dasar pidana 3

Rabu, 24 Mei 2023

dasar pidana 3


 bermoral, yang bersifat 
jahat ataupun yang bersifat berbahaya. 
 Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatan yang 
dikehendaki,biasanya terdiridari suatu rangkaian perbuatan. Dalam hal ini Loebby Loqman 
memberikan contoh sebagai berikut:  
A mempunyainiat untuk membunuh B. untuk itu ada serangkaian perbuatan yang dilakukannya, 
yakni: 
1. A pergike rumah C untuk meminjam pistol;  
2. A mengisi pistol dengan peluru;  
3. A membawa pistolini  menuju ke rumah B;  
4. A membidikkan pistolke arah B;  
5. A menarik pelatuk pistol, akan tetapitembakannya meleset sehingga B masih hidup.  
 Dari seluruh rangkaian perbuatan ini , perbuatan manakah yang dianggap sebagai 
perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol 
sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? jika  melihat niatnya, memang perbuatan A 
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol yaitu  dalam kaitan pelaksanaan niatnya untuk 
membunuh B. Akan tetapi apakah A pergike rumah C sudah dianggap permulaan dari pelaksanaan 
pembunuhan ? Contoh lain. P yaitu  seorang pegawai suatu kantor pos. P berkehendak untuk 
mencuripos paket. Untuk itu sewaktu teman-teman sekerjanya pulang P menyelinap dan 
bersembunyidikamar kecil.Akan tetapiternyata kepala kantor P masih belum pulang dan 
tertangkaplah P. Darikasus P ini , apakah masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan?. 
1. Teori Subjektif 
Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal53 KUHP 
bahwa “...jika niat itu telah terwujud dari adanya permulaan pelaksanaan ... Jadi dikatakan 
sebagaipermulaan pelaksanaan yaitu  semua perbuatan yang merupakan perwujudan dariniat 
pelaku. jika  suatu perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan 
ini  sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi ke rumah 
C untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya yakni ingin membunuh B. 
Sehingga A pergike rumah C untuk meminjam pistolsudah dianggap sebagai permulaan 
                                                     

pelaksanaan melakukan percobaan membunuh B. Demikian juga dalam contoh kedua. P masuk ke 
kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaanmelakukan  percobaan  pencurian. 
Karena dengan masuknya P ke kamar kecil sudah  merupakan permulaan pelaksanaan niatnya.146  
 Menurut teori subjektif  dasar patut dipidananya percobaan  (strafbare poging) itu 
terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap bathin itulah yang merupakan 
pegangan bagi teori ini. Ajaran yang subjektif  lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan 
dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat dan karena itu bertolak dari sikap 
bathin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang 
menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya. Menurut van Hammel tidak 
tepat pemikiran mereka yang mensyaratkan adanya suatu rectstreeks verband atau suatu hubungan 
yang langsung antara tindakan dengan akibat, dimana orang menganggap yang dapat dihukum itu 
hanyalah tindakan-tindakan yang menurut  sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat.  
 Menurut van Hammel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja karena aliran ini sesuai 
dengan nieuwere strafrechtsleer (ajaran hukum pidana yang lebih baru) yang bertujuan untuk 
memberantas kejahatan sampai  kepada akarnya, yaitu manusiayang berwatak jahat (demisdadige 
mens) akan tetapi juga karena dalam mengenakan pidana menurut rumus umum (algemene 
formule) sebagaimana halnya dalam percobaan, unsur kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya 
yang  memberi  pegangan kepada kita. Oleh karena kesengajaan (niat) dalam perbuatan percobaan 
yaitu  lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang ditimbulkan pada suatu ketika tetapi kemudian 
menjadi hilang. Dan juga justru dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa 
lalumenjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan terlepas dari hal-ikhwal 
yang mungkin akan timbul sama sekali tidak berbahaya. jika  dengan kesengajaan untuk 
membunuh orang mengarahkan senapan kepada sasaran, padahal pelatuk senapan tidak terpasang, 
maka perbuatan ini  hanya bersifat berbahaya karena perbuatan dilakukan oleh orang yang 
mempunyai kesengajaan (niat) tadi. Maka menurut van Hammel jika ditinjau dari sudut niat si 
pembuat, dikatakan ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa yang telah dilakukan sudah 
ternyata kepastiannya niat untuk melakukan kejahatan tadi.148 
                                                     

 Dari uraian ini  dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori subjektif dapat 
dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk melakukan kejahatan itu  dianggap sudah 
membahayakan kepentingan hukum. Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah 
diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap telah membahayakan. 
 
2. Teori Objektif 
 Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari  tindak pidana, yaitu 
perbuatan. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena 
tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum. Ajaran yang objektif menafsirkan istilah 
permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari 
kejahatandan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan 
perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Jika mengacu 
kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, daricontoh pertama peristiwa 
yang menjaditujuan A yaitu  membunuh B. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah 
permulaan pelaksanaan agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling mungkin dianggap 
sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif dalam kasus ini yaitu  pada saat A menarik 
pelatuk pistoluntuk membunuh B. Demikian pula  pada kasus P. P menyelinap ke kamar kecil 
bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap perbuatan yang diniatkan. Perbuatan yang diniatkan 
yaitu  mencuri. Unsur utama dari mencuri yaitu  mengambil, yaitu jika  seseorang telah 
menjulurkan tangannya untuk mengangkat/ memindahkan suatu barang. Oleh karena itu menurut 
teori objektif P dianggap belum melakukan  perbuatan yang dianggap sebagai permulaan 
pelaksanaan. 
 Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif itu yaitu  tidak tepat, 
dengan alasan bahwa paham ini  telah mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu 
permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan dan telah membuat segalasesuatunya menjadi 
tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim. 
 Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering)  ini  
dapat  di lihat di arresttanggal 7 Me1906,W.8372, yang menyatakan bahwa perkataan begin van 
uitvoering”di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering 
                                                     
van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan “permulaan 
pelaksanaan” itu terutama harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk 
melakukan kejahatan”. 
 Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan yang dapat 
dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat 
Simons. Ajaran-ajaran Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum yang mempunyai 
pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat) para anggota Hoge Raad antara lain :  
a. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah  
dirumuskan  secara  formil, suatu permulaan  pelaksanaan  untuk melakukan suatu kejahatan 
dianggap telah terjadi yaitu  segera  setelah kejahatan ini  mulai dilakukan oleh 
pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 
1920 halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan menawarkan untuk 
dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain 
dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest inimerupakan suatu 
permulaan daritindakan pemalsuan yang dapat dihukum.  
b. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah  
dirumuskan  secara  materil, suatu percobaan yang dapat  dihukum dianggap  telah  terjadi  
yaitu  segera  setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya langsung 
dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya ini  
harus melakukan suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu 
antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J. 193 halaman 450, W. 
12731, yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest pembakaran 
rumah di kota Endhoven.  
c. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah ditentukan 
bahwa untuk melakukan delik-delik ini     harus dipergunakan alat atau cara-cara 
tertentu, ataupun dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu oleh undang-undang 
telah dinyatakan sebagai unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang 
dapat dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi, yaitu segera 
setelah pelakunya menggunakan alat atau cara yang bersangkutan untuk melakukan 
kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat kita 
                                                     
lihat  antara lain di dalam arrest-arrestnya masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W. 
5990, tanggal 4 April 1932, N.J. 1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 
1941 No. 883 yang pada dasarnya mengatakan  bahwa: pembongkaran, perusakan, atau 
pembukaan dengan kunci-kunci  palsu dan pemanjatan itu merupakan permulaan 
pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan. 
 Dan di dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 20 Januari 1919, N.J. 1919 
halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19 Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada 
dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu merupakan suatu kejahatan. Dengan 
merusak penutup sebuah rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian ini .Dalam hal ini 
telah  terjadi  suatu percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan.152 Loebby 
Loqman memberikan beberapa contoh kasus tentang penentuan permulaan  
Pelaksanaan menurut perspektif teori objektif : 
a. Eindhovense Brandstichting arrest, kasus posisinya sebagai berikut:  A dan B bersepakat 
dengan C untuk membakar rumah C guna mendapatkan santunan asuransi. Sementara C 
bepergian ke luar kotaA dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain bekas yang telah 
disiram bensin  dan menaruhnya diseluruh rumah. Sumbu ini  dihubungkan dengan 
pemantik kompor gas yang disambung dengan tali sedemikian rupa, sehingga nantinya 
hanya dengan menarik tali dari luar rumah, akan terjadi api yang akan membakar sumbu 
yang telah dipersiapkan.  Sementara menunggu malam hari untuk melaksanakannya, A dan 
B meninggalkan rumah ini . Sementara A dan B meninggalkan rumah itu, par tetangga 
yang melewati rumah ini  mencium bau bensinyang menusuk hidung, sehingga 
mereka curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada saat A dan B datang 
untukmelaksanakanpembakaran,dilihatnya telahbanyak  orang sehingga mereka melarikan 
diri. Namun akhirnya perkara ini  sampai ke pengadilan dengan tuduhan mencoba  
melakukan pembakaran. 
  Jika  diperinci,  perbuatan-perbuatan terdakwa dapat diperinci menjadi dua tahap. 
Tahap pertama yaitu  perbuatan membuat rumah siap bakar, sedangkan tahap berikutnya 
menarik tali pemantik kompor gas untuk pembakaran rumah ini . Persoalan dalam 
kasus ini yaitu  apakah telah ada perbuatan yang dianggap sebagai permulaan 
                                                     
pelaksanaan, ataukah baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk melakukan 
pembakaran rumah. Ternyata Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai percobaan  
melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan percobaan. MvT menyerahkan penentuan 
perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan kepada praktek, sehingga dalam hal ini 
Hoge Raad dimungkinkan untuk mencari pertimbangan dalam tiap kasus tentang apa yang 
dimaksud dengan permulaan pelaksanaan dalam suatu percobaan. Adapun pertimbangan 
Hoge Raad bahwa kasus ini  dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan yaitu  :  
(1) Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya merupakan kemungkinan untuk 
pembakaran rumah ini , ada kemungkinan untuk perbuatan-perbuatan lainkecuali 
pembakaran rumah.  
(2) Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan persiapan pelaksanaan, dan bukan 
permulaan  pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.  
(3) Perbuatan  yang dimaksud  sebagai permulaan pelaksanaan seharusnya merupaka suatu 
perbuatan yang tidak diperlukan lagi adanya suatu tindakan lanjutan daripelakunya. 
Tindakan menarik tali sambungan dari pemantik kompor gas, dianggap merupakan 
tindak lanjut dari pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali ini  tidak perlu 
ada dalam perbuatan permulaan pelaksanaan (dalam hal ini permulaan pelaksanaan 
dianggap ada jika A atau B menarik tali ini ).  
(4) Mungkin saja dalam kasus initerjadihal-halyang tidak terduga sehingga pembakaran 
tidak akan terjadi, umpamanya :  
-  Pemantik kompor gas menjadi macet;  
-  Sumbu yang diberibensintidak mau menyala;  
-  Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah menyala 
- Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang akan menarik tali 
 jika  diperhatikanternyatadalam kasus di atas Hoge Raad lebih menggunakan 
teoriobjektif, dengan menyebutkan alasan yang pertama (1) diatas. Disamping itu juga 
menyebutkan bahwa apa yang dilakukan A dan B merupakan persiapan pelaksanaan 
(2) seperti yang dianut dalam teoriobjektif. Alasan (3) dan (4) Hoge Raad malah 
memberikan contoh-contoh tentang  kapan suatu perbuatan dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan. 
 
 
b. Hammer Arrest  (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge Raad tanggal 21 Mei 1951, N.J. 1951, 
480 yang kasus posisinya sebagai berikut:A seorang priayang menjalinhubungan asmara 
dengan B seorang wanita  yang telah bersuami, yakniC. A dan B bersepakat untuk 
membunuh C dengan jalan akan memukulC pada waktu C tidur, dan setelah C pingsan 
akan menempatkannya di dapur dan akan dibuka saluran gas di dapur, sehingga C akan 
meninggalkarena keracunan gas. Pada suatu malam yang telah ditentukan, B memberikan 
kunci rumah kepada A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya masuk ke 
kamar tidur, A menghempaskan paluke arah kepala namun tidak mengenai kepala C, 
karena  kebetulan C menggeser badannya/kepalanya pada saat yang tepat. C terbangun dan 
melakukan perlawanan. A memukul C beberapa kali dan melarikan diri dari rumah 
ini . 
  Ditingkat kasasi  terdakwa  mengutarakan bahwa, pertimbangan Pengadilan 
Tinggiyang menyatakan perbuatan A dianggap  sebagai permulaan pelaksanaan dalam 
suatu niat untuk pembunuhan yaitu  tidak tepat. Karena dianggap rencana 
pembunuhannya yaitu  dengan cara menempatkan korban di dapur dan saluran gas akan 
dibuka agar korban meninggal karena keracunan gas,bukan dengan memukul palu. Dalam 
perkara ini  Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa apa yang dilakukan terdakwa 
telah  dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. jika  seseorang dengan pertimbangan 
yang masak dan dengan  tenang sebelumnya untukmelakukan pembunuhan, 
apalagisebelumnya telah dipersiapkan pemukuldan masuk ke rumah korban dengan kunci 
yang telah dipersiapkan sebelumnya, lalu masuk kekamar tidur, halitu sudah merupakan 
perwujudan dari pembunuhan yang diniati. 
  Telah direncanakan sebelumnya ada 2 tahap dalam melaksanakan pembunuhan. 
Yang pertama yaitu  memukulkorban hingga pingsan, tahap kedua yaitu  menempatkan 
korban di dapur, membuka selang gas, sehingga korban akan meninggal karena keracunan 
gas. Dengan demikian tahap pertama sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan 
pelaksanaan dari perbuatan yang diniati. 
 jika  dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense Brandstichting dan Kasus 
Palu, terhadap kedua-duanya  dipakai teori objektif. Namun dalam perkara Eindhovense 
Brandstichting perbuatan tahap pertama yaitu perbuatan rumah siap dibakar dianggap belum  
merupakan perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sedangkan dalam kasus Palu 
 
 
perbuatan tahap pertama yaitu pemukulan dengan palu  agar korban jatuh pingsan, dianggap telah 
merupakan perwujudan dari perbuatan yang diniatinya. Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua 
putusannya itu telah memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan rumusan yang 
disesuaikan dengan keadaan yang konkrit. 
 Menurut Moeljatno, suatu  perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari  
delikyang dituju oleh sipelaku, jika memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari 
rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik. 
Adapun syarat-syarat ini  yaitu : 
a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang 
dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik ini .  
b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah 
dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang tertentu tadi.  
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat 
melawan hukum. 
 Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa berkenaan dengan ketiga syarat tentang 
permulaan pelaksanaan ini perlu dikemukakan catatan-catatan sebagai berikut:  
a. Oleh karena delik yang di tuju  tidak diketahui, lebih dahulu bahkan harus ditetapkan, 
antara lain dengan mengingat perbuatan yang telah dilakukan. Maka istilah permulaan 
pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap.  
b. Karenanya juga tidak mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada 
percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk menentukan delik yang 
dituju)  diperlukan adanya bukti-bukti di luar wet.  
c. Sehubungan dengan ini,meskipun perbuatan yang dilakukan ini mungkin dipisahkan dari 
unsur niat, tapi dalam pada itu jangan lalu berpendapat bahwa isinya niat  hanya mungkin 
dibuktikan  dari perbuatan yang telah dilakukan saja. 
 Khusus untuk catatan yang ketiga (c) seperti yang ini  diatas  Moeljatno secara 
khusus mengutip  beberapa contoh yang dikemukakan oleh Noyon yaitu :  
-  Bagaimana dapat dibuktikan seseorang dengan penggunaan nama palsu atau  tipu daya 
yang disertai dengan permintaan untuk memberikan suatu benda, bahwa orang ini  
                                                     
juga betul-betul berminat untuk mendapatkan benda ini . Mungkin saja ia hanya 
bermaksud untuk membuktikan bagaimana mudahnya orang lain itu mempercayainya. 
- Mengulurkan tangan ke arah barang orang lain,denganitu  saja tidak mungkin dibuktikan 
kehendak untuk mengambilbarang ini . Apalagi mengambil dengan maksud 
dimiliki secara melawanhukum. 
-  Membawa api ke barang yang mudah dibakar, dengan itu saja tidak dapat dibuktikan 
adanya niat untukmembakar barang ini .  
-  Melukaiseseorang tidak mungkin membuktikan adanya niat untuk membunuh  
 Dengan demikian menurut  Loebby Loqman, sebenarnya pandangan Moeljatno yaitu  
campuran antara kedua teori yakni campuran antara teori objektif dan teori subjektif. Hal 
terpenting bagi Moeljatno yaitu  sejauhmana sifat melawan hukum dari perbuatan yang 
dipermasalahkan sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. 
 
3. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. 
 Syarat  ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut 
KUHP yaitu  pelaksanaan itu tidak selesai bukan  semata-mata disebabkan karena kehendak 
pelaku. Dalam halinitidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah 
berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu 
bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari 
dalam diri orang ini  yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak 
terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan 
dari luar diri orang ini , yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula. 
 Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya 
perbuatan yang dikehendakiitu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu halyang dapat 
dilakukan dalam pembuktian yaitu  dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak 
selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan  itu karena keadaan yang terdapat  di 
dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain 
di luar dari dalam diri sipelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat 
membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu. 
 Loebby Loqman memberikan contoh sebagai berikut: 
a.  Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan 
pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh 
B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B 
pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau ditangan A menuju ke 
arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di 
dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan ini . Terdakwa dalam kasus di atas 
dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan 
berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan 
berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan diluar kehendaknya”. 
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan 
dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang 
semuladikehendakinya. Akan tetapiyang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A 
melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak    sehingga A 
tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula. Meskipun demikian Pengadilan 
Arnhem  dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus ini  tetap sebagai 
percobaan. Pengunduran diri dalam kasus diatas meskipun ada faktor yang datang dari dalam 
diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari  luar memaksanya untuk mengundurkan diri. 
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari 
niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun 
seseorang telah  mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapitimbulniatnya untuk 
secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal ini  tidak 
dapat lagi dilakukan. Sebagai contoh: Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang 
memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim 
memperingatkan  dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena 
delik“kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang ini  telah melakukan delik. 
Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah  diberikan dalam 
sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang ini  ingin menarik diri  
secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang 
pengadilan. Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti diatas, dianggap 
sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena 
dengan sukarela orang ini  menarik kembali keterangan yang tidak benar. Akan tetapi  
 
 
melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai 
(delik  kesaksian  palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah 
penundaan sidang. 
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang 
melakukan  suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. 
Peristiwa ini disebut dengan  guequalificeerde poging  (percobaan yang dikualifikasi). Sebagai 
contoh: Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah 
rumah.  Untuk itu orang ini  telah memasuki halaman rumah ini . Akan tetapi sebelum 
memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal  ini  orang ini  disamping dianggap 
melakukan percobaan pencurian(jika dilihat dari teori subjektif) juga  telah melakukan delik 
yang selesai.Yakni delik memasuki  halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur 
dalam Pasal 167 KUHP. 
 Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju  
bukan karena kehendak sendiri,dapat terjadi dalam  hal-hal  sebagai berikut:158  
a. Adanya penghalang fisik. Contoh: tidak matinya orang  yang ditembak, karena tangannya 
disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk 
dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya 
macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.  
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapitidak selesainya itu disebabkan karena akan 
adanya penghalang fisik. Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk 
mencuri telah diketahui oleh orang lain. 
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan keadaan khusus pada 
objek yang menjadi sasaran. Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga 
tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri 
terlalu berat walaupun sipencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga. 
 Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat 
dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada 
pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, 
                                                     
 
tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara 
teori dapat dibedakan antara :  
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan  
pelaksanaan yang diperlukan untuk delikyang bersangkutan; dan  
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi 
dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik ini . Misal: orang 
memberi racun pada minuman sikorban, tetapisetelah diminumnya ia segera memberikan  
obat penawar racun sehingga sikorban tidak jadi meninggal. 
 Adapun maksud dicantumkannya syarat  pengunduran secara sukarela menurut Memori 
Penjelasan (Memorie van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) yaitu  untuk :160  
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak 
dapat dihukum. jika  ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih 
mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan  
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk 
menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung. 
Adapun maksud dicantumkan syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan 
(Memorie Van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) yaitu :  
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak 
dapat dihukum, jika  ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih 
mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan  
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk 
menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung. 
 Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu istilah yang 
disebut dengan Ondeugelijke Poging. Ondeugdelijke poging yaitu  suatu perbuatan meskipun 
telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal, 
bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu 
perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin 
pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai dengan harapannya. 
Ondeugdelijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah 
                                                      
dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delikyang dituju tidak selesai atau akibat yang 
terlarang menurut undang-undang tidak timbul. 
 Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan ini , pertama karena 
alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. 
Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) 
dan tidak sempurna secara nisbi (relatif). Loebby Luqman mencontohkan sebagai berikut: 
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)  
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B 
denganmenggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum 
ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam 
minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir.  
b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A 
memberikan racun arsenicumke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi 
sehingga A tetap hidup.  
2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)  
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu 
malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal 
dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam 
keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.  
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui 
bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan 
rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika  terjadi penembakan oleh A, meskipun 
mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati. 
 Mengenai  percobaan  yang  tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan : 
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk 
melakukan kejahatan yang tertentu didalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan 
tertentu ini  diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada 
objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga  tidak ada percobaan. Mengenai percobaan yang 
tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :  
a. Tidak mampu mutlak, yaitu biladengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik  selesai; 
dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr.Karni memberi contoh : meracuni 
dengan air kelapa.  
b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu  tidak  ditimbulkan  delik  selesai karena justru 
hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena 
keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. 
 Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan. Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas 
terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari 2 segi:
 
a. Keadaan tertentu dari alat pada waktu sipembuat melakukan perbuatan.  
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju. 
 Hal penting untuk diketahui yaitu  apakah dengan tidak sempurnanya alat ataupun 
objek,dapat dianggap telah terjadi suatu percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu 
percobaan maka pelaku telah memenuhi 3 syarat percobaan,yaitu  ada niat untuk melakukan suatu 
kejahatan, dan sudah mewujudkan niat ini  ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan 
pelaksanaan.Tetapi delik yang dituju itu tidak selesai (tidak  terjadi)  karena adanya faktor 
eksternal dari diri orang itu, yaitu karena alatnya atau objeknya itu  tidak  sempurna. Apakah dapat 
dikatakan telah terjadi suatu percobaan melakukan pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke 
dada B, yang ternyata B telah mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat 
dihukum C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun ke dalam minuman D yang 
ternyata racun ini  yaitu  gula? 
 Dalam hal seperti ini, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah kejadian 
ini  dapat dipidana. Bagimereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan antara 
ketidaksempurnaan mutlak  maupun ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula 
pelaku sudah mempunyai niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan 
dengan adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan  
demikian peristiwa ini  sudah  merupakan suatu perbuatan percobaan melakukan kejahatan. 
Namun tidak demikian halnya denga teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang 
tidak dapat dipidana. Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan 
kejahatan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan 
kepentingan hukum. Bagi teori objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah  sampai  
kepada penyelesaiaan kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian 
rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori objektif, hal demikian 
telah membahayakan kepentingan hukum sehingga pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk 
ketidaksempurnaan mutlak, baik sasaran maupun sarana, dianggap tidak merupakan hal yang 
membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa yang dilakukan 
pelaku tidak sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana 
ataupun sasarannya mutlak salah.      
 
BAB VIII 
PENYERTAAN (DEELNEMING) 
 
A. Dasar Hukum Penyertaan Menurut KUHP 
 Pengaturan mengenai pembagian penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. 
Berikut bunyi pasal-pasal mengenai penyertaan dalam KUHP: 
Pasal 55  
1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:  
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan 
perbuatan;  
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan 
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan 
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya 
melakukan perbuatan.  
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, 
beserta akibat-akibatnya.  
Pasal 56  
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:  
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan 
kejahatan. 
 Berdasarkan  Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP diatas maka penyertaan terbagi menjadi dua 
yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat diatur dalam Pasal 55 KUHP yaitu plegen  (mereka yang 
melakukan), doenplegen  (mereka yang menyuruh melakukan) medeplegen (mereka yang turut 
serta melakukan), uitlokken (mereka yang menganjurkan). Sedangkan pembantu diatur di dalam 
Pasal 56 KUHP yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan dan pembantuan sebelum 
kejahatan dilakukan. 
 
B. Plegen (Yang Melakukan) 
 Kata plegen diartikan sebagai yang melakukan sedangkan pleger dapat diartikan sebagai 
pelaku. Menurut Hazawinkel Suringa, pelaku yaitu  setiap orang yang dengan seorang diri telah 
 
 
memenuhi semua unsur seperti yang ditentukan dalam rumusan delik, oleh karena itu pelaku 
bukanlah seorang yang turut serta (deelnemer) namun dapat dipidana bersama-sama melakukan 
suatu perbuatan pidana.168 Menurut Hazewinkel Suringa ini  yang dimaksud dengan pleger 
yaitu  setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang 
telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana 
yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang ini  tetap dapat dihukum. Dalam praktek 
sukar menentukannya, karena pembuat undang-undang tidak menentukan secara  pasti siapa yang 
menjadi pleger. Kedudukan  plager alam Pasal 55 sering dipermasalahkan. Terutama dalam 
penyertaan medeplegen. 
 
C. Doenplegen (Menyuruh) 
 Menyuruh lakukan yaitu  terjemahan dari doenplegen, sedangkan orang yang 
menyuruh lakukan disebut dengan istilah doenpleger.  Seseorang yang menyuruh orang lain 
melakukan suatu perbuatan, sama halnya dengan orang ini  melakukan perbuatan itu sendiri. 
Menyuruh yaitu dimana auctur intelectualis menyuruh auctor physicus (dalam hal ini auctor 
physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya) untuk melakukan tindak pidana. 
Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan menggunakan orang lain sebagai 
alat untuk mengendalikan auctor physicus ini . Dari pengertian di atas di dapat dipahami 
beberapa hal.  
Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu: 
1) Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung 
2) Auctor physicus sebagai pembuat langsung 
Menurut keterangan MvT,  auctor physicus  berdasarkan perbuatannya dapat dibagi menjadi: 
a. Tindak pidana terwujud yaitu  atas perbuatan auctur physicus sepenuhnya. Artinya auctor 
intelektualis tidak berperan secara nyata dalam tindak pidana ini . 
b. Auctur physicus murni sebagai alat.  
Kedua yang menjadi ciri-ciri dari doenplegen yaitu: 
1) Alat yang dipakai yaitu  manusia. 
2) Alat ini  tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
Menurut Simons,  auctur physicus  tidak dapat dipertanggungjawabkan karena: 
                                                     

a) jika  orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu yaitu  seseorang yang 
ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP. 
b) jika  orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu 
kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling). 
c) jika  orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai 
schuld, baik dolus maupun culpa ataupun jika  orang ini  tidak memenuhi unsur opzet 
seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana ini . 
d) jika  orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur 
oogmerk padahal unsur ini  tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang 
mengenai tindak pidana. 
e) jika  orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah 
pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan 
terhadap paksaan dimana orang ini  tidak mampu memberikan suatu perlawanan. 
f) jika  orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah 
melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan ini  diberikan oleh seorang 
atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu. 
g) jika  orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu 
hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang 
yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri. 
Sedangkan menurut VOS,  auctur physicus  tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :169 
a) Orang yang disuruh melakukan yaitu  tidak mampu bertanggungjawab atas 
perbuatannya oleh karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwanya 
karena penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP yang 
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan 
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, 
tidak dipidana.” 
b) Auctur physicus itu terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana karena adanya 
pengaruh daya paksa (overmacht) sebagai mana yang dimaksud Pasal 48 KUHP yang 
                                                     
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak 
dipidana.” 
c) Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana oleh sebab 
karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik, sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) KUHP. 
d) Pada diri auctur physicus tidak terdapat kesalahan baik berupa kesengajaan atau 
kealpaan. 
e) Auctur physicus dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu dari unsur 
tindak pidana yang dirumuskan undang-undang. Misalnya tindak pidana itu 
membutuhkan kualitas pribadi tertentu pembuatnya, atau memerlukan unsur 
kesengajaan atau unsur melawan hukum, tetapi pada orang itu maupun pada 
perbuatannya tidak ada. 
Menurut Moeljatno auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena : 
a) Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, ataupun kemampuan bertanggungjawab. 
b) Berdasarkan Pasal 44 KUHP yaitu karena cacat jiwa atau terganggu karena penyakit. 
c) Dalam keadaan daya paksa seperti yang dimaksud Pasal 48 KUHP. 
d) Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP yaitu jika diperintah dengan itikad baik mengira 
bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam 
lingkupan pekerjaannya. 
e) Orang yang disuruh tidak punya sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik. 
 
 Menurut MvT WvS  Belanda menyuruh melakukan yaitu  dia yang melakukan tindak 
pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat 
dalam tangannya, jika  orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung 
jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan. 
 Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk menyuruh, yaitu: 
a) Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya. 
b) Orang lain itu berbuat: 
a. Tanpa kesengajaan. 
                                                     

 
b. Tanpa kealpaan. 
c. Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan: 
1. Yang tidak diketahuinya. 
2. Karena disesatkan. 
3. Karena tunduk pada kekerasan. 
 Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas 
orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan 
subjektif (batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat 
materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif). 
 Berdasarkan keterangan MvT  ini , dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk 
pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu 
dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekusaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa 
kesalahan, dan tanpa tanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal 
yang ternyata subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya  (auctur phisycus) 
karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dapat dipertanggungjawabkan karena 
keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang 
subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan yaitu  bersifat objektif. 
 Dari penjelasan di atas menurut Adami Chazawi ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan 
mengapa auctus physicus tidak dapat dipidana, yaitu: 
 
1. Tanpa Kesengajaan atau Tanpa Kealpaan 
 Perbuatan  auctur physicus  pada kenyataannya merupakan telah mewujudkan tindak 
pidana, namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena kesengajaan atau karena 
kealpaan.Karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu (actus intelectualis) 
menyuruh pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan 10 lembar uang yang 
diketahuinya palsu. Pembantu dalam kasus ini sebagai actus physicus  dalam kejahatan 
mengedarkan uang palsu pasal 245 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja 
mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata 
uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu 
                                                     

 
diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau 
memasukkan ke negara kita  mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk 
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan 
pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu, 
terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal ini pembantu ini tidak mengetahui tentang palsunya 
uang yang dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada unsur 
kesalahan (dalam bentuk kesengajaan) 
 Karena kealpaan seorang ibu membenci pada seorang pemulung karena seringnya 
mencuri benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui 
pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas di bawah jendela rumahnya 
yang loteng. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya untuk 
menumpahkan air panas dari jendela, dan mengenai pemulung itu. Pada diri pembantu tidak ada 
kelalaian karena telah diketahuinya bahwa selama ini tidak ada orang di bawah jendela dan 
pembantu itu telah sering pula membuang air dari jendela. 
2. Karena Tersesatkan 
 Apa yang dimaksud  dengan tersesatkan disini yaitu  kekeliruan atau kesalahpahaman 
akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain (in casu manus 
domina) dengan cara-cara yang isinya tidak benar atau palsu, yang atas kesalahpahaman itu 
memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain timbul 
kesalahapahaman itu yaitu  oleh sebab kesengajaan oleh penyuruh. Sehingga apa yang diperbuat 
oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja 
menyebabkan keadaan tersesatkan ini  
 Seorang berkehendak untuk mencuri sebuah koper milik seorang penumpang kereta api. 
Sejak semula di stasiun, sebelum orang itu naik kereta, orang jahat itu telah menguntitnya dan 
kemudian ikut pula menaiki kereta. Ketika pemilik koper itu sedang tertidur lelap, dimana kereta 
api sedang berhenti pada suatu stasiun, orang jahat tadi menyuruh seorang kuli angkut untuk 
menurunkan koper itu dan membawanya kesebuah taksi yang kemudian dipesan. Pada peristiwa 
ini, kuli tadi telah melakukan perbuatan mengambil koper milik orang lain oleh sebab tersesatkan. 
Disini telah terjadi pencurian koper, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli, 
melainkan pada orang jahat yang menyuruh. 
3. Karena Kekerasan. 
 
 
 Apa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) itu yaitu  perbuatan dengan 
menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu 
fisiknya tidak berdaya. Dalam hal bentuk penyuruh, kekerasan ini datangnya dari auctur 
intelectualis yang ditujukun pada auctur physicus, sehingga orang yang menerima kekerasan fisik 
ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat 
penyuruh. 
 Lalu menjadi pertanyaan mungkinknah seseorang yang tidak berkualitas, menyuruh 
seseorang yang berkualitas misalnya dalam kejahatan jabatan? Misalnya saja seorang yang bukan 
pegawai negeri menyuruh seseorang yang pegawai negeri untuk melakukan kejahatan jabatan? 
Untuk menjawab ini  ada 2 jawaban para sarjana. 
a. Mungkin karena bentuk doenplegen bukanlah pembuat tunggal (dader), tetapi tanggung 
jawabnya saja yang disamakan dengan pembuat tunggal, maka dia tidak harus memiliki 
kualitas itu. Orang yang berkualitas itu yaitu  dader saja, bukan termasuk doen pleger. 
Pendapat ini dianut Jonkers, Vos, dan Pompe. 
b. Tidak mungkin karena tidak mungkin seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh 
melakukan kejahatan jabatan pada seorang pegawai negeri, karena tidak mungkin dapat 
menyuruh lakukan sesuatu yang dia sendiri tidak dapat melakukan itu. Artinya yang dapat 
menjadi penyuruh yaitu  pegawai negeri sipil juga. Pendapat ini dianut oleh Van Hammel 
dan Simons. 
 Orang yang menyuruh melakukan mengambil peran sendiri pula, tetapi berbeda dengan 
pembujuk karena ia mempergunakan seorang perantara yang dapat dipidana guna mencapai 
tujuannya. Kadang-kadang juga diungkapkan seperti berikut ini, orang yang “menyuruh 
melakukan” itu mempergunakan orang lain sebagai “alat tak berkehendak”. Tidak dapat 
dipidananya itu mungkin dari ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana pasal 44 KUHP 
atau dari ketiadaan kesengajaan yang dipersyaratkan untuk si perantara. Ciri menyuruh melakukan 
asli, yakni mempergunakan orang lain (yang tidak mampu bertanggung jawab atau yang tidak 
tahu) seakan-akan sebagai alat tak berkehendak di tangannya sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan 
jahat. 
 Ada tiga syarat penting dalam doenplegen. (1) alat yang dipakai untuk melakukan suatu 
perbuatan pidana yaitu  orang.(2) orang yang disuruh tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan 
atau kemampuan bertanggungjawab (3) sebagai konsekuensi syarat kedua yaitu  bahwa orang 
 
 
yang disuruh melakukan tidaklah dapat dijatuhkan pidana. Contoh, A dan B bertentangga, mereka 
sering bertengkar mulut sampai suatu ketika timbul niatan dari A untuk melukai B.  Pada saat B 
sedang berjalan di depan rumah, A lalu menyuruh anaknya C yang berusia 10 tahun untuk 
melempari B dengan batu yang ada di halaman . C kemudian melempari B dan mengakinatkan 
luka di kepala. Dalam konteks yang demikian, A yaitu  doenpeleger atau orang yang menyuruh 
lakukan sedangkan C yaitu  orang yang disuruh untuk melakukan suatu perbuatan pidana atau 
hanya sebagai alat semata atau manus ministra, sudah tentu yang dimintai pertanggungjawaban 
pidana yaitu  A bukan C.  
 
D. Medeplegen (Turut Serta)  
 Medeplegen dapat diartikan sebagai turut serta melakukan. Menurut R. Sugandi dalam 
bukunya KUHP dan Penjelasannya, turut serta diartikan melakukan bersama-sama. Dalam tindak 
pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan turut 
melakukan. Dan dalam tindakannya keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan. Jadi 
keduanya melakukan tindak pidana itu. Tetapi jika  kedua pelaku itu hanya melakukan 
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya membantu, maka kedua pelaku itu 
tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, akan tetapi hanya sebagai orang 
yang “membantu melakukan” sebagai mana dimaksud pasal 56.
 Menurut Mahrus Ali turut serta ialah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang 
lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersamasama pula ia turut beraksi  dalam 
pelaksanaan perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula disepakati. Jadi, dalam penyertaan 
bentuk turut serta ini, dua orang atau lebih yang dikatakan sebagai medepleger ini  semuanya 
harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama pada suatu perbuatan pidana yang mereka lakukan. 
  Menurut Schaffmeister turut serta ialah seorang pembuat ikut serta mengambil 
prakarsa dengan berunding dengam orang lain  dan sesuai dengan perundingan itu mereka 
itu bersama-sama melaksanakan delik. Dari defenisi diatas didapat beberapa unsur yaitu: 
1. Bersepakat. 
2. Bersama orang lain membuat rencana. 
                                                     

 
3. Melakukan perbuatan pelaksanaan.  
4. Bersama-sama melaksanakannya. 
 Sedangkan syarat turut serta menurut Teguh Prasetyo yaitu sebagai berikut:178 
1. Mereka memenuhi semua rumusan delik. 
2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik. 
3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik. 
4. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama yang dilakukan secara sengaja untuk 
bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang. 
5. Adanya pelaksanaan secara fisik (kerja sama yang erat dan langsung atas suatu 
perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan) 
 Menurut Van Hamel perbuatan orang yang medeplegen selain merupakan penyertaan 
lengkap, juga orang-orang yang terlibat harus melakukan seluruh perbuatan. Medeplegen pada 
hakikatnya hanya mungkin pada perbuatan yang merupakan delik, pada delik materil perbuatan 
ini  adequate kausal dengan akibat. 179  
 Menurut Pompe bahwa medeplegen yaitu  seseorang dengan seorang lainnya atau lebih 
melaksanakan perbuatan pidana.  Dalam makna bahwa masing-masing atau setidak-tidaknya 
mereka itu semua melaksanakan unsur-unsur perbuatan pidana ini , namun tidak 
mensyaratkan medeplegen harus melaksanakan semua unsur delik. Berdasarkan pendapat Pompe 
maka ada tiga kemungkinan dalam medeplegen yaitu (1) semua pelaku memenuhi unsur dalam 
rumusan delik (2) salah seorang memenuhi unsur delik, sedangkan pelaku yang lain tidak. (3) tidak 
seorang pun memenuhi semua unsur delik, namun bersama-sama mewujudkan delik ini . 
Contoh : C dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan kendatipun hanya menunggu di mobil 
bukanlah perbuatan yang memenuhi unsur delik, akan tetapi merupakan suatu rangkaian perbuatan 
pencurian dengan kekerasan. Dari ketiga hal yang penting yang disebutkan diatas bahwa menurut 
Pompe, medeplegen ada dua kesengajaan (1) kesengajaan untuk mengadakan kerja sama dalam 
rangka mewujudkan suatu delik diantara para pelaku artinya, ada suatu kesepakatan atau meeting 
of mind diantara mereka. (2) yaitu  kerja sama yang nyata dalam mewujudkan delik ini . 
Kedua kesengajaan ini  mutlak harus ada dalam medeplegen dan keduanya harus dibuktikan 
                                                     
penuntut umum di pengadilan. Maka pihak yang bersepakat dan melakukan perbuatan akan 
mendapat hukuman yang sama. Namun jika  seorang medepleger melampaui batas kesengajaan, 
maka pertanggungjawabannya hanya dibebankan kepada ia sendiri. contoh A dan B berniat 
mengiaya C. A dan B memukul C berulang kali hingga jatuh. Ketika B sudah berhenti mengiaya, 
tiba-tiba A mengeluarkan sebilah pisau dan menusuknya di bagian perut C sehingga berakibat 
mati. Dengan demikian matinya C hanya menjadi tanggungjawab pidana A dan bukan 
tanggungjawab B dalam konteks ikut serta melakukan. 
 Dalam turut serta ditemui mengenai penentuan kualitas dari peserta. Penetuan ini  
yaitu pandangan secara sempit (objektif) dan pandangan secara luas (subjektif).  
1. Pandangan secara sempit (objektif). Menurut pandangan secara sempit, para peserta 
harus memenuhi semua rumusan unsur delik.  
2. Pandangan secara luas (subjektif). Menurut pandangan secara luas, para peserta 
memiliki peran tersendiri hingga terjadinya suatu perbuatan pidana. Ada yang menjadi 
pembuat pelaksana, dan ada yang menjadi pembuat peserta. 
  Sejalan dengan apa yang disampaikan Schaffmeister dan Teguh Prasetyo, Hoge 
Raad dalam arrestnya menyatakan dua kriteria pembuat peserta. 
1. Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi. 
2. Para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan 
 
E. Uitlokking 
 Uitlokking diartikan sebagai yang menganjurkan atau menggerakkan, sedangkan orang 
yang menganjurkan atau menggerakkan disebut uitlokker. Van Hammel memberikan pengertian 
uitlokking sebagai berikut: Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat 
dipertanggungjawakan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu perbuatan pidana dengan 
menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang karena telah tergerak, orang 
ini  kemudian dengan sengaja melakukan tindak pidana itu. 
 Sama halnya dengan bentuk menyuruhlakukan (doenpelegen), bentuk penyertaan 
uitlokking terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang 
menganjurkan dan orang yang dianjurkan. Orang yang menganjurkan disebut ouctor intellectualis 
                                                     
dan orang yang dianjurkan disebut sebagai auctor materialis atau materieele dader.181Plus peccat 
auctor quam actor, artinya orang yang menggerakkan suatu kejahatan dipandang lebih buruk 
daripada yang melakukannya. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP telah ditentukan secara 
limitatif upaya untuk menganjurkan atau menggerakkan orang lain melakukan perbuatan pidana 
yaitu: 
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu 
2. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat 
3. Dengan kekerasan 
4. Dengan ancaman atau penyesatan 
5. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan. 
 Ada lima syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk penyertaan uitlokking yaitu:182 
1. Kesengajaan untuk menggerakkan atau menganjurkan orang lain melakukan suatu 
perbuatan pidana 
2. Ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang digerakkan atau dianjurkan, 
artinya kehendak ini  juga ada pada orang yang digerakkan atau dianjurkan. 
Hal ini berkaitan dengan kausalitas psikis. 
3. Orang yang digerakkan benar-benar mewujudukan perbuatan pidana atau 
percobaan perbuatan pidana yang dikehendaki oleh penggerak atau penganjur. 
Itikad buruk saja tidaklah cukup, tanpa terwujudnya perbuatan oleh orang yang 
dianjurkan atau digerakkan. 
4. Menganjurkan atau menggerakkan harus dengann cara-cara yang telag ditentukan 
secara limitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 diatas. 
5. Orang yang digerakkan atau dianjurkan harus dapat dimintai pertanggungjawaban 
pidana. 
 
 Antara menyuruh lakukan dengan menggerakkan atau menganjurkan ada tiga perbedaan 
yang mendasar. Pertama, pihak yang upaya perbuatan pidana dalam doenplegen harus tetap 
dikecualikan dari pemidanaan, sedangkan orang yang menggerakkan  atau dianjurkan melakukan 
perbuatan pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kedua, upaya dalam uitlokking 
                                                     
bersifat limitatif, sementara dalam doenplegen dapat digunakan sarana apapun. Ketiga, uitlokking 
atau orang yang menggerakkan atau menganjurkan tidak mungkin mewujudkan sendiri semua 
unsur yang ada dalam rumusan delik.  
 Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana seorang penggerak atau penganjur atau 
uitlokking? Perhatikan contoh berikut:  
Pertama, A sakit hati dengan B dan menggerakkan C untuk memukul B. pada 
kenyataannya, C tidak memukul, melainkan menusuk B dengan sebilah pisau. Apakah A 
dapat dimintai pertanggungjawabn? Dalam konteks ini, A tidak dapat 
dipertanggungjawabkan secara pidana atas akibat yang dilakukan oleh C, namun A dapat 
dipidana karena menggerakkan orang lain melakukan penganiayaan meskipun tidak terjadi 
akibat yang diiinginkan oleh A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 bis KUHP.  
Kedua, A menggerakkan B untuk membunuh C. Pada kenyataannya B tidak membunuh C 
melainkan membunuh Z. Apakah A dapat dimintai pertanggungjawaban pidana? sama 
jawaban pada contoh diatas, A tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas 
akibat yang dilakukan oleh B, namun A dapat dipidana karena menggerakkan orang lain 
melakukan pembunuhan meskipun tidak terjadi akibat yang diinginkan oleh A 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 bis KUHP. 
 
G. Pembantuan 
 Pembantuan atau medeplichtige  yaitu ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau 
lebih, pertama yaitu  pelaku atau pembuat atau de hoofd dader, kedua, pembantu atau 
medeplichtige.183 Omne principale trahit ad se accessorium. Dimana ada pelaku utama, di situ ada 
pelaku pembantu. Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi “Dipidana sebagai 
pembantu suatu kejahatan: 
a. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. 
b. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan 
kejahatan.” 
 Berdasarkan dari bunyi Pasal 56 KUHP diatas dapat maka dapat disimpulkan dua bentuk 
pembantuan yaitu: 
                                                     
a. Sebelum dilaksanakannya kejahatan. Pembantuan untuk melakukan kejahatan. Artinya 
pembantuan itu diberikan sebelum kejahatan terjadi, apakah dengan memberikan 
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.184 Cara yang dilakukan 
yaitu  dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Mirip dengan penganjuran 
pada uitlokken. Perbedaannya pada niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat 
pembuat materiil sudah ada sejauh semula/tidak ditimbulkan pembantu, sedangkan dalam 
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh 
penganjur.185 dalam penganjuran inisiatif (prakarsa) melakukan tindak pidana datang dari 
si penganjur dimana untuk membujuk ia memberikan sejumlah kemudahan, yaitu dengan 
memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Dalam membantu melakukan, inisiatif 
(prakarsa) untuk melakukan tindak pidana berasal dari orang lain, sedangkan si pembantu 
hanya sekedar membantu dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan” 
b. Saat dilaksanakannya kejahatan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam 
KUHP. Mirip dengan medeplegen. Namun perbedaannya terletak pada: 
1. Pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedangkan pada 
turutserta merupakan perbuatan pelaksanaan. 
2. Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja 
sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang 
turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai 
tujuan sendiri. 
3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta 
dalam pelanggaran tetap dipidana. 
4. Maksimum pidana pembantu yaitu  maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 
sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama. 
 Pembantuan untuk melakukan pelanggaran tidaklah dipidana. Seseorang tidak bisa 
disebut sebagai pelaku pembantuan hanya karena ia kenal pelaku utamanya, namun pembantuan 
harus tahu apa yang ia perbuat dan dengan cara apa membantunya. Pembantuan haruslah dilakukan 
dengan suatu kesengajaan dan delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan. 
Ada beberapa perbedaan antara turut serta melakukan dengan pembantuan yaitu: 
                                                     
1. Turut serta melakukan pelanggaran dijatuhi pidana, sedangkan pembantuan dalam 
pelanggaran tidak dijatuhi pidana 
2. Dalam turut serta melakukan harus ada kesengajaan untuk bekerjasama atau relasi yang 
sebanding, namun dalam pembantuan hal ini tidak disyaratkan. Pelaku bahkan tidak perlu 
mengetahui adanya pembantuan yang diberikan oleh yang memberikan bantuan.  
3. Dalam turut serta melakukan harus ada kerjasama yang erat diantara para pelaku, sedangkan 
dalam pembantuan orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting. 
Contoh, A memberi informasi kepada B dan C, bahwa tuan rumah tempat A bekerja sebagai 
pembantu rumah tangga, pada malam nanti akan menyimpan uang tunai di rumah dan jumlah 
yang banyak. Setelah laryt malam, B dan C kemudian melakukan aksi pencurian. 
4. Dalam turut serta melakukan harus ada uitvoeringshandeling atau tindakan pelaksanaan, 
sedangkan dalam pembantuan hanya cukup melakukan voorbereidingshandeling atau 
tindakan persiapan maupun tindakan dukungan atau ondersteuningshandeling. Contoh  X 
yang sedang bersepeda ditaman, dihadang oleh Y dan Z. ketika Y dan Z menganiaya X, tiba-
tiba datang E dan F yang yaitu  teman Z., lalu menyembunyikan sepeda X dengan maksud 
agar X tidak melarikan diri. E dan F dapat dimintai pertanggungjawaban karena membantu 
melakukan penganiayaan terhadap X 
5. Pemidanaan terhadap turut serta melakukan sama dengan pelaku lainnya, sementara dalam 
hal pembantuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pembantu dikurangi sepertiga dari 
maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku utama. 
6. Meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian, namun jika kerjasama para pelaku 
yaitu  sangat erat, maka orang yang demikian itu lalu dipandang sebagai pelaku dan bukan  
sebagai pembantu. Contoh, A dan B berniat mencuri di rumah C. A dan B kemudian 
bermufakat dengan D, pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah C untuk mengunci 
pintu belakang pada malam yang telah ditentukan. Dalam konteksi demikian, D tidak sebagai 
pembantu, melainkan turut serta melakukan. Hal ini karena ada pemufakatan jahat terlebih 
dahulu, meskipun perbuatan D jika dilihat secara terpisah tidaklah memenuhi unsur delik. 
 
 
 
                                                    
 
BAB IX 
PERBARENGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP/CONCURSUS) 
 
A. Pengertian  
 Pembarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang 
menterjemahkannya dengan gabungan.  Menurut rumusan undang-undang yang dimaksud dengan 
perbarengan perbuatan pidana yaitu  seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar 
beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing 
perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dan salah satu dari perbuatan pidana itu 
belum dijatuhi putusan hakim. Ditinjau dari pengertian perbarengan perbuatan pidana ini  
dapat diperoleh bentuk perbarengan sebagai berikut: 
1. Perbuatan concursus idealis atau eendaadse samenloop, jika  seseorang melakukan 
suatu perbuatan tetapi masuk dalam beberapa peraturan hukum pidana, sehingga orang itu 
dianggap melakukan beberapa perbuatan pidana (Pasal 63 KUHP). 
2. Perbuatan berlanjut atau voortgezette handeling, jika  seseorang melakukan beberapa 
perbuatan pidana yang masing-masing merupakan perbuatan berdiri sendiri (kejahatan atau 
pelanggaran) tetapi di antara perbuatan itu ada hubungannya satu sama lain yang harus 
dianggap sebagai satu perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP). Dalam MvT (Memorie van 
Toelichting)  kriteria perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlajutan yaitu : 
a. Harus ada satu keputusan kehendak 
b. Masing-masing perbuatan harus sejenis 
c. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.  
3. Perbuatan concursus realis atau meerdaadse samenloop, jika  seseorang melakukan 
beberapa perbuatan pidana yang masing-masing merupakan perbuatan yang berdiri sendiri 
(kejahatan atau pelanggaran) tetapi tidak perlu perbuatan itu berhubungan satu sama lain 
atau tidak perlu sejenis (Pasal 65,66,70,,70 bis KUHP). 
 
 
 
                                                    
 
B. Hukuman Perbarengan Tindak Pidana 
  Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana  yaitu  mengenai 
bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan delik 
gabungan, dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan 
hukuman bagi pelaku perbarengan tindak pidana yaitu: 
1. Stelsel Absorbsi atau Stelsel Penyerapan Murni 
Dalam sistem ini, pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat diantara beberapa 
pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh 
pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecendrungan pada 
pelaku tindak pidana  untuk melakukan perbuatan pidana  yang lebih ringan 
sehubungan dengan adanya ancaman hukum yang lebih berat. Dasar sistem hisapan ini 
ialah Pasal 63 dan 64 KUHP yaitu untuk gabungan tindak pidana  tunggal dan 
perbuatan yang dilanjutkan. 
2. Stelsel Absorsi yang dipertajam 
  Dalam sistem ini ancaman hukumannya yaitu  hukuman yang terberat, 
namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. 
Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman 
hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan yaitu  Pasal 65 KUHP 
3. Stelsel Komulasi munrni  atau Stelsel penjumlahan murni 
  Stelsel komulasi murni yaitu  sistem untuk tindak pidana  yang diancam 
atau dikenakan sanksi masing-masing tanpa pengurangan. Sistem ini berlaku untuk 
gabungan tindak pidana  berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan 
kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya Pasal 70 KUHP. 
4. Stelsel Komulasi Terbatas 
  Stelsel komulasi terbatas yaitu  ancaman hukuman dari masing-masing 
kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi 
maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tidank 
pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar 
hukumnya dalam Pasa 66 KUHP 
Dari keempat sistem diatas yang seirng digunakan hanyalah tiga, yaitu stelsel absorsi 
murni atau stesel penyerapan murni, stelsel absorsi yang dipertajam dan stelsel 
komulasi terbatas. Sementara itu stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni 
tidak pernah dipergunakan dalam praktek karena bertentangan dengan ajaran 
samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa. 

 
BAB X 
RECIDIVE 
 
A. Pengertian Recidive (Pengulangan) 
 
  Recidive  dalam kamus hukum diartikan sebagai ulangan kejahatan, kejadian bahwa 
seseorang yang pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan, melakukan lagi suatu 
kejahatan.190 Recidive  yaitu   kelakuan  seseorang  yang  mengulangi  perbuatan pidana 
sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan  hukum  tetap  
karena  perbuatan  pidana  yang  telah  dilakukanya lebih  dahulu.  Seseorang  yang  sering  
melakukan  perbuatan  pidana,  dan karena  dengan  perbuatan-perbuatanya  itu  telah  dijatuhi  
pidana  bahkan lebih sering dijatuhi pidana, disebut residivist. Kalau residive menunjukkan 
pada  kelakuan  mengulangi  perbuatan  pidana,  maka  residivist  menunjuk kepada orang yang 
melakukan pengulangan perbuatan pidana.191 
 Menurut E.Y Kanter & S.R Sianturi yang dimaksud dengan residiv (Recidive)/ 
pengulangan secara umum yaitu  jika  seorang melakukan suatu tindak pidana dan untuk 
itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu: 
a. Sejak setelah pidana ini  dilaksanakan seluruhnya atau sebahagian; 
b. Sejak pidana ini  seluruhnya dihapuskan, atau jika  kewajiban menjalankan/ 
melaksanakan pidana itu belum daluwarsa, ia kemudian melakukan tindak pidana lagi.  
 Dari pembatasan ini  diatas, dapat ditarik syarat-syarat yang harus dipenuhi 
yaitu: 
a. Pelakunya sama 
b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi 
pidana(yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap) 
c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu. 
 Jadi,  recidive  itu  terjadi  jika   seseorang  telah  melakukan perbuatan  pidana  dan  
terhadap  perbuatan  pidana  ini   telah  dijatuhi dengan  putusan  hakim.  Putusan  ini   
                                                     
telah  dijalankan  akan  tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan dikembalikan kepada 
masyarakat, dalam  jangka  waktu  tertentu  setelah  pembebasan  ini   ia  kembali melakukan 
perbuatan pidana. 
 
B. Macama-Macam Recidive 
a. Recidive Umum (Algemene recidive atau Generale recidive). Recidive  umum  terjadi  
jika   seseorang  yang  telah  melakukan delik kemudian terhadap perbuatan pidana 
ini  telah dijatuhi pidana oleh  hakim  serta  menjalani  pidananya  di  dalam  Lembaga 
Pemasyarakatan.  Setelah  selesai  menjalani  hukumannya,  bebas  dan kembali ke dalam 
masyarakat, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu yang  ditetapkan  undang-undang  
orang  ini   melakukan  lagi perbuatan pidana yang perbuatan pidananya tidak 
sejenis.195 
b. Recidive Khusus (Speciale Recidive). Recidive  ini  terjadi jika  seseorang  
melakukan perbuatan pidana  dan  terhadap  perbuatan  pidana  ini   telah  dijatuhi  
pidana oleh  hakim.  Setelah  dijatuhi  pidana  dan  pidana  ini   dijalaninya, kemudian  
kembali  ke  masyarakat,  akan  tetapi  dalam  jangka  waktu tertentu  yang  ditetapkan  oleh  
undang-undang  kembali  lagi  melakukan perbuatan  pidana  yang  sejenis  dengan  
perbuatan  pidana  yang terdahulu.196 
c. Tussen  stelsel  yaitu   jika   seseorang  melakukan  perbuatan pidana dan terhadap 
perbuatan pidana itu ia telah dijatuhi pidana oleh hakim.  Tetapi  setelah  ia  menjalani  
pidana  dan  kemudian  dibebaskan, orang ini  dalam jangka waktu tertentu yang telah 
ditentukan oleh undang-undang  melakukan  perbuatan  pidana  dan  perbuatan  pidana 
yang dilakukan itu merupakan  golongan tertentu  yang ditetapkan oleh undang-undang.197 
 Pengulangan  tindak  pidana  dalam  KUHP  diatur  secara  khusus untuk  sekelompok  
tindak  pidana  tertentu  baik  yang  berupa  kejahatan dalam buku II maupun yang berupa 
planggaran dalam buku III. Adapun syarat-syarat  recidive  untuk  tiap-tiap  tindak  pidana,  baik  
terhadap kejahatan maupun pelanggaran yaitu  sebagai berikut: 
1. Recidive Kejahatan 
                                                     

 Dengan  dianutnya  sistem  recidive  khusus,  maka  recidive kejahatan  menurut  KUHP  
yaitu   recidive  kejahatan-kejahatan tertentu.  Mengenai  recidive  kejahatan-kejahatan  tertentu  
ini  KUHP membedakan antara lain: 
a. Recidive  terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam 
sebelas pasal-pasal tertentu buku II KUHP yaitu dalam pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 
(2),  161 (2), 163 (2), 208  (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2), dan 303  bis (2). Dengan demikian 
di dalam sistem recidive kejahatan sejenis ini hanya ada 11  jenis  kejahatan  yang  dapat  
merupakan  alasan  pemberatan pidana.  Persyaratan  recidive  disebutkan  dalam  masing-
masing pasal  yang  bersangkutan,  yang  pada  umumnya  mensyaratkan sebagai berikut: 
1) Kejahatan  yang  diulangi  harus  sama  atau  sejenis  dengan kejahatan yang terdahulu; 
2) Antara kejahatan  yang terdahulu dan kejahatan  yang diulangi harus  sudah  ada  keputusan  
hakim  berupa  pemidanaan  yang telah mempunyai kekuatan tetap; 
3) Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan  
pencaharianya  (khusus  pasal  216,  303  bis  dan 393 syarat ini tidak ada); 
4) Pengulanganya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal 
yang bersangkutan yaitu: 
a) Dua tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik  dalam  pasal  
137,  144,  208,  216,  303  bis  dan 321), atau 
b) Lima  tahun  sejak  adanya  keputusan  hakim  yang  tetap (untuk  delik-delik  dalam  
pasal  155,  157,  161,  163  dan 393).198 
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis 
diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Adapun  persyaratan  recidive  menurut  
ketentuan  pasal-pasal ini  yaitu  sebagai berikut: 
1) Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis  dengan  kejahatan  
yang  pertama  atau  yang  terdahulu. Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah: 
a) Kelompok  jenis  kejahatan  dalam  pasal  486  KUHP  yang pada  umumnya  
mengenai  kejahatan  terhadap  harta  benda dan pemalsuan misalnya: Pemalsuan 
mata uang (244-248 KUHP), pemalsuan surat (263-264  KUHP),  pencurian  (362,  
363,  365  KUHP), pemerasan  (368  KUHP),  pengancaman  (369  KUHP), 
                                                     
 
penggelapan  (372,  374,  375  KUHP),  penipuan  (378 KUHP), kejahatan jabatan 
(415,  417, 425, 432  KUHP), penadahan (480,481 KUHP).199 
 Dalam  pasal  486  KUHP  mengatur  tentang  pidana maksimum  dari  beberapa  
kejahatan  dapat  ditambah  1/3 karena  recidive.  Dalam  pasal  ini ,  kejahatan-
kejahatan yang  digolongkan  terdiri  dari  perbuatan-perbuatan  yang dilakukan  
seseorang  dengan  maksud  untuk  mendapatkan keuntungan  yang  tidak  halal  ataupun  
yang  dilakukan seseorang  dengan  melakukan  tipu  muslihat.  Hal  ini   
yang dijadikan dasar untuk memperberat pidana dengan 1/3 dengan syarat: 
1. Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana dengan putusan hakim 
yang tidak dapat dirubah lagi dan dengan hanya pidana penjara. 
2. Harus dalam jangka waktu lima tahun terhitung dari saat selesainya  menjalani  
pidana  penjara  dengan  saat  ia melakukan perbuatan pidana untuk kedua 
kalinya.200 
b) Kelompok  jenis  kejahatan  dalam  pasal  487  KUHP  pada umumnya  mengenai  
kejahatan  terhadap  orang  misalnya penyerangan dan makar terhadap Kepala 
Negara (131, 140, 141  KUHP),  pembunuhan  biasa  dan  berencana  (338,  339, 
340  KUHP),  pembunuhan  anak  (341,  342 KUHP), euthanasia  (344 KUHP),  
abortus  (347,  348  KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana 
(351, 353,  354,  355  KUHP),  kejahatan  pelayaran  yang  berupa pembajakan  
(438-443  KUHP)  dan  insubordinasi  (459-460 KUHP).201 
 Dalam  pasal  ini   terdapat  segolongan  kejahatankejahatan  tentang  
perbuatan  pidana  yang  dilakukan seseorang  dengan  menggunakan  kekerasan  
terhadap  orang lain  yaitu  pembunuhan  dan  penganiyaan.  Kejahatan  yang diatur  
dalam  pasal  487  KUHP  yang  memungkinkan pidananya  ditambah  1/3,  asal  
saja  memenuhi  syarat-syaratseperti  yang  diatur  dalam  pasal  486  KUHP  karena  
hanya pidana  penjara  dari  kejahatan  ini   di  dalamnya  boleh ditambah 
dengan 1/3nya karena recidive ini .
c) Kelompok  jenis  kejahatan  dalam  pasal  488  KUHP  pada umumnya  mengenai  
kejahatan  penghinaan  dan  yang berhubungan  dengan  penerbitan  atau  
percetakan,  misalnya penghinaan  terhadap  Presiden  atau  Wakil  Presiden  (134-
137  KUHP),  penghinaan  terhadap  Kepala  Negara  sahabat (142-144  KUHP),  
penghinaan  terhadap  orang  pada umumnya (310-312  KUHP), dan kejahatan 
penerbitan atau percetakan (483,484 KUHP).203 
 Pidana yang ditentukan dalam pasal 488  KUHP  dapat ditambah  sepertiga  
jika  yang  bersalah  ketika  melakukan kejahatan  belum  lewat  lima  tahun  sejak  
menjalani  untuk seluruhnya  atau  sebagian  pidana  penjara  yang  dijatuhkan 
kepadanya  karena  salah  satu  kejahatan  yang  diterangkan dalam  pasal  ini ,  
atau  sejak  pidana  ini   baginya sama  sekali  telah  dihapuskan  atau  jika  
waktu  melakukan kejahatan,  kewenangan  menjalankan  pidana  ini  
kadaluwarsa. Syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena recidive 
menurut pasal 488 KUHP, yaitu : 
1. Dalam pasal 488 KUHP ini  tidak ditentukan harus dengan penjara yang 
harus dilakukan berhubung dengan kejahatan  pertama.  Dalam  pasal  ini   
hanya menyebutkan pidananya, bukan pidana penjara saja. Hal ini   berarti  
pidana  kurungan  dan  denda  dapat merupakan dasar pemberatan ini . 
2. Sama  dengan  syarat  kedua  dalam  pasal  486  atau  487 KUHP.

BAB XI 
PIDANA DAN PEMIDANAAN 
 
A. Pengertian Pidana Dan Sanksi Pidana 
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai 
penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah 
terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Moeljatno, dalam Muladi dan Barda Nawawi 
Arief, arti asal kata straf yaitu  hukuman yang merupakan istilah yang konvensional. Moeljatno 
menggunakan istilah inkonvensional yaitu pidana. 
Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa pidana harus berdasarkan 
ketentuan formal atau ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas 
pengertiannya, misalnya seorang murid dihukum oleh gurunya karena tidak mengikuti upacara, 
yang semuanya didasarkan pada kepatutan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan. Kedua istilah 
ini juga mempunyai persamaan, yaitu keduanya berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak 
baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang. 
Pidana yaitu  sebuah konsep dalam bidang hukum pidana, yang masih perlu penjelasan 
lebih lanjut untuk memahami arti dan hakekatnya. Menurut Roeslan Saleh bahwa pidana yaitu  
reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada 
pembuat delik itu.Adami Chazawi menyebutkan bahwa pidana yaitu  suatu penderitaan yang 
sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat 
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. 208 
Menurut Sudarto pidana yaitu  salah satu dari sekian sanksi yang bertujuan untuk menegakkan 
berlakunya norma. Pelanggaran norma yang berlaku  dalam masyarakat menimbulkan perasaan 
tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi ini .
 Dari beberapa pengertian tentang pengertian pidana sebagaimana dijelaskan diatas, maka 
menurut hemat penulis bahwa pada hakekatnya pidana ini  merupakan penderitaan yang 
diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah 
ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  
Sanksi pidana terdiri atas dua kata, yaitu sanksi dan pidana. Sanksi artinya ancaman, sanksi 
mengandung arti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas agar norma 
yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang ditaati sebagai akibat hukum atas 
pelanggaran norma. Sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi 
dari perihal lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial. Sanksi terhadap 
pelanggaran tatanan hukum yang dapat dipaksakan dan dilaksanakan serta bersifat memaksa yang 
datangnya dari pemerintah merupakan perbedaan yang menonjol dengan pelanggaran terhadap 
tatanan lainnya.Pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan 
masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaedah dalam keadaan semula. 
Menurut G.P. Hoefnagels bahwa sanksi dalam hukum pidana yaitu  reaksi terhadap pelanggaran 
hukum yang telah ditentukan undang-undang, dimulai dari penahan tersangka dan penuntutan 
terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu 
proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap suatu pidana. 
Sanksi pidana yaitu  salah satu sarana paling efektif yang digunakan untuk menanggulangi 
kejahatan, namun pidana bukanlah sarana satu-satunya, sehingga jika  perlu, maka digunakan 
kombinasi dengan upaya sosial. Oleh karenanya perlu dikembangkan prinsip multimium remedium 
bukan premium remedium. Dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana yaitu  alat yang dimiliki 
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar sekaligus untuk menghadapi ancaman-
ancaman. 
                                                     

 
 
Menurut Sudarto bahwa hakikat sanksi pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri 
sebagai berikut:216 
1) Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau 
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 
2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai 
kekuasaan (oleh yang berwenang); 
3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut 
undang-undang. 
Pengertian serta unsur-unsur sanksi dan pidana sebagaimana telah diuraikan diatas dapat 
dirumuskan bahwa sanksi dalam hukum pidana yaitu  reaksi yang diberikan dengan sengaja oleh 
badan yang mempunyai wewenang atau kekuasaan berupa pengenaan penderitaan atau nestapa 
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan 
pelanggaran kaedah hukum atau tindak pidana menurut undang-undang. Sanksi hukum yang 
berupa pidana yang diancamkan kepada pembuat delik merupakan cirri perbedaan hukum pidana 
dengan jenis hukum yang lain. Soejono menjelaskan bahwa hukuman merupakan sanksi atas 
pelanggaran suatu ketentuan hukum. pidana lebih memperjelas pada sanksi yang dijatuhkan 
terhadap pelanggaran hukum pidana.217 Pada dasarnya hukum pidana mempunyai sanksi yang 
negative, sehingga dengan sistem sanksi yang negatif ini  tumbuh pandangan bahwa pidana 
hendaknya diterapkan jika upaya lain sudah tidak memadai. 
B. Jenis-Jenis Pidana 
 Jenis pidana yang diatur dalam KUHP dimuat dalam Pasal 10 yaang terdiri dari pidana 
pokok dan pidana tambahan, yaitu sebagai berikut: 
a. Pidana pokok meliputi: 
1.Pidana mati 
2.Pidana penjara 
3.Pidana kurungan 
4.Pidana denda 
b.Pidana Tambahan meliputi 
                                                     

1.Pencabutan beberapa hak-hak tertentu 
2.Perampasan barang-barang tertentu 
3.Pengumuman putusan Hakim 
 
1. Pidana Mati 
Pidana mati merupakan pidana yang terberat di dunia. Dilihat dari sejarah, Pidana mati 
merupakan komponen permasalahan yang erat kaitannya. Hukuman mati resmi diakui bersamaan 
dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hammuburabi di 
Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi.218 Hukuman mati merupakan talio (pembalasan), 
yakni siapa yang membunuh, maka ia harus dibunuh juga oleh keluarga si korban. Dan menurut 
codex Hammburabi (dari 2.000 sebelum tarikh masehi) kalau ada binatang pemeliharaan yang 
membunuh orang, maka binatang dan pemiliknya dibunuh juga.219 
Pada abad 19, bahkan abad ke 20 dalam beberapa persoalan kekerasan, pemidanaan 
diperlunak. Pada tahun 1809 di negeri Belanda dalam kitab undang-undang kriminal, pidana mati 
tetap dipertahankan dengan ketentuan bahwa hakim boleh memutuskan, apakah pidana itu akan 
dijalankan di tiang gantungan atau dengan pedang, tanpa upacara algojo, juga pukulan cemeti dan 
mencap badan dengan besi panas tanpa berlaku, tetapi di samping itu disahkan pidana penjara yang 
bersifat sementara dengan maksimum 20 tahun. 
Di negara kita  pidana mati telah dikenal pada zaman Majapahit (abad 13-16) yang di 
masukkan ke dalam undang-undangnya bahkan dikategorikan juga jenis pidana pokok. Slamet 
Mulyana menulis bahwa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal pidana penjara dan 
kurungan yang dikenal. Bentuk Pidana yang dikenal yaitu :220 
a. Pidana Pokok  
1. Pidana mati 
2. Pidana potong anggota badan yang salah 
3. Pidana denda 
4. Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa 
b. Pidana tambahan 
1. Tebusan 
2. Penyitaan 
3. Patibajampi (pembeli obat) 
                                                     
     
 
  Di beberapa kerajaan yang ada di negara kita  sebelum negara kita  merdeka juga telah 
menerapkan pidana mati seperti di Sulawesi Selatan ketika Aru Palak berkuasa (sekutu VOC) yang 
mengalahkan Sultan Hasanuddin, terpidana yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan 
kekuasaannya seperti La Sunni (seorang raja setempat), dipancung kepalanya kemudian kepalanya 
diletakkan di atas baki dan dihadapkan kepada Aru Palaka bahwa eksekusi telah dilakukan.221 
Dimasa penjajahan kolonial, praktek pengunaan hukuman mati sebagai salah satu jenis 
penghukuman sudah berlaku, baik praktek hukuman mati yang diperkenalkan oleh beberapa 
peraturan VOC dalam bentuk hukum plakat yang berlaku sangat terbatas di beberapa wilayah yang 
dikuasai oleh VOC, juga hukuman mati yang berlaku dalam wilayah hukum lokal (baik tertulis 
maupun tidak) yang juga digunakan secara terbatas. Di Aceh misalnya, pada jaman dahulu berlaku 
hukuman mati bagi isteri yang berzina, Sultan yang  berkuasa juga dapat menjatuhkan lima macam 
hukuman yang istimewa yang mencakup pula hukuman mati yakni dengan dibunuh dengan 
lembing, menumbuk kepala terhukum dalam lesung (sroh). Di daerah pedalaman Toraja para 
pelaku inses biasanya dihukum mati dengan cara di cekik, atau dimasukkan ke dalam keranjang 
rotan yang diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut. Demikian pula ada hukuman mati 
yang berlaku di wilayah Minangkabau dan di kepulauan Timor pada masa lalu. 
 Setelah negara kita  merdeka dan KUHP negara kita  mulai dilaksanakan berdasarkan asas 
konkordansi pada tanggal 1 Januari 1918, berlaku di Negeri Belanda berdasarkan putusan kerajaan 
tanggal 15 Oktober 1915, No.33 Staatsblad 1915 No 732 jo Staatsblad tahun 1917 No.497 dan 
654. Kemudian ditetapkan Undang-Undang No. 1 1946 tentang peraturan Hukum Pidana jo 
Undang-Undang No.73 tahun 1958 menyatakan tentang berlakunya hukum pidana untuk seluruh 
wilayah Republik negara kita .  
 Tentang sejarah pelaksanaan hukuman mati di negara kita  telah terjadi penyimpangan 
terhadap asas konkordansi, karena KUHP yang diberlakukan di negara kita  seharusnya concordant 
atau overeensteming ataupun sesuai dengan Wvs (wetboek van strafrecht) yang berlaku di Negeri 
Belanda. Pada tahun 1881, di Negeri Belanda sudah tidak mengenal pidana mati, karena lembaga 
                                                     
     melaksanakan segala instruksi terkait dengan kebijakan VOC di wialayah 
yang mereka maka oleh VOC dibauatlah aturan organik yang diumumkan dalam plakat-plakat (plakaten) yang pada 
permulaannya berlaku diwilayah betawi. Kemudian setelah daerah yang dikuasai oleh VOC diperluas maka plakat-
plakat ini  berlaku juga didaerah-daerah lain di negara kita . Pada tahun 1642, plakat-plakat ini  dikumpulkan 
dalam suatu himpunan yang disebut dengan Statuta Betawi yang disahkan tahun 1650, dan pada tahun 1715 statuta 
ini di perbaharui lagi menjadi Statuta Betawi Baru. Lihat juga Supomo dan Djokosutono Loc.Cit. 
 
 
pidana mati itu telah dihapuskan, melalui Undang-Undang tanggal 17 September dengan Stb 162 
tahun 1870 mengenai Keputusan Menteri Modderman yan sangat mengejutkan dalam sejarah 
KUHP Belanda dan diperbincangkan sejak tahun 1846, dengan alasan bahwa pelaksanaan pidana 
mati di negeri Belanda sudah jarang dilaksanakan, karena terpidana mati hampir selalu 
medapatkan pengampunan atau grasi dari raja.223 
 Di negara kita  masih berlaku hukuman mati bagi siapa saja yang melanggar kejahatan-
kejahatan tertentu. Diantara kejahatan-kejahatan tertentu yang diancam dengan pidana mati yaitu  
Ketentuan yang diatur di dalam KUHP  
1. Makar membunuh Kepala Negara (Pasal 104). Makar dengan maksud membunuh Presiden 
atau Wakil Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau 
menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau penjara 
seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 
2. Mengajak atau menghasut Negara lain menyerang negara kita  (Pasal 111 ayat 2) yaitu: jika 
permusuhan atau perang sungguh terjadi, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. 
3. Melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan negara kita  (Pasal 124 ayat 3) 
yaitu, Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling 
lama dua puluh tahun. 
4. Membunuh Kepala Negara Sahabat (Pasal 140 ayat 3). Yaitu jika makar terhadap nyawa 
dilakukan dengan rencana serta berakibat maut, diancam dengan pidana mati atau pidana 
penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 
5. Pembunuhan yang direncanakan ebih dahulu (Pasal 140 ayat 3 dan Pasal 340). Yaitu 
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain 
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana 
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 
6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam 
dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4). 
Yaitu, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu 
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati 
dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu”. 
                                                     
     
 
7. Pembajakan di laut, di pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati, (Pasal 444). Yaitu 
jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam Pasal 438-441 mengakibatkan seseorang 
di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakhoda, panglima 
atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, 
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama 
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. 
8. Menganjurkan pemberontakan atau huru-hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan 
negara waktu perang (Pasal 124).  
Yang terdapat di luar KUHP    
 Selain yang diatur di dalam KUHP, ancaman pidana mati dapat ditemukan di luar KUHP  
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan antara lain yaitu : 
1. Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1915. (Pasal 1 ayat 1). Yaitu barang siapa yang 
tanpa hak memasukkan ke negara kita , membuat, menerima, mencoba memperoleh, 
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan 
padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, 
mempergunakan atau mengeluarkan dari negara kita  sesuatu senjata api, amunisi atau 
sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur 
hidup atau hukuman penjara sementara seinggi-tingginya dua puluh tahun. 
2. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1999 Tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa Tentara 
Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindakan pidana yang 
membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang-pangan. Penpres ini diundangkan pada 
tangga; 27 Juli 1959 dalam LN 1959-80. Pasal 2: yaitu barang siapa yang melakukan tindak 
pidana ekonomi sebagaimana termaksud dalam undang-undang ini , di hukum dengan 
pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara 
sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun. 
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1959 tentang memperberat 
ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekononomi. Diundangkan pada tanggal 16 
November 1959, LN tahun 1959 No. 130. yaitu  jikalau tindak pidana dilakukan itu dapat 
menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar di 
hukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara 
sementara selama dua puluh tahun”. 
 
 
4. Undang-Undang No. 11/PNPS/ 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subservasi, 
diundangkan pada tanggal 16 Oktober 1963, LN tahun 1963 No.101. yaitu barangsiapa 
yang melakukan tindak pidana subservasi, yang dimaksud, maka dipidana mati, atau 
dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun dan 
denda setinggi-tingginya sebesar tiga puluh juta rupiah. 
5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal 
dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan Perundang-undangan 
Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. 
Diundangkan pada tanggal 27 April 1976, Lembaran Negara tahun 1976 No. 26. Yaitu 
perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, di 
pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-
lamanya dua puluh tahun. 
6. Undang-Undang No.9/ 1976 Tentang Narkotika yang diganti dengan Undang-Undang No. 
22 tahun 1997. Terdapat pada Pasal 80 ayat 1 a. Barang siapa tanpa hak dan melawan 
hukum memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau 
menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling 
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 80 ayat 2 a ayat (1) huruf a 
didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua 
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pasal 80 ayat 3 a ayat (1) huruf a 
dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau dipidana penjara seumur 
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun dan denda paling sedikit Rp. 500. 000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 82 ayat (1) a, barang siapa tanpa 
hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, 
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual 
beli, atau menukar narkotika Golongan I, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling 
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 
 
 
2. Pidana Penjara 
Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan untuk menanggulangi 
masalah kejahatan yaitu  pidana penjara. Dilihat dari sejarahnya224penggunaan pidana penjara 
sebagai cara untuk menghukum para penjahat baru dimulai pada bagian terakhir abad 18 yang 
bersumber pada paham individualisme.225Dengan makin berkembangnya paham 
individualisme dan gerakan prikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang 
peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang 
kejam. Selain itu di antara berbagai jenis pidana pokok, pidana penjara merupakan jenis sanksi 
pidana yang paling banyak ditetapkan dalam produk perundang-undangan pidana selama ini. 
Menurut P.A.F Lamintang pidana penjara yaitu  suatu bentuk pidana berupa 
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang 
ini  di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu mentaati 
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatn, yang dikaitkan 
dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan ini .226 
Ada beberapa sistem pidana penjara. Yang pertama ialah, masing-masing terpidana 
dimasukan dalam sel-sel (cel) tersendiri. Ia sama sekali tidak diizinkan menerima tamu, baik 
dari luar maupun sesama narapidana. Dia tidak boleh bekerja di luar sel ini . Satu-satunya 
pekerjaannya ialah untuk membaca buku suci yang diberikan kepadanya. Sistem ini pertama 
kali digunakan di Pensylvania. Karenanya disebut sebagai Pensylvania system. Karena 
pelaksanaannya dilakukan dalam sel-sel, disebut juga sebagai cellulaire system.  
Sistem yang kedua yaitu  apa yang disebut dengan auburn system, karena pertama 
kalinya digunakan di Auburn. Disebut juga sebagai silent system, karena pelaksanannya. Pada 
                                                     
Pidana Penjara pada mulanya direncanakan semata-mata untuk kejahatan dolus yaitu kejahatan-kejahatan 
yang dilakukan dengan kesengajaan, karena pada masa itu, ketika membahas kitab Undang-Undang Hukum Pidana 
ternyata tidak ada kepastian mengenai batas antara kesengajaan dengan kealpaan, maka pidana penjara juga ditentukan 
sebagai alternatif disamping pidana kurungan pada kejahatan-kejahatan culpoos yaitu kejahatan-kejahatan yang 
dilakukan dengan kealpaan. Pidana penjara sebagai pidana yang diatkuti setelah pidana mati mengalami banyak 
perubahan dari model yang semula paling keras dan kejam tanpa perikemanusiaan sampai model yang paling ringan, 
longgar sesuai dengan tuntutan zaman, seperti abad ke 20. Model yang pertama kepenjaraan yaitu  system 
Pennesylvania, dengan mempraktekkan pembinaan terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang produktif. Kedua 
Sistem Elmira merupakan system stelsel kepenjaraan yang lahirnya sangat dipengaruhi oleh system Irlandia yang ada 
di Irlandia dan Inggris. System Elmira pada prinsipnya pidana penjara dijalankan melalui tingkatan, tetapi dengan titik 
berat yang lebih besar lagi pada usaha untuk memperbaiki si terhukum ini . 
 
waktu malam hari terpidana dimaksukkan dalam sel-sel secara sendiri-sendiri seperti cellulaire 
system. Pada siang hari diwajibkan bekerja bersama-sama dengan nara pidana (penjara) lainnya, 
akan tetapi dilarang berbicara antara sesam narapidana atau kepada orang lain.228 
Sistem ketiga yang disebut sebagai English system atau Ire system atau Progressive 
system. Cara pelaksanaan pidana penjara menurut sistem ini yaitu  bertahap. Pada tahap 
pertama selama lebih kurang tiga bulan, terpidana menjalaninya seperti cellulaire system. Jika 
setelah tiga bulan ini  terbukti ada kemajuan kesadaran terpidana, maka diikuti dengan 
tahap pelaksanaan yang ringan, yaitu ia sudah dibolehkan menerima tamu, berbincang-bincang 
sesama narapidana, bekerja bersama-sama dan lain sebagainya. Tahapan selanjutnya lebih 
ringan lagi, bahkan pada tahap terkahir dalam status terpidana ia boleh menjalani pidananya di 
luar tembok-tembok penjara.229 Sistem lainnya ialah dimasukkannya para narapidana (penjara) 
secara berkelompok dalam satu ruang dan mereka bekerja juga secara bersama-sama. Hal ini 
disebut juga dengan sistem bangsal/blok. 
Pidana penjara yaitu  suatu pidana berupa perampasan kemerdekaan atau kebebasan 
bergerak dari seorang terpidana dengan menempatkannya di lembaga pemasyarakatan, karena 
penjara sudah berubah menjadi lembaga pemasyarakatan.230 Konsep pemidanaan pun berubah 
dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.231 Prinsip-prinsip tata perlakuan 
terhadap para pelanggar hukum, terpidana dan narapidana sudah berubah dari prinsip-prinsip 
kepenjaraan menjadi prinsip-prinsip pemasyarakatan, yang sudah dituangkan kedalam suatu 
sistem yang d