Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 5
ng diketuai
oleh H.F.J. Sneevliet.
Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevliet (1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai
seorang penganut mistik Katolik namun lalu beralih ke ide-ide sosial demokratis yang
revolusioner dan aktivisme serikat dagang. Dia lalu bertindak sebagai agen Komintern di
Cina dengan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914 kelompok Marxis ini mendirikan ISDV
(Indische Sociaal Democratsche Vereeninging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda), di
Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai Komunis pertama di Asia
yang berada di luar negeri Uni Soviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya orang Belanda, namun
organisasi ini ingin memperoleh dasar di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-6 partai ini
menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada
tahun 1907 dan sesudah tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang
berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk
beberapa orang Jawa yang terkemuka, namun organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal
untuk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh sebab itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih
kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut yang besar di
kalangan rakyat Indonesia.
Lewat organisasi inilah lalu gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis diekspor ke dalam
tubuh SI. Dengan menginfiltrasi SI diharapkan ISDV dapat menguasai massa. Pada tanggal 23 Mei
1920 sayap kiri partai SI di bawah pimpinan Semaun mengubah menjadi PKI (Partai Komunis
Indonesia), dengan SI cabang Semarang sebagai pusatnya. Semaun dipilih sebagai ketuanya
yang pertama, sekalipun pada waktu itu masih tetap sebagai anggota SI. Strategi dasar PKI ialah
bagaimana menghancurkan pengaruh tokoh-tokoh SI yang lain dan membawa SI secara
keseluruhan melalui infiltrasi ke dalam kamp komunis. Pada mulanya anggota PKI juga tetap
menjadi anggota SI. Pengaruh kiri di dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar sebab ISDV
berusaha memperoleh rakyat sebagai landasan. Pada tahun1914 seorang pemuda Jawa buruh
kereta api yang bernama Semaun (lahir tahun 1899) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada
tahun 1916 dia pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Sarikat Buruh Kereta Api dan
Trem (VSTP: Vereniging Spoor en Tramweg-personeel). Kini Semaun juga bergabung dengan
ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat mencapai 20.000 orang pada tahun 1917,
dan di bawah pengaruh Semaun cabang ini mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini
menentang peran serta SI dalam kampanye Indië weerbaar, menentang gagasan untuk duduk
dalam Volksraad, dan dengan sengit menyerang kepemimpinan Central Sarekat Islam (CSI).
Dalam kongres SI tahun 1917 kelompok radikal tampak memperoleh dukungan yang sangat besar.
Tjokroaminoto merasa takut akan dimulai pertikaian intern dengan mereka dan setuju
melontarkan kecaman terhadap kapitalisme yang berdosa; dengan demikian, nyata-nyata
mengecam modal asing dan Cina namun bukan modal yang ada pada para Haji Indonesia dan lain-
lain. Abdul Muis (1890-1959), seorang Minangkabau yang pernah menjadi wakil SI di dalam
delegasi Indië weerbaar ke negeri Belanda, melangkah sedemikian jauh saat mengatakan
bahwa apabila ternyata Volksraad gagal, SI akan memberontak.
SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, dan Kelompok aliran kiri yang dipimpin oleh cabang
Semarang sangat menggebu-gebu dan berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan.
Disamping itu pada tahun 1917 di daerah Jawa Barat telah didirikan suatu cabang revolusioner
rahasia. Sangat sulit diharapkan dari mereka, disamping ketidak jelasan arah perjuangan juga
keanggotaan rakyat sulit dikendalikan sebab sebagian besar mereka cenderung terhadap
tindakan kekerasan. Badai perpecahan di dalam tubuh SI ini saat tahun 1915 muncul satu
kekuatan baru di dalam tubuh SI. Pada tahun itu seorang Minangkabau bernama Haji Agus Salim
(1884-1954), yang bekerja sebagai mata-mata polisi turut hadir dalam satu acara rapat yang
diselenggarakan SI. Pada saat itula dia berubah niat justru ingin mendukung tujuan SI, dan
membawa bersamanya komitment pada Pan-Islam dan Modernisme sebagai dasar yang tepat
untuk menjalankan kegiatan politik partai.
saat diadakan pemilihan anggota Volksraad sekitar awal tahun 1918 sekaligus mengumumkan
hasilnya—Abdul Muis dari CSI dan Abdul Rivai seorang Minangkabau yang menjadi anggota
Insulinde, berhasil terpilih menjadi anggota,—namun seorang Gubernur bernama Jenderal van
Limburg Stirum tidak puas dengan hasil ini. Dia memakai hak penunjukannya untuk
mengangkat Tjipto Mangunkusumo (yang sudah kembali dari pengasingan) dari Insulinde dan
Tjokroaminoto dari SI yang lebih bisa diajak bekerja sama. Adapun dari orang Eropa yang berhasil
terpilih yaitu anggota yang lebih progresif daripada sebagian besar anggota yang
berkebangsaan Indonesia. Oleh sebab itu Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (Persekutuan
Liberal Hindia Belanda) yang berkecenderungan terhadap politik Ethis bekerja bersama-sama
dengan kaum Sosialis Belanda (Sociaal Democratische Arbeiderspartij: Partai Buruh Sosial
Demokrat) dan orang-orang Indonesia yang lebih liberal mengadakan satu koalisi dengan
membentuk suatu mayoritas dari anggota-anggota yang terpilih.
Tjokroaminoto yang ingin mempertahankan persatuan pergerakan nasional agak sedikit
apologetik dengan memberi kesempatan atau peluang pada golongan kiri. Tjokroaminoto
mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik
dalam teori maupun praktek.” Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialime sudah
inheren dalam Islam. “Kita muslim, jadi kita sosialis,” ucap Tjokroaminoto. saat SI pada tahun
1921 memberlakukan peraturan baru dalam rangka melaksanakan disiplin partai yang tidak lagi
memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata
dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islamannya. Dan pada tahun 1930 SI berubah
nama menjadi PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia).
Organisasi PSII memiliki tradisi non kooperasi yang panjang usianya. Kebijaksanaan politik
tentang ini pertama-tama dirumuskan pada Kongres pertama partainya pada tahun 1923 dan
1924. Dengan menemukan ilhamnya dalam gerakan Mahatma Ghandi di India, dikembangkanlah
konsep-konsep berdikari (swadeshi) dan dilenyapkannya struktur kolonial yang berlaku (hidjrah).
Sifat yang agak agresif dari politik non kooperasi PSII tercermin dalam kombinasi swadeshi
dengan hidjrah. Jadi swadeshi sendiri yang sudah mengandung penolakan pengaruh kolonial,
selanjutnya diperdalam oleh gagasan hidjrah, yang memungkinkan PSII merumuskan politik non
kooperasi yang agresif tanpa perlu memakai pemberontakan terang-terangan.
Selanjutnya di dalam tubuh partai PSII terdapat pertentangan antara kedua kelompok besar,
yaitu antara Dewan eksekutif (Ladjnah Tanfidzijah) di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso
(adik Tjokroaminoto) yang tetap memperjuangkan politik non kooperasi, di mana dia tidak mau
bekerja sama dengan fihak kolonial. Dan di satu pihak Dewan Partai di bawah pimpinan H. Agus
Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dia khawatir,
kalau politik non kooperasi diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat
keruntuhan partai dan dia mendesak supaya diadakan suatu referendum tentang masalah ini.
Juga Roem berpendapat, bahwa rakyatlah yang paling menderita sebab haluan yang dijalankan
Abikusno ini. Sebab partai tidak lagi mewakili kepentingan rakyat di Volksraad dan semua itu
hanyalah demi kepentingan politik partai. Meskipun sudah banyak alasan yang dikemukakan
oleh Salim tetap tidak berhasil usul-usulnya itu diterima oleh partai, justru sebaliknya Abikusno
menuduh Salim hanya untuk mencari kursi dalam Volksraad. Sebelum usul-usul Salim dapat
diperdebatkan pada kongres partai yang berikutnya, Abikusno telah meletakkan jabatannya
sebagai ketua partai pada akhir tahun 1935, sebab yang dikatakannya, dia tidak mau menghalangi
Salim dalam usahanya itu.
Kartosoewirjo yang pada saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Dewan Eksekutif, (Ladjnah
Tanfidzijah), mengikuti langkah Abikusno meletakkan jabatannya.
Pada kongres partai ke 22 di Batavia bulan Juli tahun 1936 Abikusno terpilih menjadi ketua partai
PSII. sesudah cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan, yaitu kongres partai hanya
harus memilih ketua partai saja. Di kongres ini terlihat jelas bahwa Abikusno lebih kuat
dibandingkan dengan Agus Salim, dengan demikian Abikusno terpilih menjadi formatur, yang
dapat memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Dan melalui rapat formatur ini
Abikusno segera mengangkat Kartosoewirjo menjadi wakilnya. Jabatan sebagai wakil ketua PSII
dipegang Kartosoewirjo sampai ia keluar dari partai dalam tahun 1939.
sesudah terpilihnya Abikusno menjadi ketua partai dia mengumumkan bahwa pertentangan
mengenai politik hidjrah telah berakhir dan memerintahkan semua cabang-cabang partai
ini untuk tidak mengambil peduli pada saran-saran Salim.
Dalam bulan November 1936 dengan perasaan yang sangat kecewa atas sikap Abikusno itu Salim
membentuk suatu fraksi sendiri dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Moehammad Roem.
Fraksi ini diberi nama “Barisan Penjadar PSII” dan Salim berharap, bahwa di suatu saat
nanti usul-usulnya untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial akan disetujui. sesudah
mendengar khabar bahwa Salim membentuk fraksi baru ini , Abikusno segera memberi
responnya dan mengumumkan kepada anggota-anggota PSII , bahwa politik hidjrah menjadi
politik resmi partai ini , dan dia melarang cabang-cabang partai dengan ancaman
pemecatan, bila mereka mendiskusikan usul-usul Salim atau mendukung fraksi Salim. PSII hanya
mencontoh Sunnah Rasulullah dan bukan mengikuti pola pergerakan Barat, kata Abikusno.
Anggota-anggota fraksi Salim merasa bahwa mereka yang sudah sangat berjasa untuk partai dan
berjasa untuk “Oemat Islam dan kaoem sebangsa Indonesia, oleh poetjoek pimpinan “Baroe”
dibentjana namanya dan kehormatannja.” Pucuk pimpinan kekurangan kesadaran sebagai
pimpinan partai Islam yang hendak menjunjung agama Islam. Tulis Sabirin. Sabirin sebagai
anggota fraksi Salim yakin, bahwa PSII akan menjadi satu perhimpunan rakyat “dalam
pengawasan polisi, tertutup langkahnja dalam politik.” Begitu juga Moh. Roem sebagai ketua
Barisan Penjadar menulis bahwa dari pergerakan politik Indonesia akhirnya hanya tinggal
namanya saja. Hak-hak dasar demokrasi dianggap rendah oleh pimpinan partai, hak untuk
mengeluarkan pendapat secara bebas bagi anggota partai dilanggar, tulis Moehammad Roem.
“Partai memboetoehkan ketentraman, ketentraman jang akan terdapat djika “doodsklok”
soedah diboenjikan, ketentraman di liang koeboer.”
Dalam bulan Januari 1937 Salim, Roem, Sabirin, Sangadji, Muslich dan 23 anggota fraksi Salim
yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Dengan demikian terjadilah perpecahan PSII
lebih lanjut, sebab Salim segera membentuk suatu partai Islam baru yang berdiri sendiri, yang
disebutnya “Pergerakan Penjadar”.
Kritikan juga dilancarkan oleh Kartosoewirjo kepada Agus Salim saat diadakan kongres partai,
dan Kartosoewirjo menuntut suatu penerapan politik hidjrah yang tidak mengenal kompromi.
Kartosoewirjo menerangkan, bahwa politik ini merupakan suatu jalan tengah antara Non-
kooperasi dan Kooperasi. Oleh sebab itu, dalam kongres Abi Kusno menugaskan Kartosoewirjo
untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hidjrah partai PSII.
Abikusno Tjokrosujoso membuat pernyataan bahwa kongres PSII Juli 1936 telah menyetujui
politik Hijrah dan telah diuraikan secara terperinci oleh Kartosoewirjo dalam suatu brosur dua
jilid mengenai masalah ini yang judulnya berbunyi “Sikap Hidjrah PSII” dan untuk Kata
Pengantarnya sendiri akan dibuat olehnya serta ditandatanganinya sebagai presiden dan Arudji
Kartawinata sebagai sekretaris PSII.
Hasil kongres yang telah diputuskan bersama itu mendapat kritikan dari anggota-anggota fraksi
Salim, mereka menyatakan bahwa penjelasan tentang politik hidjrah tidak dapat diperoleh
melalui pimpinan partai apalagi melalui brosur-brosur Kartosoewirjo. Semua itu kelihatan hanya
sebagai suatu bungkusan yang indah namun tanpa isi, tulis Sabirin. fakta nya politik Hidjrah
atau politik Non kooperasi PSII juga tetap tanpa hasil seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Kritik Moh. Roem terhadap brosur Kartosoewirjo terutama ditujukan pada bab akhir, di mana
Kartosoewirjo di dalam brosurnya menerangkan politik Hidjrah. “Mengapa tidak diterangkan
setjoekoepnja? Tanya Moehammad Roem. “Oentoek pengertian jang lebih djelas, lebih baik
diadakan sadja dhoekir “baroe” jaitoe, mengoetjapkan perkataan “Politik Islam “100 kali”,
begitu sarannya.
Pertanyaan tentang Non Kooperasi atau Kooperasi tidak dibahas Kartosoewirjo di dalam brosur-
brosurnya, hal itu sesuai dengan petunjuk Abikusno. Masalah Non Kooperasi tidak penting bagi
PSII dan tidak ada gunanya. Hanya untuk memikirkan hal ini sudah merusak pikiran kita,
tulis Kartosoewirjo. Sebagian besar brosurnya ditujukan pada pembahasan arti sebenarnya dan
maksud hijrah. Dibedahnya Al-Quran yang memuat kata hijrah dan dijelaskan artinya dalam
konteks yang relevan. Penafsiran dan pandangan Kartosoewirjo tentang perubahan konsep
pada konteks kolonial sangat teliti dan jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan diri pada Al-
quran dinyatakan hijrah sebagai kewajiban “semua pria dan wanita, tua dan muda,” kecuali
mereka yang lemah, dan hijrah tidak boleh dihentikan “sebelum Falah (Keselamatan) dan Fatah
(Kemenangan atau Pembukaan) tercapai.
Menurut Kartosoewirjo PSII berdiri di luar badan/lembaga yang dibentuk oleh pemerintah
kolonial, namun partai ini tidak akan tinggal diam, bila rakyat dan bangsa akan dirugikan. Program
politik PSII dia bandingkan dengan Jihad selama waktu Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo, politik
PSII yaitu politik Islam, yang ia terangkan sebagai berikut:
“Jang dimaksoedkan dengan politik dalam faham Party Sjarikat Islam Indonesia ialah politik Islam,
politik sepandjang adjaran-adjaran Islam. Dan dari sendirinja, maka politik jang didjalankan oleh
PSII ialah politik Islam. Boekan politik barat atau politik membarat! Boekan politik jang tidak ada
sangkoet-paoetnja dengan Islam dan boekan poela politik jang “Boekan politik Islam” atau
politik di loear Islam”! Dalam brosurnya jilid I, Kartosoewirjo membahas hubungan antara
manusia dan agama, begitu juga antara agama dan politik. Sejarah PSII antara tahun 1912-1936
dia bagi dalam tiga tahap, tahap I, zaman Qouliyah yaitu antara tahun 1912-1923. Pada tahap ini
perhatian partai kebanyakan ditujukan pada hal-hal duniawi. Tahap yang kedua yaitu zaman
Fi’liyah yaitu antara tahun 1923-1930, suatu zaman peralihan, dan tahap yang ketiga yaitu zaman
I’tiqadiyah sesudah tahun 1930. Pada tahap ini manusia sadar akan kewajiban-kewajiban
agamanya. Kartosoewirjo menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan
suatu dunia Islam yang murni. Dalam dunia Islam manusia harus menjalankan perintah-perintah
Allah dan nabinya secara sungguh-sungguh dan benar.
Dalam jilid II, Kartosoewirjo menjelaskan penafsiran arti-arti hidjrah, yang bagi PSII merupakan
kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan
Non Kooperasi yang mempunyai arti yang lebih negatif, Hidjrah merupakan sikap yang positif,
demikian Kartosuwiryo. Dia juga menentang pendapat yang tersebar luas di Barat, bahwa jihad
selalu harus berarti perjuangan fisik. Dia membedakan dua macam Jihad, yaitu jihad kecil (jihad
ul asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (jihad ul akbar)
yang ditujukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri. Dan sebab tidak ada
Hidjrah tanpa Jihad, maka PSII menyusun suatu program Jihad yang menjadi bagian dari “jihad
PSII”.
Pada kongres partai PSII yang ke 23 tahun 1937 di Bandung, di bawah pimpinan Kartosoewirjo
dibentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hidjrah” (Daftar Oesaha
Hidjrah PSII). Di mana penyusunan program ini telah diputuskan juga dalam kongres partai
yang berikutnya pada tahun 1938 di Surabaya. Serta diputuskan juga akan didirikan suatu
lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Soeffah PSII”, yang akan dibuka pada
tanggal 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai wakil presiden PSII,
yang bertujuan untuk pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, agar dengan demikian
mereka dapat memerintah negara mereka sendiri bila saatnya nanti telah tiba, khususnya bagi
anggota PSII yang laki-laki.
Akan namun sangat disayangkan sekali program yang baik ini tidak bisa terwujud melalui
partai seperti yang direncanakan semula, sebab dalam beberapa tahun lalu situasi dalam
partai PSII mengalami perubahan haluan politiknya.
Pada tahun 1939 Kartosoewirjo terlibat dalam pertengkaran yang sengit dengan mayoritas
pimpinan PSII yang diketuai Abikusno. Sebagai pimpinan partai Abikusno mengajak
Kartosoewirjo untuk memutar haluan politik partai dengan bergabung ke GAPI (Gabungan
Politik Islam) dalam mengatasi tekanan Pemerintah Kolonial yang makin mendesak. namun
Kartosoewirjo tidak ikut melaksanakan perubahan arah balik politik ini dan tanpa kompromi
tetap istiqomah pada pendiriannya, di mana satu-satunya haluan yang benar yaitu politik
Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo tuntutan GAPI, yaitu pembentukan suatu parlemen Indonesia,
dan itu merupakan “sikap kooperasi juga namun, dengan corak yang lain”.
Perubahan politik PSII dari garis non kooperasinya yang dulu membuat brosur Sikap Hidjrah PSII
yang dibuat oleh Kartosoewirjo begitu besar arti dan nilainya, kini sudah tidak berguna lagi.
Pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Kartosoewirjo dicap sebagai anakronisme (yang tidak
berkesesuaian). Maka untuk mempertahankan kebenaran sikap PSII, Kartosoewirjo dengan
anggotanya yang sealiran antara lain Jusuf Taudjiri, dan Kamran membentuk partai baru yaitu
Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII). sebab dimaksudkan untuk bergerak di dalam PSII.
Pada awal tahun 1939 Dewan Eksekutif PSII mengeluarkannya dari partai, yang sebelum
pemecatan Kartosoewirjo dituduh telah menyalahgunakan uang partai. Dengan tindakan yang
sepihak dari partai ini Kartosoewirjo tidak menghiraukannya dan terus melanjutkan rencananya
semula untuk melaksanakan program aksi hidjrah dan pembentukan lembaga pendidikan kader.
Pada kongres partai yang ke 25 dalam bulan Januari 1940 di Palembang, melalui keputusan yang
diambil komite eksekutif partai resmilah pemecatan Kartosoewirjo, Joesoef Taudjiri, Akis,
Kamran, dan Sukoso dengan perimbangan 134 suara setuju, 9 suara netral. Dan diputuskan juga
dalam kongres ini bahwa pelaksanaan program aksi Hidjrah tidak lagi diteruskan dan
komisi yang sebelumnya ditugaskan untuk menyusun program ini, akan dibubarkan. Serta semua
anggota PSII dilarang untuk memasuki Partai yang dibentuk oleh Kartosoewirjo.
Dalam bulan Maret 1940 melalui rapat umum komite Kartosoewirjo memutuskan mengubah
KPK-PSII menjadi sebuah partai independen, yang berkantor pusat di Malangbong. Maksud yang
terkandung sesungguhnya di belakang ini yaitu bahwa komite akan berkembang menjadi PSII
yang sebenarnya. sebab PSII Abikusno Tjokrosujoso dirasakan terdiri dari orang-orang yang
telah mengkhianati haluan politik partai PSII yang telah dirintis oleh pembesar-pembesar partai
sebelumnya dan berkhianat atas perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya.
Dengan memakai anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII yang lama, Kartosoewirjo ingin
menegaskan bahwa KPK PSII yaitu kelanjutan yang sebenarnya dari PSII yang lama. Sebab
Kartosoewirjo merasa yakin bahwa partainya ini yaitu partai PSII yang benar.
Menurut Horikoshi, pada sidang KPK-PSII yang pertama dalam bulan Maret 1940, dihadiri oleh
enam cabang PSII yang lama dari Jawa Barat di antaranya dari Cirebon, Cibadak, Sukabumi,
Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong. Dalam sidang itu, keluar juga Daftar Oesaha Hidjrah
PSII yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosoewirjo saat dia masih menjabat sebagai
wakil ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII ini masih keluar dengan judul aslinya dan
dicetak oleh penerbitan yang didirikan oleh Kartosoewirjo di Malangbong, yaitu “Poestaka Darul
Islam”.
Kartosoewirjo juga masih merencanakan untuk menerbitkan suatu penafsiran tentang program
ini (Tafsir Daftar Oesaha Hidjrah) namun rencana ini tertunda. Dalam kata pengantar
brosurnya, Kartosoewirjo tidak menyebut pemecatan dirinya dari PSII yang terjadi sebelumnya
dan juga tidak menyinggung bagaimana terjadinya pembentukan KPK-PSII. Bahkan dia memberi
kesan, bahwa dia sekarang mewakili PSII yang sebenarnya. Dia hanya menyayangkan, bahwa
Daftar Oesaha Hidjrah PSII tidak lagi dapat diterbitkan sebelum berlangsungnya kongres PSII di
Surabaya seperti yang direncanakan. Dalam Bab I brosurnya, Kartosoewirjo membahas struktur
masyarakat yang menurut dia terdiri dari tiga macam masyarakat yang berbeda-beda dalam
hukum dan haluannya, dalam susunan dan aturannya dan dalam sikap dan pendiriannya, namun
hidup bersama-sama dalam satu negeri.
Ketiga macam masyarakat ini yaitu masyarakat Hindia Belanda atau “masyarakat
kejajahan” yang berkuasa; berikutnya yaitu masyarakat Indonesia yang belum mempunyai
hukum maupun hak dan tidak mempunyai pemerintahan sendiri, dan yang ketiga yaitu
masyarakat Islam atau “Darul-Islam”. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat
Islam menurut Kartosoewirjo yaitu sebagai berikut:
“…masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terdjangnja ke
djoeroesan Indonesia Raja, agar soepaja dapat berbakti kepada Negeri toempah darahnja,
berbakti kepada Iboe-Indonesia. Sebaliknja, kaoem Moeslimin jang hidoep dalam masjarakat
Islam atau Daroel-Islam, “tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa poen
djoega, melainkan mereka hanja ingin berbakti kepada Allah jang Esa belaka”. Maksoed
toedjoeannja poen boekan Indonesia Raja, melainkan Daroel-Islam jang sempoerna-
sempoernanja di mana tiap-tiap Moeslim dan Moeslimah dapat melakoekan hoekoem-hoekoem
agama Allah (Islam), dengan seloeas-loeasnja, baik jang berhoeboengan dengan sjahsiyah
maoepoen idjtima’iyah.
Pada bab berikutnya, Kartosoewirjo menyebutkan alasan-alasan turunnya “harkat derajat
manusia atau bangsa”, yaitu sebab “membelakangkan dan membohongkan agama Allah”.
Kartosoewirjo mengharapkan persatuan dunia Islam dengan umatnya secara keseluruhan. Dan
dia yakin, hanya dengan cara demikian dapat tercipta suatu dunia baru atau “Darul Islam”.
Program aksi Hidjrah dia bagi dalam bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan satu
bidang tentang mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”. Dalam bagian tentang politik dia
tanpa memberi keterangan lebih lanjut hanya menyebut politik Islam nasional, politik Islam
Internasional dan politik Islam terhadap dunia non Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menulis
bahwa “kalau kita Hidjrah dari Mekkah Indonesia ke Madinah Indonesia…, boekanlah sekali-kali
kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di
dalam sifat, thabi’at,, amal, itiqad dan lain-lain sebagainja.” Untuk mencapai Darul Islam yang
sesempurna-sempurnanya, tulis Kartosoewirjo selanjutnya, manusia harus melepaskan “sifat,
thabi’at dan laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada sifat, thabi’at dan laku ke-Madinah-an.”
Tentang perekonomian dia menerangkan, bahwa sistem perekonomian harus berlandaskan
pada solidaritas dan kolektivitasme. Harta yang berlebihan dari pada keperluan diri masing-
masing atau rumah tangga haruslah disetorkan ke dalam tempat perbendaharaan umum seperti
Baitul-Mal yang lalu akan digunakan untuk membantu mereka yang berekonomi lemah.
Dengan cara demikian tidak terdapat penumpukan kekayaan yang berlebihan dan kemiskinan
akan dapat diperangi. “Ini yaitu gambaran dunia Islam yang kita inginkan” demikian tulis
Kartosoewirjo.
Pada bulan Maret 1940, rencana Kartosoewirjo diterima oleh kongres KPK PSII yang
mengesahkan sebuah resolusi untuk membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat
Malangbong. Lembaga Suffah ini dibentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, di
mana para siswanya juga bertempat tinggal di sana. Kartosoewirjo sendiri mengajarkan bahasa
Belanda, astrologi, dan ilmu tauhid kepada para siswanya. Metode pengajaran diambil dari
metode H.O.S. Tjokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping mendapat pengajaran
pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam juga dididik dalam Ilmu politik. sebab
mengetahui bahwa mereka menghadapi kehilangan kekuasaan, maka pihak Jepang
memutuskan untuk menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan
rakyat Indonesia. Angkatan Darat ke-16 mendesak unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati di
dalam hierarki-hierarki Jepang supaya bertindak dengan cepat, sebab mereka benar-benar
mengetahui bahwa bibit-bibit revolusi telah tertanam dalam di Jawa. Pada bulan Maret 1945
pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, yang mengadakan pertemuan pada akhir bulan Mei di bangunan lama Volksraad di
Jakarta. Keanggotaannya mewakili sebagian besar pemimpin setengah baya di Jawa yang masih
hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran yang penting. Radjiman Wediodiningrat
menduduki jabatan ketua, sedangkan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim,
Mohammad Yamin, dan yang lain-lain duduk sebagai anggotanya. Keputusan pengangkatan para
pemimpin dari generasi tua ini diharapkan oleh Pihak Jepang dapat diajak kerja samanya bila
sudah merdeka nanti.
Sebagai dasar pendidikannya dia memakai konsep Daftar Usaha Hidjrah yang terdiri dari 5
bagian itu. Siswa-siswanya tidak hanya berasal dari Jawa Barat, namun juga dari provinsi lainnya
di Jawa dan dari Sulawesi Selatan, Sumatra dan Kalimantan. Awalnya banyak siswa yang merasa
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di lembaga Suffah yang penuh dengan
disiplin, pekerjaan yang berat dan makanan yang sederhana. Ternyata dengan niat yang suci dan
hati yang tulus untuk mendapatkan ridho ilahi akhirnya mereka mampu menempa dirinya dengan
semangat Ruhul-Islam yang memancar dalam pribadi-pribadi kemusliman mereka, dan pada
akhirnya dengan kesadaran, keyakinan dan panggilan Ilahi untuk memenangkan Agama Allah di
muka bumi ini, mereka siap sedia dengan hati yang ikhlas menjadi tulang punggung kekuatan
Darul Islam dan menjadi ma’mum yang setia atas imam Kartosoewirjo, yang di lalu hari
bersama-sama bahu membahu untuk tetap menggalang Negara Kurnia Allah yang
diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949.
Kartosoewirjo dan Setting Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia:
Peristiwa Hijrah ke Jawa Barat
Untuk melihat betapa pentingnya posisi politik Jawa Barat, kita terlebih dahulu harus memahami
beberapa political shift di Indonesia dilihat dari wilayah ini. Peristiwa perang Asia Pasifik antara
tentara sekutu dengan Jepang mendatangkan berkah bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
saat terjadinya serangan balik yang dilancarkan oleh pihak sekutu pada tanggal 7 Agustus 1942
dalam upayanya untuk merebut daerah Guadalkanal telah menjadi malapetaka bagi Jepang.
Apalagi sesudah adanya peristiwa tertembaknya Admiral Jepang bernama Isoroko Yamamoto
dalam penerbangannya di daerah Pulau Bougenville, 18 April 1943, sungguh sangat meruntuhkan
moral para pejabat militer Jepang yang berada di tanah jajahan termasuk di Indonesia. Ditambah
adanya pergolakan di tanah air sendiri yang ditimbulkan oleh revolusi sosial yang dipelopori oleh
para alim ulama dan petani dalam menentang setiap penjajahan di tanah air semakin
mempersulit langkah-langkah Jepang dalam usahanya menggalang kekuatan personil militernya.
Akumulasi kejadian diatas telah memperlihatkan tanda-tanda kelemahan Jepang. Kelemahan itu
diikuti dengan satu demi satu daerah yang telah diduduki Jepang di Asia Timur dapat direbut
kembali oleh pihak sekutu sesudah melancarkan aksi balasannya. Oleh sebab itu, untuk
mengatasi masalah yang terjadi baik dari luar maupun dari dalam, pemerintah Jepang yang
berada di Indonesia pada tanggal 7 September 1944 telah mengumumkan untuk bangsa
Indonesia sebuah janji berupa kemerdekaan Indonesia di kelak lalu hari, yang akan
disiarkan melalui berbagai media massa.
Makna Jawa Barat, khususnya Kota Blitar, Cilacap, Bandung dalam geopolitik Jepang, belajar dari
pengalaman sejarah Belanda, yaitu sangat penting. Demikian strategisnya Jawa Barat sehingga
kita menyadari mengapa Belanda menyerah di Kalijati Subang, 8 Maret 1942, berdampak seluruh
nusantara berbalik jatuh ke tangan penjajahan Jepang. Hal ini tidak lain sebab Jawa Barat
merupakan jantungnya kekuatan Penjajahan Belanda. Maka memahami kondisi Jawa Barat yang
demikian strategis inilah maka dipakai oleh Kartosoewirjo sebagai wilayah hijrah. Seluruh potensi
militer Jepang ada di sekitar Bandung dan daerah-daerah Sunda lainnya sangat penting artinya
bagi dasar-dasar revolusi Islam bersenjata pada akhirnya. Terutama kekuatan infanteri Jepang
yang luar biasa terdapat di Cimahi, kavaleri dan udaranya di Bandung, dan pabrik senjata dan
mesiunya di Bandung. Departemen perangnya pun di Bandung. Dengan terkuasainya Bandung,
maka Tentara Jepang dapat menguasai seluruh Nusantara. Kecuali terhadap Jawa Barat, Tentara
Jepang menaruh sentral atensi sepenuhnyadengan pengertian selalu mendapatkan tanggapan
tersendiri dari pemerintah Balatentara Jepang di Jakarta dan Tokyo.
Seperti terhadap Pemberontakan Tentara Peta Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, yang
mengambil tempat yang beradius sangat dekat dengan kota Bandung dan Jakarta, perhatian
Jepang sangat beda perlakuannya bila dibandingkan dengan perlakuannya terhadap
Pemberontakan Tentara Peta sebelumnya di Blitar dan Cilacap dan terhadap Pemberontakan
Tentara Peta di Aceh (November 1944) yang mendahuluinya. Ternyata Tentara Jepang
mengambil sikap yang positif untuk Jawa Barat, berdampak mengubah jalannya sejarah bagi
bangsa dan negara Indonesia. Dengan pertimbangan geopolitiknya pula, Tentara Jepang
memperlihatkan sikapnya yang sangat berani menyeret para pelaku Pemberontakon Tentara
Peta Blitar ke Mahkamah MiliterJepang. Dengan perhitungan proses pengadilan akan
menumbuhkan iklim takut, fear strategy, yang lebih mencengkam. Terutama kalangan politisi,
tidak berani melancarkan tindakan politik yang tidak sejalan dengan kebijakan Tentara Jepang,
bila diperlihatkon proses pengadilan pemberontak Tentara Peta Blitar.
Menjadi satu catatan dalam perjalanan pergerakan Islam Indonesia, saat lahirnya suatu zaman
baru yang sedang menyingsing ialah lahirnya gerakan pembaharuan Islam. Adapun yang melatar
belakangi timbulnya gerakan pembaharuan ini perlu ada pengkajian yang lebih mendalam.
Keadaan Islam di Indonesia sangat menonjol sebab keaneka ragamannya. namun hampir
kebanyakan umat Islam Indonesia pada dasarnya yaitu kaum Sunni yang menganut faham
madzhab Syafi'i yang didirikan di Timur Tengah pada akhir abad VIII dan awal abad IX Masehi. Di
dalam keaneka ragaman itu banyak pula diantara muslim yang saleh terlibat dalam masalah
mistik Sufi; hal itu ditandai dengan tumbuh suburnya berbagai tarekat-tarekat seperti: tarekat
Syattariyah, tarekat Qadiriyah, dan tarekat Naqsyabandiyah. Akan namun , di balik keseragaman
yang tampak ini terdapat banyak perbedaan, hampir dipastikan lahirnya segala macam keyakinan
itu merupakan penyimpangan dari ajaran Islam sebab ketidak tahuan mereka dalam penggalian
ajarannya. Seperti halnya di semua negeri yang terdapat salah satu agama besar dunia, Islam di
Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan adat dan ide-ide lokal. Oleh sebab
itulah, maka orang-orang muslim terpelajar Indonesia dengan memperhatikan semua yang ada
di sekeliling mereka, membuat perubahan besar dengan pembaharuan pemikiran yang lebih
rasional lagi.
Selama masa penjajahan Jepang, sedikit berbeda dengan kondisi masa penjajahan Belanda,
kondisi umat Islam sangat menyedihkan. Hanya pada periode pendudukan Jepang yang
kendatipun singkat merupakan episode pembuka kembali keterlibatan umat Islam Indonesia
dalam dunia politik. Sumbangan terbesar Jepang bagi politik Islam Indonesia terletak pada
upayanya untuk menyatukan berbagai kekuatan Islam dalam suatu organisasi Masyumi yang
didirikan pada 7 Agustus 1945, yang didukung baik oleh Muhammadiyah maupun Nahdlatul
Ulama (NU). Usaha Wahid Hasyim beserta tokoh-tokoh Islam lainnya untuk lepas dari pengaruh
Jepang pada awalnya berhasil baik. Hal ini terbukti, saat Jepang mengalami kekalahan dalam
perang, sementara mereka yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi tetap memainkan peran
penting dalam politik nasional Indonesia.
Pada bulan Maret 1942, saat itu bala tentara Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Shoji sudah
masuk ke wilayah Jawa Barat lewat Eretan dekat Subang, mereka terus memobilisasi pasukan
untuk terus bergerak menuju pusat pemerintahan kolonial di Bandung, sebab di Bandung
berada semua pemerintah kolonial yang telah diungsikan sejak bulan Februari 1941. Bersamaan
dengan kejadian itu Kartosoewirjo masih tetap berada di Malangbong, di jantung Jawa Barat
sehingga tidak langsung merasakan pengaruh perang ini .
Seperti ramalan Jayabaya yang kebanyakan orang Indonesia meyakininya, Kartosoewirjo
mempunyai prediksi bahwa Jepanglah yang akan mengusir Belanda dan mengakhiri kekuasaan
Kolonialnya di Indonesia. Dengan adanya serangan dadakan dari pihak Jepang ini, maka pada
tanggal 8 Maret 1942 Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda, Jenderal Ter
Poorten, bersama Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa sarat kepada Jepang.
Pada tanggal 9 Maret 1942, di mana militer Jepang telah berhasil menaklukkan Belanda, mulailah
mereka melanjutkan politik yang pernah dijalankan oleh Belanda. Niponisasi mulai diterapkan di
hampir seluruh wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. Berbeda dengan Belanda, pemerintah
Jepang mengadakan perubahan politik yang baru berupa devide and rule - pecah belah untuk
dikuasai. Oleh sebab pihak Jepang sangat faham betul tentang peta kekuatan politik yang
sedang berkembang saat itu. Dimana dalam pandangan politiknya, di Indonesia sedang ada dua
kekuatan yang sedang bertarung dalam menentukan masa depan negerinya, yaitu nasionalis
Islam dan nasionalis yang non Islam.
Sebelum kedatangannya ke Indonesia Jepang sudah mengerti betul bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia yaitu orang Islam, dan keberadaan mereka tersebar disetiap ormas dan
parpol Islam. Oleh sebab itu khusus untuk umat Islam Jepang telah membuat kebijakan politik
tersendiri, yang menurut H.J. Benda disebut Nippon's Islamic Grass Root Policy - Kebijakan Politik
Islamnya Jepang. Arah kebijakan politik ini yaitu bagaimana Jepang berusaha untuk bisa
mengeksploitasi kekuatan umat Islam yang tertumpu pada Ulama Desa dan para cendikian
muslimnya, sebab menurut anggapan Jepang keberadaan mereka semua hanyalah sebagai
penghambat penjajahannya di Indonesia.
Pembaharuan disegala bidang dilakukan oleh Jepang dalam awal pejajahannya. Hal ini dilakukan
oleh Jepang sebab di Indonesia telah menggema rasa nasionalisme untuk keluar dari belenggu
penjajahan, yang jika dicegahnya akan mengadakan perlawanan. Dan inilah yang tidak diinginkan
oleh Jepang sesudah belajar banyak dari bagaimana Belanda menjalankan kolonialismenya di
Indonesia. Dengan diadakannya pembaharuan ini untuk meyakinkan kepada masyarakat
Indonesia bahwa kehadiran mereka yaitu sebagai Saudara Tua dalam pengertian politik. Yang
nantinya akan memberi kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal pembaharuan yang dibuka oleh Jepang disambut baik oleh kalangan politisi Indonesia.
Dalam suatu sidang yang diikuti sejumlah politikus Indonesia untuk mengajukan suatu saran
kepada pihak Jepang mengenai susunan sebuah kabinet Indonesia masa yang akan datang.
Dengan penuh semangat Abikusno yang memimpin sidang itu telah menyusun suatu “Daftar
Calon-calon Menteri untuk Pemerintah Indonesia dan para pembantunya”, tanpa meminta
persetujuan terlebih dahulu dari calon-calon yang bersangkutan Abikusno mengusulkan Moh.
Hatta menjadi menteri perekonomian dan Soekarno menjadi menteri propaganda. Dan dia
sendiri disebut surat kabar Tjahaja Timur sebagai calon yang memenuhi syarat untuk jabatan
perdana menteri.
Harapan akan terbentuknya sebuah pemerintahan sendiri menjadi buyar. Segala dugaan tentang
susunan Pemerintah Indonesia kelak segera berakhir dengan diumumkannya dekret Panglima
Militer Jawa (Maklumat No 3) pada 20 Maret 1942 yang melarang membicarakan – dalam bentuk
apa pun – struktur politik Indonesia. Akhirnya para pejabat Jepang meletakkan kartunya di meja.
Kata-kata maklumat itu disusun sedemikian rupa hingga benar-benar tidak memungkinkan setiap
partai menjalankan fungsinya.Organisasi-organisasi yang hanya diizinkan terus berfungsi yaitu
yang dapat diawasi dengan teliti dan dapat digunakan untuk memobilisasi rakyat, Pemerintah
Pendudukan Jepang lebih menginginkan terbentuknya organisasi massa yang baru, yang
diketuai pemimpin-pemimpin Indonesia yang terkenal dan kooperatif, ketimbang bekerja
dengan organisasi-organisasi yang ada. Kartosoewirjo yang masih tinggal di Malangbong
bersikap menunggu. Sebenarnya dia juga mengetahui seruan Jepang pada semua politikus
Indonesia, agar datang ke Jakarta. Namun dalam buku yang disusun oleh pemerintah militer
Jepang, dan yang berisikan semua nama-nama orang Indonesia yang terkemuka, nama
Kartosoewirjo tidak tercantum.
Kartosoewirjo kini hanya menjadi “tokoh regional” saja, sebab sikap hidjrahnya yang benar -
benar konsekwen. Dalam masa pendudukan Jepang dia tetap memfungsikan lembaga Suffah,
namun kali ini lebih banyak memberi pendidikan kemiliteran sebab saat itu Jepang telah
membuka pendidikan militernya. lalu siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut
Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah Perang,
Hizbu’llah dan Sabili’llah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada tahun 1943 Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik. Dia masuk sebuah organisasi
kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno,
sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi ini . Kegiatan yang
dilakukannya ialah mengunjungi cabang-cabang Baitul-Mal di tiap daerah terutama di daerah
Priangan. Dan pada bulan Mei 1943 Kartosoewirjo bersama-sama dengan Wondoamiseno dan
Safei mendirikan cabang-cabang di lima kabupaten di Priangan atas izin dari residen Jepang
Aseha di Bandung. Kegiatan lain yang dilakukannya menerbitkan sebuah artikel yang tidak
berbau politik tentang Isra' dan Mi’raj Rasulullah, dalam Soeara MIAI. Selanjutnya Kartosoewirjo
berupaya untuk meneruskan gagasan awalnya yaitu suatu masyarakat Islam yang benar-benar
sempurna baik secara ideologi maupun ide, yang disesuaikan dengan propaganda Jepang
dengan membuat tulisan-tulisan. Salah satu tulisannya sebagai berikut: “bahwa semua orang
dapat ikut membangunkan dunia baru yang memberi jaminan akan kemakmuran, bagi tiap-tiap
bagian daripada “Keluarga Asia Timur Raya”, apabila mereka kembali kepada ajaran Rasulullah
dan umat Islam sadar akan kedudukannya”. Begitulah pandangan dan wawasan keislaman yang
ada pada diri seorang Kartosoewirjo, di mana setiap gerak langkah kehindupannya hanya untuk
kesuksesan dunia Islam.
Organisasi ini hanya berjalan selama enam bulan saja, sebab pada bulan Oktober 1943
dibubarkan yang selanjutnya mengadakan fusi ke Masjoemi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia)
yang didirikan pada tanggal 11 November 1943, dan Kartosoewirjo sendiri masuk menjadi
anggota organisasi baru ini.
saat rahasia tentang rencana Jepang untuk melaksanakan politik devide and rule diketahui
oleh kalangan politikus Indonesia. Dimana pemerintah Jepang memang sengaja menciptakan
organisasi Masyumi dan Putera, yang hanya untuk diadu domba dengan sasaran ialah meredam
keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka, dan juga untuk langgengnya kekuasaan Jepang di
Indonesia. Oleh sebab itu, Jepang menciptakan sebuah alat kontrol yang baru dengan
mendirikan Jawa Hokokai, yaitu Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa pada bulan November
1944 sebagai pengganti “Poetra” (Poesat Tenaga Rakyat), semua para politikus Indonesia
diintegrasikan pada organisasi buatan jepang ini, agar mereka dapat dikontrol lebih baik tanpa
memicu ekses yang buruk bagi kekuasaan Jepang. Kartosoewirjo sendiri bekerja di kantor
pusat Djawa Hokokai (Djawa Hokokai Chuo Honbu) di bagian Chosaka yang mempunyai tugas
untuk mengumpulkan data-data ekonomi dan informasi lainnya yang penting. Aktifitas rutin
yang sering dikerjakan oleh Kartosoewirjo pada masa itu mengontrol penyerahan beras yang
harus dilakukan rakyat setempat.
Di samping itu Jepang juga berusaha untuk memobilisasi rakyat pedesaan, terutama masyarakat
Islam untuk kepentingan perang mereka, agar tercapai peningkatan produksi pertanian. Salah
satu Program yang dibuat oleh Jepang berupa dipanggilnya 60 ulama dari seluruh pulau Jawa ke
Jakarta untuk mengikuti “latihan ulama” sekali tiga minggu, yang pada akhir kursus ini
mereka harus mengisi suatu angket yang berhubungan dengan kewajiban-kewajibannya
terhadap Jepang.
Pada dasarnya kehadiran pendudukan militer Jepang di Indonesia setali tiga uang dengan
Kolonial Belanda. Di mana politik devide and rule yang mereka adakan hanya untuk menindasan
rakyat Indonesia saja, dan dilaksanakan hanya untuk kepentingan mereka saja. Rakyat
diperlakukan dengan tidak wajar, diperas tenaganya untuk bekerja Romusha mana kala tidak
mau dibunuhnya. Apa yang mereka impikan selama ini dengan penuh antusias meyakini ramalan
Jayabaya hanyalah kesia-siaan. Impian negeri yang merdeka dari belenggu penjajahan harus
dilupakan terlebih dahulu. Anak negeri harus menumpahkan darah dulu untuk mendapatkan apa
yang menjadi dambaannya.
Pada tanggal 18 Februari 1944 terjadilah gerakan perlawanan terhadap pendudukan Jepang di
daerah Singaparna. K.H. Zainal Mustofa memimpin sekitar 1000 orang yang didukung pula oleh
para santrinya dan para petani setempat. Adapun motifasi dari adanya aksi ini yaitu
sebuah upaya dari K.H. Zainal Mustafa dan rakyat Singaparna untuk mendapakan arti sebuah
kemerdekaan yang dirampas oleh penjajah Jepang. Diawali saat 2 orang serdadu Jepang
dibunuh Tentara rakyat yang dipimpin oleh K.H. Zainal Mustofa yang hanya bermodalkan
keyakinan di tengah kebatilan berhadapan dengan persenjataan yang lengkap dan personil yang
besar dapatlah diperkirakan akhihrnya. Pertempuran yang tidak seimbang ini berakhir saat
ditangkapnya K.H. Zainal Mustafa bersama 21 pimpinan pesantren dan gugurnya 85 santri. Zainal
Mustofa beserta keluarganya dibawa ke Jakarta dan ditembak mati di sana. Perlawanan
terhadap penjajah Jepang dilanjutkan di daerah Indramayu. Sebagai rasa solidaritas umat yang
berada di Singaparna, maka Haji Madriyas, Kyai Mukasan, Haji Kartiwa, Kyai Kusen, dan Kyai
Srengseng dan didukung oleh sebagian besar rakyat Indramayu mengadakan aksi perlawanan
terhadap tentara Jepang yang biadab. Perlawanan itu sendiri terjadi pada 30 Juli April 1944. Kali
ini Jepang lebih berhati-hati, pertama-tama yang dilakukan untuk memulihkan keadaan mereka
mengajak berunding. Namun kebencian rakyat lebih besar dari ajakan untuk berunding, mereka
sudah tidak mempercayai lagi kehadiran tentara Jepang di Indonesia. Maka terjadilah
pertempuran antara rakyat setempat dengan tentara Jepang yang dipersenjatai dengan perlatan
perang. Tidaklah mengherankan sesudah kejadian itu maka banyak yang gugur dari pihak rakyat
sebab aksi Jepang ini .
saat situasi perang Asia Pasifik mulai memburuk bagi pihak Jepang, apalagi dengan adanya
pemboman dari pihak sekutu kedaerah Jepang di Hiroshima dan Nagasaki, akhirnya untuk lebih
memanfaatkan para politikus Indonesia dalam mendukung usaha-usaha perjuangannya mereka
bersedia untuk memberi konsesi (kepemilikan) yang lebih besar bagi rakyat Indonesia dari yang
pernah dilakukan oleh Belanda sebelumnya. Orang Indonesia kini diperkenankan membentuk
organisasi bersenjata sendiri. Pertama, pada bulan Oktober 1943, terbentuknya PETA (Pembela
Tanah Air) dan lalu , pada akhir 1944 dibentuklah Hizbullah (Tentara Allah), cabang
bersenjata Masyumi Islam. Di samping itu, pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang
Koiso menjanjikan Indonesia “merdeka di kelak lalu hari”. Dan pada 1 Maret 1945 janji ini
diulangi, kali ini oleh Panglima tertinggi Jepang, yang sekaligus mengumumkan pembentukan
“Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan”.
Berkat dibukanya kran kebebasan berupa konsesi dari pemerintah Jepang. Pada bulan Februari
1945, berkumpul sukarelawan Hizbullah di tempat pendidikan mereka untuk mendapatkan
pendidikan dasar militer selama tiga bulan, sesudah itu mereka ditugaskan untuk kembali ke
tempat mereka masing-masing guna mengajarkan ilmunya kepada anggota yang baru. Hal inilah
yang sejak lama ditunggu oleh Kartosoewirjo, bahwa rakyat Indonesia sangat berhak untuk
menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa diberikannya konsesi sekalipun, dia segera
mengaktifkan kembali perguruan Suffah di Malangbong untuk melatih para pemuda berupa
latihan kemiliteran dengan dipersenjatai tongkat bambu. Kartosoewirjo sendiri tidak terjun
langsung menangani latihan ini sebab dia ditugaskan oleh pemerintah Jepang sebagai
pengamat latihan-latihan di Banten. Di mana daerah ini diumumkan menjadi daerah yang
terlarang, sebab di sini dikhawatirkan akan mendarat pasukan sekutu.
Pada bulan Juli 1945 semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang mengadakan kesepakatan
bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Adapun
yang menjadi latar belakangnya yaitu saat direbutnya daerah Iwojima oleh tentara Amerika
yang lalu dijadikan pangkalan pesawat pembomnya untuk melancarkan serangan-
serangan terhadap Jepang. Dan begitu juga yang dialami oleh sekutunya Jepang, Jerman telah
menyerah kepada sekutu, dan dengan demikian pihak Sekutu diberi peluang untuk memusatkan
perhatian pada perang Pasifik.
Pada akhir bulan Juli para pemimpin Sekutu di Postdam mengeluarkan suatu tuntutan agar
Jepang menyerah tanpa syarat. Jepang tidak dapat lagi memikirkan tentang kemenangan
ataupun tindakan mempertahankan wilayah-wilayah pendudukannya. Tujuannya di Indonesia
kini yaitu membentuk sebuah negara yang merdeka dalam rangka mencegah berkuasanya
kembali lawan, yaitu Belanda. Pada akhir bulan Juli angkatan darat dan angkatan laut Jepang
mengadakan suatu pertemuan di Singapura guna merencanakan pengalihan politik dan
perekonomian ke tangan bangsa Indonesia. Mereka memutuskan bahwa Jawa akan diberi
kemerdekaan pada awal bulan September, sedangkan daerah-daerah lainnya segera menyusul.
Janji Jepang untuk sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia diwujudkannya dengan mendirikan
Dokuritsu Jumbi Chosakai, yaitu “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”,
yang didirikan tanggal 28 Mei 1945. Pada saat-saat akan berakhirnya pendudukan Jepang, pihak
pemerintah militer Jepang beralih orientasi politiknya dengan memberi perhatian lebih
banyak kepada kelompok nasionalis sekuler. Kendatipun mereka tetap memberi
perlindungan kepada kelompok Islam, namun pemerintah militer Jepang lebih mempersiapkan
para politisi Indonesia dari golongan nasionalis sekular untuk memegang kendali politik nasional
sesudah Indonesia merdeka. fakta ini terlihat dari wakil-wakil Islam yang duduk dalam
BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dan PPKI ( Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia ). Penunjukkan pihak Jepang yang diskriminatif ini telah membuat rasa
sentimen para politisi dari golongan nasionalis Islam.
Dalam komite BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara wakil-wakil
golongan nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekular. Perbedaan disekitar tentang dasar
ideologi negara Indonesia yang akan lahir telah menghangatkan suasana perkembangan politik
menjelang kemerdekaan Indonesia. Pihak Islam mengusulkan gagasan negara Indonesia yang
berdasar syariat Islam. Pihak nasionalis sekuler menolak gagasan ini dan mengajukan
gagasan negara integralis dengan dasar ideologi Pancasila.
Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan. Sebab, sebagaimana diutarakan oleh Ki
Bagus Hadikusumo, salah seorang wakil kelompok Islam yang duduk di BPUPKI, tidak ada
institusi formal (seperti negara) yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda
yaitu contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan,
kendatipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut Hadikusumo
menegaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan langsung dengan
persoalan politik.
Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo tadi sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak nasionalis sekular.
Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara Islam, sebab Indonesia
menurut Soepomo, salah seorang wakil kelompok nasionalis sekular, mempunyai keistimewaan-
keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syari’at Islam telah cukup
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Bahkan Islam menjadi ideologi
yang menyumbang banyak terhadap --apa yang disebut oleh B.J. Boland sebagai "modern
struggle"-- banyak pergolakan dalam Indonesia modern. Ideologi Islam dalam pandangan kaum
Nasionalis sekuler yaitu bentuk sistem kuno yang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
modern sebuah masyarakat. Padahal cukup banyak referensi yang dihasilkan oleh intelektual
Muslim, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, tentang konsep negara modern Islam.
Upaya untuk “memahami” Islam tidak sepadan dengan upaya kaum Nasionalis Islam untuk mau
mengerti ideologi-ideologi lain.
Perbedaan ini berlangsung terus. Namun sesudah Sukarno di dalam Badan Penyelidik
menjabarkan tentang konsep nasionalismenya maka berakhirlah perdebatan itu. Keinginan dari
Sukarno dengan menawarkan konsepnya bertujuan untuk tidak memicu perpecahan,
kompromi pun diambil: maka tercapailah kesepakatan bersama sebagaimana terumuskan dalam
Piagam Jakarta, di dalamnya disepakati bahwa Pancasila merupakan dasar negara. Di samping
itu dicantumkan pula rumusan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Implikasi Piagam Jakarta untuk hubungan antara syariat Islam dan
negara akan menjadi sumber pertentangan-pertentangan sengit di masa mendatang. Bagaimana
tidak terjadi pertentangan, konsep Pancasila yang dibuat oleh Sukarno itu ternyata hanyalah
sebuah fantasi dirinya saat sedang mengalami pergolakan bathin tentang masa depan
bangsanya.
Penjelasan Soekarno tentang Pancasila sebagai dasar yang setepat-tepatnya untuk negara
Indonesia, demikian menyinggung persoalan-persoalan mendasar tentang ideologi dari negara
yang akan lahir, yang nantinya akan terjadi konflik antara para pendukung negara “sekuler” dan
para pendukung negara Islam. Inilah realitas yang terlihat dalam negara yang baru merdeka di
Indonesia; negara baru dengan masyarakat yang lama.
Bagaimana penuturan Sukarno sendiri mengenai penemuan istilah Marhaen merupakan suatu
cerita yang menarik dan juga hasil imaginatif dari romantisme revolusionernya. Menurut Sukarno,
saat dia bersepeda melewati kampung di selatan Bandung, ia terlibat dalam suatu percakapan
dengan seorang petani Sunda yang sedang membajak sawahnya. Petani itu menyatakan bahwa
ia memiliki sepetak tanah kecil yang digarapnya sendiri, sebuah rumah sederhana, sebuah
cangkul, sebuah sekop, dan sebuah bajak, dan dengan kerja keras ia berusaha memberi sandang
dan pangan bagi keluarganya. saat ditanya namanya, petani yang dipandang Sukarno sebagai
contoh tipikal rakyatnya itu menjawab: Marhaen. Tidaklah penting apakah Sukarno sendiri
percaya atau tidak percaya akan kebenaran ceritanya, dan sebab cerita itu diulang-ulangnya
selama bertahun-tahun maka ia barangkali telah benar-benar mengalaminya. Yang penting ialah
bahwa cerita itu menunjukkan bagaimana dalam pikiran Sukarno arti dan kepentingan konsep
itu terletak dalam identifikasi dengan rakyat jelata, yang membentuk sebagian besar penduduk
Indonesia, dan yang dengan mereka itulah ia, seperti juga banyak elite pemimpin gerakan
nasionalis yang urban dan berpendidikan barat, merasa sangat perlu untuk mengidentifikasikan
dirinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, diproklamasikannya Republik Indonesia dengan bantuan-bantuan
bandit-bandit, gangster dan lain sebagainya dalam revolusi jahiliyahnya. sesudah kemerdekaan
bangsa dicapai pada tahun 1945, sebagai imbal politik yang proporsional, wajar jika kaum
nasionalis Islam lalu menuntut dan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia
yang baru merdeka. Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta yang telah
ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu dibicarakan kembali. Dengan alasan: demi
persatuan nasional, "tujuh kata" yang sangat berarti bagi umat Islam itu dihapus. Toleransi yang
diberikan kaum Nasionalis Islam tidak dibalas setimpal oleh kaum Nasionalis sekuler. Kendatipun
semua pihak menyadari bahwa kontribusi Islam terhadap kemerdekaan Indonesia lebih besar
daripada sumbangan-sumbangan darah yang dipersembahkan oleh kalangan-kalangan non-
Islam untuk kemerdekaan tanah air ini. Gerakan-gerakan masyarakat pribumi Muslim berabad-
abad lamanya berjuang menentang kolonialisme Eropa dan menuntut kemerdekaan, baik secara
konsepsional (melalui perjuangan-perjuangan pemikiran yang bertebaran di media-media cetak)
maupun secara fisik, beradunya tulang dan daging para Syuhada dengan mesiu kaum kafir
kolonial. Tidak diragukan lagi, dalam upaya-upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peranan
yang amat menentukan. Seperti apa yang ditulis oleh George McTurnan Kahin, “Agama
Muhammad bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat persatuan; melainkan bahkan
merupakan simbol kesamaan nasib menentang p