Home » hukuman mati 2 » hukuman mati 2
Jumat, 26 Januari 2024
the question of the death penalty. Resolusi dibentuk dengan mempertimbangkan
instrumen UDHR, ICCPR, Konvensi Hak-hak Anak, serta Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat. Resolusi juga mengingatkan serta mengimbau negara-negara untuk meratifikasi
Protokol Tambahan Kedua ICCPR, serta berdasar pada kesimpulan dari Sekjen PBB yang
mengatakan pemberlakuan hukuman mati tidak sesuai dengan martabat manusia, hak
untuk hidup, dan larangan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Selanjutnya Resolusi Dewan HAM menggaris-bawahkan tindakan manusiawi untuk orang
yang berhadapan dengan hukuman mati, serta menghormati martabatnya dengan
memperbaiki kondisi di dalam ruang isolasi/ruang tahanan sesuai dengan standar
internasional seperti standar minimum perlakuan terhadap tahanan. Dewan HAM
mengimbau kepada negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati untuk
menyediakan informasi terkait dengan orang yang telah dieksekusi mati atau yang
berhadapan dengan hukuman mati, dari sisi gender dan kriteria lainnya, serta amnesti
dan grasi yang telah diberikan.
Dengan memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, negara-negara anggota PBB
harus memastikan anak-anak yang orang tuanya atau orang tua walinya yang berhadapan
dengan hukuman mati, untuk terlebih dahulu diberitahukan keluarga mereka, pendamping
hukum, mengenai informasi eksekusi yang akan dilaksanakan, baik tanggal, waktu dan
lokasinya. Juga untuk memfasilitasi kunjungan terakhir dengan terpidana.
Sebelum diadopsi, Resolusi berdasar A/HRC/RES/30/5 (A/HRC/30/L.11/Rev.1 ini
diajukan bentuk perubahannya. ada beberapa tambahan dan pengurangan dari
beberapa paragraf pembuka, namun tidak ada perubahan dari rekomendasi-rekomendasi
ke negara-negaranya. Perubahan-perubahan ini di antaranya:
Pertama, perubahan A/HRC/30/L.34, yang diajukan oleh Bangladesh, Botswana, Brunei
Darussalam, China, Mesir, Iran, Kuwait, Malaysia, Pakistan, Oman, Qatar, Saudi Arabia,
Singapura, Sudan, Uni Emirat Arab, dengan perubahan berupa penambahan paragraf
setelah paragraf I yang berisi “(The Human Rights Council) Reaffirms the sovereign right of all
countries to develop their own legal systems, including determining appropriate legal penalties,
in accordance with their international law obligations”115 atau diterjemahkan “Menegaskan
kembaliakan hak kedaulatan dari semua negara untuk mengembangkan sistem hukum
mereka sendiri, termasuk menentukan hukuman pidana yang sesuai, sesuai dengan
kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka.” Perubahan A/HRC/30/L.34 ini ditolak
dengan selisih pengambilan suara 17 negara mendukung (termasuk negara kita ), 20 negara
menolak, dan 8 negara abstain.
Kedua, perubahan A/HRC/30/L.35 diajukan oleh Bangladesh, China, Mesir, Malaysia,
Pakistan, Qatar, Saudi Arabia, dan Singapura. Tambahan paragraf di dalam perubahan ini
setelah paragraf II ditambahkan “(The Human Rights Council) Recognizes that the application
of a moratorium on the death penalty sentence, abolishing the death penalty sentence, or
retaining it, should be a decision emanating from the national level, and that States should not
be subjected to external pressures or interference, including through economic sanctions and/
or application of conditionality on official development assistance, in relation to their domestic
debates and decision-making processes relevant to this issue”117 atau diterjemahkan “(Dewan
HAM) Mengakui bahwa penerapan moratorium hukuman mati, penghapusan hukuman
mati, atau mempertahankannya, harus menjadi keputusan yang berasal dari tingkat
nasional, dan bahwa negara-negara tidak boleh mengalami tekanan atau gangguan
eksternal, termasuk melalui sanksi ekonomi dan/atau penerapan persyaratan atas
bantuan pembangunan resmi, sehubungan dengan perdebatan domestik dan proses
pengambilan keputusan yang relevan dengan masalah ini.” Perubahan A/HRC/30/L.35
ditolak dengan pengambilan suara 16 negara mendukung (termasuk negara kita ), 22
negara menolak, dan 7 negara abstain.118
Ketiga, perubahan A/HRC/30/L.36 untuk penghapusan Paragraph 14 dan 17 dari
Pembukaan atau bagian pengantar (preambular).119 Paragraf 14 berisi, “(The Human Rights
Council) Strongly deploring the fact that the use of the death penalty leads to violations of the
human rights of the persons facing the death penalty and of other affected persons,”120 dan
paragraf 17 yang berisi, “(The Human Rights Council) Recalling that all methods of execution
can inflict inordinate pain and suffering, and that the circumstances in which executions are
carried out, in particular public executions, which imply an undignified exposure of the persons
sentenced to death, and secret executions or those with short or no prior warning add to the
suffering of the persons sentenced to death, as well as of other affected persons.”121 Perubahan
ini ini ditolak dengan selisih pengambilan suara 14 negara mendukung, 22 negara
menolak dan 9 negara abstain. Draft Resolusi dari Resolusi 30/5 kemudian diadopsi lewat
pengambilan suara 26 negara mendukung, 13 negara Menolak dan 8 negara abstain.122
Resolusi 71/187 Majelis Umum PBB
Pada 19 Desember 2016, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 71/187 mengenai
moratorium hukuman mati yang ke-6. Resolusi ini dibuat dengan beberapa elemen baru,
di mana Majelis Umum PBB merujuk Perubahan A/HRC/26/L.35 dari Resolusi Dewan
HAM PBB 26/2 yang berisi “(The United Nations General Assembly) Reaffirms the sovereign
right of all countries to develop their own legal systems, including determining appropriate
legal penalties, in accordance with their international law obligations”123 atau diterjemahkan
“Menegaskan kembali akan hak kedaulatan dari semua negara untuk mengembangkan
sistem hukum mereka sendiri, termasuk menentukan hukuman pidana yang sesuai, sesuai
dengan kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka.” Paragraph dari Perubahan A/
Selanjutnya, Resolusi ini merekomendasikan agar negara-negara anggota PBB untuk
memastikan orang yang berhadapan dengan hukuman mati agar bisa mengajukkan
amnesti atau komunikasi mengenai hukuman matinya dengan memastikan prosedur
pengampunan dilakukan secara transparan dan adil, serta diberikannya informasi yang
cepat dalam prosesnya.124
Resolusi ini kemudian diadopsi dengan suara mayoritas negara pendukung 117 negara,
40 negara menolak, dan 31 negara termasuk Indonesia abstain. Secara substansi,
Resolusi ini melihat penerapan negara-negara mengenai hukuman mati sebagai isu HAM
dan meminta negara-negara untuk memberlakukan moratorium hukuman mati dengan
pandangan untuk menghapus hukuman mati. Delegasi dari Singapura mengeluarkan
pendapat pada saat sesi ini berlangsung, yang mengatakan fokus-fokus dari Resolusi
Majelis Umum PBB telah berubah dari moratorium hukuman mati menjadi penghapusan
hukuman mati.
Ada perubahan positif dari beberapa negara Afrika seperti Malawi dan Swaziland yang
untuk pertama kalinya mendukung Resolusi. Zimbabwe yang dulunya menolak akhirnya
menjadi abstain, dan negara Sri Lanka dari sikapnya yang abstain menjadi mendukung,
dengan merealisasikan komitmennya yang diambil pada 6th World Congress Against the
Death Penalty pada Juni 2016.
2.8 Perkembangan Negara-Negara yang Menghapus (abolitionist) dan
Mempertahankan (retentionist) Pidana Mati
beberapa negara-negara yang menghapus hukuman mati dan perbandingannya dari
total keseluruhan negara terus meningkat cukup tajam dalam beberapa tahun. Bahkan
perkembangan hukum internasional dalam hal hukuman mati, dari 1929 hingga dewasa
ini, mencerminkan sebuah tren yang sangat jelas, yakni tren menuju pembatasan,
pengurangan dan pada akhirnya penghapusan hukuman mati. Perkembangan ini, dalam
arti perkembangan normatif, dicerminkan oleh praktik di berbagai negara.
Pada 1948, ketika UDHR dibentuk, hanya ada sedikit negara, barangkali hanya enam atau
tujuh, yang telah berhenti memakai hukuman mati. Jumlah ini setara dengan sekitar
10 persen dari total negara berdaulat di dunia kala itu. Empat puluh tahun kemudian,
angka ini bertambah hingga menjadi 70 negara yang telah berhenti memakai
hukuman mati, dibandingkan dengan 100 negara yang masih mempraktikkannya.
Menurut laporan Norval Moris kepada PBB tentang status hukuman mati di dunia pada
1965, baru ada 25 negara abolisionis yang terdiri atas 11 negara yang menghapuskan
secara keseluruhan dan 14 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa di
masa damai.
Pada 1989, Amnesty International mensurvei situasi internasional yang kemudian secara
statistik diuraikan sebagai berikut:
• Menghapus untuk semua jenis kejahatan: 35 negara
• Menghapus hanya untuk kejahatan luar biasa: 18 negara
• Menghapus dalam praktik: 27 negara
• Mempertahankan: 100 negara
Sejak 1989 hingga 8 Juni 1995, 24 negara telah menghapus hukuman mati dan 22 negara
diantaranya telah melakukannya baik pada masa perang maupun damai. Namun ada
catatan bahwa sejak tahun 1989, 4 negara telah memperkenalkan kembali hukuman
mati dan 2 negara (Bahrain dan Komoro) juga melakukan hal sama setelah sebelumnya
menghentikan eksekusi ini .132
Perubahan yang cukup dramatis terus terjadi setelah tahun 1990-an sejak penelitian
Amnesty Internasional dilakukan. Sekitar 44% negara-negara yang menghapuskan draft
hukuman tentang hukuman mati dan lainnya dan kemudian pada 2000 jumlah mereka
menjadi 64% dari total keseluruhannya.133
Dengan kata lain, dalam empat dasawarsa persentase negara penghapus hukuman mati
telah mencapai 35 persen. Dewasa ini, lebih dari 130 negara telah berhenti memakai
hukuman mati, dibandingkan dengan sekitar 60 yang masih mempertahankannya. Hampir
70 persen negara kini telah meninggalkan hukuman mati. Bahkan Republik Rakyat China
sedang berencana menghapus hukuman mati, sebagaimana yang dinyatakan seorang
pejabatnya, La Yifan, pada sidang keempat Dewan HAM PBB pada Maret 2006.
Perhitungan di atas mencakup negara-negara yang telah berhenti memakai hukuman
mati untuk jangka waktu sangat yang lama maupun negara-negara yang telah menghapus
hukuman mati dalam sistem hukumnya. Pengalaman menunjukkan bahwa begitu suatu
negara berhenti memakai hukuman mati selama lebih dari sepuluh tahun, sangat
jarang hukuman mati dihidupkan lagi oleh negara ini . Memang ada beberapa
kasus langka di mana hukuman mati sempat dihidupkan lagi. Namun negara-negara
ini dalam waktu singkat kembali menghapus hukuman mati. Terlebih lagi, juga sangat
langka terjadi bahwa suatu negara yang telah menghapus hukuman mati menghidupkan
lagi sanksi ini. Filipina merupakan contoh kejadian yang sangat langka ini, yakni pernah
berhenti memakai hukuman mati baik dari hukumnya maupun dalam praktik, lalu
menghidupkannya lagi, kemudian pada 2006 secara resmi menghapus hukuman mati.
Dengan demikian, tren ini arahnya pasti sudah jelas yakni penghapusan hukuman mati.
Angka rata-rata penghapusan hukuman mati oleh negara adalah tiga negara per tahun.
Lebih jauh, terkait kebijakan hukum pemidanaan suatu negara terkait eksekusi hukuman
mati, memiliki 4 (empat) kategorisasi, sebagai berikut:135
1. Kategori 1 negara yang menganut abolisionis untuk semua tindak pidana (countries
that are abolitionist for all crimes). Kategori ini mencakup negara-negara dan wilayah
yang hukumnya sudah tidak menerapkan hukuman mati untuk jenis tindak pidana
apapun;
2. Kategori 2 negara yang abolisionis untuk kejahatan biasa (countries that are abolitionist
for ordinary crimes only). Kategori ini mencakup negara-negara yang hukumnya
menerapkan hukuman mati hanya untuk tindak pidana yang bersifat luar biasa
seperti tindak pidana di bawah hukum militer atau tindak pidana yang dilakukan
dalam keadaan luar biasa seperti perang;
3. Kategori 3 negara yang abolisionis secara de facto (countries that are abolitionist de
facto). Kategori ini termasuk negara dan wilayah yang mempertahankan hukuman
mati untuk tindak pidana biasa namun dapat dianggap telah menghapus dalam praktik
minimal selama lebih dari 10 (sepuluh) tahun terakhir atau lebih, atau negara ini telah
membuat komitmen internasional untuk tidak melakukan eksekusi; dan
4. Kategori 4 negara yang retensionis. Kategori ini termasuk negara yang mempertahankan
dan memakai hukuman mati untuk tindak pidana biasa. Negara yang termasuk
dalam kategori ini, secara hukum melakukan eksekusi selama sepuluh tahun terakhir.
Pada 2013 berdasar laporan Amnesty International, dari 140 negara anggota PBB,
98 negara telah menghapus hukuman mati secara keseluruhan, 7 negara menghapus
hukuman mati untuk kejahatan umum dan 35 negara lainnya telah melakukan moratorium
terhadap eksekusi mati. Hanya 58 negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman
mati.
berdasar data Amnesty International di 2015, Lebih dari dua pertiga negara-negara
di dunia kini telah menghapus hukuman mati dalam hukum atau praktik. Per tanggal 31
Desember 2015, jumlahnya sebagai berikut:137
• Menghapus untuk semua jenis kejahatan: 102 negara
• Menghapus hanya untuk kejahatan luar biasa: 6 negara
• Menghapus dalam praktik: 32 negara
• Menghapus total dalam hukum atau praktik: 140 negara
• Mempertahankan: 58 negara
Tabel 1.6 Daftar Negara dalam Empat Kategori di tahun 2015
Tren Negara
Menghapus untuk Semua Jenis
Kejahatan
Negara-negara yang perundangannya tidak memungkinkan
penerapan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan:
Albania, Andora, Angola, Argentina, Armenia, Australia, Austria,
Azerbaijan, Belgia, Bhutan, Jerman, Yunani, Guinea-Bissau, Haiti,
Tahta Suci Vatikan, Honduras, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia,
Kiribati, Kyrgyzstan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg,
Macedonia, Madagaskar, Malta, Kepulauan Marshall, Mauritius,
Meksiko, Mikronesia, Moldova, Monako, Montenegro, Mozambik,
Namibia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Niue,
Norwegia, Palau, Panama, Paraguay, Filipina, Polandia, Portugal,
Romania, Rwanda, Samoa, San Marino, Sao Tome dan Principe,
Senegal, Serbia (termasuk Kosovo), Seychelles, Slovakia, Slovenia,
Kepulauan Solomon, Afrika Selatan, Spanyol, Suriname, Swedia,
Swiss, Timor-Leste, Togo, Turki, Turkmenistan, Tuvalu, Ukrania,
Inggris, Uruguay, Uzbekistan, Vanuatu, Venezuela.
Menghapus hanya untuk
Kejahatan Luar Biasa
Negara-negara yang perundangannya menyediakan hukuman
mati hanya untuk kejahatan luar
biasa seperti kejahatan berdasar perundangan militer atau
kejahatan dalam situasi yang luar biasa: Brazil, Chile, El Salvador,
Israel, Kazakhstan, Peru
Menghapus dalam Praktik Negara-negara yang mempertahankan hukuman mati untuk
kejahatan biasa seperti pembunuhan namun bisa dianggap
menghapus dalam praktik sebab mereka tidak mengeksekusi
seorangpun dalam 10 tahun terakhir dan dipercaya memiliki
kebijakan atau praktik yang mapan untuk tidak menjalankan
eksekusi: Aljazair, Benin, Brunei Darussalam, Burkina Faso,
Kamerun, Republik Afrika Tengah, Eritrea, Ghana, Grenada, Kenya,
Laos, Liberia, Malawi, Maladewa, Mali, Mauritania, Mongolia,
Maroko, Myanmar, Nauru, Niger, Papua Nugini, Federasi Rusia,93
Sierra Leone, Korea Selatan, Sri Lanka, Swaziland, Tajikistan,
Tanzania, Tonga, Tunisia, Zambia.
Mempertahankan Pidana Mati
untuk kejahatan biasa
Negara yang mempertahankan hukuman mati untuk kejahatan
biasa: Afghanistan, Antigua dan Barbuda, Bahamas, Bahrain,
Bangladesh, Barbados, Belarus, Belize, Botswana, Chad, China,
Komoro, Republik Demokratik Kongo, Kuba, Dominika, Mesir,
Guinea Equatorial, Ethiopia, Gambia, Guatemala, Guinea, Guyana,
India, negara kita , Iran, Irak, Jamaika, Jepang, Yordania, Kuwait,
Lebanon, Lesotho, Libya, Malaysia, Nigeria, Korea Utara, Oman,
Pakistan, Palestina (Negara), Qatar, Saint Kitts dan Nevis, Saint
Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Arab Saudi, Singapura,
Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, Taiwan, Thailand, Trinidad
dan Tobago, Uganda, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Vietnam,
Yaman, Zimbabwe. 93 Federasi Rusia menerapkan moratorium
eksekusi pada Agustus 1996. Namun, eksekusi kembali
dijalankan antara tahun 1996 hingga 1999 di Republik Chechnya.
3.1 Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa Kolonial ke Reformasi
Di masa kolonial, praktik pengunaan hukuman mati sebagai salah satu jenis penghukuman
sudah jamak berlaku.138 Sebelum kedatangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di
negara kita , ada beberapa kerajaan-kerajaan kecil di negara kita . Tiap kerajaan ini
membentuk hukumnya masing-masing yang berbeda dengan kerajaan lainnya. Salah
satu jenis hukum yang diberlakukan oleh kerajaan ini adalah hukuman mati.139
Konsolidasi pertama atas pemakaian hukuman mati secara menyeluruh di Hindia
Belanda (negara kita ) terjadi pada 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Daendles, melalui
peraturan mengenai hukum dan peradilan (Raad van Indie)140 yang mengatur mengenai
pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan Gubernur Jenderal. Pada masa
ini hukuman mati dilaksanakan dengan berbagai metode.141 Pada tahun 1848, dibentuk
peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama Interimaire Strafbepalingen, yang
mengatur bahwa peraturan ini meneruskan kebijakan hukum pidana sebelum 1848
dengan pengecualian adanya beberapa perubahan dalam sistem hukuman, di antaranya
eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan cara menggantung terpidana (galg).
Konsolidasi praktik hukuman mati kedua dan yang terpenting di Hindia Belanda adalah
saat diberlakukannya kodifikasi hukum pidana dalam Wetboek van Strafrecht voor Inlanders
(Indonesiers) atau WvSinl pada 1 Januari 1873. Dengan adanya perkembangan baru yang
ditandai dengan lahirnya kodifikasi pertama hukum pidana di Belanda maka WvSinl
ini disesuaikan dengan perkembangan ini dengan melakukan unifikasi hukum
pidana di seluruh wilayah negara kita . Pada 1915, Wetboek van Strafrecht voor Indonesie
(WvSI) ini diundangkan, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1918.142
Berbeda dengan situasi Belanda, di dalam WvSi yang diberlakukan untuk Hindia Belanda
ini masih dicantumkan hukuman mati. Di Belanda sendiri, tepatnya pada tahun
1870, tiga tahun sebelum di berlakukannya WvSinl di Hindia Belanda, hukuman mati
telah dihapuskan. Masih dipertahankannya hukuman mati di Hindia Belanda sebab
dipandang sebagai hukum darurat.143 Di masa pembentukan kodifikasi hukum pidana
(WvSI) dengan melakukan unifikasi hukum pidana, pemerintah kolonial Belanda tetap
mempertahankan hukuman mati ini di daerah jajahannya, termasuk negara kita .
Pada intinya, pencantuman hukuman mati ini memiliki motif rasial, alasan sebab
faktor ketertiban umum, serta faktor kontekstualitas hukum pidana dan kriminologi pada
masa itu.144
Prasangka rasial yang diskriminatif ini pada intinya menganggap bahwa orang-
orang pribumi tidak bisa dipercayai.145 Bahkan muncul anggapan orang pribumi suka
berbohong dengan memberi kesaksian palsu di pengadilan.146 Orang-orang pribumi
mudah percaya dan menerima kebohongan sebagai kebenaran dan banyak orang pribumi
bersifat buruk.147 Pandangan diskriminatif ini mengemuka sebab para sarjana hukum
6 Menurut Sahetapy sikap dan penilaian yang subjektif ini dapat dijelaskan sebab para sarjana hukum Belanda yang ber-
tugas di lembaga-lembaga penegak hukum belum menguasai bahasa Melayu dan bahasa daerah setempat. Oleh sebab nya
ketergantungan pada penerjemah dapat memperbesar kecurigaan adanya kesaksian palsu. Di samping itu, mereka juga belum
memahami dan meresapi nilai-nilai sosial warga pribumi pada waktu itu. Ditambah pula dengan kurang memadainya
suatu hukum acara pidana dan tanpa adanya pembela atau penasihat hukum pribumi maka tidaklah mengherankan adanya
anggapan dan gambaran yang keliru yakni para saksi pribumi yang suka memberi kesaksian palsu. Lihat pendapat Simons.
Ibid.
147 Kruseman selanjutnya membanding-bandingkan sifat-sifat orang Belanda dengan orang Indo Belanda dan orang pribumi
dan berpendapat bahwa orang Belanda memiliki sifat yang tenang. Diakui pula oleh Kruseman bahwa meskipun orang
Belanda sudah memiliki perasaan superior sebagai bangsa penjajah.148
Sedangkan alasan faktor-faktor ketertiban umum ini mencakup beberapa aspek lain,
misalnya adanya anggapan bahwa sebab negara memiliki segala kewenangan untuk
menjaga ketertiban umum. Oleh sebab itu, pemberian hukuman mati merupakan
suatu keharusan dalam menjaga ketertiban umum ini .149 Di samping itu, sebab
Hindia Belanda merupakan wilayah jajahan yang luas dengan penduduk yang terdiri dari
berbagai suku bangsa sehingga sangat mudah terganggu dan sebab itu keadaannya
mudah mengalami krisis dan berbahaya dibandingkan dengan kondisi di Belanda.
Selain itu, ada juga anggapan bahwa susunan pemerintahan dan sarana-sarana untuk
mempertahankan kekuasaan di Hindia Belanda sulit untuk bekerja dibandingkan dengan
kondisi di Belanda.150
Dipertahankannya hukuman mati di Hindia Belanda jika dikaitkan dengan konteks
permasalahan hukum pidana dan kriminologi pada masa itu bukanlah merupakan
faktor yang terpenting. Faktor yang paling penting tetap berada pada prasangka yang
diskriminatif dan alasan ketertiban umum. ini mungkin wajar sebab pada masa
itu pidana mati sebagai sebuah unsur yang wajar dalam hukum pidana sehingga tidak
perlu dipersoalkan. Selain itu, pidana mati juga dianggap bagian dari hukum pidana.
Oleh sebab nya, maka wajar pilihan menetapkan dipakai nya pidana mati pada saat ini
sebab besarnya kepentingan ekonomi politik Belanda sebagai negara kolonial di Hindia
Belanda.
Beberapa pemikiran sarjana hukum Belanda yang mencerminkan ini dapat
dilihat dari beberapa pernyataan yang dikutip oleh Sahetapy151 bahwa pidana mati dapat
menjamin si penjahat tidak akan berkutik lagi sehingga warga tidak akan diganggu
lagi oleh pelaku. Oleh sebab nya, pidana mati merupakan sebuah alat represi yang kuat
bagi pemerintah Hindia Belanda. Dengan alat ini , maka kepentingan warga
dapat dijamin sehingga dengan demikian ketertiban hukum dapat dilindungi. Alat represi
yang kuat ini sekaligus juga berfungsi sebagai alat preventif sehingga diharapkan para
calon akan mengurungkan niatnya mereka untuk melakukan kejahatan. Lebih jauh,
kejahatan diharapkan akan berkurang. Dengan dijatuhkannya pidana mati diharapkan
akan ada seleksi buatan sehingga warga dapat dibersihkan dari unsur-unsur yang
Indo Belanda memiliki darah pribumi lebih banyak dalam tubuh mereka jelas mereka tidak sama dengan orang-orang pribumi.
Kruseman juga menyatakan bahwa di samping dapat dibeli dan tidak dapat dipercayainya para saksi pribumi, orang-orang
pribumi seringkali juga tidak berpendidikan dan dengan demikian tidak memiliki pendirian. Lihat pendapat Kruseman. Ibid.
148 Menurut Winckel orang Eropa terhitung dalam kasta yang istimewa dan oleh sebab itu perasaan hukum mereka yang
dijajah tidak akan dikejutkan sekalipun pidana mati tidak diberlakukan bagi orang Eropa. Klientjes juga menyatakan bahwa
orang pribumi memiliki pandangan yang berbeda sekali mengenai hidup orang Eropa. Ia mencontohkan bahwa jika orang
probumi dipidana mati, maka mereka tidak akan mengajukan permohonan grasi. Lihat hipotesa yang dikemukakan oleh
WvSI ini kemudian terus berlaku sampai dengan masa penjajahan Jepang. Setelah
kemerdekaan, berdasar UU No. 1 Tahun 1946, WvSI ini diberlakukan dengan
beberapa perubahan menjadi KUHP pada 1946 yang secara resmi berlaku di seluruh
Indonesia pada 29 September 1958.153 KUHP yang berasal dari WvSI ini masih
memiliki beberapa pasal yang memberi ancaman hukuman mati yang tersebar di seluruh
Buku II KUHP. Ancaman hukuman mati ini berada dalam kejahatan seperti makar,
pemberontakan, pengkhianatan, pembunuhan terhadap kepala negara, pembunuhan
berencana, pembajakan di laut, pencurian dengan kekerasan, dan pemerasan.
Dalam perkembangnya, sebab KUHP 1946 dianggap tidak lagi dapat memenuhi
keperluan warga di zaman Revolusi, terutama dalam konteks politik ekonomi sosial
pada masa itu, maka sejak masa kemerdekaan telah banyak dilakukan ketentuan hukum
pidana khusus yang mencantumkan ancaman hukuman mati. Misalnya pada 1951, dalam
masa Demokrasi Liberal, di bawah UUDS 1950 lahirlah UU Darurat No. 12 Tahun 1951
yang mengatur mengenai peraturan hukuman istimewa sementara tentang senjata
api, amunisi, dan bahan peledak. Alasan di balik dikeluarkannya peraturan ini sebab
saat itu banyaknya jumlah konflik bersenjata di negara kita , gerombolan bersenjata, dan
pemberontak yang memiliki persenjataan pasca pergerakan kemerdekaan. Peraturan
ini dikeluarkan untuk memperkuat ancaman kejahatan terkait dengan senjata api yang
pernah dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda.154
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1956-1966, Presiden Soekarno mengeluarkan UU
Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana ekonomi (LN 1955
Nr 27). Undang-undang ini diperkuat dengan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 tahun 1959 dengan ancaman
maksimal hukuman mati. Keseluruhan Undang-undang ini ditujukan untuk merespon
kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis disebab kan tingkat
inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan
di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para
pejabat negara maupun warga seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain
sebagainya. Presiden Soekarno juga mengeluarkan sebuah regulasi yang diharapkannya
mampu mengurangi tingkat kejahatan korupsi dengan mengeluarkan Perpu pengganti
Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi (LN 1960 Nr 1972)
dengan dikeluarkannya beberapa undang-undang pidana, seperti Undang-Undang No.
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; Undang-Undang No. 4 Tahun
1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan; Undang-Undang No. 9
Tahun 1976 tentang Narkotika; Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 mengenai Psikotropika;
Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, dan Undang-Undang No. 31 tahun
1997 tentang Tenaga Atom.
Setelah pergantian kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1998, undang-undang
mengenai antisubversi kemudian dicabut. Namun beberapa tahun kemudian, Indonesia
kembali melahirkan beberapa undang-undang yang memberi ancaman hukuman
mati, seperti Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi;
Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang No.
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme.156
ada beberapa motif yang paling populer dalam memakai hukuman mati di
negara kita , yakni hukuman mati memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dari ancaman
hukuman lainnya. Selain memiliki efek yang menakutkan (shock therapy), hukuman mati
juga lebih hemat.157 Hukuman mati juga dipakai agar tidak ada tindakan main hakim
sendiri (eigenrichting) dalam warga .158
Seiring dengan motif ini, klaim teoritis yang dominan saat ini adalah hukuman mati ini
juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan
menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Dengan
demikian, hukuman mati bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum
maupun prevensi khusus.159 Di samping itu, masih kuatnya fungsi pemidanaan yang
menekankan pada aspek pembalasan (retributive), utamanya masih dipertahankannya
beberapa pendekatan dari teori absolut atas pembalasan, teori relatif, dan teori
gabungan yang tentunya memberi kontribusi penting bagi langgengnya hukuman
mati di Indonesia saat ini.160 Dalam perkembangannya kemudian, semua motif di atas
bisa dikatakan hanya mitos.
Dalam konteks negara kita , adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai ancaman hukuman mati dan eksekusi hukuman mati selama 10 (sepuluh)
Menurut prevensi khusus, maka tujuan pemidanaan ialah menahan pelanggar mengulangi perbuatannya atau menahan
calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya. Contoh Pemidanaan yang bersifat prevensi khu-
sus yang digambarkan oleh Van Hamel sebagai berikut: (1) pemidanaan haruslah memuat sebuah anasir yang menakutkan
agar sipelaku tidak melakukan niat yang buruk; (2) pemidanaan juga harus memuat anasir yang memperbaki terpidana; (3)
pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi; (4) tujuan
satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib hukum.
tahun terakhir ini menunjukkan bahwa negara Indonesia dikategorikan sebagai negara
retensionis. Keberadaan norma yang melegalisasi hukum mati ini menimbulkan pro
kontra di dalam warga negara kita , khususnya bagi pemerhati dan lembaga HAM yang
menentang diberlakukannya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana. Mereka yang
menentang penerapan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati melanggar
HAM. Kalangan yang kontra ini berargumen bahwa hukuman mati bertentangan dengan
konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta instrumen
internasional HAM yang sudah diratifikasi negara kita , seperti Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvensi Anti
Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment). Atas dasar itu, sudah seharusnya hukuman mati ditiadakan sebagai sanksi
pidana dalam hukum nasional negara kita .
Sebaliknya, kalangan yang mendukung penerapan hukuman mati berpendapat bahwa
hukuman mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana terulang lagi, yang diyakini
sebagai sinyal untuk memberi efek menakutkan bagi orang agar tidak melakukan
suatu tindak pidana. Pidana mati ini dijatuhkan bagi tindak pidana yang jelas-jelas
membahayakan warga . Kalangan ini juga menyarankan bahwa hukuman mati harus
diterapkan secara selektif dan bukan sebagai “legalisasi” atas pembalasan dendam.161
Pada ranah konstitusi, sampai saat ini, ada beberapa kasus hukuman mati yang
diperkarakan di Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada 2 (dua) permohonan
pengujian undang-undang terkait isu hukuman mati, yaitu pengujian ketentuan
pembatasan peninjauan kembali pidana yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah
Agung dan Undang-Undang Kekuasaan kehakiman, serta ketentuan pertimbangan Grasi
oleh Presiden yang diatur dengan Undang-Undang Grasi, dan pengujian konstitusionalitas
(judicial review) UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945.
Selanjutnya, Rancangan KUHP Indonesia juga masih memuat 15 pasal yang memuat
ancaman hukuman mati, meskipun lebih selektif dan terbatas. Topik lainnya yang penting
adalah bahwa hukuman mati di Indonesia ini secara vis-à-vis berhadapan dengan masalah
peradilan jujur dan adil (fair trial) yang performanya dianggap belum memenuhi standar
keadilan.
Perdebatan serupa juga mengemuka pada forum internasional yang terefleksikan pada
saat Majelis Umum PBB membahas hukuman mati pada tahun 2007. Saat itu terjadi
kontestasi antara dua pandangan yang merupakan manifestasi karakter yurisprudensi
mengenai hukuman mati di dunia modern. Para pendukung resolusi menyerukan
moratorium eksekusi hukuman mati terhadap terpidana mati sebagai masalah HAM yang
161 Misalnya pendapat dari Edward OS Hiariej dan Marcus Priyo Gunarto dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Wawancara dengan Marcus Priyo Gunarto, 23 Agustus 2017.
membutuhkan pembatasan secara universal terhadap kekuasaan pemerintah. Di sisi
yang lain, penentang resolusi berpendapat bahwa eksekusi hukuman mati merupakan
otonomi nasional dan masuk dalam lingkup kedaulatan negara untuk menetapkan
hukum bagi diri mereka sendiri.162
3.2 Dinamika Kebijakan Hukuman Mati Zaman Kolonial
Kedatangan Perusahaan Dagang Hindia Timur atau VOC menandai kehadiran kekuatan
Eropa di negara kita . Secara berturut-turut para penguasa Eropa silih berganti menduduki
wilayah Nusantara. Secara pembabakan sejarah, penguasaan kekuatan kolonial Eropa di
Nusantara terdiri dari 4 babak yaitu masa: (i) Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC);
(ii) Pemerintahan Belanda sebelum 1811; (ii) Pemerintahan Inggris (1811-1816); dan (iv)
Pemerintahan Belanda setelah 1816.163
Penguasaan kekuatan kolonial ini mewariskan sistem hukum mereka dalam sistem hukum
negara kita , di antaranya terkait dengan sistem hukum pidana Belanda. Sistem hukum
pidana ini memperkenalkan hukuman mati yang diawali dengan penerapan beberapa
peraturan VOC dalam bentuk hukum plakat yang berlaku sangat terbatas di beberapa
wilayah yang dikuasai oleh VOC. Hukuman mati dalam masa-masa ini juga berlaku
dalam wilayah hukum lokal, baik tertulis maupun tidak yang dipakai secara terbatas.164
Sebagai catatan, sebelum kedatangan VOC di negara kita , telah ada beberapa kerajaan-
kerajaan kecil di Indonesia yang memberlakukan hukuman mati. Kerajaan-kerajaan
ini yang membentuk hukumnya masing-masing yang berbeda dengan kerajaan
lainnya.165 beberapa kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati pada masa
itu di antaranya pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada
raja, pernikahan semarga, dan lain sebagainya.166 Sebagai contoh di Sulawesi Selatan,
ketika Aru Palaka berkuasa, penjahat yang membahayakan kekuasaannya, seperti yang
bernama La Sunni, oleh Aru Palaka dihukum mati dengan cara dipancung dan kepalanya
diletakan di atas baki sebagai bukti bahwa hukuman mati telah dilaksanakan.167
Di Aceh, Sultan yang berkuasa dapat menjatuhkan 5 (lima) macam hukuman istimewa, di
antaranya mencakup hukuman mati, yang dilakukan dengan cara dibunuh dengan lembing
atau menumbuk kepala terhukum dalam lesung (sroh). Sementara di daerah pedalaman
Toraja, para pelaku inses biasanya dihukum mati dengan cara dicekik atau dimasukkan
ke dalam keranjang rotan yang diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut.
Demikian pula hukuman mati berlaku di wilayah Minangkabau dan di Kepulauan Timor.168
Memasuki masa kolonial, praktik pengunaan hukuman mati semakin jamak diberlakukan.
VOC membentuk aturan organik yang diumumkan dalam plakat-plakat (plakaten) untuk
melaksanakan segala instruksi terkait dengan kebijakan VOC di wilayah. Awalnya berlaku
di wilayah Betawi dan kemudian setelah wilayah yang dikuasai oleh VOC diperluas, maka
plakat-plakat ini berlaku juga di daerah-daerah lain di negara kita . Pada Tahun 1642,
plakat-plakat ini dikumpulkan dalam suatu himpunan yang disebut dengan Statuta
Betawi.169
Pada masa kolonial ini, para ‘penjahat’ dengan berbagai tindak kejahatan dihukum berat,
termasuk dengan hukuman mati. ada beberapa peristiwa hukuman mati yang
dilakukan pada masa kependudukan VOC di negara kita .170 Pelaksanaan hukuman mati
dilakukan di tiang gantungan, dengan pedang atau guillotine primitif, dilaksanakan di
depan serambi Balai Kota pada hari-hari tertentu setiap bulan. Hans Bonke, sejarawan dan
arkeolog Belanda, berdasar data yang diperoleh dari awal abad ke-18 menggambarkan
kerapnya pelaksanakan hukuman mati di tiang gantungan di wilayah Batavia. Data itu
menjelaskan perbandingan antara hukuman mati di Amsterdam dan Batavia (saat ini
Jakarta), di mana Amsterdam yang jumlah penduduknya 210.000 orang, rata-rata terjadi
lima hukuman mati per tahun, sedangkan di Batavia yang waktu itu cuma dihuni oleh
130.000 orang, pelaksanaan hukuman mati bisa dua kali lebih besar daripada jumlah
orang yang dihukum mati di Amsterdam per tahun.
Catatan lainnya, seorang Jerman yang bekerja dalam dinas VOC, dalam buku hariannya
memaparkan bahwa pada 19 Juli 1676, empat orang dipancung di Balai Kota dengan
dakwaan membunuh. Dalam waktu yang hampir bersamaan, enam budak belian
dipatahkan tubuhnya dengan roda sebab dituduh mencekik majikannya pada malam
Dalam pelaksanaan semua instruksi yang terkait dengan kebijakan VOC di wilayah mereka, maka oleh VOC dibuat atur-
an organik yang diumumkan dalam plakat-plakat (plakaten) yang pada permulaannya berlaku di wilayah Betawi. Kemudian
setelah daerah yang dikuasai oleh VOC diperluas maka plakat-plakat ini berlaku juga di daerah-daerah lain di negara kita .
Pada tahun 1642, plakat-plakat ini dikumpulkan dalam suatu himpunan yang disebut dengan Statuta Betawi yang di-
sahkan tahun 1650. Pada 1715, Statuta ini diperbarui lagi menjadi Statuta Betawi Baru. Utrecht, Hukum Pidana I,
Kasus-kasus lainnya adalah seorang Mestizo, putra dari seorang ibu pribumi
dan ayah berkulit putih, digantung hanya sebab mencuri, delapan pelaut dicap dengan
lambang VOC yang panas dan membara, sebab desersi dan pencurian,173 dan dua tentara
Belanda digantung sebab selama dua malam meninggalkan pos mereka.
Kejahatan perzinahan dan perbuatan serong juga mendapat hukuman berat. Seorang
wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan kemudian ditahan dalam penjara
wanita selama 12 tahun sebab beberapa kali melakukan perselingkuhan.174 Gubernur
Jenderal JP Coen juga pernah memancung seorang calon perwira muda VOC bernama
Pieter Contenhoef di alun-alun Balai Kota (Stadhuis), kini Museum Sejarah Jakarta, sebab
pemuda berusia 17 tahun itu tertangkap basah saat ‘bermesraan’ dengan Sara, gadis
berusia 13 tahun yang dititipkan di rumah Coen. Sementara Sara, didera dengan badan
setengah telanjang di pintu masuk Balai Kota.175 Leonard Blusse dalam buku Persekutuan
Aneh mencatat banyaknya kasus zina yang dilakukan wanita ketika suaminya masih
hidup dan ketika meninggal. Ada empat kasus dengan hukuman dibenamkan dalam tong
berisi air, tiga kasus lainnya diikat pada tiang gantungan dan satu demi satu dicekik sampai
mati. Kemudian, wajah mereka dicap serta disita semua harta miliknya.176 Korban eksekusi
lainnya adalah Oey Tambahsia, yang dijuluki playboy Betawi, tewas di tiang gantungan. Dia
tidak pernah puas terhadap wanita, selalu mengejar wanita dan tidak peduli anak dan
istri orang, termasuk melakukan pembunuhan terhadap beberapa wanita dan pesaing
bisnisnya. Dia akhirnya dihukum mati dengan digantung dalam usia 31 tahun.177
Selanjutnya, eksekusi terhadap Pieter Erberveld, pria keturunan Belanda-Jerman yang
dituduh ingin memberontak, juga dilakukan dengan cara yang sangat biadab pada 22
April 1722. Tangan dan kakinya diikat tambang dengan masing-masing dihubungkan ke
seekor kuda yang menghadap ke empat penjuru. Dengan sekali hentak, keempat kuda
itu berhamburan ke empat penjuru diikuti terbelahnya tubuh Pieter jadi empat bagian.
Setelah itu, kepalanya dipenggal dan ditancapkan di atas tonggak yang dipasang di depan
kediaman di Jalan Jayakarta, Jakarta Kota. Monumen ini masih kita dapati di Museum
Sejarah DKI Jakarta dan di Taman Prasasti, Tanah Abang. Setelah dilakukan penelitian,
ternyata tuduhan Pieter ingin memberontak hanya rekayasa pengadilan. Sejak itu lokasi
eksekusi dinamakan Kampung Pecah Kulit. Eksekusi lainnya berupa hukuman gantung
terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjeng terjadi di alun-alun Balai Kota
pada 1896, dia memberlakukan korbannya seorang wanita Tionghoa secara kejam. Ketika
hukuman gantung berlangsung di Balai Kota Jakarta Utara, si pelaku pidana mati di tiang
gantungan dengan pedang atau semacam guilotine primitif.
3.2.1 Hukuman Mati Masa Daendles: Membungkam Pemberontakan dan
Perlawanan
Meskipun sudah banyak diterapkan, konsolidasi yang pertama atas pemakaian jenis
hukuman ini secara menyeluruh di Hindia Belanda (negara kita ) terjadi ketika pada 1808
atas perintah Daendles. Konsolidasi ini melahirkan sebuah peraturan mengenai hukum
dan peradilan (Raad van Indie)180 yang salah satu kebijakannya mengatur mengenai
pemberian hukuman pidana mati yang menjadi kewenangan Gubernur Jenderal. Menurut
ketentuan ini dinyatakannya bahwa sebelum hukuman mati dapat dilakukan, maka perlu
diperoleh fiat executie dari Gubernur Jenderal,181 kecuali hukuman mati yang dijatuhkan
oleh penguasa militer sebab kondisi pemberontakan. Menurut Plakat tertanggal 22 April
1808, pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman dengan cara: (1) dibakar hidup
terikat pada sebuah tial (paal); (2) dimatikan dengan mengunakan keris (kerissen) dan
seterusnya.182 Plakat (batu tulis) tertanggal 22 April 1808 ini berisikan bahwa hukuman
mati pada masa itu dilaksanakan dengan metode yang cukup sadis, antara lain dibakar
hidup-hidup, ditusuk dengan keris, dicap dengan bara api, dipukul hingga tewas, dan kerja
paksa.
Di masa Daendels motif melakukan konsolidasi hukum pidana dan menerapkan kebijakan
hukuman mati ini sebab sekadar menyesuaikan hukuman dalam hukum pidana tertulis
dengan sistem hukum lokal.184 Menurutnya, banyak hukum lokal yang masih menerapkan
hukuman mati dan hukuman badan (hukuman kejam). Namun Daendels mungkin juga tidak
mengetahui alternatif lain selain memakai kebijakan ini di negara kita .185 Selain
ia tidak memiliki pengalaman sedikitpun mengenai urusan di tanah jajahan, kemungkinan
lainnya mengapa Daendeles bertindak ganas dengan melakukan konsolidasi menerapkan
hukuman mati (dan hukuman kejam lainnya) sebab tugasnya untuk mempertahankan
Pulau Jawa dari serangan angkatan perang Inggris. Oleh sebab itu, Deandels sangat takut
akan kemungkinan timbulnya pemberontakan rakyat jajahan.
Bagi golongan Eropa berlaku Statuta Betawi baru sedangkan bagi golongan Bumiputra berlakulah hukum adatnya.
Namun Gubernur Jenderal berhak mengubah sistem hukum ini jika hukuman ini dianggap tidak sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan atau hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara, Wetboek van Strafrecht voor
Indonesie: berdasar Pandangan Rasial yang Diskriminatif
Sistem penghukuman seperti yang tertera di dalam plakat masih berlangsung hingga
tahun 1848 dengan keluarnya hukum pidana yang terkenal dengan nama Intermaire
Strafbepelingen LNHB 1848. Pasal 1 dari peraturan ini menyatakan tetap meneruskan
keadaan hukuman seperti yang sudah ada sebelum tahun 1848, dengan perkecualian
adanya beberapa perubahan dalam sistem hukuman. Hukuman mati tidak lagi
dilaksanakan dengan cara yang sadis sebagaimana yang tertera dalam plakat ini ,
namun dengan cara digantung.187 Sebelumnya, eksekusi dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda seperti yang diberlakukan pada masa Deandles.
Terbentuknya Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers) atau WvSinl pada 1 Januari
1873 menandai konsolidasi praktik hukuman mati kedua dan yang terpenting di Hindia
Belanda. Di Belanda kemudian terjadi perkembangan baru dengan lahirnya kodifikasi
pertama hukum pidana yang mengakibatkan WvSinl disesuaikan dengan perkembangan
ini , dan terjadi unifikasi hukum pidana di seluruh wilayah negara kita . Pada 1915
diundangkan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) dan mulai berlaku pada 1 Januari
1918.
Sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, terjadi pembedaan tentang pemberlakuan
hukuman mati dalam hukum pidana di Belanda dan di Hindia Belanda. Hukuman mati
telah dihapuskan di Belanda pada tahun 1870, atau tiga tahun sebelum terbentuknya
WvSiNl. Pemerintah Kolonial Belanda mempertahankan hukuman mati sebagai hukum
darurat,189 dan penerapannya hanya dibatasi pada kejahatan-kejahatan yang dianggap
terberat oleh Pemerintahan Kolonial, yakni kejahatan berat terhadap keamanan negara,
pembunuhan, pencurian dan pemerasan dengan pemberatan, perampokan, pembajakan
pantai pesisir dan sungai.190
Motif pemerintahan Kolonial Belanda masih mempertahankan hukuman mati beragam.
Sahetapy, dengan melakukan analisa secara historis, perdebatan penerapan hukuman
mati di Hindia Belanda (negara kita ),191 secara umum dapat ditarik sebuah kesimpulan
umum bahwa penerapan pidana mati di Indonesia tidak terlepas dari motif kolonial
Belanda yaitu untuk mempertahankan dan mengamankan daerah jajahannya.192 Sahetapy
memaparkan adanya tiga alasan pencantuman pidana mati dalam KUHP, yaitu: alasan
faktor rasial, alasan berdasar ketertiban umum, dan alasan berdasar hukum
pidana dan kriminologi.
Sikap dan pandangan para ahli hukum Belanda mengenai penerapan hukuman mati di
Hindia Belanda terlihat dari perdebatan yang diuraikan di bawah ini:
a. Alasan Faktor Rasial
Pada saat penyusunan hukum pidana yang akan diberlakukan di Indonesia saat itu, ada
perdebatan dari para ahli hukum pidana di Belanda. Perdebatan ini di antaranya terkait
dengan perlakuan hukum yang sama terhadap orang Bumiputera. ini sebagaimana
dinyatakan oleh Idema, mengajukan pertanyaan yang prinsipil tentang apakah untuk
orang Bumiputera (pribumi, negara kita ) akan diambil hukum pidana Belanda dengan
perubahan ataukah hukum pidana adat dengan perubahan.194 Jawaban atas pertanyaan
Idema ini , dapatlah dilihat dalam KUHP yang berlaku saat ini yaitu KUHP Belanda
berdasar asas konkordansi195 namun dengan perubahan. Menjawab pertanyaan
prinsipil ini , Idema mengutip sikap ahli pidana lainnya, de Wal, sebagaimana
dikutip oleh Idema sendiri yaitu “wat gij niet wilt, dat U geschiedt, doe dat ook aan een ander
niet” (sebagaimana engkau tidak suka diperlakukan demikian, janganlah melakukan hal
yang demikian pula terhadap orang lain). Namun, pandangan de Wal ini tidak
diperhatikan, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.
Ahli hukum lainnya, Simons, mempersoalkan apakah memang sangat diperlukan
mempertahankan pidana mati dalam perundang-undangan pidana di Indonesia pada
waktu itu. Simons menggambarkan bahwa ketika KUHP diundangkan yang kemudian
dikenal dengan bentuk yang sekarang ini dengan berbagai tambahan dan perubahan,
nampak tidak ada keraguan sedikit pun untuk mempertahankan pidana mati. Lebih lanjut
Simon menjelaskan, bahwa perbedaan pendapat mengenai pidana mati yang terjadi
dalam komisi negara (Staatscommissie) untuk WvSI 1898, tidak terungkap dalam memorie
van toelichting (MvT) untuk WvSI 1915 sehingga WvSI 1915 tidak menunjukkan kejelasan
sikap mengenai pidana mati. Pada akhirnya, Simons menyimpulkan dengan ragu-ragu
bahwa alasan utama untuk tetap mempertahankan pidana mati adalah sifat yang sangat
menakutkan dari pidana mati.l
Simons melihat sifat, watak dan keyakinan orang-orang pribumi, terutama yang berkaitan
Asas Konkordansi adalah suatu asas
yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada
Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada
di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda. Lihat juga Pasal 311
Indische Staatregeling (IS).
Petuah de Wal diter-
jemahkan Sahetapy dalam kutipannya sebagai berikut “sebagaimana engkau tidak suka diperlakukan demikian, janganlah
melakukan hal yang demikian pula terhadap orang lain”.
dengan ketidakjujuran orang pribumi sebagai saksi dalam perkara-perkara pidana sebab
mereka mudah sekali melakukan sumpah palsu. Simons tidak setuju dipertahankannya
pidana mati dalam KUHP, namun Simons dapat menerima jika pidana mati dipandang
sebagai suatu tindakan darurat dalam keadaan yang luar biasa sehingga tetap
dipertahankan dalam KUHP. Mengenai pendapat Simons yang saling bertolak belakang
ini , Simons mengemukakan alasan bahwa Staatscommissie juga berbicara tentang
pidana mati sebagai sarana terakhir, sebagai suatu hukum darurat, yang jika demikian
maka harus diatur dengan baik secara tertulis.198 Pandangan Simons ini senada dengan
pandangan Kruseman, bahwa pidana mati hanya sebagai wewenang darurat (noodrecht).
Jika Simons berpendapat bahwa orang-orang pribumi mudah sekali melakukan sumpah
palsu maka Kruseman sedikit berbeda, yang melihat bahwa orang-orang pribumi mudah
percaya, bahkan menerima kebohongan sebagai kebenaran.199
Ahli hukum lainnya, Kleintjes, mengungkapkan kekecewaan tentang alasan penerapan
hukuman mati dalam memori penjelasan (MvT) yang berbau rasial ini. Kleintjes
mengungkapkan data bahwa sejak 1872 tidak ada orang Eropa-sipil dipidana mati di
Indonesia (pada waktu itu masih disebut Hindia Belanda) dan tuduhan Staatscommissie
terhadap orang-orang Indo-Belanda sebagai penjahat ditolak oleh Kleintjes.200
Mengenai pandangan rasial tentang ketidakjujuran orang pribumi juga disampaikan
oleh Ethoven, yang sedikit memberi perbedaan penekanan, bahwa ketidakjujuran
merupakan seni yang tidak dipahami oleh orang Bumiputera. Ethoven menyatakan:
“alleen zij nog opgemerkt, dat liegen een kunst is, die vele Inlanders nog maar matig
verstaan, ook all beoefenen zij die nog zoo vaak ...” (hanya perlu diperhatikan bahwa
membohong adalah suatu seni yang belum cukup dipahami oleh orang-orang
bumiputra meskipun sering berbohong).
Pandangan ini disimpulkan oleh Enthoven setelah membandingkan ketidakjujuran di
Eropa dan di negara kita , yang dengan penafsiran a contrario, di Eropa saksi juga berbohong,
namun kebohongan saksi di Eropa ini dianggap Enthoven sebagai suatu seni sebab
walaupun para saksi di Eropa memberi keterangan yang tidak benar, mereka bukan
membohong, tidak seperti di Hindia Belanda di mana mereka (pribumi) mengira kesaksian
mereka itu benar.
Kruseman, Kleintjes dan Enthoven termasuk yang pihak yang mendukung
dipertahankannya pidana mati terkait dengan ketidakjujuran di Eropa dan di negara kita .
Sahetapy berpendapat bahwa pandangan Enthoven ini dipandang dari segi
komparatif sebagaimana diuraikan di atas secara ilmiah sama sekali tidak berdasar.
Sahetapy menarik beberapa kesimpulan sebagaimana berikut:
1. Sikap para sarjana hukum Belanda dilandasi rasa superior sebagai bangsa
penjajah terhadap orang-orang pribumi sebagai bangsa yang dijajah. ini jelas
tampak dalam tulisan-tulisan mereka. Bagi beberapa penulis, rasa superior itu
dinyatakan secara eksplisit;
2. berdasar pengalaman di sidang-sidang pengadilan, para hakim Belanda
berkesimpulan bahwa para saksi pribumi tidak dapat dipercayai. Kesimpulan para
hakim Belanda ini jika dikaji secara ilmiah tidak dapat dibenarkan;
3. Para hakim Belanda pada umumnya belum menguasai bahasa para saksi pribumi.
Dapat ditambahkan pula bahwa mereka belum memahami nilai-nilai dan struktur
sosial warga pribumi pada waktu itu. Tidaklah mengherankan jika
mereka membuat suatu kesimpulan atau pandangan yang keliru;
4. Berpangkal pada premis yang sama, yaitu, bahwa para saksi pribumi tidak dapat
dipercayai, kesimpulan akhir mereka tidaklah sama. Ada yang menentang, ada
pula yang mendukung tetap dipertahankan pidana mati; dan
5. Alasan rasial ego politik ternyata dicampurbaurkan dengan alasan ketertiban
umum, hukum dan kriminologi. Dengan demikian suatu kesimpulan yang keliru
sulit untuk dihindarkan.
b. Alasan berdasar Ketertiban Umum
Alasan mempertahankan hukuman mati di Hindia Belanda merujuk pada pandangan
bahwa negara memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban umum. Dalam keterangan
yang diberikan oleh Modderman sebagaimana dikutip Lemaire dalam Het Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Nederlandsche Wetboek van Strafrecht,
diterangkan bahwa negara memiliki segala kewenangan untuk menjaga ketertiban umum
dan oleh sebab itu adanya pidana mati harus dilihat dalam rangka kriterium keharusan.205
berdasar sumber dari Modderman ini , walaupun pidana mati sudah dihapuskan
di Belanda pada tahun 1870, para perancang KUHP tetap mempertahankan pidana mati.206
Lemaire dalam membandingkan Pasal 10 KUHP dengan Pasal 9 WvSI, menyatakan bahwa
alasan-alasan yang patut untuk memasukkan pidana mati yang dikemukakan oleh para
perancang KUHP sebab Hindia Belanda (atau Indonesia pada saat itu) adalah suatu
daerah jajahan yang luas penduduknya terdiri atas berbagai ragam suku bangsa.207
Lemaire, mengutip penjelasan para perancang, keadaan di Hindia Belanda pada waktu
itu sangat berlainan dengan situasi di Belanda, di mana di Hindia Belanda tertib hukum
sangat mudah terganggu dan keadaan mudah sekali menjadi kritis dan berbahaya.
Susunan pemerintahan dan sarana-sarana untuk mempertahankan kekuasaan di Hindia
Belanda sulit untuk dapat melaksanakan langkah yang sama seperti di Belanda atau
negara-negara lain di Eropa.
Lemaire berpendapat bahwa dalam keadaan demikian itu tidaklah bertanggung jawab
untuk melepaskan suatu senjata ampuh sebagai pidana mati yang mempunya sifat
menakutkan yang tidak didapati dalam pidana penjara dan pidana kurungan. Beberapa
perbuatan di Hindia Belanda, tidak dijelaskan yang mana yang memiliki sifat berbahaya,
sehingga demi keharusan suatu pembalasan yang keras dan demi kepentingan ketertiban
umum perlu diadakan pidana mati. Lebih lanjut Lemaire menyatakan bahwa sebagian
besar ahli Hindia Belanda memang mempertahankan pidana mati. Namun, para
perancang juga menyatakan pendirian bahwa hanya jika perjalanan waktu dapat
membuktikan bahwa tertib hukum di Hindia Belanda cukup dapat dipertahankan tanpa
perlunya dilaksanakan pidana mati untuk kejahatan berat, maka barulah tiba waktunya
sebagaimana juga di Belanda untuk menghapuskan pidana mati dari daftar pidana.
Sahetapy berpandangan bahwa alasan ketertiban umum untuk mempertahankan pidana
mati adalah: pertama, bahwa alasan berdasar faktor ketertiban umum mencakup
beberapa aspek yaitu aspek menurut sifatnya perkara, aspek susunan pemerintahan dan
sarana-sarana kekuasaan, aspek lembaga grasi dan aspek waktu penghapusan pidana
mati. Dengan latar belakang aspek-aspek ini , Pemerintah Kolonial Belanda dan para
sarjana hukum Belanda yang setuju dipertahankannya pidana mati mencari berbagai
argumentasi dan motivasi untuk membenarkan dan mempertahankan pendapat mereka
bertalian dengan pidana mati.
Kedua, Asas Konkordansi tidak pernah dijalankan secara konsekuen. Oleh sebab
itu bukan saja tampak adanya kepincangan dalam peraturan hukum yang berlaku,
juga pelaksanaannya menimbulkan berbagai implikasi dan ketidakadilan. Itu berarti
bahwa untuk satu perbuatan pidana yang sama (sejenis), dalam ini misalnya dalam
pembunuhan berencana dipakai dua ukuran ancaman pidana.
Ketiga, Belanda sebagai sebuah negara kecil tentu tidak mampu mengerahkan warganya
dalam jumlah cukup besar untuk mengawasi dan mempertahankan daerah jajahannya.
ini berarti bahwa dengan sendirinya terpaksa harus dipergunakan tenaga-tenaga
pribumi. Tidaklah mengherankan bahwa pidana mati dicoba dipertautkan dengan
susunan pemerintahan dan sarana-sarana kekuasaan.
Merujuk pada konteks alasan ketertiban umum ini, konsepsi pemikiran wewenang darurat
untuk membenarkan dipertahankan pidana mati memiliki dasar yang tidak berprinsip
dan lemah. Kapan perlu adanya wewenang darurat dan bilamana dapat dihapuskan
wewenang darurat ini adalah sangat problematis. Konsekuensi logis atas dihubungkannya
pidana mati dengan wewenang darurat ialah bahwa dengan dihapuskannya wewenang
darurat maka harus ditiadakan pula pidana mati. Selain itu, pada waktu dahulu (dan
sekarang pun) Indonesia tidak sama dengan Belanda dilihat dari struktur pemerintahan,
sifat dan budaya bangsanya, iklim dan sebagainya. Oleh sebab itu pertimbangan kapan
akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati seperti yang terjadi di Belanda
pada tahun 1870 merupakan suatu khayalan, suatu fatamorgana.
c. Alasan berdasar Hukum Pidana dan Kriminologi
Alasan-alasan masih diberlakukannya hukuman mati dari sudut pandang hukum pidana
dan kriminologi kurang ditekankan dalam penjelasan maupun ulasan para sarjana hukum
Belanda. Sahetapy menjelaskan bahwa kriminologi saat itu masih belum berkembang
dan maju seperti saat ini sehingga kurang mendapat tempat ilmiah yang wajar. Lebih
lanjut Sahetapy mendapatkan kesan yang kuat, bahwa mereka menganggap pidana mati
sebagai unsur wajar dalam hukum pidana dan oleh sebab itu tidak perlu dipersoalkan.
Pidana mati seolah-olah inheren dengan hukum pidana.
Sahetapy dengan mengambil beberapa cuplikan yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana hukum Belanda dalam permasalahan pidana mati yang disistematiskan sebagai
pro pidana mati dan kontra pidana mati. Dari segi pro pidana mati pada umumnya
dikemukakan alasan sebagai berikut:
1. Pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi. warga
tidak akan diganggu lagi oleh penjahat sebab “mayatnya telah dikuburkan
sehingga tidak perlu takut lagi terhadap terpidana” (de aarde bedekt het lijk en van
den veroordeelde is niets meer te vreezen).216
2. Pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah terutama
dalam pemerintah daerah Hindia Belanda;
3. Dengan alat represi yang kuat ini kepentingan warga dapat dijamin sehingga
dengan demikian ketentraman dan ketertiban hukum dapat dilindungi;
4. Alat represi yang kuat ini sekaligus berfungsi sebagai prevensi umum sehingga
dengan demikian diharapkan para calon penjahat akan mengurungkan niat
mereka untuk melakukan kejahatan;
5. Terutama dengan pelaksanaan eksekusi di depan umum diharapkan timbulnya
rasa takut yang lebih besar untuk berbuat kejahatan.
Pandangan yang setuju penerapan hukuman mati menunjukkan argumen kenapa
hukuman mati perlu diterapkan. Enthoven, mengutip pandangan Lombroso, dengan
dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan sehingga
warga dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk dan diharapkan akan terdiri
warga-warga yang baik saja. Pandangan Lombroso ini dikuatkan dengan pendapat
Garofalo yang mengemukakan bahwa dengan dilaksanakannya pidana mati terhadap
lebih kurang 70.000 orang berdasar undang-undang di bawah pemerintahan Eduard
VI dan Elisabeth maka terbukti bahwa kejahatan telah berkurang banyak sekali.
Para sarjana hukum Belanda yang kontra terhadap pidana mati yang menggolongkan diri
dalam barisan abolisi, tidak sependapat dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di
atas, mereka mengemukakan alasan-alasan sebagaimana berikut:
1. Pada umumnya para sarjana hukum Belanda yang menentang pidana mati
(selanjutnya disebut para abolisionis) tidak dapat mengerti mengapa berdasar
asas konkordansi pidana mati masih tetap dipertahankan di Hindia Belanda;
2. Para abolisionis berpendapat bahwa pidana mati bukanlah pidana, sebab pidana
mati tidak memenuhi seluruh kriteria yang disyaratkan bagi pidana. Mereka
pun merasa heran bahwa isi pidato Menteri Modderman yang cemerlang dalam
rangka menentang pidana mati di Belanda itu tidak dilaksanakan pula di Hindia
Belanda. Dalam garis besar, Modderman berpendapat bahwa:
a. pidana mati tidak seimbang dengan kesalahan yang dibuat oleh penjahat;
b. dengan dijatuhi pidana mati maka kemungkinan memperbaiki diri dari si
penjahat telah ditutup sama sekali;
c. kepastian bahwa putusan hakim telah tepat, benar dan adil, sulit untuk
dijamin sebab bagaimana pun hakim tetap seorang manusia;
d. dengan dilaksanakannya suatu pidana mati maka kemungkinan untuk
meninjau suatu putusan yang mungkin keliru sama sekali tidak ada lagi;
e. putusan dan terutama pelaksanaan pidana mati memiliki pengaruh
yang tidak baik terhadap warga .
3. Nyawa seorang manusia, sekalipun ia seorang penjahat besar, tidak boleh dicabut
begitu saja dengan eksekusi pidana mati, juga menurut norma-norma yang
berlaku dalam warga pribumi yang dikualifikasi sebagai “penduduk yang
kurang berbudaya dan kurang Pendidikan” (minbeschaafde of min-intellectueel
ontwikkelde volken);
4. Kalau pidana mati dianggap sebagai suatu alat untuk menakutkan calon-calon
penjahat maka sulitlah untuk menerima pemikiran tentang dasar adanya lembaga
grasi yang kontroversial;
5. Di samping itu sulit pula dipahami bahwa kalau pidana mati berfungsi menakutkan,
mengapa pelaksanaannya harus dijalankan di tempat yang tertutup yang tidak
dapat dilihat oleh umum, misalnya dalam penjara (intra muros);
6. Kalau memang betul bahwa pidana mati itu suatu alat yang ampuh sehingga
menakutkan para calon penjahat, mengapa dengan dihapuskannya pidana mati
di Belanda misalnya, kejahatan tidak bertambah?.
Para abolisionis juga mengemukakan bahwa ajaran Kant dan Hegel tentang pembalasan
yang murni kini sulit dipertahankan. Teori absolut dan dasar pemidanaan dengan
berdasar Alkitab praktis tidak memiliki penganut lagi serta tidak memiliki dasar
pemikiran yang kokoh pada saat ini.
Meski terjadi dua kubu pendukung dan penolak hukuman mati di kalangan ahli hukum
Belanda, argumentasi pendukung hukuman mati juga tidak cukup kokoh dan konsisten.
ini terlihat dari pandangan Enthoven, yang terkenal sebagai pendukung untuk tetap
mempertahankan pidana mati untuk Hindia Belanda, pendapatnya tidak konsekuen
terhadap penerapan pidana mati untuk ‘penjahat’ politik. Pendapat Enthoven diungkapkan
sebagaimana berikut:
“Met name kan dus de doodstraf niet meer opgelegd worden wegens gewapend verzet
tegen het Gouverment, een feit, dat hoe gevaarlijk ook voor de openbare orde, een zoo
strenge straf uit een oogpunt van zedelijke gerechtigheid niet verdient”.
(Secara umum, hukuman mati tidak bisa dijalankan sebab (atau terkait dengan)
perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, suatu fakta yang, sebagaimana
berbahayanya hal itu (perlawanan bersenjata) untuk ketertiban umum, tidak adil
untuk diterapkan dalam kacamata keadilan).
Enthoven merasakan bahwa pidana mati itu terlalu kejam sebab sejak dahulu penguasa
selalu menjatuhkan pidana mati terhadap mereka ini tanpa sesuatu hasil. Oleh
sebab nya, pidana mati terhadap penjahat politik sebagai suatu kekejaman sebab tidak
bermanfaat dan tidak memberi hasil yang diharapkan dengan terhentinya keonaran
dan pemberontakan politik. Pada intinya, pendirian Enthoven ini ditujukan pada
hasil yang hendak dicapai (result-oriented) dan bukan kepada prinsip yang menjadi pokok
pegangan (principle-oriented).
berdasar uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan: (i) pembahasan pidana mati
dilihat dari segi teori hukum pidana sangatlah disangkal; (ii) penganalisaan pidana mati
berdasar penologi praktis tidak ada, walaupun tampak adanya bibit-bibit pemikiran
secara penologis dan demikian pula analisa secara analogis. ini disebabkan
sebab kedua disiplin belum berkembang sebagaimana yang sekarang dikenal, terlebih
belum ada pendekatan yang berdasar viktimologi; (iii) kadang sulit membedakan mana
pembahasan secara kriminologis dan mana yang teoritis berdasar hukum pidana,
bahkan pembahasan secara hukum pidana dibaurkan dengan pembahasan secara rasial;
(iv) setiap pembahasan secara tidak langsung selalu dipermasalahkan dalam konteks
dengan Belanda. ini dapat dipahami mengingat Hindia Belanda merupakan daerah
jajahan Belanda; dan (v) sekalipun para penulis Belanda saling berbeda pendirian, namun
ada suatu persamaan yang harus dipuji yaitu sikap yang berani, terbuka dan bila perlu
sangat kritis terhadap pemerintah Belanda ataupun Hindia Belanda.
3.3 Hukuman Mati Zaman Penjajahan Jepang: Melanjutkan Jejak Kolonial
Belanda
Meskipun pada tahun 1942 Indonesia sempat dikuasai oleh Jepang, namun pada
hakikatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Pemerintahan Tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali
peraturan masa kolonial Belanda dahulu dengan dasar beberapa peraturan. WvSI ini
kemudian terus berlaku sampai dengan masa penjajahan Jepang.
Pada masa ini dikeluarkan Osamu Gunrei No.1 Tahun 1942 dan UU Nomor Istimewa Tahun
1942, yang juga termasuk di dalamnya Osamu Seirei No. 25 Tahun 1944 tentang Gunsei
Keizirei (Undang-Undang Kriminil Pemerintah Balatentara). Peraturan ini memuat
aturan umum dan khusus dan berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di dalam maupun di luar daerah hukum Gunsei Keizirei. Pasal 3 Osamu Seirei menyatakan
semua badan/lembaga pemerintah dan kekuasaannya, hukum serta undang-undang dari
pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan
dengan pemerintahan militer Jepang. Artinya, hanya pasal-pasal yang menyangkut
pemerintah Belanda, seperti penyebutan raja/ratu yang tidak berlaku lagi. ini dilakukan
untuk mencegah kekosongan hukum dalam sistem hukum di Indonesia pada masa itu.
Dengan dasar ini , maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan
dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap memakai hukum pidana
Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan
demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk adalah
sama, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling dan golongan-
golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Namun, ada peraturan lain yang penting untuk diperhatikan, yaitu Gunsei Keizirei
yang merupakan peraturan hukum pidana yang berlaku sejak 1 Juni 1944 meskipun pada
saat itu WvSI masih berlaku. Ketika Gunsei Keizirei ini diberlakukan, beberapa pelanggaran
yang telah diatur penghukumannya dalam WvSI menjadi dihukum berdasar ketentuan
dalam Gunsei Keizirei, misalnya tindakan menghancurkan atau menggangu instalasi listrik
atau media komunikasi. Pelanggaran ini telah diatur hukumnya dalam WvSI, namun
sebab Gunsei Keizirei telah diberlakukan, maka yang dipakai adalah Gunsei Keizirei.
Terkait dengan hukuman mati, pada 2 Maret 1942, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura,
Pemimpin Angkatan Darat Ke-16, mengeluarkan Peraturan Darurat Militer (Martial Law)
melalui surat keputusan khusus. Peraturan darurat militer ini memuat hukuman
mati dan hukuman berat lainnya yang akan dijatuhkan pada mereka yang:
1. Menentang Angkatan Darat Jepang, termasuk mata-mata untuk musuh;
2. Menghancurkan tambang minyak, perkebunan dan sumber lainnya;
3. Menghancurkan sarana komunikasi termasuk jalan raya, kereta api, telepon dan
telegraf, komunikasi pos;
4. Meracuni dengan maksud untuk menghancurkan tentara Jepang;
5. Menyulitkan kehidupan warga ;
6. Menghancurkan harta benda, uang dan barang;
7. Menguntungkan diri sendiri dengan cara yang tidak benar (improper profiteering);
8. Melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan tentara Jepang;
9. Mengabaikan perintah pemimpin, dll.
Dalam peraturan ini , pihak yang menghasut atau membantu untuk melakukan
tindakan ini diatas juga dapat dikenai sanksi yang sama beratnya dengan pihak
yang melakukan. Hukuman mati ini diatas dilakukan dengan cara ditembak.
3.4 Kebijakan Legislasi Hukuman Mati Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Sketsa pembentukan legislasi hukuman mati pada periode pasca Proklamasi
Kemerdekaan 1945 merupakan masa-masa di mana Republik Indonesia sedang berusaha
untuk menyusun bangunan dasar dan pembentukan negara dengan berbagai diskursus,
dinamika politik internal/dalam negerinya, maupun dinamika eksternalnya terkait dengan
kedaulatan negara setelah Perang Dunia Kedua berakhir.
Periode ini juga mencatat bagaimana Indonesia mengalami pergantian bentuk negara dari
negara kesatuan ke negara serikat dengan pemberlakuan 2 (dua) konstitusi yakni UUD
1945 dan UUD Republik Indonesia Serikat. Sepanjang Agustus 1945 hingga Desember
1949 merupakan periode Revolusi Indonesia yang ditandai oleh pembentukan sebuah
pemerintah Republik di Jakarta, yang sejak semula pemerintah ini hanya mampu
melakukan kontrol administrasi yang lemah atas daerah dan otoritasnya semata-mata
bertumpu pada kenyataan bahwa, yang oleh kebanyakan orang negara kita , dianggap
sebagai puncak yang logis dari perjuangan kemerdekaan negara kita . 228
Proklamasi memunculkan revolusi sosial di berbagai daerah yang sering kali ditandai
dengan aksi-aksi kekerasan rakyat terhadap elit-elit tradisional, orang Belanda dan Cina.
Saat dikuasai Jepang yang kuat dan sentralistis, Republik Indonesia yang baru lahir belum
mampu melakukan konsolidasi, dan negara tidak memiliki struktur pemerintahan di
bawahnya. Pemerintahan Soekarno menjalankan pemerintahan dibantu oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (berdasar Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945 diberikan kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat) dan yang kemudian tiap daerah membentuk Komite Nasional negara kita .229 Komite
Nasional Indonesia di setiap daerah inilah yang menjadi badan penghubung antara
Pemerintah Republik dengan kekuatan-kekuatan rakyat di setiap tingkatan.230 Kekuasaan
dan otoritas Republik di Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia hampir pada saat itu
juga mendapat tantangan dari pihak Belanda.
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dibuka pada 23 Agustus 1949 merupakan puncak
penyelesaian politik antara Republik Indonesia dan Belanda. Salah satu kesepakatan da-
lam konferensi ini adalah terbentuknya Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang
sifatnya sementara. Konstitusi ini akan menetapkan bahwa segala undang-undang yang
telah ada, jika tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan dari UUD Sementara atau
dengan persetujuan-persetujuan yang tercapai dalam KMB akan tetap berlaku sampai di-
gantinya undang-undang yang yang dikeluarkan oleh badan-badan yang berhak untuk itu
berdasar peraturan-peraturan yang akan ditetapkan pula dalam UUD Sementara.231
UUD Sementara ini kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat (UUD RIS), yang merupakan hasil dari pembahasan dalam Komisi untuk
Urusan Politik dan Konstitusional yang merupakan salah satu dari lima komisi yang
dibentuk oleh Komisi Pusat KMB. Penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat
harus didasarkan oleh Konstitusi Sementara, untuk itu konstitusi ini harus selesai sebelum
KMB berakhir. Sebelumnya, melalui Konferensi Antar Indonesia di Yogyakarta dan
Jakarta tanggal 22 Juli-2 Agustus 1949, Republik Indonesia dan Pertemuan Musyawarah
Federal telah mencapai kata sepakat mengenai asas-asas dasar dan pokok-pokok utama
konstitusi untuk RIS, sehingga selama KMB konstitusi ini dalam waktu tidak terlalu
lama dapat disusun. Tanggal 29 Oktober 1949 Konstitusi selesai dan diparaf oleh para
pemimpin delegasi yang selanjutnya pada 31 Oktober 1949 ini disampaikan pada Komisi
Pusat KMB.232 Pada tanggal 14 Desember 1949 UUD RIS ditandatangani oleh kuasa-kuasa
dari negara-negara bagian yang dilaksanakan di Jakarta.
Dalam konstitusi ini, hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan dasar manusia telah
dimuat secara lebih lengkap daripada UUD 1945, yang jika ditelusuri merupakan
pengaruh dari Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal 1948 (UDHR) yang masuk ke dalam
pembahasan pembentuk konsitusi RIS. Mengenai hak hidup sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 3 Deklarasi yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan,
dan keselamatan sebagai individu”, UUD RIS tidak mencantumkannya. Penekanan di awal
pasal UUD RIS mengenai hak dasar dan kebebasan manusia adalah mengenai pengakuan
manusia pribadi di hadapan undang-undang/hukum, sebagaimana dimuat dalam Pasal 6
Deklarasi HAM Universal.233 Secara filosofis hak atas hidup tidak menjadi faktor elementer
dalam pembentukan konsitusi RIS. Atas kondisi ini , dalam pembentukan legislasi di
tingkat undang-undang tentunya dapat dipahami bahwa norma-norma ancaman pidana
mati masih ada dalam hukum positif Indonesia pada periode ini.
Dalam situasi politik nasional yang tidak stabil pasca pernyataan kemerdekaan Indonesia
tidak ada produk legislasi yang memiliki muatan norma ancaman hukuman mati
kecuali dua undang-undang yang secara substansi merupakan sepenuhnya produk
di masa pemerintahan Hindia Belanda yakni KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM).
Deklarasi Universal HAM 1948 secara faktual mewarnai pembahasan mengenai hak-hak warga negara sebagaimana pem-
bahasan dalam Konferensi Inter-Indonesia Pertama di Yogyakarta tanggal 22 Juli 1949 yang mengutip artikel 10 Deklarasi,
terkait dengan kemerdekaan memeluk agama yang harus dijamin dalam UUD RIS dan UUD Negara-Negara Bagian.
Melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang diterbitkan pada
tanggal 26 Februari 1946, Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang berlaku di
Indonesia diberlakukan di negara kita . Ketentuan ini memuat aturan pada pasal peralihan
yang menyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang bertentangan dengan
kedudukan Republik Indonesia tidak berlaku, mengubah nama Wetboek van Straftrect
voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Starfrecht (WvS) atau KUHP, serta mengubah
beberapa kata dan menghapus beberapa pasal dalam WvS. UU No. 1 Tahun 1946 ini
mengakhiri peraturan hukum pidana pada masa pendudukan Jepang yang dimulai
pada 8 Maret 1942. Undang-undang ini mulanya hanya berlaku di Jawa dan Madura,
melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1946 tertanggal 8 Agustus 1946 KUHP mulai
diberlakukan untuk daerah Provinsi Sumatera.234
KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman mati
sebagaimana diatur dalam dalam WvSI yakni kejahatan berat terhadap keamanan negara,
pembunuhan, pencurian dan pemerasan dengan pemberatan, perampokan, serta
pembajakan,235 sebagaimana tertera dalam Tabel berikut ini:
Tabel 3.1 Ketentuan Hukuman Mati dalam KUHP
Buku II KUHP tentang Kejahatan
Pasal 104
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan,
atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah,
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan
maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan
atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan
bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan
perbuatan permufakatan atua perang terhadap negara, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
234 Baru pada tahun 1958 KUHP dinyatakan berlaku di seluruh wilayah Indonesia mulai 2 September 1958 dengan diterbitkan-
nya UU No. 3 Tahun 1958.
Pasal 124 ayat (3) ke-1 dan ke-2
(1) Barang siapa dalam masa perang dengan sengaja memberi bantuan
kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh, diancam
dengan pidana penjara lima belas tahun.
(3) Pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika si pembuat:
1. Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh,
menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau
pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan,
gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan
Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi,
menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk
menggenangi air atau karya tentara lainya yang direncanakan
atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang;
2. Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara,
pemberontakan atau desersi dikalangan Angkatan Perang.
Pasal 140 ayat (3)
(1) Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau
kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
(3) Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.
Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam sebab pembunuhan dengan rencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun
Pasal 365 ayat (4)
Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan
luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1
dan 3.
Pasal 368 ayat (1) dan (2)
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberi
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam sebab pemerasa