Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 4
ollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 saat orang tuanya
pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere
School). Bagi seorang putra “pribumi” HIS dan ELS merupakan sekolah elite, hanya dengan
kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang
direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-
Eropa. Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama
dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Notodihardjo yaitu
tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah dan pemikiran-pemikirannya sangat
mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam.
Notodihardjo ini lalu menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir
Kartosoewirjo remaja, dalam masa-masa yang bisa kita sebuat sebagai the formative age-nya.
saat Kartosoewirjo mulai memasuki pintu gerbang kedewasaan, ia mulai berkenalan dengan
organisasi Islam modern yang lebih jelas garis politiknya ketimbang Muhammadiyah yaitu
Sarekat Islam. Pada tahun 1912 organisasi SDI merubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI).
saat itu terjadi percekcokan antara Tirtoadisurjo dan Samanhudi, sehingga Samanhudi yang
sebagian besar waktunya tersita untuk urusan-urusan dagang, meminta bantuan Tjokroaminoto
untuk memimpin organisasi itu. Asal-usul organisasi yang bersifat Islam dan dagang segera
menjadi kabur, dan istilah Islam pada namanya kini sedikit banyak lebih mencerminkan adanya
kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia yaitu kaum
muslim, sedangkan orang-orang Cina dan Belanda yaitu bukan muslim. Tjokroaminoto sendiri
tampaknya tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Islam, setidak-tidaknya jika
dibandingkan dengan para ulama yang mendirikan gerakan pembaharuan agama yang
sebenarnya. Tokoh Tjokroaminoto inilah yang lalu banyak mempengaruhi perkembangan
pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Kartosoewirjo dalam Kancah Gerakan Nasionalisme Indonesia
Pada tahun 1923, sesudah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya
melanjutkan studinya pada Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi, NIAS (Nederlandsch
Indische Artsen School). Di sekolah ini ia mengikuti tingkat persiapan (Voorbereidende
School) selama tiga tahun. lalu pada tahun 1926 ia memulai kuliah utama yang sebenarnya,
yang hanya khusus membahas persoalan-persoalan medis. Justru pada saat-saat kuliah inti inilah
ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Dikenal saat itu daerah Surabaya merupakan kota pergerakan kaum nasionalis Hindia. Untuk
melihat bagaimana kiprah dan pemikiran Kartosoewirjo yang dipengaruhi oleh berbagai ideologi
saat itu, maka kita perlu terlebih dahulu memahami konteks sosial-politik kota Surabaya tahun
1920-an.
Di Surabaya sudah banyak bermunculan gerakan kaum nasionalis dengan berbagai organisasi
tempat mereka berkumpul dan berdebat tentang cita-cita bagaimana bentuk Indonesia di masa
depan. Para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi atau haluan politik dan
bentuk perjuangan yang kesemuanya mengambil konsep-konsep modern dari Barat. Hanya
sedikit yang mengambilnya dari latar belakang sejarah Islam. Maka, tidaklah terlalu salah jika kita
mengatakan bahwa modernisasi Indonesia dimulai pada periode ini. Keengganan para modernis
Indonesia untuk memakai sistim Islam yang nantinya telah menyeret bangsa Indonesia yang akan
diperjuangkan ke dalam lembah krisis yang berkepanjangan. Kunci perkembangan pada masa ini,
sebagaimana disebut M.C. Ricklefs, yaitu "munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan
dikenalnya definisi-definisi dan konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah didengar
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu." Ide baru tentang organisasi meliputi
bentuk-bentuk organisasi dan sistem kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru
dan konsep-konsep baru yang, mengutip Ricklefs, "lebih canggih mengenai identitas meliputi
analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi."
Organisasi-organisasi kaum nasionalis itu terhimpun menjadi satu di dalam wadah yang bernama
Perhimpunan Indonesia (PI). Di dalam perhimpunan ini terdapat banyak aliran pemikiran dan
kecenderungan ideologis yang sedikitnya ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang
dikembangkannya sejak permulaan tahun 1925. Ideologi perhimpunan menempatkan
kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan politik utama dengan memperhatikan persoalan-
persoalan sosial dan ekonomi serta politik. Keempat pemikiran pokok itu yaitu :
Pertama, Kesatuan Nasional: perlunya bangsa Indonesia mengenyampingkan perbedaan-
perbedaan sempit dan perbedaan etnis serta kedaerahan sehingga perlu ada kesatuan aksi
melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu.
Kedua, Solidaritas: kebulatan dan persatuan yang kukuh antara pribumi tanpa melihat
perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia. Yang perlu disadari yaitu antara "kita di
sini" dan "mereka di sana" berbeda dan ada pertentangan kepentingan yang mendasar antara
penjajah dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dan sawo
matang. Persatuan biasanya diperoleh sebab ada musuh bersama dari luar. Ketiga, Non-
kooperasi: gerakan yang sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau
kolonial. Tidak bekerjasama ini diartikan sebagai upaya menyadari bahwa kemerdekaan bukan
hadiah sukarela dari Belanda namun harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa
Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh kerena itu tidak perlu
mengindahkan segala kebijakan yang dibuat oleh dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad
(Majelis Rakyat). Bahkan kaum nasionalis Islam lebih keras lagi dalam memandang Volksraad
seperti Volkshuis (Rumah Rakyat) yang bertentangan "Rumah Tuhan" (Masjid). Keempat,
Swadaya: dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dimaksudkan sebagai "gerakan yang tidak
berkenan bersyarikat dengan penjajah"; mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan
suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum, yang
kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.
Yang jauh lebih penting dari pada kemenonjolan sementara dari sayap kooperasi gerakan
nasionalis tahun 1930, yaitu perpecahan yang terbuka antara kelompok nasionalis sekuler dan
nasionalis Islam. Organisasi jahiliyah pertama yang menjadi cikal-bakal semua organisasi sekuler
yaitu Perserikatan Nasional Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927 Sukarno dan Algemeene
Studieclubnya memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru, Perserikatan Nasional
Indonesia, dengan Sukarno sebagai ketuanya. Namun sekitar bulan Mei 1928 nama partai ini
diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan PNI yaitu kemerdekaan bagi Kepulauan
Indonesia yang akan dicapai secara nonkooperatif dan dengan basis serta dukungan dari
organisasi massa. Inilah partai politik penting pertama yang beranggotakan bangsa Indonesia,
dimana program yang ingin dicapai dari PNI ini semata-mata mencita-citakan kemerdekaan
politik, berpandangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia yang nantinya akan
memberlakukan ideologi nasionalisme 'sekuler'. Pada bulan Mei 1929 PNI telah mempunyai
cabang-cabangnya di kota-kota besar di Jawa dan satu cabang di Palembang, serta menyatakan
memiliki anggota sebanyak 3.860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya);
pada akhir tahun 1929 jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.
Perbedaan paham antara kedua kelompok antara nasionalis Sekuler dan Islam melebar secara
nyata pada tahun 1928 dan 1929 saat pemimpin-pemimpin PSI semakin khawatir atas dominasi
PNI dalam gelanggang politik dan atas kemerosotan dirinya yang berjalan terus. Usaha untuk
mengorganisasi kembali dan meremajakan PSI tidak mampu mencegah merosotnya partai ini.
Desas-desus tentang korupsi dalam partai hanya mempercepat proses kemunduran ini .
Ketegangan antara golongan nasionalis sekuler dengan PSI mendekati titik perpecahan saat
dalam pengadilan terhadap Sukarno pada bulan Agustus diungkapkan sepucuk surat Tjipto
Mangunkusumo kepada Sukarno tertanggal Maret 1928, di mana Tjipto memperingatkan bahaya
Pan-Islamisme dan kemungkinan usaha-suaha Tjokroaminoto dan Salim untuk menguasai PPPKI.
Kalau mereka berhasil, menurut Tjipto, akibatnya akan hancurlah gerakan nasionalis. Tjipto
memperingatkan Sukarno terhadap “ulah pengkhianat” yang dilakukan oleh Tjokroaminoto
dengan PSI. Semua pembaharu pada awalnya yaitu "pemberontak" atau cap-cap negatif
lainnya yang diberikan oleh lawan-lawannya.
Begitu tajamnya kritikan yang dialamatkan kepada kelompok Islam telah membuat kalangan
pemimpin Islam marah, disamping itu adanya kemerosotan di tubuh organisasi PSI, maka
pemimpin-pemimpin Islam yang tergabung dalam PSI mengadakan perlawanan dengan
serangan balasan terhadap kaum nasionalis sekuler pada umumnya dan PNI pada khususnya.
Dibalik pertentangan yang begitu sengit ini sebenarnya telah tercipta sebuah pembentukan
kepemimpinan Indonesia dimasa mendatang. Namun sebab adanya pertentangan mengenai
antara garis-garis agama dan ideologi dengan kesadaran diri untuk keluar dari kolonialisme
membawa akibat besar dengan telah terpecah belahnya bentuk dasar kepemimpinan. Dan hal
ini dimanfaatkan sekali oleh pihak Belanda untuk membuat penindasan baru sebagai jawaban
terhadap permasalahan yang sedang terjadi yaitu dengan mengubah pandangan tentang
kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Bukan hanya di sektor politik tapi juga di
sektor ekonomi kolonialisme Belanda telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat
yang ada di Pulau Banda. Pengerukan besar-besaran dari hasil kebun pala yang menjadi
komoditas di daerah ini telah menyeret rakyat disana menghadapi segala kesulitannya.
Miskin
Sesungguhnya peran yang dimainkan oleh PPPKI pada sekitar tahun 30an untuk meminimalisasi
perseteruan yang sedang terjadi antara golongan nasionalis Islam dan Sekuler tidak mampu
berbuat banyak, bahkan perseteruan itu semakin meningkat sehingga membawa akibat perlu
adanya koreksi tentang fungsi PPPKI sebagai suatu forum antara golongan yang mempunyai
prinsip perjuangan koperatif dan non kooperatif. Dan hal ini pula yang mengancam tentang
eksistensi PPPKI.
Dalam rapat PPPKI yang diadakan pada bulan Maret telah diambil keputusan berupa pelarangan
membentuk kepengerusan ditingkat daerah namun cukup dengan menunjuk agen-agennya di
kota-kota besar di Jawa yang bertujuan untuk mengadakan satu kontrol terhadap Dewan
Penasehat dalam menjalankan semua aktifitas partai. Namun tidak menutup kemungkinan
bahwa federasi telah menyebar ke tingkat bawah dan terbentuk menjadi satu kekuatan politik.
Pada rapat PPPKI di Solo tanggal 25 Desember 1929, saat wakil-wakil partai anggota sedang
mengadakan kongres partai, di di luar dari perkiraan mereka bahwa sesudah beberap hari acara
kongres itu dilangsungkan ada beberapa dari peserta kongres itu yang akan ditangkap. Padahal
inti pembicaraan dalam kongres itu bukanlah pada reaksi terhadap pihak federasi namun pada
seputar perkembangan gerakan nasionalis di masa depan. Dan di dalam serangkaian perdebatan
ketegangan antara golongan nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam mencapai puncaknya
dan mengancam kelangsungan eksistensi federasi itu.
Hal yang menarik selama periode perjuangan PSI dalam federasi ini ialah dimana Sukiman
seorang fungsionaris partai PSI yang juga merupakan pendiri dari PPPKI dan penganjur yang
paling gigih dalam keinginannya memasukkan PSI ke dalam PPPKI. Pada kongres partai di
Yogyakarta tanggal 24 – 27 Januari 1930, dia dan Drijowongso melaporkan tentang adanya
serangan-serangan terhadap PSI, sambil mengajukan usul agar partai itu segera menarik diri dari
federasi. Namun usulan yang diajukan oleh Sukiman tidak mendapat jawaban pasti sebab
dirinya tidak lagi mendapat dukungan dari ketua partai Tjokroaminoto. Bahkan sekarang
peranan itu menjadi terbalik sebab Tjokroaminoto berusaha mempengaruhi partai tentang
manfaat PPPKI dalam situasi di mana Sukiman menghendakinya untuk keluar. Dalam pemikiran
Tjokroaminoto sangat riskan jika PSI keluar dari kenggaotaanya di PPPKI dan berakibat buruk
terhadap masa depan partai, ditambah semakin terjepitnya posisi partai antara kaum pembaharu
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang konservatif. Ditambahkan oleh Tjokroaminoto, jika
hal itu terjadi dalam partai maka lepaslah kesempatan dalam mempengaruhi golongan nasionalis
sekuler, dan yang lebih parah lagi lambat atau cepat partai akan mati. Dan terhadap kesalahan-
kesalahan yang dilakukannya selama menjadi anggota PPPKI, Tjokroaminoto dan Kartosoewirjo
akan siap mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, rapat ini tidak menyiapkan
suasana untuk pengakuan semacam itu. Tjokroaminoto lalu terpaksa memperbaiki usul ini
dengan suatu usul lain bahwa bila PPPKI tidak puas dengan permintaan maaf secara tertulis dari
dia dan Sukarmadji maka PSI akan keluar dari federasi.
Sekitar tahun 1930 PSI mengadakan kongres partainya, dan dalam salah satu keputusan
kongresnya yaitu mengubah nama partai menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Disamping itu ingin membuktikan kepada para pengecam tentang jati diri partainya, bahwa PSII|
ini didirikan juga bertujuan hendak membentuk Negara Kesatuan Indonesia. Sekaligus berupaya
untuk mengadakan rujuk dengan kalangan nasionalis sekuler. Akan namun rujuk dengan
golongan nasionalis sekuler bukannya semakin lebih dekat. Pada bulan Juli dan Agustus
hubungan ini malah memburuk akibat serangkaian karangan dalam surat kabar Soeara Oemoem,
koran baru dari kelompok Studi Indonesia, yaitu karangan-karangan yang oleh banyak anggota
PSII ditafsirkan sebagai penghinaan secara sengaja terhadap keyakinan mereka. Karangan-
karangan yang dimuat selama hampir dua bulan mempertanyakannya manfaatnya perjalanan
naik haji ke Mekkah yang dibandingkan dengan pembuangan para pemimpin nasionalis ke Boven
Digul. Yang ini belakangan ini dianggap sebagai lebih berhak memperoleh penghargaan.
Haruslah kita mengenal lebih jauh lagi tentang bagaimana ideologi yang diperjuangankan oleh
para nasionalis dalam kancah panggung politik Indonesia saat itu. Sesungguhnya Kaum
nasionalis Indonesia saat itu memang sudah banyak terpengaruh oleh paham-paham demokrasi,
liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Islam dan, yang terbanyak, komunisme. Namun "daya celup
Indonesia" terhadap semua ideologi itu sangat luar biasa. Misalnya, walaupun para pemimpin PI
sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Marxis-Leninis sebab sudah menunjukkan
kesuksesannya dalam membebaskan Rusia dan mengubahnya menjadi Soviet melalui sebuah
Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, namun sedikit sekali dari mereka itu yang memakai
analisa konflik kelas (antara kelas buruh dan kelas majikan/bourguies) dalam masyarakat
Indonesia. Sebagai gantinya, mereka melancarkan suatu perjuangan ras (race struggle) —
sesuatu yang tidak ada di Rusia— antara orang Indonesia yang berkulit coklat melawan orang
Belanda yang berkulit putih, antara bangsa Asia melawan bangsa Eropa atau, sebagaimana
disebut Ingleson, sebagai perjuangan “sini” lawan “sana”. Rakyat Indonesia berusaha menekan
perbedaan ideologis di antara mereka dan berusaha berjalan menuju suatu "revolusi integrasi".
Perjuangan antara ras coklat dengan ras putih juga merupakan pergulatan antara ras Asia
dengan ras Eropa yang imperialis. Jika abad ke-20 dianggap sebagai abad Asia, maka kegagalan
Belanda untuk hidup sesuai dengan cita-cita politik etis mengakibatkan kaum muda Indonesia
berkesimpulan bahwa orang Asia tidak dapat lagi mengharapkan bantuan yang berarti dari
bangsa Barat dalam usaha mereka mencapai kemerdekaan. “Janji palsu” yang sangat terkenal
pernah diucapkan secara meyakinkan oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum tahun 1918
tidak dapat diwujudkan sebab terjadinya serangkaian kegagalan pembaharuan konstitusional
tahun 1922 untuk mengadakan perubahan-perubahan penting; dan penolakan States General
pada tahun 1925 terhadap pasal dalam rancangan undang-undang yang memungkinkan orang
Indonesia menjadi mayoritas dalam Volksraad (parlemen yang didirikan di Batavia tahun 1918
dengan kekuasaan yang kecil, dengan mayoritas wakil-wakil orang Eropa dan dengan
pemilihannya secara tidak langsung); maka semuanya itu semakin memerosotkan kepercayaan
mereka kepada Belanda. Dalam pandangan kaum nasionalis Volksraad merupakan "parlemen
palsu", untuk mengelabui fakta bahwa semua aspek kehidupan orang Indonesia sudah
diakomodasi oleh pemerintah Belanda.
lalu muncullah zaman yang lebih buruk lagi di bawah masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Fock. Zaman ini ditandai oleh semakin ganasnya tekanan yang dilakukan oleh Gubenur
Jenderal Fock terhadap kegiatan politik sejak tahun 1923, terutama terhadap PKI, memperkuat
keyakinan mereka bahwa berkerja sama dalam sistem kolonial hanya merupakan "onani politik"
yang sia-sia saja. Sistem kolonial harus dirombak secara radikal. Perombakan radikal ini hanya
mungkin dilakukan dengan cara menarik garis perbedaan antara sana dan sini, artinya mereka
menolak untuk berjuang dengan mempergunakan fasilitas pemerintah kolonial Belanda. Dalam
suasana yang penuh hiruk pikuk perdebatan ideologis seperti inilah Kartosoewirjo dibesarkan.
Dan mudahlah dipahami dalam atmosfir seperti ini ia berkenalan dengan berbagai aliran
pemikiran, dan aliran pemikiran yang paling berpengaruh saat itu yaitu pemikiran Islam.
Selama di sekolah inilah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Di
masa kuliahlah ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia lalu begitu "terasuki"
oleh shibghahtullah sehingga ia lalu menjadi Islam minded dan semua aktivitasnya
lalu hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam sahaja. Dia pun
lalu meninggalkan sekolah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang
diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya sesudah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku
dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik. Dengan modal
ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia lalu aktif di berbagai diskusi politik. Ia juga
memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Hajo Oemar Said Tjokroaminoto.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang lalu banyak mempengaruhi sikap,
tindakan dan orientasi Kartosoewirjo. Setahun lalu dia dikeluarkan dari sekolah sebab
dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang
diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang
cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya
sebab "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" sebab memang ideologi ini
sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang
sangat berbahaya bagi penguasa yang zalim. sebab pengaruh pamannya yang sangat kuat,
semakin membangkitkan minat Kartosoewirjo untuk memperdalam ilmu di bidang politik.
Tidaklah mengherankan, kalau Kartosoewirjo nantinya telah tumbuh menjadi pribadi yang
memiliki kesadaran politik dan sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Buktinya ialah
semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda
Jong Java, di organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. lalu
pada tahun 1925, saat anggota–anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita
keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini
sebab sikap pemihakannya kepada agamanya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak lama
sesudah masuk dalam organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang JIB Surabaya. Melalui dua
organisasi inilah lalu membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda
yang sangat terkenal "Sumpah Pemuda". Jadi Sumpah Pemuda bukanlah diprakarsai oleh
segelintir orang-orang priyayi Jawa, melainkan oleh tokoh-tokoh Islam.
Di dalam kalangan priyayi Jawa yang 'baru', mereka memandang bahwa pendidikan merupakan
sebagai kunci menuju kemajuan. Oleh sebab itu mereka membentuk suatu organisasi yang
benar-benar modern. Kelompok ini mewakili suatu aliran sosial dan budaya yang penting di
Indonesia pada abad XX. Mereka itu terutama yaitu abangan Pada awal abad XX. Di antara
kalangan-kalangan atas pemerintahan (priyayi) yang berada di lingkungan kaum abangan ada
yang berpendapat bahwa pendidikan Barat akan memberi kepada mereka suatu kunci
menuju suatu perpaduan baru yang mereka anggap sebagai dasar bagi suatu peremajaan
kembali terhadap kebudayaan, kelas, dan masyarakat mereka. Di antara kelompok ini sebagian
besar memandang Islam secara netral dan bersahabat, namun dengan semakin meningkatnya
tekanan-tekanan Islam beberapa di antaranya menjadi memusuhi Islam.
Dengan keaktifannya di organisasi kepemudaan, Kartosoewirjo berkenalan dengan tokoh Agoes
Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Sjarikat Islam) yang kharismatik, di
mana pandangan politiknya, terutama cita-citanya akan suatu Negara Islam (Daulah Islamiyah),
yang di lalu hari ternyata sangat mempengaruhi jalan pikiran Kartosoewirjo. Keakraban
secara pribadi terjalin sesudah Kartosoewirjo tinggal di rumahnya dan secara kontinyu
memperoleh transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto. PSI merupakan lawan
ideologis partai-partai sekuler saat itu. Partai sekuler yang paling anti dengan PSI yaitu Partai
Nasional Indonesia (PNI). PNI merupakan puncak usaha menemukan suatu partai yang
didasarkan kepada ideologi yang pada intinya berusaha mewujudkan persatuan nasional, non-
kooperasi, dan swadaya. PNI yaitu organisasi sekuler yang sesungguhnya sangat anti Islam,
namun tidak banyak disadari oleh rakyat Indonesia yang sudah tertutup matanya oleh figur
kharismatik Soekarno. Maka, menjelang akhir tahun 1927, dominasi PNI dalam gerakan nasionalis
sudah sangat luas, seiring dengan dominasi pribadi Soekarno dalam dunia pergerakan.
Penantangan atau persaingan kepemimpinan dan harapan untuk menjadi partai massa yang
terbesar hanya diberikan secara tunggal oleh Serikat Islam. Sejak pembentukannya dalam tahun
1911 Sarekat Islam telah merupakan partai politik Islam yang terkemuka dan selama beberapa
tahun telah menjadi partai massa satu-satunya dalam zaman kolonial. Kebesaran SI ini sebab
diawali oleh sebuah gerakan mesianistik Sjarikat Dagang Islam yang didirikan oleh Hadji
Samanhoedi di Solo pada tahun 1905 yang lalu berubah menjadi Sjarikat Islam yang lebih
mengkonsentrasikan diri pada gerakan politik dan bukan semata-mata gerakan ekonomi
sebagaimana dilakukan oleh SDI. Perkembangan SI mencapai puncaknya hingga tahun 1919 di
mana hampir semua tempat di Indonesia sudah memiliki kantor cabang SI. sesudah jaya biasanya
segera datang masa surut. Masa surut ini ditandai oleh terpecahnya SI menjadi dua bagian yang
secara ideologis berbeda jauh: SI Merah (komunis) dan SI Putih (Islam). namun pendukungnya
telah menurun secara dramatis sesudah tahun 1919, saat PKI mengambil alih sebagian besar
anggota SI dan memasukkannya pada SI Merah yang merupakan cikal-bakal Partai Komunis
Indonesia (PKI). PKI pun mengalami kemerosotan sebab meletusnya pemberontakan pada
tahun 1926. Namun, kelemahan PKI bukan berarti kekuatan bagi PSI yang ternyata tetap berada
dalam kemerosotan yang berjalan perlahan-lahan namun pasti. Namun demikian, kemerosotan
PKI sesudah pemberontakan, memberi keyakinan kepada para pemimpin Serikat Islam bahwa
mereka mempunyai kesempatan untuk mengembalikan kejayaan mereka sebelumnya, dan
mengisi kekosongan politik dengan suatu partai yang diremajakan kembali.
Meskipun telah diadakan peningkatan kegiatan dan perhatian terhadap reorganisasi tahun 1927,
Serikat Islam, yang pada tahun 1921 telah mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI),
gagal untuk memperoleh kembali dukungan yang telah hilang, Kelemahan kepemimpinan, baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, merupakan sebab utama kegagalan ini .
Tjokroaminoto dan Salim yaitu para veteran dalam gerakan nasionalis religius, dan meskipun
ada kegiatan sekelompok kecil anggota-anggota muda yang dipimpin oleh Sukiman, seorang
dokter lulusan Amsterdam, mereka tetap dapat menguasai partai ini . Tekanan utama yang
terus diberikan kepada Islam dan gerakan Pan Islamisme, telah menyia-nyiakan usaha-usaha PSI
untuk menarik dukungan dari elite intelektual muda. Orang-orang ini sebaliknya lebih tertarik
kepada citra yang lebih radikal yang diproyeksikan oleh PNI dan memberi kepada partai
ini kekuatan kepemimpinan eselon satu atau dua, yang merupakan suatu faktor utama
bagi dominasi PNI dalam gerakan nasionalis.
PSI juga gagal dalam mencapai dukungan yang berarti pada tingkat pedesaan, terutama sebab
ia semakin mengucilkan dukungan kyai-kyai dan ulama pedesaan yang dalam tahun 1910
merupakan elemen kunci bagi keberhasilan PSI. Hilangnya dukungan ini sebagian juga
disebabkan oleh tindakan-tindakan keras dari pemerintah terhadap PKI. Hanya sedikit orang
yang sekarang bersedia mengambil resiko membantu suatu partai politik. Lebih penting lagi,
sikap keagaamaan Tjokroaminoto yang tidak ortodoks dan acaman bahwa modernisme Islam
PSI akan menyulitkan posisi mereka sendiri, menyebabkan mereka meninggalkan PSI. Untuk
mempertahankan ortodoksi terhadap penyelewengan-penyelewengan ini, beberapa ulama di
Jawa Timur mendirikan Nahdatul Ulama pada tahun 1926, yang keorganisasiannya segera
tersebar ke seluruh Jawa. PSI akan jauh lebih sulit untuk dapat berakar di daerah pedesaan. PSI
semakin terjepit antara modernisme dinamis dari Muhammadiyah yang mempunyai basis di kota
dan ortodoksi dan konservatisme Nahdatul Ulama yang mempunyai basis di pedesaan.
Pada sisi yang lain, langkah-langkah imbangan yang dilakukan oleh pemerintah pada tingkat
kabupaten dan desa ternyata efektif, dan baik pegawai-pegawai bangsa Eropa maupun pegawai-
pegawai Indonesia semakin menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan di daerah, dalam
suatu usaha yang yang cukup berhasil menghilangkan setiap isyu yang dapat dieksploitir oleh PSI.
Perhatian terhadap keluhan yang benar ataupun yang merupakan hasil bayangan saja lalu
dibarengi dengan tindakan hukuman terhadap pemimpin-pemimpin PSI setempat yang
kegiatannya mengancam ketenangan di daerah. Tindakan itu dapat berbentuk denda atau
penjara bagi pemimpin daerah, namun meliputi juga taktik-taktik seperti pengaturan kembali
kerja-kerja di desa yang bersifat mendesak agar jadwalnya jatuh bersamaan dengan rapat-rapat
terbuka yang diselenggarakan oleh PSI, sehingga orang-orang desa akhirnya terhalang untuk
mengikutinya, atau tercatat semua yang mengikuti rapat-rapat PSI setempat dan lalu
melaporkan kepada wedana untuk diwawancarai dan diperingatkan masing-masing secara
pribadi. Tekanan ini memberi masing-masing secara pribadi. Disamping itu
memberi hasil sebagaimana yang diharapkan sebab di mana pun taktik itu dijalankan maka
ternyata bahwa sejumlah besar anggota PSI segera melepaskan keanggotaannya atau
mengembalikan kartu keanggotaannya kepada lurah desa.
Akhirnya, pembaharuan organisasi PSI hanya berlangsung di atas kertas, dan partai ini
ternyata tidak mampu, bahkan saja pada tahun 1927 namun juga pada tahun-tahun berikutnya,
untuk menciptakan suatu struktur organisasi yang kuat. PSI tidak bisa mencegah proses
kemundurannya secara pelan-pelan, baik melalui kepemimpinan yang kuat maupun melalui
reorganisasi. Dari persoalan ini lalu timbul masalah lain yang lebih permanen sifatnnya
seperti masalah kekurangan dana untuk menjalankan proyek-proyek yang lebih ambisius, yang
sudah cukup membuat mereka mampu menyaingi nasionalisme keras dari PNI. Sidang kongres
pada tanggal 1 Oktober 1927 menyetujui PSI untuk masuk sebagai anggota federasi yang
direncanakan, sehingga dengan demikian memberi kepada Sukiman dan Sukarno dukungan
yang mereka perlukan untuk mengatur pembentukannya secara resmi. Untuk tujuan ini
diadakan sebuah rapat pada tanggal 17 – 18 Desember 1927 di Sekolah Taman Siswa di Bandung.
Hadir dalam pertemuan ini wakil-wakil dari PSI, PNI, Budi Utomo, Pasundan,
Sumatranenbond, Kaum Betawi dan Kelompok Studi Indonesia. Pada pertemuan ini
menerima AD yang dipersiapkan oleh Sukarno dan Sukiman untuk membentuk suatu federasi
yang dikenal dengan nama Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI) dan memilih sebuah panitia yang terdiri dari Sabiran sebagai ketua, Sunarjo
sebagai Sekretaris dan Dr. Samsi sebagai anggota ketiga untuk menyelenggarakan suatu
konferensi dalam bulan Juli 1928. Sebuah dewan penasehat dibentuk untuk mengurusi masalah-
masalah yang dihadapi oleh badan federasi sampai terbentuknya pengurusan tetap pada
konferensi yang akan datang. Iskaq Tjokroadisurjo menjadi ketua, Dr. Samsi menjadi sekretaris
merangkap bendahara, dan Sukiman berserta Sukarno menjadi anggota dewan penasehat
ini . Terakhir sekali, rapat ini memutuskan agar dibentuk sebuah suratkabar nasional
dan menunjuk Sartono dan Parada Harahap untuk menjajagi dan melaporkan rencana ini .
Akan tertapi, selama tahun 1919 pemerintah kolonial meninggalkan paham liberal, sebab van
Limburg Stirum mulai menyadari segala sesuatunya mulai tidak terkendalikan. Mula-mula dia
berpaling kepada ISDV. Sejak Revolusi Rusia tahun 1917 ISDV telah menjadi badan komunis yang
lebih nyata. Pada akhir tahun 1917 organisasi ini menghimpun sebanyak 3.000 orang serdadu dan
kelasi ke dalam soviet-soviet (dewan-dewan), terutama di kota pelabuhan Surabaya. Selama
tahun 1918 dan 1919 pemerintah membubarkan dewan-dewan ini , mengasingkan Sneevliet
dan menahan atau mengasingkan sebagian besar orang-orang Belanda lainnya yang menjadi
pimpinan partai ini. akan namun , saat orang-orang Belanda yang radikal itu menghilang, ISDV
atuh pada pimpinan orang-orang Indonesia, yang dengan cepat memungkinkan partai ini
akhirnya mendapatkan basis masanya. Insulinde yaitu organisasi berikutnya yang terkena
pukulan. Pada awal tahun 1919 di Surakarta berlangsung kekacauan-kekacauan pedesaan yang
dipimpin oleh Haji Misbach, yang khotbahnya mengenai doktrin bahwa Islam dan Komunisme
yaitu hal yang sama menjadikan dirinya terkenal sebagai 'haji merah'. Pemimpin-pemimpin
Insulinde lainnya tampaknya juga terlibat, sehingga Misbach dan Douwes Dekker ditahan dan
Tjipto Mangunkusumo diasingkan dari semua wilayah yang berbahasa Jawa. Selanjutnya yaitu
giliran SI.
Kaum nasional dari segala aliran politik dengan cepat menyambut pembentukan PPPKI sebagai
suatu kemajuan penting dalam perjuangannya melawan Belanda. Ada kecenderungan untuk
melihat pembentukan PPPKI itu sendiri sebagai pergeseran penting dalam perimbangan
kekuatan dalam wilayah jajahan, walaupun peringatan-peringatan terhadap sikap puas semacam
itu dikeluarkan oleh organ PNI dan oleh suratkabarnya Singgih Timboel. Problem utama ialah
bahwa satu-satunya ikatan bersama yang kuat antara organisasi-organisasi nasionalis ini
yaitu suatu ikatan negatif, yaitu bahwa semua mereka menentang musuh yang sama, yaitu
Belanda. Dalam bentuknya yang positif, semua partai-partai anggota menyatakan dengan
lantang dan berulang-ulang keinginan mereka untuk bersatu agar dapat menghidupkan kembali
masyarakatnya dan memaksa Belanda menarik diri, namun masih terdapat hal-hal yang belum
disetujui bersama yang menarik masing-masing partai ke arah yang berbeda-beda. Dua isue
terpenting yaitu prinsip kooperasi dan non-kooperasi dan peranan gerakan Islam dalam
gerakan kebangsaan dan, akhirnya, peranan Islam dalam negara Indonesia yang direncanakan.
Dalam rumusan AD federasi Sukiman dan Sukarno berkeyakinan bahwa masalah-masalah ini
telah dapat diselesaikan dengan menghindari pembahasan tentangnya dan menegaskan bahwa
badan federasi hanya menaruh perhatian kepada hal-hal sampingan saja – hal-hal yang paling
sedikit sangkut-pautnya dengan tujuan-tujuan dasar dari partai-partai anggota – sementara
bidang-bidang yang paling utama dalam kegiatan politik diserahkan kepada masing-masing
partai.
Namun demikian, pembentukan federasi ini merupakan sukses besar bagi Sukarno dan
Sukiman. Pada saat isyu kooperasi/non-kooperasi memicu emosi yang hebat dan di saat PSI
merasa bahwa nasionalisme Islam terancam oleh ideologi sekuler PNI, maka terbentuknya suatu
badan federasi merupakan suatu kemenangan bagi jerih payah dan keunggulan diplomatis dari
kedua orang ini . Usaha keduanya bersifat saling mengisi dan tanpa salah satu dari
keduanya maka PPPKI tak akan dapat terbentuk. Sukarno memberi dorongan kepada persatuan
dan menunjukkan komitmen pribadi yang mampu menyingkirkan semua rintangan dan yang
menggairahkan sejumlah besar partai dan pemimpin-pemimpin dari berbagai keyakinan untuk
percaya bahwa suatu badan persatuan dapat terbentuk, dan yaitu kemenangan pribadi bagi
pembela yang gigih dari prinsip non-kooperasi itu bahwa ia dapat melakukan tawar-menawar
secara damai dengan penganut paham kooperasi. namun untuk dapat berhasil, ia memerlukan
kerjasama dari partai Islam yang paling besar.
Pada awal tahun 1927 saat dikeluarkan dari NIAS dan dikeluarkan dari JIB, Kartosoewirjo pulang
ke rumah orang tuanya di Bojonegoro untuk beberapa bulan. Kepulangan Kartosoewirjo
ini sesudah sebelumnya mendengar khabar bahwa orangtuanya telah meninggal dunia.
Untuk menunjukkan sebuah pengabdian kepada orangtua di sana dia menjadi guru partikulir
guna membantu biaya hidup ibunya. Kehidupannya lalu mengalami suatu pergolakan yang
luar biasa. Pemikiran-pemikirannya menjadi demikian berkembang dan oleh beberapa orang
Jawa yang masih jahiliyah saat itu, pandangan-pandangan Kartosoewirjo dianggap cukup
radikal. Bahkan hingga Jepang datang menjadi kekuatan imperialis baru, kisah hidup
Kartosoewirjo masih berjalan pada jalur yang radikal ini, yang istiqamah. Padahal, imperialisme
Jepang yang sudah dimulai sejak 1894 terkenal begitu kejam.
Namun dari serangkaian siksaan tentara Jepang yang terkenal biadab itu, ternyata ada seberkas
janji yang membesarkan hati: janji pemberian kemerdekaan bagi Indonesia. Pada tanggal 7
September 1944 Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi 'Hindia Timur' (To-indo,
istilah dalam bahasa Jepang yang terus dipakai secara resmi sampai bulan April 1954). Akan namun ,
dia tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia
akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Angkatan Darat ke-16 di Jawa kini diberitahu supaya mendorong kekuatan-kekuatan nasionalis,
dan bendera Indonesia boleh dikibarkan di kantor-kantor Jawa Hokokai. Pada umumnya pihak
angkatan laut masih tetap tidak tertarik pada keseluruhan gagasan ini . Sejak bulan Maret
1944 pihak angkatan laut telah membentuk beberapa komite penasihat di daerah kekuasaannya,
namun komite-komite itu tidak mempunyai kekuasaan, hanya beranggotakan para pejabat serta
bangsawan pribumi dan hanya mengadakan pertemuan beberapa kali sebelum menyerahnya
Jepang. Angkatan Darat ke-25 di Sumatera mengumumkan berdirinya suatu Badan Penasihat
Pusat (Sumatera Chuo Sangi-in) yang sifatnya konsultatif untuk pulau itu pada bulan Maret 1945,
namun lembaga ini hanya satu kali mengadakan pertemuan di Bukittinggi sebelum berakhirnya
perang.
Dalam bulan September pada tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya, dan
selanjutnya menerima tawaran Hadji Oemar Said Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris
pribadinya. lalu , dia turut serta menemani HOS Tjokroaminoto yang pindah ke Cimahi
dekat Bandung. Di rumah Tjokro ini untuk pertama kalinya bertemu dengan Soekarno, yang di
saat itu telah menjadi ketua PNI (Peserikatan Nasional Indonesia). Di rumah itulah mereka lama
berdiskusi tentang politik, yang akhirnya Kartosoewirjo mendapat kesan bahwa Tjokroaminoto
yaitu penasehat politik Soekarno pada masa itu. Pertemuan yang sering antara Kartosoewirjo
dan Soekarno pada saat konferensi PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia), yaitu suatu musyawarah organisasi-organisasi politik Indonesia, yang
dibentuk atas inisiatif Soekarno. Baru bertemu kembali dengan Soekarno pada tahun 1942 di
Jakarta pada kantor pusat Djawa Hokokai, saat dalam pemerintahan militer Jepang.
Kini terbentuklah kelompok-kelompok pemuda dan militer yang baru. Untuk yang pertama
kalinya Jawa Hokokai diberikan organisasi pemuda sendiri, Barisan Pelopor, yang pada akhir
perang konon beranggotakan 80.000 orang. Pada mulanya Barisan Pelopor akan digunakan
untuk menyiarkan propaganda, namun pada bulan Mei 1945 organisasi ini mulai mengadakan
latihan gerilya. Para pemimpin pemuda perkotaan yang berpendidikan berhubungan dengan
pemuda-pemuda kelas-bawah yang ada di kota-kota besar dan kecil, dan sebaliknya mereka
secara resmi berhubungan dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh Sukarno. Pada bulan
Desember 1944 Masyumi juga diperbolehkan memiliki sayap militer yang bernama Barisan
Hizbullah (Pasukan Tuhan), yang memulai latihannya pada bulan Februari 1945 dan konon
mempunyai 50.000 orang anggota pada akhir perang. Kepemimpinan didominasi oleh tokoh-
tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang
bersifat kooperatif yang dipimpin oleh Agus Salim. Sekali lagi, para politisi penting Islam dari
masa sebelum perang yang bersifat nonkooperatif dilangkahi.
Pada bulan Desember 1927 di Pekalongan, saat kongres PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia
Timoer) Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. lalu diputuskan juga
melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia. Setahun lalu
tepatnya pada bulan Oktober 1928, Kartosoewirjo pernah menjadi peserta kongres pemuda
Indonesia mewakili partainya di Batavia, pada kongres ini Kartosoewirjo memberi
pandangan tentang hakikat pendidikan pada masa yang akan datang. Namun pandangannya itu
bertentangan dengan pemikiran ketua kongres Sugondo. Sehingga, debat sengit pun tak dapat
terelakan. saat Kartosoewirjo tetap mempertahankan argumentasinya, terpaksa Sugondo
memukulkan palu di atas meja, maka berakhirlah perdebatan itu.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di
koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, lalu diangkat menjadi reporter. Pada
tahun 1928 Kartosoewirjo banyak melakukan perjalanan ke provinsi-provinsi dalam rangka
tugasnya, berkaitan dengan jabatannya sebagai Sekretaris Umum PSIHT dia mengunjungi
cabang atau ranting di daerah-daerah. Dan sempat dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke
Malangbong, di sana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama
Ajengan Ardiwisastera, yang pernah tertangkap oleh Belanda beberapa bulan sebab terlibat
dalam peristiwa Cimareme. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan
Ardiwisastera, yang lalu dinikahinya pada bulan April tahun 1929, di saat itu usianya lebih
muda dua tahun dari Kartosoewirjo. Dengan kepindahan dia ke Malangbong, maka terangkatlah
diri Kartosoewirjo menjadi orang yang sangat terpandang di daerah ini . Bukan hanya
sebab reputasi mertuanya saja yang sangat berpengaruh di daerah Malangbong, akan namun
reputasi dia juga cukup tinggi, di mana dia pernah merasakan sekolah di NIAS, menjadi sekretaris
pribadi HOS Tjokroaminoto, menjabat sebagai sekretaris umum PSIHT dan anggota staff harian
Fadjar Asia. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor
intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1929, dalam usinya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi
redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur mulailah dia menerbitkan
beberapa artikel-artikel. Langkah awal dalam artikelnya sudah berani mengkritik, sasaran
pertama kritiknya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan Jawa yang bekerja sama
dengan Belanda. Di antara yang diserang oleh Kartosoewirjo yaitu Sultan Solo, saat Sultan ini
mengadakan resepsi ulang tahunnya yang ke-64, Sultan Solo itu hanya memperhatikan
wartawan-wartawan Belanda. Tentang Sri Sultan Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:
“Rasa kebangsaan ta’ ada, keislaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet
titelnja mendjadi kepala agama Islam. Agama kebangsaan kita di tanah toempah darah ini.
Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari batas..., jang soedah terang dan
njata ialah: Boekan sebab tjinta bangsa dan tanah air…, melainkan sebab keperloean diri sendiri
belaka, keperloean jang bersangkoetan dengan kesoenanannja.”
Selanjutnya dia menulis, bahwa tidak ada perbedaan, siapa yang berkuasa, apakah itu
pemerintah sendiri atau pemerintahan bangsa lain, hasilnya sama saja, yaitu bahwa rakyat tidak
memiliki kemerdekaan.
“Semendjak zaman keradjaan Padjadjaran sampai ke zaman Browidjojo, maka jang boleh dianggap
merdeka tjoema radjanja sadja. namun rakjatnja sedjak zaman itoe sampai ini waktoe tetap tinggal
dalam gelombang perhambaan dan perhinaan jang serendah-rendahnja dan sedalam-dalamnja”.
PSIHT selalu berupaya untuk membela rakyat dan bangsanya, agar supaya kelak di lalu hari
Indonesia menjadi Indonesia merdeka dan agama Islam menjadi agama nasional bangsa
Indonesia, demikian tulis Kartosoewirjo. "Nasionalisme dalam Islam boekan satoe sport atau
peloeang waktoe dan joega boekan satoe tempat kesenangan melainkan yaitu soeatu
kewadjiban jang berat atau ringannja haroes ditanggungkan.” Kartosoewirjo melihat saatnya
telah tiba, di mana rakyat telah terjaga dari tidurnya yang selama berabad-abad lamanya dan
sadar akan kewajiban dan haknya serta sama-sama menemukan suatu persatuan yang berjuang
untuk kepentingan rakyat. Persatuan ini bagi Kartosoewirjo yaitu PSIHT. Dia mengeritik,
bagaimana dengan cepatnya seseorang dituduh komunis, termasuk anggota PMI (Pemoeda
Moeslim Indonesia) yang dituduh sebagai gerakan komunis yang dapat membahayakan
keamanan dan tata tertib.
Kartosoewirjo memperhatikan nasib para petani kecil, “yang menyewakan tanahnya kepada
perusahaan Barat atau pada kapitalis pribumi”. Dia juga marah sekali atas kenaikan pajak sawah
hingga 90%. Dia juga mengeritik kerja rodi (Heerendienst) yang diganti dengan pembayaran
tahunan, hanya sebab tidak ada lagi lapangan kerja, akibat krisis ekonomi di Hindia Belanda pada
masa itu. saat beberapa petani di Lampung yang diusir dari tanah mereka oleh “sekelompok
kapitalis asing”, petani ini meminta bantuan kepada partai, Kartosoewirjo menulis tentang itu:
“Orang-orang Lampoeng dipandang dan diperlakoekan sebagai monjet belaka, ialah monjet jang
dioesir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnja.”
“Katanja ada Madjlis ini dan Madjlis itoe, ada Volksraad ada Vinciale Raad dan Madjlis Negeri
(Tweede Kamer) dan segalanja boeat melindoengi ra’jat boeat menertibkan keamanan dan
keadilan.” Tapi mana buktinya, tanya Kartosoewirjo. Bukankah ini semua: “omong kosong belaka?”
Dia mengajak para buruh untuk memperbaiki keadaan mereka: “Djanganlah berkeloeh-kesah!
Djanganlah meminta-minta! Djanganlah tinggal diam sadja! Kalau takoet mati djanganlah hidoep!
Kalau hendak hidoep, djanganlah takoet mati.”
Kartosoewirjo juga mencela hubungan orang-orang Belanda di perkebunan-perkebunan dengan
wanita-wanita pribumi. Dan dia mengajak para orang kulit putih terutama pers Belanda untuk
menjernihkan masalah ini:
“Kalau mereka sesoenggoehnja menghendaki perlakoean jang manis dari fihak k ita, hendaklah
mereka memboeang segala perlakoean jang tidak lajak kepada bangsa Indonesia.”
Kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa dicapai dengan pengorbanan yang besar,
demikianlah keyakinan Kartosoewirjo pada saat itu:
“Sebab kemerdekaan tanah air tidaklah sedikit harganja, jang oleh sebab harganja, tentoe bakal
memakan korban loear biasa.”
sebab artikel-artikel itu, Kartosoewirjo mendapat banyak musuh, tapi justru bukan di pihak
penguasa kolonial, melainkan di pihak bangsanya sendiri, terutama di kalangan kaum nasionalis
yang netral agama.
Perbedaan pendapat antara kaum nasionalis Islami dan yang netral agama lebih jelas nampak
pada tahun 1928/29, dan yang lebih menonjol lagi saat PNI lebih dominan di dalam pergerakan
kebangsaan Indonesia dan di lain pihak mundurnya Partai Serikat Islam Hindia Timoer (PSHIT).
saat kemunduran partainya tak dapat dibendung lagi, Kartosoewirjo meluapkan
kekecewaannya dan menyerang para Nasionalis netral agama, terutama mereka yang menjadi
anggota PNI. Maka dia dalam bulan-bulan terakhir jabatannya sebagai redaktur dan wakil
pimpinan Fadjar Asia menyerang kaum Nasionalis netral agama. Artikel-artikelnya yang paling
tajam tidak lagi ditandatanganinya dengan nama aslinya, melainkan dengan nama samaran “Arjo
Djipang.”
Sasaran kritiknya yaitu pimpinan redaksi Bintang Timoer, Parada Harahap yang dimakinya
dengan kata-kata emosional tanpa meninggalkan analisis intelektualnya. Koran Bintang Timoer
disebutnya reaksioner, Parada Harahap sendiri disebut sebagai penjual Bangsa Indonesia dan
"Binatang tikoes dari Krekot.” Tentang Parada Harahap dia menulis sebagai berikut:
“Si Parada Harahap mendjilat-djilat pantat dan mentjari moeka dan perlindoengan kepada kaoem
Nasionalis (PNI), Mendjilat pantat dan mentjari moeka, sebab ia perloe akan hal itoe sebab boleh
djadi Parada Harahap takoet kalau ia lantaran berboeat berchianat terhadap kepada bangsa dan
tanah-air kita --mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh djadi ia mendjadi tidak
sadar kalau tidak mampoes sama sekali.”
Dan dia bertanya, “Parada Harahap kaja dari mana? Ta’ melainkan dari mendjilat pantat kaoem
kapitalis dan mendjoeal boedi rochnja kepada orang asing.”
Keresahan yang besar di antara para Nasionalis timbul sebab artikel Kartosoewirjo mengenai
bank nasional. Apa itu, tanyanya:
“Jang dinamakan “national” jang tak lain melainkan bank setjara barat, bank systeem tiroean, bank
jang menimboelkan kapitalisme, bank jang mendorong kita ke arah persesatan, bank jang akan
memperoleh hasil sebab memoengoet rente.”
Koran harian Darmo Kondo di Solo menulis, bahwa artikel ini menggoncangkan kaum nasionalis
Indonesia dan mendidihkan darah mereka. Darmo Kondo menganggap Nasionalisme kita ini
aneh, tulis Kartosoewirjo. Dan dia melanjutkan:
“Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalau kita kaoem kebangsaan
jang berdasar kepada Islam dan ke Islaman tidak berangan-angan ke Indonesia merdeka. Tjita-
tjita itoe boekan monopolinja collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang
Islam tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek mentjapai tjita-tjita kita,
soepaja kita dapat menguasai tanah air kita sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo
Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme jang dinjatakan
oleh redaksi Darmo Kondo itoe yaitu poentjaknja jang setinggi-tingginja, sedang kemerdekaan
negeri toempah darah kita ini bagi kita hanjalah satoe sjarat, soeatoe djembatan jang haroes kita
laloei, oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan lebih moelia, ialah kemerdekaan dan
berlakoenja agama Islam di tanah air kita Indonesia ini dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan
sebenarnja. Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat (midel) itoe, bagi redaksi Darmo Kondo yaitu
maksoed dan toejoean (doel) jang tertinggi.”
Dengan demikian pengertian Kartosoewirjo tentang kebangsaan sesuai dengan pandangan
Tjokroaminoto yang menulis sebagai berikut:
“Islam itoelah tjita-tjita kita jang tertinggi, sedang nasionalisme dan patriotisme itoe ialah tanda-
tanda hidoep kita sanggoep akan melakoekan Islam dengan seloeas-loeas dan sepenoeh-penoehnja.
Pertama-tama yaitu kita Moeslim, dan didalam ke Moesliman itoe yaitu kita Nationalist dan
Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak tjoema dengan perkataan-
perkataan jang hebat dalam vergadering sadja, namun pada tiap-tiap saat bersedia djoega
mendjadikan korban sedjalan apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri
toempah darah kita.”
Pemerintah kolonial merasa khawatir akan dinamika baru di dalam pergerakan kebangsaan
terutama yang ditimbulkan oleh PNI, sebab dari permulaan, partai ini mengambil sikap radikal
dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Tuntutannya jelas-jelas “kemerdekaan
Indonesia”. Sehingga pemerintah mengambil tindakan respresif berupa pelarangan
mengunakan istilah-istilah seperti “Merdeka” atau “Kemerdekaan” di dalam pidato-pidato
Soekarno. Dan pada akhir tahun 1929 Soekarno bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya
ditangkap oleh polisi kolonial sebab kegiatan politiknya sudah sangat meresahkan pemerintah
kolonial. Tidak lama sesudah itu PNI malah dibubarkan sendiri oleh tokohnya, Mr. Sartono.
Sementara pada tahun yang sama Kartosoewirjo masih relatif tanpa rintangan dapat
mengeluarkan gagasan-gagasan politiknya dalam Fadjar Asia.
Kecewa akan perkembangan politik pada umumnya dan sebab kejatuhan partainya sendiri,
Kartosoewirjo menulis:
“Dikelak kemoedian hari, djika soedah terbit perang “Brontojoedo Djojobinangoen” kita berdiri di
muka barisan kita. Sekarang ini baroe perang gagal sadja.”
Selama dia bekerja di Batavia, Kartosoewirjo hidup sangat sederhana, “Sebagai seorang lulusan
ELS dan “putus kuliah” di NIAS, sesungguhnya dia dapat hidup cukup mampu sekiranya dia mau
menjadi pegawai pemerintah atau bekerja pada kantor swasta. namun Kartosoewirjo tampaknya
lebih suka dalam kehidupan yang sederhana (qana’ah) serta mengabdikan semua tenaga dan
pikiran bagi kehidupan partai dan jurnalistiknya. saat H.O.S Tjokroaminoto jatuh sakit, pada
bulan September 1929 Kartosoewirjo mengambil alih pimpinan redaksi Fadjar Asia. Tidak lama
sesudah dia memangku jabatan sebagai pimpinan redaksi, Kartosoewirjo pun jatuh sakit
disebabkan penyakit beri-beri. sebab ketekunan, kesungguhan dan kegairahan pengabdian
yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya di harian Fadjar Asia, untuk membebaskan negeri
ini dari penjajahan. Sehingga, untuk sementara waktu dia dibebaskan dari tugas kesehariannya
di Batavia, lalu dia pulang ke kampung halaman istrinya di Malangbong untuk beristirahat
sejenak menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Pada waktu Kartosoewirjo pindah ke Malangbong, di akhir tahun 1929 dalam kongres partai PSII,
Kartosoewirjo terpilih menjadi wakil Partai ini untuk daerah Jawa Barat. Selama dia
menjalankan tugas-tugasnya di Malangbong, dia tidak muncul di pentas percaturan politik.
Sejarah tentang Jawa Barat ini perlu kita pahami terlebih dahulu sehingga kita bisa mengerti
mengapa Kartosoewirjo memilih geografi Sunda ini sebagai tempat dikristalkannya Darul Islam,
tempat dimulainya satu pernyataan sikap seorang mujahid. Tindak kekerasan di wilayah
pedalaman Jawa semakin meningkat pada awal tahun 1924 saat bermunculan kelompok-
kelompok yang menamakan diri 'sarekat hijau', terutama di Priangan. Kelompok-kelompok
ini merupakan gerombolan-gerombolan penjahat, para anggota polisi, dan para kyai yang
mendapat dukungan pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat priyayi. Pada awal tahun 1925
sekitar 20.000 orang anggotanya menyerang rapat-rapat PKI dan SI serta mengancam para
anggota mereka. Pengawasan pemerintah semakin diperketat, dan apa yang tersisa dari
pimpinan PKI sering berada dalam tahanan.
Pada tahun 1911 kaum muslim Indonesia di Jawa Barat mengambil langkah-langkah pertama ke
arah pembaharuan secara hati-hati. Guru-guru Syafi'i membentuk Persyarikatan Ulama
(Perserikatan Para Ilmuwan Agama); namun mereka juga terbuka menerima beberapa ide
pembaharuan paham modern dan sedikit sekali berhubungan dengan kalangan pesantren yang
bergaya lama. Keterbukaan dimulai saat Persyarikatan Ulama membuka sebuah sekolah di
tahun 1916, juga mendirikan sebuah panti asuhan yang dikelola oleh cabang wanitanya, serta
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, seperti percetakan, pertenunan, dan
pertanian. Oleh sebab itu kesempatan bagus tidak disia-siakan oleh Kartosoewirjo untuk
memakai pengaruhnya demi meluasnya kegiatan PSII di daerah itu. kesempatan ini
dipergunakan juga untuk menjalin hubungan pribadi dengan ulama setempat, bukan hanya di
sekitar Malangbong, bahkan juga di daerah-daerah lain di Priangan Timur. Di bawah bimbingan
mertuanya Ardiwisastera yang menjadi salah seorang anggota PSII terkemuka dari daerah itu
dan seorang guru agama yang sangat masyhur dibantu para ulama yang lain Kartosoewirjo
memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Usaha Kartosoewirjo tidak berlalu begitu
saja, pada kongres Partai PSII tahun 1931 dia menjabat sebagai Sekretaris Umum PSII.
Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) merupakan kelanjutan dari Sjarikat Islam (SI) yang dibentuk
Hadji Samanhudi tahun 1912 di Solo. Sjarekat Islam itu sendiri berkembang dari Sjarekat Dagang
Islam yang dibentuk oleh para pedagang pribumi sebagai jawaban atas gerakan emansipasi Cina
pada awal abad ke-20.
Hanya dalam waktu 3 tahun sejak berdirinya SI, partai ini merupakan suatu gerakan massa yang
beranggotakan hampir setengah juta orang. sesudah itu partai ini tidak pernah lagi beranggota
sebanyak itu. Sebagai gerakan massa yang pertama dan hanya satu-satunya pada saat itu,
Sjarikat Islam berusaha untuk mempersatukan sebanyak mungkin rakyat Indonesia di dalam satu
organisasi, dan partai ini untuk pertama kali memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia
untuk mewujudkan keinginannya. SI merupakan wadah bagi kekuatan politik yang bermacam-
macam, dimulai dari Panislamist yang konservatif, hingga para Marxist radikal. Keaneka-ragaman
kekuatan politik yang berwadah dalam partai ini menjadi problem yang utama, sebab tidak lama
lalu muncul gejala-gejala perpecahan. saat Kartosoewirjo memasuki partai ini pada
tahun 1927 yang sekarang disebut PSII, proses ini telah terjadi.
Sebelum membicarakan reaksi SI terhadap ideologi-ideologi modern ini, sebuah catatan singkat
tentang Marxisme di Indonesia perlu disertakan. Marxisme atau lalu lebih dikenal dalam
baju komunisme pertama kali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda, ya