Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 5

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 5



 ng diketuai 

oleh H.F.J. Sneevliet.  

Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevliet (1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai 

seorang penganut mistik Katolik namun  lalu  beralih ke ide-ide sosial demokratis yang 

revolusioner dan aktivisme serikat dagang. Dia lalu  bertindak sebagai agen Komintern di 

Cina dengan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914 kelompok Marxis ini mendirikan ISDV 

(Indische Sociaal Democratsche Vereeninging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda), di 

Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai Komunis pertama di Asia 

yang berada di luar negeri Uni Soviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya orang Belanda, namun  

organisasi ini ingin memperoleh dasar di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-6 partai ini 

menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada 

tahun 1907 dan sesudah  tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang 

berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk 

beberapa orang Jawa yang terkemuka, namun  organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal 

untuk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh sebab  itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih 

kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut yang besar di 

kalangan rakyat Indonesia.  

Lewat organisasi inilah lalu  gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis diekspor ke dalam 

tubuh SI. Dengan menginfiltrasi SI diharapkan ISDV dapat menguasai massa. Pada tanggal 23 Mei 

1920 sayap kiri partai SI di bawah pimpinan Semaun mengubah menjadi PKI (Partai Komunis 

Indonesia), dengan SI cabang Semarang sebagai pusatnya. Semaun dipilih sebagai ketuanya 

yang pertama, sekalipun pada waktu itu masih tetap sebagai anggota SI. Strategi dasar PKI ialah 

bagaimana menghancurkan pengaruh tokoh-tokoh SI yang lain dan membawa SI secara 

keseluruhan melalui infiltrasi ke dalam kamp komunis. Pada mulanya anggota PKI juga tetap 

menjadi anggota SI. Pengaruh kiri di dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar sebab  ISDV 

berusaha memperoleh rakyat sebagai landasan. Pada tahun1914 seorang pemuda Jawa buruh 

kereta api yang bernama Semaun (lahir tahun 1899) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada 

tahun 1916 dia pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Sarikat Buruh Kereta Api dan 

Trem (VSTP: Vereniging Spoor en Tramweg-personeel). Kini Semaun juga bergabung dengan 

ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat mencapai 20.000 orang pada tahun 1917, 

dan di bawah pengaruh Semaun cabang ini mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini 

menentang peran serta SI dalam kampanye Indië weerbaar, menentang gagasan untuk duduk 

dalam Volksraad, dan dengan sengit menyerang kepemimpinan Central Sarekat Islam (CSI). 

Dalam kongres SI tahun 1917 kelompok radikal tampak memperoleh dukungan yang sangat besar. 

Tjokroaminoto merasa takut akan dimulai pertikaian intern dengan mereka dan setuju 

melontarkan kecaman terhadap kapitalisme yang berdosa; dengan demikian, nyata-nyata 

mengecam modal asing dan Cina namun  bukan modal yang ada pada para Haji Indonesia dan lain-

lain. Abdul Muis (1890-1959), seorang Minangkabau yang pernah menjadi wakil SI di dalam 

delegasi Indië weerbaar ke negeri Belanda, melangkah sedemikian jauh saat  mengatakan 

bahwa apabila ternyata Volksraad gagal, SI akan memberontak.  

SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, dan Kelompok aliran kiri yang dipimpin oleh cabang 

Semarang sangat menggebu-gebu dan berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan. 

Disamping itu pada tahun 1917 di daerah Jawa Barat telah didirikan suatu cabang revolusioner 

rahasia. Sangat sulit diharapkan dari mereka, disamping ketidak jelasan arah perjuangan juga 

keanggotaan rakyat sulit dikendalikan sebab  sebagian besar mereka cenderung terhadap 

tindakan kekerasan. Badai perpecahan di dalam tubuh SI ini saat  tahun 1915 muncul satu 

kekuatan baru di dalam tubuh SI. Pada tahun itu seorang Minangkabau bernama Haji Agus Salim 

(1884-1954), yang bekerja sebagai mata-mata polisi turut hadir dalam satu acara rapat yang 

diselenggarakan SI. Pada saat itula dia berubah niat justru ingin mendukung tujuan SI, dan 

membawa bersamanya komitment pada Pan-Islam dan Modernisme sebagai dasar yang tepat 

untuk menjalankan kegiatan politik partai.  

  

 

saat  diadakan pemilihan anggota Volksraad sekitar awal tahun 1918 sekaligus mengumumkan 

hasilnya—Abdul Muis dari CSI dan Abdul Rivai seorang Minangkabau yang menjadi anggota 

Insulinde, berhasil terpilih menjadi anggota,—namun seorang Gubernur bernama Jenderal van 

Limburg Stirum tidak puas dengan hasil ini. Dia memakai  hak penunjukannya untuk 

mengangkat Tjipto Mangunkusumo (yang sudah kembali dari pengasingan) dari Insulinde dan 

Tjokroaminoto dari SI yang lebih bisa diajak bekerja sama. Adapun dari orang Eropa yang berhasil 

terpilih yaitu  anggota yang lebih progresif daripada sebagian besar anggota yang 

berkebangsaan Indonesia. Oleh sebab  itu Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (Persekutuan 

Liberal Hindia Belanda) yang berkecenderungan terhadap politik Ethis bekerja bersama-sama 

dengan kaum Sosialis Belanda (Sociaal Democratische Arbeiderspartij: Partai Buruh Sosial 

Demokrat) dan orang-orang Indonesia yang lebih liberal mengadakan satu koalisi dengan 

membentuk suatu mayoritas dari anggota-anggota yang terpilih.  

Tjokroaminoto yang ingin mempertahankan persatuan pergerakan nasional agak sedikit 

apologetik dengan memberi  kesempatan atau peluang pada golongan kiri. Tjokroaminoto 

mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik 

dalam teori maupun praktek.” Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialime sudah 

inheren dalam Islam. “Kita muslim, jadi kita sosialis,” ucap Tjokroaminoto. saat  SI pada tahun 

1921 memberlakukan peraturan baru dalam rangka melaksanakan disiplin partai yang tidak lagi 

memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata 

dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islamannya. Dan pada tahun 1930 SI berubah 

nama menjadi PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia). 

Organisasi PSII memiliki tradisi non kooperasi yang panjang usianya. Kebijaksanaan politik 

tentang ini pertama-tama dirumuskan pada Kongres pertama partainya pada tahun 1923 dan 

1924. Dengan menemukan ilhamnya dalam gerakan Mahatma Ghandi di India, dikembangkanlah 

konsep-konsep berdikari (swadeshi) dan dilenyapkannya struktur kolonial yang berlaku (hidjrah).  

Sifat yang agak agresif dari politik non kooperasi PSII tercermin dalam kombinasi swadeshi 

dengan hidjrah. Jadi swadeshi sendiri yang sudah mengandung penolakan pengaruh kolonial, 

selanjutnya diperdalam oleh gagasan hidjrah, yang memungkinkan PSII merumuskan politik non 

kooperasi yang agresif tanpa perlu memakai  pemberontakan terang-terangan. 

Selanjutnya di dalam tubuh partai PSII terdapat pertentangan antara kedua kelompok besar, 

yaitu antara Dewan eksekutif (Ladjnah Tanfidzijah) di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso 

(adik Tjokroaminoto) yang tetap memperjuangkan politik non kooperasi, di mana dia tidak mau 

bekerja sama dengan fihak kolonial. Dan di satu pihak Dewan Partai di bawah pimpinan H. Agus 

Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dia khawatir, 

kalau politik non kooperasi diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat 

keruntuhan partai dan dia mendesak supaya diadakan suatu referendum tentang masalah ini.  

Juga Roem berpendapat, bahwa rakyatlah yang paling menderita sebab  haluan yang dijalankan 

Abikusno ini. Sebab partai tidak lagi mewakili kepentingan rakyat di Volksraad dan semua itu 

hanyalah demi kepentingan politik partai. Meskipun sudah banyak alasan yang dikemukakan 

oleh Salim tetap tidak berhasil usul-usulnya itu diterima oleh partai, justru sebaliknya Abikusno 

menuduh Salim hanya untuk mencari kursi dalam Volksraad. Sebelum usul-usul Salim dapat 

diperdebatkan pada kongres partai yang berikutnya, Abikusno telah meletakkan jabatannya 

sebagai ketua partai pada akhir tahun 1935, sebab yang dikatakannya, dia tidak mau menghalangi 

Salim dalam usahanya itu. 

Kartosoewirjo yang pada saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Dewan Eksekutif, (Ladjnah 

Tanfidzijah), mengikuti langkah Abikusno meletakkan jabatannya.  

Pada kongres partai ke 22 di Batavia bulan Juli tahun 1936 Abikusno terpilih menjadi ketua partai 

PSII. sesudah  cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan, yaitu kongres partai hanya 

harus memilih ketua partai saja. Di kongres ini terlihat jelas bahwa Abikusno lebih kuat 

dibandingkan dengan Agus Salim, dengan demikian Abikusno terpilih menjadi formatur, yang 

dapat memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Dan melalui rapat formatur ini 

Abikusno segera mengangkat Kartosoewirjo menjadi wakilnya. Jabatan sebagai wakil ketua PSII 

dipegang Kartosoewirjo sampai ia keluar dari partai dalam tahun 1939. 

sesudah  terpilihnya Abikusno menjadi ketua partai dia mengumumkan bahwa pertentangan 

mengenai politik hidjrah telah berakhir dan memerintahkan semua cabang-cabang partai 

ini  untuk tidak mengambil peduli pada saran-saran Salim.  

Dalam bulan November 1936 dengan perasaan yang sangat kecewa atas sikap Abikusno itu Salim 

membentuk suatu fraksi sendiri dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Moehammad Roem. 

Fraksi ini  diberi nama “Barisan Penjadar PSII” dan Salim berharap, bahwa di suatu saat 

nanti usul-usulnya untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial akan disetujui. sesudah  

mendengar khabar bahwa Salim membentuk fraksi baru ini , Abikusno segera memberi  

responnya dan mengumumkan kepada anggota-anggota PSII , bahwa politik hidjrah menjadi 

politik resmi partai ini , dan dia melarang cabang-cabang partai dengan ancaman 

pemecatan, bila mereka mendiskusikan usul-usul Salim atau mendukung fraksi Salim. PSII hanya 

mencontoh Sunnah Rasulullah dan bukan mengikuti pola pergerakan Barat, kata Abikusno. 

Anggota-anggota fraksi Salim merasa bahwa mereka yang sudah sangat berjasa untuk partai dan 

berjasa untuk “Oemat Islam dan kaoem sebangsa Indonesia, oleh poetjoek pimpinan “Baroe” 

dibentjana namanya dan kehormatannja.” Pucuk pimpinan kekurangan kesadaran sebagai 

pimpinan partai Islam yang hendak menjunjung agama Islam. Tulis Sabirin. Sabirin sebagai 

anggota fraksi Salim yakin, bahwa PSII akan menjadi satu perhimpunan rakyat “dalam 

pengawasan polisi, tertutup langkahnja dalam politik.” Begitu juga Moh. Roem sebagai ketua 

Barisan Penjadar menulis bahwa dari pergerakan politik Indonesia akhirnya hanya tinggal 

namanya saja. Hak-hak dasar demokrasi dianggap rendah oleh pimpinan partai, hak untuk 

mengeluarkan pendapat secara bebas bagi anggota partai dilanggar, tulis Moehammad Roem. 

“Partai memboetoehkan ketentraman, ketentraman jang akan terdapat djika “doodsklok” 

soedah diboenjikan, ketentraman di liang koeboer.”  

Dalam bulan Januari 1937 Salim, Roem, Sabirin, Sangadji, Muslich dan 23 anggota fraksi Salim 

yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Dengan demikian terjadilah perpecahan PSII 

lebih lanjut, sebab  Salim segera membentuk suatu partai Islam baru yang berdiri sendiri, yang 

disebutnya “Pergerakan Penjadar”.  

Kritikan juga dilancarkan oleh Kartosoewirjo kepada Agus Salim saat  diadakan kongres partai, 

dan Kartosoewirjo menuntut suatu penerapan politik hidjrah yang tidak mengenal kompromi. 

Kartosoewirjo menerangkan, bahwa politik ini merupakan suatu jalan tengah antara Non-

kooperasi dan Kooperasi. Oleh sebab  itu, dalam kongres Abi Kusno menugaskan Kartosoewirjo 

untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hidjrah partai PSII. 

Abikusno Tjokrosujoso membuat pernyataan bahwa kongres PSII Juli 1936 telah menyetujui 

politik Hijrah dan telah diuraikan secara terperinci oleh Kartosoewirjo dalam suatu brosur dua 

jilid mengenai masalah ini yang judulnya berbunyi “Sikap Hidjrah PSII” dan untuk Kata 

Pengantarnya sendiri akan dibuat olehnya serta ditandatanganinya sebagai presiden dan Arudji 

Kartawinata sebagai sekretaris PSII.  

Hasil kongres yang telah diputuskan bersama itu mendapat kritikan dari anggota-anggota fraksi 

Salim, mereka menyatakan bahwa penjelasan tentang politik hidjrah tidak dapat diperoleh 

melalui pimpinan partai apalagi melalui brosur-brosur Kartosoewirjo. Semua itu kelihatan hanya 

sebagai suatu bungkusan yang indah namun  tanpa isi, tulis Sabirin. fakta nya politik Hidjrah 

atau politik Non kooperasi PSII juga tetap tanpa hasil seperti pada tahun-tahun sebelumnya. 

Kritik Moh. Roem terhadap brosur Kartosoewirjo terutama ditujukan pada bab akhir, di mana 

Kartosoewirjo di dalam brosurnya menerangkan politik Hidjrah. “Mengapa tidak diterangkan 

setjoekoepnja? Tanya Moehammad Roem. “Oentoek pengertian jang lebih djelas, lebih baik 


 

diadakan sadja dhoekir “baroe” jaitoe, mengoetjapkan perkataan “Politik Islam “100 kali”, 

begitu sarannya.  

Pertanyaan tentang Non Kooperasi atau Kooperasi tidak dibahas Kartosoewirjo di dalam brosur-

brosurnya, hal itu sesuai dengan petunjuk Abikusno. Masalah Non Kooperasi tidak penting bagi 

PSII dan tidak ada gunanya. Hanya untuk memikirkan hal ini  sudah merusak pikiran kita, 

tulis Kartosoewirjo. Sebagian besar brosurnya ditujukan pada pembahasan arti sebenarnya dan 

maksud hijrah. Dibedahnya Al-Quran yang memuat kata hijrah dan dijelaskan artinya dalam 

konteks yang relevan. Penafsiran dan pandangan Kartosoewirjo tentang perubahan konsep 

pada konteks kolonial sangat teliti dan jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan diri pada Al-

quran dinyatakan hijrah sebagai kewajiban “semua pria dan wanita, tua dan muda,” kecuali 

mereka yang lemah, dan hijrah tidak boleh dihentikan “sebelum Falah (Keselamatan)  dan Fatah 

(Kemenangan atau Pembukaan) tercapai.  

Menurut Kartosoewirjo PSII berdiri di luar badan/lembaga yang dibentuk oleh pemerintah 

kolonial, namun  partai ini tidak akan tinggal diam, bila rakyat dan bangsa akan dirugikan. Program 

politik PSII dia bandingkan dengan Jihad selama waktu Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo, politik 

PSII yaitu  politik Islam, yang ia terangkan sebagai berikut: 

“Jang dimaksoedkan dengan politik dalam faham Party Sjarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, 

politik sepandjang adjaran-adjaran Islam. Dan dari sendirinja, maka politik jang didjalankan oleh 

PSII ialah politik Islam. Boekan politik barat atau politik membarat! Boekan politik jang tidak ada 

sangkoet-paoetnja dengan Islam dan boekan poela politik jang “Boekan politik Islam” atau 

politik di loear Islam”! Dalam brosurnya jilid I, Kartosoewirjo membahas hubungan antara 

manusia dan agama, begitu juga antara agama dan politik. Sejarah PSII antara tahun 1912-1936 

dia bagi dalam tiga tahap, tahap I, zaman Qouliyah yaitu antara tahun 1912-1923. Pada tahap ini 

perhatian partai kebanyakan ditujukan pada hal-hal duniawi. Tahap yang kedua yaitu  zaman 

Fi’liyah yaitu antara tahun 1923-1930, suatu zaman peralihan, dan tahap yang ketiga yaitu  zaman 

I’tiqadiyah sesudah  tahun 1930. Pada tahap ini manusia sadar akan kewajiban-kewajiban 

agamanya. Kartosoewirjo menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan 

suatu dunia Islam yang murni. Dalam dunia Islam manusia harus menjalankan perintah-perintah 

Allah dan nabinya secara sungguh-sungguh dan benar.  

Dalam jilid II, Kartosoewirjo menjelaskan penafsiran arti-arti hidjrah, yang bagi PSII merupakan 

kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan 

Non Kooperasi yang mempunyai arti yang lebih negatif, Hidjrah merupakan sikap yang positif, 

demikian Kartosuwiryo. Dia juga menentang pendapat yang tersebar luas di Barat, bahwa jihad 

selalu harus berarti perjuangan fisik. Dia membedakan dua macam Jihad, yaitu jihad kecil (jihad 

ul asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (jihad ul akbar) 

yang ditujukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri. Dan sebab  tidak ada 

Hidjrah tanpa Jihad, maka PSII menyusun suatu program Jihad yang menjadi bagian dari “jihad 

PSII”.  

Pada kongres partai PSII yang ke 23 tahun 1937 di Bandung, di bawah pimpinan Kartosoewirjo 

dibentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hidjrah” (Daftar Oesaha 

Hidjrah PSII). Di mana penyusunan program ini  telah diputuskan juga dalam kongres partai 

yang berikutnya pada tahun 1938 di Surabaya. Serta diputuskan juga akan didirikan suatu 

lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Soeffah PSII”, yang akan dibuka pada 

tanggal 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai wakil presiden PSII, 

yang bertujuan untuk pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, agar dengan demikian 

mereka dapat memerintah negara mereka sendiri bila saatnya nanti telah tiba, khususnya bagi 

anggota PSII yang laki-laki.  

Akan namun  sangat disayangkan sekali program yang baik ini  tidak bisa terwujud melalui 

partai seperti yang direncanakan semula, sebab  dalam beberapa tahun lalu  situasi dalam 

partai PSII mengalami perubahan haluan politiknya.  

Pada tahun 1939 Kartosoewirjo terlibat dalam pertengkaran yang sengit dengan mayoritas 

pimpinan PSII yang diketuai Abikusno. Sebagai pimpinan partai Abikusno mengajak 

Kartosoewirjo untuk memutar haluan politik partai dengan bergabung ke GAPI (Gabungan 

Politik Islam) dalam mengatasi tekanan Pemerintah Kolonial yang makin mendesak. namun  

Kartosoewirjo tidak ikut melaksanakan perubahan arah balik politik ini dan tanpa kompromi 

tetap istiqomah pada pendiriannya, di mana satu-satunya haluan yang benar yaitu  politik 

Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo tuntutan GAPI, yaitu  pembentukan suatu parlemen Indonesia, 

dan itu merupakan “sikap kooperasi juga namun, dengan corak yang lain”.  

Perubahan politik PSII dari garis non kooperasinya yang dulu membuat brosur Sikap Hidjrah PSII 

yang dibuat oleh Kartosoewirjo begitu besar arti dan nilainya, kini sudah tidak berguna lagi. 

Pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Kartosoewirjo dicap sebagai anakronisme (yang tidak 

berkesesuaian). Maka untuk mempertahankan kebenaran sikap PSII, Kartosoewirjo dengan 

anggotanya yang sealiran antara lain Jusuf Taudjiri, dan Kamran membentuk partai baru yaitu 

Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII). sebab  dimaksudkan untuk bergerak di dalam PSII. 

Pada awal tahun 1939 Dewan Eksekutif PSII mengeluarkannya dari partai, yang sebelum 

pemecatan Kartosoewirjo dituduh telah menyalahgunakan uang partai. Dengan tindakan yang 

sepihak dari partai ini Kartosoewirjo tidak menghiraukannya dan terus melanjutkan rencananya 

semula untuk melaksanakan program aksi hidjrah dan pembentukan lembaga pendidikan kader.  

Pada kongres partai yang ke 25 dalam bulan Januari 1940 di Palembang, melalui keputusan yang 

diambil komite eksekutif partai resmilah pemecatan Kartosoewirjo, Joesoef Taudjiri, Akis, 

Kamran, dan Sukoso dengan perimbangan 134 suara setuju, 9 suara netral. Dan diputuskan juga 

dalam kongres ini  bahwa pelaksanaan program aksi Hidjrah tidak lagi diteruskan dan 

komisi yang sebelumnya ditugaskan untuk menyusun program ini, akan dibubarkan. Serta semua 

anggota PSII dilarang untuk memasuki Partai yang dibentuk oleh Kartosoewirjo. 

Dalam bulan Maret 1940 melalui rapat umum komite Kartosoewirjo memutuskan mengubah 

KPK-PSII menjadi sebuah partai independen, yang berkantor pusat di Malangbong. Maksud yang 

terkandung sesungguhnya di belakang ini yaitu  bahwa komite akan berkembang menjadi PSII 

yang sebenarnya. sebab  PSII Abikusno Tjokrosujoso dirasakan terdiri dari orang-orang yang 

telah mengkhianati haluan politik partai PSII yang telah dirintis oleh pembesar-pembesar partai 

sebelumnya dan berkhianat atas perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya. 

Dengan memakai anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII yang lama, Kartosoewirjo ingin 

menegaskan bahwa KPK PSII yaitu  kelanjutan yang sebenarnya dari PSII yang lama. Sebab 

Kartosoewirjo merasa yakin bahwa partainya ini yaitu  partai PSII yang benar.  

Menurut Horikoshi, pada sidang KPK-PSII yang pertama dalam bulan Maret 1940, dihadiri oleh 

enam cabang PSII yang lama dari Jawa Barat di antaranya dari Cirebon, Cibadak, Sukabumi, 

Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong. Dalam sidang itu, keluar juga Daftar Oesaha Hidjrah 

PSII yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosoewirjo saat  dia masih menjabat sebagai 

wakil ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII ini  masih keluar dengan judul aslinya dan 

dicetak oleh penerbitan yang didirikan oleh Kartosoewirjo di Malangbong, yaitu “Poestaka Darul 

Islam”.  

Kartosoewirjo juga masih merencanakan untuk menerbitkan suatu penafsiran tentang program 

ini  (Tafsir Daftar Oesaha Hidjrah) namun  rencana ini tertunda. Dalam kata pengantar 

brosurnya, Kartosoewirjo tidak menyebut pemecatan dirinya dari PSII yang terjadi sebelumnya 

dan juga tidak menyinggung bagaimana terjadinya pembentukan KPK-PSII. Bahkan dia memberi 

kesan, bahwa dia sekarang mewakili PSII yang sebenarnya. Dia hanya menyayangkan, bahwa 

Daftar Oesaha Hidjrah PSII tidak lagi dapat diterbitkan sebelum berlangsungnya kongres PSII di 

Surabaya seperti yang direncanakan. Dalam Bab I brosurnya, Kartosoewirjo membahas struktur 

masyarakat yang menurut dia terdiri dari tiga macam masyarakat yang berbeda-beda dalam 

hukum dan haluannya, dalam susunan dan aturannya dan dalam sikap dan pendiriannya, namun  

hidup bersama-sama dalam satu negeri. 

Ketiga macam masyarakat ini  yaitu  masyarakat Hindia Belanda atau “masyarakat 

kejajahan” yang berkuasa; berikutnya yaitu  masyarakat Indonesia yang belum mempunyai 

hukum maupun hak dan tidak mempunyai pemerintahan sendiri, dan yang ketiga yaitu  

masyarakat Islam atau “Darul-Islam”. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat 

Islam menurut Kartosoewirjo yaitu  sebagai berikut: 

“…masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terdjangnja ke 

djoeroesan Indonesia Raja, agar soepaja dapat berbakti kepada Negeri toempah darahnja, 

berbakti kepada Iboe-Indonesia. Sebaliknja, kaoem Moeslimin jang hidoep dalam masjarakat 

Islam atau Daroel-Islam, “tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa poen 

djoega, melainkan mereka hanja ingin berbakti kepada Allah jang Esa belaka”. Maksoed 

toedjoeannja poen boekan Indonesia Raja, melainkan Daroel-Islam jang sempoerna-

sempoernanja di mana tiap-tiap Moeslim dan Moeslimah dapat melakoekan hoekoem-hoekoem 

agama Allah (Islam), dengan seloeas-loeasnja, baik jang berhoeboengan dengan sjahsiyah 

maoepoen idjtima’iyah.  

Pada bab berikutnya, Kartosoewirjo menyebutkan alasan-alasan turunnya “harkat derajat 

manusia atau bangsa”, yaitu sebab  “membelakangkan dan membohongkan agama Allah”. 

Kartosoewirjo mengharapkan persatuan dunia Islam dengan umatnya secara keseluruhan. Dan 

dia yakin, hanya dengan cara demikian dapat tercipta suatu dunia baru atau “Darul Islam”. 

Program aksi Hidjrah dia bagi dalam bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan satu 

bidang tentang mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”. Dalam bagian tentang politik dia 

tanpa memberi  keterangan lebih lanjut hanya menyebut politik Islam nasional, politik Islam 

Internasional dan politik Islam terhadap dunia non Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menulis 

bahwa “kalau kita Hidjrah dari Mekkah Indonesia ke Madinah Indonesia…, boekanlah sekali-kali 

kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di 

dalam sifat, thabi’at,, amal, itiqad dan lain-lain sebagainja.” Untuk mencapai Darul Islam yang 

sesempurna-sempurnanya, tulis Kartosoewirjo selanjutnya, manusia harus melepaskan “sifat, 

thabi’at dan laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada sifat, thabi’at dan laku ke-Madinah-an.” 

Tentang perekonomian dia menerangkan, bahwa sistem perekonomian harus berlandaskan 

pada solidaritas dan kolektivitasme. Harta yang berlebihan dari pada keperluan diri masing-

masing atau rumah tangga haruslah disetorkan ke dalam tempat perbendaharaan umum seperti 

Baitul-Mal yang lalu  akan digunakan untuk membantu mereka yang berekonomi lemah. 

Dengan cara demikian tidak terdapat penumpukan kekayaan yang berlebihan dan kemiskinan 

akan dapat diperangi. “Ini yaitu  gambaran dunia Islam yang kita inginkan”  demikian tulis 

Kartosoewirjo.  

Pada bulan Maret 1940, rencana Kartosoewirjo diterima oleh kongres KPK PSII yang 

mengesahkan sebuah resolusi untuk membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat 

Malangbong. Lembaga Suffah ini  dibentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, di 

mana para siswanya juga bertempat tinggal di sana. Kartosoewirjo sendiri mengajarkan bahasa 

Belanda, astrologi, dan ilmu tauhid kepada para siswanya. Metode pengajaran diambil dari 

metode H.O.S. Tjokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping mendapat pengajaran 

pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam juga dididik dalam Ilmu politik. sebab  

mengetahui bahwa mereka menghadapi kehilangan kekuasaan, maka pihak Jepang 

memutuskan untuk menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan 

rakyat Indonesia. Angkatan Darat ke-16 mendesak unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati di 

dalam hierarki-hierarki Jepang supaya bertindak dengan cepat, sebab  mereka benar-benar 

mengetahui bahwa bibit-bibit revolusi telah tertanam dalam di Jawa. Pada bulan Maret 1945 

pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia, yang mengadakan pertemuan pada akhir bulan Mei di bangunan lama Volksraad di 

Jakarta. Keanggotaannya mewakili sebagian besar pemimpin setengah baya di Jawa yang masih 

hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran yang penting. Radjiman Wediodiningrat 

menduduki jabatan ketua, sedangkan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo 

Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, 

Mohammad Yamin, dan yang lain-lain duduk sebagai anggotanya. Keputusan pengangkatan para 

pemimpin dari generasi tua ini diharapkan oleh Pihak Jepang dapat diajak kerja samanya bila 

sudah merdeka nanti.  

Sebagai dasar pendidikannya dia memakai  konsep Daftar Usaha Hidjrah yang terdiri dari 5 

bagian itu. Siswa-siswanya tidak hanya berasal dari Jawa Barat, namun  juga dari provinsi lainnya 

di Jawa dan dari Sulawesi Selatan, Sumatra dan Kalimantan. Awalnya banyak siswa yang merasa 

kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di lembaga Suffah yang penuh dengan 

disiplin, pekerjaan yang berat dan makanan yang sederhana. Ternyata dengan niat yang suci dan 

hati yang tulus untuk mendapatkan ridho ilahi akhirnya mereka mampu menempa dirinya dengan 

semangat Ruhul-Islam yang memancar dalam pribadi-pribadi kemusliman mereka, dan pada 

akhirnya dengan kesadaran, keyakinan dan panggilan Ilahi untuk memenangkan Agama Allah di 

muka bumi ini, mereka siap sedia dengan hati yang ikhlas menjadi tulang punggung kekuatan 

Darul Islam dan menjadi ma’mum yang setia atas imam Kartosoewirjo, yang di lalu  hari 

bersama-sama bahu membahu untuk tetap menggalang Negara Kurnia Allah yang 

diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949.  

  

Kartosoewirjo dan Setting Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia: 

Peristiwa Hijrah ke Jawa Barat 

 

Untuk melihat betapa pentingnya posisi politik Jawa Barat, kita terlebih dahulu harus memahami 

beberapa political shift di Indonesia dilihat dari wilayah ini. Peristiwa perang Asia Pasifik antara 

tentara sekutu dengan Jepang mendatangkan berkah bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

saat  terjadinya serangan balik yang dilancarkan oleh pihak sekutu pada tanggal 7 Agustus 1942 

dalam upayanya untuk merebut daerah Guadalkanal telah menjadi malapetaka bagi Jepang. 

Apalagi sesudah  adanya peristiwa tertembaknya Admiral Jepang bernama Isoroko Yamamoto 

dalam penerbangannya di daerah Pulau Bougenville, 18 April 1943, sungguh sangat meruntuhkan 

moral para pejabat militer Jepang yang berada di tanah jajahan termasuk di Indonesia. Ditambah 

adanya pergolakan di tanah air sendiri yang ditimbulkan oleh revolusi sosial yang dipelopori oleh 

para alim ulama dan petani dalam menentang setiap penjajahan di tanah air semakin 

mempersulit langkah-langkah Jepang dalam usahanya menggalang kekuatan personil militernya. 

Akumulasi kejadian diatas telah memperlihatkan tanda-tanda kelemahan Jepang. Kelemahan itu 

diikuti dengan satu demi satu daerah yang telah diduduki Jepang di Asia Timur dapat direbut 

kembali oleh pihak sekutu sesudah  melancarkan aksi balasannya. Oleh sebab  itu, untuk 

mengatasi masalah yang terjadi baik dari luar maupun dari dalam, pemerintah Jepang yang 

berada di Indonesia pada tanggal 7 September 1944 telah mengumumkan untuk bangsa 

Indonesia sebuah janji berupa kemerdekaan Indonesia di kelak lalu  hari, yang akan 

disiarkan melalui berbagai media massa. 

Makna Jawa Barat, khususnya Kota Blitar, Cilacap, Bandung dalam geopolitik Jepang, belajar dari 

pengalaman sejarah Belanda, yaitu  sangat penting. Demikian strategisnya Jawa Barat sehingga 

kita menyadari mengapa Belanda menyerah di Kalijati Subang, 8 Maret 1942, berdampak seluruh 

nusantara berbalik jatuh ke tangan penjajahan Jepang. Hal ini tidak lain sebab  Jawa Barat 

merupakan jantungnya kekuatan Penjajahan Belanda. Maka memahami kondisi Jawa Barat yang 

demikian strategis inilah maka dipakai oleh Kartosoewirjo sebagai wilayah hijrah. Seluruh potensi 

militer Jepang ada di sekitar Bandung dan daerah-daerah Sunda lainnya sangat penting artinya 

bagi dasar-dasar revolusi Islam bersenjata pada akhirnya. Terutama kekuatan infanteri Jepang 

yang luar biasa terdapat di Cimahi, kavaleri dan udaranya di Bandung, dan pabrik senjata dan 

mesiunya di Bandung. Departemen perangnya pun di Bandung. Dengan terkuasainya Bandung, 

maka Tentara Jepang dapat menguasai seluruh Nusantara. Kecuali terhadap Jawa Barat, Tentara

Jepang menaruh sentral atensi sepenuhnyadengan pengertian selalu mendapatkan tanggapan 

tersendiri dari pemerintah Balatentara Jepang di Jakarta dan Tokyo.  

Seperti terhadap Pemberontakan Tentara Peta Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, yang 

mengambil tempat yang beradius sangat dekat dengan kota Bandung dan Jakarta, perhatian 

Jepang sangat beda perlakuannya bila dibandingkan dengan perlakuannya terhadap 

Pemberontakan Tentara Peta sebelumnya di Blitar dan Cilacap dan terhadap Pemberontakan 

Tentara Peta di Aceh (November 1944) yang mendahuluinya. Ternyata Tentara Jepang 

mengambil sikap yang positif untuk Jawa Barat, berdampak mengubah jalannya sejarah bagi 

bangsa dan negara Indonesia. Dengan pertimbangan geopolitiknya pula, Tentara Jepang 

memperlihatkan sikapnya yang sangat berani menyeret para pelaku Pemberontakon Tentara 

Peta Blitar ke Mahkamah MiliterJepang. Dengan perhitungan proses pengadilan akan 

menumbuhkan iklim takut, fear strategy, yang lebih mencengkam. Terutama kalangan politisi, 

tidak berani melancarkan tindakan politik yang tidak sejalan dengan kebijakan Tentara Jepang, 

bila diperlihatkon proses pengadilan pemberontak Tentara Peta Blitar.  

Menjadi satu catatan dalam perjalanan pergerakan Islam Indonesia, saat  lahirnya suatu zaman 

baru yang sedang menyingsing ialah lahirnya gerakan pembaharuan Islam. Adapun yang melatar 

belakangi timbulnya gerakan pembaharuan ini perlu ada pengkajian yang lebih mendalam. 

Keadaan Islam di Indonesia sangat menonjol sebab  keaneka ragamannya. namun  hampir 

kebanyakan umat Islam Indonesia pada dasarnya yaitu  kaum Sunni yang menganut faham 

madzhab Syafi'i yang didirikan di Timur Tengah pada akhir abad VIII dan awal abad IX Masehi. Di 

dalam keaneka ragaman itu banyak pula diantara muslim yang saleh terlibat dalam masalah 

mistik Sufi; hal itu ditandai dengan tumbuh suburnya berbagai tarekat-tarekat seperti: tarekat 

Syattariyah, tarekat Qadiriyah, dan tarekat Naqsyabandiyah. Akan namun , di balik keseragaman 

yang tampak ini terdapat banyak perbedaan, hampir dipastikan lahirnya segala macam keyakinan 

itu merupakan penyimpangan dari ajaran Islam sebab  ketidak tahuan mereka dalam penggalian 

ajarannya. Seperti halnya di semua negeri yang terdapat salah satu agama besar dunia, Islam di 

Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan adat dan ide-ide lokal. Oleh sebab  

itulah, maka orang-orang muslim terpelajar Indonesia dengan memperhatikan semua yang ada 

di sekeliling mereka, membuat perubahan besar dengan pembaharuan pemikiran yang lebih 

rasional lagi.  

Selama masa penjajahan Jepang, sedikit berbeda dengan kondisi masa penjajahan Belanda, 

kondisi umat Islam sangat menyedihkan. Hanya pada periode pendudukan Jepang yang 

kendatipun singkat merupakan episode pembuka kembali keterlibatan umat Islam Indonesia 

dalam dunia politik. Sumbangan terbesar Jepang bagi politik Islam Indonesia terletak pada

upayanya untuk menyatukan berbagai kekuatan Islam dalam suatu organisasi Masyumi yang 

didirikan pada 7 Agustus 1945, yang didukung baik oleh Muhammadiyah maupun Nahdlatul 

Ulama (NU). Usaha Wahid Hasyim beserta tokoh-tokoh Islam lainnya untuk lepas dari pengaruh 

Jepang pada awalnya berhasil baik. Hal ini terbukti, saat  Jepang mengalami kekalahan dalam 

perang, sementara mereka yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi tetap memainkan peran 

penting dalam politik nasional Indonesia.  

Pada bulan Maret 1942, saat  itu bala tentara Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Shoji sudah 

masuk ke wilayah Jawa Barat lewat Eretan dekat Subang, mereka terus memobilisasi pasukan 

untuk terus bergerak menuju pusat pemerintahan kolonial di Bandung, sebab  di Bandung 

berada semua pemerintah kolonial yang telah diungsikan sejak bulan Februari 1941. Bersamaan 

dengan kejadian itu Kartosoewirjo masih tetap berada di Malangbong, di jantung Jawa Barat 

sehingga tidak langsung merasakan pengaruh perang ini . 

Seperti ramalan Jayabaya yang kebanyakan orang Indonesia meyakininya, Kartosoewirjo 

mempunyai prediksi bahwa Jepanglah yang akan mengusir Belanda dan mengakhiri kekuasaan 

Kolonialnya di Indonesia. Dengan adanya serangan dadakan dari pihak Jepang ini, maka pada 

tanggal 8 Maret 1942 Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda, Jenderal Ter 

Poorten, bersama Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh 

Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa sarat kepada Jepang. 

Pada tanggal 9 Maret 1942, di mana militer Jepang telah berhasil menaklukkan Belanda, mulailah 

mereka melanjutkan politik yang pernah dijalankan oleh Belanda. Niponisasi mulai diterapkan di 

hampir seluruh wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. Berbeda dengan Belanda, pemerintah 

Jepang mengadakan perubahan politik yang baru berupa devide and rule - pecah belah untuk 

dikuasai. Oleh sebab pihak Jepang sangat faham betul tentang peta kekuatan politik yang 

sedang berkembang saat itu. Dimana dalam pandangan politiknya, di Indonesia sedang ada dua 

kekuatan yang sedang bertarung dalam menentukan masa depan negerinya, yaitu nasionalis 

Islam dan nasionalis yang non Islam.  

Sebelum kedatangannya ke Indonesia Jepang sudah mengerti betul bahwa mayoritas 

masyarakat Indonesia yaitu  orang Islam, dan keberadaan mereka tersebar disetiap ormas dan 

parpol Islam. Oleh sebab  itu khusus untuk umat Islam Jepang telah membuat kebijakan politik 

tersendiri, yang menurut H.J. Benda disebut Nippon's Islamic Grass Root Policy - Kebijakan Politik 

Islamnya Jepang. Arah kebijakan politik ini yaitu  bagaimana Jepang berusaha untuk bisa 

mengeksploitasi kekuatan umat Islam yang tertumpu pada Ulama Desa dan para cendikian 

muslimnya, sebab  menurut anggapan Jepang keberadaan mereka semua hanyalah sebagai 

penghambat penjajahannya di Indonesia. 

Pembaharuan disegala bidang dilakukan oleh Jepang dalam awal pejajahannya. Hal ini dilakukan 

oleh Jepang sebab  di Indonesia telah menggema rasa nasionalisme untuk keluar dari belenggu 

penjajahan, yang jika dicegahnya akan mengadakan perlawanan. Dan inilah yang tidak diinginkan 

oleh Jepang sesudah  belajar banyak dari bagaimana Belanda menjalankan kolonialismenya di 

Indonesia. Dengan diadakannya pembaharuan ini  untuk meyakinkan kepada masyarakat 

Indonesia bahwa kehadiran mereka yaitu  sebagai Saudara Tua dalam pengertian politik. Yang 

nantinya akan memberi  kemerdekaan Indonesia. 

Dalam hal pembaharuan yang dibuka oleh Jepang disambut baik oleh kalangan politisi Indonesia. 

Dalam suatu sidang yang diikuti sejumlah politikus Indonesia untuk mengajukan suatu saran 

kepada pihak Jepang mengenai susunan sebuah kabinet Indonesia masa yang akan datang. 

Dengan penuh semangat Abikusno yang memimpin sidang itu telah menyusun suatu “Daftar 

Calon-calon Menteri untuk Pemerintah Indonesia dan para pembantunya”, tanpa meminta 

persetujuan terlebih dahulu dari calon-calon yang bersangkutan Abikusno mengusulkan Moh. 

Hatta menjadi menteri perekonomian dan Soekarno menjadi menteri propaganda. Dan dia 

sendiri disebut surat kabar Tjahaja Timur sebagai calon yang memenuhi syarat untuk jabatan 

perdana menteri.  

Harapan akan terbentuknya sebuah pemerintahan sendiri menjadi buyar. Segala dugaan tentang 

susunan Pemerintah Indonesia kelak segera berakhir dengan diumumkannya dekret Panglima 

Militer Jawa (Maklumat No 3) pada 20 Maret 1942 yang melarang membicarakan – dalam bentuk 

apa pun – struktur politik Indonesia. Akhirnya para pejabat Jepang meletakkan kartunya di meja. 

Kata-kata maklumat itu disusun sedemikian rupa hingga benar-benar tidak memungkinkan setiap 

partai menjalankan fungsinya.Organisasi-organisasi yang hanya diizinkan terus berfungsi yaitu  

yang dapat diawasi dengan teliti dan dapat digunakan untuk memobilisasi rakyat, Pemerintah 

Pendudukan Jepang lebih menginginkan terbentuknya organisasi massa yang baru, yang 

diketuai pemimpin-pemimpin Indonesia yang terkenal dan kooperatif, ketimbang bekerja 

dengan organisasi-organisasi yang ada. Kartosoewirjo yang masih tinggal di Malangbong 

bersikap menunggu. Sebenarnya dia juga mengetahui seruan Jepang pada semua politikus 

Indonesia, agar datang ke Jakarta. Namun dalam buku yang disusun oleh pemerintah militer 

Jepang, dan yang berisikan semua nama-nama orang Indonesia yang terkemuka, nama 

Kartosoewirjo tidak tercantum. 

Kartosoewirjo kini hanya menjadi “tokoh regional” saja, sebab  sikap hidjrahnya yang benar -

benar konsekwen. Dalam masa pendudukan Jepang dia tetap memfungsikan lembaga Suffah, 

namun kali ini lebih banyak memberi  pendidikan kemiliteran sebab  saat itu Jepang telah 

membuka pendidikan militernya. lalu  siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut 

Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah Perang, 

Hizbu’llah dan Sabili’llah, yang nantinya menjadi inti Tentara  Islam Indonesia di Jawa Barat. 

Pada tahun 1943 Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik. Dia masuk sebuah organisasi 

kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, 

sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi ini . Kegiatan yang 

dilakukannya ialah mengunjungi cabang-cabang Baitul-Mal di tiap daerah terutama di daerah 

Priangan. Dan pada bulan Mei 1943 Kartosoewirjo bersama-sama dengan Wondoamiseno dan 

Safei mendirikan cabang-cabang di lima kabupaten di Priangan atas izin dari residen Jepang 

Aseha di Bandung. Kegiatan lain yang dilakukannya menerbitkan sebuah artikel yang tidak 

berbau politik tentang Isra' dan Mi’raj Rasulullah, dalam Soeara MIAI. Selanjutnya Kartosoewirjo 

berupaya untuk meneruskan gagasan awalnya yaitu suatu masyarakat Islam yang benar-benar 

sempurna baik secara ideologi maupun ide, yang disesuaikan dengan propaganda Jepang 

dengan membuat tulisan-tulisan. Salah satu tulisannya sebagai berikut: “bahwa semua orang 

dapat ikut membangunkan dunia baru yang memberi jaminan akan kemakmuran, bagi tiap-tiap 

bagian daripada “Keluarga Asia Timur Raya”, apabila mereka kembali kepada ajaran Rasulullah 

dan umat Islam sadar akan kedudukannya”. Begitulah pandangan dan wawasan keislaman yang 

ada pada diri seorang Kartosoewirjo, di mana setiap gerak langkah kehindupannya hanya untuk 

kesuksesan dunia Islam.  

Organisasi ini hanya berjalan selama enam bulan saja, sebab  pada bulan Oktober 1943 

dibubarkan yang selanjutnya mengadakan fusi ke Masjoemi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia) 

yang didirikan pada tanggal 11 November 1943, dan Kartosoewirjo sendiri masuk menjadi 

anggota organisasi baru ini. 

saat  rahasia tentang rencana Jepang untuk melaksanakan politik devide and rule diketahui 

oleh kalangan politikus Indonesia. Dimana pemerintah Jepang memang sengaja menciptakan 

organisasi Masyumi dan Putera, yang hanya untuk diadu domba dengan sasaran ialah meredam 

keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka, dan juga untuk langgengnya kekuasaan Jepang di 

Indonesia. Oleh sebab  itu, Jepang menciptakan sebuah alat kontrol yang baru dengan 

mendirikan Jawa Hokokai, yaitu Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa pada bulan November 

1944 sebagai pengganti “Poetra” (Poesat Tenaga Rakyat), semua para politikus Indonesia 

diintegrasikan pada organisasi buatan jepang ini, agar mereka dapat dikontrol lebih baik tanpa 

memicu  ekses yang buruk bagi kekuasaan Jepang. Kartosoewirjo sendiri bekerja di kantor 

pusat Djawa Hokokai (Djawa Hokokai Chuo Honbu) di bagian Chosaka yang mempunyai tugas 

untuk mengumpulkan data-data ekonomi dan informasi lainnya yang penting. Aktifitas rutin 

yang sering dikerjakan oleh Kartosoewirjo pada masa itu mengontrol penyerahan beras yang 

harus dilakukan rakyat setempat. 

Di samping itu Jepang juga berusaha untuk memobilisasi rakyat pedesaan, terutama masyarakat 

Islam untuk kepentingan perang mereka, agar tercapai peningkatan produksi pertanian. Salah 

satu Program yang dibuat oleh Jepang berupa dipanggilnya 60 ulama dari seluruh pulau Jawa ke 

Jakarta untuk mengikuti “latihan ulama” sekali tiga minggu, yang pada akhir kursus ini  

mereka harus mengisi suatu angket yang berhubungan dengan kewajiban-kewajibannya 

terhadap Jepang.  

Pada dasarnya kehadiran pendudukan militer Jepang di Indonesia setali tiga uang dengan 

Kolonial Belanda. Di mana politik devide and rule yang mereka adakan hanya untuk menindasan 

rakyat Indonesia saja, dan dilaksanakan hanya untuk kepentingan mereka saja. Rakyat 

diperlakukan dengan tidak wajar, diperas tenaganya untuk bekerja Romusha mana kala tidak 

mau dibunuhnya. Apa yang mereka impikan selama ini dengan penuh antusias meyakini ramalan 

Jayabaya hanyalah kesia-siaan. Impian negeri yang merdeka dari belenggu penjajahan harus 

dilupakan terlebih dahulu. Anak negeri harus menumpahkan darah dulu untuk mendapatkan apa 

yang menjadi dambaannya. 

Pada tanggal 18 Februari 1944 terjadilah gerakan perlawanan terhadap pendudukan Jepang di 

daerah Singaparna. K.H. Zainal Mustofa memimpin sekitar 1000 orang yang didukung pula oleh 

para santrinya dan para petani setempat. Adapun motifasi dari adanya aksi ini  yaitu  

sebuah upaya dari K.H. Zainal Mustafa dan rakyat Singaparna untuk mendapakan arti sebuah 

kemerdekaan yang dirampas oleh penjajah Jepang. Diawali saat  2 orang serdadu Jepang 

dibunuh Tentara rakyat yang dipimpin oleh K.H. Zainal Mustofa yang hanya bermodalkan 

keyakinan di tengah kebatilan berhadapan dengan persenjataan yang lengkap dan personil yang 

besar dapatlah diperkirakan akhihrnya. Pertempuran yang tidak seimbang ini berakhir saat  

ditangkapnya K.H. Zainal Mustafa bersama 21 pimpinan pesantren dan gugurnya 85 santri. Zainal 

Mustofa beserta keluarganya dibawa ke Jakarta dan ditembak mati di sana. Perlawanan 

terhadap penjajah Jepang dilanjutkan di daerah Indramayu. Sebagai rasa solidaritas umat yang 

berada di Singaparna, maka Haji Madriyas, Kyai Mukasan, Haji Kartiwa, Kyai Kusen, dan Kyai 

Srengseng dan didukung oleh sebagian besar rakyat Indramayu mengadakan aksi perlawanan 

terhadap tentara Jepang yang biadab. Perlawanan itu sendiri terjadi pada 30 Juli April 1944. Kali 

ini Jepang lebih berhati-hati, pertama-tama yang dilakukan untuk memulihkan keadaan mereka 


mengajak berunding. Namun kebencian rakyat lebih besar dari ajakan untuk berunding, mereka 

sudah tidak mempercayai lagi kehadiran tentara Jepang di Indonesia. Maka terjadilah 

pertempuran antara rakyat setempat dengan tentara Jepang yang dipersenjatai dengan perlatan 

perang. Tidaklah mengherankan sesudah  kejadian itu maka banyak yang gugur dari pihak rakyat 

sebab  aksi Jepang ini . 

saat  situasi perang Asia Pasifik mulai memburuk bagi pihak Jepang, apalagi dengan adanya 

pemboman dari pihak sekutu kedaerah Jepang di Hiroshima dan Nagasaki, akhirnya untuk lebih 

memanfaatkan para politikus Indonesia dalam mendukung usaha-usaha perjuangannya mereka 

bersedia untuk memberi konsesi (kepemilikan) yang lebih besar bagi rakyat Indonesia dari yang 

pernah dilakukan oleh Belanda sebelumnya. Orang Indonesia kini diperkenankan membentuk 

organisasi bersenjata sendiri. Pertama, pada bulan Oktober 1943, terbentuknya PETA (Pembela 

Tanah Air) dan lalu , pada akhir 1944 dibentuklah Hizbullah (Tentara Allah), cabang 

bersenjata Masyumi Islam. Di samping itu, pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang 

Koiso menjanjikan Indonesia “merdeka di kelak lalu  hari”. Dan pada 1 Maret 1945 janji ini 

diulangi, kali ini oleh Panglima tertinggi Jepang, yang sekaligus mengumumkan pembentukan 

“Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan”. 

Berkat dibukanya kran kebebasan berupa konsesi dari pemerintah Jepang. Pada bulan Februari 

1945, berkumpul sukarelawan Hizbullah di tempat pendidikan mereka untuk mendapatkan 

pendidikan dasar militer selama tiga bulan, sesudah  itu mereka ditugaskan untuk kembali ke 

tempat mereka masing-masing guna mengajarkan ilmunya kepada anggota yang baru. Hal inilah 

yang sejak lama ditunggu oleh Kartosoewirjo, bahwa rakyat Indonesia sangat berhak untuk 

menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa diberikannya konsesi sekalipun, dia segera 

mengaktifkan kembali perguruan Suffah di Malangbong untuk melatih para pemuda berupa 

latihan kemiliteran dengan dipersenjatai tongkat bambu. Kartosoewirjo sendiri tidak terjun 

langsung menangani latihan ini  sebab  dia ditugaskan oleh pemerintah Jepang sebagai 

pengamat latihan-latihan di Banten. Di mana daerah ini diumumkan menjadi daerah yang 

terlarang, sebab  di sini dikhawatirkan akan mendarat pasukan sekutu.  

Pada bulan Juli 1945 semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang mengadakan kesepakatan 

bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Adapun 

yang menjadi latar belakangnya yaitu  saat  direbutnya daerah Iwojima oleh tentara Amerika 

yang lalu  dijadikan pangkalan pesawat pembomnya untuk melancarkan serangan-

serangan terhadap Jepang. Dan begitu juga yang dialami oleh sekutunya Jepang, Jerman telah 

menyerah kepada sekutu, dan dengan demikian pihak Sekutu diberi peluang untuk memusatkan 

perhatian pada perang Pasifik.  


 

Pada akhir bulan Juli para pemimpin Sekutu di Postdam mengeluarkan suatu tuntutan agar 

Jepang menyerah tanpa syarat. Jepang tidak dapat lagi memikirkan tentang kemenangan 

ataupun tindakan mempertahankan wilayah-wilayah pendudukannya. Tujuannya di Indonesia 

kini yaitu  membentuk sebuah negara yang merdeka dalam rangka mencegah berkuasanya 

kembali lawan, yaitu Belanda. Pada akhir bulan Juli angkatan darat dan angkatan laut Jepang 

mengadakan suatu pertemuan di Singapura guna merencanakan pengalihan politik dan 

perekonomian ke tangan bangsa Indonesia. Mereka memutuskan bahwa Jawa akan diberi 

kemerdekaan pada awal bulan September, sedangkan daerah-daerah lainnya segera menyusul.  

Janji Jepang untuk sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia diwujudkannya dengan mendirikan 

Dokuritsu Jumbi Chosakai, yaitu “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, 

yang didirikan tanggal 28 Mei 1945. Pada saat-saat akan berakhirnya pendudukan Jepang, pihak 

pemerintah militer Jepang beralih orientasi politiknya dengan memberi  perhatian lebih 

banyak kepada kelompok nasionalis sekuler. Kendatipun mereka tetap memberi  

perlindungan kepada kelompok Islam, namun pemerintah militer Jepang lebih mempersiapkan 

para politisi Indonesia dari golongan nasionalis sekular untuk memegang kendali politik nasional 

sesudah  Indonesia merdeka. fakta  ini terlihat dari wakil-wakil Islam yang duduk dalam 

BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dan PPKI ( Panitia Persiapan 

Kemerdekaan Indonesia ). Penunjukkan pihak Jepang yang diskriminatif ini telah membuat rasa 

sentimen para politisi dari golongan nasionalis Islam. 

Dalam komite BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara wakil-wakil 

golongan nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekular. Perbedaan disekitar tentang dasar 

ideologi negara Indonesia yang akan lahir telah menghangatkan suasana perkembangan politik 

menjelang kemerdekaan Indonesia. Pihak Islam mengusulkan gagasan negara Indonesia yang 

berdasar  syariat Islam. Pihak nasionalis sekuler menolak gagasan ini  dan mengajukan 

gagasan negara integralis dengan dasar ideologi Pancasila. 

Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. 

Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan. Sebab, sebagaimana diutarakan oleh Ki 

Bagus Hadikusumo, salah seorang wakil kelompok Islam yang duduk di BPUPKI, tidak ada 

institusi formal (seperti negara) yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda 

yaitu  contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan, 

kendatipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut Hadikusumo 

menegaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan langsung dengan 

persoalan politik. 

  

 

Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo tadi sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak nasionalis sekular. 

Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara Islam, sebab  Indonesia 

menurut Soepomo, salah seorang wakil kelompok nasionalis sekular, mempunyai keistimewaan-

keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syari’at Islam telah cukup 

mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Bahkan Islam menjadi ideologi 

yang menyumbang banyak terhadap --apa yang disebut oleh B.J. Boland sebagai "modern 

struggle"-- banyak pergolakan dalam Indonesia modern. Ideologi Islam dalam pandangan kaum 

Nasionalis sekuler yaitu  bentuk sistem kuno yang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan 

modern sebuah masyarakat. Padahal cukup banyak referensi yang dihasilkan oleh intelektual 

Muslim, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, tentang konsep negara modern Islam. 

Upaya untuk “memahami” Islam tidak sepadan dengan upaya kaum Nasionalis Islam untuk mau 

mengerti ideologi-ideologi lain. 

Perbedaan ini berlangsung terus. Namun sesudah  Sukarno di dalam Badan Penyelidik 

menjabarkan tentang konsep nasionalismenya maka berakhirlah perdebatan itu. Keinginan dari 

Sukarno dengan menawarkan konsepnya bertujuan untuk tidak memicu  perpecahan, 

kompromi pun diambil: maka tercapailah kesepakatan bersama sebagaimana terumuskan dalam 

Piagam Jakarta, di dalamnya disepakati bahwa Pancasila merupakan dasar negara. Di samping 

itu dicantumkan pula rumusan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi 

pemeluk-pemeluknya.” Implikasi Piagam Jakarta untuk hubungan antara syariat Islam dan 

negara akan menjadi sumber pertentangan-pertentangan sengit di masa mendatang. Bagaimana 

tidak terjadi pertentangan, konsep Pancasila yang dibuat oleh Sukarno itu ternyata hanyalah 

sebuah fantasi dirinya saat  sedang mengalami pergolakan bathin tentang masa depan 

bangsanya.  

Penjelasan Soekarno tentang Pancasila sebagai dasar yang setepat-tepatnya untuk negara 

Indonesia, demikian menyinggung persoalan-persoalan mendasar tentang ideologi dari negara 

yang akan lahir, yang nantinya akan terjadi konflik antara para pendukung negara “sekuler” dan 

para pendukung negara Islam. Inilah realitas yang terlihat dalam negara yang baru merdeka di 

Indonesia; negara baru dengan masyarakat yang lama.  

Bagaimana penuturan Sukarno sendiri mengenai penemuan istilah Marhaen merupakan suatu 

cerita yang menarik dan juga hasil imaginatif dari romantisme revolusionernya. Menurut Sukarno, 

saat  dia bersepeda melewati kampung di selatan Bandung, ia terlibat dalam suatu percakapan 

dengan seorang petani Sunda yang sedang membajak sawahnya. Petani itu menyatakan bahwa 

ia memiliki sepetak tanah kecil yang digarapnya sendiri, sebuah rumah sederhana, sebuah 

cangkul, sebuah sekop, dan sebuah bajak, dan dengan kerja keras ia berusaha memberi sandang 

  


 

dan pangan bagi keluarganya. saat  ditanya namanya, petani yang dipandang Sukarno sebagai 

contoh tipikal rakyatnya itu menjawab: Marhaen. Tidaklah penting apakah Sukarno sendiri 

percaya atau tidak percaya akan kebenaran ceritanya, dan sebab  cerita itu diulang-ulangnya 

selama bertahun-tahun maka ia barangkali telah benar-benar mengalaminya. Yang penting ialah 

bahwa cerita itu menunjukkan bagaimana dalam pikiran Sukarno arti dan kepentingan konsep 

itu terletak dalam identifikasi dengan rakyat jelata, yang membentuk sebagian besar penduduk 

Indonesia, dan yang dengan mereka itulah ia, seperti juga banyak elite pemimpin gerakan 

nasionalis yang urban dan berpendidikan barat, merasa sangat perlu untuk mengidentifikasikan 

dirinya.  

Pada tanggal 17 Agustus 1945, diproklamasikannya Republik Indonesia dengan bantuan-bantuan 

bandit-bandit, gangster dan lain sebagainya dalam revolusi jahiliyahnya. sesudah  kemerdekaan 

bangsa dicapai pada tahun 1945, sebagai imbal politik yang proporsional, wajar jika kaum 

nasionalis Islam lalu  menuntut dan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia 

yang baru merdeka. Sehari sesudah  proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta yang telah 

ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu dibicarakan kembali. Dengan alasan: demi 

persatuan nasional, "tujuh kata" yang sangat berarti bagi umat Islam itu dihapus. Toleransi yang 

diberikan kaum Nasionalis Islam tidak dibalas setimpal oleh kaum Nasionalis sekuler. Kendatipun 

semua pihak menyadari bahwa kontribusi Islam terhadap kemerdekaan Indonesia lebih besar 

daripada sumbangan-sumbangan darah yang dipersembahkan oleh kalangan-kalangan non-

Islam untuk kemerdekaan tanah air ini. Gerakan-gerakan masyarakat pribumi Muslim berabad-

abad lamanya berjuang menentang kolonialisme Eropa dan menuntut kemerdekaan, baik secara 

konsepsional (melalui perjuangan-perjuangan pemikiran yang bertebaran di media-media cetak) 

maupun secara fisik, beradunya tulang dan daging para Syuhada dengan mesiu kaum kafir 

kolonial. Tidak diragukan lagi, dalam upaya-upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peranan 

yang amat menentukan. Seperti apa yang ditulis oleh George McTurnan Kahin, “Agama 

Muhammad bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat persatuan; melainkan bahkan 

merupakan simbol kesamaan nasib menentang p