Home » peradilan di indonesia 2 » peradilan di indonesia 2
Rabu, 13 September 2023
Kalau diingat bahwa demokrasi yaitu sistem politik yang tujuan
akhirnya yaitu mempertahankan martabat manusia, sedangkan martabat manusia direalisasikan dalam perwujudan hak-hak politik dan
hak-hak sipil, sebagai konkretisasi hak-hak asasi manusia, maka dapat
ditegaskan bahwa demokrasi yang berhasil akan lebih memungkinkan
terjaganya hak-hak asasi itu, sebab terjaminnya hak-hak itu bentuk
konkret penghormatan kepada martabat manusia yang dibela dalam
setiap demokrasi.
Asimetrinya terletak di sini, bahwa sekalipun tegaknya hukum tidak dengan sendirinya memperkuat demokrasi, namun perkembangan
demokrasi yang matang dapat memperkuat rule of law, sejauh sistem hukum itu mengakui hak-hak asasi manusia. Dimasukkannya hak-hak
asasi dalam sistem hukum suatu negara akan memberi nuansa demokrasi yang kuat kepada penegakan hukum, sebab hak-hak yaitu
masalah hukum, namun sifat asasi hak-hak itu yaitu persoalan demokrasi, yang memberi watak universal kepada hak-hak ini , sebagai realisasi dan jaminan bagi martabat manusia.
Namun terlepas dari diskusi di atas, kita sebaiknya memberi
perhatian kepada masalah lain yang sangat mungkin dihadapi negara kita pada hari-hari ini dan hari-hari mendatang. fakta yang ada sekarang ialah bahwa pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan rakyat semakin terancam oleh praktik korupsi yang meluas dan semakin
meningkat besarannya. Kegagalan suatu pemerintahan demokratis untuk mengurangi dan bahkan menghentikan sama sekali praktik-praktik
korupsi dapat memicu keraguan di kalangan orang banyak tentang dua hal. Pertama, apakah ada sistem lain yang lebih efektif mengakhiri korupsi? Kedua, apa yang terjadi kalau sistem yang lebih efektif
itu bukan sistem yang demokratis, namun sistem yang otoriter?
Untuk negara kita saat ini kedua pertanyaan ini bukanlah masalah teoretis dalam debat akademis, melainkan masalah politik yang
sangat mungkin harus dihadapi sebagai pilihan politik, kalau pemerintahan yang demokratis tidak memiliki kekuatan dan determinasi
cukup untuk mengakhiri praktik korupsi yang merugikan negara dan
menghambat kesejahteraan rakyat, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Korupsi yang terlalu meluas dapat dianggap memicu krisis politik, sedangkan krisis politik hanya dapat diatasi dengan suatu tindakan
darurat yang tegas. Tentu saja diharapkan bahwa tindakan mengatasi
keadaan darurat itu tidak memakai cara-cara otoriter, yang biasanya dijustifikasi sebagai langkah yang bersifat sementara. negara kita sudah terlalu berpengalaman dengan pembenaran seperti itu. Munculnya
Presiden Soeharto ke atas panggung nasional juga akibat krisis politik,
dan tindakan-tindakan yang nondemokratis juga pernah ditoleransi sebagai langkah sementara mengakhiri krisis. namun setiap tindakan
darurat yang bersifat otoriter hampir tak mungkin menentukan sendiri,
sampai kapan tindakan-tindakan darurat itu perlu dipertahankan dan
kapan pula sifat darurat dari tindakan-tindakan yang otoriter itu harus
berakhir. Setiap kepemimpinan darurat yang cenderung otoriter selalu
tergoda untuk melestarikan dirinya dalam sistem politik.Sampai tingkat tertentu pemberantasan korupsi dan usaha menghentikan pelanggaran hak-hak asasi akan menjadi batu ujian bagi legitimasi demokrasi sendiri. sebab , seandainya sistem demokrasi di
negara kita , yang telah direbut kembali melalui reformasi politik 1998
gagal mengakhiri korupsi secara tuntas, dan gagal juga mencegah pelanggaran hak-hak asasi, maka kegagalan ini akan mengundang masuk sistem yang lebih otoriter, yang memberi janji menegakkan pemerintahan yang bersih, sekalipun dengan mengabaikan prinsip-prinsip
demokrasi dan barangkali juga dengan mengorbankan hak-hak asasi
manusia.
Merujuk pertimbangan majelis hakim kasasi, bentuk pengingkaran nyata amanat konstitusi dapat dilacak dari tindakan aktif Angie
meminta fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari
nilai proyek. lalu disepakati, fee ini menjadi 5 persen yang harus
sudah diberikan 50 persen saat pembahasan anggaran dan 50 persen
(sisanya) saat DIPA turun. Secara sederhana, jelas Angie melakukan
usaha sistemastis dan terencana menggeser tujuan agung UUD 1945
menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi keuntungan pribadi/golongan.
Bagi kalangan hakim sendiri, putusan kasasi Angie memberi
pesan teramat jelas: dalam memutus masalah yang merugikan keuangan
negara, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan. Dalam putusan
ini, hakim kasasi menegaskan bahwa pengadilan tingkat pertama dan
banding terkesan enggan menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti dengan alasan uang yang diterima Angie berasal dari swasta dan
bukan dari keuangan negara. Pada batas-batas tertentu, putusan ini
harus dibaca sebagai kritik terbuka hakim kasasi terhadap hakim pengadilan negeri dan pengadilan banding yang gagal memaknai secara tepat ketentuan Pasal 17 dan 18 UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2002.
Boleh jadi, cara berpikir seperti itu pula yang mendorong sebagian
besar hakim di semua jenjang peradilan gagal menjatuhkan hukuman
berat dan pidana tambahan bagi pelaku korupsi. Sejauh ini, putusan
pengadilan terhadap pelaku korupsi hanya berada pada kisaran 3 tahun 6 bulan penjara. Untuk sebuah kejahatan yang berpotensi menghancurkan perekonomian dan masa depan, kisaran hukuman yang terbilang ringan ini terasa hambar dan nyaris kehilangan pesan di tengah
ancaman korupsi yang mendera negeri ini.
sebab itu, banyak kalangan berharap putusan kasasi Angie mam-pu mengubah cara pandang hakim dalam memutus masalah korupsi.
Di antara cara pandang yang didorong yaitu memberi hukuman
maksimal dengan maksud memberi efek jera. Tidak hanya sekadar
mendorong, saat korupsi dianggap sebagai kejahatan serius, secara
yuridis, UU No. 31/1999 memberi ruang untuk menjatuhkan pidana maksimal. Bahkan, terlepas dari kontroversi hukuman mati, sebagai
bagian dari desain penjeraan, UU No. 31/1999 memberi ruang untuk
menjatuhkan hukuman mati.
Namun yang paling mendasar, putusan kasasi Angie tidak hanya
mendorong untuk menjatuhkan pidana maksimal, namun juga mendorong untuk memiskinkan koruptor. Terkait dengan ini , dalam “Memiskinkan Koruptor” dikemukakan bahwa menilik kecenderungan
yang ada, salah satu motivasi orang melakukan korupsi yaitu sebab
mereka takut hidup miskin. Bahkan, bagi seorang politisi, melakukan
korupsi menjadi salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan.
Dengan pilihan memiskinkan, koruptor harus siap menghadapi risiko
paling buruk dan sekaligus kehilangan otoritas politik secara mengenaskan.
Melacak semangat ini, putusan kasasi Angie dapat dikatakan sebagai langkah berani hakim melakukan kombinasi antara pidana berat
(maksimal) dan pilihan memiskinkan koruptor. sebab itu, hakim di
semua tingkat peradilan harus mampu membaca secara tepat pesan
di balik putusan kasasi Angie. Bahkan, untuk dapat menjadi momok
yang menakutkan, kombinasi hukuman kasasi Angie masih mungkin
ditambah dengan mencabut beberapa hak terpidana korupsi, seperti
hak untuk mendapatkan remisi. Di atas itu semua, yang jauh lebih penting, kombinasi pidana maksimal dan pilihan memiskinkan koruptor
tak boleh berhenti hanya sampai putusan kasasi Angie. Putusan serupa harus jadi semangat baru untuk menghentikan laju praktik korupsi
yang kian masif. Apalagi, di depan kita, banyak masalah korupsi dilakukan
penyelenggara negara yang menunggu bukti lebih lanjut untuk menularkan pesan di balik putusan kasasi Angie.
Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar awal Oktober 2013 yang lampau bak tsunami raksasa yang melanda bangsa. Semua perasaan terguncang, pikiran mengambang, dan hati nurani
tercincang sebab semua di luar ruang akal sehat. Seakan mesin waktu
membeku, logika serba terbalik, dan akal sehat sungsang. Betapa tidak,
ketua MK—sebagai satu lembaga hukum tertinggi di negeri ini—justru
ditangkap sebab dugaan korupsi.
Skandal Akil juga menjadi cerita sukses KPK dalam mengendus
praktik suap penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah di MK.
Artinya saat Akil tertangkap, tidak ada lagi lembaga negara yang bebas dari “sentuhan” KPK. Bahkan, penangkapan Akil dapat dikatakan
capaian terbesar KPK mengendus perilaku menyimpang penyelenggara negara dengan posisi paling tinggi. Padahal, sebelum tertangkapnya
Akil, sebagian pihak berpandangan bahwa sulit bagi KPK untuk “menyentuh” MK. Alasannya cukup mendasar, MK selalu membentengi
KPK atas semua usaha dan langkah hukum yang hendak berusaha mengerdilkan dan menghancurkan lembaga yang diberi kuasa extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini.
Buktinya, selain menolak pengujian konstitusional sejumlah undang-undang di ranah pemberantasan korupsi, MK pun berperan cukup signifikan membantu KPK keluar dari ancaman kriminalisasi atas
pimpinan KPK Bibit-Chandra. Bahkan, masa jabatan Busyro Muqoddas pun bisa diselamatkan menjadi 4 tahun tak terlepas dari peran MK.
Namun bagi KPK, penegakan hukum pemberantasan korupsi bukan
persoalan balas budi. Sekalipun MK yaitu salah satu benteng
dari segala macam bentuk perlawanan terhadap agenda pemberantasan korupsi, praktik korupsi harus dimusnahkan.
Apalagi jika praktik ini dilakukan oleh individu yang berpotensi menghancurkan institusi. Bahkan, dalam soal ini, posisi sesama
produk reformasi pun tidak mampu menghentikan langkah KPK dalam
bertindak tegas terhadap berkembangnya kanker ganas bernama korupsi. sebab itu, usaha KPK menguak praktik suap yang dilakukan Akil
menjadi cerita sukses dengan nilai tersendiri. Cerita sukses penangkapan Akil menjadi kian bermakna sebab mampu bergerak ke salah
satu episentrum indikasi korupsi pemerintahan daerah.
Namun peristiwa itu juga berbalut kesedihan, sebab menyangkut
kewibaan hukum dan penegakan hukum. Alih-alih menegakkan hukum dan mencari kebenaran, aparat penegak hukum ini justru meruntuhkan kewibawaan hukum, menyubversi kekuasaan hukum, merusak
citra lembaga hukum, dan menghancurkan pilar demokrasi sendiri. Aparat korup ini yaitu “parasit”, yang merusak pilar-pilar demokrasi
dari dalam. Ia merusak citra luhur hukum—kebaikan, kebenaran, keadilan, kemuliaan, kewibawaan— dengan menunjukkan tindak animalitas: nafsu rendah, keserakahan, dan kebiadaban.
Aparat korup ini bak “parasit”, yang “mengisap” dan merusak lembaga di mana ia hidup. Ia tak hanya mengambil materi (uang, barang,
mobil mewah), namun “mengisap” simbol-simbol abstrak lembaganya:
citra, konotasi, nilai, makna. Dirusak oleh aparat korup ini, lembaga
hukum tertinggi ini terancam kehilangan legitimasi sebab tak lagi dihormati dan dipercaya. Bahkan, efeknya meluas ke seluruh lembaga
hukum, yang dicurigai telah ditumpangi aneka “parasit hukum”—law
of the parasite.
saat aparat penegak hukum melakukan tindak kejahatan (korupsi) di lembaganya, ia melakukan dua kejahatan “parasit” sekaligus. Pertama, ia memperkaya diri dengan “mengisap” uang negara
memanfaatkan lembaganya. Kedua, ia merusak citra lembaga sendiri,
dengan menyubversi nilai-nilai luhurnya: kebenaran, kejujuran, keadilan. Ia yaitu benalu, kutu, tuma, kuman, lintah, kecoak, tikus bagi
lembaganya sendiri. Tidak mengherankan jika koruptor dianalogikan
sebagai “tikus”.
Aparat parasit tak membangun relasi timbal-balik dan saling
menguntungkan (symbiotic mutualism) dengan lembaganya, namun relasi asimetris satu arah: ia mengambil semuanya dan tak memberi apa
pun. Berapa banyak lembaga “memberi” mereka (gaji tinggi, fasilitas
mewah, jaminan), tapi mereka tak memberi apa-apa kepada lembaganya, malah merusaknya. Mereka malah mengisap, mencuri, mengambil, merampok dari atau atas nama lembaganya (host) “Paratisisme
hukum” (parasitism of law) ialah “cara kehidupan dunia hukum”, di
mana bekerja model parasit, yaitu segala aktivitas mengisap, menguras, memindahkan, menyedot, meraup, menyuling, mengeringkan,
menyarikan, mencuri dan merampok “apa pun dari apa pun” dalam
lembaga: makanan, uang, barang, energi, kekuasaan, pikiran.
Para aparat korup selalu bekerja melalui model relasi parasit satu
arah (semiconduction), asimetri, tak-seimbang, timpang, neraca berat
sebelah. Korupsi yaitu simtom ketakadilan absolut (absolute injustice), yaitu ketakadilan yang tak tersisa sedikit pun keadilan di dalamnya.
Di sini, konsep-konsep etis tak relevan: hak/kewajiban, jasa/imbalan,
kebebasan/aturan. Tak pernah ada “aturan”, “konvensi”, atau “kontrak sosial” (social contract) di antara parasit dan host, antara para koruptor
dan lembaganya.
Parasit hukum ini “berani” melakukan tindak melawan hukum—
termasuk korupsi—sebab ia “merasa” berada dalam “keadaan eksepsi” (state of exception), yaitu keadaan anomi, fragmentasi, dan
tumpang-tindihnya kekuatan lembaga-lembaga hukum, di mana
norma-norma hukum berlaku, tapi tak bisa diterapkan untuk otoritasotoritas tertentu sebab tak memiliki kekuatan (force). “Perasaan eksepsi” ini mungkin yang ada di benak Akil Mochtar, padahal hukum
tak pandang bulu, tak pandang kekuasaan dan otoritas. sebab itu,
aparat korup ini hidup di “ruang antara”, “daerah abu-abu” atau “median”. Inilah makna kata depan “para” dari istilah parasit, yaitu antara
kiri dan kanan, benar dan salah, baik dan buruk—sebuah fluktuasi. Di
ruang fluktuasi inilah aparat korup melakukan tindakan “kebaikan”
dan “kejahatan” sekaligus: memutuskan perkara sambil merusaknya,
membangun lembaga sambil menghancurkannya, menegakkan hukum sambil melumpuhkannya.
Berbeda dengan rakyat biasa, tindak kejahatan (korupsi) aparat
hukum memiliki efek ganda, bahkan “efek berlipat ganda” (multiplying
effects) sebab mereka bagian “aparatus hukum” dalam “rezim kebenaran”, dengan segala norma, konsensus, dan kontrak sosial di dalamnya. jika aparat hukum melakukan tindak melawan hukum (korupsi), efek kerusakannya total: merusak diri sendiri (parasit), lembaga
hukum (host), dan arsitektur demokrasi. Untuk itulah, aparat korup ini
layak dicap “pengkhianat bangsa”.
Aparat-aparat korup ialah bagian “aparatus hukum”, yang memiliki fungsi utama menegakkan hukum demi kebenaran. Ironisnya,
alih-alih menegakkan hukum demi kebenaran, mereka justru merusak
arsitektur hukum demi kekayaan. Padahal, sebagai bagian aparatus,
aparat hukum punya tugas menghimpun, mengarahkan, mendeterminasi, memodelkan, mengendalikan atau memelihara tindakan, perilaku, opini, atau wacana publik menuju kebenaran.
Ketimbang berperan mencegah, menghambat, atau menghilangkan tindak kejahatan (korupsi), mereka malah memelihara dan menguatkan mental korupsi. Misalnya, sistem aparatus penjara selama ini
cenderung “memelihara” mental jahat ketimbang menghilangkannya.
Oknum-oknum di nyaris semua lembaga hukum—sipir, pengawas, polisi, penyidik, jaksa, hakim, hakim agung—yaitu aparatus pendorong tindak kejahatan (korupsi). Bukankah—selain menegakkan hukum
dan mencari kebenaran—fungsi lembaga hukum yaitu juga menciptakan kepatuhan, disiplin, dan ketertiban publik? saat norma hukum
tak mampu mengubah pikiran jahat, lembaga pengadilan tak dapat
menghasilkan kebenaran, penjara tak kuasa menghasilkan “efek jera”,
artinya hukum tak memiliki “efek” apa pun. Hukuman, pelatihan, koreksi, pendidikan nyatanya tak mampu menghasilkan “tubuh yang patuh” (docile body) sebab aparat yang menghukum dan terhukum sama
jahatnya.
Bangsa ini tengah menghadapi kerusakan parah “aparatus hukum”, yang mengancam arsitektur hukum demokratis dan Rechsstaat.
Rezim demokrasi diisi aparat korup, yang bekerja di dalam aparatusaparatus yang rusak sehingga nyaris tak mungkin menghasilkan keputusan adil dan benar jika tak ada reformasi total hukum. Aparatus
hukum (seperti MK) yang mestinya menguatkan dan memberdayakan
justru melemahkan dan melumpuhkan kekuatan dan otoritas hukum.
Aparatus hukum beserta simbol-simbol negara yang sakral—yang
meliputi UU, aturan hukum, gedung pengadilan, jaksa, hakim, hakim
agung, penjara, seragam jaksa, toga hakim, meja pengadilan—kini kehilangan kekuatan sakralnya akibat ulah aparat hukum itu sendiri. Mereka mendegradasi simbol-simbol negara sampai titik nadir terendah
sebab alih-alih menampilkan wibawa dan kemuliaan hukum melalui
keputusan adil, mereka justru memberi teladan tindak kejahatan.
masalah yang menimpa otoritas kepabeanan tampaknya juga serupa
dengan kemunculan parasit dalam diri otoritas penegak hukum. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam beberapa waktu terakhir menjadi
sorotan publik yang luar biasa. Ini terutama terjadi sesudah kepolisian
pada 29 Oktober lalu menangkap Heru Sulastyono, Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Heru diduga menerima
suap Rp 11,4 miliar dari seorang pengusaha. Tak hanya dugaan suap,
di dalam rekening bank milik Heru juga ditemukan transaksi mencurigakan hingga Rp 60 miliar.
Heboh soal praktik suap di lingkungan Bea dan Cukai bukan yang
pertama kali. Lima tahun lalu, tepatnya pada 30 Mei 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan inspeksi mendadak di Kantor
Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok. Dari hasil inspeksi itu,
KPK menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Selain melibatkan pegawai Bea dan Cukai, suap juga melibatkan pihak ketiga: satuan pengamanan bahkan petugas kebersihan. Tempat transaksi tak hanya di bawah meja, namun juga
di mobil, tempat parkir, dan toilet.
Masih munculnya skandal suap di jajaran Bea dan Cukai sungguh
memprihatinkan. Padahal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masuk
dalam agenda reformasi birokrasi internal yang dicanangkan di lingkungan Kementerian Keuangan sejak 2007. Anggaran untuk program
reformasi birokrasi juga sangat fantastis: Rp 4,3 triliun. Anggaran reformasi birokrasi itu dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kerja dan
pemberian remunerasi (tunjangan kerja) kepada pejabat dan pegawai.
Dengan adanya peningkatan gaji dan tunjangan yang diterima, para
pegawai Kemkeu diharapkan tak menyalahgunakan wewenang. Pemberian tunjangan ini tercatat dilakukan sejak 1 Juli 2007 dalam bentuk
tunjangan khusus pembinaan keuangan negara.
Bea dan Cukai yaitu sebuah lembaga penting: tak hanya bagi penerimaan negara, namun juga dalam perdagangan internasional. Peran
lembaga kepabeanan ini salah satunya yaitu fasilitator perdagangan.
sebab peran yang begitu penting, maka dalam penerapannya, Bea
dan Cukai wajib memberi pelayanan yang melingkupi hemat waktu,
hemat biaya, aman, dan mudah. Empat layanan itu menjadi bagian integral dari sistem dan prosedur kepabeanan. Namun praktik korupsi
yang terjadi di instansi ini dapat memicu pelayanannya menjadi buang-buang waktu, biaya mahal, tidak aman, dan sulit. Tertangkapnya pejabat di Bea dan Cukai juga memperkuat penilaian publik
mengenai maraknya praktik korupsi di Bea dan Cukai. Pada awal tahun
2007 survei Transparency International negara kita (TII) menempatkan
Bea dan Cukai sebagai instansi terkorup bersama dengan Kepolisian
Negara Republik negara kita .
Serupa dengan survei TII, pada tahun 2007 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas negara kita dan Bank
Dunia merilis sebuah hasil survei mengenai dugaan korupsi di tubuh
Bea dan Cukai. berdasar hasil survei LPEM-Bank Dunia itu, nilai
korupsi di Bea dan Cukai mencapai Rp 7 triliun per tahun. Survei ini
melibatkan tak kurang dari 600 pengusaha di bidang manufaktur, tersebar pada lima kota besar: Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan
Makassar. Sejumlah pungutan liar harus dibayarkan pengusaha jika berurusan dengan aparat Bea dan Cukai. Titik rawan pungutan liar di
antaranya lahir dari kebijakan jalur merah dan jalur hijau. Modusnyabarang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tibatiba oleh petugas diarahkan ke jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya. Tindakan aparat seperti itu membuka peluang untuk bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu berusaha mencari
jalan pintas.
Masalah korupsi di Bea dan Cukai sesungguhnya tidak saja terjadi
di negara kita , namun juga muncul di beberapa negara di seluruh dunia.
World Customs Organization (WCO) sebagai wadah instansi Bea dan
Cukai seluruh dunia menyadari betul masalah korupsi ini. Pada 1993
dalam pertemuan di Arusha, Tanzania, organisasi pabean sedunia ini
mengeluarkan sebuah deklarasi berkaitan dengan integritas Bea dan
Cukai. Deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Arusha ini berisikan
daftar 12 langkah spesifik yang bisa diambil instansi Bea dan Cukai untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya korupsi.
sesudah Deklarasi Arusha, WCO terus bekerja keras merancang
program reformasi dan modernisasi pabean yang mengintegrasikan
prinsip-prinsip Deklarasi Arusha agar bisa dipakai negara-negara
anggotanya. Meski ini tidak mudah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
sesungguhnya sudah berusaha mencegah terjadinya praktik korupsi di
dalam lembaga ini. Mereka telah memiliki Sistem Aplikasi Pengaduan
warga (Sipuma) yang dikelola Pusat Kepatuhan Internal (Puski)
untuk mengakomodasi pengaduan warga terkait integritas dan
pelayanan yang diberikan para pejabat/pegawai Bea dan Cukai. Selain
itu, Kementerian Keuangan sejak tahun 2011 telah mengimplementasikan whistleblowing system secara daring untuk pelaporan penyimpangan yang terjadi di lingkungan Kemkeu termasuk jajaran Bea dan
Cukai.
Penangkapan pejabat di lingkungan Bea dan Cukai seharusnya
menjadi momentum untuk kembali membersihkan lembaga kepabeanan ini dari praktik korupsi. Pemberantasan korupsi di jajaran Bea dan
Cukai harus dilakukan secara komprehensif melalui langkah penindakan dan pencegahan.
Dari aspek penindakan, penegak hukum harus mengusut secara
tuntas para pelaku penyuapan dan meneruskannya hingga ke pengadilan. Pihak Bea dan Cukai juga harus bersikap proaktif dan kooperatif
membantu para penegak hukum untuk menuntaskan praktik korupsi
dan sekaligus berani memberi sanksi yang berat bagi pejabat atau
pegawai yang dinilai tidak bertanggung jawab.Adapun dari aspek pencegahan, untuk mengurangi potensi korupsi, pemerintah harus berani merombak atau melakukan peremajaan
pejabat di jajaran Bea dan Cukai. Hal lain yang perlu dilakukan yaitu
dengan terus-menerus melakukan dan memperkuat fungsi pengawasan internal dan pembenahan kelembagaan. Pelaporan dan pemeriksaan kekayaan pejabat ataupun pejabat Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai juga harus terus dilakukan bekerja sama dengan KPK ataupun
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
saat tindak korupsi merata di hampir semua lembaga hukum,
saat aparatus hukum dirusak aparatnya sendiri, saat “rezim kebenaran” dibangun oleh parasit-parasit ganas, saat hukum tak memberi efek apa pun bagi anak bangsa, kita sampai pada satu titik “anomi
total”: norma hukum ada, tapi tak bekerja; aparat hukum ada, tapi para
penjahat; aparatus hukum ada, tapi dirusak aparatnya, rezim kebenaran ada, tapi dipenuhi para parasit hukum.
Dalam sistem peradilan pidana di negara kita , putusan pengadilan
yaitu bagian dari serangkaian tindakan otoritas penegak hukum.
Di samping penyelidikan dan penyidikan, penuntutan—yang berisi
konklusi dari proses panjang validitas dakwaan—menjadi fitur yang
penting. Dalam tindak pidana korupsi, ketetapan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pintu masuk untuk menilai putusan hakim, mengingat dari sini, validitas konstruksi
perbuatan oleh terdakwa dapat dirunut.
Bagi banyak orang, KPK itu sangat menakutkan, terutama bagi koruptor atau pejabat yang banyak mengurus pemakaian uang negara.
Banyak yang mengaku sangat takut dan menjadi gemetar jika namanya
disebut-sebut akan dipanggil oleh KPK. Jangankan dipanggil sebagai
tersangka, dipanggil sebagai saksi atau pemberi keterangan sekali pun
banyak yang ketakutan. Apalagi di dalam pemberitaan biasanya media massa mencampuradukkan begitu saja antara “diperiksa” dan “dimintai keterangan”. Insinuasi pemberitaan berkecenderungan, kalau
orang dipanggil oleh KPK dianggap terlibat masalah korupsi. Padahal,
mungkin hanya dimintai keterangan biasa. Mengapa KPK ditakuti?
sebab KPK selama ini selalu bertindak sangat tegas, profesional dan
berhati-hati.Dalam ini , KPK selalu bersikap tegas dan profesional dalam arti
tidak pernah segan melakukan tindakan hukum terhadap siapa pun.
Mari lihat catatan kita masing-masing. KPK sudah banyak menangkap
dan memenjarakan anggota DPR tanpa peduli ancaman atau cemoohan-cemoohan yang kerap datang dari gedung DPR. Ketua lembaga negara setingkat Mahkamah Konstitusi pun disadap, dikuntit, dan
ditangkap tangan untuk lalu ditelanjangi habis gurita sangkaan
korupsinya. Jenderal polisi aktif, hakim, dan jaksa pun tak luput digaruk oleh KPK dengan tegas. KPK juga tidak jerih terhadap partai politik. Buktinya bukan hanya pengurus kelas teri yang diciduk dari parpol, melainkan juga pimpinan dan ketua umum parpol. Sekarang ini
hampir semua partai politik, terutama yang sudah memiliki wakil
di DPR sejak tahun 2004, sudah mengirim wakilnya di penjara sebab
korupsi yang ditangani oleh KPK. Di pengadilan tipikor dan penjara,
semua parpol memiliki delegasi yang cukup berkualitas korupsinya.
Awal tahun 2013 dibuka dengan berita mengejutkan soal tertangkap tangannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menerima suap Rp 1 miliar, terkait pengurusan kuota impor
daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT Indoguna Utama. Mengejutkan sebab Luthfi berasal dari partai politik yang punya jargon
bersih dan peduli. Terlebih selama ini memang Partai Keadilan Sejahtera sepi dari pemberitaan tentang politikus yang terjerat masalah korupsi. Publik seperti tak percaya. Kader PKS bahkan lebih tak percaya lagi
pucuk pimpinan partainya terlibat korupsi. Namun vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 9 Desember
2013, menyatakan Luthfi secara sah dan meyakinkan terbukti korupsi sekaligus melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Vonis
yang dijatuhkan bertepatan pada Hari Antikorupsi Internasional pada
9 Desember itu menghukum Luthfi dengan penjara 16 tahun ditambah
denda Rp 1 miliar serta perampasan sejumlah harta bendanya, seperti
rumah dan mobil mewah. Kader PKS yang masih tak percaya Luthfi korup dan melakukan TPPU menganggap vonis hakim telah menzalimi
partainya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dinilai sebagai alat politik untuk menjatuhkan citra PKS.
Soal ketidakpercayaan tentang politikus yang melakukan korupsi atau TPPU ini bukan hanya monopoli PKS dan kadernya. Keluarga
Mallarangeng, misalnya, sampai sekarang pun masih tak percaya Andi
Alifian Mallarangeng, sulung dari tiga bersaudara, melakukan korupsi dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sang adik, Andi Rizal Mallarangeng, masih yakin, sangkaan korupsi terhadap saudaranya oleh KPK bakal tak terbukti
di pengadilan.
Loyalis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum,
hingga kini pun, masih tak percaya jika politikus yang terkenal santun
ini menerima aliran dana dari proyek Hambalang. Lebih-lebih
dana dari proyek Hambalang ini dipakai untuk jalan memenangi kursi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat. Loyalis Anas
menuduh KPK diintervensi penguasa sebab menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak senang dengan berkuasanya Anas di partai yang dia dirikan.
Kolega mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini juga
sempat tak yakin kalau Guru Besar Perminyakan Institut Teknologi
Bandung itu menerima suap. Terlebih Rudi dikenal sebagai pribadi
bersahaja. Bagaimana tidak, mudik ke kampung halamannya di Tasikmalaya, meski Rudi bergaji di atas Rp 200 juta per bulan, dia memilih
memakai kereta api.
Bahkan yang terbaru, sempat banyak yang masygul saat Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK saat dalam
proses menerima suap terkait pengurusan perkara sengketa Pemilihan
Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.
Bagi KPK yang menetapkan Luthfi, Andi, Anas, Rudi, dan Akil sebagai tersangka, ketidakpercayaan ini hanyalah bentuk strategi
pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya. “Strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya kian berkembang
dan canggih. Mereka kian hebat dalam membangun citra positif koruptor sembari mendelegitimasi KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto. Menurut mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum negara kita ini, strategi itu pun dilakukan tidak hanya dengan
membela di depan persidangan, namun juga memakai tempat talk
show, diskusi, dan seminar. Mereka juga menyewa ahli yang tidak hanya memberi kesaksian di pengadilan, namun juga dalam talk show dan
lain-lain. “Bahkan ada pola komunikasi pencitraan memakai konsultan PR (public relation),” katanya.
Semakin pintar koruptor, semakin canggih juga cara mereka menghindari jerat hukum. Bambang mengatakan, setahun terakhir,
ada tipologi yang khas dari para pelaku kejahatan korupsi di negara kita . “Mereka smart, trendi, charming, profesional di bidangnya, dan
pandai memanipulasi, serta menjaga citra dan kewibawaannya,” kata
Bambang. Modusnya pun berkembang. “Tak terbayangkan penyuapan dilakukan memakai mobil yang dititipkan di tempat parkir
bandara, di stasiun kereta. dipakai layer-layer sehingga tidak bisa
terlihat langsung bentuk kejahatan dan transaksinya,” ujar Bambang.
Sebagian transaksi bahkan dilakukan di tempat khusus dan di luar negeri, memakai mata uang asing, khususnya dollar Singapura dan
Amerika Serikat.
Keberhasilan KPK mengungkap kecanggihan korupsi mereka yang
punya latar belakang pendidikan sangat tinggi sebenarnya berkat riset
dan penelitian panjang lembaga ini terhadap pola korupsi yang selama ini terjadi di negara kita . Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dari hasil kajian ini disimpulkan telah banyak terjadi state
capture corruption di negara kita . State capture corruption yaitu tipe
korupsi politik, di mana swasta memengaruhi proses pengambilan
keputusan pemerintah melalui praktik ilegal seperti penyuapan para
penyelenggara negara. “Suap pengurusan kuota impor daging sapi dan
suap terkait kegiatan di SKK Migas yaitu contohnya,” kata Busyro. Di
tengah terungkapnya masalah -masalah state capture corruption skala besar, KPK juga mengimbangi dengan usaha penindakan yang progresif.
KPK menggabungkan UU Tipikor dengan UU TPPU dalam menjerat
tersangka sehingga bisa memiskinkan para koruptor. Beruntung, hakim juga responsif dengan langkah progresif KPK, menuntut terdakwa
dengan pidana penjara untuk waktu yang lama serta perampasan terhadap aset dan harta kekayaannya. Pada akhirnya, KPK membutuhkan
banyak amunisi dan kepiawaian berperang melawan para koruptor
yang makin pintar dan canggih ini.
Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 jadi tonggak awal dilakukannya usaha -usaha pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam hitungan sederhana, 15 tahun sudah agenda pemberantasan
korupsi dijalankan, sudah lima rezim pemerintahan berganti, namun
korupsi tetap saja bergeming. Di tingkat global, penilaian atas usaha
pemberantasan korupsi selalu menempati urutan sebagai negara terkorup. Hasil survei Corruption Perception Index (CPI) 15 tahun yang
lalu (1998) menempati urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei de-ngan skor 2.0. Sepuluh tahun lalu (2008), penilaian CPI atas
kinerja pemberantasan korupsi di negara kita hanya bergeser sedikit
menjadi 2.6 dengan menempati posisi ke-126 dari 180 negara yang
disurvei. Pada 2013, posisi negara kita menurut CPI tidak jauh berbeda
dengan tahun sebelumnya (2012) dengan skor 32 (0-100; 0 = sangat korup, 100= sangat bersih). Ini artinya, dalam jangka 15 tahun, negara kita
masih dipersepsikan sebagai negara yang tidak serius dalam memberantas korupsi.
Jika ditelisik ke belakang, dari sisi regulasi ada banyak sekali peraturan yang dilahirkan untuk menyokong usaha pemberantasan korupsi. Di sektor penindakan, misalnya, setidaknya ada beberapa yang telah
dihasilkan. Sebagai contoh, adanya UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor), UU Pengadilan Tipikor, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Pencucian Uang, dan sebagainya. Dalam implementasinya, ada beberapa masalah korupsi yang memakai peraturan
ini secara berlapis. Misalnya dengan memakai UU Tipikor
sekaligus UU Pencucian Uang. Kombinasi kedua regulasi ini dianggap
senjata paling ampuh untuk memberi efek jera. Sayangnya, pemberantasan korupsi bukanlah semata-mata soal penindakan. Perlu
usaha lain di bidang pencegahan untuk meminimalkan masuknya sebuah perbuatan ke ranah penindakan.
Banyak pihak menyebutkan, problem korupsi di negara kita mayoritas berasal dari sektor politik. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya
pelaku korupsi yang berasal dari institusi politik, misalnya DPR dan kepala daerah. Di samping itu, keruntuhan institusi yang dipercaya publik juga dipicu sikap politik yang korup. Misalnya dalam pengisian
jabatan yang memerlukan proses politik, sebut saja hakim konstitusi,
hakim MA, KPK, Komisi Yudisial, dan sebagainya. Problem korupsi
politik di negara kita hanya bisa diselesaikan jika instrumen politik beserta perangkatnya diperbaiki. Jika mengacu pada rekomendasi untuk
memperbaiki CPI, ada dua institusi strategis yang harus di-reform, yaitu parlemen dan partai politik. Kedua lembaga ini yaitu kelompok
yang paling berkontribusi dalam memperburuk situasi pemberantasan
korupsi. Dalam banyak fakta, keduanya justru saling bersinergi melawan gerakan pemberantasan korupsi.
Partai politik tidak memperlihatkan iktikad, baik untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. Setidaknya bisa dilihat dari sikap semua parpol terhadap keterbukaan dan pertanggungjawaban pendanaan politiknya. Di tingkat parlemen hal yang lebih kurang sama
juga terjadi. Selaku lembaga pemegang kuasa anggaran, praktik mafia
anggaran melalui proyek-proyek pemerintah kerap menjadi bancakan
bagi para politisi. Bahkan tak jarang parpol juga jadi bagian dari konspirasi mafia anggaran yang dipakai untuk mendanai kegiatan politik. Dengan semua fakta ini, publik selaku pihak yang paling dirugikan
tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mengoreksi parlemen
dan partai politik secara langsung. Dalam kerangka politik dan hukum,
koreksi publik atas parlemen dan partai politik hanya bisa dilakukan
sekali dalam lima tahun melalui penyelenggaraan pemilu.
Praktis hanya tersedia satu instrumen yang bisa dipakai publik
untuk melakukan recall terhadap anggota parlemen dan parpol yang
korup. Selama ini publik tak dimungkinkan untuk melakukan gerakan mencabut mandat saat wakilnya tidak lagi memperjuangkan kepentingan publik yang diwakilinya. Pemilu yaitu momentum politik
yang bisa dipakai untuk tidak memilih parpol dan anggota parlemen yang korup. Sikap politik publik yang hanya bisa disalurkan sekali
dalam 5 tahun akan sangat menentukan arah gerakan pemberantasan
korupsi akan dibawa dalam 5 tahun ke depan. Di saat warga negara kita akan menyongsong Pemilu 2014, momentum peringatan Hari
Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2013 harusnya menjadi refleksi
bagi publik untuk menentukan sikap politik yang antikorupsi. Kalau
saja publik menyadari ini, bukan hal yang tidak mungkin jika kegagalan
15 tahun gerakan melawan korupsi akan dituntaskan dalam lima tahun
ke depan.
Dahulu lembaga penegak hukum dianggap takut menjadikan
menteri sebagai tersangka, apalagi sampai menahan dan mengajukannya ke pengadilan. Dahulu, rasanya, kalau ada menteri diduga korupsi,
biasanya ditunggu dahulu sampai pensiun untuk bisa digelandang ke
pengadilan. namun sekarang ini KPK berani menjadikan menteri aktif
sebagai tersangka dan menahannya di rumah tahanan untuk lalu diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Pengusaha-pengusaha yang dahulu oleh publik dianggap kebal hukum sebab kekuatan
jaringan mafia dan suapnya sekarang ini sudah mulai bisa digelandang
ke penjara oleh KPK. Ada pemberitaan di mana seorang pengusaha
yang “sesumbar” akan mampu membeli KPK dengan harga mahal sehingga takkan tergaruk oleh operasi lembaga antirasuah itu. Ternyata
sesumbar itu justru membuat KPK semakin bersemangat untuk men-jadikannya sebagai tersangka dan mengirimnya ke penjara. Sang pengusaha bukan hanya tak mampu membeli KPK, namun juga tak mampu
mencari alibi untuk membersihkan dirinya dari dakwaan korupsi sebab KPK sudah mengantongi bukti-bukti yang tak bisa dibantah sedikit
pun. Itulah yang memicu KPK sangat ditakuti. Para tersangka tindak pidana korupsi biasanya tak berkutik dengan cara kerja KPK yang
sangat cekatan. Jika yang dijerat menjadi tersangka korupsi oleh KPK
yaitu politisi atau pejabat tinggi, biasanya para pembelanya awalnya
menyerang KPK dengan tudingan bahwa KPK telah memolitisasi masalah
atau disetir oleh kekuatan politik tertentu. namun tudingan-tudingan
yang seperti itu biasanya lenyap begitu persidangan di pengadilan tipikor dimulai sebab biasanya bisa menunjukkan bukti dan rangkaian
fakta yang tak terbantahkan. Kalau sudah begitu, biasanya tuduhan politisasi yang semula dituduhkan kepada KPK berubah menjadi pernyataan bahwa korupsi itu perbuatan dan tanggung jawab oknum, bukan
urusan institusi atau partai. Sebenarnya di balik tampilan yang angker
dan menakutkan, faktanya KPK itu profesional, menghormati HAM,
santun, dan menyenangkan bagi mereka yang menjunjung kebaikan
dan antikorupsi.
Dari semua yang pernah diperiksa oleh KPK, tak pernah terdengar
ada keluhan bahwa KPK telah memperlakukan mereka secara tidak
baik, ditekan, diteror secara psikis apalagi sampai dipaksa-paksa untuk
mengaku. Mereka yang diperiksa oleh KPK selalu diperlakukan dengan
baik. Dia media juga terungkap kisah seseorang yang pernah diperiksa
oleh KPK. Katanya, dirinya takut luar biasa saat pada suatu hari dipanggil oleh KPK untuk memberi keterangan.
namun begitu sampai di KPK, dia merasa heran dan kagum kepada
KPK sebab uang transpornya dari daerah diganti penuh dan dia pun
diberi penginapan yang layak selama di Jakarta. Semua yang pernah diperiksa atau dimintai keterangan oleh KPK pasti tak membantah bahwa pemeriksaan dilakukan dengan sangat sopan. Jika tiba waktunya
makan diberi hidangan yang layak untuk makan dan jika tiba waktu
salat si pemberi keterangan atau terperiksa dipersilakan melaksanakan
ibadah salat. Makanya, sekeras apa pun seorang tersangka atau pengacaranya menyerang KPK untuk melakukan pembelaan namun belum
pernah terdengar bahwa saat diperiksa atau didengar keterangannya
oleh KPK mereka diperlakukan kasar, tak sopan, atau dipaksa-paksa.
Itulah sebabnya warga puas dan bangga terhadap KPK yang bisa tampak garang menakutkan sekaligus lembut menyenangkan. Sikap
tegas dan profesionalnya diacungi jempol oleh pegiat-pegiat antikorupsi. Perlakuan sopan, manusiawi dalam memeriksa dan meminta
keterangan patut dipuji.
Tidak ada satu negara pun yang bisa mengukur korupsi aktual
yang terjadi. Semua studi dan penelitian mengenai korupsi hanya bisa
datang dengan estimasi korupsi dalam satu-dua masalah yang pasti tak
menggambarkan aktualitas korupsi. Paling banter kondisi korupsi itu
dilihat dari persepsi warga tentang korupsi yang didapatkan dari
survei seperti yang dilakukan oleh Transparency International atau
KPK, misalnya. Beberapa studi yang mencoba menghitung korupsi aktual akhirnya mengakui bahwa studi mereka gagal dalam mendeteksi
korupsi yang memang tidak bisa terjangkau, terutama sebab korupsi
yang begitu menyebar secara horizontal dan vertikal. Kalaupun studi
mengenai korupsi aktual itu terjadi, itu akan bisa dilakukan pada masalah -masalah tertentu, seperti yang dilakukan Benjamin W. Olken, ekonom
dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), dalam tulisannya
“Monitoring Corruption: Evidence From a Field Experiment in negara kita ”. Olken meneliti mengenai korupsi aktual dalam pembangunan
proyek jalan di 600 desa. Ia membandingkan biaya aktual proyek dengan biaya estimasi proyek yang dibuat secara independen. Setiap unit
biaya diteliti (semen, aspal, dan lain-lain). Dari hasil studi ini bisa
dilihat selisih dana yang cukup signifikan. Olken mengatakan bahwa
dana yang hilang itu berkisar pada angka 24 persen untuk setiap proyek
yang didapat dari selisih biaya resmi proyek jalan dikurangi biaya estimasi independen dari ahli teknik. Inilah yang dia sebut sebagai missing
expenditure.
Kalau angka 24 persen ini dijadikan patokan, bisa dibayangkan berapa banyak dana yang hilang atau dikorupsi dalam sejumlah proyek.
Namun penulis masih meragukan angka 24 persen itu sebagai angka
korupsi aktual sebab kualitas jalan yang di bawah standar juga harus
dihitung sebagai korupsi aktual tambahan. Alhasil, kita bisa jadi dapat
persentase lebih besar.
Tentu saja penulis tidak percaya untuk bisa melakukan generalisasi atas semua proyek pengadaan yang kompleksitasnya berbeda-beda.
Apakah dalam masalah Hambalang, Wisma Atlet, pembangkit listrik, pelabuhan udara, dan gedung pemerintahan kita akan mendapat angka
yang sama? Hampir pasti, jawabannya tidak sama. Selain itu, korupsi bukan soal pengadaan semata. Banyak bentuk korupsi lain yang terjadi, baik itu dalam sejumlah pemberian izin monopoli impor atau ekspor maupun penghindaran pajak, bea masuk, dan penyunatan dana
bantuan, termasuk bantuan untuk bencana. Malah ada proyek yang
pada dasarnya bukan korupsi, melainkan bisa dilihat sebagai korupsi.
Sebuah kabupaten membangun bandara yang megah, padahal itu
tak diperlukan sebab di ibukota provinsi sudah ada bandara memadai. Namun bandara itu tetap dibangun sebagian sebab gengsi ingin
punya pelabuhan udara megah, sebagian sebab persaingan dengan
provinsi. Kalau diselisik, di situ tidak ada korupsi. Secara akuntansi
tidak ada pengeluaran yang tidak dipertanggungjawabkan. Tidak ada
suap. Namun untuk apa bandara ini dibangun? Tak banyak gunanya. Di sini yang terjadi yaitu misuse of power yang pada hakikatnya
juga korupsi. Jadi, begitu banyak tipologi korupsi yang tak mungkin semuanya bisa dijangkau. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap semua
studi masalah mengenai korupsi aktual, saya harus mengatakan bahwa
kita hanya akan bisa memperkirakan korupsi yang terjadi dan merekareka jumlahnya. Jumlahnya memang tak sedikit.
Dalam masalah Angelina Sondakh, ada denda Rp 500 juta dan uang
pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau keseluruhannya
sekitar Rp 39,6 miliar. Dalam masalah Irjen Djoko Susilo ada denda Rp 1
miliar dan uang pengganti Rp 32 miliar. Lalu, dalam masalah Luthfi Hasan
Ishaaq, ada denda Rp 1 miliar. Dalam masalah korupsi yang melibatkan
mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Faisal, hukuman dendanya Rp 500 juta dan uang pengganti Rp 98 miliar.
Jumlah denda dan uang pengganti ini tidak kecil dan jika semua
masalah korupsi didata, kita akan dapat angka yang jumlahnya cukup besar. Namun sekali lagi, jumlah uang denda dan uang pengganti tak bisa
ditafsirkan sebagai korupsi aktual yang terjadi. Jumlah uang yang dikorupsi di luar mereka yang ditangkap jauh lebih besar. Angka ini masih
jauh dari korupsi yang terjadi.
Lebih baik saat ini kita bersyukur sebab lembaga pengadilan memulai tradisi baru menjatuhkan pidana penjara yang berat kepada para
koruptor, seperti Angelina Sondakh yang dihukum 14 tahun penjara,
Luthfi Hasan Ishaaq dihukum penjara 16 tahun, Djoko Susilo dihukum
penjara 18 tahun, dan Faisal dihukum penjara 12 tahun. Hukuman seberat ini yaitu hukuman berat, apalagi kalau kepada mereka tak diberi remisi. Sekali lagi penulis tak mencegah ikhtiar mengetahui korupsi aktual
sebab itu sangat penting. Namun saya harus mengatakan bahwa dalam banyak ikhtiar usaha itu tak mencapai hasil yang maksimal. Dari
semua studi yang ada, bisa dibuat kesimpulan bahwa ongkos korupsi itu sangat mahal walaupun bisa dikatakan bahwa estimasi moneter
atau nilai persentase korupsi itu tak mencerminkan angka sebenarnya
dan, sebab nya, tak pernah menjadi jantung dari diskursus mengenai
korupsi. sebab pada dasarnya korupsi itu rahasia, tanpa jejak.
Dalam perkembangan terakhir, KPK tidak hanya memakai
UU Tindak Pidana Korupsi dalam menyentuh para tersangka korupsi,
namun juga memperlebar kewenangannya dengan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU).
Menurut UU KPK, lembaga ini berwenang menyidik dan menuntut
perkara tindak pidana korupsi. Permasalahannya, apakah benar KPK
tidak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang?
Pendekatan antipencucian uang dalam penegakan hukum memiliki
prioritas mengejar hasil tindak pidana, sering disebut dengan follow
the money. Pendekatan follow the money diperkenalkan sebab pendekatan konvensional yang memprioritaskan mengejar pelaku (follow the
suspect) kurang optimal dalam mengurangi angka kriminalitas (predicate crime), seperti tindak pidana korupsi.
Dengan gabungan pendekatan follow the money dan follow the
suspect, pemberantasan tindak pidana asal menjadi lebih berhasil. maka , sistem anti-pencucian uang memiliki tujuan utama
untuk mengurangi angka kriminalitas termasuk mengurangi korupsi di
negara kita . Tujuan lain dari sistem antipencucian uang yaitu untuk
membuat sistem keuangan dan perdagangan lebih stabil serta terpercaya sebab tidak disalahgunakan oleh para pelaku kriminal termasuk
oleh koruptor.
Pihak yang berpendapat bahwa KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU berargumen, bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) hanya memberi kewenangan kepada KPK untuk menyidik perkara
TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 74 dan penjelasannya. Tidak
ada satu pasal pun dalam UU TPPU memberi kewenangan kepada KPK untuk menuntut perkara TPPU. Bahkan dalam Pasal 70 tentang kewenangan menunda transaksi, Pasal 71 tentang pemblokiran
rekening, dan Pasal 72 tentang permintaan keterangan dari penyedia jasa keuangan, tidak dicantumkan kewenangan KPK sebagai penuntut
umum dapat melakukan kewenangan ini . Ketiga pasal ini
menyebutkan instansi Kejaksaan yang berwenang melakukan tindakan penghentian sementara transaksi, memblokir dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka/ terdakwa dari penyedia
jasa keuangan.
Para penentang berpendapat seharusnya kewenangan KPK diberikan secara eksplisit oleh undang-undang, bukan berdasar penafsiran untuk menjamin kepastian hukum. Pendapat semacam ini dianut
antara lain oleh Romli Atmasasmita dan dua orang hakim ad-hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pendapat ini cenderung
berdasar pemikiran positivisme atau legisme, sehingga penerapan
UU TPPU didasarkan pada teks undang-undang yang memberi kewenangan kepada KPK secara eksplisit. Sebaliknya, pihak yang mendukung KPK memiliki kewenangan menuntut perkara TPPU memakai alasan yang lebih komprehensif dengan memakai berbagai
ketentuan undang-undang, baik pada UU TPPU maupun undangundang lainnya dan yurisprudensi pengadilan, sebagai berikut:
Pertama, memang benar UU TPPU tidak menyebutkan kewenangan KPK untuk menuntut perkara TPPU, namun Pasal 75 UU TPPU
memerintahkan jika dalam menyidik tindak pidana asal (korupsi)
ditemukan adanya TPPU, maka penyidik (KPK) menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis), yaitu tindak
pidana asal (korupsi) dan TPPU. Dalam hal penyidikannya digabung,
wajarlah KPK yang berwenang menuntut perkara korupsi juga menggabungkan penuntutan perkara korupsi dan TPPU. Bukankah perkara
korupsi dan TPPU yang diperiksa sangat berhubungan erat?
Kedua, kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntutan
perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum yaitu bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan
sebagaimana diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Penjelasan undang-undang menyebutkan yang dimaksud “sederhana” yaitu pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya
ringan” yaitu biaya perkara yang dapat dijangkau oleh warga .
Di samping itu, penyerahan penuntutan kepada kejaksaan membuat
terdakwa harus diadili dua kali dengan dua berkas yang berbeda, namun sangat berhubungan yang sudah tentu memakan waktu dan biaya yang
lama dan kurang memberi kepastian hukum kepada terdakwa.
Ketiga, menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada kejaksaan
tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru sebaliknya, KPK memiliki kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang
ditangani kepolisian atau kejaksaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Keempat, menurut ahli hukum Jerman Gustav Radbruch (1878-
1949), tujuan hukum yaitu keadilan (justice), kemanfaatan (utility),
dan kepastian hukum (certainty). Dari ketiga unsur ini , keadilanlah
yang harus didahulukan. Menurut para ekonom hukum yang adil yaitu
hukum yang efisien dan efisiensilah yang yaitu tujuan hukum.
Kelima, dalam hal penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana asal (korupsi) dengan perkara TPPU, maka baik hukum materiel
dan hukum formal (hukum acara) digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU TPPU menyebutkan hukum acara yang berlaku
yaitu hukum acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam ini , berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan undang-undang yang lain, seperti UU KPK,
UU TPPU, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronis. Ketentuan UU KPK memberi kewenangan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum memblokir rekening dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan
tersangka dan terdakwa langsung tanpa izin dari gubernur Bank negara kita , tanpa perlu memakai UU TPPU.
Keenam, menurut Pasal 6 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya
yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang ditentukan
sebagai tindak pidana korupsi.
Ketujuh, teori Hukum Progresif diperkenalkan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (1930-2010) yang mengedepankan hati nurani, keadilan, dan konsep “hukum untuk manusia”. Pemikiran hukum progresif
ini sering “beyond in the text” lebih jauh dari teks hukum yang ada dalam peraturan. Memang kalau dikaji secara mendalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai ciptaan manusia pasti ada keku-rangan. Oleh sebab itu, haruslah dilihat yurisprudensi yang ada dan
ditafsirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan.
Kedelapan, dalam masalah TPPU sudah ada dua masalah sebelumnya
yang penuntut biasanya yaitu KPK, yaitu masalah Wa Ode Nurhayati
yang sudah berkekuatan tetap sampai MA. masalah lain yaitu masalah
Djoko Susilo yang dipidana 18 tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Dalam keadaan seperti ini, kewenangan penafsiran oleh hakim sangat
menentukan.
Kesembilan, menurut Pasal 2 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan yaitu satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan
lain. Penjelasan Pasal 2 ayat (3) menjelaskan, “Kejaksaan yaitu satu
dan tidak dapat dipisahkan” yaitu satu landasan dalam pelaksanaan
tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata
kerja kejaksaan. maka , penuntut umum di kejaksaan dan
di KPK yaitu satu kesatuan. KPK memang tidak pernah merekrut penuntut umum sendiri di luar yang berasal dari kejaksaan.
Kesepuluh, mengingat sistem antipencucian uang bertujuan utama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pada biasanya ,
termasuk tindak pidana korupsi, maka sebaiknya penuntutan perkara
TPPU yang disidik oleh KPK, dilakukan oleh KPK yang menyidik dan
menuntut perkara korupsi yang melahirkan perkara TPPU ini .
ini sejalan dengan tugas KPK yang bertugas dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Penuntutan oleh KPK
ini akan lebih meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi, sebab
kalau hanya UU Tindak Pidana Korupsi dipakai, hanya uang yang dinikmati koruptor atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi saja
yang dapat dirampas untuk negara sebagai uang pengganti (Pasal 18
UU Tindak Pidana Korupsi). Dalam ini , memang kepastian hukum
sementara dikorbankan untuk keadilan dan kemanfaatan. Idealnya,
wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam
UU seperti UU KPK atau UU TPPU.
Apakah kita puas terhadap kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi? Apakah kita melihat penegakan hukum terhadap korupsi telah
sesuai asas-asas dan norma hukum pidana yang kita ajarkan dan anut
sejak lama? Jawaban atas pertanyaan pertama bergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Jika dari sudut pandang ketiga institusi ini , mereka pasti menyatakan cukup puas dan bahkan berhasil. Jika
yang melihat “the outsider”, mereka tentu menyatakan belum puas dan
belum berhasil.
Namun yang penting dalam negara hukum yang demokratis bukan
puas atau tidak puas, berhasil atau tidak berhasil, melainkan apakah
pemberantasan korupsi dengan hukum telah sesuai asas dan kaidah
(norma) hukum pidana yang bersumber pada asas legalitas sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang masih berlaku sampai saat ini (hukum positif). Sejak berlaku perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999
yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, semua elite parpol dan pemerintah serta rakyat setuju bahwa korupsi yaitu kejahatan luar biasa. sebab itu, diperlukan cara-cara luar biasa antara
lain membentuk KPK dengan kewenangan luas dan berbeda dengan
kepolisian dan kejaksaan. Rumusan tindak pidana korupsi diperluas
termasuk perbuatan koruptif (sifat melawan hukum) dan merugikan
negara dijadikan unsur konstitutif tindak pidana korupsi. Apalagi telah
ada “kick-back” di dalam perbuatan koruptif ini dan dirumuskan
dalam kalimat, ”menguntungkan diri sendiri”, juga orang lain atau korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi ini . Ketentuan
ini ciri khas dan satusatunya di semua sistem hukum di dunia.
Mengapa demikian luas rumusan hukum ini ? Satu-satunya
alasan sebab keluarbiasaan perbuatan korupsi di mana uang yang
“dirampok” uang negara (APBN/APBD) yang diperuntukkan untuk
pembangunan bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, kesejahteraan
250 juta rakyat negara kita . Inti keluarbiasaan tindak pidana korupsi
dengan rumusan hukum ini yaitu bagaimana mengembalikan
uang rakyat sebesar-besarnya tanpa harus mendahulukan perlu efek
jera dari hukuman maksimal terhadap pelakunya.
Sejarah hukuman dan penjara telah membuktikan bahwa tidak
ada sukses untuk pemberatan ancaman pidana terhadap siapa pun.
Dengan begitu, dalam kriminologi dikenal siklus recidivism (vicious
circle). Contoh nyata, betapa pun “ganasnya KPK” menghantam para
koruptor penyelenggara negara, semakin bertambah koruptor baru
bahkan potensial koruptor dalam lingkaran penyelenggaraan negara.
Lalu, bagaimanakah tindakan yang sesuai? Ikuti saja filosofi, tujuan,
norma-norma UU Tahun 1999/2001 serta terapkan asas-asas penerapan hukum pidana yang baik, bersih, dan berwibawa. Jika aparat penegak hukum dan KPK masih mengakui eksistensi HAM pada setiap warga RI, perlakukan mereka dalam perkara korupsi sesuai dengan
maksud dan tujuan ketentuan dalam UUD 1945; UU HAM dan UU KUHAP 1981.
Penulis berharap, keilmuan hukum yang dimiliki setiap pelaku sistem peradilan pidana sebanding dengan integritas, profesionalitas, dan
akuntabilitas mereka sebab tiga prinsip ini telah berada di luar
jangkauan ilmu hukum. Ilmu hukum tidak mengajarkan ketiga prinsip
ini kecuali telah diajarkan hubungan saling pengaruh hukum dan
kesusilaan yang perlu diperhatikan dalam membingkai perilaku manusia termasuk juga menghukum perilaku manusia yang melanggar
hukum. Ilmu hukum mengabaikan sejak pendidikan hukum tentang
masalah moralitas hukum dan moralitas warga sebab pengaruh
aliran Kelsenian, namun ilmu hukum yang telah diajarkan harus sesuai karakter budaya warga nya agar tidak menjadi “alien” dalam
kehidupan kesehariannya. Karakter budaya (hukum) warga negara kita yaitu sangat memperhatikan kesopanan dan kesusilaan dalam
bungkusan ajaran agama yang dianutnya sehingga membuat hukum
dan menerapkan hukum dalam alam negara kita , harusnya mempertimbangkan secara teliti faktor peranan unsur-unsur ini . Pepatah
negara kita sejak lama, “menepuk air di dulang tepercik muka sendiri”
atau “buruk muka cermin dibelah”; yaitu peringatan agar setiap insan negara kita pemegang kekuasaan agar berhati-hati dalam berucap, berperilaku, dan bertindak. Begitupula peribahasa “nilai setitik
rusak susu sebelanga” juga sebaiknya menjadi peringatan agar kita
berbuat dan berperilaku memperhatikan dan mengingat akibatnya secara kolektif.
Dalam konteks penegakan “hukum progresif” yang dipandang beberapa ahli hukum, praktisi hukum tertentu dan LSM yaitu alat yang
ampuh untuk membuat tekuk lutut khususnya koruptor, tentu akan
menghasilkan semangat hidup koruptor yang berprinsip, “dibandingkan
hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah”. Jika pemberantasan korupsi hanya untuk tujuan efek jera, dituntut perlakuan
hukum yang maksimal yaitu penerapan ancaman penjara seumur hidup atau pidana mati terhadap koruptor sebab dalam tatanan hukum
pidana negara kita , tidak diakui pidana mempermalukan. Jika efek jera
yang diunggulkan, tidak ada salahnya juga ikuti saja cara pemerintah
Korea Utara di bawah Kim Jong-un terhadap pamannya sendiri yangdidakwa korupsi dan terlibat skandal wanita, yaitu dihukum mati dengan cara diumpankan kepada 120 ekor anjing liar yang selama dua
hari dua malam habis tubuhnya dilahap anjing-anjing liar ini .
Bukankah cara seperti itu yang dapat memuaskan rasa keadilan warga kita sampai hari ini dalam perkara korupsi?
Dalam sambutan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai lembaga yang
ia pimpin sudah cukup berhasil dalam memerangi korupsi (9/12). Apa
ukurannya dan apakah keberhasilan KPK seorang diri saja? Dua pertanyaan ini menarik untuk diselisik. Saat ini KPK sudah berumur lebih dari sepuluh tahun dan dipimpin tiga periode kepemimpinan yang
berbeda.
Dalam perjalanannya, komisi ini menemui pasang-surut perjuangan pemberantasan korupsi. Ada masa-masa gemilang dan ada pula
masa-masa kelam, khususnya pada momen terjadinya kriminalisasi
dua pimpinan mereka: Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Pada saat itu KPK seolah berada pada titik terendah secara kinerja dan
psikis. Energi mereka tersedot habis dalam melayani pertarungan dengan pihak kepolisian. masalah yang fenomenal dengan sebutan “Cicak
versus Buaya” itu menjadi salah satu dokumen sejarah yang tidak dapat dihapus dari perjuangan pemberantasan korupsi di republik ini.
Di balik persoalan, tentu saja ada pencapaian KPK yang tergolong
luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Tahun 2013 KPK dianugerahi
Ramon Magsaysay Award. Selain itu, rekam jejak dalam penanganan
masalah juga sempurna. Sepuluh tahun keberadaannya, KPK sudah menangani 385 masalah korupsi dengan conviction rate 100 persen alias tidak ada satu pun terdakwa masalah korupsi yang lepas dari jeratan KPK.
Jika dipilah dari latar belakang pelaku, KPK pun menangani masalah korupsi dengan aktor dan jabatan publik yang beragam. KPK telah masuk
ke lorong kejahatan yang “tabu” disentuh penegak hukum lain sebab
kuatnya intervensi. Sebutlah seperti parlemen, kementerian hingga
lingkaran penegak hukum itu sendiri.
Dari gambaran ini , jika dikaitkan antara pernyataan keberhasilan KPK di atas dan hasil akhir yang mereka capai, tentu pernyataan Abraham Samad ini tepat. Data dan fakta menunjukkan
capaian lembaga ini . Namun jika pernyataan ini dikaitkan dengan proses penanganan masalah (legal process), tentu banyak perdebatan dan hal-hal yang harus dikritisi terhadap KPK sebelum mem-berikan kesimpulan mereka sudah berhasil atau tidak. Jika dikaitkan
dengan penanganan masalah , setidaknya ada dua hal utama yang harus
disoroti.
Pertama, tingkat penuntasan masalah . Ada banyak masalah korupsi yang hingga saat ini belum tuntas ditangani KPK. Sebut saja masalah
BLBI yang semakin mendekati masa kedaluwarsa, masalah Bank Century
yang sudah menginjak tahun kelima, masalah cek perjalanan yang belum
sampai kepada aktor utama, hingga masalah pencucian uang oleh M. Nazaruddin yang berjalan lambat. Beberapa masalah di atas hanya sebagai
contoh untuk mengingatkan “PR” besar yang sudah cukup lama. KPK
tentu harus sadar, semakin lama masalah ditangani oleh mereka tentu
akan semakin pudar kepercayaan warga . Ini yaitu tesis umum
yang berlaku terhadap semua lembaga penegak hukum.
Kedua, problem lemahnya fungsi koordinasi dan supervisi dengan
penegak hukum lainnya. Dua fungsi ini sejatinya yaitu pekerjaan utama bagi KPK. Tugas ini diamanatkan dalam Pasal 6 UU KPK.
Namun tugas ini masih terkesan sebagai tugas “kelas dua”. Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dari pelimpahan sejumlah perkara yang
menjerat M. Nazaruddin kepada lembaga penegak hukum lainnya. Dalam ini , KPK bersama penegak hukum lainnya membentuk MoU
sebagai langkah koordinasi. Pelimpahan ini didasarkan pada
pertimbangan KPK tidak mampu menangani masalah Nazaruddin yang
tersebar di sejumlah kementerian dan instansi.
Jika dilihat fakta yang terjadi saat ini, penanganannya justru
tidak terkontrol di penegak hukum lainnya. Nazaruddin sebagai simpul kejahatan dan otak perusahaan (directing mind) tidak kunjung diperiksa. Kepolisian dan kejaksaan justru seolah bersih-bersih di tepian
saja dengan menjerat para staf perusahaan M. Nazaruddin. Di titik ini
KPK kehilangan kontrol dalam mengoordinasikan tindak pidana lain
yang dilimpahkan kepada penegak hukum lainnya. Secara proses tentu
ini harus dikoreksi.
Harus diingat, sebab undang-undang mengamanatkan fungsi
trigger mechanism kepada KPK, maka keberhasilannya diukur sejauh
mana institusi kepolisian dan kejaksaan berhasil dalam penanganan
sekaligus bersih dari praktik korupsi. Keberhasilan KPK tidak berdiri
tunggal, namun justru dituntut untuk berhasil secara kolektif dengan
institusi lainnya.
Maka, untuk menilai KPK sudah berhasil atau tidak dalam pem-berantasan korupsi, harus dilihat utuh dari proses penanganan masalah
hingga hasil akhir. Untuk dapat dianggap berhasil, keduanya harus
sinkron. Sementara yang terjadi hari ini masih ada kesenjangan antara
proses dan hasil akhir. Semoga ini bisa diperbaiki KPK. Faktor lain yang
sangat menentukan kesuksesan pemberantasan korupsi yaitu soal
perbaikan sistem pasca-penindakan. ini jarang menjadi diskursus,
namun sesungguhnya amat penting.
Jamak kita lihat dan dengar penindakan-penindakan berupa penangkapan atau aksi hukum lainnya yang dilakukan oleh aparatus. Namun sering kali setiap penindakan yang dilakukan tidak diikuti secara
cepat dengan perbaikan sistem untuk menutup lubang. Analoginya,
jika ada ban yang bocor tidak langsung ditambal. Kita masih bertanyatanya apa perbaikan yang sudah dan tengah dilakukan terkait business
process migas pasca tertangkapnya Rudi Rubiandini. Apa pula perbaikan di Korlantas Polri pasca-ditangkapnya Djoko Susilo. Pertanyaan
yang sama juga muncul atas masalah lainnya.
Jika dibiarkan, kondisi demikian akan menciptakan reproduksi korupsi, dengan asumsi lahirnya pemain-pemain baru yang menggantikan aktor yang ditangkap oleh penegak hukum tadi. Ibarat peribahasa,
“patah tumbuh hilang berganti”. Perbaikan sistem ini memang bukan
tugas penegak hukum secara keseluruhan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah yaitu pihak yang punya otoritas untuk
mengatur dan menciptakan hukum.
Dapatkah seseorang menentukan masa depan orang lain? Dapatkah seorang Presiden menentukan masa depan bangsanya? Beberapa
orang butuh alasan teologis untuk menjawab pertanyaan di atas, namun
beberapa lainnya melihat masa depan sebagai keniscayaan hidup. Kepercayaan kepada ketetapan Tuhan yang absolut yaitu alasan teologis kenapa seseorang tak dapat menentukan masa depan orang lain.
sebab kepercayaan akan adanya kehendak bebas Tuhan, maka manusia bisa ambil bagian menentukan masa depan.
Dalam konteks inilah, sebagai bangsa kita sepakat membuat begitu
banyak konsensus untuk begitu banyak kepentingan dalam kehidupan
ketatanegaraan, kebangsaan, dan kewarga an. Konsensus dibuat
atas dasar kesamaan pandang dengan mengeliminasi sejauh mungkin
perbedaan pandang. Kesamaan pandang yaitu nilai universal yang
jauh dari egosentrisme, sedangkan perbedaan pandang yaitu pengejawantahan lain dari egosentrisme.Guna mencapai cita-cita hidup berbangsa bernegara, republik ini
memilih seorang Presiden. sebab amanah yang diembannya, seorang
Presiden tentulah sosok yang istimewa di antara yang sedikit. Di seluruh dunia, jumlah presiden bisa dihitung dengan jari. Mereka representasi Tuhan di pentas kehidupan. Di tangan Presiden, masa depan
bangsa dipertaruhkan. Jika ia amanah, masa depan bangsa terjaga, namun jika khianat, masa depan tergadai. Tanggung jawab seorang Presiden sifatnya dunia dan akhirat.
Kekuasaan presiden di negara mana pun, juga negara kita , sifatnya tak terbatas. Ia bisa melakukan apa saja atas nama rakyat: mengeksplorasi kekayaan tambang di bumi negara kita ; menguasai udara,
samudra, dan lautan luas. Ia pun bisa menjalin hubungan dengan
bangsa lain atas nama rakyat, sebagaimana ia bisa memutuskan hubungan diplomatik dengan negara lain atas nama bangsa. Ia berdiri di
podium PBB atas nama bangsa. Ia berkuasa mengirim pasukan tentara
perdamaian di luar negeri atas nama bangsa. Ia juga bisa menerjunkan
pasukan perang untuk menumpas pemberontakan di dalam negeri
atas nama rakyat. sebab tanggung jawabnya kepada bangsa, Soekarno pernah menarik keanggotaan negara kita di PBB. Atas nama bangsa
pula, Soekarno menggagas Konferensi Asia Afrika. Begitu pula Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan
Susilo Bambang Yudhoyono.
saat berkuasa, rakyat belum sempat memberi Soekarno garis
kebijakan agar dapat mengelola kehidupan bernegara, berbangsa, dan
berwarga dengan benar. Rakyat hanya berharap Soekarno memimpin mereka menggapai masa depan. sebab situasi dan gaya kepemimpinannya, Soekarno nyaris tak bisa dikontrol, sampai akhirnya gerakan politik menjatuhkannya. Soeharto punya cara pandang dan cara
kelola negara yang berbeda. Ia rapi, detail, namun koersif dan dingin.
Di bawah Soeharto, negara kita membeku. Namun rakyat berharap Soeharto memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Agar
tidak seperti Soekarno, Soeharto dikontrol dengan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN). sebab gaya kepemimpinannya yang otoriter,
Soeharto juga tak terkontrol. Ia berkuasa kurang lebih 32 tahun, melampaui Soekarno. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Soeharto
pandai mengelabui, mengubah UU sesuai kepentingan kekuasaannya,
serta menyiasati agar GBHN dapat disusun sesuai ambisinya.
saat Habibie menggantikannya, Soeharto satu di antara sedikit penguasa senior Asia Tenggara yang tersisa. Habibie yang jago teknologi dan seorang teknokrat hanya memimpin di masa transisi. Rakyat
belum sepenuhnya percaya Habibie akan mampu menjadi nakhoda
kapal pecah menuju pulau harapan masa depan. Rakyat tak mau era
Soekarno kembali dan traumatis terhadap era Soeharto. Hingga akhirnya Habibie terjatuh, hanya ada dua diktum yang membara di memori
rakyat: enyahkan Orde Lama dan Orde Baru.
Yang mereka inginkan cuma satu: Orde Reformasi. Orde yang
mengamanatkan restorasi semua konsensus, termasuk mengamendemen beberapa pasal krusial dalam UUD 1945, sebuah tindakan berbau
tabu di era Orde Baru. Banyak ayat dan pasal hilang dan dihilangkan
atas nama tuntutan reformasi. Bahkan, GBHN yang semangatnya untuk mengontrol kekuasaan yang eksesif sekalipun diamendemen, tak
lagi dijadikan pedoman bagi seorang presiden dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.
Presiden Abdurrahman Wahid yang moralis humanis, Presiden
Megawati yang politikus proletar, dan Presiden Yudhoyono yang jenderal produk dwifungsi ABRI dan berbau Orde Baru tak bisa berbuat
banyak. Mereka hanya diberi satu kata: masa depan. Kepada mereka
tak diberikan GBHN. Mereka diminta berjalan lurus ke depan, jangan
menoleh ke belakang, bawalah rakyat menuju masa depan. Mereka
yaitu representasi pemimpin-pemimpin yang diamanahi banyak hal,
namun tak dibekali aturan yang jelas dan mengikat.
Konsekuensinya, mereka bertiga jadi bulan-bulanan. Bahkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur jadi tumbal reformasi. Ia dijatuhkan
dengan alasan yang hingga kini tidak jelas landasan konstitusionalnya.
Pemerintahan Megawati dan Yudhoyono juga mengalami problem dalam berbagai hal. Kini, sesudah dua dekade terombang-ambing dalam
lautan ketidakpastian, suara-suara yang menginginkan GBHN kembali
muncul. Mereka berdalih, cukuplah masa depan kita yang tidak tergadai, namun anak cucu bangsa ini harus tetap memiliki masa depan.
Hanya dalam hitungan hari, kita telah meninggalkan tahun 2013
untuk menghadapi tahun 2014. Demikianlah keniscayaan hidup. Tidak
ada masa depan tanpa ada masa lalu. Masa lalu biasa dijadikan oleh
sebagian di antara kita sebagai kaca bening tempat mengetahui jati
diri agar dapat melakukan yang lebih baik di masa depan, tapi sebagian lainnya berkutat dengan masa lalu sehingga menampik kedatangan
masa depan. Beruntung kita sebab Tuhan menganugerahkan masa depan dengan hitungan hari. Seandainya masa depan datang kepada
kita dalam hitungan “setahun” utuh, betapa beratnya hidup ini.
Dengan tidak formalnya mandat Presiden, maka jalannya negeri
ini membutuhkan banyak pengawasan, antara lain dari kekuatan warga sipil. Bukankah dalam sejarah terbukti warga sipil yang
mampu membangun tonggak-tonggak kehidupan berbangsa dan bernegara? Pancasila, UUD 1945, dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
yaitu visi dan produk warga sipil.
warga politik biasanya hanya pengambil manfaat dari gerakan yang dimulai warga sipil, seperti terlihat dari gerakan Reformasi 1998 yang awalnya dimulai warga sipil. Sejarah negara kita
juga melahirkan banyak tokoh yang menjadi mercusuar warga
sipil. Kebesaran Presiden Abdurrahman Wahid yang bergema sampai
sekarang lebih yaitu buah kiprahnya di warga sipil, bukan
warga politik.
Gerakan warga sipil memiliki dua ciri, yaitu kesukarelaan dan
tak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan politik. Indische
Partij yang berdiri Desember 1912 sebagai partai politik pertama di
Hindia Belanda, esensi sebenarnya yaitu gerakan warga sipil.
Perserikatan Nasional negara kita yang didirikan Soekarno pada 4 Juli
1927, dan lalu menjadi Partai Nasional negara kita , juga lebih pas
sebagai gerakan warga sipil.
Kondisi sebaliknya terjadi saat ini. Sejumlah organisasi massa yang
menyatakan diri gerakan warga sipil sebenarnya lebih menunjukkan ciri gerakan warga politik, bahkan menjadi bagian dari
parpol. ini terjadi sebab kuatnya intensitas politik ormas ini .
Dugaan munculnya kekuatan uang dalam pemilihan pimpinan beberapa ormas menjadi tanda lain matinya aspek kesukarelaan gerakan
warga sipil, digantikan dengan kepentingan. Jadi, jika pada awal
berdirinya Republik negara kita banyak parpol yang esensinya warga sipil, sekarang ada banyak organisasi massa namun esensinya gerakan warga politik.
Erosi gerakan warga sipil menjadi warga politik menjadi kerugian dan kejatuhan terbesar warga sipil sesudah era Orde
Baru. Gerakan warga sipil, yang awalnya yaitu lokomotif
perubahan politik, pelan-pelan mengalami pembusukan sebab pudarnya aspek kesukarelaan dan kuatnya motif terhadap kekuasaan.
Kapitalisasi dunia pendidikan menjadi salah satu sebab mundurnyagerakan warga sipil. Cirinya, perguruan tinggi menerima ribuan
mahasiswa dalam satu angkatan. Uang membanjir masuk ke universitas dengan biaya kuliah tiap semester mencapai belasan juta rupiah.
Kondisi itu membuat suara kritis mahasiswa sebagai bagian dari sikap
kritis warga makin jarang terdengar. Kampus cenderung diisi mahasiswa dari kelompok ekonomi menengah atas yang biasanya tak
melihat ada masalah dalam hidupnya.
Keadaan diperparah kedangkalan dan etos manajerial yang tak
memberi tempat terhadap hal-hal bersifat filosofis. Akibatnya,
proses bukan yang utama. Kurikulum mendorong kompetensi dengan
menghilangkan dimensi integritas. Intinya, mahasiswa hanya didorong secepat mungkin menyelesaikan kuliah. Transformasi demokrasi
negara kita yang mengandung anomali ikut memicu erosi gerakan warga sipil. Biasanya, liberalisasi ekonomi diiringi menyempitnya
peran negara hingga kebebasan pasar terbuka lebih lebar. Namun hal
itu tak terjadi di negara kita .
Pembentukan sejumlah komisi negara independen era reformasi
membuat sejumlah pegiat gerakan warga sipil masuk di dalamnya dan sekaligus menjadikan beban dan cakupan negara meluas. Halhal yang sebelumnya yaitu lahan warga sipil diambil alih
negara. Fenomena ini antara lain terjadi dalam pengelolaan zakat yang
sebelumnya menjadi urusan warga . Saat ini sedang dibuat undang-undang tentang zakat dan Kementerian Agama menjadi pengelolanya. Pemilihan komisioner komisi negara biasanya juga dilakukan berdasar aplikasi. Ini membuat pegiat gerakan warga sipil
yang masuk di dalamnya sejak awal diposisikan di bawah kekuatan politik. Mereka yang terpilih juga belum tentu calon terbaik. Idealnya, komisioner komisi negara dipilih berdasar nominasi, bukan aplikasi.
Negara seharusnya memberdayakan melalui kebijakan negara.
Untuk mengembangkan gerakan warga sipil di Australia, misalnya, perusahaan yang menyumbang gerakan warga sipil mendapat insentif pengurangan pajak. Pemberdayaan gerakan warga sipil dibutuhkan sebab akan berfungsi sebagai katup pengaman saat
negara tidak dapat maksimal menjalani perannya. Masalahnya, yang
dikerjakan negara cenderung bukan pemberdayaan. Lalu, siapa yang
jadi katup pengaman negara?
Oleh sebab itu, KPK sebagai agen utama pemberantasan korupsi
tentu harus memulai untuk menutup lubang sekaligus merekomen-dasikan perubahan kepada pengambil kebijakan agar pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan masuk kepada level “berhasil”.
Catatan di atas yaitu kritik terhadap KPK agar tidak cepat puas
diri dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan
selama ini.
Pembahasan mengenai peradilan informal akan dikaitkan dengan
akses terhadap keadilan. Sebelum tahun 70-an sebagian besar definisi
akses terhadap keadilan merujuk kepada model akses terhadap pengadilan-pengadilan negara yang diperoleh melalui bantuan hukum.
Sampai saat ini, sebagian besar penelitian dalam isu akses terhadap
keadilan juga masih membahas mengenai topik ini . Namun kedudukan utama pengadilan negara sebagai satu-satunya sarana “untuk memperoleh keadilan” tidak didukung oleh fakta-fakta empiris.
Dalam beberapa kajian juga telah dinyatakan bahwa keadilan tidak hanya diperoleh melalui lembaga-lembaga negara dan pengacara bukan
yaitu satu-satunya akses terhadap sistem ini . Jadi, secara
implisit, gagasan bahwa keadilan yaitu sesuatu yang diperoleh
melalui pengadilan-pengadilan (negara) terlihat dengan jelas dalam
pemikiran beberapa penulis seperti yang tercermin dalam kutipan di
atas. Sehingga mereka tidak merasa perlu untuk membuat sebuah definisi yang jelas mengenai konsep keadilan.
Akses terhadap keadilan memiliki fungsi untuk menggarisbawahi
dua tujuan dasar dari sistem hukum yang diakses oleh warga untuk mempertahankan haknya dan/atau menyelesaikan sengketa di bawah supervisi umum negara. Pertama, sistem hukum harus dapat diakses secara seimbang oleh setiap orang. Kedua, sistem hukum ini harus mengarah kepada hasil yang adil, baik untuk individu maupun
warga .
maka , sistem hukum tidak hanya terdiri dari peradilan semata. Dalam konteks di negara berkembang seperti negara kita ,
menjadi wajar untuk mengikuti alur berpikir semacam itu. Alasan utamanya sebab berbagai pengadilan dan lembaga negara dalam proses
penanganan sengketa tidak memiliki peran sepenting institusi serupa
di negara-negara tempat asal konsep akses terhadap keadilan.
Pada biasanya , literatur hukum dan sosio-legal yang membahas
mengenai hukum di negara kita memberi perhatian yang besar pada
berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa (yang tidak disediakan oleh negara). Banyak penulis telah menunjukkan bahwa kedua
(atau lebih) mekanisme penyelesaian sengketa itu saling bertentangan
(lihat: Benda-Beckmann 1984). Demikian pula yang digambarkan dalam laporan penelitian Bank Dunia (2008) ‘Forging the Middle Ground’,
banyak dari mereka yang terlibat pada masalah -masalah yang ada di dalam
laporan ini lebih memilih untuk memakai mekanisme alternatif
(non-official mechanism) dibandingkan mekanisme yang secara formal memang diperuntukkan untuk tujuan ini .
Namun siapa pun tidak boleh meremehkan arti penting negara dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa atau pertahanan hak. Sebagian besar literatur menunjukkan bahwa kita akan menemukan berbagai
bentuk hibrida, dibandingkan melakukan pendikotomian aktor negara dan
non-negara yang berada secara pararel. Misalnya, pengadilan negara
dapat mengakui yurisdiksi pengadilan adat secara efektif, meskipun
jika ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
doktrin hukum.
Kondisi yang lebih umum ditemukan yaitu aparat pemerintah
memiliki peranan yang penting dalam menangani keluhan dari warga
negaranya. Misalnya: kepala desa, camat dan bupati, polisi atau aparat dari instansi pemerintah tertentu, mungkin terlibat dalam berbagai
bentuk mediasi atau dalam menerima dan memproses keberatan. Penting untuk diperhatikan bahwa langkah formal untuk mendapatkan
keadilan melalui pengadilan tidak selalu diikuti, dan maka
mereka akan memakai berbagai bentuk penyelesaian dan (hukum) hibrida. Pada dasarnya, ini menjadi alasan yang cukup untuk
memakai definisi akses terhadap keadilan yang luas, setidaknya
jika peneliti memang berniat untuk menangkap keseluruhan mekanis-me penanganan keluhan warga negara.
Akses terhadap keadilan yaitu kemampuan seseorang [atau warga ] untuk mencari dan mendapatkan solusi melalui lembaga
keadilan formal atau informal, dan selaras dengan nilai-nilai hak asasi
manusia. Istilah “pertahanan hak” atau “penyelesaian sengketa” diganti dengan istilah yang lebih jelas, yaitu “pemulihan”. Dan akhirnya tujuan penyelesaian yang “dianggap adil oleh individu dan warga ”
diubah ke dalam konsep yang lebih abstrak, yaitu “hak asasi manusia”.
Meskipun definisi akses terhadap keadilan ini dapat dikatakan
elegan, definisi itu memicu beberapa pertanyaan.
Ide mengenai pemulihan membutuhkan beberapa pertimbangan.
Dalam definisi yang lebih sempit mengenai akses terhadap keadilan,
pilihan memakai pengadilan sebagai sarana utama untuk mendapatkan keadilan mengandaikan bahwa pemulihan hanya dapat diperoleh melalui putusan pengadilan yang yaitu hasil akhir dari
proses pencarian keadilan. Dan, jika pengadilan bukan yaitu
satu-satunya objek penelitian akses terhadap keadilan, maka kita juga
harus menelusuri berbagai bentuk pemulihan lainnya. Misalnya: kesepakatan proses mediasi, perintah polisi, keputusan dewan kelurahan,
dan sebagainya. maka , “lembaga keadilan” tidak hanya
merujuk kepada lembaga yang khusus bertugas untuk menyelesaikan
sengketa, namun juga merujuk kepada semua lembaga yang menyediakan pemulihan.
Sistem peradilan informal telah menyita banyak perhatian dalam
kajian hukum akhir-akhir ini. Fungsi dan pengakuan terhadapnya oleh
hukum resmi negara menjadi isu utama dalam wacana hukum konstitusional. Gagasan lembaga peradilan meliputi berbagai fenomena
di warga . Sistem peradilan informal menyangkut berbagai forum
untuk menyelesaikan sengketa atau untuk mencapai keputusan kolektif, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan praksis sosial yang berbeda dari kebijakan resmi negara.104
Sistem peradilan informal berwatak “non-negara” dalam arti berhubungan dengan mekanisme normatif non-negara. Dalam sebagian
besar masalah , lembaga dalam sistem peradilan informal yaitu bagian dari kelembagaan historis. Mereka dapat bertahan dalam mengha-dapi hukum negara, sebab (i) mereka berurusan dengan subjek tanpa
kepentingan umum dan secara historis, self-governance sering terjadi
akibat ketidakpedulian hukum negara, atau (ii) negara mungkin terlalu
lemah untuk menekan atau (iii) diakui oleh negara dan diintegrasikan
ke dalam sistem pemerintahan negara. Lembaga peradilan non-negara
juga mungkin dikemas sebagai organ negara yang “bergaya tradisional” untuk alasan legitimasi.105 Lembaga peradilan non-negara dapat
diwajibkan untuk mematuhi hukum negara dan mereka bahkan dapat
secara resmi dimasukkan ke dalam sistem pengadilan. namun jika hukum secara resmi mengakui dan menggabungkan mereka, lembagalembaga ini bersifat otonom dibandingkan lembaga negara resmi dan
dianggap sebagai “non-negara”.
Untuk menjelaskan popularitas dan fungsi lembaga peradilan
informal kebanyakan literatur dengan suara bulat menunjuk kepada kebutuhan praktis penduduk di perdesaan. Mereka lebih memilih
struktur tradisional dan tidak membawa masalah ke pengadilan negara.
warga ini memiliki akses yang lebih baik ke pengadilan nonnegara: prosedur setempat yang bersifat langsung, terjangkau dari segi
biaya, dan permusyawaratan menjadi prosedur baku. Pengadilan dijalankan oleh warga lokal dan tiap-tiap orang dapat menghadap
dalam bahasa setempat. Dan, keputusan dibuat sesuai dengan hukum
yang telah menjadi tradisi. Prosedur non-state biasanya bertujuan untuk mengembalikan harmoni sosial yang tidak seimbang oleh konflik,
dan tidak untuk menegakkan aturan hukum abstrak.106 Proses bersifat
tidak membebani, tapi berorientasi kepada keadilan sesuai dengan
konsensus normatif lokal. Lembaga peradilan memungkinkan untuk
menyediakan “akses terhadap keadilan” baik dalam arti bahasa maupun pengetahuan tentang hukum yang berlaku sehingga berkontribusi
penegakan hukum. Selanjutnya, sebab kapasitas negara yang buruk
dan kurangnya infrastruktur pengadilan, peradilan informal acap kali
menjadi sandaran banyak orang. Di Afrika Selatan pada tahun 2000,
misalnya, sebanyak 3.000 pengadilan baru akan diperlukan untuk menyediakan akses ke peradilan negara secara memadai dibandingkan
dengan pengadilan adat.
Namun, alasan semakin besar perhatian terhadap sistem peradil-an informal di bidang hukum dan pembangunan akhir-akhir ini melampaui kenyamanan praktis. Dua perkembangan paralel harus dipertimbangkan.
Pertama, transfer peradilan gaya Barat di negara pascakonflik telah gagal.107 sesudah 20 tahun dihabiskan miliaran dollar untuk membangun dan mempromosikan Rule of Law, namun hasilnya masih
tampak sedikit. Studi terbaru menunjukkan bahwa dalam banyak masalah , pengadilan dan hukum yang baru tidak bertemu dengan penerimaan yang diperlukan. Terutama di daerah perdesaan di mana berlaku
secara ketat tradisi-tradisi komunitas. Sejumlah kajian menyebutkan
bahwa sebanyak 80% perkara dapat ditangani oleh lembaga peradilan
non-negara.108
Kedua, dalam menanggapi ini “kesenjangan yang tidak terselesaikan” ini, hukum dan pembangunan baru-baru ini telah difokuskan
pada penguatan lembaga peradilan tradisional. Aturan hukum tidak
lagi dilihat hanya sebagai visi eksklusif dari negara hukum gaya Barat
modem