peradilan di indonesia 7

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 7


pemilihan 
umum, menteri-menteri semakin kehilangan fokus kian mendekati 
kenyataan. Dalam masalah  ini, 3 menteri yang terkait langsung dengan kenaikan harga elpiji yaitu  orang-orang yang memiliki kepentingan 
langsung dengan Pemilihan Umum 2014. Misalnya, Menteri Badan 
Usaha MilikNegara Dahlan Iskan harus membagi waktu dengan keikutsertaannya dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Begitu pula dengan Hatta Rajasa dan Jero Wacik, keduanya harus bertungkus-lumus mendayung partai politik mereka masing-masing.
Melihat kesibukan ketiganya dan juga menteri-menteri lain yang 
berasal dari partai politik, kita kehilangan logika untuk tetap percaya 
bahwa mereka masih memikirkan nasib rakyat. Dari gejala yang ada, 
hampir dapat dipastikan, fokus utama mereka yaitu  bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu mendatang. Paling tidak, 
keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menteri tetap fokus 
dengan tugasnya di pemerintahan dapat menjadi bukti lain indikasi 
pengabaian kepentingan rakyat. Bahkan keluhan itu nyaris tidak memiliki makna sebab  Presiden pun terjebak dalam persoalan yang sama.
Dengan hilangnya fokus untuk melindungi kepentingan rakyat, 
imbauan Presiden SBY agar Pertamina meninjau kembali kenaikan 
harga elpiji 12 kilogram seperti menghadirkan parodi tambahan yang 
lebih tidak lucu dibandingkan dengan cuci tangan menteri-menteri terkait. Dikatakan demikian, imbauan Presiden SBY secara implisit 
membenarkan kenaikan harga sepanjang dilakukan dengan prosedur 
dan mekanisme yang diatur undang-undang. Ditambahkan SBY, prinsip yang dipilih, Pertamina dan negara tidak terus-menerus dirugikan, 
apalagi dengan jumlah yang besar.285
Melihat penjelasan ini , Presiden Yudhoyono tetap bertumpu 
pada logika bisnis yang lebih mengedepankan perhitungan untungrugi. Untuk memberi  kesan (baca: pencitraan) tetap bertindak 
dalam bingkai amanat konstitusi untuk melindungi rakyat, kenaikan 
tetap dilakukan, namun  dengan pilihan persentase di bawah 68 persen. 
Lalu, dengan sense politik yang mati rasa itu, dengan mudah muncul 
klaim: pemerintah sukses menekan Pertamina untuk menurunkan 
persentase kenaikan harga elpiji 12 kilogram.
D. SISTEM HUKUM DAN PERSOALANNYA
Sistem hukum tertancap dalam kebudayaan dan kebiasaan. Menentukan sistem hukum yang bersifat universal sangat sulit, sekalipun telah ditetapkan Piagam Semesta Hak Asasi Manusia 1948, suatu ambisi untuk menciptakan norma yang mengikat secara internasional. 
Dalam mengkaji sistem hukum, maka dimulai dari mengidentifikasi 
perbedaan empat sistem hukum yang lazim dikenal, yaitu (i) sistem 
hukum common law; (ii) sistem hukum civil law; (iii) sistem hukum 
sosialis; dan (iv) sistem hukum menurut agama (religious law).
Sistem common law ditemukan di negara-negara Anglo Saxon dan 
umumnya yaitu  negara-negara yang mengalami penjajahan oleh 
Inggris. Sistem ini menekankan hak-hak individu vis a vis dengan negara, pengawasan dan penyeimbangan (check and balances) di antara 
badan-badan pemerintahan, dan pengadilan memakai  preseden 
dan masalah -masalah  individual untuk memeriksa dan memutus perkara. 
Sistem ini cukup luwes dalam menghadapi perubahan lingkungan 
ekonomi, politik, dan sosial. 
Civil law diasosiasikan dengan sistem Perancis dan negara-negara yang memakai  Perancis sebagai Bahasa resmi (francophone), 
meskipun umum dipakai  di negara-negara Eropa Kontinental yang 
lain. Sistem ini memperkenalkan Kode Napoleon (Napoleon Code). 
Sekalipun tidak terlalu menekankan bagaimana hak-hak individu dilindungi dari campur tangan negara, namun  pemerintah dan Parlemen 
berwenang untuk menetapkan peraturan untuk mengendalikan perilaku individu. Setiap individu dituntut untuk memiliki loyalitas kepada 
negara dengan pembebanan atas serangkain kewajiban. Perkara diperika oleh pengadilan menurut penafsiran hukum secara rasional. Legislasi dipandang lebih penting dibandingkan preseden. 
Hukum sosialis merujuk kepada praktik hukum di Uni Soviet pada 
masa lampau.286 Namun demikian, sistem hukum ini dianggap masih dijalankan oleh Kuba, China, Korea Utara, dan Vietnam, dengan 
memakai  ideologi sebagai basis dan mengesampingkan pembagian kekuasaan secara konkret. Sekalipun dianut di negara-negara yang 
menganut civil law akan namun  negara mengambil alih hak-hak individu. Hak individual tertekuk oleh tujuan ideologi negara. 
Sistem hukum agama hampir serupa dengan sistem sosialis se-panjang menyangkut basis pembentukannya, yaitu ideologi menurut 
keyakinan. Legitimasi hukum tidak ditentukan oleh aturan badan perwakilan, akan namun  menurut aturan-aturan yang dimuat dalam Kitab 
Suci.
Praktik sistem hukum, terutama di negara sedang berkembang, 
pada umumnya bersifat campuran. Dalam sistem hukum di negaranegara Afrika misalnya, sistem common law dijalankan bersama-sama 
dengan aneka hukum adat. Di negara-negara yang menjalankan sistem 
hukum Islam kadang-kadang dipengaruhi juga sumber-sumber kebiasaan yang bersumber pada tradisi Barat. Di bekas negara komunis, sistem hukum memperoleh pengaruh-pengaruh baru baik dari common 
law maupun civil law, seperti yang tampak di negara Eropa Timur.
Dengan demikian, apakah sesungguhnya perbedaan sistem hukum ini ? Norgaard dan Hilmer Pedersen telah memeriksa persoalan ini. Mereka menyimpulkan dua hal. Pertama, Negara-negara yang 
menganut common law dan civil law lebih demokratis dibandingkan 
negara yang lain. Kedua, sistem hukum yang murni—civil law, common law, atau hukum agama—telah memberi  sumbangan yang 
baik bagi pembangunan ekonomi. Negara-negara yang menjalankan 
sistem hukum campuran mempunyai pendapatan nasional 2 kali lipat 
lebih rendah dibandingkan negara-negara yang menjalankan sistem 
hukum murni.287
E. RAGAM PERADILAN DALAM PRAKTIK 
Suatu studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2003) menyimpulkan 
bahwa ada  cukup banyak praktik peradilan yang berbeda-beda di 
antara banyak negara. Yang cukup menarik dari studi ini yaitu  ditemukannya fakta bahwa di Thailand dan Yordania memperoleh peringkat tertinggi dalam persepsi sistem peradilan mereka. Ini mengejutkan 
apabila dibandingkan peringkat atas peradilan di negara Amerika Latin 
atau India yang telah dalam jangka waktu lama mempraktikkan Rule 
of Law serupa tradisi Barat. Baik Thailand maupun Yordania melakukan pembaruan hukum yang dikendalikan oleh sistem pemerintahan 
berbentuk kerajaan. Mereka tidak mengenal sistem pemisahan kekuasaan, akan namun  cukup lama sistem itu teruji dari kekacauan politik domestik maupun tantangan internasional.288 Responden di Yordania 
percaya independensi pengadilan yang juga melindungi hak-hak asasi. Komisi Kerajaan (Royal Comission) meyakinkan bahwa mereka terus-menerus mengusaha kan pembaruan peradilan dan para respons 
menghendaki adanya peningkatan kemampuan hakim melalui pendidikan lanjutan dalam memeriksa masalah -masalah  khusus. 
Dalam survei ini , Chile secara mengejutkan memperoleh skor 
yang rendah. Hal itu sehubungan dengan keluhan inefisiensi peradilan. Badan pengadilan dituding memperoleh pengaruh dari eksekutif, 
di samping akses yang mahal dan penanganan perkara yang lamban. 
Temuan ini serupa dengan yang terjadi di negara lain di mana pada 
saat negara mengalami transisi, badan-badan negara telah aktif memberi  perannya, namun pengadilan masih terseok-seok di belakang. 
Warisan kediktatoran Pinochet masih bercokol di sektor pengadilan.
Masih memerlukan  waktu bagi setiap warga negara untuk menghormati pengadilan pasca kediktatoran.290 Namun akhir-akhir ini telah 
ada perubahan berarti seperti dilaksanakannya peradilan atas masalah  
pelanggaran hak asasi. Sejumlah pendapat tampaknya meyakini bahwa hal itu akan memberi  efek positif bagi keberadaan pengadilan.
Tanzania menjadi tipikal negara yang baru memulai reformasi politik. Komitmen untuk reformasi di kalangan pemerintah sering goyah 
dan kurangnya sumber daya keuangan sering mempersempit pemerintah untuk menyelesaikan persoalan. Jadi, sementara pemerintah telah 
menandatangani konvensi hak asasi manusia dan hak asasi manusia telah dimasukkan dalam konstitusi, pelaksanaan masih berjalan lambat. Responden menunjukkan bahwa kendala keuangan yaitu  salah 
satu isu utama yang menghambat kesetaraan. Demikian pula, korupsi 
di peradilan dianggap menghambat pelaksanaan keadilan, meskipun 
penangkapan baru-baru ini atas beberapa hakim atas tuduhan korupsi 
menunjukkan bahwa ada beberapa kemajuan dalam menangani masalah.
Responden juga menunjukkan bahwa rendahnya kapasitas pengadilan untuk menyelesaikan perkara yaitu  masalah lain. Tanzania sering menghadapi situasi bahwa keadilan yang ditunda yaitu  keadilan 
ditolak. ini  terjadi terutama jika Anda tidak dapat menyuap pejabat 
pengadilan untuk memeriksa perkara Anda dengan cepat. Namun Tanzania juga memiliki beberapa hal-hal positif untuk mengatakan tentang 
perubahan yang terjadi di arena ini. Ada tuntutan untuk memberdayakan lembaga-lembaga tradisional dan warga. Mekanisme ini dipandang mampu menawarkan resolusi yang adil dalam menyelesaikan 
konflik, terutama di daerah perdesaan. Program reformasi peradilan 
yang sedang berlangsung serta adanya sejumlah lembaga non-yudisial, 
seperti Dewan Media Tanzania, Dewan Bisnis Tanzania dan beberapa 
pengadilan lain, memainkan peran penting dalam mediasi di antara aktor-aktor kunci dalam warga.
Responden Cina cukup terbuka dalam berkomentar soal peradilan di negara mereka. Meskipun skor Cina hanya sedikit lebih buruk 
dibandingkan  rata-rata peringkat yang dihasilkan, responden menyoroti 
berbagai tantangan yang dihadapi sistem peradilan di Cina. Yang pertama menyangkut kurangnya independensi lembaga peradilan dan 
pentingnya Partai dalam membimbing prosedur peradilan. Responden menyatakan bahwa kemampuan sistem peradilan untuk menyelesaikan konflik tetap terbatas selama tidak ada perubahan yang signifikan dalam sistem politik. Masalah kedua namun  terkait yaitu  bahwa 
organisasi Partai di semua tingkatan yang berbeda sering tak terjamah 
hukum. Peradilan di Cina tidak akan pernah bersikap adil jika para 
pejabat masih diperbolehkan untuk mengabaikan hukum negara. Isu 
yang ketiga berkaitan dengan korupsi peradilan yang serius di Cina, 
yang menuntut perlunya pengawasan yang lebih besar dan terutama 
sangat lazim di tingkat lokal. Isu yang keempat menurut para responden yaitu  persoalan koneksi. Orang-orang bisa lolos dari persoalan 
hukum asalkan mereka tahu ada orang dalam dengan posisi yang kuat. Jika tidak dibiarkan, maka mustahil akan tercipta kesetaraan di muka 
hukum.
Dalam survei yang sama, skor untuk Argentina relatif lebih tinggi 
dalam perbandingan internasional. Gambaran keseluruhan tetap saja 
masih campur aduk. Ada beberapa hal positif yang terjadi, namun  ada 
juga beberapa kekurangan serius. Di sisi positif, responden menyatakan dengan jelas bahwa aturan yang memengaruhi sektor bisnis lebih 
jelas dan lebih efisien dibandingkan  yang dibentuk oleh pemerintah. Dengan kata lain, peradilan lebih banyak menerima keluhan dari sektor 
swasta. 
sebab  frustrasi dalam berurusan dengan pengadilan, responden 
menyatakan bahwa mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan 
konflik telah mendapatkan popularitas sebab  lebih murah dan lebih 
mudah untuk diakses. Dua kritik yang lebih spesifik ditegaskan oleh 
responden. yang pertama yaitu  bahwa akses terhadap pengadilan 
tergantung pada keuangan, “akses berbanding terbalik dengan jumlah 
uang warga negara memiliki.” Kritik kedua yaitu  kurangnya akuntabilitas internal dalam sistem peradilan. Pengadilan memperoleh otonomi, namun  tidak ada mekanisme institusional yang mendorong para 
hakim menjadi akuntabel. Pemantauan eksternal oleh media melalui 
jurnalisme investigatif telah muncul sebagai hal yang paling efektif 
pada apa yang terjadi di arena peradilan.
Meskipun Filipina berada di kelompok negara dengan skor yang 
rendah namun  peradilan secara mengejutkan dipuji oleh responden. 
Mereka mencatat bahwa program reformasi peradilan berlangsung 
dan usaha -usaha  ini berkembang meskipun konteks pemerintahan yang lebih luas merugikan pemerintahan Presiden Estrada
pada saat itu. sebab  kredibilitas Ketua MA, pengadilan memperoleh 
legitimasi yang tinggi. Sayangnya dalam satuan peradilan yang lebih 
rendah, manajemen peradilan dinilai tidak begitu baik. Penduduk memiliki sedikit kepercayaan di pengadilan tingkat pertama. Seperti di 
banyak negara lain, masalah yang dikemukakan yaitu  tidak adanya 
akuntabilitas. Oleh sebab itu, alternatif penyelesaian sengketa (ADR) 
menjadi pilihan. Sebagai contoh, responden menunjuk proses media-si suku dan sistem mediasi barangay (desa) berkembang sebab  tidak 
efektifnya prosedur peradilan dan ada peningkatan peran LSM dalam 
resolusi konflik dalam beberapa tahun terakhir.
Pakistan memiliki reputasi peradilan yang cukup rendah. Bahkan, 
Pakistan yaitu  negara dengan skor terendah dalam survei Bank Dunia 
itu. Sistem peradilan memiliki masalah struktural yang serius. Responden bersikeras bahwa pengadilan yaitu  “korup” dan sama sekali tidak 
ada keadilan di Pakistan. Selain korupsi, responden mengidentifikasi 
biaya perkara dan proses pemeriksaan yang bertele-tele sebagai isu-isu 
kunci yang telah mengurangi akses terhadap keadilan. 
Meskipun mekanisme akuntabilitas ada di atas kertas (seperti banding, peninjauan kembali, dan lain-lain) kenyataannya mekanisme itu 
tidak efektif. Resolusi konflik banyak terjadi melalui sistem informal 
(sesepuh desa atau proses jirga). Ini proses informal yang tumbuh sebab  kegagalan mekanisme formal. Sekitar 50% dari resolusi konflik di 
desa-desa dilakukan oleh sesepuh setempat. Sementara mekanisme 
ADR dilihat oleh beberapa orang sebagai lebih adil dibandingkan  sistem 
formal. 
Perbaikan besar-besaran di Peru dan Filipina sebagian besar yaitu  refleksi dari euforia saat  rezim korup presiden Fujimori dan 
Estrada akan segera berakhir. Di Peru, faktor penting yang memengaruhi opini publik yaitu  rilis video yang dibuat oleh Vladimiro Montesinos, penasihat intelijen presiden, yang menggambarkan sifat korup 
dari sistem peradilan selama kepresidenan Fujimori. Meskipun situasi 
telah membaik di Peru pada setiap cabang kekuasaan, responden menunjukkan pembaruan peradilan yaitu  prioritas tertinggi.
Sementara perbaikan di sebagian besar negara-negara lain relatif 
memberi  harapan, seperti dalam masalah  Argentina dan Chile, perubahan di Thailand sangat menarik. Thailand telah melakukan reformasi konstitusi yang mencakup tidak hanya pemisahan lebih jelas 
kekuasaan antara berbagai cabang pemerintahan, namun  juga lebih menekankan pada hak asasi manusia. Jadi, misalnya, kekuasaan raja untuk menyelesaikan sengketa berkurang sementara pada saat yang sama 
berbagai hak asasi manusia yang berlaku. Meskipun Konstitusi 1997 ini 
masih pada titik baru jadi saat  kita melakukan survei dilakukan, mayoritas responden menunjukkan bahwa situasi membaik.


Peradilan Agama di negara kita  sering kali mengalami pasang surut, 

seiring dengan tolak tarik dan sifat interaksionalnya atas hukum Islam 

dengan sistem hukum lain. Jauh sebebelum negara kita  merdeka, Peradilan Agama sebenarnya telah banyak berperan dalam penyelesaian 

sengketa pada warga Muslim. Peradilan Agama banyak dipakai  warga Muslim negara kita  sebab  mereka menginginkan penyelesaian keperdataan menurut Hukum Islam. Menurut Sardjono, 

hukum berdasarkan agama Islam pada hakikatnya bukanlah yaitu  hukum dari negara Islam tetentu, melainkan lebih banyak yaitu  hukum yang diperlukan dalam warga para penganut agama ini dalam hubungannya satu sama lain seperti halnya hukum 

agama lain.

Namun hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya 

sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi 

wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan Agama hanya dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Peradilan Negeri 

dalam bentuk executoir verklaring.

 Fenomena ini amat unik sekaligus diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat menja-lankan keputusannya sebelum diizinkan oleh lembaga peradilan lain 

yang levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif sebab  lembaga peradilan selain Peradilan Agama yang diakui oleh UU No. 14/1970 diberi 

wewenang untuk menjalankan keputusannya sendiri.

Dengan kekecewaannya terhadap politik sistem hukum nasional 

yang diskriminatif ini , maka Munawir Sadzali345 pernah mengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai Peradilan Pupuk Bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung Peradilan 

Agama yang tidak menampakkan layaknya gedung Peradilan. Belum 

lagi hingga tahun 1990-an masih banyak hakim hakimnya yang hanya 

berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim hakim di lingkungan peradilan lain yang yaitu  pegawai negara.346

Barulah lalu  pada tahun 1989 melalui UU No. 7/1989 tentang 

Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember, Peradilan 

Agama tidak lagi menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah 

dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang sesungguhnya 

(Court of Law). ini  yaitu  kulminasi perjuangan politik Islam 

dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang-undang 

ini maka lalu  lahir peraturan-peraturan lainnya seperti In-struksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU 

No. 7/1992 jo. UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tentang Perbankan 

Syariah, UU No. 35/1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17/1999 

tentang Haji; UU No. 38/2001 tentang Zakat dan UU No. 18/2001 tentang otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam;347 UU No. 18/2003 

tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana Syariah dengan Sarjana 

Hukum dalam peluangnya untuk menjadi advokat; hingga melahirkan 

UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dengan UU No. 3 Tahun 2006 ini terjadi penambahan kompetensi absolut Peradilan Agama, yaitu dalam sengketa Ekonomi Syariah.

Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas 

yaitu  bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam 

dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksananya. Dengan adanya 

pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari warga maupun 

oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan 

fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan dengan 

lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah warga.


Sejak Belanda datang berkuasa di negara kita , pada mulanya tidak 

mencampuri urusan peradilan bagi warga negara kita , namun  sesudah  kekuasaannya dirasakan berkembang dan bertambah kuat, maka 

mulailah pemerintahan Belanda mencampurinya. Mula-mula diadakan pemisahan antara peradilan keduniawian yang diselenggarakan 

oleh pengadilan-pengadilan gubernumen, dan pihak lain peradilan 

agama yang tetap dibiarkan saja berlaku sebagaimana adanya.

Menurut catatan sejarah yang ada menunjukkan bahwa campur 

tangan Belanda yaitu  urusan agama Islam dimulai pada saat dikeluarkannya Staatblad 1882 No. 22 berupa instruksi kepada bupati-bupati 

(Regan Instruksi) untuk mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan agama Islam.

Campur tangan pemerintah Belanda dalam soal peradilan agama 

dimulai pada tahun 1820, yaitu dalam instruksi pada bupati-bupati 

(Regenten Intrudie) Pasal 13 disebutkan antara lain bahwa “perselisih-an mengenai pembagian waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada para alim ulama Islam”.

lalu  dalam Stbl 1835 No. 58 dinyatakan lebih tegas tentang 

wewenang “Peradilan Agama” di Jawa dan Madura sebagai berikut: 

“Jika di antara orang Jawa dengan orang Madura terjadi perselisihan 

tentang perkara perkawinan atau pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut hukum syara’ Islam, maka yang 

menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli agama Islam, akan namun  segala persengketaan dan hal pembagian harta 

benda atau pembayaran yang terjadi sebab  keputusan itu harus dibawa ke muka pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat keputusan ahli agama dan keputusan itu dijalankan.

Baik dalam Regenten Instructie 1820 maupun Stbl. 1835 No. 58 yang 

lalu  mendapat perubahan pada tahun 1818 dan tahun 1854, hanya disebutkan penyerahan penyelesaian perkara itu kepada alim ulama/ahli agama Islam yang dalam bahasa Belanda disebut dengan “ 

Priesters”, yang dimaksud yaitu  para penghulu serta pejabat-pejabat 

agama lainnya yang pada waktu itu menjadi pembantu para Bupati. 

namun  di kala itu belum diatur adanya badan peradilan agama itu sendiri, peraturan untuk itu baru di keluarkan pada tahun 1882.

Campur tangan lalu  yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap penerbitan Badan Peradilan Islam dimulai sesudah  raja Belanda mengeluarkan keputusan No. 24 tanggal 19 Januari 1882 tentang 

Pelembagaan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Keputusan ini 

dimuat dalam Staatblad 1881 No. 152 dan dinyatakan berlaku tanggal 1 

Agustus 1882.

Dalam usaha untuk menertibkan peradilan agama, maka oleh Raja 

Belanda dikeluarkan sebuah keputusan No. 24 tertanggal 19 Januari 

1882, dimuat dalam Stbl. 1882 No. 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dalam bahasa Belanda disebut: “Bepaling betreffende de Priester raden op Java en Madoera” dan untuk singkatnya selalu disebut Stbl 1882 No. 152. Keputusan Raja ini dinyatakan 

berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 termuat dalam Stbl. 1882 No. 153.

lalu  pada tahun 1931 pemerintah kolonial membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa depan Peradilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53 yang 

terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama Pengadilandari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht. Bagian II memuat aturan 

tentang campur tangan landrad dalam soal peradilan harta bagi orangorang negara kita  asli. Bagian III memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang negara kita  asli.

sebab  Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan sebab  pengaruh 

teori reseptie,348 maka pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 No. 

116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan 

Agama dalam persoalan waris dan masalah masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi 

Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Peradilan Agama pada 

masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan 

harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.

Pada masa awal pasca-kemerdekaan negara kita  teori receptie ternyata masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum negara kita , khususnya yang ada di legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal 

ini tampak dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak hak warga adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar 

Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada kenyataannya masih tampak nyata 

bahwa seolah olah hukum Islam yang berlaku di warga baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.

Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Kementrian Agama. Departemen Agama dimungkinkan melakukan 

konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga lembaga Islam dalam 

sebuah badan yang bersifat nasional. Berlakunya UU No. 22/1946 menunjukkan dengan jelas maksud maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh negara kita  di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri.

sesudah  Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama, 

masih ada sementara pihak tertentu yang berusaha menghapuskankeberadaan Pengadilan Agama. Usaha pertama dilakukan melaui Undang-Undang Nomor 19/1948. Usaha kedua melalui UU No. 1 Drt/1951 

tentang Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil. Usaha usaha yang mengarah kepada penghapusan Pengadilan Agama ini menggugah minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama. 

Pengadilan Agama lalu  ditempatkan di bawah tanggung jawab Jawatan Urusan Agama. Penempatan Pengadilan Agama di bawah 

Departemen Agama yaitu  langkah yang menguntungkan sekaligus sebagai langkah pengamanan, sebab  meskipun negara kita  merdeka, namun pengaruh teori receptie yang berusaha  untuk mengeliminasi Peradilan Agama masih tetap hidup. ini  terbukti dengan lahirnya 

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama akan dimasukkan secara istimewa dalam susunan Peradilan Umum, yaitu bahwa perkara perkara antara orang Islam yang 

menurut hukum yang hidup (living law) harus diputus menurut hukum Islam, harus diperiksa oleh badan Peradilan Umum dalam semua 

tingkatan Peradilan, terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam 

sebagai ketua dan dua hakim ahli agama Islam sebagai anggota, yang 

diangkat oleh presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan 

Menteri Kehakiman.

lalu  pada tanggal 31 Oktober 1964 disahkan UU No. 19/1964 

tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut undang-undang ini, Peradilan Nergara Republik negara kita  menjalankan 

dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang 

dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, 

Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak lama 

lalu , undang-undang ini diganti dengan UU No. 14/1970 tentang 

Ketentuan Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman sebab  sudah dianggap 

tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam undang-undang baru ini ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman yaitu  kekuasaan yang merdeka. 

Ditegaskan demikian sebab  sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, 

melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan lain.

Di Era Orde Baru, usaha untuk mengurangi dan mengeliminasi, 

bahkan menghapuskan baik wewenang maupun peran Peradilan Agama pernah terjadi saat  RUU Perkawinan dibuat oleh pemerintah dan 

diajukan ke DPR pada tahun 1973. Rancangan undang-undang ini  memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengurangi frekuensi perce-raian dan perkawinan di bawah umur. Kedua, untuk menyeragamkan 

undang-undang perkawinan di negara kita  sebagai bagian program kesatuan dan persatuan negara kita  di bawah idiologi negara Pancasila.349

namun  akhirnya warga Muslim bisa bernapas lega, sebab biarpun melalui perjuangan yang amat berat, yaitu dengan persetujuan 

dan kompromi umat Islam, akhirnya RUU Perkawinan di atas diamendemen dan pada bulan Januari 1974 disahkan menjadi UU No. 1 

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan itu, maka keberadaan Peradilan Agama menjadi terselamatkan, namun perannya tetap dibatasi. 

Pembatasan yang dimaksud terletak pada ketentuan Pasal 63 ayat 2 UU 

No. 1 Tahun 1974 ini yang mengatakan bahwa “setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan umum.” Dengan 

ketentuan ini, maka Peradilan Agama masih tetap diposisikan sebagai 

Peradilan “Pupuk Bawang”.350

Dengan lahirnya UU No. 1/1974 yang berakibat berubahnya kewenangan yurisdiksi Pengadilan Agama, maka perkembangannya diusaha kan dengan memakai  cara administratif dan birokratis, yaitu; 

pemerintah melarang Pengadilan Agama untuk secara leluasa memakai  kekuasaan barunya sebab  menurut sistem hukum negara kita , ketetapan legislatif tidak dapat berjalan sendiri sampai dengan pihak eksekutif mengumumkan aturan pelaksanaannya. 

Baru pada tahun 1975 Presiden Soeharto mengumumkan tentang 

penjabaran yurisdiksi pengadilan melalui Peraturan Pemerintah No. 9 

tahun 1975. namun  PP itu tidak mengatur penjabaran mengenai aturan 

yurisdiksinya terhadap masalah -masalah  pasangan suami istri dan anak, pemeliharaan anak, dan pembagian harta suami istri. Maka Mahkamah 

Agung menetapkan bahwa dengan tidak adanya penjabaran dari PP 

itu, maka seluruh wewenang itu di bawah Pengadilan Negeri. ini lah 

yang akhirnya memicu  persoalan di Pengadilan Agama. Persoalan ini baru berakhir sesudah  lahirnya UU No. 7/1989 tentang Peradilan 

Agama yang memberi  wewenang penuh kepada Pengadilan Agama.

Sejak pemerintah membentuk Peradilan Agama, sama sekali tidak 

pernah ada satu pun peraturan yang menyinggung mengenai Hukum 

Acara yang harus dipakai  hakim dalam memeriksa, mengadili, dan 

memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh sebab  tidak ada ke-tentuan resmi tentang Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada 

Pengadilan Agama mengambil intisari Hukum Acara yang ada dalam 

kitab kitab fikih, yang dalam penerapannya berbeda antara Pengadilan 

Agama yang satu dengan Pengadilan Agama yang lain.

Meskipun demikian, hukum Islam yang telah secara langsung berlaku guna mengatur dan mewujudkan ketertiban dalam warga 

akan namun  pada sisi lain, kitab-kitab fiqh masih mendominasi sebagai 

acuan hakim-hakim di Pengadilan Agama. Menurut Surat Edaran Biro 

Peradilan Agama Nomor B/I/735 tanggal 18 Februari 1958 yang yaitu  tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 45/1957, ada 13 

kitab klasik yang diakui sebagai kitab-kitab fiqh mu’tabarah yang harus 

dipegangi oleh para hakim.351

Standardisasi ini membawa implikasi yang kurang menguntungkan bagi pembinaan hukum nasional. ini  sesuai dengan karakteristik fiqh yang sarat muatan beda pendapat (khilafiyah) akibat 

berbagai faktor yang memengaruhi para kami nya, sehingga sering 

kali terjadi para hakim memutus perkara yang sama, akan namun  putusannya berlainan. Pertanyaannya yang lalu  muncul yaitu : 

“Hukum Islam yang mana?”. Menurut Busthanul Arifin, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni harus ada kepastian 

hukum.352

Yahya Harahap menyatakan, hukum Islam yang diterapkan dan 

ditegakkan seolah-olah bukan lagi berdasarkan hukum, namun  sudah 

menjurus ke arah penerapan buku/kitab. Ini menurutnya bertentangan dengan asas yang mengajarkan bahwa putusan pengadilan harus 

berdasarkan hukum. Orang tidak boleh diadili berdasarkan buku atau 

pendapat ahli atau ulama mana pun.353

Pasca-runtuhnya rezim Orde Baru, di Aceh terjadi konflik besar 

antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang lalu  dikenal 

dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik 

yang berlangsung bertahun tahun itu banyak memicu  korban, 

baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada 

pemberian otonomi khusus dari pemerintah negara kita  kepada Aceh dengan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah 

Istimewa Aceh. 

Ketentuan UU No. 18/2001 ini membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25-26 UU Provinsi 

Nanggroe Aceh Darussalam (PNAD) mengatur mengenai Mahkamah 

Syariah yang yaitu  peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari 

sistem peradilan nasional. Mahkamah Syariah yaitu  lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak mana pun dalam wilayah PNAD 

yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah 

Syariah lalu  diatur dengan Qanun PNAD. Mahkamah Syariah 

wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara Jinayat. Wewenang itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Qanun 

No. 10 Tahun 2002 Pasal 49.

Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah 

Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. ini  sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD 1945 Amendemen ketiga dan keempat, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, 

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, 

dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang.

Ketentuan UU No. 18/2001 di atas telah memperkuat UU No. 

44/1999 tentang Keistimewaan Aceh. UU ini juga memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil 

yang dipakai  di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan 

sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan 

kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan 

kebijakan daerah.

Apalagi lalu  diperkuat lagi dengan UU No. 11/2006 yang 

memberi  keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang 

mengatur pelaksanaan syariat Islam. Ketentuan UU ini mengatakan bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah

(masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur 

dengan qonun (peraturan daerah), biarpun hingga tahun 2006 lalu, 

qonun yang sudah disahkan di Aceh baru berupa qonun Nomor 11 

tentang Aturan Syariat Islam, qonun Nomor 12 soal judi atau maisir, 

qonun Nomor 13 tentang khamar atau minuman keras, serta qonun 14 

tentang khalwat atau menyepi dengan lawan jenis.C. PERKEMBANGAN KOMPETENSI

Perkembangan Peradilan Agama pasca-reformasi baru menunjukkan perkembangan yang signifikan pada masa pemerintahan Susilo 

bambang Yudhoyono. Peradilan Agama sebagaimana yang ada  

dalam UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama yang dahulu hanya 

berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, 

Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan sedekah, namun  sekarang wewenangnya diperluas lagi sesudah  diundangkannya UU No. 3/2006 dan UU No. 52/2009 

tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7/1989 tentang Peradilan 

Agama, sehingga wewenangnya diperluas meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah; dan ekonomi syariah. 

Ketentuan UU No. 3/2006 itu muncul dalam rangka penegakkan dari 

UU No. 7/1992 jo. Undang-Undang No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 

tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya 

Sistem Perbankan Syariah.

Perluasan kewenangan ini sesuai dengan perkembangan 

hukum dan kebutuhan hukum warga, khususnya warga 

Muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “… hukum yang 

baik yaitu  hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di warga.”354 Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan 

efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam warga, 

dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).355










Selama beberapa dekade terakhir, para sarjana dan pembuat kebijakan telah menempatkan saham yang cukup besar untuk menempatkan Rule of Law sebagai obat mujarab bagi negara-negara berkembang yang mengalami gejolak politik dan ekonomi. Dari 1993-2003 saja 

Bank Dunia mendedikasikan $ 3,8 miliar ke dalam 330 proyek di lebih 

dari 100 negara, dan lebih banyak proyek yang saat ini sedang berlangsung.292

Demikian pula, sejumlah besar literatur akademik dewasa ini diarahkan pada studi tentang bagaimana lembaga hukum dapat memacu pembangunan ekonomi, melindungi hak-hak asasi manusia, dan 

bahkan memfasilitasi transisi menuju demokrasi. Namun meski perhatian terhadap Rule of Law ini belum pernah terjadi sebelumnya dan 

investasi besar sumber daya keuangan untuk proyek-proyek reformasi 

peradilan, telah ada beberapa usaha  yang secara sistematis mendokumentasikan bagaimana fungsi lembaga peradilan di negara-negara 

nondemokratis Hasil dari kajian ini mengejutkan untuk setidaknya dua alasan. Pertama, lebih dari setengah negara yang dikaji sebagai diidentifikasi sebagai negara nondemokratis atau semi-otoriter.294 Kedua, meskipun banyak dari negara-negara ini yaitu  target dari program reformasi 

hukum, kelangkaan analisis yang sistematis tentang fungsi sistem peradilan otoriter kemungkinan besar akan memicu reformasi itu 

mengalami keberhasilan atau kegagalan. Jika kita ingin mempromosikan Rule of Law yang lebih efektif, maka harus memahami bagaimana 

sistem peradilan berfungsi dalam lingkungan yang nondemokratis. Secara khusus, kita harus bertanya mengapa beberapa rezim nondemokratis memilih untuk melembagakan pemerintahan mereka melalui 

pengadilan, apa tugas-tugas tertentu dari pengadilan di negara-negara 

nondemokratis, dan bagaimana penguasa mencengkeram kuat atas 

lembaga-lembaga hukum. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini 

memberi  titik awal untuk memahami inisiatif hukum yang paling 

mungkin untuk berhasil dalam lingkungan nondemokratis dan apakah 

reformasi hukum secara tidak sengaja justru membantu penguasa otoriter untuk mengonsolidasikan sifat nondemokratis mereka.

Ilmuwan politik dan ahli hukum telah lama percaya bahwa independensi peradilan hanya mungkin terbentuk di bawah rezim demokrasi.295 Namun karya terbaru telah mulai perlahan-lahan mengubah 

pandangan konvensional konvensional ini. Karya-karya baru ini 

yaitu  penelitian dengan pendekatan studi masalah  yang menunjukkan pemberdayaan hukum dalam rezim otoriter dan menjelaskan 

mengapa otokrat akan memilih untuk memberdayakan pengadilan 

mereka. Dari karya semacam ini, terbangun pendapat bahwa ada  

fakta pemberian kemandirian terhadap pengadilan yang banyak masalah  

terlalu bergantung pada keinginan kepemimpinan otoriter. 

Tulisan dalam bab ini mengacu pada masalah  Brasil (1964-1985), 

Chili (1973-1990), China (1990-sekarang), Mesir (1952-2011), Meksiko 

(1926-2000), Filipina (1972-1986), dan Franco Spanyol (1936-1975) untuk lebih memahami asal-usul bekerjanya hukum dalam sistem nondemokratis. kami  meneliti mengapa banyak penguasa otoriter termotivasi untuk mengendalikan lembaga-lembaga hukum, bagaimana 
lembaga ini membentuk dinamika perselisihan politik, dan cara yang 

dilakukan untuk pengembangan aturan yang lebih kuat terhadap lembaga-lembaga hukum. 

B. MENINJAU TIPE REZIM

Istilah rezim nondemokratis dengan rezim otoriter dalam tulisan 

ini dapat dipertukarkan, sekalipun dalam praktik dijumpai ada bermacam-macam tipe rezim yang dapat diidentifikasi sebagai nondemokratis. Jenis Rezim mengacu pada perbedaan kualitatif antara berbagai 

jenis rezim otoriter. Secara khusus, tipologi berfokus pada perbedaan 

dalam seleksi kepemimpinan, preferensi, dan pelaksanaan kebijakan.296 Untuk uraian dalam bab ini kami  mengadopsi sistem klasifikasi rezim yang dikembangkan oleh Barbara Geddes. 

Geddes membagi tipe rezim menjadi partai tunggal, personalis, 

militer, atau hibrida dari ketiga unsur ini. Joseph Wright (2008) menambah tipologi dasar ini dengan termasuk monarki yang otoriter.297

Menurut kami  ada tujuh jenis rezim: (i) sistem partai tunggal, (ii) militer, (iii) personalis, (iv) monarchy, (v) partai tunggal-personalis, (vi) 

militer-personalis, dan (vii) partai tunggal militeristik dan personalis.

Bagaimana rezim mempertahankan diri akan berdampak legitimasi. Sebuah rezim menambatkan legitimasi lebih mungkin dengan 

memakai  pengadilan. Sebagaimana dinyatakan di atas pengadilan independen membantu rezim untuk memperoleh legitimasi 

dengan memberi  pengesahan pada kekuatan rezim. Ada berbagai 

cara rezim untuk meningkatkan legitimasi seperti membuat legislatif 

independen, memungkinkan partai-partai oposisi, dan menghadapi 

persaingan pemilihan.298 saat  rezim abai terhadap lembaga-lembaga 

ini mereka lebih cenderung untuk memberdayakan pengadilan untuk 

menghasilkan legitimasi. Pemberian kekuasaan kepada sebuah badan 

independen membantu membuat rezim tampil lebih sah. Juga, sesuai 

dengan keputusan yang dibuat oleh badan ini dapat untuk meningkatkan citra bahwa rezim dirasakan baik oleh warganya dan aktor internasional.

Sebuah rezim dengan beberapa lembaga yang mampu mengendalikan warga cenderung beralih ke taktik koersif untuk menjaga 

ketertiban.299 Dalam rezim seperti ini pengadilan cenderung menjadi 

bagian langsung dari aparat koersif negara. Sebaliknya, rezim dengan 

lembaga-lembaga yang lebih sedikit mampu kontrol sosial nonkoersif 

lebih mungkin untuk memakai  pengadilan sebagai alat represi. 

Jadi ada atau tidak adanya lembaga-lembaga ini akan mengubah karakter keseluruhan dari pengadilan. 

Secara khusus, rezim partai tunggal yaitu  yang paling mungkin 

untuk memakai  represi sebab  mereka memiliki sebagian besar 

perangkat kelembagaan yang mendukung. Rezim militer dan rezim 

personalis lebih cenderung memakai  kekerasan terhadap warga 

dibandingkan  rezim partai tunggal sebab  mereka tidak memiliki lembaga yang termobilisasi.300 Dalam masalah  ini pengadilan akan dipakai  

sebagai alat kontrol koersif, tidak otonom, dan sebab  itu tidak akan 

menghasilkan Rule of Law yang kuat . Sebaliknya situasi ini dapat lebih tepat disebut sebagai pemerintahan oleh hukum (rule by law) jika 

rezim memakai  hukum dan pengadilan sebagai alat koersif secara 

langsung.

Tanggapan rezim untuk kebutuhan legitimasi ditentukan oleh kepentingan, pusat kekuasaan, dan horizon waktu. Tanggapan ini pada 

gilirannya memengaruhi pemberdayaan peradilan. Salah satu faktor 

dalam menentukan respons rezim yaitu  kepentingannya. Rezim yang 

menginginkan stabilitas dan kelanggengan lebih cenderung khawatir 

tentang rendahnya tingkat legitimasi dan lebih mungkin untuk menanggapi dengan menciptakan banyak lembaga. Faktor kedua yaitu  

pusat kekuasaan di rezim. Sebuah pusat rezim kekuasaan mengacu kepada siapa yang mengendalikan kekuasaan. Rezim dengan pusat-pusat 

kekuasaan yang lebih besar lebih mungkin untuk menghargai stabilitas 

dan kelanggengan dan sebab  itu lebih mungkin untuk peduli dengan 

rendahnya tingkat legitimasi. Faktor ketiga yaitu  waktu. Wright menunjukkan, manfaat dari rezim otoriter yang menahan waktu penyerahan kekuasaan.301 Akibatnya, tampaknya tidak mungkin rezim yang 

akan berinvestasi di lembaga yang segera membatasi kekuatannya jika merasakan tidak akan berkuasa cukup lama. Semakin pendek waktu 

rezim maka semakin kecil kemungkinan untuk memberdayakan pengadilan. Efek kolektif atas faktor ini akan menentukan tingkat pemberdayaan peradilan rezim. lalu , dengan memakai  kedua 

literatur yang ada dan pemahaman lebih lanjut, kami  memerinci 

bagaimana empat faktor itu secara bervariasi memengaruhi jenis rezim. Dalam proses ini kami  menunjukkan bagaimana faktor-faktor 

ini berinteraksi untuk menghasilkan pemberdayaan peradilan.

1. Partai Tunggal

Rezim partai tunggal mengonsolidasikan kekuasaan negara dalam 

satu partai politik besar. Rezim ini didefinisikan sebagai sebuah rezim, 

“... di mana partai memiliki pengaruh atas kebijakan, menguasai sebagian besar akses ke kekuasaan politik dan pemerintahan, dan telah 

berfungsi hingga organisasi di tingkat lokal.”302 Pengertian ini menjelaskan pusat kekuasaan dalam rezim partai tunggal partai. ini  menciptakan beberapa titik veto dan bentuk kepentingan rezim. Rezim ini 

memiliki beberapa cara untuk melegitimasi kekuasaan mereka, seperti 

memiliki banyak lembaga kontrol sosial; kohesi partai dan kendali pemerintah, dan memiliki waktu yang lama.

Banyak rezim dengan tipe ini memanfaatkan pemilu untuk memperkuat legitimasi dan mengendalikan oposisi. Lembaga-lembaga politik banyak dibangun seperti partai, parlemen, dan birokrasi sekadar 

sebagai kompensasi patronase, kooptasi elite, dan meminggirkan kekuatan oposisi. Berbagai institusi ini menyediakan diri untuk memberi  legitimasi dan kontrol sosial.303 Jenis rezim ini menyingkirkan 

agenda pemberdayaan pengadilan untuk menopang pemerintahan. 

Di samping itu, rezim ini menyukai stabilitas dan kohesivitas.304 Karier 

para anggota tergantung kepada keberhasilan partai. Jika seorang kader muda berambisi menjadi Presiden, maka ia harus menanamkan 

keyakinan bahwa partai harus bertahan dalam posisinya.305

2. Militer
Tipe rezim ini yaitu  memakai  secara nyata ancaman atau 

kekuatan fisik oleh aparaturnya. Rezim ini ditandai dengan kemilikan 

terbatas sumber legitimasi, ketimpangan institusi pengendali sosial, 

bersandar kepada kapasitas militer untuk mempertahankan pemerintahan, dan memiliki jangka waktu yang terbatas. Geddes mendefinisikan rezim militer sebagai suatu pemerintahan “yang dikelola oleh 

perwira atau purnawirawan militer, dengan dukungan militer di mana 

dalam penentuan kebijakan dan rekrutmen dipengaruhi oleh pejabat 

tingkat tinggi.”306 Para perwira yang memerintah memiliki kepentingan inti yang tidak sama dengan tipe rezim otoriter yang lain. Rezim 

ini mementingkan integritas kemiliteran dibandingkan pengendalian 

politik.307 Perselisihan internal acapkali memicu bubarnya pemerintahan. Dengan demikian, rezim ini yaitu  tipe rezim otoritarian 

yang memiliki kelangsungan paling pendek di antara 4 rezim yang lain.

Rezim militer umumnya tidak ditopang dengan kemampuan untuk mempertahankan legitimasi dan pengendalian sosial yang nonkursif.308 Ini berasal dari fakta bahwa rezim ini sering tidak memerlukan 

institusi seperti parlemen, partai, dan pemilihan umum untuk mempertahankan kekuasaannya.309 Oleh sebab  itu, rezim militer cenderung memakai  pengadilan sebagai alat untuk menindas dan tidak 

mungkin akan memberi  mereka kekuasaan yang independen.

Namun tidak semua rezim militer berumur pendek. Mereka yang 

dapat menyelesaikan sengketa internal di antara Junta yang berkuasa 

dapat melanjutkan ke masa pemerintahan yang lebih panjang. Rezim 

dengan tipe ini lebih mungkin untuk mengembangkan lembaga-lembaga yang diperlukan untuk menghasilkan legitimasi sebab  mereka 

menjadi lebih peduli dengan kelangsungan kekuasaan. Untuk jangka 

panjang, rezim junta militer mulai bertindak seperti partai politik atau 

keluarga kerajaan. Elite rezim ini bekerja untuk menjamin stabilitas 

rezim untuk meningkatkan kesempatan mereka sendiri dan memperoleh ganjaran politik. Akibatnya, rezim militer mustahil dapat diharapkan dalam pemberdayaan peradilan untuk membantu meningkatkan 

legitimasi mereka.

Dalam jangka pendek rezim militer memiliki tingkat yang rendah untuk melakukan pemberdayaan peradilan. Dalam jangka pendek 

rezim ini tidak memiliki lembaga legitimasi. Mereka tidak mungkin 

memakai  pengadilan sebagai alat untuk meningkatkan legitimasi sebab  bertentangan dengan kebutuhan mereka sebagai lembaga 

kontrol sosial, keterbatasan waktu, dan sebab  kepentingan kekuasaan 

yang terlalu kecil untuk dibagi.

3. Rezim Personalis

Rezim personel termasuk tipe rezim pemerintahan yang populer 

di dunia, sekalipun para sarjana telah mendefinisikannya sebagai “tipe 

pemerintahan dengan seluruh kekuasaan terkonsentrasi kepada satu 

tangan individu.”mencatat rezim personalis dimulai 

dari rezim partai tunggal atau rezim militer akan namun  menjadi personalis saat  seorang pemimpin, “... memiliki kendali atas kebijakan 

konsolidasi dan perekrutan di tangannya sendiri, sehingga pengaruh 

perwira dan/atau mengurangi pengaruh dan fungsi partai”. Pusat 

kekuasana ada pada satu orang. Selain itu, rezim ini memiliki beberapa 

sumber legitimasi, campuran lembaga pengendalian sosial baik koersif 

maupun non-koersif, bermaksud mengambil alih kekayaan sebanyak 

mungkin, dan memiliki horizon waktu terpendek sesudah  rezim militer.

Rezim personalis sangat bergantung pada pemakaian  kekuatan 

dan perlindungan untuk mempertahankan kekuasaannya.312 ini  

memerlukan  penciptaan beberapa institusi seperti partai dan parlemen. Seiring waktu, patronase diarahkan kepada patronase anggota 

keluarga. sebab  sifat sempit jangka waktu personalis, suksesi biasanya 

jatuh kepada anggota keluarga pendiri.313 Lingkaran sempit ini berarti 

beberapa lembaga mampu memberi  legitimasi dan semakin sedikit 

melakukan kontrol sosial non-koersif.

Kepentingan utama rezim personalis yaitu  kekayaan. ini  

dikombinasikan dengan konsentrasi kekuasaan di tangan seorang pemimpin. Selain itu, sebab  rezim ini memiliki satu orang di pusat kekuasaan tidak ada anggota rezim lain yang mampu mengubah watak 

pemerintahan. Tanpa partai atau keluarga untuk mendorong perhati-an terhadap legitimasi, pemimpin personalis meninggalkan pemberdayaan hukum dalam mendukung kekayaan. Waktu hanya berfungsi 

untuk menambah masalah ini. Rezim personalis memiliki cakrawala 

waktu lebih lama dari rezim militer namun  yang lebih pendek dibandingkan  

rezim partai tunggal.

Namun sebab  rezim personalis menjadi lebih kleptokratis, kebutuhan untuk menghindari Rule of Law menjadi kebutuhan utama. 

Faktor-faktor ini menunjukkan rezim personalis benar-benar menjadi 

lebih kecil kemungkinannya untuk memberdayakan pengadilan dari 

waktu ke waktu. Dalam semua hal, rezim personalis memiliki tingkat 

yang rendah atas pemberdayaan hukum sebab  kepentingan dan konsentrasi kekuasaan berada di tangan satu orang.

4. Monarki

Monarki otoriter ditandai oleh pentingnya hereditas suksesi dan 

akses ke kekuasaan. Pusat kekuasaan mereka yaitu  keluarga dan kerabat.317 Mereka memiliki beberapa cara untuk mempertahankan legitimasi namun  tidak memiliki lembaga-lembaga politik seperti jenis 

rezim lainnya, mereka lebih memilih untuk menjaga stabilitas dan kohesivitas, dan memiliki horizon waktu yang terpanjang.

Monarki otoriter modern menyandarkan legitimasi lebih pada 

aspek historis dengan sejarah panjang pemerintahan. Yang paling 

penting, monarki tidak memerlukan pembentukan eksekutif melalui 

pemilu. Sebaliknya mereka membentuk parlemen campur antara anggota yang dipiluh dan diangkat dan paling besar di antaranya untuk 

mempertahankan eksistensi monarki. Namun mereka masih kekurangan sumber legitimasi institusional sebagaimana dikenal dalam rezim yang lain untuk mendukung kekuasaan. Ini menunjukkan mereka 

cenderung memakai  pengadilan sebagai sumber legitimasi, namun  

bukan sebagai alat represi langsung.

Kepentingan dalam monarki otoriter sama dengan rezim partai 

tunggal. Anggota kerajaan menjadi penguasa dalam waktu yang lama, 

pemerintahan yang stabil. Dorongan untuk stabilitas berasal dari ke-kuasaan dalam monarki otoriter. Fungsi sekutu kerajaan seperti partai yang berkuasa cenderung dipakai  untuk memusatkan perhatian 

pada isu-isu legitimasi dan stabilitas. Akibatnya, monarki mengembangkan sektor publik yang besar untuk membeli dukungan dari rakyat. Selain itu, sebab  rezim ini tidak memanfaatkan pemilihan umum 

dan partai mereka yang paling mungkin untuk memakai  pemberdayaan peradilan sebagai sumber legitimasi kelembagaan. Monarki 

justru memiliki horison waktu terpanjang dari setiap jenis rezim lalu  yang mendorong pemberdayaan peradilan.

Secara ringkas, kami  ingin mengatakan bahwa rezim partai tunggal dan monarki memiliki tingkat yang tertinggi untuk pemberdayaan 

peradilan. Rezim ini memiliki cakrawala waktu yang lama dan pusatpusat kekuasaan yang berkepentingan dengan kohesivitas dan stabilitas. Rezim personalis dan rezim militer memiliki tingkat yang rendah 

dalam pemberdayaan peradilan. Rezim personalis memusatkan kekuasaan di tangan satu orang dan kekayaan menjadi tujuan lain. sebab  

tidak ada kontrol pada perilaku pemimpin berarti rezim ini tidak hanya 

cenderung memiliki tingkat yang singkat yang lalu  menurun dari 

waktu ke waktu. Rezim militer memiliki pusat-pusat kekuasaan yang 

lebih besar dibandingkan  rezim personalis, namun  kepentingan anggota junta sering terpecah-pecah. Ini berarti rezim ini tidak mungkin bertahan 

cukup lama untuk memperoleh manfaat dari pemberdayaan peradilan. Namun jika perbedaan-perbedaan ini dapat diselesaikan dalam 

jangka panjang, maka rezim militer harus beralih ke pemberdayaan 

peradilan sebagai sarana untuk meningkatkan legitimasi. Dalam masalah  

ini junta akan bertindak seperti partai yang berkuasa dan membantu 

membimbing terhadap institusi agar lebih mampu menjaga stabilitas 

rezim. Akhirnya, konsep hibrida yang menggabungkan unsur-unsur 

baik rezim militer maupun personalis memiliki tingkat yang rendah 

untuk pemberdayaan pengadilan.


Negara-negara otoriter sering dibayangkan sebagai organisasi 

yang jauh integratif dibandingkan  kenyataan sesungguhnya. Watak integrasi negara sebagai satu rangkaian terpadu cukup menggoda saat  

mempertimbangkan fungsi negara dalam rezim otoriter sebab  dua 

alasan. Pertama, kita sering menganggap bahwa penguasa otoriter mempertahankan otoritas mutlak atas bawahan mereka, dan kedua, 

rendahnya tingkat transparansi sering mengaburkan kemampuan 

kita untuk mengamati perselisihan yang cukup besar dan kerusakan 

dalam hierarki yang terjadi secara teratur dalam pengaturan otoriter 

ini . Tapi tipe ideal ala Weberian dari birokrasi rasional tidak cukup menangkap dinamika negara dalam konteks dunia nyata.320 Faktanya, jauh dari bertindak bersama-sama, masing-masing birokrat telah 

menetapkan sendiri kepentingan pribadinya dan preferensi ideologis 

yang sering bertentangan dengan pemerintahan pusat.

Meniadakan gaya sentrifugal ini yaitu  salah satu tantangan 

utama bagi kepemimpinan sentralistis dari setiap negara: penguasa 

otoriter mengalami kurangnya transparansi dalam lembaga-lembaga 

negara mereka sendiri. Bagian dari kesulitan mengumpulkan informasi yang akurat tentang fungsi birokrasi dapat dikaitkan dengan struktur 

hierarkis negara modern secara lebih umum, seperti yang diartikulasikan oleh Martin Shapiro. Menurut Shapiro:

Patologi tertentu muncul dalam garis hierarki yang dirancang untuk mengirimkan informasi dan perintah ke bawah dalam piramida 

rasional-legal. Seperti ‘lingkaran keluarga’—konspirasi antara para 

pekerja tingkat rendah untuk menahan atau mengubah arus informasi ke atas—yang sebagian besar berhasil sebab  memangkas hierarki...

proses pemangkasan secara berturut-turut memberi  tingkat yang 

lebih rendah atas banyak kesempatan guna menekan dan mendistorsi 

informasi, khususnya yang berpengaruh pada pembangkangan mereka sendiri dan kinerja yang buruk.

Informasi yang akurat tentang kejahatan birokrasi bahkan lebih 

sulit bagi rezim otoriter untuk diungkap sebab  mekanisme khas untuk 

keterbukaan, seperti pers bebas atau pemantauan kelompok kepentingan dari instansi pemerintah, mengalami tekanan represif. Selain 

itu, sebab  administrator tidak akuntabel kepada publik dan sebab  

takut akan pembalasan yang bersifat politik, penguasa otoriter pada 

pucuk hierarki menerima sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada, masukan dari warga, sehingga sangat sulit untuk menilai fungsi 

sehari-hari dari institusi negara. Pendekatan principal-agent yang telah 

diteliti secara ekstensif dalam pengaturan demokratis, telah diperburuk dalam sistem politik otoriter. Dengan rendahnya tingkat transparansi dan diperparah persoalan principal-agent, birokrasi lokal secara 

teratur menghindari, mengabaikan, atau menggagalkan kebijakan pemerintah pusat dalam rangka untuk mempromosikan agenda kebijakan mereka sendiri atau hanya untuk menerjemahkan kekuasaan administratif mereka ke dalam aliran pendapatan tambahan. Dinamika ini 

sangat lumrah, yang sama sekali menjadi norma alternatif yang sering 

muncul di sekitar interaksi dengan agen negara.322 Dalam tingkat yang 

paling minimal, rendahnya tingkat transparansi dan persoalan principal-agent dapat merusak tujuan pembangunan.

Dalam salah satu studinya, Martin Shapiro mengamati bahwa lembaga peradilan dipakai  sebagai salah satu dari beberapa strategi untuk meningkatkan disiplin dalam hierarki administrasi negara sebab  

mereka menghasilkan aliran independen informasi tentang kejahatan 

birokrasi yang didorong oleh warga sendiri. Shapiro menjelaskan bahwa “’hak’ banding yaitu  mekanisme untuk memberi  arus informasi yang independen ke puncak birokrasi mengenai kinerja birokrasi 

bawahan.” Penelitian ini membantu menjelaskan mengapa rezim otoriter tanpa memperhatikan kebebasan sipil sering menekan hak warga 

negara melalui pengadilan. Pengadilan memiliki “fungsi politik fundamental” dengan bertindak sebagai jalan “... bagi aliran informasi ke 

atas [dan] untuk aliran ke bawah dalam sistem komando.”

Mesir memberi  contoh yang baik bagaimana pengadilan kadang-kadang dipakai  oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan 

masalah principal-agent antara pusat dan daerah. sesudah  pengadilan tata usaha negara dirusak pada tahun 1950, maka di bawah Nasser 

(1952-1970), Sadat (1970-1981) dan lalu  Mubarak (1981-2011) memfasilitasi kemunculan kembali pengadilan tata usaha negara dalam usaha  untuk mengendalikan birokrasi negara. Sektor publik telah 

menjamur akibat gelombang besar nasionalisasi, dan birokrasi negara 

terus membengkak sebab  pemerintah wajib menyediakan pekerjaan 

bagi lulusan baru untuk mencegah kerusuhan sosial.

Salah satu masalah yang paling mendesak bagi Nasser dan para penerusnya yaitu  ketidakmampuan untuk memantau secara memadai 

disiplin seluruh hierarki administrasi negara. sebab  partai politik dibubarkan, independensi peradilan terganggu, pers bebas ditekan, dan 

warga negara dilucuti akses ke lembaga di mana mereka secara efektif 

dapat melindungi kepentingan mereka, maka hanya sedikit transparansi dalam sistem politik dan ekonomi. Korupsi mulai menjamur di 

pemerintahan dan birokrat menyalahgunakan kekuasaan dan posisi 

mereka untuk menekan warga, dan pengelolaan sektor publik dimonopoli oleh negara.

Nasser berusaha untuk meningkatkan pengawasan dan disiplin birokrasi melalui serangkaian mekanisme yang terpusat. Yang pertama 

yaitu  dengan menciptakan sebuah “Kantor Pengaduan” yang warga 

negara bisa mengajukan keluhan mereka. Jangkauan kewenangan kantor ini meliputi keluhan atas pelayanan berbagai kementerian, BUMN, 

provinsi, dan kantor presiden itu sendiri. Nasser juga berusaha untuk 

melaksanakan reformasi dan pemantauan birokrasi melalui pembentukan Badan Pusat Lembaga dan Birokrasi. Sadat lalu  menciptakan Dewan Nasional Administrasi Pembangunan. Kedua strategi ini  dianggap gagal.

Badan-badan monitoring menderita masalah principal-agent dan 

informasi yang asimetri sehingga memicu pelanggaran administrasi di banyak tempat. Kantor Pengaduan lebih mampu mengatasi 

masalah principal-agent ini , sebab  mereka menghasilkan aliran 

independen informasi dari warga yang mengajukan pengaduan. Kantor pengaduan di lingkungan kepresidenan sendiri menerima 4.000 

pengaduan per hari, atau hampir 1,5 juta per tahun.

Masalah birokrasi semakin meningkat dengan inisiasi kebijakan ekonomi pintu terbuka oleh Presiden Sadat. Transisi tiba-tiba dari 

ekonomi sosialis ke ekonomi campuran meningkatkan peluang untuk 

korupsi secara eksponensial. Kurangnya disiplin birokrasi selanjut-nya memicu  ketidakpastian hukum dan investasi. Sebuah kelompok konsultan bisnis utama yang beroperasi di Mesir pada 1970-

an melaporkan bahwa “sementara undang-undang baru mendorong 

banyak perusahaan-perusahaan internasional untuk memeriksa kemungkinan Mesir sebagai lokasi investasi, sebagian besar dari perusahaan-perusahaan itu menemukan bahwa UU telah memuat pedoman 

yang terlalu luas dan aplikasi mereka bermasalah dengan birokrasi Mesir yang tidak memiliki komitmen seragam untuk kebijakan baru. Oleh 

sebab  itu, realisasi investasi menjadi terhambat.” Dalam beberapa masalah , birokrat local menciptakan penghalang untuk memperoleh suap. 

Di lain waktu, birokrat mengganggu perusahaan atas alasan ideologis 

sehingga bertentangan dengan program ekonomi pintu terbuka yang 

baru diluncurkan.

sebab  strategi pemantauan terpusat gagal untuk menghasilkan 

informasi yang dapat dipercaya tentang kegiatan lembaga-lembaga negara itu sendiri, Sadat meningkatkan kemandirian dan kapasitas sistem 

pengadilan tata usaha negara sebagai forum netral di mana warga bisa 

menyuarakan keluhan mereka dan untuk mengekspos korupsi dalam 

birokrasi negara. Rezim memfasilitasi kekuatan dan otonomi pengadilan tata usaha negara pada tahun 1972 dengan mengembalikan kendali 

pengangkatan, promosi, dan fungsi internal lainnya, yang semuanya 

melemah atau sepenuhnya telah dilucuti oleh dekrit presiden pada tahun 1959. Pemerintah juga memperluas kapasitas kelembagaan pengadilan tata usaha negara pada tahun 1970-an dengan membangun 

pengadilan tingkat pertama dan banding di seluruh negeri. Dengan 

dukungan pemerintah ini, maka terjadi lonjakan masalah  yang ditangani 

oleh pengadilan tata usaha negara dalam perkara gugatan kepada pemerintah.

Cina memberi  contoh lain bagaimana pengadilan kadangkadang dipakai  oleh rezim untuk menyelesaikan masalah principal-agent antara pusat dan daerah. Dua masalah politik paling mendesak yang dihadapi pemerintah pusat Cina saat ini yaitu  merajalela 

korupsi oleh pejabat pemerintah daerah dan kontrol pemerintah yang 

lemah atas satuan pemerintahan lokal. Kedua masalah itu saling terkait. Sejak 1970-an, saat  Cina pelan-pelan melakukan transisi menuju 

ekonomi pasar bebas, pejabat pemerintah daerah seakan menemukan 

kemudahan untuk menyalahgunakan kekuasaan administratif sebab  

lemahnya kontrol administratif pusat. Pejabat pemerintah daerah me-nyediakan infrastruktur, lisensi dan perizinan, dan memungut pajak. 

Penyalahgunaan kekuasaan ini sangat umum, terutama sebab  pejabat 

pemerintah daerah sering memiliki peran yang signifikan dalam perdagangan lokal.

Pepatah Cina, “gunung-gunung menjulang tinggi namun  kaisar telah tersingkir,” dipakai  untuk menggambarkan ketidakmampuan 

pemerintah pusat untuk secara efektif memantau dan menghukum pejabat lokal sebab  menyalahgunakan kekuasaan administratif mereka. 

Tidak mengherankan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di tingkat lokal ini menghasilkan protes publik yang luas. Media China melaporkan terjadi tidak kurang 100 ribu protes pada 1997-2000.

Pada tahun 2004, jumlah “protes massa” yang dilaporkan oleh pemerintah Cina meningkat menjadi 74.000 peristiwa per tahun.

Bagaimana pemerintah pusat Cina menangani masalah kritis ini? 

Menarik, bahwa Cina lalu  menempuh rute yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Mesir, yaitu melalui ekspansi pengadilan 

tata usaha negara. usaha  ini mulai digalakkan pada tahun 1988 dengan 

pembentukan 1.400 pengadilan tata usaha negara di seluruh negeri. 

Sebuah UU Acara Peradilan Tata Usaha Negara lalu  ditetapkan. 

Pengadilan atata usaha negara dirancang untuk menyediakan jalur untuk mengajukan keberatan atas keputusan pejabat lokal berdasarkan 

berbagai alasan seperti inkonsistensi, kesewenang-wenangan, atau ketidakteraturan keputusan administratif, penundaan yang tidak pantas, 

penyimpangan prosedural, atau perlakuan yang tidak adil.

Warga negara semakin sering menempuh pengadilan tata usaha 

negara untuk mengajukan keberatan terhadap pejabat lokal. Dalam 

waktu 6 tahun sejak didirikan, lebih dari 50.000 masalah  tata usaha negara telah diperiksa setiap tahun, dan dalam waktu 10 tahun lalu , 

jumlah masalah  baru melonjak menjadi 2 kali lipat menjadi 100.000 per 

tahun. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Cina, tentu tingkat litigasi ini masih rendah, namun peningkatan secara tajam jumlah perkara menunjukkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara semakin dianggap sebagai jalan yang layak di mana warga negara dapat mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Sesuatu yang mengejutkan, 

terutama bagi mereka yang mengabaikan lembaga peradilan di negara 

otoriter, bahwa penggugat (dalam ini  warga negara) memenangkan 

hampir 40 persen dari masalah  ini baik untuk keseluruhan maupun 

sebagian.

Meskipun sepintas tampak sebagai sesuatu hal yang kontradiktif, 

Pengadilan Tata Usaha Negara juga melayani fungsi penting bagi pemerintah pusat. Pertama, perkara pengadilan memberi  informasi 

berharga mengenai perbuatan aparatur negara di tingkat lokal. Pemerintah pusat lalu  dapat memakai  informasi ini untuk 

mendisiplinkan bawahan dan menentukan kebijakan kepegawaian 

yang efektif. Kedua, pengadilan tata usaha negara menyediakan jalur 

hukum dan keadilan serta kesetaraan bagi setiap warga negara dalam 

menghadapi perlakuan pejabat di tingkat lokal.

Fungsi ini tampaknya menjadi prioritas bagi pemerintah pusat 

sebagai sarana untuk mencegah ketidakstabilan politik akibat korupsi 

dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal. Pengadilan tata usaha 

negara telah meredakan tekanan politik dan melakukan fungsi legitimasi tanpa merusak sistem politik. Akhirnya, mengurangi korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi pasar di tingkat lokal sangat 

penting untuk mengembangkan rasionalitas pasar dan kepemilikan 

properti.

Tentu saja ada sejumlah masalah yang dihadapi pengadilan tata 

usaha negara, dari kurangnya otonomi yang cukup dari negara atas 

pembalasan birokrasi dan pelaksanaan putusan pengadilan. Namun 

meskipun ada  persoalan, ada indikasi yang jelas bahwa pemerintah bergerak maju untuk memperkuat kapasitas kelembagaan sistem 

pengadilan. Peerenboom menegaskan bahwa “Jiang Zemin mendukung Rule of Law sebagian sebab  ia melihatnya sebagai alat untuk 

memperkuat kekuasaan Partai. Rule of law yaitu  cara untuk mengendalikan pemerintah daerah dari kemandirian dan memastikan bahwa 

kebijakan partai dan pemerintah pusat akan berjalan. ini  juga menjadi senjata dalam perang melawan korupsi dan sarana untuk mempro-mosikan pembangunan ekonomi. “

Selama 60 tahun kekuasaan partai tunggal di Meksiko, setiap warga negara juga didorong untuk memakai  pengadilan “sebagai perlindungan terhadap kesewenang-wenangan aparatur negara.”334 Kekuasaan Partido Revolucionario Institusi (PRI) tidak memberi  jalan 

kepada lembaga peradilan untuk terlibat dalam kebijakan. Sebaliknya, 

pemerintah memakai  mekanisme ini untuk lebih melembagakan 

Rule of Law dan memperkuat disiplin dalam tatanan birokrasi yang 

berkembang. Sebagai negara federal, Meksiko memiliki sebuah pengadilan tata usaha negara federal dan 29 lainnya di tingkat lokal. Konstitusi federal sendiri menentukan kebebasan bagi tiap-tiap negara bagian untuk menyusun peradilan dan cabang kekuasaan negara lainnya.

Sejarah pengadilan tata usaha negara telah mengalami rute yang 

panjang dan dibentuk sejak abad ke-16 dengan meniru pengalaman 

India yang membentuk Komisi Banding Kerajaan (The Royal Hearing). 

Setiap warga negara diperkenankan untuk mengajukan keberatan atas 

keputusan pemerintah Spanyol (yang menjajah Meksiko) yang diduga 

sewenang-wenang. Pada tahun 1812, para hakim tata usaha negara diintegrasikan kepada badan perpajakan sebagai bagian dari kekuasaan 

eksekutif. Situasi ini bertahan hingga 1824, saat konstitusi baru menetapkan para hakim tata usaha negara berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, khususnya peradilan umum, dan tidak lagi menjadi 

bagian eksekutif. 

Namun dalam perkembangan lalu , dengan alasan sentralisasi pemerintahan, para hakim tata usaha negara dikembalikan lagi 

menjadi aparatur pemerintah. Tahun 1853, UU Peradilan Tata Usaha 

Negara diundangkan. Dengan UU ini, dibentuk pengadilan tata usaha 

negara yang terutama untuk memeriksa dan memutus sengketa perpajakan. Pembentukan pengadilan ini sempat dihapus sebab  dianggap bertentangan dengan konstitusi yang tidak mengenal pengadilan 

khusus semacam itu. Melalui Konstitusi 1857, pengadilan tata usaha 

negara kembali dibentuk sebagai bagian kekuasana kehakiman dengan 

kompetensi absolut dalam rangka menangani keluhan warga negara, 

yang dalam dialek setempat dikenal dengan istilah “amparo.” Sistem 

ini berjalan dan kembali dihapuskan dengan ketentuan Konstitusi 1917.

Pada tahun 1936, Mahkamah Tata Usaha Negara Federal dibentuk 

dengan maksud sebagai bagian dari sistem peradilan yang independen, sekalipun ditempatkan sebagai bagian dari cabang eksekutif. Sejak saat itu dimungkinkan membentuk badan-badan pengadilan yang 

bersifat khusus dengan penempatannya sebagai bagian dari badan 

pemerintah. Rintisan perubahan UUD di tahun 1988 dan 1996 kembali menempatkan pengadilan tata usaha negara sebagai persoalan 

yang diperdebatkan. Ada usaha untuk menempatkan kembali sebagai 

bagian dari kekuasaan kehakiman. Hal itu terwujud saat perubahan 

Konstitusi Federal tahun 1996 dan dimuat dalam ketentuan Pasal 116 

(1988) dan Pasal 122 (1996), yang juga menjadi dasar bagi pembentukan pengadilan tata usaha negara di tingkat negara bagian. Konstitusi 

itu sendiri tidak pernah secara perinci mengatur wewenang negara bagian membentuk pengadilan tata usaha negara, akan namun  jika negara 

bagian akan mengaturnya, maka menjadi urusan negara bagian untuk 

menempatkan pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman atau badan 

independen yang menjadi bagian eksekutif, dengan diizinkannya pemerintah untuk mencampuri urusan rekrutmen, masa jabatan, dan 

sistem penggajian para hakim.

Desain sistem pengadilan tata usaha negara meliputi satu badan di 

tingkat federal dan 29 lainnya di tingkat negara bagian. Beberapa pengadilan di tingkat negara bagian yaitu  bagian dari kekuasaan kehakiman, sedang lainnya yaitu  badan independen yang menjadi bagian 

eksekutif. Kata “independen” di sini harus dimaknai sebagai “terpisah 

dari kekuasaan kehakiman.” Sudah barang tentu, akibat penempatannya sebagai bagian dari eksekutif, akan memicu  relasi ketergantungan dengan pemerintah. Di antara 29 pengadilan di negara bagian 

ini , 62% (18 pengadilan) menjadi bagian eksekutif, sedang sisanya 38% (11 pengadilan) menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. 

Untuk memahamai fungsi pengadilan Tata Usaha Negara di Meksiko, maka harus dibaca pertama-tama yaitu  Pasal 133 Konstitusi Federal yang mengisyaratkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan 

pemerintahan. Konstitusi telah menyediakan serangkaian prinsip untuk memandu dalam penyelesaian perselisihan. 

Lazimnya pengadilan lain, pengadilan tata usaha negara berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan secara adil dan tidak memihak. 

Salah satu kompetensi pengadilan tata usaha negara yaitu  menguji tindakan pemerintah atas dasar dugaan penyalahgunaan kekuasaan 

(abuse of power). Pengadilan akan memeriksa dengan memakai  

parameter Rule of Law. Sisi penting pengadilan tata usaha negara dengan demikian menjadi mekanisme hukum bagi setiap warga negara 

dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dan melawan hukum, sementara pada sisi lain juga berfungsi untuk memantau disiplin 

birokrasi.335 Setiap perbuatan pemerintah harus mencocoki prinsipprinsip konstitusi dan peraturan perundang-undangan khusus yang 

mengatur suatu wewenang. 

Lembaga peradilan juga kadang-kadang diberdayakan oleh penguasa otoriter untuk mempertahankan kohesi di antara orang-orang 

dalam pemerintahan. Telah lama diingat dalam legenda Achilles bahwa kesulitan dari otoritarianisme yaitu  mempertahankan konsensus 

di antara koalisi yang berkuasa. Para pemimpin otoriter sangat sadar 

bahwa jika perpecahan elite tidak dikelola dengan baik, rezim mereka dengan cepat dapat rontok dengan sendirinya. Untuk itu, lembaga 

peradilan dipakai  untuk memformalkan kesepakatan pembagian 

kekuasaan di antara para elite ini .

masalah  Chile di masa rezim Pinochet memberi  contoh yang paling jelas tentang bagaimana konstitusi telah dipakai  untuk meresmikan fakta antara faksi-faksi yang bersaing dalam rezim otoriter dan 

bagaimana lembaga-lembaga peradilan kadang-kadang dipakai  

untuk menyeimbangkan kepentingan di antara mereka. Konstitusi 

1980 dan pembentukan MK di tahun 1981 didesain untuk melestarikan perimbangan di antara 4 angkatan dalam militer guna menjamin 

kohesivitas rezim. Sayangnya, dalam perkembangan lalu , MK 

justru sering menentang pemerintah dan menjadi salah satu institusi 

yang membuka jalan demokratisasi. Aturan ditetapkan guna mencegah oposisi memakai  MK untuk menantang pemerintah. 

Tidak seperti kediktatoran kontemporer di Argentina, Brazil, dan 

Uruguay, yang melembagakan mekanisme untuk mencegah munculnya orang kuat di atas angkatan bersenjata, di Chile sesudah  kudeta 
September 1973, Pinochet dengan cepat mencapai keunggulan atas 

tentara dan pemerintahan junta militer dan muncul sebagai sosok 

yang paling kuat dalam rezim. Pada tahun 1980 kekuatan pribadi ini 

memungkinkan Pinochet untuk memberlakukan konstitusi yang melanggengkan pemerintahannya dan termasuk ketentuan yang lalu  memungkinkan dia untuk tetap menjadi Panglima Militer selama 

8 sesudah  kembali ke pemerintahan sipil dan menjadi Senator seumur 

hidup. Para sarjana umumnya membaca Konstitusi 1980 yaitu  

wujud kediktatoran personalis sebab , dalam jangka pendek, konstitusi tidak melakukan apa pun kecuali untuk memperpanjang kekuasaan 

Pinochet. 

Dalam beberapa masalah , penguasa otoriter memakai  pengadilan sebagai sarana mempertahankan kekuasaan. Sebagai contoh, sesudah  merebut kendali pemerintah Filipina pada bulan September 1972, 

Ferdinand Marcos dengan cepat menyatakan darurat militer, mengambil alih media, memenjarakan lawan politik, dan membekukan 

partai politik. Anehnya, Marcos sama sekali tidak menyentuh Mahkamah Agung Filipina. Sebaliknya, dalam pernyataan publik pertamanya 

Marcos meyakinkan publik bahwa “peradilan harus terus berfungsi 

sesuai dengan organisasi dan personil yang sekarang.” Selain itu, ia 

mengklaim bahwa pemerintah baru akan efektif menerapkan “checks 

and balances”, yang akan ditegakkan oleh Mahkamah Agung dalam kerangka baru “otoritarianisme konstitusional.”

Sebaliknya, pengamatan yang menarik yaitu  bahwa Marcos merasa terdorong untuk membuat pernyataan seperti itu dan untuk menjaga Mahkamah Agung berfungsi untuk memberi  perlindungan 

hukum bagi perebutan kekuasaan. Menghormati dipentaskan seperti 

legalitas liberal menunjukkan bahwa Marcos sangat menyadari bahwa 

klaimnya legitimasi prosedural yaitu  bermasalah. Dengan meninggalkan lembaga peradilan dengan gelar cukup kemerdekaan dari campur 

tangan eksekutif, Marcos bisa mengklaim lebih kredibel bahwa “otoritarianisme konstitusional” bukan sekadar sajian yang menggelikan. Anthony Pereira mengamati bahwa di Brazil, “... rezim bersandar kepada 

pengadilan untuk mengklaim legitimasi yang pada gilirannya legitimasi 

ini ditopang oleh ukuran tertentu dari otonomi.”338 masalah  serupa terjadi pada Spanyol (masa pemerintahan Franco), Mesir, dan Cina.

Dalam banyak masalah , rezim otoriter beralih ke Rule of Law sebagai 

narasi legitimasi hanya sesudah  kegagalan tujuan kebijakan awal mereka atau sesudah  dukungan populer bagi rezim telah memudar. Presiden 

Nasser (1954-1970) menyematkan legitimasinya pada prinsip-prinsip 

revolusioner kemerdekaan nasional, redistribusi kekayaan nasional, 

pembangunan ekonomi, dan nasionalisme Arab. Lembaga peradilan 

ditoleransi hanya sebatas bahwa mereka memfasilitasi prestasi rezim 

sebagai tujuan substantif. Kebijakan netral Nasser selama Perang Dingin memicu ketegangan Mesir dengan Barat, sehingga membatalkan bantuan dana untuk pembangunan Bendungan Aswan yang 

direncanakan. Nasser melakukan tindakan balasan dengan menasionalisasi Terusan Suez pada tahun 1956. Akibatnya, Inggris, Perancis, 

dan Israel menduduki Semenanjung Sinai, namun mengundurkan diri 

di tengah tekanan internasional, meningkatkan sehingga meningkatkan pamor politik Nasser. Sejak saat itu, popularitas Nasser di wilayah 

ini tumbuh secara substansial dan gagasan untuk membangun 

persatuan Arab di bawah kepemimpinannya meningkat, mencapai 

puncaknya dengan pembentukan Republik Persatuan Arab dengan 

Suriah (1958-1961).

Pada tahun 1962, Nasser memulai serangkaian langkah-langkah 

sosialis dan reformasi modernisasi di Mesir. Meskipun gagal membentuk persatuan Arab, dengan 1.963 pendukung Nasser mendapatkan 

kekuasaan di beberapa negara Arab. Dia juga terlibat dalam Perang 

Saudara di Yaman Utara. Nasser memperkenalkan konstitusi baru 

pada tahun 1964, tahun yang sama ia menjadi Ketua Gerakan NonBlok internasional. Dia kembali memperoleh jabatan presiden pada 

Maret 1965 sesudah  semua lawan-lawan politiknya secara hukum dilarang. sesudah  konsesi Mesir ke Israel atas Perang Enam Hari pada tahun 

1967, Nasser mengundurkan diri namun  kembali memperoleh jabatan 

Presiden sesudah  aksi massa memberi  dukungan. Nasser lalu  mengangkat dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri dan Panglima 

Militer pada 19 Juni 1967. Pada 30 Maret 1968, menyusul keretakan elite di tubuh militer, Nasser mengumandangkan manifesto politik untuk 

liberalisasi politik, pemberantasan korupsi, dan memperoleh dukungan lewat referendum pada bulan Mei. 

Sebaliknya, Anwar Sadat (1970-1981) secara eksplisit menyematkan 

legitimasi rezim kepada “sayadat al-qanun” (supremasi hukum) dan 

memakai  ratusan kali retorika Rule of Law selama 11 tahun berkuasa sebagai kepala negara yang otoriter. Tak lama sesudah  menjabat, 

Sadat mengejutkan banyak orang Mesir dengan mengabaikan dan memenjarakan dua tokoh paling berkuasa, Wakil Presiden Ali Sabry, yang 

memiliki hubungan dekat dengan pejabat Soviet, dan Sharawy Gomaa, 

Menteri Dalam Negeri, yang mengontrol polisi rahasia. Popularitas Sadat tumbuh cepat sesudah  ia mengurangi kekuatan polisi rahasia yang dibenci publik, membekukan hubungan dengan Uni Soviet, dan memulai 

konfrontasi baru dengan Israel. Mesir mengalami krisis ekonomi akibat 

Perang Enam Hari. 

Namun pada 18 September 1978, Sadat menyetujui kesepakatan damai dengan Israel, tindakan yang membuat Mesir dicoret dari keanggotaan Liga Arab, sekaligus memindahkan markas besar persekutuan itu 

dari Kairo ke Tunisia.340 Bulan-bulan terakhir dari kepresidenan Sadat 

ditandai dengan kudeta internal. Sadat menepis tuduhan bahwa kerusuhan itu dipicu oleh isu-isu domestik dan percaya bahwa Uni Soviet 

telah merekrut sekutu regionalnya di Libya dan Suriah untuk menghasut 

pemberontakan yang akhirnya akan memaksa dia keluar dari kekuasaan. sesudah  kudeta militer yang gagal pada bulan Juni 1981, Sadat memerintahkan tindakan keras yang memicu  penangkapan sejumlah 

tokoh oposisi. Pada tanggal 6 Oktober 1981, Sadat dibunuh saat menghadiri parade militer di Kairo.

Jabatan Presiden Mesir lalu  digantikan oleh Hosni Mubarak. 

Mubarak diangkat sebagai Wakil Presiden Mesir pada tahun 1975 dan 

menjadi presiden pada tanggal 14 Oktober 1981, sesudah  pembunuhan 

Presiden Anwar Sadat. Hampir 30 tahun kepresidenannya membuatnya menjadi penguasa Mesir terlama Muhammad Ali Pasha. Sebelum 

ia masuk politik, Mubarak yaitu  seorang perwira karier di Angkatan 

Udara Mesir, menjabat sebagai komandan 1972-1975 dan lalu  

menjadi Marsekal.Sepanjang tahun 1980-an Mubarak meningkatkan produksi perumahan yang terjangkau, pakaian, furniture, dan obat-obatan. Ketergantungan berat Mesir pada bantuan AS dan harapan untuk tekanan 

AS pada Israel untuk pemukiman Palestina dilanjutkan di bawah Mubarak. Ia juga diam-diam meningkatkan hubungan dengan bekas Uni 

Soviet. Pada tahun 1987 Mubarak memenangkan pemilihan untuk 

masa jabatan 6 tahun kedua. Dalam tahun-tahun awal kekuasaannya, 

Mubarak memperluas Badan Intelijen Mesir dan Pasukan Keamanan 

Dalam Negeri. 

Mubarak mengundurkan diri sesudah  18 hari demonstrasi selama 

revolusi Mesir 2011 saat  pada tanggal 11 Februari 2011, Wakil Presiden 

Omar Suleiman mengumumkan bahwa Mubarak telah mengundurkan 

diri sebagai presiden dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Militer Agung. Pada tanggal 13 April 2011, jaksa memerintahkan penahanan atas Mubarak dan kedua putranya selama 15 hari atas tuduhan 

korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia lalu  diperintahkan 

untuk diadili atas tuduhan kelalaian untuk tidak memberi  perintah 

guna menghentikan pembunuhan demonstran damai selama revolusi. 

Persidangan dimulai pada tanggal 3 Agustus 2011. Oditur militer Mesir 

lalu  juga menyatakan bahwa mereka sedang menyelidiki peran 

Mubarak dalam pembunuhan pendahulunya Anwar Sadat.

Pada tanggal 2 Juni 2012, Mubarak dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan Mesir. sesudah  hukuman, ia dilaporkan 

telah mengalami serangkaian krisis kesehatan. Pada 13 Januari 2013, 

pengadilan banding membatalkan hukuman Mubarak dan memerintahkan pemeriksaan ulang. Pada tanggal 20 Agustus 2013 pengadilan 

Mesir memerintahkan pembebasan Mubarak, sebab  tidak ada alasan 

hukum untuk lebih lama lagi melakukan penahanannya. Sehari lalu , perdana menteri sementara Hazem el-Beblawi memerintahkan 

Mubarak dalam tahanan rumah.

Demikian juga dalam masalah  Cina. Mao Zedong (1949-1976) merusak lembaga peradilan hampir sepenuhnya sesudah  mendirikan Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, namun  retorika Rule of Law kini semakin dipakai  oleh rezim yang sebagian untuk mengisi kekosongan 

ideologi kiri sesudah  pudarnya ideologi komunisme, terutama menyambut reformasi ekonomi Cina sejak kepemimpina Den Xiaoping (1978-1992).342 Penerus mereka, yaitu Hosni Mubarak (1981-2011), Jiang 

Zemin (1993-2003), dan Hu Jintao (2003-2013), terus memakai  

lembaga peradilan untuk mengonsolidasikan kapasitas kelembagaan 

mereka dan mengumandangkan slogan Rule of Law untuk meningkatkan legitimasi mereka.

Ini bukan untuk mengatakan bahwa rezim ini secara konsisten 

mendukung independensi peradilan atau bahwa mereka memiliki kebijakan yang stabil vis-à-vis lembaga peradilan. Sebaliknya, penguasa 

otoriter biasanya memiliki tekanan yang kontradiktif. Pengadilan dapat melakukan peran penting bagi rezim untuk menyelesaikan patologi pemerintahan otoriter, namun  mereka juga memerlukan biaya variabel bahwa para penguasa tidak ingin mentolerir. Klaim di sini yaitu  

bahwa setiap rezim berusaha untuk menggalang dukungan di berbagai 

momen dengan menyatakan membaktikan diri kepada Rule of Law. 

Susaha  legitimasi dipertahankan, lembaga peradilan harus menikmati 

derajat otonomi yang nyata dari eksekutif.

Pembahasan di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, pengadilan diberdayakan sebagai penguji yang penting pada eksekutif dan 

kekuasaan legislatif dan yaitu  dasar bagi fungsi pemerintahan 

demokratis. Kehadiran mereka dalam sistem politik nondemokratis 

mengejutkan dan layak untuk memperoleh penyelidikan lebih lanjut. 

Kedua, dalam konteks otoriter, pengadilan yang diberdayakan dapat 

memberi  jalan bagi kelompok oposisi untuk menantang rezim. Selain itu, pengadilan yang diberdayakan dapat memberi  kesempatan bagi tiap warga untuk tanggung gugat terhadap pejabat pemerintah lokal susaha  bertanggung jawab. Memahami penyebab perbedaan 

dalam pemberdayaan peradilan akan membantu menciptakan pema-haman yang lebih baik dari tingkat yang berbeda mengenai akuntabilitas dalam rezim otoriter. Ketiga, uraian telah menunjukkan peradilan 

independen penting bagi perkembangan ekonomi. 

Mengkaji lebih lanjut sumber pemberdayaan peradilan dapat 

membantu untuk menjelaskan perbedaan dalam pembangunan ekonomi di antara rezim otoriter. Pembangunan ekonomi, pada gilirannya, telah terbukti memainkan peran penting dalam proses demokratisasi. Memahami sumber perbedaan dalam pemberdayaan peradilan 

di antara rezim otoriter telah membantu mendapatkan wawasan lebih 

lanjut ke dalam proses demokratisasi. Keempat, uraian di atas juga 

menunjukkan bahwa ada  rezim otoriter yang tidak sama. Rezim 

otoriter terus membuktikan faktor yang signifikan dalam pembangunan dan kebijakan kelembagaan. Pandangan ini menunjukkan perlunya 

mempertimbangkan jenis otoriter rezim sebagai variabel independen 

yang terpisah saat  memeriksa rezim otoriter.





Kemunculan Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN yaitu  

salah satu perubahan yang cukup penting dalam sistem hukum negara kita  pada pertengahan tahun 1980-an, kala kekuasaan Orde Baru masih menancapkan kuku kekuasaan secara dalam. Perlindungan hukum 

dan supremasi hukum, suatu tujuan yang hendak dicapai oleh badan 

peradilan ini , yaitu  konsep-konsep yang asing bagi sistem 

otokrasi ini . Dengan badan peradilan ini, maka memungkinkan 

untuk mengontrol keputusan