Home » pemidanaan 4 » pemidanaan 4
Jumat, 26 Januari 2024
menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka pejabat
pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan
anak ini mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial yang
dikenakan pada nya.
m. Pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan
paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.
n. Ketentuan mengenai pidana pengawasan berlaku juga pada pidana
pengawasan anak.
o. Ketentuan mengenai pidana denda berlaku juga bagi anak, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan penjatuhan pidana pada anak.
p. Pidana denda bagi anak hanya dapat dijatuhkan pada anak yang telah
berumur 16 (enam belas) tahun. Pidana denda yang dijatuhkan pada
anak, paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang
diancamkan pada orang dewasa. Minimum khusus pidana denda tidak
berlaku pada anak.
q. Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan
tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan pada anak paling lama
1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan
pada orang dewasa. Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku
pada anak.
r. Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau
lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun
swasta.
s. Jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan warga , maka
dikenakan pidana pembinaan di Lembaga Pewarga an Anak.
Pembinaan di Lembaga Pewarga an Anak dilaksanakan sampai anak
berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak yang telah menjalani 1/2 (satu per
dua) dari lamanya pembinaan di Lembaga Pewarga an Anak dan
berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
BPHN: 105
t. Pidana penjara pada anak hanya dipakai sebagai usaha terakhir.
Pidana penjara bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pewarga an Anak.
Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
pidana yang dijatuhkan yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
u. Ketentuan mengenai pidana tutupan berlaku juga pada anak.
v. Ketentuan mengenai pidana tambahan berlaku juga sepanjang ketentuan
ini dapat diberlakukan pada anak.
w. Setiap anak yang menderita ganguan jiwa yang memicu kurang dapat
dipertanggungjawabkan dapat dikenakan tindakan:
1) perawatan di rumah sakit jiwa;
2) penyerahan kepada pemerintah; atau
3) penyerahan kepada seseorang.
x. Tindakan yang dapat dikenakan pada anak tanpa menjatuhkan pidana
pokok yaitu :
1) pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya;
2) penyerahan kepada Pemerintah;
3) penyerahan kepada seseorang;
4) keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau
badan swasta;
5) pencabutan surat izin mengemudi;
6) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
7) perbaikan akibat tindak pidana;
8) rehabilitasi; dan/atau
9) perawatan di lembaga.
y. Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi anak dilakukan demi
kepentingan anak yang bersangkutan.
z. Tindakan perawatan pada anak yang melakukan tindak pidana
dimaksudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik dan memberi
bimbingan kepada anak yang bersangkutan.
D. Formulasi Pengancaman Pidana Buku I ke dalam Buku II RUU KUHP
Rumusan norma pemidanaan sebagaimana dimuat dalam Buku I RUU KUHP
ini menunjukkan bahwa Tim Perumus berusaha untuk membuat norma
pemidanaan sebagai dasar untuk merumuskan norma pengancaman pidana dan
dalam penjatuhan pidana. Melalui rumusan ini dapat menjadi standar umum
dalam merumuskan ide keadilan dalam merumuskan ancaman pidana dan
penjatuhan pidana.
Dari norma pemidanaan ini kemudian diterapkan dalam merumuskan ancaman
pidana dalam Buku II RUU KUHP. Perumusan norma pengancaman pidana dalam
Buku II RUU KUHP dapat dideskripsikan sebagai berikut :
0
100
200
300
400
500
Pidana
Pidana 20 492 45
Mati Penjara Denda
1. Ancaman sanksi Pidana Mati
Ancaman sanksi pidana mati diancamkan kepada tindak pidana yang
termasuk kategori berat (atau sangat berat) baik pada norma hukum
pidana yang bersumber dari pasal-pasal KUHP yang memuat ancaman pidana
mati maupun norma hukum pidana dari luar KUHP yang memuat ancaman
pidana mati. Tim Perumus KUHP tidak menambah (atau mengurangi) tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati dari rumusan ancaman pidana mati
dari rumusan sebelumnya.
Perumusan ancaman pidana mati dalam RUU KUHP dideskripsikan sebagai
berikut:
a. Ancaman pidana mati diancamkan sebanyak 20 kali dengan
memakai frase “dipidana dengan ancaman pidana mati”.
b. Ancaman pidana mati ini selalu dialternatifkan dengan pidana
penjara seumur hidup, sesuai dengan norma dalam Buku I RUU KUHP
dimuat sebanyak 20 kali.
c. Acaman pidana mati yang dialternatifkan dengan pidana penjara seumur
hidup sebanyak 16 kali dengan memakai frase “dipidana dengan
ancaman pidana mati atau pidana seumur hidup”.
d. Cara merumuskan ancaman pidana alternatif dengan pidana lain sesudah
ancaman pidana pidana mati dipergunakan kata “atau”, namun ada yang
memakai tanda “ , “ (koma) sebanyak 2 (dua) kali, yaitu Pasal 250
tentang tindak pidana terorisme dan Pasal 685 tentang tindak pidana
korupsi. Penggunaan tanda “,” (koma) sesudah ancamana pidana mati
ini diikuti dengan labih dari satu ancaman pidana lain sebagai
alternatif.
e. Cara perumusan dengan mengunakan frase “dengan pidana penjara”,
namun ada yang tidak memakai kata “pidana” sebelum kata
“penjara” sebanyak 2 (dua) kali yaitu Pasal 242 dan Pasal 244 RUU
KUHP ttg Terorisme.
Dari distribusi ancaman pidana mati dalam RUU KUHP ini
menunjukkan bahwa pola perumusan: “ … dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup …”. Ada 4 (empat) rumusan ancaman pidana mati yang
cara perumusan alternatifnya berbeda, yaitu memakai tanda “,” (koma)
sebanyak 2 pasal dan dengan memakai kata “penjara”, bukan
memakai “pidana penjara”. Penyimpangan ini kemungkinan
disebabkan sebab hanya mengambil alih rumusan dari tindak pidana di luar
KUHP yang belum disesuaikan dengan rumusan dalam RUU KUHP.
2. Ancaman Sanksi Pidana Penjara.
Perumusan ancaman sanksi pidana penjara lebih banyak dibandingkan
dengan ancaman pidana lainnya. Ancaman pidana denda dideskripsikan
sebagai berikut:
a. Ancaman sanksi pidana penjara sebagai ancaman pidana pokok/utama
diancamkan untuk 492 kali yakni dengan memakai frase “dengan
ancaman pidana pidana penjara”.
b. Ancaman sanksi pidana penjara sebagai ancaman pidana alternatif dari
pidana lain yang bukan pidana penjara diancamkan sebanyak 61 kali yang
dirumuskan dengan memakai frase “atau pidana penjara”.
c. Ancaman pidana penjara dengan hitungan tahun yang dialternatifkan
dengan pidana denda sebanyak 294 kali, sedang yang hitungan bulan
sebanyak 8 kali, jadi ancaman pidana penjara yang disertai dengan
alternatif pidana denda sebanyak 302 kali.
0
100
200
300
400
500
600
Ancaman
Pidana
Penjara
Atau
Pidana
Penjara
Pidana
Penjara
atau denda
Penggunaan Pidana
Penjara
3. Ancaman Sanksi Pidana Denda
Distribusi ancaman sanksi pidana denda dalam RUU KUHP dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
a. Ancaman sanksi pidana denda sebagai pidana pokok/utama yang tidak
dialternatifkan dengan pidana lain sebanyak 45 kali dengan memakai
frase “dipidana dengan pidana denda”.
b. Ancaman sanksi pidana denda sebagai pidana alternatif dari pidana
lainnya, sebanyak 302 RUU KUHP yang dirumuskan dengan
mengunakan frase “atau pidana denda”.
c. Pengunaan ancaman pidana denda dilakukan dengan memakai
kriteria Kategori, dari Kategori I (terendah) sampai dengan Kategori VI
(tertinggi). Dengan rincian sebagai berikut:
1) Sebagai ancaman pidana pokok. Ada dua pola, yaitu pidana pokok
disertai dengan ancaman pidana lain (ditandai dengan tanda “,” atau
koma) dan pidana pokok yang tidak disertai dengan ancaman pidana
lain (ditandai dengan tanda “.” Atau titik), yaitu:
a) Kategori I = 04 dan 21 kali
b) Kategori II = 18 dan 76 kali
c) Kategori III = 08 dan 20 kali
d) Kategori IV = 54 dan 136 kali
e) Kategori V = 01 dan 21 kali
f) Kategori VI = 05 dan 29 kali
2) Sebagai ancaman pidana denda minimum khusus:
a) Kategori I = 00 kali
b) Kategori II = 03 kali
c) Kategori III = 19 kali
d) Kategori IV = 29 kali
e) Kategori V = 02 kali
f) Kategori VI = 00 kali
3) Sebagai ancaman pidana denda maksimum khusus dan minimum
khusus:
a) Kategori I = 00 kali
b) Kategori II = 00 kali
c) Kategori III = 00 kali
d) Kategori IV = 10 kali
e) Kategori V = 10 kali
f) Kategori VI = 26 kali
4) Ancaman denda minimum khusus dan maksimum khusus sebanyak
= 53 kali
5) Ancaman denda maksimum sebanyak = 410 kali dari terendah
Kategori I dan tertinggi Kategori VI.
d. Struktur ancaman pidana denda minimum khusus dan maksimum khusus,
sebagai berikut:
NO MINIMUM
KHUSUS
MAKSIMUM
KHUSUS
JUMLAH KETERANGAN
1 2 3 4 5
01 Ketegori I Kategori II 0 Tidak ada
Kategori III 0
Kategori IV 0
Kategori V 0
Kategori VI 0
02 Kategori II Kategori III 0 Jumlah 3 kali
Kategori IV 3
Kategori V 0
Kategori VI 0
03 Kategori III Kategori IV 9 Jumlah 19 kali
Kategori V 8
Kategori VI 2
04 Kategori
IV
Kategori V 3 Jumlah 29 kali
Kategori VI 26
05 Kategori V Kategori VI 2 Jumlah 2 kali
Jumlah total 53
e. Nilai denda masing-masing kategori sebesar:
NO KATEGORI
DENDA
JUMLAH DENDA KETERANGAN
1 2 3 5
01 Minimum Umum Rp 15.000,-
02 Kategori I Rp 1.500.000,-
03 Kategori II Rp 7.500.000,-
04 Katebori III Rp 30.000.000,-
05 Kategori IV Rp 75.000.000,-
06 Kategori V Rp 300.000.000,-
07 Kategori VI Rp 3.000.000.000-
f. Struktur ancaman pidana minimum khusus dideskripsikan sebagai berikut:
KATEGORI DELIK MAKSIMUM MINIMUM
1. BERAT 4 sd 7 tahun 1 thn.
2. SANGAT SERIUS
7 sd 10 thn. 2 thn
12 sd 15 tahun 3 thn.
Mati/Seumur Hidup 5 thn.
Untuk memudahkan memahmi distribusi pengancaman pidana denda dalam RUU
KUHP dibuat dalam tabel sebagai berikut:
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Ancaman
Pidana Denda
Pidana Denda
saja
Sbg Alternatif Min dan
Maksimum
Penggunaan
Pidana Denda
Distribusi ancaman pidana sebagaimana diuraikan ini menunjukkan bahwa
perumusan ancaman pidana telah disistematisir sedemikian rupa sehingga
menjadi pola pengancaman pidana yang sistematik.
E. Dasar-dasar penyusunan politik hukum pidana dan pemidanaan yang akan
datang
Perumusan norma hukum pidana dan pemidanaan dalam KUHP, undang-undang di
luar KUHP baik yang termasuk kategori hukum pidana khusus maupun yang
termasuk hukum pidana umum atau administrasi menunjukkan bahwa perumusan
norma hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana menunjukkan adanya dua pola
perumusan, yaitu pola perumusan yang mengikuti ketentuan umum dalam Buku I
KUHP dan pola perumusan dalam undang-undang di luar KUHP. Pola perumusan
dalam undang-undang di luar KUHP umumnya tidak memiliki konsistensi yang
memicu terjadinya „disparitas‟ dalam pengancaman sanksi pidana, baik
pengancaman pidana maksimum umum dan pengancaman pidana minimum khusus.
Pola penormaan ancamana sanksi pidana hukum pidana dalam undang-undang di
luar KUHP dibedakan menjadi dua :
1. Undang-undang yang termasuk kategori hukum pidana khusus
Sebagai undang-undang yang mengatur hukum pidana khusus, memuat kaedah
penimpangan dari ketentuan hukum pidana umum di bidang hukum pidana
materiil dan hukum pidan formil. Adanya penyimpangan dari kaedah hukum
pidana umum ini dilakukan sebagai bentuk respon hukum pidana untuk
mengatasi situasi kejahatan yang bersifat khusus atau acap kali bersifat luar
biasa (extra ordinary).
Atas dasar sifat kejahatan ini maka bila diproses melalui mekanisme
atau prosedur yang biasa dipandang tidak memadahi atau efektif, maka peru
diatur prosedur yang menyimpangi dari prosedur umum atau prosedur yang luar
biasa sesuai dengan sifat kejahatannya.
Dalam undang-undang yang mengatur hukum pidana khusus ini ternyata
bukan hanya prosedur yang khusus saja, namun juga terjadi penyimpangan
perumusan norma hukum pidana dan penyimpangan norma pengancaman
sanski pidana. Penyimpangan dari hukum pidana umum ini yakni :
a. Penyimpangan asas-asas hukum pidana materiil;
b. Penyimpangan perumusan norma hukum pidana yang cenderung
dirumuskan secara meluas dan serba meliputi;
c. Penyimpangan dalam perluasan norma hukum pidana yakni menyamakan
antara perbuatan permufakatan jahat, persiapan, dan pencobaan dan juga
pembantuan dengan kejahatan yang selesai atau pelaksanaan kejahatan;
d. Penyimpangan dalam perumusan ancaman pidana, yaitu ancaman pidana
minimum khusus dan ancaman maksimum khusus yang lebih tinggi (baik
ancaman pidana penjara maupun ancaman pidana denda) atau menyimpangi
dari ancaman maksimum umum, yakni 15 tahun.
e. Penyimpangan berlakunya hukum pidana yaitu diberlakukan untuk tindak
pidana yang dilakukan di luar negeri baik oleh warga Negara Indonesia
maupun warga Negara asing dengan syarat di Negara yang bersangkutan
melarang perbuatan pidana ini .
2. Undang-undang yang termasuk kategori hukum pidana umum
Undang-undang yang mengatur hukum pidana umum di luar KUHP umumnya
mengikuti pola perumuan ancaman pidana dalam Buku I KUHP.
3. Undang-undang yang termasuk kategori hukum pidana administrasi
Undang-undang yang mengatur bidang hukum administrasi yang di dalamnya
memuat ketentuan pidana, maka disebut hukum pidana administrasi. Ketentuan
pidana dalam hukum pidana administrasi dimuat pada bagian akhir dari suatu
undang-undang yang memuat larangan atau keharusan/kewajiban. Adanya
sanksi pidana dalam hukum administrasi seolah-olah merupakan keharusan,
sehingga hampir setiap terbit suatu undang-undang selalu disertainya ketentuan
pidananya.
Rumusan norma hukum pidana dan norma pengancaman pidana dalam hukum
pidana administrasi umumnya tidak mengikuti pola rumusan hukum pidana dan
pola pengancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP dan
ada kecenderungan mengikuti pola perumusan norma hukum pidana dan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam hukum pidana khusus. Rumusan norma
hukum pidana dan ancaman sanksi pidana dalam hukum pidana administrasi
dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a. Memisahkan antara norma hukum pidana dengan sanksi pidana dengan cara
merujuk kepada pasal lain yang memuat perbuatan yang dilarang atau
diharuskan/diwajibkan;
b. Menyatukan antara norma hukum pidana dengan sanksi pidananya,
sedang isi dari norma hukum pidananya terkait dengan norma yang
diatur pasal-pasal lain dalam undang-undang yang sama;
c. Bentuk ancaman sanksi pidana dalam bentuk:
i. Pidana mati
ii. Pidana penjara
iii. Denda saja
d. Ada yang memuat ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk sanksi
pidana penjara dan sanksi pidana denda.
e. Ancaman sanksi pidana denda berbeda-beda dan terjadi adanya perbedaan
yang sangat tinggi;
f. Umumnya dirumuskan sebagai delik aduan dan dapat diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga khusus; dan
g. Penegakannya dilakukan oleh penyidik khusus yaitu penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS).
Perumusan norma hukum pidana dalam hukum pidana khusus atau dalam hukum
pidana di bidang administrasi sebagian diantaranya diambil dari isi konvenan
dimana Indonesia telah menandatangani dan/atau meratifikasi konvenan ini .
Dalam melakukan formulasi konvenan ke dalam suatu rumusan norma hukum
pidana umumnya dilakukan dengan cara menterjemahkan dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia sehingga susunan bahasa hukumnya tidak sesuai dengan
susunan bahasa norma hukum pidana.
Perumusan norma hukum pidana yang bersumber dari konvenan ini sebab
konvenan yang dijadikan dasar perumusan norma hukum pidana telah diratifikasi
oleh Indonesia sehingga menjadi kewajiban untuk memasukkan dan menjadikan
hukum positif Indonesia melalui kebijakan harmonisasi hukum ke dalam sistem
hukum pidana Indonesia. Namun demikian, kebijakan ratifikasi konvenan dan
memasukkan materi konvenan menjadi norma hukum pidana Indonesia secara
keseluruhan akan mempengaruhi nilai hukum, asas hukum, dan norma hukum
pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia. Oleh sebab itu, kebijakan untuk
melakukan harmonisasi hukum dengan nilai hukum, asas hukum, dan norma
hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia menjadi suatu bagian yang penting
agar eksistensi hukum pidana Negara Indonesia yang berdaulat tetap
dipertahankan dan tetap dapat mengikuti dan menyesuaikan dengan
perkembangan hukum pidana Internasional. Hasil kajian hukum Internasional
sebagaimana di muat dalam bab sebelumnya menunjukkan bahwa kewajiban
untuk menjadikan konvenan menjadi hukum positif Negara tidak dimaksudkan
untuk mengambil alih sepenuhnya secara tekstual, melainkan lebih menekankan
kepada substansi konvenan untuk disesuaikan dengan hukum Negara nasional
masing-masing negara.
Atas dasar pemikiran ini , maka tepat pikiran Tim Perumus RUU KUHP
yang menjadikan bahan pembentukan hukum pidana nasional bersumber dari
asprasi nasional dan aspirasi universal sehingga hukum pidana nasional
mengembangkan keseimbangan nilai nasional dengan nilai
universal/internasional.
. Kesimpulan
1. Politik hukum pidana dan pemidanaan dalam hukum pidana nasional dalam
KUHP dan undang-undang di luar KUHP dikelompokkan menjadi tiga periode,
yaitu
a. Periode pertama, sesudah merdeka hingga tahun 1960an mempertahankan pola
perumusan hukum pidana dan ancaman sanksi pidana dalam KUHP dan
kebijakan legislasi ditekankan kepada amandemen KUHP.
b. Periode kedua, tahun 1960an sampai dengan tahun 1998an mengembangkan
hukum pidana di luar KUHP namun sistem perumusan norma dan perumusan
ancaman sanksi pidana masih mengacu kepada sistem perumusan norma dan
pengancaman sanksi pidana dalam ketentuan umum hukum pidana sebagaimana
yang dimuat dalam Buku I KUHP.
c. Periode ketiga, tahun 1998an sampai dengan tahun 2008 mengembangkan
hukum pidana di luar KUHP yang melepaskan diri dari kaedah umum hukum
pidana sebagaimana dimuat dalam Buku I KUHP dan membentuk sistem norma
hukum pidana dan sistem pemidanaan sendiri di luar KUHP.
2. Pilihan politik hukum pidana akan berpengaruh pada praktek penegakan
hukum pidana. Politik hukum pidana dan pemidanaan yang periode terakhir
menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum pidana sebab adanya
dublikasi atau bahkan sebagian triplikasi norma hukum pidana dan penormaan
hukum pidana bersifat sektoral dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda-
beda.
3. Hukum pidana internasional memiliki pengaruh yang besar pada politik
hukum pidana dan pemidanaan hukum pidana nasional Indonesia, khususnya
dalam undang-undang hukum pidana di luar KUHP baik yang termasuk ketegori
hukum pidana khusus maupun hukum pidana umum.
4. Perumusan politik hukum pidana dan pemidanaan hukum pidana nasional
Indonesia di masa datang agar membentuk satu sistem politik hukum pidana dan
perumusan sanksi pidana sebagai parameter keadilan dalam hukum pidana
nasional Indonesia yaitu:
a. Melakukan politik kodifikasi hukum pidana nasional secara total
b. Mencegah tumbuh dan dikembangkannya hukum pidana di luar KUHP,
kecuali hukum pidana administrasi yang dilakukan secara selekstif sesuai
dengan prinsip penggunaan sanksi pidana dalam hukum adminisrasi yaitu
sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
5. Penormaan hukum pidana dan formulasi ancaman sanksi pidana di masa datang
sepenuhnya mendasarkan norma pemidanaan dalam Buku I RUU KUHP dan
menempatkannya sebagai parameter umum hukum pidana nasional di masa
datang. Oleh sebab itu, perumusan norma pemidanaan dalam Buku I RUU
KUHP (demikian juga norma hukum pidananya) sebagai konsekuensi dari
politik kodifikasi total perlu dirumuskan secara sistematik dan komprehensif
untuk merespon kebutuhan hukum pidana pada masa sekarang dan memprediksi
kebutuhan hukum pidana di masa yang akan datang, minimal 50 tahun ke depan,
untuk menghindari kelemahan hukum pidana tertulis yaitu tertinggal dan
perkembangan hukum dalam warga .
6. Penormaan hukum pidana dan penormaan sistem pemidanaan dalam RUU
KUHP sudah disusun secara sistematik, meskipun demikian masuknya norma
hukum pidana dan norma pemidanaan yang bersumber dari undang-undang di
luar KUHP yang termasuk kategori hukum pidana khusus (lex speciali) ke dalam
RUU KUHP Buku II dapat mempengaruhi atau memperlemah sistem perumusan
norma hukum pidana secara keseluruhan, demikian juga perumusan ancaman
pidananya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan reformulasi pada pasal-pasal
ini agar dapat menyatu sebagai sistem perumusan norma hukum pidana dan
sistem perumusan ancaman sanksi pidana yang standar sesuai dengan politik
hukum pidana yang dijadikan dasar perumusan norma hukum pidana dan
perumusan ancaman sanksi pidana dalam KUHP. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari politik kodifikasi total melalui RUU KUHP.
7. Bagian lain yang belum menyatu perumusan norma hukum pidana ke dalam
sistem perumusan norma hukum pidana dalam politik hukum pidana yang diikuti
oleh RUU KUHP yaitu perumusan norma hukum pidana dan norma
pengancaman pidana dalam pasal-pasal yang bersumber dari Konvenan.
Rumusan norma hukum pidana umunya merupakan terjemahan dari pasal
Konvenan yang ditinjau dari etimologi bahasa hukum Indonesia menjadi tidak
cocok dengan pola perumusan norma hukum pidana dalam RUU KUHP pada
umumnya. Demikian juga dalam perumusan pengancaman sanksi pidana. Oleh
sebab itu, perlu direformulasi dan restrukturisasi disesuikan dengan politik
hukum pidana dalam RUU KHP agar menyatu ke dalam sistem hukium pidana
nasional Indonesia.
B. Rekomendasi Umum
1. Secara nasional perlu mengambil langkah politik hukum pidana nasional yaitu
meletakkan dasar politik kodifikasi hukum pidana secara total.
2. Menghentikan dan mencegah dikembangkannnya hukum pidana di luar KUHP
baik yang sebagai hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus dan
kebijakan kriminalisasi cukup dilakukan dengan mengamandemen KUHP.
3. Mencegah pembentukan lembaga penegak hukum baru dilakukan dengan cara
mengefektifkan lembaga penegak hukum yang ada sebab pembentukan lembaga
baru justru dapat mempelemah efektifitas penegakan hukum yang memicu
terjadinya fragmentasi yang justru dapat merugikan para pencari keadilan.
4. Mengefektifkan sanksi administrasi dan mencegah memakai sanksi pidana
pada pelanggaran di bidang hukum administrasi dan jika hendak
memakai ancaman sanksi pidana pada pelanggaran hukum administrasi
perlu diseleksi secara ketat dengan mengedepakan asas subsidiaritas dan asas
seleksivitas agar sanksi pidana dipergunakan proporsional dan sebagai sanksi
yang terkahir atau pamungkas (ultimum remedium).
5. Sehubungan dengan adanya perkembangan hukum pidana internasional yang
begitu cepat, maka perlu mengambil langkah-langkah kebijakan hukum pidana
secara nasional yang tepat agar kebijakan ratifikasi dilakukan secara selektif dan
kemudian dilakukan keijakan mereformulasi norma hukum pidana internasional
yang berhasa Inggris ke dalam rumusan norma hukum pidana nasional dengan
mengunakan berhasa Indonesia hukum (bahasa hukum) dengan tetap
mengarusutamakan kepentingan nasional dan menjaga keutuhan eksistensi
sistem hukum pidana nasional.
6. Perlu disusun standarisasi penormaan hukum pidana dan perumusan ancaman
sanksi pidana sebagai pedomanan bagi perancang undang-undang dan bagi
legislator, dengan mempertimbangkan hasil kajian ini.
7. Mengingat politik hukum pidana yang ditempuh dengan memilih
mengembangkan hukum pidana nasional di luar KUHP dalam bentuk hukum
pidana khusus dan hukum pidana di bidang hukum administrasi, ternyata telah
mengembangkan hukum pidana sendiri yang tidak lagi mendasarkan kepada
norma dasar hukum pidana sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum Buku I
KUHP yang menimbulkan keadaan dua bidang hukum pidana nasional yaitu
hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana di luar KUHP. Pengembangan
hukum pidana di luar KUHP telah memicu terjadinya overcriminalization
dan penyimpangan asas-asas hukum pidana, asas perumusan norma hukum
pidana, asas pertangungjawaban pidana dan asas pemidanaan, yang berpotensi
erjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam praktek penegakan hukum
pidana, maka sudah saatnya untuk dihentikan.
C. Rekomendasi Khusus:
Sehubungan dengan substnasi kesimpulan dan rekomendasi umum ini , Tim
merekomendasikan dan mengusulkan agar Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia perlu ditempuh langkah-langkah khusus
sebagai berikut :
1. Dibentuk Tim Perumus Penyusunan Pedoman Perumusan Norma Hukum
Pidana dan Perumusan Norma Pemidanaan. Hasilnya diharapkan menjadi
pedoman bagi Penyusun Naskah Rancangan Undang-undang dari pihak
Pemerintah dan Badan Legislasi Nasional dan bagi Anggota DPR. Diharapan
Tim dapat selesai bekerja pada Juli 2009.
2. Mengadakan ”Collogium Pakar Hukum Pidana” untuk mensikapi
perkembangan hukum pidana dengan mengundang para Profesor dan Doktor di
bidang Hukum Pidana (20 Orang). Diselenggarakan pada Juli-Agustus 2009,
sebagai persiapan untuk meyelenggaran seminar nasional.
3. Mengadakan Seminar Nasional dengan tema ”Moratorium Perkembangan
Hukum Pidana di Luar KUHP” dengan mengundang Profesor dan Doktor di
bidang Hukum Pidana, Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa dan KPK), Hakim
pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Angota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah DPD). Dengan mengundang
peserta sebanyak 75-100 orang (dibatasi) yang diselenggaran pada
Nopember/Desember 2009 (sesudah DPR dan Presiden terpilih dilantik).