hukuman mati 6

Jumat, 26 Januari 2024

hukuman mati 6





um 
yang sudah ada (termasuk pidana seumur hidup) kepada pelaku, dan pada saat yang 
bersamaan memastikan seluruh kebijakan yang telah ada untuk pemulihan korban 
dapat berjalan secara cepat, tepat dan mudah diakses oleh korban kekerasan seksual 
maupun keluarganya, termasuk dalam ini menghilangkan hambatan-hambatan 
yang selama ini dialami korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan.
Komnas wanita  juga menilai aturan hukum yang ada belum diterapkan secara 
maksimal sebab  adanya hambatan yang muncul dalam bentuk proses peradilan yang 
bias gender hingga praktik mafia hukum. Langkah yang mesti diambil adalah menjawab 
hambatan-hambatan ini , bukan menambah bentuk pidana baru.522 Komnas 
wanita  mendesak agar Pemerintah lebih memprioritaskan pembahasan RUU 
Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS). 

. Hukuman Mati dalam Melanggar UU No. 17 Tahun 2016  Konstitusi 
dan Hak Asasi Manusia  
Hukuman mati dalam UU No. 17 Tahun 2016 menimbulkan kembali pro dan kontra dalam 
pembentukan peraturan perundang-undangan di negara kita , khususnya jika dilihat dari 
sudut pandang landasan Pancasila, Konstitusi dan perlindungan HAM. Dari aspek filosofis, 
pembentukan Perppu telah menegasikan konstitusionalitas hak hidup sebagai hak yang 
tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 I 
ayat (1) UUD 1945. Pasal ini  mengkualifikasikan hak hidup sebagai hak yang tidak 
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights).523 Ketentuan ini pada 
dasarnya merupakan manifestasi dari Sila ke-2 Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang Adil 
dan Beradab”, sebagai prinsip yang mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai 
bagian dari kemanusiaan universal. 
Pada titik ini menjadi penting untuk meletakkan dan mengkontekstualisasikan Pancasila 
dalam realitas kecenderungan global yang menghendaki penghapusan hukuman mati. 
Kehendak dunia internasional untuk menghapus hukuman mati sebagaimana dinyatakan 
dalam ICCPR dan diperkuat melalui pengesahan Protokol Opsional ICCPR (Second Optional 
Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of 
the death penalty). Sampai saat ini sudah ada  84 negara pihak (parties) dan 38 negara 
yang penandatangan (signatories) perjanjian ini. Dengan demikian usaha  penghukuman 
mati sesuai dengan semangat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa raison d’etre 
kehadiran Indonesia adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar 
kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial. 
Kemudian jika  dilihat dari aspek sosiologis, alasan pembentukan Perppu ini tidak 
terpenuhi sebab  Pemerintah tidak dapat menunjukkan alasan kedaruratan kekerasan 
seksual terhadap anak. Pemerintah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap 
522 Fikrie, loc.cit.
523 Namun demikian argumentasi hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007 justru mereduksi 
makna hak hidup sebagai hak absolut sebab  berdasar penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia 
yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 
1945. 
anak di Indonesia telah masuk kategori kejahatan luar biasa, sehingga penangananan 
hukum atas perkara-perkara semacam itu juga harus luar biasa adalah argumentasi yang 
lemah. Vivi Widyawati, aktivis HAM menyebut, penerapan hukuman mati dan hukuman 
kebiri untuk para pelaku kejahatan seksual akan semakin membuat kondisi psikis korban 
memburuk.  Situasi ini tidak terlepas dari fakta empirik bahwa kasus kekerasan seksual 
yang kerap terjadi di negara kita , biasa dilakukan orang terdekat korban dan semakin 
membuat korban mempertimbangkan kembali untuk melaporkan pelaku. Agustinus 
Pohan, akademisi, juga menyatakan bahwa hukuman mati meskipun diniatkan oleh para 
pengusul dan penyusun Perppu untuk menimbulkan efek jera, meragukan efektivitas 
Perppu ini  untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak. Lebih jauh 
Agustinus Pohan menjelaskan, vonis ringan pengadilan yang justru menyebabkan 
pelaku, atau yang berpotensi melakukan pelanggaran sama sebab  mereka berpikir 
bahwa hukuman kejahatan kekerasan seksual memang ringan walaupun ancaman 
hukumannya sangat berat. 
Sementara dari aspek yuridis, kehadiran Perppu ini juga tidak memenuhi alasan 
pembentukan undang-undang sebab  UU No. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan 
Anak sudah mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, 
sehingga alasan kekosongan hukum tidak terpenuhi. 
Hukuman mati meskipun diniatkan oleh para pengusul dan penyusun Perppu untuk 
menimbulkan efek jera, namun Agustinus Pohan, akademisi Universitas Parahiyangan 
meragukan efektivitas Perppu ini  untuk menekan angka kekerasan seksual 
525 MTVN/OL-3, Hukuman Kebiri bukan Solusi, Media negara kita , 11 Mei 2016, <http://www.medianegara kita .com/index.php/
news/read/44795/hukuman-kebiri-bukan-solusi-1/2016-05-11>, diakses pada 9 Oktober 2017. 
526 Pernyataan Agustinus Pohan didukung data Tugas akhir mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 
Parahyangan, Intan Mutia Suswanti, menyimpulkan pemberatan hukuman tidak mengubah secara 
signifikan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual. Hakim lebih sering memberi  hukuman 
penjara dan jumlah denda minimal pada putusannya. Intan Mutia Suswanti membandingkan perk-
ara kekerasan seksual yang vonisnya menggunakan undang-undang tahun 2002 dan kasus serupa 
yang pelakunya dihukum memakai undang-undang tahun 2014. Semua perkara ini  dipilih 
secara acak dari seluruh wilayah Indonesia dan diukur menggunakan sepuluh variabel pemband-
ing, di antaranya tuntutan jaksa, lamanya hukuman penjara, jumlah denda, umur dan hubungan 
pelaku dengan korban, status ekonomi pelaku, hal yang meringankan sekaligus memberatkan da-
lam vonis, serta jenis kelamin hakim. Data menunjukkan, tidak pun pelaku dituntut jaksa dengan 
ancaman pidana maksimal 15 atau 20 tahun penjara. Selain itu, vonis hakim ditemukan kerap lebih 
rendah daripada tuntutan kejaksaan. Bahkan, putusan ringan dijatuhkan terhadap beberapa perk-
ara dengan pelaku keluarga atau orang terdekat korban yang menurut undang-undang seharusnya 
diancam dengan hukuman berat. Sebanyak 20 perkara yang disidangkan menggunakan UU No. 23 
Tahun 2002 hanya menghasilkan rata-rata tuntutan penjara 6 tahun 6 bulan dengan vonis 5 tahun. 
Kondisi serupa juga terjadi setelah penerbitan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014: dari 20 
perkara tahun lalu, rata-rata tuntutan hanya 8 tahun 6 bulan penjara dengan vonis 6 tahun. 
terhadap anak. Lebih jauh menurut Agustinus Pohan, vonis ringan pengadilan yang 
justru menyebabkan pelaku, atau yang berpotensi melakukan pelanggaran sama 
sebab  mereka berpikir bahwa hukuman kejahatan kekerasan seksual memang ringan 
walaupun ancaman hukumannya sangat berat. 
Dari aspek perlindungan HAM, pencantuman hukuman mati terhadap pelaku kekerasan 
seksual terhadap anak yang diatur dalam Perppu perlu dilihat dari perspektif hak asasi 
manusia untuk melihat kesesuaiannya dengan standar universal hak asasi manusia.  
Bahwa dasar hukum eksekusi berdasar hukum (judicial executions) dalam hukum 
internasional dapat ditemukan dalam Pasal 6 ICCPR yang membahas hak hidup. Paragraf 
2 memperkenalkan rumusan kejahatan paling serius. Di negara-negara yang belum 
menghapuskan hukuman mati, hukuman mati hanya dapat dikenakan untuk kejahatan 
paling serius (most serious crimes)  sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat 
pelaksanaan kejahatan ini . Perumusan Pasal 6 ICCPR terbuka untuk interpretasi 
yang luas. Gagasan tentang “keseriusan” dapat bervariasi sesuai dengan budaya 
nasional, agama, tradisi dan konteks politik. Namun, pendekatan relativis bermasalah 
sebab  berpotensi merongrong konsep prinsip normatif yang berlaku secara universal 
dalam hukum internasional. Dalam semangat universalitas, Pasal 6 ICCPR menetapkan 
arahan menuju penghapusan hukuman mati dengan menetapkan kewajiban negara 
untuk membatasi pemakaian nya secara progresif.
Pemerintah seharusnya melakukan langkah untuk segera melakukan pengesahkan 
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai satu 
langkah strategis untuk menurunkan kasus kekerasan seksual. Bahkan Perppu Kebiri ini 
tidak mengatur hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan sebab  terlalu 
fokus pada penanganan pelaku.530 Di samping itu, Pemerintah semestinya mengusaha kan 
langkah pencegahan pencegahan secara maksimal dengan cara memberi  rasa 
aman kepada wanita  dan anak. usaha  pemerintah yang selalu mengedepankan 
penghukuman kepada pelaku, namun abai terhadap korban menunjukan para perumus 
kebijakan belum berpihak pada korban. Perppu ini menunjukkan bahwa para perumus 
kebijakan tidak memproyeksikan pengalaman wanita , khususnya korban kekerasan 
seksual dalam produk legislasi. 
Menurut Kepala Divisi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI, Anugerah Rizki Akbari, pemerintah keliru dengan 
menganggap masalah pelecehan seksual terhadap anak bisa ditelan dengan ancaman hukuman berat. Pemerintah melupakan 
satu porsi yang penting, mestinya yang perlu diperhatikan perlindungan korban, yakni rehabilitasi. 
Pemerintah juga perlu melakukan berbagai usaha  reformasi legislasi untuk mencegah 
kekerasan terhadap wanita . Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita  
merekomendasikan agar Negara Pihak: (i) memastikan undang-undang yang menentang 
kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan, pemerkosaan, kekerasan seksual dan 
kekerasan berbasis gender lainnya memberi  perlindungan yang memadai bagi semua 
wanita , dan menghormati integritas dan martabat mereka; dan (ii) mengambil semua 
tindakan hukum dan tindakan lain yang diperlukan untuk memberi  perlindungan yang 
efektif bagi wanita  terhadap kekerasan berbasis gender, termasuk tindakan hukum 
yang efektif, termasuk sanksi pidana, pemulihan dan ketentuan kompensasi secara 
keperdataan untuk melindungi wanita  dari segala jenis kekerasan.531 berdasar 
rekomendasi ini , tindakan hukum yang efektif tidak hanya menekankan pada 
dimensi penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku, namun perlakuan kepada korban harus 
mendapatkan perhatian dari negara. ini juga diperkuat melalui Laporan Sekretaris 
Jendral PBB tentang intensifikasi usaha  untuk menghapus segala bentuk kekerasan 
terhadap wanita .
-- 
-
negara kita , sebagai anggota dari berbagai perjanjian internasional tentang Hak Asasi 
Manusia (HAM) memiliki  kewajiban internasional untuk melaksanakan berbagai 
ketentuan dalam berbagai perjanjian internasional HAM. Setidaknya Indonesia telah 
menjadi anggota pihak, melalui ratifikasi atau aksesi, lebih dari delapan perjanjian HAM 
internasional, di antaranya dua perjanjian internasional pokok HAM yakni the International 
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan the International Covenant on Economic, 
Social, and Cultural Rights (IESCR). Sebagai Negara Pihak dari ICCPR, Indonesia memiliki  
kewajiban untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam ICCPR dan 
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan 
perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak 
yang diakui dalam ICCPR ini .533 
Bagian ini akan membahas tentang kesesuaian (compatibility) legislasi di Indonesia terkait 
hukuman mati dengan norma-norma HAM sebagaimana diatur dalam hukum-hukum 
internasional tentang HAM.  Bagian ini juga akan membahas tentang beberapa konsep 
kunci terkait perdebatan tentang hukuman mati, di antaranya konsepsi tentang hak hidup 
(the rights to life), derogasi (derogation) dan pembatasan (limitations), konsepsi tentang 
kejahatan-kejahatan yang paling serius (the most serios crimes) dalam hukum internasional, 
serta penerapannya dalam legislasi di negara kita .  

Hak Asasi Manusia telah menjadi arus utama peradaban dunia. Pencapaian ini  
adalah puncak dari perjuangan kemanusiaan yang telah bersemi sejak awal peradaban 
manusia, baik pada tataran pemikiran maupun praktik kehidupan nasional. Pemikiran 
tentang HAM dapan dilacak sejak zaman Yunani kuno, baik dalam konteks sebagai tujuan 
dan orientasi utama kehidupan sosial bernegara, maupun sebagai hak untuk bebas dari 
penindasan.534
Di sisi lain, praktik pelanggaran HAM juga menjadi sisi suram dalam peradaban manusia 
itu sendiri, sebab  adanya peristiwa perang sipil maupun penindasan yang dilakukan oleh 
negara terhadap warganya. Pengalaman-pengalaman ini  memunculkan kesadaran 
umat manusia dan sekaligus pengakuan terhadap martabat manusia serta hak yang 
melekat pada setiap insan manusia sebagai dasar kebebasan, keadilan, dan perdamaian 
dunia.
Pengadopsian dan proklamasi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 10 
Desember 1948 oleh Majelis Umum PBB adalah puncak pengakuan terhadap HAM 
sebagai standar bersama perlindungan dan pemajuan HAM bagi setiap orang dan setiap 
negara (as common standard achievement for all people and nations). Walaupun dokumen 
ini  tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) namun  merupakan dasar 
utama dalam perlindungan dan pemajuan HAM, serta menjadi dasar bagi dokumen HAM 
lain yang memiliki kekuatan hukum mengikat seperti ICCPR dan IESCR, serta berbagai 
perjanjian internasional HAM lainnya. 
Konsepsi dasar HAM adalah pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama 
dalam hal hak dan martabatnya. berdasar Pasal 1 UDHR, semua manusia dikarunai 
akal budi dan hati nurani untuk saling berhubungan dalam semangat persaudaraan. 
Konsepsi dasar itu melahirkan tiga prinsip tentang keberadaan HAM. Pertama, HAM 
bersifat universal, yang melekat pada diri setiap manusia tanpa memandang perbedaan 
etnis, ras, gender, usia, agama, keyakinan politik, maupun pandangan politik. Kedua, 
HAM tidak dapat dibantah sebab  bukan merupakan pemberian negara sehingga tidak 
dapat dihilangkan atau ditolak oleh otoritas politik apapun. Ketiga, HAM bersifat subjektif 
yang dimiliki secara individual sebab  kapasitasnya sebagai manusia yang rasional dan 
otonom.535
Salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh negara adalah membentuk dan menegakkan 
hukum. Dengan sendirinya hukum juga harus dibuat dan ditegakkan dengan orientasi 
utama untuk memberi  perlindungan HAM. Hukum inilah yang akan menjadi dasar 
legitimasi dari setiap tindakan yang dilakukan oleh negara.

Pembatasan (limitations) dan pengurangan/penundaan pemenuhan HAM yang 
diperbolehkan (permissible restrictions)
Dalam konsepsi HAM dikenal adanya konsep pembatasan dan pengurangan atau 
penundaan pemenuhan HAM yang diperbolehkan. Dia ntara pembatasan ini , 
dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR: 
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such 
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition 
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirement 
of morality, public order, and the general welfare in a domestic society.”
(Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus 
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang 
yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang 
tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi 
syarat-syarat moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum dalam suatu 
warga  yang demokratis.)
Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR ini  menunjukkan bahwa pembatasan 
dapat dilakukan sebagai usaha  untuk menyeimbangkan antara hak individu dengan 
kepentingan publik. Pembatasan diperlukan semata-mata agar hak dan kebebasan orang 
lain juga dapat dilindungi dan dipenuhi. Sesuai dengan sifatnya yang ‘membatasi’ maka 
ketentuan pembatasan ini tidak sama sekali menghilangkan hak yang dibatasi ini . 
Pembatasan ini  hanya boleh dilakukan berdasar UU dan ditujukan untuk 
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain, sesuai dengan 
moralitas, ketertiban umum, dan syarat-syarat untuk kesejahteraan umum dalam suatu 
warga  yang demokratis. 
Ketentuan-ketentuan pembatasan yang diperbolehkan lainnya dapat ditemui dalam 
beberapa pasal di ICCPR. Pasal 18 ayat (3) ICCPR menyatakan bahwa pelaksanaan 
(manifestasi) kebebasan beragama hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasar 
UU dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral 
warga , atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Demikian pula dengan 
Pasal 19 ayat (3) ICCPR yang memperbolehkan pembatasan atas hak untuk menyampaikan 
pendapat dengan syarat bahwa pembatasan ini  dilakukan berdasar UU 
sepanjang diperlukan untuk menghormati reputasi orang lain dan untuk melindungi 
keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum.536 Pembatasan yang 
lebih umum ada  dalam Pasal 20 ICCPR yang menyatakan bahwa segala propaganda 
untuk perang harus dilarang oleh hukum dan segala tindakan yang menganjurkan 
kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk 

melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, harus dilarang oleh hukum.
Selain konsep pembatasan, dikenal juga konsep derogasi (derogation) yang dapat diartikan 
sebagai pengurangan atau penundaan. Suatu hak yang di-derogasi bukan berarti tidak 
dipenuhi sama sekali. Oleh sebab  itu derogasi, hanya dapat dilakuan untuk batas waktu 
tertentu dan dengan mekanisme yang ketat, yang biasanya hanya dapat dilakukan pada 
kondisi darurat (state of emergency).537 Setelah kondisi ini  berakhir, tindakan derogasi 
harus segera dihentikan.
Dapat dikatakan bahwa pembatasan dapat diberlakukan terhadap semua beberapa hak 
dan kebebasan, kecuali jika  pembatasan ini  dapat mencabut hak ini  secara 
total, atau dengan kata lain pembatasan ini  sekaligus mengakibatkan derogasi. 
Derogasi juga dapat dilakukan terhadap semua hak, kecuali terhadap hak tertentu yang 
dinyatakan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Pasal 4 
ICCPR menyatakan: 
1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, 
yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat 
mengambil langkah-langkah yang mengurangi2 kewajiban-kewajiban mereka 
berdasar Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi 
darurat ini , sepanjang langkah-langkah ini  tidak bertentangan dengan 
kewajiban-kewajiban lainnya berdasar hukum internasional dan tidak 
mengandung diskriminasi semata-mata berdasar atas ras, warna kulit, jenis 
kelamin, bahasa, agama atau asalusul sosial. 
2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 
sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasar ketentuan ini.
3. Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan 
pengurangan ini  harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara 
Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa, mengenai ketentuan- ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-
alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui 
perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan ini .
Hak yang termasuk ke dalam kategori non-derogable rights adalah hak yang bersifat 
mendasar dan prinsipil bagi kemanusiaan. Hak ini  tidak dapat dilanggar bahkan 
pada saat kehidupan bernegara sedang terancam. Jika hak-hak ini  di-derogasi, 
maka akan merendahkan martabat manusia dan bahkan menghilangkan hakikat diri 
sebagai manusia yang tidak dapat dikembalikan lagi dalam keadaan biasa. Oleh sebab  
itu, hak yang termasuk dalam non-derogable rights secara otomatis tidak tunduk pada 

pembatasan. Terhadap hak yang dikategorikan sebagai non-derogable rights ini ada yang 
mengklasifikasikan sebagai inti dari HAM dan menjadi puncak hierarki dalam tatanan 
hukum internasional. 
Hak Hidup (Right to life) 
Hak hidup (right to life) merupakan bagian dari non-derogable rights. Hak ini, sebagaimana 
diuraikan dalam Bab II, telah dinyatakan dalam berbagai hukum HAM internasional. Hak 
hidup diakui dalam Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa: “Everyone has the right to life, 
liberty, and security of persons.” Menurut Eleanor Rooselvelt dan Rene Casin, dua di antara 
perumus UDHR, hak untuk hidup tidak mengenal pengecualian dan tujuan perumusan 
hak itu adalah agar kelak hukuman mati dapat dihapuskan. 
Pengaturan hak untuk hidup sebagai non-derogable right ada  dalam ICCPR. Pasal 4 
ayat (2) ICCPR secara spesifik menyebut bahwa ketentuan Pasal 6 ICCPR yang mengatur 
tentang hak hidup,  sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 
Komite HAM PBB (United Nations Human Rights Committee)540 juga menegaskan bahwa 
hak untuk hidup adalah ‘the supreme right’ di mana pengurangan kewajiban (derogation) 
terhadap hak ini tidak diizinkan, meskipun dalam keadaan darurat. Menyadari bahwa 
hak untuk hidup merupakan bagian dari non-derogable rights serta hukuman mati tidak 
dapat sekaligus menghilangkan kejahatan, warga  internasional juga menyepakati 
untuk mengadopsi Second Optional Protocol of ICCPR aiming of the Abolition of Death Penalty 
pada 1990. Protokol Opsional ini secara tegas menyatakan pelarangan terhadap praktik 
hukuman mati.  
ada  beberapa instrumen hukum internasional yang melarang praktik hukuman mati 
sebagaimana tercantum dalam Tabel berikut: 

-- 
-
3. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of the 
Abolition of Death Penalty 1990
Intsrumen ini secara 
khusus bertujuan untuk 
penghapusan hukuman 
mati
Hingga saat ini tercatat 
50 negara telah 
meratifikasi
4. Protocol No. 6 of the European Convention for the 
Protection of Human Rights and Fundamental 
Freedoms 1985
Instrumen ini bertujuan 
untuk penghapusan 
hukuman mati di 
kawasan Eropa.
5. The Rome Statute of International Criminal Court 
1998
Instrumen ini tidak 
mencantumkan hukuman 
mati sebagai salah satu 
bentuk penghukuman. 
Hingga saat ini tercatat 
94 negara telah 
meratifikasi.
Jaminan atas hak untuk hidup diatur dalam  Pasal 6 ICCPR, yang menyatakan: 
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by 
law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may 
be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force 
at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of 
the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment 
of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final 
judgement rendered by a competent court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that 
nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to 
derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the 
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of 
the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be 
granted in all cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below 
eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital 
punishment by any State Party to the present Covenant.
 Terjemahan Pasal 6 ICCPR: 
1. Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib 
dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara 
sewenang-wenang.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman 
mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius 
sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan ini , dan 
tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan 
dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas 
dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. jika  suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus 
dipahami, bahwa tidak satu pun dalam pasal ini yang memberi  kewenangan 
pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban 
apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan 
dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon 
pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau 
penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh 
seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan 
terhadap wanita  yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau 
mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam 
Kovenan ini.
Perumusan dalam Pasal 6 aya (1) ICCPR menegaskan bahwa hak hidup merupakan  hak 
yang melekat pada setiap orang dan hak ini harus dilindungi  oleh hukum. Semangat dalam 
Pasal 6 ICCPR adalah menghendaki dihapuskannya hukuman mati, namun ICCPR masih 
memperbolehkan dilakukannya hukuman mati dengan memberi  batasan-batasan 
yang sangat ketat dalam penerapannya. Oleh sebab nya, pengaturan dalam Pasal 6 ICCPR 
juga dianggap bahwa hukuman mati tidak sesuai (incompatible) dengan hak untuk hidup. 
ini terlihat dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR dengan adanya frasa “…in countries which 
have not abolished the death penalty…”, yang sesungguhnya menunjukan bahwa hukuman 
mati bertentangan dengan hak hidup yang ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan 
diharapkan hukuman mati akan dihapuskan berdasar penegasan hak itu. Hanya saja, 
untuk negara-negara yang pada saat ICCPR diberlakukan masih menerapkan hukuman 
mati, pelaksanaanya harus dilakukan secara terbatas dan ketat dengan syarat tertentu 
sebagai langkah awal untuk penghapusannya. Selain itu, bahwa maksud Pasal 6 ICCPR 
adalah mengarah pada penghapusan hukuman mati, yang terlihat dalam ayat (6) yang 
menyatakan “Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of 
capital punishment by any State Party to the present Covenant.” Dengan demikian, hukuman 
mati harus dihapuskan dan Pasal 6 ayat (2) ICCPR ini  tidak dapat dijadikan alasan 
untuk menunda penghapusan hukuman mati.
Sebagai kelanjutan untuk menghapus hukuman mati, PBB kemudian mengesahkan 
Second Optional Protocol of ICCPR aiming of the Abolition of Death Penalty 1990. Protokol 
178 179
-- 
-
ini  bertujuan untuk menghapus hukuman mati dalam keadaan apapun, baik dalam masa 
damai maupun dalam masa perang. Bagian konsiderans Protokol menyatakan “Noting 
that article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights refers to abolition of 
the death penalty in terms that strongly suggest that abolition is desirable” (Memerhatikan 
bahwa Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ditujukan 
pada penghapusan hukuman mati dalam pengertian yang sangat jelas menghendaki 
terwujudnya penghapusan hukuman mati).
Kehendak untuk menghapus hukuman mati juga tercermin pada Paragraf 6 Komentar 
Umum No. 6 untuk Pasal 6 ICCPR542 yang diterbitkan oleh Komite HAM PBB. Paragraf 6 
Komentar Umum menyatakan “The article also refers generally to abolition in terms which 
strongly suggest [paras. 2 (2) and (6)] that abolition is desirable. The Committee concludes that 
all measures of abolition should be considered as progress in the enjoyment of the right to 
life…”. Artinya, Pasal 6 ICCPR secara umum ditujukan pada abolisi (penghapusan) dalam 
pengertian yang sangat jelas, yakni menghendaki terwujudnya penghapusan hukuman 
mati. Komite menyimpulkan bahwa semua usaha  abolisi harus dianggap sebagai 
kemajuan dalam penghormatan terhadap hak untuk hidup.
Komite HAM dalam membahas kasus Roger Judge v. Canada543 terkait dengan penerapan 
Pasal 6 ICCPR menyatakan bahwa hukuman mati tidak diperkenankan. Hukuman mati 
termasuk pengurangan ‘sewenang-wenang’ atas hak untuk hidup. sebab  adanya Pasal 
6 Ayat (2), Komite HAM menyatakan bahwa negara-negara yang belum menghapus 
hukuman mati boleh terus mempraktikkan hukuman mati namun harus sejalan dengan/
mematuhi pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dalam ketentuan ini . Namun, 
negara-negara yang telah menghapus hukuman mati tidak dapat lagi memanfaatkan 
Pasal ayat (2), dan juga tidak boleh berkontribusi lagi terhadap terjadinya hukuman mati, 
misalnya dengan mengekstradisi orang ke negara yang mungkin menerapkan hukuman 
mati. 
Komite HAM menyatakan beberapa pandangan dalam kasus ini , di antaranya:  
10.4 Untuk menilai penerapan pasal 6, Komite menyadari bahwa, sebagaimana diatur 
oleh Konvensi Wina tentang Hukum Traktat (Vienna Convention on the Law of Treaties), 
suatu traktat (treaty) harus ditafsirkan berdasar iktikad baik dan istilah-istilahnya 
harus ditafsirkan sesuai dengan arti/makna biasa istilah ini  dalam konteks 
traktat (treaty) ini  serta harus sejalan dengan maksud dan tujuannya. Pasal 6 
ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat 
pada dirinya”, adalah sebuah ketentuan umum: tujuannya adalah untuk melindungi 
kehidupan. Negara-negara pihak yang telah menghapus hukuman mati diwajibkan 
ayat ini untuk melindungi kehidupan dalam segala keadaan sebagaimana dikehendaki 
542  Komite HAM PBB, General Comment No. 6…, op.cit., para 6.  
543  Komite HAM PBB, Roger Judge v. Canada, CCPR/C/78/D/829/1998, 13 Agustus 2003. 
ayat ini. Ayat 2 hingga Ayat 6 jelas dimasukkan untuk mencegah pembacaan Ayat 1 
sebagai penghapusan hukuman mati. Konstruksi pasal ini diperkuat oleh kata-kata 
pembuka Ayat 2 (Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati) dan 
oleh Ayat 6 (tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda 
atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi Pihak dalam 
Kovenan ini). Sebagai akibatnya, Ayat 2 hingga Ayat 6 memiliki fungsi ganda, yakni 
membuat hukuman mati sebagai pengecualian atas hak untuk hidup sekaligus 
menciptakan pembatasan bagi pemberlakuan pengecualian ini . Pengecualian 
ini  hanya dapat diberlakukan pada hukuman mati yang dijatuhkan ketika 
unsur-unsur tertentu terpenuhi. Di antara pembatasan-pembatasan dimaksud adalah 
apa yang bisa dilihat pada kata-kata pembuka Ayat 2, yakni bahwa hanya negara-
negara pihak yang “belum menghapus hukuman mati” yang dapat memanfaatkan 
pengecualian-pengecualian yang diberikan oleh Ayat 2 hingga Ayat 6 ini. Untuk 
negara-negara yang telah menghapus hukuman mati, mereka berkewajiban untuk 
tidak menghadapkan orang pada kemungkinan ancaman hukuman mati. Dengan 
demikian, mereka tidak boleh mengeluarkan orang dari yurisdiksi mereka, baik dengan 
cara deportasi maupun dengan cara ekstradisi, jika  ada  kemungkinan bahwa 
di sana orang ini  akan dihukum mati, tanpa mendapatkan jaminan bahwa 
hukuman mati tidak akan diterapkan terhadap orang itu.
10.5 Komite menyadari bahwa dengan menafsirkan Ayat 1 dan Ayat 2 dari Pasal 6 
dengan cara seperti itu, negara pihak yang abolisionis (negara pihak yang telah 
menghapus hukuman mati dan negara pihak yang retensionis (negara pihak yang 
masih mempertahankan hukuman mati) diperlakukan secara berbeda. Namun 
Komisi memandang bahwa ini merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan 
dari redaksional ketentuan itu sendiri, yang, sebagaimana terungkap dari Travaux 
Preparatoires-nya, memang bermaksud mendamaikan pandangan-pandangan yang 
saling bertolak belakang mengenai hukuman mati dalam usaha  mencari kompromi 
di antara para pembuat ketentuan ini . Komite menyadari bahwa di dalam 
Travaux ini  dinyatakan bahwa, di satu sisi, penghapusan hukuman mati 
haruslah menjadi salah satu prinsip utama Kovenan ini , akan namun  di sisi lain, 
diungkapkan kenyataan bahwa hukuman mati berlaku di negara-negara tertentu dan 
dengan demikian penghapusan hukuman mati akan menimbulkan kesulitan bagi 
negara-negara ini . Hukuman mati dipandang banyak delegator dan badan yang 
terlibat dalam proses drafting sebagai sebuah “anomali” atau sebuah “neccesary evil”. 
Oleh sebab  itu, logislah kiranya jika peraturan yang terkandung dalam Pasal 6 Ayat 
1 ditafsirkan secara luas, sedangkan Ayat 2, yang berbicara tentang hukuman mati, 
harus ditafsirkan secara sempit.
10.6 berdasar alasan-alasan di atas, Komite menilai bahwa Kanada, sebagai 
negara pihak yang telah menghapus hukuman mati, terlepas dari apakah ia telah 
180 181
-- 
-
meratifikasi Protokol opsional Kedua terhadap Kovenan yang Bertujuan Menghapus 
Hukuman Mati (Second Optional Protocol to the Covenant Aiming at the Abolition of the 
Death Penalty) telah melanggar hak untuk hidup sang pelaku yang dijamin oleh Pasal 
6 Ayat 1, dengan mendeportasikannya ke Amerika Serikat, di mana ia dihadapkan 
pada ancaman hukuman mati, tanpa terlebih dahulu mendapatkan jaminan bahwa 
hukuman mati tidak akan diberlakukan. Komite menyadari bahwa Kanada memang 
tidak menerapkan sendiri hukuman mati terhadap sang pelaku. Akan namun , dengan 
mendeportasikannya ke suatu negara di mana ia dihadapkan pada ancaman hukuman 
mati, Kanada menciptakan suatu hubungan krusial dalam mata rantai hubungan 
kausal yang memungkinkan dieksekusinya sang pelaku.544
Keputusan Komite HAM ini  diambil secara bulat (unanimous). Dengan demikian, 
Komite HAM yang beranggotakan delapan belas ahli internasional yang ditugasi 
melakukan penafsiran atas ICCPR ini  berpandangan bahwa Pasal 6 ayat (1), 
merupakan suatu penegasan umum akan hak hidup yang secara garis besar sama dengan 
ketentuan sejenis di konstitusi banyak negara, termasuk konstitusi negara kita , yang 
melarang adanya hukuman mati. Hanya ketika hukuman mati dikecualikan secara tegas/
eksplisit, sebagaimana halnya Pasal 6 ayat (2), barulah hukuman mati dapat diterapkan. 
Namun demikian, ketentuan itu harus ditafsirkan secara sempit dan hanya berlaku bagi 
negara-negara yang belum menghapus hukuman mati. Dalam perkara Judge v. Canada 
ini , Komite HAM berpendapat bahwa bila Kanada terlibat dalam hukuman mati 
dengan cara mengekstradisi si pemohon ke sebuah negara di mana seseorang diancam 
dengan hukuman mati, maka Kanada telah melanggar Pasal 6 ICCPR sebab  Kanada telah 
menghapus hukuman mati.
Berbagai perkembangan hak hidup dan hubungannya dengan hukuman mati 
menunjukkan arah penghapusan hukuman mati. Semangat ini masih sejalan dengan 
semangat penghapusan hukuman mati sejak terbentuknya ICCPR. 
4.2.  Hak Hidup dalam Konstitusi Indonesia 
Hingga kini, Indonesia telah memberlakukan empat konstitusi yakni: (i) UUD 1945; (ii) 
UUD Republik Indonesia Serikat; (iii) UUDS 1950; dan (iv) UUD 1945 dengan perubahan I 
sampai dengan perubahan IV, sebagai Konstitusi yang berlaku saat ini.  Dalam sejarahnya 
perkembangan Konstitusi negara kita , hak hidup juga mewarnai pembahasan dalam 
pembentukan Konstitusi di negara kita . 
Dalam pembentukan UUD 1945, ada  sumber yang menggambarkan konsistensi 
Supomo (sebagai pihak yang diperkirakan telah menyusun rancangan UUD di 1942), 
544 Ibid. 
tentang pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak penduduk yang terdiri dari 74 pasal, 
di mana sebanyak 15 Pasal memuat rumusan tentang ‘Hak dan Kewajiban Penduduk’ (yang 
identik dengan Hak Asasi Manusia). Sebagai perbandingan, jumlah ketentuan ini  
dua kali lipat lebih banyak dari pada yang tercantum di UUD 1945.545 Namun demikian, 
pengaturan perlindungan HAM dalam UUD 1945 sangat minim dan bahasan mengenai 
jaminan hak hidup tidak tercantum dalam UUD 1945. 
ini berbeda dengan dengan UUD RIS dan UUDS 1950, yang penuh dengan rumusan 
hak-hak asasi manusia, di mana hampir keseluruhan rumusan dalam UDHR di adopsi 
dalam pasal-pasal Konstitusi.  Namun demikian rumusan secara eksplisit mengenai hak 
hidup tidak ditemukan dalam kedua UUD ini , namun  konstitusi menyebut pengakuan 
sebagai pribadi di hadapan UU dan ketentuan mengenai larangan untuk dihukum secara 
ganas yang tidak mengenal perikemanusiaan atau menghina. Rumusan Pasal 3 UDHR 
yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai 
individu”, tidak dicantumkan dalam UUD RIS dan UUDS 1950.      
Pembahasan mengenai hak hidup baru muncul dalam sidang Konstituante. Anggota 
Konstituante,  Asmara Hadi, secara lugas menunjuk larangan hukuman mati dalam 
Konstitusi (uraian mengenai konsep pemikirannya terkait hak hidup dan larangan 
hukuman mati dalam Konstitusi telah dipaparkan dalam bab sebelumnya). Asmara Hadi 
sempat memprotes atas hasil kerja tim perumus yang tidak mencantumkan usulannya 
terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan hukuman mati dalam Laporan Panitia 
Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29 
Selasa, 19 Agustus 1958.  Berikut kutipannya :
“Saudara Ketua, saya tidak akan mengadakan penilaian, namun  saya merasa agak 
dianaktirikan oleh saudara-saudara Anggota Panitia Perumus.  Dalam lampiran ke II ada 
tercatat usul rumusan pokok materi baru yang ada  dalam pidato pemandangan 
umum. Saya pun di dalam pemandangan umum ada mengajukan beberapa  usul 
barunamun  hampir buta saya melihat disini tidak tercantum.  Yang saya ajukan ialah 1. 
Hak Hidup; 2. Hak untuk tidak dapat dijatuhi hukuman mati. Saya tegaskan disini saudara 
Ketua, bahwa permintaan saya atau usul saya ini sama sekali tidak ada hubungannya 
dengan peristiwa Cikini, hanya saya minta supaya   dalam Konstitusi kita yang akan 
datang itu, bernyawakan bahwa hukuman pada siapaun juga, bukan merupakan 
pembalasan dendam, bukan hutang mata dibayar mata, hutang gigi dibayar gigi, namun  
haruslah hukuman itu sebagai usaha untuk memperbaiki manusia yang melanggar 
tata warga  itu.  Sebab bagi saya sejahat-jahatnya manusia, bukanlah manusia 
yang pada dasarnya memang jahat, namun  adalah manusia yang sedang sakit dan kalau 
manusia sedang sakit maka kita harus memperbaikinya. Sekian, terimakasih.”546        
545 RM A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat Salinan Dokumen Oetentik Badan Oentoek Menyelidiki 
Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas negara kita , 2009), hlm. 18. 
546 Konstituante Republik negara kita , Risalah Perundingan…, op.cit., hlm. 1903. 
182 183
-- 
-
Panitia Perumus memang melakukan perubahan dengan memasukkan hak hidup dan hak 
untuk tidak dihukum mati pada laporan panitia perumus tentang ‘Tambahan Pokok-Pokok 
Materi Baru.’547 Namun, pada akhirnya sebagaimana diketahui hak hidup yang berkaitan 
dengan larangan hukuman mati ini tidak dicantumkan dalam rancangan konstitusi baru.    
Pada 1957 sampai dengan 1959, Konstituante juga bekerja untuk menyusun konstitusi 
baru Republik negara kita , namun terhenti sebab  Presiden mengeluarkan Dekrit untuk 
kembali ke UUD 1945.  Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 kemudian yang berlaku 
hingga masa Orde Baru dan kemudian dilakukan beberapa amandemen setelah memasuki 
masa reformasi pada 1998. 
Pembahasan mengenai hak hidup kemudian terjadi kembali pada saat pembahasan 
untuk perubahan UUD 1945, yang terlihat di pembahasan Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja 
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999. Mengenai HAM dan hak hidup disinggung 
oleh beberapa Anggota MPR di antaranya Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti, 
dan Slamet Efendy Yusuf. Taufiqurrohman Ruki menyatakan bahwa hak-hak warga negara 
berupa hak asasi manusia, meliputi pengakuan negara atas HAM; hak-hak yang tidak dapat 
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Lebih lanjut Taufiqurrohman Ruki 
menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, 
pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui 
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas 
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi 
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”548 
Senada dengan Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti dari Fraksi Utusan Golongan 
(F-UG) juga menguraikan beberapa prinsip yang menjadi dasar usulan fraksinya 
terkait perubahan terhadap UUD 1945. Dua prinsip yang terkait dengan pencantuman 
rumusan hak hidup adalah:  pertama, adanya kesepakatan yang bersifat internasional 
dan perkembangan pembahasan berbagai kesepakatan yang bersifat nasional. 
Kesepakatan internasional adalah kesepakatan yang mengikat negara-negara yang telah 
menandatanganinya, antara lain Declaration of Human Rights 1948, Kovenan Hak-Hak Sipil 
dan Politik, dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sementara kesepakatan 
yang bersifat nasional di antaranya adalah Ketetapan MPR No. 17 Tahun 1998, UU No.39 
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Garis-Garis Besar Haluan Negara 1998, dan 
juga melihat UUD RIS, UUDS, dan rumusan konstituante. Kedua, ada  hak-hak yang 
disebut sebagai non derogable rights yaitu hak yang tidak boleh dicabut oleh siapapun. 
Oleh sebab nya (Fraksi UG) mengusulkan agar non derogable rights ini harus dirumuskan 
547 Ibid., hlm. 1905. Pokok-Pokok Materi Baru yaitu: Nomor 15:  “Hak hidup dan hak untuk tidak dihukum mati”; Nomor 16: 
“Hak recall”; Nomor 17: “ Hak tidak bisa kehilangan kewarganegaraan”; Nomor 18: “Hak untuk bebas berpindah kewarganeg-
araan”; Nomor 19: “Hak supaya   dihukum sesuai dengan perikemanusiaan.”  
548 Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 195 Latar Belakang, Proses, dan Hasil pembahasan 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi 
Manusia dan Agama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Edisi Revisi, 2010), hlm. 227.
dan ditegaskan bahwa hak-hak ini  dijamin dan dilindungi oleh negara, serta tidak 
boleh dicabut oleh siapapun. Non derogable rights ini antara lain adalah hak untuk hidup, 
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak 
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak 
untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut sebagai  hak-hak asasi yang tidak dapat 
dikurangi dalam keadaan apapun.549 
Mengenai pembahasan tentang non derogable rights, Slamet Efendy Yusuf mengusulkan 
agar dimasukkan penegasan tentang hak-hak yang berkaitan dengan hak asasi manusia 
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebab   non derogable rights ini sangat 
penting. Meneruskan uraiannya, Slamet Effendy Yusuf juga membacakan isi pasal-pasal 
tentang hak asasi manusia secara rinci. Khusus mengenai hak hidup diusulkan untuk 
dirumuskan secara mandiri di Pasal 29 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup, 
mempertahankan untuk hidup dan kehidupannya.” 
Namun demikian dari pembahasan di MPR ini  elaborasi terkait dengan hak hidup 
juga kurang mendalam, sehingga dalam beberapa hal memiliki kesan yang menggantung. 
ini berlanjut dan nampak pada hasil pengujian di Mahkamah Konstitusi dalam 
pengujian konstitusionalitas hukuman mati.  
Tabel 4.2 Ketentuan Konstitusi Indonesia yang terkait dengan Hak Hidup 
dan Bebas dari Penyiksaan atau Hukuman Kejam yang tidak Mengenal 
Perikemanusiaan
UUD 1945 UUD RIS UUDS 1950
SUB KOMISI HAM DAN 
PANITIA PERSIAPAN 
KONSTITUSI 
(KONSTITUTUANTE)
AMANDEMEN KEDUA 
UUD 1945
Tidak ada  
pasal yang 
mengaturnya
Bagian 5 Hak-Hak 
dan Kebebasan-
Kebebasan Dasar 
Manusia
Pasal 7
1. Setiap orang 
diakui sebagai 
manusia pribadi 
terhadap 
undang-undang
2. Sekalian 
orang berhak 
menuntut 
perlakuan dan 
perlindungan 
yang sama oleh 
undang-undang
Bagian V
Hak-Hak dan 
Kebebasan-Kebeba 
san Dasar Manusia
Pasal 7
1. Setiap orang 
diakui sebagai 
manusia pribadi 
terhadap 
undang-undang
2. Sekalian 
orang berhak 
menuntut 
perlakuan dan 
perlindungan 
yang sama oleh 
undang-undang
Hak-hak yang Disepakati 
penuh oleh Sub Komisi 
HAM dan Panitia Persiapan 
Konstitusi
1.  hak penghidupan, 
kebebasan , keselamatan 
pribadi 
2. hak pengakuan sebagai 
manusia pribadi terhadap 
undang-undang 
3. hak perlindungan yang 
sama mengenai HAM 
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak 
untuk hidup serta berhak 
mempertahankan hidup 
dan kehidupannya.
Pasal 28G
1. Setiap orang berhak 
atas perlindungan 
diri pribadi, keluarga, 
kehormatan, martabat, 
dan harta benda yang di 
bawah kekuasaannya, 
serta berhak atas rasa 
aman dan perlindungan
549 Ibid., hlm. 280 – 282.
184 185
-- 
-
Pasal 11
Tiada seorang 
juapun akan 
disiksa ataupun 
diperlakukan 
atau dihukum 
secara ganas, 
tidak mengenal 
perikemanuiaan 
atau menghina
Pasal 11
Tiada seorang 
juapun akan 
disiksa ataupun 
diperlakukan 
atau dihukum 
secara ganas, 
tidak mengenal 
perikemanuiaan 
atau menghina
4. Hak tidak boleh dianiaya 
dan atau diperlakukan 
secara kejam yang 
bertentangan dengan 
perikemanusiaan dan/ 
atau kehormatan 
manusia 
dari ancaman ketakutan 
untuk berbuat atau tidak 
berbuat sesuatu yang 
merupakan hak asasi.
2. Setiap orang 
berhak untuk bebas 
dari penyiksaan 
atau perlakuan yang 
merendahkan derajat 
martabat manusia dan 
berhak memperoleh suaka 
politik dari negara lain.
Pasal 28I
1. Hak untuk hidup, hak 
untuk tidak disiksa, hak 
kemerdekaan pikiran 
dan hati nurani, hak 
beragama, hak untuk tidak 
diperbudak, hak untuk 
diakui sebagai pribadi di 
hadapan hukum, dan hak 
untuk tidak dituntut atas 
dasar hukum yang berlaku 
surut adalah hak asasi 
manusia yang tidak dapat 
dikurangi dalam keadaan 
apa pun.
4.3.  Hak hidup dalam Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
UUD 1945 menempatkan hak hidup sebagai hak asasi yang sangat penting sehingga 
digolongkan ke dalam “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa 
pun”, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.  Penempatan hak untuk 
hidup di urutan pertama dari tujuh hak yang digolongkan dalam “hak asasi manusia yang 
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” merupakan suatu bukti pentingnya hak 
hidup ini . 
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945: 
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati 
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi 
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut 
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Keberadaan frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” merupakan indikasi yang 
sangat kuat bahwa UUD 1945 tidak menghendaki pembatasan atas hak-hak asasi manusia 
yang disebutkan secara spesifik dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pada prinsipnya, jika 
dikehendaki adanya pembatasan atas HAM maka Konstitusi akan menyatakannya secara 
tegas di dalam konstitusi itu sendiri. 
Namun, hak-hak yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga sering ditafsirkan 
bahwa hak-hak ini  dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan pembatasan HAM, 
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Padahal, dengan melakukan 
penafsiran secara sistematis, terlihat bahwa keberadaan Pasal 28J ayat (2) lebih tepat 
ditujukan sebagai pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia lainnya (yang termasuk 
di dalam Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia), dan bukan terhadap tujuh hak 
asasi yang secara spesifik disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1). 
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945: 
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada 
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata 
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain 
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga  demokratis.
Perbedaan pandangan tentang penafsiran pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) dan 
hubungannya dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengemuka dalam berbagai judicial 
review di Mahkamah Konstitusi (MK). Isu pertama adalah tentang “hak untuk tidak dituntut 
atas dasar hukum yang berlaku surut” sebagai hak yang tidak boleh dikurangi dalam situasi 
apapun. Hak ini dianggap bersifat mutlak, sebagaimana larangan untuk menerapkan 
asas “non-retroaktif”. ada  perbedaan para Hakim MK dalam membahas masalah 
ini, sebagaimana dalam Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 065/
PUU-II/2004. Kontroversi ini dapat dimaklumi sebab  pada satu sisi asas non-retroactive 
merupakan suatu asas yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, namun di sisi 
lain penyimpangan terhadap asas ini secara sangat terbatas dianggap pernah dilakukan 
dalam peradilan internasional, khususnya dalam mengadili para pelaku kejahatan yang 
sangat berat misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan 
genosida (genocide). 
Perbedaan kedua adalah terkait dengan hak hidup yang dalam Pasal 28 ayat (2) juga 
merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. MK telah membahas 
masalah ini dalam beberapa putusan, di antaranya Putusan Nomor 019-020/PUUIII/ 2005 
tentang Pengujian UU. No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga 
Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada putusan ini MK dengan suara bulat berpendapat 
bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang sangat penting, sehingga 
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang 
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Mahkamah berpendapat bahwa hak asasi manusia mengakui hak-hak yang penting 
bagi kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa di antara hak asasi yang lain, hak 
186 187
-- 
-
untuk hidup, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan merupakan hak yang 
sangat penting. Demikian pentingnya hak untuk hidup dimaksud, sehingga Pasal 28I 
Ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak 
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.550
Bahwa maksud dari frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” juga dibahas 
oleh para Hakim MK pada putusan-putusan sebelumnya. Pada Putusan Nomor 013/
PUU-I/2003 tentang Pengujian UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Penetapan Perpu 
No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi 
UU,  dengan mengacu pada pendapat (saat itu) ahli Maria Farida Indrati (sekarang Hakim 
MK), MK dengan suara mayoritas berpendapat bahwa pembatasan atas HAM dalam Pasal 
28J Ayat (2) UUD 1945 tidak dapat diberlakukan pada hak-hak asasi manusia yang diatur 
dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945, sebab  adanya frasa “dalam keadaan apapun”.
“Menimbang bahwa Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan peraturan 
perundang-undangan sebelumnya dan menempatkan asas aquo dalam tingkatan 
peraturan perundang-undangan yang tertinggi (hogere optrekking) pada tataran 
hukum konstitusional. Constitutie is de hoogste wet ! Negara tidaklah dapat menegasi 
UUD, sebab  jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya 
sendiri (de constitutie snijdt zijn eigen vlees). Dengan mengacu pula kepada pendapat 
ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. maka ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 
yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat 
diberlakukan terhadap Pasal 28I Ayat (1), sebab  adanya anak kalimat (frasa) “dalam 
keadaan apapun”. Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah berpendapat 
bahwa semua hak asasi dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD.”551
Pendapat senada dapat diketemukan pada dissenting opinion dalam Putusan Nomor 065/
PUU-II/2004 dalam perkara Pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi 
Manusia. Pada putusan ini Hakim Achmad Roestandi, menyatakan:  
“Ada beberapa HAM yang dijamin dalam UUD 1945. berdasar Pasal 28J semua 
HAM itu dapat dibatasi dengan alasan tertentu, kecuali HAM yang disebutkan dalam 
Pasal 28I [Ayat (1)]. Sekali lagi, harus dibaca seperti itu, sebab jika ketujuh HAM yang 
tercantum dalam Pasal 28I [Ayat (1)] masih bisa diterobos dengan pembatasan yang 
ditentukan dalam Pasal 28J, berarti tidak ada lagi perbedaan antara ketujuh HAM itu 
dengan HAM yang lainnya. Jika demikian untuk apa ketujuh HAM itu diatur secara 
khusus dalam Pasal 28J [seharusnya I]. 
Dengan kata lain untuk apa Pasal 28J [seharusnya I] diadakan!. Frasa “….hak untuk 
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang 
550 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 019-020/PUUIII/2005, hlm. 106. 
551 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 42.
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, khususnya kata-kata “tidak dapat 
dikurangi dalam keadaan apapun” adalah kata-kata yang sudah terang dan jelas, atau 
dengan meminjam istilah hukum fiqih Islam, merupakan sesuatu dalil yang qoth’i.”552
Pada Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dalam perkara Permohonan Pengujian UU No. 
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan 
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945, Hakim Achmad Roestandi 
juga menegaskan pendapatnya tentang penafsiran Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 sebagai 
berikut:
“Di negara kita , berdasar UUD 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh 
pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum 
dalam keseluruhan Bab XV tentang hak asasi manusia, kecuali terhadap hak-hak 
yang tercantum dalam Pasal 28I, yaitu: (i) Hak hidup. (ii) Hak untuk tidak disiksa. (iii) 
Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani. (iv) Hak beragama. (v) Hak untuk tidak 
diperbudak. (vi) Hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. (vii) Hak untuk 
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.”553
Hakim MK lainnya, Laica Marzuki, juga memiliki pandangan yang sama bahwa hak-hak 
yang ada  dalam Pasal 28I ayat (2) tidak dapat dinegasikan dengan Pasal 28K ayat (2) 
UUD 1945. Pada Putusan Nomor 065/PUU-II/2004,  Hakim Laica Marzuki menyatakan: 
“..... Pasal 28I [Ayat (1)] UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat di-negasi oleh Pasal 28J [Ayat 
(2)] UUD NRI Tahun 1945 yang hanya menetapkan pembatasan pemakaian  hak dan 
kebebasan setiap orang atas dasar undang-undang dalam makna wet, Gesetz, namun  
sama sekali bukan dalam makna pembatasan atas dasar Grundgesetz (Undang-
Undang Dasar).”554
Pada perkara yang sama, Hakim Abdul Mukthie Fadjar, memiliki  pendapat yang sama 
dengan Hakim Achmad Roestandi dan Laica Marzuki, yang pada intinya mengatakan 
bahwa pembatasan yang dilakukan oleh Pasal 28J Ayat (2) tidak dimaksudkan untuk 
membatasi hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I Ayat (1), namun  ditujukan untuk hak asasi 
lainnya yang juga diatur pada Bab XA dari UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia.  Hakim 
Abdul Mukthie Fadjar menyatakan: 
“.....jika  UUD 1945 dalam Pasal 28I Ayat (1) merumuskan “hak untuk hidup, hak 
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak 
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan 
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi 
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” adalah tentu dengan 

-
penuh kesadaran dan bukti komitmen religiusitas serta kepada universalitas hak asasi 
manusia. Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 adalah untuk restriksi terhadap beberapa HAM 
di luar apa yang secara limitative telah disebutkan dalam Pasal 28I Ayat (1).”555
Berbagai pandangan hakim MK di atas merupakan perdebatan-perdebatan awal tentang 
makna dari Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dalam Putusan Nomor 013/
PUU-I/2003 Hakim MK secara bulat menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak 
asasi manusia yang sangat penting, sehingga Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak 
untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 
Demikian pula dengan adanya pandangan beberapa Hakim MK yang menyatakan bahwa 
Pasal 28J ayat (2) tidak dapat dipakai  untuk membatasi atau mengurangi hak-hak 
asasi yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (1), termasuk hak untuk hidup yang tidak dapat 
dikurangi dalam keadaan apapun. 
Penegasan Pandangan MK: Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 ini  tidak bersifat mutlak.
Dalam Putusan  No 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 22 tahun 1997 tentang 
Narkotika, MK kembali membahas masalah penerapan Pasal 28I UUD 1945 dan 
hubungannya dengan ketentuan pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. MK 
juga memberi  penafsiran atas beberapa hal terkait Pasal 28I UUD 1945 ayat (1), yakni 
penafsiran atas konsep hak hidup (right to life) dan ruang lingkup kejahatan-kejahatan 
serius dalam hukuman mati. Landasan pengujian konsitusionalitas dalam perkara ini pada 
pokoknya terkait dengan jaminan hak atas hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28A UUD 
1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan 
hidup dan kehidupannya” dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Hak untuk 
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, 
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak 
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang 
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
MK memberi  berbagai argumentasi bahwa pengaturan tentang HAM dapat dibatasi 
atau hak-hak yang dijamin dalam Pasal 28 ayat (1) tidak berlaku mutlak. Argumentasi 
MK ini  adalah: pertama, Putusan MK merujuk pada sejarah penyusunan Pasal 28I 
UUD 1945 dengan kesimpulan bahwa hak-hak asasi dalam UUD 1945 tidak ada yang 
bersifat mutlak termasuk yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.556 Pandangan ini 
berdasar keterangan dari Lukman Hakim Saefuddin, mantan anggota Panitia Ad Hoc 
I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan 
UUD 1945. Dalam proses perumusan Bab XA (tentang Hak Asasi Manusia) yang menjadi 
rujukan atau latar belakang adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, dan ketetapan 
ini  kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat dari 
kedua ketentuan ini  adalah  adalah sama, yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi 
manusia bukan tanpa batas. HAM bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan 
untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan UU dan semangat ini yang 
melahirkan Pasal 28J UUD 1945.557 Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu 
mencakup Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945
MK mengutip pandangan Lukman Hakim Syaifuddin yang menyatakan: 
“... kembali saya tegaskan bahwa keberadaan Pasal 28J ini adalah pasal, satu-satunya 
pasal, yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara kewajiban, padahal babnya hak 
asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir sebagai kunci dari Pasal 
28A sampai Pasal 28I.”
MK kemudian menyimpulkan bahwa dilihat dari perspektif original intent pembentuk 
UUD 1945, seluruh ketentuan tentang HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 
keberlakuannya dapat dibatasi. Pembatasan HAM ini diperkuat dengan penempatan Pasal 
28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM dalam 
Bab XA UUD 1945 ini . berdasar penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), 
HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada 
pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Lebih lanjut MK menyatakan bahwa sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUD 
1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights 
yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal 
penutup, yakni dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and 
freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely 
for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others 
and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a 
democratic society.”560
Kedua, untuk mendukung pandangan tentang adanya pembatasan HAM atau HAM 
bukan bersifat mutlak, MK juga mengajukan argumentasi tentang perkembangan 
Konstitusi negara kita . MK menyebut bahwa dengan melihat sejarah perkembangan 
konstitusionalisme negara kita , sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang 
pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, 
dan UUD 1945 sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak 
memutlakkan HAM, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, 
HAM  dapat dibatasi oleh suatu UU. Pendekatan dari sudut sejarah konstitusi ini  
diuraikan oleh MK sebagai berikut: 
(a) UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap 
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun 
dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah 
satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
(b) Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak 
dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan 
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang 
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan 
kebebasan itu, akan namun  hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan 
penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan 
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, 
kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
(c) Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar 
Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang 
diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan 
undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang 
tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk 
memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan 
dalam suatu warga  yang demokratis”;
(d) UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham 
konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi-konstitusi Indonesia 
sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana 
telah diuraikan di atas.561
Ketiga, sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM, ketika 
kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi 
Manusia dan kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini 
tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme 
Indonesia tidaklah berubah sebab  ternyata keduanya juga memuat pembatasan 
terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, sebagai berikut:
a. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa 
Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral 
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasar pada Pancasila dan 
UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang 
hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan 
hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan 
terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam 
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata 
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang 
lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, 
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga  demokratis”;
b. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan 
dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia 
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun 
Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi 
dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam 
hal pidana mati berdasar putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM 
juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia 
sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya 
dapat dibatasi oleh dan berdasar undang-undang, sematamata untuk menjamin 
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar 
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Keempat, MK merujuk pada Deklarasi Cairo. Indonesia sebagai negara dengan penduduk 
muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara 
moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang 
diselenggarakan oleh OKI. Pasal 8 huruf a Deklarasi ini  menyatakan, “Kehidupan 
adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas 
dari individu, warga  dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap 
pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasar syariat”. 
Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup 
yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang.
Kelima, MK juga merujuk putusan-putusan sebelumnya yang terkait dengan pengujiannya 
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, khususnya tentang diterapkannya ketentuan hukum 
yang berlaku surut. MK merujuk pada Putusan Putusan No. 065/PUU-II/2004 tentang 
diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, ada  beberapa hak yang 
secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, 
termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum 
yang berlaku surut. MK tetap dalam pendirian sebagaimana dalam Putusan No. 065/PUU-
II/2004, yang menegaskan Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 
28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut 
tidaklah bersifat mutlak. Oleh sebab  hak untuk hidup juga termasuk ke dalam kelompok 
hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan 
“hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, maka pertimbangan hukum dan 
pendirian dalam putusan MK ini  berlaku pula terhadap hak hidup 
-
Keenam, MK menyodorkan fakta-fakta lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk 
hidup, baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya 
pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan 
tentang penghilangan nyawa secara absah. beberapa ketentuan yang dirujuk MK adalah 
beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan 
hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 
Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of 
International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to 
the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International 
Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 
(European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 
6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning 
the Abolition of the Death Penalty.563 
Merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam berbagai instrumen hukum internasional 
di atas MK berkesimpulan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan 
nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan atau pembatasan-
pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma 
hukum yang berlaku umum yang diterima oleh warga  internasional secara universal. 
Yang dapat dikatakan sebagai norma hukum demikian adalah pembatasan-pembatasan 
terhadap pemberlakuan pidana mati ini . MK menyimpulkan bahwa telah nyata 
bahwa pengertian “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dalam Pasal 28I ayat 
(1) UUD 1945 ini  tidaklah bersifat mutlak.564
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) 
Dalam Putusan  No 2-3/PUU-V/2007 terhadap empat orang Hakim Konstitusi yang 
memiliki  pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Achmad Roestandi, Laica 
Marzuki dan Maruarar Siahaan memiliki  pendapat berbeda baik mengenai kedudukan 
hukum maupun Pokok Permohonan.565
Hakim Achmad Roestandi menyatakan bahwa larangan pembatasan terhadap tujuh jenis 
hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) bersifat mutlak.  Pembatasan 
sebagaimana diatur oleh Pasal 28J ayat (2) tidak dimungkinkan terhadap ketujuh jenis 
hak asasi ini . Sebab jika pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) berlaku juga terhadap 
hak-hak yang disebut dalam Pasal 28I ayat (1), maka perumus UUD 1945, quad non, telah 
memuat Pasal yang sia-sia atau tidak berguna. 
Hakim Achmad Roestandi juga menjelaskan tentang hubungan antara negara hukum dan 
hukum Islam. Hakim Roestandi mengakui fakta bahwa hukum Islam membolehkan adanya 
hukuman mati. Namun demikian, ada perbedaan paradigma antara pelaksanaan norma 
agama yang bersifat internal terkait dengan motivasi dan niat, dengan norma hukum 
yang bersifat eksternal terkait dengan pelaksanaan secara lahiriyah. Hakim Roestandi 
mengatakan bahwa warga  Indonesia adalah warga  yang pluralistik, yang 
terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Bangsa yang pluralistik 
itu telah mengadakan kesepakatan (consensus) nasional yang tertuang dalam Pancasila 
dan UUD 1945, sebagai dasar hukum (fundamental law) dalam kehidupan berwarga , 
berbangsa dan bernegara. Fundamental law itulah yang merupakan hukum positif tertinggi 
yang harus dijadikan pegangan tertinggi oleh semua warga negara, termasuk oleh saya 
selaku Hakim Konstitusi dalam memutus perkara pengujian Undang-Undang. Pasal 28I 
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat 
dikurangi dalam keadaan apapun, oleh sebab  itu pidana mati yang tujuan utamanya 
dengan sengaja mencabut hak hidup seseorang bertentangan dengan UUD 1945.567
Senada dengan Hakim Roestandi, Hakim Laica Marzuki juga menyatakan bahwa pasal-
pasal dalam UU Narkoba sepanjang terhadap kata-kata ‘Pidana mati atau’ tidak mengikat 
secara hukum sebab  bertentang dengan pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.568 
Pandangan ini berdasar fakta bahwa pada perubahan Kedua UUD 1945, tepatnya pada 
tanggal 18 Agustus 2000, diberlakukan Pasal 28A UUD 1945, yang berbunyi, ‘Setiap orang 
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’, di samping 
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, berbunyi, ‘Hak untuk hidup, dst,dst, adalah hak asasi manusia 
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun’. 
Lebih lanjut Hakim Laica Marzuki menjabarkan bahwa: 
“Kedua pasal konstitusi dimaksud mengatur hak untuk hidup (right to life) bagi setiap 
orang. Frasa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ‘ Hak untuk hidup ... adalah hak 
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun’ mempernyatakan 
bahwasanya hak untuk hidup atau right to life tergolong non-derogable rights, atau 
non-derogable human rights. Hak untuk hidup (right to life) tidak dapat disimpangi, 
dikesampingkan, apalagi di-negasi, termasuk tidak dapat dibatasi oleh suatu kaidah 
hukum yang lebih rendah.”
-
and judiciary as directly valid law’. Tatkala pidana mati atau hukuman mati masih 
dipertahankan berarti terjadi suatu contradictio in se (tegenspraak in zich zelf) 
terhadap basic right itu sendiri.”570
Hakim Laica Marzuki menyarankan bahwa dimasa depan pidana mati atau hukuman 
mati seharusnya tidak diberlakukan lagi terhadap semua kejahatan (abolitionist for all 
crimes). beberapa argumen dikemukakan oleh Hakim Laica Marzuki, yakni hukuman mati 
tidak dapat dipulihkan (herstel met de vorige toestand) jika terhukum ternyata dinyatakan 
tidak bersalah. Hakim Laica Marzuki merujuk pada pengadilan Perancis pada Abad ke 18, 
ketika Jean Calas dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi, namun  akhirnya tidak terbukti 
melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan. Selain itu, Hakim Laica Marzuki juga 
menyatakan bahwa hidup adalah karunia Allah, yang tidak dapat dicabut oleh siapapun.571 
Hakim Maruarar Siahaan memberi  pandangan lebih jauh bahwa pembahasan 
mengenai hukuman mati harusnya diselaraskan dengan falsalah Bangsa negara kita . Bahwa 
titik tolak dalam pengujian yang dilakukan MK seyogianya harus kembali pada penilaian 
secara filosofis menurut jiwa dan moralitas konstitusi yang termuat dalam Pembukaan 
UUD 1945, dan kemudian melakukan tafsiran terhadap pasal 28J ayat (2) yang menyatakan 
bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan - termasuk hak untuk hidup dalam Pasal 
28A dan 28I ayat (1) UUD 1945 yang bersifat non-derogable - terikat pada pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang harus dibaca menurut prinsip-
prinsip, jiwa dan moralitas sila-sila Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, 
dan pasal-pasal yang berkaitan dalam batang tubuhnya.572
Hakim Maruarar Siahaan menyatakan bahwa  Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak pula 
dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang membenarkan pidana mati yang membatasi hak 
untuk hidup dalam Pasal 28I UUD 1945. Hakim Maruarar Siahaan menyatakan: 
“Pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak pula dapat 
ditafsirkan sebagai sesuatu yang membenarkan pidana mati yang membatasi hak 
untuk hidup dalam Pasal 28I ayat (1); kedudukan Pasal 28J ayat (1) dan (2) merupakan 
satu ketentuan yang bersifat umum yang menegaskan bahwa hak-hak asasi yang 
disebut dalam Pasal 28A sampai dengan 28I, tidak bersifat mutlak sebab  merupakan 
hal yang tidak dapat dilepaskan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain, 
dan dapat juga dibatasi secara khusus dengan alasan untuk menjamin pengakuan 
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi 
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan 
dan ketertiban umum dalam satu warga  demokratis. Dengan demikian tidaklah 
dimaksudkan secara khusus untuk membatasi Pasal 28I, khususnya yang dipakai  
menjadi dasar pembenar pidana mati, sebab  hak untuk hidup yang diartikan secara 
luas sebagaimana diuraikan di atas, menyebabkan pembatasan hak untuk hidup tidak 
dapat diartikan dengan menghilangkan kehidupan itu sendiri.”
a. Konsepsi the Most Serious Crimes dalam Hukum Internasional 
Konsepsi tentang kejahatan-kejahatan yang paling serius (the most serious crime) 
merupakan satu-satunya justifikasi yang bisa dipakai  oleh negara yang masih ingin 
mempertahankan hukuman mati. ini sebagaimanya yang dinyatakan dalam Pasal 6 
ICCPR ayat (2): 
“In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may only 
be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the 
time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present 
Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of 
Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered 
by a competent court.”
(Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman 
mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai 
dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan ini , dan tidak 
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan 
Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar 
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang).
Definisi tentang kejahatan-kejahatan yang paling serius ini  tidak diatur secara jelas. 
Akibatnya, konsep ini  diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh setiap negara, 
tergantung dari budaya, agama, kebiasaan, serta keadaan politik dari masing-masing 
negara ini .574 Namun, Philip Alston berpendapat bahwa konsep the most serious 
crimes dalam ICCPR harus ditafsirkan secara internasional dan tidak oleh masing-masing 
negara, sebab  hanya dengan standar “objektif dan universal” yang dapat memiliki 
makna.575
Komite HAM PBB menegaskan bahwa penafsiran the most serious crimes harus sejalan 
dengan hukum internasional. Penafsiran secara luas dapat menggagalkan tujuan 
dari penerapan standar universal penerapan hukuman mati yang telah digagas oleh 
pembentuk ICCPR dan akan menjadikan instrumen HAM internasional ini menjadi tidak 
berarti.  
Dalam Second Optional Protocol to the International Covenan on Civil and Political Rights, 
aiming at the Abolition of the Death Penalty, juga muncul frasa the most serious crimes. 
Protokol Opsional ini bertujuan memberi  penjelasan lebih lanjut tentang hukuman 
mati yang diatur dalam Pasal 6 ICCPR. Namun ternyata, tidak berbeda dengan dokumen 
induknya, Protokol ini juga tidak memberi  batasan apa yang dimaksud dengan the 
most serious crimes. Satu-satunya Pasal yang bisa memberi  sedikit pemahaman 
tentang maksud the most serious crime adalah Pasal 2 ayat (1): 
“No reservation is admissible to the present Protocol, except for a reservation made at 
the time of ratification or accession that provides for the application of the death penalty 
in time of war pursuant to a conviction for a most serious crime of a military nature 
committed during wartime.”
Pasal di atas menghubungkan kejahatan yang paling serius yang menjadi justifikasi 
penerapan hukuman mati dengan kejahatan paling serius yang memiliki karakter militer 
dan yang dilakukan pada situasi perang. 
Sejak ICCPR berlaku di tahun 1976, interpretasi tentang the most serious crime telah disem-
purnakan oleh beberapa lembaga HAM internasional. Komite HAM PBB telah memberi-
kan pengertian bahwa the most serious crime sangat terbatas pada tindakan yang dapat 
menyebabkan kematian (most serious offense must involve, at a minimum, intentional act of 
violence resulting in the death of a person). Komite HAM PBB menyatakan “ungkapan ‘keja-
hatan paling serius’ harus dibaca secara terbatas sehingga berarti hukuman mati harus 
menjadi tindakan yang luar biasa,”578 sebagaimana dalam Komentar Umum No. 6 ICCPR, 
yang menyatakan bahwa the most serious crime harus dimaknai secara terbatas. Artinya, 
hukuman mati seharusnya merupakan suatu usaha  yang sangat luar biasa tidak bisa dit-
erapkan tanpa pembatasan. 
Paragraf 7 Komentar Umum No. 6 ICCPR menegaskan: 
“…the expression “most serious crime” must be read restrictively to mean that the death 
penalty should be a quite exceptional measure.”
(…pengertian “Kejahatan yang paling serius” harus dibaca secara terbatas dengan tujuan 
bahwa hukuman mati harus merupakan suatu langkah pengecualian). 
Sebagai catatan, meskipun Komite HAM PBB ini bukan merupakan badan peradilan 

yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan yang mengikat, namun pandangannya 
terhadap penafsiran dan penerapan ICCPR sangat otoritatif dan harus diberi bobot yang 
cukup besar dalam menentukan interpretasi ketentuan dalam ICCPR.580
Pada tahun 1984, PBB mengadopsi Pengaman tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak 
bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of 
the Rights of Those Facing the Death Penalty).581 ini merupakan sebuah usaha  untuk 
mengklarifikasi ketentuan-ketentuan tertentu dalam Pasal 6 ICCPR. Menyangkut 
soal pembatasan hukuman mati hanya untuk “kejahatan paling serius”, pedoman ini 
menyatakan: “Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati 
hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan paling serius, dalam arti ruang 
lingkupnya tidak melampaui kejahatan-kejahatan disengaja yang bersifat mematikan 
(lethal) atau yang membawa akibat-akibat yang sangat serius.582 Pasal 2 dokumen ini 
menyatakan hukuman mati hanya dapat diberikan untuk the most serious crime yang 
mencakup kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan untuk menimbulkan kematian 
atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya. 
“… Member States in which the death penalty has not been abolished to effectively apply 
the safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, in 
which it is stated that capital punishment may be imposed for only the most serious crime, 
it being understood that their scope should not go beyond intentional crime with lethal or 
other extremely grave consequences.”
(…Negara-negara Anggota yang hukuman mati belum dihapuskan untuk secara efektif 
menerapkan perlindungan yang menjamin perlindungan hak-hak orang-orang yang 
menghadapi hukuman mati, yang mana hal itu dinyatakan bahwa hukuman mati dapat 
diterapkan hanya untuk kejahatan serius, dengan kesadaran bahwa cakupannya tidak 
melampaui maksud kejahatan yang berakibat mematikan atau akibat serius lainya