dasar pidana 2

Rabu, 24 Mei 2023

dasar pidana 2


, maka perbuatan ini  tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka perbuatannya 
tetap dapat dipidana, hanya saja orangnya yang tidak dapat dipidana. Yang pertama merupakan 
unsur obyektif, sedangkan yang kedua merupakan unsur subyektif dalam pemidanaan suatu 
perbuatan. 
5. Perbuatan itu harus terjadai karena kesalahan (schuld) si pembuat. 
 Kesalahan berkaitan erat dengan niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Untuk 
dapat dipidana, seseorang harus melakukan perbuatan yang dilarang disertai dengan niatnya. 
                                                     
jika  seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang, tetapi dalam hatinya sama sekali 
tidak ada niat untuk melakukan perbuatan itu, maka di sini unsur kesalahan tidak dipenuhi, dan 
dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana. 
 Istilah kesalahan diambil dari kata schuld, yang sampai saat ini belum resmi diakui sebagai 
istilah ilmiah yang mempunyai pengertian yang pasti, namun sudah sering dipergunakan di dalam 
penulisan-penulisan.89 Kesalahan menurut Wirjono Prodjodikoro ada dua macam yaitu:90 
a. Kesenganjaan (opzet), 
b. Kurang hati-hati (culpa). 
Sedangkan Andi Hamzah berpendapat bahwa kesalahan itu meliputi tiga hal yaitu:91 
a. Sengaja, 
b. Kelalaian (culpa) 
c. Dapat dipertanggungjawabkan.  
Ketiga-tiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan, atau kalau menurut aliran 
monolistis, termasuk unsur subyektif delik. Kesengajaan merupakan kehendak untuk berbuat 
dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang, seperti 
rumusan Pasal 338 KUHP, barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam , 
karena pembunuhan, dengan pidana  paling lama lima belas tahun. 
Kealpaan/ kelalaian  atau culpa merupakan suatu kekurang perhatian terhadap obyek 
ini  dengan tidak disadari. Dalam ilmu pengetahuan hukum culpa mempunyai arti teknis yaitu 
sesuatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu 
itu terjadi.92 Undang-undang tidak memberikan definisi culpa. Hanya Memori penjelasan 
(Memorie van Toelichting) mengatakan bahwa culpa terletak antara sengaja dan kebetulan. Dalam 
Memori Jabawan Pemerintah (MvA) dikatakan siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja 
berarti mempergunakan salah kemampuannya, sedangkan siapa yang melakukan kejahatan karena 
salahnya (culpa) berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang seharusnya ia gunakan. 
                                                     

 
Kealpaan suatu bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Contoh rumusan Pasal 359 
KUHP, barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. 
Menurut ahli hukum pidana, untuk terjadinya culpa maka ukurannya ialah bagaimana 
sebagian besar orang dalam masyarakat bersikap dan bertindak dalam suatu keadaan yang nyata-
nyata terjadi. Dengan demikian seorang hakim juga tidak boleh menggunakan sifat dan 
padangannya sendiri sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Culpa 
dibedakan menjadi culpa levissima dan culpa lata. Culpa levissima berarti kealpaan yang ringan, 
sedangkan culpa lata yaitu  kealpaan besar. Dalam istilah lain bisa disebut kealpaan yang disadari 
dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari dapat digambarkan bila seseorang 
melakukan delik tanpa sengaja dan ia telah berusaha menghalangi akibat yang terjadi, akan tetapi 
walaupun demikian akibatnya timbul juga. Sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang 
bersikap dan bertindak tanpa membayangkan akibat yang timbul, padahal seharusnya dia 
membayangkannya.94  
F. Jenis-Jenis Tindak Pidana 
Tindak  pidana  dapat  dibedakan  atas  dasar-dasar tertentu, yakni sebagai berikut:95 
1. Menurut sistem KUHP,dibedakan antara kejahatanyang dimuat dalam buku II dan 
pelanggaranyang dimuat dalam buku III. 
Alasan  pembedaan  antara  kejatan  dan  pelanggaran yaitu  jenis pelanggaran 
lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada 
pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan 
dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara. 
Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan 
merupakan delik-delik yang melanggar  kepentingan  hukum  dan  juga  menimbulkan 
bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in  abstracto 
saja.   
                                                     
 
Secara  kuantitatif pembuat  Undang-undang  membedakan  delik  kejahatan dan 
pelanggaran sebagai berikut : 
1). Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di 
negara kita . Jika seorang negara kita   yang  melakukan  delik  di  luar  negeri  yang 
digolongkan  sebagai  delik  pelanggaran  di  negara kita , maka di pandang tidak perlu 
dituntut. 
2)  Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana. 
3)  Pada  pemidanaan  atau  pemidanaan  terhadap  anak  di bawah umur tergantung pada 
apakah itu kejahatan atau pelanggaran. 
2. Menurut cara merumuskannya,dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana 
materil. 
   Tindak  pidana  formil  yaitu   tindak  pidana  yang dirumuskan  sedemikian  rupa  
sehingga  memberikan  arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu yaitu  melakukan 
suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak 
memerlukan timbulnya suatu  akibat  tertentu  dari  perbuatan  sebagai  syarat penyelesaian 
tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 
362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil. 
   Sebaliknya  dalam  rumusan  tindak  pidana  materil, inti  larangan  yaitu   
menimbulkan  akibat  yang  dilarang. Oleh  karena  itu,  siapa  yang  menimbulkan  akibat  
yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk 
selesainya tindak pidana materil, tidak bergantung  pada  sejauh  mana  wujud  perbuatan  
yang dilakukan,  tetapi  sepenuhnya  tergantung  pada  syarat timbulnya  akibat  terlarang  
ini .  Misalnya  wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi 
pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat 
hilangnya nyawa korban,  yang  terjadi  hanyalah  percobaan  pembunuhan.  
3. Berdasarkan bentuk kesalahan,dibedakan antara tindak pidana  sengaja  (dolus)  dan  tindak  
pidana  tidak  dengan sengaja (culpa). Tindak  pidana  sengaja  yaitu   tindak  pidana  yang 
dalam  rumusannya  dilakukan  dengan  kesengajaan  atau mengandung unsur kesengajaan. 
Sedangkan tindak tidak sengaja  yaitu   tindak  pidana  yang  dalam  rumusannya 
mengandung culpa. 
 
 
4. Berdasarkan  macam  perbuatannya, dapat  dibedakan antara tindak pidana aktif/positif 
dapat juga disebut tindak pidana  komisi dan  tindak  pidana  pasif/negatif,  disebut juga 
tindak pidana omisi. 
  Tindak  pidana  aktif  yaitu   tindak  pidana  yang perbuatannya  berupa  perbuatan  
aktif,  perbuatan  aktif yaitu  perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya  
gerakan  dari  anggota  tubuh  orang  yang  berbuat. Dengan  berbuat  aktif  orang  melanggar  
larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara 
formil maupun secara materil. Bagian terbesar  tindak  pidana  yang  dirumuskan  dalam  
KUHP yaitu  tindak pidana aktif. 
  Tindak  pidana  pasif  ada  dua  macam  yaitu  tindak pidana  pasif  murni  dan  
tindak  pidana  pasif  yang  tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang 
dirumuskan  secara  formil  atau  tindak  pidana  yang  pada dasarnya semata-mata unsur 
perbuatannya yaitu  berupa perbuatan  pasif.  Sementara  itu,  tindak  pidana  pasif  yang 
tidak  murni  berupa  tindak  pidana  yang  pada  dasarnya berupa  tindak  pidana  positif,  
tetapi  dapat  dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang  
mengandung  suatu  akibat  terlarang,  tetapi  dilakukan dengan  tidak  berbuat/atau  
mengabaikan  sehingga  akibat itu benar-benar timbul. 
5. Berdasarkan  saat  dan  jangka  waktu  terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak 
pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung 
lama/berlangsung terus. 
  Tindak  pidana  yang  dirumuskan  sedemikian  rupa sehingga untuk terwujudnya 
atau terjadinya dalam waktu seketika  atau  waktu  singkat  saja,  disebut  juga  dengan 
aflopende  delicten. Sebaliknya  ada  tindak  pidana  yang dirumuskan sedemikian rupa, 
sehingga terjadinya tindak pidana  itu  berlangsung  lama,  yakni  setelah  perbuatan 
dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan 
voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang 
menciptakan suatu keadaan yang terlarang. 
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana 
khusus. 
  Tindak  pidana  umum  yaitu   semua  tindak  pidana yang  dimuat  dalam  KUHP  
sebagai  kodifikasi  hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak 
 
 
pidana khusus yaitu  semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP. Dalam 
hal ini sebagaimana mata kuliah  pada  umumnya  pembedaan  ini  dikenal  dengan istilah 
delik-delik di dalam KHUP dan delik-delik di luar KUHP. 
7. Dilihat  dari  sudut  subjeknya,  dapat  dibedakan  antara tindak  pidana  communia (tindak  
pidana  yang  dapat dilakukan  oleh  semua  orang)  dan  tindak  pidana propria (tindak  
pidana  yang  hanya  dapat  dilakukan  oleh  orang yang berkualitas tertentu). 
  Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan  untuk  berlaku 
padasemua  orang,  dan  memang bagian  terbesar  tindak  pidana  itu  dirumuskan  dengan 
maksud  yang  demikian.  Akan  tetapi,  ada  perbuatanperbuatan yang tidak patut yang 
khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai  
negeri  (pada  kejahatan  jabatan)  atau  nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya. 
8. Berdasarkan  perlu  tidaknya  pengaduan dalam  hal penuntutan, maka dibedakan antara 
tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. 
  Tindak  pidana  biasa yang  dimaksudkan  ini  yaitu  tindak  pidana  yang  untuk  
dilakukannya  penuntutan terhadap  pembuatnya,  tidak  disyaratkan  adanya  pengaduan  
dari  yang  berhak,  sementara  itu  tindak  aduan yaitu   tindak  pidana  yangdapat  dilakukan  
penuntutan pidana  jika   terlebih  dahulu  adanya  pengaduan  oleh yang  berhak  
mengajukan  pengaduan,  yakni  korban  atau wakilnya  dalam  perkara  perdata,  atau  
keluarga  tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk 
pengaduan oleh orang yang berhak. 
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak 
pidana bentuk pokok, tindak  pidana  yang  diperberat  dan  tindak  pidana  yang diperingan. 
  Dilihat  dari  berat  ringannya,  ada  tindak  pidana tertentu yang dibentuk menjadi: 
1)  Dalam  bentuk  pokok  disebut  juga  bentuk  sederhana atau dapat juga disebut dengan 
bentuk standar; 
2)  Dalam bentuk yang diperberat; dan 
3)  Dalam bentuk ringan. 
  Tindak  pidana  dalam  bentuk  pokok  dirumuskan secara lengkap, artinya semua 
unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan/atau  
 
 
diperingan,  tidak  mengulang  kembali  unsurunsur  bentuk  pokok  itu,  melainkan  sekedar  
menye but kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya,  
kemudian  disebutkan  atau  ditambahkan  unsur  yang bersifat  memberatkan  atau  
meringankan  secara  tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor 
peringannya,  ancaman  pidana  terhadap  tindak  pidana terhadap  bentuk  yang  diperberat  
atau  yang  diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. 
10. Berdasarkan  kepentingan  hukum  yang  dilindungi,maka  tindak  pidana  tidak  terbatas  
macamnya,  sangat tergantung pada  kepentingan  hukum  yang  dilindungi dalam suatu 
peraturan perundang-undangan. 
 Sistematika  pengelompokan  tindak  pidana  bab  per bab  dalam  KUHP  
didasarkan  pada  kepentingan  hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum 
yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk 
melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan kejahatan 
terhadap keamanan  Negara  (Bab  I  KUHP),  untuk  melindungi kepentingan  hukum  bagi  
kelancaran  tugas-tugas  bagi penguasa  umum,  dibentuk  kejahatan  terhadap  penguasa 
umum (Bab VIII KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan 
pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan (Bab  
XXIV  KUHP),  Pemerasan  dan  Pengancaman  (Bab XXIII KUHP) dan seterusnya. 
11. Dari  sudut  berapa  kali  perbuatan  untuk  mejadi  suatu larangan, dibedakan  antara  tindak  
pidana  tunggal  dan tindak pidana berangkai. 
 Tindak  pidana  tunggal  yaitu   tindak  pidana  yang dirumusakan sedemikian rupa 
sehingga untuk dipandang selesainya  tindak  pidana  dan  dapat  dipidananya  pelaku cukup 
dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP yaitu  
berupa tindak pidana tunggal.  Sementara  itu  yang  dimaksud  dengan  tindak pidana 
berangkai yaitu  tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk 
dipandang sebagai selesai dan  dapat  dipidananya  pelaku,  disyaratkan  dilakukan  
secara berulang. 
 

 
G. Cara Merumuskan Tindak Pidana  
1. Cara Pencantuman Unsur-Unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana  
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa ada tiga cara merumuskannya yaitu:96 
a. Dengan Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana 
Cara ini merupakan cara yang paling sempurna, cara ini digunakan terutama dalam hal 
merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standar, dengan mencantumkan unsur-
unsur objektif maupun unsur subjektif misalnya Pasal 338 (pembunuhan), 362 (Pencurian), 
368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 
(perusakan).  Selain itu ada juga tindak pidana yang dirumuskan secara sempurna dengan 
kualifikasi tertentu misalnya pemberontakan (Pasal 108). 
Dalam unsur pokok tindak pidana ini  diatas, terdapat unsur-unsur objektif dan unsur 
subjektif secara lengkap, contohnya Pasal 368 KUHP yang termasuk dalam kualifikasi 
pemerasan dengan unsur-unsur sebagai berikut: 
1) Unsur ojektif terdiri dari: 
a) Memaksa (tingkah laku) 
b) Seseorang (yang dipaksa) 
c) Dengan : (1) Kekerasan 
    (2) Ancaman kekerasan. 
 
d) Agar orang : (1) Menyerahkan benda 
          (2) Memberi hutang 
          (3) menghapus piutang. 
2)   Unsur subjektif berupa: 
a) Dengan maksud untuk menguntungkan : 
(1) Diri sendiri 
(2) Orang lain  
b) Dengan melawan hukum. 
 
 
                                                     
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencantumkan Ancaman 
Pidana. 
 Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam 
KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebutkan 
kualifikasi dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu 
misalnya terhadap tindak pidana pada Pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu, 
penghasutan (Pasal 160), laporan palsu (Pasal 220), membuang anak (Pasal 305), 
pembunuhan anak (Pasal 341) dan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415). 
c. Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana 
 Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini merupakan yang paling sedikit. 
Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai 
pengecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini 
dilatarbelakangi oleh suatu ratio tertentu, misalnya kejahatan penganiayaan (Pasal 351). 
Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yaitu : Penganiayaan diancam dengan 
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak 
empat ribu lima ratus rupiah. 
 Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini dapat 
diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS Belanda. Pada awalnya  
tentang kejahatan itu diusulkan rumusan dengan “sengaja mengakibatkan rasa sakit 
terhadap tubuh orang lain dan dengan sengaja merusak kesehatan orang lain”. Rumusan ini 
oleh parlemen dianggap tidak tepat karena masuk di dalamnya perbuatan seorang pendidik 
terhadap anak didiknya dan perbuatan dokter terhadap pasiennya. Atas keberatan itu, 
Menteri Kehakiman mengubah rumusan “ dengan sengaja menimbulkan rasa sakit pada 
tubuh orang lain” dengan cukup menyebut penganiayaan saja, atas dasar pertimbangan 
bahwa semua orang sudah memahami artinya. Sementara itu, usul rumusan semula : “ 
dengan sengaja merusak kesehatan orang lain” ditempatkan pada ayat 4.  
 
 
2. Dari Sudut Titik Beratnya  
a. Dengan Cara Formil 
 Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perilah 
larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah 
melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika 
perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa 
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, jika 
perbuatan mengambil selesai, maka pencurian selesai, atau jika perbuatan membuat palsu (surat) 
dan memalsu (surat) selesai dilakukan, kejahatan itu selesai (Pasal 263). Tindak pidana yang 
dirumuskan secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (formeel delict). 
b.  Dengan Cara Materiil 
 Perumusan dengan cara materiil maksudnya yaitu  yang menjadi pokok larangan tindak 
pidana yang dirumuskan itu yaitu  pada penimbulan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang 
dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan yaitu  pada menimbulkan akibat, 
sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Misalnya 
pada Pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa 
orang lain, sedangkan wujud apa dari perbuatan menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi soal, 
apakah dengan menembak, meracun dan lain sebagainya. 
 Dalam hubungan dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana 
bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi tergantung pada apakah dari wujud 
perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan telah selesai, 
namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai, yang terjadi yaitu  percobaan. Tindak 
pidana yang dirumuskan  dengan cara materiil disebut tindak pidana materiil (materieel delict). 
 
 
                                                     
3. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Anatar Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat 
dan Yang Lebih Ringan. 
a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok 
 jika  dilihat dari sudut sistem pengelompokkan atau pembedaan tindak pidana antara 
bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan, cara 
merumuskan tindak pidana dapat dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk 
pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.  
 Bentuk pokok pembentuk undang-undang selalu merumuskan secara sempurna, yaitu 
dengan mencamtumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk 
pokok ini merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya   Pasal 338, 362, 372, 
378, 369, 406.98 
b. Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan Yang Diperberat 
  Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tindak pidana yang 
bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, 
melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok misalnya Pasal 364, 373, 379, atau kualifikasi bentuk 
pokok misalnya pasal 339, 363, 365. Kemudian, menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan 
diperingan atau diperberatnya tindak pidana itu. Cara yang demikian dapat diterima mengingat 
merumuskan tindak pidana prinsip penghematan kata-kata, namun tegas dan jelas tetap harus 
dipegang teguh. 
H. Waktu Dan Tempat Tindak Pidana 
1. Mengenai Waktu Tindak Pidana 
Waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti memiliki arti penting yaitu:99 
a. Apakah pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan ini  telah dikualifikasin sebagai 
tindak pidana? hal ini erat kaitannya dengan asas legalitas sebagaimana yang telah 
dijelaskan pada bab sebelumnya tentang asas legalitas. Yaitu untuk menentukan apakah 
tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan perundang-undangan. 
                                                     
 
Bila dilakukan sebelum perubahan, maka apakah akan memperlakukan perundangan yang 
berlaku sebelum tindak pidana dilakukan ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni 
terhadap ketentuan mana yang paling menguntungkan terdakwa.  Bila yang 
menguntungkan  itu yaitu  aturan yang baru, maka aturan barulah yang diberlakukan. 
b. Waktu tindak pidana penting dalam hal berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan 
pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana 
sebelum umur 16 tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP. 
Jika ketika melakukan tindak pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan Pasal 
45, 46 dan 47 KUH, saat ini diberlakukan berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 
c. Waktu tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan ketentuan daluwarsa 
bagi hak negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 
78, 79 KUHP 
d. Waktu tindak pidana penting dalam hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana 
dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, dimana ketika tindak pidana dilakukan usia 
korban belum 15 tahun.  
e. Waktu tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku 
ketika melakukan tindak pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 44 KUHP. 
Misalnya  ketika pelaku tindak pidana melakukan tindak pidana terdapat keadaan jiwa 
(jiwanya cacat dalam pertumbuhannya). Akan tetapi ketika ia sembuh, tetap ia dapat 
dipidana. 
f. Waktu tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive) 
beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487, dan Pasal 488 KUHP. 
Bagi kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal ini , piana yang dijatuhkan pada 
pelaku tindak pidana ini  belum lima tahun  sejak yang bersangkutan menjalani pidana 
yang dijatuhkan karena dulu melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan 
sepertiga dari pidana yang diancamkan pada kejahatan ini . 
 
2. Mengenai Tempat Tindak Pidana 
 Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana penting dalam menentukan beberapa hal yaitu 
sebagai berikut:  
 
 
a. Tempat tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal 
84 ayat (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, yakni pengadilan 
negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan didalam daerah 
hukumnya. Sebelum berlaku KUHAP, ketentuan ini dimuat dalam Pasal 252 (1) HIR. 
b. Tempat tindak pidana penting dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 2 KUHP yang 
memuat asa teritorial tentang berlakunya hukum pidana negara kita , tempat tindak pidana 
penting pul dalam hal menentukan terhadap tindak pidana itu apakah berlaku hukum pidana 
negara kita  ataukah tidak. 
 
I. Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana 
  Pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana yaitu  seluruh waktu dan tempat dimana 
tindak pidana itu dilakukan. Persoalannya dari sejak  kapan, dan dimulai dari tempat yang mana, 
kapankah berakhirnya dan tempat yang mana berakhirnya? Ada beberapa teori yang menjawan 
persoalan ini yaitu:100 
1. Teori Perbuatan Jasmani (lee van het materiele feit). 
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materil, waktu dan tempat tindak pidana 
yaitu  waktu dan tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu 
pada kenyataannya diwujudkan. 
2. Teori Alat (lee van het instrument) 
Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana alat 
digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana 
3. Teori Akibat (lee van het gevolg) 
Menurut teori akibat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana 
akibat dari perbuatan itu timbul.  
 
 
 
BAB V 
PERTANGGUNGJAWABAN  PIDANA 
 
 
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau 
criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk 
menentukan  apakah  seseorang  terdakwa  atau  tersangka dipertanggungjawabkan  atas  suatu  
tindakan  pidana  yang terjadi atau tidak. Tindak pidana  yang  dilakukannya  itu  memenuhi  unsur-
unsur  delik yang  telah  ditentukan  dalam  undang-undang.  Dilihat  dari sudut  terjadinya  tindakan  
yang  dilarang,  seseorang  akan dipertanggungjawabkan  atas  tindakan-tindakan  ini , jika   
tindakan  ini   melawan  hukum  serta  tidak  ada alasan pembenar atau peniadaan sifat 
melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung  
jawab  maka  hanya  seseorang  yang  mampu bertanggung  jawab  yang  dapat  
dipertanggungjawabkan  atas perbuatannya. 
 Menurut Van Hamel pertanggungjawaban pidana yaitu  suatu keadaan normal psikis dan 
kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan yaitu (1) mampu untuk dapat mengerti makna 
serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri, (2) mampu menginsyafi bahwa 
perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat (3) mampu untuk menentukan 
kehendak berbuat. 
Pemahaman  kemampuan  bertanggung  jawab  menurut beberapa pandangan yaitu  
sebagaimana diuraikan di bawah ini. 
a. Menurut pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur 
sebagai berikut:102 
1. Kemampuan  berpikir  (psychisch)  pembuat (dader) yang  memungkinkan  ia  
menguasai  pikirannya,  yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. 
2. Oleh sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya; 
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. 
                                                     

b. Van  Hamel  berpendapat,  bahwa  kemampuan  bertanggung  jawab  yaitu   suatu  keadaan  
normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan:103 
1. Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri. 
2. Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan oleh 
masyarakat dan 
3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya. 
c. G.A. Van Hamel, menentukan syarat-syarat  orang  dapat  dipertanggungjawabkan yaitu  
sebagai berikut:104 
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi nilai dari 
perbuatannya; 
2. Orang  harus  menginsyafi  bahwa  perbuatannya  menurut tatacara kemayarakata 
yaitu  dilarang; dan 
3. Orang  harus  dapat  menentukan  kehendaknya  terhadap perbuatannya. 
Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban pidana 
bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli  
yang  menentukan  unsur  keduanya.  Menurut  pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan 
dengan delik, oleh karena itu  dalam  pemuatan  unsur-unsur  delik  dalam  penuntutan haruslah 
dapat dibuktikan juga dalam persidangan. Pertanggungjawaban  pidana  menjurus  kepada  
pemidanaan  petindak,  jika  telah  melakukan  suatu  tindak  pidana dan  memenuhi  unsur-
unsurnya  yang  telah  ditentukan  dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan 
yang terlarang  (diharuskan),  seseorang  akan  dipertanggungjawab pidanakan  atas  tindakan-
tindakan  ini   jika   tindakan ini  bersifat melawan hukum untuk itu. Dilahat dari sudut 
kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat 
dipertanggungjawab-pidanakan. 
Secara umum unsur-unsur pertanggungjawab pidana meliputi: 
1. Mampu bertanggung jawab 
2.  Kesalahan 
3.  Tidak ada alasan pemaaf 
 
                                                     

 
 B. Mampu Bertanggung jawab 
 Pertanggungjawaban  (pidana)  menjurus  kepada  pemidanaan  petindak,  jika  telah 
melakukan  suatu  tindak  pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam 
undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang  terlarang  (diharuskan),  
seseorang  akan  dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan ini  jika  tindakan  
ini   bersifat  melawan  hukum  (dan  tidak  ada peniadaan  sifat  melawan  hukum  atau 
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan  
bertanggungjawab,  maka  hanya  seseorang  yang  yang “mampu  bertanggung-jawab  yang  dapat  
dipertanggungjawabkan.  Dikatakan  seseorang  mampu  bertanggung  jawab 
(toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya: 
a. Keadaan jiwanya: 
1) Tidak  terganggu  oleh  penyakit  terus-menerus  atau sementara (temporair); 
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan 
3) Tidak  terganggu  karena  terkejut,  hypnotisme,  amarah yang meluap, pengaruh bawah 
sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel,  mengigau  karena  demam/koorts, 
ngidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. 
b.  Kemampuan jiwanya: 
1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya; 
2) Dapat  menentukan  kehendaknya  atas  tindakan  ini , apakah akan dilaksanakan atau 
tidak; dan  
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan ini . 
Menurut E.Y.  Kanter  dan  S.R.  Sianturi  bahwa kemampuan  bertanggungjawab  
didasarkan  pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada 
keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstanddelijke  vermogens), dari  seseorang,  walaupun 
dalam  istilah  yang  resmi  digunakan  dalam  Pasal 44  KUHP  yaitu  verstanddelijke  vermogens 
                                                     

 
untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan 
kemampuan jiwa seseorang. 
Pertanggungjawaban  pidana  disebut  sebagai  “toerekenbaarheid”dimaksudkan untuk 
menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak 
pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Petindak di sini yaitu  orang,  bukan  makhluk  lain.  
Untuk  membunuh,  mencuri, menghina  dan  sebagainya,  dapat  dilakukan  oleh  siapa  saja. Lain  
halnya  jika  tindakan  merupakan  menerima  suap, menarik  kapal  dari  pemilik/pengusahanya  
dan  memakainya untuk keuntungan sendiri. 
C.Kesalahan 
Menurut Remelink kesalahan yaitu  pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang 
menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan 
perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.107 Kesalahan  dianggap  ada,  jika   
dengan  sengaja  atau karena  kelalaian  telah  melakukan  perbuatan  yang  menimbulkan keadaan 
atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab. 
Dalam hukum pidana, menurut Moeljatno kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan 
apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 
(empat) unsur yaitu:  
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); 
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab: 
3. Mempunyai  suatu  bentuk  kesalahan  yang  berupa  kesengajaan (dolus) dan 
kealpaan/kelalaian (culpa) 
4. Tidak adanya alasan pemaaf. 
Kesalahan  selalu  ditujukan  pada  perbuatan  yang  tidak patut,  yaitu  melakukan sesuatu  
yang  seharusnya  tidak dilakukan  atau  tidak  melakukan  sesuatu  yang  seharusnya dilakukan.  
Menurut  ketentuan  yang  diatur  dalam  hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari: 
                                                     

1. Kesengajaan (opzet) 
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. 
Ini layak oleh karena biasanya, yang  pantas  mendapatkan  hukuman  pidana  itu  ialah  
orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai  ketiga  
unsur  tindak  pidana,  yaitu  ke-1:  perbuatan yang  dilarang,  ke-2:  akibat  yang  menjadi  
pokok-alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar  
hukum.109 Kesengajaanyang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni: 
a) Sengaja Sebagai Niat (Oogmerk).  
Bahwa  dengan  kesengajaan  yang  bersifat  tujuan (oogmerk) si pelaku 
dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat  dimengerti  oleh  khalayak  ramai.  
Maka  jika  kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada  
yang  menyangkal,  bahwa  si  pelaku  pantas  dikenakan hukuman  pidana  ini  lebih  
nampak  jika   dikemukakan, bahwa  dengan  adanya  kesengajaan  yang  bersifat  
tujuan ini, dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai  akibat  
yang  menjadi  pokok  alasan  diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief 
gevolg). Sebagian  pakar mengatakan,  bahwa  yang  dapat  di kehendaki  ialah  
hanya  perbuatannya,  bukan  akibatnya. Akibat ini oleh si pelaku hanya dapat 
dibayangkan atau di gambarkan  akan  terjadi  (voorstellen). Dengan  demikian 
secara  diakletik  timbul  dua  teori  yang  bertentangan  satu sama lain, yaitu: 
a.  Teori kehendak (wilstheorie); dan  
b.  Teori bayangan (voorstellen-theorie) 
Teori kehendak menganggap kesengajaan ada jika  perbuatan  dan  akibat  
suatu  tindak  pidana  di  kehendaki oleh  si  pelaku.  Teori  bayangan  menganggap  
kesengajaan jika  si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada 
bayangan yang terang, bahwa akibat yang bersangkutan akan  tercapai,  dan  maka  
dari  itu  ia  menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu. 
Contoh mengenai tindak pidana pencurian, menurut teori  kehendak,  si  
pelaku  dapat  dikatakan  sengaja  melakukan tindak pidana pencurian oleh karena 
ia menghendaki, bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain, barang  itu  
akan  menjadi  miliknya.  Sedangkan  menurut teori bayangan kesengajaan ini ada 
                                                     

 
oleh karena si pelaku pada waktu akan mulai mengambil barang milik orang lain, 
mempunyai  bayangan  atau  gambaran  dalam  pikirannya, barang  itu  akan  
menjadi  miliknya,  dan  kemudian  ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan 
akibat yang terbayang tadi.110 Kesengajaan  sebagai  niat  atau  maksud  yaitu  
terwujudnya delik yang merupakan tujuan dari pelaku. Contoh : Si X Menembak si 
Y karena Si X ingin Memb unuh Si Y, dan itu merupakan tujuan si X mela kukan 
penembakan. 
b. Sengaja  Sadar  Akan  Kepastian  atau  Keharusan (zekerheidsbewustzijn) 
  Kesengajaan  semacam  ini  ada  jika   si  pelaku dengan  perbuatannya,  tidak 
bertujuan  untuk  mencapai yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa  
akibat  itu  pasti  akan  mengikuti  perbuatan  itu.  Jika ini terjadi, maka teori kehendak 
(wilstheorie) menganggap akibat  ini   juga  dikehendaki  oleh  pelaku,  maka  kini 
juga ada kesengajaan menurut teori bayangan (voorstellingtheorie) keadaan ini sama 
dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk) oleh karena dalam keduanya tentang 
akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya bayangan  atau  
gambaran  dalam  gagasan  pelaku,  bahwa akibat pasti akan terjadi, maka juga kini ada 
kesengajaan.111 
  Oleh  para  penulis  Belanda  sebagai  contoh  selalu disebutkan  peristiwa  ”Thomas  
van  Bremerhaven”,  yaitu perbuatan  seseorang  berupa  memasukkan  dalam  kapal 
laut,  yang  akan  berlayar  di  laut,  suatu  mesin  yang  akan meledak  jika   kapal  
itu  sudah  ada  di  tengah  laut. Dengan  peledakan  ini  kapal  akan  hancur,  dan  kalau  
ini terjadi, pemilik kapal akan menerima uang asuransi dari perusahaan asuransi. Dalam 
merancangkan kehendak inisi pelaku dianggap tahu benar, bahwa jika  kapal hancur, 
para anak kapal dan penumpang lainnya akan tenggelam di  tengah  laut  dan  akan  mati  
semua.  Dengan  demikian, meskipun kematian orang-orang ini tidak masuk tujuan si 
pelaku, namun tetap di anggap ada kesengajaan si pelaku itu,  dan  maka  dari  itu  si  
pelaku  dapat  dipersalahkan malakukan tindak pidana pembunuhan.112 Menurut Van 
Hattum ”Kepastian” dalam kesengajaan semacam  ini harus  diartikan  secara  relatif  
                                                     
oleh  karena secara  ilmu  pasti  tidak  mungkin  ada  kepastian  mutlak. Mungkin sekali 
para anak kapal dan penumpang dari kapal laut  tadi  tertolong  semua  oleh  para  
nelayan  yang  ada  di tempat  meledaknya  bom.  Menurut  Van  Hattum,  maksud 
”kepastian”  ialah  suatu  kemungkinan  yang  sangat  besar. 
c.Sengaja  Sadar  Akan  Kemungkinan (Dolus  eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn) 
Lain  halnya  dengan  kesengajaan  yang  terangterangan  tidak  disertai  bayangan  
suatu  kepastian  akan terjadinya  akibat  yang  bersangkutan,  melainkan  hanya 
dibayangkan  suatu  kemungkinan  belaka  akan  akibat  itu. Kini  ternyata  tidak  ada  
persamaan  pendapat  diantara para  sarjana  hukum  belanda.  Menurut  Van  Hattum  dan 
Hazewinkel-Suringa,  ada  dua  penulis  belanda,  yaitu  Van Dijk dan Pompe yang 
mengatakan, bahwa dengan hanya ada  keinsafan  kemungkinan,  tidak  ada  kesengajaan,  
melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau  masih  dapat  
dikatakan,  bahwa  kesengajaan secara  keinsafan  kepastian  praktis  sama  atau  hampir 
sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara 
keinsafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu,  
melainkan  hanya  disamakan  atau  dianggap  seolah-olah sama. Teorinya yaitu  sebagai 
berikut: 
 jika  dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan 
terjadi akibat yang bersangkutan tanpa di tuju, maka harus di tinjau seandainya ada 
bayangan kepastian,  tidak  hanya  kemungkinan,  maka  apakah perbuatan  itu  akan  
dilakukan  oleh  si  pelaku.  Kalau  ini terjadi, maka dapat dikatakan, bahwa kalau perlu, 
akibat yang  terang  tidak  dikhendaki  dan  hanya  mungkin  akan terjadi  itu,  akan  dipikul  
pertanggungjawabannya  oleh  si pelaku jika akibat kemudian itu terjadi.113 contoh  :  Si  X  
menembak  si  Y  karena  Si X  ingin  membunuh  Si  Y  namun  disamping   Si  Y berdiri 
si Z dalam jarak yang sangat dekat dan ketika si Z yang menjadi korban maka perbuatan 
ini  harus  dipandang  sengaja  sadar  akan  kemungkinan  
tentang tertembaknya si Z. 
2. Kealapaan/ kelalaian  (Culpa) 
                                                     
Kelalaian  merupakan  salah  satu  bentuk  kesalahan  yang timbul  karena  
pelakunya  tidak  memenuhi  standar  perilaku yang telah ditentukan menurut undang-
undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Dalam pelayanan 
kesehatan misalnya yang menyebabkan timbulnya  kelalaian  yaitu   karena  kurangnya  
pengetahuan, kurangnya  pengalaman  dan  atau  kurangnya  kehati-hatian, padahal 
diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang  dokter  dituntut  untuk  
terus  mengembangkan ilmunya.114 Kelalaian  menurut  hukum  pidana  terbagi  dua  
macam yaitu:115 
1) Kealpaan  perbuatan,  jika   hanya  dengan  melakukan perbuatannya  sudah 
merupakan  suatu  peristiwa  pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari 
perbuatan ini  sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP. 
2) kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu 
sendiri sudah menimbulkan akibat yang  dilarang  oleh  hukum  pidana,  misalnya  cacat  
atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP. 
Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu: 
1. Pelaku  berbuat  lain  dari  apa  yang  seharusnya  diperbuat menurut  hukum  tertulis  
maupun  tidak  tertulis,  sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan 
(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum; 
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang; dan 
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus  bertanggung  jawab 
atas  akibat  dari  perbuatannya ini . 
Sedangkan  menurut  D.Schaffmeister,  N.  Keijzer  dan  E. PH. Sutorius, skema 
kelalaian atau culpa yaitu : 
1) Culpa lata yang disadari (alpa) CONSCIOUS :  kelalaian  yang  disadari,  
contohnya  antara lain sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak 
acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak 
akan terjadi; 
2) Culpa lata yang tidak disadari (Lalai) UNCONSCIUS: kelalaian yang tidak 
disadari, contohnyaantara  lain  kurang  berpikir   (onnadentkend),  lengah 
                                                     

 
(onoplettend),  dimana  seseorang  seyogianya  harus  sadar dengan risiko, 
tetapi tidak demikian. 
Jadi  kelalaian  yang  disadari  terjadi  jika   seseorang tidak melakukan suatu 
perbuatan, namun dia sadar jika  dia tidak melakukan perbuatan ini , maka akan 
menimbulkan akibat  yang  dilarang  dalam  hukum  pidana.  Sedangkan kealpaan  yang  
tidak  disadari  terjadi  jika   pelaku  tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat 
atau keadaan tertentu, dan jika  ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak 
akan melakukannya. Berpedoman  pada  pengertian  dan  unsur-unsur  diatas, dapat  
dikatakan  kealpaan  atau  kelalaian  dalam  pelayanan kesehatan  mengandung  pengertian  
normatif  yang  dapat dilihat,  artinya  perbuatan  atau  tindakan  kelalaian  itu,  selalu dapat  
diukur  dengan  syarat-syarat  yang  lebih  dahulu  sudah dipenuhi. 
D.Tidak ada alasan pemaaf  
Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab 
dari petindak. Ia menginsyafi hakekat  dari  tindakan  yang  akan  dilakukannya,  dapat mengetahui 
ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan ini  atau 
tidak. Jika ia  menentukan  (akan)  melaksanakan  tindakan  itu,  maka bentuk hubungan itu yaitu  
“sengaja” atau “alpa”. Dan untuk penentuan  ini ,  bukan  sebagai  akibat  atau  dorongan dari 
sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali. Menurut 
Ruslan Saleh mengatakan bahwa tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan 
bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa,  tiada  terhapus  keselahannya  atau  
tiada  terdapat alasan  pemaaf,  yaitu   termasuk  dalam  pengertian kesalahan (schuld). Pompe 
mengatakan bahwa hubungan  petindak  dengan  tindakannya  ditinjau  dari sudut  “kehendak”,  
kesalahan  petindak  yaitu   merupakan  bagian  dalam  dari  kehendak  ini .  Asas yang timbul 
dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan” Menurut  Martiman  Prodjhamidjojo bahwa  
unsur subjektif  yaitu   adanya  suatu  kesalahan  dalam  bentuk kesengajaan dan kealpaan, 
sehingga perbuatan yang melawan hukum ini  dapat di pertanggungjawabkan. Unsur-unsur 
subjektif yaitu : 
                                                     
1. Kesalahan; 
2. Kesengajaan; 
3. Kealpaan; 
4. Perbuatan; dan 
5. Sifat melawan hukum 
Unsur  objektif  yaitu   adanya  perbuatan  yang  bertentangan dengan hukum atau dengan 
kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu : 
1.  Perbuatan; dan 
2.  Sifat melawan hukum; 
 
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua  bagian;  yaitu  pertama, 
penghapus  pidana  umum,   yang berlaku kepada semua rumusan delik yang disebut dalam Pasal 
44,  48-51  KUHP,  kedua  yaitu   alasan  penghapus  pidana khusus  yang  terdapat  dalam  pasal  
pasal  tertentu  saja,  yaitu Pasal  122,  221  ayat(2),  261,  310  dan  367  ayat(1)  KUHP.119 Alasan  
pemaaf  (schuldduitsluitingsgrond)  yang  diatur dalam  Pasal  44  KUHP  tentang  “tidak  mampu  
bertanggung jawab”,  Pasal  48  KUHP  tentang  Daya  Paksa  (Overmacht), Pasal  49  ayat  (2)  
KUHP  tentang  pembelaan  terpaksa  yang melampaui  batas  (Noodweer  Execes),  Pasal  51  ayat  
(2) KUHP  tentang  menjalankan  perintah  yang  tidak  sah  tetapi menganggap perintah itu datang 
dari pejabat yang berwenang. 
Alasan  Penghapus  pidana  yang  termasuk  dalam  alasan pemaaf yang terdapat dalam 
KUHP yaitu : 
1. Daya Paksa Relatif (Overmacht); 
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti  keadaan  darurat.  
Daya  paksa  diatur  dalam  Pasal 48  KUHP.  Dalam  KUHP  tidak  terdapat  pengertian  
daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT) daya paksadilukiskan  sebagai  
kekuatan,  setiap  daya  paksa  orang berada  dalam dwangpositie ( posisi  terjepit).  Daya  
paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa 
ini  lebih kuat dari padanya.  
                                                     
Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi.  
Pembahasan  lengkap  mengenai  daya  paksa relatif ini sudah penulis bahas pada Bab 
sebelumnya bagian daya paksa absolut. 
2. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP 
Pasal 49 ayat (2) menyatakan: “Pembelaan  terpaksa  yang  melampaui  batas,  yang 
langsung  di sebabkan  oleh  keguncangan  jiwa  yang hebat karena serangan atau ancaman 
serangan itu tidak dipidana.” 
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa 
yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu  keduanya  mensyaratkan  adanya  serangan 
yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan 
harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. 
 Perbedaannya ialah: 
a. Pada  pembelaan  terpaksa  yang  melampaui  batas (noodweer  exces),  pembuat  
melampaui  batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu, 
b. Maka  perbuatan  membela  diri  melampaui  batas  itu tetap melawan hukum, hanya 
orangnya tidak dipidana karena ke guncangan jiwa yang hebat. 
c. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas  menjadi  dasar  pemaaf.  
Sedangkan  pembelaan terpaksa  (nood weer) merupakan  dasar  pembenar, karena, 
melawan hukumnya tidak ada. 
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu 
dilampaui, jadi tidak proporsional. Melampaui  batas  pembelaan  ada  dua  macam. 
Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan 
pembelaan pada mulanya sekejap pada saat di serang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, 
no. 463). Jadi,  di  sini  ada  dua  fase,  pertama  ialah noodweer  exces. Bentuk kedua ialah 
orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat ke  guncangan jiwa yang 
hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas. 
3. Menjalankan  Perintah  Jabatan  yang  Tidak  Sah,  Tetapi Terdakwa  Mengira  Perintah  
Itu  Sah,  Pasal  51  ayat  (2) KUHP. 
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun  pelaku  menganggap  
bahwa  perintah  ini  berasal  dari  penguasa  yang  berwenang.  Pelaku  dapat 
dimaafkan  jika  pelaku  melaksanakan  perintah  ini  dengan itikad baik, mengira 
bahwa perintah ini  sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini 
diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. 
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan 
yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi 
dua syarat: 
1) Syarat  subyektif,  yakni  pembuat  harus  dengan  itikad baik me mandang bahwa 
perintah itu datang dari yang berwenang: dan 
2) Syarat  obyektif,  yakni  pelaksanaan  perintah  harus terletak dalam ruang lingkup 
pembuat sebagai bawahan. 
Jadi  seorang  agen  polisi  diperintah  oleh  atasannya. Untuk  menganiaya  tahanan  
walaupun  ia  beritikad  baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia 
lepas, karena perbuatan seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada 
ayat (2) ini diharuskan adanya  hubungan  atasan-bawahan  (secara  langsung). Menurut  
Pompe  hubungan  atasan-bawahan  itu  tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara.  
  Maka dapat disimpulkan bahwa dasar pemaaf terdiri atas: 
1. Daya paksa Relatif (overmacht), (Pasal 48 KUHP); 
2. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer), (Pasal 49 Ayat 2 KUHP); dan 
3. Perintah  jabatan  yang  tidak  sah,  namun  ketika melakukan  perbuatan  pelaku  
mengiranya  sah, (Pasal 52 ayat (2) KUHP). 
 
 
 
 
 
BAB VI 
ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA 
A. Teori Alasan Penghapusan Pidana 
 George P.Fletcher dalam Rethinking Criminal Law mengemukakan ada tiga teori terkait 
alasan penghapusan pidana.120 
1. Theory of pointless punishment. 
  Teori ini berpijak pada teori kemanfaatan alasan pemaaf sebagai bagian dari 
teori manfaat dari hukuman. Menurut teori ini tidak ada gunanya menjatuhkan pidana 
pada orang gila atau orang yang menderita sakit jiwa.  Teori ini tidak terlepas dari 
ajaran Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa pemidanaan haruslah bermanfaat. 
Ada tiga kemanfaatan yaitu pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat 
meningkatkan perbaika diri pada pelakunya. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan 
kemampuan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti 
rugi kepada pihak yang dirugikan. Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama 
sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk 
sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat.      
  Tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak menyadari 
apa yang diperbuatnya. Pelaku yang gila atau sakit jiwa atau cacat dalam tubuhnya 
tidak mampu mengisyafi perbuatannya dan tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan 
yang dilarang, sehingga penjatuhan pidana kepada orang yang demikian tidak akan 
memberikan manfaat sedikitpun, justru akan melukai rasa keadilan masyarakat. 
Sebagai contoh seorang gila yang berada di tengah keramaian kemudian melempari 
orang-orang di sekelilingnya dengan batu sehingga beberapa orang di antara mereka 
menderita luka-luka. Orang gila ini  tidak mengisyafi bahkan tidak mengerti apa 
yang dilakukannya. Dengan demikian orang gila ini  tidak dapat dimintakan 
pertanggungjawaban yang membawa konsekuensi tidak dapat dipidana. Kalaupun 
orang gila ini  dijatuhi pidana, maka tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun 
terhadapnya. 
                                                     
2. Theory of lesser evils ( teori peringkat kejahatan yang lebih ringan). 
  Teori ini merupakan teori alasan penghapusan pidana yang berasal dari luar 
pelaku atau uitwendig. Disini pelaku harus memilih salah satu dari dua perbuatan yang 
sama-sama menyimpang dari aturan. Perbuatan yang dipilih sudah tentu yaitu  
perbuatan yang peringkat kejahatannya lebih ringan.  
  Menurut teori ini suatu perbuatan dapat dibenarkan atas dua alasan. 
Pertama, meskipun perbuatan ini  melanggar aturan, namun perbuatan ini  
harus dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar. Tegasnya, tingkat 
bahaya yang harus dihindari lebih besar daripada sekedar penyimpangan dari suatu 
aturan. Kedua, perbuatan yang melanggar aturan ini  hanya merupakan satu-
satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk menghindari 
bahaya atau ancaman yang akan timbul. 
  Teori ini lebih mempertimbangkan sudut peringkat kurang lebihnya atau 
untung ruginya dampak dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan. Jika perbuatan itu 
dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar atau kepentingan yang 
lebih baik atau lebih menguntungkan, maka perbuatan yang melanggar aturan itu dapat 
dibenarkan. Tegasnya teori ini lebih pada pilihan objektif untuk melindungi 
kepentingan hukum dan atau kewajiban hukum yang timbul dari dua keadaan atau 
situasi secara bersamaan. Contoh mobil pemadam kebarakan yang melaju dengan 
kencangnya melebihi kecepatan maksimum yang dibolehkan. Bahkan mobil ini  
melanggar rambu-rambu lalu lintas termasuk lampu pengatur lalu lintas karena segera 
harus memadamkan api akibat kebakaran yang terjadi di suatu tempat. Disini 
kepentingan memadamkan api termasuk penyelamatan nyawa beserta harta benda  
yang mungkin timbul akibat kebakaran ini  lebih besar dibandingkan dengan 
pelanggaran yang dilakukan mobil pemadam kebakaran terahdap rambu-rambu lalu 
lintas. 
3. Theory of necessary defense  (teori pembelaan yang diperlukan). 
  Teori ini merupakan teori yang digolongkan dalam teori alasan pemaaf. 
Dalam teori ini ada empat hal yang menjadi perdebatan mendasar. Pertama, terkait 
penggunaan kekuatan yang dibolehkan dalam situasi tertentu. Artinya, kekuatan yang 
digunakan harus sebanding dengan serangan ini . Kedua, kewajiban untuk 
 
 
menghindari. Dalam hal ini jika dapat menghindari dari serangan ini , maka jalan 
yang demikian haruslah ditempuh. Ketiga, hak pihak ketiga untuk campur tangan. 
Artinya, dapat saja pihak ketiga menghalangi atau menghentikan suatu serangan 
ini . Keempat, membolehkan melawan untuk membebaskan diri dari serangan 
ini .  
 Dalam Memorie van Toelichting alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana 
kepada pelaku dibedakan menjadi dua.  
1. Alasan yang berada di dalam diri pelaku (inwendige orrzaken van ontoerekenbaarheid) 
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan 
bertanggungjawab yang dirumuskan secara negatif. 
2. Alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid) 
sebagaimana yang tertuang  dalam Pasal 48 sampai Pasal 51 KUHP. 
 
B. Alasan Penghapusan Pidana Umum 
 Alasan pengahapusan pidana umum dibagi menjadi dua yaitu alasan penghapusan 
pidana menurut undang-undang yang terdapat dalam KUHP dan alasan penghapusan pidana  
diluar undang-undang. 
1. Alasan Penghapusan Pidana Umum Menurut Undang-Undang. 
  Alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang terdapat dalam Pasal 
44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP. Masing-masing alasan penghapusan 
pidana umum menurut undang-undang yaitu  sebagai berikut: 
a. Tidak mampu bertanggungjawab. 
 Perihal tidak mampu bertanggungjawab sebenarnya sudah dibahas pada bab 
pertanggungjawaban pidana. Kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP tidak 
dirumuskan secara positif, melainkan secara negatif. Pasal 44 KUHP yang menyatakan 
bahwa:  Tidak mampu bertanggungjawab : 
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan 
padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggung 
karena penyakit tidak di pidana 
 
 
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya 
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena 
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke 
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. 
(3) Ketentuan ini  dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, 
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. 
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP dapat ditarik kesimpulan : 
1. Kemampuan bertanggungjawab dilihat dari sisi pelaku berupa keadaan akal atau jiwa 
yang cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit. Menurut sejarahnya istilah 
jiwanya cacat dalam tubuhnya dimunculkan karena istilah gangguan penyakit terlalu 
sempit sehingga tidak mencakup situasi kejiwaan abnormal yang merupakann sifat 
bawaan dari lahir. Dalam sejarah perundanh-udangan dan keilmuan, cacat mental 
bawaan atau idiot diilustrasikan sebagai cacat dalam tubuhnya demikian pula retardasi 
mental atau imbecilitas. 
2. Penentuan kemampuan bertanggungjawab dalam konteks yang pertama harus dilakukan 
oleh seorang psikiater 
3. Ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan. 
4. Penilaian terhadap hubungan ini  merupakan otoritas hakim yang mengadili perkara 
5. Sistem yang dipakai dalam KUHP yaitu  diskriptif normatif karena disatu sisi, 
menggambarkan keadaan jiwa oleh psikiater, namun di sisi lain secara normatif hakim 
akan menilai hubungan antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan. 
 Bagaimana seorang yang berada dalam keadaan mabuk atau berada di bawah pengaruh 
narkotika kemudian melakukan tindak pidana, dapatkan digolongkan ke dalam alasan tidak 
mampu bertanggungjawab? Jawaba yang pasti menurut Memorie van Toelichting bahwa wetveger 
atau pembentuk undang-undang memang tidak memasukkan keadaan ini kedalam Pasal 44 KUHP. 
Apa yang dilakukan dalam keadaan mabuk haruslah tetap dipertanggungjawabkan saat kesadaran 
sudah muncul kembali.
 
 Berdasarkan Ilmu Kedokteran, keadaan mabuk merupakan intoksikasi fungsi otak. 
Minuman keras mengakibatkan psikosa akut yang dicirikan oleh kondisi psikis yang membawa 
akibat tidak ada atau berkurangnya pertanggungjawaban. Hal ini hanya dimungkinkan jika 
seseorang tanpa sepengetahuannya dibuat mabuk, namun seseorang yang secara sadar 
mengkonsumsi minuman keras atau narkotika dalam keadaan tidak sadarkan diri melakukan suatu 
perbuatan pidana, tidaklah dapat dijadikan alasan pemaaf.  Disini berlaku action libera in causa 
artinya keadaan tidak sadarkan diri karena perbuatan bukan merupakan alasan penghapusan 
pidana, dan sesuai pula dengan adagium qui peccat ebrius, luat sobrius artinya biarkanlah orang 
mabuk yang melanggar hukum dan dihukum ketika ia sadar.  
b. Daya Paksa 
  Daya paksa yaitu  terjemahan dari overmacht. Pasal 48 KUHP menyatakan,”Barangsiapa 
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Dalam KUHP tidak dijelaskan 
apa yang dimaksud dengan daya paksa. Tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli hukum 
pidana untuk menggolongkan daya paksa apakah sebagai alasan pembenar ataukah alasan pemaaf. 
Ada beberapa postulat terkait daya paksa ini  yaitu : 
1. Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit. Artinya keadaan terpaksa 
memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. 
2. In casu extremae necessitates omnia sunt communia. Artinya keadaan terpaksa, tindakan 
yang diambil dipandang perlu. 
3. Necessitas quod cogit defendit. Artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus 
diperbuat. 
4. Necessitas sub lege non non continetur, quia quod alias non est licitum necessitas facit 
licitum. Artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh 
hukum, namun dilakukan dalam keadaaan terpaksa maka perbuatan ini  dianggap sah. 
 Menurut Utrecht dalam MvT sebab paksa atau daya paksa berarti suatu kekauatan, suatu 
dorongan, suatu paksaaan yang tidak dapat dilawan.123 Van Bemmelen dan Van Hattum 
menyatakan bahwa paksaan disini berarti tekanan fisik atau tekanan psikis, paksaan itu dapat  
dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau cara-cara yang lain 
                                                     

atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau hal-hal disekitar kita. Jan Remmelink dengan 
mengutip pendapat filsuf Jerman, Immanuel Kant menyatakan bahwa dalam pandangan hukum 
alam, perbuatan yang dilakukan dalam keadaan overmacht dianggap tercakup dalam hukum.  
 Jonkers membagi daya paksa menjadi tiga:124 
1. Daya paksa absolut, maksudnya seseorang tidak dapat berbuat lain sebagai ilustrasi A 
dihipnotis oleh B untuk membunuh C. artinya A membunuh C dalam keadaan dihipnotis 
oleh B.  
2. Daya paksa relatif. Artinya kekuasaan dan kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak. 
Orang yang dipaksa masih ada kesempatan untuk memulihkan perbuatan yang mana. 
Sudarto memberi contoh sorang kasir bank yang ditodong kawanan perampok dipaksa 
untuk menyerahkan uang. Disini, paksaan ini  sebenarnya dapat dilawan, namun dari 
orang yang berada dalam paksaaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan melakukan 
perlawanan.  Dalam keadaan demikian berlaku adagium ignoscitur ei qui sanguine suum 
qualiter redemptum voluit artinya apapun yang dilakukan oleh seseorang karena ketakutan 
akan kehilangan hidupnya, tidak akan dihukum. 
3. Keadaan darurat. Keadaan ini seseorang berada dalam dua pilihan untuk melakukan 
perbuatan pidana yang mana berdasarkan keadaan-keadaan tertentu.  Menurut Jonkers, 
baik daya paksa maupun keadaan darurat merupakan alasan pembenar dan bukan alansan 
pemaaf.  
 
c. Keadaan Darurat 
  Dalam KUHP tidak ada  aturan mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan darurat. 
Menurut sejarah pembentukan KUHP situasi keadaan darurat digolongkan dalam overmacht atau 
daya paksa sehingga pengaturan keadaan darurat tersendiri dianggap tidak perlu.125Demikian juga 
dalam konteks teori yang memasukkan keadaan darurat sebagai bagian dari daya paksa. Keadaan 
                                                     
 
darurat atau noodstoestand yaitu  alasan pembenar. Artinya perbuatan pidana yang dilakukan 
dalam keadaan darurat menghapus elemen melawan hukumnya perbuatan. 
  Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum perbedaan daya paksa dan keadaan darurat 
yaitu : 
Tipe pada daya paksa dalam arti sempit, si pelaku berbuat datau tidak berbuat disebabkan 
satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pelaku, tidak ada penentuan 
kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, 
sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan. Dalam keadaan 
darurat, sipelaku ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong 
pelaku untuk melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.  
Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan yaitu: 
1. Pertentangan antara dua kepentingan, tegasnya ada konflik antara kepentingan yang satu 
dengan kepentinan yang lain. Contoh klasik berasal dari cerita Cicero tentang papan 
Carneades, ketika kapal tenggelam, Carneades seorang Yunani di zaman kuno 
menyelamatkan diri dengan berpegang pada sebuah papan yang terapung di air, namun 
pada saat yang sama terdapat juga orang lain yang berpegang pada papan ini . 
Sayangnya, papan itu hanya cukup untuk satu orang saja. Carneades kemudian mendorong 
orang tadi lepas dari papan sehingga tenggelam di laut. Dalam konteks ini Carneades 
mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingan diri sendiri, yakni 
menyelematkan nyawanya. Contoh lain A dikejar oleh seekor anjing gila. A kemudian 
melompat pagar halaman B dan menginjak halaman orang lain tanpa izin, disini 
kepentingan privasi B terlanggar oleh kepentingan A yang ingin menyelamatkan diri. 
2. Pertentangan antara kepentingan dan kewajiban. Contoh. Seseorang mencuri sebuah roti 
karena sudah tidak makan selama beberapa hari. Menurut Moeljatno disatu sisi ada 
kepentingan yang mendesak untuk mendapatkan makanan, namun sisi lain ada kewajiban 
untuk mentaati aturan larangan mencuri.  
3. Pertentangan antara dua kewajiban. Misalnya seseorang dipanggil sebagai saksi di 
Pengadilan X, namun pada saat yang sama orang ini  juga mendapat penggilan sebagai 
saksi di Pengadilan Y. Tidak terpenuhinya suatu kewajiban untuk memenuhi kewajiban 
                                                     
yang lain. Menurut Pompe dalam keadaan darurat  hanya ada dua kemungkinan yaitu 
pertentangan antara kepentingan dan kewajiban serta pertentangan kewajiban yang satu 
dengan kewajiban yang lain. 
 
d. Pembelaan Terpaksa 
  Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1) 
KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena 
ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri 
maupun orang lain, tidak dipidana. Kendatipun dalam MvT tidak ditemukan istilah pembelaan 
terpaksa namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP secara implisit memberikan persyaratan 
terhadap pembelaan terpaksa. 
  Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat 
di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya kekerasan tidak boleh dibalas 
dengan kekerasan. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka 
menegakkan ketertiban umum. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP ada beberapa persyaratan 
pembelaan terpaksa yaitu: 
1. Ada serangan seketika. Pengertian serangan dalam pasal a quo yaitu  serangan nyata yang 
berlanjut baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda. 
2. Serangan ini  bersifat melawan hukum. Maksudnya serangan yang bertentangan atau 
melanggar undang-undang.  
3. Pembelaan merupakan kaharusan.  Artinya sudah tidak ada jalan lain untuk menghindari 
dari serangan ini . Misalnya dalam sebuah ruangan tertutup S yang berniat membunuh 
T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati 
T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan 
menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan 
terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan ini  
merupakan suatu keharusan. 
4. Cara pembelaan yaitu  patut.  Hal ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan 
penghapusan pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama prinsip 
subsidaritas yaitu tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga 
pembelaan ini  harus dilakukan, tegasnya pembelaan tidak menjadi keharusan selama 
 
 
bisa menghindar. Kedua prinsip proporsionalitas, artinya harus ada keseimbangan antara 
kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks 
pembelaan terpaksa delik yang dilakukan untuk pembelaan  diri harus seimbang dengan 
serangan yang dihadapi. Ketiga prinsip culpa in causa. Artinya seseorang yang karena 
ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri 
karena pembelaan terpaksa, contoh A menghina B  secara lisan kemudian B menghampiri 
A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A dengan seketika A memukul 
B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A 
sendiri yang mengakibatkan B manamparnya. 
 
e. Pembelaan Terpaksa Melampau Batas 
  Pembelaan terpaksa melampau batas terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang 
berbunyi:”Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh 
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” 
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu:128 
1. Orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat 
kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Contoh seorang wanita dlam 
ruang tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria ini  sudah berhasil menangkap 
badan wanita, namun sekuat tenaga wanita ini  menendang alat vital pria hingga 
terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, wanita ini  memukulnya dengan benda-benda 
disekelilingnya sampai pria ini  tidak berdaya. Dalam konteks demikian maka wanita 
ini  melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama yaitu  noodweer dengan cara 
menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua yaitu  noodweerexces, ketika 
wanita ini  memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga 
tidak berdaya. 
2. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat 
dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya 
menggunakan upaya drastic untuk membela diri. Contohnya seorang polisi yang begitu 
sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta 
polisi ini  mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak kea rah pelaku 
                                                     
 
sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya yaitu  noodweer, 
namun polisi ini  melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip 
proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang 
menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 
Menurut sudarto ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas yaitu: 
1. Kelampaun batas yang diperlukan  
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. 
3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya seranga. Artinya adanya 
hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan. 
   Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa 
yang melampaui batas karena bukan karena tidak adanya kesalahan, namun pembentuk undang-
undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi 
pidana.  
f. Melaksanakan Perintah Undang-Undang  
  Melaksanakan perintah undang-undang terdapat pada Pasal 50 KUHP yang 
menyatakan bahwa : “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan 
undang-undang tidak dipidana”. Ketentuan ini merupakan pertentangan antara dua kewajiban 
hukum. Artinya perbuatan ini  di satu sisi untuk menaati  suatu perbuatan, namun disisi 
lain perbuatan ini  melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan 
perintah undang-undang digunakan theory of lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih 
ringan. Dengan demikian melaksanakan perintah undang-undang merupakan alasan pembenar 
yang menghapuskan unsur melawan hukumnya perbuatan. 
  Dalam melaksanakan perintah undang-undang, prinsip yang dipakai yaitu  
pertama subsidaritas yaitu prinsip yang berkaitan dnegan perbuatan pelaku dalam 
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan mewajibkan  pelaku berbuat demikian. Dan 
kedua  proporsionalitas yaitu prinsip yang ditekankan pada pelaku hanya dibenarkan jika 
dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum yang lebih bersalah yang diutamakang. Hal 
lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang-undang yaitu  karakter dari 
 
 
pelaku. Apakah pelaku ini  selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau justru 
sebaliknya.129    
  Contoh melaksanakan perintah undang-undang yaitu  seorang jurusita yang dalam 
rangka mengosongkan rumah, manaruh barang-barang yang disita dijalan. Hal ini 
bertentantang dengan peraturan yang melarang manruh barang-barang dijalan. Akan tetapi 
perbuatan jurusita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan 
rumah berdasarkan putusan pengadilan. 
g. Perintah Jabatan 
 Pasal 52 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk 
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. 
Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang memberikan hak kepada yang menerima 
perintah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian hak ini menghapuskan 
unsur melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan sebagai alasan pembenar. 
 Menurut Hazewinkel Suringa bahwa tidak setiap perintah jabatan membenarkan 
perbuatan yang dilakukan oleh penerima perintah, semuanya tergantung pada cara melakukan 
perintah atau alat-alat yang digunakan untuk melaksanakan perintah.130 Contohnya seorang kepala 
sipir penjara memerintahkan bawahannya untuk menjaga tahanan jangan sampai melarikan diri. 
Bawahan yang menerima perintah, tanpa sebab, kemudian memukul tahanannya. Tindakan 
bawahan tidak dapat dibenarkan berdasarkan perintah jabatan, karena cara melaksanaan perintah 
jabatan dilakukan secara tidak patut. 
 Ada tiga syarat seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas dasar 
melakukan perintah jabatan yaitu:131 
1. Antara yang memerintah dan yang diperintah berada dalam dimensi hukum publik, contoh 
untuk mengurangi kemacetan, polisi lalu lintas memerintahkan pengguna kendaraan 
bermotor roda dua untuk melewati jalan yang dilarang masuk. Pengguna kendaraan 
                                                     

bermotor roda dua tidak dapat dipidana karena memasuki jalan yang ada tanda larangannya 
berdasarkan perintah jabatan. 
2. Antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan subordinasi atau 
hubungan dalam dimensi kepegawaian. Contohnya seorang letnan polisi diperintahkan 
oleh kolonel polisi untuk menangkap penjahat. Kolonel ini  berwenang untuk 
memerintahkanya sehingga letnan polisi ini  melaksanakan perintah jabatan. 
3. Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut dan seimbang sehingga tidak 
melampaui batas kewajaran.  
 
h. Perintah Jabatan Tidak Sah    
 Kalau perintah jabatan merupakan alasan pembenar, maka perintah jabatan yang tidak 
sah merupakan alasan pemaaf yang menghapuskan unsur dapat dicelanya pelaku. Hal ini 
didasarkan pasa Pasal 51 KUHP ayat (2) yang berbunyi: “ Perintah jabatan tanpa wewenang tidak 
menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa 
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya dalam lingkungan pekerjaannya”. 
 Agar perintah jabatan yang tidak sah dapat berfungsi sebagai alasan pemaaf, maka harus 
memenuhi unsur sebagai berikut:132 
1. Perintah itu dipandang sebagai perintah yang sah 
2. Perintah ini  dilaksankan dengan itikad baik 
3. Pelaksanaan perintah ini  berada dalam ruang lingkup pekerjaannya. 
 
2. Alasan Penghapusan Pidana Umum di Luar Undang-Undang 
a. Izin  
 Izin atau persetujuan merupakan suatu alasan penghapusan pidana, dalam hal ini yaitu  
alasan pembenar, jika perbuatan yang dilakukan mendapat persetujuan dari orang yang akan 
dirugikan dari perbuatan ini .  Ada empat syarat agar izin atau persetujuan sebagai 
alasan pembenar yaitu: 
1. Pemberi izin tidak memberi persetujuan karena adanya suatu tipu muslihat 
                                                     

 
2. Pemberi izin tidak berada dalam kekhilafan 
3. Pemberi izin ketika memberikan persetujuan tidak berada dalam suatu tekanan 
4. Substansi permasalahan yang diberikan izin tidak bertentangan dengan kesusilaan 
 Pemberian izin terhadap suatu tindakan banyak ditemukan dalam lapangan hukum 
administrasi.  Contoh dalam penegakan hukum lingkungan sebagai hukum administrasi yang 
diberi sanksi pidana.  Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum pidana dalam hukum pidana 
lingkungan ditempatkan sebagai ultimatum remedium pada dasarnya untuk menunjukkan bahwa 
hukum pidana  modern dapat mencapai sasarannya yaitu dalam hukum pidana lingkungan tujuan 
utamanya yaitu  terhentinya pencemaran  atau terpenuhinya syarat-syarat izin yang ditentukan 
oleh pihak administrasi tanpa dilanjutkannya penuntutan dan penjatuhan pidana karena pada pos 
pertama dalam mempertahankan dan memelihara hukum lingkungan berada di ranah hukum 
administrasi.134 
b. Error Facti 
 Afwezigheid van alles schuld (Avas) atau dikenal dengan tidak ada kesalahan sama 
sekali merupakan alasan penghapusan pidana yang mana pelaku telah cukup berusaha untuk 
tidak melakukan delik.  Avas ini juga disebut sesat yang dapat dimaafkan. Dengan demikian 
avas yaitu  alasan pemaaf yang menghapuskan unsur dicelanya pelaku. Avas ini dibedakan 
dalam dua kategori yaitu error facti dan error juris.  Error facti merupakan salah satu kesesatan 
dalam kesengajaan yang juga disenut feitelijk dwaling atau kesesatan fakta. 
 
 
c. Error Juris. 
 Error juris disebut juga rechtdwaling atau kesesatan hukum yaitu suatu perbuatan 
dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Error juris ini dibedakan menjadi 
error juris yang dapat dimengerti dan error juris yang tidak dapat dimengerti. Kedua kesesatan 
hukum ini merujuk pada tingkatan pengetahuan dan latar belakang yang objektif dari pelaku. 
 
d. Tidak Ada Sifat Melawan Hukum Materiil 
                                                     

 
 Sifat melawan hukum materiil dapat dilihat dari sudut pandang perbuatannya dan dapat 
dilihat dari sudut pandang sumber hukumnya. Dilihat dari sudut pandang perbuatannya, 
mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum, hendak 
dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat melwan 
hukum materiil ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara materiil. 
Sedangkan sifat melawan hukum materiil dari sudut sumber hukumnya, mengadung makna 
bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas 
kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.135  
 Perkembangan selanjutnya, sifat melawan hukum materiil dari sudut pandang sumber 
hukumnya masih dibagi menjadi sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negative dan sifat 
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang bersifat positif. Sifat melawan hukum dalam 
fungsinya bersifat negatif berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi bertentangan 
dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan ini  tidak dipidana. Sedangkan sifat 
melawan hukum dalam fungsinya bersifat positif mengandung arti bahwa meskipun perbuatan 
ini  tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan ini  
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial 
dalam masyarakat, maka perbuatan ini  dapat dipidana. Sifat melawan hukum materiil dalam 
fungsinya yang negative merupakan alasan pembenar dan telah dianut dalam praktik peradilan, 
sementara sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya positif pada dasarnya bertentangan 
dengan asas legalitas.  
 
e. Hak Jabatan  
  Hak jabatan atau pekerjaan disebut juga beroepsrecht biasanya berkaitan dengan 
profesi dokter, apoteker, perawat dan penelitian ilmiah dibidang kesehatan. Contoh peneliti ilmiah 
dibidang kesehatan dengan tujuan pembenrantasan suatu penyakit. Dalam penelitian ini  
seringkali dilakukan percobaan terhadap hewan. Pada hakikatnya menyakiti dan menyiksa hewan 
yaitu  perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 KUHP. Akan tetapi karena 
pekerjaan ini  timbul sebagai hak jabatan, maka unsur melawan hukum dari perbuatan pidana 
                                                     
dihapuskan. Dengan demikian hak jabatan merupakan alasan pembenar. Dalam perkembangan 
lebih lanjut hak jabatan atau pekerjaan juga dikenal dalam menjalankan profesi seperti advokat, 
jurnalis dan profesi lainnya. 
f.  Mewakili orang lain 
 Mewakili urusan orang lain atau zaakwaarneming yaitu  seseorang yang secara 
sukarela tanpa hak berhak mendapatkan upah mengurusi kepentingan orang lain tanpa perintah 
orang yang mewakilinya. jika  terjadi perbuatan pidana dalam menjalankan urusan ini , 
maka sifat melawan hukum perbuatan dihapuskan. Dengan demikian zaakwaarnening 
merupakan alasan pembenar. Contoh petugas pemadam kebakaran yang dalam rangka 
memadamkan api memasuki rumah dengan merusak pintu, jendela dan sebagian rumah untuk 
mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar. 
 
C. Alasan Penghapusan Pidana Khusus 
 Alasan penghapusan pidana khusus yaitu  alasan penghapusa pidana yang hanya 
berlaku pada delik-delik tertentu. Pada dasarnya pelaku yang memenuhi unsur delik ini  
dianggap telah melakukan perbuatan pidana, namun ada pengecualian-pengecualiaan yang 
dirumuskan secara eksplisit dalam rumusan delik sehingga tidak terjadi penuntutan pidana 
terhadap pelaku.  Apakah pasal-pasal ini  merupakan alasan pembenar ataukah alasan pemaaf 
tentunya tidak terlepas dari kontruksi pasalnya.  
 
 
 Beberapa pasal yang termasuk dalam alasan penghapusan pidana khusus antara lain: 
1. Pasal 221 KUHP  
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak 
tiga ratus rupiah : 
Ke-1 Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan 
atau yang dituntut karena kejahatan; atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya 
untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, 
atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk 
sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. 
 
 
Ke-2 Barangsiapa yang setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk 
menutupinya atau untuk menghalang-halanginya atau mempersulit penyidikan, atau 
penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda 
terhadap ana atau dengan mana kejahatan dilakukan, atau bekas-bekas kejahatan 
lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman 
atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus 
menerus atau sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. 
(2) Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan ini  dengan 
maksud untuk menghindarkan atau menghalau bahaya penuntutan  terhadap seorang 
keluarga sedarah atau semendanya dalam garis lurus atau dalam garis menyimpang 
derajat kedua atau ketiga atau terhadap suami/ istrinya atau bekas suami/istrinya. 
  Ketentuan ayat (2) Pasal 221 KUHP merupakan alasan penghapusan pidana jika 
perbuatan ini  dilakukan keluarga termasuk suami/ istri atau bekas suami/istri. 
Disini perbuatan yang dilakukan tetaplah perbuatan pidana, namun unsur dapat dicela 
pelaku yang dihapuskan. Dengan demikian Pasal 221 ayat (2) KUHP merupakan alasan 
pemaaf. 
2. Pasal 310 KUHP  
(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan menuduh 
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena 
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling 
banyak tiga ratus rupiah. 
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran y ng disiarkan, dipertunjukkan atau 
ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam 
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus 
rupiah. 
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang 
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. 
 Berdasarkan konstruksi Pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat alasan penghapusan pidana 
jika perbuatan ini  demi kepentingan umum atau untuk membela diri. Artinya, unsur melawan 
hukum perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) dihapus. 
Dengan demikian ketentuan ayat (3) Pasal 310 KUHP merupakan alasan pembenar. 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB VII 
          PERCOBAAN (POGING) 
 
A. Pengertian Percobaan (Poging) 
1. Percobaan Menurut KUHP 
 Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 
1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan 
Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman yaitu  sebagai berikut: 
Pasal 53  
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya 
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan 
karena kehendaknya sendiri. 
(2) Maksimum pidana pokok  terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.  
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan 
pidana penjara paling lama lima belas tahun.  
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. 
Pasal 54  
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. 
 Kedua pasal ini  tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan 
percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan 
percobaan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke 
sesuatu hal,akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak 
berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh 
orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuribarang tetapitidak sampai dapat 
mengambil barang itu. 
                                                     

 
 Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) 
KUHP yaitu  bersumber dari MvT yang menyatakan:  
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of 
wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. 
(Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu yaitu  pelaksanaan 
untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulaiakan tetapi ternyata tidak selesai, 
ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan 
di dalam suatu permulaan pelaksanaan).137 
 
 Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila  (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu 
terjadiatau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus di penuhi 
agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan  suatu  percobaan. Syarat-
syarat ini  yaitu  sebagai berikut:  
a. Adanya niat/kehendak daripelaku;  
b. Adanya permulaan pelaksanaan dariniat/kehendak itu;  
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. 
 
 Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan 
kejahatan, ketiga syarat ini  harus terbuktiada padanya, dengan akta lain suatu percobaan 
dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat ini .  
 Percobaan seperti yang  diatur  dalam KUHP yangberlaku saat ini menentukan, bahwa 
yang dapat dipidana yaitu  seseorang yang melakukan percobaan  suatu delik kejahatan, 
sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan 
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana  khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh 
seseorang  yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap 
hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat 
dipidana. Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran 
ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan ini  dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak 
sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan ini  dilakukan dengan sengaja, 
tetapi jika perbuatan ini  dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai 
pelanggaran ekonomi. 
                                                     

 Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, 
misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 
ayat (3),dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)).138 
 
2. Percobaan Menurut RUU KUHP Nasional  
 Ada perbedaan terminologi antara percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 
KUHP yang berlaku saat ini, dengan percobaan yang diatur menurut RUU KUHP nasional  yang 
diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999-2000, Direktorat Jenderal 
Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Perundang-undangan. Terminologi percobaan 
seperti yang diatur di dalam Pasal 53 KUHP yang berlaku saat ini yaitu  percobaan melakukan 
kejahatan, sedangkan menurut RUU KUHP Nasional berubah menjadi percobaan melakukan 
tindak pidana. Hal ini terjadi karena RUU KUHP  Nasional tidak membedakan lagi antara tindak 
pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Artinya untuk keduanya 
dipakai istilah tindak pidana.  
 Dengan demikian, KUHP Nasional ini nantinya hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu 
Buku Kesatu memuat tentang aturan umum dan Buku Kedua yang memuat aturan tentang tindak 
pidana dengan tidak lagi membedakan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran. Adapun Buku 
Ketiga KUHP yang berlaku saat ini,yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan 
materinya ditampung ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana. 
 Alasan penghapusan ini  menurut Rancangan Penjelasan KUHP Nasional yaitu  
disebabkan pembedaan antara kejahatan sebagai  rechtsdelict dan pelanggaran sebagai wetsdelict 
ternyata tidak dapat dipertahankan, karena ada beberapa rechtsdelict yang dikualifikasikan sebagai 
pelanggaran (wetsdelict) dan sebaliknya  ada pelanggaran yang kemudian dapat dijadikan 
kejahatan (rechtsdelict) hanya karena diperberat ancaman pidananya. 
 Percobaan di dalam Rancangan KUHP Nasional diatur dalam Buku Kesatu tentang 
Ketentuan Umum, Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, paragraf 2 
tentang Percobaan, Pasal 17 sampai dengan 20. 
 
 
 
                                                    
 
Pasal 17  
(1) Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai melakukan permulaan 
pelaksanaan daritindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak 
mencapai hasil atau akibat yang dilarang. 
(2)   Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:  
a. Perbuatan melawan hukum;  
b. Secara objektif perbuatan  itu langsung mendekatkan pada terjadinya tindak pidana; dan 
c. Secara  subjektif  tidak diragukan lagi  bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau 
ditujukan pada terjadinya tindak pidana. 
Pasal 18  
(1)  Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya 
karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.  
(2) Jika setelah permulaan  pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya  sendiri 
mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.  
(3)  Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat  (2)  telah menimbulkan kerugian atau 
menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka 
pembuat dapat dipertangungjawabkan untuk tindak pidana ini . 
Pasal 19  
Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori I tidak dipidana.  
Pasal 20  
Jika tidak selesaiatau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat 
yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah 
melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana telah  lebih  dari ½ (satu per dua) 
maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. 
 Berdasarkan kepada Penjelasan Pasal 17 Rancangan Penjelasan KUHP Nasional 
diketahui ketentuan dalam Pasal 17 ini tidak memberikan  defenisi tentang percobaan, tetapi hanya 
menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana. Adapun 
unsur-unsur ini  yaitu :  
a. Pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju. 
b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang. 
 
 
 
B. Unsur-Unsur Percobaan 
1. Niat  
 Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-
undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan 
sumber dari KUHP negara kita  yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti : ‘de 
(bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan 
untuk melakukan kejahatan tertentu).139 
 Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan yaitu  
sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf 
kepastian,  dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. 
Hazewinkel Suringa, van Hammel,van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen. Menurut Memori 
Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama  dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel Suringa 
mengemukakan bahwa niat yaitu  kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan 
tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang 
dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu 
akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki,  tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika 
rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula 
menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja 
sebagai keinsyafan kemungkinan). Sebagai contoh, dalam suatu  niat (kehendak) untuk melakukan 
pembunuhan dengan memberikan roti  yang  mengandung racun kepada seseorang. Dalam hal ini 
termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang 
dikirim rotiini  ikut menjadikorban. Kemungkinan orang lain ikut menjadikorban termasuk 
pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan. 
 Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad  tanggal 6 Februari 1951, N.J. 1951 
No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah 
menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan 
pembunuhan terhadap  seorang anggota polisi, yang kasus posisinya yaitu  sebagai berikut: 
Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil 
ini  untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan 
oleh anggota polisi ini , bahkan dengan kecepatan yang  tinggimengarahkan mobil  yang 
                                                     
dikendarainya langsung ke arah anggota polisiini , dan hanya karena anggota polisi ini  
pada saat yang tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat kepinggir, maka 
terhindarlah ia dari kematian. 
 Menurut Hazewinkel-Suring, Hoge Raad mempersalahkan pengemudi dengan 
percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh 
anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi(disadari) dapat diterima juga sebagai niat. 
Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan 
sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn). Berbeda dengan pendapat 
sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat 
ini  hanya  merupakan kesengajaan sebagai maksud saja.  
 Sedangkan  Moeljatno  memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan yaitu  
sebagai berikut: 
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapiniat secara potensial bisa berubah 
menjadi kesengajaan jika  sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju.  Dalam hal 
semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapiakibat yang 
dilarang tidak timbul, disinilah niat sepenuhnya menjadikesengajaan. Sama halnya dalam 
delik yang telah selesai. 
b. Akan tetapi jika  niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih 
ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif 
onrechts-element”.  
c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan 
diambil dari isinya kejahatan jika  kejahatan timbul Untuk itu diperlukan pembuktian 
tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi juga  sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi 
perbuatan 
2. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering) 
 Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan iaberada di alam 
bathiniah seseorang.  Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam 
hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. 
Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari 
pelaksanaan niat . Menurut Loebby Loqman, yaitu  suatu hal yang musykil jika  seseorang akan 
                                                     
mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat 
seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan. 
 Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhiagar seseorang dapat dihukum karena 
melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP yaitu  unsur niat yang ada itu harus 
diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Permulaan pelaksanaan 
sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan 
kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang 
dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat 
perbedaan antara perbuatan persiapan dengan  permulaan  pelaksanaan (Soesilo mempergunakan 
istilah permulaan perbuatan). Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan 
tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan  (begin van uitvoering). 
Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari 
niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”. 
 Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para 
penulis bahwa permulaan  pelaksanaan dalam hal ini yaitu  merupakan permulaan pelaksanaan 
dari kejahatan.141 Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal53 ayat (1) 
KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain: 
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat 
dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen  (tindakan-
tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan 
pelaksanaan);  
b. Yang dimaksud dengan  voorbereidingshandelingen  dengan uitvoeringshandelingen itu 
yaitu  tindakan-tindakan yang  mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan  
kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya; 
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas 
antara  uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di  atas.  
 Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) 
KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan 
percobaan yang telah dapat dihukum itu yaitu  terletak diantara voorbereidingshandelingen 
                                                     
(tindakan-tindakan persiapan) dengan  uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). 
Selanjutnya  MvT  hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-
tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan  yang mempunyai hubungan sedemikian 
langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. 
Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak 
diberikan. Menurut MvT batas yang tegas  antara perbuatan persiapan dengan permulaan 
pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan ini  diserahkan 
kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-
undang.
 KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan 
persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan 
unsur dari delik percobaan. Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat 
sulit untuk dapat memastikan batas-batas  antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan 
persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat 
dijadikan pedoman. Memang sulit untuk menentukan  perbuatan mana dari serangkaian 
perbuatan yang dianggap sebagai  perbuatan permulaan pelaksanaan. Berdasarkan MvT hanya 
dapat diketahui bahwa permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) berada di antara  tindakan-
tindakan persiapan (uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan mana  
Dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan didasarkan kepada 2 teori 
yaitu teori subjektif (subjectieve pogingstheori) dan teori objektif (objectieve pogingstheori). 
 Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar 
dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham 
mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif 
menggunakan tindakan dari sipelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka 
juga disebut sebagai paham objektif. Menurut  para  penganut  paham  objektif seseorang yang  
melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat  dihukum  karena tindakannya 
bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut  paham  
subjektifseseorang yang melakukan percobaan    untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas 
                                                     

 
dihukum karena  orang ini  telah menunjukkan perilaku yang