Home » peradilan di indonesia 4 » peradilan di indonesia 4
Rabu, 13 September 2023
negara kita Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Negara Republik
negara kita Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Negara Republik
negara kita Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama.
Peradilan agama yaitu peradilan bagi warga yang beragama
Islam.
lalu di Pasal 3A menyatakan bahwa di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang.
Peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Negara Republik negara kita Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu badan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.9
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Negara Republik negara kita Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Negara Republik negara kita Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Negara Republik negara kita Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi
tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.10 lalu di dalam Pasal 9A menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan
tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.
Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Negara Rebulik
negara kita Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Negara Rebulik
negara kita Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Negara Rebulik
negara kita Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang ini Mahkamah Agung yaitu salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik negara kita Tahun 1945.12 Adapun untuk Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Negara Rebulik negara kita
Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Negara Republik negara kita
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam undangundang ini Mahkamah Konstitusi yaitu salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945.
Sebagaimana demokrasi, hak asasi manusia, dan konsep-konsep
terkait, Rule of Law yaitu konsep yang penting juga. Ia tidak hanya yaitu suatu “safeguard” namun yaitu pembadanan
hukum atas kebebasan, seperti dituturkan oleh Hayek. Menurut Kochenov, Rule of Law menjadi elemen penting dari setiap negara demokrasi modern. Bahkan, entitas nonnegara, seperti Uni Eropa (Europe
Union) misalnya, menerima konsep ini nyaris tanpa memberi perubahan yang berarti.
Rule of Law telah ditetapkan sebagai salah satu instrumen hukum
internasional dan lalu menjadi pedoman bagi tiap kalangan hukum maupun pengambil kebijakan.18 Rule of Law juga menjadi komoditas yang acap kali dijajakan oleh negara dan organisasi internasional kepada negara yang mengalami transisi politik dan negara-negara
berkembang di berbagai belahan dunia. maka , ia secara
luas dianggap sebagai unsur mutlak yang ditakdirkan untuk memainkan peran penting dalam setiap sistem hukum demokrasi modern. Akibatnya, setiap sistem hukum membadankannya sebagai elemen yang
penting secara internal. Sebagai akibat dari ini , Rule of Law dapat
ditemukan hampir di mana-mana.
Rule of Law tidak hanya pantulan diri dari negara-negara “dunia
pertama” (the first world) saja. Sebaliknya, seperti halnya dengan demokrasi, hampir setiap rezim pemerintahan di dunia yaitu mengakuinya sebagai unsur yang hakiki. Ini tidak berarti bahwa semua atau
sebagian besar negara di dunia mematuhi cita-cita Rule of Law itu sendiri. Seperti disampaikan oleh Brostl, “memperhias diri dengan katakata belaka tampaknya sukar untuk secara nyata mengubah kondisi
negara dan warga .”20 Sekalipun orang menganggap penting konsep ini, namun pengertiannya sendiri jauh dari terang.21
Bukan saja saat menguraikan Rule of Law dalam pemahaman relasi hukum dengan warga , atau antara hukum dengan moral belaka, namun oleh sebab konsep ini berakar dalam tradisi Eropa yang
berbeda-beda, sehingga memicu penilaiannya amat bergantung
kepada sistem hukum macam apa dilekatkan. maka , daya
jangkau dari Rule of Law lalu berselancar dalam ruang-ruang pemahaman yang tidak sama.
Wajah Rule of Law lalu dapat tampil mengikuti irama eksistensi enilaian terhadap konsep ini. Dalam situasi krisis Rule of Law
menjadi rapuh dan mengalami kerusakan yang mendalam. Ketidakadilan dan ketidakamanan berkembang. Di negara-negara yang tenggelam dalam konflik bersenjata, wanita dan anak-anak mengalami
kekerasan seksual—yang kadang-kadang berlangsung dalam skala besar—dan menjadi lapisan besar populasi yang terampas hak-hak dasarn ya. Sebagai buntut dari konflik, warisan perang mencakup pula
defisit kapasitas dan ketidakpercayaan terhadap Rule of Law dan jaminan keamanan.
Dampak bencana alam tidak kurang pula memberi andil sebab menghancurkan kapasitas nasional untuk memberi keamanan dan perlindungan dan pengembangan ketenteraman. Secara lebih
luas, negara-negara rapuh, yang ditandai dengan kapasitas nasional
yang lemah dan/atau legitimasi yang lemah, meninggalkan warga negara rentan terhadap berbagai macam ancaman terhadap keamanan
dasar mereka, termasuk munculnya kekerasan kriminal, kejahatan terorganisasi, dan korupsi yang impunitas.
Dalam situasi konflik bersenjata, warga baik sebagian maupun seluruhnya, mengalami pelanggaran berat hak asasi manusia dan
hukum humaniter internasional. Hak konstitusional digantikan oleh
undang-undang darurat dan pengadilan sipil oleh pengadilan militer ad hoc, dan aktor bersenjata cenderung menjadi agen utama dari
“hukum dan ketertiban.” Belanja militer mendominasi sumber daya
nasional dan alokasi anggaran, sementara sisa yang ada dan acap kali
terbatas, dialokasikan untuk layanan dasar dan kesempatan bagi kemakmuran ekonomi. Polisi, pengadilan, dan penjara mengalami masalah kapasitas dan kompetensi dan kurangnya insentif untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Secara bersamaan, organisasi
warga sipil yang diharapkan memberi pengawasan dan perubahan sering terpinggirkan atau ditekan, atau tumbuh terfragmentasi
sebab kerusuhan. Dalam konteks semacam itu, lingkungan politik dan
militer jarang menghormati integritas profesional dan imperatif Rule of
Law. Pada saat yang sama, mekanisme penyelesaian konflik tradisional
sering terpinggirkan oleh militerisasi. Dengan tidak adanya perlindungan negara atas dasar Rule of Law, senjata tetap menjadi satu-satunya
sarana perlindungan di tangan bagi warga , yang pemakaian nya
secara meluas sangat memengaruhi struktur sosial. Pemuda dan lakilaki frustrasi berusaha untuk mengalihkan kekuasaan—tentu dengan
bantuan pistol, dan wanita memiliki risiko lebih tinggi menjadi sasaran kekerasan seksual. Terhadap realitas ini, perlindungan fisik dan keamanan yang seharusnya menjadi prioritas mutlak bagi warga
lalu terjebak dalam konflik bersenjata.
Sebagai efek dari konflik atau bencana, faktor pendorong kembalinya pengungsi tergantung pada kondisi keamanan, di samping akses terhadap pengadilan, pelayanan dasar dan mata pencaharian dan
akhirnya, kesempatan sosial-ekonomi. Pada saat yang sama, gerakan
kembali para pengungsi dapat memicu sengketa atas tanah, air dan
properti, serta membuka peluang eksploitasi ekonomi. ini , pada
gilirannya, dapat memperburuk permasalahan hukum seperti buta hukum, struktur hukum yang terpinggirkan dan lemah, dan mekanisme
resolusi konflik tradisional. sesudah krisis, kapasitas kelembagaan dan
profesional untuk mengembangkan pengadilan dan sistem keamanan
secara efektif dan akuntabel sering menyusut, dan ketidakpercayaan di
lembaga-lembaga formal sering tinggi. Pengacara, hakim, jaksa, polisi,
petugas penjara, legislator, dan birokrasi beroperasi di lingkungan yang
disfungsional, di mana gaji, peralatan, dan insentif positif menjadi komoditas langka, dan di mana persepsi dan komitmen penegakan hukum
telah diubah atau disalahartikan. Selain itu, dalam situasi pasca-konflik masalah sering kali diperparah oleh aparat militer yang meningkat,
dan sejumlah besar mantan kombatan yang reintegrasi bertumpu pada
keprihatinan yang sama. Saat institusi militer dan keamanan telah dominan dalam warga , dalam kerangka demokrasi yaitu tantangan utama, yang dapat dengan tenang ditentang oleh “petualang
politik” yang terus mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan.
Dalam situasi yang rapuh, di mana kapasitas kelembagaan atau
legitimasi kekuasaan lembaga hukum dirusak, risiko tergelincir atau
memburuk menjadi konflik atau tingkat kekerasan yang tinggi sering
menjadi risiko yang membahayakan. Distribusi yang tidak merata dari
sumber daya, marginalisasi politik dan ekonomi, kebijakan diskriminatif, pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, dan kekerasan kriminal yang meluas yaitu indikator yang jelas dari kerusakan Rule of
Law. Pengalaman menunjukkan bahwa kerapuhan bisa datang dalam
berbagai bentuk: di samping ketidakstabilan politik dan kelemahan institusional, juga sebab tingginya tingkat kekerasan kriminal.
Di konteks ini, kesenjangan dalam Rule of Law mungkin meluas,
meliputi penegakan hukum, peradilan, perlindungan warga dan
pengungsi, serta isu-isu yang sangat diperdebatkan seperti kompensasi
si, kepemilikan tanah, hak milik, dan sebagainya.22 Besarnya kerusakan
yang ditimbulkan oleh konflik dan bencana alam sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga yang rapuh sering tidak dapat menanggapi
kebutuhan perlindungan dasar dari warga dan individu yang rentan, serta kejahatan yang dilakukan dengan impunitas. Selain kejahatan, eksploitasi ekonomi dan penyalahgunaan populasi rentan merajalela tanpa perlindungan terhadap eksploitasi tenaga kerja, tanah, dan
hak milik. Defisit kelembagaan kapasitas, korupsi endemik, proliferasi
senjata kecil, dan organisasi warga sipil yang lemah lalu muncul
menjadi masalah yang harus diperhatikan.23
C. PERTUMBUHAN DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG
1. Hibriditas dan Pertukaran Reformasi Ekonomi-Hukum
Sudah yaitu aksiomatik bahwa Rule of Law yaitu
bentuk aktivitas politik, ekonomi, dan sosial.24 Dalam konteks negara
berkembang misalnya, Bank Dunia melihat Rule of Law sebagai pusat
transisi menuju negara berstatus menengah dengan berpenghasilan
tinggi namun tanpa penjelasan lebih perinci apa yang dimaksud
dengan Rule of Law ini .25 Kepatuhan terhadap Rule of Law sering
diartikan sebagai kesediaan negara atau berdaulat untuk menundukkan diri kepada aturan yang sama seperti orang lain.26 Perserikatan
Bangsa-Bangsa melihatnya sebagai prinsip tata kelola, sebuah kepatuhan terhadap standar internasional, dan serangkaian norma-norma
yang telah ditetapkan.Pandangan Rawls yang menekankan proses
sosial,28 sedangkan Dworkin dari sudut pandang keberhasilan nilainilai normatif.
Carothers menemukan bahwa “ada kecenderungan ke arah pemikiran kritis untuk percaya hal-hal tertentu tentang Rule of Law di panggung internasional yang menyesatkan dan kadang-kadang tidak membantu.30 Dalam ini , “pengembangan praktis Rule of Law cenderung
didorong oleh model kelembagaan dan mode transplantabel atas perlindungan hak milik sebagai prasyarat kelembagaan kunci untuk pertumbuhan ekonomi.31 Misalnya, analisis sektor peradilan biasanya
berfokus pada seperangkat norma tertulis (termasuk perlindungan hak
kekayaan), struktur organisasi dan kapasitas manusia yang memengaruhi efisiensi, kualitas, keadilan, konsistensi dan aksesibilitas proses
peradilan.
Pemahaman teknis Rule of Law pada sisi yang lain penuh dengan
topeng kontestasi politik. Seperti telah dikaji para pemerhati hukum
dan politik, Rule of Law memainkan peran kunci dalam pengembangan sistem politik, tapi lebih menggambarkan ketertundukkan kepada
kontes politik dibandingkan intervensi teknis. Ginsburg32 mengatakan bahwa pengadilan yang independen bisa menjalankan peran yang beranekaragam, namun seluruhnya tergantung pada faktor politik di
lingkungan mereka. Sementara itu, Halliday33 dan Dezalay dan Garth34 mengeksplorasi peran sosial dan politik dari kalangan profesional
hukum (termasuk hakim dan akademisi) dalam pelembagaan fungsi
hukum. Seperti dikaji oleh pengemban sosiologi hukum, politik Rule
of Law juga memainkan peran penting dalam transformasi sosial.
Levi dan Epperly melihat kepada peran yang didorong oleh kelompok-kelompok social politik dalam mentransmisikan dan menjunjung
tinggi norma-norma sosial yang membentuk Rule of Law.
Sementara,
Pistor, Haldar, dan Amirapu37 meneliti Rule of Law dalam kerangka realisasi hak-hak perempuan. Akhirnya, sejumlah referensi melihat Rule
of Law dalam implikasinya terhadap pembangunan ekonomi.38
Untuk hal yang terakhir ini , reformasi hukum lalu
menjadi istilah yang membingungkan. sebab dapat mencakup begitu
banyak hal dan juga bisa berarti sangat sedikit pengertian. Ada kecenderungan umum untuk membagi kebijakan publik ke dalam reformasi
hukum di satu sisi dan reformasi ekonomi di sisi lain. Tapi ini yaitu
dikotomi palsu. Dari perspektif substantif, reformasi hukum sering
identik dengan reformasi ekonomi. Sebagian besar kebijakan ekonomi diterapkan melalui peraturan perundang-undangan dan analisis
ekonomi membantu panduan kebijakan saat perancangan peraturan perundang-undangan ini . Meskipun penyusunan peraturan
perundang-undangan diharapkan sesuai dengan budaya hukum lokal dan persyaratan konstitusional namun merancang peraturan
yang ramah pasar lebih yaitu analisis kebijakan ekonomi. Dari
perspektif yang lebih luas, reformasi hukum berkaitan dengan proses
serta substansi, dan dalam pengertian ini, lalu menyimpang
dari kebijakan ekonom. Proses hukum memiliki beberapa fungsi kunci dalam setiap ekonomi pasar: (i) untuk menetapkan standar hukum
(terutama melalui hukum dan peraturan)39, (ii) untuk menerapkan dan
menegakkan standar-standar ini, (iii) untuk menyelesaikan sengketa,
dan (iv) untuk membatasi kekuasaan negara vis-à-vis sektor swasta.
Sistem hukum formal terbaik beroperasi hanya pada batas-batas tertentu, meninggalkan sebagian standar dalam warga yang harus
diinternalisasikan dan “self-inforced” oleh warga itu sendiri. Sistem hukum yang berbeda mencapai fungsi inti dalam berbagai cara.
Standar dapat diatur, misalnya, melalui undang-undang yang disetujui
oleh parlemen atau keputusan administratif secara sepihak oleh presiden suatu negara. Standar hukum ini dapat ditegakkan oleh
polisi dan pengadilan atau oleh badan-badan khusus seperti badan
pengawas atau badan antimonopoli. Sengketa bisa diselesaikan oleh
pengadilan atau mekanisme penyelesaian sengketa alternatif lainnya, dan masing-masing dapat diatur, dikelola, dan dijalankan dengan berbagai cara. Sistem hukum dalam warga demokratis berusaha
untuk membatasi kekuasaan negara dengan banyak cara, termasuk
pengujian norma hukum, pemberitahuan dan proses dengar pendapat
sebelum penerapan sebuah peraturan, dan kemampuan pihak swasta untuk melakukan tanggung gugat terhadap pemerintah. Meskipun
dampak ekonomi dari ketentuan hukum materiil alternatif biasanya
tertatih-tatih, kita tahu jauh lebih sedikit tentang dampak ekonomi dari
sebuah proses hukum.
Rule of Law di Negara Sedang Berkembang antara lain ditandai
dengan gejala “hibriditas” (hybridity) dalam praktik pelaksanaannya.
Memahami politik hibriditas menjadi pusat reformasi yang efektif.
Ada dua jenis utama hibriditas dan sering digabungkan dalam literatur tentang Rule of Law. Pertama, ada hibriditas antara model mapan
dari kegiatan negara dan ekonomi, seperti (neo-)-liberal dibandingkan developmentalis, demokratis dibandingkan otokratis; modern dibandingkan pra-modern, dan sebagainya.40 Dengan kata lain, negara
tumbuh menurut perkembangan mereka sendiri.41 Menurut, Adler dan
Woolcock42 menyatakan bahwa semua sistem Rule of Law mengalami
hibriditas yang dinamis, sebab mereka mengambil dari berbagai model atau sumber legitimasi sebagai respons terhadap urgensi perubahan keadaan. masalah di negara kita menjadi contoh hibriditas itu saat Rule
of Law gagal memperoleh dukungan moralitas politik yang baik untuk
tata pemerintahan yang jauh dari korupsi.
Beredarnya rekaman suara Bupati Boyolali Seno Samodro saat
peringatan ulang tahun Korps Pegawai Republik negara kita di Pendopo
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada 4 Desember lalu membuat kita
tercengang. Di tengah banyaknya kepala daerah yang terjerat masalah korupsi akibat penyalahgunaan kekuasaan, Seno secara terbuka menjanjikan pemberian kredit sepeda motor, mobil, dan rumah bagi pegawai
negeri sipil dengan dana dari hibah hasil efisiensi APBD 2014. Dalam rekaman itu, Seno mengatakan, APBD Boyolali 2014 dapat
dilakukan efisiensi sebesar Rp 4,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar
untuk hibah Korps Pegawai Republik negara kita (Korpri) yang dapat
dimanfaatkan oleh kepala seksi, staf, dan kepala desa untuk fasilitas
kredit. Masih dalam rekaman itu, Seno mengatakan, “namun , kembali
lagi, kutunggu bulan April, kan, begitu. Ada apa bulan April? Saya ulang
tahun. Nanti, saya umumkan pas ulang tahun.”43 Seno memang berulang tahun pada bulan April, tepatnya 25 April, sebagaimana tertulis
pada situs pemerintahan daerah setempat. Namun bulan April itu juga
yaitu bulan saat pemilu legislatif digelar.44
sebab itu, meskipun Seno menampik apa yang disampaikannya
ini yaitu usaha memakai kekuasaannya untuk memolitisasi PNS menjelang Pemilu 2014, sulit untuk mengatakan bahwa
usaha itu tidak ada jika mengacu pada isi rekaman ini .
Kecurigaan itu wajar mengingat banyak terungkap masalah korupsi
akibat penyalahgunaan keuangan daerah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, mantan Bupati Bantul Idham Samawi pada Juli 2012
ditetapkan sebagai tersangka masalah dugaan korupsi dana hibah Komisi
Olahraga Nasional negara kita (KONI) untuk kesebelasan Persatuan Sepak Bola negara kita pada 2011. Dana itu dari APBD dan APBD Perubahan Kabupaten Bantul sebesar Rp 12,5 miliar.
Di Jawa Tengah, mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih ditetapkan sebagai tersangka masalah dugaan korupsi dana perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri. Di Jawa Timur, belum lama ini
mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai
tersangka masalah dugaan korupsi dana jasa pungut pajak daerah tahun
2007 sebesar Rp 720 juta untuk anggota DPRD Kota Surabaya.
Pada Selasa, 12 Desember 2013 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah
sebagai tersangka pemberian berkaitan dengan sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Banten, yang juga melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Pimpinan KPK juga telah menyepakati
menetapkan Atut sebagai tersangka masalah dugaan korupsi pengadaan
alat kesehatan di Provinsi Banten meski surat perintah penyidikannya
belum diterbitkan.lalu di Jawa Barat, sesudah penyimpangan dana bantuan
sosial Kota Bandung periode 2009-2010 yang melibatkan mantan Walikota Bandung Dada Rosada diungkap, kini muncul dugaan penyimpangan dana hibah Pemkot Bandung tahun 2012 sebesar Rp 40 miliar.
Hingga November 2013, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 310 kepala daerah terjerat masalah korupsi sejak pemilihan kepala
daerah secara langsung pada 2005. Ditambah masalah Atut, maka kini ada
311 kepala daerah yang terjerat masalah korupsi.
Jumlah itu belum termasuk pejabat daerah, anggota DPRD, dan
juga rekanan di daerah yang juga banyak terjerat masalah korupsi. Di Papua Barat, misalnya, sebanyak 44 anggota DPR setempat terseret masalah
dugaan korupsi pinjaman dana sebesar Rp 22 miliar bersama Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Marthen Luther Rumadas dan mantan Direktur Utama PT Papua Doberi Mandiri (PT Padoman) Mamad
Suhadi.
Mengacu data Kementerian Dalam Negeri, korupsi di daerah semakin marak sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2005. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian
Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah memang tingginya biaya politik selama pilkada berlangsung. Calon kepala daerah membutuhkan
dana yang tidak sedikit, Rp 5 miliar-Rp 100 miliar, untuk dapat terpilih,
terutama untuk kampanye sebab popularitas masih menjadi penentu.
saat kapasitas calon kepala daerah tidak menonjol, maka yang lalu dilakukan yaitu menaikkan citra diri dan “membeli” suara
rakyat demi mendapatkan jabatan dan kekuasaan.
Politik uang memang mendominasi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan ini terjadi sejak awal proses pencalonan.
sesudah terpilih pun, kepala daerah masih membutuhkan dana, untuk
mempertahankan konstituennya apalagi jika masih ingin mencalonkan diri lagi, dan terutama untuk mempertahankan dukungan dari legislatif. Akhirnya, politik uang pun tak pernah berhenti dilakukan oleh
mereka yang memburu jabatan dan kekuasaan. Disadari atau tidak,
mereka ini telah masuk dalam jerat korupsi. Pengungkapan masalah korupsi di daerah satu per satu pun seolah tidak berefek jera.
Dengan alasan itu, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pemilihan bupati/walikota dikembalikan ke DPRD untuk meminimalkan praktik korupsi di daerah. Sebuah kemunduran sebenarnya dalam proses demokrasi. Tentu pula usaha itu tidak akan berhasil jika tipe
kepemimpinan para calon kepala daerah/kepala daerah bukan kepemimpinan yang muncul sebab visi dan dedikasinya terhadap rakyat.
Demikian juga, jika kepemimpinan calon kepala daerah/kepala daerah yaitu sebab kemampuannya mencitrakan diri dan “menyuap”
rakyat demi jabatan dan kekuasaan, maka merevisi UU No. 32/2004
tentang Pemerintah Daerah pun tak akan efektif menutup peluang kepala daerah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri,
keluarga, dan kroninya.
Bentuk kedua, hibriditas mencerminkan institusi dengan sumber
otoritas politik dan legitimasi. Misalnya, derajat independensi pengadilan yang rendah dalam memeriksa perkara sehubungan dengan kepemilikan properti seperti di Singapura. Ada pula situasi bagaimana
hukum, sebagai alat elite negara untuk membentuk makroekonomi,
seperti halnya di Amerika Latin.45
2. Korupsi Pengadilan (Judicial Corruption)
Salah satu persoalan sistemik lain sehubungan dengan Rule of Law
di Negara Sedang Berkembang yaitu korupsi di pengadilan (judidical
corruption). Persoalan ini tampaknya menjadi masalah global. ini
tidak terbatas pada suatu negara atau wilayah tertentu. Namun manifestasi korupsi tampaknya paling buruk di Negara Sedang Berkembang
dan negara dalam transisi. Menurut Centre for the Independence of Judges and Lawyers yang berbasis di Jenewa, dari 48 negara yang tercakup
dalam laporan tahunannya untuk tahun 1999, korupsi peradilan telah
“meresap” di 30 negara.46
Pada hari Sabtu, 14 Desember 2013, KPK mampu mengendus transaksi perdagangan perkara Kepala Kejaksaan Negeri Lombok Tengah,
Nusa Tenggara Barat, Subri bersama Lusita Ani Razak. Dalam tindakan itu, KPK menangkap mereka disertai barang bukti 16.400 dollar AS
(sekitar Rp 197 juta) dan Rp 23 juta. Penangkapan Kepala Kejaksaan
Negeri Lombok Tengah itu berkaitan dengan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen yang ditangani Kejaksaan Negeri Lombok Tengah.
Penangkapan jaksa termasuk penegak hukum lain memang bisa membuat kita kecut. Mengapa penangkapan penegak hukum tidak
pernah membuat orang jera? Banyak orang berharap, sesudah jaksa
Urip Tri Gunawan tertangkap tangan, tak ada lagi jaksa yang ditangkap.
Namun harapan warga tak terwujud. Sejumlah jaksa tertangkap
tangan lagi untuk urusan jual beli perkara.
Fenomena mafia peradilan yang sudah lama dicium, namun terus
dibantah, kini jadi nyata dan kian telanjang. Ada hakim, jaksa, advokat,
dan polisi ditangkap KPK. Mereka yaitu penegak hukum yang harusnya menegakkan hukum. Nyatanya, mereka justru memperjualbelikan
hukum untuk kepentingan mereka pribadi. Kita dorong KPK mengusut
siapa pun yang terlibat, termasuk sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Lombok Tengah dan pihak lain.
Kita memberi apresiasi kepada KPK. Dengan segala tekanan
politik yang dihadapinya, KPK tak kenal lelah menangkapi koruptor.
Kewenangan KPK justru harus ditambah, bukan malah dipereteli seperti keinginan sejumlah politisi agar KPK mampu mendeteksi para
pedagang hukum dan para penjarah uang rakyat.
warga pun kita dorong melaporkan sejumlah penyimpangan yang patut diduga sebagai tindakan korupsi penyelenggara negara.
warga yang permisif kurang mendukung pemberantasan korupsi. Penumpukan kekayaan secara tidak wajar yang tidak sesuai dengan
profil pejabat ini bisa dilaporkan kepada KPK dengan mekanisme
whistle blower system. Memerangi korupsi memang tidak mudah! KPK
membutuhkan kontribusi kita untuk negara kita yang lebih bersih. Namun selain strategi penindakan yang mengemuka akhir-akhir ini, strategi pencegahan melalui perbaikan sistem harus diutamakan.
Korupsi yaitu kombinasi dari keinginan dan kesempatan. Memperkecil ruang melakukan korupsi harus terus dilakukan dengan perbaikan sistem. Keinginan orang untuk terus melakukan korupsi harus
ditekan dengan memberi hukuman berat dan menyita semua aset
hasil korupsi. memberi hukuman lebih berat terhadap penegak
hukum yaitu keniscayaan. Harus ada target dari pemimpin lembaga untuk membina anak buahnya agar tidak korupsi. saat ada anak
buah yang ditangkap sebab korupsi, itu juga menunjukkan kegagalan
pemimpin membina anak buahnya.
Dalam survei yang dilakukan di Mauritius, antara 15 dan 22 persen dari responden menyatakan bahwa “semua” atau “sebagian” dari para hakim telah “korup.”47 Menurut survei serupa yang dilakukan di
Tanzania pada tahun 1996, 32 persen responden yang berhubungan
dengan peradilan benar-benar telah membayar “ekstra” untuk menerima layanan. Di Uganda, survei serupa menghasilkan nilai yang
lebih tinggi. Lebih dari 50 persen dari mereka yang datang ke pengadilan dilaporkan telah membayar suap kepada pejabat.49 Bahkan lebih
jitu, mungkin, yaitu pernyataan yang direkam dalam kelompok fokus
pada korupsi peradilan di Uganda.
Di Asia, situasi bisa dipandang sebagai sama-sama mengecewakan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan untuk Bank Dunia di Kamboja,
64 persen dari responden setuju dengan pernyataan “sistem pengadilan sangat korup”, dan 40 persen dari mereka yang telah berhubungan
dengan peradilan telah membayar suap. Korupsi dalam sistem peradilan menduduki peringkat pertama di antara semua faktor kendala
untuk memakai sistem pengadilan. Sebuah survei rumah tangga
nasional baru pada korupsi di Bangladesh mengungkapkan bahwa 63
persen dari mereka yang terlibat dalam litigasi telah membayar suap
baik kepada pejabat pengadilan maupun pengacara lawan dan 89 persen dari mereka yang disurvei yakin bahwa para hakim korup.51 Di Filipina, 62 persen dari responden percaya bahwa ada tingkat signifikan
korupsi dalam sistem peradilan dan 57 persen mengakui banyak atau
sebagian besar hakim bisa disuap
Dalam sebuah penelitian serupa yang dilakukan oleh Bank Dunia
di Latvia, 40 persen dari responden yang pernah bertransaksi dengan
sistem pengadilan melaporkan bahwa suap untuk hakim dan jaksa yaitu hal yang rutin terjadi.53 Selain itu, 10 persen dari pelaku bisnis
dan 14 persen dari rumah tangga yang berurusan dengan pengadilan menerima indikasi perlunya membayar suap. Di Nikaragua, 46 persen
dari mereka yang disurvei yang pernah bertransaksi dengan sistem
pengadilan menyatakan bahwa ada korupsi di peradilan, 15 persen telah benar-benar menerima indikasi bahwa pembayaran suap diharapkan.54 Di Bolivia, 30 persen dari responden survei layanan pengiriman
diminta untuk suap pada kontak dengan lembaga peradilan, dan 18
persen benar-benar pernah membayar suap.
Survei yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa korupsi masih
jauh dari satu-satunya alasan bahwa orang tidak puas dengan pengadilan. Hasil ini dan survei lainnya menunjukkan bahwa, di banyak negara, orang juga tidak puas dengan biaya, aksesibilitas dan
putusan pengadilan. Mereka tidak puas dengan penundaan eksekusi.
Mereka tidak puas dengan prosedur rumit dan menakutkan dalam
berurusan dengan pengadilan. Di Kolombia, tunggakan perkara telah
melampaui 4 juta dan sekitar 70 persen dari waktu hakim dihabiskan
untuk membaca dokumen. Di sejumlah negara, pemerintah bahkan tidak jarang meminta hakim untuk melakukan pekerjaan non-yudisial,
seperti duduk di komisi penyelidikan, kadang-kadang dengan bantuan politik, dan para hakim yang bersangkutan jarang menolak untuk
melakukannya. Ini bisa dipandang sebagai indikator sistem peradilan
dalam keadaan krisis yang akut.
Kerangka empiris pertama kali diperkenalkan oleh Buscaglia yang
mengkaji pengadilan di Ekuador dan Venezuela56 dan oleh Buscaglia
dan Dakolias untuk Ekuador dan Chile yang menjelaskan perubahan
tahunan dalam laporan korupsi di tingkat pengadilan negeri dalam menangani perkara niaga. Penelitian ini menunjukkan bahwa struktur organisasi tertentu dan pola perilaku dalam pengadilan di Negara
Sedang Berkembang membuat mereka rentan terhadap penyebaran
tak terkendali dari praktik korupsi sistemik. Sebagai contoh, penelitian
itu menemukan bahwa pengadilan Amerika Latin telah memberi
insentif organisasi internal terhadap korupsi. Sebuah analisis hukum dan ekonomi korupsi harus mampu mendeteksi mengapa pemakaian
jabatan publik untuk keuntungan pribadi lalu menjadi norma.
Di atas kertas, sebagian besar Negara Sedang Berkembang memiliki
peraturan perundang-undangan antikorupsi dan sistem audit eksternal bagi pengadilan. Namun sekalipun dapat terlaksana, kedua mekanisme tadi tidak akan cukup untuk melawan adanya korupsi sistemik
dalam penegakan hukum. Dimensi lain perlu untuk diperhatikan.
Pola tertentu dalam organisasi administrasi pengadilan, ditambah
dengan tingkat yang luar biasa dari kebijaksanaan hukum dan kompleksitas prosedural, memungkinkan hakim dan pegawai pengadilan
untuk mengekstrak biaya terlarang tambahan untuk jasa yang diberikan. Buscaglia58 juga menemukan bahwa karakteristik ini mendorong praktik-praktik korupsi yang diperparah oleh kurangnya mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa, sehingga memberi
sistem pengadilan resmi untuk memonopoli penanganan perkara.
Lebih khusus lagi, menurut Buscaglia dan Buscaglia dan Dakolias,
praktik korupsi didorong sebab adanya: (i) peran organisasi internal yang terkonsentrasi di tangan pengambil keputusan pada satuan
pengadilan tertentu, (ii) jumlah dan kompleksitas langkah-langkah
prosedural ditambah dengan kurangnya transparansi dalam pengadilan, (iii) ketidakpastian yang besar terkait dengan doktrin yang berlaku,
undang-undang, dan regulasi (misalnya, meningkatkan inkonsistensi
dalam penerapan hukum oleh pengadilan yang antara lain sebab kurangnya database hukum dan sistem informasi), (iv) beberapa alternatif sumber penyelesaian sengketa, dan, akhirnya, (v) kehadiran kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi.
Kelima faktor ini memberi pedoman yang jelas untuk
pembuatan kebijakan publik. Negara Sedang Berkembang seperti
Chile dan Uganda yang telah memberlakukan kodifikasi hukum acara
yang sederhana sambil memperkenalkan resolusi sengketa alternatif
telah mengalami penurunan atas korupsi pengadilan. Selain itu, kisah
sukses Singapura dan Kosta Rika menunjukkan bahwa korupsi dapat
dikurangi dengan menciptakan lembaga administrasi khusus yang
mendukung pengadilan dalam hal-hal yang berkaitan dengan anggar-an dan manajemen personalia, serta finansial. lalu pengadilan didesain untuk menerapkan desentralisasi pengambilan keputusan administratif sekaligus mengurangi konsentrasi pada satuan yang
lebih tinggi dan melepaskan pengawasan atas tugas-tugas organisasi
dari tangan hakim.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Negara Sedang Berkembang melakukan reformasi peradilan sebelumnya mengalami krisis
yang mendalam dalam sistem pengadilan mereka, termasuk Kosta
Rika, Chili, Ekuador, Hungaria, dan Singapura.63 Pada kelima negara
ini , kesediaan hakim untuk mendiskusikan proposal reformasi
peradilan hanya sesudah krisis yang mendalam dan lalu mengancam
pekerjaan mereka. Skema pembaruan lalu diikuti kesediaan untuk pensiun dini, promosi bagi para hakim dan staf pendukung, bangunan baru, dan anggaran yang semakin besar.64
saat merancang kebijakan antikorupsi dalam domain hukum
dan peradilan, pengambil keputusan harus memperhitungkan tidak
hanya biaya dan manfaat bagi warga pemberantasan korupsi secara umum, namun juga perubahan manfaat individu sekarang dan
masa depan dan biaya seperti yang akan dirasakan oleh pejabat publik.
Sebuah riset mengatakan bahwa inersia kelembagaan dalam memberlakukan reformasi berasal dari sifat jangka panjang manfaat reformasi
dalam pikiran para pembaru, seperti kesempatan kerja ditingkatkan
dan prestise profesional.65 Manfaat ini tidak dapat langsung ditangkap dalam jangka pendek oleh para reformis potensial dalam pemerintahan. Bertentangan dengan ini yaitu sifat jangka pendek dari
biaya utama reformasi, khususnya, penurunan yang dirasakan dalam
penghasilan tidak resmi pejabat negara. Asimetri antara biaya jangka
pendek dan keuntungan jangka panjang cenderung untuk menolak
inisiatif kebijakan yang berkaitan dengan reformasi sektor publik. Pada
gilirannya, proposal reformasi yang menghasilkan manfaat jangka
panjang terhadap sistem pengadilan perlu diterapkan dalam tahap selanjutnya dalam rencana aksi.Penting untuk mengingat bahwa dahulu korupsi dianggap bisa ditoleransi, baik dari segi budaya maupun ekonomi. Tak kurang dari ilmuwan ternama, Samuel Huntington, mengatakan bahwa korupsi bisa
berperan sebagai minyak pelumas (lubricant, grease) dari pertumbuhan ekonomi di mana birokrasi yang lamban bisa digenjot. Malah ada
yang memakai istilah functional corruption.
Para teknokrat kita saat Orde Baru bukan tak menyadari, melainkan secara sadar setengah menutup mata sebab angka pertumbuhan
ekonomi negara kita relatif tinggi. Para teknokrat kita waktu itu terbantu
iklim kebebasan pers yang terkungkung ancaman pemberedelan oleh
pemerintah. Alhasil, semua korupsi menemukan lahan yang subur sehingga korupsi diterima sebagai norma. Korupsi bukanlah kekecualian. Tak heran jika para pengusaha waktu itu memasukkan korupsi sebagai bagian dari komponen investasi. Bentuknya bisa saham kosong,
nepotisme dan kolusi dalam berbagai pengadaan, atau keuntungan
yang dialirkan ke sejumlah badan sosial.
Dalam literatur mengenai korupsi yang jumlahnya sudah puluhan
ribu sebab studi mengenai korupsi sudah marak sejak 1980-an, ada
yang membuat klasifikasi korupsi dengan memakai warna. Arnold J Heidenheimer banyak menulis persoalan korupsi, membagi korupsi dalam tiga warna: korupsi hitam (black corruption), korupsi putih
(white corruption), dan korupsi abu-abu (grey corruption).
Korupsi hitam yaitu korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, merusak perekonomian, dan tak bisa dibenarkan apa pun
alasannya. Korupsi putih yaitu korupsi yang fungsional dan memberi
dampak positif sehingga masih bisa ditoleransi. Adapun korupsi abuabu yaitu korupsi yang berada di antara kedua korupsi ini .
Celakanya, banyak korupsi yang masuk kategori korupsi abu-abu
di mana para penguasa dan koruptor bisa bermain-main. Di sini kontrol terhadap kekuasaan dan media ikut menentukan perubahan dari
korupsi abu-abu menjadi korupsi yang masuk kategori putih.
Di negara otoriter, ini dengan gampang bisa dilakukan sebab
di situ warga sipil antikorupsi tak berfungsi optimal. Mentalitas
banyak orang negara kita masih di lingkar di mana mereka merasa bisa
mengubah korupsi yang mereka lakukan, hitam atau abu-abu, menjadi
korupsi putih. sebab itu angka korupsi tidak pernah turun.
Setiap hari media di negara kita terus sibuk dengan berita mengenai
korupsi. Dan, memang kita dikejutkan oleh berita korupsi yang sering mencengangkan kita semua. Orang yang selama ini kita anggap terhormat dan saleh tiba-tiba tertangkap tangan sebab korupsi. Orangorang yang sering berpidato untuk penegakan hukum tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.
Rupanya ratusan orang yang sudah dihukum sebagai koruptor tak
membuat orang jera untuk korupsi. Anehnya mereka semua tahu bahwa transaksi melalui elektronik itu bisa dilacak oleh PPATK, namun tetap
saja mereka memakai modus ini .
Jadi, kita sering tak bisa memahami kecerdasan para koruptor yang
nekat korupsi dengan uang tunai dan transaksi perbankan. Intelektualitas mereka sudah bebal. Mereka menganggap bahwa hanya orangorang sial yang akan tertangkap. Buktinya masih banyak yang terus
korupsi dan tak tertangkap. Mereka hanya gemetar saat melihat seseorang tertangkap dan diberi baju tahanan muncul di koran dan layar
televisi. Namun seminggu lalu , mereka lupa dan korupsi lagi.
Resolusi Majelis Umum PBB 31 Oktober 2003 telah menetapkan
tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional yang kemarin diperingati. Penetapan Hari Antikorupsi Internasional menggambarkan korupsi telah menjadi keprihatinan global. Akibat kerakusan
individual dan global, korupsi yang yaitu bentuk perampokan
uang negara telah memicu terjadinya pelanggaran hak ekonomi
dan sosial. Peringatan Hari Antikorupsi erat terkait dengan peringatan
Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember.
Korupsi dalam bahasa yang berbeda sebenarnya telah menggelayuti perjalanan bangsa ini. Korupsi terus saja menjadi pembicaraan
publik yang tak kunjung tuntas. Tajuk Rencana harian Kompas pada 14
September 1965 sudah bersuara keras soal praktik korupsi yang hanya
menjadi tema diskusi. Kita kutipkan kembali substansi tajuk itu. “Soal
pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan
lagi sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Yang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah ‘pembitjaraan
lagi’, namun tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum,
gantung, tembak!”
Kutipan tajuk itu menggambarkan kegeraman publik terhadap
maraknya korupsi tahun 1965. Namun, faktanya, kegeraman itu masih
bisa kita rasakan 48 tahun lalu . Sejumlah proyek pembangunan
yang dirancang ternyata dijadikan bancakan elite politik. Publik menyaksikan pembangunan sarana olahraga Hambalang menjadi ajangelite politik mencari keuntungan. Bukan hanya pada masalah Hambalang,
praktik korupsi kotor juga masih bisa disaksikan pada masalah lain. Praktik “perdagangan” perkara sengketa pilkada di MK yang melibatkan
bekas Ketua MK Akil Mochtar menunjukkan korupsi telah menyentuh
pucuk kekuasaan yudikatif.
Korupsi memang perang yang belum kita menangkan sebab kita
terlalu bertenggang rasa terhadap korupsi. Hasil penelitian Rimawan
Pradiptyo menunjukkan, kerugian negara akibat korupsi Rp 67,5 triliun, namun nilai hukum finansial yang diperintahkan pengadilan untuk
dibayar hanya Rp 4,76 triliun. usaha menciptakan efek jera dengan
menerbitkan peraturan pemerintah yang melarang remisi diberikan
kepada koruptor mendapat perlawanan dari anggota DPR dengan alasan melanggar HAM. KPK yang terus berusaha menangkapi perampok
uang rakyat justru terus diusaha kan untuk dilemahkan.
Pada tajuk harian Kompas, 14 September 1965 dikatakan antara
lain, “Yang ditunggu rakjat bukanlah pembitjaraan lagi, tapi tindakan konkret!” Diskursus strategi pemberantasan korupsi sudah cukup
dengan menggabungkan UU Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk menggelorakan pemberantasan korupsi, dibutuhkan
pemimpin nasional yang berani secara nyata, bukan hanya retorika,
berada di garis terdepan memerangi korupsi. Pemimpin yang berani
memberi perlindungan politik dan hukum terhadap lembaga pemberantas korupsi!
Banyak agenda yang perlu diperhatikan dalam membangun pengadilan di negara-negara yang berada dalam lingkungan pascakonflik,
antara lain: meningkatkan manajemen dan administrasi pengadilan;
membantu dalam merekrut hakim, jaksa dan staf pengadilan; pelatihan semua personil peradilan, membangun atau memperkuat pengawasan independen dan mekanisme disiplin, memperluas distribusi
sumber daya materiel tambahan yang diperlukan untuk menjalankan
sistem peradilan, dan meningkatkan kapasitas fakultas hukum di perguruan tinggi untuk mendidik hakim dan pengacara di masa depan.
Bentuk-bentuk pembaruan terhadap badan-badan pendukung
Rule of Law memerlukan banyak aksi yang berlainan dari satu negara ke negara lainnya. Badan yang berbeda akan memberi tantangan yang berbeda-beda, tergantung pada sejarah dan praktik di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh: (i) militer yang juga bertindak
sebagai aparat kepolisian (Bosnia dan Herzegovina, El Salvador, Guatemala, Haiti, Rwanda, bekas Republik Yugoslavia Macedonia, Kosovo, Serbia dan Montenegro); (ii) menginstegrasikan milisi dan tentara
non-negara ke dalam tubuh penegak hukum (Angola, Bosnia dan Herzegovina, Kamboja, Republik Demokratik Kongo, El Salvador, Liberia,
Sierra Leone, Timor Leste); dan (iii) pembentukan lembaga HAM nasional seperti komisi nasional dan ombudsman (Afghanistan, Bosnia
dan Herzegovina, El Salvador, Guatemala, Haiti, Kosovo. Di banyak
negara, hukum dan tradisi atau adat dapat menempati tempat penting
dalam reformasi peradilan pascakonflik (Afghanistan, Burundi, Guatemala, Rwanda, Sierra Leone,Timor Leste).68
Pada umunya, reformasi sistem peradilan pidana (criminal justice
system) menjadi agenda yang utama. Alasannya sangat jelas. Dalam kebanyakan situasi pascakonflik, hukum dan ketertiban tidak hadir dan
ada kebutuhan mendesak untuk memberi keamanan bagi penduduk yang mengalami trauma. Banyak orang berjalan-jalan dengan senjata dan tidak jelas siapa yang mengontrol mereka. Selain itu, mereka
yang bertanggung jawab atas kejahatan perang di masa lalu, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM serius lainnya harus ditangkap, ditahan, dan perlu ketersediaan untuk proses apa pun yang
ditunjuk untuk masalah ini . maka , peran dan tanggung
jawab dari sistem peradilan pidana akan sangat penting dalam setiap skenario pascakonflik. Bidang hukum pidana yang paling relevan
dengan agenda pembaruan termasuk ketentuan-ketentuan yang menyangkut penangkapan dan penahanan, perlakuan terhadap narapidana dan tahanan, akses pengacara untuk klien mereka, akses profesional medis dan anggota keluarga terhadap tahanan, standar pengadilan
yang adil, praktik penjatuhan hukuman, hak korban untuk berpartisipasi dalam proses, serta program reparasi dan hukum tentang amnesti
atau pengampunan. Masalah hukum lain yang sering muncul yaitu
Undang-Undang dan praktik yang mengatur demonstrasi, kebebasan
pers dan hukum media pada biasanya , undang-undang tentang or-ganisasi non-pemerintah, kebebasan bergerak dan kemungkinan peradilan terhadap pejabat pemerintah, termasuk polisi dan militer, atas
pelanggaran HAM.
Di Bosnia dan Herzegovina, Republik Demokratik Kongo dan Sierra Leone, sebab ada peningkatan perdagangan wanita untuk
eksploitasi seksual, maka pengetahuan tentang hukum internasional
dan lokal yang mengatur masalah ini sangat penting. Demikian juga,
kebutuhan penyediaan personel ahli untuk melakukan wawancara dan
pendampingan bagi korban perdagangan, biasanya perempuan, dan
terhadap anak-anak yang telah menderita pelecehan seksual. Dalam
beberapa masalah , tindakan yang setengah hati dan tidak sensitif telah
memicu penderitaan lebih lanjut bagi korban hak asasi manusia dan pelanggaran pidana. Alih-alih menawarkan kasih sayang dan
bantuan kepada wanita yang diperdagangkan, beberapa petugas
hukum lokal dan internasional, termasuk polisi, memperlakukan mereka seperti penjahat (misalnya, Bosnia dan Herzegovina, bekas Republik Yugoslavia Macedonia).70
Tentara anak-anak telah berpartisipasi dalam berbagai konflik,
terutama di Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Liberia, Sierra
Leone, dan Sri Lanka. Ahli psikologi anak, baik lokal maupun internasional, harus tersedia untuk memantau kinerja peradilan lokal di daerah
ini dan menawarkan bantuan, pelatihan dan bentuk lain dari pengembangan kapasitas untuk meningkatkan penanganan anak-anak yang
telah mengalami pengalaman mengerikan dan menghadapi kesulitan besar dalam kembali ke warga . Petugas yang relevan harus
menyadari kebiasaan yang berkembang pada tentara anak-anak dan
alternatif untuk penuntutan pidana dan penahanan dari pengadilan
pidana internasional, Mahkamah Pidana Internasional dan lembaga
hybrid seperti Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone dan Pengadilan
Luar Biasa di Kamboja.
Selain hukum dan norma-norma internasional, pembaruan sektor peradilan harus akrab dengan ketentuan dalam konstitusi nasional
yang menetapkan hak-hak dasar atau melarang tindakan tertentu oleh
pemerintah atau oleh warga yang bertindak di bawah kewenangannya. Ketentuan konstitusi menjamin kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul atau berserikat, melarang penyiksaan, penangkapan tanpa surat perintah atau penahanan praperadilan berkepanjangan,
yang lalu menjadi wacana sehari-hari mereka. Penyalahgunaan administratif oleh banyak pemerintah juga akan menjadi prioritas. Perlakuan dan kondisi skandal di mana warga sakit mental ditempatkan
di lembaga pewarga an (Haiti, Rwanda, Kosovo) menjadi prioritas
tinggi untuk sebagian besar misi pembaruan ini . Mendayagunakan pengacara lokal untuk memberi nasihat dan bahkan berpartisipasi dalam pekerjaan pada semua masalah pembaruan peradilan
pidana ini, akan membantu.
Di negara pascakonflik, diperlukan kemampuan membangun jaringan dengan pejabat penegak hukum (hakim, jaksa, lembaga pewarga an) dan mengadakan pertemuan rutin dengan mereka untuk
membahas masalah -masalah tertentu, pembangunan institusi, dan hak
asasi manusia pendidikan/promosi. Oleh sebab itu sistem informasi
yang menyediakan daftar hakim, jaksa, dan komandan militer dan polisi di tingkat lokal harus selalu up to date. Setiap mutasi harus tercatat
sehingga informasi mengenai hakim atau jaksa tertentu dapat dibagi
dengan rekan-rekan mereka di wilayah ini . Beberapa pejabat
penting di sektor peradilan pidana dan peran utama mereka dalam
pengaturan pascakonflik yaitu sebagai berikut biasanya yaitu sebagai berikut.
Pertama, hakim. Pada biasanya , hakim yaitu pengawal kebebasan dan hak asasi manusia. Hakim akan memutuskan apakah ada
alasan untuk menangkap dan menahan seseorang, memastikan adanya akses ke pengacara, memimpin persidangan, dan, di mana tidak
ada juri, memutuskan bersalah atau tidak. Dalam sistem hukum sipil-Napoleon, hakim sering akan memainkan peran aktif dalam mengumpulkan bukti untuk mempersiapkan penuntutan. Pengangkatan
hakim, retensi dan perilaku harus selalu sesuai dengan the Basic Principles on the Independence of the Judiciary.
Kedua, pegawai pengadilan. ini sering diabaikan. Padahal mereka membuat psistem peradilan bekerja. Mereka melacak berkas perkara, jadwal sidang dan menjamin ketertiban dan keamanan di ruang
sidang. Dalam kebanyakan situasi pascakonflik, administrasi pengadilan berantakan; berkas hilang atau hancur, peralatan kantor kurang dan
sering tidak ada listrik. Memahami pentingnya para pengawai pengadilan ini, yang benar-benar yaitu urat dan otot dari sistem pengadilan, tidak dapat diremehkan. Tidak ada yang terjadi tanpa mereka. sebab wewenang mereka, korupsi sering marak, dan diskriminatif dalam tindakan terjadi pada tingkat ini.
Ketiga, jaksa/penuntut umum. Jaksa menjadi aparatur yang mewakili negara dalam tindak pidana sehingga memiliki kepentingan
yang jelas dalam inisiatif sistem peradilan pascakonflik. Kebijaksanaan
mereka untuk menyelesaikan masalah pidana memberi mereka kekuasaan yang besar dalam administrasi peradilan, khususnya dalam situasi
pasca konflik, di mana tekanan untuk mengabaikan atau melupakan
kejahatan masa lalu mungkin menjadi besar. Pedoman tentang Peran
Jaksa memberi standar dasar yang berlaku untuk pekerjaan mereka
dan juga perlindungan yang diperlukan bagi saat melakukan investigasi dan pengadilan yang tidak memihak dan adil. Jaksa berkewajiban untuk memberi perhatian yang setara atas kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran berat hak asasi manusia dalam situasi pascakonflik. Para
Jaksa juga harus memperoleh pelatihan, sumber daya, peralatan, dan
dukungan yang diperlukan untuk mempersiapkan dan menuntut perkara, yang sering kompleks dan sensitivitas. Beberapa negara seperti
Afghanistan, Burundi, Kamboja, Guatemala, Haiti, dan Rwanda dilaporkan memiliki kelemahan dalam personel penuntutan ini. Gangguan, ancaman dan bahkan serangan kekerasan telah menimpa penuntut
umum. Memastikan kompetensi, independensi, dan integritas jaksa
harus menjadi prioritas tinggi.
Keempat, pengacara. Pengacara benar-benar penting jika sistem
peradilan telah bekerja. Di banyak negara, keberadaan asosiasi pengacara yang independen yaitu hal yang baru. Di Balkan, misalnya, di bawah sistem sosialis sebelumnya, pengacara hanya diizinkan
untuk mengurangi hukuman, tidak mengadvokasi klien mereka yang
tidak bersalah. Di Afghanistan, Angola, Republik Demokratik Kongo,
Rwanda dan Sierra Leone, jumlah pengacara terlalu sedikit dan hampir
dari yang sedikit ini terkonsentrasi di ibukota, sehingga sebagian besar
terdakwa tidak dapat didampingi.
Di samping dalam lapangan hukum pidana, perhatian perlu juga
diberikan terhadap penyelesaian masalah perdata di negara-negara
pascakonflik ini. Pada banyak warga pascakonflik masalah kepemilikan tanah, perumahan, perusahaan komersial, ternak dan barang
pribadi dapat menjadi isu utama dalam rekonstruksi, rekonsiliasi dan
membangun perdamaian. ini seperti yang telah terjadi di Bosnia dan Herzegovina, Timor-Leste, dan Kosovo. Masalah dalam dokumentasi sipil juga muncul. Akta kelahiran, pernikahan, dan kematian sering kurang, bahkan mengalami kemusnahan seperti di Afghanistan,
Kamboja, Republik Demokratik Kongo, dan Haiti. Dokumentasi sipil
ini penting sebagai syarat dalam banyak hal seperti sekolah, perawatan
kesehatan, khususnya vaksinasi, hak memberi suara, serta akses ke
program-program kesejahteraan sosial dan warisan.
Perdebatan yang dibangun selama ini soal kegagalan (sebagian)
pembangunan ekonomi yang dirancang pemerintah, seperti eksekusi
pembangunan infrastruktur, ketimpangan pendapatan, kerapuhan investasi, penyerapan APBN, dan pengendalian pekerja sektor informal,
lebih banyak bertumpu pada soal pilihan kebijakan ekonomi.
Analisis atas opsi kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah ini
tentu tidak salah sebab dalam tradisi ilmu ekonomi memang hampir
tak pernah ada kebijakan tunggal untuk menyelesaikan masalah ekonomi yang muncul. sebab itu, menyandingkan antara kebijakan yang
diproduksi pemerintah dan alternatif kebijakan lain diharapkan bisa
memperbaiki kualitas kebijakan di masa depan. Namun ada hal lain
yang juga penting dan belum banyak dibicarakan, bahwa sebagus apa
pun kebijakan (ekonomi) pasti menghendaki tahap eksekusi yang matang pula agar kebijakan itu punya jejak di lapangan. masalah negara kita
memberi pelajaran penting mengenai ini .
Sistem demokrasi yang diadopsi negara kita hampir 15 tahun ini
yaitu antitesa dari sistem politik otoriter warisan Orde Baru yang
dianggap memupus aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan pembangunan. Otoritarianisme berjalan dengan koridor berikut: perencanaan dan kebijakan sepenuhnya dirajut pemerintah dan
dikendalikan pelaksanaannya oleh pemerintah (pusat) juga. Pengambilan keputusan sangat efektif, tidak bertele-tele, dan langsung dapat
dieksekusi. Sisi negatifnya, pilihan kebijakan berpotensi sesat sebab
tidak menyerap suara rakyat, sekaligus mengabaikan partisipasi publik
dalam pengerjaan dan pengawasan.
Hasilnya, pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan kencang,
namun dengan segenap penyimpangan. Demokrasi melawan itu dengan memberi pilihan jalan yang berbeda: perumusan kebijakan yaitu hasil dari percakapan lalu lintas suara publik, yang kerap kali berisik, sehingga opsi kebijakan yaitu pilihan terbaik. Sampai
pada tahap itu demokrasi telah dipraktikkan dan menghasilkan sebagian kebijakan ekonomi yang bagus. Masalahnya, kenapa kebijakan
itu tak juga punya tapak di lapangan? Di sinilah perdebatan yang absen selama ini: bahwa demokrasi akan lumpuh jika tak bersanding
dengan kapasitas negara (pemerintah/birokrasi). Kapasitas negara ini
dapat dimaknai sebagai kemampuan mengimplementasikan tujuantujuan pembangunan yang sudah ditetapkan.
Tanpa kualitas birokrasi yang bagus/solid, efektivitas pengerjaan
kebijakan publik, seperti pengumpulan pajak dan penyediaan layanan
publik, menjadi mandul. Pada titik ini, demokrasi dan kapasitas negara
dalam posisi komplementer untuk meraih kinerja pembangunan ekonomi yang hebat. Kelemahan ini secara lugas dapat dinyatakan dalam
frasa ini: demokrasi menghasilkan reformasi kebijakan ekonomi, namun nihil reformasi administrasi untuk menambah bobot kapasitas birokrasi.
Tak ada satu pun yang menyatakan bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur, perbaikan daya saing ekonomi, dan hasrat penyerapan APBN yang lebih baik yaitu kebijakan yang keliru. Namun
kebijakan tepat ini nyaris menjadi kisah klise: lunglai di lapangan. Penjelasannya, kapasitas negara untuk menjalankan kebijakan itu
tidak memadai. Tak kurang banyak investor sudah setuju membangun
infrastruktur, namun tidak mau mengeksekusi sebab tidak tersedia komitmen untuk menyelesaikan soal lahan. Daya saing ekonomi menjadi
impian semua pengusaha, tapi biaya dan waktu pengurusan perizinan
mahal dam lama.
Dana alokasi APBN diperjuangkan dengan penuh riak politik selama di parlemen, tapi sunyi begitu tahap implementasi mesti dilalui.
Aneka perubahan peraturan presiden/pemerintah sudah dilakukan,
tetap saja penyerapan anggaran lambat dan menggantung di akhir tahun. Pendeknya, kombinasi demokrasi dan kapasitas negara yang lemah telah menghasilkan kemacetan pembangunan.
Satu lagi yang tak digarap yaitu aspek kapabilitas sosial (social capability) sebagai daya dorong pembangunan ekonomi. Demokrasi dan
pembangunan tak hanya memerlukan instrumen kebijakan (formal)
sebagai dasar panduan arah dan pelaksanaan kerja ekonomi, tapi juga
membutuhkan suporter sosial secara langsung dalam wujud pengetahuan, standar norma, loyalitas, etika kerja, hasrat belajar, dan keper-cayaan sosial. Elemen-elemen itulah yang disebut sebagai kapabilitas
sosial dan menjadi sumber kekuatan pembangunan.
Negara semacam Tanzania, Mozambik, dan Malawi saat ini sudah
mengadopsi institusi politik demokratik dan telah mendesain kelembagaan ekonomi yang modern, seperti jaminan hak kepemilikan terhadap warga negara, tapi tetap tidak bisa sejajar dengan pembangunan
ekonomi di beberapa negara Asia sebab kapabilitas sosialnya jauh dari
mencukupi.
Amartya Sen (1999) dalam salah satu karya pentingnya menekankan pentingnya aspek pendidikan dan kesehatan sebagai pilar dari
kapabilitas sosial ini , yang sebagian sekarang menjadi salah satu
sumber pembangunan ekonomi di China dan Korsel. Problem menjalankan secara paralel antara transformasi ekonomi dan kapabilitas
sosial menjadi hambatan terbesar di beberapa negara sehingga targettarget pembangunan tak bisa dicapai.
masalah di negara kita menjadi catatan yang menarik sebab pada saat
orientasi kemajuan ekonomi ditempuh dan sebagian telah menghasilkan pergeseran sumber-sumber pertumbuhan menuju sektor industri
dan jasa, namun terancam berhenti sebab tidak ditopang pengetahuan,
keterampilan, dan pendidikan tenaga kerja. Faktanya, 67 persen tenaga
kerja hanya tamat SMP ke bawah sehingga saat ini 62 persen tenaga
kerja tak bisa masuk ke sektor formal meskipun pengangguran terbuka
terus turun.
China yang berpenduduk sangat besar relatif mampu mengatasi
persoalan ini dengan melakukan investasi pendidikan secara
besar-besaran sejak 1979 sehingga saat ini sebagian tenaga kerjanya
dapat menikmati pekerjaan di sektor modern (formal). Tercatat, pada
saat pekerja sektor informal di negara kita sebesar 62 persen (2012),
pada saat yang sama di China sebanyak 55 persen. Malaysia juga melakukan langkah serupa sehingga pekerja sektor informal bisa ditekan
pada angka 30 persen saja.
Tentu saja, di luar pendidikan dan kesehatan, aspek norma, etika
kerja, loyalitas, dan kepercayaan sosial juga yaitu elemen penting
lain yang harus digarap seiring dengan transformasi ekonomi. Realitas
inilah yang harus dipahami pemerintah sehingga bisa meletakkan pembangunan ekonomi dalam bingkai sosial-politik yang tepat. Jika cara
membangun (ekonomi) steril dari unsur-unsur ini , perjalanan
pembangunan akan terseok-seok dan memicu aneka luka. Tidak kalah pentingnya realitas kapabilitas sosial negara yaitu
ditunjukkan dengan kemampuan memberi Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) secara memadai. Penetapan UU No. 40/2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional kiranya dilaksanakan mulai 1 Januari
2014. Sesuai dengan UU No. 24/2012 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk
dimulai pada 1 Januari 2014.
Program lainnya akan dimulai pada pertengahan 2015 sehingga
secara bertahap akan diimplementasikan program Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) bagi seluruh penduduk negara kita . Kampanye Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)/
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) begitu gencar. Kita tidak
bisa mundur lagi. Di tengah suasana seperti itu, ada baiknya kita mengantisipasi berbagai kemungkinan agar kelangsungan program jaminan
sosial bisa terjamin.
Akan terbentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS):
BPJS Kesehatan yang yaitu transformasi dari PT Askes (Persero)
dan BPJS Ketenagakerjaan yang yaitu transformasi PT Jamsostek
(Persero). BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan 1 Januari 2014 (Pasal 60 UU No. 24/2011 tentang BPJS). PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS ketenagakerjaan 1 Januari 2014 [Pasal 62 (1) UU 24/2011]. BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari
tua, program jaminan kematian, dan program jaminan pensiun paling
lambat 1 Juli 2015.
Kementerian Kesehatan gencar menyosialisasikan program jaminan kesehatan bagian dari jaminan sosial ini dengan istilah Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Tepatkah penambahan kata “nasional” di
belakang Jaminan Kesehatan? Untuk menjawabnya kita perlu mengacu UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU
No. 24/2011 tentang BPJS. Pasal 18 UU No. 40/2004 menyatakan: Jenis
program jaminan sosial meliputi: a) Jaminan kesehatan; b) Jaminan kecelakaan kerja; c) Jaminan hari tua; d) Jaminan pensiun; dan e) Jaminan kematian. Jelas tak ada kata “nasional” pada tiap program jaminan
sosial ini .
Pasal 19 (1) menyebutkan: “Jaminan kesehatan diselenggarakan
secara nasional berdasarakan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Pada penjelasan Pasal 19 (1) dituliskan: “Prinsip asuransi sosial
meliputi: a) Kegotongroyongan antara orang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;
b) Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; c) Iuran berdasar persentase upah/penghasilan; dan d) Bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan
sesuai kebutuhan medisnya yang tak terikat besaran iuran yang telah
dibayarkannya. Prinsip asuransi sosial perlu ditekankan untuk membedakannya dengan asuransi komersial yang berprinsip: kepesertaan
bersifat sukarela dan selektif, iuran atau premi berdasar manfaat
yang akan diterima, bersifat mengejar laba, dan tak ada unsur kegotongroyongan. maka , jika harus ada tambahan atau sisipan kata, yang lebih tepat disebutkan program “Jaminan Sosial Kesehatan” dibandingkan “Jaminan Kesehatan Nasional”.
Keempat jenis program jaminan sosial lain juga diselenggarakan
secara nasional. Pasal 29 (1) menyatakan: Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip asuransi sosial. Pasal 35 (1): Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasar asuransi sosial atau tabungan wajib. Pasal 39 (1): Jaminan pensiun
diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip asuransi sosial.
Sangat kurang tepat jika disebut Jaminan Kecelakaan Kerja Nasional
atau Jaminan Hari Tua Nasional dan Jaminan Pensiun Nasional atau
Jaminan Kematian Nasional. Yang tepat yaitu Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja, Jaminan Sosial Hari Tua, Jaminan Sosial Pensiun, dan
Jaminan Sosial Kematian. Namun paling tepat, menurut saya, kelima
jenis program jaminan sosial cukup disebut jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian.
Dalam buku Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019
pemerintah menerjemahkan Jaminan Kesehatan Nasional menjadi
“INA-MEDICARE (negara kita Medicare)”. Terjemahan ini membuat
SJSN bidang kesehatan menyimpang dari dasar filosofis, historis, dan
sosiologis pembentukannya. Ada dua pengertian medicare di dunia.
Medicare di AS dipahami sebagai jaminan kesehatan buat warga
tua, pensiunan, cacat, dan tak mampu. Apakah pemahaman ini menjadikan JKN sama dan sebangun dengan Jamkesmas buat orang miskin dan tak mampu di negara kita ? Apakah pernyataan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Dahlan Iskan bahwa JKN akan menanggung 86,4 juta jiwa (yang selama ini tercatat sebagai peserta Jamkesmas) mengindikasikan sumber pembiayaan Jamkesmas bukan hanya dari APBN,
melainkan ditambah dengan iuran seluruh personal BUMN?
Pengertian lain medicare yaitu seperti di Kanada. Setiap negara
bagian menyelenggarakan medicare untuk seluruh warga yang
berlaku di semua negara bagian dalam arti secara nasional. JKN di negara kita sama dan sebangun dengan medicare Kanada, jika pemerintah
pusat berniat tetap mempertahankan Jamkesmas dan Jamkesda yang
sudah eksis di beberapa provinsi. Nyatanya, menjelang 2014 tak terdengar ada langkah kebijakan pemerintah pusat untuk mengintegrasikan peserta Jamkesda ke dalam peserta Jamkesnas. maka ,
dapatkah dipahami bahwa kata “nasional” dari JKN yaitu kumpulan
semua daerah dari Jamkesda?
Terjemahan paling tepat Jaminan Sosial Kesehatan di negara kita
yaitu “INA Social Health Insurance (INA-SHI)”. Sistem ini mengacu
model solidaritas sosial di Jerman yang diciptakan Otto Von Bismarck 1883. Budaya dan falsafah gotong royong di negara kita sangat cocok
untuk menyiapkan Jaminan Sosial Kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa
diskriminasi.
Kata “nasional” sebetulnya sudah melekat pada nomenklatur Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang terdiri dari sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pelayanan akan ditata dari tak terstruktur jadi terstruktur atau rujukan berjenjang. Sistem
pembiayaan kesehatan akan diubah dari cara pembayaran langsung
dari kantong penderita (out of pocket) jadi pembayaran dari pihak ketiga, yaitu BPJS Kesehatan. Agar tak terjadi sesat pikir dan multitafsir terhadap istilah JKN, maka kembali saja kita kepada UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang menyebutkan salah satu program jaminan sosial
yaitu jaminan kesehatan (tanpa tambahan nasional). Perlu juga merujuk pada UU tentang BPJS yang menyatakan bahwa BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan (lagi-lagi tanpa kata
nasional). Yang perlu dipopulerkan kepada warga bukanlah istilah Jaminan Kesehatan Nasional.
Lebih bermakna jika disosialisasikan bahwa mulai 1 Januari 2014
akan berlaku SJSN yang mencakup program Jaminan Kesehatan. Program ini diselenggarakan BPJS Kesehatan yang terbentuk sejak 1 Januari 2014. Setiap orang wajib menjadi peserta dengan membayar iuran.
Bagi yang tak mampu, iurannya dibayarkan pemerintah melalui APBN. Setiap peserta dapat kartu peserta yang berlaku lintas daerah (secara
nasional) dan lintas pekerjaan. Kartu boleh kita namakan Kartu negara kita Sehat, menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Dengan implementasi program jaminan sosial itu, warga
akan memperoleh rasa aman sosial sejak lahir hingga meninggal. Secara bertahap rakyat akan terlindung dari risiko ekonomi terhadap berbagai kejadian yang tak terduga ataupun yang dapat diduga, yang berisiko ekonomi, misalnya sakit, kecelakaan kerja, atau memasuki hari tua
dan saat tidak mampu bekerja lagi.
Mekanisme SJSN dirancang untuk melindungi rasa aman sosial
dan memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi seluruh penduduk negara kita , sesuai dengan asas kemanusiaan, sehingga cita-cita
meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial dapat terwujud.
Program jaminan sosial dalam SJSN menerapkan mekanisme asuransi
sosial.
Namun SJSN juga berdampak ekonomi yang luar biasa. Khususnya dari penyelenggaraan program jangka panjang, yaitu JHT, J P, dan
JK. Program jaminan sosial pada dasarnya juga yaitu mobilisasi
dana warga yang luar biasa sehingga mampu membentuk tabungan nasional yang sangat besar. Akumulasi dana yang terkumpul dari
program jangka panjang (sebelum dana itu dipakai untuk memberi
manfaat jaminan sosial) dapat dimanfaatkan untuk memperoleh nilai
tambah melalui investasi atau kepesertaan di dalam berbagai proyek
ekonomi yang menguntungkan. Tidak terkecuali di dalam kepesertaan
bursa saham.
Bagi banyak negara Asia yang telah mengembangkan sistem jaminan sosialnya, ternyata program itu juga yaitu penangkal krisis ekonomi pada 1998. Perdana Menteri Mahathir Mohamad, saat
itu memakai dana jaminan sosial dari Employee Provident Funds
(EPF) untuk menangkal merosotnya ringgit Malaysia terhadap dollar
AS sebab dana EPF sudah cukup besar. Sementara itu, negara kita tak
mampu menangkal merosotnya nilai rupiah dipicu tak memiliki
cadangan devisa atau tabungan yang cukup besar.
Dibandingkan dengan dana EPF, dana PT Jamsostek masih terlalu
kecil. usaha mematok rupiah—sebagaimana disarankan Steve Hanke
waktu itu—gagal sehingga rupiah merosot ke Rp 16.000 per dollar AS dari sekitar Rp 2.300 per dollar AS. Malaysia juga ternyata lebih cepat
pulih dibandingkan dengan negara kita . Inilah sebabnya, bagi Malaysia,
program jaminan sosial yaitu engine of development. Dana jaminan sosial inilah yang banyak “dipinjam” negara untuk membiayai
banyak proyek pembangunan di Malaysia. ini dimungkinkan oleh
sebab peran negara di dalam penyelenggaraan program jaminan sosial memang sangat besar, termasuk menjaga likuiditas dan keamanan
dana jaminan sosial.
Pengalaman Jepang lain lagi. Jepang yaitu negara yang dikenal
sebagai yang terbesar akumulasi dana jaminan sosialnya setiap tahun.
Dikabarkan, penambahan dana jaminan sosial per tahun per orang
melampaui 5.000 dollar AS. Berarti berapa triliun dollar setiap tahun?
Dana ini, kalau disimpan di bank, berbunga tidak lebih dari 1 persen.
Namun, kalau dipinjam negara untuk dipinjamkan kepada negara lain,
termasuk negara kita yang dikatakan sebagai pinjaman lunak, bunganya lebih dari 1 persen. Keuntungannya masuk ke dana jaminan sosial. Kondisi inilah yang menumbuhkan hubungan kerja seumur hidup
sehingga jarang ada pemogokan buruh di Jepang. Meskipun demikian,
juga harus diakui bahwa banyak negara maju, terutama di Eropa dan
Amerika Serikat, yang menghadapi kesulitan dipicu program jaminan sosialnya. Penyebabnya ialah usia yang semakin tinggi sehingga
beban pensiun semakin besar, di samping pengelolaannya juga kurang
berhati-hati. Jerman, dalam ini , yaitu contoh keberhati-hatian itu: masa usia pensiun diperpanjang menjadi 67 tahun sehingga
masa mengiur jaminan sosial juga semakin panjang.
Selain itu, konsep pembiayaan program jaminan sosialkan menentukan kelangsungan hidup program. Prinsip kepesertaan wajib,
mekanisme asuransi yang diterapkan, juga menentukan kelangsungan
hidup program. Sebaliknya, kepesertaan sukarela, introduksi asuransi
komersial sebagaimana diterapkan terutama di Amerika Serikat, sangat rawan dengan apa yang dikenal sebagai bias selection: orang yang
berisiko tinggi cenderung mengikuti program jaminan sosial sehingga
pembayaran manfaat bagi peserta yang memang berisiko tinggi bisa
mengancam kelangsungan hidup program. Semua itu telah diantisipasi dalam UU SJSN sehingga kelangsungan hidupnya lebih terjamin.
Semua itu perlu disampaikan, oleh sebab masih ada kesan adanya
berbagai pertanyaan di sekitar pelaksanaan SJSN. Selain itu, juga masih
ada keraguan terhadap kelangsungan hidupnya, sebagaimana terjadi di beberapa negara di mana program jaminan sosial menjadi sumber
terjadinya krisis ekonomi. ini sesungguhnya juga telah diantisipasi
UU SJSN.
Rambu-rambu telah dipersiapkan, antara lain mencegah terjadinya bias selection, bahkan penyalahgunaan. Khususnya dalam penyelenggaraan JK, sehingga terjadinya pelayanan yang tidak perlu atau pemakaian yang berlebihan sudah dicegah serendah mungkin.
Kalau program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sesuai harapan, tidak mustahil BPJS Ketenagakerjaan kita
akan menjadi BPJS kelas dunia, sebagaimana telah dipromosikan di sejumlah media mengingat besarnya peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal
yang sama terjadi di China, cadangan devisa China yang dikabarkan
melampaui 3 triliun dollar AS itu sebagian besar berasal dari dana jaminan sosial. Di saat itu program jaminan sosial kita akan benar-benar
jadi engine of development sehingga kita tidak memerlukan utang luar
negeri lagi untuk membiayai pembangunan. Inilah sesungguhnya yang
juga yaitu peta jalan mewujudkan berdikari.
Diperkirakan bahwa sebagian besar sengketa di Malawi diproses
oleh forum peradilan adat, dipimpin oleh kepala suku. sesudah dekolonisasi, kepala suku dikooptasi dan dipakai sebagai alat politik untuk
mengontrol penentang rezim baru.118 Ini untuk mencegah kemungkinan peran mereka dalam peradilan resmi dalam demokrasi yang baru
muncul tahun 1990-an. Sekalipun memiliki yurisdiksi formal dan akan
namun putusan mereka tidak memiliki kekuatan hukum.
Namun kepala suku juga yaitu kepala administrasi desa,
yang memegang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan kehakiman. Otoritas mereka semakin meluas ke dalam keputusan seperti alokasi lahan
dan gugatan terhadap pelayanan publik. warga setempat sebab
itu terus-menerus mengakui otoritas kepala. Situasi ini tidak menafikkan fakta bahwa mereka digaji oleh pemerintah. Para kepala suku
itu juga memainkan peran penting dalam memobilisasi suara untuk
partai yang berkuasa. Rekomendasi mereka biasanya dihormati, meskipun orang dapat naik banding atau memilih bentuk lain dari penye-lesaian sengketa jika mereka merasa hak-hak mereka tidak dihormati.
Pemerintah Sudan Selatan, wilayah dengan mayoritas penduduk
beragama Kristen, terbentuk pada Januari 2005 dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paripurna (Comprehensive Peace Agreement, CPA) dengan Pemerintah Sudan di kawasan Utara.119 Gerakan
Pembebasan Rakyat Sudan (Sudanese People’s Liberation Army, SPLA)
telah berjuang lama untuk kemerdekaan dari pemerintahan Presiden
Omar al Bashir yang dianggap represif. Pemerintahan Omar al Bashir
telah lama mendominasi politik Sudan, memberlakukan hukum syariat dan bahasa Arab dan budaya di wilayah selatan negara itu.120 Sudan
Selatan menjadi sebuah negara merdeka pada 9 Juli 2011 sesudah referendum yang diselenggarakan pada Januari 2011 menghasilkan sekitar
99% pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Sudan.
warga Sudan Selatan merasakan kekerabatan yang lebih besar dengan tetangga mereka di selatan, yaitu negara Kenya dan Uganda, keduanya bekas jajahan Inggris, dengan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar resmi, dan dengan komunitas-komunitas Kristen
yang signifikan. sesudah berabad-abad perdagangan budak Arab yang
dioperasikan di Sudan Selatan dan lalu ditutup oleh Inggris di
abad ke-19, hanya memperburuk ketegangan dan ketidakpercayaan di
wilayah ini . Eksploitasi lebih baru dari ladang minyak selatan untuk kepentingan eksklusif memperkuat motif SPLA.
Pemerintah, termasuk para hakim agung pada Mahkamah Agung
yang baru diangkat, menghadapi tantangan membangun dalam aturan norma-norma dan lembaga-lembaga hukum di Sudan Selatan.Struktur pengadilan formal masih eksis namun sebelumnya dibentuk untuk menerapkan hukum syariat, sesuatu yang ditentang oleh
SPLA dan pula lembaga pengadilan hanya mampu menjangkau segelintir penduduk. Oleh sebab itu, prioritas diletakkan kepada pembenahan sektor peradilan dengan pembentukan sistem hukum dan peradilan yang sama sekali baru. Pemerintah baru memilih untuk sistem
common law, suatu sistem yang mirip dengan Kenya dan Uganda.
Keterbatasan akses keadilan jelas tidak mungkin menempatkan sistem peradilan formal sebagai garda depan dalam menegakkan hukum.
Walaupun sebelumnya disusun pengadilan dengan mendasarkan diri
kepada hukum Islam, namun faktanya 90% sengketa diselesaikan
oleh peradilan informal yang dikelola oleh suku-suku di sana. ini
memicu tantangan yang signifikan tentang bagaimana mengintegrasikan hukum adat yang berlaku, mengingat ada minimal 60 sistem
hukum adat. Juga adanya arus demografi yang berubah saat lebih
dari 4 juta orang pengungsi kembali ke warga tradisional.
Pengadilan adat dikendalikan oleh para kepala suku yang ratarata tidak melek huruf. namun kepercayaan publik terhadap
pengadilan ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan keyakinan
atas sistem formal. Para kepala suku begitu dihormati dan keputusan
mereka, untuk sebagian besar, diterima dan diikuti. Akses ke peradilan adat juga baik. Biaya pengajuan terbilang rendah, sistem beroperasi tanpa pengacara, dan transportasi biasanya tidak menjadi masalah
sebab pengadilan adat berada dalam warga yang mereka layani.C. masalah PAKISTAN
warga yang tinggal di daerah perdesaan Pakistan mencakup setengah dari seluruh penduduk negara itu tidak diuntungkan atas
kebijakan reformasi pertanian yang dilaksanakan setengah hati. Selain itu, penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan hanya sedikit
menghasilkan pembangunan sosial-ekonomi yang buruk. ini lebih
diperparah oleh korupsi dalam sistem peradilan formal dan dalam kebanyakan masalah unsur-unsur kriminal melekat pada diri baik elite politik perdesaan maupun pejabat negara.
Tunggakan perkara di pengadilan meningkat dari hari ke hari seiring dengan kurangnya aksesibilitas, keterjangkauan, dan efektivitas
pada pengadilan yang lebih rendah. Organ utama peradilan yaitu (i)
Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, (ii) peradilan District di mana
kompetensi dan para hakim diawasi dan dikendalikan oleh Pengadilan
Tinggi dalam yurisdiksi mereka; (iii) dibantu oleh aparat penegak hukum di tingkat federal dan tingkat provinsi yaitu Kejaksaan Agung, dan
(iv) Kantor Penuntut Umum dalam setiap provinsi. Baru-baru ini unit
penuntutan umum yang independen telah dibentuk di setiap provinsi.
Di samping itu, sedang dikembangkan lembaga negara nonstruktural
seperti (i) Ombudsman di tingkat Federal dan Provinsi; (ii) Ombudsman Pajak di tingkat Federal; dan (iii) Komite Penyelesaian Sengketa
Alternatif (sesuai dengan ketentuan UU Pajak dan UU Kepabeanan).
Di Pakistan, sistem Jirga di North-West Frontier Province (NWFP) sekarang dikenal sebagai Khyber Pakhtunkhwa (sejak 2010) dan
Baluchistan dan Panchayats di Punjab dan Fasilo dan Sulh di Sindh
yaitu mekanisme non-institusional terkenal untuk penyelesaian
sengketa. Dua jenis ADR telah dipraktikkan di Pakistan, yaitu ADR tradisional dan badan-badan publik ADR. Jirga/Panchayat dapat disebut ADR secara tradisional sedangkan penyelesaian sengketa melalui Komite Msalehat atau SCMOCO (Small Claims and Minor Offences Courts
Ordinance) yaitu ADR yang difasilitasi oleh badan publik.
Mekanisme peradilan informal ini bersifat non-yudisial dan
dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan provinsi. Keberadaannya didorong pula oleh fakta bahwa aparatur pemerintah tidak cukup menyediakan infrastruktur yang
diperlukan untuk menyelesaikan sengketa di wilayah yang terpencil
sehingga warga yang tidak memiliki akses mudah ke pengadilan
dan tidak mampu membayar biaya litigasi lalu mencari tempat
alternatif kepada sistem peradilan informal yang lazim atau yang ada di
dekat tempat tinggal mereka.
Sebelum kolonisasi kepala suku atau kelompok kepala suku (dewan tetua) berhimpun dalam Jirga, dan forum ini yaitu mekanisme adat dalam pengaturan pra-kolonial yang diberi mandat untuk
menyelesaikan sengketa baik pidana dan perdata di antara suku-suku
yang ada. Jadi Jirga, yang tidak memiliki hokum acara formal, dipakai sebagai pengganti pengadilan. maka , konsep Jirga
tertanam dalam kebiasaan di mana para kepala suku menyelesaikan
perselisihan.
Saat ini Jirga tidak hanya dipakai sebagai praktik adat untuk
mengadili kejahatan terhadap kesusilaan atau praktik-praktik tradisional yang berbahaya seperti Vani, suatu sistem di mana wanita
diberikan sebagai kompensasi, namun juga dipakai sebagai cara
untuk rekonsiliasi, mediasi atau arbitrase untuk memberi Restorative Justice. Kepala suku dalam banyak masalah yaitu anggota parlemen
dan menteri dalam satuan pemerintahan provinsi dan juga di tingkat
federal.
Jirga dipraktikkan dengan nama yang berbeda-beda pada wilayah
lain di Pakistan seperti Fasilo di Sindh, Panchayat di Punjab, Jirga di Balouchistan, Provinsi North West Frontier. Namun melalui perubahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jirga ditetapkan hanya terbatas
pada daerah NWFP dan beberapa daerah di Balouchistan. Meskipun
demikian, namun Jirga secara samar-samar dilembagakan di wilayah
lain melalui dengan dukungan, baik aktif maupun pasif, dari aparatur
penegak hukum. Menariknya, menurut Pasal 247 ayat (7) UndangUndang Dasar Pakistan, yurisdiksi peradilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) tidak mencakup wilayah semio-tonom yang diakui oleh pemerintah, yang memiliki rezim hukum dan
peradilan mereka sendiri. Meskipun melalui Undang-Undang 1976,
yang melarang Jirga beroperasi di luar wilayah yang ditetapkan, akan
namun wilayah lain mengadopsinya sebagai system peradilan informal.
ada berbagai jenis atau model hubungan soal pengakuan
negara atas keabsahan pelaksanaan kekuasaan ajudikatif oleh sistem
peradilan informal. Di salah satu ujung spectrum ini , ada model
hubungan di mana negara melarang dan menekan sistem peradilan
non-negara, sementara di ujung lain, negara menggabungkan sistem
peradilan non-negara ke dalam sistem hukum negara.
Ada beberapa hal yang harus dibahas sebelum penjelasan perinci
mengenai model hubungan pengakuan negara terhadap sistem peradilan informal.
Pertama, model-model yang diidentifikasi akan memiliki hubungan signifikan satu sama lain. ini sebab satu model sering kali menjadi model operasional yang lebih detail dibandingkan model yang lain.
ada beberapa model yang lain dipicu sebab ada sudut pandang yang mendasar. Bagian awal dari sudut pandang ini yaitu
keputusan oleh negara untuk secara resmi mengakui legitimasi pelaksanaan kekuasaan ajudikatif oleh sistem peradilan informal. Langkah
ini mengubah hubungan dari bentuk yang informal menjadi formal,
sehingga secara radikal mengubah sifat hubungan yang diperlukan di
antara kedua sistem ini , misalnya dengan mekanisme pengawasan dan pengendalian. Namun seperti dikatakan oleh Bouman bahwa
tentu saja yaitu kesalahan jika menyamakan pengakuan dengan pencantuman dalam peraturan di tingkat nasional. Bouman menunjuk kepda praktik di Botswana saat hukum adat ditolak dan tidak
diakui oleh negara.
Kedua, respons negara terhadap sistem peradilan informal yaitu ciri hubungan, dan maka didasarkan pada asumsi
bahwa akan selalu ada sistem negara dan sistem ini akan selalu menjadi penting. Tentu saja, dalam konteks periode sejarah sebelumnya (terutama sebelum adanya perjanjian Westphalia pada 1648) anggapan ini
tidak benar, dan Chanock berpendapat bahwa bahkan hari-hari ini di banyak negara, hukum negara memiliki peran yang terbatas, “tidak hanya di alam semesta normatif, namun juga pemakaian nya untuk menyelesaikan perselisihan.”129 Namun sebab sistem internasional memberi negara kedaulatan atas pembuatan hukum terus berlangsung
sampai saat ini, maka hukum negara secara teoretis dianggap mampu
mengatur perselisihan lokal.
Ketiga, berhubungan dengan pernyataan Woodman mengenai
pluralisme kelembagaan, yang melibatkan pengakuan dari struktur,
kelembagaan dan proses sistem hukum lainnya. Untuk alasan ini,
struktur hukum hibrida seperti Pengadilan Desa di PNG atau Pengadilan Pulau di Vanuatu tidak termasuk dalam tipologi ini sebab mereka
pada dasarnya hasil dari modifikasi oleh badan-badan negara.
Keempat, ada kemungkinan bahwa ada dua atau lebih model yang berbeda untuk satu hubungan dalam satu negara pada waktu
yang sama. Sebagai contoh, di Bangladesh sistem Shalish dilembagakan dalam tiga cara, yaitu yang secara tradisional dikelola oleh para
pemimpin desa, yang dikelola oleh badan pemerintah lokal, dan dalam
bentuk yang dimodifikasi diperkenalkan dan diawasi oleh LSM.
berdasar uraian di atas, maka dalam tulisan ini akan diidentifikasi tujuh model pengakuan negara terhadap peradilan informal,
yaitu: (i) represi terhadap sistem peradilan informal oleh sistem formal; (ii) independensi peradilan informal disertai penerimaan secara
diam-diam oleh negara; (iii) tanpa pengakuan formal namun peradilan informal didukung oleh negara; (iv) pengakuan formal oleh negara atas peradilan informal namun dengan yurisdiksi yang terbatas;
(v) pengakuan formal oleh negara dengan batas-batas yurisdiksi yang
tegas; (vi) pengakuan formal oleh negara dengan disertai pengawasan
dari negara; dan (vii) penggabungan sistem peradilan informal terhadap sistem formal.
1. Represi Terhadap Sistem Peradilan Informal
Model ini melibatkan negara secara aktif untuk menekan sistem
peradilan non-negara dengan membuatnya ilegal dalam memeriksa
dan memutus perkara (bukan hanya dengan melarang pemakaian
kekuatan koersif oleh sistem peradilan non-negara). Model ini jarang
terjadi namun secara resmi ada di Botswana. Botswana telah beru-saha untuk menggabungkan hampir seluruh sistem peradilan adat ke
dalam sistem negaranya, dan mungkin sebagai hasilnya telah mencoba
untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi sistem peradilan informal yang bersaing sistem formal.
Model ini dapat dipakai oleh negara untuk melarang jenis salah
satu jenis sistem peradilan informal dan mengembangkan hubungan
yang berbeda dengan yang sistem informal lain atau bahkan melarang
seluruhnya. maka , bentuk konkret dari model ini yaitu
sistem peradilan informal secara aktif akan ditekan oleh negara, misalnya dengan menuntut bahwa negaralah yang berwenang untuk menentukan legitimasinya. Secara ideal, maka model ini memastikan terbentuknya sistem hukum yang homogen tanpa ada persaingan dengan
sistem yang lainnya.
Dalam beberapa masalah bentuk kebijakan dalam model ini tidak dapat berjalan secara total namun hanya memaksa sistem peradilan informal menjadi tersubordinasi. Pemenuhan keadilan dan hak asasi para
pihak akan sulit terpenuhi mengingat sistem peradilan informal akan
bekerja tidak resmi. Manfaat yang bias diambil dari sistem peradilan
informal seperti kecepatan, kehadiran di tingkat lokal, dan aksesibilitas
akan menjadi hilang. Bisa juga terjadi suatu pengasingan terhadap mereka yang ingin memakai sistem peradilan informal.
2. Penerimaan Secara Diam-diam
Di sebagian besar negara-negara di dunia di mana baik negara dan
sistem peradilan negara sama-sama lemah biasanya tidak ada pengakuan formal yang diberikan kepada sistem peradilan informal. namun negara ternyata “menutup mata” bahwa sistem peradilan informal
memproses sebagian besar perselisihan, dan aktor-aktor negara sering
secara tidak resmi mendorong