hukuman mati 4

Jumat, 26 Januari 2024

hukuman mati 4





kesehatan.
“Usaha - usaha meningkatkan perbaikan kesehatan rakyat ditujukan kepada …, 
298 Pasal 204 KUHP: (1) Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya 
membahayakan nyawa atau kesehatan orang, sedangkan sifat berbahaya itu tidak diberitahukannya, diancam dengan pidana pen-
jara paling lama lima belas tahun. (2) Bila perbuatan itu mengakibatkan rang mati, maka Yang bersalah diancam dengan pidana 
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. (KUHP 35, 43, 206, 336, 338, 386, 
486, 501.)
299 Pasal 205 KUHP: (1) (sebagaimana diubah dengan UU N. 18 / Prp / 1960.) Barangsiapa sebab  kesalahannya (kealpaannya) 
menyebabkan barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan tanpa diketahui 
sifat berbahayanya leh rang yang membeli atau yang memperleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau 
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Bila perbuatan itu 
mengakibatkan rang mati, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana 
kurungan paling lama satu tahun. (3) Barang itu dapat disita. (KUHP 35, 39, 41, 43, 206, 359 dst., 386.).

-- -- 
melindungi rakyat terhadap bahaya narkotika dan pemakaian  obat - obatan lain 
yang tidak sesuai dengan persyaratan yang berlaku,…” 
Sejalan dengan penegasan yang telah disampaikan oleh MPR, Presiden lalu mengirimkan 
Surat dengan No R.05/P.U./VI/1976 tertanggal 3 Juni 1976 ke DPR mengenai RUU 
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan protokolnya serta RUU tentang 
Narkotika.
Dalam RUU yang disampaikan oleh pemerintah, ada dua perbuatan yang diancam pidana 
mati yaitu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) 
huruf a dan Pasal 23 ayat (5) jo Pasal 36 ayat (5) huruf a sepanjang bukan terkait dengan 
tanaman koka atau ganja.305
Dalam pandangan pemerintah, yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada 14 Juni 
1976, salah satu pokok pikiran kenapa hukuman yang amat berat diancamkan dalam 
pidana narkotika adalah mengenai kekhawatiran bahwa narkotika akan menjadi sarana 
untuk melukan subversi.306 sebab  itu penyelundup dan pengedar dianggap wajar 
jika dijatuhi hukuman berat untuk memberi  efek pencegahan yang tinggi kepada 
warga .307 Pandangan bahwa narkotika sebagai sarana subversi ini setidaknya 
disetujui oleh Fraksi Karya Pembangunan,308 Fraksi Partai Demokrasi negara kita ,309 Fraksi 
Persatuan Pembangunan, dan Fraksi ABRI.
Dari penjelasan ini, dicantumkannya pidana mati sesungguhnya merupakan jawaban 
atas keresahan dari pemerintah akan kemungkinan tindak pidana narkotika dipakai  
sebagai salah satu sarana penting untuk melakukan subversi. Suatu pandangan yang lalu 
diamini oleh seluruh Fraksi di DPR. Meski demikian pemerintah juga menolak usulan 
memasukkan pidana subversi ke dalam RUU ini.
Akhirnya, pada 2 Juli 1976, DPR menyetujui RUU Pengesahan Konvensi Tunggal 
Narkotika dan RUU Narkotika untuk menjadi UU tentang Narkotika. UU ini membuka 
 negara kita , Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No VI/MPR/1973, 
kemungkinan untuk mengimpor, mengekspor, menanam, memelihara narkotika bagi 
kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, yang memang secara secara 
faktual narkotika masih dibutuhkan untuk pengobatan.315 Selain itu, UU ini juga membuka 
kemungkinan para pecandu narkotika untuk menjalani proses rehabilitasi. Namun, 
UU No 9 Tahun 1976 dianggap masih memiliki kelemahan untuk mengatasi kejahatan 
psikotropika. 
UU No 9 Tahun 1976 memiliki beberapa ciri khusus yaitu:
a. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman, 
peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta pemakaian  
narkotika.
b. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci.
c. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya.
d. Acara pidananya bersifat khusus.
e. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan 
narkotika.
f. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika.
g. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.
h. Ancaman pidananya lebih berat
Munculnya UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak bisa dilepaskan dari terbentuknya 
Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961 dan Protokol Perubahan Tahun 1972,317 
yang diratifikasi Indonesia pada 3 September 1976. Konvensi ini memperkenalkan 
dimulainya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang diatur dalam konvensi ini 
dan dikategorikan sebagai kejahatan serius.319 Konvensi ini  juga meminta dilakukan 
kriminalisasi, namun hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan ini  
dibatasi hanya dapat dikenakan pemenjaraan atau bentuk-bentuk lain dari perampasan 
kemerdekaan. 
Meski Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961 hanya memperkenalkan narkotika 
sebagai kejahatan serius dan tidak memperkenalkan pidana mati, UU No. 9 Tahun 1976 
justru memperkenalkan pidana mati sebagai bagian dari rezim pemidanaan dalam 
pengaturan narkotika di negara kita . Ada dua perbuatan yang dapat diancam dengan 
pidana mati yang keduanya diatur dalam Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) huruf b dan 
Pasal 23 ayat (5) jo Pasal 36 ayat (5) huruf b. 
 negara kita , Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Bagian Menimbang huruf a. 

-- -- 
Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) huruf b: 
Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito 
narkotika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau 
pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya 
Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) jika  perbuatan ini  menyangkut 
narkotika lainnya.
Pasal 23 ayat (5) jo Pasal 36 ayat (5) huruf b:
Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, 
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam 
jual beli atau menukar narkotika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda 
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)jika  perbuatan ini  
menyangkut narkotika lainnya.
Penerapan kebijakan hukum pidana pada masa ini dianggap masih terlampau umum 
dan memiliki pengertian yang luas, antara lain: (i) tidak mengutarakan pengertian tentang 
penggolongan obat – obatan psikotropika; (ii) hanya dapat dikenakan terhadap pengedar, 
produsen, pengimpor, dan penyelundup; dan (iii) tidak menguraikan batasan ukuran 
kepemilikan psikotropika dan jenis-jenisnya.320 UU ini dianggap tidak mengatur secara 
spesifik tentang psikotropika dan hanya dianggap hanya berfokus pada narkotika yang 
mengandung cannabis, coca, dan opium.321
Sementara itu, penindakan terhadap kejahatan-kejahatan terkait dengan psikotropika 
dilakukan dengan menggunakan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, 
yaitu:
1. Pasal 204 dan Pasal 205 KUHP; 
2. Pasal 102 UU No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;322 dan
3. Pasal 80, Pasal 81 ayat (2) huruf c, Pasal 82 ayat (2) huruf e, dan Pasal 83 UU No. 
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
berdasar beberapa kelemahan ini , maka khusus untuk psikotropika dibentuk 
ketentuan yang terpisah dari narkotika melalui UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 
Secara umum, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dengan pengesahan UU No. 5 Tahun 
1997 tentang Psikotropika yaitu: (i) tujuan Rekayasa sosial dengan mengikutsetakan 
warga  dalam penegakan hukumpsikotropika; (ii) tujuan law and order (ketertiban 
hukum); dan (iii) tujuan social order (ketertiban umum).
Sejalan dengan pembentukan UU Narkotika, UU No 5 Tahun 1997 juga tidak bisa dipisahkan 
dari usaha  ratifikasi Indonesia terhadap dua konvensi utama tentang psikotropika, yaitu: 
a. Convention on Psychotropic Substances Tahun 1971,326 yang diratifikasi melalui UU 
No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances.327
b. United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic 
Substance Tahun 1988,328 yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang 
Pengesahan United Nations Convention Agains Illicet Traffic in Narcotic Drugs and 
Psycotropic Substance.329
Namun, UU No. 5 Tahun 1997 kembali mengatur hukuman mati yang tidak sejalan dengan 
dua Konvensi International terkait. Dalam Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 
1961 dan Convention on Psychotropic Substances Tahun 1971 hanya memperkenalkan 
psikotropika sebagai kejahatan dan tidak memperkenalkan pidana mati, sebagaimana 
dalam Pasal 22 ayat (1) huruf menyatakan:
“Subject to its constitutional limitations, each Party shall treat as a punishable offence, 
when committed intentionally, any action contrary to a law or regulation adopted 
in pursuance of its obligations under this Convention, and shall ensure that serious 
offences shall be liable to adequate punishment, particularly by imprisonment or other 
penalty of deprivation of liberty.”
Demikian pula dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and 
Psycotropic Substance Tahun 1988 yang hanya memperkenalkan psikotropika sebagai 
kejahatan dan tidak memperkenalkan pidana mati. Pasal 3 ayat 4 huruf a Konvensi 
ini  menyatakan:
“Each Party shall make the commission of the offences established in accordance 
with paragraph 1 of this article liable to sanctions which take into account the grave 
nature of these offences, such as imprisonment or other forms of deprivation of liberty, 
pecuniary sanctions and confiscation.”
Pasal 59 ayat (2) UU No 5 Tahun 1997 menentukan perbuatan yang diancam pidana mati 
yaitu perbuatan yang memiliki sifat terorganisir.
 

-- -- 
(1) Barangsiapa:
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ; 
atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika 
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; 
atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 
I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus 
lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima 
puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara 
terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup 
atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Secara umum, dari perspektif politik hukum pidana, UU No. 5 Tahun 1997 tentang 
Psikotropika menunjukkan: (i) menguraikan secara rinci tentang obat psikotropika; (ii) 
semua pelaku penyalahgunaan psikotropika dapat dijerat; dan (iii) adanya hukuman yang 
cukup berat yang diharapkan pelaku menjadi jera sehingga mengurangi kuantitas pelaku 
penyalahgunaan psikotropika.
 3.7.1.2 Politik Hukum Pidana Mati dalam UU No 5 Tahun 1997 tentang 
Psikotropika
Pemberlakuan pidana mati dalam masa Orde Baru dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang 
Narkotika yang diteruskan dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak 
terlepas dari konfigurasi politik hukum pidana yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru. 
Watak pemerintahan Orde Baru yang konservatif dan cenderung represif, menekan, 
dan intervensionis pada dasarnya menghasilkan suatu produk hukum yang cenderung 
represif dan otoriter. Tujuan utama produk hukum ini  adalah untuk memperbesar 
kekuasaan dan tujuan-tujuan subyektif dari pemegang kekuasaan.
Penggambaran politik hukum yang berlaku pada masa Orde Baru sesungguhnya sesuai 
dengan penggambaran politik hukum berlaku pada masa kolonial. Pada masa kolonial, 
perhatian dan pertimbangan pada keamanan daerah jajahan menjadi kunci utama dari 
pembentukan hukum pada masa itu.
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, Belanda yang telah menghapuskan pidana 
mati dalam KUHP sejak Tahun 1870 menyimpangi Asas Konkordansi yang menghasilkan 
KUHP sebagaimana yang berlaku di negara kita . beberapa alasan dipakai  sebagai 
pembenar mengapa penyimpangan ini dilakukan, yakni: (i) daerahnya luas dan terdiri dari 
berbagai suku bangsa, sehingga perlu adanya sanksi pidana yang menakutkan; (ii) jumlah 
polisi untuk wilayah yang begitu luas sangat terbatas, sehingga untuk menakut-nakuti 
diperlukan ancaman pidana mati; dan (iii) setelah Indonesia merdeka, pidana mati juga 
masih diperlukan dan dipandang relevan dengan alasan bahwa ancaman pidana mati itu 
diperlukan oleh suatu negara berkembang.
Pandangan yang dipakai Pemerintah Kolonial ini  hampir mirip dengan politik 
hukum pidana dalam UU Psikotropika. UU ini bermaksud untuk menakut-nakuti orang 
agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (generale 
prevantie) maupun menaku-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, 
agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie). Selain itu, UU ini 
juga bertujuan untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan 
suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat 
bagi warga .
Pidana mati dipandang sebagai jenis pidana yang tepat sebab  jenis pidana ini 
merupakan hukuman pidana yang terberat dari semua jenis hukuman pidana. Pidana 
mati dikemukakan hanya diancamkan kepada kejahatan-kejahatan yang amat berat saja 
yaitu perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain yang diserang dan perbuatan-
perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya besar atau memiliki  akibat-akibat yang 
berpengaruh besar terhadap perikehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang 
politik, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional.
Pada akhirnya efek jera dengan hukuman yang sangat berat, termasuk pidana mati, 
menjadi sasaran untuk mencapai tujuan dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1997 yaitu 
mengurangi kuantitas pelaku penyalahgunaan psikotropika. Dari temuan yang ada, 
ketentuan hukum yang ada sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1997 dipandang 
tidak membuat jera dan dapat mendidik pengedar dan adanya gejala hukuman yang 
dijatuhkan tidak sebanding dengan perbuatannya dibandingkan akibat yang diderita oleh 
korban. Dengan kata lain, sasaran dari pidana mati ini tidak hanya terhadap terpidana 

-- -- 
mati namun juga bagi terpidana yang tidak terkena vonis pidana mati. sebab  itu, 
pidana mati bertujuan sebagai penekan laju kriminalitas yang tinggi yang pada akhirnya 
warga  menjadi tentram dan aman.
Dalam perkembangannya, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika juga tidak 
memberi  dampak sebagaimana yang diharapkan dan UU ini dianggap sudah tidak lagi 
mampu untuk mengatasi peredaran gelap psikotropika di negara kita .  ini terlihat dari 
alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah ketika hendak memperbarui No. 5 Tahun 
1997 tentang Psikotropika. Pemerintah mengharapkan adanya sanksi yang lebih berat, 
dengan alasan: (i) tingkat bahaya dan perluasan/penyebaran psikotropika cenderung 
meningkat tajam; (ii) kerugian akibat penyalahgunaan psikotropika cenderung meningkat; 
(iii)  psikotropika lebih mudah diperoleh baik melalui apotek, toko-toko obat atau pasar-
pasar obat lainnya tanpa harus resep dokter; (iv) sanksi dalam UU ini tidak menimbulkan 
efek jera; dan (v) ketentuan sanksi pidana harus menyebutkan sanksi minimal, supaya   
tidak ada disparitas yang terlalu besar antara ancaman hukum dengan hukuman yang 
dijatuhkan dan sanksi maksimal pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.337 Selain 
itu, secara spesifik keinginan untuk mempertahankan pidana mati juga muncul terutama 
untuk pengedar disebabkan sebab  para pengedar dianggap mencari keuntungan 
dengan menyengsarakan orang lain, merugikan warga , dan masa depan bangsa dan 
negara. 
Dalam sejarahnya, pengaturan tentang penerbangan sipil sejalan dengan perkembangan 
dan migrasi manusia. Kondisi ini memicu perkembangan teknologi baru yang memudahkan 
perpindahan manusia dengan pemakaian  pesawat udara. Pioner penerbangan yang 
dikenal oleh umat manusia adalah Wright Bersaudara (Wright Brother) yang berhasil 
memulai penerbangan bertenaga dan terkontrol yang pertama di Kill Devil Hills, North 
Carolina, empat mil (8 km) selatan Kitty Hawk, North Carolina pada 17 Desember 1903.339 
Penerbangan perdana ini memicu lahirnya industri penerbangan komersial pertama kali 
dan pada pada 1914, seorang pengusaha bernama Percival Fansler membuka layanan 
udara regular antara Tampa dan St. Petersburg.
Perkembangan ini  memicu munculnya perjanjian internasional pertama di bidang 
penerbangan internasional, yang dikenal sebagai Convention Relating to the Regulation 

of Aerial Navigation atau Konvensi Paris Tahun 1919. Perjanjian ini bertujuan untuk 
menangani seluruh seluk beluk yang terkait dengan navigasi udara internasional di antara 
negara-negara yang berbeda secara politik. Perjanjian ini mengakui beberapa prinsip 
penting, yaitu:
1. Setiap negara memiliki kedaulatan mutlak atas wilayah udara yang berada di 
wilayah dan perairannya. Oleh sebab  itu, sebuah negara berhak untuk menolak 
masuk dan mengatur penerbangan (baik asing maupun domestik) ke dalam dan 
melalui wilayah udaranya.
2. Setiap negara harus menerapkan peraturan wilayah udara secara sama dan tanpa 
perbedaan yang beroperasi di wilayah udara ini , dan membuat peraturan 
sedemikian rupa sehingga kedaulatan dan keamanannya dihormati sambil mem-
berikan kebebasan bergerak.
3. Pesawat yang dikontrak harus diperlakukan sama di mata hukum masing-masing 
negara.
4. Pesawat harus didaftarkan ke sebuah negara, dan mereka memiliki kewarganeg-
araan negara tempat mereka terdaftar.
Setelah Konvensi Paris 1919, muncul Pan American Convention on Commercial Aviation atau 
yang lebih dikenal sebagai Kovensi Havana Tahun 1928.343 Konvensi Havana mengatur 
secara eksklusif mengenai pesawat terbang pribadi dan menetapkan prinsip dasar dan 
peraturan untuk lalu lintas udara, dengan mengakui bahwa setiap negara memiliki 
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas wilayah udara di atas teritorinya. Konvensi 
ini juga memuat klausul yang memungkinkan perusahaan penerbangan milik Amerika 
Serikat  untuk mengoperasikan layanan dengan bebas di Amerika Utara dan Selatan.
Dengan semakin tumbuhnya industri penerbangan komersial yang beroperasi secara 
internasional pada 1920-an, ada kebutuhan untuk mengatur munculnya kasus-kasus 
kerusakan dan kehilangan kargo serta kasus-kasus kematian atau cedera yang diderita 
penumpang pesawat atau bahkan kerugian untuk keterlambatan dalam pengangkutan 
penumpang, barang bawaan, atau barang komersial. Untuk itu, muncul perjanjian 
internasional yang dikenal sebagai Convention for the Unification of Certain Rules relating 
to International Carriage by Air yang ditandatangani di Warsawa pada 1929 dan dikenal 
sebagai Konvensi Warsawa.
Ketiga konvensi ini lalu digantikan oleh Convention on International Civil Aviation ,Perjanjian internasional ini menjadi dasar bagi standar dan prosedur 
untuk penerbangan internasional secara damai yang bertujuan untuk pengembangan 
penerbangan sipil internasional dengan menjamin keselamatan penerbangan sipil 
internasional, pembangunan layanan transportasi udara berdasar persamaan 
kesempatan dan dioperasikan dengan baik dan ekonomis, dan menambah keselamatan 
dalam penerbangan internasional.345
Tak lama setelah disahkannya Konvensi Chicago 1944, terjadi kejadian perkelahian di 
dalam pesawat terbang yang dikenal dengan kasus USA v. Cordova. Kasus ini bermula 
dari perkelahian antara Cordova dan Santano sebab  kedua penumpang ini  mabuk. 
Machada, kapten pilot, berusaha  melerai perkelahian ini  namun Cordova tidak 
dapat dikendalikan dan menyerang Machada serta seorang pramugari bernama Santiago. 
Pesawat mengalami kemiringan dan hilang keseimbangan sebab  para penumpang 
berusaha melihat kejadian ini  dan berkumpul di bagian ekor pesawat. Pada saat 
peristiwa ini  terjadi, pesawat sedang dalam keadaan terbang di atas Samudra 
Atlantik. Di Pengadilan Distrik New York, Cordova dan Santano dibebaskan sebab  
hukum Amerika Serikat tidak dapat menjangkau kasus ini . Hakim berpendapat 
bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi sebab  perbuatan ini  terjadi di dalam 
pesawat dan di atas laut bebas, sebab  tidak dapat dipastikan pengadilan manakah yang 
berwenang untuk menghukum perbuatan ini .346
sebab  kejadian-kejadian yang membahayakan keselamatan penerbangan mulai marak, 
maka muncul 3 perjanjian internasional yang penting sebagai kelanjutan dari Konvesi 
Chicago yaitu:
1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft 1963 
(Konvensi Tokyo Tahun 1963)347;
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970 (Konvensi The 
Hague Tahun 1970)348; dan
3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation 
1971 (Konvensi Montreal Tahun 1971).
Dalam ketiga konvensi ini, pertumbuhan kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang terkait 

dengan penerbangan sipil juga berkembang. Dalam Konvensi Tokyo yang diatur adalah 
perbuatan yang di dalam pesawat udara.350 Dalam Konvensi The Hague yang jadi titik berat 
pengaturan adalah penguasaan pesawat udara,351 dan dalam Konvensi Montreal yang 
diatur adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan keselamatan penerbangan. 
Pasal 2 Konvensi The Hague dan Pasal 3 Konvensi Montreal telah meminta negara-negara 
peserta melakukan kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan yang diatur oleh Konvensi 
The Hague dan Konvens Montreal dengan ancaman pidana yang berat (severe penalties).

  Hukuman Mati dalam Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan 
terhadap Sarana Penerbangan
Dalam konteks negara kita , kejahatan penerbangan yang tercatat dalam konteks pembajakan 
pesawat udara terjadi pada 1972. Dalam penerbangan dari Surabaya menuju Jakarta, 
seorang pemuda bernama Hermawan mengancam pilot pesawat Merpati Nusantara 
Airlines untuk menerbangkan pesawat ke Jogjakarta dan dia dikabarkan membawa granat 
tangan dan meminta tebusan Rp. 1.000.000,00. Dalam kejadian ini , Hermawan 
ditembak mati oleh Pilot pada saat pesawat telah mendarat di Bandara Adi Sucipto, 
Jogjakarta.
Peristiwa ini memicu perdebatan, sebab  pada saat peristiwa itu terjadi pembajakan 
pesawat udara belum menjadi bagian dari hukum pidana nasional354 sebab  itu pada 
Tahun 1976, Pemerintah dan DPR meratifikasi Konvensi Tokyo, Konvensi The Hague, dan 
Konvensi Montreal melalui UU No. 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 
1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.
Pada saat itu pemerintah mengakui bahwa pengesahan ketiga konvensi itu akan menjadi 
dasar penyusunan peraturan nasional untuk pencegahan dan pemberantasan kejahatan 
penerbangan. Pengesahan ketiga konvensi ini  juga dilatar belakangi meningkatnya 
angka peristiwa kejahatan penerbangan dan kekhawatiran akan terjadinya kejahatan 
penerbangan juga dapat terjadi di Wilayah Negara Republik Indonesia ataupun terjadi 
terhadap warga negara/Subyek Hukum negara kita . Pemerintah mengakui perlunya 
pemidanaan yang berat terhadap kejahatan penerbangan, yang rupanya sesuai dengan 
pengaruh Pasal 2 Konvensi The Hague dan Pasal 3 Konvensi Montreal yang meminta agar 
ada ancaman pidana yang berat. 
Selepas pengesahan ketiga konvensi penting ini , pemerintah dan DPR lalu 

-- -- 
menyetujui UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal 
dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan 
Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan. beberapa 
hal pokok yang penting dalam UU ini, yaitu:357
1. Perluasan asas territorial (Pasal 3 KUHP) dan penambahan asas universalitas 
(Pasal 4 angka 4 KUHP).
2. Penambahan 3 ketentuan baru yaitu Pasal 95a, 95b, dan 95c.
3. Penambahan bab baru yaitu Bab XXIXA KUHP yang terdiri dari Pasal 479 a sampai 
dengan Pasal 479r.
 
Dalam suasana rezim orde baru yang konservatif dan represif, produk hukum yang 
dihasilkan juga akan menghasilkan ketentuan-ketentuan dengan semangat yang sama. 
Dalam konteks UU No. 4 Tahun 1976, pengaruh ketiga konvensi internasional yang meminta 
agar negara-negara peserta melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan 
yang diatur dalam ketiga konvensi ini  relatif mempengaruhi pembentukan UU No. 
4 Tahun 1976. 
Pengaruh ini  tidak hanya pengaruh dalam mengadopsi prinsip-prinsip atau kaidah 
hukum yang diatur dalam perjanjian internasional namun juga dari ancaman pidana yang 
diminta dalam perjanjian internasional ini . Pengaruh Pasal 2 Konvensi The Hague 
dan Pasal 3 Konvensi Montreal yang meminta agar ada ancaman pidana yang berat, 
terlihat dalam Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 1976 yang menyatakan “kejahatan 
penerbangan ini perlu diberikan ancaman pidana yang berat.” 
Dari sisi ancaman pidana yang berat, ancaman sanksi pidana dalam UU No. 4 Tahun 1976 
adalah pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara. Pidana kurungan dan 
denda tidak dirumuskan sebagai bagian dari ancaman pidana dalam UU ini disebab kan 
pada sangat berbahayanya perbuatan yang terkait dengan keselamatan penerbangan. 
UU No. 4 Tahun 1976 mengatur adanya pidana mati dalam kejahatan-kejahatan 
penerbangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 479 k dan Pasal 479 o.

-- -- 
Dalam konteks Indonesia terminologi “severe penalties” yang kemudian oleh Pemerintah 
dirumuskan dengan  frasa “ancaman pidana yang berat” sebagaimana dalam UU No 
4 Tahun 1976.361 Keterangan Pemerintah dalam pembentukan UU No. 4 Tahun 1976 
menyebut bahwa beratnya ancaman pidana ini sebab  perbuatan yang diatur dalam UU 
ini, yakni  gangguan terhadap keselamatan pesawat udara dan ketenangan dalam pesawat 
dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar dan langsung.362 Adanya pemberatan 
ancamanan pidana termasuk diadopsinya pidana mati sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 479k dan Pasal 479o KUHP, menurut pemerintah disebab kan bahaya yang besar 
yang tidak hanya mengakibatkan kerugian materil dan jiwa namun juga kepercayaan 
dunia internasional terhadap keamanan bandara.
 Keadilan Transisi: Momentum yang Terlewat dalam Pemajuan dan 
Penegakan HAM
Memasuki masa reformasi sejak tahun 1998, Indonesia dihadapkan pada era transisional 
dari rezim Orde Baru yang otoriter dan represif menuju pada era yang lebih demokratis. 
Periode transisional menuju demokrasi ini ditandai dengan berbagai agenda pembangunan 
supremasi hukum melalui reformasi hukum dan perlindungan HAM. Oleh sebab nya, 
periode ini sesungguhnya masa dimana pembangunan hukum dilakukan sejalan dengan 
prinsip-prinsip HAM, termasuk melakukan koreksi atas penghapusan hukuman mati 
sebagai bentuk koreksi dari warisan kebijakan dan perundang-undangan yang tidak 
sejalan dengan agenda demokrasi, rule of law dan perlindungan HAM warga negara. 
Kondisi transisional di Indonesia tidak terlepas dari konteks gerakan menuju era 
penghapusan hukuman mati (age of abolition) merupakan salah satu kecenderungan 
global yang paling signifikan dalam beberapa dekade terakhir.  Dalam era ini institusi 
yang dulunya yang tidak bermasalah, yang secara universal dianut, kemudian secara 
cepat beralih dianggap menjadi pelanggaran HAM yang dilarang secara universal. Dalam 
konteks perubahan yang demikian, penghapusan hukuman mati secara  de facto dan de 
jure bertepatan dengan pergeseran global menuju demokrasi, yang bertepatan dengan 
gelombang ketiga demokratisasi. 
 Keterangan Pemerintah mengenai RUU tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian den-
gan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana 
Penerbangan pada 2 Februari 1976, 
 Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Para Anggota DPR terhadap RUU tentang Perubahan dan Penambahan 
Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang – undangan Pidana Kejahatan 
Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan pada 2 Februari 1976. 
Relasi antara kebijakan hukuman mati dan transisi dapat disorot melalui keharusan utama 
transisi yang berpijak pada nila-nilai demokratisasi, negara berdasar hukum (rule of 
law), keamanan, dan keadilan transisional. ini berkaitan dengan erat dengan cara 
pemerintah baru memahami hukuman pidana.365  Keruntuhan rezim otoriter merupakan 
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap menurunnya pemakaian  hukuman 
mati di Asia juga dunia. Johnson mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan 
penurunan ini , yang meliputi: (1) kepemimpinan dari elit politik; (2) runtuhnya rezim 
otoritarian; (3) meningkatnya pembangunan ekonomi; dan (4) gerakan hak asasi manusia 
internasional. 
Keadilan transisional (transitional justice)367 telah muncul dalam dua dekade terakhir yang 
dibangun melalui pengalaman beberapa negara, terutama di Amerika Latin, Eropa Timur, 
dan Afrika, dalam rangka mengembangkan norma-norma baru di tingkat internasional, 
berdasar hak atas kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan. 
jika  diletakkan dalam konteks kemunculan pertama kali konsep ini yang bertepatan 
dengan momentum peletakan fondasi demokrasi baru setelah kediktatoran di Amerika 
Latin, maka konsepsi keadilan transisional utamanya berkaitan dengan HAM generasi 
pertama, yaitu pelanggaran hak-hak sipil dan politik.368 Secara khusus, berkaitan 
dengan  kejahatan berat seperti pembunuhan ekstrajudisial yang masif atau sistematis, 
penahanan sewenang-wenang, pemerkosaan, dan penyiksaan.369 Keadilan transisional 
saat ini beroperasi dalam banyak konteks yang sangat beragam dan berbeda dengan 
kasus klasik Amerika Latin dan Eropa Timur. Dengan demikian, banyak negara yang 
menerapkan keadilan transisional tidak hanya untuk menanggapi peristiwa ketika 
warga  menghadapi pelanggaran HAM lalu, namun mereka juga harus berdamai 
dengan perbedaan etnis, agama, atau bahasa yang mungkin merupakan akar dari 
pelanggaran ini . 
Pelanggaran HAM yang seringkali sangat parah pada warga  transisi yang sedang 
Istilah  keadilan transisional untuk pertama kali diciptakan pada awal tahun 1990an. Sejak saat itu  istilah ini dipergunakan 
untuk menjelaskan perluasan mekanisme dan institusi yang terus berkembang, termasuk pengadilan, komisi kebenaran, 
proyek peringatan, pemulihan dan sejenisnya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, membenarkan martabat korban dan 
memberi  keadilan pada masa transisi. Istilah keadilan transisional  sebagai cara tertentu untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan 
memfasilitasi transisi politik ke demokrasi yang sedang berlangsung  pada saat itu di Amerika Latin dan Eropa Timur. Dengan 
demikian, pelanggaran tertentu yang ditangani adalah masalah sipil dan politik dan bukan ekonomi dan sosial, meskipun 
ketidaksetaraan ekonomi dan sosial ada dalam konteks seperti itu. 
--  --. usaha  memperbaiki 
praktik HAM di warga  transisi harus menjadi tujuan utama bagi reformis domestik 
dan warga  internasional. usaha  ini tidak hanya sebab  nilai intrinsik perlindungan 
HAM, namun  juga sebab  dampak tidak langsung yang terjadi pada demokratisasi, 
pembangunan ekonomi, dan resolusi konflik. Oleh sebab  itu, keadilan transisional 
merupakan tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang sistematis atau meluas dalam 
konteks perubahan suatu rezim.     
Keadilan transisional mengacu pada serangkaian tindakan yang dirancang dan 
diterapkan untuk memperbaiki warisan pelanggaran hak asasi manusia masif yang terjadi 
selama konflik bersenjata dan di bawah rezim otoriter yang terjadi pada masa lalu, dan 
memperbaiki pelanggaran ini , terutama memberi  kekuatan pada norma-norma 
HAM yang telah dilanggar secara sistematis. Penanda keadilan transisional  adalah 
adanya pergeseran yang khas dalam tatanan politik dan memeriksa usaha  negara untuk 
memperbaiki ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Hal 
ini ditegaskan oleh Ruti G. Teitel yang menyatakan penciptaan istilah keadilan transisional 
untuk menjelaskan konstruksi konsep sadar tentang konsep keadilan yang terkait dengan 
periode perubahan politik secara radikal di masa pemerintahan yang menindas. 
Perubahan politik semacam itu sangat terkait dengan pembangunan pasca-konflik di 
suatu negara dalam rangka mengkalkulasikan rasa mengenai keberadaan nilai-nilai 
kemanusiaan itu sendiri. Namun demikian, kecenderungan aspirasi akuntabilitas global 
semakin terendam dengan fokus pada perubahan rezim dan rekonstruksi konstitusional 
semata. Padahal dimensi berikutnya dari keadilan transisional berkaitan dengan 
perubahan kewajiban tradisional yang berbasis pada negara-sentris sebab  ada 
kepentingan dan aktor non-negara yang lebih luas baik dalam peran pelaku atau korban 
yang penting diakomodasi. Dimensi ini jelas terkait dengan globalisasi dan bangkitnya 
sektor swasta serta fenomena negara yang lemah. Seiring dengan kedua perubahan 
ini, maka perlu ada transformasi tambahan yang mengarah pada peran hukum dalam 


  Situasi ini merupakan fase global keadilan transisional.  Situasi ini merupakan fenomena yang kompleks, dengan sejum-
lah aspek yang berbeda.  Aspek pertama berkaitan dengan normalisasi keadilan transisional, yaitu, bergerak dari pemikiran 
tatanan ini sebagai bentuk keadilan untuk masa-masa yang luar biasa.  Aspek yang kedua berkaitan dengan adanya peruba-
han mendasar sebab  ada berbagai institusi, aktor dan tujuan yang lebih luas, di luar negara, dan tujuannya terlihat dengan 
pelaksanaan kekuatan hukuman. Pada saat yang bersamaan, pemaknaan terhadap keadilan transisional tidak terlepas dari 
adanya relasi yang dinamis antara peradilan, substansi normatif hukum, dan politik. Relasi ini mengubah proses pembuatan 
undang-undang secara signifikan dan peralihan pengaruh dari negara ke pelaku swasta.  berdasar situasi ini,  hukum  
terjerat dalam berbagai cara melalui kontestasi antara beberapa aktor, di luar negara, misalnya LSM, individu, perusahaan, 
dan warga . 
transformasi sebab  tujuan keadilan transisional menjadi lebih kompleks, tidak semata-
mata ditujukan untuk pembangunan negara atau liberalisasi pada umumnya, namun 
ada  serangkaian masalah yang berkaitan dengan konflik, termasuk masalah 
perdamaian manusia dan keamanan manusia. Namun demikian, perubahan ini tidak 
bekerja secara linier sebab  berpotensi memunculkan perpecahan dan konflik norma 
peraturan perundang-undangan, seperti nilai-nilai lain yang terkait dengan perlindungan 
berbagai kepentingan negara, orang perorang, dan warga .  
Keadilan transisional telah memperoleh pengakuan global sebagai istilah umum sebagai 
sebuah pendekatan dalam menghadapi masa lalu setelah terjadinya konflik kekerasan 
atau rezim diktator.377 Lebih jauh, keadilan transisional seringkali diletakkan sebagai garis 
terdepan strategi pembangunan negara-negara demokratis transnasional, memajukan 
negara berdasar hukum (rule of law), dan pembangunan perdamaian pascakonflik.378 
Dengan demikian, berbagai ukuran yang dipersyaratkan untuk membentuk pendekatan 
holistik terhadap keadilan transisional yaitu, elemen penyusun yang saling melengkapi, 
baik secara praktis maupun konseptual sebab  berusaha memberi pengakuan kepada 
korban, mendorong kepercayaan warga , dan mempromosikan kemungkinan 
terealisasikannya tatanan demokrasi.
Definisi keadilan transisional selalu terkait dengan periode perubahan politik yang ditandai 
melalui tanggapan hukum untuk menghadapi kesalahan rezim pendahulu yang represif 
memunculkan permasalahan.  ini menyiratkan suatu aliran periode yang ditentukan 
pasca negara mengalami transisi. Sementara itu, dalam praktik transisi mungkin mencakup 
beberapa dekade, dan mungkin berlangsung lebih lama untuk menanggapi beberapa 
masalah daripada masalah lainnya. Di samping itu, permasalahan mengartikulasikan 
apa yang dimaksud negara transisi, jika  suatu rezim pemerintah yang sama yang 
melakukan represi atau perang kemudian mengambil tindakan transisi, apakah negara 
ini  benar-benar mengalami transisi. Keadilan transisi yang mengistimewakan 
aspek-aspek hukum dengan menitikberatkan pada dimensi negara berdasar hukum 
dan  pengembangan legislasi yang berkaitan dengan masa lalu dapat dimaknai, definisi 
keadilan transisional sedikit menaruh perhatian pada peran pendidikan dan budaya dan 
keadilan distribusi (distributional Justice).it. Studi tentang keadilan transisional terkait erat dengan studi demokratisasi, bidang yang mempelajari tran-
sisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Studi demokratisasi berfokus pada proses transisi, sementara keadilan transi-
sional berfokus pada bagaimana tindakan yang diambil oleh pemerintah memperbaiki kekejaman  ketidakadilan di masa 
lalu. Keadilan transisional pada umumnya dipahami sebagai bagian dari studi transisi demokrasi. Sementara itu, Keadilan 
transisional adalah studi tentang bagaimana rezim otokratis, otoriter, atau totaliter beralih ke rezim yang lebih demokratis, 
dan bagaimana pemerintah penerus merespons kekejaman dan ketidakadilan rezim sebelumnya. 
Keadilan transisional yang hanya terkonsentrasi pada dimensi perubahan institusional 
sehingga mengabaikan perubahan budaya dan individu  justru akan berdampak pada 
perubahan  institusional  yang dituju. Oleh sebab  itu, intervensi budaya menjadi 
semakin penting dalam proses transisi ini . Dengan kata lain, menegasikan  dimensi 
budaya dan individual dari proses transisi justru semakin membatasi instrumen yang 
tersedia untuk melakukan perubahan sosial yang luas. Lebih jauh, proses transisi yang 
sukses pada akhirnya harus terefleksikan melalui perubahan pada tingkat pandangan 
individu, termasuk prinsip, disposisi, dan sikap yang relevan.382 Ketergantungan pada pola 
keadilan transisi membantu menjelaskan bagaimana mekanisme ini sering terhambat 
oleh norma dan praktik pra-transisi sehingga mengakibatkan institusi yang diniatkan 
untuk menguatkan proses keadilan transisional justru lemah.383 
Dalam konsepsi negara berdasar hukum dalam negara transisi, keharusan 
diskontinuitas dan ketergantungan normatif dengan warisan hukum rezim sebelumnya  
dengan harapan   akan  menghasilkan konsolidasi demokrasi, justru seringkali mengalahkan 
perlindungan nilai-nilai lain. Penyimpangan konsep legalitas konvensional dapat 
dibenarkan sejauh usaha  yang dilakukan ini  membantu memajukan pergeseran 
normatif antara rezim (the normative shift between regimes). ini juga ditegaskan oleh 
Catherine Turner  yang menyatakan bahwa hukum dalam transisi semestinya diletakkan 
sebagai tanda pergeseran mendasar dari gagasan legalitas, menerjemahkan prinsip-
prinsip transenden ke dalam hukum dan menyediakan model hukum yang lebih responsif 
yang secara langsung menangani keadilan.
  Keadilan transisional, dalam literatur dan praktik, mencerminkan bias institusional ini. Sementara dimensi budaya dan in-
dividu kemudian ditinggalkan dari proses keadilan transisional. ini memang tidak terlepas dari beberapa alasan berikut ini:
1. Langkah-langkah keadilan transisional diterapkan setelah terjadi peristiwa kebrutalan masa lalu.  Peristiwa ini menun-
jukkan tidak hanya ketidakmampuan institusi rezim pemerintah terdahulu untuk menjamin hak-hak dasar, namun juga 
menjelaskan perlunya lembaga baru atau reformasi institusional untuk mencegah pengulangan. Asal-usul keadilan tran-
sisional dalam pengaturan pasca rezim otoriter sebab  institusi yang ada tidak hanya tidak efektif dalam melindungi hak-
hak warga negara, di sisi lain sebenarnya bertanggung jawab atas mayoritas pelanggaran ini . Rasionalitas ini dapat 
membantu menjelaskan proses ini  difokuskan pada dimensi institusional;
2. Periode transisi sangat bersifat politis dalam kehidupan bangsa-bangsa.  Periode ini menjustifikasi renegosiasi kontrak 
sosial. ini berarti sebagian besar aktivitas politik diarahkan pada transformasi institusional.  
Kelemahan institusi ini tidak terlepas dari beberapa faktor. Pertama, mekanisme transisi biasanya akan tunduk pada desain 
kelembagaan yang cepat yang ditandai dengan pinjaman institusional atau dengan cara meniru bentuk praktik terbaik (iso-
morphic mimicry). Kedua, mekanisme keadilan transisional rentan terhadap lemahnya stabilitas dan/ atau lemahnya penega-
kan hukum sehingga mempengaruhi institusi formal lainnya. ini mendorong perencanaan jangka pendek dan kurangnya 
kerjasama antara berbagai aktor. Ketiga, penantang institusional ini akan menyebabkan pelemahan sebab  ada pemimpin 
pemerintah sering membiarkan institusi keadilan transisional tanpa dukungan politik atau finansial. Akhirnya, lembaga infor-
mal, seperti adanya hubungan patron-klien dan korupsi, akan merusak penerapan lembaga keadilan transisional. 
Promotion of  Truth, Justice, Reparation and Guarantees of Non-recurrence mengidentifikasi 
4 (empat) tujuan spesifik keadilan transisional, meliputi: (1) memberi  pengakuan 
kepada korban; (2) mendorong kepercayaan,  baik secara horizontal  secara vertikal; (3) 
berkontribusi terhadap rekonsiliasi sosial; dan (4) memperkuat negara berdasar atas 
hukum. 
Suatu warga  yang tengah berusaha  untuk menangani warisan pelanggaran berat 
terhadap HAM secara masif melalui usaha  menghadapi impunitas, mencari pemulihan 
yang efektif, dan mencegah keberulangan, merupakan bagian integral dari konsep 
keadilan transisional. Konteks suatu warga  yang mencoba untuk menangani 
warisan pelanggaran HAM masa lalu melalui keadilan transisional sangat bervariasi. 
Kontekstualisasi mencakup konflik yang terus berlanjut, transisi pasca-otoriter, transisi 
pasca-konflik, dan periode pasca-transisi. Faktor ini berkontribusi terhadap perbedaan 
kerapuhan kelembagaan dan politik serta pembangunan ekonomi dan sosial. Tujuan 
kebijakan yang luas dalam konteks seperti itu dapat mencakup promosi negara 
berdasar hukum, resolusi konflik, pembangunan perdamaian, pemulihan nama baik 
dan perlindungan hak asasi manusia, demokratisasi, pembangunan, dan perubahan 
sosial.
Keadilan transisional, baik sebagai istilah maupun konteks di mana warga  tengah 
menghadapi proses keadilan transisional biasanya berbeda tingkatan transisi ini . 
ini penting sebab  transisi menciptakan peluang untuk mengatasi ketidakadilan masa 
lalu, sementara pada saat bersamaan dapat mempertahankan kontinuitas dengan masa 
lalu yang menimbulkan hambatan mewujudkan keadilan transisional. Konteks negara 
mempengaruhi tujuan dan proses usaha  mewujudkan keadilan transisional yang pada 
gilirannya mempengaruhi tanggapan spesifik yang paling sesuai dan layak dilakukan 
sesuai dengan kontekstualitas yang dihadapi. Pada titik ini, proses ini  mengacu pada 
berbagai cara di mana gagasan dan gerakan berkembang, dipromosikan, dan disatukan 
dalam tuntutan akuntabilitas, pengakuan, dan reformasi setelah terjadinya pelanggaran 
hak asasi manusia  berat secara masif.387 Berkaitan hal ini, negara berkewajiban untuk 
menanggapi pelanggaran serius terhadap kemanusiaan internasional, hak asasi manusia, 
dan hukum pidana dengan cara yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda, termasuk 
selama konflik bersenjata dan di masa damai. Akuntabilitas, pengakuan, dan reformasi 
untuk pelanggaran semacam itu dapat dibenarkan sebagai kebijakan berbasis kewajiban 
negara dan hak (obligation and rights-based policy).
Pada titik ini, konteks transisi menjadi penting sebab  3 (tiga) alasan, berikut ini:389
1. Membuka peluang untuk menanggapi pelanggaran yang mungkin tidak 
mengemuka pada saat berada di bawah rezim otoriter atau selama konflik 
bersenjata;
2. Tanggapan ini  dapat memberi  kontribusi potensial terhadap tujuan 
tertentu, seperti pemulihan nama baik dan perlindungan hak asasi manusia, 
rekonsiliasi, demokratisasi, peraturan perundangan, atau pembangunan 
perdamaian. Tujuan ini  bergantung pada konteks transisi itu sendiri;
3. Pada saat bersamaan, sebuah transisi dapat menghadirkan batasan atau kendala 
yang spesifik, seperti politis, institusional, atau material. Peluang dan kendala yang  
mengemuka saat transisi mungkin lenyap dan mengalir dari waktu ke waktu.  
Dalam konteks perubahan rezim politik ini , pemimpin yang baru menggantikan 
pemimpin terdahulu sering ingin menghukum atau menetralisasi lembaga dan pemimpin 
rezim sebelumnya. Para pemimpin baru Dalam proses transisi ini , biasanya ingin 
membatasi diri dari praktik pendahulunya.390  Momentum transisi demokrasi memainkan 
peran penting dalam membentuk lintasan keadilan transisional di negara-negara 
demokrasi baru. ini berarti, negara-negara demokrasi pendatang baru (latecomer 
democracies) memiliki keuntungan untuk memilih kebijakan dari sekumpulan model, 
referensi, dan praktik-praktik keadilan transisi yang telah dilakukan banyak negara. 
Lebih jauh, Lars Waldorf menunjukkan meskipun banyak masalah yang terkait dengan 
istilah transisi, namun istilah ini berguna untuk menggambarkannya sebagai titik-titik 
kritis (critical junctures) yang melibatkan usaha  demokratisasi atau usaha  pembangunan 
perdamaian yang biasanya diprakarsai oleh momen hukum yang luar biasa. 
Pada titik ini, usaha  penghapusan hukuman mati pada dasarnya bisa cepat dan lugas, 
terutama jika  ada kemauan politik yang kuat atau momentum yang menguntungkan 
yang ditandai dengan perubahan dan kemajuan positif.393 ini sejalan dengan pandangan 
Eric Neumayer yang menyatakan bahwa faktor politik bukan satu-satunya faktor penentu 
penghapusan hukuman mati. Karakter dan doktrin agama tertentu dapat mempengaruhi 
penerapan hukuman mati di suatu negara sebab  dianggap sebagai bagian yang diterima 
secara kultural dari sistem pidana. Namun demikian, usaha  penghapusan hukuman mati 
terutama ditentukan oleh faktor politik. Bahkan faktor ini lebih penting secara substansial 

daripada faktor sosial atau budaya, termasuk faktor ekonomi (pendapatan per kapita).394 
Penekan senada juga disampaikan oleh Robert bahwa cara pandang terhadap   hak 
asasi manusia sebatas sebagai hukum semata-mata, justru menegasikan  basis dan 
pengandaian utama hak asasi manusia yakni politik itu sendiri. Politik dalam hak asasi 
manusia menjadi elemen penting dari bangunan logika fungsional hak asasi manusia 
itu sendiri. Robert mengidentifikasi prasyarat mendasar agar hak asasi dapat berfungsi 
sebagai HAM, yaitu: (1) secara norma HAM bersifat fundamental dan universal; (3) HAM 
berada dalam jaminan suatu institusi politik umum; (3) menjadi bagian dari sistem hukum 
institusi kenegaraan. 
Indonesia sebagai salah satu negara yang tengah mengalami transisi demokrasi, termasuk 
negara yang masih mempertahankan hukuman mati sebagai cara untuk menjalani 
transisi.  Momentum transisi keadilan di Indonesia pasca jatuhnya rezim Pemerintahan 
Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diasumsikan sebagai modalitas politik untuk memajukan 
dan menegakkan nilai-nilai universal hak asasi manusia justru dinegasikan dalam 
mereformasi sistem peradilan pidana. Arah politik hukum pidana justru menunjukkan ada 
deviasi dengan kecenderungan global untuk menghapus hukuman mati. Kecenderungan 
ini tidak terlepas dari paradoks demokrasi pasca kejatuhan rezim otoriter Orde Baru. 
Meskipun proses dan institusi demokrasi telah menghasilkan pergantian rezim, namun 
hukuman mati tetap menjadi pilihan ekspresi politik dan instrumentasi kekuasaan 
setiap rezim pemerintahan. usaha  untuk mempertahankan hukuman mati sebagai 
sanksi pidana untuk tindak pidana tertentu memperlihatkan politik hak asasi manusia 
belum berubah dari situasi rezim otoriter Orde Baru. Bahkan pasca reformasi, eksekusi 
terhadap para terpidana mati justru menunjukkan politik retensionis semakin menguat. 
Reformasi legislasi yang merupakan bagian dari agenda reformasi tidak menghilangkan 
hukuman mati dalam pidana pokok, meskipun di sisi yang lain sistem politik nampak lebih 
demokratis.
Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 
menyelenggarakan Sidang Istimewa pada November 1998. Salah satu hasil dari Sidang 
Istimewa ini  adalah Ketetapan MPR Nomor V MPR/1998 tentang Pokok-Pokok 
Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan 
Nasional sebagai Haluan Negara. Dalam Ketetapan MPR yang juga dikenal sebagai 
“GBHN Mini,’ ini dimuat beberapa arahan politik pembangunan hukum nasional yang 
bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, 
ketenangan, dan ketentraman warga . Di mana agenda-agenda pembaruan yang 
disepakati adalah sebagai berikut:396
1. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat 

dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh;
2. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana dan prasarana hukum yang lebih 
menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur 
kehidupan nasional;
3. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia 
melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh 
warga ;
4. Membentuk Undang-Undang tentang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai 
pengganti Undang-Undang Nomor 11 /PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Subversi yang akan dicabut.
Dalam hasil Sidang Istimewa MPR ini  salah satu poin yang penting untuk disebutkan 
terkait dengan pemantapan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi 
manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi warga . 
Sejalan dengan ini , produk hukum pertama mengenai jaminan hak hidup 
sebagai bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun diatur dalam 
Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan:397 
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati 
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi 
dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum 
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam 
keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Selain itu, MPR dalam sidang tahunan MPR pada 2000 telah menetapkan Perubahan 
Kedua UUD 1945 yang menetapkan hak hidup sebagai bagian dari hak konstitusional 
yang dijamin oleh UUD 1945. Rumusan hak hidup ini  dituangkan dalam Pasal 
28A UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan 
kehidupannya.” 
Yang penting untuk dicatat, hak hidup yang digariskan dalam Pasal 28 A dinyatakan 
sebagai bagian dari hak mutlak setiap orang dan termasuk dalam kategori non-derogable 
rights yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun seperti yang dirumuskan 
dalam Pasal 28 I ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran 
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi 
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah 
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Dengan pencantuman hak hidup dalam UUD 1945, maka hak hidup sebagai hak absolut 
397 Ketentuan lain yang terkait dengan jaminan hak hidup dapat ditemukan dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa: (1) Setiap 
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, 
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; dna (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
dan mutlak (non-derogable rights) menjadi hak konstitusional sebab  statusnya yang lebih 
tinggi dalam hierarki norma hukum. Implikasi hukum lebih lanjut dari konstitusionalitas 
hak hidup, maka segala kebijakan dan tindakan pemerintahan harus tunduk kepada 
ketentuan mengenai hak hidup. Pada saat yang bersamaan, tidak boleh ada lagi kebijakan 
yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan 
lainnya bertentangan dengan ketentuan hak hidup sebagai hak konstitusional. 398
Penekanan senada juga disampaikan oleh R. Herlambang Perdana Wiratraman 
yang menyatakan bahwa   adanya jaminan penikmatan hak-hak asasi manusia yang 
semakin meluas melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 merupakan kemajuan dalam 
membangun fondasi hukum bernegara untuk memperkuat kontrak sosial antara 
penguasa dengan rakyat dalam bingkai konstitusionalisme negara kita . Oleh sebab  itu, 
semangat konstitusionalisme ini harus mengedepankan 2 (dua) arah bangunan politik 
hukum konstitusinya. Pertama, pembatasan kekuasaaan agar tidak melakukan tindakan 
kesewenang-wenangan. Kedua, jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan 
hak-hak asasi manusia.399 Dengan demikian, seluruh produk hukum pasca pemuatan 
konstitusionalitas hak hidup sebagai non-derogable rights melalui Pasal 28I, tidak boleh 
bertentangan dengan norma konstitusi ini . 
Dengan adanya kedua instrumen yang telah mengatur tentang hak hidup seseorang 
sebagai hak yang absolut dan mutlak. Namun, peraturan perundang-undangan yang 
memuat pidana mati justru bertambah banyak pasca jatuhnya pemerintahan Presiden 
Soeharto.
Dalam konteks ini , motivasi setiap rezim pemerintahan untuk mencantumkan 
hukuman mati dalam produk legislasi dan menerapkan norma ini  dalam penegakan 
hukum pidana dapat diasumsikan berkaitan dengan kepentingan dan tujuan setiap rezim 
ini . Perbedaan motivasi yang melatarbelakangi produk legislasi dan penerapan 
norma hukuman mati dapat terlihat garis sejarah (historical timelines) berikut ini. 
Penerapan hukuman mati pada masa sebelum reformasi ditujukan terhadap pelaku-
pelaku kejahatan politik (subversi) seperti tertera pada Tabel di bawah ini: 

Tabel 3.5. Perbandingan Penerapan Hukuman Mati
Rezim Pemerintahan Motivasi
Presiden Soekarno Penerapan hukuman mati dilatarbelakangi peristiwa sejarah pem-
berontakan. Hukuman mati  ditujukan kepada para pemberontak RMS, 
DI/TII, dan PRRI.
Presiden Soeharto Hukuman mati dikenakan kepada orang-orang yang dituduh melaku-
kan kejahatan politik, pembunuhan, terorisme, dan narkotika.
Pada masa pasca reformasi 1998, hukuman mati tidak lagi ditimpakan kepada orang-
orang yang dituduh melakukan subversi. Demokrasi menjadikan tuduhan ini sulit diteri-
ma warga . Pada masa reformasi sebagian besar hukuman mati dijatuhkan kepada 
pelaku narkotika.402 Penerapan hukuman mati oleh setiap rezim pasca reformasi dan mo-
tivasi yang melatarbelakanginya dapat dilihat melalui Tabel di bawah ini:
Tabel 3.6 Perbandingan Penerapan Hukuman Mati Masa Reformasi
Rezim Pemerintahan Motivasi
Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono
Hukuman mati dikenakan pada pelaku kasus pembunuhan, terorisme, 
dan narkotika.
Presiden Joko Widodo Hukuman mati ditujukan bagi pelaku kejahatan narkotika dengan dalih 
kedaruratan kejahatan narkoba.
Hukuman mati ditujukan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
jika  melihat dalih ini  di atas, dalih pembenaran hukuman mati sebagai usaha  
memberi  dampak penggentar, seringkali dilandasi pembenaran dengan merujuk 
pada interpretasi budaya dan politik yang membutuhkan instrumen kontrol melalui 
kebijakan pidana. Dalih ini  sebenarnya tidak sejalan dengan temuan Hood 
and Hoyle yang mengemukakan bahwa terutama di antara faktor-faktor yang telah 
mendorong gelombang baru penghapusan hukuman mati ini sebagai sebuah gerakan 
politik. Gerakan politik untuk mengubah pertimbangan hukuman mati dari sebuah isu 
yang akan diputuskan semata-mata atau terutama sebagai aspek dari kebijakan peradilan 
pidana nasional menjadi   status pelanggaran mendasar HAM . Selain itu, dinamika baru 
ini juga menganut pandangan bahwa hukuman mati bukan sebagai masalah yang harus 
dinilai berdasar nilai budaya atau sosio-politik. Penyebaran norma-norma HAM  
internasional, tidak memungkinkan lagi dalih relativisme budaya atau kedaulatan nasional 
untuk mendefinisikan apa yang seharusnya dianggap sebagai hak universal, khususnya 
hak untuk hidup dan/atau hak untuk bebas dari perlakuan atau hukuman yang kejam, 
tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Lebih jauh, pendekatan hak 
asasi manusia menolak pembenaran hukuman mati, yaitu pembalasan dan keharusan 
untuk menebus tindak pidana yang telah menguncang warga negara.
 Pidana Mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi
Permasalahan korupsi merupakan salah satu masalah di Indonesia yang tak kunjung 
selesai. Dalam sejarahnya, Korupsi di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa VOC sampai 
31 Desember 1799 saat VOC dinyatakan bangkrut sebab  tak sanggup membayar utang 
sebab  para pengurusnya terlibat korupsi.405 Pada masa VOC, praktik membayar untuk 
mendapatkan kedudukan dan menutup biaya di luar gaji sudah menjadi jamak dilakukan. 
Tidak hanya pegawai rendahan VOC yang melakukan korupsi, namun telah sampai pada 
level pejabat tinggi di VOC. Alwi Shahab menggambarkan Gubernur Jenderal Van der 
Parra dikenal sebagai gubernur jenderal yang hidup paling mewah dan senang menunjuk 
keluarganya menduduki berbagai jabatan penting di VOC.
usaha  untuk memerangi korupsi di Hindia Belanda pada saat itu telah dilakukan. Tercatat 
Raja Louis Bonaparte yang memerintah Belanda pada 1806 – 1810 telah memberi  
tugas khusus kepada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels untuk membersihkan 
pemerintah Hindia Belanda dari korupsi yang ditinggalkan oleh VOC. Dalam memerangi 
korupsi, Daendels memilih melakukan reformasi birokrasi, di antaranya menempuh 
cara menghapuskan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa, melarang pejabat untuk 
mengeluarkan uang bekti, dan membangun jalan raya Trans Jawa. 
Memasuki masa-masa awal periode pasca kemerdekaan, pemberantasan korupsi 
juga terjadi. Saat itu cukup banyak pejabat tinggi yang diseret ke Pengadilan dengan 
tuduhan korupsi. Tercatat misalnya Mr. Djody Gondokusumo (Menteri Kehakiman), Iskaq 
Tjokrohadisurjo (Menteri Perekonomian), dan Jusuf Wibisono (Menteri Keuangan) adalah 
sederet pejabat pada awal pasca kemerdekaan yang dituduh melakukan korupsi. 
Pada 20 Agustus 1955, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap telah memprioritaskan 
403 Gerakan ini semakin menguat sebab  semakin banyak negara muncul dari represi totaliter dan kolonial mulai merangkul 
nilai-nilai  atas nama demokrasi dan kebebasan, untuk melindungi warga negara dari kekuasaan dan tirani negara.  Pendekatan HAM terhadap masalah hukuman mati ini tidak memiliki kekuatan politik seandainya tidak mendapatkan 
dukungan 2 (dua) entitas politik pascaperang, pertama Dewan Eropa (Council of Europe) dan Uni Eropa (European Union). 
Kedua entitas ini bertekad untuk menyebarkan tujuan dari penghapusan hukuman mati dari benua menuju dunia yang bebas 
dari hukuman mati  (goal from a  death penalty free continent to a death penalty free world). 
-- -- 
pemberantasan korupsi menjadi salah satu program kabinetnya untuk memulihkan 
kewibawaan serta kepercayaan rakyat dan tentara terhadap pemerintah.
Ketentuan tentang kejahatan korupsi pada masa sebelum Orde Baru, yang juga berlaku 
pada masa sebelum kemerdekan, merujuk pada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang 
diatur dalam KUHP. Setidaknya ada  15 Pasal dalam KUHP yang mengatur tentang 
tindak pidana korupsi. 
Tabel 3.7 Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP
No Pasal Ketentuan
1. Pasal 52 Bilamana seorang pejabat sebab  melakukan perbuatan pidana 
melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu 
melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau 
sarana yang diberikan kepadanya sebab  jabatannya, pidananya dapat 
ditambah sepertiga.”
2. Pasal 209 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan 
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang 
pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau 
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan 
kewajibannya;
2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat sebab  atau 
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, 
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak 
ini  dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan
3. Pasal 210 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang 
hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara 
yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang 
menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau 
adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk 
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diherikan berhubung 
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya   dalam 
perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam 
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 
(3) Pencabutan hak berdasar pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.

4. Pasal 387 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorang 
pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, 
yang pada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan 
bahan-bahan bangunan, melakukan sesuatu perhuatan curang yang 
dapat membahayakan amanan orang atau barang, atau keselamatan 
negara dalam keadaan perang. 
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas 
mengawasi pembangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja 
membiarkan perbuatan yang curang itu
5. Pasal 388  (1) Barang siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan 
Laut atau Angkatan Darat melakukan perbuatan curang yang dapat 
membahayakan kesempatan negara dalam keadaan perang diancam 
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas 
mengawasi penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan 
perbuatan yang curang itu
6. Pasal 415 Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu 
jabatan umum terus- menerus atau untuk sementara waktu, yang 
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan 
sebab  jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu 
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai 
pembantu dalam melakukan perbuatan ini , diancam dengan pidana 
penjara paling lama tujuh tahun. 
7. Pasal 416 Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu 
jabatan umum terus- menerus atau untuk sementara waktu, yang 
sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku buku-buku daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diancam dengan 
pidana penjara paling lama empat tahun. 
8. Pasal 417 Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu 
jabatan umum terus- menerus atau untuk sementara waktu yang 
sengaja menggelapkan, menghancurkan. merusakkan atau membikin 
tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna meyakinkan 
atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, 
surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasai nya sebab  jabatannya, atau 
memhiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan 
atau membikin tak dapat di pakai barang- barang itu, atau menolong 
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan 
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
9. Pasal 418 Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui 
atau sepatutnya harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan 
sebab  kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan 
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah 
atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana 
penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat 
ribu lima ratus rupiah. 
10. Pasal 419 Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat: 
l. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah 
atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya   melakukan atau 
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan 
kewajibannya; 
2. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan 
sebagai akibat atau oleh sebab  si penerima telah melakukan atau 
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan 
kewajibannya. 
11. Pasal 420 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun: 
1. Seorang hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal 
diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempen-
garuhi putusan perkara yang menjadi tugasnya; 
2. Barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk 
menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, me-
nerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau 
janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara 
yang harus diputus oleh pengadilan itu. 
(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau 
janji itu diberikan supaya   dipidana dalam suatu perkara pidana, maka 
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas 
tahun.
12. Pasal 423 Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang 
lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, 
memaksa seseorang untuk memberi  sesuatu, untuk membayar 
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan 
sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama 
enam tahun.
13. Pasal 425 Diancam sebab  melakukan pemerasan dengan pidana penjara paling 
lama tujuh tahun:
1. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, 
menerima, atau memotong pembayaran, seolah-olah berhutang 
kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal 
diketahuinya bahwa tidak demikian adanya; 
2. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta 
atau menerima pekerjaan orang atau penyerahan barang seolah olah 
merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa tidak 
demikian halnya; 
3. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, seolah olah 
sesuai dengan aturan- aturan yang bersangkutan telah menggunakan 
tanah negara yang di atasnya ada hak-hak pakai Indonesia dengan
merugikan yang berhak padahal diketahui nya bahwa itu bertentangan 
dengan peraturan ini . 
14. Pasal 426 (1) Seorang pejabat yang diberi tugas menjaga orang yang dirampas 
kemerdekaannya atas perintah penguasa umum atau atas putusan atau 
ketetapan pengadilan, dengan sengaja membiarkan orang itu melarikan 
diri atau dengan sengaja melepaskannya, atau memberi pertolongan 
pada waktu dilepas atau melepaskan diri., diancam dengan pidana 
penjara paling lama empat tahun. 
(2) Jika orang itu lari, dilepaskan, atau melepaskan diri sebab  kesalahan 
(kealpaan), maka yang bersangkutan diancam dengan pidana kurungan 
paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima 
ratus rupiah.
15. Pasal 435 Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja 
turut serta dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada 
saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan 
mengurus atau mengawasinya, diancam dengan pidana penjara paling 
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas ribu 
rupiah. 
Dalam pengaturan tindak pidana korupsi ini , tidak ditemukan bentuk pidana mati 
dan bentuk pidana yang tertinggi hanyalah ancaman pidana penjara. Ancaman pidana 
tertinggi ada  dalam Pasal 420 KUHP yang mengancamkan pidana 12 (dua belas) 
tahun penjara sebab  tindakan penyuapan pasif yang dilakukan terhadap Hakim dan 
Advokat. Sementara ancaman pidana yang terendah ada  dalam pasal 435 KUHP 
untuk perbuatan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan curang lainnya. 
Dengan pengaturan di KUHP yang demikian, Pemerintah berpandangan bahwa diperlukan 
pengaturan tersendiri mengingat korupsi yang sudah sedemikian sistemik sehingga 
memerlukan tindakan keras dan tegas terhadap korupsi. Dalam pandangan pemerintah, 
korupsi yang telah merajalela akan sangat merugikan rakyat dan negara.411 Pasca Pemilu 
1955, pemerintah merancang RUU yang memungkinkan pembentukan pengadilan 
yang terpisah untuk kasus korupsi yang akan dibentuk di Jakarta, Surabaya, Makassar, 
dan Medan. RUU ini juga akan menganut prinsip pembalikan beban pembuktian, dan 
penghapusan pembatasan terhadap wewenang Jaksa Agung agar dapat bertindak lebih 
leluasa. Namun, usaha  pembentukan UU ini tidak berhasil.
Seiring dengan memburuknya situasi politik, pada Bulan Maret 1957, Pemerintah 
mendeklarasikan “Negara dalam keadaan bahaya” yang memungkinkan militer masuk ke 
ranah sipil.413 Peraturan anti korupsi kemudian dikeluarkan oleh Penguasa Perang Militer. 
Pada Tahun 1957, ada tiga peraturan penguasa perang militer yang dikeluarkan untuk 
memberantas korupsi yaitu:
1. Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM-06/1957 tertanggal 9 April 1957;415 
2. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1957 tertanggal 27 Mei 1957; dan 
3. Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM-011/1957 tertanggal 1 Juli 1957.
Pada Tahun 1958, ketiga peraturan ini diganti dengan dua peraturan penguasa perang 
yaitu:
1. Peraturan Penguasa Perang Pusat (Kepala Staf Angkatan Darat Selaku Penguasa 
Perang Pusat Untuk Daerah Angkatan Darat) No.Prt/Peperpu/031/1958 tertanggal 
16 April 1958; dan 
2. Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut (Kepala Staf Angkatan Laut Selaku 
Penguasa Perang Pusat Laut) No.Z.1/I/7 tanggal 17 April 1958 tentang Pengu-
sutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan 
Harta Benda. 
Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Peperpu/031/1958 memiliki tujuan 
untuk lebih berfungsinya aturan hukum untuk pemberantasan korupsi. Peraturan ini 
disertai dengan kaidah atau norma yang tujuannya untuk menjaring koruptor dari jalur 
pemidanaan dan dari jalur keperdataan, serta dilengkapi dengan usaha  disediakannya 
daftar harta kekayaan pejabat sebagai instrumen preventifnya.416 
Sebelum berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soekarno, dikeluarkanlah Perppu No. 
24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 
Di dalam UU ini dijelaskan bahwa pemberantasan korupsi sejak 1958 adalah tindakan 
sementara waktu yang diperlukan agar dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi. 
Dengan dikeluarkannya Perppu No 24 Tahun 1960 pemerintah mengganggap cara-cara 
luar biasa tidak lagi diperlukan. Pada masa Perppu No 24 Tahun 1960, pidana mati 
belum diperkenalkan. Namun pidana paling tinggi yang dapat dijatuhkan adalah 12 tahun 
penjara untuk perbuatan korupsi dan suap.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Pemerintah mengeluarkan Keputusan 
Presiden No. 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Tim 
ini bertugas untuk membantu pemerintah dalam memberantas korupsi dengan cara 
 berdasar Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM-06/1957 tertanggal 9 April 1957, Istilah korupsi sebagai sebuah 
istilah hukum pertama kali dikenal, “Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-per-
buatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera mene-
tapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya”. Lihat 
Tumian Lian Daya Purba, Pemidanaan Sebagai Salah Satu Sarana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, 
represif dan preventif. Sejalan dengan itu, Pemerintah dan DPR kemudian membentuk 
UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini memperberat 
ancaman pidana yang ada dalam Perppu No 24 Tahun 1960 dengan alasan “kerugian dan 
bahaya yang ditimbulkan sebab  tindak pidana korupsi”. 
Untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi yang telah digariskan dalam UU 
No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beberapa turunan 
peraturan terkait dengan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi ini  juga diterbitkan, di antaranya adalah:
1. Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS; 
2. GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih 
dalam Pengelolaan Negara; 
3. GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka 
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, 
Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-
Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat 
Pelaksanaan Pembangunan; 
4. Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban; dan
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
 
  Kebijakan Legislasi Pemberantasan Korupsi Era Reformasi
Pada masa reformasi, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, agenda 
pemberantasan korupsi menjadi politik hukum dan merupakan bagian penting dalam 
agenda reformasi. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan Ketetapan MPR No 
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, 
dan Nepotisme. Ketetapan MPR ini secara tegas menyatakan bahwa telah terjadi praktik-
praktik kolusi yang merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dan dalam rangka 
rehabilitasi aspek kehidupan nasonal dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat 
dipercaya dan mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pada saat yang bersamaan juga muncul tekanan kuat untuk membuat kembali hukum 
pemberantasan korupsi dengan ancaman yang lebih berat. Salah satu tuntutan dan 
aspirasi warga  yang sangat kuat adalah hukuman mati dijatuhkan kepada para 
koruptor. warga  beranggapan bahwa hukuman mati merupakan usaha  dalam 
mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana 
korupsi.  Diakui secara meluas jika tindak pidana korupsi terjadi sebab  3 (tiga) hal, 
yaitu adanya tekanan, adanya kesempatan, dan adanya rasionalisasi sehingga perbuatan 
curang ini  dapat dianggap wajar. 
Keinginan dari warga  ini  lalu dijawab oleh pemerintah dan DPR dengan 
mengeluarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
Dalam UU ini dinyatakan dengan tegas bahwa korupsi sangat merugikan keuangan atau 
perekonomian negara dan menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan 
nasional yang menuntut efisiensi yang tinggi.425
berdasar UU No. 31 Tahun 1999 ini, untuk pertama kalinya, sejak peraturan 
pemberantasan korupsi dikeluarkan oleh pemerintah, pidana mati diancamkan untuk 
tindak pidana korupsi. Secara khusus, UU ini menentukan ancaman pidana mati 
dengan tujuan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih 
efektif.426 Dipilihnya pidana mati sebagai salah satu sarana kebijakan kriminal (kebijakan 
penanggulangan kejahatan) khususnya dalam menanggulangi korupsi di Indonesia 
melalui UU ini dianggap sebagai suatu kewajaran. Sebagai catatan, dengan ketentuan 
baru ini, UU No 31 Tahun 1999 merupakan UU Anti Korupsi yang paling keras dan berat 
di ASEAN.
Pidana mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 tahun 1999 yang menyatakan: 
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri 
sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara 
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau 
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun 
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan 
dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 memberi  penekanan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan 
jika perbuatan korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu’. Pengertian “keadaan tertentu 
adalah: 
“Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai 
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi jika  tindak pidana ini  
dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang 
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak 
pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Sebagai perbandingan, pengertian “keadaan tertentu” kemudian diperbarui melalui UU 
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi. Pengertian “keadaan tertentu” dalam UU ini  adalah: 
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang 
dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu 
jika  tindak pidana ini  dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan 
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan 
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, 
dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
Keadaan tertentu yang ada  dalam Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001 adalah suatu pilihan 
hukuman yang ada  pada Pasal 2 ini . ini didasari oleh keadaan-keadaan 
yang sedang terjadi pada saat korupsi itu berlangsung seperti, korupsi dana-dana 
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan kerusuhan 
sosial yang melaus, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan 
tindak pidana korupsi. Keadaan tertentu menjadi alasan pemberat dalam menjatuhkan 
hukuman mati bagi para koruptor, bila salah satu perbuatan dilakukan oleh koruptor.
Alasan keadaan tertentu yang ada  dalam Pasal 2 ini juga menjadi perdebatan di 
lingkungan para penggiatan HAM sebab  dinilai tidak efektif dalam mengurangi angka 
korupsi di negara kita . Selain itu syarat-syarat yang ada dalam keadaaan tertentu ini 
bisa dinilai tidak efektif sebab  harus memenuhi syaratnya, lalu bila ada oknum yang 
melakukan mega korupsi senilai triliunan rupiah sedangkan uang yang dikorupsinya itu 
bukan dari dana-dana yang seperti yang disebutkan dalam syarat-syarat keadaan tertentu 
atau pengulangan tindak pidana korupsi, maka pidana mati tidak bisa dijatuhkan kepada 
pelakunya. 
Seperti yang diungkapkan oleh peneliti ICW, Donal Fariz, mengatakan, penerapan hukuman 
mati tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga 
tidak perlu lagi ada payung hukum untuk mengatur ini . Namun demikian, 
untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor tidak serta merta diterapkan bilamana 
negara tidak dalam bencana atau krisis ekonomi. “Pemberlakuan hukuman mati dapat 
diberlakukan manakala negara dalam keadaan darurat bencana atau krisis ekonomi. 
Nah persoalannya, kondisi seperti itu kan tidak bisa dipaksakan. Makanya sifatnya hanya 
tertentu saja. 
dijatuhi hukuman mati, selain itu perlu juga memperhatikan pertimbangan hakim apakah 
perlu dijatuhkan hukuman mati atau tidak. Jadi peranan hakim juga berpengaruh dalam 
menjatuhkan hukuman mati yang ada dalam UU Tipikor ini. 
UU No. 31 Tahun 1999 diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU 
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembahasan 
perubahan UU No. 31 Tahun 1999, ada  satu fraksi di DPR yang menyinggung