Home » hukuman mati 3 » hukuman mati 3
Jumat, 26 Januari 2024
dan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi
kejahatan ini.
Pasal 444
Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 – 441
mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang
diserang itu mati maka nakoda. komandan atau pemimpin kapal dan mereka
yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 479 huruf k ayat (2)
Pasal 479 i
Barang siapa di dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan
hukum merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai
pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 479 j
Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat
udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun.
Pasal 479 k
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya dua puluh tahun, jika perbuatan dimaksud pasal
479 huruf i dan pasal 479 j itu:
a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
b. sebagai kelanjutan permufakatan jahat;
c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
d. mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara ini ,
sehingga dapat membahayakan penerbangannya;
e. mengakibatkan luka berat seseorang;
f. dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 479 huruf o ayat (2)
Pasal 479 l
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan
kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan,
jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara
ini , dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 479 m
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara
dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara ini
yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan
penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Pasal 479 o
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya dua puluh tahun jika perbuatan dimaksud pasal
479 huruf 1, pasal 479 huruf m, dan pasal 479 huruf n itu:
a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
b. sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat;
c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
d. mengakibatkan luka berat bagi seseorang.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selamalamanya dua puluh tahun.
-- --
Dengan ketentuan yang demikian, menimbulkan pertanyaan tentang alasan-alasan
mengapa hukuman mati tetap dipertahankan dalam KUHP. Pada saat membentuk
undang-undang dinyatakan dalam penjelasan bahwa alasan itu terletak pada keadaan
yang khusus dari Indonesia sebagai jajahan Belanda.236 Menurut Roeslan Saleh, alasan
dipertahankannya pidana mati adalah sebab bahaya akan terganggunya ketertiban
hukum di Indonesia lebih besar dan lebih mengancam dibandingkan dengan di Belanda.
Penduduk Indonesia yang beraneka ragam berpotensi menimbulkan bentrokan,
sedangkan pemerintah dan kepolisian Indonesia kurang memadai. berdasar keadaan
itulah maka dipandang bahwa pidana mati tidak dapat dilenyapkan sebagai senjata paling
unggul dari Pemerintahan.237
Sejalan dengan pendapat ini , Adami Chazawi memberi pandangan bahwa
ada dua alasan pemerintah mempertahankan pidana mati, yaitu: pertama,
kemungkinan perbuatan yang mengancam kepentingan hukum di sini jauh lebih besar
daripada di Belanda, mengingat negeri ini wilayahnya sangat luas dengan penduduk
yang terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan adat dan tradisi yang berbeda.
Keadaan ini sangat potensial menimbulkan perselisihan, bentrokan yang tajam,
dan kekacauan besar di kalangan warga . Kedua, alat perlangkapan keamanan yang
dimiliki pemerintah Hindia Belanda masih sangat kurang atau tidak sesempurna dan
selengkap di negeri Belanda.238
Padahal, sebagaimana yang diuraikan dalam bagian sebelumnya, pemberlakukan
hukuman mati di Hindia Belanda (negara kita ) sebagaimana diatur dalam Wetboek van
Strafrecht voor Indonesie (WvSI) penerapannya tidak terlepas dari motif kolonial Belanda
yaitu untuk mempertahankan dan mengamankan daerah jajahannya.239 Tidak ada cukup
alasan yang memadai atas masih dipertahankan hukuman mati di Wetboek van Strafrecht
voor Indonesie (WvSI) dalam KUHP. Pada 1958, KUHP ini dinyatakan berlaku di seluruh
wilayah Indonesia mulai 2 September 1958 dengan diterbitkannya UU No. 73 Tahun 1958
tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan
Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.
3.4.2 Hukuman Mati dalam Hukum Militer di Indonesia
Bersama dengan perkembangan KUHP, hukum pidana militer juga merupakan warisan
dan yang lahir dalam sistem hukum pidana militer yang ada di Belanda. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) merupakan warisan dari Pemerintah Hindia
Belanda yang dahulunya berlaku untuk KNIL (I.S 1934 No.7), yang kemudian telah
ditambah dengan UU No. 39 Tahun 1947 tentang Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara
(Staatblad 1934, NO. 167) dengan Keadaan Sekarang.
KUHPM dimaksudkan sebagai tambahan dari KUHP, di mana KUHPM berlaku khusus bagi
militer dan orang-orang yang tunduk pada kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer.
ini didasarkan atas pertimbangan bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam
KUHP tidak cukup keras bagi pelaku yang merupakan militer yang dalam perbuatan
pidana atau dalam keadaan tertentu akan memiliki sifat yang berat bagi seorang anggota
militer. Selain itu, perbuatan tertentu yang ada dalam KUHPM hanya dapat dilakukan
oleh militer.240 Jika dibandingkan, pasal yang memuat ancaman pidana mati dalam KUHPM
lebih banyak daripada pasal yang memuat ancaman pidana mati di KUHP, yakni di KUHP
ada 11 (sebelas) pasal sedangkan dalam KUHPM ada 27 (dua puluh tujuh) pasal.
Dalam sejarahnya, KUHPM yang saat ini berlaku berasal dari Wetboek van Militair
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Stbl 1934 Nr. 167). Meski memiliki corak yang sama
dengan perkembangan KUHP, namun KUHP Militer tidak banyak mengalami perubahan,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 132 Indische Staatsregeling:
“De Militaire Strafrechtspleging berust op Ordonanties, zoeveel mogelijk overeenkomende
met de in Nederland bestaande wetten”
(Pelaksanaan Hukum Pidana Militer dicantumkan dalam ordonansi-ordonansi yang
sejauh mungkin bersesuaian dengan undang-undang yang ada di negeri Belanda).241
Namun demikian, Wetboek van Militair Strafrecht memperkenankan adanya penyimpangan.
Penyimpangan hanya diperkenankan jika : (i) adanya kondisi khusus di Indonesia
yang menghendaki (penyimpangan) demikian itu (Specifieke Indische toetstanden daartoe
noopten); (ii) jika dalam praktek menunjukkan adanya kebutuhan yang sangat untuk
mengadakan perubahan atau penambahan (in de praktijk de noodzakelijkheid van wijziging
of aanvulling had Aangetoond); dan (iii) untuk memperjelas sesuatu pasal (verduidelijking
van enig artikel gewenst bleek).242
Selain mengundangkan KUHPM, Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan
Wetboek van Krijgstucht voor Nederlandsch-Indie (Stbl. 1934 Nr 168). Dari kedua hukum
warisan Belanda ini, hanya KUHPM yang masih berlaku berdasar ketentuan UU No.
39 Tahun 1947 tentang Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No 167)
dengan Keadaan Sekarang.
Diterapkannya hukuman mati dalam sistem hukum pidana militer di Indonesia tidak
dapat dipisahkankan dari sistem peradilan militer Belanda yang diberlakukan sebelum
perang dunia kedua. Peradilan Militer Belanda di Indonesia dikenal dengan “Krijgsraad”
dan “Hoog Militair Gerechtshof”. Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi perbuatan pidana
militer dan anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia
Belanda) yaitu KNIL dan anggota Angkatan Laut Belanda.
Pasca kemerdekaan, berdasar Ketentuan Peralihan (Pasal II) dan untuk menghindari
terjadinya kekosongan hukum pidana militer di negara kita , terjadi adopsi terhadap
Wetbook van Militaire Strafrecht (WvMS) yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Belanda.
Pasal II Ketentuan Peralihan menyatakan :
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Ketentuan inilah yang kemudian mempengaruhi hukum pidana militer dan sistem
peradilan militer Belanda ke dalam sistem hukum dan peradilan militer negara kita .
Namun demikian, pada saat itu Indonesia tidak secara langsung melakukan adopsi atau
mengambilalih sistem peradilan militer yang terbentuk sebelum kemerdekaan. Termasuk
pada saat pembentukan Tentara Republik Indonesia pada 5 Oktober 1946, peradilan
militer Indonesia belum dibentuk.
Peradilan Militer Indonesia baru dibentuk pada tanggal 8 Juni 1946 dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.245 Pengadilan Tentara
pada waktu itu terdiri dari 2 (dua) badan (tingkat) yakni : Mahkamah Tentara dan
Mahkamah Tentara Agung, dan jika diperlukan dapat dibentuk dibentuk suatu
Pengadilan Tentara Luar Biasa. Perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana militer
Indonesia terus menerus dilakukan sampai dengan tahun 1950 ketika Pemerintahan
Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1950 dan Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan
dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Pengadilan tentara ini terdiri dari Mahkamah
Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung.
Sistem hukum pidana militer Indonesia yang dibentuk ini terkait erat dengan hukum
materiil yang mengatur mengenai tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan anggota
militer ataupun non militer yang tunduk pada sistem hukum pidana militer. Dalam praktiknya, sebab belum memiliki sumber daya yang memadai dan terdidik untuk melak-
sanakan tugas dan fungsi peradilan militer. Oleh sebab nya, UU No. 7 Tahun 1946 menetapkan bah-
wa Ketua, Wakil Ketua dan anggota Pengadilan Negeri menjadi Ketua, Wakil Ketua dan anggota pen-
gadilan tentara. Selengkapnya lihat Moch Faisal Salam, Peradilan Militer negara kita , (CV Mandar Maju,
materiil ini ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM).
a. Hukum Pidana Militer Di Indonesia
Hukum Pidana Militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum pidana militer dalam
arti materil dalam hukuman pidana militer dalam arti formil. Pada dasarnya hukum pidana
militer dapat diberikan pengertian secara singkat dan sederhana sebagai hukum pidana
yang berlaku khusus bagi anggota militer.
Mengenai pengertian kata militer itu sendiri dapat dipahami dari asal mula kata
“Militer”. Istilah militer sebenarnya berasal dari kata “miles”, dalam bahasa Yunani
yang memiliki arti seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan
pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan
keamanan. Militer merupakan orang yang bersenjata dan siap bertempur, yaitu orang-
orang yang sudah terlatih untuk menghadapi tantangan atau ancaman pihak musuh yang
mengancam keutuhan suatu wilayah atau negara.248 Namun demikian, tidak setiap orang
yang bersenjata dan siap untuk berkelahi atau bertempur dapat disebut dengan istilah
militer. Karakteristik militer adalah memiliki organisasi yang teratur, mengenakan
pakaian yang seragam, memiliki disiplin, serta mentaati hukum yang berlaku dalam
peperangan. jika karakteristik ini tidak dipenuhi, maka kelompok ini tidak
dapat disebut dengan militer, melainkan disebut dengan suatu gerombolan bersenjata
(belligerent).
Pengertian secara yuridis dapat dijumpai dalam beberapa peraturan perundang-
undangan di negara kita , antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dan UU
No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam UU No. 31 Tahun 1997, menggunakan
istilah “Prajurit,” bukan menggunakan istilah Militer. ini dinyatakan pada Pasal 1 butir
42 UU No. 31 Tahun 1997 bahwa :
“Prajurit dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan
Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang
untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang
senjata, rela berkorban jiwa raga dan berperan serta dalam pembangunan nasional
dan tunduk pada hukum militer”.
Dengan demikian Pasal 1 butir 42 UU No. 31 Tahun 1997 pada dasarnya mengatur
tentang orang-orang yang disebut sebagai anggota militer, yang menurut UU No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara mencakup anggota TNI AD, TNI AL, TNI AU. Selain
pengertian “militer/prajurit” ini di atas, dalam Pasal 9 butir 1 UU No. 31 Tahun 1997
247EY Kanter dan SR Sianturi, Hukum Pidana MIliter di negara kita ,
ternyata juga mengatur ketentuan mengenai kelompok orang yang dianggap memiliki
karakteristik yang sama dengan “militer/prajurit” , sehingga terhadap kelompok orang ini
dapat ditundukkan pula pada hukum militer dan hukum pidana militer, yang terdiri dari:
a. …;
b. Yang berdasar undang-undang dipersamakan dengan prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan, atau yang dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit berdasar undang undang.
d. Seseorang yang tidak termasuk pada huruf a, huruf b, dan huruf c, namun atas
keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer.
berdasar ketentuan pasal ini di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
pengertian “militer” dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini disebabkan sebab
orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai anggota militer dapat meliputi kelompok-
kelompok sebagai berikut:
1. Militer murni dalam pengertian Angkatan Perang (TNI AD, TNI AL, TNI AU).
2. Kelompok orang yang dipersamakan dengan militer atau angkatan perang.
3. Anggota dari suatu organisasi yang dipersamakan dengan militer/Angkatan
Perang.
Bertitik tolak dari hubungan dengan pengertian hukum pidana militer ini , Sianturi
memberi rumusan mengenai pengertian hukum pidana militer yang ditinjau dari sudut
justiabel, yaitu orang-orang yang tunduk dan ditundukkan pada suatu kekuasaan badan
peradilan tertentu.249 Hukum pidana militer formil dan materiil adalah bagian dari hukum
positif yang berlaku bagi justiabel peradilan militer. Ketentuan ini menentukan dasar-
dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan
keharusan serta terhadap pelanggaran yang diancam pidana.
Hukum pidana militer merupakan lex specialis dari hukum pidana umum yang merupakan
lex generalis, berlakunya hukum pidana umum bagi kalangan militer didasari oleh Pasal
103 KUHP:
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
Ketentuan ini diperkuat oleh ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM. Pasal 1 KUHPM
menyatakan :
“(diubah dengan UU No. 9 Tahun 1947) untuk penerapan kitab undang-undang ini
berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk Bab kesembilan dari
buku pertama kitab undang-undang hukum pidana kecuali ada penyimpangan-
penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Selanjutnya Pasal 2 KUHPM:
“(diubah dengan UU No. 9 Tahun 1947) terhadap tindak pidana yang tidak tercantum
dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada
kekuasaan badan-badan peradilan militer diterapkan hukum pidana umum, kecuali
ada penyimpangan-penyimpangaan yang ditetapkan oleh undang-undang.”
berdasar ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM, Hukum Pidana Umum berlaku
bagi setiap orang, termasuk di dalamnya bagi TNI/militer. Namun, bagi militer ada
ketentuan-ketentuan yang menyimpang dan berlaku khusus dari ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam KUHP yang diberlakukan bagi militer, yang diatur di KUHPM.
Dengan diaturnya peraturan-peraturan khusus di dalam KUHPM itu, ada penambahan
dari aturan-aturan yang telah diatur dalam KUHP, termasuk didalamnya delik-delik yang
diancam dengan pidana mati, yang di kalangan militer berkaitan dengan kejahatan
terhadap pertahanan negara.
Sebelum membahas mengenai substansi yang terkait dengan pidana mati di dalam
KUHPM, secara singkat akan diuraikan mengenai macam-macam tindak pidana militer,
antara lain:
1) Tindak pidana umum (komunne delicta) yang dapat dilakukan oleh setiap orang,
yang merupakan lawan dari tindak pidana khusus (delicta propria) yang hanya
dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, dalam ini dilakukan oleh seorang
militer.
2) Tindak Pidana Militer. Tindak pidana militer yang diatur di dalam KUHPM dibagi
menjadi 2 bagian yaitu tindak pidana militer murni (Zuiver Militaire Delict) dan
tindak pidana militer campuran (Gemengde Militerire Delict).
Tindak pidana militer murni merupakan suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh
seorang militer sebab sifatnya khusus militer. Sementara tindak pidana militer campuran
merupakan suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya,
hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman
hukumannya dirasakan terlalu ringan jika perbuatan itu dilakukan oleh seorang
militer. ada 4 (empat) kualifikasi yang digolongkan di dalam tindak pidana militer
murni yaitu:
1. Militer yang pergi dengan maksud untuk menarik diri dari kewajiban-kewajiban
dinasnya;
2. Militer yang pergi dengan maksud melarikan diri dari bahaya perang;
3. Militer yang pergi dengan maksud menyeberang ke musuh;
4. Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu
negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Di dalam Pasal 87 KUHPM, mengatur mengenai Desersi yang dikualifikasi sebagai tindak
pidana militer murni. Pasal 87 KUHPM menyatakan :
(1) Diancam sebab desersi, militer :
1. Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-
kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh,
atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa
dibenarkan untuk itu;
2. Yang sebab salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak hadiran
tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu
perang lebih lama dari empat hari;
3. Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan sebab nya
tidak ikut melaksanakan tugas sebagian atau seluruhnya dari suatu
perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2.
(2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara
maksimum dua tahun delapan bulan.
(3) (3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana
penjara maksimum delapan tahun enam bulan.
Sementara tindak pidana militer campuran merupakan tindakan-tindakan yang dilarang
atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain,
akan namun diatur lagi dalam KUHP Militer atau undang-undang pidana militer lainnya,
sebab adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau sebab adanya sesuatu sifat yang
lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat
dari ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan ini dalam pasal
52 KUHP. Contohnya, pencurian dalam pasal 362 KUHP diatur pula dalam pasal 140 KUHP
Militer.
Oleh sebab itu perbuatan yang telah diatur perundang-undangan lain yang jenisnya sama,
diatur kembali di dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat disesuaikan
dengan kekhasan militer. Sehingga, perlu diatur di dalam KUHP Militer secara khusus.
sebab mengatur hal-hal yang bersifat khusus maka hukum pidana militer disebut hukum
pidana khusus. Pengertian khusus itu adalah ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku
bagi anggota militer saja dan di dalam keadaan tertentu pula.
b. Hukuman Mati Dalam KUHPM
Terhadap tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk
pada ketentuan hukum pidana militer diancam pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal
6 KUHPM:
a. Pidana-Pidana Utama
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana tutupan (UU No. 20 Tahun 1946)
b. Pidana Tambahan
1. Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk
memasuki Angkatan Bersenjata
2. Penurunan Pangkat
3. Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-
nomor ke-1, ke-2, dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Diaturnya ancaman pidana terhadap militer pada dasarnya harus dianggap sebagai suatu
tindakan pendidikan atau pembinaan, bukan sebagai sarana penjeraan. ini disebabkan
sebab didasari pada asumsi bahwa seseorang yang dikenai pidana akan kembali
melakukan dinas militer setelah menjalani pidananya,251 dengan harapan orang ini
akan menjadi militer yang baik dan berguna sebagai akibat dari “tindakan pendidikan”
yang dijalani selama menjalani pidana. Dalam kerangka ini, fungsi sanksi pidana militer
tidak jauh berbeda dengan fungsi sanksi pidana pada umumnya. Sanksi pidana terhadap
anggota militer berfungsi agar anggota militer tidak mengulangi perbuatan tindak pidana
yang dilakukan dan selalu siap ditempatkan di mana saja dalam kedinasannya. Walaupun,
makna tindakan pendidikan ini tidak akan berhasil bagi militer yang dijatuhi hukuman
mati, yang dalam ini dalam ini tidak hanya diatur oleh KUHP dan untuk tindak
pidana umum saja, namun juga diatur di dalam KUHPM yang tindak pidananya khusus
dilakukan oleh anggota TNI/militer baik untuk delik umum maupun delik militer.
Ketentuan mengenai pidana mati di dalam KUHP tersebar dalam beberapa pasal yang
semuanya terkait tindakan-tindakan atau perbuatan yang terkait langsung dengan
sumpah atau tugas yang seharusnya menjadi tanggungjawab dan tidak boleh dilakukan
oleh seorang anggota militer, seperti pemberontakan, disersi, menjadi mata-mata musuh
dan sabotase.
Tabel 3.2 Ketentuan Pidana Mati dalam KUHPM
No Hal Pasal Isi Pasal
1. Ketentuan Pokok Pasal 6 Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini
adalah:
a. Pidana-pidana utama:
ke-1, Pidana mati;
ke-2, Pidana penjara;
ke-3, Pidana kurungan;
ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).
2. Kejahatan
Pengkhianatan
Pasal 64 1) Militer, yang dalam waktu perang dengan sengaja memberi
bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh,
diancam sebab pengkhianatan militer, dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara
maksimum dua puluh tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, militer yang dalam waktu
perang mengadakan permufakatan jahat untuk melakukan
pengkhianatan militer.
3. Kejahatan
Pemberontakan
Pasal 65 1) Militer yang melakukan pemberontakan, diancam sebab
melakukan pemberontakan militer, dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum dua
puluh tahun.
2) Pemberontakan militer, yang dilakukan dalam waktu perang,
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara sementara maksimum dua puluh tahun.
3) Para penganjur, pemimpin dan penggerak dari pemberontakan
militer diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara dua puluh tahun.
4. Kejahatan mata-
mata
Pasal 67 1) Diancam sebab pemata-mataan (verspieding / spionase)
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara maksimum dua puluh tahun:
ke-1 (diubah dengan Undang-undang No, 39 Tahun 1947).
Barangsiapa dengan sengaja untuk keperluan musuh, berusaha
mendapatkan keterangan mengenai kepentingan perang dl
sebuah perahu atau pesawat udara dari Angkatan Perang, di
dalam garis-garis pos depan, di suatu tempat atau pos yang
diperkuat atau diduduki, atau di dalam suatu bangunan Angkatan
Perang;
ke-2 Barangsiapa yang dalam waktu perang, dengan sembunyi-
sembunyi dengan pernyataan palsu, dengan jalan penyamaran
atau melalui jalan lain selain dari pada jalan yang biasa, berusaha
memasuki salah satu tempat yang disebutkan pada nomor ke-
1, dengan cara itu ia ada di tempat ini , atau dengan
salah satu cara atau salah satu sarana ini berusaha pergi
dari tempat itu;
ke-3 Barangsiapa yang dalam waktu perang dengan sengaja
mengadakan pencatatan atau pembaganan atau penulisan,
mengenai sesuatu hal tentang kepentingan militer.
2) Ketentuan-ketentuan ini nomor ke-2 dan 3 ayat
pertama tidak dapat diterapkan, bilamana menurut pendapat
hakim, bahwa petindak tidak melakukannya untuk keperluan
musuh.
5. Kejahatan
pembocoran
rahasia/janji
Pasal 68 (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947).
Barangsiapa dalam waktu perang dengan sengaja pergi
bertentangan dengan suatu janji yang ia berikan dalam
penawanan perang negara kita , atau melanggar suatu janji yang ia
berikan atau suatu persyaratan yang disanggupinya untuk mana
ia dilepaskan sementara atau seterusnya dari penawanan Perang
negara kita , atau mengadakan permufakatan jahat untuk itu,
diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana sementara maksimum duapuluh tahun.
6. Menyerahkan
pos komando
Pasal 73 Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup
atau sementara maksimum dua puluh tahun, militer yang dalam
waktu perang dengan sengaja:
ke-1 (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947).
Menyerahkan kepada musuh, atau membuat atau membiarkan
berpindah ke dalam kekuasaan musuh, suatu tempat atau pos
yang diperkuat atau diduduki yang berada di bawah perintahnya,
ataupun Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara atau
suatu bagian daripadanya, tanpa melakukan segala sesuatu
untuk itu sebagaimana yang dipersyaratkan atau dituntut oleh
kewajibannya dari dia dalam keadaan itu;
ke-2 Mengosongkan atau meninggalkan suatu tempat, pos,
perahu, pesawat udara atau kendaraan Angkatan Perang yang
berada di bawah perintahnya, dengan semaunya di luar keadaan
terpaksa;
ke-3 Dalam suatu pertempuran dengan musuh, mengabaikan
kewajibannya untuk dengan Angkatan Perang yang berada di
bawah perintahnya menjumpai musuh, menyerang musuh, turut
serta bertempur, mengejar musuh atau melakukan pertahanan
terhadap serangan musuh;
ke-4 Memindahkan atau membiarkan berpindah seluruhnya atau
sebagian Angkatan Perang yang berada di bawah perintahnya ke
daerah tak berpihak di luar keadaan terpaksa.
7. Kejahatan
menyerah tanpa
perintah
Pasal 74 Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
sementara maksimum dua puluh tahun:
ke-1 barangsiapa, yang sengaja pada suatu pertempuran dengan
musuh atau pada suatu tempat atau pos yang diserang atau
terancam serangan oleh musuh, memberi tanda rnenyerah tanpa
ada perintah yang tegas dari atau atas nama penguasa militer
setempat yang tertinggi;
ke-2 barangsiapa dalam waktu perang berusaha
memperdayakan, mematahkan semangat atau mengacaukan
warga militer.
8. Kejahatan
sabotase
Pasal 76 1) Barangsiapa dalam waktu perang, dengan sengaja
menggagalkan suatu operasi militer, diancam dengan pidana
penjara maksimum lima belas tahun.
2) (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947)
Petindak diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara
seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun
jika dia melakukan kejahatan itu sebagai militer pemegang
komando atau ditugaskan sebagai pengurus atau pengawas dari
kebutuhanAngkatan Darat, Laut atau Udara.
9. Melanggar
perjanjian
perang
Pasal 82 Militer, yang dengan sengaja bertentangan dengan hukum
merusak suatu perjanjian yang diadakan sedemikian dengan
musuh, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun.
10. Disersi Pasal 89
KUHPM
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
sementara maksimum dua puluh tahun : Ke-1, Desersi ke musuh;
Ke-2, (Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Desersi dalam
waktu perang, dari satuan-pasukan, perahu-laut, atau pesawat
terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari
suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan
oleh musuh. Dari perumusan Pasal 87 dapat disimpulkan ada dua
bentuk desersi, yaitu : 1) Bentuk desersi murni (Pasal 87 ayat 1
ke-1) dan 2) Bentuk desersi sebagai peningkatan dari kejahatan
ketidak hadiran tanpa izin (Pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3).
11. Insubordinasi Pasal
109
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
sementara maksimum dua puluh tahun;
ke-1 insubordinasi dengan tindakan nyata dalam waktu perang;
ke-2 (diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947)
perlawanan nyata bersama (muiterij) di perahu atau pesawat
terbang, yang berada pada suatu tempat di mana tidak ada
pertolongan yang segera.
12. Pengacauan
militer
Pasal
114
1) Para penganjur (berhamels) di antara para peserta pada
pengacauan militer, diancam dengan pidana penjara maksimum
lima belas tahun.
2) (Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947).
jika tindakan itu dilakukan dalam waktu perang, atau di
perahu atau pesawat terbang yang berada pada suatu tempat
di mana tidak ada pertolongan yang segera, petindak
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
sementara maksimum dua puluh tahun;
3) Dengan pidana yang sama diancam para pemimpin dan
penggerak dari pengacauan militer;
13. Kejahatan
terhadap negara
Pasal
133
1) Barangsiapa mengetahui suatu permufakatan jahat untuk
melakukan suatu kejahatan yang ditentukan diancam dengan
pidana dalam kitab undang-undang ini, ataupun suatu niat untuk
melakukan kejahatan yang dirumuskan dalam kitab undang-
undang ini terhadap keamanan negara, atau dalam hal diancam
dengan pidana mati untuk melakukan pemberontakan militer
dalam waktu damai, desersi dalam waktu perang, insubordinasi
dengan tindakan nyata atau pengacauan militer, pada saat
pelaksanaan kejahatan itu masih dapat dicegah dengan sengaja
mengabaikan pemberitahuan secukupnya pada saat yang tepat
kepada penguasa atau kepada siterancam, jika kejahatan itu
terjadi, diancam dengan pidana yang sama pada pembantuannya.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barang-siapa mengetahui
terjadinya suatu kejahatan ini ayat pertama, pada saat
akibatnya masih dapat dicegah, dengan sengaja mengabaikan
pemberitahuan ini .
14. Penyalahgunaan
kewenangan
pada saat
perang
Pasal
137
1) Diancam dengan pidana mati, penjara seumur hidup
atau sementara maksimum dua puluh tahun, para militer
yang termasuk dalam suatu Angkatan Perang yang
disiapsiagakan untuk perang, yang dengan kekuatan
berserikat melakukan kekerasan terhadap seseorang
atau lebih, ataupun dengan sengaja dan dengan melawan
hukum merusak, membinasakan, menghancurkan suatu
barang yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang
lain dan ketika melakukan tindakan itu menyalahgunakan
atau mengancamkan, kesempatan atau sarana yang
diperolehnya selaku militer.
2) Diancam dengan pidana yang sama, orang-orang yang
tunduk kepada kekuasaan peradilan militer yang dalam
hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang yang
disiapsiagakan untuk perang, atau menyertainya atau
mengikutinya dengan persetujuan penguasa militer, yang
melakukan perbuatan-perbuatan yang sama dan untuk
itu menyalahgunakan atau mengancamkan kekuasaan,
kesempatan atau sarana, yang mereka peroleh sebab
hubungannya dengan Angkatan Perang itu.
3) Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak
diterapkan.
15. Kekerasan
terhadap korban
perang
Pasal
138
1) Barangsiapa melakukan kekerasan kepada orang mati, sakit
atau mendapat luka dalam peperangan yang termasuk pada
Angkatan Perang dari salah satu pihak yang berperang,
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup
atau sementara maksimum dua puluh tahun.
2) Dalam pengeterapan pasal ini, yang termasuk pada
Angkatan Perang dari salah satu pihak yang berperang,
adalah semua orang yang bekerja, berada dalam hubungan
dinas, atau dengan persetujuan penguasa militer menyertai
atau mengikuti Angkatan Perang itu.
Pasal
142 ayat
(2)
jika tindakan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
berserikat, para petindak diancam dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup atau sementara dua puluh tahun.
berdasar Tabel di atas, pidana mati merupakan jenis pidana pokok utama dan yang
paling berat dari susunan sanksi pidana yang ada di dalam KUHPM. Ketentuan
ini menegaskan mengenai politik hukum kolonial yang diterapkan terhadap Hindia
Belanda (negara kita ) yang secara konkordan diadopsi dan dipertahankan dalam KUHPM.
Padahal di KUHPM Belanda, hukuman mati hanya diterapkan secara terbatas terhadap
tindak pidana:252
1. Yang telah dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang;
2. Yang telah dilakukan anggota militer untuk kepentingan musuh dan bagi beberapa
kejahatan yang telah disebutkan di dalam criminal wetboek, dan hanya jika
tindak pidana-tindak pidana ini telah dilakukan di atas kapal yang sedang
berada di atas lautan atau sedang berada di atas perairan dari negara-negara
asing baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.
Dalam konteks hukum pidana militer negara kita , ancaman pidana mati ini juga
dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan
negara.
Diadopsinya pidana mati di dalam KUHPM tidak dapat dilepaskan dari berlakuknya
Asas Konkordansi dalam sistem hukum negara kita . Pasca kemerdekaan 1945, dalam
rangka mencegahnya terjadinya kevakuman hukum, Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 memberi kemungkinan diberlakukannya WvMS di Republik negara kita . WvMS
yang berlaku pada masa penjajahan Belanda konkordan dengan WvMS yang berlaku
di negeri Belanda. WvMS yang berlaku di Hindia Belanda hanya beberapa hal diberikan
kemungkinan adanya penyimpangan-penyimpangan yang berpedoman pada Indische
Staats regeling art 132 yang berbunyi: Pelaksanaan hukum pidana militer dicantumkan
dalam ordonansi-ordonansi yang sejauh mungkin bersesuaian dengan undang-undang yang
ada di negeri Belanda.253
Adanya ketentuan pidana mati di dalam KUHPM tidak terlepas dari pandangan mengenai
tujuan hukum yang sama dengan tujuan (penjatuhan) pidana, yaitu untuk menjamin
ketertiban hukum dari suatu kelompok warga , dalam ini militer yang terorganisir.
Selain itu, kehidupan ketentaraan yang menghendaki ketertiban dan pentaatan disiplin
bagi seluruh anggotanya menjadikan dijatuhkannya pidana mati akan tetap dianggap
“tindakan pendidikan” yang akan memberi efek jera terhadap militer lainnya. Namun
demikian, pandangan ini sepertinya tidak lagi sejalan dengan perkembangan aliran
hukum pidana modern yang menjadikan hukum pidana dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan warga . Beccaria misalnya berpendapat agar dalam penerapan pidana
lebih memperhatikan perikemausiaan. Beccaria mempertanyakan kewenangan negara
untuk menjatuhkan pidana mati. Pendapatnya ini didasarkan pada ajaran kontrak sosial,
yang salah satunya berpandangan tidaklah masuk akal jika manusia menyerahkan
kebebasannya kepada negara secara mutlak, termasuk di dalamnya untuk mencabut
nyawanya.
c. Praktik Penerapan Hukuman Mati Pada Mahkamah Militer Luar Biasa
Pasca terjadinya peristiwa G30S, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden
NO. 370 TAHUN 1965. Keppres ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa “Gerakan 30
September” telah melakukan penculikan dan pembunuhan, mendemisionerkan Kabinet
Dwikora dan membentuk apa yang disebutnya “Dewan Revolusi negara kita ” sebagai
penggantinya. Padahal perjuangan maha dahsyat negara dan bangsa Indonesia
terhadap Nekolim beserta antek-anteknya sedang menginjak taraf yang menentukan.
Sehingga “Gerakan 30 September” ini merupakan petualangan kontra-revolusi
yang memerlukan penyelesaian segera. Oleh sebab nya, merujuk pada Penetapan
Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 1963 ( Lembaran Negara Tahun 1963 No. 119),
Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) adalah tepat untuk ditunjuk sebagai badan
peradilan yang diserahi (tugas) mengadili tokoh-tokoh yang tersangkut/terlibat dalam apa
yang dinamakan “Gerakan 30 September” ini .
Keputusan Presiden No. 370 tahun 1965 juga memberi wewenang kepada Major
Jenderal TNI Soeharto atau Perwira tinggi yang ditunjuk olehnya, untuk :
a. Menentukan siapa-siapa termasuk tokoh-tokoh, sebagaimana dimaksud dalam
penetapan PERTAMA di atas.
b. Bertindak sebagai Perwira Penyerahan Perkara dalam perkara-perkara ini .
c. Menentukan susunan Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mempersiapkan, memeriksa
dan mengadili perkara-perkara ini di atas.
Salah satu hal yang menarik dari proses MAHMILLUB ini adalah dikeluarkannya Surat
Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat (MenPangad) Selaku Panglima Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor. : KEP-5/KOPKAM/1/66 tentang penunjukan
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk memeriksa dan mengadili perkara tokoh petualangan
KONTREV “G 30 S” yang bernama: Nyono bin Sastroredjo, dalam suatu sidang terbuka di
Jakarta.
SK MenPangad ini juga menunjuk untuk bertindak sebagai Hakim Ketua/Hakim Ketua
pengganti, Hakim Anggota, Oditur/Oditur Pengganti dan Panitera/Panitera Pengganti
dari pada Mahkamah Militer Luar Biasa yang mengadili perkara dengan terdakwa
Nyono. Setelah menetapkan MAHMILLUB dan menunjuk personil-personil untuk
mengadili terdakwa Nyono, MenPangad Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima
Operasi Pemulihan Keamanan sebagai Perwira Penyerahan Perkara mengeluarkan
Surat Keputusan Penyerahan Perkara No. : KEP-13/KOPKAM/1/1966 yang menetapkan
penyerahan perkara tersangka (terdakwa) Nyono bin Sastroredjo alias Tugimin alias
Rukma kepada MAHKAMAH MILITER LUAR BIASA yang berkedudukan di Jakarta.
SK MenPangad Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan
sebagai Perwira Penyerahan Perkara juga berisi tuntutan supaya tersangka (terdakwa
Nyono) diperiksa dan diadili sesuai dengan surat tuduhan yang dibuat oleh Oditur
Mahkamah Militer Luar Biasa, dan menentukan agar tersangka (terdakwa) tetap ditahan.
Menjelang sidang pertama yang mengadili Nyono bin Sastroredjo, Jenderal Soeharto
mengatakan bahwa PKI jelas melakukan perebutan kekuasaan. Dalam hubungan ini PKI
sekaligus melakukan tiga kejahatan, yaitu kriminal, politik, dan kejahatan terhadap mor-
al Pancasila. Namun demikian, pemeriksaan dan pengadilan terhadap petualang kon-
tra-revolusi ini justru dilakukan dalam naungan keadilan dan pengayoman hukum. Hal
ini merupakan salah satu kemenangan revolusi besar kita, yaitu kemenangan moralitas
Pancasila atas moralitas kontra-revolusi.256
Pada akhir persidangan, Oditur Militer menyatakan bahwa terdakwa Nyono telah
melakukan tiga macam kejahatan sekaligus, yaitu kejahatan terhadap negara; kejahatan
terhadap revolusi yaitu bertindak kontra revolusioner dalam arti menghianati ajaran-ajaran
PBR (Panglima Besar Revolusi) Bung Karno terutama sekali yang menyangkut persatuan
dan kesatuan nasional yang berporoskan Nasakom dan berusaha menyingkirkan
kepemimpinan PBR Bung Karno, serta kejahatan mental idiil terhadap revolusi dalam arti
merongrong ideologi Pancasila.
Tindakan-tindakan terdakwa Nyono ini telah melanggar ketentuan Pasal 110 ayat
(1) jo Pasal 107 dan Pasal 108 jo Pasal 88 KUHP; Pasal 107 ayat (2) jo ayat (1) KUHP dan
Pasal 108 ayat (2) jo ayat (1) ke (1) KUHP jo Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959, dengan
tuntutan “Hukuman Mati.”257
Terhadap tuntutan oditur militer ini , pada tanggal 21 Februari 1966 MAHMILLUB
yang dipimpin Letkol. CKH Ali Said, S.H menyatakan bahwa terdakwa Nyono telah bersalah
melakukan kejahatan-kejahatan:
256 Dikutip G. Dwipayana dan Nazarudin Sjamsuddin (ed), Jejak Langkah Pak Harto 01 Oktober 1965 – 27 Maret 1968, (Jakarta:
PT Citra Kharisma Bunda, 2003), hlm. 46 .
257 Pusat Pendidikan Kehakiman AD, G30S dihadapan MAHMILLUB I (Perkara Nyono), (Pusat Pendidikan Kehakiman AD,
AHM-PTHM, Cetakan I, 1966), hlm, 233.
1. Mengadakan komplotan (permufakatan jahat) untuk mengadakan makar dengan
maksud/niat untuk menggulingkan Pemerintah Republik Indonesia yang sah
dan untuk melakukan pemberontakan dengan mengangkat senjata melawan
kekuasaan yang sah;
2. Memimpin dan mengatur makar dengan maksud untuk menggulingkan
Pemerintah Republik Indonesia yang sah;
3. Memimpin dan mengatur pemberontakan dengan mengangkat senjata melawan
Pemerintah Republik Indonesia yang sah.
Oleh sebab nya Mahmillub menghukum Terdakwa Nyono sebab kejahatan-kejahatannya
ini dengan “hukuman mati”.258
Samuel Gultom, dalam bukunya Mengadili Korban259 mengungkapkan bahwa kala itu
Suharto yang berkuasa untuk menentukan siapa yang dikategorikan sebagai “tokoh”,
bertindak sebagai perwira penyerah perkara dan menentukan susunan MAHMILLUB.
Sebagai tempat penyelenggaraan persidangan dipilih gedung Bappenas di Jalan
Diponegoro Jakarta Pusat.
Kekhususan dari MAHMILLUB, menurut Gultom, terletak pada dua hal. Pertama, institusi
ini adalah pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir, sebab terdakwa ataupun
oditur atau penuntut tidak dapat melakukan usaha banding. Kedua, MAHMILLUB
merupakan lembaga peradilan militer yang memeriksa warga sipil.
Gultom menyatakan bahwa secara keseluruhan MAHMILLUB memeriksa sebanyak 17
perkara yang terkait dengan aksi G.30.S. Sementara, hingga 1978 Mahkamah Militer
Tinggi (Mahmilti) memeriksa sebanyak 291 perkara dan pengadilan negeri sebanyak 466
perkara. Namun, Buku Putih G.30.S yang diterbitkan Sekretariat Negara RI tahun 1994,
mencatat bahwa ada 24 orang dari ratusan atau mungkin ribuan tokoh yang terlibat PKI
yang “beruntung” diajukan ke pengadilan. Hampir seluruhnya adalah mereka yang masuk
dalam Golongan A.
Tabel 3.3 Nama-Nama tokoh PKI yang pernah disidangkan pada MAHMILLUB
No Terpidana
Jabatan/Pangkat
Terakhir
Putusan
1 Njono Anggota Politbiro
CC PKI
Putusan Mahkamah No.PTS-009/MB-I/A/1966, tanggal
21 Februari 1966
2 Untung bin
Samsuri
Letkol Infanteri Putusan Mahkamah No.PTS-03/MB-III/U/1966, tanggal
6 Maret 1966
3 Wirjomartono Anggota Biro
Khusus PKI
Putusan Mahkamah No.PUT-07/MB-II/WN/1966,
tanggal 18 Mei 1966
4 Sujono Major Udara Putusan Mahkamah No. PUT-07/MLB-V/SJN/66, tanggal
3 Juni 1966
5 Peris Pardede Ketua Komisi
Kontrol CC PKI
Putusan Mahkamah No. PTS 07/MB/VI/PPAA/1966,
tanggal 23 Juni 1966
6 Sudisman Ketua Komisi
Kontrol CC PKI
Putusan Mahkamah No. PTS 23/MLB/VI/PPAA/1966,
tanggal 23 Juni 1966
7 Heru Atmodjo Letkol Udara Putusan Mahkamah No. PTS-010/MLB-VII/H.A/1966,
tanggal 12 Agustus 1966
8 Ulung Sitepu Brigjen TNI Putusan Mahkamah No. PTS-012/I/MHL/1966, tanggal
18 September 1966
9 Dr. Soebandrio Wakil Perdana
Menteri I/Menteri
Luar Negeri RI
Putusan Mahkamah No. PTS-013/MLB-XI/BDR/1966,
tanggal 23 Oktober 1966
10 Omar Dani Laksamana Madya
Udara, Menteri/
Panglima Udara
Putusan Mahkamah No. PTS-017/MLB/XIV/OD/1966,
tanggal 23 Desember 1966
11 Supardjo Brigjen TNI Putusan Mahkamah No.PTS-19/MLB-II/SPD/1967,
tanggal 12 Maret 1967
12 Tamuri Hidajat Peltu Putusan Mahkamah No. PTS-026/MLB-IX/SPD/1967,
tanggal 30 September 1967
13 Kamaruzzaman
bin Achmad
Mubaidah alias
Sjam
Kepala Biro Khusus
PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-27/MLB/I/K/1968, tanggal
9 Maret 1968
14 Moeljono bin
Ngali alias Bono
Walujo
Pimpinan Biro
Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-028/MLB-II/W/1968,
tanggal 9 Oktober 1968
15 Abdullah Alihami Sekretaris I CBD
PKI Riau
Putusan Mahkamah No. PTS-PK-032/MLB-I/AA/70,
tanggal 16 Februari 1970
16 Ranu Sunardi Letkol Laut Putusan Mahkamah No. PTS-033/MLB/X/RS/1970,
tanggal 18 Oktober 1970
17 Sukatno Sekjen Dewan
Nasional Pemuda
Rakyat, anggota
CC PKI
Putusan Mahkamah No. 51/70/Vord, tanggal 11 Maret
1971
18 Supono
Marsudidjojo
alias Pono
Pimpinan Biro
Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-035/MLB-III/SM/1972,
tanggal 8 Maret 1972
19 Suwandi Sekretaris CDB PKI
Jawa Timur
Putusan Mahkamah No. 520/K/1973, tanggal 11 Juni
1973
20 Ismail Bakri Sekretaris I CDB
PKI Jawa Barat
Putusan Mahkamah No. 1/1973/PID.SUBV, tanggal 3
Oktober 1973
21 R. Sugeng
Sutarto
Brigjen Polisi Putusan Mahkamah No. PTS-37/MLB-IX/RSS/1973,
tanggal 24 Desember 1973
22 Ruslan
Widjajasastra
Anggota CC PKI,
Ketua Politbiro PKI
Blitar Selatan
Putusan Mahkamah No. 15/PID-SUB/74Vord, tanggal
15 Juli 1974
23 Rustomo alias
Istam alias
Hasjim alias
Amat alias Hasdi
- Putusan Mahkamah No. 40/1975, tanggal 22 Oktober
1975
24 Gatot Sutarjo
alias Gatot
Lestarjo alias
Sadi
- Putusan Mahkamah No. 456/1975/PIOD/SUBV, tanggal
2 Januari 1976
Sumber: Sekretariat Negara RI, 1994
Kecuali Letkol. (udara) Heru Atmodjo yang divonis hukuman penjara seumur hidup,
semua terdakwa yang diadili di MAHMILLUB dijatuhi dengan hukuman mati. Sedangkan,
pemimpin-pemimpin puncak PKI seperti Aidit, Nyoto, dan Lukman yang dituduh ikut
mendalangi aksi G.30.S dieksekusi setelah diinterogasi seadanya, tanpa pernah diajukan
ke pengadilan.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam
berpendapat bahwa dihidupkannya kembali MAHMILLUB semata-mata untuk
mengungkapkan PKI sebagai dalang. Tujuannya agar PKI bisa dihancurkan. Oleh sebab
tujuan utama dari MAHMILLUB semata-mata adalah untuk menghancurkan PKI, maka
itulah sebabnya hampir semua terdakwanya diganjar vonis hukuman mati.
Terkait dengan penjatuhan hukuman mati dan hukuman seumur hidup yang dijatuhkan
MAHMILLUB terhadap orang-orang yang diduga terlibat G30S, dalam pertemuannya
dengan pimpinan MPRS, DPR-GR dan DPA yang didampingi oleh Menteri Negara
Penghubung Lembaga-Lembaga dan Pemerintah, Mintaredja SH, di Istana Merdeka.
Soeharto, yang kala itu telah ditetapkan sebagai Presiden, meminta pertimbangan para
pimpinan lembaga ini tentang pelaksanaan hukuman mati dan seumur hidup yang
telah dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atas diri 26 orang terhukum.
Presiden Soeharto menyatakan bahwa dalam meminta pertimbangan ini bukanlah hendak
mengelak tanggungjawab, sebab Presiden memiliki hak prerogatif, melainkan untuk
memantapkan keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah dan di samping itu untuk
mempercepat proses pelaksanaannya. Seluruh pembicara mempercayakan sepenuhnya
kepada Presiden dan menyatakan bahwa hal itu seluruhnya adalah tanggungjawab
Presiden dan tergantung pada Presiden, sesuai dengan UUD 1945.
Periode tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 dikenal sebagai periode demokrasi liberal
dengan mulai diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
(UUDS 1950). Pada masa ini sistem politik Indonesia telah mendorong lahirnya partai-
partai politik yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan roda pemerintahan
melalui perimbangan kekuasaan di parlemen. UUDS 1950 menandai kembalinya bentuk
negara kesatuan dari sebelumnya negara serikat yang merupakan hasil kesepakatan KMB.
Tanggal 19 Mei 1950 Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintah RI menyatakan
telah menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk membentuk negara kesatuan
sebagai penjelmaan dari Republik Indonesia berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945.263
Dari segi substansi UUD RIS dan UUDS 1950 tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Periode ini mencatat 7 (tujuh) kabinet yang berkuasa menjalankan roda pemerintahan.264
Dalam UUD RIS pemerintah tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen dan parlemen tidak
dapat dibubarkan oleh presiden, sedangkan menurut UUDs 1950 pemerintah dapat
Piagam persetujuan ini melalui Undang-Undang No. 20 tahun 1950 tentang Pembentukan Negara Kesatuan Republik
negara kita , tertanggal 14 Agustus 1950.
dijatuhkan oleh parlemen. UUDS 1950 menetapkan struktur pemerintahan parlementer
yang menempatkan presiden dalam posisi hanya memegang fungsi seremonial semata.265
Pada periode ini hanya ada 1 (satu) undang-undang yang diterbitkan pada tanggal
1 September 1951 yang mana di dalamnya memuat ancaman hukuman mati, yakni
UU Darurat No. 12 tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere
Strafbepalingen (STBL 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu
Nomor 8 Tahun 1948.266 Ancaman hukuman mati dalam UU Darurat No. 12 tahun 1951
ada di Pasal 1 yang berbunyi:
“Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, memiliki persediaan padanya atau memiliki dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum
dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara
sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”
Dalam UU ini , yang dimaksud dengan senjata api dan amunisi adalah yang diatur
dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Senjata Api 1936 (Stbl 1937 No.170) yang telah diubah
dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl No. 278). Pengertian senjata api yang
dimaksud dalam aturan ini tidak termasuk pengertian senjata yang nyata-nyata
memiliki tujuan sebagai barang kuno, senjata yang dibuat sedemikian rupa sebagai
senjata api namun tidak dapat difungsikan/dipakai . Sedangkan yang termasuk dalam
pengertian barang peledak adalah semua jenis mesiu, bom-bom pembakar, ranjau, granat
tangan, dan semua bahan peledak baik yang berupa luluhan kimia tunggal maupun bahan
adukan bahan-bahan peledak, serta bahan peledak lain yang dipakai untuk meledakan.
Selama tahun 1950 terjadi beberapa peristiwa konflik bersenjata dan pemberontakan,
seperti pada 23 Januari 1950 Peristiwa APRA di Bandung, April 1950 Peristiwa Andi Azis di
Makassar dan Republik Maluku Selatan, dan Oktober 1950 pemberontakan Ibu Hadjar di
Kalimantan Selatan (bagian dari DI/ TII Kartosuwiryo). Sedangkan di tahun 1951 terjadi dua
pemberontakan DI/TII, Agustus 1951 terjadi pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar dan
September 1951 DI/TII Daud Beureueh.267 berdasar Pasal 96 UUDS 1950, Pemerintah
diberikan kewenangan untuk menetapkan UU darurat untuk mengatur penyelenggaraan
pemerintahan yang sebab dalam keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
Melihat serangkaian peristiwa pemberontakan dan konflik bersenjata sepanjang tahun
1950 dan 1951, dapat disimpulkan bahwa penerbitan UU Darurat No. 12 tahun 1951
tentang ordonnantietijdelijke bijzondere strafbepalingen (stbl. 1948 nomor 17) dan UU
Dahulu No. 8 Tahun 1948, adalah sebab dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa ini .
Bahkan pada 14 Maret 1957, Presiden Soekarno menyatakan seluruh wilayah Republik
Indonesia termasuk semua perairan teritorialnya dalam keadaan darurat perang, dan
pada 1 Desember 1957 ditingkatkan menjadi keadaan bahaya tingkat keadaan perang.
Politik hukum dalam pembentukan UU ini sangat jelas mengaitkannya dengan kondisi
dan situasi politik dalam negeri sehubungan dengan berbagai peristiwa pemberontakan
bersenjata yang terjadi di berbagai daerah. Sebagai kejahatan yang mengancam eksistensi
pemerintahan/negara maka oleh pemerintah ancaman pidana mati menjadi relevan.
Pada periode ini, Dewan Konstituante yang bertugas untuk menyusun Undang-Undang
Dasar yang akan menggantikan UUD Sementara 1950. Dalam masa kerja Dewan
Konstituante hingga Juli 1959, dua pokok bahasan yang mengemuka adalah perdebatan
mengenai dasar negara dan perdebatan mengenai hak asasi manusia. Di Dewan
Konstituante ada tiga faksi ideologis, yakni Blok Pancasila, Blok Islam, dan Blok
Sosial Ekonomi. Pandangan-pandangan faksi-faksi ini mewarnai perdebatan
dalam pembahasan mengenai topik hak asasi manusia. Dari penelusuran risalah-risalah
pembahasan di Dewan Konstituante, topik mengenai hak hidup dan pidana mati hanya
satu Anggota Dewan Konstituante bernama Asmara Hadi yang berasal dari Gerakan
Pembela Pancasila, yang mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak
hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati. Pada 14 Agustus 1958, Sidang ke II
tahun 1958 Rapat ke 27 Asmara Hadi menyampaikan :
“Saudara-saudara, dalam hal mempelajari laporan Panitia Persiapan Konstitusi
ini saya merasa ada sesuatu yang kelupaan. Kita terima beberapa pokok materi
Hak-hak Asasi. namun menurut persamaan saya ada satu hak yang kelupaan, yang
menurut saya adalah fundamental. Yang saya maksudkan ialah hak hidup. Bukan
hak untuk kehidupan atau penghidupan melainkan hak hidup, dalam bahasa
asingnya hak untuk memiliki “het naakt leven zelf”.
Saudara Ketua, agak berat lidah saya untuk membicarakan hal ini, sebab ini
timbulnya pikiran asosiasi dengan kejadian hebat di luar gedung Konstituante ini.
Hak hidup, hak untuk untuk memilki hidup dengan tak ada seorangpun berhak
menanggalkan hidup itu dari kita kecuali ajal yang sewajarnya atau yang datang
dari kecelakaan. Negatifnya hak untuk hidup ini berbunyi “Tak seorangpun
manusia atau warga negarapun boleh dijatuhi hukuman yang berakibatkan putus
nyawanya”.
Ya saudara Ketua dan saudara-saudara Anggota Dewan Konstituante yang
terhormat, saya ingin supaya dalam Konstitusi kita yang akan datang, dengan
jelas dan tegas dipancangkan larangan hukuman mati yang sebagai tiang api
akan mengabarkan kemenangan prinsip perikemanusiaan di negara kita .”
Lebih lanjut Asmara Hadi menyatakan:
“Konstitusi yang akan datang itu, bernyawakan bahwa hukuman pada siapapun juga,
bukan merupakan pembalasan dendam, bukan hutang mata dibayar mata hutang
gigi dibayar gigi, namun haruslah hukuman itu sebagai usaha untuk memperbaiki
manusia yang melanggar tata warga . Sebab bagi saya sejahat-jahatnya manusia,
bukanlah manusia yang pada dasarnya memang jahat, namun adalah manusia yang
sedang sakit dan kalau manusia sedang sakit, maka kita harus berusaha untuk
memperbaikinya.”
Pada akhirnya pandangan dan usulan Asmara Hadi terkait ‘Hak Hidup’ dan ‘Hak untuk Tidak
di Hukum Mati’ ini memang tidak masuk dalam Keputusan Panitia Persiapan Konstitusi
Nomor 26/K/PK/1958 tentang Rumusan Rancangan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar
mengenai Hak-Hak asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara yang akan
diajukan kepada Rapat Pleno Konstituante untuk mendapat keputusan. Gagasan untuk
menghapuskan pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman melalui Konsititusi pada
era tahun lima puluhan merupakan satu keberanian dan progresivitas berpikir yang patut
dipuji, dan dalam pembahasan di Dewan Konstituante isu ini merupakan bahasan
yang minor termasuk di faksi dimana Asamara Hadi bergabung, Blok Pancasila. Puncaknya
pada Dewan Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan perdebatan
mengebai hukuman mati inipun terhenti.
3.6 Kebijakan Legislasi Hukuman Mati Pada Zaman Demokrasi Terpimpin:
Pidana Mati untuk Menjaga Stabilitas demi Mengamankan Revolusi
dan Program Pemerintah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali
berlakunya UUD 1945 menjadi titik awal era baru politik negara kita , di mana Presiden
menjadi sentral urusan pemerintahan dan kenegaraan, yang dikenal sebagai Zaman
Demokrasi Terpimpin. Arah politik pembangunan hukum di Indonesia pada periode ini
merujuk pada Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yakni Rumusan Pokok-
Pokok Pikiran mengenai Sosialisme Indonesia yang disebutkan “pembangunan nasional
semesta berencana adalah pembangunan revolusioner, sebab mewujudkan perubahan-
perubahan cepat dalam warga melalui tingkat-tingkat kemajuan dengan cepat dan
tegas”. Tujuan pembangunan adalah untuk warga sosialis Indonesia yang adil dan
makmur berazaskan Pancasila dan berhaluan ‘Manipol Usdek’ yang merupakan tuntutan
amanat penderitaan rakyat. Uraian ini menunjukkan kepentingan-kepentingan
nasional yang perlu diberikan perlindungan hukum. Pidana mati menurut Koesnoen
merupakan pidana perkecualian, sebab khusus ditujukan untuk mengamankan revolusi,
azas dan tujuan negara, kesatuan negara dan bangsa negara kita . Jika kepentingan ini
diserang dan keadaan nilai bahayannya pelanggar hukum sedemikian berat hingga
usaha mewarga sosialiskannya hanya sesuai jika ia dilenyapkan dari kehidupannya,
barulah seorang narapidana dikenakan pidana mati. Dengan berlandaskan Manipol yang
mengadakan penegasan tentang pro dan kontra revolusi, demi amannya perjuangan
revolusi mencapai tujuan kita bersama, adanya pidana mati menjadi sah.
Pada periode ini ada empat peraturan yang di dalamnya memuat ancaman pidana
mati, yakni:
1. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa
tentara Agung dalam hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana
yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan;
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1959 tentang
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi;
3. Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;
dan
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1963 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga
Atom.
Keempat produk hukum yang diterbitkan di periode ini mengacu pada semangat untuk
mengamankan jalannya program pemerintah. Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 5
Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa tentara Agung dalam hal Memperberat
Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan
Perlengkapan Sandang Pangan menyebutkan:
“Barangsiapa melakukan tindakan pidana ekonomi sebagaiamana diatur dalam
Undang-Undang Darurat Nomor tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1955 No. 27),
tindak pidana dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi/Peraturan Penguasa Perang
Pusat No Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 dan tindak pidana dalam title I dan title II KUHP
(kejahatan melanggar keamanan negara dan kejahatan melanggar martabat kepala
negara), dengan mengetahui atau patut menduga, bahwa tindak pidana itu akan
menghalangi terlaksananya program pemerintah yaitu :
1. Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya
2. Menyelenggarakan keamanan rakyat,
3. Melanjutkan perjuangan mementang imperialisme ekonomi dan politik (Irian
Barat), dihukum dengan hukuman penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun
dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup, atau
hukuman mati.”
Dalam Penjelasan Peraturan diuraikan, bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia yang
memaksakan Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dianggap masih terus berlangsung
terus sehingga memerlukan tindakan keras tegas dan cepat terhadap pengacau-pengacau
dalam bidang perekonomian dan keamanan untuk itu perlu penambahan wewenang
kepada Jaksa Agung/ Jaksa Tentara Agung untuk melakukan fungsi kepolisian preventif
dan hal kepolisian represif, salah satunya dengan pemberatan hukuman maksimal pidana
mati.
Produk hukum yang kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi
memuat pemberatan berupan ancaman pidana mati bagi pelanggar tindak pidana ekonomi
seperti yang dimaksud dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 yang ditambah dengan UU
Darurat No. 8 Tahun 1958. Menurut UU Darurat No. 7 Tahun 1955, ada kemungkinan bagi
hakim untuk memilih antara hukuman badan atau denda atau menjatuhkan kedua-dua
hukuman itu, menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini hakim harus
menjatuhkan kedua-dua hukuman itu.
Pasal 1 menyatakan perbuatan pidana yang diancam pidana mati harus memenuhi
kualifikasi dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam warga .
Ancaman pemberatan pidana mati, dimaksudkan semata-mata sebagai usaha untuk
memberi efek jera agar setiap orang tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang
dinormakan dalam dua undang-undang darurat ini . Dalam penjelasan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 1959, menyatakan:
“Telah menjadi kenyataan bahwa ancaman-ancaman hukum terhadap tidak pidana
ekonomi dalam peraturan-peraturan yang sampai sekarang masih berlaku, dirasakan
masih ringan bila dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya, ialah
kekacauan ekonomi dalam warga . Apalagi dewasa ini, di mana kemakmuran
rakyat lebih diutamakan, maka selayaknyalah segala tindak pidana yang sengaja atau
tidak sengaja dilakukan, hingga dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian
dalam warga , harus dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi. Jalan satunya untuk
melaksanakan pencegahan itu ialah memperberat hukuman-hukuman terhadap tindak
pidana ekonomi. Dengan mengancamkan hukuman mati, atau hukuman penjara seumur
hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan di samping itu
memperberat hukuman denda dengan tiga puluh kali jumlah yang ditetapkan dalam
peraturan-peraturan mengenai tindak pidana ekonomi yang telah ada, maka tindak-
tindak ekonomi itu mudah-mudahan dapat dicegah atau dikurangi.”
Puncak dari rezim di alam demokrasi terpimpin adalah lahirnya UU No. 11/PNPS/1963
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Dalam penjelasan UU ini , hakikat
subversi adalah manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat
dipertemukan, suatu kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan
dengan cara-cara yang tertutup, sering dibarengi dan disusul dengan tindakan kekerasan
yang terbuka (perang, pemberontakan). Kualifikasi perbuatan yang dikategorikan sebagai
subversi dimuat dalam Pasal 1 berbunyi:
(1) Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi:
1. Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata
dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
a. Memutar balikan, merongrong atau menyelewengkan ideology negara
Pancasila atau haluan negara, atau
b. Menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan negara atau
kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara, atau
c. Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan
pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan
penduduk atau warga yang bersifat luas atau diantara kalangan
penduduk atau warga yang bersifat luas atau diantara Negara Republik
Indonesia dengan negara sahabat, atau
d. Mengganggu, menghambat, atau mengacaukan bagi industri, produksi,
distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan
oleh pemerintah, ata yang memiliki pengaruh luas hajat hidup rakyat.
2. Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan
simpati bagi musuh Negara Republik Indonesia atau negara yang sedang tidak
bersahabat dengan Negara Republik negara kita ;
3. Barang siapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang
memiliki fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan
yang dilakukan secara luas;
4. Barang siapa melakukan kegiatan mata-mata.
5. Barang siapa melakukan sabotase.
(2) Dipersalahkan juga melakukan tindak pidana subversi barang siapa memikat
perbuatan ini pada ayat (1) ini di atas.
Penjelasan undang-undang subversi menerangkan bahwa sejak proklamasi kemerdekaan
hingga diterbitkannya undang-undang terasa sekali adanya kegiatan-kegiatan subversi
disegala bidang baik dibidang politik, militer, sosial, ekonomi/keuangan maupun di
bidang kebudayaan/ideologi yang bertujuan merongrong dan mematahkan kekuatan dan
274 Dalam penjelasan UU Subversi, arti memikat bersifat luas daripada arti istilah uitlokking dalam Pasal 55 KUHP dan meliputi
semua perbuatan yang dapat menimbulkan dilakukan tindak pidana subversi oleh orang lain.
potensi negara dan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan revolusi.275 Peraturan yang
ada saat itu dirasakan kurang mencukupi bagi ruang gerak pelaksanaan usaha -usaha
pemberantasan kegiatan subversi secara efektif, sehingga perlu diadakan peraturan
baru untuk mewujudkan ruang gerak yang cukup luas yang disesuaikan dengan irama
revolusi tanpa mengurangi asas-asas keadilan. Pasal 13 yang mengatur ancaman pidana,
menyatakan semua kualifikasi perbuatan sebagaimana yang diuraikan pada Pasal 1
ini di atas diancam pidana mati bagi pelakunya.
Pasal 13:
(1) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1
ayat (1) 1,2,3,4, dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal
1 ayat (1) angka lima dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan/ atau denda setinggi-
tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah.
Demikian pula dengan UU subversi, ancaman pidana mati merupakan usaha untuk
memberi efek ketakutan, daya tangkal, dan jera bagi siapa saja untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dikualifikasian sebagai kegiatan subversi dalam UU itu.
Produk terakhir dalam masa ini yang muatannya mengatur ancaman pidana mati adalah
UU No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom. Semangat dari
UU ini sama dengan peraturan perundang-undangan yang lahir di era ini, yakni bagaimana
melindungi kepentingan negara/pemerintahan untuk menjalankan programnya. Pasal 22
menyebutkan bahwa petugas pada instalasi Badan Tenaga Atom Nasional dan organisasi
lainnya yang menyelenggarakan pemakaian tenaga atom wajib menyimpan keterangan-
keterangan tentang rahasia di bidang pekerjaannya. Ancaman pidana mati menanti
mereka yang dengan sengaja membuka rahasia di bidang pekerjaaan tenaga atom.
Pasal 23:
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22,
Menurut UU Subversi dalam penjelasannya tujuan revolusi Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
wadah yang berisikan warga adil dan makmur, materiil, spiritual atau negara yang berisikan warga sosial yang ber-
dasarkan Pancasila yaitu warga adil makmur yang menganut sistem sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi
yang khas ada di Indonesia serta persahabatan yang baik anatra Republik dan semua negara di dunia atas dasar saling
hormat menghormatidan atas dasar kerja sama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme
menuju perdamaian dunia yang sempurna.
“Barang siapa
dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat atau dipecat dari hak memangku
jabatan ini dalam Pasal 35 KUHP.
dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat atau dipecat dari
hak memangku jabatan ini dalam pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam penjelasan Pasal 23, diuraikan bahwa ancaman pidana yang didalamnya ada
pidana mati disebab kan adanya kehendak negara untuk melindungi kepentingan negara,
warga , dan revolusi maka perlu diancam dengan hukuman yang berat. Era ini juga
mencatat satu produk hukum yang terkait dengan tata cara pelaksanaan pidana mati,
yang diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Dalam aturannya, pidana mati di Indonesia dilaksanakan dengan cara menembak mati
terpidana yang dilaksanakan oleh regu tembak dari brigade mobil dalam hal terpidana
adalah sipil dan untuk terpidana di lingkungan peradilan militer dilaksanakan oleh polisi
militer.
Selain produk hukum yang lahir di masa Demokrasi Terpimpin, diskursus mengenai pidana
mati dikalangan ahli pidana terjadi dalam konteks usaha pembaharuan hukum pidana
negara kita . Pada titik ini, KUHP masih menjadi sentral bahasan, mengingat keberlakuannya
di Indonesia yang pada perjalanan realitas sejarahnya menempatkan KUHP Indonesia
merupakan salinan dari KUHP Belanda (dengan beberapa perubahannya). Atas hal itu,
awal tahun enam puluhan telah muncul gagasan untuk mengubahnya dengan hukum
pidana yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Melalui Seminar Hukum Nasional I
yang dilaksanakan pada bulan Maret 1963, diterima suatu resolusi yang menyerukan agar
rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekasnya untuk diselesaikan.277
Pada Seminar Hukum Nasional Pertama 1963, dalam pokok bahasan hukum pidana,
Oemar Seno Adji menjadi pemrasaran dengan mengambil tema Azas-Azas Tata Hukum
Nasional dalam Bidang Hukum Pidana. Terkait dengan topik pidana mati Oemar Seno Adji
sudah menginsafi sejak awal bahwa bahasan ini mengandung sisi kontroversial; “Pidana
mati sering merupakan persoalan emosionil yang kadang-kadang tidak didasarkan
atas pandangan “nuchter” lagi . Dan jikalau telah dibicarakan apakah yang menjadi
tujuan dan fungsi pidana mati, maka ia dapat menimbulkan sikap yang kontroversiel.”
Namun menurutnya, dalam keadaan dimana kehidupan negara sangat dibahayakan,
para abolisionis pun tidak menaruh keberatan terhadap pidana mati. Kesimpulan
terkait dengan penerapan pidana mati ini, Oemar Seno Adji menyatakan “Maka, selama
277 Lihat Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana Asas Hukum sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, (Bandung: Armico, 1995),
hlm. 59-63. Pada tahun 1964 keluarlah Konsep Rancangan Undang-undang tentang Asas-asas dan Dasar Pokok Tata Hukum
Pidana dan Hukum Pidana Indonesia yang dimaksudkan untuk menggantikan Pasal 1 hingga Pasal 103 KUHP. Lebih jauh
menurut Prof Soedarto, usaha pembaruan hukum pidana di Indonesia didasarkan pada tiga alasan; yakni pertama, alasan
politis yang dilandasi oleh pemikiran bahwa Negara Republik Indonesia yang merdeka itu harus memiliki KUHP yang bersifat
nasional, yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri, demi kebangaan nasional. Kedua, alasan sosiologis yang menghen-
daki adanya hukum pidana yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan agama bangsa Indonesia sendiri. Ketiga, alasan
praktis yang didasarkan pada realitas bahwa teks resmi KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda yang saat ini berlaku di
Indonesia adalah Bahasa Belanda, yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan beraneka ragam. Penerjemahan
ini memungkinkan adanya penyimpangan dari makna teks aslinya.
negara kita masih meneguhkan diri masih bergulat dengan kehidupannya sendiri yang
terancam oleh bahaya, selama tata tertib warga dikacaukan dan dibahayakan oleh
anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan ia masih memerlukan pidana mati,
meskipun ia dipandang sebagai ultimum remidium dan tindakan exceptional terhadap
kejahatan-kejahatan tertentu yang berat sifatnya.”278
Posisi pidana mati dalam tata hukum pidana Indonesia sebagaimana disampaikan oleh
Oemar Seno Adji itu mendapat dukungan dari semua ahli pidana yang terlibat dalam
pembahasan di Seminar Hukum Nasional 1963, misalnya A. Kasman Singodimedjo yang
menjabat sebagai Ketua Seksi Pidana Majelis Ilmiah Islamiyah Jakarta, mendukung uraian
pendapat Prasaran dari Oemar Seno Adji terkait dengan pidana mati. Menurutnya, dalam
hukum pidana yang baru diusulkan agar jenis hukuman pidana dicantumkan hukuman
hudud dan qishash bagi kejahatan-kejahatan sesuai dengan Syariat Islam bagi umat Islam
untuk dipakai Hakim dalam keadaan-keadaan yang istimewa.279
Pendapat serupa namun dalam posisi yang lebih kritis berasal dari Han Bing Siong, yang
masih mempertanyakan gagasan pemarasaran yang hendak mempertahankan pidana
mati dalam hukum pidana Indonesia tanpa mempersoalkan apakah pidana mati itu
adalah sesuai atau tidak dengan Pancasila. Han Bing Siong menyamakannya dengan para
pembentuk undang-undang sewaktu menyesuaikan KUHP Hindia Belanda yang mungkin
mempertahankan ketentuan-ketentuan yang dapat dikatakan bercorak tidak demokratis
liberalistis dan kapitalistis tanpa mempersoalkan corak-corak itu melainkan dengan
mengutamakan kegunaan ketentuan-ketentuan ini dalam mempertahankan
ketertiban hukum. Catatan kesimpulan dari Han Bing Siong adalah menyetujui
sepenuhnya pandangan Oemar Seno Adji untuk masih mempertahankan pidana mati
dalam hukum pidana nasional, selama negara masih masih bergulat dengan kehidupan
politik dan ekonomi yang terancam oleh bahaya baik yang datang dari luar maupun dari
dalam negeri. Namun di ujung bahasannya, Han Bing Siong menyatakan “artinya untuk
sementara waktu saja!”, menyetujui pula bahwa pidana mati harus dipandang sebagai
tindakan pengecualian saja terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang berat sifatnya.
Dalam pembinaan hukum nasional nantinya harus diadakan peninjauan kemabali
ketentuan-ketentuan yang ada sekarang yang mengandung ancaman pidana mati.
Jelas kiranya pada masa Demokrasi terpimpin produk hukum/legislasi dan gagasan-gagsan
mengenai pidana mati masih belum bergerak dari posisi fundamentalnya yang berakar
dari KUHP Hindia Belanda yang dikuatkan dengan konteks dinamika politik ekonomi
-- --
dalam negeri saat itu yang membutuhkan kestabilan dan pemerintah yang berkuasa kuat
memegang kendali kehidupan politik bernegara.
Kebijakan Legislasi Hukuman Mati Pada Zaman Orde Baru (1966-1998):
Demi Stabilitas Negara
Awal pemerintahan Orde Baru ditandai dengan disahkannya Soeharto sebagai Pejabat
Presiden pada 22 Februari 1967 berdasar Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967
Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno.281 Kemudian, Soeharto menjadi Presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS
pada 27 Maret 1968 yang dikukuhkan melalui Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968 tentang
Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik
negara kita .
Pada masa Orde Baru, pemerintahan Presiden Soeharto menekankan stabilitas nasional
sebagai komponen utama dalam program politiknya. Untuk mencapai stabilitas nasional
ini , maka dikembangkan konsensus utama yaitu kebulatan tekad pemerintah dan
warga untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Konsensus utama ini bisa disahkan melalui Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tahun
1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik negara kita .283 Stabilitas nasional dan
pernyataan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
merupakan bagian utama dari politik hukum yang dijalankan pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto ini .
Sebagai langkah pertama untuk melaksanakan politik hukum yang ditujukan untuk
menciptakan stabilitas nasional ini , pemerintahan Presiden Soeharto juga telah
mengubah berbagai peraturan yang dirasakan tidak sesuai dengan semangat Ketetapan
MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tahun 1966 dengan mengeluarkan UU No 5 Tahun 1969
tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang.284 Melalui UU ini, berbagai peraturan yang dikeluarkan pada masa
Pemerintahan Presiden Soekarno lalu diperbaiki dan tetap berlaku sebagai bagian dari
hukum positif di negara kita .
negara kita , Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tahun 1967
tentang Pencanutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
282 negara kita , Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XLIV/MPRS/1968 Tahun 1968
tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik negara kita .
283 negara kita , Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik negara kita .
284 negara kita , Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang.
Secara umum, merujuk pada berbagai produk hukum yang dibentuk pada masa Orde
Baru, karakter produk hukum pidana yang dihasilkan tidak terlepas dari sifat dan karakter
otoritarian dari kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden
Soeharto. Oleh sebab nya, politik hukum yang dilakukan adalah model pembentukan
regulasi yang keras, di antaranya melalui pembentukan hukum pidana dan penerapan
hukuman mati.
Politik hukum dalam konteks ini dipahami sebagai pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak
dikembangkan.285 Pernyataan kehendak ini lalu dituangkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan untuk tujuan dan alasan tertentu dan menerjemahkannya ke dalam
suatu rumusan hukum. Bahwa politik hukum pidana adalah bagian dari politik hukum,
sehingga politik hukum pidana mengandung arti keseluruhan kebijakan yang diambil
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma dari warga . sebab itu, melaksanakan politik hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.288 Perkembangan politik hukum
khususnya politik hukum pidana yang dikeluarkan pada masa tertentu sangat bergantung
pada karakter dan konfigurasi politik yang terjadi pada masa ini .
Pengaturan tentang obat-obatan di Indonesia sejak lama sudah dilakukan. ini tidak
terlepas dari sejarah Batavia, atau sekarang Jakarta, yang sudah lama dikenal sebagai
surganya para penikmat candu. Sejak pertengahan abad ke 17, Batavia telah menjadi
pusat perdagangan opium dari VOC. Di samping perdagangan resmi yang dilakukan VOC,
perdagangan gelap opium terjadi dengan jumlah dan nilai perdagangan yang fantastis.
Untuk menghadapi perdagangan gelap opium ini , pada 30 November 1745,
Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem van Imhoff mendirikan De Sociëteit tot den
Handel in Amfioen (warga Perdagangan Opium) atau lebih dikenal Amfioensociëteit
(warga Opium) dengan tujuan untuk melakukan monopoli perdagangan opium
untuk kepentingan VOC. Tapi perdagangan gelap Opium ternyata tetap berjalan tanpa
halangan.
-- --
56 ton candu ke Pulau Jawa dan dari perdagangan candu ini pemerintah Hindia Belanda
menarik pajak perdagangan candu. Pajak perdagangan candu merupakan penghasilan
paling besar bagi Pemerintah Hindia Belanda. Perdagangan opium meningkat pada
1800-an dan terus meningkat sampai akhir abad ke 19. Pada masa itu, pemerintah Hindia
Belanda bahkan memberlakukan lisensi kepada swasta untuk memperdagangkan opium
dan menarik pajak dari perdagangan Opium. Pajak perdagangan Opium bisa mencapai
26 juta Gulden.
Pabrik candu pertama dibangun pada 1894 di Struiswljk (Gang Tengah, Jakarta) dan di
Meester Cornells alias Jatinegara, pembangunan pabrik ini tak mampu memenuhi
kebutuhan akan candu yang melonjak cepat. Pada 1901, sebuah pabrik candu modem
yang dilengkapi jalur kereta api dibangun di Kramat, Jakarta Pusat. Jalur kereta api ini
menghubungkan kawasan pabrik ini dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Pabrik ini mengolah
100 ton candu kasar dari Benggala menjadi 70 ton candu isap bahkan kemudian di tahun
1914 meningkat menjadi 100 ton.293 Di Jawa, Oei Tiong Ham, menjadi raja candu terakhir
yang sukses mendirikan imperium bisnis terbesar yang pertama di Asia Tenggara.294
Situasi ini memberi tekanan kepada pemerintah Belanda untuk melarang pemakaian
opium di koloninya.295
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia telah ada sejak
berlakunya Verdoovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun
1927). Ordonansi ini merupakan peraturan yang dikonsolidasi untuk pertama kalinya.
Peraturan ini juga merupakan pelengkap dari peraturan persiapan opium yang disahkan
melalui Opium Verpakking Bepalingen (Staatsblaad No. 514 Tahun 1927).296 Ketentuan ini
merupakan bagian dari implementasi Konvensi Opium Internasional, sebuah kesepakatan
internasional pertama tentang pengawasan obat-obatan internasional yang disahkan
di Den Haag Belanda, pada 23 Januari 1912 yang ditandatangani oleh Jerman, Amerika
Serikat, China, Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Belanda, Persia, Portugal, Rusia, dan Siam.297
Sebelum pengakuan kedaulatan, pemerintah Hindia Belanda melalui Wakil Tinggi Mahkota
Belanda sempat mengesahkan Staatsblaad Nomor Tahun 1949 tentang Ordonansi
Bahan-Bahan Berbahaya dan Staatsblaad No. 419 tahun 1949 tentang Ordonansi Obat
Keras. Kedua regulasi ini pada dasarnya mengatur secara ketat peredaran obat – obatan
yang dianggap berbahaya bagi kesehatan jiwa dan tubuh. Sementara aspek pidananya
tentang obat-obatan ini tetap mengacu pada ada KUHP, sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 204298 dan Pasal 205 KUHP299. Pada masa kemerdekaan hingga lahirnya UU
No 9 tahun 1976 tentang Narkotika, peraturan pada masa Hindia Belanda ini tetap berlaku
berdasar Pasal II Ketentuan Peralihan di UUD 1945.
Tumbuhnya perekonomian Indonesia berdampak pada meningkatnya kesejahteraan
warga . Peningkatan kesejahteraan ini diikuti oleh peningkatan konsumsi narkotika
untuk rekreasi. Di samping peningkatan kesejahteraan, kemudahan komunikasi dengan
warga di luar Indonesia juga diduga menjadi pendorong maraknya pemakaian
narkotika ini.
Untuk mengatasi masalah narkotika, pada 1971, pemerintah mengeluarkan Instruksi
Presiden No 6 Tahun 1971 tentang Koordinasi Tindakan dan Kegiatan dari Instansi
yang bersangkutan dalam Usaha Mengatasi, Mencegah, dan Memberantas Masalah
Pelanggaran yang berkenaan dengan Masalah Penanggulangan Narkotika. Inpres 6/71
ini diberikan kepada Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) untuk mengkoordinir
tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan dari badan/Instansi yang bersangkutan dalam
usaha untuk mengatasi, mencegah dan memberantas masalah-masalah dan pelanggaran-
pelanggaran yang timbul dalam warga , yang langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Persoalan narkotika ini mendapat perhatian yang serius. Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) bahkan menyebut, narkotika sebagai salah satu capaian dalam arah pembangunan
nasional dengan menggunakan pendekatan kesehatan