Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 7
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Bismillahi tawakkalna ‘alallah, lahaoela wala qoewwata illa billah.
Asjhadoe an-la ilaha illallah, wa asyhadoe anna Moehammadr Rasoeloellah.
Wallahi. Demi Allah!
1. Saja menjatakan bai’at ini kepada Allah, di hadapan dan dengan persaksian Komandan
Tentara/Pemimpin Negara, jang bertanggoeng djawab.
2. Saja menjatakan Bai’at ini soenggoeh-soenggoeh sebab ikhlas dan soetji hati, lillahi ta’ala
semata-mata, dan tidak sekali-kali sebab sesoeatoe di loear dan ke loear daripada
kepentingan Agama Allah. Agama Islam dan Negara Islam Indonesia.
3. Saja sanggoep berkorban dengan djiwa, raga dan njawa saja serta apapoen jang ada pada
saja, berdasar sebesar-besar taqwa dan sesempoerna-sempoerna tawakal ‘alallah, bagi:
mentegakkan kalimatillah, li-I’lai Kalimatillah --, dan mempertahankan berdirinja Negara
Islam Indonesia; hingga hoekoem Sjari’at Islam seloeroehnja berlakoe dengan seloeas -
loeasnja dalam kalangan Oemmat Islam Bangsa Indonesia di Indonesia.
4. Saja akan tha’at sepenoehnja kepada perintah Allah, kepada perintah Rasoeloellah dan
kepada perintah Oelil Amri saja, dan mendjaoehi segala larangannja, dengan toeloes dan
setia-hati.
5. Saja tidak akan berkhianat kepada Allah, kepada Rasoeloellah dan kepada Komandan
Tentara, serta Pemimpin Negara, dan tidak poela akan memboeat noda atas Oemmat Islam
Bangsa Indonesia.
6. Saja sanggoep membela Komandan-komandan Tentara Islam Indonesia dan Pemimpin-
pemimpin Negara Islam Indonesia, daripada bahaja, bentjana dan khijanat darimana dan
apapoen djoega.
7. Saja sanggoep menerima hoekoeman dari Oelil-Amri saja, sepandjang ke’adilan hoekoem
Islam, bila saja inkar daripada Bai’at jang saja njatakan ini.
8. Semoga Allah berkenan membenarkan pernjataan Bai’at saja ini, serta berkenan poela
kiranja Ia melimpahkan Tolong dan Koernia-Nja atas saja sehingga saja dipandaikan-Nja
melakoekan toegas soetji, ialah haq dan kewajiban tiap-tiap Moedjahid: menggalang Negara
Koernia Allah, Negara Islam Indonesia! Amin.
9. Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!
Dengan demikian, perjuangan Darul Islam yaitu perjuangan kaum sufi yang sangat terkenal
dalam bentuk-bentuk bai'at dan thariqat. Pada tanggal 8 Juli 1948 Kartosoewirjo mengutus para
kurir di antaranya Abdul Hadi, Soelaiman dan Nanggadisoera untuk membawa pesan-pesan
pribadi berupa rencana akan mendirikan Negara Islam kepada sejumlah politikus di Yogyakarta.
Dua hari sebelumnya, Kartosoewirjo juga memberitahukan rencananya kepada Komandan Divisi
I/TII Tjakrabuana (Kamran), bahwa ia akan menyampaikan pesan kepada Pengurus Besar
Masjumi di Yogyakarta. Dalam pesan ini dia ingin menghindarkan timbulnya salah
pengertian di masa yang akan datang. Pesan lisannya disampaikan kepada Anwar Tjokroaminoto,
Ramlan, A.M. Soebakin, Soedardjo, Soemadhi dan Abikusno Tjokrosujoso. Dalam surat
pengantarnya Kartosoewirjo meminta agar mereka datang ke Jawa Barat untuk bersama-sama
membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Surat pengantar yang singkat itu hanya berisi 6
butir:
Sedjak ditandatanganinja Renville kami Oemmat Islam di Djawa Barat telah menentoekan
sikap jang tegas.
Akibat daripada sikap itoe, terdjadilah Perdjoeangan jang dahsjat, sehingga darah sjoehada
teroes mengalir.
Tjita-tjita Perdjoeangan kami ini, tidak hanja meroepakan Perdjoeangan regional akan namun
hendaknja merata keseloeroeh kepoelauan Indonesia.
Dari itoe oentoek mensatoekan bentoek dan langkah Perdjoeangan kita, di samping
keterangan-keterangan jang disampaikan oleh oetoesan kami, diharap soepaja di antara
saudara-saudara jang bertanggoeng djawab kepada Perdjoeangan oemmat di sini datang
ketempat saja oentoek membitjarakan bentoek dan langkah Perdjoeangan oemmat pada
dewasa ini.
Semoga dengan djalan ini, koernia Allah, lahirnja Negara Islam jang merdeka, akan datang
dengan setjepat-tjepatnja.
Selesai
Dari surat Kartosoewirjo kepada Kamran juga dengan jelas dapat dilihat bahwa untuk suatu
hubungan yang tidak terputus-putus dengan daerah Republik yaitu penting sekali. Dia juga
memberitahukan Kamran, bahwa dia telah mengirim surat kepada pemimpin-pemimpin di
daerah Republik, di mana dia menjelaskan situasi politik dan militer agar supaya mereka “jangan
salah paham dan dapat pula menghilangkan salah paham”. Kartosoewirjo menulis sebagai
berikut:
“Djoega saja ingin sekali memperingatkan kepada soeatoe hal jang tampaknja ketjil, tapi amat
penting sekali dalam perdjoeangan kemerdekaan dan perdjoeangan agama, ja’ni terbentuknja pos-
pos di sepandjang djalan antara kita dengan daerah Repoeblik. Satoe djalan doeloe (reote) boleh
dimoelai, asal sempoerna. Djangan poetoes-poetoes. Selain daripada itoe, djoega tentang
bentoekan koerir jang tetap, jang berangkat dan datang pada waktoe jang tentoe. Saja harap,
soepaja kita dengan kawan-kawan di daerah Repoeblik meroepakan rantai jang erat sekali. Insja
Allah, iteolah salah sateo djalan dan oesaha, menoejoe kepada Revoloesi Islam Totaliter, di mana
komando kita akan dihargakan oleh Oemmat dan Ra’iat seloeroehnja, dan berharga poela dalam
pandangan doenia internasional seloeroehnja. Lebih-lebih lagi, di mana-mana tempat dan di tiap-
tiap penjoeroe doenia soedah moelai tampak menjala-njala api, jang agaknja akan mendjadi pangkal
timboelnja Perang Doenia Ketiga”.
lalu Kartosoewirjo merumuskan langkah-langkah menuju kepada suatu Revolusi Islam
melanjutkan lagi:
“Oleh sebab itoe, soepaja dioesahakan meletoesnja Pemberontakan Ra’iat, atau Revoloesi Islam,
baik jang meroepakan pentjoelikan, pemboenoehan, sabotasje, dan – di mana moengkin –
pertempoeran”.
Pada tanggal 25 Agustus 1948 keluarlah Maklumat yang pertama dari Pemerintah Islam
Indonesia yang isinya “mengingat bahwa keadaan dewasa ini yaitu keadaan perang
menghadapi keganasan dan kezaliman jang dilakoekan oleh tentara Belanda serta menimbang
bahwa tiap-tiap Oemmat Islam wadjib melakoekan Djihad fi sabilillah, oentoek menolak tiap-tiap
kedjahatan dan kezaliman dan menegakkan keadilan dan kebenaran maka memoetoeskan
seloeroeh pimpinan sipil dari Residen sampai kepala desa, begitoe poela pimpinan oemmat di
daerah sampai di desa diberi toegas sebagai Komandan Pertahanan di daerahnja masing-masing.
Seloeroeh kepala ketentaraan di desa, Ketjamatan dan selandjoetnja, diberi toegas sebagai
Komando dan Pertempoeran di tempatnja masing-masing”. Dan dua hari lalu tepatnya
pada tanggal 27 Agustus 1948 diadakan penyusunan “Qanun Asasi” yaitu Undang-undang Dasar
Negara Islam Indonesia dan telah selesai.
Pada saat itu di Republik Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang amat sangat. Sebagai
akibat bekumpulnya begitu banyak pasukan di wilayah Republik, maka situasi pangan di Jawa
Tengah semakin memburuk, sebab di daerah ini sudah terisolasi dari “gudang beras”
Jawa Barat dan Jawa Timur, dan juga pelabuhan Semarang sudah dikuasai Belanda. Terjadilah
kelaparan di sana sini, pengangguran, serta pemogokan kerja, sementara rencana demobilisasi
yang direncanakan oleh Hatta memicu kegelisahan dalam tubuh Angkatan Bersenjata.
Melihat terjadinya krisis seperti ini, bagi setiap orang yang berjiwa revolusioner sebagai satu
kesempatan baik untuk bergerak menjalankan aksinya. Peluang ini dipergunakan oleh PKI untuk
menjatuhkan Pemerintahan Republik yang berdasar Pancasila, dan menggantinya dengan
negara Komunis. Maka pada tanggal 18 September 1948 yang diarsiteki Muso dan Amir Sjarifudin
mengumumkan berdirinya Sovyet Republik Indonesia di Madiun. Peristiwa yang serupa juga
terulang pada tanggal 30 September 1965, dimana PKI yang berjiwa munafik itu memanfaatkan
krisis ekonomi dan politik yang melanda tubuh Republik Indonesia untuk menggulingkan
kekuasaan Sukarno. Kesaktian Pancasila yang dirancang oleh Sukarno ternyata tidak mampu
membendung arus krisis, sehingga mendamparkan perahu Republik Indonesia untuk kesekian
kalinya. Namun dari serangkaian peristiwa kudeta yang dilakukan oleh PKI dalam mengadakan
revolusinya, meminjam istilah Herring Aborted Revolt , sebuah revolusi yang diaborsi, dimana
setiap gerakannya tanpa persiapan matang sehingga setiap aksinya mengalami kegagalan,
disamping itu dalam penumpasan pemberontakannya pun Pemerintah hanya memerlukan
waktu sekejap.
Propaganda PKI kini menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi benar-benar bersifat Indonesia.
PKI kurang menekankan doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, melainkan lebih banyak
berbicara dengan bahasa yang menarik bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum abangan (kaum
muslim nominal) Jawa. Masyarakat tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali dari
negara Majapahit yang diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat yang
mulia sebelum datangnya bangsa Belanda dan secara berarti, sebelum Islam. Pahlawan-
pahlawan PKI yaitu Dipanagara, Kyai Maja, dan Sentot dari Perang Jawa. Ramalan-ramalan
yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil juga dimanfaatkan sebagai daya tarik PKI. Dan ada
suatu versi lagi dari kesemuanya ini, yaitu Komunisme Islam. Antara pembebasannya dari penjara
pada akhir tahun 1922 dan pengasingannya ke Irian pada bulan Juni 1924. Haji Misbach
menyebarkan Komunisme Islam di wilayah Surakarta. Komunisme Islam juga tersebar di
Minangkabau dan di Jawa Barat. Perlu dicatat bahwa walaupun murid-murid sekolah Islam
Modern sering kali tertarik pada Komunisme Islam, gerakan itu kebanyakan dipimpin oleh guru-
guru Sufi dan para tokoh lain dari bentuk-bentuk Islam yang lebih tradisional. Para pemimpin
Islam Modern dengan dedikasi mereka pada keortodoksan berdasar atas Quran dan Hadist
merupakan penentang utama terhadap Komunisme Islam. Selain itu ada juga pemikiran yang
mencoba mengkonstruksi tradisi jawa dalam politik di Inoesia dengan mengemukakan pemikiran
gotong-royong sebagai contoh teladan yang seakan-akan mengatasi ajaran Islam tentang
ta'awuniyah (saling tolong-menolong dalam kebaikan). Bahkan politik Indonesia dimainkan oleh
para penguasa Jawa dari dulu hingga Soekarno dan Soeharto yaitu suatu permainan wayang
(foreshadow play).
Kini terjadi pertikaian antara SI dan PKI. Suatu federasi dari serikat-serikat dagang mereka, yang
terdiri dari dua puluh dua serikat dan 72.000 orang anggota di bawah pimpinan Semaun, didirikan
pada bulan Desember 1919. Akan namun , pemimpin serikat sekerja dari CSI, Surjopranoto, yang
dijuluki 'raja mogok', segera mempersoalkan Kepemimpinan Semaun sehingga hancurlah
federasi ini . lalu pada bulan November 1920 surat kabar PKI yang berbahasa Belanda,
Het vrije woord ('Kata yang Bebas'), menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah
nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme.
SI kini makin lama makin dipengaruhi oleh Haji Agus Salim dan orang-orang lain yang mendukung
Pan-Islam. Akibatnya terjadi pertikaian secara terbuka yang sengit, dan tidak menjadi soal apakah
langkah-langkah pemutarbalikan yang diusahakan PKI tidak dapat mengelakkan tuduhan bahwa
organisasinya yaitu anti-Islam. Persaingan-persaingan sengit yang bersifat pribadi yang
memecah gerakan politik Indonesia kini telah mencapai definisi ideologis. Dengan
menghebatnya pertikaian secara teruka yang berapi-api dalam pertemuan-pertemuan dan surat
kabar-surat kabar, maka dasar keanggotaan rakyat yang katanya dimiliki SI bahkan lebih
cenderung lagi keluar sama sekali dari organisasi-organisasi politik.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian-
pertikaian ini mengalami kegagalan. 'Disiplin partai' disetujui dalam kongres SI pada bulan
Oktober 1921. Dengan adanya disiplin partai ini maka seorang anggota SI tidak mungkin
lagi menjadi anggota partai lain (walaupun ada beberapa pengecualian, misalnya,
Muhammadiyah). Anggota-anggota PKI kini dikeluarkan dari CSI, namun pertikaian tetap harus
diselesaikan di setiap cabang SI. Sebagai akibatnya SI terpecah dalam cabang-cabang 'SI Merah'
dan 'SI Putih'. Semaun meninggalkan Indonesia menuju ke Uni Soviet, sedangkan Tjokroaminoto
kini dipenjarakan. Dengan tidak adanya kedua tokoh itu, seorang Minangkabau yang bernama
Tan Malaka (1897-1949) melakukan beberapa usaha untuk memulihkan kerja sama PKI-SI namun
sia-sia saja. Pada tahun 1922 meletus pemogokan besar-besaran pertama di dalam serikat buruh
pengadaian yang dipimpin oleh Abdul Muis dari CSI. PKI merasa wajib menyatakan dukungannya.
Pemogokan ini dapat dipatahkan oleh pemerintah hanya dengan memecat para pegawai
yang mogok, sedangkan Muis dan Tan Malaka kedua-duanya diasingkan.
Pada bulan Mei 1922 Semaun kembali memasuki kancah yang nyata-nyata merupakan
malapetaka. Dia segera berusaha untuk mendirikan kembali serikat-serikat sekerja PKI serta
menegakkan kembali pengaruh PKI pada cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Tjokroaminoto
dibebaskan dari penjara pada bulan Mei 1922 (dia secara esmi dibebaskan dari tuduhan
melakukan sumpah palsu pada bulan Agustus); dia telah bertekad melepaskan diri untuk selama-
lamanya dari PKI, yang antara lain telah menyebutnya sebagai seorang pemabuk yang tidak jujur.
Dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 dia mendirikan Partai Sarekat Islam yang memiliki
disiplin partai dan bertekad akan mendirikan cabang partai ini di mana saja yang ada cabang 'SI
Merah'. Cabang-cabang 'SI Merah' kini diberi nama baru Sarekat Rakyat, dan pertikaian
dilanjutkan dengan lebih sengit lagi .
Pada pertengahan tahun 1923 Semaun dibuang ke Eropa sesudah pemerintah berhasil menumpas
suatu pemogokan yang dilancarkan oleh serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) yang
dipimpinnya. Darsono menjadi pimpinan PKI. Pengaruh Agus Salim di dalam CSI kini mendorong
organisasi ini untuk menempuh kebijakan nonkooperasi (organisasi ini menarik mundur anggota-
anggotanya yang duduk di dalam Volksraad), yang disebut hijrah untuk mengenang hijrah Nabi
Muhammad dari Mekah ke Medinah pada tahun 622 M. CSI kini menjauhkan diri dari setiap aksi
politik yang penting. saat CSI semakin lama menjadi semakin tidak aktif, maka PKI mulai
melancarkan kampanyenya yang terakhir untuk mengabil alih kepemimpinan atas pergerakan
rakyat yang nyaris padam. Kini kancah utama perjuangan berada di tangan apa yang tersisa dari
cabang-cabang SI pedesaan yang seperti biasa sukar dikendalikan.
Sementara itu dalam maklumat berikutnya yang keluar pada tanggal 28 Oktober 1948,
diumumkan perubahan susunan Dewan Imamah. Berhubung dengan perubahan suasana politik
dunia dan pergeseran serta peralihan lapangan, sifat dan corak perjuangan politik militer di
Indonesia pada dewasa ini, maka dengan secara referendum antara anggota-anggota Dewan
Imamah pada tanggal 6 Oktober 1948 telah diambil beberapa keputusan, yang mengubah
seluruh susunan Pimpinan Negara dan Pimpinan Tentara, serta siasat perjuangan kedepan,
menuju kepada Mardhatillah, yang berwujudkan Dunia Islam (Darul Islam) di dunia yang fana ini
dan Darussalam di Akhirat yang baqa kelak.
Adapun perubahan susunan Dewan Imamah sebagai berikut:
Sdr. Kalipaksi (Kartosoewirjo) diganti oleh Sdr. H.I.M. Tjokro.
Sdr. Tjakrabuana (Kamran) diganti oleh Sdr. H.S. Hidayatullah.
Sdr. K.H. Dajeuhluhur (K.H. Gozali Tusi) diganti oleh Sdr. Chodimudin.
Sdr. K.H. Mandaladatar (R. Oni) diganti oleh Sdr. S. Rahmat.
Sdr. Jogaswara (Toha Arsjad) diganti oleh Sdr. A. Hamami.
Sdr. K.H. Kalisari (S. Partawidjaja) diganti oleh Sdr. H.M. Ridho.
Juga dijelaskan dalam Maklumat No. 2 ini bahwa kedudukan Pemerintah Negara Islam
Indonesia dan Pusat Pimpinan Majlis Islam beralih kesuatu tempat untuk mengamankan
perjuangan. Di samping itu bahwa di ibu kota Republik telah diangkat wakil atau consul Negara
Islam Indonesia, ialah Sdr. O. Ridjalullah, begitu pula di daerah lain di Indonesia sudah pula
diangkat beberapa orang yang bertanggung jawab, di mana tempat tinggal mereka pada waktu
itu belum perlu diumumkan.
Dalam Maklumat berikutnya yang dikeluarkan pada awal November 1948, Kartosoewirjo
menerangkan bahwa,”Sitoeasi loear negeri pada dewasa ini, teroetama pertentangan antara
blok Roesia dan blok Amerika (Komoenis dan Kapitalis) makin hari makin bertambah genting-
roentjing, sehingga sewaktoe-waktoe boleh timboel mara bahaya doenia jang amat
mendahsyatkan. Tingkat peroendingan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda
telah mendekati kepada poentjak batas kemoengkinan, sehingga kata poetoes dengan cara
damai hampir-hampir tidak dapat diperoleh, mengingat kekejaman dan keganasan jang
dilakoekan oleh pihak Belanda dan kaki-tangannja soedah amat djaoeh melaloei batas-batas
hoekoem kemanoesiaan dan hoekoem Agama. Oentoek menghadapi kemoengkinan jang
sewaktoe-waktoe boleh timboel daripada kepentingan doenia loear dan dalam (Internasional
dan Nasional), maka wadjiblah tiap-tiap Moeslim dan Moeslimat khoesoesnja serta seloeroeh
Oemmat Islam Bangsa Indonesia oemoemnja, menjelesaikan dan menjempoernakan segala
kelengkapan dan kekoeatan, oentoek melakoekan wadjib soetji jang berwoedjoedkan “Perang
Soetji Moethlaq” atau “Perang Totaliter” melawan dan mengenjahkan semoea moesoeh Agama
dan moesoeh Negara, hingga Allah berkenan menegakkan kerajaan-Nja di tengah-tengah
masjarakat Oemmat Islam Bangsa Indonesia.
Di dalam Maklumat itu Kartosoewirjo mengeluarkan “Komando Umum” berupa kebulatan tekad
dan niat bersama-sama untuk melenyapkan segala angkara murka, mulai benih sampai akar-
akarnya, bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Serta mengajak tiap-tiap
masyarakat dan warga Negara mempersenjatai dirinya dengan alat apapun juga yang ada
padanya. Saat pecahnya perang Dunia ketiga akan bersamaan dengan saat mulainya perang
antara Republik dengan Belanda.
Kira-kira seminggu lalu tepatnya pada tanggal 14 Desember 1948, benar-benar terjadi
perang lagi antara Belanda dengan Republik. Pasukan Belanda menyerbu daerah Republik dan
memulai Agresi Militer yang kedua. Dengan demikian Belanda sekarang juga melanggar
perjanjian Renville yang telah disepakati bersama. Kota Yogyakarta diserang oleh Belanda dari
darat dan udara, dalam waktu yang cepat Belanda telah berhasil pula menawan anggota kabinet
Republik di antaranya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang lalu ditawan
ke Rantau-Prapat dan Bangka.
Adapun reaksi Kartosoewirjo terhadap perkembangan terbaru ini, dia mengumumkan Jihad Fi
Sabilillah, sampai semua musuh-musuh Islam, rakyat dan Allah berhasil diusir dan Negara Kurnia
Allah, “Negara Islam Indonesia (NII), dapat didirikan. Melalui maklumat No.5 yang isinya yaitu :
Bismillahirrahmanirrahim.
Assa lamoe ‘alaikoem w.w.,
Mengingat:
Isi ma’loemat Imam No. 3, bertarich 1 Moeharram 1368 atau 2 Nopember 1948, tentang persiapan
Perang Soeci, Perang Totaliter, Perang Ra’iat dan Revoloesi Ra’iat seloeroehnja, menghadapi
pendjadjahan Belanda.
Serboean Belanda kedaerah Repoeblik Indonesia pada tanggal 18/19 Desember 1948. Dan
Ditangkap dan ditawannja beberapa Pemimpin besar, jang memegang tampoek Pemerintahan
Repoeblik Indonesia, di antaranja: Presiden, Wk. Presiden, Ketoea KNIP, Menteri Loear Negeri,
dll-nja lagi.
Berpendapat:
Bahwa kini telah tiba sa’atnja oentoek melakoekan :
PERANG SOETJI, PERANG TOTALITER, PERANG RA’IAT SELOEROEHNJA
Menghadapi Belanda.
Komando:
Diperintahkan kepada seloeroeh lapisan Oemmat Islam Bangsa Indonesia, oentoek moelai
melakoekan Perang Soetji Moethlak, Perang Totaliter iteo, hingga pendjadjahan hilang moesna
sama sekali. Dan Diperintahkan kepada seloeroeh Angkatan Perang Negara Islam Inonesia,
oentoek mempelopori dan membantoe ra’iat, hingga Revoloesi Islam selesai dan Negara Islam
Indonesia berdiri dengan sempoernanja, di seloeroeh Indonesia.
Firman Allah:
Infiroe khifafan wa tsiqalan wa jahidoe bi amwalikoem wa anfoesikoem fi sabilillah!
Inna fatahna laka fat-han moebina…..!!!
Madinah, 19 Safar 1368.
20 Desember 1948.
Pemerintah Negara Islam Indonesia,
Imam: S.M. Kartosoewirjo.
Dioemoemkan di Madinah,
Pada tanggal 19 Safar 1368/20 Desember 1948
Sekr. Negara:
BINTANG-BOELAN.
Kartosoewirjo menyerukan pentingnya satu kesatuan komando dan kesatuan pimpinan untuk
menghindarkan politik “Divide et impera” Belanda di masa yang akan datang. Dan dia
menerangkan, bahwa dia sebagai pimpinan Negara Islam Indonesia yakin akan sanggup untuk
memegang kesatuan komando itu.
Maka diumumkan kembali melalui maklumatnya No.6 tanggapan mengenai kejatuhan
pemerintah Republik Indonesia yang isinya antara lain:
“Pada tanggal 18-19 Desember 1948, tentara Belanda telah moelai menjerboe daerah Repoeblik
dan pada tanggal 19 Desember 1948 Pembesar-pembesar Pemerintah Repoeblik soedah djatoeh
di tangan Belanda, ditangkap dan ditawan. Dengan adanja kedjadian dan peristiwa jang amat
pahit itoe, maka djatoehlah Repoeblik sebagai Negara.
Djangan dikira, bahwa dengan djatoehnja Pemerintah Repoeblik (Soekarno-Hatta) dan
ditandatanganinja soeatoe naskah keadaan akan aman dan tenteram, rakjat akan makmoer dan
soeboer.
Tidak, sekali-kali tidak!
Melainkan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta dan pil-pahit jang terpaksa ditelan
oleh rakjat itoe, insja Allah bagi Oemmat Islam, jang masih berideologi Islam, akan mendjadi
sebab bangkit dan bergeraknja, mengangkat sendjata, menghadapi moesoeh djahanam.
Oleh sebab itoe, tiada djalan lain bagi Oemmat Islam Bangsa Indonesia, istimewa jang tinggal di
daerah Repoeblik, melainkan: sanggoep menerima Koernia Allah, melakoekan Djihad fi Sabilillah,
melakoekan Perang Soetji, bagi mengenjahkan segenap moesoeh Islam, moesoeh Negara dan
moesoeh Allah, dan “last but not least” mendirikan Negara Koernia Allah, ialah Negara Islam
Indonesia.
Seroean Kami: Boelatkanlah niat soetji, niat membela Agama, Negara dan Oemmat. Dengan
tekad “Joeqtal aoe Jaghlib” dan dengan kejakinan jang tegoeh, bahwa Allah akan memberi
perlindoengan kepada orang-orang dan Bangsa serta Oemmat jang memperdjoeangkan Agama-
Nja Insja Allah.
Kepada saudara-saudara dan handai taulan daripada Bangsa Indonesia, jang masih mengalir
darah “Repoeblikeinen” dalam toeboehnja dan masih berdjiwa perdjoeangan: Ketahoeilah !
Bahwa perdjoeangan jang kami oesahakan hingga berdirinja Negara Islam Indonesia itoe yaitu
kelandjoetan perdjoeangan kemerdekaan, menoeroet dan mengingat Proklamasi 17 Agoestoes
1945! Sekarang soedahlah tiba sa’atnja, segenap Bangsa Indonesia jang mengakoe tjinta
Kemerdekaan, tjinta Bangsa tjinta tanah air, tjinta agama, menanggoeng wajib soetji,
melakoekan perlawanan sekoeat moengkin terhadap kepada Belanda. Ketahoeilah poela! Bahwa
tiada soeatoe Kemerdekaan jang dapat direboet, hanja dengan gojang-gojang kaki di atas koersi
belaka. Kemerdekaan kita, kemerdekaan Negara dan Kemerdekaan Agama, haroes dan wadjib
direboet kembali dengan darah!
Hai, Pemimpin-pemimpin Islam dan Oemmat Islam seloeroehnja! Anggaplah serboean Belanda
dan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta itoe, sebagai Koernia Toehan, jang dengan
itoe terboekalah kiranja lapangan baroe, lapangan djihad dan kesempatan jang seloeas-loeasnja
oentoek menerima Koernia jang lebih besar lagi daripada Azza wa Jalla, ialah: Lahirnja Negara
Islam Indonesia jang merdeka. Terimalah Koernia Allah itoe, walau agak pahit ditelannja
sekalipoen.”
Dengan berakhirnya Republik di Yogyakarta -- dengan dikibarkannya bendera putih di
Karesidenan Yogyakarta -- sebenarnya telah terdapat vakuum kekuasaan, yang oleh
Kartosoewirjo dipandang sebagai saat yang tepat untuk memproklamasikan Negara Islam
Indonesia. Namun dia masih tetap mencoba untuk memperoleh pimpinan komando tertinggi
secara legal. Dan Kartosoewirjo sendiri telah menyatakan bahwa perjuangannya yaitu lanjutan
dari proklamasi 17 Agustus 1945. Dan dia berharap agar Negara Islam Indonesia yang sudah dia
bentuk akhirnya akan dilegalisir meskipun tanpa proklamasi.
Aksi militer Belanda kedua yang dilancarkan kepada pemerintah RI punya akibat lain. Tentara
Republik menganggap ini sebagai pelanggaran persetujuan Renville. sebab itu, Pimpinan
Tentara tidak lagi merasa terikat pada Renville, dan memberi perintah kepada Divisi Siliwangi
yang telah mengungsi untuk kembali ke Pangkalan asalnya, Jawa Barat.
saat sesudah apa yang disebut Long March pasukan-pasukan Siliwangi akhirnya kembali ke
Jawa Barat, mereka disambut dengan meriah. Kepada mereka dianjurkan untuk bersama-sama
bergabung dengan Tentara Islam Indonesia dalam rangka mempertahankan daerah Jawa Barat
dari ancaman militer Belanda dan negara bonekanya yaitu “Negara Pasundan”.
Semua usaha dari pihak TII yang mencoba untuk mengarahkan ke arah kerja sama melawan
Belanda, mengalami kegagalan. Kepada kesatuan TNI diberitahukan bahwa mereka sebaiknya
menempatkan diri di bawah komando Tentara Islam Indonesia. Dan diberitahukan pula bahwa
semenjak kaburnya mereka ke Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan perjanjian Renville,
sesungguhnya yang memperjuangkan Jawa Barat yaitu Tentara Islam Indonesia bersama-sama
dengan rakyat Jawa Barat bahu membahu melaksanakan wajib sucinya mempertahankan bumi
Indonesia dari kekerasan dan kezaliman tentara Belanda. Maka terjadilah peristiwa yang dicatat
sebagai awal dari pertikaian yang berlangsung pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina.
Kejadian ini sekaligus merupakan awal dari permusuhan antara TII dengan TNI dan Belanda yang
oleh Kartosoewirjo di sebut “Perang Segi Tiga Pertama di Indonesia”.
Kartosoewirjo menyatakan dalam Maklumat Militernya bahwa, “Pelarian TNI Divisi Siliwangi
kedaerah Djawa Barat, dan jang diseboet sebagai “tentara liar” mempoenjai sifat, thabiat dan
perboeatan jang amat memperkosa hak milik rakjat, dan bertindak selaloe kedjam dan kedji
sekali terhadap rakjat, teroetama kepada Oemmat Islam, di samping itoe mereka tidak pandai
menghargai dirinja sebagai tamoe, melainkan ingin mengoesai daerah dan rakjat Negara Islam
Indonesia. Padahal hari-hari pertama pihak Negara Islam Indonesia soedah tjoekoep
menoendjoekkan perboeatan-perboeatan dan samboetan-samboetan baik atas kedatangan
mereka itoe. Ditambah lagi mereka teroes meneroes melakoekan pelanggaran atas hak-hak
Negara Islam Indonesia, sehingga mereka melepaskan tembakan dan menyerang Tentara Islam
Indonesia dengan membabi-boeta tanpa perikemanoesiaan”.
“Maka wadjib dan perloenja tiap-tiap warga-negara Oemat Islam Bangsa Indonesia, mengangkat
sendjata menghadapi tiap-tiap kemoengkinan daripada moesoeh jang khianat itu baik moesoeh
Agama maoepoen moesoeh Negara Islam Indonesia serta wadjiblah bagi tiap-tiap Tentara Islam
Indonesia, PADI, B.K.N., dan lain-lain alat kelengkapan Negara Islam Indonesia, melakoekan tindakan
atas tentara liar dan golongan serta gerombolan pengkhianat itoe, sesoeai dengan hoekoem Islam
di masa perang”.
Kartosoewirjo menjelaskan pula dalam Lampiran Maklumat Militernya mengenai kedudukan
Negara Islam Indonesia. Dengan keterangan sebagai berikut: “Sejak berdirinja Negara Islam
Indonesia di Djawa Barat sebelah Barat, maka hanja dikenal doea golongan jang bermoesoehan
jakni “Kekoeasaan Belanda, Tentara Belanda dan alat-alatnja” dan “Negara Islam Indonesia dan
segala kelengkapannja”. Serta dijelaskan pula bahwa yang dikatakan Tentara Liar ialah semua
kesatuan Tentara yang keluar dari Daerah Republik dan masuk ke Daerah pendudukan Jawa
Barat sebelah Barat, terutama kesatuan-kesatuan lain di luar kesatuan Tentara Islam Indonesia.
Oleh sebab itu tindakan yang diambil kepada Tentara Liar ini berupa melucuti Tentara liar
itu dan merampas harat-benda hak kesatuan mereka yang perlu, bagi kepentingan Negara Islam
Indonesia. Dan apabila mereka melakukan perlawanan maka seluruh gerombolan itu dianggap
dan diperlakukan sebagai musuh Negara Islam Indonesia dan Agama Islam tanpa memandang
jenis, pangkat dan tingkatannya. Dilakukan pengawasan dan pemeriksaan yang teliti kepada
mereka, dan bagi Tentara Islam Indonesia beserta unsur yang lain boleh melakukan segala
tindakan, sesuai dengan hukum militer di masa revolusi.
Dengan adanya Maklumat Militer No 1 ini, Kartosoewirjo sudah tidak lagi mengizinkan di
daerahnya ada kesatuan-kesatuan militer yang tidak menempatkan diri di bawah komandonya.
Termasuk juga divisi Siliwangi yang dianggapnya telah menyerahkan Jawa Barat kepada Belanda.
Oleh sebab itu kesatuan-kesatuan ini tidak lagi punya hak untuk menduduki kembali daerah
Jawa Barat.
Upaya TNI untuk menghindarkan terjadinya peristiwa seperti perlucutan senjata dan
peperangan dengan TII. Maka mereka mengusahakan sebuah pertemuan dengan Kamran
sebagai Komandan Divisi TII di Darma. saat Kamran menolak usul-usul yang disodorkan
padanya, pihak TNI berkhianat dengan mencoba untuk menyergap Kamran dan rombongannya.
Namun Kamran dapat meloloskan diri, hanya Hamid yang tertangkap. Dan pertengahan Februari
seorang Komandan TII yang lain dari daerah Cirebon yang bernama Agus Abdullah ditangkap
oleh TNI.
Pada tanggal 23 Februari 1949 TNI (diwakili oleh Adimertapraja) ingin mengadakan perundingan
kembali dengan TII (diwakili oleh Agus Abdullah dan Abdul Hamid), di mana isi perjanjian
ini mengenai pembagian daerah di sekitar Cirebon. Masing-masing kekuatan TNI dan TII
mendapat sebuah daerah kekuasaan, begitu juga direncanakan pelaksanaan sebuah komando
bersama. Akhirnya perjanjian itu tidak jadi ditandatangani, sebab Pihak TII berpendapat
perjanjian itu diadakan dalam keadaan terpaksa sebab sebelumnya Agus Abdullah dan A. Hamid
ditahan oleh TNI.
Pada tahun 1949 ini Keberadaan Darul Islam merupakan ancaman yang semakin gawat bagi
Republik dan Negara Pasundan yang didukung Belanda. Terutama sekali Negara Pasundan,
keadaan dirinya repot sekali. Negara ini tidak mempunyai tentara sendiri dan harus
mengandalkan dari pada pasukan-pasukan Belanda dan Divisi Siliwangi untuk melindungi para
warga negaranya. Keadaan menjadi begitu gawat bagi Pasundan saat Tentara Belanda bersiap
ditarik mundur sehubungan dengan pengakuan kemerdekaan mendatang. Posisi Belanda
diambil alih pasukan Republik, yang akan menjadi inti Tentara federasi Indonesia yang merdeka.
Untuk mencegah tercapainya persetujuan apapun yang merugikan eksistensi Negara Pasundan
dan keutuhan wilayahnya, mereka mengusahakan kerja sama dengan kesatuan-kesatuan
Siliwangi dalam melawan Darul Islam.
saat tekanan Internasional datang, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan
menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk
kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, maka ditandatanganilah Perjanjian
Roem-Royen. Dalam perjanjian ini Belanda menjanjikan untuk mendirikan kembali
pemerintahan Republik Indonesia dan menghentikan semua permusuhan. Sebaliknya, pihak
Indonesia harus dapat menghentikan semua aksi gerilyanya terutama aksi yang dilakukan oleh
Darul Islam. Dan harus bersedia pula mengikuti Konferensi Meja Bundar untuk menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Kini terdapat keresahan yang kian meningkat di dalam Negara Pasundan, di mana mereka harus
menyandarkan diri benar-benar pada pasukan Republik untuk melawan pasukan Darul Islam,
terutama di daerah-daerah yang pasukan-pasukan TII-nya paling kuat kedudukannya. Tidak
seorang pun tahu apa yang akan terjadi sesudah Tentara Belanda ditarik mundur, dan rakyat
meragukan apakah pasukan Republik yang menggantikannya akan cukup kuat memukul mundur
serangan Darul Islam. sebab pada tahun 1949 dilaporkan bahwa kegiatan Darul Islam sudah
membumi di hampir setiap pojok di Jawa Barat – tidak hanya di daerah-daerah operasi utama
Darul Islam, bahkan sebelah timur laut dan tenggara Jawa Barat, terutama Kabupaten Bandung,
Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, begitu juga di daerah-daerah murni Republik seperti daerah
Banten.
Kartosoewirjo yang memang tidak pernah setuju dengan kedua perjanjian sebelumnya, menolak
juga hasil perundingan Roem-Royen. Di bawah ini dikutipkan uraian Kartosoewirjo sekitar
penilaiannya terhadap persetujuan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar berdasar kajian
konsep bernegara:
,,…. Tiap-tiap kali Revoloesi Nasional hendak menggelora dan hendak menjapoe sampah2
masjarakat, tiap kalinja itoe dihambat, dihalangi dan dirintangi oleh berbagai-bagai randjaoe dan
penghalang, dari pihak Belanda pendjadjah, baik jang ada dalam toeboehnja Pemerintahan
Belanda sendiri maoepoen jang soedah masoek meresap dalam darah daging dan djantoengnja
Pemerintah Repoeblik Indonesia.
Dalam riwajat jang tragis, memiloekan dan menjedihkan itoe, maka berkali-kali ,,bachtera-
Repoeblik” terdampar di atas batoe karang jang amat tjoeram sekali, ,,Berkat” oesaha diplomasi,
jang dilakoekan oleh djago2 alias pemimpin2 Repoeblik…….!!!! Itoelah makanan jang
disadjikan ,,Belanda”, jang berisi ratjoen bagi perdjoeangan kemerdekaan Indonesia.
Istilah2 ,,internasional minded” mendjadi alasan jang maha penting, Hanja banteng Repoeblik
Indonesia ,,marhoem” dan Masjoemi serta keloearganja jang berani terang2an
menjatakan ,,tidak setoedjoe” kepada Naskah Linggardjati itoe, tapi tetap loyal.
Naskah Renville lebih tidak berharga lagi dari pada Naskah Linggardjati, jang memang soedah
sangat merosot nilainja itoe. Baik dipandang dari soedoet politik, maoepoen ditindjaoe dari
djoeroesan militer.
Daerah Repoeblik, jang sedjak Naskah Linggardjati hanja melipoeti Djawa dan Soematera sadja,
maka dengan Naskah Renville lebih merosot lagi sampai batas ,,demarkasi van Mook”.
Loear daripada daerah itoe, meroepakan daerah pendoedoekan, alias persiapan djadjahan.
Taktik dan politik Belanda jang bernatidjahkan Naskah Renville, baik dengan memasoekkan ,,
agen2nja” kedalam toeboeh Repoeblik, maoepoen dengan kekerasan dan keganasannja, jang
meroepakan Aksi Polisionil Pertama, roepanja dianggap sebagai ,,pertjobaan” (steekproef)
oentoek menentoekan sikap dan pendiriannja di masa jang mendatang.
Kedalam digali dengan penjakit, ,,pembangoenan” sedang dari loear diserang dengan poekoelan
jang hebat, ialah Aksi Polisionil kedoea, maka dalam sekedjap mata Pemerintah Repoblik djatoeh
di tangan Belanda. sesudah ditawan, dengan tjara jang haloes, Pemerintah Repoeblik Indonesia
tidak djemoe2nja melagoekan lagi njanjian2nja jang soedah amat tidak aktoeil iteo, ialah:
memboeat roendingan diplomasi. Maka maoe ataupoen tidak maoe, banteng Indonesia jang
gagah perkasa itoe, sebab kalah silatnja dengan singa Belanda terpaksa diikat lehernja dan
kemoedian masoek dalam salah satoe kandang dalam keboen binatang modern, jang
bernamakan: Negara Indonesia Serikat atau Repoeblik Indonesia Serikat”.
Inilah gambaran proses dan natidjah, jang toemboeh daripada Statement Roem-Roijen, jang
dilangsoengkan pada tanggal 7 Mei 1949, djam 17.00 itoe.
Dengan adanja statement Roem-Roijen itoe, maka Roem telah menjelesaikan toegasnja:
Sebagai wakil Masjoemi, wakil Oemmat Islam………soenggoeh amat memaloekan sekali!
Kalau doeloe, zaman Naskah Linggardjati, Masjoemi mati-matian ,,anti Naskah Linggardjati”,
sekarang : Wakil Masjumi dalam Kabinet dan Wakil Oemmat Islam sendiri jang mendapat giliran
terachir: mendjoeal negara sampai habis ledis.
Walau kita Oemmat Islam Bangsa Indonesia, di tanah pendoedoekan sekarang Negara Islam
Indonesia, tidak ikoet bertanggoeng djawab atas perboeatan Roem dalam oeroesan Statement
Reoem-Roijen, namun semoenja itoe perhatikan djoega, dengan ikoet ,,bela soengkawa”.
Soenggoehpoen peristiwa jang tragis itoe amat memiloekan hati ra’iat bangsa kita, teroetama
Oemmat Islam Bangsa Indonesia, namun di balik itoe wadjiblah kita sjoekoer kehadirat Ilahy:
bahwa di balik keroegian jang amat besar itoe, dalam pandangan nasional namun bagi Oemmat
Islam Bangsa Indonesia yaitu semoeanja itoe mendjadi salah satoe sjarat dan sebab akan
toeroennja Koernia Ilahy jang maha besar ialah: Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia.
Tegasnja kini: Repoeblik Indonesia telah kembali kepada deradjat sebeloem proklamasi, ja’ni:
deradjat noel-besar.
Kartosoewirjo juga menentang pendapat, bahwa sesudah pembentukan sebuah negara basis
yang disebut sebagai ”Madinah Indonesia” berakhirlah revolusi Soekarno. Yang belum berakhir
yaitu "revolusi Islam Indonesia" yang sesungguhnya Revolusi masih harus dilanjutkan hingga
negara kurnia Allah, Negara Islam Indonesia didirikan di atas bumi Indonesia.
“Seperti air dengan kopi tidak begitoe sadja laloe mendjadi air kopi, sehingga tiap-tiap anasir air
bersatoe dengan anasir kopi, melainkan airnja dimasak hingga 100 graad Celcius. Maka tidak
loepa moengkin Negara dan Agama, Manoesia dan Agama, dapat bersatoe dalam arti kata jang
seloeas-loeas dan sesempoerna-sempoernanja, melainkan apabila Negara dan Masjarakat serta
segenap anasir jang termasoek di dalamnja dapat dipanaskan sampai kepada tingkatan jang
setinggi-tingginja.
Djadi, oentoek membina dan menggalang Negara Koernia Allah itoe, perloe dan wadjiblah
bergeloranja Revoloesi, lebih-lebih lagi Revoloesi Islam jang akan memasak masjarakat sampai
kepada tingkat mateng jang baik dalam arti kata politis, militer, agama maoepoen dalam arti
kata jang lainnja. Djadi kalau kita menghendaki berdirinja Negara Koernia Allah itoe, djangan
sekali-kali takoet terdjilat oleh api revoloesi. “Tiada baji jang lahir, melainkan disertai tjoerahan
darah!” Inilah satoe-satoenja djalan menoedjoe kepada Mardhotillah doenia dan Mardhotillah
achirat, kelak”.
Selama hampir lima tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa
revolusi fisik (1945-1949). Menyusul kekalahan Jepang dengan tentara-tentara sekutu, Belanda
berusaha kembali menduduki kepulauan Nusantara. Selama periode ini, tidak ada hambatan
penting yang menghalangi hubungan politik antara pemimpin dan aktivitas Islam politik dengan
kelompok nasionalis. Untuk menghadapi revolusi fisik dalam berhadapan dengan Belanda dan
kekuatan sekutu, perdebatan-perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara
Islam dan negara dihentikan sementara. Mereka, paling tidak untuk sementara, rela melupakan
perbedaan-perbedaan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para
pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan kemampuan untuk
mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali
berkuasa.
Meskipun tidak tanpa benturan di sana-sini, kedua kelompok ini mampu mengembangkan
hubungan politik yang relatif harmonis antara mereka. Perjuangan fisik memang wilayah peran
kaum Muslim yang diperlihatkan oleh bergeraknya lasykar-lasykar Hizbullah, Sabilillah dan
lasykar-lasykar lokal lainnya. Namun, kelompok nasionalis tetap memegang kemudi
kepemimpinan. Sementara itu, menyusul diserahkannya kekuasan oleh pihak Belanda kepada
Repulik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan
kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Pembentukan partai Masyumi di
Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam, tampaknya
harus pula dipandang sebagai jawaban atas keperluan umat Islam untuk mempunyai suatu
institusi politik yang mampu memperjuangkan aspirasi politik mereka di panggung nasional.
Kongres umat Islam waktu itu sekaligus menghasilkan kesepakatan bahwa Masyumi merupakan
satu-satunya institusi politik umat Islam. sebab nya, wadah lain, seperti MIAI dan Masyumi
buatan Jepang, tidak lagi diakui sebagai institusi mereka. Pembentukan Masyumi ini didukung
oleh seluruh umat Islam, baik dari kubu tradisionalis maupun modernis.
Pertentang Islam modern dan tradisional ini sesungguhnya sudah memakan waktu yang cukup
lama. Para ulama Syafi'i di Jawa sudah cukup makan garam. Mereka membenci Modernisme
yang mereka samakan dengan Wahhabisme (suatu gerakan pemurnian yang hanya mengakui
kekuasaan mazhab Hanbali); mereka meremehkan Tjokroaminoto, dan mereka merasa akut
bahwa kepentingan-kepentingan keempat mazhab tidak akan dikui di Mekkah dan Kairo seperti
halnya mereka telah banyak dikecam di Indonesia. Oleh sebab itulah, maka pada tahun 1926 Kyai
Haji Hasjim Asjari (1871-1947), pemimpin suatu pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur,
mendirikan Nahdatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama, NU) untuk mempertahankan
kepentingan kaum muslim tradisional. Guru-guru (para kyai) tradisional pedesaan lainnya di Jawa
Timur bergabung dengannya; para pemimpinnya terutama yaitu orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan Hasjim Asjari. NU berkembang di daerah-daerah lain, etapi Jawa
Timur tetap menjadi pusatnya. Organisasi ini mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam
tradisional, pemeliharaan kaum fakir miskin, dan usaha-usaha ekonomi. Pada tahun 1942
organisasi ini mempunyai 120 cabang di Jawa dan Kalimantan Selatan, yang sebagian besar
anggotanya yaitu pedagang.
Dengan Masyumi sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik
jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, seawal 1946, Syahrir (pemimpin Partai Sosialis
Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri dalam beberapa kabinet semasa
revolusi) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu],
maka Masyumi —yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis [seperti
Muhammadiyah, dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan ] dan ortodoks
[seperti NU, dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah
pedesaan]— akan memperoleh 80% suara.”
Dilihat dari komposisi personalia yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi, tampak sekali
bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca kemerdekaan. Kepengurusan
dalam Majelis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy'ari (wakil dari kalangan tradisionalis); sementara
wakil-wakilnya yaitu Wahid Hasyim (anaknya sendiri), Agus salim (PSII), Djamil Djambek (wakil
dari golongan reformis dari Sumatera Barat) dan lain-lainnya. Sedangkan Pengurus Besar
diketuai oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan lalu melibatkan M. Natsir, Muhammad
Roem, dan juga Kartosoewirjo.
Sepanjang menyangkut gagasan terbentuknya negara Islam (Islam sebagai dasar negara dan
ideologi negara), umat Islam telah berjuang bahu membahu meninggalkan perbedaan-
perbedaan paham keagamaan antara mereka, terutama antara kalangan tradisionalis dan
modernis. Sebagaimana telah disebutkan di awal, kerjasama yang tercermin dalam BPUPKI dan
PPKI, lalu dilanjutkan dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta, pada permukaan,
memang memperlihatkan suatu bentuk persatuan umat yang dirindukan. Namun dalam
perkembangannya, baik dalam teori maupun praktek, persatuan itu tidak bertahan lama. Artinya,
benih-benih persatuan, yang mulai mereka rajut kembali, tidak mengesankan adanya bangunan
kokoh persatuan. Alasan perpecahan yang mengancam persatuan umat ini, pada umumnya,
tidak sulit ditemukan. Perpecahan datang sebab mekanisme penjatahan kedudukan atau peran
politik tidak berjalan, dalam pengertian tidak memuaskan masing-masing pihak yang
membentuk fusi dalam Masyumi.Perpecahan yang diawali PSII (1947) dan lalu NU (1952)
merupakan indikasi awal perpecahan persatuan politik internal umat Islam Indonesia.
Akhirnya, pada saat peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang kelima pada
tanggal 17 Agustus 1950 semua struktur konstitusional semasa tahun-tahun Revolusi secara
resmi dihapuskan. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di
dalamnya, serta negara-negara Sumatera Timur serta Indonesia Timur digantikan oleh suatu
Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan (namun bersifat sementara).
Jakarta dipilih sebagai ibu kota negara baru ini.
Namun demikian, adanya faktor lain yang menyebabkan, atau bahkan mempercepat munculnya
perpecahan kemungkinan yaitu sebab faksionalisme tradisionalis-modernis, yang pada
gilirannya membentuk watak keagamaan tertentu pada masing-msing pihak. Secara sederhana,
kalangan tradisionalis, sebab latar belakang pendidikan mereka, dipahami sebagai suatu
kelompok yang buta politik dalam pengertian sangat luas. Artinya, mereka dianggap hanya
mampu berfikir tentang persoalan-persoalan keagamaan murni. Sementara kalangan modernis,
sebab latar belakang pendidikan modern yang mereka terima, dianggap sebagai kalangan yang
hanya sedikit memiliki pengetahuan keislaman, namun mempunyai kemampuan-kemampuan
lebih untuk berbicara tentang persoalan-persoalan politik kenegaraan. Benih-benih perpecahan
sesungguhnya merupakan implikasi alokasi peran yang telah dirancang sebelumnya. Misalnya,
kalangan tradisionalis menduduki kubu Majelis Syuro, yang seringkali hanya bergelut dengan
persoalan-persolan keagamaan murni, sehingga kurang mendapatkan peran politiknya,
sementara kalangan modernis menduduki kubu Pengurus Eksekutif, yang sehari-hari
menjalankan roda kepengurusan Masyumi.
Revolusi politik ini telah selesai, namun masih tetap ada banyak persoalan. Tahun-tahun Revolusi
tampaknya telah memecahkan beberapa masalah. Layak untuk berpendapat bahwa Indonesia
tidak akan menjadi: sebuah negara federal ataupun sebuah negara Islam, atau sebuah negara
Komunis, ataupun terutama sekali suatu jajahan Belanda. Akan namun , tahun-tahun yang akan
datang akan menunjukkan bahwa hal-hal itu tidak sama pastinya dengan yang terlihat pada
tahun 1950. Apalagi, tidaklah jelas implikasi-implikasi apakah yang akan timbul dari kemerdekaan
ini terhadap banyak masalah-masalah sosial, agama, kemasyarakatan, kesukuan,
kebudayaan, dan ekonomi yang masih tetap ada. Masih terdapat masalah-masalah dasar yang
pada masa anti-kolonialisme, perang, dan Revolusi belum pernah dihadapi oleh bangsa Indonesia
sebab tidak adanya waktu atau kesempatan. saat kini mereka mulai menghadapi masalah-
masalah ini , maka menjadi jelas bahwa —di luar kemenangan atas Belanda— akhirnya,
masih banyak permasalahan yang tidak dipecahkan oleh Revolusi.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. saat itu
terjadinya sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Jumhuriyah Indonesia
yang kelak lalu dikenal sebagai Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal
oleh masyarakat sebagai DI/TII, Islam muncul dalam wajah yang tegang. Namun, peristiwa ini
dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah
"pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah
perjuangan suci anti-kezaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan"
bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini
bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan
"pemberontakan" yang muncul sebab sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan
sebab sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Darul Islam yaitu perjuangan umat Islam yang bersifat nasional yang juga meletus di Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh. Perjuangan yang bermuara dari Jawa
Barat ini telah mengubah banyak persepsi bangsa Indonesia tentang peran ideologi yang ada
dalam sebuah perjuangan selama ini. Perjuangan suci Darul Islam di daerah-daerah dipimpin oleh
tokoh lokal yang memiliki motivasi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Banyak studi yang membahas tentang resistensi politik mengalami stagnasi dalam melihat
persoalan. Stagnasi itu umumnya hanya melihat persoalan resistensi politik dari sudut pandang
"struktur agraria" atau patron-client atau "restrukturisasi lembaga negara " atau "kekecewaan
orang-orang bawah". Padahal, jauh di dalamnya, sebuah perjuangan suci sebenamya juga
merupakan suatu ekspresi nilai-nilai, suatu pengungkapan idealisme, pemikiran dan keinginan
mengadakan perubahan berdasar orientasi nilai ini yang dianggap berlawanan secara
norma umum, sehingga ia disebut pemberontakan.
Pemberontakan sendiri, melihat dari cara Harald Holk Dengel mengungkapkan, lebih banyak
bersumber dari nilai-nilai keyakinan yang dipegang oleh para pelakunya. Pemberontakan Darul
Islam sekaligus menunjukkan betapa konflik ideologis para pendiri republik ini berkisar sekitar
dasar negara dan haluan politik negara. Dari semenjak saat organisasi-organisasi nasionalisme
pertama-tama berdiri di Nusantara ini, pemikiran bahwa Indonesia akan merdeka menyelimuti
sebagian besar keyakinan para nasionalis saat itu. Maka jauh-jauh hari mereka sudah
memperdebatkan tentang jika bangsa ini sudah merdeka maka bagaimanakah bentuk kekuasaan
dan tata cara kenegaraannya akan diatur, juga hukum dan pelaksanaa birokrasi negara.
Perdebatan ini begitu alotnya sehingga melibatkan banyak nasionalis ini mengajukan
berbagai nilai sebagai dasar negara ini. Ada yang mengusulkan nilai nativisme budaya daerah
sebagai dasar, juga ada yang mengusulkan demokrasi a la Barat, ada yang menginginkan ideologi
komunisme, juga ada Islam. Masing-masing punya alasan kuat kenapa nilai-nilai ini diajukan
dan masing-masing mengklahll bahwa usulnya sudah merepresentasi mayoritas; keinginan
rakyat Indonesia. Sudah sejak semula para nasionalis Islam mencita-citakan suatu negara Islam.
Cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu berbeda-beda, ada yang dengan jalur konstitusi
seperti Muhammad Natsir dan tokoh-tokoh Partai Masyumi lainnya, juga ada dengan jalan
perjuangan suci seperti yang dilakukan oleh Kartosuwirjo. Ia sangat konsisten dengan konsep
politik hijrah-nya yang berarti memisahkan diri secara pemikiran dan menarik garis demarkasi
pembeda antara Negara Islam dan Negara Bukan Islam.
Wajar jika lalu dia tidak aktif lagi dalam diskusi atau rapat atau sidang partai maupun
organisasi. Dia bersikap nonkooperasi dalam semua hal dan membangun sendiri kekuatannya
tanpa bantuan pihak lain. Bagaimana rumitnya perdebatan itu, ternyata tidak hanya berhenti
sebagai perdebatan semata, namun lebih dari itu berusaha mcngajukan pemikiran tentang
ideologi ini secara fisik yakni dengan cara memberontak.
Pada awal pergerakan kebangkitan nasional Indonesia, kekuatan logika Islam dalam lapangan
politik yaitu sangat besar pengaruhnya dan sangat beragam. Ada yang hanya sebatas memihak,
ada yang juga sebatas setuju belaka bahkan ada yang sangat menentang. Kartosuwirjo yaitu
tokoh yang sangat militan dalam intensitas perjuangan untuk mendirikan negara yang
berdasar ideologi Islam. Meski saat itu perdebatan tentang ideologi Islam belum final, ia
telah menerjemahkan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam bentuk-bentuk praktek birokrasi dan hukum
negara. Mungkin, jika ada yang mempraktekkan nilai-nilai ke-Islaman, dia itu yaitu Kartosuwirjo
dan pejuang mujahidin sejati dalam Darul Islam, sementara umumnya masyarakat hanya
mempraktekkan nilai-nilai ritual ibadah dan secara terbatas (bersifat individu) mempraktekkan
syari-ah Islam.
Buku ini telah melengkapi satu lagi khazanah sejarah bangsa yang selama ini berada dalam kabut
gelap. Penulisan tentang Darul Islam, bukan hanya langka tapi juga usaha ke arah itu bukan suatu
kerja yang mudah. Dia memerlukan melihat ke sejarah di masa lampau Indonesia dengan banyak
perbandingan dan penelusuran data sekunder, baru lalu menyusun plot dan wawancara
serta memahami istilah-istilah lokal serta terma-terma Islam yang rumit.
Banyak kesan bagus pada organisasi dan struktur Darul Islam. namun juga ini yang sulit orang
lain melakukannya, yaitu cara Dengel menukik ke persoalan-persoalan esensial yang
memperlihatkan kehebatan perjuangan suci Darul Islam ini berdasar referensi primer!
Sungguh menarik membaca buku karya Holk Harald Dengel yang judul aslinya yaitu Darul Islam:
Kartosuwirjos Kamf um einen Islamichen Staat Indonesien ini. Buku ini memiliki dua keunggulan
sekaligus, pertama, bahwa buku ini yaitu sebuah tulisan mendalam tentang biografi seseorang
(Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo} dan kedua membahas harakah Darul Islam secara lebih
bersifat ideologis. Sebagai sebuah karya disertasi pada jurusan sejarah Universitas Heidelberg
buku ini sangat padat berisi berhagai data dan informasi baru yang dikorek langsung dari sumber-
sumber utama (primary sources) seperti wawancara dan tulisan-tulisan asli dari subjek target
penelitian.
Untuk memberi gambaran lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat
pada masa pasca revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan dikemukakan di sini.
Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di Indonesia telah mengalami
penyegaran kembali dan giat sesudah masa adem-ayem pada 1949. Dalam Parlemen yang baru
dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai
terbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, sebab adanya banyak partai, organisasi,
dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam
hanya memperoleh 54 kursi (23%). fakta ini meruntuhkan mitos mayoritas Islam dalam
politik. Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan
memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem demokrasi konstitusional
(1950-1957), tiga kabinet dipercayakan kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada
1950-1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956).
Selain itu, saat Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk
pemerintahan, baik Masyumi maupun NU, berperan sebagai pasangan koalisi yang utama.
Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955
menunjukan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti ) menguasai 114
dari 257 kursi (43,5%) dalam parlemen. Walaupun hasil akhir ini jelas jauh di bawah
perkiraan Sjahrir, namun itu telah menggandakan wakil kelompok Islam dalam parlemen.
fakta ini, ditambah dengan tidak adanya kontroversi-kontroversi ideologis yang terbuka,
boleh jadi turut menyebabkan berlangsungnya hubungan politik yang relatif harmonis antara
kedua payung religio-politik besar ini selama tahun-tahun pertama politik Indonesia pasca
revolusi (1950-1953). Kritik terang-terangan terhadap Pancasila oleh para pemimpin dan aktivis
politik Islam jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir menyatakan bahwa —sebab
dimasukkannya prinsip “Percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila— Indonesia tidak
menyingkirkan agama dari masalah-masalah kenegaraan.
Namun bukan sebab itu negara Indonesia dilanda krisis politik, terutama krisis yang direaksikan
oleh Islam. Indonesia saat itu tengah jatuh ke dalam “titik terendah dalam hal kemampuannya
memperoleh kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mendistribusikan sumber-sumber. Ketidak