Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 1
Diskusi seputar Pemerintahan Islam kian marak berlangsung di Indonesia. Kampus-kampus ramai
menggelar keunggulan pemerintahan Islam ini, berbagai pemikiran dari luar negeri mencuat
kepermukaan; Gagasan-gagasan Abul A’la Al Maududi dari Jamaat Al Islami Pakistan, Dr. Yusuf
Qaradhawi dari Ikhwanul Muslimin – Mesir maupun Taqiyuddin An Nabhani dari Hizbut Tahrir.
Gegap gempita pembahasan ini mau tidak mau membuat fakta perjuangan Negara Islam pun
tersingkap, dimasukkan dalam analisis diskusi demi diskusi. Berbagai penilaian atas NII pun
bermunculan, dalam berbagai ragam keberpihakan.
saat DR. Yusuf Qardhawi mengulas tentang perjuangan NII ; “Di Indonesia, terdapat
pengalaman Darul Islam yang berlindung di gunung, mereka berperang sebagai pahlawan-pahlawan.
Dan ini berlangsung beberapa tahun. Mereka telah melakukan contoh-contoh yang menakjubkan,
dan kepahlawanan yang jarang bandingannya. lalu , mereka diusir oleh pesawat pesawat
tempur ..” Orang terperangah dan berkata mengapa para pejuang itu kalah.
saat Hafidz Muhammad Al Ja’bari, menuliskan tentang Darul Islam dan Al Qoid Kartossuwiryo
ia menulis : “Adapun tatanan dan prinsip prinsip gerakan ini tidaklah keluar dari tuntunan Allah dan
rosulNya serta hal hal yang pernah dilaksanakan oleh para sahabat rasulullah saw dan yang
mengikuti mereka dalam kebaikan. Undang undang negaranya yaitu syariat Allah dan kekuasaan
mutlak yaitu pada syari’at . Dari segi akidah orang tak ragu bahwa Al Qoid Kartosuwiryo pengikut
kaum salaf. Putra putri DI Indonesia telah mengikat diri dengan kuat. Hal itu dibuktikan dengan
kerasnya Al Qaid dan keinginan beliau akan berdirinya Negara Islam Indonesia berdasar
Kitabullah dan Sunnah Rosulullah saw. Beliau sangat kokoh menghadapi kelompok kelompok yang
ingin memasukkan tatanan dan undang undang yang didatangkan ke negeri ini, mengganti
kedudukan kitab Allah. ” Orang jadi bertanya mengapa ia ditinggalkan para pengawalnya,
Banyak orang mencoba coba menjawab ini, banyak analisa mencuat kepermukaan. Banyak dari
analisis mereka sering kali terkesan ‘miring’ sebab mengambil referensi dari sumber yang
‘miring’ pula. Sebab buku yang beredar jauh sebelum ini, memang banyak mengungkap data
kejadian, namun tidak menukik pada masalah yang melatar belakangi kejadian kejadian itu.
Sejarah menjadi kumpulan tahun dan tanggal, namun menutup mata dari gagasan dasar yang
menjadikan sejarah itu membentuk dirinya.
Pada penerbitan perdana bulan April tahun ini penulis mencoba menganalisis kehadiran Negara
Islam Indonesia dari konsep yang mendasarinya, dari gagasan pemikiran politik proklamatornya,
dengan berusaha sebanyak mungkin mengutip fikiran fikiran autentik S.M. Kartosoewirjo sendiri.
Baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi muslim yang tercerahkan maupun dalam kapasitasnya
sebagai Imam Negara Islam Indonesia sesudah pemerintahan itu terbentuk.
Saya tersentak melihat antusiasme pembaca atas buku ini, 9000 buku terjual habis dalam waktu
satu bulan saja, diskusi diskusi kian marak, dan topik pembicaraan kini bergeser. Bukan lagi pada
masalah apa dan mengapa gerombolan Kartosoewirjo, namun bagaimana Negara Islam Indonesia.
Diskusi tidak lagi terfokus pada pribadi S.M. Kartosoewirjo, namun lebih terpusat pada Negara
dan dokumen resminya. Ini sebuah perkembangan yang sehat dalam tataran diskusi ilmiah.
Sebab sebagai pribadi baik anda maupun saya tidak ada hubungan apapun dengan pribadi besar
ini. Namun sebagai sebuah fakta sejarah dimana S.M Kartosoewirjo hadir sebagai sosok
yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, maka mengenal lebih jauh pribadi ini menjadi
bagian dari desakan nurani ilmu pengetahuan, seperti kita ingin mengenal pribadi pribadi besar
lainnya.
Mengenal masa silam yaitu bagian dari upaya menatap masa depan secara lebih jernih. Negara
Islam Indonesia yang lahir disaat Republik Indonesia sebagai negara mengalami krisis
pemerintahan, saat arah politik bergeser ke kiri kirian. Disini pun kita melihat dimana sifat
negara yang stabil, rigid dan inhuman tidak selalu sejalan dengan sifat pemerintahan yang labil,
tergantung pada siapa yang berkuasa. Baik Republik Indonesia yang telah stabil berdiri di atas
dasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, maupun Negara Islam Indonesia yang
ditegakkan di atas dasar Islam serta menjadikan Quran dan Hadits yang shohih sebagai hukum
tertinggi, dalam perjalanannya tidaklah selalu stabil seperti watak negaranya. Sebab negara
sebagai wadah pada tataran praktis diisi oleh manusia sebagai pemerintah dengan integritas
moral yang variatif —yakni para manusia yang menjalankan kekuasaan dalam negara ini .
Negara Islam Indonesia, menjadikan Quran dan Hadits Shohih sebagai hukum tertinggi ini sudah
pasti sebagai sebuah negara, namun bagaimana dengan kualitas pribadi tentaranya, integritas
moral rakyatnya, maka ini merupakan suatu pertanyaan yang terpisah. Negara yaitu satu hal,
sedang rakyat dan pemerintah yaitu hal yang lain. Demikian juga dengan Republik Indonesia,
walaupun negaranya berdasar Pancasila, tidak demikian halnya dengan pemerintah, sejarah
membuktikan betapa pemerintah RI cenderung miring ke kiri saat Nasakom dielu elukan
Presiden Sukarno. Suasana Revolusi akan menapis setiap individu sehingga nyata emas dan
loyang, hingga terbukti mana yang berjalan sesuai dengan asas dan hukum tertinggi negara, dan
mana yang bergeser dengan berubahnya keadaan. Pengkajian sejarah membuktikan hal ini,
sebagaimana Gustav Le Bon memaparkannya dalam psychology of Revolution.
Peperangan antara RI dan NII melahirkan beragam potret psikologis anak manusia, mulai dari
yang berjuang mempertahankan masing masing negaranya, hingga “kutu Loncat” yang
mengambil keuntungan dari konflik ideologis ini . Kita pun melihat bagaimana sebuah
solusi ditawarkan, bagaimana upaya mencapai tujuan dijalankan. Dari sini kata “heroik” dan
“pembangkangan”, menjadi amat relatif, tergantung di fihak mana orang itu tengah
berpendapat. Namun sebagai fakta sejarah, pergulatan bathin di tengah guruh debu dan
mesiu, terlalu berarti untuk dikesampingkan.
Di dalamnya kita melihat betapa persahabatan dan permusuhan menjadi sangat relatif
berhadapan dengan kepentingan memenangkan perjuangan. Pribadi besar S.M. Kartosoewirjo
yang pernah menjabat sebagai wakil Presiden PSII, yang menuliskan Brosur Sikap Hijrah sebagai
arah jihad PSII, akhirnya dipecat oleh sebab PSII memilih untuk meninggalkan “sikap hijrah” itu
dan bergabung dengan Gabungan Partai Partai Politk Indonesia lainnya guna menempuh
kemerdekaan lewat jalur politik kooperatif. Akhirnya sikap konsisten pribadi besar S.M
Kartosoewirjo mendorongnya untuk membuktikan sendiri apa yang digagaskannya bersama
para ulama yang istiqamah dan membangun institut suffah, mempersiapkan kader negarawan
yang ulama dan ulama yang negarawan, yang menjadi cikal bakal mujahid awal Negara Islam
indonesia.
sesudah cetakan pertama buku ini beredar di pasaran, di saat saat sibuknya menghadiri
simposium, kupas buku dan diskusi atas buku buku saya terdahulu. Pejuang maupun keluarga
pejuang NII –yang walaupun secara pribadi dirinya tidak tertulis dalam buku itu namun mereka
merasa memiliki peristiwa dan kejadian yang dipaparkan dalam buku ini – datang menemui
saya. Mereka muncul dengan beragam komentar, variasi ungkapan psikologis, yang jelas
kehadiran mereka menambah sejumlah data untuk diungkapkan kehadapan pembaca.
Saya merasa perlu merevisi buku yang baru saja 4 bulan terbit itu, sebab pandangan pandangan
para pelaku sejarah itu sangat berharga untuk dicuatkan kepermukaan. Untuk difahami dan
diambil hikmahnya, betapa sebuah revolusi membentuk karakter para pelakunya, dan atas
tuntutan objektivitas, maka dalam terbitan ini, semua pandangan dan gagasan Kartosoewirjo,
baik sebagai individu maupun imam Negara Islam Indonesia, seluruhnya saya lampirkan di akhir
buku ini.
Beberapa bagian dari buku ini saya hilangkan, beberapa cuplikan berita koran yang akhirnya saya
ragukan kredibilitas pewartanya, sesudah mendengar pengakuan para pelaku sejarah ini ,
terpaksa saya hapus. Diganti dengan analisa tambahan berdasar wawancara wawancara
baru dengan para pelaku tadi. Dengan terbitnya edisi revisi ini, sekaligus meralat terbitan
sebelumnya. Dan apa yang tidak ada di edisi revisi ini, harus dianggap tidak ada pada edisi
sebelumnya.
Semoga terbitnya edisi revisi ini, dengan idzin Allah, mampu membangkitkan nuansa baru pada
pembahasan dan diskusi diskusi Negara Islam Indonesia di masa masa mendatang. Aamiin Ya
Robbal ‘Alamiin.
Jakarta 17 Jumadil Ula 1420 H
29 Agustus 1999 M
Pengantar penulis utk buku Pemikiran Politik SM Kartosoewirjo, edisi Pertama
Sejarah Islam mengungkapkan kepada kita bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah berjuang
semaksimal mungkin dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah wahyu,
untuk mendirikan Daulah Islam atau negara bagi dakwah beliau serta penyelamat bagi para
pengikut beliau. Orang-orang yang beriman tidak cukup hanya beriman saja, melainkan harus
berhijrah dan berjihad memperjuang-kan tegaknya Dienullah dengan mengumpulkan segenap
kekuatan dan kekuasaan. Negara yaitu bentuk konkrit dari kekuatan dan kekuasaan itu.
Kekuasaan itu sangat ajaib. Kita bisa berbuat apa saja dengan kekuasaan. Namun hanya
kekuasaan yang berdasar Islam sajalah yang dapat dijamin akan memuaskan semua orang.
Tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas manusia kecuali, mengutip istilah Yusuf
Qardhawy , “kekuasaan syariat.” Banyak orang menyebut kekuasaan berdasar syariat ini
sebagai “theo-demokrasi” atau “demokrasi Islam” atau apa saja. Namun, di Indonesia, S.M.
Kartosoewirjo secara tegas menyatakan bentuk kekuasaan itu sebagai negara Al-Jumhuriyah Al-
Indonesiah atau suatu Ad-Daulatul Islamiyah atau dengan sebutan Darul Islam yang secara
nasional dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia.
Dalam mewujudkan Darul Islam pada masa Rasulullah SAW, beliau sendiri yang mendatangi
berbagai kabilah, agar mereka beriman kepada Allah SWT dan mendukung untuk ikut menjaga
dakwah beliau, hingga akhirnya Allah menganu-gerahkan “Anshar” dari kalangan Bani Aus dan
Khazraj, yang beriman kepada risalah beliau. Kaum Anshar yaitu “rakyat yang mendukung
perjuangan tanpa ikut berhijrah secara fisik bersama-sama beliau.” Tatkala Islam mulai menyebar
di kalangan mereka, maka pada suatu musim haji datang utusan dari mereka yang terdiri dari
tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita, lalu mereka ber-bai’at kepada beliau, menyatakan
kesediaan untuk melindungi beliau sebagaimana mereka melindungi diri sendiri, isteri dan anak-
anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan kepada yang ma’ruf (perbuatan yang
baik), mencegah dari yang mungkar (perbuatan yang tidak baik) dan seterusnya. Mereka
melakukan sumpah setia (baiat) untuk berjihad atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya
sekedar sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah Islam
yang juga berdiri sendiri.
Madinah menjadi “Darul-Islam” (wilayah Islam) dan pijakan daulah Islam yang baru, yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Beliau menjadi komandan tertinggi kaum Muslimin dan
pemimpin mereka, sebagaimana beliau menjadi Nabi dan Rasul Allah yang diutus kepada mereka.
sesudah Rasulullah SAW mendirikan Negara Madinah, tidak ada satu orang pun yang menapak
tilas semangat jihad Rasulullah SAW di Indonesia ini selain S.M. Kartosoewirjo. Ia yaitu ulama
besar dan negarawan sejati yang teguh hati dan jujur mulai dari pemikiran. Di Indonesia, pada
abad ini, Darul Islam didirikan ulang oleh S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam
Indonesia (NII) yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atau
Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII).
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Al-Qardhawy, “Bergabung ke dalam daulah ini untuk
mendukung kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad di bawah panjinya
merupakan keharusan bagi siapa pun yang masuk Islam.” Selan-jutnya, Yusuf Al-Qardhawy
mengatakan, “Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia ikut hijrah ke dalam wilayah
Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan yang memusuhi Islam. Imannya belum
dianggap sempurna kecuali sesudah dia ikut dalam barisan jama’ah orang-orang Mukmin yang
berjihad dan yang menjadi sasaran serangan seluruh dunia saat itu.” Allah befirman,
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman namun belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikit pun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72).
Allah juga befirman tentang sikap atau respon yang harus diberikan kepada orang-orang yang
tidak berhijrah ini,
“Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka penolong-penolong (kalian), hingga mereka
berhijrah kepada jalan Allah.” (An-Nisa: 89).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan diatas, sebagaimana dikatakan Yusuf Al-Qardhawy,
memberi ancaman yang keras terhadap orang-orang yang lebih suka memilih hidup di
wilayah orang-orang kafir dan wilayah perang, tanpa mau mendu-kung penegakan agama dan
melaksanakan kewajiban serta syiarnya. Maka jika masih memilih untuk tetap tinggal di negara
kafir tidak ada kewajiban menolong orang-orang Mukmin yang disakiti, yang dibantai atau yang
dizalimi. Begitu juga sikap yang diperlihatkan oleh Darul Islam, mereka tidak akan pernah
meminta bantuan dari orang-orang yang tidak mau berhijrah ke Negara Islam Indonesia atau
Darul Islam yang pernah didirikan oleh S.M. Kartosoewirjo yang masih ada hingga sekarang ini.
Oleh sebab itu, dalam sikap bara’ah-nya, Darul Islam tidak akan pernah membantu partai-partai
Islam, apalagi yang sekuler, jika mereka tidak mau berhijrah atau setidak-tidaknya menjadi “kaum
Anshar” dalam jihad untuk menegakkan hukum-hukum Allah di bumi Indonesia ini.
Banyak sikap yang ditunjukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Islam atau banyak orang-
orang yang mengaku beriman terhadap Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Ada yang
mengatakan bahwa “Tidak ada Negara Islam” atau “Islam bukan negara”, ada juga yang
mengatakan “Tuhan tidak menyuruh kita mendiri-kan Negara Islam”, atau ada pandangan yang
menyebutkan bahwa “Tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan keharusan atau kewajiban
mendirikan Negara Islam.” Semua itu yaitu usaha-usaha untuk menutupi cahaya agama Allah.
Bahwa agama Allah, agama Islam, seakan-akan tidak mencakup semua segi kehidupan. Seakan-
akan politik bukan bagian dari urusan Islam. Atau dengan cara yang sangat licik, ada beberapa
ulama suu’ yang mengatakan bahwa Negara RI yang berdasar Pancasila atau Negara
Pancasila yaitu Negara Islam, jadi perjuangan sudah final sehingga tidak perlu lagi
memperjuangkan tegaknya Negara Islam di Indonesia. Berbagai cara ditempuh agar Daulah
Islamiyah hilang dari muka bumi dan umat Islam berada dalam keadaan gelap gulita selamanya.
Inilah ulah para elit penguasa atau kaum intelektual yang pekak, buta dan tuli terhadap realitas
sosial Indonesia yang berkem-bang saat ini, yang tidak melihat pembantaian umat Islam di mana
pun di dunia ini sebagai satu tanda perlunya negara ini diganti ideologinya dengan ideologi Islam.
sesudah kita memiliki Negara Islam, baru wilayah-wilayah lain di mana umat Islam dibantai harus
segera diperangi satu per satu dan lalu menundukkan negara-negara kafirin lainnya yang
tidak mau tunduk atau taslim pada sistem Allah.
Pada masa reformasi sekarang ini, di mana ideologi ‘kiri radikal’ bangkit melalui berbagai partai-
partai sekuler dan corong-corong media massa yang mereka miliki, maka dakwah yang paling
penting yaitu “bagaimana mengubah ideologi negara” dengan ideologi Negara Islam. Kita
berharap, dengan “dakwah siyasah” ini, maka pada milenium ketiga yang akan kita jelang
beberapa saat lagi yaitu milenium Negara Islam. Negara Islam Indonesia yaitu Ad-Daulatul
Islamiyah yang merupakan bentuk negara Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah yang tegak sesudah
rakyat mengalami: kezaliman, penindasan, ketidakadilan, kesusahan, dan berada di bawah
penguasa yang mengumbar janji-janji kosong.
Hal ini sudah lama diramalkan oleh empat tokoh wali abad XIX di Aceh yang berbentuk kasyaf
yang berisi nasihat menghadapi “zaman edan” yang semakin anarkis akhir-akhir ini bagi rakyat
Indonesia. Surat wasiat amanat yang —menurut sejarawan Ibrahim Alfian sangat tinggi nilainya
dan penting artinya— ditulis pada 12 Rabiul Awwal 1283 H (14 Juli 1866 M), pada hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Isi amanahnya yaitu sebagai berikut:
“Bahwa dalam lslam dunia ini mulai pada masa zaman dahulu dan pada masa zaman sekarang
hingga pada zaman akan datang turun menurut yang sangat dihajat dan diharap oleh sekalian
ummat manusia yaitu pertama-tama adil hukum dan kedua aman negeri dan ketiga senang
rakyat dan keempat makmur dan kelima perjanjian dan pelajaran nasihat yang benar lagi teguh.
Maka yang sangat dibenci dan amarah sakit hati sekalian ummat manusia, yaitu pertama zalim
dan kedua tidak ada keadilan dan ketiga memberi susah atas rakyat dan keempat tidak
memperbuat makmur dalam negeri, dan kelima mengubah janji dengan rakyat dan pelajaran
nasihat yang tidak baik dan teguh setia. Maka dengan sebab lima perkara ini ini maka
jadilah huru-hara dalam alam dunia ini timur-barat tunong (utara) barôh (selatan), yaitu keluar
sekalian perbuatan yang mungkar, dengki dan khianat dan tamak dan hasutan fitnah. Maka Allah
Ta’ala Tuhan Rabbul Alamin menurunkan bala yang bermacam-macam, namun manusia pada
masa itu tidak memikir dengan seluas-luas dan dengan faham yang mendalam. Pegang olehmu
agama Islam yang suci lagi benar, selamat dunia akhirat, dan taat setialah pada qanun syara’
(Undang-undang Dasar) Kerajaan Al-Jumhuriyah Al-lndonesiah dan jangan sekali-kali bughat
yakni durhaka melawan Kerajaan Al-Jumhuriyah Al Indonesiah yang sah dan jangan sekali-kali
dalam kerajaan mendirikan lagi kerajaan dan dalam negeri mendirikan negeri. Maka ingat jangan
membikin pecah-belah ummat manusia dalam satu-satu kerajaan yang sah dengan keputusan
ijma’ mufakat alim ulama yang ahli sunnah wal jama’ah dan sekalian orang yang besar-besar yang
cerdik ahli akal bijaksana faham luas dan fikiran yang tajam dan mendalam dan jernih hati dan
sehat otak dengan dingin beserta rakyat yang terbanyak. Maka inilah yang mu’tamad saheh sah
benar. Maka yang diluar yang ini ini, maka itulah bughat, maka tiap-tiap bughat berhak
mesti Kerajaan Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah menghancurkan dan menghilangkan dan melenyap-
kan tiap-tiap bughat walau siapa-siapa sekalipun. Jangan diam. Wassalam.”
Di dalam buku ini saya menggambarkan betapa hanya Darul Islam sajalah yang telah
“menumpahkan darahnya” untuk memperjuangkan tegaknya Daulah Islamiyah di Indonesia.
Tidak satu pun gerakan yang radikal yang berusaha untuk menegakkan kalimatillah di muka bumi
ini secara lebih sistematis. Mereka yaitu orang-orang yang anti perjanjian kompromistis dengan
kekuatan-kekuatan bathil. Sebagaimana digambarkan oleh M. Isa Anshari, orang-orang Darul
Islam yaitu orang-orang yang tidak mudah dibujuk, tidak mudah dikalahkan, dan tidak pernah
mau berkompromi dengan segala kemunafikan:
“Mereka orang pergerakan, orang perdjuangan. Mereka orang jang sangat fanatik, tak mudah
dikalahkan. Mereka orang jang ,,konsekwen”, tak mudah dibudjuk. Mereka menamakan diri kaum
proklamator, anti imperialis dan kapitalis. Mereka anti KMB, tak boleh ditawar. Haluan politiknja
lebih kiri daripada kiri. Lebih radikal dan revolusioner dari orang lain. sebab fanatiknja, ,,membang-
kang” tak sudi bertolak angsur. sebab revolusionernja, tak sudi menjerah-kalah, bertekuk lutut
kepada ,,lawan”. Warna mereka berlain-lain. Tjoraknja berbeda-beda. Ada jang merah, ada jang
hidjau. Tapi perdjuangannja paralel, sedjalan. Bukan setudjuan dan seasas. Pada pokoknja mereka
memiliki kejakinan. Kejakinan politik. Kejakinan perdjuangan. Tempo2 kejakinan itu merupakan
“mistik”. Perdjuangannja jang mistik itu, tidak lagi berdasar perhitungan akal dan pikiran.
namun berdasar kejakinan mistik, kebatinan halus jang berpegang kepada jang ghaib, tidak
berdasar perhitungan alam jang sjahadah. Jang demikian itu yaitu Darul Islam, jang telah
mendjadi buah tutur orang banjak itu. Itulah kaum jang telah memproklamasikan Negara Islam
Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Lepas dari Republik Indonesia. Mereka memiliki Undang-
undang Dasar sendiri, terdiri dari 34 fasal. Mereka memiliki tentara sendiri, bernama Tentara
Islam Indonesia. Apa dan bagaimana kejakinan politiknja? Apa dan bagaimana kejakinan
perdjuangannja? Mari kita ikuti analisa-kupasannja tentang djalannja revolusi Indonesia.”
Dalam penerbitan buku kali ini, kami baru dapat menghadirkan analisis pemikiran S.M.
Kartosoewirjo dengan mengambil beberapa kutipan dari sekian banyak karya besar Sang
Proklamator Negara Islam Indonesia ini . Berhubung semakin dekatnya waktu pelaksanaan
pemilu dan begitu gencarnya arus kiri dalam mengadakan aksi propagandanya untuk
menghadirkan ideologi sesatnya di bumi Indonesia yang mayoritas Muslim. Sehingga perlulah
kami menyegerakan penerbitan buku ini yang seyogyanya disertai dengan lampiran terlengkap
tulisan-tulisan baik berupa artikel-artikel maupun buku karangan langsung S.M. Kartosoewirjo.
Di antara karya-karya beliau yaitu sebagai berikut:
1. Artikel-artikel di Harian Fadjar Asia dari tahun 1929-1930, sebanyak tiga puluh delapan
buah.
2. Brosoer Sikap Hidjrah PSII.
3. Sikap Hidjrah PSII, jilid 1.
4. Sikap Hidjrah PSII, jilid 2.
5. Daftar Oesaha Hidjrah PSII.
6. Artikel di Madjalah Soeara PSII.
7. Artikel di Madjalah Soera MIAI.
8. I’tibar Ma’ani dan Madjazi daripada Perjalanan Isra’ dan Mi’radj Rasulullah SAW.
9. Pedoman Dharma Bakti, jilid 1.
10. Pedoman Dharma Bakti, jilid 2.
11. Haloean Politik Islam.
12. Tulisan yang berjudul “Menjongsong Ad-Daulatul Islamiyah” di dalam buku Sebuah
Manifesto karya M. Isa Anshari.
Dan, buku Pengantar Pemikiran Politik Proklamtor Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo
ini tidak disertai tulisan-tulisan ini dengan pertimbangan agar lebih cepat terbit untuk
mengantisipasi gerakan-gerakan “radikal-kiri”, seperti: Komu-nisme, Sosialisme atau
Sekulerisme lainnya yang saat ini sudah sedemikian parah dan menyakitkan umat Islam.
Kampanye mereka harus dipatahkan oleh perlawanan “radikal-kanan” atau Darul Islam yang
selama hampir seabad ini menjadi “predator alam” bagi mereka. Bagaimanapun, mengutip
istilah Pram, dengan segala kemampuan dan ketidakmampuan kita telah melawan.
Selama lebih kurang tiga puluh dua tahun umat Islam Indonesia melakukan perlawanan
bersenjata maupun tidak bersenjata berada dalam penindasan Orde Baru yang dipimpin oleh
rezim otoriter Soeharto. Bentuk-bentuk penindasan itu sangat beragam, dari pembantaian
rakyat, ulama hingga pemenjaraan tokoh-tokoh politik dan aktivis yang memperjuangkan
tegaknya Negara Islam di bumi Allah ini. saat gelombang demokratisasi dan gerakan
reformasi mencuat di tengah-tengah kebekuan politik, Soeharto terpaksa turun dari kursi
kekuasaannya. Maka sejumlah tokoh pun berkoar dan menguak semua kebohongan penguasa.
Maka terungkaplah sisi-sisi gelap penguasa yang telah membantai umat Islam di Aceh,
Lampung, Haor Koneng, Tanjung Priok, bahkan hingga kepada kekerasan negara di Kupang,
Ketapang, Ambon, Tual, dan Sambas. Umat Islam hidup di tengah-tengah sistem yang zalim;
menjadi domba yang lemah dan tak berdaya di tengah-tengah kawanan serigala.
Namun, di tengah-tengah suasana reformasi yang anarkis ini, ada seberkas cahaya yang
dipendarkan oleh beberapa ilmuwan dan ahli sejarah yang membongkar kembali semua
manipulasi sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dan Orde Lama Soekarno.
Sejarah mulai terluruskan kembali. Sejauh ini upaya perekaman catatan-catatan sejarah dan
pelurusan kembali sejarah pergerakan umat Islam berjalan sangat lamban. Kesibukan mengejar
ketinggalan dari gerakan-gerakan reformasi telah justru tidak menyisakan perhatian kepada
nasib anak bangsa sendiri. Buku ini berusaha mencoba merekam kisah-kisah yang rasional
maupun yang terjadi secara tidak logis yang dialami oleh para pejuang Islam di Indonesia.
Bahkan, banyak karomah yang tidak masuk akal terjadi dan juga banyak kisah-kisah kekejaman
yang menyelimuti perjalanan dakwah mereka serta kisah-kisah lucu menyangkut sosialisasi dan
hubungan para tahanan dan narapidana Islam dengan aparat militer selama berlangsungnya
masa tahanan ini . Ketakutan, kelucuan, humor dan kesedihan yang mereka alami
bercampur-aduk menjadi satu. Namun uniknya, tidak ada satu pun yang merasa menyesal dan
menyimpan dendam terhadap tentara Orde Baru. Seakan mereka menyadari bahwa tentara
hanyalah alat penguasa yang bekerja tanpa kesadaran. Bahkan, sebab sikap mulia para
mujahidin Darul Islam selama berada dalam tahanan, tidak sedikit tentara yang lalu
simpati dan mendukung ideologi para tapol/napol. Hanya Islam yang mengajarkan kepada
manusia bagaimana menghargai hidup ini dan hanya Islam sajalah yang mengajarkan kepada
manusia tentang bagaimana indahnya mati di jalan Allah. Maka, hanya Islam sajalah yang bisa
menunjuki jalan bagi manusia di mana pun di muka bumi ini, khususnya rakyat Indonesia, untuk
keluar dari kemelut sosial, politik dan ekonomi yang tak pernah habisnya dihadapi manusia.
Dengan hadirnya buku ini, kita berharap petunjuk ke arah Indonesia yang lebih baik di masa
depan mulai terterangi. Dan para pejuang Darul Islam diharapkan bersatu dan tidak lagi
berpecah-belah. Penulis mengharapkan kritik, saran dan peringatan dari para pembaca. Selama
penyusunan buku ini juga penulis banyak dibantu oleh Bapak Dr. Ahman Sya di Tasikmalaya
yang telah meminjamkan bahan-bahan langka tulisan S.M. Kartosoewirjo. Juga kepada Nyonya
Hajjah Endang Saifuddin Anshari, kepada Bapak Sardjana Kartosoewirjo serta kepada akhi Usep,
akhi Syahrul, akhi Abdurrauf, akhi Anhar, akhi Haris Amir Falah, akhi Abdurrahman, akhi
Rakhmat di Pontianak, akhi Jamaluddin di Kendari, akhi Ruli dan juga Bapak Maman
Abdurrahman serta Profesor Ahmad Mansur Suryanegara. Kepada Imam Shalahudin serta
Zulfikar Shalahudin.
Jakarta, 1 Muharram 1420 H.
17 April 1999 M.
Wajah Negara Islam
Islam tidak pernah memaksakan seseorang dan tidak pula disebarkan lewat tajamnya pedang,
sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Islam. Islam mensyariatkan perang, untuk
menyingkirkan thaghut-thaghut yang menghalangi jalan dakwah ke rakyat dan penduduk.
sesudah thaghut-thaghut ini disingkirkan dan dakwah Islam dikumandangkan, permasalahannya
terserah kepada rakyat, apakah mereka mau menerima Islam, ataukah tetap pada agamanya
sendiri, tapi ia harus tunduk sebagai ahlu dzimmah.
Tendensi dakwah Islam semacam ini dikuatkan dengan perkataan Rab’i bin ‘Amir di hadapan
Rustum, pemimpin pasukan Persia, “Kami diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari
penyembahan makhluk ke penyembahan Allah, dari dunia yang sempit ke dunia yang lapang dan
dari kesewenangan agama ke keadilan Islam.”
Mengenai jizyah yang harus disetorkan oleh ahli dzimmah, bukan dimaksud untuk memberi
penekanan-penekanan tertentu agar mereka mau masuk Islam, sekali-kali tidak, jizyah itu
sebagai pengganti dari tanggung jawab dan jerih payah orang-orang Islam untuk melindungi
mereka.
Kebebasan yang diberikan kepada orang-orang yang ditundukkan kaum Muslimin untuk memilih
masuk Islam ataukah membayar jizyah, merupakan bukti yang kuat, jelas dan gamblang bahwa
Islam melarang mengetrapkan kultur paksaan.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah.” (Al-Baqarah: 256).
Orang-orang yang membayar jizyah kepada pemerintah Islam dinamakan ahlu dzimmah. Mereka
berhak menerima hak dan jaminan seperti yang diterima oleh orang-orang Islam. Salah seorang
gubernur pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada beliau yang isinya
menerangkan bahwa ahli dzimmah yang baru masuk Islam justru lebih berbahaya kalau
seandainya mereka tidak dibebani jizyah. Maka dengan dasar pikiran semacam ini, ia tetap
menarik jizyah meskipun ada ahli dzimmah yang sudah masuk Islam.
sesudah membaca surat ini , Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mengirim surat yang
isinya: “Allah memburukkan pendapatmu itu. sebab sesungguhnya Allah tidak mengutus
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam sebagai pemungut pajak. Tapi beliau diutus untuk
memberi hidayah. Apabila suratku ini telah kau baca maka segera batalkan jizyah itu bagi ahlu
dzimmah yang telah masuk Islam.”
Abu Yusuf menyebutkan dalam bukunya bahwa Umar bin Khathab bertemu dengan seorang tua
ahlu dzimmah peminta-minta di pintu masjid untuk membayar jizyah, demi kebutuhannya, Umar
berkata kepada orang tua itu, “Kami akan berbuat adil terhadapmu, kami bebaskan sesudah kamu
tua.” lalu Umar membawa orang ini ke Baitulmal, lalu diberinya kebutuhan
secukupnya dan ia dibebaskan dari pembayaran jizyah. Lebih lanjut hal ini dikuatkan lagi dengan
pengakuan-pengakuan beberapa orang yang pernah mempelajari Islam secara benar. Dalam
bukunya “Dakwah kepada Islam”, Arnold Toynbe seorang guru besar berkata, “sesudah pasukan
tentara Islam yang dipimpin Abu Ubaidah sampai di lembah Urdun, para penduduk yang
beragama Kristen yang menetap di situ menulis surat yang ditujukan kepada orang-orang Arab
yang beragama Islam itu, yang berbunyi: ‘Wahai semua orang Islam, kalian lebih kami cintai
daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati
janji, bersikap lemah-lembut kepada kami, mencegah kesewenangan yang menimpa kami dan
mau menjaga diri kami. Tapi orang-orang Romawi itu menindas kami dan bumi kami.’
Para penduduk kota saling menutup pintu masuk agar tentara Heraclius tidak menjarah. Mereka
menyampaikan kabar kepada orang-orang Islam bahwa mereka lebih senang dengan orang-
orang Islam dan keadilan mereka daripada kesewenang-wenangan orang-orang Greek itu.
Segala pikiran dan tuduhan bahwa peranan pedanglah yang telah mengubah manusia masuk
Islam, jelas merupakan tuduhan yang jauh dari benar. Dakwah dan pemuasan merupakan dua
faktor esensial tersebarnya dakwah Islam, dan bukan sebab kekuatan dan kekerasan.”
Crustav Loban juga mengeluarkan kata-kata yang sangat terkenal, “Sejarah manusia tidak
mengenal penakluk yang adil dan lebih lemah lembut kecuali dari orang-orang Islam.” Itulah
sebagian kecil hak-hak yang telah diberikan kepada ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang hidup di
bawah perlindungan Negara Islam. Suatu hak yang tidak akan didapati dalam agama samawi lain,
atau undang-undang dan tatanan yang dibuat oleh manusia sepanjang zaman.
Pepatah mengatakan sejarah itu berulang, “L’histoire serepete”. Kebenaran pepatah ini
menemukan relevansinya saat saat kita menyaksikan belakangan ini gejala kebangkitan ‘politik
aliran’ atau ideologi politik yang pernah hidup di zaman lampau . ‘Politik aliran’ atau ideologi
politik yang saya maksud yaitu ideologi kiri radikal (Komunisme, PKI) dan ideologi kanan radikal
(Darul Islam).
Komunisme, apa pun definisinya, bangkit kembali. Tidak mudah untuk meng-identifikasi secara
pasti organisasi dan aktivis berideologi komunis yang bangkit itu. Namun, dengan mengamati
berbagai gejala politik yang belakangan terjadi sukar mempercayai Komunisme telah benar-
benar mati . Pembebasan Napol/Tapol PKI, an-tara lain kolonel (pur.) Latief, Dr. Subandrio,
Bungkoes, Ketek, Rewang dan bebas berkeliarannya mantan tokoh Lekra (Lembaga Kesenian
Rakyat), Pramoedya Ananta Toer, tampaknya memiliki andil dalam membangkitkan kembali
ideologi Komunisme.
Menolak versi sejarah Orde Baru yang menganggap PKI aktor utama tragedi 30 September 1965,
beberapa mantan PKI itu mengatakan bahwa aktor utama gerakan bukanlah PKI sebab ia
hanyalah ‘korban’ pertarungan di tubuh Angkatan Darat. PKI digunakan sebagai ‘alat’ oleh
segelintir elite Angkatan Darat, antara lain mantan Presiden Soeharto, untuk memukul lawan-
lawan politiknya. Kini para mantan PKI itu ingin ‘meluruskan sejarah’ PKI seperti yang dilakukan
Pramoedya, Carmel Budiardjo dan mantan penculik Mayjen M.T. Haryono, eks. Serda Bongkoes.
Tidak tertutup kemung-kinan usaha ‘pelurusan sejarah’ itu tendensius: ‘upaya cuci tangan’ tokoh-
tokoh PKI atas kejahatan-kejahatan politiknya di masa lampau. Mereka menyadari era
keterbukaan saat ini yaitu ‘peluang emas’ untuk bersih-bersih diri.
Sejarah Indonesia kontemporer ibarat bandul jam yang bergerak ke kanan, ke kiri. saat
bergerak ke kiri, ada kekuatan yang menariknya ke arah berlawanan. Proses historis itulah yang
kini terjadi. Kebangkitan Komunisme diikuti oleh kebangkitan ‘ideologi radikal kanan’ lawannya,
Darul Islam (aktivitas NII). Aktivis NII yang selama Orde Baru berkuasa bergerilya politik di bawah
tanah (underground movement) menggugat wacana sejarah Orde Baru yang amat memojokkan
perjuangan ‘suci’ Darul Islam. Sejarah DI, dalam perspektif mereka, tidak seburuk yang
dikonstruksikan Orde Baru. Gerakan Darul Islam sesungguhnya tidak pernah ‘mati’, tetap survive.
Kini terasa telah muncul usaha menawarkan ideologi DI sebagai wacana ideologi alternatif. Dan
momentum politik saat ini dinilai paling tepat untuk itu.
IDEOLOGI DARUL ISLAM
Ideologi sesungguhnya tak pernah mati, apalagi ia bersumber pada ajaran agama-agama klasik
seperti Islam. Dalam suatu kurun sejarah tertentu --sebab ditindas penguasa politik-- bisa saja
ideologi itu tenggelam, tapi suatu saat ia akan bangkit kembali manakala situasinya kondusif.
Strategi ‘pagar betis’ TNI (1960-an) telah berhasil menumpas para pejuang DI. Pemimpinnya, S.M.
Kartosoewirjo diekskusi mati, 1962. Tapi kematian para pejuang DI itu, bukan berarti ideologi
Negara Islam yang mereka perjuangkan mati pula. Ideologi itu tetap survive hingga memasuki
dekade 1980-an.
Apa latar belakang kebangkitan kembali ideologi DI, juga ideologi radikal kiri seperti Komunisme,
saat ini? Mengapa sebagian kaum muda kita tertarik pada ideologi-ideologi radikal anti
kemapanan itu? Apa daya tariknya?
Dari perspektif struktural, kebangkitan DI saat ini akibat struktural kekuasaan repressif Orde
Baru selama berkuasa tiga dekade. Di bawah kekuasaan Orde Baru, ideologi negara Pancasila
menjadi demikian repressif dan monolitik (monolithic ideo-logy). Penguasa Orde Baru
mengklaim hanya Pancasila yang boleh hidup, sementara ideologi lain termasuk ideologi Negara
Islam mesti dikubur dalam-dalam. DI diseja-jarkan dengan PKI dan Kartosoewirjo dengan Muso
dan Aidit. Image DI pengkhianat dan pemberontak ditanamkan sedemikian rupa agar
memicu ketakutan kepada siapa pun yang ingin mengetahui --meski dalam bentuk kajian
ilmiah-- apa sesungguhnya DI dan ajaran-ajaran Kartosoewirjo. Buku-buku DI dilarang, para
penerbit atau mengedarnya dituduh subversif. Aktivis-aktivis DI ditangkapi dan pengadilan
terhadap mereka diekspose di berbagai media massa.
Repressif politik Orde Baru meredam gerakan DI dan ideologinya itu memang efektif untuk
jangka waktu tertentu. Namun, cara itu justru membangkitkan ingin tahu publik (curiousity) --
khususnya anak-anak muda Muslim yang kritis dan enerjik-- tentang apa sesungguhnya DI itu dan
mengapa ia dilarang, ditutup-tutupi. Maka, semakin pemerintah melarang dan merepressif DI,
semakin kuat rasa ingin tahu mereka. Disadari atau tidak tindakan repressif penguasa Orde Baru
justru membuat ideologi DI dan Kartosoewirjo semakin populer di kalangan aktivis-aktivis muda
Islam. Mereka, melalui jalur-jalur khusus yang ‘rahasia’ --memperoleh karya-karya tentang DI dan 1
karangan-karangan Kartosoewirjo. Dari sinilah rasa ketertarikan itu mendorong mereka
lalu terlibat dalam gerakan DI bawah tanah. Dalam konteks inilah ideologi DI sebagai
‘ideologi tandingan’ (counter ideology) dimunculkan. Gejala serupa juga terjadi di kalangan
aktivis-aktivis gerakan kiri radikal. Jadi, struktur kekuasaan Orde Baru yang repressif dikehendaki
atau tidak menyediakan lahan subur bagi bangkitnya ideologi-ideologi radikal itu.
Kegagalan ulama, kyai atau kaum intelektual Muslim menawarkan sebuah konseptualisasi
ideologis bagi perubahan sosial merupakan unsur penting dalam membangkitkan semangat
kaum muda mempelajari ideologi-ideologi radikal. Mereka kecewa dengan tokoh-tokoh agama
yang seakan membiarkan maraknya kezaliman penguasa, penindasan, kemaksiatan,
kesenjangan sosial. Di mata mereka ulama yang seharusnya memainkan ‘peran suci’ sebagai
‘pewaris perjuangan para Nabi (ulama’ warotsatu al anbiyaa) justru menjadi pendukung
kekuasaan tiranik, koruptif dan zalim. Godaan kekuasaan membuat kaum ulama menjadi ulama
as su’u. Bagi anak-anak muda itu, keadaan ini memuakkan dan harus dirubah. Bila perlu dilawan
dengan kekerasan. Di sinilah motif perlawanan politik dan gejala radikalisasi muncul di kalangan
anak-anak muda itu. Salahkah mereka? Tidaklah arif menimpakan seluruh ‘kesalahan’ pada anak-
anak muda yang sedang mencari jati diri itu. Nampaknya para ulama dan cendekiawan Muslim
kita perlu intropeksi diri bahwa mereka telah gagal menawarkan wacana ideologi alternatif bagi
anak-anak muda itu.
Anak-anak muda yang tertarik pada Marxisme, Komunisme atau Sosialisme Demokratis
(democratic socialism) menjadikan Marx-Engels, Tan Malaka, Bung Karno, Che Guevarra, atau
Antonio Gramci atau tokoh-tokoh teologi pembahasan (theologi of liberation) panutan. Dan
kekaguman terhadap tokoh-tokoh itu melampaui batas-batas agama (trans agama). Di antara
mereka sebagian beragama Islam, Kristen atau Khatolik. Karya para tokoh legendaris sejarah itu
dijadikan sumber inspirasi, ideologi dan platform perjuangan mereka. Anak-anak (mahasiswa)
Muslim yang memiliki kecenderungan ‘radikal’ serta terlibat dalam kelompok diskusi Islam di
kampus, usrah, atau kegiatan tarbiyyah menemukan ‘sumber kekuatan spiritual dan ideologis’
dalam sosok Hasan Albana, Sayyid Qutb, Abul A’la Maududi, Mohammad Natsir atau S.M.
Kartosoewirjo. Ada juga yang mengagumi Dr. Ali Syariati, ideolog dan arsitek Revolusi Islam Iran.
Sebagian mereka juga mengagumi pemikir-pemikir Islam ‘moderat’ seperti Nurcholish Madjid
atau Amien Rais.
Idealisasi terhadap Kartosoewirjo semakin diperkuat oleh proses sosiologis yang berlangsung
selama Orde Baru. Modernisasi --sebagai prasyarat pelaksanaan ideologi developmentalisme
(ideology of developmentalism)-- telah menyebabkan disorientasi kehidupan keagamaan, dan
meretakkan ikatan-ikatan persaudaraan dalam struktur kehidupan Muslim Indonesia. Ukhuwah
Islamiyah yang intinya, meminjam Emile Durkheim, solidaritas organis digantikan oleh solidaritas
mekanis. Semangat kolektif digantikan individualisme. Manusia menjadi egois dengan dirinya.
Kehausan spiritual pun menggejala, khususnya di kalangan kaum muda terpelajar di kampus-
kampus. Mereka frustasi dengan ideologi sekuler --sebagai bagian dari modernitas-- dan meng-
anggapnya sebagai bencana bagi kemanusiaan dan penyebab degradasi kehidupan spiritual.
Mereka mengalami kehausan spiritual, lalu mencari jalan yang bisa memuaskan dahaga spiritual
itu. Dalam proses pencarian itulah sebagian mereka menemukan ‘air penyejuk’ kehausan
spiritualisme dengan memasuki perkumpulan Jama’ah Tabligh atau sejenisnya yang banyak
tersebar di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sebagian lainnya
menemukan ‘air penyejuk kedahagaan spiritual’ itu dalam ajaran-ajaran S.M. Kartosoewirjo,
tokoh utama Darul Islam. Dengan memasuki kelompok pergerakan ini mereka merebut kembali
kehangatan persaudaraan sesama Muslim, kesatuan jama’ah dan menemukan wadah yang pas
untuk mengeks-presikan makna-makna simbolik politik Islam. Alasan ini misalnya yang melatari
keter-libatan Al Chaidar dalam gerakan DI. Dalam wawancaranya dengan Aliansi Keadilan, ia
mengatakan, “Saya memang merasa haus belajar Islam sebab suasana kampus itu sangat
sekuler dan sangat individualis. Jadi, hati saya kosong dan kering. Maka saya merasa harus belajar
Islam, tapi harus Islam yang berpolitik, biar tidak tanggung. Saya malas belajar Islam kalau bukan
Islam yang berpolitik.”
Keterlibatan anak-anak muda dalam gerakan DI juga disebabkan ideologi dan ajaran-ajaran
Kartosoewirjo memiliki daya pikat kuat. Ini salah satu kunci untuk mema-hami mengapa gerakan
DI mampu bertahan selama puluhan tahun. Daya pikat itu terletak pada:
Pertama, kemampuan Kartosoewirjo mengartikulasikan gagasan-gagasan Islam yang langsung
diambil dari sumber utama Islam, Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tampaknya ia
juga menguasai khasanah sejarah (tarikh) periode Islam klasik. Perpaduan analisa tekstual-
skripturalis dengan analisa historis yang dikemukakan dalam karya-karyanya memiliki daya tarik
kuat khususnya bagi mereka yang terobsesi untuk ‘kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah Nabi’
dan perjuangan menegakkan Islam ‘kaffah’ (sempurna).
Kedua, image Kartosoewirjo sebagai ‘pembela’ kaum dhu’afa (mustadh’afien, tertindas) menjadi
daya tarik lain mengapa kaum muda terpikat pada DI. Ideologi DI yang Kartosoewirjo memiliki
andil penting merumuskannya, menunjukkan keberpihakan kuat pada kaum tertindas ini
(Buktinya? Lihat kutipan idiom-idiom Al-Qur`an tentang dhu’afa dalam Sikap Hidjrah PSII). Image
keberpihakan itu diperkuat oleh kehidupan sehari-hari Kartosoewirjo yang sederhana. Jauh dari
kemewahan. Bila tokoh-tokoh ‘nasionalis sekuler’ banyak menghabiskan waktu mereka dengan
berdansa-dansi, minum khamar --sebagaimana kolonialis Belanda yang dimusuhinya-- maka
Kartosoewirjo menghabiskan waktunya di Insitute Suffah, di pedesaan Malangbong Tasikmalaya
(Jawa Barat). Di tempat itu ia memasuki dunia tasawuf, mistisisme Islam.
Dalam soal keberpihakan DI terhadap kaum tertindas ideologinya memiliki ‘kemiripan’ dengan
ideologi Marxis (Marxisme). Marxisme memiliki daya pikat kuat bagi kaum tertindas (istilah
Marxis: kaum proletariat). Di mata kaum marxis, Karl Marx (1818-1885) yaitu ‘Nabi kaum
tertindas’ (Prophet of the Proletariat). Di masa jayanya PKI (1950-1965) pelecehan terhadap Marx
membangkitkan kemarahan kaum komunis, sama seperti kemarahan umat beragama manakala
seorang nabinya dilecehkan.
Ketiga, janji-janji dan harapan-harapan messianistik yang ditawarkannya kepada generasi muda
Islam. Ideologi DI menjadikan bahwa keterlibatan dalam aktivitas DI dan perjuangan demi DI
kelak memberi ‘penyelamatan’ manusia. Bila tidak di dunia ini, maka ‘penyelamatan’ itu kelak
akan diperoleh di akhirat. Pengorbanan apa pun yang diberikan untuk perjuangan DI tak pernah
sia-sia. Kematian akibat perjuangan DI dijanjikan memperoleh kesyahidan (martyrdom) dan
membawa seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Ideologi inilah yang menyebabkan
banyak anggota DI yang tahan menghadapi siksaan dan penderitaan. Di sini terletak salah satu
kekuatan ajaran DI yang tidak mudah dipatahkan.
Keempat, daya pikat ideologi DI juga terletak pada wataknya yang romantis. DI merupakan
sebuah gerakan revolusioner yang berupaya menghidupkan kembali romantisme Islam zaman
Rasulullah Muhammad SAW. DI merupakan sebuah simboli-sasi ‘glorification of the past’. Di
kalangan aktivis DI, ajaran-ajaran Kartosoewirjo memberi --meminjam istilah Holk H. Dengel-
- ‘angan-angan’ akan kejayaan Islam masa lampau, khususnya di zaman Nabi Muhammad.
Perjuangan DI berupaya mewu-judkan kembali kejayaan masa lampau Islam itu dalam konteks
dunia (modern) masa kini. Romantisme secara emosional memang memikat, sebab ia
melahirkan gairah untuk perjuangan membela cita-cita.
Kelima, sebagaimana Marxisme, ideologi DI merupakan ideologi monolitik (monolithic ideology).
Sebagai ideologi monolistik, ideologi DI meyakinkan para penganutnya akan kemampuannya
sebagai ‘alat penjelasan’ terhadap apa pun persoalan hidup manusia. Tidak hanya persoalan
dunia, tapi juga akhirat. Segala persoalan hidup manusia di dunia dan akhirat seakan ada
jawabannya dalam ideologi itu. Dan, dalam kehidupan spiritual manusia modern yang mengalami
kegamangan, ketidak berdayaan menghadapi masa depan yang tidak pasti, dan ‘kekeringan jiwa’
ideologi monolistik seperti itu berdaya pikat luar biasa. Inilah faktor-faktor yang membuat
ideologi DI dan Kartosoewirjo memiliki daya tarik.
Sampai saat ini biografi Kartosoewirjo tetap merupakan ‘misteri’ sejarah. Siapa sesungguhnya
Kartosoewirjo? Bagaimana tokoh ini menapaki jalan kehidupan intelektual, spiritual dan
politiknya saat hidup? Mengapa akhir kehidupan tokoh ini tragis, mati ditembak seperti ‘anak -
anak revolusi’ Indonesia lainnya? Selama Orde Baru biografi Kartosoewirjo, seperti juga biografi
Mohammad Natsir, Syafruddin Prawira-negara, Isa Anshary, Tan Malaka, Syahrir, Bung Karno dan
Jenderal Sudirman seakan dihalangi dinding-dinding tebal wacana sejarah formal. Ada semacam
kesengajaan untuk menyembunyikan peran-peran historis mereka dengan tujuan politis
melanggengkan kekuasaan.
Ini berakibat buruk. Angkatan muda Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami
pahit getirnya dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama, kurang
atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa mereka sendiri. Mereka
tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’ peran historis dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah
itu. Bila demikian, bagaimana mungkin bangsa ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan
mereka di masa lampau? Bagaimana mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa pahlawannya bila
mereka tak dikenal? Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar yaitu bangsa
yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.”
Yang berkembang lalu , yang justru diyakini sebagai kebenaran sejarah, yaitu mitologisasi
sosok mereka. Mitologisasi itu misalnya terjadi dalam sosok Bung Karno. Cerita-cerita sejarah
tentang Bung Karno berkembang penuh mitos yang kebenarannya sukar dipertanggung
jawabkan secara akademis. Anak-anak muda kita mengidolakan Bung Karno tanpa pemikiran
kritis. Dinding-dinding mitos di sekitar tokoh ini tentu perlu di ‘sobek’, agar sosok tokoh sejarah
itu nampak sebagaimana adanya (as it is). Biografi dan sejarah Bung Karno perlu didekonstruksi,
sekaligus direkonstruksi.
Ketokohan Kartosoewirjo juga diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter
tokoh ini dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita yaitu
Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa yang
digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang anti penindasan kolonial,
berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan nasional dan pejuang keadilan. Lukisan
‘distortif’ tentang Kartosoewirjo itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran
P4 (Pedoman, Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU.
Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI. Sisi-sisi positif
kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan dalam buku-buku sejarah formal
Orde Baru.
Dalam hal ini Orde Baru berhasil mensosialisasikan kebohongan sejarah untuk waktu relatif lama.
Biografi Kartosoewirjo oleh sebab itu perlu didekonstruksi. Peran-peran historisnya, terutama
pra-gerakan DI (1949) perlu dikaji secara akademis, jujur dan objektif. Tanpa campur tangan
kepentingan kekuasaan. Kartosoewirjo harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kelebihan,
sekaligus kelemahan. Sama seperti kita melihat sosok Bung Karno. Hanya dengan cara itulah kita
bisa jujur pada sejarah. Saya kira dengan cara itulah generasi muda Indonesia akan mampu
menempatkan ketokohan Kartosoewirjo dalam spektrum wacana sejarah yang adil dan objektif.
Lepas dari bias-bias kepentingan politik. Dan dengan cara itu pula bangsa kita belajar semakin
dewasa dalam menatap sejarah masa lampau.
Dekonstruksi sejarah dan biografi Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik
berikut. Pertama, bagaimana sesungguhnya peran Kartosoewirjo di zaman Kolonial, pergerakan
nasional sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis keberadaannya dalam perjuangan
melawan penjajahan? Kedua, dengan maksud dan tujuan apakah Kartosoewirjo membentuk DI?
Mengapa ia memberontak terhadap pemerintahan Bung Karno? Apa motif sosial-ekonomi,
militer dan ideologis yang melatari pemberontakannya? Adakah ia merasa dikhianati oleh
Republik, ataukah sebab wataknya yang tidak kompromistis? Mengapa lalu ia
memakai cara kekerasan (dengan membentuk Tentara Islam Indonesia/TII) untuk
membentuk Negara Islam? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan gerakan yang dipimpinnya
mampu bertahan untuk jangka waktu relatif lama?
Jawaban-jawaban jujur dan objektif terhadap pertanyaan itu akan mampu memberi
gambaran yang lebih jernih tentang sosok sesungguhnya Kartosoewirjo. Untuk sampai kepada
penjelasan-penjelasan historis yang objektif itu tentu diperlukan berbagai persyaratan tehnik-
metodologis. Dua di antaranya yaitu tersedianya data-data primair seperti tulisan, karya atau
pidato-pidato Kartosoewirjo. Data primair ini sangat penting dalam kajian biografis sebab
mampu memberi gambaran pemikiran Kartosoewirjo langsung dengan menggali sumber
pertama. Sayangnya, tulisan-tulisan Kartosoewirjo sukar diperoleh. Peneliti serius mungkin
dapat memperolehnya di perpustakaan luar negeri, seperti perpustakaan Leiden (Belanda),
Monash University, Australian National University (Australia), Cornell University (Ithaca, AS),
atau Library Congress (Washington DC, AS).
Diperlukan juga sejarawan biografi profesional yang benar-benar mumpuni melacak kehidupan
pribadi tokoh sejarah. Namun di sinilah letak kelemahan dunia akademik kita selama ini. Kita
belum memiliki, kalau pun ada jumlahnya amat terbatas, sejarawan ahli biografi itu. Dunia
akademik barat telah lama memiliki sejarawan yang mengkhu-suskan kajiannya pada biografi
tokoh-tokoh sejarah. Rudolf Mrazeck misalnya yang mengkaji biografi Tan Malaka dan Sutan
Syahrir. Karya Mrazeck tentang Tan Malaka menarik dilihat dari perspektif kultural dan
psikoanalisa yang dipakainya untuk memahami dinamika pemikiran dan tingkah laku kedua
tokoh itu. Riwayat hidup Tan Malaka ibarat cerita detektif, penuh kisah dramatis. Dia juga tokoh
unik dan misterius. Mungkin sebab alasan ini Mrazeck tertarik mengkaji biografinya.
Biografi Kartosoewirjo, saya kira tidak kalah menariknya dengan Tan Malaka, Syahrir, atau juga
Bung Karno. Liku-liku dan perjuangan hidup Kartosoewirjo unik, dramatis, penuh ‘misteri’.
Kartosoewirjo, meminjam Herbert Marcuse, bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man)
yang melulu bergulat dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik yang
bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier semasa hidup membuktikan hal
itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan politikus (PSII dan Masyumi, era 1920-an - pertengahan
1940-an), mistikus, wartawan, dan iman gerilyawan DI TII.
Kartosoewirjo yaitu tokoh gerilyawan legendaris. Tidak berlebihan menyebut reputasinya
sebagai gerilyawan jauh di atas tokoh Falintil, Xanana Gusmao. Ia mungkin setara dengan Che
Guevarra, gerilyawan dan teoritisi Marxis terkemuka Amerika Latin. Atau setara dengan Nur
Misuari, gerilyawan MNLF (Moro National Liberation Front). Belasan tahun lamanya
Kartosoewirjo bersama pengikutnya tetap survive bergerilya di belantara hutan-hutan
pegunungan Jawa Barat. Dalam keadaan sakit parah pun, sama seperti almarhum Panglima
Besar Jenderal Sudirman, gerilya itu tetap dilakukannya.
Banyak persoalan di sekitar kehidupan pribadinya sejak remaja, masa pendudukan Jepang,
zaman revolusi hingga detik-detik terakhir kehidupannya masih menjadi ‘teka-teki’ sampai saat
ini. Sejarawan telah mengungkap sebagian perjalanan hidupnya. Namun, sejauh penelitian yang
telah dilakukan mereka, tetap saja masih banyak ‘misteri’ kehidupan Kartosoewirjo yang tetap
menuntut kejelasan.
Kartosoewirjo dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ayahnya seorang makelar candu di desa Pamotan, Rembang. Melihat pekerjaan ayahnya, jelas
Kartosoewirjo bukanlah dilahirkan dalam keluarga santri, tapi keluarga abangan atau priyayi.
Yang pasti keluarganya termasuk keluarga terpandang di masa itu. Ini dibuktikan dengan
kemampuan keluarganya menyekolahkan Kartosoewirjo ke sekolah Belanda. Mengenai struktur
nasabnya, Kartosoewirjo pernah menyebarkan desas-desus dirinya ‘berdarah biru’, keturunan
Aryo Jipang, seorang cucu Raden Patah sang penakluk kerajaan Hindu Majapahit.
Pada usia 6 tahun ia masuk SR (Sekolah Rakyat), sekolah yang khusus bagi pribumi di Pamotan.
Kartosoewirjo belajar hanya sampai kelas IV di SR itu, sebab lalu pindah ke HIS
(Hollandsch-Inlandsche School). Tahun 1919 orang tuanya pindah ke Bojonegoro, maka
Kartosoewirjo pun pindah sekolah. Oleh orang tuanya ia dimasukkan ke ELS (Europeesche Leger
School). Semasa di Bojonegoro inilah ia belajar Islam pada Notodihardjo. Inilah satu-satunya
pendidikan agama yang diperoleh Kartosoewirjo di masa kanak-kanak dan remajanya.
Kartosoewirjo tidak pernah memasuki sistem pendidikan Islam seperti pesantren yang banyak
terdapat di Jawa Timur. Kartosoewirjo, seperti Soekarno, yaitu seorang otodidak.
Pengetahuannya tentang Islam sangat mungkin diperolehnya melalui buku-buku agama
(berbahasa Belanda dan Inggris) atau diskusi dengan pemimpin-pemimpin politik Islam seperti
H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
sesudah lulus dari ELS (1923) Kartosoewirjo masuk Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsche
Indische Artsen School). Pendidikannya di NIAS tidak diselesaikannya sebab ia diberhentikan
(drop out) akibat menyimpan buku-buku Marxis-Komunis, 1927. Di mana itu (1926-1927)
pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya memburu orang-orang komunis yang
dianggap terlibat dalam pemberontakan PKI. Sebagian komunis yang tertangkap dipenjarakan,
disiksa atau dibuang ke Boven Digoel. Siapa pun yang kedapatan menyebarkan ideologi Marxis-
Komunis ditangkap. Maka sangat beralasan bila pihak sekolah NIAS menghukum Kartosoewirjo
dengan mengeluarkannya dari sekolah ini . Berhenti dari sekolah, bukanlah akhir proses
belajar otodidaknya. Sistem pendidikan kolonial yang sempat digelutinya memberi-kannya bekal
yang relatif cukup untuk menjelajahi berbagai pemikiran dan filsafat politik yang berkembang
pada zaman itu, antara lain