peradilan di indonesia 2

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 2


 menghentikan pelanggaran hak-hak asasi manusia?
Kalau diingat bahwa demokrasi yaitu  sistem politik yang tujuan 
akhirnya yaitu  mempertahankan martabat manusia, sedangkan martabat manusia direalisasikan dalam perwujudan hak-hak politik dan 
hak-hak sipil, sebagai konkretisasi hak-hak asasi manusia, maka dapat 
ditegaskan bahwa demokrasi yang berhasil akan lebih memungkinkan 
terjaganya hak-hak asasi itu, sebab  terjaminnya hak-hak itu bentuk 
konkret penghormatan kepada martabat manusia yang dibela dalam 
setiap demokrasi.
Asimetrinya terletak di sini, bahwa sekalipun tegaknya hukum tidak dengan sendirinya memperkuat demokrasi, namun  perkembangan 
demokrasi yang matang dapat memperkuat rule of law, sejauh sistem hukum itu mengakui hak-hak asasi manusia. Dimasukkannya hak-hak 
asasi dalam sistem hukum suatu negara akan memberi  nuansa demokrasi yang kuat kepada penegakan hukum, sebab  hak-hak yaitu  
masalah hukum, namun  sifat asasi hak-hak itu yaitu  persoalan demokrasi, yang memberi  watak universal kepada hak-hak ini , sebagai realisasi dan jaminan bagi martabat manusia.
Namun terlepas dari diskusi di atas, kita sebaiknya memberi  
perhatian kepada masalah lain yang sangat mungkin dihadapi negara kita  pada hari-hari ini dan hari-hari mendatang. fakta  yang ada sekarang ialah bahwa pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan rakyat semakin terancam oleh praktik korupsi yang meluas dan semakin 
meningkat besarannya. Kegagalan suatu pemerintahan demokratis untuk mengurangi dan bahkan menghentikan sama sekali praktik-praktik 
korupsi dapat memicu  keraguan di kalangan orang banyak tentang dua hal. Pertama, apakah ada sistem lain yang lebih efektif mengakhiri korupsi? Kedua, apa yang terjadi kalau sistem yang lebih efektif 
itu bukan sistem yang demokratis, namun  sistem yang otoriter?
Untuk negara kita  saat ini kedua pertanyaan ini  bukanlah masalah teoretis dalam debat akademis, melainkan masalah politik yang 
sangat mungkin harus dihadapi sebagai pilihan politik, kalau pemerintahan yang demokratis tidak memiliki  kekuatan dan determinasi 
cukup untuk mengakhiri praktik korupsi yang merugikan negara dan 
menghambat kesejahteraan rakyat, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Korupsi yang terlalu meluas dapat dianggap memicu  krisis politik, sedangkan krisis politik hanya dapat diatasi dengan suatu tindakan 
darurat yang tegas. Tentu saja diharapkan bahwa tindakan mengatasi 
keadaan darurat itu tidak memakai  cara-cara otoriter, yang biasanya dijustifikasi sebagai langkah yang bersifat sementara. negara kita  sudah terlalu berpengalaman dengan pembenaran seperti itu. Munculnya 
Presiden Soeharto ke atas panggung nasional juga akibat krisis politik, 
dan tindakan-tindakan yang nondemokratis juga pernah ditoleransi sebagai langkah sementara mengakhiri krisis. namun  setiap tindakan 
darurat yang bersifat otoriter hampir tak mungkin menentukan sendiri, 
sampai kapan tindakan-tindakan darurat itu perlu dipertahankan dan 
kapan pula sifat darurat dari tindakan-tindakan yang otoriter itu harus 
berakhir. Setiap kepemimpinan darurat yang cenderung otoriter selalu 
tergoda untuk melestarikan dirinya dalam sistem politik.Sampai tingkat tertentu pemberantasan korupsi dan usaha menghentikan pelanggaran hak-hak asasi akan menjadi batu ujian bagi legitimasi demokrasi sendiri. sebab , seandainya sistem demokrasi di 
negara kita , yang telah direbut kembali melalui reformasi politik 1998 
gagal mengakhiri korupsi secara tuntas, dan gagal juga mencegah pelanggaran hak-hak asasi, maka kegagalan ini akan mengundang masuk sistem yang lebih otoriter, yang memberi janji menegakkan pemerintahan yang bersih, sekalipun dengan mengabaikan prinsip-prinsip 
demokrasi dan barangkali juga dengan mengorbankan hak-hak asasi 
manusia.
Merujuk pertimbangan majelis hakim kasasi, bentuk pengingkaran nyata amanat konstitusi dapat dilacak dari tindakan aktif Angie 
meminta fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari 
nilai proyek. lalu  disepakati, fee ini menjadi 5 persen yang harus 
sudah diberikan 50 persen saat pembahasan anggaran dan 50 persen 
(sisanya) saat DIPA turun. Secara sederhana, jelas Angie melakukan 
usaha  sistemastis dan terencana menggeser tujuan agung UUD 1945 
menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi keuntungan pribadi/golongan.
Bagi kalangan hakim sendiri, putusan kasasi Angie memberi  
pesan teramat jelas: dalam memutus masalah  yang merugikan keuangan 
negara, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan. Dalam putusan 
ini, hakim kasasi menegaskan bahwa pengadilan tingkat pertama dan 
banding terkesan enggan menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti dengan alasan uang yang diterima Angie berasal dari swasta dan 
bukan dari keuangan negara. Pada batas-batas tertentu, putusan ini 
harus dibaca sebagai kritik terbuka hakim kasasi terhadap hakim pengadilan negeri dan pengadilan banding yang gagal memaknai secara tepat ketentuan Pasal 17 dan 18 UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2002.
Boleh jadi, cara berpikir seperti itu pula yang mendorong sebagian 
besar hakim di semua jenjang peradilan gagal menjatuhkan hukuman 
berat dan pidana tambahan bagi pelaku korupsi. Sejauh ini, putusan 
pengadilan terhadap pelaku korupsi hanya berada pada kisaran 3 tahun 6 bulan penjara. Untuk sebuah kejahatan yang berpotensi menghancurkan perekonomian dan masa depan, kisaran hukuman yang terbilang ringan ini terasa hambar dan nyaris kehilangan pesan di tengah 
ancaman korupsi yang mendera negeri ini.
sebab  itu, banyak kalangan berharap putusan kasasi Angie mam-pu mengubah cara pandang hakim dalam memutus masalah  korupsi. 
Di antara cara pandang yang didorong yaitu  memberi  hukuman 
maksimal dengan maksud memberi  efek jera. Tidak hanya sekadar 
mendorong, saat  korupsi dianggap sebagai kejahatan serius, secara 
yuridis, UU No. 31/1999 memberi  ruang untuk menjatuhkan pidana maksimal. Bahkan, terlepas dari kontroversi hukuman mati, sebagai 
bagian dari desain penjeraan, UU No. 31/1999 memberi ruang untuk 
menjatuhkan hukuman mati.
Namun yang paling mendasar, putusan kasasi Angie tidak hanya 
mendorong untuk menjatuhkan pidana maksimal, namun  juga mendorong untuk memiskinkan koruptor. Terkait dengan ini , dalam “Memiskinkan Koruptor” dikemukakan bahwa menilik kecenderungan 
yang ada, salah satu motivasi orang melakukan korupsi yaitu  sebab  
mereka takut hidup miskin. Bahkan, bagi seorang politisi, melakukan 
korupsi menjadi salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan. 
Dengan pilihan memiskinkan, koruptor harus siap menghadapi risiko 
paling buruk dan sekaligus kehilangan otoritas politik secara mengenaskan.
Melacak semangat ini, putusan kasasi Angie dapat dikatakan sebagai langkah berani hakim melakukan kombinasi antara pidana berat 
(maksimal) dan pilihan memiskinkan koruptor. sebab  itu, hakim di 
semua tingkat peradilan harus mampu membaca secara tepat pesan 
di balik putusan kasasi Angie. Bahkan, untuk dapat menjadi momok 
yang menakutkan, kombinasi hukuman kasasi Angie masih mungkin 
ditambah dengan mencabut beberapa hak terpidana korupsi, seperti 
hak untuk mendapatkan remisi. Di atas itu semua, yang jauh lebih penting, kombinasi pidana maksimal dan pilihan memiskinkan koruptor 
tak boleh berhenti hanya sampai putusan kasasi Angie. Putusan serupa harus jadi semangat baru untuk menghentikan laju praktik korupsi 
yang kian masif. Apalagi, di depan kita, banyak masalah  korupsi dilakukan 
penyelenggara negara yang menunggu bukti lebih lanjut untuk menularkan pesan di balik putusan kasasi Angie.

Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar awal Oktober 2013 yang lampau bak tsunami raksasa yang melanda bangsa. Semua perasaan terguncang, pikiran mengambang, dan hati nurani 
tercincang sebab  semua di luar ruang akal sehat. Seakan mesin waktu 
membeku, logika serba terbalik, dan akal sehat sungsang. Betapa tidak, 
ketua MK—sebagai satu lembaga hukum tertinggi di negeri ini—justru 
ditangkap sebab  dugaan korupsi.
Skandal Akil juga menjadi cerita sukses KPK dalam mengendus 
praktik suap penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah di MK. 
Artinya saat  Akil tertangkap, tidak ada lagi lembaga negara yang bebas dari “sentuhan” KPK. Bahkan, penangkapan Akil dapat dikatakan 
capaian terbesar KPK mengendus perilaku menyimpang penyelenggara negara dengan posisi paling tinggi. Padahal, sebelum tertangkapnya 
Akil, sebagian pihak berpandangan bahwa sulit bagi KPK untuk “menyentuh” MK. Alasannya cukup mendasar, MK selalu membentengi 
KPK atas semua usaha  dan langkah hukum yang hendak berusaha  mengerdilkan dan menghancurkan lembaga yang diberi kuasa extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini. 
Buktinya, selain menolak pengujian konstitusional sejumlah undang-undang di ranah pemberantasan korupsi, MK pun berperan cukup signifikan membantu KPK keluar dari ancaman kriminalisasi atas 
pimpinan KPK Bibit-Chandra. Bahkan, masa jabatan Busyro Muqoddas pun bisa diselamatkan menjadi 4 tahun tak terlepas dari peran MK. 
Namun bagi KPK, penegakan hukum pemberantasan korupsi bukan 
persoalan balas budi. Sekalipun MK yaitu  salah satu benteng 
dari segala macam bentuk perlawanan terhadap agenda pemberantasan korupsi, praktik korupsi harus dimusnahkan. 
Apalagi jika praktik ini  dilakukan oleh individu yang berpotensi menghancurkan institusi. Bahkan, dalam soal ini, posisi sesama 
produk reformasi pun tidak mampu menghentikan langkah KPK dalam 
bertindak tegas terhadap berkembangnya kanker ganas bernama korupsi. sebab  itu, usaha  KPK menguak praktik suap yang dilakukan Akil 
menjadi cerita sukses dengan nilai tersendiri. Cerita sukses penangkapan Akil menjadi kian bermakna sebab  mampu bergerak ke salah 
satu episentrum indikasi korupsi pemerintahan daerah.
Namun peristiwa itu juga berbalut kesedihan, sebab  menyangkut 
kewibaan hukum dan penegakan hukum. Alih-alih menegakkan hukum dan mencari kebenaran, aparat penegak hukum ini justru meruntuhkan kewibawaan hukum, menyubversi kekuasaan hukum, merusak 
citra lembaga hukum, dan menghancurkan pilar demokrasi sendiri. Aparat korup ini yaitu  “parasit”, yang merusak pilar-pilar demokrasi 
dari dalam. Ia merusak citra luhur hukum—kebaikan, kebenaran, keadilan, kemuliaan, kewibawaan— dengan menunjukkan tindak animalitas: nafsu rendah, keserakahan, dan kebiadaban.
Aparat korup ini bak “parasit”, yang “mengisap” dan merusak lembaga di mana ia hidup. Ia tak hanya mengambil materi (uang, barang, 
mobil mewah), namun  “mengisap” simbol-simbol abstrak lembaganya: 
citra, konotasi, nilai, makna. Dirusak oleh aparat korup ini, lembaga 
hukum tertinggi ini terancam kehilangan legitimasi sebab  tak lagi dihormati dan dipercaya. Bahkan, efeknya meluas ke seluruh lembaga 
hukum, yang dicurigai telah ditumpangi aneka “parasit hukum”—law 
of the parasite.
saat  aparat penegak hukum melakukan tindak kejahatan (korupsi) di lembaganya, ia melakukan dua kejahatan “parasit” sekaligus. Pertama, ia memperkaya diri dengan “mengisap” uang negara 
memanfaatkan lembaganya. Kedua, ia merusak citra lembaga sendiri, 
dengan menyubversi nilai-nilai luhurnya: kebenaran, kejujuran, keadilan. Ia yaitu  benalu, kutu, tuma, kuman, lintah, kecoak, tikus bagi 
lembaganya sendiri. Tidak mengherankan jika koruptor dianalogikan 
sebagai “tikus”.
Aparat parasit tak membangun relasi timbal-balik dan saling 
menguntungkan (symbiotic mutualism) dengan lembaganya, namun  relasi asimetris satu arah: ia mengambil semuanya dan tak memberi apa 
pun. Berapa banyak lembaga “memberi” mereka (gaji tinggi, fasilitas 
mewah, jaminan), tapi mereka tak memberi apa-apa kepada lembaganya, malah merusaknya. Mereka malah mengisap, mencuri, mengambil, merampok dari atau atas nama lembaganya (host) “Paratisisme 
hukum” (parasitism of law) ialah “cara kehidupan dunia hukum”, di 
mana bekerja model parasit, yaitu segala aktivitas mengisap, menguras, memindahkan, menyedot, meraup, menyuling, mengeringkan, 
menyarikan, mencuri dan merampok “apa pun dari apa pun” dalam 
lembaga: makanan, uang, barang, energi, kekuasaan, pikiran.
Para aparat korup selalu bekerja melalui model relasi parasit satu 
arah (semiconduction), asimetri, tak-seimbang, timpang, neraca berat 
sebelah. Korupsi yaitu  simtom ketakadilan absolut (absolute injustice), yaitu ketakadilan yang tak tersisa sedikit pun keadilan di dalamnya. 
Di sini, konsep-konsep etis tak relevan: hak/kewajiban, jasa/imbalan, 
kebebasan/aturan. Tak pernah ada “aturan”, “konvensi”, atau “kontrak sosial” (social contract) di antara parasit dan host, antara para koruptor 
dan lembaganya.
Parasit hukum ini “berani” melakukan tindak melawan hukum—
termasuk korupsi—sebab  ia “merasa” berada dalam “keadaan eksepsi” (state of exception), yaitu keadaan anomi, fragmentasi, dan 
tumpang-tindihnya kekuatan lembaga-lembaga hukum, di mana 
norma-norma hukum berlaku, tapi tak bisa diterapkan untuk otoritasotoritas tertentu sebab  tak memiliki kekuatan (force). “Perasaan eksepsi” ini mungkin yang ada di benak Akil Mochtar, padahal hukum 
tak pandang bulu, tak pandang kekuasaan dan otoritas. sebab  itu, 
aparat korup ini hidup di “ruang antara”, “daerah abu-abu” atau “median”. Inilah makna kata depan “para” dari istilah parasit, yaitu antara 
kiri dan kanan, benar dan salah, baik dan buruk—sebuah fluktuasi. Di 
ruang fluktuasi inilah aparat korup melakukan tindakan “kebaikan” 
dan “kejahatan” sekaligus: memutuskan perkara sambil merusaknya, 
membangun lembaga sambil menghancurkannya, menegakkan hukum sambil melumpuhkannya.
Berbeda dengan rakyat biasa, tindak kejahatan (korupsi) aparat 
hukum memiliki efek ganda, bahkan “efek berlipat ganda” (multiplying 
effects) sebab  mereka bagian “aparatus hukum” dalam “rezim kebenaran”, dengan segala norma, konsensus, dan kontrak sosial di dalamnya. jika  aparat hukum melakukan tindak melawan hukum (korupsi), efek kerusakannya total: merusak diri sendiri (parasit), lembaga 
hukum (host), dan arsitektur demokrasi. Untuk itulah, aparat korup ini 
layak dicap “pengkhianat bangsa”.
Aparat-aparat korup ialah bagian “aparatus hukum”, yang memiliki fungsi utama menegakkan hukum demi kebenaran. Ironisnya, 
alih-alih menegakkan hukum demi kebenaran, mereka justru merusak 
arsitektur hukum demi kekayaan. Padahal, sebagai bagian aparatus, 
aparat hukum punya tugas menghimpun, mengarahkan, mendeterminasi, memodelkan, mengendalikan atau memelihara tindakan, perilaku, opini, atau wacana publik menuju kebenaran.
Ketimbang berperan mencegah, menghambat, atau menghilangkan tindak kejahatan (korupsi), mereka malah memelihara dan menguatkan mental korupsi. Misalnya, sistem aparatus penjara selama ini 
cenderung “memelihara” mental jahat ketimbang menghilangkannya. 
Oknum-oknum di nyaris semua lembaga hukum—sipir, pengawas, polisi, penyidik, jaksa, hakim, hakim agung—yaitu  aparatus pendorong tindak kejahatan (korupsi). Bukankah—selain menegakkan hukum 
dan mencari kebenaran—fungsi lembaga hukum yaitu  juga menciptakan kepatuhan, disiplin, dan ketertiban publik? saat  norma hukum 
tak mampu mengubah pikiran jahat, lembaga pengadilan tak dapat 
menghasilkan kebenaran, penjara tak kuasa menghasilkan “efek jera”, 
artinya hukum tak memiliki “efek” apa pun. Hukuman, pelatihan, koreksi, pendidikan nyatanya tak mampu menghasilkan “tubuh yang patuh” (docile body) sebab  aparat yang menghukum dan terhukum sama 
jahatnya.
Bangsa ini tengah menghadapi kerusakan parah “aparatus hukum”, yang mengancam arsitektur hukum demokratis dan Rechsstaat. 
Rezim demokrasi diisi aparat korup, yang bekerja di dalam aparatusaparatus yang rusak sehingga nyaris tak mungkin menghasilkan keputusan adil dan benar jika tak ada reformasi total hukum. Aparatus 
hukum (seperti MK) yang mestinya menguatkan dan memberdayakan 
justru melemahkan dan melumpuhkan kekuatan dan otoritas hukum. 
Aparatus hukum beserta simbol-simbol negara yang sakral—yang 
meliputi UU, aturan hukum, gedung pengadilan, jaksa, hakim, hakim 
agung, penjara, seragam jaksa, toga hakim, meja pengadilan—kini kehilangan kekuatan sakralnya akibat ulah aparat hukum itu sendiri. Mereka mendegradasi simbol-simbol negara sampai titik nadir terendah 
sebab  alih-alih menampilkan wibawa dan kemuliaan hukum melalui 
keputusan adil, mereka justru memberi  teladan tindak kejahatan.
masalah  yang menimpa otoritas kepabeanan tampaknya juga serupa 
dengan kemunculan parasit dalam diri otoritas penegak hukum. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam beberapa waktu terakhir menjadi 
sorotan publik yang luar biasa. Ini terutama terjadi sesudah  kepolisian 
pada 29 Oktober lalu menangkap  Heru Sulastyono, Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Heru diduga menerima 
suap Rp 11,4 miliar dari seorang pengusaha. Tak hanya dugaan suap, 
di dalam rekening bank milik Heru juga ditemukan transaksi mencurigakan hingga Rp 60 miliar. 
Heboh soal praktik suap di lingkungan Bea dan Cukai bukan yang 
pertama kali. Lima tahun lalu, tepatnya pada 30 Mei 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan inspeksi mendadak di Kantor 
Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok. Dari hasil inspeksi itu, 
KPK menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Selain melibatkan pegawai Bea dan Cukai, suap juga melibatkan pihak ketiga: satuan pengamanan bahkan petugas kebersihan. Tempat transaksi tak hanya di bawah meja, namun  juga 
di mobil, tempat parkir, dan toilet.
Masih munculnya skandal suap di jajaran Bea dan Cukai sungguh 
memprihatinkan. Padahal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masuk 
dalam agenda reformasi birokrasi internal yang dicanangkan di lingkungan Kementerian Keuangan sejak 2007. Anggaran untuk program 
reformasi birokrasi juga sangat fantastis: Rp 4,3 triliun. Anggaran reformasi birokrasi itu dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kerja dan 
pemberian remunerasi (tunjangan kerja) kepada pejabat dan pegawai. 
Dengan adanya peningkatan gaji dan tunjangan yang diterima, para 
pegawai Kemkeu diharapkan tak menyalahgunakan wewenang. Pemberian tunjangan ini tercatat dilakukan sejak 1 Juli 2007 dalam bentuk 
tunjangan khusus pembinaan keuangan negara. 
Bea dan Cukai yaitu  sebuah lembaga penting: tak hanya bagi penerimaan negara, namun  juga dalam perdagangan internasional. Peran 
lembaga kepabeanan ini salah satunya yaitu  fasilitator perdagangan. 
sebab  peran yang begitu penting, maka dalam penerapannya, Bea 
dan Cukai wajib memberi pelayanan yang melingkupi hemat waktu, 
hemat biaya, aman, dan mudah. Empat layanan itu menjadi bagian integral dari sistem dan prosedur kepabeanan. Namun praktik korupsi 
yang terjadi di instansi ini dapat memicu pelayanannya menjadi buang-buang waktu, biaya mahal, tidak aman, dan sulit. Tertangkapnya pejabat di Bea dan Cukai juga memperkuat penilaian publik 
mengenai maraknya praktik korupsi di Bea dan Cukai. Pada awal tahun 
2007 survei Transparency International negara kita  (TII) menempatkan 
Bea dan Cukai sebagai instansi terkorup bersama dengan Kepolisian 
Negara Republik negara kita .
Serupa dengan survei TII, pada tahun 2007 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas negara kita  dan Bank 
Dunia merilis sebuah hasil survei mengenai dugaan korupsi di tubuh 
Bea dan Cukai. berdasar  hasil survei LPEM-Bank Dunia itu, nilai 
korupsi di Bea dan Cukai mencapai Rp 7 triliun per tahun. Survei ini 
melibatkan tak kurang dari 600 pengusaha di bidang manufaktur, tersebar pada lima kota besar: Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan 
Makassar. Sejumlah pungutan liar harus dibayarkan pengusaha jika  berurusan dengan aparat Bea dan Cukai. Titik rawan pungutan liar di 
antaranya lahir dari kebijakan jalur merah dan jalur hijau. Modusnyabarang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tibatiba oleh petugas diarahkan ke jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya. Tindakan aparat seperti itu membuka peluang untuk bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu berusaha  mencari 
jalan pintas.
Masalah korupsi di Bea dan Cukai sesungguhnya tidak saja terjadi 
di negara kita , namun  juga muncul di beberapa negara di seluruh dunia. 
World Customs Organization (WCO) sebagai wadah instansi Bea dan 
Cukai seluruh dunia menyadari betul masalah korupsi ini. Pada 1993 
dalam pertemuan di Arusha, Tanzania, organisasi pabean sedunia ini 
mengeluarkan sebuah deklarasi berkaitan dengan integritas Bea dan 
Cukai. Deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Arusha ini berisikan 
daftar 12 langkah spesifik yang bisa diambil instansi Bea dan Cukai untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya korupsi.
sesudah  Deklarasi Arusha, WCO terus bekerja keras merancang 
program reformasi dan modernisasi pabean yang mengintegrasikan 
prinsip-prinsip Deklarasi Arusha agar bisa dipakai  negara-negara 
anggotanya. Meski ini tidak mudah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 
sesungguhnya sudah berusaha  mencegah terjadinya praktik korupsi di 
dalam lembaga ini. Mereka telah memiliki Sistem Aplikasi Pengaduan 
warga  (Sipuma) yang dikelola Pusat Kepatuhan Internal (Puski) 
untuk mengakomodasi pengaduan warga  terkait integritas dan 
pelayanan yang diberikan para pejabat/pegawai Bea dan Cukai. Selain 
itu, Kementerian Keuangan sejak tahun 2011 telah mengimplementasikan whistleblowing system secara daring untuk pelaporan penyimpangan yang terjadi di lingkungan Kemkeu termasuk jajaran Bea dan 
Cukai.
Penangkapan pejabat di lingkungan Bea dan Cukai seharusnya 
menjadi momentum untuk kembali membersihkan lembaga kepabeanan ini dari praktik korupsi. Pemberantasan korupsi di jajaran Bea dan 
Cukai harus dilakukan secara komprehensif melalui langkah penindakan dan pencegahan. 
Dari aspek penindakan, penegak hukum harus mengusut secara 
tuntas para pelaku penyuapan dan meneruskannya hingga ke pengadilan. Pihak Bea dan Cukai juga harus bersikap proaktif dan kooperatif 
membantu para penegak hukum untuk menuntaskan praktik korupsi 
dan sekaligus berani memberi  sanksi yang berat bagi pejabat atau 
pegawai yang dinilai tidak bertanggung jawab.Adapun dari aspek pencegahan, untuk mengurangi potensi korupsi, pemerintah harus berani merombak atau melakukan peremajaan 
pejabat di jajaran Bea dan Cukai. Hal lain yang perlu dilakukan yaitu  
dengan terus-menerus melakukan dan memperkuat fungsi pengawasan internal dan pembenahan kelembagaan. Pelaporan dan pemeriksaan kekayaan pejabat ataupun pejabat Direktorat Jenderal Bea dan 
Cukai juga harus terus dilakukan bekerja sama dengan KPK ataupun 
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
saat  tindak korupsi merata di hampir semua lembaga hukum, 
saat  aparatus hukum dirusak aparatnya sendiri, saat  “rezim kebenaran” dibangun oleh parasit-parasit ganas, saat  hukum tak memberi efek apa pun bagi anak bangsa, kita sampai pada satu titik “anomi 
total”: norma hukum ada, tapi tak bekerja; aparat hukum ada, tapi para 
penjahat; aparatus hukum ada, tapi dirusak aparatnya, rezim kebenaran ada, tapi dipenuhi para parasit hukum.

Dalam sistem peradilan pidana di negara kita , putusan pengadilan 
yaitu  bagian dari serangkaian tindakan otoritas penegak hukum. 
Di samping penyelidikan dan penyidikan, penuntutan—yang berisi 
konklusi dari proses panjang validitas dakwaan—menjadi fitur yang 
penting. Dalam tindak pidana korupsi, ketetapan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pintu masuk untuk menilai putusan hakim, mengingat dari sini, validitas konstruksi 
perbuatan oleh terdakwa dapat dirunut.
Bagi banyak orang, KPK itu sangat menakutkan, terutama bagi koruptor atau pejabat yang banyak mengurus pemakaian  uang negara. 
Banyak yang mengaku sangat takut dan menjadi gemetar jika namanya 
disebut-sebut akan dipanggil oleh KPK. Jangankan dipanggil sebagai 
tersangka, dipanggil sebagai saksi atau pemberi keterangan sekali pun 
banyak yang ketakutan. Apalagi di dalam pemberitaan biasanya media massa mencampuradukkan begitu saja antara “diperiksa” dan “dimintai keterangan”. Insinuasi pemberitaan berkecenderungan, kalau 
orang dipanggil oleh KPK dianggap terlibat masalah korupsi. Padahal, 
mungkin hanya dimintai keterangan biasa. Mengapa KPK ditakuti? 
sebab  KPK selama ini selalu bertindak sangat tegas, profesional dan 
berhati-hati.Dalam ini , KPK selalu bersikap tegas dan profesional dalam arti 
tidak pernah segan melakukan tindakan hukum terhadap siapa pun. 
Mari lihat catatan kita masing-masing. KPK sudah banyak menangkap 
dan memenjarakan anggota DPR tanpa peduli ancaman atau cemoohan-cemoohan yang kerap datang dari gedung DPR. Ketua lembaga negara setingkat Mahkamah Konstitusi pun disadap, dikuntit, dan 
ditangkap tangan untuk lalu  ditelanjangi habis gurita sangkaan 
korupsinya. Jenderal polisi aktif, hakim, dan jaksa pun tak luput digaruk oleh KPK dengan tegas. KPK juga tidak jerih terhadap partai politik. Buktinya bukan hanya pengurus kelas teri yang diciduk dari parpol, melainkan juga pimpinan dan ketua umum parpol. Sekarang ini 
hampir semua partai politik, terutama yang sudah memiliki  wakil 
di DPR sejak tahun 2004, sudah mengirim wakilnya di penjara sebab  
korupsi yang ditangani oleh KPK. Di pengadilan tipikor dan penjara, 
semua parpol memiliki  delegasi yang cukup berkualitas korupsinya.
Awal tahun 2013 dibuka dengan berita mengejutkan soal tertangkap tangannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menerima suap Rp 1 miliar, terkait pengurusan kuota impor 
daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT Indoguna Utama. Mengejutkan sebab  Luthfi berasal dari partai politik yang punya jargon 
bersih dan peduli. Terlebih selama ini memang Partai Keadilan Sejahtera sepi dari pemberitaan tentang politikus yang terjerat masalah  korupsi. Publik seperti tak percaya. Kader PKS bahkan lebih tak percaya lagi 
pucuk pimpinan partainya terlibat korupsi. Namun vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 9 Desember 
2013, menyatakan Luthfi secara sah dan meyakinkan terbukti korupsi sekaligus melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Vonis 
yang dijatuhkan bertepatan pada Hari Antikorupsi Internasional pada 
9 Desember itu menghukum Luthfi dengan penjara 16 tahun ditambah 
denda Rp 1 miliar serta perampasan sejumlah harta bendanya, seperti 
rumah dan mobil mewah. Kader PKS yang masih tak percaya Luthfi korup dan melakukan TPPU menganggap vonis hakim telah menzalimi 
partainya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dinilai sebagai alat politik untuk menjatuhkan citra PKS.
Soal ketidakpercayaan tentang politikus yang melakukan korupsi atau TPPU ini bukan hanya monopoli PKS dan kadernya. Keluarga 
Mallarangeng, misalnya, sampai sekarang pun masih tak percaya Andi 
Alifian Mallarangeng, sulung dari tiga bersaudara, melakukan korupsi dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sang adik, Andi Rizal Mallarangeng, masih yakin, sangkaan korupsi terhadap saudaranya oleh KPK bakal tak terbukti 
di pengadilan. 
Loyalis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, 
hingga kini pun, masih tak percaya jika politikus yang terkenal santun 
ini  menerima aliran dana dari proyek Hambalang. Lebih-lebih 
dana dari proyek Hambalang ini  dipakai  untuk jalan memenangi kursi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat. Loyalis Anas 
menuduh KPK diintervensi penguasa sebab  menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak senang dengan berkuasanya Anas di partai yang dia dirikan.
Kolega mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan 
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini juga 
sempat tak yakin kalau Guru Besar Perminyakan Institut Teknologi 
Bandung itu menerima suap. Terlebih Rudi dikenal sebagai pribadi 
bersahaja. Bagaimana tidak, mudik ke kampung halamannya di Tasikmalaya, meski Rudi bergaji di atas Rp 200 juta per bulan, dia memilih 
memakai  kereta api.
Bahkan yang terbaru, sempat banyak yang masygul saat  Ketua 
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK saat dalam 
proses menerima suap terkait pengurusan perkara sengketa Pemilihan 
Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.
Bagi KPK yang menetapkan Luthfi, Andi, Anas, Rudi, dan Akil sebagai tersangka, ketidakpercayaan ini  hanyalah bentuk strategi 
pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya. “Strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya kian berkembang 
dan canggih. Mereka kian hebat dalam membangun citra positif koruptor sembari mendelegitimasi KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang 
Widjojanto. Menurut mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan 
Hukum negara kita  ini, strategi itu pun dilakukan tidak hanya dengan 
membela di depan persidangan, namun  juga memakai  tempat talk 
show, diskusi, dan seminar. Mereka juga menyewa ahli yang tidak hanya memberi kesaksian di pengadilan, namun  juga dalam talk show dan 
lain-lain. “Bahkan ada pola komunikasi pencitraan memakai  konsultan PR (public relation),” katanya.
Semakin pintar koruptor, semakin canggih juga cara mereka menghindari jerat hukum. Bambang mengatakan, setahun terakhir, 
ada tipologi yang khas dari para pelaku kejahatan korupsi di negara kita . “Mereka smart, trendi, charming, profesional di bidangnya, dan 
pandai memanipulasi, serta menjaga citra dan kewibawaannya,” kata 
Bambang. Modusnya pun berkembang. “Tak terbayangkan penyuapan dilakukan memakai  mobil yang dititipkan di tempat parkir 
bandara, di stasiun kereta. dipakai  layer-layer sehingga tidak bisa 
terlihat langsung bentuk kejahatan dan transaksinya,” ujar Bambang. 
Sebagian transaksi bahkan dilakukan di tempat khusus dan di luar negeri, memakai  mata uang asing, khususnya dollar Singapura dan 
Amerika Serikat.
Keberhasilan KPK mengungkap kecanggihan korupsi mereka yang 
punya latar belakang pendidikan sangat tinggi sebenarnya berkat riset 
dan penelitian panjang lembaga ini terhadap pola korupsi yang selama ini terjadi di negara kita . Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dari hasil kajian ini  disimpulkan telah banyak terjadi state 
capture corruption di negara kita . State capture corruption yaitu  tipe 
korupsi politik, di mana swasta memengaruhi proses pengambilan 
keputusan pemerintah melalui praktik ilegal seperti penyuapan para 
penyelenggara negara. “Suap pengurusan kuota impor daging sapi dan 
suap terkait kegiatan di SKK Migas yaitu  contohnya,” kata Busyro. Di 
tengah terungkapnya masalah -masalah  state capture corruption skala besar, KPK juga mengimbangi dengan usaha  penindakan yang progresif. 
KPK menggabungkan UU Tipikor dengan UU TPPU dalam menjerat 
tersangka sehingga bisa memiskinkan para koruptor. Beruntung, hakim juga responsif dengan langkah progresif KPK, menuntut terdakwa 
dengan pidana penjara untuk waktu yang lama serta perampasan terhadap aset dan harta kekayaannya. Pada akhirnya, KPK membutuhkan 
banyak amunisi dan kepiawaian berperang melawan para koruptor 
yang makin pintar dan canggih ini.
Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 jadi tonggak awal dilakukannya usaha -usaha  pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 
Dalam hitungan sederhana, 15 tahun sudah agenda pemberantasan 
korupsi dijalankan, sudah lima rezim pemerintahan berganti, namun  
korupsi tetap saja bergeming. Di tingkat global, penilaian atas usaha  
pemberantasan korupsi selalu menempati urutan sebagai negara terkorup. Hasil survei Corruption Perception Index (CPI) 15 tahun yang 
lalu (1998) menempati urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei de-ngan skor 2.0. Sepuluh tahun lalu  (2008), penilaian CPI atas 
kinerja pemberantasan korupsi di negara kita  hanya bergeser sedikit 
menjadi 2.6 dengan menempati posisi ke-126 dari 180 negara yang 
disurvei. Pada 2013, posisi negara kita  menurut CPI tidak jauh berbeda 
dengan tahun sebelumnya (2012) dengan skor 32 (0-100; 0 = sangat korup, 100= sangat bersih). Ini artinya, dalam jangka 15 tahun, negara kita  
masih dipersepsikan sebagai negara yang tidak serius dalam memberantas korupsi.
Jika ditelisik ke belakang, dari sisi regulasi ada banyak sekali peraturan yang dilahirkan untuk menyokong usaha  pemberantasan korupsi. Di sektor penindakan, misalnya, setidaknya ada beberapa yang telah 
dihasilkan. Sebagai contoh, adanya UU Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi (Tipikor), UU Pengadilan Tipikor, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Pencucian Uang, dan sebagainya. Dalam implementasinya, ada beberapa masalah  korupsi yang memakai  peraturan 
ini  secara berlapis. Misalnya dengan memakai  UU Tipikor 
sekaligus UU Pencucian Uang. Kombinasi kedua regulasi ini dianggap 
senjata paling ampuh untuk memberi  efek jera. Sayangnya, pemberantasan korupsi bukanlah semata-mata soal penindakan. Perlu 
usaha  lain di bidang pencegahan untuk meminimalkan masuknya sebuah perbuatan ke ranah penindakan.
Banyak pihak menyebutkan, problem korupsi di negara kita  mayoritas berasal dari sektor politik. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya 
pelaku korupsi yang berasal dari institusi politik, misalnya DPR dan kepala daerah. Di samping itu, keruntuhan institusi yang dipercaya publik juga dipicu sikap politik yang korup. Misalnya dalam pengisian 
jabatan yang memerlukan proses politik, sebut saja hakim konstitusi, 
hakim MA, KPK, Komisi Yudisial, dan sebagainya. Problem korupsi 
politik di negara kita  hanya bisa diselesaikan jika instrumen politik beserta perangkatnya diperbaiki. Jika mengacu pada rekomendasi untuk 
memperbaiki CPI, ada dua institusi strategis yang harus di-reform, yaitu parlemen dan partai politik. Kedua lembaga ini yaitu  kelompok 
yang paling berkontribusi dalam memperburuk situasi pemberantasan 
korupsi. Dalam banyak fakta, keduanya justru saling bersinergi melawan gerakan pemberantasan korupsi.
Partai politik tidak memperlihatkan iktikad, baik untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. Setidaknya bisa dilihat dari sikap semua parpol terhadap keterbukaan dan pertanggungjawaban pendanaan politiknya. Di tingkat parlemen hal yang lebih kurang sama 
juga terjadi. Selaku lembaga pemegang kuasa anggaran, praktik mafia 
anggaran melalui proyek-proyek pemerintah kerap menjadi bancakan 
bagi para politisi. Bahkan tak jarang parpol juga jadi bagian dari konspirasi mafia anggaran yang dipakai  untuk mendanai kegiatan politik. Dengan semua fakta ini, publik selaku pihak yang paling dirugikan 
tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mengoreksi parlemen 
dan partai politik secara langsung. Dalam kerangka politik dan hukum, 
koreksi publik atas parlemen dan partai politik hanya bisa dilakukan 
sekali dalam lima tahun melalui penyelenggaraan pemilu.
Praktis hanya tersedia satu instrumen yang bisa dipakai  publik 
untuk melakukan recall terhadap anggota parlemen dan parpol yang 
korup. Selama ini publik tak dimungkinkan untuk melakukan gerakan mencabut mandat saat  wakilnya tidak lagi memperjuangkan kepentingan publik yang diwakilinya. Pemilu yaitu  momentum politik 
yang bisa dipakai  untuk tidak memilih parpol dan anggota parlemen yang korup. Sikap politik publik yang hanya bisa disalurkan sekali 
dalam 5 tahun akan sangat menentukan arah gerakan pemberantasan 
korupsi akan dibawa dalam 5 tahun ke depan. Di saat warga  negara kita  akan menyongsong Pemilu 2014, momentum peringatan Hari 
Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2013 harusnya menjadi refleksi 
bagi publik untuk menentukan sikap politik yang antikorupsi. Kalau 
saja publik menyadari ini, bukan hal yang tidak mungkin jika kegagalan 
15 tahun gerakan melawan korupsi akan dituntaskan dalam lima tahun 
ke depan.
Dahulu lembaga penegak hukum dianggap takut menjadikan 
menteri sebagai tersangka, apalagi sampai menahan dan mengajukannya ke pengadilan. Dahulu, rasanya, kalau ada menteri diduga korupsi, 
biasanya ditunggu dahulu sampai pensiun untuk bisa digelandang ke 
pengadilan. namun  sekarang ini KPK berani menjadikan menteri aktif 
sebagai tersangka dan menahannya di rumah tahanan untuk lalu  diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Pengusaha-pengusaha yang dahulu oleh publik dianggap kebal hukum sebab  kekuatan 
jaringan mafia dan suapnya sekarang ini sudah mulai bisa digelandang 
ke penjara oleh KPK. Ada pemberitaan di mana seorang pengusaha 
yang “sesumbar” akan mampu membeli KPK dengan harga mahal sehingga takkan tergaruk oleh operasi lembaga antirasuah itu. Ternyata 
sesumbar itu justru membuat KPK semakin bersemangat untuk men-jadikannya sebagai tersangka dan mengirimnya ke penjara. Sang pengusaha bukan hanya tak mampu membeli KPK, namun  juga tak mampu 
mencari alibi untuk membersihkan dirinya dari dakwaan korupsi sebab  KPK sudah mengantongi bukti-bukti yang tak bisa dibantah sedikit 
pun. Itulah yang memicu KPK sangat ditakuti. Para tersangka tindak pidana korupsi biasanya tak berkutik dengan cara kerja KPK yang 
sangat cekatan. Jika yang dijerat menjadi tersangka korupsi oleh KPK 
yaitu  politisi atau pejabat tinggi, biasanya para pembelanya awalnya 
menyerang KPK dengan tudingan bahwa KPK telah memolitisasi masalah  
atau disetir oleh kekuatan politik tertentu. namun  tudingan-tudingan 
yang seperti itu biasanya lenyap begitu persidangan di pengadilan tipikor dimulai sebab  biasanya bisa menunjukkan bukti dan rangkaian 
fakta yang tak terbantahkan. Kalau sudah begitu, biasanya tuduhan politisasi yang semula dituduhkan kepada KPK berubah menjadi pernyataan bahwa korupsi itu perbuatan dan tanggung jawab oknum, bukan 
urusan institusi atau partai. Sebenarnya di balik tampilan yang angker 
dan menakutkan, faktanya KPK itu profesional, menghormati HAM, 
santun, dan menyenangkan bagi mereka yang menjunjung kebaikan 
dan antikorupsi. 
Dari semua yang pernah diperiksa oleh KPK, tak pernah terdengar 
ada keluhan bahwa KPK telah memperlakukan mereka secara tidak 
baik, ditekan, diteror secara psikis apalagi sampai dipaksa-paksa untuk 
mengaku. Mereka yang diperiksa oleh KPK selalu diperlakukan dengan 
baik. Dia media juga terungkap kisah seseorang yang pernah diperiksa 
oleh KPK. Katanya, dirinya takut luar biasa saat  pada suatu hari dipanggil oleh KPK untuk memberi keterangan. 
namun  begitu sampai di KPK, dia merasa heran dan kagum kepada 
KPK sebab  uang transpornya dari daerah diganti penuh dan dia pun 
diberi penginapan yang layak selama di Jakarta. Semua yang pernah diperiksa atau dimintai keterangan oleh KPK pasti tak membantah bahwa pemeriksaan dilakukan dengan sangat sopan. Jika tiba waktunya 
makan diberi hidangan yang layak untuk makan dan jika tiba waktu 
salat si pemberi keterangan atau terperiksa dipersilakan melaksanakan 
ibadah salat. Makanya, sekeras apa pun seorang tersangka atau pengacaranya menyerang KPK untuk melakukan pembelaan namun  belum 
pernah terdengar bahwa saat diperiksa atau didengar keterangannya 
oleh KPK mereka diperlakukan kasar, tak sopan, atau dipaksa-paksa. 
Itulah sebabnya warga  puas dan bangga terhadap KPK yang bisa tampak garang menakutkan sekaligus lembut menyenangkan. Sikap 
tegas dan profesionalnya diacungi jempol oleh pegiat-pegiat antikorupsi. Perlakuan sopan, manusiawi dalam memeriksa dan meminta 
keterangan patut dipuji.
Tidak ada satu negara pun yang bisa mengukur korupsi aktual 
yang terjadi. Semua studi dan penelitian mengenai korupsi hanya bisa 
datang dengan estimasi korupsi dalam satu-dua masalah  yang pasti tak 
menggambarkan aktualitas korupsi. Paling banter kondisi korupsi itu 
dilihat dari persepsi warga  tentang korupsi yang didapatkan dari 
survei seperti yang dilakukan oleh Transparency International atau 
KPK, misalnya. Beberapa studi yang mencoba menghitung korupsi aktual akhirnya mengakui bahwa studi mereka gagal dalam mendeteksi 
korupsi yang memang tidak bisa terjangkau, terutama sebab  korupsi 
yang begitu menyebar secara horizontal dan vertikal. Kalaupun studi 
mengenai korupsi aktual itu terjadi, itu akan bisa dilakukan pada masalah -masalah  tertentu, seperti yang dilakukan Benjamin W. Olken, ekonom 
dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), dalam tulisannya 
“Monitoring Corruption: Evidence From a Field Experiment in negara kita ”. Olken meneliti mengenai korupsi aktual dalam pembangunan 
proyek jalan di 600 desa. Ia membandingkan biaya aktual proyek dengan biaya estimasi proyek yang dibuat secara independen. Setiap unit 
biaya diteliti (semen, aspal, dan lain-lain). Dari hasil studi ini  bisa 
dilihat selisih dana yang cukup signifikan. Olken mengatakan bahwa 
dana yang hilang itu berkisar pada angka 24 persen untuk setiap proyek 
yang didapat dari selisih biaya resmi proyek jalan dikurangi biaya estimasi independen dari ahli teknik. Inilah yang dia sebut sebagai missing 
expenditure.
Kalau angka 24 persen ini dijadikan patokan, bisa dibayangkan berapa banyak dana yang hilang atau dikorupsi dalam sejumlah proyek. 
Namun penulis masih meragukan angka 24 persen itu sebagai angka 
korupsi aktual sebab  kualitas jalan yang di bawah standar juga harus 
dihitung sebagai korupsi aktual tambahan. Alhasil, kita bisa jadi dapat 
persentase lebih besar. 
Tentu saja penulis tidak percaya untuk bisa melakukan generalisasi atas semua proyek pengadaan yang kompleksitasnya berbeda-beda. 
Apakah dalam masalah  Hambalang, Wisma Atlet, pembangkit listrik, pelabuhan udara, dan gedung pemerintahan kita akan mendapat angka 
yang sama? Hampir pasti, jawabannya tidak sama. Selain itu, korupsi bukan soal pengadaan semata. Banyak bentuk korupsi lain yang terjadi, baik itu dalam sejumlah pemberian izin monopoli impor atau ekspor maupun penghindaran pajak, bea masuk, dan penyunatan dana 
bantuan, termasuk bantuan untuk bencana. Malah ada proyek yang 
pada dasarnya bukan korupsi, melainkan bisa dilihat sebagai korupsi.
Sebuah kabupaten membangun bandara yang megah, padahal itu 
tak diperlukan sebab  di ibukota provinsi sudah ada bandara memadai. Namun bandara itu tetap dibangun sebagian sebab  gengsi ingin 
punya pelabuhan udara megah, sebagian sebab  persaingan dengan 
provinsi. Kalau diselisik, di situ tidak ada korupsi. Secara akuntansi 
tidak ada pengeluaran yang tidak dipertanggungjawabkan. Tidak ada 
suap. Namun untuk apa bandara ini  dibangun? Tak banyak gunanya. Di sini yang terjadi yaitu  misuse of power yang pada hakikatnya 
juga korupsi. Jadi, begitu banyak tipologi korupsi yang tak mungkin semuanya bisa dijangkau. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap semua 
studi masalah  mengenai korupsi aktual, saya harus mengatakan bahwa 
kita hanya akan bisa memperkirakan korupsi yang terjadi dan merekareka jumlahnya. Jumlahnya memang tak sedikit.
Dalam masalah  Angelina Sondakh, ada denda Rp 500 juta dan uang 
pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau keseluruhannya 
sekitar Rp 39,6 miliar. Dalam masalah  Irjen Djoko Susilo ada denda Rp 1 
miliar dan uang pengganti Rp 32 miliar. Lalu, dalam masalah  Luthfi Hasan 
Ishaaq, ada denda Rp 1 miliar. Dalam masalah  korupsi yang melibatkan 
mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Faisal, hukuman dendanya Rp 500 juta dan uang pengganti Rp 98 miliar.
Jumlah denda dan uang pengganti ini tidak kecil dan jika semua 
masalah  korupsi didata, kita akan dapat angka yang jumlahnya cukup besar. Namun sekali lagi, jumlah uang denda dan uang pengganti tak bisa 
ditafsirkan sebagai korupsi aktual yang terjadi. Jumlah uang yang dikorupsi di luar mereka yang ditangkap jauh lebih besar. Angka ini masih 
jauh dari korupsi yang terjadi.
Lebih baik saat ini kita bersyukur sebab  lembaga pengadilan memulai tradisi baru menjatuhkan pidana penjara yang berat kepada para 
koruptor, seperti Angelina Sondakh yang dihukum 14 tahun penjara, 
Luthfi Hasan Ishaaq dihukum penjara 16 tahun, Djoko Susilo dihukum 
penjara 18 tahun, dan Faisal dihukum penjara 12 tahun. Hukuman seberat ini yaitu  hukuman berat, apalagi kalau kepada mereka tak diberi remisi. Sekali lagi penulis tak mencegah ikhtiar mengetahui korupsi aktual 
sebab  itu sangat penting. Namun saya harus mengatakan bahwa dalam banyak ikhtiar usaha itu tak mencapai hasil yang maksimal. Dari 
semua studi yang ada, bisa dibuat kesimpulan bahwa ongkos korupsi itu sangat mahal walaupun bisa dikatakan bahwa estimasi moneter 
atau nilai persentase korupsi itu tak mencerminkan angka sebenarnya 
dan, sebab nya, tak pernah menjadi jantung dari diskursus mengenai 
korupsi. sebab  pada dasarnya korupsi itu rahasia, tanpa jejak.
Dalam perkembangan terakhir, KPK tidak hanya memakai  
UU Tindak Pidana Korupsi dalam menyentuh para tersangka korupsi, 
namun  juga memperlebar kewenangannya dengan UU Tindak Pidana 
Pencucian Uang (TPPU). 
Menurut UU KPK, lembaga ini berwenang menyidik dan menuntut 
perkara tindak pidana korupsi. Permasalahannya, apakah benar KPK 
tidak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang? 
Pendekatan antipencucian uang dalam penegakan hukum memiliki  
prioritas mengejar hasil tindak pidana, sering disebut dengan follow 
the money. Pendekatan follow the money diperkenalkan sebab  pendekatan konvensional yang memprioritaskan mengejar pelaku (follow the 
suspect) kurang optimal dalam mengurangi angka kriminalitas (predicate crime), seperti tindak pidana korupsi. 
Dengan gabungan pendekatan follow the money dan follow the 
suspect, pemberantasan tindak pidana asal menjadi lebih berhasil. maka , sistem anti-pencucian uang memiliki  tujuan utama 
untuk mengurangi angka kriminalitas termasuk mengurangi korupsi di 
negara kita . Tujuan lain dari sistem antipencucian uang yaitu  untuk 
membuat sistem keuangan dan perdagangan lebih stabil serta terpercaya sebab  tidak disalahgunakan oleh para pelaku kriminal termasuk 
oleh koruptor. 
Pihak yang berpendapat bahwa KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU berargumen, bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) hanya memberi  kewenangan kepada KPK untuk menyidik perkara 
TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 74 dan penjelasannya. Tidak 
ada satu pasal pun dalam UU TPPU memberi  kewenangan kepada KPK untuk menuntut perkara TPPU. Bahkan dalam Pasal 70 tentang kewenangan menunda transaksi, Pasal 71 tentang pemblokiran 
rekening, dan Pasal 72 tentang permintaan keterangan dari penyedia jasa keuangan, tidak dicantumkan kewenangan KPK sebagai penuntut 
umum dapat melakukan kewenangan ini . Ketiga pasal ini  
menyebutkan instansi Kejaksaan yang berwenang melakukan tindakan penghentian sementara transaksi, memblokir dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka/ terdakwa dari penyedia 
jasa keuangan. 
Para penentang berpendapat seharusnya kewenangan KPK diberikan secara eksplisit oleh undang-undang, bukan berdasar  penafsiran untuk menjamin kepastian hukum. Pendapat semacam ini dianut 
antara lain oleh Romli Atmasasmita dan dua orang hakim ad-hoc pada 
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pendapat ini cenderung 
berdasar  pemikiran positivisme atau legisme, sehingga penerapan 
UU TPPU didasarkan pada teks undang-undang yang memberi  kewenangan kepada KPK secara eksplisit. Sebaliknya, pihak yang mendukung KPK memiliki kewenangan menuntut perkara TPPU memakai  alasan yang lebih komprehensif dengan memakai  berbagai 
ketentuan undang-undang, baik pada UU TPPU maupun undangundang lainnya dan yurisprudensi pengadilan, sebagai berikut: 
Pertama, memang benar UU TPPU tidak menyebutkan kewenangan KPK untuk menuntut perkara TPPU, namun  Pasal 75 UU TPPU 
memerintahkan jika  dalam menyidik tindak pidana asal (korupsi) 
ditemukan adanya TPPU, maka penyidik (KPK) menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis), yaitu tindak 
pidana asal (korupsi) dan TPPU. Dalam hal penyidikannya digabung, 
wajarlah KPK yang berwenang menuntut perkara korupsi juga menggabungkan penuntutan perkara korupsi dan TPPU. Bukankah perkara 
korupsi dan TPPU yang diperiksa sangat berhubungan erat?
Kedua, kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntutan 
perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum yaitu  bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan 
sebagaimana diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 
Kehakiman. Penjelasan undang-undang menyebutkan yang dimaksud “sederhana” yaitu  pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya 
ringan” yaitu  biaya perkara yang dapat dijangkau oleh warga . 
Di samping itu, penyerahan penuntutan kepada kejaksaan membuat 
terdakwa harus diadili dua kali dengan dua berkas yang berbeda, namun  sangat berhubungan yang sudah tentu memakan waktu dan biaya yang 
lama dan kurang memberi  kepastian hukum kepada terdakwa. 
Ketiga, menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada kejaksaan 
tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru sebaliknya, KPK memiliki  kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang 
ditangani kepolisian atau kejaksaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU 
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). 
Keempat, menurut ahli hukum Jerman Gustav Radbruch (1878-
1949), tujuan hukum yaitu  keadilan (justice), kemanfaatan (utility), 
dan kepastian hukum (certainty). Dari ketiga unsur ini , keadilanlah 
yang harus didahulukan. Menurut para ekonom hukum yang adil yaitu  
hukum yang efisien dan efisiensilah yang yaitu  tujuan hukum. 
Kelima, dalam hal penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana asal (korupsi) dengan perkara TPPU, maka baik hukum materiel 
dan hukum formal (hukum acara) digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU TPPU menyebutkan hukum acara yang berlaku 
yaitu  hukum acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
yang berlaku. Dalam ini , berlaku Kitab Undang-Undang Hukum 
Acara Pidana (KUHAP) dan undang-undang yang lain, seperti UU KPK, 
UU TPPU, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronis. Ketentuan UU KPK memberi  kewenangan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum memblokir rekening dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan 
tersangka dan terdakwa langsung tanpa izin dari gubernur Bank negara kita , tanpa perlu memakai  UU TPPU. 
Keenam, menurut Pasal 6 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana 
korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya 
yaitu  tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang ditentukan 
sebagai tindak pidana korupsi. 
Ketujuh, teori Hukum Progresif diperkenalkan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (1930-2010) yang mengedepankan hati nurani, keadilan, dan konsep “hukum untuk manusia”. Pemikiran hukum progresif 
ini sering “beyond in the text” lebih jauh dari teks hukum yang ada dalam peraturan. Memang kalau dikaji secara mendalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai ciptaan manusia pasti ada keku-rangan. Oleh sebab  itu, haruslah dilihat yurisprudensi yang ada dan 
ditafsirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan. 
Kedelapan, dalam masalah  TPPU sudah ada dua masalah  sebelumnya 
yang penuntut biasanya  yaitu  KPK, yaitu masalah  Wa Ode Nurhayati 
yang sudah berkekuatan tetap sampai MA. masalah  lain yaitu  masalah  
Djoko Susilo yang dipidana 18 tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. 
Dalam keadaan seperti ini, kewenangan penafsiran oleh hakim sangat 
menentukan. 
Kesembilan, menurut Pasal 2 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan yaitu  satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan 
lain. Penjelasan Pasal 2 ayat (3) menjelaskan, “Kejaksaan yaitu  satu 
dan tidak dapat dipisahkan” yaitu  satu landasan dalam pelaksanaan 
tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata 
kerja kejaksaan. maka , penuntut umum di kejaksaan dan 
di KPK yaitu  satu kesatuan. KPK memang tidak pernah merekrut penuntut umum sendiri di luar yang berasal dari kejaksaan. 
Kesepuluh, mengingat sistem antipencucian uang bertujuan utama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pada biasanya , 
termasuk tindak pidana korupsi, maka sebaiknya penuntutan perkara 
TPPU yang disidik oleh KPK, dilakukan oleh KPK yang menyidik dan 
menuntut perkara korupsi yang melahirkan perkara TPPU ini . 
ini  sejalan dengan tugas KPK yang bertugas dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Penuntutan oleh KPK 
ini akan lebih meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi, sebab  
kalau hanya UU Tindak Pidana Korupsi dipakai, hanya uang yang dinikmati koruptor atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi saja 
yang dapat dirampas untuk negara sebagai uang pengganti (Pasal 18 
UU Tindak Pidana Korupsi). Dalam ini , memang kepastian hukum 
sementara dikorbankan untuk keadilan dan kemanfaatan. Idealnya, 
wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam 
UU seperti UU KPK atau UU TPPU.
Apakah kita puas terhadap kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi? Apakah kita melihat penegakan hukum terhadap korupsi telah 
sesuai asas-asas dan norma hukum pidana yang kita ajarkan dan anut 
sejak lama? Jawaban atas pertanyaan pertama bergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Jika dari sudut pandang ketiga institusi ini , mereka pasti menyatakan cukup puas dan bahkan berhasil. Jika 
yang melihat “the outsider”, mereka tentu menyatakan belum puas dan 
belum berhasil. 
Namun yang penting dalam negara hukum yang demokratis bukan 
puas atau tidak puas, berhasil atau tidak berhasil, melainkan apakah 
pemberantasan korupsi dengan hukum telah sesuai asas dan kaidah 
(norma) hukum pidana yang bersumber pada asas legalitas sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang masih berlaku sampai saat ini (hukum positif). Sejak berlaku perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 
yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, semua elite parpol dan pemerintah serta rakyat setuju bahwa korupsi yaitu  kejahatan luar biasa. sebab  itu, diperlukan cara-cara luar biasa antara 
lain membentuk KPK dengan kewenangan luas dan berbeda dengan 
kepolisian dan kejaksaan. Rumusan tindak pidana korupsi diperluas 
termasuk perbuatan koruptif (sifat melawan hukum) dan merugikan 
negara dijadikan unsur konstitutif tindak pidana korupsi. Apalagi telah 
ada “kick-back” di dalam perbuatan koruptif ini  dan dirumuskan 
dalam kalimat, ”menguntungkan diri sendiri”, juga orang lain atau korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi ini . Ketentuan 
ini ciri khas dan satusatunya di semua sistem hukum di dunia. 
Mengapa demikian luas rumusan hukum ini ? Satu-satunya 
alasan sebab  keluarbiasaan perbuatan korupsi di mana uang yang 
“dirampok” uang negara (APBN/APBD) yang diperuntukkan untuk 
pembangunan bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, kesejahteraan 
250 juta rakyat negara kita . Inti keluarbiasaan tindak pidana korupsi 
dengan rumusan hukum ini  yaitu  bagaimana mengembalikan 
uang rakyat sebesar-besarnya tanpa harus mendahulukan perlu efek 
jera dari hukuman maksimal terhadap pelakunya. 
Sejarah hukuman dan penjara telah membuktikan bahwa tidak 
ada sukses untuk pemberatan ancaman pidana terhadap siapa pun. 
Dengan begitu, dalam kriminologi dikenal siklus recidivism (vicious 
circle). Contoh nyata, betapa pun “ganasnya KPK” menghantam para 
koruptor penyelenggara negara, semakin bertambah koruptor baru 
bahkan potensial koruptor dalam lingkaran penyelenggaraan negara. 
Lalu, bagaimanakah tindakan yang sesuai? Ikuti saja filosofi, tujuan, 
norma-norma UU Tahun 1999/2001 serta terapkan asas-asas penerapan hukum pidana yang baik, bersih, dan berwibawa. Jika aparat penegak hukum dan KPK masih mengakui eksistensi HAM pada setiap warga RI, perlakukan mereka dalam perkara korupsi sesuai dengan 
maksud dan tujuan ketentuan dalam UUD 1945; UU HAM dan UU KUHAP 1981. 
Penulis berharap, keilmuan hukum yang dimiliki setiap pelaku sistem peradilan pidana sebanding dengan integritas, profesionalitas, dan 
akuntabilitas mereka sebab  tiga prinsip ini  telah berada di luar 
jangkauan ilmu hukum. Ilmu hukum tidak mengajarkan ketiga prinsip 
ini  kecuali telah diajarkan hubungan saling pengaruh hukum dan 
kesusilaan yang perlu diperhatikan dalam membingkai perilaku manusia termasuk juga menghukum perilaku manusia yang melanggar 
hukum. Ilmu hukum mengabaikan sejak pendidikan hukum tentang 
masalah moralitas hukum dan moralitas warga  sebab  pengaruh 
aliran Kelsenian, namun ilmu hukum yang telah diajarkan harus sesuai karakter budaya warga nya agar tidak menjadi “alien” dalam 
kehidupan kesehariannya. Karakter budaya (hukum) warga  negara kita  yaitu  sangat memperhatikan kesopanan dan kesusilaan dalam 
bungkusan ajaran agama yang dianutnya sehingga membuat hukum 
dan menerapkan hukum dalam alam negara kita , harusnya mempertimbangkan secara teliti faktor peranan unsur-unsur ini . Pepatah 
negara kita  sejak lama, “menepuk air di dulang tepercik muka sendiri” 
atau “buruk muka cermin dibelah”; yaitu  peringatan agar setiap insan negara kita  pemegang kekuasaan agar berhati-hati dalam berucap, berperilaku, dan bertindak. Begitupula peribahasa “nilai setitik 
rusak susu sebelanga” juga sebaiknya menjadi peringatan agar kita 
berbuat dan berperilaku memperhatikan dan mengingat akibatnya secara kolektif. 
Dalam konteks penegakan “hukum progresif” yang dipandang beberapa ahli hukum, praktisi hukum tertentu dan LSM yaitu  alat yang 
ampuh untuk membuat tekuk lutut khususnya koruptor, tentu akan 
menghasilkan semangat hidup koruptor yang berprinsip, “dibandingkan  
hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah”. Jika pemberantasan korupsi hanya untuk tujuan efek jera, dituntut perlakuan 
hukum yang maksimal yaitu penerapan ancaman penjara seumur hidup atau pidana mati terhadap koruptor sebab  dalam tatanan hukum 
pidana negara kita , tidak diakui pidana mempermalukan. Jika efek jera 
yang diunggulkan, tidak ada salahnya juga ikuti saja cara pemerintah 
Korea Utara di bawah Kim Jong-un terhadap pamannya sendiri yangdidakwa korupsi dan terlibat skandal wanita, yaitu dihukum mati dengan cara diumpankan kepada 120 ekor anjing liar yang selama dua 
hari dua malam habis tubuhnya dilahap anjing-anjing liar ini . 
Bukankah cara seperti itu yang dapat memuaskan rasa keadilan warga  kita sampai hari ini dalam perkara korupsi?
Dalam sambutan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai lembaga yang 
ia pimpin sudah cukup berhasil dalam memerangi korupsi (9/12). Apa 
ukurannya dan apakah keberhasilan KPK seorang diri saja? Dua pertanyaan ini menarik untuk diselisik. Saat ini KPK sudah berumur lebih dari sepuluh tahun dan dipimpin tiga periode kepemimpinan yang 
berbeda. 
Dalam perjalanannya, komisi ini menemui pasang-surut perjuangan pemberantasan korupsi. Ada masa-masa gemilang dan ada pula 
masa-masa kelam, khususnya pada momen terjadinya kriminalisasi 
dua pimpinan mereka: Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.  
Pada saat itu KPK seolah berada pada titik terendah secara kinerja dan 
psikis. Energi mereka tersedot habis dalam melayani pertarungan dengan pihak kepolisian. masalah  yang fenomenal dengan sebutan “Cicak 
versus Buaya” itu menjadi salah satu dokumen sejarah yang tidak dapat dihapus dari perjuangan pemberantasan korupsi di republik ini. 
Di balik persoalan, tentu saja ada pencapaian KPK yang tergolong 
luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Tahun 2013 KPK dianugerahi 
Ramon Magsaysay Award. Selain itu, rekam jejak dalam penanganan 
masalah  juga sempurna. Sepuluh tahun keberadaannya, KPK sudah menangani 385 masalah  korupsi dengan conviction rate 100 persen alias tidak ada satu pun terdakwa masalah  korupsi yang lepas dari jeratan KPK. 
Jika dipilah dari latar belakang pelaku, KPK pun menangani masalah  korupsi dengan aktor dan jabatan publik yang beragam. KPK telah masuk 
ke lorong kejahatan yang “tabu” disentuh penegak hukum lain sebab  
kuatnya intervensi. Sebutlah seperti parlemen, kementerian hingga 
lingkaran penegak hukum itu sendiri.
Dari gambaran ini , jika  dikaitkan antara pernyataan keberhasilan KPK di atas dan hasil akhir yang mereka capai, tentu pernyataan Abraham Samad ini  tepat. Data dan fakta menunjukkan 
capaian lembaga ini . Namun jika  pernyataan ini  dikaitkan dengan proses penanganan masalah  (legal process), tentu banyak perdebatan dan hal-hal yang harus dikritisi terhadap KPK sebelum mem-berikan kesimpulan mereka sudah berhasil atau tidak. Jika dikaitkan 
dengan penanganan masalah , setidaknya ada dua hal utama yang harus 
disoroti. 
Pertama, tingkat penuntasan masalah . Ada banyak masalah  korupsi yang hingga saat ini belum tuntas ditangani KPK. Sebut saja masalah  
BLBI yang semakin mendekati masa kedaluwarsa, masalah  Bank Century 
yang sudah menginjak tahun kelima, masalah  cek perjalanan yang belum 
sampai kepada aktor utama, hingga masalah  pencucian uang oleh M. Nazaruddin yang berjalan lambat. Beberapa masalah  di atas hanya sebagai 
contoh untuk mengingatkan “PR” besar yang sudah cukup lama. KPK 
tentu harus sadar, semakin lama masalah  ditangani oleh mereka tentu 
akan semakin pudar kepercayaan warga . Ini yaitu  tesis umum 
yang berlaku terhadap semua lembaga penegak hukum.
Kedua, problem lemahnya fungsi koordinasi dan supervisi dengan 
penegak hukum lainnya. Dua fungsi ini  sejatinya yaitu  pekerjaan utama bagi KPK. Tugas ini diamanatkan dalam Pasal 6 UU KPK. 
Namun tugas ini masih terkesan sebagai tugas “kelas dua”. Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dari pelimpahan sejumlah perkara yang 
menjerat M. Nazaruddin kepada lembaga penegak hukum lainnya. Dalam ini , KPK bersama penegak hukum lainnya membentuk MoU 
sebagai langkah koordinasi. Pelimpahan ini  didasarkan pada 
pertimbangan KPK tidak mampu menangani masalah  Nazaruddin yang 
tersebar di sejumlah kementerian dan instansi.
Jika dilihat fakta  yang terjadi saat ini, penanganannya justru 
tidak terkontrol di penegak hukum lainnya. Nazaruddin sebagai simpul kejahatan dan otak perusahaan (directing mind) tidak kunjung diperiksa. Kepolisian dan kejaksaan justru seolah bersih-bersih di tepian 
saja dengan menjerat para staf perusahaan M. Nazaruddin. Di titik ini 
KPK kehilangan kontrol dalam mengoordinasikan tindak pidana lain 
yang dilimpahkan kepada penegak hukum lainnya. Secara proses tentu 
ini  harus dikoreksi. 
Harus diingat, sebab  undang-undang mengamanatkan fungsi 
trigger mechanism kepada KPK, maka keberhasilannya diukur sejauh 
mana institusi kepolisian dan kejaksaan berhasil dalam penanganan 
sekaligus bersih dari praktik korupsi. Keberhasilan KPK tidak berdiri 
tunggal, namun  justru dituntut untuk berhasil secara kolektif dengan 
institusi lainnya. 
Maka, untuk menilai KPK sudah berhasil atau tidak dalam pem-berantasan korupsi, harus dilihat utuh dari proses penanganan masalah  
hingga hasil akhir. Untuk dapat dianggap berhasil, keduanya harus 
sinkron. Sementara yang terjadi hari ini masih ada kesenjangan antara 
proses dan hasil akhir. Semoga ini bisa diperbaiki KPK. Faktor lain yang 
sangat menentukan kesuksesan pemberantasan korupsi yaitu  soal 
perbaikan sistem pasca-penindakan. ini  jarang menjadi diskursus, 
namun  sesungguhnya amat penting. 
Jamak kita lihat dan dengar penindakan-penindakan berupa penangkapan atau aksi hukum lainnya yang dilakukan oleh aparatus. Namun sering kali setiap penindakan yang dilakukan tidak diikuti secara 
cepat dengan perbaikan sistem untuk menutup lubang. Analoginya, 
jika ada ban yang bocor tidak langsung ditambal. Kita masih bertanyatanya apa perbaikan yang sudah dan tengah dilakukan terkait business 
process migas pasca tertangkapnya Rudi Rubiandini. Apa pula perbaikan di Korlantas Polri pasca-ditangkapnya Djoko Susilo. Pertanyaan 
yang sama juga muncul atas masalah  lainnya.
Jika dibiarkan, kondisi demikian akan menciptakan reproduksi korupsi, dengan asumsi lahirnya pemain-pemain baru yang menggantikan aktor yang ditangkap oleh penegak hukum tadi. Ibarat peribahasa, 
“patah tumbuh hilang berganti”. Perbaikan sistem ini memang bukan 
tugas penegak hukum secara keseluruhan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah yaitu  pihak yang punya otoritas untuk 
mengatur dan menciptakan hukum.
Dapatkah seseorang menentukan masa depan orang lain? Dapatkah seorang Presiden menentukan masa depan bangsanya? Beberapa 
orang butuh alasan teologis untuk menjawab pertanyaan di atas, namun  
beberapa lainnya melihat masa depan sebagai keniscayaan hidup. Kepercayaan kepada ketetapan Tuhan yang absolut yaitu  alasan teologis kenapa seseorang tak dapat menentukan masa depan orang lain. 
sebab  kepercayaan akan adanya kehendak bebas Tuhan, maka manusia bisa ambil bagian menentukan masa depan.
Dalam konteks inilah, sebagai bangsa kita sepakat membuat begitu 
banyak konsensus untuk begitu banyak kepentingan dalam kehidupan 
ketatanegaraan, kebangsaan, dan kewarga an. Konsensus dibuat 
atas dasar kesamaan pandang dengan mengeliminasi sejauh mungkin 
perbedaan pandang. Kesamaan pandang yaitu  nilai universal yang 
jauh dari egosentrisme, sedangkan perbedaan pandang yaitu  pengejawantahan lain dari egosentrisme.Guna mencapai cita-cita hidup berbangsa bernegara, republik ini 
memilih seorang Presiden. sebab  amanah yang diembannya, seorang 
Presiden tentulah sosok yang istimewa di antara yang sedikit. Di seluruh dunia, jumlah presiden bisa dihitung dengan jari. Mereka representasi Tuhan di pentas kehidupan. Di tangan Presiden, masa depan 
bangsa dipertaruhkan. Jika ia amanah, masa depan bangsa terjaga, namun  jika khianat, masa depan tergadai. Tanggung jawab seorang Presiden sifatnya dunia dan akhirat.
Kekuasaan presiden di negara mana pun, juga negara kita , sifatnya tak terbatas. Ia bisa melakukan apa saja atas nama rakyat: mengeksplorasi kekayaan tambang di bumi negara kita ; menguasai udara, 
samudra, dan lautan luas. Ia pun bisa menjalin hubungan dengan 
bangsa lain  atas nama rakyat, sebagaimana ia bisa memutuskan hubungan diplomatik dengan negara lain atas nama bangsa. Ia berdiri di 
podium PBB atas nama bangsa. Ia berkuasa mengirim pasukan tentara 
perdamaian di luar negeri atas nama bangsa. Ia juga bisa menerjunkan 
pasukan perang untuk menumpas pemberontakan di dalam negeri 
atas nama rakyat. sebab  tanggung jawabnya kepada bangsa, Soekarno pernah menarik keanggotaan negara kita  di PBB. Atas nama bangsa 
pula, Soekarno menggagas Konferensi Asia Afrika. Begitu pula Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan 
Susilo Bambang Yudhoyono.
saat  berkuasa, rakyat belum sempat memberi Soekarno garis 
kebijakan agar dapat mengelola kehidupan bernegara, berbangsa, dan 
berwarga  dengan benar. Rakyat hanya berharap Soekarno memimpin mereka menggapai masa depan. sebab  situasi dan gaya kepemimpinannya, Soekarno nyaris tak bisa dikontrol, sampai akhirnya gerakan politik menjatuhkannya. Soeharto punya cara pandang dan cara 
kelola negara yang berbeda. Ia rapi, detail, namun  koersif dan dingin. 
Di bawah Soeharto, negara kita  membeku. Namun rakyat berharap Soeharto memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Agar 
tidak seperti Soekarno, Soeharto dikontrol dengan Garis-garis Besar 
Haluan Negara (GBHN). sebab  gaya kepemimpinannya yang otoriter, 
Soeharto juga tak terkontrol. Ia berkuasa kurang lebih 32 tahun, melampaui Soekarno. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Soeharto 
pandai mengelabui, mengubah UU sesuai kepentingan kekuasaannya, 
serta menyiasati agar GBHN dapat disusun sesuai ambisinya.
saat  Habibie menggantikannya, Soeharto satu di antara sedikit penguasa senior Asia Tenggara yang tersisa. Habibie yang jago teknologi dan seorang teknokrat hanya memimpin di masa transisi. Rakyat 
belum sepenuhnya percaya Habibie  akan mampu menjadi nakhoda 
kapal pecah menuju pulau harapan masa depan. Rakyat tak mau era 
Soekarno kembali dan traumatis terhadap era Soeharto. Hingga akhirnya Habibie terjatuh, hanya ada dua diktum yang membara di memori 
rakyat: enyahkan Orde Lama dan Orde Baru.
Yang mereka inginkan cuma satu: Orde Reformasi. Orde yang 
mengamanatkan restorasi semua konsensus, termasuk mengamendemen beberapa pasal krusial dalam UUD 1945, sebuah tindakan berbau 
tabu di era Orde Baru. Banyak ayat dan pasal hilang dan dihilangkan 
atas nama tuntutan reformasi. Bahkan, GBHN yang semangatnya untuk mengontrol kekuasaan yang eksesif sekalipun diamendemen, tak 
lagi dijadikan pedoman bagi seorang presiden dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.
Presiden Abdurrahman Wahid yang moralis humanis, Presiden 
Megawati yang politikus proletar, dan Presiden Yudhoyono yang jenderal produk dwifungsi ABRI dan berbau Orde Baru tak bisa berbuat 
banyak. Mereka hanya diberi satu kata: masa depan. Kepada mereka 
tak diberikan GBHN. Mereka diminta berjalan lurus ke depan, jangan 
menoleh ke belakang, bawalah rakyat menuju masa depan. Mereka 
yaitu  representasi pemimpin-pemimpin yang diamanahi banyak hal, 
namun  tak dibekali aturan yang jelas dan mengikat.
Konsekuensinya, mereka bertiga jadi bulan-bulanan. Bahkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur jadi tumbal reformasi. Ia dijatuhkan 
dengan alasan yang hingga kini tidak jelas landasan konstitusionalnya. 
Pemerintahan Megawati dan Yudhoyono juga mengalami problem dalam berbagai hal. Kini, sesudah  dua dekade terombang-ambing dalam 
lautan ketidakpastian, suara-suara yang menginginkan GBHN kembali 
muncul. Mereka berdalih, cukuplah masa depan kita yang tidak tergadai, namun  anak cucu bangsa ini harus tetap memiliki masa depan.
Hanya dalam hitungan hari, kita telah meninggalkan tahun 2013 
untuk menghadapi tahun 2014. Demikianlah keniscayaan hidup. Tidak 
ada masa depan tanpa ada masa lalu. Masa lalu biasa dijadikan oleh 
sebagian di antara kita sebagai kaca bening tempat mengetahui jati 
diri agar dapat melakukan yang lebih baik di masa depan, tapi sebagian lainnya berkutat dengan masa lalu sehingga menampik kedatangan 
masa depan. Beruntung kita sebab  Tuhan menganugerahkan masa depan dengan hitungan hari. Seandainya masa depan datang kepada 
kita dalam hitungan “setahun” utuh, betapa beratnya hidup ini. 
Dengan tidak formalnya mandat Presiden, maka jalannya negeri 
ini membutuhkan banyak pengawasan, antara lain dari kekuatan warga  sipil. Bukankah dalam sejarah terbukti warga  sipil yang 
mampu membangun tonggak-tonggak kehidupan berbangsa dan bernegara? Pancasila, UUD 1945, dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 
yaitu  visi dan produk warga  sipil. 
warga  politik biasanya hanya pengambil manfaat dari gerakan yang dimulai warga  sipil, seperti terlihat dari gerakan Reformasi 1998 yang awalnya dimulai warga  sipil. Sejarah negara kita  
juga melahirkan banyak tokoh yang menjadi mercusuar warga  
sipil. Kebesaran Presiden Abdurrahman Wahid yang bergema sampai 
sekarang lebih yaitu  buah kiprahnya di warga  sipil, bukan 
warga  politik.
Gerakan warga  sipil memiliki dua ciri, yaitu kesukarelaan dan 
tak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan politik. Indische 
Partij yang berdiri Desember 1912 sebagai partai politik pertama di 
Hindia Belanda, esensi sebenarnya yaitu  gerakan warga  sipil. 
Perserikatan Nasional negara kita  yang didirikan Soekarno pada 4 Juli 
1927, dan lalu  menjadi Partai Nasional negara kita , juga lebih pas 
sebagai gerakan warga  sipil.
Kondisi sebaliknya terjadi saat ini. Sejumlah organisasi massa yang 
menyatakan diri gerakan warga  sipil sebenarnya lebih menunjukkan ciri gerakan warga  politik, bahkan menjadi bagian dari 
parpol. ini  terjadi sebab  kuatnya intensitas politik ormas ini . 
Dugaan munculnya kekuatan uang dalam pemilihan pimpinan beberapa ormas menjadi tanda lain matinya aspek kesukarelaan gerakan 
warga  sipil, digantikan dengan kepentingan. Jadi, jika pada awal 
berdirinya Republik negara kita  banyak parpol yang esensinya warga  sipil, sekarang ada banyak organisasi massa namun  esensinya gerakan warga  politik.
Erosi gerakan warga  sipil menjadi warga  politik menjadi kerugian dan kejatuhan terbesar warga  sipil sesudah  era Orde 
Baru. Gerakan warga  sipil, yang awalnya yaitu  lokomotif 
perubahan politik, pelan-pelan mengalami pembusukan sebab  pudarnya aspek kesukarelaan dan kuatnya motif terhadap kekuasaan. 
Kapitalisasi dunia pendidikan menjadi salah satu sebab mundurnyagerakan warga  sipil. Cirinya, perguruan tinggi menerima ribuan 
mahasiswa dalam satu angkatan. Uang membanjir masuk ke universitas dengan biaya kuliah tiap semester mencapai belasan juta rupiah. 
Kondisi itu membuat suara kritis mahasiswa sebagai bagian dari sikap 
kritis warga  makin jarang terdengar. Kampus cenderung diisi mahasiswa dari kelompok ekonomi menengah atas yang biasanya  tak 
melihat ada masalah dalam hidupnya.
Keadaan diperparah kedangkalan dan etos manajerial yang tak 
memberi  tempat terhadap hal-hal bersifat filosofis. Akibatnya, 
proses bukan yang utama. Kurikulum mendorong kompetensi dengan 
menghilangkan dimensi integritas. Intinya, mahasiswa hanya didorong secepat mungkin menyelesaikan kuliah. Transformasi demokrasi 
negara kita  yang mengandung anomali ikut memicu erosi gerakan warga  sipil. Biasanya, liberalisasi ekonomi diiringi menyempitnya 
peran negara hingga kebebasan pasar terbuka lebih lebar. Namun hal 
itu tak terjadi di negara kita .
Pembentukan sejumlah komisi negara independen era reformasi 
membuat sejumlah pegiat gerakan warga  sipil masuk di dalamnya dan sekaligus menjadikan beban dan cakupan negara meluas. Halhal yang sebelumnya yaitu  lahan warga  sipil diambil alih 
negara. Fenomena ini antara lain terjadi dalam pengelolaan zakat yang 
sebelumnya menjadi urusan warga . Saat ini sedang dibuat undang-undang tentang zakat dan Kementerian Agama menjadi pengelolanya. Pemilihan komisioner komisi negara biasanya  juga dilakukan berdasar  aplikasi. Ini membuat pegiat gerakan warga  sipil 
yang masuk di dalamnya sejak awal diposisikan di bawah kekuatan politik. Mereka yang terpilih juga belum tentu calon terbaik. Idealnya, komisioner komisi negara dipilih berdasar  nominasi, bukan aplikasi. 
Negara seharusnya memberdayakan melalui kebijakan negara. 
Untuk mengembangkan gerakan warga  sipil di Australia, misalnya, perusahaan yang menyumbang gerakan warga  sipil mendapat insentif pengurangan pajak. Pemberdayaan gerakan warga  sipil dibutuhkan sebab  akan berfungsi sebagai katup pengaman saat  
negara tidak dapat maksimal menjalani perannya. Masalahnya, yang 
dikerjakan negara cenderung bukan pemberdayaan. Lalu, siapa yang 
jadi katup pengaman negara? 
Oleh sebab itu, KPK sebagai agen utama pemberantasan korupsi 
tentu harus memulai untuk menutup lubang sekaligus merekomen-dasikan perubahan kepada pengambil kebijakan agar pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan masuk kepada level “berhasil”. 
Catatan di atas yaitu  kritik terhadap KPK agar tidak cepat puas 
diri dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan 
selama ini.









Pembahasan mengenai peradilan informal akan dikaitkan dengan 
akses terhadap keadilan. Sebelum tahun 70-an sebagian besar definisi 
akses terhadap keadilan merujuk kepada model akses terhadap pengadilan-pengadilan negara yang diperoleh melalui bantuan hukum. 
Sampai saat ini, sebagian besar penelitian dalam isu akses terhadap 
keadilan juga masih membahas mengenai topik ini . Namun kedudukan utama pengadilan negara sebagai satu-satunya sarana “untuk memperoleh keadilan” tidak didukung oleh fakta-fakta empiris. 
Dalam beberapa kajian juga telah dinyatakan bahwa keadilan tidak hanya diperoleh melalui lembaga-lembaga negara dan pengacara bukan 
yaitu  satu-satunya akses terhadap sistem ini . Jadi, secara 
implisit, gagasan bahwa keadilan yaitu  sesuatu yang diperoleh 
melalui pengadilan-pengadilan (negara) terlihat dengan jelas dalam 
pemikiran beberapa penulis seperti yang tercermin dalam kutipan di 
atas. Sehingga mereka tidak merasa perlu untuk membuat sebuah definisi yang jelas mengenai konsep keadilan.
Akses terhadap keadilan memiliki fungsi untuk menggarisbawahi 
dua tujuan dasar dari sistem hukum yang diakses oleh warga  untuk mempertahankan haknya dan/atau menyelesaikan sengketa di bawah supervisi umum negara. Pertama, sistem hukum harus dapat diakses secara seimbang oleh setiap orang. Kedua, sistem hukum ini  harus mengarah kepada hasil yang adil, baik untuk individu maupun 
warga .
maka , sistem hukum tidak hanya terdiri dari peradilan semata. Dalam konteks di negara berkembang seperti negara kita , 
menjadi wajar untuk mengikuti alur berpikir semacam itu. Alasan utamanya sebab  berbagai pengadilan dan lembaga negara dalam proses 
penanganan sengketa tidak memiliki peran sepenting institusi serupa 
di negara-negara tempat asal konsep akses terhadap keadilan.
Pada biasanya , literatur hukum dan sosio-legal yang membahas 
mengenai hukum di negara kita  memberi  perhatian yang besar pada 
berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa (yang tidak disediakan oleh negara). Banyak penulis telah menunjukkan bahwa kedua 
(atau lebih) mekanisme penyelesaian sengketa itu saling bertentangan 
(lihat: Benda-Beckmann 1984). Demikian pula yang digambarkan dalam laporan penelitian Bank Dunia (2008) ‘Forging the Middle Ground’, 
banyak dari mereka yang terlibat pada masalah -masalah  yang ada di dalam 
laporan ini lebih memilih untuk memakai  mekanisme alternatif 
(non-official mechanism) dibandingkan  mekanisme yang secara formal memang diperuntukkan untuk tujuan ini .
Namun siapa pun tidak boleh meremehkan arti penting negara dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa atau pertahanan hak. Sebagian besar literatur menunjukkan bahwa kita akan menemukan berbagai 
bentuk hibrida, dibandingkan  melakukan pendikotomian aktor negara dan 
non-negara yang berada secara pararel. Misalnya, pengadilan negara 
dapat mengakui yurisdiksi pengadilan adat secara efektif, meskipun 
jika ini  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan 
doktrin hukum.
Kondisi yang lebih umum ditemukan yaitu  aparat pemerintah 
memiliki peranan yang penting dalam menangani keluhan dari warga 
negaranya. Misalnya: kepala desa, camat dan bupati, polisi atau aparat dari instansi pemerintah tertentu, mungkin terlibat dalam berbagai 
bentuk mediasi atau dalam menerima dan memproses keberatan. Penting untuk diperhatikan bahwa langkah formal untuk mendapatkan 
keadilan melalui pengadilan tidak selalu diikuti, dan maka  
mereka akan memakai  berbagai bentuk penyelesaian dan (hukum) hibrida. Pada dasarnya, ini  menjadi alasan yang cukup untuk 
memakai  definisi akses terhadap keadilan yang luas, setidaknya 
jika peneliti memang berniat untuk menangkap keseluruhan mekanis-me penanganan keluhan warga negara. 
Akses terhadap keadilan yaitu  kemampuan seseorang [atau warga ] untuk mencari dan mendapatkan solusi melalui lembaga 
keadilan formal atau informal, dan selaras dengan nilai-nilai hak asasi 
manusia. Istilah “pertahanan hak” atau “penyelesaian sengketa” diganti dengan istilah yang lebih jelas, yaitu “pemulihan”. Dan akhirnya tujuan penyelesaian yang “dianggap adil oleh individu dan warga ”
diubah ke dalam konsep yang lebih abstrak, yaitu “hak asasi manusia”. 
Meskipun definisi akses terhadap keadilan ini  dapat dikatakan 
elegan, definisi itu memicu  beberapa pertanyaan. 
Ide mengenai pemulihan membutuhkan beberapa pertimbangan. 
Dalam definisi yang lebih sempit mengenai akses terhadap keadilan, 
pilihan memakai  pengadilan sebagai sarana utama untuk mendapatkan keadilan mengandaikan bahwa pemulihan hanya dapat diperoleh melalui putusan pengadilan yang yaitu  hasil akhir dari 
proses pencarian keadilan. Dan, jika pengadilan bukan yaitu  
satu-satunya objek penelitian akses terhadap keadilan, maka kita juga 
harus menelusuri berbagai bentuk pemulihan lainnya. Misalnya: kesepakatan proses mediasi, perintah polisi, keputusan dewan kelurahan, 
dan sebagainya. maka , “lembaga keadilan” tidak hanya 
merujuk kepada lembaga yang khusus bertugas untuk menyelesaikan 
sengketa, namun  juga merujuk kepada semua lembaga yang menyediakan pemulihan.
Sistem peradilan informal telah menyita banyak perhatian dalam 
kajian hukum akhir-akhir ini. Fungsi dan pengakuan terhadapnya oleh 
hukum resmi negara menjadi isu utama dalam wacana hukum konstitusional. Gagasan lembaga peradilan meliputi berbagai fenomena 
di warga . Sistem peradilan informal menyangkut berbagai forum 
untuk menyelesaikan sengketa atau untuk mencapai keputusan kolektif, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan praksis sosial yang berbeda dari kebijakan resmi negara.104
Sistem peradilan informal berwatak “non-negara” dalam arti berhubungan dengan mekanisme normatif non-negara. Dalam sebagian 
besar masalah , lembaga dalam sistem peradilan informal yaitu  bagian dari kelembagaan historis. Mereka dapat bertahan dalam mengha-dapi hukum negara, sebab  (i) mereka berurusan dengan subjek tanpa 
kepentingan umum dan secara historis, self-governance sering terjadi 
akibat ketidakpedulian hukum negara, atau (ii) negara mungkin terlalu 
lemah untuk menekan atau (iii) diakui oleh negara dan diintegrasikan 
ke dalam sistem pemerintahan negara. Lembaga peradilan non-negara 
juga mungkin dikemas sebagai organ negara yang “bergaya tradisional” untuk alasan legitimasi.105 Lembaga peradilan non-negara dapat 
diwajibkan untuk mematuhi hukum negara dan mereka bahkan dapat 
secara resmi dimasukkan ke dalam sistem pengadilan. namun  jika hukum secara resmi mengakui dan menggabungkan mereka, lembagalembaga ini bersifat otonom dibandingkan lembaga negara resmi dan 
dianggap sebagai “non-negara”.
Untuk menjelaskan popularitas dan fungsi lembaga peradilan 
informal kebanyakan literatur dengan suara bulat menunjuk kepada kebutuhan praktis penduduk di perdesaan. Mereka lebih memilih 
struktur tradisional dan tidak membawa masalah  ke pengadilan negara. 
warga ini memiliki akses yang lebih baik ke pengadilan nonnegara: prosedur setempat yang bersifat langsung, terjangkau dari segi 
biaya, dan permusyawaratan menjadi prosedur baku. Pengadilan dijalankan oleh warga lokal dan tiap-tiap orang dapat menghadap 
dalam bahasa setempat. Dan, keputusan dibuat sesuai dengan hukum 
yang telah menjadi tradisi. Prosedur non-state biasanya bertujuan untuk mengembalikan harmoni sosial yang tidak seimbang oleh konflik, 
dan tidak untuk menegakkan aturan hukum abstrak.106 Proses bersifat 
tidak membebani, tapi berorientasi kepada keadilan sesuai dengan 
konsensus normatif lokal. Lembaga peradilan memungkinkan untuk 
menyediakan “akses terhadap keadilan” baik dalam arti bahasa maupun pengetahuan tentang hukum yang berlaku sehingga berkontribusi 
penegakan hukum. Selanjutnya, sebab  kapasitas negara yang buruk 
dan kurangnya infrastruktur pengadilan, peradilan informal acap kali 
menjadi sandaran banyak orang. Di Afrika Selatan pada tahun 2000, 
misalnya, sebanyak 3.000 pengadilan baru akan diperlukan untuk menyediakan akses ke peradilan negara secara memadai dibandingkan 
dengan pengadilan adat.
Namun, alasan semakin besar perhatian terhadap sistem peradil-an informal di bidang hukum dan pembangunan akhir-akhir ini melampaui kenyamanan praktis. Dua perkembangan paralel harus dipertimbangkan.
Pertama, transfer peradilan gaya Barat di negara pascakonflik telah gagal.107 sesudah  20 tahun dihabiskan miliaran dollar untuk membangun dan mempromosikan Rule of Law, namun hasilnya masih 
tampak sedikit. Studi terbaru menunjukkan bahwa dalam banyak masalah , pengadilan dan hukum yang baru tidak bertemu dengan penerimaan yang diperlukan. Terutama di daerah perdesaan di mana berlaku 
secara ketat tradisi-tradisi komunitas. Sejumlah kajian menyebutkan 
bahwa sebanyak 80% perkara dapat ditangani oleh lembaga peradilan 
non-negara.108
Kedua, dalam menanggapi ini  “kesenjangan yang tidak terselesaikan” ini, hukum dan pembangunan baru-baru ini telah difokuskan 
pada penguatan lembaga peradilan tradisional. Aturan hukum tidak 
lagi dilihat hanya sebagai visi eksklusif dari negara hukum gaya Barat 
modem