Home » hukuman mati 1 » hukuman mati 1
Jumat, 26 Januari 2024
Tim Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
iSebagai bagian dari jenis penghukuman, hukuman mati di Indonesia sebenarnya tidak
diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum masuknya kekuatan kolonial
Eropa, para Raja dan Sultan yang ada di Nusantara telah mempraktikkan hukuman mati
kepada para kawulanya. Dalam konteks negara kita , konsolidasi hukuman mati secara
menyeluruh terjadi pada 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
yang mengatur mengenai pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa ini, hukuman mati dipertahankan sebagai
strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan dan juga usaha untuk
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tanpa usaha pasifikasi penduduk jajahan
melalui instrumen hukuman mati, misi pemerintah Perancis yang berkuasa di Belanda
untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris akan sulit diwujudkan.
Konsolidasi kedua dan yang terpenting adalah pada saat diberlakukannya Wetboek
van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers) pada 1 Januari 1873. Selanjutnya pada 1915
diundangkan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, (WvSI) dan mulai berlaku pada 1 Januari
1918. Motif prasangka rasial dan menjaga ketenangan umum menjadi motif utama dari
masih diberlakukannya hukuman mati.
Pasca kemerdekaan, hukuman mati tetap diberlakukan dalam berbagai legislasi yang ada
di negara kita . Tentu saja dengan motif dan alasan yang berbeda yang disesuaikan dengan
sistem politik dan kondisi sosial politik yang berlaku pada masa legislasi ini disahkan.
Sejak kemerdakaan maka politik legislasi Indonesia terus memproduksi hukuman mati
sebagai salah satu jenius pemidanaan penting
Bahkan setelah reformasi, dalam kurun waktu kurang dari delapan belas tahun, setidaknya
ada lima undang-undang (UU) yang memasukkan hukuman mati sebagai sanksi
pemidanaan, meskipun dalam konstitusi Indonesia pasca amandemen (1999-2002), hak
atas hidup telah dijamin dengan tegas. Walaupun hanya lima UU yang mencantumkan
hukuman mati pasca Reformasi, namun jika membandingkan jumlah pasal yang mengatur
delik hukuman mati sebagai sanksi, jumlahnya meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan
dengan keseluruhan pasal yang mengatur tentang hukuman mati sejak 1945 - 1998.
Anomali ini tentu saja menjadi perhatian serius oleh beberapa para pegiat hak asasi
manusia (HAM) dan negara-negara lainnya yang sudah meninggalkan praktik yang tidak
sesuai dengan rasa peri kemanusiaan itu. Apalagi jika merujuk Resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) No. 29 pada 18 Desember 2007 meminta kepada seluruh negara
untuk melakukan moratorium pemakaian hukuman mati dalam sistem hukumnya
sebagai salah satu langkah untuk menuju penghapusan hukuman mati. Sebagai negara
yang tergabung dalam komunitas internasional ini , Resolusi PBB ini menjadi
salah satu instrumen hukum internasional yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh
negara kita .
Pada titik inilah maka sangat penting untuk melakukan sebuah kajian untuk memetakan
argumentasi utama masih masuknya sanksi pidana berupa hukuman mati di beberapa
regulasi di negara kita . Pelacakan argumentasi ini sangat penting untuk mengetahui
rasionalisasi dan latar belakang dari kebijakan publik pemakaian sanksi hukuman
mati dalam sistem hukum negara kita . Tanpa memahami akar dan latar belakang serta
argumentasi atas masih dipertahankan hukuman mati di Indonesia di beberapa UU, maka
semakin terbukalah hukuman mati sebagai salah satu bagian dari sanksi pidana yang
akan terus dipertahankan dan dipakai .
Saat ini ada kecenderungan global negara-negara di dunia untuk tidak lagi
menggunakan sanksi hukuman mati dalam sistem hukumnya sebagaimana yang terlihat
dari dikeluarkannya Resolusi PBB pada Desember 2007 tentang pelarangan hukuman
mati.1 Meski demikian, dalam praktiknya, hal itu menunjukkan yang sebaliknya. Praktik
hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi pidana masih terjadi. Sepanjang 2015,
eksekusi hukuman mati secara global meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya
(2014). Setidaknya 1.634 orang telah dieksekusi mati pada 2015: meningkat 573 kasus
eksekusi atau 54 persen dibandingkan 2014.
Sebenarnya bila merujuk kepada tren penerapan hukuman mati secara global dari 2008
sampai dengan 2015 yang dihimpun Amnesty Internasional, ada tren yang fluktuatif.
Misalnya pada 2010 dan 2014, terjadi penurunan eksekusi mati dari tahun-tahun
sebelumnya. Meski demikian, jika melihat tren dalam lima tahun terakhir (2010-2015),
sulit dibantah bahwa ada ada peningkatan eksekusi mati di secara global (Tabel 1.1).
Tidak jauh berbeda dengan tren global, praktik eksekusi hukuman mati di Indonesia juga
menunjukkan peningkatan yang signifikan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Situasi ini tidak terlepas dari kebijakan Presiden Jokowi yang mendalilkan
Indonesia dalam kondisi darurat nasional terhadap narkotika sehingga perlu sanksi
yang tegas.4 Pada awal era pemerintahannya, Presiden Jokowi telah melakukan eksekusi
terhadap 18 orang terpidana mati (lihat Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Jumlah Eksekusi Hukuman Mati di Indonesia dari 2007-2016
Berkaca pada beberapa regulasi yang mengatur hukuman mati yang masih berlaku dan
tren kebijakan pemidanaan yang berlaku di negara kita , nampaknya eksekusi pidana mati
akan terus dilanggengkan di masa-masa mendatang. Apalagi Indonesia termasuk ke
dalam 58 negara yang masih mempertahankan dan menormakan hukuman mati sebagai
ketentuan pidana yang dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana tertentu. Padahal,
sampai dengan 31 Desember 2016, lebih dari dua per tiga (2/3) negara-negara di seluruh
dunia telah menghapus hukuman mati, baik melalui instrumen hukum maupun dalam
praktik.
Kecenderungan global negara-negara dalam merespon hukuman mati dalam kebijakan
pemidanaan mereka dapat dilihat jumlahnya sebagai berikut: (i) menghapus hukuman
mati untuk semua jenis tindak pidana berjumlah 102 negara; (ii) menghapus hukuman
mati hanya untuk tindak biasa berjumlah 6 negara; (iii) menghapus hukuman mati dalam
praktik berjumlah 32 negara; dan (iv) mempertahankan hukuman mati berjumlah 58
negara. 5
Dalam sistem hukum negara kita , setidaknya ada tiga belas (13) peraturan
perundangan-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman
pemidanaan di luar ketentuan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sanksi ini dijatuhkan terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun yang
diatur dalam beberapa undang-undang khusus.6
Ide dasar penerapan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia ada dalam Pasal
10 KUHP yang memuat dua macam hukuman, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok ini terdiri dari: (1) pidana mati; (2) pidana penjara; (3) pidana
kurungan; dan (4) pidana denda. Sementara pidana tambahan berupa: (1) pencabutan
hak tertentu; (2) perampasan barang tertentu; dan (3) pengumuman keputusan hakim.
Dari pidana pokok itulah ide hukuman mati itu berasal. Sementara itu, dalam tataran
praktik, pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hukum Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Militer, yang sampai saat ini masih tetap berlaku.
ada delapan perbuatan pidana (delik) yang memuat ancaman hukuman mati dalam
KUHP Indonesia yaitu:
1. Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara (makar);
2. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana;
3. Pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing
sehingga terjadi perang;
4. Pasal 124 ayat (3) tentang pengkhianatan di waktu perang;
5. Pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara;
5 Amnesty International, Global Report…,
Pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara
sahabat;
6. Pasal 479 k ayat (2) dan pasal 479 huruf o ayat (2) tentang kejahatan
penerbangan;
7. Pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian; dan
8. Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu
mengakibatkan luka berat atau mati.
Tabel 1.3 Pengaturan Hukuman Mati di negara kita
No Peraturan Perundang-Undangan Ketentuan
1. KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat
(3), Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4),
Pasal 444, Pasal 368 ayat (2)
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM)
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal
73 ke-1, ke-2, Ke3 dan Ke-4, Pasal 74 ke-1 dan
ke-2, Pasal 76 (1), Pasal 82, Pasal 89 ke-1 dan
ke-2, Pasal 109 ke-1 dan ke-2, Pasal 114 ayat
(1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1)
ke1 dan ke-2, ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan
(2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142
ayat (2)
3. UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api Pasal 1 (ayat) 1
4. Penpres No. 5 Tahun 1959 tentang Wewenang
Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam
Hal Memperberat Ancaman Hukuman
terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan
Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan
Pasal 2
5. Perppu No. 21 Tahun 1959 tentang
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap
Tindak Pidana Ekonomi
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
6. UU No. 31/PNPS/1964 tentang Ketentuan
Pokok Tenaga Atom
Pasal 23
7. UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan
dan Penambahan Beberapa Pasal dalam
KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-Undangan Pidana
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan
Pasal 479 huruf k ayat (2)
Pasal 479 huruf o ayat (2)
8. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2)
9. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Korupsi
Pasal 2 ayat (2)
10. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3)
11. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16
12. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 74, Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2),
Pasal 119 ayat (2), 118 ayat (2), Pasal 119 ayat
(2), 121 ayat (2), Pasal 132 ayat (3), Pasal 133
ayat (1), Pasal 144 ayat (2)
13. Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (menjadi UU No. 17 Tahun
2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang)
Pasal 81 ayat (5)
Meskipun KUHP Indonesia masih mempertahankan hukuman mati sebagai salah satu
pidana pokok, namun jika merujuk pada sejarah perkembangan proses kodifikasi
hukum pidana di Belanda yang kemudian menjadi role model dari sistem pemidanaan
di negara kita , menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejak 1870, hukuman mati sebagai
salah satu dari pidana pokok telah dihapuskan di dalam sistem hukum Belanda. Bahkan
dalam praktiknya, pemerintah Belanda tidak lagi menerapkan hukuman mati sejak 1860.
Eksekusi hukuman mati di depan publik terakhir kali diterapkan pada 1860 di Maastricht.7
Lebih jauh lagi, adanya hukuman penjara sebenarnya adalah sebagai alternatif untuk tidak
menggunakan hukuman mati dan hukuman fisik sebagai salah satu bentuk pemidanaan
yang dianggap tidak manusiawi dan kejam di Belanda. Ide itu pertama kali muncul dalam
usulan perubahan terhadap Code Penal Perancis pada 1827.8 Sebagaimana yang dicatat
oleh Lydia Bertram, dalam perdebatan Code Penal Belanda, lahirnya ide hukuman penjara
seumur hidup dalam sistem pidana Belanda jelas merupakan pengganti dari bentuk
hukuman mati.
Menurut Sahetapy, alasan utama pemerintah Belanda masih tetap mempertahankan
hukuman mati di daerah jajahannya, termasuk negara kita , lebih disebabkan motif rasial
guna menunjang politik hukum ketertiban umum pada masa itu. Prasangka rasial yang
diskriminatif ini pada intinya menganggap bahwa orang-orang pribumi tidak
bisa dipercayai. Bahkan muncul anggapan orang pribumi suka berbohong dengan
memberi kesaksian palsu di pengadilan. Orang-orang pribumi mudah percaya dan
menerima kebohongan sebagai kebenaran dan banyak orang pribumi bersifat buruk.
Pandangan diskriminatif ini mengemuka sebab para sarjana hukum Belanda sudah
memiliki perasaan superior sebagai bangsa penjajah.
Deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 ternyata tidak memiliki implikasi
apapun untuk memutus kebijakan kolonial terhadap hukuman mati. Bentangan empirik
menunjukkan bahwa ide hukuman mati (selain yang diatur dalam KUHP) ternyata masih
tetap hidup dan bahkan bertambah banyak dalam berbagai regulasi di negara kita . Pasca
Indonesia merdeka sampai dengan 1998, setidaknya ada enam regulasi yang
menggunakan sanksi berupa hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan (lihat Tabel 1.3).
Bahkan pemakaian hukuman mati sebagai ketentuan pidana dalam pelbagai regulasi
makin meningkat pasca Reformasi (1998 s/d saat ini).
Dalam kurun waktu kurang dari delapan belas tahun, setidaknya ada lima undang-
undang (UU) yang memasukkan hukuman mati sebagai sanksi pemidanaan, meskipun
dalam konstitusi Indonesia pasca amandemen (1999-2002), hak atas hidup telah dijamin
dengan tegas.14 Walaupun hanya lima UU yang mencantumkan hukuman mati pasca
Reformasi, namun jika membandingkan jumlah pasal yang mengatur delik hukuman
mati sebagai sanksi, jumlahnya meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan dengan
keseluruhan pasal yang mengatur tentang hukuman mati sejak 1945 - 1998.
Anomali ini tentu saja menjadi perhatian serius oleh beberapa para pegiat hak asasi
manusia (HAM) dan negara-negara lainnya yang sudah meninggalkan praktik yang tidak
sesuai dengan rasa peri kemanusiaan itu. Apalagi jika merujuk Resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) No. 29 pada 18 Desember 2007 meminta kepada seluruh negara
untuk melakukan moratorium pemakaian hukuman mati dalam sistem hukumnya
sebagai salah satu langkah untuk menuju penghapusan hukuman mati. Sebagai negara
yang tergabung dalam komunitas internasional ini , Resolusi PBB ini menjadi
salah satu instrumen hukum internasional yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh
negara kita .
Pada titik ini menjadi penting untuk melakukan sebuah kajian untuk memetakan
argumentasi utama masih masuknya sanksi pidana berupa hukuman mati di beberapa
regulasi di negara kita . Pelacakan argumentasi ini sangat penting untuk mengetahui
rasionalisasi dan latar belakang dari kebijakan publik pemakaian sanksi hukuman
mati dalam sistem hukum negara kita . Tanpa memahami akar dan latar belakang serta
argumentasi atas masih dipertahankan hukuman mati di Indonesia di beberapa UU, maka
tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemakaian hukuman mati sebagai salah satu bagian
dari sanksi pidana akan terus dipertahankan dan dipakai .
Masih minimnya referensi dan kajian mengenai dasar, argumentasi dan pertimbangan
masih dipakai nya hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia membuat kajian ini
akan memfokuskan pada permasalahan-permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang dan dinamika sosial politik kebijakan pemidanaan
hukuman mati sebagai sanksi pidana dalam peraturan perundangan-undangan di
negara kita ?
2. Bagaimanakah kesesuaian kebijakan hukuman mati di Indonesia dengan prinsip dan
norma universal HAM?
.
Kajian ini pada intinya berfokus pada pemetaan produk legislasi Indonesia yang memuat
norma hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi pidana. Kajian ini menekankan
bahwa proses pembentukan hukum tentu saja tidak terlepas dari dialektika konteks sosio
politik kewarga an pada saat pembentukan legislasi ini . Dengan demikian
pencatatan mengenai dinamika pembentukan legislasi, merupakan sebuah keniscayaan.
Berangkat dari hal itu, tentu saja menjadi penting untuk melihat ulang proses pembentukan
legislasi hukuman mati dan mendokumentasikan proses pembentukannya ini .
Pada sisi lain, kebutuhan untuk melihat kesesuaian tatanan hukum Indonesia dan
tatanan hukum HAM internasional dalam perumusan legislasi hukuman mati menjadi
penting untuk melihat secara objektif sejauh mana hukum nasional dapat merespon
perkembangan standar norma warga internasional.
Berangkat dari keinginan dalam memahami secara menyeluruh proses pembentukan
legislasi hukuman mati ini , kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk menguji
dan mengkaji ulang kesesuaian kebijakan-kebijakan terkait hukuman mati dengan standar
HAM internasional, termasuk di dalamnya rumusan rekomendasi peninjauan kembali,
revisi, ataupun pencabutan kebijakan-kebijakan yang menjadikan hukuman mati sebagai
sebagai salah satu kebijakan pemidanaan dalam hukum negara kita .
1.5. Tinjauan Pustaka
Meskipun topik mengenai hukuman mati bukan merupakan isu yang baru, namun metode
dan fokus kajian yang dilakukan dalam penelitian ini bisa dikatakan hal yang baru di
negara kita . Dari penelusuran kepustakaan yang sudah dilakukan, sampai sejauh ini belum
ada penelitian yang mengkaji secara komprehensif dengan mencari akar permasalahan
apa alasan yang mendasari ide hukuman mati masih dimasukkan dalam berbagai macam
regulasi di Indonesia dan membandingkannya dengan standar internasional tentang
hukuman mati. Apalagi sampai saat ini, masih minimnya penelitian yang dilakukan oleh
para peneliti terkait topik hukuman mati yang dilakukan di negara kita .
Adapun beberapa kajian yang mengambil topik hukuman mati yang dilakukan beberapa
peneliti adalah: Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana oleh J.E
Sahetapy,16 Pidana Mati dalam Negara Pancasila oleh J.E Sahetapy,17 Kontroversi Hukuman
Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay,18
Politik Hukuman Mati di Indonesia oleh Robertus Robert dan Todung Mulya Lubis (editor),19
Pengaturan Hukuman Mati Sebagai Pidana Pokok dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Pidana oleh Edita Elda,20 Perdebatan Mengenai Hukuman Mati dalam Pembaharuan Hukum
di Indonesia oleh Shidarta Praditya Reviendra Putra,21 Hukuman Mati dalam R KUHP: Jalan
Tengah Yang Meragukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono dkk,22 Menolak Hukuman Mati:
Perspektif Intelektual Muda oleh Antonius Cahyadi dkk,23 Unfair Trial: Analisis Kasus Terpidana
Mati di Indonesia oleh Koalisi Hapus Hukuman Mati (Koalisi Hati),24 Aku Menolak Hukuman
Mati: Telaah Atas Penerapan Pidana Mati oleh Yon Artiono Arba’i.25 dan, Hakikat Pelaksanaan
Hukuman Mati di tinjau dari Perpektif Hak Asasi Manusia oleh bambang Sugeng Rukomono26.
Dari sembilan penelitian di atas, berdasar ruang lingkup dari fokus kajian yang dilakukan,
maka dapat dikategorikan atas dua hal, yakni kajian terhadap seluruh regulasi tentang
hukuman mati dan kajian yang berfokus pada regulasi atau delik tertentu yang mengatur
tentang hukuman mati. Berangkat dari kategorisasi di atas, maka hanya penelitian yang
dilakukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono, dkk. dan Edita Elda yang melakukan pemetaan
seluruh regulasi hukuman mati di negara kita . Meskipun demikian, penelitian dengan judul
Hukuman Mati dalam R KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan27 yang ditulis Supriyadi Widodo
Eddyono, dkk. dan Pengaturan Hukuman Mati Sebagai Pidana Pokok dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Pidana28 yang ditulis Edita Elda ini hanya mengumpulkan beberapa
regulasi tentang hukuman mati yang ada di negara kita .
Inilah yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Supriyadi
Widodo Eddyono, dkk. dan Edita Elda. Penelitian ini tidak hanya mengumpulkan beberapa
regulasi yang mengatur tentang hukuman mati yang ada di negara kita , namun mencoba
menelusuri lebih dalam dengan mencari akar permasalahan, perdebatan atau argumentasi
yang mendasari mengapa ide hukuman mati masih tetap hidup dalam beberapa regulasi
di negara kita .
Pada sisi lain, penelitian tentang hukuman mati lainnya, hanya fokus kepada beberapa
isu yang lebih spesifik tentang hukuman mati. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Sahetapy dengan topik Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, yang
hanya berfokus tentang Pasal 340 KUHP tentang ancaman pembunuhan berencana.
Demikian juga dengan studi Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim
Konstitusi oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, yang hanya memfokuskan pada
kajian perdebatan hukuman mati dari sudut Undang-Undang Narkotika yang diuji (judicial
review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).29
Sedangkan penelitian lainnya, tidak memfokuskan kajiannya pada akar masalah dan latar
belakang mengapa beberapa regulasi di Indonesia masih mengatur tentang hukuman mati.
Misalnya kajian yang dilakukan Shidarta Praditya Reviendra Putra yang memfokuskan
kajian pada perdebatan teori pemidanaan hukuman mati dalam Rancangan KUHP. Atau
kajian Sahetapy yang hanya fokus kepada variabel hukuman mati dari sudut filosofi
negara Pancasila.
Demikian pula kajian-kajian lain hanya melihat bagaimana isu hukuman mati dari sudut
subjektif atau pengalaman (empiris) masing-masing penulis. Misalnya antologi tulisan
yang berjudul Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda oleh Antonius Cahyadi,
dkk. yang mengkritik masih dipakai nya hukuman mati sebagai salah satu pemidanaan
yang tidak relevan dengan semangat akademik dan nilai-nilai kemanusian berdasar
latar belakang masing-masing penulis. Buku-buku lainnya, misalnya buku yang berjudul
Aku Menolak Hukuman Mati: Telaah Atas Penerapan Pidana Mati oleh Yon Artiono Arba’i, yang
berdasar pengalaman subjektif penulis yang pernah bekerja sebagai jaksa dan buku
Unfair Trial: Analisis Kasus Terpidana Mati di Indonesia yang mendeskripsikan pengalaman
masing-masing pembela hukum atau pengacara dalam mengadvokasi beberapa terdakwa
yang sudah divonis hukuman mati.
Di luar beberapa literatur yang telah ditelaah di atas, yang mungkin memiliki benang
merah atau irisan terhadap kajian ini adalah tulisan Wilson yang berjudul Warisan Sejarah
Bernama Hukuman Mati dalam buku Politik Hukuman Mati di negara kita . Tulisan ini lebih
menitikberatkan kajian pada praktik hukuman mati dalam perspektif sejarah, dengan
salah satu bagian yang menarik pada masa kolonial, masa revolusi, dan masa demokrasi
terpimpin (Soekarno). Meskipun kajian ini lebih cenderung deskriptif tentang kebijakan
terhadap orang-orang dijatuhi hukuman mati semasa Hindia Belanda dan negara kita ,
namun dari data yang dikumpulkan ini menjadi salah satu informasi yang berharga
dalam penelitian ini.
Hukuman mati (capital punishment) telah dipakai selama ribuan tahun sebagai
hukuman utama untuk tindak pidana tertentu. Meskipun sejarawan tidak memiliki cara
untuk mengetahui berapa lama sanksi hukuman mati telah menjadi polemik, namun
mereka mengetahui bahwa penerapan sanksi ini telah diperdebatkan selama berabad-
abad.32 Situasi ini menggambarkan bahwa dalam beberapa titik dalam sejarah peradaban
manusia, sebagian besar peradaban menggunakan hukuman mati sebagai metode
penghukuman.33 Kampanye untuk mengakhiri eksekusi dimulai di kawasan Eropa Barat
yang dipelopori Cesare Beccaria melalui tulisan On Crimes and Punishments pada 1764.
Meskipun kemajuan melambat selama lebih dari satu abad pasca tulisan ini ,
namun pada akhir paruh kedua abad ke-20 menjadi periode yang sangat aktif untuk
mereformasi kebijakan terhadap pelaksanaan hukuman pidana diberbagai negara dan
mulai terbangun pandangan baru mengenai hukuman mati.
Negara-negara awal yang aktif menghapus ide hukuman mati pada umumnya terletak di
benua Amerika terutama di Amerika Selatan. Negara pertama yang menghapus hukuman
mati untuk semua kejahatan adalah Venezuela pada 1863. Sedangkan di kawasan Eropa,
San Marino merupakan negara yang mengawali gerakan abolisionis dengan menghapus
hukuman mati untuk semua kejahatan pada 1865. Sebelumnya, pada 1848, negara ini
merupakan negara pertama di dunia yang menghapuskan hukuman mati untuk tindak
pidana biasa. Sampai beberapa dekade, San Marino dan Rumania merupakan negara
abilisionis di Eropa. Di luar Amerika Latin dan Eropa, gerakan abolisionis masih relatif
belum berkembang.
Pada belahan dunia lain, di Asia negara pertama yang menolak hukuman mati untuk
semua kejahatan adalah Kamboja pada 1989. Sampai saat ini, hanya Timor Timur, Nepal,
dan Turkmenistan telah mengikuti Kamboja. Kemudian di kawasan Afrika, Cape Verde
menghapuskan hukuman mati pada 1981. Sembilan tahun kemudian, jejak langkah
Cave Varde diikuti oleh Mozambik, Namibia, dan São Tomé dan Príncipe. Sedangkan di
kawasan Oceania, bersamaan dengan kemerdekaannya pada 1978, Kepulauan Solomon
dan Tuvalu menghapuskan hukuman mati.36
Pengembangan norma hukum internasional untuk penghapusan hukuman mati
merupakan fenomena pasca Perang Dunia Kedua. Penghapusan hukuman mati
merupakan tujuan bangsa-bangsa beradab yang termanifestasi selama penyusunan
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
pada 1948. Meskipun ekspresi pengakuan penormaan ini hanya secara implisit
yang ditunjukkan melalui frasa hak hidup (the right to life).
Ide penghapusan hukuman mati kembali memperoleh momentum selama dekade
berikutnya melalui para pembuat norma hukum internasional (international lawmakers)
yang mendesak pembatasan hukuman mati melalui lahirnya International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik pada 1966 dan Optional Protocol kedua yang disetujui pada 1989. Dalam Pasal
6 ICCPR yang terdiri dari 6 (enam) paragraf, 4 (empat) paragraf di antaranya mengatur
mengenai pembatasan hukuman mati seperti penjatuhan hanya pada tindakan pidana
yang serius, berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman, tidak
boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia 18 tahun
dan tidak boleh dilaksanakan terhadap wanita yang tengah hamil. 38 Setelah itu lahir
pula dua traktat hak-hak asasi manusia regional, yakni Konvensi Eropa tentang Hak-hak
Asasi Manusia dan Konvensi Amerika tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang mengandung
ketentuan serupa.
Instrumen-instrumen hukum internasional yang paling mutakhir, yang mengatur tentang
kejahatan-kejahatan paling serius (the most serious crimes) yang menjadi perhatian
warga internasional, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang, semuanya menolak hukuman mati. ini dapat dilihat pada ketiga statuta
pendirian mahkamah pidana internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni
Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal
for the former Yugoslavia), Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International
Criminal Tribunal for Rwanda), dan Mahkamah Khusus untuk Sierra Leone (Special Court
for Sierra Leone). Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute
of the International Criminal Court) menetapkan hukuman penjara seumur hidup sebagai
hukuman maksimal.
Hukum hak-hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional telah
membahas isu hukuman mati hampir selama delapan puluh tahun. Meski hukum
internasional tidak serta merta dapat diberlakukan secara langsung mengingat adanya
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara-negara untuk
mengaplikasi ketentuan internasionalnya, namun hukum internasional merupakan
sebuah sumber pedoman yang sangat otoritatif dalam hal penafsiran norma-norma.
Pembahasan langsung tentang hukuman mati dalam hukum internasional pertama kali
muncul dalam Konvensi Jenewa 1929 tentang Tawanan Perang. Dalam Konvensi ini ,
diatur secara khusus beberapa prosedur yang harus dipatuhi jika hendak menghukum
mati seorang tawanan perang. Ketentuan ini semakin dikukuhkan dengan lahirnya
Konvensi Jenewa 1949 tentang tawanan perang, yang masih berlaku hingga hari ini.
Konvensi Jenewa 1949 tentang warga sipil juga memuat ketentuan penting, yakni tidak
diperbolehkannya pemberlakuan hukuman mati terhadap warga sipil di wilayah yang
diduduki.
Kedua konvensi ini kemudian diperkukuh lagi dengan hadirnya protokol-protokol tambahan (additional protocols) Konvensi
Jenewa yang diadopsi pada tahun 1977. Hukum humaniter internasional, yakni hukum mengenai konflik bersenjata, tentu
saja tidak berlaku dalam masa damai. Namun demikian, perkembangan seperti itu dalam hukum humaniter merupakan bukti
yang sangat kuat bahwa pendekatan hukum internasional secara perlahan bergerak menuju pembatasan dan pada akhirnya
penghapusan hukuman mati.
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights)
Titik awal dalam hukum hak-hak asasi manusia internasional adalah Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR), yang diadopsi
oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini hingga kini tetap
merupakan tolok ukur yang otoritatif dalam hal norma-norma hak-hak asasi manusia
(HAM), dan tidak diragukan lagi berlaku bagi semua negara anggota PBB. UDHR merupakan
dokumen hukum hak asasi manusia internasional yang diterima di seluruh dunia dan
merupakan pencapaian dari perjuangan atas kemerdekaan dan martabat manusia. Dua
macam hak asasi manusia yang tercantum dalam deklarasi ini , yaitu: (i) hak-hak
sipil dan politik; dan (ii) hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. UDHR telah menjamin hak
untuk hidup dan perlindungan terhadap penyiksaan dan secara sadar dengan sengaja
menghapus sebuah bagian mengenai hukuman mati. Bagian ini tadinya dimaksudkan
untuk mengakui hukuman mati sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup.43
UDHR tidak secara hukum mengikat keputusan tentang HAM pada setiap negara anggota
PBB. Deklarasi ini disetujui sebagai resolusi oleh Majelis Umum dan menjadi sebuah
format umum. Ketika Deklarasi diadopsi, ide dasarnya adalah untuk membuat konvensi
yang mengikat secara hukum (legally binding) harus direalisasikan secepat mungkin dalam
rangka mengefektifkan perlindungan hak asasi manusia.
Namun status hukum dari Deklarasi ini senantiasa berubah. ini dapat dilihat dari
interpretasi kewenangan atas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana anggotanya
telah berkomitmen untuk meningkatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Beberapa yang hak yang diatur dalam Deklarasi ini juga telah dimasukkan sebagai
bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law), sehingga hak-
hak ini telah menjadi hukum internasional yang mengikat.
Hak mendasar untuk hidup tercantum dalam Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa
“Everyone has the right to life, liberty and security of person” (Setiap orang berhak atas
penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu). Namun peraturan singkat ini
belumlah lengkap dan merupakan deklarasi dasar mengenai hak hidup. Tidak ada
penjelasan yang dibuat mengenai hukuman mati dalam deklarasi ini dan tidak
dapat dikatakan bahwa pasal ini memihak penghapusan hukuman mati sebagai
pelanggaran atas hak hidup atau sebaliknya.
William A. Schabas telah mengembangkan analisis mengenai Pasal 3 UDHR dalam The
Abolition of the Death Penalty in International Law.45 Schabas menyatakan bahwa Pasal 3
UDHR disusun pada tahun 1947 dan 1948, ketika sebagian besar negara memberlakukan
hukuman mati. UDHR ini dimaksudkan untuk menetapkan suatu “standar
pencapaian bersama” (common standard of achievement). Menurut Schabas, meski
hukuman mati disebut dalam berbagai rancangan (drafts) awal Pasal 3, Majelis Umum
PBB memutuskan untuk menghapuskan segala pembahasan mengenai hukuman mati
dengan tujuan tidak mau menghambat berkembangnya praktik negara-negara (evolution
of state practice) menuju penghapusan hukuman mati.
Pasal 29 ayat (2) UDHR juga mengatur ketentuan tentang pembatasan bagi setiap orang
dalam melaksanakan hak dan kebebasan mereka. Ketentuan ini juga dapat diartikan
bahwa penafsiran terhadap semua ketentuan UDHR harus merujuk pada Pasal 29 ayat (2)
ini . Pasal 29 ayat (2) Deklarasi menyatakan:
In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order and the general welfare in a democratic society.
(Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang
layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum
dalam suatu warga yang demokratis.)
Klausul pembatasan dalam Pasal 29 (2) UDHR merupakan model bagi ketentuan-
ketentuan sejenis dalam berbagai traktat atau perjanjian internasional (treaty) tentang
hak-hak asasi manusia internasional lainnya. Klausul pembatasan dalam Pasal 29 ayat
(2) UDHR merupakan klausul yang bersifat umum dan diberlakukan secara menyeluruh
bagi pelaksaan hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi. ini berbeda dengan
beberapa klausul pembatasan yang diatur dalam perjanjian internasional tentang
HAM lainnya. Pada saat Pasal 29 ayat (2) UDHR diterjemahkan ke bahasa perjanjian
internasional/traktat (treaty), misalnya dalam ICCPR dan konvensi-konvensi HAM tingkat
regional (misalnya Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Konvensi Amerika
tentang Hak-hak Asasi Manusia), maka dibuatlah klausul-klausul pembatas (limitations
clauses) khusus terhadap hak-hak tertentu, meskipun rumusan pembatasannya mirip
dengan redaksional Pasal 29 ayat (2) UDHR.
Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik misalnya, ketentuan
pembatasan hak-hak kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan
berkumpul dan berserikat atau hak atas privasi, pembatasannya bersifat khusus bagi
masing-masing hak. ini misalnya beberapa ‘klausul-klausul pembatasan’ (limitations
clauses) pada Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 21 ICCPR. Ketentuan yang demikian juga ada
dalam banyak ada dalam konstitusi berbagai negara yang dibuat sejak 1948, misalnya
Konstitusi Afrika Selatan dan Kanada. Di negara kita , UUD 1945 juga mengatur ‘klausula
pembatas’ ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2). Dengan demikian, berbagai
ketentuan tentang pembatasan dalam pelaksanaan hak dan kebebasan ‘berakar’ atau
bersumber dari ketentuan Pasal 29 ayat (2) UDHR.
Namun, khusus terkait hak untuk hidup, dilakukan sebuah pendekatan yang cukup
berbeda. Hukuman mati secara tegas dirumuskan sebagai sebuah pengecualian, dengan
catatan tunduk pada beberapa pembatasan, dan bukan sebagai sebuah konsekuensi
logis dari penafsiran atas prinsip-prinsip yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR.
Para perumus traktat-traktat (treaties) ini perlu memastikan bahwa hukuman mati tidak
dilarang baik secara eksplisit maupun secara implisit, sebab ketika ketentuan-ketentuan
itu dibuat pada 1957. Oleh sebab itu, pada masa itu bila hukuman mati dilarang baik
secara eksplisit maupun secara implisit maka akan ada banyak negara yang tidak mau
meratifikasi Kovenan ini , sementara situasi saat ini berbeda.
2.4 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan perjanjian internasional tentang HAM yang
dimaksudkan untuk mewujudkan “standar pencapaian bersama” (common standart of
achievement) yang ditetapkan dalam UDHR. Pada awalnya PBB bermaksud membuat
dua naskah, yaitu sebuah ‘deklarasi’ dan sebuah ‘kovenan’ (covenant). Deklarasi diniatkan
menjadi sebuah ‘standar pencapaian bersama’ sementara ‘kovenan’ bertujuan sebagai
perjanjian internasional yang memiliki ‘kekuatan mengikat’ (legally binding). Dalam waktu
yang relatif singkat, Deklarasi ini kemudian disetujui Resolusi Majelis Umum dan
menjadi UDHR. Sementara, pengadopsian ‘kovenan’ memakan waktu yang jauh lebih
lama. Proses penyusunan naskah ‘kovenan’ dipengaruhi oleh suasana pendebatan di era
perang dingin kala itu yang membuat proses ini terus tertunda-tunda.
Akibat dari perdebatan ini , Naskah ‘kovenan’ dipecah menjadi dua. Pemecahan ini
mencerminkan adanya keberatan dari kubu negara-negara barat atas dimasukkannya
hak-hak ekonomi dan sosial, dan pada sisi yang lain kubu negara-negara sosialis serta
kelompok negara-negara Selatan bersikeras tentang pentingnya hak-hak ekonomi dan
sosial ini . Hasilnya, pada 1966 PBB dapat memberi perlindungan HAM dalam
formulasi hukum yang mengikat yakni dibentuk dua perjanjian internasional tentang
HAM; (i) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Rights);47 (ii) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya Sipil dan Politik (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
ICPPR mengatur berbagai hak yang terkait dengan hak-hak sipil dan politik, juga
memandatkan dibentuknya Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee).
Komite ini merupakan sebuah lembaga kuasi-yudisial yang bertugas mempelajari
dan memberi komentar terhadap laporan-laporan dari negara-negara mengenai
kepatuhan mereka terhadap kovenan ini . Komite ini juga bertugas mempelajari
dan memberi komentar terhadap petisi/permohonan yang diajukan perseorangan
mengenai adanya pelanggaran terhadap kovenan ini oleh pemerintah negaranya.
Penafsiran Komite HAM atas ICCPR dianggap sangat otoritatif.
Perdebatan di seputar isu hukuman mati pada pokoknya terjadi pada dua ketentuan
ICCPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 6:
1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini
wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya
secara sewenang-wenang.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman
mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai
dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan ini , dan tidak
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. jika suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus
dipahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberi kewenangan
pada negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban
apa pun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan
dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan
atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman
mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap
wanita yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah
47 Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly), International Covenant on Civil and Political Rights, 16 December
1966.
48 Majelis Umum PBB, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 16 December 1966.
49 Majelis Umum PBB, International Covenant on Civil…, Pasal 28.
22 23
--------
penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini
Pasal 7:
Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman
lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak
seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan
yang diberikan secara bebas.
Pasal 6 ini dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PBB pada 1957,
yang mencerminkan praktik negara-negara pada suatu masa ketika hukuman mati
masih diberlakukan di mana-mana. Pada 1957, sebagian besar negara Eropa masih
mempraktikkan hukuman mati, sedangkan dewasa ini hukuman mati telah dihapus dari
seluruh benua Eropa.
Formula hak hidup dalam UDHR yang masih belum jelas telah diganti oleh ICCPR dengan
hukum yang lebih rinci. Pasal 6 Ayat (1) ICCPR menyatakan bahwa hak hidup setiap orang
harus dilindungi oleh hukum, dengan kata lain negara wajib memperkenalkan hukum
yang memperkarakan pembunuhan. Ayat (1) juga menyatakan hak hidup seseorang tidak
dapat dicabut sewenang-wenang yang berkaitan erat dengan pernyataan bahwa hukuman
mati hanya dapat dipaksakan sebagai keputusan akhir yang diputuskan oleh pengadilan
yang berkompeten. Sementara ayat (2) menyatakan bahwa hukuman mati hanya dapat
dibebankan kepada kejahatan yang sangat serius. Sayangnya tidak ada definisi mengenai
kejahatan serius walaupun jelas bahwa negara tidak dapat menggunakan hukuman mati
sebagai sanksi atas semua kasus kejahatan biasa.50
Redaksional Pasal 6 ICCPR mencerminkan adanya pertentangan antara kebutuhan
mengakui hukuman mati, yakni dengan mempertimbangkan masih diberlakukannya
hukuman mati di mana-mana dan pada saat yang bersamaan, kehendak untuk
menyampaikan pesan yang sejalan dengan misi hak-hak asasi manusia yang diemban
Kovenan ini . Jika Kovenan Internasional mengakui bahwa apa yang sedang
dipraktikkan negara-negara kala itu sudah sesuai dengan standar hak-hak asasi manusia,
maka Kovenan tidak akan berhasil mewujudkan tujuan mulianya. Akibat pertentangan
ini , menghasilkan rumusan sebagaimana dalam redaksional Pasal 6 ICCPR. Situasi
inilah yang merupakan konteks untuk memahami makna Pasal 6, yang dirumuskan
setengah abad yang lalu dan menggunakannya dalam konteks saat ini.51
Pasal 6 ayat (1) ICCPR merupakan sebuah pernyataan prinsip umum yangdirumuskan
dengan merujuk pada Pasal 3 UDHR dengan perumusan yang lebih rinci. Pasal 6 ayat (1)
ini menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dikurangi “secara sewenang-
wenang” hak untuk hidupnya. Frasa “secara sewenang-wenang” ini merupakan
pembatasan umum atas hak untuk hidup, sebagai usaha untuk mengodifikasikan
50 Franek, op.cit., hlm. 60.
51 Schabas, Keterangan Ahli…, op.cit., hlm. 90.
(menyeragamkan) konsep pembatasan atas hak untuk hidup. UDHR, sebagaimana disebut
sebelumnya, juga telah memberi pembatasan semacam ini melalui Pasal 29 ayat (2).
Istilah “secara sewenang-wenang” ini diakui mencakup pengecualian-pengecualian atas
hak hidup seperti membunuh dalam rangka membela diri, pemakaian kekuatan yang
mematikan dalam rangka penegakan hukum tertentu, dan pembunuhan dalam konflik
bersenjata.52
Para perumus Pasal 6 Kovenan ini berpendapat bahwa hukuman mati dapat
saja dianggap sebagai pengurangan atas hak untuk hidup “secara sewenang-wenang”.
Sebagaimana diuraikan di atas, maka penting memberi ruang bagi pengecualian secara
eksplisit ini mengingat praktik negara-negara pada umumnya pada masa itu. sebab
alasan itulah, para perumus menambahkan ayat (2) pada pasal 6, yang mengizinkan
negara-negara yang belum menghapus hukuman mati untuk melaksanakan hukuman
mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu/khusus.
Oleh sebab itulah jelas bahwa Pasal 6 ICCPR memiliki kecenderungan untuk menghapus
hukuman mati. ini dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) Kovenan yang menyatakan:
“Tidak ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah
penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pidak dalam Konvenan ini”. Klausul
ini merupakan ketentuan yang tidak lazim dalam sebuah perjanjian internasional,
sebab klausul ini tidak menciptakan sebuah norma namun menyatakan sebuah tujuan
yang programatis (programmatic objective). Ketentuan ini dapat dianalogikan dengan
sebuah mukadimah/preambule, yang mewarnai pembacaan atas ayat-ayat Pasal 6 ICCPR
yang lain.53
2.5 Berbagai usaha PBB atas Penghapusan Total Hukuman Mati
Pada 1959, pembahasan mengenai hukuman mati muncul dalam agenda PBB ketika
Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi yang meminta Dewan Ekonomi dan Sosial
untuk mempelajari hukuman mati baik secara hukum dan pelaksanaannya di beberapa
negara, dan mencoba mengukur efek dari penghapusan hukuman mati terhadap tingkat
kriminalitas. Kajian ini selesai pada 1962, dengan hasil laporan “Capital Punishment”
(Hukuman Mati) dipresentasikan oleh Marc Ancel, seorang Jurist dari Perancis.54
Laporan ini memberi kesimpulan penting, bahwa penghapusan hukuman
mati tidak menyebabkan peningkatan tingkat kriminalitas. PBB kemudian melanjutkan
penelitian tentang ini dengan publikasi hasil laporan (yang melengkapi laporan
52 Ibid., hlm. 91.
53 Ibid.
54 Marc Ancel, Capital Punishment, ST/SOA/SD/9, Sales No. 62.IV.2.
24 25
--------
sebelumnya) pada 1967, yang disusun oleh Norval Morris.55 Baru pada 1966, PBB akhirnya
dapat memberi perlindungan HAM dalam suatu formula hukum yang mengikat
dengan disusunnya dua rancangan perjanjian internasional yang sebagian besar berasal
dari UDHR yakni ICCPR dan IESCR.
Pada 1968, atas inisiatif Swedia dan Venezuela, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah
resolusi yang meminta perlindungan yang lebih baik bagi mereka yang dijatuhi hukuman
mati.56 Untuk memastikan perlindungan ini diperkenalkan, resolusi ini
menjelaskan bahwa anggota PBB mengadopsi legislasi untuk memastikan bahwa pada
masa penantian hukuman mati, tetap dibuka kemungkinan mereka memliliki kesempatan
untuk mengajukan banding atau permohonan ampun, atau tetap pada pelaksanaan
hukuman.
Lebih lanjut, legislasi semacam itu harus menetapkan bahwa pelaksanaan hukuman
mati tidak akan dilakukan sebelum permohonan pengampunan/pelaksanaan hukuman
ditetapkan oleh pihak yang berkompeten dan tidak pernah diterapkan sebelum 6 bulan
setelah keputusan pengadilan pertama. Resolusi ini juga menekankan bahwa
warga miskin yang menghadapi hukuman mati harus didampingi oleh lembaga
konseling yang kompeten.57
Sebuah langkah penting dalam usaha PBB untuk melawan keputusan hukuman mati
adalah melalui resolusi lainnya yang disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial pada 1971.
usaha ini bertujuan untuk mendorong pengetatan pemakaian hukuman mati. Resolusi
ini menyimpulkan tujuan yang diharapkan adalah penghapusan total hukuman
mati di seluruh negara sebagai penghargaan atas hak hidup seperti yang tercantum
dalam Pasal 3 UDHR. Sebuah rancangan resolusi dengan isi pembahasan yang sama juga
diajukan pada Majelis Umum dan disetujui dengan sedikit perubahan.58
Pada 1973, Dewan Ekonomi dan Sosial kembali menekankan perhatian pada hukuman
mati dan memutuskan bahwa penelitian secara ilmiah atas isu ini yang dilakukan di bawah
pengawasan PBB. Empat tahun kemudian, Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah
resolusi yang bertujuan secara bertahap mengurangi jumlah pembebanan hukuman mati
dengan harapan akan mencapai penghapusan hukuman mati di seluruh dunia.59
berdasar sebuah penelitian PBB di 1983, ada 2 juta orang yang menjadi korban
extrajudicial killing dan kesewenang-wenangan peradilan pada 1968 dan 1983. Di Uganda,
Kamboja, Argentina, Guatemala dan Iran, orang-orang telah disiksa dan dibunuh dalam
55 Norval Morris, Capital Punishment: Developments, 1961-1965, Sales No. E.67.IV.15. The two reports, oleh Ancel dan Morris,
dipublikasikan dalam satu edisi tahun 1968, ST/SOA/SD/9 dan ST/SOA/SD/10.
56 Franek, op.cit., hlm. 61.
57 Ibid.
58 Ibid.
59 Ibid.
proses ekstrajudisial. Dengan tujuan penelitian, PBB menunjuk Pelapor Khusus untuk
hukuman mati, cepat, atau eksekusi sewenang-wenang.60
Pada 1984 sebuah langkah penting juga di ambil oleh Dewan Ekonomi dan Sosial
dengan beberapa usaha perlindungan yang ditandatangani oleh Majelis Umum PBB.
PBB dan beberapa lembaga internasional kemudian menerapkan serangkaian standar
ditujukan mengatur dan membatasi pemakaian hukuman mati, dengan tujuan untuk
menghapusnya. Secara khusus, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengadopsi Jaminan
Perlindungan untuk menjamin perlindungan atas Hak-Hak orang yang Menghadapi
Hukuman Mati (UN Safeguards), yang menetapkan perlindungan jaminan paling mendasar
yang perlu diperhatikan dalam semua perkara hukuman mati. Jaminan Perlindungan ini
disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1984 tanpa perhitungan suara.61 Bunyi isi resolusi
ini antara lain adalah:
1. Bagi negara yang belum menghapus hukuman mati, hanya akan dijatuhkan bagi
kejahatan yang sangat serius, dengan satu pengertian bahwa batasannya tidak lewat
dari kejahatan terencana, dengan konsekuensi mematikan atau konsekuensi luar
biasa lainnya.
2. Hukuman mati hanya dibebankan pada kejahatan di mana hukuman ini
telah diatur dalam hukum pada saat kejahatan itu terjadi, dengan satu pengertian
bahwa jika, sekiranya ada keputusan saat kejahatan itu terjadi, maka ketetapan
ini dibuat secara hukum bagi hukuman yang lebih ringan, sehingga pelaku
pelanggaran dapat mendapat keuntungan sebab nya.
3. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada mereka yang berusia di bawah 18 tahun,
wanita hamil atau ibu atau mereka yang menderita gangguan jiwa.
4. Hukuman mati hanya dibebankan pada mereka yang terbukti bersalah berdasar
fakta dan bukti yang meyakinkan tanpa ada alternatif penjelasan fakta lainnya
5. Hukuman mati hanya dapat diajukan sebagai keputusan akhir oleh pengadilan
berkompeten setelah proses hukum yang telah memungkinkan semua perlindungan
untuk memastikan pengadilan yang adil, atau setara dengan yang terkandung dalam
pasal 14 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, mencakup hak
setiap orang yang dijatuhi hukuman mati atas kejahatan yang dilakukan untuk
mendapatkan pendampingan hukum.
6. Terdakwa hukuman mati memiliki hak untuk naik banding pada pengadilan yang
lebih tinggi dan harus dipastikan bahwa naik banding ini harus terlaksana.
7. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak mengajukan permohonan maaf,
pengurangan hukuman. Permohonan maaf/pengampunan dan pengurangan
60 Ibid.
61 Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council) 1984/50 25 Mei 1984, disahkan
melalui resolusi Majelis Umum PBB 39/118 pada 14 Desember 1984. Dewan Ekonomi dan Sosial merekomendasikan untuk
mengambil langkah-langkah yang ditujukan untuk memperkuat perlindungan hak orang yang menghadapi hukuman mati
dalam resolusi selanjutnya 1989/64 pada 24 Mei 1989.
26 27
--------
hukuman dapat diberikan pada semua kasus hukuman mati.
8. Hukuman mati sebaiknya tidak tertunda pada sidang naik banding atau prosedur
lainnya disebab kan pengajuan permohonan ampun atau pengurangan hukuman.
9. Keputusan hukuman mati hanya diambil dengan pembebanan penderitaan terendah.
Berbagai perlindungan-perlindungan ini berhubungan erat dengan asas yang
ada dalam Pasal 6 dan Pasal 14 ICCPR.
Kemudian berdasar saran dari Republik Federal Jerman, Majelis Umum PBB
mengajukan sebuah protokol untuk penghapusan hukuman mati pada ICCPR di 1980.
Sebagai hasilnya adalah Protokol Tambahan Kedua (Second Optional Protocol) pada ICCPR
ditandatangani pada 15 Desember 1989. Opsional Protokol Kedua melarang pelaksanaan
hukuman mati dalam yurisdiksi negara anggota (yang meratifikasi). Sebagai tambahan,
negara anggota ini harus melakukan semua langkah penting untuk penghapusan
hukuman mati.62
Untuk mengawasi tindakan menuju penghapusan hukuman mati, Komite HAM PBB
mengevaluasi laporan yang diajukan oleh Negara Pihak setahun setelah protokol mulai
aktif. berdasar protokol ini , sebuah negara tidak dapat menyangkal pelarangan
hukuman ini dengan menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat, sesuatu
yang diperbolehkan oleh ICCPR. Parlemen Eropa menyetujui sebuah resolusi pada 12
Maret 1992 yang meminta anggota Uni Eropa untuk menyetujui Protokol Tambahan
Kedua tanpa penundaan.63 Pada Juni 2002, hampir 50 negara, di antaranya ada
negara-negara Eropa yang telah menyetujui Protokol Tambahan.
usaha penghapusan hukuman mati secara global terus berlangsung melalui berbagai
perjanjian internasional lainnya. Statuta untuk Peradilan Pidana Internasional Bekas
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugolavia)64 dan Statuta Peradilan
Pidana International Rwanda (International Criminal Tribunal for the Rwanda),65 sebagai
peradilan internasional yang bersifat ad hoc untuk kejahatan-kejahatan seperti genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, keduanya tidak mencantumkan
hukuman mati sebagai bagian dari sanksi. ini berbeda dengan Pengadilan Nuremberg
(International Military Tribunal at Nurenberg, 1945) dan Peradilan Tokyo (International Military
Tribunal for the Far East, 1945-1946), yang keduanya dibentuk pada segera diadakan setelah
Perang Dunia Kedua. Perkembangan ini menujukkan bukti adanya perubahan mendasar
yang dilakukan oleh PBB dalam 50 tahun terakhir. Hukuman mati tidak lagi dipakai ,
62 Majelis Umum PBB, Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, Aiming at the Abolition
of the Death Penalty, A/RES/44/128, 15 Desember 1989.
63 Franek, op.cit., hlm. 63.
64 Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council), Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugosla-
via (as amended on 17 May 2002), 25 Mei 1993.
65 Dewan Keamanan PBB, Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (as last amended on 13 October 2006), 8
November 1994.
bahkan untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes).
Perkembangan ini diperkuat dengan terbentuknya Statuta Roma tahun 1998 (Rome
Statute) untuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Statuta ini
disahkan oleh Konferensi Roma pada Juli 1998, yang mengeluarkan hukuman mati dari
alternatif hukuman yang ada. Padahal, Pengadilan ini juga memiliki yurisdiksi untuk
mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius, yakni kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Status dari pengadilan
pidana internasional ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.
Dengan kombinasi peraturan substantif pada hukuman mati yang berkaitan dengan
ICCPR dan Protokol Tambahan Kedua, PBB telah menyediakan perlindungan yang relatif
memuaskan terhadap tindakan sewenang-wenangan dan aspek prosedural lainnya dari
hukuman mati. Namun PBB mengalami masalah yang sama dengan institusi lainnya,
yakni ketidakmampuan secara umum dan ketidakmauan pada tingkat nasional dalam
mencegah implementasi dari komitmen internasional. Kekurangannya sistem sanksi
yang dijatuhkan pada negara yang gagal untuk memenuhi persyaratan yang ada dalam
perjanjian internasional memastikan bahwa PBB akan terus menjadi organisasi yang
lemah, terutama bagi negara yang ingin mengeksploitasi kelemahan-kelemahan PBB
ini .
Ratifikasi Perjanjian Internasional
Komunitas bangsa-bangsa telah mengesahkan empat perjanjian internasional untuk
penghapusan hukuman mati. beberapa perjanjian internasional ini satu bersifat
global dan tiga lainnya bersifat kawasan. Berikut adalah deskripsi singkat keempat
perjanjian ini dan sebuah daftar negara anggota perjanjian serta daftar negara yang
telah menandatangani tapi belum meratifikasi perjanjian, per 31 Desember 2015.
Sebagai catatan, dalam hukum internasional suatu negara dapat menjadi anggota
perjanjian internasional dengan mengaksesinya atau meratifikasinya. Negara yang
menandatangani perjanjian internasional mengindikasikan niat menjadi anggota yang
kemudian akan dilanjutkan melalui ratifikasi.66 Negara yang melakukan ratifikasi berarti
melakukan tindakan internasional di mana negara menyatakan mengikatkan diri sebagai
Negara Pihak (State Party) dalam perjanjian internasonal tertentu.67 Sementara aksesi
adalah tindakan negara untuk menerima atau menjadi negara pihak dalam perjanjian
internasional yang telah ditandatangani oleh negara-negara lainnya. Aksesi memiliki
dampak hukum yang sama dengan ratifikasi.68
66 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention on the Law of Treaties 1969, Pasal 10 dan 18.
67 Ibid., Pasal 2 (1) (b), 14 (1) dan 16.
68 Ibid., Pasal 2 (1) (b) and 15.
28 29
--------
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
Protokol Opsional kedua untuk ICPPR dengan tujuan menghapus hukuman mati, disahkan
oleh Majelis Umum PBB pada 1989, sebagai instrumen yang memiliki cakupan sedunia/
global. Protokol ini memfasilitasi penghapusan total hukuman mati namun mengizinkan
negara anggota mempertahankan hukuman mati pada masa perang jika mereka membuat
pengecualian (reservasi) untuk ini pada saat meratifikasi atau mengaksesi
protokol. Setiap negara yang menjadi pihak ICCPR menjadi anggota dari protokol ini.
Negara pihak: Albania, Andora, Argentina, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Benin,
Bolivia, Bosnia dan Herzegovina, Brazil, Bulgaria, Cabo Verde, Kanada, Chile, Kolombia,
Kosta Rika, Kroasia, Siprus, Republik Czech, Denmark, Djibouti, Ecuador, El Salvador,
Estonia, Finland, Perancis, Gabon, Georgia, Jerman, Yunani, Guinea-Bissau, Honduras,
Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Kyrgyzstan, Latvia, Liberia, Liechtenstein, Lithuania,
Luxembourg, Macedonia, Malta, Meksiko, Moldova, Monako, Mongolia, Montenegro,
Mozambik, Namibia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Norwegia, Panama,
Paraguay, Filipina, Polandia, Portugal, Rumania, Rwanda, San Marino, Serbia, Seychelles,
Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Timor- Leste, Turki, Turkmenistan,
Ukrania, Inggris, Uruguay, Uzbekistan, Venezuela (total: 81) Menandatangani tapi belum
meratifikasi: Angola, Madagaskar, Sao Tome dan Principe (total: 3)
Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia untuk Menghapus Pidana
Mati
Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia untuk menghapus hukuman
mati (Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty),
disahkan oleh Majelis Umum Organisasi Negara-Negara Amerika pada 1990.69 Protokol
ini memfasilitasi penghapusan penuh hukuman mati namun membolehkan negara
mempertahankan hukuman mati pada masa perang jika mereka menyatakan pengecualian
(mereservasi) ini pada saat ratifikasi atau mengaksesi protokol. Semua negara
anggota Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia bisa menjadi anggota protokol.
Negara pihak: Argentina, Brazil, Chile, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Honduras,
Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Uruguay, Venezuela (total: 13)
Protokol No 6 pada Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia mengenai
Penghapusan Pidana Mati
Protokol No. 6 pada Konvensi (Eropa) untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Mendasar terkait dengan Hukuman Mati (Protocol 6 to the European Convention
for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms concerning the Abolition of Death
69 Organisasi Negara-Negara Benua Amerika (Organization of American States/OAS), Protocol to the American Convention on
Human Rights to Abolish the Death Penalty (“Pact of San Jose”), 8 Juni 1990.
Penalty), disahkan oleh Dewan Eropa pada 1983.70 Protocol ini memfasilitasi penghapusan
hukuman mati pada masa damai dan negara bisa mempertahankan hukuman mati untuk
kejahatan “di masa perang atau ancaman nyata perang”. Setiap negara anggota Konvensi
Eropa tentang Hak Asasi Manusia menjadi anggota protokol.
Negara pihak: Albania, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Bosnia dan
Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia,
Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein,
Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Malta, Moldova, Monako, Montenegro, Belanda,
Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol,
Swedia, Swiss, Turki, Ukrania, Inggris (total: 46). Menandatangani tapi belum meratifikasi:
Federasi Rusia (total: 1)
Protokol No 13 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia terkait Penghapusan
Pidana Mati dalam Semua Situasi
Protokol No. 13 pada Konvensi (Eropa) tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Mendasar mengenai Penghapusan Hukuman Mati di Semua Situasi (Protocol
13 to the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms on the Abolition
of the Death Penalty in All Circumstances),71 disahkan oleh Dewan Eropa pada 2002. Protokol
ini memfasilitasi penghapusan hukuman mati dalam semua keadaan, termasuk pada saat
perang dan ancaman nyata perang. Semua negara pihak Konvensi Eropa tentang Hak
Asasi Manusia bisa menjadi anggota protokol.
Negara pihak: Albania, Andora, Austria, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria,
Kroasia, Siprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman,
Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg,
Macedonia, Malta, Moldova, Monako, Montenegro, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal,
Rumania, San Marino, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukrania,
Inggris (total: 44) Menandatangani tapi belum meratifikasi: Armenia (total: 1)
2.6 Laporan Sekretaris Jenderal
Setiap lima tahun, Sekretaris Jenderal PBB menerbitkan sebuah laporan mengenai
perkembangan yang telah dilakukan menuju penghapusan hukuman mati. Sebuah
laporan yang disusun berdasar laporan dari 63 negara lainnya, dipublikasikan pada
70 Dewan Eropa (Council of Europe), Protocol 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms concerning the Abolition of Death Penalty, 28 April 1983.
71 Dewan Eropa, Protocol 13 to the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms on the Abolition of the
Death Penalty in All Circumstances, 3 Mei 2002.
30 31
--------
8 Juni 1995.72
Pada laporan ini , ada jumlah yang luar biasa besar negara yang telah
menghapus atau menghentikan pemakaian hukuman mati, jika dibandingkan dengan
periode lima tahun sebelumnya. Sejak tahun 1989 hingga 8 Juni 1995, 24 negara telah
menghapus hukuman mati dan 22 negara di antaranya telah melakukannya baik pada
masa perang maupun damai. Namun ada catatan bahwa sejak 1989, 4 negara telah
memperkenalkan kembali hukuman mati dan 2 negara (Bahrain dan Komoro), juga
melakukan hal sama setelah sebelumnya menghentikan eksekusi ini .
Laporan Sekretaris Jenderal juga menitikberatkan pada persoalan apakah perlindungan
Dewan Ekonomi dan Sosial yang diadopsi pada tahun 1984 telah dilaksanakan.
Kesimpulannya, hukuman mati masih dipakai untuk kejahatan politik dan pelanggaran
dalam disiplin militer. Masalah lainnya adalah adanya berbagai perlakuan tidak sesuai
dengan standar internasional. Pada beberapa negara, beberapa pelaku pelanggaran
menjalankan hukuman mati dan mencegah pengadilan dari berbagai pertimbangan
atas kondisi yang meringankan. Laporan ini merekomendasikan bahwa definisi
yang diterima tentang “gangguan mental” diikutsertakan sesuai dengan resolusi yang
disahkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial pada tahun 1989, yang melarang hukuman
mati dijatuhkan pada orang yang secara mental terganggu atau menderita berkurangnya
kemampuan mental secara signifikan.
Laporan ini juga membahas alternatif hukuman yang dapat diterapkan pada negara
yang telah menghapus hukuman mati. Situasi yang berbeda-beda dapat dilihat pada berkas
yang diajukan oleh beberapa negara. Dalam laporan ini diketahui bahwa banyak
negara telah memberi kekuasaan pada pengadilan untuk memutuskan hukuman seumur
hidup atau sampai periode tertentu, khususnya antara usia 15-25 tahun. Kebanyakan
negara menerapkan sistem masa percobaan, biasanya setelah tahanan telah menjalani
dua pertiga dari masa hukuman penjara.
2.7 Resolusi dan Rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap
Hukuman Mati
Sebagaimana diketahui, ICCPR masih memiliki kelonggaran dalam mengatur mengenai
praktik hukuman mati dan oleh sebab nya setelah 33 tahun setelah ICCPR diadopsi,
Majelis Umum PBB mengadopsi dan memproklamasikan Protokol Opsional terhadap
ICCPR yang mengatur mengenai penghapusan hukuman mati di dalam Resolusi 33/148
tahun 15 December 1989. Ada perubahan norma terhadap pandangan pemberlakuan
pidana mati dengan alasan antara lain: hak mendasar manusia untuk hidup, risiko yang
72 Franek, op.cit., hlm. 63.
tidak dapat diterima dari mengeksekusi orang yang tidak bersalah, dan ketiadaan bukti
bahwa hukuman mati memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan. Seperti Resolusi
di atas yang di mana Majelis Umum PBB mengadopsi Protokol Opsional ini .
Majelis Umum PBB dan juga diikuti dengan Dewan HAM PBB mengeluarkan beberapa
rekomendasi mengenai pidana mati dalam bentuk Resolusi yang adalah hasil konsensus
mayoritas dari suatu sidang umum. Masing-masing dari resolusi menggambarkan
pandangan terhadap isu-isu di dunia yang di mana berisi juga prinsip-prinsip yang didukung
oleh konsensus ataupun tindakan yang didukung oleh konsensus ini . Sejauh ini
konsensus dunia telah mengeluarkan beberapa Resolusi mengenai perlindungan orang
yang berhadapan dengan pidana mati, serta untuk secara keras melarang pemakaian nya
lewat mengurangi bentuk-bentuk delict yang dapat dituntut hukuman mati.73
Resolusi Majelis Umum PBB ini yakni :
1. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/62/149)(18 Desember 2007)
2. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/63/168)(18 Desember 2008)
3. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/65/206)(21 Desember 2010)
4. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/67/176)(20 Desember 2012)
5. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/69/186)(18 Desember 2014)
6. United Nations General Assembly, Moratorium on the Use of Death Penalty (A/
RES/71/187) (19 Desember 2016)
Sedangkan dengan Resolusi dari Dewan HAM PBB :
1. Panel on the human rights of children of parents sentenced to the death penalty or executed
(Resolution 22/11) (10 April 2013)
2. The Question of the Death Penalty (Resolution 26/2) (26 Juni 2014)
3. The Question of the Death Penalty (Resolution 30/5) (1 Oktober 2015)
Pada April 1997, sebuah resolusi mengenai hukuman mati dari PBB disetujui oleh Komisi
HAM. Resolusi ini meminta negara-negara anggota, yang belum menghapuskan hukuman
mati, agar mempertimbangkan penundaan eksekusi dengan sebuah pandangan agar
tercapainya penghapusan hukuman mati secara total. Resolusi ini juga mendesak
semua negara yang belum menghapus kebijakan hukuman mati secara progresif untuk
73 Adhigama Andre Budiman, Pidana Mati dan Posisi Indonesia terhadap Resolusi Majelis Umum PBB
dan Resolusi Dewan HAM PBB, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Human
Rights Working Group (HRWG), 2017), hlm. 8.
32 33
--------
membatasi jumlah orang yang mendapatkan hukuman di mana hukuman mati mungkin
diterapkan. Negara anggota yang masih memberlakukan hukuman mati juga diminta
untuk menyediakan informasi publik tentang penerapan hukuman mati ini . Resolusi
ini yang didukung oleh Italia dan negara lainnya, yang disetujui oleh 27 negara dan
ditolak oleh 11 negara, serta 4 negara abstain. Sejak itu, sidang tahunan Komisi HAM
secara progresif mendesak negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati
untuk menerapkan sebuah moratorium.
Tabel 1.5 Berbagai Resolusi PBB terkait Hukuman Mati
Resolusi PBB
Sikap Negara Lain:
(Y) Yes/Mendukung
(N) No/Tidak Mendukung
(A) Abstain
UNGA Vote 2007 Resolution 62/149 (Y) 104 (N) 54 (A) 29
UNGAVote 2008 Resolution 63/168 (Y) 106 (N) 46 (A) 34
UNGAVote 2010 Resolution 65/206 (Y) 109 (N) 41 (A) 35
UNGAVote 2012 Resolution 67/176 (Y) 111 (N) 41 (A) 34
UNGA Vote 2014 Resolution 69/186 (Y) 117 (N) 37 (A) 34
UNGA Vote 2016 Resolution 71/187 (Y) 117 (N) 40 (A) 31
Resolusi PBB
Sikap Negara Lain:
(Y) Yes/Mendukung
(N) No/Tidak Mendukung
(A) Abstain
HRC Resolution 22/11 No voting
HRC Resolution 26/2 (Y) 29 (N) 10 (A) 8
HRC Resolution 30/5 (Y) 26 (N) 13 (A)8
Resolusi 62/149 Majelis Umum PBB
Dalam resolusi ini, Majelis Umum PBB menerima komitmen beberapa negara yang
memberlakukan moratorium untuk hukuman mati dan menyerukan bagi negara-
negara yang masih memberlakukan hukuman mati untuk menghormati standar-standar
internasional yang memberi garansi perlindungan bagi orang yang berhadapan
dengan hukuman mati,74 dengan merujuk pada Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial
mengenai garansi perlindungan hak-hak orang yang berhadapan dengan hukuman
mati.75 Sebuah mekanisme pelaporan pemakaian hukuman mati juga harus dilakukan
bagi negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati, untuk secara progresif
memperketat pemberlakuan hukuman mati dan mengurangi bentuk-bentuk perbuatan
pidana yang dapat dijerat dengan hukuman mati dan untuk memberlakukan moratorium
terhadap pidana mati dengan mempertimbangkan penghapusan pidana mati di dalam
legislasi domestiknya.76
Resolusi ini merekomendasikan bahwa bagi negara-negara yang telah menghapus
hukuman mati dan mendorong untuk tidak memberlakukannya lagi.77 Dalam faktanya, ada
negara yang mencoba untuk menghidupkan kembali hukuman mati setelah menghapus.
Filipina dalam hal ini, setelah meratifikasi Protokol Opsional untuk ICCPR pada 2007
dan dukungan-dukungannya terhadap Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB terhadap
moratorium hukuman mati, Dewan Perwakilan Rakyat Filipina pada 1 Maret 2017
menyetujui rancangan undang-undang (RUU) untuk mengaktifkan lagi hukuman mati,
setelah dihapuskan dalam lebih dari seabad.78 RUU ini mengatur mengenai pelanggaran
seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan berunsur narkotik seperti import,
penjualan, pengolahan, pengiriman dan distribusi narkotika dapat dijatuhkan hukuman
mati.
Pada saat pengambilan suara (voting) Resolusi 62/149, sebanyak 104 negara mendukung,
54 negara tidak mendukung, serta dan beberapa 29 negara abstain.79
Resolusi 63/168 Majelis Umum PBB
Majelis Umum PBB mempertegas Resolusi sebelumnya lewat Resolusi 63/168,80 diikuti
dengan naiknya jumlah negara-negara anggota PBB yang telah memutuskan untuk
mendukung moratorium terhadap hukuman mati. Resolusi ini meminta Sekretaris
Jenderal PBB untuk mengeluarkan laporan perkembangan implementasi Resolusi
sebelumnya (Resolusi 62/149),81dan juga bagi negara-negara anggota juga yang masih
74 Majelis Umum PBB, Moratorium on the Use of Death Penalty, A/RES/62/149, 18 Desember 2007, Pasal 2(a).
75 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, 25 Mei
1984.
76 Majelis Umum PBB, Moratorium…, A/RES/62/149, Pasal 2(b), 2(c), dan 2(d).
77 Ibid., Pasal 3.
78 Felipe Villamor, Philippines Moves Closer to Reinstating Death Penalty, New York Times, 1 Maret 2017, <https://www.nytimes.
com/2017/03/01/world/asia/philippines-death-penalty.html?mcubz=3>, diakses pada 18 Agustus 2017.
79 Sistem Informasi Bibliografi PBB (United Nations Bibliographic Information System), Voting Record, A/RES/62/149, <http://
unbisnet.un.org:8080/ipac20/ipac.jsp?profile=voting&index=.VM&term=ares62149>, diakses pada 18 Agustus 2017.
80 Majelis Umum PBB, Moratorium on the use of the death penalty, A/RES/63/168, 13 February 2009.
81 Ibid., Pasal 2.
34 35
--------
memberlakukan hukuman mati diharapkan untuk menyediakan informasi terkait ke
sekjen PBB. Sebuah komitmen juga dikeluarkan untuk melanjutkan pertimbangan usaha
moratorium hukuman mati ke sesi ke-65 dengan judul “Promotion and Protection of Human
Rights”.82 Di dalam Resolusi ke-2 ini sikap Indonesia masih menolak Resolusi Majelis Umum
PBB mengenai moratorium hukuman mati. Sebanyak 106 negara mendukung Resolusi A/
RES/63/168, 46 negara menolak Resolusi A/RES/63/168, dan 34 negara abstain.83
Resolusi 65/206 Majelis Umum PBB
Dalam Resolusi 65/205, Majelis Umum PBB meminta negara-negara anggota untuk
menghormati standar-standar internasional yang memberi jaminan perlindungan bagi
orang yang berhadapan dengan hukuman mati,84 merujuk ke Resolusi Dewan Ekonomi
dan Sosial mengenai garansi perlindungan hak-hak orang yang berhadapan dengan
hukuman mati. Resolusi juga membahas tentang mekanisme pelaporan ke Sekjen PBB
mengenai masalah ini .
Selanjutnya negara-negara anggota PBB didorong untuk memberi informasi yang
relevan mengenai praktik hukuman mati demi kesadaran warga dan membuka
kemungkinan akan adanya sebuah diskusi yang transparan di tahap nasional mengenai
pemberlakuannya.85 Majelis Umum PBB meminta negara-negara yang telah menghapus
praktik hukuman mati untuk berbagi pengalaman mengenai penghapusan hukuman
mati di legislasi nasionalnya. Ada 41 negara yang menolak Resolusi ini dan 109 negara
yang mendukung terhadap Resolusi A/RES/65/206. Selanjutnya ada 35 negara memilih
abstain.86
Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB
Resolusi 67/176 merupakan Resolusi pertama yang dikeluarkan Majelis Umum PBB yang
mengatur secara jelas tentang perlindungan terhadap anak dan wanita hamil dalam
kaitannya dengan hukuman mati.87 Masuknya perumusan perlindungan terhadap anak
dan wanita hamil dianggap merupakan suatu situasi di mana penerapan hukuman
mati di tingkat nasional sebagai ancaman hak asasi yang serius.
Pengaturan anak dan wanita hamil adalah peresapan prinsip perlindungan
fundamental tingkat internasional dan secara tegas dikatakan “The Death Penalty for [such
offences] shall not be executed on such women (pregnant women or mothers having dependent
82 Ibid., Pasal 3.
83 Sistem Informasi Bibliografi PBB (United Nations Bibliographic Information System), Voting Record, A/RES/63/168, <http://
unbisnet.un.org:8080/ipac20/ipac.jsp?profile=voting&index=.VM&term=ares63168>, diakses pada 18 Agustus 2017.
84 Majelis Umum PBB, Moratorium on the Use of Death Penalty, A/RES/65/206, 18 Desember 2007, Pasal 3(a).
85 Ibid., Pasal 3(b).
86 Sistem Informasi Bibliografi PBB (United Nations Bibliographic Information System), Voting Record, A/RES/65/206, <http://
www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/RES/65/206>, diakses pada 18 Agustus 2017.
87 Majelis Umum PBB, Moratorium on the Use of Death Penalty, A/RES/67/176, 20 Desember 2012, Pasal 4(c).
infants).”88 Sebelum lahirnya hukum internasional tentang HAM, hukum humaniter telah
mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan terhadap kedua kelompok ini di dalam
situasi darurat dan konflik89 dan serta dalam rekomendasi dari Dewan Ekonomi dan Sosial
PBB.90 Hal inilah yang mendorong PBB untuk merekomendasikan perlindungan terhadap
kedua anak dan wanita hamil ke dalam penerapan praktik domestik, sebab adanya
adanya kebutuhan ataupun kegagalan pemberian perlindungan yang kritis di dalam
penerapan negara dalam menjalakan tata pemerintahan mereka.
Masuknya perlindungan anak terhadap praktik hukuman mati di dalam Resolusi Majelis
Umum PBB A/RES/67/176 diikuti dengan perhatian PBB mengenai nasib anak dari
terpidana mati. Dewan HAM PBB memanggil perwakilan warga sipil, negara-negara
dan PBB sendiri ke dalam forum diskusi mengenai anak-anak dari terpidana mati.91 Dengan
Konvensi Hak-hak Anak,92 Resolusi ini mendesak dan meminta negara-negara untuk
memberi perlindungan dan pendampingan kepada anak-anak dari terpidana mati
dan dengan pertimbangan kepentingan terbaik si anak, memberi informasi mengenai
orang tuanya dan juga informasi-informasi lain yang terkait dengan itu. Selanjutnya,
Resolusi ini meminta Office of the High Commissioner (OCHRH) untuk mengorganisasi
sebuah panel discussion mengenai topik ini.
Diskusi ini kemudian dinyatakan pada 11 September 2013 di Palais de Nations di
Jenewa. Deputy OHCHR, Flavia Pansieri, mengatakan bahwa “negara-negara yang masih
menerapkan hukuman mati harus memikirkan akan konsekuensinya terhadap warga
secara luas, dan secara khusus terhadap keluarga dari terpidana mati, (…) Dewan HAM
menyampaikan perhatiannya yang mendalam terhadap dampak negatif dari implementasi
hukuman mati.”93 Praktik dari Komisi/Badan Nasional HAM Yordania94dalam memberi
pelatihan kepada kepolisian mengenai langkah berhadapan dengan anak dalam proses
penangkapan dan berhadapan dengan media menjadi negara contoh good practice dalam
mendukung anak yang orang tuanya dihukum mati. Komisi Nasional HAM Thailand95
juga yang berhasil mendorong layanan kunjungan bagi orang yang berhadapan dengan
hukuman mati dinilai sebagai contoh bagi negara lain dalam memenuhi rekomendasi.
88 Lihat Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC), Protocol Additional I to the Geneva
Conventions, 1993, Pasal 76(3).
89 Lihat Komite Palang Merah Internasional, Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War,
1949, Pasal 38(5), 132.
90 Lihat Majelis Umum PBB, Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict, A/
RES/3318(XXIX), 14 Desember 1974.
91 Léa Macarez, Children of people sentenced to death attract the UN’s attention’ World Coalition Against the Death Penalty,
19 September 2013, <http://www.worldcoalition.org/Children-of-people-sentenced-to-death-attract-the-UNs-attention.html>,
diakses 20 Agustus 2017.
92 Majelis Umum PBB, Convention on the Rights of the Child, 20 November 1989, Pasal 2, 3, 9, dan 20.
93 Macarez, loc.cit.
94 Ibid.
95 Ibid.
36 37
--------
Resolusi ini juga mendorong negara-negara anggota PBB untuk meratifikasi Protokol
Opsional Kedua Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang mengatur mengenai penghapusan
penerapan hukuman mati.96 Masuknya ketentuan-ketentuan di atas menambah
dukungan negara-negara anggota PBB dari resolusi yang terakhir yang jumlahnya 109
negara menjadi 111 negara. Pada saat pengambilan suara dalam menetapkan resolusi ini,
sebanyak 41 negara menolak dan 34 negara menyatakan abstain.
Resolusi 22/11 Dewan HAM PBB
Dalam Sesi ke-22 pada 21 Maret 2013, Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 22/11
mengenai ‘Panel tentang Hak Asasi Manusia terhadap Anak-Anak yang Orang Tua
Mereka di Hukum dengan Hukuman Mati atau Dieksekusi’ (Panel on the Human Rights of
Children of Parents Sentenced to the Death Penalty or Executed).97 Resolusi ini ditetapkan
tanpa voting dan disponsori oleh Belgia yang didukung oleh sekitar 60 negara sebagai
co-sponsor.
Resolusi 26/2 Dewan HAM PBB
Dalam sesi ke-26 pada 27 Juni 2014, Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 26/2 tentang
The Question of the Death Penalty. Draft dari Resolusi ini divoting dengan selisih pengambilan
suara 29 negara mendukung, 10 negara menolak, dan 8 negara abstain.98
Di dalam Resolusi ini, Dewan HAM PBB mengingatkan negara-negara akan mekanisme
PBB berupa:99
1. Prosedur-Prosedur Khusus (Special Procedure) yang bersinggungan dengan hukuman
mati, termasuk di dalamnya Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman,
degrading treatment or punishment dan Special Rapporteur on extrajudicial, summary or
arbitrary executions.
2. Treaty Bodies, dalam membahas isu-isu HAM yang bersinggungan dengan hukuman
mati.
Sebelumnya, di dalam Laporan Dewan HAM PBB mengenai sidang sesi ke-26 ini, ada
beberapa perubahan (amendment) dari draft Resolusi ini yang ajukan oleh negara
non-sponsor atau non-co-sponsor. Perubahan-perubahan ini adalah:
1. Perubahan A/HRC/26/L.34, dengan perumusan di dalam yang sama dengan Draft
Resolusi A/HRC/26/L.8/Rev.1, kecuali paragraph ke-13 yang dihilangkan oleh para
negara penyusun. Paragraph ke-13 Draft Resolusi A/HRC/26/L.8/Rev.1 berisi: “(The
96 Majelis Umum PBB, Moratorium…, A/RES/67/176, Pasal 6.
97 Dewan HAM PBB (Human Rights Council), Report of the Human Rights Council, Twenty-second session Agenda item 1, 2013,
para 39.
98 Dewan HAM PBB, Report of the Human Rights Council, Twenty-second session Agenda item 1, 2014, para 149.
99 Majelis Umum PBB, Promotion and protection of all human rights, civil, political, economic, social and cultural rights, including
the right to development: The question of the death penalty, A/HRC/26/L.8/Rev.1, 25 Juni 2014, Pasal 9, 10.
Human Rights Council)Strongly deploring the fact that the use of the death penalty leads
to violations of the human rights of those facing the death penalty and of other affected
persons,”100 atau diterjemahkan “(Dewan HAM) Sangat menyesalkan akan fakta
bahwa pemakaian hukuman mati menyebabkan pelanggaran-pelanggaran HAM
terhadap mereka yang menghadapi hukuman mati dan orang-orang lain yang terkena
dampaknya.”Amandement A/HRC/26/L.34 ini ditolak dengan selisih pengambilan
suara 17 negara mendukung (termasuk negara kita ) – 23 negara menolak, dan 6
abstain.101
2. Perubahan dokumen A/HRC/26/L.35, dengan perumusan yang sama, ditambah
dengan satu paragraf di atas paragraph I yang berisi, “Reaffirms the sovereign right of
all countries to develop their own legal systems, including determining appropriate legal
penalties, in accordance with their international law obligations”102 atau diterjemahkan
“Menegaskan kembali akan hak kedaulatan dari semua negara untuk mengembangkan
sistem hukum mereka sendiri, termasuk menentukan hukuman pidana yang sesuai,
sesuai dengan kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka.” Amandemen A/
HRC/26/L.35 ini ditolak dengan selisih pengambilan suara 17 negara mendukung
(termasuk negara kita ), 23 negara menolak, dan 7 abstain.
Draft Resolusi dalam dokumen A/HRC/26/L.8/Rev.1 kemudian diajukkan oleh perwakilan
Perancis, Swiss, Mexico, dan Belgia, dan disponsori oleh Belgia, Benin, Costa Rica, Perancis,
Mexico, Mongolia, Republik Moldova, dan Swiss103 yang kemudian ikut didukung atau co-
sponsor oleh beberapa negara lainnya.104 Dalam kesempatan sidang ini, pengambilan suara
untuk Draft Resolusi A/HRC/26/L.8/Rev.1 dilakukan dengan hasil 29 negara mendukung
dan 10 negara dengan posisi menolak. Indonesia salah satu negara yang menolak.105
Resolusi 69/186 Majelis Umum PBB
Resolusi 69/186 mengenai moratorium praktik hukuman mati ini mempertegas keempat
Resolusi yang ada sebelumnya dan menerima keputusan dan rekomendasi dari Dewan
100 Ibid.
101 Dewan HAM PBB, Report of…, op.cit., Pasal 141.
102 Majelis Umum PBB, Promotion…, loc.cit.
103 Dewan HAM PBB, Report of…, op.cit., Pasal 134. Sponsor adalah delegasi atau perwakilan negara yang mengajukan sebuah
resolusi untuk diadopsi di dalam suatu konferensi. Co-sponsor adalah delegasi atau perwakilan yang mana secara bersama-sa-
ma turut ikut serta mengajukan sebuah resolusi atau proposal bentuk lain untuk diadopsi di dalam suatu konferensi
104 Daftar negara-negara co-sponsor: Andorra, Angola, Australia, Austria, Bolivia (Plurinational State of), Bulgaria, Chile, Co-
lombia, Croatia, Cyprus, the Czech Republic, Denmark, Dominican Republic, Estonia, Finland, Georgia, Germany, Greece,
Honduras, Hungary, Iceland, Ireland, Israel, Kyrgyzstan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Monaco, Monte-
negro, Namibia, the Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Norway, Paraguay, Peru, Poland, Portugal, Romania, Rwanda, Ser-
bia, Sierra Leone, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, the former Yugoslav Republic of Macedonia, Timor-Leste, Turkey, Ukraine,
the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and Uruguay. Subsequently, Algeria, Argentina, Brazil, Cabo Verde,
Côte d’Ivoire, Djibouti, Haiti, Italy, San Marino, Togo and Venezuela (Bolivarian Republic of).
105 Dewan HAM PBB, Report of…, op.cit., Pasal 149
38 39
--------
HAM PBB.106 Majelis Umum PBB mencatat adanya dorongan diskusi di tahap nasional dan
regional mengenai moratorium hukuman mati, serta kesiapan beberapa negara untuk
memberi informasi mengenai penerapan hukuman mati yang dapat diakses oleh
publik dan juga keputusan Dewan HAM PBB Resolusi 26/2 tanggal 26 Juni 2014 untuk
mengadakan high-level panel discussion (diskusi panel tingkat tinggi) per 2 tahun untuk
pertukaran pandangan mengenai hukuman mati.107
Majelis Umum PBB merekomendasikan negara-negara anggota PBB untuk mengikuti
kewajibannya sesuai dengan Konvensi Vienna 1963 khususnya mengenai hak untuk
menerima informasi tentang hubungan konsuler di dalam hal proses persidangan.108
Resolusi menambahkan jaminan perlindungan terhadap orang dengan gangguan
mental.109 Majelis Umum PBB merekomendasikan negara-negara anggota PBB untuk
mempertimbangkan penyetujuan atau ratifikasi dari Protokol Tambahan Kedua ICCPR
mengenai penghapusan hukuman mati.110
Resolusi ini diadopsi dengan selisih pengambilan suara 117 negara mendukung, 37
negara menolak, dan 34 negara abstain. Ada peningkatan yang signifikan dari jumlah
negara pendukung Resolusi moratorium hukuman mati, jika dilihat dari substansi di
dalam rekomendasi-rekomendasinya. Masuknya unsur perlindungan fundamen terhadap
anak, wanita hamil, dan orang dengan gangguan mental sangat mempengaruhi
pertimbangan negara-negara untuk menerapkan moratorium hukuman mati.
Resolusi 30/5 Dewan HAM PBB
Pada 1 Oktober 2015,