Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 6

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 6



 mendatang asing dan penindas dari agama lain.” 

Atau seperti yang dinyatakan oleh Fred R. Von der Mehden, “Islam merupakan sarana paling jelas, 

baik untuk membangun persatuan nasional maupun membedakan masyarakat Indonesia dari 

elite penjajah Belanda. Pulau-pulau yang mencakup Hindia Belanda tidak pernah eksis sebagai 

entitas linguistik, kultural atau historis. Wilayah-wilayah terakhir yang jatuh ke tangan kontrol 

Belanda tidak pernah tunduk hingga awal abad ke-20. sebab  itu, lantaran terdiri dari berbagai 

tradisi historis, linguistik, kultural dan bentuk geografis yang berbeda, maka satu-satunya ikatan 

universal yang tersedia, di luar kekuasaan kolonial, yaitu  Islam.”  

   

 

Seperti terlihat jelas diatas, semua pembicaraan hasil rapat sidang Panitia pelaksana ini  

menjadi sia-sia, di mana Piagam Jakarta sendiri yang disusun oleh Panitia Sembilan termasuk di 

dalamnya tokoh-tokoh Islam yang tetap teguh pendiriannya untuk mempertahankan bahwa 

perjuangan Islam harus lewat parlemen tidak pernah diberlakukan. Sampai salah satu politikus 

dari Masyumi yaitu M Isa Anshari, menamakan keputusan ini  sebagai suatu “permainan 

sulap” yang masih diliputi kabut rahasia. Yang pada akhirnya Indonesia merdeka sesungguhnya 

menjadi negara “sekuler”, yang di dalamnya tidak ada persoalan mengenai kewajiban hukum 

bagi umat Muslim menjalankan syariat Islam. 

Bagi mereka yang suka bermain angka, ada saja yang menghubung-hubungkan jumlah sembilan 

tokoh dalam pembentukan Piagam Jakarta tadi dengan sebuah ayat Alqur-an, bahwa tokoh-

tokoh yang terlibat dalam BPUPKI itu telah keliru membaca situasi dan membawa ummatnya 

kejurang yang berbahaya. Ayat yang dimaksudkan, sekali lagi oleh mereka yang suka bermain 

angka, sesungguhnya berkenaan dengan ummat Nabi Shaleh yaitu kaum Tsamud yang 

maksudnya yaitu : “Dan yaitu  di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di 

muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan”. Panitia 9, mungkin bukanlah yang 

dimaksudkan oleh firman Allah di atas. Tapi melihat fakta , situasi politik, latar belakang, segi 

syariahnya serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi generasi muslim di lalu  hari, maka 

sulit untuk menyangkal jika ada orang mencari-cari relevansi antara kandungan ayat dengan 

perilaku politik yang mereka tunjukkan. Mungkin ini suatu kebetulan saja. Wallahu a’lam.  

Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan Kartosoewirjo hanya kelihatannya saja bersedia 

untuk bekerja sama dengan pihak Jepang. Selama masa itu dia tidak pernah mengeluarkan 

pernyataan politik, juga di hadapan rekan-rekannya dalam Djawa Hokokai. Namun dia 

memanfaatkan kedudukannya dan memanfaaatkan sarana propaganda yang dibentuk oleh 

Jepang guna mencapai tujuannya tanpa sepengetahuan Jepang, seperti yang juga dilakukan 

banyak politikus Indonesia lainnya pada masa itu. Terutama Kartosoewirjo tidak pernah 

memutuskan hubunganya dengan teman-temannya dari KPK-PSII yang masih tinggal di Jawa 

Barat. namun  dia tidak pernah mengambil bagian proses pengambilan keputusan di waktu-waktu 

sebelum proklamasi. Untuk itu dia tidak mempunyai kesempatan, sebab  dia telah menarik diri 

dari arena politik nasional sebab  sikap “Hidjrahnya” yang benar-benar konsekwen, dan juga 

hubungan Kartosuwisrjo dengan hampir semua tokoh organisasi Islam di tingkat nasional waktu 

itu sudah tidak akrab lagi. Pendapatnya tentang situasi selama masa pendudukan Jepang baru 

dinyatakan setahun lalu  dalam sebuah brosur di mana dia menulis sebagai berikut: 

 

 

“Pada zaman pendoedoekan Jepang, maka keadaannya lebih menjedihkan daripada zaman Belanda. 

Semoeanja pergerakan politik dengan tiada ketjoealinja disapoe bersih sampai ke akar-akarnja, atau 

diboenoeh mati. Hak politik beoat ra’iat noel, tidak barang sedikitpoen diberikan”. 

Dan lalu  dia melanjutkan: 

“Waktoe itoe praktis tiada hak politik bagi ra’iat Indonesia, melainkan semoea djedjak dan langkah 

haroes dilahirkan kepada Tokio, ialah peosat persembahan manoesia berhala, jang bernamakan 

Tenno Heika, dan kiblatnja semoea djepangisme dan kemoesjrikan ala Djepang.”  

Seterusnya tentang organisasi Islam ciptaan Jepang serta peranannya pada waktu itu, 

Kartosoewirjo menulis sebagai berikut: 

“Masjumi dan lalu  MIAI, kedua-duanja buatan Jepang, dengan perantaraan agen-agennja, 

kijai-kiaji a la Tokio, merupakan lembaga dan medan pertempuran. Oleh fihak Islam muda, fihak 

revolusioner dan progressif, lembaga ini dipakai untuk menjusun dan mengatur “gerakan di bawah 

tanah”, seperti juga jang dilakukan oleh kawan-kawan seperdjuangan lainnja di Hokokai dan lain-

lain badan kebaktian, buatan saudara tua itu. Benih-benih subversif di masa sangkar mas Jepang, 

jang sesungguhnja kamp konsentrasi, di masa nanti, mendjadi pendorong dan daja kekuatan jang 

hebat.”  

Dan tentang Soekarno, Kartosoewirjo menggambarkannya bahwa pada saat itu Soekarno 

menjadi agen nomor satu Jepang: 

“Ibu pertiwi diselaraskan dengan Dewi Ameterasu, animisme Djawa (kedjawen) ditjampur dengan 

Sintoisme, marhaenisme disesuaikan dengan tjita-tjita kema’muran Asia Timur Raja dan dengan 

alat-alat itu atas perintah tuannja, ia siap memperdjepangkan diri dan kawan-kawannja dan 

lalu  UIBI (Umat Islam Bangsa Indonesia) pun menjadi sasarannja jang istimewa.”  

Pada bulan Agustus itu Kartosoewirjo berada di Jakarta, dan dia juga mengetahui kekalahan 

Jepang dari sekutu bahkan dia mempunyai rencana kinilah saatnya rakyat Indonesia khususnya 

umat Islam merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah 

memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. namun  proklamasinya ditarik 

kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk 

sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya. 

Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum Nasionalis sekulerlah 

yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip 

kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara 

sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya 

  


 104 

 

pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum Nasionalis sekuler. sebab  kaum nasionalis 

sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk 

selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara. 

Pada bulan oktober 1945 Kartosoewirjo beserta anggota-anggota Masjumi yang lain di antaranya 

Wahid Hasyim dan Moh. Natsir mengadakan pembicaraan tentang akan menjadikan Masjumi 

sebagai partai politik. Namun tidak ada sepakat dalam pertemuan ini , maka pada tanggal 

7-11-1945 di Yogyakarta partai Masjumi didirikan dengan memakai nama yang lama, dan partai 

Masjumi sekarang ini dijadikan sebagai wahana organisasi bagi semua kelompok Islam. Masjumi 

dimaksudkan agar menjadi partai politik kesatuan bagi semua Muslim, tanpa membedakan latar 

belakang agama, sosial pendidikan, dan ekonomi. Dalam organisasi ini Kartosoewirjo menduduki 

jabatan sebagai sekretaris pertama. Pada kongres itu banyak keputusan yang dapat diperoleh di 

antaranya ditetapkan bahwa di samping Hizbullah, yaitu sebuah laskar Islam (di mana anggota 

masih muda) yang masih tetap berdiri, dibentuk lagi sebuah laskar yang dinamakan Sabilillah 

(yang anggotanya terdiri dari generasi lebih tua). Keputusan yang lainnya yaitu , bahwa umat 

Islam harus dipersiapkan untuk menjalankan Jihad. Dalam programnya, Masjumi merumuskan 

tujuannya, yaitu untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berdasar  ajaran agama Islam.  

sesudah  dibentuknya partai Masyumi ini banyak sekali didirikan kantor-kantor cabang partai, 

mulai dari tingkat provinsi sampai ke bawah yaitu tingkat desa. sebab  itu pula Kartosoewirjo 

mengadakan perjalanan ke Jawa Barat untuk mempersiapkan pendirian kantor pusat Masyumi 

Daerah Priangan.  

  

  


 105 

 

Bab Lima 

Basis Politik Pemikiran Islamic Nation-State Kartosoewirjo 

 

Pada bulan Juni 1946, di Garut diadakan konferensi Masyumi Daerah Priangan dimana akan dipilih 

pengurus yang baru. Kartosoewirjo menunjuk K.H. Moechtar sebagai ketua umum dan dia 

sendiri menjadi wakil ketua. Sanusi Partawidjaja menjadi sekretaris badan pengurus, Isa Anshari 

dan K.H. Toha memimpin bidang informasi, sementara kepada Kamran diserahkan pimpinan 

Sabilillah. Pada konferensi ini  Kartosoewirjo mengucapkan sebuah pidato tentang haluan 

politik Islam tentang pertanyaan siapa yang akan berkuasa di Indonesia. Masih juga ia 

menganjurkan persatuan dalam cita-cita perjuangan, ia memperingatkan para pendengarnya 

sekaligus pendukungnya bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia hanyalah akan 

menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaan-perbedaan ideologi. 

Segera sesudah  tercapai kemerdekaan penuh, perbedaan-perbedaan ini dapat dicari 

penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan rakyat. Bunyi pidatonya sebagai 

berikut: 

“Dan oleh sebab  Repoeblik Indonesia berdasar  koedaoelatan Ra’iat, maka seoara ra’iat jang 

terbanjak itoelah jang akan memegang kekoeasaan negara. Djika kommoenisme jang diikuti oleh 

sebagian besar daripada ra’iat, maka pemerintah Negara akan mengikoeti haloean politik, 

sepandjang adjaran kommoenis. Dan bila sosialisme atau nasionalismelah jang “menang soeara”, 

maka sosialisme atau nasionalismelah yang menentoekan haloean politik negara. Demikian poela, 

djika Islam jang mendapat koernia Toehan “menang dalam perdjoeangan politik” itoe, maka Islam 

poelalah jang akan memegang tampoek Pemerintah Negara. Sehingga pada waktoe itoe 

terbangoenlah doenia Islam atau Dar-oel-Islam, jang tidak menjimpang seramboet dibelah toejoeh 

sekalipoen daripada adjaran-adjaran Kitabuoellah dan Soennahtoen-Nabi Moehammad Çlm.  

Namun yang sangat menonjol sekali saat  itu, bahwa yang sedang melangsungkan pertarungan 

politiknya yaitu  antara Nasionalisme sekuler dengan Komunisme. Adapun keterlibatan 

kalangan politisi Islam dalam percaturan politik ini , mereka hanyalah sebagai kambing 

hitam saja untuk menggolkan usaha-usaha mereka berdua yang sedang terlibat pertarungan. 

Untuk lebih mempersiapkan perjuangan di Suffah tetap dilatih kemiliteran oleh Ateng Djaelani 

seorang perwira PETA, sebab  dalam perhitungan Kartosoewirjo akan terjadi perjuangan senjata. 

Dan untuk mencapai koordinasi yang lebih baik dari lasykar-lasykar ini , maka pada tanggal 

15 September 1946 didirikan di Bandung Markas Daerah Pertahanan Priangan (MDPP). Yang 

menjadi anggotanya yaitu  lasykar Hizbullah di bawah pimpinan Zainal Abidin, Kadar Solihat, 

dan Kamran. Juga lasykar dari Sabilillah di bawah pimpinan kalangan politikus Masjumi di 

  


 106 

 

antaranya Isa Anshari, Ajengan Toha, Kiai Jusuf Taudjiri, yang dulu bersama-sama dengan 

Kartosoewirjo mendirikan KPK-PSII. 

Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, Kartosoewirjo ditunjuk sebagai salah seorang 

dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti 

sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang ini  membahas apakah 

Persetujuan Linggarjati yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada 

bulan November 1946 akan disetujui atau tidak. Kepergian Kartosoewirjo disertai para pejuang 

Hizbullah dari Jawa Barat, sebab  dalam rapat ini  kemungkinan ada dua kubu yang 

bertarung antara laskar sayap kiri (diwakili melalui partai Persindo), mereka ingin menyetujui 

hasil perundingan dengan laskar Hizbullah (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI) yang hampir 

semua wakilnya tidak menyetujui hasil perundingan. Kartosoewirjo sendiri termasuk para 

politikus Masyumi yang menolak persetujuan Linggarjati ini  tanpa kompromi. sebab  

memang jelas sekali bahwa dengan diadakannya perundingan Linggarjati itu sangat 

menguntungkan pihak Belanda dalam usaha-usahanya menancapkan kuku penjajahannya 

kembali. saat  anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, 

Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak 

menembaki satuan-satuan Pesindo. Terlihat sekali bahwa perjuangan politik umat Islam berada 

di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan sosialisme.  

Terbukti saat  Amir Syarifudin menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dia berprogram 

mengharuskan setiap laki-laki yang berusia 15 tahun ke atas untuk masuk kedalam Inspektorat 

Perjuangan yang dikordinir oleh orang komunis, namun usaha yang dilakukannya ditentang oleh 

R. Oni selaku ketua Sabilillah yang dilantik pada bulan April 1947 dengan alasan bahwa usaha-

usaha yang dilakukan oleh Amir Syarifudin ini  untuk membuat umat Islam menjadi Sosialis, 

dan alasan yang lain bahwa semua tentara Republik yaitu  anggota sayap kiri. Maka 

kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima masuk TNI sangat tipis sebab  kekhawatiran lain 

bahwa TNI hanya akan mengambil senjatanya saja dari kedua laskar ini  dan selanjutnya 

mereka segera dipulangkan ke tempat masing-masing.  

Pada tanggal 21 Juni 1947, Belanda dengan karakter Yahudinya melanggar persetujuan 

Linggarjati yang mengakui pemerintah RI di Jawa, Madura dan Sumatera secara de facto. 

Belanda memang tidak akan pernah bermaksud untuk mematuhi perjanjian itu, mereka 

menjadikannya hanya sebagai upaya untuk mengulur waktu guna dapat memperkuat kontingen 

pasukannya. saat  pasukan ini  dirasa telah kuat mereka menyerang kembali daerah-

daerah vital yang menjadi sarana perhubungan. 

  


 107 

 

Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan 

putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dia terpaksa dan bercampur malu mengundurkan diri dari 

jabatannya sebagai Perdana Menteri, sebab  sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan 

Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda, sesudah  terjadinya 

agresi militer I Belanda pada bulan Juli. Yang menggantikan kedudukan sesudah  pengunduran 

dirinya yaitu  Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam 

kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam 

Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam 

kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Namun apa jawaban Kartosoewirjo? 

Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifudin, dia 

menolak kursi menteri sebab  “ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada 

Masyumi”. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata sebab  loyalitasnya kepada 

Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang 

politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Bangsa 

Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda, di 

samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin yang kekiri-kirian. Kalau 

dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik Nasional 

dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat, bahwa 

Amir Syarifudin membawa arah politik Indonesia kepada arah Komunisme.  

sebab  semua perhubungan lalulintas putus dan jembatan melalui sungai Serayu dibom dan 

dirusak oleh Belanda, Kartosoewirjo kini tidak dapat kembali ke Yogyakarta. Atas persetujuan 

pimpinan partai dia diangkat menjadi wakil Pengurus Besar Masjumi untuk Jawa Barat. Dalam 

jabatannya yang terakhir ini dia mulai menyusun kembali pasukan mujahidin Islam di daerah Jawa 

Barat. Reorganisasi perjuangan gerilya dirasakan perlu mengingat keadaan, dalam tiga minggu 

sesudah Belanda melancarkan aksi militer besarnya, apa yang disebut politionele actie (aksi 

polisionil) pertama, Belanda menduduki kota-kota utama di Priangan seperti Garut, Tasikmalaya 

dan Ciamis. Sementara para pemimpin seperti Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya yang 

senantiasa setia menjaga necisnya pakaian dari kotoran dan debu perjuangan begitu liciknya 

mempengaruhi rakyat dengan kata-kata dan diplomasinya yang kosong dan menipu. 

Pada tanggal 6 Agustus bom atom pertama dijatuhkan Amerika di Hiroshima sebagai balasan 

atas serangan Jepang terhadap pangkalan Pearl Harbour. Bom atom biadab hasil temuan 

ilmuwan hebat dan sebagai tanda kemajuan manusia dalam merusak alam ini menewaskan 

sedikitnya 78.000 orang Jepang tak berdosa. Mereka dibunuh tanpa memperhitungkan nilai 

kemanusiaan sedikitpun, layaknya seperti orang membakar sampah saja. fakta  ini 

memperlihatkan betapa peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan. 

Kartosoewirjo mengetahui perkembangan ini dan segera menyusun rencana-rencana dan 

tahapan-tahapan menuju kepada sebuah "wajib suci". Namun, para elit "thoghut" yang 

kebanyakan yaitu  kaum nasionalis sekuler juga mulai membentuk barisan dan berancang-

ancang. Hal ini dapat kita lihat pada sehari sesudah  jatuhnya bom di Hiroshima, keanggotaan 

sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, dan berita-berita 

mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Koran pun lebih bersuka-cita memberi  

kejadian-kejadian di perkotaan ketimbang apa yang sesungguhnya sedang bergolak di pedesaan, 

di dalam dada-dada orang-orang kampung dan dusun terpencil. PPKI lebih dilihat sebagai sosok 

sinar harapan masa depan, dan bangsa Indonesia tidak pernah tahu bahwa lembaga ini  

beranggotakan wakil-wakil dari Jawa maupun dari daerah-daerah luar Jawa, didominasi oleh 

generasi tua, dan dijadwalkan mengadakan pertemuan pada tanggal 19 Agustus yang akan 

memutuskan satu persoalan yang akan menjadi overwhelming force terhadap orang-orang 

kampung dan pedusunan. Wakil-wakil Jawa menjadi kekuatan penentang paling hebat dari ide 

Negara Islam Kartosoewirjo sebab  mereka memiliki the idea of power dalam kultur mereka 

sendiri yang sudah sangat mapan. Pada tanggal 7 Agustus beberapa anggota kepanitiaan PPKI 

dari pihak Jepang "mengambil keputusan-keputusan yang riil" untuk mengadakan pertemuan. 

Bangsa ini memang dibangun oleh serangkaian perjanjian-perjanjian, pertemuan-pertemuan dan 

perundingan-perundingan. Semua itu tidak satu pun yang ditepatinya, baik bagi dirinya sendiri 

maupun bagi pihak lain. Tekanan terhadap Jepang juga diberikan oleh Uni Soviet yang 

mengumumkan perang terhadap Jepang pada tanggal 8 Agustus 1945. Pada hari berikutnya, 9 

Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang telah meluluh-lantakkan semangat 

bushido tentara Jepang di Indonesia. Tidak sedikit di antara mereka yang mengadakan hara-kiri 

atas kekalahan ini. Di samping itu, negara komunis Uni Soviet memanfaatkan kelemahan Jepang 

dengan cara menyerbu Manchuria. Suatu tindakan tidak fair dalam etika perang semesta. Jika 

lawan lemah, bukanlah saat yang tepat untuk menyatakan diri sebagai pemenang.  

Pada hari sesudah itu, sebab  tampak tak terhindarkan lagi bahwa pihak Jepang akan menyerah 

secara definitif terhadap Amerika, maka Soekarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon untuk 

menemui Panglima Wilayah Asia Tenggara, Terauchi, pada tanggal 11 Agustus 1945. Kepada 

mereka Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, namun  

memveto penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Soekarno, Hatta 

dan Radjiman sesungguh sangat yakin bahwa kemerdekaan Indonesia hanya mungkin didapat 

lewat serangkaian kompromi dan perundingan-perundingan seperti ini. Padahal bentuk 

kerjasama apapun dengan Jepang tidak akan membawa penyelesaian yang meyeluruh pada 


nasib bangsa Indonesia, bahkan dengan kerjasama ini  telah membawa malapetaka. 

Mereka yaitu  pahlawan yang takut perang, tapi begitu perang usai, mereka naik ke atas 

mengibar-ngibarkan bendera dan mulai berpidato. Maka, wajarlah jika lalu  Soekarno 

ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan ini  dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 

14 Agustus Sukarno dan rekan-rekannya tiba kembali di Jakarta.  

Pada tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat, dan dengan demikian menghadapkan 

para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. sebab  pihak Sekutu tidak 

menaklukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik: pihak Jepang masih 

tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak kehadiran pasukan Sekutu yang akan 

menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang yang 

tertib kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya gunseikan telah mendapat perintah-

perintah khusus supaya mempertahankan keadaan politik yang ada sampai kedatangan pasukan-

pasukan Sekutu. Sukarno, Hatta, dan generasi tua ragu-ragu untuk berbuat suatu dan takut 

memancing konflik dengan pihak Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara 

cepat kepada generasi tua, sebab  merasa khawatir terhadap kelompok-kelompok pemuda yang 

dianggapnya berbahaya maupun pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para 

pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar 

kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir yang 

yang anti Jepang. Akan namun , tak seorang pun berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta.  

Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo 

telah lebih dulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam saat  kedatangannya pada awal 

bulan Agustus sesudah  mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak 

dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang 

pasukan Lasykar Hizbullah dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum 

nasionalis memperbincangkan peluang yang mesti diambil untuk mengakhiri dan sekaligus 

mengubah determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 

Agustus pagi Hatta dan Sukarno tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry 

berikut ini perlu diajukan: Mengapa Soekarno dan Hatta meski menghindar begitu jauh ke 

Rengas Dengklok padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan 

Indonesia? Mengapa saat  Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam 

Jakarta? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia....? Bukankah 

ini sesungguhnya yaitu  rancangan proklamasi yang sudah dipersiapkan oleh Kartosoewirjo 

pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada mereka? Pada malam harinya mereka telah dibawa 

oleh para pemimpin pemuda ke garnisun Peta di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang 

terletak ke utara dari jalan raya ke Cirebon, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus 

suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun, 

sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha 

memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang; tujuan ini 

mereka tolak. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia 

dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. 

Pada malam itu Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan 

kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis muda menginginkan bahasa yang 

dramatis dan berapi-api, namun  untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau 

mendorong terjadinya kekerasan maka disetujuilah suatu pernyataan yang tenang dan bersahaja 

yang dirancang oleh Sukarno.  

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di pagi hari jam 10.00 Sukarno membacakan pernyataan 

kemerdekaan ini  di hadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya di luar 

rumahnya sendiri: 

Proklamasi: 

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai 

pemindahan kekuasaan, dll., diselengarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang 

sesingkat-singkatnya. 

 

Jakarta, 17-8-1945 

Atas nama bangsa Indonesia, 

(tertanda) Sukarno Hatta 

 

Bendera merah-putih dikibarkan dan berkumandanglah lagu 'Indonesia Raya'. 

Republik Indonesia telah lahir. Sementara itu, Sekutu sebagai pihak yang menang, yang hampir 

sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama berlangsungnya perang, 

dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka untuk menerima penyerahan pihak 

Jepang dan memulihkan kembali rezim kolonial. Akan namun , zaman Jepang telah menciptakan 

kondisi yang begitu kacau, telah begitu mempolitisasikan rakyat, dan telah begitu mendorong 

para pemimpin dari generasi tua maupun muda untuk mengambil prakarsa, sehingga pihak 

Sekutu akan menghadap suatu perang kemerdekaan revolusioner.  

  


  

 

Sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang 

Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai 

pihak Republik dapat ditaklukan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah 

Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang 

ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang 

sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang 

tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakbitkan perang. Oleh 

sebab  itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari 

Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).  

Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisional' 

mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah 

menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari 

Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya 

untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil 

mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan 

perairan-dalam di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-

instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Menghadapi 

aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan 

hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, sesudah  melihat 

keberhasilan dalam aksi ini memicu  keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali, dari 

beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan 

membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, namun  pihak Amerika dan Inggris 

yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' ini  serta menggiring Belanda 

untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.  

Maka pada bulan Januari 1948 atas prakarsa pihak sekutu diadakanlah satu persetujuan bersama 

antara pemerintah Republik dengan Belanda di atas kapal Amerika USS Renville di pelabuhan 

Jakarta. Dimana persetujuan ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut 

sebagai 'garis van Mook'. Walaupun persetujuan ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak 

Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang dilakukan oleh pihak Republik dengan 

mengikuti perundingan itu memperlihatkan tidak mampunya pemerintah dalam mengadakan 

perundingan untuk tetap mempertahankan makna kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh 

rakyat Indonesia sehingga menyebabkan mereka memenangkan kemauan pihak Belanda yang 

sangat menentukan.  

  


  

 

Dari adanya 'aksi polisional' pertama dengan hasil diadakannya persetujuan Renville 

menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh Anggota yang tergabung dalam 

kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan saat  persetujuan 

Renville ditandatangani, disusul lalu  Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana 

Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinnya ini dia mungkin 

mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan 

posisinya. Harapan itu menjadi buyar saat  Sukarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk 

Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-9), dimana seluruh 

pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Sukarno sebagai Presiden. Dengan terpilihnya Hatta, 

dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, 

terutama terdiri dari orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Dan 

langkah Amir dan Sayap Kirinya kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai 

oposisi membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-

pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada 

bulan Februari 1948, dan sekaligus memberi  dukungannya kepada pemerintah Hatta.  

Pada bulan Februari 1948 koalisi Sayap Kiri Golongan kiri di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin 

yang berada di luar pemerintahan Republik kini memulai suatu usaha baru dengan memicu  

bencana untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Dengan merubah nama baru menjadi Front 

Demokrasi Rakyat (FDR) mencela persetujuan Renville yang sebetulnya dulu dirundingkan pada 

masa pemerintahannya. Usaha yang dilakukan oleh Front ini  ialah dengan membentuk 

organisasi-organisasi petani dan buruh, namun  usaha itu hanya mencapai sedikit keberhasilan. 

Untuk lebih mempertegas aksinya pada bulan Mei 1948 dimulailah suatu pemogokan pada 

sebuah pabrik tekstil milik negara di Delanggu (Jawa Tengah) yang dibarengi juga dengan aksi 

kekerasan. Kalau dikaji tindak kekerasan yang mengikutinya tampak jelas bahwa basis Front 

ini  di wilayah pedesaan lebih merupakan soal identitas kemasyarakatan daripada masalah 

kelas sosial atau ideologi. Hal itu bisa terlihat pada buruh abangan yang mendukung Front itu 

mendapat serangan dari para santri pengikut Masyumi yang didukung oleh satuan-satuan 

Hizbullah. Sehingga aksi pemogokan ini  pada bulan Juli berhasil diakhiri dengan syarat-

syarat yang menguntungkan pihak yang melakukan pemogokan, namun  kini terbukti bahwa 

siasat-siasat politik pusat sudah terlibat dalam ketegangan-ketegangan kemasyarakatan di desa-

desa Jawa.  

Sementara itu Belanda pada akhir bulan Agustus meluruskan garis depannya dengan apa yang 

disebut sebagai garis demarkasi “van Mook” yang telah merebut semua pelabuhan penting di 

Jawa serta daerah-daerah sumber hasil bumi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu mereka 

  


  

 

masih mengadakan suatu blokade ekonomi terhadap Republik yang wilayahnya di Jawa hanya 

tinggal kira-kira sepertiga luas pulau ini . Pasukan-pasukan Republik mengundurkan diri ke 

luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis van Mook. 

Pihak tentara membunuh Amir Sjarifuddin dan lebih dari lima puluh orang beraliran kiri yang ada 

di penjara saat  mereka bergerak mundur dari Yogyakarta pada tangal 19/20 Desember malam 

daripada mengambil risiko bahwa mereka akan dibebaskan oleh Belanda. Sampai akhir bulan 

Desember semua kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan Belanda. Satu-satunya 

wilayah besar yang tetap di bawah kekuasaan Republik yaitu  Aceh, di mana Daud Beureu'eh 

memegang pimpinan. Belanda masih merasa akan lebih bijaksana jika tidak mengutak-atik Aceh.  

Situasi yang kacau pada saat itu yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda membuat 

Kartosoewirjo lebih memfokuskan perjuangannya. Dalam suatu rapat Masjumi di Garut, yang 

dipimpin oleh Kartosoewirjo sendiri dan di mana semua organisasi yang bergabung dalam 

Masjumi harus mengirimkan wakilnya, diputuskan, bahwa Masjumi tjabang Garut diganti 

namanya menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI). Anggaran dasar dan anggaran rumah 

tangga DPOI sama seperti anggaran dasar Masjumi, hanya ditambahkan sebuah pasal baru yang 

berhubungan dengan pertahanan melawan tentara Belanda. Sebelum pembentukan DPOI di 

Garut, juga sudah dibentuk 2 Madjlis Pertahanan Oemmat Islam (MPOI) di Tasikmalaya dan di 

Ciamis. Untuk masalah pertahanan Sabilillah di bawah pimpinan R. Oni ditempatkan di bawah 

komando MPOI dan DPOI.  

Dengan ditanda-tanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. 

Dimana pada perjanjian ini  berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis 

demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas 

Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik yaitu  bahwa tempat-tempat penting yang 

strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Belanda harus 

dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. sebab  persetujuan ini 

Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat ialah Divisi Siliwangi mematuhi ketentuan-

ketentuannya. Hal yang berbeda dengan pasukan gerilya Hizbullah dan Sabilillah bagian yang 

cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Di antara 

satuan-satuan Hizbullah yang tetap tinggal, terdapat mereka yang dipimpin oleh Zainal Abidin di 

daerah Baluburlimbangan dan oleh Ateng Ku Jaelani Setiawan yang beroperasi sekitar 

Cicalengka, serta di daerah Cirebon di bawah pimpinan Agus Abdullah Sukunsari. Satuan-satuan 

Sabilillah yang tetap tinggal berada di bawah komando Enokh di daerah Wanaraja dan Garut, dan 

oleh Oni di daerah sekitar Gunung Cupu, sebelah Utara Tasikmalaya, dan satu batalyon lengkap 

  


  

 

untuk bergerilya di daerah Bandung Selatan, yaitu batalyon 22 Jaya Pangrengot di bawah 

pimpinan Soegih Arto.  

Gerakan Siliwangi ke Jawa Tengah memicu  akibat-akibat di wilayah itu yang sangat penting 

artinya bagi pencapaian terakhir kemerdekaan. Nasution dan para pengikutnya, yang sebagian 

besar yaitu  orang Sunda, membentuk suatu pasukan yang setia kepada pemerintahan Hatta 

dan segera timbul pertentangan dengan satuan-satuan setempat, yang beranggotakan orang-

orang Jawa, yang cenderung kepada pimpinan Soedirman atau Front Demokrasi Rakyat di 

bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Pemerintah Hatta ingin mengurangi jumlah anggota angkatan 

bersenjata yang sangat besar, secara kasar diperkirakan sebesar 350.000 tentara reguler dan 

470.000 tentara tidak reguler, yang menjadi tanggung jawabnya. Nasution pun lebih menyukai 

suatu angkatan bersenjata yang jumlah anggotanya lebih sedikit namun  memiliki standar-standar 

profesionalisme yang lebih tinggi. Tentu saja pihak yang akan kalah dalam rencana rasionalisasi 

seperti itu tak terelakkan lagi pasti akan menjadi pejuang-pejuang yang mendukung lawan-lawan 

pemerintahan. Dengan terpecah-pecahnya pihak militer menjadi kelompok-kelompok sebagai 

akibat diajukannya usaha-usaha rasionalisasi ini , maka mulai timbul penculikan-penculikan, 

pembunuhan-pembunuhan, dan bentrokan-bentrokan senjata di wilayah Yogyakarta - Surabaya. 

Pada akhir bulan Agustus 1948 tampaknya ada kemungkinan terjadinya lagi perang saudara. Kini 

berlangsung suasana panas yang merupakan campuran dari siasat-siasat politik kaum elite, 

politik pihak militer, dan ketegangan-ketegangan kemasyarakatan di Jawa Tengah, sementara 

pasukan-pasukan Belanda telah mengambil posisi di barat, utara, dan timur Republik. Wilayah ini 

Timur Indonesia ini menjadi penting sebab  wilayah Maluku yaitu  suatu wilayah di mana Islam 

sudah lama ada.  

Adapun reaksi Kartosoewirjo dengan adanya perjanjian Renville itu membuat suatu pernyataan 

bahwa “Amir Sjarifoedin la’natoellah” dituduh telah berbuat khianat dan menjual Jawa Barat 

kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik “soepaya Oemat Islam 

khoesoesnja dan rakjat Djawa Barat semoeanja tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap 

Belanda”.  

Segera sesudah  persetujuan Renville, pada tanggal 30 Januari 1948 R. Oni berangkat ke 

Peuteuynunggal dekat Garut untuk berunding dengan Kartosoewirjo tentang masalah situasi 

politik dan militer dewasa itu. Keduanya sepakat, bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap 

berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan 

Belanda dan “anggota-anggota Sabilillah dan Hizbullah yang turut mengundurkan diri harus 

dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa”. Keputusan lain yang sangat penting 

  


  

 

bahwa akan diadakan konferensi pada tanggal 10-11 Februari 1948 di desa Pangwedusan Distrik 

Cisayong, di mana harus hadir semua pemimpin Islam daerah Priangan.  

Maka pada tanggal 10 Januari 1948, telah berkumpul 160 wakil-wakil organisasi Islam di 

Pangwedusan untuk mengadakan sebuah konferensi yang akan berlangsung dua hari. Di antara 

mereka hadir Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai Ketua 

Masjumi Daerah Priangan, Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah Daerah Priangan, Dahlan 

Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji’ah sebagai ketua Poetri GPII dan Abdullah Ridwan 

sebagai ketua Hizbullah untuk Priangan. Sebagai ketua Masjumi cabang Garut hadir Saefullah, 

begitu juga 4 ketua DPOI yang lain. Dari Bandung dan Sumedang hadir juga masing-masing dua 

utusan dari cabang DPOI di sana, selain itu hadir juga dari Tasikmalaya dan Ciamis 3 orang 

anggota MPOI.  

Dalam konferensi ini Kamran menuntut supaya pemerintah RI membatalkan perjanjian Renville 

dan “kalau pemerintah RI tidak sanggoep membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini 

kita boebarkan dan membentoek lagi pemerintahan baroe dengan tjorak baroe. Di Eropa doea 

aliran sedang berdjoeang dan besar kemoengkinan akan terjadi perang doenia III, ja’ni aliran 

Roesia lawan Amerika”. Kamran selanjutnya menerangkan “Kalau kita di sini mengikoeti Roesia, 

kita akan digempoer Amerika, begitoe joega sebaliknja. Dari itoe, kita haroes mendirikan negara 

baroe, ja’ni negara Islam. Timboelnja Negara Islam ini, jang akan menjelamatkan Negara”. Untuk 

itu menurut Kamran harus diadakan persiapan, antara lain harus dapat dikuasai satu daerah 

tertentu yang dapat dipertahankan sungguh-sungguh. Dahlan Lukman menerangkan, bahwa 

persatuan di masa lampau merupakan “persatuan ayam dan musang”, dan kini ummat Islam 

memerlukan pimpinan yang baru dan kuat, yaitu seorang Imam. Pimpinan ini harus meliputi 

seluruh Jawa Barat. Selanjutnya dia mengusulkan supaya Masjumi dan seorang organisasinya 

harus menghentikan kegiatannya.  

Affan Ridhwan dari GPII mengusulkan supaya pemerintah di Yogyakarta didesak agar Jawa Barat 

diserahkan kepada ummat Islam. Dan dia usulkan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta 

“soepaja Soekarno ditoereonkan, baik sandiwara atau tidak kalau perloe “Coup d’etat.  

Menanggapi hal ini  Kartosoewirjo menjawab sebagai berikut, Jawa Barat bukanlah 

Shanghai, bukan negara internasional, dan kudeta hanya didjalankan oleh golongan ilegal, 

sedangkan Masjumi yaitu  sebuah partai yang legal. Sebuah negara berdiri hanyalah sebagai 

sarana tempat berkumpulnya komunitas manusia dalam pencarian identitas dan kebanggaan 

yang semu, di dalamnya juga terjadi fragmentasi berbagai manusia dengan segala simbol, atribut, 

  


  

 

dan karakter. Maka tidaklah salah jika dikaitkan dengan hal ini meminjam istilah Clifford Geertz 

menggambarkannya sebagai "Theatre State".  

Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi di Cisayong yaitu  membekukan Masjumi 

di Jawa Barat dan semua cabangnya dan “membentuk pemerintah daerah dasar di Jawa Barat 

yang harus dita’ati oleh seluruh umat Islam di daerah ini ”, serta mendirikan Tentara Islam 

Indonesia (TII). Dalam pemerintah dasar Jawa Barat yang diusulkan ini – Majelis Islam atau 

kadang-kadang disebut juga Majelis Umat Islam – organisasi-organisasi Islam yang ada harus 

bergabung. Ini akan menggantikan kedua Majelis Islam yang telah ada, yang didirikan di Garut 

dan Tasikmalaya pada tahun sebelumnya, yang sedikit banyak dibentuk atas garis yang sama. 

Ketua Majelis Islam ini yaitu  Kartosoewirjo sendiri yang juga bertanggung jawab dalam masalah 

pertahanan. Sebagai sekretaris diangkat Supradja, dan sebagai bendahara Sanusi Partawidjaja, 

sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing-masing dikepalai Toha Arsjad dan Abdul 

Kudus Gozali Tusi. 

Beberapa hari sesudah konferensi Cisayong, tepatnya pada pertengahan bulan Februari 1948 

dilangsungkan suatu pertemuan lain dengan tujuan memberi  bentuk yang kongkret kepada 

Tentara Islam Indonesia. Tidak hanya dibentuk Tentara Islam Indonesia yang sebenarnya, namun  

juga sejumlah korps khusus seperti Baris (Barisan Rakyat Islam) dan PADI (Pahlawan Darul Islam). 

Juga dibentuk Pasukan-pasukan Gestapu. Markas besarnya didirikan di Gunung Cupu, pangkalan 

pasukan Sabilillah yang dipimpin oleh R. Oni. Sedang R. Oni sendiri diangkat menjadi komandan 

daerah Tentara Islam Indonesia untuk Priangan. Dia juga menjadi komandan PADI, demikian pula 

menjadi kepala pasukan polisi rahasia Mahdiyin yang berarti terpimpin secara benar. Juga 

dibentuk korps polisi biasa. Mulanya badan ini disebut Badan Keamanan Negara, namun  namanya 

diubah menjadi Polisi Islam Indonesia. 

sesudah  terbentuknya T.I.I.,--terbentuknya atas bantuan rakyat yang secara suka rela mendukung 

adanya aksi ini,-- sekarang T.I.I. telah memiliki kurang lebih 60 senjata ringan. Bahkan kondisi 

semakin lebih baik saat  dukungan diberikan oleh kesatuan di bawah pimpinan Zainal Abidin, 

Adah Djaelani Tirtapraja, Agus Abdullah, Danu Muhammad Hasan dan kelompok-kelompok kecil 

lainnya yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.  

Kini R. Oni menempatkan batalyon-batalyon resimennya di lereng Gunung Cupu di daerah 

Gunung Mandaladatar, di antaranya untuk Batalyon I dikuasakan kepada S. Otong dari Bandung, 

Batalyon II dikuasakan kepada Zainal Abidin, Batalyon III dikuasakan kepada Adah Djaelani dari 

Singaparna. Seminggu sesudah  konferensi terjadilah pertempuran yang pertama dengan pasukan 

Belanda. Adapun Awal mula terjadinya peristiwa ini  saat  sehari sebelumnya R. Oni 

  


  

 

mengintruksikan kepada Moh. Ta’at salah seorang pasukan TII untuk patroli ke Lapangan 

terbang untuk mengintai pasukan Belanda, namun tidak didapatinya pasukan Belanda. 

lalu  pada tanggal 17 Februari 1948 satu regu pasukan TII sedang berpatroli di daerah 

Cirahung bertemu dengan pasukan Belanda yang sedang berjalan melewati daerah ini , 

maka tak dapat dihindarkan lagi terjadilah pertempuran. Yang kelak peristiwa ini diabadikan 

sebagai “Hari Angkatan Senjata”. Kejadian ini memang mempunyai arti politis besar bagi 

perjuangan, sebab  rakyat terutama para mujahidin Darul Islam memaklumi bahwa tujuan 

mereka yaitu  terutama untuk melawan tentara Belanda. Pertempuran dengan Belanda masih 

terus berlangsung hingga akhir April 1948, saat  pasukan TII meninggalkan daerah kantong 

gerilya awal Mei dan memencar di daerah Tasikmalaya-Ciamis-Garut-Indihiang,--di mana di 

daerah ini  telah diduduki tentara Belanda-- secara sporadis mulai diserang kembali oleh TII.  

Sebelum terjadinya peristiwa ini , tepatnya pada tanggal 1-2 Maret 1948 diadakan 

konferensi di Cipeundeuy/Banturujeg di daerah Cirebon yang dihadiri oleh semua pimpinan 

cabang-cabang Masjumi daerah Jawa Barat seperti dari Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, 

Cirebon, dan juga para komandan TII. Selain Kartosoewirjo hadir juga Sanusi Partawidjaja, R. Oni, 

Toha Arsjad, Agus Abdullah, Djamil, Kiai Abdul Halim dan wakil cabang Masjumi Jakarta Gozali 

Tusi. saat  semua peserta konferensi hadir Kamran membuka acara ini . Dalam acara itu 

Sanusi Partawidjaja menjelaskan keputusan-keputusan konferensi di Pangwedusan, Oni 

menerangkan Pengleburan Tentara Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia. 

saat  konferensi dilanjutkan pada hari berikutnya, semua keputusan-keputusan Pangwedusan 

disetujui dan Kartosoewirjo ditetapkan sebagai Imam di Jawa Barat. Keputusan berikutnya 

yaitu  Hizbullah Cirebon dilebur menjadi TII dan Kamran diangkat menjadi panglima Divisi. 

Selanjutnya Kartosoewirjo selaku Imam di Jawa Barat mengangkat tujuh anggota pimpinan 

pusat. Pimpinan Pusat ini  dibagi tiga dan susunannya yaitu  sebagai berikut: 

1. Bagian agama terdiri dari Alim Ulama yang “modern”, yaitu Kiai Abdul Halim dan K.H. 

Gozali Tusi. 

2. Bagian politik terdiri dari Sanusi Partawidjaja dan Toha Arsjad. 

3. Bagian militer terdiri dari Kamran dan R. Oni. 

Ketujuh orang ini diintruksikan melalui keputusan rapat ini  untuk menjadi pemimpin yang 

bertanggungjawab di seluruh Jawa Barat “hingga di seluruh Indonesia kelak”. lalu  dari 

hasil rapat ini  juga ditetapkan suatu “Program Politik Umat Islam” yang terdiri dari butir-

butir berikut ini: 

  


  

 

1. Memboeat brosoer tentang pemetjahan politik pada dewasa ini ja’ni perloenja lahir satoe 

negara baroe, ja’ni Negara Islam. Pengarang Kartosoewirjo (oentoek disiarkan ke 

seloeroeh Indonesia). 

2. Mendesak kepada pemerintah Poesat Repoeblik Indonesia agar membatalkan semoea 

peroendingan dengan Belanda. Kalau tida’ moengkin, lebih baik Pemerintah diboebarkan 

seloeroehnja dan dibentoek soeatoe pemerintah baroe dengan dasar Democratie jang 

sempoerna (Islam). 

3. Mengadakan persiapan oentoek membentoek soeatoe Negara Islam jang akan dilahirkan, 

bilamana: Negara Djawa Barat a la Belanda lahir, atau Pemerintah Repoeblik Indonesia 

boebar. 

4. Tiap-tiap daerah jang telah kita koeasai sedapat-dapat kita atoer dengan peratoeran Islam, 

dengan seidzin dan petoendjoek Imam.  

Selain itu dibuat juga suatu “Daftar Oesaha Tjepat” yang harus menerangkan kepada rakyat 

bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa kemerdekaan bagi Indonesia. Juga 

seluruh pegawai Republik dan semua Umat Islam yang bekerja untuk Belanda, begitu juga semua 

kepala desa yang berada atau tidak berada dibawa kekuasaan Belanda, supaya secepat mungkin 

“berjiwa Islam”. 

Ditetapkan juga untuk memperhebat penerangan tentang tauhid, amal saleh dan semangat 

berkorban hingga rakyat patut menjadi “warga negara Islam”. Selain itu dengan segala daya 

upaya faham Jihad dan ‘amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi. 

Sampai pada saat itu Kartosoewirjo beserta umat Islam masih berharap untuk dapat 

merealisasikan cita-citanya, yaitu pendirian Negara Islam secara legal, walaupun belum 

diproklamasikan secara terang-terangan, namun tidak pernah lenyap dari rencana umat Islam 

Jawa Barat yang akan dipersiapkan kelahirannya. Struktur militer dan pemerintah yang disusun 

Kartosoewirjo dan Oni, jelas dimaksudkan sebagai sebuah pemerintahan Islam yang akan 

menggantikan Pemerintahan Republik jika kalah dalam perang melawan Belanda.  

Pada tanggal 1-5 Mei 1948 kembali diadakan konferensi yang ketiga di Cijoho, hasil terpenting 

yang diputuskan dalam rapat ini  yaitu  perubahan nama Madjelis Islam Pusat menjadi 

Madjlis Imamah (kabinet) di bawah pimpinan Kartosoewirjo sebagai Imam. Madjlis Imamah itu 

terdiri dari lima “kementerian” yang dipimpin oleh masing-masing seorang kepala Madjlis, kelima 

Madjlis ini  yaitu : 

1. Madjlis Penerangan di bawah pimpinan: Toha Arsjad. 

  


 119 

 

2. Madjlis Keuangan di bawah pimpinan: S. Partawidjaja. 

3. Madjlis Kehakiman di bawah pimpinan: K.H. Gozali Tusi. 

4. Madjlis Pertahanan di bawah pimpinan: S.M. Kartosoewirjo. 

5. Madjlis Dalam Negeri di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.  

Anggota Madjlis Imamah yaitu  Kamran sebagai Komandan Divisi TII Syarif Hidajat dan Oni 

sebagai Komandan Resimen Sunan Rachmat. Di samping itu dibentuk pula Madjlis Fathwa yang 

dipimpin oleh seorang Mufti Besar, dan anggota-anggotanya terdiri dari para Mufthi. Tugas 

Madjlis Fathwa ini sebagai penasehat Imam. Keputusan penting lainnya yaitu  mendirikan dan 

menguasai satu “Ibu Daerah Negara Islam”, yaitu suatu daerah di mana berlaku “kekuasaan dan 

hukum-hukum agama Islam”, yang mana daerah ini dinamakan Daerah I (D.I), daerah di luar 

Daerah I dibagi-bagi menjadi Daerah II (D.II) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat Islam 

dan Daerah III (D.III), ialah daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan Islam (Belanda). Untuk 

lebih jelasnya lagi diberi keterangannya sebagai berikut: 

Daerah I (D.I) 

Daerah D-I ini merupakan daerah yang hukum-hukum Islam telah berlaku pada kalangan umat 

Islam baik di bidang hukum, ekonomi, sosial , dan budaya. Di daerah ini pulalah kedudukan Imam 

beserta apartur Negara dalam menjalankan roda pemerintahan negara dan mempertahankan 

daerah yang telah dikuasai. serta mengusahakan untuk meluaskan daerah itu dan berusaha 

menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II menjadi Daerah I. 

Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintahan Negara, dalam hal ini yang berwenang 

yaitu  Madjlis Keuangan yang telah dibentuk dari pusat sampai ke desa mewajibkan para 

penduduk menyerahkan 2,5 % dari pendapatannya sebagai pajak (infaq) kepada instansi sipil dan 

militer (TII) yang nantinya didistribusikan oleh Madjlis keuangan untuk kepentingan tiap-tiap 

Komandemen yang ada. Jika sistem ekonomi Islam seperti yang diterapkan oleh orang-orang DI, 

maka Cina di Indonesia akan berkembang secara alamiah dan tanpa ada tekanan-tekanan politik 

yang mengakibatkan krisis bagi mereka sendiri. Selama Indonesia merdeka--saat  rezim Sukarno 

dan Suharto berkuasa--kaum etnis Cina sering jadi korban penggayangan dan kerusuhan serta 

pembakaran dan pemerkosaan. Tidak seperti di RI, hubungan sipil dan militer menempatkan 

kaum tentara sebagai penjajah yang bertindak semena-mena dan bertindak represif, suka 

menyiksa dan membunuh rakyatnya sendiri.  

Menjadi bagian terpenting dalam perjuangan DI/TII yaitu  didirikannya di Daerah I Madjlis Doa 

bagi para ulama dan “orang-orang yang suci hidupnya”. Di Madjlis Doa itu siang-malam selalu 

  


  

 

mendoa sedikit-dikitnya 41 orang, di antaranya harus ada seorang pemimpin. Hal-hal yang harus 

dilakukan di markas doa ialah sholat Isti’anah (hajat), syukur, membaca ayat-ayat Al-Quran 

sebagai doa, terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan sholat Tahajud. Di 

samping itu mereka juga dididik dalam bidang ideologi dan politik. Kepada mereka diberi 

penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung. 

Tugas ketua Madjlis Doa ialah badan yang bertugas mengumpulkan berita yang diperoleh melalui 

“ilham dan karomah Allah” yang disampaikan kepada pembesar yang tertinggi di tempat itu, baik 

kepada pemimpin sipil atau pemimpin militer, selanjutnya disampaikan ke pusat”. Di samping itu 

manakala ada pemberangkatan pasukan TII ke medan perang, pemuka Madjlis Doa mengajak 

para penduduk untuk mengumandangkan shalawat badar untuk kepergian para pasukan supaya 

mereka “mati syahid” dalam setiap pertempuran. 

Daerah II (D II) 

Daerah D II merupakan daerah percampuran antara penduduk yang berwarga Negara Islam 

Indonesia dan penduduk yang berwarga negara Republik Indonesia, di mana lokasi teritorialnya 

yaitu  perbatasan kota dan desa. Di daerah ini tidak berlaku hukum Islam, namun manakala ada 

penduduk warga Negara Islam Indonesia yang melakukan kesalahan (berbuat dosa terhadap 

ajaran agama), mereka dibawa ke daerah D I untuk diputuskan permasalahannya. Di daerah (D. 

II) inilah sebagai tempat front perang antara pasukan TII dengan TNI. Kewajiban semua 

pemimpin di Daerah II yaitu , mengusahakan dengan sungguh-sungguh dalam menggalang 

negara untuk menarik simpati semua penduduk setempat supaya mereka tergugah hatinya 

untuk bersama-sama berjuang membela kebenaran yang ditunjukkan oleh Negara Islam 

Indonesia, dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh supaya D.II berubah menjadi D.I. 

Kewajiban infaq 2,5% dari penduduk diserahkan melalui petugas yang diangkat oleh Madjlis 

Keuangan lalu  diberikan kepada seorang kurir daerah D I untuk dibawa ke Pusat, 

sementara wajib dinasnya berlangsung selama seminggu.  

Daerah III (D.III) 

Di Daerah D.III yaitu  merupakan daerah musuh yang berlokasi di pusat-pusat kota, dan 

penduduk yang menjadi warga Negara Islam Indonesia di daerah D.III ini ditugaskan untuk 

mencari dana, senjata dan menjadi intel. Begitupun tentang kewajiban infaq 2,5% dari penduduk 

diserahkan kepada militer (TII).  

Sistem perluasan pengaruh ini dapat berfungsi berdasar  sebuah prinsip yang sederhana, tapi 

efisien, dan dalam prakteknya berjalan sebagai berikut: 

  


  

 

sesudah  sebuah daerah dimasukkan ke dalam Daerah I, menurut luas daerah ini  

ditempatkan seorang kepala desa, lurah atau camat. Pemimpin lokal ini  sekarang berusaha 

memperluas daerahnya sesuai dengan kedudukannya, sebab  daerah yang dikuasai jarang seluas 

seperti yang diharapkan, dan dia juga berusaha untuk memperkuat pengaruh di daerahnya. Bila 

kepala desa, lurah atau camat yang bersangkutan yang sekarang – sesudah  komando sipil dan 

militer disatukan – juga bertanggung jawab terhadap operasi militer di daerahnya telah berhasil 

mengkonsolidasi kekuasaannya, maka selanjutnya dia berusaha untuk dapat mengontrol Daerah 

II yang berbatasan dengan daerahnya. Untuk mencapai tujuannya, digunakan TII, PADI dan 

Gestapo. Sistem ini memberi  motivasi yang cukup kuat kepada masing-masing penguasa 

lokal untuk memperluas daerah mereka, sebab bila mereka berhasi memperluas daerahnya, 

mereka akan naik satu tingkat dalam hirarki administrasi. Dengan demikian seorang kepala desa 

naik menjadi lurah, lurah menjadi camat dan camat menjadi bupati.  

Konsep tentang pembagian daerah-daerah jelas dipengaruhi oleh hukum Islam, yang membagi 

dunia ke dalam Dar-al Islam, di mana hidup umat Islam dan di mana hukum Islam dipraktekkan 

sepenuhnya. Sedangkan Dar-al-harb yaitu  daerah yang dihuni pihak bukan Islam. sebab  tugas 

sebuah Negara Islam ialah menjalankan hukum-hukum Islam dan menetapkan Islam sebagai 

ideologi yang dominan bagi setiap masyarakat, maka secara teoritis Dar-al-Islam berada dalam 

keadaan perang yang terus menerus dengan Dar-al-harb, di mana jihad merupakan alat bagi 

negara untuk mengubah Dar-al-harb menjadi Dar-al-Islam.  

Untuk menjaga keutuhan dan menegakkan disiplin gerakan, maka melalui keputusan Konferensi 

Cijoho diputuskan bahwa setiap anggota haruslah mengangkat sumpah setia (bai’ah) terhadap 

pimpinannya. Dengan demikian diharapkan terjaminnya loyalitas umat terhadap pimpinannya. 

berdasar  peraturan ini  di Daerah I (D-I) orang-orang berikut ini harus mengangkat 

sumpah dari dan kepada: 

Imam terhadap Madjlis Imamah (kabinet) 

Kepala Madjlis (menteri) terhadap Imam 

Residen terhadap Imam 

Staf Residen terhadap Residen 

Bupati terhadap Imam 

Staf Bupati terhadap Bupati 

  


  

 

Camat terhadap Bupati 

Staf Camat terhadap Camat 

Kuwu (pemimpin lokal) terhadap Bupati  

Artinya, semua jabatan memiliki garis pertanggung-jawaban yang jelas, antara satu menjadi 

imam bagi yang lain dan juga sebaliknya serta begitu seterusnya. Prinsip yang sama juga berlaku 

bagi Daerah II dan Daerah III. Dalam Daerah ini hanya pegawai tinggi langsung harus mengangkat 

sumpah terhadap Imam. Begitu juga bagi militer berlaku prinsip yang sama, mulai dari Komandan 

Divisi yang harus mengangkat sumpah terhadap Imam, hingga ke tentara bawahan yang harus 

mengangkat sumpah terhadap atasannya. Bunyi dari sumpah (mubay’ah) ini  yaitu :