Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 9

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 9



 joedjoer dan hemat. 

5. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes bidjaksana. 

6. Seorang Tentara Islam Indonesia haroes mentjintai dan membela sesama Moedjahid. 

7. Seorang Tentara Islam Indonesia pantang menjerah. 

  

 

 

P.P.T. IV 

Kedoedoekan Polisi Islam Indonesia dan Baris. 

Kedoedoekan (Polisi Islam Indonesia) menghampiri (mendekati) kedoedoekan Tentara 

Islam Indonesia. Oleh sebab itoe, maka Polisi mendjadi pembantoe tentara jang pertama 

dan teroetama, istimewa dalam soal-soal militer dan kemiliteran. Adapoen Baris (Barisan 

Rakyat Islam) hendaknja betoel-betoel meroepakan Barisan Rakjat, Pembela Rakjat dan 

Tentara Rakjat. 

 

P.P.T. V 

Kedoedoekan Rois dan Baris. 

Golongan Rois dan Baris tidak masoek Angkatan Perang Negara Islam Indonesia, 

melainkan mendjadi Pembantoe yang aktif, di dalam menoenaikan toegas-soetji, 

menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. 

Kepada Panglima K.W./Div., Kmd./Res., Kmd. K.K/Bat., dibolehkan mengeloearkan 

peratoeran-peratoeran tersendiri, bagi keperloean golongan Rois dan Baris, sesoeai 

dengan isi dan maksoed jang terkandoeng dalam M.K.T. (Makloemat Komandemen 

Tertinggi). 

 

Bendera NII 

Dalam maklumat Militer Negara Islam Indonesia No. II, memutuskan bahwa Negara Islam 

Indonesia memiliki 3 macam bendera di antaranya: 

1. Bendera Negara: Merah-Putih berbulan bintang; 

2. Bendera Tentara: Dasar (warna hijau), bergambar bulan bintang (putih); 

3. Bendera Negara/Tentara dalam keadaan Perang: Dasar (warna merah) bergambar 

bulan bintang (warna putih).  

 

Dalam manifesto politiknya yang dikeluarkan tak lama sesudah  proklamasi NII, 

Kartosoewirjo menentang KMB dan pembentukan Republik Indonesia Serikat. 

Pernyataan dia dalam manifesto ini  yaitu  sebagai berikut: 

“Telah tiba saat jang menentoekan nasib bangsa Indonesia, teroetama nasib Oemat Islam 

Indonesia. Perdjoeangan kini haroes diteroeskan dengan Islam sampai Mardlotillah 

tertjapai, itoe yaitu  satoe-satoenja djalan oentoek membebaskan Oemmat Islam dari 

segala penderitaan di doenia dan di achirat.  

Moesoeh-moesoeh Allah, moesoeh-moesoeh agama Islam dan moesoeh Negara Islam 

Indonesia haroes dihantjoerkan agar hoekoem Islam jang sesoeai dengan adjaran Al-

Qoer’an dan Soennah Nabi setjara menjeloeroeh dan oetoeh dapat dilaksanakan di 

seloeroeh Indonesia.  

Menurut Manifesto Politiknya Kartosoewirjo menjelaskan bahwa “Negara Islam 

Indonesia dapat mendjalin hoeboengan dengan setiap negara lain, namun  dengan sjarat, 

negara terseboet haroes mengakoei Negara Islam Indonesia, bahkan djoega dengan 

Belanda Negara Islam Indonesia dapat mengadakan hoeboengan berdasar  sjarat 

terseboet”.  

sebab  Islam mentjakoep semoea aspek kehidoepan manoesia, boekan hanja jang 

berhoeboengan dengan keachiratan, melainkan djoega jang berhoeboengan dengan 

kehidoepan bermasjarkat dan bernegara, maka setjara teoritis di dalam seboeh negara 

Islam tidak terdapat pemisahan antara negara dan pemerintah, antara politik dan agama. 

Ada doea anasir jang haroes disatoekan, pertama: “Satoe negara jang berdaoelat penoeh 

100 % keloear dan kedalam, "de facto dan de jure”. Kedoea: “Haroes ada peratoeran Allah, 

jang meroepakan agama Allah, atau agama Islam”. Kedoea anasir ini haroes bersatoe 

atau dipersatoekan. Boekan sebagai minjak dan air jang ada di seboeh perioek. 

Sementara itu sejak tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 dalam Konferensi Meja 

Bundar Di Den Haag dibahas masa depan Indonesia, salah satu hasilnya yaitu  perjanjian 

tentang “penyerahan” kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Di 

samping itu dari perjanjian-perjanjian ini  banyak dikaitkan dengan persetujuan lain 

yang mengarah ke suatu ketergantungan langsung RIS kepada Belanda dan 

memungkinkan Belanda mengontrol politik dalam dan luar negeri RIS. Masalah 

berikutnya yaitu  peleburan anggota-anggota KNIL ke dalam APRIS dan pembentukan 

misi militer Belanda yang akan ditugaskan untuk melatih anggota-anggota APRIS. Dan 

yang terpenting dari masalah itu yaitu  bagaimana upaya pemerintah RIS yang dipimpin 

oleh Soekarno menyelesaikan kasus Darul Islam sampai tuntas. 

Pada akhir bulan Oktober 1949 rancangan Undang-Undang Dasar RIS selesai disusun, dan 

pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penyerahan kedaulatan oleh Belanda 

kepada RIS. Sehari lalu  Soekarno diangkat kembali menjadi Presiden Republik 

Indonesia Serikat. 


 

Dalam sebuah keterangan pemerintah NII pada awal Oktober 1949, Kartosoewirjo 

mengumumkan pendapatnya tentang Konferensi Meja Bundar: “Konferensi terseboet 

boekanlah seboeah konferensi antara doea negara jang berdaoelat. Negara soedah 

didjoeal! Kedaoelatan telah moesnah! Kemerdekaan djatoeh di tangan moesoeh!”.  

Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda membuat keadaan lebih 

mendesak bagi Soekarno, Bagaimana caranya untuk mencari penyelesaian masalah 

secepatnya tentang Negara Islam Indonesia yang telah diproklamasikan oleh 

Kartosoewirjo. Namun Pemerintah RIS dan Tentara Republik merasa dihadapkan pada 

suatu dilema. sebab  sebagian dari Tentara Republik yang tergabung di dalam TNI 

tidaklah mungkin menindak secara cepat para Tentara Islam Indonesia disebabkan 

sedikitnya jumlah pasukan dan tidak dimilikinya senjata serta perlengkapan. Di samping 

itu, lawan mereka walaupun dipandang dengan sebelah mata ternyata memperoleh 

simpati yang sangat besar dari rakyat Jawa Barat. Itulah sebabnya mengapa 

kebijaksanaan pemerintah sering berubah dalam menghadapi persoalan ini. Apakah ingin 

melakukan tindakan operasi militer atau memberi  amnesti? Selain daripada itu banyak 

sekali kritikan yang dialamatkan kepada pemerintah tentang penyelesaian masalahnya, 

terutama dari kalangan politisi Islam yang mendesak untuk diadakan perundingan.  

Maka pada bulan Desember 1949 diadakan sebuah usaha untuk membujuk atau 

menyadarkan Kartosoewirjo supaya dia kembali ke dalam pangkuan Republik. Usaha 

pertama yang dilakukan oleh pemerintah RIS yaitu dengan menugaskan menteri agama 

K.H. Masjkur yang akan berangkat ke Yogyakarta untuk mengadakan pembicaraan 

dengan Kartosoewirjo. Namun gagal disebabkan K.H. Masjkur tidak bertemu dengannya.  

Dalam kongres Muslimin Indonesia pada tangal 20-25 Desember 1949, ada usaha untuk 

memasukkan pembahasan mengenai perjuangan suci DI/TII. Di mana sebagian besar dari 

pembicaraan para peserta kongres membela Kartosoewirjo, mereka menerangkan 

bahwa perjuangan suci DI/TII itu bukan menentang Republik melainkan ditujukan 

menentang Belanda, dan “anak-anak kita” yang telah mempertahankan Jawa Barat 

dengan gigihnya berperang, telah melemahkan pengaruh Belanda di mata Internasional 

dan melemahkan kekuatan militer Belanda. Justru sebaliknya memperkuat posisi 

Republik dalam setiap perundingannya. Dalam kongres itu juga dinyatakan, mengapa 

Republik lalu  tidak berusaha untuk mengadakan kompromi dengan perjuangan 

suci DI/TII. Bila Republik telah bersedia untuk bekerja sama dengan negara-negara boneka 

yang mengkhianati Republik, mengapa Republik tidak pula menempuh jalan kompromi 

dengan perjuangan suci DI/TII. Bagaimanapun pemakaian  kekerasan tidak akan 


membawa penyelesaian masalah melainkan hanya menyebarkan benih dendam dalam 

hati umat Islam terhadap Republik. Selanjutnya dianjurkan supaya pemerintah RIS 

menyelesaikan masalah DI/TII dengan jalan damai, dan dalam kongres Muslimin ini  

menyokong resolusi Muktamar Masjumi untuk membentuk sebuah komisi pemerintah 

untuk menyelesaikan masalah DI/TII. Yang dikritik pula yaitu  Maklumat Rahasia MBKD 

NO. V. Dalam maklumat ini  diperintahkan kepada semua instansi, militer, polisi, dan 

pamongpraja untuk mengawasi gerak-gerik umat Islam. Sebagai akibat adanya maklumat 

itu, anggota Masjumi didaftar, di setiap rapat-rapat Masjumi dihadiri oleh wakil 

pemerintah. Penderitaan dan korban yang diberikan umat Islam demikian diterangkan, 

umat Islam dihukum dengan sikap curiga, tuduhan dan pengawasan. 

Melihat fakta  pahit yang dirasakan oleh setiap partai, pada tanggal 1 Januari 1950 

Kartosoewirjo mengeluarkan Maklumat Komandemen Tertinggi No. 5 yang isinya antara 

lain: “Menimbang bahwa lebih besar moedharat dan keroegiannja, bagi Negara dan 

Agama Allah serta Oemmat Islam Bangsa Indonesia, akan adanja soeatoe organisasi, 

party, perhimpoenan, perkoempoelan, gerakan atau apapoen djoega, di loear organisasi 

Negara, atau di loear organisasi jang dibentoek/disahkan oleh pemerintah. Maka 

memoetoeskan dilarang keras mendirikan, membentoek dan mempropagandakan satoe 

organisasi, di loear dan selain daripada organisasi Negara, atau organisasi jang 

dibentoek/disahkan oleh Pemerintah. Dan dileboer dalam salah satoe bagian daripada 

organisasi Negara, atau salah satoe bagian daripada organisasi jang dibentoek/disahkan 

oleh Pemerintah.  

sesudah  Belanda meninggalkan kekuasaanya di Indonesia, maka semakin hebatlah 

pertarungan politik di Indonesia. Kini ada 3 kekuatan yang saling tarik menarik untuk 

mempengaruhi peta politik yang sedang berkembang saat itu. Terutama dari kalangan 

Komunis, mereka berusaha selalu masuk dalam sendi-sendi kehidupan politik Indonesia 

dan mereka berupaya untuk mengadu kekuatan Nasionalis Islam dengan Darul Islam yang 

dipimpin oleh Kartosoewirjo. Oleh sebab  itu dalam setiap maklumat-maklumat yang 

dibuat oleh Komandemen Tertinggi makin sering menyerang Komunis yang 

dinyatakannya sebagai musuh utama. Dalam nota rahasia pada bulan Oktober 1950 yang 

dikirim kepada Soekarno, Kartosoewirjo menawarkan pada Soekarno agar bersama-sama 

dengan Negara Islam Indonesia membasmi komunisme dan meninggalkan politik netral 

yang dipraktekkan selama itu. Apabila RI mengakui NII, Kartosoewirjo menjamin bahwa 

RI akan mempunyai “sahabat sehidup semati” dalam menghadapi segala kemungkinan, 

terutama menghadapi komunisme, sebab  nasionalisme tidak dapat mengikat jiwa rakyat 

Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam. Kekuatan untuk membendung 

komunisme, menurut Kartosoewirjo hanya dimiliki Islam, sebab  itu secepatnya membuat 

Islam sebagai dasar negara.  

Sebuah nota rahasia berikutnya yang isinya mirip seperti nota di atas, dikirimkan 

Kartosoewirjo kepada Sukarno pada bulan Februari 1951. Nota ini  merupakan 

penjelasan nota sebelumnya. Kata Kartosoewirjo, “Pemimpin RI mempoenjai 

tanggoengdjawab oentoek membendoeng “aroes merah” dan sekaligoes haroes siap 

oentoek menghadapi “Perang Barata Joeda Djaja Binangoen”. Dia meramalkan dalam 

notanya ini, bahwa nasionalisme Indonesia akan mengalami perpecahan, sebagian akan 

mengikuti komunisme dan sebagian lagi menggabungkan diri dengan golongan Islam.  

Kartosoewirjo menerangkan, bahwa di Indonesia sejak tiga tahun berdirilah dua negara 

yang berbeda dalam hukum dan pendirinya, berlainan sikap dan haluan politiknya, 

bertentangan maksud dan tujuannya; pendek kata berselisih hampir dalam setiap hal. 

Filsafat Pancasila dinamakannya sebagai satu campuran masakan yang terdiri dari pada 

Sintoisme, Hokko Itciu, Islam-syirik dan nasionalisme jahil yang kemerah-merahan.  

Namun amat disayangkan kedua nota ini  tidak pernah dijawab oleh Soekarno, 

sehingga Kartosoewirjo menyesalkan, bahwa pemerintah RI tidak menjawab kedua nota 

rahasianya, melainkan mencap negaranya sebagai “gerombolan Darul Islam”, 

pemberontak, perampok, dll, dan menyerang negaranya dengan kekuatan senjata. 

Semua usaha pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah DI/TII secara damai 

dinamakannya sebagai perbuatan khianat dan sebagai penipuan. Yang sangat 

memalukan sekali bahwa diikut sertakannya para alim ulama sebagai penghubung dan 

pengantara. Yang pada akhirnya Kartosoewirjo menamakan Republik Indonesia sebagai 

“Repoeblik Indonesia Komoenis” (RIK) dan angkatan perangnya sebagai “Tentara 

Repoeblik Indonesia Komoenis (TRIK)”. Dalam sebuah Manifesto Politik, Kartosoewirjo 

memberi  restrospeksi pada perkembangan politik Indonesia secara menyeluruh dan 

menjelaskan pandangannya tentang masa depan negeri ini. Dengan judul Manifesto 

politiknya “Heru Tjokro bersabda: Indonesia kini dan kelak”. Menurutnya “Heru Tjokro” 

menggambarkan satu makhluk Allah yang menguasai dan memutarkan roda dunia 

menuju Mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam Indonesia. Heru Tjokro artikan sebagai: 

“Penjapoe masjarakat Djahilijah, pembela gelap goelita, pembasmi barang siapa jang 

chianat dan moertad, koefoer, dan moenafiq tjoerang dan serong, pendjoeal Agama dan 

Negara. Tegasnja: segala anak-tjoetjoe iblis la’natoellah jang kini masih leloeasa 

berkeliaran di tengah-tengah masjarakat dan rakjat Indonesia”. Dan sebagai: “Pelepas 

dan pembebas bagi segenap perikemanoesiaan, daripada bentjana dan malapetaka, 

dlohir dan batin, di doenia dan achirat kelak”.  

Selanjutnya Kartosoewirjo menulis di dalam statement Negara Islam Indonesia, bahwa 

Soekarno telah menerangkan, Negara Islam Indonesia tidak bersedia diadjak beroending. 

“Kapan RIK mengadjak beroending, atau kapan mereka maoe beroending, demikian 

pertanjaannja: “Negara Islam Indonesia doea kali kirim nota rahasia, apa reaksi atas nota 

terseboet? Lebih baik Soekarno soeroeh periksa otak dan hatinja oleh achli djiwa jang 

tjakap dan berani teroes terang menjatakan penjakit Bung Karno beserta RIK…. 

“Lebih baik istirahat di Tjikeumeuh, Bogor (R.S. Gila) daripada memboeat bentjana di 

tengah-tengah oemmat dan negara, hanja oentoek menoeroet nafsoe merah moskow 

belaka”.  

Demikianlah cara Soekarno yang tidak terpuji, dengan seenak hatinya tanpa berpikir 

panjang telah menjatuhkan vonis salah kepada temannya sendiri yang telah lama 

dikenalnya hanya sebab  teman ini  menjalankan sebuah misi dari Sang Kholik yang 

sangat mulia dan terpuji. Dengan pikiran komunis yang telah lama dipelajarinya, Soekarno 

hendak memadamkan Nur Ilahy berupa Surganya Allah di dunia (Negara Islam), namun 

Allah senantiasa menjaga agar cahaya-Nya tetap terang benderang di bumi Indonesia ini. 

Sehingga menerangi alam Indonesia yang dipenuhi kabut kejahiliyahan dan kemunafikan. 

saat  Muh. Natsir mulai menjabat sebagai Perdana Menteri, dia memasukkan pesoalan 

DI/TII dalam program kabinetnya. Awal mula yang dijalankannya dia berusaha untuk 

memecahkan masalah perjuangan D.I lewat cara damai dengan mengutus beberapa 

tokoh yang dekat dengan Kartosoewirjo. Pada tanggal 14 Mei 1950, Natsir mengutus Wali 

Alfatah untuk berangkat ke Priangan menemui Kartosoewirjo. Namun pertemuan itu 

gagal sebab  pasukan APRIS di bawah perintah Kolonel Nasuhi yang sebelumnya telah 

membuat perencanaan pertemuan ini  mengepung sebuah kesatuan TII terdiri dari 

kira-kira 100 tentara yang ditugaskan untuk menjamin keamanan pertemuan itu. Dalam 

pertempuran yang selanjutnya terjadi, gugurlah Toha Arsjad Menteri Penerangan NII.  

lalu  PM Natsir mengadakan usaha berikutnya, saat  dia pada tanggal 14 November 

1950 menawarkan amnesti bagi semua kelompok bersenjata yang belum 

menggabungkan diri dengan Republik dan masih memusuhi pemerintah RI. Natsir 

menugaskan Kyai Muslich, kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Tengah untuk 

menyampaikan pesan pemerintah kepada Amir Fatah, pemimpin perjuangan suci Darul 

Islam di Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju Jawa Barat Amir Fatah dan pasukannya 

selalu diikuti pasukan pemerintah hingga dia akhirnya menyerah di Jawa Barat tanpa 

bertemu dengan Kartosoewirjo.  

Pada akhir Desember 1950 Natsir menugaskan kembali Kyai Muslich untuk 

menyampaikan amanat pemerintah RI kepada “Tuan Kartosoewirjo”. Muslich dibawa ke 

markasnya Kartosoewirjo di Gunung Galunggung oleh seorang penghubung perjuangan 

suci Darul Islam yang hidup di Bandung. Sebelum keberangkatannya, Kyai Muslich masih 

menemui Panglima Teritorium III/Siliwangi, Kol. Sadikin dan lalu  mendapat disposisi 

yang ditandatangani oleh Kepala Staf Letkol Soetoko yang berbunyi: “Berikan bantuan 

seperlunya, supaya order YM Perdana Menteri dapat dilaksanakan dalam tempo dekat”. 

sesudah  tiba di tempat tujuan Kyai Muslich tidak bertemu muka dengan Katosoewirjo 

yang dia sudah kenal sejak tahun tigapuluhan saat  sama-sama menjadi anggota PSII. 

Lewat ajudannya Kartosoewirjo menyampaikan pesan, bahwa sebenarnya dia ingin 

bertemu dengan Kyai Muslich, namun sebagai Imam dan Panglima Tertinggi NII dia tidak 

dapat menerima seorang kurir dari kedudukan serendah Kyai Muslich. Sebaiknya 

pemerintah di Jakarta mengirimkan seorang utusan yang resmi, maka dia akan 

menerimanya. namun  sebelumnya, pemerintah RI harus mengakui Negara Islam Indonesia 

dulu. Menurut Kyai Muslich, dia dititipi 2 surat untuk PM Natsir, yang satu katanya untuk 

Natsir pribadi. Dalam surat ini  Kartosoewirjo menulis pada Natsir, bahwa sebagai 

Perdana Menteri, Natsir punya kekuasaan untuk menambahkan huruf “I” berikutnya di 

belakang RI, menjadi “Republik Islam Indonesia”. Sekiranya Natsir berbuat demikian 

maka dia akan mempunyai dukungan sepenuhnya dari pihak NII dalam segala hal. Dalam 

surat berikutnya yang ditujukan kepada Moh. Natsir sebagai Perdana Menteri, 

Kartosoewirjo menamakan amanat pemerintah RI sebagai “panggilan daun nyiur” sebab  

semua anggota kelompok bersenjata yang menyerah, harus membawa daun nyiur 

sebagai tanda tekad mereka yang damai.  

namun  selama masa berlakunya amnesti yang dikeluarkan oleh Muh. Natsir atas nama 

pemerintah, hanya sedikit dari anggota kelompok bersenjata TII yang turun gunung. Lagi 

pula, sementara amnesti ini  masih berlaku, Panglima Teritorium III Jawa Barat 

mengeluarkan instruksi yang menyatakan 16 organisasi sebagai organisasi terlarang, 

termasuk perjuangan suci DI/TII. Banyak dari mereka yang tertangkap yaitu  politisi dari 

kalangan Masjumi. Sebagai akibat kegagalan himbauan pemerintah RI, dan Moh. Natsir 

juga menyesalkan, bahwa dia dikecam. Maka pada bulan Desember, Natsir didukung oleh 

pihak militer mengambil langkah-langkah yang lebih keras dengan menjalankan operasi 

Merdeka untuk menjawab seluruh permasalahan tentang Darul Islam. 

Menurut Nasution, sudah tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini yaitu  keadaan perang 

yang harus dihadapi secara perang pula sebab  intensitas peperangan ini tidak kalah 

dengan perang gerilya melawan Belanda. Nasution juga menyesalkan sikap pemerintah 

yang sampai saat itu hanya mengambil tindakan “setengah hati” saja terhadap 

pemberontahakan Darul Islam. Lagi pula semua tindakan tidak pernah dikoordinasi satu 

dengan yang lainnya. Juga hanya 10% dari seluruh pasukan Divisi Siliwangi mengambil 

bagian dalam penumpasan perjuangan suci Darul Islam pada waktu itu.  

Semakin pihak RI mengadakan penumpasan terhadap perjuangan Darul Islam, disitu pula 

kiranya Allah memberi  pertolongan-Nya terhadap perjuangan suci Kartosoewirjo ini. 

Dengan "Kurnia Allah" pada tanggal 20 Januari 1952, Negara Islam Indonesia yang 

diproklamasikan Kartosoewirjo diterima oleh Kahar Mudzakar yang siap menggabungkan 

diri dalam NII. Dan siap pula menerima tawaran Kartosoewirjo untuk memegang 

pimpinan Tentara Islam Indonesia. Yang berdasar  keputusan Komandemen Tertinggi 

APNII dia diangkat sebagai Panglima Divisi IV TII untuk daerah Sulawesi dan Indonesia 

Timur. Menyusul lalu  pada tanggal 21 September 1953, Abu Daud Beureueh 

menyatakan bahwa daerah Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia dan 

memutuskan semua hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Melalui kurir yang 

bernama Mustafa Rasjid, Kartosoewirjo mengirimkan surat pengangkatan Daud 

Beureueh sebagai Panglima TII untuk daerah Aceh. Maka dengan demikian bertambah 

kuatlah kedudukan Negara Islam Indonesia dengan masuknya kedua tokoh besar itu. 

Dalam usaha Kartosoewirjo untuk terus menggalang Darul Islam Pada bulan Oktober 1952, 

Kartosoewirjo memerintahkan untuk mempercepat dan memperhebat semua usaha 

menyelenggarakan persiapan perang totaliter dan memperbaiki organisasi Polisi dan 

BARIS begitu juga sistem Komandemen. Badan-badan ini haroes membentoek seboeah 

“Benteng Islam” agar apabila dalam memasoeki tahap ketiga dapat menyelenggarakan 

negara basis atau “Madinah Indonesia” jang mana: “Kedalam, berlakoe sebagai alat -alat 

pembersih dan penjapoe segala matjam koetoe-koetoe masjarakat, dan obat 

penjemboeh beraneka warna penjakit, pemelihara kadaoelatan Negara Islam Indonesia 

dan kesoetjian Agama Islam. Keloear, meroepakan Benteng Islam jang koeat sentaoesa, 


jang sanggoep menghadapi tiap-tiap moesoeh Allah (Islam), dari djoeroesan manapoen 

djoega”. 

Juga penganugerahan pangkat militer dan pemakaian  lencana kepangkatan, serta 

bentuk dan pembuatan lencana ini  kini diatur oleh sebuah Maklumat Komando 

Tertinggi. Selanjutnya ditetapkan konsolidasi militer dan aparatur Negara Islam Indonesia, 

agar negara ini juga dalam pandangan internasional sesuai dengan negara yang bebas 

merdeka. Konsolidasi ini terutama mencakup kekuatan tentara dan persenjataan 

kesatuan militer Tentara Islam Indonesia yang masih tetap jauh tertinggal dari standar 

seharusnya. Sebuah batalyon Tentara Isalm Indonesia harus terdiri dari 4 kompi masing-

masing dengan 290 tentara dan masing-masing kompi harus mempunyai 12 senjata 

otomatis berat dan ringan, 3 mortir, 189 pucuk senapan, dan 12 pucuk pistol. Namun 

standar persenjataan yang ideal ini tidak pernah tercapai, sebab  selalu kekurangan 

senjata berat. 

Lambat laun situasi di bidang militer mulai berubah dan terlihat tanda-tanda yang lebih 

menguntungkan pihak perjuangan suci TII. Pada tahun 1953, rata-rata setiap hari ada saja 

yang gugur dari tentara Republik dalam pertempuran dengan pasukan TII. Sebaliknya 

pada tahun 1954 kerugian akibat serangan perjuangan suci TII setiap tahun sudah 

meningkat dua kali lipat.  

Dari berita “kemenangan” dan laporan-laporan yang disampaikan dalam setiap brifing 

pasukan juga menjadi jelas, bahwa sebagian besar senjata yang dimiliki perjuangan suci 

DI/TII yaitu  hasil rampasan dalam pertempuran. Dengan demikian pada tahun 1956, rata-

rata dalam satu bulan jatuh 15 senjata ke tangan sebuah kesatuan TII.  

Sadar akan kekuatannya sendiri yang pada tahun 1957 T.I.I. mencapai 13.129 tentara, serta 

mengingat keadaan politik dan ekonomi pemerintah pusat di Jakarta sedang terjadi 

kekacauan yang diakibatkan oleh intrik politik Komunis yang semakin mempengaruhi 

kebijakan pemerintah, keyakinan nampak pada setiap anggota TII bahwa sesungguhnya 

dalam waktu dekat tujuan perjuangan akan tercapai.  

“Dalam keadaan RIK jang soenggoeh katjau balau seperti sekarang ini, kita haroes pandai 

dalam menoendjoekkan segenap tindakan revoloesioner kita jang memoengkinkan lebih 

besar oentoek dapat menarik hati ra’iat, sekali lagi: Hati ra’iat! Sebaliknja, djanganlah kita 

melakoekan tindakan-tindakan jang membawa akibat bertambah sakitnja djiwa ra’iat jang 

memang telah loeka hatinja oleh sebab  tindakan kekedjaman dari serdadoe-serdadoe 

pantjasila. Tindakan-tindakan kita jang langsoeng berhoeboengan dengan kepentingan 

dan keselamatan ra’iat banjak, hendaklah dilakoekan sebidjaksana-bidjaksananja”. 

Dengan adanya kekalahan demi kekalahan yang diterima oleh tentara Republik dalam 

menghadapi perjuangan suci DI/TII, maka membuat hati Soekarno menjadi resah dan 

gelisah. sebab  dia khawatir manakala perjuangan suci yang dipimpin oleh Kartosoewirjo 

menang dalam gelanggang pertempuran baik ideologi maupun fisik akan mengancam 

eksistensi dia sebagai presiden, terlebih dia masih punya hutang “PR” kepada Belanda 

bahwa masalah perjuangan suci DI/TII harus diselesaikan dengan secepatnya. 

Untuk tetap mempertahankan kedudukan bahwa dialah sebagai presiden yang sah di 

Indonesia dan dia pulalah yang berhak mengatur jalannya roda pemerintahan Indonesia, 

maka Soekarno mengadakan perjalanan keliling kebeberapa provinsi dan menegaskan 

dalam setiap pidatonya, bahwa “Negara Indonesia ini yaitu  negara nasional yang 

berdasar  Pancasila, dan bukan negara berdasar  Islam maka banyak daerah-daerah 

yang penduduknya yang tidak beragama Islam akan melepaskan diri dari Republik”. 

Pidato Soekarno memicu  reaksi yang sangat keras di kalangan kaum Muslimin dan 

para politisi partai-partai Islam. Salah satu di antara politisi ini , yaitu Isa Anshori dari 

Masjumi yang sejak dulu memperjuangkan ide sebuah negara Islam. Sebagai jawaban atas 

kericuhan politik yang diakibatkan pidatonya, Soekarno pada bulan Mei 1953 memberi 

sebuah ceramah kuliah di hadapan mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia di 

Jakarta, mengenai “Negara Nasional dan Cita-cita Islam”. Dalam ceramahnya itu 

Soekarno menyatakan, bahwa dia belum pernah menjumpai perkataan “negara” dalam 

kitab-kitab Islam, yang dia jumpai yaitu  perkataan-perkataan seperti Darul-Islam, Darul-

Salam, atau Ad-Daulah, namun  istilah yang terakhir ini  berarti “Kedaulatan”.  

Begitu juga dalam pidato pada malam resepsi penutupan Muktamar ke 7 Partai Masjumi 

Sukarno pernah mengatakan, bahwa menurut anggapannya segala sesuatu akhir-akhir ini 

berkembang ke arah yang kurang sehat. Bagi setiap orang terbukalah kesempatan untuk 

mendukung pemerintahan atau beroposisi, namun janganlah melupakan toleransi sebab  

demokrasi yang sejati tidak dapat hidup dengan tiada toleransi.  

Masih sebelum dimulainya sidang-sidang Konstituante pada 2-7 Maret 1954, untuk tetap 

melanggengkan kekuasaannya, Soekarno mengumpulkan 3000 orang ulama NU dan 

lainnya dalam suatu konferensi di Cipanas Jawa Barat. Menurut mantan menteri agama 

K.H. Masjkur yang turut serta dalam konferensi itu bahwa “Dalam prinsip keislaman 

negara dianggap sah dan dituruti bila pemimpinnya memenuhi syarat Waliyul Amri. Yaitu 

ia seorang yang jujur, mempunyai kekuatan dan kewibawaan, yang terpenting dia muslim 

yang taat. Apabila ada pihak lain yang menentang dan memberontak, maka hukumnya 

bughat, wajib dibasmi. Persoalannya, apakah Soekarno memenuhi syarat dan siap diuji 

sebagai Waliyul Amri? yaitu  jawaban Soekarno saat itu sanggup diperiksa. Maka selama 

tiga hari pada tahun 1954 para ulama seluruh Indonesia berkumpul di Cipanas dengan 

membawa kitab-kitab untuk membicarakan soal ini. Dari pertemuan ulama itu dan dialog 

dengan Bung Karno, akhirnya disimpulkan bahwa Bung Karno memang seorang yang 

jujur, berwibawa dan seorang muslim. Tapi Bung Karno sholat Jum’at di mana? Mendapat 

pertanyaan ini  Bung Karno lalu mendirikan masjid di istana negara. Sebelumnya 

masjid ini  memang belum ada. Dari penilaian ini  Bung Karno dianggap 

memenuhi syarat sebagai “Waliyul Amri Addharuri Bisy Syaukah”. Menyinggung soal 

shalat Jum’at, dari beberapa sumber yang dapat dipercaya menerangkan, bahwa 

Soekarno dikenal tidak pernah melakukan shalat Jum’at, kecuali pada saat pembukaan 

atau peresmian masjid Baitur rahim yang terletak di kompleks Istana Jakarta. Dengan 

adanya pemberian gelar ini banyak kecaman yang datang dari tokoh-tokoh Islam dan 

organisasi Islam yang menyatakan, bahwa istilah Waliyul Amri Ad-dharuri hanya dapat 

dipergunakan pada negara yang berdasar  Islam, dan selanjutnya dikatakan, bahwa 

tiap-tiap negara dalam Islam, termasuk Waliyul Amri harus bertanggung jawab kepada 

rakyat atau lembaga perwakilan rakyat Islam yang tidak dianut dalam UUD Sementara 

1950. Oleh sebab  itu presiden Indonesia tidak bisa menjadi Waliyul Amri Ad-dharuri. Di 

sisi lain presiden dan kabinetnya bersumpah untuk setia kepada Pancasila dan bukan 

kepada Islam. 

Pertemuan para ulama di Cipanas itu jelas merupakan rekayasa politik, semata-mata 

dimaksudkan memberi  legalitas pada Soekarno untuk menumpas perjuangan Darul 

Islam. Dan untuk itu dia memerlukan bantuan para ulama pendukungnya guna 

menentukan. “siapa bughat yang harus diperangi dan siapa Waliyul Amri yang mesti 

dita’ati”. Topeng yang menutupi wajah para pengkhianat agama sedikit demi sedikit 

mulai tersingkap. Dari pengakuan yang dituturkan ini saja, orang dapat mengerti bahwa 

ini semua yaitu  permainan politik. Sekalipun mereka memikul sekeranjang kitab laksana 

“keledai”, pertemuan para ulama di Cipanas itu pasti tidak akan menemukan hujjah yang 

benar bagi penumpasan suatu perjuangan suci Darul Islam yang berjuang kearah 

terlaksananya hukum Allah. Begitu pula mereka tidak akan bisa meyakinkan dirinya 

sendiri, bahwa manusia macam Soekarno yang mempelajari Islam sekedar kebutuhan, 

 

layak dinobatkan sebagai Waliyul Amri. Jika pada akhirnya mereka memutuskan “yang ini 

bughat dan yang itu Ulil Amri”, maka itu tidak lain hanya sekedar rekayasa guna 

memenuhi tuntutan politik penguasa dengan memperalat Islam serta memanfaatkan 

kebodohan ulamanya. Allah menegaskan dalam firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat: 

Muhammad, ayat 14. 

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabb-Nya sama 

dengan orang yang (syetan) menjadikan ia memandang baik perbuatannya yang buruk itu 

dan mengikuti hawa nafsunya?”. 

Dalam sebuah keterangan pemerintah Negara Islam Indonesia pada bulan Mei 1955, yang 

dianggap Kartosoewirjo sebagai jawaban atas “permakluman perang resmi oleh RIK 

terhadap Negara Islam Indonesia”, dan yang juga merupakan sebuah jawaban atas sikap 

kabinet Ali Sastromidjojo, Kartosoewirjo kembali lagi mengingatkan bentrokan senjata 

yang pertama antara TNI dan TII di Antarlina. Pada saat itu umat Islam merasa haknya 

diperkosa, sebab  TNI “melanggar batas-batas daerah de facto Negara Islam Indonesia”, 

demikian keterangan Kartosoewirjo. Dia juga membenarkan aksi-aksi teror terhadap 

pengkhianat-pengkhianat Negara Islam Indonesia, pengkhianat Agama (Islam) dan 

pengkhianat Allah beserta kaki tangannya, sedang pembakaran dilakukan atas serangan 

serdadu TRIK dan hak milik anak cucu Iblis la-natullah, yang haram mutlak itu. Merampas 

hak milik pengkhianat bukanlah barang baru. Semua itu berlaku atas sendi-sendi tegasnya 

hukum perang".  

Seluruh anggota Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII) kini dilarang memiliki 

radio, kamera dan dilarang main kartu, catur, bulutangkis, dan sepak bola. Waktu 

senggang mereka harus diisi hanya dengan pendidikan militer dan politik. Selanjutnya 

penduduk di daerah Negara Islam Indonesia berada dalam keadaan perang. Setiap orang 

diwajibkan untuk menyediakan harta kekayaannya untuk Negara Islam Indonesia. 

Seandainya masih tetap ada yang melakukan perjalanan Haji meskipun ada larangan 

ini , maka sebagai hukumannya dia harus membayar pada Negara Islam Indonesia 

jumlah uang yang digunakannya untuk perjalanan ini . Sebagai alasan atas larangan 

ini  dijelaskan, bahwa perjalanan naik haji hanya dapat dilakukan atas nama Republik 

Indonesia, dan ini akan merusak citra Negara Islam Indonesia. namun  dalam fakta  

memang banyak surat-surat Negara Islam Indonesia dibawa ke Mekkah oleh Haji-haji dari 

daerah Priangan, seperti terbukti oleh sebuat surat rahasia dari seorang Sunda yang 

berdiam di Mekkah.  

 

 

Sistem komandemen kini tetap bertahan pada bentuknya yang lama selama 7 tahun 

mendatang, dan juga semua peraturan dan perundang-undangan Negara Islam Indonesia 

terus berlaku. Maklumat yang berikutnya dari komandemen Tertinggi APNII baru 

dikeluarkan pada bulan Agustus 1959, saat  diadakan reorganisasi militer dan aparatur 

Negara Islam Indonesia secara menyeluruh namun pada saat itu titik klimaks Negara Islam 

Indonesia telah berlalu. Menurut keterangan Kartosoewirjo sendiri, bahwa dia dan 

keluarganya antara tahun 1954-1959 pindah ke daerah pegunungan selatan Jawa Barat di 

sekitar Karangnunggal (hutan Denuh). Sementara itu dia mengangkat Sanusi Partawidjaja 

sebagai wakilnya. Namun selama tahun-tahun itu semua Maklumat NII masih tetap 

ditandatangani oleh beliau sendiri. 

saat  Kartosoewirjo mendengar, bahwa Sanusi Partawidjaja bersama-sama dengan van 

Kleef, seorang Belanda yang bergabung dengan Darul Islam, merencanakan kup untuk 

menggulingkan Kartosoewirjo, maka Kartosoewirjo mengambil alih kembali pimpinan NII 

dan pada bulan Juli 1959, dia berangkat kembali ke daerah pusat Perjuangan suci Darul 

Islam. Pada waktu itu Kartosoewirjo rupanya benar-benar prihatin melihat keadaan 

perjuangan sucinya, sehingga dia pada bulan Juli 1959 mengatakan, bahwa kalau 

kemenangan tidak dapat dicapai dalam waktu dekat ini, kesempatan berikutnya baru 

akan tiba dalam waktu 32 tahun. Dalam pidatonya pada waktu penyerahan ijazah pada 

lulusan akademi Wana Yudha, semacam akademi militer NII, Kartosoewirjo juga 

menyindir rencana Sanusi Partawidjaja untuk menggulingkannya dan dia berkata: 

“Soenggoeh pahit bagi Bapak, dengan keadaan Negara kita sekarang sebab  banjak hal-

hal jang menjeleweng. Bahaja akan datang, apabila ada doealisme dan bertengkaran 

dalam tiap-tiap komandemen. Ada pertengkaran antara komandan-komandan, maka 

kebawahannja apalagi”.  

Untuk dapat kembali mengendalikan secara menyeluruh perjuangan suci Darul Islam 

yang telah didirikan, Kartosoewirjo kini mengadakan reorganisasi dan pengetatan seluruh 

pimpinan militer, begitu juga Kartosoewirjo sebagai Imam dan Panglima Tertinggi. 

Tampaknya selama Kartosoewirjo diwakili oleh Sanusi Partawidjaja telah terjadi beberapa 

perkembangan dalam perjuangan suci DI yang tidak lagi dapat ditolerir oleh 

Kartosoewirjo. Seruan akan tanggung jawab setiap orang terhadap pimpinan dan 

terhadap tujuan-tujuan perjuangan suci, terhadap solidaritas Islam dan kewajiban untuk 

menegakkan hukum Islam yaitu  petunjuk, bahwa Kartosoewirjo sangat khawatir 

tentang keadaan perjuangan suci Darul Islam pada waktu itu. 

 

Dijelaskan Kartosoewirjo dalam Maklumat Komandemen Tertinggi APNII No. 11. 

“Mengingat, bahwa perloe dibentoek Pimpinan Perang atau Komando Perang jang lebih 

koeat, dan penjempoernaan systeem atau Stelsel Komandemen jang lebih effektif 

demikian roepa, sehingga lebih terdjamin makin hebat dan bergeloranja peperangan, dan 

sehingga tertjapailah dengan tolong dan koernia Allah djoea kemenangan perang terachir, 

tegasnja kemenangan Islam dan Negara Islam Indonesia, ialah satoe-satoenja pintoe 

gerbang menoedjoe dan memasoeki Negara Madinah Indonesia, atau/dan Negara Islam 

Indonesia boelat sempoerna, merdeka dan berdaoelat sepenoehnja, kedalam dan 

keloear, de facto dan de jure, sepanjang boekti-boekti kenjataan dan hoekoem. Dan 

berpendapat, bahwa perloe dalam waktoe jang sesingkat-singkatnja diselenggarkan 

Soesoenan Pimpinan Perang dalam bentoek baroe, ialah perpadoean antara Stelsel 

Komandemen lama jang tetap berlakoe hingga sa’at ini, dan peratoeran-peratoeran 

perang baroe atau jang diperbaroekan, demikian roepa: 

A. Sehingga terdjaminlah dengan pasti berlakoenja dan pelaksanaan Komando Perang 

jang berdaja goena sebesar-besarnja, teroetama pada sa’at-sa’at dikeloerkannja 

Komando Perang Semesta atau Komando Perang Totaliter dalam kata jang seloeas-

loeasnja, dan terlebih-lebih lagi mendjelang sa’at moestari, atau sa’at di 

keloearkannja Komado Perang Moethlak, Komando Oemoem, ialah Komando Allah 

langsoeng melaloei Imam Panglima Tertinggi Angkatan Perang NII, selakoe 

Chalifatoellah dan Chalifatoen-Nabi di noesantara Indonesia; ialah Perang Semesta 

dan Perang Moethlak, jang akan menentoekan nasibnja Negara Islam Indonesia dan 

hari depan Oemat Islam Bangsa Indonesia di masa mendatang; dan 

B. Sehingga seloeroeh Negara Islam Indonesia, beserta segenap Angkatan perang dan 

ra’iat warga negaranja, tanpa ketjoeali soenggoeh-soenggoeh ikoet serta 

mewoedjoedkan tenaga perang raksasa maha/dahsjat, satoe gelombang Jamaah 

Moedjahidin maha-Besar, jang lagi madjoe-bergerak memenoehi panggilan dan 

seroean Allah, langsoeng menoedjoe arah Mardlatillah sejati, di doenia dan di akhirat; 

ialah potensi perang maha-berat, persatoe-padoean segenap tenaga dan kekoeatan 

seloeroeh Oemmat Moedjahidin; Oemmat-pilihan dan kekasih Allah, jang sanggoep 

dan mampoe menghadapi serta mengatasi, dan akhirnja menghantjoer-lidaskan 

segala jenis dan bentoek moesoeh-moesoeh Allah, moesoeh Islam, moesoeh Negara 

Islam Indonesia dan moesoeh-moesoeh seloeroeh Barisan Moedjahidin, hingga 

tekoek-loetoet atau hancoer-binasa; dengan sebab  berkat kehendak dan 

kekoeasaan, tolong dan koernia Allah, Dzat Jang Maha Agoeng djoea adanja. 

 

Dalam Maklumat No.11 itu Kartosoewirjo memutuskan Membagi Indonesia dalam 7 

(tujuh) Daerah Perang, atau “Sapta Palagan”. Yang klasifikasi dan penggolongannya 

secara administratif yaitu  sebagai berikut: 

1. Daerah Perang Pertama melipoeti seloeroeh Indonesia dan diseboet “Komando 

Perang Seloeroeh Indonesia” (KPSI) jang dipimpin langsoeng oleh Imam dan 

Panglima Besar APNII, jang djoega berwenang oentoek mengeloearkan 

“Komando Oemoem”. KPSI terseboet yaitu  identik dengan Dewan Imamah 

jang doeloe dan Komandemen Tertinggi. 

2. Daerah Perang Kedoea melipoeti beberapa wilayah NII dan diseboet sebagai 

“Komado Perang Wilajah Besar” (KPWB), dengan tjatatan, bahwa oentoek 

seloeroeh Indonesia ditetapkan 3 KPWB jang masing-masing dipimpin oleh 

seorang Panglima Perang KPWB, ja’ni:  

a. KPWB I, terdiri atas poelau Jawa dan Madoera dan dipimpin oleh Agoes 

Abdoellah. 

b. KPWB II, terdiri atas seloeroeh Indonesia Timoer termasoek Soelawesi, 

Noesatenggara, Maloekoe, Irian Barat dan Kalimantan dan di pimpin oleh Kahar 

Muzakkar. 

c. KPWB III, terdiri atas seloeroeh Soematra dan kepoelauan sekitarnja di bawah 

pimpinan Daud Beureueh. 

3. Daerah Perang Ketiga hanya melipoeti satoe wilayah NII dan diseboet sebagai 

“Komando Perang Wilayah” (KPW). Dengan demikian beberapa KPW 

meroepakan satoe KPWB. Djoega setiap KPW dipimpin oleh seorang Panglima 

Perang KPW. Seluruhnya terdapat 7 KPW di Indonesia. 

KPW I. 

Terdiri dari daerah keresidenan Jakarta, Purwakarta, Cirebon dan Priangan Timur. 

KPW II.  

Hanya terdiri dari Jawa Tengah, namun wilayah ini dihapus, sebab  Perjuangan 

suci DI yang dipimpin oleh Amir Fattah telah lama gagal. 

KPW III. 

Direncanakan Jawa Timur di bawah pimpinan Masduki. 

KPW IV. 

Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. 

KPW V. 

  

 

Sumatra dipimpin oleh Daud Beureueh. 

KPW VI. 

Direncanakan daerah Kalimantan, tapi gagal. 

KPW VII. 

Keresidenan Bogor, Kabupaten/Kota Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten 

Sumedang dan Keresidenan Banten dipimpin oleh Ateng Djaelani Selatan. 

4. Daerah Perang Keempat melipoeti satoe Keresidenan/Resimen dan diseboet 

“Komando Militer Pangkalan Setempat” (Komando Operasi Resimen 

Pertempoeran Setempat) djoega dioebah mendjadi “Kompas” jang hanja 

mempoenjai foengsi taktis dan tidak boleh lagi mentjampoeri administrasi 

negara. Setiap Kompas dipimpin oleh seorang Komandan Pertempoeran Kompas. 

5. Daerah Perang Kelima hanjalah melipoeti satoe Kaboepaten/Batalyon dan 

diseboet “Sub-Kompas” dan dipimpin oleh seorang Komandan Pertempoeran 

Sub-Kompas. 

6. Daerah Perang Keenam hanjalah melipoeti satoe Ketjamatan/Kompi atau lebih 

dan diseboet “Sektor”. Setiap Sektor dipimpin oleh seorang Komandan 

Pertempoeran Sektor. 

7. Daerah Perang Ketoedjoeh melipoeti satoe desa atau lebih dan diseboet sebagai 

“Sub-Sektor” jang dipimpin oleh seorang Komandan Pertempoeran Sub-Sektor. 

 

Memerintahkan kepada seloeroeh Komandan dan Komandemen, serta segenap 

Pedjabat/Foengsionaris dan Petoegas Negara dalam lingkoengan Negara Islam 

Indonesia: Soepaja segera, dengan tjepat dan tepat, tapi tetap tertib, teratoer dan 

berentjana, menjelenggarakan isi dan djiwa Makloemat Komandemen Tertinggi No. 

11 ini, dengan sebaik-baik dan sesempoerna-sempoernanja, sehingga segala 

persiapan dan pelaksanaannja soedah boleh diselesaikan pada tanggal 1 Januari 1960 

dengan tjatatan, bahwa oentoek daerah-daerah Negara Islam Indonesia jang 

terpentjil letaknja, sehingga terhalang oleh djarak djaoeh dan kesoelitan 

perhoeboengan, diberi batas waktoe hingga tanggal 1 Februari 1960”. 

Menurut struktur komando yang baru, hampir semua perjuangan suci militer dan 

komandonya kini dipertanggungjawabkan kepada Komandan Pertempuran Kompas, 

yang mengatur langsung setiap pasukan yang ada di bawah pimpinannya. Juga 

 

 

Komandan Kompas yaitu  pengantara terakhir untuk menyalurkan dan melanjutkan 

segala instruksi atasannya kepada bawahannya. Sebagai komadan lapangan, 

Komandan Kompas juga harus menentukan siasat dan strategi militer, Kartosoewirjo 

berharap, bahwa dengan pelaksanaan penyusunan struktur komando yang baru, 

Negara Islam Indonesia terhindar daripada “setiap jenis, sifat dan bentuk dualisme”, 

dalam bidang dan lapangan apa dan manapun sehingga di lingkungan NII hanya 

dikenal satu pimpinan negara yang juga bertugas memegang Pimpinan Perang dan 

Pimpinan Umat Berperang.  

 

Darul Islam Jawa Tengah 

Terjadinya perlawanan Darul Islam terhadap pemerintahan RI di Jawa Tengah, berasal dari tiga 

kelompok yang berbeda. Pertama, yang berasal dari wilayah barat berbatasan dengan Jawa 

Barat, terutama daerah Brebes dan Tegal yang merupakan basis gerakan Darul Islam untuk Jawa 

Tengah yang dipimpin Amir Fatah. sebab  kedekatan daerah, kelompok ini mendapat 

pengawasan dari pusat gerakan yang ada di Jawa Barat. Kedua, yang dimotori oleh pergerakan 

Angkatan Umat Islam di Kebumen, di mana organisasi ini menjadi penentang Pemerintah 

Indonesia (Soekarno) sebab  keterlibatan pihak pemerintah pada masa pendudukan Jepang. 

Dan kelompok ketiga yang terbentuk dari pembelotan sebagian pasukan Tentara Republik dari 

kesatuan Divisi Diponegoro.  

Perlawanan Darul Islam pimpinan Amir Fatah terjadi menyusul berakhirnya perlawanan rakyat 

pimpinan Kutil dan rekan-rekannya, yang mengikutsertakan satuan-satuan lokal seperti Barisan 

Pelopor. Peristiwa ini  memicu  penangkapan besar-besaran dan pembalasan kejam 

dalam upaya "untuk memberi  pelajaran kepada rakyat" yang dilakukan Tentara Republik, 

dalam masa yang singkat. Lebih lanjut untuk menenangkan keadaan di daerah ini  

dilaksanakanlah suatu sikap yang lebih luwes. Sukarno, dengan didampingi Wakil Presiden 

Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Panglima Tentara Republik Sudirman 

mengadakan kunjungan ke daerah itu. Di dalam kunjungan ini , Sukarno — pada suatu 

rapat umum yang dilangsungkan di Tegal — mendesak rakyat untuk tetap setia kepada Republik 

Indonesia dengan mengatakan, "Rakyat Tegal-Brebes-Pekalongan, janganlah membentuk 

republik kecil-kecilan, suatu Republik Talang, Republik Slawi, Republik Tegal". Peristiwa revolusi 

sosial yang terjadi sebelumnya di Jawa Tengah telah memicu  kesadaran rakyat akan hak-

hak politiknya. Namun sebab  sikap pemerintah yang setengah hati dalam menangani setiap 

keinginannya telah membawa mereka kepada konflik yang semakin terbuka. 

Sesungguhnya rakyat berkeinginan, bahwa kemerdekaan yang telah diraih dengan darah itu 

tidak dikhianati para pemimpin Republik yang hanya menyelesaikan masalah negerinya dari satu 

perundingan ke perundingan lain. Tentu saja hal ini sangat merugikan perjuangan rakyat 

seluruhnya, yang merasa tertipu dengan diplomasi RI-Belanda yang sering diingkari Belanda. 

 

 

Apalagi Belanda selalu mengadakan aksi-aksi militernya untuk menancapkan kembali 

penjajahannya di Republik Indonesia sesudah  perundingan dengan RI disepakati kedua belah 

pihak. 

Agresi militer pertama yang dilakukan Belanda merupakan ancaman yang mengkhawatirkan bagi 

kedudukan wilayah RI, dimana wilayah pedesaan di sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Jawa 

Tengah sebelah barat dapat diduduki Belanda. Disamping itu Belanda juga menduduki daerah 

yang mengelilingi pusat-pusat wilayah RI. Walau pasukan TNI mengadakan perlawanan di distrik-

distrik luar wilayahnya, namun tidak membawa hasil yang memuaskan. sebab  ketidakmampuan 

ini , pihak pemerintah yang diwakili Syahrir mengadakan perundingan dengan pihak 

Belanda. Dan berdasar  hasil Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948, Karesidenan 

Pekalongan menjadi daerah yang dikuasai Belanda. Dalam perjanjian Renville, seperti juga 

sebagian besar wilayah Jawa Barat, pasukan TNI harus meninggalkan daerah yang telah dikuasai 

Belanda. Baik pasukan TNI maupun pasukan lain yang bergerak di Karesidenan Pekalongan 

diperintahkan meninggalkan daerah ini. lalu  kesatuan TNI menarik diri ke Desa 

Karangkobar di Banjarnegara, dan satuan pasukan lainnya, seperti Hizbullah dan BPRI, ke 

Wonosobo.  

Berbeda di daerah Brebes. saat  ada perintah untuk mengosongkan daerah kantong-kantong 

Republik, sebagaimana yang diisyaratkan sebagai hasil perundingan dengan Belanda, masih ada 

para pejuang yang tetap tinggal di daerah ini . lalu  para pejuang itu melakukan 

operasi militernya, dengan membagi pasukannya dalam dua kelompok, masing-masing bernama 

Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI). Gerakan 

perlawanan yang diperlihatkan kedua kelompok pasukan ini, beberapa bulan lalu  diikuti 

juga satuan Hizbullah yang merasakan ketidakpuasan dengan hasil perundingan, walaupun pada 

permulaan penarikan mundur pasukan turut bersama TNI, namun lalu  kembali ke 

pangkalan asalnya. Adapun pemisahan diri yang dilakukan lasykar Hizbullah lebih banyak 

disebabkan adanya gelombang baru reorganisasi yang diprogramkan pemerintah di dalam TNI.  

Adanya program pemerintah berupa rasionalisasi pasukan, memicu  kekecewaan dan 

kemarahan anggota satuan-satuan pasukan lain di luar TNI, baik satuan pasukan yang 

didemobilisasikan maupun yang tidak Peristiwa inilah yang menjadi dasar bagi satuan-satuan 

Hizbullah untuk menginfiltrasi ke daerah Brebes dan Tegal. Kelompok pertama yang kembali ke 

daerah ini dipimpin Abas Abdullah. saat  Abas Abdullah kembali ke Brebes, ia mendirikan 

Majelis Islam, dan memberi  nama bagi pasukannya, Pasukan Mujahidin (Pejuang-pejuang di 

jalan Allah). Ia menganggap bahwa Majelis Islam yang didirikannya sebagai pemerintah daerah 

sementara yang sah, dan berusaha mencoba menaklukkan pasukan yang tergabung dalam GARI 

dan GRI dengan paksa.  

Seperti yang terjadi di Jawa Barat, dimana terlihat ketidaksungguhan para elit pemerintah RI 

dalam menghadapi Belanda baik di meja perundingan maupun di medan perang untuk 

mengeksiskan Republik sendiri di mata dunia internasional, telah memberi  dorongan yang 

sangat kuat bagi timbulnya perjuangan jihad suci Darul Islam. Kelahiran perjuangan Darul Islam 

di Jawa Tengah pun dalam banyak hal ada persamaan dengan lahirnya perjuangan Darul Islam di 

Jawa Barat. Dimana adanya sejumlah satuan militer yang tergabung dalam setiap kelompok 

menolak mengundurkan diri dari daerahnya dan tetap tinggal di sana. Tambahan lagi terdapat 

rasa tidak senang akan cara Tentara Republik memperlakukan satuan-satuan pasukan ini . 

namun , suatu gerakan Islam merdeka yang baru lahir, sesudah  Amir Fatah muncul di gelanggang, 

gerakan ini memperoleh momentumnya hanya beberapa bulan lalu . Amir Fatah yang 

menjadi komandannya yaitu  nama lengkap dari Amir Fatah Wijayakusuma, dia seorang pribumi 

Kroya di Banyumas. Dalam karir politiknya, dia pernah menjabat sebagai ketua Dewan 

Pembelaan Masyumi Pusat. Dan dia yaitu  seorang rekan akrab Kartosoewirjo, pernah juga 

memimpin pasukan Hizbullah untuk menyertai Kartosoewirjo ke Malang dalam rangka 

menghadiri sidang paripurna kelima Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai semacam 

pengawal, Februari 1947. Di Malang dia menjadi Kepala Staf Divisi 17 Agustus, yaitu campuran 

pasukan yang menentang Persetujuan Linggarjati — masalah inilah yang menjadi persoalan 

pokok dalam acara.  

Banyak analisa yang sangsi sekitar kepindahan Amir Fatah dari Jawa Barat, dan juga status dan 

peranan Hizbullah. Namun melihat dari hasil Persetujuan Linggarjati yang dilakukan oleh 

pemerintah Republik telah banyak mempengaruhi pemikiran Amir Fatah untuk mengadakan 

perlawanan dalam upaya menentang Perjanjian ini . Usaha yang dilakukannya ialah dengan 

menggabungkan diri dengan pejuang mujahidin T.I.I. yang memang telah dipersiapkan oleh 

Kartosoewirjo dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan mendatang saat  dia dan 

sebagian besar pasukan Hizubullah yang telah dipersiapkannya tidak turut serta hijrah dalam 

upayanya menentang Belanda. Disamping itu bukti yang menguatkannya yaitu  sekitar tahun 

1948, Sudirman memerintahkan Amir Fatah untuk melanjutkan kegiatan gerilya melawan 

Belanda di Jawa Barat, dan dengan demikian mengisi kekosongan yang ditinggalkan Divisi 

Siliwangi. Walaupun pada saat itu Tentara Republik telah mengangkat Letnan Kolonel Sutoko 

sebagai koordinator operasi gerilya di Jawa Barat. 

saat  bergabungnya Amir Fatah dengan perjuangan jihad suci Kartosoerwirjo, oleh suatu sebab, 

Amir Fatah lalu  diinstruksikan untuk mengundurkan diri ke daerah Brebes dan Tegal, 

tempat asal sebagian besar anak buahnya. Dan seperti terlihat lalu , keadaan yang terakhir 

ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan gerilya Amir Fatah 

melawan Republik, sekitar tahun 1949. Dalam usaha menumpas kegiatan Darul Islam di Jawa 

Tengah ini, Tentara Republik menghadapi rintangan yang berat sebab  dukungan yang sangat 

besar diberikan rakyat Brebes dan Tegal kepada perjuangan jihad suci Amir Fatah, disamping itu 

banyak dari mereka ini yang punya hubungan kekerabatan dengan para pejuang mujahid.  

Kemungkinan Amir Fatah memasuki Brebes dan Tegal lewat Wonosobo, sekitar Oktober 1948, 

saat  itu pun di daerah ini telah ditempatkan Batalyon 52 Hizbullah. Pada saat itu dia berhasil 

mengajak batalyon 52 Hizbullah ini kembali ke Brebes dan Tegal bersamanya, walaupun 

ditentang komandannya, Muh. Bakhrin. saat  batalyon yang kini di bawah pimpinan Amir Fatah 

sendiri itu mencapai garis demarkasi, mereka dihadang pasukan Republik. Dengan siasat hendak 

kembali lagi, mereka lalu melintasi perbatasan di tempat lain. Sesudah memasuki zone yang 

dikuasai Belanda, dengan mengikuti contoh Abas Abdullah, Amir Fatah membentuk "sel 

Pemerintah Islam," dan mendirikan Majelis Islam. Pasukannya diberinya nama Mujahidin.  

Dalam langkah Amir Fatah menuju pembentukan negara Islam ini, pada mulanya ia tidak 

menentang setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Republik. Seperti kejadian yang 

dialami saat  pasukan Republik kembali sesudah aksi militer kedua Belanda dilancarkan, tidak 

terjadi konflik terbuka yang langsung antara pasukan Republik dan satuan Hizbullah seperti di 

Jawa Barat. Bahkan sebaliknya, Majelis Islam dan Pemerintah Republik setuju mengadakan kerja 

sama, dimana fungsi administratif dan militer yang tertinggi diserahkan kepada Pemerintah 

Republik. Selanjutnya Mayor Wongsoatmojo diangkat menjadi komandan pasukan Indonesia di 

daerah itu, termasuk menjadi komandan satuan Hizbullah. 

saat  sampai di daerah Brebes dan Tegal, Wongsoatmodjo membentuk Sub Wehrkreise III 

(SWKS III), sebagai divisi Pemerintah Militer yang berlaku di Jawa, dia telah menggabungkan 

fungsi administratif, militer, dan sipil. Biarpun tidak mengangkat personil militer pada 

Pemerintahan Sipil, namun  personil sipil tetap tunduk kepada militer. Sebagai bagian dari struktur 

komando Tentara Republik, Sub Wehrkreise juga mempersatukan pasukan-pasukan biasa dan 

liar. Pada saat diadakan pembentukan, mereka bukan saja menghilangkan pemakaian  nama-

nama Batalyon 50, 51, atau 52, yang akan digantikan dengan nama singkatan TNI-SWKS-III, namun  

mereka juga melarang semua referensi dengan Hizbullah, Mujahidin, dan sebagainya. Seluruh 

pasukan yang disebut dengan nama-nama ini kini telah dilebur bersama Tentara Republik, dan 

hanya dapat disebut sebagai bagian dari Tentara Nasional Indonesia.  

Bersamaan dengan kejadian di atas, Amir Fatah diangkat sebagai koordinator kepala keamanan 

Sub Wehrkreise. Dalam kedudukannya ini, salah satu tugasnya yaitu  mengawasi 

penggabungan satuan-satuan gerilyawan ke dalam Tentara Republik. Hubungan yang 

bersahabat antara Amir Fatah dan Tentara serta Pemerintah Republik hanya berlanjut dalam 

beberapa waktu. Tidak lama berselang hubungan ini menjadi macet sebab  baik Amir Fatah 

maupun Tentara Pemerintah sendiri masing-masing menganggap partnernya itu sebagai saingan. 

Ketidak harmonisan ini terjadi terutama mengenai pemerintah daerah. Dalam permasalahan ini 

antara Pemerintah Republik dan Majelis Islam masing-masing telah mempunyai personil yang 

akan dipersiapkan sebelumnya untuk menduduki kursi jabatan di pemerintah daerah. Tambahan 

lagi yang menjadi penyebab ketidak harmonisan itu ialah saat  Pemerintah Republik melakukan 

provokasi terhadap rakyat agar menerima para pamong praja yang mereka angkat, sebab  

mereka merasa perlu, bahwa para fungsionaris yang disokong Majelis Islam harus berhenti. 

Usaha Pemerintah untuk merintangi turut-sertanya Majelis Islam dalam pemerintahan 

sebenarnya tidak membantu menciptakan suasana yang bersahabat. Segera situasi pun 

meningkat menjadi luar biasa tegang. Akhirnya keadaan menjadi begitu genting, hingga Tentara 

Republik terpaksa mengirimkan suatu kompi Brigade Mobil dan Angkatan Kepolisian untuk 

memperkuat pasukannya sendiri.  

Pada akhir April, sesudah  terbentuknya Sub Wehrkreise Slamet 111, Amir Fatah keluar dari jabatan 

sebagai koordinator kepala keamanan Sub Wehrkreise. Adapun yang melatar belakangi 

pengunduran diri ini Menurut Jusmar Basri, sesudah  Amir Fatah mengadakan pembicaraan 

khusus dengan seorang utusan Kartosoewirjo yang bernama Kamran. Dan hasil dari 

pembicaraan ini  yaitu  pengangkatan Amir Fatah. Pembicaraan antara mereka berdua 

berlangsung pada tanggal 22 dan 23 April 1949 di Desa Pengarasan, sebelah barat Bumiayu, dekat 

perbatasan selatan Kabupaten Brebes, Pranata, dalam melukiskan peristiwa-peristiwa di 

Pengarasan menjelang penggabungan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah, tidak menyebut 

Kamran. namun , ia mengemukakan kehadiran Syarif Hidayat, seorang komandan Hizbullah Jawa 

Barat. 

Disamping aksi pengunduran dirinya, Amir Fatah juga secara diam-diam menarik mundur para 

pejuang mujahid bekas Batalyon Hizbullah di Brebes dan Tegal ke Desa Pengarasan. Namun 

saat  hal ini diketahui oleh komandan militer Brebes, Kapten Prawoto, lalu ia mengirimkan kira-

kira 50 orang untuk mengetahui maksud Amir Fatah. Dari hasil keterangan yang diperoleh 

mengenai pengalaman Amir Fatah ini yang diberikan Pranata, tampaknya yaitu  kemungkinan 

berhasilnya perundingan tentang pembentukan Republik Indonesia Serikat federal antara 

  


 189 

 

Pemerintah Republik dan Pemerintah Belanda yang menyebabkan Amir Fatah memutuskan 

hubungan dengan Republik.  

Untuk memperjelas arah perjuangannya, Amir Fatah mengklasifikasikan perjuangan dengan tiga 

jenis: a) perjuangan Islam, b) perjuangan komunis, dan c) perjuangan federal. Menurutnya, dari 

ketiga jenis perjuangan ini , perjuangan Islamlah yang terunggul, alasan yang dikemukakan 

oleh Amir Fatah dalam menguatkan pernyataannya ialah, sebab  Republik telah mengkhianati 

cita-cita perjuangan kemerdekaan rakyat bangsa Indonesia. Yang lalu  Pemerintah 

Republik berpaling memakai  perjuangan federal dengan menandatangani Persetujuan 

Renville dan Linggarjati, dengan mengubah haluan perjuangan ini, menurut Amir Fatah bahwa 

Pemerintah Republik telah menyerah kepada tuntutan-tuntutan Belanda yang menghendaki 

Republik Indonesia Serikat. Dengan demikian jelaslah faktor penyebab perjuangan jihad suci