Home » peradilan di indonesia 1 » peradilan di indonesia 1
Rabu, 13 September 2023
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 sesudah amendemen, menegaskan bahwa negara negara kita yaitu negara hukum. Sejalan dengan ketentuan ini maka salah satu prinsip penting negara hukum yaitu adanya jaminan penyelenggaran kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya.
Pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yaitu
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perjalanan sejarah kekuasaan kehakiman di negara kita seiring dengan perkembangan politik nasional pada biasanya , dari sejak masa
Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi telah diundangkan beberapa Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni UU No.
19/1964, UU No. 14/1970, UU No. 35/1999, UU No. 4/2004, terakhir UU No. 48/2009 diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009, mencabut dan membatalkan berlakunya UU No. 4/2004.
Pada dasarnya, UU No. 4/2004 telah sesuai dengan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945, namun substansinya belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang yaitu kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, juga untuk memenuhi putusan MK Nomor: 005/
PUU/2006 yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
putusan Mahkamah Konstitusi ini juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Tugas hakim biasanya yaitu melaksanakan hukum dalam
hal konkret ada tuntutan hak, yaitu tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrechting” atau tindakan menghakimi sendiri.189 Jadi kalau
ada tuntutan hak yang konkret atau peristiwa diajukan kepada hakim,
barulah hakim melaksanakan hukum. Hukum harus dilaksanakan,
terutama jika dilanggar, maka hukum yang telah dilanggar itu haruslah ditegakkan, dipertahankan atau direalisasikan. Dan, yang melaksanakan atau menegakkan dalam ini yaitu hakim. Untuk itu,
pembicaraan mengenai tugas hakim ini sering kali dikaitkan dengan
independensi pengadilan.
Independensi peradilan biasanya dikenal sebagai elemen
formal dari negara hukum, namun hakikat kelembagaannya menurut
penulis, menjadikannya lebih cocok untuk dibicarakan di bawah kategori yang terpisah. Dapat juga ditambahkan bahwa peradilan tidak hanya berurusan dengan penjagaan dan perlindungan elemen-elemen
formal dalam negara hukum. ini tidak hanya terjadi dalam praktiknya: pakar pengadilan manapun akan memberitahukan kita bahwa
para hakim akan memakai segala macam teknik mediasi untuk
mendapatkan suatu hasil yang dapat diterima oleh para pihak yang
bersengketa. biasanya para teoretikus hukum dapat menerima
bahwa para hakim harus mencoba untuk mencapai suatu hasil yang
secara substantif adil dan tentu saja mereka harus mempertimbangkan
hak asasi manusia.
Peradilan tidak hanya membatasi dirinya dalam mengendalikan
apakah pemerintah telah mempertimbangkan elemen-elemen formal
dari negara hukum. Lebih jauh lagi, tidak seperti elemen-elemen formal dan substantif yang telah dibahas sebelumnya, peradilan yaitu
seorang aktor, yang memiliki tugas untuk menjamin pemerintah dan
warga negaranya mematuhi batasan-batasan yang ditentukan untuk
menjalankan kekuasaannya. maka , masuk akal untuk menempatkannya dalam kategori ‘aktor ’ yang terpisah dan yang terdiri
dari mekanisme-mekanisme kontrol. Secara kebetulan, peradilan yang
independen juga tidak setua elemen-elemen lain yang sebelumnya
telah dibahas dalam kategori elemen formal. Meskipun ketidakpercayaan Plato dan Aristoteles terhadap demokrasi sudah menunjuk pada
perlunya otoritas independen untuk penerapan hukum, baru Montesquieu yang secara penuh menyusun argumen tentang ini . sesudah
Montesquieu, beberapa teoretikus bahkan memberi definisi yang
melampaui independensi peradilan dan memasukkan juga pemisahan
antara eksekutif dan legislatif ke dalam definisi negara hukum.
Walaupun ada sumber yang relatif ‘baru’, penulisan riwayat proses-proses hukum pada abad ke-17 oleh para pakar sejarah, seperti
Hay dan Thompson menunjukkan bagaimana pentingnya, bahkan sebelum Montesquieu, gagasan tentang independensi peradilan terhadap negara hukum. Dalam konteks ini, pengetahuan utama yang didapat dari analisis mereka yaitu bahwa penerapan suatu hukum yang
keberpihakan pada kelas yang berkuasa secara jelas mengarah pada
hasil-hasil yang tidak adil, namun ini dapat dikurangi oleh suatu
lembaga peradilan yang independen, yang dapat memastikan bahwa
setidaknya hukum dapat sekali-sekali melawan orang perorangan yang
berasal dari kelas yang berkuasa ini dan ini terbukti dengan
adanya hukuman mati yang kadang-kadang juga dijatuhkan terhadap individu dari kelas atas yang sangat menyalahgunakan posisi mereka.
Suatu peradilan yang independen yaitu bagian dari seluruh definisi tentang negara hukum, kecuali definisi yang diberlakukan dalam
negara-negara otoriter, seperti Vietnam atau Cina. Definisi-definisi
yang ada pada negara-negara ini berargumentasi bahwa peradilan harus selalu melayani kepentingan negara, yang tujuannya
tidak berbeda dari negara-negara non-otoriter, namun negara-negara
otoriter ini lalu berasumsi bahwa negara sama artinya dengan eksekutif. Meskipun demikian, selain dari pandangan ini ,
suatu peradilan yang independen secara umum dianggap sebagai elemen yang esensial dari negara hukum.
Fakta bahwa definisi selalu berbicara tentang independensi peradilan dibandingkan ketidakberpihakannya (impartiality) mencerminkan
bahwa prioritas sebagian besar definisi tentang negara hukum masih
dihubungkan dengan perlindungan atas warga negara terhadap eksekutif (dan terhadap badan legislatif walaupun tidak sejauh seperti terhadap badan eksekutif). Independensi yaitu cara-cara untuk mencapai ketidakberpihakan, suatu konsep yang secara mengejutkan tidak
banyak dibahas dalam literatur teoretis. Tidak demikian halnya dengan
independensi, yang telah mendapat perhatian dari para ahli filsafat politik sampai para pembuat instrumen untuk para penggiat reformasi
hukum. Meskipun sebagian besar literatur ini membahas pengadilan-pengadilan, beberapa dari literatur ini memperhatikan
masalah independensi yang berkaitan dengan mediasi dan bentukbentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, yang biasanya menghasilkan peringatan-peringatan tentang adanya perbedaan kekuasaan
antara pihak yang bersengketa.
Dalam Pasal 2 UU Kekuasaan Kehakiman 2009 ditentukan bahwa
tugas pokok badan-badan peradilan yaitu untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Kalau diperhatikan, tindakan hakim di dalam mengadili itu
terdiri dari 3 tahap, yaitu mengonstatir peristiwa, yang sekaligus berarti menilai peristiwa itu termasuk perbuatan hukum yang mana dan
akhirnya mengkonstituir, yaitu memberi atau menyatakan hukumnya,
maka dapatlah disimpulkan bahwa “mengadili tidak lain berarti memberi atau menyatakan (kepada yang berkepentingan) hukumnya (hak atau hukumannya).190
Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam UU
Kekuasaan Kehakiman, yaitu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam warga . Ini dimaksudkan untuk menjamin sepenuhnya bahwa “perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar.”191 Dalam ini , hakim
yaitu “permus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di
kalangan rakyat.”192 Sudikno Mertokusumo selanjutnya menegaskan
bahwa “bukanlah pekerjaan yang mudah untuk menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam warga .”
Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 2009 mengharuskan hakim untuk mengadili berdasar hukum, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Hakim harus berpedoman kepada hukum yang berlaku.
namun dalam Pasal 14 ayat (1) hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. ini dapat diartikan bahwa jika (Peraturan)
hukum tidak jelas atau tidak sesuai lagi ia tidak boleh menolak untuk
mengadilinya. Ia dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
Peraturan hukum yang sangat umum sifatnya, samar-samar, atau
kurang jelas membuat pekerjaan seorang hakim lebih sukar. Hakim
bukanlah sekadar “penyambung lidah” undang-undang (la bouche de
la loi), bukan sekadar menerapkan undang-undang terhadap peristiwa
hukumnya.
Hakim itu identik dengan pemutus perkara. Ada kredo menyatakan
judge made law, hukum timbul sebab putusan hakim. Profesi hakim
yaitu pekerjaan yang mulia, namun sekaligus rentan godaan. Dengan ungkapan lain, hakim yaitu profesi yang dipuja sekaligus
dicela. Eksistensi keadilan memerlukan hakim dalam penerapannya.
Kalau hakimnya tidak lagi taat hukum, hukum akan rusak dan justru
memicu keresahan khalayak.
Di negara kita , sejumlah masalah penyelewengan profesi hakim tampaknya makin banyak terjadi. Ibarat fenomena gunung es, masalah -masalah
yang muncul masih menyimpan banyak masalah lain yang belum terku-ak. Dari putusan hakim yang dipandang tidak adil, seperti masalah vonis hukum terhadap pencuri sandal dan pencuri buah cokelat, hingga
suap-menyuap kelas kakap. Yang terbaru dan mengagetkan: tertangkapnya ketua MK oleh KPK. Ini membuktikan betapa ringkih mentalitas dan karakter hakim.
Dalam sejarah peradaban Islam, dikenal sematan profesi qadhi
al-qudhot yang yaitu instansi tertinggi dalam peradilan. Ada
juga qadhi al-madzalim, hakim yang mengurusi segala bentuk penyelewengan. Kedudukan badan ini lebih tinggi dibandingkan hakim biasa sebab menangani perkara yang tak dapat diputuskan hakim biasa,
meninjau kembali beberapa keputusan yang ada, atau menyelesaikan
perkara banding.
Para ulama menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk
menjadi hakim, qadhi. Tak sembarang mereka yang ahli hukum mudah menduduki posisi sebagai hakim. Di antara persyaratan itu yaitu
berkemampuan tinggi, berkemampuan melaksanakan putusan, memiliki wibawa dan pengaruh besar, bersih dan lurus, tidak serakah, dan
menjaga diri atau sikap hati-hati dari perbuatan syubhat dan meninggalkan yang haram.
Persyaratan ketat itu sesungguhnya berdasar pada Hadis yang
mengingatkan, “Hakim itu ada tiga golongan, yaitu satu golongan masuk surga dan dua golongan lagi masuk neraka. Pertama, hakim yang
masuk surga yaitu hakim yang mengetahui hak (kebenaran) dan ia
menghukum dengan kebenaran itu. Kedua, hakim yang mengetahui
hak, namun ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka. Ketiga, hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui
kebenaran dalam perkara itu dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka hakim ini pun akan masuk neraka” (HR Abu Dawud). Ada
hadis lagi yang mengingatkan, “Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim, sesungguhnya ia telah disembelih tanpa pisau”. Hadis itu yaitu peringatan betapa profesi hakim penuh risiko sehingga membutuhkan ketahanan karakter diri yang kukuh.
Dalam rekam sejarah Islam, banyak ulama yang menyadari dan
lalu enggan menduduki jabatan sebagai hakim. Ibnu Umar menolak saat diminta Khalifah Usman bin Affan menjadi hakim. Abu
Hanifah menolak menjadi hakim, saat diminta Khalifah al-Mansyur. Semua ini didasari sikap sebab saking takutnya terjungkal dalam ketidakadilan dan kezaliman. Dalam pandangan ulama fikih sendiri, profesi hakim dihukumi fardhu kifayah.
Ada kisah seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi. Rumi dulunya yaitu seorang hakim yang sangat ahli dan kesohor pada masanya. Rumi
dilahirkan di lingkungan terpelajar. Bapaknya yaitu seorang ahli hukum dalam Mazhab Hanafi. Keilmuannya tentang hukum yang luas
membuat Rumi dipercaya jadi hakim dan mengajar di madrasah-madrasah. Muridnya banyak dan warga berduyun-duyun menimba
ilmu dari Rumi. Rumi juga dikenal sebagai pembicara yang piawai dalam diskusi ilmiah yang menghadirkan banyak ilmuwan. Perjalanan
profesinya ini ia lakoni hingga usia 40 tahun.
Perubahan besar dalam hidupnya saat Rumi bertemu dengan
Syam Tabriz, seorang pengelana spiritual yang berpenampilan eksentrik. Perjumpaan yang diwarnai dengan dialog sekilas dengan Syam
Tabriz itulah yang membelokkan orientasi spiritual Rumi. Singkat kata,
Rumi memilih meninggalkan segala kebesarannya, kesohorannya, keprofesorannya, dan profesi hakimnya. Dia menekuni kesufian demi
mereformasi kediriannya yang dia sadari banyak tergoda gemerlap duniawi.
Cerita “pergumulan batin” ini tak berarti menghardik profesi hakim secara sewenang-wenang. Cerita ini menyimpan hikmah betapa
materi, kemasyhuran, dan kecakapan ilmiah tidaklah cukup membuat seseorang baik dan menggapai kearifan. Masih dibutuhkan kendali
batin yang menyimpan pelajaran berharga demi membentuk karakter
pribadi yang tahan uji. Di sinilah yang hendak ditegaskan bahwa hakim
perlu membenahi diri sebagai bagian dari usaha memperbaiki kualitas
lembaga peradilan. Hakim yang setiap hari bergumul dalam pencarian
keadilan seyogianya memiliki tiga aspek dasar yang baik: insting, moral, dan nurani.
Pemimpin dan pengambil keputusan yang sudah mendayagunakan aspek itu akan menjadi penegak hukum yang bermartabat, memiliki moral, dan integritas sehingga setiap keputusannya membawa
kemaslahatan bagi warga dan negara. Tiga aspek dasar itu harus
selalu dibenahi dan diasah agar tetap tajam dan bisa dipakai
dengan baik.
Hakim yang memiliki insting bagus secara instingtif mampu mengetahui hal baik dan buruk. Namun itu belum menjamin moralnya otomatis menjadi baik. Mungkin selama ini bashirah atau instingnya
sudah baik, tapi sebab tertutupi oleh hawa nafsu, maka dlamir atau
moralnya dikorbankan. sebab nya, kedua-duanya haruslah dibenahi.
Insting dan moral (pada diri seorang hakim) yang baik akan menghasilkan nurani yang memiliki daya deteksi sangat tajam dan peka.
Nurani itu akan memberi keputusan yang sangat jujur dan tak pernah
bohong. Sekecil apa pun kesalahan dan kebenaran akan dilihat dan dirasakan sehingga keputusan yang diberikan menjadi apa adanya.
Selanjutnya, lebih lengkap lagi jika seorang hakim memiliki asrar
atau kemampuan menembus misteri dan lathifah atau kelembutan.
Dengan memiliki asrar, seorang hakim mampu melihat implikasi dari
keputusan yang diambilnya. Dengan lathifah, seorang hakim akan
mampu menyadarkan dan menggerakkan warga agar mengarah
pada jalan yang benar.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif intelektual, dimasudkan sebagai perspektif penguasaan pengetahuan dan konsep-konsep,
baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain,
terutama ilmu sosial. Dalam perspektif intelektual ini, beberapa pelajaran dapat diambil bahwa setiap hakim harus memahami berbagi
konsep hukum maupun konsep nonhukum agar dapat menentukan
pilihan konsep yang dipakai dalam memutus perkara penguasaan
seluk-beluk ketentuan hukum yang meliputi bentuk dan isi aturan hukum, pengertian atau makna aturan hukum, hubungan sistematik antar berbagai ketentuan hukum, sejarah dan latar belakang suatu aturan
hukum dan penguasaan seluk-beluk metode penerapan hukum.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif etik, bahwa hakim di
mana dan kapan saja diikat oleh aturan etik di samping aturan hukum.
Aturan etik yaitu aturan mengenai moral atau berkaitan dengan sikap
moral, aturan etik hakim lazim disebut kode etik hakim. Kode etik ini
yaitu aturan memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi untuk menjaga dan memlihara agar tidak terjadi tindakan
atau kelalaian profesional, menjaga dan memelihara integritas profesi
dan menjaga dan memelihara disiplin. Aturan etik ini dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 disebut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang disusun dan ditetapkan bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif hukum, yakni di samping kode etik dan tingkah laku hakim, juga diatur dan tindakan pada hukum, baik hukum-hukum khusus maupun hukum umum, dalam
arti sebab pada kemungkinan hakim tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya atau melanggar hukum.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif kesadaran beragama,
hal mana kehidupan beragama bukan sekadar dorongan keyakinan atau kepercayaan, kehidupan beragama mendorong orang selalu
berusaha menjadi manusia yang baik, berkualitas baik secara individu maupun sosial. Dalam kehidupan sosial, semua agama menuntun
dan menuntut agar menjadi orang yang benar, orang yang adil, orang
yang menyebarkan kasih sayang, orang yang bersimpati pada orang
yang lemah, orang yang berbuat baik dengan tetangga dan berbagai
kebaikan yang tak terhingga tanpa membeda-bedakan persamaan atau
perbedaan agama yang dianut, tanpa membedakan asal usul atau perbedaan-perbedaan lainnya. Dimensi sosial bergama ini sangat relevan
dengan pekerjaan hakim yang memikul tanggung jawab untuk memutus perkara dengan benar dan adil, kewajiban untuk tidak berpihak, kewajiban berlaku jujur, sebab itu memupuk kesadaran beragama akan
menunjang menjadi hakim yang baik.
Menjadi hakim yang baik dalam perspektif teknis peradilan, bahwa
sumber utama penguasaan teknis yaitu hukum acara (pidana, perdata, tata usaha negara) dan juga peradilan MK. Hukum acara tidak
sekadar memuat ketentuan-ketentuan mengenai cara-cara mengadili,
lebih dari itu hukum acara yaitu hukum yang mengatur cara-cara
menjamin dan melindungi pihak-pihak atau yang terkena perkara dari
berbagai tindakan sewenang-wenang dalam menjalani peradilan. Secara publik kualitas hakim ditentukan oleh kemampuan beracara, baik
yang menyangkut aspek-aspek teknis beracara maupun kemampuan
mengendalikan acara persidangan, tingkat kemampuan beracara akan
menentukan tingkat keberhasilan suatu persidangan untuk mewujudkan putusan yang tepat dan benar, adil, efisien, dan efektif.
Dalam hakim mengadili perkara, ia melakukan aktivitas atau kegiatan yuridis tersendiri dan tidak sekadar mengikuti silogisme belaka. Ia
ikut serta dalam pembentukan hukum, namun bukan hukum objektif seperti yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang, yang
sifatnya abstrak, melainkan hukum konkret yang diciptakannya dengan putusannya (judge-made law). Putusan hakim yaitu hukum, maka
haruslah sesuai dan dapat diterima oleh/di dalam warga . Hakim
wajib memperhatikan kebutuhan praktik hukum atau peradilan.195
Hakim yang bekerja haruslah proaktif membuat putusan untuk
menyelesaikan perkara dengan memperhatikan fakta -fakta
sosial. maka , putusan hakim selalu dapat memenuhi rasa
keadilan warga . Dari pemikiran inilah lahir doktrin baru dalam
sociological jurisprudence tentang law is a tool of social engineering.196
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim lebih kuat dibandinkan Undang-Undang sebab 2 hal.197 Pertama, hakim menetapkan
dalam tingkat terakhir secara konkret apa hukumnya. Kedua, bahkan
dalam putusan yang bertentangan dengan undang-undang sekalipun,
putusan hakim tetap memiliki kekuatan hukum (“res judicata pro
veritate habetur.”) Tidak mengherankan jika sementara sarjana hukum
berpendapat bahwa hakimlah yang menjadikan tata hukum itu kekuatan yang nyata yang menguasai kehendak perseorangan.
Sebagai contoh yaitu masalah dalam hukum acara perdata. Dalam
HIR dan RBg. tidak menetapkan syarat-syarat tentang isi gugatan. Misalnya tidak diharuskan, seperi halnya dengan gugatan (daagvarding)
dalam ketentuan hukum acara perdata Eropa yang diatur dalam Rv,
bahwa gugatan harus memuat apa yang dituntut terhadap tergugat,
dasar-dasarnya penuntutan ini dan bahwa tuntutan itu harus terang dan tertentu. Hukum Acara Perdata yang termuat dalam HIR dan
RBg. tidak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan.
namun Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya memberi fatwa bagaimana surat gugatan itu disusun.
Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberi gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi
dasar tuntutan.198 maka , apa yang dituntut harus disebut
dengan jelas.199 Pihak-pihak yang beperkara harus dicantumkan secara
lengkap.200 Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas, dan ukuran tanah.201
Menurut sistem HIR dan RBg. hakim memiliki peran aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberi petunjuk kepada pihak yang mengajukan
gugatan ke pengadilan dengan maksud agar perkara yang diajukan
itu menjadi jelas duduk persoalannya dan memudahkan hakim memeriksa perkara yang bersangkutan. Lebih dari itu, hakim berwenang
untuk mencatat segala apa yang dikemukakan oleh pencari keadilan
jika yang bersangkutan itu tidak dapat menulis.
Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan Negeri,
ketua majelis hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang beperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. ini sesuai dengan sifat perkara perdata bahwa inisiatif
beperkara datang dari pihak-pihak, sebab nya pihak-pihak juga dapat
mengakhirinya secara damai melalui peraturan majelis hakim di muka
sidang Pengadilan Negeri. jika mereka berhasil mengadakan perdamaian, maka para pihak harus menuangkan hasil perdamaian ini secara tertulis dalam bentuk perjanjian perdamaian dan hasil
perdamaian ini selanjutnya disampaikan kepada hakim pada
acara persidangan berikutnya. berdasar adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu, maka hakim tinggal menjatuhkan putusannya
(acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk
mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat di antara mereka.
Dalam hukum acara perdata hakim tidak hanya terikat pada kebenaran formal yang setengah-setengah atau kebenaran hasil pemutarbalikan fakta dari salah satu pihak, melainkan kebenaran yang dicapai
oleh hakim yaitu batas-batas yang ditentukan oleh para pihak yangbeperkara. Jadi, kebenaran yang diperoleh itu tidaklah berdasar kualitas penyelidikan, melainkan luasnya penyelidikan. Luasnya penyelidikan itu terbatas pada tuntutan yang telah dikemukakan oleh pihakpihak saja. Oleh sebab itu, putusan harus mengandung hal yang sesuai
dengan fakta persidangan. Apa yang diucapkan hakim pada sidang
pengadilan harus benar-benar sama dengan apa yang tertulis dan apa
yang tertulis harus benar-benar sama dengan yang diucapkan dalam
sidang pengadilan. Untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi
putusan yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Untuk mencegah
adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan dipersidangan dan yang tertulis, Mahkamah Agung dengan surat edaran Nomor 5
Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 7
Maret 1962 telah menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan ini diucapkan konsepnya harus sudah disiapkan.
Sejak tumbuh ketidakpuasan terhadap pandangan fiksi hukum
dan legalisme yang selalu bekerja dengan “njlimet” di sekitar undang-undang, maka gejolak ketidakpuasan itu memberi kesempatan untuk memajukan pandangan hukum yang menganut sistem
terbuka terhadap kewarga an dan berpikir tentang hukum yang
rasional. Kemajuan pandangan hukum itu antara lain dikembangkan
oleh aliran “rechtsvinding” yang memakai pendekatan penerapan
hukum terhadap kejadian konkret.
Sebagai institusi, hukum membawa pula berbagai persoalan, baik
yang berkaitan dengan aturan substantif, acara, maupun pengelolaan.
Telah begitu banyak pendapat, bahwa aturan substantif atau hukum
materiel yang ada mengandung berbagai masalah, seperti aturan ketinggalan sebab masih warisan kolonial, tumpang-tindih, bertentangan satu sama lain, tidak lengkap, tidak jelas, dan lain sebagainya.
fakta ini acap kali memicu kesulitan menentukan hukum yang tepat atau cara-cara yang tepat dalam penerapannya, termasuk penegakannya oleh pengadilan.
Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi yaitu
usaha pembuktian. Menjadi kewajiban para pihak beperkara dalam
pembuktian yaitu meyakinkan majelis hakim tentang dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam pengertian yanglain, yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian
untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum
yang diperkarakan. Oleh sebab itulah menjadi suatu asas bahwa barangsiapa yang mendalilkan sesuatu, maka harus membuktikannya.207
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasar alat-alat bukti yang sah dan menurut
hukum pembuktian yang berlaku.
Tugas hakim di dalam hukum acara yaitu menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan telah benar-benar
ada atau tidak, adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti
jika para pihak menginginkan kemenangan dalam suatu perkara,
jika para pihak tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang
mendasar gugatan maka gugatannya akan dikalahkan dan jika
mampu membuktikan gugatan maka gugatannya akan dimenangkan.
Hukum pembuktian dalam beperkara yaitu bagian yang sangat
kompleks bahkan menjadi rumit oleh sebab pembuktian berkaitan
dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu
(past event) sebagai suatu kebenaran, meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan kebenaran
yang bersifat absolut namun kebenaran yang bersifat relatif.208
Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, bebas menentukan
berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, namun kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna
kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan) dan pidana.209 Hakim dalam
menjatuhkan pidana memperhitungkan sifat perbuatan pidana dan
keadaan si pembuat serta perkembangan konsepsi individualisasi pidana sebagai pengaruh dari kriminologi yang mendorong adanya perhatian terhadap pribadi terdakwa sebagai pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana. Konsep inilah yang sering dinamakan
sistem dua jalur (Twintrack system) di mana individualisasi pidana juga
dipertimbangkan (Punishment should fit the criminal)D. PUTUSAN DAN PENGARUH
Untuk mengambil contoh yang klasik dapatlah disebutkan putusan H.R. 31 Januari 1919 (perkara Lindebaum-cohen) dalam penerapan
Pasal 1365 BW, mengenai pengertian “perbuatan melawan hukum”
yang menjadi lebih luas dibandingkan penafsiran sebelumnya. Dalam praktik di negara kita , Putusan Mahkamah Agung menjadi revolusioner sebab menetapkan janda sebagai ahli waris suami yang telah meninggal
dunia.211 Putusan ini meninggalkan putusan sebelumnya yang menetapkan janda hanya sebagai “erfgerechtigde” atau yang “berhak atas
warisan.”212 “Onheelbare twesspalt” (keadaan yang tidak mungkin didamaikan lagi) sebagai alasan untuk bercerai bagi mereka yang tunduk
kepada BW, berhubung memang kebutuhan warga sangat menghendaki hal itu untuk diperlakukan, sehingga rasa keadilan dapat dipenuhi secara wajar.213 Selanjutnya, situasi “Onheelbare twesspalt” itu
bukanlah ditekankan kepada penyebab cekcok yang harus dibuktikan,
namun melihat dari fakta nya yaitu benar terbukti adanya
cekcok yang terus-menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi.214
Dalam putusan lain, MA menyatakan “persamaan kedudukan antara
pria dan perempuan.”215 Uang paksa yang tidak diatur dalam hukum
acara perdata dengan pertimbangan “dibutuhkan di dalam praktik
peradilan” telah pula diputus oleh MA pada 17 Mei 1967.216 Acara gugat
cerai bagi golongan Eropa yang tunduk kepada BW dapat didasarkan
kepada Pasal 53 HOCI (Putusan Mahkamah Agung 6 Maret 1967).
Dalam lapangan hukum pidana juga ada contoh-contoh menarik mengenai sikap pengadilan yang akhirnya dianggap mampu menunjukkan fungsi hukum ini sebagai sarana pengayoman. Tidak asing
bagi pengkaji hukum terhadap putusan pengadilan yang memperluas
pengertian salah satu unsur delik pencurian sehingga lain dari pengertian semula menurut Pasal 362 KUHP. memakai kekuatan aliran
listrik tanpa memakai alat meteran resmi dikenai pencurian.217 Berdiri
di sebelah dagangan sapi milik orang lain dan menerima pembayar-an dari pembeli, termasuk pencurian.218 Tindakan menyerahkan surat
bon pengambilan kopi yang tidak dapat dipertanggungjawaban dalam
tugasnya dirumuskan sebagai pencurian.219
Putusan pengadilan dapat mengubah makna dan isinya dari arti
semula, misalnya “menyetubuhi wanita sakit idiot terkena larangan bersetubuh dengan wanita yang tidak berdaya” menurut Pasal
286 KUHP.220 Seorang dokter hewan yang memberi vaksinasi yang
memicu rasa sakit pada ternak, sekalipun diprotes oleh warga awam, telah dilepaskan dari tuntutan hukum. Pengadilan menilai
ketentuan yang memidanakan perbuatan yang memicu rasa sakit pada ternak sudah ketinggalan zaman.221 Perbuatan terdakwa yang
secara formal yaitu delik namun secara materiil memenuhi
kemungkinan dana perusahaan Caltex cukup pada bank-bank lain untuk dapat membayar cek yang dikelaurkan, diputuskan lepas dari dari
tuntutan, yang berarti mengesampingkan berlakunya UU No. 17/1964
tentang Cek Kosong.
Ketentuan Pasal 303 KUHP tidak jelas perumusannya sehingga
memicu disparitas putusan. Seorang terdakwa yang mengadakan permainan Hwa Hwe, dijatuhi pidana oleh pengadilan negeri melanggar Pasal 303 KUHP jo. UU No. 22/1954,223 berbeda dengan sikap
pengadilan banding bahwa yang diberlakukan yaitu ketentuan UU
No. 22/1954 dan bukan KUHP.
Suatu perbuatan dapat saja tidak dapat diatur oleh KUHP, namun hukum adat dapat menjadi dasar untuk pemidanaan. Contoh yang
pertama yaitu masalah seorang terdakwa yang mengerjakan tanah adat
tanpa izin yang berhak, dihukum melanggar hukum adat Karo Njurmak. Contoh yang kedua terjadi di Bali: perjaka A dan gadis B melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka. Saat B hamil dan
A ternyata tidak bersedia mengawini, maka dipidana 3 bulan sebab
pelanggaran delik adat “logika sanggrahaAda pula putusan pengadilan yang menafsirkan ketentuan Pasal
284 KUHP yang mensyaratkan tunduk kepada Pasal 27 BW dikembangkan artinya sesuai dengan perkembangan warga . Seorang
laki-laki beragama Islam yang menyetubuhi adik ipar, dihukum sebab
melakukan perbuatan “sumbang” menurut Pasal 284 KUHP.
Cara pengadilan menafsirkan suatu peraturan untuk diterapkan
dalam sebuah masalah konkret acap kali berkaitan dengan pengaruhnya
terhadap pembangunan, khususnya iklim investasi. Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa perjanjian pinjaman lepas pantai
(“off-share loan”) tidak dengan sendirinya batal walaupun lupa dilaporkan kepada pemerintah.228 Pemilik modal sebab nya tanpa raguragu meminjamkan uangnya kepada pengusaha di negara kita . Dalam
putusan lain, pengadilan menolak dimasukkannya bunga yang sedang
“berjalan” ke dalam “Grosse Akte.” Akibatnya, investor menjadi cemas tentang jaminan pembayaran bunga mengingat bahwa bunga
baginya yaitu sumber keuntungan. Dalam masalah lain, MA menolak
surat pengakuan utang yang dibuat sebagai “Grosse Akta” antara lain
sebab “jumlah utang yaitu sangat besar sehingga berdasar kepatuhan dan keadilan, pihak yang berutang harus diberi kesempatan untuk membela diri dalam bentuk suatu gugatan biasa.” Pertimbangan
nilai budaya MA agar debitur diberi kesempatan untuk membela diri
memang tepat, namun ini mungkin dapat dialihkan kepada sistem
hukum biasanya yang menjamin setiap orang untuk membela
diri tanpa mengganggu keampuhan pranata “Grosse Akta” itu sendiri.
Pertimbangan perlindungan terhadap tiap-tiap pihak dalam perjanjian kredit juga menjadi perhatian MA. Dalam beberapa perkara,
MA telah memberi perlindungan kepastian hukum bagi kreditor
perbankan. Masalah jumlah utang diperhatikan untuk tidak merugikan debitur dan dengan mempertimbangkan aspek formal pembuatan
perjanjian, hakim menyatakan perjanjian kredit itu tidak sah dan tidak mengikat kedua belah pihak. Pengadilan juga memandang penting
peranan akuntan publik untuk turut berperan dalam menerapkan
aspek kepastian hukum dalam penentuan jumlah tagihan kredit perbankan. Demi keadilan, MA menerima “tanggung jawab tanpa kesalahan”, yaitu adil jika risiko yang timbul akibat kesalahan bersama ditanggung secara bersama. Selain itu, MA membuka peluang campur
tangan hakim dalam perjanjian untuk memastikan bahwa perjanjian
dibuat dan dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam hal kebebasan berkontrak, MA mengakui bahwa implementasi asas itu mencakup
pula hak untuk mencantumkan klausula penghukuman bilamana salah satu pihak tidak memenuhi prestasi. Campur tangan hakim ini termasuk pula “menentukan jumlah besaran utang berdasar
rasa keadilan.”
Sesudah reformasi UU Kepailitan, ada pula beberapa Putusan
Mahkamah Agung yang berharga dalam memberi pedoman dalam
penyelesain perkara kepailitan. Menurut MA, “pembayaran utang selama proses kepailitan dapat dilakukan untuk menghindari minimal 2
kreditur sebagai syarat pailit.” Selanjutnya, MA mempertegas pengertian utang ke dalam 2 bentuk, yaitu sisa nilai pekerjaan dan segala
bentuk kewajiban debitur yang dapat dinilai dengan uang.
Sumbangan MA dalam perkembangan perikatan bisnis juga tidak
dapat dikesampingkan. Dalam praktik, MA telah mendalilkan bahwa
“hubungan sewa-menyewa tidak dapat diwariskan.” Dalam rangka
menghormati tradisi hukum, maka MA menetapkan “pemutusan hubungan sewa-menyewa harus mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat” dan “pemutusan hubungan
sewa-menyewa dalam suasana hukum adat lebih dititikberatkan pada aspek kepatutan, dalam ini perlindungan hukum bagi pemilik tanah/bangunan.” Mengikuti undang-undang, MA merumuskan bahwa “dalam hal perjanjian sewa-menyewa itu tanpa batasan waktu, dinyatakan berakhir dalam 3 tahun.”
Untuk mengikuti perkembangan keadaan MA kadang-kadang menolak memberlakukan suatu norma hukum atas sebuah perkara. Sebagai contoh, MA memutuskan bahwa “sengketa sewa-menyewa yaitu kewenangan Pengadilan Negeri.” Sengketa ini berkaitan dengan
penerapan aspek kepastian hukum dan aspek keadilan dengan dasar
perlindungan bahwa pihak yang menyewakan memerlukan perumahan itu untuk dipakai berdasar pertimbangan ekonomis dan keadilan. Menurut PP No. 49/1965, penyelesaian sengketa yaitu
wewenang Kepala Kantor Urusan Perumuhan. namun dengan
berlakunya PP No. 55/1981, wewenang itu beralih ke pengadilan negeri. Dalam kedua putusan ini MA secara tidak langsung melakukan
pengujian norma hukum terhadap PP No. 49/1965, sebab pembentukan Kantor Urusan Perumahan sebagai suatu pengadilan khusus perumahan tidak dapat dibenarkan sebab UUD 1945 mengharuskan hal
itu harus ditetapkan dengan UU.
Namun demikian, di dalam praktik, putusan terdahulu tidak diikuti dalam memeriksa dan memutus perkara sejenis. Dalam suatu perkara, MA menyatakan bahwa “sewa tidak hapus dengan meninggalnya
salah satu pihak.” Putusan ini tidak mengikuti putusan terdahulu
bahwa “dengan meninggalnya salah satu pihak maka perjanjian sewamenyewa gugur demi hukum.”
Pengadilan dalam masalah tertentu harus menghadapi fakta di
mana peristiwa hukum yang dirumuskan berlansung pada saat ketentuan baru diberlakukan. Sebagai contoh, sebab perkawinan dilangsungkan sebelum UU Perkawinan 1974 berlaku secara efektif, maka
berlaku ketentuan-ketentuan hukum sebelumnya, yang dalam ini
yaitu ketentuan-ketentuan perkawinan menurut BW sekalipun yang
bersangkutan beragama Islam.247 Dalam masalah lain, menurut ketentu-an Pasal 72 HOCI peralihan agama tidak memicu batalnya/gugurnya perkawinan, maka berdasar Pasal 66 UU Perkawinan 1974
jo. Pasal 47 PP No. 9/1975, ketentuan Pasal 72 HOCI tadi masih berlaku,
sebab ini belum diatur dalam UU Perkawinan yang baru dan Peraturan Pemerintah.248 Selanjutnya, dengan tidak diaturnya perkawinan
antar-agama di dalam UU Perkawinan 1974, sekalipun ada UU zaman
colonial yang telah mengatur, namun ketentuan itu tidak dapat diberlakukan sebab adanya perbedaan prinsip dan falsafah.
Menarik pula mengamati, terutama dalam tahap awal operasionalisasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam memberi kepastian hukum mengenai kepemilikan individu, khususnya tanah. Sebelum dibentuk PTUN, tidak ada usaha hukum yang tegas guna melawan
penolakan Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan, mengalihkan, atau membatalkan sertifikat. sesudah terbentuknya PTUN,
tindakan hukum ini dapat dimintakan kontrol ke pengadilan, namun
tetap saja memicu kekaburan mengenai batas-batas kontrol itu
berhadapan dengan pengadilan perdata. ini bisa ditunjuk dalam
hak. Pertama, PTUN sering kali mengabaikan putusan pengadilan perdata. Kedua, dalam hal perkara tidak ada gugatan perdata, maka sering
kali PTUN menempatkan dirinya sebagai pengadilan perdata. Ketiga,
PTUN melengkapi putusan pengadilan perdata.
Untuk persoalan yang pertama dapat ditunjuk dua putusan, yaitu
perkara Yahya vs. Kepala Kantor Pertanahan Palembang. Akar perkara
yaitu penjualan sebidang tanah oleh penjual yang tidak berhak. sesudah menyadari cacat ini, maka Badan Pertanahan Nasional menolak
memberi sertifikat kepada pembeli, yang telah membangun rumah
dan bengkel di atas tanah itu. Pembeli lantas menggugat pemilik asal,
namun mental di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi, dan Peninjauan Kembali. sesudah usaha ini, Pengadilan Negeri Palembang memerintahkan agar rumah dan bengkel ini dibongkar. Namun pembeli
tetap menolak dan mengajukan gugatan ke PTUN terkait sertifikat kepemilikan. Pengadilan lalu mengabulkan gugatan ini , namun
dengan mengabaikan batas kedaluwarsa pengajuan gugatan.Prosedur serupa ditemukan dalam Putusan PTUN Semarang dalam perkara Soedarti dan Subroto vs. Kepala Kantor Pertanahan Semarang,251 yaitu bahwa mereka melampirkan kesimpulan baru menurut
fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh pengadilan perdata. Dalam
putusan pengadilan perdata, penggugat hanya berhak mendapatkan
ganti kerugian dalam bentuk uang, namun pengadilan memberi
eksekusi riil, yaitu memerintahkan Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat pihak yang kalah dalam perkara perdata dan menerbitkan sertifikat baru untuk penggugat.
Untuk permasalahan yang kedua, yaitu dalam hal tidak ada putusan perdata mengenai kepemilikan, maka PTUN mengambil peran
sebagai pengadilan perdata. Dalam perkara Tjokropranolo vs. Kepala
Kantor Sewa Tanah Jakarta Utara, PTUN Jakarta secara cermat memeriksa perjanjian jual beli dan kerumitan kepemilikan yang melandasi
penolakan tergugat untuk memberi sertifikat kepada penggugat.
Penolakan ini terjadi sesudah ada intervensi camat atas nama para
pengguna lahan. lalu PTUN menyatakan menolak gugatan.
Pengadilan banding dan Mahkamah Agung melakukan tindakan serupa namun dengan konklusi yang berbeda dengan PTUN. Pengadilan
banding mengabulkan sementara Mahkamah Agung menolak.
Untuk persoalan di mana PTUN melengkapi putusan pengadilan
perdata, dapat ditunjuk antara lain dalam perkara Ratnaningsih vs.
Kepala Kantor Pertanahan Bekasi,252 di mana PTUN Bandung memulihkan kesalahpahaman anatara ketua Pengadilan Negeri Garut dan
tergugat. Dalam perkara ini, tergugat lalai mencatat penyitaan sebuah
rumah yang hendak dilelang secara legal pada saat yang sama, namun
sebab penyitaan ini belum dicatat, tergugat memberi sertifikat
kepada pembeli. Untuk itu, PTUN tidak mengabulkan gugatan untuk
mendapatkan sertifikat, namun memerintahkan tergugat untuk membatalkan sertifikat pembeli dan mengembalikan ke keadaan semula.
Untuk mendapatkan putusan tentang masalah kepemilikan, maka
penggugat dirujukkan ke pengadilan perdata.E. masalah
Pada bulan Oktober 2013 di media terbaca berita unjuk rasa dokter
terhadap kolega yang diputus bersalah oleh MA sebab memicu
kematian Julia Fransiska Makatey, April 2010.
Putusan hakim kasasi yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar
dengan menjatuhkan pidana terhadap tiga dokter ternyata memicu aksi solidaritas oleh ribuan dokter dengan turun ke jalan (unjuk
rasa) di Jakarta dan sejumlah daerah. Dalam ini , MA memvonis 3
dokter Rumah Sakit Prof. Kandou, Manado, dengan hukuman 10 bulan penjara pada 18 September 2012. Salah satu pertimbangan hukum
MA, ketiga dokter itu melakukan “malapraktik” dalam menangani Julia
Fransiska Maketey yang hendak melahirkan pada 10 April 2010, yang
akhirnya meninggal dunia.
masalah yang menimpa dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, bersama
Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian, mengenyakkan warga ,
bukan saja sebab munculnya kontroversi medikolegal, melainkan sebab tingginya kadar emosi yang menyertai. Menyusul unjuk rasa, ada
pelayanan rumah sakit yang terganggu, ada yang biasa saja.
Kita bisa melihat argumentasi tiap-tiap pihak, dalam ini yang
tertuang dalam pertimbangan kasasi MA dan peninjauan kembali perkara. Argumen dari dokter kita dengarkan. Seperti disampaikan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, dokter sudah berusaha menyelamatkan
pasien. Dokter Ayu diputus bebas di Pengadilan Negeri Manado.
Para dokter menilai Putusan Mahkamah Agung yaitu wujud
kriminalisasi dokter. Banyak pula dikemukakan tambahan penjelasan
teknis kedokteran, seperti Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran negara kita (MKDKI) Ali Baziad dan Staf Ahli Menteri Kesehatan
Bidang Medikolegal Budi Sampurna. Penjelasan itu, antara lain, (jika
ada perkara kedokteran dibawa) di pengadilan pidana, seharusnya
(pengadilan) mempertimbangkan saksi ahli.
Hakim Agung Artidjo Alkostar berpendapat, tidak ada satu profesi pun yang boleh di atas hukum. Artidjo bersama Dudu Duswara dan
Sofyan Sitompoel berpendapat berdasar fakta yang terungkap di
persidangan, hakim berkesimpulan ada kelalaian yang memicu
orang lain meninggal. Falsafah lain yang dikemukakan kalangan dokter ialah tidak ada dokter yang berniat membunuh pasiennya. Pada sisi lain, kita masih sering mendengar komentar terhadap dokter. Ada yang
melayani ala kadarnya, kurang berempati, dan—seperti disinggung harian ini—komunikasi dengan pasien tidak cukup baik.
namun juga bisa muncul pertanyaan: apakah dokter tidak bisa
dipidanakan jika dalam melaksanakan profesinya melanggar prosedur
dalam penanganan seorang pasien sebagaimana dimaksud dalam UU
No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan Kode Etik Kedokteran? Tulisan ini tidak akan terlalu jauh
menelisik posisi malapraktik dan risiko hukumnya yang sudah tertera
dalam Putusan Mahkamah Agung. Namun ada pertanyaan lain yang
juga patut dicermati, selain memahami solidaritas para dokter. Misalnya, apakah pasien juga butuh keadilan? Apakah pelayanan kesehatan
yang mestinya juga berkeadilan buat pasien dan semuanya, namun banyak yang tidak terpenuhi lantaran para dokter meninggalkan tugas.
Dokter yaitu profesi luhur dan terhormat. Dalam sejarah, seorang dokter digambarkan setengah dewa dan setengah manusia. Banyak yang berminat menjadi dokter. Banyak anak jika ditanya, bercitacita menjadi dokter. Namun tak semua anak yang bercita-cita menjadi
dokter bisa menjadi dokter. Untuk menjadi dokter tidak cukup hanya
mengandalkan kekayaan. Prasyarat kecerdasan, niat luhur menolong
sesama, ketekunan, ketelatenan, dan keuletan harus dipenuhi.
Pendek kata, dokter yaitu manusia pilihan di atas rata-rata warga pada biasanya . Mereka memiliki jiwa pengabdian dan disumpah untuk selalu mendahulukan kepentingan pasien atau warga .
Oleh sebab itu, dapatkah diterima secara etis dokter melakukan
pemogokan? Tentu jawabannya sangat dipengaruhi sudut pandang,
posisi, konteks, dan tujuan mogok itu sendiri. Dokter yang kebetulan
istrinya sedang bersalin yang telah pembukaan lengkap atau siap melahirkan tentu tak setuju jika dokter-dokter kandungan seluruh negara kita mogok. Seorang pejabat dan direktur rumah sakit yang bertanggung jawab menjamin layanan kesehatan warga berjalan lancar
tentu akan merasa prihatin jika dokter kandungan mogok, apalagi secara nasional.
Bisa dimengerti jika Kementerian Kesehatan membuat surat edaran ke semua kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit. Surat
edaran ini terkait dengan rencana aksi solidaritas terhadap dr.
Dewa Ayu Sasiary Prawani, Sp.O.G. dan kawan-kawan yang isinya ada tiga hal. Pertama, agar semua tenaga kesehatan di rumah sakit mendukung dengan memakai pita hitam di lengan kanan. Kedua, melakukan doa bersama untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat,
kesembuhan pasien, serta keamanan dokter negara kita dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, memerintahkan agar pelayanan berlangsung
seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.
Seorang profesor di fakultas kedokteran akan heran dan menanyakan mengapa para dokter mantan anak didiknya mogok, padahal
sang profesor tak pernah sekalipun mengajari mogok, apalagi strategi
dan teknik mogok. Lantas mengapa dokter mogok? Penulis mencoba
memahami para dokter yang akan melakukan mogok untuk istilah aksi
solidaritas. Meski penulis amat yakin, dokter tidak akan mogok, kecuali
ada alasan kuat untuk itu.
Para dokter kandungan yang mogok khawatir mereka bisa mengalami risiko ditahan atau dianggap lalai atau melakukan malapraktik meskipun sudah menjalankan pengobatan sesuai standar praktik
kedokteran, jika pasien meninggal. Mereka tahu persis, meski sudah
memberi layanan sesuai standar praktik kedokteran, namun mereka
yakin tidak bisa menjamin hasil proses layanan yang diberikan. Apalagi
menyangkut nyawa dengan kondisi pasien yang parah.
Mereka ingin dalam menjalankan profesinya bisa aman dan terjamin dalam berbuat maksimal untuk menolong pasien terutama dalam
keadaan emergency yang belum tentu berhasil. Mereka tidak ingin masalah sama menjadi preseden terulangnya kejadian serupa. Jelas mereka
ingin didengar warga bahwa mereka telah menolong banyak pasien dan berhasil, namun hampir tidak pernah diberitakan. Sekali pasien meninggal yang belum tentu diakibatkan oleh tangan dokter, sering
dokter sudah divonis lalai atau melakukan malapraktik. Seakan-akan
semua perjuangan dan kebaikan berbuat maksimal untuk kebaikan
pasien hilang dan tenggelam.
Tentu dari sekian banyak dokter, ada yang lebih dipengaruhi konsumerisme dan tuntutan terkait dengan status dokter. Ada dokter yang
kurang kompetensi, keterampilan, dan pengalamannya sehingga pasien merasa dirugikan. Ada mekanisme tertentu yang sudah diatur agar
warga dapat mempertanyakan apakah seorang dokter melanggar
etika, melakukan kelalaian, atau malapraktik. Tidak perlu langsung
aparat penegak hukum, namun melalui Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran negara kita . Dengan mekanisme ini, semua akan diuntung-kan dan semua tidak dirugikan.
Pada zaman terbuka, semua soal bisa diverifikasi, termasuk kedokteran. Di sini, peran MKDKI sentral untuk menentukan ada tidaknya
kesalahan dokter dalam menerapkan disiplin ilmu dan menetapkan
sanksi disiplin. Kita memahami, sejumlah profesi, misalnya pilot dan
wartawan, memiliki kode tata laku profesi yang bisa diterapkan manakala ada pelanggaran. Dahulu kita mendengar protes saat pilot diadili.
Sejumlah pihak berpandangan, tidak ada profesi yang imun terhadap
sanksi, termasuk sanksi hukum.
Demikian sekali putusan pengadilan ditetapkan, sekali itu pula
akan mengundang komentar yang riuh. Putusan pengadilan di Dhaka,
Banglades, sangat berani dan fenomenal. Dalam sehari, 6 November
2013, pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadap 152 orang.
Pengadilan juga memutuskan, 161 orang dihukum penjara seumur hidup, 256 orang dihukum dengan variasi hukuman antara 3 tahun dan
10 tahun penjara, serta 277 orang dibebaskan.
Mereka didakwa terlibat dalam pemberontakan pada 2009. Pemberontakan yang dilakukan para anggota Border Guards Bangladesh,
pasukan paramiliter yang bertugas menjaga perbatasan, melibatkan
6.000 tentara. Pemberontakan itu menewaskan 74 orang, termasuk 57
tentara.
Pemberontakan bermula dari tuntutan para penjaga perbatasan
agar gaji mereka dinaikkan. Mereka merasa gaji dan perlakuan yang mereka terima sangat rendah, tidak layak. Mereka menuntut gaji mereka
disetarakan dengan tentara yang menjalankan misi perdamaian PBB.
namun keputusan pengadilan yang dijatuhkan hari Selasa kemarin itu dikritik kelompok hak asasi manusia. Mereka menyatakan,
persidangan ini tidak kredibel. Selain itu, mereka juga menyatakan, ratusan terdakwa ditempatkan di satu ruangan di dalam sidang.
Para terdakwa, menurut kelompok hak asasi manusia, juga tidak
memperoleh akses mendapatkan pembela. Kalaupun memperoleh akses, juga sangat terbatas. Yang lebih menarik lagi, menurut mereka, ada
paling kurang 47 tersangka meninggal dalam tahanan.
Pengadilan, terutama keputusan pengadilan itu, menarik perhatian. Putusan memang sudah dijatuhkan. Namun yang menjadi catatan
para pembela hak asasi manusia yaitu pengadilan tidak mampu menemukan penyebab utama pemberontakan sekaligus otak pemberontakan ini . Bahkan Presiden Bangladesh Institute of Peace and Se-curity Studies Mayjen (Purn) ANM Muniruzzaman mengatakan, orang
yang benar-benar melakukan kejahatan masih bebas dan cerita yang
sesungguhnya belum jelas.
Sepertinya, sejarah negeri berpenduduk 160 juta di anak benua
yang tergolong miskin itu selalu berulang. Kudeta tahun 1981 terhadap
penguasa militer Jenderal Ziaur Rahman dan kudeta tahun 1977 juga
tak terungkap sepenuhnya. Siapa sesungguhnya otak kudeta ini .
Sekadar catatan, Banglades sudah menghadapi 21 kudeta.
fakta semacam itu memunculkan kekhawatiran bahwa putusan pengadilan semacam itu, meski sangat tegas dan fenomenal,
menyisakan kecurigaan: jangan-jangan ada warna politik, kepentingan
politik dalam pengadilan itu. Itu sebab pada Januari 2014 mendatang
Bangladesh akan menggelar pemilu, untuk memilih perdana menteri. Sulit memang untuk melepaskan kecurigaan semacam itu di negara
yang menempatkan politik sebagai panglima dan segala cara bisa dipakai untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Seperti diberitakan, Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Pajak,
diperberat hukumannya oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar; dari 3 tahun
6 bulan menjadi 10 tahun penjara. MA juga menghukum Zen Umar,
Direktur Utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari semula 5
tahun menjadi 15 tahun penjara.
Sejak ditetapkan sebagai kejahatan yang luar biasa, tindak pidana
korupsi seharusnya memang ditangani secara luar biasa pula, baik oleh
polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pewarga an, maupun oleh
advokat dan adresat hukum warga . Enam komponen penegakan
hukum ini mesti bahu-membahu dalam pemberantasan korupsi
melalui empat komponen penegakannya: komponen substansi (UU);
struktur (kelembagaan); kultur hukum; serta kepemimpinan.
Pengadilan selama ini telah banyak berubah filosofinya, dari benteng terakhir pencarian keadilan menjadi benteng terakhir pencarian
siapa yang menang dan kalah. Apa yang kurang dalam hal penyediaan
UU dan struktur penegakan hukum kita? Semua telah tersedia, namun
mengapa keadilan yang dicita-citakan tidak kunjung terwujud?
Ada dua hal penyebabnya: kultur hukum aparat penegak hukum, khususnya hakim, dan kepemimpinannya. Dua ini menjadi bahan
bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak. Untuk Putusan Mahkamah Agung atas masalah Hindratno dan Zen Umar jelas sangat
kental dipengaruhi faktor kultur hukum hakim dan kepemimpinan
Artidjo sebagai Ketua Majelis Kasasi MA yang menangani perkara ini.
Putusan Artidjo seolah hendak menjawab bahwa masih ada hakim MA
yang “hidup” hati nuraninya, sesudah beberapa waktu lalu ada hakim
MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkara Sudjiono Timan yang berada dalam status buronan.
Kultur hukum hakim sangat berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebelum menjatuhkan putusan. Hakim yang tidak responsif
terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan mengalami
conflict of interest, bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan lain di
luar dirinya.
Namun kultur hukum saja tidak akan cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara. Persoalan
kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak
hakim yang merasa masa bodoh dengan kreativitas dalam memutus
perkara, apalagi berwatak progresif.
Dalam ini perlu didorong terus semangat agar hakim mau melakukan tindakan kreatif dan progresif dalam menangani tindak pidana yang memang sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa seperti
tindak pidana korupsi. Siapa yang menjadi kunci pendorong itu kalau
bukan ketua MA dan juga ketua KY tempat para hakim bernaung secara
institusional.
Para hakim tak boleh sekadar jadi corong UU (la bouche de la loi)
dan tradisi konvensional yang menghambat kreativitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan dibandingkan
kepastian hukum, seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav
Radbruch?
Dalam penanganan masalah -masalah hukum di negeri yang serba plural
seperti negara kita ini, termasuk masalah korupsi, tampaknya tidak cukup
bagi hakim seperti Artidjo hanya memakai hukum negara (state
law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum, selain faset hukum perundang-undangan.
Mengapa tidak banyak putusan hakim bernilai keadilan tinggi dan luhur? Malah sebaliknya, ada begitu banyak yang buruk sebab cacat
integritas dan berdampak merugikan orang banyak. Ada banyak dugaan bahwa hakim di negara kita masih memegang kuat adagium: “Hakim
yaitu mulut undang-undang.” Diadopsi dari hukum Belanda, ini
dipercaya sebagai konsekuensi sistem hukum kodifikasi (Kontinental).
Inilah penyebab “kemandekan” hukum kita. Hakim tidak berani melakukan terobosan saat undang-undang tidak lagi menampung rasa
keadilan warga . Atas nama teks undang-undang, hakim lebih mementingkan terpenuhinya standar dan prosedur.
Kurang disadari para hakim bahwa keadilan hukum tidak identik
dengan keadilan substansial. Keadilan hukum “sekadar” memenuhi
standar dan prosedur, sedangkan keadilan substansial yaitu terpenuhinya rasa keadilan warga . Logika keadilan hukum berpotensi
memunculkan korban hukum, terutama orang miskin yang melakukan
kriminal kecil. Sangat mudah membuktikan “kejahatan” orang miskin
hanya dengan mencocokkan hasil penyidikan polisi, tuduhan jaksa,
tersedianya barang bukti, dan bunyi undang-undang.
Sebaliknya pembuktian materiil dan terpenuhinya standar dan
prosedur hukum itu bisa sangat manipulatif, jika dimuati kepentingan dan uang. Terlalu banyak contoh tindakan korupsi, yang tidak
bisa dihukum sebab dalih tidak terpenuhinya unsur kejahatan. Padahal perbuatan korupsi dalam realitas jauh lebih luas cakupannya
dibandingkan unsur yang didefinisikan dalam UU No. 31/1999, yaitu “perbuatan menguntungkan diri sendiri/kelompok, penyalahgunaan kekuasaan, dan ada kerugian negara”. sebab sempitnya definisi, hanya masalah berskala besar, itu pun berkat keberanian Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), korupsi dapat dibongkar.
Korban hukum berikutnya yaitu mereka yang tidak punya kuasa dan dikalahkan di pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
atas masalah pilkada yang lalu terbukti cacat sekalipun dianggap
harus tetap dijalankan sebab yaitu putusan final. Padahal, sudah jelas merugikan warga luas dan membodohi akal sehat.
Pada masa kini, adagium “hakim sebagai mulut undang-undang”
sudah ditinggalkan, bahkan di negara dengan sistem hukum Kontinental sekalipun, seperti Belanda, yang akar hukumnya sama dengan
hukum kita. Sekarang di Belanda, putusan hakim semakin dianggap
sebagai sumber hukum yang penting. maka , terjadi pertemuan yang semakin dekat antara sistem common law dan Kontinental. Sangat disadari bahwa hakim itu memiliki kedudukan strategis sebagai
pembuat hukum kedua (secondary legislature), sesudah parlemen (primary legislature). Hakim berkesempatan emas membuat hukum baru
melalui putusan-putusannya, apalagi saat hukum tidak memadai.
Sorotan warga terhadap hakim sangat tajam sebab kinerja
hakim yang lemah. Namun tidak sepenuhnya hakim salah sebab di
samping problem paradigmatis di atas, hakim juga diposisikan secara
keliru oleh hukum kita. Amendemen ketiga UUD 1945 menyerahkan
kekuasaan kehakiman sepenuhnya kepada lembaga Mahkamah Agung
(MA) dan badan peradilan di bawahnya (Pasal 24 ayat 1 dan 2), dikuatkan SEMA 2005. Kemandirian hakim secara individual tidak diatur
tegas, padahal hakim membutuhkannya dalam menjalankan fungsi
yudisial.
Posisi ini melahirkan relasi atasan-bawahan antara hakim dan
ketua pengadilan, mengaburkan posisi kekuasaan kehakiman dan
kemandirian hakim. Dalam mengadili perkara, hakim lebih mengabdi kepada kepen tingan birokrasi (atasan) dibandingkan memberi putusan
sesuai dengan keyakinan keadilannya. Hakim takut dinilai oleh atasan
dan Komisi Yudisial (KY). Tentu ada banyak hakim baik dan progresif,
namun mereka tidak berdaya. Apalagi reformasi birokrasi yang menggabungkan urusan administrasi dan yudisial di bawah satu atap MA;
tidak sepenuhnya berhasil. MA hanya menggantikan tirani kekuasaan
pemerintah (Kemenkumham), terutama dalam menentukan mutasi
dan promosi hakim.
saat ketidakpercayaan warga kepada hakim semakin memuncak seperti saat ini, muncul usaha menghidupkan kembali kewenangan pengawasan eksternal KY terhadap hakim, yang pernah dicabut
MK. Barangkali inisiatif ini akan terhadang oleh klausul tentang putusan MK yaitu final. Namun jika interpretasi terhadap ketentuan ini
tidak steril dari realitas, dapat saja dicarikan strategi hukumnya.
Pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana transparansi dan akuntabilitas KY sehingga kita bisa percaya bahwa mereka mampu melakukan fungsinya? Harus dapat dipastikan bahwa komisioner KY yaitu
mereka yang memiliki karakter negarawan, berintegritas, serta berpengetahuan luas tentang instrumen hukum dan hak asasi manusia, termasuk perempuan.
Tidak kalah pentingnya yaitu keberanian menyuarakan penyimpangan hakim agar putusan dapat dipertanggungjawabkan kepada hu-kum dan publik pencari keadilan. Sebaliknya, KY juga harus memiliki
mekanisme untuk mengapresiasi hakim yang jujur dan bermartabat
sebab merekalah yang menjadi benteng terakhir penjaga keadilan.
jika kultur hukum hakim dan kepemimpinan di MA dan KY kurang mendukung kreativitas dan progresivitas hakim dalam memutus
perkara, masih adakah harapan menghadirkan keadilan kepada warga ? Tentu masih ada, yakni melalui reformasi pendidikan tinggi
hukum (PTH). ini perlu ditawarkan sebagai solusi mengingat PTH
sebagai ibu asuh bagi para hakim. Mereka digodok dan dilahirkan dari
PTH ini.
Selama ini PTH kita cenderung mengajarkan hukum hanya dalam
satu faset, yaitu faset UU yang sebenarnya sangat kering dari aspek
moral, ethics, dan religion sehingga keras, kaku, dan dingin layaknya
sebuah skeleton. Tugas PTH yaitu merohanikan ilmu hukum sehingga berwatak humanis dan progresif, yakni (1) dengan kecerdasan
spiritualnya seorang penegak hukum, termasuk hakim, tidak terkungkung oleh peraturan jika ternyata peraturan hukum itu justru tidak
menghadirkan keadilan; (2) penegak hukum mau melakukan penemuan-penemuan hukum melalui pencarian makna yang lebih dalam
dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan
makna-makna gramatikal yang dangkal; dan (3) penegak hukum mau
memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak-pihak
yang lemah yang harus dijamin dan dilindungi hak-haknya.
PTH se-negara kita mesti mau berbenah dan berubah untuk tanggap terhadap adanya krisis dalam pemberantasan korupsi. Putusanputusan progresif hanya bisa dihasilkan oleh hakim-hakim yang progresif. Hakim-hakim progresif hanya dapat dihasilkan oleh PTH yang
progresif pula, yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang
hanya dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Untuk itu,
seharusnya mulai dirintis perubahan kurikulum PTH serta perubahan
pola pikir para dosen, pengajar diklat profesi hukum, menuju kurikulum pendidikan progresif, tidak lagi konvensional-legal positivistik.
Sebenarnya kebutuhan terhadap pendekatan hukum alternatif bisa
ditelusuri akarnya di sekolah hukum di negara kita , bahkan sejak masa
awal pendidikan tinggi hukum di negara kita . Sekolah Tinggi Hukum
(Rechtshogeschool) pertama kali didirikan di Batavia tahun 1924, dan
sejak itu cikal-bakal wacana studi sosiolegal sudah ditemukan. ini
bisa ditelusuri dari pemikiran salah seorang pendiri Rechtshogeschool, Paul Scholten (2005 cet. ke-2), yang juga mantan hakim dan pengacara, yang mengatakan bahwa ilmu hukum mencari pengertian tentang
hal yang ada (het bestaande). Namun pengertian itu tidak mungkin dicapai tanpa menghubungkan hukum dengan bahan-bahan historikal
maupun kewarga an. Kemurnian hukum dipertahankan oleh para
sarjana hukum, padahal di dalam bahan hukum terkandung bahanbahan yang tidak murni, sehingga bila itu dipaksakan maka hanya akan
menghasilkan bloodless phantom atau kerangka tanpa daging.
Pendapat Scholten itu berawal dari kritiknya terhadap aliran pemikiran Kelsenian, yang memperlakukan hukum seperti benda-benda
alam. Hukum diperlakukan sebagai benda terberi yang diisolasi dari
konteks-konteks kewarga an dan historikal. Ada jarak antara objek
kajian dan peneliti, dan jarak itu harus dijaga ketat, atas nama prinsip
objektivitas, netralitas dan bebas nilai.
Menurut Scholten, hukum tidak hanya terdiri dari undang-undang
dan peraturan, namun juga vonis-vonis hakim, perilaku hukum orangorang yang tunduk pada hukum, perjanjian-perjanjian, surat wasiat,
termasuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan warga warga . Hukum bukanlah benda terberi. Menurut hemat saya, bahkan
peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan sekalipun,
yaitu produk dari tawar-menawar politik, dan akan sukar untuk dipercaya bahwa hukum bisa diisolasi dari kepentingan politik dan relasi
kuasa.
ini sejalan dengan yang dikatakan Cotterrell saat menjelaskan kelemahan dari positivisme hukum. Memperlakukan data hukum
sebagai peraturan hukum semata, tidak menunjukkan representasi fenomena hukum yang dinamik. Hal itu juga tidak menunjukkan realitas
regulasi sebagai hasil perubahan yang terus-menerus, dari interaksi
yang kompleks antara individu dan kelompok dalam warga . Positivisme hukum mengidentifikasi data hukum sejauh mungkin melihat
ada apa di belakang proses legislasi saat hukum itu dirumuskan, dan
tanpa mempertimbangkan sikap dan nilai di kalangan para pembuat
hukum. Sepanjang hukum dapat ditemukan, tidak dirasa perlu untuk
memahami apa yang dianggap sebagai keadilan dan ketidakadilan, kebijaksanaan, efisiensi, moral, dan signifikasi politik dari hukum. Belum
lagi bila bicara tentang perspektif kebudayaan yang banyak digeluti
oleh para antropolog hukum. Hukum sangatlah terkait dengan kebudayaan, bahkan mengartikan hukum sebatas hukum undang-undangyaitu tidak realistis, sebab hukum yaitu dokumen antropologis
yang hidup.
maka , menghadirkan studi (pendekatan) hukum alternatif akan memperkaya studi hukum doktriner. Di negara kita secara
“klasik” para sarjana hukum yang mempelajari studi alternatif ini mengembangkan disiplin ilmu dalam filsafat hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, dan hukum adat, dan studi gender dan hukum dalam
15 tahun terakhir. Namun secara tidak disadari banyak di antara mereka sebenarnya juga melakukan studi sosio-legal. Mereka melakukan
analisis kritis terhadap teks (dokumen) hukum, sambil menunjukkan
pengalaman bekerjanya hukum dalam konstelasi yang rumit bersentuhan dengan relasi kekuasaan dalam warga . Mereka melakukan
studi doktrinal, dan sekaligus juga studi empiris. Dalam hal melakukan
studi empiris itu, mereka bebas lepas meminjam metode ilmu sosial
yang luas yang ada dalam ilmu sosiologi dan antropologi modern, sejarah, ilmu politik, studi perempuan, yang metode penelitiannya juga
terus berkembang meninggalkan metode penelitiannya yang klasik.
Pada masa kini, kebutuhan studi sosio-legal menjadi semakin luas,
meskipun di dunia akademik hukum pengakuan terhadapnya sebagai
suatu “genre” baru dalam studi hukum masih sangat terbatas.
Angelina Sondakh terdakwa masalah korupsi suap kepengurusan
anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian
Pendidikan Nasional telah divonis hukuman 4,5 tahun penjara, tambah denda Rp 250 juta subsider enam bulan penjara. Putusan Pengadilan Tipikor dibacakan oleh Sudjatmiko (Ketua), Marsudin Nainggolan, Afiantara, Hendra Yosfin, dan Alexander secara bergantian dalam
persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Kamis 10 Januari 2013.
Adapun pasal yang dipakai oleh Majelis Hakim Tipikor ini
dalam putusannya yaitu Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Putusan Majelis
Hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang minta agar Angie
dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam
bulan kurungan. Jaksa memakai memilih Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, yang ancaman hukumannya lebih berat, maksimal 20 tahun penjara.
Selain ada perbedaan tuntutan hukum antara majelis hakim
dan jaksa penuntut, juga ada perbedaan dalam bukti uang yang
diterima oleh Angelina Sondakh. Hakim menyebutkan Angie terbukti
menerima uang RP 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar Amerika atau berjumlah Rp 14,5 miliar. Jaksa penuntut menilai Angie terbukti menerima uang senilai total Rp 12,58 miliar dan 2.350.000 dollar AS sepanjang
2010.
Majelis Banding Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada
Pengadilan Tinggi Jakarta menerima permintaan banding dari penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menguatkan putusan terhadap Angelina Sondakh. Majelis Pengadilan Tinggi
juga mempertimbangkan majelis hakim tingkat pertama telah tepat
dan benar menurut hakim sehingga diambil alih serta dijadikan sebagai pertimbangan majelis banding dalam memutus perkara ini.
namun , Vonis untuk mantan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh (Angie) lalu diperberat. Mahkamah
Agung (MA) menjatuhkan pidana 12 tahun penjara, serta denda Rp 500
juta subsider delapan bulan kurungan Angie diganjar hukuman uang
pengganti yang sebelumnya hukuman tidak dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Putusan ini ditetapkan pada
Rabu 20 November 2013. Hukuman ini terbilang jauh lebih berat
dari vonis majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Jakarta sebelumnya yang hanya 4,5 tahun penjara.
Dalam ini , majelis kasasi menganggap Angie aktif meminta imbalan uang ataupun fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar tujuh persen dari nilai proyek, dan disepakati lima persen. Dan harusnya
sudah diberikan ke terdakwa 50 persen pada saat pembahasan anggaran dan 50 persen sesudah DIPA turun. Untuk membedakan antara Pasal
11 dengan Pasal 12 a. Dalam ini MA menerapkan Pasal 12 a UU
Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, mantan putri negara kita itu pun dianggap aktif memprakarsai pertemuan untuk memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang
kepada Haris Iskandar, sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, dalam rangka mempermudah usaha penggiringan anggaran di Kemdiknas. Tak hanya itu, Angie juga dianggap ikut mengajukan program
usulan kegiatan di sejumlah Perguruan Tinggi. Beberapa kali terdakwa Angie memanggil Haris Iskandar dan Dadang Sugiarto dari Kemendiknas ke kantor DPR dan terdakwa minta memprioritaskan pemberian
alokasi anggaran terhadap Perguruan Tinggi.
Di samping itu, Angie juga dianggap beberapa kali melakukan komunikasi dengan Mindo Rosalina Manulang, tentang tindak lanjut dan
perkembangan dibandingkan usaha penggiringan anggaran dan penyerahan imbalan uang atau fee. Terdakwa lalu mendapat imbalan dari uang
fee sebesar Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta. Sehingga perbuatan
terdakwa itu memenuhi unsur 12 a dalam dakwaan primair. Dalam putusan kasasi, MA juga mengkoreksi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta
dan Pengadilan Tinggi yang tak melihat Pasal 17 UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menyebutkan selain hukuman pidana seperti dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5–14, terdakwa juga dapat dijatuhi pidana
tambahan seperti dimaksud Pasal 18, yaitu hukuman uang pengganti.
Jadi Pasal 12A termasuk di antara Pasal 5-14, sehingga terdakwa bisa
dijatuhi pidana uang pengganti. Jadi seolah-olah putusan Pengadilan
Tipikor dan Pengadilan Tinggi tidak mau menjatuhkan uang pengganti
sebab beranggapan itu uang yang dikelola dari perguruan tinggi, bukan dari keuangan negara.
Pemidanaan yang diperberat juga terjadi dalam masalah Djoko Susilo. Pada 19 Desember 2013, Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
memperberat hukuman terdakwa korupsi mantan Kepala Korps Lalu
Lintas Polri Irjen Djoko Susilo. Selain menjatuhkan pidana pokok, hakim banding yang diketuai Roki Panjaitan dengan anggota Humuntal
Pane, M Djoko, Amiek, dan Sudiro menjatuhkan pidana tambahan
terhadap Djoko. Majelis banding memperberat hukuman Djoko dari
10 tahun menjadi 18 tahun penjara, memerintahkan Djoko membayar
uang pengganti Rp 32 miliar, merampas 47 barang bukti berupa tanah
dan bangunan serta mobil dan uang yang dikuasai Djoko. Pidana tambahan lain yang dijatuhkan yaitu mencabut hak politik Djoko, yakni hak memilih dan dipilih sebagai pejabat publik. Pidana tambahan
yaitu pasal nganggur yang belum pernah diterapkan dalam pidana
korupsi. Kini, KPK menerapkannya.
Pidana tambahan diatur dalam KUHP dan Pasal 19 UU Tindak Pidana Korupsi. Pidana tambahan bisa berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, dan serta pembayaran uang pengganti. Rasanya baru
majelis banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengenakan pidana
tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih Djoko sebagai pejabat publik. Majelis pertama menilai pencabutan hak politik terlalu berlebihan. Pertimbangan berbeda diambil majelis banding. Majelis
yang diketuai Roki secara bulat bahkan mengabulkan semua tuntutan
jaksa penuntut umum, baik pidana pokok maupun pidana tambahan.
masalah korupsi pengadaan alat simulasi pembuatan SIM memang masalah
besar. Dalam perjalanannya sempat terjadi perebutan menyidik antara
KPK dan Polri sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan, masalah simulator SIM sebaiknya ditangani KPK. KPK akhirnya menjerat Djoko Susilo dengan tindak pidana pencucian uang.
Putusan hakim banding patut diapresiasi di tengah kegeraman
publik terhadap vonis hakim korupsi yang tidak menjerakan. Pengenaan pidana tambahan bisa saja memicu pro dan kontra. Namun
kita memandang biarlah pertimbangan majelis hakim banding itu diuji pada tingkat Mahkamah Agung jika Djoko tidak puas. Bahkan, kita
berharap pertimbangan majelis hakim banding itu bisa disepakati majelis kasasi sehingga akhirnya tercipta yurisprudensi untuk pengadilan masalah korupsi. Putusan hakim harus diarahkan untuk bukan hanya
menegakkan hukum dan keadilan, melainkan juga seiring dan sejalan
dengan pergolakan jiwa bangsa memerangi korupsi.
Seorang hakim di Inggris mengatakan, “Saya hukum gantung
kamu bukan sebab kamu mencuri kuda, melainkan agar kuda-kuda
lain tidak dicuri.” Pertimbangan hakim Inggris itu relevan dalam putusan hakim Roki. Penjatuhan pidana tambahan terhadap Djoko justru
dimaksudkan untuk mencegah uang negara lain dijarah untuk kepentingan pribadi penyelenggara negara. Bangsa ini membutuhkan hakim
progresif yang mau ikut menjawab permasalahan bangsanya.
Dari beragam perspektif, putusan kasasi Angie jelas memiliki semangat yang berbeda dengan beberapa vonis korupsi yang terasa
hambar. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa putusan korupsi di
tingkat kasasi yang juga ada pemberatan, vonis kasasi Angie memiliki pesan yang tegas dan jelas. sebab itu, tak terlalu berlebihan jika
banyak pihak memberi apresiasi luar biasa terhadap putusan ini.
Namun kalau dilihat secara utuh konstruksi Pasal 17 dan 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, putusan
kasasi Angie akan memiliki lompatan luar biasa besar jikalau majelis
hakim juga memberi hukuman tambahan dengan mencabut hakhak tertentu Angie, misalnya, hak untuk mendapatkan remisi. Terlepas dari hal itu, mampukah semua pihak membaca pesan di balik putusan
Angie?
Pesan pertama putusan kasasi ini, proses hukum harus mampu
membuktikan dapat menjangkau dan mengungkap secara tuntas semua jejaring yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Angie.
Alasannya amat sederhana, kejahatan ini terjadi tidak mungkin dilepaskan dari posisi Angie sebagai politisi di komisi yang langsung membawahkan kedua kementerian negara di atas. sebab itu, tindakan
penyelewengan yang dilakukan pasti tidak sendiri. Dalam batas penalaran yang wajar, tindakan Angie hampir dapat dipastikan melibatkan
pihak lain di komisi yang bermitra dengan kedua kementerian ini . sebab itu, agar logika penegakan hukum berjalan linear, penyidikan harus mampu menjerat pihak lain yang menjadi bagian dari jejaring Angie. Bagaimanapun, manuver Angie “menggoreng” anggaran di
DPR sulit berjalan mulus tanpa dukungan politisi lain.
Bukan hanya kemampuan menjangkau politisi lain, proses hukum
harus pula mampu mengendus kemungkinan keterlibatan sejumlah
pihak di Kementerian Pendidikan Nasional serta di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sebagai kejahatan yang yaitu hasil kerja kolektif, pengaturan proyek tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan mitra kerja di pemerintah. Alasannya sederhana, pembahasan anggaran
di DPR, persetujuan harus diberikan pemerintah dan DPR. Pertanyaan
mendasarnya: bisakah politisi bermain sendiri tanpa “membangun”
mitra dengan pemerintah?
Untuk mendukung logika di atas, saat tahap-tahap awal penegakan hukum skandal ini, terkuak fakta keterlibatan sejumlah perguruan tinggi menerima kucuran dana dari manuver Angie. Bahkan telah
pula diketahui, beberapa pimpinan dari perguruan tinggi menjadi tersangka. Namun proses hukum sebagian perguruan tinggi yang pernah
dinyatakan menerima faedah dari manuver Angie mengalami kelumpuhan total. Selain itu, penegakan hukum pun enggan menelusuri kemungkinan adanya peran sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan
Nasional. Hal yang sama harus pula dilakukan di Kementerian Pemuda
dan Olahraga.
Bukan hanya itu, penelusuran kepada pihak lain yang tidak kalah
pentingnya dilakukan yaitu kemungkinan keterkaitan dan peran Partai Demokrat. Sebagai salah seorang figur dengan posisi sentral dalam
partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu 2009, putusan kasasi Angie seharusnya dimaknai pula sebagai amanat kepada KPK untuk
menelusuri lebih jauh dan lebih serius kemungkinan keterlibatan Partai Demokrat dan sejumlah elitenya di tengah pusaran korupsi yang
melibatkan Angie.
Skandal korupsi yang dilakukan Angie membuktikan satu hal: mereka yang diberikan mandat untuk mengelola negara, tanpa merasa
takut, menggadaikan kewenangan yang diberikan kepadanya. Terkait
dengan fakta itu, pesan berikutnya dari putusan Angie: mereka yang
menggadaikan atau memperdagangkan kewenangan harus dijatuhi
hukuman berat. Dengan hukuman berat, mereka yang memperoleh
mandat yang sama harus berhitung kembali untuk menyalahgunakan
kewenangan yang ada.
Dalam skandal Angie, mantan elite Partai Demokrat ini “menggoreng” sedemikian rupa otoritas yang dimiliki anggota DPR dalam
penyusunan keuangan negara melalui APBN. Jamak diketahui, penyusunan APBN membuka celah terjadinya penyimpangan. Misalnya,
Pasal 157 ayat (1) Huruf c UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD; serta Pasal 15 ayat (5) UU No. 17/2003 tentang Keuangan
Negara menyediakan ruang bagi anggota DPR membahas RAPBN secara terperinci alias sampai Satuan 3. Bahkan, kesempatan untuk memblokir (perbintangan) anggaran dalam Pasal 71 Huruf (g) dan Pasal 156
Huruf a, b UU No. 27/2009 potensial “digoreng” untuk memperoleh
keuntungan pribadi.
Pesan memberi vonis berat tidak hanya sebab alasan mengingkari amanah rakyat, namun juga sebab tindakan ini yaitu pengingkaran serius terhadap amanah UUD 1945. Sebagai lembaga yang diberikan fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan
dalam penyusunan RAPBN, anggota DPR harus dimaknai secara tepat.
Salah satu pemahaman ini , peran dan keterlibatan DPR dalam
pembahasan dan persetujuan RAPBN mesti dimaknai sebagai pintu
masuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara.
Sesuai dengan pemahaman ini, saat kesempatan ikut membahas
dan menyetujui RAPBN dimanfaatkan sedemikian untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok, para penyusun APBN dapat dikatakan
mengingkari secara nyata amanat konstitusi. Dalam ini , Pasal 23
UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan negara dilakukan secara bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.Dalam seminar negara kita -Myanmar yang diselenggarakan Komunitas negara kita untuk Demokrasi di Jakarta, 29 Oktober 2013, muncul
sebuah pertanyaan yang mengundang debat yang hangat. Apakah
masih ada alasan membela dan memajukan demokrasi kalau sebagai
sistem politik, demokrasi di negara-negara yang dinamakan young democracies tidak sanggup mencegah korupsi dalam pemerintahan dan
gagal juga menghentikan praktik-praktik yang melanggar HAM dalam
warga ?
Kita bisa menambahkan keberatan lain, misalnya mempertanyakan kemampuan demokrasi mewujudkan keadilan sosial yang lebih
baik atau mendorong pemberantasan kemiskinan dan pengangguran.
Dalam tulisan ini kita membatasi pertanyaan pada korupsi dan pelanggaran HAM saja. Sanggupkah demokrasi memperbaiki keadaan dalam
hubungan dengan dua masalah ini ? Rupa-rupanya demokrasi
tidak bisa diharapkan menghilangkan korupsi dan pelanggaran HAM
dengan kecepatan sebuah tablet dari apotek menghilangkan sakit kepala atau sakit perut. Demokrasi yaitu sebuah sistem besar yang
hanya efektif kalau dia berhasil membangun mekanisme-mekanisme
lain dalam dirinya, yang membuatnya menemukan jalan mencapai sasaran dalam kinerjanya. Ada sistem-perantara yang harus ada terlebih
dahulu agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik.
Korupsi, misalnya, bisa dikurangi dan bahkan dicegah kalau sudah ada tata kelola yang rapi dan tangguh dalam pemerintahan, yaitu
tegaknya good governance. Tata kelola yang baik dalam pemerintahan
terbangun kalau ada kombinasi yang optimal antara birokrasi yang
bersih dan efisien dan kemauan politik dan kekuatan politik yang tecermin dalam kebijakan publik yang dapat diimplementasikan.
Tata kelola dalam pemerintahan dapat dibandingkan dengan tata
kelola dalam perusahaan bisnis, di mana birokrasi yang bersih dan efisien dapat disejajarkan dengan administrasi dan manajemen dengan
SOP yang jelas, sementara kemauan politik dan dukungan kekuatan
politik dalam pemerintahan mendapat padanannya dalam struktur
kepemimpinan perusahaan. Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Bisnis jelas tidak sama, namun beberapa fungsinya dapat dibandingkan sekalipun hanya secara analog. Dalam arti itu public good governance dapat mengambil pelajaran dari corporate good governance
dan sebaliknya.
Birokrasi dan SOP yaitu ibarat mesin yang hanya dapat berfungsi kalau dijalankan dengan mengikuti tuntutan mekanik mesin itu. Sebuah mobil bisa dihidupkan, lalu dimasukkan gigi 1 atau gigi 2 dan
diberi gas, namun tidak akan berjalan baik kalau sopirnya menarik rem
tangan. Tindakan ini menyalahi mekanik mesin mobil. Atas cara yang
kurang lebih sama, birokrasi dan SOP hanya berfungsi kalau dilaksanakan dengan mengikuti tuntutan prosedur di dalamnya.
Hubungan efisiensi birokrasi dengan bersihnya birokrasi bersifat
timbal balik. Efisiensi birokrasi menuntut bersihnya birokrasi sebagai
syarat mutlak meskipun bukan syarat yang mencukupi, sebab efisiensi selalu bisa ditingkatkan dengan memperbaiki dan menyederhanakan prosedur birokrasi melalui cara-cara yang lebih baru. Sebaliknya,
birokrasi yang tidak bersih dapat dipastikan tidak akan mencapai efisiensi sebab prosedurnya diselewengkan untuk tujuan lain yang bertentangan dengan tuntutan prosedur.
Seterusnya, kemauan politik dan kekuatan politik dalam implementasi kebijakan publik pemerintah, dan struktur kepemimpinan
dalam perusahaan, dibutuhkan untuk memberi sekurang-kurangnya tiga hal penting dalam implementasi kebijakan publik atau suatu
program bisnis, yaitu sense of mission dalam menetapkan tujuan, sense
of direction dalam menentukan arah, dan sense of commitment yang
melahirkan motivasi yang kuat. Dalam berbagai masalah , terbanyak pemimpin politik sekarang hanya sanggup menunjuk tujuan (yang bersifat umum), seperti negara kita 2025 atau negara kita 2045, namun tak
dapat menunjuk arah yang harus dan bisa ditempuh, dan juga sangat
lemah dalam memberi motivasi untuk melewati berbagai tahapan
yang harus dilalui.
Situasi ini dapat dipahami sebab merumuskan tujuan yaitu hal
yang paling mudah untuk seorang pemimpin, sebab tujuan sering kali
terdiri dari impian yang bersifat normatif. Menetapkan arah lebih sulit
sebab mengandaikan adanya kepekaan terhadap situasi, dan wawasan tentang kemungkinan bagi kesempatan atau munculnya halangan.
Memberi motivasi yaitu hal yang paling sulit sebab mengandaikan adanya kepercayaan diri seorang pemimpin (apakah dia bersih
atau tidak, yakin atau ragu) dan adanya kepercayaan kepada orang lain
(yang harus merasa mereka memiliki potensi, dan potensi itu benar-benar dibutuhkan).
Seorang pemimpin yang peragu cenderung mereplikasikan keraguannya pada mereka yang dipimpinnya, sedangkan pemimpin yangterlalu yakin tentang kemampuan dan kepandaiannya cenderung gagal membentuk tim kerja yang berhasil sebab dia tidak mampu memicu perasaan pada warga lain bahwa mereka memiliki potensi, dan potensi mereka dibutuhkan.
Hal yang sama berlaku juga dalam usaha menghentikan pelanggaran HAM. Sudah jelas bahwa pelanggaran HAM hanya bisa dicegah
atau dihentikan kalau ada penegakan hukum yang mendukungnya.
Masalah yang harus diklarifikasi ialah apakah penerapan demokrasi
dengan sendirinya mendorong tegaknya negara hukum yang kuat? Dalam sejarah politik di berbagai tempat di dunia, segera terlihat bahwa
penerapan demokrasi dan penegakan hukum dapat berjalan secara tidak simetris. Ini terjadi sebab hukum dapat ditegakkan dengan baik,
dalam negara yang kurang demokratis, tidak demokratis, dan bahkan
dalam negara yang otoriter. Otto von Bismarck mempersatukan Jerman dan berhasil membangun negara Prusia dengan memakai
tangan besi, sambil menerapkan semboyan yang lalu diwariskan
dalam seluruh birokrasi Jerman, Ordnung muss sein, yaitu semua harus
tertib dan teratur. Lee Kuan Yew barangkali bukan seorang demokrat
yang patut dicontoh, namun dia sanggup membangun rule of law di Singapura.
Terlihat dari contoh-contoh ini bahwa penegakan hukum tidak
dengan sendirinya melahirkan demokrasi sebagai produknya, sebab
tertib hukum dapat diterapkan untuk mendukung suatu pemerintahan yang tidak selalu demokratis. Dari sisi lainnya, kita bertanya apakah
dalam suatu warga yang semakin demokratis, penegakan hukum
lebih mudah dilakukan dan dapat diperkuat sedemikian rupa sehingga
mampu