Home » peradilan di indonesia 7 » peradilan di indonesia 7
Rabu, 13 September 2023
pemilihan
umum, menteri-menteri semakin kehilangan fokus kian mendekati
kenyataan. Dalam masalah ini, 3 menteri yang terkait langsung dengan kenaikan harga elpiji yaitu orang-orang yang memiliki kepentingan
langsung dengan Pemilihan Umum 2014. Misalnya, Menteri Badan
Usaha MilikNegara Dahlan Iskan harus membagi waktu dengan keikutsertaannya dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Begitu pula dengan Hatta Rajasa dan Jero Wacik, keduanya harus bertungkus-lumus mendayung partai politik mereka masing-masing.
Melihat kesibukan ketiganya dan juga menteri-menteri lain yang
berasal dari partai politik, kita kehilangan logika untuk tetap percaya
bahwa mereka masih memikirkan nasib rakyat. Dari gejala yang ada,
hampir dapat dipastikan, fokus utama mereka yaitu bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu mendatang. Paling tidak,
keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menteri tetap fokus
dengan tugasnya di pemerintahan dapat menjadi bukti lain indikasi
pengabaian kepentingan rakyat. Bahkan keluhan itu nyaris tidak memiliki makna sebab Presiden pun terjebak dalam persoalan yang sama.
Dengan hilangnya fokus untuk melindungi kepentingan rakyat,
imbauan Presiden SBY agar Pertamina meninjau kembali kenaikan
harga elpiji 12 kilogram seperti menghadirkan parodi tambahan yang
lebih tidak lucu dibandingkan dengan cuci tangan menteri-menteri terkait. Dikatakan demikian, imbauan Presiden SBY secara implisit
membenarkan kenaikan harga sepanjang dilakukan dengan prosedur
dan mekanisme yang diatur undang-undang. Ditambahkan SBY, prinsip yang dipilih, Pertamina dan negara tidak terus-menerus dirugikan,
apalagi dengan jumlah yang besar.285
Melihat penjelasan ini , Presiden Yudhoyono tetap bertumpu
pada logika bisnis yang lebih mengedepankan perhitungan untungrugi. Untuk memberi kesan (baca: pencitraan) tetap bertindak
dalam bingkai amanat konstitusi untuk melindungi rakyat, kenaikan
tetap dilakukan, namun dengan pilihan persentase di bawah 68 persen.
Lalu, dengan sense politik yang mati rasa itu, dengan mudah muncul
klaim: pemerintah sukses menekan Pertamina untuk menurunkan
persentase kenaikan harga elpiji 12 kilogram.
D. SISTEM HUKUM DAN PERSOALANNYA
Sistem hukum tertancap dalam kebudayaan dan kebiasaan. Menentukan sistem hukum yang bersifat universal sangat sulit, sekalipun telah ditetapkan Piagam Semesta Hak Asasi Manusia 1948, suatu ambisi untuk menciptakan norma yang mengikat secara internasional.
Dalam mengkaji sistem hukum, maka dimulai dari mengidentifikasi
perbedaan empat sistem hukum yang lazim dikenal, yaitu (i) sistem
hukum common law; (ii) sistem hukum civil law; (iii) sistem hukum
sosialis; dan (iv) sistem hukum menurut agama (religious law).
Sistem common law ditemukan di negara-negara Anglo Saxon dan
umumnya yaitu negara-negara yang mengalami penjajahan oleh
Inggris. Sistem ini menekankan hak-hak individu vis a vis dengan negara, pengawasan dan penyeimbangan (check and balances) di antara
badan-badan pemerintahan, dan pengadilan memakai preseden
dan masalah -masalah individual untuk memeriksa dan memutus perkara.
Sistem ini cukup luwes dalam menghadapi perubahan lingkungan
ekonomi, politik, dan sosial.
Civil law diasosiasikan dengan sistem Perancis dan negara-negara yang memakai Perancis sebagai Bahasa resmi (francophone),
meskipun umum dipakai di negara-negara Eropa Kontinental yang
lain. Sistem ini memperkenalkan Kode Napoleon (Napoleon Code).
Sekalipun tidak terlalu menekankan bagaimana hak-hak individu dilindungi dari campur tangan negara, namun pemerintah dan Parlemen
berwenang untuk menetapkan peraturan untuk mengendalikan perilaku individu. Setiap individu dituntut untuk memiliki loyalitas kepada
negara dengan pembebanan atas serangkain kewajiban. Perkara diperika oleh pengadilan menurut penafsiran hukum secara rasional. Legislasi dipandang lebih penting dibandingkan preseden.
Hukum sosialis merujuk kepada praktik hukum di Uni Soviet pada
masa lampau.286 Namun demikian, sistem hukum ini dianggap masih dijalankan oleh Kuba, China, Korea Utara, dan Vietnam, dengan
memakai ideologi sebagai basis dan mengesampingkan pembagian kekuasaan secara konkret. Sekalipun dianut di negara-negara yang
menganut civil law akan namun negara mengambil alih hak-hak individu. Hak individual tertekuk oleh tujuan ideologi negara.
Sistem hukum agama hampir serupa dengan sistem sosialis se-panjang menyangkut basis pembentukannya, yaitu ideologi menurut
keyakinan. Legitimasi hukum tidak ditentukan oleh aturan badan perwakilan, akan namun menurut aturan-aturan yang dimuat dalam Kitab
Suci.
Praktik sistem hukum, terutama di negara sedang berkembang,
pada umumnya bersifat campuran. Dalam sistem hukum di negaranegara Afrika misalnya, sistem common law dijalankan bersama-sama
dengan aneka hukum adat. Di negara-negara yang menjalankan sistem
hukum Islam kadang-kadang dipengaruhi juga sumber-sumber kebiasaan yang bersumber pada tradisi Barat. Di bekas negara komunis, sistem hukum memperoleh pengaruh-pengaruh baru baik dari common
law maupun civil law, seperti yang tampak di negara Eropa Timur.
Dengan demikian, apakah sesungguhnya perbedaan sistem hukum ini ? Norgaard dan Hilmer Pedersen telah memeriksa persoalan ini. Mereka menyimpulkan dua hal. Pertama, Negara-negara yang
menganut common law dan civil law lebih demokratis dibandingkan
negara yang lain. Kedua, sistem hukum yang murni—civil law, common law, atau hukum agama—telah memberi sumbangan yang
baik bagi pembangunan ekonomi. Negara-negara yang menjalankan
sistem hukum campuran mempunyai pendapatan nasional 2 kali lipat
lebih rendah dibandingkan negara-negara yang menjalankan sistem
hukum murni.287
E. RAGAM PERADILAN DALAM PRAKTIK
Suatu studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2003) menyimpulkan
bahwa ada cukup banyak praktik peradilan yang berbeda-beda di
antara banyak negara. Yang cukup menarik dari studi ini yaitu ditemukannya fakta bahwa di Thailand dan Yordania memperoleh peringkat tertinggi dalam persepsi sistem peradilan mereka. Ini mengejutkan
apabila dibandingkan peringkat atas peradilan di negara Amerika Latin
atau India yang telah dalam jangka waktu lama mempraktikkan Rule
of Law serupa tradisi Barat. Baik Thailand maupun Yordania melakukan pembaruan hukum yang dikendalikan oleh sistem pemerintahan
berbentuk kerajaan. Mereka tidak mengenal sistem pemisahan kekuasaan, akan namun cukup lama sistem itu teruji dari kekacauan politik domestik maupun tantangan internasional.288 Responden di Yordania
percaya independensi pengadilan yang juga melindungi hak-hak asasi. Komisi Kerajaan (Royal Comission) meyakinkan bahwa mereka terus-menerus mengusaha kan pembaruan peradilan dan para respons
menghendaki adanya peningkatan kemampuan hakim melalui pendidikan lanjutan dalam memeriksa masalah -masalah khusus.
Dalam survei ini , Chile secara mengejutkan memperoleh skor
yang rendah. Hal itu sehubungan dengan keluhan inefisiensi peradilan. Badan pengadilan dituding memperoleh pengaruh dari eksekutif,
di samping akses yang mahal dan penanganan perkara yang lamban.
Temuan ini serupa dengan yang terjadi di negara lain di mana pada
saat negara mengalami transisi, badan-badan negara telah aktif memberi perannya, namun pengadilan masih terseok-seok di belakang.
Warisan kediktatoran Pinochet masih bercokol di sektor pengadilan.
Masih memerlukan waktu bagi setiap warga negara untuk menghormati pengadilan pasca kediktatoran.290 Namun akhir-akhir ini telah
ada perubahan berarti seperti dilaksanakannya peradilan atas masalah
pelanggaran hak asasi. Sejumlah pendapat tampaknya meyakini bahwa hal itu akan memberi efek positif bagi keberadaan pengadilan.
Tanzania menjadi tipikal negara yang baru memulai reformasi politik. Komitmen untuk reformasi di kalangan pemerintah sering goyah
dan kurangnya sumber daya keuangan sering mempersempit pemerintah untuk menyelesaikan persoalan. Jadi, sementara pemerintah telah
menandatangani konvensi hak asasi manusia dan hak asasi manusia telah dimasukkan dalam konstitusi, pelaksanaan masih berjalan lambat. Responden menunjukkan bahwa kendala keuangan yaitu salah
satu isu utama yang menghambat kesetaraan. Demikian pula, korupsi
di peradilan dianggap menghambat pelaksanaan keadilan, meskipun
penangkapan baru-baru ini atas beberapa hakim atas tuduhan korupsi
menunjukkan bahwa ada beberapa kemajuan dalam menangani masalah.
Responden juga menunjukkan bahwa rendahnya kapasitas pengadilan untuk menyelesaikan perkara yaitu masalah lain. Tanzania sering menghadapi situasi bahwa keadilan yang ditunda yaitu keadilan
ditolak. ini terjadi terutama jika Anda tidak dapat menyuap pejabat
pengadilan untuk memeriksa perkara Anda dengan cepat. Namun Tanzania juga memiliki beberapa hal-hal positif untuk mengatakan tentang
perubahan yang terjadi di arena ini. Ada tuntutan untuk memberdayakan lembaga-lembaga tradisional dan warga. Mekanisme ini dipandang mampu menawarkan resolusi yang adil dalam menyelesaikan
konflik, terutama di daerah perdesaan. Program reformasi peradilan
yang sedang berlangsung serta adanya sejumlah lembaga non-yudisial,
seperti Dewan Media Tanzania, Dewan Bisnis Tanzania dan beberapa
pengadilan lain, memainkan peran penting dalam mediasi di antara aktor-aktor kunci dalam warga.
Responden Cina cukup terbuka dalam berkomentar soal peradilan di negara mereka. Meskipun skor Cina hanya sedikit lebih buruk
dibandingkan rata-rata peringkat yang dihasilkan, responden menyoroti
berbagai tantangan yang dihadapi sistem peradilan di Cina. Yang pertama menyangkut kurangnya independensi lembaga peradilan dan
pentingnya Partai dalam membimbing prosedur peradilan. Responden menyatakan bahwa kemampuan sistem peradilan untuk menyelesaikan konflik tetap terbatas selama tidak ada perubahan yang signifikan dalam sistem politik. Masalah kedua namun terkait yaitu bahwa
organisasi Partai di semua tingkatan yang berbeda sering tak terjamah
hukum. Peradilan di Cina tidak akan pernah bersikap adil jika para
pejabat masih diperbolehkan untuk mengabaikan hukum negara. Isu
yang ketiga berkaitan dengan korupsi peradilan yang serius di Cina,
yang menuntut perlunya pengawasan yang lebih besar dan terutama
sangat lazim di tingkat lokal. Isu yang keempat menurut para responden yaitu persoalan koneksi. Orang-orang bisa lolos dari persoalan
hukum asalkan mereka tahu ada orang dalam dengan posisi yang kuat. Jika tidak dibiarkan, maka mustahil akan tercipta kesetaraan di muka
hukum.
Dalam survei yang sama, skor untuk Argentina relatif lebih tinggi
dalam perbandingan internasional. Gambaran keseluruhan tetap saja
masih campur aduk. Ada beberapa hal positif yang terjadi, namun ada
juga beberapa kekurangan serius. Di sisi positif, responden menyatakan dengan jelas bahwa aturan yang memengaruhi sektor bisnis lebih
jelas dan lebih efisien dibandingkan yang dibentuk oleh pemerintah. Dengan kata lain, peradilan lebih banyak menerima keluhan dari sektor
swasta.
sebab frustrasi dalam berurusan dengan pengadilan, responden
menyatakan bahwa mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan
konflik telah mendapatkan popularitas sebab lebih murah dan lebih
mudah untuk diakses. Dua kritik yang lebih spesifik ditegaskan oleh
responden. yang pertama yaitu bahwa akses terhadap pengadilan
tergantung pada keuangan, “akses berbanding terbalik dengan jumlah
uang warga negara memiliki.” Kritik kedua yaitu kurangnya akuntabilitas internal dalam sistem peradilan. Pengadilan memperoleh otonomi, namun tidak ada mekanisme institusional yang mendorong para
hakim menjadi akuntabel. Pemantauan eksternal oleh media melalui
jurnalisme investigatif telah muncul sebagai hal yang paling efektif
pada apa yang terjadi di arena peradilan.
Meskipun Filipina berada di kelompok negara dengan skor yang
rendah namun peradilan secara mengejutkan dipuji oleh responden.
Mereka mencatat bahwa program reformasi peradilan berlangsung
dan usaha -usaha ini berkembang meskipun konteks pemerintahan yang lebih luas merugikan pemerintahan Presiden Estrada
pada saat itu. sebab kredibilitas Ketua MA, pengadilan memperoleh
legitimasi yang tinggi. Sayangnya dalam satuan peradilan yang lebih
rendah, manajemen peradilan dinilai tidak begitu baik. Penduduk memiliki sedikit kepercayaan di pengadilan tingkat pertama. Seperti di
banyak negara lain, masalah yang dikemukakan yaitu tidak adanya
akuntabilitas. Oleh sebab itu, alternatif penyelesaian sengketa (ADR)
menjadi pilihan. Sebagai contoh, responden menunjuk proses media-si suku dan sistem mediasi barangay (desa) berkembang sebab tidak
efektifnya prosedur peradilan dan ada peningkatan peran LSM dalam
resolusi konflik dalam beberapa tahun terakhir.
Pakistan memiliki reputasi peradilan yang cukup rendah. Bahkan,
Pakistan yaitu negara dengan skor terendah dalam survei Bank Dunia
itu. Sistem peradilan memiliki masalah struktural yang serius. Responden bersikeras bahwa pengadilan yaitu “korup” dan sama sekali tidak
ada keadilan di Pakistan. Selain korupsi, responden mengidentifikasi
biaya perkara dan proses pemeriksaan yang bertele-tele sebagai isu-isu
kunci yang telah mengurangi akses terhadap keadilan.
Meskipun mekanisme akuntabilitas ada di atas kertas (seperti banding, peninjauan kembali, dan lain-lain) kenyataannya mekanisme itu
tidak efektif. Resolusi konflik banyak terjadi melalui sistem informal
(sesepuh desa atau proses jirga). Ini proses informal yang tumbuh sebab kegagalan mekanisme formal. Sekitar 50% dari resolusi konflik di
desa-desa dilakukan oleh sesepuh setempat. Sementara mekanisme
ADR dilihat oleh beberapa orang sebagai lebih adil dibandingkan sistem
formal.
Perbaikan besar-besaran di Peru dan Filipina sebagian besar yaitu refleksi dari euforia saat rezim korup presiden Fujimori dan
Estrada akan segera berakhir. Di Peru, faktor penting yang memengaruhi opini publik yaitu rilis video yang dibuat oleh Vladimiro Montesinos, penasihat intelijen presiden, yang menggambarkan sifat korup
dari sistem peradilan selama kepresidenan Fujimori. Meskipun situasi
telah membaik di Peru pada setiap cabang kekuasaan, responden menunjukkan pembaruan peradilan yaitu prioritas tertinggi.
Sementara perbaikan di sebagian besar negara-negara lain relatif
memberi harapan, seperti dalam masalah Argentina dan Chile, perubahan di Thailand sangat menarik. Thailand telah melakukan reformasi konstitusi yang mencakup tidak hanya pemisahan lebih jelas
kekuasaan antara berbagai cabang pemerintahan, namun juga lebih menekankan pada hak asasi manusia. Jadi, misalnya, kekuasaan raja untuk menyelesaikan sengketa berkurang sementara pada saat yang sama
berbagai hak asasi manusia yang berlaku. Meskipun Konstitusi 1997 ini
masih pada titik baru jadi saat kita melakukan survei dilakukan, mayoritas responden menunjukkan bahwa situasi membaik.
Peradilan Agama di negara kita sering kali mengalami pasang surut,
seiring dengan tolak tarik dan sifat interaksionalnya atas hukum Islam
dengan sistem hukum lain. Jauh sebebelum negara kita merdeka, Peradilan Agama sebenarnya telah banyak berperan dalam penyelesaian
sengketa pada warga Muslim. Peradilan Agama banyak dipakai warga Muslim negara kita sebab mereka menginginkan penyelesaian keperdataan menurut Hukum Islam. Menurut Sardjono,
hukum berdasarkan agama Islam pada hakikatnya bukanlah yaitu hukum dari negara Islam tetentu, melainkan lebih banyak yaitu hukum yang diperlukan dalam warga para penganut agama ini dalam hubungannya satu sama lain seperti halnya hukum
agama lain.
Namun hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya
sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi
wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan Agama hanya dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Peradilan Negeri
dalam bentuk executoir verklaring.
Fenomena ini amat unik sekaligus diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat menja-lankan keputusannya sebelum diizinkan oleh lembaga peradilan lain
yang levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif sebab lembaga peradilan selain Peradilan Agama yang diakui oleh UU No. 14/1970 diberi
wewenang untuk menjalankan keputusannya sendiri.
Dengan kekecewaannya terhadap politik sistem hukum nasional
yang diskriminatif ini , maka Munawir Sadzali345 pernah mengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai Peradilan Pupuk Bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung Peradilan
Agama yang tidak menampakkan layaknya gedung Peradilan. Belum
lagi hingga tahun 1990-an masih banyak hakim hakimnya yang hanya
berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim hakim di lingkungan peradilan lain yang yaitu pegawai negara.346
Barulah lalu pada tahun 1989 melalui UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember, Peradilan
Agama tidak lagi menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah
dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang sesungguhnya
(Court of Law). ini yaitu kulminasi perjuangan politik Islam
dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang-undang
ini maka lalu lahir peraturan-peraturan lainnya seperti In-struksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU
No. 7/1992 jo. UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tentang Perbankan
Syariah, UU No. 35/1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17/1999
tentang Haji; UU No. 38/2001 tentang Zakat dan UU No. 18/2001 tentang otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam;347 UU No. 18/2003
tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana Syariah dengan Sarjana
Hukum dalam peluangnya untuk menjadi advokat; hingga melahirkan
UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dengan UU No. 3 Tahun 2006 ini terjadi penambahan kompetensi absolut Peradilan Agama, yaitu dalam sengketa Ekonomi Syariah.
Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas
yaitu bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam
dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksananya. Dengan adanya
pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari warga maupun
oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan dengan
lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah warga.
Sejak Belanda datang berkuasa di negara kita , pada mulanya tidak
mencampuri urusan peradilan bagi warga negara kita , namun sesudah kekuasaannya dirasakan berkembang dan bertambah kuat, maka
mulailah pemerintahan Belanda mencampurinya. Mula-mula diadakan pemisahan antara peradilan keduniawian yang diselenggarakan
oleh pengadilan-pengadilan gubernumen, dan pihak lain peradilan
agama yang tetap dibiarkan saja berlaku sebagaimana adanya.
Menurut catatan sejarah yang ada menunjukkan bahwa campur
tangan Belanda yaitu urusan agama Islam dimulai pada saat dikeluarkannya Staatblad 1882 No. 22 berupa instruksi kepada bupati-bupati
(Regan Instruksi) untuk mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan agama Islam.
Campur tangan pemerintah Belanda dalam soal peradilan agama
dimulai pada tahun 1820, yaitu dalam instruksi pada bupati-bupati
(Regenten Intrudie) Pasal 13 disebutkan antara lain bahwa “perselisih-an mengenai pembagian waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada para alim ulama Islam”.
lalu dalam Stbl 1835 No. 58 dinyatakan lebih tegas tentang
wewenang “Peradilan Agama” di Jawa dan Madura sebagai berikut:
“Jika di antara orang Jawa dengan orang Madura terjadi perselisihan
tentang perkara perkawinan atau pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut hukum syara’ Islam, maka yang
menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli agama Islam, akan namun segala persengketaan dan hal pembagian harta
benda atau pembayaran yang terjadi sebab keputusan itu harus dibawa ke muka pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat keputusan ahli agama dan keputusan itu dijalankan.
Baik dalam Regenten Instructie 1820 maupun Stbl. 1835 No. 58 yang
lalu mendapat perubahan pada tahun 1818 dan tahun 1854, hanya disebutkan penyerahan penyelesaian perkara itu kepada alim ulama/ahli agama Islam yang dalam bahasa Belanda disebut dengan “
Priesters”, yang dimaksud yaitu para penghulu serta pejabat-pejabat
agama lainnya yang pada waktu itu menjadi pembantu para Bupati.
namun di kala itu belum diatur adanya badan peradilan agama itu sendiri, peraturan untuk itu baru di keluarkan pada tahun 1882.
Campur tangan lalu yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap penerbitan Badan Peradilan Islam dimulai sesudah raja Belanda mengeluarkan keputusan No. 24 tanggal 19 Januari 1882 tentang
Pelembagaan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Keputusan ini
dimuat dalam Staatblad 1881 No. 152 dan dinyatakan berlaku tanggal 1
Agustus 1882.
Dalam usaha untuk menertibkan peradilan agama, maka oleh Raja
Belanda dikeluarkan sebuah keputusan No. 24 tertanggal 19 Januari
1882, dimuat dalam Stbl. 1882 No. 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dalam bahasa Belanda disebut: “Bepaling betreffende de Priester raden op Java en Madoera” dan untuk singkatnya selalu disebut Stbl 1882 No. 152. Keputusan Raja ini dinyatakan
berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 termuat dalam Stbl. 1882 No. 153.
lalu pada tahun 1931 pemerintah kolonial membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa depan Peradilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53 yang
terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama Pengadilandari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht. Bagian II memuat aturan
tentang campur tangan landrad dalam soal peradilan harta bagi orangorang negara kita asli. Bagian III memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang negara kita asli.
sebab Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan sebab pengaruh
teori reseptie,348 maka pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 No.
116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan
Agama dalam persoalan waris dan masalah masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi
Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Peradilan Agama pada
masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan
harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
Pada masa awal pasca-kemerdekaan negara kita teori receptie ternyata masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum negara kita , khususnya yang ada di legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal
ini tampak dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak hak warga adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada kenyataannya masih tampak nyata
bahwa seolah olah hukum Islam yang berlaku di warga baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.
Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Kementrian Agama. Departemen Agama dimungkinkan melakukan
konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga lembaga Islam dalam
sebuah badan yang bersifat nasional. Berlakunya UU No. 22/1946 menunjukkan dengan jelas maksud maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh negara kita di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri.
sesudah Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama,
masih ada sementara pihak tertentu yang berusaha menghapuskankeberadaan Pengadilan Agama. Usaha pertama dilakukan melaui Undang-Undang Nomor 19/1948. Usaha kedua melalui UU No. 1 Drt/1951
tentang Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil. Usaha usaha yang mengarah kepada penghapusan Pengadilan Agama ini menggugah minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama lalu ditempatkan di bawah tanggung jawab Jawatan Urusan Agama. Penempatan Pengadilan Agama di bawah
Departemen Agama yaitu langkah yang menguntungkan sekaligus sebagai langkah pengamanan, sebab meskipun negara kita merdeka, namun pengaruh teori receptie yang berusaha untuk mengeliminasi Peradilan Agama masih tetap hidup. ini terbukti dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama akan dimasukkan secara istimewa dalam susunan Peradilan Umum, yaitu bahwa perkara perkara antara orang Islam yang
menurut hukum yang hidup (living law) harus diputus menurut hukum Islam, harus diperiksa oleh badan Peradilan Umum dalam semua
tingkatan Peradilan, terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam
sebagai ketua dan dua hakim ahli agama Islam sebagai anggota, yang
diangkat oleh presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan
Menteri Kehakiman.
lalu pada tanggal 31 Oktober 1964 disahkan UU No. 19/1964
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut undang-undang ini, Peradilan Nergara Republik negara kita menjalankan
dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang
dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak lama
lalu , undang-undang ini diganti dengan UU No. 14/1970 tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman sebab sudah dianggap
tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam undang-undang baru ini ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman yaitu kekuasaan yang merdeka.
Ditegaskan demikian sebab sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh,
melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan lain.
Di Era Orde Baru, usaha untuk mengurangi dan mengeliminasi,
bahkan menghapuskan baik wewenang maupun peran Peradilan Agama pernah terjadi saat RUU Perkawinan dibuat oleh pemerintah dan
diajukan ke DPR pada tahun 1973. Rancangan undang-undang ini memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengurangi frekuensi perce-raian dan perkawinan di bawah umur. Kedua, untuk menyeragamkan
undang-undang perkawinan di negara kita sebagai bagian program kesatuan dan persatuan negara kita di bawah idiologi negara Pancasila.349
namun akhirnya warga Muslim bisa bernapas lega, sebab biarpun melalui perjuangan yang amat berat, yaitu dengan persetujuan
dan kompromi umat Islam, akhirnya RUU Perkawinan di atas diamendemen dan pada bulan Januari 1974 disahkan menjadi UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan itu, maka keberadaan Peradilan Agama menjadi terselamatkan, namun perannya tetap dibatasi.
Pembatasan yang dimaksud terletak pada ketentuan Pasal 63 ayat 2 UU
No. 1 Tahun 1974 ini yang mengatakan bahwa “setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan umum.” Dengan
ketentuan ini, maka Peradilan Agama masih tetap diposisikan sebagai
Peradilan “Pupuk Bawang”.350
Dengan lahirnya UU No. 1/1974 yang berakibat berubahnya kewenangan yurisdiksi Pengadilan Agama, maka perkembangannya diusaha kan dengan memakai cara administratif dan birokratis, yaitu;
pemerintah melarang Pengadilan Agama untuk secara leluasa memakai kekuasaan barunya sebab menurut sistem hukum negara kita , ketetapan legislatif tidak dapat berjalan sendiri sampai dengan pihak eksekutif mengumumkan aturan pelaksanaannya.
Baru pada tahun 1975 Presiden Soeharto mengumumkan tentang
penjabaran yurisdiksi pengadilan melalui Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975. namun PP itu tidak mengatur penjabaran mengenai aturan
yurisdiksinya terhadap masalah -masalah pasangan suami istri dan anak, pemeliharaan anak, dan pembagian harta suami istri. Maka Mahkamah
Agung menetapkan bahwa dengan tidak adanya penjabaran dari PP
itu, maka seluruh wewenang itu di bawah Pengadilan Negeri. ini lah
yang akhirnya memicu persoalan di Pengadilan Agama. Persoalan ini baru berakhir sesudah lahirnya UU No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama yang memberi wewenang penuh kepada Pengadilan Agama.
Sejak pemerintah membentuk Peradilan Agama, sama sekali tidak
pernah ada satu pun peraturan yang menyinggung mengenai Hukum
Acara yang harus dipakai hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh sebab tidak ada ke-tentuan resmi tentang Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada
Pengadilan Agama mengambil intisari Hukum Acara yang ada dalam
kitab kitab fikih, yang dalam penerapannya berbeda antara Pengadilan
Agama yang satu dengan Pengadilan Agama yang lain.
Meskipun demikian, hukum Islam yang telah secara langsung berlaku guna mengatur dan mewujudkan ketertiban dalam warga
akan namun pada sisi lain, kitab-kitab fiqh masih mendominasi sebagai
acuan hakim-hakim di Pengadilan Agama. Menurut Surat Edaran Biro
Peradilan Agama Nomor B/I/735 tanggal 18 Februari 1958 yang yaitu tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 45/1957, ada 13
kitab klasik yang diakui sebagai kitab-kitab fiqh mu’tabarah yang harus
dipegangi oleh para hakim.351
Standardisasi ini membawa implikasi yang kurang menguntungkan bagi pembinaan hukum nasional. ini sesuai dengan karakteristik fiqh yang sarat muatan beda pendapat (khilafiyah) akibat
berbagai faktor yang memengaruhi para kami nya, sehingga sering
kali terjadi para hakim memutus perkara yang sama, akan namun putusannya berlainan. Pertanyaannya yang lalu muncul yaitu :
“Hukum Islam yang mana?”. Menurut Busthanul Arifin, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni harus ada kepastian
hukum.352
Yahya Harahap menyatakan, hukum Islam yang diterapkan dan
ditegakkan seolah-olah bukan lagi berdasarkan hukum, namun sudah
menjurus ke arah penerapan buku/kitab. Ini menurutnya bertentangan dengan asas yang mengajarkan bahwa putusan pengadilan harus
berdasarkan hukum. Orang tidak boleh diadili berdasarkan buku atau
pendapat ahli atau ulama mana pun.353
Pasca-runtuhnya rezim Orde Baru, di Aceh terjadi konflik besar
antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang lalu dikenal
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik
yang berlangsung bertahun tahun itu banyak memicu korban,
baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada
pemberian otonomi khusus dari pemerintah negara kita kepada Aceh dengan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.
Ketentuan UU No. 18/2001 ini membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25-26 UU Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (PNAD) mengatur mengenai Mahkamah
Syariah yang yaitu peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional. Mahkamah Syariah yaitu lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak mana pun dalam wilayah PNAD
yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah
Syariah lalu diatur dengan Qanun PNAD. Mahkamah Syariah
wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara Jinayat. Wewenang itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Qanun
No. 10 Tahun 2002 Pasal 49.
Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD 1945 Amendemen ketiga dan keempat, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang.
Ketentuan UU No. 18/2001 di atas telah memperkuat UU No.
44/1999 tentang Keistimewaan Aceh. UU ini juga memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil
yang dipakai di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan
sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan
kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan
kebijakan daerah.
Apalagi lalu diperkuat lagi dengan UU No. 11/2006 yang
memberi keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang
mengatur pelaksanaan syariat Islam. Ketentuan UU ini mengatakan bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah
(masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur
dengan qonun (peraturan daerah), biarpun hingga tahun 2006 lalu,
qonun yang sudah disahkan di Aceh baru berupa qonun Nomor 11
tentang Aturan Syariat Islam, qonun Nomor 12 soal judi atau maisir,
qonun Nomor 13 tentang khamar atau minuman keras, serta qonun 14
tentang khalwat atau menyepi dengan lawan jenis.C. PERKEMBANGAN KOMPETENSI
Perkembangan Peradilan Agama pasca-reformasi baru menunjukkan perkembangan yang signifikan pada masa pemerintahan Susilo
bambang Yudhoyono. Peradilan Agama sebagaimana yang ada
dalam UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama yang dahulu hanya
berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan,
Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan sedekah, namun sekarang wewenangnya diperluas lagi sesudah diundangkannya UU No. 3/2006 dan UU No. 52/2009
tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama, sehingga wewenangnya diperluas meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah; dan ekonomi syariah.
Ketentuan UU No. 3/2006 itu muncul dalam rangka penegakkan dari
UU No. 7/1992 jo. Undang-Undang No. 10/1998 dan UU No. 23/1999
tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya
Sistem Perbankan Syariah.
Perluasan kewenangan ini sesuai dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan hukum warga, khususnya warga
Muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “… hukum yang
baik yaitu hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di warga.”354 Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan
efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam warga,
dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).355
Selama beberapa dekade terakhir, para sarjana dan pembuat kebijakan telah menempatkan saham yang cukup besar untuk menempatkan Rule of Law sebagai obat mujarab bagi negara-negara berkembang yang mengalami gejolak politik dan ekonomi. Dari 1993-2003 saja
Bank Dunia mendedikasikan $ 3,8 miliar ke dalam 330 proyek di lebih
dari 100 negara, dan lebih banyak proyek yang saat ini sedang berlangsung.292
Demikian pula, sejumlah besar literatur akademik dewasa ini diarahkan pada studi tentang bagaimana lembaga hukum dapat memacu pembangunan ekonomi, melindungi hak-hak asasi manusia, dan
bahkan memfasilitasi transisi menuju demokrasi. Namun meski perhatian terhadap Rule of Law ini belum pernah terjadi sebelumnya dan
investasi besar sumber daya keuangan untuk proyek-proyek reformasi
peradilan, telah ada beberapa usaha yang secara sistematis mendokumentasikan bagaimana fungsi lembaga peradilan di negara-negara
nondemokratis Hasil dari kajian ini mengejutkan untuk setidaknya dua alasan. Pertama, lebih dari setengah negara yang dikaji sebagai diidentifikasi sebagai negara nondemokratis atau semi-otoriter.294 Kedua, meskipun banyak dari negara-negara ini yaitu target dari program reformasi
hukum, kelangkaan analisis yang sistematis tentang fungsi sistem peradilan otoriter kemungkinan besar akan memicu reformasi itu
mengalami keberhasilan atau kegagalan. Jika kita ingin mempromosikan Rule of Law yang lebih efektif, maka harus memahami bagaimana
sistem peradilan berfungsi dalam lingkungan yang nondemokratis. Secara khusus, kita harus bertanya mengapa beberapa rezim nondemokratis memilih untuk melembagakan pemerintahan mereka melalui
pengadilan, apa tugas-tugas tertentu dari pengadilan di negara-negara
nondemokratis, dan bagaimana penguasa mencengkeram kuat atas
lembaga-lembaga hukum. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini
memberi titik awal untuk memahami inisiatif hukum yang paling
mungkin untuk berhasil dalam lingkungan nondemokratis dan apakah
reformasi hukum secara tidak sengaja justru membantu penguasa otoriter untuk mengonsolidasikan sifat nondemokratis mereka.
Ilmuwan politik dan ahli hukum telah lama percaya bahwa independensi peradilan hanya mungkin terbentuk di bawah rezim demokrasi.295 Namun karya terbaru telah mulai perlahan-lahan mengubah
pandangan konvensional konvensional ini. Karya-karya baru ini
yaitu penelitian dengan pendekatan studi masalah yang menunjukkan pemberdayaan hukum dalam rezim otoriter dan menjelaskan
mengapa otokrat akan memilih untuk memberdayakan pengadilan
mereka. Dari karya semacam ini, terbangun pendapat bahwa ada
fakta pemberian kemandirian terhadap pengadilan yang banyak masalah
terlalu bergantung pada keinginan kepemimpinan otoriter.
Tulisan dalam bab ini mengacu pada masalah Brasil (1964-1985),
Chili (1973-1990), China (1990-sekarang), Mesir (1952-2011), Meksiko
(1926-2000), Filipina (1972-1986), dan Franco Spanyol (1936-1975) untuk lebih memahami asal-usul bekerjanya hukum dalam sistem nondemokratis. kami meneliti mengapa banyak penguasa otoriter termotivasi untuk mengendalikan lembaga-lembaga hukum, bagaimana
lembaga ini membentuk dinamika perselisihan politik, dan cara yang
dilakukan untuk pengembangan aturan yang lebih kuat terhadap lembaga-lembaga hukum.
B. MENINJAU TIPE REZIM
Istilah rezim nondemokratis dengan rezim otoriter dalam tulisan
ini dapat dipertukarkan, sekalipun dalam praktik dijumpai ada bermacam-macam tipe rezim yang dapat diidentifikasi sebagai nondemokratis. Jenis Rezim mengacu pada perbedaan kualitatif antara berbagai
jenis rezim otoriter. Secara khusus, tipologi berfokus pada perbedaan
dalam seleksi kepemimpinan, preferensi, dan pelaksanaan kebijakan.296 Untuk uraian dalam bab ini kami mengadopsi sistem klasifikasi rezim yang dikembangkan oleh Barbara Geddes.
Geddes membagi tipe rezim menjadi partai tunggal, personalis,
militer, atau hibrida dari ketiga unsur ini. Joseph Wright (2008) menambah tipologi dasar ini dengan termasuk monarki yang otoriter.297
Menurut kami ada tujuh jenis rezim: (i) sistem partai tunggal, (ii) militer, (iii) personalis, (iv) monarchy, (v) partai tunggal-personalis, (vi)
militer-personalis, dan (vii) partai tunggal militeristik dan personalis.
Bagaimana rezim mempertahankan diri akan berdampak legitimasi. Sebuah rezim menambatkan legitimasi lebih mungkin dengan
memakai pengadilan. Sebagaimana dinyatakan di atas pengadilan independen membantu rezim untuk memperoleh legitimasi
dengan memberi pengesahan pada kekuatan rezim. Ada berbagai
cara rezim untuk meningkatkan legitimasi seperti membuat legislatif
independen, memungkinkan partai-partai oposisi, dan menghadapi
persaingan pemilihan.298 saat rezim abai terhadap lembaga-lembaga
ini mereka lebih cenderung untuk memberdayakan pengadilan untuk
menghasilkan legitimasi. Pemberian kekuasaan kepada sebuah badan
independen membantu membuat rezim tampil lebih sah. Juga, sesuai
dengan keputusan yang dibuat oleh badan ini dapat untuk meningkatkan citra bahwa rezim dirasakan baik oleh warganya dan aktor internasional.
Sebuah rezim dengan beberapa lembaga yang mampu mengendalikan warga cenderung beralih ke taktik koersif untuk menjaga
ketertiban.299 Dalam rezim seperti ini pengadilan cenderung menjadi
bagian langsung dari aparat koersif negara. Sebaliknya, rezim dengan
lembaga-lembaga yang lebih sedikit mampu kontrol sosial nonkoersif
lebih mungkin untuk memakai pengadilan sebagai alat represi.
Jadi ada atau tidak adanya lembaga-lembaga ini akan mengubah karakter keseluruhan dari pengadilan.
Secara khusus, rezim partai tunggal yaitu yang paling mungkin
untuk memakai represi sebab mereka memiliki sebagian besar
perangkat kelembagaan yang mendukung. Rezim militer dan rezim
personalis lebih cenderung memakai kekerasan terhadap warga
dibandingkan rezim partai tunggal sebab mereka tidak memiliki lembaga yang termobilisasi.300 Dalam masalah ini pengadilan akan dipakai
sebagai alat kontrol koersif, tidak otonom, dan sebab itu tidak akan
menghasilkan Rule of Law yang kuat . Sebaliknya situasi ini dapat lebih tepat disebut sebagai pemerintahan oleh hukum (rule by law) jika
rezim memakai hukum dan pengadilan sebagai alat koersif secara
langsung.
Tanggapan rezim untuk kebutuhan legitimasi ditentukan oleh kepentingan, pusat kekuasaan, dan horizon waktu. Tanggapan ini pada
gilirannya memengaruhi pemberdayaan peradilan. Salah satu faktor
dalam menentukan respons rezim yaitu kepentingannya. Rezim yang
menginginkan stabilitas dan kelanggengan lebih cenderung khawatir
tentang rendahnya tingkat legitimasi dan lebih mungkin untuk menanggapi dengan menciptakan banyak lembaga. Faktor kedua yaitu
pusat kekuasaan di rezim. Sebuah pusat rezim kekuasaan mengacu kepada siapa yang mengendalikan kekuasaan. Rezim dengan pusat-pusat
kekuasaan yang lebih besar lebih mungkin untuk menghargai stabilitas
dan kelanggengan dan sebab itu lebih mungkin untuk peduli dengan
rendahnya tingkat legitimasi. Faktor ketiga yaitu waktu. Wright menunjukkan, manfaat dari rezim otoriter yang menahan waktu penyerahan kekuasaan.301 Akibatnya, tampaknya tidak mungkin rezim yang
akan berinvestasi di lembaga yang segera membatasi kekuatannya jika merasakan tidak akan berkuasa cukup lama. Semakin pendek waktu
rezim maka semakin kecil kemungkinan untuk memberdayakan pengadilan. Efek kolektif atas faktor ini akan menentukan tingkat pemberdayaan peradilan rezim. lalu , dengan memakai kedua
literatur yang ada dan pemahaman lebih lanjut, kami memerinci
bagaimana empat faktor itu secara bervariasi memengaruhi jenis rezim. Dalam proses ini kami menunjukkan bagaimana faktor-faktor
ini berinteraksi untuk menghasilkan pemberdayaan peradilan.
1. Partai Tunggal
Rezim partai tunggal mengonsolidasikan kekuasaan negara dalam
satu partai politik besar. Rezim ini didefinisikan sebagai sebuah rezim,
“... di mana partai memiliki pengaruh atas kebijakan, menguasai sebagian besar akses ke kekuasaan politik dan pemerintahan, dan telah
berfungsi hingga organisasi di tingkat lokal.”302 Pengertian ini menjelaskan pusat kekuasaan dalam rezim partai tunggal partai. ini menciptakan beberapa titik veto dan bentuk kepentingan rezim. Rezim ini
memiliki beberapa cara untuk melegitimasi kekuasaan mereka, seperti
memiliki banyak lembaga kontrol sosial; kohesi partai dan kendali pemerintah, dan memiliki waktu yang lama.
Banyak rezim dengan tipe ini memanfaatkan pemilu untuk memperkuat legitimasi dan mengendalikan oposisi. Lembaga-lembaga politik banyak dibangun seperti partai, parlemen, dan birokrasi sekadar
sebagai kompensasi patronase, kooptasi elite, dan meminggirkan kekuatan oposisi. Berbagai institusi ini menyediakan diri untuk memberi legitimasi dan kontrol sosial.303 Jenis rezim ini menyingkirkan
agenda pemberdayaan pengadilan untuk menopang pemerintahan.
Di samping itu, rezim ini menyukai stabilitas dan kohesivitas.304 Karier
para anggota tergantung kepada keberhasilan partai. Jika seorang kader muda berambisi menjadi Presiden, maka ia harus menanamkan
keyakinan bahwa partai harus bertahan dalam posisinya.305
2. Militer
Tipe rezim ini yaitu memakai secara nyata ancaman atau
kekuatan fisik oleh aparaturnya. Rezim ini ditandai dengan kemilikan
terbatas sumber legitimasi, ketimpangan institusi pengendali sosial,
bersandar kepada kapasitas militer untuk mempertahankan pemerintahan, dan memiliki jangka waktu yang terbatas. Geddes mendefinisikan rezim militer sebagai suatu pemerintahan “yang dikelola oleh
perwira atau purnawirawan militer, dengan dukungan militer di mana
dalam penentuan kebijakan dan rekrutmen dipengaruhi oleh pejabat
tingkat tinggi.”306 Para perwira yang memerintah memiliki kepentingan inti yang tidak sama dengan tipe rezim otoriter yang lain. Rezim
ini mementingkan integritas kemiliteran dibandingkan pengendalian
politik.307 Perselisihan internal acapkali memicu bubarnya pemerintahan. Dengan demikian, rezim ini yaitu tipe rezim otoritarian
yang memiliki kelangsungan paling pendek di antara 4 rezim yang lain.
Rezim militer umumnya tidak ditopang dengan kemampuan untuk mempertahankan legitimasi dan pengendalian sosial yang nonkursif.308 Ini berasal dari fakta bahwa rezim ini sering tidak memerlukan
institusi seperti parlemen, partai, dan pemilihan umum untuk mempertahankan kekuasaannya.309 Oleh sebab itu, rezim militer cenderung memakai pengadilan sebagai alat untuk menindas dan tidak
mungkin akan memberi mereka kekuasaan yang independen.
Namun tidak semua rezim militer berumur pendek. Mereka yang
dapat menyelesaikan sengketa internal di antara Junta yang berkuasa
dapat melanjutkan ke masa pemerintahan yang lebih panjang. Rezim
dengan tipe ini lebih mungkin untuk mengembangkan lembaga-lembaga yang diperlukan untuk menghasilkan legitimasi sebab mereka
menjadi lebih peduli dengan kelangsungan kekuasaan. Untuk jangka
panjang, rezim junta militer mulai bertindak seperti partai politik atau
keluarga kerajaan. Elite rezim ini bekerja untuk menjamin stabilitas
rezim untuk meningkatkan kesempatan mereka sendiri dan memperoleh ganjaran politik. Akibatnya, rezim militer mustahil dapat diharapkan dalam pemberdayaan peradilan untuk membantu meningkatkan
legitimasi mereka.
Dalam jangka pendek rezim militer memiliki tingkat yang rendah untuk melakukan pemberdayaan peradilan. Dalam jangka pendek
rezim ini tidak memiliki lembaga legitimasi. Mereka tidak mungkin
memakai pengadilan sebagai alat untuk meningkatkan legitimasi sebab bertentangan dengan kebutuhan mereka sebagai lembaga
kontrol sosial, keterbatasan waktu, dan sebab kepentingan kekuasaan
yang terlalu kecil untuk dibagi.
3. Rezim Personalis
Rezim personel termasuk tipe rezim pemerintahan yang populer
di dunia, sekalipun para sarjana telah mendefinisikannya sebagai “tipe
pemerintahan dengan seluruh kekuasaan terkonsentrasi kepada satu
tangan individu.”mencatat rezim personalis dimulai
dari rezim partai tunggal atau rezim militer akan namun menjadi personalis saat seorang pemimpin, “... memiliki kendali atas kebijakan
konsolidasi dan perekrutan di tangannya sendiri, sehingga pengaruh
perwira dan/atau mengurangi pengaruh dan fungsi partai”. Pusat
kekuasana ada pada satu orang. Selain itu, rezim ini memiliki beberapa
sumber legitimasi, campuran lembaga pengendalian sosial baik koersif
maupun non-koersif, bermaksud mengambil alih kekayaan sebanyak
mungkin, dan memiliki horizon waktu terpendek sesudah rezim militer.
Rezim personalis sangat bergantung pada pemakaian kekuatan
dan perlindungan untuk mempertahankan kekuasaannya.312 ini
memerlukan penciptaan beberapa institusi seperti partai dan parlemen. Seiring waktu, patronase diarahkan kepada patronase anggota
keluarga. sebab sifat sempit jangka waktu personalis, suksesi biasanya
jatuh kepada anggota keluarga pendiri.313 Lingkaran sempit ini berarti
beberapa lembaga mampu memberi legitimasi dan semakin sedikit
melakukan kontrol sosial non-koersif.
Kepentingan utama rezim personalis yaitu kekayaan. ini
dikombinasikan dengan konsentrasi kekuasaan di tangan seorang pemimpin. Selain itu, sebab rezim ini memiliki satu orang di pusat kekuasaan tidak ada anggota rezim lain yang mampu mengubah watak
pemerintahan. Tanpa partai atau keluarga untuk mendorong perhati-an terhadap legitimasi, pemimpin personalis meninggalkan pemberdayaan hukum dalam mendukung kekayaan. Waktu hanya berfungsi
untuk menambah masalah ini. Rezim personalis memiliki cakrawala
waktu lebih lama dari rezim militer namun yang lebih pendek dibandingkan
rezim partai tunggal.
Namun sebab rezim personalis menjadi lebih kleptokratis, kebutuhan untuk menghindari Rule of Law menjadi kebutuhan utama.
Faktor-faktor ini menunjukkan rezim personalis benar-benar menjadi
lebih kecil kemungkinannya untuk memberdayakan pengadilan dari
waktu ke waktu. Dalam semua hal, rezim personalis memiliki tingkat
yang rendah atas pemberdayaan hukum sebab kepentingan dan konsentrasi kekuasaan berada di tangan satu orang.
4. Monarki
Monarki otoriter ditandai oleh pentingnya hereditas suksesi dan
akses ke kekuasaan. Pusat kekuasaan mereka yaitu keluarga dan kerabat.317 Mereka memiliki beberapa cara untuk mempertahankan legitimasi namun tidak memiliki lembaga-lembaga politik seperti jenis
rezim lainnya, mereka lebih memilih untuk menjaga stabilitas dan kohesivitas, dan memiliki horizon waktu yang terpanjang.
Monarki otoriter modern menyandarkan legitimasi lebih pada
aspek historis dengan sejarah panjang pemerintahan. Yang paling
penting, monarki tidak memerlukan pembentukan eksekutif melalui
pemilu. Sebaliknya mereka membentuk parlemen campur antara anggota yang dipiluh dan diangkat dan paling besar di antaranya untuk
mempertahankan eksistensi monarki. Namun mereka masih kekurangan sumber legitimasi institusional sebagaimana dikenal dalam rezim yang lain untuk mendukung kekuasaan. Ini menunjukkan mereka
cenderung memakai pengadilan sebagai sumber legitimasi, namun
bukan sebagai alat represi langsung.
Kepentingan dalam monarki otoriter sama dengan rezim partai
tunggal. Anggota kerajaan menjadi penguasa dalam waktu yang lama,
pemerintahan yang stabil. Dorongan untuk stabilitas berasal dari ke-kuasaan dalam monarki otoriter. Fungsi sekutu kerajaan seperti partai yang berkuasa cenderung dipakai untuk memusatkan perhatian
pada isu-isu legitimasi dan stabilitas. Akibatnya, monarki mengembangkan sektor publik yang besar untuk membeli dukungan dari rakyat. Selain itu, sebab rezim ini tidak memanfaatkan pemilihan umum
dan partai mereka yang paling mungkin untuk memakai pemberdayaan peradilan sebagai sumber legitimasi kelembagaan. Monarki
justru memiliki horison waktu terpanjang dari setiap jenis rezim lalu yang mendorong pemberdayaan peradilan.
Secara ringkas, kami ingin mengatakan bahwa rezim partai tunggal dan monarki memiliki tingkat yang tertinggi untuk pemberdayaan
peradilan. Rezim ini memiliki cakrawala waktu yang lama dan pusatpusat kekuasaan yang berkepentingan dengan kohesivitas dan stabilitas. Rezim personalis dan rezim militer memiliki tingkat yang rendah
dalam pemberdayaan peradilan. Rezim personalis memusatkan kekuasaan di tangan satu orang dan kekayaan menjadi tujuan lain. sebab
tidak ada kontrol pada perilaku pemimpin berarti rezim ini tidak hanya
cenderung memiliki tingkat yang singkat yang lalu menurun dari
waktu ke waktu. Rezim militer memiliki pusat-pusat kekuasaan yang
lebih besar dibandingkan rezim personalis, namun kepentingan anggota junta sering terpecah-pecah. Ini berarti rezim ini tidak mungkin bertahan
cukup lama untuk memperoleh manfaat dari pemberdayaan peradilan. Namun jika perbedaan-perbedaan ini dapat diselesaikan dalam
jangka panjang, maka rezim militer harus beralih ke pemberdayaan
peradilan sebagai sarana untuk meningkatkan legitimasi. Dalam masalah
ini junta akan bertindak seperti partai yang berkuasa dan membantu
membimbing terhadap institusi agar lebih mampu menjaga stabilitas
rezim. Akhirnya, konsep hibrida yang menggabungkan unsur-unsur
baik rezim militer maupun personalis memiliki tingkat yang rendah
untuk pemberdayaan pengadilan.
Negara-negara otoriter sering dibayangkan sebagai organisasi
yang jauh integratif dibandingkan kenyataan sesungguhnya. Watak integrasi negara sebagai satu rangkaian terpadu cukup menggoda saat
mempertimbangkan fungsi negara dalam rezim otoriter sebab dua
alasan. Pertama, kita sering menganggap bahwa penguasa otoriter mempertahankan otoritas mutlak atas bawahan mereka, dan kedua,
rendahnya tingkat transparansi sering mengaburkan kemampuan
kita untuk mengamati perselisihan yang cukup besar dan kerusakan
dalam hierarki yang terjadi secara teratur dalam pengaturan otoriter
ini . Tapi tipe ideal ala Weberian dari birokrasi rasional tidak cukup menangkap dinamika negara dalam konteks dunia nyata.320 Faktanya, jauh dari bertindak bersama-sama, masing-masing birokrat telah
menetapkan sendiri kepentingan pribadinya dan preferensi ideologis
yang sering bertentangan dengan pemerintahan pusat.
Meniadakan gaya sentrifugal ini yaitu salah satu tantangan
utama bagi kepemimpinan sentralistis dari setiap negara: penguasa
otoriter mengalami kurangnya transparansi dalam lembaga-lembaga
negara mereka sendiri. Bagian dari kesulitan mengumpulkan informasi yang akurat tentang fungsi birokrasi dapat dikaitkan dengan struktur
hierarkis negara modern secara lebih umum, seperti yang diartikulasikan oleh Martin Shapiro. Menurut Shapiro:
Patologi tertentu muncul dalam garis hierarki yang dirancang untuk mengirimkan informasi dan perintah ke bawah dalam piramida
rasional-legal. Seperti ‘lingkaran keluarga’—konspirasi antara para
pekerja tingkat rendah untuk menahan atau mengubah arus informasi ke atas—yang sebagian besar berhasil sebab memangkas hierarki...
proses pemangkasan secara berturut-turut memberi tingkat yang
lebih rendah atas banyak kesempatan guna menekan dan mendistorsi
informasi, khususnya yang berpengaruh pada pembangkangan mereka sendiri dan kinerja yang buruk.
Informasi yang akurat tentang kejahatan birokrasi bahkan lebih
sulit bagi rezim otoriter untuk diungkap sebab mekanisme khas untuk
keterbukaan, seperti pers bebas atau pemantauan kelompok kepentingan dari instansi pemerintah, mengalami tekanan represif. Selain
itu, sebab administrator tidak akuntabel kepada publik dan sebab
takut akan pembalasan yang bersifat politik, penguasa otoriter pada
pucuk hierarki menerima sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada, masukan dari warga, sehingga sangat sulit untuk menilai fungsi
sehari-hari dari institusi negara. Pendekatan principal-agent yang telah
diteliti secara ekstensif dalam pengaturan demokratis, telah diperburuk dalam sistem politik otoriter. Dengan rendahnya tingkat transparansi dan diperparah persoalan principal-agent, birokrasi lokal secara
teratur menghindari, mengabaikan, atau menggagalkan kebijakan pemerintah pusat dalam rangka untuk mempromosikan agenda kebijakan mereka sendiri atau hanya untuk menerjemahkan kekuasaan administratif mereka ke dalam aliran pendapatan tambahan. Dinamika ini
sangat lumrah, yang sama sekali menjadi norma alternatif yang sering
muncul di sekitar interaksi dengan agen negara.322 Dalam tingkat yang
paling minimal, rendahnya tingkat transparansi dan persoalan principal-agent dapat merusak tujuan pembangunan.
Dalam salah satu studinya, Martin Shapiro mengamati bahwa lembaga peradilan dipakai sebagai salah satu dari beberapa strategi untuk meningkatkan disiplin dalam hierarki administrasi negara sebab
mereka menghasilkan aliran independen informasi tentang kejahatan
birokrasi yang didorong oleh warga sendiri. Shapiro menjelaskan bahwa “’hak’ banding yaitu mekanisme untuk memberi arus informasi yang independen ke puncak birokrasi mengenai kinerja birokrasi
bawahan.” Penelitian ini membantu menjelaskan mengapa rezim otoriter tanpa memperhatikan kebebasan sipil sering menekan hak warga
negara melalui pengadilan. Pengadilan memiliki “fungsi politik fundamental” dengan bertindak sebagai jalan “... bagi aliran informasi ke
atas [dan] untuk aliran ke bawah dalam sistem komando.”
Mesir memberi contoh yang baik bagaimana pengadilan kadang-kadang dipakai oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan
masalah principal-agent antara pusat dan daerah. sesudah pengadilan tata usaha negara dirusak pada tahun 1950, maka di bawah Nasser
(1952-1970), Sadat (1970-1981) dan lalu Mubarak (1981-2011) memfasilitasi kemunculan kembali pengadilan tata usaha negara dalam usaha untuk mengendalikan birokrasi negara. Sektor publik telah
menjamur akibat gelombang besar nasionalisasi, dan birokrasi negara
terus membengkak sebab pemerintah wajib menyediakan pekerjaan
bagi lulusan baru untuk mencegah kerusuhan sosial.
Salah satu masalah yang paling mendesak bagi Nasser dan para penerusnya yaitu ketidakmampuan untuk memantau secara memadai
disiplin seluruh hierarki administrasi negara. sebab partai politik dibubarkan, independensi peradilan terganggu, pers bebas ditekan, dan
warga negara dilucuti akses ke lembaga di mana mereka secara efektif
dapat melindungi kepentingan mereka, maka hanya sedikit transparansi dalam sistem politik dan ekonomi. Korupsi mulai menjamur di
pemerintahan dan birokrat menyalahgunakan kekuasaan dan posisi
mereka untuk menekan warga, dan pengelolaan sektor publik dimonopoli oleh negara.
Nasser berusaha untuk meningkatkan pengawasan dan disiplin birokrasi melalui serangkaian mekanisme yang terpusat. Yang pertama
yaitu dengan menciptakan sebuah “Kantor Pengaduan” yang warga
negara bisa mengajukan keluhan mereka. Jangkauan kewenangan kantor ini meliputi keluhan atas pelayanan berbagai kementerian, BUMN,
provinsi, dan kantor presiden itu sendiri. Nasser juga berusaha untuk
melaksanakan reformasi dan pemantauan birokrasi melalui pembentukan Badan Pusat Lembaga dan Birokrasi. Sadat lalu menciptakan Dewan Nasional Administrasi Pembangunan. Kedua strategi ini dianggap gagal.
Badan-badan monitoring menderita masalah principal-agent dan
informasi yang asimetri sehingga memicu pelanggaran administrasi di banyak tempat. Kantor Pengaduan lebih mampu mengatasi
masalah principal-agent ini , sebab mereka menghasilkan aliran
independen informasi dari warga yang mengajukan pengaduan. Kantor pengaduan di lingkungan kepresidenan sendiri menerima 4.000
pengaduan per hari, atau hampir 1,5 juta per tahun.
Masalah birokrasi semakin meningkat dengan inisiasi kebijakan ekonomi pintu terbuka oleh Presiden Sadat. Transisi tiba-tiba dari
ekonomi sosialis ke ekonomi campuran meningkatkan peluang untuk
korupsi secara eksponensial. Kurangnya disiplin birokrasi selanjut-nya memicu ketidakpastian hukum dan investasi. Sebuah kelompok konsultan bisnis utama yang beroperasi di Mesir pada 1970-
an melaporkan bahwa “sementara undang-undang baru mendorong
banyak perusahaan-perusahaan internasional untuk memeriksa kemungkinan Mesir sebagai lokasi investasi, sebagian besar dari perusahaan-perusahaan itu menemukan bahwa UU telah memuat pedoman
yang terlalu luas dan aplikasi mereka bermasalah dengan birokrasi Mesir yang tidak memiliki komitmen seragam untuk kebijakan baru. Oleh
sebab itu, realisasi investasi menjadi terhambat.” Dalam beberapa masalah , birokrat local menciptakan penghalang untuk memperoleh suap.
Di lain waktu, birokrat mengganggu perusahaan atas alasan ideologis
sehingga bertentangan dengan program ekonomi pintu terbuka yang
baru diluncurkan.
sebab strategi pemantauan terpusat gagal untuk menghasilkan
informasi yang dapat dipercaya tentang kegiatan lembaga-lembaga negara itu sendiri, Sadat meningkatkan kemandirian dan kapasitas sistem
pengadilan tata usaha negara sebagai forum netral di mana warga bisa
menyuarakan keluhan mereka dan untuk mengekspos korupsi dalam
birokrasi negara. Rezim memfasilitasi kekuatan dan otonomi pengadilan tata usaha negara pada tahun 1972 dengan mengembalikan kendali
pengangkatan, promosi, dan fungsi internal lainnya, yang semuanya
melemah atau sepenuhnya telah dilucuti oleh dekrit presiden pada tahun 1959. Pemerintah juga memperluas kapasitas kelembagaan pengadilan tata usaha negara pada tahun 1970-an dengan membangun
pengadilan tingkat pertama dan banding di seluruh negeri. Dengan
dukungan pemerintah ini, maka terjadi lonjakan masalah yang ditangani
oleh pengadilan tata usaha negara dalam perkara gugatan kepada pemerintah.
Cina memberi contoh lain bagaimana pengadilan kadangkadang dipakai oleh rezim untuk menyelesaikan masalah principal-agent antara pusat dan daerah. Dua masalah politik paling mendesak yang dihadapi pemerintah pusat Cina saat ini yaitu merajalela
korupsi oleh pejabat pemerintah daerah dan kontrol pemerintah yang
lemah atas satuan pemerintahan lokal. Kedua masalah itu saling terkait. Sejak 1970-an, saat Cina pelan-pelan melakukan transisi menuju
ekonomi pasar bebas, pejabat pemerintah daerah seakan menemukan
kemudahan untuk menyalahgunakan kekuasaan administratif sebab
lemahnya kontrol administratif pusat. Pejabat pemerintah daerah me-nyediakan infrastruktur, lisensi dan perizinan, dan memungut pajak.
Penyalahgunaan kekuasaan ini sangat umum, terutama sebab pejabat
pemerintah daerah sering memiliki peran yang signifikan dalam perdagangan lokal.
Pepatah Cina, “gunung-gunung menjulang tinggi namun kaisar telah tersingkir,” dipakai untuk menggambarkan ketidakmampuan
pemerintah pusat untuk secara efektif memantau dan menghukum pejabat lokal sebab menyalahgunakan kekuasaan administratif mereka.
Tidak mengherankan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di tingkat lokal ini menghasilkan protes publik yang luas. Media China melaporkan terjadi tidak kurang 100 ribu protes pada 1997-2000.
Pada tahun 2004, jumlah “protes massa” yang dilaporkan oleh pemerintah Cina meningkat menjadi 74.000 peristiwa per tahun.
Bagaimana pemerintah pusat Cina menangani masalah kritis ini?
Menarik, bahwa Cina lalu menempuh rute yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Mesir, yaitu melalui ekspansi pengadilan
tata usaha negara. usaha ini mulai digalakkan pada tahun 1988 dengan
pembentukan 1.400 pengadilan tata usaha negara di seluruh negeri.
Sebuah UU Acara Peradilan Tata Usaha Negara lalu ditetapkan.
Pengadilan atata usaha negara dirancang untuk menyediakan jalur untuk mengajukan keberatan atas keputusan pejabat lokal berdasarkan
berbagai alasan seperti inkonsistensi, kesewenang-wenangan, atau ketidakteraturan keputusan administratif, penundaan yang tidak pantas,
penyimpangan prosedural, atau perlakuan yang tidak adil.
Warga negara semakin sering menempuh pengadilan tata usaha
negara untuk mengajukan keberatan terhadap pejabat lokal. Dalam
waktu 6 tahun sejak didirikan, lebih dari 50.000 masalah tata usaha negara telah diperiksa setiap tahun, dan dalam waktu 10 tahun lalu ,
jumlah masalah baru melonjak menjadi 2 kali lipat menjadi 100.000 per
tahun. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Cina, tentu tingkat litigasi ini masih rendah, namun peningkatan secara tajam jumlah perkara menunjukkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara semakin dianggap sebagai jalan yang layak di mana warga negara dapat mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Sesuatu yang mengejutkan,
terutama bagi mereka yang mengabaikan lembaga peradilan di negara
otoriter, bahwa penggugat (dalam ini warga negara) memenangkan
hampir 40 persen dari masalah ini baik untuk keseluruhan maupun
sebagian.
Meskipun sepintas tampak sebagai sesuatu hal yang kontradiktif,
Pengadilan Tata Usaha Negara juga melayani fungsi penting bagi pemerintah pusat. Pertama, perkara pengadilan memberi informasi
berharga mengenai perbuatan aparatur negara di tingkat lokal. Pemerintah pusat lalu dapat memakai informasi ini untuk
mendisiplinkan bawahan dan menentukan kebijakan kepegawaian
yang efektif. Kedua, pengadilan tata usaha negara menyediakan jalur
hukum dan keadilan serta kesetaraan bagi setiap warga negara dalam
menghadapi perlakuan pejabat di tingkat lokal.
Fungsi ini tampaknya menjadi prioritas bagi pemerintah pusat
sebagai sarana untuk mencegah ketidakstabilan politik akibat korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal. Pengadilan tata usaha
negara telah meredakan tekanan politik dan melakukan fungsi legitimasi tanpa merusak sistem politik. Akhirnya, mengurangi korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi pasar di tingkat lokal sangat
penting untuk mengembangkan rasionalitas pasar dan kepemilikan
properti.
Tentu saja ada sejumlah masalah yang dihadapi pengadilan tata
usaha negara, dari kurangnya otonomi yang cukup dari negara atas
pembalasan birokrasi dan pelaksanaan putusan pengadilan. Namun
meskipun ada persoalan, ada indikasi yang jelas bahwa pemerintah bergerak maju untuk memperkuat kapasitas kelembagaan sistem
pengadilan. Peerenboom menegaskan bahwa “Jiang Zemin mendukung Rule of Law sebagian sebab ia melihatnya sebagai alat untuk
memperkuat kekuasaan Partai. Rule of law yaitu cara untuk mengendalikan pemerintah daerah dari kemandirian dan memastikan bahwa
kebijakan partai dan pemerintah pusat akan berjalan. ini juga menjadi senjata dalam perang melawan korupsi dan sarana untuk mempro-mosikan pembangunan ekonomi. “
Selama 60 tahun kekuasaan partai tunggal di Meksiko, setiap warga negara juga didorong untuk memakai pengadilan “sebagai perlindungan terhadap kesewenang-wenangan aparatur negara.”334 Kekuasaan Partido Revolucionario Institusi (PRI) tidak memberi jalan
kepada lembaga peradilan untuk terlibat dalam kebijakan. Sebaliknya,
pemerintah memakai mekanisme ini untuk lebih melembagakan
Rule of Law dan memperkuat disiplin dalam tatanan birokrasi yang
berkembang. Sebagai negara federal, Meksiko memiliki sebuah pengadilan tata usaha negara federal dan 29 lainnya di tingkat lokal. Konstitusi federal sendiri menentukan kebebasan bagi tiap-tiap negara bagian untuk menyusun peradilan dan cabang kekuasaan negara lainnya.
Sejarah pengadilan tata usaha negara telah mengalami rute yang
panjang dan dibentuk sejak abad ke-16 dengan meniru pengalaman
India yang membentuk Komisi Banding Kerajaan (The Royal Hearing).
Setiap warga negara diperkenankan untuk mengajukan keberatan atas
keputusan pemerintah Spanyol (yang menjajah Meksiko) yang diduga
sewenang-wenang. Pada tahun 1812, para hakim tata usaha negara diintegrasikan kepada badan perpajakan sebagai bagian dari kekuasaan
eksekutif. Situasi ini bertahan hingga 1824, saat konstitusi baru menetapkan para hakim tata usaha negara berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, khususnya peradilan umum, dan tidak lagi menjadi
bagian eksekutif.
Namun dalam perkembangan lalu , dengan alasan sentralisasi pemerintahan, para hakim tata usaha negara dikembalikan lagi
menjadi aparatur pemerintah. Tahun 1853, UU Peradilan Tata Usaha
Negara diundangkan. Dengan UU ini, dibentuk pengadilan tata usaha
negara yang terutama untuk memeriksa dan memutus sengketa perpajakan. Pembentukan pengadilan ini sempat dihapus sebab dianggap bertentangan dengan konstitusi yang tidak mengenal pengadilan
khusus semacam itu. Melalui Konstitusi 1857, pengadilan tata usaha
negara kembali dibentuk sebagai bagian kekuasana kehakiman dengan
kompetensi absolut dalam rangka menangani keluhan warga negara,
yang dalam dialek setempat dikenal dengan istilah “amparo.” Sistem
ini berjalan dan kembali dihapuskan dengan ketentuan Konstitusi 1917.
Pada tahun 1936, Mahkamah Tata Usaha Negara Federal dibentuk
dengan maksud sebagai bagian dari sistem peradilan yang independen, sekalipun ditempatkan sebagai bagian dari cabang eksekutif. Sejak saat itu dimungkinkan membentuk badan-badan pengadilan yang
bersifat khusus dengan penempatannya sebagai bagian dari badan
pemerintah. Rintisan perubahan UUD di tahun 1988 dan 1996 kembali menempatkan pengadilan tata usaha negara sebagai persoalan
yang diperdebatkan. Ada usaha untuk menempatkan kembali sebagai
bagian dari kekuasaan kehakiman. Hal itu terwujud saat perubahan
Konstitusi Federal tahun 1996 dan dimuat dalam ketentuan Pasal 116
(1988) dan Pasal 122 (1996), yang juga menjadi dasar bagi pembentukan pengadilan tata usaha negara di tingkat negara bagian. Konstitusi
itu sendiri tidak pernah secara perinci mengatur wewenang negara bagian membentuk pengadilan tata usaha negara, akan namun jika negara
bagian akan mengaturnya, maka menjadi urusan negara bagian untuk
menempatkan pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman atau badan
independen yang menjadi bagian eksekutif, dengan diizinkannya pemerintah untuk mencampuri urusan rekrutmen, masa jabatan, dan
sistem penggajian para hakim.
Desain sistem pengadilan tata usaha negara meliputi satu badan di
tingkat federal dan 29 lainnya di tingkat negara bagian. Beberapa pengadilan di tingkat negara bagian yaitu bagian dari kekuasaan kehakiman, sedang lainnya yaitu badan independen yang menjadi bagian
eksekutif. Kata “independen” di sini harus dimaknai sebagai “terpisah
dari kekuasaan kehakiman.” Sudah barang tentu, akibat penempatannya sebagai bagian dari eksekutif, akan memicu relasi ketergantungan dengan pemerintah. Di antara 29 pengadilan di negara bagian
ini , 62% (18 pengadilan) menjadi bagian eksekutif, sedang sisanya 38% (11 pengadilan) menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman.
Untuk memahamai fungsi pengadilan Tata Usaha Negara di Meksiko, maka harus dibaca pertama-tama yaitu Pasal 133 Konstitusi Federal yang mengisyaratkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Konstitusi telah menyediakan serangkaian prinsip untuk memandu dalam penyelesaian perselisihan.
Lazimnya pengadilan lain, pengadilan tata usaha negara berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan secara adil dan tidak memihak.
Salah satu kompetensi pengadilan tata usaha negara yaitu menguji tindakan pemerintah atas dasar dugaan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power). Pengadilan akan memeriksa dengan memakai
parameter Rule of Law. Sisi penting pengadilan tata usaha negara dengan demikian menjadi mekanisme hukum bagi setiap warga negara
dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dan melawan hukum, sementara pada sisi lain juga berfungsi untuk memantau disiplin
birokrasi.335 Setiap perbuatan pemerintah harus mencocoki prinsipprinsip konstitusi dan peraturan perundang-undangan khusus yang
mengatur suatu wewenang.
Lembaga peradilan juga kadang-kadang diberdayakan oleh penguasa otoriter untuk mempertahankan kohesi di antara orang-orang
dalam pemerintahan. Telah lama diingat dalam legenda Achilles bahwa kesulitan dari otoritarianisme yaitu mempertahankan konsensus
di antara koalisi yang berkuasa. Para pemimpin otoriter sangat sadar
bahwa jika perpecahan elite tidak dikelola dengan baik, rezim mereka dengan cepat dapat rontok dengan sendirinya. Untuk itu, lembaga
peradilan dipakai untuk memformalkan kesepakatan pembagian
kekuasaan di antara para elite ini .
masalah Chile di masa rezim Pinochet memberi contoh yang paling jelas tentang bagaimana konstitusi telah dipakai untuk meresmikan fakta antara faksi-faksi yang bersaing dalam rezim otoriter dan
bagaimana lembaga-lembaga peradilan kadang-kadang dipakai
untuk menyeimbangkan kepentingan di antara mereka. Konstitusi
1980 dan pembentukan MK di tahun 1981 didesain untuk melestarikan perimbangan di antara 4 angkatan dalam militer guna menjamin
kohesivitas rezim. Sayangnya, dalam perkembangan lalu , MK
justru sering menentang pemerintah dan menjadi salah satu institusi
yang membuka jalan demokratisasi. Aturan ditetapkan guna mencegah oposisi memakai MK untuk menantang pemerintah.
Tidak seperti kediktatoran kontemporer di Argentina, Brazil, dan
Uruguay, yang melembagakan mekanisme untuk mencegah munculnya orang kuat di atas angkatan bersenjata, di Chile sesudah kudeta
September 1973, Pinochet dengan cepat mencapai keunggulan atas
tentara dan pemerintahan junta militer dan muncul sebagai sosok
yang paling kuat dalam rezim. Pada tahun 1980 kekuatan pribadi ini
memungkinkan Pinochet untuk memberlakukan konstitusi yang melanggengkan pemerintahannya dan termasuk ketentuan yang lalu memungkinkan dia untuk tetap menjadi Panglima Militer selama
8 sesudah kembali ke pemerintahan sipil dan menjadi Senator seumur
hidup. Para sarjana umumnya membaca Konstitusi 1980 yaitu
wujud kediktatoran personalis sebab , dalam jangka pendek, konstitusi tidak melakukan apa pun kecuali untuk memperpanjang kekuasaan
Pinochet.
Dalam beberapa masalah , penguasa otoriter memakai pengadilan sebagai sarana mempertahankan kekuasaan. Sebagai contoh, sesudah merebut kendali pemerintah Filipina pada bulan September 1972,
Ferdinand Marcos dengan cepat menyatakan darurat militer, mengambil alih media, memenjarakan lawan politik, dan membekukan
partai politik. Anehnya, Marcos sama sekali tidak menyentuh Mahkamah Agung Filipina. Sebaliknya, dalam pernyataan publik pertamanya
Marcos meyakinkan publik bahwa “peradilan harus terus berfungsi
sesuai dengan organisasi dan personil yang sekarang.” Selain itu, ia
mengklaim bahwa pemerintah baru akan efektif menerapkan “checks
and balances”, yang akan ditegakkan oleh Mahkamah Agung dalam kerangka baru “otoritarianisme konstitusional.”
Sebaliknya, pengamatan yang menarik yaitu bahwa Marcos merasa terdorong untuk membuat pernyataan seperti itu dan untuk menjaga Mahkamah Agung berfungsi untuk memberi perlindungan
hukum bagi perebutan kekuasaan. Menghormati dipentaskan seperti
legalitas liberal menunjukkan bahwa Marcos sangat menyadari bahwa
klaimnya legitimasi prosedural yaitu bermasalah. Dengan meninggalkan lembaga peradilan dengan gelar cukup kemerdekaan dari campur
tangan eksekutif, Marcos bisa mengklaim lebih kredibel bahwa “otoritarianisme konstitusional” bukan sekadar sajian yang menggelikan. Anthony Pereira mengamati bahwa di Brazil, “... rezim bersandar kepada
pengadilan untuk mengklaim legitimasi yang pada gilirannya legitimasi
ini ditopang oleh ukuran tertentu dari otonomi.”338 masalah serupa terjadi pada Spanyol (masa pemerintahan Franco), Mesir, dan Cina.
Dalam banyak masalah , rezim otoriter beralih ke Rule of Law sebagai
narasi legitimasi hanya sesudah kegagalan tujuan kebijakan awal mereka atau sesudah dukungan populer bagi rezim telah memudar. Presiden
Nasser (1954-1970) menyematkan legitimasinya pada prinsip-prinsip
revolusioner kemerdekaan nasional, redistribusi kekayaan nasional,
pembangunan ekonomi, dan nasionalisme Arab. Lembaga peradilan
ditoleransi hanya sebatas bahwa mereka memfasilitasi prestasi rezim
sebagai tujuan substantif. Kebijakan netral Nasser selama Perang Dingin memicu ketegangan Mesir dengan Barat, sehingga membatalkan bantuan dana untuk pembangunan Bendungan Aswan yang
direncanakan. Nasser melakukan tindakan balasan dengan menasionalisasi Terusan Suez pada tahun 1956. Akibatnya, Inggris, Perancis,
dan Israel menduduki Semenanjung Sinai, namun mengundurkan diri
di tengah tekanan internasional, meningkatkan sehingga meningkatkan pamor politik Nasser. Sejak saat itu, popularitas Nasser di wilayah
ini tumbuh secara substansial dan gagasan untuk membangun
persatuan Arab di bawah kepemimpinannya meningkat, mencapai
puncaknya dengan pembentukan Republik Persatuan Arab dengan
Suriah (1958-1961).
Pada tahun 1962, Nasser memulai serangkaian langkah-langkah
sosialis dan reformasi modernisasi di Mesir. Meskipun gagal membentuk persatuan Arab, dengan 1.963 pendukung Nasser mendapatkan
kekuasaan di beberapa negara Arab. Dia juga terlibat dalam Perang
Saudara di Yaman Utara. Nasser memperkenalkan konstitusi baru
pada tahun 1964, tahun yang sama ia menjadi Ketua Gerakan NonBlok internasional. Dia kembali memperoleh jabatan presiden pada
Maret 1965 sesudah semua lawan-lawan politiknya secara hukum dilarang. sesudah konsesi Mesir ke Israel atas Perang Enam Hari pada tahun
1967, Nasser mengundurkan diri namun kembali memperoleh jabatan
Presiden sesudah aksi massa memberi dukungan. Nasser lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri dan Panglima
Militer pada 19 Juni 1967. Pada 30 Maret 1968, menyusul keretakan elite di tubuh militer, Nasser mengumandangkan manifesto politik untuk
liberalisasi politik, pemberantasan korupsi, dan memperoleh dukungan lewat referendum pada bulan Mei.
Sebaliknya, Anwar Sadat (1970-1981) secara eksplisit menyematkan
legitimasi rezim kepada “sayadat al-qanun” (supremasi hukum) dan
memakai ratusan kali retorika Rule of Law selama 11 tahun berkuasa sebagai kepala negara yang otoriter. Tak lama sesudah menjabat,
Sadat mengejutkan banyak orang Mesir dengan mengabaikan dan memenjarakan dua tokoh paling berkuasa, Wakil Presiden Ali Sabry, yang
memiliki hubungan dekat dengan pejabat Soviet, dan Sharawy Gomaa,
Menteri Dalam Negeri, yang mengontrol polisi rahasia. Popularitas Sadat tumbuh cepat sesudah ia mengurangi kekuatan polisi rahasia yang dibenci publik, membekukan hubungan dengan Uni Soviet, dan memulai
konfrontasi baru dengan Israel. Mesir mengalami krisis ekonomi akibat
Perang Enam Hari.
Namun pada 18 September 1978, Sadat menyetujui kesepakatan damai dengan Israel, tindakan yang membuat Mesir dicoret dari keanggotaan Liga Arab, sekaligus memindahkan markas besar persekutuan itu
dari Kairo ke Tunisia.340 Bulan-bulan terakhir dari kepresidenan Sadat
ditandai dengan kudeta internal. Sadat menepis tuduhan bahwa kerusuhan itu dipicu oleh isu-isu domestik dan percaya bahwa Uni Soviet
telah merekrut sekutu regionalnya di Libya dan Suriah untuk menghasut
pemberontakan yang akhirnya akan memaksa dia keluar dari kekuasaan. sesudah kudeta militer yang gagal pada bulan Juni 1981, Sadat memerintahkan tindakan keras yang memicu penangkapan sejumlah
tokoh oposisi. Pada tanggal 6 Oktober 1981, Sadat dibunuh saat menghadiri parade militer di Kairo.
Jabatan Presiden Mesir lalu digantikan oleh Hosni Mubarak.
Mubarak diangkat sebagai Wakil Presiden Mesir pada tahun 1975 dan
menjadi presiden pada tanggal 14 Oktober 1981, sesudah pembunuhan
Presiden Anwar Sadat. Hampir 30 tahun kepresidenannya membuatnya menjadi penguasa Mesir terlama Muhammad Ali Pasha. Sebelum
ia masuk politik, Mubarak yaitu seorang perwira karier di Angkatan
Udara Mesir, menjabat sebagai komandan 1972-1975 dan lalu
menjadi Marsekal.Sepanjang tahun 1980-an Mubarak meningkatkan produksi perumahan yang terjangkau, pakaian, furniture, dan obat-obatan. Ketergantungan berat Mesir pada bantuan AS dan harapan untuk tekanan
AS pada Israel untuk pemukiman Palestina dilanjutkan di bawah Mubarak. Ia juga diam-diam meningkatkan hubungan dengan bekas Uni
Soviet. Pada tahun 1987 Mubarak memenangkan pemilihan untuk
masa jabatan 6 tahun kedua. Dalam tahun-tahun awal kekuasaannya,
Mubarak memperluas Badan Intelijen Mesir dan Pasukan Keamanan
Dalam Negeri.
Mubarak mengundurkan diri sesudah 18 hari demonstrasi selama
revolusi Mesir 2011 saat pada tanggal 11 Februari 2011, Wakil Presiden
Omar Suleiman mengumumkan bahwa Mubarak telah mengundurkan
diri sebagai presiden dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Militer Agung. Pada tanggal 13 April 2011, jaksa memerintahkan penahanan atas Mubarak dan kedua putranya selama 15 hari atas tuduhan
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia lalu diperintahkan
untuk diadili atas tuduhan kelalaian untuk tidak memberi perintah
guna menghentikan pembunuhan demonstran damai selama revolusi.
Persidangan dimulai pada tanggal 3 Agustus 2011. Oditur militer Mesir
lalu juga menyatakan bahwa mereka sedang menyelidiki peran
Mubarak dalam pembunuhan pendahulunya Anwar Sadat.
Pada tanggal 2 Juni 2012, Mubarak dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan Mesir. sesudah hukuman, ia dilaporkan
telah mengalami serangkaian krisis kesehatan. Pada 13 Januari 2013,
pengadilan banding membatalkan hukuman Mubarak dan memerintahkan pemeriksaan ulang. Pada tanggal 20 Agustus 2013 pengadilan
Mesir memerintahkan pembebasan Mubarak, sebab tidak ada alasan
hukum untuk lebih lama lagi melakukan penahanannya. Sehari lalu , perdana menteri sementara Hazem el-Beblawi memerintahkan
Mubarak dalam tahanan rumah.
Demikian juga dalam masalah Cina. Mao Zedong (1949-1976) merusak lembaga peradilan hampir sepenuhnya sesudah mendirikan Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, namun retorika Rule of Law kini semakin dipakai oleh rezim yang sebagian untuk mengisi kekosongan
ideologi kiri sesudah pudarnya ideologi komunisme, terutama menyambut reformasi ekonomi Cina sejak kepemimpina Den Xiaoping (1978-1992).342 Penerus mereka, yaitu Hosni Mubarak (1981-2011), Jiang
Zemin (1993-2003), dan Hu Jintao (2003-2013), terus memakai
lembaga peradilan untuk mengonsolidasikan kapasitas kelembagaan
mereka dan mengumandangkan slogan Rule of Law untuk meningkatkan legitimasi mereka.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa rezim ini secara konsisten
mendukung independensi peradilan atau bahwa mereka memiliki kebijakan yang stabil vis-à-vis lembaga peradilan. Sebaliknya, penguasa
otoriter biasanya memiliki tekanan yang kontradiktif. Pengadilan dapat melakukan peran penting bagi rezim untuk menyelesaikan patologi pemerintahan otoriter, namun mereka juga memerlukan biaya variabel bahwa para penguasa tidak ingin mentolerir. Klaim di sini yaitu
bahwa setiap rezim berusaha untuk menggalang dukungan di berbagai
momen dengan menyatakan membaktikan diri kepada Rule of Law.
Susaha legitimasi dipertahankan, lembaga peradilan harus menikmati
derajat otonomi yang nyata dari eksekutif.
Pembahasan di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, pengadilan diberdayakan sebagai penguji yang penting pada eksekutif dan
kekuasaan legislatif dan yaitu dasar bagi fungsi pemerintahan
demokratis. Kehadiran mereka dalam sistem politik nondemokratis
mengejutkan dan layak untuk memperoleh penyelidikan lebih lanjut.
Kedua, dalam konteks otoriter, pengadilan yang diberdayakan dapat
memberi jalan bagi kelompok oposisi untuk menantang rezim. Selain itu, pengadilan yang diberdayakan dapat memberi kesempatan bagi tiap warga untuk tanggung gugat terhadap pejabat pemerintah lokal susaha bertanggung jawab. Memahami penyebab perbedaan
dalam pemberdayaan peradilan akan membantu menciptakan pema-haman yang lebih baik dari tingkat yang berbeda mengenai akuntabilitas dalam rezim otoriter. Ketiga, uraian telah menunjukkan peradilan
independen penting bagi perkembangan ekonomi.
Mengkaji lebih lanjut sumber pemberdayaan peradilan dapat
membantu untuk menjelaskan perbedaan dalam pembangunan ekonomi di antara rezim otoriter. Pembangunan ekonomi, pada gilirannya, telah terbukti memainkan peran penting dalam proses demokratisasi. Memahami sumber perbedaan dalam pemberdayaan peradilan
di antara rezim otoriter telah membantu mendapatkan wawasan lebih
lanjut ke dalam proses demokratisasi. Keempat, uraian di atas juga
menunjukkan bahwa ada rezim otoriter yang tidak sama. Rezim
otoriter terus membuktikan faktor yang signifikan dalam pembangunan dan kebijakan kelembagaan. Pandangan ini menunjukkan perlunya
mempertimbangkan jenis otoriter rezim sebagai variabel independen
yang terpisah saat memeriksa rezim otoriter.
Kemunculan Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN yaitu
salah satu perubahan yang cukup penting dalam sistem hukum negara kita pada pertengahan tahun 1980-an, kala kekuasaan Orde Baru masih menancapkan kuku kekuasaan secara dalam. Perlindungan hukum
dan supremasi hukum, suatu tujuan yang hendak dicapai oleh badan
peradilan ini , yaitu konsep-konsep yang asing bagi sistem
otokrasi ini . Dengan badan peradilan ini, maka memungkinkan
untuk mengontrol keputusan