hak asasi manusia 2

Jumat, 26 Januari 2024

hak asasi manusia 2





penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia 
Dimulai dari adanya suatu keputusan bahwa seluruh tatanan 
hubungan internasional perlu dibangun kembali sehingga dapat 
dihindari terulangnya kembali kebiadaban itu. Dengan demikian 
didirikanlah  Liga Bangsa-Bangsa dengan disertai harapan oleh para 
perumusnya dalam meringkus kekerasan dan menjadikan hubungan 
internasional berjalan menuju hidup berdampingan secara damai.
Ada masalah yang dapat dipakai  sebagai contoh yakni pada 
saat Inggris dan Amerika Serikat  menolak usul Jepang untuk 
memproklamirkan prinsip persamaan. Hak-hak asasi manusia belum 
mengakar dalam warga  internasional. Di pihak lain, Amerika 
Serikat dan Perancis bersikeras bahwa prinsip demokrasi (prinsip 
yang menyatakan bahwa negara harus berdasar lembaga-lembaga 
perwakilan) harus menjadi kriteria utama untuk masuknya negara-
negara baru ke dalam Liga. Dengan kata lain, suatu pemerintahan 
demokrasi merupakan batas yang membagi negara yang dibolehkan 
masuk ke dalam lembaga yang berpusat di Jenewa itu.
sesudah  Perang Dunia II, dirasakan bahwa Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang baru dibentuk harus berbeda dari Liga yang lama. 
Meskipun begitu, hak-hak asasi manusia telah memperoleh nilai 
penuh sebagai sebuah ideologi, sampai terlambang dalam Piagam 
PBB dalam beberapa  rujukan yang jelas, bahwa baik penghormatan 
terhadap hak-hak asasi manusia maupun prinsip demokrasi tidak 
dianggap merupakan sine qua non bagi keanggotaan dalam organisasi 
yang baru itu. Beberapa tahun sesudah  didirikannya Perserikatan 
Bangsa-Bangsa telah dilakukan suatu usaha  untuk menolak 
masuknya sebuah rezim totaliter, yaitu Spanyol. Polandia mengambil 
prakarsa dan merekomendasikan agar Spanyol tidak diterima masuk 
sebab  pemerintahannya tidak demokratis dan tidak menghormati 
hak-hak asasi manusia. Bagaimanapun, bahkan jika Sidang Umum 
memang menerima argumentasi ini, dalam dua tiga tahun lalu  
terbukti tidak mungkin untuk terus mengikuti garis-garis ini, tahun 
1950 Spanyol ikut dalam Organisasi itu sebab  pengaruh tekanan 
perang dingin.
Pada penghujung tahun 1970-an Kamboja juga menerima 
perlakuan yang sama. Tahun 1979 Vietnam melakukan invansi 
terhadap Kamboja, Pol Pot melarikan diri ke pengasingan dengan 
pemerintahannya dan PBB harus memutuskan pemerintahan mana 
yang akan dianggap sebagai wakil yang absah dari rakyat Kamboja. 
Namun meskipun ia telah melakukan kejahatan-kejahatan yang 
buruk sekali dan tidak memiliki kekuasaan yang efektif terhadap 
negara itu, PBB tetap menerima surat-surat kepercayaan wakil-wakil 
pemerintahan Pol Pot dan para pewarisnya. Apapun motif politiknya, 
pada kenyataannya bahwa pelanggaran terhadap hak-hak asasi 
manusia tidak dianggap sebagai alasan yang cukup untuk menerima 
atau menolak masuknya suatu negara atau suatu pemerintahan ke 
dalam PBB 
C.  Rakyat dan Individu sebagai Warga warga  Internasional
Negara yang berdaulat merupakan tradisi sebagai satu-satunya 
pusat kekuasaan yang memiliki hak dan kewajiban hukum. Mereka 
berkuasa atas warga nya masing-masing dan dapat melakukan 
apa saja yang dikehendakinya. Saat ini, rakyat dan individu muncul 
sebagai tandingannya yang absah. Beberapa ahli hukum dan diplomat 
menolak untuk mengakui bahwa kedua kategori ini telah diberikan 
suatu peranan di pentas internasional, mereka merasa bahwa rakyat 
dan individu masih tetap berada di bawah kekuasaan negara yang 
berdaulat. Untuk menentang pandangan ini , pada tahun 1947 
wakil Perancis pada Komisi PBB untuk hak-hak asasi manusia 
ikut serta dalam perumusan Deklarasi Universal pada tahun 1948, 
lalu  dikatakan di dalamnya bahwa individu telah menjadi 
subjek hukum internasional baik dalam kehidupannya maupun dalam 
kebebasannya. sesudah  itu, pada tahun 1986, Presiden Argentina 
menyatakan bahwa konsep hukum internasional telah mengalami 
perubahan yakni dengan memberikan individu suatu status subjek 
internasional dan membatasi gagasan campur tangan dalam masalah 
dalam negeri sepanjang ada hubungannya dengan pelanggaran hak-
hak asasi manusia (Antonio Cassese, 2005).
Selama berabad-abad, individu telah mendapat penjagaan 
hukum internasional hanya sebagai orang asing, yaitu hanya jika  
ia sedang berada di luar negeri dan menganggap bahwa negara 
nasionalnya siap dan mampu menjaganya. Peraturan internasional 
tidak mengharuskan negara untuk mengakui orang asing, dalam 
pengertian bahwa semua negara baik dulu atau sekarang, dapat 
menolak masuknya siapa saja yang diinginkannya. Namun, jika  
ia menerima kewajiban berdasar perjanjian untuk melakukan 
yang sebaliknya, sekali orang asing telah diakui maka ia memiliki 
serentetan hak (kepribadian hukumnya diakui, berhak memperoleh 
keadilan, berhak agar hak miliknya tidak disita dan jika  disita ia 
akan memperoleh hak ganti rugi).
Saat jumlah peraturan internasional tentang hak-hak asasi 
manusia diperluas sesudah  tahun 1948, tentunya ada harapan bahwa 
peraturan-peraturan tradisional mengenai perlakuan terhadap orang 
asing akan diserap ke dalam tatanan hukum yang baru. sebab  
peraturan-peraturan baru itu akan menjaga manusia sebagaimana 
adanya yang berlaku bagi setiap individu baik di dalam negeri maupun 
di luar negeri terlepas dari apakah ia warga negara dari suatu negara. 
Namun, kenyataannya tidak sedemikian adanya, sebab  beberapa 
alasan. Pertama, sangat sedikit peraturan-peraturan mengenai 
hak-hak asasi manusia yang memperoleh kesahihan universal. 
Kebanyakan hanya menjadi aturan perjanjian. Kedua, hak –hak 
asasi manusia tidak menyerap hak-hak orang asing. Beberapa negara 
berkembang mengemukakan bahwa hak-hak orang asing timbul dari 
suatu keinginan untuk menjaga warga negara dari negara-negara 
besar di luar negeri.
Dengan demikian, terciptalah suatu dikotomi yang aneh antara 
hak orang asing dan hak-hak asasi manusia. Namun sedikit demi 
sedikit, pembedaan yang kaku antara kedua perangkat hak itu telah 
berkurang dan hak-hak asasi manusia perlahan-lahan mengubah 
tujuan peraturan-peraturan tentang orang asing itu. Ada beberapa 
dampak dari pengaruh ini antara lain sebagai berikut.
1. Perjanjian internasional tertentu tentang hak-hak asasi manusia 
mengandung persyaratan-persyaratan mengenai masalah 
yang secara khusus berkaitan dengan orang asing. Tujuan dari 
peraturan ini yaitu  untuk memberi jaminan di balik hukum 
dan menambah perlindungan terhadap orang asing. Misalnya, 
pengusiran secara kolektif dilarang.
2. Peraturan-peraturan tertentu yang telah lama berlaku sekarang 
ini harus ditafsirkan dan dilaksanakan berdasar hak-hak asasi 
manusia. Hal ini benar mengenai prinsip fundametal tentang 
menentang diskriminasi yang merupakan tema utama dari hak-
hak asasi manusia. lalu  aturan ini akan mempengaruhi 
aturan-aturan tradisional yang tidak lagi dapat memberikan 
pembedaan-pembedaan tertentu.
Kenyataan bahwa hak-hak asasi manusia telah diterima dan 
merupakan hal yang penting sekali dalam memicu  diterimanya 
sebuah deklarasi tentang hak-hak orang asing dengan suara buat oleh 
Sidang Umum PBB tahun 1985 
Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri bagi 
bangsa-bangsa merupakan dua doktrin yang memiliki  pengaruh 
penting dalam bidang prosedur yang dipakai  untuk sesuai dengan 
peraturan-peraturan internasional. Di samping itu, kedua doktrin 
ini  membantu memperkenalkan teknik-teknik baru untuk 
menciptakan peraturan-peraturan internasional baru. Namun, 
keduanya bersifat instrumental dalam memperkenalkan prinsip dan 
kriteria baru yang telah memicu  pemutusan hubungan dengan 
sikap dan keyakinan lama.
Alasan pertama, sebab  peraturan kebiasaan internasional yang 
timbul secara berangsur-angsur sebagaimana perjanjian multilateral 
tentang hak-hak asasi, maka Mahkamah Keadilan Internasional 
menyatakan dalam suatu obiter dictum, hukum internasional harus 
diadakan pembedaan antara kewajiban yang berdasar resiprositas 
dan kewajiban erga omnes, yaitu kewajiban yang dilaksanakan setiap 
negara dalam menghadapi semua negara lain. Mahkamah juga 
menyatakan bahwa negara-negara wajib melaksanakan kewajiban 
tertentu yang secara vital sehingga semua negara memiliki  
kepentingan dalam menjamin bahwa kewajiban itu dilaksanakan. 
Kedua, suatu perangkap prinsip yang sama dengan kewajiban erga 
omnes terhadap warga  internasional telah memutuskan dalam 
hukum internasional. Rujukannya yaitu  pada jus cogens, yakni 
sekelompok prinsip yang diberikan kekuatan hukum khusus sebab  
ia tidak dapat dihilangkan atau dibantah oleh persyaratan perjanjian 
atau peraturan kebiasaan. Untuk pertama kalinya warga  
internasional telah memutuskan untuk mengakui nilai-nilai tertentu 
yang harus dimenangkan di atas bentuk kepentingan nasional 
manapun. Nilai-nilai ini memperlihatkan bagaimana warga  
internasional telah membuat suatu pilihan yang fundamental dan 
juga menggambarkan kebutuhan kolektif.
Aspek ketiga dari penciptaan, perubahan dan penghapusan 
peraturan-peraturan hukum yang telah dipengaruhi oleh kedua 
doktrin yang berkenaan dengan “kematian” perjanjian. Menurut 
hukum klasik, pelanggaran material dari suatu ketentuan fundamental 
dari suatu perjanjian bilateral atau multilateral oleh suatu negara 
merupakan sebab yang cukup bagi satu atau beberapa pihak untuk 
menolak perjanjian itu. Jiak satu pihak melanggar janjinya untuk 
melakukan suatu tindakan, maka pihak lain juga bebas untuk 
melakukan hal yang sama.
C. Pengawasan Internasional
Mulai dari abad ke-17 sampai abad ke-20, warga  internasional 
tidak memiliki mekanisme sosial untuk menegakkan kepatuhan 
kepada ukuran perilaku-perilaku tertentu. Pada masa ini negara 
melakukan pengawasan bebas di mana dalam sisitem yang primitif 
ini, masing-masing anggota memutuskan sendiri apakah anggota yang 
lain telah melanggar haknya, bagaimana bentuk reaksi yang diberikan 
menyikapi pelanggaraan itu, apakah harus memakai  kekerasan, 
atau sanksi-sanksi ekonomi atau tidak melakukan tindakan apa-apa 
sama sekali. Sistem ini  pada akhirnya hanya menguntungkan 
negara-negara besar dan menengah dan merugikan negara kecil.
sesudah  Perang Dunia I, didirikanlah Organisasi Buruh 
Internasional (ILO) dengan salah satu tujuannya yaitu  untuk 
mengatur kondisi para pekerja di seluruh dunia. Negara-negara 
didorong tidak hanya untuk merumuskan dan menerima konvensi-
konvensi nasional, namun  juga melaksanakan kewajiban-kewajiban 
baru. Oleh sebab  itu, ada kebutuhan yang mendesak bagi 
sitem-sistem baru untuk menegakkan penghormatan terhadap 
peraturan-peraturan internasional, yang dapat dilaksanakan tidak 
hanya oleh negara namun  juga oleh pihak-pihak ketiga. Namun, 
sistem yang dianut ILO merupakan kasus yang agak tersendiri 
dalam tahun-tahun sesudah  Perang Dunia II. sesudah  Perang Dunia 
II, dilakukanlah langkah-langkah besar berkat gagasan hak-hak 
asasi manusia. Di samping peraturan-peraturan internasional untuk 
menjaga diri manusia, beberapa  mekanisme telah berkembang untuk 
menjamin agar peraturan-peraturan itu dihormati. Dewasa ini, hal 
ini membentuk suatu jaringan yang ketat dan semuanya dipusatkan 
atau dikaitkan dengan organisasi-organisasi internasional 
 Akibat-akibat dari setiap pelanggraan hukum internasional yang 
dilakukan oleh negara dipengaruhi oleh kedua doktrin yang telah 
disebutkan sebelumnya. Dahulu, pertanggungjawaban negara diatur 
oleh sedikit peraturan yang sifatnya masih primitif. Setiap kali sebuah 
negara melakukan pelanggaran terhadap kewajiban internasional 
yang merugikan negara lain, maka ia diwajibkan membayar ganti rugi. 
Hanya negara yang dirugikan itulah yang berhak meminta ganti rugi, 
jika negara yang melakukan pelanggaran menolak untuk memberikan 
ganti rugi maka yang ini  lebih dahulu dapat melakukan sanksi 
yang pantas terhadap yang ini  lalu . 
Suatu pertanggungjawaban dalam urusan “pribadi” antara yang 
melanggar dengan korbannya, tidak ada pihak lain yang dapat ikut 
campur. Dalam pelanggaran hukum internasional, akibat-akibatnya 
tidak melibatkan warga  yang lain. Masing-masing negara harus 
melaksanakan hukum itu sendirian, sedang warga  yang lain 
tidak peduli bagaimana prihatinnya negara-negara lain mengenai 
akibat yang ditimbulkannya.
Hak-hak asasi manusia telah meninggalkan kesan yang 
mendalam yang dapat ditelusuri melalui dua kecenderungan baru 
yang ditimbulkan akibat pengaruh hak-hak asasi manusia itu. 
Pertama, hak-hak asasi manusia ikut serta dalam mengecilkan 
peranan kerugian dalam gagasan suatu tindakan yang salah di bawah 
hukum internasional. Kedua, hak-hak asasi manusia ikut serta dalam 
menciptakan suatu kategori pelanggaran khusus dalam hukum 
internasional. 
D.  Hukum Perang
Masih ada bidang lain yang dipengaruhi oleh hak-hak asasi 
manusia, yakni pertama, mengenai seperangkat peraturan dan 
prinsip yang berusaha untuk mengatur jalannya perang antara dua 
negara atau lebih, sebagaimana juga perang saudara atau perang 
kemerekaan nasional. Salah satu prinsip yang mendasar dari hukum 
perang yaitu  melarang pennggunaan senjata yang menimbulkan 
penderitaan yang tidak perlu atau yang tidak dapat dibenarkan 
untuk tujuan menjadikan pihak musuh tidak berdaya lagi. Selain itu, 
peraturan berkenaan dengan tawanan perang menekankan bahwa 
mereka harus ditundukkan pada pertimbangan militer dan logika 
perang, segera sesudah  keadaan ini sesuai dengan satu atau lebih dari 
pihak-pihak yang terlibat.
Bidang kedua yang dipengaruhi hak-hak asasi manusia yaitu  
bidang senjata yang tidak manusiawi. Penggunaan bom napalm dalam 
beberapa hal telah dilarang sebagaimana juga penggunaan senjata 
perangkap dan bahkan juga senjata-senjata yang sebegitu jauh baru 
ada dalam rencana, seperti peluru yang tidak dapat ditelusuri oleh 
sinar X jika  ia telah masuk ke dalam tubuh manusia.
Bidang ketiga yang dipengaruhi oleh hak-hak asasi manusia 
yaitu  lapangan korban perang, termasuk para tawanan, orang yang 
luka, cedera atau korban kapal tenggelam, para anggota bersenjata 
dan orang sipil yang jatuh ke tangan musuh. Perlakuan sehari-hari 
terhadap merak diatur secara rinci dan bersifat manusiawi.
Dibentuknya kategori baru dari kejahatan internasional yang 
berkaitan dengan perang merupakan sebuah langkah maju ke depan. 
Telah diperkenalkan sebuah prinsip baru yang penting yaitu prinsip 
yurisdiksi universal bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap 
kemanusiaan. Dahulu, yang berhak menghukum penjahat hanyalah 
negara hanyalah penjahat atau korban kejahatan, namun sekarang 
setiap negara dapat mengadili dan menghukum setiap orang yang 
telah melakukan kejahatan-kejahatan.
Bidang keempat yang dipengaruhi oleh hak-hak asasi manusia 
yaitu  bidang perang saudara. Di masa lalu, pemberontakan bersenjata 
yang menentang negara hanya merupakan urusan negara yang 
terkait langsung. biasanya bangsa-bangsa lain menjauhkan 
diri dari ledakan tindakan kekerasan yang menyedihkan seperti itu. 
Yang paling sering terjadi yaitu  kemungkinan sebuah negara untuk 
memutuskan menolong negara yang sedang kesusahan dengan tujuan 
untuk memadamkan pemberontakan itu 
Jalan hak-hak asasi itu tidak selalu lancar dan lurus. Setiap 
hari selalu terbentur pada sesuatu yang tidak rasional, rasio 
dikesampingkan dan hak-hak diinjak-injak. Banyak kekuatan yang 
menentang hak-hak asasi: rezim yang otoriter, struktur pemerintahan 
yang sewenang-wenang dan kelompok-kelompok non-pemerintah 
(seperti teroris) yang memperlakukan orang yang tidak bersenjata 
dan tidak berdosa dengan kekerasan tanpa belas kasihan. 
Perkembangan hak-hak asasi manusia diperlambat oleh beberapa  
kekuatan yang menentangnya. Di antara kekuatan-kekuatan ini  
rezim pemerintahan yang otoriter dan struktur pemerintahan yang 
sewenang-wenang dan serba mencakup merupakan kekuatan penentang 
yang paling besar pengaruhnya terhadap laju perkembangan hak-hak 
asasi manusia. Tiga faktor yang terkait dengan struktur negara telah 
menjadi kekuatan penentang hak-hak asasi manusia dalam dunia 
internasional antara lain: (a) negara menjadi penjamin penghormatan 
terhadap hak-hak asasi manusia, (b) merupakan bagian dari tatanan 
negara modern, dan (c) ada kelompok warga  Barat, sosialis 
dan kelompok negara dunia ketiga.
Menghadapi keadaan seperti disebutkan di atas telah dibentuk 
suatu usaha multinasional yang membutuhkan keterlibatan seluruh 
penghuni bumi. Norma-norma internasional telah dirumuskan, 
demikian pula dengan perangkat instrumennya, namun yang tak 
kalah penting yaitu  komitmen memegang prinsip yang menempatkan 
umat manusia di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang perbedaan 
apapun, dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan derajat.
Pandangan universal absolut mengenai HAM artinya menempatkan 
HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam 
berbagai bentuk International Bills of Human Rights dengan tidak 
mempertimbangkan faktor dan konfigurasi sosial budaya serta konteks 
ruang dan waktu yang melekat pada masing-masing negara atau 
bangsa. HAM ditempatkan sebagai nilai dan norma yang melintasi 
yurisdiksi negara-negara. sedang pandangan yang menyatakan 
bahwa HAM bersifat universalrelatif menempatkan sebagai HAM 
merupakan nilai-nilai universal, dengan tetap memberikan ruang 
distingsi dan bahkan limitasi bagi masing-masing negara bangsa. 
Namun demikian distingsi dan limitasi oleh masing-masing negara 
tetap harus berdasar pada asas-asas hukum internasional dan tidak 
bertentangan secara normatif dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip 
HAM internasional. Pandangan partikularisme absolut memandang 
HAM dipandang sebagai persoalan masing-masing bangsa dan negara. 
Negara-negara memiliki kedaulatan untuk melakukan penolakan 
terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan 
ini bersifat chauvinis, egois, dan berkecenderungan defensif terhadap 
isu-isu HAM, khususnya isu-isu HAM yang menjadi isu lintas negara. 
Dalam perkembangan wacana dan praktek politik dan hukum 
HAM di negara-negara, adakalanya penolakan terhadap perspektif 
universalitas HAM dijadikan sebagai tameng untuk menutupi 
inkompatibilitas aturan dan praktek politik dan hukum HAM dengan 
hak-hak substantif dan fundamental manusia dan warga negara.
sedang partikularisme relatif memandang HAM merupakan 
masalah nasional masing-masing bangsa namun tetap berkaitan 
nilai-nilai universal. Meskipun nilai HAM bertumbuh dari budaya dan 
konteks ruang-waktu negarabangsa tetap dimungkinkan berlakunya 
nilai-nilai universal yang sesuai dengan nilai-nilai lokal-partikular. 
Di samping itu, berlakunya dokumen-dokumen internasional dalam 
yurisdiksi nasional dapat dilakukan jika sesuai dengan nilai-
nilai budaya lokal negara-bangsa, serta mendapatkan dukungan 
pemerintahan lokal.
Arus pemikiran atau pandangan tentang nilai-nilai HAM yang 
saling tarik menarik dalam melihat relativitas HAM ini  pada 
prinsipnya dapat disarikan menjadi dua kelompok pandangan yaitu 
strong relativist dan weak relativist. 15 Strong relativist beranggapan 
bahwa nilai-nilai HAM secara prinsip ditentukan dan dipengaruhi 
oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedang universalitas nilai 
HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai HAM yang didasari 
oleh budaya lokal atau lingkungan setempat. Pandangan ini mengakui 
keberadaan nilai-nilai HAM secara universal dan juga partikular. 
Sementara weak relativist memberi penekanan pada nilai-nilai HAM 
universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasar pertimbangan 
budaya tertentu. Pandangan ini hanya mengakui adanya nilai-nilai 
HAM yang bersifat universal. 
Memahami apa itu Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan 
hal penting. Meskipun ada anggapan bahwa definisi tidak terlalu 
penting dan lebih penting mengenali prinsip-prinsipnya, pemahaman 
mengenai apa itu HAM dapat membimbing kita untuk mengidentifikasi 
lebih lanjut prinsip-prinsip dan implementasi HAM. HAM, dalam 
pengertian yang sederhana, merupakan hak yang secara alamiah 
dan kodrati melekat pada makhluk hidup yang bernama manusia 
sematamata sebab  ia merupakan manusia (human being), bukan 
makhluk lain selain manusia. Begitu maujud seorang manusia, maka 
melekat dalam dirinya hak ini . Hak-hak asasi ini  sangat 
berkaitan erat dengan harkat dan martabat manusia (human dignity). 
Tanpa hak-hak dasar ini  manusia tidak dapat hidup sesuai 
dengan harkat dan martabatnya itu. Pemenuhan dan penghormatan 
terhadap HAM memungkinkan perseorangan dan warga  untuk 
berkembang secara utuh. Beberapa pakar dan praktisi gerakan HAM 
berada dalam simpang pemikiran yang berbeda dalam memahami 
(dan juga memperjuangkan) HAM.. Jack Donnely menekankan bahwa 
umat manusia memiliki hak-hak dasar bukan atas dasar pemberian 
hukum positif, namun dimilikinya secara kodrati, sebab  martabatnya 
sebagai manusia.1 Pandangan Donnely menegaskan bahwa HAM 
muncul bersamaan dengan lahirnya kedirian manusia.
HAM teramat penting untuk menjadi concern kita semua, tak 
hanya di dunia aktivisme akan namun  juga di lingkungan akademis. 
Hal itu disebab kan oleh berbagai latar, antara lain sebagai berikut: 
Pertama, HAM yaitu  hak elementer dan fundamental tentang 
manusia, harkat dan martabatnya. Kajian HAM terkait dengan 
keadaan-keadan (circumstances) yang sangat generik, bahkan 
sebelum manusia terpilah-pilah atas dasar label identitas: sebelum 
manusia terbagi ke dalam berbagai kewarga negaraan, terkontak-
kotak ke dalam berbagai anggota komunitas dunia, dan seterusnya. 
Label identitas merupakan situasi yang hadir lalu .
Kedua, HAM merupakan alat peradaban/sarana sipilisasi 
(a civilizing tool). Potret kebiadaban negara sudah berlangsung 
jauh sebelum Perang Dunia II. Realitas ini  memicu  
kemunduran besar kemanusiaan: secara fisik, jiwa, sosio-ekonomi, 
sosio-kultural. Isu HAM menjadi gerakan global untuk menciptakan 
tatanan dunia yang lebih beradab (civilized). saat  isu demokrasi 
dan demokratisasi dijadikan pintu gerbang untuk menetralkan dan 
mereduksi kebiadaban negara atas warga negaranya, kegagalan 
segera membayang sebab  negara lalu bersembunyi di balik tameng 
kedaulatan negara (state sovereignty).
Ketiga, HAM merupakan nilai dasar peradaban global. Pasca 
Perang Dunia II muncul semacam kesadaran kolektif warga  
dunia bahwa tatanan dunia harus diubah agar lebih damai dan 
mendamaikan. Pengalaman korban perang yang mengerikan sebab  
penggunaan berbagai produk teknologi persenjataan yang nir 
pertimbangan kemanusiaan mendorong komunitas internasional 
untuk melakukan pertobatan massal dan mengikatkan diri dalam 
komitmen global yang damai dengan nilai-nilai baru berbasis 
kemanusiaan. Komitmen warga  dunia ini  diejawantahkan 
dalam bentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi 
ini  didasarkan pada keyakinan penuh bahwa hak asasi manusia 
yaitu  nilai dasar yang menempatkan kemanusiaan melampaui 
berbagai pertimbangan apapun: politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, 
kedaulatan negara, dan sebagainya.

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
A.  Pendahuluan
Hak asasi manusia menjadi bahasan penting sesudah  Perang 
Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa 
tahun 1945. Istilah HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal 
ini sebab  konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam 
menjadi suatu kontroversial. Hak asasi manusia yang dipahami 
sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial 
yang bersifat universal. Pada perkembangannya telah mengalami 
perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan keyakinan dan 
praktik-praktik sosial di lingkungan kehidupan warga  luas.
Pada awalnya, HAM berada di negara-negara maju. Sesuai 
dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara 
meluas, maka negara berkembang seperti Indonesia, mau tidak 
mau sebagai anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan 
ratifikasi instrumen HAM internasional sesuai dengan falsafah 
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa 
Indonesia. Perkembangan HAM di Indonesia sebenarnya dalam UUD 
1945 telah tersurat, namun belum tercantum secara transparan. 
sesudah  dilakukan Amandemen I s/d IV Undang-Undang Dasar 
1945, ketentuan tentang HAM tercantum pada Pasal 28 A s/d 28 J. 
Sebenarnya pada UUDS 1950 yang pernah berlaku dari tahun 1949-
1950, telah memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan 
lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun konstituante (lembaga 
negara dalam membentuk UU) yang terbentuk melalui pemilihan 
umum tahun 1955 dibubarkan berdasar Keppres Nomor 150 tahun 
1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis, hal ini memicu  kita 
kembali lagi pada UUD 1945 
lalu  berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang 
berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal 
Orde Baru telah menyusun Piagam hak-hak asasi manusia dan hak-
hak serta kewajiban warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota 
MPRS kepada Presiden dan DPR tentang pelaksanaan hak-hak asasi. 
sebab  berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak 
jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pemerintahan Orde Baru pada 
saat itu bersikap anti terhadap Piagam HAM, dan beranggapan bahwa 
masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Untuk menghapus kekecewaan kepada bangsa Indonesia 
terhadap Piagam HAM, maka MPR pada Sidang Istimewanya tanggal 
11 November 1998 mensahkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 
yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan 
seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, 
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh 
warga 
B.  Instrumen HAM Nasional
Pada masa pemerintahan Orde Baru, demokrasi belum berjalan 
dengan baik. Terlihat misalnya seperti kebebasan mengemukakan 
pendapat di muka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam 
organisasi dan sebagainya. Hanya kepentingan-kepentingan politik 
yang menonjol pada saat itu, sehingga gerak-gerik warga  
terbatas oleh kekuatan politik dan militerisme. Demi nama baik 
bangsa dan warga  di Indonesia sebagai anggota PBB, maka 
untuk menghormati Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM, 
serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan 
HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, 
Pancasila dan Negara berdasar atas hukum telah menetapkan:
a. Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi 
Mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap 
Wanita;
b. Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-
hak Anak;
c. Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional 
HAM 
Bertumpuknya permasalahan pada Orde Baru, baik masalah BLBI 
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Likuiditas yaitu  kemampuan 
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. sesudah  
itu masalah KKN, kasus Tanjung Priok tanggal 12 September 1984, 
DOM Aceh tahun 1989, Trisakti tanggal 12 Mei 1998, ketidakpercayaan 
terhadap pemerintahan, dan terjadinya kerusuhan tanggal 12-14 Mei 
1998, pada tanggal 21 Mei 1998 telah terjadi pergantian pemerintahan 
yang selama ini berkuasa sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. 
Pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan, telah terjadi kasus 
Semanggi I tanggal 13 November 1998, Semanggi II tanggal 22-24 
September 1999, pelanggaran HAM yang berat di Liquica, Dilli bulan 
April 1999 dan September 1999. Semenjak pergantian pemerintahan 
Orde Baru, dan Kabinet Era Reformasi sampai dengan Kabinet Gotong 
Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundang-undangan 
yang berperspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, 
yaitu:
a. Keppres No. 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang 
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
b. Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 
1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan 
Non Pribumi dalam semua Perumusan dan Penyelenggaraan 
Kebijakan Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan 
Penyelenggaraan Pemerintahan;
c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 
1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan 
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak 
Manusiawi, atau Merendahkan;
d. Keppres No. 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang 
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
e. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
f. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 
tentang HAM;
g. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 
tentang Pengadilan HAM;
h. Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 87 Tahun 
1948, diratifikasi berdasar Keppres No. 83 Tahun 1998 
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk 
Berorganisasi;
i. Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasar 
Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja 
Paksa;
j. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasar 
Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam 
Pekerjaan dan Jabatan;
k. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasar 
Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum 
untuk Diperbolehkan Bekerja;
l. Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasar 
Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan 
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan 
Terburuk untuk Anak;
d. Konvensi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasar Keppres 
No. 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan 
Tenaga Kerja (Muladi, 2009).
A. HAM di Indonesia
Proses globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an, bukan saja 
masalah kehidupan ekonomi, namun  telah melanda dalam kehidupan 
politik, hankam, iptek, pendidikan, sosial budaya, dan hukum. 
Globalisasi di bidang politik tidak terlepas dari pergerakan tentang 
HAM, transparansi, dan demokratisasi. Adanya globalisasi dalam 
pergerakan HAM, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-
instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara anggota 
PBB, ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan 
bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga warga , 
lembaga studi, dan warga  luas untuk memainkan peran 
dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan 
warga  bangsa Indonesia. Dengan penerapan instrumen HAM 
internasional dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi 
kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis, 
filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan 
bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan 
politik, sebab  instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang 
menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak 
tertulis. Bentuknya bisa dalam wujud deklarasi, konvensi (hukum 
kebiasaan), kovenan (perjanjian), resolusi maupun general comments. 
Instrumen-instrumen ini  akan membebankan kewajiban para 
negara-negara anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan 
sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota 
belum melakukan ratifikasi secara formal.
namun  konsep HAM ini  tidak secara universal, disesuaikan 
dengan kebudayaan negara Indonesia yang berdasar pada 
Pancasila dan UUD 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan 
dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara 
individual maupun kolektif kehidupan warga  yang berasaskan 
kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas 
sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling 
menunjang secara proporsional. Manusia di sini dipandang sebagai 
pribadi, sebagai makhluk sosial dan dipandang sebagai warga 
negara. Jadi konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-
hak mendasar manusia, namun  ada kewajiban dasar manusia sebagai 
warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan 
hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, 
patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima 
bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap negara. sedang 
kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, 
menegakkan, dan memajukan HAM yang telah diatur berdasar 
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional HAM yang 
diterima oleh Indonesia.
Dengan ditetapkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 
berdasar Keppres No. 40 Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004, 
merupakan kelanjutan RANHAM 1998-2003 yang dicanangkan 
Presiden B. J. Habibie melalui Keppres No. 129 Tahun 1998 tanggal 
15 Agustus 1998 yang semula memuat empat program utama, yaitu:
a. Persiapan pengesahan perangkat internasional HAM;
b. Diseminasi (proses penyebaran) dan pendidikan HAM;
c. Pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas; dan
e. Pelaksanaan isi atau ketentuan berbagai perangkat internasional 
HAM yang telah disahkan Indonesia (Muladi, 2009).
RANHAM secara nasional diketuai oleh Menteri Luar Negeri 
dengan anggota yang melibatkan 16 institusi setingkat Menteri, 
termasuk Ketua Komnas HAM dan Ketua PMI. Adanya pergantian 
pemerintahan, sebagai Panitia Nasional diketuai Menteri Negara 
Urusan HAM. sesudah  melakukan lokakarya untuk penyempurnaan 
RANHAM, sebab  adanya pergantian pemerintahan, Kantor 
Menteri Negara Urusan HAM diintegrasikan ke dalam Departemen 
Hukum dan Perundang-undangan yang lalu  berubah menjadi 
Departemen Kehakiman dan HAM.
berdasar perubahan di atas, maka Ketua Panitia Nasional 
yang semula Menteri Luar Negeri dialihkan secara formal ke 
Menteri Kehakiman dan HAM dengan Sekretariat Direktur Jenderal 
Perlindungan HAM. lalu  direkomendasikan pembentukan 
Panitia Daerah untuk membantu pelaksanaan RANHAM. Pada 
pelaksanaan RANHAM telah meratifikasi Konvensi Penghapusan 
Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Konvensi Anti Penyiksaan, dan 
penerjemahan perangkat HAM internasional yang akan diratifikasi, 
penyebarluasan dan sosialisasi perangkat HAM internasional 
yang telah diratifikasi, kajian peraturan perundang-undangan 
nasional yang terkait dengan perangkat HAM internasional, dekade 
pendidikan HAM, pelaksanaan pendidikan HAM di universitas dan 
institusi lainnya, pelaksanaan pendidikan HAM melalui jalur sekolah, 
penerjemahan bahan ajar HAM, pelaksanaan pendidikan HAM jalur 
luar sekolah, dan sebagainya. Dan beberapa kegiatan yang belum 
dicapai dengan baik, akan dilaksanakan pada RANHAM 2004-2009, 
sesuai dengan Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004.
Panitian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung 
jawab langsung kepada Presiden, periode tahun 2004-2009 bertugas 
melakukan koordinasi pelaksanaan RANHAM di Indonesia yang 
mencakup:
a. Pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM;
b. Persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional;
c. Persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan;
d. Diseminasi dan pendidikan HAM;
e. Penerapan norma dan standar HAM, dan
f. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan (Muladi, 2009).
Keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur pemerintah dan lembaga 
hak asasi manusia nasional sebanyak 41. Sekretaris merangkap 
anggota yaitu  Direktur Jenderal Perlindungan HAM. Rencana 
kegiatannya melakukan pembentukan dan penguatan institusi 
pelaksana RANHAM di daerah, persiapan ratifikasi instrumen 
internasional HAM, persiapan harmonisasi peraturan perundang-
undangan, diseminasi dan pendidikan HAM, penerapan norma dan 
standar instrumen HAM, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
B. Perjalanan HAM dalam Undang-Undang Dasar Indonesia
Memasukkan norma HAM ke dalam Undang-Undang Dasar 
Indonesia, merupakan perjuangan yang panjang. Pada awal negara 
ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara pendiri negara dan 
perancang konstitusi tentang perlu/tidaknya HAM dimasukkan ke 
dalam UUD Negara Indonesia. Pertentangan ini  disimbolkan 
antara kubu M. Yamin, di satu pihak, dengan kubu Soepomo dan 
Soekarno di pihak lain. Pada pandangan Soepomo, HAM sangat 
identik dengan ideologi liberal-individual, dengan demikian sangat 
tidak cocok dengan sifat warga  Indonesia. Soepomo tidak 
pernah membayangkan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan 
akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya 
sebab  negara atau pemerintahan merupakan satu kesatuan, antara 
pemerintah dengan rakyat yaitu  tubuh yang sama (Muladi, 2009).
Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar 
apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan 
HAM dalam undang-undang dasar yang mereka rancang. Walhasil 
dari pertentangan ini  dicapai kompromi untuk memasukkan 
beberapa prinsip HAM ke dalam UUD yang sedang mereka rancang. 
Wujud dari kompromi ini  yaitu  apa yang diatur pada beberapa 
pasal dalam UUD 1945 .
Membaca risalah sidang BPUPKI ini  kita dapat melihat, 
bahwa sebagian perancang UUD 1945, masih mengkaitkan HAM 
dengan individualisme dan liberalisme. Paham ini sangat ditentang 
oleh hampir semua anggota BPUPKI. Mereka menolak semua 
paham yang beraroma liberal. Hal ini dapat kita pahami, sebab  
para perancang hukum dasar ini  merasakan getirnya hidup 
di masa kolonialis. Penolakan Soepomo memasukkan norma-norma 
HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti ia anti HAM. Perubahan 
sikap Soepomo terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya 
hak-hak dasar warga negara dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 
di mana Soepomo terlibat secara langsung dalam perancangannya. 
Dalam UUDS 1950, sekitar 36 pasal prinsip-prinsip HAM dimuat di 
bawah payung hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia yang 
dijabarkan dari Pasal 7 sampai Pasal 43.
Sejak Indonesia kembali pada UUD 1945, di bawah rezim 
Soekarno, dan dilanjutkan masa rezim Soeharto dengan Orde Barunya, 
pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa padal dalam 
UUD 1945. Seiring dengan perkembangan perjalanan sejarah di dunia 
internasional, instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam 
berbagai konvensi dan kovenannya. Perlindungan HAM lalu  
dijadikan salah satu norma standar untuk berhubungan dengan 
negara luar khususnya negara-negara Barat. Dengan kekuatan 
ekonomi yang besar dan ketergantungan negara-negara dunia ketiga 
yang non komunis kepada bantuan ekonomi Barat, menimbulkan 
dominasi negara Barat dan standar Barat dalam penilaian terhadap 
pelaksanaan HAM di dunia terutama negara dunia ketiga.
Isu HAM lalu  dijadikan isu internasional atau isu global. 
Hal ini tidak jarang menimbulkan konflik antara negara barat 
dengan negara-negara dunia ketiga. Dengan mempertengahkan 
konsep keanekaragaman budaya, negara-negara non barat mencoba 
membendung dominasi standar Barat dalam menilai perlindungan 
HAM di dunia. Pemikiran itulah yang mendorong negara anggota 
OKI (Organisasi Kerjasama Islam) mengadakan pertemuan di Kairo 
untuk membicarakan masalah HAM yang cocok dengan nilai budaya 
Islam. Konferensi ini  melahirkan Deklarasi Kairo tahun 1990. 
Namun sebab  pengaruh negara-negara anggota OKI sangat kecil 
dalam percaturan politik internasional membuat Deklarasi Kairo 
hanya sebatas kesepakatan moral belaka tanpa mampu mengimbangi 
dominasi standar Barat dalam masalah HAM. Dominasi standar 
Barat dalam penilaian terhadap HAM semakin menguat dengan 
runtuhnya negara-negara sosialis khususnya Uni Soviet. Keruntuhan 
ini membawa implikasi yang besar terhadap Indonesia pasca rezim 
Soeharto. Selama berkuasa, rezim Soeharto dianggap represif 
(mengekang, menahan) dalam mempertahankan kekuasaannya. Hal 
ini menimbulkan berbagai pelanggaran HAM sepanjang perjalanan 
Orde Baru dan selalu mendapat penilaian buruk dari lembaga-
lembaga HAM di dunia.
Kuatnya pemerintahan Soeharto memicu  kecaman-kecaman 
terhadap pelanggaran HAM di Indonesia tidak memberikan pengaruh 
yang besar bagi pemerintah Soeharto. Akan namun , pada tahun 1993 
pemerintahan Soeharto mulai menunjukkan perubahan sikapnya 
terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak Asasi 
Manusia (Komnas HAM). Perubahan sikap pemerintah Soeharto 
agaknya dipengaruhi perubahan konstalasi (formal) politik dunia 
yang mulai menunjukkan titik akhir kehancuran komunisme dan 
munculnya dominasi Barat. Faktor lainnya yaitu  isu pelanggaran 
HAM di Irian Jaya dan Timor Timur pada saat itu semakin menjadi 
isu internasional 
Berbeda dengan rezim Soeharto, pemerintah Habibie yang masih 
muda harus mendapat tekanan politik baik dari dalam maupun 
internasional. Hal inilah yang mendorong pemerintahan Habibie 
meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan menerbitkan 
Undang-Undang HAM (UU. No. 39 Tahun 1999) dan juga peradilan 
HAM.Merasa tak ingin ketinggalan, MPR melakukan amandemen 
untuk memasukkan norma-norma HAM ke dalam Batang Tubuh 
UUD 1945. Satu hal yang sangat janggal yaitu  bahwa Undang-
Undang HAM ada terlebih dahulu baru lalu  diatur dalam UUD.
Sangat berbeda dengan para pendiri negara, khususnya para 
perancang UUD yang harus berargumen dan mengajukan berbagai 
landasan filosofis untuk memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam 
rancangan UUD, maka para perancang UU No. 39 Tahun 1999 dan 
Komisi Perubahan UUD 1945 memasukkan prinsip-prinsip HAM ke 
dalam produk hukum ini  mengalir tanpa banyak hambatan. 
Norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang dihasilkan 
berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh Statuta Roma masuk 
tanpa hambatan ke dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun UU No. 39 
Tahun 1999.
Berhubungan dengan masuknya prinsip-prinsip HAM hasil 
Statuta Roma, maka masalah HAM di Indonesia telah memakai  
standar internasional (khususnya standar Barat) yang selama Orde 
Baru berkuasa dan bahkan oleh Cina dan Malaysia sangat hati-hati 
dalam mengadopsinya. Pada perspektif hukum tata negara norma 
yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle) 
bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini memiliki  makna 
bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam 
perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma original 
atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma ini  dapat 
mengalir begitu saja dalam perundang-undangan yang lebih rendah 
atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma 
tafsiran dari norma yang lebih tinggi ini . Dengan kata lain, 
meminjam istilah dari Rudolf Stammler, seorang ahli filsafat hukum 
yang beraliran neo-Kantian, norma HAM yang ada dalam UUD 
yaitu  sebagai bintang pemandu (Leistern) bagi pembuatan undang-
undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM 
Mahkamah Konstitusi telah mengajarkan kepada kita salah 
satu cara bagaimana HAM seharusnya diwarga kan, terutama 
dalam muatan hukum negara. Untuk itu, DPR dan Pemerintah dalam 
rangka Ius Constituendum harus betul-betul cermat dalam membuat 
konstruksi-konstruksi hukum dalam hukum negara agar selaras 
dengan cita-cita atau norma HAM yang terkandung dalam UUD 1945 
yang telah diamandemen. Hal ini merupakan cara lain bagaimana 
nilai-nilai HAM dibudayakan, terutama dalam hukum negara.
C. Instrumen Penegakan HAM di Indonesia
ada banyak batasan tentang hak asasi manusia.  definisi tentang hak asasi 
manusia pada hakekatnya yaitu  seperangkat ketentuan atau aturan 
untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, 
pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara 
oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang 
diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki 
terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Menurut Mahfud 
MD. (2001: 127) hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang 
melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan 
hak ini  dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak 
ini  bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia 
atau negara. Dari dua pendapat ini  di atas, bahwa hak asasi 
manusia yaitu  hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak 
dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia 
atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.
sesudah  dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir 
seluruh dunia dan di mana hak-hak asasi manusia diinjak-injak, 
timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu 
dalam suatu naskah Internasional. Usaha ini pada 10 Desember 1948 
berhasil dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights 
(Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) oleh negara-
negara yang tergabung dalam PBB di Paris.
Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration 
of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara 
yuridis. namun  sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun 
dokumen ini memiliki  pengaruh moril, politik dan edukatif yang 
sangat besar. Dia melambangkan “commitment” moril dari dunia 
internasional pada norma-norma dan hak-hak asasi. Pengaruh moril 
dan politik ini terbukti dari sering disebutnya dalam keputusan-
keputusan hakim, undang-undang ataupun undang-undang dasar 
beberapa negara, apalagi oleh PBB.
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus 
dituangkan dalam bentuk perjanjian unilateral. Tanggal 16 Desember 
1966 lahirlah Covenant dari Sidang Umum PBB yang mengikat bagi 
negara-negara yang meratifikasi Covenant (perjanjian). Covenant 
ini  memuat:
a. Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant 
on economic, social, and cultural rights), memuat hal-hal sebagai 
berikut: Hak atas pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja 
(Pasal 8), Hak pensiun (Pasal 9), hak tingkat hidup yang layak 
bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak mendapatkan 
pendidikan (Pasal 13);
b. Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on civil and 
political rights) yang meliputi: Hak atas hidup (Pasal 6), Kebebasan 
dan keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan 
peradilan (Pasal 14), kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 19), 
kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21) dan Hak berserikat 
(Pasal 22).
Piagam Universal Declaration of Human Rights mengalami 
kesulitan dalam pelaksanaannya secara internasional sebab  
beberapa sebab:
a. Pelaksanaan secara internasional itu menyangkut hukum 
internasional yang sangat rumit;
b. Pelaksanaan hak asasi harus disesuaikan dengan keadaan negara 
masing-masing;
c. Sekalipun dinyatakan tanpa batas secara eksplisit di dalam 
covenant namun  pelaksanaan hak asasi terbatas atau dibatasi oleh 
dua hal, yaitu:
1) Dibatasi oleh undang-undang yang berlaku di tiap-tiap 
negara. Misalnya di dalam Pasal 19 Perjanjian Sipil dan 
Politik disebutkan pembatasan “untuk menghormati hak 
dan nama baik orang lain serta untuk menjaga keamanan 
nasional, ketertiban umum dan moral umum”.
2) Dibatasi oleh pertimbangan ketertiban dan keamanan nasional 
masing-masing negara. Pada Pasal 21 Perjanjian Hak Sipil 
dan Politik disebutkan “dalam negara demokratis diperlukan 
demi keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban 
umum, perlindungan terhadap kesehatan dan moral umum 
atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang 
lain” maka hak untuk berkumpul dan berpendapat dibatasi” 
Instrumen HAM di Indonesia
Setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai 
berikut.
a. Organsasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan 
legislatif, eksekutif, dan yudikatif; dalam negara federal, pembagian 
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara 
bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh 
salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
b. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau 
berbentuk naskah sendiri).
c. Prosedur mengubah UUD.
g. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari 
UUD. Hal ini biasanya ada jika para penyusun UUD ingin 
menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, 
seperti misalnya muncul seorang dictator atau monarchi (Muladi, 
2009).
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah 
memiliki tiga UUD dengan empat kali masa berlaku, yaitu:
1) UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), 27 Desember-17 Agustus 
1950)
3) UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
4) UUD 1945 berlaku yang kedua, yaitu sejak tanggal 5 Juli 
1959-sekarang.
Pada Konstitusi RIS tentang HAM diatur dalam Pasal 7-33. sedang 
dalam UUDS 1950 diatur dalam Pasal 7-34. Pengaturan tentang HAM 
dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang ada 
dalam Konstitusi RIS. Sehingga baik redaksi yang ada dalam Konstitusi 
RIS hanya berubah beberapa kalimat saja dan penambahan satu pasal.
Orde Lama dan Orde Baru meyakini UUD 1945 sebagai UUD 
yang sempurna, memiliki nilai kejuangan, oleh sebab nya cenderung 
disakralkan. Minimnya pasal-pasal yang menimbulkan bermacam-macam 
interpretasi, dipahami sebagai keluwesan dan kelenturan selanjutnya 
dibanggakan sebagai sesuatu yang tidak dijumpai pada konstitusi 
negara lain. Rezim Soeharto runtuh oleh gerakan reformasi (1998) yang 
dipelopori mahasiswa, sesudah  rakyat mendapatkan kembali haknya 
untuk menyatakan pendapat secara bebas, maka yang menjadi agenda 
reformasi yaitu  reformasi dalam bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Reformasi dalam aspek politik menyangkut isu nasional antara lain:
a. Amandemen UUD 1945;
b. Pengadilan KKN;
c. Perubahan UU bidang politik;
d. Pencabutan dwifungsi militer;
e. Otonomi Daerah.
Reformasi dalam aspek ekonomi meliputi:
a. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan 
Persaingan Curang;
b. UU. No. 38 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
c. PP 17 Tahun 1998 tentang BPPN (Badan Penyehatan Perbankan 
Nasional);
d. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
e. UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (proses dimana debitur yang 
memiliki masalah keuangan untuk menerima utangnya dinyatakan 
pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, sebab  debitur 
tidak dapat membayar hutangnya);
f. UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia (kebendaan), dll.
Aspek hukum meliputi:
a. Pemberantasan KKN (UU No. 28 Tahun 1999) tentang Penyelenggaraan 
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
b. Pengamanan Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 1997) tentang 
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
c. Pengayoman Hak-hak Asasi Manusia (HAM), (Mahfud, 2000: 34).
berdasar UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 89, Komnas HAM memiliki 
fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi 
mengenai HAM di Indonesia. Pada pelaksanaan fungsi pemantauan, 
Komnas HAM berwenang melakukan:
a. Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil 
pengamatan ini ;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam 
warga  yang berdasar sifat atau lingkupnya patut diduga ada 
pelanggaran HAM-nya;
c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban, maupun pihak yang 
diadukan, untuk dimintai atau didengar keterangannya;
d. Pemanggilan saksi untuk diminta atau didengar kesaksiannya, 
dan kepada saksi, pengadu minta menyerahkan semua bukti yang 
diperlukan;
e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap 
perlu;
f. Pemanggilan pihak terkait untuk memberikan keterangan secara 
tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan 
aslinya, dengan disertai persetujuan Ketua Pengadilan;
g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan 
tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu 
dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
h. Pemberian pendapat berdasar persetujuan Ketua Pengadilan 
terhadap perkara tertentu yang sedang diproses peradilan. Bilamana 
dalam perkara ini  ada pelanggaran HAM, baik dalam 
masalah publik maupun dalam acara pemeriksaan oleh Pengadilan, 
lalu  pendapat Komnas HAM ini  wajib diberitahukan oleh 
hakim kepada para pihak.
Berkenaan dengan materi yang diatur dalam TAP MPR No. XVII/
MPR/1998 mengenai substansi HAM, sebenarnya tidak berbeda 
dengan substansi HAM sebagaimana tercantum dalam instrumen yang 
bersifat internasional. Pasal 4 TAP MPR ini  menyatakan: “Untuk 
menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum 
yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan 
dalam peraturan perundang-undangan”. Implementasi ketetapan ini 
yaitu  diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal 104 menyatakan:
(1) Untuk mengadili perkara HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM 
di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (1) dibentuk UU dalam 
jangka paling lama 4 tahun. Sebelum dibentuk Pengadilan HAM 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran 
HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan 
yang berwenang 
Yang dimaksud sebagai pelanggar HAM berat secara singkat 
dicantumkan pada penjelasan pasal ini , yaitu pembunuhan 
massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar 
putusan pengadilan (extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan 
bukti secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan 
secara sistematis (systematic discrimination).
Mengenai pembunuhan massal, instrumen hukumnya adalan 
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan genocide 
berdasar Resolusi Majelis Umum PBB No. 260 A (III) tanggal 9 
Desember 1948 yang mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1951.
Yang dimaksud genocide yaitu  setiap perbuatan yang dilakukan 
dengan tujuan merusak dalam keseluruhan ataupun sebagian suatu 
kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama yang mencakup:
a. Membunuh para anggota kelompok.
b. memicu  luka-luka pada tubuh atau mental para anggota 
kelompok.
c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup 
yang memicu  kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau 
sebagain.
d. Mengenakan usaha -usaha  yang dimaksudkan untuk mencegah 
kelahiran di dalam kelompok itu.

e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompoknya ke 
kelompok lain 
Penegakan HAM di Indonesia
Sifat baik dari aparatur mencakup integritas moral serta 
profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi 
integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi 
moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang 
ke luar dari jalur-jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu  
bahwa penegakan hukum merupakan suatu sistem. Artinya penegakan 
hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh 
beberapa komponen sebagai sub-sistem. Rangkaian proses ini  satu 
sama lain saling terkait secara erat dan tidak terpisahkan sebab  itu 
disebut sebagai integrated criminal justice system.
Pada umumnya, komponen sub-sistem ini  mencakup:
a. Penyidik (Kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil);
b. Kejaksaan (Penuntut Umum);
c. Penasihat Hukum (Korban/Pelaku);
d. Pengadilan (Hakim);
e. Pihak-pihak lain (Saksi/Ahli/Pemerhati), (Sujata, 2000: 8).
Masing-masing komponen ini  memiliki kewajiban dan tanggung 
jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian 
jika  muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya 
penyebab utamanya. Aparat penegak hukum mengabil porsi tanggung 
jawab terbesar dalam penegakan hukum sebab  fungsi mereka yaitu  
menegakkan hukum.
Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan 
perlindungan atas HAM sudah cukup memadai apakah dalam bentuk 
peraturan perundang-undangan, kuantitas aparat penegak hukum, 
sistem manajemen ataupun pembangunan fisiknya. Persoalan serius 
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini yaitu  persoalan penegakan 
hukumnya. sebab  instrumen hukumnya sudah cukup memadai berarti 
persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini yaitu  krisis moral 
penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum kita. 
Akibat dari itu semua, pubik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap 
lembaga penegak hukum, indikasi ini terlihat hampir setiap hari kita 
menyaksikan warga  main hakim sendiri dalam menghadapi kasus-
kasus kriminal, hakim dilempar sepatu oleh pencari keadilan, Kepolisian, 
Kejaksaan dan Kehakiman terus menerus dikritik secara tajam melalui 
massa bahkan didemonstrasi dengan cara-cara di luar batas susila pada 
umumnya. 
D. Reformasi Penegakan HAM di Era Globalisasi
Arus reformasi yang bergulir di Indonesia pada tahun 1998 yang 
ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 
kurang lebih 32 tahun, telah membuka koridor bagi penegakan hukum dan 
hak asasi manusia. Untuk menggambarkan adanya reformasi penegakan 
HAM di era globalisasi ini diperlukan adanya perangkat hukum yang 
memadai, baik dari isi peraturan perundang-undangan yang ada maupun 
aparat penegak hukumnya sendiri. 
Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia dapat 
disebut sebagai negara yang berdasar atas hukum. Rasionya, bahwa 
dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas 
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) asas 
legalitas, (3) asas pembagian kekuasaan, (4) asas peradilan yang bebas 
dan tidak memihak, dan (5) asas kedaulatan rakyat.
Akan namun , penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan 
oleh para founding fathers di Indonesia tidak berjalan sebagaimana 
mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 
orde, yaitu:
a. Penegakan HAM pada Orde Lama
Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca 
kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang telah menitikberatkan pada 
perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan 
yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan 
eksekutif, seperti: UU No. 19 Tahun 1964 yang memungkinkan 
campur tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No. 
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak 
sesuai dengan HAM. 
b. Penegakan HAM pada Orde Baru
Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde 
Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan 
membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu 
Tahun 1971. Akan namun , sesudah  lebih dari 1 dasa warsa, nuansa 
demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dijalankan 
Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktik KKN 
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk 
kepentingan politik dan penguasa. 
c. Penegakan HAM pada masa Orde Reformasi
Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha 
menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti 
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-
kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan 
praktik KKN (Muladi, 2009).
Pelanggaran HAM Berat yang Belum/Tidak Terselesaikan
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM, seperti 
UU Pengadilan HAM ada salah satu ketentuan yang memberikan 
peluang dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang 
terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM yang diatur dalam 
Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pasal 46 tentang tidak 
berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. 
Dimasukkannya ketentuan-ketentuan ini  di atas dimaksudkan agar 
kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM 
dapat diadili. 
Ketentuan tentang tidak dikenalnya kadaluwarsa dalam UU 
Pengadilan HAM diadopsi dari Statuta Roma Tahun 1998, yakni ketentuan 
dalam Artikel 29 tentang “Tidak dapat diterapkannya ketentuan 
pembatasan”. Ada dua alasan dimasukkannya asas retroactive ke dalam 
UU Pengadilan HAM, sebagaimana dikatakan oleh Muladi, yaitu: (1) 
jauh sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, belum dikenal 
jenis kejahatan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan”; (2) 
asas retroactive dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom 
(kebijaksanaan politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada 
Presiden dengan dengan pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan 
ini  merupakan extraordinary crimes (kejahatan luar biasa) yang 
dikutuk secara internasional dengan enemies of all mankind (hotis humani 
generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (international 
crimes).
a. Munculnya ketentuan pemberlakuan asas retroactive ini telah meng-
undang pandangan yang kontra terhadap keberadaan asas ini , 
sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang berpendirian 
bahwa pemberlakuan asas retroactive sangat bertentangan dengan ide 
perlindungan HAM yang diatur dalam Pasal 11 Universal Declaration 
of Human Rights (UDHR), Pasal 15 Ayat (1) International Convention 
on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 24 
Ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court. Dengan 
demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan asas retroactive 
yang memungkinkan dibukanya kembai kasus-kasus pelanggaran 
HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan 
HAM merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi 
hukum positif Indonesia (KUHP). Akan namun , dari sisi lain, menurut 
Hukum Pidana Internasional, pemberlakuan asas retroactive sangat 
dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan 
pembentukan pengadilan tribunal seperti: ICTR (International 
Court Tribunal for Rwanda), ICTY (International Court Tribunal for 
Yugoslavia), dan ICC (International Criminal Court) dalam Statuta 
Roma 
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Melalui Jalur Hukum dan 
Non Hukum
Maraknya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di 
Indonesia lebih banyak mengarah pada crimes by government, sehingga 
perlu penyelesaian yang harus ditangani secara serius oleh Pemerintah, 
seperti usaha  untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM 
berat di masa lampau yang saat ini sedang diusaha kan dibuka kembali, 
yakni kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) dan Kasus Kerusuhan Mei 1998.
usaha  membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat 
ini  memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan 
yang berlaku di Indonesia. Guna menyelesaikan kasus-kasus ini , 
ada dua cara, yaitu melalui jalur hukum dan alternatif lain.
a. usaha  penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui 
penggunaan jalur hukum (pidana). Penggunaan jalur hukum (pidana) 
dapat ditempuh sesuai dengan isi ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 
tentang Pengadilan HAM yang dilakukan dengan cara-cara yang 
sudah ditetapkan tahapan-tahapan yang harus dilalui sebagaimana 
diatur dalam Pasal 10-33 UU Pengadilan HAM. 
b. usaha  penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur 
alternatif. Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 
di Indonesia, sesungguhnya merupakan lembaga baru, yang 
keberadaannya telah diatur secara tegas dalam Pasal 47 Ayat (1) dan 
(2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang intinya 
tidak menutup kemungkinan adanya alternatif penggunaan lembaga 
KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang 
terjadi sebelum UU Pengadilan HAM.
Keberadaan lembaga KKR dalam penyelesaian pelanggaran HAM 
berat di masa lalu, sejalan dengan ide keseimbangan yang terkandung 
dalam implementasi pertanggungjawaban pidana pada konsep KUHP, 
khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana dikenal adanya 
rechtirlijk pardon atau judicial pardon (pengampunan oleh hakim di 
dalam menerapkan pertanggungjawaban pengganti). Penggunaan judicial 
pardon terkandung ide/pemikiran sebagai berikut.
a) Menghindari kelakuan/absolutisme pemidanaan;
b) Menyediakan “klep/katup pengaman” (veiligheidsklep);
c) Bentuk koreksi yudisial terhadap asas legalitas;
d) Pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah 
kebijaksanaan dalam Pancasila”;
e) Pengimplementasian/pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke 
dalam syarat pemidanaan (sebab  dalam memberikan permaafan/
pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); 
jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan 
pada adanya “tindak pidana”  (asas legalitas) dan “kesalahan” (asas 
culpabilitas), namun  juga pada “tujuan pemidanaan”.
Dengan adanya ide dasar “judicial pardon” dalam konsep KUHP 
ini  dapat dikatakan bahwa adanya unsur “budaya maaf” dalam KKR 
sejalan dengan pembaharuan hukum pidana yang berwawasan nasional.
Adapun cara-cara selain pembentukan KKR untuk menyelesaikan 
kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau, dapat dilakukan 
dengan cara-cara berikut ini:
a) Mengajukan pelaku ke pengadilan berdasar hukum formal yang 
berlaku dan didukung oleh hukum intrenasional. Cara pertama ini 
pernah ditempuh oleh Argentina, dengan mengajukan pelakunya 
yang kebetulan top officer militer ke pengadilan;
b) Iustrasi, artinya penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan 
dengan memberikan sanksi kepada pelaku dengan jalan 
mendiskualifikasikan pelaku dari fungsi sosial-politik dalam 
warga , seraya mencabut hak sosial-politik yang melekat pada 
pelaku. Cara penghukuman yang kedua ini pernah dilakukan di 
negara-negara bekas komunis di belahan benua Eropa Timur;
c) Amnesti, yaitu sebuah cara yang paling lunak dalam spektrum 
penanganan tindak pelanggaran HAM berat. Alasannya, sebagai 
alat pencegahan konflik dan polarisasi di dalam warga  akibat 
praktik politik penguasa lama.
Budaya hukum merupakan sarana kontrol terhadap aturan-aturan 
dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan HAM, agar aturan-
aturan tentang perlindungan HAM yang ada dapat dijalankan untuk 
mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat yang bertentangan dengan 
nilai-nilai kemanusiaan, terlebih lagi di era globalisasi. Penegakan HAM di 
Indonesia masih melukiskan adanya ketidakseimbangan antara kepastian 
hukum tentang aturan-aturan penegakan HAM dengan pelaksanaan 
penegakan HAM, baik yang dilakukan oleh individu maupun Pemerintah 
dalam hal ini yaitu  aparat penegak hukum.
E. Hak Asasi Manusia dalam warga nya
Semangat dan keberhasilan kebangkitan serta pembebasan 
individu yang bisa ditandai sejak Masa Pencerahan merupakan motor 
pendorong penting bagi berkembangnya apa yang lalu  dikenal 
sebagai hak-hak asasi manusia. Kebangkitan individu memerlukan 
legitimasi yang diberikan oleh pengakuan terhadap adanya beberapa  
kemerdekaan dasar yang tak dapat dihambat begitu saja oleh 
kekuasaan apapun. 
Sejak kemunculannya sampai hari ini HAM telah mengalami 
perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan generasi 
HAM. Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi 
kedua meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Akhirnya 
generasi ketiga memuat beberapa  hak-hak kolektif, seperti: hak atas 
perkembangan/kemajuan (development); hak atas kedamaian; hak 
atas lingkungan yang bersih; hak atas kekayaan alam dan hak atas 
warisan budaya. Jepang kita pilih mewakili Timur yang kolektif. 
Negeri dan bangsa itu kita pilih oleh sebab  ia telah berhasil untuk 
menciptakan dan mempertahankan struktur Timur berhadapan 
dengan penetrasi Barat. Berbicara mengenai modernitas maka tak 
pelak lagi orang akan mengatakan, bahwa Jepang yaitu  negara 
modern industrial, bahkan sudah digolongkan ke dalam negara adi 
kuasa. Modernitas itu antara lain ditunjukkan melalui penggunaan 
model demokrasi untuk menata kehidupan politiknya. Kalau di Barat, 
demokrasi itu berakar pada individu, yaitu sebagai institusi yang 
melindungi individu, maka keadaan di Jepang berbeda. Demokrasi di 
Jepang tidak berakar dari pada individu, melainkan kolektivitas atau 
kehidupan kolektif .
Pada perspektif sosiologis dan kultural, dapat kiranya dikaitkan 
bahwa usaha untuk memajukan HAM di dunia, bukan dilakukan 
dengan cara mengangkatnya ke aras internasional, melainkan justru 
sebaliknya, yaitu membumikan atau mengakarkannya ke dalam 
sekian banyak warga  di dunia. Dengan bertindak demikian, 
maka HAM akan diterima dan dijalankan lebih efektif. Ia tidak lagi 
menjadi “bunyi-bunyian yang asing” melainkan sudah menjadi bagian 
nyata dari kehidupan sehari-hari dalam warga  di manapun di 
dunia.
F. Hak Asasi Anak 
Menurut Deklarasi PBB tahun 1986, HAM merupakan tujuan 
(end) sekaligus sarana (means) pembangunan. Turut sertanya 
warga  dalam pembangunan bukan sekedar inspirasi, melainkan 
kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri, dan 
menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional maupun 
nasional untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu 
fokus utama pembangunan. Namun demikian fenomena hak asasi 
harus dicermati secara arif, sebab dalam warga  individualisme, 
ada kecenderungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia ini 
secara berlebihan. Padahal hak-hak asasi tidak dapat dituntut 
pelaksanaannya secara mutlak, sebab penuntutan pelaksanaan hak 
asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama yang juga 
dimiliki oleh orang lain. 
Batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan 
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Meski dalam banyak 
rumusan namun pada prinsipnya keragaman batasan ini  
memiliki  implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan 
pada anak. Menurut Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, “Anak 
yaitu  seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang 
masih dalam kandungan”. Menurut Pasal 1 KHA/Keppres No. 36 
Tahun 1990, “anak yaitu  setiap orang yang berusia di bawah 18 
tahun kecuali berdasar UU yang berlaku bagi yang ditentukan 
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. sedang Menurut Pasal 1 
Ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, “anak yaitu  setiap 
manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, 
termasuk anak yang masih dalam kandungan jika  hal ini  
yaitu  demi kepentingannya” 
Perlindungan anak yaitu  segala kegiatan untuk menjamin 
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, 
berkembang dan berpartisipasi secra optimal sesuai dengan harkat 
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari 
kekerasan dan diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia yang 
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. usaha  perlindungan 
anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin 
dalam kandungan dampai anak berumur 18 tahun.
Jumlah anak umur antara 10 sampai 14 tahun sebanyak 20,86 
juta jiwa, termasuk anak yang sedang bekerja dan yang mencari 
pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade terakhir, anak umur 
antara 10 sampai 14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, 
namun pada tahun 1998-1999 mengalami peningkatan dibandingkan 
4 tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi dari krisis multidimensional 
yang menimpa Indonesia. Lapangan pekerjaan yang melibatkan 
anak, antara lain, di bidang pertanian mencapai 72,01%, industri 
manufaktur sebesar 11,62%, dan jasa sebesar 16,37%.
Hak asasi anak merupakan bagian dari HAM yang termuat 
dalam UUD 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 
tentang Hak-Hak Anak. berdasar sisi kehidupan berbangsa dan 
bernegara, anak yaitu  masa depan bangsa dan generasi penerus 
cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan 
hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas 
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil 
dan kebebasan. Sebagai sebuah gagasan awal, beberapa usaha  yang 
dapat dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan hak anak dalam 
warga  antara lain: (a) perlu peningkatan pemahaman dan 
kesadaran warga  akan beberapa  hak-hak anak, (b) memberikan 
pemahaman dan kesadaran terhadap berbagai pihak mengenai hak-
hak anak, (c) peningkatan profesionalisme aparat dalam melindungi 
dan melayani hak-hak anak, (d) menyusun sistem monitoring hak-
hak anak yang akan dipakai  untuk membuat kebijakan legislatif 
berkenaan dengan hak anak. 
Peran pemerintah dan orang tua sangat penting dalam memberikan 
hak kesejahteraan, hak perlindungan dan keselamatan, hak untuk 
tidak dieksploitasi, hak untuk pendidikan dan kesejahteraan yang 
layak bagi anak. 
G. Hak Sosial Budaya warga  Tradisional 
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar 
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), secara tegas dalam penyusunannya 
telah berpedoman pada hukum adat dan hukum agama. Hal ini 
menunjukkan bahwa sumber-sumber keteraturan lokal secara 
sadar dan formal dijadikan pedoman dalam penyusunan peraturan 
perundang-undangan masalah pertanahan. 
Kebijaksanaan nasional di bidang pertanahan ditetapkan 
dalam Ketetapan MPR RI No. II.MPR/1998 tentang Garis-Garis 
Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai berikut: “Penguasaan dan 
penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya 
untuk mewujudkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat 
Indonesia. Penguasaan tanah oleh negara, sesuai dengan tujuan 
pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan warga  
luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan 
tanah dilaksanakan berdasar rencana tata ruang wilayah untuk 
mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak 
rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum 
kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk berbagai 
usaha  lain untuk mencegah pemusatan penguasaaan tanah dan 
penelantaran tanah.
Optimalisasi dan reformasi ke arah pengembalian hak-hak sosial 
budaya warga  terhadap hak kepemilikan tanah, dapat dilakukan 
melalui pengakomodasian hak warga  tradisional dalam bentuk:
a. Melakukan pengembangan iklim berusaha dan kehidupan ber-
warga  secara kolektif dan saling menguntungkan;
b. Meningkatkan kemampuan warga  tradisional berbasiskan 
ekonomi kerakyatan;
c. Memperbaiki perangkat hukum dan kebijakan di tingkat 
pemerintah daerah dan pemerintah pusat;
d. Meningkatkan porsi dan tanggung jawab pemerintah daerah 
dalam berbagai kegiatan perencanaan, implementasi dan kontrol 
pengelolaan sumber daya alam dan sejauh mungkin menghindari 
pola sentralistik pengelolaan sebagaimana iklim pemerintahan 
sebelumnya; 
e. Memberikan jaminan hak kepemilikan atas tanah secara sah 
menurut ketentuan hukum yang berlaku
H. Jaminan Aksesbilitas bagi Penyandang Cacat
Setiap anggota warga  memiliki  hak dan kewajiban 
yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai warga 
negara Indonesia, penyandang cacat memiliki  kedudukan, hak dan 
kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Penyandang cacat 
yaitu  setiap orang yang memiliki  kelainan fisik dan/atau mental 
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan 
baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang 
cacat terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik, meliputi:
1) Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);
2) Penyandang cacat netra (tuna netra);
3) Penyandang cacat tuna wicara/rungu;
4) Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna 
daksa lara kronis).
b. Penyandang cacat mental, meliputi:
1) Penyandang cacat mental (tuna grahita);
2) Penyandang cacat eks psikotik (tuna laras);
3) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda.
Aksesbilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan 
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 
Jaminan atas aksesbilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam 
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain ada dalam Pasal 41, 
42, dan 54.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan 
jaminan aksesbilitas bagi penyandang cacat, sebagai berikut:
a. Amandemen II UUD 1945 Pasal 28 H ayat (2);
b. UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 
Kesejahteraan Sosial;
c. UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, dalam Pasal 35;
d. UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 
dalam Pasal 49;
e. Pasal 42 UU No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan;
f. Dalam Pasal 83 Ayat (1) UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
g. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
h. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dalam Pasal 25 Ayat 
(1) Huruf h, disebutkan bahwa: Pembebasan Bea Masuk diberikan 
atas impor barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan 
penyandang cacat lainnya;
i. Pasal 21 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan 
Anak: Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggung 
jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa 
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, 
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, 
dan kondisi fisik dan/atau mental.
j. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 27;
k. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
l. Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan 
Nasional;
m. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, 
DPD dan DPRD Pasal 60;
n. UU No, 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, 
dalam Pasal 51 Ayat (2);
o. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan 
Perkembangan Kependudukan 
Aksesbilitas bagi Penyandang Cacat di Indonesia pada 
Kenyataannya
Aksesbilitas di bidang pendidikan bagi para penyandang cacat di 
Indonesia sangat kurang. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan 
fasilitas untuk menjangkau semua anak cacat minim, sebab  80% tempat 
pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20%. Dari 
1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah di Indonesia, baru 3,7% 
atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. 
Sementara yang 96,3%, masuk dalam pendidikan non formal, namun  
jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 2%. Pada saat ini ada 1.338 
sekolah luar biasa (SLB) untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan. 
Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam Pemilu, 
antara lain:
a. Hak untuk didaftar guna memberikan suara;
b. Hak atas akses ke TPS;
c. Hak atas pemberian suara yang rahasia;
d. Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;
87---
e. Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu;
f. Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam Pemilu, dll  (Muladi, 2009).
Sederetan UU yang menyangkut penyandang cacat di atas baru 
merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan 
dalam aspek kehidupan dan penghidupan warga  penyandang cacat. 
usaha  mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat 
merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, warga , keluarga 
dan penyandang cacat sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada 
suatu struktur sosial yang mendukung. 

NEGARA HUKUM 
DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan
1. Pengertian Negara Hukum
negara hukum sebagai negara dimana 
para penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara 
dalam melaksanakan tugas kenegaraan terkait pada peraturan-
peraturan hukum yang berlaku. Menurut Muhammad Yamin 
(1952: 74), negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan 
pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang 
memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang 
dibuat oleh badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk 
secara sah, sesuai dengan asas “the laws and not menshall 
govern”. negara hukum sebagai negara dimana 
tindakan penguasanya harus dibatasi oleh hukum yang berlaku. 
paham negara hukum berasal 
dari ajaran kedaulatan hukum, ia memberi pengertian tentang 
negara hukum sebagai negara dimana alat-alat negaranya tunduk 
pada aturan hukum. Soediman Kartohadiprodjo (1953: 13), negara 
hukum sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-
orang di dalamnya dijamin sebaik-baiknya oleh hukum 
Dari pengertian beberapa ahli ini , semua menekankan 
tentang tunduknya penguasa terhadap hukum sebagai esensi 
negara hukum. Esensi negara hukum yang demikian itu 
menitikberatkan pada tunduknya pemegang kekuasaan negara 
pada aturan hukum.
2. Hubungan Negara Hukum dengan HAM
Hubungan antara negara hukum dan HAM tidak dapat 
dipisahkan satu sama lain. Salah satu ciri negara hukum yaitu 
adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam negara 
hukum, hak asasi manusia terlindungi, jika dalam suatu negara 
hak asasi manusia tidak dilindungi, negara ini  bukan 
negara hukum akan namun  negara diktator dengan pemerintahan 
yang sangat otoriter. Perlindungan terhadap HAM dalam 
negara hukum, terwujud dalam bentuk penormaan hak ini  
dalam konstitusi dan undang-undang dan untuk selanjutnya 
penegakannya melalui badan-badan peradilan sebagai sebagai 
pelaksana kekuasaan kehakiman.
Hubungan negara hukum dengan HAM, dapat dikaji 
dari sudut pandang demokrasi, sebab hak asasi manusia dan 
demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial 
yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh 
penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai 
sebagai hasil perjuangan manusia, untuk mempertahankan dan 
mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya 
konsepsi HAM dan demokrasi yang terbukti paling mengakui dan 
menjamin harkat kemanusiaan. 
Ketentuan mengenai HAM telah mendapat jaminan 
konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. 
Sebagian besar materi UUD ini berasal dari rumusan Undang-
Undang yang telah disahkan sebelumnya yaitu UU No. 39 tahun 
1999 tentang HAM. Ketentuan-ketentuan yang memberikan 
jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia, sangat 
penting dan bahkan dianggap ciri pokok dianutnya prinsip negara 
hukum di suatu negara. Disamping hak-hak asasi manusia, 
harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan 
tanggungjawab yang juga bersifat asasi.
Hubungan antara negara hukum dengan hak asasi manusia, 
hubungan bukan hanya dalam bentuk formal semata-mata, 
dalam arti bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan 
ciri utama konsep negara hukum, namun  juga hubungan ini  
terlihat secara materil. Hubungan secara materil ini digambarkan 
dengan sikap tindak penyelenggara negara harus bertumpu pada 
aturan hukum sebagai asas legalitas. Hal ini bertujuan untuk 
melindungi HAM. Selain itu, kekuasaan kehakiman yang bebas  
dan merdeka, tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan manapun, 
merupakan wujud perlindungan dan penghormatan terhadap hak 
asasi manusia dalam negara hukum.
B. Konsep Negara Hukum
1. Konsep Rechtsstaat
Istilah Rechsstaat pertama kali dipakai  oleh Rudolf Von 
Gneist, guru besar Universitas Berlin dalam sebuah bukunya 
yang berjudul “Das Englisehe Verwaltungserecht”, 1857. jika  
ditinjau dari segi perkembangannya, konsep rechtsstaat telah 
berkembang dari konsep klsik ke arah konsep modern.
Ciri-ciri rechtsstaat yang klasik (formal rechtsstaat) menurut 
Friederich Julius Stahl, meliputi; a) adanya pengakuan hak-hak 
dasar manusia; b) adanya pembagian kekuasaan; c) pemerintahan 
berdasar peraturan (wetmatigheid vanbestuur); d) adanya 
peradilan tata usaha negara.
prinsip-prinsip liberal dan prinsip-prinsip demokratis, 
meliputi; a) pemisahan antara negara dan warga  sipil, 
pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus 
perorangan, pemisahan antara hukum publik dan hukum privat; 
b) pemisahan antara negara dengan gereja; c) adanya jaminan atas 
hak-hak kebebasan sipil; d) persamaan terhadap Undang-Undang; 
e) adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara 
dan dasar sistem hukum; f) pemisahan kekuasaan berdasar 
trias politica dan sistem “check and balances”; g) asas legalitas; 
h) ide tentang aparat pemerintahandan kekuasaan kehakiman 
yang tidak memihak dan netral; i) prinsip perlindungan hukum 
bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan yang bebas dan 
tidak memihak dan bersamaan dengan prinsip-prinsip ini  
diletakkan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis; j) 
prinsip pembagian kekuasaan baik teritorial sifatnya maupun 
vertikal (sistem federasi dan desentralisasi).
Bersamaan prinsip-prinsip liberal ini , asas-asas 
demokrasi yang melandasi rechtsstaat, yaitu; a) asas hak-
hak politik; b) asas mayoritas; c) asas perwakilan; d) asas 
pertanggungjawaban; e) asas publik (openbaarheids beginsel).
berdasar pada prinsip-prinsip liberal dan prinsip-
prinsip demokratis  ini  maka rechtsstaat memiliki ciri-
ciri pokok yaitu ; a) adanya Undang-Undang 
Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang 
hubungan antara penguasa dan rakyat; b) adanya pembagian 
kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat UU yang 
ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang 
tidak hanya menangani sengketa, antara individu dan rakyat 
namun  juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintahan yang 
mendasarkan tindakannya pada Undang-undang; c) diakui dan 
dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten van de 
burger). sedang Sudargo Gautama (1973: 8-10), menyebutkan 
ciri rechsstaat yaitu; a) pembatasan kekuasaan negara kepada 
perorangan, pembatasan itu dilakukan oleh hukum; b) pelanggaran 
atas hak-hak individu hanya boleh atas dasar aturan hukum 
(asas legalitas); c) adanya perlindungan HAM (hak-hak kodrat); 
d) adanya pembagian kekuasaan; e) Badan peradilan yang tidak 
memihak.
Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku 
tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/ 
atau hanya untuk kepentingan penguasa, secara bertentangan 
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan 
hanya untuk kepentingan segelintir orang yang berkuasa, hukum 
harus menjamin kepentingan rasa adil bagi semua orang tanpa 
kecuali. Jadi, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan 
bukanlah ‘absolute rechsstaat’, melainkan ‘democratische 
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Setiap negara 
hukum yang bersifat demokratis harus dijamin adanya demokrasi, 
sebagaimana di dalam setiap negara demokrasi harus dijamin 
penyelenggarannya berdasar atas hukum 
2. Konsep Rule of Law
Konsep rule of law pada awalnya tumbuh dan berkembang di 
negara-negara yang menganut common law system seperti Inggris 
dan Amerika Serikat, kedua negara ini  menerapkan konsep 
rule of law sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, 
dan derajat di hadapan hukum. 
Negara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat 
dipersalahkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran 
hukum. Jadi rule of law mengandung asas “dignity of man” yang 
harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang pemerintah 
atau penguasa. Inti rule of law yaitu  terciptanya tatanan 
keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga  
bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan 
jaminan atas hak-hak asasinya. Maknanya yaitu  rasa keadilan 
yang kembali kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan dan para 
penguasa yang menciptakan hukum, sebagaimana adagium solus 
populis suprema lex yang berarti suara rakyat yaitu  suara 
keadilan.
Konsep rule of law menurut A.V Dicey mengandung tiga unsur 
pokok yaitu;
a) Supremasi absolut atau predominasi dari “reguler law” untuk 
menentang pengaruh dari “arbitrary power” dan meniadakan 
kesewenang-wenangan prerogative atau “discretionary 
authority” yang datang dari pemerintah.
b) Persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama 
dari semua golongan kepada “ordinary law of the land” yang 
dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti bahwa tidak ada 
orang yang berada di atas hukum, baik perorangan maupun 
pejabat negara berkewajiban untuk mentaati hukum, tidak 
ada peradilan administrasi
c) Konstitusi yaitu  hasil dari “the ordinary law of the land”, 
bahwa konstitusi bukanlah sumber, namun  merupakan 
konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan 
ditegaskan oleh peradilan, prinsip-prinsip hukum privat 
melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian rupa, 
diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-
pejabatnya.
Di sisi lain, mengetengahkan tiga unsur pokok rule of law 
yakni;
a) Rule of law merupakan konsep filosofis yang dalam tradisi 
barat berkaitan dengan demokrasi dan menentang otokrasi.
b) Rule of law merupakan hukum bahwa pemerintahan harus 
dilaksanakan sesuai dengan hukum.
c) Rule of law merupakan kerangka pikir politik yang harus 
dirinci lebih jauh dalam peraturan-peraturan hukum baik 
hukum substantif maupun hukum acara.
Pandangan Wade & Philips ternyata telah mendapat pengaruh 
dari sistem hukum Eropa di luar Inggris, sedang pandangan 
A.V Dicey merupakan pandangan murni berdasar sistem 
hukum common law Inggris. Konsep rule of law klasik dikecam 
oleh Wade & Philips, ternayata juga mendapat kecaman baik 
dari kelompok kiri maupun dari kelompok kanan. Kelompok kiri 
memandang model klasik itu gagal dalam mencapai tujuannya. 
Kegagalan itu disebabkan sebab  didasarkan pada suatu 
konsep yang sempit, tentang pemerintahan yang semata-mata 
mengaitkan pemerintah dengan faktor hukum saja. 

Ciri-ciri rule of law modern menurut Hepple yaitu a) 
universality (universalitas), b) openness (keterbukaan), c) equality 
(persamaan), d) accountability (pertanggungjawaban), e) clarity 
(kejelasan), f) rationality (rasional).
Meskipun ada berbagai versi tentang konsep rule of 
law, inti konsep 
rule of law tetap sama, yakni harus menjamin keadilan sosial di 
warga . Jika konsep rechtsstaat dibandingkan dengan konsep 
rule of law, akan tampak adanya perbedaan dan persamaan. 
Perbedaannya, kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum yang 
berbeda, karakteristik konsep “rechtsstaat” yaitu  administratif 
dan karakteristik konsep “rule of law” yaitu  yudicial, pembatasan 
kekuasaan melalui dokumen konstitusi seperti Harbeas Corpus, 
anatara lain mengatur tentang peradilan yang adil dan penekanan 
tidak sewenang-wenang. Persamaannya yaitu  kedua konsep itu 
sama-sama menekankan pada perlindungan hak asasi manusia. 
Secara spesifik, persamaan kedua model itu berupa adanya hak 
bagi anggota warga  untuk menggugat setiap keputusan 
pejabat yang merugikan hak dan kepentingan warga negara 
3. Konsep Socialist Legality
Konsep Socialist Legality atau konsep negara hukum sosialis 
banyak dianut oleh negara-negara sosialis komunis, seperti eks 
Uni Soviet dan beberapa negara komunis lainnya terutama di 
negara-negara Amerika Latin dan sebagian Asia yang hingga kini 
tetap eksis.
mengidentifikasi beberapa ciri 
konsep socialist legality sebagai berikut.
a) Adanya perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan warga 
negara. Perlindungan ini terutama diberikan kepada kaum 
buruh (labor)
b) Berkaitan dengan kebebasan (freedom) dan tanggungjawab 
(responsibility) socialist legality lebih mendahulukan 
“responsibility” daripada “freedom”.
c) Adanya pemisahan secara tajam antara negara dan gereja 
berdasar prinsip “trennung von staat und kirche”.
d) Adanya kebebasan kekuasaan kehakiman yang diatur secara 
tegas dalam konstitusi.
e) Larangan terhadap berlakunya hukum pidana secara retroaktif 
atau retrospektif.
f) Kebebasan pers dimaknai sebagai kebebasan untuk mengkritik 
kaum kapitalis maupun kaum borjuis.
Hukum dimaknai sebagai alat untuk mencapai sosialisme, 
posisi hukum yaitu  subordinasi terhadap sosialisme 
Meskipun secara konstitusional, kekuasaan kehakiman 
merupakan kekuasaan yang bebas, namun demi kepentingan 
sosialisme dalam praktiknya, hakim-hakim di negara sosialis 
tunduk pada kebijakan rahasia dari penguasa, tunduk pada 
perintah-perintah pejabat partai, sebagai penguasa yang memegang 
tampuk