pemidanaan 4

Jumat, 26 Januari 2024

pemidanaan 4




tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam 
menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka pejabat 
pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan 
anak ini  mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial yang 
dikenakan pada nya. 
m. Pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan 
paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. 
n. Ketentuan mengenai pidana pengawasan berlaku juga pada  pidana 
pengawasan anak.  
o. Ketentuan mengenai pidana denda berlaku juga bagi anak, sepanjang tidak 
bertentangan dengan ketentuan penjatuhan pidana pada  anak. 
p. Pidana  denda  bagi  anak hanya dapat dijatuhkan pada  anak yang telah 
berumur 16 (enam belas) tahun. Pidana  denda  yang  dijatuhkan  pada  
anak, paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang 
diancamkan pada  orang dewasa. Minimum khusus pidana denda tidak 
berlaku pada  anak. 
q. Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan 
tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. 
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan pada  anak paling lama 
1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan 
pada  orang dewasa. Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku 
pada  anak. 
r. Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau 
lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun 
swasta. 
s. Jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan warga , maka 
dikenakan pidana pembinaan di Lembaga Pewarga an Anak. 
Pembinaan di Lembaga Pewarga an Anak dilaksanakan sampai anak 
berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak yang telah menjalani 1/2 (satu per 
dua) dari lamanya pembinaan di Lembaga Pewarga an Anak dan 
berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.  
BPHN:   105 
 
t. Pidana penjara pada  anak hanya dipakai  sebagai usaha  terakhir. 
Pidana  penjara  bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pewarga an Anak. 
Jika  tindak  pidana  yang  dilakukan anak merupakan tindak pidana yang 
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka 
pidana yang dijatuhkan yaitu  pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) 
tahun. 
u. Ketentuan mengenai pidana tutupan berlaku juga pada  anak.  
v. Ketentuan mengenai pidana tambahan berlaku juga sepanjang ketentuan 
ini  dapat diberlakukan pada  anak.  
w. Setiap anak yang menderita ganguan jiwa yang memicu  kurang dapat 
dipertanggungjawabkan dapat dikenakan tindakan: 
1) perawatan di rumah sakit jiwa; 
2) penyerahan kepada pemerintah; atau  
3) penyerahan kepada seseorang.  
x. Tindakan yang dapat dikenakan  pada  anak tanpa menjatuhkan pidana 
pokok yaitu : 
1) pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya; 
2) penyerahan kepada Pemerintah; 
3) penyerahan kepada seseorang; 
4) keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau 
badan swasta;  
5) pencabutan surat izin mengemudi; 
6) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 
7) perbaikan akibat tindak pidana; 
8) rehabilitasi; dan/atau 
9) perawatan di lembaga. 
y. Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi anak dilakukan demi 
kepentingan anak yang  bersangkutan. 
z. Tindakan perawatan pada  anak  yang melakukan tindak pidana 
dimaksudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik dan memberi  
bimbingan kepada anak yang bersangkutan. 
D. Formulasi Pengancaman Pidana Buku I ke dalam Buku II RUU KUHP 
Rumusan norma pemidanaan sebagaimana dimuat dalam Buku I RUU KUHP 
ini  menunjukkan bahwa Tim Perumus berusaha untuk membuat norma 
pemidanaan sebagai dasar untuk merumuskan norma pengancaman pidana dan 
dalam penjatuhan pidana. Melalui rumusan ini  dapat menjadi standar umum 
dalam merumuskan ide keadilan dalam merumuskan ancaman pidana dan 
penjatuhan pidana. 
Dari norma pemidanaan ini  kemudian diterapkan dalam merumuskan ancaman 
pidana dalam Buku II RUU KUHP. Perumusan norma pengancaman pidana dalam 
Buku II RUU KUHP dapat dideskripsikan sebagai berikut  : 
0
100
200
300
400
500
Pidana
Pidana 20 492 45
Mati Penjara Denda
 
1.   Ancaman sanksi Pidana Mati 
 
Ancaman sanksi pidana mati diancamkan kepada tindak pidana yang 
termasuk kategori berat (atau sangat berat) baik pada  norma hukum 
pidana yang bersumber dari pasal-pasal KUHP yang memuat ancaman pidana 
mati maupun norma hukum pidana dari luar KUHP yang memuat ancaman 
pidana mati. Tim Perumus KUHP tidak menambah (atau mengurangi) tindak 
pidana yang diancam dengan pidana mati dari rumusan ancaman pidana mati 
dari rumusan sebelumnya. 
Perumusan ancaman pidana mati dalam RUU KUHP dideskripsikan sebagai 
berikut: 
a. Ancaman pidana mati diancamkan sebanyak 20 kali dengan 
memakai  frase “dipidana dengan ancaman pidana mati”. 
b. Ancaman pidana mati ini  selalu dialternatifkan dengan pidana 
penjara seumur hidup, sesuai dengan norma dalam Buku I RUU  KUHP 
dimuat sebanyak 20 kali. 
c. Acaman pidana mati yang dialternatifkan dengan pidana penjara seumur 
hidup sebanyak 16 kali dengan memakai  frase “dipidana dengan 
ancaman pidana mati atau pidana seumur hidup”. 
d. Cara merumuskan ancaman pidana alternatif dengan pidana lain sesudah  
ancaman pidana pidana  mati dipergunakan kata “atau”, namun  ada yang 
memakai  tanda “ , “ (koma) sebanyak 2 (dua) kali, yaitu Pasal 250  
tentang tindak pidana terorisme dan Pasal 685 tentang tindak pidana 
korupsi. Penggunaan tanda “,” (koma) sesudah  ancamana pidana mati 
ini  diikuti dengan labih dari satu ancaman pidana lain sebagai 
alternatif. 
e. Cara perumusan dengan mengunakan frase “dengan pidana penjara”, 
namun  ada yang tidak memakai  kata “pidana” sebelum kata 
“penjara” sebanyak 2 (dua) kali yaitu Pasal 242 dan Pasal 244 RUU  
KUHP ttg Terorisme. 
Dari distribusi ancaman pidana mati dalam RUU  KUHP ini  
menunjukkan bahwa pola perumusan: “ … dengan pidana mati atau pidana 
penjara seumur hidup …”. Ada 4 (empat) rumusan ancaman pidana mati yang 
cara perumusan alternatifnya berbeda, yaitu memakai  tanda “,” (koma) 
sebanyak 2 pasal dan dengan memakai  kata “penjara”, bukan 
memakai  “pidana penjara”.  Penyimpangan ini  kemungkinan 
disebabkan sebab  hanya mengambil alih rumusan dari tindak pidana di luar 
KUHP yang belum disesuaikan dengan rumusan dalam RUU  KUHP. 
 
2.    Ancaman Sanksi Pidana Penjara. 
Perumusan ancaman sanksi pidana penjara lebih banyak dibandingkan 
dengan ancaman pidana lainnya. Ancaman pidana denda dideskripsikan 
sebagai berikut: 
a. Ancaman sanksi pidana penjara sebagai ancaman pidana pokok/utama 
diancamkan untuk 492 kali yakni dengan memakai  frase “dengan 
ancaman pidana pidana penjara”. 
b. Ancaman sanksi pidana penjara sebagai ancaman pidana alternatif dari 
pidana lain yang bukan pidana penjara diancamkan sebanyak 61 kali yang 
dirumuskan dengan memakai  frase “atau pidana penjara”. 
c.    Ancaman pidana penjara dengan hitungan tahun yang dialternatifkan 
dengan pidana denda sebanyak 294 kali, sedang  yang hitungan bulan 
sebanyak 8 kali, jadi ancaman pidana penjara yang disertai dengan 
alternatif pidana denda sebanyak 302 kali. 
 
 
0
100
200
300
400
500
600
Ancaman
Pidana
Penjara 
Atau
Pidana
Penjara
Pidana
Penjara
atau denda
Penggunaan Pidana
Penjara
 
3.    Ancaman Sanksi Pidana Denda 
Distribusi ancaman sanksi pidana denda dalam RUU KUHP dapat 
dideskripsikan sebagai berikut: 
a. Ancaman sanksi pidana denda sebagai pidana pokok/utama yang tidak 
dialternatifkan dengan pidana lain sebanyak 45 kali dengan memakai  
frase “dipidana dengan pidana denda”.  
b. Ancaman sanksi pidana denda sebagai pidana alternatif dari pidana 
lainnya, sebanyak 302 RUU  KUHP yang dirumuskan dengan 
mengunakan frase “atau pidana denda”. 
c. Pengunaan ancaman pidana denda dilakukan dengan memakai  
kriteria Kategori, dari Kategori I (terendah) sampai dengan Kategori VI 
(tertinggi). Dengan rincian sebagai berikut: 
1) Sebagai ancaman pidana pokok. Ada dua pola, yaitu pidana pokok 
disertai dengan ancaman pidana lain (ditandai dengan tanda “,” atau 
koma) dan pidana pokok yang tidak disertai dengan ancaman pidana 
lain (ditandai dengan tanda  “.” Atau titik), yaitu: 
a) Kategori I = 04 dan 21 kali  
b) Kategori II = 18 dan 76 kali 
c) Kategori III = 08 dan 20 kali 
d) Kategori IV = 54 dan 136  kali 
e) Kategori V = 01 dan 21 kali 
f) Kategori VI = 05 dan 29 kali 
2) Sebagai ancaman pidana denda minimum khusus: 
a) Kategori I = 00 kali  
b) Kategori II = 03 kali  
c) Kategori III = 19 kali  
d) Kategori IV = 29 kali  
e) Kategori V = 02 kali  
f) Kategori VI = 00 kali 
3) Sebagai ancaman pidana denda maksimum khusus dan minimum 
khusus: 
a) Kategori I = 00 kali  
b) Kategori II = 00 kali  
c) Kategori III = 00 kali  
d) Kategori IV = 10 kali  
e) Kategori V = 10 kali  
f) Kategori VI = 26 kali 
4) Ancaman denda minimum khusus dan maksimum khusus sebanyak 
= 53 kali 
5) Ancaman denda maksimum sebanyak = 410 kali dari terendah 
Kategori I dan tertinggi Kategori VI. 
d. Struktur ancaman pidana denda minimum khusus dan maksimum khusus, 
sebagai berikut: 
 
NO MINIMUM 
KHUSUS 
MAKSIMUM 
KHUSUS 
JUMLAH KETERANGAN 
1 2 3 4 5 
01 Ketegori I Kategori II 0 Tidak ada 
  Kategori III 0  
  Kategori IV 0  
  Kategori V 0  
  Kategori VI 0  
02 Kategori II Kategori III 0 Jumlah  3 kali 
  Kategori IV 3  
  Kategori V 0  
  Kategori VI 0  
03 Kategori III Kategori IV 9 Jumlah 19 kali 
  Kategori V 8  
  Kategori VI 2  
04 Kategori 
IV 
Kategori V 3 Jumlah 29 kali 
  Kategori VI 26  
05 Kategori V Kategori VI 2 Jumlah 2 kali 
     
  Jumlah total 53  
 

 
e. Nilai denda masing-masing kategori sebesar: 
 
NO KATEGORI 
DENDA 
JUMLAH DENDA KETERANGAN 
1 2 3 5 
01 Minimum Umum Rp              15.000,-  
02 Kategori I Rp        1.500.000,-  
03 Kategori II Rp        7.500.000,-  
04 Katebori III Rp      30.000.000,-  
05 Kategori IV Rp      75.000.000,-  
06 Kategori V Rp    300.000.000,-  
07 Kategori VI Rp 3.000.000.000-  
 
f. Struktur ancaman pidana minimum khusus dideskripsikan sebagai berikut: 
 
KATEGORI DELIK MAKSIMUM MINIMUM 
1. BERAT 4  sd 7 tahun 1 thn. 
2. SANGAT SERIUS 
 
7  sd 10 thn. 2 thn 
12  sd 15 tahun 3 thn. 
Mati/Seumur Hidup 5 thn. 
 
Untuk memudahkan memahmi distribusi pengancaman pidana denda dalam RUU  
KUHP dibuat dalam tabel sebagai berikut: 
 
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Ancaman
Pidana Denda
Pidana Denda
saja
Sbg Alternatif Min dan
Maksimum
Penggunaan
Pidana Denda
 
Distribusi ancaman pidana sebagaimana diuraikan ini  menunjukkan bahwa 
perumusan ancaman pidana telah disistematisir sedemikian rupa sehingga 
menjadi pola pengancaman pidana yang sistematik.  
 
E. Dasar-dasar penyusunan politik hukum pidana dan pemidanaan yang akan 
datang 

Perumusan norma hukum pidana dan pemidanaan dalam KUHP, undang-undang di 
luar KUHP baik yang termasuk kategori hukum pidana khusus maupun yang 
termasuk hukum pidana umum atau administrasi menunjukkan bahwa perumusan 
norma hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana menunjukkan adanya dua pola 
perumusan, yaitu pola perumusan yang mengikuti ketentuan umum dalam Buku I 
KUHP dan pola perumusan dalam undang-undang di luar KUHP. Pola perumusan 
dalam undang-undang di luar KUHP umumnya tidak memiliki konsistensi yang 
memicu  terjadinya „disparitas‟ dalam pengancaman sanksi pidana, baik 
pengancaman pidana maksimum umum dan pengancaman pidana minimum khusus. 
Pola penormaan ancamana sanksi pidana hukum pidana dalam undang-undang di 
luar KUHP dibedakan menjadi dua  :  
1.  Undang-undang yang termasuk kategori hukum pidana khusus 
Sebagai undang-undang yang mengatur hukum pidana khusus, memuat kaedah 
penimpangan dari ketentuan hukum pidana umum  di bidang hukum pidana 
materiil dan hukum pidan formil. Adanya penyimpangan dari kaedah hukum 
pidana umum ini  dilakukan sebagai bentuk respon hukum pidana untuk 
mengatasi situasi kejahatan yang bersifat khusus atau acap kali bersifat luar 
biasa (extra ordinary). 
Atas dasar sifat kejahatan ini  maka bila  diproses melalui mekanisme 
atau prosedur yang biasa dipandang tidak memadahi atau efektif, maka peru 
diatur prosedur yang menyimpangi dari prosedur umum atau prosedur yang luar 
biasa sesuai dengan sifat kejahatannya.  
Dalam undang-undang yang mengatur hukum pidana khusus ini  ternyata 
bukan hanya prosedur yang khusus saja, namun  juga terjadi penyimpangan 
perumusan norma hukum pidana dan penyimpangan norma pengancaman 
sanski pidana. Penyimpangan dari hukum pidana umum ini  yakni  : 
a. Penyimpangan asas-asas hukum pidana materiil; 
b. Penyimpangan perumusan norma hukum pidana yang cenderung 
dirumuskan secara meluas dan serba meliputi; 
c. Penyimpangan dalam perluasan norma hukum pidana yakni menyamakan 
antara perbuatan permufakatan jahat, persiapan, dan pencobaan dan juga 
pembantuan dengan kejahatan yang selesai atau pelaksanaan kejahatan; 
d. Penyimpangan dalam perumusan ancaman pidana, yaitu ancaman pidana 
minimum khusus dan ancaman maksimum khusus yang lebih tinggi (baik 
ancaman pidana penjara maupun ancaman pidana denda) atau menyimpangi 
dari ancaman maksimum umum, yakni 15 tahun. 
e. Penyimpangan berlakunya hukum pidana yaitu diberlakukan untuk tindak 
pidana yang dilakukan di luar negeri baik oleh warga Negara Indonesia 
maupun warga Negara asing dengan syarat di Negara yang bersangkutan 
melarang perbuatan pidana ini .  
2. Undang-undang yang termasuk kategori hukum pidana umum
 Undang-undang yang mengatur hukum pidana umum di luar KUHP umumnya 
mengikuti pola perumuan ancaman pidana dalam Buku I KUHP.  
3. Undang-undang yang termasuk kategori hukum pidana administrasi 
 Undang-undang yang mengatur bidang hukum administrasi yang di dalamnya 
memuat ketentuan pidana, maka disebut hukum pidana administrasi. Ketentuan 
pidana dalam hukum pidana administrasi dimuat pada bagian akhir dari suatu 
undang-undang yang memuat larangan atau keharusan/kewajiban. Adanya 
sanksi pidana dalam hukum administrasi seolah-olah merupakan keharusan, 
sehingga hampir setiap terbit suatu undang-undang selalu disertainya ketentuan 
pidananya.  
 Rumusan norma hukum pidana dan norma pengancaman pidana dalam hukum 
pidana administrasi umumnya tidak mengikuti pola rumusan hukum pidana dan 
pola pengancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP dan 
ada kecenderungan mengikuti pola perumusan norma hukum pidana dan sanksi 
pidana sebagaimana diatur dalam hukum pidana khusus. Rumusan norma 
hukum pidana dan ancaman sanksi pidana dalam hukum pidana administrasi 
dapat dideskripsikan sebagai berikut  : 
a. Memisahkan antara norma hukum pidana dengan sanksi pidana dengan cara 
merujuk kepada pasal lain yang memuat perbuatan yang dilarang atau 
diharuskan/diwajibkan; 
b. Menyatukan antara norma hukum pidana dengan sanksi pidananya, 
sedang  isi dari norma hukum pidananya terkait dengan norma yang 
diatur pasal-pasal lain dalam undang-undang yang sama; 
c. Bentuk ancaman sanksi pidana dalam bentuk: 
i. Pidana mati 
ii. Pidana penjara  
iii. Denda saja 
d. Ada yang memuat ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk sanksi 
pidana penjara dan sanksi pidana denda. 
e. Ancaman sanksi pidana denda berbeda-beda dan terjadi adanya perbedaan 
yang sangat tinggi; 
f. Umumnya dirumuskan sebagai delik aduan dan dapat diselesaikan di luar 
pengadilan melalui lembaga khusus; dan 
g. Penegakannya dilakukan oleh penyidik khusus yaitu penyidik pegawai 
negeri sipil (PPNS). 
Perumusan norma hukum pidana dalam hukum pidana khusus atau dalam hukum 
pidana di bidang administrasi sebagian diantaranya diambil dari isi konvenan 
dimana Indonesia telah menandatangani dan/atau meratifikasi konvenan ini . 
Dalam melakukan formulasi konvenan ke dalam suatu rumusan norma hukum 
pidana umumnya dilakukan dengan cara menterjemahkan dari bahasa Inggris ke 
dalam bahasa Indonesia sehingga susunan bahasa hukumnya tidak sesuai dengan 
susunan bahasa norma hukum pidana.  
Perumusan norma hukum pidana yang bersumber dari konvenan ini  sebab  
konvenan yang dijadikan dasar perumusan norma hukum pidana telah diratifikasi 
oleh Indonesia sehingga menjadi kewajiban untuk memasukkan dan menjadikan 
hukum positif Indonesia melalui kebijakan harmonisasi hukum ke dalam sistem 
hukum pidana Indonesia. Namun demikian, kebijakan ratifikasi konvenan dan 
memasukkan materi konvenan menjadi norma hukum pidana Indonesia secara 
keseluruhan akan mempengaruhi nilai hukum, asas hukum, dan norma hukum 
pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia. Oleh sebab itu, kebijakan untuk 
melakukan harmonisasi hukum dengan nilai hukum, asas hukum, dan norma 
hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia menjadi suatu bagian yang penting 
agar eksistensi hukum pidana Negara Indonesia yang berdaulat tetap 
dipertahankan dan tetap dapat mengikuti dan menyesuaikan dengan 
perkembangan hukum pidana Internasional. Hasil kajian hukum Internasional 
sebagaimana di muat dalam bab sebelumnya menunjukkan bahwa kewajiban 
untuk menjadikan konvenan menjadi hukum positif Negara tidak dimaksudkan 
untuk mengambil alih sepenuhnya secara tekstual, melainkan lebih menekankan 
kepada substansi konvenan untuk disesuaikan dengan hukum Negara nasional 
masing-masing negara. 
Atas dasar pemikiran ini , maka tepat pikiran Tim Perumus RUU  KUHP 
yang menjadikan bahan pembentukan hukum pidana nasional bersumber dari 
asprasi nasional dan aspirasi universal sehingga hukum pidana nasional 
mengembangkan keseimbangan nilai nasional dengan nilai 
universal/internasional. 
 
 
. Kesimpulan 
1. Politik hukum pidana dan pemidanaan dalam hukum pidana nasional dalam 
KUHP dan undang-undang di luar KUHP dikelompokkan menjadi tiga periode, 
yaitu 
a. Periode pertama, sesudah  merdeka hingga tahun 1960an mempertahankan pola 
perumusan hukum pidana dan ancaman sanksi pidana dalam KUHP dan 
kebijakan legislasi ditekankan kepada amandemen KUHP. 
b. Periode kedua, tahun 1960an sampai dengan tahun 1998an mengembangkan 
hukum pidana di luar KUHP namun  sistem perumusan norma dan perumusan 
ancaman sanksi pidana masih mengacu kepada sistem perumusan norma dan 
pengancaman sanksi pidana dalam ketentuan umum hukum pidana sebagaimana 
yang dimuat dalam Buku I KUHP. 
c. Periode ketiga, tahun 1998an sampai dengan tahun 2008 mengembangkan 
hukum pidana di luar KUHP yang melepaskan diri dari kaedah umum hukum 
pidana sebagaimana dimuat dalam Buku I KUHP dan membentuk sistem norma 
hukum pidana dan sistem pemidanaan sendiri di luar KUHP. 
2. Pilihan politik hukum pidana akan berpengaruh pada  praktek penegakan 
hukum pidana. Politik hukum pidana dan pemidanaan yang periode terakhir 
menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum pidana sebab  adanya 
dublikasi atau bahkan sebagian triplikasi norma hukum pidana dan penormaan 
hukum pidana bersifat sektoral dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda-
beda. 
3. Hukum pidana internasional memiliki pengaruh yang besar pada  politik 
hukum pidana dan pemidanaan hukum pidana nasional Indonesia, khususnya 
dalam undang-undang hukum pidana di luar KUHP baik yang termasuk ketegori 
hukum pidana khusus maupun hukum pidana umum. 
4. Perumusan politik hukum pidana dan pemidanaan hukum pidana nasional 
Indonesia di masa datang agar membentuk satu sistem politik hukum pidana dan 
perumusan sanksi pidana sebagai parameter keadilan dalam hukum pidana 
nasional Indonesia yaitu: 
a. Melakukan politik kodifikasi hukum pidana nasional secara total 
b. Mencegah tumbuh dan dikembangkannya hukum pidana di luar KUHP, 
kecuali hukum pidana administrasi yang dilakukan secara selekstif sesuai 
dengan prinsip penggunaan sanksi pidana dalam hukum adminisrasi yaitu 
sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). 
5. Penormaan hukum pidana dan formulasi ancaman sanksi pidana di masa datang 
sepenuhnya mendasarkan norma pemidanaan dalam Buku I RUU KUHP dan 
menempatkannya sebagai parameter umum hukum pidana nasional di masa 
datang. Oleh sebab itu, perumusan norma pemidanaan dalam Buku I RUU 
KUHP (demikian juga norma hukum pidananya) sebagai konsekuensi dari 
politik kodifikasi total perlu dirumuskan secara sistematik dan komprehensif 
untuk merespon kebutuhan hukum pidana pada masa sekarang dan memprediksi 
kebutuhan hukum pidana di masa yang akan datang, minimal 50 tahun ke depan, 
untuk menghindari kelemahan hukum pidana tertulis yaitu tertinggal dan 
perkembangan hukum dalam warga .  
6. Penormaan hukum pidana dan penormaan sistem pemidanaan dalam RUU 
KUHP sudah disusun secara sistematik, meskipun demikian masuknya norma 
hukum pidana dan norma pemidanaan yang bersumber dari undang-undang di 
luar KUHP yang termasuk kategori hukum pidana khusus (lex speciali) ke dalam 
RUU KUHP Buku II dapat mempengaruhi atau memperlemah sistem perumusan 
norma hukum pidana secara keseluruhan, demikian juga perumusan ancaman 
pidananya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan reformulasi pada  pasal-pasal 

 
ini  agar dapat menyatu sebagai sistem perumusan norma hukum pidana dan 
sistem perumusan ancaman sanksi pidana yang standar sesuai dengan politik 
hukum pidana yang dijadikan dasar perumusan norma hukum pidana dan 
perumusan ancaman sanksi pidana dalam KUHP. Hal ini merupakan 
konsekuensi logis dari politik kodifikasi total melalui RUU KUHP.  
7. Bagian lain yang belum menyatu perumusan norma hukum pidana ke dalam 
sistem perumusan norma hukum pidana dalam politik hukum pidana yang diikuti 
oleh RUU KUHP yaitu  perumusan norma hukum pidana dan norma 
pengancaman pidana dalam pasal-pasal yang bersumber dari Konvenan. 
Rumusan norma hukum pidana umunya merupakan terjemahan dari pasal 
Konvenan yang ditinjau dari etimologi bahasa hukum Indonesia menjadi tidak 
cocok dengan pola perumusan norma hukum pidana dalam RUU KUHP pada 
umumnya. Demikian juga dalam perumusan pengancaman sanksi pidana. Oleh 
sebab itu, perlu direformulasi dan restrukturisasi disesuikan dengan politik 
hukum pidana dalam RUU KHP agar menyatu ke dalam sistem hukium pidana 
nasional Indonesia. 
  
B. Rekomendasi Umum 
1. Secara nasional perlu mengambil langkah politik hukum pidana nasional yaitu 
meletakkan dasar politik kodifikasi hukum pidana secara total. 
2. Menghentikan dan mencegah dikembangkannnya hukum pidana di luar KUHP 
baik yang sebagai hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus dan 
kebijakan kriminalisasi cukup dilakukan dengan mengamandemen KUHP. 
3. Mencegah pembentukan lembaga penegak hukum baru dilakukan dengan cara 
mengefektifkan lembaga penegak hukum yang ada sebab  pembentukan lembaga 
baru justru dapat mempelemah efektifitas penegakan hukum yang memicu  
terjadinya fragmentasi yang justru dapat merugikan para pencari keadilan. 
4. Mengefektifkan sanksi administrasi dan mencegah memakai  sanksi pidana 
pada  pelanggaran di bidang hukum administrasi dan jika hendak 
memakai  ancaman sanksi pidana pada  pelanggaran hukum administrasi 
perlu diseleksi secara ketat dengan mengedepakan asas subsidiaritas dan asas 
seleksivitas agar sanksi pidana dipergunakan proporsional dan sebagai sanksi 
yang terkahir atau pamungkas (ultimum remedium).  
5. Sehubungan dengan adanya perkembangan hukum pidana internasional yang 
begitu cepat, maka perlu mengambil langkah-langkah kebijakan hukum pidana 
secara nasional yang tepat agar kebijakan ratifikasi dilakukan secara selektif dan 
kemudian dilakukan keijakan mereformulasi norma hukum pidana internasional 
yang berhasa Inggris ke dalam rumusan norma hukum pidana nasional dengan 
mengunakan berhasa Indonesia hukum (bahasa hukum) dengan tetap 
mengarusutamakan kepentingan nasional dan menjaga keutuhan eksistensi 
sistem hukum pidana nasional.   

 
6. Perlu disusun standarisasi penormaan hukum pidana dan perumusan ancaman 
sanksi pidana sebagai pedomanan bagi perancang undang-undang dan bagi 
legislator, dengan mempertimbangkan hasil kajian ini. 
7. Mengingat politik hukum pidana yang ditempuh dengan memilih 
mengembangkan hukum pidana nasional di luar KUHP dalam bentuk hukum 
pidana khusus dan hukum pidana di bidang hukum administrasi, ternyata telah 
mengembangkan hukum pidana sendiri yang tidak lagi mendasarkan kepada 
norma dasar hukum pidana sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum Buku I 
KUHP yang menimbulkan keadaan dua bidang hukum pidana nasional yaitu 
hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana di luar KUHP. Pengembangan 
hukum pidana di luar KUHP telah memicu  terjadinya overcriminalization 
dan penyimpangan asas-asas hukum pidana,  asas perumusan norma hukum 
pidana, asas pertangungjawaban pidana dan asas pemidanaan, yang berpotensi 
erjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam praktek penegakan hukum 
pidana, maka sudah saatnya untuk dihentikan.  
C.  Rekomendasi Khusus: 
Sehubungan dengan substnasi kesimpulan dan rekomendasi umum ini , Tim 
merekomendasikan dan mengusulkan agar Badan Pembinaan Hukum Nasional 
Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia perlu ditempuh langkah-langkah khusus 
sebagai berikut  : 
1.  Dibentuk Tim Perumus Penyusunan Pedoman Perumusan Norma Hukum 
Pidana dan Perumusan Norma Pemidanaan. Hasilnya diharapkan menjadi 
pedoman bagi Penyusun Naskah Rancangan Undang-undang dari pihak 
Pemerintah dan Badan Legislasi Nasional dan bagi Anggota DPR. Diharapan 
Tim dapat selesai bekerja pada Juli 2009. 
2. Mengadakan ”Collogium Pakar Hukum Pidana” untuk mensikapi 
perkembangan hukum pidana dengan mengundang para Profesor dan Doktor di 
bidang Hukum Pidana (20 Orang).  Diselenggarakan pada Juli-Agustus 2009, 
sebagai persiapan untuk meyelenggaran seminar nasional. 
3. Mengadakan Seminar Nasional dengan tema ”Moratorium Perkembangan 
Hukum Pidana di Luar KUHP” dengan mengundang Profesor dan Doktor di 
bidang Hukum Pidana, Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa dan KPK), Hakim 
pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Angota Dewan Perwakilan 
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah DPD). Dengan mengundang 
peserta sebanyak 75-100 orang (dibatasi) yang diselenggaran pada 
Nopember/Desember 2009 (sesudah  DPR dan Presiden terpilih dilantik).