hukuman mati 3

Jumat, 26 Januari 2024

hukuman mati 3





dan, dengan pidana 
penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi 
kejahatan ini.
Pasal 444
Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 – 441 
mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang 
diserang itu mati maka nakoda. komandan atau pemimpin kapal dan mereka 
yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana 
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu 
tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 479 huruf k ayat (2)
Pasal 479 i
Barang siapa di dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan 
hukum merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai 
pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara 
selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 479 j
Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman 
kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau 
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat 
udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 
lima belas tahun.
Pasal 479 k
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 
selama-lamanya dua puluh tahun, jika  perbuatan dimaksud pasal 
479 huruf i dan pasal 479 j itu:
a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
b. sebagai kelanjutan permufakatan jahat;
c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
d. mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara ini , 
sehingga dapat membahayakan penerbangannya;
e. mengakibatkan luka berat seseorang;
f. dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau 
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya 
pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 479 huruf o ayat (2)
Pasal 479 l
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan 
kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, 
jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara 
ini , dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 479 m
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara 
dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara ini  
yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan 
penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas 
tahun.
Pasal 479 o
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 
selama-lamanya dua puluh tahun jika  perbuatan dimaksud pasal 
479 huruf 1, pasal 479 huruf m, dan pasal 479 huruf n itu:
a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
b. sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat;
c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
d. mengakibatkan luka berat bagi seseorang.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya 
pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara selamalamanya dua puluh tahun.

-- -- 
Dengan ketentuan yang demikian, menimbulkan pertanyaan tentang alasan-alasan 
mengapa hukuman mati tetap dipertahankan dalam KUHP. Pada saat membentuk 
undang-undang dinyatakan dalam penjelasan bahwa alasan itu terletak pada keadaan 
yang khusus dari Indonesia sebagai jajahan Belanda.236 Menurut Roeslan Saleh, alasan 
dipertahankannya pidana mati adalah sebab  bahaya akan terganggunya ketertiban 
hukum di Indonesia lebih besar dan lebih mengancam dibandingkan dengan di Belanda. 
Penduduk Indonesia yang beraneka ragam berpotensi menimbulkan bentrokan, 
sedangkan pemerintah dan kepolisian Indonesia kurang memadai. berdasar keadaan 
itulah maka dipandang bahwa pidana mati tidak dapat dilenyapkan sebagai senjata paling 
unggul dari Pemerintahan.237
Sejalan dengan pendapat ini , Adami Chazawi memberi  pandangan bahwa 
ada  dua alasan pemerintah mempertahankan pidana mati, yaitu: pertama, 
kemungkinan perbuatan yang mengancam kepentingan hukum di sini jauh lebih besar 
daripada di Belanda, mengingat negeri ini wilayahnya sangat luas dengan penduduk 
yang terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan adat dan tradisi yang berbeda. 
Keadaan ini  sangat potensial menimbulkan perselisihan, bentrokan yang tajam, 
dan kekacauan besar di kalangan warga . Kedua, alat perlangkapan keamanan yang 
dimiliki pemerintah Hindia Belanda masih sangat kurang atau tidak sesempurna dan 
selengkap di negeri Belanda.238
Padahal, sebagaimana yang diuraikan dalam bagian sebelumnya, pemberlakukan 
hukuman mati di Hindia Belanda (negara kita ) sebagaimana diatur dalam Wetboek van 
Strafrecht voor Indonesie (WvSI) penerapannya tidak terlepas dari motif kolonial Belanda 
yaitu untuk mempertahankan dan mengamankan daerah jajahannya.239 Tidak ada cukup 
alasan yang memadai atas masih dipertahankan hukuman mati di Wetboek van Strafrecht 
voor Indonesie (WvSI) dalam KUHP. Pada 1958, KUHP ini dinyatakan berlaku di seluruh 
wilayah Indonesia mulai 2 September 1958 dengan diterbitkannya UU No. 73 Tahun 1958 
tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia 
tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan 
Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.      
3.4.2  Hukuman Mati dalam Hukum Militer di Indonesia 
Bersama dengan perkembangan KUHP,  hukum pidana militer juga merupakan warisan 
dan yang lahir dalam sistem hukum pidana militer yang ada di Belanda. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) merupakan warisan dari Pemerintah Hindia 
Belanda yang dahulunya berlaku untuk KNIL (I.S 1934 No.7), yang kemudian telah 
ditambah dengan UU No. 39 Tahun 1947 tentang Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara 
(Staatblad 1934, NO. 167) dengan Keadaan Sekarang. 
KUHPM dimaksudkan sebagai tambahan dari KUHP, di mana KUHPM berlaku khusus bagi 
militer dan orang-orang yang tunduk pada kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer. 
ini didasarkan atas pertimbangan bahwa ketentuan-ketentuan yang ada  dalam 
KUHP tidak cukup keras bagi pelaku yang merupakan militer yang dalam perbuatan 
pidana atau dalam keadaan tertentu akan memiliki sifat yang berat bagi seorang anggota 
militer. Selain itu, perbuatan tertentu yang ada  dalam KUHPM hanya dapat dilakukan 
oleh militer.240 Jika dibandingkan, pasal yang memuat ancaman pidana mati dalam KUHPM 
lebih banyak daripada pasal yang memuat ancaman pidana mati di KUHP, yakni di KUHP 
ada  11 (sebelas) pasal sedangkan dalam KUHPM ada  27 (dua puluh tujuh) pasal.
Dalam sejarahnya, KUHPM yang saat ini berlaku berasal dari Wetboek van Militair 
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Stbl 1934 Nr. 167). Meski memiliki corak yang sama 
dengan perkembangan KUHP, namun KUHP Militer tidak banyak mengalami perubahan, 
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 132 Indische Staatsregeling: 
“De Militaire Strafrechtspleging berust op Ordonanties, zoeveel mogelijk overeenkomende 
met de in Nederland bestaande wetten” 
(Pelaksanaan Hukum Pidana Militer dicantumkan dalam ordonansi-ordonansi yang 
sejauh mungkin bersesuaian dengan undang-undang yang ada di negeri Belanda).241
Namun demikian, Wetboek van Militair Strafrecht memperkenankan adanya penyimpangan. 
Penyimpangan hanya diperkenankan jika : (i) adanya kondisi khusus di Indonesia 
yang menghendaki (penyimpangan) demikian itu (Specifieke Indische toetstanden daartoe 
noopten); (ii) jika dalam praktek menunjukkan adanya kebutuhan yang sangat untuk 
mengadakan perubahan atau penambahan (in de praktijk de noodzakelijkheid van wijziging 
of aanvulling had Aangetoond); dan (iii) untuk memperjelas sesuatu pasal (verduidelijking 
van enig artikel gewenst bleek).242
Selain mengundangkan KUHPM, Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan 
Wetboek van Krijgstucht voor Nederlandsch-Indie (Stbl. 1934 Nr 168). Dari kedua hukum 
warisan Belanda ini, hanya KUHPM yang masih berlaku berdasar ketentuan UU No. 
39 Tahun 1947 tentang Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No 167) 
dengan Keadaan Sekarang.
Diterapkannya hukuman mati dalam sistem hukum pidana militer di Indonesia tidak 
dapat dipisahkankan dari sistem peradilan militer Belanda yang diberlakukan sebelum 
perang dunia kedua. Peradilan Militer Belanda di Indonesia dikenal dengan “Krijgsraad” 
dan “Hoog Militair Gerechtshof”. Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi perbuatan pidana 
militer dan anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia 
Belanda) yaitu KNIL dan anggota Angkatan Laut Belanda. 
Pasca kemerdekaan, berdasar Ketentuan Peralihan (Pasal II) dan untuk menghindari 
terjadinya kekosongan hukum pidana militer di negara kita , terjadi adopsi terhadap 
Wetbook van Militaire Strafrecht (WvMS) yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Belanda. 
Pasal II Ketentuan Peralihan menyatakan :
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum 
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” 
Ketentuan inilah yang kemudian mempengaruhi hukum pidana militer dan sistem 
peradilan militer Belanda ke dalam sistem hukum dan peradilan militer negara kita . 
Namun demikian, pada saat itu Indonesia tidak secara langsung melakukan adopsi atau 
mengambilalih sistem peradilan militer yang terbentuk sebelum kemerdekaan. Termasuk 
pada saat pembentukan Tentara Republik Indonesia pada 5 Oktober 1946, peradilan 
militer Indonesia belum dibentuk. 
Peradilan Militer Indonesia baru dibentuk pada tanggal 8 Juni 1946 dengan dikeluarkannya 
Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.245 Pengadilan Tentara 
pada waktu itu terdiri dari 2 (dua) badan (tingkat) yakni : Mahkamah Tentara dan 
Mahkamah Tentara Agung, dan jika  diperlukan dapat dibentuk dibentuk suatu 
Pengadilan Tentara Luar Biasa. Perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana militer 
Indonesia terus menerus dilakukan sampai dengan tahun 1950 ketika Pemerintahan 
Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1950 dan Peraturan 
Pemerintah No. 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan 
dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Pengadilan tentara ini terdiri dari Mahkamah 
Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung. 
Sistem hukum pidana militer Indonesia yang dibentuk ini  terkait erat dengan hukum 
materiil yang mengatur mengenai tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan anggota 
militer ataupun non militer yang tunduk pada sistem hukum pidana militer. Dalam praktiknya, sebab  belum memiliki sumber daya yang memadai dan terdidik untuk melak-
sanakan tugas dan fungsi peradilan militer. Oleh sebab nya, UU No. 7 Tahun 1946 menetapkan bah-
wa Ketua, Wakil Ketua dan anggota Pengadilan Negeri menjadi Ketua, Wakil Ketua dan anggota pen-
gadilan tentara. Selengkapnya lihat Moch Faisal Salam, Peradilan Militer negara kita , (CV Mandar Maju, 

materiil ini ada  di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan 
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM).
a. Hukum Pidana Militer Di Indonesia 
Hukum Pidana Militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum pidana militer dalam 
arti materil dalam hukuman pidana militer dalam arti formil. Pada dasarnya hukum pidana 
militer dapat diberikan pengertian secara singkat dan sederhana sebagai hukum pidana 
yang berlaku khusus bagi anggota militer. 
Mengenai pengertian kata militer itu sendiri dapat dipahami dari asal mula kata 
“Militer”. Istilah militer sebenarnya berasal dari kata “miles”, dalam bahasa Yunani 
yang memiliki  arti seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan 
pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan 
keamanan. Militer merupakan orang yang bersenjata dan siap bertempur, yaitu orang-
orang yang sudah terlatih untuk menghadapi tantangan atau ancaman pihak musuh yang 
mengancam keutuhan suatu wilayah atau negara.248 Namun demikian, tidak setiap orang 
yang bersenjata dan siap untuk berkelahi atau bertempur dapat disebut dengan istilah 
militer. Karakteristik militer adalah memiliki  organisasi yang teratur, mengenakan 
pakaian yang seragam, memiliki  disiplin, serta mentaati hukum yang berlaku dalam 
peperangan. jika  karakteristik ini  tidak dipenuhi, maka kelompok ini  tidak 
dapat disebut dengan militer, melainkan disebut dengan suatu gerombolan bersenjata 
(belligerent). 
Pengertian secara yuridis dapat dijumpai dalam beberapa peraturan perundang-
undangan di negara kita , antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dan UU 
No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam UU No. 31 Tahun 1997, menggunakan 
istilah “Prajurit,” bukan menggunakan istilah Militer. ini dinyatakan pada Pasal 1 butir 
42 UU No. 31 Tahun 1997 bahwa :
“Prajurit dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan 
Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam 
ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang 
untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang 
senjata, rela berkorban jiwa raga dan berperan serta dalam pembangunan nasional 
dan tunduk pada hukum militer”.  
Dengan demikian Pasal 1 butir 42 UU No. 31 Tahun 1997 pada dasarnya mengatur 
tentang orang-orang yang disebut sebagai anggota militer, yang menurut UU No. 3 Tahun 
2002 tentang Pertahanan Negara mencakup anggota TNI AD, TNI AL, TNI AU. Selain 
pengertian “militer/prajurit” ini  di atas, dalam Pasal 9 butir 1 UU No. 31 Tahun 1997 
247EY Kanter dan SR Sianturi, Hukum Pidana MIliter di negara kita , 
ternyata juga mengatur ketentuan mengenai kelompok orang yang dianggap memiliki 
karakteristik yang sama dengan “militer/prajurit” , sehingga terhadap kelompok orang ini 
dapat ditundukkan pula pada hukum militer dan hukum pidana militer, yang terdiri dari: 
a. …; 
b. Yang berdasar undang-undang dipersamakan dengan prajurit; 
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan, atau yang dipersamakan  atau 
dianggap sebagai prajurit berdasar undang undang. 
d. Seseorang yang tidak termasuk pada huruf a, huruf b, dan huruf c, namun  atas 
keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh 
suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer. 
berdasar ketentuan pasal ini  di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya 
pengertian “militer” dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini disebabkan sebab  
orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai anggota militer dapat meliputi kelompok-
kelompok sebagai berikut: 
1. Militer murni dalam pengertian Angkatan Perang (TNI AD, TNI AL, TNI AU). 
2. Kelompok orang yang dipersamakan dengan militer atau angkatan perang. 
3. Anggota dari suatu organisasi yang dipersamakan dengan militer/Angkatan 
Perang. 
Bertitik tolak dari hubungan dengan pengertian hukum pidana militer ini , Sianturi 
memberi  rumusan mengenai pengertian hukum pidana militer yang ditinjau dari sudut 
justiabel, yaitu orang-orang yang tunduk dan ditundukkan pada suatu kekuasaan badan 
peradilan tertentu.249 Hukum pidana militer formil dan materiil adalah bagian dari hukum 
positif yang berlaku bagi justiabel peradilan militer. Ketentuan ini menentukan dasar-
dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan 
keharusan serta terhadap pelanggaran yang diancam pidana.
Hukum pidana militer merupakan lex specialis dari hukum pidana umum yang merupakan 
lex generalis, berlakunya hukum pidana umum bagi kalangan militer didasari oleh Pasal 
103 KUHP: 
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi 
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam 
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.” 
Ketentuan ini diperkuat oleh ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM. Pasal 1 KUHPM 
menyatakan : 
“(diubah dengan UU No. 9 Tahun 1947) untuk penerapan kitab undang-undang ini 
berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk Bab kesembilan dari 
buku pertama kitab undang-undang hukum pidana kecuali ada penyimpangan-
penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.” 
Selanjutnya Pasal 2 KUHPM: 
“(diubah dengan UU No. 9 Tahun 1947) terhadap tindak pidana yang tidak tercantum 
dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada 
kekuasaan badan-badan peradilan militer diterapkan hukum pidana umum, kecuali 
ada penyimpangan-penyimpangaan yang ditetapkan oleh undang-undang.” 
berdasar ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM, Hukum Pidana Umum berlaku 
bagi setiap orang, termasuk di dalamnya bagi TNI/militer. Namun, bagi militer ada  
ketentuan-ketentuan yang menyimpang dan berlaku khusus dari ketentuan-ketentuan 
yang diatur dalam KUHP yang diberlakukan bagi militer, yang diatur di KUHPM. 
Dengan diaturnya peraturan-peraturan khusus di dalam KUHPM itu, ada  penambahan 
dari aturan-aturan yang telah diatur dalam KUHP, termasuk didalamnya delik-delik yang 
diancam dengan pidana mati, yang di kalangan militer berkaitan dengan kejahatan 
terhadap pertahanan negara. 
Sebelum membahas mengenai substansi yang terkait dengan pidana mati di dalam 
KUHPM, secara singkat akan diuraikan mengenai macam-macam tindak pidana militer, 
antara lain: 
1) Tindak pidana umum (komunne delicta) yang dapat dilakukan oleh setiap orang, 
yang merupakan lawan dari tindak pidana khusus (delicta propria) yang hanya 
dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, dalam ini dilakukan oleh seorang 
militer. 
2) Tindak Pidana Militer. Tindak pidana militer yang diatur di dalam KUHPM dibagi 
menjadi 2 bagian yaitu tindak pidana militer murni (Zuiver Militaire Delict) dan 
tindak pidana militer campuran (Gemengde Militerire Delict). 
Tindak pidana militer murni merupakan suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh 
seorang militer sebab  sifatnya khusus militer. Sementara tindak pidana militer campuran 
merupakan suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya, 
hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman 
hukumannya dirasakan terlalu ringan jika  perbuatan itu dilakukan oleh seorang 
militer. ada  4 (empat) kualifikasi yang digolongkan di dalam tindak pidana militer 
murni yaitu:
1. Militer yang pergi dengan maksud untuk menarik diri dari kewajiban-kewajiban 
dinasnya;
2. Militer yang pergi dengan maksud melarikan diri dari bahaya perang;
3. Militer yang pergi dengan maksud menyeberang ke musuh;
4. Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu 
negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Di dalam Pasal 87 KUHPM, mengatur mengenai Desersi yang dikualifikasi sebagai tindak 
pidana militer murni. Pasal 87 KUHPM menyatakan :
(1) Diancam sebab  desersi, militer : 
1. Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-
kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh, 
atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa 
dibenarkan untuk itu;
2. Yang sebab  salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak hadiran 
tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu 
perang lebih lama dari empat hari; 
3. Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan sebab nya 
tidak ikut melaksanakan tugas sebagian atau seluruhnya dari suatu 
perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2. 
(2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara 
maksimum dua tahun delapan bulan. 
(3) (3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana 
penjara maksimum delapan tahun enam bulan.
Sementara tindak pidana militer campuran merupakan tindakan-tindakan yang dilarang 
atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, 
akan namun  diatur lagi dalam KUHP Militer atau undang-undang pidana militer lainnya, 
sebab  adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau sebab  adanya sesuatu sifat yang 
lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat 
dari ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan ini  dalam pasal 
52 KUHP. Contohnya, pencurian dalam pasal 362 KUHP diatur pula dalam pasal 140 KUHP 
Militer.
Oleh sebab  itu perbuatan yang telah diatur perundang-undangan lain yang jenisnya sama, 
diatur kembali di dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat disesuaikan 
dengan kekhasan militer. Sehingga, perlu diatur di dalam KUHP Militer secara khusus. 
sebab  mengatur hal-hal yang bersifat khusus maka hukum pidana militer disebut hukum 
pidana khusus. Pengertian khusus itu adalah ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku 
bagi anggota militer saja dan di dalam keadaan tertentu pula.
b. Hukuman Mati Dalam KUHPM 
Terhadap tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk 
pada ketentuan hukum pidana militer diancam pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 
6 KUHPM: 
a. Pidana-Pidana Utama 
1. Pidana Mati 
2. Pidana Penjara 
3. Pidana Kurungan 
4. Pidana tutupan (UU No. 20 Tahun 1946) 
b. Pidana Tambahan 
1. Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk 
memasuki Angkatan Bersenjata 
2. Penurunan Pangkat 
3. Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-
nomor ke-1, ke-2, dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Diaturnya ancaman pidana terhadap militer pada dasarnya harus dianggap sebagai suatu 
tindakan pendidikan atau pembinaan, bukan sebagai sarana penjeraan. ini disebabkan 
sebab  didasari pada asumsi bahwa seseorang yang dikenai pidana akan kembali 
melakukan dinas militer setelah menjalani pidananya,251 dengan harapan orang ini  
akan menjadi militer yang baik dan berguna sebagai akibat dari “tindakan pendidikan” 
yang dijalani selama menjalani pidana. Dalam kerangka ini, fungsi sanksi pidana militer 
tidak jauh berbeda dengan fungsi sanksi pidana pada umumnya. Sanksi pidana terhadap 
anggota militer berfungsi agar anggota militer tidak mengulangi perbuatan tindak pidana 
yang dilakukan dan selalu siap ditempatkan di mana saja dalam kedinasannya. Walaupun, 
makna tindakan pendidikan ini tidak akan berhasil bagi militer yang dijatuhi hukuman 
mati, yang dalam ini dalam ini tidak hanya diatur oleh KUHP dan untuk tindak 
pidana umum saja, namun juga diatur di dalam KUHPM yang tindak pidananya khusus 
dilakukan oleh anggota TNI/militer baik untuk delik umum maupun delik militer. 
Ketentuan mengenai pidana mati di dalam KUHP tersebar dalam beberapa pasal yang 
semuanya terkait tindakan-tindakan atau perbuatan yang terkait langsung dengan 
sumpah atau tugas yang seharusnya menjadi tanggungjawab dan tidak boleh dilakukan 
oleh seorang anggota militer, seperti pemberontakan, disersi, menjadi mata-mata musuh 
dan sabotase. 

Tabel 3.2 Ketentuan Pidana Mati dalam KUHPM
No Hal Pasal Isi Pasal
1. Ketentuan Pokok Pasal 6 Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini 
adalah: 
a. Pidana-pidana utama: 
ke-1, Pidana mati; 
ke-2, Pidana penjara; 
ke-3, Pidana kurungan; 
ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).
2. Kejahatan 
Pengkhianatan
Pasal 64 1) Militer, yang dalam waktu perang dengan sengaja memberi 
bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh, 
diancam sebab  pengkhianatan militer, dengan pidana mati, 
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 
maksimum dua puluh tahun. 
2) Diancam dengan pidana yang sama, militer yang dalam waktu 
perang mengadakan permufakatan jahat untuk melakukan 
pengkhianatan militer.
3. Kejahatan 
Pemberontakan
Pasal 65 1) Militer yang melakukan pemberontakan, diancam sebab  
melakukan pemberontakan militer, dengan pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum dua 
puluh tahun. 
2) Pemberontakan militer, yang dilakukan dalam waktu perang, 
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau 
pidana penjara sementara maksimum dua puluh tahun. 
3) Para penganjur, pemimpin dan penggerak dari pemberontakan 
militer diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur 
hidup atau pidana penjara sementara dua puluh tahun.
4. Kejahatan mata-
mata
Pasal 67 1) Diancam sebab  pemata-mataan (verspieding / spionase) 
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana 
penjara sementara maksimum dua puluh tahun: 
ke-1 (diubah dengan Undang-undang No, 39 Tahun 1947). 
Barangsiapa dengan sengaja untuk keperluan musuh, berusaha 
mendapatkan keterangan mengenai kepentingan perang dl 
sebuah perahu atau pesawat udara dari Angkatan Perang, di 
dalam garis-garis pos depan, di suatu tempat atau pos yang 
diperkuat atau diduduki, atau di dalam suatu bangunan Angkatan 
Perang; 
ke-2 Barangsiapa yang dalam waktu perang, dengan sembunyi-
sembunyi dengan pernyataan palsu, dengan jalan penyamaran 
atau melalui jalan lain selain dari pada jalan yang biasa, berusaha 
memasuki salah satu tempat yang disebutkan pada nomor ke-
1, dengan cara itu ia ada  di tempat ini , atau dengan 
salah satu cara atau salah satu sarana ini  berusaha pergi 
dari tempat itu; 
ke-3 Barangsiapa yang dalam waktu perang dengan sengaja 
mengadakan pencatatan atau pembaganan atau penulisan, 
mengenai sesuatu hal tentang kepentingan militer. 
2) Ketentuan-ketentuan ini  nomor ke-2 dan 3 ayat 
pertama tidak dapat diterapkan, bilamana menurut pendapat 
hakim, bahwa petindak tidak melakukannya untuk keperluan 
musuh.
5. Kejahatan 
pembocoran 
rahasia/janji
Pasal 68 (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947). 
Barangsiapa dalam waktu perang dengan sengaja pergi 
bertentangan dengan suatu janji yang ia berikan dalam 
penawanan perang negara kita , atau melanggar suatu janji yang ia 
berikan atau suatu persyaratan yang disanggupinya untuk mana 
ia dilepaskan sementara atau seterusnya dari penawanan Perang 
negara kita , atau mengadakan permufakatan jahat untuk itu, 
diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup 
atau pidana sementara maksimum duapuluh tahun.
6. Menyerahkan 
pos komando
Pasal 73 Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup 
atau sementara maksimum dua puluh tahun, militer yang dalam 
waktu perang dengan sengaja: 
ke-1 (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947). 
Menyerahkan kepada musuh, atau membuat atau membiarkan 
berpindah ke dalam kekuasaan musuh, suatu tempat atau pos 
yang diperkuat atau diduduki yang berada di bawah perintahnya, 
ataupun Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara atau 
suatu bagian daripadanya, tanpa melakukan segala sesuatu 
untuk itu sebagaimana yang dipersyaratkan atau dituntut oleh 
kewajibannya dari dia dalam keadaan itu; 
ke-2 Mengosongkan atau meninggalkan suatu tempat, pos, 
perahu, pesawat udara atau kendaraan Angkatan Perang yang 
berada di bawah perintahnya, dengan semaunya di luar keadaan 
terpaksa; 
ke-3 Dalam suatu pertempuran dengan musuh, mengabaikan 
kewajibannya untuk dengan Angkatan Perang yang berada di 
bawah perintahnya menjumpai musuh, menyerang musuh, turut 
serta bertempur, mengejar musuh atau melakukan pertahanan 
terhadap serangan musuh; 
ke-4 Memindahkan atau membiarkan berpindah seluruhnya atau 
sebagian Angkatan Perang yang berada di bawah perintahnya ke 
daerah tak berpihak di luar keadaan terpaksa.
7. Kejahatan 
menyerah tanpa 
perintah
Pasal 74 Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau 
sementara maksimum dua puluh tahun: 
ke-1 barangsiapa, yang sengaja pada suatu pertempuran dengan 
musuh atau pada suatu tempat atau pos yang diserang atau 
terancam serangan oleh musuh, memberi tanda rnenyerah tanpa 
ada perintah yang tegas dari atau atas nama penguasa militer 
setempat yang tertinggi; 
ke-2 barangsiapa dalam waktu perang berusaha 
memperdayakan, mematahkan semangat atau mengacaukan 
warga  militer.
8. Kejahatan 
sabotase
Pasal 76 1) Barangsiapa dalam waktu perang, dengan sengaja 
menggagalkan suatu operasi militer, diancam dengan pidana 
penjara maksimum lima belas tahun. 
2) (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947) 
Petindak diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara 
seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun 
jika  dia melakukan kejahatan itu sebagai militer pemegang 
komando atau ditugaskan sebagai pengurus atau pengawas dari 
kebutuhanAngkatan Darat, Laut atau Udara.
9. Melanggar 
perjanjian 
perang
Pasal 82 Militer, yang dengan sengaja bertentangan dengan hukum 
merusak suatu perjanjian yang diadakan sedemikian dengan 
musuh, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur 
hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun.
10. Disersi Pasal 89 
KUHPM
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau 
sementara maksimum dua puluh tahun : Ke-1, Desersi ke musuh; 
Ke-2, (Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Desersi dalam 
waktu perang, dari satuan-pasukan, perahu-laut, atau pesawat 
terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari 
suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan 
oleh musuh. Dari perumusan Pasal 87 dapat disimpulkan ada dua 
bentuk desersi, yaitu : 1) Bentuk desersi murni (Pasal 87 ayat 1 
ke-1) dan 2) Bentuk desersi sebagai peningkatan dari kejahatan 
ketidak hadiran tanpa izin (Pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3).
11. Insubordinasi Pasal 
109
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau 
sementara maksimum dua puluh tahun; 
ke-1 insubordinasi dengan tindakan nyata dalam waktu perang; 
ke-2 (diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947) 
perlawanan nyata bersama (muiterij) di perahu atau pesawat 
terbang, yang berada pada suatu tempat di mana tidak ada  
pertolongan yang segera.
12. Pengacauan 
militer 
Pasal 
114
1) Para penganjur (berhamels) di antara para peserta pada 
pengacauan militer, diancam dengan pidana penjara maksimum 
lima belas tahun. 
2) (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947). 
jika  tindakan itu dilakukan dalam waktu perang, atau di 
perahu atau pesawat terbang yang berada pada suatu tempat 
di mana tidak ada  pertolongan yang segera, petindak 
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau 
sementara maksimum dua puluh tahun; 
3) Dengan pidana yang sama diancam para pemimpin dan 
penggerak dari pengacauan militer;
13. Kejahatan 
terhadap negara
Pasal 
133
1) Barangsiapa mengetahui suatu permufakatan jahat untuk 
melakukan suatu kejahatan yang ditentukan diancam dengan 
pidana dalam kitab undang-undang ini, ataupun suatu niat untuk 
melakukan kejahatan yang dirumuskan dalam kitab undang-
undang ini terhadap keamanan negara, atau dalam hal diancam 
dengan pidana mati untuk melakukan pemberontakan militer 
dalam waktu damai, desersi dalam waktu perang, insubordinasi 
dengan tindakan nyata atau pengacauan militer, pada saat 
pelaksanaan kejahatan itu masih dapat dicegah dengan sengaja 
mengabaikan pemberitahuan secukupnya pada saat yang tepat 
kepada penguasa atau kepada siterancam, jika  kejahatan itu 
terjadi, diancam dengan pidana yang sama pada pembantuannya. 
2) Diancam dengan pidana yang sama, barang-siapa mengetahui 
terjadinya suatu kejahatan ini  ayat pertama, pada saat 
akibatnya masih dapat dicegah, dengan sengaja mengabaikan 
pemberitahuan ini .
14. Penyalahgunaan 
kewenangan 
pada saat 
perang
Pasal 
137
1) Diancam dengan pidana mati, penjara seumur hidup 
atau sementara maksimum dua puluh tahun, para militer 
yang termasuk dalam suatu Angkatan Perang yang 
disiapsiagakan untuk perang, yang dengan kekuatan 
berserikat melakukan kekerasan terhadap seseorang 
atau lebih, ataupun dengan sengaja dan dengan melawan 
hukum merusak, membinasakan, menghancurkan suatu 
barang yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang 
lain dan ketika melakukan tindakan itu menyalahgunakan 
atau mengancamkan, kesempatan atau sarana yang 
diperolehnya selaku militer.
2) Diancam dengan pidana yang sama, orang-orang yang 
tunduk kepada kekuasaan peradilan militer yang dalam 
hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang yang 
disiapsiagakan untuk perang, atau menyertainya atau 
mengikutinya dengan persetujuan penguasa militer, yang 
melakukan perbuatan-perbuatan yang sama dan untuk 
itu menyalahgunakan atau mengancamkan kekuasaan, 
kesempatan atau sarana, yang mereka peroleh sebab  
hubungannya dengan Angkatan Perang itu.
3) Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak 
diterapkan.
15. Kekerasan 
terhadap korban 
perang 
Pasal 
138
1) Barangsiapa melakukan kekerasan kepada orang mati, sakit 
atau mendapat luka dalam peperangan yang termasuk pada 
Angkatan Perang dari salah satu pihak yang berperang, 
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup 
atau sementara maksimum dua puluh tahun.
2) Dalam pengeterapan pasal ini, yang termasuk pada 
Angkatan Perang dari salah satu pihak yang berperang, 
adalah semua orang yang bekerja, berada dalam hubungan 
dinas, atau dengan persetujuan penguasa militer menyertai 
atau mengikuti Angkatan Perang itu.

Pasal 
142 ayat 
(2) 
jika  tindakan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara 
berserikat, para petindak diancam dengan pidana mati, pidana 
penjara seumur hidup atau sementara dua puluh tahun.
berdasar Tabel di atas, pidana mati merupakan jenis pidana pokok utama dan yang 
paling berat dari susunan sanksi pidana yang ada  di dalam KUHPM. Ketentuan 
ini  menegaskan mengenai politik hukum kolonial yang diterapkan terhadap Hindia 
Belanda (negara kita ) yang secara konkordan diadopsi dan dipertahankan dalam KUHPM. 
Padahal di KUHPM Belanda, hukuman mati hanya diterapkan secara terbatas terhadap 
tindak pidana:252
1. Yang telah dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang;
2. Yang telah dilakukan anggota militer untuk kepentingan musuh dan bagi beberapa 
kejahatan yang telah disebutkan di dalam criminal wetboek, dan hanya jika  
tindak pidana-tindak pidana ini  telah dilakukan di atas kapal yang sedang 
berada di atas lautan atau sedang berada di atas perairan dari negara-negara 
asing baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.
Dalam konteks hukum pidana militer negara kita , ancaman pidana mati ini  juga 
dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan 
negara.
Diadopsinya pidana mati di dalam KUHPM tidak dapat dilepaskan dari berlakuknya 
Asas Konkordansi dalam sistem hukum negara kita . Pasca kemerdekaan 1945, dalam 
rangka mencegahnya terjadinya kevakuman hukum, Pasal II Aturan Peralihan UUD 
1945 memberi  kemungkinan diberlakukannya WvMS di Republik negara kita . WvMS 
yang berlaku pada masa penjajahan Belanda konkordan dengan WvMS yang berlaku 
di negeri Belanda. WvMS yang berlaku di Hindia Belanda hanya beberapa hal diberikan 
kemungkinan adanya penyimpangan-penyimpangan yang berpedoman pada Indische 
Staats regeling art 132 yang berbunyi: Pelaksanaan hukum pidana militer dicantumkan 
dalam ordonansi-ordonansi yang sejauh mungkin bersesuaian dengan undang-undang yang 
ada di negeri Belanda.253 
Adanya ketentuan pidana mati di dalam KUHPM tidak terlepas dari pandangan mengenai 
tujuan hukum yang sama dengan tujuan (penjatuhan) pidana, yaitu untuk menjamin 
ketertiban hukum dari suatu kelompok warga , dalam ini militer yang terorganisir. 
Selain itu, kehidupan ketentaraan yang menghendaki ketertiban dan pentaatan disiplin 
bagi seluruh anggotanya menjadikan dijatuhkannya pidana mati akan tetap dianggap 
“tindakan pendidikan” yang akan memberi  efek jera terhadap militer lainnya. Namun 
demikian, pandangan ini  sepertinya tidak lagi sejalan dengan perkembangan aliran 
hukum pidana modern yang menjadikan hukum pidana dengan tujuan untuk melindungi 
kepentingan warga . Beccaria misalnya berpendapat agar dalam penerapan pidana 
lebih memperhatikan perikemausiaan. Beccaria mempertanyakan kewenangan negara 
untuk menjatuhkan pidana mati. Pendapatnya ini didasarkan pada ajaran kontrak sosial, 
yang salah satunya berpandangan tidaklah masuk akal jika  manusia menyerahkan 
kebebasannya kepada negara secara mutlak, termasuk di dalamnya untuk mencabut 
nyawanya. 
c. Praktik Penerapan Hukuman Mati Pada Mahkamah Militer Luar Biasa
Pasca terjadinya peristiwa G30S, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden 
NO. 370 TAHUN 1965. Keppres ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa “Gerakan 30 
September” telah melakukan penculikan dan pembunuhan, mendemisionerkan Kabinet 
Dwikora dan membentuk apa yang disebutnya “Dewan Revolusi negara kita ” sebagai 
penggantinya. Padahal perjuangan  maha dahsyat negara dan bangsa Indonesia 
terhadap Nekolim beserta antek-anteknya sedang menginjak taraf yang menentukan. 
Sehingga “Gerakan 30 September” ini  merupakan petualangan kontra-revolusi 
yang memerlukan penyelesaian segera. Oleh sebab nya, merujuk pada Penetapan 
Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 1963 ( Lembaran Negara Tahun 1963 No. 119), 
Mahkamah Militer Luar Biasa  (MAHMILLUB) adalah tepat untuk ditunjuk sebagai badan 
peradilan yang diserahi (tugas) mengadili tokoh-tokoh yang tersangkut/terlibat dalam apa 
yang dinamakan “Gerakan 30 September” ini . 
Keputusan Presiden No. 370 tahun 1965 juga memberi  wewenang kepada Major 
Jenderal TNI Soeharto atau  Perwira tinggi yang ditunjuk olehnya, untuk :
a. Menentukan siapa-siapa termasuk tokoh-tokoh, sebagaimana dimaksud dalam 
penetapan PERTAMA di atas. 
b. Bertindak sebagai Perwira Penyerahan Perkara dalam perkara-perkara ini .
c. Menentukan susunan Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mempersiapkan, memeriksa 
dan mengadili perkara-perkara ini  di atas.
Salah satu hal yang menarik dari proses MAHMILLUB ini adalah dikeluarkannya Surat 
Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat (MenPangad) Selaku Panglima Operasi 
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor. : KEP-5/KOPKAM/1/66 tentang penunjukan 
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk memeriksa dan mengadili perkara tokoh petualangan 
KONTREV “G 30 S” yang bernama:  Nyono bin Sastroredjo, dalam suatu sidang terbuka di 
Jakarta.
SK MenPangad ini juga menunjuk untuk bertindak sebagai Hakim Ketua/Hakim Ketua 
pengganti, Hakim Anggota, Oditur/Oditur Pengganti dan Panitera/Panitera Pengganti 
dari pada Mahkamah Militer Luar Biasa yang mengadili perkara dengan terdakwa 
Nyono. Setelah menetapkan MAHMILLUB dan menunjuk personil-personil untuk 
mengadili terdakwa Nyono, MenPangad Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima 
Operasi Pemulihan Keamanan sebagai Perwira Penyerahan Perkara mengeluarkan 
Surat Keputusan Penyerahan Perkara No. : KEP-13/KOPKAM/1/1966 yang menetapkan 
penyerahan perkara tersangka (terdakwa) Nyono bin Sastroredjo alias Tugimin alias 
Rukma kepada MAHKAMAH MILITER LUAR BIASA yang berkedudukan di Jakarta.
SK MenPangad Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan 
sebagai Perwira Penyerahan Perkara juga berisi tuntutan supaya   tersangka (terdakwa 
Nyono) diperiksa dan diadili sesuai dengan surat tuduhan yang dibuat oleh Oditur 
Mahkamah Militer Luar Biasa, dan menentukan agar tersangka (terdakwa) tetap ditahan. 
Menjelang sidang pertama yang mengadili Nyono bin Sastroredjo, Jenderal Soeharto 
mengatakan bahwa PKI jelas melakukan perebutan kekuasaan. Dalam hubungan ini PKI 
sekaligus melakukan tiga kejahatan, yaitu kriminal, politik, dan kejahatan terhadap mor-
al Pancasila. Namun demikian, pemeriksaan dan pengadilan terhadap petualang kon-
tra-revolusi ini justru dilakukan dalam naungan keadilan dan pengayoman hukum. Hal 
ini merupakan salah satu kemenangan revolusi besar kita, yaitu kemenangan moralitas 
Pancasila atas moralitas kontra-revolusi.256 
Pada akhir persidangan, Oditur Militer menyatakan bahwa terdakwa Nyono telah 
melakukan tiga macam kejahatan sekaligus, yaitu kejahatan terhadap negara; kejahatan 
terhadap revolusi yaitu bertindak kontra revolusioner dalam arti menghianati ajaran-ajaran 
PBR (Panglima Besar Revolusi) Bung Karno terutama sekali yang menyangkut persatuan 
dan kesatuan nasional yang berporoskan Nasakom dan berusaha menyingkirkan 
kepemimpinan PBR Bung Karno, serta kejahatan mental idiil terhadap revolusi dalam arti 
merongrong ideologi Pancasila.
Tindakan-tindakan terdakwa Nyono ini  telah melanggar ketentuan Pasal 110 ayat 
(1) jo Pasal 107 dan Pasal 108 jo Pasal 88 KUHP; Pasal 107 ayat (2) jo ayat (1) KUHP dan 
Pasal 108 ayat (2) jo ayat (1) ke (1) KUHP jo Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959, dengan 
tuntutan “Hukuman Mati.”257 
Terhadap tuntutan oditur militer ini , pada tanggal 21 Februari 1966 MAHMILLUB 
yang dipimpin Letkol. CKH Ali Said, S.H menyatakan bahwa terdakwa Nyono telah bersalah 
melakukan kejahatan-kejahatan:
256 Dikutip G. Dwipayana dan Nazarudin Sjamsuddin (ed),  Jejak Langkah Pak Harto 01 Oktober 1965 – 27 Maret 1968, (Jakarta: 
PT Citra Kharisma Bunda, 2003), hlm.  46 . 
257 Pusat Pendidikan Kehakiman AD, G30S dihadapan MAHMILLUB I (Perkara Nyono), (Pusat Pendidikan Kehakiman AD, 
AHM-PTHM, Cetakan I, 1966), hlm, 233. 
1. Mengadakan komplotan (permufakatan jahat) untuk mengadakan makar dengan 
maksud/niat untuk menggulingkan Pemerintah Republik Indonesia yang sah 
dan untuk melakukan pemberontakan dengan mengangkat senjata melawan 
kekuasaan yang sah;
2. Memimpin dan mengatur makar dengan maksud untuk menggulingkan 
Pemerintah Republik Indonesia yang sah;
3. Memimpin dan mengatur pemberontakan dengan mengangkat senjata melawan 
Pemerintah Republik Indonesia yang sah.
Oleh sebab nya Mahmillub menghukum Terdakwa Nyono sebab  kejahatan-kejahatannya 
ini  dengan “hukuman mati”.258
Samuel Gultom, dalam bukunya Mengadili Korban259 mengungkapkan bahwa kala itu 
Suharto yang berkuasa untuk menentukan siapa yang dikategorikan sebagai “tokoh”, 
bertindak sebagai perwira penyerah perkara dan menentukan susunan MAHMILLUB. 
Sebagai tempat penyelenggaraan persidangan dipilih gedung Bappenas di Jalan 
Diponegoro Jakarta Pusat.
Kekhususan dari MAHMILLUB, menurut Gultom, terletak pada dua hal. Pertama, institusi 
ini  adalah pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir, sebab  terdakwa ataupun 
oditur atau penuntut tidak dapat melakukan usaha  banding. Kedua, MAHMILLUB 
merupakan lembaga peradilan militer yang memeriksa warga sipil.
Gultom menyatakan bahwa secara keseluruhan MAHMILLUB memeriksa sebanyak 17 
perkara yang terkait dengan aksi G.30.S. Sementara, hingga 1978 Mahkamah Militer 
Tinggi (Mahmilti) memeriksa sebanyak 291 perkara dan pengadilan negeri sebanyak 466 
perkara. Namun, Buku Putih G.30.S yang diterbitkan Sekretariat Negara RI tahun 1994, 
mencatat bahwa ada 24 orang dari ratusan atau mungkin ribuan tokoh yang terlibat PKI 
yang “beruntung” diajukan ke pengadilan. Hampir seluruhnya adalah mereka yang masuk 
dalam Golongan A.

Tabel 3.3 Nama-Nama tokoh PKI yang pernah disidangkan pada MAHMILLUB
No Terpidana
Jabatan/Pangkat 
Terakhir
Putusan
1 Njono Anggota Politbiro 
CC PKI
Putusan Mahkamah No.PTS-009/MB-I/A/1966, tanggal 
21 Februari 1966
2 Untung bin 
Samsuri
Letkol Infanteri Putusan Mahkamah No.PTS-03/MB-III/U/1966, tanggal 
6 Maret 1966
3 Wirjomartono Anggota Biro 
Khusus PKI
Putusan Mahkamah No.PUT-07/MB-II/WN/1966, 
tanggal 18 Mei 1966
4 Sujono Major Udara Putusan Mahkamah No. PUT-07/MLB-V/SJN/66, tanggal 
3 Juni 1966
5 Peris Pardede Ketua Komisi 
Kontrol CC PKI
Putusan Mahkamah No. PTS 07/MB/VI/PPAA/1966, 
tanggal 23 Juni 1966
6 Sudisman Ketua Komisi 
Kontrol CC PKI
Putusan Mahkamah No. PTS 23/MLB/VI/PPAA/1966, 
tanggal 23 Juni 1966
7 Heru Atmodjo Letkol Udara Putusan Mahkamah No. PTS-010/MLB-VII/H.A/1966, 
tanggal 12 Agustus 1966
8 Ulung Sitepu Brigjen TNI Putusan Mahkamah No. PTS-012/I/MHL/1966, tanggal 
18 September 1966
9 Dr. Soebandrio Wakil Perdana 
Menteri I/Menteri 
Luar Negeri RI
Putusan Mahkamah No. PTS-013/MLB-XI/BDR/1966, 
tanggal 23 Oktober 1966
10 Omar Dani Laksamana Madya 
Udara, Menteri/
Panglima Udara
Putusan Mahkamah No. PTS-017/MLB/XIV/OD/1966, 
tanggal 23 Desember 1966
11 Supardjo Brigjen TNI Putusan Mahkamah No.PTS-19/MLB-II/SPD/1967, 
tanggal 12 Maret 1967
12 Tamuri Hidajat Peltu Putusan Mahkamah No. PTS-026/MLB-IX/SPD/1967, 
tanggal 30 September 1967
13 Kamaruzzaman 
bin Achmad 
Mubaidah alias 
Sjam
Kepala Biro Khusus 
PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-27/MLB/I/K/1968, tanggal 
9 Maret 1968
14 Moeljono bin 
Ngali alias Bono 
Walujo
Pimpinan Biro 
Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-028/MLB-II/W/1968, 
tanggal 9 Oktober 1968
15 Abdullah Alihami Sekretaris I CBD 
PKI Riau
Putusan Mahkamah No. PTS-PK-032/MLB-I/AA/70, 
tanggal 16 Februari 1970
16 Ranu Sunardi Letkol Laut Putusan Mahkamah No. PTS-033/MLB/X/RS/1970, 
tanggal 18 Oktober 1970
17 Sukatno Sekjen Dewan 
Nasional Pemuda 
Rakyat, anggota 
CC PKI
Putusan Mahkamah No. 51/70/Vord, tanggal 11 Maret 
1971
18 Supono 
Marsudidjojo 
alias Pono
Pimpinan Biro 
Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-035/MLB-III/SM/1972, 
tanggal 8 Maret 1972
19 Suwandi Sekretaris CDB PKI 
Jawa Timur
Putusan Mahkamah No. 520/K/1973, tanggal 11 Juni 
1973
20 Ismail Bakri Sekretaris I CDB 
PKI Jawa Barat
Putusan Mahkamah No. 1/1973/PID.SUBV, tanggal 3 
Oktober 1973
21 R. Sugeng 
Sutarto
Brigjen Polisi Putusan Mahkamah No. PTS-37/MLB-IX/RSS/1973, 
tanggal 24 Desember 1973
22 Ruslan 
Widjajasastra
Anggota CC PKI, 
Ketua Politbiro PKI 
Blitar Selatan
Putusan Mahkamah No. 15/PID-SUB/74Vord, tanggal 
15 Juli 1974
23 Rustomo alias 
Istam alias 
Hasjim alias 
Amat alias Hasdi
- Putusan Mahkamah No. 40/1975, tanggal 22 Oktober 
1975
24 Gatot Sutarjo 
alias Gatot 
Lestarjo alias 
Sadi
- Putusan Mahkamah No. 456/1975/PIOD/SUBV, tanggal 
2 Januari 1976
Sumber: Sekretariat Negara RI, 1994


Kecuali Letkol. (udara) Heru Atmodjo yang divonis hukuman penjara seumur hidup, 
semua terdakwa yang diadili di MAHMILLUB dijatuhi dengan hukuman mati. Sedangkan, 
pemimpin-pemimpin puncak PKI seperti Aidit, Nyoto, dan Lukman yang dituduh ikut 
mendalangi aksi G.30.S dieksekusi setelah diinterogasi seadanya, tanpa pernah diajukan 
ke pengadilan.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam 
berpendapat bahwa dihidupkannya kembali MAHMILLUB semata-mata untuk 
mengungkapkan PKI sebagai dalang. Tujuannya agar PKI bisa dihancurkan. Oleh sebab  
tujuan utama dari MAHMILLUB semata-mata adalah untuk menghancurkan PKI, maka 
itulah sebabnya hampir semua terdakwanya diganjar vonis hukuman mati. 
Terkait dengan penjatuhan hukuman mati dan hukuman seumur hidup yang dijatuhkan 
MAHMILLUB terhadap orang-orang yang diduga terlibat G30S, dalam pertemuannya 
dengan pimpinan MPRS, DPR-GR dan DPA yang didampingi oleh Menteri Negara 
Penghubung Lembaga-Lembaga dan Pemerintah, Mintaredja SH, di Istana Merdeka. 
Soeharto, yang kala itu telah ditetapkan sebagai Presiden, meminta pertimbangan para 
pimpinan lembaga ini  tentang pelaksanaan hukuman mati dan seumur hidup yang 
telah dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atas diri 26 orang terhukum. 
Presiden Soeharto menyatakan bahwa dalam meminta pertimbangan ini bukanlah hendak 
mengelak tanggungjawab, sebab  Presiden memiliki  hak prerogatif, melainkan untuk 
memantapkan keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah dan di samping itu untuk 
mempercepat proses pelaksanaannya. Seluruh pembicara mempercayakan sepenuhnya 
kepada Presiden dan menyatakan bahwa hal itu seluruhnya adalah tanggungjawab 
Presiden dan tergantung pada Presiden, sesuai dengan UUD 1945.

Periode tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 dikenal sebagai periode demokrasi liberal 
dengan mulai diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 
(UUDS 1950). Pada masa ini sistem politik Indonesia telah mendorong lahirnya partai-
partai politik yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan roda pemerintahan 
melalui perimbangan kekuasaan di parlemen. UUDS 1950 menandai kembalinya bentuk 
negara kesatuan dari sebelumnya negara serikat yang merupakan hasil kesepakatan KMB. 
Tanggal 19 Mei 1950 Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintah RI menyatakan 
telah menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk membentuk negara kesatuan 
sebagai penjelmaan dari Republik Indonesia berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945.263 
Dari segi substansi UUD RIS dan UUDS 1950 tidak mengalami perubahan yang signifikan. 
Periode ini mencatat 7 (tujuh) kabinet yang berkuasa menjalankan roda pemerintahan.264 
Dalam UUD RIS pemerintah tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen dan parlemen tidak 
dapat dibubarkan oleh presiden, sedangkan menurut UUDs 1950 pemerintah dapat 
Piagam persetujuan ini  melalui Undang-Undang No. 20 tahun 1950 tentang Pembentukan Negara Kesatuan Republik 
negara kita , tertanggal 14 Agustus 1950. 
dijatuhkan oleh parlemen. UUDS 1950 menetapkan struktur pemerintahan parlementer 
yang menempatkan presiden dalam posisi hanya memegang fungsi seremonial semata.265
Pada periode ini hanya ada  1 (satu) undang-undang yang diterbitkan pada tanggal 
1 September 1951 yang mana di dalamnya memuat ancaman hukuman mati, yakni 
UU Darurat No. 12 tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere 
Strafbepalingen (STBL 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu 
Nomor 8 Tahun 1948.266 Ancaman hukuman mati dalam UU Darurat No. 12 tahun 1951 
ada  di Pasal 1 yang berbunyi:  
 “Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, 
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, 
membawa, memiliki  persediaan padanya atau memiliki  dalam miliknya, 
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan 
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum 
dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara 
sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”  
Dalam UU ini , yang dimaksud dengan senjata api dan amunisi adalah yang diatur 
dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Senjata Api 1936 (Stbl 1937 No.170) yang telah diubah 
dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl No. 278). Pengertian senjata api yang 
dimaksud dalam aturan ini  tidak termasuk pengertian senjata yang nyata-nyata 
memiliki  tujuan sebagai barang kuno, senjata yang dibuat sedemikian rupa sebagai 
senjata api namun  tidak dapat difungsikan/dipakai . Sedangkan yang termasuk dalam 
pengertian barang peledak adalah semua jenis mesiu, bom-bom pembakar, ranjau, granat 
tangan, dan semua bahan peledak baik yang berupa luluhan kimia tunggal maupun bahan 
adukan bahan-bahan peledak, serta bahan peledak lain yang dipakai  untuk meledakan.  
Selama tahun 1950 terjadi beberapa peristiwa konflik bersenjata dan pemberontakan, 
seperti pada 23 Januari 1950 Peristiwa APRA di Bandung, April 1950 Peristiwa Andi Azis di 
Makassar dan Republik Maluku Selatan, dan Oktober 1950 pemberontakan Ibu Hadjar di 
Kalimantan Selatan (bagian dari DI/ TII Kartosuwiryo). Sedangkan di tahun 1951 terjadi dua 
pemberontakan DI/TII, Agustus 1951 terjadi pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar dan 
September 1951 DI/TII Daud Beureueh.267 berdasar Pasal 96 UUDS 1950, Pemerintah 
diberikan kewenangan untuk menetapkan UU darurat untuk mengatur penyelenggaraan 
pemerintahan yang sebab  dalam keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
Melihat serangkaian peristiwa pemberontakan dan konflik bersenjata sepanjang tahun 
1950 dan 1951, dapat disimpulkan bahwa penerbitan UU Darurat No. 12 tahun 1951 
tentang ordonnantietijdelijke bijzondere strafbepalingen (stbl. 1948 nomor 17) dan UU 
Dahulu No. 8 Tahun 1948, adalah sebab  dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa ini . 
Bahkan pada 14 Maret 1957, Presiden Soekarno menyatakan seluruh wilayah Republik 
Indonesia termasuk semua perairan teritorialnya dalam keadaan darurat perang, dan 
pada 1 Desember 1957 ditingkatkan menjadi keadaan bahaya tingkat keadaan perang.  
Politik hukum dalam pembentukan UU ini sangat jelas mengaitkannya dengan kondisi 
dan situasi politik dalam negeri sehubungan dengan berbagai peristiwa pemberontakan 
bersenjata yang terjadi di berbagai daerah. Sebagai kejahatan yang mengancam eksistensi 
pemerintahan/negara maka oleh pemerintah ancaman pidana mati menjadi relevan.
Pada periode ini, Dewan Konstituante yang bertugas untuk menyusun Undang-Undang 
Dasar yang akan menggantikan UUD Sementara 1950. Dalam masa kerja Dewan 
Konstituante hingga Juli 1959, dua pokok bahasan yang mengemuka adalah perdebatan 
mengenai dasar negara dan perdebatan mengenai hak asasi manusia. Di Dewan 
Konstituante ada  tiga faksi ideologis, yakni Blok Pancasila, Blok Islam, dan Blok 
Sosial Ekonomi. Pandangan-pandangan faksi-faksi ini  mewarnai perdebatan 
dalam pembahasan mengenai topik hak asasi manusia. Dari penelusuran risalah-risalah 
pembahasan di Dewan Konstituante, topik mengenai hak hidup dan pidana mati hanya 
satu Anggota Dewan Konstituante bernama Asmara Hadi yang berasal dari Gerakan 
Pembela Pancasila, yang mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak 
hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati. Pada 14 Agustus 1958, Sidang ke II 
tahun 1958 Rapat ke 27 Asmara Hadi menyampaikan : 
“Saudara-saudara, dalam hal mempelajari laporan Panitia Persiapan Konstitusi 
ini saya merasa ada sesuatu yang kelupaan. Kita terima beberapa pokok materi 
Hak-hak Asasi. namun  menurut persamaan saya ada satu hak yang kelupaan, yang 
menurut saya adalah fundamental. Yang saya maksudkan ialah hak hidup. Bukan 
hak untuk kehidupan atau penghidupan melainkan hak hidup, dalam bahasa 
asingnya hak untuk memiliki “het naakt leven zelf”.  
Saudara Ketua, agak berat lidah saya untuk membicarakan hal ini, sebab ini 
timbulnya pikiran asosiasi dengan kejadian hebat di luar gedung Konstituante ini. 
Hak hidup, hak untuk untuk memilki hidup dengan tak ada seorangpun berhak 
menanggalkan hidup itu dari kita kecuali ajal yang sewajarnya atau yang datang 
dari kecelakaan. Negatifnya hak untuk hidup ini berbunyi “Tak seorangpun 
manusia atau warga negarapun boleh dijatuhi hukuman yang berakibatkan putus 
nyawanya”.  
Ya saudara Ketua dan saudara-saudara Anggota Dewan Konstituante yang 
terhormat, saya ingin supaya   dalam Konstitusi kita yang akan datang, dengan 
jelas dan tegas dipancangkan larangan hukuman mati yang sebagai tiang api 
akan mengabarkan kemenangan prinsip perikemanusiaan di negara kita .”  
Lebih lanjut Asmara Hadi menyatakan: 
“Konstitusi yang akan datang itu, bernyawakan bahwa hukuman pada siapapun juga, 
bukan merupakan pembalasan dendam, bukan hutang mata dibayar mata hutang 
gigi dibayar gigi, namun  haruslah hukuman itu sebagai usaha untuk memperbaiki 
manusia yang melanggar tata warga . Sebab bagi saya sejahat-jahatnya manusia, 
bukanlah manusia yang pada dasarnya memang jahat, namun  adalah manusia yang 
sedang sakit dan kalau manusia sedang sakit, maka kita harus berusaha untuk 
memperbaikinya.”
Pada akhirnya pandangan dan usulan Asmara Hadi terkait ‘Hak Hidup’ dan ‘Hak untuk Tidak 
di Hukum Mati’ ini memang tidak masuk dalam Keputusan Panitia Persiapan Konstitusi 
Nomor 26/K/PK/1958 tentang Rumusan Rancangan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 
mengenai Hak-Hak asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara yang akan 
diajukan kepada Rapat Pleno Konstituante untuk mendapat keputusan. Gagasan untuk 
menghapuskan pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman melalui Konsititusi pada 
era tahun lima puluhan merupakan satu keberanian dan progresivitas berpikir yang patut 
dipuji, dan dalam pembahasan di Dewan Konstituante isu ini  merupakan bahasan 
yang minor termasuk di faksi dimana Asamara Hadi bergabung, Blok Pancasila. Puncaknya 
pada Dewan Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan perdebatan 
mengebai hukuman mati inipun terhenti.    
3.6 Kebijakan Legislasi Hukuman Mati Pada Zaman Demokrasi Terpimpin: 
Pidana Mati  untuk Menjaga Stabilitas demi Mengamankan Revolusi 
dan Program Pemerintah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali 
berlakunya UUD 1945 menjadi titik awal era baru politik negara kita , di mana Presiden 
menjadi sentral urusan pemerintahan dan kenegaraan, yang dikenal sebagai Zaman 
Demokrasi Terpimpin. Arah politik pembangunan hukum di Indonesia pada periode ini 
merujuk pada Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yakni Rumusan Pokok-
Pokok Pikiran mengenai Sosialisme Indonesia yang disebutkan “pembangunan nasional 
semesta berencana adalah pembangunan revolusioner, sebab  mewujudkan perubahan-
perubahan cepat dalam warga  melalui tingkat-tingkat kemajuan dengan cepat dan 
tegas”. Tujuan pembangunan adalah untuk warga  sosialis Indonesia yang adil dan 
makmur berazaskan Pancasila dan berhaluan ‘Manipol Usdek’ yang merupakan tuntutan 
amanat penderitaan rakyat. Uraian ini  menunjukkan kepentingan-kepentingan 
nasional yang perlu diberikan perlindungan hukum. Pidana mati menurut Koesnoen 
merupakan pidana perkecualian, sebab  khusus ditujukan untuk mengamankan revolusi, 
azas dan tujuan negara, kesatuan negara dan bangsa negara kita . Jika kepentingan ini  
diserang dan keadaan nilai bahayannya pelanggar hukum sedemikian berat hingga 
usaha mewarga  sosialiskannya hanya sesuai jika ia dilenyapkan dari kehidupannya, 
barulah seorang narapidana dikenakan pidana mati. Dengan berlandaskan Manipol yang 
mengadakan penegasan tentang pro dan kontra revolusi, demi amannya perjuangan 
revolusi mencapai tujuan kita bersama, adanya pidana mati menjadi sah.
Pada periode ini ada  empat peraturan yang di dalamnya memuat ancaman pidana 
mati, yakni:  
1. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa 
tentara Agung dalam hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana 
yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan;
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1959 tentang 
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi; 
3. Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; 
dan 
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1963 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga 
Atom.  
Keempat produk hukum yang diterbitkan di periode ini mengacu pada semangat untuk 
mengamankan jalannya program pemerintah. Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 5 
Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa tentara Agung dalam hal Memperberat 
Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan 
Perlengkapan Sandang Pangan menyebutkan:
“Barangsiapa melakukan tindakan pidana ekonomi sebagaiamana diatur dalam 
Undang-Undang Darurat Nomor tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1955 No. 27), 
tindak pidana dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi/Peraturan Penguasa Perang 
Pusat No Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 dan tindak pidana dalam title I dan title II KUHP 
(kejahatan melanggar keamanan negara dan kejahatan melanggar martabat kepala 
negara), dengan mengetahui atau patut menduga, bahwa tindak pidana itu akan 
menghalangi terlaksananya program pemerintah yaitu : 
1. Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya
2. Menyelenggarakan keamanan rakyat,
3. Melanjutkan perjuangan mementang imperialisme ekonomi dan politik (Irian 
Barat), dihukum dengan hukuman penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun 
dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup, atau 
hukuman mati.”   
Dalam Penjelasan Peraturan diuraikan, bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia yang 
memaksakan Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dianggap masih terus berlangsung 
terus sehingga memerlukan tindakan keras tegas dan cepat terhadap pengacau-pengacau 
dalam bidang perekonomian dan keamanan untuk itu perlu penambahan wewenang 
kepada Jaksa Agung/ Jaksa Tentara Agung untuk melakukan fungsi kepolisian preventif 
dan hal kepolisian represif, salah satunya dengan pemberatan hukuman maksimal pidana 
mati.  
Produk hukum yang kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 
Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi 
memuat pemberatan berupan ancaman pidana mati bagi pelanggar tindak pidana ekonomi 
seperti yang dimaksud dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 yang ditambah dengan UU 
Darurat No. 8 Tahun 1958. Menurut UU Darurat No. 7 Tahun 1955, ada kemungkinan bagi 
hakim untuk memilih antara hukuman badan atau denda atau menjatuhkan kedua-dua 
hukuman itu, menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini hakim harus 
menjatuhkan kedua-dua hukuman itu.
Pasal 1 menyatakan perbuatan pidana yang diancam pidana mati harus memenuhi 
kualifikasi dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam warga . 
Ancaman pemberatan pidana mati, dimaksudkan semata-mata sebagai usaha  untuk 
memberi  efek jera agar setiap orang tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang 
dinormakan dalam dua undang-undang darurat ini . Dalam penjelasan Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 1959, menyatakan:  
“Telah menjadi kenyataan bahwa ancaman-ancaman hukum terhadap tidak pidana 
ekonomi dalam peraturan-peraturan yang sampai sekarang masih berlaku, dirasakan 
masih ringan bila dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya, ialah 
kekacauan ekonomi dalam warga . Apalagi dewasa ini, di mana kemakmuran 
rakyat lebih diutamakan, maka selayaknyalah segala tindak pidana yang sengaja atau 
tidak sengaja dilakukan, hingga dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian 
dalam warga , harus dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi. Jalan satunya untuk 
melaksanakan pencegahan itu ialah memperberat hukuman-hukuman terhadap tindak 
pidana ekonomi. Dengan mengancamkan hukuman mati, atau hukuman penjara seumur 
hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan di samping itu 
memperberat hukuman denda dengan tiga puluh kali jumlah yang ditetapkan dalam 
peraturan-peraturan mengenai tindak pidana ekonomi yang telah ada, maka tindak-
tindak ekonomi itu mudah-mudahan dapat dicegah atau dikurangi.”
Puncak dari rezim di alam demokrasi terpimpin adalah lahirnya UU No. 11/PNPS/1963 
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Dalam penjelasan UU ini , hakikat 
subversi adalah manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat 
dipertemukan, suatu kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan 
dengan cara-cara yang tertutup, sering dibarengi dan disusul dengan tindakan kekerasan 
yang terbuka (perang, pemberontakan). Kualifikasi perbuatan yang dikategorikan sebagai 
subversi dimuat dalam Pasal 1 berbunyi: 
(1) Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi:
1. Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata 
dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat: 
a. Memutar balikan, merongrong atau menyelewengkan ideology negara 
Pancasila atau haluan negara, atau
b. Menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan negara atau 
kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara, atau
c. Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan 
pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan 
penduduk atau warga  yang bersifat luas atau diantara kalangan 
penduduk atau warga  yang bersifat luas atau diantara Negara Republik 
Indonesia dengan negara sahabat, atau
d. Mengganggu, menghambat, atau mengacaukan bagi industri, produksi, 
distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan 
oleh pemerintah, ata yang memiliki  pengaruh luas hajat hidup rakyat. 
2. Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan 
simpati bagi musuh Negara Republik Indonesia atau negara yang sedang tidak 
bersahabat dengan Negara Republik negara kita ;
3. Barang siapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang 
memiliki  fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan 
yang dilakukan secara luas;
4. Barang siapa melakukan kegiatan mata-mata. 
5. Barang siapa melakukan sabotase.
(2) Dipersalahkan juga melakukan tindak pidana subversi barang siapa memikat 
perbuatan ini  pada ayat (1) ini  di atas.
Penjelasan undang-undang subversi menerangkan bahwa sejak proklamasi kemerdekaan 
hingga diterbitkannya undang-undang terasa sekali adanya kegiatan-kegiatan subversi 
disegala bidang baik dibidang politik, militer, sosial, ekonomi/keuangan maupun di 
bidang kebudayaan/ideologi yang bertujuan merongrong dan mematahkan kekuatan dan 
274 Dalam penjelasan UU Subversi, arti memikat bersifat luas daripada arti istilah uitlokking dalam Pasal 55 KUHP dan meliputi 
semua perbuatan yang dapat menimbulkan dilakukan tindak pidana subversi oleh orang lain. 
potensi negara dan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan revolusi.275 Peraturan yang 
ada saat itu dirasakan kurang mencukupi bagi ruang gerak pelaksanaan usaha -usaha  
pemberantasan kegiatan subversi secara efektif, sehingga perlu diadakan peraturan 
baru untuk mewujudkan ruang gerak yang cukup luas yang disesuaikan dengan irama 
revolusi tanpa mengurangi asas-asas keadilan. Pasal 13 yang mengatur ancaman pidana, 
menyatakan semua kualifikasi perbuatan sebagaimana yang diuraikan pada Pasal 1 
ini  di atas diancam pidana mati bagi pelakunya.  
Pasal 13:
(1) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 
ayat (1) 1,2,3,4, dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur 
hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 
1 ayat (1) angka lima dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup 
atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan/ atau denda setinggi-
tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah.
Demikian pula dengan UU subversi, ancaman pidana mati merupakan usaha  untuk 
memberi  efek ketakutan, daya tangkal, dan jera bagi siapa saja untuk melakukan 
perbuatan-perbuatan yang dikualifikasian sebagai kegiatan subversi dalam UU itu.  
Produk terakhir dalam masa ini yang muatannya mengatur ancaman pidana mati adalah 
UU No.  31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom.  Semangat dari 
UU ini sama dengan peraturan perundang-undangan yang lahir di era ini, yakni bagaimana 
melindungi kepentingan negara/pemerintahan untuk menjalankan programnya. Pasal 22 
menyebutkan bahwa petugas pada instalasi Badan Tenaga Atom Nasional dan organisasi 
lainnya yang menyelenggarakan pemakaian  tenaga atom wajib menyimpan keterangan-
keterangan tentang rahasia di bidang pekerjaannya. Ancaman pidana mati menanti 
mereka yang dengan sengaja membuka rahasia di bidang pekerjaaan tenaga atom.      
Pasal 23:
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, 
 Menurut UU Subversi dalam penjelasannya tujuan revolusi Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai 
wadah yang berisikan warga  adil dan makmur, materiil, spiritual atau negara yang berisikan warga  sosial yang ber-
dasarkan Pancasila yaitu warga  adil makmur yang menganut sistem sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi 
yang khas ada  di Indonesia serta persahabatan yang baik anatra Republik dan semua negara di dunia atas dasar saling 
hormat menghormatidan atas dasar kerja sama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme 
menuju perdamaian dunia yang sempurna. 
 “Barang siapa 
dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur 
hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat atau dipecat dari hak memangku 
jabatan ini  dalam Pasal 35 KUHP. 
dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 
sementara selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat atau dipecat dari 
hak memangku jabatan ini  dalam pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam penjelasan Pasal 23, diuraikan bahwa ancaman pidana yang didalamnya ada  
pidana mati disebab kan adanya kehendak negara untuk melindungi kepentingan negara, 
warga , dan revolusi maka perlu diancam dengan hukuman yang berat. Era ini juga 
mencatat satu produk hukum yang terkait dengan tata cara pelaksanaan pidana mati, 
yang diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan 
Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. 
Dalam aturannya, pidana mati di Indonesia dilaksanakan dengan cara menembak mati 
terpidana yang dilaksanakan oleh regu tembak dari brigade mobil dalam hal terpidana 
adalah sipil dan untuk terpidana di lingkungan peradilan militer dilaksanakan oleh polisi 
militer.  
Selain produk hukum yang lahir di masa Demokrasi Terpimpin, diskursus mengenai pidana 
mati dikalangan ahli pidana terjadi dalam konteks usaha  pembaharuan hukum pidana 
negara kita . Pada titik ini, KUHP masih menjadi sentral bahasan, mengingat keberlakuannya 
di Indonesia yang pada perjalanan realitas sejarahnya menempatkan KUHP Indonesia 
merupakan salinan dari KUHP Belanda (dengan beberapa perubahannya). Atas hal itu, 
awal tahun enam puluhan telah muncul gagasan untuk mengubahnya dengan hukum 
pidana yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Melalui Seminar Hukum Nasional I 
yang dilaksanakan pada bulan Maret 1963, diterima suatu resolusi yang menyerukan agar 
rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekasnya untuk diselesaikan.277  
Pada Seminar Hukum Nasional Pertama 1963, dalam pokok bahasan hukum pidana, 
Oemar Seno Adji menjadi pemrasaran dengan mengambil tema Azas-Azas Tata Hukum 
Nasional dalam Bidang Hukum Pidana. Terkait dengan topik pidana mati Oemar Seno Adji 
sudah menginsafi sejak awal bahwa bahasan ini mengandung sisi kontroversial; “Pidana 
mati sering merupakan persoalan emosionil yang kadang-kadang tidak didasarkan 
atas pandangan “nuchter” lagi . Dan jikalau telah dibicarakan apakah yang menjadi 
tujuan dan fungsi pidana mati, maka ia dapat menimbulkan sikap yang kontroversiel.” 
Namun menurutnya, dalam keadaan dimana kehidupan negara sangat dibahayakan, 
para abolisionis pun tidak menaruh keberatan terhadap pidana mati. Kesimpulan 
terkait dengan penerapan pidana mati ini, Oemar Seno Adji menyatakan “Maka, selama 
277 Lihat Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana Asas Hukum sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, (Bandung: Armico, 1995), 
hlm. 59-63.  Pada tahun 1964 keluarlah Konsep Rancangan Undang-undang tentang Asas-asas dan Dasar Pokok Tata Hukum 
Pidana dan Hukum Pidana Indonesia yang dimaksudkan untuk menggantikan Pasal 1 hingga Pasal 103 KUHP.  Lebih jauh 
menurut Prof Soedarto, usaha pembaruan hukum pidana di Indonesia didasarkan pada tiga alasan; yakni pertama, alasan 
politis yang dilandasi oleh pemikiran bahwa Negara Republik Indonesia yang merdeka itu harus memiliki KUHP yang bersifat 
nasional, yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri, demi kebangaan nasional.  Kedua, alasan sosiologis yang menghen-
daki adanya hukum pidana yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan agama bangsa Indonesia sendiri.  Ketiga, alasan 
praktis yang didasarkan pada realitas bahwa teks resmi KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda yang saat ini berlaku di 
Indonesia adalah Bahasa Belanda, yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan beraneka ragam.  Penerjemahan 
ini  memungkinkan adanya penyimpangan dari makna teks aslinya.
negara kita masih meneguhkan diri masih bergulat dengan kehidupannya sendiri yang 
terancam oleh bahaya, selama tata tertib warga  dikacaukan dan dibahayakan oleh 
anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan ia masih memerlukan pidana mati, 
meskipun ia dipandang sebagai ultimum remidium dan tindakan exceptional terhadap 
kejahatan-kejahatan tertentu yang berat sifatnya.”278
Posisi pidana mati dalam tata hukum pidana Indonesia sebagaimana disampaikan oleh 
Oemar Seno Adji itu mendapat dukungan dari semua ahli pidana yang terlibat dalam 
pembahasan di Seminar Hukum Nasional 1963, misalnya A. Kasman Singodimedjo yang 
menjabat sebagai Ketua Seksi Pidana Majelis Ilmiah Islamiyah Jakarta, mendukung uraian 
pendapat Prasaran dari Oemar Seno Adji terkait dengan pidana mati. Menurutnya, dalam 
hukum pidana yang baru diusulkan agar jenis hukuman pidana dicantumkan hukuman 
hudud dan qishash bagi kejahatan-kejahatan sesuai dengan Syariat Islam bagi umat Islam 
untuk dipakai Hakim dalam keadaan-keadaan yang istimewa.279   
Pendapat serupa namun dalam posisi yang lebih kritis berasal dari Han Bing Siong, yang 
masih mempertanyakan gagasan pemarasaran yang hendak mempertahankan pidana 
mati dalam hukum pidana Indonesia tanpa mempersoalkan apakah pidana mati itu 
adalah sesuai atau tidak dengan Pancasila. Han Bing Siong menyamakannya dengan para 
pembentuk undang-undang sewaktu menyesuaikan KUHP Hindia Belanda yang mungkin 
mempertahankan ketentuan-ketentuan yang dapat dikatakan bercorak tidak demokratis 
liberalistis dan kapitalistis tanpa mempersoalkan corak-corak itu melainkan dengan 
mengutamakan kegunaan ketentuan-ketentuan ini  dalam mempertahankan 
ketertiban hukum. Catatan kesimpulan dari Han Bing Siong adalah menyetujui 
sepenuhnya pandangan Oemar Seno Adji untuk masih mempertahankan pidana mati 
dalam hukum pidana nasional, selama negara masih masih bergulat dengan kehidupan 
politik dan ekonomi yang terancam oleh bahaya baik yang datang dari luar maupun dari 
dalam negeri. Namun di ujung bahasannya, Han Bing Siong menyatakan “artinya untuk 
sementara waktu saja!”, menyetujui pula bahwa pidana mati harus dipandang sebagai 
tindakan pengecualian saja terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang berat sifatnya. 
Dalam pembinaan hukum nasional nantinya harus diadakan peninjauan kemabali 
ketentuan-ketentuan yang ada sekarang yang mengandung ancaman pidana mati.    
Jelas kiranya pada masa Demokrasi terpimpin produk hukum/legislasi dan gagasan-gagsan 
mengenai pidana mati masih belum bergerak dari posisi fundamentalnya yang berakar 
dari KUHP Hindia Belanda yang dikuatkan dengan konteks dinamika politik ekonomi 

-- -- 
dalam negeri saat itu yang membutuhkan kestabilan dan pemerintah yang berkuasa kuat 
memegang kendali kehidupan politik bernegara.

 Kebijakan Legislasi Hukuman Mati Pada Zaman Orde Baru (1966-1998): 
Demi Stabilitas Negara  
Awal pemerintahan Orde Baru ditandai dengan disahkannya Soeharto sebagai Pejabat 
Presiden pada 22 Februari 1967 berdasar Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 
Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden 
Soekarno.281 Kemudian, Soeharto menjadi Presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS 
pada 27 Maret 1968 yang dikukuhkan melalui Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968 tentang 
Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik 
negara kita .
Pada masa Orde Baru, pemerintahan Presiden Soeharto menekankan stabilitas nasional 
sebagai komponen utama dalam program politiknya. Untuk mencapai stabilitas nasional 
ini , maka dikembangkan konsensus utama yaitu kebulatan tekad pemerintah dan 
warga  untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. 
Konsensus utama ini bisa disahkan melalui Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tahun 
1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia 
dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik negara kita .283 Stabilitas nasional dan 
pernyataan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen 
merupakan bagian utama dari politik hukum yang dijalankan pada masa pemerintahan 
Presiden Soeharto ini .
Sebagai langkah pertama untuk melaksanakan politik hukum yang ditujukan untuk 
menciptakan stabilitas nasional ini , pemerintahan Presiden Soeharto juga telah 
mengubah berbagai peraturan yang dirasakan tidak sesuai dengan semangat Ketetapan 
MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tahun 1966 dengan mengeluarkan UU No 5 Tahun 1969 
tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai 
Undang-Undang.284 Melalui UU ini, berbagai peraturan yang dikeluarkan pada masa 
Pemerintahan Presiden Soekarno lalu diperbaiki dan tetap berlaku sebagai bagian dari 
hukum positif di negara kita .

 negara kita , Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tahun 1967 
tentang Pencanutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. 
282 negara kita , Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XLIV/MPRS/1968 Tahun 1968 
tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik negara kita .  
283 negara kita , Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib 
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik negara kita . 
284 negara kita , Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai 
Undang-Undang. 
Secara umum, merujuk pada berbagai produk hukum yang dibentuk pada masa Orde 
Baru, karakter produk hukum pidana yang dihasilkan tidak terlepas dari sifat dan karakter 
otoritarian dari kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden 
Soeharto. Oleh sebab nya, politik hukum yang dilakukan adalah model pembentukan 
regulasi yang keras, di antaranya melalui pembentukan hukum pidana dan penerapan 
hukuman mati. 
Politik hukum dalam konteks ini dipahami sebagai  pernyataan kehendak penguasa negara 
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak 
dikembangkan.285 Pernyataan kehendak ini  lalu dituangkan dalam suatu peraturan 
perundang-undangan untuk tujuan dan alasan tertentu dan menerjemahkannya ke dalam 
suatu rumusan hukum. Bahwa politik hukum pidana adalah bagian dari politik hukum, 
sehingga politik hukum pidana mengandung arti keseluruhan kebijakan yang diambil 
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan 
norma-norma dari warga . sebab  itu, melaksanakan politik hukum pidana berarti 
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling 
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.288 Perkembangan politik hukum 
khususnya politik hukum pidana yang dikeluarkan pada masa tertentu sangat bergantung 
pada karakter dan konfigurasi politik yang terjadi pada masa ini . 

Pengaturan tentang obat-obatan di Indonesia sejak lama sudah dilakukan. ini tidak 
terlepas dari sejarah Batavia, atau sekarang Jakarta, yang sudah lama dikenal sebagai 
surganya para penikmat candu. Sejak pertengahan abad ke 17, Batavia telah menjadi 
pusat perdagangan opium dari VOC. Di samping perdagangan resmi yang dilakukan VOC, 
perdagangan gelap opium terjadi dengan jumlah dan nilai perdagangan yang fantastis. 
Untuk menghadapi perdagangan gelap opium ini , pada 30 November 1745, 
Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem van Imhoff mendirikan De Sociëteit tot den 
Handel in Amfioen (warga  Perdagangan Opium) atau lebih dikenal Amfioensociëteit 
(warga  Opium) dengan tujuan untuk melakukan monopoli perdagangan opium 
untuk kepentingan VOC. Tapi perdagangan gelap Opium ternyata tetap berjalan tanpa 
halangan.
-- -- 
56 ton candu ke Pulau Jawa dan dari perdagangan candu ini pemerintah Hindia Belanda 
menarik pajak perdagangan candu. Pajak perdagangan candu merupakan penghasilan 
paling besar bagi Pemerintah Hindia Belanda.  Perdagangan opium meningkat pada 
1800-an dan terus meningkat sampai akhir abad ke 19. Pada masa itu, pemerintah Hindia 
Belanda bahkan memberlakukan lisensi kepada swasta untuk memperdagangkan opium 
dan menarik pajak dari perdagangan Opium. Pajak perdagangan Opium bisa mencapai 
26 juta Gulden. 
Pabrik candu pertama dibangun pada 1894 di Struiswljk (Gang Tengah, Jakarta) dan di 
Meester Cornells alias Jatinegara, pembangunan pabrik ini  tak mampu memenuhi 
kebutuhan akan candu yang melonjak cepat. Pada 1901, sebuah pabrik candu modem 
yang dilengkapi jalur kereta api dibangun di Kramat, Jakarta Pusat. Jalur kereta api ini 
menghubungkan kawasan pabrik ini dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Pabrik ini mengolah 
100 ton candu kasar dari Benggala menjadi 70 ton candu isap bahkan kemudian di tahun 
1914 meningkat menjadi 100 ton.293 Di Jawa, Oei Tiong Ham, menjadi raja candu terakhir 
yang sukses mendirikan imperium bisnis terbesar yang pertama di Asia Tenggara.294 
Situasi ini memberi  tekanan kepada pemerintah Belanda untuk melarang pemakaian  
opium di koloninya.295
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di  Indonesia telah ada sejak 
berlakunya Verdoovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 
1927). Ordonansi ini merupakan peraturan yang dikonsolidasi untuk pertama kalinya. 
Peraturan ini juga merupakan pelengkap dari peraturan persiapan opium yang disahkan 
melalui Opium Verpakking Bepalingen (Staatsblaad No. 514 Tahun 1927).296 Ketentuan ini 
merupakan bagian dari implementasi Konvensi Opium Internasional, sebuah kesepakatan 
internasional pertama tentang pengawasan obat-obatan internasional yang disahkan 
di Den Haag Belanda, pada 23 Januari 1912 yang ditandatangani oleh Jerman, Amerika 
Serikat, China, Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Belanda, Persia, Portugal, Rusia, dan Siam.297
Sebelum pengakuan kedaulatan, pemerintah Hindia Belanda melalui Wakil Tinggi Mahkota 
Belanda sempat mengesahkan Staatsblaad Nomor  Tahun 1949 tentang Ordonansi 

Bahan-Bahan Berbahaya dan Staatsblaad No. 419 tahun 1949 tentang Ordonansi Obat 
Keras. Kedua regulasi ini pada dasarnya mengatur secara ketat peredaran obat – obatan 
yang dianggap berbahaya bagi kesehatan jiwa dan tubuh.  Sementara aspek pidananya 
tentang obat-obatan ini tetap mengacu pada ada KUHP, sebagaimana yang tertuang 
dalam Pasal 204298 dan Pasal 205 KUHP299. Pada masa kemerdekaan hingga lahirnya UU 
No 9 tahun 1976 tentang Narkotika, peraturan pada masa Hindia Belanda ini tetap berlaku 
berdasar Pasal II Ketentuan Peralihan di UUD 1945. 
 
Tumbuhnya perekonomian Indonesia berdampak pada meningkatnya kesejahteraan 
warga . Peningkatan kesejahteraan ini diikuti oleh peningkatan konsumsi narkotika 
untuk rekreasi. Di samping peningkatan kesejahteraan, kemudahan komunikasi dengan 
warga  di luar Indonesia juga diduga menjadi pendorong maraknya pemakaian  
narkotika ini.
Untuk mengatasi masalah narkotika, pada 1971, pemerintah mengeluarkan Instruksi 
Presiden No 6 Tahun 1971 tentang Koordinasi Tindakan dan Kegiatan dari Instansi 
yang bersangkutan dalam Usaha Mengatasi, Mencegah, dan Memberantas Masalah 
Pelanggaran yang berkenaan dengan Masalah Penanggulangan Narkotika. Inpres 6/71 
ini diberikan kepada Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) untuk mengkoordinir 
tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan dari badan/Instansi yang bersangkutan dalam 
usaha untuk mengatasi, mencegah dan memberantas masalah-masalah dan pelanggaran-
pelanggaran yang timbul dalam warga , yang langsung atau tidak langsung dapat 
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Persoalan narkotika ini mendapat perhatian yang serius. Majelis Permusyawaratan Rakyat 
(MPR) bahkan menyebut, narkotika sebagai salah satu capaian dalam arah pembangunan 
nasional dengan menggunakan pendekatan kesehatan