peradilan di indonesia 6

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 6


Dalam kurun waktu belakangan, semakin bertambah adanya perhatian, baik dari kalangan ahli maupun para pengambil kebijakan, mengenai peran lembaga publik dalam pembangunan ekonomi. Bahkan, 
perhatian terhadap peran lembaga publik telah menjadi suatu fenomena yang lumrah sekalipun belum diterima secara universal. Di antara 
perkembangan itu yaitu  perhatian bahwa hukum dan pengadilan semestinya turut berperan dalam kemajuan warga, termasuk dalam 
usaha  pengentasan kemiskinan.
Para akademisi dan analis kebijakan pada umumnya telah memahami adanya keterkaitan antara lembaga pengadilan dengan pembangunan ekonomi. Pemerintah, lembaga donor internasional, penasihat kebijakan, dan berbagai lembaga swadaya warga telah 
memperkenalkan kegiatan pembaruan hukum yang di dalamnya mencakup usaha-usaha untuk membenahi pengelolaan pengadilan untuk 
mencapai tujuan ambisius guna mencegah korupsi, meningkatkan independensi, dan mendukung pembangunan ekonomi.
Adanya berbagai macam usaha untuk reformasi hukum dan pengadilan tidaklah mungkin akan dapat diperiksa dan dikaji secara kese-luruhan. Penyajian dalam bab ini lalu  akan menjadi sederhana. 
kami  ingin menyampaikan apa yang menjadi masalah dasar dan 
senantiasa berulang yang menimpa usaha  merancang dan melaksanakan proyek reformasi hukum dan peradilan yang efektif, dan untuk 
menyarankan beberapa pandangan konseptual yang mungkin bisa 
membantu dalam mengatasi persoalan ini, atau setidaknya memikirkan, kesulitan-kesulitan ini.
kami  mengajukan tiga persoalan utama dalam konteks ini. Pertama yaitu  kendala sumber daya. Peningkatan kapasitas dan kualitas sistem peradilan mempersyarakan adanya dukungan sumber daya 
manusia dan material yang kerap menjadi persoalan di Negara Sedang 
Berkembang (NSB). Persoalan yang kedua yaitu  perhitungan mengenai insentif yang perlu diberikan untuk mengatasi persoalan yang terjadi. Kapasitas pengadilan untuk mendukung pembangunan ekonomi 
tergantung kepad kehendak para pihak untuk memberdayakan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa dan lalu  mematuhi apa 
yang menjadi putusan pengadilan ini . Juga tergantung kepada 
kesediaan para hakim dan pejabat hukum lain untuk bertingkah laku 
sesuai dengan persyaratan-persyaratan pembaruan hukum. Akan namun  menyelarsakan insentif dalam persoalan ini juga menjadi persoalan 
yang tidak mudah. Masalah yang ketiga yaitu  saat  sistem hukum 
menyimpang secara optimal dalam banyak hal, maka pembaruan terhadap hukum atau pengadilan mungkin tidak memicu keadaan 
membaik dan bahkan dapat memperburuk kinerja kelembagaan secara keseluruhan.I
Sebelum memaparkan masalah dan tantangan dalam reformasi 
peradilan dan lembaga hukum di Negara Sedang Berkembang, perlu 
untuk disampaikan mengenai alasan pentingnya reformasi peradilan 
dan hal-hal apa saja yang perlu untuk memberi  dukungan. Tentu 
saja akan selalu muncul persoalan saat dilakukan pemeriksaan mengenai hubungan lembaga hukum dan pembangunan ekonomi. 
Sejumlah pakar telah mengeluh betapa sulitnya mengidentifikasi 
secara pasti apa yang dimaksudkan sebagai “hukum, pengadilan, dan 
pengara” dalam ranah perbandingan atau sejarah mengingat betapa 
beragam derajat dan fungsi dari setiap lembaga ini. lalu  mun-cul pula permasalahan mengenai apa yang dimaksud dengan “pembangunan”, misalnya untuk mempertanyakan mengenai kualitas hukum, 
apakah yaitu  sesuatu yang konstitutif, sesuatu yang tidak senantiasa cocok dengan apa yang lazim dipahami mengenai “pembangunan” itu sendiri. kami  tidak mengabaikan adanya diskursus ini , namun  bukanlah maksud uraian dalam bab ini untuk membahas 
masalah itu.
lalu  timbul pertanyaan, apa peran yang tepat untuk pengadilan dalam mendukung pembangunan ekonomi? Pada umumnya, layanan dasar yang dikendaki dari pengadilan yaitu  kemampuan untuk 
menyelesaikan sengketa secara efektif. Kemampuan pengadilan untuk 
menyelesaikan sengketa memiliki rasionalitas dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi. Pertama, pengadilan menegakkan kontrak, menjamin hak-hak kepemilikan serta hak-hak kontraktual yang 
dirasakan penting dalam pelaksanaan investasi sebagai bagian dari 
transaksi ekonomi jangka panjang. Tentu saja dalam kepemilikan 
hak-hak pribadi maka dapat dipertanyakan urgensi pengadilan sebagai 
otoritas publik. Ada beberapa alasan mengapa kita mungkin berpikir 
bahwa penyediaan layanan publik untuk penyelesaian sengketa dalam 
bentuk pengadilan yang efektif menjadi unggulan bagi sektor swasta 
untuk jasa penyelesaian sengketa. Meskipun pihak swasta dapat dan 
sering bergantung pada berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, namun dalam pemeriksaan dan penyelesaian perselisihan perdata mekanisme ini memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup 
maupun keterjangkauan wewenang.
Sering pula, alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia memperoleh kesan yang negatif. Misalnya, studi yang menarik oleh Curtis 
Milhaupt dan Mark West membuktikan bahwa di Jepang, mekanisme 
alternatif untuk menegakkan kontrak yaitu  dengan memakai  
“Yakuza” (sebutan untuk mafia Jepang): saat kekuasaan negara lemah, 
maka kejahatan terorganisasi yang lalu  bertindak. Serupa de-ngan itu, kajian yang dilakukan oleh Diego Gambetta menyatakan 
bahwa mafia Sisilia telah memberi  proteksi bagi para pemilik tanah 
atas pengambialihan lahan, sekalipun telah ada pengadilan dan mekanisme penyelesaian sengketa lain yang ditetapkan oleh negara.
Selain itu, pada praktik peradilan, khususnya di Common Law System, sekalipun juga umum terjadi di Civil Law Sytem, prosedur untuk 
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa disusun dalam format hukum 
acara yang rumit. sebab  sifat publik dari badan pengadilan maka, 
setiap individu mungkin lebih menyukai pemeriksaan sengketa oleh 
pengadilan, sesuatu yang tidak tersedia dalam alternatif penyelesaian 
sengketa yang ditempuh secara privat.
Peran penting pengadilan dalam pembangunan ekonomi yaitu  
mengoreksi kegagalan pasar. Misalnya, kemampuan pengadilan untuk 
menetapkan paksa larangan pemakaian  barang-barang berbahaya, 
yang lalu  akan membuat pelaku usaha memperhitungkan dengan cermat kemungkinan tuntutan atas kegiatan yang dilakukannya. 
ini  relevan dengan studi klasik Coase, yang menegaskan betapa 
peran pengadilan menjadi penting saat transaksi sosial (termasuk keterpenuhan individu akan hak-hak hukum) telah terbatas. lalu , pengadilan penting sebab  akan membuat wibawa pemerintah 
meningkat. Pemerintah akan mampu meyakinkan kepada setiap warga 
negara dan investor internasional bahwa negara akan mampu bertindak secara efektif untuk memberi  proteksi. ini  didukung oleh 
minimal tiga alasan. Pertama, pengadilan mampu menegakkan hukum 
yang telah ditetapkan sebelumnya baik melalui perjanjian, peraturan 
perundang-undangan, dan konstitusi. Penyelesaian masalah hukum 
oleh pengadilan akan meningkatkan para pihak, termasuk dalam hal 
ini yaitu  pemerintah, untuk selalu terikat kepada hukum yang telah 
ditetapkan. Kedua, keterbukaan dan publikasi putusan pengadilan, 
akan memandu bagi setiap pihak untuk senantiasa mengawasi sejauh mana pemerintah mempunyai komitmen untuk mengendalikan 
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.260 Ketiga, bahkan saat  pemerintah belum benar-benar mau melaksanakan hukum, kebutuhan un-tuk mendapatkan persetujuan pengadilan dan ancaman litigasi dapat 
membuat tindakan tertentu lebih mahal.
Transplantasi hukum yaitu  fenomena yang lama terjadi 
dalam sejarah dunia. namun  perhatian kepada Rule of Law baru 
berkembang pesat pada dekade 1960-an, saat pembangunan diterima 
luas sebagai satu-satunya cara—meniru Barat—untuk mencapai kemajuan.
Dalam usaha  pembangunan itu, ada usaha untuk melakukan 
pembaruan terhadap bahan pelajaran di pendidikan hukum. Hal itu 
didukung sepenuhnya dengan karya-karya kami  AS seperti James 
C.N. Paul, Clarence Diaz, dan Robert Seidman. Hanya saja pencapaian 
transformasi sistem hukum di negara baru dan negara sedang berkembang mencapai hasil yang jauh dari memuaskan. Dalam satu dasawarsa mulai muncul persoalan-persoalan yang meresahkan.
David Trubek dan Marc Galenter, ilmuwan terkemuka untuk kajian “hukum dan pembangunan” dengan mengejutkan mengakui 
bahwa usaha ekspor model Amerika, yang lalu  mengakar di negara-negara sedang berkembang, telah berperan penting dalam memberi  sumbangan atas persoalan yang muncul ini .
Untuk kurun waktu 20 tahun lalu , persoalan kembali muncul sehubungan dengan penerapan Rule of Law, saat  pembangunan 
telah lumrah menjadi jargon ekonomi politik. Ada masalah redistribusi 
sumber daya terhadap kalangan miskin dan bagaimana merumuskan 
insentif yang lebih besar lagi bagi aktor-aktor yang terlibat dalam pasar. Namun isu keadilan tidak begitu saja lenyap. Polisi yang bertindak 
brutal dan dituding korup dibandingkan  sebagai sosok pengayoman. Akses 
pengadilan sulit dan distribusi keadilan menjadi lemah. Kemajuan sosial dan ekonomi lalu  berada dalam situasi tanpa pemberdayaan 
hukum dan lemahnya institusi hukum.
Krisis ekonomi dan finansial yang melanda area  Uni Eropa 
mengkonfirmasikan lemahnya institusi hukum itu dan telah disadari 
dengan perkembangan dewasa ini. Sebagai sinyal titik terang dari kri-sis Eropa, Irlandia pada 15 Desember 2012 mengumumkan resmi keluar dari program dana talangan troika (IMF, Uni Eropa, Bank Sentral 
Eropa). Irlandia—negara zona euro yang paling parah dilanda krisis 
utang dan dipaksa meminta dana talangan 85 miliar dollar AS 3 tahun 
lalu—menjadi negara pertama yang resmi keluar dari program bail out. 
Tiga negara lain yang dapat dana talangan yaitu  Yunani, Spanyol, dan 
Siprus.
Langkah keluar dari penalangan ini sejalan dengan membaiknya 
ekonomi negara itu. Angka pengangguran turun dari 15,1 ke 12,5 persen. Ekonomi kembali tumbuh meskipun lambat. Investasi asing mulai 
masuk. Akses pemerintah ke pasar utang internasional kembali terbuka. Sektor pariwisata, konstruksi, dan pertanian kembali menggeliat.
Program talangan mensyaratkan pemangkasan tajam belanja pemerintah, reformasi struktural, serta kenaikan pajak dan penjualan 
sejumlah aset penting negara. Dengan keluar dari program talangan, 
kendali perekonomian Irlandia kembali berada di tangan pemerintah 
dan Irlandia akan bergantung sepenuhnya pada pasar obligasi internasional untuk membiayai defisit anggaran yang 7,3 persen dari PDB dan 
membayar utang ke kreditur internasional.
Utang Irlandia melonjak dari 25 persen menjadi 123 persen dari 
PDB akibat krisis tahun 2008. Meski sudah resmi keluar dari program 
talangan, bukan berarti kesulitan telah lewat. Perdana Menteri Enda 
Kenny mengingatkan kondisi sulit yang dihadapi beberapa tahun ke 
depan. Menteri Keuangan Michael Noonan memperkirakan perlu 10 
tahun bagi Irlandia untuk kembali ke pertumbuhan ekonomi solid.
Salah satu tantangan terberat yaitu  membenahi perbankan yang 
dibelit tumpukan kredit macet. Tanpa itu, perekonomian domestik sulit bergerak. Hal lain yaitu  mengatasi pengangguran. Lembaga pemeringkat Fitch mengingatkan risiko yang dihadapi Irlandia mengingat 
langkah keluar dari penalangan dilakukan tanpa mengusaha kan pinjaman pengaman untuk berjaga-jaga jika situasi memburuk, terutama 
di perbankan.
Sejumlah ekonom mengingatkan masih rentannya pemulihan 
ekonomi, antara lain sebab  ketergantungan yang terlalu besar pada 
pasar ekspor, seperti Inggris, Eropa, dan AS, yang belum sepenuhnya 
pulih. Langkah keluar dari program talangan itu dinilai sangat berani 
mengingat kondisi ekonomi area  Eropa yang masih labil.
Perekonomian 17 negara zona euro sebagai pasar utama Irlandia mengalami stagnasi dengan melambatnya pertumbuhan dua perekonomian terbesar, Jerman dan Perancis. Kenny dalam pidato menjanjikan tak akan membiarkan stabilitas negara itu terancam kembali oleh 
spekulasi dan keserakahan. Negara berikutnya yang diperkirakan keluar dari program talangan yaitu  Portugal, kemungkinan medio 2014, 
terutama dengan disetujuinya evaluasi terakhir program ekonomi negara itu.
Sudah sejak 1990-an, ada usaha  untuk merevisi peran hukum 
dalam pembangunan dengan peninjauan kembali terhadap gagasan 
demokrasi dan good governance. Dalam situasi ini, Carothers mengatakan, “dewasa ini orang tidak mungkin menjumpai perdebatan kebijakan luar negeri yang mengesampingkan Rule of Law sebagai solusi 
untuk mengatasi kekacauan dunia.”263 Governance dan Rule of Law sesungguhnya saling berkaitan. Tanpa dukungan pengadilan, orang sulit 
membayangkan terciptanya good governance.
masalah  Asia dewasa ini mengkonfirmasi pernyataan ini . Dari 
hari ke hari, perkembangan situasi keamanan di area  Asia Timur 
kian mengkhawatirkan. Risiko pecahnya konflik terbuka sebab  gesekan di lapangan makin besar. Masih banyak pihak yang optimistis bahwa ketegangan yang melibatkan China dan negara-negara tetangganya 
tak akan berujung pada konflik terbuka. Alasannya, nilai hubungan 
ekonomi negara-negara ini terlalu tinggi untuk dirusak dengan 
perang. namun  makin banyak pula pakar dan analis yang memperingatkan, risiko konflik di area  Laut China Timur dan Laut China Selatan makin besar.
Mereka yakin tak satu pun negara berniat memulai perang. Namun dengan tingkat ketegangan dan aktivitas lapangan seperti saat ini, 
risiko salah perhitungan atau gesekan di lapangan makin besar. Satu 
kesalahan kecil bisa memicu perang yang akan menjadi tragedi bagi 
dunia. Terlepas dari justifikasi dan dalih setiap pihak yang terlibat masalah, tahun ini diwarnai peningkatan ketegangan di area -area  ini .
Jika kita membuka kembali catatan tahun lalu, ketegangan China 
dan Jepang terkait sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China 
Timur masih diwarnai “perang” retorika diplomatik dan pengerahan 
aset-aset sipil negara, seperti kapal-kapal Penjaga Pantai Jepang dan badan pengawas kelautan China di seputar perairan sengketa. Namun 
seiring dengan meningkatnya ketegangan sesudah  Pemerintah Jepang 
membeli sebagian pulau-pulau di Senkaku/Diaoyu dari seorang pemilik pribadi di Tokyo, situasi lapangan berangsur-angsur berubah.
Tahun 2013 menandai dimulainya pengerahan aset-aset militer 
yang makin intensif ke area  sengketa dan sekitarnya. Akhir Januari, 
sebuah kapal pengawal dan helikopter Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) 
dilaporkan dikunci dengan radar pembidik oleh sebuah kapal perang 
Angkatan Laut China saat berlayar di Laut China Timur. Kedua negara 
juga seperti berlomba menggelar latihan militer skala besar. Awal November, Pasukan Bela Diri Jepang menggelar latihan yang melibatkan 
34.000 personel dari tiga matra dan sejumlah kapal perang dan pesawat tempur.
Dalam latihan itu, untuk pertama kali Jepang menempatkan peluncur rudal antikapal di Pulau Miyako, yang selama ini menjadi semacam 
gerbang menuju Samudra Pasifik bagi kapal-kapal perang China yang 
berpangkalan di bagian timur dan utara negara ini . Sebelumnya, 
Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) menggelar 
latihan skala besar dengan amunisi hidup di Samudra Pasifik bagian 
barat. Latihan itu melibatkan beberapa armada AL PLA.
Pada akhir November 2013, China juga memberangkatkan kapal 
induk pertamanya, Liaoning, ke dalam misi latihan di laut lepas. Kapal 
induk yang dikawal 2 kapal perusak dan 2 fregat itu berlayar ke Laut 
China Selatan, area  yang juga diwarnai sejumlah sengketa China 
dengan Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
Dalam pelayaran inilah sempat terjadi insiden antara salah satu 
kapal perang China dan kapal penjelajah berpeluru kendali milik Angkatan Laut AS, USS Cowpens, pada 5 Desember. Pihak China menuduh 
kapal AS itu memata-matai latihan dengan membayangi konvoi China 
pada jarak 45 kilometer.
Namun langkah China yang paling kontroversial yaitu  penetapan 
zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di Laut China Timur, akhir 
November. Meski Beijing berulang kali menegaskan penetapan ADIZ 
itu tak ditujukan terhadap satu negara tertentu, cakupan geografis dan 
pemilihan waktunya tak terhindarkan memancing reaksi keras dari tetangga-tetangganya.
Tak tanggung-tanggung, hanya dua hari sesudah  penetapan ADIZ 
China ini , AS—yang memiliki perjanjian pertahanan dengan Je-pang, Korea Selatan, dan Filipina, mengirimkan dua pesawat pengebom jarak jauhnya, B-52 Stratofortress, untuk terbang melintas zona 
ini tanpa mengindahkan ketentuan yang ditetapkan Beijing.
Dalam artikel yang mereka tulis untuk kantor berita Reuters, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS James Steinberg dan peneliti senior 
dari Brookings Institute, Michael E O’Hanlon, mengkritik langkah penetapan ADIZ China yang dinilai tak transparan dan memicu kecurigaan tetangga-tetangganya.
Walau demikian, Steinberg dan O’Hanlon juga menyayangkan 
reaksi AS yang dipandang berlebihan. Menurut mereka, langkah AS 
mengirim dua B-52 ke ADIZ China bukan sebuah usaha  bagus untuk 
membangun rasa saling percaya. “Akan lebih baik jika yang dikirim pesawat-pesawat tempur atau pesawat patroli jarak jauh untuk menegaskan prinsip (kebebasan melakukan transit di wilayah udara internasional) ini,” demikian tulis mereka.
Makin royalnya pengerahan sistem persenjataan utama di lapangan membuat kekhawatiran terjadinya insiden yang tak diinginkan makin besar. Baik pesawat B-52 maupun kapal penjelajah kelas Ticonderoga, seperti USS Cowpens itu, bukan mesin perang yang biasa-biasa 
saja. Keduanya yaitu  mesin perusak yang berkemampuan dahsyat.
Menyusul penerbangan B-52 ke ADIZ China ini , Jepang dan 
Korsel juga mengirimkan pesawat-pesawat militer mereka melintasi 
zona ini . “Peluang terjadinya kesalahan sangat tinggi. Jika keadaan ini berlanjut, kita harus mempertanyakan apa konsekuensinya nanti,” ujar Bonnie Glaser, pakar keamanan China dari Center for Strategic 
and International Studies (CSIS) di Washington DC, kepada Reuters.
Menurut Glaser, China dan AS mungkin memiliki kemampuan dan 
kemauan untuk mencegah insiden di lapangan bereskalasi. Namun ia 
ragu masalah yang sama bisa diredam jika melibatkan militer China 
dan Jepang. Unsur nasionalisme dan tekanan politik domestik di kedua negara itu bisa membuat situasi terlalu rumit dan tak terkendali. 
Steinberg dan O’Hanlon menyarankan agar AS-China mengembangkan kesepakatan seperti yang terjalin antara AS dan Uni Soviet di era 
Perang Dingin.
Apa pun itu, segenap usaha  harus dilakukan semua pihak untuk 
mencegah ketegangan di Laut China Timur dan Laut China Selatan 
tereskalasi menjadi konflik terbuka. China dan Jepang, yang menjadi 
pusat ketegangan ini, harus mencari cara dialog untuk menurunkan ketegangan dan menyelesaikan semua masalah melalui jalur damai.
Bagaimanapun, seperti diungkapkan Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono dalam pidato di Tokyo, Jepang, pekan lalu, hubungan China dan Jepang sangatlah menentukan bagi masa depan area  Asia 
saat ini. Dan tak seorang pun menginginkan Asia abad ke-21 mengulang kesalahan Eropa pada abad ke-20 yang memicu dua perang dunia.
Referensi yang berkembang belakangan kembali menunjukkan 
minat terhadap kajian hukum dan pembangunan dengan orientasi 
baru. Ada dua perbedaan pendekatan yang berkembang, yaitu pendekatan konstitutif dan pendekatan instrumentalis.
Kajian Armatya Sen dan John Rawls dapat dikategorikan sebagai 
pendekatan konstitutif. Rawls membahas Rule of Law dalam konteks 
seluruh pembahasannya mengenai “keadilan sebagai fairness.”264 Radin misalnya, menafsirkan bahwa “Rawls telah dengan kuat membuktikan betapa Rule of Law diperlukan untuk menjamin kebebasan.”
Dalam semangat yang hampir serupa, Sen mengatakan bahwa “reformasi hukum akan memberi  kebebasan, sesuatu titik penting dan 
krusial dala pembangunan seutuhnya. Reformasi hukum dengan sendirinya menjadi penting.”
Pembangunan tergantung kepada ketercukupan rakyat dalam 
menikmati hak-hak dasarnya. Suatu kajian yang dilakukan oleh Bank 
Dunia atas penduduk miskin yang memperoleh bantuan menegaskan bahwa keselamatan, keamanan, dan keadilan yaitu  prioritas penting dalam hidup. Dalam masalah  negara kita , perkembangan 
ekonomi nasional dalam 15 tahun terakhir tentu tidak asing dengan 
masalah-masalah di atas sebab  mirip momen ritual yang terjadi secara rutin dan berulang. Artinya, persoalan itu bukan khas pada 2013 
saja, namun  sebagian besar yaitu  kado yang diterima rakyat setiap tahun. Perbedaan hanya terjadi pada intensitas dan pendalaman 
masalah. Intensitas di sini dimaknai seberapa sering siklus problem itu 
menghampiri perekonomian nasional.
Jika dahulu krisis datang secara berkala, katakanlah 15 atau 7 tahun sekali, sekarang hampir tanpa jeda. Sementara itu, pendalaman masalah dimengerti seberapa jauh soal yang muncul ini memiliki 
potensi melantakkan perekonomian nasional (korporasi ataupun rumah tangga). Anomali yang bisa disebut: saat  perekonomian dipacu 
secara cepat sehingga menghasilkan pertumbuhan yang relatif tinggi, ternyata intensitas krisis lalu  kerap terjadi dan makin dalam 
dampaknya.
Tiga masalah pertama, yaitu stabilitas harga pangan, sendi mikroekonomi, dan kebijakan tak sensitif terhadap kaum miskin, menarik 
dikaji dalam perspektif ini. Modernisasi dituntut untuk memperkuat 
sektor basis sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari sektor industri 
atau jasa berpeluang memenangi persaingan di pasar internasional.
negara kita  memilih jalur berbeda dengan memisahkan akselerasi 
sektor industri dan jasa tanpa lapis sektor primer. Implikasinya, kebutuhan pangan (dan aneka komoditas primer lain) tak bisa dicukupi dan 
jika ada  kelebihan produksi (seperti produk perkebunan) dibiarkan mengalir ke pasar internasional tanpa diolah terlebih dahulu. Pada 
sisi ini, instabilitas harga pangan dan kerapuhan sendi mikroekonomi 
jadi keniscayaan yang tak bisa dibendung. Implikasinya, pembangunan jadi terisolasi dari sebagian besar warga yang bekerja di sektor 
primer sehingga ketimpangan pendapatan menjadi fakta yang tak dapat ditampik.
lalu , tiga masalah yang terakhir (efektivitas kebijakan fiskal, perekonomian yang terbuka, dan karakter kebijakan moneter) yaitu  produk dari rigiditas pengambil kebijakan. Pada 10 tahun yang 
lalu kekuatan APBN hanya Rp 400 triliun dan sekarang Rp 1.600 triliun, 
namun  pelabuhan, irigasi, jalan, dan rel kereta api tetap nyaris tak terbangun. Sektor industri mengalami kemunduran, UMKM tak bergerak, 
dan peran BUMN terhadap kesejahteraan belum pula terlihat. Perekonomian juga gampang dihajar krisis akibat keterbukaan ekonomi, 
entah dari sisi perdagangan, nilai tukar, investasi, maupun perubahan 
kebijakan negara lain (seperti quantitative easing di AS). Celakanya, kebijakan moneter hanya dipagari untuk menjaga sektor itu sendiri, tanpa dipikirkan apakah kebijakan dimaksud telah berkontribusi terhadap 
penguatan ekonomi nasional atau malah membunuh benih perekonomian riil yang dijalankan penuh ketekunan oleh warga.
Rakyat pasti berharap pilihan kebijakan yang diambil pemerintah 
pada masa mendatang lebih mencerminkan pemihakan kepada kekuatan ekonomi nasional dan golongan menengah-kecil. Namun di luar itu masih ada  pekerjaan lain seputar perbaikan “aturan main” (institutions) sebagai penyangga setiap kebijakan yang telah diproduksi. 
Pada level makro, aturan main itu sekurangnya menyasar enam aspek 
berikut (i) tata kelola, (ii) penegakan hukum, (iii) kepastian regulasi, (iv) 
keadilan, (v) administrasi pajak, serta (vi) kelembagaan fiskal dan moneter. 
Negara berkembang, seperti negara kita , digolongkan sebagai 
bangsa yang rapuh dalam menyusun dan memperkuat kelembagaan 
sehingga karakter aturan main yang dibuat menjadi bersifat ekstraktif 
(mengisap), bukan inklusif. Jika dikuliti enam aspek kelembagaan ini , semuanya terkait dengan persoalan yang diangkat di muka sehingga pemapanan kelembagaan yaitu  pertempuran yang harus 
dimenangi di masa depan.
Tata kelola berfungsi untuk menjalankan setiap sistem yang telah 
dipilih dengan tingkat akurasi, konsistensi, dan prinsip yang terjaga. 
Inilah yang membuat setiap kebijakan tak mudah ditelikung di tengah 
jalan sehingga terhindar dari moral hazard, perburuan rente, dan korupsi.
Kebijakan ekonomi di negara kita  berantakan begitu dijalankan sebab  rapuhnya tata kelola ini. Penegakan hukum selalu dapat rapor merah sebab  nyaris hak kepemilikan tak dilindungi. Praktik pembajakan 
dibiarkan, barang ilegal leluasa diperdagangkan, dan kontrak tidak bisa 
jadi sandaran dalam sengketa di institusi hukum. Implikasinya, insentif investasi menjadi rendah dan pelaku ekonomi malas menanamkan 
modalnya. Kepastian regulasi juga bermasalah sebab  dibuat secara 
serampangan sehingga mudah sekali dipatahkan di Mahkamah Konstitusi (jika berupa UU) ataupun berubah sebab  tidak sesuai dengan 
kebutuhan di lapangan. Ongkos ekonomi atas ketidakpastian regulasi 
ini tentu saja sangat mahal.
Keadilan juga bagian dari kelembagaan yang mesti disantuni sebab  di sinilah eksistensi pemerintah dipertaruhkan. Sederhana saja, jika 
pemerintah mengundang investasi asing dengan sejumlah insentif fiskal atau nonfiskal, apakah bobot sama juga diberikan kepada pengusaha domestik, lebih-lebih pelaku skala kecil dan koperasi. Alih-alih diberi ruang gerak, kehidupan mereka kian dicekik dengan aneka kebijakan 
yang memojokkannya. Potensi peneriman pajak yang begitu besar, 
katakanlah sekitar Rp 1.800 triliun (20 persen dari PDB), menguap sebab  administrasi pajak buruk (termasuk perilaku korup) dan keterba-tasan regulasi/sumber daya. Banyak wajib pribadi ataupun badan tak 
tersentuh dan seakan hal itu lumrah. Akhirnya, desain kebijakan dan 
efektivitas kebijakan fiskal dan moneter selalu dipertanyakan sebab  
tak sesuai dengan sumber daya “melimpah” yang dipunyai. Pada 2014 
pentas kontestasi politik dibuka, semoga pemimpin yang terpilih kelak 
punya nyali dan gagasan besar untuk mengubah keadaan darurat ini.
Kendati angka statistik yang disajikan pemerintah menunjukkan 
tingkat kemiskinan di negara kita  kian turun, kenyataan di beberapa 
daerah menunjukkan warga miskin justru makin meningkat. Kesenjangan ekonomi pun kian melebar. Data statistik kerap kali dipersoalkan, termasuk di tingkat daerah.268 Begitu parahnya angka-angka 
statistik dipermainkan demi kepentingan politik, sampai-sampai ada 
yang membandingkannya dengan logistik. “Logistik itu tidak pernah 
statis, sedang statistik tidak pernah logis,” kata mereka yang kritis 
dan sinis. Kalimat “pemerataan pembangunan nasional” sudah sering 
disebut berulang kali sejak pemerintahan Orde Baru, namun  fakta di lapangan berkata lain.269 Kesenjangan terasa bukan hanya antara Jawa 
dan luar Jawa, antara negara kita  bagian barat dan negara kita  bagian timur, serta antara pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa. Juga yang 
amat mencolok yaitu  antara kota dan desa, antara pusat dan pinggiran. Bahkan juga antara upah/honor/gaji para pegawai rendahan dan 
gaji atasannya. Kiranya, sudah saatnya slogan “Pemerataan Pembangunan Nasional” diganti dengan “Pembangunan Nasional yang Merakyat”, dan diusaha kan sungguh-sungguh agar betul-betul diimplementasikan. Artinya, ia tidak berhenti sekadar sebagai slogan kosong 
belaka.270 Persoalan itu layak diperhatikan mengingat negara kita  yaitu  negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-5 di dunia, yang 
berarti akan menghadapi pula persoalan yang menyangkut demografi.
Dalam sejumlah kesempatan, banyak pejabat publik di negeri ini 
mengungkapkan adanya potensi bonus demografi sebagai peluang 
yang harus dimanfaatkan guna mempercepat pembangunan ekono-mi negara kita . Meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 
tahun) saat ini yang diikuti penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) memicu penurunan 
rasio ketergantungan. Ekonomi negara kita  berpotensi tumbuh lebih 
cepat dan terjadi perbaikan kualitas sumber daya manusia. Manfaat 
ekonomi yang terjadi akibat menurunnya rasio ketergantungan (angka 
yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk usia nonprodukif dan jumlah penduduk usia produktif) inilah yang disebut dengan 
bonus demografi. Namun kenyataannya bonus demografi meleset dari 
yang diharapkan. Data yang dipakai  untuk menganalisis bonus demografi saat ini masih mengacu pada hasil proyeksi penduduk dalam 
UN World Population Prospects (2002). 
Setidaknya ada dua argumen mengapa potensi bonus demografi meleset dari perkiraan sebelumnya. Pertama, rasio ketergantungan 
tak serendah yang diperkirakan. Rasio ketergantungan negara kita  akan 
mencapai titik terendah sebesar 44 per 100 penduduk usia produktif 
selama periode tahun 2020 hingga 2030 jika didasarkan pada proyeksi 
penduduk dalam UN World Population Prospects (2002). Namun proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Lembaga Demografi FEUI dengan 
memakai  basis data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan hasil 
yang berbeda. Rasio ketergantungan terendah hanya akan mencapai 
angka 46, bukan 44 seperti perkiraan sebelumnya. Maknanya, manfaat 
bonus demografi tidak sebesar yang diharapkan. Setiap 100 penduduk 
usia produktif akan menanggung bukan 44 melainkan 46 penduduk 
usia nonprodukif (terdiri atas 35 penduduk muda berusia 0-14 tahun 
dan 11 penduduk lansia). Kedua, rentang waktu rasio ketergantungan 
mencapai titik terendah ternyata lebih pendek. Berdasarkan UN World Population Prospects (2002) diperkirakan rasio ketergantungan akan 
mencapai titik terendah selama kurun 2020-2030. Periode ini dikenal dengan istilah the window of opportunity.
sesudah  itu rasio ketergantungan akan naik kembali akibat meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Namun proyeksi 
penduduk oleh Lembaga Demografi FEUI dengan memakai  basis 
data Sensus Penduduk 2010 justru menunjukkan, rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah hanya selama periode 2020-2025. Ini 
lebih pendek 5 tahun dari perkiraan sebelumnya. Tentunya manfaat 
ekonomi yang diperoleh dari perubahan struktur umur penduduk tidak sebesar yang diharapkan. sesudah  tahun 2025, rasio ketergantung-an akan naik terus dan kembali mencapai angka 51 pada tahun 2050 
(sama dengan 2010).
Ada dua penyebab bonus demografi tak sesuai harapan. Penyebab 
pertama, asumsi angka kelahiran (fertilitas) 1,89 anak per perempuan 
di tahun 2030 yang dipakai  dalam UN World Population Prospects (2002) sulit tercapai. Berdasarkan tren fertilitas yang ada, Lembaga 
Demografi FEUI memperkirakan bahwa di tahun 2030 angka kelahiran “hanya” dapat turun menjadi 2,15 anak per perempuan. Berarti, 
jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan  perkiraan sebelumnya. Dampaknya, jumlah penduduk usia nonproduktif dari kelompok usia muda 
(0-14 tahun) juga akan lebih banyak dibandingkan  yang diproyeksikan sebelumnya. Apalagi angka kelahiran total (TFR) hasil Survei Demografi 
dan Kesehatan 2012 (BPS) juga cenderung stagnan selama lima tahun 
terakhir, yaitu 2,6 anak per perempuan. Program Keluarga Berencana 
dalam beberapa tahun terakhir gagal mencapai targetnya. Penyebab 
kedua, kematian bayi pada 2030 kemungkinan lebih rendah dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002): diperkirakan 
turun 18,9 per 1.000 kelahiran hidup. Lembaga Demografi FEUI melihat tren bahwa angka kematian bayi bisa turun hingga 17 per 1.000 
kelahiran hidup di 2030. Penurunan angka kematian bayi bisa lebih cepat dibandingkan  perkiraan sebelumnya. Dampaknya, usia harapan hidup 
akan lebih tinggi dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002). Jumlah lansia meningkat lebih cepat dari perkiraan sehingga 
berkontribusi terhadap penambahan penduduk usia nonproduktif.
Perlu dicermati melesetnya potensi bonus demografi. Perubahan 
struktur penduduk menurut umur jelas memiliki arti penting bagi perekonomian negara kita . Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk 
lansia akan lebih tinggi dibandingkan  perkiraan sebelumnya, memicu 
rasio ketergantungan juga lebih tinggi dan the window of opportunity 
menjadi lebih pendek (2020-2025). Meskipun tampak sekilas rasio ketergantungan terendah hanya meleset dari angka 44 jadi 46 per 100 
penduduk usia produktif, namun  akan muncul konsekuensi yang tidak 
sederhana dari ini  . Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditandai peresmian operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014—disusul BPJS 
Ketenagakerjaan pada 2015—akan mengandalkan iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan memakai  asas asuransi sosial, potensi 
iuran terbesar tentunya berasal dari penduduk usia produktif. Berarti rasio ketergantungan yang lebih tinggi memicu penduduk usia 
produktif akan menanggung beban penduduk usia nonproduktif yang 
lebih tinggi pula. Beban pembiayaan jaminan sosial yang harus ditanggung akan terus meningkat sesudah  tahun 2025, terutama akibat 
meningkatnya proporsi lansia. Tahun 2050, diperkirakan lebih dari 40 
persen penduduk usia nonproduktif termasuk dalam kategori lansia.
Pemerintah dan para pengambil kebijakan tak dapat mengabaikan konsekuensi ekonomi dari rasio ketergantungan yang lebih tinggi 
dibandingkan perkiraan sebelumnya. Perlu terobosan strategi, utamanya dalam kebijakan pengendalian kelahiran. Tanpa komitmen kebijakan yang kuat, peluang manfaat dari bonus demografi akan terlewatkan begitu saja.
Salah satu usaha  yang wajib diterapkan dalam pemerataan pembangunan nasional yaitu  mencegah kecenderungan yang lazim disebut dengan centremania.
271 Apabila disimak yang terjadi beberapa 
waktu belakangan ini, tampak jelas betapa pemerintah dan swasta 
sangat gencar membangun di pusat pemerintahan, pusat kota, pusat 
bisnis: pokoknya yang serba pusat. Memang area  pusat itu jelas 
amat strategis, lengkap dengan segala macam sarana dan prasarana 
yang dibutuhkan. Namun dampak negatif yang langsung terlihat yaitu  meroketnya kesenjangan pertumbuhan antara pusat dan area  
pinggiran. Kesumpekan, kesemrawutan, kepadatan berlebihan, kemacetan terjadi dan kian meningkat di area  pusat kota. sebab  kebanyakan para petinggi kota Jakarta pada masa silam mengidap sindrom 
centremania, segala macam fungsi kota diemban Jakarta tanpa kecuali: 
pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat bisnis, pusat perindustrian, pusat perbelanjaan. Hanya pusat-pusat permukiman dan perumahan yang disebar ke daerah-daerah belakangnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tak bisa dihindari: permukiman dan kota 
baru di seputar Jakarta lebih berfungsi sebagai bedroom community, 
sedang segala macam lapangan kerja dan fasilitas perkotaan tetap 
menumpuk di Jakarta. Akibatnya, jika diibaratkan sebagai manusia, 
kota Jakarta sudah mengidap obesitas alias kegemukan berlebihan sehingga sangat lamban untuk bergerak. Bahkan ada yang berani memprediksi bahwa 5 tahun mendatang Jakarta akan macet total.
Pada masa depan sangat dianjurkan agar kecenderungan centre-mania diubah total dengan konsep pembangunan yang disebut polycentric development272, atau multiple centre development, dengan fokus 
pada aneka ragam pusat pertumbuhan yang tersebar di pelosok Nusantara.
Pola pembangunan nasional yang tak merakyat, tidak merata, dan 
tidak berpihak kepada warga miskin—dengan akibat ketimpangan antardaerah dan antara kota dan desa—itu terutama dipicu 
keserakahan para petinggi dan penentu kebijakan yang kurang peka 
melihat kesengsaraan mayoritas rakyatnya. Padahal, sudah cukup 
lama dikumandangkan kaidah pembangunan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, melestarikan keseimbangan lingkungan, 
demi pertumbuhan nasional yang sehat. Jadi, ke depan, kaidah pembangunan nasional mesti lebih fokus berpihak kepada warga miskin. Tanpa ada perubahan sikap, mental, dan moral para tokoh elite di 
puncak kekuasaan yang selama ini tampak bergelimang nafsu duniawi, 
serakah, dan tamak, pemerataan pembangunan nasional hanya akan 
tetap tinggal sebagai mimpi, yang tak akan pernah terejawantahkan.
Pembangunan nasional yang merakyat dan betul-betul berpihak 
kepada warga miskin sesungguhnya salah satu amanah penting 
demi keberlanjutan pembangunan nasional. Perlu dipikirkan implementasi 10 prinsip pembangunan berkelanjutan. Kesepuluh prinsip 
itu yaitu , pertama, equity, yaitu kesetaraan alias pemerataan aset 
dan akses pembangunan, baik secara geografis maupun demografis. 
Kedua, environment, yaitu keserasian lingkungan atau keseimbangan 
ekologis. Ketiga, employment atau tersedianya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, baik di sektor formal maupun informal. Keempat, 
empowerment atau pemberdayaan segenap lapisan warga tanpa 
kecuali. Kelima, engagement, yaitu pelibatan pihak swasta atau dunia 
usaha dalam pembangunan. Keenam, enforcement atau penegakan 
hukum, yang dijalankan secara konsisten dan tanpa pandang bulu. 
Ketujuh, enjoyment, yakni agar rakyat merasa nyaman dan betah tinggal di lokasi masing-masing, di kota ataupun di desa. Kedelapan, energy conservation atau hemat energi dengan prinsip ramah lingkungan 
sesuai dengan gerakan hijau. Kesembilan, ethics of development atau 
etika dalam pembangunan, menghindari aneka jenis egoisme yang 
hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Kesepuluh, esthetics atau keindahan lingkungan untuk menciptakan rasa tempat, sense of place
atau genius loci.
Dalam bidang perkotaan, Bappenas sudah merumuskan dalam 
draf Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional tentang seluk-beluk 
keberlanjutan perkotaan di Tanah Air. Ini sudah yaitu  salah satu 
langkah maju, yang seyogianya dikembangkan lebih luas dalam aras 
pembangunan nasional secara makro. Kiranya perlu direnungkan pesan Nelson Mandela (alm) yang dikutip Majalah Time edisi 23 Desember 2013, “Kemiskinan itu tak alamiah, melainkan buatan manusia, 
jadi bisa diatasi asal ada kemauan politik yang kuat. Diawali oleh elite 
tertinggi pemerintah pusat, diikuti oleh jajaran di bawahnya, dan didukung penuh oleh warga luas.”
Kebijakan untuk mencukupi ketersediaan pangan, dalam ini  
daging, yaitu  objek pengamatan yang menarik bagaimana hukum gagal dimanfaatkan untuk fasilitasi ketersediaan hak-hak rakyat 
akan pangan. Kementerian Pertanian telah menyatakan keinginannya 
membuka peluang impor dari dua negara pengekspor utama ternak 
dan daging sapi, Brasil dan India. ini  sebab  khawatir terjadi monopoli perdagangan mengingat pasokan hanya dibatasi pada dua negara: Australia dan Selandia Baru. Pernyataan ini lalu  diperkuat 
Menteri Perdagangan, dipicu masalah  penyadapan oleh Australia. Mulai 
awal tahun 2014, pemerintah akan mencari alternatif pemasok ternak 
hidup dan daging sapi, selain Australia. Rencana itu sah-sah saja dilihat dari kacamata ekonomi, namun  dampak kesehatan hewan tak bisa 
begitu saja diabaikan.
Satu-satunya penghalang impor yaitu  pemberlakuan sistem 
negara bebas penyakit dan bukan zona bebas seperti tertuang dalam 
UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pemerintah dan DPR berusaha  melakukan percepatan dengan merevisi UU 
ini. Mampukah populasi ternak diamankan dari ancaman masuknya 
kembali penyakit mulut dan kuku (PMK)? Padahal, pemberantasan penyakit hewan menular ini baru berhasil sesudah  100 tahun berjangkit di 
negeri ini.
Tak terelakkan, dampak PMK memicu pasar ternak dan daging dunia terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, pasar yang dimiliki negara bebas PMK, dan kedua, pasar negara di mana PMK masih 
berjangkit endemik. Hampir semua negara endemik ada di Asia, Afrika, 
dan Amerika Selatan.Banyak negara tak mengimpor sapi hidup ataupun daging segar, 
dingin, atau beku dari negara endemik PMK. Akibatnya, banyak negara 
endemik (terutama negara berkembang dan miskin) tersisih dari perdagangan dunia sebab suplai ternak dan daging terbatas hanya dari 
negara maju.
Tak banyak negara maju yang mampu mengekspor sapi hidup. 
negara kita  yaitu  pasar sapi hidup terbesar bagi Australia meski Australia sendiri hanya negara pengekspor peringkat ketiga dunia. 
Brasil dan India berpopulasi sapi terbesar: 189 juta dan 187 juta ekor. 
Diikuti China (lebih dari 100 juta ekor), Amerika Serikat (lebih dari 90 
juta ekor), Australia (28,5 juta ekor), dan Selandia Baru 3,69 juta ekor.
Australia, Brasil, dan AS secara tradisional yaitu  negara utama pengekspor daging sapi. Lima besar eksportir daging sapi yaitu  
India, Australia, Brasil, AS, dan Selandia Baru. India mengambil alih kedudukan Australia sebagai eksportir terbesar pada tahun 2012. Selain 
akses pasar, PMK juga memengaruhi harga. Harga daging dari negara 
bebas, seperti AS, Kanada, Australia, Jepang, dan Selandia Baru, lebih 
tinggi dibandingkan  negara endemik. AS mengimpor daging sapi dari Australia dengan harga premium 30 persen lebih tinggi dibandingkan  daging 
sapi asal negara tertular.
Ketentuan UU No. 18/2009 yang membolehkan impor dari zona 
bebas penyakit telah dianulir melalui Putusan MK pada 2012.273 Dalam 
amar putusannya, MK menilai frasa “Unit usaha produk hewan pada 
suatu negara atau zona” dalam Pasal 59 ayat (2);, frasa “Atau kaidah 
internasional” dalam Pasal 59 ayat (4), kata “dapat” dalam Pasal 68 ayat 
(4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan 
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 
5015) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
negara kita  Tahun 1945. 
Permohonan ini diajukan oleh banyak pihak pada 2009 lalu. Sebagai pemohon, antara lain Perkumpulan Institute For Global Justice 
(IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan negara kita  (PDHI), Gabungan Koperasi Susu negara kita  (GKSI), Wahana warga Tani dan Nelayan 
negara kita  (WAMTI), Serikat Petani negara kita  (SPI), Yayasan Lembaga 
Konsumen negara kita  (YLKI), Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dan beberapa peternak. Dalam gugatannya, para pemohon 
memang menginginkan agar MK meninjau Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 
ayat (2) berkaitan dengan frasa “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (4) berkaitan dengan frasa 
“atau kaidah internasional” dan Pasal 68 ayat (4) berkaitan dengan kata 
“dapat”. Sebab, redaksional di pasal-pasal ini diduga kuat bertentangan dengan UUD 45.
Menurut para pemohon, Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) frasa “unit 
usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam ayat (4) 
frasa mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional dan Pasal 68 
ayat (4) “Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner”, melanggar konstitusi dan merugikan rakyat negara kita . 
Lahirnya pasal ini mengabaikan prinsip kedaulatan ekonomi, perlindungan, rasa aman dan keberlangsungan hidup rakyat negara kita  sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. 
Bunyi lengkap Pasal 59 itu sebagai berikut “Produk hewan segar 
yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit 
usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk 
hewan”. Menurut penggugat, selama ini negara kita  hanya melakukan 
impor dengan pendekatan negara bukan zona dalam suatu negara.
Salah satu hal yang menjadi keberatan peternak dengan pemberlakuan sistem zona yaitu  negara negara kita  akan dimanfaatkan oleh beberapa negara yang mempunyai zona bebas sebagai pintu keluar bagi 
daging-daging murah dari zona yang belum bebas PMK dan harga yang 
sangat murah. Masuknya daging murah dari berbagai negara yang belum bebas dari penyakit hewan menular utama (PHMU) akan memu-kul usaha peternakan sapi rakyat sebab  harga yang sangat rendah.
Sebenarnya, pemohon juga meminta agar ketentuan Pasal 44 ayat 
(3) UU 18/2009 mengenai kompensasi bila dilakukan tindakan depopulasi. Para penggugat menilai ketentuan ini menunjukkan Pemerintah tidak bertanggung jawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya 
mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan 
hak rakyat/Pemohon/peternak atas ganti rugi yang yaitu  hak 
tindakan depopulasi. 
Namun untuk Pasal 44 ayat (33) ini, MK tidak mengabulkannya. 
Menurut Mahkamah, depopulasi terhadap hewan yang positif terjangkit penyakit hewan yaitu  tindakan Pemerintah untuk mencegah 
penularan penyakit hewan terhadap hewan yang masih sehat, bahkan 
untuk menghindari penularan kepada manusia. Tindakan Pemerintah 
seperti itu yaitu  dalam rangka melindungi hewan, warga negara kita , serta kesehatan warga negara kita . Selain itu hewan yang 
sudah positif terjangkit penyakit hewan, tanpa depopulasi tetap tidak 
akan membantu pemiliknya oleh sebab  pada akhirnya hewan ini  akan mati dan membahayakan hewan lain dan orang-orang di sekitarnya.
Padahal, perlu dicermati, masuknya PMK tak hanya lewat perdagangan resmi dari negara atau zona bebas PMK saja. Pintu masuk yang 
sulit dikendalikan dan paling berpeluang untuk kembalinya PMK justru lewat daging impor selundupan.
Pada dasarnya, sistem zona bebas tidak melanggar kaidah teknis 
dan sejalan dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). 
Bila akan dilakukan impor dari zona bebas, wajib dijalankan usaha  mitigasi risiko sampai ke tingkat perdagangan yang aman.274 Zona bebas 
bukan suatu konsep yang tak dikenal dalam dunia kesehatan hewan 
negara kita . Kita mengakui secara resmi daerah bebas rabies, atau daerah bebas brucellosis yang yaitu  perwujudan konsep itu.
Adanya zona bebas justru menguntungkan dilihat dari konteks 
pemberantasan penyakit hewan menular sebab bisa dilakukan progresif. Perdagangan bisa tetap dilakukan tanpa harus menunggu sampai 
seluruh wilayah negara dinyatakan bebas. Namun dampak adanya zona bebas: perlu anggaran mempertahankan status bebas itu, terutama surveilans dan tindak karantina.
Ancaman global PMK saat ini akan terus berlanjut. PMK menghancurkan ekonomi, sosial, dan lingkungan di banyak negara maju 
dan berkembang. Dampak ekonomi terutama akibat kehilangan produktivitas ternak yang tinggi, gangguan sejumlah aktivitas di bidang 
pertanian, industri dan sosial, bahkan mengarah pada ancaman suplai 
pangan.
Dalam ini , OIE mengklasifikasi status bebas PMK menjadi 5 
status: (i) negara bebas tanpa vaksinasi, (ii) negara bebas dengan vaksinasi, (iii) zona bebas tanpa vaksinasi, (iv) zona bebas dengan vaksinasi, 
dan (v) kompartemen bebas tanpa vaksinasi. Dari 178 negara anggota OIE, hanya 66 negara dinyatakan sebagai negara bebas PMK tanpa 
vaksinasi. Hanya satu negara bebas dari vaksinasi: Uruguay. Sepuluh 
negara memiliki zona bebas tanpa vaksinasi yaitu  Argentina, Bolivia, 
Botswana, Brasil, Kolombia, Malaysia, Moldova, Namibia, Peru, dan 
Filipina. Enam negara memiliki zona bebas dengan vaksinasi: Argentina, Bolivia, Brasil, Kolombia, Peru, dan Turki. Selebihnya, 95 negara, di 
Asia, Timur Tengah dan Afrika masih dinyatakan tertular PMK. 
Implikasi penetapan status bebas PMK itu memicu tidak ada 
akses pasar untuk peternak sapi dan kerbau di wilayah yang tak termasuk dalam klasifikasi di atas. Mengingat penyebaran paling umum 
terjadi lewat jalur perdagangan ternak hidup, risiko PMK akan meningkat apabila mengimpor sapi potong, perah ataupun bibit dari negara 
tertular ataupun dari negara yang punya zona bebas.275
Konsekuensi biaya pemberantasan apabila PMK masuk kembali 
ke negara kita  akan sangat mahal. Dengan status bebas PMK, negara kita  
dapat mengimpor daging beku dari zona bebas dengan syarat teknis 
sesuai dengan standar OIE. Virus PMK sulit bertahan dalam daging, biasanya mengalami inaktivasi 24-72 jam sesudah  penyembelihan.
Sistem cegah masuknya PMK harus ada.276 Lembaga kesehatan hewan belum mampu mengantisipasi dan mencegah tuntas kemungkinan masuknya kembali PMK. Status bebas PMK sudah lebih dari 22 
tahun sejak diakui OIE pada 1990. Keahlian mengenai penyakit ini harus disegarkan kembali dan dikembangkan terus. Pemerintah harus 
memperkuat kemampuan diagnosis lapangan bagi dokter hewan di 
seluruh negara kita , terutama yang bertugas di daerah berisiko tinggi di 
perbatasan dan padat ternak.
Pendekatan instrumentalis fokus kepada persoalan bagaimanakah 
hukum dan lembaga-lembaga hukum memengaruhi kinerja pembangunan. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa pengadilan akan memengaruhi pendapatan ekonomi. Jauh di masa lampau Adam Smith 
berujar bahwa “suatu pengadilan yang bagus” bersama-sama dengan 
pajak dan perdamaian, menjadi hal yang diperlukan untuk mencapai 
kemakmuran suatu negara.277 Walaupun demikian, para pakar berpendapat bahwa mengelola pengadilan yaitu  sesuatu yang berbeda 
dibandingkan dengan pembangunan. 
Manakah yang lebih penting: melindungi hak kepemilikan, menegakkan kontrak, mengawasi pemerintah dari perbuatan menyimpang, atau menjamin Rule of Law? Sebuah laporan Bank Dunia tahun 
2002 mengatakan bahwa pendapatan dan Rule Of Law—termasuk di 
dalamnya perlindungan kekayaan, kepatuhan kepada peraturan, dan 
peradilan, yaitu  hubungan yang sangat penting.278 Laporan yang 
serupa mengatakan bahwa akibat ketiadaan mekanisme untuk menegakkan kontrak telah melemahkan pertumbuhan perusahaan dan 
institusi keuangan, yang berarti menunjukkan keterkaitan antara independensi pengadilan dan ekspansi perdagangan.279 Kajian yang lain 
menunjukkan adanya hubungan antara perlindungan kreditur dengan penanaman modal.280
Jika reformasi hukum tidak memengaruhi investasi asing, maka 
memicu kesejahteraan yang berbeda-beda bagi penduduk pada 
umumnya. Misalnya, di Asia menunjukkan bahwa pemberdayaan hukum dapat meningkatkan keadaan orang miskin dan bahwa warga 
sipil yang dinamis, dan hukum yang melindunginya, menjadi penting 
untuk strategi pemberdayaan hukum.281 Menurut kami , dalam implementasinya, pemberdayaan hukum itu secara teknis harus dirumuskan 
atas dasar kemauan politik untuk melindungi rakyat, termasuk dalam 
mengatasi kesenjangan dalam kancah perdagangan internasional.
Konferensi World Trade Organization (WTO) di Bali, negara kita  beberapa waktu yang mengonfirmasikan pentingnya perlindungan ini . Di luar dugaan, Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali akhirnya 
berhasil menyepakati Paket Bali. Dirjen WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan 
bungah. sesudah  macet 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda Putaran 
Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin hasil ini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO tentang pentingnya kerja sama 
multilateral.
Paket Bali berisi tiga hal: fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang, dan pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui. Perundingan paling alot terjadi pada agenda 
pertanian. Dimotori India, kelompok G-33 yang dipimpin negara kita  
mendesakkan penaikan subsidi pertanian, dari 10 persen menjadi 15 
persen tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen dari 1,2 miliar penduduk 
India bekerja di pertanian dan terancam kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur-atur WTO.
Dimotori AS, negara-negara maju menentang India. Argumennya, 
subsidi untuk memperkuat cadangan pangan mendistorsi pasar jika 
merembes. Usulan India akhirnya disetujui jadi bagian Paket Bali dengan peace clause empat tahun. sesudah  itu dijanjikan ada solusi permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan 
Paket Bali? Benarkah Paket Bali mencerminkan free and fair trade? Bisakah negara berkembang memanfaatkan 1 triliun dollar AS yang dido-rong perdagangan dunia?
Paket Bali sejatinya tidak mengubah apa-apa. Negara maju tetap 
pada wajahnya yang lama: banyak menuntut namun  pelit memberi. Pertama, peace clause 4 tahun sejatinya hanyalah omong kosong. Itu sebab  hasil negosiasi dengan tenggat 4 tahun ini telah ditukar (trade 
off) dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas 
pasar di negara-negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause
hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan untuk yang lain. Janji 
solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan kapan akan 
diberlakukan? Boleh jadi, 4 tahun lagi negara maju berganti taktik.
Kedua, Paket Bali mencerminkan tetap berlanjutnya diskriminasi. 
Menurut WTO, dengan mengamini argumen AS, subsidi guna memperkuat cadangan pangan mendistorsi perdagangan. Di lain pihak, subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju tetap dibolehkan oleh 
WTO. Ini tecermin dari tetap dilegalkannya subsidi ekspor dan dukungan domestik yang oleh WTO dimasukkan dalam Green Box, Blue Box, 
dan de minimis.
Ketiga, inti Paket Bali tetap berfokus pada akses pasar (market access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju. Dengan 
disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara 
maju bisa mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas seperti kepabeanan, pelabuhan, dan perizinan serta fasilitas pengukuran kesehatan di 
negara berkembang. Itu semua memakan biaya besar. Padahal, fasilitas ini tak lain untuk melancarkan lalu lintas barang impor di negaranegara berkembang. Impor bakal membanjir, termasuk ke negara kita .
Janji negara-negara berkembang akan menikmati kue ekonomi 
yang didorong oleh perdagangan dunia hanya janji surga. Dengan 
pelbagai standar teknis internasional dan asal barang, persyaratan 
lingkungan dan kesehatan di negara-negara maju akan cukup efektif 
membendung masuknya aneka produk dari negara berkembang. Selain pelbagai hambatan new non-tariff barrier itu, negara maju juga 
memberlakukan tarif eskalasi untuk sejumlah produk olahan. Dengan 
cara itu, sulit produk negara berkembang menembus pasar negara 
maju. Negara maju hanya tertarik membuka pasar bahan baku.
Menurut sebuah studi Bank Dunia, skenario Putaran Doha hanya 
memberi  keuntungan kepada negara-negara maju. Menurut Bank 
Dunia, negara-negara berkembang hanya memperoleh sekitar 16 mili-ar dollar AS, sementara negara-negara maju mendapatkan keuntungan 
hingga 96 miliar dollar AS sampai 2015. Yang paling diuntungkan yaitu  korporasi. Menurut World Trade Report 2013, “80 persen ekspor AS 
dikuasai satu perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan 
10 persen eksportir besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada 
5 perusahaan ekspor di negara berkembang”. Jadi, Paket Bali yaitu  
kemenangan korporasi.
Keempat, Paket Bali menegaskan adanya dua dunia di belahan 
bumi: utara yang makmur dan kaya serta selatan yang miskin dan melarat. Ada negara berpendapatan per kapita lebih dari 40.000 dollar AS, 
namun  jumlah penduduk yang pendapatan per kapita 1.000 dollar AS 
per tahun atau kurang amat banyak. Lebih dari 1,2 miliar orang atau 
satu dari setiap lima penduduk dunia harus hidup dengan 1 dollar AS 
per hari atau kurang. Mereka miskin, kurang gizi, rentan terhadap bencana dan gejolak, serta akses terhadap kesehatan dan pendidikan rendah. Negara-negara ini masih bergulat dengan persoalan kebutuhan 
dasar.
Di sisi lain, negara-negara maju yang telah mencapai tahapan 
tertinggi dari pembangunan industri, jasa, dan perdagangan terus 
melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi ekonomi. Negara-negara ini terus mengejar kemajuan tiada henti, tanpa mau tahu 
pelbagai masalah yang membelit negara-negara berkembang dan 
miskin: rendah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber 
daya manusia, serta lemah akses pasar dan modal. Apakah demikian 
ini yang dinamakan perdagangan bebas yang bukan hanya free, melainkan juga fair trade?
Yang amat disesalkan yaitu  peran negara kita . Sebagai tuan rumah, negara kita  lebih banyak mendorong Paket Bali agar segera (bisa) 
disepakati. Sebagai Ketua G-33, posisi negara kita  juga “abu-abu”. Tak 
jelas kepentingan nasional yang diperjuangkan. Sebagai tuan rumah, 
di mata dunia luar negara kita  akan dipuji WTO dan korporasi sebab  telah berhasil memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan 
perputaran kapital mereka. Di dalam negeri, negara kita  kembali menuai kecaman sebab  tak gigih membela kepentingan nasional. 
Contoh yang lain betapa kadang-kadang hukum gagal untuk dikedepankan dalam mendorong perekonomian yaitu  masalah  pelarangan 
eskpor mineral mentah. Asosiasi Pengusaha Mineral negara kita  (Ape-mindo) menolak pelarangan ekspor mineral mentah.282
Program hilirisasi tambang ini yaitu  amanat UU No. 4/2009 
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Menteri 
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Kedua peraturan perundang-undangan itu memaksa 
semua perusahaan tambang mendirikan pabrik pengolahan sendiri, 
apakah berupa pabrik peleburan ataupun pengolahan sendiri, atau 
memberi kesempatan bagi investor lain mendirikan pabrik pengolahan seperti itu.
Padahal, sifat dan hakikat antara satu dan lain jenis hasil tambang 
sangat berbeda. sebab  tidak dirancang dengan perhitungan ekonomis, melawan struktur pasar internasional, dan terbatasnya kapasitas 
pabrik pengolahan di dalam negeri yang dapat mengolah hasil tambang, maka sangat dicemaskan bahwa kedua aturan itu menjadi menjadi macan ompong belaka. Kedua aturan itu bukan dibuat ahli ekonomi pertambangan yang baik.
Tidak jelas apakah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 
mengoordinasikan kebijakan larang ekspor itu dengan mitra kerjanya 
di kementerian dan instansi lain, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Bank negara kita . Mereka yang menentang melihat, dalam kondisi ekonomi yang sulit dewasa ini, larangan 
ekspor mineral mentah akan makin menurunkan penerimaan negara 
dari royalti dan berbagai jenis pajak yang mengganggu APBN. Daerah produsen hasil tambang yang tadinya kaya raya kini sudah mulai 
megap-megap sebab  penurunan penerimaannya dari sektor pertambangan. Nilai tukar rupiah akan terus melemah sebab  berkurangnya 
penerimaan devisa ekspor, kiriman TKI, maupun pemasukan modal 
asing jangka pendek.
Selain itu, tanpa adanya larangan ekspor perusahaan tambang dan 
perkebunan pun, kita sudah menderita akibat dari penurunan tingkat 
harga komoditas primer di pasar internasional yang sangat drastis, sekitar 40 persen, sejak akhir 2011. Larangan ekspor akan membuat harga komoditas primer makin rendah di pasar dalam negeri. Larangan 
ekspor dikhawatirkan juga akan membuat citra negara kita  sebagai pemasok tak dapat diandalkan sehingga merangsang pembeli beralih kenegara penghasil lainnya, seperti Australia, Papua Niugini, New Caledonia, Mongolia, Rusia, atau negara-negara di Amerika Latin dan Afrika. Sering berubahnya peraturan perundang-undangan memicu 
tak adanya kepastian usaha bagi investasi di sektor pertambangan yang 
beroperasi dalam jangka panjang.
Aturan hilirisasi hasil tambang di atas dibuat pada saat puncak kenaikan tingkat harga komoditas primer terjadi, termasuk hasil pertambangan, selama 2000-2011. Namun kebijakan itu diimplementasikan 
pada saat yang salah, yakni sesudah  harga-harga meluncur turun secara 
drastis mulai akhir 2011. Selama 2008-2011 saja, ekspor konsentrat nikel naik 11 kali lipat, nilai ekspor bauksit 5 kali lipat, dan nilai ekspor 
nikel 8 kali lipat.283
Hal yang sama juga terjadi pada harga komoditas pertanian, seperti minyak kelapa sawit, cokelat, dan karet. Kedua aturan itu dibuat 
berdasarkan asumsi bahwa tingkat harga hasil tambang akan terus meningkat 1 persen setahun dan biaya pendirian pabrik pengolahan naik 
2 persen. sebab  dirangsang tingkat keuntungan yang tinggi, tadinya 
banyak investor yang tertarik berinvestasi di sektor pertambangan dan 
perkebunan pada masa boom ini . Teknologi yang diperlukan untuk pertambangan batubara juga sangat sederhana seperti penggalian 
gunung kapur di Purwakarta atau pasir lava letusan Gunung Merapi di 
Kali Code, Yogyakarta, yang cukup bermodalkan sekop, pacul, dan otot.
Penyebab boom komoditas primer selama ini ialah adanya pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, rata-rata 9-10 persen setahun 
di China sejak Deng Xiaoping meliberalkan ekonominya pada 1987 dan 
India melakukan hal sama mulai 1992. Modernisasi, mekanisasi, motorisasi, ataupun pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat di kedua negara memerlukan sumber energi serta segala macam jenis hasil 
tambang. Rakyatnya yang semakin makmur menuntut kualitas makanan yang lebih baik, termasuk minyak goreng dan hasil laut dari negara kita . Motor penggerak pertumbuhan ekonomi China yaitu  investasi 
dan ekspor yang tinggi. India mempromosikan jasa-jasa berbasis komputer. Kedua negara sosialis itu, yang tadinya sangat anti pada modal 
asing, kini justru mengundangnya ikut menciptakan lapangan kerja di 
dalam negerinya sendiri, melakukan transfer teknologi, dan membuka 
pasar eksporPenurunan harga komoditas primer terjadi pada saat yang bersamaan dengan peningkatan tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia akibat dimulainya pengurangan pembelian obligasi pemerintah 
dan surat berharga lainnya oleh bank sentral Amerika Serikat. Suntikan 
likuiditas melalui pembelian besar-besaran surat-surat berharga itu 
dikenal sebagai the quantitative easing (QE) yang telah menurunkan 
tingkat suku bunga hingga mendekati nol guna merangsang pengeluaran konsumsi dan investasi sektor swasta. Kombinasi kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan harga komoditas primer yang yaitu  produknya akan memicu  masalah likuiditas, solvabilitas, 
ataupun kebangkrutan bagi perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak meminjam di luar negeri.
Pabrik pengolahan atau peleburan hasil tambang bersifat padat 
modal dan padat energi sehingga memerlukan investasi modal skala besar. Agar efisien, kapasitas pabrik itu harus besar dan memenuhi skala ekonomi minimal tertentu. Tenaga yang diperlukannya pun 
yaitu  yang memiliki pendidikan serta keterampilan tinggi. Selain 
itu, diperlukan infrastruktur yang baik, berupa transportasi darat dari 
tambang hingga pelabuhan, atau pabrik pengolahan serta pelabuhan 
laut, telekomunikasi serta pengolahan limbah agar tak mencemarkan 
lingkungan hidup. Pertanyaan, apakah investasi modal besar itu akan 
memberi nilai tambah memadai?
Semua persyaratan di atas tak bisa kita penuhi dewasa ini. Kita tak 
punya modal besar, keahlian teknologi, ataupun manajemen mendirikan dan mengelola pabrik peleburan besar. PT Inalum membangun 
semua keperluannya, pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, hingga kota baru, lengkap dengan rumah serta fasilitas sosial karyawan. Bekerja sama dengan investor luar, PT Aneka Tambang hanya 
mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang skala 
kecil yang digerakkan pembangkit tenaga listrik yang mahal.
Perhatikanlah tenaga-tenaga teknisi yang bekerja di sektor pertambangan kita. sebab  kurangnya teknisi negara kita , teknisi di sektor 
minyak pada umumnya berasal dari Texas dan Oklahoma, negara bagian penghasil migas di AS. Tenaga teknis di pertambangan nonmigas, 
mulai dari Freeport di Papua hingga tambang emas Martabe di Batangtoru, Sumatra Utara, didominasi warga Australia. sebab  kurangnya 
pendidikan dan keterampilan, pada umumnya tenaga lokal berupa 
sopir dan petugas satpam.Perusahaan listrik PLN belum mampu memanfaatkan tenaga air 
dan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik. Biaya investasi pembangkit listrik seperti itu memang mahal, tapi biaya operasinya sangat 
rendah. Itu sebabnya, perusahaan raksasa Jepang mau membangun 
tenaga listrik dengan memanfaatkan Air Terjun Sigura-gura di Sungai 
Asahan untuk melebur biji bauksit yang diimpornya, terutama dari 
Amerika Latin dan Australia.
Hasil olahan pabrik itu terutama diekspor ke pasar dunia. Proyek 
yang persis sama dengan Inalum ada di Brasil yang memanfaatkan tenaga listrik dari Air Terjun Itaipu. Selama 30 tahun usia PT Inalum, PLN 
tak mampu memasang generator listrik yang berdampingan dengan 
milik PT Inalum untuk memanfaatkan kapasitas air terjun yang masih 
ada. Untuk mengelola PT Inalum, diperlukan ahli teknik prima, manajer yang baik, ataupun ahli perdagangan kelas dunia yang tahu perdagangan internasional bijih bauksit dan hasil olahannya.
Tidak semua hasil tambang sama dengan bauksit yang lokasi penambangannya berjauhan dengan pabrik pengolahannya dan juga 
berjauhan dengan tempat pemasarannya atau pemanfaatannya. Tempat yang berjauhan itu memerlukan biaya transportasi mahal. Ada beberapa jenis hasil tambang yang lebih ekonomis diolah di dekat tempat 
penambangannya dan ada pula yang lebih murah jika diproses di daerah pemasarannya. Dengan memakai  listrik tenaga air yang murah di berbagai pelosok negerinya, China telah mampu membangun 
beberapa pabrik peleburan hasil tambang, antara lain untuk mengolah 
biji tembaga dari negara kita .
Dari segi ini, UU dan Permen Minerba di atas akan melawan hukum ekonomi yang telah menentukan lokasi industri pengolahan dan 
pemrosesan bijih pertambangan dunia yang sudah ada dan memaksanya pindah ke negara kita . Apa kuasa kita sehingga dapat memaksakan 
relokasi seperti itu? sebab  tak ada program pemerintah yang jelas, 
juga tak ada keterkaitan ke depan atau ke belakang industri tambang 
dan perkebunan di negara kita . Perkebunan sawit tetap mengekspor minyak sawit mentah ke Malaysia untuk diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi. negara kita  yaitu  pasar permen 
cokelat buatan Malaysia yang bahan mentahnya berasal dari Sulawesi, 
Kalimantan, dan Sumatra.
Singapura memiliki refinery yang mengolah minyak mentah negara kita  dan mengekspor minyak olahan kembali ke negara kita . Semba-wang, BUMN negara itu, yaitu  pemasok rigs minyak bumi laut 
dalam mulai dari Norwegia dekat Kutub Utara hingga Brasil dekat Kutub Selatan. Sama dengan pada era Ibnu Sutowo di masa lalu, Pertamina sekarang ini lebih tertarik membangun real estate berupa gedung 
100 tingkat dan bukan refinery ataupun proyek yang berkaitan dengan 
minyak dan gas.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berencana melonggarkan aturan ini . Tindakan ini mengulang cerita lama satu dekade 
lalu saat pebisnis pertambangan berhasil mendikte negara kita  membuka hampir 1 juta hektar hutan lindungnya menjadi area  tambang. 
Menjelang Pemilu 2004, pebisnis tambang berhasil membuat  DPR di 
Senayan mengamendemen pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 
1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya, hampir 1 juta hutan lindung bisa dialihfungsikan menjadi area  tambang dengan harga sewa lebih murah dibandingkan  sepotong pisang goreng, yakni hanya Rp 300 per meter persegi.
Sektor pertambangan bagaikan panglima yang mendikte arah 
pembangunan. Jika sektor keruk ini masuk ke sebuah wilayah, fungsi 
lain hanya mendapat sisanya. Di area -area  kaya bahan tambang dan minyak dan gas bumi, rencana tata ruang wilayah (RTRW) 
yang semestinya menjadi panduan pembangunan sebuah area , 
tak berlaku bagi para pebisnis tambang.
ini  dapat dilihat dengan masalah  Jawa Timur. Sekitar 40 persen 
wilayah Jawa Timur dikuasai oleh 32 blok migas, separuhnya di wilayah 
Sidoarjo. Padahal, Sidoarjo yaitu  area  padat huni dan masuk dalam kelompok kota metropolitan. Celakanya, peruntukan industri migas justru tak diatur dalam RTRW. Akibatnya, saat 8 tahun lalu Lapindo 
Brantas lalai memasang  casing bor, terjadi luberan lumpur panas yang 
merendam 12 desa dan menggusur puluhan ribu orang. Negaralah 
yang harus merogoh anggarannya mengurus para korban semburan 
lumpur Lapindo.
Demikian halnya dengan yang terjadi di Samarinda, konsesi tambang batubara menguasai  hampir 2/3 luasan ibukota Kalimantan Timur. Akibatnya, luas ruang terbuka hijau yang tersisa tak sampai 1 persen dan lebih dari 150 lubang tambang belum direklamasi. Banjir di 
perkotaan juga makin menggila. Dulunya hanya setahun, atau 5 tahun 
sekali terjadi banjir besar. Kini, sepanjang periode 2007-2009 telah terjadi sebanyak 126 kali banjir. Situasi Samarinda membahayakan warga, bahkan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 
defisit. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan 
batubara lebih rendah dibandingkan dengan biaya penanggulangan 
banjir akibat pengerukan batubara. Pada periode 2006-2010, rata-rata 
penerimaan dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum Samarinda 
Rp 22,3 miliar per tahun. Sementara biaya penanggulangan banjir pada 
periode 2008-2010, mencapai  Rp 107,9 miliar dan meningkat hingga 
Rp 602 miliar dalam 3 tahun berikutnya.
Tidak termasuk biaya rehabilitasi yaitu  kerusakan jalan umum 
sebab  transportasi batubara, juga biaya yang ditanggung warga sekitar tambang saat lahan pertanian, hutan, dan sumber-sumber air 
dihantam banjir pada musim hujan dan krisis air saat kemarau sejak 
tambang masuk desa mereka.
Model pengurusan pertambangan yang “keruk cepat jual murah” 
sejak Orde Baru terbukti mempercepat eksploitasi bahan tambang dan 
merusak ruang hidup warga. Alih-alih menyejahterakan, senyatanya 
negara yang menyubsidi pebisnis tambang. Orde Reformasi juga tak 
membawa angin perubahan lebih baik. Sistem pemerintahan yang 
korup menjadi muara para  politikus dan pebisnis berkuasa di pemerintahan dan gedung wakil rakyat. Di tangan mereka, UU No. 4/2009 
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan UU No. 
32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup hanyalah pasal-pasal karet, yang bebas tafsir dan diterapkan untuk memperluas politik penjarahan kekayaan alam.
Tidak mengejutkan jika 5 tahun sejak UU Mineral dan Batu Bara 
berlaku, pengurusan sektor hulu semakin tidak terkendali. Luasan 
dan tumpang tindih izin tambang makin tak terkontrol. Hingga tahun 
2011, sedikitnya 8.000 izin dikeluarkan  pemerintah dan 75 persennya 
tumpang tindih. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada 
tahun 2013 izin yang dikeluarkan lebih dari 11.000 izin. Anehnya dalam 
4 tahun terakhir, sektor yang diagung-agungkan akan membawa kesejahteraan ini rata-rata kontribusi angka PDB-nya hanya 11,30 persen, 
lebih kecil dibandingkan dengan sektor berkelanjutan yang penyerapan tenaga kerjanya juga lebih besar, seperti pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang mencapai 14,85 persen.284
Kini pemerintah mendorong pembukaan pabrik peleburan (smel-ter) di sektor hilir. Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi negara kita  (MP3EI) menyebutkan akan membangun lebih dari 150 smelter di seluruh negara kita . Tak terbayang krisis ekologi dan sosial yang 
bakal terjadi di tengah pengurusan sektor hulu yang amburadul.
Larangan ekspor bahan mentah bisa memicu praktik penyelundupan, seperti yang terjadi pada timah Bangka Belitung dan perdagangan merkuri. Belum lagi dampak berupa 9.500 ton limbah ponsel 
(cellphone) per tahun yang dihasilkan negara kita  sejak menjadi pengguna ponsel urutan ke-5 dunia. Senyatanya, dari hulu hingga hilir pengelolaan bahan tambang, negara kita  tak beranjak dari pelayan negaranegara industri, penyedia bahan mentah, dan pasar raksasa.
Memperdebatkan di mana bahan tambang digali, diolah, dan dikemas menjadi barang-barang tidak lagi relevan, sebab pemilik modal 
dan pasar yang menentukan harganya. Hasil  pertemuan Organisasi 
Perdagangan Dunia (WTO) di Bali, Desember 2013, memberi  pesan yang jelas, di tengah rezim perdagangan global kini, semua itu bisa 
diatur dengan sistem kuota dan tarif  yang lalu  dilabel make in 
the world. Strategi negara kita  untuk segera lepas dari ketergantungan 
ekonomi ekstraksi bahan tambang yang mestinya segera dirumuskan.
Contoh masalah  lalu  yaitu  liberalisasi minyak dan gas. Liberalisasi industri gas nasional bersumber dari UU No. 22/2001 tentang 
Minyak dan Gas, Peraturan Pemerintah No. 36/2004, serta Peraturan 
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 19/2009. Dalam UU 
Migas pola liberalisasi antara lain diperintahkan pada Pasal 10 berupa pemisahan sektor hulu dan hilir, Pasal 28 yang menetapkan harga 
gas bumi melalui persaingan usaha, serta Pasal 5 yang menyebutkan  
pengangkutan sebagai kegiatan usaha. Tiga pasal dalam UU Migas ini 
menghasilkan kebijakan unbundling dan akses terbuka yang kini ramai 
dibahas.
Ketiga pasal “liberal” PP No. 36/2004 yaitu  lelang pembangunan 
transmisi dan distribusi (Pasal 9), penentuan harga gas melalui persaingan usaha (Pasal 72), dan pemanfaatan bersama fasilitas atas pertimbangan teknis dan ekonomis (Pasal 31). Liberalisasi dalam Permen 
ESDM No. 19/2009 yaitu  pemisahan kegiatan usaha pengangkutan 
dan niaga dengan bentuk badan usaha terpisah, unbundling (Pasal 19), 
pembukaan infrastruktur gas hilir menjadi akses terbuka (Pasal 13), 
dan perusahaan niaga tanpa fasilitas, trader/broker (Pasal 9).
Pada Pasal 19 Ayat 1 Permen No. 19/2009, badan usaha pemegang izin pengangkutan gas dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan 
usaha niaga melalui fasilitas yang dimiliki. Pada ayat 2 disebutkan, jika 
badan usaha pemegang izin itu melakukan usaha niaga melalui fasilitas yang dimiliki, maka wajib dibentuk badan usaha terpisah yang 
punya izin usaha niaga. Pembentukan badan usaha harus dilakukan 
paling lambat dua tahun sejak permen terbit (31/8/2011). Kementerian 
ESDM telah memperpanjang masa pembentukan itu hingga Oktober 
2013, namun  hingga kini kebijakan itu belum berlaku.
Pendukung akses terbuka menyatakan kebijakan ini akan menguntungkan banyak pihak: bisnis berjalan adil dan akuntabel, konsumen 
seperti industri dan PLN akan mendapat kepastian pasokan gas. Pemilik pipa akan memperoleh tambahan pendapatan dari toll fee, pipa 
terpakai maksimal, dan mendapat kepastian pengembalian investasi. 
Penjual gas akan berkompetisi secara sehat mencari pasar dan sumber 
gas sehingga bisnis lebih adil dan bebas dari percaloan. Pemasok gas 
mendapat harga jual terbaik.
Penentang akses terbuka menyatakan kebijakan ini membuat harga 
gas makin mahal sebab  bertambahnya perusahaan terlibat yang masing-masing membebankan biaya operasi dan margin pada harga jual 
gas. Diyakini, kebijakan ini akan menguntungkan trader/broker gas yang 
mengandalkan lobi dan kurang transparan memperoleh pasokan gas.
Akses terbuka menghilangkan motivasi membangun dalam kondisi infrastruktur yang minim dan akan menghambat pembangunan 
infrastruktur primer sebab  pemenuhan kebutuhan tersier. Perusahaan Gas Negara (PGN) menentang pemberlakuan akses terbuka sebab  
akan kehilangan sekitar 50 persen pasar akibat infrastruktur yang telah 
diinvestasi kelak dimanfaatkan trader sehingga kelangsungan bisnisnya terancam.
Saat ini pipa transmisi gas yang dimiliki negara kita  baru 7.900 km. 
Pada 2025, seiring dengan rencana konversi BBM ke BBG yang diproyeksikan mengatasi krisis energi, diperkirakan kebutuhan pipa transmisi 15.000 km dan pipa distribusi 40.000 km. Artinya, dalam 11 tahun 
mendatang negara kita  harus mampu membangun 7.000 km pipa transmisi dan 35.000 km pipa distribusi. Dalam pola liberal yang berlaku 
pada 2006, pemerintah menunjuk pemenang pembangunan pipa Kalimantan-Jawa, Gresik-Semarang, dan Cirebon-Semarang. Namun belum satu pipa pun terbangun! Jadi, target pembangunan puluhan ribu 
pipa gas pada 2025 tak mungkin tercapaiLiberalisasi industri gas pun memicu penutupan beberapa 
perusahaan industri di Sumatra Utara yang berulang pada 2003, 2008, 
dan 2013. Konsumen gas Jawa Barat kekurangan pasokan akibat tak 
tersedianya sarana transmisi dari Jawa Timur yang surplus gas. Harga 
gas di Jawa Barat 10 dollar AS-12 dollar AS per MMBTU, lebih mahal 
dibandingkan Jawa Timur yang hanya 6 dollar AS-7 dollar AS per MMBTU. Pada pipa SSWJ I-II yang berstatus akses terbuka, PLN tak dapat 
langsung beli gas produsen, tapi harus lewat PGN. PLN membayar lebih mahal dibandingkan sekadar toll fee dan tambahan biaya ini jadi 
beban subsidi APBN! Konsumen gas di Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Utara, Kalimantan, dan Sulawesi gagal menikmati energi yang 
murah ini akibat tak laiknya pembangunan infrastruktur dalam konteks liberalisasi.
Di sisi lain, PGN mengaku melakukan subsidi silang dengan mengenakan harga jual gas pada level tertentu guna membangun infrastruktur. Namun dari laba bersih rata-rata Rp 7 triliun-Rp 8 triliun per 
tahun, dalam tiga tahun terakhir tak terjadi penambahan infrastruktur 
yang signifikan. Berdasarkan Wood McKenzie, return on investment 
(RoI) PGN rata-rata 32 persen dan yaitu  tertinggi di dunia (RoI 
perusahaan sejenis: 16 persen). UBS Investment Research juga menyebut nilai toll fee dan margin PGN minimal 4 dollar AS per mmbtu atau 
200 persen terhadap perolehan Pertagas yang rata-rata 2,2 dollar AS 
per mmbtu. Perilaku bisnis PGN ini bisa saja dimaklumi sebab  statusnya sebagai perusahaan publik yang berorientasi untung dan pertumbuhan. Layak dipertanyakan minimnya peran pemerintah dalam 
mengatur dan mengendalikan PGN.
Pembangunan infrastruktur gas yang terkendala investasi dan risiko besar secara global selalu dilakukan BUMN sebagai pemegang hak 
monopoli alami (monopoli yang tercipta sebab  biaya menghasilkan 
produk—barang atau jasa—lebih rendah jika dilaksanakan hanya satu 
perusahaan dibanding dengan oleh beberapa perusahaan bersaing). 
Umumnya pelaku monopoli ini perusahaan pelayanan seperti listrik, 
air minum, dan pipa gas.
Pada industri yang bersifat monopoli alami, pengaturan yang berlaku yaitu  binis teregulasi (negara “berkuasa”), bukan bisnis terliberasi. Untuk kepentingan rakyat, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan 
sektor pelayanan publik ini harus dikuasai negara. Pelaksanaannya 
oleh BUMN.Liberalisasi sektor gas di AS dan Eropa dilakukan sebagai usaha  
mengefisienkan pelayanan sesudah  seluruh infrastruktur tersedia dan 
dalam kondisi matang. Kebijakan diawali dengan pengembangan infrastruktur yang masif melalui penerapan monopoli alami. Di AS, deregulasi dilakukan sesudah  pematangan infrastruktur selama 100 tahun 
dan masa 20 tahun untuk memenuhi kewajiban unbundling. Di Eropa, 
unbundling dan akses terbuka dimulai dengan terbitnya Gas Directives 
pada 1998 dan baru terlaksana sesudah  sarana transmisi dan distribusinya matang melalui masa pengembangan 10-12 tahun.
Kondisi sarana gas negara kita  saat ini jauh dikatakan matang untuk 
menerapkan pola akses terbuka dan unbundling. negara kita  baru memiliki sekitar 19,7 persen dari seluruh jaringan pipa gas yang sudah direncanakan. Tingkat kematangan infrastruktur gas negara kita , apabila 
diukur berdasarkan panjang pipa terhadap luas wilayah (darat), hanya 
sekitar 0,006; sangat rendah dibandingkan dengan negara yang telah 
liberal seperti Italia (0,6), Perancis (0,03), atau AS (0,08). Infrastruktur 
yang sudah minim semakin diperparah dengan status BUMN gas yang 
telah diprivatisasi, terpengaruh asing, dan lemahnya kehadiran pemerintah sehingga tak layaklah ditetapkan akses terbuka itu.
Sudah waktunya pemerintah dan DPR membatalkan rencana akses terbuka dan unbundling industri gas serta memulihkan pengelolaan sektor publik itu sesuai amanat konstitusi. Kebijakan liberal itu telah 
dipaksakan asing melalui UU Migas No. 22/2001 yang, tanpa disadari, 
telah menguasai 35 persen saham BUMN gas kita. Apalagi, untuk 
wanti-wanti terhadap krisis energi, peran industri gas kian penting dan 
strategis terkait rencana konversi BBM ke BBG. sebab  itu, industri gas 
nasional harus dikelola sebuah BUMN pemegang hak monopoli alami 
yang bertugas membangun infrastruktur gas secara masif. Sejumlah 
ketentuan yang diperlukan harus ditetapkan dalam UU migas baru 
yang sedang dibahas DPR dengan pemerintah. Pemerintah pun harus 
berusaha  menggabung BUMN terkait dan beli-balik saham BUMN gas 
jika diperlukan.
Akibat ketidakmandirian dalam pengelolaan sumber daya gas misalnya, telah memicu  perdebatan panjang dalam pengelolaan 
produk turunan seperti harga bahan bakar elpiji. Di tengah suasana 
pergantian tahun, tepat 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. Tak tanggung-tanggung, dibandingkan dengan harga 
bahan bakar minyak beberapa waktu lalu, persentase kenaikan harga elpiji jauh lebih besar. Merujuk harga di Jakarta, misalnya, elpiji 12 kilogram yang sebelumnya seharga Rp 78.000 naik 68 persen hingga harganya melonjak drastis menjadi Rp 138.000.
Di luar perdebatan soal angka “penyesuaian” harga yang dipilih pemilik otoritas, kenaikan ini seperti membuka kembali bopeng-bopeng 
di tubuh pemerintah. Buktinya, begitu langkah menaikkan harga mendapat penolakan luas dari warga, pemilik otoritas kembali ke kebiasaan lama: hadir dengan dalih tidak mengetahui rencana kenaikan 
ini. Lalu, di antara mereka saling menyalahkan dan tidak mau mengambil tanggung jawab.
Buktinya, saat  Pertamina menyatakan pihaknya sudah melakukan sesuai prosedur dan telah memberi tahu pemerintah, menteri terkait justru berkelit. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, 
misalnya, membantah dengan alasan baru mengetahui rencana itu. 
Setali tiga uang dengan Hatta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik juga menyatakan tidak menerima pemberitahuan Pertamina. Bahkan, Hatta justru menuding Menteri BUMN yang 
sebenarnya mengetahui dan menyetujui rencana kenaikan harga.
Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, untuk sebuah pilihan 
kebijakan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak dan 
akan memicu  beban tambahan bagi para pemakai, sulit untuk 
dipahami jika menteri terkait sama sekali tidak mengetahui rencana 
ini. Dengan penalaran itu pula, tidak mungkin Pertamina meninggalkan dengan cara tidak memberitahu pemerintah sama sekali. Melihat 
gelagat lempar batu sembunyi tangan ini, warga dengan amat 
mudah membaca bahwa para pemilik otoritas sedang melakoni parodi 
awal tahun.
Di tengah pusaran perdebatan sekitar kenaikan harga elpiji 12 kilogram ini, dapat dibaca bahwa rencana “penyesuaian” ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Paling tidak, rencana ini berawal dari hasil 
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan ada kerugian lebih dari Rp 7 triliun yang dipicu harga elpiji 12 kilogram yang 
dianggap terlalu rendah. Sekiranya peduli, pemerintah pasti sudah 
bisa membaca arah yang dikehendaki audit BPK ini . Apalagi, secara eksplisit BPK “merekomendasikan” Pertamina menaikkan harga 
elpiji 12 kilogram untuk mengatasi atau mengurangi kerugiannya.
Kalau benar pilihan kebijakan menaikkan harga elpiji bermula dari 
hasil audit BPK, secara jujur harus dikatakan: pemerintah abai dengan tugas pokoknya untuk melindungi rakyat.
Sekalipun Pertamina yaitu  sebuah perusahaan dengan status 
perseroan terbatas, sebagai salah satu pihak yang menjadi pemegang 
saham, pemerintah pasti memiliki wakil untuk mengetahui dan menjaga semua perkembangan yang terjadi. Dalam posisi demikian, tidak 
akan ada pilihan kebijakan yang sama sekali di luar pengetahuan pemerintah.
Dengan tugas pokok yang dimiliki pemerintah ini , langkah 
perlindungan bagi rakyat sudah harus diperjuangkan wakil pemerintah di Pertamina. Bahkan, jikalau memang serius untuk melindungi kepentingan rakyat, dilihat dalam skema besar pengelolaan negara, tiga 
kementerian, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Basan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Koordinator 
Kesejahteraan Rakyat harus menjadi “benteng” lain yang mesti dilewati Pertamina sebelum kenaikan harga elpiji. Bagaimanapun, meski 
dengan status korporat, pemerintah tidak boleh kehilangan kuasa konstitusional untuk melindungi posisi dan kepentingan rakyat dari logika 
bisnis yang lebih banyak bertumpu pada untung-rugi.
Dalam ini , meski elpiji 12 kilogram yaitu  komoditas 
nonsubsidi atau barang komersial yang penentuan harganya yaitu  wewenang Pertamina, sebagai pihak yang diberikan tugas 
konstitusional melindungi rakyat, pemerintah memiliki ruang untuk 
“memamah” lebih dalam rencana ini. Misalnya, sekalipun hasil audit 
menyatakan rugi sebab  harga yang rendah, pemerintah dapat saja menyoal: apakah memang pilihan yang tersedia hanya dengan menaikkan 
harga? Kalaupun harus naik, mengapa angka kenaikannya begitu besar?
Bagi sebagian kalangan, pertanyaan ini menjadi penting sebab  gejala umum yang terjadi akhir-akhir ini dipicu ketakutan 
melakukan berbagai terobosan, jalan pintas yang selalu dilakukan untuk menutup kerugian yaitu  menaikkan harga.  Tambah lagi, banyak 
bentangan empirik yang membuktikan, dalih kerugian untuk menaikkan harga terjadi di tengah gelimangan fasilitas yang diberikan kepada 
para pengelola BUMN. Apabila memang merugi, misalnya, mengapa 
tidak memilih langkah penghematan sebelum menaikkan harga?
Dengan melihat fakta terabaikannya tugas pokok pemerintah ini , kekhawatiran bahwa semakin dekat dengan agenda pemilihan