hukuman mati 5

Jumat, 26 Januari 2024

hukuman mati 5





yang menyinggung masalah 
pidana mati yaitu fraksi TNI/Polri. Mereka menyampaikan perubahan terhadap penjelasan 
Pasal 2 ayat (2) tentang keadaan tertentu, yang semula diartikan sebagai situasi dan 
kondisi, tempat dan waktu ketika korupsi itu dilakukan menjadi perbuatan korupsi yang 
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan oleh negara bagi penanganan situasi 
dan kondisi tertentu.430 Penjelasan ini menurut Fraksi TNI/Polri adalah suatu langkah 
maju dari pemerintah sehingga ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi menjadi luas 
cakupannya.431 Selain itu Fraksi ini TNI/Polri menambahkan satu unsur lagi dalam Pasal 
2 ayat (2) yaitu unsur “Penanggulanggan akibat kerusuhan sosial yang meluas”, dengan 
alasan untuk melindungi dana-dana yang diperuntukan untuk rehabilitasi akibat dari 
kerusuhan sosial agar tidak dilakukan penyimpangan, mengingat ancaman hukumannya 
dapat dihukum mati.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kebijakan mati dalam UU No. 31 
Tahun 1999 tidak  cukup operasional/fungsional dalam rangka memberantas korupsi?.433 
Adanya ancaman pidana mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 dianggap menunjukkan 
keseriusan pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Namun, 
dalam kenyataannya, sudah sebelas tahun lebih sejak keluarnya UU ini  sampai saat 
ini belum ada seorang koruptor pun yang dijatuhi pidana mati. Berbeda halnya dengan 
pelaku tindak pidana narkotika yang sudah banyak (puluhan) dijatuhi pidana mati.
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa pidana mati dalam UU Tindak Pidana Korupsi 
tidaklah efektif, sebab  sejak UU ini  diberlakukan, sampai sekarang belum ada 
satu pun koruptor yang dihukum mati. Atmasasmita menambahkan bahwa semestinya 
Indonesia berfokus pada pencegahan dan tidak lagi menggembar gemborkan pidana 
mati kepada terdakwa korupsi. Atmasasmita berpendapat sebaiknya Indonesia mulai 
mencontoh Cina yang tidak lagi mengembar-gembor kan hukuman mati pada terdakwa 
korupsi, tapi sudah mulai untuk melakukan pencegahan, agar korupsi tidak terus 
berlangsung. Cina sekarang sudah mulai belajar ke Korea Selatan untuk melakukan 
pencegahan tindak pidana korupsi. 
Namun, Atmasasmita menambahkan bahwa dipilihnya atau ditetapkannya pidana mati 
sebagai salah satu saran untuk menanggulangi kejahatan pada hakikatnya merupakan 
suatu pilihan kebijakan. Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat 
pro atau kontra terhadap pidana mati. Namun setelah kebijakan diambil/diputuskan dan 
kemudian dirumuskan (diformulasikan) dalam suatu UU, maka dilihat dari sudut kebijakan 
hukum pidana (penal policy) dan kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya diharapkan 
dapat diterapkan pada tahap aplikasi. 
Sinintha Yuliansih Sibarani mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada satupun 
kasus tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman mati sebab  adanya pengertian hakim 
yang berbeda tentang tindak pidana korupsi itu sendiri. Sebagian hakim memandang 
bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary 
crime), bersifat sistemik dan endemik dengan dampak yang sangat luas (systematic and 
widespread), sehingga penanganannya perlu usaha /langkah-langkah luar biasa yang 
komprehensif (comprehensive extraordinary measures), termasuk pidana mati. Sebagian 
lagi memandang hanya merupakan tindak pidana biasa yang usaha  penanganannya tidak 
perlu memakai pidana mati. Pemikiran ini didasarkan pada HAM.437
Korupsi yang demikian maraknya terjadi pada di Indonesia secara sistematis di semua 
sektor kehidupan warga  telah mengancam usaha  pembangunan keberlanjutan dan 
pencapaian kesejahteraan warga  negara kita . Pada awal bergulirnya reformasi, salah 
satu tuntutan dan aspirasi warga  yang sangat kuat adalah hukuman mati dijatuhkan 
kepada para koruptor. warga  beranggapan bahwa hukuman mati merupakan usaha  
dalam mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak 
pidana korupsi. Oleh sebab  itu, pidana mati terhadap tindak pidana korupsi diancamkan 
dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.438
Shidarta berpendapat bahwa hukuman mati dalam UU Korupsi yang dirumuskan oleh DPR 
dan pemerintah sebab  adanya tuntutan warga  pada saat itu yang menginginkan 
hukuman yang seberat-beratnya terhadap para koruptor yang bisa menjadi shock terapy 
bagi pelakunya. Shidarta menambahkan, ini menunjukkan bahwa bukan kesadaran 
hukum yang dibangun dalam merumuskan pidana mati di UU Korupsi melainkan perasaan 
hukum yang bermain dalam perumusan hukuman mati di dalam undang-undang korupsi, 
sebab  besarnya tuntutan warga  pada saat itu.
Karni Ilyas, salah satu dari penentang pidana mati dalam UU Korupsi, menurutnya 
korupsi itu terjadi berkat sebuah sistem yang memberi  kesempatan untuk melakukan 
korupsi. Jika sistem pencegahan korupsi sudah lebih baik maka korupsi bisa hilang. Ia 
mencontohkan jika di negara-negara maju umumnya tidak ada yang berani korupsi, 
sebab  sistemnya sudah berjalan baik. Untuk memperbaiki sistem negara ini dari korupsi, 
harus dimulai dari seleksi penerimaan aparatur sipil negara.

Pasca runtuhnya kekuasaan rejim otoriter orde baru dan masuknya era reformasi 
menjadikan semakin meningkatnya tuntutan terhadap penyelesaian berbagai pelanggaran 
HAM yang terjadi dan adanya perubahan di tataran instrumental untuk mendorong 
penegakan hukum dan penghormatan atas HAM. Salah satu instrumen penting yang lahir 
dalam masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran 
HAM melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM). Lahirnya mekanisme 
Pengadilan HAM dipercepat adanya desakan dari Komisi Tinggi HAM PBB tahun 1999, 
akibat dari adanya dugaan Pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur selama proses 
jajak pendapat tahun 1999. Desakan ini  mendorong pemerintah Indonesia dibawah 
Presiden Habibie menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 
No. 1 Tahun 1999, yang diumumkan Presiden pada 8 Oktober 1999, tiga hari menjelang 
pidato pertanggungjawaban di MPR.441 
Terbitnya Perppu ini setidaknya menunjukkan kepada dunia internasional adanya 
kemauan pemerintah Indonesia untuk membentuk pengadilan HAM di tingkat domestik. 
Namun, kehadiran Perpu ini ditolak oleh DPR dalam sidang paripurna di bulan Maret 
2000, sebab  dianggap secara konstitusional tidak memiliki alasan kuat berkaitan dengan 
kegentingan yang memaksa. Dalam waktu kurang dari dua minggu sejak penolakan pihak 
DPR, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pengadilan HAM. Tekanan 
atas kemungkinan pembentukan pengadilan internasional memaksa pemerintah untuk 
mengajukan rancangan legislasi baru menggantikan Perppu ini. Dalam keterbatasan 
waktu inilah proses pembahasan RUU hanya dalam waktu kurang dari tujuh bulan. Pada 
bulan November tahun 2000 DPR mengesahkan RUU ini , yang kemudian menjadi 
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.442
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur 2 (dua) jenis kejahatan yang mendapatkan sanksi 
berat yakni kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan ini 
adalah kejahatan yang paling berat yang di nilai oleh warga  Internasional dan 

patut mendapatkan tuntutan lebih bahkan sampai tidak diberikan amnesti bagi para 
pelakunya. Kedua kejahatan ini  kejahatan internasional yang berdasar hukum 
internasional kejahatan ini dilarang untuk diberikan amnesti.443 Dalam hal terjadi genosida 
dan kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung 
jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak 
memberi  amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut 
di depan pengadilan. Jadi ada kewajiban negara untuk menghukum pelaku dan memberi 
kompensasi terhadap korban.444
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat 
khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious crimes of 
international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi warga  internasional 
secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga 
Omnes yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-
norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk 
melakukan penuntutan.445
Dalam pembasahan RUU Pengadilan HAM, Pemerintah mengajukan usulan yang 
memasukkan pidana maksimal seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun 
dan paling singkat 5 tahun bagi pelanggar HAM.  Pemerintah terlihat merujuk Protokol 
Optional Kedua pada Konvenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang 
ditujukan pada penghapusan hukuman mati. Para negara peserta konvensi ini diingatkan 
bahwa semua usaha  penghapusan hukuman mati akan dianggap sebagai kemajuan dalam 
menikmati hak atas penghidupan. Pada Protokol Optional Pasal 1 (1) disebutkan bahwa 
tidak seorang pun yang berada di dalam kekuasaan negara protokol ini dapat dihukum 
mati. Sementara pada Pasal 1 (2) disebutkan setiap negara peserta akan menggunakan 
semua usaha  yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati di dalam kekuasaannya.446
Dalam pembahasan RUU Pengadilan HAM mayoritas fraksi mengusulkan adanya 
hukuman mati. Sementara Fraksi Persatuan Pembangunan dan TNI/Polri mengusulkan 
untuk memasukkan pidana mati untuk menggantikan pidana seumur hidup. Anggota 
Fraksi Persatuan Pembangunan sependapat hukuman mati bagi pelanggar HAM 
sebab  hukuman mati sudah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka dan tidak 
berubah sampai sekarang sebagaimana diatur dalam. Amini meperbandingkan bahwa 
bahwa di KUHP yang unsurnya tidak seberat (kejahatan pelanggaran HAM yang berrat) 
hukumannnya mati, namun  mengapa kejahatan yang diatur dalam UU Pengadilan HAM 
yang unsurnya lebih berat malah tidak dihukum mati. Amini menggambarkan bahwa 
melakukan pembunuhan terhadap satu suku kenapa hukumannnya lebih rendah, 
padahal dalam Pasal 340 KUHP dinyatakan bahwa “Barang siapa sengaja dan dengan 
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau 
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.” 
Pada pembahasan tanggal 13 Juli Tahun 2000, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 
(Fraksi PPP) menyinggung pidana mati dalam pembahasan RUU Pengadilan HAM. 
Perwakilan fraksi PPP mengatakan bahwa “Ketentuan pidana perlu ditambahkan ada 
pidana mati atas seseorang yang melakukan pelanggaran HAM yang berat, yang memang 
wajar untuk diberikan sebab  kita mengetahui dalam hukum pidana atau KUHP saja kita 
mengenal adanya hukum pidana mati, nah apalagi wacana dalam pelanggaran HAM berat 
ini, sekiranya dapat dipertimbangkan adanya hukuman mati”. 
Selain itu, Fraksi TNI/POLRI pada rapat pembahasan juga meminta perhatian adanya 
suatu kata-kata dalam Konsideran menimbang. Pada prinsipnya semua rumusan dapat 
diterima sebab  merupakan salinan dari pengertian UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak 
Asasi Manusia. Namun ada hal dikoreksi kembali yaitu kata-kata “dikurangi atau dirampas”, 
yang secara yuridis bahwa HAM itu dibatasi, baik dalam Pasal 29 ayat (2) Deklarasi PBB, 
maupun di dalam Pasal 34 dan 36 Ketetapan MPR Nomor 17 Tahun 1999. HAM dibatasi 
oleh suatu ketentuan UU, bahkan suatu hak yang paling mendasar yakni hak untuk hidup 
juga ada pembatasannya yaitu adanya ketentuan hukuman mati.449
Pandangan fraksi TNI/POLRI kemudian dijelaskan oleh pihak dari pemerintahan yang 
mendasarkan bahwa dalam menyusun rumusan RUU, Pemerintah mengambil beberapa 
acuan referensi, standar-standar hukum internasional dibidang HAM, dan konvensi-
konvensi HAM. Pemerintah memahami bahwa dalam penerapan instrument HAM harus 
mempertimbangkan unsur-unsur yang disebut partikularistik dan yang universal, dan 
Pemerintah sudah berkomitmen terhadap perlindungan sesuai dengan Tap MPR No. 17 
Tahun 1998 dan kemudian di tuangkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 dan sesuai dengan 
ratifikasi beberapa konvensi HAM. Oleh sebab nya, dalam Bab Menimbang Pemerintah 
mempertimbangkan prinsip-prinsip umum hukumnya (general principle of law), yang 
prinsip-prinsip umum ini  dalam penerapannya ada  pengeculi-pengecualian 
misalnya pidana mati, perampasan kemerdekaan dan sebagainya.
Pada 18 Juli tahun 2000, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (Fraksi PPP) kembali 
mengusulkan adanya pidana mati bagi para pelaku kejahatan HAM. Perwakilan dari Fraksi 
PPP berpendapat bahwa dalam KUHP saja ada pidana mati dalam kasus pembunuhan 
sedangkan dalam RUU Pengadilan HAM paling berat hanya hukuman seumur hidup.451 
Selain fraksi PPP ada juga fraksi TNI/POLRI yang setuju dengan terhadap usulan dari fraksi 
PPP mengenai hukuman mati, menurut perwakilan fraksi TNI/POLRI maksimum ancaman 
pidana pada Pasal 30 RUU Pengadilan HAM ini lebih rendah dari ancaman pidana 
maksimum pasal 340 KUHP yaitu hukuman mati. Selanjutnya fraksi Partai Bulan Bintang 
(fraksi PBB) juga menyetujui usulan ini sebab  menurut perwakilan dari fraksi PBB, jika di 
KUHP kejahatan tidak berencana dan tidak massal menggunakan hukuman mati, maka 
kejahatan yang direncanakan secara sistematika justru tidak dihukum mati, dan hal itu 
adalah aneh. 
Fraksi lainnya adalah PDIP yang juga setuju dengan usulan fraksi PPP dan fraksi TNI/POLRI, 
supaya   ada pidana mati sebab  pelaku kejahatan membunuh banyak orang. Namun ada 
satu fraksi yang tidak mengusulkan hukuman mati yaitu, fraksi Reformasi, yang tidak 
mengusulkan hukuman mati namun  hukuman yang lebih berat daripada yang diajukan 
oleh pemerintah. Jika pemerintah mengajukan hukuman 12 tahun dan Fraksi Reformasi 
mengajukan 15 tahun. Demikian pula dengan hukuman minimum, Fraksi Reformasi 
mengajukan 4 tahun dan pemerintah 3 tahun.
Pemerintah memandang bahwa masalah hukuman mati adalah dilematis. Pemerintah 
berargumen bahwa jika melihat Perppu No. 1 Tahun 1999 sudah pidana mati, namun 
setelah mengkaji kembali beberapa referensi hukum internasional dan diskusi dengan 
Amnesti Internasional, ada persolan bahwa pidana mati tidak diperbolehkan lagi. Namun, 
pada akhirnya Pemerintah tidak mempermasalkan dimasukkannya kembali pidana 
mati.
Tabel 3.8. Pengaturan Hukuman Mati dalam UU Pengadilan HAM
No Perbuatan Sanksi Pidana 
1.
Pasal 8 
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap 
perbuatan yang dilakukan dengan maksud 
untuk menghancurkan atau memusnahkan 
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, 
kelompok etnis, kelompok agama, dengan 
cara: 
Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, 
d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana 
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 
(sepuluh) tahun.
a. membunuh anggota kelompok; 
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau 
mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok; 
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok 
yang akan mengakibatkan kemusnahan 
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; 
Pasal 37 
Setiap orang yang melakukan perbuatan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, 
e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana 
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 
(sepuluh) tahun.
d. memaksakan tindakan-tindakan yang 
bertujuan mencegah kelahiran di dalam 
kelompok; atau 
e. memindahkan secara paksa anak-anak 
dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9 
Kejahatan terhadap kemanusiaan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 
huruf b adalah salah satu perbuatan yang 
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang 
meluas atau sistematik yang diketahuinya 
bahwa serangan ini  ditujukan secara 
langsung terhadap penduduk sipil, berupa: 
a. pembunuhan; 
b. pemusnahan; 
c. perbudakan; 
d. pengusiran atau pemindahan penduduk 
secara paksa; 
e. perampasan kemerdekaan atau 
perampasan kebebasan fisik lain secara 
sewenang-wenang yang melanggar (asas-
asas) ketentuan pokok hukum internasional; 
f. penyiksaan; 
g. perkosaan, perbudakan seksual, 
pelacuran secara paksa, pemaksaan 
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi 
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan 
seksual lain yang setara;
 h. penganiayaan terhadap suatu kelompok 
tertentu atau perkumpulan yang didasari 
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, 
etnis, budaya, agama, jenis kelamin 
atau alasan lain yang telah diakui secara 
universal sebagai hal yang dilarang menurut 
hukum internasional;
 i. penghilangan orang secara paksa; atau
 j. kejahatan apartheid.
Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan 
untuk melakukan pelanggaran sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana 
dengan pidana yang sama dengan ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, 
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Pasal 42
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara 
efektif bertindak sebagai komandan militer dapat 
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana 
yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, 
yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah 
komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di 
bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif 
dan tindak pidana ini  merupakan akibat dari 
tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, 
yaitu:
a. komandan militer atau seseorang ini  
mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu 
seharusnya mengetahui bahwa pasukan ini  
sedang melakukan atau baru saja melakukan 
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang ini  tidak 
melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam 
ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau 
menghentikan perbuatan ini  atau menyerahkan 
pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk 
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, 
bertanggung jawab secara pidana terhadap 
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang 
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah 
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sebab  
atasan ini  tidak melakukan pengendalian 
terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
a. atasan ini  mengetahui atau secara 
sadar mengabaikan informasi yang secara jelas 
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan 
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi 
manusia yang berat; dan
b. atasan ini  tidak mengambil tindakan 
yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup 
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan 
perbuatan ini  atau menyerahkan pelakunya 
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan 
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, 
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
3.8.4 Politik Hukum Pidana Mati dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Peristiwa hancurnya gedung WTC di Amerika Serikat pada September 2001 membawa 
dampak bagi meningkatnya kasus-kasus terorisme di dunia, termasuk di negara kita . 
Terjadi berbagai peristiwa pengeboman, yang ditandai dengan pengeboman gereja 
Katredal pada malam Natal tahun 2000 yang menjadi peristiwa teror terbesar sejak masa 
reformasi. Selanjutnya peristiwa teror terus berlanjut seperti peristiwa bom Bali I dan II 
setya peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriot Kuningan, Jakarta. Kondisi ini membuat 
pemerintah Indonesia berfikir untuk membuat peraturan yang mengatur tentang 
kejahatan terorisme.
usaha  untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan tindak pidana terorisme sejalan 
dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara Republik Indonesia adalah Negara 
kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk 
memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif 
memelihara perdamaian dunia, maka pemerintah wajib memelihara dan menegakkan 
kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau ancaman 
destruktif baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah dalam membentuk regulasi untuk pemberantasan tindak pidana terorisme 
dengan beberapa pertimbangan. Kejahatan terorisme merupakan kejahatan terhadap 
kemanusiaan dan peradaban serta salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan 
setiap Negara. Disamping itu, terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat 
Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta 
merugikan kesejahteraan warga , sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara 
berencana dan berkesinambungan, agar hak asasi orang banyak (publik) dapat dilindungi 
dan dijunjung tinggi.
-- -- 
Selain itu, adanya komitmen warga  Internasional dan mencegah dan memberantas 
terorisme sudah diwujudkan dan berbagai konvensi internasional yang menegaskan 
bahwa terorisme merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang mengancam 
perdamaian dan kedamaian umat manusia sehingga seluruh anggota perserikatan 
Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan revolusi 
Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk 
mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan undang-undang 
nasional negaranya.
Pemerintah Republik Indonesia telah merespon usaha  dan kiat untuk mengantisipasi dan 
mengatasi tindakan terorisme itu dengan sekaligus disahkannya dua UU, yaitu UU RI No. 
16 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 Tahun 2002 
tentang pemberantasan Terorisme menjadi Undang-Undang yang disahkan oleh Presiden 
RI pada tanggal 4 April 2002. Regulasi ini diperkuat  dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang 
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan 
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi 
UU yang disahkan pada tanggal 4 April 2003 atas persetujuan DPR.
Lahirnya UU No 15 tahun 2003 yang berisi tentang penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Terorisme, menjadi Undang-Undang tidak ada tujuan lain kecuali untuk mewujudkannya 
tujuan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. Selain itu, 
rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah 
mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan 
warga  secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang 
luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Internasional. 
Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan memiliki  jaringan 
(network) yang luas, sehingga pada gilirannya akan mengancam perdamaian dan 
keamanan nasional dan Internasional. Oleh sebab itu, sebagai usaha  untuk memulihkan 
kehidupan warga  yang tertib, dan aman serta untuk memberi  landasan hukum 
yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam 
pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu kepada konvensi 
Internasional dan peraturan perundang–undangan nasional yang berkait dengan 
terorisme, diperlukan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 
dan setelah itu ditetapkan di dalam sebuah Undang-Undang.
UU No 15 tahun 2003 mengatur tentang pidana mati untuk kejahatan terorisme. Ancaman 
hukuman mati ini juga dikenakan kepada setiap orang yang merencanakan dan/atau 
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, kepada orang yang 
melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak 
pidana terorisme, dan kepada setiap orang di luar wilayah negara Republik negara kita .
Tabel 3.9 Pengaturan Pidana dalam UU No. 15 Tahun 2003 
No Pasal Pengaturan
1. Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman 
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang 
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara 
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, 
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek 
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas 
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau 
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun.
2. Pasal 8 Pasal 8
Dipidana sebab  melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan 
untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk 
pengamanan bangunan ini ;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan 
untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan 
bangunan ini ;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, 
atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau 
menggagalkan bekerjanya tanda atau alat ini , atau memasang tanda 
atau alat yang keliru;
d. sebab  kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan 
penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan 
terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak 
dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan 
orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, 
membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. sebab  kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat 
dipakai, atau rusak;
-- -- 
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan 
melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau 
ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat 
dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau 
yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk 
pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan ini  telah 
diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas 
atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam 
penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau 
ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan 
atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, 
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat 
seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat 
membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas 
kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan 
terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika 
perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara ini ;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas 
atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara ini  yang menyebabkan 
tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan 
ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, 
alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya 
tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara ini  
yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai 
kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih 
dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan 
sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;
p. memberi  keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan sebab  
perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan 
keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat 
mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam 
penerbangan.
3. Pasal 9 Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke negara kita , 
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba 
menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki  persediaan padanya atau 
memiliki  dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, 
mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu 
senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya 
yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, 
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara 
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
4. Pasal 14 Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk 
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, 
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan 
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
5. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau 
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
6. Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberi  
bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana 
terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, 
Pasal 11, dan Pasal 12.
7. Pasal 19 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 
13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati 
atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, 
tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 
(delapan belas) tahun.
Pencantuman hukuman mati dalam UU No 15 tahun 2003 tidak ada  perdebatan 
yang memadai. ini terkonfirmasi dari salah satu tim perumus, Atmasasmita, yang 
menyatakan bahwa, “Terkait hukuman mati yang ada  pada undang-undang terorisme, 
pemerintah dan DPR setuju untuk mengatur hukuman mati pada undang-undang ini”.461 
Pemerintah dan DPR pada saat itu setuju untuk memasukkan hukuman mati dalam salah 
satu pasal di undang-undang Tindak Pidana Terorisme, sebab  menggangap terorisme 
adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan perlu mendapatkan hukuman 
yang setimpal agar bisa menjadi efek jera bagi para pelakunya. Selain itu, sebab  sering 
munculnya tindakan-tindakan teror setelah era reformasi yang mengakibatkan banyak 
korban bukan hanya dari warga negara negara kita , namun  warga negara asing pun banyak 
yang menjadi korban. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan tidak adanya perdebatan 
yang berarti pada saat itu dalam pembahasan pidana mati di UU terorisme.462
Namun, pemberantasan tindakan pidana korupsi yang dilakukan pemerintah 
mendapatkan kritik dari warga . Munir, aktivis HAM, telah mengingatkan bahwa 
pemerintah selama ini hanya mengandalkan tindakan counter-terorism dan tidak 
melakukan tindakan anti terorism. Pemerintah seakan menganggap bahwa hanya dengan 
membuat instrumen hukum yang bisa menghukum pelaku kejahatan, aksi terorisme 
akan berhenti. Padahal, kenyataannya tidak. Di sisi lain, tindakan anti terorism justeru 
tidak dilakukan oleh pemerintah. Anti terorism adalah satu tindakan membangun suatu 
kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan terorisme. Seperti 
melakukan kontrol terhadap bahan peledak, kontrol bea cukai, kontrol di keimigrasian, 
kontrol money laundering dan pemberlakuan early warning system.
Lebih lanjut Munir menambahkan bahwa tindakan terorisme bersifat ideologis sehingga 
pelaku tidak peduli dengan ancaman hukuman mati. Oleh sebab  itu, yang bisa dilakukan 
antara lain adalah menghambat jangan sampai orang yang memiliki  ideologi pengguna 
kekerasan semacam itu memiliki  akses untuk melakukan tindak terorisme. “Kalau 
tindakan itu sifatnya ideologis maka tidak akan ada efek jera. Efek jera bisa dipakai  
pada kriminal biasa. Kalau saya mencuri, saya bisa tobat. Tapi kalau soal ideologi, tidak 
ada orang tobat dari ideologi. Itu kesalahan kita sejak lama, yakin bahwa ideologi itu bisa 
tobat”. Jika yang dilawan adalah ideologi, yang dapat dilakukan adalah menghentikan 
pelakunya atau menutup akses dimana orang itu bisa mendapat bahan peledak dan lain-
lainya.    
Dalam konteks saat ini, pembahasan tenyang hukuman mati dalam UU terorisme tetap 
diperdebatkan. Pada satu sisi masih menyetujui adanya hukuman mati bagi kejahatan 
terorisme dan sisi yang lain hukuman mati ini tidak tepat untuk diterapkan. Arsul Sani, 
salah satu anggota komisi III DPR RI,  menyatakan bahwa, revisi UU No. 15 Tahun 2003 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan tetap mempertahankan ketentuan 
mengenai hukuman mati yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 14. Menurut salah satu 
anggota Pansus revisi UU Terorisme ini , ketentuan pasal mengenai hukuman mati 
dinilai masih relevan, sebab  kita berpandangan dengan adanya hukuman mati saja, tidak 
ada efek jera bagi pelaku, apalagi kalau tidak ada hukuman mati. Arsul Sani menambahkan, 
jika ancaman pidana mati dihapuskan, pihak yang memiliki paham radikal akan lebih 
leluasa berbuat teror. Selain itu, Asrul Sani juga berpandangan aksi teror merupakan 
kezaliman terhadap sesama manusia yang patut dihukum berat. Anggota Komisi III DPR 
menyatakan bahwa “Kita punya keyakinan bahwa apa yang mereka (teroris) lakukan itu 
bukan jihad, melainkan kezaliman terhadap sesama”. Asrul Sani menyampaikan bahwa 
mayoritas fraksi di pansus menghendaki pidana mati tetap diatur dalam UU Terorisme. 
Sementara itu, DPR akan mendorong Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 
untuk terus memaksimalkan peran deradikalisasi.
Pandangan berbeda justru dikemukan oleh Shidarta, yang menjelaskan bahwa terorisme 
itu sulit diberantas dengan hukuman mati, lebih lanjut lagi Shidarta menuturkan bahwa 
pada pelaku teror ini  rela mati dalam melakukan aksinya, jadi hukuman mati sama 
saja dengan dia mati ketika melakukan aksinya. Jadi menurut Shidarta hukuman mati 
dalam UU Terorisme tidaklah efektif dan tidak bisa memberi efek jera bagi pelakunya.
Pendapat senada dinyatakan oleh Supriyadi, bahwa berdasar pada tinjauan 
historisnya,  ancaman pidana mati juga tidak tepat dipakai . Selain hanya akan 
melahirkan kasus teror lainnya, ancaman pidana mati juga akan melahirkan perlawanan 
yang lebih besar. DPR harus melihat lebih jernih lagi kenyataan dan fakta ini. Kebijakan 
untuk mengahapuskan pidana mati dalam tindak pidana terorisme harus dilihat dalam 
agenda yang lebih besar. Supriyadi menegaskan, ancaman pidana mati juga akan merusak 
program deradikalisasi yang diharapkan pemerintah dalam revisi UU Terorisme.  sebab  
dengan mengeksekusi mati, teroris akan merasa terhormat dan merasa dirinya mati 
terhormat.
Efektifitas hukuman dan efek jera yang selama ini di kampayekan oleh pemerintah dan 
legislatif dalam memberi  hukuman mati bagi para pelaku terorisme agak kurang tepat, 
ini disebab kan ada sudut pandang yang terlihat saling berlawanan. Bagi pemerintah dan 
DPR dengan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku teror maka orang akan merasakan 
takut untuk melakukan perbuatan yang sama ini , tapi kalau kita melihat selama 
justru sebaliknya, mereka para pelaku terorisme malah meganggap bila mereka mati 
dalam melakukan aksinya atau di eksekusi, maka mereka akan sangat terhormat dan 
mereka akan dianggap pahlawan oleh kelompoknya atau komunitasnya. 
Hal inilah yang tidak dilihat oleh pemerintah dan DPR pada saat perumusan Undang-
Undang Terorisme, mereka masih beranggapan bahwa menghukum mati para terorisme 
akan menimbulkan efek jera dan tidak akan ada yang menggulangi lagi dimas yang 
mendatang, namun  ini  tidaklah benar, malah terorisme masih tetap ada dan 
tidak ada angka yang pasti yang menyebutkan bahwa kasus terorisme turun di negara kita , 
walaupun sudah ada yang di eksekusi terkait tindak pidana terorisme, seperti Amrozi cs. 
Semangat dalam menghukum para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan serius 
seperti terorisme harus didasari oleh kesadaran hukum dan bukan oleh perasaan hukum, 
sebab  kalau pemerintah dan DPR terus memakai perasaan hukum dalam perumusan 
undang-undang di DPR, maka kedepannya akan nantinya pidana mati bisa terus muncul 
dalam setiap peristiwa yang dianggap sebagai “ darurat” sebuah kejahatan yang terjadi di 
negara kita .
Sebagaimana telah disebutkan dalam bagaian sebelumnya dalam kebijakan hukuman 
mati terkait psikotropika), sejak dahulu Indonesia telah memerangi peredaran bahan dan 
obat-obatan terlarang, termasuk narkotika. Pada tahun 1970, seiring dengan tumbuhnya 
perekonomian Indonesia pada 1970, pendapatan warga  secara umum juga terus 
meningkat. Meski pertumbuhan ekonomi sempat mandeg pada masa pemerintahan 
Soekarno, namun pemerintahan Soeharto berusaha  meningkatkan perekonomian 
dengan usaha  reformasi ekonomi yang meliputi stabilitasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi 
ekonomi.  Tumbuhnya perekonomian berdampak pada meningkatnya kesejahteraan 
warga . Peningkatan kesejahteraan ini diikuti oleh peningkatan konsumsi narkotika 
untuk rekreasi. Disamping peningkatan kesejahteraan, kemudahan komunikasi dengan 
warga  di luar Indonesia juga diduga menjadi pendorong maraknya pemakaian  
narkotika ini.
Untuk mengatasi masalah narkotika, pada 1971, pemerintah lalu mengeluarkan Instruksi 
Presiden No 6 Tahun 1971 tentang Koordinasi Tindakan dan Kegiatan dari Instansi 
yang bersangkutan dalam Usaha Mengatasi, Mencegah, dan Memberantas Masalah 
Pelanggaran yang berkenaan dengan Masalah Penanggulangan Narkotika. Inpres 6/71 
ini diberikan kepada Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) untuk mengkoordinir 
tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan dari badan/Instansi jang bersangkutan dalam 
usaha untuk mengatasi, mentjegah dan memberantas masalah-masalah dan pelanggaran-
pelaNggaran jang timbul dalam masjarakat, jang langsung atau tidak langsung dapat 
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Sebagaimana disebutkan dalam bagian sebelumnya, pada saat itu, Pemerintah dan DPR 
mendorong RUU Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Protokolnya serta 
RUU tentang Narkotika. Dalam RUU yang disampaikan oleh pemerintah, ada dua 
perbuatan yang diancam pidana mati yaitu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 
23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) huruf a dan Pasal 23 ayat (5) jo Pasal 36 ayat (5) huruf a 
sepanjang bukan terkait dengan tanaman koka atau ganja. Pidana mati sesungguhnya 
merupakan jawaban atas keresahan dari pemerintah akan kemungkinan tindak pidana 
narkotika dipakai  sebagai salah satu sarana penting untuk melakukan subversi. 
Suatu pandangan yang lalu diamini oleh seluruh Fraksi di DPR. Namun, Pemerintah 
juga usulan memasukkan pidana subversi ke dalam RUU ini. Akhirnya pada 2 Juli 1976, 
DPR menyetujui RUU Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika dan RUU Narkotika untuk 
menjadi UU.
Dengan maraknya pemakaian  teknologi baru dalam peredaran narkotika, maka 
pemerintah memutuskan untuk membentuk UU baru yaitu UU No. 22 Tahun 1997 
tentang Narkotika. UU ini juga merupakan implementasi dari Pengesahan United Nations 
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances479 melalui UU 
No. 7 Tahun 1997. Kerangka politik hukum kedua kebijakan ini memiliki kesamaan. Dalam 
UU No. 7 Tahun 1997 disebutkan bahwa:
“sebab  keuntungan yang sangat besar, organisasi kejahatan ini  berusaha 
dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangkan terus usaha 
peredar-an gelap narkotika dan psikotropika dengan cara menyusup, mencampuri, 
dan merusak struktur pemerintahan, usaha perdagangan dan keuangan yang sah 
serta kelompok-kelompok berpengaruh dalam warga ”
Sementara dalam UU No 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa: 
“…mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran 
gelap narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.”
Dalam UU No 22 Tahun 1997, perbuatan yang diancam pidana mati diatur dalam Pasal 80 
ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf 
a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a. 
3.8.5.2  Politik Pidana Mati dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Paska reformasi, gagasan untuk memperbarui UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 
semakin menguat. Kali ini, MPR telah mmberikan rekomendasi ke Presiden untuk 
melakukan pembaruan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika melalui Ketetapan 
MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam TAP MPR ini, MPR 
memandang persoalan narkoiika dari tiga sisi yaitu yang terkait dengan moralitasdan 
penurunan akhlaq, peningkatan penderita HIV/AIDS, dan meningkatnya keresahan 
warga . sebab  itu langkah yang direkomendasikan untuk ditempuh oleh pemerintah 
 negara kita , 
-- -- 
adalah: 
1. meningkatkan anggaran dalam rangka pembangunan diibidang Agama; 
2. melakukan tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku terhadap 
produsen, pengedar, dan pemakai serta melakukan langkah koordinasi yang 
efektif, antisipatif, dan edukatif dengan pihak terkait dan warga ;
3. mengusaha kan untuk meningkatkan anggaran guna melakukan rehabilitasi 
terhadap korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; 
dan
4. bersama DPR, merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 
dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
sebab  itu, Pemerintah dan DPR-RI kemudian mengesahkan dan mengundangkan UU No. 
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu perubahan mencolok dari UU ini adalah 
ditingkatkannya status BNN sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) 
yang diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan 
prekursor narkotika.
Dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka pidana mati diterapkan sebagai 
bagian dari usaha  meletakkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran 
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sejalan dengan UU No 22 Tahun 1997 tentang 
Narkotika, maka pemberatan pidana terutama pencantuman pidana mati sebab  
peredaran narkotika akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-
nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Terkait pencantuman pidana mati dalam tindak pidana narkotika, pemerintah telah 
menegaskan pendapatnya bahwa pidana mati diperlukan sebab  dianggap sebagai 
kejahatan kemanusiaan yang bertujuan memusnahkan umat manusia secara perlahan 
namun  pasti. Seluruh potensi akal fikir dan budi manusia dirusak secara massal untuk 
kepentingan pribadi dan golongan. 
Pemerintah lalu mengilustrasikan bahwa dengan kejahatan narkotika, manusia 
dibuat seperti mayat hidup yang tidak berpotensi lagi membangun peradaban dan 
kebudayaannya, namun  terus berperilaku merusak tatanan kehidupan. sebab  itu tindak 
pidana narkotika akan selalu diancam dengan pidana berat termasuk dengan pidana mati.
Statistik tindak pidana Narkotika secara umum tidak menunjukan penurunan sedikitpun, 
padahal pemerintah telah berusaha  keras untuk menurunkan angka ini , misalnya 
dengan pembentukan lembaga khusus yang diharapkan dapat mengkoordinasikan 
berbagai instansi terkait untuk pencegahan, penegakan hukum, rehabilitasi dan lain-lain 
terhadap Narkoba. 
Ancaman pidana dalam UU Narkotika dan UU Psikotropika terus ditingkatkan bahkan 
berlipat-lipat sejak disahkannya UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian 
diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun dalam kenyataan masih 
belum dapat menurunkan jumlah kasus tindak pidana narkotika, bahkan jumlahnya terus 
melambung tinggi.
Tabel 3.9 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
No Pasal Pengaturan 
1. Pasal 74  (1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari 
perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian 
secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan 
tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat 
kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses 
pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan 
peraturan perundang-undangan.
2. Pasal 113 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, 
atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) 
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk 
bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana 
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana 
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
3. Pasal 114 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, 
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, 
atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) 
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk 
bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan 
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun 
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditambah 1/3 (sepertiga).

4. Pasal 116 (2) Dalam hal pemakaian  narkotika terhadap orang lain atau 
pemberian Narkotika Golongan I untuk dipakai  orang lain 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain 
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, 
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda 
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 
(sepertiga).
5. Pasal 118 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, 
atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana 
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana 
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
6. Pasal 119 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, 
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, 
atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana 
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana 
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
7. Pasal 121 (2) Dalam hal pemakaian  Narkotika terhadap orang lain atau 
pemberian Narkotika Golongan II untuk dipakai  orang lain 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain 
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, 
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda 
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 
(sepertiga).
8. Pasal 132 (3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak 
berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, 
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) 
tahun.
9. Pasal 133 (1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan 
sesuatu, memberi  kesempatan, menganjurkan, memberi  
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan 
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang 
belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, 
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, 
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, 
dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun 
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling 
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak 
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
10. Pasal 144 (2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang 
dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau 
pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Dalih Kedaruratan yang Menegaskan Nilai Kemanusiaan
Belum genap seratus hari berkuasa, Presiden Joko Widodo menolak grasi 64 terpidana 
mati kasus narkoba dan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera melaksanakan 
eksekusi mati.487 Dalam acara audiensi dengan civitas akademi Universitas Gadja Mada 
(UGM), Yogyakarta, Presiden Jokowi menegaskan, kesalahan itu sulit dimaafkan sebab  
mereka pada umumnya adalah para bandar besar yang demi keuntungan pribadi 
dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi penerus bangsa. Penolakan 
permohonan grasi itu menurut Presiden Joko Widodo sangat penting untuk menjadi 
shock terapy bagi para bandar, pengedar maupan pengguna.488 Dalam memutuskan 
untuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati ini, presiden ternyata banyak mendapatkan 
dukungan, baik dari dalam pemerintahan sendiri maupun dari luar pemerintahan. Wakil 
presiden Jusuf Kalla, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menkopolhukam, Jaksa Agung 
dan Kepolisian mendukung langkah yang diambil oleh Presiden Joko Widodo. Sementara 
itu, dari luar pemerintahan ada organisasi Nahdathul Ulama (NU), Muhammadiyah dan 
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga ikut mendukung langkah presiden 
Jokowi.489 
Gufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial , menilai bahwa kebijakan penerapan hukuman 
mati semakin memburuk di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut Gufron, 
berdasar catatan Imparsial, jumlah eksekusi mati yang dilakukan Presiden Joko 
Widodo lebih banyak jika dibandingkan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono. Gufron menuturkan, tercatat selama 10 tahun pemerintahan SBY, telah 
terjadi 21 eksekusi mati. Sementara pada 2,5 tahun masa pemerintahannya, Presiden 
Jokowi telah melaksanakan 18 eksekusi mati.490
Kualitas peradilan dan lembaga penegak hukum di Indonesia yang belum bebas dari 

korupsi menjadi salah satu masalah yang paling merisaukan dalam menilai kualitas vonis 
pengadilan atas hukuman mati. Padahal sistem peradilan dan lembaga penegak hukum 
yang relatif bersih sekalipun, tak ada satu sistem peradilan yang dianggap cukup aman 
dari kesalahan. Kelemahan hukuman mati terutama sebab  tidak dapat dikoreksi jika  
vonis ini  salah. ini semakin diperburuk oleh sistem hukum yang secara umum 
masih korup dan amburadul. Kondisi hukum yang demikian, misalnya terlihat dari Indeks 
Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012, bahwa secara keseluruhan Indeks Persepsi 
Negara Hukum Indonesia tidak menggembirakan dengan skor 4,53 dengan skala 1-10. 
warga  masih memandang potret negara hukum Indonesia masih rendah.491
Unfair trial atau peradilan yang sesat juga menjadi momok yang menakutkan dalam sistem 
peradilan di negara kita . Ada beberapa kasus dimana unfair trial hampir merenggut nyawa 
orang-orang yang tidak bersalah, kasus Yusman Telaumbanua, seorang anak yang divonis 
mati akibat didakwa melakukan pembunuhan dan Zulfiqar Ali yang di vonis mati sebab  
didakwa memiliki 300 gram heroin. Untuk kasus Yusman Telaumbanua, terdakwa yang di 
vonis mati oleh Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, ternyata masih berusia anak pada saat 
dijatuhi vonis pidana mati. Para pengak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim tidak bisa 
megetahui umur yang pasti pada saat proses hukum ini berjalan dan dengan cerobohnya 
menjatuhkan hukuman mati pada anak-anak. Penjatuhan hukuman mat bertentangan 
dengan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Setelah 5 tahun 
kasus ini berjalan dan sudah berbagai usaha  hukum yang dilakukan, akhirnya di temukan 
bukti baru (novum) yang menyatakan bahwa pada saat di jatuhi vonis mati, Yusman 
masih berusia sekitar 15-16 tahun.

Dua tahun setelah memimpin pemerintahan di negara kita , Presiden Joko Widodo 
mengeluarkan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 
2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak (Perppu Perlindungan Anak). Presiden Joko Widodo menyampaikan 
bahwa pembentukan Perppu ini dilandasi dengan beberapa pertimbangan: (i) mengatasi 
kegentingan yang diakibatkan seksual terhadap anak yang semakin meningkat; (ii)  
 Adanya bukti baru (novum) yang diajukan KontraS terkait usia pasti Yusman Telaumbanua yang diperoleh melalui pemer-
iksaan forensik gigi besar kemungkinan menjadi salah satu bukti kuat yang meloloskan Yusman dari ancaman pidana mati. 
Dari keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan Peninjauan Kembali dengan Nomor Perkara 8/PID/B/2013/PN-GST, 
diketahui bahwa hasil pemeriksaan tulang dan gigi Yusman Telaumbanua yang diuji oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas 
Padjadjaran (Unpad) Bandung membuktikan bahwa usia Yusman Telaumbanua pada saat dilakukan pemeriksaan forensik 
pada tahun 2016 berkisar 18-19 tahun, sehingga jika ditarik mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada tahun 2012, 
maka usia Yusman saat itu antara 15 – 16 tahun. Lihat Kontras, Belajar Dari Kasus Yusman Telaumbanua: Pemerintah Harus 
Evaluasi Seluruh Penerapan Hukuman Mati di negara kita , 
kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa sebab  mengancam dan 
membahayakan jiwa serta tumbuh kembang anak; (iii) kejahatan ini  juga mengganggu 
rasa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban warga . Lebih lanjut Presiden juga 
menyatakan bahwa kejahatan luar biasa ini  membutuhkan  penanganan luar biasa 
juga, serta adanya penambahan beberapa pasal di Perppu untuk memberi ruang hakim 
memberi  hukuman seberat-beratnya untuk memberi  efek jera kepada pelaku dan 
menekan kejahatan seksual terhadap anak.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan HAM, 
yang menyatakan keyakinan pemerintah bahwa kejahatan seksual pada anak merupakan 
kejahatan yang luar biasa.  Selain itu, hukuman mati dimasukkan sebab  secara 
berdasar hukum yang berlaku jenis hukuman ini masih dimungkinkan. Yasona Laoly 
menambahkan bahwa pengarturan yang demikian merupakan kedaulatan negara sebab  
Indonesia  yang masih menganut pidana pokok, diantaranya adalah hukuman mati.
Pengaturan dalam Perppu menunjukkan adanya pemberian sanksi yang keras, termasuk 
menambah berbagai jenis hukuman dan pemberatan atas hukuman-hukuman yang 
sebelumnya diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 
Pemberatan ini berupa penambahan 1/3 (satu pertiga) hukuman bagi para pelakunya, 
di antaranya kepada pelaku yang pernah melakukan kejahatan yang sama sebelumnya 
dan pelaku yang seharusnya berkewajiban melindungi anak (orang tua, wali, orang-orang 
yang memiliki  hubungan keluarga, pengasuh dan sebagainya), atau tindakan yang 
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya 
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.496 Perppu juga mengenalkan 
hukuman berupa tindakan kebiri pemasangan alat pendeteksi elektronik,497 dan 
pengumuman identitas pelaku ke publik.498 Perppu juga mengatur tentang penjatuhan 
pidana mati bagi kejahatan yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, 
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya 
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Pertimbangan-pertimbangan dalam Perppu ini menunjukkan landasan pandangan 
pemerintah tentang kondisi kejahatan seksual pada anak yang terjadi di negara kita . Adanya 
kondisi keadaan “darurat kekerasan seksual” menjadikan pemberatan sanksi pidana 
menjadi solusi untuk menghadapi situasi ini . Konsideran Perppu Perlindungan 
Anak, khususnya huruf b dan c mengkonfirmasi latar belakang dan alasan pembuatan 
Perppu Perlindungan Anak:
a. ….
b. bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan 
yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi 
dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, 
keamanan, dan ketertiban warga ; 
c. bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak 
belum memberi  efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif 
terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah 
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana 
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan 
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
d. …
Dengan demikian pemberatan sanksi pidana, termasuk hukuman mati dianggap 
memiliki  pendasaran rasionalitas dan justifikasi sebagaimana dinyatakan dalam 
rumusan konsideran ini . Merujuk pada pandangan Maria Farida, konsideran 
dalam UU merupakan penjabaran dari landasan unsur-unsur filosofis, juridis, dan 
sosiologis dalam suatu pembuatan UU.500 Pandangan ini sesuai UU No. 12 Tahun 2011 
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang cakupan pertimbangan 
filosofis, sosiologis, dan yuridis. Unsur filosofis ini bahwa menggambarkan peraturan 
yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum 
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari 
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Unsur sosiologis menggambarkan peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan 
warga  dalam berbagai aspek. Sementara unsur yuridis menggambarkan peraturan 
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum 
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan 
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan warga .
Hukuman mati dalam Perppu ini merujuk pada kejahatan yang dilakukan berdasar 
pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak. Hukuman mati, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (5) dijatuhkan 
kepada pelaku dalam hal kejahatan yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, 
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya 
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. 
Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002: 
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak 
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
 Pasal 81 ayat (5) Perppu: 
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D502 menimbulkan 
korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit 
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal 
dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 
(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pada 12 Oktober 2016 Perppu kemudian disetujui oleh DPR tanpa ada pengubahan isi.503 
Perppu ini kemudian menjadi menjadi UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua 
Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Menteri 
Pemberdayaan wanita  dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyambut 
antusias keputusan DPR itu, dengan menyatakan bahwa “sekarang kita memiliki hukuman 
paling keras. Hukuman mati, penjara seumur hidup, pengebirian kimia, pengungkapan 
nama pelaku di muka umum, dan pemasangan cip elektronik.”504 beberapa fraksi di DPR 
memberi  catatan atas pengesahan Perppu ini dengan harapan adanya revisi yang lebih 
502 Pasal 76D UU No. 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan ke-
kerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
503 Fraksi PKS memberi  beberapa catatan terkait dengan pengesahan ini  sebagai berikut: (i) mengenai langkah alter-
natif pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak. Di samping itu, belum ada data yang 
dirilis terkait kekerasan seksual di negara kita . Padahal, data ini  penting untuk menilai urgensi pembentukan aturan; 
(ii) Perppu ini  menjadi jalan untuk merevisi UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menjadi komprehensif. 
Itu agar perlindungan anak tidak sekadar memberi  pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan di bawah umur; dan 
(ii) pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga harus memerhatikan masa depan anak, bukan 
semata-mata menaikkan ancaman pidana.  Sementara itu, Fraksi Partai Gerindra tetap menolak dengan alasan banyak organisasi dan lembaga yang kerap berurusan langsung dengan pelaku dan korban kekerasan seksual ter-
hadap anak menolak substansi Perppu ini . Lebih jauh fraksi ini mendukung percepatan pembahasan Undang-Undang 
Penghapusan Kekerasan Seksual agar langkah perlindungan korban lebih komprehensif. 
konprehensif dan dapat diberlakukan secara efektif. Selain itu, perlunya adanya kejelasan 
rumusan pasal-pasal dan dalam tataran teknisnya.505 Sebelumnya, beberapa anggota DPR 
menyatakan keberatan dalam beberapa pengaturan dalam Perppu terkait dengan adanya 
hukuman kebiri yang dianggap tidak manusiawi.
Tabel 3.10 Pasal Pidana Mati Dalam UU No. 17 Tahun 2016  
Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua 
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak
Pasal 89 UU No. 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak 
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima 
miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja 
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau 
membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau 
dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang 
memiliki  hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, 
tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan 
anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara 
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari 
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada 
ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana 
juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana sebab  
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, 
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, 
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban 
meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau 
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling 
lama 20 (dua puluh) tahun.
Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J 
ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau 
pidana penjara seumur hidup atau pidana 
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan 
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana 
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana 
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) 
dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan 
pemasangan cip.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan 
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka 
waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku 
Anak.
 
Pro dan Kontra  
Dalam sejarahnya, pengesahan Perppu ini tidak terlepas dari adanya kasus kejahatan 
seksual terhadap anak yang terjadi di Bengkulu pada 5 April 2016 silam.507 Kasus ini 
memicu polemik di kalangan warga  tentang efektifitas UU No 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak dan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 
2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus ini anak wanita  berusia 14 tahun di 
perkosa secara beramai-ramai dan mengakibatkan korban meninggal dunia, selang tak 
berapa lama terjadi lagi kasus perkosaan anak berusia 7 tahun di Kalimantan Selatan yang 
mengakibatkan korbannya meninggal dunia. ini yang mendorong warga  untuk 
menghukum seberat-beratnya para pelaku kejahatan seksual anak, termasuk menjatuhi 
hukuman mati.
Tingginya angka kekerasan pada anak, khususnya kekerasan seksual pada anak menjadikan 
momentum bagi para pendukung hukuman mati untuk memasukkan pasal pidana 
mati dalam Perppu Nomor 1 Tahun Tahun 2016. ini tidak terlepas dari pandangan 
Pemerintah, sebagaimana telah diuraikan dibagian sebelumnya, bahwa kekerasan 
terhadap anak sebagai kejadian luar biasa sebab  dapat merusak pribadi dan tumbuh 
kembang anak, mengganggu ketenteraman dan kenyamanan di warga , sehingga 
perlu penindakan luar biasa. Penghukuman terhadap pelaku yang seberat-beratnya juga 
diharapkan mampu membuat jera para pelaku.508 
Pemerintah, warga  dan juga sebagian besar organisasi kewarga an tampak 
sepakat dengan memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dan mereka 
pun setuju terhadap usulan KPAI terkait hukuman mati bagi pelaku kekerasan anak.  

Pemerintah, sebagamana dinyatakan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly menyatakan 
bahwa memasukkan pidana mati sebagai salah satu opsi hukuman bagi pelaku kejahatan 
seksual pada anak, dengan dalih bahwa hukuman mati masih dimungkinkan. Dalam 
berbagai UU di negara kita , hukuman mati dapat dikenakan dalam kasus narkoba, terorisme 
dan pembunuhan berencana.509 Yasonna Laoly menambahkan bahwa Perppu ini  
hanya berlaku kepada pelaku orang dewasa yang melakukan tindak kejahatan seksual 
terhadap anak.510
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong pemerintah untuk 
mencantumkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual anak dengan alasan bahwa  
meningkatnya kasus-kasus kejahatan seksual anak yang terjadi di Indonesia harus segera 
di hentikan dengan membuat hukuman yang berat salah satunya hukuman mati. Komisi 
ini meminta regulasi tegas yang menjerat para pelaku kekerasan pada anak menimbulkan 
efek jera. KPAI berharap seluruh pelaku kekerasan anak, khususnya kejahatan seksual, 
dijerat sanksi hukuman mati atau seumur hidup. Sekretaris KPAI saat itu menyatakan 
bahwa kekerasan seksual itu menyebabkan kerusakan lima organ sekaligus sehingga 
sangat pantas dihukum mati.511 Anggota KPAI lainnya, Susanto, juga mengemukakan 
bahwa hukuman pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak dianggap masih belum 
maksimal, yang idealnya hukuman minimal adalah 15 tahun dan maksimal hukuman 
mati.512 
Dukungan serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj yang  
mendorong hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Penerapan 
hukuman yang berat diharapkan menghilangkan niat orang berbuat serupa. Kekerasan 
seksual terhadapa anak sudah ke luar dari asas kemanusiaan dan norma agama.513 
Karni Ilyas juga menyampaikan bahwa adanya penerapan hukuman mati di dalam UU 
Perlindungan Anak dimungkinkan dilatarbelakangi oleh banyak faktor termasuk ideologi 
dan semangat menghukum terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual yang makin 
marak terjadi, adanya kasus pemerkosaan bayi yang pernah terjadi menurutnya pantas 
untuk dihukum mati sebab  ini termasuk perbuatan sadis. Selain itu, pada tahun 2014, 
ada  petisi online yang mengajak untuk memperjuangkan pasal hukuman mati 
Wawancara dengan Karni Ilyas, 6 Oktober 2017.
terhadap pelaku pedofilia dan human trafficking. 
Sidharta, ahli hukum pidana, menanggapi pandangan KPAI dengan menyatakan bahwa 
KPAI bukanlah lembaga hukum jadi KPAI tidak kompeten dalam mengajukan usulan-
usulan seperti itu (hukuman mati). Usulan pidana mati ini menjadikan KPAI sebuah 
lembaga yang mencerminkan sebagai lembaga negara yang memakai perasaan hukum 
dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakannya, yang seharusnya lembaga seperti KPAI 
dapat memandu warga  supaya   warga  berpikir rasional dan bukan malah ikut-
ikutan, sebab  dalam budaya hukum di negara kita , perasaan hukum masih kuat dibanding 
dengan kesadaran hukum.
Situasi inilah yang menyebabkan lahirnya Perppu No.1 Tahun 2016 yang kemudian 
disahkan menjadi UU. Namun demikian beberapa perdebatan pro dan kontra juga 
muncul, khususnya penerapan hukuman mati dan hukuman kebiri. Pemerintah 
bersikukuh, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan wanita  
dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, bahwa yang terpenting  Perppu  
harus segera diterbitkan sebagai bukti bahwa pemerintah tidak tinggal diam menyikapi 
tingginya angka kekerasan seksual. Nasir Jamil,  Komisi III DPR RI, menilai Perppu 
Perlindungan Anak perlu diperkuat kembali, yakni penguatan untuk hukuman yang 
diberikan kepada pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak. Nasir Jamil menyoroti 
adanya hukuman kebiri yang akan mengancam hak asasi manusia dan dampak pada 
efek jera yang diharapkan, sehingga sebaiknya tidak perlu diberi hukuman kebiri, namun  
langsung hukuman mati dengan penerapannya yang harus proporsional dan terukur. 
Dalam proses pembahasan Perppu, tidak semua anggota fraksi di DPR setuju dengan 
penerapan hukuman kebiri. Fraksi Partai Gerindra, melalui wakilnya Rahayu Saraswati, 
menyatakan penolakannya terhadap Perppu, yang menyebut bahwa sanksi kebiri kimia 
bukanlah jalan keluar terbaik. Sarawati menambahkan bahwa harus ada pendidikan 
dan pelatihan kepada hakim yang harusnya dijalankan terlebih dahulu bukan malah 
menambah hukuman. Iskan Qolba Lubis, Politisi PKS juga menyebut ada kesan pemerintah 
terburu-buru mengeluarkan Perppu sebab  desakan opini publik, dengan argumen bahwa 
penyebab orang melakukan kejahatan seksual bukan semata sebab  hasrat libido yang 
tinggi, tapi juga menyangkut mental orang ini . 
Sementara dari pihak penolak adanya hukuman mati, mereka sudah menolak adanya 
hukuman mati dan kebiri sejak dimulai proses perancangan Perppu. Aliansi 99, suatu 
kumpulan-kumpulan organisasi warga  yang terdiri dari lembaga yang bergerak di 
isu perlindungan anak dan juga lembaga-lembaga yang bergerak pada isu HAM dan isu 
kebijakan hukum di negara kita , menyatakan bahwa pemerintah lebih memperhatikan 
pembalasan bukan pemulihan terhadap korban-korban kejahatan seksual anak yang 
terjadi. Aliansi juga menyatakan bahwa Perppu hanya mengatur penghukuman bagi 
pelaku kekerasan seksual. Sedangkan pengaturan perihal korban tidak menjadi prioritas 
bagi pemerintah. Kekhawatiran penerapan atas Perppu ini juga disampaikan oleh Sri 
Mulyati, pengiat Forum Pengada Layanan, bila aturan ini menyasar anak-anak yang 
menjadi pelaku. Mulyati menyatakan bahwa ada  tren pelaku kekerasan seksual 
semakin muda dan dibawah 18 tahun, dan dari kasus yang pernah ditanganinya ada 
tren yang menjadi pelakunya itu masih berusia muda di bawah 18 tahun atau yang tua 
sekalian, dan hampir separuhnya adalah anak-anak.
Penolakan yang keras terhadap hukuman mati dan hukuman kebiri dalam Perppu datang 
dari Komnas wanita . Komisi ini memandang bahwa kekerasan seksual adalah 
perbuatan keji, tidak beradab, dan menghancurkan kehidupan korban, namun aturan 
baru ini tidak punya kesesuaian dengan Konstitusi dan prinsip-prinisp HAM. Komnas 
wanita  menyampaikan enam alasan penolakan dimasukkannya pidana mati dan 
pidana kebiri sebagai bentuk hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam Perppu 
ini , yakni:  
1. Pidana mati dan pidana kebiri belum terbukti mampu mencegah terjadinya tindak 
kekerasan seksual, bahkan beberapa negara di Eropa yang pernah menerapkan bentuk 
hukuman ini, kini tidak lagi memberlakukan (misalnya dalam ini Inggris, Jerman 
dan Denmark).  Dalam konteks negara kita , pemberlakuan kedua bentuk pidana ini 
dikhawatirkan akan membuat pelaku kekerasan seksual menggunakan berbagai cara 
agar terhindar dari proses hukum, termasuk menyuburkan praktik jual beli hukuman, 
dan semakin menjauhkan korban dari akses keadilan dan pemulihan;
2. Pelaksanaan pidana mati dan pidana kebiri membutuhkan biaya yang cukup mahal. 
Untuk 1 kali kebiri kimiawi (penyuntikan hormon) membutuhkan biaya sekitar Rp 
700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah), dengan masa efektif suntikan hanya selama 
3 bulan. Jika kepada setiap terpidana akan dilakukan beberapa kali suntikan obat/
hormon, misalnya dalam ini hingga 8 kali, maka negara harus menyediakan 
anggaran beberapa Rp 5,6 juta untuk 1 orang terpidana kebiri.  Hingga saat ini kita 
masih menghadapi kesulitan sebab  ketiadaan anggaran visum etre partum bagi 
korban kekerasan seksual pada instansi terkait. Selama ini pembiayaan visum di 
sebagian besar daerah di negara kita , masih dibebankan kepada korban. Setiap 
korban membutuhkan sekitar Rp. 80 ribu – 500 ribu untuk biaya visum. Jika visum 
ini  melibatkan dokter spesialis, maka akan membutuhkan sekitar Rp. 500 ribu–
1 juta. Seharusnya biaya kebiri dapat dialihkan menjadi biaya visum, sebagai wujud 
perlindungan negara terhadap korban kekerasan seksual. Visum dibutuhkan korban 
agar perkaranya dapat berlanjut ke pengadilan;
3. Pidana kebiri jika tetap dipaksakan untuk diterapkan, maka terancam tidak 
dapat dilaksanakan sebab , Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang diharapkan akan 
melaksanakan pengebirian telah menyatakan menolak dilibatkan dalam pelaksanaan 
eksekusi pidana Penolakan ini  sebab  pertimbangan melanggar Sumpah Dokter 
dan Kode Etik Kedokteran negara kita , dan tindakan ini  dipandang bertentangan 
dengan perikemanusiaan;
4. Pidana mati dan pidana kebiri merupakan pelanggaran atas hak hidup dan 
merupakan tindakan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat 
manusia. sebab nya, kedua bentuk pidana ini dianggap melanggar hukum hak asasi 
manusia internasional. Pidana mati mencabut hak hidup seseorang yang merupakan 
hak konstitusional yang telah dijamin pemenuhannya tanpa pembatasan apapun 
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pidana kebiri 
dapat menyebabkan disfungsi seksual dan osteoporosis bagi terpidana. Indonesia 
telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Sipil Politik melalui Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan 
atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat 
(Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or 
Punishment),melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Sebagai negara yang 
sudah meratifikasi, Indonesia wajib tunduk kepada kedua instrumen hak asasi 
manusia Penerapan pidana mati dan pidana kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, 
merupakan tindakan yang tidak proporsional untuk kejahatannya sendiri dan langkah 
mundur Pemerintah Indonesia dalam penegakan hak asasi manusia;
5. Aturan hukum yang telah ada bagi pelaku kekerasan seksual sejauh ini belum 
diterapkan secara maksimal. Masih ada beberapa hambatan yang dialami korban 
dalam mengakses keadilan, terutama berkaitan dengan perspektif aparat penegak 
hukum yang masih bias gender dalam menangani kasus kekerasan seksual serta 
mekanisme pembuktian yang masih menyulitkan korban. Kondisi ini berkelit kelindan 
dengan praktik mafia hukum yang menguatkan impunitas pelaku kekerasan seksual. 
Regulasi yang dibutuhkan saat ini adalah yang mampu menjawab persoalan ini , 
bukan menambah bentuk pidana baru;
6. Penanganan yang luar biasa terhadap kejahatan yang luar biasa (misalnya dalam hal 
ini perkosaan), bisa dilakukan segera dengan mengoptimalkan penerapanhukum