Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 2
Marxisme.
Kartosoewirjo mempelajari (menyimpan) karya-karya Marxis? Dari mana ia memperoleh tulisan-
tulisan itu? Kartosoewirjo mempunyai seorang paman bernama Marko Kartodikromo, tokoh
komunis (PKI) seangkatan dengan Alimin, Tan Malaka, Semaun dan Darsono. Marko inilah yang
memberi buku-buku itu kepada Kartosoewirjo . Juga melalui pamannya inilah Kartosoewirjo
tertarik pada Marxisme. namun , kenapa ia tertarik? Tampaknya Marxisme (dan Komunisme) di
zaman itu merupa-kan sebuah ideologi anti kolonialisme-imperialisme dan berpihak kepada
rakyat tertindas. Inilah yang menjadi daya tarik Marxisme-Komunisme bagi kaum pergerakan
saat itu. Maka, tidak terlalu mengejutkan bila banyak tokoh pergerakan --termasuk yang
beragama Islam-- yang mempelajari dan terinspirasi ideologi itu (terutama Marxisme). Di antara
tokoh pergerakan itu antara lain: Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Misbach dan
Kartosoewirjo.
Bila ini diakui keabsahannya, maka terbuka kemungkinan radikalisme Kartosoe-wirjo dan
semangat anti kolonialisme-imperialismenya di masa remajanya produk interaksi intelektualnya
yang intensif dengan pemikiran-pemikiran Marxis. Ini bisa dimengerti mengingat akses
Kartosoewirjo terhadap pemikiran atau ideologi Islam amat terbatas. Pendidikan agamanya,
sebagaimana dikatakan di atas, juga terbatas. Ini barulah sebuah hipotesis yang perlu diteliti
lebih jauh. Tapi tidak tertutup kemungkinan pula Kartosoewirjo mengalami radikalisasi akibat
persentuhan dirinya dengan gagasan-gagasan Pan Islamisme Al-Afghani yang di masa itu cukup
berpengaruh terhadap tokoh-tokoh pergerakan Islam. Situasi revolusioner, khususnya
menjelang pemberontakan 1926-1927 juga telah membentuk wataknya menjadi radikalis.
Kartosoewirjo diusia remaja tidak seperti Natsir atau K.H. Agus Salim --tidak menguasai bahasa
Arab yang amat vital bagi usaha memahami pemikiran Islam. Dalam soal ini, Kartosoewirjo tidak
banyak berbeda dengan Soekarno. Interaksi pemikiran Kartosoewirjo paling intensif terjadi
saat belajar Islam dari Ajengan Ardiwisastra di Malangbong (Tasikmalaya, Jawa Barat).
Lalu, salahkah Kartosoewirjo, seperti juga Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan lain-lain
mengadopsi pemikiran-pemikiran Marxis? Saya kira tidak juga. sebab pertama, mereka yaitu
sebagian dari produk sistem pendidikan kolonial. Dalam sistem pendidikan kolonial, guru-guru
Belanda yang mendidik tokoh-tokoh itu sebagian bersemangat marxis-humanis dan liberal.
Mereka inilah yang mempengaruhi anak-anak didiknya seperti Soekarno, Syahrir, atau Hatta.
Kedua, di zaman itu bangsa kita membutuhkan sebuah ideologi perlawanan terhadap
kolonialisme-imperialisme. Kekejaman penjajahan mesti di ‘sobek’, dan itu hanya mungkin
dilakukan oleh gerakan-gerakan ideologis radikal seperti Marxisme. Ketiga, struktur sosial
mengalami proses ideologisasi dalam skala pasif. Berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan
agama mengalami ideologisasi. Oleh sebab itu, sejarawan Kuntowijoyo menyebut zaman itu
(dekade pertama abad XX), ‘fase ideologi.’ Dalam konteks historis itulah pengadopsian
Marxisme mesti dipahami. Dalam perspektif mereka Marxisme menyediakan suatu basis
ideologis bagi perlawanan itu. Di mana itu, bahkan berkembang anggapan bahwa Marxisme-
Komunisme tidak bertentangan dengan Islam sebab keduanya sama-sama berpihak kepada
kaum tertindas dan anti kolonialisme-imperialisme. Penganut pandangan ini antara lain Soekarno
dan Haji Misbach.
Di sinilah saya kira perbedaan menyolok antara Kartosoewirjo dengan Natsir misalnya. Sama
seperti patriot bangsa lainnya, Natsir juga anti kolonialisme-impe-rialisme. Namun wataknya
yang demikian lebih terinspirasikan oleh Islam, ketimbang Marxisme. Natsir sejak kanak-kanak
telah belajar Islam di surau dan beranjak remaja dididik tokoh-tokoh Islam seperti Ahmad Hasan,
radikalis Persis (Persatuan Islam) dan Haji Agus Salim. Bagi Natsir, Islam yaitu agama anti
penindasan yang menolak ekploitasi manusia oleh manusia (L’exploitation de L’homme par
L’homme).
Bila benar radikalisme Kartosoewirjo terinspirasikan oleh Marxisme maka persoalannya
lalu yaitu bagaimana tokoh ini bisa memilah Marxisme sebagai ideologi perlawanan
(ideologi of protest) dan pada saat yang sama membuang jauh-jauh ‘unsur-unsur ateistik’ dalam
ajaran-ajaran Marx itu? Persoalan ini patut dikaji sejarawan biografi.
Kecenderungan Kartosoewirjo pada kegiatan organisasi sudah mulai nampak tatkala memasuki
Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB) dan lalu PSII. Dalam waktu relatif singkat
Kartosoewirjo telah menunjukkan kemampuannya memimpin. Tidak terlalu mengejutkan bila
tokoh Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto lalu mengangkatnya menjadi sekretaris
pribadinya. Sebagai sekretaris Tjokroaminoto, Kartosoewirjo jelas memiliki tempat tersendiri di
hati tokoh puncak Sarekat Islam itu. Dalam hubungan dekatnya dengan Tjokroaminoto itulah
nampaknya Kartosoewirjo belajar banyak tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi
dengan massa dan membangun kekuatan umat. Dan di masa ini pula ‘sosok Islam ideologis’
Kartosoe-wirjo mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya Negara Islam dan masyarakat
Islam ideal di Indonesia suatu saat kelak. Juga di rumah Tjokroaminoto (Cimahi, Bandung) untuk
pertama kalinya Kartosoewirjo berkenalan dengan Soekarno yang saat itu telah menjadi ketua
PNI. Interaksi Soekarno dengan Kartosoewirjo di rumah Tjokroaminoto masa itu tentu
merupakan peristiwa sejarah menarik yang patut diteliti sejarawan.
Dalam usia 20 tahun (1927), Kartosoewirjo menjadi wartawan surat kabar Fadjar Asia mulai dari
bawah sebagai korektor dan reporter. Dalam waktu 16 bulan lalu ia diangkat sebagai wakil
pemimpin redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan saat itu. Dalam fase
kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi gagasan-
gagasannya. Fadjar Asia wadah pa-ling tepat untuk itu. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya
‘mengalir’ bak air terjun.
Gagasan-gagasan radikal Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia itu. Ia
menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan pemerintahan
Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil dan buruh-buruh juga
dikemukakan. saat para petani kecil di Lampung diusir dari tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’,
Kartosoewirjo menulis: “Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet
belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya.” Dikecamnya
Volksraad yang tidak melindungi dan berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong belaka.’
Kepada kaum buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan berkeluh kesah, jangan
meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut mati jangan hidup! Kalau hendak hidup
janganlah takut mati!” Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia
hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab kemerdekaan tanah air itu tidaklah sedikit
harganya, yang oleh sebab nya harganya, tentu bakal memakan korban luar biasa.”
Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno yang menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih
keras lagi. Mengetahui Parada Harahap --ketua redaksi Bintang Timoer-- menghina Islam,
Kartosoewirjo menulis: “Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka kaum
Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka, sebab ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi
Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada bangsa dan tanah
air -mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi tidak sadar kalau
tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa
Indonesia’, dan ‘Binatang Tikus dari Krekot.’
Dalam dekade 1930-an peran politik Sarekat Islam semakin menurun akibat wafatnya
Tjokroaminoto (1934), krisis keuangan, munculnya golongan nasionalis sekuler (PNI Soekarno),
dan konflik internal antara kubu kooperatif versus non-kooperatif. Sebelumnya SI dilanda konflik
antara ‘SI Merah versus SI Putih?’ Dalam pergolakan di tubuh SI itu, Kartosoewirjo bersama
Abikoesno Tjokrosoejoso berpihak ke kubu ‘SI Putih’ dan kubu non-kooperatif. Di masa ini
Kartosoewirjo memainkan peran politiknya yang strategis dalam Sarekat Islam. Ia seakan
menjadi ‘pemimpin politik bayangan’ yang menggantikan Tjokroaminoto. ‘Peran sentral’ tampak
dari per-mintaan organisasi agar Kartosoewirjo menulis Brosur Sikap Hidjrah PSII yang dapat
dijadikan landasan ideologis perjuangan PSII. Sikap Hidjrah PSII merupakan master-pice, salah
satu karya tulis terbaik Kartosoewirjo.
Dalam tulisan itu Kartosoewirjo membahas fase-fase perjuangan Islam PSII, kewajiban jihad dan
hijrah dan konsolidasi kekuatan Islam. Secara kreatif-inovatif ia menganalogikan Indonesia
sebagai Makkah yang harus ditransformasikan menjadi Madinah. Makkah dan Madinah
bermakna simbolik, yang pertama bermakna negara kafir (jahiliyah) dan yang kedua Negara
Islam. Menegakkan negara berdasar Islam menurutnya yaitu bagian dari upaya umat Islam
mengikuti sunnah (tradisi) Rasulullah Muhammad SAW. Di sini Kartosoewirjo
mendemonstrasikan secara piawai pengetahuannya mengenai tarikh klasik Islam, tafsir Al-
Qur`an dan strategi perjuangan mene-gakkan Islam.
DI : ANGAN-ANGAN KEKUASAAN POLITIK ISLAM
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi
merupakan ekspresi simbolik tegaknya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang berdaulat
penuh, otonom. Indonesia memasuki fase paska kolonialisme. Tidak semua pejuang
kemerdekaan sepakat dengan proklamasi itu. Tokoh-tokoh ber-ideologi komunis (PKI) seperti
Muso dan Amir Syarifuddin menolak negara Republik Soekarno. Mereka berontak, dan
meletuslah peristiwa Madiun (1948). Pemberontakan gagal, dan keduanya ditembak mati.
Kartosoewirjo pada awalnya tidak bersikap antagonistik terhadap RI. Tapi kekecewaan demi
kekecewaan yang dialami Kartosoewirjo dan pengikut-pengikutnya menyangkut berbagai sektor
sosial, ekonomi, politik, militer, agama dan psikologis mengubah keadaan itu. Ia membentuk
Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan melakukan perlawanan frontal terhadap RI.
Jadi, pemberontakan Kartosoewirjo bukanlah suatu peristiwa politik yang berdiri sendiri lepas
dari konteksnya. Maka, tidak-lah adil menilai Kartosoewirjo dan DI sebagai pemberontak tanpa
menganalisis sebab-sebab yang melatarinya.
Awal kekecewaan Kartosoewirjo, dan saya kira juga banyak faksi-faksi politik Islam, yaitu saat
‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya” dicoret oleh Hatta tidak lama sesudah teks proklamasi dibacakan.
Peristiwa pencoretan itu merupakan ‘pukulan telak’ (KO, Knock out) bagi umat Islam yang sejak
zaman penjajahan Belanda mendambakan diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam pan-dangan Kartosoewirjo pencoretan itu merupakan awal
kekalahan politik Islam berha-dapan dengan golongan nasionalis sekuler di saat negara
Indonesia baru saja dilahirkan. Benih-benih perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh.
Kekecewaan lain menyusul. Paska perjanjian Renville (1948), semua kekuatan gerilya TNI yang
berada di kantong-kantong pertahanan Jawa Barat diwajibkan hijrah (mengungsi) ke Yogyakarta.
Ibu Kota negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagi para pejuang DI hal itu mengecewakan
tidak hanya sebab menunjukkan sikap kompro-mistis RI dan TNI kepada pihak Belanda, tapi juga
membiarkan rakyat Jawa Barat tidak terproteksi. Hijrah TNI ini dianggap ‘penghianatan’ yang
lalu membang-kitkan amarah rakyat Jawa Barat. Apalagi yang mengungsi itu yaitu Divisi
Siliwangi, tentara kebanggaan rakyat Jawa Barat. Kartosoewirjo dan laskar bersenjatanya
menolak hijrah ke Yogyakarta dan tetap bertahan di kantong-kantong gerilya di hutan-hutan
Jawa Barat. Dari sinilah awal munculnya simpati rakyat Jawa Barat terhadap perjuangan heroik-
patriotik Kartosoewirjo dan DI. Apalagi selama itu Kartosoewirjo dikenal sangat tidak
kompromistis terhadap Belanda, khususnya menyangkut eksistensi Negara Pasundan.
Natsir, saat itu menteri penerangan mengomentari hijrah TNI: “Hubungan kami dengan
Kartosoewirjo pada masa sebelumnya rapat sekali. Bung Hatta juga selalu berhubungan
dengannya. Soalnya, Persetujuan Renville telah mengusir TNI “hijrah” dari Jawa Barat ke Jawa
Tengah. Orang-orang Jawa Barat merasa ditinggalkan dalam perjuangan. Waktu itu
Kartosoewirjo pulang balik ke Yogyakarta dan langsung menemui Bung Hatta. Bung Hatta
memberi bantuan supaya Kartosoewirjo bisa sedikit mendi-nginkan orang-orang Jawa Barat
yang merasa ditinggalkan Republik.” Menurut pengakuan Natsir, tidak hanya Kartosoewirjo dan
rakyat Jawa Barat yang kecewa dengan hijrah TNI itu. Bung Hatta juga sedih Perjanjian Renville
menyebabkan Jawa Barat di-tinggalkan TNI. Hatta menilai hijrah TNI akibat ulah Perdana Menteri
Amir Syarifuddin (PKI) yang tanpa pikir panjang menyerahkan Jawa Barat begitu saja kepada
Belanda.
Merasa posisinya semakin kuat pada 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memprokla-masikan Negara
Islam Indonesia (NII) di Cisampah, daerah Cisayong (Jawa Barat) sebagai tandingan atas Negara
Republik Indonesia. NII menjadi ‘negara dalam negara’. Negara bentukan Kartosoewirjo ini
memiliki konstitusi (Qonun Azasi), struktur administratif dan birokrasi pemerintahan maupun
angkatan bersenjata yang terlatih (Tentara Islam Indonesia/TII). Sejak awal kelahirannya NII telah
menunjukkan keunggulannya sebagai negara berdasar agama di abad modern Indonesia. Sejauh
yang saya ketahui tidak ada satu pun gerakan Islam Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini
yang mampu mengungguli struktur kenegaraan NII dan angkatan bersenjatanya.
Tidak semua pemimpin politik Islam saat itu setuju dengan NII. Mohammad Natsir, tokoh
puncak Partai Islam Masyumi misalnya menolak NII. Melalui surat yang dikirim melalui mantan
gurunya di Persis, Ahmad Hassan, Natsir meminta Kartosoewirjo membatalkan proklamasi
berdirinya NII. Namun ikhtiar Natsir sudah terlambat, sebab Kartosoewirjo telah
memproklamasikan NII tiga hari sebelumnya.
Mengapa Natsir menolak NII? Bukanlah elite-elite partai Islam saat itu, termasuk Masyumi, juga
memiliki obsesi untuk mendirikan Negara Islam atau negara berdasar Islam? Dan mengapa DI
bersikeras mendirikan NII? Penolakan elite-elite politik Islam itu antara lain sebab umat Islam
telah memiliki konsensus bersama bahwa persoalan genting yang harus segera diselesaikan
bukanlah persoalan apa dan bagaimana bentuk negara Indonesia, namun bagaimana menghadapi
agresi kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dengan memproklamasikan NII
berarti kekuatan umat Islam terpolarisasi. Di satu pihak memprioritaskan soal bentuk negara,
sementara di pihak lain mempersiapkan diri untuk menghadapi agresi kolonial.
Antara Natsir dengan Kartosoewirjo juga terdapat pertikaian ideologis yang cukup tajam. Meski
keduanya sama-sama Muslim ‘puritan’ dari segi akidah Islam, namun prilaku politik keduanya
menunjukkan perbedaan yang cignifikan. Natsir yaitu seorang politikus moderat, atau bahkan
liberal seperti yang ditunjukkannya saat menjadi Perdana Menteri (1950-1951). Dalam
menyusun komposisi kabinetnya ia merekrut anggota kabinetnya tidak hanya berasal dari
Masyumi atau partai-partai Islam tapi juga tokoh Partai Katolik seperti Kasimo atau tokoh Partai
Sosialis Indonesia, seperti Soemitro Djoyohadikusumo. Sikap politik Natsir ini membedakannya
secara tegas de-ngan Kartosoewirjo yang cenderung ekslusif. Kartosoewirjo mustahil merekrut
golongan Katolik, kaum sosialis atau nasionalis sekuler menjadi ‘orang penting’ dalam struktur
kenegaraan NII.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan cukup tajam di antara keduanya, hubungan pribadi
mereka tetap baik. Keadaan itu baru berubah sesudah Natsir menjadi Perdana Menteri (1950-1951).
Natsir, didukung tentara (Abdul Haris Nasution) meme-rintahkan agar memerangi Kartosoewirjo
dan pengikut-pengikutnya. Di mata Natsir, gerakan Kartosoewirjo telah mengacaukan situasi
keamanan nasional. Oleh sebab itu harus segera diredam. Banyak tentara Islam Kartosoewirjo
(TII) yang terbunuh dalam berbagai clash bersenjata itu. Peristiwa ini terus berlangsung hingga
Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Dr. Sukiman. Kartosoewirjo, sebagaimana
dikatakan Natsir saat itu berucap, “Dari sekarang, tidak ada lagi hubungan dengan RI.”
Perpecahan yang melanda umat Islam akibat perseteruan Natsir versus Karto-soewirjo itu
menguntungkan PKI, musuh bebuyutan keduanya. Konflik Natsir versus Kartosoewirjo
memberi ‘angin segar’ bagi kekuatan komunis (PKI) mengon-solidasi diri. Apalagi saat itu
partai kiri ini telah membentuk jaringan aliansi khusus dengan kekuatan nasionalis sekuler,
termasuk Soekarno. PKI memanfaatkan konflik internal kubu Islam untuk menyusun kekuatan di
berbagai lapisan sosial khususnya lapisan bawah (graas root). Hasilnya kongkrit, PKI yang
sempat dihancurkan paska peristiwa Madiun (1948) mulai bangkit kembali, dan dalam pemilu
1955 partai kiri ini berada di urutan keempat pemenang pemilu.
Mengapa Natsir bertarung dengan Kartosoewirjo? Siapa yang salah? Siapa yang benar?
Kartosoewirjo memaksakan kehendaknya? Ataukah Natsir --demi memperta-hankan jabatannya
sebagai Perdana Menteri-- ‘mengkhianati’ cita-cita kenegaraan Islam yang diperjuangkan
Kartosoewirjo? Bagi angkatan muda Islam sekarang tidak terlalu penting siapa yang benar atau
yang salah. Yang jelas pertarungan terbuka antara dua tokoh politik Islam itu amat merugikan
Islam dan menguntungkan PKI.
Di benak mereka muncul berbagai pertanyaan mengapa hal itu harus terjadi. Apakah perbedaan-
perbedaan visi, orientasi dan tujuan politik Natsir dan Kartosoewirjo sama sekali tidak memiliki
‘titik temu’ sehingga harus diselesaikan melalui clash bersenjata? Ataukah konteks historis saat
itu tidak memungkinkan penyelesaian konflik secara damai, sehingga harus diselesaikan melalui
jalan kekerasan? Pertarungan kedua tokoh umat itu menjadi warisan dan beban sejarah
(historical burden) bagi generasi Islam masa kini dan mendatang. Perlu diratapi? Mungkin. Tapi
pertarungan itu telah menyejarah. Angkatan muda Islam saat ini perlu mengambil hikmah dari
peristiwa itu agar ikhtilaf (perbedaan visi dan misi politik) setajam apa pun di antara umat Islam
tidak dieks-presikan dalam konflik bernuansa kekerasan.
Salahkah Kartosoewirjo dan DI menawarkan ideologi Negara Islam? Tentu saja tidak. Sah-sah saja
sebab pada masa paska kolonialisme, khususnya dekade 1950-an semua, kekuatan sosial politik
(organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik) diberikan hak sama untuk menyuarakan
aspirasi ideologis mereka, termasuk PKI. PKI berhak mempropagandakan Komunisme menjadi
dasar negara. Demikianlah juga pen-dukung Pancasila, atau faksi Murba (Musyawarah Rakyat
Banyak) yang memper-juangkan ideologi sosial ekonomi atau Masyumi dan DI yang
memperjuangkan Islam. Menawarkan Islam menjadi dasar negara Indonesia --apalagi dalam
forum resmi seperti Dewan Konstituante (1956-1959) dan alam kebebasan Demokrasi
Parlementer-- bukanlah aib politik, apalagi sebuah ‘pengkhianatan’ dan pemberontakan. Hanya
satu hal mesti dicamkan: perjuangan ideologis itu tidak boleh melanggar konstitusi. Semua pihak
harus mematuhi ‘aturan main’ (rule of the game) yang disepakati bersama.
Di sinilah letak demokratisnya zaman Demokrasi Parlementer yang oleh Orde Baru diklaim
sebagai masa-masa suram kehidupan politik Indonesia. Kebebasan benar-benar ditegakkan. Dan
kebebasan politik masa itu berhasil mengantarkan bangsa ini ke pemilu pertama (1955) yang
paling demokratis dalam sejarah Republik kita. Kita saat ini mestinya banyak belajar dari
pengalaman-pengalaman historis masa itu. Dan umat Islam patut ‘bangga’ sebab pemilu itu
dilakukan di masa Kabinet Burhanuddin Harahap, seorang tokoh penting Masyumi. Saya katakan
patut ‘bangga’ sebab tidak terbayangkan apa yang terjadi seandainya pemilu itu dilaksanakan
di masa kabinet yang dipimpin tokoh PKI.
Persaingan politik dan ideologis akan demokratis dan adil manakala masing-masing pihak yang
bersaing menanggalkan cara-cara kekerasan untuk mencapai kemenangan. Sekali cara
kekerasan dipakai, saat itu persaingan yang demokratis pun mati. Keke-rasan akan melahirkan
kekerasan pula. Inilah yang terjadi saat Kartosoewirjo dan DI-nya memakai jalan kekerasan
sebagai cara paling legitimate untuk mendirikan Negara Islam. Kartosoewirjo harus berhadapan
dengan Natsir yang pada mulanya menolak jalan kekerasan. Namun akhirnya memakai kekerasan
pula.
Apakah perbedaan perspektif mengenai apa sesungguhnya Negara Islam itu merupakan sumber
konflik di antara pemimpin-pemimpin Islam? Mungkin juga. Sejak lama tidak ada kejelasan
tentang persoalan eksistensi-fundamental ini. Dalam perspektif Kartosoewirjo Islam memiliki
konsepsi negara yang sangat jelas. Islam yaitu agama dan negara (ad dien wa ad daulah).
Gagasan Negara Islam bukanlah wishful thinking, tapi sebuah fakta historis. Bukan sekedar
teori politik normatif (normative political theory), tapi teori politik empiris (empirical political
theory). ‘Negara Madinah’ zaman Nabi Muhammad SAW membuktikan hal itu. ‘Negara Islam’
memang ‘alat’ belaka, tapi sangat diperlukan demi terealisasinya syariat-syariat Islam. Di luar
Negara Islam yang ada hanyalah negara thagut, sebuah pemaknaan simbolik Al-Qur`an bagi
negara yang tidak didasarkan Islam.
Tidak semua tokoh-tokoh politik Islam di masa itu memiliki konsep negara yang sama seperti
Kartosoewirjo. Tokoh Masyumi, Zainal Abidin Ahmad misalnya, menulis karya Membentuk
Negara Islam (1956). Bila ditelaah, konsep Negara Islam versi Zainal tidak lain merupakan konsep
kenegaraan barat yang dibungkus dengan wacana, idiom-idiom Islam. Jadi, konsep barat
‘berbaju’ Islam. Institusi-institusi politik Negara Islam (seperti DPR) yang dikemukakannya dalam
buku itu nyaris tidak ada bedanya dengan institusi-institusi politik barat modern. Di sini letak
perbedaan tajam konsep Zainal dengan Kartosoewirjo tentang Negara Islam. Beberapa tokoh
Masyumi menegaskan bahwa partai Islam ini menghendaki masyarakat Islam (Islamic society).
Kalaupun ada yang menghendaki Negara Islam dalam Masyumi, itu bukan kecende-rungan
umum dalam partai Islam itu. Tokoh senior Masyumi, Mohammad Roem mengatakan bahwa
dalam statuta dan anggaran dasar Masyumi tidak ditemukan satu pun kalimat yang menyebut
Negara Islam. Yang ada, masyarakat Islam.
Konflik politik rupanya tidak hanya terjadi antara mereka yang berbeda organisasi namun juga
yang seorganisasi. Ini misalnya nampak dalam Darul Islam sendiri seperti yang terjadi antara
Kartosoewirjo dengan K.H. Yusuf Tauzuri. Di masa awal gerakan, K.H. Tauzuri yaitu pendukung
setia Darul Islam, namun dalam fase selanjutnya ia memisahkan diri dan berpihak ke tentara
Republik. Para “tentara perlawanan” itu, terma-suk K.H. Tauzuri berpihak kepada Republik
Indonesia antara lain sebab alasan ideologis. Dalam Masyumi juga terjadi pertikaian antara
tokoh ‘moderat’ seperti Natsir dengan Sukiman. Atau antara Natsir dengan K.H. Isa Anshari,
tokoh radikal Masyumi Jawa Barat. Keduanya berselisih paham tentang metode menghadapi
Komunisme (PKI). Natsir menghendaki cara moderat-konstitusional sedangkan Anshari memilih
jalan radikal-revolusioner dalam menghadapi Komunisme.
sesudah melalui pertarungan panjang, melelahkan dan memakan banyak korban DI berhasil
dilumpuhkan. Sebagian anggota DI menyerah atau kembali kepangkuan Republik. Kartosoewirjo
berhasil ditangkap. Peristiwa ini menyebabkan intensitas gerakan DI berada di titik paling rendah.
Pada 5 September 1962 jam 5.50 Kartosoewirjo dihukum mati. Ini sesuai dengan keputusan
sidang ke tiga MAHADPER, 16 Agustus 1960 (?). Kartosoewirjo dinyatakan bersalah sebab
kejahatan-kejahatan politik yang dilakukannya: (1) Makar untuk merobohkan negara Republik
Indonesia; (2) Pembe-rontakan terhadap kekuasaan yang sah di Indonesia dan; (3) Makar untuk
membunuh kepala negara Republik Indonesia (Presiden Soekarno).
Dalam pengadilan terhadap dirinya Kartosoewirjo menolak tegas telah memerin-tahkan anak
buahnya membunuh Presiden Soekarno. Keterangan-keterangan para saksi (11 orang) tentang
adanya perintah pembunuhan oleh Kartosoewirjo itu, dibantahnya. Perintah pembunuhan itu
diibaratkannya ‘dongeng dan isapan jempol berbahaya’ yang sengaja direkayasa untuk
memastikan Kartosoewirjo dijatuhkan hukuman mati. Kartosoewirjo memberi analogi
tentang ‘isapan jempol berbahaya’ yang benar-benar pernah terjadi dalam sejarah. Hitler,
katanya telah memanfaatkan kebakaran Gedung Reichstag di Berlin untuk membunuh kaum
Yahudi Jerman. Belanda pernah mengasingkan ratusan pejuang ke Boven Digoel (Irian Barat)
sebab dituduh terlibat pembe-rontakan komunis (1926-1927) padahal mereka itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan pemberontakan itu. Disebutkannya juga isapan jempol berbahaya
lainnya yang dikemukakan seorang saksi bernama Haris. Saksi ini mengaku telah melihat
Kartosoewirjo ongkang-ongkang di Klub Konkordia (Bandung) bersama seorang Belanda
bernama Schmidt sambil minum bir dan bertemu dengan Komisaris Tinggi Mahkota Belanda
Lovink di Hotel Des Indes Jakarta.
Mana yang benar, pengakuan Kartosoewirjo itu, ataukah kesaksian para saksi bohong? Perihal
perintah pembunuhan oleh Kartosoewirjo itu tentu perlu diteliti se-jauh mana kebenarannya.
Tidakkah terbuka kemungkinan --seperti dikatakan Karto-soewirjo-- bahwa pengadilan terhadap
dirinya yaitu rekayasa kekuasaan Soekarno, tokoh nasionalis ‘sekuler’ yang semenjak zaman
pergerakan menjadi musuh utamanya. Kita telah memaklumi bahwa pengadilan terhadap tokoh
DI itu sepenuhnya pengadilan yang bersifat politis, bukan pengadilan demi penegakkan keadilan.
Dalam pengadilan politis --sebagaimana terjadi pada masa-masa Orde Baru-- keputusan hukuman
terhadap terpidana sering telah ditentukan dari ‘atas’ (penguasa politik) sebelum proses
pengadilan dilangsungkan.
‘Misteri’ hukuman mati terhadap Kartosoewirjo juga diperkuat oleh fakta bahwa hukuman
itu benar-benar dilaksanakan. Persoalan begini. sesudah mengetahui keputusan hukuman mati
itu, para pembela hukum Kartosoewirjo memohon keringanan agar kliennya tidak dihukum mati.
Hukuman itu menurut mereka terlalu berat. Kartosoewirjo pun sudah tua renta dan sakit-sakitan.
Ia juga sangat berjasa bagi negara semasa zaman pergerakan dan di pengadilan bersikap baik,
mempermudah jalannya persidangan dan masih memiliki tanggung jawab menghidupi
keluarganya.
Lalu, bagaimana dengan Presiden Soekarno sebagai orang paling otoritatif menen-tukan ‘nasib
akhir’ Kartosoewirjo? Soekarno ternyata juga menolak memberi grasi yang diajukan
penasihat hukum Kartosoewirjo, dengan alasan tidak ada dasar argumen-tasi untuk
mengabulkannya. Tidak tertutup kemungkinan PKI berperan penting mem-pengaruhi keputusan
Presiden Soekarno mengingat hubungan antara keduanya di masa itu sangat dekat. Dengan
demikian, maka hukuman mati atas tokoh sejarah ini harus dilaksanakan. Yang menarik, menurut
catatan Dengel, keputusan hukum mati itu disambut antusias oleh kaum komunis. Mereka
mengirimkan telegram-telegram ke MAHADPER berisi pernyataan senang atas dijatuhkannya
hukuman mati itu. Fakta sejarah ini tentu menarik dikaji mengingat --seperti dinyatakan di atas--
keputusan pengadilan terhadap Kartosoewirjo lebih bersifat politis, ketimbang usaha mencari
‘dewi keadilan.’ Kematian Kartosoewirjo ibarat ‘revolusi memakan anaknya sendiri’ persis seperti
yang dialami oleh Amir Syarifuddin (PKI), dan Soekarno.
MENGGAGAS IDEOLOGI ALTERNATIF?
Kegetiran perjuangan DI menegakkan Negara Islam memicu trauma historis dan
ketegangan dalam hubungan Islam-negara Orde Baru selama beberapa dekade. Islam lalu
seakan identik dengan kekerasan politik (political violence) dan pem-berontakan. Umat Islam
yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini mengidap apa yang dinamakan Wertheim
kompleks minoritas (minority complex). Keadaan ini merugikan umat Islam secara keseluruhan.
Inilah salah satu alasan strategis kemunculan pemikiran yang menolak konsep Negara Islam dan
menyebut fenomena DI ‘kekeliruan sejarah’ Islam di masa lampau.
Gagasan penolakan Negara Islam terutama muncul di kalangan cendekiawan terkemuka seperti
Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Mereka sependapat dengan
Moehammad Roem bahwa Islam tidak memiliki bentuk negara. Nurcholish menilai Negara Islam
sebagai apologia dan reaksi atas gelombang ideologi sekuler barat (Sosialisme, Komunisme,
Nasionalisme) di dunia Islam. Tiada suksesi kepe-mimpinan negara paska kewafatan Rasul
Muhammad SAW menurut Nurcholish merupa-kan bukti kuat bahwa Islam tidak secara spesifik
menentukan negara yang harus dibangun. Amien Rais menilai Negara Islam tidak ada, sebab
tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur`an yang menyebut istilah Negara Islam. Abdurrahman
Wahid menolak Negara Islam, sebab konsep itu mengancam eksistensi demokrasi, plurarisme,
ekslusif-sektarian dan bahaya bagi integrasi bangsa Indonesia. Memaksakan Islam menjadi dasar
negara berbahaya sebab Islam dalam konteks ke-Indonesiaan menurut Abdurrahman hanyalah
sub-kultur dan ‘komplementer’ bagi nasion Indonesia yang memiliki prinsip ‘bhineka tunggal ika.’
Menegakkan Negara Islam samalah artinya memporak-poran-dakan negara kesatuan RI.
Konsep Negara Islam dalam perspektif mereka memposisikan umat Islam menjadi kelompok
pinggiran, oposisional dan selalu bersitegang dengan pemerintah (Orde Baru). Kondisi ini
merugikan kepentingan umat Islam. Oleh sebab itu, menurut Abdurrahman, konsep Negara
Islam harus ditolak dan Islam dituntut akomodatif terhadap Pancasila. Bukan sebaliknya,
Pancasila akomodatif terhadap Islam. Terlepas kita setuju atau tidak dengan logika itu,
kecenderungan menolak konsep Negara Islam mendominasi wacana politik Islam Orde Baru.
Dalam tingkat tertentu akomodasi Islam ke dalam struktur politik Orde Baru berhasil mencairkan
ketegangan hubungan antara keduanya. Interaksi Islam-negara Orde Baru semakin membaik
memasuki dekade 1990-an. Inilah fase ‘bulan madu’ hubungan Islam-negara Orde Baru.
Saat ini saat sistem politik Orde Baru mulai rontok dengan lengsernya mantan Presiden
Soeharto (21 Mei 1998), masihkah relevan penolakan Negara Islam, atau negara berdasar
Islam itu? Masihkah kita harus terus menerus menyalahkan Karto-soewirjo dan DI-nya? Masihkah
kita tetap bersikeras bahwa ideologi Pancasila yang tertutup (versi Orde Baru) dan UUD 1945 itu
harus dipertahankan mati-matian sementara gugatan terhadap relevansinya dengan
perkembangan zaman semakin dipertanyakan dari hari ke hari?
Kekalkah Pancasila sebagai ideologi negara? Sampai kapan ia mampu bertahan? Sampai dunia
kiamat? Para pembela Pancasila percaya bahwa nilai-nilai universal Pancasila membuat ideologi
ini bertahan menghadapi gempuran zaman. Pancasila abadi, ‘tak lekang sebab panas, tak lapuk
sebab hujan.’ Tapi beberapa pengamat menilai ke-cenderungan-kecenderungan politik akhir-
akhir ini serta proses globalisasi yang melanda Indonesia memicu pertanyaan serius
tentang daya tahan (resistensi) Pancasila sebagai ideologi negara. Pengamat politik seperti Arbi
Sanit menilai Pancasila tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran zaman. Cepat atau
lambat Pancasila akan menjadi peninggalan sejarah. Tanda-tanda zaman ke arah itu menurut Arbi
Sanit telah nampak saat ini. Jadi sebenarnya Pancasila tidaklah ‘sakti’ seperti yang disakralkan
dan dimitoskan Orde Baru selama tiga dekade. Ideologi-ideologi yang mampu bertahan
menghadapi gempuran zaman menurut Arbi yaitu ‘ideologi-ideologi klasik’ seperti Islam,
Kristen, Sosialisme dan Liberalisme.
Demikian juga dengan UUD 1945. Dr. Mochtar Pabottingi dan Syamsu Rizal Pangabean
berpendapat bahwa UUD 1945 dirumuskan dalam situasi darurat. sebab itu UUD 1945 tidak bisa
dianggap UUD yang telah final. Oleh sebab itu ia perlu direvisi atau diubah apabila UUD itu ingin
tetap relevan dengan perkembangan zaman. Buyung Nasution bahkan berpendapat pasal-pasal
tertentu UUD 1945 memposisikan seorang presiden RI menjadi penguasa otoriter, bahkan
diktator. Pandangan ini disetujui pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Kini bangsa kita sedang membangun Indonesia baru yang demokratis. Dalam konteks
perkembangan itulah berbagai usaha menawarkan wacana ideologi alternatif harus ditolerir --
sejauh tidak memakai cara-cara repressif dan anti demokratis. Sebagai ideologi, Pancasila
semestinya akomodatif terhadap tawaran-tawaran ideologis dari mana pun datangnya. Tidak
menutup diri dan merasa benar sendiri seperti di zaman Orde Baru. Ini bila Pancasila ingin tetap
bertahan menghadapi gempuran zaman. Di sinilah letak tugas penting sejarah para pemimpin
bangsa yang kini berada di tampuk kekuasaan. Mereka dituntut untuk mampu menjadikan
Pancasila sebagai ideologi terbuka yang akomodatif terhadap tawaran-tawaran wacana
ideologis lain. Di pihak lain, di sini pula letak tanggung jawab historis mereka yang kini mencoba
menawarkan ideologi alternatif itu, termasuk dari kalangan faksi-faksi Islam.
Dalam sebuah diskusi buku ‘Wacana Ideologi Negara Islam’ karya Al Chaidar di Masjid Ukhuwah
Islamiyah Univeritas Indonesia, Depok (9 April ‘99), Fahri Hamzah mengemukakan
pandangannya tentang bagaimana kita seharusnya mensikapi munculnya tawaran ideologi
Negara Islam sebagai wacana alternatif bagi ideologi negara saat ini seperti dilakukan Al Chaidar,
aktivis muda DI. Dalam perspektif Fachry tawaran ideologi alternatif Al Chaidar itu tidak lain
dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan proses dialogis di antara komponen bangsa.
Dialog yang jujur, terbuka, cerdas dan penuh pengertian sangat dibutuhkan saat dimana kita saat
ini mengalami keterpurukan akibat iklim politik yang tertutup selama beberapa dekade lalu.
Ikhtiar tawaran dialog Al Chaidar itu perlu didukung. Dan dalam proses dialog itu kita harus terus
menerus melakukan kritik-kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Chaidar. Atau kepada siapa
pun yang menawarkan wacana ideologi alternatif saat ini. Ini perlu dilakukan menurut Fachry
agar ia ‘tidak jalan sendirian’, lalu justru membahaya-kan tidak hanya bagi dirinya. Tapi juga bagi
orang lain. Dengan melakukan kritik terus menerus, kita memperkuat basis argumentasi wacana
ideologi Negara Islam yang ditawarkan Al Chaidar. Di sisi Al Chaidar sendiri ia perlu mensikapi
kritik-kritik itu secara dewasa, cerdas dan terbuka dan menghindari sikap mau menang sendiri.
Sikap mau menang sendiri jelas menutup rapat-rapat pintu dialog.
Saya sependapat dengan Fachry. Wacana ideologi yang ditawarkan Al Chaidar perlu dikritik agar
ia tidak kebablasan dan gegabah. Ia dituntut memiliki kesadaran historis dalam menawarkan
sebuah ideologi negara alternatif mengingat persoalan ini bukan persoalan sepele. Dan, tidak
menawarkan ideologi alternatif itu sebagai ekpe-rimentasi belaka. Suatu kekeliruan ‘kecil’ yang
tidak perlu, bisa akan berdampak besar bagi perjalanan sejarah Islam Indonesia di masa depan.
Bila kebablasan bukan tidak mungkin TNI akan mengambil sikap keras. Sejarah lampau hubungan
TNI-DI telah membuktikan hal itu. Ideologi negara bagi TNI yaitu masalah amat prinsipil.
Masalah hidup-matinya. Menawarkan ideologi Negara Islam dengan cara mendongkel ideologi
Pancasila diibaratkan Prof. Mansur Suryanegara “membangunkan macan tidur.”
Era liberalisasi ideologi saat ini patut disambut antusia, sekaligus kewaspadaan penuh. Mengapa?
Proses ideologisasi potensial memicu konflik politik di antara kelompok-kelompok
masyarakat. Konflik ideologis sangatlah serius implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kita sudah mengalaminya di era pergerakan nasional dan dekade 1950-1960’an.
Konflik ideologi itu mencapai puncaknya dalam tragedi berdarah G 30 S/PKI 1965. Di sisi lain,
liberalisasi ideologi membuka peluang Komunisme PKI untuk merasa berhak dijadikan wacana
ideologi alternatif pula. Ini tentu merugikan umat Islam. Oleh sebab itu usaha ‘pendongkelan’
Pancasila yang gejalanya nampak akhir-akhir ini bila kebablasan akan merugikan umat Islam
sendiri.
Jadi bagaimana pun, dalam mensikapi sejarah DI dan ideologi Negara Islam kita selalu dituntut
hati-hati, kritis, objektif dan evaluatif. Agar tidak terjebak dalam --meminjam Jalaluddin Rakhmat-
- jebakan determinisme sejarah (historical determinism). Orang yang terjebak dalam
determinisme sejarah, menganggap apa yang terjadi dalam sejarah Islam masa lampau sebagai
acuan yang paling absah (legitimate) dan ideal sebab itu patut dijadikan contoh. Masa lalu
dijadikan patokan kebenaran bagi masa kini. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Dalam
sejarah ada ‘mutiara hikmah yang patut diambil sebagai pelajaran, namun ada juga ‘warisan
buruk’ yang mesti dibuang ke tempat sampah.’ Generasi muda Islam saat ini dituntut kritis
mensikapinya.
Di sisi lain, sejarah merupakan suatu proses kreatif dan inovatif yang kerap melahirkan model-
model pergerakan Islam yang baru ‘sama sekali’ dengan apa yang pernah muncul di masa lampau.
Ini sebab , seperti dikatakan Hegel, setiap zaman memiliki ‘jiwanya sendiri’ (zeitgeist). Prilaku
mencontoh gerakan-gerakan Islam masa lampau tanpa sikap objektif dan kritis samalah artinya
dengan memasukkan diri ke dalam jebakan determinisme sejarah itu. Determinisme sejarah
mematikan proses kreativitas dan inovatif. Mudah-mudahan penawaran ideologi alternatif yang
dikemukakan Al Chaidar tidak terjebak dalam determinisme sejarah itu.
EPILOG
Karya tentang DI dan pemikiran politik Kartosoewirjo ini merupakan upaya untuk menawarkan
proses dialogis yang kreatif, cerdas dan konstruktif. Oleh sebab itu perlu disambut baik. Dari
segi akademis upaya ini tentu memiliki makna yang cukup berarti mengingat selama ini karya
tentang pemikiran politik Kartosoewirjo apalagi yang ditulisnya sendiri tergolong langka dan
sukar ditemukan. Bagi saya ini mengherankan, sebab ketokohan Kartosoewirjo dalam sejarah
Indonesia kontemporer tak perlu dipertanyakan. Apa pun kekhilafan politiknya di masa lampau,
Kartosoewirjo tetaplah seorang tokoh sejarah yang pemikiran dan prilaku politiknya perlu dikaji.
Dari kajian itu, generasi kini dan mendatang mungkin bisa memetik hikmahnya. Mengambil apa
yang baik, membuang segala yang buruk.
Penerbitan karya ini melengkapi bacaan kita tentang pemikiran politik Indonesia yang telah ada
yaitu karya Dr. Deliar Noer, ‘Pengantar ke Pemikiran Politik’ dan karya suntingan Dr. Herbert Feith
dan Dr. Lance Castles, ‘Indonesian Political Thinking 1945-1965.’ Keduanya karya klasik yang
selama ini dijadikan buku teks di pelbagai perguruan tinggi, khususnya untuk studi pemikiran
politik Indonesia. Karya Deliar memfokuskan pembahasannya pada pemikiran tentang hubungan
agama-negara, demokrasi dan kebangsaan sebelum dan sesudah masa perjuangan
kemerdekaan.
Feith dan Castles mengoleksi tulisan dan pidato yang berisi pemikiran politik para negarawan dan
tokoh politik Indonesia terkemuka (1945-1965) yang mewakili lima ‘politik aliran’ atau ideologi:
Islam, Jawa Tradisional, Nasionalisme, Marxisme, dan Sosialisme Demokrasi. Jadi pemikiran
politik dalam buku ini sangat variatif; ada pemi-kiran politik tokoh PKI (Aidit), Nasionalis Radikal
(Soekarno), Masyumi (Natsir), Jawa Tradisional (Atmodarminto), Partai Sosialis Indonesia
(Syahrir) dan lain-lain.
‘Anehnya’ karya Feith dan Castles itu tidak memuat satu pun tulisan atau pidato Kartosoewirjo.
Saya katakan ‘aneh’ sebab ketokohan Kartosoewirjo dan pemikiran-pemikiran politiknya tidak
kalah pengaruhnya dibanding tokoh-tokoh sejarah lain seperti Syahrir, Soekarno, Natsir, atau
Aidit. Apalagi dibandingkan dengan Atmodarminto misalnya, jelas ketokohan Kartosoewirjo atau
pengaruh pemikirannya jauh melebihi pengaruh anggota Dewan Konstituante dari kelompok
abangan itu. Apakah sebab kedua editor buku itu tidak memiliki sumber-sumber otentik tulisan
atau pidato Kartosoewirjo? sebab pertimbangan akademis, ataukah pertimbangan politis?
Mengingat integritas keilmuan dua penyunting itu, saya percaya alasan pertama dan kedua,
bukan yang ketiga (pertimbangan politis) yang mendasari tidak dimuatnya pemikiran
Kartosoewirjo dalam buku itu. Ada beberapa studi awal tentang DI dan Kartosoewirjo seperti
yang ditulis Pinardi, Hersri dan Joebaar Ayoeb, serta Soebardi. Karya mendalam mengenai topik
yang sama dilakukan Nazaruddin Syamsuddin, Anhar Gonggong, Al Chaidar dan Agus Nugraha.
Namun sayangnya, tidak semua karya itu ditulis dengan tujuan akademis. Karya-karya itu
termasuk kajian terbaik mengenai Kartosoewirjo dan DI, meskipun ada di antaranya yang ditulis
sarat kepentingan politik. Karya Pinardi misalnya, meskipun kaya dan data ‘akurat’ - lebih
merupakan pamplet politik - propaganda anti Darul Islam dan Kartosoewirjo- daripada kajian
akademis yang ‘objektif dan jujur’. Ada indikasi karya Pinardi ditulis untuk mendukung usaha
operasi militer dan Soekarno (didukung PKI) mengikis sisa-sisa pengaruh ideologi DI paska
kematian Kartosoewirjo.
Selama ini kajian DI dan Kartosoewirjo lebih banyak dilakukan oleh kaum Indo-nesianists asing,
seperti: Karl D. Jackson (1990), Hiroko Horikoshi, Nieuwenhijze, Van Dijk , B.J. Boland dan Dengel
(1995). Dalam menganalisis Darul Islam dan peran historis Kartosoewirjo, mereka --sebagaimana
umumnya Indonesianis asing-- kerap terjebak oleh bias-bias orientalisme dan Islamo-phobia,
sehingga karya akademis yang dilahirkan tidak jarang memberi gambaran distortif. Bias
orientalisme dan Islamo-phobia itu relatif sukar kita temukan dalam karya Al Chaidar atau Agus
Nugraha.
Dengan diterbitkannya buku berisi pemikiran politik Kartosoewirjo ini tentu semakin
memperkaya khazanah intelektual Islam Indonesia. Lahirnya karya ini patut disyukuri. Kelahiran
karya ini mesti dipandang sebagai suatu langkah maju tidak hanya dalam konteks perkembangan
dunia penerbitan buku, tapi juga dunia keilmuan. Saat ini, seperti telah dikemukakan di atas,
bangsa kita perlu mengenal tokoh-tokoh sejarah dengan segala sisi ‘plus-minus’ peran-peran
historis mereka. Oleh sebab itu, kajian-kajian akademis atas pemikiran tokoh-tokoh itu sangat
strategis. Di sinilah makna penting penerbitan buku ini.
Saya tidak menafikan fakta bahwa ada sebagian kalangan dihinggapi rasa khawatir karya
ini dijadikan ‘instrumen’ sosialisasi dan penyebaran gagasan-gagasan ‘Islam ekstrim’ dan ideologi
Negara Islam. Bagi mereka yang pernah mengalami per-golakan sejarah masa lampau khususnya
di kalangan TNI (Angkatan ‘45) kekhawa-tiran itu cukup beralasan sebab citra Kartosoewirjo dan
DI bagi mereka identik dengan trauma sejarah dan pemberontakan. Angkatan muda saat ini
relatif ‘bebas’ dari trauma sejarah itu, sehingga mampu memandang jernih persoalan
Kartosoewirjo dan DI. Di kalangan TNI pun mulai tumbuh paradigma baru yang relatif bebas dari
trauma sejarah itu. Ada perubahan paradigmatik, khususnya di kalangan para perwira muda TNI.
Dalam kaitan ini, seorang perwira tinggi TNI, Mayjen Agus Wirahadikusumah mengatakan, “Kita
tidak usah bicara lagi masalah radikal kanan atau kiri, komunis atau liberal, siapa pun dipersilakan
mengembangkan pikirannya. Yang penting taat hukum.”
Saat ini kita memang dituntut berfikir positif (positive thinking) dalam menatap sejarah masa
silam itu. Sebab bagaimana pun sejarah masa silam itu bagian dari alam ‘ingatan kolektif’
(collective memory) yang membentuk kejatidirian bangsa kita saat ini. Yang penting dalam
menatap masa silam itu, kita pandai-pandailah mengambil pelajaran darinya. Pengalaman (masa
lampau) yaitu guru yang paling baik. Lagi pula seperti dikatakan Bung Karno, kita tidak bisa
melarikan diri dari sejarah (We can not escape from history). Mudah-mudahan karya ini, terlepas
dari kelemahan dan kekurang-annya, bisa memberi hikmah dan pencerahan bagi kita semua.
Dan dengan itu kita menyongsong Indonesia baru yang demokratis, adil, makmur dan
memperoleh ampunan Allah. Wallahu a’lam bis showwab.
Bojong Gede, 6 Mei 1999.
JAWA PADA AWAL ABAD XX
Untuk memahami sosok dan pemikiran S.M. Kartosoewirjo sebagai seorang tokoh gerakan Islam,
harus dipahami bagaimana lingkungan sosial-budaya dan masyarakat tempat ia berasal, yang
membentuk pribadi dan mempengaruhi pemikirannya. Sebagai seorang yang dilahirkan dari
lingkungan masyarakat Jawa pesisiran, Kartosoewirjo sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial-
budaya dan tradisi Jawa, yang lalu membentuk nilai-nilai bagi gerakan dan pemikirannya,
sebagaimana ia memahami dan menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam gerakannya, untuk
itu harus dilihat situasi sosial masyarakat dan kondisi politik pada masa ia lahir dan tumbuh
menjadi sosok proklamtor Negara Islam Indonesia.
Sudah sejak lama pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat populasi penduduknya
dibandingkan dengan pulau lainnya yang ada di kepulauan Indonesia. Di samping itu, pulau Jawa
sangat strategis letaknya sebagai jalur lintas antar-pulau dan perdagangan di Nusantara. Maka
tidak mengherankan jika pada abad ke-6 dan ke-7, telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang
dibawa orang-orang India yang menandai perkembangan awal sejarah kerajaan Hindu di
Nusantara. Disamping itu, pulau Jawa memiliki kesuburan tanah yang sangat baik bagi
pengembangan pertanian. Tanahnya yang subur juga mempengaruhi suburnya gerakan-gerakan
pemikiran. Meskipun agama Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap
perkembangan masyarakat Indonesia, ditambah dengan inkulturasi budaya Islam dan Indo-
Eropa, telah menghasilkan suatu "affinities and extreme" bagi perkembangan Indonesia modern
kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberi bentuk bulat-lonjongnya sejarah
Indonesia hingga kini. Bulat-lonjongnya Indonesia terutama sangat dipengaruhi gerak dinamika
kehidupan orang-orang di Jawa.
Dengan gemah-ripah-nya pulau Jawa membangkitkan semangat para imperialis Barat untuk
menjadikan Indonesia khususnya pulau Jawa sebagai garden continuum untuk menyokong
perekonomian negerinya. Para pedagang Belanda datang ke Hindia dengan maksud hendak
menguasai perdagangan yang menguntungkan dari daerah ini, khususnya perdagangan rempah-
rempah. Daya upaya untuk itu, telah mendorong hasrat untuk bersaing diantara negara-negara
Eropa, seperti Portugis di wilayah perairan timur Indonesia ; Belanda, yang umumnya dilakukan
Persekutuan Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, disingkat VOC); dan
Inggris di wilayah barat. Semenjak berdirinya VOC pada tahun 1602, Belanda menjadi empirium
dagang yang kuat. Tahun 1619 Belanda memperkuat tempat pijakannya bagi perdagangan di 0
Jawa Barat, dan berlanjut pada tahun 1620-an dengan mengusir pesaing-pesaingnya —Portugis
dan Inggris — keluar dari Kepulauan Maluku, untuk mendapatkan basis kekuasaannya di
kawasan ini.
Dengan daya pikat yang demikian besar dari Jawa atau Nusantara ini, maka kita melihat selama
paruh pertama abad ke-18, Belanda sudah ikut campur tangan dalam kekuasaan para raja Jawa
dengan serangkaian perang dalam suksesi di masa keruntuhan kerajaan Mataram. Dengan
demikian, persaingan diantara penguasa Jawa ini telah menggugah Belanda untuk terlibat jauh
dalam urusan politik di Jawa, tidak terkecuali persoalan intern di tubuh kerajaan-kerajaan Jawa.
Upaya yang dilakukan Belanda dalam hal ini yaitu dengan melindungi salah seorang diantara
penuntut tahta kekuasaan yang saling bersaing. Begitu pula dalam usahanya mengembangkan
perdagangannya, Belanda melalui VOC melibatkan diri dalam usaha-usaha "menentramkan"
daerah pantai, yang berlanjut ke daerah pedalaman Jawa. Penentraman ini dimaksudkan untuk
mengatur masyarakat dan penguasa Jawa dengan pola politik mereka. Selama bertahun-tahun
Belanda menjalankan pengaruh terhadap penguasa-penguasa di Jawa dan perdagangan
dikuasainya. Sampai lalu pemerintah Belanda mengambil alih utang-piutang VOC yang
bangkrut pada akhir abad ke-18, Belanda telah menjalankan kekuasaan politik yang luas atas
Jawa. Semua orang yang hidup, beranak dan mati di Jawa sekecil apapun merasakan pengaruh
kekuasaan Belanda ini. Dan, Kartosoewirjo yaitu salah satu di antara mereka.
Tiga dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, politik liberal sudah mulai menggejala dan
berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. Di tengah-tengah sistem ekonomi yang tradisional,
kondisi ekonomi Belanda mulai menampakkan perbedaannya yang mencolok. Keberadaan
"pembangunan ekonomi" Barat ala Belanda belum mengangkat taraf hidup masyarakat pribumi
di Jawa. Pengejaran keuntungan pengusaha-pengusaha Eropa membawa dampak yang sangat
buruk dan memporak-poranda sendi-sendi perekonomian. Perkebunan dan pabrik muncul di
mana-mana dan semuanya dikelola Belanda. Di pihak lain, usaha pertumbuhan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat jauh tertinggal dari percepatan perkembangan
penduduk Jawa. Melihat fakta pengusaha-pengusaha swasta Belanda yang tidak mau
memberi keuntungan dan kemakmuran bagi penduduk pribumi, telah menyadarkan para
politikus yang dipengaruhi pemikiran humanisme liberal dan Marxisme yang sedang melanda
daratan Eropa pada saat itu, bahwa kemiskinan pribumi harus diatasi terlebih dahulu, sebelum
menumbuhkan tanah jajahan menjadi sebuah pasar yang lebih menggembirakan.
Melihat kebijakan kolonial Belanda yang tidak ada keberpihakannya terhadap kaum pribumi di
Hindia, beberapa tokoh humanis memberi reaksi yang sangat keras, bahkan dari orang-orang
Belanda sendiri. C. Th. Van Deventer, seorang pengacara dan bekas pejabat peradilan kolonial
lalu anggota parlemen Negeri Belanda, menuliskan cerita-cerita nasib rakyat jajahan di
dalam sebuah bukunya di tahun 1899, tentang kebiadaban dan kesewenang-wenangan yang
dilakukan para pengusaha Belanda. Kritik ini, sekecil apapun telah sangat berpengaruh yang
menentukan bagi perubahan politik kolonial. Desakan ini membuat Ratu Wilhelmina mengubah
kebijakan Kerajaan Belanda dalam menghadapi persoalan tanah jajahan dan rakyat pribumi. Di
tahun 1901 Ratu Wilhelmina menyerukan perubahan kebijakan politik tanah jajahan, yang
merupakan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial Belanda, yang lalu disebut
sebagai "Politik Etis" Belanda. Inilah pidato yang diucapkannya dari atas tahta Kerajaan Belanda:
"Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen
pribumi di Kepulauan Hindia, memberi dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada
seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban
moral terhadap penduduk di kawasan ini. Walaupun pada awalnya, sasaran yang diharapkan dari
pidato Ratu ini lebih menekankan kepada kesejahteraan pribumi Kristen, namun perhatian
itu lalu meluas meliputi juga seluruh penduduk pribumi, tanpa pandang agama. namun
sangatlah penting untuk diperhatikan, bahwa sikap politik etis ini didasari oleh suatu keyakinan
yang mendalam tentang keunggulan budaya Barat. Dengan perkataan lain pembaharuan harus
dilaksanakan dari atas; modernisasi dipersamakan dengan pem-Barat-an atau lebih tegas lagi pem-
Belanda-an."
Maka, dengan segala "keinsyafannya", meskipun dangkal di mata pribumi negeri jajahan,
dibangunlah institusi-institusi pendidikan modern di Nusantara. Jawa mendapat prioritas sebab
pulau ini memiliki masyarakat pasifis dalam jumlah yang besar. Perangkat-perangkat keras
berdatangan dari Eropa, memasuki masyarakat agraris tradisional dan berpola pikir sederhana.
Perangkat ideologis pun ikut serta di dalamnya secara bersamaan. Yang terlihat lalu yaitu
sebuah potret yang berubah dari wajah-wajah Jawa dan pribumi lainnya. Kalaulah disimak lebih
jauh lagi, sikap politik etis itu mempunyai sifat yang ganda, diantaranya: (1) ingin meningkatkan
kesejahteraan penduduk pribumi; dan (2) berangsur-angsur ingin menumbuhkan otonomi dan
desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda. Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda amat
menyadari bahwa dua tujuan ini tidak dipisahkan, dan bahwa tujuan yang pertama hanya bisa
diwujudkan apabila pemerintahan lokal benar-benar mau bertanggung jawab terhadap
penduduk pribumi.
Oleh sebab itu, walaupun masalah kesejahteraan yang lebih penting, namun langkah pertama
yang diambil oleh pemerintah yaitu masalah desentralisasi. Adapun yang menjadi alasannya
ialah bahwa: kekuasaan pemerintahan harus dialihkan (1) dari Negeri Belanda ke Hindia, (2) dari
Batavia ke daerah-daerah lain, dan (3) dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Politik kolonial
kali ini berbelok ke arah menumbuhkan otonomi pemerintahan, namun Belanda tidak bermaksud
memberi kemerdekaan politik kepada Hindia.
Namun dalam fakta nya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia tidak pernah
dapat dilaksanakan. Mereka hanya "memindahkan" tradisi dan ideologi mereka di Barat untuk
bisa hidup di tanah-tanah yang tadinya dikuasai oleh orang-orang Timur. Pemerintah Belanda
mengadakan desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru,
yaitu menciptakan tuntutan sejumlah besar orang Jawa terpelajar untuk mengabdikan diri di
dalam tubuh pemerintahan.
Ayahanda S.M. Kartosoewirjo yaitu salah seorang dari ratusan ribu kaum birokrat kolonial yang
menghirup suasana ini, menghirup harapan-harapan baru yang tumbuh di tanah ini. Dengan
harapan bahwa Pemerintah kolonial dapat mengisi jabatan itu bekerjasama dengan para
pembesar pribumi dan bawahan mereka yang masih bekerja, alasan mereka yaitu sebab hanya
merekalah orang-orang di Jawa yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi. Kaum
tani yang berwawasan animisme pada umumnya tidak terdidik secara teknis, demikian juga
secara psikologis tidak siap untuk pekerjaan semacam itu. Pedagang dan petani yang
berwawasan Islam agaknya enggan memangku jabatan demi "sesuatu" dengan pemerintahan
asing dan sekuler.
Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan masyarakat Indonesia banyak
dilihat dari mula kedatangan Islam di Indonesia. C. Snouck Hurgronje, salah seorang sarjana
Politis Etis yang paling berpengaruh, menyimpulkan bahwa pem-Barat-an Hindia Timur Belanda
hanya bisa dilakukan dengan dukungan bangsawan Jawa oleh sebab kecanggihan budaya
mereka, hubungan mereka dengan pengaruh Barat, dan kerenggangan sikap tradisional mereka
terhadap Islam. Maka yang terjadi lalu yaitu timbulnya arogansi di kalangan kaum
terpelajar Indonesia saat itu yang telah mengikuti pendidi