinan Amir Fatah
sendiri itu mencapai garis demarkasi, mereka dihadang pasukan Republik. Dengan siasat hendak
kembali lagi, mereka lalu melintasi perbatasan di tempat lain. Sesudah memasuki zone yang
dikuasai Belanda, dengan mengikuti contoh Abas Abdullah, Amir Fatah membentuk "sel
Pemerintah Islam," dan mendirikan Majelis Islam. Pasukannya diberinya nama Mujahidin.
Dalam langkah Amir Fatah menuju pembentukan negara Islam ini, pada mulanya ia tidak
menentang setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Republik. Seperti kejadian yang
dialami saat pasukan Republik kembali sesudah aksi militer kedua Belanda dilancarkan, tidak
terjadi konflik terbuka yang langsung antara pasukan Republik dan satuan Hizbullah seperti di
Jawa Barat. Bahkan sebaliknya, Majelis Islam dan Pemerintah Republik setuju mengadakan kerja
sama, dimana fungsi administratif dan militer yang tertinggi diserahkan kepada Pemerintah
Republik. Selanjutnya Mayor Wongsoatmojo diangkat menjadi komandan pasukan Indonesia di
daerah itu, termasuk menjadi komandan satuan Hizbullah.
saat sampai di daerah Brebes dan Tegal, Wongsoatmodjo membentuk Sub Wehrkreise III
(SWKS III), sebagai divisi Pemerintah Militer yang berlaku di Jawa, dia telah menggabungkan
fungsi administratif, militer, dan sipil. Biarpun tidak mengangkat personil militer pada
Pemerintahan Sipil, namun personil sipil tetap tunduk kepada militer. Sebagai bagian dari struktur
komando Tentara Republik, Sub Wehrkreise juga mempersatukan pasukan-pasukan biasa dan
liar. Pada saat diadakan pembentukan, mereka bukan saja menghilangkan pemakaian nama-
nama Batalyon 50, 51, atau 52, yang akan digantikan dengan nama singkatan TNI-SWKS-III, namun
mereka juga melarang semua referensi dengan Hizbullah, Mujahidin, dan sebagainya. Seluruh
pasukan yang disebut dengan nama-nama ini kini telah dilebur bersama Tentara Republik, dan
hanya dapat disebut sebagai bagian dari Tentara Nasional Indonesia.
Bersamaan dengan kejadian di atas, Amir Fatah diangkat sebagai koordinator kepala keamanan
Sub Wehrkreise. Dalam kedudukannya ini, salah satu tugasnya yaitu mengawasi
penggabungan satuan-satuan gerilyawan ke dalam Tentara Republik. Hubungan yang
bersahabat antara Amir Fatah dan Tentara serta Pemerintah Republik hanya berlanjut dalam
beberapa waktu. Tidak lama berselang hubungan ini menjadi macet sebab baik Amir Fatah
maupun Tentara Pemerintah sendiri masing-masing menganggap partnernya itu sebagai saingan.
Ketidak harmonisan ini terjadi terutama mengenai pemerintah daerah. Dalam permasalahan ini
antara Pemerintah Republik dan Majelis Islam masing-masing telah mempunyai personil yang
akan dipersiapkan sebelumnya untuk menduduki kursi jabatan di pemerintah daerah. Tambahan
lagi yang menjadi penyebab ketidak harmonisan itu ialah saat Pemerintah Republik melakukan
provokasi terhadap rakyat agar menerima para pamong praja yang mereka angkat, sebab
mereka merasa perlu, bahwa para fungsionaris yang disokong Majelis Islam harus berhenti.
Usaha Pemerintah untuk merintangi turut-sertanya Majelis Islam dalam pemerintahan
sebenarnya tidak membantu menciptakan suasana yang bersahabat. Segera situasi pun
meningkat menjadi luar biasa tegang. Akhirnya keadaan menjadi begitu genting, hingga Tentara
Republik terpaksa mengirimkan suatu kompi Brigade Mobil dan Angkatan Kepolisian untuk
memperkuat pasukannya sendiri.
Pada akhir April, sesudah terbentuknya Sub Wehrkreise Slamet 111, Amir Fatah keluar dari jabatan
sebagai koordinator kepala keamanan Sub Wehrkreise. Adapun yang melatar belakangi
pengunduran diri ini Menurut Jusmar Basri, sesudah Amir Fatah mengadakan pembicaraan
khusus dengan seorang utusan Kartosoewirjo yang bernama Kamran. Dan hasil dari
pembicaraan ini yaitu pengangkatan Amir Fatah. Pembicaraan antara mereka berdua
berlangsung pada tanggal 22 dan 23 April 1949 di Desa Pengarasan, sebelah barat Bumiayu, dekat
perbatasan selatan Kabupaten Brebes, Pranata, dalam melukiskan peristiwa-peristiwa di
Pengarasan menjelang penggabungan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah, tidak menyebut
Kamran. namun , ia mengemukakan kehadiran Syarif Hidayat, seorang komandan Hizbullah Jawa
Barat.
Disamping aksi pengunduran dirinya, Amir Fatah juga secara diam-diam menarik mundur para
pejuang mujahid bekas Batalyon Hizbullah di Brebes dan Tegal ke Desa Pengarasan. Namun
saat hal ini diketahui oleh komandan militer Brebes, Kapten Prawoto, lalu ia mengirimkan kira-
kira 50 orang untuk mengetahui maksud Amir Fatah. Dari hasil keterangan yang diperoleh
mengenai pengalaman Amir Fatah ini yang diberikan Pranata, tampaknya yaitu kemungkinan
berhasilnya perundingan tentang pembentukan Republik Indonesia Serikat federal antara
189
Pemerintah Republik dan Pemerintah Belanda yang menyebabkan Amir Fatah memutuskan
hubungan dengan Republik.
Untuk memperjelas arah perjuangannya, Amir Fatah mengklasifikasikan perjuangan dengan tiga
jenis: a) perjuangan Islam, b) perjuangan komunis, dan c) perjuangan federal. Menurutnya, dari
ketiga jenis perjuangan ini , perjuangan Islamlah yang terunggul, alasan yang dikemukakan
oleh Amir Fatah dalam menguatkan pernyataannya ialah, sebab Republik telah mengkhianati
cita-cita perjuangan kemerdekaan rakyat bangsa Indonesia. Yang lalu Pemerintah
Republik berpaling memakai perjuangan federal dengan menandatangani Persetujuan
Renville dan Linggarjati, dengan mengubah haluan perjuangan ini, menurut Amir Fatah bahwa
Pemerintah Republik telah menyerah kepada tuntutan-tuntutan Belanda yang menghendaki
Republik Indonesia Serikat. Dengan demikian jelaslah faktor penyebab perjuangan jihad suci