peradilan di indonesia 3

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 3


rn. Sebaliknya, secara fungsional dipahami sebagai serangkaian 
prinsip yang memberi  persyaratan normatif untuk mengendalikan 
kekuasaan pemerintahan, khususnya melalui hukum dan peradilan 
yang independen. Dalam ini , Tamanaha (2013) menyatakan bahwa 
“meskipun sistem peradilan non-negara tidak memenuhi persyaratan 
Rule of Law, mereka dapat dan jangan memenuhi aturan fungsi hukum 
(namun) setidaknya mereka dapat “memainkan peran penting dalam 
kaitannya dengan membangun dan memelihara perilaku di antara 
warga negara.” Sistem peradilan informal melengkapi dan kadangkadang bahkan menjadi pengganti atas infrastruktur resolusi konflik, 
yang memungkinkan untuk terjadinya pemulihan perdamaian sosial, 
dan kepastian hukum.
B. WACANA PEMAHAMAN
Istilah sistem peradilan informal akan dipakai  di seluruh tulisan 
ini saat  mengacu pada mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di luar lingkup sistem peradilan formal. Ada banyak istilah lain yang 
lazim dipakai  dalam referensi maupun percakapan sehari-hari dengan makna serupa seperti peradilan tradisional, peradilan adat, per-adilan restoratif, peradilan rakyat,109 dan sebagainya. Tentu saja secara 
definitif sulit untuk memakai  istilah umum untuk menunjukkan 
berbagai proses, mekanisme dan norma dalam kerangka peradilan semacam itu di seluruh dunia. Setiap usaha  untuk mendefinisikan sistem peradilan informal menghasilkan konklusi bahwa tidak ada definisi yang sangat tepat dan cukup luas untuk mencakup berbagai sistem 
dan mekanisme yang berperan dalam memberi  kepastian hukum 
dan akses terhadap keadilan. Sistem peradilan informal bervariasi, meliputi banyak mekanisme dan bentuk formalitas yang berbeda-beda. 
Derajat formalitas bervariasi sebab  berhubungan dengan (i) kerangka hukum atau normatif, (ii) pengakuan negara, (iii) pengangkatan 
dan interaksi, (iv) kontrol dan mekanisme akuntabilitas, dan (v) sistem 
monitoring dan pengawasan, termasuk pemeliharaan berkas perkara 
dan pelaksanaan hukum acara. Sistem peradilan informal juga mencakup sistem yang mungkin memiliki pengakuan negara, seperti resolusi 
sengketa alternatif yang beroperasi di tingkat warga , baik difasilitasi oleh mekanisme tradisional atau difasilitasi oleh organisasi swadaya warga .
Istilah sistem peradilan informal yang dipakai  di sini untuk menarik perbedaan antara sistem peradilan formal yang diselenggarakan 
oleh administrasi negara110 dengan yang diselenggarakan oleh subjek 
non-negara diberikan sistem peradilan informal.111 Pembelahan semacam itu bukan tanpa risiko dari perspektif akademik. Cara ini mengandaikan perbedaan yang tajam antara lembaga negara dan non-negara 
yang terlibat dalam administrasi peradilan. Dalam praktiknya, bagaimanapun, perbedaan ini  tidak selalu tepat. Misalnya, warga  adat dari salah satu perspektif yaitu  peradilan formal sebab  mereka menerapkan hukum adat, namun  dari perspektif lain mereka 
tidak bisa dianggap dalam posisi semacam itu sebab  mereka diakui 
dan diatur oleh negara. Sebuah definisi yang ketat dari peradilan formal, bagaimanapun, akan mengecualikan warga  adat dari ruang 
lingkup tulisan ini.
Sejauh definisi sistem peradilan informal meminta perhatian terhadap keberadaan sumber hukum yang bukan berbasis negara, maka 
konseptualisasi ini  konsisten dengan praktik di banyak “nonstate justice system,” terutama di daerah perdesaan. Pengertian ini juga 
yaitu  dasar yang membawa analisis gagasan pluralisme hukum. 
Namun jika analisis sistem peradilan formal diletakkan kepada hukum 
(apa) yang diberlakukan, yaitu berupa norma-norma yang berasal dari 
non-negara, ruang lingkup penulisan ini akan sangat sempit. Pertama, 
sebab  beberapa lembaga berbasis negara sering menerapkan hukum 
non-negara baik sebab  ketentuan perundang-undangan atau sebab  
desakan publik.112 Dan kedua, sebab  sangat sering, terutama dalam 
konteks perkotaan, norma-norma yang diterapkan oleh sistem peradilan informal tidak hanya konsisten dengan hukum negara, namun  memedomaninya. Fakta bahwa sistem peradilan informal sering meniru 
lembaga negara memicu  isu-isu kebijakan menarik mengenai 
tata kelola dan keadilan pada biasanya . Definisi sempit sistem peradilan informal dalam hal hukum yang mereka terapkan akan mengecualikan refleksi pada isu-isu ini.
Pada masalah  Afganistan, para pendukung dari sistem peradilan informal, juga mengakui bahwa negara dan sistem peradilan memiliki 
kewajiban untuk memberi  keamanan dan melindungi hak-hak 
warga negara. Kesuksesan pembangunan negara akan berarti peran 
yang lebih besar bagi pemerintah dalam urusan rakyatnya dan akan 
mengharuskan mekanisme pemerintahan lokal menyerahkan sebagian kewenangan mereka kepada negara. Melalui kerja sama dan saling 
pengakuan, warga dapat mengambil keuntungan dari lembaga negara, 
seperti fungsi administrasi pengadilan untuk mengesahkan properti, 
sementara pada sisi lain mereka mengandalkan mekanisme informal 
untuk menyelesaikan sengketa yang mendasarinya.113Dalam diskusi mengenai peradilan informal ini, dalam beberapa 
masalah  tidak membahas sejauh mana negara terlibat di dalamnya.114 Di 
banyak negara, warga  yang menerapkan hukum adat diakui dan 
diatur oleh negara, baik melalui konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Oleh sebab  itu, peradilan tradisional acapkali berwatak “semi formal.” Ada sementara anggapan bahwa oleh sebab  bewatak demikian, maka peradilan informal lalu  dicap sebagai lebih 
sederhana dan bahkan kedudukannya menjadi subordinat dibandingkan dengan peradilan formal. Anggapan semacam ini tentu saja keliru, 
mengingat dalam beberapa bentuk, peradilan informal justru menerapkan sistem yang sangat maju dan bahkan memiliki hukum acara 
yang tersistematis.115
Harus diingat, terutama dalam situasi negara pascakonflik seperti 
diuraikan di bab sebelumnya, ada mekanisme hukum termasuk proses 
peradilan yang dilakukan oleh warga  itu sendiri. Demikian juga 
yang dilakukan oleh aktor non negara seperti laskar, kelompok jalanan, 
pasukan swasta, dan sebagainya.116 Secara teoretis hal itu bisa dikategorikan sebagai peradilan informal, namun tidak termasuk dalam 
pembahasan dalam tulisan ini. Demikian pula, tulisan ini tidak secara 
eksplisit mencakup rentang sistem penyelesaian sengketa agama dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution, ADR) 
meskipun beberapa contoh ini  diberikan.
Dalam mempertimbangkan hukum adat dalam lingkup sebuah 
keluarga hukum, studi ini mencatat beberapa pernyataan atau postulat tentang hukum adat ini . Meskipun cara ini pasti melibatkan 
penyederhanaan dan generalisasi, mungkin berguna dalam konteks 
penelitian ini untuk mempertimbangkan hukum adat sebagai sebuah 
keluarga setara dengan keluarga hukum lain. Asumsi pertama yaitu  bahwa hukum adat biasanya bertujuan untuk memelihara 
perdamaian dan harmoni dalam warga  di mana ada keterikatan 
orang terhadap keluarga dan klan yang akan menentukan status dan 
peran. Hukum adat secara umum menghargai tujuan-tujuan ini  
lebih dari klaim teori hukum individual yang muncul dalam bacaan awal referensi hukum.117
Akibatnya, tidak ada perbedaan yang jelas antara lapangan pidana 
dan perdata, dan tanggung jawab untuk kesalahan ditempatkan pada 
kolektivitas dan tidak sekadar pada individu. Kedua, proses hukum adat 
sebagian besar berbentuk lisan dengan prosedur yang fleksibel dan sederhana. Standar pembuktian didasarkan pada asumsi probabilitas. 
Juri dipilih melalui mekanisme yang sering berdasar  status atau reputasi, dan kadang-kadang pada keturunan. Mekanisme ini  dalam komunitas yang menuntut tannggung jawab, kewajiban kolektif, 
dan reputasi warga , sehingga kegagalan untuk hidup sesuai dengan tuntutan keadilan dan ketidakberpihakan akan membawa malu 
dan bias memicu  konsekuensi kehilangan status. Aturan substantif berasal dari tradisi yang telah eksis sejak jaman dahulu dan bahwa akal sehat dan persepsi melengkapi konsensus warga . Aturan 
ini  dapat dikembangkan dan berubah secara bertahap melalui 
negosiasi, permusyawaratan, dan akibat berbagai pengaruh yang berlaku di warga . Sistem ini sering berorientasi pada kerangka kerja 
lokal dan struktur sosial yang stabil yang mendefinisikan dengan baik 
peran sosial dan gender, dengan hak dan kewajiban yang sesuai.
C. KETERKAITAN DENGAN SISTEM PERADILAN FORMAL 
Hakikat sistem peradilan informal dan sejauh mana mereka dimasukkan ke dalam sistem formal sangat tergantung pada kondisi historis 
masing-masing negara. Sistem hukum peninggalan kekuasaan kolonial dan sistem negara dan hukum baru yang dibentuk selama dekolonisasi memengaruhi peran dan status hukum adat dan sistem peradilan 
informal serta interaksi antara sistem peradilan ini  dengan sistem 
peradilan formal. 
Reformasi Rule of Law di Negara Sedang Berkembang menghadapi tantangan yang menakutkan seperti (i) stigma imperialisme saat  lembaga gaya Barat justru yang dipilih, (ii) keengganan warga  
lokal untuk terlibat dalam proses reformasi, dan (iii) kekurangan parah 
sumber daya baik manusia, fisik, maupun keuangan. Pada saat yang 
sama, beberapa Negara Sedang Berkembang memiliki institusi hukum 
adat yang sangat fungsional. Di Afrika, misalnya, seorang kepala suku menerapkan hukum adat yang diturunkan oleh tradisi lisan. Sistem ini 
menikmati dukungan public yang kuat sekalipun memiliki keterbatasan anggaran, namun sering memberi  penyelesaian sengketa yang 
cepat dan bisa diakses oleh warga . Sayangnya sistem adat tidak 
selalu mematuhi standar minimum peradilan dan hak asasi manusia 
versi Barat.
Sebagai tanggapan akan permasalahan itu, ada usaha  untuk mensistematisasikan hukum adat, dan/atau menciptakan prosedur banding atas putusan peradilan informal. usaha  ini berpotensi mengancam kepemimpinan dan kontrol hukum oleh warga  adat itu 
sendiri sendiri. Pembaruan hukum dituding berbasis pengertian kolonial, sehingga proyek semacam itu dituding telah menciptakan suatu 
imperialisme baru. Akibatnya, putusan peradilan informal harus tunduk kepada mekanisme banding dan/atau peninjauan kembali.
Di sebagian besar negara, ada keterkaitan fungsional antara kedua 
sistem peradilan ini . Hukum negara dapat mendefinisikan hubungan ini  dan menentukan kaidah-kaidah kolaborasi (termasuk 
prosedur banding, pengawasan, pembagian kompetensi, nasihat, bantuan, dan sebagainya). 
Bahkan saat instrumen semacam itu tidak ada, sering ada berbagai 
bentuk kerja sama resmi. Ada juga kemungkinan banding ke pengadilan dalam sistem formal dan, dalam beberapa keadaan, mekanisme 
ini mungkin mendorong orang untuk percaya kepada mekanisme keadilan informal. maka , sistem formal dapat memberi  
pengaruh bahkan di mana mekanismenya tidak langsung ditentukan. 
Kemungkinan pula tercipta hubungan yang negatif, dengan persaingan yurisdiksi termasuk oposisi terbuka atau bahkan permusuhan. Selain hubungan fungsional, ada beberapa contoh munculnya tumpangtindih atau mekanisme untuk “meminjam” norma-norma, aturan dan 
prosedur antara peradilan informal dengan peradilan formal. Hubungan semacam ini mungkin berasal dari sejarah panjang interaksi dan 
koeksistensi di antara kedua sistem ini . 
Asal muasal keberadaan sistem peradilan informal banyak dan 
beragam. Pengakuan sistem peradilan informal dengan menggabungkan hukum adat, tradisi atau agama ke dalam sistem formal mungkin 
yaitu  cara bagi negara untuk mengakomodasi tradisi agama atau 
etnis yang berbed-beda dalam satu negara. Juga dapat memungkinkan 
negara untuk mengatur sistem peradilan informal, misalnya, dengan membatasi ruang lingkup yurisdiksi mereka dengan menentukan bahwa tradisi atau adat hanya berlaku untuk domain tertentu. Konsep 
menentukan bahwa dalam sistem peradilan informal pengetahuan 
tentang adat yaitu  sumber otoritas dan ruang kekuasaan dibandingkan dengan pejabat negara.
Jangkauan kerja kepala suku tradisional kadang-kadang secara fisik terletak di wilayah pemerintah daerah. Negara dapat membayar gaji 
kepada para pemimpin tradisional. Terutama jika mereka melakukan 
tugas-tugas administratif selain menyelenggarakan peradilan. Kedudukan kepala suku tradisional sering dikatikan dengan wewenang pemerintahan daerah di tingkat lokal. Bias saja ada hubungan langsung 
antara para pemimpin tradisional dan sistem formal dalam bentuk 
mekanisme banding dan prosedur penegakan hukum. biasanya 
hubungan ini terjadi hanya jika  pengadilan para pemimpin tradisional secara hukum yaitu  bagian dari struktur peradilan seperti di Zimbabwe atau untuk tingkat yang lebih rendah, di mana para 
pemimpin tradisional dapat mencalonkan atau mewakili sebagai juri 
dalam sistem formal seperti di Zambia. Sementara itu, negara-negara 
Amerika Latin mengambil arah yang agak berbeda. Perubahan konstitusi mengakui praktik peradilan dalam komunitas tradisional dengan 
kompetensi pada semua perkara di berbagai lapangan hukum.
Di negara-negara lain seperti Nigeria, Uganda, dan Malawi bahkan 
di mana para pemimpin tradisional dapat melakukan tindakan-tindakan hukum lazimnya yang dikenal dalam hukum acara pidana, seperti 
menahan tersangka dalam sel tidak resmi sambil menunggu polisi tiba 
atau menunggu tersangka untuk dibawa ke polisi (yang bisa memakan 
waktu lama, tergantung pada jarak dan sumber daya). Wewenang ini 
terus berlangsung meskipun ini yang telah dinyatakan ilegal. Di Karamoja sebelah timur laut Uganda, pengadilan tradisional, yang yaitu  dewan (laki-laki) penatua, terus berurusan dengan semua perselisihan, termasuk perkara perdata dan pidana. Perkara seperti santet 
dan sengketa kepemilikan tanah dapat pula diperiksa dan diputus oleh 
pengadilan tradisional itu, sekalipun untuk masalah  santer hukum negara 
sama sekali tidak mengatur atau saat telah dibentuk pengadilan yang 
khusus menangani sengketa tanah.
memberi  akses keadilan yaitu  kewajiban negara di bawah 
standar hak asasi manusia internasional, namun  kewajiban ini tidak 
mengharuskan hal itu hanya diberikan melalui sistem peradilan for-mal. Jika dilakukan dengan cara-cara untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, ketersediaan akses keadilan melalui 
sistem peradilan informal dapat menjadi mekanisme untuk meningkatkan pemenuhan kewajiban ini  atas individu dan warga  
di mana sistem peradilan formal tidak memiliki kapasitas atau jangkauan geografis. Kewajiban hak asasi manusia berlaku untuk sistem 
peradilan informal dan negara memiliki kewajiban untuk menjamin 
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia, 
termasuk menjamin keberadaan sistem peradilan informal. Mengkaji 
sistem peradilan informal untuk pemenuhan hak asasi manusia yaitu  persoalan yang kompleks. Kedua bentuk pengadilan perlu 
dianalisis bersama-sama dalam hal kemampuan, prosedur, dan untuk 
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Dalam beberapa keadaan, tidak 
terpenuhinya hak asasi manusia dapat menimpa kepada sistem formal 
maupun informal. Misalnya, sistem peradilan informal bisa menjadi 
alat yang positif untuk mengalihkan anak kepada aspek yang lebih retributif dibandingkan dengan sistem peradilan pidana formal. Saat ada 
keterbatasan akses ke mekanisme peradilan anak formal, sistem informal bisa menekankan keadilan restoratif itu, dengan mencari keharmonisan dalam warga  setempat untuk mengintegrasikan kembali anak ke warga .





Perkembangan di Argentina menggambarkan bahaya dalam memajukan kemandirian peradilan sebagai solusi untuk membangun 
supremasi hukum. Argentina, seperti banyak dari Amerika Latin, secara historis telah terganggu oleh apa yang beberapa sebut “demokrasi 
delegatif” atau demokrasi tanpa Rule of Law yang dikembangkan sejak 
kepresidenan Nestor Kirchner almarhum (2003-2007), dan sekarang 
dilanjutkan oleh istrinya, Chirstina Kirchner (2007-2011).96 Kirchner 
yaitu  wanita pertama yang terpilih sebagai presiden Argentina.97
Pada tanggal 19 Desember 2001, kerusuhan sebab  kelangkaan 
pangan meletus di beberapa kota di Argentina. Berbeda dengan masalah  
serupa di tahun 1989, kerusahan ini tidak dipicu sebab  tingkat 
inflasi yang tinggi, namun  sebab  hampir selama 10 tahun harga tetap 
menjulang tinggi sebab  perkembangan resesi dan membengkaknya 
pengangguran. Selama berjam-jam, kerusahan diikuti dengan protes 
kalangan kelas menengah dan ketidakpercayaan sosial terhadap pe-merintah. Sekalipun dimensi finansial dari krisis di Argentina telah 
lama disuarakan oleh para pengamat dan investor, akibat-akibat politik sungguh di luar bayangan siapa pun. Meskipun memiliki  karakteristik yang bersifat istimewa, cara penyelesaian krisis di Argentina 
memiliki kemirian dengan masa-masa kekacauan politik di Amerika 
Latin pada tahun 1990-an. Selain pengecualian dalam persoalan tertentu, Argentina menampilkan ilustrasi dramatik dibandingkan kecenderungan krisis serupa dalam dekade ini.
Pada tanggal 1 Desember 2001 malam, Menteri Perekonomian Domingo Cavallo mengumumkan langkah-langkah yang mencerminkan 
keputusasaan pemerintah untuk mencegah kebangkrutan perbankan, 
membatasi pelarian modal asing, dan mengubah rezim nilai tukar yang 
sudah bertahan hampir satu dekade. Hampir selama 3 bulan, warga  akan dipotong simpanannya di bank secara tunai sebesar 250 peses 
(kira-kira setara 250 dollar) tiap minggu dan semua transaksi seperti 
penarikan cek, kartu kredit, atau transfer elektronik akan dibatasi, dan 
tidak seorang pun diizinkan ke luar negeri dengan membawa uang lebih dari 1.000 dollar.
Kebijakan tergesa-gesa ini segera mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah, hanya dua tahun pertama kepresidenan Fernando 
de la Rua sehingga popularitasnya semakin merosot. Presiden de la 
Rua sebelumnya berhasil memenangkan pemilihan presiden (1999) 
dengan kendaraan Alianza, gabungan partai garis keras Partai Radikal 
dan partai kiri tengah FrePaSo, yang mengkritik kepemimpinan Carlos 
Menem. Sekalipun mengumbar janji untuk transparansi dan pendekatan manusiawi atas kebijakan ekonomi, pemerintahan Alianza dirombak pada Oktober 2000 sebab  Wakil Presiden Carloz Avares, pemimpinan FrePaSo, mengundurkan diri sebagai protes maraknya korupsi 
yang melibatkan para senator dan anggota kabinet. Ketidakmampuan 
membangun koalisi yang solid dengan Kongres atau penyelesaian resesi selama hampir 3 tahun, pada bulan Maret 2001, Presiden menunjuk 
Cavallo sebagai Menteri Perekonomian (ia sebelumnya duduk di kabinet Carlos Menem dan arsitek sistem nilai tukar), namun menambah 
kelemahan dan ketidakefektifan pemerintah yang ditunjukkan dengan 
menurunnya charisma Cavallo dalam mengambil keputusan. 
Secara paradoks, penunjukan menteri baru menciptakan ketidakyakinan mengenai masa depan sistem nilai tukar. Melengkapi merosotnya kepemimpinan ini, the Alianza kehilangan banyak kursi dalam pemilu di bulan Oktober 2001 dan Partido Justicialista, sebuah partai 
yang mewarisi ajaran Peron menguasai mayoritas DPR (45%) dan Senat (56%).
Dalam situasi ini, pengumuman di bulan Desember tadi menjadi bom waktu sebab  adanya pengangguran terbuka sebesar 18% selama bulan-bulan sebelumnya. Anjloknya daya beli menjelang Natal 
dan memburuknya resesi, serikat kerja dan buruh swalayan menggelar 
protes atas kebijakan ekonomi ini . Sepanjang Desember, demonstrasi yaitu  masa suram dengan situasi politik yang makin berat. 
Namun kerusuhan pangan pada 19 Desember yaitu  mata rantai 
tak terpisahkan dengan jatuhnya pemerintahan the Allianza.
Dengan berkembangnya aksi massa yang mulai mengepung istana kepresidenan, muncul gagasan untuk memberi  pemerintahan 
kepada the Peronist Party. Dalam pertemuan dengan pemuka partai 
tesebut pada 19 Desember pagi, Presiden de la Rua gagal menghasilkan kesepakatan konkret. Semakin sore, aksi massa semakin meluas di 
seluruh negeri, Kepala Staf Kepresidenan Chrystian Colombo meminta 
pengunduran diri anggota kabinet untuk membuka jalan bagi terciptanya pemerintahan koalisi
Pada malam harinya, suatu usaha yang sia-sia untuk mengendalikan situasi, Presiden de la Rua melalui pidato televisi menyatakan 
negara dalam keadaan darurat. Secara spontan, kalangan kelas menengah menjadi tersulut dengan pengumuman itu, dan turun ke jalan 
untuk menntut pengunduran diri Menteri Domingo Cavallo. Tindakan represif kepolisian terhadap aksi massa di Buenos Aires menyulut 
kerusuhan yang menewaskan tujuh orang pada malam itu. Pada dini 
hari, Presiden menerima pengunduran diri Cavallo. Pada saat bersamaan, gagasan untuk membentuk koalisi dengan the Peronist Party berantakan. Menjelang fajar, negosiasi itu ditutup dan rencananya akan 
dilanjutkan pada hari berikutnya.
Pertemuan selanjutnya tidak pernah membawa hasil. Pada pagi 
hari, 20 Desember 2001, sudah sampai penilaian di kalangan the Peronist Party bahwa pemerintahan de la Rua di ambang kejatuhan. Di luar 
istana, bentrok massa dengan polisi membahana seiring tuntutan demonstan untuk pembubaran pemerintahan. Hanya dua hari dalam aksi 
massa sesudah  pengumuman negara dalam keadaan darurat, tindakan 
represif kepolisian telah memakan korban: 25 tewas, 400 luka-luka, dan 
hampir 3.000 orang ditahan di seluruh negeri. Di gedung Kongres, ka-langan the Peronist party menggertak Presiden dengan ancaman akan 
memecat de la Rua. Presiden memahami situasi dan segera mengajukan pengunduran diri. Sesudah pengunduran diri ini, Ketua Senat Ramon Puerta bersedia untuk menjadi Presiden sementara untuk 48 jam.
Tanpa adanya Wakil Presiden dan saat Kongres dikendalikan oleh 
oposisi, sudah nyata bahwa kalangan Peronist hendak mengambil alih 
pemerintahan. namun  siapa yang akan diajukan sebagai Presiden? Sejumlah pemimpin the Peronist Party yang menjadi Gubernur provinsi 
terkemuka, berambisi untuk mengambil alih dan bersedia menjadi calon. Masalah yang muncul sekarang yaitu  menampilkan pemerintahan yang berwibawa dalam masa transisi, sesuatu yang tidak pernah dipersiapkan oleh the Peronist Party. Akhirnya dicapai kompromi, bahwa 
Gubernur San Luis, Aldofo Rodgriguez Saa, ditunjuk sebagai pejabat 
Presiden untuk 90 hari dan pemilu presiden akan digelar pada 3 Maret 
2002. Tanpa pertentangan berarti dari the Allianza, yang sekarang berubah menjadi oposisi, Presiden sementara dipilih untuk mempercepat 
masa transisi dan menyelesaikan masalah dalam negeri.
sesudah  perdebatan 12 jam di Kongres, kebijakan transisi baru disepakati pada 23 Desember 2001. Segera sesudah dilantik, Rodiguez Saa 
mengumumkan rencana darurat. Utang publik akan dihapus dan akan 
ada pengucuran dana untuk program sosial, termasuk penciptaan sejuta lapangan kerja dan ketersediaan pangan. Sistem nilai tukar dipertahankan, tidak ada lagi devaluasi yang dipaksakan, dan akan ada suntikan dana segar untuk mempertahankan likuiditas ekonomi. Semua 
mobil dan pesawat yang dimiliki kalangan eksekutif akan dilelang, gaji 
politisi dipotong, dan semua posisi di pemerintahan dibekukan.
Dalam 2 hari, sudah tampak bahwa rencana Rodriguez Saa tak 
lebih untuk menyelesaikan persoalan sisa jabatan kepresidenan de la 
Rua (2003). Semua gubernur dari kalangan the Peronist Party menunggu situasi.
Dengan memperhatikan perkembangan situasi, keberhasilan politik sulit ditebak. Untuk mempersatukan perpecahan di kalangan Peronisme, sejumlah mantan pejabat dengan rekam jejak memprihatinkan 
terkait korupsi ditarik ke pemerintahan. Segera saja cara mengelola negara semacam itu mendapatkan protes massa.
Pada sore hari, 28 Desember 2001, Mahkamah Agung menentang 
(dengan komposisi suara 7-2) pembatasan rekening perbankan, dan 
memerintahkan tiap orang untuk menarik kembali tabungan mereka. Tak lama sesudah  putusan itu, Mahkamah Agung menjadi sasaran protes massa dan menuntut agar para hakim agung mengundurkan diri.
Pada malam harinya, kelompok kelas menengah menyusun aksi 
massa baru. Mereka menggalang dukungan untuk melakukan protes 
ke pengadilan dan menuduh para hakim agung telah berpolitik; lalu  ke Istana Presiden yang menuntut diturunkannya pejabat negara 
yang memiliki  rekam jejak korupsi. Hampir 15.000 orang berkumpul di alun-alun the Plaza de Mayo, depan istana kepresidenan. Suara 
protes publik di sini lebih keras: menuntut seluruh politisi dan institusi 
negara untuk mengundurkan diri. Tidak terkecuali para hakim agung. 
Semua hakim yang ditunjuk oleh Carlos Menem di tahun 1990-an 
menjadi sorotan publik.
Untuk mengendalikan keadaan, Presiden Rodriguez Saa menggelar pertemuan darurat dengan para Gubernur dari the Peronist Party, namun  hanya 6 di antara 14 gubernur yang hadir. Seluruh anggota kabinet disepakati mengundurkan diri. Namun Rodriguez Saa menyadari 
merosotnya dukungan elite partai dalam kepemimpinannya. Tak lama 
sesudah  itu, dalam pengumuman di televisi, dia mengundurkan diri sebagai presiden pada 29 Desember 2001. Pimpinan mayoritas Kongres 
Eudardo Camano, untuk sementara waktu menjadi Presiden sampai 
ditetapkannya calon definitif.
Dengan pengunduran diri Rodriguez, kalangan the Peronist Party  bersedia membuka kesepakatan baru dengan  the Allianz  dengan 
pertimbangan bahwa persekutuan anyar ini akan membuat penguasaan parlemen menjadi 90% suara. Dengan kesepakatan ini, pada 1 Januari 2002, Senator Eduardo Duahalde (pernah menjadi Wakil Presiden 
semasa Calor Menem 1989-1991, mantan Gubernur Buenos Aires, calon the Peronist Party yang kalah dalam pemilu 1999) dilantik menjadi 
Presiden hingga 2003.
Pemerintahan baru ini melakukan devaluasi mata uang hingga 
20% dan merombak sistem nilai tukar menjadi sistem mengambang. 
Diputuskan juga seluruh utang dalam dollar akan diubah ke dalam pesos. Namun pemerintah tetap memaksakan pembatasan aktivitas perbankan: hanya diizinkan menarik dana US$ 1.200 tiap bulan (kecuali 
untuk gaji), seluruh deposito dollar diubah ke dalam pesos, dan seluruh sertifikat deposito akan dibayar kembali dalam 36 bulan.
Aksi massa kembali meletus. Pada malam 10 Januari 2002, gelombang baru demonstrasi muncul untuk menuntut perombakan Mahka-mah Agung dan penarikan seluruh deposito. Berhadapan dengan tekanan ini, Mahkamah Agung pada 1 Februari 2002 memutuskan bahwa 
pembatasan transaksi perbankan yaitu  tindakan inkonstitusional. 
Anehnya, putusan ini kembali menuai protes sebab  para hakim agung 
dituduh oportunis dan melakukan manuver politik. Dalam sebuah 
pidato di radio, Duhalde menuduh para hakim telah menghalanghalangi perintah Presiden. Dia mengancam akan menyuruh Kongres 
melakukan  impeachment  terhadap para hakim agung dan sekaligus 
menyerukan rencana perombakan majelis. Dua hari lalu , suatu 
panel di Kongres dibentuk untuk menyelidiki 9 hakim agung.
Dalam perkembangannya, impeachment itu lalu  gagal. Aksi 
massa tidak surut, namun  tidak lagi fokus menuntut pengunduran diri 
Presiden, dan kepastian mengenai deposito mereka tidak kunjung 
datang. Pada 20 Februari 2002, Wakil Menteri Perekonomian mengemukakan di Kongres bahwa 47% rakyat Argentina terjerat kemiskinan. 
Pemerintah Duhalde melakukan pendekatan kepada Kongres dan tercapai kesepakatan bahwa masa jabatan Presiden akan dipertahankan 
mengingat batas waktu yang semakin dekat di tahun berikutnya.
Pemerintahan Kirchner di satu sisi telah membawa secercah harapan bagi demokrasi Argentina. Presiden Kirchner terpilih pada tahun 
2003, sesudah  terjadi krisis kelembagaan, keuangan, dan ekonomi yang 
paling serius di Argentina.98 Sesudah terpiliha, Kirchner berjanji akan 
menjaga independensi peradilan dan memulihkan Rule of Law. Kirchner membayangkan peran Mahkamah Agung seperti lembaga serupa 
di Amerika Serikat.
Sehubungan dengan reformasi peradilan dan memulihkan independensi peradilan, Daniel Brinks mencatat: “Kirchner sungguh-sungguh menghadapi dilema. Pada satu sisi, Mahkamah Agung terpolitisasi 
dan menjadi partisan, sehingga tercemar dan menjadi bulan-bulanan 
publik yang memaksa pengunduran diri atau impeachment bagi para 
hakim. Sementara di sisi lain, tindakan memecat semua hakim hanya 
akan mendorong Kirchner untuk mengabadikan tradisi panjang menunjuk para hakim yang loyal sekaligus memperparah independensi 
peradilan.”Kirchner memimpin perbaikan Mahkamah Agung, yang telah dikemas oleh Presiden Carlos Menem Saúl pada tahun 1990 dan secara luas dipandang terpolitasi dan korup. Sehubungan dengan proses 
rekrutmen hakim Mahkamah Agung, Kirchner telah berusaha untuk 
membuat proses pencalonan menjadi lebih transparan, partisipatif, 
dan deliberatif.100 Untuk mencapai tujuan ini, ia menandatangani keputusan presiden sukarela yang membatasi kewenangannya dalam 
proses seleksi itu. Menurut keputusan ini, Presiden harus secara terbuka mengumumkan calon dan menempatkan nama kandidat secara online dan dalam berbagai publikasi pemerintah.101 Para calon lalu  
harus menyerahkan pernyataan untuk pengawasan publik mengenai 
afiliasi, kegiatan, aset, dan sebagainya secara perinci dalam 8 tahun 
terakhir. warga  memiliki waktu 15 hari untuk mengajukan komentar dan keberatan, dan Presiden lalu  memiliki 15 hari untuk 
menyampaikan maupun membatalkan pencalonan.102 Ketentuan Konstitusi 1994 mensyaratkan dukungan 2/3 Senat dalam pencalonan itu. 
Paket kedua dari reformasi peradilan yaitu  tindakan Kirchner untuk mempertahankan mayoritas hakim agung yang ditunjuk Presiden 
Carlos Menem. Kirchner menolak untuk secara membabi buta memberhentikan seluruh hakim agung dan hanya menunjuk hakim dalam 
jumlah minoritas.103 Kirchner, yang sebelumnya begitu gigih mendukung usaha  pemecatan terhadap 4 hakim warisan Menem,104 tibatiba menentang usul Kongres untuk melakukan impeachment Hakim 
Agung Antonio Boggiano, satu hakim yang masih ada saat itu.105
Bagaimana dapat memahami pendekatan Kirchner untuk impeachments dan sistem nominasi baru itu berpotensi memengaruhi independensi Mahkamah Agung di Argentina? Untuk menjawab pertanyaan perlu dibedakan antara preferensi peradilan dan pengambilan 
keputusan peradilan dan antara kemandirian dan kontrol. Dalam hal 
preferensi peradilan, walaupun diterbitkan Keputusan Presiden Kirchner yang akan mengurangi kendali eksekutif secara sepihak atas proses 
pencalonan, namun justru pada akhirnya sistem nominasi baru itu 
meningkatkan kontrol politik secara keseluruhan atas preferensi dan 
karakteristik calon hakim agung dengan menghasilkan dan mengekspos informasi lebih lanjut mengenai calon kepentingan dan kualifikasi 
calon. Sistem ini akan meningkatkan lebih besar lagi kontrol aktor politik dan maka  ada kemungkinan untuk mengganggu independensi pengadilan.
Struktur peradilan Argentin mengikuti model Amerika Serikat. 
Konstitusi ditetapkan tahun 1853 dan menetapkan bangun negara federal, dengan pengadilan federal dan peradilan provinsi yang terpisah 
untuk masing-masing subdivisi teritorialnya. Sampai tahun 1994, proses pengangkatan hakim agung pada dasarnya identik dengan proses 
yang tercantum dalam Konstitusi AS, yang memberi Presiden kekuasaan untuk menunjuk hakim agung (bersama dengan hakim federal lainnya) dengan nasihat dan persetujuan Senat. Sebuah reformasi pada 
tahun 1994 melibatkan asosiasi pengacara untuk persetujuan calon, 
dengan tetap membutuhkan minimal 2/3 suara Senat.106 Ada penelitian yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya ketimpangan independensi peradilan di Argentina telah berlangsung selama bertahuntahun. Hal itu dapat dilacak dalam ketimpangan yang menyangkut 
preferensi dan dependensi pengambilan keputusan Mahkamah Agung. 
Hakim yang oposon akan selalu memberi  suara menolak dalam 
pengujian tindakan pemerintah, yang berujung kepada sikap Presiden 
untuk menghukum pengadilan atau mengabaikan putusan yang telah 
diterbitkan.107 Oleh sebab itu, “Mahkamah Agung tampaknya mengikuti jargon kuno untuk berada dalam posisi yang independen, akan 
namun  sesungguhnya dalam beroperasi berada dalam lingkungan yang 
membuatnya tidak merdeka.”108
Hal itu dipicu sebab  “Pengadilan tertinggi Argentina, untuk 
sebagian besar sejarah dan kecenderungan umum, tidak memiliki kemerdekaan sebab  hampir selalu terdiri dari hakim yang memegang 
preferensi identik dengan Presiden. Selain itu, hakim secara individual mempertahankan identitas preferensi dengan Presiden ini dengan dalih menghargai kedermawanan Presiden dalam mencalonkan dirinya 
dan tiap kali juga dalam situasi tertentu Presiden akan menagih preferensi politik itu.”109 Lalu, “Pada saat yang sama, pengadilan mampu 
menghasilkan putusan yang independen (mungkin didorong untuk 
pencitraan) saat ada tekanan oposisi. Tapi kita juga dapat menyimpulkan bahwa independensi putusan tetap saja jumlahnya terlampau 
sedikit sebab  tunduk pada erosi setiap kali konstelasi politik memberi  Presiden kapasitas untuk menghukum pengadilan dan memakzulkan hakim.”110
Argentina memiliki sejarah panjang dan akrab dengan ketidakstabilan kelembagaan. Salah satu aspek dari ketidakstabilan ini yaitu  
pemberhentian rutin hakim agung pada saat  terjadi perubahan rezim, meskipun ada  jaminan konstitusional mereka memegang jabatan seumur hidup. 
B. masalah  PERU
masalah  Peru menunjukkan tindakan politik dan hukum yang dilaksanakan secara sistematis oleh pemerintahan korup yang akhirnya mereduksi Rule of Law.111 Pada saat Alberto Fujimori memenangkan pemilu 
presiden pada tahun 1990, ia mewarisi suatu negara yang krisis. Negara 
terperosok dalam inflasi yang mencapai 7.000%, kegagalan membayar 
utang luar negeri, dan kemerosotan pendapatan nasional.112 Lagipula, 
negara mengalami konflik internal antara militer dengan pemberontak 
Maois yang terhimpun dalam Sendero Luminoso sejak tahun 1980-an, 
era di mana justru negara ini telah mengalami transisi sesudah  sekian 
lama dalam cengkeraman kediktatoran militer.113
Capaian kuasa Fujimori seperti kisah dalam novel yang begitu dramatis. Fujimori, warga negara Peru keturunan Jepang, masih dianggap 
asing oleh pihak yang tidak menyukainya. Ia yaitu  insinyur pertanian dan Dekan Fakultas Pertanian, yang lalu  membentuk partai sebagai “perahu politik” (Cambio90), hanya sebulan sebelum pemilu berlangsung. Ia dianggap sebagai sosok alternatif yang mewakili kelompok politik baru Peru yaitu kalangan “provincial, nonelite, nonwhite sectors” yang selama ini terpinggirkan dalam kancah politik nasional.114 Sosok Fujimori akhirnya memenangkan pemilu sesudah  berhasil 
menekuk Mario Vargas Llosa.
Pada masa awal memerintah, Fujimori menetapkan “Government 
of Emergency and National Reconstruction” yang memberinya kekuasaan untuk bertindak uniteral selama 7 bulan. Kebijakan itu didukung 
dengan reformasi ekonomi yang mengarah kepada neoliberalisme dan 
perbuatan nonlegal dalam memerangi terorisme.115 Untuk mengamankan kebijakan ini , Fujimori bersekutu dengan militer dengan 
mengabaikan mekanisme formal yang biasanya berlangsung untuk 
2 tahun, dengan cara menunjuk secara permanen General Hermoza 
Rios sebagai kepala staf. Fujimori juga mengandalkan dukungan Badan Intelijen Nasional (Secret Intelligence Service) yang dipimpin oleh 
Vladimiro Montesinos. Pada 5 April 1992 Fujimori memerintahkan 
pengepungan tentara terhadap anggota Parlemen yang bersidang dan 
memerintahkan pembekuan lembaga perwakilan ini . Untuk memenuhi desakan internasional pada 18 Mei 1992, Fujimori menyelenggarakan pemilu dan berhasil menguasai parlemen, yang nantinya akan 
memberi  stempel legitimasi atas kekuasaannya dan menyusun 
konstitusi baru.
Dengan mekanisme konstitusi dan demokrasi baru ini , Fujimori mulai mengabaikan Rule of Law dengan membiarkan terjadinya 
extrajudicial killing terhadap 9 mahasiswa dan seorang dosen pada 
tahun 1992 dengan dukungan Montesionos.116 Atas masalah  ini , 
dengan desakan kekuatan nasional dan internasional, jaksa penuntut 
umum lalu  membentuk suatu komisi khusus pada tahun 1994. 
namun  Fujimori mendesakkan suatu undang-undang pada tahun 
1995 yang mengalihkan wewenang penuntutan ke pengadilan militer 
dan memungkinkan pemberian amnesti kepada aparat negara yang 
melakukan kekerasan. Akibat ketentuan ini , sejumlah tersangka 
dibebaskan dari penjaraSebelumnya pada tahun 1993, Fujimori menetapkan suatu konstitusi baru yang mengelola kekuasaan tanpa akuntabilitas. Konstitusi 
yang dikendalikan penuh oleh Fujimori, memberi  kekuasaan yang 
luas kepada militer termasuk dalam menentukan anggaran dan penyusunan pengadilan. Konstitusi juga mengatur pembentukan “executive 
commission of the public ministry”,—yang secara kelembagaan berada 
di atas Ketua MA dan Jaksa Agung—yang dalam praktik mengontrol 
penegakan hukum terhadap aparatur negara. Pengadilan jika diisi dengan hakim yang bersimpati terhadap militer.118 Lembaga MK dibentuk dengan komposisi tujuh orang hakim, di mana empat di antaranya 
dikendalikan oleh Fujimori. Suatu ketentuan ditetapkan bahwa MK 
dilarang membatalkan UU kecuali dengan dukungan minimal enam 
hakim.
Fujimori dengan dukungan intelijen mengendalikan surat kabar 
dan menguasai seluruh stasiun televisi dengan tujuan “for manipulation “reordered political and social meanings in Peru” and created a culture of fear that perpetuated the willingness of citizens to surrender their 
rights in exchange for safety.”119 Menurut Burt, “the instrumentalization 
of fear allowed the government to penetrate, control and immobilize civil society.”120 Selain itu, label “terrorist” juga dikenakan terhadap oposisi 
yang kritis. Sebagai akibatnya, “The institutional structures that protect 
individual and civil rights—the sine qua non of civil society organization—disappeared in this context. Without state institutions to guarantee 
the rights to organize, to free speech, and the inviolability of the person, 
civil society organization shriveled under the threat of state and insurgent 
violence by non-state actors, the state contributed decisively to the disarticulation and fragmentation of civil society.”
Pada akhirnya, cerita kejatuhan Fujimori tidak dipicu sebab  merebaknya pelanggaran HAM, namun sebab  korupsi. Pada 
September 2000, sekitar 6 minggu saat Fujimori memulai masa jabatan yang ketiga kalinya, beredar video yang memperlibat Montesinos 
menyuap banyak kalangan, seperti anggota parlemen, pengusaha, 
pemilik industri media, dan kalangan penting lain. lalu  publik 
memperoleh informasi bahwa sekitar 48 juta dollar AS dana ditemukan 
di 2 perbankan Swiss dan diperkirakan jutaan dollar yang lain tersebar 
dalam tempat yang belum diketahui. Dalam situasi yang makin terpojok, sesudah  Montesinos melarikan diri ke Panama, Fujimori lalu  
melaksanakan pemilu pada Juli 2001 dan segera menonaktifkan badan 
intelijen.
Pada 13 November 2001, sesudah  6 hari pernyataannya mengundurkan diri sebagai Presiden, Fujimori melarikan diri ke Jepang. Parlemen menolak pengunduran diri sang Presiden sebagai tindakan tidak 
bermoral dan memutuskan memecat yang bersangkutan. lalu , 
pada Maret 2003 Interpol menetapkan Fujimori sebagai buron dan secara resmi pemerintah Peru mengajukan ekstradisi ke Jepang pada 31 
Juli 2003. namun  Jepang menolak, sebab  menganggap Fujimori yaitu  
warga negara Jepang, mengingat orang tuanya berasal dari Jepang.
Sesudah mundurnya Fujimori, Peru segera membentuk “The Truth 
and Reconciliation Commission” sebagai suatu komisi yang memiliki  wewenang untuk melaksanakan penyelidikan pelanggaran HAM 
pada tahun 2001. sesudah  2 tahun, komisi berhasil mengumpulkan 
sekitar 17.000 kesaksian dan 9 jilid laporan, yang antara lain memuat 
70.000 korban pelanggaran HAM. namun  berbeda dengan komisi serupa di Afrika Selatan yang berwenang memberi  pengampunan, model Peru ini tidak memiliki  kapasitas serupa. 
Dalam perkembangan selanjutnya, secara mengejutkan Fujimori diketahui berada di Chile sesudah  terbang memakai  jet pribadi 
melalui Meksiko pada 6 November 2005. Segera MA Chile memerintahkan penahanan yang bersangkutan dan beberapa bulan lalu  
Peru mengajukan ekstradisi. Pada 10 September 2007, MA mengabulkan permohonan ini  dan lalu  pada 22 September 2007, Fujimori diterbangkan ke Peru dan ditahan dalam sebuah penjara khusus 
di pinggiran Kota Lima. Pada 7 April 2009, MA Peru menjatuhkan pidana penjara 25 tahun bagi Fujimori atas pelanggaran HAM, termasuk 
pelanggaran Rule of Law.
masalah  Peru menjadi pelajaran yang berharga bagaimana Rule of 
Law mengalami 2 sisi instrumentalisasi sekaligus. Pada sisi yang pertama, Rule of Law menjadi alat yang efektif bagi Fujimori melaksanakan kediktatorannya sebagai Presiden sejak 1992. Kisah Peru lalu  
membenarkan argumen Levitsky dan Way mengenai “diminished form of authoritarianism.”122 Kedua penulis ini menyatakan “[r]ather than 
openly violating democratic rules (for example, by banning or repressing the opposition and the media), incumbents are more likely to use 
bribery, co-optation, and more subtle forms of persecution, such as the 
use of tax authorities, compliant judiciaries, and other state agencies to 
‘legally’ harass, persecute, or extort cooperative behavior from critics.”
Pada posisi ini, Fujimori lalu  menjadi “one of the most recent dictators in Latin America, and perhaps learned that he had to be clever to 
maintain his repression. The learning curve for avoiding ‘being caught’ 
entailed finding ‘legal’ forms of silencing dissent” dengan strategi “dangerously weaken[ed] horizontal accountability” by insulating the executive from scrutiny” dengan jalan “impeded by a vigorous legislature, 
independent courts, and watchful citizens.”
Pada sisi yang kedua, Rule of Law diinstrumentalisasi sebagai manajemen masa transisi untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fujimori. Pada situasi transisi biasanya , 
amat sulit menerapkan “criminal justice” sebagai mekanisme untuk 
menyelesaikan kejahatan rezim terdahulu. Pada saat akan melakukan 
“law enforcement” negara menjadi sulit sebab  harus berhadapan dengan “sisa” kekuasaan terdahulu dan perlu negosiasi antara keinginan 
memidanakan dengan mengampuni. Sebaliknya, di Peru, proses yang 
terjadi menetang kecenderungan umum, di mana peradilan pidana 
dapat berjalan tanpa interupsi politik dan berhasil memenjarakan Fujimori, orang yang sangat berkuasa dengan lumuran darah sejak 1992 
dan tak terbayangkan juga, bahwa penghukuman itu hanya terjadi beberapa tahun lalu  terhadap sang diktator.
C. masalah  INDIA
masalah  India menunjukkan keunikan dalam konteks studi peradilan, terutama terkait dengan posisi para hakim, sebab  “it is well-accepted that good judges are practicing both law and politics, while mediocre judges may be practicing either, both, or neither. They are not usually 
seen as political in the sense that they are allied to a particular political party’s ideology.”125 namun  para hakim itu juga “having a sophisticated concept about their role in the political system and the policies 
that follow from these positions.”126 Suatu kajian menarik yang dilakukan oleh Marc Galanter menunjukkan keunikan perilaku hakim India 
yang “have both written about the tradition of black letter law in India, 
or the adherence to a formal legal perspective that shares much with the 
civil law tradition.” Para pakar politik juga sepakat bahwa para hakim 
“consistently write opinions that combine political and formal legal arguments, obliterating the dichotomy which often characterizes U.S. debates over judicial motivations.”
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa perilaku hakim di India yaitu  tipe yang “difficult to explain as rational” sebab  “have behaved in ways that scholars of American courts find extremely puzzling; 
the justices have consistently challenged the executive branch even when 
their judicial institutions have been relatively new and their legitimacy 
has not been strongly established. And they have done so in the context 
of unified executive–legislative institutions, not in a separated powers 
context.”  Dengan periode yang sudah berlangsung sejak masa penjajahan Inggris, India mencerminkan keunikan bagaimana interelasi 
pengadilan terhadap cabang kekuasaan yang lain. ini  perlu dibahas 
sebab “the justices who challenged the executive branch were acting in 
predictably strategic ways and that their decisions cannot be categorized 
as clearly formal or political.”
Pengadilan, dalam ini  MA, telah mengalami 3 kali fase pertumbuhan. Fase pertama, yaitu  “the Supreme Court of Judicature” yang 
didirikan oleh Inggris pada tahun 1773 dengan wewenang yang luas. 
Fase kedua yaitu  “the Federal Court of India” yang didirikan pada tahun 1935 dan khusus untuk mengadili perselisihan kewenangan antara 
Provinsi dan daerah. Fase ketiga yaitu  “the Supreme Court of India” 
yang dibentuk menurut Konstitusi 1950 dengan wewenang sebagai badan peradilan banding dan judicial review. Fokus pembahasan dalam rubrik ini yaitu  pada fase yang ketiga, untuk membahas penegakan 
Rule of Law atas MA.
Lembaga MA dibentuk menurut Konstitusi 1950 guna menggantikan kedudukan “the Federal Court of India.” Nyaris ketentuan mengenai struktur badan pengadilan dalam konstitusi sama dengan ketentuan tahun 1935. Selain banding dan judicial review, MA juga memiliki  
fungsi untuk memberi  pertimbangan hukum. Semua perkara dapat 
dimintakan pemeriksaan ke MA, suatu hal yang berbeda dibandingkan 
dengan kelembagaan di Amerika yang dapat menentukan suatu masalah  
masuk dalam yurisdiksi mereka atau tidak.131 Pada awal pendirian di 
tahun 1950, MA memiliki  8 orang hakim, yang terus-menerus ditambah dan sekarang mencapai 26 hakim.132 Untuk pemeriksaan perkara biasanya  ditentukan 3-5 orang hakim dalam satu majelis, akan 
namun  khusus untuk perkara konstitusi harus diperiksa minimum oleh 
5 hakim. Bahkan untuk memeriksa ulang perkara yang sudah diputus 
sebelumnya oleh MA, ditentukan komposisi hakim yang lebih banyak, 
seperti dalam perkara Kesavananda Bharati (1973) yang melibatkan 13 
orang hakim.
Di India, Partai Kongres yang sempat mendominasi pemerintahan (1952-1977) amat progresif dengan menghapus lembaga-lembaga 
politik peninggalan kolonial Inggris, namun khusus untuk pengadilan, penguasa membiarkan situasinya berkembang seperti pada 
masa-masa sebelumnya. Dugaan sementara yaitu  para hakim dianggap tidak begitu berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan lagipula pada awalnya pengadilan dianggap tidak memiliki fungsi signifikan 
dibandingkan dengan lembaga politik, misalnya dibandingkan dengan 
Parlemen yang dipilih melalui pemilu.133 Meskipun demikian, menurut 
kajian Burt Neuborne, dalam dekade pertama sejak konstitusi diberlakukan, para hakim cenderung menganggap diri mereka sebagai perisai 
konstitusi dan mempertahankan “the fundamental rights.”
Serupa dengan tradisi supremasi parlemen di Inggris, mekanisme 
politik India memungkinkan parlemen mendelegasikan kewenangan 
mereka kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan badan-badan independen. Pengadilan dapat membatalkan tindakan-tindakan delega-si ini  sepanjang memenuhi persyaratan: (i) if the delegated power 
is too sweeping, (ii) if the delegated power is contradictory to the statute 
authorizing it, or (iii) if the delegated power is “repugnant to the general law.
135 Dominasi pemerintahan mayoritas memaksa pengadilan 
harus cukup pintar memperhatikan realitas politik, sebab  pengadilan 
pun harus memahami kekuasaan luas Parlemen yang memungkinkan 
membentuk UU yang dipaksakan. Lagipula seiring dengan tumpukan 
perkara yang semakin banyak, pengadilan tak punya pilihan cukup 
untuk memeriksa perkara secara selektif.136 Oleh sebab itu, sikap MA 
yang frontal terhadap pemerintah nyaris tidak dijumpai dibandingkan 
dengan tahun-tahun pertama pembentukan “the Federal Court.” Walaupun demikian, sejumlah masalah  pada awal pembentukan MA sebenarnya menampakkan ciri-ciri sebagai putusan yang menentang pemerintah.
Dalam masalah  A. K. Gopalan v. State of Madras (1950) yang berhubungan dengan pemenjaraan terhadap Gopalan, aktivis Partai Komunis dengan memakai  UU Antisubversif (1950), yang memungkinkan penahanan tanpa proses pengadilan dan tak ada keharusan 
pejabat untuk menjelaskan alasan-alasan penahan ini . Gopalan 
menguji ketentuan UU ini  dengan alasan bertentangan terhadap “fundamental rights” dalam Konstitusi. Dalam putusan, MA secara mayoritas mempertahankan ketentuan UU ini  dengan alasan 
kebutuhan bertindak pemerintah guna menjamin keamanan nasional, 
namun  pengadilan juga berpendapat bahwa yaitu  tindakan yang 
melanggar “the fundamental rights” jika  penahanan menurut UU 
tidak disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan jika  dilakukan 
dengan melanggar limitasi wewenang pemerintah. Atas putusan itu, 
pemerintah melakukan perubahan terhadap UU, terutama menyangkut alasan-alasan penahanan, namun kebijakan secara keseluruhan dari aspek politik tetap tidak berubah.
Dalam masalah  kompensasi redistribusi tanah, MA memiliki  pendirian yang lebih tegas terhadap kebijakan pemerintah dengan dalih 
perlindungan konstitusi. Sejak 1947, Partai Kongres memiliki  kebijakan untuk melakukan redistribusi tanah, terutama tanah yang di-kuasai oleh tuan tanah yang harus dibagikan kepada pekerja mereka. 
Tentu saja para pemilik tanah lalu  melakukan complaint ke MA 
dengan dalih kebijakan melanggar “the fundamental rights.” masalah  ini 
membawa MA berhadapan dengan Pemerintah. Bagaimanapun, kebijakan itu menunjukan program sosialisme Partai Kongres, namun 
perampasan tanah tanpa kompensasi juga melanggar ketentuan UUD. 
Masalah itu memicu perdebatan mengenai siapa yang berhak 
melakukan penafsiran terhadap Konstitusi. Saat berbicara dengan 
parlemen, Perdana Menteri Nehru mengatakan bahwa, “Menafsirkan 
konstitusi haruslah sesuai dengan kehendak pembentuknya dan perubahan terhadapnya yaitu  sesuatu dengan pertimbangan amat 
diperlukan sekali.” Terkait dengan “the fundamental rights” Nehru 
menegaskan pentingnya untuk memperhatikan keseimbangan sosial 
yang lebih besar. namun  MA memiliki  pandangan yang berbeda, 
jaminan ganti rugi tetaplah hak-hak individual yang mutlak dan maka , kebijakan pemerintah yang mengabaikan ini   
harus dibatalkan.
Perdebatan antarcabang kekuasaan itu tak terpecahkan hingga tahun 1980, dan selama pemerintahan Indira Gandhi (1971-1977), 
Parlemen mengeluarkan pernyataan yang tegas bahwa MA sudah melanggar konstitusi dalam melaksanakan wewenangnya dan menyebut 
pengadilan sebagai lembaga yang sangat berbahaya. Sejak itu MA kehilangan gengsi sosialnya, sementara pengganti Nehru, L.B. Lastri dan 
Indira Gandhi segera memperoleh popularitas politik mereka. Dalam 
situasi itu, MA mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan hakhak dasar dalam UUD, meskipun sejumlah hakim khawatir berhadapan dengan pemerintah.140 Bahkan rezim Gandhi lalu  membatasi 
wewenang MA dalam judicial review melalui serangkaian perubahan 
konstitusi.
Konflik memanas antara MA dan pemerintahan Gandhi memuncak dengan putusan perkara Kesavananda Bharati v. State of Kerala 
(1973). Pengadilan mengambil alih pertimbangan dalam masalah  Golak 
Nath v. State of Punjab (1967), yang menyatakan bahwa Parlemen tidak boleh melakukan perubahan UUD jika  jelas-jelas mengubah 
struktur dasar konstitusi. Beberapa hari sesudah  putusan itu, Ketua MA Sikri diganti dengan alasan sudah mencapai usia 65 tahun. Presiden 
India lalu  menunjuk A.N. Ray, sosok yang dianggap bersimpati 
terhadap pemerintah, menjadi Ketua MA yang baru. Pada tahun 1976, 
Parlemen melakukan Perubahan Konstitusi yang menolak putusan Kesavananda Bharati, dan menegaskan bahwa segala perubahan konstitusi oleh Parlemen yaitu  tindakan yang tidak dapat diganggu gugat oleh pengadilan dan tak ada pembatasan apa pun atas kekuasaan 
parlemen dalam mengubah konstitusi.
Perubahan konstitusi ini  yaitu  tindakan serius Parlemen sepanjang “negara dalam keadaan darurat” sejak Juni 1975 hingga 
Maret 1977 saat diadakan pemilu baru. Dalam pemilu itu, Partai Kongres mengalami kekalahan dan lalu  Partai Janata mengambil alih 
pemerintahan. Dalam setahun Pemerintah meloloskan perubahan 
konstitusi yang mengatur ekses-eskes dari situasi darurat dan lalu  memulihkan kekuasaan judicial review, serta menentukan bahwa 
penggantian Ketua MA harus memperhatikan senioritas hakim agung. 
Pada tahun 1980, dalam masalah  Minerva Mills, MA membuat putusan 
kompromistis yang mengakui struktur dasar konstitusi namun 
menghapus “right to property” dari “the fundamental rights.” Sejak saat 
itu, terutama melalui “public interest litigation”, MA terus memperlebar 
kekuasaanya dalam judicial review.
D. masalah  FILIPINA
Pada tanggal 25 Oktober 1986, ratusan orang dengan afiliasi politik yang bermacam-macam mengadakan aksi damai di Epifanio de los 
Santos Avenue (EDSA) in Metropolitan Manila guna menuntut pengunduran diri Presiden Ferdinand Marcos yang sudah berkuasa tanpa 
kontrol 20 tahun lamanya. Marcos dituding memupuk kekuasaan sewenang-wenang. Eksekutif menjadi pengendali hukum sehingga tak 
ada UU, tak ada pemilu, dan sedikit sekali judicial review. Prinsip-prinsip demokrasi diabaikan. Warga negara semakin banyak dijebloskan ke 
dalam penjara tanpa pemeriksaan, terutama semenjak ditetapkannya 
negara dalam keadaan darurat. Militer pun tampil menjadi sosok yang 
tak tersentuh.
Lembaga MA, nyaris selama 20 tahun kediktatoran Marcos diisi 
oleh para hakim dengan loyalitas tinggi kepada Marcos. Pengadilan 
tertinggi lalu menjadi instrumen hukum yang menjadi perisai atas ber-bagai keputusan presiden yang memperbesar kekuasaan eksekutifnya, 
termasuk merampas kekuasaan legislatif. Seorang penulis mendeskripsikan krisis MA itu sebagai berikut:
“...[T]he courts gave their cooperation and support to the dictatorship and to its program 
for a New Society under a new constitutional order. That was their best choice. Supposing 
that, because of their attachment to constitutionalism, they had resisted the dictatorship, 
the courts would simply have been replaced by military tribunals. The judges of the period had the sagacity and the foresight to trust the political leadership, and despite their 
misgivings, follow its path toward a promised constitutional order. It was by such faith 
and hope that we can justify their collaboration in strategies and measures which, in the 
fateful months of late 1972 and early 1973, were antithetical and destructive of republicanism. Indeed, looking at the period as a whole, the Judiciary as an institution was basically 
preserved and functioning all throughout, without disruption or disturbance.
Saat people power sukses menggeser kedudukan Marcos dan 
mengantarkan Qurazon Aquino menjadi Presiden, segera dibentuk 
Komisi Konstitusi yang dipimpin bekas Ketua MA Roberto Concepcion 
—yang selalu kritis dalam putusannya terhadap tindakan Marcos—untuk menyusun konstitusi baru. Dalam rancangan itu, menguat gagasan untuk mempertinggi independensi pengadilan dan judicial review.
Dengan konstitusi baru (1987), MA memiliki  kekuasaan yang lebih 
luas sehubungan dengan judicial review dan pembentukan hukum.
Menurut Concepcion, perluasan itu diperlukan guna mencegah terulangnya ketertundukan MA dalam jerat politik, terutama saat mengadili perselisihan HAM. Dikatakan oleh Concepcion:

Penolakan sementara pihak untuk memperluas judicial review dipandang oleh Pacifico Agabin sebagai “such an expansion of judicial 
review in light of the demonstrated history and ideological conservativism of the judiciary in the Philippines, stating that the “pendulum of judicial power [has swung] to the other extreme where the Supreme Court 
can now sit as “superlegislature” and “superpresident”..If there is such a 
thing as judicial supremacy, this is it.” Serupa dengan itu, Florentino Feliciano mendukung perluasan judicial review dengan alasan “as 
a reflection of the strong expectations in [Philippine] society concerning 
the ability and willingness of our Court to function as part of the internal 
balance of power arrangements, and somehow to identify and check or 
contain the excesses of the political departments.”
Para penyusun konstitusi amat percaya kekuatan MA sebagai penjaga demokrasi pasca tumbangnya kekuasaan diktator. Dalam kinerja 
selanjutnya, “The recent decisions of the Court in this decade‟s explosive 
constitutional controversies reveal that the Court remains highly conscious of its greater transformative and mediating role in Philippine democracy.”
Sejarah berulang. Presiden Joseph Estrada (terpilih 1998) pada tahun 2001 mengalami people power yang mendesaknya mengundurkan 
diri. Pada perkembangan yang sama, MA dalam perkara Estrada v. Desierto et al. memutuskan bahwa Estrada had “constructively resigned” 
from office, paving the way for an orderly constitutional succession in 
favour of the then-Vice President, Gloria Macapagal-Arroyo.” Dalam
perkara ini , Hakim Agung (yang lalu  menjadi Ketua MA) 
Reynato Puno berpendapat yang membenarkan pengadilan memutus 
perkara politik itu:148Kekuasaan MA di bawah Konstitusi 1987 juga memberi  wewenang pengadilan untuk mencegah terjadinya usaha untuk mengubah 
konstitusi seperti putusan dalam perkara Lambino v. Commission on 
Elections et.al. (2006), dengan alasan antara lainDengan peran itu, MA mengalami kepercayaan diri dan persepsi kepercayaan publik yang tertinggi di antara lembaga negara yang 
ada.149 Sekalipun tak bersih dari campur tangan eksekutif (terutama saat komposisi hakim mayoritas berafiliasi kepada Presiden GloriaMacapagal Arroyo)150, MA mempertahankan strategi independen dengan memperbesar perhatian terhadap private adjudication dan penilaian terhadap kebijakan publik.151 Serupa dengan peran pengadilan di 
situasi transisi di Afrika Selatan, di bawah Konstitusi 1987, MA Filipina 
“has demonstrated progressively liberal (and judicially activist) stances 
in recognizing the fullest protections of international standards on civil 
and political rights as “part of the law of the land.”152
Dari penelusuran sejarah, 30 tahun sebelum Konstitusi 1987 diberlakukan, MA Filipina secara agresif pernah dalam putusan-putusannya 
mengadopsi ketentuan hukum internasional mengenai HAM. Dalam 
perkara Boris Mejoff v. The Director of Prisons (1951), MA “applied the 
Universal Declaration of Human Rights as ‘generally accepted principles of international law [forming] part of the law of the Nation’ to rule 
against the indefinite detention of foreign nationals or stateless aliens.” 
Semangat adopsi ketentuan internasional itu nyaris dirumuskan serupa dalam perkara Government of Hongkong Special Administrative Region v. Hon. Felixberto T. Olalia Jr, yang “affirmed the correctness of a 
lower court order granting bail to a potential extraditee (departing from 
previous jurisprudence that limited the exercise of the right to bail to criminal proceedings).”153 Namun demikian, dalam perkara Basco et al. v. 
Philippine Amusements and Gaming Corporation, MA menolak untuk 
menafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan HAM sosial ekonomi menurut Bab XIII dan XIV Konstitusi 1987 “are merely statements of principles and policies. As such, they are basically not self-executing, meaning a 
law should be passed by Congress to clearly defined and effectuate such 
principles”, sehingga dapat dikaji bahwa “the Court did not provide amethodology for differentiating between justiciable and non-justiciable 
socio-economic provisions in the 1987 Constitution.”154
Hampir 20 tahun sesudah  Konstitusi 1987 diterapkan MA memberi  sumbangan penting terhadap pemenuhan HAM sosial ekonomi 
melalui mekanisme judicial review, antara lain: (i) nullifying administrative rules and regulations issued by the executive department that 
contravened the constitutionally-mandated agrarian reform program;
155
(ii) affirming the constitutional right to a fair and a speedy trial;156 (iii)
affirming a lower court judgment finding the government‟s use of arrest, detention, and/or deportation orders to be illegal and arbitrary;
(iv) enjoining the military and police‟s conduct of warrantless arrests and searches, „aerial target zonings‟ or „saturation drives‟ in areas 
where alleged subversives were supposedly hiding;
158 (v) declaring search 
warrants defective and the ensuing seizure of private properties to be illegal;
159; (vi) acquitting a person whose conviction for murder was based 
largely on an inadmissible extrajudicial confession (obtained without 
the presence of counsel);160 (vii) upholding the dismissal of a criminal 
charge on the basis of the constitutional right against double jeopardy;
(viii) acquittal of a public officer due to a violation of the constitutional 
right of the accused to a speedy disposition of her case;
162 (ix) prohibiting the compelled donation of print media space to the Commission on 
Elections without payment of just compensation;
163 dan (x) prohibiting 
governmental restrictions on the publication of election survey results for 
unconstitutionally abridging the freedom of speech, expression, and the 
press.
Sedemikian penting peranan pemenuhan HAM sebagai substansi 
judicial review di MA Filipina. Walaupun untuk konteks sekarang bisa 
saja prestasi itu tercoreng. Seperti diikuti dalam pemberitaan, Ketua MA 
Renato Corona menghadapi dakwaan (impeachment) oleh Senat kare-na dituding mengkhianati kepercayaan publik dan melanggar konstitusi 
dalam bentuk tindak pidana korupsi. Corona—yang ditunjuk oleh Presiden Gloria-Macapagal Arroyo menjelang akhir masa jabatan—dituduh 
menyembunyikan kekayaan sebesar 4 juta dollar AS (sekitar Rp 40 miliar). Dalam proses di Senat, 19 dari 23 anggota menyatakan Corona layak 
dipecat dan tidak boleh lagi menduduki jabatan publik. Proses ini jelas 
memberi  kemenangan politik bagi Presiden Benigno Aquino—yang 
pada 2010 lalu memenangi pemilu Presiden secara telak sebab  program 
antikorupsinya.
berdasar  uraian di atas, tampak bahwa konstitusi diinstrumentalisasikan lewat perluasan judicial review pada MA melalui “democratic constitutional making.” ini  membuktikan bahwa pemenuhan 
HAM yaitu  tuntutan yang berlangsung dalam kondisi otoritarian maupun demokratik, dan adopsi dalam konstitusi tidaklah bersifat 
“self-execution”, sebab  di samping melalui legislasi, harus diwujudkan dalam “government action.” Dalam konteks inilah pentingnya MA 
memberi  jaminan perlindungan HAM melalui fungsi yang dilekatkan kepadanya.
E. masalah  PAKISTAN
Peranan pengadilan di pengadilan sungguh rumit dan kompleks. 
Para hakim yang menentukan jalannya negara, menentukan aturanaturan konstitusional berpengaruh terhadap kedaualatan nasioal, partisipasi politik, dan lembaga negara. Pengadilan memutuskan konflik 
antara presiden dan pemerintah dalam masalah  pembubaran Parlemen 
(1954, 1988, 1990, 1993), memberi  legalisasi atas kudeta (1958, 
1977, 1999), menciptakan transisi politik antara pemerintah sipil dan 
militer (1972, 1986-1988), dan melanjutkan usaha-usaha untuk menentukan aspek substantif dan prosedural masalah politik, konstitusionalitas pemerintahan, dan dalam hal tertentu jua, demokrasi. sebab  
negara terus-menerus mengalami masa transisi, pengadilan Pakistan 
lalu menjadi subjek dan sekaligus objek perubahan politik yang terjadi. 
Konstitusi yang berhasil disusun pertama kali (1956) mentrasformasikan pengawasan kolonial ke desain mekanisme untuk mengendalikan 
eksekutif. Pengadilan diberi status otonomi untuk mengemban tanggung jawab ini. Konstitusi ini , “placed a greater burden on the ju-diciary to ensure that workable democracy could emerge than the courts 
could reasonably shoulder.”
Sejak kemerdekaan (1947), Pakistan telah menerapkan 28 tahun 
hukum tata negara darurat atau hampir separuh waktu sejak kemerdekaan. Paling akhir hukum tata negara darurat itu diterapkan oleh Presiden Musharraf menyusul kematian mantan Perdana Menteri Benazir 
Bhutto (2007). Mengkaji pemerintah, politik, dan peran militer Pakistan menunjukkan bahwa tampaknya penerapan hukum tata negara 
darurat akan menjadi kecenderungan di masa depan, sekurangnyakurangnya dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sehubungan 
dengan ini , peranan Mahkamah Agung menjadi penting. berdasar  peran ini, penting untuk ditekankan bahwa ancaman kemerdekaan pengadilan yaitu  hukum tata negara darurat dan pemerintahan 
yang otoriter.
Usaha dinamik MA untuk untuk menegaskan jangkauan judicial 
review selama hukum tata negara “normal” dan darurat, telah merugikan badan pengadilan ini. Tidak lama sesudah  penerapan Konstitusi 
1956, Presiden Iskander Mirza memberlakukan keadaan darurat, menunda Konstitusi, memecat pejabat pusat dan provinsi, membubarkan 
Parlemen Nasional dan Provinsi, dan menghapus partai politik. Bersamaan dengan itu, Presiden menunjuk Jenderal Ayub Khan, Panglima 
Angkatan Bersenjata, sebagai Penguasa Pemerintahan Darurat. lalu  diberlakukan Laws (Continuance in Force) Order (1958), untuk 
menciptakan “new legal order.” Sehubungan dengan ini , MA dalam 
putusan perkara The State V. Dosso (1958), membenarkan kebijaksanaan ini  dengan mengganggap sebagai “a successful revolution.” 
Segera sesudah putusan ini dikeluarkan, Jenderal Ayub Khan memecat 
Presiden Mirza dan mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara. Pada 
tahun 1962, pemerintahan militer Ayub Khan membentuk Konstitusi 
1962, yang mengakhiri keadaan darurat.
Sesudah adanya aksi massa yang menentang pemerintahannya, 
diikuti dengan kekacauan sipil, tiba-tiba Jenderal Ayub Khan mengundurkan diri dari jabatannya pada 24 Maret 1969. Pengunduran diri 
itu disampaikan kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Yahya Khan yang lalu  menggantikan posisi sebagai Presiden. Tak lama sesudah itu (31 Maret 1969), Yahya Khan mengumumkan pembatalan Konstitusi 1962, membubarkan Parlemen, dan memaksakan 
pemberlakuan keadaan darurat di seluruh negeri.96 Namun MA dalam 
putusan perkara Asma Jilani, menolak tindakan Yahya Khan, sebab  
menurut pengadilan tindakan mengambil alih kekuasaan yaitu  
tindakan illegal dan bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 1972, 
saat  posisi Presiden diserahkan kepada Zulfikar Ali Bhuto sebagai 
hasil pemilu demokratis, pemberlakukan keadaan darurat dicabut. namun  saat itu pecah perang sipil yang berujung kepada pembentukan 
negara Bangladesh, sehingga memaksa pengunduan diri Yahya Khan.
Pada 5 Juli 1977, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Zia-Ul 
Haq, menyusul krisis politik yang terjadi, mengambil alih kekuasaan. 
Jenderal Haw lalu  menyatakan negara dalam keadaan darurat, 
membatalkan Konstitusi 1973, memecat dan memenjarakan Perdana 
Menteri Zulfikar Ali Bhuto. Atas hal itu, MA menyatakan dukungannya 
terhadap kudeta ul Haq sebagai penerapan “the doctrine of necessity.”97
 Pada 1977, sesudah Mahkamah Agung memutus petisi dalam 
perkara Begum Nusrat Bhutto V. Chief of Army Staff, untuk menetang 
pemberlakukan keadaan darurat dan menuntut pembebasan penahanan politisi termasuk bekas Perdana Menteri, sebuah keputusan 
yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat memaksa Ketua MA Yakub Ali 
mengundurkan diri.98 Selanjutnya, semua hakim senior dipaksa untuk 
mengucapkan sumpah kembali berdasar  Provisional Constituional Order (1981). Hanya sebagian hakim yang diminta melakukan ini 
dan hakim yang lain menolak untuk mematuhi. Di antara yang tidak 
mematuhi, dan sebagai konsekuensinya harus melepas jabatan yaitu  
Hakim Agung Anwarul Haq. 
namun  untuk peristiwa serupa pada sesudah  Jenderal Perves Musharraf melakukan kudeta terhadap Perdana Menteri Nawaz Sarief 
(1999), seluruh hakim agung dan para hakim lokal tidak ada yang melakukan perlawanan dan bersedia memenuhi perintah untuk mengucapkan sumpah di bawah pemerintahan baru. Dalam ini , MA—yang 
sebelumnya melegitimasi kudeta militer Musharraf—mengatakan 
bahwa pelaksanaan sumpah yang baru ini penting untuk “on the go-und of safeguarding the remaining ‘institutional values’ of the nation.”99
Dalam tiap penerapan hukum tata negara darurat, maka MA “has 
continued, wioth varying of success, to insist on the minimum requirement of constitutionalism….”100 Tindakan itu bukan tanpa risiko, yang 
acap kali berakibat penggantian posisi hakim agung. Memang dalam 
keadaan transisi, penggantian hakim akan memicu  persoalan serius bagi rezim transisional dan berpotensi untuk menghasilkan ongkos politik yang signifikan. Anggaran pemerintah akan terkuras untuk 
menata kembali posisi para hakim terhadap pengadilan. Semakin luas 
kebutuhan aparatur pengadilan, maka akan memicu membengkaknya anggaran negara.
Oleh sebab itu, dalam rangka efisiensi anggaran, pembaruan komposisi hakim biasanya  terjadi pada hakim di lingkungan peradilan 
tertinggi. Namun demikian, solusi ini berpotensi memicu  masalah berupa ketidakpercayaan di lingkungan pengadilan yang lain, yaitu pada saat hakim yunior yang direkrut oleh rezim sebelumnya pada 
saat berikutnya akan dapat melakukan dominasi. Oleh sebab itu, lepas 
dari pertimbangan ekonomis, rekomposisi semua hakim lebih efisien 
dibandingkan hanya pada badan peradilan tertinggi.
Sudah barang tentu anggaran negara tidaklah menjadi satu-satunya penentu. Ongkos politik (political cost) juga menjadi pertimbangan 
penting. Dalam negosiasi saat  terjadi transisi politik dari kedikatatoran militer di Chile dan Argentina pada tahun 1990-an misalnya, mempertahankan pengadilan dan memberlakukan khusus MA menjadi sa-lah satu kesepakatan dari pengelolaan ini . Faktor politik yang 
lain yaitu  hubungan internasional dan reputasi investasi asing. Perombakan yudisial akan merusak citra dari rezim baru yang berkuasa.







Independensi pengadilan” telah menjadi kata kunci di antara dalam politik secara umum. Pada Laporan Akhir Tahun 2006, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, John Roberts70 “membahas masalah ini 
dalam usaha  mendorong setiap orang susaha  memperhatikan masalah ini.”71 Masalah itu dikemukakan sehubungan dengan kegagalan 
Kongres untuk menaikkan gaji hakim, yang ia sebut “krisis konstitusional yang mengancam kekuasaan dan independensi peradilan federal.” Mantan Hakim Agung Sandra O’Connor72 juga telah memulai misi 
untuk memperkuat independensi peradilan, dan tidak hanya di Amerika Serikat. sesudah  mengumumkan pensiun, dia mulai berceramah di 
seluruh dunia dengan antara lain mengatakan bahwa “independensi 
pengadilan tidak terjadi dengan sendirinya…[I]ni sangat sulit untuk 
membentuknya, dan lebih mudah dibandingkan  kebanyakan yang orang 
bayangkan untuk menghancurkannya.”73 O’Connor membuat Sandra 
Day O’Connor Project of State of Judiciary di Georgetown Law Center. Pada sebuah konferensi yang diselenggarakan pada bulan September 
2006, O’Connor menyatakan bahwa Amerika Serikat telah “aktif mendesak pada setiap bangsa peduli dengan Rule of Law dan komponen 
kunci untuk ini  yaitu  keadilan, tidak memihak, dan peradilan 
yang independen.”74
Tampaknya cukup fair untuk mengatakan bahwa para ahli hukum 
Amerika saat ini melihat independensi pengadilan sebagai bahan utama untuk demokrasi dan supremasi hukum.75 Tapi tidak jelas apakah 
bahan ini sama pentingnya untuk mengembangkan Rule of Law di negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi atau yang 
telah berjuang secara historis untuk mempertahankan negara demokrasi. Di negara-negara ini, gaji hakim masih menjadi hambatan terbesar untuk mempertahankan independensi peradilan, dan lalu  
jelas bahwa independensi peradilan akan menjadi kondisi yang cukup 
untuk membangun supremasi hukum.
Namun demikian, studi yang berkembang akhir-akhir ini melahirkan satu pertanyaan mendasar: apakah prinsip independensi yang 
diterima secara universal—dan bukan saja problem Amerika Serikat—
dalam penerapannya akan selalu berhasil tanpa memperlihatkan konteks lokalitas setempat? Atau dengan kata lain, dapatkah material yang 
disusun untuk membangun independensi pengadilan di Amerika Serikat pasti dapat pula diterapkan dalam sistem hukum negara lain?
B. MAKNA INDEPENDENSI PERADILAN
Pembicaraan mengenai kekuasaan kehakiman (judicial system) 
jarang mendapatkan porsi utama dalam diskusi mengenai desain ketatanegaraan. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya karya Sartori 
(1994) yang berjudul “Comparative Constitutional Engineering” menghabiskan banyak lembaran pembahasan sehubungan dengan sistem 
pemilihan umum (electoral system) dan seleksi eksekutif (dalam sistem 
presidensial maupun parlementer), namun  tidak membahas mengenai 
kekuasaan kehakiman. Seperti dalam formulasi negara Amerika Serikat, kekuasaan kehakiman yaitu  bagian penting sehubungan dengan doktrin pemisahan kekuasaan seperti halnya dicetuskan oleh Montesqiue, dan lalu  dikonkretkan oleh Alexander Hamilton, James Madison, dan 
Jay, dalam karya mereka yang berjudul “The Federalist Paper.” Sehubungan dengan pemisahan kekuasaan itulah muncul anggapan bahwa 
salah satu watak dasar dari kekuasaan kehakiman yaitu  independensi. Adapun independensi itu bukan hanya dipahami melalui ketentuan 
konstitusi saja, namun juga bagaimanakah fakta nya di dalam 
praktik. Ia tidak hanya berbicara mengenai dirinya sendiri,  juga 
bagaimanakah lembaga negara yang lain memberi  pengaruh kepada derajat independensi badan pengadilan, termasuk bagaimanakah 
aktor pengadilan itu memandang dirinya dalam berhubungan dengan 
fakta -fakta  di sekitarnya.
Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, “Independent judiciary is 
the sin qua non-of a democratic government.” ini  sebab , “Independence of judiciary truly means that the judges are in a position to 
render justice in accordance with their oath of office and only in accordance with their own sense of justice without submitting to any kind of 
pressure or influence be it from executive or legislative or from the parties 
themselves or from the superiors and colleagues.” Selanjutnya dikatakan bahwa, “Independence of judiciary depends on some certain conditions like mode of appointment of the judges, security of their tenure 
in the office and adequate remuneration and privileges.”Untuk mewujudkan ini , maka separasi kekuasaan peradilan menjadi penting 
untuk dilakukan. Dalam ini , “The concept of separation of the judiciary from the executive refers to a situation in which the judicial branch 
of government acts as its own body frees from intervention and influences from the other branches of government particularly the executive.”
Lebih lanjut dikatakan bahwa, “Complete separation is relatively unheard or outside of theory, meaning No. judiciary is completely severed 
from the administrative and legislative bodies because this reduces the 
potency of checks and balances and creates inefficient communication between organs of the state.” ini  mengonfirmasi pandangan L.P. 
Thean yang mengatakan bahwa “That the most common and most discussed feature of judicial independence is from governmental or executive intereference.”
Namun demikian, “there is No. single model of judicial independence or generally accepted set of institutions or best practices, at leastnone 
articulated with sufficient specificity to be useful for reformers.”82 Bagaimanapun, “Judicial independence is a multifaceted concept.” ini  
dipicu sebab :
The most basic form of judicial independence, decisional independence, refers to the ability of judges to decide cases independently in accordance with law and without (undue, 
inappropriate, or illegal) interference from other parties or entities. One prerequisite for 
decisional independence is that judges enjoy personal independence, which requires that 
their terms of office be reasonably secure; appointments and promotions should be elatively depoliticized; judges should be provided an adequate salary and should notbe dismissed or have their salaries reduced as long as they are performing adequately; transfers 
and promotions should be fair and according to preestablished rules; and judges should be 
assigned cases in an impartial manner.
Feld dan Voigt misalnya, membangun argumen bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dilacak ke dalam dua indikator, yaitu secara de jure, dengan memperhatikan dokumen legal yang mengaturnya, dan secara de facto, ialah dengan memperhatikan derajat 
kebebasannya dalam praktik.85 Kedua penulis ini menyimpulkan bahwa judicial independence memiliki  kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dengan sampel 56 negara, Feld dan 
Voigt memperoleh data bahwa secara de jure, kekuasaan kehakiman 
yang independen tidak memiliki  hubungan dengan pertumbuhan 
ekonomi, namun sebaliknya, secara de facto, memiliki  kaitan 
dengan pertumbuhan ekonomi.
Independensi peradilan sering diakumulasikan sebagai tingkat diskresi hakim dalam berhadapan dengan cabang kekuasaan yang lain, 
yaitu eksekutif dan legislatif. Cakupan independensi itu misalnya berhubungan dengan bagaimanakah peradilan menafsirkan ketentuan 
Undang-Undang (statutory interpretation), atau dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat, bagaimana peradilan “menempatkan diri” 
pada relasi Kongres dengan eksekutif yang semakin ekstensif kekuasaannya. Pada sisi lainnya, independensi peradilan dikaitkan dengan 
seberapa besar eksekutif dan legislatif “memasok” anggaran bagi badan pengadilan. Perspektif lain, independensi peradilan tercipta jika 
“if politicians fear to lose power and the farther the ideal points of the 
rival parties are apart.”
Dengan mengambil masalah  di Jepang, Ramseyer dan Rasmusen menyelidiki independensi peradilan dengan mewawancarai 276 hakim, 
yang menyimpulkan bahwa “that judges who decided a case against the 
government incurred the risk of being punished with less attractive posts.
90 Dalam penyelidikannya yang lain, Ramseyer dan Rasmusen juga 
memperoleh data bahwa dari putusan 179 perkara pajak dan 284 pengadilan banding pajak, “judges who decide cases in favor of the government do better than those who favor taxpayers.”91 Jadi untuk menentukan independensi peradilan di sini berlaku asumsi “independence 
is endangered if the government is solely responsible for career developments of judges.”
Dapat dikatakan bahwa independensi peradilan yaitu  konsep 
yang memiliki  wajah beragam. Bentuk yang paling mendasar dari 
independensi peradilan yaitu  independensi putusan, yang mengacukepada kemampuan hakim untuk memutuskan masalah  secara independen sesuai dengan hukum dan tanpa campur tangan dari pihak atau 
badan lainnya. Salah satu prasyarat untuk kemerdekaan putusan ini  yaitu  hakim menikmati independensi personal, yang mensyaratkan bahwa masa jabatannya akan cukup aman dengan ketentuan: 
(i) pengangkatan dan promosi harus relatif terdepolitisasi, (ii) hakim 
harus memperoleh gaji yang memadai, (iii) tidak boleh diberhentikan 
atau dikurangi gajinya selama mereka melakukan secara fungsi dengan 
memadai; (iv) mutasi dan promosi harus adil dan sesuai dengan aturan 
yang telah ditetapkan, dan (v) hakim harus menerima dan memeriksa 
masalah  dengan tidak memihak.
Dalam praktik, tingkat dan sifat independensi peradilan dan pengaturan kelembagaan untuk mewujudkannya bervariasi dari satu negara ke negara lain, bahkan di antara negara-negara demokrasi liberal 
dengan sistem hukum yang dianggap telah berfungsi dengan baik. Di 
Amerika Serikat, pengadilan independen dengan kekuasaan yang luas 
untuk memeriksa semua jenis perkara dan menguji undang-undang 
yang ditetapkan oleh Kongres atau peraturan eksekutif. Di negaranegara yang menganut supremasi parlemen seperti Inggris atau Belgia, 
pengadilan bertanggung jawab kepada parlemen, dan kekuasaan untuk membatalkan undang-undang atau peraturan pemerintah menjadi 
terbatas. Dalam sistem common law, pengadilan berperan aktif dalam 
pembuatan kebijakan, sementara dalam sistem civil law, pengadilan 
memiliki keterbatasan dalam menafsirkan undang-undang, sekalipun 
belakangan tampak semakin aktif melaksanakan fungsi ini. Tingkat pemisahan antara hukum dan politik dan bentuk-bentuk yang dibutuhkan bervariasi dari satu tempat ke tempat.
Sistem hukum juga menentukan secara berbeda sehubungan dengan tingkat independensi internal. Pengadilan cenderung lebih hierarkis di negara-negara civil law dibandingkan  di negara common law. maka , pandangan hakim senior mungkin sangat menentukan 
dalam praktik dibandingkan ketentuan undang-undang. Hakim senior 
dalam civil law juga dapat melakukan kontrol lebih besar atas persoalan administrasi penting seperti distribusi pemeriksaan masalah  dan masalah personel. Banyak negara memiliki Komisi Yudisial, yang lainnya 
tidak. Dari mereka yang melakukan, kewenangan dan fungsi yang bervariasi.Oleh sebab itu, sepanjang tulisan ini, penulis akan menawarkan 
gagasan yang lebih elementer mengenai independensi peradilan. Pertama, independensi peradilan bukanlah nilai yang bersifat intrinsik 
(ultimate values), namun  hanya yaitu  sesuatu yang instrumental. 
Apa yang ingin dicapai yaitu  pengamanan nilai lain, yaitu ketidakberpihakan hakim. Jaminan independensi peradilan hanya dipakai  
untuk melindungi peradilan dari pengaruh luar yang tidak semestinya dan menjadikannya sebagai wasit yang sungguh-sungguh benarbenar tidak memihak. Kedua, Independensi peradilan bukanlah nilai 
yang abstrak melainkan ditentukan oleh factor kultural dan historis.
Pemisahan awal peradilan dari eksekutif yaitu  reaksi terhadap usaha  
negara (kekuasaan eksekutif) untuk mengambil bagian (atau lebih tepatnya untuk mempertahankan pengaruh) dalam penetapan hukuman. lalu , cara mengamankan independensi peradilan bereaksi 
terhadap metode yang lebih licik untuk memengaruhi hakim dan mengorbankan ketidakberpihakan mereka: melalui upah, kontrol masalah , 
mutasi, seleksi ulang, dan sebagainya. Namun, dalam semua masalah  
ini, karakter independensi peradilan menjadi terancam. Ketiga, tidak 
ada resep universal yang dapat diklaim sebagai standar “independensi 
peradilan”. Mengacu kepada independensi peradilan dan budaya, apa 
yang mungkin dianggap sebagai gangguan yang tak terbayangkan ke 
dalam independensi peradilan di negara A mungkin menjadi praktik 
umum di negara B. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, independensi 
pengadilan akan penulis kembangkan dalam kerangka 3 bentuk utama, yaitu (i) independensi pengambilan keputusan; (ii) independensi 
administratif; dan (iii) independensi personal. Selanjutnya, akan diuraikan masalah -masalah  independensi pengadilan di beberapa negara, terutama dikaitkan dengan ketiga kerangka ini .









Sebagai negara hukum, negara kita  menjamin warga negaranya untuk mendapatkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku melalui 
kekuasaan kehakiman dengan perantara peradilan. Pasal 24 ayat (1) 
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yaitu  kekuasaan yang 
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.1
 Semangat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 
Negara Republik negara kita  Tahun 1945 ini lalu  diturunkan ke 
dalam Undang-Undang Negara Republik negara kita  Nomor 48 Tahun 
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 
Mahkamah Agung yaitu  pengadilan negara tertinggi dari semua 
lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya 
bebas dari intervensi sesuai yang diamanatkan Pasal 24A UndangUndang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945.
 lalu  di 
dalam BAB III Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang pelaku kekuasaan kehakiman, di 
mana di Pasal 18 termaktub bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan 
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di 
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha 
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Negara Republik 
negara kita  Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UndangUndang Negara Republik negara kita  Nomor 8 Tahun 2004 jo. UndangUndang Negara Republik negara kita  Nomor 49 Tahun 2009. Dalam 
undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu  pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.
lalu  di dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan 
undang-undang.
Peradilan agama diatur dalam Undang-Undang Negara