Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 7

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 7


 



BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM 

Bismillahi tawakkalna ‘alallah, lahaoela wala qoewwata illa billah. 

Asjhadoe an-la ilaha illallah, wa asyhadoe anna Moehammadr Rasoeloellah. 

Wallahi. Demi Allah! 

1. Saja menjatakan bai’at ini kepada Allah, di hadapan dan dengan persaksian Komandan 

Tentara/Pemimpin Negara, jang bertanggoeng djawab. 

2. Saja menjatakan Bai’at ini soenggoeh-soenggoeh sebab  ikhlas dan soetji hati, lillahi ta’ala 

semata-mata, dan tidak sekali-kali sebab  sesoeatoe di loear dan ke loear daripada 

kepentingan Agama Allah. Agama Islam dan Negara Islam Indonesia. 

3. Saja sanggoep berkorban dengan djiwa, raga dan njawa saja serta apapoen jang ada pada 

saja, berdasar  sebesar-besar taqwa dan sesempoerna-sempoerna tawakal ‘alallah, bagi: 

mentegakkan kalimatillah, li-I’lai Kalimatillah --, dan mempertahankan berdirinja Negara 

Islam Indonesia; hingga hoekoem Sjari’at Islam seloeroehnja berlakoe dengan seloeas -

loeasnja dalam kalangan Oemmat Islam Bangsa Indonesia di Indonesia. 

4. Saja akan tha’at sepenoehnja kepada perintah Allah, kepada perintah Rasoeloellah dan 

kepada perintah Oelil Amri saja, dan mendjaoehi segala larangannja, dengan toeloes dan 

setia-hati. 

5. Saja tidak akan berkhianat kepada Allah, kepada Rasoeloellah dan kepada Komandan 

Tentara, serta Pemimpin Negara, dan tidak poela akan memboeat noda atas Oemmat Islam 

Bangsa Indonesia. 

 

6. Saja sanggoep membela Komandan-komandan Tentara Islam Indonesia dan Pemimpin-

pemimpin Negara Islam Indonesia, daripada bahaja, bentjana dan khijanat darimana dan 

apapoen djoega. 

7. Saja sanggoep menerima hoekoeman dari Oelil-Amri saja, sepandjang ke’adilan hoekoem 

Islam, bila saja inkar daripada Bai’at jang saja njatakan ini. 

8. Semoga Allah berkenan membenarkan pernjataan Bai’at saja ini, serta berkenan poela 

kiranja Ia melimpahkan Tolong dan Koernia-Nja atas saja sehingga saja dipandaikan-Nja 

melakoekan toegas soetji, ialah haq dan kewajiban tiap-tiap Moedjahid: menggalang Negara 

Koernia Allah, Negara Islam Indonesia! Amin. 

9. Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!  

 

Dengan demikian, perjuangan Darul Islam yaitu  perjuangan kaum sufi yang sangat terkenal 

dalam bentuk-bentuk bai'at dan thariqat. Pada tanggal 8 Juli 1948 Kartosoewirjo mengutus para 

kurir di antaranya Abdul Hadi, Soelaiman dan Nanggadisoera untuk membawa pesan-pesan 

pribadi berupa rencana akan mendirikan Negara Islam kepada sejumlah politikus di Yogyakarta. 

Dua hari sebelumnya, Kartosoewirjo juga memberitahukan rencananya kepada Komandan Divisi 

I/TII Tjakrabuana (Kamran), bahwa ia akan menyampaikan pesan kepada Pengurus Besar 

Masjumi di Yogyakarta. Dalam pesan ini  dia ingin menghindarkan timbulnya salah 

pengertian di masa yang akan datang. Pesan lisannya disampaikan kepada Anwar Tjokroaminoto, 

Ramlan, A.M. Soebakin, Soedardjo, Soemadhi dan Abikusno Tjokrosujoso. Dalam surat 

pengantarnya Kartosoewirjo meminta agar mereka datang ke Jawa Barat untuk bersama-sama 

membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Surat pengantar yang singkat itu hanya berisi 6 

butir: 

Sedjak ditandatanganinja Renville kami Oemmat Islam di Djawa Barat telah menentoekan 

sikap jang tegas. 

Akibat daripada sikap itoe, terdjadilah Perdjoeangan jang dahsjat, sehingga darah sjoehada 

teroes mengalir. 

Tjita-tjita Perdjoeangan kami ini, tidak hanja meroepakan Perdjoeangan regional akan namun  

hendaknja merata keseloeroeh kepoelauan Indonesia. 

Dari itoe oentoek mensatoekan bentoek dan langkah Perdjoeangan kita, di samping 

keterangan-keterangan jang disampaikan oleh oetoesan kami, diharap soepaja di antara 

saudara-saudara jang bertanggoeng djawab kepada Perdjoeangan oemmat di sini datang 

ketempat saja oentoek membitjarakan bentoek dan langkah Perdjoeangan oemmat pada 

dewasa ini. 

Semoga dengan djalan ini, koernia Allah, lahirnja Negara Islam jang merdeka, akan datang 

dengan setjepat-tjepatnja. 

Selesai 

Dari surat Kartosoewirjo kepada Kamran juga dengan jelas dapat dilihat bahwa untuk suatu 

hubungan yang tidak terputus-putus dengan daerah Republik yaitu  penting sekali. Dia juga 

memberitahukan Kamran, bahwa dia telah mengirim surat kepada pemimpin-pemimpin di 

daerah Republik, di mana dia menjelaskan situasi politik dan militer agar supaya mereka “jangan 

salah paham dan dapat pula menghilangkan salah paham”. Kartosoewirjo menulis sebagai 

berikut: 

“Djoega saja ingin sekali memperingatkan kepada soeatoe hal jang tampaknja ketjil, tapi amat 

penting sekali dalam perdjoeangan kemerdekaan dan perdjoeangan agama, ja’ni terbentuknja pos-

pos di sepandjang djalan antara kita dengan daerah Repoeblik. Satoe djalan doeloe (reote) boleh 

dimoelai, asal sempoerna. Djangan poetoes-poetoes. Selain daripada itoe, djoega tentang 

bentoekan koerir jang tetap, jang berangkat dan datang pada waktoe jang tentoe. Saja harap, 

soepaja kita dengan kawan-kawan di daerah Repoeblik meroepakan rantai jang erat sekali. Insja 

Allah, iteolah salah sateo djalan dan oesaha, menoejoe kepada Revoloesi Islam Totaliter, di mana 

komando kita akan dihargakan oleh Oemmat dan Ra’iat seloeroehnja, dan berharga poela dalam 

pandangan doenia internasional seloeroehnja. Lebih-lebih lagi, di mana-mana tempat dan di tiap-

tiap penjoeroe doenia soedah moelai tampak menjala-njala api, jang agaknja akan mendjadi pangkal 

timboelnja Perang Doenia Ketiga”.  

lalu  Kartosoewirjo merumuskan langkah-langkah menuju kepada suatu Revolusi Islam 

melanjutkan lagi: 

“Oleh sebab itoe, soepaja dioesahakan meletoesnja Pemberontakan Ra’iat, atau Revoloesi Islam, 

baik jang meroepakan pentjoelikan, pemboenoehan, sabotasje, dan – di mana moengkin – 

pertempoeran”.  

Pada tanggal 25 Agustus 1948 keluarlah Maklumat yang pertama dari Pemerintah Islam 

Indonesia yang isinya “mengingat bahwa keadaan dewasa ini yaitu  keadaan perang 

menghadapi keganasan dan kezaliman jang dilakoekan oleh tentara Belanda serta menimbang 

bahwa tiap-tiap Oemmat Islam wadjib melakoekan Djihad fi sabilillah, oentoek menolak tiap-tiap 

kedjahatan dan kezaliman dan menegakkan keadilan dan kebenaran maka memoetoeskan 

seloeroeh pimpinan sipil dari Residen sampai kepala desa, begitoe poela pimpinan oemmat di 

daerah sampai di desa diberi toegas sebagai Komandan Pertahanan di daerahnja masing-masing. 

Seloeroeh kepala ketentaraan di desa, Ketjamatan dan selandjoetnja, diberi toegas sebagai 

Komando dan Pertempoeran di tempatnja masing-masing”. Dan dua hari lalu  tepatnya 

pada tanggal 27 Agustus 1948 diadakan penyusunan “Qanun Asasi” yaitu Undang-undang Dasar 

Negara Islam Indonesia dan telah selesai.  

Pada saat itu di Republik Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang amat sangat. Sebagai 

akibat bekumpulnya begitu banyak pasukan di wilayah Republik, maka situasi pangan di Jawa 

Tengah semakin memburuk, sebab  di daerah ini  sudah terisolasi dari “gudang beras” 

Jawa Barat dan Jawa Timur, dan juga pelabuhan Semarang sudah dikuasai Belanda. Terjadilah 

kelaparan di sana sini, pengangguran, serta pemogokan kerja, sementara rencana demobilisasi 

yang direncanakan oleh Hatta memicu  kegelisahan dalam tubuh Angkatan Bersenjata. 

Melihat terjadinya krisis seperti ini, bagi setiap orang yang berjiwa revolusioner sebagai satu 

kesempatan baik untuk bergerak menjalankan aksinya. Peluang ini dipergunakan oleh PKI untuk 

menjatuhkan Pemerintahan Republik yang berdasar  Pancasila, dan menggantinya dengan 

negara Komunis. Maka pada tanggal 18 September 1948 yang diarsiteki Muso dan Amir Sjarifudin 

mengumumkan berdirinya Sovyet Republik Indonesia di Madiun. Peristiwa yang serupa juga 

terulang pada tanggal 30 September 1965, dimana PKI yang berjiwa munafik itu memanfaatkan 

krisis ekonomi dan politik yang melanda tubuh Republik Indonesia untuk menggulingkan 

kekuasaan Sukarno. Kesaktian Pancasila yang dirancang oleh Sukarno ternyata tidak mampu 

membendung arus krisis, sehingga mendamparkan perahu Republik Indonesia untuk kesekian 

kalinya. Namun dari serangkaian peristiwa kudeta yang dilakukan oleh PKI dalam mengadakan 

revolusinya, meminjam istilah Herring Aborted Revolt , sebuah revolusi yang diaborsi, dimana 

setiap gerakannya tanpa persiapan matang sehingga setiap aksinya mengalami kegagalan, 

disamping itu dalam penumpasan pemberontakannya pun Pemerintah hanya memerlukan 

waktu sekejap.  

Propaganda PKI kini menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi benar-benar bersifat Indonesia. 

PKI kurang menekankan doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, melainkan lebih banyak 

berbicara dengan bahasa yang menarik bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum abangan (kaum 

muslim nominal) Jawa. Masyarakat tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali dari 

negara Majapahit yang diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat yang 

mulia sebelum datangnya bangsa Belanda dan secara berarti, sebelum Islam. Pahlawan-

pahlawan PKI yaitu  Dipanagara, Kyai Maja, dan Sentot dari Perang Jawa. Ramalan-ramalan 

yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil juga dimanfaatkan sebagai daya tarik PKI. Dan ada 

suatu versi lagi dari kesemuanya ini, yaitu Komunisme Islam. Antara pembebasannya dari penjara 

pada akhir tahun 1922 dan pengasingannya ke Irian pada bulan Juni 1924. Haji Misbach 

menyebarkan Komunisme Islam di wilayah Surakarta. Komunisme Islam juga tersebar di 

Minangkabau dan di Jawa Barat. Perlu dicatat bahwa walaupun murid-murid sekolah Islam 

Modern sering kali tertarik pada Komunisme Islam, gerakan itu kebanyakan dipimpin oleh guru-

guru Sufi dan para tokoh lain dari bentuk-bentuk Islam yang lebih tradisional. Para pemimpin 

Islam Modern dengan dedikasi mereka pada keortodoksan berdasar  atas Quran dan Hadist 

merupakan penentang utama terhadap Komunisme Islam. Selain itu ada juga pemikiran yang 

mencoba mengkonstruksi tradisi jawa dalam politik di Inoesia dengan mengemukakan pemikiran 

gotong-royong sebagai contoh teladan yang seakan-akan mengatasi ajaran Islam tentang 

ta'awuniyah (saling tolong-menolong dalam kebaikan). Bahkan politik Indonesia dimainkan oleh 

para penguasa Jawa dari dulu hingga Soekarno dan Soeharto yaitu  suatu permainan wayang 

(foreshadow play).  

Kini terjadi pertikaian antara SI dan PKI. Suatu federasi dari serikat-serikat dagang mereka, yang 

terdiri dari dua puluh dua serikat dan 72.000 orang anggota di bawah pimpinan Semaun, didirikan 

pada bulan Desember 1919. Akan namun , pemimpin serikat sekerja dari CSI, Surjopranoto, yang 

dijuluki 'raja mogok', segera mempersoalkan Kepemimpinan Semaun sehingga hancurlah 

federasi ini . lalu  pada bulan November 1920 surat kabar PKI yang berbahasa Belanda, 

Het vrije woord ('Kata yang Bebas'), menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah 

nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme. 

SI kini makin lama makin dipengaruhi oleh Haji Agus Salim dan orang-orang lain yang mendukung 

Pan-Islam. Akibatnya terjadi pertikaian secara terbuka yang sengit, dan tidak menjadi soal apakah 

langkah-langkah pemutarbalikan yang diusahakan PKI tidak dapat mengelakkan tuduhan bahwa 

organisasinya yaitu  anti-Islam. Persaingan-persaingan sengit yang bersifat pribadi yang 

memecah gerakan politik Indonesia kini telah mencapai definisi ideologis. Dengan 

menghebatnya pertikaian secara teruka yang berapi-api dalam pertemuan-pertemuan dan surat 

kabar-surat kabar, maka dasar keanggotaan rakyat yang katanya dimiliki SI bahkan lebih 

cenderung lagi keluar sama sekali dari organisasi-organisasi politik.  

Upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian-

pertikaian ini  mengalami kegagalan. 'Disiplin partai' disetujui dalam kongres SI pada bulan 

Oktober 1921. Dengan adanya disiplin partai ini  maka seorang anggota SI tidak mungkin 

lagi menjadi anggota partai lain (walaupun ada beberapa pengecualian, misalnya, 

Muhammadiyah). Anggota-anggota PKI kini dikeluarkan dari CSI, namun  pertikaian tetap harus 

diselesaikan di setiap cabang SI. Sebagai akibatnya SI terpecah dalam cabang-cabang 'SI Merah' 

dan 'SI Putih'. Semaun meninggalkan Indonesia menuju ke Uni Soviet, sedangkan Tjokroaminoto 

kini dipenjarakan. Dengan tidak adanya kedua tokoh itu, seorang Minangkabau yang bernama 

Tan Malaka (1897-1949) melakukan beberapa usaha untuk memulihkan kerja sama PKI-SI namun 

sia-sia saja. Pada tahun 1922 meletus pemogokan besar-besaran pertama di dalam serikat buruh 

pengadaian yang dipimpin oleh Abdul Muis dari CSI. PKI merasa wajib menyatakan dukungannya. 

Pemogokan ini  dapat dipatahkan oleh pemerintah hanya dengan memecat para pegawai 

yang mogok, sedangkan Muis dan Tan Malaka kedua-duanya diasingkan.  

Pada bulan Mei 1922 Semaun kembali memasuki kancah yang nyata-nyata merupakan 

malapetaka. Dia segera berusaha untuk mendirikan kembali serikat-serikat sekerja PKI serta 

menegakkan kembali pengaruh PKI pada cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Tjokroaminoto 

dibebaskan dari penjara pada bulan Mei 1922 (dia secara esmi dibebaskan dari tuduhan 

melakukan sumpah palsu pada bulan Agustus); dia telah bertekad melepaskan diri untuk selama-

lamanya dari PKI, yang antara lain telah menyebutnya sebagai seorang pemabuk yang tidak jujur. 

Dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 dia mendirikan Partai Sarekat Islam yang memiliki 

disiplin partai dan bertekad akan mendirikan cabang partai ini di mana saja yang ada cabang 'SI 

Merah'. Cabang-cabang 'SI Merah' kini diberi nama baru Sarekat Rakyat, dan pertikaian 

dilanjutkan dengan lebih sengit lagi .  

Pada pertengahan tahun 1923 Semaun dibuang ke Eropa sesudah  pemerintah berhasil menumpas 

suatu pemogokan yang dilancarkan oleh serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) yang 

dipimpinnya. Darsono menjadi pimpinan PKI. Pengaruh Agus Salim di dalam CSI kini mendorong 

organisasi ini untuk menempuh kebijakan nonkooperasi (organisasi ini menarik mundur anggota-

anggotanya yang duduk di dalam Volksraad), yang disebut hijrah untuk mengenang hijrah Nabi 

Muhammad dari Mekah ke Medinah pada tahun 622 M. CSI kini menjauhkan diri dari setiap aksi 

politik yang penting. saat  CSI semakin lama menjadi semakin tidak aktif, maka PKI mulai 

melancarkan kampanyenya yang terakhir untuk mengabil alih kepemimpinan atas pergerakan 

rakyat yang nyaris padam. Kini kancah utama perjuangan berada di tangan apa yang tersisa dari 

cabang-cabang SI pedesaan yang seperti biasa sukar dikendalikan.  

Sementara itu dalam maklumat berikutnya yang keluar pada tanggal 28 Oktober 1948, 

diumumkan perubahan susunan Dewan Imamah. Berhubung dengan perubahan suasana politik 

dunia dan pergeseran serta peralihan lapangan, sifat dan corak perjuangan politik militer di 

Indonesia pada dewasa ini, maka dengan secara referendum antara anggota-anggota Dewan 

Imamah pada tanggal 6 Oktober 1948 telah diambil beberapa keputusan, yang mengubah 

seluruh susunan Pimpinan Negara dan Pimpinan Tentara, serta siasat perjuangan kedepan, 

menuju kepada Mardhatillah, yang berwujudkan Dunia Islam (Darul Islam) di dunia yang fana ini 

dan Darussalam di Akhirat yang baqa kelak.  

 

 

Adapun perubahan susunan Dewan Imamah sebagai berikut: 

Sdr. Kalipaksi (Kartosoewirjo) diganti oleh Sdr. H.I.M. Tjokro. 

Sdr. Tjakrabuana (Kamran) diganti oleh Sdr. H.S. Hidayatullah. 

Sdr. K.H. Dajeuhluhur (K.H. Gozali Tusi) diganti oleh Sdr. Chodimudin. 

Sdr. K.H. Mandaladatar (R. Oni) diganti oleh Sdr. S. Rahmat. 

Sdr. Jogaswara (Toha Arsjad) diganti oleh Sdr. A. Hamami. 

Sdr. K.H. Kalisari (S. Partawidjaja) diganti oleh Sdr. H.M. Ridho. 

Juga dijelaskan dalam Maklumat No. 2 ini  bahwa kedudukan Pemerintah Negara Islam 

Indonesia dan Pusat Pimpinan Majlis Islam beralih kesuatu tempat untuk mengamankan 

perjuangan. Di samping itu bahwa di ibu kota Republik telah diangkat wakil atau consul Negara 

Islam Indonesia, ialah Sdr. O. Ridjalullah, begitu pula di daerah lain di Indonesia sudah pula 

diangkat beberapa orang yang bertanggung jawab, di mana tempat tinggal mereka pada waktu 

itu belum perlu diumumkan.  

Dalam Maklumat berikutnya yang dikeluarkan pada awal November 1948, Kartosoewirjo 

menerangkan bahwa,”Sitoeasi loear negeri pada dewasa ini, teroetama pertentangan antara 

blok Roesia dan blok Amerika (Komoenis dan Kapitalis) makin hari makin bertambah genting-

roentjing, sehingga sewaktoe-waktoe boleh timboel mara bahaya doenia jang amat 

mendahsyatkan. Tingkat peroendingan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda 

telah mendekati kepada poentjak batas kemoengkinan, sehingga kata poetoes dengan cara 

damai hampir-hampir tidak dapat diperoleh, mengingat kekejaman dan keganasan jang 

dilakoekan oleh pihak Belanda dan kaki-tangannja soedah amat djaoeh melaloei batas-batas 

hoekoem kemanoesiaan dan hoekoem Agama. Oentoek menghadapi kemoengkinan jang 

sewaktoe-waktoe boleh timboel daripada kepentingan doenia loear dan dalam (Internasional 

dan Nasional), maka wadjiblah tiap-tiap Moeslim dan Moeslimat khoesoesnja serta seloeroeh 

Oemmat Islam Bangsa Indonesia oemoemnja, menjelesaikan dan menjempoernakan segala 

kelengkapan dan kekoeatan, oentoek melakoekan wadjib soetji jang berwoedjoedkan “Perang 

Soetji Moethlaq” atau “Perang Totaliter” melawan dan mengenjahkan semoea moesoeh Agama 

dan moesoeh Negara, hingga Allah berkenan menegakkan kerajaan-Nja di tengah-tengah 

masjarakat Oemmat Islam Bangsa Indonesia.  

Di dalam Maklumat itu Kartosoewirjo mengeluarkan “Komando Umum” berupa kebulatan tekad 

dan niat bersama-sama untuk melenyapkan segala angkara murka, mulai benih sampai akar-

akarnya, bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Serta mengajak tiap-tiap 

masyarakat dan warga Negara mempersenjatai dirinya dengan alat apapun juga yang ada 

padanya. Saat pecahnya perang Dunia ketiga akan bersamaan dengan saat mulainya perang 

antara Republik dengan Belanda. 

Kira-kira seminggu lalu  tepatnya pada tanggal 14 Desember 1948, benar-benar terjadi 

perang lagi antara Belanda dengan Republik. Pasukan Belanda menyerbu daerah Republik dan 

memulai Agresi Militer yang kedua. Dengan demikian Belanda sekarang juga melanggar 

perjanjian Renville yang telah disepakati bersama. Kota Yogyakarta diserang oleh Belanda dari 

darat dan udara, dalam waktu yang cepat Belanda telah berhasil pula menawan anggota kabinet 

Republik di antaranya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang lalu  ditawan 

ke Rantau-Prapat dan Bangka. 

Adapun reaksi Kartosoewirjo terhadap perkembangan terbaru ini, dia mengumumkan Jihad Fi 

Sabilillah, sampai semua musuh-musuh Islam, rakyat dan Allah berhasil diusir dan Negara Kurnia 

Allah, “Negara Islam Indonesia (NII), dapat didirikan. Melalui maklumat No.5 yang isinya yaitu : 

Bismillahirrahmanirrahim. 

Assa lamoe ‘alaikoem w.w., 

Mengingat: 

Isi ma’loemat Imam No. 3, bertarich 1 Moeharram 1368 atau 2 Nopember 1948, tentang persiapan 

Perang Soeci, Perang Totaliter, Perang Ra’iat dan Revoloesi Ra’iat seloeroehnja, menghadapi 

pendjadjahan Belanda. 

 

Serboean Belanda kedaerah Repoeblik Indonesia pada tanggal 18/19 Desember 1948. Dan  

Ditangkap dan ditawannja beberapa Pemimpin besar, jang memegang tampoek Pemerintahan 

Repoeblik Indonesia, di antaranja: Presiden, Wk. Presiden, Ketoea KNIP, Menteri Loear Negeri, 

dll-nja lagi. 

Berpendapat: 

Bahwa kini telah tiba sa’atnja oentoek melakoekan :  

PERANG SOETJI, PERANG TOTALITER, PERANG RA’IAT SELOEROEHNJA 

Menghadapi Belanda. 

Komando: 

Diperintahkan kepada seloeroeh lapisan Oemmat Islam Bangsa Indonesia, oentoek moelai 

melakoekan Perang Soetji Moethlak, Perang Totaliter iteo, hingga pendjadjahan hilang moesna 

sama sekali. Dan Diperintahkan kepada seloeroeh Angkatan Perang Negara Islam Inonesia, 

oentoek mempelopori dan membantoe ra’iat, hingga Revoloesi Islam selesai dan Negara Islam 

Indonesia berdiri dengan sempoernanja, di seloeroeh Indonesia. 

Firman Allah: 

Infiroe khifafan wa tsiqalan wa jahidoe bi amwalikoem wa anfoesikoem fi sabilillah! 

Inna fatahna laka fat-han moebina…..!!!  

Madinah, 19 Safar 1368. 

20 Desember 1948. 

Pemerintah Negara Islam Indonesia, 

Imam: S.M. Kartosoewirjo. 

Dioemoemkan di Madinah, 

Pada tanggal 19 Safar 1368/20 Desember 1948 

Sekr. Negara: 

BINTANG-BOELAN. 

Kartosoewirjo menyerukan pentingnya satu kesatuan komando dan kesatuan pimpinan untuk 

menghindarkan politik “Divide et impera” Belanda di masa yang akan datang. Dan dia 

menerangkan, bahwa dia sebagai pimpinan Negara Islam Indonesia yakin akan sanggup untuk 

memegang kesatuan komando itu. 

Maka diumumkan kembali melalui maklumatnya No.6 tanggapan mengenai kejatuhan 

pemerintah Republik Indonesia yang isinya antara lain: 

“Pada tanggal 18-19 Desember 1948, tentara Belanda telah moelai menjerboe daerah Repoeblik 

dan pada tanggal 19 Desember 1948 Pembesar-pembesar Pemerintah Repoeblik soedah djatoeh 

di tangan Belanda, ditangkap dan ditawan. Dengan adanja kedjadian dan peristiwa jang amat 

pahit itoe, maka djatoehlah Repoeblik sebagai Negara. 

Djangan dikira, bahwa dengan djatoehnja Pemerintah Repoeblik (Soekarno-Hatta) dan 

ditandatanganinja soeatoe naskah keadaan akan aman dan tenteram, rakjat akan makmoer dan 

soeboer. 

Tidak, sekali-kali tidak! 

Melainkan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta dan pil-pahit jang terpaksa ditelan 

oleh rakjat itoe, insja Allah bagi Oemmat Islam, jang masih berideologi Islam, akan mendjadi 

sebab bangkit dan bergeraknja, mengangkat sendjata, menghadapi moesoeh djahanam. 

Oleh sebab itoe, tiada djalan lain bagi Oemmat Islam Bangsa Indonesia, istimewa jang tinggal di 

daerah Repoeblik, melainkan: sanggoep menerima Koernia Allah, melakoekan Djihad fi Sabilillah, 

melakoekan Perang Soetji, bagi mengenjahkan segenap moesoeh Islam, moesoeh Negara dan 

moesoeh Allah, dan “last but not least” mendirikan Negara Koernia Allah, ialah Negara Islam 

Indonesia. 

Seroean Kami: Boelatkanlah niat soetji, niat membela Agama, Negara dan Oemmat. Dengan 

tekad “Joeqtal aoe Jaghlib” dan dengan kejakinan jang tegoeh, bahwa Allah akan memberi 

perlindoengan kepada orang-orang dan Bangsa serta Oemmat jang memperdjoeangkan Agama-

Nja Insja Allah. 

Kepada saudara-saudara dan handai taulan daripada Bangsa Indonesia, jang masih mengalir 

darah “Repoeblikeinen” dalam toeboehnja dan masih berdjiwa perdjoeangan: Ketahoeilah ! 

Bahwa perdjoeangan jang kami oesahakan hingga berdirinja Negara Islam Indonesia itoe yaitu  

kelandjoetan perdjoeangan kemerdekaan, menoeroet dan mengingat Proklamasi 17 Agoestoes 

1945! Sekarang soedahlah tiba sa’atnja, segenap Bangsa Indonesia jang mengakoe tjinta 

Kemerdekaan, tjinta Bangsa tjinta tanah air, tjinta agama, menanggoeng wajib soetji, 

melakoekan perlawanan sekoeat moengkin terhadap kepada Belanda. Ketahoeilah poela! Bahwa 

tiada soeatoe Kemerdekaan jang dapat direboet, hanja dengan gojang-gojang kaki di atas koersi 

belaka. Kemerdekaan kita, kemerdekaan Negara dan Kemerdekaan Agama, haroes dan wadjib 

direboet kembali dengan darah! 

Hai, Pemimpin-pemimpin Islam dan Oemmat Islam seloeroehnja! Anggaplah serboean Belanda 

dan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta itoe, sebagai Koernia Toehan, jang dengan 

itoe terboekalah kiranja lapangan baroe, lapangan djihad dan kesempatan jang seloeas-loeasnja 

oentoek menerima Koernia jang lebih besar lagi daripada Azza wa Jalla, ialah: Lahirnja Negara 

Islam Indonesia jang merdeka. Terimalah Koernia Allah itoe, walau agak pahit ditelannja 

sekalipoen.” 

Dengan berakhirnya Republik di Yogyakarta -- dengan dikibarkannya bendera putih di 

Karesidenan Yogyakarta -- sebenarnya telah terdapat vakuum kekuasaan, yang oleh 

Kartosoewirjo dipandang sebagai saat yang tepat untuk memproklamasikan Negara Islam 

Indonesia. Namun dia masih tetap mencoba untuk memperoleh pimpinan komando tertinggi 

secara legal. Dan Kartosoewirjo sendiri telah menyatakan bahwa perjuangannya yaitu  lanjutan 

dari proklamasi 17 Agustus 1945. Dan dia berharap agar Negara Islam Indonesia yang sudah dia 

bentuk akhirnya akan dilegalisir meskipun tanpa proklamasi. 

Aksi militer Belanda kedua yang dilancarkan kepada pemerintah RI punya akibat lain. Tentara 

Republik menganggap ini sebagai pelanggaran persetujuan Renville. sebab  itu, Pimpinan 

Tentara tidak lagi merasa terikat pada Renville, dan memberi  perintah kepada Divisi Siliwangi 

yang telah mengungsi untuk kembali ke Pangkalan asalnya, Jawa Barat. 

saat  sesudah  apa yang disebut Long March pasukan-pasukan Siliwangi akhirnya kembali ke 

Jawa Barat, mereka disambut dengan meriah. Kepada mereka dianjurkan untuk bersama-sama 

bergabung dengan Tentara Islam Indonesia dalam rangka mempertahankan daerah Jawa Barat 

dari ancaman militer Belanda dan negara bonekanya yaitu “Negara Pasundan”. 

Semua usaha dari pihak TII yang mencoba untuk mengarahkan ke arah kerja sama melawan 

Belanda, mengalami kegagalan. Kepada kesatuan TNI diberitahukan bahwa mereka sebaiknya 

menempatkan diri di bawah komando Tentara Islam Indonesia. Dan diberitahukan pula bahwa 

semenjak kaburnya mereka ke Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan perjanjian Renville, 

sesungguhnya yang memperjuangkan Jawa Barat yaitu  Tentara Islam Indonesia bersama-sama 

dengan rakyat Jawa Barat bahu membahu melaksanakan wajib sucinya mempertahankan bumi 

Indonesia dari kekerasan dan kezaliman tentara Belanda. Maka terjadilah peristiwa yang dicatat 

sebagai awal dari pertikaian yang berlangsung pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina. 

Kejadian ini sekaligus merupakan awal dari permusuhan antara TII dengan TNI dan Belanda yang 

oleh Kartosoewirjo di sebut “Perang Segi Tiga Pertama di Indonesia”.  

Kartosoewirjo menyatakan dalam Maklumat Militernya bahwa, “Pelarian TNI Divisi Siliwangi 

kedaerah Djawa Barat, dan jang diseboet sebagai “tentara liar” mempoenjai sifat, thabiat dan 

perboeatan jang amat memperkosa hak milik rakjat, dan bertindak selaloe kedjam dan kedji 

sekali terhadap rakjat, teroetama kepada Oemmat Islam, di samping itoe mereka tidak pandai 

menghargai dirinja sebagai tamoe, melainkan ingin mengoesai daerah dan rakjat Negara Islam 

Indonesia. Padahal hari-hari pertama pihak Negara Islam Indonesia soedah tjoekoep 

menoendjoekkan perboeatan-perboeatan dan samboetan-samboetan baik atas kedatangan 

mereka itoe. Ditambah lagi mereka teroes meneroes melakoekan pelanggaran atas hak-hak 

Negara Islam Indonesia, sehingga mereka melepaskan tembakan dan menyerang Tentara Islam 

Indonesia dengan membabi-boeta tanpa perikemanoesiaan”.  

“Maka wadjib dan perloenja tiap-tiap warga-negara Oemat Islam Bangsa Indonesia, mengangkat 

sendjata menghadapi tiap-tiap kemoengkinan daripada moesoeh jang khianat itu baik moesoeh 

Agama maoepoen moesoeh Negara Islam Indonesia serta wadjiblah bagi tiap-tiap Tentara Islam 

Indonesia, PADI, B.K.N., dan lain-lain alat kelengkapan Negara Islam Indonesia, melakoekan tindakan 

atas tentara liar dan golongan serta gerombolan pengkhianat itoe, sesoeai dengan hoekoem Islam 

di masa perang”. 

Kartosoewirjo menjelaskan pula dalam Lampiran Maklumat Militernya mengenai kedudukan 

Negara Islam Indonesia. Dengan keterangan sebagai berikut: “Sejak berdirinja Negara Islam 

Indonesia di Djawa Barat sebelah Barat, maka hanja dikenal doea golongan jang bermoesoehan 

jakni “Kekoeasaan Belanda, Tentara Belanda dan alat-alatnja” dan “Negara Islam Indonesia dan 

segala kelengkapannja”. Serta dijelaskan pula bahwa yang dikatakan Tentara Liar ialah semua 

kesatuan Tentara yang keluar dari Daerah Republik dan masuk ke Daerah pendudukan Jawa 

Barat sebelah Barat, terutama kesatuan-kesatuan lain di luar kesatuan Tentara Islam Indonesia. 

Oleh sebab  itu tindakan yang diambil kepada Tentara Liar ini  berupa melucuti Tentara liar 

itu dan merampas harat-benda hak kesatuan mereka yang perlu, bagi kepentingan Negara Islam 

Indonesia. Dan apabila mereka melakukan perlawanan maka seluruh gerombolan itu dianggap 

dan diperlakukan sebagai musuh Negara Islam Indonesia dan Agama Islam tanpa memandang 

jenis, pangkat dan tingkatannya. Dilakukan pengawasan dan pemeriksaan yang teliti kepada 

mereka, dan bagi Tentara Islam Indonesia beserta unsur yang lain boleh melakukan segala 

tindakan, sesuai dengan hukum militer di masa revolusi. 

Dengan adanya Maklumat Militer No 1 ini, Kartosoewirjo sudah tidak lagi mengizinkan di 

daerahnya ada kesatuan-kesatuan militer yang tidak menempatkan diri di bawah komandonya. 

Termasuk juga divisi Siliwangi yang dianggapnya telah menyerahkan Jawa Barat kepada Belanda. 

Oleh sebab  itu kesatuan-kesatuan ini tidak lagi punya hak untuk menduduki kembali daerah 

Jawa Barat.  

Upaya TNI untuk menghindarkan terjadinya peristiwa seperti perlucutan senjata dan 

peperangan dengan TII. Maka mereka mengusahakan sebuah pertemuan dengan Kamran 

sebagai Komandan Divisi TII di Darma. saat  Kamran menolak usul-usul yang disodorkan 

padanya, pihak TNI berkhianat dengan mencoba untuk menyergap Kamran dan rombongannya. 

Namun Kamran dapat meloloskan diri, hanya Hamid yang tertangkap. Dan pertengahan Februari 

seorang Komandan TII yang lain dari daerah Cirebon yang bernama Agus Abdullah ditangkap 

oleh TNI.  

Pada tanggal 23 Februari 1949 TNI (diwakili oleh Adimertapraja) ingin mengadakan perundingan 

kembali dengan TII (diwakili oleh Agus Abdullah dan Abdul Hamid), di mana isi perjanjian 

ini  mengenai pembagian daerah di sekitar Cirebon. Masing-masing kekuatan TNI dan TII 

mendapat sebuah daerah kekuasaan, begitu juga direncanakan pelaksanaan sebuah komando 

bersama. Akhirnya perjanjian itu tidak jadi ditandatangani, sebab  Pihak TII berpendapat 

perjanjian itu diadakan dalam keadaan terpaksa sebab  sebelumnya Agus Abdullah dan A. Hamid 

ditahan oleh TNI.  

Pada tahun 1949 ini Keberadaan Darul Islam merupakan ancaman yang semakin gawat bagi 

Republik dan Negara Pasundan yang didukung Belanda. Terutama sekali Negara Pasundan, 

keadaan dirinya repot sekali. Negara ini tidak mempunyai tentara sendiri dan harus 

mengandalkan dari pada pasukan-pasukan Belanda dan Divisi Siliwangi untuk melindungi para 

warga negaranya. Keadaan menjadi begitu gawat bagi Pasundan saat  Tentara Belanda bersiap 

ditarik mundur sehubungan dengan pengakuan kemerdekaan mendatang. Posisi Belanda 

diambil alih pasukan Republik, yang akan menjadi inti Tentara federasi Indonesia yang merdeka. 

Untuk mencegah tercapainya persetujuan apapun yang merugikan eksistensi Negara Pasundan 

dan keutuhan wilayahnya, mereka mengusahakan kerja sama dengan kesatuan-kesatuan 

Siliwangi dalam melawan Darul Islam. 

saat  tekanan Internasional datang, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan 

menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk 

kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, maka ditandatanganilah Perjanjian 

Roem-Royen. Dalam perjanjian ini  Belanda menjanjikan untuk mendirikan kembali 

pemerintahan Republik Indonesia dan menghentikan semua permusuhan. Sebaliknya, pihak 

Indonesia harus dapat menghentikan semua aksi gerilyanya terutama aksi yang dilakukan oleh 

Darul Islam. Dan harus bersedia pula mengikuti Konferensi Meja Bundar untuk menyerahkan 

kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.  

Kini terdapat keresahan yang kian meningkat di dalam Negara Pasundan, di mana mereka harus 

menyandarkan diri benar-benar pada pasukan Republik untuk melawan pasukan Darul Islam, 

terutama di daerah-daerah yang pasukan-pasukan TII-nya paling kuat kedudukannya. Tidak 

seorang pun tahu apa yang akan terjadi sesudah Tentara Belanda ditarik mundur, dan rakyat 

meragukan apakah pasukan Republik yang menggantikannya akan cukup kuat memukul mundur 

serangan Darul Islam. sebab  pada tahun 1949 dilaporkan bahwa kegiatan Darul Islam sudah 

membumi di hampir setiap pojok di Jawa Barat – tidak hanya di daerah-daerah operasi utama 

Darul Islam, bahkan sebelah timur laut dan tenggara Jawa Barat, terutama Kabupaten Bandung, 

Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, begitu juga di daerah-daerah murni Republik seperti daerah 

Banten.  

Kartosoewirjo yang memang tidak pernah setuju dengan kedua perjanjian sebelumnya, menolak 

juga hasil perundingan Roem-Royen. Di bawah ini dikutipkan uraian Kartosoewirjo sekitar 

penilaiannya terhadap persetujuan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar berdasar  kajian 

konsep bernegara: 

,,…. Tiap-tiap kali Revoloesi Nasional hendak menggelora dan hendak menjapoe sampah2 

masjarakat, tiap kalinja itoe dihambat, dihalangi dan dirintangi oleh berbagai-bagai randjaoe dan 

penghalang, dari pihak Belanda pendjadjah, baik jang ada dalam toeboehnja Pemerintahan 

Belanda sendiri maoepoen jang soedah masoek meresap dalam darah daging dan djantoengnja 

Pemerintah Repoeblik Indonesia. 

Dalam riwajat jang tragis, memiloekan dan menjedihkan itoe, maka berkali-kali ,,bachtera-

Repoeblik” terdampar di atas batoe karang jang amat tjoeram sekali, ,,Berkat” oesaha diplomasi, 

jang dilakoekan oleh djago2 alias pemimpin2 Repoeblik…….!!!! Itoelah makanan jang 

disadjikan ,,Belanda”, jang berisi ratjoen bagi perdjoeangan kemerdekaan Indonesia. 

Istilah2 ,,internasional minded” mendjadi alasan jang maha penting, Hanja banteng Repoeblik 

Indonesia ,,marhoem” dan Masjoemi serta keloearganja jang berani terang2an 

menjatakan ,,tidak setoedjoe” kepada Naskah Linggardjati itoe, tapi tetap loyal.  

Naskah Renville lebih tidak berharga lagi dari pada Naskah Linggardjati, jang memang soedah 

sangat merosot nilainja itoe. Baik dipandang dari soedoet politik, maoepoen ditindjaoe dari 

djoeroesan militer. 

Daerah Repoeblik, jang sedjak Naskah Linggardjati hanja melipoeti Djawa dan Soematera sadja, 

maka dengan Naskah Renville lebih merosot lagi sampai batas ,,demarkasi van Mook”.  

Loear daripada daerah itoe, meroepakan daerah pendoedoekan, alias persiapan djadjahan. 

Taktik dan politik Belanda jang bernatidjahkan Naskah Renville, baik dengan memasoekkan ,, 

agen2nja” kedalam toeboeh Repoeblik, maoepoen dengan kekerasan dan keganasannja, jang 

meroepakan Aksi Polisionil Pertama, roepanja dianggap sebagai ,,pertjobaan” (steekproef) 

oentoek menentoekan sikap dan pendiriannja di masa jang mendatang. 

Kedalam digali dengan penjakit, ,,pembangoenan” sedang dari loear diserang dengan poekoelan 

jang hebat, ialah Aksi Polisionil kedoea, maka dalam sekedjap mata Pemerintah Repoblik djatoeh 

di tangan Belanda. sesudah  ditawan, dengan tjara jang haloes, Pemerintah Repoeblik Indonesia 

tidak djemoe2nja melagoekan lagi njanjian2nja jang soedah amat tidak aktoeil iteo, ialah: 

memboeat roendingan diplomasi. Maka maoe ataupoen tidak maoe, banteng Indonesia jang 

gagah perkasa itoe, sebab  kalah silatnja dengan singa Belanda terpaksa diikat lehernja dan 

kemoedian masoek dalam salah satoe kandang dalam keboen binatang modern, jang 

bernamakan: Negara Indonesia Serikat atau Repoeblik Indonesia Serikat”. 

Inilah gambaran proses dan natidjah, jang toemboeh daripada Statement Roem-Roijen, jang 

dilangsoengkan pada tanggal 7 Mei 1949, djam 17.00 itoe. 

Dengan adanja statement Roem-Roijen itoe, maka Roem telah menjelesaikan toegasnja:  

Sebagai wakil Masjoemi, wakil Oemmat Islam………soenggoeh amat memaloekan sekali! 

Kalau doeloe, zaman Naskah Linggardjati, Masjoemi mati-matian ,,anti Naskah Linggardjati”, 

sekarang : Wakil Masjumi dalam Kabinet dan Wakil Oemmat Islam sendiri jang mendapat giliran 

terachir: mendjoeal negara sampai habis ledis. 

Walau kita Oemmat Islam Bangsa Indonesia, di tanah pendoedoekan sekarang Negara Islam 

Indonesia, tidak ikoet bertanggoeng djawab atas perboeatan Roem dalam oeroesan Statement 

Reoem-Roijen, namun  semoenja itoe perhatikan djoega, dengan ikoet ,,bela soengkawa”. 

Soenggoehpoen peristiwa jang tragis itoe amat memiloekan hati ra’iat bangsa kita, teroetama 

Oemmat Islam Bangsa Indonesia, namun  di balik itoe wadjiblah kita sjoekoer kehadirat Ilahy:  

bahwa di balik keroegian jang amat besar itoe, dalam pandangan nasional namun  bagi Oemmat 

Islam Bangsa Indonesia yaitu  semoeanja itoe mendjadi salah satoe sjarat dan sebab akan 

toeroennja Koernia Ilahy jang maha besar ialah: Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia.  

Tegasnja kini: Repoeblik Indonesia telah kembali kepada deradjat sebeloem proklamasi, ja’ni: 

deradjat noel-besar. 

Kartosoewirjo juga menentang pendapat, bahwa sesudah  pembentukan sebuah negara basis 

yang disebut sebagai ”Madinah Indonesia” berakhirlah revolusi Soekarno. Yang belum berakhir 

yaitu  "revolusi Islam Indonesia" yang sesungguhnya Revolusi masih harus dilanjutkan hingga 

negara kurnia Allah, Negara Islam Indonesia didirikan di atas bumi Indonesia. 

“Seperti air dengan kopi tidak begitoe sadja laloe mendjadi air kopi, sehingga tiap-tiap anasir air 

bersatoe dengan anasir kopi, melainkan airnja dimasak hingga 100 graad Celcius. Maka tidak 

loepa moengkin Negara dan Agama, Manoesia dan Agama, dapat bersatoe dalam arti kata jang 

seloeas-loeas dan sesempoerna-sempoernanja, melainkan apabila Negara dan Masjarakat serta 

segenap anasir jang termasoek di dalamnja dapat dipanaskan sampai kepada tingkatan jang 

setinggi-tingginja. 

Djadi, oentoek membina dan menggalang Negara Koernia Allah itoe, perloe dan wadjiblah 

bergeloranja Revoloesi, lebih-lebih lagi Revoloesi Islam jang akan memasak masjarakat sampai 

kepada tingkat mateng jang baik dalam arti kata politis, militer, agama maoepoen dalam arti 

kata jang lainnja. Djadi kalau kita menghendaki berdirinja Negara Koernia Allah itoe, djangan 

sekali-kali takoet terdjilat oleh api revoloesi. “Tiada baji jang lahir, melainkan disertai tjoerahan 

darah!” Inilah satoe-satoenja djalan menoedjoe kepada Mardhotillah doenia dan Mardhotillah 

achirat, kelak”.  

Selama hampir lima tahun sesudah  proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa 

revolusi fisik (1945-1949). Menyusul kekalahan Jepang dengan tentara-tentara sekutu, Belanda 

berusaha kembali menduduki kepulauan Nusantara. Selama periode ini, tidak ada hambatan 

penting yang menghalangi hubungan politik antara pemimpin dan aktivitas Islam politik dengan 

kelompok nasionalis. Untuk menghadapi revolusi fisik dalam berhadapan dengan Belanda dan 

kekuatan sekutu, perdebatan-perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara 

Islam dan negara dihentikan sementara. Mereka, paling tidak untuk sementara, rela melupakan 

perbedaan-perbedaan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para 

pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan kemampuan untuk 

mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali 

berkuasa. 

Meskipun tidak tanpa benturan di sana-sini, kedua kelompok ini mampu mengembangkan 

hubungan politik yang relatif harmonis antara mereka. Perjuangan fisik memang wilayah peran 

kaum Muslim yang diperlihatkan oleh bergeraknya lasykar-lasykar Hizbullah, Sabilillah dan 

lasykar-lasykar lokal lainnya. Namun, kelompok nasionalis tetap memegang kemudi 

kepemimpinan. Sementara itu, menyusul diserahkannya kekuasan oleh pihak Belanda kepada 

Repulik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan 

kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Pembentukan partai Masyumi di 

Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam, tampaknya 

harus pula dipandang sebagai jawaban atas keperluan umat Islam untuk mempunyai suatu 

institusi politik yang mampu memperjuangkan aspirasi politik mereka di panggung nasional. 

Kongres umat Islam waktu itu sekaligus menghasilkan kesepakatan bahwa Masyumi merupakan 

satu-satunya institusi politik umat Islam. sebab nya, wadah lain, seperti MIAI dan Masyumi 

buatan Jepang, tidak lagi diakui sebagai institusi mereka. Pembentukan Masyumi ini didukung 

oleh seluruh umat Islam, baik dari kubu tradisionalis maupun modernis.  

Pertentang Islam modern dan tradisional ini sesungguhnya sudah memakan waktu yang cukup 

lama. Para ulama Syafi'i di Jawa sudah cukup makan garam. Mereka membenci Modernisme 

yang mereka samakan dengan Wahhabisme (suatu gerakan pemurnian yang hanya mengakui 

kekuasaan mazhab Hanbali); mereka meremehkan Tjokroaminoto, dan mereka merasa akut 

bahwa kepentingan-kepentingan keempat mazhab tidak akan dikui di Mekkah dan Kairo seperti 

halnya mereka telah banyak dikecam di Indonesia. Oleh sebab  itulah, maka pada tahun 1926 Kyai 

Haji Hasjim Asjari (1871-1947), pemimpin suatu pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur, 

mendirikan Nahdatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama, NU) untuk mempertahankan 

kepentingan kaum muslim tradisional. Guru-guru (para kyai) tradisional pedesaan lainnya di Jawa 

Timur bergabung dengannya; para pemimpinnya terutama yaitu  orang-orang yang mempunyai 

hubungan keluarga dengan Hasjim Asjari. NU berkembang di daerah-daerah lain, etapi Jawa 

Timur tetap menjadi pusatnya. Organisasi ini mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam 

tradisional, pemeliharaan kaum fakir miskin, dan usaha-usaha ekonomi. Pada tahun 1942 

organisasi ini mempunyai 120 cabang di Jawa dan Kalimantan Selatan, yang sebagian besar 

anggotanya yaitu  pedagang.  

Dengan Masyumi sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik 

jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, seawal 1946, Syahrir (pemimpin Partai Sosialis 

Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri dalam beberapa kabinet semasa 

revolusi) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu], 

maka Masyumi —yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis [seperti 

Muhammadiyah, dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan ] dan ortodoks 

[seperti NU, dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah 

pedesaan]— akan memperoleh 80% suara.”  

Dilihat dari komposisi personalia yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi, tampak sekali 

bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca kemerdekaan. Kepengurusan 

dalam Majelis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy'ari (wakil dari kalangan tradisionalis); sementara 

wakil-wakilnya yaitu  Wahid Hasyim (anaknya sendiri), Agus salim (PSII), Djamil Djambek (wakil 

dari golongan reformis dari Sumatera Barat) dan lain-lainnya. Sedangkan Pengurus Besar 

diketuai oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan lalu  melibatkan M. Natsir, Muhammad 

Roem, dan juga Kartosoewirjo. 

Sepanjang menyangkut gagasan terbentuknya negara Islam (Islam sebagai dasar negara dan 

ideologi negara), umat Islam telah berjuang bahu membahu meninggalkan perbedaan-

perbedaan paham keagamaan antara mereka, terutama antara kalangan tradisionalis dan 

modernis. Sebagaimana telah disebutkan di awal, kerjasama yang tercermin dalam BPUPKI dan 

PPKI, lalu  dilanjutkan dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta, pada permukaan, 

memang memperlihatkan suatu bentuk persatuan umat yang dirindukan. Namun dalam 

perkembangannya, baik dalam teori maupun praktek, persatuan itu tidak bertahan lama. Artinya, 

benih-benih persatuan, yang mulai mereka rajut kembali, tidak mengesankan adanya bangunan 

kokoh persatuan. Alasan perpecahan yang mengancam persatuan umat ini, pada umumnya, 

tidak sulit ditemukan. Perpecahan datang sebab  mekanisme penjatahan kedudukan atau peran 

politik tidak berjalan, dalam pengertian tidak memuaskan masing-masing pihak yang 

membentuk fusi dalam Masyumi.Perpecahan yang diawali PSII (1947) dan lalu  NU (1952) 

merupakan indikasi awal perpecahan persatuan politik internal umat Islam Indonesia.  

Akhirnya, pada saat peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang kelima pada 

tanggal 17 Agustus 1950 semua struktur konstitusional semasa tahun-tahun Revolusi secara 

resmi dihapuskan. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di 

dalamnya, serta negara-negara Sumatera Timur serta Indonesia Timur digantikan oleh suatu 

Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan (namun bersifat sementara). 

Jakarta dipilih sebagai ibu kota negara baru ini.  

Namun demikian, adanya faktor lain yang menyebabkan, atau bahkan mempercepat munculnya 

perpecahan kemungkinan yaitu  sebab  faksionalisme tradisionalis-modernis, yang pada 

gilirannya membentuk watak keagamaan tertentu pada masing-msing pihak. Secara sederhana, 

kalangan tradisionalis, sebab  latar belakang pendidikan mereka, dipahami sebagai suatu 

kelompok yang buta politik dalam pengertian sangat luas. Artinya, mereka dianggap hanya 

mampu berfikir tentang persoalan-persoalan keagamaan murni. Sementara kalangan modernis, 

sebab  latar belakang pendidikan modern yang mereka terima, dianggap sebagai kalangan yang 

hanya sedikit memiliki pengetahuan keislaman, namun mempunyai kemampuan-kemampuan 

lebih untuk berbicara tentang persoalan-persoalan politik kenegaraan. Benih-benih perpecahan 

sesungguhnya merupakan implikasi alokasi peran yang telah dirancang sebelumnya. Misalnya, 

kalangan tradisionalis menduduki kubu Majelis Syuro, yang seringkali hanya bergelut dengan 

persoalan-persolan keagamaan murni, sehingga kurang mendapatkan peran politiknya, 

sementara kalangan modernis menduduki kubu Pengurus Eksekutif, yang sehari-hari 

menjalankan roda kepengurusan Masyumi. 

Revolusi politik ini telah selesai, namun  masih tetap ada banyak persoalan. Tahun-tahun Revolusi 

tampaknya telah memecahkan beberapa masalah. Layak untuk berpendapat bahwa Indonesia 

tidak akan menjadi: sebuah negara federal ataupun sebuah negara Islam, atau sebuah negara 

Komunis, ataupun terutama sekali suatu jajahan Belanda. Akan namun , tahun-tahun yang akan 

datang akan menunjukkan bahwa hal-hal itu tidak sama pastinya dengan yang terlihat pada 

tahun 1950. Apalagi, tidaklah jelas implikasi-implikasi apakah yang akan timbul dari kemerdekaan 

ini  terhadap banyak masalah-masalah sosial, agama, kemasyarakatan, kesukuan, 

kebudayaan, dan ekonomi yang masih tetap ada. Masih terdapat masalah-masalah dasar yang 

pada masa anti-kolonialisme, perang, dan Revolusi belum pernah dihadapi oleh bangsa Indonesia 

sebab  tidak adanya waktu atau kesempatan. saat  kini mereka mulai menghadapi masalah-

masalah ini , maka menjadi jelas bahwa —di luar kemenangan atas Belanda— akhirnya, 

masih banyak permasalahan yang tidak dipecahkan oleh Revolusi. 

  

 

 

Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. saat  itu 

terjadinya sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Jumhuriyah Indonesia 

yang kelak lalu  dikenal sebagai Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal 

oleh masyarakat sebagai DI/TII, Islam muncul dalam wajah yang tegang. Namun, peristiwa ini 

dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah 

"pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah 

perjuangan suci anti-kezaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" 

bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini 

bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan 

"pemberontakan" yang muncul sebab  sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan 

sebab  sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus. 

Darul Islam yaitu  perjuangan umat Islam yang bersifat nasional yang juga meletus di Jawa 

Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh. Perjuangan yang bermuara dari Jawa 

Barat ini telah mengubah banyak persepsi bangsa Indonesia tentang peran ideologi yang ada 

dalam sebuah perjuangan selama ini. Perjuangan suci Darul Islam di daerah-daerah dipimpin oleh 

tokoh lokal yang memiliki motivasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. 

Banyak studi yang membahas tentang resistensi politik mengalami stagnasi dalam melihat 

persoalan. Stagnasi itu umumnya hanya melihat persoalan resistensi politik dari sudut pandang 

"struktur agraria" atau patron-client atau "restrukturisasi lembaga negara " atau "kekecewaan 

orang-orang bawah". Padahal, jauh di dalamnya, sebuah perjuangan suci sebenamya juga 

merupakan suatu ekspresi nilai-nilai, suatu pengungkapan idealisme, pemikiran dan keinginan 

mengadakan perubahan berdasar  orientasi nilai ini  yang dianggap berlawanan secara 

norma umum, sehingga ia disebut pemberontakan. 

Pemberontakan sendiri, melihat dari cara Harald Holk Dengel mengungkapkan, lebih banyak 

bersumber dari nilai-nilai keyakinan yang dipegang oleh para pelakunya. Pemberontakan Darul 

Islam sekaligus menunjukkan betapa konflik ideologis para pendiri republik ini berkisar sekitar 

dasar negara dan haluan politik negara. Dari semenjak saat  organisasi-organisasi nasionalisme 

pertama-tama berdiri di Nusantara ini, pemikiran bahwa Indonesia akan merdeka menyelimuti 

sebagian besar keyakinan para nasionalis saat  itu. Maka jauh-jauh hari mereka sudah 

 

 

memperdebatkan tentang jika bangsa ini sudah merdeka maka bagaimanakah bentuk kekuasaan 

dan tata cara kenegaraannya akan diatur, juga hukum dan pelaksanaa birokrasi negara. 

Perdebatan ini begitu alotnya sehingga melibatkan banyak nasionalis ini  mengajukan 

berbagai nilai sebagai dasar negara ini. Ada yang mengusulkan nilai nativisme budaya daerah 

sebagai dasar, juga ada yang mengusulkan demokrasi a la Barat, ada yang menginginkan ideologi 

komunisme, juga ada Islam. Masing-masing punya alasan kuat kenapa nilai-nilai ini  diajukan 

dan masing-masing mengklahll bahwa usulnya sudah merepresentasi mayoritas; keinginan 

rakyat Indonesia. Sudah sejak semula para nasionalis Islam mencita-citakan suatu negara Islam. 

Cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu berbeda-beda, ada yang dengan jalur konstitusi 

seperti Muhammad Natsir dan tokoh-tokoh Partai Masyumi lainnya, juga ada dengan jalan 

perjuangan suci seperti yang dilakukan oleh Kartosuwirjo. Ia sangat konsisten dengan konsep 

politik hijrah-nya yang berarti memisahkan diri secara pemikiran dan menarik garis demarkasi 

pembeda antara Negara Islam dan Negara Bukan Islam. 

Wajar jika lalu  dia tidak aktif lagi dalam diskusi atau rapat atau sidang partai maupun 

organisasi. Dia bersikap nonkooperasi dalam semua hal dan membangun sendiri kekuatannya 

tanpa bantuan pihak lain. Bagaimana rumitnya perdebatan itu, ternyata tidak hanya berhenti 

sebagai perdebatan semata, namun lebih dari itu berusaha mcngajukan pemikiran tentang 

ideologi ini  secara fisik yakni dengan cara memberontak. 

Pada awal pergerakan kebangkitan nasional Indonesia, kekuatan logika Islam dalam lapangan 

politik yaitu  sangat besar pengaruhnya dan sangat beragam. Ada yang hanya sebatas memihak, 

ada yang juga sebatas setuju belaka bahkan ada yang sangat menentang. Kartosuwirjo yaitu  

tokoh yang sangat militan dalam intensitas perjuangan untuk mendirikan negara yang 

berdasar  ideologi Islam. Meski saat  itu perdebatan tentang ideologi Islam belum final, ia 

telah menerjemahkan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam bentuk-bentuk praktek birokrasi dan hukum 

negara. Mungkin, jika ada yang mempraktekkan nilai-nilai ke-Islaman, dia itu yaitu  Kartosuwirjo 

dan pejuang mujahidin sejati dalam Darul Islam, sementara umumnya masyarakat hanya 

mempraktekkan nilai-nilai ritual ibadah dan secara terbatas (bersifat individu) mempraktekkan 

syari-ah Islam. 

Buku ini telah melengkapi satu lagi khazanah sejarah bangsa yang selama ini berada dalam kabut 

gelap. Penulisan tentang Darul Islam, bukan hanya langka tapi juga usaha ke arah itu bukan suatu 

kerja yang mudah. Dia memerlukan melihat ke sejarah di masa lampau Indonesia dengan banyak 

perbandingan dan penelusuran data sekunder, baru lalu  menyusun plot dan wawancara 

serta memahami istilah-istilah lokal serta terma-terma Islam yang rumit.

Banyak kesan bagus pada organisasi dan struktur Darul Islam. namun juga ini yang sulit orang 

lain melakukannya, yaitu  cara Dengel menukik ke persoalan-persoalan esensial yang 

memperlihatkan kehebatan perjuangan suci Darul Islam ini berdasar  referensi primer! 

Sungguh menarik membaca buku karya Holk Harald Dengel yang judul aslinya yaitu  Darul Islam: 

Kartosuwirjos Kamf um einen Islamichen Staat Indonesien ini. Buku ini memiliki dua keunggulan 

sekaligus, pertama, bahwa buku ini yaitu  sebuah tulisan mendalam tentang biografi seseorang 

(Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo} dan kedua membahas harakah Darul Islam secara lebih 

bersifat ideologis. Sebagai sebuah karya disertasi pada jurusan sejarah Universitas Heidelberg 

buku ini sangat padat berisi berhagai data dan informasi baru yang dikorek langsung dari sumber-

sumber utama (primary sources) seperti wawancara dan tulisan-tulisan asli dari subjek target 

penelitian.  

Untuk memberi gambaran lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat 

pada masa pasca revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan dikemukakan di sini. 

Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di Indonesia telah mengalami 

penyegaran kembali dan giat sesudah  masa adem-ayem pada 1949. Dalam Parlemen yang baru 

dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai 

terbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, sebab  adanya banyak partai, organisasi, 

dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam 

hanya memperoleh 54 kursi (23%). fakta  ini meruntuhkan mitos mayoritas Islam dalam 

politik. Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan 

memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem demokrasi konstitusional 

(1950-1957), tiga kabinet dipercayakan kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada 

1950-1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956). 

Selain itu, saat  Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk 

pemerintahan, baik Masyumi maupun NU, berperan sebagai pasangan koalisi yang utama. 

Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955 

menunjukan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti ) menguasai 114 

dari 257 kursi (43,5%) dalam parlemen. Walaupun hasil akhir ini  jelas jauh di bawah 

perkiraan Sjahrir, namun itu telah menggandakan wakil kelompok Islam dalam parlemen.  

fakta  ini, ditambah dengan tidak adanya kontroversi-kontroversi ideologis yang terbuka, 

boleh jadi turut menyebabkan berlangsungnya hubungan politik yang relatif harmonis antara 

kedua payung religio-politik besar ini selama tahun-tahun pertama politik Indonesia pasca 

revolusi (1950-1953). Kritik terang-terangan terhadap Pancasila oleh para pemimpin dan aktivis 

politik Islam jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir menyatakan bahwa —sebab  

dimasukkannya prinsip “Percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila— Indonesia tidak 

menyingkirkan agama dari masalah-masalah kenegaraan.  

Namun bukan sebab  itu negara Indonesia dilanda krisis politik, terutama krisis yang direaksikan 

oleh Islam. Indonesia saat itu tengah jatuh ke dalam “titik terendah dalam hal kemampuannya 

memperoleh kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mendistribusikan sumber-sumber. Ketidak