Home » dasar pidana 3 » dasar pidana 3
Rabu, 24 Mei 2023
jahat ataupun yang bersifat berbahaya.
Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatan yang
dikehendaki,biasanya terdiridari suatu rangkaian perbuatan. Dalam hal ini Loebby Loqman
memberikan contoh sebagai berikut:
A mempunyainiat untuk membunuh B. untuk itu ada serangkaian perbuatan yang dilakukannya,
yakni:
1. A pergike rumah C untuk meminjam pistol;
2. A mengisi pistol dengan peluru;
3. A membawa pistolini menuju ke rumah B;
4. A membidikkan pistolke arah B;
5. A menarik pelatuk pistol, akan tetapitembakannya meleset sehingga B masih hidup.
Dari seluruh rangkaian perbuatan ini , perbuatan manakah yang dianggap sebagai
perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol
sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? jika melihat niatnya, memang perbuatan A
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol yaitu dalam kaitan pelaksanaan niatnya untuk
membunuh B. Akan tetapi apakah A pergike rumah C sudah dianggap permulaan dari pelaksanaan
pembunuhan ? Contoh lain. P yaitu seorang pegawai suatu kantor pos. P berkehendak untuk
mencuripos paket. Untuk itu sewaktu teman-teman sekerjanya pulang P menyelinap dan
bersembunyidikamar kecil.Akan tetapiternyata kepala kantor P masih belum pulang dan
tertangkaplah P. Darikasus P ini , apakah masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai
permulaan pelaksanaan?.
1. Teori Subjektif
Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal53 KUHP
bahwa “...jika niat itu telah terwujud dari adanya permulaan pelaksanaan ... Jadi dikatakan
sebagaipermulaan pelaksanaan yaitu semua perbuatan yang merupakan perwujudan dariniat
pelaku. jika suatu perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan
ini sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi ke rumah
C untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya yakni ingin membunuh B.
Sehingga A pergike rumah C untuk meminjam pistolsudah dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan melakukan percobaan membunuh B. Demikian juga dalam contoh kedua. P masuk ke
kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaanmelakukan percobaan pencurian.
Karena dengan masuknya P ke kamar kecil sudah merupakan permulaan pelaksanaan niatnya.146
Menurut teori subjektif dasar patut dipidananya percobaan (strafbare poging) itu
terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap bathin itulah yang merupakan
pegangan bagi teori ini. Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan
dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat dan karena itu bertolak dari sikap
bathin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang
menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya. Menurut van Hammel tidak
tepat pemikiran mereka yang mensyaratkan adanya suatu rectstreeks verband atau suatu hubungan
yang langsung antara tindakan dengan akibat, dimana orang menganggap yang dapat dihukum itu
hanyalah tindakan-tindakan yang menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat.
Menurut van Hammel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja karena aliran ini sesuai
dengan nieuwere strafrechtsleer (ajaran hukum pidana yang lebih baru) yang bertujuan untuk
memberantas kejahatan sampai kepada akarnya, yaitu manusiayang berwatak jahat (demisdadige
mens) akan tetapi juga karena dalam mengenakan pidana menurut rumus umum (algemene
formule) sebagaimana halnya dalam percobaan, unsur kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya
yang memberi pegangan kepada kita. Oleh karena kesengajaan (niat) dalam perbuatan percobaan
yaitu lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang ditimbulkan pada suatu ketika tetapi kemudian
menjadi hilang. Dan juga justru dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa
lalumenjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan terlepas dari hal-ikhwal
yang mungkin akan timbul sama sekali tidak berbahaya. jika dengan kesengajaan untuk
membunuh orang mengarahkan senapan kepada sasaran, padahal pelatuk senapan tidak terpasang,
maka perbuatan ini hanya bersifat berbahaya karena perbuatan dilakukan oleh orang yang
mempunyai kesengajaan (niat) tadi. Maka menurut van Hammel jika ditinjau dari sudut niat si
pembuat, dikatakan ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa yang telah dilakukan sudah
ternyata kepastiannya niat untuk melakukan kejahatan tadi.148
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori subjektif dapat
dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk melakukan kejahatan itu dianggap sudah
membahayakan kepentingan hukum. Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah
diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap telah membahayakan.
2. Teori Objektif
Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak pidana, yaitu
perbuatan. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena
tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum. Ajaran yang objektif menafsirkan istilah
permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari
kejahatandan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan
perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Jika mengacu
kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, daricontoh pertama peristiwa
yang menjaditujuan A yaitu membunuh B. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah
permulaan pelaksanaan agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling mungkin dianggap
sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif dalam kasus ini yaitu pada saat A menarik
pelatuk pistoluntuk membunuh B. Demikian pula pada kasus P. P menyelinap ke kamar kecil
bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap perbuatan yang diniatkan. Perbuatan yang diniatkan
yaitu mencuri. Unsur utama dari mencuri yaitu mengambil, yaitu jika seseorang telah
menjulurkan tangannya untuk mengangkat/ memindahkan suatu barang. Oleh karena itu menurut
teori objektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan.
Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif itu yaitu tidak tepat,
dengan alasan bahwa paham ini telah mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu
permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan dan telah membuat segalasesuatunya menjadi
tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim.
Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) ini
dapat di lihat di arresttanggal 7 Me1906,W.8372, yang menyatakan bahwa perkataan begin van
uitvoering”di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering
van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan “permulaan
pelaksanaan” itu terutama harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk
melakukan kejahatan”.
Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan yang dapat
dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat
Simons. Ajaran-ajaran Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum yang mempunyai
pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat) para anggota Hoge Raad antara lain :
a. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah
dirumuskan secara formil, suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan
dianggap telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan ini mulai dilakukan oleh
pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J.
1920 halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan menawarkan untuk
dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain
dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest inimerupakan suatu
permulaan daritindakan pemalsuan yang dapat dihukum.
b. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah
dirumuskan secara materil, suatu percobaan yang dapat dihukum dianggap telah terjadi
yaitu segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya langsung
dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya ini
harus melakukan suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu
antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J. 193 halaman 450, W.
12731, yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest pembakaran
rumah di kota Endhoven.
c. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah ditentukan
bahwa untuk melakukan delik-delik ini harus dipergunakan alat atau cara-cara
tertentu, ataupun dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang
dapat dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi, yaitu segera
setelah pelakunya menggunakan alat atau cara yang bersangkutan untuk melakukan
kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat kita
lihat antara lain di dalam arrest-arrestnya masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W.
5990, tanggal 4 April 1932, N.J. 1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J.
1941 No. 883 yang pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran, perusakan, atau
pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan pemanjatan itu merupakan permulaan
pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan.
Dan di dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 20 Januari 1919, N.J. 1919
halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19 Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada
dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu merupakan suatu kejahatan. Dengan
merusak penutup sebuah rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian ini .Dalam hal ini
telah terjadi suatu percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan.152 Loebby
Loqman memberikan beberapa contoh kasus tentang penentuan permulaan
Pelaksanaan menurut perspektif teori objektif :
a. Eindhovense Brandstichting arrest, kasus posisinya sebagai berikut: A dan B bersepakat
dengan C untuk membakar rumah C guna mendapatkan santunan asuransi. Sementara C
bepergian ke luar kotaA dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain bekas yang telah
disiram bensin dan menaruhnya diseluruh rumah. Sumbu ini dihubungkan dengan
pemantik kompor gas yang disambung dengan tali sedemikian rupa, sehingga nantinya
hanya dengan menarik tali dari luar rumah, akan terjadi api yang akan membakar sumbu
yang telah dipersiapkan. Sementara menunggu malam hari untuk melaksanakannya, A dan
B meninggalkan rumah ini . Sementara A dan B meninggalkan rumah itu, par tetangga
yang melewati rumah ini mencium bau bensinyang menusuk hidung, sehingga
mereka curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada saat A dan B datang
untukmelaksanakanpembakaran,dilihatnya telahbanyak orang sehingga mereka melarikan
diri. Namun akhirnya perkara ini sampai ke pengadilan dengan tuduhan mencoba
melakukan pembakaran.
Jika diperinci, perbuatan-perbuatan terdakwa dapat diperinci menjadi dua tahap.
Tahap pertama yaitu perbuatan membuat rumah siap bakar, sedangkan tahap berikutnya
menarik tali pemantik kompor gas untuk pembakaran rumah ini . Persoalan dalam
kasus ini yaitu apakah telah ada perbuatan yang dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan, ataukah baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk melakukan
pembakaran rumah. Ternyata Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai percobaan
melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan percobaan. MvT menyerahkan penentuan
perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan kepada praktek, sehingga dalam hal ini
Hoge Raad dimungkinkan untuk mencari pertimbangan dalam tiap kasus tentang apa yang
dimaksud dengan permulaan pelaksanaan dalam suatu percobaan. Adapun pertimbangan
Hoge Raad bahwa kasus ini dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan yaitu :
(1) Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya merupakan kemungkinan untuk
pembakaran rumah ini , ada kemungkinan untuk perbuatan-perbuatan lainkecuali
pembakaran rumah.
(2) Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan persiapan pelaksanaan, dan bukan
permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.
(3) Perbuatan yang dimaksud sebagai permulaan pelaksanaan seharusnya merupaka suatu
perbuatan yang tidak diperlukan lagi adanya suatu tindakan lanjutan daripelakunya.
Tindakan menarik tali sambungan dari pemantik kompor gas, dianggap merupakan
tindak lanjut dari pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali ini tidak perlu
ada dalam perbuatan permulaan pelaksanaan (dalam hal ini permulaan pelaksanaan
dianggap ada jika A atau B menarik tali ini ).
(4) Mungkin saja dalam kasus initerjadihal-halyang tidak terduga sehingga pembakaran
tidak akan terjadi, umpamanya :
- Pemantik kompor gas menjadi macet;
- Sumbu yang diberibensintidak mau menyala;
- Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah menyala
- Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang akan menarik tali
jika diperhatikanternyatadalam kasus di atas Hoge Raad lebih menggunakan
teoriobjektif, dengan menyebutkan alasan yang pertama (1) diatas. Disamping itu juga
menyebutkan bahwa apa yang dilakukan A dan B merupakan persiapan pelaksanaan
(2) seperti yang dianut dalam teoriobjektif. Alasan (3) dan (4) Hoge Raad malah
memberikan contoh-contoh tentang kapan suatu perbuatan dianggap sebagai
permulaan pelaksanaan.
b. Hammer Arrest (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge Raad tanggal 21 Mei 1951, N.J. 1951,
480 yang kasus posisinya sebagai berikut:A seorang priayang menjalinhubungan asmara
dengan B seorang wanita yang telah bersuami, yakniC. A dan B bersepakat untuk
membunuh C dengan jalan akan memukulC pada waktu C tidur, dan setelah C pingsan
akan menempatkannya di dapur dan akan dibuka saluran gas di dapur, sehingga C akan
meninggalkarena keracunan gas. Pada suatu malam yang telah ditentukan, B memberikan
kunci rumah kepada A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya masuk ke
kamar tidur, A menghempaskan paluke arah kepala namun tidak mengenai kepala C,
karena kebetulan C menggeser badannya/kepalanya pada saat yang tepat. C terbangun dan
melakukan perlawanan. A memukul C beberapa kali dan melarikan diri dari rumah
ini .
Ditingkat kasasi terdakwa mengutarakan bahwa, pertimbangan Pengadilan
Tinggiyang menyatakan perbuatan A dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam
suatu niat untuk pembunuhan yaitu tidak tepat. Karena dianggap rencana
pembunuhannya yaitu dengan cara menempatkan korban di dapur dan saluran gas akan
dibuka agar korban meninggal karena keracunan gas,bukan dengan memukul palu. Dalam
perkara ini Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa apa yang dilakukan terdakwa
telah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. jika seseorang dengan pertimbangan
yang masak dan dengan tenang sebelumnya untukmelakukan pembunuhan,
apalagisebelumnya telah dipersiapkan pemukuldan masuk ke rumah korban dengan kunci
yang telah dipersiapkan sebelumnya, lalu masuk kekamar tidur, halitu sudah merupakan
perwujudan dari pembunuhan yang diniati.
Telah direncanakan sebelumnya ada 2 tahap dalam melaksanakan pembunuhan.
Yang pertama yaitu memukulkorban hingga pingsan, tahap kedua yaitu menempatkan
korban di dapur, membuka selang gas, sehingga korban akan meninggal karena keracunan
gas. Dengan demikian tahap pertama sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan
pelaksanaan dari perbuatan yang diniati.
jika dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense Brandstichting dan Kasus
Palu, terhadap kedua-duanya dipakai teori objektif. Namun dalam perkara Eindhovense
Brandstichting perbuatan tahap pertama yaitu perbuatan rumah siap dibakar dianggap belum
merupakan perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sedangkan dalam kasus Palu
perbuatan tahap pertama yaitu pemukulan dengan palu agar korban jatuh pingsan, dianggap telah
merupakan perwujudan dari perbuatan yang diniatinya. Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua
putusannya itu telah memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan rumusan yang
disesuaikan dengan keadaan yang konkrit.
Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari
delikyang dituju oleh sipelaku, jika memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari
rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik.
Adapun syarat-syarat ini yaitu :
a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang
dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik ini .
b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah
dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang tertentu tadi.
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat
melawan hukum.
Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa berkenaan dengan ketiga syarat tentang
permulaan pelaksanaan ini perlu dikemukakan catatan-catatan sebagai berikut:
a. Oleh karena delik yang di tuju tidak diketahui, lebih dahulu bahkan harus ditetapkan,
antara lain dengan mengingat perbuatan yang telah dilakukan. Maka istilah permulaan
pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap.
b. Karenanya juga tidak mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada
percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk menentukan delik yang
dituju) diperlukan adanya bukti-bukti di luar wet.
c. Sehubungan dengan ini,meskipun perbuatan yang dilakukan ini mungkin dipisahkan dari
unsur niat, tapi dalam pada itu jangan lalu berpendapat bahwa isinya niat hanya mungkin
dibuktikan dari perbuatan yang telah dilakukan saja.
Khusus untuk catatan yang ketiga (c) seperti yang ini diatas Moeljatno secara
khusus mengutip beberapa contoh yang dikemukakan oleh Noyon yaitu :
- Bagaimana dapat dibuktikan seseorang dengan penggunaan nama palsu atau tipu daya
yang disertai dengan permintaan untuk memberikan suatu benda, bahwa orang ini
juga betul-betul berminat untuk mendapatkan benda ini . Mungkin saja ia hanya
bermaksud untuk membuktikan bagaimana mudahnya orang lain itu mempercayainya.
- Mengulurkan tangan ke arah barang orang lain,denganitu saja tidak mungkin dibuktikan
kehendak untuk mengambilbarang ini . Apalagi mengambil dengan maksud
dimiliki secara melawanhukum.
- Membawa api ke barang yang mudah dibakar, dengan itu saja tidak dapat dibuktikan
adanya niat untukmembakar barang ini .
- Melukaiseseorang tidak mungkin membuktikan adanya niat untuk membunuh
Dengan demikian menurut Loebby Loqman, sebenarnya pandangan Moeljatno yaitu
campuran antara kedua teori yakni campuran antara teori objektif dan teori subjektif. Hal
terpenting bagi Moeljatno yaitu sejauhmana sifat melawan hukum dari perbuatan yang
dipermasalahkan sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan.
3. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut
KUHP yaitu pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak
pelaku. Dalam halinitidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah
berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu
bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari
dalam diri orang ini yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak
terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan
dari luar diri orang ini , yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya
perbuatan yang dikehendakiitu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu halyang dapat
dilakukan dalam pembuktian yaitu dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak
selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di
dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain
di luar dari dalam diri sipelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat
membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby Loqman memberikan contoh sebagai berikut:
a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan
pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh
B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B
pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau ditangan A menuju ke
arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di
dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan ini . Terdakwa dalam kasus di atas
dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan
berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan
berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan diluar kehendaknya”.
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan
dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang
semuladikehendakinya. Akan tetapiyang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A
melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A
tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula. Meskipun demikian Pengadilan
Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus ini tetap sebagai
percobaan. Pengunduran diri dalam kasus diatas meskipun ada faktor yang datang dari dalam
diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari
niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun
seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapitimbulniatnya untuk
secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal ini tidak
dapat lagi dilakukan. Sebagai contoh: Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang
memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim
memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena
delik“kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang ini telah melakukan delik.
Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam
sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang ini ingin menarik diri
secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang
pengadilan. Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti diatas, dianggap
sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena
dengan sukarela orang ini menarik kembali keterangan yang tidak benar. Akan tetapi
melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai
(delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah
penundaan sidang.
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang
melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai.
Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikualifikasi). Sebagai
contoh: Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah
rumah. Untuk itu orang ini telah memasuki halaman rumah ini . Akan tetapi sebelum
memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang ini disamping dianggap
melakukan percobaan pencurian(jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik
yang selesai.Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur
dalam Pasal 167 KUHP.
Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju
bukan karena kehendak sendiri,dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:158
a. Adanya penghalang fisik. Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya
disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk
dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya
macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapitidak selesainya itu disebabkan karena akan
adanya penghalang fisik. Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk
mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan keadaan khusus pada
objek yang menjadi sasaran. Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga
tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri
terlalu berat walaupun sipencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat
dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada
pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya,
tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara
teori dapat dibedakan antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan
pelaksanaan yang diperlukan untuk delikyang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi
dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik ini . Misal: orang
memberi racun pada minuman sikorban, tetapisetelah diminumnya ia segera memberikan
obat penawar racun sehingga sikorban tidak jadi meninggal.
Adapun maksud dicantumkannya syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori
Penjelasan (Memorie van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) yaitu untuk :160
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak
dapat dihukum. jika ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih
mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk
menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung.
Adapun maksud dicantumkan syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan
(Memorie Van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) yaitu :
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak
dapat dihukum, jika ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih
mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk
menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung.
Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu istilah yang
disebut dengan Ondeugelijke Poging. Ondeugdelijke poging yaitu suatu perbuatan meskipun
telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal,
bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu
perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin
pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai dengan harapannya.
Ondeugdelijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah
dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delikyang dituju tidak selesai atau akibat yang
terlarang menurut undang-undang tidak timbul.
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan ini , pertama karena
alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna.
Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut)
dan tidak sempurna secara nisbi (relatif). Loebby Luqman mencontohkan sebagai berikut:
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B
denganmenggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum
ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam
minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir.
b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A
memberikan racun arsenicumke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi
sehingga A tetap hidup.
2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu
malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal
dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam
keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui
bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan
rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun
mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk
melakukan kejahatan yang tertentu didalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan
tertentu ini diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada
objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan. Mengenai percobaan yang
tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :
a. Tidak mampu mutlak, yaitu biladengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai;
dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr.Karni memberi contoh : meracuni
dengan air kelapa.
b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru
hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena
keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada.
Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan. Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas
terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari 2 segi:
a. Keadaan tertentu dari alat pada waktu sipembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
Hal penting untuk diketahui yaitu apakah dengan tidak sempurnanya alat ataupun
objek,dapat dianggap telah terjadi suatu percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu
percobaan maka pelaku telah memenuhi 3 syarat percobaan,yaitu ada niat untuk melakukan suatu
kejahatan, dan sudah mewujudkan niat ini ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan
pelaksanaan.Tetapi delik yang dituju itu tidak selesai (tidak terjadi) karena adanya faktor
eksternal dari diri orang itu, yaitu karena alatnya atau objeknya itu tidak sempurna. Apakah dapat
dikatakan telah terjadi suatu percobaan melakukan pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke
dada B, yang ternyata B telah mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat
dihukum C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun ke dalam minuman D yang
ternyata racun ini yaitu gula?
Dalam hal seperti ini, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah kejadian
ini dapat dipidana. Bagimereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan antara
ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula
pelaku sudah mempunyai niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan
dengan adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan
demikian peristiwa ini sudah merupakan suatu perbuatan percobaan melakukan kejahatan.
Namun tidak demikian halnya denga teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang
tidak dapat dipidana. Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan
kejahatan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan
kepentingan hukum. Bagi teori objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai
kepada penyelesaiaan kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian
rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori objektif, hal demikian
telah membahayakan kepentingan hukum sehingga pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk
ketidaksempurnaan mutlak, baik sasaran maupun sarana, dianggap tidak merupakan hal yang
membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa yang dilakukan
pelaku tidak sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana
ataupun sasarannya mutlak salah.
BAB VIII
PENYERTAAN (DEELNEMING)
A. Dasar Hukum Penyertaan Menurut KUHP
Pengaturan mengenai pembagian penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Berikut bunyi pasal-pasal mengenai penyertaan dalam KUHP:
Pasal 55
1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP diatas maka penyertaan terbagi menjadi dua
yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat diatur dalam Pasal 55 KUHP yaitu plegen (mereka yang
melakukan), doenplegen (mereka yang menyuruh melakukan) medeplegen (mereka yang turut
serta melakukan), uitlokken (mereka yang menganjurkan). Sedangkan pembantu diatur di dalam
Pasal 56 KUHP yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan dan pembantuan sebelum
kejahatan dilakukan.
B. Plegen (Yang Melakukan)
Kata plegen diartikan sebagai yang melakukan sedangkan pleger dapat diartikan sebagai
pelaku. Menurut Hazawinkel Suringa, pelaku yaitu setiap orang yang dengan seorang diri telah
memenuhi semua unsur seperti yang ditentukan dalam rumusan delik, oleh karena itu pelaku
bukanlah seorang yang turut serta (deelnemer) namun dapat dipidana bersama-sama melakukan
suatu perbuatan pidana.168 Menurut Hazewinkel Suringa ini yang dimaksud dengan pleger
yaitu setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang
telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana
yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang ini tetap dapat dihukum. Dalam praktek
sukar menentukannya, karena pembuat undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang
menjadi pleger. Kedudukan plager alam Pasal 55 sering dipermasalahkan. Terutama dalam
penyertaan medeplegen.
C. Doenplegen (Menyuruh)
Menyuruh lakukan yaitu terjemahan dari doenplegen, sedangkan orang yang
menyuruh lakukan disebut dengan istilah doenpleger. Seseorang yang menyuruh orang lain
melakukan suatu perbuatan, sama halnya dengan orang ini melakukan perbuatan itu sendiri.
Menyuruh yaitu dimana auctur intelectualis menyuruh auctor physicus (dalam hal ini auctor
physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya) untuk melakukan tindak pidana.
Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan menggunakan orang lain sebagai
alat untuk mengendalikan auctor physicus ini . Dari pengertian di atas di dapat dipahami
beberapa hal.
Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu:
1) Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung
2) Auctor physicus sebagai pembuat langsung
Menurut keterangan MvT, auctor physicus berdasarkan perbuatannya dapat dibagi menjadi:
a. Tindak pidana terwujud yaitu atas perbuatan auctur physicus sepenuhnya. Artinya auctor
intelektualis tidak berperan secara nyata dalam tindak pidana ini .
b. Auctur physicus murni sebagai alat.
Kedua yang menjadi ciri-ciri dari doenplegen yaitu:
1) Alat yang dipakai yaitu manusia.
2) Alat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Simons, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:
a) jika orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu yaitu seseorang yang
ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
b) jika orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
c) jika orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai
schuld, baik dolus maupun culpa ataupun jika orang ini tidak memenuhi unsur opzet
seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana ini .
d) jika orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur
oogmerk padahal unsur ini tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang
mengenai tindak pidana.
e) jika orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah
pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan
terhadap paksaan dimana orang ini tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
f) jika orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah
melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan ini diberikan oleh seorang
atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
g) jika orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu
hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang
yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Sedangkan menurut VOS, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :169
a) Orang yang disuruh melakukan yaitu tidak mampu bertanggungjawab atas
perbuatannya oleh karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwanya
karena penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP yang
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana.”
b) Auctur physicus itu terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana karena adanya
pengaruh daya paksa (overmacht) sebagai mana yang dimaksud Pasal 48 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana.”
c) Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana oleh sebab
karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) KUHP.
d) Pada diri auctur physicus tidak terdapat kesalahan baik berupa kesengajaan atau
kealpaan.
e) Auctur physicus dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu dari unsur
tindak pidana yang dirumuskan undang-undang. Misalnya tindak pidana itu
membutuhkan kualitas pribadi tertentu pembuatnya, atau memerlukan unsur
kesengajaan atau unsur melawan hukum, tetapi pada orang itu maupun pada
perbuatannya tidak ada.
Menurut Moeljatno auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :
a) Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, ataupun kemampuan bertanggungjawab.
b) Berdasarkan Pasal 44 KUHP yaitu karena cacat jiwa atau terganggu karena penyakit.
c) Dalam keadaan daya paksa seperti yang dimaksud Pasal 48 KUHP.
d) Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP yaitu jika diperintah dengan itikad baik mengira
bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam
lingkupan pekerjaannya.
e) Orang yang disuruh tidak punya sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik.
Menurut MvT WvS Belanda menyuruh melakukan yaitu dia yang melakukan tindak
pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat
dalam tangannya, jika orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung
jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk menyuruh, yaitu:
a) Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya.
b) Orang lain itu berbuat:
a. Tanpa kesengajaan.
b. Tanpa kealpaan.
c. Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1. Yang tidak diketahuinya.
2. Karena disesatkan.
3. Karena tunduk pada kekerasan.
Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas
orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan
subjektif (batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat
materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).
Berdasarkan keterangan MvT ini , dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk
pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu
dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekusaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa
kesalahan, dan tanpa tanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal
yang ternyata subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (auctur phisycus)
karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dapat dipertanggungjawabkan karena
keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang
subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan yaitu bersifat objektif.
Dari penjelasan di atas menurut Adami Chazawi ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan
mengapa auctus physicus tidak dapat dipidana, yaitu:
1. Tanpa Kesengajaan atau Tanpa Kealpaan
Perbuatan auctur physicus pada kenyataannya merupakan telah mewujudkan tindak
pidana, namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena kesengajaan atau karena
kealpaan.Karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu (actus intelectualis)
menyuruh pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan 10 lembar uang yang
diketahuinya palsu. Pembantu dalam kasus ini sebagai actus physicus dalam kejahatan
mengedarkan uang palsu pasal 245 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja
mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata
uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu
diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau
memasukkan ke negara kita mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu,
terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal ini pembantu ini tidak mengetahui tentang palsunya
uang yang dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada unsur
kesalahan (dalam bentuk kesengajaan)
Karena kealpaan seorang ibu membenci pada seorang pemulung karena seringnya
mencuri benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui
pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas di bawah jendela rumahnya
yang loteng. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya untuk
menumpahkan air panas dari jendela, dan mengenai pemulung itu. Pada diri pembantu tidak ada
kelalaian karena telah diketahuinya bahwa selama ini tidak ada orang di bawah jendela dan
pembantu itu telah sering pula membuang air dari jendela.
2. Karena Tersesatkan
Apa yang dimaksud dengan tersesatkan disini yaitu kekeliruan atau kesalahpahaman
akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain (in casu manus
domina) dengan cara-cara yang isinya tidak benar atau palsu, yang atas kesalahpahaman itu
memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain timbul
kesalahapahaman itu yaitu oleh sebab kesengajaan oleh penyuruh. Sehingga apa yang diperbuat
oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja
menyebabkan keadaan tersesatkan ini
Seorang berkehendak untuk mencuri sebuah koper milik seorang penumpang kereta api.
Sejak semula di stasiun, sebelum orang itu naik kereta, orang jahat itu telah menguntitnya dan
kemudian ikut pula menaiki kereta. Ketika pemilik koper itu sedang tertidur lelap, dimana kereta
api sedang berhenti pada suatu stasiun, orang jahat tadi menyuruh seorang kuli angkut untuk
menurunkan koper itu dan membawanya kesebuah taksi yang kemudian dipesan. Pada peristiwa
ini, kuli tadi telah melakukan perbuatan mengambil koper milik orang lain oleh sebab tersesatkan.
Disini telah terjadi pencurian koper, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli,
melainkan pada orang jahat yang menyuruh.
3. Karena Kekerasan.
Apa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) itu yaitu perbuatan dengan
menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu
fisiknya tidak berdaya. Dalam hal bentuk penyuruh, kekerasan ini datangnya dari auctur
intelectualis yang ditujukun pada auctur physicus, sehingga orang yang menerima kekerasan fisik
ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat
penyuruh.
Lalu menjadi pertanyaan mungkinknah seseorang yang tidak berkualitas, menyuruh
seseorang yang berkualitas misalnya dalam kejahatan jabatan? Misalnya saja seorang yang bukan
pegawai negeri menyuruh seseorang yang pegawai negeri untuk melakukan kejahatan jabatan?
Untuk menjawab ini ada 2 jawaban para sarjana.
a. Mungkin karena bentuk doenplegen bukanlah pembuat tunggal (dader), tetapi tanggung
jawabnya saja yang disamakan dengan pembuat tunggal, maka dia tidak harus memiliki
kualitas itu. Orang yang berkualitas itu yaitu dader saja, bukan termasuk doen pleger.
Pendapat ini dianut Jonkers, Vos, dan Pompe.
b. Tidak mungkin karena tidak mungkin seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh
melakukan kejahatan jabatan pada seorang pegawai negeri, karena tidak mungkin dapat
menyuruh lakukan sesuatu yang dia sendiri tidak dapat melakukan itu. Artinya yang dapat
menjadi penyuruh yaitu pegawai negeri sipil juga. Pendapat ini dianut oleh Van Hammel
dan Simons.
Orang yang menyuruh melakukan mengambil peran sendiri pula, tetapi berbeda dengan
pembujuk karena ia mempergunakan seorang perantara yang dapat dipidana guna mencapai
tujuannya. Kadang-kadang juga diungkapkan seperti berikut ini, orang yang “menyuruh
melakukan” itu mempergunakan orang lain sebagai “alat tak berkehendak”. Tidak dapat
dipidananya itu mungkin dari ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana pasal 44 KUHP
atau dari ketiadaan kesengajaan yang dipersyaratkan untuk si perantara. Ciri menyuruh melakukan
asli, yakni mempergunakan orang lain (yang tidak mampu bertanggung jawab atau yang tidak
tahu) seakan-akan sebagai alat tak berkehendak di tangannya sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan
jahat.
Ada tiga syarat penting dalam doenplegen. (1) alat yang dipakai untuk melakukan suatu
perbuatan pidana yaitu orang.(2) orang yang disuruh tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan
atau kemampuan bertanggungjawab (3) sebagai konsekuensi syarat kedua yaitu bahwa orang
yang disuruh melakukan tidaklah dapat dijatuhkan pidana. Contoh, A dan B bertentangga, mereka
sering bertengkar mulut sampai suatu ketika timbul niatan dari A untuk melukai B. Pada saat B
sedang berjalan di depan rumah, A lalu menyuruh anaknya C yang berusia 10 tahun untuk
melempari B dengan batu yang ada di halaman . C kemudian melempari B dan mengakinatkan
luka di kepala. Dalam konteks yang demikian, A yaitu doenpeleger atau orang yang menyuruh
lakukan sedangkan C yaitu orang yang disuruh untuk melakukan suatu perbuatan pidana atau
hanya sebagai alat semata atau manus ministra, sudah tentu yang dimintai pertanggungjawaban
pidana yaitu A bukan C.
D. Medeplegen (Turut Serta)
Medeplegen dapat diartikan sebagai turut serta melakukan. Menurut R. Sugandi dalam
bukunya KUHP dan Penjelasannya, turut serta diartikan melakukan bersama-sama. Dalam tindak
pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan turut
melakukan. Dan dalam tindakannya keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan. Jadi
keduanya melakukan tindak pidana itu. Tetapi jika kedua pelaku itu hanya melakukan
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya membantu, maka kedua pelaku itu
tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, akan tetapi hanya sebagai orang
yang “membantu melakukan” sebagai mana dimaksud pasal 56.
Menurut Mahrus Ali turut serta ialah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang
lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersamasama pula ia turut beraksi dalam
pelaksanaan perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula disepakati. Jadi, dalam penyertaan
bentuk turut serta ini, dua orang atau lebih yang dikatakan sebagai medepleger ini semuanya
harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama pada suatu perbuatan pidana yang mereka lakukan.
Menurut Schaffmeister turut serta ialah seorang pembuat ikut serta mengambil
prakarsa dengan berunding dengam orang lain dan sesuai dengan perundingan itu mereka
itu bersama-sama melaksanakan delik. Dari defenisi diatas didapat beberapa unsur yaitu:
1. Bersepakat.
2. Bersama orang lain membuat rencana.
3. Melakukan perbuatan pelaksanaan.
4. Bersama-sama melaksanakannya.
Sedangkan syarat turut serta menurut Teguh Prasetyo yaitu sebagai berikut:178
1. Mereka memenuhi semua rumusan delik.
2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik.
3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
4. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama yang dilakukan secara sengaja untuk
bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.
5. Adanya pelaksanaan secara fisik (kerja sama yang erat dan langsung atas suatu
perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan)
Menurut Van Hamel perbuatan orang yang medeplegen selain merupakan penyertaan
lengkap, juga orang-orang yang terlibat harus melakukan seluruh perbuatan. Medeplegen pada
hakikatnya hanya mungkin pada perbuatan yang merupakan delik, pada delik materil perbuatan
ini adequate kausal dengan akibat. 179
Menurut Pompe bahwa medeplegen yaitu seseorang dengan seorang lainnya atau lebih
melaksanakan perbuatan pidana. Dalam makna bahwa masing-masing atau setidak-tidaknya
mereka itu semua melaksanakan unsur-unsur perbuatan pidana ini , namun tidak
mensyaratkan medeplegen harus melaksanakan semua unsur delik. Berdasarkan pendapat Pompe
maka ada tiga kemungkinan dalam medeplegen yaitu (1) semua pelaku memenuhi unsur dalam
rumusan delik (2) salah seorang memenuhi unsur delik, sedangkan pelaku yang lain tidak. (3) tidak
seorang pun memenuhi semua unsur delik, namun bersama-sama mewujudkan delik ini .
Contoh : C dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan kendatipun hanya menunggu di mobil
bukanlah perbuatan yang memenuhi unsur delik, akan tetapi merupakan suatu rangkaian perbuatan
pencurian dengan kekerasan. Dari ketiga hal yang penting yang disebutkan diatas bahwa menurut
Pompe, medeplegen ada dua kesengajaan (1) kesengajaan untuk mengadakan kerja sama dalam
rangka mewujudkan suatu delik diantara para pelaku artinya, ada suatu kesepakatan atau meeting
of mind diantara mereka. (2) yaitu kerja sama yang nyata dalam mewujudkan delik ini .
Kedua kesengajaan ini mutlak harus ada dalam medeplegen dan keduanya harus dibuktikan
penuntut umum di pengadilan. Maka pihak yang bersepakat dan melakukan perbuatan akan
mendapat hukuman yang sama. Namun jika seorang medepleger melampaui batas kesengajaan,
maka pertanggungjawabannya hanya dibebankan kepada ia sendiri. contoh A dan B berniat
mengiaya C. A dan B memukul C berulang kali hingga jatuh. Ketika B sudah berhenti mengiaya,
tiba-tiba A mengeluarkan sebilah pisau dan menusuknya di bagian perut C sehingga berakibat
mati. Dengan demikian matinya C hanya menjadi tanggungjawab pidana A dan bukan
tanggungjawab B dalam konteks ikut serta melakukan.
Dalam turut serta ditemui mengenai penentuan kualitas dari peserta. Penetuan ini
yaitu pandangan secara sempit (objektif) dan pandangan secara luas (subjektif).
1. Pandangan secara sempit (objektif). Menurut pandangan secara sempit, para peserta
harus memenuhi semua rumusan unsur delik.
2. Pandangan secara luas (subjektif). Menurut pandangan secara luas, para peserta
memiliki peran tersendiri hingga terjadinya suatu perbuatan pidana. Ada yang menjadi
pembuat pelaksana, dan ada yang menjadi pembuat peserta.
Sejalan dengan apa yang disampaikan Schaffmeister dan Teguh Prasetyo, Hoge
Raad dalam arrestnya menyatakan dua kriteria pembuat peserta.
1. Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi.
2. Para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan
E. Uitlokking
Uitlokking diartikan sebagai yang menganjurkan atau menggerakkan, sedangkan orang
yang menganjurkan atau menggerakkan disebut uitlokker. Van Hammel memberikan pengertian
uitlokking sebagai berikut: Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
dipertanggungjawakan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu perbuatan pidana dengan
menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang karena telah tergerak, orang
ini kemudian dengan sengaja melakukan tindak pidana itu.
Sama halnya dengan bentuk menyuruhlakukan (doenpelegen), bentuk penyertaan
uitlokking terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang
menganjurkan dan orang yang dianjurkan. Orang yang menganjurkan disebut ouctor intellectualis
dan orang yang dianjurkan disebut sebagai auctor materialis atau materieele dader.181Plus peccat
auctor quam actor, artinya orang yang menggerakkan suatu kejahatan dipandang lebih buruk
daripada yang melakukannya. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP telah ditentukan secara
limitatif upaya untuk menganjurkan atau menggerakkan orang lain melakukan perbuatan pidana
yaitu:
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu
2. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat
3. Dengan kekerasan
4. Dengan ancaman atau penyesatan
5. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan.
Ada lima syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk penyertaan uitlokking yaitu:182
1. Kesengajaan untuk menggerakkan atau menganjurkan orang lain melakukan suatu
perbuatan pidana
2. Ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang digerakkan atau dianjurkan,
artinya kehendak ini juga ada pada orang yang digerakkan atau dianjurkan.
Hal ini berkaitan dengan kausalitas psikis.
3. Orang yang digerakkan benar-benar mewujudukan perbuatan pidana atau
percobaan perbuatan pidana yang dikehendaki oleh penggerak atau penganjur.
Itikad buruk saja tidaklah cukup, tanpa terwujudnya perbuatan oleh orang yang
dianjurkan atau digerakkan.
4. Menganjurkan atau menggerakkan harus dengann cara-cara yang telag ditentukan
secara limitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 diatas.
5. Orang yang digerakkan atau dianjurkan harus dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana.
Antara menyuruh lakukan dengan menggerakkan atau menganjurkan ada tiga perbedaan
yang mendasar. Pertama, pihak yang upaya perbuatan pidana dalam doenplegen harus tetap
dikecualikan dari pemidanaan, sedangkan orang yang menggerakkan atau dianjurkan melakukan
perbuatan pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kedua, upaya dalam uitlokking
bersifat limitatif, sementara dalam doenplegen dapat digunakan sarana apapun. Ketiga, uitlokking
atau orang yang menggerakkan atau menganjurkan tidak mungkin mewujudkan sendiri semua
unsur yang ada dalam rumusan delik.
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana seorang penggerak atau penganjur atau
uitlokking? Perhatikan contoh berikut:
Pertama, A sakit hati dengan B dan menggerakkan C untuk memukul B. pada
kenyataannya, C tidak memukul, melainkan menusuk B dengan sebilah pisau. Apakah A
dapat dimintai pertanggungjawabn? Dalam konteks ini, A tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atas akibat yang dilakukan oleh C, namun A dapat
dipidana karena menggerakkan orang lain melakukan penganiayaan meskipun tidak terjadi
akibat yang diiinginkan oleh A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 bis KUHP.
Kedua, A menggerakkan B untuk membunuh C. Pada kenyataannya B tidak membunuh C
melainkan membunuh Z. Apakah A dapat dimintai pertanggungjawaban pidana? sama
jawaban pada contoh diatas, A tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas
akibat yang dilakukan oleh B, namun A dapat dipidana karena menggerakkan orang lain
melakukan pembunuhan meskipun tidak terjadi akibat yang diinginkan oleh A
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 bis KUHP.
G. Pembantuan
Pembantuan atau medeplichtige yaitu ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau
lebih, pertama yaitu pelaku atau pembuat atau de hoofd dader, kedua, pembantu atau
medeplichtige.183 Omne principale trahit ad se accessorium. Dimana ada pelaku utama, di situ ada
pelaku pembantu. Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi “Dipidana sebagai
pembantu suatu kejahatan:
a. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
b. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.”
Berdasarkan dari bunyi Pasal 56 KUHP diatas dapat maka dapat disimpulkan dua bentuk
pembantuan yaitu:
a. Sebelum dilaksanakannya kejahatan. Pembantuan untuk melakukan kejahatan. Artinya
pembantuan itu diberikan sebelum kejahatan terjadi, apakah dengan memberikan
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.184 Cara yang dilakukan
yaitu dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Mirip dengan penganjuran
pada uitlokken. Perbedaannya pada niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat
pembuat materiil sudah ada sejauh semula/tidak ditimbulkan pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh
penganjur.185 dalam penganjuran inisiatif (prakarsa) melakukan tindak pidana datang dari
si penganjur dimana untuk membujuk ia memberikan sejumlah kemudahan, yaitu dengan
memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Dalam membantu melakukan, inisiatif
(prakarsa) untuk melakukan tindak pidana berasal dari orang lain, sedangkan si pembantu
hanya sekedar membantu dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan”
b. Saat dilaksanakannya kejahatan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam
KUHP. Mirip dengan medeplegen. Namun perbedaannya terletak pada:
1. Pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedangkan pada
turutserta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja
sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang
turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai
tujuan sendiri.
3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta
dalam pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu yaitu maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi
sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
Pembantuan untuk melakukan pelanggaran tidaklah dipidana. Seseorang tidak bisa
disebut sebagai pelaku pembantuan hanya karena ia kenal pelaku utamanya, namun pembantuan
harus tahu apa yang ia perbuat dan dengan cara apa membantunya. Pembantuan haruslah dilakukan
dengan suatu kesengajaan dan delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan.
Ada beberapa perbedaan antara turut serta melakukan dengan pembantuan yaitu:
1. Turut serta melakukan pelanggaran dijatuhi pidana, sedangkan pembantuan dalam
pelanggaran tidak dijatuhi pidana
2. Dalam turut serta melakukan harus ada kesengajaan untuk bekerjasama atau relasi yang
sebanding, namun dalam pembantuan hal ini tidak disyaratkan. Pelaku bahkan tidak perlu
mengetahui adanya pembantuan yang diberikan oleh yang memberikan bantuan.
3. Dalam turut serta melakukan harus ada kerjasama yang erat diantara para pelaku, sedangkan
dalam pembantuan orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting.
Contoh, A memberi informasi kepada B dan C, bahwa tuan rumah tempat A bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, pada malam nanti akan menyimpan uang tunai di rumah dan jumlah
yang banyak. Setelah laryt malam, B dan C kemudian melakukan aksi pencurian.
4. Dalam turut serta melakukan harus ada uitvoeringshandeling atau tindakan pelaksanaan,
sedangkan dalam pembantuan hanya cukup melakukan voorbereidingshandeling atau
tindakan persiapan maupun tindakan dukungan atau ondersteuningshandeling. Contoh X
yang sedang bersepeda ditaman, dihadang oleh Y dan Z. ketika Y dan Z menganiaya X, tiba-
tiba datang E dan F yang yaitu teman Z., lalu menyembunyikan sepeda X dengan maksud
agar X tidak melarikan diri. E dan F dapat dimintai pertanggungjawaban karena membantu
melakukan penganiayaan terhadap X
5. Pemidanaan terhadap turut serta melakukan sama dengan pelaku lainnya, sementara dalam
hal pembantuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pembantu dikurangi sepertiga dari
maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku utama.
6. Meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian, namun jika kerjasama para pelaku
yaitu sangat erat, maka orang yang demikian itu lalu dipandang sebagai pelaku dan bukan
sebagai pembantu. Contoh, A dan B berniat mencuri di rumah C. A dan B kemudian
bermufakat dengan D, pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah C untuk mengunci
pintu belakang pada malam yang telah ditentukan. Dalam konteksi demikian, D tidak sebagai
pembantu, melainkan turut serta melakukan. Hal ini karena ada pemufakatan jahat terlebih
dahulu, meskipun perbuatan D jika dilihat secara terpisah tidaklah memenuhi unsur delik.
BAB IX
PERBARENGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP/CONCURSUS)
A. Pengertian
Pembarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang
menterjemahkannya dengan gabungan. Menurut rumusan undang-undang yang dimaksud dengan
perbarengan perbuatan pidana yaitu seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar
beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing
perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dan salah satu dari perbuatan pidana itu
belum dijatuhi putusan hakim. Ditinjau dari pengertian perbarengan perbuatan pidana ini
dapat diperoleh bentuk perbarengan sebagai berikut:
1. Perbuatan concursus idealis atau eendaadse samenloop, jika seseorang melakukan
suatu perbuatan tetapi masuk dalam beberapa peraturan hukum pidana, sehingga orang itu
dianggap melakukan beberapa perbuatan pidana (Pasal 63 KUHP).
2. Perbuatan berlanjut atau voortgezette handeling, jika seseorang melakukan beberapa
perbuatan pidana yang masing-masing merupakan perbuatan berdiri sendiri (kejahatan atau
pelanggaran) tetapi di antara perbuatan itu ada hubungannya satu sama lain yang harus
dianggap sebagai satu perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP). Dalam MvT (Memorie van
Toelichting) kriteria perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlajutan yaitu :
a. Harus ada satu keputusan kehendak
b. Masing-masing perbuatan harus sejenis
c. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
3. Perbuatan concursus realis atau meerdaadse samenloop, jika seseorang melakukan
beberapa perbuatan pidana yang masing-masing merupakan perbuatan yang berdiri sendiri
(kejahatan atau pelanggaran) tetapi tidak perlu perbuatan itu berhubungan satu sama lain
atau tidak perlu sejenis (Pasal 65,66,70,,70 bis KUHP).
B. Hukuman Perbarengan Tindak Pidana
Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana yaitu mengenai
bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan delik
gabungan, dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan
hukuman bagi pelaku perbarengan tindak pidana yaitu:
1. Stelsel Absorbsi atau Stelsel Penyerapan Murni
Dalam sistem ini, pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat diantara beberapa
pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh
pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecendrungan pada
pelaku tindak pidana untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan
sehubungan dengan adanya ancaman hukum yang lebih berat. Dasar sistem hisapan ini
ialah Pasal 63 dan 64 KUHP yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan
perbuatan yang dilanjutkan.
2. Stelsel Absorsi yang dipertajam
Dalam sistem ini ancaman hukumannya yaitu hukuman yang terberat,
namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan.
Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman
hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan yaitu Pasal 65 KUHP
3. Stelsel Komulasi munrni atau Stelsel penjumlahan murni
Stelsel komulasi murni yaitu sistem untuk tindak pidana yang diancam
atau dikenakan sanksi masing-masing tanpa pengurangan. Sistem ini berlaku untuk
gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan
kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya Pasal 70 KUHP.
4. Stelsel Komulasi Terbatas
Stelsel komulasi terbatas yaitu ancaman hukuman dari masing-masing
kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi
maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tidank
pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar
hukumnya dalam Pasa 66 KUHP
Dari keempat sistem diatas yang seirng digunakan hanyalah tiga, yaitu stelsel absorsi
murni atau stesel penyerapan murni, stelsel absorsi yang dipertajam dan stelsel
komulasi terbatas. Sementara itu stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni
tidak pernah dipergunakan dalam praktek karena bertentangan dengan ajaran
samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa.
BAB X
RECIDIVE
A. Pengertian Recidive (Pengulangan)
Recidive dalam kamus hukum diartikan sebagai ulangan kejahatan, kejadian bahwa
seseorang yang pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan, melakukan lagi suatu
kejahatan.190 Recidive yaitu kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana
sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
karena perbuatan pidana yang telah dilakukanya lebih dahulu. Seseorang yang sering
melakukan perbuatan pidana, dan karena dengan perbuatan-perbuatanya itu telah dijatuhi
pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana, disebut residivist. Kalau residive menunjukkan
pada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, maka residivist menunjuk kepada orang yang
melakukan pengulangan perbuatan pidana.191
Menurut E.Y Kanter & S.R Sianturi yang dimaksud dengan residiv (Recidive)/
pengulangan secara umum yaitu jika seorang melakukan suatu tindak pidana dan untuk
itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu:
a. Sejak setelah pidana ini dilaksanakan seluruhnya atau sebahagian;
b. Sejak pidana ini seluruhnya dihapuskan, atau jika kewajiban menjalankan/
melaksanakan pidana itu belum daluwarsa, ia kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Dari pembatasan ini diatas, dapat ditarik syarat-syarat yang harus dipenuhi
yaitu:
a. Pelakunya sama
b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi
pidana(yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap)
c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Jadi, recidive itu terjadi jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan
terhadap perbuatan pidana ini telah dijatuhi dengan putusan hakim. Putusan ini
telah dijalankan akan tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan dikembalikan kepada
masyarakat, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan ini ia kembali melakukan
perbuatan pidana.
B. Macama-Macam Recidive
a. Recidive Umum (Algemene recidive atau Generale recidive). Recidive umum terjadi
jika seseorang yang telah melakukan delik kemudian terhadap perbuatan pidana
ini telah dijatuhi pidana oleh hakim serta menjalani pidananya di dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Setelah selesai menjalani hukumannya, bebas dan kembali ke dalam
masyarakat, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang
orang ini melakukan lagi perbuatan pidana yang perbuatan pidananya tidak
sejenis.195
b. Recidive Khusus (Speciale Recidive). Recidive ini terjadi jika seseorang
melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana ini telah dijatuhi
pidana oleh hakim. Setelah dijatuhi pidana dan pidana ini dijalaninya, kemudian
kembali ke masyarakat, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh
undang-undang kembali lagi melakukan perbuatan pidana yang sejenis dengan
perbuatan pidana yang terdahulu.196
c. Tussen stelsel yaitu jika seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap
perbuatan pidana itu ia telah dijatuhi pidana oleh hakim. Tetapi setelah ia menjalani
pidana dan kemudian dibebaskan, orang ini dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana
yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.197
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP diatur secara khusus untuk sekelompok
tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam buku II maupun yang berupa
planggaran dalam buku III. Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana, baik
terhadap kejahatan maupun pelanggaran yaitu sebagai berikut:
1. Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive kejahatan menurut KUHP
yaitu recidive kejahatan-kejahatan tertentu. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu
ini KUHP membedakan antara lain:
a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam
sebelas pasal-pasal tertentu buku II KUHP yaitu dalam pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157
(2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2). Dengan demikian
di dalam sistem recidive kejahatan sejenis ini hanya ada 11 jenis kejahatan yang dapat
merupakan alasan pemberatan pidana. Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-
masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya mensyaratkan sebagai berikut:
1) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan
hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan tetap;
3) Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan
pencaharianya (khusus pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada);
4) Pengulanganya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal
yang bersangkutan yaitu:
a) Dua tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal
137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b) Lima tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam
pasal 155, 157, 161, 163 dan 393).198
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis
diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Adapun persyaratan recidive menurut
ketentuan pasal-pasal ini yaitu sebagai berikut:
1) Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan
yang pertama atau yang terdahulu. Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah:
a) Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 KUHP yang pada umumnya
mengenai kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan misalnya: Pemalsuan
mata uang (244-248 KUHP), pemalsuan surat (263-264 KUHP), pencurian (362,
363, 365 KUHP), pemerasan (368 KUHP), pengancaman (369 KUHP),
penggelapan (372, 374, 375 KUHP), penipuan (378 KUHP), kejahatan jabatan
(415, 417, 425, 432 KUHP), penadahan (480,481 KUHP).199
Dalam pasal 486 KUHP mengatur tentang pidana maksimum dari beberapa
kejahatan dapat ditambah 1/3 karena recidive. Dalam pasal ini , kejahatan-
kejahatan yang digolongkan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan
seseorang dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal ataupun
yang dilakukan seseorang dengan melakukan tipu muslihat. Hal ini
yang dijadikan dasar untuk memperberat pidana dengan 1/3 dengan syarat:
1. Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana dengan putusan hakim
yang tidak dapat dirubah lagi dan dengan hanya pidana penjara.
2. Harus dalam jangka waktu lima tahun terhitung dari saat selesainya menjalani
pidana penjara dengan saat ia melakukan perbuatan pidana untuk kedua
kalinya.200
b) Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 KUHP pada umumnya mengenai
kejahatan terhadap orang misalnya penyerangan dan makar terhadap Kepala
Negara (131, 140, 141 KUHP), pembunuhan biasa dan berencana (338, 339,
340 KUHP), pembunuhan anak (341, 342 KUHP), euthanasia (344 KUHP),
abortus (347, 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana
(351, 353, 354, 355 KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan
(438-443 KUHP) dan insubordinasi (459-460 KUHP).201
Dalam pasal ini terdapat segolongan kejahatankejahatan tentang
perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kekerasan
terhadap orang lain yaitu pembunuhan dan penganiyaan. Kejahatan yang diatur
dalam pasal 487 KUHP yang memungkinkan pidananya ditambah 1/3, asal
saja memenuhi syarat-syaratseperti yang diatur dalam pasal 486 KUHP karena
hanya pidana penjara dari kejahatan ini di dalamnya boleh ditambah
dengan 1/3nya karena recidive ini .
c) Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 KUHP pada umumnya mengenai
kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan atau
percetakan, misalnya penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (134-
137 KUHP), penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat (142-144 KUHP),
penghinaan terhadap orang pada umumnya (310-312 KUHP), dan kejahatan
penerbitan atau percetakan (483,484 KUHP).203
Pidana yang ditentukan dalam pasal 488 KUHP dapat ditambah sepertiga
jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal ini ,
atau sejak pidana ini baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika
waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana ini
kadaluwarsa. Syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena recidive
menurut pasal 488 KUHP, yaitu :
1. Dalam pasal 488 KUHP ini tidak ditentukan harus dengan penjara yang
harus dilakukan berhubung dengan kejahatan pertama. Dalam pasal ini
hanya menyebutkan pidananya, bukan pidana penjara saja. Hal ini berarti
pidana kurungan dan denda dapat merupakan dasar pemberatan ini .
2. Sama dengan syarat kedua dalam pasal 486 atau 487 KUHP.
BAB XI
PIDANA DAN PEMIDANAAN
A. Pengertian Pidana Dan Sanksi Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah
terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Moeljatno, dalam Muladi dan Barda Nawawi
Arief, arti asal kata straf yaitu hukuman yang merupakan istilah yang konvensional. Moeljatno
menggunakan istilah inkonvensional yaitu pidana.
Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa pidana harus berdasarkan
ketentuan formal atau ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas
pengertiannya, misalnya seorang murid dihukum oleh gurunya karena tidak mengikuti upacara,
yang semuanya didasarkan pada kepatutan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan. Kedua istilah
ini juga mempunyai persamaan, yaitu keduanya berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak
baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang.
Pidana yaitu sebuah konsep dalam bidang hukum pidana, yang masih perlu penjelasan
lebih lanjut untuk memahami arti dan hakekatnya. Menurut Roeslan Saleh bahwa pidana yaitu
reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik itu.Adami Chazawi menyebutkan bahwa pidana yaitu suatu penderitaan yang
sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. 208
Menurut Sudarto pidana yaitu salah satu dari sekian sanksi yang bertujuan untuk menegakkan
berlakunya norma. Pelanggaran norma yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan perasaan
tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi ini .
Dari beberapa pengertian tentang pengertian pidana sebagaimana dijelaskan diatas, maka
menurut hemat penulis bahwa pada hakekatnya pidana ini merupakan penderitaan yang
diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sanksi pidana terdiri atas dua kata, yaitu sanksi dan pidana. Sanksi artinya ancaman, sanksi
mengandung arti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas agar norma
yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang ditaati sebagai akibat hukum atas
pelanggaran norma. Sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi
dari perihal lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial. Sanksi terhadap
pelanggaran tatanan hukum yang dapat dipaksakan dan dilaksanakan serta bersifat memaksa yang
datangnya dari pemerintah merupakan perbedaan yang menonjol dengan pelanggaran terhadap
tatanan lainnya.Pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaedah dalam keadaan semula.
Menurut G.P. Hoefnagels bahwa sanksi dalam hukum pidana yaitu reaksi terhadap pelanggaran
hukum yang telah ditentukan undang-undang, dimulai dari penahan tersangka dan penuntutan
terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu
proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap suatu pidana.
Sanksi pidana yaitu salah satu sarana paling efektif yang digunakan untuk menanggulangi
kejahatan, namun pidana bukanlah sarana satu-satunya, sehingga jika perlu, maka digunakan
kombinasi dengan upaya sosial. Oleh karenanya perlu dikembangkan prinsip multimium remedium
bukan premium remedium. Dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana yaitu alat yang dimiliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar sekaligus untuk menghadapi ancaman-
ancaman.
Menurut Sudarto bahwa hakikat sanksi pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri
sebagai berikut:216
1) Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.
Pengertian serta unsur-unsur sanksi dan pidana sebagaimana telah diuraikan diatas dapat
dirumuskan bahwa sanksi dalam hukum pidana yaitu reaksi yang diberikan dengan sengaja oleh
badan yang mempunyai wewenang atau kekuasaan berupa pengenaan penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan
pelanggaran kaedah hukum atau tindak pidana menurut undang-undang. Sanksi hukum yang
berupa pidana yang diancamkan kepada pembuat delik merupakan cirri perbedaan hukum pidana
dengan jenis hukum yang lain. Soejono menjelaskan bahwa hukuman merupakan sanksi atas
pelanggaran suatu ketentuan hukum. pidana lebih memperjelas pada sanksi yang dijatuhkan
terhadap pelanggaran hukum pidana.217 Pada dasarnya hukum pidana mempunyai sanksi yang
negative, sehingga dengan sistem sanksi yang negatif ini tumbuh pandangan bahwa pidana
hendaknya diterapkan jika upaya lain sudah tidak memadai.
B. Jenis-Jenis Pidana
Jenis pidana yang diatur dalam KUHP dimuat dalam Pasal 10 yaang terdiri dari pidana
pokok dan pidana tambahan, yaitu sebagai berikut:
a. Pidana pokok meliputi:
1.Pidana mati
2.Pidana penjara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda
b.Pidana Tambahan meliputi
1.Pencabutan beberapa hak-hak tertentu
2.Perampasan barang-barang tertentu
3.Pengumuman putusan Hakim
1. Pidana Mati
Pidana mati merupakan pidana yang terberat di dunia. Dilihat dari sejarah, Pidana mati
merupakan komponen permasalahan yang erat kaitannya. Hukuman mati resmi diakui bersamaan
dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hammuburabi di
Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi.218 Hukuman mati merupakan talio (pembalasan),
yakni siapa yang membunuh, maka ia harus dibunuh juga oleh keluarga si korban. Dan menurut
codex Hammburabi (dari 2.000 sebelum tarikh masehi) kalau ada binatang pemeliharaan yang
membunuh orang, maka binatang dan pemiliknya dibunuh juga.219
Pada abad 19, bahkan abad ke 20 dalam beberapa persoalan kekerasan, pemidanaan
diperlunak. Pada tahun 1809 di negeri Belanda dalam kitab undang-undang kriminal, pidana mati
tetap dipertahankan dengan ketentuan bahwa hakim boleh memutuskan, apakah pidana itu akan
dijalankan di tiang gantungan atau dengan pedang, tanpa upacara algojo, juga pukulan cemeti dan
mencap badan dengan besi panas tanpa berlaku, tetapi di samping itu disahkan pidana penjara yang
bersifat sementara dengan maksimum 20 tahun.
Di negara kita pidana mati telah dikenal pada zaman Majapahit (abad 13-16) yang di
masukkan ke dalam undang-undangnya bahkan dikategorikan juga jenis pidana pokok. Slamet
Mulyana menulis bahwa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal pidana penjara dan
kurungan yang dikenal. Bentuk Pidana yang dikenal yaitu :220
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana potong anggota badan yang salah
3. Pidana denda
4. Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa
b. Pidana tambahan
1. Tebusan
2. Penyitaan
3. Patibajampi (pembeli obat)
Di beberapa kerajaan yang ada di negara kita sebelum negara kita merdeka juga telah
menerapkan pidana mati seperti di Sulawesi Selatan ketika Aru Palak berkuasa (sekutu VOC) yang
mengalahkan Sultan Hasanuddin, terpidana yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan
kekuasaannya seperti La Sunni (seorang raja setempat), dipancung kepalanya kemudian kepalanya
diletakkan di atas baki dan dihadapkan kepada Aru Palaka bahwa eksekusi telah dilakukan.221
Dimasa penjajahan kolonial, praktek pengunaan hukuman mati sebagai salah satu jenis
penghukuman sudah berlaku, baik praktek hukuman mati yang diperkenalkan oleh beberapa
peraturan VOC dalam bentuk hukum plakat yang berlaku sangat terbatas di beberapa wilayah yang
dikuasai oleh VOC, juga hukuman mati yang berlaku dalam wilayah hukum lokal (baik tertulis
maupun tidak) yang juga digunakan secara terbatas. Di Aceh misalnya, pada jaman dahulu berlaku
hukuman mati bagi isteri yang berzina, Sultan yang berkuasa juga dapat menjatuhkan lima macam
hukuman yang istimewa yang mencakup pula hukuman mati yakni dengan dibunuh dengan
lembing, menumbuk kepala terhukum dalam lesung (sroh). Di daerah pedalaman Toraja para
pelaku inses biasanya dihukum mati dengan cara di cekik, atau dimasukkan ke dalam keranjang
rotan yang diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut. Demikian pula ada hukuman mati
yang berlaku di wilayah Minangkabau dan di kepulauan Timor pada masa lalu.
Setelah negara kita merdeka dan KUHP negara kita mulai dilaksanakan berdasarkan asas
konkordansi pada tanggal 1 Januari 1918, berlaku di Negeri Belanda berdasarkan putusan kerajaan
tanggal 15 Oktober 1915, No.33 Staatsblad 1915 No 732 jo Staatsblad tahun 1917 No.497 dan
654. Kemudian ditetapkan Undang-Undang No. 1 1946 tentang peraturan Hukum Pidana jo
Undang-Undang No.73 tahun 1958 menyatakan tentang berlakunya hukum pidana untuk seluruh
wilayah Republik negara kita .
Tentang sejarah pelaksanaan hukuman mati di negara kita telah terjadi penyimpangan
terhadap asas konkordansi, karena KUHP yang diberlakukan di negara kita seharusnya concordant
atau overeensteming ataupun sesuai dengan Wvs (wetboek van strafrecht) yang berlaku di Negeri
Belanda. Pada tahun 1881, di Negeri Belanda sudah tidak mengenal pidana mati, karena lembaga
melaksanakan segala instruksi terkait dengan kebijakan VOC di wialayah
yang mereka maka oleh VOC dibauatlah aturan organik yang diumumkan dalam plakat-plakat (plakaten) yang pada
permulaannya berlaku diwilayah betawi. Kemudian setelah daerah yang dikuasai oleh VOC diperluas maka plakat-
plakat ini berlaku juga didaerah-daerah lain di negara kita . Pada tahun 1642, plakat-plakat ini dikumpulkan
dalam suatu himpunan yang disebut dengan Statuta Betawi yang disahkan tahun 1650, dan pada tahun 1715 statuta
ini di perbaharui lagi menjadi Statuta Betawi Baru. Lihat juga Supomo dan Djokosutono Loc.Cit.
pidana mati itu telah dihapuskan, melalui Undang-Undang tanggal 17 September dengan Stb 162
tahun 1870 mengenai Keputusan Menteri Modderman yan sangat mengejutkan dalam sejarah
KUHP Belanda dan diperbincangkan sejak tahun 1846, dengan alasan bahwa pelaksanaan pidana
mati di negeri Belanda sudah jarang dilaksanakan, karena terpidana mati hampir selalu
medapatkan pengampunan atau grasi dari raja.223
Di negara kita masih berlaku hukuman mati bagi siapa saja yang melanggar kejahatan-
kejahatan tertentu. Diantara kejahatan-kejahatan tertentu yang diancam dengan pidana mati yaitu
Ketentuan yang diatur di dalam KUHP
1. Makar membunuh Kepala Negara (Pasal 104). Makar dengan maksud membunuh Presiden
atau Wakil Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau
menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
2. Mengajak atau menghasut Negara lain menyerang negara kita (Pasal 111 ayat 2) yaitu: jika
permusuhan atau perang sungguh terjadi, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
3. Melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan negara kita (Pasal 124 ayat 3)
yaitu, Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun.
4. Membunuh Kepala Negara Sahabat (Pasal 140 ayat 3). Yaitu jika makar terhadap nyawa
dilakukan dengan rencana serta berakibat maut, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
5. Pembunuhan yang direncanakan ebih dahulu (Pasal 140 ayat 3 dan Pasal 340). Yaitu
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam
dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4).
Yaitu, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati
dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu”.
7. Pembajakan di laut, di pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati, (Pasal 444). Yaitu
jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam Pasal 438-441 mengakibatkan seseorang
di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakhoda, panglima
atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan,
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
8. Menganjurkan pemberontakan atau huru-hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan
negara waktu perang (Pasal 124).
Yang terdapat di luar KUHP
Selain yang diatur di dalam KUHP, ancaman pidana mati dapat ditemukan di luar KUHP
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan antara lain yaitu :
1. Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1915. (Pasal 1 ayat 1). Yaitu barang siapa yang
tanpa hak memasukkan ke negara kita , membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan
padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan atau mengeluarkan dari negara kita sesuatu senjata api, amunisi atau
sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur
hidup atau hukuman penjara sementara seinggi-tingginya dua puluh tahun.
2. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1999 Tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa Tentara
Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindakan pidana yang
membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang-pangan. Penpres ini diundangkan pada
tangga; 27 Juli 1959 dalam LN 1959-80. Pasal 2: yaitu barang siapa yang melakukan tindak
pidana ekonomi sebagaimana termaksud dalam undang-undang ini , di hukum dengan
pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara
sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1959 tentang memperberat
ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekononomi. Diundangkan pada tanggal 16
November 1959, LN tahun 1959 No. 130. yaitu jikalau tindak pidana dilakukan itu dapat
menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar di
hukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara
sementara selama dua puluh tahun”.
4. Undang-Undang No. 11/PNPS/ 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subservasi,
diundangkan pada tanggal 16 Oktober 1963, LN tahun 1963 No.101. yaitu barangsiapa
yang melakukan tindak pidana subservasi, yang dimaksud, maka dipidana mati, atau
dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun dan
denda setinggi-tingginya sebesar tiga puluh juta rupiah.
5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan Perundang-undangan
Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
Diundangkan pada tanggal 27 April 1976, Lembaran Negara tahun 1976 No. 26. Yaitu
perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, di
pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-
lamanya dua puluh tahun.
6. Undang-Undang No.9/ 1976 Tentang Narkotika yang diganti dengan Undang-Undang No.
22 tahun 1997. Terdapat pada Pasal 80 ayat 1 a. Barang siapa tanpa hak dan melawan
hukum memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau
menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 80 ayat 2 a ayat (1) huruf a
didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pasal 80 ayat 3 a ayat (1) huruf a
dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau dipidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 500. 000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 82 ayat (1) a, barang siapa tanpa
hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, atau menukar narkotika Golongan I, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2. Pidana Penjara
Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan untuk menanggulangi
masalah kejahatan yaitu pidana penjara. Dilihat dari sejarahnya224penggunaan pidana penjara
sebagai cara untuk menghukum para penjahat baru dimulai pada bagian terakhir abad 18 yang
bersumber pada paham individualisme.225Dengan makin berkembangnya paham
individualisme dan gerakan prikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang
peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang
kejam. Selain itu di antara berbagai jenis pidana pokok, pidana penjara merupakan jenis sanksi
pidana yang paling banyak ditetapkan dalam produk perundang-undangan pidana selama ini.
Menurut P.A.F Lamintang pidana penjara yaitu suatu bentuk pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
ini di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu mentaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatn, yang dikaitkan
dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan ini .226
Ada beberapa sistem pidana penjara. Yang pertama ialah, masing-masing terpidana
dimasukan dalam sel-sel (cel) tersendiri. Ia sama sekali tidak diizinkan menerima tamu, baik
dari luar maupun sesama narapidana. Dia tidak boleh bekerja di luar sel ini . Satu-satunya
pekerjaannya ialah untuk membaca buku suci yang diberikan kepadanya. Sistem ini pertama
kali digunakan di Pensylvania. Karenanya disebut sebagai Pensylvania system. Karena
pelaksanaannya dilakukan dalam sel-sel, disebut juga sebagai cellulaire system.
Sistem yang kedua yaitu apa yang disebut dengan auburn system, karena pertama
kalinya digunakan di Auburn. Disebut juga sebagai silent system, karena pelaksanannya. Pada
Pidana Penjara pada mulanya direncanakan semata-mata untuk kejahatan dolus yaitu kejahatan-kejahatan
yang dilakukan dengan kesengajaan, karena pada masa itu, ketika membahas kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ternyata tidak ada kepastian mengenai batas antara kesengajaan dengan kealpaan, maka pidana penjara juga ditentukan
sebagai alternatif disamping pidana kurungan pada kejahatan-kejahatan culpoos yaitu kejahatan-kejahatan yang
dilakukan dengan kealpaan. Pidana penjara sebagai pidana yang diatkuti setelah pidana mati mengalami banyak
perubahan dari model yang semula paling keras dan kejam tanpa perikemanusiaan sampai model yang paling ringan,
longgar sesuai dengan tuntutan zaman, seperti abad ke 20. Model yang pertama kepenjaraan yaitu system
Pennesylvania, dengan mempraktekkan pembinaan terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang produktif. Kedua
Sistem Elmira merupakan system stelsel kepenjaraan yang lahirnya sangat dipengaruhi oleh system Irlandia yang ada
di Irlandia dan Inggris. System Elmira pada prinsipnya pidana penjara dijalankan melalui tingkatan, tetapi dengan titik
berat yang lebih besar lagi pada usaha untuk memperbaiki si terhukum ini .
waktu malam hari terpidana dimaksukkan dalam sel-sel secara sendiri-sendiri seperti cellulaire
system. Pada siang hari diwajibkan bekerja bersama-sama dengan nara pidana (penjara) lainnya,
akan tetapi dilarang berbicara antara sesam narapidana atau kepada orang lain.228
Sistem ketiga yang disebut sebagai English system atau Ire system atau Progressive
system. Cara pelaksanaan pidana penjara menurut sistem ini yaitu bertahap. Pada tahap
pertama selama lebih kurang tiga bulan, terpidana menjalaninya seperti cellulaire system. Jika
setelah tiga bulan ini terbukti ada kemajuan kesadaran terpidana, maka diikuti dengan
tahap pelaksanaan yang ringan, yaitu ia sudah dibolehkan menerima tamu, berbincang-bincang
sesama narapidana, bekerja bersama-sama dan lain sebagainya. Tahapan selanjutnya lebih
ringan lagi, bahkan pada tahap terkahir dalam status terpidana ia boleh menjalani pidananya di
luar tembok-tembok penjara.229 Sistem lainnya ialah dimasukkannya para narapidana (penjara)
secara berkelompok dalam satu ruang dan mereka bekerja juga secara bersama-sama. Hal ini
disebut juga dengan sistem bangsal/blok.
Pidana penjara yaitu suatu pidana berupa perampasan kemerdekaan atau kebebasan
bergerak dari seorang terpidana dengan menempatkannya di lembaga pemasyarakatan, karena
penjara sudah berubah menjadi lembaga pemasyarakatan.230 Konsep pemidanaan pun berubah
dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.231 Prinsip-prinsip tata perlakuan
terhadap para pelanggar hukum, terpidana dan narapidana sudah berubah dari prinsip-prinsip
kepenjaraan menjadi prinsip-prinsip pemasyarakatan, yang sudah dituangkan kedalam suatu
sistem yang d