Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 1

Rabu, 29 Januari 2025

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 1


 


Diskusi seputar Pemerintahan Islam kian marak berlangsung di Indonesia. Kampus-kampus ramai 

menggelar keunggulan pemerintahan Islam ini, berbagai pemikiran dari luar negeri mencuat 

kepermukaan; Gagasan-gagasan Abul A’la Al Maududi dari Jamaat Al Islami Pakistan, Dr. Yusuf 

Qaradhawi dari Ikhwanul Muslimin – Mesir maupun Taqiyuddin An Nabhani dari Hizbut Tahrir. 

Gegap gempita pembahasan ini mau tidak mau membuat fakta perjuangan Negara Islam pun 

tersingkap, dimasukkan dalam analisis diskusi demi diskusi. Berbagai penilaian atas NII pun 

bermunculan, dalam berbagai ragam keberpihakan. 

saat  DR. Yusuf Qardhawi mengulas tentang perjuangan NII ; “Di Indonesia, terdapat 

pengalaman Darul Islam yang berlindung di gunung, mereka berperang sebagai pahlawan-pahlawan. 

Dan ini berlangsung beberapa tahun. Mereka telah melakukan contoh-contoh yang menakjubkan, 

dan kepahlawanan yang jarang bandingannya. lalu , mereka diusir oleh pesawat pesawat 

tempur ..” Orang terperangah dan berkata mengapa para pejuang itu kalah. 

saat  Hafidz Muhammad Al Ja’bari, menuliskan tentang Darul Islam dan Al Qoid Kartossuwiryo 

ia menulis : “Adapun tatanan dan prinsip prinsip gerakan ini tidaklah keluar dari tuntunan Allah dan 

rosulNya serta hal hal yang pernah dilaksanakan oleh para sahabat rasulullah saw dan yang 

mengikuti mereka dalam kebaikan. Undang undang negaranya yaitu  syariat Allah dan kekuasaan 

mutlak yaitu  pada syari’at . Dari segi akidah orang tak ragu bahwa Al Qoid Kartosuwiryo pengikut 

kaum salaf. Putra putri DI Indonesia telah mengikat diri dengan kuat. Hal itu dibuktikan dengan 

kerasnya Al Qaid dan keinginan beliau akan berdirinya Negara Islam Indonesia berdasar  

Kitabullah dan Sunnah Rosulullah saw. Beliau sangat kokoh menghadapi kelompok kelompok yang 

ingin memasukkan tatanan dan undang undang yang didatangkan ke negeri ini, mengganti 

kedudukan kitab Allah. ” Orang jadi bertanya mengapa ia ditinggalkan para pengawalnya, 

Banyak orang mencoba coba menjawab ini, banyak analisa mencuat kepermukaan. Banyak dari 

analisis mereka sering kali terkesan ‘miring’ sebab  mengambil referensi dari sumber yang 

‘miring’ pula. Sebab buku yang beredar jauh sebelum ini, memang banyak mengungkap data 

kejadian, namun  tidak menukik pada masalah yang melatar belakangi kejadian kejadian itu. 

Sejarah menjadi kumpulan tahun dan tanggal, namun  menutup mata dari gagasan dasar yang 

menjadikan sejarah itu membentuk dirinya. 

Pada penerbitan perdana bulan April tahun ini penulis mencoba menganalisis kehadiran Negara 

Islam Indonesia dari konsep yang mendasarinya, dari gagasan pemikiran politik proklamatornya, 

dengan berusaha sebanyak mungkin mengutip fikiran fikiran autentik S.M. Kartosoewirjo sendiri. 

Baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi muslim yang tercerahkan maupun dalam kapasitasnya 

sebagai Imam Negara Islam Indonesia sesudah  pemerintahan itu terbentuk. 

Saya tersentak melihat antusiasme pembaca atas buku ini, 9000 buku terjual habis dalam waktu 

satu bulan saja, diskusi diskusi kian marak, dan topik pembicaraan kini bergeser. Bukan lagi pada 

masalah apa dan mengapa gerombolan Kartosoewirjo, namun  bagaimana Negara Islam Indonesia. 

Diskusi tidak lagi terfokus pada pribadi S.M. Kartosoewirjo, namun  lebih terpusat pada Negara 

dan dokumen resminya. Ini sebuah perkembangan yang sehat dalam tataran diskusi ilmiah. 

Sebab sebagai pribadi baik anda maupun saya tidak ada hubungan apapun dengan pribadi besar 

ini. Namun sebagai sebuah fakta  sejarah dimana S.M Kartosoewirjo hadir sebagai sosok 

yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, maka mengenal lebih jauh pribadi ini menjadi 

bagian dari desakan nurani ilmu pengetahuan, seperti kita ingin mengenal pribadi pribadi besar 

lainnya. 

Mengenal masa silam yaitu  bagian dari upaya menatap masa depan secara lebih jernih. Negara 

Islam Indonesia yang lahir disaat Republik Indonesia sebagai negara mengalami krisis 

pemerintahan, saat  arah politik bergeser ke kiri kirian. Disini pun kita melihat dimana sifat 

negara yang stabil, rigid dan inhuman tidak selalu sejalan dengan sifat pemerintahan yang labil, 

tergantung pada siapa yang berkuasa. Baik Republik Indonesia yang telah stabil berdiri di atas 

dasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, maupun Negara Islam Indonesia yang 

ditegakkan di atas dasar Islam serta menjadikan Quran dan Hadits yang shohih sebagai hukum 

tertinggi, dalam perjalanannya tidaklah selalu stabil seperti watak negaranya. Sebab negara 

sebagai wadah pada tataran praktis diisi oleh manusia sebagai pemerintah dengan integritas 

moral yang variatif —yakni para manusia yang menjalankan kekuasaan dalam negara ini . 

Negara Islam Indonesia, menjadikan Quran dan Hadits Shohih sebagai hukum tertinggi ini sudah 

pasti sebagai sebuah negara, namun bagaimana dengan kualitas pribadi tentaranya, integritas 

moral rakyatnya, maka ini merupakan suatu pertanyaan yang terpisah. Negara yaitu  satu hal, 

sedang rakyat dan pemerintah yaitu  hal yang lain. Demikian juga dengan Republik Indonesia, 

walaupun negaranya berdasar Pancasila, tidak demikian halnya dengan pemerintah, sejarah 

membuktikan betapa pemerintah RI cenderung miring ke kiri saat  Nasakom dielu elukan 

Presiden Sukarno. Suasana Revolusi akan menapis setiap individu sehingga nyata emas dan 

loyang, hingga terbukti mana yang berjalan sesuai dengan asas dan hukum tertinggi negara, dan 

mana yang bergeser dengan berubahnya keadaan. Pengkajian sejarah membuktikan hal ini, 

sebagaimana Gustav Le Bon memaparkannya dalam psychology of Revolution. 

Peperangan antara RI dan NII melahirkan beragam potret psikologis anak manusia, mulai dari 

yang berjuang mempertahankan masing masing negaranya, hingga “kutu Loncat” yang 

mengambil keuntungan dari konflik ideologis ini . Kita pun melihat bagaimana sebuah 

solusi ditawarkan, bagaimana upaya mencapai tujuan dijalankan. Dari sini kata “heroik” dan 

“pembangkangan”, menjadi amat relatif, tergantung di fihak mana orang itu tengah 

berpendapat. Namun sebagai fakta  sejarah, pergulatan bathin di tengah guruh debu dan 

mesiu, terlalu berarti untuk dikesampingkan. 

Di dalamnya kita melihat betapa persahabatan dan permusuhan menjadi sangat relatif 

berhadapan dengan kepentingan memenangkan perjuangan. Pribadi besar S.M. Kartosoewirjo 

yang pernah menjabat sebagai wakil Presiden PSII, yang menuliskan Brosur Sikap Hijrah sebagai 

arah jihad PSII, akhirnya dipecat oleh sebab  PSII memilih untuk meninggalkan “sikap hijrah” itu 

dan bergabung dengan Gabungan Partai Partai Politk Indonesia lainnya guna menempuh 

kemerdekaan lewat jalur politik kooperatif. Akhirnya sikap konsisten pribadi besar S.M 

Kartosoewirjo mendorongnya untuk membuktikan sendiri apa yang digagaskannya bersama 

para ulama yang istiqamah dan membangun institut suffah, mempersiapkan kader negarawan 

yang ulama dan ulama yang negarawan, yang menjadi cikal bakal mujahid awal Negara Islam 

indonesia.  

sesudah  cetakan pertama buku ini beredar di pasaran, di saat saat sibuknya menghadiri 

simposium, kupas buku dan diskusi atas buku buku saya terdahulu. Pejuang maupun keluarga 

pejuang NII –yang walaupun secara pribadi dirinya tidak tertulis dalam buku itu namun mereka 

merasa memiliki peristiwa dan kejadian yang dipaparkan dalam buku ini – datang menemui 

saya. Mereka muncul dengan beragam komentar, variasi ungkapan psikologis, yang jelas 

kehadiran mereka menambah sejumlah data untuk diungkapkan kehadapan pembaca. 

Saya merasa perlu merevisi buku yang baru saja 4 bulan terbit itu, sebab pandangan pandangan 

para pelaku sejarah itu sangat berharga untuk dicuatkan kepermukaan. Untuk difahami dan 

diambil hikmahnya, betapa sebuah revolusi membentuk karakter para pelakunya, dan atas 

tuntutan objektivitas, maka dalam terbitan ini, semua pandangan dan gagasan Kartosoewirjo, 

baik sebagai individu maupun imam Negara Islam Indonesia, seluruhnya saya lampirkan di akhir 

buku ini. 

Beberapa bagian dari buku ini saya hilangkan, beberapa cuplikan berita koran yang akhirnya saya 

ragukan kredibilitas pewartanya, sesudah  mendengar pengakuan para pelaku sejarah ini , 

terpaksa saya hapus. Diganti dengan analisa tambahan berdasar  wawancara wawancara 

baru dengan para pelaku tadi. Dengan terbitnya edisi revisi ini, sekaligus meralat terbitan 

sebelumnya. Dan apa yang tidak ada di edisi revisi ini, harus dianggap tidak ada pada edisi 

sebelumnya. 

Semoga terbitnya edisi revisi ini, dengan idzin Allah, mampu membangkitkan nuansa baru pada 

pembahasan dan diskusi diskusi Negara Islam Indonesia di masa masa mendatang. Aamiin Ya 

Robbal ‘Alamiin. 

Jakarta 17 Jumadil Ula 1420 H 

29 Agustus 1999 M 

 

Pengantar penulis utk buku Pemikiran Politik SM Kartosoewirjo, edisi Pertama  

Sejarah Islam mengungkapkan kepada kita bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah berjuang 

semaksimal mungkin dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah wahyu, 

untuk mendirikan Daulah Islam atau negara bagi dakwah beliau serta penyelamat bagi para 

pengikut beliau. Orang-orang yang beriman tidak cukup hanya beriman saja, melainkan harus 

berhijrah dan berjihad memperjuang-kan tegaknya Dienullah dengan mengumpulkan segenap 

kekuatan dan kekuasaan. Negara yaitu  bentuk konkrit dari kekuatan dan kekuasaan itu. 

Kekuasaan itu sangat ajaib. Kita bisa berbuat apa saja dengan kekuasaan. Namun hanya 

kekuasaan yang berdasar  Islam sajalah yang dapat dijamin akan memuaskan semua orang. 

Tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas manusia kecuali, mengutip istilah Yusuf 

Qardhawy , “kekuasaan syariat.” Banyak orang menyebut kekuasaan berdasar  syariat ini 

sebagai “theo-demokrasi” atau “demokrasi Islam” atau apa saja. Namun, di Indonesia, S.M. 

Kartosoewirjo secara tegas menyatakan bentuk kekuasaan itu sebagai negara Al-Jumhuriyah Al-

Indonesiah atau suatu Ad-Daulatul Islamiyah atau dengan sebutan Darul Islam yang secara 

nasional dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia.  

Dalam mewujudkan Darul Islam pada masa Rasulullah SAW, beliau sendiri yang mendatangi 

berbagai kabilah, agar mereka beriman kepada Allah SWT dan mendukung untuk ikut menjaga 

dakwah beliau, hingga akhirnya Allah menganu-gerahkan “Anshar” dari kalangan Bani Aus dan 

Khazraj, yang beriman kepada risalah beliau. Kaum Anshar yaitu  “rakyat yang mendukung 

perjuangan tanpa ikut berhijrah secara fisik bersama-sama beliau.” Tatkala Islam mulai menyebar 

di kalangan mereka, maka pada suatu musim haji datang utusan dari mereka yang terdiri dari 

tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita, lalu mereka ber-bai’at kepada beliau, menyatakan 

kesediaan untuk melindungi beliau sebagaimana mereka melindungi diri sendiri, isteri dan anak-

anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan kepada yang ma’ruf (perbuatan yang 

baik), mencegah dari yang mungkar (perbuatan yang tidak baik) dan seterusnya. Mereka 

melakukan sumpah setia (baiat) untuk berjihad atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya 

sekedar sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah Islam 

yang juga berdiri sendiri. 

Madinah menjadi “Darul-Islam” (wilayah Islam) dan pijakan daulah Islam yang baru, yang 

dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Beliau menjadi komandan tertinggi kaum Muslimin dan 

pemimpin mereka, sebagaimana beliau menjadi Nabi dan Rasul Allah yang diutus kepada mereka. 

sesudah  Rasulullah SAW mendirikan Negara Madinah, tidak ada satu orang pun yang menapak 

tilas semangat jihad Rasulullah SAW di Indonesia ini selain S.M. Kartosoewirjo. Ia yaitu  ulama 

besar dan negarawan sejati yang teguh hati dan jujur mulai dari pemikiran. Di Indonesia, pada 

abad ini, Darul Islam didirikan ulang oleh S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam 

Indonesia (NII) yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atau 

Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII).  

Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Al-Qardhawy, “Bergabung ke dalam daulah ini untuk 

mendukung kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad di bawah panjinya 

merupakan keharusan bagi siapa pun yang masuk Islam.” Selan-jutnya, Yusuf Al-Qardhawy 

mengatakan, “Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia ikut hijrah ke dalam wilayah 

Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan yang memusuhi Islam. Imannya belum 

dianggap sempurna kecuali sesudah  dia ikut dalam barisan jama’ah orang-orang Mukmin yang 

berjihad dan yang menjadi sasaran serangan seluruh dunia saat itu.” Allah befirman, 

“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman namun  belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban 

sedikit pun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72). 

Allah juga befirman tentang sikap atau respon yang harus diberikan kepada orang-orang yang 

tidak berhijrah ini, 

“Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka penolong-penolong (kalian), hingga mereka 

berhijrah kepada jalan Allah.” (An-Nisa: 89). 

Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan diatas, sebagaimana dikatakan Yusuf Al-Qardhawy, 

memberi  ancaman yang keras terhadap orang-orang yang lebih suka memilih hidup di 

wilayah orang-orang kafir dan wilayah perang, tanpa mau mendu-kung penegakan agama dan 

melaksanakan kewajiban serta syiarnya. Maka jika masih memilih untuk tetap tinggal di negara 

kafir tidak ada kewajiban menolong orang-orang Mukmin yang disakiti, yang dibantai atau yang 

dizalimi. Begitu juga sikap yang diperlihatkan oleh Darul Islam, mereka tidak akan pernah 

meminta bantuan dari orang-orang yang tidak mau berhijrah ke Negara Islam Indonesia atau 

Darul Islam yang pernah didirikan oleh S.M. Kartosoewirjo yang masih ada hingga sekarang ini. 

Oleh sebab  itu, dalam sikap bara’ah-nya, Darul Islam tidak akan pernah membantu partai-partai 

Islam, apalagi yang sekuler, jika mereka tidak mau berhijrah atau setidak-tidaknya menjadi “kaum 

Anshar” dalam jihad untuk menegakkan hukum-hukum Allah di bumi Indonesia ini. 

Banyak sikap yang ditunjukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Islam atau banyak orang-

orang yang mengaku beriman terhadap Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Ada yang 

mengatakan bahwa “Tidak ada Negara Islam” atau “Islam bukan negara”, ada juga yang 

mengatakan “Tuhan tidak menyuruh kita mendiri-kan Negara Islam”, atau ada pandangan yang 

menyebutkan bahwa “Tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan keharusan atau kewajiban 

mendirikan Negara Islam.” Semua itu yaitu  usaha-usaha untuk menutupi cahaya agama Allah. 

Bahwa agama Allah, agama Islam, seakan-akan tidak mencakup semua segi kehidupan. Seakan-

akan politik bukan bagian dari urusan Islam. Atau dengan cara yang sangat licik, ada beberapa 

ulama suu’ yang mengatakan bahwa Negara RI yang berdasar  Pancasila atau Negara 

Pancasila yaitu  Negara Islam, jadi perjuangan sudah final sehingga tidak perlu lagi 

memperjuangkan tegaknya Negara Islam di Indonesia. Berbagai cara ditempuh agar Daulah 

Islamiyah hilang dari muka bumi dan umat Islam berada dalam keadaan gelap gulita selamanya. 

Inilah ulah para elit penguasa atau kaum intelektual yang pekak, buta dan tuli terhadap realitas 

sosial Indonesia yang berkem-bang saat ini, yang tidak melihat pembantaian umat Islam di mana 

pun di dunia ini sebagai satu tanda perlunya negara ini diganti ideologinya dengan ideologi Islam. 

sesudah  kita memiliki Negara Islam, baru wilayah-wilayah lain di mana umat Islam dibantai harus 

segera diperangi satu per satu dan lalu  menundukkan negara-negara kafirin lainnya yang 

tidak mau tunduk atau taslim pada sistem Allah. 

Pada masa reformasi sekarang ini, di mana ideologi ‘kiri radikal’ bangkit melalui berbagai partai-

partai sekuler dan corong-corong media massa yang mereka miliki, maka dakwah yang paling 

penting yaitu  “bagaimana mengubah ideologi negara” dengan ideologi Negara Islam. Kita 

berharap, dengan “dakwah siyasah” ini, maka pada milenium ketiga yang akan kita jelang 

beberapa saat lagi yaitu  milenium Negara Islam. Negara Islam Indonesia yaitu  Ad-Daulatul 

Islamiyah yang merupakan bentuk negara Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah yang tegak sesudah  

rakyat mengalami: kezaliman, penindasan, ketidakadilan, kesusahan, dan berada di bawah 

penguasa yang mengumbar janji-janji kosong.  

Hal ini sudah lama diramalkan oleh empat tokoh wali abad XIX di Aceh yang berbentuk kasyaf 

yang berisi nasihat menghadapi “zaman edan” yang semakin anarkis akhir-akhir ini bagi rakyat 

Indonesia. Surat wasiat amanat yang —menurut sejarawan Ibrahim Alfian sangat tinggi nilainya 

dan penting artinya— ditulis pada 12 Rabiul Awwal 1283 H (14 Juli 1866 M), pada hari kelahiran 

Nabi Muhammad SAW. Isi amanahnya yaitu  sebagai berikut:  

“Bahwa dalam lslam dunia ini mulai pada masa zaman dahulu dan pada masa zaman sekarang 

hingga pada zaman akan datang turun menurut yang sangat dihajat dan diharap oleh sekalian 

ummat manusia yaitu pertama-tama adil hukum dan kedua aman negeri dan ketiga senang 

rakyat dan keempat makmur dan kelima perjanjian dan pelajaran nasihat yang benar lagi teguh. 

Maka yang sangat dibenci dan amarah sakit hati sekalian ummat manusia, yaitu pertama zalim 

dan kedua tidak ada keadilan dan ketiga memberi susah atas rakyat dan keempat tidak 

memperbuat makmur dalam negeri, dan kelima mengubah janji dengan rakyat dan pelajaran 

nasihat yang tidak baik dan teguh setia. Maka dengan sebab lima perkara ini  ini maka 

jadilah huru-hara dalam alam dunia ini timur-barat tunong (utara) barôh (selatan), yaitu keluar 

sekalian perbuatan yang mungkar, dengki dan khianat dan tamak dan hasutan fitnah. Maka Allah 

Ta’ala Tuhan Rabbul Alamin menurunkan bala yang bermacam-macam, namun  manusia pada 

masa itu tidak memikir dengan seluas-luas dan dengan faham yang mendalam. Pegang olehmu 

agama Islam yang suci lagi benar, selamat dunia akhirat, dan taat setialah pada qanun syara’ 

(Undang-undang Dasar) Kerajaan Al-Jumhuriyah Al-lndonesiah dan jangan sekali-kali bughat 

yakni durhaka melawan Kerajaan Al-Jumhuriyah Al Indonesiah yang sah dan jangan sekali-kali 

dalam kerajaan mendirikan lagi kerajaan dan dalam negeri mendirikan negeri. Maka ingat jangan 

membikin pecah-belah ummat manusia dalam satu-satu kerajaan yang sah dengan keputusan 

ijma’ mufakat alim ulama yang ahli sunnah wal jama’ah dan sekalian orang yang besar-besar yang 

cerdik ahli akal bijaksana faham luas dan fikiran yang tajam dan mendalam dan jernih hati dan 

sehat otak dengan dingin beserta rakyat yang terbanyak. Maka inilah yang mu’tamad saheh sah 

benar. Maka yang diluar yang ini  ini, maka itulah bughat, maka tiap-tiap bughat berhak 

mesti Kerajaan Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah menghancurkan dan menghilangkan dan melenyap-

kan tiap-tiap bughat walau siapa-siapa sekalipun. Jangan diam. Wassalam.”  

Di dalam buku ini saya menggambarkan betapa hanya Darul Islam sajalah yang telah 

“menumpahkan darahnya” untuk memperjuangkan tegaknya Daulah Islamiyah di Indonesia. 

Tidak satu pun gerakan yang radikal yang berusaha untuk menegakkan kalimatillah di muka bumi 

ini secara lebih sistematis. Mereka yaitu  orang-orang yang anti perjanjian kompromistis dengan 

kekuatan-kekuatan bathil. Sebagaimana digambarkan oleh M. Isa Anshari, orang-orang Darul 

Islam yaitu  orang-orang yang tidak mudah dibujuk, tidak mudah dikalahkan, dan tidak pernah 

mau berkompromi dengan segala kemunafikan:  

“Mereka orang pergerakan, orang perdjuangan. Mereka orang jang sangat fanatik, tak mudah 

dikalahkan. Mereka orang jang ,,konsekwen”, tak mudah dibudjuk. Mereka menamakan diri kaum 

proklamator, anti imperialis dan kapitalis. Mereka anti KMB, tak boleh ditawar. Haluan politiknja 

lebih kiri daripada kiri. Lebih radikal dan revolusioner dari orang lain. sebab  fanatiknja, ,,membang-

kang” tak sudi bertolak angsur. sebab  revolusionernja, tak sudi menjerah-kalah, bertekuk lutut 

kepada ,,lawan”. Warna mereka berlain-lain. Tjoraknja berbeda-beda. Ada jang merah, ada jang 

hidjau. Tapi perdjuangannja paralel, sedjalan. Bukan setudjuan dan seasas. Pada pokoknja mereka 

memiliki  kejakinan. Kejakinan politik. Kejakinan perdjuangan. Tempo2 kejakinan itu merupakan 

“mistik”. Perdjuangannja jang mistik itu, tidak lagi berdasar  perhitungan akal dan pikiran. 

namun  berdasar  kejakinan mistik, kebatinan halus jang berpegang kepada jang ghaib, tidak 

berdasar  perhitungan alam jang sjahadah. Jang demikian itu yaitu  Darul Islam, jang telah 

mendjadi buah tutur orang banjak itu. Itulah kaum jang telah memproklamasikan Negara Islam 

Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Lepas dari Republik Indonesia. Mereka memiliki  Undang-

undang Dasar sendiri, terdiri dari 34 fasal. Mereka memiliki  tentara sendiri, bernama Tentara 

Islam Indonesia. Apa dan bagaimana kejakinan politiknja? Apa dan bagaimana kejakinan 

perdjuangannja? Mari kita ikuti analisa-kupasannja tentang djalannja revolusi Indonesia.”  

Dalam penerbitan buku kali ini, kami baru dapat menghadirkan analisis pemikiran S.M. 

Kartosoewirjo dengan mengambil beberapa kutipan dari sekian banyak karya besar Sang 

Proklamator Negara Islam Indonesia ini . Berhubung semakin dekatnya waktu pelaksanaan 

pemilu dan begitu gencarnya arus kiri dalam mengadakan aksi propagandanya untuk 

menghadirkan ideologi sesatnya di bumi Indonesia yang mayoritas Muslim. Sehingga perlulah 

kami menyegerakan penerbitan buku ini yang seyogyanya disertai dengan lampiran terlengkap 

tulisan-tulisan baik berupa artikel-artikel maupun buku karangan langsung S.M. Kartosoewirjo. 

Di antara karya-karya beliau yaitu  sebagai berikut: 

1. Artikel-artikel di Harian Fadjar Asia dari tahun 1929-1930, sebanyak tiga puluh delapan 

buah. 

2. Brosoer Sikap Hidjrah PSII. 

3. Sikap Hidjrah PSII, jilid 1. 

4. Sikap Hidjrah PSII, jilid 2. 

5. Daftar Oesaha Hidjrah PSII. 

6. Artikel di Madjalah Soeara PSII. 

7. Artikel di Madjalah Soera MIAI. 

8. I’tibar Ma’ani dan Madjazi daripada Perjalanan Isra’ dan Mi’radj Rasulullah SAW. 

9. Pedoman Dharma Bakti, jilid 1. 

10. Pedoman Dharma Bakti, jilid 2. 

11. Haloean Politik Islam. 

12. Tulisan yang berjudul “Menjongsong Ad-Daulatul Islamiyah” di dalam buku Sebuah 

Manifesto karya M. Isa Anshari.  

Dan, buku Pengantar Pemikiran Politik Proklamtor Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo 

ini tidak disertai tulisan-tulisan ini  dengan pertimbangan agar lebih cepat terbit untuk 

mengantisipasi gerakan-gerakan “radikal-kiri”, seperti: Komu-nisme, Sosialisme atau 

Sekulerisme lainnya yang saat ini sudah sedemikian parah dan menyakitkan umat Islam. 

Kampanye mereka harus dipatahkan oleh perlawanan “radikal-kanan” atau Darul Islam yang 

selama hampir seabad ini menjadi “predator alam” bagi mereka. Bagaimanapun, mengutip 

istilah Pram, dengan segala kemampuan dan ketidakmampuan kita telah melawan. 

Selama lebih kurang tiga puluh dua tahun umat Islam Indonesia melakukan perlawanan 

bersenjata maupun tidak bersenjata berada dalam penindasan Orde Baru yang dipimpin oleh 

rezim otoriter Soeharto. Bentuk-bentuk penindasan itu sangat beragam, dari pembantaian 

rakyat, ulama hingga pemenjaraan tokoh-tokoh politik dan aktivis yang memperjuangkan 

tegaknya Negara Islam di bumi Allah ini. saat  gelombang demokratisasi dan gerakan 

reformasi mencuat di tengah-tengah kebekuan politik, Soeharto terpaksa turun dari kursi 

kekuasaannya. Maka sejumlah tokoh pun berkoar dan menguak semua kebohongan penguasa. 

Maka terungkaplah sisi-sisi gelap penguasa yang telah membantai umat Islam di Aceh, 

Lampung, Haor Koneng, Tanjung Priok, bahkan hingga kepada kekerasan negara di Kupang, 

Ketapang, Ambon, Tual, dan Sambas. Umat Islam hidup di tengah-tengah sistem yang zalim; 

menjadi domba yang lemah dan tak berdaya di tengah-tengah kawanan serigala.  

Namun, di tengah-tengah suasana reformasi yang anarkis ini, ada seberkas cahaya yang 

dipendarkan oleh beberapa ilmuwan dan ahli sejarah yang membongkar kembali semua 

manipulasi sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dan Orde Lama Soekarno. 

Sejarah mulai terluruskan kembali. Sejauh ini upaya perekaman catatan-catatan sejarah dan 

pelurusan kembali sejarah pergerakan umat Islam berjalan sangat lamban. Kesibukan mengejar 

ketinggalan dari gerakan-gerakan reformasi telah justru tidak menyisakan perhatian kepada 

nasib anak bangsa sendiri. Buku ini berusaha mencoba merekam kisah-kisah yang rasional 

maupun yang terjadi secara tidak logis yang dialami oleh para pejuang Islam di Indonesia. 

Bahkan, banyak karomah yang tidak masuk akal terjadi dan juga banyak kisah-kisah kekejaman 

yang menyelimuti perjalanan dakwah mereka serta kisah-kisah lucu menyangkut sosialisasi dan 

hubungan para tahanan dan narapidana Islam dengan aparat militer selama berlangsungnya 

masa tahanan ini . Ketakutan, kelucuan, humor dan kesedihan yang mereka alami 

bercampur-aduk menjadi satu. Namun uniknya, tidak ada satu pun yang merasa menyesal dan 

menyimpan dendam terhadap tentara Orde Baru. Seakan mereka menyadari bahwa tentara 

hanyalah alat penguasa yang bekerja tanpa kesadaran. Bahkan, sebab  sikap mulia para 

mujahidin Darul Islam selama berada dalam tahanan, tidak sedikit tentara yang lalu  

simpati dan mendukung ideologi para tapol/napol. Hanya Islam yang mengajarkan kepada 

manusia bagaimana menghargai hidup ini dan hanya Islam sajalah yang mengajarkan kepada 

manusia tentang bagaimana indahnya mati di jalan Allah. Maka, hanya Islam sajalah yang bisa 

menunjuki jalan bagi manusia di mana pun di muka bumi ini, khususnya rakyat Indonesia, untuk 

keluar dari kemelut sosial, politik dan ekonomi yang tak pernah habisnya dihadapi manusia. 

Dengan hadirnya buku ini, kita berharap petunjuk ke arah Indonesia yang lebih baik di masa 

depan mulai terterangi. Dan para pejuang Darul Islam diharapkan bersatu dan tidak lagi 

berpecah-belah. Penulis mengharapkan kritik, saran dan peringatan dari para pembaca. Selama 

penyusunan buku ini juga penulis banyak dibantu oleh Bapak Dr. Ahman Sya di Tasikmalaya 

yang telah meminjamkan bahan-bahan langka tulisan S.M. Kartosoewirjo. Juga kepada Nyonya 

Hajjah Endang Saifuddin Anshari, kepada Bapak Sardjana Kartosoewirjo serta kepada akhi Usep, 

akhi Syahrul, akhi Abdurrauf, akhi Anhar, akhi Haris Amir Falah, akhi Abdurrahman, akhi 

Rakhmat di Pontianak, akhi Jamaluddin di Kendari, akhi Ruli dan juga Bapak Maman 

Abdurrahman serta Profesor Ahmad Mansur Suryanegara. Kepada Imam Shalahudin serta 

Zulfikar Shalahudin.  

Jakarta, 1 Muharram 1420 H. 

17 April 1999 M. 

Wajah Negara Islam  

Islam tidak pernah memaksakan seseorang dan tidak pula disebarkan lewat tajamnya pedang, 

sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Islam. Islam mensyariatkan perang, untuk 

menyingkirkan thaghut-thaghut yang menghalangi jalan dakwah ke rakyat dan penduduk. 

sesudah  thaghut-thaghut ini disingkirkan dan dakwah Islam dikumandangkan, permasalahannya 

terserah kepada rakyat, apakah mereka mau menerima Islam, ataukah tetap pada agamanya 

sendiri, tapi ia harus tunduk sebagai ahlu dzimmah. 

Tendensi dakwah Islam semacam ini dikuatkan dengan perkataan Rab’i bin ‘Amir di hadapan 

Rustum, pemimpin pasukan Persia, “Kami diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari 

penyembahan makhluk ke penyembahan Allah, dari dunia yang sempit ke dunia yang lapang dan 

dari kesewenangan agama ke keadilan Islam.” 

Mengenai jizyah yang harus disetorkan oleh ahli dzimmah, bukan dimaksud untuk memberi 

penekanan-penekanan tertentu agar mereka mau masuk Islam, sekali-kali tidak, jizyah itu 

sebagai pengganti dari tanggung jawab dan jerih payah orang-orang Islam untuk melindungi 

mereka. 

Kebebasan yang diberikan kepada orang-orang yang ditundukkan kaum Muslimin untuk memilih 

masuk Islam ataukah membayar jizyah, merupakan bukti yang kuat, jelas dan gamblang bahwa 

Islam melarang mengetrapkan kultur paksaan.  

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, 

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar 

daripada jalan yang salah.” (Al-Baqarah: 256). 

Orang-orang yang membayar jizyah kepada pemerintah Islam dinamakan ahlu dzimmah. Mereka 

berhak menerima hak dan jaminan seperti yang diterima oleh orang-orang Islam. Salah seorang 

gubernur pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada beliau yang isinya 

menerangkan bahwa ahli dzimmah yang baru masuk Islam justru lebih berbahaya kalau 

seandainya mereka tidak dibebani jizyah. Maka dengan dasar pikiran semacam ini, ia tetap 

menarik jizyah meskipun ada ahli dzimmah yang sudah masuk Islam. 

sesudah  membaca surat ini , Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mengirim surat yang 

isinya: “Allah memburukkan pendapatmu itu. sebab  sesungguhnya Allah tidak mengutus 

Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam sebagai pemungut pajak. Tapi beliau diutus untuk 

memberi hidayah. Apabila suratku ini telah kau baca maka segera batalkan jizyah itu bagi ahlu 

dzimmah yang telah masuk Islam.” 

Abu Yusuf menyebutkan dalam bukunya bahwa Umar bin Khathab bertemu dengan seorang tua 

ahlu dzimmah peminta-minta di pintu masjid untuk membayar jizyah, demi kebutuhannya, Umar 

berkata kepada orang tua itu, “Kami akan berbuat adil terhadapmu, kami bebaskan sesudah  kamu 

tua.” lalu  Umar membawa orang ini  ke Baitulmal, lalu diberinya kebutuhan 

secukupnya dan ia dibebaskan dari pembayaran jizyah. Lebih lanjut hal ini dikuatkan lagi dengan 

pengakuan-pengakuan beberapa orang yang pernah mempelajari Islam secara benar. Dalam 

bukunya “Dakwah kepada Islam”, Arnold Toynbe seorang guru besar berkata, “sesudah  pasukan 

tentara Islam yang dipimpin Abu Ubaidah sampai di lembah Urdun, para penduduk yang 

beragama Kristen yang menetap di situ menulis surat yang ditujukan kepada orang-orang Arab 

yang beragama Islam itu, yang berbunyi: ‘Wahai semua orang Islam, kalian lebih kami cintai 

daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati 

janji, bersikap lemah-lembut kepada kami, mencegah kesewenangan yang menimpa kami dan 

mau menjaga diri kami. Tapi orang-orang Romawi itu menindas kami dan bumi kami.’ 

Para penduduk kota saling menutup pintu masuk agar tentara Heraclius tidak menjarah. Mereka 

menyampaikan kabar kepada orang-orang Islam bahwa mereka lebih senang dengan orang-

orang Islam dan keadilan mereka daripada kesewenang-wenangan orang-orang Greek itu. 

Segala pikiran dan tuduhan bahwa peranan pedanglah yang telah mengubah manusia masuk 

Islam, jelas merupakan tuduhan yang jauh dari benar. Dakwah dan pemuasan merupakan dua 

faktor esensial tersebarnya dakwah Islam, dan bukan sebab  kekuatan dan kekerasan.” 

Crustav Loban juga mengeluarkan kata-kata yang sangat terkenal, “Sejarah manusia tidak 

mengenal penakluk yang adil dan lebih lemah lembut kecuali dari orang-orang Islam.” Itulah 

sebagian kecil hak-hak yang telah diberikan kepada ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang hidup di 

bawah perlindungan Negara Islam. Suatu hak yang tidak akan didapati dalam agama samawi lain, 

atau undang-undang dan tatanan yang dibuat oleh manusia sepanjang zaman.  

  

Pepatah mengatakan sejarah itu berulang, “L’histoire serepete”. Kebenaran pepatah ini 

menemukan relevansinya saat saat  kita menyaksikan belakangan ini gejala kebangkitan ‘politik 

aliran’ atau ideologi politik yang pernah hidup di zaman lampau . ‘Politik aliran’ atau ideologi 

politik yang saya maksud yaitu  ideologi kiri radikal (Komunisme, PKI) dan ideologi kanan radikal 

(Darul Islam). 

Komunisme, apa pun definisinya, bangkit kembali. Tidak mudah untuk meng-identifikasi secara 

pasti organisasi dan aktivis berideologi komunis yang bangkit itu. Namun, dengan mengamati 

berbagai gejala politik yang belakangan terjadi sukar mempercayai Komunisme telah benar-

benar mati . Pembebasan Napol/Tapol PKI, an-tara lain kolonel (pur.) Latief, Dr. Subandrio, 

Bungkoes, Ketek, Rewang dan bebas berkeliarannya mantan tokoh Lekra (Lembaga Kesenian 

Rakyat), Pramoedya Ananta Toer, tampaknya memiliki andil dalam membangkitkan kembali 

ideologi Komunisme.  

Menolak versi sejarah Orde Baru yang menganggap PKI aktor utama tragedi 30 September 1965, 

beberapa mantan PKI itu mengatakan bahwa aktor utama gerakan bukanlah PKI sebab  ia 

hanyalah ‘korban’ pertarungan di tubuh Angkatan Darat. PKI digunakan sebagai ‘alat’ oleh 

segelintir elite Angkatan Darat, antara lain mantan Presiden Soeharto, untuk memukul lawan-

lawan politiknya. Kini para mantan PKI itu ingin ‘meluruskan sejarah’ PKI seperti yang dilakukan 

Pramoedya, Carmel Budiardjo dan mantan penculik Mayjen M.T. Haryono, eks. Serda Bongkoes. 

Tidak tertutup kemung-kinan usaha ‘pelurusan sejarah’ itu tendensius: ‘upaya cuci tangan’ tokoh-

tokoh PKI atas kejahatan-kejahatan politiknya di masa lampau. Mereka menyadari era 

keterbukaan saat ini yaitu  ‘peluang emas’ untuk bersih-bersih diri. 

Sejarah Indonesia kontemporer ibarat bandul jam yang bergerak ke kanan, ke kiri. saat  

bergerak ke kiri, ada kekuatan yang menariknya ke arah berlawanan. Proses historis itulah yang 

kini terjadi. Kebangkitan Komunisme diikuti oleh kebangkitan ‘ideologi radikal kanan’ lawannya, 

Darul Islam (aktivitas NII). Aktivis NII yang selama Orde Baru berkuasa bergerilya politik di bawah 

tanah (underground movement) menggugat wacana sejarah Orde Baru yang amat memojokkan 

 

perjuangan ‘suci’ Darul Islam. Sejarah DI, dalam perspektif mereka, tidak seburuk yang 

dikonstruksikan Orde Baru. Gerakan Darul Islam sesungguhnya tidak pernah ‘mati’, tetap survive. 

Kini terasa telah muncul usaha menawarkan ideologi DI sebagai wacana ideologi alternatif. Dan 

momentum politik saat ini dinilai paling tepat untuk itu. 

IDEOLOGI DARUL ISLAM 

Ideologi sesungguhnya tak pernah mati, apalagi ia bersumber pada ajaran agama-agama klasik 

seperti Islam. Dalam suatu kurun sejarah tertentu --sebab  ditindas penguasa politik-- bisa saja 

ideologi itu tenggelam, tapi suatu saat ia akan bangkit kembali manakala situasinya kondusif. 

Strategi ‘pagar betis’ TNI (1960-an) telah berhasil menumpas para pejuang DI. Pemimpinnya, S.M. 

Kartosoewirjo diekskusi mati, 1962. Tapi kematian para pejuang DI itu, bukan berarti ideologi 

Negara Islam yang mereka perjuangkan mati pula. Ideologi itu tetap survive hingga memasuki 

dekade 1980-an.  

Apa latar belakang kebangkitan kembali ideologi DI, juga ideologi radikal kiri seperti Komunisme, 

saat ini? Mengapa sebagian kaum muda kita tertarik pada ideologi-ideologi radikal anti 

kemapanan itu? Apa daya tariknya? 

Dari perspektif struktural, kebangkitan DI saat ini akibat struktural kekuasaan repressif Orde 

Baru selama berkuasa tiga dekade. Di bawah kekuasaan Orde Baru, ideologi negara Pancasila 

menjadi demikian repressif dan monolitik (monolithic ideo-logy). Penguasa Orde Baru 

mengklaim hanya Pancasila yang boleh hidup, sementara ideologi lain termasuk ideologi Negara 

Islam mesti dikubur dalam-dalam. DI diseja-jarkan dengan PKI dan Kartosoewirjo dengan Muso 

dan Aidit. Image DI pengkhianat dan pemberontak ditanamkan sedemikian rupa agar 

memicu  ketakutan kepada siapa pun yang ingin mengetahui --meski dalam bentuk kajian 

ilmiah-- apa sesungguhnya DI dan ajaran-ajaran Kartosoewirjo. Buku-buku DI dilarang, para 

penerbit atau mengedarnya dituduh subversif. Aktivis-aktivis DI ditangkapi dan pengadilan 

terhadap mereka diekspose di berbagai media massa. 

Repressif politik Orde Baru meredam gerakan DI dan ideologinya itu memang efektif untuk 

jangka waktu tertentu. Namun, cara itu justru membangkitkan ingin tahu publik (curiousity) --

khususnya anak-anak muda Muslim yang kritis dan enerjik-- tentang apa sesungguhnya DI itu dan 

mengapa ia dilarang, ditutup-tutupi. Maka, semakin pemerintah melarang dan merepressif DI, 

semakin kuat rasa ingin tahu mereka. Disadari atau tidak tindakan repressif penguasa Orde Baru 

justru membuat ideologi DI dan Kartosoewirjo semakin populer di kalangan aktivis-aktivis muda 

Islam. Mereka, melalui jalur-jalur khusus yang ‘rahasia’ --memperoleh karya-karya tentang DI dan 1

karangan-karangan Kartosoewirjo. Dari sinilah rasa ketertarikan itu mendorong mereka 

lalu  terlibat dalam gerakan DI bawah tanah. Dalam konteks inilah ideologi DI sebagai 

‘ideologi tandingan’ (counter ideology) dimunculkan. Gejala serupa juga terjadi di kalangan 

aktivis-aktivis gerakan kiri radikal. Jadi, struktur kekuasaan Orde Baru yang repressif dikehendaki 

atau tidak menyediakan lahan subur bagi bangkitnya ideologi-ideologi radikal itu. 

Kegagalan ulama, kyai atau kaum intelektual Muslim menawarkan sebuah konseptualisasi 

ideologis bagi perubahan sosial merupakan unsur penting dalam membangkitkan semangat 

kaum muda mempelajari ideologi-ideologi radikal. Mereka kecewa dengan tokoh-tokoh agama 

yang seakan membiarkan maraknya kezaliman penguasa, penindasan, kemaksiatan, 

kesenjangan sosial. Di mata mereka ulama yang seharusnya memainkan ‘peran suci’ sebagai 

‘pewaris perjuangan para Nabi (ulama’ warotsatu al anbiyaa) justru menjadi pendukung 

kekuasaan tiranik, koruptif dan zalim. Godaan kekuasaan membuat kaum ulama menjadi ulama 

as su’u. Bagi anak-anak muda itu, keadaan ini memuakkan dan harus dirubah. Bila perlu dilawan 

dengan kekerasan. Di sinilah motif perlawanan politik dan gejala radikalisasi muncul di kalangan 

anak-anak muda itu. Salahkah mereka? Tidaklah arif menimpakan seluruh ‘kesalahan’ pada anak-

anak muda yang sedang mencari jati diri itu. Nampaknya para ulama dan cendekiawan Muslim 

kita perlu intropeksi diri bahwa mereka telah gagal menawarkan wacana ideologi alternatif bagi 

anak-anak muda itu. 

Anak-anak muda yang tertarik pada Marxisme, Komunisme atau Sosialisme Demokratis 

(democratic socialism) menjadikan Marx-Engels, Tan Malaka, Bung Karno, Che Guevarra, atau 

Antonio Gramci atau tokoh-tokoh teologi pembahasan (theologi of liberation) panutan. Dan 

kekaguman terhadap tokoh-tokoh itu melampaui batas-batas agama (trans agama). Di antara 

mereka sebagian beragama Islam, Kristen atau Khatolik. Karya para tokoh legendaris sejarah itu 

dijadikan sumber inspirasi, ideologi dan platform perjuangan mereka. Anak-anak (mahasiswa) 

Muslim yang memiliki kecenderungan ‘radikal’ serta terlibat dalam kelompok diskusi Islam di 

kampus, usrah, atau kegiatan tarbiyyah menemukan ‘sumber kekuatan spiritual dan ideologis’ 

dalam sosok Hasan Albana, Sayyid Qutb, Abul A’la Maududi, Mohammad Natsir atau S.M. 

Kartosoewirjo. Ada juga yang mengagumi Dr. Ali Syariati, ideolog dan arsitek Revolusi Islam Iran. 

Sebagian mereka juga mengagumi pemikir-pemikir Islam ‘moderat’ seperti Nurcholish Madjid 

atau Amien Rais.  

Idealisasi terhadap Kartosoewirjo semakin diperkuat oleh proses sosiologis yang berlangsung 

selama Orde Baru. Modernisasi --sebagai prasyarat pelaksanaan ideologi developmentalisme 

(ideology of developmentalism)-- telah menyebabkan disorientasi kehidupan keagamaan, dan 

meretakkan ikatan-ikatan persaudaraan dalam struktur kehidupan Muslim Indonesia. Ukhuwah 

Islamiyah yang intinya, meminjam Emile Durkheim, solidaritas organis digantikan oleh solidaritas 

mekanis. Semangat kolektif digantikan individualisme. Manusia menjadi egois dengan dirinya. 

Kehausan spiritual pun menggejala, khususnya di kalangan kaum muda terpelajar di kampus-

kampus. Mereka frustasi dengan ideologi sekuler --sebagai bagian dari modernitas-- dan meng-

anggapnya sebagai bencana bagi kemanusiaan dan penyebab degradasi kehidupan spiritual. 

Mereka mengalami kehausan spiritual, lalu mencari jalan yang bisa memuaskan dahaga spiritual 

itu. Dalam proses pencarian itulah sebagian mereka menemukan ‘air penyejuk’ kehausan 

spiritualisme dengan memasuki perkumpulan Jama’ah Tabligh atau sejenisnya yang banyak 

tersebar di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sebagian lainnya 

menemukan ‘air penyejuk kedahagaan spiritual’ itu dalam ajaran-ajaran S.M. Kartosoewirjo, 

tokoh utama Darul Islam. Dengan memasuki kelompok pergerakan ini mereka merebut kembali 

kehangatan persaudaraan sesama Muslim, kesatuan jama’ah dan menemukan wadah yang pas 

untuk mengeks-presikan makna-makna simbolik politik Islam. Alasan ini misalnya yang melatari 

keter-libatan Al Chaidar dalam gerakan DI. Dalam wawancaranya dengan Aliansi Keadilan, ia 

mengatakan, “Saya memang merasa haus belajar Islam sebab  suasana kampus itu sangat 

sekuler dan sangat individualis. Jadi, hati saya kosong dan kering. Maka saya merasa harus belajar 

Islam, tapi harus Islam yang berpolitik, biar tidak tanggung. Saya malas belajar Islam kalau bukan 

Islam yang berpolitik.”  

Keterlibatan anak-anak muda dalam gerakan DI juga disebabkan ideologi dan ajaran-ajaran 

Kartosoewirjo memiliki daya pikat kuat. Ini salah satu kunci untuk mema-hami mengapa gerakan 

DI mampu bertahan selama puluhan tahun. Daya pikat itu terletak pada:  

Pertama, kemampuan Kartosoewirjo mengartikulasikan gagasan-gagasan Islam yang langsung 

diambil dari sumber utama Islam, Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tampaknya ia 

juga menguasai khasanah sejarah (tarikh) periode Islam klasik. Perpaduan analisa tekstual-

skripturalis dengan analisa historis yang dikemukakan dalam karya-karyanya memiliki daya tarik 

kuat khususnya bagi mereka yang terobsesi untuk ‘kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah Nabi’ 

dan perjuangan menegakkan Islam ‘kaffah’ (sempurna). 

Kedua, image Kartosoewirjo sebagai ‘pembela’ kaum dhu’afa (mustadh’afien, tertindas) menjadi 

daya tarik lain mengapa kaum muda terpikat pada DI. Ideologi DI yang Kartosoewirjo memiliki 

andil penting merumuskannya, menunjukkan keberpihakan kuat pada kaum tertindas ini 

(Buktinya? Lihat kutipan idiom-idiom Al-Qur`an tentang dhu’afa dalam Sikap Hidjrah PSII). Image 

keberpihakan itu diperkuat oleh kehidupan sehari-hari Kartosoewirjo yang sederhana. Jauh dari 

kemewahan. Bila tokoh-tokoh ‘nasionalis sekuler’ banyak menghabiskan waktu mereka dengan 

berdansa-dansi, minum khamar --sebagaimana kolonialis Belanda yang dimusuhinya-- maka 

Kartosoewirjo menghabiskan waktunya di Insitute Suffah, di pedesaan Malangbong Tasikmalaya 

(Jawa Barat). Di tempat itu ia memasuki dunia tasawuf, mistisisme Islam. 

Dalam soal keberpihakan DI terhadap kaum tertindas ideologinya memiliki ‘kemiripan’ dengan 

ideologi Marxis (Marxisme). Marxisme memiliki daya pikat kuat bagi kaum tertindas (istilah 

Marxis: kaum proletariat). Di mata kaum marxis, Karl Marx (1818-1885) yaitu  ‘Nabi kaum 

tertindas’ (Prophet of the Proletariat). Di masa jayanya PKI (1950-1965) pelecehan terhadap Marx 

membangkitkan kemarahan kaum komunis, sama seperti kemarahan umat beragama manakala 

seorang nabinya dilecehkan. 

Ketiga, janji-janji dan harapan-harapan messianistik yang ditawarkannya kepada generasi muda 

Islam. Ideologi DI menjadikan bahwa keterlibatan dalam aktivitas DI dan perjuangan demi DI 

kelak memberi  ‘penyelamatan’ manusia. Bila tidak di dunia ini, maka ‘penyelamatan’ itu kelak 

akan diperoleh di akhirat. Pengorbanan apa pun yang diberikan untuk perjuangan DI tak pernah 

sia-sia. Kematian akibat perjuangan DI dijanjikan memperoleh kesyahidan (martyrdom) dan 

membawa seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Ideologi inilah yang menyebabkan 

banyak anggota DI yang tahan menghadapi siksaan dan penderitaan. Di sini terletak salah satu 

kekuatan ajaran DI yang tidak mudah dipatahkan. 

Keempat, daya pikat ideologi DI juga terletak pada wataknya yang romantis. DI merupakan 

sebuah gerakan revolusioner yang berupaya menghidupkan kembali romantisme Islam zaman 

Rasulullah Muhammad SAW. DI merupakan sebuah simboli-sasi ‘glorification of the past’. Di 

kalangan aktivis DI, ajaran-ajaran Kartosoewirjo memberi  --meminjam istilah Holk H. Dengel-

- ‘angan-angan’ akan kejayaan Islam masa lampau, khususnya di zaman Nabi Muhammad. 

Perjuangan DI berupaya mewu-judkan kembali kejayaan masa lampau Islam itu dalam konteks 

dunia (modern) masa kini. Romantisme secara emosional memang memikat, sebab  ia 

melahirkan gairah untuk perjuangan membela cita-cita. 

Kelima, sebagaimana Marxisme, ideologi DI merupakan ideologi monolitik (monolithic ideology). 

Sebagai ideologi monolistik, ideologi DI meyakinkan para penganutnya akan kemampuannya 

sebagai ‘alat penjelasan’ terhadap apa pun persoalan hidup manusia. Tidak hanya persoalan 

dunia, tapi juga akhirat. Segala persoalan hidup manusia di dunia dan akhirat seakan ada 

jawabannya dalam ideologi itu. Dan, dalam kehidupan spiritual manusia modern yang mengalami 

kegamangan, ketidak berdayaan menghadapi masa depan yang tidak pasti, dan ‘kekeringan jiwa’ 

ideologi monolistik seperti itu berdaya pikat luar biasa. Inilah faktor-faktor yang membuat 

ideologi DI dan Kartosoewirjo memiliki daya tarik. 


Sampai saat ini biografi Kartosoewirjo tetap merupakan ‘misteri’ sejarah. Siapa sesungguhnya 

Kartosoewirjo? Bagaimana tokoh ini menapaki jalan kehidupan intelektual, spiritual dan 

politiknya saat  hidup? Mengapa akhir kehidupan tokoh ini tragis, mati ditembak seperti ‘anak -

anak revolusi’ Indonesia lainnya? Selama Orde Baru biografi Kartosoewirjo, seperti juga biografi 

Mohammad Natsir, Syafruddin Prawira-negara, Isa Anshary, Tan Malaka, Syahrir, Bung Karno dan 

Jenderal Sudirman seakan dihalangi dinding-dinding tebal wacana sejarah formal. Ada semacam 

kesengajaan untuk menyembunyikan peran-peran historis mereka dengan tujuan politis 

melanggengkan kekuasaan. 

Ini berakibat buruk. Angkatan muda Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami 

pahit getirnya dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama, kurang 

atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa mereka sendiri. Mereka 

tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’ peran historis dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah 

itu. Bila demikian, bagaimana mungkin bangsa ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan 

mereka di masa lampau? Bagaimana mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa pahlawannya bila 

mereka tak dikenal? Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar yaitu  bangsa 

yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.” 

Yang berkembang lalu , yang justru diyakini sebagai kebenaran sejarah, yaitu  mitologisasi 

sosok mereka. Mitologisasi itu misalnya terjadi dalam sosok Bung Karno. Cerita-cerita sejarah 

tentang Bung Karno berkembang penuh mitos yang kebenarannya sukar dipertanggung 

jawabkan secara akademis. Anak-anak muda kita mengidolakan Bung Karno tanpa pemikiran 

kritis. Dinding-dinding mitos di sekitar tokoh ini tentu perlu di ‘sobek’, agar sosok tokoh sejarah 

itu nampak sebagaimana adanya (as it is). Biografi dan sejarah Bung Karno perlu didekonstruksi, 

sekaligus direkonstruksi. 

Ketokohan Kartosoewirjo juga diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter 

tokoh ini dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita yaitu  

Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa yang 

digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang anti penindasan kolonial, 

berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan nasional dan pejuang keadilan. Lukisan 

‘distortif’ tentang Kartosoewirjo itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran 

P4 (Pedoman, Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU. 

Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI. Sisi-sisi positif 

kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan dalam buku-buku sejarah formal 

Orde Baru. 

 

Dalam hal ini Orde Baru berhasil mensosialisasikan kebohongan sejarah untuk waktu relatif lama. 

Biografi Kartosoewirjo oleh sebab  itu perlu didekonstruksi. Peran-peran historisnya, terutama 

pra-gerakan DI (1949) perlu dikaji secara akademis, jujur dan objektif. Tanpa campur tangan 

kepentingan kekuasaan. Kartosoewirjo harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kelebihan, 

sekaligus kelemahan. Sama seperti kita melihat sosok Bung Karno. Hanya dengan cara itulah kita 

bisa jujur pada sejarah. Saya kira dengan cara itulah generasi muda Indonesia akan mampu 

menempatkan ketokohan Kartosoewirjo dalam spektrum wacana sejarah yang adil dan objektif. 

Lepas dari bias-bias kepentingan politik. Dan dengan cara itu pula bangsa kita belajar semakin 

dewasa dalam menatap sejarah masa lampau. 

Dekonstruksi sejarah dan biografi Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik 

berikut. Pertama, bagaimana sesungguhnya peran Kartosoewirjo di zaman Kolonial, pergerakan 

nasional sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis keberadaannya dalam perjuangan 

melawan penjajahan? Kedua, dengan maksud dan tujuan apakah Kartosoewirjo membentuk DI? 

Mengapa ia memberontak terhadap pemerintahan Bung Karno? Apa motif sosial-ekonomi, 

militer dan ideologis yang melatari pemberontakannya? Adakah ia merasa dikhianati oleh 

Republik, ataukah sebab  wataknya yang tidak kompromistis? Mengapa lalu  ia 

memakai  cara kekerasan (dengan membentuk Tentara Islam Indonesia/TII) untuk 

membentuk Negara Islam? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan gerakan yang dipimpinnya 

mampu bertahan untuk jangka waktu relatif lama? 

Jawaban-jawaban jujur dan objektif terhadap pertanyaan itu akan mampu memberi  

gambaran yang lebih jernih tentang sosok sesungguhnya Kartosoewirjo. Untuk sampai kepada 

penjelasan-penjelasan historis yang objektif itu tentu diperlukan berbagai persyaratan tehnik-

metodologis. Dua di antaranya yaitu  tersedianya data-data primair seperti tulisan, karya atau 

pidato-pidato Kartosoewirjo. Data primair ini sangat penting dalam kajian biografis sebab  

mampu memberi  gambaran pemikiran Kartosoewirjo langsung dengan menggali sumber 

pertama. Sayangnya, tulisan-tulisan Kartosoewirjo sukar diperoleh. Peneliti serius mungkin 

dapat memperolehnya di perpustakaan luar negeri, seperti perpustakaan Leiden (Belanda), 

Monash University, Australian National University (Australia), Cornell University (Ithaca, AS), 

atau Library Congress (Washington DC, AS). 

Diperlukan juga sejarawan biografi profesional yang benar-benar mumpuni melacak kehidupan 

pribadi tokoh sejarah. Namun di sinilah letak kelemahan dunia akademik kita selama ini. Kita 

belum memiliki, kalau pun ada jumlahnya amat terbatas, sejarawan ahli biografi itu. Dunia 

akademik barat telah lama memiliki sejarawan yang mengkhu-suskan kajiannya pada biografi 

tokoh-tokoh sejarah. Rudolf Mrazeck misalnya yang mengkaji biografi Tan Malaka dan Sutan 

Syahrir. Karya Mrazeck tentang Tan Malaka menarik dilihat dari perspektif kultural dan 

psikoanalisa yang dipakainya untuk memahami dinamika pemikiran dan tingkah laku kedua 

tokoh itu. Riwayat hidup Tan Malaka ibarat cerita detektif, penuh kisah dramatis. Dia juga tokoh 

unik dan misterius. Mungkin sebab  alasan ini Mrazeck tertarik mengkaji biografinya. 

Biografi Kartosoewirjo, saya kira tidak kalah menariknya dengan Tan Malaka, Syahrir, atau juga 

Bung Karno. Liku-liku dan perjuangan hidup Kartosoewirjo unik, dramatis, penuh ‘misteri’. 

Kartosoewirjo, meminjam Herbert Marcuse, bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man) 

yang melulu bergulat dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik yang 

bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier semasa hidup membuktikan hal 

itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan politikus (PSII dan Masyumi, era 1920-an - pertengahan 

1940-an), mistikus, wartawan, dan iman gerilyawan DI TII. 

Kartosoewirjo yaitu  tokoh gerilyawan legendaris. Tidak berlebihan menyebut reputasinya 

sebagai gerilyawan jauh di atas tokoh Falintil, Xanana Gusmao. Ia mungkin setara dengan Che 

Guevarra, gerilyawan dan teoritisi Marxis terkemuka Amerika Latin. Atau setara dengan Nur 

Misuari, gerilyawan MNLF (Moro National Liberation Front). Belasan tahun lamanya 

Kartosoewirjo bersama pengikutnya tetap survive bergerilya di belantara hutan-hutan 

pegunungan Jawa Barat. Dalam keadaan sakit parah pun, sama seperti almarhum Panglima 

Besar Jenderal Sudirman, gerilya itu tetap dilakukannya. 

Banyak persoalan di sekitar kehidupan pribadinya sejak remaja, masa pendudukan Jepang, 

zaman revolusi hingga detik-detik terakhir kehidupannya masih menjadi ‘teka-teki’ sampai saat 

ini. Sejarawan telah mengungkap sebagian perjalanan hidupnya. Namun, sejauh penelitian yang 

telah dilakukan mereka, tetap saja masih banyak ‘misteri’ kehidupan Kartosoewirjo yang tetap 

menuntut kejelasan.  

Kartosoewirjo dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Ayahnya seorang makelar candu di desa Pamotan, Rembang. Melihat pekerjaan ayahnya, jelas 

Kartosoewirjo bukanlah dilahirkan dalam keluarga santri, tapi keluarga abangan atau priyayi. 

Yang pasti keluarganya termasuk keluarga terpandang di masa itu. Ini dibuktikan dengan 

kemampuan keluarganya menyekolahkan Kartosoewirjo ke sekolah Belanda. Mengenai struktur 

nasabnya, Kartosoewirjo pernah menyebarkan desas-desus dirinya ‘berdarah biru’, keturunan 

Aryo Jipang, seorang cucu Raden Patah sang penakluk kerajaan Hindu Majapahit.  

Pada usia 6 tahun ia masuk SR (Sekolah Rakyat), sekolah yang khusus bagi pribumi di Pamotan. 

Kartosoewirjo belajar hanya sampai kelas IV di SR itu, sebab  lalu  pindah ke HIS 

(Hollandsch-Inlandsche School). Tahun 1919 orang tuanya pindah ke Bojonegoro, maka 

Kartosoewirjo pun pindah sekolah. Oleh orang tuanya ia dimasukkan ke ELS (Europeesche Leger 

School). Semasa di Bojonegoro inilah ia belajar Islam pada Notodihardjo. Inilah satu-satunya 

pendidikan agama yang diperoleh Kartosoewirjo di masa kanak-kanak dan remajanya. 

Kartosoewirjo tidak pernah memasuki sistem pendidikan Islam seperti pesantren yang banyak 

terdapat di Jawa Timur. Kartosoewirjo, seperti Soekarno, yaitu  seorang otodidak. 

Pengetahuannya tentang Islam sangat mungkin diperolehnya melalui buku-buku agama 

(berbahasa Belanda dan Inggris) atau diskusi dengan pemimpin-pemimpin politik Islam seperti 

H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. 

sesudah  lulus dari ELS (1923) Kartosoewirjo masuk Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsche 

Indische Artsen School). Pendidikannya di NIAS tidak diselesaikannya sebab  ia diberhentikan 

(drop out) akibat menyimpan buku-buku Marxis-Komunis, 1927. Di mana itu (1926-1927) 

pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya memburu orang-orang komunis yang 

dianggap terlibat dalam pemberontakan PKI. Sebagian komunis yang tertangkap dipenjarakan, 

disiksa atau dibuang ke Boven Digoel. Siapa pun yang kedapatan menyebarkan ideologi Marxis-

Komunis ditangkap. Maka sangat beralasan bila pihak sekolah NIAS menghukum Kartosoewirjo 

dengan mengeluarkannya dari sekolah ini . Berhenti dari sekolah, bukanlah akhir proses 

belajar otodidaknya. Sistem pendidikan kolonial yang sempat digelutinya memberi-kannya bekal 

yang relatif cukup untuk menjelajahi berbagai pemikiran dan filsafat politik yang berkembang 

pada zaman itu, antara lain