peradilan di indonesia 5

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 5


mendorong ketergantungan pada sistem peradilan 
non-negara. Sejumlah riset mengkonfirmasi ini  seperti yang terjadi di  Timor Leste   Lesotho 
), Malawi , Zambia , Mozambik 
Kiribati dan Nigeria ,Kepulauan Solomon  dan  Vanuatu 
Dalam model ini, negara tidak aktif menekan sistem peradilan informal, namun juga tidak mendukungnya. Ada empat keuntungan 
terhadap model ini. Pertama, sifat cairan hubungan ini  memungkinkan kedua sistem untuk menjadi fleksibel dan dipandu oleh keadaan lokal dalam hubungan mereka satu sama lain. Kedua, sistem peradilan informal dapat menentukan norma dan hukum acara sendiri, 
yang memungkinkan untuk tetap dinamis dan memiliki  legitimasi 
di tingkat akar rumput. Ketiga, sebagai satu-satunya cara untuk menegakkan kepatuhan terhadap kesepakatan warga , para pemimpin 
pengadilan informal harus bekerja keras untuk tetap dihormati dan 
dihargai oleh warga  yang mereka layani. Keempat, sistem informal sering memberi  akses terhadap keadilan di daerah yang tidak 
dilayani oleh negara dan memiliki persentase yang tinggi dari dalam 
memeriksa dan memutus perkara dengan tanpa biaya kepada negara.
Di beberapa masalah , ada negara yang secara resmi mengakui sistem 
peradilan informal dalam lingkup yang sangat terbatas, seperti di Vanuatu. Pengadilan negara diminta untuk memperhitungkan putusan 
adat yang telah dibuat dalam menjatuhkan pidana  Namun pengadilan tidak diperbolehkan membatalkan masalah  atas dasar bahwa ia sudah ditangani oleh sistem peradilan informal  dan, di Vanuatu setidaknya, penyelesaian adat hanya memengaruhi substansi perkara dan 
bukan sifat hukuman yang diberikan oleh negara.
3. Tanpa Pengakuan Formal 
Contoh dari model ini yaitu  Komite Perdamaian di Afrika Selatan . Ini yaitu  proyek percontohan 
yang bertujuan memperluas akses pengadilan bagi warga , terutama warga  kulit hitam yang tidak mampu. Program ini dimulai 
dengan dukungan dari kepolisian dan Departemen Kehakiman. Pada 
intinya, Komite Perdamaian menerima pengaduan dan lalu  
mengadakan permusyawaratan dengan anggota warga  yang dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memecahkan 
perselisihan ini Para anggota Komite Perdamaian memfasilitasi proses dengan 
menguraikan rencana aksi untuk membangun perdamaian. Jika salah 
satu pihak ingin menghadap kepolisian, maka anggota Komite Perdamaian memfasilitasi ini. Tidak ada kekuatan dipakai  atau mengancam untuk memastikan kepatuhan. Masalah remunerasi anggota 
Komite Perdamaian diselesaikan dengan cara yang cerdik: Komite 
memperoleh pembayaran setiap berhasil memeriksa dan memutus 
perkara.
4. Pengakuan Formal dan Yurisdiksi yang Terbatas
Model ini melibatkan negara dalam memberi  pengakuan legislatif terbatas terhadap sistem peradilan informal namun tidak 
ada yurisdiksi yang eksklusif, tanpa disertai kewenangan koersif, dan 
sangat sedikit dukungan pembiyaan dari negara. Sebuah fitur penting 
dari model ini yaitu  bahwa sistem peradilan informal diberikan wewenang untuk membentuk norma-norma prosedural, meskipun dibatasi oleh persyaratan bahwa pembentukan itu harus sesuai dengan 
“adat dan kebiasaan.” ini  sebab  dalam banyak sistem pemerintahan menurut hukum adat tidak mengenal pembedaan yang mencolok antara kekuasaan legislatif dan ajudikatif. Hal penting lainnya 
yaitu  negara tidak berusaha untuk menjalankan banyak kekuasaan 
regulasi atas sistem peradilan informal.
Model ini yaitu  model yang didukung oleh Penal Reform International, yang berpendapat bahwa “forum peradilan tradisional dan informal harus diizinkan di wilayah hukum memiliki perkara besar, baik 
dari segi perkara perdata maupun pidana kecuali dalam masalah -masalah  
yang melibatkan pelanggaran paling serius seperti pembunuhan dan 
pemerkosaan. Perluasan yurisdiksi harus berjalan seiring dengan tidak 
adanya langkah-langkah koersif fisik.”
5. Pengakuan Formal oleh Negara dengan Yurisdiksi yang Tegas
Dalam model ini setiap sistem terpisah satu dengan yang lain, dan 
yurisdiksi eksklusif atas masalah -masalah  tertentu ditentukan melalui kesepakatan melalui undang-undang atau kontrak. Model ini juga telah digambarkan sebagai “sistem peradilan paralel.”137
Beberapa pendukung multikulturalisme berdebat untuk mengakomodasi nilai-nilai dan tradisi yang berbeda dari kelompok-kelompok minoritas agama atau lainnya melalui pluralisme hukum formal 
di mana pemerintah akan mendelegasikan aspek otoritas negara atas 
pernikahan, perceraian, dan warisan untuk menerapkan hukum adat 
setiap komunitas itu sendiri. Pluralisme hukum, dalam arti klasik ini, 
yaitu  warisan kolonialisme yang tetap penting dalam dunia kontemporer sebagai alat untuk mengelola perbedaan budaya dan hukum 
yang mendalam dan terus-menerus di negara-negara pasca-kolonial.
Sebuah contoh yurisdiksi yang dibagi atas dasar kompetensi absolut yaitu  Nigeria di mana masalah  yang melibatkan hukum keluarga 
menurut Islam diperiksa oleh sistem pengadilan syariat.138 Sebuah contoh mengenai yurisdiksi yang disusun berdasar  geografi yaitu  Panama, di mana pengadilan informal bagi Indian diatur secara internal, 
meskipun ini  di bawah yurisdiksi pemerintah pusat.139 lalu , 
contoh yurisdiksi berdasar  etnis yaitu  bentuk pengadilan di banyak negara Amerika Latin di mana sejumlah besar konstitusi barubaru ini diubah untuk mengakui hak warga  adat guna menerapkan hukum adat mereka sendiri.140 Sebagai contoh dapat dikemukakan 
ketentuan Konstitusi Kolombia, yang menyatakan bahwa: “Pihak berwenang dari warga  adat dapat melaksanakan fungsi yurisdiksi dalam wilayah mereka sesuai dengan norma-norma dan prosedur 
mereka, asalkan mereka tidak bertentangan dengan Konstitusi dan undang-undang. Undang-undang harus mengatur yurisdiksi khusus ini 
dalam berhubungan dengan sistem peradilan nasional.”
Namun demikian, ketentuan konstitusional itu secara umum be-lum dapat dilaksanakan dengan baik. Pengadilan di Amerika Latin memiliki masalah yang unik. Meskipun sebagian besar konstitusi saat ini 
telah mengakui multikulturalisme dan pluralisme hukum, namun 
legislatif telah gagal untuk menjawab pertanyaan penting tentang bagaimana pelembagaan hukum adat atau hukum lainnya terkait dengan 
hukum negara. Akibatnya, pengadilan tidak memiliki pedoman legislatif yang bersifat substantif untuk menguji kegiatan atau keputusan 
sistem peradilan informal ini . Tidak mengherankan, dalam masalah  
Peru, pengadilan informal biasanya dibenci oleh pengadilan 
formal.
Namun ada beberapa masalah dengan model ini. Pertama, pemisahan berdasar  geografi memunculkan masalah sehubungan dengan persamaan di muka hukum. Argumen-argumen ini telah dikaji 
secara mendalam oleh Webber. Webber menyimpulkan bahwa “saat  orang berpikir lebih hati-hati tentang kebebasan, kesetaraan, dan 
relevansi budaya hukum, ada keadaan di mana sistem paralel keadilan 
Aborigin dianggap lebih dapat diterima dan dianggap tepat. Dewhurst  menunjukkan bahwa kekhawatiran ini  dapat diatasi dengan 
membiarkan semua terdakwa, yaitu kalangan Aborigin dan non-Aborigin untuk memilih sistem di mana mereka akan diadili. Kedua, tidak 
adanya regulasi dari negara berarti ada kemungkinan bahwa akan ada 
penyalahgunaan kekuasaan, terutama pada perkara seperti masalah  yang 
melibatkan wanita dan anak-anak. Webber menunjukkan bahwa 
kekhawatiran ini  mengangkat isu yang lebih umum dari kepercayaan terhadap institusi nonnegara dan tampaknya untuk mengatasi 
ini mungkin mengharuskan lembaga-lembaga ini “diciptakan kembali” dengan cara yang akan memungkinkan untuk sistem pemeriksaan 
seperti tidak ada, atau ada dalam bentuk yang berbeda, seperti berlangsung pada ratusan tahun yang lalu.145 Kekhawatiran ketiga yang dibangkitkan oleh Horton yaitu  otonomi teritorial dan politik pribumi 
dapat dipakai  untuk membenarkan pengabaian negara dan memisahkan diri 6. Pengakuan dan Pengawasan oleh Negara 
Dalam model ini negara mengakui sistem peradilan informal untuk menerapkan yurisdiksinya, dan juga memberi  dukungan dalam 
hal memakai  kekuatan koersif untuk menegakkan putusan yang 
telah dijatuhkan. Pelaksanaan yurisdiksi eksklusif ditunjukkan di mana 
seseorang yang telah ditangani oleh satu sistem tidak bisa mengajukan 
perkaranya kepada sistem pengadilan lainnya. Namun tidak eksklusif 
sebab  tiap orang dapat mengajukan banding dari sistem peradilan informal kepada peradilan negara. 
Mekanisme ini untuk menanggapi situasi di mana ada sejumlah 
persyaratan yang saling bersaing, yaitu: (i) dukungan negara bagi sistem peradilan informal dalam hal penegakan dan sumber daya yang 
dibutuhkan, (ii) kebutuhan sistem peradilan informal untuk beroperasi sesuai dengan nilai-nilai yang mendasari kerangka konstitusional 
negara, dan (iii) keinginan untuk mempertahankan sistem peradilan 
informal sebab  ada keunggulan dalam hal aksesibilitas, legitimasi, kecepatan, kesederhanaan, informalitas, pendekatan holistik, dan relevansi budaya. Dengan model seperti ini dipandang akan memberi  
dukungan yang cukup untuk sistem peradilan informal namun  juga menolak godaan (dan tekanan politik) untuk mengatur dan memodifikasinya.
7. Penggabungan Terhadap Sistem Formal
Model terakhir ini menggabungkan sistem peradilan informal sepenuhnya ke dalam sistem negara menjadi “tingkat terendah dalam 
keluarga pengadilan berdasar  Konstitusi.” Model ini telah diadopsi 
di beberapa negara Afrika, misalnya Botswana dan Nigeria. 
Model ini dalam banyak hal sangat dekat dengan struktur ‘hybrid’
dari pengadilan desa sebab  idenya yaitu  untuk menarik sistem peradilan informal ke dalam sistem negara, bukan menciptakan sistem 
hibrida baru dari awal. ini  juga mirip dengan model ke-6 di atas. 
Hanya perbedaannya yaitu  (i) sistem peradilan informal dipahami 
sebagai bagian dari sistem negara, (ii) memakai  norma-norma 
dan prosedur yang ditetapkan oleh negara, dan (iii) peradilan memiliki 
sedikit ruang untuk mengembangkan diri secara organik.

1. Pertumbuhan Tradisi Hukum Adat
Eksistensi pengadilan adat yaitu  untuk menegakkan hukum 
adat.147 Mengutip Abdurahman dinyatakan bahwa jauh sebelum agama Islam masuk di negara kita , negeri yang serba ragam penduduknya 
ini sudah melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. 
Hingga masuknya pemerintahan Kolonial Hindia Belanda keberadaan 
peradilan adat masih tetap berlangsung. Secara hukum, keberadaan 
peradilan adat ini  diakui secara terpisah dan bertahap dalam berbagai wilayah yang lalu  dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Baru lalu  pada 18 Februari 1932 dengan Stb. 1932 
No. 80 tentang Peraturan Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in Rechtstreeks bestuurdgebied).
Adat sering dianggap sebagai salah satu dari tiga unsur utama dari 
pluralitas hukum di negara kita , yang meliputi hukum nasional, hukum 
Islam, dan hukum adat. Dalam hukum negara kita , ketiga unsur yaitu  sebagai sumber hukum. Dan, ada berbagai macam makna dalam pemakaian  kata adat itu sendiri. 
Adat dapat merujuk kepada pengertian tradisi, ritual, perilaku 
yang tepat, dan aturan atau praktik-praktik kehidupan sosial. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari, “adat Jawa” bisa berarti cara orang 
Jawa yang melakukan hal-hal secara umum. Jika mereka mengatakan 
“pakaian adat”, itu berarti jenis pakaian tradisional yang dipakai  dalam ritual atau upacara. Kelompok etnis, yang berjumlah sekitar 300, 
biasanya menjadi pembawa adat. 
Pada asasnya, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht 
dipakai  Snouck Hurgronie dan dipakai sebagai terminologi teknis 
yuridis oleh van Vollenhoven. lalu , terminologi hukum adat Zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen 
van Wetgeving voor negara kita  (AB) dengan terminologi godsdientige 
wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reg-lement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan 
terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut 
ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipakai  terminologi godsdientige 
wetten en oude herkomsten dan berdasar  ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo. Nomor 487 terakhir dipakai  terminologi adatrecht.
Meskipun terminologi hukum adat itu belum diketahui, penelitian 
tentang topik ini telah lama dilakukan oleh para orientalis Inggris dan 
Belanda di negara kita . Penelitian hukum adat dilakukan secara paralel 
dengan penelitian bahasa, kebiasaan, dan hukum rakyat. Ini bidang 
pekerjaan yang disebut sebagai studi etnologis. Van Vollenhoven, sarjana Belanda yang lalu  dianggap sebagai perintis hukum adat, 
mengharga dan mengutip karya-karya pejabat Inggris selama pendudukan mereka atas Bengkulu, dan akhirnya seluruh negara kita , dari 
pertengahan abad ke-18 sampai tahun 1824.
Nama pertama yang disebut William J. Marsden, seorang residen 
Inggris di Bengkulu 1771-1779. Marsden telah melakukan penelitian 
yang luas di Sumatra dan dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul 
The History of Sumatra pada tahun 1783. Meskipun topik hukum adat 
itu hanya disebut dalam sebagian kecil buku itu, namun Marsden telah menggambarkan struktur sosial, hukum waris, dan hukum pidana, 
khususnya di kalangan warga  Rejang di Sumatra Selatan. sesudah  
membaca karya Marsden, Van Vollenhoven menganggapnya sebagai 
pelopor studi hukum adat.149 Pejabat Inggris berikutnya yaitu  Raffles, Letnan-Gubernur di Hindia Belanda selama pendudukan Inggris 
1811-1816. Bidang studi Raffles termasuk Melayu, Jawa, dan Bengkulu. Menurut Raffles, hukum adat di negara kita  telah dicampur dengan 
kepercayaan warga  lokal. Pada masa pemerintahan Raffles, Islam 
telah menjadi sumber hukum di kerajaan-kerajaan di Jawa, sedangkan 
daerah perdesaan dipengaruhi oleh agama Hindu.
Peneliti Inggris ketiga yaitu  John Crawford, seorang dokter yang 
bertugas Pulau Pinang dan Jawa pada 1808-1811, dan menerbitkan laporan dalam sebuah buku, History of the East Indian Archipelago, pada 
tahun 1820. Menurut Crawford, yang mengikuti pendapat Marsden 
dan Raffles, hukum adat warga  adat Melayu di Hindia Timur telah berbaur dengan adat, hukum Islam, dan Hindu. saat  Hindia Belanda diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1816, 
penelitian hukum adat yang dilakukan oleh pejabat Inggris akhirnya 
mereda. Hukum adat tidak muncul lagi sebagai wacana publik sampai 
munculnya apa yang disebut sebagai “penjaga baru” pada akhir abad 
ke-20.
Penjaga baru pada studi hukum adat terutama terdiri dari 3 sarjana Belanda: Wilken, Liefrinck, dan Snouck Hurgronje, yang aktif pada 
periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Wilken yaitu  putra dari seorang misionaris Kristen di Minahasa. Selain sebagai pejabat 
kolonial Belanda (Ambtenaar) dengan pengalaman kerja di tempat 
yang berbeda di negara kita  (Buru, Gorontalo, Minahasa, Sipirok, dan 
Mandailing), ia juga telah melakukan banyak penelitian tentang hukum dengan memakai  metode etnologi komparatif (vergelijken 
de Ethnologie). sesudah  memeriksa karya Wilken, van Vollenhoven menyimpulkan bahwa menurut Wilken, hukum adat yaitu  hukum rakyat yang telah dipengaruhi oleh Islam dan Hindu. maka , 
Wilken menegaskan apa yang telah dinyatakan oleh Marsden, Raffles, 
dan Crowford.
Sosok berikutnya yaitu  FA Liefrinck (1853-1927), yang juga bekerja sebagai pejabat kolonial di berbagai tempat yang berbeda seperti 
Bali, Lombok, Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Meskipun ia tidak 
memakai  terminologi hukum adat, namun penelitian yang dilakukannya, khususnya yang dilakukan di Bali, menyangkut hukum tanah, pajak tanah kerajaan, dan susunan desa. Di Bali, menurut Liefrinck, tidak ada percampuran antara hukum agama (Hindu) dan hukum 
adat pribumi seperti yang terjadi di banyak daerah lain di negara kita .
Sosok terakhir dalam kelompok ini yaitu  Snouck Hurgronje. Dia 
berangkat ke negara kita  pada tahun 1889, dan 2 tahun lalu  diangkat sebagai penasihat untuk urusan adat dan Islam. Selama tugasnya, 
ia meluangkan waktu melakukan penelitian dan menulis banyak buku 
tentang budaya dan adat istiadat warga  adat. Di antara karyanya 
yaitu  “De Atjehers” (1893-1894) dalam 2 jilid dan Het Gajoland (1903). 
Semua buku dan laporan yang ia tulis yaitu  hasil sistematika data “di 
belakang meja” sebab  ia tidak pernah pergi ke lapangan secara langsung namun  sebaliknya, mengundang informan penduduk di Kutaraja 
untuk diwawancarai. Dalam tulisannya, ia membedakan dengan jelas hukum rakyat dari hukum negara, hukum kebiasaan dan hukum 
tertulis, serta hukum adat dan hukum agama. Kontribusi yang paling 
penting dari Snouck Hurgronje untuk mempelajari hukum adat yaitu  
definisinya tentang hukum adat.
Van Vollenhoven tertarik dalam studi hukum adat sejak awal abad 
ke-20, sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial untuk mengakhiri 
dualisme hukum di Hindia Belanda, yang telah disahkan sejak Regeringsreglement 1854.154 Dalam sistem hukum yang dualistik ini, warga 
Eropa Belanda dan lainnya mematuhi undang-undang yang dipakai  di Belanda, sementara warga  adat, termasuk kalangan Cina, 
mematuhi hukum adat masing-masing. Pada tahun 1901, pada usia 
27 tahun, van Vollenhoven, doktor hukum belia, yaitu  kepala departemen hukum adat di Universitas Leiden. Pada tahun 1906, ia mulai 
menulis buku tentang prinsip-prinsip hukum adat, yaitu Het Adatrecht van Nederlands Indie. Jilid pertama diterbitkan 12 tahun lalu  
(1918), yang berisi informasi dan data tentang hukum adat. Dia mengelompokkan bahan sesuai dengan konsep wilayah hukum adat (adatrechtskringen). Jilid kedua diterbitkan pada tahun 1931, yang berisi adat 
hukum Asing Timur (Cina, Arab, dan India), sedangkan jilid ketiga berisi tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan hukum adat.
Pada tahun 1909, berdasar  proposal yang diajukan oleh van 
Vollenhoven, pemerintah membentuk Commissie van het Adatrecht. Dia diangkat memimpin komisi ini . Pada tahun 1910 komisi menerbitkan “Adatrechtbundels”, yang berisi informasi dan artikel 
tentang hukum adat, berdasar  risalah rapat dan keputusan hakim 
di pengadilan adat. Sampai akhir tugasnya, komisi telah menerbitkan himpunan itu sebanyak 42 jilid.156 Selanjutnya pada tahun 1914, 
komisi itu juga menerbitkan laporan yang berjudul Pandecten van het 
Adatrecht. Sampai akhir tugasnya, telah ada 10 jilid yang telah diterbitkan. Laporan mayoritas berisi putusan hakim dalam perkara adat. Van Vallehhoven juga telah menulis buku tentang hukum adat, yang 
terkenal yaitu  Meskenning van het adatrecht (1909), Een adatwetboekje voor Nederlandsch-tumit IndiÑ‘ (1910), De IndonesiÑ‘r en zijn grond
(1919), dan De ontdekking van het adatrecht (1928).157
Sesungguhnya, van Vollenhoven tidak sepenuhnya menolak kebijakan kodifikasi dan unifikasi hukum yang akan diberlakukan di Hindia Belanda. Yang ia tentang yaitu  cara yang dipakai , yaitu dengan 
memakai  model dan prinsip sistem hukum Eropa. Ini tidak adil 
dan ketinggalan zaman. warga  adat yaitu  kelompok mayoritas 
di Hindia Belanda, sedangkan orang Eropa serta Timur Asing yaitu  
minoritas. maka , kepentingan minoritas harus memberi 
jalan kepada yang mayoritas.158 Secara akademis, setiap bangsa di dunia ini, termasuk negara kita , memiliki karakteristik khas dan martabat. 
Semua bakat itu yaitu  karunia Tuhan dan berhak untuk berkembang secara alami.159 Hukum adat, menurut van Vollenhoven, yaitu  
ciptaan asli dari warga  adat Nusantara-Melayu, khususnya negara kita . Tuhan memberi nya kepada mereka. Oleh sebab  itu, hukum 
adat harus dilihat dengan benar. Van Vollenhoven sebenarnya seorang 
ahli yang menghargai kearifan lokal. Dia juga membela posisi hukum 
adat yang mayoritas, saat  menghadapi kepentingan kolonialis Eropa, yang cenderung membuat semuanya menyerupai Eropa. Posisinya 
penting dalam menghadapi semangat Eropa ini.160
Kekagumannya terhadap hukum adat tumbuh sering dengan perubahan semangat akademik di Eropa. Ada gerakan di kalangan akademisi di Eropa yang berpaling dari rasionalisme dan materialisme 
menuju penghargaan terhadap spiritualisme dan kearifan lokal Timur. 
Para sarjana Eropa secara bertahap menyadari bahwa selama ini mereka telah memberlakukan hukum adat dari sudut pandang Eropa, yaitu 
dari pandangan Justianus-Napoleon. Mereka tidak dapat membedakan hukum adat dengan hukum Islam. Mereka mengikuti prinsip “receptio in complexu” yang berarti hukum yang dipakai  dalam sebuah 
warga  yaitu  sesuai dengan agama yang dianut oleh penduduk 
ini . Sekarang mereka menyadari bahwa konsep-konsep akademis 
dan teori-teori yang diciptakan oleh cendekiawan Barat tidak bisa di-terapkan secara sewenang-wenang untuk semua warga . Mereka 
harus menyesuaikan diri dengan kondisi setempat. Konsep hukum, 
seperti eigendom, bezit, anderfpacht, tidak dikenal dalam budaya asli 
negara kita . warga  lokal memiliki konsep dan istilah tersendiri untuk hal-hal seperti itu.
sesudah  kematian van Vollenhoven di tahun 1933, perkembangan 
hukum adat baik di forum akademis dilanjutkan oleh murid-muridnya. 
Yang paling menonjol yaitu  Barend ter Haar BZN. Selama hidupnya, 
van Vollenhoven meneliti hukum adat dari Belanda, sementara ter 
Haar bekerja di Hindia Belanda. Salah satu buku yang paling mudah 
dibaca dari ter Haar yaitu  buku “Beginselen en Stelsel van het Adatrecht”, diterbitkan pada tahun 1939. Buku ini menjadi buku teks populer hukum adat di universitas-universitas di negara kita  segera sesudah  
kemerdekaan, bahkan sampai akhir milenium kedua. Pada tahun 1948 
buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh 2 antropolog AS 
terkemuka dari Institute of Pacific Relations-New York, yaitu A. Arthur 
Schiller dan E. Adamson Hoebel, berjudul “Hukum Adat di negara kita .”
Jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998, diikuti oleh gerakan desentralisasi yang cepat, telah membawa dampak besar pada berbagai 
bidang warga . Perubahan yang paling langsung melibatkan peran yang lebih besar bagi pemerintah daerah, bersamaan dengan melemahnya kekuasaan Presiden. Bersamaan dengan itu, gerakan untuk 
“menyelamatkan” adat dari bahaya modernisasi dan globalisasi semakin kuat di banyak daerah. usaha  untuk menempatkannya sebagai dasar otonomi daerah sedang berlangsung, didukung oleh amendemen 
UUD pada tahun 1999-2002, telah menambahkan rasa hormat terhadap warga  adat. Adat sedang dihidupkan kembali dalam pengertian yang bersifat holistik.
Sebagai contoh yaitu  perkembangan yang terjadi pada warga  Enggano, sebuah pulau terluar dalam wilayah Kabupaten Bengkulu 
Utara, yang baru-baru ini menetapkan 4 hukum adat baru. Aturan 
adat ini yaitu  perubahan aturan lama. Dalam ini , menurut 
Kepala Suku Kaitora Rafli Zen Kaitora, mengatakan bahwa hukum adat 
yang ada sekarang memang perlu disesuaikan dengan kondisi zaman 
sekarang tanpa menghilangkan inti hukum adat dari leluhur. Penetap-an 4 hukum adat baru ini  meliputi hukum adat mengenai pernikahan, pengelolaan lahan, pemanfaatan terumbu karang, dan masa 
berkabung terkait kematian kepala suku. Perubahan hukum adat itu 
disepakati dalam musyawarah adat yang dipimpin “paabuki” atau koordinator kepala suku. ada  5 suku di Enggano, yaitu Kaitora, Kauno, Kaharubi, Kaahua, dan Kaaruba.
Terkait izin pengelolaan lahan, misalnya, jika dahulu izin pengelolaan lahan hanya cukup kepada pemerintah setempat, kini diperketat. 
Penewa lahan harus pula mendapat izin dari kepala suku. Maksimal 
lahan yang digarap 2 hektar dan selama masa penggarapan tidak boleh 
dipindahtangankan. Jika dalam 6 bulan lahan tidak diolah, maka izin 
garap tidak berlaku lagi.
Adapun terkait hukum pemanfaatan terumbu karang, pasir, dan 
karang di pantai Enggano, siapa pun tidak diperkenankan mengambil 
pasir dan karang dari pantai Enggano, keculi penduduk asli untuk keperluan mendirikan rumah.
Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di sebagian di sejumlah daerah sudah ada usaha  mengodifikasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat. Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada tahun 1996 
sekelompok LSM dan cendekiawan dari suku Dayak, bersama-sama 
dengan pemerintah provinsi, mengeluarkan buku hukum adat. Buku 
ini  mencakup prosedur dan sanksi untuk berbagai pelanggaran, 
termasuk perselingkuhan; hubungan seksual/kehamilan sebelum nikah; pembunuhan; pencurian dan perampokan; dan fitnah. Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat juga sedang menyusun buku hukum 
adat setempat.
2. Pelembagaan untuk Penyelesaian Sengketa
Bagi warga  negara kita , konsep peradilan ternyata bukanlah 
hal yang baru dikenal sesudah  masuknya hukum kolonial.164 Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain, yang menawarkan sistem hukumnya, di semua komunitas warga  di wilayah Nusantara, telah 
berlangsung proses “menyelesaikan sengketa” berdasar  mekanisme yang beragam yang bertujuan untuk “mengembalikan keseim-bangan sosial” melalui pemberian keadilan kepada para pihak. Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau lokal, 
yang dari segi bentuknya sangat beragam. Ada yang berada di bawah 
kewenangan lembaga yang khusus, sedangkan di sebagian tempat lainnya diselenggarakan oleh lembaga yang tidak secara khusus menangani sengketa. Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu 
yang lama, maka jejak-jejak yang menggambarkan keberadaannya 
masih bisa dilacak. Di beberapa tempat, malah bentuk nyatanya masih 
bisa disaksikan dan terus dipraktikkan hingga sekarang. 
Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan negara kita  
saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam warga ”, “living law”, “nilai-nilai 
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga ”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, “hukum negara kita  asli”, dan lain sebagainya. Selain itu, terminologi hukum adat beserta warga  adatnya 
memiliki  korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan dalam bentuk petatah petatih.
Peradilan adat dalam kesatuan warga  hukum adat di negara kita , lazim dikenal dengan terminologi “sidang adat”, “para-para adat”, 
“pokara adat”, atau “rapat adat”, serta ungkapan beragam sesuai kekhasan bahasa lokal setempat. Teknis yuridis istilah peradilan adat 
ada  dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus 
bagi Provinsi Papua.166 Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 18 
Tahun 2004 tentang Perkebunan menyebutkan, “ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati”, dan uu 
Nomor 1/drt/1951 Tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara PengadilanPengadilan Sipil. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) angka 4 UU Nomor 41 
Tahun 1999 jo. UU 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyebutkan, 
“ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang 
masih ditaati”.
Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen 
hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 
15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCP-R)167 menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the 
trial and punishment of any person for any act or omission which, at 
the time when it was committed, was criminal according to the general 
principles of law recognized by the community of nations”. lalu  
rekomendasi dari Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang 
“The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan 
bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara 
(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), biasanya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan 
tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan 
tidak sesuai dengan fakta ). Alasannya sebab  sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada 
“diskrepansi” dengan aspirasi warga , serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Kongres PBB 
dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.
namun seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika warga  yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi 
lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan 
sebagai kebijakan legislasi168 bersifat parsial ternyata eksistensi hukum 
pidana/perdata adat beserta peradilan adat ini  dapat dikatakan 
antara “ada” dan “tiada”. 
Ada sementara pendapat bahwa ditinjau dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 maka eksistensi Pengadilan Adat mulai tidak 
diakui dan dihapuskan yang berlanjut sesudah  dikodifikasikan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), yang lalu  diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 
2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Dar. 1951 dikatakan 
bahwa “Pada saat akan berangsur-angsur akan ditetapkan Menteri Kehakiman dihapuskan…segala Pengadilan Adat (inheemse rechspraak 
in rechtstreekbestuurd gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan 
itu menurut hukum yang hidup yaitu  satu bagian tersendiri dari 
peradilan Adat”. lalu , penjelasan autentik pasal ini  me-nyebutkan dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat sebab  
peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan 
pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat.
namun  penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, 
hakikatnya tidak menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk 
lain, yaitu peradilan desa (dorpjustitie). Aspek dan dimensi ini bertitik 
tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1 Tahun 1951 yang 
menegaskan bahwa, “Ketentuan yang ini  dalam ayat (1) tidak 
sedikit pun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini 
telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Konklusi 
dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat 
yang dihapuskan berdasar  undang-undang darurat yaitu  peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak, sedangkan kewenangan 
peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan warga  hukum adat, yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkan.
Padahal sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat 
dikenal dalam dua bentuk, yaitu Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat 
(Inheemsche rechtspraak) dan Peradilan Desa (Dorpjustitie). lalu  
dimensi ini berlanjut pada zaman pendudukan Jepang peradilan adat 
tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942 
(diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan 
sistem peradilan di mana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah dihapuskan. Sudikno Mertokusumo
menyebutkan bahwa di Sumatra peradilan adat dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan berdasar  Pasal 1 UndangUndang tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah (Sjihososjiki-rei)
yang dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1 Desember 1943.169
Dikaji dari perspektif yuridis, teoretis, sosiologis dan filosofis implisit dan eksplisit eksistensi Peradilan Adat harus diakui. Aspek dan 
dimensi ini bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2), Pasal 
28I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 Ketetapan MPR Nomor IX/
MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Presiden Nomor 
7 Tahun 2005. Konklusi dasar dari ketentuan ini  hakikatnya diatur, diakui, dan dihormatinya eksistensi kesatuan warga  adat beserta hak-hak tradisionalnya. lalu , adanya penghormatan terhadap identitas budaya, keragaman budaya bangsa dan hak warga  tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia sehingga selaras 
dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berikutnya, diakuinya 
eksistensi tentang badan-badan peradilan sebagai bagian kekuasaan 
kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Selain itu, dimensi ketentuan ini  dikaji dari perspektif yuridis, berarti secara konstitusional politik hukum mengakui hak-hak 
tradisional kesatuan warga  hukum adat in casu peradilan adat. 
Perspektif filosofis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi 
nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia oleh negara termasuk 
juga hak dalam hal melaksanakan peradilan yang lalu  harus dijabarkan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman negara kita . Perspektif sosiologis, peradilan adat sebagai bagian hak tradisional kesatuan warga  hukum adat dalam fakta nya masih hidup dalam 
warga . Fakta sosiologis ternyata relatif tidak mendapat pengakuan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman. Perspektif teoretis, 
adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi hak-hak tradisional 
kesatuan warga  hukum adat hendaknya harus ditindaklanjuti 
oleh negara dengan peraturan perundang-undangan bersifat nasional. 
Konsekuensi logis dimensi ini berarti pengakuan hak-hak tradisional 
warga  hukum adat dalam UUD NKRI 1945, seharusnya eksistensi peradilan adat juga imperatif diakui dalam undang-undang. namun  
realitanya, ternyata sampai kini belum ada undang-undang berlaku 
secara nasional yang memberi  pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat.
Dalam tataran kebijakan legislasi yang bersifat lokal eksistensi Peradilan Adat tetap diakui. Pada masa kini, justru peradilan adat diakui 
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan untuk daerah Aceh Nanggroe Darussalam 
sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 
eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Adat Gampong atau Peradilan Damai.
Ketentuan Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan”, berikutnya ayat (2) berbunyi, 
“Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1), diakui adanya peradilan adat di dalam warga  hukum adat 
tertentu”. lalu , dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Daerah Khusus 
Provinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua disebutkan bahwa, “penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh 
hakim adat”.
Ternyata, usaha  intervensi dan penundukan sistem peradilan 
adat, tidak terlalu berhasil meminggirkan praktik ini dari keseharian 
warga . fakta  ini membuktikan, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, sebab  usaha  
dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, sebab  
ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan, namun  sekaligus juga 
pada aras yang lebih praksis melalui tindakan nyata di lapangan oleh 
aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan kepercayaan 
komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan adat 
masih bisa membuktikan eksistensinya. Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas msyarakat belum memiliki interaksi dengan budaya luar, fakta  ini  tidak mengurangi nilai 
dari kemampuannya bertahan. Pilihan sikap warga  terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin menjadi kunci atas tetap eksisnya 
sistem ini. Seterencana apa pun proses penundukan yang dilakukan, 
secara sadar bersedia menjadikannya sebagai pilihan yang utama. 
Faktor lain yang memicu tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya warga , yaitu  sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apa pun oleh kelompok-kelompok dominan 
dari luar komunitas, fungsionalitasnya tidak berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan ketenteraman bagi warganya, sehingga membuatnya sangat layak untuk dipercaya dan dipegang teguh 
oleh komunitas pemangkunya.
Pilihan tentang ke mana warga  membawa masalah  mereka 
biasanya  bergantung pada kebiasaan pembagian tugas di antara pemimpin mereka, dan pada kapasitas dari individu-individu yang terlibat. Masalah pidana ringan yang dapat didamaikan biasanya dirujuk 
kepada kepala RT/RW, kepala dusun, pemuka adat atau kepala desa. 
masalah  perceraian atau masalah rumah tangga juga biasanya ditujukan 
kepada pelaku yang sama, walau terkadang pemuka agama juga memiliki  peranan. 
Masalah yang terkait pemerintahan desa biasanya langsung ditangani oleh kepala desa. Dalam beberapa masalah , orang melaporkan 
langsung ke polisi setempat. Konflik tanah biasanya dilaporkan ke 
kepala desa atau pemimpin adat di mana mereka sangat berpengaruh. Perselisihan besar yang melibatkan kepentingan pihak luar selalu menjadi lebih kompleks. masalah  ini  terkadang ditangani LSM, 
atau dilaporkan langsung ke camat, pemerintah kabupaten atau Badan 
Pertanahan Nasional. maka , satu “jalan menuju keadilan” 
sudah tertutup. Jadi, pihak yang bersengketa biasanya memilih pelaku 
penyelesaian sengketa berdasar  kapasitas mereka untuk memecahkan sebuah perselisihan secara masalah  per masalah . Kapasitas ditentukan oleh kombinasi hubungan pribadi dan kelembagaan dengan status 
dan keterampilan individu.
Bercermin dari keanekaragaman norma sosial di berbagai wilayah 
di negara kita , variasi regional yang signifikan telah ditemukan dalam 
hal pelaku dan lembaga penyelesaian sengketa yang dipakai  oleh 
masyakarat, norma yang diterapkan serta kekuatan struktur institusi 
hukum adat dan pelaku. Pemuka agama, misalnya, memainkan peranan yang terbatas di Kalimantan Tengah, tapi justru menjadi pelaku kunci di Jawa Timur dan sebagian wilayah Lombok, di mana Kiai 
dan Tuan Guru sangat dihormati dan diakui sebagai tokoh pimpinan 
penting bagi umat Islam. Di Sumatra Barat, para pemimpin agama tergabung dalam struktur adat, seperti di Lombok, di bawah “trias politica”, yaitu gabungan antara negara, adat dan agama sebagai elemen 
penting dalam pemerintahan desa. Kekuatan hukum adat, dan tingkat intensitas warga  dalam pengakuan adat juga sangat bervariasi. 
Di Jawa Timur, lembaga dan hukum “adat” bukan yaitu  wacana 
yang mengemuka, sedangkan di Sumatra Barat, NTB dan Maluku, para 
pemimpin adat sangat penting dalam penyelesaian sengketa. Di Kalimantan Tengah, kebangkitan “adat” sejak otonomi daerah hanya kuat 
di atas kertas saja tapi belum terealisasi di lapangan.
Di Sumatra Barat, hukum adat mencakupi berbagai aspek dalam 
kehidupan sosial, terutama berkaitan dengan hak kepemilikan dan 
pemakaian  tanah. Baru-baru ini beberapa nagari sudah mulai menyusun kodifikasi hukum adat melalui Peraturan Nagari. Di Lombok, 
ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya mengodifikasi hukum adat, namun  ada kecenderungan terhadap usaha  kodifikasi adat lokal dalam bentuk peraturan desa, yang di sana dikenal 
sebagai awig-awig.

namun  yang lebih sering ditemukan dibandingkan  hukum adat tertulis yaitu  proses penyelesaian sengketa tanpa ada aturan atau norma 
yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasar  konsep keadilan setempat atau bahkan apa yang secara subjektif dipikirkan oleh 
para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada hukum negara, agama atau 
adat. Pihak yang mampu mengumpulkan sebagian besar yang berwenang biasanya yang menentukan lokasi dan proses dan lalu  juga 
hasilnya. Jadi, walaupun ada banyak “jalan menuju keadilan,” secara 
keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal bukan yaitu  
sistem yang komprehensif dan jelas, melainkan seperangkat proses 
yang dijalankan dan dikuasai oleh individu yang berpengaruh. Mereka 
menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan diterapkan.
biasanya peradilan non-negara yaitu  suatu lingkungan tanpa hukum (‘delegalized environment’). ini   dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. namun  tanpa ada 
struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa 
informal memiliki wewenang yang sangat luas. jika  norma sosial 
yang dominan, hubungan sosial dan kekuasaan akan menjadi faktor 
penentu. Kenetralan sulit ditemukan di tingkat desa dan akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berku-asa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi 
jalan yang penuh hambatan. Bahkan kalau norma dan prosedur penyelesaian sengketa sudah jelas dan dipahami dengan baik, belum tentu bisa diterapkan dengan konsisten. Penyalahgunaan dan eksploitasi 
sangat biasa, sebagaimana diterangkan dalam masalah  berikut dari Sumatra Barat. Dalam masalah  ini, lemahnya status sosial wanita dan 
keinginan kepala adat untuk “memberi pelajaran”, mendorong tindakan pemaksaan sanksi terhadap perempuan, padahal hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam masalah  yang sama. Norma sosial, bukan 
undang-undang, memang menentukan hasil yang dicapai. Pada adat 
Sumatra Barat, tidak ada kemungkinan “naik banding”. Hanya perselisihan yang belum terpecahkan yang bisa “naik tangga-batanggo naik”, 
dengan begitu hanya sedikit proses “check and balance” dalam model 
peradilan ini. Tanpa akuntabilitas ke atas, wanita ini tidak memiliki alternatif, kecuali menerima keputusan yang menurut ia tidak adil.
Pertautan dengan sistem-sistem peradilan non-negara seharusnya 
didasarkan pada konsep supremasi konstitusi. sebab  itu, sanksi harus konsisten dengan hak kebebasan dari siksaan. Walaupun menurut hukum nasional, pengadilan memiliki wewenang eksklusif untuk 
mengadili masalah  pidana dan masalah  perdata yang mencakup hak yang 
dilindungi oleh perundang-undangan nasional, dalam fakta nya 
para pelaku peradilan informal juga menangani dua jenis masalah  itu.
Penerapan sanksi melalui peradilan informal, pada dasarnya tidak 
membedakan antara pelanggaran pidana (kepentingan publik) dan 
perdata (kepentingan pribadi). Pembedaan semacam ini jarang terjadi, terutama di lingkungan warga  adat, di mana masalah pribadi 
sering kali dipahami melalui kacamata suku atau keluarga. Pemulihan 
kerukunan antarsuku atau keluarga menjadi pendorong penyelesaian, 
bukan hak individu. Bentuk sanksi yang diterapkan juga ditentukan 
oleh kepentingan kerukunan atau harmoni komunal.
Untuk perselisihan sederhana, kata maaf sering kali bisa diterima. 
Dalam masalah  lain, pembayaran denda atau ganti rugi yaitu  bentuk sanksi utama sering kali sanksi berbentuk uang ini mengandung 
unsur hukuman dan pembayaran kompensasi atas luka fisik atau kerusakan barang. Bila ada  hukum adat tertulis, biasanya juga mencantumkan jumlah denda untuk setiap pelanggaran. Pada fakta -nya, saat  menentukan sanksi yang dianggap sesuai, pengurus adat 
biasanya bersikap fleksibel dan mempertimbangkan kemampuan keuangan dari pihak yang dianggap bersalah. Di Kalimantan Tengah, Pasal 
37 dari Buku Hukum Adat mencantumkan, bila pelaku yang bersalah 
tidak bisa membayar denda, maka dibebankan pada keluarganya.
3. Pengakuan dalam Sistem Formal
namun walaupun kebijakan formulatif secara nasional tidak 
mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dan faktual kebijakan 
aplikatif melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. 
Misalnya, sebuah Putusan Mahkamah Agung174 di mana dalam 
ratio decidendi putusan disebutkan bahwa jika  seseorang melanggar hukum adat lalu  Kepala dan Para Pemuka Adat memberi  
reaksi adat (sanksi adat/obat adat), maka yang bersangkutan tidak 
dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam 
persidangan Badan Peradilan. Dalam putusan lainnya, MA mengakui 
bahwa “perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yaitu  suatu 
perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zina menurut 
hukum adat.” lalu  terhadap pelanggaran adat dalam praktik 
peradilan juga dikenal dalam ruang lingkup dimensi hukum perdata.
Dalam perkara lain, MA mengatakan “perkawinan yang dilakukan melalui hukum adat secara kawin lari (merarik/ngerorod), lalu  tidak 
menepati janji untuk melangsungkan perkawinan padahal dalam perkara ini janji untuk melaksanakan perkawinan diikuti hidup bersama 
selama 2 (dua) tahun, yang menurut hukum di negara kita  dilarang, lalu  dilanjutkan dengan pertunangan, maka hal itu dianggap telah 
melangsungkan perkawinan meskipun lembaga hidup bersama belum 
diakui di negara kita .”
Dalam masalah  yang lain, MA mengakui bahwa “pemilik tanah yang 
mengizinkan sebagian tanahnya didiami/dihuni oleh seseorang tanpa 
dipungut bayaran uang, yang dasarnya hanya berupa rasa kasihan dan 
kekeluargaan saja,” maka menurut Hukum Adat, ini  telah terjadi hubungan hukum/Lembaga Adat yang disebut “Ngindung”.
 Lembaga Adat “Ngindung” ini yaitu  hubungan hukum yang langsung 
antara pemilik tanah dengan penghuni-penumpang (Pengindung). 
Hak Pengindung ini tidak dapat diwariskan (dilanjutkan) oleh orang 
lain. Dalam sebuah sengketa tanah di Papua, MA menyatakan bahwa 
hak ulayat (beschikkingsrecht) lebih kuat jika berhadapan dengan hak 
perorangan (inlands bezitrecht).
Dalam putusan yang lain, MA menyatakan hukum adat yang tidak mengakui hak wanita setara dengan kedudukan laki-laki tidak 
dapat dipertahankan lagi. Putusan ini diambil dalam sengketa tanah 
waris di Nusa Tenggara Timur. Penggugat Ny. JFMN mengklaim tanah 
yang dikuasai para tergugat yaitu  miliknya hasil warisan dari ayahnya. PN Rote Ndao mengabulkan sebagian gugatan penggugat, yakni 
menyatakan Ny. JFMN yaitu  ahli waris ayahnya. Pengadilan Tinggi 
membatalkan putusan itu dengan dasar hukum adat setempat mengenal sistem kewarisan patrilineal murni. Artinya, yang berhak mewarisi 
yaitu  anak laki-laki. Kalau tak ada anak laki-kali, keluarga ini  harus mengangkat anak laki-laki saudaranya (setempat dikenal dengan 
dendi anak kelambi). Mahkamah membatalkan putusan banding ini . Mahkamah berpendapat hukum adat yang tidak mengakui hak 
wanita setara dengan laki-laki tak bisa dipertahankan lagi. Hukum 
adat yang demikian melanggar hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 
1999) dan yurisprudensi MA No. 179K/Sip/1961. 
Secara yuridis anak wanita yaitu  ahli waris, hak waris anak 
laki-laki dan anak wanita tidak dibedakan, namun fakta nya dalam warga  Batak Toba anak wanita bukan ahli waris 
apalagi memiliki  hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya 
(orang tuanya). Bagi warga keturunan Arab yang telah lama 
menetap di negara kita , MA mengakui keberlakuan hukum adat mereka, termasuk dalam penyelesaian sengketa waris tanah.  Demikian 
pula, dalam perkara lain, MA telah membenarkan pula pertimbangan 
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yaitu terhadap warga negera, negara kita  keturunan Arab berlaku hukum Islam.
Namun Mahkamah menolak untuk mengikutsertakan kebiasaan 
memberi  “panjar” sebagai syarat telah terjadinya perikatan, khususnya dalam perjanjian jual beli.
Mahkamah sebuah putusan setuju dengan keberatan pihak penggugat untuk kasasi dan memerintahkan agar perkara diperiksa kembali 
berdasar  Hukum Adat Lombok oleh Pengadilan Negeri di Mataram. Pada waktu perkara ini sampai pada tingkat kasasi, Pengadilan 
Raad Sasak sudah dihapus. Ditambahkan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa menurut Pasal 3 sub 1 Stb. 1932: 80 oleh pengadilan 
asli (Inheemsche rechtspraak) di Lombok harus diperlakukan Hukum 
Adat, bukan Hukum Islam. lalu , MA memperlakukan hukum 
adat dan bukan hukum Islam dalam hal warisan di Ambon.
lalu , dalam pandangan MA, di daerah Aceh sebelum, perkara mengenai hak milik antara para ahli waris dapat diperiksa oleh 
Pengadilan Umum, haruslah diputus terlebih dahulu ke ahli warisannya serta bagian bagian yang menjadi hak dari masing-masing ahli 
waris oleh Pengadilan Agama. Walaupun yurisprudensi MA menyatakan bahwa sebab  pengadilan agama untuk Jawa dan Madura tidak 
berwenang memeriksa perkara perkara warisan di mana fatwa Pengadilan Agama periini   tidak memiliki  kekuatan berlaku.