Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 3
kannya di luar negeri. Pengaruh budaya
Barat teradopsi dalam alam pikiran mereka sehingga tidak ada lagi dalam otak mereka untuk
memperjuangkan Islam.
Kendatipun Politik Etis secara resmi dimulai tahun 1901, namun politik ini masih belum
sepenuhnya bisa mengganti liberalisme laissez-faire dengan campur tangan negara di dalam
masalah-masalah ekonomi dan suatu program legislasi kesejahteraan yang ambisius. Swasta,
yang terwakili oleh kalangan pedagang dan usahawan pribumi Islam, yaitu bagian dari gerakan
laissez-faire yang mulai menggeliat di jantung Nusantara: Jawa. Fungsi kelas pedagang Islam ini
yaitu untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng di negeri jajahan
sehingga bisa mengimbangi efek-efek disintegrasi dari pengaruh Barat terhadap Indonesia.
Kemakmuran haruslah menggantikan eksploitasi, dan pembaharuan haruslah menggantikan
regimentasi yang merupakan kata kunci penjajahan Belanda abad keduapuluh. sebab dengan
menjalankan politik eksploitasinya penjajah Belanda telah menguras habis kekayaan alam yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia, sehingga bukan hanya ekonomi yang dimatikan sampai kepada
politik pun dihapuskan. Maka, Jawa yaitu wilayah pertumbuhan ekonomi yang sangat subur,
sekaligus juga tanah yang membesarkan banyak pembangkang dan penerobos zaman yang
brilian dan para penentang kemapanan serta arogansi kekuasaan.
Politik Etis juga merupakan suatu reformasi politik dalam rangka mengukuhkan status-quo
dengan jalan mengelola perubahan dalam suatu siklus konjungtur yang teratur dan sedapat
mungkin diatur. Secara administratif, Zaman Etis membawa langkah-langkah otonomi dari
negara induk, penyerahan tanggung jawab sebagian dari pemerintahan pusat di Batavia kepada
pejabat-pejabat daerah, dari korps administratif pribumi dan dari penjagaan yang ketat oleh
pejabat Belanda. Reformasi politik difokuskan pada pembentukan dewan-dewan perwakilan
untuk penduduk Jawa. Reformasi politik ini, sebagaimana reformasi politik Indonesia di bawah
Habibie sekarang ini, hanyalah semata-mata membuat sebuah perubahan bagi mapannya
sebuah situasi yang kembali statis. Ini termasuk dewan-dewan walikota dengan keanggotaan
terbanyak pada orang-orang Eropa, Dewan-dewan Propinsi dan, yang terpenting dari semuanya,
Dewan Kabupaten di wilayah-wilayah pedesaan, yang direncanakan sebagai pengontrol yang
kuasi-demokratik terhadap otoritarianisme tradisional kelas yang memerintah, para priyayi.
Kartosoewirjo sesungguhnya yaitu seorang priyayi, namun sebab pengaruh Islam, ia lebih
merasakan dirinya sebagai seorang rakyat biasa.
Dan tidaklah mengherankan bahwa respons organisatoris yang pertama terhadap Politik Etis itu
terjadi di kalangan para anggota kelas priyayi, di mana mereka merasa telah diuntungkan dengan
diadakannya pendidikan Barat. Organisasi Budi Utomo yang dibentuk sebagai suatu persekutuan
kebudayaan pada tahun 1908, memperlihatkan usahanya dengan menggelar sebuah program
pengembangan diri sendiri --organisasi Budi Oetomo banyak merangkul pengikutnya yang
berpendidikan Barat, orang-orang Indonesia profesional-- yang didasarkan atas gabungan antara
nilai-nilai Barat dan nilai-nilai Jawa. Organisasi ini menghargai orang berdasar derajat
keterpengaruhan sistem Barat dan darah priyayi Jawa. Di sini bisa terlihat bahwa mereka
berusaha untuk mempertahankan harapan-harapan tinggi kaum pembaharu asosiasionis.
Beruntung Kartosoewirjo tidak pernah masuk organisasi "sesat" ini.
Begitupun partai politik pertama Indische Partij (Partai Hindia) dari Douwes Dekker, yang secara
eksplisit berdasar prinsip asosiasi dan dipimpin oleh orang-orang Indo-Eropa dan orang-
orang Indonesia, namun masih menghitung orang berdasar latar-belakang derajat
pendidikannya. Maka, hanya mereka yang berpendidikan saja yang "dianggap orang" oleh
tokoh-tokoh the founding father kita ini. Namun, organisasi ini dengan intelektualitasnya yang
tinggi menggaruk langit itu yaitu kelompok orang-orang yang paling banyak menuntut.
Tuntutan-tuntutannya itulah yang telah memberi banyak pengaruh bagi kemajuan bangsa, meski
dengan jalan yang penuh liku dan curam sehingga banyak biaya dan kurban yang hilang. Dengan
tuntutan-tuntutan otonominya demi kebaikan semua kelompok-kelompok ras yang berdomisili
tetap di tanah jajahan ini , maka dibentuklah dewan penasehat yang dinamakan Volksraad.
Semua kalangan, tak terkecuali Islam maupun sekuler, menghabiskan banyak energinya untuk
"rumah rakyat" yang diciptakan sebagai arena bermain baru bagi pribumi yang mulai bisa
berpikir ini. Yang sangat pesat dalam gerakan politik Indonesia, hanya partai Sarekat Islam (SI),
yang mana organisasi ini tidak berjalan di atas jalan asosiasionis. Partai Sarekat Islam ini lahir di
perkotaan sebagaimana Budi Oetomo dan Indische Partij sama-sama berasal dari kota, begitu
juga latar belakang sosial dan pendidikan pemimpin-pemimpinnya yang utama, seperti Haji
Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim; kedua-duanya dididik dalam sekolah-sekolah
Barat dan masing-masing yaitu elite Indonesia tradisional di Jawa dan Sumatra. Yang sangat
menarik dari organisasi ini yaitu rekrutmen anggotanya, di mana tidak terbatas kepada
anggota-anggotanya yang mendapat pendidikan Barat saja sebagaimana yang dilakukan oleh
Organisasi Budi Oetomo. Maka tidak heran partai ini mendapatkan pengikut-pengikutnya dari
semua kelas, baik di kota maupun di desa. Bahkan para pimpinannya mengambil inspirasi dari
sumber-sumber yang berbeda-beda termasuk sumber Islam. Sebagai alasan lain, bahwa daya
tarik yang ditimbulkan oleh organisasi Sarekat Islam ini lebih jauh jangkauannya daripada sekedar
mencapai sekelompok penduduk kota yang berorientasi Barat. sebab partai Sarekat Islam
memusatkan perhatiannya secara eksklusif bagi orang-orang Indonesia, para pedagang Muslim,
para pekerja di kota-kota, para kiai dan ulama, dan bahkan beberapa priyayi. Kartosoewirjo pun
terlibat di dalam partai ini.
Sarekat Islam menempati suatu tempat yang unik namun kompleks, baik di dalam sejarah
nasionalisme Indonesia maupun sejarah Islam Indonesia. Sejarah Indonesia masa lalu yang penuh
dengan dinamika telah mengilhami para elit politik SI untuk membuat perencanaan yang lebih
representatif terhadap perkembangan politik Indonesia yang sedang tumbuh. Jawa yaitu
tempat pertama di mana organisasi diperkenalkan sebagai wadah modern bagi misi dan
idealisme bergerak. Maka organisasi pertama, SI, secara ideologis, dia mendahului suatu
nasionalisme yang programatik sebagaimana lalu diungkapkan dalam istilah kebangsaan
yang merdeka. Secara religius, dia juga mendahului formulasi program pembaharuan Islam
sebagaimana lalu secara khusus diungkapkan di dalam nilai-nilai sosial dan politik Islam.
Namun protes-protesnya yang keras melawan status quo kolonial, keluhan-keluhannya yang
lantang di bidang ekonomi dan sosial, dan tuntutan-tuntutannya yang tidak sabar lagi bagi
otonomi yang lebih besar, menggabungkan aspirasi-aspirasi nasionalis dan Islam, betapa pun
tidak jelasnya diterangkan, ke dalam suatu program politik yang menjadi semakin militan dan
khas Indonesia.
Akan namun radikalisme program ini bukanlah pantulan ideologis para pemimpinnya yang oleh
kebanyakan pengikutnya, terutama sebagian besar orang-orang desa, dianggap terjelma di
dalam Sarekat Islam. Para pengikut partai Islam ini, terutama di desa, berhimpun di sekeliling
panjinya bukan sebab perjuangannya untuk otonomi atau pembaharuan sosial dan ekonomi,
akan namun sebab dia tampak mengekspresikan kegelisahan dan keinginan berontak kaum tani
yang selama ini tertahan melawan perubahan jaman. Para petani Jawa hanya membutuhkan
pemimpin sebagai ujung, sedangkan mereka sendiri yaitu batang dan tiang penegak. Sarekat
Islam yang berdiri jauh lebih awal ketimbang Boedi Oetomo yaitu pendingin kegelisahan dan
sekaligus penghangat darah untuk memberontak. Dengan membuat aksi seperti itu, Sarekat
Islam berada dalam kerangka konservatisme Islam yang selama berpuluh tahun memberi
inspirasi kepada keresahan di desa. Ini berarti bahwa di tingkat desa, "keanggotaan" partai
ini tidak dengan sendirinya menjadi indikasi tentang sesuatu yang baru—misalnya sebagai
kekuatan organisatoris yang real—akan namun lebih sebagai penegasan kembali tentang sesuatu
yang tradisional. Ketidakpuasan berpusat di sekeliling pujaan atau pahlawan jaman lalu
(laudatores temporis acti) yaitu para kiai dan para ulama yang bertempur melawan pemerintahan
"kafir" dan terutama melawan para pegawai-priyayi Indonesia dari pemerintah itu, yang di mata
kaum tani yaitu wakil par excellence dari suatu perubahan sosial yang tidak diingini.
Dengan demikian Sarekat Islam membawa sebuah perubahan kuantitatif, bukannya kualitatif di
dalam hakekat Islam di desa di Jawa. Untuk beberapa tahun, dia merangkaikan insiden-insiden
lokal sebab ketidakpuasan di bawah pimpinan orang-orang Islam ke dalam suatu fenomena
nasional di bawah pimpinan orang-orang kota. Akan namun hal ini dibuatnya tanpa mengarahkan
baik kepercayaan abangan atau keyakinan ortodoks yang militan ke jalan-jalan yang positif dan
modern. Oleh sebab itu, Sarekat Islam lebih banyak mempunyai makna sosial daripada ideologi.
Dengan memanfaatkan kontrol administratif Belanda yang tidak terlalu ketat dan prestise priyayi
yang semakin melemah, para pemimpin Sarekat Islam telah menerobos desa-desa di Jawa yang
terpencil dan membuatnya menjadi juru bicara malaise sosial yang lantang dari penduduk tani
Jawa dan menghasutnya melewati para pemimpin agama yang tradisional, untuk memberontak
melawan kekuasaan yang sedang berlangsung, walaupun pemberontakan ini sifatnya
abortif dan bunuh diri.
Begitu Sarekat Islam muncul sebagai simbol keberanian dan vatalisme serta menjadi pelepas
ketegangan-ketegangan yang berakumulasi sepanjang satu dasawarsa, yang lahir dalam bentuk
ledakan pergolakan-pergolakan di desa-desa dan pemogokan di kalangan proletar di kota,
perpecahan di dalam dirinya sendiri dan tindakan tegas pemerintah kolonial — sebagian besar
dalam bentuk tindakan-tindakan represif dan memperkuat kekuasaan kaum priyayi—bergabung
dan meruntuhkan Sarekat Islam dalam tempo singkat pada awal tahun 1920. Para pemimpin
Islam akhirnya memutuskan aliansinya dengan komunisme pada tahun 1924 dan sejak itu beralih
menjadi propaganda pan-Islam. Sisa-sisa keresahan di desa yang berkobar-kobar diperbesar
menjadi suatu pemberontakan terakhir dan besar-besaran di Jawa Barat di bawah hasutan
orang-orang komunis pada akhir tahun 1926 - disusul juga oleh pemberontakan yang serupa di
Pantai Barat Sumatra pada permulaan tahun berikutnya—yang tanpa kesulitan sedikit pun
dipadamkan oleh pemerintah kolonial dengan kekerasan.
Dengan padamnya pemberontakan-pemberontakan ini, maka panggung jaman pertama yang
penuh pergolakan berakhir dan bersamanya massa aksi politik yang berbasiskan dukungan para
petani berakhir pula, untuk memberi jalan kepada perkembangan baru di dalam nasionalisme
Indonesia dan Islam Indonesia. sebab kedua-duanya menjadi lebih jelas mengkristal di dalam
kelompok-kelompok ideologis dan organisatoris, maka kerangka persatuan dan perbedaan di
dalam masyarakat Indonesia diberikan batasan-batasan yang jelas. Di satu pihak, tampil
kekuatan-kekuatan yang berusaha menuju realisasi peradaban Islam yang modern, sambil
merangkul dan pada saat yang sama melampaui pusat-pusat santri abad-yang lalu. Di pihak lain,
nasionalisme yang berorientasi Barat dan berpusat di kota-kota tampil ke depan, sebagian
sekurang-kurangnya berakar di sekitar lingkungan para priyayi yang ditolaknya dan di saat yang
sama digantinya. Memang benar, bahwa golongan Muslim dan kaum nasionalis sama-sama
menolak pemerintahan kolonial. Akan namun oposisi bersama terhadap pemerintahan Belanda
itu jauh daripada berhasil menempa aliansi yang bertahan lama, namun hanya sekedar
mengaburkan jurang yang semakin melebar antara nasionalisme 'sekuler' dan lslam Indonesia
yang sebagian besar tujuan akhirnya tidak dapat bertemu satu sama lain. yaitu penting bahwa
Sarekat Islam, yang merupakan bayangan. awal dari dan sebagian mengandung benih
nasionalisme dan Islam modern, mendapatkan dirinya semakin terpenjara antara kedua
pergerakan itu, dan lalu ditakdirkan bertahan sebagai suatu kekuatan militan yang berada
di tepi-tepi selama bertahun-tahun berikutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Benda, aliran-aliran ideologis politis yang mempengaruhi
Indonesia di awal abad keduapuluh berasal mula di luar negeri maka renesans Islam Indonesia
pun bermula dari perkembangan-perkembangan Islam di luar negeri. Seperti Muslimin Cina,
Jepang, Turki, Timur Tengah, dan India berada di dalam genggaman reaksi yang kurang lebih
keras terhadap pengaruh Barat. Ragi politik dan agama segera meluas ke dunia Muslim lainnya.
lalu Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik dalam sejarah.
Pemberontakan Turki Muda terhadap kekaisaran Ottoman tahun 1908 disusul oleh kejatuhan
Sultan dan Khalifah satu dasawarsa lalu . Kekalahan Turki dalam Perang Dunia pertama
menyebabkan perluasan. dan konsolidasi kekuasaan Perancis dan Inggris di wilayah-wilayah
seperti Mesir, Palestina, Syria, dan Lebanon. Kemenangan kaum Wahabi di Mekkah pada
pertengahan tahun 1920-an menandakan juga suatu perubahan penting lainnya di pusat Islam itu
sendiri. Maka perang-perang yang lalu dibawa oleh Belanda dan penjajah lainnya ke
Indonesia yaitu suatu "war without mercy" yang paling keji dan biadab. Semua ini untuk
menghancurkan Islam dan merupakan kelanjutan dari Perang Salib di dunai Barat terhadap Islam.
Perkembangan-perkembangan politik ini pun paralel dengan kebangkitan reformisme Islam,
yang dilahirkan dalam pertukaran abad ini di Timur Tengah dan India, dan Wahabisme yang
puritan di Arab. Dibukanya Terusan Suez tahun 1869 memungkinkan peningkatan hubungan dan
semakin dekatnya hubungan antara Indonesia dan Timur Tengah. Dari Mekkah dan Universitas
Al-Azhar Kairo—dalam ukuran yang tidak terlalu besar dari pusat-pusat Islam di India seperti
Lahore, Qadian, dan Perguruan Tinggi Islam di Aligarh.
Ketiga, kaum reformis Indonesia berusaha untuk membendung gelombang Westernisasi dengan
mengidentifikasikan Islam dengan keterpisahan yang berpusatkan Indonesia, bertentangan
dengan penyerahan bulat-bulat kepada nilai-nilai dan norma-norma Barat —baik yang Kristen
maupun yang sekuler. Meskipun pendidikan Barat terbatas dalam jangkauan, dan terpisah dari
kebijakssnaan-kebijaksanaan asosiasionis di pihak para penguasa Barat, kaum reformis melihat
kaum intelektual yang berpendidikan Barat, apa pun orientasi politiknya terhadap pemerintahan
Belanda, sebagai musuh-musuh Islam yang paling mengkhawatirkan. Lagi-lagi mereka menganut
pendapat yang sama dalam kecurigaan yang mendalam ini bersama kaum ortodoks. Akan namun
berbeda dengan kaum ulama, mereka berusaha melawan ideologi Westernisasi dengan
mempergunakan senjata organisasi Barat itu sendiri. Jong Islamieten Bond (Liga Pemuda Islam)
yang didirikan Haji Agus Salim di ibukota Batavia pada akhir tahun 1925, menjadi suatu organisasi
yang secara politik amat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap alienasi di
kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda. Dia bertumbuh menjadi pusat latihan bagi
kepemimpinan Islam yang berbeda dari intelektual Indonesia 'sekuler' yang berorientasi ke Barat.
Kedatangan perangkat-perang teknologi, pendidikan dan ideologi Barat telah menyebabkan
Islam dan non-Islam masing-masing terbelah dua; yang satu reformis dan lainnya ortodoks.
lalu di Jawa juga terjadi suatu keadaan di mana reformisme Indonesia terpaksa
berbenturan dengan status quo kolonial itu sendiri. Ini yaitu suatu konsekuensi yang hampir
tidak terelakkan bukan saja dari kesadaran Islam yang mendalam yang timbul dari aktivitas-
aktivitas yang beragam-ragam itu di kalangan orang-orang kota dan di kalangan orang-orang
desa yang lebih makmur yang berada dalam wilayah pengaruhnya, akan namun juga dari
kebijaksanaan Belanda yang mendukung lembaga-lembaga adat —sebagaimana akan dilihat
dalam bab berikut— ke mana pemerintahan kolonial berpaling di akhir tahun 1920-an dan
selanjutnya. Tampaknya segala hal mungkin terjadi di "Pulau Jahiliyah" ini.
Di Jawa perbedaan gaya hidup Barat dan Islam, juga antara Islam modern Islam ortodoks, sudah
mulai memperlihatkan dampak disintegratifnya. Kebangkitan kaum reformisme Islam, dengan
semangat pertentangannya yang sekaligus diarahkan kepada Islam ortodoks, adat, orang-orang
Indonesia bergaya Barat, membangkitkan dendam dan permusuhan di kalangan Islam Indonesia
dan dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Kaum ortodoks menggalang kekuatannya
melawan kaum reformisme, dan untuk beberapa tahun bahkan mengundang dukungan musuh-
musuh tradisionalnya, para kepala adat dan elite priyayi - dan bahkan pemerintah kolonial itu
sendiri—untuk melawan pendatang baru yang terlalu bersemangat ini . Sama halnya, kaum
reformis mengalami konflik yang semakin meningkat dengan kaum elite yang dididik secara
Barat; pada mulanya berpusat pada ketidaksetujuannya terhadap jalanjalan organisasi --yang
bersifat politis atau religius sosial-- yang paling sesuai untuk meningkatkan penemuan diri (self
realization) Indonesia itu sendiri, akan namun tidak lama berselang bergeser kepada perpecahan
yang semakin mendalam tentang tujuan perkembangan sosial Indonesia itu sendiri. Tambahan
pula kebijaksanaan kolonial Belanda yang memberi reaksinya terhadap ketegangan-
ketegangan yang semakin meningkat yang diciptakan oleh penyebaran reformisme, maupun
terhadap kekhawatiran yang baru terhadap perkembangan Islam di luar negeri, untuk beberapa
waktu cenderung untuk semakin mempertajam perpecahan di dalam kalangan Islam itu sendiri.
Namun pada saat yang sama setting kolonial sendiri cenderung untuk mengaburkan perpecahan-
perpecahan tertentu yang memisahkan orang-orang Islam dari nasionalis-nasionalis 'sekuler'
sampai akhir pemerintahan Belanda. Berhadapan dengan rintangan-rintangan inilah, bangkitnya
reformisme Islam sebagai suatu gerakan organisatoris yang terkuat di tanah jajahan Indonesia
yaitu suatu fenomena yang patut dicatat.
Jawa, sejak dulu hingga sekarang, yaitu pusat bagi bentrokan ideologis: sekuler dan Islam; lebih
dinamis dari tempat lain di manapun di dunia ini. Bangkitnya nasionalisme 'sekuler' tidak saja
mempengaruhi Sarekat Islam; dia membangkitkan masalah yang serius bagi segenap gerakan
Islam di Jawa. Dihadapkan dengan tantangan yang kuat ini, kaum reformis dan ortodoks dipaksa
merapatkan barisannya untuk bertahan. Yang lebih penting yaitu , terkesan oleh kemunduran
Sarekat Islam secara spektakuler dan takut akan kekejian pemerintah maka Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama mengambil jalan yang secara sadar non-politis, dan meninggalkan aksi-aksi
politik Islam kepada Sarekat Islam yang semakin lumpuh dan kepada sekelompok kecil orang-
orang muda yang terorganisasikan dalam Jong Islamieten Bond. Tidaklah terhindarkan bahwa
pemisahan secara sadar antara aliran ortodoks yang utama dan organisasi-organisasi reformis
Islam dari politik — kelihatannya sesuai dengan diktum Snouck Hurgronje — akan menciptakan
jurang antara nasionalisme dan Islam, antara kebudayaan Indonesia yang berorientasi ke Barat
dan kebudayaan santri.
Jawa yaitu juga tempat munculnya beragam polah para pemimpin dan para pendukung atau
pengikutnya. Keseganan pemimpin-pemimpin Islam untuk melibatkan organisasi-organisasinya
secara terbuka di dalam gerakan nasionalis Indonesia, dan yang lebih buruk lagi, kesediaannya
secara malu-malu untuk menerima sedikit bantuan dari pemerintah kolonial, bisalah dimengerti
bilamana ditafsirkan sebagai tindakan-tindakan pengkhianatan baik oleh kaum nasional 'sekuler'
dan oleh juru bicara Sarekat. Akan namun , cukup paradoks, perpecahan antara agama dan politik
dalam hal-hal tertentu lebih artifisial daripada real - dan sebab itu untuk sebagian sifatnya lokal
dan sementara daripada universal dan bertahan lama - sedangkan dalam hal-hal tertentu dia
berakar di dalam alasan-alasan yang lebih fundamental yang menghalangi perkembangan
kekuatan-kekuatan politik Islam yang langgeng untuk dasawarsa-dasawarsa mendatang. Maka
secara politik Jawa sangat penting artinya dibandingkan secara ekonomi.
Di luar Jawa pembagian antara politik dan tidak begitu terlihat seperti dalam bidang ekonomi.
Terutama di Sumatra, reformisme Islam hampir sejak semula terlibat dalam politik, dan beberapa
kali malah menjadi gerakan-gerakan radikal keras, meskipun hal itu memicu kekhawatiran
di kalangan pemimpin-pemimpin pusat di Jawa. Hal ini bukanlah sebab fakta bahwa
reformisme Sumatra itu ada dalam dirinya (sui generis) tapi lebih disebabkan oleh lingkungan
sosial tempat dia bergerak. Di Sumatra, terutama di daerah Minangkabau di pantai barat pulau
ini , telah bangkit sebuah kelas menengah baru yang hampir secara eksklusif berasal dari
diperkenalkannya tanaman-tanaman ekspor —terutama karet—di daerah ini . Sementara
di Jawa hal ini tidak terlihat. Daya respon orang-orang Sumatera lebih tinggi dibandingkan orang-
orang di Jawa. Kalau sekiranya di Jawa ada 'kelas menengah' maka itu yaitu terutama
fenomena sosial, dan bukannya ekonomi, di Sumatra dia berakar di dalam perubahan ekonomi.
Bilamana di Jawa kaum inteligensia yang memperoleh pendidikan Barat lebih berkuasa daripada
masyarakat dagang yang berorientasi kepada Islam, maka di Sumatra yang terjadi yaitu
sebaliknya. Dengan demikian arti penting reformisme Sumatra secara politis sebagian besar
yaitu akibat dari ketiadaan elite politik di pulau ini yang memperoleh pendidikan Barat
dan berorientasi kepada Barat. Memang benar orang-orang Sumatra, mengambil manfaat dari
sekolah Belanda sama besarnya, kalau relatif tidak lebih besar, dengan orangorang Jawa dan
orang Sunda. Akan namun sebab pendidikan tinggi, maupun lowongan menjadi pegawai
pemerintah lebih bisa diperoleh di Jawa, maka orang-orang Sumatra yang telah memperoleh
pendidikan Barat bukannya kembali ke daerahnya akan namun menetap di Jawa, di mana mereka
memainkan peranan yang penting dalam gerakan nasionalisme 'sekuler' yang berpusat di Jawa.
Maka, Jawa awal abad ke-20 yaitu wilayah yang sangat heterogen, tapi juga sangat berwarna-
warni, penuh dengan spektrum keanehan dan keganjilan.
Di Jawa terlihat banyak ketidakadilan dan menciptakan banyak kubu-kubu yang berbeda: yang
mendapatkan fasilitas dan yang dianaktirikan oleh penguasa. Kaum elite Indonesia yang
memperoleh pendidikan Barat bisa berbuat lebih banyak sebab akomodasi yang disediakan oleh
pemerintah kolonial terhadap kaum pelajar berpendidikan Barat. Di Jawa juga gaya hidup
Jahiliyah pertama dimulai di Nusantara ini. Berbeda dengan kepemimpinan agama, yang
mempunyai kubu-kubunya di pusat-pusat kediaman orang-orang Indonesia, kebanyakan
pemimpin-pemimpin nasionalis berkelompok di seputar kota-kota bergaya Barat, terutama di
ibukota Batavia, tempat kediaman pemerintahan kolonial dan Volksraad, yang menjadi titik
tumpu politik nasional. Gaya orang-orang beragama menjadi ejekan dan gaya Barat menjadi
pujaan. Orang pribumi sekuler mempunyai kemampuan mengungkapkan dirinya secara baik
bukan saja di dalam warisan tradisi politik liberalisme dan sosialisme Barat, akan namun juga di
dalam permainan politik parlementer di dalam lembaga-lembaga perwakilan di pusat dan di
propinsi, kaum nasionalis 'sekuler' dengan demikian memberi dampak semacam keahlian yang
bagi kebanyakan pemimpin Islam.
Jawa yaitu tempat di mana pertimbangan pendidikan telah menghilangkan pertimbangan
agama untuk loyalitas kepada pemimpin. Bilamana ini benar bagi para pemimpinnya maka ini pun
sama benarnya bagi anggota-anggota eselon kedua para pengikutnya masing-masing. sebab
pendidikan gaya Barat merupakan prasyarat bagi pegawai negeri dan bagi pekerjaan-pekerjaan
di perusahaan-perusahaan Barat, beberapa orang Indonesia yang mengambil manfaat dari
pendidikan Barat mulai berkenalan dengan metode-metode administrasi Barat dan, sebagian
kecil, metode-metode kewiraswastaan Barat, dari mana kebanyakan tamatan sekolah-sekolah
Islam ipso facto tersingkirkan.
Di Jawa pula, oleh sebab pengaruh Barat yang demikian hebat, agama menjadi sesuatu yang
tidak rasional lagi di tengah-tengah masyarakatnya. Dibandingkan dengan tujuan-tujuan politik
Islam, nasionalisme Indonesia menawarkan kritik yang masuk akal terhadap kolonialisme dan
sebuah program bagi negara Indonesia yang sekuler, yang berdasar lembaga-lembaga
perwakilan, yang berdedikasi kepada prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi maupun tugas-
tugas perencanaan ekonomi dan sosial —kalau bukan sosialis — atau singkatnya reproduksi
sistem politik Barat di bawah naungan paham Barat yang secara paradoks anti Barat (anti-
Westernism) yang begitu khas bagi kebanyakan negara-negara bukan Barat. Paradoks ini hanya
terdapat di Jawa, tidak di Aceh atau wilayah lainnya. Maka kondisi yang demikian inilah yang
menggambarkan betapa jahiliyahnya penduduk Jawa di awal abad ke-20 ini.
Di Jawa awal abad ke-20 inilah terlihat arogansi orang-orang yang mengaku intelektual; mereka
memandang rendah terhadap agama. Meskipun ada beberapa orang Indonesia yang
memperoleh pendidikan Barat yang berhasil membangun jembatan antara kebudayaan Barat
dengan reformisme Islam, mayoritas kaum nasionalis yang secara politis sadar, menganut sikap
angkuh dan menghina terhadap Islam, suatu sikap yang jelas-jelas diambil dari Barat, dan sangat
serupa dengan sikap-sikap yang ada di kalangan-kalangan orang Barat. Negara sekuler dan
modern yang diidamkannya hanya sedikit saja gunanya bagi para santri dan ulama demikian pula
bagi adat dan priyayi. Kedua-duanya, di dalam pandangannya mewakili elemen-elemen yang
secara intrinsik konservatif yang telah ditakdirkan untuk hancur di dalam evolusi politik
negaranya. Bahkan mereka mulai mengejek dan menuduh agama (Islam) dengan macam-macam
istilah yang tidak masuk akal. Beberapa pemimpinnya malah melihat di dalam Islam sebuah unsur
perusak historik persatuan Indonesia yang lebih besar di masa lalu, sambil memuja kebesaran
kerajaan pra-Islam seperti Sriwijaya dan Majapahit, sebagai model-model ideal tentang Indonesia
Raya menurut aspirasi-aspirasi politiknya. Padahal Islamlah yang telah menyatukan semua hati
mereka pada awal dan akhirnya.
Maka di pulau Jawa mulai terjadi perang logika tingkat tinggi. Kaum Muslimin melihat kaum
intelegensia berpendidikan Barat sebagai produk Barat tanpa Allah serta materialistik, yang
secara licik meremehkan justru dasar identitas Indonesia, yang menurut anggapannya serupa
dengan Islam. Khususnya, juru bicara kaum ortodoks melawan ide nasionalisme dengan
kosmopolitanisme Islam sebagai suatu budaya dunia. Dan bahkan kaum reformis, yang lebih
bersimpati kepada ide negara nasional, mengatakan bahwa negara Indonesia merdeka, sejauh
dia menjadi negara sekuler, akan menjadi musuh besar Islam sebagaimana kekuasaan penjajahan
orang-orang 'kafir'. Perang logika tingkat tinggi ini lalu diturunkan ke tingkat yang lebih
rendah. Mereka mulai membenci fakta bahwa inspirasi ideologis nasionalisme lndonesia
datang dari sumber-sumber asing, sedangkan Nabi sendiri, di dalam pesannya, mempersiapkan
norma-norma etis yang mengandung dan melebihi semua spekulasi politis tandus milik pemikir-
pemikir Barat.
Kaum intelektual dan semua orang yang bukan intelektual serta berpikiran waras di Jawa yaitu
orang-orang yang "sabar" dan perlahan-lahan. Namun saat suasana ini sudah demikian
mengendap di dasar alam bawah sadar, maka pemberontakan terhadap situasi statis mulai
muncul. Awal pemberontakan yaitu konflik. Kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim
berada dalam suasana konflik yang semakin meningkat di dalam masa pemerintahan kolonial,
dalam hal kaum nasionalis ini terjadi sebab mereka semakin tidak sabar terhadap perubahan
kekuasaan kolonial yang begitu perlahan-lahan dan menjengkelkan, sedangkan dalam hal kaum
Muslim terutama sebab arah yang diambil oleh perubahan ini . Perbedaan-perbedaan
yang menentukan ini tetap membekas dalam sejarah Indonesia selanjutnya, sebuah sejarah,
yang sebab masalah itu, tetap dalam proses yang tak kunjung mencapai akhir. Semua orang di
Indonesia hampir gila menanti kapan berakhirnya semua drama kemanusiaan ini, kapan Negara
Islam berkesempatan mengatur semua ketidakteraturan ini.
Masa Kecil SM Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari S.M. Kartosoewirjo, yang
dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro
yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat
di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang
unik. Untuk memahami dalam konteks yang bagaimana ia lahir dan tumbuh besar, kita perlu
melihat bagaimana setting sejarah Indonesia di awal abad ke-20 ini. Mungkin gaya pendekatan
sejarah alternatif (alternative hiostory) akan cocok untuk memahami sosok Kartosoewirjo
sebenarnya.
Pada awal abad ini dimulai suatu perubahan besar di Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu).
Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina di depan Parlemen yang anggota-anggotanya saat itu
baru terpilih, mengumumkan sebuah kebijakan program Pemerintah Belanda tentang negeri
jajahan yang nantinya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan situasi dan kondisi
Indonesia selanjutnya. saat Pemerintah Kerajaan Belanda sangat menyadari betul bahwa di
masa lalu sudah banyak perusahaan milik orang-orang Belanda dalam menjalankan roda
perekonomiannya telah memperoleh keuntungan materi yang berlimpah ruah dari Hindia
Belanda, sementara itu mereka melihat banyak sekali dari penduduk di tanah jajahan Hindia
Belanda mengalami dampak eksploitasi ekonomi besar-besaran ini berupa kemiskinan di
mana-mana. Sejarah ekonomi Indonesia masa kolonial Belanda telah menghasilkan banyak
kemelaratan di tengah gemerlapannya kemodernan ekonomi yang dibawa penjajah kafir ini.
Maka timbul niat untuk sedikit mengubah kondisi yang ada. Kesadaran ini menjadikan tujuan
utama pemerintah jajahan di masa mendatang, yaitu bagaimana dari program itu mampu
merubah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dan memang haruslah mereka fahami bahwa
selama ini bangsa Belanda “telah berhutang budi” kepada rakyat Hindia Belanda.
Dengan bernaung di bawah apa yang lalu dikenal dengan politik etis (Etische Politiek),
pemerintah Hindia Belanda mencoba perlahan demi perlahan menjalankan programnya
membuka kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti sekolah-
sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Maka enlightened elit modern kolonial
mulai terbentuk di Indonesia sesudah pegawai-pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia
Belanda melahirkan generasi pertamanya. Seiring dengan dibukanya kesempatan bagi rakyat
Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih maju, maka terjadilah proses transis i
masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern. Dari Generasi terdidik inilah yang nantinya
sebagai tonggak awal kebangkitan bangsa Hindia Belanda dimana kesadaran nasionalisme telah
muncul di dalam hati sanubari mereka yang paling dalam.
Begitulah Kartosoewirjo, dia lahir dalam situasi yang sedemikian menguntungkan sehingga —
sebab kedudukan "istimewa" orang-tuanya— ia termasuk dalam salah seorang anak-anak
negeri ini yang berkesempatan mengecap pendidikan modern kolonial Belanda yang sangat
maju di zamannya. Maka, Belanda tidak hanya memakai kekuatan senjata untuk
"menjinakkan" Indonesia. Selama ini tentara marsose sering sekali dipakai sebagai kekuatan
represif yang ampuh untuk menentramkan Indonesia.
Politik Etis telah memberi perhatian yang cukup besar pada pendidikan Barat bagi penduduk
Indonesia, dengan dibangunnya sejumlah sarana pendidikan di beberapa tempat. Namun
sayangnya kebanyakan dari sekolah-sekolah ini memakai bahasa daerah sebagai bahasa
pengantarnya, sedikit sekali dari sekolah-sekolah ini yang memakai bahasa Belanda
sebagai pengantar, kalaupun ada itupun yang prestigious, yang para tamatannya lalu
mendapat pekerjaan orang-orang berdasi (white collar jobs), yang memang banyak dicari, atau
meneruskan pelajarannya ke perguruan tinggi di daerah jajahan ataupun di negeri Belanda.
Semangat penggalian akan pendidikan Barat oleh kebanyakan pelajar Indonesia ternyata jauh
lebih besar dari yang diantisipasi atau diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebutuhan ini
disambut dengan pertumbuhan pesat sekolah-sekolah swasta pada tahun 1920-an dan 1931-an,
khususnya di Jawa dan di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sangat disayangkan sekolah-
sekolah swasta ini yang umumnya kecil-kecil, tidak mempunyai perlengkapan dan gedung yang
memadai, serta kurikulumnya seringkali tidak sama dengan kurikulum sekolah pemerintah, Atau
istilahnya sekolah yang didirikan ini dikenal sebagai "sekolah liar" dan bervariasi yang dibuat dari
sistem yang longgar, dimana sekolah ini dikelola oleh Taman Siswa dan Muhammadiyah hingga
ke sejumlah sekolah perorangan yang didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan dan partai-
partai politik. Namun di Minang berkembang suatu kesadaran historis dan pendidikan yang luar
biasa bagi dunia gerakan penyadaran bangsa lewat usaha swasta.
Organisasi Islam modern Muhammadiyah merupakan organisasi paling penting di Indonesia
saat itu. Berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912. Didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-
1923) yang berasal dari elite agama kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan ini pada dasarnya
yaitu seorang tokoh aristokrat, namun sebab keberpihakannya pada rakyat Muslim
menjadikan ia dikenal sebagai tokoh populis. Selain itu, sesuai dengan semangat pada masa itu,
ia juga yaitu seorang peletak dasar pendidikan Islam modern. Sebagai pendidik, ia memulai
karir intelektualnya pada tahun 1890 saat ia naik haji ke Mekah sekaligus belajar bersama-sama
Ahmad Khatib dan yang lain-lain. Haji merupakan simbol pengakuan agamis terhadap seseorang,
sedangkan belajar atau berguru pada beberapa syech di sana merupakan simbol pengakuan
dunia pendidikan yang relatif sekuler. Usai pengembaraan intelektualnya, ia kembali pulang
dengan tekad bulat untuk memperbaharui Islam dan menentang usaha-usaha kristenisasi yang
dilakukan oleh kaum misionaris Barat. Tahun 1909 ia masuk ke dalam organisasi Budi Utomo
dengan harapan dapat berkhotbah tentang pembaharuan di kalangan anggotanya, namun para
pendukungnya yang telah mengenal pemikiran-pemikirannya berusaha mendesak Ahmad
Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi sendiri. Akhirnya pada tahun 1912 didirikanlah
organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Berbeda dengan Budi Utomo, Muhammadiyah di
sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta
kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-
usaha kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas 'ketakhyulan-
ketakhyulan' lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan dikalangan rakyat.
Dengan semangat pembaharuan pemikiran yang dilaksanakan oleh Organisasi Muhamadiyah ini
banyak sekali mengalami hambatan, sehingga pada awal berjalannya, Muhamadiyah
berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau diabaikan oleh para pejabat, guru-guru
Islam gaya lama di desa-desa, hierarki-hierarki keagamaan yang diakui pemerintah, dan oleh
komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide Islam Modern. Dalam rangka upaya-
upaya pemurniannya, organisasi ini mengecam kebiasaan-kebiasaan yang telah diyakini oleh
orang-orang saleh Jawa selama berabad-abad sebagai Islam yang sebenarnya, seperti selamatan,
ziarah ke kubur. Dengan demikian, maka kehadiran Muhammadiyah dianggap mengancam
kelanggengan tradisi masyarakat sehingga memicu banyak permusuhan dan kebencian di
dalam komunitas agama di Jawa.
Bersamaan dengan itu, lingkungan politik berbalik arus menentang radikalisme, namun ironisnya
keadaan ini malah menempatkan ISDV (Indische Social-Democratische Vereniging) dalam posisi
untuk memimpin gerakan politik rakyat. ISDV saat itu berada di tangan Semaun dan seorang
pemuda bangsawan Jawa yang bernama Darsono (lahir tahun 1897). Pada awal perjalanannya,
dengan jumlah anggotanya hanya 269 orang pada tahun 1920, organisasi ini memang masih
sangat kecil dan juga sangat terbatas, namun lalu sebagian besar anggotanya yaitu orang
Indonesia. Maka organisasi ini menjadi organisasi pribumi yang meraup banyak pengikut. Inilah
cikal-bakal organisasi yang menggerogoti Islam secara sangat kejam hingga ke PKI dan gerakan-
gerakan kiri lainnya di era reformasi sekarang ini. Pada bulan Mei 1920 organisasi ini mengalami
pergantian nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama
lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi inilah yang paling banyak berperang
dengan kalangan ideolog Islam, secara fisik maupun psywar. Dengan pasang naiknya paham-
paham Barat non-agama, maka PKI dan organisasi-organisasi yang bergerak dengan kesadaran
kiri ini lalu banyak diuntungkan, sementara Islam mulai memasuki pasang surut yang
semakin hari semakin "kurang darah".
Untuk melihat kondisi Islam Indonesia pada masa-masa awal sebelum the formative age yang
dialami Kartosoewirjo, kita harus melihat Islam yang mulai berubah pada tingkat dunia.
Menjelang tahun 1925, di dunia internasional Islam mengalami sebuah perubahan besar. saat
pada tahun 1924 negara Turki telah menghapus jabatan khalifah, pemimpin agama semua kaum
muslim, yang telah dituntut sebagai haknya oleh sultan-sultan Usmani selama sekitar enam
dasawarsa. Mesir bermaksud menyelenggarakan suatu konferensi Islam Internasional guna
membahas masalah kekhalifahan ini . Perpecahan ini tidak hanya memperlihat betap
barbariannya para penguasa-penguasa negeri yang dulunya pernah menjadi negeri Islam. Akan
namun , terjadi kekacauan lagi saat pada tahun 1924 Ibn Sa'ud merebut Mekah, dan
menyebarkan ide-ide pembaharuan Wahabi serta menyatakan bahwa dirinya yaitu khalifah. Dia
juga menghimbau seluruh kaum muslim supaya menghadiri konferensi-konferensi ini ,
namun wakil-wakilnya sebagian besar berasal dari kalangan Islam Modernis, dan saat itu tokoh
Tjokroaminoto sangat menonjol dalam konferensi ini . Di Timur Tengah sedang terjadi
kemerosotan Islam, maka di Nusantara Islam mengalami titik awal kebangkitan yang baru
terlihat seperti seberkas sinar lampu kecil.
Sinar lampu Islam juga terlihat dengan bangkitnya umat Islam melalui pergerakan-pergerakan
yang mewarnai gerakan-gerakan lainnya. Muhammadiyah, SI, NU, Al-Irsyad dan lain-lain
bermunculan. Namun tak lama lalu mengalami kekurangan darah semangat kembali.
Seiring dengan telah wafatnya Ahmad Dahlan sebagai orang nomor satu di Muhamadiyah,
organisasi ini mengalami penyusutan anggota dengan hanya beranggotakan 4.000 orang saja
pada tahun 1925, namun organisasi ini telah mendirikan lima puluh lima sekolah dengan 4.000
orang murid, dua balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan, dan
sebuah rumah miskin. Organisasi Islam Jawa modern ini yaitu organisasi yang bisa menyatukan
antara orang-orang beriman di Jawa dengan di tempat-tempat lain di Nusantara. Organisasi ini
diperkenalkan di Minangkabau oleh Haji Rasul pada tahun 1925 dan mendapatkan sambutan
yang luar biasa oleh kalangan agamawan Islam di sana. Sesaat sesudah berhubungan dengan
dunia Islam yang dinamis di Minangkabau, maka organisasi ini berkembang dengan pesat.
Minang yaitu sumber darah segar bagi perkembangan organisasi Islam yang dilahirkan dan
dibidani di Jawa. Pada tahun 1930, menurut catatan M.C. Ricklefs, jumlah anggota organisasi ini
sebanyak 24.000 orang, pada tahun 1935 berjumlah 43.000 orang, dan pada tahun 1938
organisasi ini mengklaim mempunyai anggota yang luar biasa banyaknya, yaitu 250.000 orang.
Pada tahun 1938 organisasi ini telah menyebar di semua pulau utama di Indonesia, mengelola
834 mesjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah, serta memiliki 5.516 orang
mubalig pria dan 2.114 orang mubalig wanita. Perkembangan yang pesat ini tampaknya tidak
diikuti oleh organisasi Islam modern lainnya, sebab itu, menuriut Dengel, bisa dikatakan bahwa
sejarah Islam Modern di Indonesia sesudah tahun 1925 yaitu sejarah Muhammadiyah. Namun,
kemerosotan Muhammadiyah sesudah tahun-tahun kejayaannya itu dimulai justru di Pulau Jawa,
Pulau Penggembosan.
Demikianlah sekilas setting sejarah yang mengitari saat-saat S.M. Kartosoewirjo lahir. Ia lahir dan
mengalami masa-masa kecilnya pada saat gerakan-gerakan Islam mengalami pasang naik dan
pasang surut secara bersamaan. Maka orang tuanya bukanlah orang yang dikenal fanatik atau
anti-Islam; melainkan orang tua yang biasa-biasa saja, yang menyerahkan anaknya pada
perputaran zaman. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri yang bekerja
pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan dekat Rembang.
Di bawah sistem administrasi pemerintahan Hindia Belanda, profesi pedagang candu memiliki
kedudukan istimewa. sebab itu pedagang candu diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah
kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu yang dikontrol oleh pemerintah. Candu,
saat itu, tidak pernah masuk ke dalam persoalan yang dianggap penting oleh organisasi-
organisasi Islam. Namun, juga sebab ketidakperhatiannya organisasi-organisasi Islam saat itu,
bagi pemerintah Hindia Belanda yaitu sesuatu yang sangat penting. Ekonomi Hindia Belanda
hampir seperempatnya disokong oleh perdagangan candu ini. Sedemikian pentingnya
perdagangan candu di mata penguasa kolonial Belanda, maka jabatan mantri candu pun
disamakan dengan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah S.M. Kartosoewirjo mempunyai
kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Kedudukan orang tua
berpengaruh terhadap pembentukan dan garis sejarah anaknya. Maka Kartosoewirjo pun
lalu mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia-usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa inilah serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia",
S.M.Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang
mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh
orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-
masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi.
Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup
dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api
pada tahun 20-an, saat di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh. Gerakan buruh
lalu banyak dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi Karl Marx tentang "ideologi kaum buruh".
Pada masa sekitar tahun 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi
baru di kalangan elite terpelajar, yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas
kesukuan. Sarekat Ambon (1920) dan organisasi-organisasi pendahulunya sejak tahun 1909
bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang Ambon; Jong Java (Pemuda Jawa,
1918) merupakan lembaga para mahasiswa yang pertama; Jong Pasundan (1914) merupakan
organisasi semacam Budi Utomo untuk orang Sunda; Sarekat Sumatra (Sumatranen Bond, 1918)
merupakan kelompok mahasiswa Sumatera; Jong Minahasa (Pemuda Minahasa, 1918) yaitu
untuk orang-orang Minahasa; Timorsch Verbond (Persekutuan Orang-orang Timor, 1921)
didirikan oleh orang-orang Timor yang keluarga-keluarganya berasal dari Roti dan Savu untuk
melindungi kepentingan-kepentingan rakyat Timor; Kaum Betawi (1923) giat berusaha
memajukan hak-hak warga Indonesia 'asli' dari Batavia; Pakempalan Politik Katolik Jawa
(Persatuan Politik Orang-orang Jawa yang Beragama Katolik, 1925) mengabdi kepada
kepentingan-kepentingan kelompok minoritas itu. Organisasi-organisasi ini dan masih
banyak kelompok lainnya tidak hanya mencerminkan adanya euphoria atau kegairahan baru
untuk berorganisasi namun juga mencerminkan masih kuatnya identitas-identitas kesukuan dan
kemasyarakatan yang terus berlangsung. Organisasi yang mempunyai konsep tentang suatu
identitas untuk seluruh Indonesia masih belum mempunyai pendukung yang berarti.
Pembelahan organisasi selain sebab masalah kedaerahan, juga masalah ideologi.
Organisasi yang menanamkan ideologi hanya dari kalangan pemikir dan tokoh-tokoh pergerakan
Islam dan gerakan kiri. Maka Organisasi yang memperoleh kemajuan yaitu organisasi-
organisasi Islam dan organisasi sosialis maupun komunis. Islam tidak ketinggalan dalam soal
pendidikan, maka tidak ketinggalan juga para buruh dan pegawai yang tergabung dalam serikat-
serikat pekerja kiri pun berdiri di Indonesia saat masa ramai-ramainya pembentukan organisasi
ini. Antara tahun 1908 dan 1918 berdiri serikat-serikat bagi para guru di sekolah-sekolah
pemerintah, para petugas pabean, para pegawai pegadaian pemerintah, para pegawai monopoli
candu pemerintah, para pegawai pekerjaan umum, para pekerja perbendaharaan, para buruh
pabrik gula, serta untuk kaum tani dan kaum buruh pada umumnya. Kehadiran pabrik gula ini
telah menghasilkan banyak perubahan dalam kehidupan ekonomi petani pedesaan Jawa. Akan
namun , yang mengambil manfaat dari kehadiran industri gula ini yaitu kaum politisi yang
menggerakkan buruh untuk kepentingan politik mereka sendiri. Akan namun , organisasi serikat
buruh pada umumnya lemah sebab adanya tenaga kerja yang berlebihan dan tekanan para
majikan (pemerintah maupun swasta) yang tidak dilarang secara hukum maupun sentimen untuk
memanfaatkan segala alat yang ada guna mematahkan pemogokan-pemogokan.
Pada bulan 1918 gairah politik masa Perang Dunia I mencapai puncaknya saat revolusi sosial
demokrat di Jerman seolah-olah akan juga berpengaruh ke negeri Belanda. Namun ternyata
upaya ini mengalami kegagalan. Walaupun hasilnya yang pasti belum diketahui di
Indonesia, van Limburg Stirum, yang barangkali juga sudah tahu bahwa kerajaan Belanda
selamat dan ssemata-mata memanfaatkan kesempatan itu untuk mendukung pembaharuan
lebih lanjut, memberi 'janji-janji November'-nya yang menyetujui pengalihan wewenang
selanjutnya kepada Volksraad dan perbaikan-perbaikan sosial lainnya yang tidak terinci. Bagi para
aktivis pergerakan tampaknya Volksraad semakin memberi harapan.
Dua aliran yang bertentangan telah muncul sebagai dasar bagi dilakukannya peremajaan secara
nasional, dan kini ditambah aliran pemikiran yang ketiga. Aliran kalangan atas yang mencari
modernisasi secara Barat (dan setidak-tidaknya mempunyai unsur-unsur anti Islam) paling jelas
diwakili oleh Budi Utomo dan aliran Islam Modern diwakili oleh Muhammadiyah, kini ditambah
dengan ide-ide sosialis yang radikal. Namun, perkembangan revivalisme Islam paling hebat justru
didukung oleh massa petani di pedesaan. Pada tahun 1911 suatu partai politik yang bernama
Indische Partij (Partai Hindia) didirikan oleh seorang Indo-Eropa yang radikal bernama E.F.E.
Douwes Dekker (Setiabudi, 1879-1850), seorang keluarga jauh E. Douwes Dekker (Multatuli).
Partai ini mempermaklumkan suatu nasionalisme 'Hindia' dan menuntut kemerdekaan. Dua
orang Jawa yang terkemuka, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (lalu
disebut Ki Hajar Dewantara, 1889-1959), bergabung dengan Douwes Dekker. Pemerintah tidak
mau mengakui partai ini, dan pada tahun 1913 ketiga pemimpin ini diasingkan ke negeri
Belanda (Tjipto sampai tahun 1914, Douwes Dekker sampai tahun 1918, dan Suwardi sampai
tahun 1919). Organisasi-oraganisasi kaum nasionalis ini seperti organisasi KNPI, AMPI atau HMI
sekarang yang hanya bisa berdiskusi dan tak berbuat banyak. Yang sebenarnya berbuat yaitu
para petani di pedesaan yang habis-habisan berontak dan mengadakan resistensi politik sehebat
mungkin bahkan tak pernah ada suatu pemberontakan yang lebih hebat dari pemberontakan-
pemberontakan yang dilakukan petani. Dalam dunia ekonomi yang berubah, kaum tanilah yang
paling kena getahnya dari sistem baru yang dibawa Belanda.
Pada tahun 1909 seorang lulusan OSVIA bernama Tirtoadisurjo yang telah meninggalkan dinas
pemerintahan dan menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada
tahun 1911, dia mendirikan suatu organisasi semacam itu lagi di Buitenzorg (Bogor). Kedua
organisasi ini dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang bangsa Indonesia
dalam menghadapi saingan orang-orang Cina. Pada tahun 1911 dia mendorong seorang
pedagang batik yang berhasil di Surakarta bernama Haji Samanhudi (1868-1956) untuk
mendirikan Sarekat Dagang Islam sebagai suatu koperasi pedagang batik anti-Cina. Di daerah
Jawa Timur juga didirikan cabang-cabang lainnya, adapun sasaran yang ingin dicapai yaitu
bagaimana mempungsikan peranan Islam dalam masyarakat desa, disamping itu memberi
pendidikan politik terhadap mereka sehingga bisa berperan aktif dalam setiap perjuangan
kemerdekaan. Di Surabaya HOS Tjokroaminoto (1882-1934) menjadi pimpinan organisasi itu, ia
juga seorang lulusan OSVIA yang telah mengundurkan diri dari dinas pemerintahan. HOS
Tjokroaminoto yaitu seorang tokoh yang memiliki kharisma yang menjadi terkenal sebab
sikapnya yang memusuhi orang-orang yang memegang kekuasaan, baik yang berkebangsaan
Belanda maupun Indonesia, dan dengan cepat menjadi pemimpin yang paling terkemuka dari
gerakan rakyat yang pertama itu. Sejak tahun 1912, SI berkembang dengan pesat, dan untuk
pertama kalinya tampak adanya asas rakyat walaupun sukar dikendalikan dan hanya berlangsung
sebentar. Pada tahun 1919, SI menyatakan mempunyai anggota 2 juta orang, namun jumlah yang
sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari setengah juta orang. Tidak seperti Budi Oetomo,
SI berkembang dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa, namun Jawa tetap menjadi pusat dari
kegiatan-kegiatannya. Anggota-anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan memiliki
kartu anggota yang sering kali dianggap sebagai jimat oleh orang-orang desa. Tjokroaminoto
kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil, 'raja yang adil' yang diramalkan oleh tradisi -tadisi
Jawa yang bersifat mesianistis, dan yang disebut Eru Cakra (yaitu nama yang sama dengan Cakra-
aminata, Tjokroaminoto).
SI menyatakan setia kepada rezim Belanda, namun saat organisasi ini berkembang di
desa-desa maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan tampaknya lebih menganggap
SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur kekuasaan lokal yang kelihatannya monolitis,
yang tidak sanggup mereka hadapi, daripada sebagai gerakan politik modern. Oleh sebab itulah,
maka organisasi ini menjadi lambang kesetiakawanan kelompok yang dipersatukan dan
tampaknya didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi,
mereka yang tidak menjadi anggota SI, dan orang-orang Belanda, kira-kira dengan urutan seperti
itu. Di beberapa daerah SI benar-benar menjadi pemerintahan bayangan dan para pejabat priyayi
harus menyesuaikan diri. Aksi boikot yang dilakukan terhadap pedagang batik Cina di Surakarta
dengan cepat meningkat menjadi aksi saling menghina antara Cina-Indonesia dan tindak
kekerasan di seluruh Jawa. Pada tahun 1913-1914 terjadi letupan tindak kekerasan yang sangat
hebat di kota-kota dan desa-desa; dalam hal ini cabang-cabang Sarekat Islam lokal memainkan
peranan penting. Inilah gerakan nasionalis Islam yang kelahirannya mendahului gerakan Boedi
Oetomo pada tahun 1908.
saat lahirnya Boedi Oetomo, Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo
sebagai tanda keberhasilan Politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi
pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat
Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo dan menganggapnya sebagai gangguan yang potensial.
Akan namun , pada bulan Desember 1909 organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi yang
sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang
merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Oetomo itu. Sepanjang sejarahnya
(organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo sering kali
tampak sebagai partai pemerintah yang resmi. Organisasi-organisasi yang lebih aktif dan penting
segera berdiri. Beberapa di antaranya bersifat keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan, dan
beberapa lagi bersifat politik, ada pula yang bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu
bergerak di kalangan masyarakat bawah dan untuk pertama kalinya terjalin hubungan antara
rakyat desa dan elite-elite baru. Golongan priyayi rendah merupakan lapisan anggota dan
pengurus yang paling penting di dalam beberapa gerakan ini , namun golongan ini
merupakan cabang priyayi rendah yang berbeda dari priyayi yang aktif di dalam Budi Oetomo.
Kalau anggota-anggota Budi Oetomo sebagian besar mencetak karir mereka dalam dinas
pemerintahan, maka mereka yang memimpin gerakan-gerakan yang lebih aktif ini hampir
semuanya merupakan orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan sekolah-sekolah Belanda,
namun lalu mengundurkan diri atau diberhentikan dari pekerjaan-pekerjaan pemerintahan.
Muncul pula suatu kepemimpinan agama yang baru saat Islam Indonesia diterapkan pada
periode pembaharuan yang paling penting dalam sejarahnya.
Dalam masyarakat Jawa, kelompok minoritas yang berusaha benar-benar mentaati kewajiban-
kewajiban Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka disebut silih berganti wong muslimin (kaum
muslim), putihan (golongan putih), atau santri (murid sekolah agama). Ada dua kelompok yang
dapat dibedakan dalam golongan masyarakat ini: kaum muslim pedesaan yang mengelompok di
sekeliling para guru agama Islam (kyai) dan sekolah-sekolah agama mereka (pesantren, tempat
para santri) dan, di lain pihak kelompok-kelompok muslim perkotaan yang sering kali melibatkan
diri di bidang perdagangan. Kelompok-kelompok muslim perkotaan ini tinggal di daerah-daerah
yang terpisah di kota-kota Jawa yang disebut kauman (tempat orang-orang yang saleh), biasanya
di dekat masjid utama. Pada awal abad XX kaum muslim perkotaan ini merasakan bahwa
kegiatan-kegiatan dagang mereka semakin terancam oleh saingan orang-orang Cina. Cina yaitu
kelompok "luar" yang sangat berpengaruh dalam ekonomi yang sangat fluktuatif saat itu.
Maka pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo
berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau
Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun lalu , ia melanjutkan
sekolah ke HIS (H