Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 6
mendatang asing dan penindas dari agama lain.”
Atau seperti yang dinyatakan oleh Fred R. Von der Mehden, “Islam merupakan sarana paling jelas,
baik untuk membangun persatuan nasional maupun membedakan masyarakat Indonesia dari
elite penjajah Belanda. Pulau-pulau yang mencakup Hindia Belanda tidak pernah eksis sebagai
entitas linguistik, kultural atau historis. Wilayah-wilayah terakhir yang jatuh ke tangan kontrol
Belanda tidak pernah tunduk hingga awal abad ke-20. sebab itu, lantaran terdiri dari berbagai
tradisi historis, linguistik, kultural dan bentuk geografis yang berbeda, maka satu-satunya ikatan
universal yang tersedia, di luar kekuasaan kolonial, yaitu Islam.”
Seperti terlihat jelas diatas, semua pembicaraan hasil rapat sidang Panitia pelaksana ini
menjadi sia-sia, di mana Piagam Jakarta sendiri yang disusun oleh Panitia Sembilan termasuk di
dalamnya tokoh-tokoh Islam yang tetap teguh pendiriannya untuk mempertahankan bahwa
perjuangan Islam harus lewat parlemen tidak pernah diberlakukan. Sampai salah satu politikus
dari Masyumi yaitu M Isa Anshari, menamakan keputusan ini sebagai suatu “permainan
sulap” yang masih diliputi kabut rahasia. Yang pada akhirnya Indonesia merdeka sesungguhnya
menjadi negara “sekuler”, yang di dalamnya tidak ada persoalan mengenai kewajiban hukum
bagi umat Muslim menjalankan syariat Islam.
Bagi mereka yang suka bermain angka, ada saja yang menghubung-hubungkan jumlah sembilan
tokoh dalam pembentukan Piagam Jakarta tadi dengan sebuah ayat Alqur-an, bahwa tokoh-
tokoh yang terlibat dalam BPUPKI itu telah keliru membaca situasi dan membawa ummatnya
kejurang yang berbahaya. Ayat yang dimaksudkan, sekali lagi oleh mereka yang suka bermain
angka, sesungguhnya berkenaan dengan ummat Nabi Shaleh yaitu kaum Tsamud yang
maksudnya yaitu : “Dan yaitu di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di
muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan”. Panitia 9, mungkin bukanlah yang
dimaksudkan oleh firman Allah di atas. Tapi melihat fakta , situasi politik, latar belakang, segi
syariahnya serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi generasi muslim di lalu hari, maka
sulit untuk menyangkal jika ada orang mencari-cari relevansi antara kandungan ayat dengan
perilaku politik yang mereka tunjukkan. Mungkin ini suatu kebetulan saja. Wallahu a’lam.
Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan Kartosoewirjo hanya kelihatannya saja bersedia
untuk bekerja sama dengan pihak Jepang. Selama masa itu dia tidak pernah mengeluarkan
pernyataan politik, juga di hadapan rekan-rekannya dalam Djawa Hokokai. Namun dia
memanfaatkan kedudukannya dan memanfaaatkan sarana propaganda yang dibentuk oleh
Jepang guna mencapai tujuannya tanpa sepengetahuan Jepang, seperti yang juga dilakukan
banyak politikus Indonesia lainnya pada masa itu. Terutama Kartosoewirjo tidak pernah
memutuskan hubunganya dengan teman-temannya dari KPK-PSII yang masih tinggal di Jawa
Barat. namun dia tidak pernah mengambil bagian proses pengambilan keputusan di waktu-waktu
sebelum proklamasi. Untuk itu dia tidak mempunyai kesempatan, sebab dia telah menarik diri
dari arena politik nasional sebab sikap “Hidjrahnya” yang benar-benar konsekwen, dan juga
hubungan Kartosuwisrjo dengan hampir semua tokoh organisasi Islam di tingkat nasional waktu
itu sudah tidak akrab lagi. Pendapatnya tentang situasi selama masa pendudukan Jepang baru
dinyatakan setahun lalu dalam sebuah brosur di mana dia menulis sebagai berikut:
“Pada zaman pendoedoekan Jepang, maka keadaannya lebih menjedihkan daripada zaman Belanda.
Semoeanja pergerakan politik dengan tiada ketjoealinja disapoe bersih sampai ke akar-akarnja, atau
diboenoeh mati. Hak politik beoat ra’iat noel, tidak barang sedikitpoen diberikan”.
Dan lalu dia melanjutkan:
“Waktoe itoe praktis tiada hak politik bagi ra’iat Indonesia, melainkan semoea djedjak dan langkah
haroes dilahirkan kepada Tokio, ialah peosat persembahan manoesia berhala, jang bernamakan
Tenno Heika, dan kiblatnja semoea djepangisme dan kemoesjrikan ala Djepang.”
Seterusnya tentang organisasi Islam ciptaan Jepang serta peranannya pada waktu itu,
Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:
“Masjumi dan lalu MIAI, kedua-duanja buatan Jepang, dengan perantaraan agen-agennja,
kijai-kiaji a la Tokio, merupakan lembaga dan medan pertempuran. Oleh fihak Islam muda, fihak
revolusioner dan progressif, lembaga ini dipakai untuk menjusun dan mengatur “gerakan di bawah
tanah”, seperti juga jang dilakukan oleh kawan-kawan seperdjuangan lainnja di Hokokai dan lain-
lain badan kebaktian, buatan saudara tua itu. Benih-benih subversif di masa sangkar mas Jepang,
jang sesungguhnja kamp konsentrasi, di masa nanti, mendjadi pendorong dan daja kekuatan jang
hebat.”
Dan tentang Soekarno, Kartosoewirjo menggambarkannya bahwa pada saat itu Soekarno
menjadi agen nomor satu Jepang:
“Ibu pertiwi diselaraskan dengan Dewi Ameterasu, animisme Djawa (kedjawen) ditjampur dengan
Sintoisme, marhaenisme disesuaikan dengan tjita-tjita kema’muran Asia Timur Raja dan dengan
alat-alat itu atas perintah tuannja, ia siap memperdjepangkan diri dan kawan-kawannja dan
lalu UIBI (Umat Islam Bangsa Indonesia) pun menjadi sasarannja jang istimewa.”
Pada bulan Agustus itu Kartosoewirjo berada di Jakarta, dan dia juga mengetahui kekalahan
Jepang dari sekutu bahkan dia mempunyai rencana kinilah saatnya rakyat Indonesia khususnya
umat Islam merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah
memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. namun proklamasinya ditarik
kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk
sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum Nasionalis sekulerlah
yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip
kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara
sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya
104
pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum Nasionalis sekuler. sebab kaum nasionalis
sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk
selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Pada bulan oktober 1945 Kartosoewirjo beserta anggota-anggota Masjumi yang lain di antaranya
Wahid Hasyim dan Moh. Natsir mengadakan pembicaraan tentang akan menjadikan Masjumi
sebagai partai politik. Namun tidak ada sepakat dalam pertemuan ini , maka pada tanggal
7-11-1945 di Yogyakarta partai Masjumi didirikan dengan memakai nama yang lama, dan partai
Masjumi sekarang ini dijadikan sebagai wahana organisasi bagi semua kelompok Islam. Masjumi
dimaksudkan agar menjadi partai politik kesatuan bagi semua Muslim, tanpa membedakan latar
belakang agama, sosial pendidikan, dan ekonomi. Dalam organisasi ini Kartosoewirjo menduduki
jabatan sebagai sekretaris pertama. Pada kongres itu banyak keputusan yang dapat diperoleh di
antaranya ditetapkan bahwa di samping Hizbullah, yaitu sebuah laskar Islam (di mana anggota
masih muda) yang masih tetap berdiri, dibentuk lagi sebuah laskar yang dinamakan Sabilillah
(yang anggotanya terdiri dari generasi lebih tua). Keputusan yang lainnya yaitu , bahwa umat
Islam harus dipersiapkan untuk menjalankan Jihad. Dalam programnya, Masjumi merumuskan
tujuannya, yaitu untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berdasar ajaran agama Islam.
sesudah dibentuknya partai Masyumi ini banyak sekali didirikan kantor-kantor cabang partai,
mulai dari tingkat provinsi sampai ke bawah yaitu tingkat desa. sebab itu pula Kartosoewirjo
mengadakan perjalanan ke Jawa Barat untuk mempersiapkan pendirian kantor pusat Masyumi
Daerah Priangan.
105
Bab Lima
Basis Politik Pemikiran Islamic Nation-State Kartosoewirjo
Pada bulan Juni 1946, di Garut diadakan konferensi Masyumi Daerah Priangan dimana akan dipilih
pengurus yang baru. Kartosoewirjo menunjuk K.H. Moechtar sebagai ketua umum dan dia
sendiri menjadi wakil ketua. Sanusi Partawidjaja menjadi sekretaris badan pengurus, Isa Anshari
dan K.H. Toha memimpin bidang informasi, sementara kepada Kamran diserahkan pimpinan
Sabilillah. Pada konferensi ini Kartosoewirjo mengucapkan sebuah pidato tentang haluan
politik Islam tentang pertanyaan siapa yang akan berkuasa di Indonesia. Masih juga ia
menganjurkan persatuan dalam cita-cita perjuangan, ia memperingatkan para pendengarnya
sekaligus pendukungnya bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia hanyalah akan
menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaan-perbedaan ideologi.
Segera sesudah tercapai kemerdekaan penuh, perbedaan-perbedaan ini dapat dicari
penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan rakyat. Bunyi pidatonya sebagai
berikut:
“Dan oleh sebab Repoeblik Indonesia berdasar koedaoelatan Ra’iat, maka seoara ra’iat jang
terbanjak itoelah jang akan memegang kekoeasaan negara. Djika kommoenisme jang diikuti oleh
sebagian besar daripada ra’iat, maka pemerintah Negara akan mengikoeti haloean politik,
sepandjang adjaran kommoenis. Dan bila sosialisme atau nasionalismelah jang “menang soeara”,
maka sosialisme atau nasionalismelah yang menentoekan haloean politik negara. Demikian poela,
djika Islam jang mendapat koernia Toehan “menang dalam perdjoeangan politik” itoe, maka Islam
poelalah jang akan memegang tampoek Pemerintah Negara. Sehingga pada waktoe itoe
terbangoenlah doenia Islam atau Dar-oel-Islam, jang tidak menjimpang seramboet dibelah toejoeh
sekalipoen daripada adjaran-adjaran Kitabuoellah dan Soennahtoen-Nabi Moehammad Çlm.
Namun yang sangat menonjol sekali saat itu, bahwa yang sedang melangsungkan pertarungan
politiknya yaitu antara Nasionalisme sekuler dengan Komunisme. Adapun keterlibatan
kalangan politisi Islam dalam percaturan politik ini , mereka hanyalah sebagai kambing
hitam saja untuk menggolkan usaha-usaha mereka berdua yang sedang terlibat pertarungan.
Untuk lebih mempersiapkan perjuangan di Suffah tetap dilatih kemiliteran oleh Ateng Djaelani
seorang perwira PETA, sebab dalam perhitungan Kartosoewirjo akan terjadi perjuangan senjata.
Dan untuk mencapai koordinasi yang lebih baik dari lasykar-lasykar ini , maka pada tanggal
15 September 1946 didirikan di Bandung Markas Daerah Pertahanan Priangan (MDPP). Yang
menjadi anggotanya yaitu lasykar Hizbullah di bawah pimpinan Zainal Abidin, Kadar Solihat,
dan Kamran. Juga lasykar dari Sabilillah di bawah pimpinan kalangan politikus Masjumi di
106
antaranya Isa Anshari, Ajengan Toha, Kiai Jusuf Taudjiri, yang dulu bersama-sama dengan
Kartosoewirjo mendirikan KPK-PSII.
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, Kartosoewirjo ditunjuk sebagai salah seorang
dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti
sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang ini membahas apakah
Persetujuan Linggarjati yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada
bulan November 1946 akan disetujui atau tidak. Kepergian Kartosoewirjo disertai para pejuang
Hizbullah dari Jawa Barat, sebab dalam rapat ini kemungkinan ada dua kubu yang
bertarung antara laskar sayap kiri (diwakili melalui partai Persindo), mereka ingin menyetujui
hasil perundingan dengan laskar Hizbullah (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI) yang hampir
semua wakilnya tidak menyetujui hasil perundingan. Kartosoewirjo sendiri termasuk para
politikus Masyumi yang menolak persetujuan Linggarjati ini tanpa kompromi. sebab
memang jelas sekali bahwa dengan diadakannya perundingan Linggarjati itu sangat
menguntungkan pihak Belanda dalam usaha-usahanya menancapkan kuku penjajahannya
kembali. saat anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo,
Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak
menembaki satuan-satuan Pesindo. Terlihat sekali bahwa perjuangan politik umat Islam berada
di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan sosialisme.
Terbukti saat Amir Syarifudin menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dia berprogram
mengharuskan setiap laki-laki yang berusia 15 tahun ke atas untuk masuk kedalam Inspektorat
Perjuangan yang dikordinir oleh orang komunis, namun usaha yang dilakukannya ditentang oleh
R. Oni selaku ketua Sabilillah yang dilantik pada bulan April 1947 dengan alasan bahwa usaha-
usaha yang dilakukan oleh Amir Syarifudin ini untuk membuat umat Islam menjadi Sosialis,
dan alasan yang lain bahwa semua tentara Republik yaitu anggota sayap kiri. Maka
kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima masuk TNI sangat tipis sebab kekhawatiran lain
bahwa TNI hanya akan mengambil senjatanya saja dari kedua laskar ini dan selanjutnya
mereka segera dipulangkan ke tempat masing-masing.
Pada tanggal 21 Juni 1947, Belanda dengan karakter Yahudinya melanggar persetujuan
Linggarjati yang mengakui pemerintah RI di Jawa, Madura dan Sumatera secara de facto.
Belanda memang tidak akan pernah bermaksud untuk mematuhi perjanjian itu, mereka
menjadikannya hanya sebagai upaya untuk mengulur waktu guna dapat memperkuat kontingen
pasukannya. saat pasukan ini dirasa telah kuat mereka menyerang kembali daerah-
daerah vital yang menjadi sarana perhubungan.
107
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan
putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dia terpaksa dan bercampur malu mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, sebab sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan
Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda, sesudah terjadinya
agresi militer I Belanda pada bulan Juli. Yang menggantikan kedudukan sesudah pengunduran
dirinya yaitu Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam
kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam
Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam
kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Namun apa jawaban Kartosoewirjo?
Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifudin, dia
menolak kursi menteri sebab “ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada
Masyumi”. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata sebab loyalitasnya kepada
Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang
politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Bangsa
Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda, di
samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin yang kekiri-kirian. Kalau
dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik Nasional
dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat, bahwa
Amir Syarifudin membawa arah politik Indonesia kepada arah Komunisme.
sebab semua perhubungan lalulintas putus dan jembatan melalui sungai Serayu dibom dan
dirusak oleh Belanda, Kartosoewirjo kini tidak dapat kembali ke Yogyakarta. Atas persetujuan
pimpinan partai dia diangkat menjadi wakil Pengurus Besar Masjumi untuk Jawa Barat. Dalam
jabatannya yang terakhir ini dia mulai menyusun kembali pasukan mujahidin Islam di daerah Jawa
Barat. Reorganisasi perjuangan gerilya dirasakan perlu mengingat keadaan, dalam tiga minggu
sesudah Belanda melancarkan aksi militer besarnya, apa yang disebut politionele actie (aksi
polisionil) pertama, Belanda menduduki kota-kota utama di Priangan seperti Garut, Tasikmalaya
dan Ciamis. Sementara para pemimpin seperti Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya yang
senantiasa setia menjaga necisnya pakaian dari kotoran dan debu perjuangan begitu liciknya
mempengaruhi rakyat dengan kata-kata dan diplomasinya yang kosong dan menipu.
Pada tanggal 6 Agustus bom atom pertama dijatuhkan Amerika di Hiroshima sebagai balasan
atas serangan Jepang terhadap pangkalan Pearl Harbour. Bom atom biadab hasil temuan
ilmuwan hebat dan sebagai tanda kemajuan manusia dalam merusak alam ini menewaskan
sedikitnya 78.000 orang Jepang tak berdosa. Mereka dibunuh tanpa memperhitungkan nilai
kemanusiaan sedikitpun, layaknya seperti orang membakar sampah saja. fakta ini
memperlihatkan betapa peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan.
Kartosoewirjo mengetahui perkembangan ini dan segera menyusun rencana-rencana dan
tahapan-tahapan menuju kepada sebuah "wajib suci". Namun, para elit "thoghut" yang
kebanyakan yaitu kaum nasionalis sekuler juga mulai membentuk barisan dan berancang-
ancang. Hal ini dapat kita lihat pada sehari sesudah jatuhnya bom di Hiroshima, keanggotaan
sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, dan berita-berita
mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Koran pun lebih bersuka-cita memberi
kejadian-kejadian di perkotaan ketimbang apa yang sesungguhnya sedang bergolak di pedesaan,
di dalam dada-dada orang-orang kampung dan dusun terpencil. PPKI lebih dilihat sebagai sosok
sinar harapan masa depan, dan bangsa Indonesia tidak pernah tahu bahwa lembaga ini
beranggotakan wakil-wakil dari Jawa maupun dari daerah-daerah luar Jawa, didominasi oleh
generasi tua, dan dijadwalkan mengadakan pertemuan pada tanggal 19 Agustus yang akan
memutuskan satu persoalan yang akan menjadi overwhelming force terhadap orang-orang
kampung dan pedusunan. Wakil-wakil Jawa menjadi kekuatan penentang paling hebat dari ide
Negara Islam Kartosoewirjo sebab mereka memiliki the idea of power dalam kultur mereka
sendiri yang sudah sangat mapan. Pada tanggal 7 Agustus beberapa anggota kepanitiaan PPKI
dari pihak Jepang "mengambil keputusan-keputusan yang riil" untuk mengadakan pertemuan.
Bangsa ini memang dibangun oleh serangkaian perjanjian-perjanjian, pertemuan-pertemuan dan
perundingan-perundingan. Semua itu tidak satu pun yang ditepatinya, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi pihak lain. Tekanan terhadap Jepang juga diberikan oleh Uni Soviet yang
mengumumkan perang terhadap Jepang pada tanggal 8 Agustus 1945. Pada hari berikutnya, 9
Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang telah meluluh-lantakkan semangat
bushido tentara Jepang di Indonesia. Tidak sedikit di antara mereka yang mengadakan hara-kiri
atas kekalahan ini. Di samping itu, negara komunis Uni Soviet memanfaatkan kelemahan Jepang
dengan cara menyerbu Manchuria. Suatu tindakan tidak fair dalam etika perang semesta. Jika
lawan lemah, bukanlah saat yang tepat untuk menyatakan diri sebagai pemenang.
Pada hari sesudah itu, sebab tampak tak terhindarkan lagi bahwa pihak Jepang akan menyerah
secara definitif terhadap Amerika, maka Soekarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon untuk
menemui Panglima Wilayah Asia Tenggara, Terauchi, pada tanggal 11 Agustus 1945. Kepada
mereka Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, namun
memveto penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Soekarno, Hatta
dan Radjiman sesungguh sangat yakin bahwa kemerdekaan Indonesia hanya mungkin didapat
lewat serangkaian kompromi dan perundingan-perundingan seperti ini. Padahal bentuk
kerjasama apapun dengan Jepang tidak akan membawa penyelesaian yang meyeluruh pada
nasib bangsa Indonesia, bahkan dengan kerjasama ini telah membawa malapetaka.
Mereka yaitu pahlawan yang takut perang, tapi begitu perang usai, mereka naik ke atas
mengibar-ngibarkan bendera dan mulai berpidato. Maka, wajarlah jika lalu Soekarno
ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan ini dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal
14 Agustus Sukarno dan rekan-rekannya tiba kembali di Jakarta.
Pada tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat, dan dengan demikian menghadapkan
para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. sebab pihak Sekutu tidak
menaklukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik: pihak Jepang masih
tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak kehadiran pasukan Sekutu yang akan
menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang yang
tertib kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya gunseikan telah mendapat perintah-
perintah khusus supaya mempertahankan keadaan politik yang ada sampai kedatangan pasukan-
pasukan Sekutu. Sukarno, Hatta, dan generasi tua ragu-ragu untuk berbuat suatu dan takut
memancing konflik dengan pihak Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara
cepat kepada generasi tua, sebab merasa khawatir terhadap kelompok-kelompok pemuda yang
dianggapnya berbahaya maupun pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para
pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar
kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir yang
yang anti Jepang. Akan namun , tak seorang pun berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta.
Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo
telah lebih dulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam saat kedatangannya pada awal
bulan Agustus sesudah mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak
dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang
pasukan Lasykar Hizbullah dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum
nasionalis memperbincangkan peluang yang mesti diambil untuk mengakhiri dan sekaligus
mengubah determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16
Agustus pagi Hatta dan Sukarno tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry
berikut ini perlu diajukan: Mengapa Soekarno dan Hatta meski menghindar begitu jauh ke
Rengas Dengklok padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan
Indonesia? Mengapa saat Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam
Jakarta? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia....? Bukankah
ini sesungguhnya yaitu rancangan proklamasi yang sudah dipersiapkan oleh Kartosoewirjo
pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada mereka? Pada malam harinya mereka telah dibawa
oleh para pemimpin pemuda ke garnisun Peta di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang
terletak ke utara dari jalan raya ke Cirebon, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus
suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun,
sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha
memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang; tujuan ini
mereka tolak. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia
dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan.
Pada malam itu Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan
kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis muda menginginkan bahasa yang
dramatis dan berapi-api, namun untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau
mendorong terjadinya kekerasan maka disetujuilah suatu pernyataan yang tenang dan bersahaja
yang dirancang oleh Sukarno.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di pagi hari jam 10.00 Sukarno membacakan pernyataan
kemerdekaan ini di hadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya di luar
rumahnya sendiri:
Proklamasi:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan, dll., diselengarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17-8-1945
Atas nama bangsa Indonesia,
(tertanda) Sukarno Hatta
Bendera merah-putih dikibarkan dan berkumandanglah lagu 'Indonesia Raya'.
Republik Indonesia telah lahir. Sementara itu, Sekutu sebagai pihak yang menang, yang hampir
sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama berlangsungnya perang,
dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka untuk menerima penyerahan pihak
Jepang dan memulihkan kembali rezim kolonial. Akan namun , zaman Jepang telah menciptakan
kondisi yang begitu kacau, telah begitu mempolitisasikan rakyat, dan telah begitu mendorong
para pemimpin dari generasi tua maupun muda untuk mengambil prakarsa, sehingga pihak
Sekutu akan menghadap suatu perang kemerdekaan revolusioner.
Sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang
Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai
pihak Republik dapat ditaklukan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah
Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang
ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang
sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang
tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakbitkan perang. Oleh
sebab itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari
Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisional'
mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah
menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari
Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya
untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil
mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan
perairan-dalam di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-
instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Menghadapi
aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan
hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, sesudah melihat
keberhasilan dalam aksi ini memicu keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali, dari
beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan
membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, namun pihak Amerika dan Inggris
yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' ini serta menggiring Belanda
untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Maka pada bulan Januari 1948 atas prakarsa pihak sekutu diadakanlah satu persetujuan bersama
antara pemerintah Republik dengan Belanda di atas kapal Amerika USS Renville di pelabuhan
Jakarta. Dimana persetujuan ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut
sebagai 'garis van Mook'. Walaupun persetujuan ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak
Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang dilakukan oleh pihak Republik dengan
mengikuti perundingan itu memperlihatkan tidak mampunya pemerintah dalam mengadakan
perundingan untuk tetap mempertahankan makna kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh
rakyat Indonesia sehingga menyebabkan mereka memenangkan kemauan pihak Belanda yang
sangat menentukan.
Dari adanya 'aksi polisional' pertama dengan hasil diadakannya persetujuan Renville
menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh Anggota yang tergabung dalam
kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan saat persetujuan
Renville ditandatangani, disusul lalu Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana
Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinnya ini dia mungkin
mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan
posisinya. Harapan itu menjadi buyar saat Sukarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk
Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-9), dimana seluruh
pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Sukarno sebagai Presiden. Dengan terpilihnya Hatta,
dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah,
terutama terdiri dari orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Dan
langkah Amir dan Sayap Kirinya kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai
oposisi membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-
pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada
bulan Februari 1948, dan sekaligus memberi dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Pada bulan Februari 1948 koalisi Sayap Kiri Golongan kiri di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin
yang berada di luar pemerintahan Republik kini memulai suatu usaha baru dengan memicu
bencana untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Dengan merubah nama baru menjadi Front
Demokrasi Rakyat (FDR) mencela persetujuan Renville yang sebetulnya dulu dirundingkan pada
masa pemerintahannya. Usaha yang dilakukan oleh Front ini ialah dengan membentuk
organisasi-organisasi petani dan buruh, namun usaha itu hanya mencapai sedikit keberhasilan.
Untuk lebih mempertegas aksinya pada bulan Mei 1948 dimulailah suatu pemogokan pada
sebuah pabrik tekstil milik negara di Delanggu (Jawa Tengah) yang dibarengi juga dengan aksi
kekerasan. Kalau dikaji tindak kekerasan yang mengikutinya tampak jelas bahwa basis Front
ini di wilayah pedesaan lebih merupakan soal identitas kemasyarakatan daripada masalah
kelas sosial atau ideologi. Hal itu bisa terlihat pada buruh abangan yang mendukung Front itu
mendapat serangan dari para santri pengikut Masyumi yang didukung oleh satuan-satuan
Hizbullah. Sehingga aksi pemogokan ini pada bulan Juli berhasil diakhiri dengan syarat-
syarat yang menguntungkan pihak yang melakukan pemogokan, namun kini terbukti bahwa
siasat-siasat politik pusat sudah terlibat dalam ketegangan-ketegangan kemasyarakatan di desa-
desa Jawa.
Sementara itu Belanda pada akhir bulan Agustus meluruskan garis depannya dengan apa yang
disebut sebagai garis demarkasi “van Mook” yang telah merebut semua pelabuhan penting di
Jawa serta daerah-daerah sumber hasil bumi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu mereka
masih mengadakan suatu blokade ekonomi terhadap Republik yang wilayahnya di Jawa hanya
tinggal kira-kira sepertiga luas pulau ini . Pasukan-pasukan Republik mengundurkan diri ke
luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis van Mook.
Pihak tentara membunuh Amir Sjarifuddin dan lebih dari lima puluh orang beraliran kiri yang ada
di penjara saat mereka bergerak mundur dari Yogyakarta pada tangal 19/20 Desember malam
daripada mengambil risiko bahwa mereka akan dibebaskan oleh Belanda. Sampai akhir bulan
Desember semua kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan Belanda. Satu-satunya
wilayah besar yang tetap di bawah kekuasaan Republik yaitu Aceh, di mana Daud Beureu'eh
memegang pimpinan. Belanda masih merasa akan lebih bijaksana jika tidak mengutak-atik Aceh.
Situasi yang kacau pada saat itu yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda membuat
Kartosoewirjo lebih memfokuskan perjuangannya. Dalam suatu rapat Masjumi di Garut, yang
dipimpin oleh Kartosoewirjo sendiri dan di mana semua organisasi yang bergabung dalam
Masjumi harus mengirimkan wakilnya, diputuskan, bahwa Masjumi tjabang Garut diganti
namanya menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI). Anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga DPOI sama seperti anggaran dasar Masjumi, hanya ditambahkan sebuah pasal baru yang
berhubungan dengan pertahanan melawan tentara Belanda. Sebelum pembentukan DPOI di
Garut, juga sudah dibentuk 2 Madjlis Pertahanan Oemmat Islam (MPOI) di Tasikmalaya dan di
Ciamis. Untuk masalah pertahanan Sabilillah di bawah pimpinan R. Oni ditempatkan di bawah
komando MPOI dan DPOI.
Dengan ditanda-tanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda.
Dimana pada perjanjian ini berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis
demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas
Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik yaitu bahwa tempat-tempat penting yang
strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Belanda harus
dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. sebab persetujuan ini
Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat ialah Divisi Siliwangi mematuhi ketentuan-
ketentuannya. Hal yang berbeda dengan pasukan gerilya Hizbullah dan Sabilillah bagian yang
cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Di antara
satuan-satuan Hizbullah yang tetap tinggal, terdapat mereka yang dipimpin oleh Zainal Abidin di
daerah Baluburlimbangan dan oleh Ateng Ku Jaelani Setiawan yang beroperasi sekitar
Cicalengka, serta di daerah Cirebon di bawah pimpinan Agus Abdullah Sukunsari. Satuan-satuan
Sabilillah yang tetap tinggal berada di bawah komando Enokh di daerah Wanaraja dan Garut, dan
oleh Oni di daerah sekitar Gunung Cupu, sebelah Utara Tasikmalaya, dan satu batalyon lengkap
untuk bergerilya di daerah Bandung Selatan, yaitu batalyon 22 Jaya Pangrengot di bawah
pimpinan Soegih Arto.
Gerakan Siliwangi ke Jawa Tengah memicu akibat-akibat di wilayah itu yang sangat penting
artinya bagi pencapaian terakhir kemerdekaan. Nasution dan para pengikutnya, yang sebagian
besar yaitu orang Sunda, membentuk suatu pasukan yang setia kepada pemerintahan Hatta
dan segera timbul pertentangan dengan satuan-satuan setempat, yang beranggotakan orang-
orang Jawa, yang cenderung kepada pimpinan Soedirman atau Front Demokrasi Rakyat di
bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Pemerintah Hatta ingin mengurangi jumlah anggota angkatan
bersenjata yang sangat besar, secara kasar diperkirakan sebesar 350.000 tentara reguler dan
470.000 tentara tidak reguler, yang menjadi tanggung jawabnya. Nasution pun lebih menyukai
suatu angkatan bersenjata yang jumlah anggotanya lebih sedikit namun memiliki standar-standar
profesionalisme yang lebih tinggi. Tentu saja pihak yang akan kalah dalam rencana rasionalisasi
seperti itu tak terelakkan lagi pasti akan menjadi pejuang-pejuang yang mendukung lawan-lawan
pemerintahan. Dengan terpecah-pecahnya pihak militer menjadi kelompok-kelompok sebagai
akibat diajukannya usaha-usaha rasionalisasi ini , maka mulai timbul penculikan-penculikan,
pembunuhan-pembunuhan, dan bentrokan-bentrokan senjata di wilayah Yogyakarta - Surabaya.
Pada akhir bulan Agustus 1948 tampaknya ada kemungkinan terjadinya lagi perang saudara. Kini
berlangsung suasana panas yang merupakan campuran dari siasat-siasat politik kaum elite,
politik pihak militer, dan ketegangan-ketegangan kemasyarakatan di Jawa Tengah, sementara
pasukan-pasukan Belanda telah mengambil posisi di barat, utara, dan timur Republik. Wilayah ini
Timur Indonesia ini menjadi penting sebab wilayah Maluku yaitu suatu wilayah di mana Islam
sudah lama ada.
Adapun reaksi Kartosoewirjo dengan adanya perjanjian Renville itu membuat suatu pernyataan
bahwa “Amir Sjarifoedin la’natoellah” dituduh telah berbuat khianat dan menjual Jawa Barat
kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik “soepaya Oemat Islam
khoesoesnja dan rakjat Djawa Barat semoeanja tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap
Belanda”.
Segera sesudah persetujuan Renville, pada tanggal 30 Januari 1948 R. Oni berangkat ke
Peuteuynunggal dekat Garut untuk berunding dengan Kartosoewirjo tentang masalah situasi
politik dan militer dewasa itu. Keduanya sepakat, bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap
berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan
Belanda dan “anggota-anggota Sabilillah dan Hizbullah yang turut mengundurkan diri harus
dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa”. Keputusan lain yang sangat penting
bahwa akan diadakan konferensi pada tanggal 10-11 Februari 1948 di desa Pangwedusan Distrik
Cisayong, di mana harus hadir semua pemimpin Islam daerah Priangan.
Maka pada tanggal 10 Januari 1948, telah berkumpul 160 wakil-wakil organisasi Islam di
Pangwedusan untuk mengadakan sebuah konferensi yang akan berlangsung dua hari. Di antara
mereka hadir Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai Ketua
Masjumi Daerah Priangan, Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah Daerah Priangan, Dahlan
Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji’ah sebagai ketua Poetri GPII dan Abdullah Ridwan
sebagai ketua Hizbullah untuk Priangan. Sebagai ketua Masjumi cabang Garut hadir Saefullah,
begitu juga 4 ketua DPOI yang lain. Dari Bandung dan Sumedang hadir juga masing-masing dua
utusan dari cabang DPOI di sana, selain itu hadir juga dari Tasikmalaya dan Ciamis 3 orang
anggota MPOI.
Dalam konferensi ini Kamran menuntut supaya pemerintah RI membatalkan perjanjian Renville
dan “kalau pemerintah RI tidak sanggoep membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini
kita boebarkan dan membentoek lagi pemerintahan baroe dengan tjorak baroe. Di Eropa doea
aliran sedang berdjoeang dan besar kemoengkinan akan terjadi perang doenia III, ja’ni aliran
Roesia lawan Amerika”. Kamran selanjutnya menerangkan “Kalau kita di sini mengikoeti Roesia,
kita akan digempoer Amerika, begitoe joega sebaliknja. Dari itoe, kita haroes mendirikan negara
baroe, ja’ni negara Islam. Timboelnja Negara Islam ini, jang akan menjelamatkan Negara”. Untuk
itu menurut Kamran harus diadakan persiapan, antara lain harus dapat dikuasai satu daerah
tertentu yang dapat dipertahankan sungguh-sungguh. Dahlan Lukman menerangkan, bahwa
persatuan di masa lampau merupakan “persatuan ayam dan musang”, dan kini ummat Islam
memerlukan pimpinan yang baru dan kuat, yaitu seorang Imam. Pimpinan ini harus meliputi
seluruh Jawa Barat. Selanjutnya dia mengusulkan supaya Masjumi dan seorang organisasinya
harus menghentikan kegiatannya.
Affan Ridhwan dari GPII mengusulkan supaya pemerintah di Yogyakarta didesak agar Jawa Barat
diserahkan kepada ummat Islam. Dan dia usulkan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta
“soepaja Soekarno ditoereonkan, baik sandiwara atau tidak kalau perloe “Coup d’etat.
Menanggapi hal ini Kartosoewirjo menjawab sebagai berikut, Jawa Barat bukanlah
Shanghai, bukan negara internasional, dan kudeta hanya didjalankan oleh golongan ilegal,
sedangkan Masjumi yaitu sebuah partai yang legal. Sebuah negara berdiri hanyalah sebagai
sarana tempat berkumpulnya komunitas manusia dalam pencarian identitas dan kebanggaan
yang semu, di dalamnya juga terjadi fragmentasi berbagai manusia dengan segala simbol, atribut,
dan karakter. Maka tidaklah salah jika dikaitkan dengan hal ini meminjam istilah Clifford Geertz
menggambarkannya sebagai "Theatre State".
Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi di Cisayong yaitu membekukan Masjumi
di Jawa Barat dan semua cabangnya dan “membentuk pemerintah daerah dasar di Jawa Barat
yang harus dita’ati oleh seluruh umat Islam di daerah ini ”, serta mendirikan Tentara Islam
Indonesia (TII). Dalam pemerintah dasar Jawa Barat yang diusulkan ini – Majelis Islam atau
kadang-kadang disebut juga Majelis Umat Islam – organisasi-organisasi Islam yang ada harus
bergabung. Ini akan menggantikan kedua Majelis Islam yang telah ada, yang didirikan di Garut
dan Tasikmalaya pada tahun sebelumnya, yang sedikit banyak dibentuk atas garis yang sama.
Ketua Majelis Islam ini yaitu Kartosoewirjo sendiri yang juga bertanggung jawab dalam masalah
pertahanan. Sebagai sekretaris diangkat Supradja, dan sebagai bendahara Sanusi Partawidjaja,
sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing-masing dikepalai Toha Arsjad dan Abdul
Kudus Gozali Tusi.
Beberapa hari sesudah konferensi Cisayong, tepatnya pada pertengahan bulan Februari 1948
dilangsungkan suatu pertemuan lain dengan tujuan memberi bentuk yang kongkret kepada
Tentara Islam Indonesia. Tidak hanya dibentuk Tentara Islam Indonesia yang sebenarnya, namun
juga sejumlah korps khusus seperti Baris (Barisan Rakyat Islam) dan PADI (Pahlawan Darul Islam).
Juga dibentuk Pasukan-pasukan Gestapu. Markas besarnya didirikan di Gunung Cupu, pangkalan
pasukan Sabilillah yang dipimpin oleh R. Oni. Sedang R. Oni sendiri diangkat menjadi komandan
daerah Tentara Islam Indonesia untuk Priangan. Dia juga menjadi komandan PADI, demikian pula
menjadi kepala pasukan polisi rahasia Mahdiyin yang berarti terpimpin secara benar. Juga
dibentuk korps polisi biasa. Mulanya badan ini disebut Badan Keamanan Negara, namun namanya
diubah menjadi Polisi Islam Indonesia.
sesudah terbentuknya T.I.I.,--terbentuknya atas bantuan rakyat yang secara suka rela mendukung
adanya aksi ini,-- sekarang T.I.I. telah memiliki kurang lebih 60 senjata ringan. Bahkan kondisi
semakin lebih baik saat dukungan diberikan oleh kesatuan di bawah pimpinan Zainal Abidin,
Adah Djaelani Tirtapraja, Agus Abdullah, Danu Muhammad Hasan dan kelompok-kelompok kecil
lainnya yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.
Kini R. Oni menempatkan batalyon-batalyon resimennya di lereng Gunung Cupu di daerah
Gunung Mandaladatar, di antaranya untuk Batalyon I dikuasakan kepada S. Otong dari Bandung,
Batalyon II dikuasakan kepada Zainal Abidin, Batalyon III dikuasakan kepada Adah Djaelani dari
Singaparna. Seminggu sesudah konferensi terjadilah pertempuran yang pertama dengan pasukan
Belanda. Adapun Awal mula terjadinya peristiwa ini saat sehari sebelumnya R. Oni
mengintruksikan kepada Moh. Ta’at salah seorang pasukan TII untuk patroli ke Lapangan
terbang untuk mengintai pasukan Belanda, namun tidak didapatinya pasukan Belanda.
lalu pada tanggal 17 Februari 1948 satu regu pasukan TII sedang berpatroli di daerah
Cirahung bertemu dengan pasukan Belanda yang sedang berjalan melewati daerah ini ,
maka tak dapat dihindarkan lagi terjadilah pertempuran. Yang kelak peristiwa ini diabadikan
sebagai “Hari Angkatan Senjata”. Kejadian ini memang mempunyai arti politis besar bagi
perjuangan, sebab rakyat terutama para mujahidin Darul Islam memaklumi bahwa tujuan
mereka yaitu terutama untuk melawan tentara Belanda. Pertempuran dengan Belanda masih
terus berlangsung hingga akhir April 1948, saat pasukan TII meninggalkan daerah kantong
gerilya awal Mei dan memencar di daerah Tasikmalaya-Ciamis-Garut-Indihiang,--di mana di
daerah ini telah diduduki tentara Belanda-- secara sporadis mulai diserang kembali oleh TII.
Sebelum terjadinya peristiwa ini , tepatnya pada tanggal 1-2 Maret 1948 diadakan
konferensi di Cipeundeuy/Banturujeg di daerah Cirebon yang dihadiri oleh semua pimpinan
cabang-cabang Masjumi daerah Jawa Barat seperti dari Banten, Jakarta, Bogor, Priangan,
Cirebon, dan juga para komandan TII. Selain Kartosoewirjo hadir juga Sanusi Partawidjaja, R. Oni,
Toha Arsjad, Agus Abdullah, Djamil, Kiai Abdul Halim dan wakil cabang Masjumi Jakarta Gozali
Tusi. saat semua peserta konferensi hadir Kamran membuka acara ini . Dalam acara itu
Sanusi Partawidjaja menjelaskan keputusan-keputusan konferensi di Pangwedusan, Oni
menerangkan Pengleburan Tentara Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia.
saat konferensi dilanjutkan pada hari berikutnya, semua keputusan-keputusan Pangwedusan
disetujui dan Kartosoewirjo ditetapkan sebagai Imam di Jawa Barat. Keputusan berikutnya
yaitu Hizbullah Cirebon dilebur menjadi TII dan Kamran diangkat menjadi panglima Divisi.
Selanjutnya Kartosoewirjo selaku Imam di Jawa Barat mengangkat tujuh anggota pimpinan
pusat. Pimpinan Pusat ini dibagi tiga dan susunannya yaitu sebagai berikut:
1. Bagian agama terdiri dari Alim Ulama yang “modern”, yaitu Kiai Abdul Halim dan K.H.
Gozali Tusi.
2. Bagian politik terdiri dari Sanusi Partawidjaja dan Toha Arsjad.
3. Bagian militer terdiri dari Kamran dan R. Oni.
Ketujuh orang ini diintruksikan melalui keputusan rapat ini untuk menjadi pemimpin yang
bertanggungjawab di seluruh Jawa Barat “hingga di seluruh Indonesia kelak”. lalu dari
hasil rapat ini juga ditetapkan suatu “Program Politik Umat Islam” yang terdiri dari butir-
butir berikut ini:
1. Memboeat brosoer tentang pemetjahan politik pada dewasa ini ja’ni perloenja lahir satoe
negara baroe, ja’ni Negara Islam. Pengarang Kartosoewirjo (oentoek disiarkan ke
seloeroeh Indonesia).
2. Mendesak kepada pemerintah Poesat Repoeblik Indonesia agar membatalkan semoea
peroendingan dengan Belanda. Kalau tida’ moengkin, lebih baik Pemerintah diboebarkan
seloeroehnja dan dibentoek soeatoe pemerintah baroe dengan dasar Democratie jang
sempoerna (Islam).
3. Mengadakan persiapan oentoek membentoek soeatoe Negara Islam jang akan dilahirkan,
bilamana: Negara Djawa Barat a la Belanda lahir, atau Pemerintah Repoeblik Indonesia
boebar.
4. Tiap-tiap daerah jang telah kita koeasai sedapat-dapat kita atoer dengan peratoeran Islam,
dengan seidzin dan petoendjoek Imam.
Selain itu dibuat juga suatu “Daftar Oesaha Tjepat” yang harus menerangkan kepada rakyat
bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa kemerdekaan bagi Indonesia. Juga
seluruh pegawai Republik dan semua Umat Islam yang bekerja untuk Belanda, begitu juga semua
kepala desa yang berada atau tidak berada dibawa kekuasaan Belanda, supaya secepat mungkin
“berjiwa Islam”.
Ditetapkan juga untuk memperhebat penerangan tentang tauhid, amal saleh dan semangat
berkorban hingga rakyat patut menjadi “warga negara Islam”. Selain itu dengan segala daya
upaya faham Jihad dan ‘amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi.
Sampai pada saat itu Kartosoewirjo beserta umat Islam masih berharap untuk dapat
merealisasikan cita-citanya, yaitu pendirian Negara Islam secara legal, walaupun belum
diproklamasikan secara terang-terangan, namun tidak pernah lenyap dari rencana umat Islam
Jawa Barat yang akan dipersiapkan kelahirannya. Struktur militer dan pemerintah yang disusun
Kartosoewirjo dan Oni, jelas dimaksudkan sebagai sebuah pemerintahan Islam yang akan
menggantikan Pemerintahan Republik jika kalah dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 1-5 Mei 1948 kembali diadakan konferensi yang ketiga di Cijoho, hasil terpenting
yang diputuskan dalam rapat ini yaitu perubahan nama Madjelis Islam Pusat menjadi
Madjlis Imamah (kabinet) di bawah pimpinan Kartosoewirjo sebagai Imam. Madjlis Imamah itu
terdiri dari lima “kementerian” yang dipimpin oleh masing-masing seorang kepala Madjlis, kelima
Madjlis ini yaitu :
1. Madjlis Penerangan di bawah pimpinan: Toha Arsjad.
119
2. Madjlis Keuangan di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.
3. Madjlis Kehakiman di bawah pimpinan: K.H. Gozali Tusi.
4. Madjlis Pertahanan di bawah pimpinan: S.M. Kartosoewirjo.
5. Madjlis Dalam Negeri di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.
Anggota Madjlis Imamah yaitu Kamran sebagai Komandan Divisi TII Syarif Hidajat dan Oni
sebagai Komandan Resimen Sunan Rachmat. Di samping itu dibentuk pula Madjlis Fathwa yang
dipimpin oleh seorang Mufti Besar, dan anggota-anggotanya terdiri dari para Mufthi. Tugas
Madjlis Fathwa ini sebagai penasehat Imam. Keputusan penting lainnya yaitu mendirikan dan
menguasai satu “Ibu Daerah Negara Islam”, yaitu suatu daerah di mana berlaku “kekuasaan dan
hukum-hukum agama Islam”, yang mana daerah ini dinamakan Daerah I (D.I), daerah di luar
Daerah I dibagi-bagi menjadi Daerah II (D.II) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat Islam
dan Daerah III (D.III), ialah daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan Islam (Belanda). Untuk
lebih jelasnya lagi diberi keterangannya sebagai berikut:
Daerah I (D.I)
Daerah D-I ini merupakan daerah yang hukum-hukum Islam telah berlaku pada kalangan umat
Islam baik di bidang hukum, ekonomi, sosial , dan budaya. Di daerah ini pulalah kedudukan Imam
beserta apartur Negara dalam menjalankan roda pemerintahan negara dan mempertahankan
daerah yang telah dikuasai. serta mengusahakan untuk meluaskan daerah itu dan berusaha
menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II menjadi Daerah I.
Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintahan Negara, dalam hal ini yang berwenang
yaitu Madjlis Keuangan yang telah dibentuk dari pusat sampai ke desa mewajibkan para
penduduk menyerahkan 2,5 % dari pendapatannya sebagai pajak (infaq) kepada instansi sipil dan
militer (TII) yang nantinya didistribusikan oleh Madjlis keuangan untuk kepentingan tiap-tiap
Komandemen yang ada. Jika sistem ekonomi Islam seperti yang diterapkan oleh orang-orang DI,
maka Cina di Indonesia akan berkembang secara alamiah dan tanpa ada tekanan-tekanan politik
yang mengakibatkan krisis bagi mereka sendiri. Selama Indonesia merdeka--saat rezim Sukarno
dan Suharto berkuasa--kaum etnis Cina sering jadi korban penggayangan dan kerusuhan serta
pembakaran dan pemerkosaan. Tidak seperti di RI, hubungan sipil dan militer menempatkan
kaum tentara sebagai penjajah yang bertindak semena-mena dan bertindak represif, suka
menyiksa dan membunuh rakyatnya sendiri.
Menjadi bagian terpenting dalam perjuangan DI/TII yaitu didirikannya di Daerah I Madjlis Doa
bagi para ulama dan “orang-orang yang suci hidupnya”. Di Madjlis Doa itu siang-malam selalu
mendoa sedikit-dikitnya 41 orang, di antaranya harus ada seorang pemimpin. Hal-hal yang harus
dilakukan di markas doa ialah sholat Isti’anah (hajat), syukur, membaca ayat-ayat Al-Quran
sebagai doa, terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan sholat Tahajud. Di
samping itu mereka juga dididik dalam bidang ideologi dan politik. Kepada mereka diberi
penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung.
Tugas ketua Madjlis Doa ialah badan yang bertugas mengumpulkan berita yang diperoleh melalui
“ilham dan karomah Allah” yang disampaikan kepada pembesar yang tertinggi di tempat itu, baik
kepada pemimpin sipil atau pemimpin militer, selanjutnya disampaikan ke pusat”. Di samping itu
manakala ada pemberangkatan pasukan TII ke medan perang, pemuka Madjlis Doa mengajak
para penduduk untuk mengumandangkan shalawat badar untuk kepergian para pasukan supaya
mereka “mati syahid” dalam setiap pertempuran.
Daerah II (D II)
Daerah D II merupakan daerah percampuran antara penduduk yang berwarga Negara Islam
Indonesia dan penduduk yang berwarga negara Republik Indonesia, di mana lokasi teritorialnya
yaitu perbatasan kota dan desa. Di daerah ini tidak berlaku hukum Islam, namun manakala ada
penduduk warga Negara Islam Indonesia yang melakukan kesalahan (berbuat dosa terhadap
ajaran agama), mereka dibawa ke daerah D I untuk diputuskan permasalahannya. Di daerah (D.
II) inilah sebagai tempat front perang antara pasukan TII dengan TNI. Kewajiban semua
pemimpin di Daerah II yaitu , mengusahakan dengan sungguh-sungguh dalam menggalang
negara untuk menarik simpati semua penduduk setempat supaya mereka tergugah hatinya
untuk bersama-sama berjuang membela kebenaran yang ditunjukkan oleh Negara Islam
Indonesia, dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh supaya D.II berubah menjadi D.I.
Kewajiban infaq 2,5% dari penduduk diserahkan melalui petugas yang diangkat oleh Madjlis
Keuangan lalu diberikan kepada seorang kurir daerah D I untuk dibawa ke Pusat,
sementara wajib dinasnya berlangsung selama seminggu.
Daerah III (D.III)
Di Daerah D.III yaitu merupakan daerah musuh yang berlokasi di pusat-pusat kota, dan
penduduk yang menjadi warga Negara Islam Indonesia di daerah D.III ini ditugaskan untuk
mencari dana, senjata dan menjadi intel. Begitupun tentang kewajiban infaq 2,5% dari penduduk
diserahkan kepada militer (TII).
Sistem perluasan pengaruh ini dapat berfungsi berdasar sebuah prinsip yang sederhana, tapi
efisien, dan dalam prakteknya berjalan sebagai berikut:
sesudah sebuah daerah dimasukkan ke dalam Daerah I, menurut luas daerah ini
ditempatkan seorang kepala desa, lurah atau camat. Pemimpin lokal ini sekarang berusaha
memperluas daerahnya sesuai dengan kedudukannya, sebab daerah yang dikuasai jarang seluas
seperti yang diharapkan, dan dia juga berusaha untuk memperkuat pengaruh di daerahnya. Bila
kepala desa, lurah atau camat yang bersangkutan yang sekarang – sesudah komando sipil dan
militer disatukan – juga bertanggung jawab terhadap operasi militer di daerahnya telah berhasil
mengkonsolidasi kekuasaannya, maka selanjutnya dia berusaha untuk dapat mengontrol Daerah
II yang berbatasan dengan daerahnya. Untuk mencapai tujuannya, digunakan TII, PADI dan
Gestapo. Sistem ini memberi motivasi yang cukup kuat kepada masing-masing penguasa
lokal untuk memperluas daerah mereka, sebab bila mereka berhasi memperluas daerahnya,
mereka akan naik satu tingkat dalam hirarki administrasi. Dengan demikian seorang kepala desa
naik menjadi lurah, lurah menjadi camat dan camat menjadi bupati.
Konsep tentang pembagian daerah-daerah jelas dipengaruhi oleh hukum Islam, yang membagi
dunia ke dalam Dar-al Islam, di mana hidup umat Islam dan di mana hukum Islam dipraktekkan
sepenuhnya. Sedangkan Dar-al-harb yaitu daerah yang dihuni pihak bukan Islam. sebab tugas
sebuah Negara Islam ialah menjalankan hukum-hukum Islam dan menetapkan Islam sebagai
ideologi yang dominan bagi setiap masyarakat, maka secara teoritis Dar-al-Islam berada dalam
keadaan perang yang terus menerus dengan Dar-al-harb, di mana jihad merupakan alat bagi
negara untuk mengubah Dar-al-harb menjadi Dar-al-Islam.
Untuk menjaga keutuhan dan menegakkan disiplin gerakan, maka melalui keputusan Konferensi
Cijoho diputuskan bahwa setiap anggota haruslah mengangkat sumpah setia (bai’ah) terhadap
pimpinannya. Dengan demikian diharapkan terjaminnya loyalitas umat terhadap pimpinannya.
berdasar peraturan ini di Daerah I (D-I) orang-orang berikut ini harus mengangkat
sumpah dari dan kepada:
Imam terhadap Madjlis Imamah (kabinet)
Kepala Madjlis (menteri) terhadap Imam
Residen terhadap Imam
Staf Residen terhadap Residen
Bupati terhadap Imam
Staf Bupati terhadap Bupati
Camat terhadap Bupati
Staf Camat terhadap Camat
Kuwu (pemimpin lokal) terhadap Bupati
Artinya, semua jabatan memiliki garis pertanggung-jawaban yang jelas, antara satu menjadi
imam bagi yang lain dan juga sebaliknya serta begitu seterusnya. Prinsip yang sama juga berlaku
bagi Daerah II dan Daerah III. Dalam Daerah ini hanya pegawai tinggi langsung harus mengangkat
sumpah terhadap Imam. Begitu juga bagi militer berlaku prinsip yang sama, mulai dari Komandan
Divisi yang harus mengangkat sumpah terhadap Imam, hingga ke tentara bawahan yang harus
mengangkat sumpah terhadap atasannya. Bunyi dari sumpah (mubay’ah) ini yaitu :