Home » hukuman mati 5 » hukuman mati 5
Jumat, 26 Januari 2024
yang menyinggung masalah
pidana mati yaitu fraksi TNI/Polri. Mereka menyampaikan perubahan terhadap penjelasan
Pasal 2 ayat (2) tentang keadaan tertentu, yang semula diartikan sebagai situasi dan
kondisi, tempat dan waktu ketika korupsi itu dilakukan menjadi perbuatan korupsi yang
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan oleh negara bagi penanganan situasi
dan kondisi tertentu.430 Penjelasan ini menurut Fraksi TNI/Polri adalah suatu langkah
maju dari pemerintah sehingga ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi menjadi luas
cakupannya.431 Selain itu Fraksi ini TNI/Polri menambahkan satu unsur lagi dalam Pasal
2 ayat (2) yaitu unsur “Penanggulanggan akibat kerusuhan sosial yang meluas”, dengan
alasan untuk melindungi dana-dana yang diperuntukan untuk rehabilitasi akibat dari
kerusuhan sosial agar tidak dilakukan penyimpangan, mengingat ancaman hukumannya
dapat dihukum mati.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kebijakan mati dalam UU No. 31
Tahun 1999 tidak cukup operasional/fungsional dalam rangka memberantas korupsi?.433
Adanya ancaman pidana mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 dianggap menunjukkan
keseriusan pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Namun,
dalam kenyataannya, sudah sebelas tahun lebih sejak keluarnya UU ini sampai saat
ini belum ada seorang koruptor pun yang dijatuhi pidana mati. Berbeda halnya dengan
pelaku tindak pidana narkotika yang sudah banyak (puluhan) dijatuhi pidana mati.
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa pidana mati dalam UU Tindak Pidana Korupsi
tidaklah efektif, sebab sejak UU ini diberlakukan, sampai sekarang belum ada
satu pun koruptor yang dihukum mati. Atmasasmita menambahkan bahwa semestinya
Indonesia berfokus pada pencegahan dan tidak lagi menggembar gemborkan pidana
mati kepada terdakwa korupsi. Atmasasmita berpendapat sebaiknya Indonesia mulai
mencontoh Cina yang tidak lagi mengembar-gembor kan hukuman mati pada terdakwa
korupsi, tapi sudah mulai untuk melakukan pencegahan, agar korupsi tidak terus
berlangsung. Cina sekarang sudah mulai belajar ke Korea Selatan untuk melakukan
pencegahan tindak pidana korupsi.
Namun, Atmasasmita menambahkan bahwa dipilihnya atau ditetapkannya pidana mati
sebagai salah satu saran untuk menanggulangi kejahatan pada hakikatnya merupakan
suatu pilihan kebijakan. Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat
pro atau kontra terhadap pidana mati. Namun setelah kebijakan diambil/diputuskan dan
kemudian dirumuskan (diformulasikan) dalam suatu UU, maka dilihat dari sudut kebijakan
hukum pidana (penal policy) dan kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya diharapkan
dapat diterapkan pada tahap aplikasi.
Sinintha Yuliansih Sibarani mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada satupun
kasus tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman mati sebab adanya pengertian hakim
yang berbeda tentang tindak pidana korupsi itu sendiri. Sebagian hakim memandang
bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary
crime), bersifat sistemik dan endemik dengan dampak yang sangat luas (systematic and
widespread), sehingga penanganannya perlu usaha /langkah-langkah luar biasa yang
komprehensif (comprehensive extraordinary measures), termasuk pidana mati. Sebagian
lagi memandang hanya merupakan tindak pidana biasa yang usaha penanganannya tidak
perlu memakai pidana mati. Pemikiran ini didasarkan pada HAM.437
Korupsi yang demikian maraknya terjadi pada di Indonesia secara sistematis di semua
sektor kehidupan warga telah mengancam usaha pembangunan keberlanjutan dan
pencapaian kesejahteraan warga negara kita . Pada awal bergulirnya reformasi, salah
satu tuntutan dan aspirasi warga yang sangat kuat adalah hukuman mati dijatuhkan
kepada para koruptor. warga beranggapan bahwa hukuman mati merupakan usaha
dalam mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi. Oleh sebab itu, pidana mati terhadap tindak pidana korupsi diancamkan
dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.438
Shidarta berpendapat bahwa hukuman mati dalam UU Korupsi yang dirumuskan oleh DPR
dan pemerintah sebab adanya tuntutan warga pada saat itu yang menginginkan
hukuman yang seberat-beratnya terhadap para koruptor yang bisa menjadi shock terapy
bagi pelakunya. Shidarta menambahkan, ini menunjukkan bahwa bukan kesadaran
hukum yang dibangun dalam merumuskan pidana mati di UU Korupsi melainkan perasaan
hukum yang bermain dalam perumusan hukuman mati di dalam undang-undang korupsi,
sebab besarnya tuntutan warga pada saat itu.
Karni Ilyas, salah satu dari penentang pidana mati dalam UU Korupsi, menurutnya
korupsi itu terjadi berkat sebuah sistem yang memberi kesempatan untuk melakukan
korupsi. Jika sistem pencegahan korupsi sudah lebih baik maka korupsi bisa hilang. Ia
mencontohkan jika di negara-negara maju umumnya tidak ada yang berani korupsi,
sebab sistemnya sudah berjalan baik. Untuk memperbaiki sistem negara ini dari korupsi,
harus dimulai dari seleksi penerimaan aparatur sipil negara.
Pasca runtuhnya kekuasaan rejim otoriter orde baru dan masuknya era reformasi
menjadikan semakin meningkatnya tuntutan terhadap penyelesaian berbagai pelanggaran
HAM yang terjadi dan adanya perubahan di tataran instrumental untuk mendorong
penegakan hukum dan penghormatan atas HAM. Salah satu instrumen penting yang lahir
dalam masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran
HAM melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM). Lahirnya mekanisme
Pengadilan HAM dipercepat adanya desakan dari Komisi Tinggi HAM PBB tahun 1999,
akibat dari adanya dugaan Pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur selama proses
jajak pendapat tahun 1999. Desakan ini mendorong pemerintah Indonesia dibawah
Presiden Habibie menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
No. 1 Tahun 1999, yang diumumkan Presiden pada 8 Oktober 1999, tiga hari menjelang
pidato pertanggungjawaban di MPR.441
Terbitnya Perppu ini setidaknya menunjukkan kepada dunia internasional adanya
kemauan pemerintah Indonesia untuk membentuk pengadilan HAM di tingkat domestik.
Namun, kehadiran Perpu ini ditolak oleh DPR dalam sidang paripurna di bulan Maret
2000, sebab dianggap secara konstitusional tidak memiliki alasan kuat berkaitan dengan
kegentingan yang memaksa. Dalam waktu kurang dari dua minggu sejak penolakan pihak
DPR, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pengadilan HAM. Tekanan
atas kemungkinan pembentukan pengadilan internasional memaksa pemerintah untuk
mengajukan rancangan legislasi baru menggantikan Perppu ini. Dalam keterbatasan
waktu inilah proses pembahasan RUU hanya dalam waktu kurang dari tujuh bulan. Pada
bulan November tahun 2000 DPR mengesahkan RUU ini , yang kemudian menjadi
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.442
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur 2 (dua) jenis kejahatan yang mendapatkan sanksi
berat yakni kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan ini
adalah kejahatan yang paling berat yang di nilai oleh warga Internasional dan
patut mendapatkan tuntutan lebih bahkan sampai tidak diberikan amnesti bagi para
pelakunya. Kedua kejahatan ini kejahatan internasional yang berdasar hukum
internasional kejahatan ini dilarang untuk diberikan amnesti.443 Dalam hal terjadi genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung
jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak
memberi amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut
di depan pengadilan. Jadi ada kewajiban negara untuk menghukum pelaku dan memberi
kompensasi terhadap korban.444
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat
khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious crimes of
international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi warga internasional
secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga
Omnes yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-
norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk
melakukan penuntutan.445
Dalam pembasahan RUU Pengadilan HAM, Pemerintah mengajukan usulan yang
memasukkan pidana maksimal seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun
dan paling singkat 5 tahun bagi pelanggar HAM. Pemerintah terlihat merujuk Protokol
Optional Kedua pada Konvenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang
ditujukan pada penghapusan hukuman mati. Para negara peserta konvensi ini diingatkan
bahwa semua usaha penghapusan hukuman mati akan dianggap sebagai kemajuan dalam
menikmati hak atas penghidupan. Pada Protokol Optional Pasal 1 (1) disebutkan bahwa
tidak seorang pun yang berada di dalam kekuasaan negara protokol ini dapat dihukum
mati. Sementara pada Pasal 1 (2) disebutkan setiap negara peserta akan menggunakan
semua usaha yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati di dalam kekuasaannya.446
Dalam pembahasan RUU Pengadilan HAM mayoritas fraksi mengusulkan adanya
hukuman mati. Sementara Fraksi Persatuan Pembangunan dan TNI/Polri mengusulkan
untuk memasukkan pidana mati untuk menggantikan pidana seumur hidup. Anggota
Fraksi Persatuan Pembangunan sependapat hukuman mati bagi pelanggar HAM
sebab hukuman mati sudah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka dan tidak
berubah sampai sekarang sebagaimana diatur dalam. Amini meperbandingkan bahwa
bahwa di KUHP yang unsurnya tidak seberat (kejahatan pelanggaran HAM yang berrat)
hukumannnya mati, namun mengapa kejahatan yang diatur dalam UU Pengadilan HAM
yang unsurnya lebih berat malah tidak dihukum mati. Amini menggambarkan bahwa
melakukan pembunuhan terhadap satu suku kenapa hukumannnya lebih rendah,
padahal dalam Pasal 340 KUHP dinyatakan bahwa “Barang siapa sengaja dan dengan
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.”
Pada pembahasan tanggal 13 Juli Tahun 2000, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
(Fraksi PPP) menyinggung pidana mati dalam pembahasan RUU Pengadilan HAM.
Perwakilan fraksi PPP mengatakan bahwa “Ketentuan pidana perlu ditambahkan ada
pidana mati atas seseorang yang melakukan pelanggaran HAM yang berat, yang memang
wajar untuk diberikan sebab kita mengetahui dalam hukum pidana atau KUHP saja kita
mengenal adanya hukum pidana mati, nah apalagi wacana dalam pelanggaran HAM berat
ini, sekiranya dapat dipertimbangkan adanya hukuman mati”.
Selain itu, Fraksi TNI/POLRI pada rapat pembahasan juga meminta perhatian adanya
suatu kata-kata dalam Konsideran menimbang. Pada prinsipnya semua rumusan dapat
diterima sebab merupakan salinan dari pengertian UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Namun ada hal dikoreksi kembali yaitu kata-kata “dikurangi atau dirampas”,
yang secara yuridis bahwa HAM itu dibatasi, baik dalam Pasal 29 ayat (2) Deklarasi PBB,
maupun di dalam Pasal 34 dan 36 Ketetapan MPR Nomor 17 Tahun 1999. HAM dibatasi
oleh suatu ketentuan UU, bahkan suatu hak yang paling mendasar yakni hak untuk hidup
juga ada pembatasannya yaitu adanya ketentuan hukuman mati.449
Pandangan fraksi TNI/POLRI kemudian dijelaskan oleh pihak dari pemerintahan yang
mendasarkan bahwa dalam menyusun rumusan RUU, Pemerintah mengambil beberapa
acuan referensi, standar-standar hukum internasional dibidang HAM, dan konvensi-
konvensi HAM. Pemerintah memahami bahwa dalam penerapan instrument HAM harus
mempertimbangkan unsur-unsur yang disebut partikularistik dan yang universal, dan
Pemerintah sudah berkomitmen terhadap perlindungan sesuai dengan Tap MPR No. 17
Tahun 1998 dan kemudian di tuangkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 dan sesuai dengan
ratifikasi beberapa konvensi HAM. Oleh sebab nya, dalam Bab Menimbang Pemerintah
mempertimbangkan prinsip-prinsip umum hukumnya (general principle of law), yang
prinsip-prinsip umum ini dalam penerapannya ada pengeculi-pengecualian
misalnya pidana mati, perampasan kemerdekaan dan sebagainya.
Pada 18 Juli tahun 2000, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (Fraksi PPP) kembali
mengusulkan adanya pidana mati bagi para pelaku kejahatan HAM. Perwakilan dari Fraksi
PPP berpendapat bahwa dalam KUHP saja ada pidana mati dalam kasus pembunuhan
sedangkan dalam RUU Pengadilan HAM paling berat hanya hukuman seumur hidup.451
Selain fraksi PPP ada juga fraksi TNI/POLRI yang setuju dengan terhadap usulan dari fraksi
PPP mengenai hukuman mati, menurut perwakilan fraksi TNI/POLRI maksimum ancaman
pidana pada Pasal 30 RUU Pengadilan HAM ini lebih rendah dari ancaman pidana
maksimum pasal 340 KUHP yaitu hukuman mati. Selanjutnya fraksi Partai Bulan Bintang
(fraksi PBB) juga menyetujui usulan ini sebab menurut perwakilan dari fraksi PBB, jika di
KUHP kejahatan tidak berencana dan tidak massal menggunakan hukuman mati, maka
kejahatan yang direncanakan secara sistematika justru tidak dihukum mati, dan hal itu
adalah aneh.
Fraksi lainnya adalah PDIP yang juga setuju dengan usulan fraksi PPP dan fraksi TNI/POLRI,
supaya ada pidana mati sebab pelaku kejahatan membunuh banyak orang. Namun ada
satu fraksi yang tidak mengusulkan hukuman mati yaitu, fraksi Reformasi, yang tidak
mengusulkan hukuman mati namun hukuman yang lebih berat daripada yang diajukan
oleh pemerintah. Jika pemerintah mengajukan hukuman 12 tahun dan Fraksi Reformasi
mengajukan 15 tahun. Demikian pula dengan hukuman minimum, Fraksi Reformasi
mengajukan 4 tahun dan pemerintah 3 tahun.
Pemerintah memandang bahwa masalah hukuman mati adalah dilematis. Pemerintah
berargumen bahwa jika melihat Perppu No. 1 Tahun 1999 sudah pidana mati, namun
setelah mengkaji kembali beberapa referensi hukum internasional dan diskusi dengan
Amnesti Internasional, ada persolan bahwa pidana mati tidak diperbolehkan lagi. Namun,
pada akhirnya Pemerintah tidak mempermasalkan dimasukkannya kembali pidana
mati.
Tabel 3.8. Pengaturan Hukuman Mati dalam UU Pengadilan HAM
No Perbuatan Sanksi Pidana
1.
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan
cara:
Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c,
d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10
(sepuluh) tahun.
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
Pasal 37
Setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d,
e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10
(sepuluh) tahun.
d. memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak
dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan ini ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-
asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan
untuk melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana
dengan pidana yang sama dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Pasal 42
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara
efektif bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM,
yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di
bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif
dan tindak pidana ini merupakan akibat dari
tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut,
yaitu:
a. komandan militer atau seseorang ini
mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan ini
sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang ini tidak
melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan ini atau menyerahkan
pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya,
bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sebab
atasan ini tidak melakukan pengendalian
terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
a. atasan ini mengetahui atau secara
sadar mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan
b. atasan ini tidak mengambil tindakan
yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan ini atau menyerahkan pelakunya
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
3.8.4 Politik Hukum Pidana Mati dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Peristiwa hancurnya gedung WTC di Amerika Serikat pada September 2001 membawa
dampak bagi meningkatnya kasus-kasus terorisme di dunia, termasuk di negara kita .
Terjadi berbagai peristiwa pengeboman, yang ditandai dengan pengeboman gereja
Katredal pada malam Natal tahun 2000 yang menjadi peristiwa teror terbesar sejak masa
reformasi. Selanjutnya peristiwa teror terus berlanjut seperti peristiwa bom Bali I dan II
setya peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriot Kuningan, Jakarta. Kondisi ini membuat
pemerintah Indonesia berfikir untuk membuat peraturan yang mengatur tentang
kejahatan terorisme.
usaha untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan tindak pidana terorisme sejalan
dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara Republik Indonesia adalah Negara
kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif
memelihara perdamaian dunia, maka pemerintah wajib memelihara dan menegakkan
kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau ancaman
destruktif baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah dalam membentuk regulasi untuk pemberantasan tindak pidana terorisme
dengan beberapa pertimbangan. Kejahatan terorisme merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban serta salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan
setiap Negara. Disamping itu, terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat
Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
merugikan kesejahteraan warga , sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara
berencana dan berkesinambungan, agar hak asasi orang banyak (publik) dapat dilindungi
dan dijunjung tinggi.
-- --
Selain itu, adanya komitmen warga Internasional dan mencegah dan memberantas
terorisme sudah diwujudkan dan berbagai konvensi internasional yang menegaskan
bahwa terorisme merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang mengancam
perdamaian dan kedamaian umat manusia sehingga seluruh anggota perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan revolusi
Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk
mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan undang-undang
nasional negaranya.
Pemerintah Republik Indonesia telah merespon usaha dan kiat untuk mengantisipasi dan
mengatasi tindakan terorisme itu dengan sekaligus disahkannya dua UU, yaitu UU RI No.
16 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 Tahun 2002
tentang pemberantasan Terorisme menjadi Undang-Undang yang disahkan oleh Presiden
RI pada tanggal 4 April 2002. Regulasi ini diperkuat dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi
UU yang disahkan pada tanggal 4 April 2003 atas persetujuan DPR.
Lahirnya UU No 15 tahun 2003 yang berisi tentang penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, menjadi Undang-Undang tidak ada tujuan lain kecuali untuk mewujudkannya
tujuan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. Selain itu,
rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah
mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan
warga secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang
luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Internasional.
Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan memiliki jaringan
(network) yang luas, sehingga pada gilirannya akan mengancam perdamaian dan
keamanan nasional dan Internasional. Oleh sebab itu, sebagai usaha untuk memulihkan
kehidupan warga yang tertib, dan aman serta untuk memberi landasan hukum
yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu kepada konvensi
Internasional dan peraturan perundang–undangan nasional yang berkait dengan
terorisme, diperlukan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
dan setelah itu ditetapkan di dalam sebuah Undang-Undang.
UU No 15 tahun 2003 mengatur tentang pidana mati untuk kejahatan terorisme. Ancaman
hukuman mati ini juga dikenakan kepada setiap orang yang merencanakan dan/atau
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, kepada orang yang
melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak
pidana terorisme, dan kepada setiap orang di luar wilayah negara Republik negara kita .
Tabel 3.9 Pengaturan Pidana dalam UU No. 15 Tahun 2003
No Pasal Pengaturan
1. Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun.
2. Pasal 8 Pasal 8
Dipidana sebab melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan
untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk
pengamanan bangunan ini ;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan
untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan
bangunan ini ;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil,
atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau
menggagalkan bekerjanya tanda atau alat ini , atau memasang tanda
atau alat yang keliru;
d. sebab kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan
penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan
terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak
dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan,
membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. sebab kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat
dipakai, atau rusak;
-- --
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau
ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau
yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk
pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan ini telah
diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas
atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam
penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau
ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan
atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat
seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat
membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas
kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan
terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika
perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara ini ;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas
atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara ini yang menyebabkan
tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan
ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun,
alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya
tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara ini
yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai
kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih
dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;
p. memberi keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan sebab
perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam
penerbangan.
3. Pasal 9 Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke negara kita ,
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki persediaan padanya atau
memiliki dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu
senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya
yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
4. Pasal 14 Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
5. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
6. Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberi
bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, dan Pasal 12.
7. Pasal 19 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun.
Pencantuman hukuman mati dalam UU No 15 tahun 2003 tidak ada perdebatan
yang memadai. ini terkonfirmasi dari salah satu tim perumus, Atmasasmita, yang
menyatakan bahwa, “Terkait hukuman mati yang ada pada undang-undang terorisme,
pemerintah dan DPR setuju untuk mengatur hukuman mati pada undang-undang ini”.461
Pemerintah dan DPR pada saat itu setuju untuk memasukkan hukuman mati dalam salah
satu pasal di undang-undang Tindak Pidana Terorisme, sebab menggangap terorisme
adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan perlu mendapatkan hukuman
yang setimpal agar bisa menjadi efek jera bagi para pelakunya. Selain itu, sebab sering
munculnya tindakan-tindakan teror setelah era reformasi yang mengakibatkan banyak
korban bukan hanya dari warga negara negara kita , namun warga negara asing pun banyak
yang menjadi korban. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan tidak adanya perdebatan
yang berarti pada saat itu dalam pembahasan pidana mati di UU terorisme.462
Namun, pemberantasan tindakan pidana korupsi yang dilakukan pemerintah
mendapatkan kritik dari warga . Munir, aktivis HAM, telah mengingatkan bahwa
pemerintah selama ini hanya mengandalkan tindakan counter-terorism dan tidak
melakukan tindakan anti terorism. Pemerintah seakan menganggap bahwa hanya dengan
membuat instrumen hukum yang bisa menghukum pelaku kejahatan, aksi terorisme
akan berhenti. Padahal, kenyataannya tidak. Di sisi lain, tindakan anti terorism justeru
tidak dilakukan oleh pemerintah. Anti terorism adalah satu tindakan membangun suatu
kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan terorisme. Seperti
melakukan kontrol terhadap bahan peledak, kontrol bea cukai, kontrol di keimigrasian,
kontrol money laundering dan pemberlakuan early warning system.
Lebih lanjut Munir menambahkan bahwa tindakan terorisme bersifat ideologis sehingga
pelaku tidak peduli dengan ancaman hukuman mati. Oleh sebab itu, yang bisa dilakukan
antara lain adalah menghambat jangan sampai orang yang memiliki ideologi pengguna
kekerasan semacam itu memiliki akses untuk melakukan tindak terorisme. “Kalau
tindakan itu sifatnya ideologis maka tidak akan ada efek jera. Efek jera bisa dipakai
pada kriminal biasa. Kalau saya mencuri, saya bisa tobat. Tapi kalau soal ideologi, tidak
ada orang tobat dari ideologi. Itu kesalahan kita sejak lama, yakin bahwa ideologi itu bisa
tobat”. Jika yang dilawan adalah ideologi, yang dapat dilakukan adalah menghentikan
pelakunya atau menutup akses dimana orang itu bisa mendapat bahan peledak dan lain-
lainya.
Dalam konteks saat ini, pembahasan tenyang hukuman mati dalam UU terorisme tetap
diperdebatkan. Pada satu sisi masih menyetujui adanya hukuman mati bagi kejahatan
terorisme dan sisi yang lain hukuman mati ini tidak tepat untuk diterapkan. Arsul Sani,
salah satu anggota komisi III DPR RI, menyatakan bahwa, revisi UU No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan tetap mempertahankan ketentuan
mengenai hukuman mati yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 14. Menurut salah satu
anggota Pansus revisi UU Terorisme ini , ketentuan pasal mengenai hukuman mati
dinilai masih relevan, sebab kita berpandangan dengan adanya hukuman mati saja, tidak
ada efek jera bagi pelaku, apalagi kalau tidak ada hukuman mati. Arsul Sani menambahkan,
jika ancaman pidana mati dihapuskan, pihak yang memiliki paham radikal akan lebih
leluasa berbuat teror. Selain itu, Asrul Sani juga berpandangan aksi teror merupakan
kezaliman terhadap sesama manusia yang patut dihukum berat. Anggota Komisi III DPR
menyatakan bahwa “Kita punya keyakinan bahwa apa yang mereka (teroris) lakukan itu
bukan jihad, melainkan kezaliman terhadap sesama”. Asrul Sani menyampaikan bahwa
mayoritas fraksi di pansus menghendaki pidana mati tetap diatur dalam UU Terorisme.
Sementara itu, DPR akan mendorong Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
untuk terus memaksimalkan peran deradikalisasi.
Pandangan berbeda justru dikemukan oleh Shidarta, yang menjelaskan bahwa terorisme
itu sulit diberantas dengan hukuman mati, lebih lanjut lagi Shidarta menuturkan bahwa
pada pelaku teror ini rela mati dalam melakukan aksinya, jadi hukuman mati sama
saja dengan dia mati ketika melakukan aksinya. Jadi menurut Shidarta hukuman mati
dalam UU Terorisme tidaklah efektif dan tidak bisa memberi efek jera bagi pelakunya.
Pendapat senada dinyatakan oleh Supriyadi, bahwa berdasar pada tinjauan
historisnya, ancaman pidana mati juga tidak tepat dipakai . Selain hanya akan
melahirkan kasus teror lainnya, ancaman pidana mati juga akan melahirkan perlawanan
yang lebih besar. DPR harus melihat lebih jernih lagi kenyataan dan fakta ini. Kebijakan
untuk mengahapuskan pidana mati dalam tindak pidana terorisme harus dilihat dalam
agenda yang lebih besar. Supriyadi menegaskan, ancaman pidana mati juga akan merusak
program deradikalisasi yang diharapkan pemerintah dalam revisi UU Terorisme. sebab
dengan mengeksekusi mati, teroris akan merasa terhormat dan merasa dirinya mati
terhormat.
Efektifitas hukuman dan efek jera yang selama ini di kampayekan oleh pemerintah dan
legislatif dalam memberi hukuman mati bagi para pelaku terorisme agak kurang tepat,
ini disebab kan ada sudut pandang yang terlihat saling berlawanan. Bagi pemerintah dan
DPR dengan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku teror maka orang akan merasakan
takut untuk melakukan perbuatan yang sama ini , tapi kalau kita melihat selama
justru sebaliknya, mereka para pelaku terorisme malah meganggap bila mereka mati
dalam melakukan aksinya atau di eksekusi, maka mereka akan sangat terhormat dan
mereka akan dianggap pahlawan oleh kelompoknya atau komunitasnya.
Hal inilah yang tidak dilihat oleh pemerintah dan DPR pada saat perumusan Undang-
Undang Terorisme, mereka masih beranggapan bahwa menghukum mati para terorisme
akan menimbulkan efek jera dan tidak akan ada yang menggulangi lagi dimas yang
mendatang, namun ini tidaklah benar, malah terorisme masih tetap ada dan
tidak ada angka yang pasti yang menyebutkan bahwa kasus terorisme turun di negara kita ,
walaupun sudah ada yang di eksekusi terkait tindak pidana terorisme, seperti Amrozi cs.
Semangat dalam menghukum para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan serius
seperti terorisme harus didasari oleh kesadaran hukum dan bukan oleh perasaan hukum,
sebab kalau pemerintah dan DPR terus memakai perasaan hukum dalam perumusan
undang-undang di DPR, maka kedepannya akan nantinya pidana mati bisa terus muncul
dalam setiap peristiwa yang dianggap sebagai “ darurat” sebuah kejahatan yang terjadi di
negara kita .
Sebagaimana telah disebutkan dalam bagaian sebelumnya dalam kebijakan hukuman
mati terkait psikotropika), sejak dahulu Indonesia telah memerangi peredaran bahan dan
obat-obatan terlarang, termasuk narkotika. Pada tahun 1970, seiring dengan tumbuhnya
perekonomian Indonesia pada 1970, pendapatan warga secara umum juga terus
meningkat. Meski pertumbuhan ekonomi sempat mandeg pada masa pemerintahan
Soekarno, namun pemerintahan Soeharto berusaha meningkatkan perekonomian
dengan usaha reformasi ekonomi yang meliputi stabilitasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi
ekonomi. Tumbuhnya perekonomian berdampak pada meningkatnya kesejahteraan
warga . Peningkatan kesejahteraan ini diikuti oleh peningkatan konsumsi narkotika
untuk rekreasi. Disamping peningkatan kesejahteraan, kemudahan komunikasi dengan
warga di luar Indonesia juga diduga menjadi pendorong maraknya pemakaian
narkotika ini.
Untuk mengatasi masalah narkotika, pada 1971, pemerintah lalu mengeluarkan Instruksi
Presiden No 6 Tahun 1971 tentang Koordinasi Tindakan dan Kegiatan dari Instansi
yang bersangkutan dalam Usaha Mengatasi, Mencegah, dan Memberantas Masalah
Pelanggaran yang berkenaan dengan Masalah Penanggulangan Narkotika. Inpres 6/71
ini diberikan kepada Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) untuk mengkoordinir
tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan dari badan/Instansi jang bersangkutan dalam
usaha untuk mengatasi, mentjegah dan memberantas masalah-masalah dan pelanggaran-
pelaNggaran jang timbul dalam masjarakat, jang langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Sebagaimana disebutkan dalam bagian sebelumnya, pada saat itu, Pemerintah dan DPR
mendorong RUU Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Protokolnya serta
RUU tentang Narkotika. Dalam RUU yang disampaikan oleh pemerintah, ada dua
perbuatan yang diancam pidana mati yaitu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal
23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) huruf a dan Pasal 23 ayat (5) jo Pasal 36 ayat (5) huruf a
sepanjang bukan terkait dengan tanaman koka atau ganja. Pidana mati sesungguhnya
merupakan jawaban atas keresahan dari pemerintah akan kemungkinan tindak pidana
narkotika dipakai sebagai salah satu sarana penting untuk melakukan subversi.
Suatu pandangan yang lalu diamini oleh seluruh Fraksi di DPR. Namun, Pemerintah
juga usulan memasukkan pidana subversi ke dalam RUU ini. Akhirnya pada 2 Juli 1976,
DPR menyetujui RUU Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika dan RUU Narkotika untuk
menjadi UU.
Dengan maraknya pemakaian teknologi baru dalam peredaran narkotika, maka
pemerintah memutuskan untuk membentuk UU baru yaitu UU No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. UU ini juga merupakan implementasi dari Pengesahan United Nations
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances479 melalui UU
No. 7 Tahun 1997. Kerangka politik hukum kedua kebijakan ini memiliki kesamaan. Dalam
UU No. 7 Tahun 1997 disebutkan bahwa:
“sebab keuntungan yang sangat besar, organisasi kejahatan ini berusaha
dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangkan terus usaha
peredar-an gelap narkotika dan psikotropika dengan cara menyusup, mencampuri,
dan merusak struktur pemerintahan, usaha perdagangan dan keuangan yang sah
serta kelompok-kelompok berpengaruh dalam warga ”
Sementara dalam UU No 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa:
“…mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.”
Dalam UU No 22 Tahun 1997, perbuatan yang diancam pidana mati diatur dalam Pasal 80
ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf
a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a.
3.8.5.2 Politik Pidana Mati dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Paska reformasi, gagasan untuk memperbarui UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
semakin menguat. Kali ini, MPR telah mmberikan rekomendasi ke Presiden untuk
melakukan pembaruan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika melalui Ketetapan
MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam TAP MPR ini, MPR
memandang persoalan narkoiika dari tiga sisi yaitu yang terkait dengan moralitasdan
penurunan akhlaq, peningkatan penderita HIV/AIDS, dan meningkatnya keresahan
warga . sebab itu langkah yang direkomendasikan untuk ditempuh oleh pemerintah
negara kita ,
-- --
adalah:
1. meningkatkan anggaran dalam rangka pembangunan diibidang Agama;
2. melakukan tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku terhadap
produsen, pengedar, dan pemakai serta melakukan langkah koordinasi yang
efektif, antisipatif, dan edukatif dengan pihak terkait dan warga ;
3. mengusaha kan untuk meningkatkan anggaran guna melakukan rehabilitasi
terhadap korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
dan
4. bersama DPR, merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
sebab itu, Pemerintah dan DPR-RI kemudian mengesahkan dan mengundangkan UU No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu perubahan mencolok dari UU ini adalah
ditingkatkannya status BNN sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
yang diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika.
Dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka pidana mati diterapkan sebagai
bagian dari usaha meletakkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sejalan dengan UU No 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, maka pemberatan pidana terutama pencantuman pidana mati sebab
peredaran narkotika akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-
nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Terkait pencantuman pidana mati dalam tindak pidana narkotika, pemerintah telah
menegaskan pendapatnya bahwa pidana mati diperlukan sebab dianggap sebagai
kejahatan kemanusiaan yang bertujuan memusnahkan umat manusia secara perlahan
namun pasti. Seluruh potensi akal fikir dan budi manusia dirusak secara massal untuk
kepentingan pribadi dan golongan.
Pemerintah lalu mengilustrasikan bahwa dengan kejahatan narkotika, manusia
dibuat seperti mayat hidup yang tidak berpotensi lagi membangun peradaban dan
kebudayaannya, namun terus berperilaku merusak tatanan kehidupan. sebab itu tindak
pidana narkotika akan selalu diancam dengan pidana berat termasuk dengan pidana mati.
Statistik tindak pidana Narkotika secara umum tidak menunjukan penurunan sedikitpun,
padahal pemerintah telah berusaha keras untuk menurunkan angka ini , misalnya
dengan pembentukan lembaga khusus yang diharapkan dapat mengkoordinasikan
berbagai instansi terkait untuk pencegahan, penegakan hukum, rehabilitasi dan lain-lain
terhadap Narkoba.
Ancaman pidana dalam UU Narkotika dan UU Psikotropika terus ditingkatkan bahkan
berlipat-lipat sejak disahkannya UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian
diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun dalam kenyataan masih
belum dapat menurunkan jumlah kasus tindak pidana narkotika, bahkan jumlahnya terus
melambung tinggi.
Tabel 3.9 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
No Pasal Pengaturan
1. Pasal 74 (1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari
perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan
tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat
kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses
pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2. Pasal 113 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
3. Pasal 114 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan,
atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
4. Pasal 116 (2) Dalam hal pemakaian narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk dipakai orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
5. Pasal 118 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
6. Pasal 119 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
7. Pasal 121 (2) Dalam hal pemakaian Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk dipakai orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
8. Pasal 132 (3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh)
tahun.
9. Pasal 133 (1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberi kesempatan, menganjurkan, memberi
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang
belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126,
dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
10. Pasal 144 (2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang
dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Dalih Kedaruratan yang Menegaskan Nilai Kemanusiaan
Belum genap seratus hari berkuasa, Presiden Joko Widodo menolak grasi 64 terpidana
mati kasus narkoba dan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera melaksanakan
eksekusi mati.487 Dalam acara audiensi dengan civitas akademi Universitas Gadja Mada
(UGM), Yogyakarta, Presiden Jokowi menegaskan, kesalahan itu sulit dimaafkan sebab
mereka pada umumnya adalah para bandar besar yang demi keuntungan pribadi
dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi penerus bangsa. Penolakan
permohonan grasi itu menurut Presiden Joko Widodo sangat penting untuk menjadi
shock terapy bagi para bandar, pengedar maupan pengguna.488 Dalam memutuskan
untuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati ini, presiden ternyata banyak mendapatkan
dukungan, baik dari dalam pemerintahan sendiri maupun dari luar pemerintahan. Wakil
presiden Jusuf Kalla, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menkopolhukam, Jaksa Agung
dan Kepolisian mendukung langkah yang diambil oleh Presiden Joko Widodo. Sementara
itu, dari luar pemerintahan ada organisasi Nahdathul Ulama (NU), Muhammadiyah dan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga ikut mendukung langkah presiden
Jokowi.489
Gufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial , menilai bahwa kebijakan penerapan hukuman
mati semakin memburuk di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut Gufron,
berdasar catatan Imparsial, jumlah eksekusi mati yang dilakukan Presiden Joko
Widodo lebih banyak jika dibandingkan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Gufron menuturkan, tercatat selama 10 tahun pemerintahan SBY, telah
terjadi 21 eksekusi mati. Sementara pada 2,5 tahun masa pemerintahannya, Presiden
Jokowi telah melaksanakan 18 eksekusi mati.490
Kualitas peradilan dan lembaga penegak hukum di Indonesia yang belum bebas dari
korupsi menjadi salah satu masalah yang paling merisaukan dalam menilai kualitas vonis
pengadilan atas hukuman mati. Padahal sistem peradilan dan lembaga penegak hukum
yang relatif bersih sekalipun, tak ada satu sistem peradilan yang dianggap cukup aman
dari kesalahan. Kelemahan hukuman mati terutama sebab tidak dapat dikoreksi jika
vonis ini salah. ini semakin diperburuk oleh sistem hukum yang secara umum
masih korup dan amburadul. Kondisi hukum yang demikian, misalnya terlihat dari Indeks
Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012, bahwa secara keseluruhan Indeks Persepsi
Negara Hukum Indonesia tidak menggembirakan dengan skor 4,53 dengan skala 1-10.
warga masih memandang potret negara hukum Indonesia masih rendah.491
Unfair trial atau peradilan yang sesat juga menjadi momok yang menakutkan dalam sistem
peradilan di negara kita . Ada beberapa kasus dimana unfair trial hampir merenggut nyawa
orang-orang yang tidak bersalah, kasus Yusman Telaumbanua, seorang anak yang divonis
mati akibat didakwa melakukan pembunuhan dan Zulfiqar Ali yang di vonis mati sebab
didakwa memiliki 300 gram heroin. Untuk kasus Yusman Telaumbanua, terdakwa yang di
vonis mati oleh Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, ternyata masih berusia anak pada saat
dijatuhi vonis pidana mati. Para pengak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim tidak bisa
megetahui umur yang pasti pada saat proses hukum ini berjalan dan dengan cerobohnya
menjatuhkan hukuman mati pada anak-anak. Penjatuhan hukuman mat bertentangan
dengan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Setelah 5 tahun
kasus ini berjalan dan sudah berbagai usaha hukum yang dilakukan, akhirnya di temukan
bukti baru (novum) yang menyatakan bahwa pada saat di jatuhi vonis mati, Yusman
masih berusia sekitar 15-16 tahun.
Dua tahun setelah memimpin pemerintahan di negara kita , Presiden Joko Widodo
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Perppu Perlindungan Anak). Presiden Joko Widodo menyampaikan
bahwa pembentukan Perppu ini dilandasi dengan beberapa pertimbangan: (i) mengatasi
kegentingan yang diakibatkan seksual terhadap anak yang semakin meningkat; (ii)
Adanya bukti baru (novum) yang diajukan KontraS terkait usia pasti Yusman Telaumbanua yang diperoleh melalui pemer-
iksaan forensik gigi besar kemungkinan menjadi salah satu bukti kuat yang meloloskan Yusman dari ancaman pidana mati.
Dari keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan Peninjauan Kembali dengan Nomor Perkara 8/PID/B/2013/PN-GST,
diketahui bahwa hasil pemeriksaan tulang dan gigi Yusman Telaumbanua yang diuji oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung membuktikan bahwa usia Yusman Telaumbanua pada saat dilakukan pemeriksaan forensik
pada tahun 2016 berkisar 18-19 tahun, sehingga jika ditarik mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada tahun 2012,
maka usia Yusman saat itu antara 15 – 16 tahun. Lihat Kontras, Belajar Dari Kasus Yusman Telaumbanua: Pemerintah Harus
Evaluasi Seluruh Penerapan Hukuman Mati di negara kita ,
kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa sebab mengancam dan
membahayakan jiwa serta tumbuh kembang anak; (iii) kejahatan ini juga mengganggu
rasa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban warga . Lebih lanjut Presiden juga
menyatakan bahwa kejahatan luar biasa ini membutuhkan penanganan luar biasa
juga, serta adanya penambahan beberapa pasal di Perppu untuk memberi ruang hakim
memberi hukuman seberat-beratnya untuk memberi efek jera kepada pelaku dan
menekan kejahatan seksual terhadap anak.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan HAM,
yang menyatakan keyakinan pemerintah bahwa kejahatan seksual pada anak merupakan
kejahatan yang luar biasa. Selain itu, hukuman mati dimasukkan sebab secara
berdasar hukum yang berlaku jenis hukuman ini masih dimungkinkan. Yasona Laoly
menambahkan bahwa pengarturan yang demikian merupakan kedaulatan negara sebab
Indonesia yang masih menganut pidana pokok, diantaranya adalah hukuman mati.
Pengaturan dalam Perppu menunjukkan adanya pemberian sanksi yang keras, termasuk
menambah berbagai jenis hukuman dan pemberatan atas hukuman-hukuman yang
sebelumnya diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemberatan ini berupa penambahan 1/3 (satu pertiga) hukuman bagi para pelakunya,
di antaranya kepada pelaku yang pernah melakukan kejahatan yang sama sebelumnya
dan pelaku yang seharusnya berkewajiban melindungi anak (orang tua, wali, orang-orang
yang memiliki hubungan keluarga, pengasuh dan sebagainya), atau tindakan yang
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.496 Perppu juga mengenalkan
hukuman berupa tindakan kebiri pemasangan alat pendeteksi elektronik,497 dan
pengumuman identitas pelaku ke publik.498 Perppu juga mengatur tentang penjatuhan
pidana mati bagi kejahatan yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang,
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Pertimbangan-pertimbangan dalam Perppu ini menunjukkan landasan pandangan
pemerintah tentang kondisi kejahatan seksual pada anak yang terjadi di negara kita . Adanya
kondisi keadaan “darurat kekerasan seksual” menjadikan pemberatan sanksi pidana
menjadi solusi untuk menghadapi situasi ini . Konsideran Perppu Perlindungan
Anak, khususnya huruf b dan c mengkonfirmasi latar belakang dan alasan pembuatan
Perppu Perlindungan Anak:
a. ….
b. bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan
yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi
dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman,
keamanan, dan ketertiban warga ;
c. bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
belum memberi efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif
terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
d. …
Dengan demikian pemberatan sanksi pidana, termasuk hukuman mati dianggap
memiliki pendasaran rasionalitas dan justifikasi sebagaimana dinyatakan dalam
rumusan konsideran ini . Merujuk pada pandangan Maria Farida, konsideran
dalam UU merupakan penjabaran dari landasan unsur-unsur filosofis, juridis, dan
sosiologis dalam suatu pembuatan UU.500 Pandangan ini sesuai UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang cakupan pertimbangan
filosofis, sosiologis, dan yuridis. Unsur filosofis ini bahwa menggambarkan peraturan
yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Unsur sosiologis menggambarkan peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
warga dalam berbagai aspek. Sementara unsur yuridis menggambarkan peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan warga .
Hukuman mati dalam Perppu ini merujuk pada kejahatan yang dilakukan berdasar
pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Hukuman mati, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (5) dijatuhkan
kepada pelaku dalam hal kejahatan yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang,
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 81 ayat (5) Perppu:
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D502 menimbulkan
korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal
dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pada 12 Oktober 2016 Perppu kemudian disetujui oleh DPR tanpa ada pengubahan isi.503
Perppu ini kemudian menjadi menjadi UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Menteri
Pemberdayaan wanita dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyambut
antusias keputusan DPR itu, dengan menyatakan bahwa “sekarang kita memiliki hukuman
paling keras. Hukuman mati, penjara seumur hidup, pengebirian kimia, pengungkapan
nama pelaku di muka umum, dan pemasangan cip elektronik.”504 beberapa fraksi di DPR
memberi catatan atas pengesahan Perppu ini dengan harapan adanya revisi yang lebih
502 Pasal 76D UU No. 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan ke-
kerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
503 Fraksi PKS memberi beberapa catatan terkait dengan pengesahan ini sebagai berikut: (i) mengenai langkah alter-
natif pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak. Di samping itu, belum ada data yang
dirilis terkait kekerasan seksual di negara kita . Padahal, data ini penting untuk menilai urgensi pembentukan aturan;
(ii) Perppu ini menjadi jalan untuk merevisi UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menjadi komprehensif.
Itu agar perlindungan anak tidak sekadar memberi pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan di bawah umur; dan
(ii) pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga harus memerhatikan masa depan anak, bukan
semata-mata menaikkan ancaman pidana. Sementara itu, Fraksi Partai Gerindra tetap menolak dengan alasan banyak organisasi dan lembaga yang kerap berurusan langsung dengan pelaku dan korban kekerasan seksual ter-
hadap anak menolak substansi Perppu ini . Lebih jauh fraksi ini mendukung percepatan pembahasan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual agar langkah perlindungan korban lebih komprehensif.
konprehensif dan dapat diberlakukan secara efektif. Selain itu, perlunya adanya kejelasan
rumusan pasal-pasal dan dalam tataran teknisnya.505 Sebelumnya, beberapa anggota DPR
menyatakan keberatan dalam beberapa pengaturan dalam Perppu terkait dengan adanya
hukuman kebiri yang dianggap tidak manusiawi.
Tabel 3.10 Pasal Pidana Mati Dalam UU No. 17 Tahun 2016
Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Pasal 89 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang
memiliki hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik,
tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan
anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana sebab
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang,
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban
meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.
Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J
ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan
pemasangan cip.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka
waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku
Anak.
Pro dan Kontra
Dalam sejarahnya, pengesahan Perppu ini tidak terlepas dari adanya kasus kejahatan
seksual terhadap anak yang terjadi di Bengkulu pada 5 April 2016 silam.507 Kasus ini
memicu polemik di kalangan warga tentang efektifitas UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus ini anak wanita berusia 14 tahun di
perkosa secara beramai-ramai dan mengakibatkan korban meninggal dunia, selang tak
berapa lama terjadi lagi kasus perkosaan anak berusia 7 tahun di Kalimantan Selatan yang
mengakibatkan korbannya meninggal dunia. ini yang mendorong warga untuk
menghukum seberat-beratnya para pelaku kejahatan seksual anak, termasuk menjatuhi
hukuman mati.
Tingginya angka kekerasan pada anak, khususnya kekerasan seksual pada anak menjadikan
momentum bagi para pendukung hukuman mati untuk memasukkan pasal pidana
mati dalam Perppu Nomor 1 Tahun Tahun 2016. ini tidak terlepas dari pandangan
Pemerintah, sebagaimana telah diuraikan dibagian sebelumnya, bahwa kekerasan
terhadap anak sebagai kejadian luar biasa sebab dapat merusak pribadi dan tumbuh
kembang anak, mengganggu ketenteraman dan kenyamanan di warga , sehingga
perlu penindakan luar biasa. Penghukuman terhadap pelaku yang seberat-beratnya juga
diharapkan mampu membuat jera para pelaku.508
Pemerintah, warga dan juga sebagian besar organisasi kewarga an tampak
sepakat dengan memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dan mereka
pun setuju terhadap usulan KPAI terkait hukuman mati bagi pelaku kekerasan anak.
Pemerintah, sebagamana dinyatakan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly menyatakan
bahwa memasukkan pidana mati sebagai salah satu opsi hukuman bagi pelaku kejahatan
seksual pada anak, dengan dalih bahwa hukuman mati masih dimungkinkan. Dalam
berbagai UU di negara kita , hukuman mati dapat dikenakan dalam kasus narkoba, terorisme
dan pembunuhan berencana.509 Yasonna Laoly menambahkan bahwa Perppu ini
hanya berlaku kepada pelaku orang dewasa yang melakukan tindak kejahatan seksual
terhadap anak.510
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong pemerintah untuk
mencantumkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual anak dengan alasan bahwa
meningkatnya kasus-kasus kejahatan seksual anak yang terjadi di Indonesia harus segera
di hentikan dengan membuat hukuman yang berat salah satunya hukuman mati. Komisi
ini meminta regulasi tegas yang menjerat para pelaku kekerasan pada anak menimbulkan
efek jera. KPAI berharap seluruh pelaku kekerasan anak, khususnya kejahatan seksual,
dijerat sanksi hukuman mati atau seumur hidup. Sekretaris KPAI saat itu menyatakan
bahwa kekerasan seksual itu menyebabkan kerusakan lima organ sekaligus sehingga
sangat pantas dihukum mati.511 Anggota KPAI lainnya, Susanto, juga mengemukakan
bahwa hukuman pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak dianggap masih belum
maksimal, yang idealnya hukuman minimal adalah 15 tahun dan maksimal hukuman
mati.512
Dukungan serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj yang
mendorong hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Penerapan
hukuman yang berat diharapkan menghilangkan niat orang berbuat serupa. Kekerasan
seksual terhadapa anak sudah ke luar dari asas kemanusiaan dan norma agama.513
Karni Ilyas juga menyampaikan bahwa adanya penerapan hukuman mati di dalam UU
Perlindungan Anak dimungkinkan dilatarbelakangi oleh banyak faktor termasuk ideologi
dan semangat menghukum terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual yang makin
marak terjadi, adanya kasus pemerkosaan bayi yang pernah terjadi menurutnya pantas
untuk dihukum mati sebab ini termasuk perbuatan sadis. Selain itu, pada tahun 2014,
ada petisi online yang mengajak untuk memperjuangkan pasal hukuman mati
Wawancara dengan Karni Ilyas, 6 Oktober 2017.
terhadap pelaku pedofilia dan human trafficking.
Sidharta, ahli hukum pidana, menanggapi pandangan KPAI dengan menyatakan bahwa
KPAI bukanlah lembaga hukum jadi KPAI tidak kompeten dalam mengajukan usulan-
usulan seperti itu (hukuman mati). Usulan pidana mati ini menjadikan KPAI sebuah
lembaga yang mencerminkan sebagai lembaga negara yang memakai perasaan hukum
dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakannya, yang seharusnya lembaga seperti KPAI
dapat memandu warga supaya warga berpikir rasional dan bukan malah ikut-
ikutan, sebab dalam budaya hukum di negara kita , perasaan hukum masih kuat dibanding
dengan kesadaran hukum.
Situasi inilah yang menyebabkan lahirnya Perppu No.1 Tahun 2016 yang kemudian
disahkan menjadi UU. Namun demikian beberapa perdebatan pro dan kontra juga
muncul, khususnya penerapan hukuman mati dan hukuman kebiri. Pemerintah
bersikukuh, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan wanita
dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, bahwa yang terpenting Perppu
harus segera diterbitkan sebagai bukti bahwa pemerintah tidak tinggal diam menyikapi
tingginya angka kekerasan seksual. Nasir Jamil, Komisi III DPR RI, menilai Perppu
Perlindungan Anak perlu diperkuat kembali, yakni penguatan untuk hukuman yang
diberikan kepada pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak. Nasir Jamil menyoroti
adanya hukuman kebiri yang akan mengancam hak asasi manusia dan dampak pada
efek jera yang diharapkan, sehingga sebaiknya tidak perlu diberi hukuman kebiri, namun
langsung hukuman mati dengan penerapannya yang harus proporsional dan terukur.
Dalam proses pembahasan Perppu, tidak semua anggota fraksi di DPR setuju dengan
penerapan hukuman kebiri. Fraksi Partai Gerindra, melalui wakilnya Rahayu Saraswati,
menyatakan penolakannya terhadap Perppu, yang menyebut bahwa sanksi kebiri kimia
bukanlah jalan keluar terbaik. Sarawati menambahkan bahwa harus ada pendidikan
dan pelatihan kepada hakim yang harusnya dijalankan terlebih dahulu bukan malah
menambah hukuman. Iskan Qolba Lubis, Politisi PKS juga menyebut ada kesan pemerintah
terburu-buru mengeluarkan Perppu sebab desakan opini publik, dengan argumen bahwa
penyebab orang melakukan kejahatan seksual bukan semata sebab hasrat libido yang
tinggi, tapi juga menyangkut mental orang ini .
Sementara dari pihak penolak adanya hukuman mati, mereka sudah menolak adanya
hukuman mati dan kebiri sejak dimulai proses perancangan Perppu. Aliansi 99, suatu
kumpulan-kumpulan organisasi warga yang terdiri dari lembaga yang bergerak di
isu perlindungan anak dan juga lembaga-lembaga yang bergerak pada isu HAM dan isu
kebijakan hukum di negara kita , menyatakan bahwa pemerintah lebih memperhatikan
pembalasan bukan pemulihan terhadap korban-korban kejahatan seksual anak yang
terjadi. Aliansi juga menyatakan bahwa Perppu hanya mengatur penghukuman bagi
pelaku kekerasan seksual. Sedangkan pengaturan perihal korban tidak menjadi prioritas
bagi pemerintah. Kekhawatiran penerapan atas Perppu ini juga disampaikan oleh Sri
Mulyati, pengiat Forum Pengada Layanan, bila aturan ini menyasar anak-anak yang
menjadi pelaku. Mulyati menyatakan bahwa ada tren pelaku kekerasan seksual
semakin muda dan dibawah 18 tahun, dan dari kasus yang pernah ditanganinya ada
tren yang menjadi pelakunya itu masih berusia muda di bawah 18 tahun atau yang tua
sekalian, dan hampir separuhnya adalah anak-anak.
Penolakan yang keras terhadap hukuman mati dan hukuman kebiri dalam Perppu datang
dari Komnas wanita . Komisi ini memandang bahwa kekerasan seksual adalah
perbuatan keji, tidak beradab, dan menghancurkan kehidupan korban, namun aturan
baru ini tidak punya kesesuaian dengan Konstitusi dan prinsip-prinisp HAM. Komnas
wanita menyampaikan enam alasan penolakan dimasukkannya pidana mati dan
pidana kebiri sebagai bentuk hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam Perppu
ini , yakni:
1. Pidana mati dan pidana kebiri belum terbukti mampu mencegah terjadinya tindak
kekerasan seksual, bahkan beberapa negara di Eropa yang pernah menerapkan bentuk
hukuman ini, kini tidak lagi memberlakukan (misalnya dalam ini Inggris, Jerman
dan Denmark). Dalam konteks negara kita , pemberlakuan kedua bentuk pidana ini
dikhawatirkan akan membuat pelaku kekerasan seksual menggunakan berbagai cara
agar terhindar dari proses hukum, termasuk menyuburkan praktik jual beli hukuman,
dan semakin menjauhkan korban dari akses keadilan dan pemulihan;
2. Pelaksanaan pidana mati dan pidana kebiri membutuhkan biaya yang cukup mahal.
Untuk 1 kali kebiri kimiawi (penyuntikan hormon) membutuhkan biaya sekitar Rp
700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah), dengan masa efektif suntikan hanya selama
3 bulan. Jika kepada setiap terpidana akan dilakukan beberapa kali suntikan obat/
hormon, misalnya dalam ini hingga 8 kali, maka negara harus menyediakan
anggaran beberapa Rp 5,6 juta untuk 1 orang terpidana kebiri. Hingga saat ini kita
masih menghadapi kesulitan sebab ketiadaan anggaran visum etre partum bagi
korban kekerasan seksual pada instansi terkait. Selama ini pembiayaan visum di
sebagian besar daerah di negara kita , masih dibebankan kepada korban. Setiap
korban membutuhkan sekitar Rp. 80 ribu – 500 ribu untuk biaya visum. Jika visum
ini melibatkan dokter spesialis, maka akan membutuhkan sekitar Rp. 500 ribu–
1 juta. Seharusnya biaya kebiri dapat dialihkan menjadi biaya visum, sebagai wujud
perlindungan negara terhadap korban kekerasan seksual. Visum dibutuhkan korban
agar perkaranya dapat berlanjut ke pengadilan;
3. Pidana kebiri jika tetap dipaksakan untuk diterapkan, maka terancam tidak
dapat dilaksanakan sebab , Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang diharapkan akan
melaksanakan pengebirian telah menyatakan menolak dilibatkan dalam pelaksanaan
eksekusi pidana Penolakan ini sebab pertimbangan melanggar Sumpah Dokter
dan Kode Etik Kedokteran negara kita , dan tindakan ini dipandang bertentangan
dengan perikemanusiaan;
4. Pidana mati dan pidana kebiri merupakan pelanggaran atas hak hidup dan
merupakan tindakan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia. sebab nya, kedua bentuk pidana ini dianggap melanggar hukum hak asasi
manusia internasional. Pidana mati mencabut hak hidup seseorang yang merupakan
hak konstitusional yang telah dijamin pemenuhannya tanpa pembatasan apapun
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pidana kebiri
dapat menyebabkan disfungsi seksual dan osteoporosis bagi terpidana. Indonesia
telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Sipil Politik melalui Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
(Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment),melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Sebagai negara yang
sudah meratifikasi, Indonesia wajib tunduk kepada kedua instrumen hak asasi
manusia Penerapan pidana mati dan pidana kebiri bagi pelaku kekerasan seksual,
merupakan tindakan yang tidak proporsional untuk kejahatannya sendiri dan langkah
mundur Pemerintah Indonesia dalam penegakan hak asasi manusia;
5. Aturan hukum yang telah ada bagi pelaku kekerasan seksual sejauh ini belum
diterapkan secara maksimal. Masih ada beberapa hambatan yang dialami korban
dalam mengakses keadilan, terutama berkaitan dengan perspektif aparat penegak
hukum yang masih bias gender dalam menangani kasus kekerasan seksual serta
mekanisme pembuktian yang masih menyulitkan korban. Kondisi ini berkelit kelindan
dengan praktik mafia hukum yang menguatkan impunitas pelaku kekerasan seksual.
Regulasi yang dibutuhkan saat ini adalah yang mampu menjawab persoalan ini ,
bukan menambah bentuk pidana baru;
6. Penanganan yang luar biasa terhadap kejahatan yang luar biasa (misalnya dalam hal
ini perkosaan), bisa dilakukan segera dengan mengoptimalkan penerapanhukum