Home » peradilan di indonesia 3 » peradilan di indonesia 3
Rabu, 13 September 2023
rn. Sebaliknya, secara fungsional dipahami sebagai serangkaian
prinsip yang memberi persyaratan normatif untuk mengendalikan
kekuasaan pemerintahan, khususnya melalui hukum dan peradilan
yang independen. Dalam ini , Tamanaha (2013) menyatakan bahwa
“meskipun sistem peradilan non-negara tidak memenuhi persyaratan
Rule of Law, mereka dapat dan jangan memenuhi aturan fungsi hukum
(namun) setidaknya mereka dapat “memainkan peran penting dalam
kaitannya dengan membangun dan memelihara perilaku di antara
warga negara.” Sistem peradilan informal melengkapi dan kadangkadang bahkan menjadi pengganti atas infrastruktur resolusi konflik,
yang memungkinkan untuk terjadinya pemulihan perdamaian sosial,
dan kepastian hukum.
B. WACANA PEMAHAMAN
Istilah sistem peradilan informal akan dipakai di seluruh tulisan
ini saat mengacu pada mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di luar lingkup sistem peradilan formal. Ada banyak istilah lain yang
lazim dipakai dalam referensi maupun percakapan sehari-hari dengan makna serupa seperti peradilan tradisional, peradilan adat, per-adilan restoratif, peradilan rakyat,109 dan sebagainya. Tentu saja secara
definitif sulit untuk memakai istilah umum untuk menunjukkan
berbagai proses, mekanisme dan norma dalam kerangka peradilan semacam itu di seluruh dunia. Setiap usaha untuk mendefinisikan sistem peradilan informal menghasilkan konklusi bahwa tidak ada definisi yang sangat tepat dan cukup luas untuk mencakup berbagai sistem
dan mekanisme yang berperan dalam memberi kepastian hukum
dan akses terhadap keadilan. Sistem peradilan informal bervariasi, meliputi banyak mekanisme dan bentuk formalitas yang berbeda-beda.
Derajat formalitas bervariasi sebab berhubungan dengan (i) kerangka hukum atau normatif, (ii) pengakuan negara, (iii) pengangkatan
dan interaksi, (iv) kontrol dan mekanisme akuntabilitas, dan (v) sistem
monitoring dan pengawasan, termasuk pemeliharaan berkas perkara
dan pelaksanaan hukum acara. Sistem peradilan informal juga mencakup sistem yang mungkin memiliki pengakuan negara, seperti resolusi
sengketa alternatif yang beroperasi di tingkat warga , baik difasilitasi oleh mekanisme tradisional atau difasilitasi oleh organisasi swadaya warga .
Istilah sistem peradilan informal yang dipakai di sini untuk menarik perbedaan antara sistem peradilan formal yang diselenggarakan
oleh administrasi negara110 dengan yang diselenggarakan oleh subjek
non-negara diberikan sistem peradilan informal.111 Pembelahan semacam itu bukan tanpa risiko dari perspektif akademik. Cara ini mengandaikan perbedaan yang tajam antara lembaga negara dan non-negara
yang terlibat dalam administrasi peradilan. Dalam praktiknya, bagaimanapun, perbedaan ini tidak selalu tepat. Misalnya, warga adat dari salah satu perspektif yaitu peradilan formal sebab mereka menerapkan hukum adat, namun dari perspektif lain mereka
tidak bisa dianggap dalam posisi semacam itu sebab mereka diakui
dan diatur oleh negara. Sebuah definisi yang ketat dari peradilan formal, bagaimanapun, akan mengecualikan warga adat dari ruang
lingkup tulisan ini.
Sejauh definisi sistem peradilan informal meminta perhatian terhadap keberadaan sumber hukum yang bukan berbasis negara, maka
konseptualisasi ini konsisten dengan praktik di banyak “nonstate justice system,” terutama di daerah perdesaan. Pengertian ini juga
yaitu dasar yang membawa analisis gagasan pluralisme hukum.
Namun jika analisis sistem peradilan formal diletakkan kepada hukum
(apa) yang diberlakukan, yaitu berupa norma-norma yang berasal dari
non-negara, ruang lingkup penulisan ini akan sangat sempit. Pertama,
sebab beberapa lembaga berbasis negara sering menerapkan hukum
non-negara baik sebab ketentuan perundang-undangan atau sebab
desakan publik.112 Dan kedua, sebab sangat sering, terutama dalam
konteks perkotaan, norma-norma yang diterapkan oleh sistem peradilan informal tidak hanya konsisten dengan hukum negara, namun memedomaninya. Fakta bahwa sistem peradilan informal sering meniru
lembaga negara memicu isu-isu kebijakan menarik mengenai
tata kelola dan keadilan pada biasanya . Definisi sempit sistem peradilan informal dalam hal hukum yang mereka terapkan akan mengecualikan refleksi pada isu-isu ini.
Pada masalah Afganistan, para pendukung dari sistem peradilan informal, juga mengakui bahwa negara dan sistem peradilan memiliki
kewajiban untuk memberi keamanan dan melindungi hak-hak
warga negara. Kesuksesan pembangunan negara akan berarti peran
yang lebih besar bagi pemerintah dalam urusan rakyatnya dan akan
mengharuskan mekanisme pemerintahan lokal menyerahkan sebagian kewenangan mereka kepada negara. Melalui kerja sama dan saling
pengakuan, warga dapat mengambil keuntungan dari lembaga negara,
seperti fungsi administrasi pengadilan untuk mengesahkan properti,
sementara pada sisi lain mereka mengandalkan mekanisme informal
untuk menyelesaikan sengketa yang mendasarinya.113Dalam diskusi mengenai peradilan informal ini, dalam beberapa
masalah tidak membahas sejauh mana negara terlibat di dalamnya.114 Di
banyak negara, warga yang menerapkan hukum adat diakui dan
diatur oleh negara, baik melalui konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, peradilan tradisional acapkali berwatak “semi formal.” Ada sementara anggapan bahwa oleh sebab bewatak demikian, maka peradilan informal lalu dicap sebagai lebih
sederhana dan bahkan kedudukannya menjadi subordinat dibandingkan dengan peradilan formal. Anggapan semacam ini tentu saja keliru,
mengingat dalam beberapa bentuk, peradilan informal justru menerapkan sistem yang sangat maju dan bahkan memiliki hukum acara
yang tersistematis.115
Harus diingat, terutama dalam situasi negara pascakonflik seperti
diuraikan di bab sebelumnya, ada mekanisme hukum termasuk proses
peradilan yang dilakukan oleh warga itu sendiri. Demikian juga
yang dilakukan oleh aktor non negara seperti laskar, kelompok jalanan,
pasukan swasta, dan sebagainya.116 Secara teoretis hal itu bisa dikategorikan sebagai peradilan informal, namun tidak termasuk dalam
pembahasan dalam tulisan ini. Demikian pula, tulisan ini tidak secara
eksplisit mencakup rentang sistem penyelesaian sengketa agama dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution, ADR)
meskipun beberapa contoh ini diberikan.
Dalam mempertimbangkan hukum adat dalam lingkup sebuah
keluarga hukum, studi ini mencatat beberapa pernyataan atau postulat tentang hukum adat ini . Meskipun cara ini pasti melibatkan
penyederhanaan dan generalisasi, mungkin berguna dalam konteks
penelitian ini untuk mempertimbangkan hukum adat sebagai sebuah
keluarga setara dengan keluarga hukum lain. Asumsi pertama yaitu bahwa hukum adat biasanya bertujuan untuk memelihara
perdamaian dan harmoni dalam warga di mana ada keterikatan
orang terhadap keluarga dan klan yang akan menentukan status dan
peran. Hukum adat secara umum menghargai tujuan-tujuan ini
lebih dari klaim teori hukum individual yang muncul dalam bacaan awal referensi hukum.117
Akibatnya, tidak ada perbedaan yang jelas antara lapangan pidana
dan perdata, dan tanggung jawab untuk kesalahan ditempatkan pada
kolektivitas dan tidak sekadar pada individu. Kedua, proses hukum adat
sebagian besar berbentuk lisan dengan prosedur yang fleksibel dan sederhana. Standar pembuktian didasarkan pada asumsi probabilitas.
Juri dipilih melalui mekanisme yang sering berdasar status atau reputasi, dan kadang-kadang pada keturunan. Mekanisme ini dalam komunitas yang menuntut tannggung jawab, kewajiban kolektif,
dan reputasi warga , sehingga kegagalan untuk hidup sesuai dengan tuntutan keadilan dan ketidakberpihakan akan membawa malu
dan bias memicu konsekuensi kehilangan status. Aturan substantif berasal dari tradisi yang telah eksis sejak jaman dahulu dan bahwa akal sehat dan persepsi melengkapi konsensus warga . Aturan
ini dapat dikembangkan dan berubah secara bertahap melalui
negosiasi, permusyawaratan, dan akibat berbagai pengaruh yang berlaku di warga . Sistem ini sering berorientasi pada kerangka kerja
lokal dan struktur sosial yang stabil yang mendefinisikan dengan baik
peran sosial dan gender, dengan hak dan kewajiban yang sesuai.
C. KETERKAITAN DENGAN SISTEM PERADILAN FORMAL
Hakikat sistem peradilan informal dan sejauh mana mereka dimasukkan ke dalam sistem formal sangat tergantung pada kondisi historis
masing-masing negara. Sistem hukum peninggalan kekuasaan kolonial dan sistem negara dan hukum baru yang dibentuk selama dekolonisasi memengaruhi peran dan status hukum adat dan sistem peradilan
informal serta interaksi antara sistem peradilan ini dengan sistem
peradilan formal.
Reformasi Rule of Law di Negara Sedang Berkembang menghadapi tantangan yang menakutkan seperti (i) stigma imperialisme saat lembaga gaya Barat justru yang dipilih, (ii) keengganan warga
lokal untuk terlibat dalam proses reformasi, dan (iii) kekurangan parah
sumber daya baik manusia, fisik, maupun keuangan. Pada saat yang
sama, beberapa Negara Sedang Berkembang memiliki institusi hukum
adat yang sangat fungsional. Di Afrika, misalnya, seorang kepala suku menerapkan hukum adat yang diturunkan oleh tradisi lisan. Sistem ini
menikmati dukungan public yang kuat sekalipun memiliki keterbatasan anggaran, namun sering memberi penyelesaian sengketa yang
cepat dan bisa diakses oleh warga . Sayangnya sistem adat tidak
selalu mematuhi standar minimum peradilan dan hak asasi manusia
versi Barat.
Sebagai tanggapan akan permasalahan itu, ada usaha untuk mensistematisasikan hukum adat, dan/atau menciptakan prosedur banding atas putusan peradilan informal. usaha ini berpotensi mengancam kepemimpinan dan kontrol hukum oleh warga adat itu
sendiri sendiri. Pembaruan hukum dituding berbasis pengertian kolonial, sehingga proyek semacam itu dituding telah menciptakan suatu
imperialisme baru. Akibatnya, putusan peradilan informal harus tunduk kepada mekanisme banding dan/atau peninjauan kembali.
Di sebagian besar negara, ada keterkaitan fungsional antara kedua
sistem peradilan ini . Hukum negara dapat mendefinisikan hubungan ini dan menentukan kaidah-kaidah kolaborasi (termasuk
prosedur banding, pengawasan, pembagian kompetensi, nasihat, bantuan, dan sebagainya).
Bahkan saat instrumen semacam itu tidak ada, sering ada berbagai
bentuk kerja sama resmi. Ada juga kemungkinan banding ke pengadilan dalam sistem formal dan, dalam beberapa keadaan, mekanisme
ini mungkin mendorong orang untuk percaya kepada mekanisme keadilan informal. maka , sistem formal dapat memberi
pengaruh bahkan di mana mekanismenya tidak langsung ditentukan.
Kemungkinan pula tercipta hubungan yang negatif, dengan persaingan yurisdiksi termasuk oposisi terbuka atau bahkan permusuhan. Selain hubungan fungsional, ada beberapa contoh munculnya tumpangtindih atau mekanisme untuk “meminjam” norma-norma, aturan dan
prosedur antara peradilan informal dengan peradilan formal. Hubungan semacam ini mungkin berasal dari sejarah panjang interaksi dan
koeksistensi di antara kedua sistem ini .
Asal muasal keberadaan sistem peradilan informal banyak dan
beragam. Pengakuan sistem peradilan informal dengan menggabungkan hukum adat, tradisi atau agama ke dalam sistem formal mungkin
yaitu cara bagi negara untuk mengakomodasi tradisi agama atau
etnis yang berbed-beda dalam satu negara. Juga dapat memungkinkan
negara untuk mengatur sistem peradilan informal, misalnya, dengan membatasi ruang lingkup yurisdiksi mereka dengan menentukan bahwa tradisi atau adat hanya berlaku untuk domain tertentu. Konsep
menentukan bahwa dalam sistem peradilan informal pengetahuan
tentang adat yaitu sumber otoritas dan ruang kekuasaan dibandingkan dengan pejabat negara.
Jangkauan kerja kepala suku tradisional kadang-kadang secara fisik terletak di wilayah pemerintah daerah. Negara dapat membayar gaji
kepada para pemimpin tradisional. Terutama jika mereka melakukan
tugas-tugas administratif selain menyelenggarakan peradilan. Kedudukan kepala suku tradisional sering dikatikan dengan wewenang pemerintahan daerah di tingkat lokal. Bias saja ada hubungan langsung
antara para pemimpin tradisional dan sistem formal dalam bentuk
mekanisme banding dan prosedur penegakan hukum. biasanya
hubungan ini terjadi hanya jika pengadilan para pemimpin tradisional secara hukum yaitu bagian dari struktur peradilan seperti di Zimbabwe atau untuk tingkat yang lebih rendah, di mana para
pemimpin tradisional dapat mencalonkan atau mewakili sebagai juri
dalam sistem formal seperti di Zambia. Sementara itu, negara-negara
Amerika Latin mengambil arah yang agak berbeda. Perubahan konstitusi mengakui praktik peradilan dalam komunitas tradisional dengan
kompetensi pada semua perkara di berbagai lapangan hukum.
Di negara-negara lain seperti Nigeria, Uganda, dan Malawi bahkan
di mana para pemimpin tradisional dapat melakukan tindakan-tindakan hukum lazimnya yang dikenal dalam hukum acara pidana, seperti
menahan tersangka dalam sel tidak resmi sambil menunggu polisi tiba
atau menunggu tersangka untuk dibawa ke polisi (yang bisa memakan
waktu lama, tergantung pada jarak dan sumber daya). Wewenang ini
terus berlangsung meskipun ini yang telah dinyatakan ilegal. Di Karamoja sebelah timur laut Uganda, pengadilan tradisional, yang yaitu dewan (laki-laki) penatua, terus berurusan dengan semua perselisihan, termasuk perkara perdata dan pidana. Perkara seperti santet
dan sengketa kepemilikan tanah dapat pula diperiksa dan diputus oleh
pengadilan tradisional itu, sekalipun untuk masalah santer hukum negara
sama sekali tidak mengatur atau saat telah dibentuk pengadilan yang
khusus menangani sengketa tanah.
memberi akses keadilan yaitu kewajiban negara di bawah
standar hak asasi manusia internasional, namun kewajiban ini tidak
mengharuskan hal itu hanya diberikan melalui sistem peradilan for-mal. Jika dilakukan dengan cara-cara untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, ketersediaan akses keadilan melalui
sistem peradilan informal dapat menjadi mekanisme untuk meningkatkan pemenuhan kewajiban ini atas individu dan warga
di mana sistem peradilan formal tidak memiliki kapasitas atau jangkauan geografis. Kewajiban hak asasi manusia berlaku untuk sistem
peradilan informal dan negara memiliki kewajiban untuk menjamin
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia,
termasuk menjamin keberadaan sistem peradilan informal. Mengkaji
sistem peradilan informal untuk pemenuhan hak asasi manusia yaitu persoalan yang kompleks. Kedua bentuk pengadilan perlu
dianalisis bersama-sama dalam hal kemampuan, prosedur, dan untuk
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Dalam beberapa keadaan, tidak
terpenuhinya hak asasi manusia dapat menimpa kepada sistem formal
maupun informal. Misalnya, sistem peradilan informal bisa menjadi
alat yang positif untuk mengalihkan anak kepada aspek yang lebih retributif dibandingkan dengan sistem peradilan pidana formal. Saat ada
keterbatasan akses ke mekanisme peradilan anak formal, sistem informal bisa menekankan keadilan restoratif itu, dengan mencari keharmonisan dalam warga setempat untuk mengintegrasikan kembali anak ke warga .
Perkembangan di Argentina menggambarkan bahaya dalam memajukan kemandirian peradilan sebagai solusi untuk membangun
supremasi hukum. Argentina, seperti banyak dari Amerika Latin, secara historis telah terganggu oleh apa yang beberapa sebut “demokrasi
delegatif” atau demokrasi tanpa Rule of Law yang dikembangkan sejak
kepresidenan Nestor Kirchner almarhum (2003-2007), dan sekarang
dilanjutkan oleh istrinya, Chirstina Kirchner (2007-2011).96 Kirchner
yaitu wanita pertama yang terpilih sebagai presiden Argentina.97
Pada tanggal 19 Desember 2001, kerusuhan sebab kelangkaan
pangan meletus di beberapa kota di Argentina. Berbeda dengan masalah
serupa di tahun 1989, kerusahan ini tidak dipicu sebab tingkat
inflasi yang tinggi, namun sebab hampir selama 10 tahun harga tetap
menjulang tinggi sebab perkembangan resesi dan membengkaknya
pengangguran. Selama berjam-jam, kerusahan diikuti dengan protes
kalangan kelas menengah dan ketidakpercayaan sosial terhadap pe-merintah. Sekalipun dimensi finansial dari krisis di Argentina telah
lama disuarakan oleh para pengamat dan investor, akibat-akibat politik sungguh di luar bayangan siapa pun. Meskipun memiliki karakteristik yang bersifat istimewa, cara penyelesaian krisis di Argentina
memiliki kemirian dengan masa-masa kekacauan politik di Amerika
Latin pada tahun 1990-an. Selain pengecualian dalam persoalan tertentu, Argentina menampilkan ilustrasi dramatik dibandingkan kecenderungan krisis serupa dalam dekade ini.
Pada tanggal 1 Desember 2001 malam, Menteri Perekonomian Domingo Cavallo mengumumkan langkah-langkah yang mencerminkan
keputusasaan pemerintah untuk mencegah kebangkrutan perbankan,
membatasi pelarian modal asing, dan mengubah rezim nilai tukar yang
sudah bertahan hampir satu dekade. Hampir selama 3 bulan, warga akan dipotong simpanannya di bank secara tunai sebesar 250 peses
(kira-kira setara 250 dollar) tiap minggu dan semua transaksi seperti
penarikan cek, kartu kredit, atau transfer elektronik akan dibatasi, dan
tidak seorang pun diizinkan ke luar negeri dengan membawa uang lebih dari 1.000 dollar.
Kebijakan tergesa-gesa ini segera mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah, hanya dua tahun pertama kepresidenan Fernando
de la Rua sehingga popularitasnya semakin merosot. Presiden de la
Rua sebelumnya berhasil memenangkan pemilihan presiden (1999)
dengan kendaraan Alianza, gabungan partai garis keras Partai Radikal
dan partai kiri tengah FrePaSo, yang mengkritik kepemimpinan Carlos
Menem. Sekalipun mengumbar janji untuk transparansi dan pendekatan manusiawi atas kebijakan ekonomi, pemerintahan Alianza dirombak pada Oktober 2000 sebab Wakil Presiden Carloz Avares, pemimpinan FrePaSo, mengundurkan diri sebagai protes maraknya korupsi
yang melibatkan para senator dan anggota kabinet. Ketidakmampuan
membangun koalisi yang solid dengan Kongres atau penyelesaian resesi selama hampir 3 tahun, pada bulan Maret 2001, Presiden menunjuk
Cavallo sebagai Menteri Perekonomian (ia sebelumnya duduk di kabinet Carlos Menem dan arsitek sistem nilai tukar), namun menambah
kelemahan dan ketidakefektifan pemerintah yang ditunjukkan dengan
menurunnya charisma Cavallo dalam mengambil keputusan.
Secara paradoks, penunjukan menteri baru menciptakan ketidakyakinan mengenai masa depan sistem nilai tukar. Melengkapi merosotnya kepemimpinan ini, the Alianza kehilangan banyak kursi dalam pemilu di bulan Oktober 2001 dan Partido Justicialista, sebuah partai
yang mewarisi ajaran Peron menguasai mayoritas DPR (45%) dan Senat (56%).
Dalam situasi ini, pengumuman di bulan Desember tadi menjadi bom waktu sebab adanya pengangguran terbuka sebesar 18% selama bulan-bulan sebelumnya. Anjloknya daya beli menjelang Natal
dan memburuknya resesi, serikat kerja dan buruh swalayan menggelar
protes atas kebijakan ekonomi ini . Sepanjang Desember, demonstrasi yaitu masa suram dengan situasi politik yang makin berat.
Namun kerusuhan pangan pada 19 Desember yaitu mata rantai
tak terpisahkan dengan jatuhnya pemerintahan the Allianza.
Dengan berkembangnya aksi massa yang mulai mengepung istana kepresidenan, muncul gagasan untuk memberi pemerintahan
kepada the Peronist Party. Dalam pertemuan dengan pemuka partai
tesebut pada 19 Desember pagi, Presiden de la Rua gagal menghasilkan kesepakatan konkret. Semakin sore, aksi massa semakin meluas di
seluruh negeri, Kepala Staf Kepresidenan Chrystian Colombo meminta
pengunduran diri anggota kabinet untuk membuka jalan bagi terciptanya pemerintahan koalisi
Pada malam harinya, suatu usaha yang sia-sia untuk mengendalikan situasi, Presiden de la Rua melalui pidato televisi menyatakan
negara dalam keadaan darurat. Secara spontan, kalangan kelas menengah menjadi tersulut dengan pengumuman itu, dan turun ke jalan
untuk menntut pengunduran diri Menteri Domingo Cavallo. Tindakan represif kepolisian terhadap aksi massa di Buenos Aires menyulut
kerusuhan yang menewaskan tujuh orang pada malam itu. Pada dini
hari, Presiden menerima pengunduran diri Cavallo. Pada saat bersamaan, gagasan untuk membentuk koalisi dengan the Peronist Party berantakan. Menjelang fajar, negosiasi itu ditutup dan rencananya akan
dilanjutkan pada hari berikutnya.
Pertemuan selanjutnya tidak pernah membawa hasil. Pada pagi
hari, 20 Desember 2001, sudah sampai penilaian di kalangan the Peronist Party bahwa pemerintahan de la Rua di ambang kejatuhan. Di luar
istana, bentrok massa dengan polisi membahana seiring tuntutan demonstan untuk pembubaran pemerintahan. Hanya dua hari dalam aksi
massa sesudah pengumuman negara dalam keadaan darurat, tindakan
represif kepolisian telah memakan korban: 25 tewas, 400 luka-luka, dan
hampir 3.000 orang ditahan di seluruh negeri. Di gedung Kongres, ka-langan the Peronist party menggertak Presiden dengan ancaman akan
memecat de la Rua. Presiden memahami situasi dan segera mengajukan pengunduran diri. Sesudah pengunduran diri ini, Ketua Senat Ramon Puerta bersedia untuk menjadi Presiden sementara untuk 48 jam.
Tanpa adanya Wakil Presiden dan saat Kongres dikendalikan oleh
oposisi, sudah nyata bahwa kalangan Peronist hendak mengambil alih
pemerintahan. namun siapa yang akan diajukan sebagai Presiden? Sejumlah pemimpin the Peronist Party yang menjadi Gubernur provinsi
terkemuka, berambisi untuk mengambil alih dan bersedia menjadi calon. Masalah yang muncul sekarang yaitu menampilkan pemerintahan yang berwibawa dalam masa transisi, sesuatu yang tidak pernah dipersiapkan oleh the Peronist Party. Akhirnya dicapai kompromi, bahwa
Gubernur San Luis, Aldofo Rodgriguez Saa, ditunjuk sebagai pejabat
Presiden untuk 90 hari dan pemilu presiden akan digelar pada 3 Maret
2002. Tanpa pertentangan berarti dari the Allianza, yang sekarang berubah menjadi oposisi, Presiden sementara dipilih untuk mempercepat
masa transisi dan menyelesaikan masalah dalam negeri.
sesudah perdebatan 12 jam di Kongres, kebijakan transisi baru disepakati pada 23 Desember 2001. Segera sesudah dilantik, Rodiguez Saa
mengumumkan rencana darurat. Utang publik akan dihapus dan akan
ada pengucuran dana untuk program sosial, termasuk penciptaan sejuta lapangan kerja dan ketersediaan pangan. Sistem nilai tukar dipertahankan, tidak ada lagi devaluasi yang dipaksakan, dan akan ada suntikan dana segar untuk mempertahankan likuiditas ekonomi. Semua
mobil dan pesawat yang dimiliki kalangan eksekutif akan dilelang, gaji
politisi dipotong, dan semua posisi di pemerintahan dibekukan.
Dalam 2 hari, sudah tampak bahwa rencana Rodriguez Saa tak
lebih untuk menyelesaikan persoalan sisa jabatan kepresidenan de la
Rua (2003). Semua gubernur dari kalangan the Peronist Party menunggu situasi.
Dengan memperhatikan perkembangan situasi, keberhasilan politik sulit ditebak. Untuk mempersatukan perpecahan di kalangan Peronisme, sejumlah mantan pejabat dengan rekam jejak memprihatinkan
terkait korupsi ditarik ke pemerintahan. Segera saja cara mengelola negara semacam itu mendapatkan protes massa.
Pada sore hari, 28 Desember 2001, Mahkamah Agung menentang
(dengan komposisi suara 7-2) pembatasan rekening perbankan, dan
memerintahkan tiap orang untuk menarik kembali tabungan mereka. Tak lama sesudah putusan itu, Mahkamah Agung menjadi sasaran protes massa dan menuntut agar para hakim agung mengundurkan diri.
Pada malam harinya, kelompok kelas menengah menyusun aksi
massa baru. Mereka menggalang dukungan untuk melakukan protes
ke pengadilan dan menuduh para hakim agung telah berpolitik; lalu ke Istana Presiden yang menuntut diturunkannya pejabat negara
yang memiliki rekam jejak korupsi. Hampir 15.000 orang berkumpul di alun-alun the Plaza de Mayo, depan istana kepresidenan. Suara
protes publik di sini lebih keras: menuntut seluruh politisi dan institusi
negara untuk mengundurkan diri. Tidak terkecuali para hakim agung.
Semua hakim yang ditunjuk oleh Carlos Menem di tahun 1990-an
menjadi sorotan publik.
Untuk mengendalikan keadaan, Presiden Rodriguez Saa menggelar pertemuan darurat dengan para Gubernur dari the Peronist Party, namun hanya 6 di antara 14 gubernur yang hadir. Seluruh anggota kabinet disepakati mengundurkan diri. Namun Rodriguez Saa menyadari
merosotnya dukungan elite partai dalam kepemimpinannya. Tak lama
sesudah itu, dalam pengumuman di televisi, dia mengundurkan diri sebagai presiden pada 29 Desember 2001. Pimpinan mayoritas Kongres
Eudardo Camano, untuk sementara waktu menjadi Presiden sampai
ditetapkannya calon definitif.
Dengan pengunduran diri Rodriguez, kalangan the Peronist Party bersedia membuka kesepakatan baru dengan the Allianz dengan
pertimbangan bahwa persekutuan anyar ini akan membuat penguasaan parlemen menjadi 90% suara. Dengan kesepakatan ini, pada 1 Januari 2002, Senator Eduardo Duahalde (pernah menjadi Wakil Presiden
semasa Calor Menem 1989-1991, mantan Gubernur Buenos Aires, calon the Peronist Party yang kalah dalam pemilu 1999) dilantik menjadi
Presiden hingga 2003.
Pemerintahan baru ini melakukan devaluasi mata uang hingga
20% dan merombak sistem nilai tukar menjadi sistem mengambang.
Diputuskan juga seluruh utang dalam dollar akan diubah ke dalam pesos. Namun pemerintah tetap memaksakan pembatasan aktivitas perbankan: hanya diizinkan menarik dana US$ 1.200 tiap bulan (kecuali
untuk gaji), seluruh deposito dollar diubah ke dalam pesos, dan seluruh sertifikat deposito akan dibayar kembali dalam 36 bulan.
Aksi massa kembali meletus. Pada malam 10 Januari 2002, gelombang baru demonstrasi muncul untuk menuntut perombakan Mahka-mah Agung dan penarikan seluruh deposito. Berhadapan dengan tekanan ini, Mahkamah Agung pada 1 Februari 2002 memutuskan bahwa
pembatasan transaksi perbankan yaitu tindakan inkonstitusional.
Anehnya, putusan ini kembali menuai protes sebab para hakim agung
dituduh oportunis dan melakukan manuver politik. Dalam sebuah
pidato di radio, Duhalde menuduh para hakim telah menghalanghalangi perintah Presiden. Dia mengancam akan menyuruh Kongres
melakukan impeachment terhadap para hakim agung dan sekaligus
menyerukan rencana perombakan majelis. Dua hari lalu , suatu
panel di Kongres dibentuk untuk menyelidiki 9 hakim agung.
Dalam perkembangannya, impeachment itu lalu gagal. Aksi
massa tidak surut, namun tidak lagi fokus menuntut pengunduran diri
Presiden, dan kepastian mengenai deposito mereka tidak kunjung
datang. Pada 20 Februari 2002, Wakil Menteri Perekonomian mengemukakan di Kongres bahwa 47% rakyat Argentina terjerat kemiskinan.
Pemerintah Duhalde melakukan pendekatan kepada Kongres dan tercapai kesepakatan bahwa masa jabatan Presiden akan dipertahankan
mengingat batas waktu yang semakin dekat di tahun berikutnya.
Pemerintahan Kirchner di satu sisi telah membawa secercah harapan bagi demokrasi Argentina. Presiden Kirchner terpilih pada tahun
2003, sesudah terjadi krisis kelembagaan, keuangan, dan ekonomi yang
paling serius di Argentina.98 Sesudah terpiliha, Kirchner berjanji akan
menjaga independensi peradilan dan memulihkan Rule of Law. Kirchner membayangkan peran Mahkamah Agung seperti lembaga serupa
di Amerika Serikat.
Sehubungan dengan reformasi peradilan dan memulihkan independensi peradilan, Daniel Brinks mencatat: “Kirchner sungguh-sungguh menghadapi dilema. Pada satu sisi, Mahkamah Agung terpolitisasi
dan menjadi partisan, sehingga tercemar dan menjadi bulan-bulanan
publik yang memaksa pengunduran diri atau impeachment bagi para
hakim. Sementara di sisi lain, tindakan memecat semua hakim hanya
akan mendorong Kirchner untuk mengabadikan tradisi panjang menunjuk para hakim yang loyal sekaligus memperparah independensi
peradilan.”Kirchner memimpin perbaikan Mahkamah Agung, yang telah dikemas oleh Presiden Carlos Menem Saúl pada tahun 1990 dan secara luas dipandang terpolitasi dan korup. Sehubungan dengan proses
rekrutmen hakim Mahkamah Agung, Kirchner telah berusaha untuk
membuat proses pencalonan menjadi lebih transparan, partisipatif,
dan deliberatif.100 Untuk mencapai tujuan ini, ia menandatangani keputusan presiden sukarela yang membatasi kewenangannya dalam
proses seleksi itu. Menurut keputusan ini, Presiden harus secara terbuka mengumumkan calon dan menempatkan nama kandidat secara online dan dalam berbagai publikasi pemerintah.101 Para calon lalu
harus menyerahkan pernyataan untuk pengawasan publik mengenai
afiliasi, kegiatan, aset, dan sebagainya secara perinci dalam 8 tahun
terakhir. warga memiliki waktu 15 hari untuk mengajukan komentar dan keberatan, dan Presiden lalu memiliki 15 hari untuk
menyampaikan maupun membatalkan pencalonan.102 Ketentuan Konstitusi 1994 mensyaratkan dukungan 2/3 Senat dalam pencalonan itu.
Paket kedua dari reformasi peradilan yaitu tindakan Kirchner untuk mempertahankan mayoritas hakim agung yang ditunjuk Presiden
Carlos Menem. Kirchner menolak untuk secara membabi buta memberhentikan seluruh hakim agung dan hanya menunjuk hakim dalam
jumlah minoritas.103 Kirchner, yang sebelumnya begitu gigih mendukung usaha pemecatan terhadap 4 hakim warisan Menem,104 tibatiba menentang usul Kongres untuk melakukan impeachment Hakim
Agung Antonio Boggiano, satu hakim yang masih ada saat itu.105
Bagaimana dapat memahami pendekatan Kirchner untuk impeachments dan sistem nominasi baru itu berpotensi memengaruhi independensi Mahkamah Agung di Argentina? Untuk menjawab pertanyaan perlu dibedakan antara preferensi peradilan dan pengambilan
keputusan peradilan dan antara kemandirian dan kontrol. Dalam hal
preferensi peradilan, walaupun diterbitkan Keputusan Presiden Kirchner yang akan mengurangi kendali eksekutif secara sepihak atas proses
pencalonan, namun justru pada akhirnya sistem nominasi baru itu
meningkatkan kontrol politik secara keseluruhan atas preferensi dan
karakteristik calon hakim agung dengan menghasilkan dan mengekspos informasi lebih lanjut mengenai calon kepentingan dan kualifikasi
calon. Sistem ini akan meningkatkan lebih besar lagi kontrol aktor politik dan maka ada kemungkinan untuk mengganggu independensi pengadilan.
Struktur peradilan Argentin mengikuti model Amerika Serikat.
Konstitusi ditetapkan tahun 1853 dan menetapkan bangun negara federal, dengan pengadilan federal dan peradilan provinsi yang terpisah
untuk masing-masing subdivisi teritorialnya. Sampai tahun 1994, proses pengangkatan hakim agung pada dasarnya identik dengan proses
yang tercantum dalam Konstitusi AS, yang memberi Presiden kekuasaan untuk menunjuk hakim agung (bersama dengan hakim federal lainnya) dengan nasihat dan persetujuan Senat. Sebuah reformasi pada
tahun 1994 melibatkan asosiasi pengacara untuk persetujuan calon,
dengan tetap membutuhkan minimal 2/3 suara Senat.106 Ada penelitian yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya ketimpangan independensi peradilan di Argentina telah berlangsung selama bertahuntahun. Hal itu dapat dilacak dalam ketimpangan yang menyangkut
preferensi dan dependensi pengambilan keputusan Mahkamah Agung.
Hakim yang oposon akan selalu memberi suara menolak dalam
pengujian tindakan pemerintah, yang berujung kepada sikap Presiden
untuk menghukum pengadilan atau mengabaikan putusan yang telah
diterbitkan.107 Oleh sebab itu, “Mahkamah Agung tampaknya mengikuti jargon kuno untuk berada dalam posisi yang independen, akan
namun sesungguhnya dalam beroperasi berada dalam lingkungan yang
membuatnya tidak merdeka.”108
Hal itu dipicu sebab “Pengadilan tertinggi Argentina, untuk
sebagian besar sejarah dan kecenderungan umum, tidak memiliki kemerdekaan sebab hampir selalu terdiri dari hakim yang memegang
preferensi identik dengan Presiden. Selain itu, hakim secara individual mempertahankan identitas preferensi dengan Presiden ini dengan dalih menghargai kedermawanan Presiden dalam mencalonkan dirinya
dan tiap kali juga dalam situasi tertentu Presiden akan menagih preferensi politik itu.”109 Lalu, “Pada saat yang sama, pengadilan mampu
menghasilkan putusan yang independen (mungkin didorong untuk
pencitraan) saat ada tekanan oposisi. Tapi kita juga dapat menyimpulkan bahwa independensi putusan tetap saja jumlahnya terlampau
sedikit sebab tunduk pada erosi setiap kali konstelasi politik memberi Presiden kapasitas untuk menghukum pengadilan dan memakzulkan hakim.”110
Argentina memiliki sejarah panjang dan akrab dengan ketidakstabilan kelembagaan. Salah satu aspek dari ketidakstabilan ini yaitu
pemberhentian rutin hakim agung pada saat terjadi perubahan rezim, meskipun ada jaminan konstitusional mereka memegang jabatan seumur hidup.
B. masalah PERU
masalah Peru menunjukkan tindakan politik dan hukum yang dilaksanakan secara sistematis oleh pemerintahan korup yang akhirnya mereduksi Rule of Law.111 Pada saat Alberto Fujimori memenangkan pemilu
presiden pada tahun 1990, ia mewarisi suatu negara yang krisis. Negara
terperosok dalam inflasi yang mencapai 7.000%, kegagalan membayar
utang luar negeri, dan kemerosotan pendapatan nasional.112 Lagipula,
negara mengalami konflik internal antara militer dengan pemberontak
Maois yang terhimpun dalam Sendero Luminoso sejak tahun 1980-an,
era di mana justru negara ini telah mengalami transisi sesudah sekian
lama dalam cengkeraman kediktatoran militer.113
Capaian kuasa Fujimori seperti kisah dalam novel yang begitu dramatis. Fujimori, warga negara Peru keturunan Jepang, masih dianggap
asing oleh pihak yang tidak menyukainya. Ia yaitu insinyur pertanian dan Dekan Fakultas Pertanian, yang lalu membentuk partai sebagai “perahu politik” (Cambio90), hanya sebulan sebelum pemilu berlangsung. Ia dianggap sebagai sosok alternatif yang mewakili kelompok politik baru Peru yaitu kalangan “provincial, nonelite, nonwhite sectors” yang selama ini terpinggirkan dalam kancah politik nasional.114 Sosok Fujimori akhirnya memenangkan pemilu sesudah berhasil
menekuk Mario Vargas Llosa.
Pada masa awal memerintah, Fujimori menetapkan “Government
of Emergency and National Reconstruction” yang memberinya kekuasaan untuk bertindak uniteral selama 7 bulan. Kebijakan itu didukung
dengan reformasi ekonomi yang mengarah kepada neoliberalisme dan
perbuatan nonlegal dalam memerangi terorisme.115 Untuk mengamankan kebijakan ini , Fujimori bersekutu dengan militer dengan
mengabaikan mekanisme formal yang biasanya berlangsung untuk
2 tahun, dengan cara menunjuk secara permanen General Hermoza
Rios sebagai kepala staf. Fujimori juga mengandalkan dukungan Badan Intelijen Nasional (Secret Intelligence Service) yang dipimpin oleh
Vladimiro Montesinos. Pada 5 April 1992 Fujimori memerintahkan
pengepungan tentara terhadap anggota Parlemen yang bersidang dan
memerintahkan pembekuan lembaga perwakilan ini . Untuk memenuhi desakan internasional pada 18 Mei 1992, Fujimori menyelenggarakan pemilu dan berhasil menguasai parlemen, yang nantinya akan
memberi stempel legitimasi atas kekuasaannya dan menyusun
konstitusi baru.
Dengan mekanisme konstitusi dan demokrasi baru ini , Fujimori mulai mengabaikan Rule of Law dengan membiarkan terjadinya
extrajudicial killing terhadap 9 mahasiswa dan seorang dosen pada
tahun 1992 dengan dukungan Montesionos.116 Atas masalah ini ,
dengan desakan kekuatan nasional dan internasional, jaksa penuntut
umum lalu membentuk suatu komisi khusus pada tahun 1994.
namun Fujimori mendesakkan suatu undang-undang pada tahun
1995 yang mengalihkan wewenang penuntutan ke pengadilan militer
dan memungkinkan pemberian amnesti kepada aparat negara yang
melakukan kekerasan. Akibat ketentuan ini , sejumlah tersangka
dibebaskan dari penjaraSebelumnya pada tahun 1993, Fujimori menetapkan suatu konstitusi baru yang mengelola kekuasaan tanpa akuntabilitas. Konstitusi
yang dikendalikan penuh oleh Fujimori, memberi kekuasaan yang
luas kepada militer termasuk dalam menentukan anggaran dan penyusunan pengadilan. Konstitusi juga mengatur pembentukan “executive
commission of the public ministry”,—yang secara kelembagaan berada
di atas Ketua MA dan Jaksa Agung—yang dalam praktik mengontrol
penegakan hukum terhadap aparatur negara. Pengadilan jika diisi dengan hakim yang bersimpati terhadap militer.118 Lembaga MK dibentuk dengan komposisi tujuh orang hakim, di mana empat di antaranya
dikendalikan oleh Fujimori. Suatu ketentuan ditetapkan bahwa MK
dilarang membatalkan UU kecuali dengan dukungan minimal enam
hakim.
Fujimori dengan dukungan intelijen mengendalikan surat kabar
dan menguasai seluruh stasiun televisi dengan tujuan “for manipulation “reordered political and social meanings in Peru” and created a culture of fear that perpetuated the willingness of citizens to surrender their
rights in exchange for safety.”119 Menurut Burt, “the instrumentalization
of fear allowed the government to penetrate, control and immobilize civil society.”120 Selain itu, label “terrorist” juga dikenakan terhadap oposisi
yang kritis. Sebagai akibatnya, “The institutional structures that protect
individual and civil rights—the sine qua non of civil society organization—disappeared in this context. Without state institutions to guarantee
the rights to organize, to free speech, and the inviolability of the person,
civil society organization shriveled under the threat of state and insurgent
violence by non-state actors, the state contributed decisively to the disarticulation and fragmentation of civil society.”
Pada akhirnya, cerita kejatuhan Fujimori tidak dipicu sebab merebaknya pelanggaran HAM, namun sebab korupsi. Pada
September 2000, sekitar 6 minggu saat Fujimori memulai masa jabatan yang ketiga kalinya, beredar video yang memperlibat Montesinos
menyuap banyak kalangan, seperti anggota parlemen, pengusaha,
pemilik industri media, dan kalangan penting lain. lalu publik
memperoleh informasi bahwa sekitar 48 juta dollar AS dana ditemukan
di 2 perbankan Swiss dan diperkirakan jutaan dollar yang lain tersebar
dalam tempat yang belum diketahui. Dalam situasi yang makin terpojok, sesudah Montesinos melarikan diri ke Panama, Fujimori lalu
melaksanakan pemilu pada Juli 2001 dan segera menonaktifkan badan
intelijen.
Pada 13 November 2001, sesudah 6 hari pernyataannya mengundurkan diri sebagai Presiden, Fujimori melarikan diri ke Jepang. Parlemen menolak pengunduran diri sang Presiden sebagai tindakan tidak
bermoral dan memutuskan memecat yang bersangkutan. lalu ,
pada Maret 2003 Interpol menetapkan Fujimori sebagai buron dan secara resmi pemerintah Peru mengajukan ekstradisi ke Jepang pada 31
Juli 2003. namun Jepang menolak, sebab menganggap Fujimori yaitu
warga negara Jepang, mengingat orang tuanya berasal dari Jepang.
Sesudah mundurnya Fujimori, Peru segera membentuk “The Truth
and Reconciliation Commission” sebagai suatu komisi yang memiliki wewenang untuk melaksanakan penyelidikan pelanggaran HAM
pada tahun 2001. sesudah 2 tahun, komisi berhasil mengumpulkan
sekitar 17.000 kesaksian dan 9 jilid laporan, yang antara lain memuat
70.000 korban pelanggaran HAM. namun berbeda dengan komisi serupa di Afrika Selatan yang berwenang memberi pengampunan, model Peru ini tidak memiliki kapasitas serupa.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara mengejutkan Fujimori diketahui berada di Chile sesudah terbang memakai jet pribadi
melalui Meksiko pada 6 November 2005. Segera MA Chile memerintahkan penahanan yang bersangkutan dan beberapa bulan lalu
Peru mengajukan ekstradisi. Pada 10 September 2007, MA mengabulkan permohonan ini dan lalu pada 22 September 2007, Fujimori diterbangkan ke Peru dan ditahan dalam sebuah penjara khusus
di pinggiran Kota Lima. Pada 7 April 2009, MA Peru menjatuhkan pidana penjara 25 tahun bagi Fujimori atas pelanggaran HAM, termasuk
pelanggaran Rule of Law.
masalah Peru menjadi pelajaran yang berharga bagaimana Rule of
Law mengalami 2 sisi instrumentalisasi sekaligus. Pada sisi yang pertama, Rule of Law menjadi alat yang efektif bagi Fujimori melaksanakan kediktatorannya sebagai Presiden sejak 1992. Kisah Peru lalu
membenarkan argumen Levitsky dan Way mengenai “diminished form of authoritarianism.”122 Kedua penulis ini menyatakan “[r]ather than
openly violating democratic rules (for example, by banning or repressing the opposition and the media), incumbents are more likely to use
bribery, co-optation, and more subtle forms of persecution, such as the
use of tax authorities, compliant judiciaries, and other state agencies to
‘legally’ harass, persecute, or extort cooperative behavior from critics.”
Pada posisi ini, Fujimori lalu menjadi “one of the most recent dictators in Latin America, and perhaps learned that he had to be clever to
maintain his repression. The learning curve for avoiding ‘being caught’
entailed finding ‘legal’ forms of silencing dissent” dengan strategi “dangerously weaken[ed] horizontal accountability” by insulating the executive from scrutiny” dengan jalan “impeded by a vigorous legislature,
independent courts, and watchful citizens.”
Pada sisi yang kedua, Rule of Law diinstrumentalisasi sebagai manajemen masa transisi untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fujimori. Pada situasi transisi biasanya ,
amat sulit menerapkan “criminal justice” sebagai mekanisme untuk
menyelesaikan kejahatan rezim terdahulu. Pada saat akan melakukan
“law enforcement” negara menjadi sulit sebab harus berhadapan dengan “sisa” kekuasaan terdahulu dan perlu negosiasi antara keinginan
memidanakan dengan mengampuni. Sebaliknya, di Peru, proses yang
terjadi menetang kecenderungan umum, di mana peradilan pidana
dapat berjalan tanpa interupsi politik dan berhasil memenjarakan Fujimori, orang yang sangat berkuasa dengan lumuran darah sejak 1992
dan tak terbayangkan juga, bahwa penghukuman itu hanya terjadi beberapa tahun lalu terhadap sang diktator.
C. masalah INDIA
masalah India menunjukkan keunikan dalam konteks studi peradilan, terutama terkait dengan posisi para hakim, sebab “it is well-accepted that good judges are practicing both law and politics, while mediocre judges may be practicing either, both, or neither. They are not usually
seen as political in the sense that they are allied to a particular political party’s ideology.”125 namun para hakim itu juga “having a sophisticated concept about their role in the political system and the policies
that follow from these positions.”126 Suatu kajian menarik yang dilakukan oleh Marc Galanter menunjukkan keunikan perilaku hakim India
yang “have both written about the tradition of black letter law in India,
or the adherence to a formal legal perspective that shares much with the
civil law tradition.” Para pakar politik juga sepakat bahwa para hakim
“consistently write opinions that combine political and formal legal arguments, obliterating the dichotomy which often characterizes U.S. debates over judicial motivations.”
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa perilaku hakim di India yaitu tipe yang “difficult to explain as rational” sebab “have behaved in ways that scholars of American courts find extremely puzzling;
the justices have consistently challenged the executive branch even when
their judicial institutions have been relatively new and their legitimacy
has not been strongly established. And they have done so in the context
of unified executive–legislative institutions, not in a separated powers
context.” Dengan periode yang sudah berlangsung sejak masa penjajahan Inggris, India mencerminkan keunikan bagaimana interelasi
pengadilan terhadap cabang kekuasaan yang lain. ini perlu dibahas
sebab “the justices who challenged the executive branch were acting in
predictably strategic ways and that their decisions cannot be categorized
as clearly formal or political.”
Pengadilan, dalam ini MA, telah mengalami 3 kali fase pertumbuhan. Fase pertama, yaitu “the Supreme Court of Judicature” yang
didirikan oleh Inggris pada tahun 1773 dengan wewenang yang luas.
Fase kedua yaitu “the Federal Court of India” yang didirikan pada tahun 1935 dan khusus untuk mengadili perselisihan kewenangan antara
Provinsi dan daerah. Fase ketiga yaitu “the Supreme Court of India”
yang dibentuk menurut Konstitusi 1950 dengan wewenang sebagai badan peradilan banding dan judicial review. Fokus pembahasan dalam rubrik ini yaitu pada fase yang ketiga, untuk membahas penegakan
Rule of Law atas MA.
Lembaga MA dibentuk menurut Konstitusi 1950 guna menggantikan kedudukan “the Federal Court of India.” Nyaris ketentuan mengenai struktur badan pengadilan dalam konstitusi sama dengan ketentuan tahun 1935. Selain banding dan judicial review, MA juga memiliki
fungsi untuk memberi pertimbangan hukum. Semua perkara dapat
dimintakan pemeriksaan ke MA, suatu hal yang berbeda dibandingkan
dengan kelembagaan di Amerika yang dapat menentukan suatu masalah
masuk dalam yurisdiksi mereka atau tidak.131 Pada awal pendirian di
tahun 1950, MA memiliki 8 orang hakim, yang terus-menerus ditambah dan sekarang mencapai 26 hakim.132 Untuk pemeriksaan perkara biasanya ditentukan 3-5 orang hakim dalam satu majelis, akan
namun khusus untuk perkara konstitusi harus diperiksa minimum oleh
5 hakim. Bahkan untuk memeriksa ulang perkara yang sudah diputus
sebelumnya oleh MA, ditentukan komposisi hakim yang lebih banyak,
seperti dalam perkara Kesavananda Bharati (1973) yang melibatkan 13
orang hakim.
Di India, Partai Kongres yang sempat mendominasi pemerintahan (1952-1977) amat progresif dengan menghapus lembaga-lembaga
politik peninggalan kolonial Inggris, namun khusus untuk pengadilan, penguasa membiarkan situasinya berkembang seperti pada
masa-masa sebelumnya. Dugaan sementara yaitu para hakim dianggap tidak begitu berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan lagipula pada awalnya pengadilan dianggap tidak memiliki fungsi signifikan
dibandingkan dengan lembaga politik, misalnya dibandingkan dengan
Parlemen yang dipilih melalui pemilu.133 Meskipun demikian, menurut
kajian Burt Neuborne, dalam dekade pertama sejak konstitusi diberlakukan, para hakim cenderung menganggap diri mereka sebagai perisai
konstitusi dan mempertahankan “the fundamental rights.”
Serupa dengan tradisi supremasi parlemen di Inggris, mekanisme
politik India memungkinkan parlemen mendelegasikan kewenangan
mereka kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan badan-badan independen. Pengadilan dapat membatalkan tindakan-tindakan delega-si ini sepanjang memenuhi persyaratan: (i) if the delegated power
is too sweeping, (ii) if the delegated power is contradictory to the statute
authorizing it, or (iii) if the delegated power is “repugnant to the general law.
135 Dominasi pemerintahan mayoritas memaksa pengadilan
harus cukup pintar memperhatikan realitas politik, sebab pengadilan
pun harus memahami kekuasaan luas Parlemen yang memungkinkan
membentuk UU yang dipaksakan. Lagipula seiring dengan tumpukan
perkara yang semakin banyak, pengadilan tak punya pilihan cukup
untuk memeriksa perkara secara selektif.136 Oleh sebab itu, sikap MA
yang frontal terhadap pemerintah nyaris tidak dijumpai dibandingkan
dengan tahun-tahun pertama pembentukan “the Federal Court.” Walaupun demikian, sejumlah masalah pada awal pembentukan MA sebenarnya menampakkan ciri-ciri sebagai putusan yang menentang pemerintah.
Dalam masalah A. K. Gopalan v. State of Madras (1950) yang berhubungan dengan pemenjaraan terhadap Gopalan, aktivis Partai Komunis dengan memakai UU Antisubversif (1950), yang memungkinkan penahanan tanpa proses pengadilan dan tak ada keharusan
pejabat untuk menjelaskan alasan-alasan penahan ini . Gopalan
menguji ketentuan UU ini dengan alasan bertentangan terhadap “fundamental rights” dalam Konstitusi. Dalam putusan, MA secara mayoritas mempertahankan ketentuan UU ini dengan alasan
kebutuhan bertindak pemerintah guna menjamin keamanan nasional,
namun pengadilan juga berpendapat bahwa yaitu tindakan yang
melanggar “the fundamental rights” jika penahanan menurut UU
tidak disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan jika dilakukan
dengan melanggar limitasi wewenang pemerintah. Atas putusan itu,
pemerintah melakukan perubahan terhadap UU, terutama menyangkut alasan-alasan penahanan, namun kebijakan secara keseluruhan dari aspek politik tetap tidak berubah.
Dalam masalah kompensasi redistribusi tanah, MA memiliki pendirian yang lebih tegas terhadap kebijakan pemerintah dengan dalih
perlindungan konstitusi. Sejak 1947, Partai Kongres memiliki kebijakan untuk melakukan redistribusi tanah, terutama tanah yang di-kuasai oleh tuan tanah yang harus dibagikan kepada pekerja mereka.
Tentu saja para pemilik tanah lalu melakukan complaint ke MA
dengan dalih kebijakan melanggar “the fundamental rights.” masalah ini
membawa MA berhadapan dengan Pemerintah. Bagaimanapun, kebijakan itu menunjukan program sosialisme Partai Kongres, namun
perampasan tanah tanpa kompensasi juga melanggar ketentuan UUD.
Masalah itu memicu perdebatan mengenai siapa yang berhak
melakukan penafsiran terhadap Konstitusi. Saat berbicara dengan
parlemen, Perdana Menteri Nehru mengatakan bahwa, “Menafsirkan
konstitusi haruslah sesuai dengan kehendak pembentuknya dan perubahan terhadapnya yaitu sesuatu dengan pertimbangan amat
diperlukan sekali.” Terkait dengan “the fundamental rights” Nehru
menegaskan pentingnya untuk memperhatikan keseimbangan sosial
yang lebih besar. namun MA memiliki pandangan yang berbeda,
jaminan ganti rugi tetaplah hak-hak individual yang mutlak dan maka , kebijakan pemerintah yang mengabaikan ini
harus dibatalkan.
Perdebatan antarcabang kekuasaan itu tak terpecahkan hingga tahun 1980, dan selama pemerintahan Indira Gandhi (1971-1977),
Parlemen mengeluarkan pernyataan yang tegas bahwa MA sudah melanggar konstitusi dalam melaksanakan wewenangnya dan menyebut
pengadilan sebagai lembaga yang sangat berbahaya. Sejak itu MA kehilangan gengsi sosialnya, sementara pengganti Nehru, L.B. Lastri dan
Indira Gandhi segera memperoleh popularitas politik mereka. Dalam
situasi itu, MA mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan hakhak dasar dalam UUD, meskipun sejumlah hakim khawatir berhadapan dengan pemerintah.140 Bahkan rezim Gandhi lalu membatasi
wewenang MA dalam judicial review melalui serangkaian perubahan
konstitusi.
Konflik memanas antara MA dan pemerintahan Gandhi memuncak dengan putusan perkara Kesavananda Bharati v. State of Kerala
(1973). Pengadilan mengambil alih pertimbangan dalam masalah Golak
Nath v. State of Punjab (1967), yang menyatakan bahwa Parlemen tidak boleh melakukan perubahan UUD jika jelas-jelas mengubah
struktur dasar konstitusi. Beberapa hari sesudah putusan itu, Ketua MA Sikri diganti dengan alasan sudah mencapai usia 65 tahun. Presiden
India lalu menunjuk A.N. Ray, sosok yang dianggap bersimpati
terhadap pemerintah, menjadi Ketua MA yang baru. Pada tahun 1976,
Parlemen melakukan Perubahan Konstitusi yang menolak putusan Kesavananda Bharati, dan menegaskan bahwa segala perubahan konstitusi oleh Parlemen yaitu tindakan yang tidak dapat diganggu gugat oleh pengadilan dan tak ada pembatasan apa pun atas kekuasaan
parlemen dalam mengubah konstitusi.
Perubahan konstitusi ini yaitu tindakan serius Parlemen sepanjang “negara dalam keadaan darurat” sejak Juni 1975 hingga
Maret 1977 saat diadakan pemilu baru. Dalam pemilu itu, Partai Kongres mengalami kekalahan dan lalu Partai Janata mengambil alih
pemerintahan. Dalam setahun Pemerintah meloloskan perubahan
konstitusi yang mengatur ekses-eskes dari situasi darurat dan lalu memulihkan kekuasaan judicial review, serta menentukan bahwa
penggantian Ketua MA harus memperhatikan senioritas hakim agung.
Pada tahun 1980, dalam masalah Minerva Mills, MA membuat putusan
kompromistis yang mengakui struktur dasar konstitusi namun
menghapus “right to property” dari “the fundamental rights.” Sejak saat
itu, terutama melalui “public interest litigation”, MA terus memperlebar
kekuasaanya dalam judicial review.
D. masalah FILIPINA
Pada tanggal 25 Oktober 1986, ratusan orang dengan afiliasi politik yang bermacam-macam mengadakan aksi damai di Epifanio de los
Santos Avenue (EDSA) in Metropolitan Manila guna menuntut pengunduran diri Presiden Ferdinand Marcos yang sudah berkuasa tanpa
kontrol 20 tahun lamanya. Marcos dituding memupuk kekuasaan sewenang-wenang. Eksekutif menjadi pengendali hukum sehingga tak
ada UU, tak ada pemilu, dan sedikit sekali judicial review. Prinsip-prinsip demokrasi diabaikan. Warga negara semakin banyak dijebloskan ke
dalam penjara tanpa pemeriksaan, terutama semenjak ditetapkannya
negara dalam keadaan darurat. Militer pun tampil menjadi sosok yang
tak tersentuh.
Lembaga MA, nyaris selama 20 tahun kediktatoran Marcos diisi
oleh para hakim dengan loyalitas tinggi kepada Marcos. Pengadilan
tertinggi lalu menjadi instrumen hukum yang menjadi perisai atas ber-bagai keputusan presiden yang memperbesar kekuasaan eksekutifnya,
termasuk merampas kekuasaan legislatif. Seorang penulis mendeskripsikan krisis MA itu sebagai berikut:
“...[T]he courts gave their cooperation and support to the dictatorship and to its program
for a New Society under a new constitutional order. That was their best choice. Supposing
that, because of their attachment to constitutionalism, they had resisted the dictatorship,
the courts would simply have been replaced by military tribunals. The judges of the period had the sagacity and the foresight to trust the political leadership, and despite their
misgivings, follow its path toward a promised constitutional order. It was by such faith
and hope that we can justify their collaboration in strategies and measures which, in the
fateful months of late 1972 and early 1973, were antithetical and destructive of republicanism. Indeed, looking at the period as a whole, the Judiciary as an institution was basically
preserved and functioning all throughout, without disruption or disturbance.
Saat people power sukses menggeser kedudukan Marcos dan
mengantarkan Qurazon Aquino menjadi Presiden, segera dibentuk
Komisi Konstitusi yang dipimpin bekas Ketua MA Roberto Concepcion
—yang selalu kritis dalam putusannya terhadap tindakan Marcos—untuk menyusun konstitusi baru. Dalam rancangan itu, menguat gagasan untuk mempertinggi independensi pengadilan dan judicial review.
Dengan konstitusi baru (1987), MA memiliki kekuasaan yang lebih
luas sehubungan dengan judicial review dan pembentukan hukum.
Menurut Concepcion, perluasan itu diperlukan guna mencegah terulangnya ketertundukan MA dalam jerat politik, terutama saat mengadili perselisihan HAM. Dikatakan oleh Concepcion:
Penolakan sementara pihak untuk memperluas judicial review dipandang oleh Pacifico Agabin sebagai “such an expansion of judicial
review in light of the demonstrated history and ideological conservativism of the judiciary in the Philippines, stating that the “pendulum of judicial power [has swung] to the other extreme where the Supreme Court
can now sit as “superlegislature” and “superpresident”..If there is such a
thing as judicial supremacy, this is it.” Serupa dengan itu, Florentino Feliciano mendukung perluasan judicial review dengan alasan “as
a reflection of the strong expectations in [Philippine] society concerning
the ability and willingness of our Court to function as part of the internal
balance of power arrangements, and somehow to identify and check or
contain the excesses of the political departments.”
Para penyusun konstitusi amat percaya kekuatan MA sebagai penjaga demokrasi pasca tumbangnya kekuasaan diktator. Dalam kinerja
selanjutnya, “The recent decisions of the Court in this decade‟s explosive
constitutional controversies reveal that the Court remains highly conscious of its greater transformative and mediating role in Philippine democracy.”
Sejarah berulang. Presiden Joseph Estrada (terpilih 1998) pada tahun 2001 mengalami people power yang mendesaknya mengundurkan
diri. Pada perkembangan yang sama, MA dalam perkara Estrada v. Desierto et al. memutuskan bahwa Estrada had “constructively resigned”
from office, paving the way for an orderly constitutional succession in
favour of the then-Vice President, Gloria Macapagal-Arroyo.” Dalam
perkara ini , Hakim Agung (yang lalu menjadi Ketua MA)
Reynato Puno berpendapat yang membenarkan pengadilan memutus
perkara politik itu:148Kekuasaan MA di bawah Konstitusi 1987 juga memberi wewenang pengadilan untuk mencegah terjadinya usaha untuk mengubah
konstitusi seperti putusan dalam perkara Lambino v. Commission on
Elections et.al. (2006), dengan alasan antara lainDengan peran itu, MA mengalami kepercayaan diri dan persepsi kepercayaan publik yang tertinggi di antara lembaga negara yang
ada.149 Sekalipun tak bersih dari campur tangan eksekutif (terutama saat komposisi hakim mayoritas berafiliasi kepada Presiden GloriaMacapagal Arroyo)150, MA mempertahankan strategi independen dengan memperbesar perhatian terhadap private adjudication dan penilaian terhadap kebijakan publik.151 Serupa dengan peran pengadilan di
situasi transisi di Afrika Selatan, di bawah Konstitusi 1987, MA Filipina
“has demonstrated progressively liberal (and judicially activist) stances
in recognizing the fullest protections of international standards on civil
and political rights as “part of the law of the land.”152
Dari penelusuran sejarah, 30 tahun sebelum Konstitusi 1987 diberlakukan, MA Filipina secara agresif pernah dalam putusan-putusannya
mengadopsi ketentuan hukum internasional mengenai HAM. Dalam
perkara Boris Mejoff v. The Director of Prisons (1951), MA “applied the
Universal Declaration of Human Rights as ‘generally accepted principles of international law [forming] part of the law of the Nation’ to rule
against the indefinite detention of foreign nationals or stateless aliens.”
Semangat adopsi ketentuan internasional itu nyaris dirumuskan serupa dalam perkara Government of Hongkong Special Administrative Region v. Hon. Felixberto T. Olalia Jr, yang “affirmed the correctness of a
lower court order granting bail to a potential extraditee (departing from
previous jurisprudence that limited the exercise of the right to bail to criminal proceedings).”153 Namun demikian, dalam perkara Basco et al. v.
Philippine Amusements and Gaming Corporation, MA menolak untuk
menafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan HAM sosial ekonomi menurut Bab XIII dan XIV Konstitusi 1987 “are merely statements of principles and policies. As such, they are basically not self-executing, meaning a
law should be passed by Congress to clearly defined and effectuate such
principles”, sehingga dapat dikaji bahwa “the Court did not provide amethodology for differentiating between justiciable and non-justiciable
socio-economic provisions in the 1987 Constitution.”154
Hampir 20 tahun sesudah Konstitusi 1987 diterapkan MA memberi sumbangan penting terhadap pemenuhan HAM sosial ekonomi
melalui mekanisme judicial review, antara lain: (i) nullifying administrative rules and regulations issued by the executive department that
contravened the constitutionally-mandated agrarian reform program;
155
(ii) affirming the constitutional right to a fair and a speedy trial;156 (iii)
affirming a lower court judgment finding the government‟s use of arrest, detention, and/or deportation orders to be illegal and arbitrary;
(iv) enjoining the military and police‟s conduct of warrantless arrests and searches, „aerial target zonings‟ or „saturation drives‟ in areas
where alleged subversives were supposedly hiding;
158 (v) declaring search
warrants defective and the ensuing seizure of private properties to be illegal;
159; (vi) acquitting a person whose conviction for murder was based
largely on an inadmissible extrajudicial confession (obtained without
the presence of counsel);160 (vii) upholding the dismissal of a criminal
charge on the basis of the constitutional right against double jeopardy;
(viii) acquittal of a public officer due to a violation of the constitutional
right of the accused to a speedy disposition of her case;
162 (ix) prohibiting the compelled donation of print media space to the Commission on
Elections without payment of just compensation;
163 dan (x) prohibiting
governmental restrictions on the publication of election survey results for
unconstitutionally abridging the freedom of speech, expression, and the
press.
Sedemikian penting peranan pemenuhan HAM sebagai substansi
judicial review di MA Filipina. Walaupun untuk konteks sekarang bisa
saja prestasi itu tercoreng. Seperti diikuti dalam pemberitaan, Ketua MA
Renato Corona menghadapi dakwaan (impeachment) oleh Senat kare-na dituding mengkhianati kepercayaan publik dan melanggar konstitusi
dalam bentuk tindak pidana korupsi. Corona—yang ditunjuk oleh Presiden Gloria-Macapagal Arroyo menjelang akhir masa jabatan—dituduh
menyembunyikan kekayaan sebesar 4 juta dollar AS (sekitar Rp 40 miliar). Dalam proses di Senat, 19 dari 23 anggota menyatakan Corona layak
dipecat dan tidak boleh lagi menduduki jabatan publik. Proses ini jelas
memberi kemenangan politik bagi Presiden Benigno Aquino—yang
pada 2010 lalu memenangi pemilu Presiden secara telak sebab program
antikorupsinya.
berdasar uraian di atas, tampak bahwa konstitusi diinstrumentalisasikan lewat perluasan judicial review pada MA melalui “democratic constitutional making.” ini membuktikan bahwa pemenuhan
HAM yaitu tuntutan yang berlangsung dalam kondisi otoritarian maupun demokratik, dan adopsi dalam konstitusi tidaklah bersifat
“self-execution”, sebab di samping melalui legislasi, harus diwujudkan dalam “government action.” Dalam konteks inilah pentingnya MA
memberi jaminan perlindungan HAM melalui fungsi yang dilekatkan kepadanya.
E. masalah PAKISTAN
Peranan pengadilan di pengadilan sungguh rumit dan kompleks.
Para hakim yang menentukan jalannya negara, menentukan aturanaturan konstitusional berpengaruh terhadap kedaualatan nasioal, partisipasi politik, dan lembaga negara. Pengadilan memutuskan konflik
antara presiden dan pemerintah dalam masalah pembubaran Parlemen
(1954, 1988, 1990, 1993), memberi legalisasi atas kudeta (1958,
1977, 1999), menciptakan transisi politik antara pemerintah sipil dan
militer (1972, 1986-1988), dan melanjutkan usaha-usaha untuk menentukan aspek substantif dan prosedural masalah politik, konstitusionalitas pemerintahan, dan dalam hal tertentu jua, demokrasi. sebab
negara terus-menerus mengalami masa transisi, pengadilan Pakistan
lalu menjadi subjek dan sekaligus objek perubahan politik yang terjadi.
Konstitusi yang berhasil disusun pertama kali (1956) mentrasformasikan pengawasan kolonial ke desain mekanisme untuk mengendalikan
eksekutif. Pengadilan diberi status otonomi untuk mengemban tanggung jawab ini. Konstitusi ini , “placed a greater burden on the ju-diciary to ensure that workable democracy could emerge than the courts
could reasonably shoulder.”
Sejak kemerdekaan (1947), Pakistan telah menerapkan 28 tahun
hukum tata negara darurat atau hampir separuh waktu sejak kemerdekaan. Paling akhir hukum tata negara darurat itu diterapkan oleh Presiden Musharraf menyusul kematian mantan Perdana Menteri Benazir
Bhutto (2007). Mengkaji pemerintah, politik, dan peran militer Pakistan menunjukkan bahwa tampaknya penerapan hukum tata negara
darurat akan menjadi kecenderungan di masa depan, sekurangnyakurangnya dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sehubungan
dengan ini , peranan Mahkamah Agung menjadi penting. berdasar peran ini, penting untuk ditekankan bahwa ancaman kemerdekaan pengadilan yaitu hukum tata negara darurat dan pemerintahan
yang otoriter.
Usaha dinamik MA untuk untuk menegaskan jangkauan judicial
review selama hukum tata negara “normal” dan darurat, telah merugikan badan pengadilan ini. Tidak lama sesudah penerapan Konstitusi
1956, Presiden Iskander Mirza memberlakukan keadaan darurat, menunda Konstitusi, memecat pejabat pusat dan provinsi, membubarkan
Parlemen Nasional dan Provinsi, dan menghapus partai politik. Bersamaan dengan itu, Presiden menunjuk Jenderal Ayub Khan, Panglima
Angkatan Bersenjata, sebagai Penguasa Pemerintahan Darurat. lalu diberlakukan Laws (Continuance in Force) Order (1958), untuk
menciptakan “new legal order.” Sehubungan dengan ini , MA dalam
putusan perkara The State V. Dosso (1958), membenarkan kebijaksanaan ini dengan mengganggap sebagai “a successful revolution.”
Segera sesudah putusan ini dikeluarkan, Jenderal Ayub Khan memecat
Presiden Mirza dan mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara. Pada
tahun 1962, pemerintahan militer Ayub Khan membentuk Konstitusi
1962, yang mengakhiri keadaan darurat.
Sesudah adanya aksi massa yang menentang pemerintahannya,
diikuti dengan kekacauan sipil, tiba-tiba Jenderal Ayub Khan mengundurkan diri dari jabatannya pada 24 Maret 1969. Pengunduran diri
itu disampaikan kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Yahya Khan yang lalu menggantikan posisi sebagai Presiden. Tak lama sesudah itu (31 Maret 1969), Yahya Khan mengumumkan pembatalan Konstitusi 1962, membubarkan Parlemen, dan memaksakan
pemberlakuan keadaan darurat di seluruh negeri.96 Namun MA dalam
putusan perkara Asma Jilani, menolak tindakan Yahya Khan, sebab
menurut pengadilan tindakan mengambil alih kekuasaan yaitu
tindakan illegal dan bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 1972,
saat posisi Presiden diserahkan kepada Zulfikar Ali Bhuto sebagai
hasil pemilu demokratis, pemberlakukan keadaan darurat dicabut. namun saat itu pecah perang sipil yang berujung kepada pembentukan
negara Bangladesh, sehingga memaksa pengunduan diri Yahya Khan.
Pada 5 Juli 1977, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Zia-Ul
Haq, menyusul krisis politik yang terjadi, mengambil alih kekuasaan.
Jenderal Haw lalu menyatakan negara dalam keadaan darurat,
membatalkan Konstitusi 1973, memecat dan memenjarakan Perdana
Menteri Zulfikar Ali Bhuto. Atas hal itu, MA menyatakan dukungannya
terhadap kudeta ul Haq sebagai penerapan “the doctrine of necessity.”97
Pada 1977, sesudah Mahkamah Agung memutus petisi dalam
perkara Begum Nusrat Bhutto V. Chief of Army Staff, untuk menetang
pemberlakukan keadaan darurat dan menuntut pembebasan penahanan politisi termasuk bekas Perdana Menteri, sebuah keputusan
yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat memaksa Ketua MA Yakub Ali
mengundurkan diri.98 Selanjutnya, semua hakim senior dipaksa untuk
mengucapkan sumpah kembali berdasar Provisional Constituional Order (1981). Hanya sebagian hakim yang diminta melakukan ini
dan hakim yang lain menolak untuk mematuhi. Di antara yang tidak
mematuhi, dan sebagai konsekuensinya harus melepas jabatan yaitu
Hakim Agung Anwarul Haq.
namun untuk peristiwa serupa pada sesudah Jenderal Perves Musharraf melakukan kudeta terhadap Perdana Menteri Nawaz Sarief
(1999), seluruh hakim agung dan para hakim lokal tidak ada yang melakukan perlawanan dan bersedia memenuhi perintah untuk mengucapkan sumpah di bawah pemerintahan baru. Dalam ini , MA—yang
sebelumnya melegitimasi kudeta militer Musharraf—mengatakan
bahwa pelaksanaan sumpah yang baru ini penting untuk “on the go-und of safeguarding the remaining ‘institutional values’ of the nation.”99
Dalam tiap penerapan hukum tata negara darurat, maka MA “has
continued, wioth varying of success, to insist on the minimum requirement of constitutionalism….”100 Tindakan itu bukan tanpa risiko, yang
acap kali berakibat penggantian posisi hakim agung. Memang dalam
keadaan transisi, penggantian hakim akan memicu persoalan serius bagi rezim transisional dan berpotensi untuk menghasilkan ongkos politik yang signifikan. Anggaran pemerintah akan terkuras untuk
menata kembali posisi para hakim terhadap pengadilan. Semakin luas
kebutuhan aparatur pengadilan, maka akan memicu membengkaknya anggaran negara.
Oleh sebab itu, dalam rangka efisiensi anggaran, pembaruan komposisi hakim biasanya terjadi pada hakim di lingkungan peradilan
tertinggi. Namun demikian, solusi ini berpotensi memicu masalah berupa ketidakpercayaan di lingkungan pengadilan yang lain, yaitu pada saat hakim yunior yang direkrut oleh rezim sebelumnya pada
saat berikutnya akan dapat melakukan dominasi. Oleh sebab itu, lepas
dari pertimbangan ekonomis, rekomposisi semua hakim lebih efisien
dibandingkan hanya pada badan peradilan tertinggi.
Sudah barang tentu anggaran negara tidaklah menjadi satu-satunya penentu. Ongkos politik (political cost) juga menjadi pertimbangan
penting. Dalam negosiasi saat terjadi transisi politik dari kedikatatoran militer di Chile dan Argentina pada tahun 1990-an misalnya, mempertahankan pengadilan dan memberlakukan khusus MA menjadi sa-lah satu kesepakatan dari pengelolaan ini . Faktor politik yang
lain yaitu hubungan internasional dan reputasi investasi asing. Perombakan yudisial akan merusak citra dari rezim baru yang berkuasa.
Independensi pengadilan” telah menjadi kata kunci di antara dalam politik secara umum. Pada Laporan Akhir Tahun 2006, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, John Roberts70 “membahas masalah ini
dalam usaha mendorong setiap orang susaha memperhatikan masalah ini.”71 Masalah itu dikemukakan sehubungan dengan kegagalan
Kongres untuk menaikkan gaji hakim, yang ia sebut “krisis konstitusional yang mengancam kekuasaan dan independensi peradilan federal.” Mantan Hakim Agung Sandra O’Connor72 juga telah memulai misi
untuk memperkuat independensi peradilan, dan tidak hanya di Amerika Serikat. sesudah mengumumkan pensiun, dia mulai berceramah di
seluruh dunia dengan antara lain mengatakan bahwa “independensi
pengadilan tidak terjadi dengan sendirinya…[I]ni sangat sulit untuk
membentuknya, dan lebih mudah dibandingkan kebanyakan yang orang
bayangkan untuk menghancurkannya.”73 O’Connor membuat Sandra
Day O’Connor Project of State of Judiciary di Georgetown Law Center. Pada sebuah konferensi yang diselenggarakan pada bulan September
2006, O’Connor menyatakan bahwa Amerika Serikat telah “aktif mendesak pada setiap bangsa peduli dengan Rule of Law dan komponen
kunci untuk ini yaitu keadilan, tidak memihak, dan peradilan
yang independen.”74
Tampaknya cukup fair untuk mengatakan bahwa para ahli hukum
Amerika saat ini melihat independensi pengadilan sebagai bahan utama untuk demokrasi dan supremasi hukum.75 Tapi tidak jelas apakah
bahan ini sama pentingnya untuk mengembangkan Rule of Law di negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi atau yang
telah berjuang secara historis untuk mempertahankan negara demokrasi. Di negara-negara ini, gaji hakim masih menjadi hambatan terbesar untuk mempertahankan independensi peradilan, dan lalu
jelas bahwa independensi peradilan akan menjadi kondisi yang cukup
untuk membangun supremasi hukum.
Namun demikian, studi yang berkembang akhir-akhir ini melahirkan satu pertanyaan mendasar: apakah prinsip independensi yang
diterima secara universal—dan bukan saja problem Amerika Serikat—
dalam penerapannya akan selalu berhasil tanpa memperlihatkan konteks lokalitas setempat? Atau dengan kata lain, dapatkah material yang
disusun untuk membangun independensi pengadilan di Amerika Serikat pasti dapat pula diterapkan dalam sistem hukum negara lain?
B. MAKNA INDEPENDENSI PERADILAN
Pembicaraan mengenai kekuasaan kehakiman (judicial system)
jarang mendapatkan porsi utama dalam diskusi mengenai desain ketatanegaraan. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya karya Sartori
(1994) yang berjudul “Comparative Constitutional Engineering” menghabiskan banyak lembaran pembahasan sehubungan dengan sistem
pemilihan umum (electoral system) dan seleksi eksekutif (dalam sistem
presidensial maupun parlementer), namun tidak membahas mengenai
kekuasaan kehakiman. Seperti dalam formulasi negara Amerika Serikat, kekuasaan kehakiman yaitu bagian penting sehubungan dengan doktrin pemisahan kekuasaan seperti halnya dicetuskan oleh Montesqiue, dan lalu dikonkretkan oleh Alexander Hamilton, James Madison, dan
Jay, dalam karya mereka yang berjudul “The Federalist Paper.” Sehubungan dengan pemisahan kekuasaan itulah muncul anggapan bahwa
salah satu watak dasar dari kekuasaan kehakiman yaitu independensi. Adapun independensi itu bukan hanya dipahami melalui ketentuan
konstitusi saja, namun juga bagaimanakah fakta nya di dalam
praktik. Ia tidak hanya berbicara mengenai dirinya sendiri, juga
bagaimanakah lembaga negara yang lain memberi pengaruh kepada derajat independensi badan pengadilan, termasuk bagaimanakah
aktor pengadilan itu memandang dirinya dalam berhubungan dengan
fakta -fakta di sekitarnya.
Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, “Independent judiciary is
the sin qua non-of a democratic government.” ini sebab , “Independence of judiciary truly means that the judges are in a position to
render justice in accordance with their oath of office and only in accordance with their own sense of justice without submitting to any kind of
pressure or influence be it from executive or legislative or from the parties
themselves or from the superiors and colleagues.” Selanjutnya dikatakan bahwa, “Independence of judiciary depends on some certain conditions like mode of appointment of the judges, security of their tenure
in the office and adequate remuneration and privileges.”Untuk mewujudkan ini , maka separasi kekuasaan peradilan menjadi penting
untuk dilakukan. Dalam ini , “The concept of separation of the judiciary from the executive refers to a situation in which the judicial branch
of government acts as its own body frees from intervention and influences from the other branches of government particularly the executive.”
Lebih lanjut dikatakan bahwa, “Complete separation is relatively unheard or outside of theory, meaning No. judiciary is completely severed
from the administrative and legislative bodies because this reduces the
potency of checks and balances and creates inefficient communication between organs of the state.” ini mengonfirmasi pandangan L.P.
Thean yang mengatakan bahwa “That the most common and most discussed feature of judicial independence is from governmental or executive intereference.”
Namun demikian, “there is No. single model of judicial independence or generally accepted set of institutions or best practices, at leastnone
articulated with sufficient specificity to be useful for reformers.”82 Bagaimanapun, “Judicial independence is a multifaceted concept.” ini
dipicu sebab :
The most basic form of judicial independence, decisional independence, refers to the ability of judges to decide cases independently in accordance with law and without (undue,
inappropriate, or illegal) interference from other parties or entities. One prerequisite for
decisional independence is that judges enjoy personal independence, which requires that
their terms of office be reasonably secure; appointments and promotions should be elatively depoliticized; judges should be provided an adequate salary and should notbe dismissed or have their salaries reduced as long as they are performing adequately; transfers
and promotions should be fair and according to preestablished rules; and judges should be
assigned cases in an impartial manner.
Feld dan Voigt misalnya, membangun argumen bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dilacak ke dalam dua indikator, yaitu secara de jure, dengan memperhatikan dokumen legal yang mengaturnya, dan secara de facto, ialah dengan memperhatikan derajat
kebebasannya dalam praktik.85 Kedua penulis ini menyimpulkan bahwa judicial independence memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dengan sampel 56 negara, Feld dan
Voigt memperoleh data bahwa secara de jure, kekuasaan kehakiman
yang independen tidak memiliki hubungan dengan pertumbuhan
ekonomi, namun sebaliknya, secara de facto, memiliki kaitan
dengan pertumbuhan ekonomi.
Independensi peradilan sering diakumulasikan sebagai tingkat diskresi hakim dalam berhadapan dengan cabang kekuasaan yang lain,
yaitu eksekutif dan legislatif. Cakupan independensi itu misalnya berhubungan dengan bagaimanakah peradilan menafsirkan ketentuan
Undang-Undang (statutory interpretation), atau dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat, bagaimana peradilan “menempatkan diri”
pada relasi Kongres dengan eksekutif yang semakin ekstensif kekuasaannya. Pada sisi lainnya, independensi peradilan dikaitkan dengan
seberapa besar eksekutif dan legislatif “memasok” anggaran bagi badan pengadilan. Perspektif lain, independensi peradilan tercipta jika
“if politicians fear to lose power and the farther the ideal points of the
rival parties are apart.”
Dengan mengambil masalah di Jepang, Ramseyer dan Rasmusen menyelidiki independensi peradilan dengan mewawancarai 276 hakim,
yang menyimpulkan bahwa “that judges who decided a case against the
government incurred the risk of being punished with less attractive posts.
90 Dalam penyelidikannya yang lain, Ramseyer dan Rasmusen juga
memperoleh data bahwa dari putusan 179 perkara pajak dan 284 pengadilan banding pajak, “judges who decide cases in favor of the government do better than those who favor taxpayers.”91 Jadi untuk menentukan independensi peradilan di sini berlaku asumsi “independence
is endangered if the government is solely responsible for career developments of judges.”
Dapat dikatakan bahwa independensi peradilan yaitu konsep
yang memiliki wajah beragam. Bentuk yang paling mendasar dari
independensi peradilan yaitu independensi putusan, yang mengacukepada kemampuan hakim untuk memutuskan masalah secara independen sesuai dengan hukum dan tanpa campur tangan dari pihak atau
badan lainnya. Salah satu prasyarat untuk kemerdekaan putusan ini yaitu hakim menikmati independensi personal, yang mensyaratkan bahwa masa jabatannya akan cukup aman dengan ketentuan:
(i) pengangkatan dan promosi harus relatif terdepolitisasi, (ii) hakim
harus memperoleh gaji yang memadai, (iii) tidak boleh diberhentikan
atau dikurangi gajinya selama mereka melakukan secara fungsi dengan
memadai; (iv) mutasi dan promosi harus adil dan sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan, dan (v) hakim harus menerima dan memeriksa
masalah dengan tidak memihak.
Dalam praktik, tingkat dan sifat independensi peradilan dan pengaturan kelembagaan untuk mewujudkannya bervariasi dari satu negara ke negara lain, bahkan di antara negara-negara demokrasi liberal
dengan sistem hukum yang dianggap telah berfungsi dengan baik. Di
Amerika Serikat, pengadilan independen dengan kekuasaan yang luas
untuk memeriksa semua jenis perkara dan menguji undang-undang
yang ditetapkan oleh Kongres atau peraturan eksekutif. Di negaranegara yang menganut supremasi parlemen seperti Inggris atau Belgia,
pengadilan bertanggung jawab kepada parlemen, dan kekuasaan untuk membatalkan undang-undang atau peraturan pemerintah menjadi
terbatas. Dalam sistem common law, pengadilan berperan aktif dalam
pembuatan kebijakan, sementara dalam sistem civil law, pengadilan
memiliki keterbatasan dalam menafsirkan undang-undang, sekalipun
belakangan tampak semakin aktif melaksanakan fungsi ini. Tingkat pemisahan antara hukum dan politik dan bentuk-bentuk yang dibutuhkan bervariasi dari satu tempat ke tempat.
Sistem hukum juga menentukan secara berbeda sehubungan dengan tingkat independensi internal. Pengadilan cenderung lebih hierarkis di negara-negara civil law dibandingkan di negara common law. maka , pandangan hakim senior mungkin sangat menentukan
dalam praktik dibandingkan ketentuan undang-undang. Hakim senior
dalam civil law juga dapat melakukan kontrol lebih besar atas persoalan administrasi penting seperti distribusi pemeriksaan masalah dan masalah personel. Banyak negara memiliki Komisi Yudisial, yang lainnya
tidak. Dari mereka yang melakukan, kewenangan dan fungsi yang bervariasi.Oleh sebab itu, sepanjang tulisan ini, penulis akan menawarkan
gagasan yang lebih elementer mengenai independensi peradilan. Pertama, independensi peradilan bukanlah nilai yang bersifat intrinsik
(ultimate values), namun hanya yaitu sesuatu yang instrumental.
Apa yang ingin dicapai yaitu pengamanan nilai lain, yaitu ketidakberpihakan hakim. Jaminan independensi peradilan hanya dipakai
untuk melindungi peradilan dari pengaruh luar yang tidak semestinya dan menjadikannya sebagai wasit yang sungguh-sungguh benarbenar tidak memihak. Kedua, Independensi peradilan bukanlah nilai
yang abstrak melainkan ditentukan oleh factor kultural dan historis.
Pemisahan awal peradilan dari eksekutif yaitu reaksi terhadap usaha
negara (kekuasaan eksekutif) untuk mengambil bagian (atau lebih tepatnya untuk mempertahankan pengaruh) dalam penetapan hukuman. lalu , cara mengamankan independensi peradilan bereaksi
terhadap metode yang lebih licik untuk memengaruhi hakim dan mengorbankan ketidakberpihakan mereka: melalui upah, kontrol masalah ,
mutasi, seleksi ulang, dan sebagainya. Namun, dalam semua masalah
ini, karakter independensi peradilan menjadi terancam. Ketiga, tidak
ada resep universal yang dapat diklaim sebagai standar “independensi
peradilan”. Mengacu kepada independensi peradilan dan budaya, apa
yang mungkin dianggap sebagai gangguan yang tak terbayangkan ke
dalam independensi peradilan di negara A mungkin menjadi praktik
umum di negara B. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, independensi
pengadilan akan penulis kembangkan dalam kerangka 3 bentuk utama, yaitu (i) independensi pengambilan keputusan; (ii) independensi
administratif; dan (iii) independensi personal. Selanjutnya, akan diuraikan masalah -masalah independensi pengadilan di beberapa negara, terutama dikaitkan dengan ketiga kerangka ini .
Sebagai negara hukum, negara kita menjamin warga negaranya untuk mendapatkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku melalui
kekuasaan kehakiman dengan perantara peradilan. Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.1
Semangat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik negara kita Tahun 1945 ini lalu diturunkan ke
dalam Undang-Undang Negara Republik negara kita Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Mahkamah Agung yaitu pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya
bebas dari intervensi sesuai yang diamanatkan Pasal 24A UndangUndang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945.
lalu di
dalam BAB III Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang pelaku kekuasaan kehakiman, di
mana di Pasal 18 termaktub bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Negara Republik
negara kita Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UndangUndang Negara Republik negara kita Nomor 8 Tahun 2004 jo. UndangUndang Negara Republik negara kita Nomor 49 Tahun 2009. Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.
lalu di dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang.
Peradilan agama diatur dalam Undang-Undang Negara