peradilan di indonesia 1

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 1


Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  
Tahun 1945 sesudah  amendemen, menegaskan bahwa negara negara kita  yaitu  negara hukum. Sejalan dengan ketentuan ini  maka salah satu prinsip penting negara hukum yaitu  adanya jaminan penyelenggaran kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh 
kekuasaan lainnya.
Pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yaitu  
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna 
menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam 
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan 
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perjalanan sejarah kekuasaan kehakiman di negara kita  seiring dengan perkembangan politik nasional pada biasanya , dari sejak masa 
Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi telah diundangkan beberapa Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni UU No. 
19/1964, UU No. 14/1970, UU No. 35/1999, UU No. 4/2004, terakhir UU No. 48/2009 diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009, mencabut dan membatalkan berlakunya UU No. 4/2004.
Pada dasarnya, UU No. 4/2004 telah sesuai dengan perubahan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945, namun substansinya belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang yaitu  kekuasaan 
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan 
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, 
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah 
Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, juga untuk memenuhi putusan MK Nomor: 005/
PUU/2006 yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, 
putusan Mahkamah Konstitusi ini  juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim dalam Undang-Undang 
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Tugas hakim biasanya yaitu  melaksanakan hukum dalam 
hal konkret ada tuntutan hak, yaitu tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrechting” atau tindakan menghakimi sendiri.189 Jadi kalau 
ada tuntutan hak yang konkret atau peristiwa diajukan kepada hakim, 
barulah hakim melaksanakan hukum. Hukum harus dilaksanakan, 
terutama jika  dilanggar, maka hukum yang telah dilanggar itu haruslah ditegakkan, dipertahankan atau direalisasikan. Dan, yang melaksanakan atau menegakkan dalam ini  yaitu  hakim. Untuk itu, 
pembicaraan mengenai tugas hakim ini sering kali dikaitkan dengan 
independensi pengadilan. 
Independensi peradilan biasanya dikenal sebagai elemen 
formal dari negara hukum, namun hakikat kelembagaannya menurut 
penulis, menjadikannya lebih cocok untuk dibicarakan di bawah kategori yang terpisah. Dapat juga ditambahkan bahwa peradilan tidak hanya berurusan dengan penjagaan dan perlindungan elemen-elemen 
formal dalam negara hukum. ini  tidak hanya terjadi dalam praktiknya: pakar pengadilan manapun akan memberitahukan kita bahwa 
para hakim akan memakai  segala macam teknik mediasi untuk 
mendapatkan suatu hasil yang dapat diterima oleh para pihak yang 
bersengketa. biasanya para teoretikus hukum dapat menerima 
bahwa para hakim harus mencoba untuk mencapai suatu hasil yang 
secara substantif adil dan tentu saja mereka harus mempertimbangkan 
hak asasi manusia.
Peradilan tidak hanya membatasi dirinya dalam mengendalikan
apakah pemerintah telah mempertimbangkan elemen-elemen formal
dari negara hukum. Lebih jauh lagi, tidak seperti elemen-elemen formal dan substantif yang telah dibahas sebelumnya, peradilan yaitu 
seorang aktor, yang memiliki tugas untuk menjamin pemerintah dan
warga negaranya mematuhi batasan-batasan yang ditentukan untuk
menjalankan kekuasaannya. maka , masuk akal untuk menempatkannya dalam kategori ‘aktor ’ yang terpisah dan yang terdiri
dari mekanisme-mekanisme kontrol. Secara kebetulan, peradilan yang 
independen juga tidak setua elemen-elemen lain yang sebelumnya 
telah dibahas dalam kategori elemen formal. Meskipun ketidakpercayaan Plato dan Aristoteles terhadap demokrasi sudah menunjuk pada 
perlunya otoritas independen untuk penerapan hukum, baru Montesquieu yang secara penuh menyusun argumen tentang ini . sesudah  
Montesquieu, beberapa teoretikus bahkan memberi  definisi yang 
melampaui independensi peradilan dan memasukkan juga pemisahan 
antara eksekutif dan legislatif ke dalam definisi negara hukum.
Walaupun ada sumber yang relatif ‘baru’, penulisan riwayat proses-proses hukum pada abad ke-17 oleh para pakar sejarah, seperti 
Hay dan Thompson menunjukkan bagaimana pentingnya, bahkan sebelum Montesquieu, gagasan tentang independensi peradilan terhadap negara hukum. Dalam konteks ini, pengetahuan utama yang didapat dari analisis mereka yaitu  bahwa penerapan suatu hukum yang 
keberpihakan pada kelas yang berkuasa secara jelas mengarah pada 
hasil-hasil yang tidak adil, namun ini  dapat dikurangi oleh suatu 
lembaga peradilan yang independen, yang dapat memastikan bahwa 
setidaknya hukum dapat sekali-sekali melawan orang perorangan yang 
berasal dari kelas yang berkuasa ini  dan ini  terbukti dengan 
adanya hukuman mati yang kadang-kadang juga dijatuhkan terhadap individu dari kelas atas yang sangat menyalahgunakan posisi mereka.
Suatu peradilan yang independen yaitu  bagian dari seluruh definisi tentang negara hukum, kecuali definisi yang diberlakukan dalam 
negara-negara otoriter, seperti Vietnam atau Cina. Definisi-definisi 
yang ada  pada negara-negara ini  berargumentasi bahwa peradilan harus selalu  melayani kepentingan negara, yang tujuannya 
tidak berbeda dari negara-negara non-otoriter, namun negara-negara 
otoriter ini  lalu  berasumsi bahwa negara sama artinya dengan eksekutif. Meskipun demikian, selain dari pandangan ini , 
suatu peradilan yang independen secara umum dianggap sebagai elemen yang esensial dari negara hukum. 
Fakta bahwa definisi selalu berbicara tentang independensi peradilan dibandingkan  ketidakberpihakannya (impartiality) mencerminkan 
bahwa prioritas sebagian besar definisi tentang negara hukum masih 
dihubungkan dengan perlindungan atas warga negara terhadap eksekutif (dan terhadap badan legislatif walaupun tidak sejauh seperti terhadap badan eksekutif). Independensi yaitu  cara-cara untuk mencapai ketidakberpihakan, suatu konsep yang secara mengejutkan tidak 
banyak dibahas dalam literatur teoretis. Tidak demikian halnya dengan 
independensi, yang telah mendapat perhatian dari para ahli filsafat politik sampai para pembuat instrumen untuk para penggiat reformasi 
hukum. Meskipun sebagian besar literatur ini  membahas pengadilan-pengadilan, beberapa dari literatur ini  memperhatikan 
masalah independensi yang berkaitan dengan mediasi dan bentukbentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, yang biasanya menghasilkan peringatan-peringatan tentang adanya perbedaan kekuasaan 
antara pihak yang bersengketa.
Dalam Pasal 2 UU Kekuasaan Kehakiman 2009 ditentukan bahwa 
tugas pokok badan-badan peradilan yaitu  untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan 
kepadanya. Kalau diperhatikan, tindakan hakim di dalam mengadili itu 
terdiri dari 3 tahap, yaitu mengonstatir peristiwa, yang sekaligus berarti menilai peristiwa itu termasuk perbuatan hukum yang mana dan 
akhirnya mengkonstituir, yaitu memberi atau menyatakan hukumnya, 
maka dapatlah disimpulkan bahwa “mengadili tidak lain berarti memberi atau menyatakan (kepada yang berkepentingan) hukumnya (hak atau hukumannya).190
Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam UU 
Kekuasaan Kehakiman, yaitu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam warga . Ini dimaksudkan untuk menjamin sepenuhnya bahwa “perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar.”191 Dalam ini , hakim 
yaitu  “permus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di 
kalangan rakyat.”192 Sudikno Mertokusumo selanjutnya menegaskan 
bahwa “bukanlah pekerjaan yang mudah untuk menggali, mengikuti, 
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam warga .”
Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 2009 mengharuskan hakim untuk mengadili berdasar  hukum, baik yang tertulis maupun 
tidak tertulis. Hakim harus berpedoman kepada hukum yang berlaku. 
namun dalam Pasal 14 ayat (1) hakim tidak boleh menolak untuk 
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih 
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. ini  dapat diartikan bahwa jika  (Peraturan) 
hukum tidak jelas atau tidak sesuai lagi ia tidak boleh menolak untuk 
mengadilinya. Ia dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
Peraturan hukum yang sangat umum sifatnya, samar-samar, atau 
kurang jelas membuat pekerjaan seorang hakim lebih sukar. Hakim 
bukanlah sekadar “penyambung lidah” undang-undang (la bouche de 
la loi), bukan sekadar menerapkan undang-undang terhadap peristiwa 
hukumnya.
Hakim itu identik dengan pemutus perkara. Ada kredo menyatakan 
judge made law, hukum timbul sebab  putusan hakim. Profesi hakim 
yaitu  pekerjaan yang mulia, namun  sekaligus rentan godaan. Dengan ungkapan lain, hakim yaitu  profesi yang dipuja sekaligus 
dicela. Eksistensi keadilan memerlukan hakim dalam penerapannya. 
Kalau hakimnya tidak lagi taat hukum, hukum akan rusak dan justru 
memicu  keresahan khalayak.
Di negara kita , sejumlah masalah  penyelewengan profesi hakim tampaknya makin banyak terjadi. Ibarat fenomena gunung es, masalah -masalah  
yang muncul masih menyimpan banyak masalah  lain yang belum terku-ak. Dari putusan hakim yang dipandang tidak adil, seperti masalah  vonis hukum terhadap pencuri sandal dan pencuri buah cokelat, hingga 
suap-menyuap kelas kakap. Yang terbaru dan mengagetkan: tertangkapnya ketua MK oleh KPK. Ini membuktikan betapa ringkih mentalitas dan karakter hakim.
Dalam sejarah peradaban Islam, dikenal sematan profesi qadhi 
al-qudhot yang yaitu  instansi tertinggi dalam peradilan. Ada 
juga qadhi al-madzalim, hakim yang mengurusi segala bentuk penyelewengan. Kedudukan badan ini lebih tinggi dibandingkan  hakim biasa sebab  menangani perkara yang tak dapat diputuskan hakim biasa, 
meninjau kembali beberapa keputusan yang ada, atau menyelesaikan 
perkara banding.
Para ulama menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk 
menjadi hakim, qadhi. Tak sembarang mereka yang ahli hukum mudah menduduki posisi sebagai hakim. Di antara persyaratan itu yaitu  
berkemampuan tinggi, berkemampuan melaksanakan putusan, memiliki wibawa dan pengaruh besar, bersih dan lurus, tidak serakah, dan 
menjaga diri atau sikap hati-hati dari perbuatan syubhat dan meninggalkan yang haram.
Persyaratan ketat itu sesungguhnya berdasar pada Hadis yang 
mengingatkan, “Hakim itu ada tiga golongan, yaitu satu golongan masuk surga dan dua golongan lagi masuk neraka. Pertama, hakim yang 
masuk surga yaitu  hakim yang mengetahui hak (kebenaran) dan ia 
menghukum dengan kebenaran itu. Kedua, hakim yang mengetahui 
hak, namun  ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka. Ketiga, hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui 
kebenaran dalam perkara itu dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka hakim ini pun akan masuk neraka” (HR Abu Dawud). Ada 
hadis lagi yang mengingatkan, “Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim, sesungguhnya ia telah disembelih tanpa pisau”. Hadis itu yaitu  peringatan betapa profesi hakim penuh risiko sehingga membutuhkan ketahanan karakter diri yang kukuh. 
Dalam rekam sejarah Islam, banyak ulama yang menyadari dan 
lalu  enggan menduduki jabatan sebagai hakim. Ibnu Umar menolak saat  diminta Khalifah Usman bin Affan menjadi hakim. Abu 
Hanifah menolak menjadi hakim, saat  diminta Khalifah al-Mansyur. Semua ini didasari sikap sebab  saking takutnya terjungkal dalam ketidakadilan dan kezaliman. Dalam pandangan ulama fikih sendiri, profesi hakim dihukumi fardhu kifayah.
Ada kisah seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi. Rumi dulunya yaitu  seorang hakim yang sangat ahli dan kesohor pada masanya. Rumi 
dilahirkan di lingkungan terpelajar. Bapaknya yaitu  seorang ahli hukum dalam Mazhab Hanafi. Keilmuannya tentang hukum yang luas 
membuat Rumi dipercaya jadi hakim dan mengajar di madrasah-madrasah. Muridnya banyak dan warga  berduyun-duyun menimba 
ilmu dari Rumi. Rumi juga dikenal sebagai pembicara yang piawai dalam diskusi ilmiah yang menghadirkan banyak ilmuwan. Perjalanan 
profesinya ini ia lakoni hingga usia 40 tahun.
Perubahan besar dalam hidupnya saat  Rumi bertemu dengan 
Syam Tabriz, seorang pengelana spiritual yang berpenampilan eksentrik. Perjumpaan yang diwarnai dengan dialog sekilas dengan Syam 
Tabriz itulah yang membelokkan orientasi spiritual Rumi. Singkat kata, 
Rumi memilih meninggalkan segala kebesarannya, kesohorannya, keprofesorannya, dan profesi hakimnya. Dia menekuni kesufian demi 
mereformasi kediriannya yang dia sadari banyak tergoda gemerlap duniawi.
Cerita “pergumulan batin” ini tak berarti menghardik profesi hakim secara sewenang-wenang. Cerita ini menyimpan hikmah betapa 
materi, kemasyhuran, dan kecakapan ilmiah tidaklah cukup membuat seseorang baik dan menggapai kearifan. Masih dibutuhkan kendali 
batin yang menyimpan pelajaran berharga demi membentuk karakter 
pribadi yang tahan uji. Di sinilah yang hendak ditegaskan bahwa hakim 
perlu membenahi diri sebagai bagian dari usaha  memperbaiki kualitas 
lembaga peradilan. Hakim yang setiap hari bergumul dalam pencarian 
keadilan seyogianya memiliki tiga aspek dasar yang baik: insting, moral, dan nurani.
Pemimpin dan pengambil keputusan yang sudah mendayagunakan aspek itu akan menjadi penegak hukum yang bermartabat, memiliki moral, dan integritas sehingga setiap keputusannya membawa 
kemaslahatan bagi warga  dan negara. Tiga aspek dasar itu harus 
selalu  dibenahi dan diasah agar tetap tajam dan bisa dipakai  
dengan baik.
Hakim yang memiliki insting bagus secara instingtif mampu mengetahui hal baik dan buruk. Namun itu belum menjamin moralnya otomatis menjadi baik. Mungkin selama ini bashirah atau instingnya 
sudah baik, tapi sebab  tertutupi oleh hawa nafsu, maka dlamir atau 
moralnya dikorbankan. sebab nya, kedua-duanya haruslah dibenahi.
Insting dan moral (pada diri seorang hakim) yang baik akan menghasilkan nurani yang memiliki daya deteksi sangat tajam dan peka. 
Nurani itu akan memberi keputusan yang sangat jujur dan tak pernah 
bohong. Sekecil apa pun kesalahan dan kebenaran akan dilihat dan dirasakan sehingga keputusan yang diberikan menjadi apa adanya.
Selanjutnya, lebih lengkap lagi jika seorang hakim memiliki asrar
atau kemampuan menembus misteri dan lathifah atau kelembutan. 
Dengan memiliki asrar, seorang hakim mampu melihat implikasi dari 
keputusan yang diambilnya. Dengan lathifah, seorang hakim akan 
mampu menyadarkan dan menggerakkan warga  agar mengarah 
pada jalan yang benar.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif intelektual, dimasudkan sebagai perspektif penguasaan pengetahuan dan konsep-konsep, 
baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain, 
terutama ilmu sosial. Dalam perspektif intelektual ini, beberapa pelajaran dapat diambil bahwa setiap hakim harus memahami berbagi 
konsep hukum maupun konsep nonhukum agar dapat menentukan 
pilihan konsep yang dipakai  dalam memutus perkara penguasaan 
seluk-beluk ketentuan hukum yang meliputi bentuk dan isi aturan hukum, pengertian atau makna aturan hukum, hubungan sistematik antar berbagai ketentuan hukum, sejarah dan latar belakang suatu aturan 
hukum dan penguasaan seluk-beluk metode penerapan hukum.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif etik, bahwa hakim di 
mana dan kapan saja diikat oleh aturan etik di samping aturan hukum. 
Aturan etik yaitu  aturan mengenai moral atau berkaitan dengan sikap 
moral, aturan etik hakim lazim disebut kode etik hakim. Kode etik ini 
yaitu  aturan memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi untuk menjaga dan memlihara agar tidak terjadi tindakan 
atau kelalaian profesional, menjaga dan memelihara integritas profesi 
dan menjaga dan memelihara disiplin. Aturan etik ini dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 disebut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang disusun dan ditetapkan bersama oleh Mahkamah 
Agung dan Komisi Yudisial.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif hukum, yakni di samping kode etik dan tingkah laku hakim, juga diatur dan tindakan pada hukum, baik hukum-hukum khusus maupun hukum umum, dalam 
arti sebab  pada kemungkinan hakim tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya atau melanggar hukum.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif kesadaran beragama, 
hal mana kehidupan beragama bukan sekadar dorongan keyakinan atau kepercayaan, kehidupan beragama mendorong orang selalu 
berusaha menjadi manusia yang baik, berkualitas baik secara individu maupun sosial. Dalam kehidupan sosial, semua agama menuntun 
dan menuntut agar menjadi orang yang benar, orang yang adil, orang 
yang menyebarkan kasih sayang, orang yang bersimpati pada orang 
yang lemah, orang yang berbuat baik dengan tetangga dan berbagai 
kebaikan yang tak terhingga tanpa membeda-bedakan persamaan atau 
perbedaan agama yang dianut, tanpa membedakan asal usul atau perbedaan-perbedaan lainnya. Dimensi sosial bergama ini sangat relevan 
dengan pekerjaan hakim yang memikul tanggung jawab untuk memutus perkara dengan benar dan adil, kewajiban untuk tidak berpihak, kewajiban berlaku jujur, sebab  itu memupuk kesadaran beragama akan 
menunjang menjadi hakim yang baik.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif teknis peradilan, bahwa 
sumber utama penguasaan teknis yaitu  hukum acara (pidana, perdata, tata usaha negara) dan juga peradilan MK. Hukum acara tidak 
sekadar memuat ketentuan-ketentuan mengenai cara-cara mengadili, 
lebih dari itu hukum acara yaitu  hukum yang mengatur cara-cara 
menjamin dan melindungi pihak-pihak atau yang terkena perkara dari 
berbagai tindakan sewenang-wenang dalam menjalani peradilan. Secara publik kualitas hakim ditentukan oleh kemampuan beracara, baik 
yang menyangkut aspek-aspek teknis beracara maupun kemampuan 
mengendalikan acara persidangan, tingkat kemampuan beracara akan 
menentukan tingkat keberhasilan suatu persidangan untuk mewujudkan putusan yang tepat dan benar, adil, efisien, dan efektif.
Dalam hakim mengadili perkara, ia melakukan aktivitas atau kegiatan yuridis tersendiri dan tidak sekadar mengikuti silogisme belaka. Ia 
ikut serta dalam pembentukan hukum, namun bukan hukum objektif seperti yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang, yang 
sifatnya abstrak, melainkan hukum konkret yang diciptakannya dengan putusannya (judge-made law). Putusan hakim yaitu  hukum, maka 
haruslah sesuai dan dapat diterima oleh/di dalam warga . Hakim 
wajib memperhatikan kebutuhan praktik hukum atau peradilan.195
Hakim yang bekerja haruslah proaktif membuat putusan untuk 
menyelesaikan perkara dengan memperhatikan fakta -fakta  
sosial. maka , putusan hakim selalu dapat memenuhi rasa 
keadilan warga . Dari pemikiran inilah lahir doktrin baru dalam 
sociological jurisprudence tentang law is a tool of social engineering.196
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim lebih kuat dibandinkan Undang-Undang sebab  2 hal.197 Pertama, hakim menetapkan 
dalam tingkat terakhir secara konkret apa hukumnya. Kedua, bahkan 
dalam putusan yang bertentangan dengan undang-undang sekalipun, 
putusan hakim tetap memiliki  kekuatan hukum (“res judicata pro 
veritate habetur.”) Tidak mengherankan jika sementara sarjana hukum 
berpendapat bahwa hakimlah yang menjadikan tata hukum itu kekuatan yang nyata yang menguasai kehendak perseorangan. 
Sebagai contoh yaitu  masalah  dalam hukum acara perdata. Dalam 
HIR dan RBg. tidak menetapkan syarat-syarat tentang isi gugatan. Misalnya tidak diharuskan, seperi halnya dengan gugatan (daagvarding) 
dalam ketentuan hukum acara perdata Eropa yang diatur dalam Rv, 
bahwa gugatan harus memuat apa yang dituntut terhadap tergugat, 
dasar-dasarnya penuntutan ini  dan bahwa tuntutan itu harus terang dan tertentu. Hukum Acara Perdata yang termuat dalam HIR dan 
RBg. tidak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan. 
namun Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya memberi  fatwa bagaimana surat gugatan itu disusun.
Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberi  gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi 
dasar tuntutan.198 maka , apa yang dituntut harus disebut 
dengan jelas.199 Pihak-pihak yang beperkara harus dicantumkan secara 
lengkap.200 Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas, dan ukuran tanah.201
Menurut sistem HIR dan RBg. hakim memiliki  peran aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberi  petunjuk kepada pihak yang mengajukan 
gugatan ke pengadilan dengan maksud agar perkara yang diajukan 
itu menjadi jelas duduk persoalannya dan memudahkan hakim memeriksa perkara yang bersangkutan. Lebih dari itu, hakim berwenang 
untuk mencatat segala apa yang dikemukakan oleh pencari keadilan 
jika  yang bersangkutan itu tidak dapat menulis.
Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan Negeri, 
ketua majelis hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang beperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. ini  sesuai dengan sifat perkara perdata bahwa inisiatif 
beperkara datang dari pihak-pihak, sebab nya pihak-pihak juga dapat 
mengakhirinya secara damai melalui peraturan majelis hakim di muka 
sidang Pengadilan Negeri. jika  mereka berhasil mengadakan perdamaian, maka para pihak harus menuangkan hasil perdamaian ini  secara tertulis dalam bentuk perjanjian perdamaian dan hasil 
perdamaian ini  selanjutnya disampaikan kepada hakim pada 
acara persidangan berikutnya. berdasar  adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu, maka hakim tinggal menjatuhkan putusannya 
(acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk 
mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat di antara mereka.
Dalam hukum acara perdata hakim tidak hanya terikat pada kebenaran formal yang setengah-setengah atau kebenaran hasil pemutarbalikan fakta dari salah satu pihak, melainkan kebenaran yang dicapai 
oleh hakim yaitu  batas-batas yang ditentukan oleh para pihak yangbeperkara. Jadi, kebenaran yang diperoleh itu tidaklah berdasar  kualitas penyelidikan, melainkan luasnya penyelidikan. Luasnya penyelidikan itu terbatas pada tuntutan yang telah dikemukakan oleh pihakpihak saja. Oleh sebab itu, putusan harus mengandung hal yang sesuai 
dengan fakta persidangan. Apa yang diucapkan hakim pada sidang 
pengadilan harus benar-benar sama dengan apa yang tertulis dan apa 
yang tertulis harus benar-benar sama dengan yang diucapkan dalam 
sidang pengadilan. Untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi 
putusan yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Untuk mencegah 
adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan dipersidangan dan yang tertulis, Mahkamah Agung dengan surat edaran Nomor 5 
Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 7 
Maret 1962 telah menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan ini  diucapkan konsepnya harus sudah disiapkan.
Sejak tumbuh ketidakpuasan terhadap pandangan fiksi hukum 
dan legalisme yang selalu  bekerja dengan “njlimet” di sekitar undang-undang, maka gejolak ketidakpuasan itu memberi  kesempatan untuk memajukan pandangan hukum yang menganut sistem 
terbuka terhadap kewarga an dan berpikir tentang hukum yang 
rasional. Kemajuan pandangan hukum itu antara lain dikembangkan 
oleh aliran “rechtsvinding” yang memakai  pendekatan penerapan 
hukum terhadap kejadian konkret.
Sebagai institusi, hukum membawa pula berbagai persoalan, baik 
yang berkaitan dengan aturan substantif, acara, maupun pengelolaan.
Telah begitu banyak pendapat, bahwa aturan substantif atau hukum 
materiel yang ada mengandung berbagai masalah, seperti aturan ketinggalan sebab  masih warisan kolonial, tumpang-tindih, bertentangan satu sama lain, tidak lengkap, tidak jelas, dan lain sebagainya. 
fakta  ini  acap kali memicu  kesulitan menentukan hukum yang tepat atau cara-cara yang tepat dalam penerapannya, termasuk penegakannya oleh pengadilan. 
Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi yaitu  
usaha  pembuktian. Menjadi kewajiban para pihak beperkara dalam 
pembuktian yaitu  meyakinkan majelis hakim tentang dalil-dalil yang 
dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam pengertian yanglain, yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian 
untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum 
yang diperkarakan. Oleh sebab  itulah menjadi suatu asas bahwa barangsiapa yang mendalilkan sesuatu, maka harus membuktikannya.207
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasar  alat-alat bukti yang sah dan menurut 
hukum pembuktian yang berlaku.
Tugas hakim di dalam hukum acara yaitu  menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan telah benar-benar 
ada atau tidak, adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti 
jika  para pihak menginginkan kemenangan dalam suatu perkara, 
jika  para pihak tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang 
mendasar gugatan maka gugatannya akan dikalahkan dan jika  
mampu membuktikan gugatan maka gugatannya akan dimenangkan. 
Hukum pembuktian dalam beperkara yaitu  bagian yang sangat 
kompleks bahkan menjadi rumit oleh sebab  pembuktian berkaitan 
dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu 
(past event) sebagai suatu kebenaran, meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan kebenaran 
yang bersifat absolut namun  kebenaran yang bersifat relatif.208
Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, bebas menentukan 
berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, namun kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna 
kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan) dan pidana.209 Hakim dalam 
menjatuhkan pidana memperhitungkan sifat perbuatan pidana dan 
keadaan si pembuat serta perkembangan konsepsi individualisasi pidana sebagai pengaruh dari kriminologi yang mendorong adanya perhatian terhadap pribadi terdakwa sebagai pertimbangan hakim dalam 
menjatuhkan putusan pidana. Konsep inilah yang sering dinamakan 
sistem dua jalur (Twintrack system) di mana individualisasi pidana juga 
dipertimbangkan (Punishment should fit the criminal)D. PUTUSAN DAN PENGARUH
Untuk mengambil contoh yang klasik dapatlah disebutkan putusan H.R. 31 Januari 1919 (perkara Lindebaum-cohen) dalam penerapan 
Pasal 1365 BW, mengenai pengertian “perbuatan melawan hukum” 
yang menjadi lebih luas dibandingkan  penafsiran sebelumnya. Dalam praktik di negara kita , Putusan Mahkamah Agung menjadi revolusioner sebab  menetapkan janda sebagai ahli waris suami yang telah meninggal 
dunia.211 Putusan ini meninggalkan putusan sebelumnya yang menetapkan janda hanya sebagai “erfgerechtigde” atau yang “berhak atas 
warisan.”212 “Onheelbare twesspalt” (keadaan yang tidak mungkin didamaikan lagi) sebagai alasan untuk bercerai bagi mereka yang tunduk 
kepada BW, berhubung memang kebutuhan warga  sangat menghendaki hal itu untuk diperlakukan, sehingga rasa keadilan dapat dipenuhi secara wajar.213 Selanjutnya, situasi “Onheelbare twesspalt” itu 
bukanlah ditekankan kepada penyebab cekcok yang harus dibuktikan, 
namun melihat dari fakta nya yaitu  benar terbukti adanya 
cekcok yang terus-menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi.214
Dalam putusan lain, MA menyatakan “persamaan kedudukan antara 
pria dan perempuan.”215 Uang paksa yang tidak diatur dalam hukum 
acara perdata dengan pertimbangan “dibutuhkan di dalam praktik 
peradilan” telah pula diputus oleh MA pada 17 Mei 1967.216 Acara gugat 
cerai bagi golongan Eropa yang tunduk kepada BW dapat didasarkan 
kepada Pasal 53 HOCI (Putusan Mahkamah Agung 6 Maret 1967).
Dalam lapangan hukum pidana juga ada  contoh-contoh menarik mengenai sikap pengadilan yang akhirnya dianggap mampu menunjukkan fungsi hukum ini sebagai sarana pengayoman. Tidak asing 
bagi pengkaji hukum terhadap putusan pengadilan yang memperluas 
pengertian salah satu unsur delik pencurian sehingga lain dari pengertian semula menurut Pasal 362 KUHP. memakai  kekuatan aliran 
listrik tanpa memakai alat meteran resmi dikenai pencurian.217 Berdiri 
di sebelah dagangan sapi milik orang lain dan menerima pembayar-an dari pembeli, termasuk pencurian.218 Tindakan menyerahkan surat 
bon pengambilan kopi yang tidak dapat dipertanggungjawaban dalam 
tugasnya dirumuskan sebagai pencurian.219
Putusan pengadilan dapat mengubah makna dan isinya dari arti 
semula, misalnya “menyetubuhi wanita sakit idiot terkena larangan bersetubuh dengan wanita yang tidak berdaya” menurut Pasal 
286 KUHP.220 Seorang dokter hewan yang memberi  vaksinasi yang 
memicu  rasa sakit pada ternak, sekalipun diprotes oleh warga  awam, telah dilepaskan dari tuntutan hukum. Pengadilan menilai 
ketentuan yang memidanakan perbuatan yang memicu  rasa sakit pada ternak sudah ketinggalan zaman.221 Perbuatan terdakwa yang 
secara formal yaitu  delik namun secara materiil memenuhi 
kemungkinan dana perusahaan Caltex cukup pada bank-bank lain untuk dapat membayar cek yang dikelaurkan, diputuskan lepas dari dari 
tuntutan, yang berarti mengesampingkan berlakunya UU No. 17/1964 
tentang Cek Kosong.
Ketentuan Pasal 303 KUHP tidak jelas perumusannya sehingga 
memicu disparitas putusan. Seorang terdakwa yang mengadakan permainan Hwa Hwe, dijatuhi pidana oleh pengadilan negeri melanggar Pasal 303 KUHP jo. UU No. 22/1954,223 berbeda dengan sikap 
pengadilan banding bahwa yang diberlakukan yaitu  ketentuan UU 
No. 22/1954 dan bukan KUHP.
Suatu perbuatan dapat saja tidak dapat diatur oleh KUHP, namun hukum adat dapat menjadi dasar untuk pemidanaan. Contoh yang 
pertama yaitu  masalah  seorang terdakwa yang mengerjakan tanah adat 
tanpa izin yang berhak, dihukum melanggar hukum adat Karo Njurmak. Contoh yang kedua terjadi di Bali: perjaka A dan gadis B melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka. Saat B hamil dan 
A ternyata tidak bersedia mengawini, maka dipidana 3 bulan sebab  
pelanggaran delik adat “logika sanggrahaAda pula putusan pengadilan yang menafsirkan ketentuan Pasal 
284 KUHP yang mensyaratkan tunduk kepada Pasal 27 BW dikembangkan artinya sesuai dengan perkembangan warga . Seorang 
laki-laki beragama Islam yang menyetubuhi adik ipar, dihukum sebab  
melakukan perbuatan “sumbang” menurut Pasal 284 KUHP.
Cara pengadilan menafsirkan suatu peraturan untuk diterapkan 
dalam sebuah masalah  konkret acap kali berkaitan dengan pengaruhnya 
terhadap pembangunan, khususnya iklim investasi. Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa perjanjian pinjaman lepas pantai 
(“off-share loan”) tidak dengan sendirinya batal walaupun lupa dilaporkan kepada pemerintah.228 Pemilik modal sebab nya tanpa raguragu meminjamkan uangnya kepada pengusaha di negara kita . Dalam 
putusan lain, pengadilan menolak dimasukkannya bunga yang sedang 
“berjalan” ke dalam “Grosse Akte.” Akibatnya, investor menjadi cemas tentang jaminan pembayaran bunga mengingat bahwa bunga 
baginya yaitu  sumber keuntungan. Dalam masalah  lain, MA menolak 
surat pengakuan utang yang dibuat sebagai “Grosse Akta” antara lain 
sebab  “jumlah utang yaitu  sangat besar sehingga berdasar  kepatuhan dan keadilan, pihak yang berutang harus diberi kesempatan untuk membela diri dalam bentuk suatu gugatan biasa.” Pertimbangan 
nilai budaya MA agar debitur diberi kesempatan untuk membela diri 
memang tepat, namun ini mungkin dapat dialihkan kepada sistem 
hukum biasanya yang menjamin setiap orang untuk membela 
diri tanpa mengganggu keampuhan pranata “Grosse Akta” itu sendiri.
Pertimbangan perlindungan terhadap tiap-tiap pihak dalam perjanjian kredit juga menjadi perhatian MA. Dalam beberapa perkara, 
MA telah memberi  perlindungan kepastian hukum bagi kreditor 
perbankan. Masalah jumlah utang diperhatikan untuk tidak merugikan debitur dan dengan mempertimbangkan aspek formal pembuatan 
perjanjian, hakim menyatakan perjanjian kredit itu tidak sah dan tidak mengikat kedua belah pihak. Pengadilan juga memandang penting 
peranan akuntan publik untuk turut berperan dalam menerapkan 
aspek kepastian hukum dalam penentuan jumlah tagihan kredit perbankan. Demi keadilan, MA menerima “tanggung jawab tanpa kesalahan”, yaitu adil jika risiko yang timbul akibat kesalahan bersama ditanggung secara bersama. Selain itu, MA membuka peluang campur 
tangan hakim dalam perjanjian untuk memastikan bahwa perjanjian 
dibuat dan dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam hal kebebasan berkontrak, MA mengakui bahwa implementasi asas itu mencakup 
pula hak untuk mencantumkan klausula penghukuman bilamana salah satu pihak tidak memenuhi prestasi. Campur tangan hakim ini  termasuk pula “menentukan jumlah besaran utang berdasar  
rasa keadilan.”
Sesudah reformasi UU Kepailitan, ada  pula beberapa Putusan 
Mahkamah Agung yang berharga dalam memberi  pedoman dalam 
penyelesain perkara kepailitan. Menurut MA, “pembayaran utang selama proses kepailitan dapat dilakukan untuk menghindari minimal 2 
kreditur sebagai syarat pailit.” Selanjutnya, MA mempertegas pengertian utang ke dalam 2 bentuk, yaitu sisa nilai pekerjaan dan segala 
bentuk kewajiban debitur yang dapat dinilai dengan uang.
Sumbangan MA dalam perkembangan perikatan bisnis juga tidak 
dapat dikesampingkan. Dalam praktik, MA telah mendalilkan bahwa 
“hubungan sewa-menyewa tidak dapat diwariskan.” Dalam rangka 
menghormati tradisi hukum, maka MA menetapkan “pemutusan hubungan sewa-menyewa harus mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat” dan “pemutusan hubungan 
sewa-menyewa dalam suasana hukum adat lebih dititikberatkan pada aspek kepatutan, dalam ini  perlindungan hukum bagi pemilik tanah/bangunan.” Mengikuti undang-undang, MA merumuskan bahwa “dalam hal perjanjian sewa-menyewa itu tanpa batasan waktu, dinyatakan berakhir dalam 3 tahun.”
Untuk mengikuti perkembangan keadaan MA kadang-kadang menolak memberlakukan suatu norma hukum atas sebuah perkara. Sebagai contoh, MA memutuskan bahwa “sengketa sewa-menyewa yaitu  kewenangan Pengadilan Negeri.” Sengketa ini berkaitan dengan 
penerapan aspek kepastian hukum dan aspek keadilan dengan dasar 
perlindungan bahwa pihak yang menyewakan memerlukan perumahan itu untuk dipakai  berdasar  pertimbangan ekonomis dan keadilan. Menurut PP No. 49/1965, penyelesaian sengketa yaitu  
wewenang Kepala Kantor Urusan Perumuhan. namun  dengan 
berlakunya PP No. 55/1981, wewenang itu beralih ke pengadilan negeri. Dalam kedua putusan ini  MA secara tidak langsung melakukan 
pengujian norma hukum terhadap PP No. 49/1965, sebab pembentukan Kantor Urusan Perumahan sebagai suatu pengadilan khusus perumahan tidak dapat dibenarkan sebab  UUD 1945 mengharuskan hal 
itu harus ditetapkan dengan UU. 
Namun demikian, di dalam praktik, putusan terdahulu tidak diikuti dalam memeriksa dan memutus perkara sejenis. Dalam suatu perkara, MA menyatakan bahwa “sewa tidak hapus dengan meninggalnya 
salah satu pihak.” Putusan ini tidak mengikuti putusan terdahulu 
bahwa “dengan meninggalnya salah satu pihak maka perjanjian sewamenyewa gugur demi hukum.”
Pengadilan dalam masalah  tertentu harus menghadapi fakta  di 
mana peristiwa hukum yang dirumuskan berlansung pada saat ketentuan baru diberlakukan. Sebagai contoh, sebab  perkawinan dilangsungkan sebelum UU Perkawinan 1974 berlaku secara efektif, maka 
berlaku ketentuan-ketentuan hukum sebelumnya, yang dalam ini  
yaitu  ketentuan-ketentuan perkawinan menurut BW sekalipun yang 
bersangkutan beragama Islam.247 Dalam masalah  lain, menurut ketentu-an Pasal 72 HOCI peralihan agama tidak memicu batalnya/gugurnya perkawinan, maka berdasar  Pasal 66 UU Perkawinan 1974 
jo. Pasal 47 PP No. 9/1975, ketentuan Pasal 72 HOCI tadi masih berlaku, 
sebab  ini  belum diatur dalam UU Perkawinan yang baru dan Peraturan Pemerintah.248 Selanjutnya, dengan tidak diaturnya perkawinan 
antar-agama di dalam UU Perkawinan 1974, sekalipun ada UU zaman 
colonial yang telah mengatur, namun ketentuan itu tidak dapat diberlakukan sebab  adanya perbedaan prinsip dan falsafah.
Menarik pula mengamati, terutama dalam tahap awal operasionalisasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam memberi  kepastian hukum mengenai kepemilikan individu, khususnya tanah. Sebelum dibentuk PTUN, tidak ada usaha  hukum yang tegas guna melawan 
penolakan Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan, mengalihkan, atau membatalkan sertifikat. sesudah  terbentuknya PTUN, 
tindakan hukum ini dapat dimintakan kontrol ke pengadilan, namun 
tetap saja memicu  kekaburan mengenai batas-batas kontrol itu 
berhadapan dengan pengadilan perdata. ini  bisa ditunjuk dalam 
hak. Pertama, PTUN sering kali mengabaikan putusan pengadilan perdata. Kedua, dalam hal perkara tidak ada gugatan perdata, maka sering 
kali PTUN menempatkan dirinya sebagai pengadilan perdata. Ketiga, 
PTUN melengkapi putusan pengadilan perdata.
Untuk persoalan yang pertama dapat ditunjuk dua putusan, yaitu 
perkara Yahya vs. Kepala Kantor Pertanahan Palembang. Akar perkara 
yaitu  penjualan sebidang tanah oleh penjual yang tidak berhak. sesudah  menyadari cacat ini, maka Badan Pertanahan Nasional menolak 
memberi  sertifikat kepada pembeli, yang telah membangun rumah 
dan bengkel di atas tanah itu. Pembeli lantas menggugat pemilik asal, 
namun  mental di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi, dan Peninjauan Kembali. sesudah  usaha  ini, Pengadilan Negeri Palembang memerintahkan agar rumah dan bengkel ini  dibongkar. Namun pembeli 
tetap menolak dan mengajukan gugatan ke PTUN terkait sertifikat kepemilikan. Pengadilan lalu  mengabulkan gugatan ini , namun 
dengan mengabaikan batas kedaluwarsa pengajuan gugatan.Prosedur serupa ditemukan dalam Putusan PTUN Semarang dalam perkara Soedarti dan Subroto vs. Kepala Kantor Pertanahan Semarang,251 yaitu bahwa mereka melampirkan kesimpulan baru menurut 
fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh pengadilan perdata. Dalam 
putusan pengadilan perdata, penggugat hanya berhak mendapatkan 
ganti kerugian dalam bentuk uang, namun pengadilan memberi  
eksekusi riil, yaitu memerintahkan Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat pihak yang kalah dalam perkara perdata dan menerbitkan sertifikat baru untuk penggugat.
Untuk permasalahan yang kedua, yaitu dalam hal tidak ada putusan perdata mengenai kepemilikan, maka PTUN mengambil peran 
sebagai pengadilan perdata. Dalam perkara Tjokropranolo vs. Kepala 
Kantor Sewa Tanah Jakarta Utara, PTUN Jakarta secara cermat memeriksa perjanjian jual beli dan kerumitan kepemilikan yang melandasi 
penolakan tergugat untuk memberi  sertifikat kepada penggugat. 
Penolakan ini terjadi sesudah  ada intervensi camat atas nama para 
pengguna lahan. lalu  PTUN menyatakan menolak gugatan. 
Pengadilan banding dan Mahkamah Agung melakukan tindakan serupa namun  dengan konklusi yang berbeda dengan PTUN. Pengadilan 
banding mengabulkan sementara Mahkamah Agung menolak.
Untuk persoalan di mana PTUN melengkapi putusan pengadilan 
perdata, dapat ditunjuk antara lain dalam perkara Ratnaningsih vs. 
Kepala Kantor Pertanahan Bekasi,252 di mana PTUN Bandung memulihkan kesalahpahaman anatara ketua Pengadilan Negeri Garut dan 
tergugat. Dalam perkara ini, tergugat lalai mencatat penyitaan sebuah 
rumah yang hendak dilelang secara legal pada saat yang sama, namun 
sebab  penyitaan ini belum dicatat, tergugat memberi  sertifikat 
kepada pembeli. Untuk itu, PTUN tidak mengabulkan gugatan untuk 
mendapatkan sertifikat, namun memerintahkan tergugat untuk membatalkan sertifikat pembeli dan mengembalikan ke keadaan semula. 
Untuk mendapatkan putusan tentang masalah kepemilikan, maka 
penggugat dirujukkan ke pengadilan perdata.E. masalah  
Pada bulan Oktober 2013 di media terbaca berita unjuk rasa dokter 
terhadap kolega yang diputus bersalah oleh MA sebab  memicu 
kematian Julia Fransiska Makatey, April 2010.
Putusan hakim kasasi yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar 
dengan menjatuhkan pidana terhadap tiga dokter ternyata memicu  aksi solidaritas oleh ribuan dokter dengan turun ke jalan (unjuk 
rasa) di Jakarta dan sejumlah daerah. Dalam ini , MA memvonis 3 
dokter Rumah Sakit Prof. Kandou, Manado, dengan hukuman 10 bulan penjara pada 18 September 2012. Salah satu pertimbangan hukum 
MA, ketiga dokter itu melakukan “malapraktik” dalam menangani Julia 
Fransiska Maketey yang hendak melahirkan pada 10 April 2010, yang 
akhirnya meninggal dunia.
masalah  yang menimpa dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, bersama 
Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian, mengenyakkan warga , 
bukan saja sebab  munculnya kontroversi medikolegal, melainkan sebab  tingginya kadar emosi yang menyertai. Menyusul unjuk rasa, ada 
pelayanan rumah sakit yang terganggu, ada yang biasa saja.
Kita bisa melihat argumentasi tiap-tiap pihak, dalam ini  yang 
tertuang dalam pertimbangan kasasi MA dan peninjauan kembali perkara. Argumen dari dokter kita dengarkan. Seperti disampaikan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, dokter sudah berusaha  menyelamatkan 
pasien. Dokter Ayu diputus bebas di Pengadilan Negeri Manado.
Para dokter menilai Putusan Mahkamah Agung yaitu  wujud 
kriminalisasi dokter. Banyak pula dikemukakan tambahan penjelasan 
teknis kedokteran, seperti Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran negara kita  (MKDKI) Ali Baziad dan Staf Ahli Menteri Kesehatan 
Bidang Medikolegal Budi Sampurna. Penjelasan itu, antara lain, (jika 
ada perkara kedokteran dibawa) di pengadilan pidana, seharusnya 
(pengadilan) mempertimbangkan saksi ahli.
Hakim Agung Artidjo Alkostar berpendapat, tidak ada satu profesi pun yang boleh di atas hukum. Artidjo bersama Dudu Duswara dan 
Sofyan Sitompoel berpendapat berdasar  fakta yang terungkap di 
persidangan, hakim berkesimpulan ada kelalaian yang memicu 
orang lain meninggal. Falsafah lain yang dikemukakan kalangan dokter ialah tidak ada dokter yang berniat membunuh pasiennya. Pada sisi lain, kita masih sering mendengar komentar terhadap dokter. Ada yang 
melayani ala kadarnya, kurang berempati, dan—seperti disinggung harian ini—komunikasi dengan pasien tidak cukup baik.
namun  juga bisa muncul pertanyaan: apakah dokter tidak bisa 
dipidanakan jika dalam melaksanakan profesinya melanggar prosedur 
dalam penanganan seorang pasien sebagaimana dimaksud dalam UU 
No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan Kode Etik Kedokteran? Tulisan ini tidak akan terlalu jauh 
menelisik posisi malapraktik dan risiko hukumnya yang sudah tertera 
dalam Putusan Mahkamah Agung. Namun ada pertanyaan lain yang 
juga patut dicermati, selain memahami solidaritas para dokter. Misalnya, apakah pasien juga butuh keadilan? Apakah pelayanan kesehatan 
yang mestinya juga berkeadilan buat pasien dan semuanya, namun  banyak yang tidak terpenuhi lantaran para dokter meninggalkan tugas.
Dokter yaitu  profesi luhur dan terhormat. Dalam sejarah, seorang dokter digambarkan setengah dewa dan setengah manusia. Banyak yang berminat menjadi dokter. Banyak anak jika ditanya, bercitacita menjadi dokter. Namun tak semua anak yang bercita-cita menjadi 
dokter bisa menjadi dokter. Untuk menjadi dokter tidak cukup hanya 
mengandalkan kekayaan. Prasyarat kecerdasan, niat luhur menolong 
sesama, ketekunan, ketelatenan, dan keuletan harus dipenuhi.
Pendek kata, dokter yaitu  manusia pilihan di atas rata-rata warga  pada biasanya . Mereka memiliki jiwa pengabdian dan disumpah untuk selalu mendahulukan kepentingan pasien atau warga .
Oleh sebab itu, dapatkah diterima secara etis dokter melakukan 
pemogokan? Tentu jawabannya sangat dipengaruhi sudut pandang, 
posisi, konteks, dan tujuan mogok itu sendiri. Dokter yang kebetulan 
istrinya sedang bersalin yang telah pembukaan lengkap atau siap melahirkan tentu tak setuju jika dokter-dokter kandungan seluruh negara kita  mogok. Seorang pejabat dan direktur rumah sakit yang bertanggung jawab menjamin layanan kesehatan warga  berjalan lancar 
tentu akan merasa prihatin jika dokter kandungan mogok, apalagi secara nasional.
Bisa dimengerti jika Kementerian Kesehatan membuat surat edaran ke semua kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit. Surat 
edaran ini  terkait dengan rencana aksi solidaritas terhadap dr. 
Dewa Ayu Sasiary Prawani, Sp.O.G. dan kawan-kawan yang isinya ada tiga hal. Pertama, agar semua tenaga kesehatan di rumah sakit mendukung dengan memakai pita hitam di lengan kanan. Kedua, melakukan doa bersama untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, 
kesembuhan pasien, serta keamanan dokter negara kita  dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, memerintahkan agar pelayanan berlangsung 
seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.
Seorang profesor di fakultas kedokteran akan heran dan menanyakan mengapa para dokter mantan anak didiknya mogok, padahal 
sang profesor tak pernah sekalipun mengajari mogok, apalagi strategi 
dan teknik mogok. Lantas mengapa dokter mogok? Penulis mencoba 
memahami para dokter yang akan melakukan mogok untuk istilah aksi 
solidaritas. Meski penulis amat yakin, dokter tidak akan mogok, kecuali 
ada alasan kuat untuk itu.
Para dokter kandungan yang mogok khawatir mereka bisa mengalami risiko ditahan atau dianggap lalai atau melakukan malapraktik meskipun sudah menjalankan pengobatan sesuai standar praktik 
kedokteran, jika pasien meninggal. Mereka tahu persis, meski sudah 
memberi  layanan sesuai standar praktik kedokteran, namun  mereka 
yakin tidak bisa menjamin hasil proses layanan yang diberikan. Apalagi 
menyangkut nyawa dengan kondisi pasien yang parah.
Mereka ingin dalam menjalankan profesinya bisa aman dan terjamin dalam berbuat maksimal untuk menolong pasien terutama dalam 
keadaan emergency yang belum tentu berhasil. Mereka tidak ingin masalah  sama menjadi preseden terulangnya kejadian serupa. Jelas mereka 
ingin didengar warga  bahwa mereka telah menolong banyak pasien dan berhasil, namun  hampir tidak pernah diberitakan. Sekali pasien meninggal yang belum tentu diakibatkan oleh tangan dokter, sering 
dokter sudah divonis lalai atau melakukan malapraktik. Seakan-akan 
semua perjuangan dan kebaikan berbuat maksimal untuk kebaikan 
pasien hilang dan tenggelam.
Tentu dari sekian banyak dokter, ada yang lebih dipengaruhi konsumerisme dan tuntutan terkait dengan status dokter. Ada dokter yang 
kurang kompetensi, keterampilan, dan pengalamannya sehingga pasien merasa dirugikan. Ada mekanisme tertentu yang sudah diatur agar 
warga  dapat mempertanyakan apakah seorang dokter melanggar 
etika, melakukan kelalaian, atau malapraktik. Tidak perlu langsung 
aparat penegak hukum, namun  melalui Majelis Kehormatan Disiplin 
Kedokteran negara kita . Dengan mekanisme ini, semua akan diuntung-kan dan semua tidak dirugikan.
Pada zaman terbuka, semua soal bisa diverifikasi, termasuk kedokteran. Di sini, peran MKDKI sentral untuk menentukan ada tidaknya 
kesalahan dokter dalam menerapkan disiplin ilmu dan menetapkan 
sanksi disiplin. Kita memahami, sejumlah profesi, misalnya pilot dan 
wartawan, memiliki kode tata laku profesi yang bisa diterapkan manakala ada pelanggaran. Dahulu kita mendengar protes saat pilot diadili. 
Sejumlah pihak berpandangan, tidak ada profesi yang imun terhadap 
sanksi, termasuk sanksi hukum.
Demikian sekali putusan pengadilan ditetapkan, sekali itu pula 
akan mengundang komentar yang riuh. Putusan pengadilan di Dhaka, 
Banglades, sangat berani dan fenomenal. Dalam sehari, 6 November 
2013, pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadap 152 orang. 
Pengadilan juga memutuskan, 161 orang dihukum penjara seumur hidup, 256 orang dihukum dengan variasi hukuman antara 3 tahun dan 
10 tahun penjara, serta 277 orang dibebaskan.
Mereka didakwa terlibat dalam pemberontakan pada 2009. Pemberontakan yang dilakukan para anggota Border Guards Bangladesh, 
pasukan paramiliter yang bertugas menjaga perbatasan, melibatkan 
6.000 tentara. Pemberontakan itu menewaskan 74 orang, termasuk 57 
tentara.
Pemberontakan bermula dari tuntutan para penjaga perbatasan 
agar gaji mereka dinaikkan. Mereka merasa gaji dan perlakuan yang mereka terima sangat rendah, tidak layak. Mereka menuntut gaji mereka 
disetarakan dengan tentara yang menjalankan misi perdamaian PBB.
namun  keputusan pengadilan yang dijatuhkan hari Selasa kemarin itu dikritik kelompok hak asasi manusia. Mereka menyatakan, 
persidangan ini  tidak kredibel. Selain itu, mereka juga menyatakan, ratusan terdakwa ditempatkan di satu ruangan di dalam sidang.
Para terdakwa, menurut kelompok hak asasi manusia, juga tidak 
memperoleh akses mendapatkan pembela. Kalaupun memperoleh akses, juga sangat terbatas. Yang lebih menarik lagi, menurut mereka, ada 
paling kurang 47 tersangka meninggal dalam tahanan.
Pengadilan, terutama keputusan pengadilan itu, menarik perhatian. Putusan memang sudah dijatuhkan. Namun yang menjadi catatan 
para pembela hak asasi manusia yaitu  pengadilan tidak mampu menemukan penyebab utama pemberontakan sekaligus otak pemberontakan ini . Bahkan Presiden Bangladesh Institute of Peace and Se-curity Studies Mayjen (Purn) ANM Muniruzzaman mengatakan, orang 
yang benar-benar melakukan kejahatan masih bebas dan cerita yang 
sesungguhnya belum jelas.
Sepertinya, sejarah negeri berpenduduk 160 juta di anak benua 
yang tergolong miskin itu selalu berulang. Kudeta tahun 1981 terhadap 
penguasa militer Jenderal Ziaur Rahman dan kudeta tahun 1977 juga 
tak terungkap sepenuhnya. Siapa sesungguhnya otak kudeta ini . 
Sekadar catatan, Banglades sudah menghadapi 21 kudeta.
fakta  semacam itu memunculkan kekhawatiran bahwa putusan pengadilan semacam itu, meski sangat tegas dan fenomenal, 
menyisakan kecurigaan: jangan-jangan ada warna politik, kepentingan 
politik dalam pengadilan itu. Itu sebab  pada Januari 2014 mendatang 
Bangladesh akan menggelar pemilu, untuk memilih perdana menteri. Sulit memang untuk melepaskan kecurigaan semacam itu di negara 
yang menempatkan politik sebagai panglima dan segala cara bisa dipakai  untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Seperti diberitakan, Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Pajak, 
diperberat hukumannya oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar; dari 3 tahun 
6 bulan menjadi 10 tahun penjara. MA juga menghukum Zen Umar, 
Direktur Utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari semula 5 
tahun menjadi 15 tahun penjara.
Sejak ditetapkan sebagai kejahatan yang luar biasa, tindak pidana 
korupsi seharusnya memang ditangani secara luar biasa pula, baik oleh 
polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pewarga an, maupun oleh 
advokat dan adresat hukum warga . Enam komponen penegakan 
hukum ini  mesti bahu-membahu dalam pemberantasan korupsi 
melalui empat komponen penegakannya: komponen substansi (UU); 
struktur (kelembagaan); kultur hukum; serta kepemimpinan.
Pengadilan selama ini telah banyak berubah filosofinya, dari benteng terakhir pencarian keadilan menjadi benteng terakhir pencarian 
siapa yang menang dan kalah. Apa yang kurang dalam hal penyediaan 
UU dan struktur penegakan hukum kita? Semua telah tersedia, namun  
mengapa keadilan yang dicita-citakan tidak kunjung terwujud?
Ada dua hal penyebabnya: kultur hukum aparat penegak hukum, khususnya hakim, dan kepemimpinannya. Dua ini  menjadi bahan 
bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak. Untuk Putusan Mahkamah Agung atas masalah  Hindratno dan Zen Umar jelas sangat 
kental dipengaruhi faktor kultur hukum hakim dan kepemimpinan 
Artidjo sebagai Ketua Majelis Kasasi MA yang menangani perkara ini. 
Putusan Artidjo seolah hendak menjawab bahwa masih ada hakim MA 
yang “hidup” hati nuraninya, sesudah  beberapa waktu lalu ada hakim 
MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkara Sudjiono Timan yang berada dalam status buronan.
Kultur hukum hakim sangat berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebelum menjatuhkan putusan. Hakim yang tidak responsif 
terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan mengalami 
conflict of interest, bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan lain di 
luar dirinya.
Namun kultur hukum saja tidak akan cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara. Persoalan 
kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak 
hakim yang merasa masa bodoh dengan kreativitas dalam memutus 
perkara, apalagi berwatak progresif.
Dalam ini  perlu didorong terus semangat agar hakim mau melakukan tindakan kreatif dan progresif dalam menangani tindak pidana yang memang sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa seperti 
tindak pidana korupsi. Siapa yang menjadi kunci pendorong itu kalau 
bukan ketua MA dan juga ketua KY tempat para hakim bernaung secara 
institusional.
Para hakim tak boleh sekadar jadi corong UU (la bouche de la loi) 
dan tradisi konvensional yang menghambat kreativitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan dibandingkan  
kepastian hukum, seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav 
Radbruch?
Dalam penanganan masalah -masalah  hukum di negeri yang serba plural 
seperti negara kita  ini, termasuk masalah  korupsi, tampaknya tidak cukup 
bagi hakim seperti Artidjo hanya memakai  hukum negara (state 
law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum, selain faset hukum perundang-undangan.
Mengapa tidak banyak putusan hakim bernilai keadilan tinggi dan luhur? Malah sebaliknya, ada begitu banyak yang buruk sebab  cacat 
integritas dan berdampak merugikan orang banyak. Ada banyak dugaan bahwa hakim di negara kita  masih memegang kuat adagium: “Hakim 
yaitu  mulut undang-undang.” Diadopsi dari hukum Belanda, ini  
dipercaya sebagai konsekuensi sistem hukum kodifikasi (Kontinental). 
Inilah penyebab “kemandekan” hukum kita. Hakim tidak berani melakukan terobosan saat  undang-undang tidak lagi menampung rasa 
keadilan warga . Atas nama teks undang-undang, hakim lebih mementingkan terpenuhinya standar dan prosedur.
Kurang disadari para hakim bahwa keadilan hukum tidak identik 
dengan keadilan substansial. Keadilan hukum “sekadar” memenuhi 
standar dan prosedur, sedangkan keadilan substansial yaitu  terpenuhinya rasa keadilan warga . Logika keadilan hukum berpotensi 
memunculkan korban hukum, terutama orang miskin yang melakukan 
kriminal kecil. Sangat mudah membuktikan “kejahatan” orang miskin 
hanya dengan mencocokkan hasil penyidikan polisi, tuduhan jaksa, 
tersedianya barang bukti, dan bunyi undang-undang.
Sebaliknya pembuktian materiil dan terpenuhinya standar dan 
prosedur hukum itu bisa sangat manipulatif, jika  dimuati kepentingan dan uang. Terlalu banyak contoh tindakan korupsi, yang tidak 
bisa dihukum sebab  dalih tidak terpenuhinya unsur kejahatan. Padahal perbuatan korupsi dalam realitas jauh lebih luas cakupannya 
dibandingkan  unsur yang didefinisikan dalam UU No. 31/1999, yaitu “perbuatan menguntungkan diri sendiri/kelompok, penyalahgunaan kekuasaan, dan ada kerugian negara”. sebab  sempitnya definisi, hanya masalah  berskala besar, itu pun berkat keberanian Komisi Pemberantasan 
Korupsi (KPK), korupsi dapat dibongkar.
Korban hukum berikutnya yaitu  mereka yang tidak punya kuasa dan dikalahkan di pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 
atas masalah  pilkada yang lalu  terbukti cacat sekalipun dianggap 
harus tetap dijalankan sebab  yaitu  putusan final. Padahal, sudah jelas merugikan warga  luas dan membodohi akal sehat.
Pada masa kini, adagium “hakim sebagai mulut undang-undang” 
sudah ditinggalkan, bahkan di negara dengan sistem hukum Kontinental sekalipun, seperti Belanda, yang akar hukumnya sama dengan 
hukum kita. Sekarang di Belanda, putusan hakim semakin dianggap 
sebagai sumber hukum yang penting. maka , terjadi pertemuan yang semakin dekat antara sistem common law dan Kontinental. Sangat disadari bahwa hakim itu memiliki kedudukan strategis sebagai 
pembuat hukum kedua (secondary legislature), sesudah  parlemen (primary legislature). Hakim berkesempatan emas membuat hukum baru 
melalui putusan-putusannya, apalagi saat hukum tidak memadai.
Sorotan warga  terhadap hakim sangat tajam sebab  kinerja 
hakim yang lemah. Namun tidak sepenuhnya hakim salah sebab  di 
samping problem paradigmatis di atas, hakim juga diposisikan secara 
keliru oleh hukum kita. Amendemen ketiga UUD 1945 menyerahkan 
kekuasaan kehakiman sepenuhnya kepada lembaga Mahkamah Agung 
(MA) dan badan peradilan di bawahnya (Pasal 24 ayat 1 dan 2), dikuatkan SEMA 2005. Kemandirian hakim secara individual tidak diatur 
tegas, padahal hakim membutuhkannya dalam menjalankan fungsi 
yudisial. 
Posisi ini melahirkan relasi atasan-bawahan antara hakim dan 
ketua pengadilan, mengaburkan posisi kekuasaan kehakiman dan 
kemandirian hakim. Dalam mengadili perkara, hakim lebih mengabdi kepada kepen tingan birokrasi (atasan) dibandingkan  memberi putusan 
sesuai dengan keyakinan keadilannya. Hakim takut dinilai oleh atasan 
dan Komisi Yudisial (KY). Tentu ada banyak hakim baik dan progresif, 
namun  mereka tidak berdaya. Apalagi reformasi birokrasi yang menggabungkan urusan administrasi dan yudisial di bawah satu atap MA; 
tidak sepenuhnya berhasil. MA hanya menggantikan tirani kekuasaan 
pemerintah (Kemenkumham), terutama dalam menentukan mutasi 
dan promosi hakim.
saat  ketidakpercayaan warga  kepada hakim semakin memuncak seperti saat ini, muncul usaha  menghidupkan kembali kewenangan pengawasan eksternal KY terhadap hakim, yang pernah dicabut 
MK. Barangkali inisiatif ini akan terhadang oleh klausul tentang putusan MK yaitu  final. Namun jika  interpretasi terhadap ketentuan ini 
tidak steril dari realitas, dapat saja dicarikan strategi hukumnya.
Pertanyaan selanjutnya yaitu  bagaimana transparansi dan akuntabilitas KY sehingga kita bisa percaya bahwa mereka mampu melakukan fungsinya? Harus dapat dipastikan bahwa komisioner KY yaitu  
mereka yang memiliki karakter negarawan, berintegritas, serta berpengetahuan luas tentang instrumen hukum dan hak asasi manusia, termasuk perempuan.
Tidak kalah pentingnya yaitu  keberanian menyuarakan penyimpangan hakim agar putusan dapat dipertanggungjawabkan kepada hu-kum dan publik pencari keadilan. Sebaliknya, KY juga harus memiliki 
mekanisme untuk mengapresiasi hakim yang jujur dan bermartabat 
sebab merekalah yang menjadi benteng terakhir penjaga keadilan.
jika  kultur hukum hakim dan kepemimpinan di MA dan KY kurang mendukung kreativitas dan progresivitas hakim dalam memutus 
perkara, masih adakah harapan menghadirkan keadilan kepada warga ? Tentu masih ada, yakni melalui reformasi pendidikan tinggi 
hukum (PTH). ini  perlu ditawarkan sebagai solusi mengingat PTH 
sebagai ibu asuh bagi para hakim. Mereka digodok dan dilahirkan dari 
PTH ini.
Selama ini PTH kita cenderung mengajarkan hukum hanya dalam 
satu faset, yaitu faset UU yang sebenarnya sangat kering dari aspek 
moral, ethics, dan religion sehingga keras, kaku, dan dingin layaknya 
sebuah skeleton. Tugas PTH yaitu  merohanikan ilmu hukum sehingga berwatak humanis dan progresif, yakni (1) dengan kecerdasan 
spiritualnya seorang penegak hukum, termasuk hakim, tidak terkungkung oleh peraturan jika  ternyata peraturan hukum itu justru tidak 
menghadirkan keadilan; (2) penegak hukum mau melakukan penemuan-penemuan hukum melalui pencarian makna yang lebih dalam 
dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan 
makna-makna gramatikal yang dangkal; dan (3) penegak hukum mau 
memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak-pihak 
yang lemah yang harus dijamin dan dilindungi hak-haknya.
PTH se-negara kita  mesti mau berbenah dan berubah untuk tanggap terhadap adanya krisis dalam pemberantasan korupsi. Putusanputusan progresif hanya bisa dihasilkan oleh hakim-hakim yang progresif. Hakim-hakim progresif hanya dapat dihasilkan oleh PTH yang 
progresif pula, yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang 
hanya dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Untuk itu, 
seharusnya mulai dirintis perubahan kurikulum PTH serta perubahan 
pola pikir para dosen, pengajar diklat profesi hukum, menuju kurikulum pendidikan progresif, tidak lagi konvensional-legal positivistik.
Sebenarnya kebutuhan terhadap pendekatan hukum alternatif bisa 
ditelusuri akarnya di sekolah hukum di negara kita , bahkan sejak masa 
awal pendidikan tinggi hukum di negara kita . Sekolah Tinggi Hukum 
(Rechtshogeschool) pertama kali didirikan di Batavia tahun 1924, dan 
sejak itu cikal-bakal wacana studi sosiolegal sudah ditemukan. ini  
bisa ditelusuri dari pemikiran salah seorang pendiri Rechtshogeschool, Paul Scholten (2005 cet. ke-2), yang juga mantan hakim dan pengacara, yang mengatakan bahwa ilmu hukum mencari pengertian tentang 
hal yang ada (het bestaande). Namun pengertian itu tidak mungkin dicapai tanpa menghubungkan hukum dengan bahan-bahan historikal 
maupun kewarga an. Kemurnian hukum dipertahankan oleh para 
sarjana hukum, padahal di dalam bahan hukum terkandung bahanbahan yang tidak murni, sehingga bila itu dipaksakan maka hanya akan 
menghasilkan bloodless phantom atau kerangka tanpa daging.
Pendapat Scholten itu berawal dari kritiknya terhadap aliran pemikiran Kelsenian, yang memperlakukan hukum seperti benda-benda 
alam. Hukum diperlakukan sebagai benda terberi yang diisolasi dari 
konteks-konteks kewarga an dan historikal. Ada jarak antara objek 
kajian dan peneliti, dan jarak itu harus dijaga ketat, atas nama prinsip 
objektivitas, netralitas dan bebas nilai.
Menurut Scholten, hukum tidak hanya terdiri dari undang-undang 
dan peraturan, namun  juga vonis-vonis hakim, perilaku hukum orangorang yang tunduk pada hukum, perjanjian-perjanjian, surat wasiat, 
termasuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan warga warga . Hukum bukanlah benda terberi. Menurut hemat saya, bahkan 
peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan sekalipun, 
yaitu  produk dari tawar-menawar politik, dan akan sukar untuk dipercaya bahwa hukum bisa diisolasi dari kepentingan politik dan relasi 
kuasa.
ini  sejalan dengan yang dikatakan Cotterrell saat  menjelaskan kelemahan dari positivisme hukum. Memperlakukan data hukum 
sebagai peraturan hukum semata, tidak menunjukkan representasi fenomena hukum yang dinamik. Hal itu juga tidak menunjukkan realitas 
regulasi sebagai hasil perubahan yang terus-menerus, dari interaksi 
yang kompleks antara individu dan kelompok dalam warga . Positivisme hukum mengidentifikasi data hukum sejauh mungkin melihat 
ada apa di belakang proses legislasi saat  hukum itu dirumuskan, dan 
tanpa mempertimbangkan sikap dan nilai di kalangan para pembuat 
hukum. Sepanjang hukum dapat ditemukan, tidak dirasa perlu untuk 
memahami apa yang dianggap sebagai keadilan dan ketidakadilan, kebijaksanaan, efisiensi, moral, dan signifikasi politik dari hukum. Belum 
lagi bila bicara tentang perspektif kebudayaan yang banyak digeluti 
oleh para antropolog hukum. Hukum sangatlah terkait dengan kebudayaan, bahkan mengartikan hukum sebatas hukum undang-undangyaitu  tidak realistis, sebab  hukum yaitu  dokumen antropologis 
yang hidup.
maka , menghadirkan studi (pendekatan) hukum alternatif akan memperkaya studi hukum doktriner. Di negara kita  secara 
“klasik” para sarjana hukum yang mempelajari studi alternatif ini mengembangkan disiplin ilmu dalam filsafat hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, dan hukum adat, dan studi gender dan hukum dalam 
15 tahun terakhir. Namun secara tidak disadari banyak di antara mereka sebenarnya juga melakukan studi sosio-legal. Mereka melakukan 
analisis kritis terhadap teks (dokumen) hukum, sambil menunjukkan 
pengalaman bekerjanya hukum dalam konstelasi yang rumit bersentuhan dengan relasi kekuasaan dalam warga . Mereka melakukan 
studi doktrinal, dan sekaligus juga studi empiris. Dalam hal melakukan 
studi empiris itu, mereka bebas lepas meminjam metode ilmu sosial 
yang luas yang ada dalam ilmu sosiologi dan antropologi modern, sejarah, ilmu politik, studi perempuan, yang metode penelitiannya juga 
terus berkembang meninggalkan metode penelitiannya yang klasik. 
Pada masa kini, kebutuhan studi sosio-legal menjadi semakin luas, 
meskipun di dunia akademik hukum pengakuan terhadapnya sebagai 
suatu “genre” baru dalam studi hukum masih sangat terbatas. 
Angelina Sondakh terdakwa masalah  korupsi suap kepengurusan 
anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian 
Pendidikan Nasional telah divonis hukuman 4,5 tahun penjara, tambah denda Rp 250 juta subsider enam bulan penjara. Putusan Pengadilan Tipikor dibacakan oleh Sudjatmiko (Ketua), Marsudin Nainggolan, Afiantara, Hendra Yosfin, dan Alexander secara bergantian dalam 
persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 
Jakarta, Kamis 10 Januari 2013. 
Adapun pasal yang dipakai  oleh Majelis Hakim Tipikor ini  
dalam putusannya yaitu  Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Putusan Majelis 
Hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang minta agar Angie 
dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam 
bulan kurungan. Jaksa memakai  memilih Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, yang ancaman hukumannya lebih berat, maksimal 20 tahun penjara.
Selain ada  perbedaan tuntutan hukum antara majelis hakim 
dan jaksa penuntut, juga ada  perbedaan dalam bukti uang yang 
diterima oleh Angelina Sondakh. Hakim menyebutkan Angie terbukti 
menerima uang RP 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar Amerika atau berjumlah Rp 14,5 miliar. Jaksa penuntut menilai Angie terbukti menerima uang senilai total Rp 12,58 miliar dan 2.350.000 dollar AS sepanjang 
2010.
Majelis Banding Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 
Pengadilan Tinggi Jakarta menerima permintaan banding dari penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menguatkan putusan terhadap Angelina Sondakh. Majelis Pengadilan Tinggi 
juga mempertimbangkan majelis hakim tingkat pertama telah tepat 
dan benar menurut hakim sehingga diambil alih serta dijadikan sebagai pertimbangan majelis banding dalam memutus perkara ini. 
namun , Vonis untuk mantan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh (Angie) lalu  diperberat. Mahkamah 
Agung (MA) menjatuhkan pidana 12 tahun penjara, serta denda Rp 500 
juta subsider delapan bulan kurungan Angie diganjar hukuman uang 
pengganti yang sebelumnya hukuman tidak dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Putusan ini  ditetapkan pada 
Rabu 20 November 2013. Hukuman ini  terbilang jauh lebih berat 
dari vonis majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 
Jakarta sebelumnya yang hanya 4,5 tahun penjara. 
Dalam ini , majelis kasasi menganggap Angie aktif meminta imbalan uang ataupun fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar tujuh persen dari nilai proyek, dan disepakati lima persen. Dan harusnya 
sudah diberikan ke terdakwa 50 persen pada saat pembahasan anggaran dan 50 persen sesudah  DIPA turun. Untuk membedakan antara Pasal 
11 dengan Pasal 12 a. Dalam ini  MA menerapkan Pasal 12 a UU 
Tindak Pidana Korupsi. 
Selain itu, mantan putri negara kita  itu pun dianggap aktif memprakarsai pertemuan untuk memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang 
kepada Haris Iskandar, sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, dalam rangka mempermudah usaha  penggiringan anggaran di Kemdiknas. Tak hanya itu, Angie juga dianggap ikut mengajukan program 
usulan kegiatan di sejumlah Perguruan Tinggi. Beberapa kali terdakwa Angie memanggil Haris Iskandar dan Dadang Sugiarto dari Kemendiknas ke kantor DPR dan terdakwa minta memprioritaskan pemberian 
alokasi anggaran terhadap Perguruan Tinggi. 
Di samping itu, Angie juga dianggap beberapa kali melakukan komunikasi dengan Mindo Rosalina Manulang, tentang tindak lanjut dan 
perkembangan dibandingkan  usaha  penggiringan anggaran dan penyerahan imbalan uang atau fee. Terdakwa lalu mendapat imbalan dari uang 
fee sebesar Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta. Sehingga perbuatan 
terdakwa itu memenuhi unsur 12 a dalam dakwaan primair. Dalam putusan kasasi, MA juga mengkoreksi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta 
dan Pengadilan Tinggi yang tak melihat Pasal 17 UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menyebutkan selain hukuman pidana seperti dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5–14, terdakwa juga dapat dijatuhi pidana 
tambahan seperti dimaksud Pasal 18, yaitu hukuman uang pengganti. 
Jadi Pasal 12A termasuk di antara Pasal 5-14, sehingga terdakwa bisa 
dijatuhi pidana uang pengganti. Jadi seolah-olah putusan Pengadilan 
Tipikor dan Pengadilan Tinggi tidak mau menjatuhkan uang pengganti 
sebab  beranggapan itu uang yang dikelola dari perguruan tinggi, bukan dari keuangan negara.
Pemidanaan yang diperberat juga terjadi dalam masalah  Djoko Susilo. Pada 19 Desember 2013, Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta 
memperberat hukuman terdakwa korupsi mantan Kepala Korps Lalu 
Lintas Polri Irjen Djoko Susilo. Selain menjatuhkan pidana pokok, hakim banding yang diketuai Roki Panjaitan dengan anggota Humuntal 
Pane, M Djoko, Amiek, dan Sudiro menjatuhkan pidana tambahan 
terhadap Djoko. Majelis banding memperberat hukuman Djoko dari 
10 tahun menjadi 18 tahun penjara, memerintahkan Djoko membayar 
uang pengganti Rp 32 miliar, merampas 47 barang bukti berupa tanah 
dan bangunan serta mobil dan uang yang dikuasai Djoko. Pidana tambahan lain yang dijatuhkan yaitu  mencabut hak politik Djoko, yakni hak memilih dan dipilih sebagai pejabat publik. Pidana tambahan 
yaitu  pasal nganggur yang belum pernah diterapkan dalam pidana 
korupsi. Kini, KPK menerapkannya.
Pidana tambahan diatur dalam KUHP dan Pasal 19 UU Tindak Pidana Korupsi. Pidana tambahan bisa berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, dan serta pembayaran uang pengganti. Rasanya baru 
majelis banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengenakan pidana 
tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih Djoko sebagai pejabat publik. Majelis pertama menilai pencabutan hak politik terlalu berlebihan. Pertimbangan berbeda diambil majelis banding. Majelis 
yang diketuai Roki secara bulat bahkan mengabulkan semua tuntutan 
jaksa penuntut umum, baik pidana pokok maupun pidana tambahan. 
masalah  korupsi pengadaan alat simulasi pembuatan SIM memang masalah  
besar. Dalam perjalanannya sempat terjadi perebutan menyidik antara 
KPK dan Polri sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan, masalah  simulator SIM sebaiknya ditangani KPK. KPK akhirnya menjerat Djoko Susilo dengan tindak pidana pencucian uang.
Putusan hakim banding patut diapresiasi di tengah kegeraman 
publik terhadap vonis hakim korupsi yang tidak menjerakan. Pengenaan pidana tambahan bisa saja memicu  pro dan kontra. Namun 
kita memandang biarlah pertimbangan majelis hakim banding itu diuji pada tingkat Mahkamah Agung jika Djoko tidak puas. Bahkan, kita 
berharap pertimbangan majelis hakim banding itu bisa disepakati majelis kasasi sehingga akhirnya tercipta yurisprudensi untuk pengadilan masalah  korupsi. Putusan hakim harus diarahkan untuk bukan hanya 
menegakkan hukum dan keadilan, melainkan juga seiring dan sejalan 
dengan pergolakan jiwa bangsa memerangi korupsi.
Seorang hakim di Inggris mengatakan, “Saya hukum gantung 
kamu bukan sebab  kamu mencuri kuda, melainkan agar kuda-kuda 
lain tidak dicuri.” Pertimbangan hakim Inggris itu relevan dalam putusan hakim Roki. Penjatuhan pidana tambahan terhadap Djoko justru 
dimaksudkan untuk mencegah uang negara lain dijarah untuk kepentingan pribadi penyelenggara negara. Bangsa ini membutuhkan hakim 
progresif yang mau ikut menjawab permasalahan bangsanya.
Dari beragam perspektif, putusan kasasi Angie jelas memiliki semangat yang berbeda dengan beberapa vonis korupsi yang terasa 
hambar. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa putusan korupsi di 
tingkat kasasi yang juga ada pemberatan, vonis kasasi Angie memiliki pesan yang tegas dan jelas. sebab  itu, tak terlalu berlebihan jika 
banyak pihak memberi  apresiasi luar biasa terhadap putusan ini. 
Namun kalau dilihat secara utuh konstruksi Pasal 17 dan 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, putusan 
kasasi Angie akan memiliki lompatan luar biasa besar jikalau majelis 
hakim juga memberi  hukuman tambahan dengan mencabut hakhak tertentu Angie, misalnya, hak untuk mendapatkan remisi. Terlepas dari hal itu, mampukah semua pihak membaca pesan di balik putusan 
Angie?
Pesan pertama putusan kasasi ini, proses hukum harus mampu 
membuktikan dapat menjangkau dan mengungkap secara tuntas semua jejaring yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Angie. 
Alasannya amat sederhana, kejahatan ini terjadi tidak mungkin dilepaskan dari posisi Angie sebagai politisi di komisi yang langsung membawahkan kedua kementerian negara di atas. sebab  itu, tindakan 
penyelewengan yang dilakukan pasti tidak sendiri. Dalam batas penalaran yang wajar, tindakan Angie hampir dapat dipastikan melibatkan 
pihak lain di komisi yang bermitra dengan kedua kementerian ini . sebab  itu, agar logika penegakan hukum berjalan linear, penyidikan harus mampu menjerat pihak lain yang menjadi bagian dari jejaring Angie. Bagaimanapun, manuver Angie “menggoreng” anggaran di 
DPR sulit berjalan mulus tanpa dukungan politisi lain.
Bukan hanya kemampuan menjangkau politisi lain, proses hukum 
harus pula mampu mengendus kemungkinan keterlibatan sejumlah 
pihak di Kementerian Pendidikan Nasional serta di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sebagai kejahatan yang yaitu  hasil kerja kolektif, pengaturan proyek tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan mitra kerja di pemerintah. Alasannya sederhana, pembahasan anggaran 
di DPR, persetujuan harus diberikan pemerintah dan DPR. Pertanyaan 
mendasarnya: bisakah politisi bermain sendiri tanpa “membangun” 
mitra dengan pemerintah? 
Untuk mendukung logika di atas, saat  tahap-tahap awal penegakan hukum skandal ini, terkuak fakta keterlibatan sejumlah perguruan tinggi menerima kucuran dana dari manuver Angie. Bahkan telah 
pula diketahui, beberapa pimpinan  dari perguruan tinggi menjadi tersangka. Namun proses hukum sebagian perguruan tinggi yang pernah 
dinyatakan menerima faedah dari manuver Angie mengalami kelumpuhan total. Selain itu, penegakan hukum pun enggan menelusuri kemungkinan adanya peran sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan 
Nasional. Hal yang sama harus pula dilakukan di Kementerian Pemuda 
dan Olahraga. 
Bukan hanya itu, penelusuran kepada pihak lain yang tidak kalah 
pentingnya dilakukan yaitu  kemungkinan keterkaitan dan peran Partai Demokrat. Sebagai salah seorang figur dengan posisi sentral dalam 
partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu 2009, putusan kasasi Angie seharusnya dimaknai pula sebagai amanat kepada KPK untuk 
menelusuri lebih jauh dan lebih serius kemungkinan keterlibatan Partai Demokrat dan sejumlah elitenya di tengah pusaran korupsi yang 
melibatkan Angie.
Skandal korupsi yang dilakukan Angie membuktikan satu hal: mereka yang diberikan mandat untuk mengelola negara, tanpa merasa 
takut, menggadaikan kewenangan yang diberikan kepadanya. Terkait 
dengan fakta itu, pesan berikutnya dari putusan Angie: mereka yang 
menggadaikan atau memperdagangkan kewenangan harus dijatuhi 
hukuman berat. Dengan hukuman berat, mereka yang memperoleh 
mandat yang sama harus berhitung kembali untuk menyalahgunakan 
kewenangan yang ada.
Dalam skandal Angie, mantan elite Partai Demokrat ini “menggoreng” sedemikian rupa otoritas yang dimiliki anggota DPR dalam 
penyusunan keuangan negara melalui APBN. Jamak diketahui, penyusunan APBN membuka celah terjadinya penyimpangan. Misalnya, 
Pasal 157 ayat (1) Huruf c UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, 
dan DPRD; serta Pasal 15 ayat (5) UU No. 17/2003 tentang Keuangan 
Negara menyediakan ruang bagi anggota DPR membahas RAPBN secara terperinci alias sampai Satuan 3. Bahkan, kesempatan untuk memblokir (perbintangan) anggaran dalam Pasal 71 Huruf (g) dan Pasal 156 
Huruf a, b UU No. 27/2009 potensial “digoreng” untuk memperoleh 
keuntungan pribadi.
Pesan memberi  vonis berat tidak hanya sebab  alasan mengingkari amanah rakyat, namun  juga sebab  tindakan ini  yaitu  pengingkaran serius terhadap amanah UUD 1945. Sebagai lembaga yang diberikan fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan 
dalam penyusunan RAPBN, anggota DPR harus dimaknai secara tepat. 
Salah satu pemahaman ini , peran dan keterlibatan DPR dalam 
pembahasan dan persetujuan RAPBN mesti dimaknai sebagai pintu 
masuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara.
Sesuai dengan pemahaman ini, saat  kesempatan ikut membahas 
dan menyetujui RAPBN dimanfaatkan sedemikian untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok, para penyusun APBN dapat dikatakan 
mengingkari secara nyata amanat konstitusi. Dalam ini , Pasal 23 
UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan negara dilakukan secara bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.Dalam seminar negara kita -Myanmar yang diselenggarakan Komunitas negara kita  untuk Demokrasi di Jakarta, 29 Oktober 2013, muncul 
sebuah pertanyaan yang mengundang debat yang hangat. Apakah 
masih ada alasan membela dan memajukan demokrasi kalau sebagai 
sistem politik, demokrasi di negara-negara yang dinamakan young democracies tidak sanggup mencegah korupsi dalam pemerintahan dan 
gagal juga menghentikan praktik-praktik yang melanggar HAM dalam 
warga ? 
Kita bisa menambahkan keberatan lain, misalnya mempertanyakan kemampuan demokrasi mewujudkan keadilan sosial yang lebih 
baik atau mendorong pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. 
Dalam tulisan ini kita membatasi pertanyaan pada korupsi dan pelanggaran HAM saja. Sanggupkah demokrasi memperbaiki keadaan dalam 
hubungan dengan dua masalah ini ? Rupa-rupanya demokrasi 
tidak bisa diharapkan menghilangkan korupsi dan pelanggaran HAM 
dengan kecepatan sebuah tablet dari apotek menghilangkan sakit kepala atau sakit perut. Demokrasi yaitu  sebuah sistem besar yang 
hanya efektif kalau dia berhasil membangun mekanisme-mekanisme 
lain dalam dirinya, yang membuatnya menemukan jalan mencapai sasaran dalam kinerjanya. Ada sistem-perantara yang harus ada terlebih 
dahulu agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik.
Korupsi, misalnya, bisa dikurangi dan bahkan dicegah kalau sudah ada tata kelola yang rapi dan tangguh dalam pemerintahan, yaitu 
tegaknya good governance. Tata kelola yang baik dalam pemerintahan 
terbangun kalau ada kombinasi yang optimal antara birokrasi yang 
bersih dan efisien dan kemauan politik dan kekuatan politik yang tecermin dalam kebijakan publik yang dapat diimplementasikan.
Tata kelola dalam pemerintahan dapat dibandingkan dengan tata 
kelola dalam perusahaan bisnis, di mana birokrasi yang bersih dan efisien dapat disejajarkan dengan administrasi dan manajemen dengan 
SOP yang jelas, sementara kemauan politik dan dukungan kekuatan 
politik dalam pemerintahan mendapat padanannya dalam struktur 
kepemimpinan perusahaan. Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Bisnis jelas tidak sama, namun  beberapa fungsinya dapat dibandingkan sekalipun hanya secara analog. Dalam arti itu public good governance dapat mengambil pelajaran dari corporate good governance
dan sebaliknya.
Birokrasi dan SOP yaitu  ibarat mesin yang hanya dapat berfungsi kalau dijalankan dengan mengikuti tuntutan mekanik mesin itu. Sebuah mobil bisa dihidupkan, lalu  dimasukkan gigi 1 atau gigi 2 dan 
diberi gas, namun  tidak akan berjalan baik kalau sopirnya menarik rem 
tangan. Tindakan ini menyalahi mekanik mesin mobil. Atas cara yang 
kurang lebih sama, birokrasi dan SOP hanya berfungsi kalau dilaksanakan dengan mengikuti tuntutan prosedur di dalamnya.
Hubungan efisiensi birokrasi dengan bersihnya birokrasi bersifat 
timbal balik. Efisiensi birokrasi menuntut bersihnya birokrasi sebagai 
syarat mutlak meskipun bukan syarat yang mencukupi, sebab  efisiensi selalu bisa ditingkatkan dengan memperbaiki dan menyederhanakan prosedur birokrasi melalui cara-cara yang lebih baru. Sebaliknya, 
birokrasi yang tidak bersih dapat dipastikan tidak akan mencapai efisiensi sebab  prosedurnya diselewengkan untuk tujuan lain yang bertentangan dengan tuntutan prosedur.      
Seterusnya, kemauan politik dan kekuatan politik dalam implementasi kebijakan publik pemerintah, dan struktur kepemimpinan 
dalam perusahaan, dibutuhkan untuk memberi  sekurang-kurangnya tiga hal penting dalam implementasi kebijakan publik atau suatu 
program bisnis, yaitu sense of mission dalam menetapkan tujuan, sense 
of direction dalam menentukan arah, dan sense of commitment yang 
melahirkan motivasi yang kuat. Dalam berbagai masalah , terbanyak pemimpin politik sekarang hanya sanggup menunjuk tujuan (yang bersifat umum), seperti negara kita  2025 atau negara kita  2045, namun  tak 
dapat menunjuk arah yang harus dan bisa ditempuh, dan juga sangat 
lemah dalam memberi  motivasi untuk melewati berbagai tahapan 
yang harus dilalui.
Situasi ini dapat dipahami sebab  merumuskan tujuan yaitu  hal 
yang paling mudah untuk seorang pemimpin, sebab  tujuan sering kali 
terdiri dari impian yang bersifat normatif. Menetapkan arah lebih sulit 
sebab  mengandaikan adanya kepekaan terhadap situasi, dan wawasan tentang kemungkinan bagi kesempatan atau munculnya halangan. 
Memberi motivasi yaitu  hal yang paling sulit sebab  mengandaikan adanya kepercayaan diri seorang pemimpin (apakah dia bersih 
atau tidak, yakin atau ragu) dan adanya kepercayaan kepada orang lain 
(yang harus merasa mereka memiliki  potensi, dan potensi itu benar-benar dibutuhkan).
Seorang pemimpin yang peragu cenderung mereplikasikan keraguannya pada mereka yang dipimpinnya, sedangkan pemimpin yangterlalu yakin tentang kemampuan dan kepandaiannya cenderung gagal membentuk tim kerja yang berhasil sebab  dia tidak mampu memicu  perasaan pada warga lain bahwa mereka memiliki  potensi, dan potensi mereka dibutuhkan.
Hal yang sama berlaku juga dalam usaha menghentikan pelanggaran HAM. Sudah jelas bahwa pelanggaran HAM hanya bisa dicegah  
atau dihentikan kalau ada penegakan hukum yang mendukungnya. 
Masalah yang harus diklarifikasi ialah apakah penerapan demokrasi 
dengan sendirinya mendorong tegaknya negara hukum yang kuat? Dalam sejarah politik di berbagai tempat di dunia, segera terlihat bahwa 
penerapan demokrasi dan penegakan hukum dapat berjalan secara tidak simetris. Ini terjadi sebab  hukum dapat ditegakkan dengan baik, 
dalam negara yang kurang demokratis, tidak demokratis, dan bahkan 
dalam negara yang otoriter. Otto von Bismarck mempersatukan Jerman dan berhasil membangun negara Prusia dengan memakai  
tangan besi, sambil menerapkan semboyan yang lalu  diwariskan 
dalam seluruh birokrasi Jerman, Ordnung muss sein, yaitu semua harus 
tertib dan teratur. Lee Kuan Yew barangkali bukan seorang demokrat 
yang patut dicontoh, namun  dia sanggup membangun rule of law di Singapura.
Terlihat dari contoh-contoh ini bahwa penegakan hukum tidak 
dengan sendirinya melahirkan demokrasi sebagai produknya, sebab  
tertib hukum dapat diterapkan untuk mendukung suatu pemerintahan yang tidak selalu demokratis. Dari sisi lainnya, kita bertanya apakah 
dalam suatu warga  yang semakin demokratis, penegakan hukum 
lebih mudah dilakukan dan dapat diperkuat sedemikian rupa sehingga 
mampu