hukuman mati 1

Jumat, 26 Januari 2024

hukuman mati 1





Tim Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
iSebagai bagian dari jenis penghukuman, hukuman mati di Indonesia sebenarnya tidak 
diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum masuknya kekuatan kolonial 
Eropa, para Raja dan Sultan yang ada di Nusantara telah mempraktikkan hukuman mati 
kepada para kawulanya. Dalam konteks negara kita , konsolidasi hukuman mati secara 
menyeluruh terjadi pada 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels 
yang mengatur mengenai pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan 
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa ini, hukuman mati dipertahankan sebagai 
strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan dan juga usaha  untuk 
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tanpa usaha  pasifikasi penduduk jajahan 
melalui instrumen hukuman mati, misi pemerintah Perancis yang berkuasa di Belanda 
untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris akan sulit diwujudkan.
Konsolidasi kedua dan yang terpenting adalah pada saat diberlakukannya Wetboek 
van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers) pada 1 Januari 1873. Selanjutnya pada 1915 
diundangkan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, (WvSI) dan mulai berlaku pada 1 Januari 
1918. Motif prasangka rasial dan menjaga ketenangan umum menjadi motif utama dari 
masih diberlakukannya hukuman mati. 
Pasca kemerdekaan, hukuman mati tetap diberlakukan dalam berbagai legislasi yang ada 
di negara kita . Tentu saja dengan motif dan alasan yang berbeda yang disesuaikan dengan 
sistem politik dan kondisi sosial politik yang berlaku pada masa legislasi ini  disahkan. 
Sejak kemerdakaan maka politik legislasi Indonesia terus memproduksi hukuman mati 
sebagai salah satu jenius pemidanaan penting
Bahkan setelah reformasi, dalam kurun waktu kurang dari delapan belas tahun, setidaknya 
ada  lima undang-undang (UU) yang memasukkan hukuman mati sebagai sanksi 
pemidanaan, meskipun dalam konstitusi Indonesia pasca amandemen (1999-2002), hak 
atas hidup telah dijamin dengan tegas.  Walaupun hanya lima UU yang mencantumkan 
hukuman mati pasca Reformasi, namun jika membandingkan jumlah pasal yang mengatur 
delik hukuman mati sebagai sanksi, jumlahnya meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan 
dengan keseluruhan pasal yang mengatur tentang hukuman mati sejak 1945 - 1998.
Anomali ini  tentu saja menjadi perhatian serius oleh beberapa para pegiat hak asasi 
manusia (HAM) dan negara-negara lainnya yang sudah meninggalkan praktik yang tidak 
sesuai dengan rasa peri kemanusiaan itu. Apalagi jika merujuk Resolusi Perserikatan 
Bangsa-Bangsa (PBB) No. 29 pada 18 Desember 2007 meminta kepada seluruh negara 
untuk melakukan moratorium pemakaian  hukuman mati dalam sistem hukumnya 
sebagai salah satu langkah untuk menuju penghapusan hukuman mati. Sebagai negara 
yang tergabung dalam komunitas internasional ini , Resolusi PBB ini  menjadi 
salah satu instrumen hukum internasional yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh 
negara kita .
Pada titik inilah maka sangat penting untuk melakukan sebuah kajian untuk memetakan 
argumentasi utama masih masuknya sanksi pidana berupa hukuman mati di beberapa 
regulasi di negara kita . Pelacakan argumentasi ini sangat penting untuk mengetahui 
rasionalisasi dan latar belakang dari kebijakan publik pemakaian  sanksi hukuman 
mati dalam sistem hukum negara kita . Tanpa memahami akar dan latar belakang serta 
argumentasi atas masih dipertahankan hukuman mati di Indonesia di beberapa UU, maka 
semakin terbukalah  hukuman mati sebagai salah satu bagian dari sanksi pidana yang 
akan terus dipertahankan dan dipakai .
Saat ini ada  kecenderungan global negara-negara di dunia untuk tidak lagi 
menggunakan sanksi hukuman mati dalam sistem hukumnya sebagaimana yang terlihat 
dari dikeluarkannya Resolusi PBB pada Desember 2007 tentang pelarangan hukuman 
mati.1 Meski demikian, dalam praktiknya, hal itu  menunjukkan yang sebaliknya. Praktik 
hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi pidana masih terjadi. Sepanjang 2015, 
eksekusi hukuman mati secara global meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya 
(2014). Setidaknya 1.634 orang telah dieksekusi mati pada 2015: meningkat 573 kasus 
eksekusi atau 54 persen dibandingkan 2014.
Sebenarnya bila merujuk kepada tren penerapan hukuman mati secara global dari 2008 
sampai dengan 2015 yang dihimpun Amnesty Internasional, ada  tren yang fluktuatif. 
Misalnya pada 2010 dan 2014, terjadi penurunan eksekusi mati dari tahun-tahun 
sebelumnya. Meski demikian, jika melihat tren dalam lima tahun terakhir (2010-2015), 
sulit dibantah bahwa ada ada  peningkatan eksekusi mati di secara global (Tabel 1.1).


Tidak jauh berbeda dengan tren global, praktik eksekusi hukuman mati di Indonesia juga 
menunjukkan peningkatan yang signifikan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo 
(Jokowi). Situasi ini tidak terlepas dari kebijakan Presiden Jokowi yang mendalilkan 
Indonesia dalam kondisi darurat nasional terhadap narkotika sehingga perlu sanksi 
yang tegas.4 Pada awal era pemerintahannya, Presiden Jokowi telah melakukan eksekusi 
terhadap 18 orang terpidana mati (lihat Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Jumlah Eksekusi Hukuman Mati di Indonesia dari 2007-2016

Berkaca pada beberapa regulasi yang mengatur hukuman mati yang masih berlaku dan 
tren kebijakan pemidanaan yang berlaku di negara kita , nampaknya eksekusi pidana mati 
akan terus dilanggengkan di masa-masa mendatang. Apalagi Indonesia termasuk ke 
dalam 58 negara yang masih mempertahankan dan menormakan hukuman mati sebagai 
ketentuan pidana yang dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana tertentu. Padahal, 
sampai dengan 31 Desember 2016, lebih dari dua per tiga (2/3) negara-negara di seluruh 
dunia telah menghapus hukuman mati, baik melalui instrumen hukum maupun dalam 
praktik.
Kecenderungan global negara-negara dalam merespon hukuman mati dalam kebijakan 
pemidanaan mereka dapat dilihat jumlahnya sebagai berikut: (i) menghapus hukuman 
mati untuk semua jenis tindak pidana berjumlah 102 negara; (ii) menghapus hukuman 
mati hanya untuk tindak biasa berjumlah 6 negara; (iii) menghapus hukuman mati dalam 
praktik berjumlah 32 negara; dan (iv) mempertahankan hukuman mati berjumlah 58 
negara. 5
Dalam sistem hukum negara kita , setidaknya ada  tiga belas (13) peraturan 
perundangan-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman 
pemidanaan di luar ketentuan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 
Sanksi ini  dijatuhkan terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun yang 
diatur dalam beberapa undang-undang khusus.6 
Ide dasar penerapan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia ada  dalam Pasal 
10 KUHP yang memuat dua macam hukuman, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 
Pidana pokok ini  terdiri dari: (1) pidana mati; (2) pidana penjara; (3) pidana 
kurungan; dan (4) pidana denda. Sementara pidana tambahan berupa: (1) pencabutan 
hak tertentu; (2) perampasan barang tertentu; dan (3) pengumuman keputusan hakim. 
Dari pidana pokok itulah ide hukuman mati itu berasal. Sementara itu, dalam tataran 
praktik, pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata 
Cara Pelaksanaan Hukum Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan 
Umum dan Peradilan Militer, yang sampai saat ini masih tetap berlaku.
ada  delapan perbuatan pidana (delik) yang memuat ancaman hukuman mati dalam 
KUHP Indonesia yaitu:
1. Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara (makar);
2. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana;
3. Pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing 
sehingga terjadi perang;
4. Pasal 124 ayat (3) tentang pengkhianatan di waktu perang;
5. Pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara; 
5 Amnesty International, Global Report…, 
Pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara 
sahabat;
6. Pasal 479 k ayat (2) dan pasal 479 huruf o ayat (2) tentang kejahatan 
penerbangan;
7. Pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian; dan 
8. Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu 
mengakibatkan luka berat atau mati.
Tabel 1.3 Pengaturan Hukuman Mati di negara kita 
No Peraturan Perundang-Undangan Ketentuan
1. KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat 
(3), Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), 
Pasal 444, Pasal 368 ayat (2)
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer 
(KUHPM)
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 
73 ke-1, ke-2, Ke3 dan Ke-4, Pasal 74 ke-1 dan 
ke-2, Pasal 76 (1), Pasal 82, Pasal 89 ke-1 dan 
ke-2, Pasal 109 ke-1 dan ke-2, Pasal 114 ayat 
(1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1) 
ke1 dan ke-2, ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan 
(2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 
ayat (2)
3. UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api Pasal 1 (ayat) 1
4. Penpres No. 5 Tahun 1959 tentang Wewenang 
Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam 
Hal Memperberat Ancaman Hukuman 
terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan 
Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan 
Pasal 2
5. Perppu No. 21 Tahun 1959 tentang 
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap 
Tindak Pidana Ekonomi
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
6. UU No. 31/PNPS/1964 tentang Ketentuan 
Pokok Tenaga Atom 
Pasal 23
7. UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan 
dan Penambahan Beberapa Pasal dalam 
KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya 
Ketentuan Perundang-Undangan Pidana 
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap 
Sarana/Prasarana Penerbangan 
Pasal 479 huruf k ayat (2)
Pasal 479 huruf o ayat (2)
8. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2)
9. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan 
Korupsi 
Pasal 2 ayat (2)
10. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak 
Asasi Manusia 
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3)
11. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme 
Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, 
Pasal 15, Pasal 16
12. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 74, Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), 
Pasal  119 ayat (2), 118 ayat (2), Pasal  119 ayat 
(2), 121 ayat (2), Pasal  132 ayat (3), Pasal 133 
ayat (1), Pasal  144 ayat (2)
13. Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan 
Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak (menjadi UU No. 17 Tahun 
2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang 
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang)
Pasal 81 ayat (5)
Meskipun KUHP Indonesia masih mempertahankan hukuman mati sebagai salah satu 
pidana pokok, namun jika  merujuk pada sejarah perkembangan proses kodifikasi 
hukum pidana di Belanda yang kemudian menjadi role model dari sistem pemidanaan 
di negara kita , menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejak 1870, hukuman mati sebagai 
salah satu dari pidana pokok telah dihapuskan di dalam sistem hukum Belanda.  Bahkan 
dalam praktiknya, pemerintah Belanda tidak lagi menerapkan hukuman mati sejak 1860. 
Eksekusi hukuman mati di depan publik terakhir kali diterapkan pada 1860 di Maastricht.7
Lebih jauh lagi, adanya hukuman penjara sebenarnya adalah sebagai alternatif untuk tidak 
menggunakan hukuman mati dan hukuman fisik sebagai salah satu bentuk pemidanaan 
yang dianggap tidak manusiawi dan kejam di Belanda. Ide itu pertama kali muncul dalam 
usulan perubahan terhadap Code Penal Perancis pada 1827.8 Sebagaimana yang dicatat 
oleh Lydia Bertram, dalam perdebatan Code Penal Belanda, lahirnya ide hukuman penjara 
seumur hidup dalam sistem pidana Belanda jelas merupakan pengganti dari bentuk 
hukuman mati.
Menurut  Sahetapy, alasan utama pemerintah Belanda masih tetap mempertahankan 
hukuman mati di daerah jajahannya, termasuk negara kita , lebih disebabkan motif rasial 
guna menunjang politik hukum ketertiban umum pada masa itu. Prasangka rasial yang 
diskriminatif ini  pada intinya menganggap bahwa orang-orang pribumi tidak 
bisa dipercayai. Bahkan muncul anggapan orang pribumi suka berbohong dengan 
memberi  kesaksian palsu di pengadilan. Orang-orang pribumi mudah percaya dan 
menerima kebohongan sebagai kebenaran dan banyak orang pribumi bersifat buruk.
Pandangan diskriminatif ini mengemuka sebab  para sarjana hukum Belanda sudah 
memiliki perasaan superior sebagai bangsa penjajah.
Deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 ternyata tidak memiliki  implikasi 
apapun untuk memutus kebijakan kolonial terhadap hukuman mati. Bentangan empirik 
menunjukkan bahwa ide hukuman mati (selain yang diatur dalam KUHP) ternyata masih 
tetap hidup dan bahkan bertambah banyak dalam berbagai regulasi di negara kita . Pasca 
Indonesia merdeka sampai dengan 1998, setidaknya ada  enam regulasi yang 
menggunakan sanksi berupa hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan (lihat Tabel 1.3). 
Bahkan pemakaian  hukuman mati sebagai ketentuan pidana dalam pelbagai regulasi 
makin meningkat pasca Reformasi (1998 s/d saat ini). 
Dalam kurun waktu kurang dari delapan belas tahun, setidaknya ada  lima undang-
undang (UU) yang memasukkan hukuman mati sebagai sanksi pemidanaan, meskipun 
dalam konstitusi Indonesia pasca amandemen (1999-2002), hak atas hidup telah dijamin 
dengan tegas.14 Walaupun hanya lima UU yang mencantumkan hukuman mati pasca 
Reformasi, namun jika membandingkan jumlah pasal yang mengatur delik hukuman 
mati sebagai sanksi, jumlahnya meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan dengan 
keseluruhan pasal yang mengatur tentang hukuman mati sejak 1945 - 1998.
Anomali ini  tentu saja menjadi perhatian serius oleh beberapa para pegiat hak asasi 
manusia (HAM) dan negara-negara lainnya yang sudah meninggalkan praktik yang tidak 
sesuai dengan rasa peri kemanusiaan itu. Apalagi jika merujuk Resolusi Perserikatan 
Bangsa-Bangsa (PBB) No. 29 pada 18 Desember 2007 meminta kepada seluruh negara 
untuk melakukan moratorium pemakaian  hukuman mati dalam sistem hukumnya 
sebagai salah satu langkah untuk menuju penghapusan hukuman mati.  Sebagai negara 
yang tergabung dalam komunitas internasional ini , Resolusi PBB ini  menjadi 
salah satu instrumen hukum internasional yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh 
negara kita .
Pada titik ini menjadi penting untuk melakukan sebuah kajian untuk memetakan 
argumentasi utama masih masuknya sanksi pidana berupa hukuman mati di beberapa 
regulasi di negara kita . Pelacakan argumentasi ini sangat penting untuk mengetahui 
rasionalisasi dan latar belakang dari kebijakan publik pemakaian  sanksi hukuman 
mati dalam sistem hukum negara kita . Tanpa memahami akar dan latar belakang serta 
argumentasi atas masih dipertahankan hukuman mati di Indonesia di beberapa UU, maka 
tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemakaian  hukuman mati sebagai salah satu bagian 
dari sanksi pidana akan terus dipertahankan dan dipakai .
Masih minimnya referensi dan kajian mengenai dasar, argumentasi dan pertimbangan 
masih dipakai nya hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia membuat kajian ini 
akan memfokuskan pada permasalahan-permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang dan dinamika sosial politik kebijakan pemidanaan 
hukuman mati sebagai sanksi pidana dalam peraturan perundangan-undangan di 
negara kita ?
2. Bagaimanakah kesesuaian kebijakan hukuman mati di Indonesia dengan prinsip dan 
norma universal HAM?
Kajian ini pada intinya berfokus pada pemetaan produk legislasi Indonesia yang memuat 
norma hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi pidana. Kajian ini menekankan 
bahwa proses pembentukan hukum tentu saja tidak terlepas dari dialektika konteks sosio 
politik kewarga an pada saat pembentukan legislasi ini . Dengan demikian 
pencatatan mengenai dinamika pembentukan legislasi, merupakan sebuah keniscayaan. 
Berangkat dari hal itu, tentu saja menjadi penting untuk melihat ulang proses pembentukan 
legislasi hukuman mati dan mendokumentasikan proses pembentukannya ini .
Pada sisi lain, kebutuhan untuk melihat kesesuaian tatanan hukum Indonesia dan 
tatanan hukum HAM internasional dalam perumusan legislasi hukuman mati menjadi 
penting untuk melihat secara objektif sejauh mana hukum nasional dapat merespon 
perkembangan standar norma warga  internasional.
Berangkat dari keinginan dalam memahami secara menyeluruh proses pembentukan 
legislasi hukuman mati ini , kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk menguji 
dan mengkaji ulang kesesuaian kebijakan-kebijakan terkait hukuman mati dengan standar 
HAM internasional, termasuk di dalamnya rumusan rekomendasi peninjauan kembali, 
revisi, ataupun pencabutan kebijakan-kebijakan yang menjadikan hukuman mati sebagai 
sebagai salah satu kebijakan pemidanaan dalam hukum negara kita . 
1.5. Tinjauan Pustaka
Meskipun topik mengenai hukuman mati bukan merupakan isu yang baru, namun metode 
dan fokus kajian yang dilakukan dalam penelitian ini bisa dikatakan hal yang baru di 
negara kita . Dari penelusuran kepustakaan yang sudah dilakukan, sampai sejauh ini belum 
ada penelitian yang mengkaji secara komprehensif dengan mencari akar permasalahan 
apa alasan yang mendasari ide hukuman mati masih dimasukkan dalam berbagai macam 
regulasi di Indonesia dan membandingkannya dengan standar internasional tentang 
hukuman mati. Apalagi sampai saat ini, masih minimnya penelitian yang dilakukan oleh 
para peneliti terkait topik hukuman mati yang dilakukan di negara kita . 
Adapun beberapa kajian yang mengambil topik hukuman mati yang dilakukan beberapa 
peneliti adalah: Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana oleh J.E 
Sahetapy,16 Pidana Mati dalam Negara Pancasila oleh J.E Sahetapy,17 Kontroversi Hukuman 
Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay,18 
Politik Hukuman Mati di Indonesia oleh Robertus Robert dan Todung Mulya Lubis (editor),19 
Pengaturan Hukuman Mati Sebagai Pidana Pokok dalam Rancangan Kitab Undang-Undang 
Pidana oleh Edita Elda,20 Perdebatan Mengenai Hukuman Mati dalam Pembaharuan Hukum 
di Indonesia oleh Shidarta Praditya Reviendra Putra,21 Hukuman Mati dalam R KUHP: Jalan 
Tengah Yang Meragukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono dkk,22 Menolak Hukuman Mati: 
Perspektif Intelektual Muda oleh Antonius Cahyadi dkk,23 Unfair Trial: Analisis Kasus Terpidana 
Mati di Indonesia oleh Koalisi Hapus Hukuman Mati (Koalisi Hati),24 Aku Menolak Hukuman 
Mati: Telaah Atas Penerapan Pidana Mati oleh Yon Artiono Arba’i.25 dan, Hakikat Pelaksanaan 
Hukuman Mati di tinjau dari Perpektif Hak Asasi Manusia oleh bambang Sugeng Rukomono26.
Dari sembilan penelitian di atas, berdasar ruang lingkup dari fokus kajian yang dilakukan, 
maka dapat dikategorikan atas dua hal, yakni kajian terhadap seluruh regulasi tentang 
hukuman mati dan kajian yang berfokus pada regulasi atau delik tertentu yang mengatur 
tentang hukuman mati. Berangkat  dari kategorisasi di atas, maka hanya penelitian yang 
dilakukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono, dkk. dan Edita Elda yang melakukan pemetaan 
seluruh regulasi hukuman mati di negara kita . Meskipun demikian, penelitian dengan judul 
Hukuman Mati dalam R KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan27 yang ditulis Supriyadi Widodo 
Eddyono, dkk. dan Pengaturan Hukuman Mati Sebagai Pidana Pokok dalam Rancangan Kitab 
Undang-Undang Pidana28 yang ditulis Edita Elda ini  hanya mengumpulkan beberapa 
regulasi tentang hukuman mati yang ada di negara kita .

Inilah yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Supriyadi 
Widodo Eddyono, dkk. dan Edita Elda. Penelitian ini tidak hanya mengumpulkan beberapa 
regulasi yang mengatur tentang hukuman mati yang ada di negara kita , namun mencoba 
menelusuri lebih dalam dengan mencari akar permasalahan, perdebatan atau argumentasi 
yang mendasari mengapa ide hukuman mati masih tetap hidup dalam beberapa regulasi 
di negara kita . 
Pada sisi lain, penelitian tentang hukuman mati lainnya, hanya fokus kepada beberapa 
isu yang lebih spesifik tentang hukuman mati. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh 
Sahetapy  dengan topik Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, yang 
hanya berfokus tentang Pasal 340 KUHP tentang ancaman pembunuhan berencana. 
Demikian juga dengan studi Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim 
Konstitusi oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, yang hanya memfokuskan pada 
kajian perdebatan hukuman mati dari sudut Undang-Undang Narkotika yang diuji (judicial 
review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).29
Sedangkan penelitian lainnya, tidak memfokuskan kajiannya pada akar masalah dan latar 
belakang mengapa beberapa regulasi di Indonesia masih mengatur tentang hukuman mati. 
Misalnya kajian yang dilakukan Shidarta Praditya Reviendra Putra yang memfokuskan 
kajian pada perdebatan teori pemidanaan hukuman mati dalam Rancangan KUHP. Atau 
kajian Sahetapy yang hanya fokus kepada variabel hukuman mati dari sudut filosofi 
negara Pancasila. 
Demikian pula kajian-kajian lain hanya melihat bagaimana isu hukuman mati dari sudut 
subjektif atau pengalaman (empiris) masing-masing penulis. Misalnya antologi tulisan 
yang berjudul Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda oleh Antonius Cahyadi, 
dkk. yang mengkritik masih dipakai nya hukuman mati sebagai salah satu pemidanaan 
yang tidak relevan dengan semangat akademik dan nilai-nilai kemanusian berdasar 
latar belakang masing-masing penulis. Buku-buku lainnya, misalnya buku yang berjudul 
Aku Menolak Hukuman Mati: Telaah Atas Penerapan Pidana Mati oleh Yon Artiono Arba’i, yang 
berdasar pengalaman subjektif penulis yang pernah bekerja sebagai jaksa dan buku 
Unfair Trial: Analisis Kasus Terpidana Mati di Indonesia yang mendeskripsikan pengalaman 
masing-masing pembela hukum atau pengacara dalam mengadvokasi beberapa terdakwa 
yang sudah divonis hukuman mati.
Di luar beberapa literatur yang telah ditelaah di atas, yang mungkin memiliki  benang 
merah atau irisan terhadap kajian ini adalah tulisan Wilson yang berjudul Warisan Sejarah 
Bernama Hukuman Mati dalam buku Politik Hukuman Mati di negara kita . Tulisan ini lebih 
menitikberatkan kajian pada praktik hukuman mati dalam perspektif sejarah, dengan 
salah satu bagian yang menarik pada masa kolonial, masa revolusi, dan masa demokrasi 
terpimpin (Soekarno). Meskipun kajian ini lebih cenderung deskriptif tentang kebijakan 
terhadap orang-orang dijatuhi hukuman mati semasa Hindia Belanda dan negara kita , 
namun dari data yang dikumpulkan ini  menjadi salah satu informasi yang berharga 
dalam penelitian ini. 


Hukuman mati (capital punishment) telah dipakai  selama ribuan tahun sebagai 
hukuman utama untuk tindak pidana tertentu. Meskipun sejarawan tidak memiliki cara 
untuk mengetahui berapa lama sanksi hukuman mati telah menjadi polemik, namun 
mereka mengetahui bahwa penerapan sanksi ini telah diperdebatkan selama berabad-
abad.32 Situasi ini menggambarkan bahwa dalam beberapa titik dalam sejarah peradaban 
manusia, sebagian besar peradaban menggunakan hukuman mati sebagai metode 
penghukuman.33 Kampanye untuk mengakhiri eksekusi dimulai di kawasan Eropa Barat 
yang dipelopori Cesare Beccaria melalui tulisan On Crimes and Punishments pada 1764. 
Meskipun  kemajuan melambat selama lebih dari satu abad pasca tulisan ini , 
namun pada akhir paruh kedua abad ke-20 menjadi periode yang sangat aktif untuk 
mereformasi kebijakan terhadap pelaksanaan hukuman pidana diberbagai negara dan 
mulai terbangun pandangan baru mengenai hukuman mati.
Negara-negara awal yang aktif menghapus ide hukuman mati pada umumnya terletak di 
benua Amerika terutama di Amerika Selatan. Negara pertama yang menghapus hukuman 
mati untuk semua kejahatan adalah Venezuela pada 1863. Sedangkan di kawasan Eropa, 
San Marino merupakan negara yang mengawali gerakan abolisionis dengan menghapus 
hukuman mati untuk semua kejahatan pada 1865. Sebelumnya, pada 1848, negara ini 
merupakan negara pertama di dunia yang menghapuskan hukuman mati untuk tindak 
pidana biasa. Sampai beberapa dekade, San Marino dan Rumania merupakan negara 
abilisionis di Eropa. Di luar Amerika Latin dan Eropa, gerakan abolisionis masih relatif 
belum berkembang.
Pada belahan dunia lain, di Asia negara pertama yang menolak hukuman mati untuk 
semua kejahatan adalah Kamboja pada 1989. Sampai saat ini, hanya Timor Timur, Nepal, 
dan Turkmenistan telah mengikuti Kamboja. Kemudian di kawasan Afrika, Cape Verde 
menghapuskan hukuman mati pada 1981. Sembilan tahun kemudian, jejak langkah 
Cave Varde diikuti oleh Mozambik, Namibia, dan São Tomé dan Príncipe. Sedangkan di 
kawasan Oceania, bersamaan dengan kemerdekaannya pada 1978, Kepulauan Solomon 
dan Tuvalu menghapuskan hukuman mati.36
Pengembangan norma hukum internasional untuk penghapusan hukuman mati 
merupakan fenomena pasca Perang Dunia Kedua. Penghapusan hukuman mati 
merupakan tujuan  bangsa-bangsa beradab yang termanifestasi selama penyusunan 
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 
pada 1948. Meskipun ekspresi pengakuan penormaan ini  hanya secara implisit 
yang ditunjukkan melalui frasa  hak hidup (the right to life).
Ide penghapusan hukuman mati kembali memperoleh momentum selama dekade 
berikutnya melalui para pembuat norma hukum internasional (international lawmakers) 
yang mendesak pembatasan hukuman mati melalui lahirnya International Covenant on 
Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan 
Politik pada 1966 dan Optional Protocol kedua yang disetujui pada 1989. Dalam Pasal 
6 ICCPR yang terdiri dari 6 (enam) paragraf, 4 (empat) paragraf di antaranya mengatur 
mengenai pembatasan hukuman mati seperti penjatuhan hanya pada tindakan pidana 
yang serius, berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman, tidak 
boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia 18 tahun 
dan tidak boleh dilaksanakan terhadap  wanita  yang tengah hamil. 38 Setelah itu lahir 
pula dua traktat hak-hak asasi manusia regional, yakni Konvensi Eropa tentang Hak-hak 
Asasi Manusia dan Konvensi Amerika tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang mengandung 
ketentuan serupa.
Instrumen-instrumen hukum internasional yang paling mutakhir, yang mengatur tentang 
kejahatan-kejahatan paling serius (the most serious crimes) yang menjadi perhatian 
warga  internasional, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan 
perang, semuanya menolak hukuman mati. ini dapat dilihat pada ketiga statuta 
pendirian mahkamah pidana internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni 
Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal 
for the former Yugoslavia), Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International 
Criminal Tribunal for Rwanda), dan Mahkamah Khusus untuk Sierra Leone (Special Court 
for Sierra Leone). Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute 
of the International Criminal Court) menetapkan hukuman penjara seumur hidup sebagai 
hukuman maksimal.

Hukum hak-hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional telah 
membahas isu hukuman mati hampir selama delapan puluh tahun. Meski hukum 
internasional  tidak serta merta dapat diberlakukan secara langsung mengingat adanya 
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara-negara untuk 
mengaplikasi ketentuan internasionalnya, namun hukum internasional merupakan 
sebuah sumber pedoman yang sangat otoritatif dalam hal penafsiran norma-norma. 
Pembahasan langsung tentang hukuman mati dalam hukum internasional pertama kali 
muncul dalam Konvensi Jenewa 1929 tentang Tawanan Perang. Dalam Konvensi ini , 
diatur secara khusus beberapa prosedur yang harus dipatuhi jika  hendak menghukum 
mati seorang tawanan perang. Ketentuan ini  semakin dikukuhkan dengan lahirnya 
Konvensi Jenewa 1949 tentang tawanan perang, yang masih berlaku hingga hari ini. 
Konvensi Jenewa 1949 tentang warga sipil juga memuat ketentuan penting, yakni tidak 
diperbolehkannya pemberlakuan hukuman mati terhadap warga sipil di wilayah yang 
diduduki.
Kedua konvensi ini kemudian diperkukuh lagi dengan hadirnya protokol-protokol tambahan (additional protocols) Konvensi 
Jenewa yang diadopsi pada tahun 1977. Hukum humaniter internasional, yakni hukum mengenai konflik bersenjata, tentu 
saja tidak berlaku dalam masa damai. Namun demikian, perkembangan seperti itu dalam hukum humaniter merupakan bukti 
yang sangat kuat bahwa pendekatan hukum internasional secara perlahan bergerak menuju pembatasan dan pada akhirnya 
penghapusan hukuman mati.

 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of 
Human Rights)
Titik awal dalam hukum hak-hak asasi manusia internasional adalah Deklarasi Universal 
Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR), yang diadopsi 
oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini  hingga kini tetap 
merupakan tolok ukur yang otoritatif dalam hal norma-norma hak-hak asasi manusia 
(HAM), dan tidak diragukan lagi berlaku bagi semua negara anggota PBB. UDHR merupakan 
dokumen hukum hak asasi manusia internasional yang diterima di seluruh dunia dan 
merupakan pencapaian dari perjuangan atas kemerdekaan dan martabat manusia. Dua 
macam hak asasi manusia yang tercantum dalam deklarasi ini , yaitu: (i) hak-hak 
sipil dan politik; dan (ii) hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. UDHR telah menjamin hak 
untuk hidup dan perlindungan terhadap penyiksaan dan secara sadar dengan sengaja 
menghapus sebuah bagian mengenai hukuman mati. Bagian ini tadinya dimaksudkan 
untuk mengakui hukuman mati sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup.43
UDHR tidak secara hukum mengikat keputusan tentang HAM pada setiap negara anggota 
PBB. Deklarasi ini disetujui sebagai resolusi oleh Majelis Umum dan menjadi sebuah 
format umum. Ketika Deklarasi diadopsi, ide dasarnya adalah untuk membuat konvensi 
yang mengikat secara hukum (legally binding) harus direalisasikan secepat mungkin dalam 
rangka mengefektifkan perlindungan hak asasi manusia.
Namun status hukum dari Deklarasi ini  senantiasa berubah. ini dapat dilihat dari 
interpretasi kewenangan atas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana anggotanya 
telah berkomitmen untuk meningkatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia. 
Beberapa yang hak yang diatur dalam Deklarasi ini  juga telah dimasukkan sebagai 
bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law), sehingga hak-
hak ini  telah menjadi hukum internasional yang mengikat.
Hak mendasar untuk hidup tercantum dalam Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa 
“Everyone has the right to life, liberty and security of person” (Setiap orang berhak atas 
penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu). Namun peraturan singkat ini  
belumlah lengkap dan merupakan deklarasi dasar mengenai hak hidup. Tidak ada 
penjelasan yang dibuat mengenai hukuman mati dalam deklarasi ini  dan tidak 
dapat dikatakan bahwa pasal ini  memihak penghapusan hukuman mati sebagai 
pelanggaran atas hak hidup  atau  sebaliknya.
William A. Schabas telah mengembangkan analisis mengenai Pasal 3 UDHR dalam The 
Abolition of the Death Penalty in International Law.45 Schabas menyatakan bahwa Pasal 3 
UDHR disusun pada tahun 1947 dan 1948, ketika sebagian besar negara memberlakukan 
hukuman mati. UDHR ini  dimaksudkan untuk menetapkan suatu “standar 
pencapaian bersama” (common standard of achievement). Menurut Schabas, meski 
hukuman mati disebut dalam berbagai rancangan (drafts) awal Pasal 3, Majelis Umum 
PBB memutuskan untuk menghapuskan segala pembahasan mengenai hukuman mati 
dengan tujuan tidak mau menghambat berkembangnya praktik negara-negara (evolution 
of state practice) menuju penghapusan hukuman mati. 
Pasal 29 ayat (2) UDHR juga mengatur ketentuan tentang pembatasan bagi setiap orang 
dalam melaksanakan hak dan kebebasan mereka. Ketentuan ini juga dapat diartikan 
bahwa penafsiran terhadap semua ketentuan UDHR harus merujuk pada Pasal 29 ayat (2) 
ini .  Pasal 29 ayat (2) Deklarasi menyatakan:
In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such 
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition 
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements 
of morality, public order and the general welfare in a democratic society. 
(Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus 
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang 
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang 
layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi 
syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum 
dalam suatu warga  yang demokratis.) 
Klausul pembatasan dalam Pasal 29 (2) UDHR merupakan model bagi ketentuan-
ketentuan sejenis dalam berbagai traktat atau perjanjian internasional (treaty) tentang 
hak-hak asasi manusia internasional lainnya.  Klausul pembatasan dalam Pasal 29 ayat 
(2) UDHR merupakan klausul yang bersifat umum dan diberlakukan secara menyeluruh 
bagi pelaksaan hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi. ini berbeda dengan 
beberapa klausul pembatasan yang diatur dalam perjanjian internasional tentang 
HAM lainnya. Pada saat Pasal 29 ayat (2) UDHR diterjemahkan ke bahasa perjanjian 
internasional/traktat (treaty), misalnya dalam ICCPR dan konvensi-konvensi HAM tingkat 
regional (misalnya Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Konvensi Amerika 
tentang Hak-hak Asasi Manusia), maka dibuatlah klausul-klausul pembatas (limitations 
clauses) khusus terhadap hak-hak tertentu, meskipun rumusan pembatasannya mirip 
dengan redaksional Pasal 29 ayat (2) UDHR. 
Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik misalnya, ketentuan 
pembatasan hak-hak kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan 
berkumpul dan berserikat atau hak atas privasi, pembatasannya bersifat khusus bagi 
masing-masing hak. ini misalnya beberapa ‘klausul-klausul pembatasan’ (limitations 
clauses) pada Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 21 ICCPR. Ketentuan yang demikian juga ada  
dalam banyak ada  dalam konstitusi berbagai negara yang dibuat sejak 1948, misalnya 
Konstitusi Afrika Selatan dan Kanada. Di negara kita , UUD 1945 juga mengatur ‘klausula 
pembatas’ ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2). Dengan demikian, berbagai 
ketentuan tentang pembatasan dalam pelaksanaan hak dan kebebasan ‘berakar’ atau 
bersumber dari ketentuan Pasal 29 ayat (2) UDHR.
Namun, khusus terkait hak untuk hidup, dilakukan sebuah pendekatan yang cukup 
berbeda. Hukuman mati secara tegas dirumuskan sebagai sebuah pengecualian, dengan 
catatan tunduk pada beberapa pembatasan, dan bukan sebagai sebuah konsekuensi 
logis dari penafsiran atas prinsip-prinsip yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR. 
Para perumus traktat-traktat (treaties) ini perlu memastikan bahwa hukuman mati tidak 
dilarang baik secara eksplisit maupun secara implisit, sebab  ketika ketentuan-ketentuan 
itu dibuat pada 1957. Oleh sebab  itu, pada masa itu bila hukuman mati dilarang baik 
secara eksplisit maupun secara implisit maka akan ada banyak negara yang tidak mau 
meratifikasi Kovenan  ini , sementara situasi saat ini berbeda. 
2.4 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International 
Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on 
Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan perjanjian internasional tentang HAM yang 
dimaksudkan untuk mewujudkan “standar pencapaian bersama” (common standart of 
achievement) yang ditetapkan dalam UDHR. Pada awalnya PBB bermaksud membuat 
dua naskah, yaitu sebuah ‘deklarasi’ dan sebuah ‘kovenan’ (covenant). Deklarasi diniatkan 
menjadi sebuah ‘standar pencapaian bersama’ sementara ‘kovenan’ bertujuan sebagai 
perjanjian internasional yang memiliki ‘kekuatan mengikat’ (legally binding). Dalam waktu 
yang relatif singkat, Deklarasi ini  kemudian disetujui Resolusi Majelis Umum dan 
menjadi UDHR. Sementara, pengadopsian ‘kovenan’ memakan waktu yang jauh lebih 
lama. Proses penyusunan naskah ‘kovenan’ dipengaruhi oleh suasana pendebatan di era 
perang dingin kala itu yang membuat proses ini  terus tertunda-tunda.  
Akibat dari perdebatan ini , Naskah ‘kovenan’ dipecah menjadi dua. Pemecahan ini 
mencerminkan adanya keberatan dari kubu negara-negara barat atas dimasukkannya 
hak-hak ekonomi dan sosial, dan pada sisi yang lain kubu negara-negara sosialis serta 
kelompok negara-negara Selatan bersikeras tentang pentingnya hak-hak ekonomi dan 
sosial ini . Hasilnya, pada 1966 PBB dapat memberi  perlindungan HAM dalam 
formulasi hukum yang mengikat yakni dibentuk dua perjanjian internasional tentang 
HAM; (i) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on 
Civil and Political Rights);47 (ii) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan 
Budaya Sipil dan Politik (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
ICPPR mengatur berbagai hak yang terkait dengan hak-hak sipil dan politik, juga 
memandatkan dibentuknya Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee). 
Komite ini merupakan sebuah lembaga kuasi-yudisial yang bertugas mempelajari 
dan memberi  komentar terhadap laporan-laporan dari negara-negara mengenai 
kepatuhan mereka terhadap kovenan ini . Komite ini juga bertugas mempelajari 
dan memberi  komentar terhadap petisi/permohonan yang diajukan perseorangan 
mengenai adanya pelanggaran terhadap kovenan ini  oleh pemerintah negaranya. 
Penafsiran Komite HAM atas ICCPR dianggap sangat otoritatif. 
Perdebatan di seputar isu hukuman mati pada pokoknya terjadi pada dua ketentuan 
ICCPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7. 
Pasal 6:
1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini 
wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya 
secara sewenang-wenang.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman 
mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai 
dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan ini , dan tidak 
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan 
Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar 
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. jika  suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus 
dipahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberi  kewenangan 
pada negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban 
apa pun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan 
dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan 
atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman 
mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang 
di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap 
wanita  yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah 
47  Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly), International Covenant on Civil and Political Rights, 16 December 
1966. 
48 Majelis Umum PBB, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 16 December 1966. 
49 Majelis Umum PBB, International Covenant on Civil…, Pasal 28. 
22 23
--------
penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini
Pasal 7:
Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman 
lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak 
seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan 
yang diberikan secara bebas.
Pasal 6 ini  dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PBB pada 1957, 
yang mencerminkan praktik negara-negara pada suatu masa ketika hukuman mati 
masih diberlakukan di mana-mana. Pada 1957, sebagian besar negara Eropa masih 
mempraktikkan hukuman mati, sedangkan dewasa ini hukuman mati telah dihapus dari 
seluruh benua Eropa. 
Formula hak hidup dalam UDHR yang masih belum jelas telah diganti oleh ICCPR dengan 
hukum yang lebih rinci. Pasal 6 Ayat (1) ICCPR menyatakan bahwa hak hidup setiap orang 
harus dilindungi oleh hukum, dengan kata lain negara wajib memperkenalkan hukum 
yang memperkarakan pembunuhan. Ayat (1) juga menyatakan hak hidup seseorang tidak 
dapat dicabut sewenang-wenang yang berkaitan erat dengan pernyataan bahwa hukuman 
mati hanya dapat dipaksakan sebagai keputusan akhir yang diputuskan oleh pengadilan 
yang berkompeten. Sementara ayat (2) menyatakan bahwa hukuman mati hanya dapat 
dibebankan kepada kejahatan yang sangat serius. Sayangnya tidak ada definisi mengenai 
kejahatan serius walaupun jelas bahwa negara tidak dapat menggunakan hukuman mati 
sebagai sanksi atas semua kasus kejahatan biasa.50
Redaksional Pasal 6 ICCPR mencerminkan adanya pertentangan antara kebutuhan 
mengakui hukuman mati, yakni dengan mempertimbangkan masih diberlakukannya 
hukuman mati di mana-mana dan pada saat yang bersamaan, kehendak untuk 
menyampaikan pesan yang sejalan dengan misi hak-hak asasi manusia yang diemban 
Kovenan ini . Jika Kovenan Internasional mengakui bahwa apa yang sedang 
dipraktikkan negara-negara kala itu sudah sesuai dengan standar hak-hak asasi manusia, 
maka Kovenan tidak akan berhasil mewujudkan tujuan mulianya. Akibat pertentangan 
ini , menghasilkan rumusan sebagaimana dalam redaksional Pasal 6 ICCPR. Situasi 
inilah yang merupakan konteks untuk memahami makna Pasal 6, yang dirumuskan 
setengah abad yang lalu dan menggunakannya dalam konteks saat ini.51 
Pasal 6 ayat (1) ICCPR merupakan sebuah pernyataan prinsip umum yangdirumuskan 
dengan merujuk pada Pasal 3 UDHR dengan perumusan yang lebih rinci. Pasal 6 ayat (1) 
ini menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dikurangi “secara sewenang-
wenang” hak untuk hidupnya. Frasa “secara sewenang-wenang” ini  merupakan 
pembatasan umum atas hak untuk hidup, sebagai usaha  untuk mengodifikasikan 
50 Franek, op.cit., hlm. 60. 
51 Schabas, Keterangan Ahli…, op.cit., hlm. 90. 
(menyeragamkan) konsep pembatasan atas hak untuk hidup. UDHR, sebagaimana disebut 
sebelumnya, juga telah memberi  pembatasan semacam ini melalui Pasal 29 ayat (2). 
Istilah “secara sewenang-wenang” ini diakui mencakup pengecualian-pengecualian atas 
hak hidup seperti membunuh dalam rangka membela diri, pemakaian  kekuatan yang 
mematikan dalam rangka penegakan hukum tertentu, dan pembunuhan dalam konflik 
bersenjata.52
Para perumus Pasal 6 Kovenan ini  berpendapat bahwa hukuman mati dapat 
saja dianggap sebagai pengurangan atas hak untuk hidup “secara sewenang-wenang”. 
Sebagaimana diuraikan di atas, maka penting memberi  ruang bagi pengecualian secara 
eksplisit ini mengingat praktik negara-negara pada umumnya pada masa itu. sebab  
alasan itulah, para perumus menambahkan ayat (2) pada pasal 6, yang mengizinkan 
negara-negara yang belum menghapus hukuman mati untuk melaksanakan hukuman 
mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu/khusus.  
Oleh sebab  itulah jelas bahwa Pasal 6 ICCPR memiliki  kecenderungan untuk menghapus 
hukuman mati. ini dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) Kovenan yang menyatakan: 
“Tidak ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah 
penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pidak dalam Konvenan ini”. Klausul 
ini  merupakan ketentuan yang tidak lazim dalam sebuah perjanjian internasional, 
sebab  klausul ini tidak menciptakan sebuah norma namun  menyatakan sebuah tujuan 
yang programatis (programmatic objective). Ketentuan ini dapat dianalogikan dengan 
sebuah mukadimah/preambule, yang mewarnai pembacaan atas ayat-ayat Pasal 6 ICCPR 
yang lain.53
2.5  Berbagai usaha  PBB atas Penghapusan Total Hukuman Mati
Pada 1959, pembahasan mengenai hukuman mati muncul dalam agenda PBB ketika 
Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi yang meminta Dewan Ekonomi dan Sosial 
untuk mempelajari hukuman mati baik secara hukum dan pelaksanaannya di beberapa 
negara, dan mencoba mengukur efek dari penghapusan hukuman mati terhadap tingkat 
kriminalitas. Kajian ini  selesai pada 1962, dengan hasil laporan “Capital Punishment” 
(Hukuman Mati) dipresentasikan oleh Marc Ancel, seorang Jurist  dari Perancis.54 
Laporan ini  memberi  kesimpulan penting, bahwa penghapusan hukuman 
mati tidak menyebabkan peningkatan tingkat kriminalitas. PBB kemudian melanjutkan 
penelitian tentang ini dengan publikasi hasil laporan (yang melengkapi laporan 
52 Ibid., hlm. 91.
53 Ibid. 
54 Marc Ancel, Capital Punishment, ST/SOA/SD/9, Sales No. 62.IV.2.
24 25
--------
sebelumnya) pada 1967, yang disusun oleh Norval Morris.55 Baru pada 1966, PBB akhirnya 
dapat memberi  perlindungan HAM dalam suatu formula hukum yang mengikat 
dengan disusunnya dua rancangan perjanjian internasional yang sebagian besar berasal 
dari UDHR yakni ICCPR dan IESCR. 
Pada 1968, atas inisiatif Swedia dan Venezuela, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah 
resolusi yang meminta perlindungan yang lebih baik bagi mereka yang dijatuhi hukuman 
mati.56 Untuk memastikan perlindungan ini  diperkenalkan, resolusi ini  
menjelaskan bahwa anggota PBB mengadopsi legislasi untuk memastikan bahwa pada 
masa penantian hukuman mati, tetap dibuka kemungkinan mereka memliliki kesempatan 
untuk mengajukan banding atau permohonan ampun, atau tetap pada pelaksanaan 
hukuman. 
Lebih lanjut, legislasi semacam itu harus menetapkan bahwa pelaksanaan hukuman 
mati tidak akan dilakukan sebelum permohonan pengampunan/pelaksanaan hukuman 
ditetapkan oleh pihak yang berkompeten dan tidak pernah diterapkan sebelum 6 bulan 
setelah keputusan pengadilan pertama. Resolusi ini  juga menekankan bahwa 
warga  miskin yang menghadapi hukuman mati harus didampingi oleh lembaga 
konseling yang kompeten.57
Sebuah langkah penting dalam usaha PBB untuk melawan keputusan hukuman mati 
adalah melalui resolusi lainnya yang disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial pada 1971. 
usaha  ini bertujuan untuk mendorong pengetatan pemakaian  hukuman mati. Resolusi 
ini  menyimpulkan tujuan yang diharapkan adalah penghapusan total hukuman 
mati di seluruh negara sebagai penghargaan atas hak hidup seperti yang tercantum 
dalam Pasal 3 UDHR. Sebuah rancangan resolusi dengan isi pembahasan yang sama juga 
diajukan pada Majelis Umum dan disetujui dengan sedikit perubahan.58
Pada 1973, Dewan Ekonomi dan Sosial kembali menekankan perhatian pada hukuman 
mati dan memutuskan bahwa penelitian secara ilmiah atas isu ini yang dilakukan di bawah 
pengawasan PBB. Empat tahun kemudian, Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah 
resolusi yang bertujuan secara bertahap mengurangi jumlah pembebanan hukuman mati 
dengan harapan akan mencapai penghapusan hukuman mati di seluruh dunia.59
berdasar sebuah penelitian PBB di 1983, ada  2 juta orang yang menjadi korban 
extrajudicial killing dan kesewenang-wenangan peradilan pada 1968 dan 1983. Di Uganda, 
Kamboja, Argentina, Guatemala dan Iran, orang-orang telah disiksa dan dibunuh dalam 
55 Norval Morris, Capital Punishment: Developments, 1961-1965, Sales No. E.67.IV.15. The two reports, oleh Ancel dan Morris, 
dipublikasikan dalam satu edisi tahun 1968, ST/SOA/SD/9 dan ST/SOA/SD/10. 
56 Franek, op.cit., hlm. 61. 
57 Ibid.  
58 Ibid. 
59 Ibid.
proses ekstrajudisial. Dengan tujuan penelitian, PBB menunjuk Pelapor Khusus untuk 
hukuman mati, cepat, atau eksekusi sewenang-wenang.60
Pada 1984 sebuah langkah penting juga di ambil oleh Dewan Ekonomi dan Sosial 
dengan beberapa usaha perlindungan yang ditandatangani oleh Majelis Umum PBB. 
PBB dan beberapa lembaga internasional kemudian menerapkan serangkaian standar 
ditujukan mengatur dan membatasi pemakaian  hukuman mati, dengan tujuan untuk 
menghapusnya.  Secara khusus, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengadopsi Jaminan 
Perlindungan untuk menjamin perlindungan atas Hak-Hak orang yang Menghadapi 
Hukuman Mati (UN Safeguards), yang menetapkan perlindungan jaminan paling mendasar 
yang perlu diperhatikan dalam semua perkara hukuman mati. Jaminan Perlindungan ini 
disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1984 tanpa perhitungan suara.61 Bunyi isi resolusi 
ini  antara lain adalah:
1. Bagi negara yang belum menghapus hukuman mati, hanya akan dijatuhkan bagi 
kejahatan yang sangat serius, dengan satu pengertian bahwa batasannya tidak lewat 
dari kejahatan terencana, dengan konsekuensi mematikan atau konsekuensi luar 
biasa lainnya.
2. Hukuman mati hanya dibebankan pada kejahatan di mana hukuman ini  
telah diatur dalam hukum pada saat kejahatan itu terjadi, dengan satu pengertian 
bahwa jika, sekiranya ada  keputusan saat kejahatan itu terjadi, maka ketetapan 
ini  dibuat secara hukum bagi hukuman yang lebih ringan, sehingga pelaku 
pelanggaran dapat mendapat keuntungan sebab nya.
3. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada mereka yang berusia di bawah 18 tahun, 
wanita hamil atau ibu atau mereka yang menderita gangguan jiwa.
4. Hukuman mati hanya dibebankan pada mereka yang terbukti bersalah berdasar 
fakta dan bukti yang meyakinkan tanpa ada alternatif penjelasan fakta lainnya
5. Hukuman mati hanya dapat diajukan sebagai keputusan akhir oleh pengadilan 
berkompeten setelah proses hukum yang telah memungkinkan semua perlindungan 
untuk memastikan pengadilan yang adil, atau setara dengan yang terkandung dalam 
pasal 14 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, mencakup hak 
setiap orang yang dijatuhi hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan untuk 
mendapatkan pendampingan hukum.
6. Terdakwa hukuman mati memiliki hak untuk naik banding pada pengadilan yang 
lebih tinggi dan harus dipastikan bahwa naik banding ini  harus terlaksana.
7. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak mengajukan permohonan maaf, 
pengurangan hukuman. Permohonan maaf/pengampunan dan pengurangan 
60 Ibid.
61 Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council) 1984/50 25 Mei 1984, disahkan 
melalui resolusi Majelis Umum PBB 39/118 pada 14 Desember 1984. Dewan Ekonomi dan Sosial merekomendasikan untuk 
mengambil langkah-langkah yang ditujukan untuk memperkuat perlindungan hak orang yang menghadapi hukuman mati 
dalam resolusi selanjutnya 1989/64 pada 24 Mei 1989. 
26 27
--------
hukuman dapat diberikan pada semua kasus hukuman mati.
8. Hukuman mati sebaiknya tidak tertunda pada sidang naik banding atau prosedur 
lainnya disebab kan pengajuan permohonan ampun atau pengurangan hukuman.
9. Keputusan hukuman mati hanya diambil dengan pembebanan penderitaan terendah.
Berbagai perlindungan-perlindungan ini  berhubungan erat dengan asas yang 
ada  dalam Pasal 6 dan Pasal 14 ICCPR. 
Kemudian berdasar saran dari Republik Federal Jerman, Majelis Umum PBB 
mengajukan sebuah protokol untuk penghapusan hukuman mati pada ICCPR di 1980. 
Sebagai hasilnya adalah Protokol Tambahan Kedua (Second Optional Protocol) pada ICCPR 
ditandatangani pada 15 Desember 1989. Opsional Protokol Kedua melarang pelaksanaan 
hukuman mati dalam yurisdiksi negara anggota (yang meratifikasi). Sebagai tambahan, 
negara anggota ini  harus melakukan semua langkah penting untuk penghapusan 
hukuman mati.62 
Untuk mengawasi tindakan menuju penghapusan hukuman mati, Komite HAM PBB  
mengevaluasi laporan yang diajukan oleh Negara Pihak setahun setelah protokol mulai 
aktif. berdasar protokol ini , sebuah negara tidak dapat menyangkal pelarangan 
hukuman ini  dengan menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat, sesuatu 
yang diperbolehkan oleh ICCPR. Parlemen Eropa menyetujui sebuah resolusi pada 12 
Maret 1992 yang meminta anggota Uni Eropa untuk menyetujui Protokol Tambahan 
Kedua tanpa penundaan.63 Pada Juni 2002, hampir 50 negara, di antaranya ada  
negara-negara Eropa yang telah menyetujui Protokol Tambahan.
usaha  penghapusan hukuman mati secara global terus berlangsung melalui berbagai 
perjanjian internasional lainnya. Statuta untuk Peradilan Pidana Internasional Bekas 
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugolavia)64 dan Statuta Peradilan 
Pidana International Rwanda (International Criminal Tribunal for the Rwanda),65 sebagai 
peradilan internasional yang bersifat ad hoc untuk kejahatan-kejahatan seperti genosida, 
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, keduanya tidak mencantumkan 
hukuman mati sebagai bagian dari sanksi. ini berbeda dengan Pengadilan Nuremberg 
(International Military Tribunal at Nurenberg, 1945) dan Peradilan Tokyo (International Military 
Tribunal for the Far East, 1945-1946), yang keduanya dibentuk pada segera diadakan setelah 
Perang Dunia Kedua. Perkembangan ini menujukkan bukti adanya perubahan mendasar 
yang dilakukan oleh PBB dalam 50 tahun terakhir. Hukuman mati tidak lagi dipakai , 
62 Majelis Umum PBB, Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, Aiming at the Abolition 
of the Death Penalty, A/RES/44/128, 15 Desember 1989. 
63 Franek, op.cit., hlm. 63. 
64 Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council), Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugosla-
via (as amended on 17 May 2002), 25 Mei 1993. 
65 Dewan Keamanan PBB, Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (as last amended on 13 October 2006), 8 
November 1994. 
bahkan untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes). 
Perkembangan ini diperkuat dengan terbentuknya Statuta Roma tahun 1998 (Rome 
Statute) untuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Statuta ini 
disahkan oleh Konferensi Roma pada Juli 1998, yang mengeluarkan hukuman mati dari 
alternatif hukuman yang ada. Padahal, Pengadilan ini juga memiliki  yurisdiksi untuk 
mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius, yakni kejahatan genosida, kejahatan 
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Status dari pengadilan 
pidana internasional ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.
Dengan kombinasi peraturan substantif pada hukuman mati yang berkaitan dengan 
ICCPR dan Protokol Tambahan Kedua, PBB telah menyediakan perlindungan yang relatif 
memuaskan terhadap tindakan sewenang-wenangan dan aspek prosedural lainnya dari 
hukuman mati. Namun PBB mengalami  masalah yang sama dengan institusi lainnya, 
yakni  ketidakmampuan secara umum dan ketidakmauan pada tingkat nasional dalam 
mencegah implementasi dari komitmen internasional. Kekurangannya sistem sanksi 
yang dijatuhkan pada negara yang gagal untuk memenuhi persyaratan yang ada dalam 
perjanjian internasional memastikan bahwa PBB akan terus menjadi organisasi yang 
lemah, terutama bagi negara yang ingin mengeksploitasi kelemahan-kelemahan PBB 
ini . 
Ratifikasi Perjanjian Internasional 
Komunitas bangsa-bangsa telah mengesahkan empat perjanjian internasional untuk 
penghapusan hukuman mati. beberapa perjanjian internasional ini  satu bersifat 
global dan tiga lainnya bersifat kawasan. Berikut adalah deskripsi singkat keempat 
perjanjian ini  dan sebuah daftar negara anggota perjanjian serta daftar negara yang 
telah menandatangani tapi belum meratifikasi perjanjian, per 31 Desember 2015. 
Sebagai catatan, dalam hukum internasional suatu negara dapat menjadi anggota 
perjanjian internasional dengan mengaksesinya atau meratifikasinya. Negara yang 
menandatangani perjanjian internasional mengindikasikan niat menjadi anggota yang 
kemudian akan dilanjutkan melalui ratifikasi.66 Negara yang melakukan ratifikasi berarti 
melakukan tindakan internasional di mana negara menyatakan mengikatkan diri sebagai 
Negara Pihak (State Party) dalam perjanjian internasonal tertentu.67 Sementara aksesi 
adalah tindakan negara untuk menerima atau menjadi negara pihak dalam perjanjian 
internasional yang telah ditandatangani oleh negara-negara lainnya. Aksesi memiliki  
dampak hukum yang sama dengan ratifikasi.68 
66 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention on the Law of Treaties 1969, Pasal 10 dan 18. 
67  Ibid., Pasal 2 (1) (b), 14 (1) dan 16.
68  Ibid., Pasal 2 (1) (b) and 15.
28 29
--------
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik 
Protokol Opsional kedua untuk ICPPR dengan tujuan menghapus hukuman mati, disahkan 
oleh Majelis Umum PBB pada 1989, sebagai instrumen yang memiliki cakupan sedunia/
global. Protokol ini memfasilitasi penghapusan total hukuman mati namun mengizinkan 
negara anggota mempertahankan hukuman mati pada masa perang jika mereka membuat 
pengecualian (reservasi) untuk ini  pada saat meratifikasi atau mengaksesi 
protokol. Setiap negara yang menjadi pihak ICCPR menjadi anggota dari protokol ini. 
Negara pihak: Albania, Andora, Argentina, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Benin, 
Bolivia, Bosnia dan Herzegovina, Brazil, Bulgaria, Cabo Verde, Kanada, Chile, Kolombia, 
Kosta Rika, Kroasia, Siprus, Republik Czech, Denmark, Djibouti, Ecuador, El Salvador, 
Estonia, Finland, Perancis, Gabon, Georgia, Jerman, Yunani, Guinea-Bissau, Honduras, 
Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Kyrgyzstan, Latvia, Liberia, Liechtenstein, Lithuania, 
Luxembourg, Macedonia, Malta, Meksiko, Moldova, Monako, Mongolia, Montenegro, 
Mozambik, Namibia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Norwegia, Panama, 
Paraguay, Filipina, Polandia, Portugal, Rumania, Rwanda, San Marino, Serbia, Seychelles, 
Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Timor- Leste, Turki, Turkmenistan, 
Ukrania, Inggris, Uruguay, Uzbekistan, Venezuela (total: 81) Menandatangani tapi belum 
meratifikasi: Angola, Madagaskar, Sao Tome dan Principe (total: 3)
Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia untuk Menghapus Pidana 
Mati
Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia untuk menghapus hukuman 
mati (Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty), 
disahkan oleh Majelis Umum Organisasi Negara-Negara Amerika pada 1990.69 Protokol 
ini memfasilitasi penghapusan penuh hukuman mati namun membolehkan negara 
mempertahankan hukuman mati pada masa perang jika mereka menyatakan pengecualian 
(mereservasi) ini  pada saat ratifikasi atau mengaksesi protokol. Semua negara 
anggota Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia bisa menjadi anggota protokol. 
Negara pihak: Argentina, Brazil, Chile, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Honduras, 
Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Uruguay, Venezuela (total: 13)
Protokol No 6 pada Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia mengenai 
Penghapusan Pidana Mati
Protokol No. 6 pada Konvensi (Eropa) untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan 
Kebebasan Mendasar terkait dengan Hukuman Mati (Protocol 6 to the European Convention 
for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms concerning the Abolition of Death 
69 Organisasi Negara-Negara Benua Amerika (Organization of American States/OAS), Protocol to the American Convention on 
Human Rights to Abolish the Death Penalty (“Pact of San Jose”), 8 Juni 1990.
Penalty), disahkan oleh Dewan Eropa pada 1983.70 Protocol ini memfasilitasi penghapusan 
hukuman mati pada masa damai dan negara bisa mempertahankan hukuman mati untuk 
kejahatan “di masa perang atau ancaman nyata perang”. Setiap negara anggota Konvensi 
Eropa tentang Hak Asasi Manusia menjadi anggota protokol.
Negara pihak: Albania, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Bosnia dan 
Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, 
Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, 
Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Malta, Moldova, Monako, Montenegro, Belanda, 
Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, 
Swedia, Swiss, Turki, Ukrania, Inggris (total: 46). Menandatangani tapi belum meratifikasi: 
Federasi Rusia (total: 1)
Protokol No 13 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia terkait Penghapusan 
Pidana Mati dalam Semua Situasi
Protokol No. 13 pada Konvensi (Eropa) tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan 
Kebebasan Mendasar mengenai Penghapusan Hukuman Mati di Semua Situasi (Protocol 
13 to the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms on the Abolition 
of the Death Penalty in All Circumstances),71 disahkan oleh Dewan Eropa pada 2002. Protokol 
ini memfasilitasi penghapusan hukuman mati dalam semua keadaan, termasuk pada saat 
perang dan ancaman nyata perang. Semua negara pihak Konvensi Eropa tentang Hak 
Asasi Manusia bisa menjadi anggota protokol. 
Negara pihak: Albania, Andora, Austria, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, 
Kroasia, Siprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, 
Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, 
Macedonia, Malta, Moldova, Monako, Montenegro, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, 
Rumania, San Marino, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukrania, 
Inggris (total: 44) Menandatangani tapi belum meratifikasi: Armenia (total: 1)
2.6  Laporan Sekretaris Jenderal
Setiap lima tahun, Sekretaris Jenderal PBB menerbitkan sebuah laporan mengenai 
perkembangan yang telah dilakukan menuju penghapusan hukuman mati. Sebuah 
laporan yang disusun berdasar laporan dari 63 negara lainnya, dipublikasikan pada 
70 Dewan Eropa (Council of Europe), Protocol 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental 
Freedoms concerning the Abolition of Death Penalty, 28 April 1983. 
71 Dewan Eropa, Protocol 13 to the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms on the Abolition of the 
Death Penalty in All Circumstances, 3 Mei 2002.
30 31
--------
8 Juni 1995.72 
Pada laporan ini , ada  jumlah yang luar biasa besar negara yang telah 
menghapus atau menghentikan pemakaian  hukuman mati, jika dibandingkan dengan 
periode lima tahun sebelumnya. Sejak tahun 1989 hingga 8 Juni 1995, 24 negara telah 
menghapus hukuman mati dan 22 negara di antaranya telah melakukannya baik pada 
masa perang maupun damai. Namun ada  catatan bahwa sejak 1989, 4 negara telah 
memperkenalkan kembali hukuman mati dan 2 negara (Bahrain dan Komoro), juga 
melakukan hal sama setelah sebelumnya menghentikan eksekusi ini .
Laporan Sekretaris Jenderal juga menitikberatkan pada persoalan apakah perlindungan 
Dewan Ekonomi dan Sosial yang diadopsi pada tahun 1984 telah dilaksanakan. 
Kesimpulannya, hukuman mati masih dipakai  untuk kejahatan politik dan pelanggaran 
dalam disiplin militer. Masalah lainnya adalah adanya berbagai perlakuan tidak sesuai 
dengan standar internasional. Pada beberapa negara, beberapa pelaku pelanggaran 
menjalankan hukuman mati dan mencegah pengadilan dari berbagai pertimbangan 
atas kondisi yang meringankan. Laporan ini  merekomendasikan bahwa definisi 
yang diterima tentang “gangguan mental” diikutsertakan sesuai dengan resolusi yang 
disahkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial pada tahun 1989, yang melarang hukuman 
mati dijatuhkan pada orang yang secara mental terganggu atau menderita berkurangnya 
kemampuan mental secara signifikan.
Laporan ini  juga membahas alternatif hukuman yang dapat diterapkan pada negara 
yang telah menghapus hukuman mati. Situasi yang berbeda-beda dapat dilihat pada berkas 
yang diajukan oleh beberapa negara. Dalam laporan ini  diketahui bahwa banyak 
negara telah memberi kekuasaan pada pengadilan untuk memutuskan hukuman seumur 
hidup atau sampai periode tertentu, khususnya antara usia 15-25 tahun. Kebanyakan 
negara menerapkan sistem masa percobaan, biasanya setelah tahanan telah menjalani 
dua pertiga dari masa hukuman penjara.
2.7 Resolusi dan Rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap 
Hukuman Mati
Sebagaimana diketahui, ICCPR masih memiliki kelonggaran dalam mengatur mengenai 
praktik hukuman mati dan oleh sebab nya setelah 33 tahun setelah ICCPR diadopsi, 
Majelis Umum PBB mengadopsi dan memproklamasikan Protokol Opsional terhadap 
ICCPR yang mengatur mengenai penghapusan hukuman mati di dalam Resolusi 33/148 
tahun 15 December 1989. Ada perubahan norma terhadap pandangan pemberlakuan 
pidana mati dengan alasan antara lain: hak mendasar manusia untuk hidup, risiko yang 
72 Franek, op.cit., hlm. 63. 
tidak dapat diterima dari mengeksekusi orang yang tidak bersalah, dan ketiadaan bukti 
bahwa hukuman mati memberi  efek jera terhadap pelaku kejahatan. Seperti Resolusi 
di atas yang di mana Majelis Umum PBB mengadopsi Protokol Opsional ini . 
Majelis Umum PBB dan juga diikuti dengan Dewan HAM PBB mengeluarkan beberapa 
rekomendasi mengenai pidana mati dalam bentuk Resolusi yang adalah hasil konsensus 
mayoritas dari suatu sidang umum. Masing-masing dari resolusi menggambarkan 
pandangan terhadap isu-isu di dunia yang di mana berisi juga prinsip-prinsip yang didukung 
oleh konsensus ataupun tindakan yang didukung oleh konsensus ini . Sejauh ini 
konsensus dunia telah mengeluarkan beberapa Resolusi mengenai perlindungan orang 
yang berhadapan dengan pidana mati, serta untuk secara keras melarang pemakaian nya 
lewat mengurangi bentuk-bentuk delict yang dapat dituntut hukuman mati.73 
Resolusi Majelis Umum PBB ini  yakni : 
1. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/62/149)(18 Desember 2007) 
2. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/63/168)(18 Desember 2008) 
3. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/65/206)(21 Desember 2010) 
4. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/67/176)(20 Desember 2012) 
5. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/69/186)(18 Desember 2014) 
6. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/71/187) (19 Desember 2016) 
Sedangkan dengan Resolusi dari Dewan HAM PBB : 
1. Panel on the human rights of children of parents sentenced to the death penalty or executed 
(Resolution 22/11) (10 April 2013) 
2. The Question of the Death Penalty (Resolution 26/2) (26 Juni 2014) 
3. The Question of the Death Penalty (Resolution 30/5) (1 Oktober 2015) 
Pada April 1997, sebuah resolusi mengenai hukuman mati dari PBB disetujui oleh Komisi 
HAM. Resolusi ini meminta negara-negara anggota, yang belum menghapuskan hukuman 
mati, agar mempertimbangkan penundaan eksekusi dengan sebuah pandangan agar 
tercapainya penghapusan hukuman mati secara total. Resolusi ini  juga mendesak 
semua negara yang belum menghapus kebijakan hukuman mati secara progresif untuk 
73 Adhigama Andre Budiman, Pidana Mati dan Posisi Indonesia terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 
dan Resolusi Dewan HAM PBB, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Human 
Rights Working Group (HRWG), 2017), hlm. 8. 
32 33
--------
membatasi jumlah orang yang mendapatkan hukuman di mana hukuman mati mungkin 
diterapkan. Negara anggota yang masih memberlakukan hukuman mati juga diminta 
untuk menyediakan informasi publik tentang penerapan hukuman mati ini . Resolusi 
ini  yang didukung oleh Italia dan negara lainnya, yang disetujui oleh 27 negara dan 
ditolak oleh 11 negara, serta  4 negara abstain. Sejak itu, sidang tahunan Komisi HAM 
secara progresif mendesak negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati 
untuk menerapkan sebuah moratorium.
Tabel 1.5 Berbagai Resolusi PBB terkait Hukuman Mati
Resolusi PBB
Sikap Negara Lain:
(Y) Yes/Mendukung
(N) No/Tidak Mendukung
(A) Abstain
UNGA Vote 2007 Resolution 62/149 (Y) 104 (N) 54 (A) 29
 UNGAVote 2008 Resolution 63/168 (Y) 106 (N) 46 (A) 34
 UNGAVote 2010 Resolution 65/206 (Y) 109 (N) 41 (A) 35
 UNGAVote 2012 Resolution 67/176 (Y) 111 (N) 41 (A) 34
 UNGA Vote 2014 Resolution 69/186 (Y) 117 (N) 37 (A) 34
UNGA Vote 2016 Resolution 71/187 (Y) 117 (N) 40 (A) 31
Resolusi PBB
Sikap Negara Lain:
(Y) Yes/Mendukung
(N) No/Tidak Mendukung
(A) Abstain
HRC Resolution 22/11 No voting
HRC Resolution 26/2 (Y) 29 (N) 10 (A) 8
 HRC Resolution 30/5 (Y) 26 (N) 13 (A)8
Resolusi 62/149 Majelis Umum PBB 
Dalam resolusi ini, Majelis Umum PBB menerima komitmen beberapa negara yang 
memberlakukan moratorium untuk hukuman mati dan menyerukan bagi negara-
negara yang masih memberlakukan hukuman mati untuk menghormati standar-standar 
internasional yang memberi  garansi perlindungan bagi orang yang berhadapan 
dengan hukuman mati,74 dengan merujuk pada Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 
mengenai garansi perlindungan hak-hak orang yang berhadapan dengan hukuman 
mati.75 Sebuah mekanisme pelaporan pemakaian  hukuman mati juga harus dilakukan 
bagi negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati, untuk secara progresif 
memperketat pemberlakuan hukuman mati dan mengurangi bentuk-bentuk perbuatan 
pidana yang dapat dijerat dengan hukuman mati dan untuk memberlakukan moratorium 
terhadap pidana mati dengan mempertimbangkan penghapusan pidana mati di dalam 
legislasi domestiknya.76 
Resolusi ini  merekomendasikan bahwa bagi negara-negara yang telah menghapus 
hukuman mati dan mendorong untuk tidak memberlakukannya lagi.77 Dalam faktanya, ada 
negara yang mencoba untuk menghidupkan kembali hukuman mati setelah menghapus. 
Filipina dalam hal ini, setelah meratifikasi Protokol Opsional untuk ICCPR pada 2007 
dan dukungan-dukungannya terhadap Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB terhadap 
moratorium hukuman mati,  Dewan Perwakilan Rakyat Filipina pada 1 Maret 2017 
menyetujui rancangan undang-undang (RUU) untuk mengaktifkan lagi hukuman mati, 
setelah dihapuskan dalam lebih dari seabad.78 RUU ini mengatur mengenai pelanggaran 
seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan berunsur narkotik seperti import, 
penjualan, pengolahan, pengiriman dan distribusi narkotika dapat dijatuhkan hukuman 
mati. 
Pada saat pengambilan suara (voting) Resolusi 62/149, sebanyak  104 negara mendukung, 
54 negara tidak mendukung, serta dan beberapa 29 negara abstain.79 
 Resolusi 63/168 Majelis Umum PBB 
Majelis Umum PBB mempertegas Resolusi sebelumnya lewat Resolusi 63/168,80 diikuti 
dengan naiknya jumlah negara-negara anggota PBB yang telah memutuskan untuk 
mendukung moratorium terhadap hukuman mati. Resolusi ini meminta Sekretaris 
Jenderal PBB untuk mengeluarkan laporan perkembangan implementasi Resolusi 
sebelumnya (Resolusi 62/149),81dan juga bagi negara-negara anggota juga yang masih 
74 Majelis Umum PBB, Moratorium on the Use of Death Penalty, A/RES/62/149, 18 Desember 2007, Pasal 2(a). 
75 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, 25 Mei 
1984. 
76 Majelis Umum PBB,  Moratorium…, A/RES/62/149, Pasal 2(b), 2(c), dan 2(d). 
77 Ibid., Pasal 3.
78 Felipe Villamor, Philippines Moves Closer to Reinstating Death Penalty,  New York Times, 1 Maret 2017, <https://www.nytimes.
com/2017/03/01/world/asia/philippines-death-penalty.html?mcubz=3>, diakses pada 18 Agustus 2017. 
79 Sistem Informasi Bibliografi PBB (United Nations Bibliographic Information System), Voting Record, A/RES/62/149, <http://
unbisnet.un.org:8080/ipac20/ipac.jsp?profile=voting&index=.VM&term=ares62149>, diakses pada 18 Agustus 2017.
80 Majelis Umum PBB, Moratorium on the use of the death penalty, A/RES/63/168, 13 February 2009. 
81 Ibid., Pasal 2. 
34 35
--------
memberlakukan hukuman mati diharapkan untuk menyediakan informasi terkait ke 
sekjen PBB. Sebuah komitmen juga dikeluarkan untuk melanjutkan pertimbangan usaha  
moratorium hukuman mati ke sesi ke-65 dengan judul “Promotion and Protection of Human 
Rights”.82  Di dalam Resolusi ke-2 ini sikap Indonesia masih menolak Resolusi Majelis Umum 
PBB mengenai moratorium hukuman mati. Sebanyak 106 negara mendukung Resolusi A/
RES/63/168, 46 negara menolak Resolusi A/RES/63/168, dan 34 negara abstain.83
Resolusi 65/206 Majelis Umum PBB 
Dalam Resolusi 65/205, Majelis Umum PBB meminta negara-negara anggota untuk 
menghormati standar-standar internasional yang memberi  jaminan perlindungan bagi 
orang yang berhadapan dengan hukuman mati,84 merujuk ke Resolusi Dewan Ekonomi 
dan Sosial mengenai garansi perlindungan hak-hak orang yang berhadapan dengan 
hukuman mati. Resolusi juga membahas tentang  mekanisme pelaporan ke Sekjen PBB 
mengenai masalah ini . 
Selanjutnya negara-negara anggota PBB didorong untuk memberi  informasi yang 
relevan mengenai praktik hukuman mati demi kesadaran warga  dan membuka 
kemungkinan akan adanya sebuah diskusi yang transparan di tahap nasional mengenai 
pemberlakuannya.85 Majelis Umum PBB meminta negara-negara yang telah menghapus 
praktik hukuman mati untuk berbagi pengalaman mengenai penghapusan hukuman 
mati di legislasi nasionalnya. Ada 41 negara yang menolak Resolusi ini dan 109 negara 
yang mendukung terhadap Resolusi A/RES/65/206. Selanjutnya ada 35 negara memilih 
abstain.86
Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB 
Resolusi 67/176 merupakan Resolusi pertama yang dikeluarkan Majelis Umum PBB yang 
mengatur secara jelas tentang perlindungan terhadap anak dan wanita  hamil dalam 
kaitannya dengan hukuman mati.87 Masuknya perumusan perlindungan terhadap anak 
dan wanita  hamil dianggap merupakan suatu situasi di mana penerapan hukuman 
mati di tingkat nasional sebagai ancaman hak asasi yang serius. 
Pengaturan anak dan wanita  hamil adalah peresapan prinsip perlindungan 
fundamental tingkat internasional dan secara tegas dikatakan “The Death Penalty for [such 
offences] shall not be executed on such women (pregnant women or mothers having dependent 
82 Ibid., Pasal 3. 
83 Sistem Informasi Bibliografi PBB (United Nations Bibliographic Information System), Voting Record, A/RES/63/168,  <http://
unbisnet.un.org:8080/ipac20/ipac.jsp?profile=voting&index=.VM&term=ares63168>, diakses pada 18 Agustus 2017.
84 Majelis Umum PBB, Moratorium on the Use of Death Penalty, A/RES/65/206, 18 Desember 2007, Pasal 3(a). 
85 Ibid., Pasal 3(b). 
86 Sistem Informasi Bibliografi PBB (United Nations Bibliographic Information System), Voting Record, A/RES/65/206, <http://
www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/RES/65/206>, diakses pada 18 Agustus 2017.
87 Majelis Umum PBB, Moratorium on the Use of Death Penalty, A/RES/67/176, 20 Desember 2012, Pasal 4(c). 
infants).”88 Sebelum lahirnya hukum internasional tentang HAM, hukum humaniter telah 
mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan terhadap kedua kelompok ini di dalam 
situasi darurat dan konflik89 dan serta dalam rekomendasi dari Dewan Ekonomi dan Sosial 
PBB.90 Hal inilah yang mendorong PBB untuk merekomendasikan perlindungan terhadap 
kedua anak dan wanita  hamil ke dalam penerapan praktik domestik, sebab  adanya 
adanya kebutuhan ataupun kegagalan pemberian perlindungan yang kritis di dalam 
penerapan negara dalam menjalakan tata pemerintahan mereka. 
Masuknya perlindungan anak terhadap praktik hukuman mati di dalam Resolusi Majelis 
Umum PBB A/RES/67/176 diikuti dengan perhatian PBB mengenai nasib anak dari 
terpidana mati. Dewan HAM PBB memanggil perwakilan warga  sipil, negara-negara 
dan PBB sendiri ke dalam forum diskusi mengenai anak-anak dari terpidana mati.91 Dengan 
Konvensi Hak-hak Anak,92 Resolusi ini mendesak dan meminta negara-negara untuk 
memberi  perlindungan dan pendampingan kepada anak-anak dari terpidana mati 
dan dengan pertimbangan kepentingan terbaik si anak, memberi  informasi mengenai 
orang tuanya dan juga informasi-informasi lain yang terkait dengan itu. Selanjutnya, 
Resolusi ini meminta Office of the High Commissioner (OCHRH) untuk mengorganisasi 
sebuah panel discussion mengenai topik ini. 
Diskusi ini kemudian dinyatakan pada 11 September 2013 di Palais de Nations di 
Jenewa. Deputy OHCHR, Flavia Pansieri, mengatakan bahwa “negara-negara yang masih 
menerapkan hukuman mati harus memikirkan akan konsekuensinya terhadap warga  
secara luas, dan secara khusus terhadap keluarga dari terpidana mati, (…) Dewan HAM 
menyampaikan perhatiannya yang mendalam terhadap dampak negatif dari implementasi 
hukuman mati.”93 Praktik dari Komisi/Badan Nasional HAM Yordania94dalam memberi  
pelatihan kepada kepolisian mengenai langkah berhadapan dengan anak dalam proses 
penangkapan dan berhadapan dengan media menjadi negara contoh good practice dalam 
mendukung anak yang orang tuanya dihukum mati. Komisi Nasional HAM Thailand95 
juga yang berhasil mendorong layanan kunjungan bagi orang yang berhadapan dengan 
hukuman mati dinilai sebagai contoh bagi negara lain dalam memenuhi rekomendasi.
88 Lihat Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC), Protocol Additional I to the Geneva 
Conventions, 1993, Pasal 76(3).
89 Lihat Komite Palang Merah Internasional, Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 
1949, Pasal 38(5), 132. 
90 Lihat Majelis Umum PBB, Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict, A/
RES/3318(XXIX), 14 Desember 1974. 
91 Léa Macarez, Children of people sentenced to death attract the UN’s attention’ World Coalition Against the Death Penalty, 
19 September 2013, <http://www.worldcoalition.org/Children-of-people-sentenced-to-death-attract-the-UNs-attention.html>, 
diakses 20 Agustus 2017. 
92 Majelis Umum PBB, Convention on the Rights of the Child, 20 November 1989, Pasal 2, 3, 9, dan 20. 
93 Macarez, loc.cit. 
94 Ibid.
95 Ibid.
36 37
--------
Resolusi ini juga mendorong negara-negara anggota PBB untuk meratifikasi Protokol 
Opsional Kedua Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik  yang mengatur mengenai penghapusan 
penerapan hukuman mati.96  Masuknya ketentuan-ketentuan di atas menambah 
dukungan negara-negara anggota PBB dari resolusi yang terakhir yang jumlahnya 109 
negara menjadi 111 negara. Pada saat pengambilan suara dalam menetapkan resolusi ini, 
sebanyak 41 negara menolak dan 34 negara menyatakan abstain. 
Resolusi 22/11 Dewan HAM PBB 
Dalam Sesi ke-22 pada 21 Maret 2013, Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 22/11 
mengenai ‘Panel tentang Hak Asasi Manusia terhadap Anak-Anak yang Orang Tua 
Mereka di Hukum dengan Hukuman Mati atau Dieksekusi’ (Panel on the Human Rights of 
Children of Parents Sentenced to the Death Penalty or Executed).97 Resolusi ini ditetapkan 
tanpa voting dan disponsori oleh Belgia yang didukung oleh sekitar 60 negara sebagai 
co-sponsor.
Resolusi 26/2 Dewan HAM PBB 
Dalam sesi ke-26 pada 27 Juni 2014, Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 26/2 tentang 
The Question of the Death Penalty. Draft dari Resolusi ini divoting dengan selisih pengambilan 
suara 29 negara mendukung, 10 negara menolak, dan 8 negara abstain.98
Di dalam Resolusi ini, Dewan HAM PBB mengingatkan negara-negara akan mekanisme 
PBB berupa:99
1. Prosedur-Prosedur Khusus (Special Procedure) yang bersinggungan dengan hukuman 
mati, termasuk di dalamnya Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman, 
degrading treatment or punishment dan Special Rapporteur on extrajudicial, summary or 
arbitrary executions. 
2. Treaty Bodies, dalam membahas isu-isu HAM yang bersinggungan dengan hukuman 
mati.
Sebelumnya, di dalam Laporan Dewan HAM PBB mengenai sidang sesi ke-26 ini, ada 
beberapa perubahan (amendment)  dari draft Resolusi ini  yang ajukan oleh negara 
non-sponsor atau non-co-sponsor. Perubahan-perubahan ini  adalah: 
1. Perubahan A/HRC/26/L.34, dengan perumusan di dalam yang sama dengan Draft 
Resolusi A/HRC/26/L.8/Rev.1, kecuali paragraph ke-13 yang dihilangkan oleh para 
negara penyusun. Paragraph ke-13 Draft Resolusi A/HRC/26/L.8/Rev.1 berisi: “(The 
96 Majelis Umum PBB, Moratorium…, A/RES/67/176, Pasal 6. 
97 Dewan HAM PBB (Human Rights Council), Report of the Human Rights Council, Twenty-second session Agenda item 1, 2013, 
para 39. 
98 Dewan HAM PBB, Report of the Human Rights Council, Twenty-second session Agenda item 1, 2014, para 149. 
99 Majelis Umum PBB, Promotion and protection of all human rights, civil, political, economic, social and cultural rights, including 
the right to development: The question of the death penalty, A/HRC/26/L.8/Rev.1, 25 Juni 2014, Pasal 9, 10.  
Human Rights Council)Strongly deploring the fact that the use of the death penalty leads 
to violations of the human rights of those facing the death penalty and of other affected 
persons,”100 atau diterjemahkan “(Dewan HAM) Sangat menyesalkan akan fakta 
bahwa pemakaian  hukuman mati menyebabkan pelanggaran-pelanggaran HAM 
terhadap mereka yang menghadapi hukuman mati dan orang-orang lain yang terkena 
dampaknya.”Amandement A/HRC/26/L.34 ini ditolak dengan selisih pengambilan 
suara 17 negara mendukung (termasuk negara kita ) – 23 negara menolak, dan 6 
abstain.101
2. Perubahan dokumen A/HRC/26/L.35, dengan perumusan yang sama, ditambah 
dengan satu paragraf di atas paragraph I yang berisi, “Reaffirms the sovereign right of 
all countries to develop their own legal systems, including determining appropriate legal 
penalties, in accordance with their international law obligations”102 atau diterjemahkan 
“Menegaskan kembali akan hak kedaulatan dari semua negara untuk mengembangkan 
sistem hukum mereka sendiri, termasuk menentukan hukuman pidana yang sesuai, 
sesuai dengan kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka.” Amandemen A/
HRC/26/L.35 ini ditolak dengan selisih pengambilan suara 17 negara mendukung 
(termasuk negara kita ), 23 negara menolak, dan 7 abstain.
Draft Resolusi dalam dokumen A/HRC/26/L.8/Rev.1 kemudian diajukkan oleh perwakilan 
Perancis, Swiss, Mexico, dan Belgia, dan disponsori oleh Belgia, Benin, Costa Rica, Perancis, 
Mexico, Mongolia, Republik Moldova, dan Swiss103 yang kemudian ikut didukung atau co-
sponsor oleh beberapa negara lainnya.104 Dalam kesempatan sidang ini, pengambilan suara 
untuk Draft Resolusi A/HRC/26/L.8/Rev.1 dilakukan dengan hasil 29 negara mendukung 
dan 10 negara dengan posisi menolak. Indonesia salah satu negara yang menolak.105
Resolusi 69/186 Majelis Umum PBB 
Resolusi 69/186 mengenai moratorium praktik hukuman mati ini mempertegas keempat 
Resolusi yang ada sebelumnya dan menerima keputusan dan rekomendasi dari Dewan 
100 Ibid.
101 Dewan HAM PBB, Report of…, op.cit., Pasal 141.
102 Majelis Umum PBB, Promotion…, loc.cit. 
103 Dewan HAM PBB, Report of…, op.cit., Pasal 134. Sponsor adalah delegasi atau perwakilan negara yang mengajukan sebuah 
resolusi untuk diadopsi di dalam suatu konferensi. Co-sponsor adalah delegasi atau perwakilan yang mana secara bersama-sa-
ma turut ikut serta mengajukan sebuah resolusi atau proposal bentuk lain untuk diadopsi di dalam suatu konferensi 
104 Daftar negara-negara co-sponsor: Andorra, Angola, Australia, Austria, Bolivia (Plurinational State of), Bulgaria, Chile, Co-
lombia, Croatia, Cyprus, the Czech Republic, Denmark, Dominican Republic, Estonia, Finland, Georgia, Germany, Greece, 
Honduras, Hungary, Iceland, Ireland, Israel, Kyrgyzstan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Monaco, Monte-
negro, Namibia, the Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Norway, Paraguay, Peru, Poland, Portugal, Romania, Rwanda, Ser-
bia, Sierra Leone, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, the former Yugoslav Republic of Macedonia, Timor-Leste, Turkey, Ukraine, 
the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and Uruguay. Subsequently, Algeria, Argentina, Brazil, Cabo Verde, 
Côte d’Ivoire, Djibouti, Haiti, Italy, San Marino, Togo and Venezuela (Bolivarian Republic of).
105 Dewan HAM PBB, Report of…, op.cit., Pasal 149
38 39
--------
HAM PBB.106 Majelis Umum PBB mencatat adanya dorongan diskusi di tahap nasional dan 
regional mengenai moratorium hukuman mati, serta kesiapan beberapa negara untuk 
memberi  informasi mengenai penerapan hukuman mati yang dapat diakses oleh 
publik dan juga keputusan Dewan HAM PBB Resolusi 26/2 tanggal 26 Juni 2014 untuk 
mengadakan high-level panel discussion (diskusi panel tingkat tinggi) per 2 tahun untuk 
pertukaran pandangan mengenai hukuman mati.107
Majelis Umum PBB merekomendasikan negara-negara anggota PBB untuk mengikuti 
kewajibannya sesuai dengan Konvensi Vienna 1963 khususnya mengenai hak untuk 
menerima informasi tentang hubungan konsuler di dalam hal proses persidangan.108 
Resolusi menambahkan jaminan perlindungan terhadap orang dengan gangguan 
mental.109 Majelis Umum PBB merekomendasikan negara-negara anggota PBB untuk 
mempertimbangkan penyetujuan atau ratifikasi dari Protokol Tambahan Kedua ICCPR 
mengenai penghapusan hukuman mati.110
Resolusi ini diadopsi dengan selisih pengambilan suara 117 negara mendukung, 37 
negara menolak, dan 34 negara abstain. Ada peningkatan yang signifikan dari jumlah 
negara pendukung Resolusi moratorium hukuman mati, jika dilihat dari substansi di 
dalam rekomendasi-rekomendasinya. Masuknya unsur perlindungan fundamen terhadap 
anak, wanita  hamil, dan orang dengan gangguan mental sangat mempengaruhi 
pertimbangan negara-negara untuk menerapkan moratorium hukuman mati.
Resolusi 30/5 Dewan HAM PBB 
Pada 1 Oktober 2015,