Home » peradilan di indonesia 6 » peradilan di indonesia 6
Rabu, 13 September 2023
Dalam kurun waktu belakangan, semakin bertambah adanya perhatian, baik dari kalangan ahli maupun para pengambil kebijakan, mengenai peran lembaga publik dalam pembangunan ekonomi. Bahkan,
perhatian terhadap peran lembaga publik telah menjadi suatu fenomena yang lumrah sekalipun belum diterima secara universal. Di antara
perkembangan itu yaitu perhatian bahwa hukum dan pengadilan semestinya turut berperan dalam kemajuan warga, termasuk dalam
usaha pengentasan kemiskinan.
Para akademisi dan analis kebijakan pada umumnya telah memahami adanya keterkaitan antara lembaga pengadilan dengan pembangunan ekonomi. Pemerintah, lembaga donor internasional, penasihat kebijakan, dan berbagai lembaga swadaya warga telah
memperkenalkan kegiatan pembaruan hukum yang di dalamnya mencakup usaha-usaha untuk membenahi pengelolaan pengadilan untuk
mencapai tujuan ambisius guna mencegah korupsi, meningkatkan independensi, dan mendukung pembangunan ekonomi.
Adanya berbagai macam usaha untuk reformasi hukum dan pengadilan tidaklah mungkin akan dapat diperiksa dan dikaji secara kese-luruhan. Penyajian dalam bab ini lalu akan menjadi sederhana.
kami ingin menyampaikan apa yang menjadi masalah dasar dan
senantiasa berulang yang menimpa usaha merancang dan melaksanakan proyek reformasi hukum dan peradilan yang efektif, dan untuk
menyarankan beberapa pandangan konseptual yang mungkin bisa
membantu dalam mengatasi persoalan ini, atau setidaknya memikirkan, kesulitan-kesulitan ini.
kami mengajukan tiga persoalan utama dalam konteks ini. Pertama yaitu kendala sumber daya. Peningkatan kapasitas dan kualitas sistem peradilan mempersyarakan adanya dukungan sumber daya
manusia dan material yang kerap menjadi persoalan di Negara Sedang
Berkembang (NSB). Persoalan yang kedua yaitu perhitungan mengenai insentif yang perlu diberikan untuk mengatasi persoalan yang terjadi. Kapasitas pengadilan untuk mendukung pembangunan ekonomi
tergantung kepad kehendak para pihak untuk memberdayakan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa dan lalu mematuhi apa
yang menjadi putusan pengadilan ini . Juga tergantung kepada
kesediaan para hakim dan pejabat hukum lain untuk bertingkah laku
sesuai dengan persyaratan-persyaratan pembaruan hukum. Akan namun menyelarsakan insentif dalam persoalan ini juga menjadi persoalan
yang tidak mudah. Masalah yang ketiga yaitu saat sistem hukum
menyimpang secara optimal dalam banyak hal, maka pembaruan terhadap hukum atau pengadilan mungkin tidak memicu keadaan
membaik dan bahkan dapat memperburuk kinerja kelembagaan secara keseluruhan.I
Sebelum memaparkan masalah dan tantangan dalam reformasi
peradilan dan lembaga hukum di Negara Sedang Berkembang, perlu
untuk disampaikan mengenai alasan pentingnya reformasi peradilan
dan hal-hal apa saja yang perlu untuk memberi dukungan. Tentu
saja akan selalu muncul persoalan saat dilakukan pemeriksaan mengenai hubungan lembaga hukum dan pembangunan ekonomi.
Sejumlah pakar telah mengeluh betapa sulitnya mengidentifikasi
secara pasti apa yang dimaksudkan sebagai “hukum, pengadilan, dan
pengara” dalam ranah perbandingan atau sejarah mengingat betapa
beragam derajat dan fungsi dari setiap lembaga ini. lalu mun-cul pula permasalahan mengenai apa yang dimaksud dengan “pembangunan”, misalnya untuk mempertanyakan mengenai kualitas hukum,
apakah yaitu sesuatu yang konstitutif, sesuatu yang tidak senantiasa cocok dengan apa yang lazim dipahami mengenai “pembangunan” itu sendiri. kami tidak mengabaikan adanya diskursus ini , namun bukanlah maksud uraian dalam bab ini untuk membahas
masalah itu.
lalu timbul pertanyaan, apa peran yang tepat untuk pengadilan dalam mendukung pembangunan ekonomi? Pada umumnya, layanan dasar yang dikendaki dari pengadilan yaitu kemampuan untuk
menyelesaikan sengketa secara efektif. Kemampuan pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa memiliki rasionalitas dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi. Pertama, pengadilan menegakkan kontrak, menjamin hak-hak kepemilikan serta hak-hak kontraktual yang
dirasakan penting dalam pelaksanaan investasi sebagai bagian dari
transaksi ekonomi jangka panjang. Tentu saja dalam kepemilikan
hak-hak pribadi maka dapat dipertanyakan urgensi pengadilan sebagai
otoritas publik. Ada beberapa alasan mengapa kita mungkin berpikir
bahwa penyediaan layanan publik untuk penyelesaian sengketa dalam
bentuk pengadilan yang efektif menjadi unggulan bagi sektor swasta
untuk jasa penyelesaian sengketa. Meskipun pihak swasta dapat dan
sering bergantung pada berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, namun dalam pemeriksaan dan penyelesaian perselisihan perdata mekanisme ini memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup
maupun keterjangkauan wewenang.
Sering pula, alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia memperoleh kesan yang negatif. Misalnya, studi yang menarik oleh Curtis
Milhaupt dan Mark West membuktikan bahwa di Jepang, mekanisme
alternatif untuk menegakkan kontrak yaitu dengan memakai
“Yakuza” (sebutan untuk mafia Jepang): saat kekuasaan negara lemah,
maka kejahatan terorganisasi yang lalu bertindak. Serupa de-ngan itu, kajian yang dilakukan oleh Diego Gambetta menyatakan
bahwa mafia Sisilia telah memberi proteksi bagi para pemilik tanah
atas pengambialihan lahan, sekalipun telah ada pengadilan dan mekanisme penyelesaian sengketa lain yang ditetapkan oleh negara.
Selain itu, pada praktik peradilan, khususnya di Common Law System, sekalipun juga umum terjadi di Civil Law Sytem, prosedur untuk
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa disusun dalam format hukum
acara yang rumit. sebab sifat publik dari badan pengadilan maka,
setiap individu mungkin lebih menyukai pemeriksaan sengketa oleh
pengadilan, sesuatu yang tidak tersedia dalam alternatif penyelesaian
sengketa yang ditempuh secara privat.
Peran penting pengadilan dalam pembangunan ekonomi yaitu
mengoreksi kegagalan pasar. Misalnya, kemampuan pengadilan untuk
menetapkan paksa larangan pemakaian barang-barang berbahaya,
yang lalu akan membuat pelaku usaha memperhitungkan dengan cermat kemungkinan tuntutan atas kegiatan yang dilakukannya.
ini relevan dengan studi klasik Coase, yang menegaskan betapa
peran pengadilan menjadi penting saat transaksi sosial (termasuk keterpenuhan individu akan hak-hak hukum) telah terbatas. lalu , pengadilan penting sebab akan membuat wibawa pemerintah
meningkat. Pemerintah akan mampu meyakinkan kepada setiap warga
negara dan investor internasional bahwa negara akan mampu bertindak secara efektif untuk memberi proteksi. ini didukung oleh
minimal tiga alasan. Pertama, pengadilan mampu menegakkan hukum
yang telah ditetapkan sebelumnya baik melalui perjanjian, peraturan
perundang-undangan, dan konstitusi. Penyelesaian masalah hukum
oleh pengadilan akan meningkatkan para pihak, termasuk dalam hal
ini yaitu pemerintah, untuk selalu terikat kepada hukum yang telah
ditetapkan. Kedua, keterbukaan dan publikasi putusan pengadilan,
akan memandu bagi setiap pihak untuk senantiasa mengawasi sejauh mana pemerintah mempunyai komitmen untuk mengendalikan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.260 Ketiga, bahkan saat pemerintah belum benar-benar mau melaksanakan hukum, kebutuhan un-tuk mendapatkan persetujuan pengadilan dan ancaman litigasi dapat
membuat tindakan tertentu lebih mahal.
Transplantasi hukum yaitu fenomena yang lama terjadi
dalam sejarah dunia. namun perhatian kepada Rule of Law baru
berkembang pesat pada dekade 1960-an, saat pembangunan diterima
luas sebagai satu-satunya cara—meniru Barat—untuk mencapai kemajuan.
Dalam usaha pembangunan itu, ada usaha untuk melakukan
pembaruan terhadap bahan pelajaran di pendidikan hukum. Hal itu
didukung sepenuhnya dengan karya-karya kami AS seperti James
C.N. Paul, Clarence Diaz, dan Robert Seidman. Hanya saja pencapaian
transformasi sistem hukum di negara baru dan negara sedang berkembang mencapai hasil yang jauh dari memuaskan. Dalam satu dasawarsa mulai muncul persoalan-persoalan yang meresahkan.
David Trubek dan Marc Galenter, ilmuwan terkemuka untuk kajian “hukum dan pembangunan” dengan mengejutkan mengakui
bahwa usaha ekspor model Amerika, yang lalu mengakar di negara-negara sedang berkembang, telah berperan penting dalam memberi sumbangan atas persoalan yang muncul ini .
Untuk kurun waktu 20 tahun lalu , persoalan kembali muncul sehubungan dengan penerapan Rule of Law, saat pembangunan
telah lumrah menjadi jargon ekonomi politik. Ada masalah redistribusi
sumber daya terhadap kalangan miskin dan bagaimana merumuskan
insentif yang lebih besar lagi bagi aktor-aktor yang terlibat dalam pasar. Namun isu keadilan tidak begitu saja lenyap. Polisi yang bertindak
brutal dan dituding korup dibandingkan sebagai sosok pengayoman. Akses
pengadilan sulit dan distribusi keadilan menjadi lemah. Kemajuan sosial dan ekonomi lalu berada dalam situasi tanpa pemberdayaan
hukum dan lemahnya institusi hukum.
Krisis ekonomi dan finansial yang melanda area Uni Eropa
mengkonfirmasikan lemahnya institusi hukum itu dan telah disadari
dengan perkembangan dewasa ini. Sebagai sinyal titik terang dari kri-sis Eropa, Irlandia pada 15 Desember 2012 mengumumkan resmi keluar dari program dana talangan troika (IMF, Uni Eropa, Bank Sentral
Eropa). Irlandia—negara zona euro yang paling parah dilanda krisis
utang dan dipaksa meminta dana talangan 85 miliar dollar AS 3 tahun
lalu—menjadi negara pertama yang resmi keluar dari program bail out.
Tiga negara lain yang dapat dana talangan yaitu Yunani, Spanyol, dan
Siprus.
Langkah keluar dari penalangan ini sejalan dengan membaiknya
ekonomi negara itu. Angka pengangguran turun dari 15,1 ke 12,5 persen. Ekonomi kembali tumbuh meskipun lambat. Investasi asing mulai
masuk. Akses pemerintah ke pasar utang internasional kembali terbuka. Sektor pariwisata, konstruksi, dan pertanian kembali menggeliat.
Program talangan mensyaratkan pemangkasan tajam belanja pemerintah, reformasi struktural, serta kenaikan pajak dan penjualan
sejumlah aset penting negara. Dengan keluar dari program talangan,
kendali perekonomian Irlandia kembali berada di tangan pemerintah
dan Irlandia akan bergantung sepenuhnya pada pasar obligasi internasional untuk membiayai defisit anggaran yang 7,3 persen dari PDB dan
membayar utang ke kreditur internasional.
Utang Irlandia melonjak dari 25 persen menjadi 123 persen dari
PDB akibat krisis tahun 2008. Meski sudah resmi keluar dari program
talangan, bukan berarti kesulitan telah lewat. Perdana Menteri Enda
Kenny mengingatkan kondisi sulit yang dihadapi beberapa tahun ke
depan. Menteri Keuangan Michael Noonan memperkirakan perlu 10
tahun bagi Irlandia untuk kembali ke pertumbuhan ekonomi solid.
Salah satu tantangan terberat yaitu membenahi perbankan yang
dibelit tumpukan kredit macet. Tanpa itu, perekonomian domestik sulit bergerak. Hal lain yaitu mengatasi pengangguran. Lembaga pemeringkat Fitch mengingatkan risiko yang dihadapi Irlandia mengingat
langkah keluar dari penalangan dilakukan tanpa mengusaha kan pinjaman pengaman untuk berjaga-jaga jika situasi memburuk, terutama
di perbankan.
Sejumlah ekonom mengingatkan masih rentannya pemulihan
ekonomi, antara lain sebab ketergantungan yang terlalu besar pada
pasar ekspor, seperti Inggris, Eropa, dan AS, yang belum sepenuhnya
pulih. Langkah keluar dari program talangan itu dinilai sangat berani
mengingat kondisi ekonomi area Eropa yang masih labil.
Perekonomian 17 negara zona euro sebagai pasar utama Irlandia mengalami stagnasi dengan melambatnya pertumbuhan dua perekonomian terbesar, Jerman dan Perancis. Kenny dalam pidato menjanjikan tak akan membiarkan stabilitas negara itu terancam kembali oleh
spekulasi dan keserakahan. Negara berikutnya yang diperkirakan keluar dari program talangan yaitu Portugal, kemungkinan medio 2014,
terutama dengan disetujuinya evaluasi terakhir program ekonomi negara itu.
Sudah sejak 1990-an, ada usaha untuk merevisi peran hukum
dalam pembangunan dengan peninjauan kembali terhadap gagasan
demokrasi dan good governance. Dalam situasi ini, Carothers mengatakan, “dewasa ini orang tidak mungkin menjumpai perdebatan kebijakan luar negeri yang mengesampingkan Rule of Law sebagai solusi
untuk mengatasi kekacauan dunia.”263 Governance dan Rule of Law sesungguhnya saling berkaitan. Tanpa dukungan pengadilan, orang sulit
membayangkan terciptanya good governance.
masalah Asia dewasa ini mengkonfirmasi pernyataan ini . Dari
hari ke hari, perkembangan situasi keamanan di area Asia Timur
kian mengkhawatirkan. Risiko pecahnya konflik terbuka sebab gesekan di lapangan makin besar. Masih banyak pihak yang optimistis bahwa ketegangan yang melibatkan China dan negara-negara tetangganya
tak akan berujung pada konflik terbuka. Alasannya, nilai hubungan
ekonomi negara-negara ini terlalu tinggi untuk dirusak dengan
perang. namun makin banyak pula pakar dan analis yang memperingatkan, risiko konflik di area Laut China Timur dan Laut China Selatan makin besar.
Mereka yakin tak satu pun negara berniat memulai perang. Namun dengan tingkat ketegangan dan aktivitas lapangan seperti saat ini,
risiko salah perhitungan atau gesekan di lapangan makin besar. Satu
kesalahan kecil bisa memicu perang yang akan menjadi tragedi bagi
dunia. Terlepas dari justifikasi dan dalih setiap pihak yang terlibat masalah, tahun ini diwarnai peningkatan ketegangan di area -area ini .
Jika kita membuka kembali catatan tahun lalu, ketegangan China
dan Jepang terkait sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China
Timur masih diwarnai “perang” retorika diplomatik dan pengerahan
aset-aset sipil negara, seperti kapal-kapal Penjaga Pantai Jepang dan badan pengawas kelautan China di seputar perairan sengketa. Namun
seiring dengan meningkatnya ketegangan sesudah Pemerintah Jepang
membeli sebagian pulau-pulau di Senkaku/Diaoyu dari seorang pemilik pribadi di Tokyo, situasi lapangan berangsur-angsur berubah.
Tahun 2013 menandai dimulainya pengerahan aset-aset militer
yang makin intensif ke area sengketa dan sekitarnya. Akhir Januari,
sebuah kapal pengawal dan helikopter Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF)
dilaporkan dikunci dengan radar pembidik oleh sebuah kapal perang
Angkatan Laut China saat berlayar di Laut China Timur. Kedua negara
juga seperti berlomba menggelar latihan militer skala besar. Awal November, Pasukan Bela Diri Jepang menggelar latihan yang melibatkan
34.000 personel dari tiga matra dan sejumlah kapal perang dan pesawat tempur.
Dalam latihan itu, untuk pertama kali Jepang menempatkan peluncur rudal antikapal di Pulau Miyako, yang selama ini menjadi semacam
gerbang menuju Samudra Pasifik bagi kapal-kapal perang China yang
berpangkalan di bagian timur dan utara negara ini . Sebelumnya,
Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) menggelar
latihan skala besar dengan amunisi hidup di Samudra Pasifik bagian
barat. Latihan itu melibatkan beberapa armada AL PLA.
Pada akhir November 2013, China juga memberangkatkan kapal
induk pertamanya, Liaoning, ke dalam misi latihan di laut lepas. Kapal
induk yang dikawal 2 kapal perusak dan 2 fregat itu berlayar ke Laut
China Selatan, area yang juga diwarnai sejumlah sengketa China
dengan Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
Dalam pelayaran inilah sempat terjadi insiden antara salah satu
kapal perang China dan kapal penjelajah berpeluru kendali milik Angkatan Laut AS, USS Cowpens, pada 5 Desember. Pihak China menuduh
kapal AS itu memata-matai latihan dengan membayangi konvoi China
pada jarak 45 kilometer.
Namun langkah China yang paling kontroversial yaitu penetapan
zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di Laut China Timur, akhir
November. Meski Beijing berulang kali menegaskan penetapan ADIZ
itu tak ditujukan terhadap satu negara tertentu, cakupan geografis dan
pemilihan waktunya tak terhindarkan memancing reaksi keras dari tetangga-tetangganya.
Tak tanggung-tanggung, hanya dua hari sesudah penetapan ADIZ
China ini , AS—yang memiliki perjanjian pertahanan dengan Je-pang, Korea Selatan, dan Filipina, mengirimkan dua pesawat pengebom jarak jauhnya, B-52 Stratofortress, untuk terbang melintas zona
ini tanpa mengindahkan ketentuan yang ditetapkan Beijing.
Dalam artikel yang mereka tulis untuk kantor berita Reuters, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS James Steinberg dan peneliti senior
dari Brookings Institute, Michael E O’Hanlon, mengkritik langkah penetapan ADIZ China yang dinilai tak transparan dan memicu kecurigaan tetangga-tetangganya.
Walau demikian, Steinberg dan O’Hanlon juga menyayangkan
reaksi AS yang dipandang berlebihan. Menurut mereka, langkah AS
mengirim dua B-52 ke ADIZ China bukan sebuah usaha bagus untuk
membangun rasa saling percaya. “Akan lebih baik jika yang dikirim pesawat-pesawat tempur atau pesawat patroli jarak jauh untuk menegaskan prinsip (kebebasan melakukan transit di wilayah udara internasional) ini,” demikian tulis mereka.
Makin royalnya pengerahan sistem persenjataan utama di lapangan membuat kekhawatiran terjadinya insiden yang tak diinginkan makin besar. Baik pesawat B-52 maupun kapal penjelajah kelas Ticonderoga, seperti USS Cowpens itu, bukan mesin perang yang biasa-biasa
saja. Keduanya yaitu mesin perusak yang berkemampuan dahsyat.
Menyusul penerbangan B-52 ke ADIZ China ini , Jepang dan
Korsel juga mengirimkan pesawat-pesawat militer mereka melintasi
zona ini . “Peluang terjadinya kesalahan sangat tinggi. Jika keadaan ini berlanjut, kita harus mempertanyakan apa konsekuensinya nanti,” ujar Bonnie Glaser, pakar keamanan China dari Center for Strategic
and International Studies (CSIS) di Washington DC, kepada Reuters.
Menurut Glaser, China dan AS mungkin memiliki kemampuan dan
kemauan untuk mencegah insiden di lapangan bereskalasi. Namun ia
ragu masalah yang sama bisa diredam jika melibatkan militer China
dan Jepang. Unsur nasionalisme dan tekanan politik domestik di kedua negara itu bisa membuat situasi terlalu rumit dan tak terkendali.
Steinberg dan O’Hanlon menyarankan agar AS-China mengembangkan kesepakatan seperti yang terjalin antara AS dan Uni Soviet di era
Perang Dingin.
Apa pun itu, segenap usaha harus dilakukan semua pihak untuk
mencegah ketegangan di Laut China Timur dan Laut China Selatan
tereskalasi menjadi konflik terbuka. China dan Jepang, yang menjadi
pusat ketegangan ini, harus mencari cara dialog untuk menurunkan ketegangan dan menyelesaikan semua masalah melalui jalur damai.
Bagaimanapun, seperti diungkapkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidato di Tokyo, Jepang, pekan lalu, hubungan China dan Jepang sangatlah menentukan bagi masa depan area Asia
saat ini. Dan tak seorang pun menginginkan Asia abad ke-21 mengulang kesalahan Eropa pada abad ke-20 yang memicu dua perang dunia.
Referensi yang berkembang belakangan kembali menunjukkan
minat terhadap kajian hukum dan pembangunan dengan orientasi
baru. Ada dua perbedaan pendekatan yang berkembang, yaitu pendekatan konstitutif dan pendekatan instrumentalis.
Kajian Armatya Sen dan John Rawls dapat dikategorikan sebagai
pendekatan konstitutif. Rawls membahas Rule of Law dalam konteks
seluruh pembahasannya mengenai “keadilan sebagai fairness.”264 Radin misalnya, menafsirkan bahwa “Rawls telah dengan kuat membuktikan betapa Rule of Law diperlukan untuk menjamin kebebasan.”
Dalam semangat yang hampir serupa, Sen mengatakan bahwa “reformasi hukum akan memberi kebebasan, sesuatu titik penting dan
krusial dala pembangunan seutuhnya. Reformasi hukum dengan sendirinya menjadi penting.”
Pembangunan tergantung kepada ketercukupan rakyat dalam
menikmati hak-hak dasarnya. Suatu kajian yang dilakukan oleh Bank
Dunia atas penduduk miskin yang memperoleh bantuan menegaskan bahwa keselamatan, keamanan, dan keadilan yaitu prioritas penting dalam hidup. Dalam masalah negara kita , perkembangan
ekonomi nasional dalam 15 tahun terakhir tentu tidak asing dengan
masalah-masalah di atas sebab mirip momen ritual yang terjadi secara rutin dan berulang. Artinya, persoalan itu bukan khas pada 2013
saja, namun sebagian besar yaitu kado yang diterima rakyat setiap tahun. Perbedaan hanya terjadi pada intensitas dan pendalaman
masalah. Intensitas di sini dimaknai seberapa sering siklus problem itu
menghampiri perekonomian nasional.
Jika dahulu krisis datang secara berkala, katakanlah 15 atau 7 tahun sekali, sekarang hampir tanpa jeda. Sementara itu, pendalaman masalah dimengerti seberapa jauh soal yang muncul ini memiliki
potensi melantakkan perekonomian nasional (korporasi ataupun rumah tangga). Anomali yang bisa disebut: saat perekonomian dipacu
secara cepat sehingga menghasilkan pertumbuhan yang relatif tinggi, ternyata intensitas krisis lalu kerap terjadi dan makin dalam
dampaknya.
Tiga masalah pertama, yaitu stabilitas harga pangan, sendi mikroekonomi, dan kebijakan tak sensitif terhadap kaum miskin, menarik
dikaji dalam perspektif ini. Modernisasi dituntut untuk memperkuat
sektor basis sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari sektor industri
atau jasa berpeluang memenangi persaingan di pasar internasional.
negara kita memilih jalur berbeda dengan memisahkan akselerasi
sektor industri dan jasa tanpa lapis sektor primer. Implikasinya, kebutuhan pangan (dan aneka komoditas primer lain) tak bisa dicukupi dan
jika ada kelebihan produksi (seperti produk perkebunan) dibiarkan mengalir ke pasar internasional tanpa diolah terlebih dahulu. Pada
sisi ini, instabilitas harga pangan dan kerapuhan sendi mikroekonomi
jadi keniscayaan yang tak bisa dibendung. Implikasinya, pembangunan jadi terisolasi dari sebagian besar warga yang bekerja di sektor
primer sehingga ketimpangan pendapatan menjadi fakta yang tak dapat ditampik.
lalu , tiga masalah yang terakhir (efektivitas kebijakan fiskal, perekonomian yang terbuka, dan karakter kebijakan moneter) yaitu produk dari rigiditas pengambil kebijakan. Pada 10 tahun yang
lalu kekuatan APBN hanya Rp 400 triliun dan sekarang Rp 1.600 triliun,
namun pelabuhan, irigasi, jalan, dan rel kereta api tetap nyaris tak terbangun. Sektor industri mengalami kemunduran, UMKM tak bergerak,
dan peran BUMN terhadap kesejahteraan belum pula terlihat. Perekonomian juga gampang dihajar krisis akibat keterbukaan ekonomi,
entah dari sisi perdagangan, nilai tukar, investasi, maupun perubahan
kebijakan negara lain (seperti quantitative easing di AS). Celakanya, kebijakan moneter hanya dipagari untuk menjaga sektor itu sendiri, tanpa dipikirkan apakah kebijakan dimaksud telah berkontribusi terhadap
penguatan ekonomi nasional atau malah membunuh benih perekonomian riil yang dijalankan penuh ketekunan oleh warga.
Rakyat pasti berharap pilihan kebijakan yang diambil pemerintah
pada masa mendatang lebih mencerminkan pemihakan kepada kekuatan ekonomi nasional dan golongan menengah-kecil. Namun di luar itu masih ada pekerjaan lain seputar perbaikan “aturan main” (institutions) sebagai penyangga setiap kebijakan yang telah diproduksi.
Pada level makro, aturan main itu sekurangnya menyasar enam aspek
berikut (i) tata kelola, (ii) penegakan hukum, (iii) kepastian regulasi, (iv)
keadilan, (v) administrasi pajak, serta (vi) kelembagaan fiskal dan moneter.
Negara berkembang, seperti negara kita , digolongkan sebagai
bangsa yang rapuh dalam menyusun dan memperkuat kelembagaan
sehingga karakter aturan main yang dibuat menjadi bersifat ekstraktif
(mengisap), bukan inklusif. Jika dikuliti enam aspek kelembagaan ini , semuanya terkait dengan persoalan yang diangkat di muka sehingga pemapanan kelembagaan yaitu pertempuran yang harus
dimenangi di masa depan.
Tata kelola berfungsi untuk menjalankan setiap sistem yang telah
dipilih dengan tingkat akurasi, konsistensi, dan prinsip yang terjaga.
Inilah yang membuat setiap kebijakan tak mudah ditelikung di tengah
jalan sehingga terhindar dari moral hazard, perburuan rente, dan korupsi.
Kebijakan ekonomi di negara kita berantakan begitu dijalankan sebab rapuhnya tata kelola ini. Penegakan hukum selalu dapat rapor merah sebab nyaris hak kepemilikan tak dilindungi. Praktik pembajakan
dibiarkan, barang ilegal leluasa diperdagangkan, dan kontrak tidak bisa
jadi sandaran dalam sengketa di institusi hukum. Implikasinya, insentif investasi menjadi rendah dan pelaku ekonomi malas menanamkan
modalnya. Kepastian regulasi juga bermasalah sebab dibuat secara
serampangan sehingga mudah sekali dipatahkan di Mahkamah Konstitusi (jika berupa UU) ataupun berubah sebab tidak sesuai dengan
kebutuhan di lapangan. Ongkos ekonomi atas ketidakpastian regulasi
ini tentu saja sangat mahal.
Keadilan juga bagian dari kelembagaan yang mesti disantuni sebab di sinilah eksistensi pemerintah dipertaruhkan. Sederhana saja, jika
pemerintah mengundang investasi asing dengan sejumlah insentif fiskal atau nonfiskal, apakah bobot sama juga diberikan kepada pengusaha domestik, lebih-lebih pelaku skala kecil dan koperasi. Alih-alih diberi ruang gerak, kehidupan mereka kian dicekik dengan aneka kebijakan
yang memojokkannya. Potensi peneriman pajak yang begitu besar,
katakanlah sekitar Rp 1.800 triliun (20 persen dari PDB), menguap sebab administrasi pajak buruk (termasuk perilaku korup) dan keterba-tasan regulasi/sumber daya. Banyak wajib pribadi ataupun badan tak
tersentuh dan seakan hal itu lumrah. Akhirnya, desain kebijakan dan
efektivitas kebijakan fiskal dan moneter selalu dipertanyakan sebab
tak sesuai dengan sumber daya “melimpah” yang dipunyai. Pada 2014
pentas kontestasi politik dibuka, semoga pemimpin yang terpilih kelak
punya nyali dan gagasan besar untuk mengubah keadaan darurat ini.
Kendati angka statistik yang disajikan pemerintah menunjukkan
tingkat kemiskinan di negara kita kian turun, kenyataan di beberapa
daerah menunjukkan warga miskin justru makin meningkat. Kesenjangan ekonomi pun kian melebar. Data statistik kerap kali dipersoalkan, termasuk di tingkat daerah.268 Begitu parahnya angka-angka
statistik dipermainkan demi kepentingan politik, sampai-sampai ada
yang membandingkannya dengan logistik. “Logistik itu tidak pernah
statis, sedang statistik tidak pernah logis,” kata mereka yang kritis
dan sinis. Kalimat “pemerataan pembangunan nasional” sudah sering
disebut berulang kali sejak pemerintahan Orde Baru, namun fakta di lapangan berkata lain.269 Kesenjangan terasa bukan hanya antara Jawa
dan luar Jawa, antara negara kita bagian barat dan negara kita bagian timur, serta antara pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa. Juga yang
amat mencolok yaitu antara kota dan desa, antara pusat dan pinggiran. Bahkan juga antara upah/honor/gaji para pegawai rendahan dan
gaji atasannya. Kiranya, sudah saatnya slogan “Pemerataan Pembangunan Nasional” diganti dengan “Pembangunan Nasional yang Merakyat”, dan diusaha kan sungguh-sungguh agar betul-betul diimplementasikan. Artinya, ia tidak berhenti sekadar sebagai slogan kosong
belaka.270 Persoalan itu layak diperhatikan mengingat negara kita yaitu negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-5 di dunia, yang
berarti akan menghadapi pula persoalan yang menyangkut demografi.
Dalam sejumlah kesempatan, banyak pejabat publik di negeri ini
mengungkapkan adanya potensi bonus demografi sebagai peluang
yang harus dimanfaatkan guna mempercepat pembangunan ekono-mi negara kita . Meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64
tahun) saat ini yang diikuti penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) memicu penurunan
rasio ketergantungan. Ekonomi negara kita berpotensi tumbuh lebih
cepat dan terjadi perbaikan kualitas sumber daya manusia. Manfaat
ekonomi yang terjadi akibat menurunnya rasio ketergantungan (angka
yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk usia nonprodukif dan jumlah penduduk usia produktif) inilah yang disebut dengan
bonus demografi. Namun kenyataannya bonus demografi meleset dari
yang diharapkan. Data yang dipakai untuk menganalisis bonus demografi saat ini masih mengacu pada hasil proyeksi penduduk dalam
UN World Population Prospects (2002).
Setidaknya ada dua argumen mengapa potensi bonus demografi meleset dari perkiraan sebelumnya. Pertama, rasio ketergantungan
tak serendah yang diperkirakan. Rasio ketergantungan negara kita akan
mencapai titik terendah sebesar 44 per 100 penduduk usia produktif
selama periode tahun 2020 hingga 2030 jika didasarkan pada proyeksi
penduduk dalam UN World Population Prospects (2002). Namun proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Lembaga Demografi FEUI dengan
memakai basis data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan hasil
yang berbeda. Rasio ketergantungan terendah hanya akan mencapai
angka 46, bukan 44 seperti perkiraan sebelumnya. Maknanya, manfaat
bonus demografi tidak sebesar yang diharapkan. Setiap 100 penduduk
usia produktif akan menanggung bukan 44 melainkan 46 penduduk
usia nonprodukif (terdiri atas 35 penduduk muda berusia 0-14 tahun
dan 11 penduduk lansia). Kedua, rentang waktu rasio ketergantungan
mencapai titik terendah ternyata lebih pendek. Berdasarkan UN World Population Prospects (2002) diperkirakan rasio ketergantungan akan
mencapai titik terendah selama kurun 2020-2030. Periode ini dikenal dengan istilah the window of opportunity.
sesudah itu rasio ketergantungan akan naik kembali akibat meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Namun proyeksi
penduduk oleh Lembaga Demografi FEUI dengan memakai basis
data Sensus Penduduk 2010 justru menunjukkan, rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah hanya selama periode 2020-2025. Ini
lebih pendek 5 tahun dari perkiraan sebelumnya. Tentunya manfaat
ekonomi yang diperoleh dari perubahan struktur umur penduduk tidak sebesar yang diharapkan. sesudah tahun 2025, rasio ketergantung-an akan naik terus dan kembali mencapai angka 51 pada tahun 2050
(sama dengan 2010).
Ada dua penyebab bonus demografi tak sesuai harapan. Penyebab
pertama, asumsi angka kelahiran (fertilitas) 1,89 anak per perempuan
di tahun 2030 yang dipakai dalam UN World Population Prospects (2002) sulit tercapai. Berdasarkan tren fertilitas yang ada, Lembaga
Demografi FEUI memperkirakan bahwa di tahun 2030 angka kelahiran “hanya” dapat turun menjadi 2,15 anak per perempuan. Berarti,
jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya. Dampaknya, jumlah penduduk usia nonproduktif dari kelompok usia muda
(0-14 tahun) juga akan lebih banyak dibandingkan yang diproyeksikan sebelumnya. Apalagi angka kelahiran total (TFR) hasil Survei Demografi
dan Kesehatan 2012 (BPS) juga cenderung stagnan selama lima tahun
terakhir, yaitu 2,6 anak per perempuan. Program Keluarga Berencana
dalam beberapa tahun terakhir gagal mencapai targetnya. Penyebab
kedua, kematian bayi pada 2030 kemungkinan lebih rendah dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002): diperkirakan
turun 18,9 per 1.000 kelahiran hidup. Lembaga Demografi FEUI melihat tren bahwa angka kematian bayi bisa turun hingga 17 per 1.000
kelahiran hidup di 2030. Penurunan angka kematian bayi bisa lebih cepat dibandingkan perkiraan sebelumnya. Dampaknya, usia harapan hidup
akan lebih tinggi dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002). Jumlah lansia meningkat lebih cepat dari perkiraan sehingga
berkontribusi terhadap penambahan penduduk usia nonproduktif.
Perlu dicermati melesetnya potensi bonus demografi. Perubahan
struktur penduduk menurut umur jelas memiliki arti penting bagi perekonomian negara kita . Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk
lansia akan lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya, memicu
rasio ketergantungan juga lebih tinggi dan the window of opportunity
menjadi lebih pendek (2020-2025). Meskipun tampak sekilas rasio ketergantungan terendah hanya meleset dari angka 44 jadi 46 per 100
penduduk usia produktif, namun akan muncul konsekuensi yang tidak
sederhana dari ini . Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditandai peresmian operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014—disusul BPJS
Ketenagakerjaan pada 2015—akan mengandalkan iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan memakai asas asuransi sosial, potensi
iuran terbesar tentunya berasal dari penduduk usia produktif. Berarti rasio ketergantungan yang lebih tinggi memicu penduduk usia
produktif akan menanggung beban penduduk usia nonproduktif yang
lebih tinggi pula. Beban pembiayaan jaminan sosial yang harus ditanggung akan terus meningkat sesudah tahun 2025, terutama akibat
meningkatnya proporsi lansia. Tahun 2050, diperkirakan lebih dari 40
persen penduduk usia nonproduktif termasuk dalam kategori lansia.
Pemerintah dan para pengambil kebijakan tak dapat mengabaikan konsekuensi ekonomi dari rasio ketergantungan yang lebih tinggi
dibandingkan perkiraan sebelumnya. Perlu terobosan strategi, utamanya dalam kebijakan pengendalian kelahiran. Tanpa komitmen kebijakan yang kuat, peluang manfaat dari bonus demografi akan terlewatkan begitu saja.
Salah satu usaha yang wajib diterapkan dalam pemerataan pembangunan nasional yaitu mencegah kecenderungan yang lazim disebut dengan centremania.
271 Apabila disimak yang terjadi beberapa
waktu belakangan ini, tampak jelas betapa pemerintah dan swasta
sangat gencar membangun di pusat pemerintahan, pusat kota, pusat
bisnis: pokoknya yang serba pusat. Memang area pusat itu jelas
amat strategis, lengkap dengan segala macam sarana dan prasarana
yang dibutuhkan. Namun dampak negatif yang langsung terlihat yaitu meroketnya kesenjangan pertumbuhan antara pusat dan area
pinggiran. Kesumpekan, kesemrawutan, kepadatan berlebihan, kemacetan terjadi dan kian meningkat di area pusat kota. sebab kebanyakan para petinggi kota Jakarta pada masa silam mengidap sindrom
centremania, segala macam fungsi kota diemban Jakarta tanpa kecuali:
pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat bisnis, pusat perindustrian, pusat perbelanjaan. Hanya pusat-pusat permukiman dan perumahan yang disebar ke daerah-daerah belakangnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tak bisa dihindari: permukiman dan kota
baru di seputar Jakarta lebih berfungsi sebagai bedroom community,
sedang segala macam lapangan kerja dan fasilitas perkotaan tetap
menumpuk di Jakarta. Akibatnya, jika diibaratkan sebagai manusia,
kota Jakarta sudah mengidap obesitas alias kegemukan berlebihan sehingga sangat lamban untuk bergerak. Bahkan ada yang berani memprediksi bahwa 5 tahun mendatang Jakarta akan macet total.
Pada masa depan sangat dianjurkan agar kecenderungan centre-mania diubah total dengan konsep pembangunan yang disebut polycentric development272, atau multiple centre development, dengan fokus
pada aneka ragam pusat pertumbuhan yang tersebar di pelosok Nusantara.
Pola pembangunan nasional yang tak merakyat, tidak merata, dan
tidak berpihak kepada warga miskin—dengan akibat ketimpangan antardaerah dan antara kota dan desa—itu terutama dipicu
keserakahan para petinggi dan penentu kebijakan yang kurang peka
melihat kesengsaraan mayoritas rakyatnya. Padahal, sudah cukup
lama dikumandangkan kaidah pembangunan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, melestarikan keseimbangan lingkungan,
demi pertumbuhan nasional yang sehat. Jadi, ke depan, kaidah pembangunan nasional mesti lebih fokus berpihak kepada warga miskin. Tanpa ada perubahan sikap, mental, dan moral para tokoh elite di
puncak kekuasaan yang selama ini tampak bergelimang nafsu duniawi,
serakah, dan tamak, pemerataan pembangunan nasional hanya akan
tetap tinggal sebagai mimpi, yang tak akan pernah terejawantahkan.
Pembangunan nasional yang merakyat dan betul-betul berpihak
kepada warga miskin sesungguhnya salah satu amanah penting
demi keberlanjutan pembangunan nasional. Perlu dipikirkan implementasi 10 prinsip pembangunan berkelanjutan. Kesepuluh prinsip
itu yaitu , pertama, equity, yaitu kesetaraan alias pemerataan aset
dan akses pembangunan, baik secara geografis maupun demografis.
Kedua, environment, yaitu keserasian lingkungan atau keseimbangan
ekologis. Ketiga, employment atau tersedianya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, baik di sektor formal maupun informal. Keempat,
empowerment atau pemberdayaan segenap lapisan warga tanpa
kecuali. Kelima, engagement, yaitu pelibatan pihak swasta atau dunia
usaha dalam pembangunan. Keenam, enforcement atau penegakan
hukum, yang dijalankan secara konsisten dan tanpa pandang bulu.
Ketujuh, enjoyment, yakni agar rakyat merasa nyaman dan betah tinggal di lokasi masing-masing, di kota ataupun di desa. Kedelapan, energy conservation atau hemat energi dengan prinsip ramah lingkungan
sesuai dengan gerakan hijau. Kesembilan, ethics of development atau
etika dalam pembangunan, menghindari aneka jenis egoisme yang
hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Kesepuluh, esthetics atau keindahan lingkungan untuk menciptakan rasa tempat, sense of place
atau genius loci.
Dalam bidang perkotaan, Bappenas sudah merumuskan dalam
draf Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional tentang seluk-beluk
keberlanjutan perkotaan di Tanah Air. Ini sudah yaitu salah satu
langkah maju, yang seyogianya dikembangkan lebih luas dalam aras
pembangunan nasional secara makro. Kiranya perlu direnungkan pesan Nelson Mandela (alm) yang dikutip Majalah Time edisi 23 Desember 2013, “Kemiskinan itu tak alamiah, melainkan buatan manusia,
jadi bisa diatasi asal ada kemauan politik yang kuat. Diawali oleh elite
tertinggi pemerintah pusat, diikuti oleh jajaran di bawahnya, dan didukung penuh oleh warga luas.”
Kebijakan untuk mencukupi ketersediaan pangan, dalam ini
daging, yaitu objek pengamatan yang menarik bagaimana hukum gagal dimanfaatkan untuk fasilitasi ketersediaan hak-hak rakyat
akan pangan. Kementerian Pertanian telah menyatakan keinginannya
membuka peluang impor dari dua negara pengekspor utama ternak
dan daging sapi, Brasil dan India. ini sebab khawatir terjadi monopoli perdagangan mengingat pasokan hanya dibatasi pada dua negara: Australia dan Selandia Baru. Pernyataan ini lalu diperkuat
Menteri Perdagangan, dipicu masalah penyadapan oleh Australia. Mulai
awal tahun 2014, pemerintah akan mencari alternatif pemasok ternak
hidup dan daging sapi, selain Australia. Rencana itu sah-sah saja dilihat dari kacamata ekonomi, namun dampak kesehatan hewan tak bisa
begitu saja diabaikan.
Satu-satunya penghalang impor yaitu pemberlakuan sistem
negara bebas penyakit dan bukan zona bebas seperti tertuang dalam
UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pemerintah dan DPR berusaha melakukan percepatan dengan merevisi UU
ini. Mampukah populasi ternak diamankan dari ancaman masuknya
kembali penyakit mulut dan kuku (PMK)? Padahal, pemberantasan penyakit hewan menular ini baru berhasil sesudah 100 tahun berjangkit di
negeri ini.
Tak terelakkan, dampak PMK memicu pasar ternak dan daging dunia terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, pasar yang dimiliki negara bebas PMK, dan kedua, pasar negara di mana PMK masih
berjangkit endemik. Hampir semua negara endemik ada di Asia, Afrika,
dan Amerika Selatan.Banyak negara tak mengimpor sapi hidup ataupun daging segar,
dingin, atau beku dari negara endemik PMK. Akibatnya, banyak negara
endemik (terutama negara berkembang dan miskin) tersisih dari perdagangan dunia sebab suplai ternak dan daging terbatas hanya dari
negara maju.
Tak banyak negara maju yang mampu mengekspor sapi hidup.
negara kita yaitu pasar sapi hidup terbesar bagi Australia meski Australia sendiri hanya negara pengekspor peringkat ketiga dunia.
Brasil dan India berpopulasi sapi terbesar: 189 juta dan 187 juta ekor.
Diikuti China (lebih dari 100 juta ekor), Amerika Serikat (lebih dari 90
juta ekor), Australia (28,5 juta ekor), dan Selandia Baru 3,69 juta ekor.
Australia, Brasil, dan AS secara tradisional yaitu negara utama pengekspor daging sapi. Lima besar eksportir daging sapi yaitu
India, Australia, Brasil, AS, dan Selandia Baru. India mengambil alih kedudukan Australia sebagai eksportir terbesar pada tahun 2012. Selain
akses pasar, PMK juga memengaruhi harga. Harga daging dari negara
bebas, seperti AS, Kanada, Australia, Jepang, dan Selandia Baru, lebih
tinggi dibandingkan negara endemik. AS mengimpor daging sapi dari Australia dengan harga premium 30 persen lebih tinggi dibandingkan daging
sapi asal negara tertular.
Ketentuan UU No. 18/2009 yang membolehkan impor dari zona
bebas penyakit telah dianulir melalui Putusan MK pada 2012.273 Dalam
amar putusannya, MK menilai frasa “Unit usaha produk hewan pada
suatu negara atau zona” dalam Pasal 59 ayat (2);, frasa “Atau kaidah
internasional” dalam Pasal 59 ayat (4), kata “dapat” dalam Pasal 68 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor
5015) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945.
Permohonan ini diajukan oleh banyak pihak pada 2009 lalu. Sebagai pemohon, antara lain Perkumpulan Institute For Global Justice
(IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan negara kita (PDHI), Gabungan Koperasi Susu negara kita (GKSI), Wahana warga Tani dan Nelayan
negara kita (WAMTI), Serikat Petani negara kita (SPI), Yayasan Lembaga
Konsumen negara kita (YLKI), Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dan beberapa peternak. Dalam gugatannya, para pemohon
memang menginginkan agar MK meninjau Pasal 44 ayat (3), Pasal 59
ayat (2) berkaitan dengan frasa “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (4) berkaitan dengan frasa
“atau kaidah internasional” dan Pasal 68 ayat (4) berkaitan dengan kata
“dapat”. Sebab, redaksional di pasal-pasal ini diduga kuat bertentangan dengan UUD 45.
Menurut para pemohon, Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) frasa “unit
usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam ayat (4)
frasa mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional dan Pasal 68
ayat (4) “Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner”, melanggar konstitusi dan merugikan rakyat negara kita .
Lahirnya pasal ini mengabaikan prinsip kedaulatan ekonomi, perlindungan, rasa aman dan keberlangsungan hidup rakyat negara kita sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Bunyi lengkap Pasal 59 itu sebagai berikut “Produk hewan segar
yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit
usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk
hewan”. Menurut penggugat, selama ini negara kita hanya melakukan
impor dengan pendekatan negara bukan zona dalam suatu negara.
Salah satu hal yang menjadi keberatan peternak dengan pemberlakuan sistem zona yaitu negara negara kita akan dimanfaatkan oleh beberapa negara yang mempunyai zona bebas sebagai pintu keluar bagi
daging-daging murah dari zona yang belum bebas PMK dan harga yang
sangat murah. Masuknya daging murah dari berbagai negara yang belum bebas dari penyakit hewan menular utama (PHMU) akan memu-kul usaha peternakan sapi rakyat sebab harga yang sangat rendah.
Sebenarnya, pemohon juga meminta agar ketentuan Pasal 44 ayat
(3) UU 18/2009 mengenai kompensasi bila dilakukan tindakan depopulasi. Para penggugat menilai ketentuan ini menunjukkan Pemerintah tidak bertanggung jawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya
mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan
hak rakyat/Pemohon/peternak atas ganti rugi yang yaitu hak
tindakan depopulasi.
Namun untuk Pasal 44 ayat (33) ini, MK tidak mengabulkannya.
Menurut Mahkamah, depopulasi terhadap hewan yang positif terjangkit penyakit hewan yaitu tindakan Pemerintah untuk mencegah
penularan penyakit hewan terhadap hewan yang masih sehat, bahkan
untuk menghindari penularan kepada manusia. Tindakan Pemerintah
seperti itu yaitu dalam rangka melindungi hewan, warga negara kita , serta kesehatan warga negara kita . Selain itu hewan yang
sudah positif terjangkit penyakit hewan, tanpa depopulasi tetap tidak
akan membantu pemiliknya oleh sebab pada akhirnya hewan ini akan mati dan membahayakan hewan lain dan orang-orang di sekitarnya.
Padahal, perlu dicermati, masuknya PMK tak hanya lewat perdagangan resmi dari negara atau zona bebas PMK saja. Pintu masuk yang
sulit dikendalikan dan paling berpeluang untuk kembalinya PMK justru lewat daging impor selundupan.
Pada dasarnya, sistem zona bebas tidak melanggar kaidah teknis
dan sejalan dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Bila akan dilakukan impor dari zona bebas, wajib dijalankan usaha mitigasi risiko sampai ke tingkat perdagangan yang aman.274 Zona bebas
bukan suatu konsep yang tak dikenal dalam dunia kesehatan hewan
negara kita . Kita mengakui secara resmi daerah bebas rabies, atau daerah bebas brucellosis yang yaitu perwujudan konsep itu.
Adanya zona bebas justru menguntungkan dilihat dari konteks
pemberantasan penyakit hewan menular sebab bisa dilakukan progresif. Perdagangan bisa tetap dilakukan tanpa harus menunggu sampai
seluruh wilayah negara dinyatakan bebas. Namun dampak adanya zona bebas: perlu anggaran mempertahankan status bebas itu, terutama surveilans dan tindak karantina.
Ancaman global PMK saat ini akan terus berlanjut. PMK menghancurkan ekonomi, sosial, dan lingkungan di banyak negara maju
dan berkembang. Dampak ekonomi terutama akibat kehilangan produktivitas ternak yang tinggi, gangguan sejumlah aktivitas di bidang
pertanian, industri dan sosial, bahkan mengarah pada ancaman suplai
pangan.
Dalam ini , OIE mengklasifikasi status bebas PMK menjadi 5
status: (i) negara bebas tanpa vaksinasi, (ii) negara bebas dengan vaksinasi, (iii) zona bebas tanpa vaksinasi, (iv) zona bebas dengan vaksinasi,
dan (v) kompartemen bebas tanpa vaksinasi. Dari 178 negara anggota OIE, hanya 66 negara dinyatakan sebagai negara bebas PMK tanpa
vaksinasi. Hanya satu negara bebas dari vaksinasi: Uruguay. Sepuluh
negara memiliki zona bebas tanpa vaksinasi yaitu Argentina, Bolivia,
Botswana, Brasil, Kolombia, Malaysia, Moldova, Namibia, Peru, dan
Filipina. Enam negara memiliki zona bebas dengan vaksinasi: Argentina, Bolivia, Brasil, Kolombia, Peru, dan Turki. Selebihnya, 95 negara, di
Asia, Timur Tengah dan Afrika masih dinyatakan tertular PMK.
Implikasi penetapan status bebas PMK itu memicu tidak ada
akses pasar untuk peternak sapi dan kerbau di wilayah yang tak termasuk dalam klasifikasi di atas. Mengingat penyebaran paling umum
terjadi lewat jalur perdagangan ternak hidup, risiko PMK akan meningkat apabila mengimpor sapi potong, perah ataupun bibit dari negara
tertular ataupun dari negara yang punya zona bebas.275
Konsekuensi biaya pemberantasan apabila PMK masuk kembali
ke negara kita akan sangat mahal. Dengan status bebas PMK, negara kita
dapat mengimpor daging beku dari zona bebas dengan syarat teknis
sesuai dengan standar OIE. Virus PMK sulit bertahan dalam daging, biasanya mengalami inaktivasi 24-72 jam sesudah penyembelihan.
Sistem cegah masuknya PMK harus ada.276 Lembaga kesehatan hewan belum mampu mengantisipasi dan mencegah tuntas kemungkinan masuknya kembali PMK. Status bebas PMK sudah lebih dari 22
tahun sejak diakui OIE pada 1990. Keahlian mengenai penyakit ini harus disegarkan kembali dan dikembangkan terus. Pemerintah harus
memperkuat kemampuan diagnosis lapangan bagi dokter hewan di
seluruh negara kita , terutama yang bertugas di daerah berisiko tinggi di
perbatasan dan padat ternak.
Pendekatan instrumentalis fokus kepada persoalan bagaimanakah
hukum dan lembaga-lembaga hukum memengaruhi kinerja pembangunan. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa pengadilan akan memengaruhi pendapatan ekonomi. Jauh di masa lampau Adam Smith
berujar bahwa “suatu pengadilan yang bagus” bersama-sama dengan
pajak dan perdamaian, menjadi hal yang diperlukan untuk mencapai
kemakmuran suatu negara.277 Walaupun demikian, para pakar berpendapat bahwa mengelola pengadilan yaitu sesuatu yang berbeda
dibandingkan dengan pembangunan.
Manakah yang lebih penting: melindungi hak kepemilikan, menegakkan kontrak, mengawasi pemerintah dari perbuatan menyimpang, atau menjamin Rule of Law? Sebuah laporan Bank Dunia tahun
2002 mengatakan bahwa pendapatan dan Rule Of Law—termasuk di
dalamnya perlindungan kekayaan, kepatuhan kepada peraturan, dan
peradilan, yaitu hubungan yang sangat penting.278 Laporan yang
serupa mengatakan bahwa akibat ketiadaan mekanisme untuk menegakkan kontrak telah melemahkan pertumbuhan perusahaan dan
institusi keuangan, yang berarti menunjukkan keterkaitan antara independensi pengadilan dan ekspansi perdagangan.279 Kajian yang lain
menunjukkan adanya hubungan antara perlindungan kreditur dengan penanaman modal.280
Jika reformasi hukum tidak memengaruhi investasi asing, maka
memicu kesejahteraan yang berbeda-beda bagi penduduk pada
umumnya. Misalnya, di Asia menunjukkan bahwa pemberdayaan hukum dapat meningkatkan keadaan orang miskin dan bahwa warga
sipil yang dinamis, dan hukum yang melindunginya, menjadi penting
untuk strategi pemberdayaan hukum.281 Menurut kami , dalam implementasinya, pemberdayaan hukum itu secara teknis harus dirumuskan
atas dasar kemauan politik untuk melindungi rakyat, termasuk dalam
mengatasi kesenjangan dalam kancah perdagangan internasional.
Konferensi World Trade Organization (WTO) di Bali, negara kita beberapa waktu yang mengonfirmasikan pentingnya perlindungan ini . Di luar dugaan, Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali akhirnya
berhasil menyepakati Paket Bali. Dirjen WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan
bungah. sesudah macet 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda Putaran
Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin hasil ini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO tentang pentingnya kerja sama
multilateral.
Paket Bali berisi tiga hal: fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang, dan pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui. Perundingan paling alot terjadi pada agenda
pertanian. Dimotori India, kelompok G-33 yang dipimpin negara kita
mendesakkan penaikan subsidi pertanian, dari 10 persen menjadi 15
persen tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen dari 1,2 miliar penduduk
India bekerja di pertanian dan terancam kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur-atur WTO.
Dimotori AS, negara-negara maju menentang India. Argumennya,
subsidi untuk memperkuat cadangan pangan mendistorsi pasar jika
merembes. Usulan India akhirnya disetujui jadi bagian Paket Bali dengan peace clause empat tahun. sesudah itu dijanjikan ada solusi permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan
Paket Bali? Benarkah Paket Bali mencerminkan free and fair trade? Bisakah negara berkembang memanfaatkan 1 triliun dollar AS yang dido-rong perdagangan dunia?
Paket Bali sejatinya tidak mengubah apa-apa. Negara maju tetap
pada wajahnya yang lama: banyak menuntut namun pelit memberi. Pertama, peace clause 4 tahun sejatinya hanyalah omong kosong. Itu sebab hasil negosiasi dengan tenggat 4 tahun ini telah ditukar (trade
off) dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas
pasar di negara-negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause
hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan untuk yang lain. Janji
solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan kapan akan
diberlakukan? Boleh jadi, 4 tahun lagi negara maju berganti taktik.
Kedua, Paket Bali mencerminkan tetap berlanjutnya diskriminasi.
Menurut WTO, dengan mengamini argumen AS, subsidi guna memperkuat cadangan pangan mendistorsi perdagangan. Di lain pihak, subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju tetap dibolehkan oleh
WTO. Ini tecermin dari tetap dilegalkannya subsidi ekspor dan dukungan domestik yang oleh WTO dimasukkan dalam Green Box, Blue Box,
dan de minimis.
Ketiga, inti Paket Bali tetap berfokus pada akses pasar (market access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju. Dengan
disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara
maju bisa mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas seperti kepabeanan, pelabuhan, dan perizinan serta fasilitas pengukuran kesehatan di
negara berkembang. Itu semua memakan biaya besar. Padahal, fasilitas ini tak lain untuk melancarkan lalu lintas barang impor di negaranegara berkembang. Impor bakal membanjir, termasuk ke negara kita .
Janji negara-negara berkembang akan menikmati kue ekonomi
yang didorong oleh perdagangan dunia hanya janji surga. Dengan
pelbagai standar teknis internasional dan asal barang, persyaratan
lingkungan dan kesehatan di negara-negara maju akan cukup efektif
membendung masuknya aneka produk dari negara berkembang. Selain pelbagai hambatan new non-tariff barrier itu, negara maju juga
memberlakukan tarif eskalasi untuk sejumlah produk olahan. Dengan
cara itu, sulit produk negara berkembang menembus pasar negara
maju. Negara maju hanya tertarik membuka pasar bahan baku.
Menurut sebuah studi Bank Dunia, skenario Putaran Doha hanya
memberi keuntungan kepada negara-negara maju. Menurut Bank
Dunia, negara-negara berkembang hanya memperoleh sekitar 16 mili-ar dollar AS, sementara negara-negara maju mendapatkan keuntungan
hingga 96 miliar dollar AS sampai 2015. Yang paling diuntungkan yaitu korporasi. Menurut World Trade Report 2013, “80 persen ekspor AS
dikuasai satu perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan
10 persen eksportir besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada
5 perusahaan ekspor di negara berkembang”. Jadi, Paket Bali yaitu
kemenangan korporasi.
Keempat, Paket Bali menegaskan adanya dua dunia di belahan
bumi: utara yang makmur dan kaya serta selatan yang miskin dan melarat. Ada negara berpendapatan per kapita lebih dari 40.000 dollar AS,
namun jumlah penduduk yang pendapatan per kapita 1.000 dollar AS
per tahun atau kurang amat banyak. Lebih dari 1,2 miliar orang atau
satu dari setiap lima penduduk dunia harus hidup dengan 1 dollar AS
per hari atau kurang. Mereka miskin, kurang gizi, rentan terhadap bencana dan gejolak, serta akses terhadap kesehatan dan pendidikan rendah. Negara-negara ini masih bergulat dengan persoalan kebutuhan
dasar.
Di sisi lain, negara-negara maju yang telah mencapai tahapan
tertinggi dari pembangunan industri, jasa, dan perdagangan terus
melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi ekonomi. Negara-negara ini terus mengejar kemajuan tiada henti, tanpa mau tahu
pelbagai masalah yang membelit negara-negara berkembang dan
miskin: rendah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber
daya manusia, serta lemah akses pasar dan modal. Apakah demikian
ini yang dinamakan perdagangan bebas yang bukan hanya free, melainkan juga fair trade?
Yang amat disesalkan yaitu peran negara kita . Sebagai tuan rumah, negara kita lebih banyak mendorong Paket Bali agar segera (bisa)
disepakati. Sebagai Ketua G-33, posisi negara kita juga “abu-abu”. Tak
jelas kepentingan nasional yang diperjuangkan. Sebagai tuan rumah,
di mata dunia luar negara kita akan dipuji WTO dan korporasi sebab telah berhasil memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan
perputaran kapital mereka. Di dalam negeri, negara kita kembali menuai kecaman sebab tak gigih membela kepentingan nasional.
Contoh yang lain betapa kadang-kadang hukum gagal untuk dikedepankan dalam mendorong perekonomian yaitu masalah pelarangan
eskpor mineral mentah. Asosiasi Pengusaha Mineral negara kita (Ape-mindo) menolak pelarangan ekspor mineral mentah.282
Program hilirisasi tambang ini yaitu amanat UU No. 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Kedua peraturan perundang-undangan itu memaksa
semua perusahaan tambang mendirikan pabrik pengolahan sendiri,
apakah berupa pabrik peleburan ataupun pengolahan sendiri, atau
memberi kesempatan bagi investor lain mendirikan pabrik pengolahan seperti itu.
Padahal, sifat dan hakikat antara satu dan lain jenis hasil tambang
sangat berbeda. sebab tidak dirancang dengan perhitungan ekonomis, melawan struktur pasar internasional, dan terbatasnya kapasitas
pabrik pengolahan di dalam negeri yang dapat mengolah hasil tambang, maka sangat dicemaskan bahwa kedua aturan itu menjadi menjadi macan ompong belaka. Kedua aturan itu bukan dibuat ahli ekonomi pertambangan yang baik.
Tidak jelas apakah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
mengoordinasikan kebijakan larang ekspor itu dengan mitra kerjanya
di kementerian dan instansi lain, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Bank negara kita . Mereka yang menentang melihat, dalam kondisi ekonomi yang sulit dewasa ini, larangan
ekspor mineral mentah akan makin menurunkan penerimaan negara
dari royalti dan berbagai jenis pajak yang mengganggu APBN. Daerah produsen hasil tambang yang tadinya kaya raya kini sudah mulai
megap-megap sebab penurunan penerimaannya dari sektor pertambangan. Nilai tukar rupiah akan terus melemah sebab berkurangnya
penerimaan devisa ekspor, kiriman TKI, maupun pemasukan modal
asing jangka pendek.
Selain itu, tanpa adanya larangan ekspor perusahaan tambang dan
perkebunan pun, kita sudah menderita akibat dari penurunan tingkat
harga komoditas primer di pasar internasional yang sangat drastis, sekitar 40 persen, sejak akhir 2011. Larangan ekspor akan membuat harga komoditas primer makin rendah di pasar dalam negeri. Larangan
ekspor dikhawatirkan juga akan membuat citra negara kita sebagai pemasok tak dapat diandalkan sehingga merangsang pembeli beralih kenegara penghasil lainnya, seperti Australia, Papua Niugini, New Caledonia, Mongolia, Rusia, atau negara-negara di Amerika Latin dan Afrika. Sering berubahnya peraturan perundang-undangan memicu
tak adanya kepastian usaha bagi investasi di sektor pertambangan yang
beroperasi dalam jangka panjang.
Aturan hilirisasi hasil tambang di atas dibuat pada saat puncak kenaikan tingkat harga komoditas primer terjadi, termasuk hasil pertambangan, selama 2000-2011. Namun kebijakan itu diimplementasikan
pada saat yang salah, yakni sesudah harga-harga meluncur turun secara
drastis mulai akhir 2011. Selama 2008-2011 saja, ekspor konsentrat nikel naik 11 kali lipat, nilai ekspor bauksit 5 kali lipat, dan nilai ekspor
nikel 8 kali lipat.283
Hal yang sama juga terjadi pada harga komoditas pertanian, seperti minyak kelapa sawit, cokelat, dan karet. Kedua aturan itu dibuat
berdasarkan asumsi bahwa tingkat harga hasil tambang akan terus meningkat 1 persen setahun dan biaya pendirian pabrik pengolahan naik
2 persen. sebab dirangsang tingkat keuntungan yang tinggi, tadinya
banyak investor yang tertarik berinvestasi di sektor pertambangan dan
perkebunan pada masa boom ini . Teknologi yang diperlukan untuk pertambangan batubara juga sangat sederhana seperti penggalian
gunung kapur di Purwakarta atau pasir lava letusan Gunung Merapi di
Kali Code, Yogyakarta, yang cukup bermodalkan sekop, pacul, dan otot.
Penyebab boom komoditas primer selama ini ialah adanya pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, rata-rata 9-10 persen setahun
di China sejak Deng Xiaoping meliberalkan ekonominya pada 1987 dan
India melakukan hal sama mulai 1992. Modernisasi, mekanisasi, motorisasi, ataupun pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat di kedua negara memerlukan sumber energi serta segala macam jenis hasil
tambang. Rakyatnya yang semakin makmur menuntut kualitas makanan yang lebih baik, termasuk minyak goreng dan hasil laut dari negara kita . Motor penggerak pertumbuhan ekonomi China yaitu investasi
dan ekspor yang tinggi. India mempromosikan jasa-jasa berbasis komputer. Kedua negara sosialis itu, yang tadinya sangat anti pada modal
asing, kini justru mengundangnya ikut menciptakan lapangan kerja di
dalam negerinya sendiri, melakukan transfer teknologi, dan membuka
pasar eksporPenurunan harga komoditas primer terjadi pada saat yang bersamaan dengan peningkatan tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia akibat dimulainya pengurangan pembelian obligasi pemerintah
dan surat berharga lainnya oleh bank sentral Amerika Serikat. Suntikan
likuiditas melalui pembelian besar-besaran surat-surat berharga itu
dikenal sebagai the quantitative easing (QE) yang telah menurunkan
tingkat suku bunga hingga mendekati nol guna merangsang pengeluaran konsumsi dan investasi sektor swasta. Kombinasi kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan harga komoditas primer yang yaitu produknya akan memicu masalah likuiditas, solvabilitas,
ataupun kebangkrutan bagi perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak meminjam di luar negeri.
Pabrik pengolahan atau peleburan hasil tambang bersifat padat
modal dan padat energi sehingga memerlukan investasi modal skala besar. Agar efisien, kapasitas pabrik itu harus besar dan memenuhi skala ekonomi minimal tertentu. Tenaga yang diperlukannya pun
yaitu yang memiliki pendidikan serta keterampilan tinggi. Selain
itu, diperlukan infrastruktur yang baik, berupa transportasi darat dari
tambang hingga pelabuhan, atau pabrik pengolahan serta pelabuhan
laut, telekomunikasi serta pengolahan limbah agar tak mencemarkan
lingkungan hidup. Pertanyaan, apakah investasi modal besar itu akan
memberi nilai tambah memadai?
Semua persyaratan di atas tak bisa kita penuhi dewasa ini. Kita tak
punya modal besar, keahlian teknologi, ataupun manajemen mendirikan dan mengelola pabrik peleburan besar. PT Inalum membangun
semua keperluannya, pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, hingga kota baru, lengkap dengan rumah serta fasilitas sosial karyawan. Bekerja sama dengan investor luar, PT Aneka Tambang hanya
mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang skala
kecil yang digerakkan pembangkit tenaga listrik yang mahal.
Perhatikanlah tenaga-tenaga teknisi yang bekerja di sektor pertambangan kita. sebab kurangnya teknisi negara kita , teknisi di sektor
minyak pada umumnya berasal dari Texas dan Oklahoma, negara bagian penghasil migas di AS. Tenaga teknis di pertambangan nonmigas,
mulai dari Freeport di Papua hingga tambang emas Martabe di Batangtoru, Sumatra Utara, didominasi warga Australia. sebab kurangnya
pendidikan dan keterampilan, pada umumnya tenaga lokal berupa
sopir dan petugas satpam.Perusahaan listrik PLN belum mampu memanfaatkan tenaga air
dan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik. Biaya investasi pembangkit listrik seperti itu memang mahal, tapi biaya operasinya sangat
rendah. Itu sebabnya, perusahaan raksasa Jepang mau membangun
tenaga listrik dengan memanfaatkan Air Terjun Sigura-gura di Sungai
Asahan untuk melebur biji bauksit yang diimpornya, terutama dari
Amerika Latin dan Australia.
Hasil olahan pabrik itu terutama diekspor ke pasar dunia. Proyek
yang persis sama dengan Inalum ada di Brasil yang memanfaatkan tenaga listrik dari Air Terjun Itaipu. Selama 30 tahun usia PT Inalum, PLN
tak mampu memasang generator listrik yang berdampingan dengan
milik PT Inalum untuk memanfaatkan kapasitas air terjun yang masih
ada. Untuk mengelola PT Inalum, diperlukan ahli teknik prima, manajer yang baik, ataupun ahli perdagangan kelas dunia yang tahu perdagangan internasional bijih bauksit dan hasil olahannya.
Tidak semua hasil tambang sama dengan bauksit yang lokasi penambangannya berjauhan dengan pabrik pengolahannya dan juga
berjauhan dengan tempat pemasarannya atau pemanfaatannya. Tempat yang berjauhan itu memerlukan biaya transportasi mahal. Ada beberapa jenis hasil tambang yang lebih ekonomis diolah di dekat tempat
penambangannya dan ada pula yang lebih murah jika diproses di daerah pemasarannya. Dengan memakai listrik tenaga air yang murah di berbagai pelosok negerinya, China telah mampu membangun
beberapa pabrik peleburan hasil tambang, antara lain untuk mengolah
biji tembaga dari negara kita .
Dari segi ini, UU dan Permen Minerba di atas akan melawan hukum ekonomi yang telah menentukan lokasi industri pengolahan dan
pemrosesan bijih pertambangan dunia yang sudah ada dan memaksanya pindah ke negara kita . Apa kuasa kita sehingga dapat memaksakan
relokasi seperti itu? sebab tak ada program pemerintah yang jelas,
juga tak ada keterkaitan ke depan atau ke belakang industri tambang
dan perkebunan di negara kita . Perkebunan sawit tetap mengekspor minyak sawit mentah ke Malaysia untuk diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi. negara kita yaitu pasar permen
cokelat buatan Malaysia yang bahan mentahnya berasal dari Sulawesi,
Kalimantan, dan Sumatra.
Singapura memiliki refinery yang mengolah minyak mentah negara kita dan mengekspor minyak olahan kembali ke negara kita . Semba-wang, BUMN negara itu, yaitu pemasok rigs minyak bumi laut
dalam mulai dari Norwegia dekat Kutub Utara hingga Brasil dekat Kutub Selatan. Sama dengan pada era Ibnu Sutowo di masa lalu, Pertamina sekarang ini lebih tertarik membangun real estate berupa gedung
100 tingkat dan bukan refinery ataupun proyek yang berkaitan dengan
minyak dan gas.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berencana melonggarkan aturan ini . Tindakan ini mengulang cerita lama satu dekade
lalu saat pebisnis pertambangan berhasil mendikte negara kita membuka hampir 1 juta hektar hutan lindungnya menjadi area tambang.
Menjelang Pemilu 2004, pebisnis tambang berhasil membuat DPR di
Senayan mengamendemen pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya, hampir 1 juta hutan lindung bisa dialihfungsikan menjadi area tambang dengan harga sewa lebih murah dibandingkan sepotong pisang goreng, yakni hanya Rp 300 per meter persegi.
Sektor pertambangan bagaikan panglima yang mendikte arah
pembangunan. Jika sektor keruk ini masuk ke sebuah wilayah, fungsi
lain hanya mendapat sisanya. Di area -area kaya bahan tambang dan minyak dan gas bumi, rencana tata ruang wilayah (RTRW)
yang semestinya menjadi panduan pembangunan sebuah area ,
tak berlaku bagi para pebisnis tambang.
ini dapat dilihat dengan masalah Jawa Timur. Sekitar 40 persen
wilayah Jawa Timur dikuasai oleh 32 blok migas, separuhnya di wilayah
Sidoarjo. Padahal, Sidoarjo yaitu area padat huni dan masuk dalam kelompok kota metropolitan. Celakanya, peruntukan industri migas justru tak diatur dalam RTRW. Akibatnya, saat 8 tahun lalu Lapindo
Brantas lalai memasang casing bor, terjadi luberan lumpur panas yang
merendam 12 desa dan menggusur puluhan ribu orang. Negaralah
yang harus merogoh anggarannya mengurus para korban semburan
lumpur Lapindo.
Demikian halnya dengan yang terjadi di Samarinda, konsesi tambang batubara menguasai hampir 2/3 luasan ibukota Kalimantan Timur. Akibatnya, luas ruang terbuka hijau yang tersisa tak sampai 1 persen dan lebih dari 150 lubang tambang belum direklamasi. Banjir di
perkotaan juga makin menggila. Dulunya hanya setahun, atau 5 tahun
sekali terjadi banjir besar. Kini, sepanjang periode 2007-2009 telah terjadi sebanyak 126 kali banjir. Situasi Samarinda membahayakan warga, bahkan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
defisit. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan
batubara lebih rendah dibandingkan dengan biaya penanggulangan
banjir akibat pengerukan batubara. Pada periode 2006-2010, rata-rata
penerimaan dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum Samarinda
Rp 22,3 miliar per tahun. Sementara biaya penanggulangan banjir pada
periode 2008-2010, mencapai Rp 107,9 miliar dan meningkat hingga
Rp 602 miliar dalam 3 tahun berikutnya.
Tidak termasuk biaya rehabilitasi yaitu kerusakan jalan umum
sebab transportasi batubara, juga biaya yang ditanggung warga sekitar tambang saat lahan pertanian, hutan, dan sumber-sumber air
dihantam banjir pada musim hujan dan krisis air saat kemarau sejak
tambang masuk desa mereka.
Model pengurusan pertambangan yang “keruk cepat jual murah”
sejak Orde Baru terbukti mempercepat eksploitasi bahan tambang dan
merusak ruang hidup warga. Alih-alih menyejahterakan, senyatanya
negara yang menyubsidi pebisnis tambang. Orde Reformasi juga tak
membawa angin perubahan lebih baik. Sistem pemerintahan yang
korup menjadi muara para politikus dan pebisnis berkuasa di pemerintahan dan gedung wakil rakyat. Di tangan mereka, UU No. 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan UU No.
32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup hanyalah pasal-pasal karet, yang bebas tafsir dan diterapkan untuk memperluas politik penjarahan kekayaan alam.
Tidak mengejutkan jika 5 tahun sejak UU Mineral dan Batu Bara
berlaku, pengurusan sektor hulu semakin tidak terkendali. Luasan
dan tumpang tindih izin tambang makin tak terkontrol. Hingga tahun
2011, sedikitnya 8.000 izin dikeluarkan pemerintah dan 75 persennya
tumpang tindih. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada
tahun 2013 izin yang dikeluarkan lebih dari 11.000 izin. Anehnya dalam
4 tahun terakhir, sektor yang diagung-agungkan akan membawa kesejahteraan ini rata-rata kontribusi angka PDB-nya hanya 11,30 persen,
lebih kecil dibandingkan dengan sektor berkelanjutan yang penyerapan tenaga kerjanya juga lebih besar, seperti pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang mencapai 14,85 persen.284
Kini pemerintah mendorong pembukaan pabrik peleburan (smel-ter) di sektor hilir. Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi negara kita (MP3EI) menyebutkan akan membangun lebih dari 150 smelter di seluruh negara kita . Tak terbayang krisis ekologi dan sosial yang
bakal terjadi di tengah pengurusan sektor hulu yang amburadul.
Larangan ekspor bahan mentah bisa memicu praktik penyelundupan, seperti yang terjadi pada timah Bangka Belitung dan perdagangan merkuri. Belum lagi dampak berupa 9.500 ton limbah ponsel
(cellphone) per tahun yang dihasilkan negara kita sejak menjadi pengguna ponsel urutan ke-5 dunia. Senyatanya, dari hulu hingga hilir pengelolaan bahan tambang, negara kita tak beranjak dari pelayan negaranegara industri, penyedia bahan mentah, dan pasar raksasa.
Memperdebatkan di mana bahan tambang digali, diolah, dan dikemas menjadi barang-barang tidak lagi relevan, sebab pemilik modal
dan pasar yang menentukan harganya. Hasil pertemuan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) di Bali, Desember 2013, memberi pesan yang jelas, di tengah rezim perdagangan global kini, semua itu bisa
diatur dengan sistem kuota dan tarif yang lalu dilabel make in
the world. Strategi negara kita untuk segera lepas dari ketergantungan
ekonomi ekstraksi bahan tambang yang mestinya segera dirumuskan.
Contoh masalah lalu yaitu liberalisasi minyak dan gas. Liberalisasi industri gas nasional bersumber dari UU No. 22/2001 tentang
Minyak dan Gas, Peraturan Pemerintah No. 36/2004, serta Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 19/2009. Dalam UU
Migas pola liberalisasi antara lain diperintahkan pada Pasal 10 berupa pemisahan sektor hulu dan hilir, Pasal 28 yang menetapkan harga
gas bumi melalui persaingan usaha, serta Pasal 5 yang menyebutkan
pengangkutan sebagai kegiatan usaha. Tiga pasal dalam UU Migas ini
menghasilkan kebijakan unbundling dan akses terbuka yang kini ramai
dibahas.
Ketiga pasal “liberal” PP No. 36/2004 yaitu lelang pembangunan
transmisi dan distribusi (Pasal 9), penentuan harga gas melalui persaingan usaha (Pasal 72), dan pemanfaatan bersama fasilitas atas pertimbangan teknis dan ekonomis (Pasal 31). Liberalisasi dalam Permen
ESDM No. 19/2009 yaitu pemisahan kegiatan usaha pengangkutan
dan niaga dengan bentuk badan usaha terpisah, unbundling (Pasal 19),
pembukaan infrastruktur gas hilir menjadi akses terbuka (Pasal 13),
dan perusahaan niaga tanpa fasilitas, trader/broker (Pasal 9).
Pada Pasal 19 Ayat 1 Permen No. 19/2009, badan usaha pemegang izin pengangkutan gas dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan
usaha niaga melalui fasilitas yang dimiliki. Pada ayat 2 disebutkan, jika
badan usaha pemegang izin itu melakukan usaha niaga melalui fasilitas yang dimiliki, maka wajib dibentuk badan usaha terpisah yang
punya izin usaha niaga. Pembentukan badan usaha harus dilakukan
paling lambat dua tahun sejak permen terbit (31/8/2011). Kementerian
ESDM telah memperpanjang masa pembentukan itu hingga Oktober
2013, namun hingga kini kebijakan itu belum berlaku.
Pendukung akses terbuka menyatakan kebijakan ini akan menguntungkan banyak pihak: bisnis berjalan adil dan akuntabel, konsumen
seperti industri dan PLN akan mendapat kepastian pasokan gas. Pemilik pipa akan memperoleh tambahan pendapatan dari toll fee, pipa
terpakai maksimal, dan mendapat kepastian pengembalian investasi.
Penjual gas akan berkompetisi secara sehat mencari pasar dan sumber
gas sehingga bisnis lebih adil dan bebas dari percaloan. Pemasok gas
mendapat harga jual terbaik.
Penentang akses terbuka menyatakan kebijakan ini membuat harga
gas makin mahal sebab bertambahnya perusahaan terlibat yang masing-masing membebankan biaya operasi dan margin pada harga jual
gas. Diyakini, kebijakan ini akan menguntungkan trader/broker gas yang
mengandalkan lobi dan kurang transparan memperoleh pasokan gas.
Akses terbuka menghilangkan motivasi membangun dalam kondisi infrastruktur yang minim dan akan menghambat pembangunan
infrastruktur primer sebab pemenuhan kebutuhan tersier. Perusahaan Gas Negara (PGN) menentang pemberlakuan akses terbuka sebab
akan kehilangan sekitar 50 persen pasar akibat infrastruktur yang telah
diinvestasi kelak dimanfaatkan trader sehingga kelangsungan bisnisnya terancam.
Saat ini pipa transmisi gas yang dimiliki negara kita baru 7.900 km.
Pada 2025, seiring dengan rencana konversi BBM ke BBG yang diproyeksikan mengatasi krisis energi, diperkirakan kebutuhan pipa transmisi 15.000 km dan pipa distribusi 40.000 km. Artinya, dalam 11 tahun
mendatang negara kita harus mampu membangun 7.000 km pipa transmisi dan 35.000 km pipa distribusi. Dalam pola liberal yang berlaku
pada 2006, pemerintah menunjuk pemenang pembangunan pipa Kalimantan-Jawa, Gresik-Semarang, dan Cirebon-Semarang. Namun belum satu pipa pun terbangun! Jadi, target pembangunan puluhan ribu
pipa gas pada 2025 tak mungkin tercapaiLiberalisasi industri gas pun memicu penutupan beberapa
perusahaan industri di Sumatra Utara yang berulang pada 2003, 2008,
dan 2013. Konsumen gas Jawa Barat kekurangan pasokan akibat tak
tersedianya sarana transmisi dari Jawa Timur yang surplus gas. Harga
gas di Jawa Barat 10 dollar AS-12 dollar AS per MMBTU, lebih mahal
dibandingkan Jawa Timur yang hanya 6 dollar AS-7 dollar AS per MMBTU. Pada pipa SSWJ I-II yang berstatus akses terbuka, PLN tak dapat
langsung beli gas produsen, tapi harus lewat PGN. PLN membayar lebih mahal dibandingkan sekadar toll fee dan tambahan biaya ini jadi
beban subsidi APBN! Konsumen gas di Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Utara, Kalimantan, dan Sulawesi gagal menikmati energi yang
murah ini akibat tak laiknya pembangunan infrastruktur dalam konteks liberalisasi.
Di sisi lain, PGN mengaku melakukan subsidi silang dengan mengenakan harga jual gas pada level tertentu guna membangun infrastruktur. Namun dari laba bersih rata-rata Rp 7 triliun-Rp 8 triliun per
tahun, dalam tiga tahun terakhir tak terjadi penambahan infrastruktur
yang signifikan. Berdasarkan Wood McKenzie, return on investment
(RoI) PGN rata-rata 32 persen dan yaitu tertinggi di dunia (RoI
perusahaan sejenis: 16 persen). UBS Investment Research juga menyebut nilai toll fee dan margin PGN minimal 4 dollar AS per mmbtu atau
200 persen terhadap perolehan Pertagas yang rata-rata 2,2 dollar AS
per mmbtu. Perilaku bisnis PGN ini bisa saja dimaklumi sebab statusnya sebagai perusahaan publik yang berorientasi untung dan pertumbuhan. Layak dipertanyakan minimnya peran pemerintah dalam
mengatur dan mengendalikan PGN.
Pembangunan infrastruktur gas yang terkendala investasi dan risiko besar secara global selalu dilakukan BUMN sebagai pemegang hak
monopoli alami (monopoli yang tercipta sebab biaya menghasilkan
produk—barang atau jasa—lebih rendah jika dilaksanakan hanya satu
perusahaan dibanding dengan oleh beberapa perusahaan bersaing).
Umumnya pelaku monopoli ini perusahaan pelayanan seperti listrik,
air minum, dan pipa gas.
Pada industri yang bersifat monopoli alami, pengaturan yang berlaku yaitu binis teregulasi (negara “berkuasa”), bukan bisnis terliberasi. Untuk kepentingan rakyat, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan
sektor pelayanan publik ini harus dikuasai negara. Pelaksanaannya
oleh BUMN.Liberalisasi sektor gas di AS dan Eropa dilakukan sebagai usaha
mengefisienkan pelayanan sesudah seluruh infrastruktur tersedia dan
dalam kondisi matang. Kebijakan diawali dengan pengembangan infrastruktur yang masif melalui penerapan monopoli alami. Di AS, deregulasi dilakukan sesudah pematangan infrastruktur selama 100 tahun
dan masa 20 tahun untuk memenuhi kewajiban unbundling. Di Eropa,
unbundling dan akses terbuka dimulai dengan terbitnya Gas Directives
pada 1998 dan baru terlaksana sesudah sarana transmisi dan distribusinya matang melalui masa pengembangan 10-12 tahun.
Kondisi sarana gas negara kita saat ini jauh dikatakan matang untuk
menerapkan pola akses terbuka dan unbundling. negara kita baru memiliki sekitar 19,7 persen dari seluruh jaringan pipa gas yang sudah direncanakan. Tingkat kematangan infrastruktur gas negara kita , apabila
diukur berdasarkan panjang pipa terhadap luas wilayah (darat), hanya
sekitar 0,006; sangat rendah dibandingkan dengan negara yang telah
liberal seperti Italia (0,6), Perancis (0,03), atau AS (0,08). Infrastruktur
yang sudah minim semakin diperparah dengan status BUMN gas yang
telah diprivatisasi, terpengaruh asing, dan lemahnya kehadiran pemerintah sehingga tak layaklah ditetapkan akses terbuka itu.
Sudah waktunya pemerintah dan DPR membatalkan rencana akses terbuka dan unbundling industri gas serta memulihkan pengelolaan sektor publik itu sesuai amanat konstitusi. Kebijakan liberal itu telah
dipaksakan asing melalui UU Migas No. 22/2001 yang, tanpa disadari,
telah menguasai 35 persen saham BUMN gas kita. Apalagi, untuk
wanti-wanti terhadap krisis energi, peran industri gas kian penting dan
strategis terkait rencana konversi BBM ke BBG. sebab itu, industri gas
nasional harus dikelola sebuah BUMN pemegang hak monopoli alami
yang bertugas membangun infrastruktur gas secara masif. Sejumlah
ketentuan yang diperlukan harus ditetapkan dalam UU migas baru
yang sedang dibahas DPR dengan pemerintah. Pemerintah pun harus
berusaha menggabung BUMN terkait dan beli-balik saham BUMN gas
jika diperlukan.
Akibat ketidakmandirian dalam pengelolaan sumber daya gas misalnya, telah memicu perdebatan panjang dalam pengelolaan
produk turunan seperti harga bahan bakar elpiji. Di tengah suasana
pergantian tahun, tepat 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. Tak tanggung-tanggung, dibandingkan dengan harga
bahan bakar minyak beberapa waktu lalu, persentase kenaikan harga elpiji jauh lebih besar. Merujuk harga di Jakarta, misalnya, elpiji 12 kilogram yang sebelumnya seharga Rp 78.000 naik 68 persen hingga harganya melonjak drastis menjadi Rp 138.000.
Di luar perdebatan soal angka “penyesuaian” harga yang dipilih pemilik otoritas, kenaikan ini seperti membuka kembali bopeng-bopeng
di tubuh pemerintah. Buktinya, begitu langkah menaikkan harga mendapat penolakan luas dari warga, pemilik otoritas kembali ke kebiasaan lama: hadir dengan dalih tidak mengetahui rencana kenaikan
ini. Lalu, di antara mereka saling menyalahkan dan tidak mau mengambil tanggung jawab.
Buktinya, saat Pertamina menyatakan pihaknya sudah melakukan sesuai prosedur dan telah memberi tahu pemerintah, menteri terkait justru berkelit. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa,
misalnya, membantah dengan alasan baru mengetahui rencana itu.
Setali tiga uang dengan Hatta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik juga menyatakan tidak menerima pemberitahuan Pertamina. Bahkan, Hatta justru menuding Menteri BUMN yang
sebenarnya mengetahui dan menyetujui rencana kenaikan harga.
Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, untuk sebuah pilihan
kebijakan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak dan
akan memicu beban tambahan bagi para pemakai, sulit untuk
dipahami jika menteri terkait sama sekali tidak mengetahui rencana
ini. Dengan penalaran itu pula, tidak mungkin Pertamina meninggalkan dengan cara tidak memberitahu pemerintah sama sekali. Melihat
gelagat lempar batu sembunyi tangan ini, warga dengan amat
mudah membaca bahwa para pemilik otoritas sedang melakoni parodi
awal tahun.
Di tengah pusaran perdebatan sekitar kenaikan harga elpiji 12 kilogram ini, dapat dibaca bahwa rencana “penyesuaian” ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Paling tidak, rencana ini berawal dari hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan ada kerugian lebih dari Rp 7 triliun yang dipicu harga elpiji 12 kilogram yang
dianggap terlalu rendah. Sekiranya peduli, pemerintah pasti sudah
bisa membaca arah yang dikehendaki audit BPK ini . Apalagi, secara eksplisit BPK “merekomendasikan” Pertamina menaikkan harga
elpiji 12 kilogram untuk mengatasi atau mengurangi kerugiannya.
Kalau benar pilihan kebijakan menaikkan harga elpiji bermula dari
hasil audit BPK, secara jujur harus dikatakan: pemerintah abai dengan tugas pokoknya untuk melindungi rakyat.
Sekalipun Pertamina yaitu sebuah perusahaan dengan status
perseroan terbatas, sebagai salah satu pihak yang menjadi pemegang
saham, pemerintah pasti memiliki wakil untuk mengetahui dan menjaga semua perkembangan yang terjadi. Dalam posisi demikian, tidak
akan ada pilihan kebijakan yang sama sekali di luar pengetahuan pemerintah.
Dengan tugas pokok yang dimiliki pemerintah ini , langkah
perlindungan bagi rakyat sudah harus diperjuangkan wakil pemerintah di Pertamina. Bahkan, jikalau memang serius untuk melindungi kepentingan rakyat, dilihat dalam skema besar pengelolaan negara, tiga
kementerian, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Basan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat harus menjadi “benteng” lain yang mesti dilewati Pertamina sebelum kenaikan harga elpiji. Bagaimanapun, meski
dengan status korporat, pemerintah tidak boleh kehilangan kuasa konstitusional untuk melindungi posisi dan kepentingan rakyat dari logika
bisnis yang lebih banyak bertumpu pada untung-rugi.
Dalam ini , meski elpiji 12 kilogram yaitu komoditas
nonsubsidi atau barang komersial yang penentuan harganya yaitu wewenang Pertamina, sebagai pihak yang diberikan tugas
konstitusional melindungi rakyat, pemerintah memiliki ruang untuk
“memamah” lebih dalam rencana ini. Misalnya, sekalipun hasil audit
menyatakan rugi sebab harga yang rendah, pemerintah dapat saja menyoal: apakah memang pilihan yang tersedia hanya dengan menaikkan
harga? Kalaupun harus naik, mengapa angka kenaikannya begitu besar?
Bagi sebagian kalangan, pertanyaan ini menjadi penting sebab gejala umum yang terjadi akhir-akhir ini dipicu ketakutan
melakukan berbagai terobosan, jalan pintas yang selalu dilakukan untuk menutup kerugian yaitu menaikkan harga. Tambah lagi, banyak
bentangan empirik yang membuktikan, dalih kerugian untuk menaikkan harga terjadi di tengah gelimangan fasilitas yang diberikan kepada
para pengelola BUMN. Apabila memang merugi, misalnya, mengapa
tidak memilih langkah penghematan sebelum menaikkan harga?
Dengan melihat fakta terabaikannya tugas pokok pemerintah ini , kekhawatiran bahwa semakin dekat dengan agenda pemilihan