Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 2

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 2


 


Marxisme.  

Kartosoewirjo mempelajari (menyimpan) karya-karya Marxis? Dari mana ia memperoleh tulisan-

tulisan itu? Kartosoewirjo mempunyai seorang paman bernama Marko Kartodikromo, tokoh 

komunis (PKI) seangkatan dengan Alimin, Tan Malaka, Semaun dan Darsono. Marko inilah yang 

memberi  buku-buku itu kepada Kartosoewirjo . Juga melalui pamannya inilah Kartosoewirjo 

tertarik pada Marxisme. namun , kenapa ia tertarik? Tampaknya Marxisme (dan Komunisme) di 

zaman itu merupa-kan sebuah ideologi anti kolonialisme-imperialisme dan berpihak kepada 

rakyat tertindas. Inilah yang menjadi daya tarik Marxisme-Komunisme bagi kaum pergerakan 

saat  itu. Maka, tidak terlalu mengejutkan bila banyak tokoh pergerakan --termasuk yang 

beragama Islam-- yang mempelajari dan terinspirasi ideologi itu (terutama Marxisme). Di antara 

tokoh pergerakan itu antara lain: Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Misbach dan 

Kartosoewirjo. 

Bila ini diakui keabsahannya, maka terbuka kemungkinan radikalisme Kartosoe-wirjo dan 

semangat anti kolonialisme-imperialismenya di masa remajanya produk interaksi intelektualnya 

yang intensif dengan pemikiran-pemikiran Marxis. Ini bisa dimengerti mengingat akses 

Kartosoewirjo terhadap pemikiran atau ideologi Islam amat terbatas. Pendidikan agamanya, 

sebagaimana dikatakan di atas, juga terbatas. Ini barulah sebuah hipotesis yang perlu diteliti 

lebih jauh. Tapi tidak tertutup kemungkinan pula Kartosoewirjo mengalami radikalisasi akibat 

persentuhan dirinya dengan gagasan-gagasan Pan Islamisme Al-Afghani yang di masa itu cukup 

berpengaruh terhadap tokoh-tokoh pergerakan Islam. Situasi revolusioner, khususnya 

menjelang pemberontakan 1926-1927 juga telah membentuk wataknya menjadi radikalis. 

Kartosoewirjo diusia remaja tidak seperti Natsir atau K.H. Agus Salim --tidak menguasai bahasa 

Arab yang amat vital bagi usaha memahami pemikiran Islam. Dalam soal ini, Kartosoewirjo tidak 

banyak berbeda dengan Soekarno. Interaksi pemikiran Kartosoewirjo paling intensif terjadi 

saat  belajar Islam dari Ajengan Ardiwisastra di Malangbong (Tasikmalaya, Jawa Barat).  

Lalu, salahkah Kartosoewirjo, seperti juga Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan lain-lain 

mengadopsi pemikiran-pemikiran Marxis? Saya kira tidak juga. sebab  pertama, mereka yaitu  

sebagian dari produk sistem pendidikan kolonial. Dalam sistem pendidikan kolonial,  guru-guru 

Belanda yang mendidik tokoh-tokoh itu sebagian bersemangat marxis-humanis dan liberal. 

Mereka inilah yang mempengaruhi anak-anak didiknya seperti Soekarno, Syahrir, atau Hatta.  

Kedua, di zaman itu bangsa kita membutuhkan sebuah ideologi perlawanan terhadap 

kolonialisme-imperialisme. Kekejaman penjajahan mesti di ‘sobek’, dan itu hanya mungkin 

dilakukan oleh gerakan-gerakan ideologis radikal seperti Marxisme. Ketiga, struktur sosial 

mengalami proses ideologisasi dalam skala pasif. Berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan 

agama mengalami ideologisasi. Oleh sebab  itu, sejarawan Kuntowijoyo menyebut zaman itu 

(dekade pertama abad XX), ‘fase ideologi.’ Dalam konteks historis itulah pengadopsian 

Marxisme mesti dipahami. Dalam perspektif mereka Marxisme menyediakan suatu basis 

ideologis bagi perlawanan itu. Di mana itu, bahkan berkembang anggapan bahwa Marxisme-

Komunisme tidak bertentangan dengan Islam sebab  keduanya sama-sama berpihak kepada 

kaum tertindas dan anti kolonialisme-imperialisme. Penganut pandangan ini antara lain Soekarno 

dan Haji Misbach.  

Di sinilah saya kira perbedaan menyolok antara Kartosoewirjo dengan Natsir misalnya. Sama 

seperti patriot bangsa lainnya, Natsir juga anti kolonialisme-impe-rialisme. Namun wataknya 

yang demikian lebih terinspirasikan oleh Islam, ketimbang Marxisme. Natsir sejak kanak-kanak 

telah belajar Islam di surau dan beranjak remaja dididik tokoh-tokoh Islam seperti Ahmad Hasan, 

radikalis Persis (Persatuan Islam) dan Haji Agus Salim. Bagi Natsir, Islam yaitu  agama anti 

penindasan yang menolak ekploitasi manusia oleh manusia (L’exploitation de L’homme par 

L’homme).  

Bila benar radikalisme Kartosoewirjo terinspirasikan oleh Marxisme maka persoalannya 

lalu  yaitu  bagaimana tokoh ini bisa memilah Marxisme sebagai ideologi perlawanan 

(ideologi of protest) dan pada saat yang sama membuang jauh-jauh ‘unsur-unsur ateistik’ dalam 

ajaran-ajaran Marx itu? Persoalan ini patut dikaji sejarawan biografi. 

Kecenderungan Kartosoewirjo pada kegiatan organisasi sudah mulai nampak tatkala memasuki 

Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB) dan lalu  PSII. Dalam waktu relatif singkat 

Kartosoewirjo telah menunjukkan kemampuannya memimpin. Tidak terlalu mengejutkan bila 

tokoh Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto lalu  mengangkatnya menjadi sekretaris 

pribadinya. Sebagai sekretaris Tjokroaminoto, Kartosoewirjo jelas memiliki tempat tersendiri di 

hati tokoh puncak Sarekat Islam itu. Dalam hubungan dekatnya dengan Tjokroaminoto itulah 

nampaknya Kartosoewirjo belajar banyak tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi 

dengan massa dan membangun kekuatan umat. Dan di masa ini pula ‘sosok Islam ideologis’ 

Kartosoe-wirjo mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya Negara Islam dan masyarakat 

Islam ideal di Indonesia suatu saat kelak. Juga di rumah Tjokroaminoto (Cimahi, Bandung) untuk 

pertama kalinya Kartosoewirjo berkenalan dengan Soekarno yang saat  itu telah menjadi ketua 

PNI. Interaksi Soekarno dengan Kartosoewirjo di rumah Tjokroaminoto masa itu tentu 

merupakan peristiwa sejarah menarik yang patut diteliti sejarawan.  

Dalam usia 20 tahun (1927), Kartosoewirjo menjadi wartawan surat kabar Fadjar Asia mulai dari 

bawah sebagai korektor dan reporter. Dalam waktu 16 bulan lalu  ia diangkat sebagai wakil 

pemimpin redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan saat  itu. Dalam fase 

kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi gagasan-

gagasannya. Fadjar Asia wadah pa-ling tepat untuk itu. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya 

‘mengalir’ bak air terjun. 

Gagasan-gagasan radikal Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia itu. Ia 

menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan pemerintahan 

Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil dan buruh-buruh juga 

dikemukakan. saat  para petani kecil di Lampung diusir dari tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’, 

Kartosoewirjo menulis: “Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet 

belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya.” Dikecamnya 

Volksraad yang tidak melindungi dan berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong belaka.’ 

Kepada kaum buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan berkeluh kesah, jangan 

meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut mati jangan hidup! Kalau hendak hidup 

janganlah takut mati!” Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia 

hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab kemerdekaan tanah air itu tidaklah sedikit 

harganya, yang oleh sebab nya harganya, tentu bakal memakan korban luar biasa.”  

Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno yang menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih 

keras lagi. Mengetahui Parada Harahap --ketua redaksi Bintang Timoer-- menghina Islam, 

Kartosoewirjo menulis: “Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka kaum 

Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka, sebab  ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi 

Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada bangsa dan tanah 

air -mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi tidak sadar kalau 

tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa 

Indonesia’, dan ‘Binatang Tikus dari Krekot.’  

Dalam dekade 1930-an peran politik Sarekat Islam semakin menurun akibat wafatnya 

Tjokroaminoto (1934), krisis keuangan, munculnya golongan nasionalis sekuler (PNI Soekarno), 

dan konflik internal antara kubu kooperatif versus non-kooperatif. Sebelumnya SI dilanda konflik 

antara ‘SI Merah versus SI Putih?’ Dalam pergolakan di tubuh SI itu, Kartosoewirjo bersama 

Abikoesno Tjokrosoejoso berpihak ke kubu ‘SI Putih’ dan kubu non-kooperatif. Di masa ini 

Kartosoewirjo memainkan peran politiknya yang strategis dalam Sarekat Islam. Ia seakan 

menjadi ‘pemimpin politik bayangan’ yang menggantikan Tjokroaminoto. ‘Peran sentral’ tampak 

dari per-mintaan organisasi agar Kartosoewirjo menulis Brosur Sikap Hidjrah PSII yang dapat 

dijadikan landasan ideologis perjuangan PSII. Sikap Hidjrah PSII merupakan master-pice, salah 

satu karya tulis terbaik Kartosoewirjo. 

Dalam tulisan itu Kartosoewirjo membahas fase-fase perjuangan Islam PSII, kewajiban jihad dan 

hijrah dan konsolidasi kekuatan Islam. Secara kreatif-inovatif ia menganalogikan Indonesia 

sebagai Makkah yang harus ditransformasikan menjadi Madinah. Makkah dan Madinah 

bermakna simbolik, yang pertama bermakna negara kafir (jahiliyah) dan yang kedua Negara 

Islam. Menegakkan negara berdasar Islam menurutnya yaitu  bagian dari upaya umat Islam 

mengikuti sunnah (tradisi) Rasulullah Muhammad SAW. Di sini Kartosoewirjo 

mendemonstrasikan secara piawai pengetahuannya mengenai tarikh klasik Islam, tafsir Al-

Qur`an dan strategi perjuangan mene-gakkan Islam.  

DI : ANGAN-ANGAN KEKUASAAN POLITIK ISLAM 

Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi 

merupakan ekspresi simbolik tegaknya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang berdaulat 

penuh, otonom. Indonesia memasuki fase paska kolonialisme. Tidak semua pejuang 

kemerdekaan sepakat dengan proklamasi itu. Tokoh-tokoh ber-ideologi komunis (PKI) seperti 

Muso dan Amir Syarifuddin menolak negara Republik Soekarno. Mereka berontak, dan 

meletuslah peristiwa Madiun (1948). Pemberontakan gagal, dan keduanya ditembak mati. 

Kartosoewirjo pada awalnya tidak bersikap antagonistik terhadap RI. Tapi kekecewaan demi 

kekecewaan yang dialami Kartosoewirjo dan pengikut-pengikutnya menyangkut berbagai sektor 

sosial, ekonomi, politik, militer, agama dan psikologis mengubah keadaan itu. Ia membentuk 

Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan melakukan perlawanan frontal terhadap RI. 

Jadi, pemberontakan Kartosoewirjo bukanlah suatu peristiwa politik yang berdiri sendiri lepas 

dari konteksnya. Maka, tidak-lah adil menilai Kartosoewirjo dan DI sebagai pemberontak tanpa 

menganalisis sebab-sebab yang melatarinya. 

Awal kekecewaan Kartosoewirjo, dan saya kira juga banyak faksi-faksi politik Islam, yaitu  saat  

‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) “dengan kewajiban menjalankan syariat  

Islam bagi pemeluknya” dicoret oleh Hatta tidak lama sesudah  teks proklamasi dibacakan. 

Peristiwa pencoretan itu merupakan ‘pukulan telak’ (KO, Knock out) bagi umat Islam yang sejak 

zaman penjajahan Belanda mendambakan diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan 

berbangsa dan bernegara. Dalam pan-dangan Kartosoewirjo pencoretan itu merupakan awal 

kekalahan politik Islam berha-dapan dengan golongan nasionalis sekuler di saat negara 

Indonesia baru saja dilahirkan. Benih-benih perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh. 

Kekecewaan lain menyusul. Paska perjanjian Renville (1948), semua kekuatan gerilya TNI yang 

berada di kantong-kantong pertahanan Jawa Barat diwajibkan hijrah (mengungsi) ke Yogyakarta. 

Ibu Kota negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagi para pejuang DI hal itu mengecewakan 

tidak hanya sebab  menunjukkan sikap kompro-mistis RI dan TNI kepada pihak Belanda, tapi juga 

membiarkan rakyat Jawa Barat tidak terproteksi. Hijrah TNI ini dianggap ‘penghianatan’ yang 

lalu  membang-kitkan amarah rakyat Jawa Barat. Apalagi yang mengungsi itu yaitu  Divisi 

Siliwangi, tentara kebanggaan rakyat Jawa Barat. Kartosoewirjo dan laskar bersenjatanya 

menolak hijrah ke Yogyakarta dan tetap bertahan di kantong-kantong gerilya di hutan-hutan 

Jawa Barat. Dari sinilah awal munculnya simpati rakyat Jawa Barat terhadap perjuangan heroik-

patriotik Kartosoewirjo dan DI. Apalagi selama itu Kartosoewirjo dikenal sangat tidak 

kompromistis terhadap Belanda, khususnya menyangkut eksistensi Negara Pasundan.  

Natsir, saat  itu menteri penerangan mengomentari hijrah TNI: “Hubungan kami dengan 

Kartosoewirjo pada masa sebelumnya rapat sekali. Bung Hatta juga selalu berhubungan 

dengannya. Soalnya, Persetujuan Renville telah mengusir TNI “hijrah” dari Jawa Barat ke Jawa 

Tengah. Orang-orang Jawa Barat merasa ditinggalkan dalam perjuangan. Waktu itu 

Kartosoewirjo pulang balik ke Yogyakarta dan langsung menemui Bung Hatta. Bung Hatta 

memberi bantuan supaya Kartosoewirjo bisa sedikit mendi-nginkan orang-orang Jawa Barat 

yang merasa ditinggalkan Republik.” Menurut pengakuan Natsir, tidak hanya Kartosoewirjo dan 

rakyat Jawa Barat yang kecewa dengan hijrah TNI itu. Bung Hatta juga sedih Perjanjian Renville 

menyebabkan Jawa Barat di-tinggalkan TNI. Hatta menilai hijrah TNI akibat ulah Perdana Menteri 

Amir Syarifuddin (PKI) yang tanpa pikir panjang menyerahkan Jawa Barat begitu saja kepada 

Belanda.  

Merasa posisinya semakin kuat pada 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memprokla-masikan Negara 

Islam Indonesia (NII) di Cisampah, daerah Cisayong (Jawa Barat) sebagai tandingan atas Negara 

Republik Indonesia. NII menjadi ‘negara dalam negara’. Negara bentukan Kartosoewirjo ini 

memiliki konstitusi (Qonun Azasi), struktur administratif dan birokrasi pemerintahan maupun 

angkatan bersenjata yang terlatih (Tentara Islam Indonesia/TII). Sejak awal kelahirannya NII telah 

menunjukkan keunggulannya sebagai negara berdasar agama di abad modern Indonesia. Sejauh 

yang saya ketahui tidak ada satu pun gerakan Islam Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini 

yang mampu mengungguli struktur kenegaraan NII dan angkatan bersenjatanya. 

Tidak semua pemimpin politik Islam saat  itu setuju dengan NII. Mohammad Natsir, tokoh 

puncak Partai Islam Masyumi misalnya menolak NII. Melalui surat yang dikirim melalui mantan 

gurunya di Persis, Ahmad Hassan, Natsir meminta Kartosoewirjo membatalkan proklamasi 

berdirinya NII. Namun ikhtiar Natsir sudah terlambat, sebab Kartosoewirjo telah 

memproklamasikan NII tiga hari sebelumnya.  

Mengapa Natsir menolak NII? Bukanlah elite-elite partai Islam saat  itu, termasuk Masyumi, juga 

memiliki obsesi untuk mendirikan Negara Islam atau negara berdasar Islam? Dan mengapa DI 

bersikeras mendirikan NII? Penolakan elite-elite politik Islam itu antara lain sebab  umat Islam 

telah memiliki konsensus bersama bahwa persoalan genting yang harus segera diselesaikan 

bukanlah persoalan apa dan bagaimana bentuk negara Indonesia, namun  bagaimana menghadapi 

agresi kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dengan memproklamasikan NII 

berarti kekuatan umat Islam terpolarisasi. Di satu pihak memprioritaskan soal bentuk negara, 

sementara di pihak lain mempersiapkan diri untuk menghadapi agresi kolonial. 

Antara Natsir dengan Kartosoewirjo juga terdapat pertikaian ideologis yang cukup tajam. Meski 

keduanya sama-sama Muslim ‘puritan’ dari segi akidah Islam, namun prilaku politik keduanya 

menunjukkan perbedaan yang cignifikan. Natsir yaitu  seorang politikus moderat, atau bahkan 

liberal seperti yang ditunjukkannya saat  menjadi Perdana Menteri (1950-1951). Dalam 

menyusun komposisi kabinetnya ia merekrut anggota kabinetnya tidak hanya berasal dari 

Masyumi atau partai-partai Islam tapi juga tokoh Partai Katolik seperti Kasimo atau tokoh Partai 

Sosialis Indonesia, seperti Soemitro Djoyohadikusumo. Sikap politik Natsir ini membedakannya 

secara tegas de-ngan Kartosoewirjo yang cenderung ekslusif. Kartosoewirjo mustahil merekrut 

golongan Katolik, kaum sosialis atau nasionalis sekuler menjadi ‘orang penting’ dalam struktur 

kenegaraan NII. 

Meskipun terdapat perbedaan pandangan cukup tajam di antara keduanya, hubungan pribadi 

mereka tetap baik. Keadaan itu baru berubah sesudah  Natsir menjadi Perdana Menteri (1950-1951). 

Natsir, didukung tentara (Abdul Haris Nasution) meme-rintahkan agar memerangi Kartosoewirjo 

dan pengikut-pengikutnya. Di mata Natsir, gerakan Kartosoewirjo telah mengacaukan situasi 

keamanan nasional. Oleh sebab  itu harus segera diredam. Banyak tentara Islam Kartosoewirjo 

(TII) yang terbunuh dalam berbagai clash bersenjata itu. Peristiwa ini terus berlangsung hingga 

Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Dr. Sukiman. Kartosoewirjo, sebagaimana 

dikatakan Natsir saat  itu berucap, “Dari sekarang, tidak ada lagi hubungan dengan RI.”  

Perpecahan yang melanda umat Islam akibat perseteruan Natsir versus Karto-soewirjo itu 

menguntungkan PKI, musuh bebuyutan keduanya. Konflik Natsir versus Kartosoewirjo 

memberi  ‘angin segar’ bagi kekuatan komunis (PKI) mengon-solidasi diri. Apalagi saat  itu 

partai kiri ini telah membentuk jaringan aliansi khusus dengan kekuatan nasionalis sekuler, 

termasuk Soekarno. PKI memanfaatkan konflik internal kubu Islam untuk menyusun kekuatan di 

berbagai lapisan sosial khususnya lapisan bawah (graas root). Hasilnya kongkrit, PKI yang 

sempat dihancurkan paska peristiwa Madiun (1948) mulai bangkit kembali, dan dalam pemilu 

1955 partai kiri ini berada di urutan keempat pemenang pemilu.  

Mengapa Natsir bertarung dengan Kartosoewirjo? Siapa yang salah? Siapa yang benar? 

Kartosoewirjo memaksakan kehendaknya? Ataukah Natsir --demi memperta-hankan jabatannya 

sebagai Perdana Menteri-- ‘mengkhianati’ cita-cita kenegaraan Islam yang diperjuangkan 

Kartosoewirjo? Bagi angkatan muda Islam sekarang tidak terlalu penting siapa yang benar atau 

yang salah. Yang jelas pertarungan terbuka antara dua tokoh politik Islam itu amat merugikan 

Islam dan menguntungkan PKI. 

Di benak mereka muncul berbagai pertanyaan mengapa hal itu harus terjadi. Apakah perbedaan-

perbedaan visi, orientasi dan tujuan politik Natsir dan Kartosoewirjo sama sekali tidak memiliki 

‘titik temu’ sehingga harus diselesaikan melalui clash bersenjata? Ataukah konteks historis saat 

itu tidak memungkinkan penyelesaian konflik secara damai, sehingga harus diselesaikan melalui 

jalan kekerasan? Pertarungan kedua tokoh umat itu menjadi warisan dan beban sejarah 

(historical burden) bagi generasi Islam masa kini dan mendatang. Perlu diratapi? Mungkin. Tapi 

pertarungan itu telah menyejarah. Angkatan muda Islam saat ini perlu mengambil hikmah dari 

peristiwa itu agar ikhtilaf (perbedaan visi dan misi politik) setajam apa pun di antara umat Islam 

tidak dieks-presikan dalam konflik bernuansa kekerasan. 

Salahkah Kartosoewirjo dan DI menawarkan ideologi Negara Islam? Tentu saja tidak. Sah-sah saja 

sebab  pada masa paska kolonialisme, khususnya dekade 1950-an semua, kekuatan sosial politik 

(organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik) diberikan hak sama untuk menyuarakan 

aspirasi ideologis mereka, termasuk PKI. PKI berhak mempropagandakan Komunisme menjadi 

dasar negara. Demikianlah juga pen-dukung Pancasila, atau faksi Murba (Musyawarah Rakyat 

Banyak) yang memper-juangkan ideologi sosial ekonomi atau Masyumi dan DI yang 

memperjuangkan Islam. Menawarkan Islam menjadi dasar negara Indonesia --apalagi dalam 

forum resmi seperti Dewan Konstituante (1956-1959) dan alam kebebasan Demokrasi 

Parlementer-- bukanlah aib politik, apalagi sebuah ‘pengkhianatan’ dan pemberontakan. Hanya 

satu hal mesti dicamkan: perjuangan ideologis itu tidak boleh melanggar konstitusi. Semua pihak 

harus mematuhi ‘aturan main’ (rule of the game) yang disepakati bersama. 

Di sinilah letak demokratisnya zaman Demokrasi Parlementer yang oleh Orde Baru diklaim 

sebagai masa-masa suram kehidupan politik Indonesia. Kebebasan benar-benar ditegakkan. Dan 

kebebasan politik masa itu berhasil mengantarkan bangsa ini ke pemilu pertama (1955) yang 

paling demokratis dalam sejarah Republik kita. Kita saat ini mestinya banyak belajar dari 

pengalaman-pengalaman historis masa itu. Dan umat Islam patut ‘bangga’ sebab  pemilu itu 

dilakukan di masa Kabinet Burhanuddin Harahap, seorang tokoh penting Masyumi. Saya katakan 

patut ‘bangga’ sebab  tidak terbayangkan apa yang terjadi seandainya pemilu itu dilaksanakan 

di masa kabinet yang dipimpin tokoh PKI. 

Persaingan politik dan ideologis akan demokratis dan adil manakala masing-masing pihak yang 

bersaing menanggalkan cara-cara kekerasan untuk mencapai kemenangan. Sekali cara 

kekerasan dipakai, saat  itu persaingan yang demokratis pun mati. Keke-rasan akan melahirkan 

kekerasan pula. Inilah yang terjadi saat  Kartosoewirjo dan DI-nya memakai jalan kekerasan 

sebagai cara paling legitimate untuk mendirikan Negara Islam. Kartosoewirjo harus berhadapan 

dengan Natsir yang pada mulanya menolak jalan kekerasan. Namun akhirnya memakai kekerasan 

pula. 

Apakah perbedaan perspektif mengenai apa sesungguhnya Negara Islam itu merupakan sumber 

konflik di antara pemimpin-pemimpin Islam? Mungkin juga. Sejak lama tidak ada kejelasan 

tentang persoalan eksistensi-fundamental ini. Dalam perspektif Kartosoewirjo Islam memiliki 

konsepsi negara yang sangat jelas. Islam yaitu  agama dan negara (ad dien wa ad daulah). 

Gagasan Negara Islam bukanlah wishful thinking, tapi sebuah fakta  historis. Bukan sekedar 

teori politik normatif (normative political theory), tapi teori politik empiris (empirical political 

theory). ‘Negara Madinah’ zaman Nabi Muhammad SAW membuktikan hal itu. ‘Negara Islam’ 

memang ‘alat’ belaka, tapi sangat diperlukan demi terealisasinya syariat-syariat Islam. Di luar 

Negara Islam yang ada hanyalah negara thagut, sebuah pemaknaan simbolik Al-Qur`an bagi 

negara yang tidak didasarkan Islam. 

Tidak semua tokoh-tokoh politik Islam di masa itu memiliki konsep negara yang sama seperti 

Kartosoewirjo. Tokoh Masyumi, Zainal Abidin Ahmad misalnya, menulis karya Membentuk 

Negara Islam (1956). Bila ditelaah, konsep Negara Islam versi Zainal tidak lain merupakan konsep 

kenegaraan barat yang dibungkus dengan wacana, idiom-idiom Islam. Jadi, konsep barat 

‘berbaju’ Islam. Institusi-institusi politik Negara Islam (seperti DPR) yang dikemukakannya dalam 

buku itu nyaris tidak ada bedanya dengan institusi-institusi politik barat modern. Di sini letak 

perbedaan tajam konsep Zainal dengan Kartosoewirjo tentang Negara Islam. Beberapa tokoh 

Masyumi menegaskan bahwa partai Islam ini menghendaki masyarakat Islam (Islamic society). 

Kalaupun ada yang menghendaki Negara Islam dalam Masyumi, itu bukan kecende-rungan 

umum dalam partai Islam itu. Tokoh senior Masyumi, Mohammad Roem mengatakan bahwa 

dalam statuta dan anggaran dasar Masyumi tidak ditemukan satu pun kalimat yang menyebut 

Negara Islam. Yang ada, masyarakat Islam.  

Konflik politik rupanya tidak hanya terjadi antara mereka yang berbeda organisasi namun juga 

yang seorganisasi. Ini misalnya nampak dalam Darul Islam sendiri seperti yang terjadi antara 

Kartosoewirjo dengan K.H. Yusuf Tauzuri. Di masa awal gerakan, K.H. Tauzuri yaitu  pendukung 

setia Darul Islam, namun dalam fase selanjutnya ia memisahkan diri dan berpihak ke tentara 

Republik. Para “tentara perlawanan” itu, terma-suk K.H. Tauzuri berpihak kepada Republik 

Indonesia antara lain sebab  alasan ideologis. Dalam Masyumi juga terjadi pertikaian antara 

tokoh ‘moderat’ seperti Natsir dengan Sukiman. Atau antara Natsir dengan K.H. Isa Anshari, 

tokoh radikal Masyumi Jawa Barat. Keduanya berselisih paham tentang metode menghadapi 

Komunisme (PKI). Natsir menghendaki cara moderat-konstitusional sedangkan Anshari memilih 

jalan radikal-revolusioner dalam menghadapi Komunisme. 

sesudah  melalui pertarungan panjang, melelahkan dan memakan banyak korban DI berhasil 

dilumpuhkan. Sebagian anggota DI menyerah atau kembali kepangkuan Republik. Kartosoewirjo 

berhasil ditangkap. Peristiwa ini menyebabkan intensitas gerakan DI berada di titik paling rendah. 

Pada 5 September 1962 jam 5.50 Kartosoewirjo dihukum mati. Ini sesuai dengan keputusan 

sidang ke tiga MAHADPER, 16 Agustus 1960 (?). Kartosoewirjo dinyatakan bersalah sebab  

kejahatan-kejahatan politik yang dilakukannya: (1) Makar untuk merobohkan negara Republik 

Indonesia; (2) Pembe-rontakan terhadap kekuasaan yang sah di Indonesia dan; (3) Makar untuk 

membunuh kepala negara Republik Indonesia (Presiden Soekarno). 

Dalam pengadilan terhadap dirinya Kartosoewirjo menolak tegas telah memerin-tahkan anak 

buahnya membunuh Presiden Soekarno. Keterangan-keterangan para saksi (11 orang) tentang 

adanya perintah pembunuhan oleh Kartosoewirjo itu, dibantahnya. Perintah pembunuhan itu 

diibaratkannya ‘dongeng dan isapan jempol berbahaya’ yang sengaja direkayasa untuk 

memastikan Kartosoewirjo dijatuhkan hukuman mati. Kartosoewirjo memberi  analogi 

tentang ‘isapan jempol berbahaya’ yang benar-benar pernah terjadi dalam sejarah. Hitler, 

katanya telah memanfaatkan kebakaran Gedung Reichstag di Berlin untuk membunuh kaum 

Yahudi Jerman. Belanda pernah mengasingkan ratusan pejuang ke Boven Digoel (Irian Barat) 

sebab  dituduh terlibat pembe-rontakan komunis (1926-1927) padahal mereka itu tidak ada 

sangkut-pautnya dengan pemberontakan itu. Disebutkannya juga isapan jempol berbahaya 

lainnya yang dikemukakan seorang saksi bernama Haris. Saksi ini mengaku telah melihat 

Kartosoewirjo ongkang-ongkang di Klub Konkordia (Bandung) bersama seorang Belanda 

bernama Schmidt sambil minum bir dan bertemu dengan Komisaris Tinggi Mahkota Belanda 

Lovink di Hotel Des Indes Jakarta. 

Mana yang benar, pengakuan Kartosoewirjo itu, ataukah kesaksian para saksi bohong? Perihal 

perintah pembunuhan oleh Kartosoewirjo itu tentu perlu diteliti se-jauh mana kebenarannya. 

Tidakkah terbuka kemungkinan --seperti dikatakan Karto-soewirjo-- bahwa pengadilan terhadap 

dirinya yaitu  rekayasa kekuasaan Soekarno, tokoh nasionalis ‘sekuler’ yang semenjak zaman 

pergerakan menjadi musuh utamanya. Kita telah memaklumi bahwa pengadilan terhadap tokoh 

DI itu sepenuhnya pengadilan yang bersifat politis, bukan pengadilan demi penegakkan keadilan. 

Dalam pengadilan politis --sebagaimana terjadi pada masa-masa Orde Baru-- keputusan hukuman 

terhadap terpidana sering telah ditentukan dari ‘atas’ (penguasa politik) sebelum proses 

pengadilan dilangsungkan. 

‘Misteri’ hukuman mati terhadap Kartosoewirjo juga diperkuat oleh fakta  bahwa hukuman 

itu benar-benar dilaksanakan. Persoalan begini. sesudah  mengetahui keputusan hukuman mati 

itu, para pembela hukum Kartosoewirjo memohon keringanan agar kliennya tidak dihukum mati. 

Hukuman itu menurut mereka terlalu berat. Kartosoewirjo pun sudah tua renta dan sakit-sakitan. 

Ia juga sangat berjasa bagi negara semasa zaman pergerakan dan di pengadilan bersikap baik, 

mempermudah jalannya persidangan dan masih memiliki tanggung jawab menghidupi 

keluarganya. 

Lalu, bagaimana dengan Presiden Soekarno sebagai orang paling otoritatif menen-tukan ‘nasib 

akhir’ Kartosoewirjo? Soekarno ternyata juga menolak memberi  grasi yang diajukan 

penasihat hukum Kartosoewirjo, dengan alasan tidak ada dasar argumen-tasi untuk 

mengabulkannya. Tidak tertutup kemungkinan PKI berperan penting mem-pengaruhi keputusan 

Presiden Soekarno mengingat hubungan antara keduanya di masa itu sangat dekat. Dengan 

demikian, maka hukuman mati atas tokoh sejarah ini harus dilaksanakan. Yang menarik, menurut 

catatan Dengel, keputusan hukum mati itu disambut antusias oleh kaum komunis. Mereka 

mengirimkan telegram-telegram ke MAHADPER berisi pernyataan senang atas dijatuhkannya 

hukuman mati itu. Fakta sejarah ini tentu menarik dikaji mengingat --seperti dinyatakan di atas-- 

keputusan pengadilan terhadap Kartosoewirjo lebih bersifat politis, ketimbang usaha mencari 

‘dewi keadilan.’ Kematian Kartosoewirjo ibarat ‘revolusi memakan anaknya sendiri’ persis seperti 

yang dialami oleh Amir Syarifuddin (PKI), dan Soekarno. 

MENGGAGAS IDEOLOGI ALTERNATIF? 

Kegetiran perjuangan DI menegakkan Negara Islam memicu  trauma historis dan 

ketegangan dalam hubungan Islam-negara Orde Baru selama beberapa dekade. Islam lalu  

seakan identik dengan kekerasan politik (political violence) dan pem-berontakan. Umat Islam 

yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini mengidap apa yang dinamakan Wertheim 

kompleks minoritas (minority complex). Keadaan ini merugikan umat Islam secara keseluruhan. 

Inilah salah satu alasan strategis kemunculan pemikiran yang menolak konsep Negara Islam dan 

menyebut fenomena DI ‘kekeliruan sejarah’ Islam di masa lampau. 

Gagasan penolakan Negara Islam terutama muncul di kalangan cendekiawan terkemuka seperti 

Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Mereka sependapat dengan 

Moehammad Roem bahwa Islam tidak memiliki bentuk negara. Nurcholish menilai Negara Islam 

sebagai apologia dan reaksi atas gelombang ideologi sekuler barat (Sosialisme, Komunisme, 

Nasionalisme) di dunia Islam. Tiada suksesi kepe-mimpinan negara paska kewafatan Rasul 

Muhammad SAW menurut Nurcholish merupa-kan bukti kuat bahwa Islam tidak secara spesifik 

menentukan negara yang harus dibangun. Amien Rais menilai Negara Islam tidak ada, sebab  

tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur`an yang menyebut istilah Negara Islam. Abdurrahman 

Wahid menolak Negara Islam, sebab  konsep itu mengancam eksistensi demokrasi, plurarisme, 

ekslusif-sektarian dan bahaya bagi integrasi bangsa Indonesia. Memaksakan Islam menjadi dasar 

negara berbahaya sebab  Islam dalam konteks ke-Indonesiaan menurut Abdurrahman hanyalah 

sub-kultur dan ‘komplementer’ bagi nasion Indonesia yang memiliki prinsip ‘bhineka tunggal  ika.’ 

Menegakkan Negara Islam samalah artinya memporak-poran-dakan negara kesatuan RI. 

Konsep Negara Islam dalam perspektif mereka memposisikan umat Islam menjadi kelompok 

pinggiran, oposisional dan selalu bersitegang dengan pemerintah (Orde Baru). Kondisi ini 

merugikan kepentingan umat Islam. Oleh sebab  itu, menurut Abdurrahman, konsep Negara 

Islam harus ditolak dan Islam dituntut akomodatif terhadap Pancasila. Bukan sebaliknya, 

Pancasila akomodatif terhadap Islam. Terlepas kita setuju atau tidak dengan logika itu, 

kecenderungan menolak konsep Negara Islam mendominasi wacana politik Islam Orde Baru. 

Dalam tingkat tertentu akomodasi Islam ke dalam struktur politik Orde Baru berhasil mencairkan 

ketegangan hubungan antara keduanya. Interaksi Islam-negara Orde Baru semakin membaik 

memasuki dekade 1990-an. Inilah fase ‘bulan madu’ hubungan Islam-negara Orde Baru. 

Saat ini saat  sistem politik Orde Baru mulai rontok dengan lengsernya mantan Presiden 

Soeharto (21 Mei 1998), masihkah relevan penolakan Negara Islam, atau negara berdasar  

Islam itu? Masihkah kita harus terus menerus menyalahkan Karto-soewirjo dan DI-nya? Masihkah 

kita tetap bersikeras bahwa ideologi Pancasila yang tertutup (versi Orde Baru) dan UUD 1945 itu 

harus dipertahankan mati-matian sementara gugatan terhadap relevansinya dengan 

perkembangan zaman semakin dipertanyakan dari hari ke hari? 

Kekalkah Pancasila sebagai ideologi negara? Sampai kapan ia mampu bertahan? Sampai dunia 

kiamat? Para pembela Pancasila percaya bahwa nilai-nilai universal Pancasila membuat ideologi 

ini bertahan menghadapi gempuran zaman. Pancasila abadi, ‘tak lekang sebab  panas, tak lapuk 

sebab  hujan.’ Tapi beberapa pengamat menilai ke-cenderungan-kecenderungan politik akhir-

akhir ini serta proses globalisasi yang melanda Indonesia memicu  pertanyaan serius 

tentang daya tahan (resistensi) Pancasila sebagai ideologi negara. Pengamat politik seperti Arbi 

Sanit menilai Pancasila tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran zaman. Cepat atau 

lambat Pancasila akan menjadi peninggalan sejarah. Tanda-tanda zaman ke arah itu menurut Arbi 

Sanit telah nampak saat ini. Jadi sebenarnya Pancasila tidaklah ‘sakti’ seperti yang disakralkan 

dan dimitoskan Orde Baru selama tiga dekade. Ideologi-ideologi yang mampu bertahan 

menghadapi gempuran zaman menurut Arbi yaitu  ‘ideologi-ideologi klasik’ seperti Islam, 

Kristen, Sosialisme dan Liberalisme. 

Demikian juga dengan UUD 1945. Dr. Mochtar Pabottingi dan Syamsu Rizal Pangabean 

berpendapat bahwa UUD 1945 dirumuskan dalam situasi darurat. sebab  itu UUD 1945 tidak bisa 

dianggap UUD yang telah final. Oleh sebab  itu ia perlu direvisi atau diubah apabila UUD itu ingin 

tetap relevan dengan perkembangan zaman. Buyung Nasution bahkan berpendapat pasal-pasal 

tertentu UUD 1945 memposisikan seorang presiden RI menjadi penguasa otoriter, bahkan 

diktator. Pandangan ini disetujui pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Kini bangsa kita sedang membangun Indonesia baru yang demokratis. Dalam konteks 

perkembangan itulah berbagai usaha menawarkan wacana ideologi alternatif harus ditolerir --

sejauh tidak memakai  cara-cara repressif dan anti demokratis. Sebagai ideologi, Pancasila 

semestinya akomodatif terhadap tawaran-tawaran ideologis dari mana pun datangnya. Tidak 

menutup diri dan merasa benar sendiri seperti di zaman Orde Baru. Ini bila Pancasila ingin tetap 

bertahan menghadapi gempuran zaman. Di sinilah letak tugas penting sejarah para pemimpin 

bangsa yang kini berada di tampuk kekuasaan. Mereka dituntut untuk mampu menjadikan 

Pancasila sebagai ideologi terbuka yang akomodatif terhadap tawaran-tawaran wacana 

ideologis lain. Di pihak lain, di sini pula letak tanggung jawab historis mereka yang kini mencoba 

menawarkan ideologi alternatif itu, termasuk dari kalangan faksi-faksi Islam. 

Dalam sebuah diskusi buku ‘Wacana Ideologi Negara Islam’ karya Al Chaidar di Masjid Ukhuwah 

Islamiyah Univeritas Indonesia, Depok (9 April ‘99), Fahri Hamzah mengemukakan 

pandangannya tentang bagaimana kita seharusnya mensikapi munculnya tawaran ideologi 

Negara Islam sebagai wacana alternatif bagi ideologi negara saat ini seperti dilakukan Al Chaidar, 

aktivis muda DI. Dalam perspektif Fachry tawaran ideologi alternatif Al Chaidar itu tidak lain 

dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan proses dialogis di antara komponen bangsa. 

Dialog yang jujur, terbuka, cerdas dan penuh pengertian sangat dibutuhkan saat dimana kita saat 

ini mengalami keterpurukan akibat iklim politik yang tertutup selama beberapa dekade lalu. 

Ikhtiar tawaran dialog Al Chaidar itu perlu didukung. Dan dalam proses dialog itu kita harus terus 

menerus melakukan kritik-kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Chaidar. Atau kepada siapa 

pun yang menawarkan wacana ideologi alternatif saat ini. Ini perlu dilakukan menurut Fachry 

agar ia ‘tidak jalan sendirian’, lalu justru membahaya-kan tidak hanya bagi dirinya. Tapi juga bagi 

orang lain. Dengan melakukan kritik terus menerus, kita memperkuat basis argumentasi wacana 

ideologi Negara Islam yang ditawarkan Al Chaidar. Di sisi Al Chaidar sendiri ia perlu mensikapi 

kritik-kritik itu secara dewasa, cerdas dan terbuka dan menghindari sikap mau menang sendiri. 

Sikap mau menang sendiri jelas menutup rapat-rapat pintu dialog. 

Saya sependapat dengan Fachry. Wacana ideologi yang ditawarkan Al Chaidar perlu dikritik agar 

ia tidak kebablasan dan gegabah. Ia dituntut memiliki kesadaran historis dalam menawarkan 

sebuah ideologi negara alternatif mengingat persoalan ini bukan persoalan sepele. Dan, tidak 

menawarkan ideologi alternatif itu sebagai ekpe-rimentasi belaka. Suatu kekeliruan ‘kecil’ yang 

tidak perlu, bisa akan berdampak besar bagi perjalanan sejarah Islam Indonesia di masa depan. 

Bila kebablasan bukan tidak mungkin TNI akan mengambil sikap keras. Sejarah lampau hubungan 

TNI-DI telah membuktikan hal itu. Ideologi negara bagi TNI yaitu  masalah amat prinsipil. 

Masalah hidup-matinya. Menawarkan ideologi Negara Islam dengan cara mendongkel ideologi 

Pancasila diibaratkan Prof. Mansur Suryanegara “membangunkan macan tidur.” 

Era liberalisasi ideologi saat ini patut disambut antusia, sekaligus kewaspadaan penuh. Mengapa? 

Proses ideologisasi potensial memicu  konflik politik di antara kelompok-kelompok 

masyarakat. Konflik ideologis sangatlah serius implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan 

bernegara. Kita sudah mengalaminya di era pergerakan nasional dan dekade 1950-1960’an. 

Konflik ideologi itu mencapai puncaknya dalam tragedi berdarah G 30 S/PKI 1965. Di sisi lain, 

liberalisasi ideologi membuka peluang Komunisme PKI untuk merasa berhak dijadikan wacana 

ideologi alternatif pula. Ini tentu merugikan umat Islam. Oleh sebab  itu usaha ‘pendongkelan’ 

Pancasila yang gejalanya nampak akhir-akhir ini bila kebablasan akan merugikan umat Islam 

sendiri. 

Jadi bagaimana pun, dalam mensikapi sejarah DI dan ideologi Negara Islam kita selalu dituntut 

hati-hati, kritis, objektif dan evaluatif. Agar tidak terjebak dalam --meminjam Jalaluddin Rakhmat-

- jebakan determinisme sejarah (historical determinism). Orang yang terjebak dalam 

determinisme sejarah, menganggap apa yang terjadi dalam sejarah Islam masa lampau sebagai 

acuan yang paling absah (legitimate) dan ideal sebab  itu patut dijadikan contoh. Masa lalu 

dijadikan patokan kebenaran bagi masa kini. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Dalam 

sejarah ada ‘mutiara hikmah yang patut diambil sebagai pelajaran, namun ada juga ‘warisan 

buruk’ yang mesti dibuang ke tempat sampah.’ Generasi muda Islam saat ini dituntut kritis 

mensikapinya. 

Di sisi lain, sejarah merupakan suatu proses kreatif dan inovatif yang kerap melahirkan model-

model pergerakan Islam yang baru ‘sama sekali’ dengan apa yang pernah muncul di masa lampau. 

Ini sebab , seperti dikatakan Hegel, setiap zaman memiliki ‘jiwanya sendiri’ (zeitgeist). Prilaku 

mencontoh gerakan-gerakan Islam masa lampau tanpa sikap objektif dan kritis samalah artinya 

dengan memasukkan diri ke dalam jebakan determinisme sejarah itu. Determinisme sejarah 

mematikan proses kreativitas dan inovatif. Mudah-mudahan penawaran ideologi alternatif yang 

dikemukakan Al Chaidar tidak terjebak dalam determinisme sejarah itu. 

EPILOG 

Karya tentang DI dan pemikiran politik Kartosoewirjo ini merupakan upaya untuk menawarkan 

proses dialogis yang kreatif, cerdas dan konstruktif. Oleh sebab  itu perlu disambut baik. Dari 

segi akademis upaya ini tentu memiliki makna yang cukup berarti mengingat selama ini karya 

tentang pemikiran politik Kartosoewirjo apalagi yang ditulisnya sendiri tergolong langka dan 

sukar ditemukan. Bagi saya ini mengherankan, sebab ketokohan Kartosoewirjo dalam sejarah

Indonesia kontemporer tak perlu dipertanyakan. Apa pun kekhilafan politiknya di masa lampau, 

Kartosoewirjo tetaplah seorang tokoh sejarah yang pemikiran dan prilaku politiknya perlu dikaji. 

Dari kajian itu, generasi kini dan mendatang mungkin bisa memetik hikmahnya. Mengambil apa 

yang baik, membuang segala yang buruk. 

Penerbitan karya ini melengkapi bacaan kita tentang pemikiran politik Indonesia yang telah ada 

yaitu karya Dr. Deliar Noer, ‘Pengantar ke Pemikiran Politik’ dan karya suntingan Dr. Herbert Feith 

dan Dr. Lance Castles, ‘Indonesian Political Thinking 1945-1965.’ Keduanya karya klasik yang 

selama ini dijadikan buku teks di pelbagai perguruan tinggi, khususnya untuk studi pemikiran 

politik Indonesia. Karya Deliar memfokuskan pembahasannya pada pemikiran tentang hubungan 

agama-negara, demokrasi dan kebangsaan sebelum dan sesudah masa perjuangan 

kemerdekaan. 

Feith dan Castles mengoleksi tulisan dan pidato yang berisi pemikiran politik para negarawan dan 

tokoh politik Indonesia terkemuka (1945-1965) yang mewakili lima ‘politik aliran’ atau ideologi: 

Islam, Jawa Tradisional, Nasionalisme, Marxisme, dan Sosialisme Demokrasi. Jadi pemikiran 

politik dalam buku ini sangat variatif; ada pemi-kiran politik tokoh PKI (Aidit), Nasionalis Radikal 

(Soekarno), Masyumi (Natsir), Jawa Tradisional (Atmodarminto), Partai Sosialis Indonesia 

(Syahrir) dan lain-lain. 

‘Anehnya’ karya Feith dan Castles itu tidak memuat satu pun tulisan atau pidato Kartosoewirjo. 

Saya katakan ‘aneh’ sebab  ketokohan Kartosoewirjo dan pemikiran-pemikiran politiknya tidak 

kalah pengaruhnya dibanding tokoh-tokoh sejarah lain seperti Syahrir, Soekarno, Natsir, atau 

Aidit. Apalagi dibandingkan dengan Atmodarminto misalnya, jelas ketokohan Kartosoewirjo atau 

pengaruh pemikirannya jauh melebihi pengaruh anggota Dewan Konstituante dari kelompok 

abangan itu. Apakah sebab  kedua editor buku itu tidak memiliki sumber-sumber otentik tulisan 

atau pidato Kartosoewirjo? sebab  pertimbangan akademis, ataukah pertimbangan politis? 

Mengingat integritas keilmuan dua penyunting itu, saya percaya alasan pertama dan kedua, 

bukan yang ketiga (pertimbangan politis) yang mendasari tidak dimuatnya pemikiran 

Kartosoewirjo dalam buku itu. Ada beberapa studi awal tentang DI dan Kartosoewirjo seperti 

yang ditulis Pinardi, Hersri dan Joebaar Ayoeb, serta Soebardi. Karya mendalam mengenai topik 

yang sama dilakukan Nazaruddin Syamsuddin, Anhar Gonggong, Al Chaidar dan Agus Nugraha. 

Namun sayangnya, tidak semua karya itu ditulis dengan tujuan akademis. Karya-karya itu 

termasuk kajian terbaik mengenai Kartosoewirjo dan DI, meskipun ada di antaranya yang ditulis 

sarat kepentingan politik. Karya Pinardi misalnya, meskipun kaya dan data ‘akurat’ - lebih 

merupakan pamplet politik - propaganda anti Darul Islam dan Kartosoewirjo- daripada kajian 

akademis yang ‘objektif dan jujur’. Ada indikasi karya Pinardi ditulis untuk mendukung usaha 

operasi militer dan Soekarno (didukung PKI) mengikis sisa-sisa pengaruh ideologi DI paska 

kematian Kartosoewirjo. 

Selama ini kajian DI dan Kartosoewirjo lebih banyak dilakukan oleh kaum Indo-nesianists asing, 

seperti: Karl D. Jackson (1990), Hiroko Horikoshi, Nieuwenhijze, Van Dijk , B.J. Boland dan Dengel 

(1995). Dalam menganalisis Darul Islam dan peran historis Kartosoewirjo, mereka --sebagaimana 

umumnya Indonesianis asing-- kerap terjebak oleh bias-bias orientalisme dan Islamo-phobia, 

sehingga karya akademis yang dilahirkan tidak jarang memberi  gambaran distortif. Bias 

orientalisme dan Islamo-phobia itu relatif sukar kita temukan dalam karya Al Chaidar atau Agus 

Nugraha. 

Dengan diterbitkannya buku berisi pemikiran politik Kartosoewirjo ini tentu semakin 

memperkaya khazanah intelektual Islam Indonesia. Lahirnya karya ini patut disyukuri. Kelahiran 

karya ini mesti dipandang sebagai suatu langkah maju tidak hanya dalam konteks perkembangan 

dunia penerbitan buku, tapi juga dunia keilmuan. Saat ini, seperti telah dikemukakan di atas, 

bangsa kita perlu mengenal tokoh-tokoh sejarah dengan segala sisi ‘plus-minus’ peran-peran 

historis mereka. Oleh sebab  itu, kajian-kajian akademis atas pemikiran tokoh-tokoh itu sangat 

strategis. Di sinilah makna penting penerbitan buku ini. 

Saya tidak menafikan fakta  bahwa ada sebagian kalangan dihinggapi rasa khawatir karya 

ini dijadikan ‘instrumen’ sosialisasi dan penyebaran gagasan-gagasan ‘Islam ekstrim’ dan ideologi 

Negara Islam. Bagi mereka yang pernah mengalami per-golakan sejarah masa lampau khususnya 

di kalangan TNI (Angkatan ‘45) kekhawa-tiran itu cukup beralasan sebab  citra Kartosoewirjo dan 

DI bagi mereka identik dengan trauma sejarah dan pemberontakan. Angkatan muda saat ini 

relatif ‘bebas’ dari trauma sejarah itu, sehingga mampu memandang jernih persoalan 

Kartosoewirjo dan DI. Di kalangan TNI pun mulai tumbuh paradigma baru yang relatif bebas dari 

trauma sejarah itu. Ada perubahan paradigmatik, khususnya di kalangan para perwira muda TNI. 

Dalam kaitan ini, seorang perwira tinggi TNI, Mayjen Agus Wirahadikusumah mengatakan, “Kita 

tidak usah bicara lagi masalah radikal kanan atau kiri, komunis atau liberal, siapa pun dipersilakan 

mengembangkan pikirannya. Yang penting taat hukum.”  

Saat ini kita memang dituntut berfikir positif (positive thinking) dalam menatap sejarah masa 

silam itu. Sebab bagaimana pun sejarah masa silam itu bagian dari alam ‘ingatan kolektif’ 

(collective memory) yang membentuk kejatidirian bangsa kita saat ini. Yang penting dalam 

menatap masa silam itu, kita pandai-pandailah mengambil pelajaran darinya. Pengalaman (masa 

lampau) yaitu  guru yang paling baik. Lagi pula seperti dikatakan Bung Karno, kita tidak bisa 

melarikan diri dari sejarah (We can not escape from history). Mudah-mudahan karya ini, terlepas 

dari kelemahan dan kekurang-annya, bisa memberi  hikmah dan pencerahan bagi kita semua. 

Dan dengan itu kita menyongsong Indonesia baru yang demokratis, adil, makmur dan 

memperoleh ampunan Allah. Wallahu a’lam bis showwab. 

Bojong Gede, 6 Mei 1999.  

  

JAWA PADA AWAL ABAD XX 

 

Untuk memahami sosok dan pemikiran S.M. Kartosoewirjo sebagai seorang tokoh gerakan Islam, 

harus dipahami bagaimana lingkungan sosial-budaya dan masyarakat tempat ia berasal, yang 

membentuk pribadi dan mempengaruhi pemikirannya. Sebagai seorang yang dilahirkan dari 

lingkungan masyarakat Jawa pesisiran, Kartosoewirjo sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial-

budaya dan tradisi Jawa, yang lalu  membentuk nilai-nilai bagi gerakan dan pemikirannya, 

sebagaimana ia memahami dan menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam gerakannya, untuk 

itu harus dilihat situasi sosial masyarakat dan kondisi politik pada masa ia lahir dan tumbuh 

menjadi sosok proklamtor Negara Islam Indonesia. 

Sudah sejak lama pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat populasi penduduknya 

dibandingkan dengan pulau lainnya yang ada di kepulauan Indonesia. Di samping itu, pulau Jawa 

sangat strategis letaknya sebagai jalur lintas antar-pulau dan perdagangan di Nusantara. Maka 

tidak mengherankan jika pada abad ke-6 dan ke-7, telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang 

dibawa orang-orang India yang menandai perkembangan awal sejarah kerajaan Hindu di 

Nusantara. Disamping itu, pulau Jawa memiliki kesuburan tanah yang sangat baik bagi 

pengembangan pertanian. Tanahnya yang subur juga mempengaruhi suburnya gerakan-gerakan 

pemikiran. Meskipun agama Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap 

perkembangan masyarakat Indonesia, ditambah dengan inkulturasi budaya Islam dan Indo-

Eropa, telah menghasilkan suatu "affinities and extreme" bagi perkembangan Indonesia modern 

kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberi  bentuk bulat-lonjongnya sejarah 

Indonesia hingga kini. Bulat-lonjongnya Indonesia terutama sangat dipengaruhi gerak dinamika 

kehidupan orang-orang di Jawa. 

Dengan gemah-ripah-nya pulau Jawa membangkitkan semangat para imperialis Barat untuk 

menjadikan Indonesia khususnya pulau Jawa sebagai garden continuum untuk menyokong 

perekonomian negerinya. Para pedagang Belanda datang ke Hindia dengan maksud hendak 

menguasai perdagangan yang menguntungkan dari daerah ini, khususnya perdagangan rempah-

rempah. Daya upaya untuk itu, telah mendorong hasrat untuk bersaing diantara negara-negara 

Eropa, seperti Portugis di wilayah perairan timur Indonesia ; Belanda, yang umumnya dilakukan 

Persekutuan Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, disingkat VOC); dan 

Inggris di wilayah barat. Semenjak berdirinya VOC pada tahun 1602, Belanda menjadi empirium 

dagang yang kuat. Tahun 1619 Belanda memperkuat tempat pijakannya bagi perdagangan di 0

Jawa Barat, dan berlanjut pada tahun 1620-an dengan mengusir pesaing-pesaingnya —Portugis 

dan Inggris — keluar dari Kepulauan Maluku, untuk mendapatkan basis kekuasaannya di 

kawasan ini.  

Dengan daya pikat yang demikian besar dari Jawa atau Nusantara ini, maka kita melihat selama 

paruh pertama abad ke-18, Belanda sudah ikut campur tangan dalam kekuasaan para raja Jawa 

dengan serangkaian perang dalam suksesi di masa keruntuhan kerajaan Mataram. Dengan 

demikian, persaingan diantara penguasa Jawa ini telah menggugah Belanda untuk terlibat jauh 

dalam urusan politik di Jawa, tidak terkecuali persoalan intern di tubuh kerajaan-kerajaan Jawa. 

Upaya yang dilakukan Belanda dalam hal ini yaitu  dengan melindungi salah seorang diantara 

penuntut tahta kekuasaan yang saling bersaing. Begitu pula dalam usahanya mengembangkan 

perdagangannya, Belanda melalui VOC melibatkan diri dalam usaha-usaha "menentramkan" 

daerah pantai, yang berlanjut ke daerah pedalaman Jawa. Penentraman ini dimaksudkan untuk 

mengatur masyarakat dan penguasa Jawa dengan pola politik mereka. Selama bertahun-tahun 

Belanda menjalankan pengaruh terhadap penguasa-penguasa di Jawa dan perdagangan 

dikuasainya. Sampai lalu  pemerintah Belanda mengambil alih utang-piutang VOC yang 

bangkrut pada akhir abad ke-18, Belanda telah menjalankan kekuasaan politik yang luas atas 

Jawa. Semua orang yang hidup, beranak dan mati di Jawa sekecil apapun merasakan pengaruh 

kekuasaan Belanda ini. Dan, Kartosoewirjo yaitu  salah satu di antara mereka. 

Tiga dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, politik liberal sudah mulai menggejala dan 

berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. Di tengah-tengah sistem ekonomi yang tradisional, 

kondisi ekonomi Belanda mulai menampakkan perbedaannya yang mencolok. Keberadaan 

"pembangunan ekonomi" Barat ala Belanda belum mengangkat taraf hidup masyarakat pribumi 

di Jawa. Pengejaran keuntungan pengusaha-pengusaha Eropa membawa dampak yang sangat 

buruk dan memporak-poranda sendi-sendi perekonomian. Perkebunan dan pabrik muncul di 

mana-mana dan semuanya dikelola Belanda. Di pihak lain, usaha pertumbuhan ekonomi untuk 

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat jauh tertinggal dari percepatan perkembangan 

penduduk Jawa. Melihat fakta  pengusaha-pengusaha swasta Belanda yang tidak mau 

memberi keuntungan dan kemakmuran bagi penduduk pribumi, telah menyadarkan para 

politikus yang dipengaruhi pemikiran humanisme liberal dan Marxisme yang sedang melanda 

daratan Eropa pada saat itu, bahwa kemiskinan pribumi harus diatasi terlebih dahulu, sebelum 

menumbuhkan tanah jajahan menjadi sebuah pasar yang lebih menggembirakan. 

Melihat kebijakan kolonial Belanda yang tidak ada keberpihakannya terhadap kaum pribumi di 

Hindia, beberapa tokoh humanis memberi  reaksi yang sangat keras, bahkan dari orang-orang 

Belanda sendiri. C. Th. Van Deventer, seorang pengacara dan bekas pejabat peradilan kolonial 

lalu  anggota parlemen Negeri Belanda, menuliskan cerita-cerita nasib rakyat jajahan di 

dalam sebuah bukunya di tahun 1899, tentang kebiadaban dan kesewenang-wenangan yang 

dilakukan para pengusaha Belanda. Kritik ini, sekecil apapun telah sangat berpengaruh yang 

menentukan bagi perubahan politik kolonial. Desakan ini membuat Ratu Wilhelmina mengubah 

kebijakan Kerajaan Belanda dalam menghadapi persoalan tanah jajahan dan rakyat pribumi. Di 

tahun 1901 Ratu Wilhelmina menyerukan perubahan kebijakan politik tanah jajahan, yang 

merupakan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial Belanda, yang lalu  disebut 

sebagai "Politik Etis" Belanda. Inilah pidato yang diucapkannya dari atas tahta Kerajaan Belanda: 

"Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen 

pribumi di Kepulauan Hindia, memberi  dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada 

seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban 

moral terhadap penduduk di kawasan ini. Walaupun pada awalnya, sasaran yang diharapkan dari 

pidato Ratu ini  lebih menekankan kepada kesejahteraan pribumi Kristen, namun perhatian 

itu lalu  meluas meliputi juga seluruh penduduk pribumi, tanpa pandang agama. namun  

sangatlah penting untuk diperhatikan, bahwa sikap politik etis ini didasari oleh suatu keyakinan 

yang mendalam tentang keunggulan budaya Barat. Dengan perkataan lain pembaharuan harus 

dilaksanakan dari atas; modernisasi dipersamakan dengan pem-Barat-an atau lebih tegas lagi pem-

Belanda-an."  

Maka, dengan segala "keinsyafannya", meskipun dangkal di mata pribumi negeri jajahan, 

dibangunlah institusi-institusi pendidikan modern di Nusantara. Jawa mendapat prioritas sebab  

pulau ini memiliki masyarakat pasifis dalam jumlah yang besar. Perangkat-perangkat keras 

berdatangan dari Eropa, memasuki masyarakat agraris tradisional dan berpola pikir sederhana. 

Perangkat ideologis pun ikut serta di dalamnya secara bersamaan. Yang terlihat lalu  yaitu  

sebuah potret yang berubah dari wajah-wajah Jawa dan pribumi lainnya. Kalaulah disimak lebih 

jauh lagi, sikap politik etis itu mempunyai sifat yang ganda, diantaranya: (1) ingin meningkatkan 

kesejahteraan penduduk pribumi; dan (2) berangsur-angsur ingin menumbuhkan otonomi dan 

desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda. Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda amat 

menyadari bahwa dua tujuan ini tidak dipisahkan, dan bahwa tujuan yang pertama hanya bisa 

diwujudkan apabila pemerintahan lokal benar-benar mau bertanggung jawab terhadap 

penduduk pribumi.  

Oleh sebab  itu, walaupun masalah kesejahteraan yang lebih penting, namun langkah pertama 

yang diambil oleh pemerintah yaitu  masalah desentralisasi. Adapun yang menjadi alasannya 

ialah bahwa: kekuasaan pemerintahan harus dialihkan (1) dari Negeri Belanda ke Hindia, (2) dari 

Batavia ke daerah-daerah lain, dan (3) dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Politik kolonial 

kali ini berbelok ke arah menumbuhkan otonomi pemerintahan, namun  Belanda tidak bermaksud 

memberi  kemerdekaan politik kepada Hindia.  

Namun dalam fakta nya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia tidak pernah 

dapat dilaksanakan. Mereka hanya "memindahkan" tradisi dan ideologi mereka di Barat untuk 

bisa hidup di tanah-tanah yang tadinya dikuasai oleh orang-orang Timur. Pemerintah Belanda 

mengadakan desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru, 

yaitu menciptakan tuntutan sejumlah besar orang Jawa terpelajar untuk mengabdikan diri di 

dalam tubuh pemerintahan. 

Ayahanda S.M. Kartosoewirjo yaitu  salah seorang dari ratusan ribu kaum birokrat kolonial yang 

menghirup suasana ini, menghirup harapan-harapan baru yang tumbuh di tanah ini. Dengan 

harapan bahwa Pemerintah kolonial dapat mengisi jabatan itu bekerjasama dengan para 

pembesar pribumi dan bawahan mereka yang masih bekerja, alasan mereka yaitu  sebab  hanya 

merekalah orang-orang di Jawa yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi. Kaum 

tani yang berwawasan animisme pada umumnya tidak terdidik secara teknis, demikian juga 

secara psikologis tidak siap untuk pekerjaan semacam itu. Pedagang dan petani yang 

berwawasan Islam agaknya enggan memangku jabatan demi "sesuatu" dengan pemerintahan 

asing dan sekuler.  

Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan masyarakat Indonesia banyak 

dilihat dari mula kedatangan Islam di Indonesia. C. Snouck Hurgronje, salah seorang sarjana 

Politis Etis yang paling berpengaruh, menyimpulkan bahwa pem-Barat-an Hindia Timur Belanda 

hanya bisa dilakukan dengan dukungan bangsawan Jawa oleh sebab  kecanggihan budaya 

mereka, hubungan mereka dengan pengaruh Barat, dan kerenggangan sikap tradisional mereka 

terhadap Islam. Maka yang terjadi lalu  yaitu  timbulnya arogansi di kalangan kaum 

terpelajar Indonesia saat itu yang telah mengikuti pendidi