Home » dasar pidana 2 » dasar pidana 2
Rabu, 24 Mei 2023
tetap dapat dipidana, hanya saja orangnya yang tidak dapat dipidana. Yang pertama merupakan
unsur obyektif, sedangkan yang kedua merupakan unsur subyektif dalam pemidanaan suatu
perbuatan.
5. Perbuatan itu harus terjadai karena kesalahan (schuld) si pembuat.
Kesalahan berkaitan erat dengan niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Untuk
dapat dipidana, seseorang harus melakukan perbuatan yang dilarang disertai dengan niatnya.
jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang, tetapi dalam hatinya sama sekali
tidak ada niat untuk melakukan perbuatan itu, maka di sini unsur kesalahan tidak dipenuhi, dan
dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana.
Istilah kesalahan diambil dari kata schuld, yang sampai saat ini belum resmi diakui sebagai
istilah ilmiah yang mempunyai pengertian yang pasti, namun sudah sering dipergunakan di dalam
penulisan-penulisan.89 Kesalahan menurut Wirjono Prodjodikoro ada dua macam yaitu:90
a. Kesenganjaan (opzet),
b. Kurang hati-hati (culpa).
Sedangkan Andi Hamzah berpendapat bahwa kesalahan itu meliputi tiga hal yaitu:91
a. Sengaja,
b. Kelalaian (culpa)
c. Dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga-tiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan, atau kalau menurut aliran
monolistis, termasuk unsur subyektif delik. Kesengajaan merupakan kehendak untuk berbuat
dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang, seperti
rumusan Pasal 338 KUHP, barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam ,
karena pembunuhan, dengan pidana paling lama lima belas tahun.
Kealpaan/ kelalaian atau culpa merupakan suatu kekurang perhatian terhadap obyek
ini dengan tidak disadari. Dalam ilmu pengetahuan hukum culpa mempunyai arti teknis yaitu
sesuatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu
itu terjadi.92 Undang-undang tidak memberikan definisi culpa. Hanya Memori penjelasan
(Memorie van Toelichting) mengatakan bahwa culpa terletak antara sengaja dan kebetulan. Dalam
Memori Jabawan Pemerintah (MvA) dikatakan siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja
berarti mempergunakan salah kemampuannya, sedangkan siapa yang melakukan kejahatan karena
salahnya (culpa) berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang seharusnya ia gunakan.
Kealpaan suatu bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Contoh rumusan Pasal 359
KUHP, barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Menurut ahli hukum pidana, untuk terjadinya culpa maka ukurannya ialah bagaimana
sebagian besar orang dalam masyarakat bersikap dan bertindak dalam suatu keadaan yang nyata-
nyata terjadi. Dengan demikian seorang hakim juga tidak boleh menggunakan sifat dan
padangannya sendiri sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Culpa
dibedakan menjadi culpa levissima dan culpa lata. Culpa levissima berarti kealpaan yang ringan,
sedangkan culpa lata yaitu kealpaan besar. Dalam istilah lain bisa disebut kealpaan yang disadari
dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari dapat digambarkan bila seseorang
melakukan delik tanpa sengaja dan ia telah berusaha menghalangi akibat yang terjadi, akan tetapi
walaupun demikian akibatnya timbul juga. Sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang
bersikap dan bertindak tanpa membayangkan akibat yang timbul, padahal seharusnya dia
membayangkannya.94
F. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yakni sebagai berikut:95
1. Menurut sistem KUHP,dibedakan antara kejahatanyang dimuat dalam buku II dan
pelanggaranyang dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran yaitu jenis pelanggaran
lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada
pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan
dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara.
Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan
merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan
bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto
saja.
Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan
pelanggaran sebagai berikut :
1). Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di
negara kita . Jika seorang negara kita yang melakukan delik di luar negeri yang
digolongkan sebagai delik pelanggaran di negara kita , maka di pandang tidak perlu
dituntut.
2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
3) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada
apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
2. Menurut cara merumuskannya,dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana
materil.
Tindak pidana formil yaitu tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu yaitu melakukan
suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak
memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian
tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal
362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan yaitu
menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat
yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk
selesainya tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan
yang dilakukan, tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat timbulnya akibat terlarang
ini . Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi
pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat
hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.
3. Berdasarkan bentuk kesalahan,dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak
pidana tidak dengan sengaja (culpa). Tindak pidana sengaja yaitu tindak pidana yang
dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sedangkan tindak tidak sengaja yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya
mengandung culpa.
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif
dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga
tindak pidana omisi.
Tindak pidana aktif yaitu tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan
aktif, perbuatan aktif yaitu perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya
gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar
larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara
formil maupun secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam
KUHP yaitu tindak pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan
tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang
dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur
perbuatannya yaitu berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang
tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,
tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang
mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau
mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak
pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya
atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan
aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa,
sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan
dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan
voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang
menciptakan suatu keadaan yang terlarang.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana
khusus.
Tindak pidana umum yaitu semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP
sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak
pidana khusus yaitu semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP. Dalam
hal ini sebagaimana mata kuliah pada umumnya pembedaan ini dikenal dengan istilah
delik-delik di dalam KHUP dan delik-delik di luar KUHP.
7. Dilihat dari sudut subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak
pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku
padasemua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan
maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatanperbuatan yang tidak patut yang
khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai
negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara
tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini yaitu tindak pidana yang untuk
dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak disyaratkan adanya pengaduan
dari yang berhak, sementara itu tindak aduan yaitu tindak pidana yangdapat dilakukan
penuntutan pidana jika terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak
mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau
keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk
pengaduan oleh orang yang berhak.
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak
pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:
1) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan
bentuk standar;
2) Dalam bentuk yang diperberat; dan
3) Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua
unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan/atau
diperingan, tidak mengulang kembali unsurunsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar
menye but kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya,
kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau
meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor
peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat
atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi,maka tindak pidana tidak terbatas
macamnya, sangat tergantung pada kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP
didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum
yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan kejahatan
terhadap keamanan Negara (Bab I KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum bagi
kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa
umum (Bab VIII KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan
pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan (Bab
XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan seterusnya.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan, dibedakan antara tindak
pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal yaitu tindak pidana yang dirumusakan sedemikian rupa
sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup
dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP yaitu
berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana
berangkai yaitu tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk
dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan
secara berulang.
G. Cara Merumuskan Tindak Pidana
1. Cara Pencantuman Unsur-Unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa ada tiga cara merumuskannya yaitu:96
a. Dengan Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Cara ini merupakan cara yang paling sempurna, cara ini digunakan terutama dalam hal
merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standar, dengan mencantumkan unsur-
unsur objektif maupun unsur subjektif misalnya Pasal 338 (pembunuhan), 362 (Pencurian),
368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(perusakan). Selain itu ada juga tindak pidana yang dirumuskan secara sempurna dengan
kualifikasi tertentu misalnya pemberontakan (Pasal 108).
Dalam unsur pokok tindak pidana ini diatas, terdapat unsur-unsur objektif dan unsur
subjektif secara lengkap, contohnya Pasal 368 KUHP yang termasuk dalam kualifikasi
pemerasan dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1) Unsur ojektif terdiri dari:
a) Memaksa (tingkah laku)
b) Seseorang (yang dipaksa)
c) Dengan : (1) Kekerasan
(2) Ancaman kekerasan.
d) Agar orang : (1) Menyerahkan benda
(2) Memberi hutang
(3) menghapus piutang.
2) Unsur subjektif berupa:
a) Dengan maksud untuk menguntungkan :
(1) Diri sendiri
(2) Orang lain
b) Dengan melawan hukum.
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencantumkan Ancaman
Pidana.
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam
KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebutkan
kualifikasi dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu
misalnya terhadap tindak pidana pada Pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu,
penghasutan (Pasal 160), laporan palsu (Pasal 220), membuang anak (Pasal 305),
pembunuhan anak (Pasal 341) dan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415).
c. Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini merupakan yang paling sedikit.
Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai
pengecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini
dilatarbelakangi oleh suatu ratio tertentu, misalnya kejahatan penganiayaan (Pasal 351).
Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yaitu : Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini dapat
diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS Belanda. Pada awalnya
tentang kejahatan itu diusulkan rumusan dengan “sengaja mengakibatkan rasa sakit
terhadap tubuh orang lain dan dengan sengaja merusak kesehatan orang lain”. Rumusan ini
oleh parlemen dianggap tidak tepat karena masuk di dalamnya perbuatan seorang pendidik
terhadap anak didiknya dan perbuatan dokter terhadap pasiennya. Atas keberatan itu,
Menteri Kehakiman mengubah rumusan “ dengan sengaja menimbulkan rasa sakit pada
tubuh orang lain” dengan cukup menyebut penganiayaan saja, atas dasar pertimbangan
bahwa semua orang sudah memahami artinya. Sementara itu, usul rumusan semula : “
dengan sengaja merusak kesehatan orang lain” ditempatkan pada ayat 4.
2. Dari Sudut Titik Beratnya
a. Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perilah
larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah
melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika
perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, jika
perbuatan mengambil selesai, maka pencurian selesai, atau jika perbuatan membuat palsu (surat)
dan memalsu (surat) selesai dilakukan, kejahatan itu selesai (Pasal 263). Tindak pidana yang
dirumuskan secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (formeel delict).
b. Dengan Cara Materiil
Perumusan dengan cara materiil maksudnya yaitu yang menjadi pokok larangan tindak
pidana yang dirumuskan itu yaitu pada penimbulan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang
dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan yaitu pada menimbulkan akibat,
sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Misalnya
pada Pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa
orang lain, sedangkan wujud apa dari perbuatan menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi soal,
apakah dengan menembak, meracun dan lain sebagainya.
Dalam hubungan dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana
bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi tergantung pada apakah dari wujud
perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan telah selesai,
namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai, yang terjadi yaitu percobaan. Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut tindak pidana materiil (materieel delict).
3. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Anatar Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat
dan Yang Lebih Ringan.
a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok
jika dilihat dari sudut sistem pengelompokkan atau pembedaan tindak pidana antara
bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan, cara
merumuskan tindak pidana dapat dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk
pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.
Bentuk pokok pembentuk undang-undang selalu merumuskan secara sempurna, yaitu
dengan mencamtumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk
pokok ini merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya Pasal 338, 362, 372,
378, 369, 406.98
b. Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan Yang Diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tindak pidana yang
bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali,
melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok misalnya Pasal 364, 373, 379, atau kualifikasi bentuk
pokok misalnya pasal 339, 363, 365. Kemudian, menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan
diperingan atau diperberatnya tindak pidana itu. Cara yang demikian dapat diterima mengingat
merumuskan tindak pidana prinsip penghematan kata-kata, namun tegas dan jelas tetap harus
dipegang teguh.
H. Waktu Dan Tempat Tindak Pidana
1. Mengenai Waktu Tindak Pidana
Waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti memiliki arti penting yaitu:99
a. Apakah pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan ini telah dikualifikasin sebagai
tindak pidana? hal ini erat kaitannya dengan asas legalitas sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya tentang asas legalitas. Yaitu untuk menentukan apakah
tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan perundang-undangan.
Bila dilakukan sebelum perubahan, maka apakah akan memperlakukan perundangan yang
berlaku sebelum tindak pidana dilakukan ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni
terhadap ketentuan mana yang paling menguntungkan terdakwa. Bila yang
menguntungkan itu yaitu aturan yang baru, maka aturan barulah yang diberlakukan.
b. Waktu tindak pidana penting dalam hal berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan
pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana
sebelum umur 16 tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP.
Jika ketika melakukan tindak pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan Pasal
45, 46 dan 47 KUH, saat ini diberlakukan berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
c. Waktu tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan ketentuan daluwarsa
bagi hak negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal
78, 79 KUHP
d. Waktu tindak pidana penting dalam hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana
dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, dimana ketika tindak pidana dilakukan usia
korban belum 15 tahun.
e. Waktu tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku
ketika melakukan tindak pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 44 KUHP.
Misalnya ketika pelaku tindak pidana melakukan tindak pidana terdapat keadaan jiwa
(jiwanya cacat dalam pertumbuhannya). Akan tetapi ketika ia sembuh, tetap ia dapat
dipidana.
f. Waktu tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive)
beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487, dan Pasal 488 KUHP.
Bagi kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal ini , piana yang dijatuhkan pada
pelaku tindak pidana ini belum lima tahun sejak yang bersangkutan menjalani pidana
yang dijatuhkan karena dulu melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan
sepertiga dari pidana yang diancamkan pada kejahatan ini .
2. Mengenai Tempat Tindak Pidana
Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana penting dalam menentukan beberapa hal yaitu
sebagai berikut:
a. Tempat tindak pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal
84 ayat (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, yakni pengadilan
negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan didalam daerah
hukumnya. Sebelum berlaku KUHAP, ketentuan ini dimuat dalam Pasal 252 (1) HIR.
b. Tempat tindak pidana penting dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 2 KUHP yang
memuat asa teritorial tentang berlakunya hukum pidana negara kita , tempat tindak pidana
penting pul dalam hal menentukan terhadap tindak pidana itu apakah berlaku hukum pidana
negara kita ataukah tidak.
I. Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana yaitu seluruh waktu dan tempat dimana
tindak pidana itu dilakukan. Persoalannya dari sejak kapan, dan dimulai dari tempat yang mana,
kapankah berakhirnya dan tempat yang mana berakhirnya? Ada beberapa teori yang menjawan
persoalan ini yaitu:100
1. Teori Perbuatan Jasmani (lee van het materiele feit).
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materil, waktu dan tempat tindak pidana
yaitu waktu dan tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu
pada kenyataannya diwujudkan.
2. Teori Alat (lee van het instrument)
Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana alat
digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana
3. Teori Akibat (lee van het gevolg)
Menurut teori akibat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana
akibat dari perbuatan itu timbul.
BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau
criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-
unsur delik yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan
yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan ini , jika
tindakan ini melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat
melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung
jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Menurut Van Hamel pertanggungjawaban pidana yaitu suatu keadaan normal psikis dan
kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan yaitu (1) mampu untuk dapat mengerti makna
serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri, (2) mampu menginsyafi bahwa
perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat (3) mampu untuk menentukan
kehendak berbuat.
Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan yaitu
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a. Menurut pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:102
1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia
menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2. Oleh sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
b. Van Hamel berpendapat, bahwa kemampuan bertanggung jawab yaitu suatu keadaan
normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan:103
1. Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri.
2. Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan oleh
masyarakat dan
3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
c. G.A. Van Hamel, menentukan syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan yaitu
sebagai berikut:104
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi nilai dari
perbuatannya;
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tatacara kemayarakata
yaitu dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban pidana
bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli
yang menentukan unsur keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan
dengan delik, oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah
dapat dibuktikan juga dalam persidangan. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada
pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-
unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan
yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-
tindakan ini jika tindakan ini bersifat melawan hukum untuk itu. Dilahat dari sudut
kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat
dipertanggungjawab-pidanakan.
Secara umum unsur-unsur pertanggungjawab pidana meliputi:
1. Mampu bertanggung jawab
2. Kesalahan
3. Tidak ada alasan pemaaf
B. Mampu Bertanggung jawab
Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam
undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),
seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan ini jika tindakan
ini bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya:
a. Keadaan jiwanya:
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan
3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah
sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts,
ngidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan ini , apakah akan dilaksanakan atau
tidak; dan
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan ini .
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa kemampuan bertanggungjawab
didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada
keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun
dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP yaitu verstanddelijke vermogens
untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan
kemampuan jiwa seseorang.
Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid”dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Petindak di sini yaitu orang, bukan makhluk lain.
Untuk membunuh, mencuri, menghina dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain
halnya jika tindakan merupakan menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya
dan memakainya untuk keuntungan sendiri.
C.Kesalahan
Menurut Remelink kesalahan yaitu pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang
menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan
perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.107 Kesalahan dianggap ada, jika
dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan
atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana, menurut Moeljatno kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan
apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4
(empat) unsur yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab:
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) dan
kealpaan/kelalaian (culpa)
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari:
1. Kesengajaan (opzet)
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa.
Ini layak oleh karena biasanya, yang pantas mendapatkan hukuman pidana itu ialah
orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga
unsur tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi
pokok-alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar
hukum.109 Kesengajaanyang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:
a) Sengaja Sebagai Niat (Oogmerk).
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) si pelaku
dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.
Maka jika kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada
yang menyangkal, bahwa si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana ini lebih
nampak jika dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat
tujuan ini, dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief
gevolg). Sebagian pakar mengatakan, bahwa yang dapat di kehendaki ialah
hanya perbuatannya, bukan akibatnya. Akibat ini oleh si pelaku hanya dapat
dibayangkan atau di gambarkan akan terjadi (voorstellen). Dengan demikian
secara diakletik timbul dua teori yang bertentangan satu sama lain, yaitu:
a. Teori kehendak (wilstheorie); dan
b. Teori bayangan (voorstellen-theorie)
Teori kehendak menganggap kesengajaan ada jika perbuatan dan akibat
suatu tindak pidana di kehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan menganggap
kesengajaan jika si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada
bayangan yang terang, bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka
dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Contoh mengenai tindak pidana pencurian, menurut teori kehendak, si
pelaku dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana pencurian oleh karena
ia menghendaki, bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain, barang itu
akan menjadi miliknya. Sedangkan menurut teori bayangan kesengajaan ini ada
oleh karena si pelaku pada waktu akan mulai mengambil barang milik orang lain,
mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya, barang itu akan
menjadi miliknya, dan kemudian ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan
akibat yang terbayang tadi.110 Kesengajaan sebagai niat atau maksud yaitu
terwujudnya delik yang merupakan tujuan dari pelaku. Contoh : Si X Menembak si
Y karena Si X ingin Memb unuh Si Y, dan itu merupakan tujuan si X mela kukan
penembakan.
b. Sengaja Sadar Akan Kepastian atau Keharusan (zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan semacam ini ada jika si pelaku dengan perbuatannya, tidak
bertujuan untuk mencapai yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa
akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Jika ini terjadi, maka teori kehendak
(wilstheorie) menganggap akibat ini juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini
juga ada kesengajaan menurut teori bayangan (voorstellingtheorie) keadaan ini sama
dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk) oleh karena dalam keduanya tentang
akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya bayangan atau
gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat pasti akan terjadi, maka juga kini ada
kesengajaan.111
Oleh para penulis Belanda sebagai contoh selalu disebutkan peristiwa ”Thomas
van Bremerhaven”, yaitu perbuatan seseorang berupa memasukkan dalam kapal
laut, yang akan berlayar di laut, suatu mesin yang akan meledak jika kapal
itu sudah ada di tengah laut. Dengan peledakan ini kapal akan hancur, dan kalau
ini terjadi, pemilik kapal akan menerima uang asuransi dari perusahaan asuransi. Dalam
merancangkan kehendak inisi pelaku dianggap tahu benar, bahwa jika kapal hancur,
para anak kapal dan penumpang lainnya akan tenggelam di tengah laut dan akan mati
semua. Dengan demikian, meskipun kematian orang-orang ini tidak masuk tujuan si
pelaku, namun tetap di anggap ada kesengajaan si pelaku itu, dan maka dari itu si
pelaku dapat dipersalahkan malakukan tindak pidana pembunuhan.112 Menurut Van
Hattum ”Kepastian” dalam kesengajaan semacam ini harus diartikan secara relatif
oleh karena secara ilmu pasti tidak mungkin ada kepastian mutlak. Mungkin sekali
para anak kapal dan penumpang dari kapal laut tadi tertolong semua oleh para
nelayan yang ada di tempat meledaknya bom. Menurut Van Hattum, maksud
”kepastian” ialah suatu kemungkinan yang sangat besar.
c.Sengaja Sadar Akan Kemungkinan (Dolus eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terangterangan tidak disertai bayangan
suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Kini ternyata tidak ada
persamaan pendapat diantara para sarjana hukum belanda. Menurut Van Hattum dan
Hazewinkel-Suringa, ada dua penulis belanda, yaitu Van Dijk dan Pompe yang
mengatakan, bahwa dengan hanya ada keinsafan kemungkinan, tidak ada kesengajaan,
melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih dapat
dikatakan, bahwa kesengajaan secara keinsafan kepastian praktis sama atau hampir
sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara
keinsafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu,
melainkan hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama. Teorinya yaitu sebagai
berikut:
jika dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan
terjadi akibat yang bersangkutan tanpa di tuju, maka harus di tinjau seandainya ada
bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan itu akan
dilakukan oleh si pelaku. Kalau ini terjadi, maka dapat dikatakan, bahwa kalau perlu,
akibat yang terang tidak dikhendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu, akan dipikul
pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibat kemudian itu terjadi.113 contoh : Si X
menembak si Y karena Si X ingin membunuh Si Y namun disamping Si Y berdiri
si Z dalam jarak yang sangat dekat dan ketika si Z yang menjadi korban maka perbuatan
ini harus dipandang sengaja sadar akan kemungkinan
tentang tertembaknya si Z.
2. Kealapaan/ kelalaian (Culpa)
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena
pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-
undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Dalam pelayanan
kesehatan misalnya yang menyebabkan timbulnya kelalaian yaitu karena kurangnya
pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal
diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk
terus mengembangkan ilmunya.114 Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua
macam yaitu:115
1) Kealpaan perbuatan, jika hanya dengan melakukan perbuatannya sudah
merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari
perbuatan ini sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP.
2) kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu
sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat
atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.
Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu:
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis
maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan
(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang; dan
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab
atas akibat dari perbuatannya ini .
Sedangkan menurut D.Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, skema
kelalaian atau culpa yaitu :
1) Culpa lata yang disadari (alpa) CONSCIOUS : kelalaian yang disadari,
contohnya antara lain sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak
acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak
akan terjadi;
2) Culpa lata yang tidak disadari (Lalai) UNCONSCIUS: kelalaian yang tidak
disadari, contohnyaantara lain kurang berpikir (onnadentkend), lengah
(onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko,
tetapi tidak demikian.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi jika seseorang tidak melakukan suatu
perbuatan, namun dia sadar jika dia tidak melakukan perbuatan ini , maka akan
menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang
tidak disadari terjadi jika pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat
atau keadaan tertentu, dan jika ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak
akan melakukannya. Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat
dikatakan kealpaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian
normatif yang dapat dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat
diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi.
D.Tidak ada alasan pemaaf
Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab
dari petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui
ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan ini atau
tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu yaitu
“sengaja” atau “alpa”. Dan untuk penentuan ini , bukan sebagai akibat atau dorongan dari
sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali. Menurut
Ruslan Saleh mengatakan bahwa tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan
bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau
tiada terdapat alasan pemaaf, yaitu termasuk dalam pengertian kesalahan (schuld). Pompe
mengatakan bahwa hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”,
kesalahan petindak yaitu merupakan bagian dalam dari kehendak ini . Asas yang timbul
dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan” Menurut Martiman Prodjhamidjojo bahwa
unsur subjektif yaitu adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan,
sehingga perbuatan yang melawan hukum ini dapat di pertanggungjawabkan. Unsur-unsur
subjektif yaitu :
1. Kesalahan;
2. Kesengajaan;
3. Kealpaan;
4. Perbuatan; dan
5. Sifat melawan hukum
Unsur objektif yaitu adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan
kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :
1. Perbuatan; dan
2. Sifat melawan hukum;
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua bagian; yaitu pertama,
penghapus pidana umum, yang berlaku kepada semua rumusan delik yang disebut dalam Pasal
44, 48-51 KUHP, kedua yaitu alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam pasal
pasal tertentu saja, yaitu Pasal 122, 221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP.119 Alasan
pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu
bertanggung jawab”, Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2)
KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat
(2) KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah itu datang
dari pejabat yang berwenang.
Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf yang terdapat dalam
KUHP yaitu :
1. Daya Paksa Relatif (Overmacht);
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti keadaan darurat.
Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian
daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT) daya paksadilukiskan sebagai
kekuatan, setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi terjepit). Daya
paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa
ini lebih kuat dari padanya.
Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi.
Pembahasan lengkap mengenai daya paksa relatif ini sudah penulis bahas pada Bab
sebelumnya bagian daya paksa absolut.
2. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP
Pasal 49 ayat (2) menyatakan: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung di sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu tidak dipidana.”
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan
yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan
harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:
a. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), pembuat
melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,
b. Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya
orangnya tidak dipidana karena ke guncangan jiwa yang hebat.
c. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.
Sedangkan pembelaan terpaksa (nood weer) merupakan dasar pembenar, karena,
melawan hukumnya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu
dilampaui, jadi tidak proporsional. Melampaui batas pembelaan ada dua macam.
Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan
pembelaan pada mulanya sekejap pada saat di serang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975,
no. 463). Jadi, di sini ada dua fase, pertama ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah
orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat ke guncangan jiwa yang
hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.
3. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah
Itu Sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap
bahwa perintah ini berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat
dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah ini dengan itikad baik, mengira
bahwa perintah ini sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini
diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan
yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi
dua syarat:
1) Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad baik me mandang bahwa
perintah itu datang dari yang berwenang: dan
2) Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup
pembuat sebagai bawahan.
Jadi seorang agen polisi diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan
walaupun ia beritikad baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia
lepas, karena perbuatan seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada
ayat (2) ini diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan (secara langsung). Menurut
Pompe hubungan atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara.
Maka dapat disimpulkan bahwa dasar pemaaf terdiri atas:
1. Daya paksa Relatif (overmacht), (Pasal 48 KUHP);
2. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer), (Pasal 49 Ayat 2 KUHP); dan
3. Perintah jabatan yang tidak sah, namun ketika melakukan perbuatan pelaku
mengiranya sah, (Pasal 52 ayat (2) KUHP).
BAB VI
ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA
A. Teori Alasan Penghapusan Pidana
George P.Fletcher dalam Rethinking Criminal Law mengemukakan ada tiga teori terkait
alasan penghapusan pidana.120
1. Theory of pointless punishment.
Teori ini berpijak pada teori kemanfaatan alasan pemaaf sebagai bagian dari
teori manfaat dari hukuman. Menurut teori ini tidak ada gunanya menjatuhkan pidana
pada orang gila atau orang yang menderita sakit jiwa. Teori ini tidak terlepas dari
ajaran Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa pemidanaan haruslah bermanfaat.
Ada tiga kemanfaatan yaitu pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat
meningkatkan perbaika diri pada pelakunya. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan
kemampuan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti
rugi kepada pihak yang dirugikan. Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama
sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk
sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat.
Tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak menyadari
apa yang diperbuatnya. Pelaku yang gila atau sakit jiwa atau cacat dalam tubuhnya
tidak mampu mengisyafi perbuatannya dan tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan
yang dilarang, sehingga penjatuhan pidana kepada orang yang demikian tidak akan
memberikan manfaat sedikitpun, justru akan melukai rasa keadilan masyarakat.
Sebagai contoh seorang gila yang berada di tengah keramaian kemudian melempari
orang-orang di sekelilingnya dengan batu sehingga beberapa orang di antara mereka
menderita luka-luka. Orang gila ini tidak mengisyafi bahkan tidak mengerti apa
yang dilakukannya. Dengan demikian orang gila ini tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban yang membawa konsekuensi tidak dapat dipidana. Kalaupun
orang gila ini dijatuhi pidana, maka tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun
terhadapnya.
2. Theory of lesser evils ( teori peringkat kejahatan yang lebih ringan).
Teori ini merupakan teori alasan penghapusan pidana yang berasal dari luar
pelaku atau uitwendig. Disini pelaku harus memilih salah satu dari dua perbuatan yang
sama-sama menyimpang dari aturan. Perbuatan yang dipilih sudah tentu yaitu
perbuatan yang peringkat kejahatannya lebih ringan.
Menurut teori ini suatu perbuatan dapat dibenarkan atas dua alasan.
Pertama, meskipun perbuatan ini melanggar aturan, namun perbuatan ini
harus dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar. Tegasnya, tingkat
bahaya yang harus dihindari lebih besar daripada sekedar penyimpangan dari suatu
aturan. Kedua, perbuatan yang melanggar aturan ini hanya merupakan satu-
satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk menghindari
bahaya atau ancaman yang akan timbul.
Teori ini lebih mempertimbangkan sudut peringkat kurang lebihnya atau
untung ruginya dampak dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan. Jika perbuatan itu
dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar atau kepentingan yang
lebih baik atau lebih menguntungkan, maka perbuatan yang melanggar aturan itu dapat
dibenarkan. Tegasnya teori ini lebih pada pilihan objektif untuk melindungi
kepentingan hukum dan atau kewajiban hukum yang timbul dari dua keadaan atau
situasi secara bersamaan. Contoh mobil pemadam kebarakan yang melaju dengan
kencangnya melebihi kecepatan maksimum yang dibolehkan. Bahkan mobil ini
melanggar rambu-rambu lalu lintas termasuk lampu pengatur lalu lintas karena segera
harus memadamkan api akibat kebakaran yang terjadi di suatu tempat. Disini
kepentingan memadamkan api termasuk penyelamatan nyawa beserta harta benda
yang mungkin timbul akibat kebakaran ini lebih besar dibandingkan dengan
pelanggaran yang dilakukan mobil pemadam kebakaran terahdap rambu-rambu lalu
lintas.
3. Theory of necessary defense (teori pembelaan yang diperlukan).
Teori ini merupakan teori yang digolongkan dalam teori alasan pemaaf.
Dalam teori ini ada empat hal yang menjadi perdebatan mendasar. Pertama, terkait
penggunaan kekuatan yang dibolehkan dalam situasi tertentu. Artinya, kekuatan yang
digunakan harus sebanding dengan serangan ini . Kedua, kewajiban untuk
menghindari. Dalam hal ini jika dapat menghindari dari serangan ini , maka jalan
yang demikian haruslah ditempuh. Ketiga, hak pihak ketiga untuk campur tangan.
Artinya, dapat saja pihak ketiga menghalangi atau menghentikan suatu serangan
ini . Keempat, membolehkan melawan untuk membebaskan diri dari serangan
ini .
Dalam Memorie van Toelichting alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana
kepada pelaku dibedakan menjadi dua.
1. Alasan yang berada di dalam diri pelaku (inwendige orrzaken van ontoerekenbaarheid)
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan
bertanggungjawab yang dirumuskan secara negatif.
2. Alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid)
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 48 sampai Pasal 51 KUHP.
B. Alasan Penghapusan Pidana Umum
Alasan pengahapusan pidana umum dibagi menjadi dua yaitu alasan penghapusan
pidana menurut undang-undang yang terdapat dalam KUHP dan alasan penghapusan pidana
diluar undang-undang.
1. Alasan Penghapusan Pidana Umum Menurut Undang-Undang.
Alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang terdapat dalam Pasal
44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP. Masing-masing alasan penghapusan
pidana umum menurut undang-undang yaitu sebagai berikut:
a. Tidak mampu bertanggungjawab.
Perihal tidak mampu bertanggungjawab sebenarnya sudah dibahas pada bab
pertanggungjawaban pidana. Kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP tidak
dirumuskan secara positif, melainkan secara negatif. Pasal 44 KUHP yang menyatakan
bahwa: Tidak mampu bertanggungjawab :
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggung
karena penyakit tidak di pidana
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan ini dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP dapat ditarik kesimpulan :
1. Kemampuan bertanggungjawab dilihat dari sisi pelaku berupa keadaan akal atau jiwa
yang cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit. Menurut sejarahnya istilah
jiwanya cacat dalam tubuhnya dimunculkan karena istilah gangguan penyakit terlalu
sempit sehingga tidak mencakup situasi kejiwaan abnormal yang merupakann sifat
bawaan dari lahir. Dalam sejarah perundanh-udangan dan keilmuan, cacat mental
bawaan atau idiot diilustrasikan sebagai cacat dalam tubuhnya demikian pula retardasi
mental atau imbecilitas.
2. Penentuan kemampuan bertanggungjawab dalam konteks yang pertama harus dilakukan
oleh seorang psikiater
3. Ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan.
4. Penilaian terhadap hubungan ini merupakan otoritas hakim yang mengadili perkara
5. Sistem yang dipakai dalam KUHP yaitu diskriptif normatif karena disatu sisi,
menggambarkan keadaan jiwa oleh psikiater, namun di sisi lain secara normatif hakim
akan menilai hubungan antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan.
Bagaimana seorang yang berada dalam keadaan mabuk atau berada di bawah pengaruh
narkotika kemudian melakukan tindak pidana, dapatkan digolongkan ke dalam alasan tidak
mampu bertanggungjawab? Jawaba yang pasti menurut Memorie van Toelichting bahwa wetveger
atau pembentuk undang-undang memang tidak memasukkan keadaan ini kedalam Pasal 44 KUHP.
Apa yang dilakukan dalam keadaan mabuk haruslah tetap dipertanggungjawabkan saat kesadaran
sudah muncul kembali.
Berdasarkan Ilmu Kedokteran, keadaan mabuk merupakan intoksikasi fungsi otak.
Minuman keras mengakibatkan psikosa akut yang dicirikan oleh kondisi psikis yang membawa
akibat tidak ada atau berkurangnya pertanggungjawaban. Hal ini hanya dimungkinkan jika
seseorang tanpa sepengetahuannya dibuat mabuk, namun seseorang yang secara sadar
mengkonsumsi minuman keras atau narkotika dalam keadaan tidak sadarkan diri melakukan suatu
perbuatan pidana, tidaklah dapat dijadikan alasan pemaaf. Disini berlaku action libera in causa
artinya keadaan tidak sadarkan diri karena perbuatan bukan merupakan alasan penghapusan
pidana, dan sesuai pula dengan adagium qui peccat ebrius, luat sobrius artinya biarkanlah orang
mabuk yang melanggar hukum dan dihukum ketika ia sadar.
b. Daya Paksa
Daya paksa yaitu terjemahan dari overmacht. Pasal 48 KUHP menyatakan,”Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Dalam KUHP tidak dijelaskan
apa yang dimaksud dengan daya paksa. Tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli hukum
pidana untuk menggolongkan daya paksa apakah sebagai alasan pembenar ataukah alasan pemaaf.
Ada beberapa postulat terkait daya paksa ini yaitu :
1. Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit. Artinya keadaan terpaksa
memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum.
2. In casu extremae necessitates omnia sunt communia. Artinya keadaan terpaksa, tindakan
yang diambil dipandang perlu.
3. Necessitas quod cogit defendit. Artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus
diperbuat.
4. Necessitas sub lege non non continetur, quia quod alias non est licitum necessitas facit
licitum. Artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh
hukum, namun dilakukan dalam keadaaan terpaksa maka perbuatan ini dianggap sah.
Menurut Utrecht dalam MvT sebab paksa atau daya paksa berarti suatu kekauatan, suatu
dorongan, suatu paksaaan yang tidak dapat dilawan.123 Van Bemmelen dan Van Hattum
menyatakan bahwa paksaan disini berarti tekanan fisik atau tekanan psikis, paksaan itu dapat
dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau cara-cara yang lain
atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau hal-hal disekitar kita. Jan Remmelink dengan
mengutip pendapat filsuf Jerman, Immanuel Kant menyatakan bahwa dalam pandangan hukum
alam, perbuatan yang dilakukan dalam keadaan overmacht dianggap tercakup dalam hukum.
Jonkers membagi daya paksa menjadi tiga:124
1. Daya paksa absolut, maksudnya seseorang tidak dapat berbuat lain sebagai ilustrasi A
dihipnotis oleh B untuk membunuh C. artinya A membunuh C dalam keadaan dihipnotis
oleh B.
2. Daya paksa relatif. Artinya kekuasaan dan kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak.
Orang yang dipaksa masih ada kesempatan untuk memulihkan perbuatan yang mana.
Sudarto memberi contoh sorang kasir bank yang ditodong kawanan perampok dipaksa
untuk menyerahkan uang. Disini, paksaan ini sebenarnya dapat dilawan, namun dari
orang yang berada dalam paksaaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan melakukan
perlawanan. Dalam keadaan demikian berlaku adagium ignoscitur ei qui sanguine suum
qualiter redemptum voluit artinya apapun yang dilakukan oleh seseorang karena ketakutan
akan kehilangan hidupnya, tidak akan dihukum.
3. Keadaan darurat. Keadaan ini seseorang berada dalam dua pilihan untuk melakukan
perbuatan pidana yang mana berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Menurut Jonkers,
baik daya paksa maupun keadaan darurat merupakan alasan pembenar dan bukan alansan
pemaaf.
c. Keadaan Darurat
Dalam KUHP tidak ada aturan mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan darurat.
Menurut sejarah pembentukan KUHP situasi keadaan darurat digolongkan dalam overmacht atau
daya paksa sehingga pengaturan keadaan darurat tersendiri dianggap tidak perlu.125Demikian juga
dalam konteks teori yang memasukkan keadaan darurat sebagai bagian dari daya paksa. Keadaan
darurat atau noodstoestand yaitu alasan pembenar. Artinya perbuatan pidana yang dilakukan
dalam keadaan darurat menghapus elemen melawan hukumnya perbuatan.
Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum perbedaan daya paksa dan keadaan darurat
yaitu :
Tipe pada daya paksa dalam arti sempit, si pelaku berbuat datau tidak berbuat disebabkan
satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pelaku, tidak ada penentuan
kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya,
sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan. Dalam keadaan
darurat, sipelaku ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong
pelaku untuk melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan yaitu:
1. Pertentangan antara dua kepentingan, tegasnya ada konflik antara kepentingan yang satu
dengan kepentinan yang lain. Contoh klasik berasal dari cerita Cicero tentang papan
Carneades, ketika kapal tenggelam, Carneades seorang Yunani di zaman kuno
menyelamatkan diri dengan berpegang pada sebuah papan yang terapung di air, namun
pada saat yang sama terdapat juga orang lain yang berpegang pada papan ini .
Sayangnya, papan itu hanya cukup untuk satu orang saja. Carneades kemudian mendorong
orang tadi lepas dari papan sehingga tenggelam di laut. Dalam konteks ini Carneades
mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingan diri sendiri, yakni
menyelematkan nyawanya. Contoh lain A dikejar oleh seekor anjing gila. A kemudian
melompat pagar halaman B dan menginjak halaman orang lain tanpa izin, disini
kepentingan privasi B terlanggar oleh kepentingan A yang ingin menyelamatkan diri.
2. Pertentangan antara kepentingan dan kewajiban. Contoh. Seseorang mencuri sebuah roti
karena sudah tidak makan selama beberapa hari. Menurut Moeljatno disatu sisi ada
kepentingan yang mendesak untuk mendapatkan makanan, namun sisi lain ada kewajiban
untuk mentaati aturan larangan mencuri.
3. Pertentangan antara dua kewajiban. Misalnya seseorang dipanggil sebagai saksi di
Pengadilan X, namun pada saat yang sama orang ini juga mendapat penggilan sebagai
saksi di Pengadilan Y. Tidak terpenuhinya suatu kewajiban untuk memenuhi kewajiban
yang lain. Menurut Pompe dalam keadaan darurat hanya ada dua kemungkinan yaitu
pertentangan antara kepentingan dan kewajiban serta pertentangan kewajiban yang satu
dengan kewajiban yang lain.
d. Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1)
KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena
ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri
maupun orang lain, tidak dipidana. Kendatipun dalam MvT tidak ditemukan istilah pembelaan
terpaksa namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP secara implisit memberikan persyaratan
terhadap pembelaan terpaksa.
Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat
di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya kekerasan tidak boleh dibalas
dengan kekerasan. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka
menegakkan ketertiban umum. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP ada beberapa persyaratan
pembelaan terpaksa yaitu:
1. Ada serangan seketika. Pengertian serangan dalam pasal a quo yaitu serangan nyata yang
berlanjut baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda.
2. Serangan ini bersifat melawan hukum. Maksudnya serangan yang bertentangan atau
melanggar undang-undang.
3. Pembelaan merupakan kaharusan. Artinya sudah tidak ada jalan lain untuk menghindari
dari serangan ini . Misalnya dalam sebuah ruangan tertutup S yang berniat membunuh
T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati
T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan
menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan
terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan ini
merupakan suatu keharusan.
4. Cara pembelaan yaitu patut. Hal ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan
penghapusan pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama prinsip
subsidaritas yaitu tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga
pembelaan ini harus dilakukan, tegasnya pembelaan tidak menjadi keharusan selama
bisa menghindar. Kedua prinsip proporsionalitas, artinya harus ada keseimbangan antara
kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks
pembelaan terpaksa delik yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan
serangan yang dihadapi. Ketiga prinsip culpa in causa. Artinya seseorang yang karena
ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri
karena pembelaan terpaksa, contoh A menghina B secara lisan kemudian B menghampiri
A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A dengan seketika A memukul
B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A
sendiri yang mengakibatkan B manamparnya.
e. Pembelaan Terpaksa Melampau Batas
Pembelaan terpaksa melampau batas terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang
berbunyi:”Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu:128
1. Orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat
kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Contoh seorang wanita dlam
ruang tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria ini sudah berhasil menangkap
badan wanita, namun sekuat tenaga wanita ini menendang alat vital pria hingga
terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, wanita ini memukulnya dengan benda-benda
disekelilingnya sampai pria ini tidak berdaya. Dalam konteks demikian maka wanita
ini melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama yaitu noodweer dengan cara
menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua yaitu noodweerexces, ketika
wanita ini memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga
tidak berdaya.
2. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat
dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya
menggunakan upaya drastic untuk membela diri. Contohnya seorang polisi yang begitu
sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta
polisi ini mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak kea rah pelaku
sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya yaitu noodweer,
namun polisi ini melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip
proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang
menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Menurut sudarto ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas yaitu:
1. Kelampaun batas yang diperlukan
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat.
3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya seranga. Artinya adanya
hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan.
Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa
yang melampaui batas karena bukan karena tidak adanya kesalahan, namun pembentuk undang-
undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi
pidana.
f. Melaksanakan Perintah Undang-Undang
Melaksanakan perintah undang-undang terdapat pada Pasal 50 KUHP yang
menyatakan bahwa : “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang tidak dipidana”. Ketentuan ini merupakan pertentangan antara dua kewajiban
hukum. Artinya perbuatan ini di satu sisi untuk menaati suatu perbuatan, namun disisi
lain perbuatan ini melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan
perintah undang-undang digunakan theory of lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih
ringan. Dengan demikian melaksanakan perintah undang-undang merupakan alasan pembenar
yang menghapuskan unsur melawan hukumnya perbuatan.
Dalam melaksanakan perintah undang-undang, prinsip yang dipakai yaitu
pertama subsidaritas yaitu prinsip yang berkaitan dnegan perbuatan pelaku dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Dan
kedua proporsionalitas yaitu prinsip yang ditekankan pada pelaku hanya dibenarkan jika
dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum yang lebih bersalah yang diutamakang. Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang-undang yaitu karakter dari
pelaku. Apakah pelaku ini selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau justru
sebaliknya.129
Contoh melaksanakan perintah undang-undang yaitu seorang jurusita yang dalam
rangka mengosongkan rumah, manaruh barang-barang yang disita dijalan. Hal ini
bertentantang dengan peraturan yang melarang manruh barang-barang dijalan. Akan tetapi
perbuatan jurusita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan
rumah berdasarkan putusan pengadilan.
g. Perintah Jabatan
Pasal 52 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang memberikan hak kepada yang menerima
perintah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian hak ini menghapuskan
unsur melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan sebagai alasan pembenar.
Menurut Hazewinkel Suringa bahwa tidak setiap perintah jabatan membenarkan
perbuatan yang dilakukan oleh penerima perintah, semuanya tergantung pada cara melakukan
perintah atau alat-alat yang digunakan untuk melaksanakan perintah.130 Contohnya seorang kepala
sipir penjara memerintahkan bawahannya untuk menjaga tahanan jangan sampai melarikan diri.
Bawahan yang menerima perintah, tanpa sebab, kemudian memukul tahanannya. Tindakan
bawahan tidak dapat dibenarkan berdasarkan perintah jabatan, karena cara melaksanaan perintah
jabatan dilakukan secara tidak patut.
Ada tiga syarat seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas dasar
melakukan perintah jabatan yaitu:131
1. Antara yang memerintah dan yang diperintah berada dalam dimensi hukum publik, contoh
untuk mengurangi kemacetan, polisi lalu lintas memerintahkan pengguna kendaraan
bermotor roda dua untuk melewati jalan yang dilarang masuk. Pengguna kendaraan
bermotor roda dua tidak dapat dipidana karena memasuki jalan yang ada tanda larangannya
berdasarkan perintah jabatan.
2. Antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan subordinasi atau
hubungan dalam dimensi kepegawaian. Contohnya seorang letnan polisi diperintahkan
oleh kolonel polisi untuk menangkap penjahat. Kolonel ini berwenang untuk
memerintahkanya sehingga letnan polisi ini melaksanakan perintah jabatan.
3. Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut dan seimbang sehingga tidak
melampaui batas kewajaran.
h. Perintah Jabatan Tidak Sah
Kalau perintah jabatan merupakan alasan pembenar, maka perintah jabatan yang tidak
sah merupakan alasan pemaaf yang menghapuskan unsur dapat dicelanya pelaku. Hal ini
didasarkan pasa Pasal 51 KUHP ayat (2) yang berbunyi: “ Perintah jabatan tanpa wewenang tidak
menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya dalam lingkungan pekerjaannya”.
Agar perintah jabatan yang tidak sah dapat berfungsi sebagai alasan pemaaf, maka harus
memenuhi unsur sebagai berikut:132
1. Perintah itu dipandang sebagai perintah yang sah
2. Perintah ini dilaksankan dengan itikad baik
3. Pelaksanaan perintah ini berada dalam ruang lingkup pekerjaannya.
2. Alasan Penghapusan Pidana Umum di Luar Undang-Undang
a. Izin
Izin atau persetujuan merupakan suatu alasan penghapusan pidana, dalam hal ini yaitu
alasan pembenar, jika perbuatan yang dilakukan mendapat persetujuan dari orang yang akan
dirugikan dari perbuatan ini . Ada empat syarat agar izin atau persetujuan sebagai
alasan pembenar yaitu:
1. Pemberi izin tidak memberi persetujuan karena adanya suatu tipu muslihat
2. Pemberi izin tidak berada dalam kekhilafan
3. Pemberi izin ketika memberikan persetujuan tidak berada dalam suatu tekanan
4. Substansi permasalahan yang diberikan izin tidak bertentangan dengan kesusilaan
Pemberian izin terhadap suatu tindakan banyak ditemukan dalam lapangan hukum
administrasi. Contoh dalam penegakan hukum lingkungan sebagai hukum administrasi yang
diberi sanksi pidana. Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum pidana dalam hukum pidana
lingkungan ditempatkan sebagai ultimatum remedium pada dasarnya untuk menunjukkan bahwa
hukum pidana modern dapat mencapai sasarannya yaitu dalam hukum pidana lingkungan tujuan
utamanya yaitu terhentinya pencemaran atau terpenuhinya syarat-syarat izin yang ditentukan
oleh pihak administrasi tanpa dilanjutkannya penuntutan dan penjatuhan pidana karena pada pos
pertama dalam mempertahankan dan memelihara hukum lingkungan berada di ranah hukum
administrasi.134
b. Error Facti
Afwezigheid van alles schuld (Avas) atau dikenal dengan tidak ada kesalahan sama
sekali merupakan alasan penghapusan pidana yang mana pelaku telah cukup berusaha untuk
tidak melakukan delik. Avas ini juga disebut sesat yang dapat dimaafkan. Dengan demikian
avas yaitu alasan pemaaf yang menghapuskan unsur dicelanya pelaku. Avas ini dibedakan
dalam dua kategori yaitu error facti dan error juris. Error facti merupakan salah satu kesesatan
dalam kesengajaan yang juga disenut feitelijk dwaling atau kesesatan fakta.
c. Error Juris.
Error juris disebut juga rechtdwaling atau kesesatan hukum yaitu suatu perbuatan
dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Error juris ini dibedakan menjadi
error juris yang dapat dimengerti dan error juris yang tidak dapat dimengerti. Kedua kesesatan
hukum ini merujuk pada tingkatan pengetahuan dan latar belakang yang objektif dari pelaku.
d. Tidak Ada Sifat Melawan Hukum Materiil
Sifat melawan hukum materiil dapat dilihat dari sudut pandang perbuatannya dan dapat
dilihat dari sudut pandang sumber hukumnya. Dilihat dari sudut pandang perbuatannya,
mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum, hendak
dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat melwan
hukum materiil ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara materiil.
Sedangkan sifat melawan hukum materiil dari sudut sumber hukumnya, mengadung makna
bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.135
Perkembangan selanjutnya, sifat melawan hukum materiil dari sudut pandang sumber
hukumnya masih dibagi menjadi sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negative dan sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang bersifat positif. Sifat melawan hukum dalam
fungsinya bersifat negatif berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi bertentangan
dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan ini tidak dipidana. Sedangkan sifat
melawan hukum dalam fungsinya bersifat positif mengandung arti bahwa meskipun perbuatan
ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan ini
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan ini dapat dipidana. Sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negative merupakan alasan pembenar dan telah dianut dalam praktik peradilan,
sementara sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya positif pada dasarnya bertentangan
dengan asas legalitas.
e. Hak Jabatan
Hak jabatan atau pekerjaan disebut juga beroepsrecht biasanya berkaitan dengan
profesi dokter, apoteker, perawat dan penelitian ilmiah dibidang kesehatan. Contoh peneliti ilmiah
dibidang kesehatan dengan tujuan pembenrantasan suatu penyakit. Dalam penelitian ini
seringkali dilakukan percobaan terhadap hewan. Pada hakikatnya menyakiti dan menyiksa hewan
yaitu perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 KUHP. Akan tetapi karena
pekerjaan ini timbul sebagai hak jabatan, maka unsur melawan hukum dari perbuatan pidana
dihapuskan. Dengan demikian hak jabatan merupakan alasan pembenar. Dalam perkembangan
lebih lanjut hak jabatan atau pekerjaan juga dikenal dalam menjalankan profesi seperti advokat,
jurnalis dan profesi lainnya.
f. Mewakili orang lain
Mewakili urusan orang lain atau zaakwaarneming yaitu seseorang yang secara
sukarela tanpa hak berhak mendapatkan upah mengurusi kepentingan orang lain tanpa perintah
orang yang mewakilinya. jika terjadi perbuatan pidana dalam menjalankan urusan ini ,
maka sifat melawan hukum perbuatan dihapuskan. Dengan demikian zaakwaarnening
merupakan alasan pembenar. Contoh petugas pemadam kebakaran yang dalam rangka
memadamkan api memasuki rumah dengan merusak pintu, jendela dan sebagian rumah untuk
mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar.
C. Alasan Penghapusan Pidana Khusus
Alasan penghapusan pidana khusus yaitu alasan penghapusa pidana yang hanya
berlaku pada delik-delik tertentu. Pada dasarnya pelaku yang memenuhi unsur delik ini
dianggap telah melakukan perbuatan pidana, namun ada pengecualian-pengecualiaan yang
dirumuskan secara eksplisit dalam rumusan delik sehingga tidak terjadi penuntutan pidana
terhadap pelaku. Apakah pasal-pasal ini merupakan alasan pembenar ataukah alasan pemaaf
tentunya tidak terlepas dari kontruksi pasalnya.
Beberapa pasal yang termasuk dalam alasan penghapusan pidana khusus antara lain:
1. Pasal 221 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah :
Ke-1 Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan
atau yang dituntut karena kejahatan; atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya
untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian,
atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk
sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Ke-2 Barangsiapa yang setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk
menutupinya atau untuk menghalang-halanginya atau mempersulit penyidikan, atau
penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda
terhadap ana atau dengan mana kejahatan dilakukan, atau bekas-bekas kejahatan
lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman
atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus
menerus atau sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
(2) Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan ini dengan
maksud untuk menghindarkan atau menghalau bahaya penuntutan terhadap seorang
keluarga sedarah atau semendanya dalam garis lurus atau dalam garis menyimpang
derajat kedua atau ketiga atau terhadap suami/ istrinya atau bekas suami/istrinya.
Ketentuan ayat (2) Pasal 221 KUHP merupakan alasan penghapusan pidana jika
perbuatan ini dilakukan keluarga termasuk suami/ istri atau bekas suami/istri.
Disini perbuatan yang dilakukan tetaplah perbuatan pidana, namun unsur dapat dicela
pelaku yang dihapuskan. Dengan demikian Pasal 221 ayat (2) KUHP merupakan alasan
pemaaf.
2. Pasal 310 KUHP
(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan menuduh
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran y ng disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.
Berdasarkan konstruksi Pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat alasan penghapusan pidana
jika perbuatan ini demi kepentingan umum atau untuk membela diri. Artinya, unsur melawan
hukum perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) dihapus.
Dengan demikian ketentuan ayat (3) Pasal 310 KUHP merupakan alasan pembenar.
BAB VII
PERCOBAAN (POGING)
A. Pengertian Percobaan (Poging)
1. Percobaan Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab
1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan
Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman yaitu sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal ini tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan
percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan
percobaan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke
sesuatu hal,akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak
berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh
orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuribarang tetapitidak sampai dapat
mengambil barang itu.
Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1)
KUHP yaitu bersumber dari MvT yang menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of
wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.
(Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu yaitu pelaksanaan
untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulaiakan tetapi ternyata tidak selesai,
ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan
di dalam suatu permulaan pelaksanaan).137
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu
terjadiatau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus di penuhi
agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-
syarat ini yaitu sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak daripelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dariniat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan
kejahatan, ketiga syarat ini harus terbuktiada padanya, dengan akta lain suatu percobaan
dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat ini .
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yangberlaku saat ini menentukan, bahwa
yang dapat dipidana yaitu seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan,
sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh
seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap
hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat
dipidana. Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran
ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan ini dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak
sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan ini dilakukan dengan sengaja,
tetapi jika perbuatan ini dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai
pelanggaran ekonomi.
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum,
misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302
ayat (3),dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)).138
2. Percobaan Menurut RUU KUHP Nasional
Ada perbedaan terminologi antara percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53
KUHP yang berlaku saat ini, dengan percobaan yang diatur menurut RUU KUHP nasional yang
diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999-2000, Direktorat Jenderal
Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Perundang-undangan. Terminologi percobaan
seperti yang diatur di dalam Pasal 53 KUHP yang berlaku saat ini yaitu percobaan melakukan
kejahatan, sedangkan menurut RUU KUHP Nasional berubah menjadi percobaan melakukan
tindak pidana. Hal ini terjadi karena RUU KUHP Nasional tidak membedakan lagi antara tindak
pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Artinya untuk keduanya
dipakai istilah tindak pidana.
Dengan demikian, KUHP Nasional ini nantinya hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu
Buku Kesatu memuat tentang aturan umum dan Buku Kedua yang memuat aturan tentang tindak
pidana dengan tidak lagi membedakan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran. Adapun Buku
Ketiga KUHP yang berlaku saat ini,yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan
materinya ditampung ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana.
Alasan penghapusan ini menurut Rancangan Penjelasan KUHP Nasional yaitu
disebabkan pembedaan antara kejahatan sebagai rechtsdelict dan pelanggaran sebagai wetsdelict
ternyata tidak dapat dipertahankan, karena ada beberapa rechtsdelict yang dikualifikasikan sebagai
pelanggaran (wetsdelict) dan sebaliknya ada pelanggaran yang kemudian dapat dijadikan
kejahatan (rechtsdelict) hanya karena diperberat ancaman pidananya.
Percobaan di dalam Rancangan KUHP Nasional diatur dalam Buku Kesatu tentang
Ketentuan Umum, Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, paragraf 2
tentang Percobaan, Pasal 17 sampai dengan 20.
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai melakukan permulaan
pelaksanaan daritindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak
mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
(2) Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a. Perbuatan melawan hukum;
b. Secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada terjadinya tindak pidana; dan
c. Secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau
ditujukan pada terjadinya tindak pidana.
Pasal 18
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya
karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri
mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau
menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka
pembuat dapat dipertangungjawabkan untuk tindak pidana ini .
Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori I tidak dipidana.
Pasal 20
Jika tidak selesaiatau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat
yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah
melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana telah lebih dari ½ (satu per dua)
maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
Berdasarkan kepada Penjelasan Pasal 17 Rancangan Penjelasan KUHP Nasional
diketahui ketentuan dalam Pasal 17 ini tidak memberikan defenisi tentang percobaan, tetapi hanya
menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana. Adapun
unsur-unsur ini yaitu :
a. Pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju.
b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
B. Unsur-Unsur Percobaan
1. Niat
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-
undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan
sumber dari KUHP negara kita yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti : ‘de
(bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan
untuk melakukan kejahatan tertentu).139
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan yaitu
sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf
kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D.
Hazewinkel Suringa, van Hammel,van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen. Menurut Memori
Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel Suringa
mengemukakan bahwa niat yaitu kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan
tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang
dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu
akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika
rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula
menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja
sebagai keinsyafan kemungkinan). Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan
pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada seseorang. Dalam hal ini
termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang
dikirim rotiini ikut menjadikorban. Kemungkinan orang lain ikut menjadikorban termasuk
pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan.
Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad tanggal 6 Februari 1951, N.J. 1951
No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah
menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan
pembunuhan terhadap seorang anggota polisi, yang kasus posisinya yaitu sebagai berikut:
Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil
ini untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan
oleh anggota polisi ini , bahkan dengan kecepatan yang tinggimengarahkan mobil yang
dikendarainya langsung ke arah anggota polisiini , dan hanya karena anggota polisi ini
pada saat yang tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat kepinggir, maka
terhindarlah ia dari kematian.
Menurut Hazewinkel-Suring, Hoge Raad mempersalahkan pengemudi dengan
percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh
anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi(disadari) dapat diterima juga sebagai niat.
Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan
sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn). Berbeda dengan pendapat
sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat
ini hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud saja.
Sedangkan Moeljatno memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan yaitu
sebagai berikut:
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapiniat secara potensial bisa berubah
menjadi kesengajaan jika sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal
semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapiakibat yang
dilarang tidak timbul, disinilah niat sepenuhnya menjadikesengajaan. Sama halnya dalam
delik yang telah selesai.
b. Akan tetapi jika niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih
ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif
onrechts-element”.
c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan
diambil dari isinya kejahatan jika kejahatan timbul Untuk itu diperlukan pembuktian
tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi
perbuatan
2. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan iaberada di alam
bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam
hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain.
Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari
pelaksanaan niat . Menurut Loebby Loqman, yaitu suatu hal yang musykil jika seseorang akan
mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat
seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhiagar seseorang dapat dihukum karena
melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP yaitu unsur niat yang ada itu harus
diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Permulaan pelaksanaan
sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan
kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang
dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat
perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan
istilah permulaan perbuatan). Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan
tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari
niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para
penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini yaitu merupakan permulaan pelaksanaan
dari kejahatan.141 Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal53 ayat (1)
KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat
dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-
tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan
pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen itu
yaitu tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan
kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas
antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas.
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1)
KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan
percobaan yang telah dapat dihukum itu yaitu terletak diantara voorbereidingshandelingen
(tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).
Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-
tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian
langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya.
Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak
diberikan. Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan
pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan ini diserahkan
kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-
undang.
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan
persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan
unsur dari delik percobaan. Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat
sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan
persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat
dijadikan pedoman. Memang sulit untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian
perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Berdasarkan MvT hanya
dapat diketahui bahwa permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) berada di antara tindakan-
tindakan persiapan (uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan mana
Dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan didasarkan kepada 2 teori
yaitu teori subjektif (subjectieve pogingstheori) dan teori objektif (objectieve pogingstheori).
Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar
dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham
mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif
menggunakan tindakan dari sipelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka
juga disebut sebagai paham objektif. Menurut para penganut paham objektif seseorang yang
melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya
bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut paham
subjektifseseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas
dihukum karena orang ini telah menunjukkan perilaku yang