Home » hukuman mati 6 » hukuman mati 6
Jumat, 26 Januari 2024
um
yang sudah ada (termasuk pidana seumur hidup) kepada pelaku, dan pada saat yang
bersamaan memastikan seluruh kebijakan yang telah ada untuk pemulihan korban
dapat berjalan secara cepat, tepat dan mudah diakses oleh korban kekerasan seksual
maupun keluarganya, termasuk dalam ini menghilangkan hambatan-hambatan
yang selama ini dialami korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan.
Komnas wanita juga menilai aturan hukum yang ada belum diterapkan secara
maksimal sebab adanya hambatan yang muncul dalam bentuk proses peradilan yang
bias gender hingga praktik mafia hukum. Langkah yang mesti diambil adalah menjawab
hambatan-hambatan ini , bukan menambah bentuk pidana baru.522 Komnas
wanita mendesak agar Pemerintah lebih memprioritaskan pembahasan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS).
. Hukuman Mati dalam Melanggar UU No. 17 Tahun 2016 Konstitusi
dan Hak Asasi Manusia
Hukuman mati dalam UU No. 17 Tahun 2016 menimbulkan kembali pro dan kontra dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di negara kita , khususnya jika dilihat dari
sudut pandang landasan Pancasila, Konstitusi dan perlindungan HAM. Dari aspek filosofis,
pembentukan Perppu telah menegasikan konstitusionalitas hak hidup sebagai hak yang
tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 I
ayat (1) UUD 1945. Pasal ini mengkualifikasikan hak hidup sebagai hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights).523 Ketentuan ini pada
dasarnya merupakan manifestasi dari Sila ke-2 Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab”, sebagai prinsip yang mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai
bagian dari kemanusiaan universal.
Pada titik ini menjadi penting untuk meletakkan dan mengkontekstualisasikan Pancasila
dalam realitas kecenderungan global yang menghendaki penghapusan hukuman mati.
Kehendak dunia internasional untuk menghapus hukuman mati sebagaimana dinyatakan
dalam ICCPR dan diperkuat melalui pengesahan Protokol Opsional ICCPR (Second Optional
Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of
the death penalty). Sampai saat ini sudah ada 84 negara pihak (parties) dan 38 negara
yang penandatangan (signatories) perjanjian ini. Dengan demikian usaha penghukuman
mati sesuai dengan semangat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa raison d’etre
kehadiran Indonesia adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar
kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial.
Kemudian jika dilihat dari aspek sosiologis, alasan pembentukan Perppu ini tidak
terpenuhi sebab Pemerintah tidak dapat menunjukkan alasan kedaruratan kekerasan
seksual terhadap anak. Pemerintah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap
522 Fikrie, loc.cit.
523 Namun demikian argumentasi hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007 justru mereduksi
makna hak hidup sebagai hak absolut sebab berdasar penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia
yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD
1945.
anak di Indonesia telah masuk kategori kejahatan luar biasa, sehingga penangananan
hukum atas perkara-perkara semacam itu juga harus luar biasa adalah argumentasi yang
lemah. Vivi Widyawati, aktivis HAM menyebut, penerapan hukuman mati dan hukuman
kebiri untuk para pelaku kejahatan seksual akan semakin membuat kondisi psikis korban
memburuk. Situasi ini tidak terlepas dari fakta empirik bahwa kasus kekerasan seksual
yang kerap terjadi di negara kita , biasa dilakukan orang terdekat korban dan semakin
membuat korban mempertimbangkan kembali untuk melaporkan pelaku. Agustinus
Pohan, akademisi, juga menyatakan bahwa hukuman mati meskipun diniatkan oleh para
pengusul dan penyusun Perppu untuk menimbulkan efek jera, meragukan efektivitas
Perppu ini untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak. Lebih jauh
Agustinus Pohan menjelaskan, vonis ringan pengadilan yang justru menyebabkan
pelaku, atau yang berpotensi melakukan pelanggaran sama sebab mereka berpikir
bahwa hukuman kejahatan kekerasan seksual memang ringan walaupun ancaman
hukumannya sangat berat.
Sementara dari aspek yuridis, kehadiran Perppu ini juga tidak memenuhi alasan
pembentukan undang-undang sebab UU No. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sudah mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak,
sehingga alasan kekosongan hukum tidak terpenuhi.
Hukuman mati meskipun diniatkan oleh para pengusul dan penyusun Perppu untuk
menimbulkan efek jera, namun Agustinus Pohan, akademisi Universitas Parahiyangan
meragukan efektivitas Perppu ini untuk menekan angka kekerasan seksual
525 MTVN/OL-3, Hukuman Kebiri bukan Solusi, Media negara kita , 11 Mei 2016, <http://www.medianegara kita .com/index.php/
news/read/44795/hukuman-kebiri-bukan-solusi-1/2016-05-11>, diakses pada 9 Oktober 2017.
526 Pernyataan Agustinus Pohan didukung data Tugas akhir mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Parahyangan, Intan Mutia Suswanti, menyimpulkan pemberatan hukuman tidak mengubah secara
signifikan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual. Hakim lebih sering memberi hukuman
penjara dan jumlah denda minimal pada putusannya. Intan Mutia Suswanti membandingkan perk-
ara kekerasan seksual yang vonisnya menggunakan undang-undang tahun 2002 dan kasus serupa
yang pelakunya dihukum memakai undang-undang tahun 2014. Semua perkara ini dipilih
secara acak dari seluruh wilayah Indonesia dan diukur menggunakan sepuluh variabel pemband-
ing, di antaranya tuntutan jaksa, lamanya hukuman penjara, jumlah denda, umur dan hubungan
pelaku dengan korban, status ekonomi pelaku, hal yang meringankan sekaligus memberatkan da-
lam vonis, serta jenis kelamin hakim. Data menunjukkan, tidak pun pelaku dituntut jaksa dengan
ancaman pidana maksimal 15 atau 20 tahun penjara. Selain itu, vonis hakim ditemukan kerap lebih
rendah daripada tuntutan kejaksaan. Bahkan, putusan ringan dijatuhkan terhadap beberapa perk-
ara dengan pelaku keluarga atau orang terdekat korban yang menurut undang-undang seharusnya
diancam dengan hukuman berat. Sebanyak 20 perkara yang disidangkan menggunakan UU No. 23
Tahun 2002 hanya menghasilkan rata-rata tuntutan penjara 6 tahun 6 bulan dengan vonis 5 tahun.
Kondisi serupa juga terjadi setelah penerbitan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014: dari 20
perkara tahun lalu, rata-rata tuntutan hanya 8 tahun 6 bulan penjara dengan vonis 6 tahun.
terhadap anak. Lebih jauh menurut Agustinus Pohan, vonis ringan pengadilan yang
justru menyebabkan pelaku, atau yang berpotensi melakukan pelanggaran sama
sebab mereka berpikir bahwa hukuman kejahatan kekerasan seksual memang ringan
walaupun ancaman hukumannya sangat berat.
Dari aspek perlindungan HAM, pencantuman hukuman mati terhadap pelaku kekerasan
seksual terhadap anak yang diatur dalam Perppu perlu dilihat dari perspektif hak asasi
manusia untuk melihat kesesuaiannya dengan standar universal hak asasi manusia.
Bahwa dasar hukum eksekusi berdasar hukum (judicial executions) dalam hukum
internasional dapat ditemukan dalam Pasal 6 ICCPR yang membahas hak hidup. Paragraf
2 memperkenalkan rumusan kejahatan paling serius. Di negara-negara yang belum
menghapuskan hukuman mati, hukuman mati hanya dapat dikenakan untuk kejahatan
paling serius (most serious crimes) sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
pelaksanaan kejahatan ini . Perumusan Pasal 6 ICCPR terbuka untuk interpretasi
yang luas. Gagasan tentang “keseriusan” dapat bervariasi sesuai dengan budaya
nasional, agama, tradisi dan konteks politik. Namun, pendekatan relativis bermasalah
sebab berpotensi merongrong konsep prinsip normatif yang berlaku secara universal
dalam hukum internasional. Dalam semangat universalitas, Pasal 6 ICCPR menetapkan
arahan menuju penghapusan hukuman mati dengan menetapkan kewajiban negara
untuk membatasi pemakaian nya secara progresif.
Pemerintah seharusnya melakukan langkah untuk segera melakukan pengesahkan
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai satu
langkah strategis untuk menurunkan kasus kekerasan seksual. Bahkan Perppu Kebiri ini
tidak mengatur hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan sebab terlalu
fokus pada penanganan pelaku.530 Di samping itu, Pemerintah semestinya mengusaha kan
langkah pencegahan pencegahan secara maksimal dengan cara memberi rasa
aman kepada wanita dan anak. usaha pemerintah yang selalu mengedepankan
penghukuman kepada pelaku, namun abai terhadap korban menunjukan para perumus
kebijakan belum berpihak pada korban. Perppu ini menunjukkan bahwa para perumus
kebijakan tidak memproyeksikan pengalaman wanita , khususnya korban kekerasan
seksual dalam produk legislasi.
Menurut Kepala Divisi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI, Anugerah Rizki Akbari, pemerintah keliru dengan
menganggap masalah pelecehan seksual terhadap anak bisa ditelan dengan ancaman hukuman berat. Pemerintah melupakan
satu porsi yang penting, mestinya yang perlu diperhatikan perlindungan korban, yakni rehabilitasi.
Pemerintah juga perlu melakukan berbagai usaha reformasi legislasi untuk mencegah
kekerasan terhadap wanita . Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita
merekomendasikan agar Negara Pihak: (i) memastikan undang-undang yang menentang
kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan, pemerkosaan, kekerasan seksual dan
kekerasan berbasis gender lainnya memberi perlindungan yang memadai bagi semua
wanita , dan menghormati integritas dan martabat mereka; dan (ii) mengambil semua
tindakan hukum dan tindakan lain yang diperlukan untuk memberi perlindungan yang
efektif bagi wanita terhadap kekerasan berbasis gender, termasuk tindakan hukum
yang efektif, termasuk sanksi pidana, pemulihan dan ketentuan kompensasi secara
keperdataan untuk melindungi wanita dari segala jenis kekerasan.531 berdasar
rekomendasi ini , tindakan hukum yang efektif tidak hanya menekankan pada
dimensi penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku, namun perlakuan kepada korban harus
mendapatkan perhatian dari negara. ini juga diperkuat melalui Laporan Sekretaris
Jendral PBB tentang intensifikasi usaha untuk menghapus segala bentuk kekerasan
terhadap wanita .
--
-
negara kita , sebagai anggota dari berbagai perjanjian internasional tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) memiliki kewajiban internasional untuk melaksanakan berbagai
ketentuan dalam berbagai perjanjian internasional HAM. Setidaknya Indonesia telah
menjadi anggota pihak, melalui ratifikasi atau aksesi, lebih dari delapan perjanjian HAM
internasional, di antaranya dua perjanjian internasional pokok HAM yakni the International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan the International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights (IESCR). Sebagai Negara Pihak dari ICCPR, Indonesia memiliki
kewajiban untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam ICCPR dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak
yang diakui dalam ICCPR ini .533
Bagian ini akan membahas tentang kesesuaian (compatibility) legislasi di Indonesia terkait
hukuman mati dengan norma-norma HAM sebagaimana diatur dalam hukum-hukum
internasional tentang HAM. Bagian ini juga akan membahas tentang beberapa konsep
kunci terkait perdebatan tentang hukuman mati, di antaranya konsepsi tentang hak hidup
(the rights to life), derogasi (derogation) dan pembatasan (limitations), konsepsi tentang
kejahatan-kejahatan yang paling serius (the most serios crimes) dalam hukum internasional,
serta penerapannya dalam legislasi di negara kita .
Hak Asasi Manusia telah menjadi arus utama peradaban dunia. Pencapaian ini
adalah puncak dari perjuangan kemanusiaan yang telah bersemi sejak awal peradaban
manusia, baik pada tataran pemikiran maupun praktik kehidupan nasional. Pemikiran
tentang HAM dapan dilacak sejak zaman Yunani kuno, baik dalam konteks sebagai tujuan
dan orientasi utama kehidupan sosial bernegara, maupun sebagai hak untuk bebas dari
penindasan.534
Di sisi lain, praktik pelanggaran HAM juga menjadi sisi suram dalam peradaban manusia
itu sendiri, sebab adanya peristiwa perang sipil maupun penindasan yang dilakukan oleh
negara terhadap warganya. Pengalaman-pengalaman ini memunculkan kesadaran
umat manusia dan sekaligus pengakuan terhadap martabat manusia serta hak yang
melekat pada setiap insan manusia sebagai dasar kebebasan, keadilan, dan perdamaian
dunia.
Pengadopsian dan proklamasi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 10
Desember 1948 oleh Majelis Umum PBB adalah puncak pengakuan terhadap HAM
sebagai standar bersama perlindungan dan pemajuan HAM bagi setiap orang dan setiap
negara (as common standard achievement for all people and nations). Walaupun dokumen
ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) namun merupakan dasar
utama dalam perlindungan dan pemajuan HAM, serta menjadi dasar bagi dokumen HAM
lain yang memiliki kekuatan hukum mengikat seperti ICCPR dan IESCR, serta berbagai
perjanjian internasional HAM lainnya.
Konsepsi dasar HAM adalah pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama
dalam hal hak dan martabatnya. berdasar Pasal 1 UDHR, semua manusia dikarunai
akal budi dan hati nurani untuk saling berhubungan dalam semangat persaudaraan.
Konsepsi dasar itu melahirkan tiga prinsip tentang keberadaan HAM. Pertama, HAM
bersifat universal, yang melekat pada diri setiap manusia tanpa memandang perbedaan
etnis, ras, gender, usia, agama, keyakinan politik, maupun pandangan politik. Kedua,
HAM tidak dapat dibantah sebab bukan merupakan pemberian negara sehingga tidak
dapat dihilangkan atau ditolak oleh otoritas politik apapun. Ketiga, HAM bersifat subjektif
yang dimiliki secara individual sebab kapasitasnya sebagai manusia yang rasional dan
otonom.535
Salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh negara adalah membentuk dan menegakkan
hukum. Dengan sendirinya hukum juga harus dibuat dan ditegakkan dengan orientasi
utama untuk memberi perlindungan HAM. Hukum inilah yang akan menjadi dasar
legitimasi dari setiap tindakan yang dilakukan oleh negara.
Pembatasan (limitations) dan pengurangan/penundaan pemenuhan HAM yang
diperbolehkan (permissible restrictions)
Dalam konsepsi HAM dikenal adanya konsep pembatasan dan pengurangan atau
penundaan pemenuhan HAM yang diperbolehkan. Dia ntara pembatasan ini ,
dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR:
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirement
of morality, public order, and the general welfare in a domestic society.”
(Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang
tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum dalam suatu
warga yang demokratis.)
Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR ini menunjukkan bahwa pembatasan
dapat dilakukan sebagai usaha untuk menyeimbangkan antara hak individu dengan
kepentingan publik. Pembatasan diperlukan semata-mata agar hak dan kebebasan orang
lain juga dapat dilindungi dan dipenuhi. Sesuai dengan sifatnya yang ‘membatasi’ maka
ketentuan pembatasan ini tidak sama sekali menghilangkan hak yang dibatasi ini .
Pembatasan ini hanya boleh dilakukan berdasar UU dan ditujukan untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain, sesuai dengan
moralitas, ketertiban umum, dan syarat-syarat untuk kesejahteraan umum dalam suatu
warga yang demokratis.
Ketentuan-ketentuan pembatasan yang diperbolehkan lainnya dapat ditemui dalam
beberapa pasal di ICCPR. Pasal 18 ayat (3) ICCPR menyatakan bahwa pelaksanaan
(manifestasi) kebebasan beragama hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasar
UU dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral
warga , atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Demikian pula dengan
Pasal 19 ayat (3) ICCPR yang memperbolehkan pembatasan atas hak untuk menyampaikan
pendapat dengan syarat bahwa pembatasan ini dilakukan berdasar UU
sepanjang diperlukan untuk menghormati reputasi orang lain dan untuk melindungi
keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum.536 Pembatasan yang
lebih umum ada dalam Pasal 20 ICCPR yang menyatakan bahwa segala propaganda
untuk perang harus dilarang oleh hukum dan segala tindakan yang menganjurkan
kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk
melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, harus dilarang oleh hukum.
Selain konsep pembatasan, dikenal juga konsep derogasi (derogation) yang dapat diartikan
sebagai pengurangan atau penundaan. Suatu hak yang di-derogasi bukan berarti tidak
dipenuhi sama sekali. Oleh sebab itu derogasi, hanya dapat dilakuan untuk batas waktu
tertentu dan dengan mekanisme yang ketat, yang biasanya hanya dapat dilakukan pada
kondisi darurat (state of emergency).537 Setelah kondisi ini berakhir, tindakan derogasi
harus segera dihentikan.
Dapat dikatakan bahwa pembatasan dapat diberlakukan terhadap semua beberapa hak
dan kebebasan, kecuali jika pembatasan ini dapat mencabut hak ini secara
total, atau dengan kata lain pembatasan ini sekaligus mengakibatkan derogasi.
Derogasi juga dapat dilakukan terhadap semua hak, kecuali terhadap hak tertentu yang
dinyatakan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Pasal 4
ICCPR menyatakan:
1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya,
yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat
mengambil langkah-langkah yang mengurangi2 kewajiban-kewajiban mereka
berdasar Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi
darurat ini , sepanjang langkah-langkah ini tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban lainnya berdasar hukum internasional dan tidak
mengandung diskriminasi semata-mata berdasar atas ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama atau asalusul sosial.
2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18
sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasar ketentuan ini.
3. Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan
pengurangan ini harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara
Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa, mengenai ketentuan- ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-
alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui
perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan ini .
Hak yang termasuk ke dalam kategori non-derogable rights adalah hak yang bersifat
mendasar dan prinsipil bagi kemanusiaan. Hak ini tidak dapat dilanggar bahkan
pada saat kehidupan bernegara sedang terancam. Jika hak-hak ini di-derogasi,
maka akan merendahkan martabat manusia dan bahkan menghilangkan hakikat diri
sebagai manusia yang tidak dapat dikembalikan lagi dalam keadaan biasa. Oleh sebab
itu, hak yang termasuk dalam non-derogable rights secara otomatis tidak tunduk pada
pembatasan. Terhadap hak yang dikategorikan sebagai non-derogable rights ini ada yang
mengklasifikasikan sebagai inti dari HAM dan menjadi puncak hierarki dalam tatanan
hukum internasional.
Hak Hidup (Right to life)
Hak hidup (right to life) merupakan bagian dari non-derogable rights. Hak ini, sebagaimana
diuraikan dalam Bab II, telah dinyatakan dalam berbagai hukum HAM internasional. Hak
hidup diakui dalam Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa: “Everyone has the right to life,
liberty, and security of persons.” Menurut Eleanor Rooselvelt dan Rene Casin, dua di antara
perumus UDHR, hak untuk hidup tidak mengenal pengecualian dan tujuan perumusan
hak itu adalah agar kelak hukuman mati dapat dihapuskan.
Pengaturan hak untuk hidup sebagai non-derogable right ada dalam ICCPR. Pasal 4
ayat (2) ICCPR secara spesifik menyebut bahwa ketentuan Pasal 6 ICCPR yang mengatur
tentang hak hidup, sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Komite HAM PBB (United Nations Human Rights Committee)540 juga menegaskan bahwa
hak untuk hidup adalah ‘the supreme right’ di mana pengurangan kewajiban (derogation)
terhadap hak ini tidak diizinkan, meskipun dalam keadaan darurat. Menyadari bahwa
hak untuk hidup merupakan bagian dari non-derogable rights serta hukuman mati tidak
dapat sekaligus menghilangkan kejahatan, warga internasional juga menyepakati
untuk mengadopsi Second Optional Protocol of ICCPR aiming of the Abolition of Death Penalty
pada 1990. Protokol Opsional ini secara tegas menyatakan pelarangan terhadap praktik
hukuman mati.
ada beberapa instrumen hukum internasional yang melarang praktik hukuman mati
sebagaimana tercantum dalam Tabel berikut:
--
-
3. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of the
Abolition of Death Penalty 1990
Intsrumen ini secara
khusus bertujuan untuk
penghapusan hukuman
mati
Hingga saat ini tercatat
50 negara telah
meratifikasi
4. Protocol No. 6 of the European Convention for the
Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms 1985
Instrumen ini bertujuan
untuk penghapusan
hukuman mati di
kawasan Eropa.
5. The Rome Statute of International Criminal Court
1998
Instrumen ini tidak
mencantumkan hukuman
mati sebagai salah satu
bentuk penghukuman.
Hingga saat ini tercatat
94 negara telah
meratifikasi.
Jaminan atas hak untuk hidup diatur dalam Pasal 6 ICCPR, yang menyatakan:
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by
law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may
be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force
at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of
the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment
of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final
judgement rendered by a competent court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that
nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to
derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of
the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be
granted in all cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below
eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital
punishment by any State Party to the present Covenant.
Terjemahan Pasal 6 ICCPR:
1. Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib
dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman
mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius
sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan ini , dan
tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan
dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas
dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. jika suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus
dipahami, bahwa tidak satu pun dalam pasal ini yang memberi kewenangan
pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban
apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan
dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon
pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau
penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan
terhadap wanita yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau
mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam
Kovenan ini.
Perumusan dalam Pasal 6 aya (1) ICCPR menegaskan bahwa hak hidup merupakan hak
yang melekat pada setiap orang dan hak ini harus dilindungi oleh hukum. Semangat dalam
Pasal 6 ICCPR adalah menghendaki dihapuskannya hukuman mati, namun ICCPR masih
memperbolehkan dilakukannya hukuman mati dengan memberi batasan-batasan
yang sangat ketat dalam penerapannya. Oleh sebab nya, pengaturan dalam Pasal 6 ICCPR
juga dianggap bahwa hukuman mati tidak sesuai (incompatible) dengan hak untuk hidup.
ini terlihat dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR dengan adanya frasa “…in countries which
have not abolished the death penalty…”, yang sesungguhnya menunjukan bahwa hukuman
mati bertentangan dengan hak hidup yang ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan
diharapkan hukuman mati akan dihapuskan berdasar penegasan hak itu. Hanya saja,
untuk negara-negara yang pada saat ICCPR diberlakukan masih menerapkan hukuman
mati, pelaksanaanya harus dilakukan secara terbatas dan ketat dengan syarat tertentu
sebagai langkah awal untuk penghapusannya. Selain itu, bahwa maksud Pasal 6 ICCPR
adalah mengarah pada penghapusan hukuman mati, yang terlihat dalam ayat (6) yang
menyatakan “Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of
capital punishment by any State Party to the present Covenant.” Dengan demikian, hukuman
mati harus dihapuskan dan Pasal 6 ayat (2) ICCPR ini tidak dapat dijadikan alasan
untuk menunda penghapusan hukuman mati.
Sebagai kelanjutan untuk menghapus hukuman mati, PBB kemudian mengesahkan
Second Optional Protocol of ICCPR aiming of the Abolition of Death Penalty 1990. Protokol
178 179
--
-
ini bertujuan untuk menghapus hukuman mati dalam keadaan apapun, baik dalam masa
damai maupun dalam masa perang. Bagian konsiderans Protokol menyatakan “Noting
that article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights refers to abolition of
the death penalty in terms that strongly suggest that abolition is desirable” (Memerhatikan
bahwa Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ditujukan
pada penghapusan hukuman mati dalam pengertian yang sangat jelas menghendaki
terwujudnya penghapusan hukuman mati).
Kehendak untuk menghapus hukuman mati juga tercermin pada Paragraf 6 Komentar
Umum No. 6 untuk Pasal 6 ICCPR542 yang diterbitkan oleh Komite HAM PBB. Paragraf 6
Komentar Umum menyatakan “The article also refers generally to abolition in terms which
strongly suggest [paras. 2 (2) and (6)] that abolition is desirable. The Committee concludes that
all measures of abolition should be considered as progress in the enjoyment of the right to
life…”. Artinya, Pasal 6 ICCPR secara umum ditujukan pada abolisi (penghapusan) dalam
pengertian yang sangat jelas, yakni menghendaki terwujudnya penghapusan hukuman
mati. Komite menyimpulkan bahwa semua usaha abolisi harus dianggap sebagai
kemajuan dalam penghormatan terhadap hak untuk hidup.
Komite HAM dalam membahas kasus Roger Judge v. Canada543 terkait dengan penerapan
Pasal 6 ICCPR menyatakan bahwa hukuman mati tidak diperkenankan. Hukuman mati
termasuk pengurangan ‘sewenang-wenang’ atas hak untuk hidup. sebab adanya Pasal
6 Ayat (2), Komite HAM menyatakan bahwa negara-negara yang belum menghapus
hukuman mati boleh terus mempraktikkan hukuman mati namun harus sejalan dengan/
mematuhi pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dalam ketentuan ini . Namun,
negara-negara yang telah menghapus hukuman mati tidak dapat lagi memanfaatkan
Pasal ayat (2), dan juga tidak boleh berkontribusi lagi terhadap terjadinya hukuman mati,
misalnya dengan mengekstradisi orang ke negara yang mungkin menerapkan hukuman
mati.
Komite HAM menyatakan beberapa pandangan dalam kasus ini , di antaranya:
10.4 Untuk menilai penerapan pasal 6, Komite menyadari bahwa, sebagaimana diatur
oleh Konvensi Wina tentang Hukum Traktat (Vienna Convention on the Law of Treaties),
suatu traktat (treaty) harus ditafsirkan berdasar iktikad baik dan istilah-istilahnya
harus ditafsirkan sesuai dengan arti/makna biasa istilah ini dalam konteks
traktat (treaty) ini serta harus sejalan dengan maksud dan tujuannya. Pasal 6
ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat
pada dirinya”, adalah sebuah ketentuan umum: tujuannya adalah untuk melindungi
kehidupan. Negara-negara pihak yang telah menghapus hukuman mati diwajibkan
ayat ini untuk melindungi kehidupan dalam segala keadaan sebagaimana dikehendaki
542 Komite HAM PBB, General Comment No. 6…, op.cit., para 6.
543 Komite HAM PBB, Roger Judge v. Canada, CCPR/C/78/D/829/1998, 13 Agustus 2003.
ayat ini. Ayat 2 hingga Ayat 6 jelas dimasukkan untuk mencegah pembacaan Ayat 1
sebagai penghapusan hukuman mati. Konstruksi pasal ini diperkuat oleh kata-kata
pembuka Ayat 2 (Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati) dan
oleh Ayat 6 (tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda
atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi Pihak dalam
Kovenan ini). Sebagai akibatnya, Ayat 2 hingga Ayat 6 memiliki fungsi ganda, yakni
membuat hukuman mati sebagai pengecualian atas hak untuk hidup sekaligus
menciptakan pembatasan bagi pemberlakuan pengecualian ini . Pengecualian
ini hanya dapat diberlakukan pada hukuman mati yang dijatuhkan ketika
unsur-unsur tertentu terpenuhi. Di antara pembatasan-pembatasan dimaksud adalah
apa yang bisa dilihat pada kata-kata pembuka Ayat 2, yakni bahwa hanya negara-
negara pihak yang “belum menghapus hukuman mati” yang dapat memanfaatkan
pengecualian-pengecualian yang diberikan oleh Ayat 2 hingga Ayat 6 ini. Untuk
negara-negara yang telah menghapus hukuman mati, mereka berkewajiban untuk
tidak menghadapkan orang pada kemungkinan ancaman hukuman mati. Dengan
demikian, mereka tidak boleh mengeluarkan orang dari yurisdiksi mereka, baik dengan
cara deportasi maupun dengan cara ekstradisi, jika ada kemungkinan bahwa
di sana orang ini akan dihukum mati, tanpa mendapatkan jaminan bahwa
hukuman mati tidak akan diterapkan terhadap orang itu.
10.5 Komite menyadari bahwa dengan menafsirkan Ayat 1 dan Ayat 2 dari Pasal 6
dengan cara seperti itu, negara pihak yang abolisionis (negara pihak yang telah
menghapus hukuman mati dan negara pihak yang retensionis (negara pihak yang
masih mempertahankan hukuman mati) diperlakukan secara berbeda. Namun
Komisi memandang bahwa ini merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan
dari redaksional ketentuan itu sendiri, yang, sebagaimana terungkap dari Travaux
Preparatoires-nya, memang bermaksud mendamaikan pandangan-pandangan yang
saling bertolak belakang mengenai hukuman mati dalam usaha mencari kompromi
di antara para pembuat ketentuan ini . Komite menyadari bahwa di dalam
Travaux ini dinyatakan bahwa, di satu sisi, penghapusan hukuman mati
haruslah menjadi salah satu prinsip utama Kovenan ini , akan namun di sisi lain,
diungkapkan kenyataan bahwa hukuman mati berlaku di negara-negara tertentu dan
dengan demikian penghapusan hukuman mati akan menimbulkan kesulitan bagi
negara-negara ini . Hukuman mati dipandang banyak delegator dan badan yang
terlibat dalam proses drafting sebagai sebuah “anomali” atau sebuah “neccesary evil”.
Oleh sebab itu, logislah kiranya jika peraturan yang terkandung dalam Pasal 6 Ayat
1 ditafsirkan secara luas, sedangkan Ayat 2, yang berbicara tentang hukuman mati,
harus ditafsirkan secara sempit.
10.6 berdasar alasan-alasan di atas, Komite menilai bahwa Kanada, sebagai
negara pihak yang telah menghapus hukuman mati, terlepas dari apakah ia telah
180 181
--
-
meratifikasi Protokol opsional Kedua terhadap Kovenan yang Bertujuan Menghapus
Hukuman Mati (Second Optional Protocol to the Covenant Aiming at the Abolition of the
Death Penalty) telah melanggar hak untuk hidup sang pelaku yang dijamin oleh Pasal
6 Ayat 1, dengan mendeportasikannya ke Amerika Serikat, di mana ia dihadapkan
pada ancaman hukuman mati, tanpa terlebih dahulu mendapatkan jaminan bahwa
hukuman mati tidak akan diberlakukan. Komite menyadari bahwa Kanada memang
tidak menerapkan sendiri hukuman mati terhadap sang pelaku. Akan namun , dengan
mendeportasikannya ke suatu negara di mana ia dihadapkan pada ancaman hukuman
mati, Kanada menciptakan suatu hubungan krusial dalam mata rantai hubungan
kausal yang memungkinkan dieksekusinya sang pelaku.544
Keputusan Komite HAM ini diambil secara bulat (unanimous). Dengan demikian,
Komite HAM yang beranggotakan delapan belas ahli internasional yang ditugasi
melakukan penafsiran atas ICCPR ini berpandangan bahwa Pasal 6 ayat (1),
merupakan suatu penegasan umum akan hak hidup yang secara garis besar sama dengan
ketentuan sejenis di konstitusi banyak negara, termasuk konstitusi negara kita , yang
melarang adanya hukuman mati. Hanya ketika hukuman mati dikecualikan secara tegas/
eksplisit, sebagaimana halnya Pasal 6 ayat (2), barulah hukuman mati dapat diterapkan.
Namun demikian, ketentuan itu harus ditafsirkan secara sempit dan hanya berlaku bagi
negara-negara yang belum menghapus hukuman mati. Dalam perkara Judge v. Canada
ini , Komite HAM berpendapat bahwa bila Kanada terlibat dalam hukuman mati
dengan cara mengekstradisi si pemohon ke sebuah negara di mana seseorang diancam
dengan hukuman mati, maka Kanada telah melanggar Pasal 6 ICCPR sebab Kanada telah
menghapus hukuman mati.
Berbagai perkembangan hak hidup dan hubungannya dengan hukuman mati
menunjukkan arah penghapusan hukuman mati. Semangat ini masih sejalan dengan
semangat penghapusan hukuman mati sejak terbentuknya ICCPR.
4.2. Hak Hidup dalam Konstitusi Indonesia
Hingga kini, Indonesia telah memberlakukan empat konstitusi yakni: (i) UUD 1945; (ii)
UUD Republik Indonesia Serikat; (iii) UUDS 1950; dan (iv) UUD 1945 dengan perubahan I
sampai dengan perubahan IV, sebagai Konstitusi yang berlaku saat ini. Dalam sejarahnya
perkembangan Konstitusi negara kita , hak hidup juga mewarnai pembahasan dalam
pembentukan Konstitusi di negara kita .
Dalam pembentukan UUD 1945, ada sumber yang menggambarkan konsistensi
Supomo (sebagai pihak yang diperkirakan telah menyusun rancangan UUD di 1942),
544 Ibid.
tentang pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak penduduk yang terdiri dari 74 pasal,
di mana sebanyak 15 Pasal memuat rumusan tentang ‘Hak dan Kewajiban Penduduk’ (yang
identik dengan Hak Asasi Manusia). Sebagai perbandingan, jumlah ketentuan ini
dua kali lipat lebih banyak dari pada yang tercantum di UUD 1945.545 Namun demikian,
pengaturan perlindungan HAM dalam UUD 1945 sangat minim dan bahasan mengenai
jaminan hak hidup tidak tercantum dalam UUD 1945.
ini berbeda dengan dengan UUD RIS dan UUDS 1950, yang penuh dengan rumusan
hak-hak asasi manusia, di mana hampir keseluruhan rumusan dalam UDHR di adopsi
dalam pasal-pasal Konstitusi. Namun demikian rumusan secara eksplisit mengenai hak
hidup tidak ditemukan dalam kedua UUD ini , namun konstitusi menyebut pengakuan
sebagai pribadi di hadapan UU dan ketentuan mengenai larangan untuk dihukum secara
ganas yang tidak mengenal perikemanusiaan atau menghina. Rumusan Pasal 3 UDHR
yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai
individu”, tidak dicantumkan dalam UUD RIS dan UUDS 1950.
Pembahasan mengenai hak hidup baru muncul dalam sidang Konstituante. Anggota
Konstituante, Asmara Hadi, secara lugas menunjuk larangan hukuman mati dalam
Konstitusi (uraian mengenai konsep pemikirannya terkait hak hidup dan larangan
hukuman mati dalam Konstitusi telah dipaparkan dalam bab sebelumnya). Asmara Hadi
sempat memprotes atas hasil kerja tim perumus yang tidak mencantumkan usulannya
terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan hukuman mati dalam Laporan Panitia
Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29
Selasa, 19 Agustus 1958. Berikut kutipannya :
“Saudara Ketua, saya tidak akan mengadakan penilaian, namun saya merasa agak
dianaktirikan oleh saudara-saudara Anggota Panitia Perumus. Dalam lampiran ke II ada
tercatat usul rumusan pokok materi baru yang ada dalam pidato pemandangan
umum. Saya pun di dalam pemandangan umum ada mengajukan beberapa usul
barunamun hampir buta saya melihat disini tidak tercantum. Yang saya ajukan ialah 1.
Hak Hidup; 2. Hak untuk tidak dapat dijatuhi hukuman mati. Saya tegaskan disini saudara
Ketua, bahwa permintaan saya atau usul saya ini sama sekali tidak ada hubungannya
dengan peristiwa Cikini, hanya saya minta supaya dalam Konstitusi kita yang akan
datang itu, bernyawakan bahwa hukuman pada siapaun juga, bukan merupakan
pembalasan dendam, bukan hutang mata dibayar mata, hutang gigi dibayar gigi, namun
haruslah hukuman itu sebagai usaha untuk memperbaiki manusia yang melanggar
tata warga itu. Sebab bagi saya sejahat-jahatnya manusia, bukanlah manusia
yang pada dasarnya memang jahat, namun adalah manusia yang sedang sakit dan kalau
manusia sedang sakit maka kita harus memperbaikinya. Sekian, terimakasih.”546
545 RM A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat Salinan Dokumen Oetentik Badan Oentoek Menyelidiki
Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas negara kita , 2009), hlm. 18.
546 Konstituante Republik negara kita , Risalah Perundingan…, op.cit., hlm. 1903.
182 183
--
-
Panitia Perumus memang melakukan perubahan dengan memasukkan hak hidup dan hak
untuk tidak dihukum mati pada laporan panitia perumus tentang ‘Tambahan Pokok-Pokok
Materi Baru.’547 Namun, pada akhirnya sebagaimana diketahui hak hidup yang berkaitan
dengan larangan hukuman mati ini tidak dicantumkan dalam rancangan konstitusi baru.
Pada 1957 sampai dengan 1959, Konstituante juga bekerja untuk menyusun konstitusi
baru Republik negara kita , namun terhenti sebab Presiden mengeluarkan Dekrit untuk
kembali ke UUD 1945. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 kemudian yang berlaku
hingga masa Orde Baru dan kemudian dilakukan beberapa amandemen setelah memasuki
masa reformasi pada 1998.
Pembahasan mengenai hak hidup kemudian terjadi kembali pada saat pembahasan
untuk perubahan UUD 1945, yang terlihat di pembahasan Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999. Mengenai HAM dan hak hidup disinggung
oleh beberapa Anggota MPR di antaranya Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti,
dan Slamet Efendy Yusuf. Taufiqurrohman Ruki menyatakan bahwa hak-hak warga negara
berupa hak asasi manusia, meliputi pengakuan negara atas HAM; hak-hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Lebih lanjut Taufiqurrohman Ruki
menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”548
Senada dengan Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti dari Fraksi Utusan Golongan
(F-UG) juga menguraikan beberapa prinsip yang menjadi dasar usulan fraksinya
terkait perubahan terhadap UUD 1945. Dua prinsip yang terkait dengan pencantuman
rumusan hak hidup adalah: pertama, adanya kesepakatan yang bersifat internasional
dan perkembangan pembahasan berbagai kesepakatan yang bersifat nasional.
Kesepakatan internasional adalah kesepakatan yang mengikat negara-negara yang telah
menandatanganinya, antara lain Declaration of Human Rights 1948, Kovenan Hak-Hak Sipil
dan Politik, dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sementara kesepakatan
yang bersifat nasional di antaranya adalah Ketetapan MPR No. 17 Tahun 1998, UU No.39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Garis-Garis Besar Haluan Negara 1998, dan
juga melihat UUD RIS, UUDS, dan rumusan konstituante. Kedua, ada hak-hak yang
disebut sebagai non derogable rights yaitu hak yang tidak boleh dicabut oleh siapapun.
Oleh sebab nya (Fraksi UG) mengusulkan agar non derogable rights ini harus dirumuskan
547 Ibid., hlm. 1905. Pokok-Pokok Materi Baru yaitu: Nomor 15: “Hak hidup dan hak untuk tidak dihukum mati”; Nomor 16:
“Hak recall”; Nomor 17: “ Hak tidak bisa kehilangan kewarganegaraan”; Nomor 18: “Hak untuk bebas berpindah kewarganeg-
araan”; Nomor 19: “Hak supaya dihukum sesuai dengan perikemanusiaan.”
548 Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 195 Latar Belakang, Proses, dan Hasil pembahasan 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi
Manusia dan Agama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Edisi Revisi, 2010), hlm. 227.
dan ditegaskan bahwa hak-hak ini dijamin dan dilindungi oleh negara, serta tidak
boleh dicabut oleh siapapun. Non derogable rights ini antara lain adalah hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut sebagai hak-hak asasi yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.549
Mengenai pembahasan tentang non derogable rights, Slamet Efendy Yusuf mengusulkan
agar dimasukkan penegasan tentang hak-hak yang berkaitan dengan hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebab non derogable rights ini sangat
penting. Meneruskan uraiannya, Slamet Effendy Yusuf juga membacakan isi pasal-pasal
tentang hak asasi manusia secara rinci. Khusus mengenai hak hidup diusulkan untuk
dirumuskan secara mandiri di Pasal 29 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan untuk hidup dan kehidupannya.”
Namun demikian dari pembahasan di MPR ini elaborasi terkait dengan hak hidup
juga kurang mendalam, sehingga dalam beberapa hal memiliki kesan yang menggantung.
ini berlanjut dan nampak pada hasil pengujian di Mahkamah Konstitusi dalam
pengujian konstitusionalitas hukuman mati.
Tabel 4.2 Ketentuan Konstitusi Indonesia yang terkait dengan Hak Hidup
dan Bebas dari Penyiksaan atau Hukuman Kejam yang tidak Mengenal
Perikemanusiaan
UUD 1945 UUD RIS UUDS 1950
SUB KOMISI HAM DAN
PANITIA PERSIAPAN
KONSTITUSI
(KONSTITUTUANTE)
AMANDEMEN KEDUA
UUD 1945
Tidak ada
pasal yang
mengaturnya
Bagian 5 Hak-Hak
dan Kebebasan-
Kebebasan Dasar
Manusia
Pasal 7
1. Setiap orang
diakui sebagai
manusia pribadi
terhadap
undang-undang
2. Sekalian
orang berhak
menuntut
perlakuan dan
perlindungan
yang sama oleh
undang-undang
Bagian V
Hak-Hak dan
Kebebasan-Kebeba
san Dasar Manusia
Pasal 7
1. Setiap orang
diakui sebagai
manusia pribadi
terhadap
undang-undang
2. Sekalian
orang berhak
menuntut
perlakuan dan
perlindungan
yang sama oleh
undang-undang
Hak-hak yang Disepakati
penuh oleh Sub Komisi
HAM dan Panitia Persiapan
Konstitusi
1. hak penghidupan,
kebebasan , keselamatan
pribadi
2. hak pengakuan sebagai
manusia pribadi terhadap
undang-undang
3. hak perlindungan yang
sama mengenai HAM
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup
dan kehidupannya.
Pasal 28G
1. Setiap orang berhak
atas perlindungan
diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan
549 Ibid., hlm. 280 – 282.
184 185
--
-
Pasal 11
Tiada seorang
juapun akan
disiksa ataupun
diperlakukan
atau dihukum
secara ganas,
tidak mengenal
perikemanuiaan
atau menghina
Pasal 11
Tiada seorang
juapun akan
disiksa ataupun
diperlakukan
atau dihukum
secara ganas,
tidak mengenal
perikemanuiaan
atau menghina
4. Hak tidak boleh dianiaya
dan atau diperlakukan
secara kejam yang
bertentangan dengan
perikemanusiaan dan/
atau kehormatan
manusia
dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
2. Setiap orang
berhak untuk bebas
dari penyiksaan
atau perlakuan yang
merendahkan derajat
martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.
Pasal 28I
1. Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan
apa pun.
4.3. Hak hidup dalam Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
UUD 1945 menempatkan hak hidup sebagai hak asasi yang sangat penting sehingga
digolongkan ke dalam “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Penempatan hak untuk
hidup di urutan pertama dari tujuh hak yang digolongkan dalam “hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” merupakan suatu bukti pentingnya hak
hidup ini .
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Keberadaan frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” merupakan indikasi yang
sangat kuat bahwa UUD 1945 tidak menghendaki pembatasan atas hak-hak asasi manusia
yang disebutkan secara spesifik dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pada prinsipnya, jika
dikehendaki adanya pembatasan atas HAM maka Konstitusi akan menyatakannya secara
tegas di dalam konstitusi itu sendiri.
Namun, hak-hak yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga sering ditafsirkan
bahwa hak-hak ini dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan pembatasan HAM,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Padahal, dengan melakukan
penafsiran secara sistematis, terlihat bahwa keberadaan Pasal 28J ayat (2) lebih tepat
ditujukan sebagai pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia lainnya (yang termasuk
di dalam Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia), dan bukan terhadap tujuh hak
asasi yang secara spesifik disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1).
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga demokratis.
Perbedaan pandangan tentang penafsiran pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) dan
hubungannya dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengemuka dalam berbagai judicial
review di Mahkamah Konstitusi (MK). Isu pertama adalah tentang “hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut” sebagai hak yang tidak boleh dikurangi dalam situasi
apapun. Hak ini dianggap bersifat mutlak, sebagaimana larangan untuk menerapkan
asas “non-retroaktif”. ada perbedaan para Hakim MK dalam membahas masalah
ini, sebagaimana dalam Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 065/
PUU-II/2004. Kontroversi ini dapat dimaklumi sebab pada satu sisi asas non-retroactive
merupakan suatu asas yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, namun di sisi
lain penyimpangan terhadap asas ini secara sangat terbatas dianggap pernah dilakukan
dalam peradilan internasional, khususnya dalam mengadili para pelaku kejahatan yang
sangat berat misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan
genosida (genocide).
Perbedaan kedua adalah terkait dengan hak hidup yang dalam Pasal 28 ayat (2) juga
merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. MK telah membahas
masalah ini dalam beberapa putusan, di antaranya Putusan Nomor 019-020/PUUIII/ 2005
tentang Pengujian UU. No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada putusan ini MK dengan suara bulat berpendapat
bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang sangat penting, sehingga
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Mahkamah berpendapat bahwa hak asasi manusia mengakui hak-hak yang penting
bagi kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa di antara hak asasi yang lain, hak
186 187
--
-
untuk hidup, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan merupakan hak yang
sangat penting. Demikian pentingnya hak untuk hidup dimaksud, sehingga Pasal 28I
Ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.550
Bahwa maksud dari frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” juga dibahas
oleh para Hakim MK pada putusan-putusan sebelumnya. Pada Putusan Nomor 013/
PUU-I/2003 tentang Pengujian UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Penetapan Perpu
No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi
UU, dengan mengacu pada pendapat (saat itu) ahli Maria Farida Indrati (sekarang Hakim
MK), MK dengan suara mayoritas berpendapat bahwa pembatasan atas HAM dalam Pasal
28J Ayat (2) UUD 1945 tidak dapat diberlakukan pada hak-hak asasi manusia yang diatur
dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945, sebab adanya frasa “dalam keadaan apapun”.
“Menimbang bahwa Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan peraturan
perundang-undangan sebelumnya dan menempatkan asas aquo dalam tingkatan
peraturan perundang-undangan yang tertinggi (hogere optrekking) pada tataran
hukum konstitusional. Constitutie is de hoogste wet ! Negara tidaklah dapat menegasi
UUD, sebab jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya
sendiri (de constitutie snijdt zijn eigen vlees). Dengan mengacu pula kepada pendapat
ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. maka ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat
diberlakukan terhadap Pasal 28I Ayat (1), sebab adanya anak kalimat (frasa) “dalam
keadaan apapun”. Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah berpendapat
bahwa semua hak asasi dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD.”551
Pendapat senada dapat diketemukan pada dissenting opinion dalam Putusan Nomor 065/
PUU-II/2004 dalam perkara Pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Pada putusan ini Hakim Achmad Roestandi, menyatakan:
“Ada beberapa HAM yang dijamin dalam UUD 1945. berdasar Pasal 28J semua
HAM itu dapat dibatasi dengan alasan tertentu, kecuali HAM yang disebutkan dalam
Pasal 28I [Ayat (1)]. Sekali lagi, harus dibaca seperti itu, sebab jika ketujuh HAM yang
tercantum dalam Pasal 28I [Ayat (1)] masih bisa diterobos dengan pembatasan yang
ditentukan dalam Pasal 28J, berarti tidak ada lagi perbedaan antara ketujuh HAM itu
dengan HAM yang lainnya. Jika demikian untuk apa ketujuh HAM itu diatur secara
khusus dalam Pasal 28J [seharusnya I].
Dengan kata lain untuk apa Pasal 28J [seharusnya I] diadakan!. Frasa “….hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
550 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 019-020/PUUIII/2005, hlm. 106.
551 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 42.
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, khususnya kata-kata “tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun” adalah kata-kata yang sudah terang dan jelas, atau
dengan meminjam istilah hukum fiqih Islam, merupakan sesuatu dalil yang qoth’i.”552
Pada Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dalam perkara Permohonan Pengujian UU No.
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945, Hakim Achmad Roestandi
juga menegaskan pendapatnya tentang penafsiran Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 sebagai
berikut:
“Di negara kita , berdasar UUD 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh
pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum
dalam keseluruhan Bab XV tentang hak asasi manusia, kecuali terhadap hak-hak
yang tercantum dalam Pasal 28I, yaitu: (i) Hak hidup. (ii) Hak untuk tidak disiksa. (iii)
Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani. (iv) Hak beragama. (v) Hak untuk tidak
diperbudak. (vi) Hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. (vii) Hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.”553
Hakim MK lainnya, Laica Marzuki, juga memiliki pandangan yang sama bahwa hak-hak
yang ada dalam Pasal 28I ayat (2) tidak dapat dinegasikan dengan Pasal 28K ayat (2)
UUD 1945. Pada Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, Hakim Laica Marzuki menyatakan:
“..... Pasal 28I [Ayat (1)] UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat di-negasi oleh Pasal 28J [Ayat
(2)] UUD NRI Tahun 1945 yang hanya menetapkan pembatasan pemakaian hak dan
kebebasan setiap orang atas dasar undang-undang dalam makna wet, Gesetz, namun
sama sekali bukan dalam makna pembatasan atas dasar Grundgesetz (Undang-
Undang Dasar).”554
Pada perkara yang sama, Hakim Abdul Mukthie Fadjar, memiliki pendapat yang sama
dengan Hakim Achmad Roestandi dan Laica Marzuki, yang pada intinya mengatakan
bahwa pembatasan yang dilakukan oleh Pasal 28J Ayat (2) tidak dimaksudkan untuk
membatasi hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I Ayat (1), namun ditujukan untuk hak asasi
lainnya yang juga diatur pada Bab XA dari UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Hakim
Abdul Mukthie Fadjar menyatakan:
“.....jika UUD 1945 dalam Pasal 28I Ayat (1) merumuskan “hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” adalah tentu dengan
-
penuh kesadaran dan bukti komitmen religiusitas serta kepada universalitas hak asasi
manusia. Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 adalah untuk restriksi terhadap beberapa HAM
di luar apa yang secara limitative telah disebutkan dalam Pasal 28I Ayat (1).”555
Berbagai pandangan hakim MK di atas merupakan perdebatan-perdebatan awal tentang
makna dari Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dalam Putusan Nomor 013/
PUU-I/2003 Hakim MK secara bulat menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak
asasi manusia yang sangat penting, sehingga Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak
untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Demikian pula dengan adanya pandangan beberapa Hakim MK yang menyatakan bahwa
Pasal 28J ayat (2) tidak dapat dipakai untuk membatasi atau mengurangi hak-hak
asasi yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (1), termasuk hak untuk hidup yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
Penegasan Pandangan MK: Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 ini tidak bersifat mutlak.
Dalam Putusan No 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 22 tahun 1997 tentang
Narkotika, MK kembali membahas masalah penerapan Pasal 28I UUD 1945 dan
hubungannya dengan ketentuan pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. MK
juga memberi penafsiran atas beberapa hal terkait Pasal 28I UUD 1945 ayat (1), yakni
penafsiran atas konsep hak hidup (right to life) dan ruang lingkup kejahatan-kejahatan
serius dalam hukuman mati. Landasan pengujian konsitusionalitas dalam perkara ini pada
pokoknya terkait dengan jaminan hak atas hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28A UUD
1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya” dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
MK memberi berbagai argumentasi bahwa pengaturan tentang HAM dapat dibatasi
atau hak-hak yang dijamin dalam Pasal 28 ayat (1) tidak berlaku mutlak. Argumentasi
MK ini adalah: pertama, Putusan MK merujuk pada sejarah penyusunan Pasal 28I
UUD 1945 dengan kesimpulan bahwa hak-hak asasi dalam UUD 1945 tidak ada yang
bersifat mutlak termasuk yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.556 Pandangan ini
berdasar keterangan dari Lukman Hakim Saefuddin, mantan anggota Panitia Ad Hoc
I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan
UUD 1945. Dalam proses perumusan Bab XA (tentang Hak Asasi Manusia) yang menjadi
rujukan atau latar belakang adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, dan ketetapan
ini kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat dari
kedua ketentuan ini adalah adalah sama, yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi
manusia bukan tanpa batas. HAM bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan
untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan UU dan semangat ini yang
melahirkan Pasal 28J UUD 1945.557 Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu
mencakup Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945
MK mengutip pandangan Lukman Hakim Syaifuddin yang menyatakan:
“... kembali saya tegaskan bahwa keberadaan Pasal 28J ini adalah pasal, satu-satunya
pasal, yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara kewajiban, padahal babnya hak
asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir sebagai kunci dari Pasal
28A sampai Pasal 28I.”
MK kemudian menyimpulkan bahwa dilihat dari perspektif original intent pembentuk
UUD 1945, seluruh ketentuan tentang HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Pembatasan HAM ini diperkuat dengan penempatan Pasal
28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM dalam
Bab XA UUD 1945 ini . berdasar penafsiran sistematis (sistematische interpretatie),
HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada
pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Lebih lanjut MK menyatakan bahwa sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUD
1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights
yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal
penutup, yakni dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and
freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely
for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a
democratic society.”560
Kedua, untuk mendukung pandangan tentang adanya pembatasan HAM atau HAM
bukan bersifat mutlak, MK juga mengajukan argumentasi tentang perkembangan
Konstitusi negara kita . MK menyebut bahwa dengan melihat sejarah perkembangan
konstitusionalisme negara kita , sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang
pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950,
dan UUD 1945 sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak
memutlakkan HAM, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi,
HAM dapat dibatasi oleh suatu UU. Pendekatan dari sudut sejarah konstitusi ini
diuraikan oleh MK sebagai berikut:
(a) UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun
dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah
satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
(b) Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak
dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan
kebebasan itu, akan namun hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman,
kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
(c) Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar
Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan
undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang
tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan
dalam suatu warga yang demokratis”;
(d) UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham
konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi-konstitusi Indonesia
sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana
telah diuraikan di atas.561
Ketiga, sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM, ketika
kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia dan kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini
tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme
Indonesia tidaklah berubah sebab ternyata keduanya juga memuat pembatasan
terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, sebagai berikut:
a. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa
Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasar pada Pancasila dan
UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang
hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan
terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga demokratis”;
b. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan
dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun
Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi
dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam
hal pidana mati berdasar putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM
juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia
sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya
dapat dibatasi oleh dan berdasar undang-undang, sematamata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Keempat, MK merujuk pada Deklarasi Cairo. Indonesia sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara
moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang
diselenggarakan oleh OKI. Pasal 8 huruf a Deklarasi ini menyatakan, “Kehidupan
adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas
dari individu, warga dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap
pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasar syariat”.
Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup
yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang.
Kelima, MK juga merujuk putusan-putusan sebelumnya yang terkait dengan pengujiannya
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, khususnya tentang diterapkannya ketentuan hukum
yang berlaku surut. MK merujuk pada Putusan Putusan No. 065/PUU-II/2004 tentang
diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, ada beberapa hak yang
secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”,
termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum
yang berlaku surut. MK tetap dalam pendirian sebagaimana dalam Putusan No. 065/PUU-
II/2004, yang menegaskan Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal
28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut
tidaklah bersifat mutlak. Oleh sebab hak untuk hidup juga termasuk ke dalam kelompok
hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan
“hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, maka pertimbangan hukum dan
pendirian dalam putusan MK ini berlaku pula terhadap hak hidup
-
Keenam, MK menyodorkan fakta-fakta lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk
hidup, baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya
pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan
tentang penghilangan nyawa secara absah. beberapa ketentuan yang dirujuk MK adalah
beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan
hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of
International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to
the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International
Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms
(European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No.
6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning
the Abolition of the Death Penalty.563
Merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam berbagai instrumen hukum internasional
di atas MK berkesimpulan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan
nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan atau pembatasan-
pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma
hukum yang berlaku umum yang diterima oleh warga internasional secara universal.
Yang dapat dikatakan sebagai norma hukum demikian adalah pembatasan-pembatasan
terhadap pemberlakuan pidana mati ini . MK menyimpulkan bahwa telah nyata
bahwa pengertian “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dalam Pasal 28I ayat
(1) UUD 1945 ini tidaklah bersifat mutlak.564
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions)
Dalam Putusan No 2-3/PUU-V/2007 terhadap empat orang Hakim Konstitusi yang
memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Achmad Roestandi, Laica
Marzuki dan Maruarar Siahaan memiliki pendapat berbeda baik mengenai kedudukan
hukum maupun Pokok Permohonan.565
Hakim Achmad Roestandi menyatakan bahwa larangan pembatasan terhadap tujuh jenis
hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) bersifat mutlak. Pembatasan
sebagaimana diatur oleh Pasal 28J ayat (2) tidak dimungkinkan terhadap ketujuh jenis
hak asasi ini . Sebab jika pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) berlaku juga terhadap
hak-hak yang disebut dalam Pasal 28I ayat (1), maka perumus UUD 1945, quad non, telah
memuat Pasal yang sia-sia atau tidak berguna.
Hakim Achmad Roestandi juga menjelaskan tentang hubungan antara negara hukum dan
hukum Islam. Hakim Roestandi mengakui fakta bahwa hukum Islam membolehkan adanya
hukuman mati. Namun demikian, ada perbedaan paradigma antara pelaksanaan norma
agama yang bersifat internal terkait dengan motivasi dan niat, dengan norma hukum
yang bersifat eksternal terkait dengan pelaksanaan secara lahiriyah. Hakim Roestandi
mengatakan bahwa warga Indonesia adalah warga yang pluralistik, yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Bangsa yang pluralistik
itu telah mengadakan kesepakatan (consensus) nasional yang tertuang dalam Pancasila
dan UUD 1945, sebagai dasar hukum (fundamental law) dalam kehidupan berwarga ,
berbangsa dan bernegara. Fundamental law itulah yang merupakan hukum positif tertinggi
yang harus dijadikan pegangan tertinggi oleh semua warga negara, termasuk oleh saya
selaku Hakim Konstitusi dalam memutus perkara pengujian Undang-Undang. Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun, oleh sebab itu pidana mati yang tujuan utamanya
dengan sengaja mencabut hak hidup seseorang bertentangan dengan UUD 1945.567
Senada dengan Hakim Roestandi, Hakim Laica Marzuki juga menyatakan bahwa pasal-
pasal dalam UU Narkoba sepanjang terhadap kata-kata ‘Pidana mati atau’ tidak mengikat
secara hukum sebab bertentang dengan pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.568
Pandangan ini berdasar fakta bahwa pada perubahan Kedua UUD 1945, tepatnya pada
tanggal 18 Agustus 2000, diberlakukan Pasal 28A UUD 1945, yang berbunyi, ‘Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’, di samping
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, berbunyi, ‘Hak untuk hidup, dst,dst, adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun’.
Lebih lanjut Hakim Laica Marzuki menjabarkan bahwa:
“Kedua pasal konstitusi dimaksud mengatur hak untuk hidup (right to life) bagi setiap
orang. Frasa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ‘ Hak untuk hidup ... adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun’ mempernyatakan
bahwasanya hak untuk hidup atau right to life tergolong non-derogable rights, atau
non-derogable human rights. Hak untuk hidup (right to life) tidak dapat disimpangi,
dikesampingkan, apalagi di-negasi, termasuk tidak dapat dibatasi oleh suatu kaidah
hukum yang lebih rendah.”
-
and judiciary as directly valid law’. Tatkala pidana mati atau hukuman mati masih
dipertahankan berarti terjadi suatu contradictio in se (tegenspraak in zich zelf)
terhadap basic right itu sendiri.”570
Hakim Laica Marzuki menyarankan bahwa dimasa depan pidana mati atau hukuman
mati seharusnya tidak diberlakukan lagi terhadap semua kejahatan (abolitionist for all
crimes). beberapa argumen dikemukakan oleh Hakim Laica Marzuki, yakni hukuman mati
tidak dapat dipulihkan (herstel met de vorige toestand) jika terhukum ternyata dinyatakan
tidak bersalah. Hakim Laica Marzuki merujuk pada pengadilan Perancis pada Abad ke 18,
ketika Jean Calas dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi, namun akhirnya tidak terbukti
melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan. Selain itu, Hakim Laica Marzuki juga
menyatakan bahwa hidup adalah karunia Allah, yang tidak dapat dicabut oleh siapapun.571
Hakim Maruarar Siahaan memberi pandangan lebih jauh bahwa pembahasan
mengenai hukuman mati harusnya diselaraskan dengan falsalah Bangsa negara kita . Bahwa
titik tolak dalam pengujian yang dilakukan MK seyogianya harus kembali pada penilaian
secara filosofis menurut jiwa dan moralitas konstitusi yang termuat dalam Pembukaan
UUD 1945, dan kemudian melakukan tafsiran terhadap pasal 28J ayat (2) yang menyatakan
bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan - termasuk hak untuk hidup dalam Pasal
28A dan 28I ayat (1) UUD 1945 yang bersifat non-derogable - terikat pada pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang harus dibaca menurut prinsip-
prinsip, jiwa dan moralitas sila-sila Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945,
dan pasal-pasal yang berkaitan dalam batang tubuhnya.572
Hakim Maruarar Siahaan menyatakan bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak pula
dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang membenarkan pidana mati yang membatasi hak
untuk hidup dalam Pasal 28I UUD 1945. Hakim Maruarar Siahaan menyatakan:
“Pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak pula dapat
ditafsirkan sebagai sesuatu yang membenarkan pidana mati yang membatasi hak
untuk hidup dalam Pasal 28I ayat (1); kedudukan Pasal 28J ayat (1) dan (2) merupakan
satu ketentuan yang bersifat umum yang menegaskan bahwa hak-hak asasi yang
disebut dalam Pasal 28A sampai dengan 28I, tidak bersifat mutlak sebab merupakan
hal yang tidak dapat dilepaskan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain,
dan dapat juga dibatasi secara khusus dengan alasan untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam satu warga demokratis. Dengan demikian tidaklah
dimaksudkan secara khusus untuk membatasi Pasal 28I, khususnya yang dipakai
menjadi dasar pembenar pidana mati, sebab hak untuk hidup yang diartikan secara
luas sebagaimana diuraikan di atas, menyebabkan pembatasan hak untuk hidup tidak
dapat diartikan dengan menghilangkan kehidupan itu sendiri.”
a. Konsepsi the Most Serious Crimes dalam Hukum Internasional
Konsepsi tentang kejahatan-kejahatan yang paling serius (the most serious crime)
merupakan satu-satunya justifikasi yang bisa dipakai oleh negara yang masih ingin
mempertahankan hukuman mati. ini sebagaimanya yang dinyatakan dalam Pasal 6
ICCPR ayat (2):
“In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may only
be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the
time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present
Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered
by a competent court.”
(Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman
mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai
dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan ini , dan tidak
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang).
Definisi tentang kejahatan-kejahatan yang paling serius ini tidak diatur secara jelas.
Akibatnya, konsep ini diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh setiap negara,
tergantung dari budaya, agama, kebiasaan, serta keadaan politik dari masing-masing
negara ini .574 Namun, Philip Alston berpendapat bahwa konsep the most serious
crimes dalam ICCPR harus ditafsirkan secara internasional dan tidak oleh masing-masing
negara, sebab hanya dengan standar “objektif dan universal” yang dapat memiliki
makna.575
Komite HAM PBB menegaskan bahwa penafsiran the most serious crimes harus sejalan
dengan hukum internasional. Penafsiran secara luas dapat menggagalkan tujuan
dari penerapan standar universal penerapan hukuman mati yang telah digagas oleh
pembentuk ICCPR dan akan menjadikan instrumen HAM internasional ini menjadi tidak
berarti.
Dalam Second Optional Protocol to the International Covenan on Civil and Political Rights,
aiming at the Abolition of the Death Penalty, juga muncul frasa the most serious crimes.
Protokol Opsional ini bertujuan memberi penjelasan lebih lanjut tentang hukuman
mati yang diatur dalam Pasal 6 ICCPR. Namun ternyata, tidak berbeda dengan dokumen
induknya, Protokol ini juga tidak memberi batasan apa yang dimaksud dengan the
most serious crimes. Satu-satunya Pasal yang bisa memberi sedikit pemahaman
tentang maksud the most serious crime adalah Pasal 2 ayat (1):
“No reservation is admissible to the present Protocol, except for a reservation made at
the time of ratification or accession that provides for the application of the death penalty
in time of war pursuant to a conviction for a most serious crime of a military nature
committed during wartime.”
Pasal di atas menghubungkan kejahatan yang paling serius yang menjadi justifikasi
penerapan hukuman mati dengan kejahatan paling serius yang memiliki karakter militer
dan yang dilakukan pada situasi perang.
Sejak ICCPR berlaku di tahun 1976, interpretasi tentang the most serious crime telah disem-
purnakan oleh beberapa lembaga HAM internasional. Komite HAM PBB telah memberi-
kan pengertian bahwa the most serious crime sangat terbatas pada tindakan yang dapat
menyebabkan kematian (most serious offense must involve, at a minimum, intentional act of
violence resulting in the death of a person). Komite HAM PBB menyatakan “ungkapan ‘keja-
hatan paling serius’ harus dibaca secara terbatas sehingga berarti hukuman mati harus
menjadi tindakan yang luar biasa,”578 sebagaimana dalam Komentar Umum No. 6 ICCPR,
yang menyatakan bahwa the most serious crime harus dimaknai secara terbatas. Artinya,
hukuman mati seharusnya merupakan suatu usaha yang sangat luar biasa tidak bisa dit-
erapkan tanpa pembatasan.
Paragraf 7 Komentar Umum No. 6 ICCPR menegaskan:
“…the expression “most serious crime” must be read restrictively to mean that the death
penalty should be a quite exceptional measure.”
(…pengertian “Kejahatan yang paling serius” harus dibaca secara terbatas dengan tujuan
bahwa hukuman mati harus merupakan suatu langkah pengecualian).
Sebagai catatan, meskipun Komite HAM PBB ini bukan merupakan badan peradilan
yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan yang mengikat, namun pandangannya
terhadap penafsiran dan penerapan ICCPR sangat otoritatif dan harus diberi bobot yang
cukup besar dalam menentukan interpretasi ketentuan dalam ICCPR.580
Pada tahun 1984, PBB mengadopsi Pengaman tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak
bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of
the Rights of Those Facing the Death Penalty).581 ini merupakan sebuah usaha untuk
mengklarifikasi ketentuan-ketentuan tertentu dalam Pasal 6 ICCPR. Menyangkut
soal pembatasan hukuman mati hanya untuk “kejahatan paling serius”, pedoman ini
menyatakan: “Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati
hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan paling serius, dalam arti ruang
lingkupnya tidak melampaui kejahatan-kejahatan disengaja yang bersifat mematikan
(lethal) atau yang membawa akibat-akibat yang sangat serius.582 Pasal 2 dokumen ini
menyatakan hukuman mati hanya dapat diberikan untuk the most serious crime yang
mencakup kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan untuk menimbulkan kematian
atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya.
“… Member States in which the death penalty has not been abolished to effectively apply
the safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, in
which it is stated that capital punishment may be imposed for only the most serious crime,
it being understood that their scope should not go beyond intentional crime with lethal or
other extremely grave consequences.”
(…Negara-negara Anggota yang hukuman mati belum dihapuskan untuk secara efektif
menerapkan perlindungan yang menjamin perlindungan hak-hak orang-orang yang
menghadapi hukuman mati, yang mana hal itu dinyatakan bahwa hukuman mati dapat
diterapkan hanya untuk kejahatan serius, dengan kesadaran bahwa cakupannya tidak
melampaui maksud kejahatan yang berakibat mematikan atau akibat serius lainya