peradilan di indonesia 4

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 4


 Republik 
negara kita  Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Negara Republik 
negara kita  Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Negara Republik 
negara kita  Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu  pengadilan 
agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama.
Peradilan agama yaitu  peradilan bagi warga yang beragama 
Islam.
 lalu  di Pasal 3A menyatakan bahwa di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan 
undang-undang.
Peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Negara Republik negara kita  Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam 
undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu  badan 
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.9
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Negara Republik negara kita  Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang 
Negara Republik negara kita  Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang 
Negara Republik negara kita  Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan 
Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu  pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi 
tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.10 lalu  di dalam Pasal 9A menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan 
tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.
Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Negara Rebulik 
negara kita  Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Negara Rebulik 
negara kita  Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Negara Rebulik 
negara kita  Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang ini Mahkamah Agung yaitu  salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 
Negara Republik negara kita  Tahun 1945.12 Adapun untuk Mahkamah 
Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Negara Rebulik negara kita  
Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Negara Republik negara kita  
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam undangundang ini Mahkamah Konstitusi yaitu  salah satu pelaku kekuasaan 
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945.
Sebagaimana demokrasi, hak asasi manusia, dan konsep-konsep 
terkait, Rule of Law yaitu  konsep yang penting juga. Ia tidak hanya yaitu  suatu “safeguard” namun yaitu  pembadanan 
hukum atas kebebasan, seperti dituturkan oleh Hayek. Menurut Kochenov, Rule of Law menjadi elemen penting dari setiap negara demokrasi modern. Bahkan, entitas nonnegara, seperti Uni Eropa (Europe 
Union) misalnya, menerima konsep ini nyaris tanpa memberi  perubahan yang berarti.
Rule of Law telah ditetapkan sebagai salah satu instrumen hukum 
internasional dan lalu  menjadi pedoman bagi tiap kalangan hukum maupun pengambil kebijakan.18 Rule of Law juga menjadi komoditas yang acap kali dijajakan oleh negara dan organisasi internasional kepada negara yang mengalami transisi politik dan negara-negara 
berkembang di berbagai belahan dunia. maka , ia secara 
luas dianggap sebagai unsur mutlak yang ditakdirkan untuk memainkan peran penting dalam setiap sistem hukum demokrasi modern. Akibatnya, setiap sistem hukum membadankannya sebagai elemen yang 
penting secara internal. Sebagai akibat dari ini , Rule of Law dapat 
ditemukan hampir di mana-mana. 
Rule of Law tidak hanya pantulan diri dari negara-negara “dunia 
pertama” (the first world) saja. Sebaliknya, seperti halnya dengan demokrasi, hampir setiap rezim pemerintahan di dunia yaitu  mengakuinya sebagai unsur yang hakiki. Ini tidak berarti bahwa semua atau 
sebagian besar negara di dunia mematuhi cita-cita Rule of Law itu sendiri. Seperti disampaikan oleh Brostl, “memperhias diri dengan katakata belaka tampaknya sukar untuk secara nyata mengubah kondisi 
negara dan warga .”20 Sekalipun orang menganggap penting konsep ini, namun pengertiannya sendiri jauh dari terang.21
Bukan saja saat  menguraikan Rule of Law dalam pemahaman relasi hukum dengan warga , atau antara hukum dengan moral belaka, namun oleh sebab  konsep ini berakar dalam tradisi Eropa yang 
berbeda-beda, sehingga memicu penilaiannya amat bergantung 
kepada sistem hukum macam apa dilekatkan. maka , daya 
jangkau dari Rule of Law lalu  berselancar dalam ruang-ruang pemahaman yang tidak sama.
Wajah Rule of Law lalu  dapat tampil mengikuti irama eksistensi enilaian terhadap konsep ini. Dalam situasi krisis Rule of Law 
menjadi rapuh dan mengalami kerusakan yang mendalam. Ketidakadilan dan ketidakamanan berkembang. Di negara-negara yang tenggelam dalam konflik bersenjata, wanita dan anak-anak mengalami 
kekerasan seksual—yang kadang-kadang berlangsung dalam skala besar—dan menjadi lapisan besar populasi yang terampas hak-hak dasarn ya. Sebagai buntut dari konflik, warisan perang mencakup pula 
defisit kapasitas dan ketidakpercayaan terhadap Rule of Law dan jaminan keamanan. 
Dampak bencana alam tidak kurang pula memberi  andil sebab  menghancurkan kapasitas nasional untuk memberi  keamanan dan perlindungan dan pengembangan ketenteraman. Secara lebih 
luas, negara-negara rapuh, yang ditandai dengan kapasitas nasional 
yang lemah dan/atau legitimasi yang lemah, meninggalkan warga negara rentan terhadap berbagai macam ancaman terhadap keamanan 
dasar mereka, termasuk munculnya kekerasan kriminal, kejahatan terorganisasi, dan korupsi yang impunitas. 
Dalam situasi konflik bersenjata, warga  baik sebagian maupun seluruhnya, mengalami pelanggaran berat hak asasi manusia dan 
hukum humaniter internasional. Hak konstitusional digantikan oleh 
undang-undang darurat dan pengadilan sipil oleh pengadilan militer ad hoc, dan aktor bersenjata cenderung menjadi agen utama dari 
“hukum dan ketertiban.” Belanja militer mendominasi sumber daya 
nasional dan alokasi anggaran, sementara sisa yang ada dan acap kali 
terbatas, dialokasikan untuk layanan dasar dan kesempatan bagi kemakmuran ekonomi. Polisi, pengadilan, dan penjara mengalami masalah kapasitas dan kompetensi dan kurangnya insentif untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Secara bersamaan, organisasi 
warga  sipil yang diharapkan memberi  pengawasan dan perubahan sering terpinggirkan atau ditekan, atau tumbuh terfragmentasi 
sebab  kerusuhan. Dalam konteks semacam itu, lingkungan politik dan 
militer jarang menghormati integritas profesional dan imperatif Rule of 
Law. Pada saat yang sama, mekanisme penyelesaian konflik tradisional 
sering terpinggirkan oleh militerisasi. Dengan tidak adanya perlindungan negara atas dasar Rule of Law, senjata tetap menjadi satu-satunya 
sarana perlindungan di tangan bagi warga , yang pemakaian nya 
secara meluas sangat memengaruhi struktur sosial. Pemuda dan lakilaki frustrasi berusaha untuk mengalihkan kekuasaan—tentu dengan 
bantuan pistol, dan wanita memiliki risiko lebih tinggi menjadi sasaran kekerasan seksual. Terhadap realitas ini, perlindungan fisik dan keamanan yang seharusnya menjadi prioritas mutlak bagi warga  
lalu terjebak dalam konflik bersenjata.
Sebagai efek dari konflik atau bencana, faktor pendorong kembalinya pengungsi tergantung pada kondisi keamanan, di samping akses terhadap pengadilan, pelayanan dasar dan mata pencaharian dan 
akhirnya, kesempatan sosial-ekonomi. Pada saat yang sama, gerakan 
kembali para pengungsi dapat memicu sengketa atas tanah, air dan 
properti, serta membuka peluang eksploitasi ekonomi. ini , pada 
gilirannya, dapat memperburuk permasalahan hukum seperti buta hukum, struktur hukum yang terpinggirkan dan lemah, dan mekanisme 
resolusi konflik tradisional. sesudah  krisis, kapasitas kelembagaan dan 
profesional untuk mengembangkan pengadilan dan sistem keamanan 
secara efektif dan akuntabel sering menyusut, dan ketidakpercayaan di 
lembaga-lembaga formal sering tinggi. Pengacara, hakim, jaksa, polisi, 
petugas penjara, legislator, dan birokrasi beroperasi di lingkungan yang 
disfungsional, di mana gaji, peralatan, dan insentif positif menjadi komoditas langka, dan di mana persepsi dan komitmen penegakan hukum 
telah diubah atau disalahartikan. Selain itu, dalam situasi pasca-konflik masalah sering kali diperparah oleh aparat militer yang meningkat, 
dan sejumlah besar mantan kombatan yang reintegrasi bertumpu pada 
keprihatinan yang sama. Saat institusi militer dan keamanan telah dominan dalam warga , dalam kerangka demokrasi yaitu  tantangan utama, yang dapat dengan tenang ditentang oleh “petualang 
politik” yang terus mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan.
Dalam situasi yang rapuh, di mana kapasitas kelembagaan atau 
legitimasi kekuasaan lembaga hukum dirusak, risiko tergelincir atau 
memburuk menjadi konflik atau tingkat kekerasan yang tinggi sering 
menjadi risiko yang membahayakan. Distribusi yang tidak merata dari 
sumber daya, marginalisasi politik dan ekonomi, kebijakan diskriminatif, pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, dan kekerasan kriminal yang meluas yaitu  indikator yang jelas dari kerusakan Rule of 
Law. Pengalaman menunjukkan bahwa kerapuhan bisa datang dalam 
berbagai bentuk: di samping ketidakstabilan politik dan kelemahan institusional, juga sebab  tingginya tingkat kekerasan kriminal.
Di konteks ini, kesenjangan dalam Rule of Law mungkin meluas, 
meliputi penegakan hukum, peradilan, perlindungan warga  dan 
pengungsi, serta isu-isu yang sangat diperdebatkan seperti kompensasi
si, kepemilikan tanah, hak milik, dan sebagainya.22 Besarnya kerusakan 
yang ditimbulkan oleh konflik dan bencana alam sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga yang rapuh sering tidak dapat menanggapi 
kebutuhan perlindungan dasar dari warga  dan individu yang rentan, serta kejahatan yang dilakukan dengan impunitas. Selain kejahatan, eksploitasi ekonomi dan penyalahgunaan populasi rentan merajalela tanpa perlindungan terhadap eksploitasi tenaga kerja, tanah, dan 
hak milik. Defisit kelembagaan kapasitas, korupsi endemik, proliferasi 
senjata kecil, dan organisasi warga  sipil yang lemah lalu muncul 
menjadi masalah yang harus diperhatikan.23
C. PERTUMBUHAN DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG
1. Hibriditas dan Pertukaran Reformasi Ekonomi-Hukum
Sudah yaitu  aksiomatik bahwa Rule of Law yaitu  
bentuk aktivitas politik, ekonomi, dan sosial.24 Dalam konteks negara 
berkembang misalnya, Bank Dunia melihat Rule of Law sebagai pusat 
transisi menuju negara berstatus menengah dengan berpenghasilan 
tinggi namun tanpa penjelasan lebih perinci apa yang dimaksud 
dengan Rule of Law ini .25 Kepatuhan terhadap Rule of Law sering 
diartikan sebagai kesediaan negara atau berdaulat untuk menundukkan diri kepada aturan yang sama seperti orang lain.26 Perserikatan 
Bangsa-Bangsa melihatnya sebagai prinsip tata kelola, sebuah kepatuhan terhadap standar internasional, dan serangkaian norma-norma 
yang telah ditetapkan.Pandangan Rawls yang menekankan proses 
sosial,28 sedangkan Dworkin dari sudut pandang keberhasilan nilainilai normatif.
Carothers menemukan bahwa “ada kecenderungan ke arah pemikiran kritis untuk percaya hal-hal tertentu tentang Rule of Law di panggung internasional yang menyesatkan dan kadang-kadang tidak membantu.30 Dalam ini , “pengembangan praktis Rule of Law cenderung 
didorong oleh model kelembagaan dan mode transplantabel atas perlindungan hak milik sebagai prasyarat kelembagaan kunci untuk pertumbuhan ekonomi.31 Misalnya, analisis sektor peradilan biasanya  
berfokus pada seperangkat norma tertulis (termasuk perlindungan hak 
kekayaan), struktur organisasi dan kapasitas manusia yang memengaruhi efisiensi, kualitas, keadilan, konsistensi dan aksesibilitas proses 
peradilan.
Pemahaman teknis Rule of Law pada sisi yang lain penuh dengan 
topeng kontestasi politik. Seperti telah dikaji para pemerhati hukum 
dan politik, Rule of Law memainkan peran kunci dalam pengembangan sistem politik, tapi lebih menggambarkan ketertundukkan kepada 
kontes politik dibandingkan  intervensi teknis. Ginsburg32 mengatakan bahwa pengadilan yang independen bisa menjalankan peran yang beranekaragam, namun seluruhnya tergantung pada faktor politik di 
lingkungan mereka. Sementara itu, Halliday33 dan Dezalay dan Garth34 mengeksplorasi peran sosial dan politik dari kalangan profesional 
hukum (termasuk hakim dan akademisi) dalam pelembagaan fungsi 
hukum. Seperti dikaji oleh pengemban sosiologi hukum, politik Rule 
of Law juga memainkan peran penting dalam transformasi sosial.
Levi dan Epperly melihat kepada peran yang didorong oleh kelompok-kelompok social politik dalam mentransmisikan dan menjunjung 
tinggi norma-norma sosial yang membentuk Rule of Law.
Sementara, 
Pistor, Haldar, dan Amirapu37 meneliti Rule of Law dalam kerangka realisasi hak-hak perempuan. Akhirnya, sejumlah referensi melihat Rule 
of Law dalam implikasinya terhadap pembangunan ekonomi.38
Untuk hal yang terakhir ini , reformasi hukum lalu  
menjadi istilah yang membingungkan. sebab  dapat mencakup begitu 
banyak hal dan juga bisa berarti sangat sedikit pengertian. Ada kecenderungan umum untuk membagi kebijakan publik ke dalam reformasi 
hukum di satu sisi dan reformasi ekonomi di sisi lain. Tapi ini yaitu  
dikotomi palsu. Dari perspektif substantif, reformasi hukum sering 
identik dengan reformasi ekonomi. Sebagian besar kebijakan ekonomi diterapkan melalui peraturan perundang-undangan dan analisis 
ekonomi membantu panduan kebijakan saat perancangan peraturan perundang-undangan ini . Meskipun penyusunan peraturan 
perundang-undangan diharapkan sesuai dengan budaya hukum lokal dan persyaratan konstitusional namun merancang peraturan 
yang ramah pasar lebih yaitu  analisis kebijakan ekonomi. Dari 
perspektif yang lebih luas, reformasi hukum berkaitan dengan proses 
serta substansi, dan dalam pengertian ini, lalu  menyimpang 
dari kebijakan ekonom. Proses hukum memiliki beberapa fungsi kunci dalam setiap ekonomi pasar: (i) untuk menetapkan standar hukum 
(terutama melalui hukum dan peraturan)39, (ii) untuk menerapkan dan 
menegakkan standar-standar ini, (iii) untuk menyelesaikan sengketa, 
dan (iv) untuk membatasi kekuasaan negara vis-à-vis sektor swasta. 
Sistem hukum formal terbaik beroperasi hanya pada batas-batas tertentu, meninggalkan sebagian standar dalam warga  yang harus 
diinternalisasikan dan “self-inforced” oleh warga  itu sendiri. Sistem hukum yang berbeda mencapai fungsi inti dalam berbagai cara. 
Standar dapat diatur, misalnya, melalui undang-undang yang disetujui 
oleh parlemen atau keputusan administratif secara sepihak oleh presiden suatu negara. Standar hukum ini  dapat ditegakkan oleh 
polisi dan pengadilan atau oleh badan-badan khusus seperti badan 
pengawas atau badan antimonopoli. Sengketa bisa diselesaikan oleh 
pengadilan atau mekanisme penyelesaian sengketa alternatif lainnya, dan masing-masing dapat diatur, dikelola, dan dijalankan dengan berbagai cara. Sistem hukum dalam warga  demokratis berusaha 
untuk membatasi kekuasaan negara dengan banyak cara, termasuk 
pengujian norma hukum, pemberitahuan dan proses dengar pendapat 
sebelum penerapan sebuah peraturan, dan kemampuan pihak swasta untuk melakukan tanggung gugat terhadap pemerintah. Meskipun 
dampak ekonomi dari ketentuan hukum materiil alternatif biasanya  
tertatih-tatih, kita tahu jauh lebih sedikit tentang dampak ekonomi dari 
sebuah proses hukum.
Rule of Law di Negara Sedang Berkembang antara lain ditandai 
dengan gejala “hibriditas” (hybridity) dalam praktik pelaksanaannya. 
Memahami politik hibriditas menjadi pusat reformasi yang efektif. 
Ada dua jenis utama hibriditas dan sering digabungkan dalam literatur tentang Rule of Law. Pertama, ada hibriditas antara model mapan 
dari kegiatan negara dan ekonomi, seperti (neo-)-liberal dibandingkan developmentalis, demokratis dibandingkan otokratis; modern dibandingkan pra-modern, dan sebagainya.40 Dengan kata lain, negara 
tumbuh menurut perkembangan mereka sendiri.41 Menurut, Adler dan 
Woolcock42 menyatakan bahwa semua sistem Rule of Law mengalami 
hibriditas yang dinamis, sebab  mereka mengambil dari berbagai model atau sumber legitimasi sebagai respons terhadap urgensi perubahan keadaan. masalah  di negara kita  menjadi contoh hibriditas itu saat Rule 
of Law gagal memperoleh dukungan moralitas politik yang baik untuk 
tata pemerintahan yang jauh dari korupsi.
Beredarnya rekaman suara Bupati Boyolali Seno Samodro saat 
peringatan ulang tahun Korps Pegawai Republik negara kita  di Pendopo 
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada 4 Desember lalu membuat kita 
tercengang. Di tengah banyaknya kepala daerah yang terjerat masalah  korupsi akibat penyalahgunaan kekuasaan, Seno secara terbuka menjanjikan pemberian kredit sepeda motor, mobil, dan rumah bagi pegawai 
negeri sipil dengan dana dari hibah hasil efisiensi APBD 2014. Dalam rekaman itu, Seno mengatakan, APBD Boyolali 2014 dapat 
dilakukan efisiensi sebesar Rp 4,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar 
untuk hibah Korps Pegawai Republik negara kita  (Korpri) yang dapat 
dimanfaatkan oleh kepala seksi, staf, dan kepala desa untuk fasilitas 
kredit. Masih dalam rekaman itu, Seno mengatakan, “namun , kembali 
lagi, kutunggu bulan April, kan, begitu. Ada apa bulan April? Saya ulang 
tahun. Nanti, saya umumkan pas ulang tahun.”43 Seno memang berulang tahun pada bulan April, tepatnya 25 April, sebagaimana tertulis 
pada situs pemerintahan daerah setempat. Namun bulan April itu juga 
yaitu  bulan saat pemilu legislatif digelar.44
sebab  itu, meskipun Seno menampik apa yang disampaikannya 
ini  yaitu  usaha  memakai  kekuasaannya untuk memolitisasi PNS menjelang Pemilu 2014, sulit untuk mengatakan bahwa 
usaha  itu tidak ada jika mengacu pada isi rekaman ini .
Kecurigaan itu wajar mengingat banyak terungkap masalah  korupsi 
akibat penyalahgunaan keuangan daerah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, mantan Bupati Bantul Idham Samawi pada Juli 2012 
ditetapkan sebagai tersangka masalah  dugaan korupsi dana hibah Komisi 
Olahraga Nasional negara kita  (KONI) untuk kesebelasan Persatuan Sepak Bola negara kita  pada 2011. Dana itu dari APBD dan APBD Perubahan Kabupaten Bantul sebesar Rp 12,5 miliar.
Di Jawa Tengah, mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih ditetapkan sebagai tersangka masalah  dugaan korupsi dana perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri. Di Jawa Timur, belum lama ini 
mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai 
tersangka masalah  dugaan korupsi dana jasa pungut pajak daerah tahun 
2007 sebesar Rp 720 juta untuk anggota DPRD Kota Surabaya.
Pada Selasa, 12 Desember 2013 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah 
sebagai tersangka pemberian berkaitan dengan sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Banten, yang juga melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Pimpinan KPK juga telah menyepakati 
menetapkan Atut sebagai tersangka masalah  dugaan korupsi pengadaan 
alat kesehatan di Provinsi Banten meski surat perintah penyidikannya 
belum diterbitkan.lalu  di Jawa Barat, sesudah penyimpangan dana bantuan 
sosial Kota Bandung periode 2009-2010 yang melibatkan mantan Walikota Bandung Dada Rosada diungkap, kini muncul dugaan penyimpangan dana hibah Pemkot Bandung tahun 2012 sebesar Rp 40 miliar.
Hingga November 2013, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 310 kepala daerah terjerat masalah  korupsi sejak pemilihan kepala 
daerah secara langsung pada 2005. Ditambah masalah  Atut, maka kini ada 
311 kepala daerah yang terjerat masalah  korupsi.
Jumlah itu belum termasuk pejabat daerah, anggota DPRD, dan 
juga rekanan di daerah yang juga banyak terjerat masalah  korupsi. Di Papua Barat, misalnya, sebanyak 44 anggota DPR setempat terseret masalah  
dugaan korupsi pinjaman dana sebesar Rp 22 miliar bersama Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Marthen Luther Rumadas dan mantan Direktur Utama PT Papua Doberi Mandiri (PT Padoman) Mamad 
Suhadi.
Mengacu data Kementerian Dalam Negeri, korupsi di daerah semakin marak sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2005. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian 
Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah memang tingginya biaya politik selama pilkada berlangsung. Calon kepala daerah membutuhkan 
dana yang tidak sedikit, Rp 5 miliar-Rp 100 miliar, untuk dapat terpilih, 
terutama untuk kampanye sebab  popularitas masih menjadi penentu. 
saat  kapasitas calon kepala daerah tidak menonjol, maka yang lalu  dilakukan yaitu  menaikkan citra diri dan “membeli” suara 
rakyat demi mendapatkan jabatan dan kekuasaan.
Politik uang memang mendominasi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan ini terjadi sejak awal proses pencalonan. 
sesudah  terpilih pun, kepala daerah masih membutuhkan dana, untuk 
mempertahankan konstituennya apalagi jika masih ingin mencalonkan diri lagi, dan terutama untuk mempertahankan dukungan dari legislatif. Akhirnya, politik uang pun tak pernah berhenti dilakukan oleh 
mereka yang memburu jabatan dan kekuasaan. Disadari atau tidak, 
mereka ini telah masuk dalam jerat korupsi. Pengungkapan masalah  korupsi di daerah satu per satu pun seolah tidak berefek jera.
Dengan alasan itu, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pemilihan bupati/walikota dikembalikan ke DPRD untuk meminimalkan praktik korupsi di daerah. Sebuah kemunduran sebenarnya dalam proses demokrasi. Tentu pula usaha  itu tidak akan berhasil jika tipe 
kepemimpinan para calon kepala daerah/kepala daerah bukan kepemimpinan yang muncul sebab  visi dan dedikasinya terhadap rakyat. 
Demikian juga, jika kepemimpinan calon kepala daerah/kepala daerah yaitu  sebab  kemampuannya mencitrakan diri dan “menyuap” 
rakyat demi jabatan dan kekuasaan, maka merevisi UU No. 32/2004 
tentang Pemerintah Daerah pun tak akan efektif menutup peluang kepala daerah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, 
keluarga, dan kroninya.
Bentuk kedua, hibriditas mencerminkan institusi dengan sumber 
otoritas politik dan legitimasi. Misalnya, derajat independensi pengadilan yang rendah dalam memeriksa perkara sehubungan dengan kepemilikan properti seperti di Singapura. Ada pula situasi bagaimana 
hukum, sebagai alat elite negara untuk membentuk makroekonomi, 
seperti halnya di Amerika Latin.45
2. Korupsi Pengadilan (Judicial Corruption)
Salah satu persoalan sistemik lain sehubungan dengan Rule of Law 
di Negara Sedang Berkembang yaitu  korupsi di pengadilan (judidical 
corruption). Persoalan ini tampaknya menjadi masalah global. ini  
tidak terbatas pada suatu negara atau wilayah tertentu. Namun manifestasi korupsi tampaknya paling buruk di Negara Sedang Berkembang 
dan negara dalam transisi. Menurut Centre for the Independence of Judges and Lawyers yang berbasis di Jenewa, dari 48 negara yang tercakup 
dalam laporan tahunannya untuk tahun 1999, korupsi peradilan telah 
“meresap” di 30 negara.46
Pada hari Sabtu, 14 Desember 2013, KPK mampu mengendus transaksi perdagangan perkara Kepala Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, 
Nusa Tenggara Barat, Subri bersama Lusita Ani Razak. Dalam tindakan itu, KPK menangkap mereka disertai barang bukti 16.400 dollar AS 
(sekitar Rp 197 juta) dan Rp 23 juta. Penangkapan Kepala Kejaksaan 
Negeri Lombok Tengah itu berkaitan dengan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen yang ditangani Kejaksaan Negeri Lombok Tengah.
Penangkapan jaksa termasuk penegak hukum lain memang bisa membuat kita kecut. Mengapa penangkapan penegak hukum tidak 
pernah membuat orang jera? Banyak orang berharap, sesudah  jaksa 
Urip Tri Gunawan tertangkap tangan, tak ada lagi jaksa yang ditangkap. 
Namun harapan warga  tak terwujud. Sejumlah jaksa tertangkap 
tangan lagi untuk urusan jual beli perkara.
Fenomena mafia peradilan yang sudah lama dicium, namun  terus 
dibantah, kini jadi nyata dan kian telanjang. Ada hakim, jaksa, advokat, 
dan polisi ditangkap KPK. Mereka yaitu  penegak hukum yang harusnya menegakkan hukum. Nyatanya, mereka justru memperjualbelikan 
hukum untuk kepentingan mereka pribadi. Kita dorong KPK mengusut 
siapa pun yang terlibat, termasuk sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Lombok Tengah dan pihak lain.
Kita memberi  apresiasi kepada KPK. Dengan segala tekanan 
politik yang dihadapinya, KPK tak kenal lelah menangkapi koruptor. 
Kewenangan KPK justru harus ditambah, bukan malah dipereteli seperti keinginan sejumlah politisi agar KPK mampu mendeteksi para 
pedagang hukum dan para penjarah uang rakyat.
warga  pun kita dorong melaporkan sejumlah penyimpangan yang patut diduga sebagai tindakan korupsi penyelenggara negara. 
warga  yang permisif kurang mendukung pemberantasan korupsi. Penumpukan kekayaan secara tidak wajar yang tidak sesuai dengan 
profil pejabat ini  bisa dilaporkan kepada KPK dengan mekanisme 
whistle blower system. Memerangi korupsi memang tidak mudah! KPK 
membutuhkan kontribusi kita untuk negara kita  yang lebih bersih. Namun selain strategi penindakan yang mengemuka akhir-akhir ini, strategi pencegahan melalui perbaikan sistem harus diutamakan.
Korupsi yaitu  kombinasi dari keinginan dan kesempatan. Memperkecil ruang melakukan korupsi harus terus dilakukan dengan perbaikan sistem. Keinginan orang untuk terus melakukan korupsi harus 
ditekan dengan memberi  hukuman berat dan menyita semua aset 
hasil korupsi. memberi  hukuman lebih berat terhadap penegak 
hukum yaitu  keniscayaan. Harus ada target dari pemimpin lembaga untuk membina anak buahnya agar tidak korupsi. saat  ada anak 
buah yang ditangkap sebab  korupsi, itu juga menunjukkan kegagalan 
pemimpin membina anak buahnya.
Dalam survei yang dilakukan di Mauritius, antara 15 dan 22 persen dari responden menyatakan bahwa “semua” atau “sebagian” dari para hakim telah “korup.”47 Menurut survei serupa yang dilakukan di 
Tanzania pada tahun 1996, 32 persen responden yang berhubungan 
dengan peradilan benar-benar telah membayar “ekstra” untuk menerima layanan. Di Uganda, survei serupa menghasilkan nilai yang 
lebih tinggi. Lebih dari 50 persen dari mereka yang datang ke pengadilan dilaporkan telah membayar suap kepada pejabat.49 Bahkan lebih 
jitu, mungkin, yaitu  pernyataan yang direkam dalam kelompok fokus 
pada korupsi peradilan di Uganda.
Di Asia, situasi bisa dipandang sebagai sama-sama mengecewakan. 
Dalam sebuah survei yang dilakukan untuk Bank Dunia di Kamboja, 
64 persen dari responden setuju dengan pernyataan “sistem pengadilan sangat korup”, dan 40 persen dari mereka yang telah berhubungan 
dengan peradilan telah membayar suap. Korupsi dalam sistem peradilan menduduki peringkat pertama di antara semua faktor kendala 
untuk memakai  sistem pengadilan. Sebuah survei rumah tangga 
nasional baru pada korupsi di Bangladesh mengungkapkan bahwa 63 
persen dari mereka yang terlibat dalam litigasi telah membayar suap 
baik kepada pejabat pengadilan maupun pengacara lawan dan 89 persen dari mereka yang disurvei yakin bahwa para hakim korup.51 Di Filipina, 62 persen dari responden percaya bahwa ada tingkat signifikan 
korupsi dalam sistem peradilan dan 57 persen mengakui banyak atau 
sebagian besar hakim bisa disuap
Dalam sebuah penelitian serupa yang dilakukan oleh Bank Dunia 
di Latvia, 40 persen dari responden yang pernah bertransaksi dengan 
sistem pengadilan melaporkan bahwa suap untuk hakim dan jaksa yaitu  hal yang rutin terjadi.53 Selain itu, 10 persen dari pelaku bisnis 
dan 14 persen dari rumah tangga yang berurusan dengan pengadilan menerima indikasi perlunya membayar suap. Di Nikaragua, 46 persen 
dari mereka yang disurvei yang pernah bertransaksi dengan sistem 
pengadilan menyatakan bahwa ada korupsi di peradilan, 15 persen telah benar-benar menerima indikasi bahwa pembayaran suap diharapkan.54 Di Bolivia, 30 persen dari responden survei layanan pengiriman 
diminta untuk suap pada kontak dengan lembaga peradilan, dan 18 
persen benar-benar pernah membayar suap.
Survei yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa korupsi masih 
jauh dari satu-satunya alasan bahwa orang tidak puas dengan pengadilan. Hasil ini  dan survei lainnya menunjukkan bahwa, di banyak negara, orang juga tidak puas dengan biaya, aksesibilitas dan 
putusan pengadilan. Mereka tidak puas dengan penundaan eksekusi. 
Mereka tidak puas dengan prosedur rumit dan menakutkan dalam 
berurusan dengan pengadilan. Di Kolombia, tunggakan perkara telah 
melampaui 4 juta dan sekitar 70 persen dari waktu hakim dihabiskan 
untuk membaca dokumen. Di sejumlah negara, pemerintah bahkan tidak jarang meminta hakim untuk melakukan pekerjaan non-yudisial, 
seperti duduk di komisi penyelidikan, kadang-kadang dengan bantuan politik, dan para hakim yang bersangkutan jarang menolak untuk 
melakukannya. Ini bisa dipandang sebagai indikator sistem peradilan 
dalam keadaan krisis yang akut.
 Kerangka empiris pertama kali diperkenalkan oleh Buscaglia yang 
mengkaji pengadilan di Ekuador dan Venezuela56 dan oleh Buscaglia 
dan Dakolias untuk Ekuador dan Chile yang menjelaskan perubahan 
tahunan dalam laporan korupsi di tingkat pengadilan negeri dalam menangani perkara niaga. Penelitian ini  menunjukkan bahwa struktur organisasi tertentu dan pola perilaku dalam pengadilan di Negara 
Sedang Berkembang membuat mereka rentan terhadap penyebaran 
tak terkendali dari praktik korupsi sistemik. Sebagai contoh, penelitian 
itu menemukan bahwa pengadilan Amerika Latin telah memberi  
insentif organisasi internal terhadap korupsi. Sebuah analisis hukum dan ekonomi korupsi harus mampu mendeteksi mengapa pemakaian  
jabatan publik untuk keuntungan pribadi lalu  menjadi norma. 
Di atas kertas, sebagian besar Negara Sedang Berkembang memiliki 
peraturan perundang-undangan antikorupsi dan sistem audit eksternal bagi pengadilan. Namun sekalipun dapat terlaksana, kedua mekanisme tadi tidak akan cukup untuk melawan adanya korupsi sistemik 
dalam penegakan hukum. Dimensi lain perlu untuk diperhatikan.
Pola tertentu dalam organisasi administrasi pengadilan, ditambah 
dengan tingkat yang luar biasa dari kebijaksanaan hukum dan kompleksitas prosedural, memungkinkan hakim dan pegawai pengadilan 
untuk mengekstrak biaya terlarang tambahan untuk jasa yang diberikan. Buscaglia58 juga menemukan bahwa karakteristik ini  mendorong praktik-praktik korupsi yang diperparah oleh kurangnya mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa, sehingga memberi  
sistem pengadilan resmi untuk memonopoli penanganan perkara. 
Lebih khusus lagi, menurut Buscaglia dan Buscaglia dan Dakolias,
praktik korupsi didorong sebab  adanya: (i) peran organisasi internal yang terkonsentrasi di tangan pengambil keputusan pada satuan 
pengadilan tertentu, (ii) jumlah dan kompleksitas langkah-langkah 
prosedural ditambah dengan kurangnya transparansi dalam pengadilan, (iii) ketidakpastian yang besar terkait dengan doktrin yang berlaku, 
undang-undang, dan regulasi (misalnya, meningkatkan inkonsistensi 
dalam penerapan hukum oleh pengadilan yang antara lain sebab  kurangnya database hukum dan sistem informasi), (iv) beberapa alternatif sumber penyelesaian sengketa, dan, akhirnya, (v) kehadiran kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi.
Kelima faktor ini  memberi  pedoman yang jelas untuk 
pembuatan kebijakan publik. Negara Sedang Berkembang seperti 
Chile dan Uganda yang telah memberlakukan kodifikasi hukum acara 
yang sederhana sambil memperkenalkan resolusi sengketa alternatif 
telah mengalami penurunan atas korupsi pengadilan. Selain itu, kisah 
sukses Singapura dan Kosta Rika menunjukkan bahwa korupsi dapat 
dikurangi dengan menciptakan lembaga administrasi khusus yang 
mendukung pengadilan dalam hal-hal yang berkaitan dengan anggar-an dan manajemen personalia, serta finansial. lalu  pengadilan didesain untuk menerapkan desentralisasi pengambilan keputusan administratif sekaligus mengurangi konsentrasi pada satuan yang 
lebih tinggi dan melepaskan pengawasan atas tugas-tugas organisasi 
dari tangan hakim.
Oleh sebab  itu, tidak mengherankan jika Negara Sedang Berkembang melakukan reformasi peradilan sebelumnya mengalami krisis 
yang mendalam dalam sistem pengadilan mereka, termasuk Kosta 
Rika, Chili, Ekuador, Hungaria, dan Singapura.63 Pada kelima negara 
ini , kesediaan hakim untuk mendiskusikan proposal reformasi 
peradilan hanya sesudah  krisis yang mendalam dan lalu mengancam 
pekerjaan mereka. Skema pembaruan lalu  diikuti kesediaan untuk pensiun dini, promosi bagi para hakim dan staf pendukung, bangunan baru, dan anggaran yang semakin besar.64
saat  merancang kebijakan antikorupsi dalam domain hukum 
dan peradilan, pengambil keputusan harus memperhitungkan tidak 
hanya biaya dan manfaat bagi warga  pemberantasan korupsi secara umum, namun juga perubahan manfaat individu sekarang dan 
masa depan dan biaya seperti yang akan dirasakan oleh pejabat publik. 
Sebuah riset mengatakan bahwa inersia kelembagaan dalam memberlakukan reformasi berasal dari sifat jangka panjang manfaat reformasi 
dalam pikiran para pembaru, seperti kesempatan kerja ditingkatkan 
dan prestise profesional.65 Manfaat ini tidak dapat langsung ditangkap dalam jangka pendek oleh para reformis potensial dalam pemerintahan. Bertentangan dengan ini  yaitu  sifat jangka pendek dari 
biaya utama reformasi, khususnya, penurunan yang dirasakan dalam 
penghasilan tidak resmi pejabat negara. Asimetri antara biaya jangka 
pendek dan keuntungan jangka panjang cenderung untuk menolak 
inisiatif kebijakan yang berkaitan dengan reformasi sektor publik. Pada 
gilirannya, proposal reformasi yang menghasilkan manfaat jangka 
panjang terhadap sistem pengadilan perlu diterapkan dalam tahap selanjutnya dalam rencana aksi.Penting untuk mengingat bahwa dahulu korupsi dianggap bisa ditoleransi, baik dari segi budaya maupun ekonomi. Tak kurang dari ilmuwan ternama, Samuel Huntington, mengatakan bahwa korupsi bisa 
berperan sebagai minyak pelumas (lubricant, grease) dari pertumbuhan ekonomi di mana birokrasi yang lamban bisa digenjot. Malah ada 
yang memakai  istilah functional corruption.
Para teknokrat kita saat Orde Baru bukan tak menyadari, melainkan secara sadar setengah menutup mata sebab  angka pertumbuhan 
ekonomi negara kita  relatif tinggi. Para teknokrat kita waktu itu terbantu 
iklim kebebasan pers yang terkungkung ancaman pemberedelan oleh 
pemerintah. Alhasil, semua korupsi menemukan lahan yang subur sehingga korupsi diterima sebagai norma. Korupsi bukanlah kekecualian. Tak heran jika para pengusaha waktu itu memasukkan korupsi sebagai bagian dari komponen investasi. Bentuknya bisa saham kosong, 
nepotisme dan kolusi dalam berbagai pengadaan, atau keuntungan 
yang dialirkan ke sejumlah badan sosial.
Dalam literatur mengenai korupsi yang jumlahnya sudah puluhan 
ribu sebab  studi mengenai korupsi sudah marak sejak 1980-an, ada 
yang membuat klasifikasi korupsi dengan memakai  warna. Arnold J Heidenheimer banyak menulis persoalan korupsi, membagi korupsi dalam tiga warna: korupsi hitam (black corruption), korupsi putih 
(white corruption), dan korupsi abu-abu (grey corruption).
Korupsi hitam yaitu  korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, merusak perekonomian, dan tak bisa dibenarkan apa pun 
alasannya. Korupsi putih yaitu  korupsi yang fungsional dan memberi 
dampak positif sehingga masih bisa ditoleransi. Adapun korupsi abuabu yaitu  korupsi yang berada di antara kedua korupsi ini .
Celakanya, banyak korupsi yang masuk kategori korupsi abu-abu 
di mana para penguasa dan koruptor bisa bermain-main. Di sini kontrol terhadap kekuasaan dan media ikut menentukan perubahan dari 
korupsi abu-abu menjadi korupsi yang masuk kategori putih.
Di negara otoriter, ini  dengan gampang bisa dilakukan sebab  
di situ warga  sipil antikorupsi tak berfungsi optimal. Mentalitas 
banyak orang negara kita  masih di lingkar di mana mereka merasa bisa 
mengubah korupsi yang mereka lakukan, hitam atau abu-abu, menjadi 
korupsi putih. sebab  itu angka korupsi tidak pernah turun.
Setiap hari media di negara kita  terus sibuk dengan berita mengenai 
korupsi. Dan, memang kita dikejutkan oleh berita korupsi yang sering mencengangkan kita semua. Orang yang selama ini kita anggap terhormat dan saleh tiba-tiba tertangkap tangan sebab  korupsi. Orangorang yang sering berpidato untuk penegakan hukum tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.
Rupanya ratusan orang yang sudah dihukum sebagai koruptor tak 
membuat orang jera untuk korupsi. Anehnya mereka semua tahu bahwa transaksi melalui elektronik itu bisa dilacak oleh PPATK, namun  tetap 
saja mereka memakai  modus ini .
Jadi, kita sering tak bisa memahami kecerdasan para koruptor yang 
nekat korupsi dengan uang tunai dan transaksi perbankan. Intelektualitas mereka sudah bebal. Mereka menganggap bahwa hanya orangorang sial yang akan tertangkap. Buktinya masih banyak yang terus 
korupsi dan tak tertangkap. Mereka hanya gemetar saat  melihat seseorang tertangkap dan diberi baju tahanan muncul di koran dan layar 
televisi. Namun seminggu lalu , mereka lupa dan korupsi lagi.
Resolusi Majelis Umum PBB 31 Oktober 2003 telah menetapkan 
tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional yang kemarin diperingati. Penetapan Hari Antikorupsi Internasional menggambarkan korupsi telah menjadi keprihatinan global. Akibat kerakusan 
individual dan global, korupsi yang yaitu  bentuk perampokan 
uang negara telah memicu terjadinya pelanggaran hak ekonomi 
dan sosial. Peringatan Hari Antikorupsi erat terkait dengan peringatan 
Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember.
Korupsi dalam bahasa yang berbeda sebenarnya telah menggelayuti perjalanan bangsa ini. Korupsi terus saja menjadi pembicaraan 
publik yang tak kunjung tuntas. Tajuk Rencana harian Kompas pada 14 
September 1965 sudah bersuara keras soal praktik korupsi yang hanya 
menjadi tema diskusi. Kita kutipkan kembali substansi tajuk itu. “Soal 
pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan 
lagi sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Yang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah ‘pembitjaraan 
lagi’, namun  tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, 
gantung, tembak!”
Kutipan tajuk itu menggambarkan kegeraman publik terhadap 
maraknya korupsi tahun 1965. Namun, faktanya, kegeraman itu masih 
bisa kita rasakan 48 tahun lalu . Sejumlah proyek pembangunan 
yang dirancang ternyata dijadikan bancakan elite politik. Publik menyaksikan pembangunan sarana olahraga Hambalang menjadi ajangelite politik mencari keuntungan. Bukan hanya pada masalah  Hambalang, 
praktik korupsi kotor juga masih bisa disaksikan pada masalah  lain. Praktik “perdagangan” perkara sengketa pilkada di MK yang melibatkan 
bekas Ketua MK Akil Mochtar menunjukkan korupsi telah menyentuh 
pucuk kekuasaan yudikatif.
Korupsi memang perang yang belum kita menangkan sebab  kita 
terlalu bertenggang rasa terhadap korupsi. Hasil penelitian Rimawan 
Pradiptyo menunjukkan, kerugian negara akibat korupsi Rp 67,5 triliun, namun  nilai hukum finansial yang diperintahkan pengadilan untuk 
dibayar hanya Rp 4,76 triliun. usaha  menciptakan efek jera dengan 
menerbitkan peraturan pemerintah yang melarang remisi diberikan 
kepada koruptor mendapat perlawanan dari anggota DPR dengan alasan melanggar HAM. KPK yang terus berusaha  menangkapi perampok 
uang rakyat justru terus diusaha kan untuk dilemahkan.
Pada tajuk harian Kompas, 14 September 1965 dikatakan antara 
lain, “Yang ditunggu rakjat bukanlah pembitjaraan lagi, tapi tindakan konkret!” Diskursus strategi pemberantasan korupsi sudah cukup 
dengan menggabungkan UU Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk menggelorakan pemberantasan korupsi, dibutuhkan 
pemimpin nasional yang berani secara nyata, bukan hanya retorika, 
berada di garis terdepan memerangi korupsi. Pemimpin yang berani 
memberi  perlindungan politik dan hukum terhadap lembaga pemberantas korupsi!

Banyak agenda yang perlu diperhatikan dalam membangun pengadilan di negara-negara yang berada dalam lingkungan pascakonflik, 
antara lain: meningkatkan manajemen dan administrasi pengadilan; 
membantu dalam merekrut hakim, jaksa dan staf pengadilan; pelatihan semua personil peradilan, membangun atau memperkuat pengawasan independen dan mekanisme disiplin, memperluas distribusi 
sumber daya materiel tambahan yang diperlukan untuk menjalankan 
sistem peradilan, dan meningkatkan kapasitas fakultas hukum di perguruan tinggi untuk mendidik hakim dan pengacara di masa depan.
Bentuk-bentuk pembaruan terhadap badan-badan pendukung
Rule of Law memerlukan banyak aksi yang berlainan dari satu negara ke negara lainnya. Badan yang berbeda akan memberi  tantangan yang berbeda-beda, tergantung pada sejarah dan praktik di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh: (i) militer yang juga bertindak 
sebagai aparat kepolisian (Bosnia dan Herzegovina, El Salvador, Guatemala, Haiti, Rwanda, bekas Republik Yugoslavia Macedonia, Kosovo, Serbia dan Montenegro); (ii) menginstegrasikan milisi dan tentara 
non-negara ke dalam tubuh penegak hukum (Angola, Bosnia dan Herzegovina, Kamboja, Republik Demokratik Kongo, El Salvador, Liberia, 
Sierra Leone, Timor Leste); dan (iii) pembentukan lembaga HAM nasional seperti komisi nasional dan ombudsman (Afghanistan, Bosnia 
dan Herzegovina, El Salvador, Guatemala, Haiti, Kosovo. Di banyak 
negara, hukum dan tradisi atau adat dapat menempati tempat penting 
dalam reformasi peradilan pascakonflik (Afghanistan, Burundi, Guatemala, Rwanda, Sierra Leone,Timor Leste).68
Pada umunya, reformasi sistem peradilan pidana (criminal justice 
system) menjadi agenda yang utama. Alasannya sangat jelas. Dalam kebanyakan situasi pascakonflik, hukum dan ketertiban tidak hadir dan 
ada kebutuhan mendesak untuk memberi  keamanan bagi penduduk yang mengalami trauma. Banyak orang berjalan-jalan dengan senjata dan tidak jelas siapa yang mengontrol mereka. Selain itu, mereka 
yang bertanggung jawab atas kejahatan perang di masa lalu, kejahatan 
terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM serius lainnya harus ditangkap, ditahan, dan perlu ketersediaan untuk proses apa pun yang 
ditunjuk untuk masalah  ini . maka , peran dan tanggung 
jawab dari sistem peradilan pidana akan sangat penting dalam setiap skenario pascakonflik. Bidang hukum pidana yang paling relevan 
dengan agenda pembaruan termasuk ketentuan-ketentuan yang menyangkut penangkapan dan penahanan, perlakuan terhadap narapidana dan tahanan, akses pengacara untuk klien mereka, akses profesional medis dan anggota keluarga terhadap tahanan, standar pengadilan 
yang adil, praktik penjatuhan hukuman, hak korban untuk berpartisipasi dalam proses, serta program reparasi dan hukum tentang amnesti 
atau pengampunan. Masalah hukum lain yang sering muncul yaitu  
Undang-Undang dan praktik yang mengatur demonstrasi, kebebasan 
pers dan hukum media pada biasanya , undang-undang tentang or-ganisasi non-pemerintah, kebebasan bergerak dan kemungkinan peradilan terhadap pejabat pemerintah, termasuk polisi dan militer, atas 
pelanggaran HAM.
Di Bosnia dan Herzegovina, Republik Demokratik Kongo dan Sierra Leone, sebab  ada peningkatan perdagangan wanita untuk 
eksploitasi seksual, maka pengetahuan tentang hukum internasional 
dan lokal yang mengatur masalah ini sangat penting. Demikian juga, 
kebutuhan penyediaan personel ahli untuk melakukan wawancara dan 
pendampingan bagi korban perdagangan, biasanya perempuan, dan 
terhadap anak-anak yang telah menderita pelecehan seksual. Dalam 
beberapa masalah , tindakan yang setengah hati dan tidak sensitif telah 
memicu penderitaan lebih lanjut bagi korban hak asasi manusia dan pelanggaran pidana. Alih-alih menawarkan kasih sayang dan 
bantuan kepada wanita yang diperdagangkan, beberapa petugas 
hukum lokal dan internasional, termasuk polisi, memperlakukan mereka seperti penjahat (misalnya, Bosnia dan Herzegovina, bekas Republik Yugoslavia Macedonia).70
Tentara anak-anak telah berpartisipasi dalam berbagai konflik, 
terutama di Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Liberia, Sierra 
Leone, dan Sri Lanka. Ahli psikologi anak, baik lokal maupun internasional, harus tersedia untuk memantau kinerja peradilan lokal di daerah 
ini dan menawarkan bantuan, pelatihan dan bentuk lain dari pengembangan kapasitas untuk meningkatkan penanganan anak-anak yang 
telah mengalami pengalaman mengerikan dan menghadapi kesulitan besar dalam kembali ke warga . Petugas yang relevan harus 
menyadari kebiasaan yang berkembang pada tentara anak-anak dan 
alternatif untuk penuntutan pidana dan penahanan dari pengadilan 
pidana internasional, Mahkamah Pidana Internasional dan lembaga 
hybrid seperti Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone dan Pengadilan 
Luar Biasa di Kamboja.
Selain hukum dan norma-norma internasional, pembaruan sektor peradilan harus akrab dengan ketentuan dalam konstitusi nasional 
yang menetapkan hak-hak dasar atau melarang tindakan tertentu oleh 
pemerintah atau oleh warga yang bertindak di bawah kewenangannya. Ketentuan konstitusi menjamin kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul atau berserikat, melarang penyiksaan, penangkapan tanpa surat perintah atau penahanan praperadilan berkepanjangan, 
yang lalu menjadi wacana sehari-hari mereka. Penyalahgunaan administratif oleh banyak pemerintah juga akan menjadi prioritas. Perlakuan dan kondisi skandal di mana warga sakit mental ditempatkan 
di lembaga pewarga an (Haiti, Rwanda, Kosovo) menjadi prioritas 
tinggi untuk sebagian besar misi pembaruan ini . Mendayagunakan pengacara lokal untuk memberi  nasihat dan bahkan berpartisipasi dalam pekerjaan pada semua masalah pembaruan peradilan 
pidana ini, akan membantu.
Di negara pascakonflik, diperlukan kemampuan membangun jaringan dengan pejabat penegak hukum (hakim, jaksa, lembaga pewarga an) dan mengadakan pertemuan rutin dengan mereka untuk 
membahas masalah -masalah  tertentu, pembangunan institusi, dan hak 
asasi manusia pendidikan/promosi. Oleh sebab  itu sistem informasi 
yang menyediakan daftar hakim, jaksa, dan komandan militer dan polisi di tingkat lokal harus selalu up to date. Setiap mutasi harus tercatat 
sehingga informasi mengenai hakim atau jaksa tertentu dapat dibagi 
dengan rekan-rekan mereka di wilayah ini . Beberapa pejabat 
penting di sektor peradilan pidana dan peran utama mereka dalam 
pengaturan pascakonflik yaitu  sebagai berikut biasanya yaitu  sebagai berikut.
Pertama, hakim. Pada biasanya , hakim yaitu  pengawal kebebasan dan hak asasi manusia. Hakim akan memutuskan apakah ada 
alasan untuk menangkap dan menahan seseorang, memastikan adanya akses ke pengacara, memimpin persidangan, dan, di mana tidak 
ada juri, memutuskan bersalah atau tidak. Dalam sistem hukum sipil-Napoleon, hakim sering akan memainkan peran aktif dalam mengumpulkan bukti untuk mempersiapkan penuntutan. Pengangkatan 
hakim, retensi dan perilaku harus selalu sesuai dengan the Basic Principles on the Independence of the Judiciary. 
Kedua, pegawai pengadilan. ini  sering diabaikan. Padahal mereka membuat psistem peradilan bekerja. Mereka melacak berkas perkara, jadwal sidang dan menjamin ketertiban dan keamanan di ruang 
sidang. Dalam kebanyakan situasi pascakonflik, administrasi pengadilan berantakan; berkas hilang atau hancur, peralatan kantor kurang dan 
sering tidak ada listrik. Memahami pentingnya para pengawai pengadilan ini, yang benar-benar yaitu  urat dan otot dari sistem pengadilan, tidak dapat diremehkan. Tidak ada yang terjadi tanpa mereka. sebab  wewenang mereka, korupsi sering marak, dan diskriminatif dalam tindakan terjadi pada tingkat ini.
Ketiga, jaksa/penuntut umum. Jaksa menjadi aparatur yang mewakili negara dalam tindak pidana sehingga memiliki kepentingan 
yang jelas dalam inisiatif sistem peradilan pascakonflik. Kebijaksanaan 
mereka untuk menyelesaikan masalah  pidana memberi mereka kekuasaan yang besar dalam administrasi peradilan, khususnya dalam situasi 
pasca konflik, di mana tekanan untuk mengabaikan atau melupakan 
kejahatan masa lalu mungkin menjadi besar. Pedoman tentang Peran 
Jaksa memberi  standar dasar yang berlaku untuk pekerjaan mereka 
dan juga perlindungan yang diperlukan bagi saat melakukan investigasi dan pengadilan yang tidak memihak dan adil. Jaksa berkewajiban untuk memberi  perhatian yang setara atas kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan 
pelanggaran berat hak asasi manusia dalam situasi pascakonflik. Para 
Jaksa juga harus memperoleh pelatihan, sumber daya, peralatan, dan 
dukungan yang diperlukan untuk mempersiapkan dan menuntut perkara, yang sering kompleks dan sensitivitas. Beberapa negara seperti 
Afghanistan, Burundi, Kamboja, Guatemala, Haiti, dan Rwanda dilaporkan memiliki kelemahan dalam personel penuntutan ini. Gangguan, ancaman dan bahkan serangan kekerasan telah menimpa penuntut 
umum. Memastikan kompetensi, independensi, dan integritas jaksa 
harus menjadi prioritas tinggi.
Keempat, pengacara. Pengacara benar-benar penting jika sistem 
peradilan telah bekerja. Di banyak negara, keberadaan asosiasi pengacara yang independen yaitu  hal yang baru. Di Balkan, misalnya, di bawah sistem sosialis sebelumnya, pengacara hanya diizinkan 
untuk mengurangi hukuman, tidak mengadvokasi klien mereka yang 
tidak bersalah. Di Afghanistan, Angola, Republik Demokratik Kongo, 
Rwanda dan Sierra Leone, jumlah pengacara terlalu sedikit dan hampir 
dari yang sedikit ini terkonsentrasi di ibukota, sehingga sebagian besar 
terdakwa tidak dapat didampingi.
Di samping dalam lapangan hukum pidana, perhatian perlu juga 
diberikan terhadap penyelesaian masalah perdata di negara-negara 
pascakonflik ini. Pada banyak warga  pascakonflik masalah kepemilikan tanah, perumahan, perusahaan komersial, ternak dan barang 
pribadi dapat menjadi isu utama dalam rekonstruksi, rekonsiliasi dan 
membangun perdamaian. ini  seperti yang telah terjadi di Bosnia dan Herzegovina, Timor-Leste, dan Kosovo. Masalah dalam dokumentasi sipil juga muncul. Akta kelahiran, pernikahan, dan kematian sering kurang, bahkan mengalami kemusnahan seperti di Afghanistan, 
Kamboja, Republik Demokratik Kongo, dan Haiti. Dokumentasi sipil 
ini penting sebagai syarat dalam banyak hal seperti sekolah, perawatan 
kesehatan, khususnya vaksinasi, hak memberi  suara, serta akses ke 
program-program kesejahteraan sosial dan warisan.

Perdebatan yang dibangun selama ini soal kegagalan (sebagian) 
pembangunan ekonomi yang dirancang pemerintah, seperti eksekusi 
pembangunan infrastruktur, ketimpangan pendapatan, kerapuhan investasi, penyerapan APBN, dan pengendalian pekerja sektor informal, 
lebih banyak bertumpu pada soal pilihan kebijakan ekonomi.
Analisis atas opsi kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah ini 
tentu tidak salah sebab dalam tradisi ilmu ekonomi memang hampir 
tak pernah ada kebijakan tunggal untuk menyelesaikan masalah ekonomi yang muncul. sebab  itu, menyandingkan antara kebijakan yang 
diproduksi pemerintah dan alternatif kebijakan lain diharapkan bisa 
memperbaiki kualitas kebijakan di masa depan. Namun ada hal lain 
yang juga penting dan belum banyak dibicarakan, bahwa sebagus apa 
pun kebijakan (ekonomi) pasti menghendaki tahap eksekusi yang matang pula agar kebijakan itu punya jejak di lapangan. masalah  negara kita  
memberi  pelajaran penting mengenai ini . 
Sistem demokrasi yang diadopsi negara kita  hampir 15 tahun ini 
yaitu  antitesa dari sistem politik otoriter warisan Orde Baru yang 
dianggap memupus aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan pembangunan. Otoritarianisme berjalan dengan koridor berikut: perencanaan dan kebijakan sepenuhnya dirajut pemerintah dan 
dikendalikan pelaksanaannya oleh pemerintah (pusat) juga. Pengambilan keputusan sangat efektif, tidak bertele-tele, dan langsung dapat 
dieksekusi. Sisi negatifnya, pilihan kebijakan berpotensi sesat sebab  
tidak menyerap suara rakyat, sekaligus mengabaikan partisipasi publik 
dalam pengerjaan dan pengawasan.
Hasilnya, pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan kencang, 
namun  dengan segenap penyimpangan. Demokrasi melawan itu dengan memberi pilihan jalan yang berbeda: perumusan kebijakan yaitu  hasil dari percakapan lalu lintas suara publik, yang kerap kali berisik, sehingga opsi kebijakan yaitu  pilihan terbaik. Sampai 
pada tahap itu demokrasi telah dipraktikkan dan menghasilkan sebagian kebijakan ekonomi yang bagus. Masalahnya, kenapa kebijakan 
itu tak juga punya tapak di lapangan? Di sinilah perdebatan yang absen selama ini: bahwa demokrasi akan lumpuh jika  tak bersanding 
dengan kapasitas negara (pemerintah/birokrasi). Kapasitas negara ini 
dapat dimaknai sebagai kemampuan mengimplementasikan tujuantujuan pembangunan yang sudah ditetapkan.
Tanpa kualitas birokrasi yang bagus/solid, efektivitas pengerjaan 
kebijakan publik, seperti pengumpulan pajak dan penyediaan layanan 
publik, menjadi mandul. Pada titik ini, demokrasi dan kapasitas negara 
dalam posisi komplementer untuk meraih kinerja pembangunan ekonomi yang hebat. Kelemahan ini secara lugas dapat dinyatakan dalam 
frasa ini: demokrasi menghasilkan reformasi kebijakan ekonomi, namun  nihil reformasi administrasi untuk menambah bobot kapasitas birokrasi.
Tak ada satu pun yang menyatakan bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur, perbaikan daya saing ekonomi, dan hasrat penyerapan APBN yang lebih baik yaitu  kebijakan yang keliru. Namun 
kebijakan tepat ini  nyaris menjadi kisah klise: lunglai di lapangan. Penjelasannya, kapasitas negara untuk menjalankan kebijakan itu 
tidak memadai. Tak kurang banyak investor sudah setuju membangun 
infrastruktur, namun  tidak mau mengeksekusi sebab  tidak tersedia komitmen untuk menyelesaikan soal lahan. Daya saing ekonomi menjadi 
impian semua pengusaha, tapi biaya dan waktu pengurusan perizinan 
mahal dam lama.
Dana alokasi APBN diperjuangkan dengan penuh riak politik selama di parlemen, tapi sunyi begitu tahap implementasi mesti dilalui. 
Aneka perubahan peraturan presiden/pemerintah sudah dilakukan, 
tetap saja penyerapan anggaran lambat dan menggantung di akhir tahun. Pendeknya, kombinasi demokrasi dan kapasitas negara yang lemah telah menghasilkan kemacetan pembangunan.
Satu lagi yang tak digarap yaitu  aspek kapabilitas sosial (social capability) sebagai daya dorong pembangunan ekonomi. Demokrasi dan 
pembangunan tak hanya memerlukan instrumen kebijakan (formal) 
sebagai dasar panduan arah dan pelaksanaan kerja ekonomi, tapi juga 
membutuhkan suporter sosial secara langsung dalam wujud pengetahuan, standar norma, loyalitas, etika kerja, hasrat belajar, dan keper-cayaan sosial. Elemen-elemen itulah yang disebut sebagai kapabilitas 
sosial dan menjadi sumber kekuatan pembangunan.
Negara semacam Tanzania, Mozambik, dan Malawi saat ini sudah 
mengadopsi institusi politik demokratik dan telah mendesain kelembagaan ekonomi yang modern, seperti jaminan hak kepemilikan terhadap warga negara, tapi tetap tidak bisa sejajar dengan pembangunan 
ekonomi di beberapa negara Asia sebab kapabilitas sosialnya jauh dari 
mencukupi.
Amartya Sen (1999) dalam salah satu karya pentingnya menekankan pentingnya aspek pendidikan dan kesehatan sebagai pilar dari 
kapabilitas sosial ini , yang sebagian sekarang menjadi salah satu 
sumber pembangunan ekonomi di China dan Korsel. Problem menjalankan secara paralel antara transformasi ekonomi dan kapabilitas 
sosial menjadi hambatan terbesar di beberapa negara sehingga targettarget pembangunan tak bisa dicapai.
masalah  di negara kita  menjadi catatan yang menarik sebab  pada saat 
orientasi kemajuan ekonomi ditempuh dan sebagian telah menghasilkan pergeseran sumber-sumber pertumbuhan menuju sektor industri 
dan jasa, namun  terancam berhenti sebab  tidak ditopang pengetahuan, 
keterampilan, dan pendidikan tenaga kerja. Faktanya, 67 persen tenaga 
kerja hanya tamat SMP ke bawah sehingga saat ini 62 persen tenaga 
kerja tak bisa masuk ke sektor formal meskipun pengangguran terbuka 
terus turun.
China yang berpenduduk sangat besar relatif mampu mengatasi 
persoalan ini  dengan melakukan investasi pendidikan secara 
besar-besaran sejak 1979 sehingga saat ini sebagian tenaga kerjanya 
dapat menikmati pekerjaan di sektor modern (formal). Tercatat, pada 
saat pekerja sektor informal di negara kita  sebesar 62 persen (2012), 
pada saat yang sama di China sebanyak 55 persen. Malaysia juga melakukan langkah serupa sehingga pekerja sektor informal bisa ditekan 
pada angka 30 persen saja.
Tentu saja, di luar pendidikan dan kesehatan, aspek norma, etika 
kerja, loyalitas, dan kepercayaan sosial juga yaitu  elemen penting 
lain yang harus digarap seiring dengan transformasi ekonomi. Realitas 
inilah yang harus dipahami pemerintah sehingga bisa meletakkan pembangunan ekonomi dalam bingkai sosial-politik yang tepat. Jika cara 
membangun (ekonomi) steril dari unsur-unsur ini , perjalanan 
pembangunan akan terseok-seok dan memicu  aneka luka. Tidak kalah pentingnya realitas kapabilitas sosial negara yaitu  
ditunjukkan dengan kemampuan memberi  Sistem Jaminan Sosial 
Nasional (SJSN) secara memadai. Penetapan UU No. 40/2004 tentang 
Sistem Jaminan Sosial Nasional kiranya dilaksanakan mulai 1 Januari 
2014. Sesuai dengan UU No. 24/2012 tentang Badan Penyelenggara 
Jaminan Sosial, program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk 
dimulai pada 1 Januari 2014. 
Program lainnya akan dimulai pada pertengahan 2015 sehingga 
secara bertahap akan diimplementasikan program Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) bagi seluruh penduduk negara kita . Kampanye Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)/
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) begitu gencar. Kita tidak 
bisa mundur lagi. Di tengah suasana seperti itu, ada baiknya kita mengantisipasi berbagai kemungkinan agar kelangsungan program jaminan 
sosial bisa terjamin.
Akan terbentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS): 
BPJS Kesehatan yang yaitu  transformasi dari PT Askes (Persero) 
dan BPJS Ketenagakerjaan yang yaitu  transformasi PT Jamsostek 
(Persero). BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan 1 Januari 2014 (Pasal 60 UU No. 24/2011 tentang BPJS). PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS ketenagakerjaan 1 Januari 2014 [Pasal 62 (1) UU 24/2011]. BPJS Ketenagakerjaan 
menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari 
tua, program jaminan kematian, dan program jaminan pensiun paling 
lambat 1 Juli 2015.
Kementerian Kesehatan gencar menyosialisasikan program jaminan kesehatan bagian dari jaminan sosial ini dengan istilah Jaminan 
Kesehatan Nasional (JKN). Tepatkah penambahan kata “nasional” di 
belakang Jaminan Kesehatan? Untuk menjawabnya kita perlu mengacu UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 
No. 24/2011 tentang BPJS. Pasal 18 UU No. 40/2004 menyatakan: Jenis 
program jaminan sosial meliputi: a) Jaminan kesehatan; b) Jaminan kecelakaan kerja; c) Jaminan hari tua; d) Jaminan pensiun; dan e) Jaminan kematian. Jelas tak ada kata “nasional” pada tiap program jaminan 
sosial ini .
Pasal 19 (1) menyebutkan: “Jaminan kesehatan diselenggarakan 
secara nasional berdasarakan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Pada penjelasan Pasal 19 (1) dituliskan: “Prinsip asuransi sosial 
meliputi: a) Kegotongroyongan antara orang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah; 
b) Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; c) Iuran berdasar  persentase upah/penghasilan; dan d) Bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu  kesamaan dalam memperoleh pelayanan 
sesuai kebutuhan medisnya yang tak terikat besaran iuran yang telah 
dibayarkannya. Prinsip asuransi sosial perlu ditekankan untuk membedakannya dengan asuransi komersial yang berprinsip: kepesertaan 
bersifat sukarela dan selektif, iuran atau premi berdasar  manfaat 
yang akan diterima, bersifat mengejar laba, dan tak ada unsur kegotongroyongan. maka , jika harus ada tambahan atau sisipan kata, yang lebih tepat disebutkan program “Jaminan Sosial Kesehatan” dibandingkan  “Jaminan Kesehatan Nasional”.
Keempat jenis program jaminan sosial lain juga diselenggarakan 
secara nasional. Pasal 29 (1) menyatakan: Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasar  prinsip asuransi sosial. Pasal 35 (1): Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasar  asuransi sosial atau tabungan wajib. Pasal 39 (1): Jaminan pensiun 
diselenggarakan secara nasional berdasar  prinsip asuransi sosial. 
Sangat kurang tepat jika disebut Jaminan Kecelakaan Kerja Nasional 
atau Jaminan Hari Tua Nasional dan Jaminan Pensiun Nasional atau 
Jaminan Kematian Nasional. Yang tepat yaitu  Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja, Jaminan Sosial Hari Tua, Jaminan Sosial Pensiun, dan 
Jaminan Sosial Kematian. Namun paling tepat, menurut saya, kelima 
jenis program jaminan sosial cukup disebut jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan 
kematian.
Dalam buku Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019
pemerintah menerjemahkan Jaminan Kesehatan Nasional menjadi 
“INA-MEDICARE (negara kita  Medicare)”. Terjemahan ini membuat 
SJSN bidang kesehatan menyimpang dari dasar filosofis, historis, dan 
sosiologis pembentukannya. Ada dua pengertian medicare di dunia. 
Medicare di AS dipahami sebagai jaminan kesehatan buat warga 
tua, pensiunan, cacat, dan tak mampu. Apakah pemahaman ini menjadikan JKN sama dan sebangun dengan Jamkesmas buat orang miskin dan tak mampu di negara kita ? Apakah pernyataan Menteri Badan 
Usaha Milik Negara Dahlan Iskan bahwa JKN akan menanggung 86,4 juta jiwa (yang selama ini tercatat sebagai peserta Jamkesmas) mengindikasikan sumber pembiayaan Jamkesmas bukan hanya dari APBN, 
melainkan ditambah dengan iuran seluruh personal BUMN?
Pengertian lain medicare yaitu  seperti di Kanada. Setiap negara 
bagian menyelenggarakan medicare untuk seluruh warga  yang 
berlaku di semua negara bagian dalam arti secara nasional. JKN di negara kita  sama dan sebangun dengan medicare Kanada, jika pemerintah 
pusat berniat tetap mempertahankan Jamkesmas dan Jamkesda yang 
sudah eksis di beberapa provinsi. Nyatanya, menjelang 2014 tak terdengar ada langkah kebijakan pemerintah pusat untuk mengintegrasikan peserta Jamkesda ke dalam peserta Jamkesnas. maka , 
dapatkah dipahami bahwa kata “nasional” dari JKN yaitu  kumpulan 
semua daerah dari Jamkesda?
Terjemahan paling tepat Jaminan Sosial Kesehatan di negara kita  
yaitu  “INA Social Health Insurance (INA-SHI)”. Sistem ini mengacu 
model solidaritas sosial di Jerman yang diciptakan Otto Von Bismarck 1883. Budaya dan falsafah gotong royong di negara kita  sangat cocok 
untuk menyiapkan Jaminan Sosial Kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa 
diskriminasi.
Kata “nasional” sebetulnya sudah melekat pada nomenklatur Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang terdiri dari sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pelayanan akan ditata dari tak terstruktur jadi terstruktur atau rujukan berjenjang. Sistem 
pembiayaan kesehatan akan diubah dari cara pembayaran langsung 
dari kantong penderita (out of pocket) jadi pembayaran dari pihak ketiga, yaitu BPJS Kesehatan. Agar tak terjadi sesat pikir dan multitafsir terhadap istilah JKN, maka kembali saja kita kepada UU Sistem Jaminan 
Sosial Nasional yang menyebutkan salah satu program jaminan sosial 
yaitu  jaminan kesehatan (tanpa tambahan nasional). Perlu juga merujuk pada UU tentang BPJS yang menyatakan bahwa BPJS Kesehatan 
menyelenggarakan program jaminan kesehatan (lagi-lagi tanpa kata 
nasional). Yang perlu dipopulerkan kepada warga  bukanlah istilah Jaminan Kesehatan Nasional.
Lebih bermakna jika disosialisasikan bahwa mulai 1 Januari 2014 
akan berlaku SJSN yang mencakup program Jaminan Kesehatan. Program ini diselenggarakan BPJS Kesehatan yang terbentuk sejak 1 Januari 2014. Setiap orang wajib menjadi peserta dengan membayar iuran. 
Bagi yang tak mampu, iurannya dibayarkan pemerintah melalui APBN. Setiap peserta dapat kartu peserta yang berlaku lintas daerah (secara 
nasional) dan lintas pekerjaan. Kartu boleh kita namakan Kartu negara kita  Sehat, menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan 
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Dengan implementasi program jaminan sosial itu, warga  
akan memperoleh rasa aman sosial sejak lahir hingga meninggal. Secara bertahap rakyat akan terlindung dari risiko ekonomi terhadap berbagai kejadian yang tak terduga ataupun yang dapat diduga, yang berisiko ekonomi, misalnya sakit, kecelakaan kerja, atau memasuki hari tua 
dan saat  tidak mampu bekerja lagi. 
Mekanisme SJSN dirancang untuk melindungi rasa aman sosial 
dan memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi seluruh penduduk negara kita , sesuai dengan asas kemanusiaan, sehingga cita-cita 
meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial dapat terwujud. 
Program jaminan sosial dalam SJSN menerapkan mekanisme asuransi 
sosial. 
Namun SJSN juga berdampak ekonomi yang luar biasa. Khususnya dari penyelenggaraan program jangka panjang, yaitu JHT, J P, dan
JK. Program jaminan sosial pada dasarnya juga yaitu  mobilisasi 
dana warga  yang luar biasa sehingga mampu membentuk tabungan nasional yang sangat besar. Akumulasi dana yang terkumpul dari 
program jangka panjang (sebelum dana itu dipakai  untuk memberi 
manfaat jaminan sosial) dapat dimanfaatkan untuk memperoleh nilai 
tambah melalui   investasi atau kepesertaan di dalam berbagai proyek 
ekonomi yang menguntungkan. Tidak terkecuali di dalam kepesertaan 
bursa saham.
Bagi banyak negara Asia yang telah mengembangkan sistem jaminan sosialnya, ternyata program itu juga yaitu  penangkal krisis ekonomi pada 1998. Perdana Menteri Mahathir Mohamad, saat  
itu memakai  dana jaminan sosial dari Employee Provident Funds
(EPF) untuk menangkal merosotnya ringgit Malaysia terhadap dollar 
AS sebab dana EPF sudah cukup besar. Sementara itu, negara kita  tak 
mampu menangkal merosotnya nilai rupiah dipicu tak memiliki 
cadangan devisa atau tabungan yang cukup besar.
Dibandingkan dengan dana EPF, dana PT Jamsostek masih terlalu
kecil. usaha  mematok rupiah—sebagaimana disarankan Steve Hanke 
waktu itu—gagal sehingga rupiah merosot ke Rp 16.000 per dollar AS dari sekitar Rp 2.300 per dollar AS. Malaysia juga ternyata lebih cepat 
pulih dibandingkan dengan negara kita . Inilah sebabnya, bagi Malaysia, 
program jaminan sosial yaitu  engine of development. Dana jaminan sosial inilah yang banyak “dipinjam” negara untuk membiayai 
banyak proyek pembangunan di Malaysia. ini  dimungkinkan oleh 
sebab  peran negara di dalam penyelenggaraan program jaminan sosial memang sangat besar, termasuk menjaga likuiditas dan keamanan 
dana jaminan sosial.
Pengalaman Jepang lain lagi. Jepang yaitu  negara yang dikenal 
sebagai yang terbesar akumulasi dana jaminan sosialnya setiap tahun. 
Dikabarkan, penambahan dana jaminan sosial per tahun per orang 
melampaui 5.000 dollar AS. Berarti berapa triliun dollar setiap tahun? 
Dana ini, kalau disimpan di bank, berbunga tidak lebih dari 1 persen. 
Namun, kalau dipinjam negara untuk dipinjamkan kepada negara lain, 
termasuk negara kita  yang dikatakan sebagai pinjaman lunak, bunganya lebih dari 1 persen. Keuntungannya masuk ke dana jaminan sosial. Kondisi inilah yang menumbuhkan hubungan kerja seumur hidup 
sehingga jarang ada pemogokan buruh di Jepang. Meskipun demikian, 
juga harus diakui bahwa banyak negara maju, terutama di Eropa dan 
Amerika Serikat, yang menghadapi kesulitan dipicu program jaminan sosialnya. Penyebabnya ialah usia yang semakin tinggi sehingga 
beban pensiun semakin besar, di samping pengelolaannya juga kurang 
berhati-hati. Jerman, dalam ini , yaitu  contoh keberhati-hatian itu: masa usia pensiun diperpanjang menjadi 67 tahun sehingga 
masa mengiur jaminan sosial juga semakin panjang.  
Selain itu, konsep pembiayaan program jaminan sosialkan menentukan kelangsungan hidup program. Prinsip kepesertaan wajib, 
mekanisme asuransi yang diterapkan, juga menentukan kelangsungan 
hidup program. Sebaliknya, kepesertaan sukarela, introduksi asuransi 
komersial sebagaimana diterapkan terutama di Amerika Serikat, sangat rawan dengan apa yang dikenal sebagai bias selection: orang yang 
berisiko tinggi cenderung mengikuti program jaminan sosial sehingga 
pembayaran manfaat bagi peserta yang memang berisiko tinggi bisa 
mengancam kelangsungan hidup program. Semua itu telah diantisipasi dalam UU SJSN sehingga kelangsungan hidupnya lebih terjamin. 
Semua itu perlu disampaikan, oleh sebab  masih ada kesan adanya 
berbagai pertanyaan di sekitar pelaksanaan SJSN. Selain itu, juga masih 
ada keraguan terhadap kelangsungan hidupnya, sebagaimana terjadi di beberapa negara di mana program jaminan sosial menjadi sumber 
terjadinya krisis ekonomi. ini  sesungguhnya juga telah diantisipasi 
UU SJSN.
Rambu-rambu telah dipersiapkan, antara lain mencegah terjadinya bias selection, bahkan penyalahgunaan. Khususnya dalam penyelenggaraan JK, sehingga terjadinya pelayanan yang tidak perlu atau pemakaian yang berlebihan sudah dicegah serendah mungkin.
Kalau program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sesuai harapan, tidak mustahil BPJS Ketenagakerjaan kita 
akan menjadi BPJS kelas dunia, sebagaimana telah dipromosikan di sejumlah media mengingat besarnya peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal 
yang sama terjadi di China, cadangan devisa China yang dikabarkan 
melampaui 3 triliun dollar AS itu sebagian besar berasal dari dana jaminan sosial. Di saat itu program jaminan sosial kita akan benar-benar 
jadi engine of development sehingga kita tidak memerlukan utang luar 
negeri lagi untuk membiayai pembangunan. Inilah sesungguhnya yang 
juga yaitu  peta jalan mewujudkan berdikari.





Diperkirakan bahwa sebagian besar sengketa di Malawi diproses 
oleh forum peradilan adat, dipimpin oleh kepala suku. sesudah  dekolonisasi, kepala suku dikooptasi dan dipakai  sebagai alat politik untuk 
mengontrol penentang rezim baru.118 Ini untuk mencegah kemungkinan peran mereka dalam peradilan resmi dalam demokrasi yang baru 
muncul tahun 1990-an. Sekalipun memiliki yurisdiksi formal dan akan 
namun  putusan mereka tidak memiliki kekuatan hukum.
Namun kepala suku juga yaitu  kepala administrasi desa, 
yang memegang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan kehakiman. Otoritas mereka semakin meluas ke dalam keputusan seperti alokasi lahan 
dan gugatan terhadap pelayanan publik. warga  setempat sebab  
itu terus-menerus mengakui otoritas kepala. Situasi ini tidak menafikkan fakta  bahwa mereka digaji oleh pemerintah. Para kepala suku 
itu juga memainkan peran penting dalam memobilisasi suara untuk 
partai yang berkuasa. Rekomendasi mereka biasanya dihormati, meskipun orang dapat naik banding atau memilih bentuk lain dari penye-lesaian sengketa jika mereka merasa hak-hak mereka tidak dihormati.

Pemerintah Sudan Selatan, wilayah dengan mayoritas penduduk 
beragama Kristen, terbentuk pada Januari 2005 dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paripurna (Comprehensive Peace Agreement, CPA) dengan Pemerintah Sudan di kawasan Utara.119 Gerakan 
Pembebasan Rakyat Sudan (Sudanese People’s Liberation Army, SPLA) 
telah berjuang lama untuk kemerdekaan dari pemerintahan Presiden 
Omar al Bashir yang dianggap represif. Pemerintahan Omar al Bashir 
telah lama mendominasi politik Sudan, memberlakukan hukum syariat dan bahasa Arab dan budaya di wilayah selatan negara itu.120 Sudan 
Selatan menjadi sebuah negara merdeka pada 9 Juli 2011 sesudah  referendum yang diselenggarakan pada Januari 2011 menghasilkan sekitar 
99% pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Sudan.
warga  Sudan Selatan merasakan kekerabatan yang lebih besar dengan tetangga mereka di selatan, yaitu negara Kenya dan Uganda, keduanya bekas jajahan Inggris, dengan bahasa Inggris sebagai 
bahasa pengantar resmi, dan dengan komunitas-komunitas Kristen 
yang signifikan. sesudah  berabad-abad perdagangan budak Arab yang 
dioperasikan di Sudan Selatan dan lalu  ditutup oleh Inggris di 
abad ke-19, hanya memperburuk ketegangan dan ketidakpercayaan di 
wilayah ini . Eksploitasi lebih baru dari ladang minyak selatan untuk kepentingan eksklusif memperkuat motif SPLA.
Pemerintah, termasuk para hakim agung pada Mahkamah Agung 
yang baru diangkat, menghadapi tantangan membangun dalam aturan norma-norma dan lembaga-lembaga hukum di Sudan Selatan.Struktur pengadilan formal masih eksis namun sebelumnya dibentuk untuk menerapkan hukum syariat, sesuatu yang ditentang oleh 
SPLA dan pula lembaga pengadilan hanya mampu menjangkau segelintir penduduk. Oleh sebab  itu, prioritas diletakkan kepada pembenahan sektor peradilan dengan pembentukan sistem hukum dan peradilan yang sama sekali baru. Pemerintah baru memilih untuk sistem 
common law, suatu sistem yang mirip dengan Kenya dan Uganda.
Keterbatasan akses keadilan jelas tidak mungkin menempatkan sistem peradilan formal sebagai garda depan dalam menegakkan hukum. 
Walaupun sebelumnya disusun pengadilan dengan mendasarkan diri 
kepada hukum Islam, namun faktanya 90% sengketa diselesaikan 
oleh peradilan informal yang dikelola oleh suku-suku di sana. ini  
memicu  tantangan yang signifikan tentang bagaimana mengintegrasikan hukum adat yang berlaku, mengingat ada minimal 60 sistem 
hukum adat. Juga adanya arus demografi yang berubah saat lebih 
dari 4 juta orang pengungsi kembali ke warga  tradisional.
Pengadilan adat dikendalikan oleh para kepala suku yang ratarata tidak melek huruf. namun  kepercayaan publik terhadap 
pengadilan ini  secara signifikan lebih tinggi dibandingkan  keyakinan 
atas sistem formal. Para kepala suku begitu dihormati dan keputusan 
mereka, untuk sebagian besar, diterima dan diikuti. Akses ke peradilan adat juga baik. Biaya pengajuan terbilang rendah, sistem beroperasi tanpa pengacara, dan transportasi biasanya tidak menjadi masalah 
sebab  pengadilan adat berada dalam warga  yang mereka layani.C. masalah  PAKISTAN
warga yang tinggal di daerah perdesaan Pakistan mencakup setengah dari seluruh penduduk negara itu tidak diuntungkan atas 
kebijakan reformasi pertanian yang dilaksanakan setengah hati. Selain itu, penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan hanya sedikit 
menghasilkan pembangunan sosial-ekonomi yang buruk. ini  lebih 
diperparah oleh korupsi dalam sistem peradilan formal dan dalam kebanyakan masalah  unsur-unsur kriminal melekat pada diri baik elite politik perdesaan maupun pejabat negara.
Tunggakan perkara di pengadilan meningkat dari hari ke hari seiring dengan kurangnya aksesibilitas, keterjangkauan, dan efektivitas 
pada pengadilan yang lebih rendah. Organ utama peradilan yaitu  (i) 
Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, (ii) peradilan District di mana 
kompetensi dan para hakim diawasi dan dikendalikan oleh Pengadilan 
Tinggi dalam yurisdiksi mereka; (iii) dibantu oleh aparat penegak hukum di tingkat federal dan tingkat provinsi yaitu Kejaksaan Agung, dan 
(iv) Kantor Penuntut Umum dalam setiap provinsi. Baru-baru ini unit 
penuntutan umum yang independen telah dibentuk di setiap provinsi. 
Di samping itu, sedang dikembangkan lembaga negara nonstruktural 
seperti (i) Ombudsman di tingkat Federal dan Provinsi; (ii) Ombudsman Pajak di tingkat Federal; dan (iii) Komite Penyelesaian Sengketa 
Alternatif (sesuai dengan ketentuan UU Pajak dan UU Kepabeanan).
Di Pakistan, sistem Jirga di North-West Frontier Province (NWFP) sekarang dikenal sebagai Khyber Pakhtunkhwa (sejak 2010) dan 
Baluchistan dan Panchayats di Punjab dan Fasilo dan Sulh di Sindh 
yaitu  mekanisme non-institusional terkenal untuk penyelesaian 
sengketa. Dua jenis ADR telah dipraktikkan di Pakistan, yaitu ADR tradisional dan badan-badan publik ADR. Jirga/Panchayat dapat disebut ADR secara tradisional sedangkan penyelesaian sengketa melalui Komite Msalehat atau SCMOCO (Small Claims and Minor Offences Courts 
Ordinance) yaitu  ADR yang difasilitasi oleh badan publik.
Mekanisme peradilan informal ini  bersifat non-yudisial dan 
dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan provinsi. Keberadaannya didorong pula oleh fakta  bahwa aparatur pemerintah tidak cukup menyediakan infrastruktur yang 
diperlukan untuk menyelesaikan sengketa di wilayah yang terpencil 
sehingga warga yang tidak memiliki akses mudah ke pengadilan 
dan tidak mampu membayar biaya litigasi lalu  mencari tempat 
alternatif kepada sistem peradilan informal yang lazim atau yang ada di 
dekat tempat tinggal mereka. 
Sebelum kolonisasi kepala suku atau kelompok kepala suku (dewan tetua) berhimpun dalam Jirga, dan forum ini yaitu  mekanisme adat dalam pengaturan pra-kolonial yang diberi mandat untuk 
menyelesaikan sengketa baik pidana dan perdata di antara suku-suku 
yang ada. Jadi Jirga, yang tidak memiliki hokum acara formal, dipakai  sebagai pengganti pengadilan. maka , konsep Jirga 
tertanam dalam kebiasaan di mana para kepala suku menyelesaikan 
perselisihan.
Saat ini Jirga tidak hanya dipakai  sebagai praktik adat untuk 
mengadili kejahatan terhadap kesusilaan atau praktik-praktik tradisional yang berbahaya seperti Vani, suatu sistem di mana wanita 
diberikan sebagai kompensasi, namun juga dipakai  sebagai cara 
untuk rekonsiliasi, mediasi atau arbitrase untuk memberi  Restorative Justice. Kepala suku dalam banyak masalah  yaitu  anggota parlemen 
dan menteri dalam satuan pemerintahan provinsi dan juga di tingkat 
federal.
Jirga dipraktikkan dengan nama yang berbeda-beda pada wilayah 
lain di Pakistan seperti Fasilo di Sindh, Panchayat di Punjab, Jirga di Balouchistan, Provinsi North West Frontier. Namun melalui perubahan 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jirga ditetapkan hanya terbatas 
pada daerah NWFP dan beberapa daerah di Balouchistan. Meskipun 
demikian, namun  Jirga secara samar-samar dilembagakan di wilayah 
lain melalui dengan dukungan, baik aktif maupun pasif, dari aparatur 
penegak hukum. Menariknya, menurut Pasal 247 ayat (7) UndangUndang Dasar Pakistan, yurisdiksi peradilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) tidak mencakup wilayah semio-tonom yang diakui oleh pemerintah, yang memiliki rezim hukum dan 
peradilan mereka sendiri. Meskipun melalui Undang-Undang 1976, 
yang melarang Jirga beroperasi di luar wilayah yang ditetapkan, akan 
namun  wilayah lain mengadopsinya sebagai system peradilan informal. 

ada  berbagai jenis atau model hubungan soal pengakuan 
negara atas keabsahan pelaksanaan kekuasaan ajudikatif oleh sistem 
peradilan informal. Di salah satu ujung spectrum ini , ada model 
hubungan di mana negara melarang dan menekan sistem peradilan 
non-negara, sementara di ujung lain, negara menggabungkan sistem 
peradilan non-negara ke dalam sistem hukum negara.
Ada beberapa hal yang harus dibahas sebelum penjelasan perinci 
mengenai model hubungan pengakuan negara terhadap sistem peradilan informal. 
Pertama, model-model yang diidentifikasi akan memiliki hubungan signifikan satu sama lain. ini  sebab  satu model sering kali menjadi model operasional yang lebih detail dibandingkan model yang lain. 
ada  beberapa model yang lain dipicu sebab  ada sudut pandang yang mendasar. Bagian awal dari sudut pandang ini  yaitu  
keputusan oleh negara untuk secara resmi mengakui legitimasi pelaksanaan kekuasaan ajudikatif oleh sistem peradilan informal. Langkah 
ini mengubah hubungan dari bentuk yang informal menjadi formal, 
sehingga secara radikal mengubah sifat hubungan yang diperlukan di 
antara kedua sistem ini , misalnya dengan mekanisme pengawasan dan pengendalian. Namun seperti dikatakan oleh Bouman bahwa 
tentu saja yaitu  kesalahan jika  menyamakan pengakuan dengan pencantuman dalam peraturan di tingkat nasional. Bouman menunjuk kepda praktik di Botswana saat  hukum adat ditolak dan tidak 
diakui oleh negara.
Kedua, respons negara terhadap sistem peradilan informal yaitu  ciri hubungan, dan maka  didasarkan pada asumsi 
bahwa akan selalu ada sistem negara dan sistem ini akan selalu menjadi penting. Tentu saja, dalam konteks periode sejarah sebelumnya (terutama sebelum adanya perjanjian Westphalia pada 1648) anggapan ini 
tidak benar, dan Chanock berpendapat bahwa bahkan hari-hari ini di banyak negara, hukum negara memiliki peran yang terbatas, “tidak hanya di alam semesta normatif, namun  juga pemakaian nya untuk menyelesaikan perselisihan.”129 Namun sebab  sistem internasional memberi  negara kedaulatan atas pembuatan hukum terus berlangsung 
sampai saat ini, maka hukum negara secara teoretis dianggap mampu 
mengatur perselisihan lokal.
Ketiga, berhubungan dengan pernyataan Woodman mengenai 
pluralisme kelembagaan, yang melibatkan pengakuan dari struktur, 
kelembagaan dan proses sistem hukum lainnya. Untuk alasan ini, 
struktur hukum hibrida seperti Pengadilan Desa di PNG atau Pengadilan Pulau di Vanuatu tidak termasuk dalam tipologi ini sebab  mereka 
pada dasarnya hasil dari modifikasi oleh badan-badan negara.
Keempat, ada  kemungkinan bahwa ada dua atau lebih model yang berbeda untuk satu hubungan dalam satu negara pada waktu 
yang sama. Sebagai contoh, di Bangladesh sistem Shalish dilembagakan dalam tiga cara, yaitu yang secara tradisional dikelola oleh para 
pemimpin desa, yang dikelola oleh badan pemerintah lokal, dan dalam 
bentuk yang dimodifikasi diperkenalkan dan diawasi oleh LSM.
berdasar  uraian di atas, maka dalam tulisan ini akan diidentifikasi tujuh model pengakuan negara terhadap peradilan informal, 
yaitu: (i) represi terhadap sistem peradilan informal oleh sistem formal; (ii) independensi peradilan informal disertai penerimaan secara 
diam-diam oleh negara; (iii) tanpa pengakuan formal namun peradilan informal didukung oleh negara; (iv) pengakuan formal oleh negara atas peradilan informal namun dengan yurisdiksi yang terbatas; 
(v) pengakuan formal oleh negara dengan batas-batas yurisdiksi yang 
tegas; (vi) pengakuan formal oleh negara dengan disertai pengawasan 
dari negara; dan (vii) penggabungan sistem peradilan informal terhadap sistem formal.
1. Represi Terhadap Sistem Peradilan Informal 
Model ini melibatkan negara secara aktif untuk menekan sistem 
peradilan non-negara dengan membuatnya ilegal dalam memeriksa 
dan memutus perkara (bukan hanya dengan melarang pemakaian  
kekuatan koersif oleh sistem peradilan non-negara). Model ini jarang 
terjadi namun secara resmi ada di Botswana. Botswana telah beru-saha untuk menggabungkan hampir seluruh sistem peradilan adat ke 
dalam sistem negaranya, dan mungkin sebagai hasilnya telah mencoba 
untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi sistem peradilan informal yang bersaing sistem formal. 
Model ini dapat dipakai  oleh negara untuk melarang jenis salah 
satu jenis sistem peradilan informal dan mengembangkan hubungan 
yang berbeda dengan yang sistem informal lain atau bahkan melarang 
seluruhnya. maka , bentuk konkret dari model ini yaitu  
sistem peradilan informal secara aktif akan ditekan oleh negara, misalnya dengan menuntut bahwa negaralah yang berwenang untuk menentukan legitimasinya. Secara ideal, maka model ini memastikan terbentuknya sistem hukum yang homogen tanpa ada persaingan dengan 
sistem yang lainnya.
Dalam beberapa masalah  bentuk kebijakan dalam model ini tidak dapat berjalan secara total namun  hanya memaksa sistem peradilan informal menjadi tersubordinasi. Pemenuhan keadilan dan hak asasi para 
pihak akan sulit terpenuhi mengingat sistem peradilan informal akan 
bekerja tidak resmi. Manfaat yang bias diambil dari sistem peradilan 
informal seperti kecepatan, kehadiran di tingkat lokal, dan aksesibilitas 
akan menjadi hilang. Bisa juga terjadi suatu pengasingan terhadap mereka yang ingin memakai  sistem peradilan informal.
2. Penerimaan Secara Diam-diam 
Di sebagian besar negara-negara di dunia di mana baik negara dan 
sistem peradilan negara sama-sama lemah biasanya  tidak ada pengakuan formal yang diberikan kepada sistem peradilan informal. namun  negara ternyata “menutup mata” bahwa sistem peradilan informal 
memproses sebagian besar perselisihan, dan aktor-aktor negara sering 
secara tidak resmi mendorong