Home » peradilan di indonesia 5 » peradilan di indonesia 5
Rabu, 13 September 2023
mendorong ketergantungan pada sistem peradilan
non-negara. Sejumlah riset mengkonfirmasi ini seperti yang terjadi di Timor Leste Lesotho
), Malawi , Zambia , Mozambik
Kiribati dan Nigeria ,Kepulauan Solomon dan Vanuatu
Dalam model ini, negara tidak aktif menekan sistem peradilan informal, namun juga tidak mendukungnya. Ada empat keuntungan
terhadap model ini. Pertama, sifat cairan hubungan ini memungkinkan kedua sistem untuk menjadi fleksibel dan dipandu oleh keadaan lokal dalam hubungan mereka satu sama lain. Kedua, sistem peradilan informal dapat menentukan norma dan hukum acara sendiri,
yang memungkinkan untuk tetap dinamis dan memiliki legitimasi
di tingkat akar rumput. Ketiga, sebagai satu-satunya cara untuk menegakkan kepatuhan terhadap kesepakatan warga , para pemimpin
pengadilan informal harus bekerja keras untuk tetap dihormati dan
dihargai oleh warga yang mereka layani. Keempat, sistem informal sering memberi akses terhadap keadilan di daerah yang tidak
dilayani oleh negara dan memiliki persentase yang tinggi dari dalam
memeriksa dan memutus perkara dengan tanpa biaya kepada negara.
Di beberapa masalah , ada negara yang secara resmi mengakui sistem
peradilan informal dalam lingkup yang sangat terbatas, seperti di Vanuatu. Pengadilan negara diminta untuk memperhitungkan putusan
adat yang telah dibuat dalam menjatuhkan pidana Namun pengadilan tidak diperbolehkan membatalkan masalah atas dasar bahwa ia sudah ditangani oleh sistem peradilan informal dan, di Vanuatu setidaknya, penyelesaian adat hanya memengaruhi substansi perkara dan
bukan sifat hukuman yang diberikan oleh negara.
3. Tanpa Pengakuan Formal
Contoh dari model ini yaitu Komite Perdamaian di Afrika Selatan . Ini yaitu proyek percontohan
yang bertujuan memperluas akses pengadilan bagi warga , terutama warga kulit hitam yang tidak mampu. Program ini dimulai
dengan dukungan dari kepolisian dan Departemen Kehakiman. Pada
intinya, Komite Perdamaian menerima pengaduan dan lalu
mengadakan permusyawaratan dengan anggota warga yang dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memecahkan
perselisihan ini Para anggota Komite Perdamaian memfasilitasi proses dengan
menguraikan rencana aksi untuk membangun perdamaian. Jika salah
satu pihak ingin menghadap kepolisian, maka anggota Komite Perdamaian memfasilitasi ini. Tidak ada kekuatan dipakai atau mengancam untuk memastikan kepatuhan. Masalah remunerasi anggota
Komite Perdamaian diselesaikan dengan cara yang cerdik: Komite
memperoleh pembayaran setiap berhasil memeriksa dan memutus
perkara.
4. Pengakuan Formal dan Yurisdiksi yang Terbatas
Model ini melibatkan negara dalam memberi pengakuan legislatif terbatas terhadap sistem peradilan informal namun tidak
ada yurisdiksi yang eksklusif, tanpa disertai kewenangan koersif, dan
sangat sedikit dukungan pembiyaan dari negara. Sebuah fitur penting
dari model ini yaitu bahwa sistem peradilan informal diberikan wewenang untuk membentuk norma-norma prosedural, meskipun dibatasi oleh persyaratan bahwa pembentukan itu harus sesuai dengan
“adat dan kebiasaan.” ini sebab dalam banyak sistem pemerintahan menurut hukum adat tidak mengenal pembedaan yang mencolok antara kekuasaan legislatif dan ajudikatif. Hal penting lainnya
yaitu negara tidak berusaha untuk menjalankan banyak kekuasaan
regulasi atas sistem peradilan informal.
Model ini yaitu model yang didukung oleh Penal Reform International, yang berpendapat bahwa “forum peradilan tradisional dan informal harus diizinkan di wilayah hukum memiliki perkara besar, baik
dari segi perkara perdata maupun pidana kecuali dalam masalah -masalah
yang melibatkan pelanggaran paling serius seperti pembunuhan dan
pemerkosaan. Perluasan yurisdiksi harus berjalan seiring dengan tidak
adanya langkah-langkah koersif fisik.”
5. Pengakuan Formal oleh Negara dengan Yurisdiksi yang Tegas
Dalam model ini setiap sistem terpisah satu dengan yang lain, dan
yurisdiksi eksklusif atas masalah -masalah tertentu ditentukan melalui kesepakatan melalui undang-undang atau kontrak. Model ini juga telah digambarkan sebagai “sistem peradilan paralel.”137
Beberapa pendukung multikulturalisme berdebat untuk mengakomodasi nilai-nilai dan tradisi yang berbeda dari kelompok-kelompok minoritas agama atau lainnya melalui pluralisme hukum formal
di mana pemerintah akan mendelegasikan aspek otoritas negara atas
pernikahan, perceraian, dan warisan untuk menerapkan hukum adat
setiap komunitas itu sendiri. Pluralisme hukum, dalam arti klasik ini,
yaitu warisan kolonialisme yang tetap penting dalam dunia kontemporer sebagai alat untuk mengelola perbedaan budaya dan hukum
yang mendalam dan terus-menerus di negara-negara pasca-kolonial.
Sebuah contoh yurisdiksi yang dibagi atas dasar kompetensi absolut yaitu Nigeria di mana masalah yang melibatkan hukum keluarga
menurut Islam diperiksa oleh sistem pengadilan syariat.138 Sebuah contoh mengenai yurisdiksi yang disusun berdasar geografi yaitu Panama, di mana pengadilan informal bagi Indian diatur secara internal,
meskipun ini di bawah yurisdiksi pemerintah pusat.139 lalu ,
contoh yurisdiksi berdasar etnis yaitu bentuk pengadilan di banyak negara Amerika Latin di mana sejumlah besar konstitusi barubaru ini diubah untuk mengakui hak warga adat guna menerapkan hukum adat mereka sendiri.140 Sebagai contoh dapat dikemukakan
ketentuan Konstitusi Kolombia, yang menyatakan bahwa: “Pihak berwenang dari warga adat dapat melaksanakan fungsi yurisdiksi dalam wilayah mereka sesuai dengan norma-norma dan prosedur
mereka, asalkan mereka tidak bertentangan dengan Konstitusi dan undang-undang. Undang-undang harus mengatur yurisdiksi khusus ini
dalam berhubungan dengan sistem peradilan nasional.”
Namun demikian, ketentuan konstitusional itu secara umum be-lum dapat dilaksanakan dengan baik. Pengadilan di Amerika Latin memiliki masalah yang unik. Meskipun sebagian besar konstitusi saat ini
telah mengakui multikulturalisme dan pluralisme hukum, namun
legislatif telah gagal untuk menjawab pertanyaan penting tentang bagaimana pelembagaan hukum adat atau hukum lainnya terkait dengan
hukum negara. Akibatnya, pengadilan tidak memiliki pedoman legislatif yang bersifat substantif untuk menguji kegiatan atau keputusan
sistem peradilan informal ini . Tidak mengherankan, dalam masalah
Peru, pengadilan informal biasanya dibenci oleh pengadilan
formal.
Namun ada beberapa masalah dengan model ini. Pertama, pemisahan berdasar geografi memunculkan masalah sehubungan dengan persamaan di muka hukum. Argumen-argumen ini telah dikaji
secara mendalam oleh Webber. Webber menyimpulkan bahwa “saat orang berpikir lebih hati-hati tentang kebebasan, kesetaraan, dan
relevansi budaya hukum, ada keadaan di mana sistem paralel keadilan
Aborigin dianggap lebih dapat diterima dan dianggap tepat. Dewhurst menunjukkan bahwa kekhawatiran ini dapat diatasi dengan
membiarkan semua terdakwa, yaitu kalangan Aborigin dan non-Aborigin untuk memilih sistem di mana mereka akan diadili. Kedua, tidak
adanya regulasi dari negara berarti ada kemungkinan bahwa akan ada
penyalahgunaan kekuasaan, terutama pada perkara seperti masalah yang
melibatkan wanita dan anak-anak. Webber menunjukkan bahwa
kekhawatiran ini mengangkat isu yang lebih umum dari kepercayaan terhadap institusi nonnegara dan tampaknya untuk mengatasi
ini mungkin mengharuskan lembaga-lembaga ini “diciptakan kembali” dengan cara yang akan memungkinkan untuk sistem pemeriksaan
seperti tidak ada, atau ada dalam bentuk yang berbeda, seperti berlangsung pada ratusan tahun yang lalu.145 Kekhawatiran ketiga yang dibangkitkan oleh Horton yaitu otonomi teritorial dan politik pribumi
dapat dipakai untuk membenarkan pengabaian negara dan memisahkan diri 6. Pengakuan dan Pengawasan oleh Negara
Dalam model ini negara mengakui sistem peradilan informal untuk menerapkan yurisdiksinya, dan juga memberi dukungan dalam
hal memakai kekuatan koersif untuk menegakkan putusan yang
telah dijatuhkan. Pelaksanaan yurisdiksi eksklusif ditunjukkan di mana
seseorang yang telah ditangani oleh satu sistem tidak bisa mengajukan
perkaranya kepada sistem pengadilan lainnya. Namun tidak eksklusif
sebab tiap orang dapat mengajukan banding dari sistem peradilan informal kepada peradilan negara.
Mekanisme ini untuk menanggapi situasi di mana ada sejumlah
persyaratan yang saling bersaing, yaitu: (i) dukungan negara bagi sistem peradilan informal dalam hal penegakan dan sumber daya yang
dibutuhkan, (ii) kebutuhan sistem peradilan informal untuk beroperasi sesuai dengan nilai-nilai yang mendasari kerangka konstitusional
negara, dan (iii) keinginan untuk mempertahankan sistem peradilan
informal sebab ada keunggulan dalam hal aksesibilitas, legitimasi, kecepatan, kesederhanaan, informalitas, pendekatan holistik, dan relevansi budaya. Dengan model seperti ini dipandang akan memberi
dukungan yang cukup untuk sistem peradilan informal namun juga menolak godaan (dan tekanan politik) untuk mengatur dan memodifikasinya.
7. Penggabungan Terhadap Sistem Formal
Model terakhir ini menggabungkan sistem peradilan informal sepenuhnya ke dalam sistem negara menjadi “tingkat terendah dalam
keluarga pengadilan berdasar Konstitusi.” Model ini telah diadopsi
di beberapa negara Afrika, misalnya Botswana dan Nigeria.
Model ini dalam banyak hal sangat dekat dengan struktur ‘hybrid’
dari pengadilan desa sebab idenya yaitu untuk menarik sistem peradilan informal ke dalam sistem negara, bukan menciptakan sistem
hibrida baru dari awal. ini juga mirip dengan model ke-6 di atas.
Hanya perbedaannya yaitu (i) sistem peradilan informal dipahami
sebagai bagian dari sistem negara, (ii) memakai norma-norma
dan prosedur yang ditetapkan oleh negara, dan (iii) peradilan memiliki
sedikit ruang untuk mengembangkan diri secara organik.
1. Pertumbuhan Tradisi Hukum Adat
Eksistensi pengadilan adat yaitu untuk menegakkan hukum
adat.147 Mengutip Abdurahman dinyatakan bahwa jauh sebelum agama Islam masuk di negara kita , negeri yang serba ragam penduduknya
ini sudah melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat.
Hingga masuknya pemerintahan Kolonial Hindia Belanda keberadaan
peradilan adat masih tetap berlangsung. Secara hukum, keberadaan
peradilan adat ini diakui secara terpisah dan bertahap dalam berbagai wilayah yang lalu dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Baru lalu pada 18 Februari 1932 dengan Stb. 1932
No. 80 tentang Peraturan Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in Rechtstreeks bestuurdgebied).
Adat sering dianggap sebagai salah satu dari tiga unsur utama dari
pluralitas hukum di negara kita , yang meliputi hukum nasional, hukum
Islam, dan hukum adat. Dalam hukum negara kita , ketiga unsur yaitu sebagai sumber hukum. Dan, ada berbagai macam makna dalam pemakaian kata adat itu sendiri.
Adat dapat merujuk kepada pengertian tradisi, ritual, perilaku
yang tepat, dan aturan atau praktik-praktik kehidupan sosial. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari, “adat Jawa” bisa berarti cara orang
Jawa yang melakukan hal-hal secara umum. Jika mereka mengatakan
“pakaian adat”, itu berarti jenis pakaian tradisional yang dipakai dalam ritual atau upacara. Kelompok etnis, yang berjumlah sekitar 300,
biasanya menjadi pembawa adat.
Pada asasnya, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht
dipakai Snouck Hurgronie dan dipakai sebagai terminologi teknis
yuridis oleh van Vollenhoven. lalu , terminologi hukum adat Zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen
van Wetgeving voor negara kita (AB) dengan terminologi godsdientige
wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reg-lement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan
terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut
ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipakai terminologi godsdientige
wetten en oude herkomsten dan berdasar ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo. Nomor 487 terakhir dipakai terminologi adatrecht.
Meskipun terminologi hukum adat itu belum diketahui, penelitian
tentang topik ini telah lama dilakukan oleh para orientalis Inggris dan
Belanda di negara kita . Penelitian hukum adat dilakukan secara paralel
dengan penelitian bahasa, kebiasaan, dan hukum rakyat. Ini bidang
pekerjaan yang disebut sebagai studi etnologis. Van Vollenhoven, sarjana Belanda yang lalu dianggap sebagai perintis hukum adat,
mengharga dan mengutip karya-karya pejabat Inggris selama pendudukan mereka atas Bengkulu, dan akhirnya seluruh negara kita , dari
pertengahan abad ke-18 sampai tahun 1824.
Nama pertama yang disebut William J. Marsden, seorang residen
Inggris di Bengkulu 1771-1779. Marsden telah melakukan penelitian
yang luas di Sumatra dan dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul
The History of Sumatra pada tahun 1783. Meskipun topik hukum adat
itu hanya disebut dalam sebagian kecil buku itu, namun Marsden telah menggambarkan struktur sosial, hukum waris, dan hukum pidana,
khususnya di kalangan warga Rejang di Sumatra Selatan. sesudah
membaca karya Marsden, Van Vollenhoven menganggapnya sebagai
pelopor studi hukum adat.149 Pejabat Inggris berikutnya yaitu Raffles, Letnan-Gubernur di Hindia Belanda selama pendudukan Inggris
1811-1816. Bidang studi Raffles termasuk Melayu, Jawa, dan Bengkulu. Menurut Raffles, hukum adat di negara kita telah dicampur dengan
kepercayaan warga lokal. Pada masa pemerintahan Raffles, Islam
telah menjadi sumber hukum di kerajaan-kerajaan di Jawa, sedangkan
daerah perdesaan dipengaruhi oleh agama Hindu.
Peneliti Inggris ketiga yaitu John Crawford, seorang dokter yang
bertugas Pulau Pinang dan Jawa pada 1808-1811, dan menerbitkan laporan dalam sebuah buku, History of the East Indian Archipelago, pada
tahun 1820. Menurut Crawford, yang mengikuti pendapat Marsden
dan Raffles, hukum adat warga adat Melayu di Hindia Timur telah berbaur dengan adat, hukum Islam, dan Hindu. saat Hindia Belanda diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1816,
penelitian hukum adat yang dilakukan oleh pejabat Inggris akhirnya
mereda. Hukum adat tidak muncul lagi sebagai wacana publik sampai
munculnya apa yang disebut sebagai “penjaga baru” pada akhir abad
ke-20.
Penjaga baru pada studi hukum adat terutama terdiri dari 3 sarjana Belanda: Wilken, Liefrinck, dan Snouck Hurgronje, yang aktif pada
periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Wilken yaitu putra dari seorang misionaris Kristen di Minahasa. Selain sebagai pejabat
kolonial Belanda (Ambtenaar) dengan pengalaman kerja di tempat
yang berbeda di negara kita (Buru, Gorontalo, Minahasa, Sipirok, dan
Mandailing), ia juga telah melakukan banyak penelitian tentang hukum dengan memakai metode etnologi komparatif (vergelijken
de Ethnologie). sesudah memeriksa karya Wilken, van Vollenhoven menyimpulkan bahwa menurut Wilken, hukum adat yaitu hukum rakyat yang telah dipengaruhi oleh Islam dan Hindu. maka ,
Wilken menegaskan apa yang telah dinyatakan oleh Marsden, Raffles,
dan Crowford.
Sosok berikutnya yaitu FA Liefrinck (1853-1927), yang juga bekerja sebagai pejabat kolonial di berbagai tempat yang berbeda seperti
Bali, Lombok, Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Meskipun ia tidak
memakai terminologi hukum adat, namun penelitian yang dilakukannya, khususnya yang dilakukan di Bali, menyangkut hukum tanah, pajak tanah kerajaan, dan susunan desa. Di Bali, menurut Liefrinck, tidak ada percampuran antara hukum agama (Hindu) dan hukum
adat pribumi seperti yang terjadi di banyak daerah lain di negara kita .
Sosok terakhir dalam kelompok ini yaitu Snouck Hurgronje. Dia
berangkat ke negara kita pada tahun 1889, dan 2 tahun lalu diangkat sebagai penasihat untuk urusan adat dan Islam. Selama tugasnya,
ia meluangkan waktu melakukan penelitian dan menulis banyak buku
tentang budaya dan adat istiadat warga adat. Di antara karyanya
yaitu “De Atjehers” (1893-1894) dalam 2 jilid dan Het Gajoland (1903).
Semua buku dan laporan yang ia tulis yaitu hasil sistematika data “di
belakang meja” sebab ia tidak pernah pergi ke lapangan secara langsung namun sebaliknya, mengundang informan penduduk di Kutaraja
untuk diwawancarai. Dalam tulisannya, ia membedakan dengan jelas hukum rakyat dari hukum negara, hukum kebiasaan dan hukum
tertulis, serta hukum adat dan hukum agama. Kontribusi yang paling
penting dari Snouck Hurgronje untuk mempelajari hukum adat yaitu
definisinya tentang hukum adat.
Van Vollenhoven tertarik dalam studi hukum adat sejak awal abad
ke-20, sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial untuk mengakhiri
dualisme hukum di Hindia Belanda, yang telah disahkan sejak Regeringsreglement 1854.154 Dalam sistem hukum yang dualistik ini, warga
Eropa Belanda dan lainnya mematuhi undang-undang yang dipakai di Belanda, sementara warga adat, termasuk kalangan Cina,
mematuhi hukum adat masing-masing. Pada tahun 1901, pada usia
27 tahun, van Vollenhoven, doktor hukum belia, yaitu kepala departemen hukum adat di Universitas Leiden. Pada tahun 1906, ia mulai
menulis buku tentang prinsip-prinsip hukum adat, yaitu Het Adatrecht van Nederlands Indie. Jilid pertama diterbitkan 12 tahun lalu
(1918), yang berisi informasi dan data tentang hukum adat. Dia mengelompokkan bahan sesuai dengan konsep wilayah hukum adat (adatrechtskringen). Jilid kedua diterbitkan pada tahun 1931, yang berisi adat
hukum Asing Timur (Cina, Arab, dan India), sedangkan jilid ketiga berisi tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan hukum adat.
Pada tahun 1909, berdasar proposal yang diajukan oleh van
Vollenhoven, pemerintah membentuk Commissie van het Adatrecht. Dia diangkat memimpin komisi ini . Pada tahun 1910 komisi menerbitkan “Adatrechtbundels”, yang berisi informasi dan artikel
tentang hukum adat, berdasar risalah rapat dan keputusan hakim
di pengadilan adat. Sampai akhir tugasnya, komisi telah menerbitkan himpunan itu sebanyak 42 jilid.156 Selanjutnya pada tahun 1914,
komisi itu juga menerbitkan laporan yang berjudul Pandecten van het
Adatrecht. Sampai akhir tugasnya, telah ada 10 jilid yang telah diterbitkan. Laporan mayoritas berisi putusan hakim dalam perkara adat. Van Vallehhoven juga telah menulis buku tentang hukum adat, yang
terkenal yaitu Meskenning van het adatrecht (1909), Een adatwetboekje voor Nederlandsch-tumit Indiё (1910), De Indonesiёr en zijn grond
(1919), dan De ontdekking van het adatrecht (1928).157
Sesungguhnya, van Vollenhoven tidak sepenuhnya menolak kebijakan kodifikasi dan unifikasi hukum yang akan diberlakukan di Hindia Belanda. Yang ia tentang yaitu cara yang dipakai , yaitu dengan
memakai model dan prinsip sistem hukum Eropa. Ini tidak adil
dan ketinggalan zaman. warga adat yaitu kelompok mayoritas
di Hindia Belanda, sedangkan orang Eropa serta Timur Asing yaitu
minoritas. maka , kepentingan minoritas harus memberi
jalan kepada yang mayoritas.158 Secara akademis, setiap bangsa di dunia ini, termasuk negara kita , memiliki karakteristik khas dan martabat.
Semua bakat itu yaitu karunia Tuhan dan berhak untuk berkembang secara alami.159 Hukum adat, menurut van Vollenhoven, yaitu
ciptaan asli dari warga adat Nusantara-Melayu, khususnya negara kita . Tuhan memberi nya kepada mereka. Oleh sebab itu, hukum
adat harus dilihat dengan benar. Van Vollenhoven sebenarnya seorang
ahli yang menghargai kearifan lokal. Dia juga membela posisi hukum
adat yang mayoritas, saat menghadapi kepentingan kolonialis Eropa, yang cenderung membuat semuanya menyerupai Eropa. Posisinya
penting dalam menghadapi semangat Eropa ini.160
Kekagumannya terhadap hukum adat tumbuh sering dengan perubahan semangat akademik di Eropa. Ada gerakan di kalangan akademisi di Eropa yang berpaling dari rasionalisme dan materialisme
menuju penghargaan terhadap spiritualisme dan kearifan lokal Timur.
Para sarjana Eropa secara bertahap menyadari bahwa selama ini mereka telah memberlakukan hukum adat dari sudut pandang Eropa, yaitu
dari pandangan Justianus-Napoleon. Mereka tidak dapat membedakan hukum adat dengan hukum Islam. Mereka mengikuti prinsip “receptio in complexu” yang berarti hukum yang dipakai dalam sebuah
warga yaitu sesuai dengan agama yang dianut oleh penduduk
ini . Sekarang mereka menyadari bahwa konsep-konsep akademis
dan teori-teori yang diciptakan oleh cendekiawan Barat tidak bisa di-terapkan secara sewenang-wenang untuk semua warga . Mereka
harus menyesuaikan diri dengan kondisi setempat. Konsep hukum,
seperti eigendom, bezit, anderfpacht, tidak dikenal dalam budaya asli
negara kita . warga lokal memiliki konsep dan istilah tersendiri untuk hal-hal seperti itu.
sesudah kematian van Vollenhoven di tahun 1933, perkembangan
hukum adat baik di forum akademis dilanjutkan oleh murid-muridnya.
Yang paling menonjol yaitu Barend ter Haar BZN. Selama hidupnya,
van Vollenhoven meneliti hukum adat dari Belanda, sementara ter
Haar bekerja di Hindia Belanda. Salah satu buku yang paling mudah
dibaca dari ter Haar yaitu buku “Beginselen en Stelsel van het Adatrecht”, diterbitkan pada tahun 1939. Buku ini menjadi buku teks populer hukum adat di universitas-universitas di negara kita segera sesudah
kemerdekaan, bahkan sampai akhir milenium kedua. Pada tahun 1948
buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh 2 antropolog AS
terkemuka dari Institute of Pacific Relations-New York, yaitu A. Arthur
Schiller dan E. Adamson Hoebel, berjudul “Hukum Adat di negara kita .”
Jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998, diikuti oleh gerakan desentralisasi yang cepat, telah membawa dampak besar pada berbagai
bidang warga . Perubahan yang paling langsung melibatkan peran yang lebih besar bagi pemerintah daerah, bersamaan dengan melemahnya kekuasaan Presiden. Bersamaan dengan itu, gerakan untuk
“menyelamatkan” adat dari bahaya modernisasi dan globalisasi semakin kuat di banyak daerah. usaha untuk menempatkannya sebagai dasar otonomi daerah sedang berlangsung, didukung oleh amendemen
UUD pada tahun 1999-2002, telah menambahkan rasa hormat terhadap warga adat. Adat sedang dihidupkan kembali dalam pengertian yang bersifat holistik.
Sebagai contoh yaitu perkembangan yang terjadi pada warga Enggano, sebuah pulau terluar dalam wilayah Kabupaten Bengkulu
Utara, yang baru-baru ini menetapkan 4 hukum adat baru. Aturan
adat ini yaitu perubahan aturan lama. Dalam ini , menurut
Kepala Suku Kaitora Rafli Zen Kaitora, mengatakan bahwa hukum adat
yang ada sekarang memang perlu disesuaikan dengan kondisi zaman
sekarang tanpa menghilangkan inti hukum adat dari leluhur. Penetap-an 4 hukum adat baru ini meliputi hukum adat mengenai pernikahan, pengelolaan lahan, pemanfaatan terumbu karang, dan masa
berkabung terkait kematian kepala suku. Perubahan hukum adat itu
disepakati dalam musyawarah adat yang dipimpin “paabuki” atau koordinator kepala suku. ada 5 suku di Enggano, yaitu Kaitora, Kauno, Kaharubi, Kaahua, dan Kaaruba.
Terkait izin pengelolaan lahan, misalnya, jika dahulu izin pengelolaan lahan hanya cukup kepada pemerintah setempat, kini diperketat.
Penewa lahan harus pula mendapat izin dari kepala suku. Maksimal
lahan yang digarap 2 hektar dan selama masa penggarapan tidak boleh
dipindahtangankan. Jika dalam 6 bulan lahan tidak diolah, maka izin
garap tidak berlaku lagi.
Adapun terkait hukum pemanfaatan terumbu karang, pasir, dan
karang di pantai Enggano, siapa pun tidak diperkenankan mengambil
pasir dan karang dari pantai Enggano, keculi penduduk asli untuk keperluan mendirikan rumah.
Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di sebagian di sejumlah daerah sudah ada usaha mengodifikasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat. Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada tahun 1996
sekelompok LSM dan cendekiawan dari suku Dayak, bersama-sama
dengan pemerintah provinsi, mengeluarkan buku hukum adat. Buku
ini mencakup prosedur dan sanksi untuk berbagai pelanggaran,
termasuk perselingkuhan; hubungan seksual/kehamilan sebelum nikah; pembunuhan; pencurian dan perampokan; dan fitnah. Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat juga sedang menyusun buku hukum
adat setempat.
2. Pelembagaan untuk Penyelesaian Sengketa
Bagi warga negara kita , konsep peradilan ternyata bukanlah
hal yang baru dikenal sesudah masuknya hukum kolonial.164 Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain, yang menawarkan sistem hukumnya, di semua komunitas warga di wilayah Nusantara, telah
berlangsung proses “menyelesaikan sengketa” berdasar mekanisme yang beragam yang bertujuan untuk “mengembalikan keseim-bangan sosial” melalui pemberian keadilan kepada para pihak. Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau lokal,
yang dari segi bentuknya sangat beragam. Ada yang berada di bawah
kewenangan lembaga yang khusus, sedangkan di sebagian tempat lainnya diselenggarakan oleh lembaga yang tidak secara khusus menangani sengketa. Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu
yang lama, maka jejak-jejak yang menggambarkan keberadaannya
masih bisa dilacak. Di beberapa tempat, malah bentuk nyatanya masih
bisa disaksikan dan terus dipraktikkan hingga sekarang.
Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan negara kita
saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam warga ”, “living law”, “nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga ”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, “hukum negara kita asli”, dan lain sebagainya. Selain itu, terminologi hukum adat beserta warga adatnya
memiliki korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan dalam bentuk petatah petatih.
Peradilan adat dalam kesatuan warga hukum adat di negara kita , lazim dikenal dengan terminologi “sidang adat”, “para-para adat”,
“pokara adat”, atau “rapat adat”, serta ungkapan beragam sesuai kekhasan bahasa lokal setempat. Teknis yuridis istilah peradilan adat
ada dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua.166 Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan menyebutkan, “ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati”, dan uu
Nomor 1/drt/1951 Tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara PengadilanPengadilan Sipil. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) angka 4 UU Nomor 41
Tahun 1999 jo. UU 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyebutkan,
“ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang
masih ditaati”.
Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen
hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal
15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCP-R)167 menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the
trial and punishment of any person for any act or omission which, at
the time when it was committed, was criminal according to the general
principles of law recognized by the community of nations”. lalu
rekomendasi dari Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
“The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan
bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara
(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), biasanya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan
tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan
tidak sesuai dengan fakta ). Alasannya sebab sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
“diskrepansi” dengan aspirasi warga , serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Kongres PBB
dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.
namun seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika warga yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi
lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan
sebagai kebijakan legislasi168 bersifat parsial ternyata eksistensi hukum
pidana/perdata adat beserta peradilan adat ini dapat dikatakan
antara “ada” dan “tiada”.
Ada sementara pendapat bahwa ditinjau dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 maka eksistensi Pengadilan Adat mulai tidak
diakui dan dihapuskan yang berlanjut sesudah dikodifikasikan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), yang lalu diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun
2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Dar. 1951 dikatakan
bahwa “Pada saat akan berangsur-angsur akan ditetapkan Menteri Kehakiman dihapuskan…segala Pengadilan Adat (inheemse rechspraak
in rechtstreekbestuurd gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan
itu menurut hukum yang hidup yaitu satu bagian tersendiri dari
peradilan Adat”. lalu , penjelasan autentik pasal ini me-nyebutkan dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat sebab
peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan
pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat.
namun penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas,
hakikatnya tidak menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk
lain, yaitu peradilan desa (dorpjustitie). Aspek dan dimensi ini bertitik
tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1 Tahun 1951 yang
menegaskan bahwa, “Ketentuan yang ini dalam ayat (1) tidak
sedikit pun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini
telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Konklusi
dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat
yang dihapuskan berdasar undang-undang darurat yaitu peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak, sedangkan kewenangan
peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan warga hukum adat, yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkan.
Padahal sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat
dikenal dalam dua bentuk, yaitu Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat
(Inheemsche rechtspraak) dan Peradilan Desa (Dorpjustitie). lalu
dimensi ini berlanjut pada zaman pendudukan Jepang peradilan adat
tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942
(diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan
sistem peradilan di mana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah dihapuskan. Sudikno Mertokusumo
menyebutkan bahwa di Sumatra peradilan adat dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan berdasar Pasal 1 UndangUndang tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah (Sjihososjiki-rei)
yang dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1 Desember 1943.169
Dikaji dari perspektif yuridis, teoretis, sosiologis dan filosofis implisit dan eksplisit eksistensi Peradilan Adat harus diakui. Aspek dan
dimensi ini bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2), Pasal
28I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 Ketetapan MPR Nomor IX/
MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Presiden Nomor
7 Tahun 2005. Konklusi dasar dari ketentuan ini hakikatnya diatur, diakui, dan dihormatinya eksistensi kesatuan warga adat beserta hak-hak tradisionalnya. lalu , adanya penghormatan terhadap identitas budaya, keragaman budaya bangsa dan hak warga tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia sehingga selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berikutnya, diakuinya
eksistensi tentang badan-badan peradilan sebagai bagian kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Selain itu, dimensi ketentuan ini dikaji dari perspektif yuridis, berarti secara konstitusional politik hukum mengakui hak-hak
tradisional kesatuan warga hukum adat in casu peradilan adat.
Perspektif filosofis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi
nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia oleh negara termasuk
juga hak dalam hal melaksanakan peradilan yang lalu harus dijabarkan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman negara kita . Perspektif sosiologis, peradilan adat sebagai bagian hak tradisional kesatuan warga hukum adat dalam fakta nya masih hidup dalam
warga . Fakta sosiologis ternyata relatif tidak mendapat pengakuan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman. Perspektif teoretis,
adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi hak-hak tradisional
kesatuan warga hukum adat hendaknya harus ditindaklanjuti
oleh negara dengan peraturan perundang-undangan bersifat nasional.
Konsekuensi logis dimensi ini berarti pengakuan hak-hak tradisional
warga hukum adat dalam UUD NKRI 1945, seharusnya eksistensi peradilan adat juga imperatif diakui dalam undang-undang. namun
realitanya, ternyata sampai kini belum ada undang-undang berlaku
secara nasional yang memberi pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat.
Dalam tataran kebijakan legislasi yang bersifat lokal eksistensi Peradilan Adat tetap diakui. Pada masa kini, justru peradilan adat diakui
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan untuk daerah Aceh Nanggroe Darussalam
sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Adat Gampong atau Peradilan Damai.
Ketentuan Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”, berikutnya ayat (2) berbunyi,
“Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diakui adanya peradilan adat di dalam warga hukum adat
tertentu”. lalu , dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Daerah Khusus
Provinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua disebutkan bahwa, “penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh
hakim adat”.
Ternyata, usaha intervensi dan penundukan sistem peradilan
adat, tidak terlalu berhasil meminggirkan praktik ini dari keseharian
warga . fakta ini membuktikan, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, sebab usaha
dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, sebab
ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan, namun sekaligus juga
pada aras yang lebih praksis melalui tindakan nyata di lapangan oleh
aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan kepercayaan
komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan adat
masih bisa membuktikan eksistensinya. Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas msyarakat belum memiliki interaksi dengan budaya luar, fakta ini tidak mengurangi nilai
dari kemampuannya bertahan. Pilihan sikap warga terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin menjadi kunci atas tetap eksisnya
sistem ini. Seterencana apa pun proses penundukan yang dilakukan,
secara sadar bersedia menjadikannya sebagai pilihan yang utama.
Faktor lain yang memicu tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya warga , yaitu sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apa pun oleh kelompok-kelompok dominan
dari luar komunitas, fungsionalitasnya tidak berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan ketenteraman bagi warganya, sehingga membuatnya sangat layak untuk dipercaya dan dipegang teguh
oleh komunitas pemangkunya.
Pilihan tentang ke mana warga membawa masalah mereka
biasanya bergantung pada kebiasaan pembagian tugas di antara pemimpin mereka, dan pada kapasitas dari individu-individu yang terlibat. Masalah pidana ringan yang dapat didamaikan biasanya dirujuk
kepada kepala RT/RW, kepala dusun, pemuka adat atau kepala desa.
masalah perceraian atau masalah rumah tangga juga biasanya ditujukan
kepada pelaku yang sama, walau terkadang pemuka agama juga memiliki peranan.
Masalah yang terkait pemerintahan desa biasanya langsung ditangani oleh kepala desa. Dalam beberapa masalah , orang melaporkan
langsung ke polisi setempat. Konflik tanah biasanya dilaporkan ke
kepala desa atau pemimpin adat di mana mereka sangat berpengaruh. Perselisihan besar yang melibatkan kepentingan pihak luar selalu menjadi lebih kompleks. masalah ini terkadang ditangani LSM,
atau dilaporkan langsung ke camat, pemerintah kabupaten atau Badan
Pertanahan Nasional. maka , satu “jalan menuju keadilan”
sudah tertutup. Jadi, pihak yang bersengketa biasanya memilih pelaku
penyelesaian sengketa berdasar kapasitas mereka untuk memecahkan sebuah perselisihan secara masalah per masalah . Kapasitas ditentukan oleh kombinasi hubungan pribadi dan kelembagaan dengan status
dan keterampilan individu.
Bercermin dari keanekaragaman norma sosial di berbagai wilayah
di negara kita , variasi regional yang signifikan telah ditemukan dalam
hal pelaku dan lembaga penyelesaian sengketa yang dipakai oleh
masyakarat, norma yang diterapkan serta kekuatan struktur institusi
hukum adat dan pelaku. Pemuka agama, misalnya, memainkan peranan yang terbatas di Kalimantan Tengah, tapi justru menjadi pelaku kunci di Jawa Timur dan sebagian wilayah Lombok, di mana Kiai
dan Tuan Guru sangat dihormati dan diakui sebagai tokoh pimpinan
penting bagi umat Islam. Di Sumatra Barat, para pemimpin agama tergabung dalam struktur adat, seperti di Lombok, di bawah “trias politica”, yaitu gabungan antara negara, adat dan agama sebagai elemen
penting dalam pemerintahan desa. Kekuatan hukum adat, dan tingkat intensitas warga dalam pengakuan adat juga sangat bervariasi.
Di Jawa Timur, lembaga dan hukum “adat” bukan yaitu wacana
yang mengemuka, sedangkan di Sumatra Barat, NTB dan Maluku, para
pemimpin adat sangat penting dalam penyelesaian sengketa. Di Kalimantan Tengah, kebangkitan “adat” sejak otonomi daerah hanya kuat
di atas kertas saja tapi belum terealisasi di lapangan.
Di Sumatra Barat, hukum adat mencakupi berbagai aspek dalam
kehidupan sosial, terutama berkaitan dengan hak kepemilikan dan
pemakaian tanah. Baru-baru ini beberapa nagari sudah mulai menyusun kodifikasi hukum adat melalui Peraturan Nagari. Di Lombok,
ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya mengodifikasi hukum adat, namun ada kecenderungan terhadap usaha kodifikasi adat lokal dalam bentuk peraturan desa, yang di sana dikenal
sebagai awig-awig.
namun yang lebih sering ditemukan dibandingkan hukum adat tertulis yaitu proses penyelesaian sengketa tanpa ada aturan atau norma
yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasar konsep keadilan setempat atau bahkan apa yang secara subjektif dipikirkan oleh
para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada hukum negara, agama atau
adat. Pihak yang mampu mengumpulkan sebagian besar yang berwenang biasanya yang menentukan lokasi dan proses dan lalu juga
hasilnya. Jadi, walaupun ada banyak “jalan menuju keadilan,” secara
keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal bukan yaitu
sistem yang komprehensif dan jelas, melainkan seperangkat proses
yang dijalankan dan dikuasai oleh individu yang berpengaruh. Mereka
menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan diterapkan.
biasanya peradilan non-negara yaitu suatu lingkungan tanpa hukum (‘delegalized environment’). ini dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. namun tanpa ada
struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa
informal memiliki wewenang yang sangat luas. jika norma sosial
yang dominan, hubungan sosial dan kekuasaan akan menjadi faktor
penentu. Kenetralan sulit ditemukan di tingkat desa dan akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berku-asa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi
jalan yang penuh hambatan. Bahkan kalau norma dan prosedur penyelesaian sengketa sudah jelas dan dipahami dengan baik, belum tentu bisa diterapkan dengan konsisten. Penyalahgunaan dan eksploitasi
sangat biasa, sebagaimana diterangkan dalam masalah berikut dari Sumatra Barat. Dalam masalah ini, lemahnya status sosial wanita dan
keinginan kepala adat untuk “memberi pelajaran”, mendorong tindakan pemaksaan sanksi terhadap perempuan, padahal hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam masalah yang sama. Norma sosial, bukan
undang-undang, memang menentukan hasil yang dicapai. Pada adat
Sumatra Barat, tidak ada kemungkinan “naik banding”. Hanya perselisihan yang belum terpecahkan yang bisa “naik tangga-batanggo naik”,
dengan begitu hanya sedikit proses “check and balance” dalam model
peradilan ini. Tanpa akuntabilitas ke atas, wanita ini tidak memiliki alternatif, kecuali menerima keputusan yang menurut ia tidak adil.
Pertautan dengan sistem-sistem peradilan non-negara seharusnya
didasarkan pada konsep supremasi konstitusi. sebab itu, sanksi harus konsisten dengan hak kebebasan dari siksaan. Walaupun menurut hukum nasional, pengadilan memiliki wewenang eksklusif untuk
mengadili masalah pidana dan masalah perdata yang mencakup hak yang
dilindungi oleh perundang-undangan nasional, dalam fakta nya
para pelaku peradilan informal juga menangani dua jenis masalah itu.
Penerapan sanksi melalui peradilan informal, pada dasarnya tidak
membedakan antara pelanggaran pidana (kepentingan publik) dan
perdata (kepentingan pribadi). Pembedaan semacam ini jarang terjadi, terutama di lingkungan warga adat, di mana masalah pribadi
sering kali dipahami melalui kacamata suku atau keluarga. Pemulihan
kerukunan antarsuku atau keluarga menjadi pendorong penyelesaian,
bukan hak individu. Bentuk sanksi yang diterapkan juga ditentukan
oleh kepentingan kerukunan atau harmoni komunal.
Untuk perselisihan sederhana, kata maaf sering kali bisa diterima.
Dalam masalah lain, pembayaran denda atau ganti rugi yaitu bentuk sanksi utama sering kali sanksi berbentuk uang ini mengandung
unsur hukuman dan pembayaran kompensasi atas luka fisik atau kerusakan barang. Bila ada hukum adat tertulis, biasanya juga mencantumkan jumlah denda untuk setiap pelanggaran. Pada fakta -nya, saat menentukan sanksi yang dianggap sesuai, pengurus adat
biasanya bersikap fleksibel dan mempertimbangkan kemampuan keuangan dari pihak yang dianggap bersalah. Di Kalimantan Tengah, Pasal
37 dari Buku Hukum Adat mencantumkan, bila pelaku yang bersalah
tidak bisa membayar denda, maka dibebankan pada keluarganya.
3. Pengakuan dalam Sistem Formal
namun walaupun kebijakan formulatif secara nasional tidak
mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dan faktual kebijakan
aplikatif melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya.
Misalnya, sebuah Putusan Mahkamah Agung174 di mana dalam
ratio decidendi putusan disebutkan bahwa jika seseorang melanggar hukum adat lalu Kepala dan Para Pemuka Adat memberi
reaksi adat (sanksi adat/obat adat), maka yang bersangkutan tidak
dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam
persidangan Badan Peradilan. Dalam putusan lainnya, MA mengakui
bahwa “perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yaitu suatu
perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zina menurut
hukum adat.” lalu terhadap pelanggaran adat dalam praktik
peradilan juga dikenal dalam ruang lingkup dimensi hukum perdata.
Dalam perkara lain, MA mengatakan “perkawinan yang dilakukan melalui hukum adat secara kawin lari (merarik/ngerorod), lalu tidak
menepati janji untuk melangsungkan perkawinan padahal dalam perkara ini janji untuk melaksanakan perkawinan diikuti hidup bersama
selama 2 (dua) tahun, yang menurut hukum di negara kita dilarang, lalu dilanjutkan dengan pertunangan, maka hal itu dianggap telah
melangsungkan perkawinan meskipun lembaga hidup bersama belum
diakui di negara kita .”
Dalam masalah yang lain, MA mengakui bahwa “pemilik tanah yang
mengizinkan sebagian tanahnya didiami/dihuni oleh seseorang tanpa
dipungut bayaran uang, yang dasarnya hanya berupa rasa kasihan dan
kekeluargaan saja,” maka menurut Hukum Adat, ini telah terjadi hubungan hukum/Lembaga Adat yang disebut “Ngindung”.
Lembaga Adat “Ngindung” ini yaitu hubungan hukum yang langsung
antara pemilik tanah dengan penghuni-penumpang (Pengindung).
Hak Pengindung ini tidak dapat diwariskan (dilanjutkan) oleh orang
lain. Dalam sebuah sengketa tanah di Papua, MA menyatakan bahwa
hak ulayat (beschikkingsrecht) lebih kuat jika berhadapan dengan hak
perorangan (inlands bezitrecht).
Dalam putusan yang lain, MA menyatakan hukum adat yang tidak mengakui hak wanita setara dengan kedudukan laki-laki tidak
dapat dipertahankan lagi. Putusan ini diambil dalam sengketa tanah
waris di Nusa Tenggara Timur. Penggugat Ny. JFMN mengklaim tanah
yang dikuasai para tergugat yaitu miliknya hasil warisan dari ayahnya. PN Rote Ndao mengabulkan sebagian gugatan penggugat, yakni
menyatakan Ny. JFMN yaitu ahli waris ayahnya. Pengadilan Tinggi
membatalkan putusan itu dengan dasar hukum adat setempat mengenal sistem kewarisan patrilineal murni. Artinya, yang berhak mewarisi
yaitu anak laki-laki. Kalau tak ada anak laki-kali, keluarga ini harus mengangkat anak laki-laki saudaranya (setempat dikenal dengan
dendi anak kelambi). Mahkamah membatalkan putusan banding ini . Mahkamah berpendapat hukum adat yang tidak mengakui hak
wanita setara dengan laki-laki tak bisa dipertahankan lagi. Hukum
adat yang demikian melanggar hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun
1999) dan yurisprudensi MA No. 179K/Sip/1961.
Secara yuridis anak wanita yaitu ahli waris, hak waris anak
laki-laki dan anak wanita tidak dibedakan, namun fakta nya dalam warga Batak Toba anak wanita bukan ahli waris
apalagi memiliki hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya
(orang tuanya). Bagi warga keturunan Arab yang telah lama
menetap di negara kita , MA mengakui keberlakuan hukum adat mereka, termasuk dalam penyelesaian sengketa waris tanah. Demikian
pula, dalam perkara lain, MA telah membenarkan pula pertimbangan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yaitu terhadap warga negera, negara kita keturunan Arab berlaku hukum Islam.
Namun Mahkamah menolak untuk mengikutsertakan kebiasaan
memberi “panjar” sebagai syarat telah terjadinya perikatan, khususnya dalam perjanjian jual beli.
Mahkamah sebuah putusan setuju dengan keberatan pihak penggugat untuk kasasi dan memerintahkan agar perkara diperiksa kembali
berdasar Hukum Adat Lombok oleh Pengadilan Negeri di Mataram. Pada waktu perkara ini sampai pada tingkat kasasi, Pengadilan
Raad Sasak sudah dihapus. Ditambahkan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa menurut Pasal 3 sub 1 Stb. 1932: 80 oleh pengadilan
asli (Inheemsche rechtspraak) di Lombok harus diperlakukan Hukum
Adat, bukan Hukum Islam. lalu , MA memperlakukan hukum
adat dan bukan hukum Islam dalam hal warisan di Ambon.
lalu , dalam pandangan MA, di daerah Aceh sebelum, perkara mengenai hak milik antara para ahli waris dapat diperiksa oleh
Pengadilan Umum, haruslah diputus terlebih dahulu ke ahli warisannya serta bagian bagian yang menjadi hak dari masing-masing ahli
waris oleh Pengadilan Agama. Walaupun yurisprudensi MA menyatakan bahwa sebab pengadilan agama untuk Jawa dan Madura tidak
berwenang memeriksa perkara perkara warisan di mana fatwa Pengadilan Agama periini tidak memiliki kekuatan berlaku.