Home » hukuman mati 7 » hukuman mati 7
Jumat, 26 Januari 2024
Dalam perkembangannya, pedoman ini tidak cukup jelas untuk konteks saat ini mengingat
berkembangnya hukum HAM internasional. Sekretaris Jenderal PBB sebelumnya telah
menunjuk Roger Hood untuk memberi laporan berkala tentang kemajuan dalam
hal penghapusan hukuman mati, yang dalam edisi paling mutakhir bukunya, Roger
Hood menjelaskan bahwa pedoman ini tidak jelas dan harus direvisi. Roger Hood
mengusulkan revisi: “Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman
mati hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan paling serius setaraf
pembunuhan yang dapat dipertanggungjawabkan (the most serious offences of culpable
homicide/murder), akan namun pemberlakuannya terhadap kejahatan-kejahatan seperti itu
580 Andrew Byrnes, Drug Offences, the Death Penalty and negara kita ’s Human Rights Obligations in the Case of the Bali, Pendapat
yang disampaikan di Mahkamah Konstitusi Republik negara kita ,
-- -
tidak boleh diwajibkan (mandatory).”583
Pandangan ini sejalan dengan Laporan dari Pelapor Khusus PBB (Special Rapporteur)
bidang eksekusi ekstrayudisial dan sewenang-wenang (extrajudicial, summary and arbitrary
executions),584 yang menyatakan bahwa dalam Pasal 6 Ayat (2) ICCPR, hukuman mati hanya
dapat diterapkan “jika dapat ditunjukkan bahwa ada niat untuk membunuh yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.”585 Selain itu Pelapor Khusus juga telah
mempersempit definisi dari most serious crime dengan menyatakan bahwa hukuman mati
hanya dapat dilakukan di situasi yang sifatnya eksepsional.
“the death penalty must be under all circumstances be regarded as an extreme exception
to the fundamental right to life, and must be interpreted in the most restrictive manner
possible.”
Sejalan dengan ketentuan ini di atas, Komisi HAM PBB pada 2004 telah mengeluarkan
Resolusi kepada negara anggota ICCPR untuk tidak memberlakukan hukuman mati kepada
kejahatan di luar dari kejahatan yang bersifat the most serious crime. Resolusi ini
juga meminta kepada seluruh negara anggota ICCPR untuk memastikan bahwa most
serious crime tidak keluar dari kejahatan internasional yang memiliki dampak mematikan
dan mengandung tingkat bahaya yang luar biasa (the notion of most serious crime does
not go beyond intentional crime with lethal or extremely grave consequences). Konsepsi ini
juga dijelaskan lebih lanjut dalam Paragraf 91 Laporan dari Pelapor Khusus ke Komite
HAM pada 24 Desember 1996 yang menyatakan bahwa “the scope of crime subject to the
death penalty should not go beyond intentional crime with lethal or other extremely grave
consequences.” 586
Selain itu Komisi HAM PBB dalam Resolusi 1999, menegaskan pandangan dari Pelapor
Khusus, untuk mendesak negara-negara untuk tidak menjatuhkan hukuman mati atas
kejahatan keuangan yang tidak memiliki unsur kekerasan (non-violent financial crime)
seperti korupsi atau praktik keagamaan tanpa kekerasan (non-violent religious practice).587
Dengan demikian yang dimaksud dengan the most serious crimes menurut Komite HAM
PBB adalah tindak pidana internasional yang dilakukan dengan sengaja atau terencanakan
dan menimbulkan akibat yang sangat luar biasa. Konsepsi ini senada dengan pendapat
Philip Alston, yang dituangkan dalam laporan di Sidang PBB di bulan Januari 2007, yang
pada Paragraf 53 Laporan ini menyatakan bahwa termasuk kategori the most serious
crimes adalah kejahatan-kejahatan yang melibatkan niat untuk melakukan pembunuhan
yang mematikan.
beberapa badan-badan PBB telah mencapai kesepakatan untuk konsep the most serious
crimes yang dapat dihukum dengan hukuman mati, yaitu “intentional crime with deadly
outcomes” atau kejahatan yang direncanakan dan menimbulkan kematian (seperti
pembunuhan berencana). Secara khusus, Sekretaris Jendral PBB pun menyatakan bahwa
negara yang memberi hukuman mati terhadap kejahatan yang tidak menimbulkan
kematian sangatlah problematik. Meskipun definisi the most serious crime tidak diatur
dalam ICCPR, namun secara implisit ada kesepakatan internasional bahwa most
serious crime dalam ICCPR terbatas hanya untuk kejahatan yang menimbulkan kematian.588
Penafsiran tentang the most serious crimes dalam praktik antara lain pernah dilakukan
oleh Komite HAM internasional dalam kasus Zambia.589 Dalam kasus ini Komite HAM
menyatakan bahwa penerapan hukuman mati terhadap pelaku perampokan dengan
kekerasan yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) ICCPR.590
Konsepsi the most serious crimes lebih lanjut juga ada dalam Statuta Roma 1998 tentang
pembentukan Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Pasal 5 Statuta Roma 1998
menyatakan bahwa:591
“…jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the
international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this
Statute with respect to the following crime: (a) the crime of genocide; (b) crime against
humanity; (c) war crime; (d) the crime of aggression.”
Dalam Statuta ini dapat kita lihat bahwa konsep the most serious crimes mencakup
empat jenis kejahatan yaitu kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan agresi. Selain itu, tidak dimasukkannya hukuman mati dalam mahkamah-
mahkamah pidana internasional memiliki arti yang sangat penting, yang menunjukkan
PBB menolak pendapat bahwa hukuman mati adalah hukuman yang tepat untuk
kejahatan-kejahatan yang sudah jelas merupakan “kejahatan paling serius”. Ditolaknya
hukuman mati dalam Mahkamah Mahkamah Pidana Internasional juga telah dinyatakan
oleh mahkamah-mahkamah konstitusi lainnya sebagai bukti kecenderungan/tren umum
dunia internasional ke arah penghapusan hukuman mati.592
Dalam perdebatan tentang konsepsi kejahatan serius ini memang ada kesulitan,
-- -
khususnya dalam menetapkan metodologinya. Praktik negara-negara setelah mengadopsi
suatu traktat merupakan pendekatan yang diakui untuk menafsirkan traktat ini ,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31(3) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties). Sebagai sebuah peraturan,
pendekatan demikian sangatlah masuk akal, sebagaimana menafsirkan arti perjanjian
yang sumir dengan cara merujuk pada perbuatan para pihak setelah dibuatnya perjanjian
ini , dengan asumsi bahwa cara ini membantu menegaskan niat dan maksud
yang dikehendaki para pihak dalam membuat naskah perjanjian ini dapat pula
melakukan hal yang sama terhadap traktat internasional. Namun, pemakaian cara
penafsiran ini harus dibatasi dalam penafsiran hukum, sebab perbuatan para
pihak (setelah dibuatnya suatu perjanjian) tidak hanya menegaskan arti suatu ketentuan
dalam perjanjian ini akan namun dapat juga berupa pelanggarannya. Dan demikian
juga halnya dengan perjanjian internasional, suatu hal yang tidak masuk akal jika
kita menafsirkan “kejahatan paling serius” dengan cara membuat sebuah katalog yang
berisi semua kejahatan yang dikenakan hukuman mati oleh negara-negara yang telah
meratifikasi ICCPR.
William A. Schabas mengusulkan suatu cara yang bermanfaat dalam rangka menafsirkan
cakupan kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana dimaksud Pasal 6 Ayat (2),
yakni dengan mencari konsensus di antara negara-negara mengenai kejahatan-kejahatan
yang dapat dijatuhi hukuman mati.593 Cara ini akan mengarah pada jawaban yang pada
pokoknya sama dengan padangan Philip Alston. Artinya, di negara-negara yang belum
menghapus hukuman mati, hukuman mati selalu dikenakan terhadap kejahatan-kejahatan
yang “dapat ditunjukkan bahwa ada niat untuk membunuh yang mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang” dalam melakukan kejahatan ini .
Dari berbagai konsepsi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep the most serious crimes
dalam hukum internasional sangatlah terbatas pada kejahatan dengan karakteristik
sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, meng-
goncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity);
b. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbul-
kan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave con-
sequences);
c. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau
warga luas seperti mengganggu ketertiban umum, melibatkan jumlah uang
yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, dilakukan dengan cara yang sangat
buruk (crime with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas perikemanu-
siaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan negara.
593 Schabas, Keterangan Ahli…, op.cit. hlm. 78. Lihat Schabas, The Abolition…, op.cit., hlm 99
Dengan demikian, Pasal 6 ayat (2) ICCPR adalah ketentuan yang memerlukan penafsiran,
sebab ia menyatakan sebuah prinsip (perlindungan terhadap pengurangan “sewenang-
wenang” atas hak untuk hidup), namun dengan sebuah pengecualian yang dinyatakan
secara tegas/eksplisit tentang hukuman mati di negara-negara yang belum menghapusnya.
Akan namun , pengecualian itu sendiri harus patuh pada pengecualian-pengecualian
lebih lanjut lagi, seperti persyaratan bahwa hukuman mati harus dibatasi hanya untuk
“kejahatan paling serius” yang dalam perkembanganya misalnya tidak boleh diterapkan
kepada wanita hamil atau pelaku kejahatan yang masih remaja. Oleh sebab nya, perlu
diingatkan kembali bahwa Pasal 6 ICCPR yang diadopsi setengah abad yang lalu dalam
konteks yang sangat khusus. Bahkan pada saat itu pun, kehendak Majelis Umum PBB
untuk mendorong penghapusan hukuman mati dapat dilihat pada redaksional ketentuan
yang ada pada Pasal 6 Ayat (6) ICCPR.
b. Kejahatan terkait Narkotika bukan termasuk the Most Serious Crimes
Komite HAM PBB berpandangan bahwa kejahatan drug trafficking yang tidak melibatkan
pembunuhan tidak termasuk dalam kategori kejahatan-kejahatan paling serius. Pandangan
ini ada dalam bagian kesimpulan tinjauan Komite HAM PBB atas laporan berkala
Thailand mengenai pelaksanaan ICCPR yang diterbitkan Juli 2005. Komite menyatakan:
Komite menaruh perhatian yang sangat serius pada kenyataan bahwa hukuman mati
tidak dibatasi hanya untuk “kejahatan paling serius” sebagaimana dimaksud Pasal 6,
Ayat 2, dan ternyata diberlakukan untuk drug trafficking. Komite menyesalkan bahwa,
meskipun Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diamandemen pada tahun 2003,
yang melarang pemberlakuan hukuman mati pada orang yang berusia di bawah 18
tahun, Negara Pihak ini belum juga menarik deklarasinya terhadap Pasal 6, Ayat 5 (Pasal
6) Kovenan ini . Negara Pihak ini harus meninjau kembali pemberlakuan hukuman
mati untuk kejahatan-kejahatan yang terkait dengan drug trafficking demi mengurangi
jenis kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati ...594
Kesimpulan Komite HAM ini diambil secara bulat, sehingga tidak ada ruang bagi
keraguan atas posisi yang diambil Komite, bahwa drug trafficking tidak termasuk dalam
kategori kejahatan paling serius sebagaimana dimaksud Pasal 6(2) ICCPR.
Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, pada 1984 PBB Safeguards
Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty sebagai sebuah usaha
untuk mengklarifikasi ketentuan-ketentuan tertentu dalam Pasal 6 ICCPR. Pedoman ini
menyatakan bahwa negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman
mati hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan paling serius, dalam arti ruang
lingkupnya tidak melampaui kejahatan-kejahatan disengaja yang bersifat mematikan
594 Komite HAM PBB, Concluding observation of the Human Rights Committee: THAILAND, CCPR/CO/84/THA, 8 Juli 2005,
para 14.
202 203
-- -
(lethal) atau yang membawa akibat-akibat yang sangat serius.595
Jaminan Perlindungan PBB tentang hukuman mati merekomendasikan kejahatan yang
diancam pidana mati harus “tidak boleh melebihi kejahatan dengan tujuan mematikan
atau konsekuensi buruk ekstrim lainnya.”596 Dalam ini Pelapor Khusus PBB
mengklarifikasi bahwa hukuman mati “hanya boleh diterapkan kepada kejahatan yang
melibatkan pembunuhan dengan sengaja”. Secara khusus Pelapora Khusus menekankan
bahwa “hukuman mati tidak boleh diterapkan untuk pelanggaran terkait narkoba kecuali
ini memenuhi persyaratan itu.”597
Pelapor Khusus PBB tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lainnya yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat (Special Rapporteur on torture and other cruel,
inhuman or degrading treatment or punishment) juga menekankan penerapan hukuman
mati untuk pelanggaran terkait narkoba, melanggar hukum HAM internasional. Laporan
dari Pelapor khusus ini menyebut bahwa “pelanggaran narkoba tidak memenuhi
ambang kriteria kejahatan paling serius sebab penerapan hukuman mati bagi pelaku
kejahatan narkoba merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup, perlakuan diskriminatif
dan mungkin [...] hak mereka atas martabat manusia.”598
Praktik menghukum mati kejahatan-kejahatan drug trafficking hanya ditemukan di kawasan
Asia Tenggara dan beberapa kecil negara yang mempraktikkan bentuk-bentuk hukum
syariah yang ekstrem, seperti Iran. Tidak ada bukti bahwa hukuman mati diberlakukan
terhadap kejahatan-kejahatan drug trafficking (yang tanpa pembunuhan) selain di
kawasan ini . Fakta bahwa negara-negara yang masih mempertahankan hukuman
mati di kawasan-kawasan lain dunia pun tidak mengancam kejahatan-kejahatan drug
trafficking dengan hukuman mati menyiratkan bahwa kejahatan-kejahatan drug trafficking
tidak dapat dianggap termasuk pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 6 Ayat (2) ICCPR.
ini berarti bahwa ICCPR yang merupakan perjanjian internasional yang berlaku secara
universal, yang harus ditafsirkan secara sama di manapun diberlakukan.
Bahwa kejahatan-kejahatan drug trafficking begitu merajalela dan menimbulkan masalah
sosial yang serius tidak dengan sendirinya menjadi alasan yang tepat untuk memasukkan
kejahatan-kejahatan drug trafficking dalam cakupan kejahatan paling serius. Bila itu
ukurannya (begitu merajalela dan menimbulkan masalah sosial yang sedemikian serius),
maka berarti sederet panjang kejahatan lain juga memenuhi syarat untuk dijatuhi
hukuman mati, seperti kejahatan lingkungan, kejahatan kerah putih, dan kekerasan dalam
rumah tangga, sesuatu yang tentu sangat absurd .
595 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Safeguards…, op.cit., para 1.
596 Ibid.
597 Majelis Umum PBB, Report of the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions, A/67/275, 9 Agustus
2012, para 122.
598 Dewan HAM PBB, Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment,
A/HRC/10/44, 14 Januari 2009, para 66.
Aspek lainnya yang sering disampaikan adalah aspek kedaruratan dalam menghadapi
drug trafficking. Mengenai hal ini, Pasal 4 ICCPR memperkenankan negara-negara untuk
mengurangi pemenuhan (derogate) ketentuan-ketentuan tertentu jika ada alasan
“keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa”. Konsepsi ‘derogation’ adalah
sebuah term of art yang dipakai dalam perjanjian-perjanjian HAM internasional untuk
dapat ditangguhkannya pemenuhan hak-hak tertentu dengan alasan keadaan darurat.
Namun, sebagaimana disebutkan sebelumnya, konsepsi ‘derogation’ ini haruslah
dibedakan dengan konsepsi ‘limitation’ (pembatasan), yakni sebuah konsep yang dipakai
untuk menentukan batas-batas norma norma apa saja yang tidak mutlak pelaksanaannya.
Contohnya, berdasar hukum HAM internasional seperti ICPPR, kebebasan berpendapat
tunduk pada limitation maupun derogation. Kebebasan berpendapat dapat dibatasi,
misalnya, dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai pencemaran nama baik
atau pelarangan pernyataan yang menyebarkan kebencian (hate speech) dan para hakim
yang menentukan batas-batas ini dengan tetap mengingat kerangka kerja normatifnya,
yang, secara garis besar misalnya terkait dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UDHR.
Derogation, di sisi lain, merupakan penangguhan total pemenuhan hak ini , bilamana
ada keadaan darurat umum yang membenarkan penangguhan ini . Dalam
keadaan demikian, hakim tidak lagi bebas menafsirkan cakupan batas-batas kebebasan
ini , seakan-akan kewenangan hakim untuk menilai sejauh mana cakupan batas-
batas kebebasan ini telah dicerabut secara total. Jadinya hakim hanya boleh menilai
keabsahan pemberlakuan derogation itu sendiri, yakni apakah benar ada keadaan
darurat dan apakah syarat-syarat formilnya telah terpenuhi.
beberapa pihak dapat berargumen bahwa drug trafficking telah memenuhi syarat sebagai
sebuah keadaan darurat umum yang mengancam suatu bangsa dan dengan demikian
memenuhi syarat sebagai pengecualian yang dimaksud Pasal 6 ICCPR. Namun argumen ini
cukup lemah, sebab : pertama, Pasal 4 Ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa tidak boleh ada
derogation terhadap Pasal 6 ini . Kedua, adanya syarat-syarat formal yang ditetapkan
dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (3), yang termasuk pernyataan resmi mengenai keadaan darurat
dan pernyataan itu harus diserahkan (deposited) kepada Sekretaris Jenderal PBB, sehingga
tanpa adanya pernyataan ini tidak dapat dinyatakan masalah drug trafficking sebagai
kondisi darurat.
4.4. Legislasi Indonesia dan Pemaknaan the Most Serious Crimes
Di negara kita , isu tentang kejahatan-kejahatan serius juga mewarnai perdebatan tentang
pembentukan berbagai UU yang dianggap perlu diberikan sanksi pidana mati. Uraian
dalam Bab III telah menunjukkan bagaimana perdebatan pemberlakukan hukuman
mati telah membentuk alasan-alasan mengapa hukuman mati diterapkan. Argumentasi
tentang perlunya hukuman mati dengan alasan bahwa kejahatan-kejahatan ini
204 205
-- -
merupakan the most serius crimes hanya ada dalam beberapa UU.
Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya, konsepsi the most serious crimes yang
awalnya tidak diberikan penjelasan secara memadai dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR, telah
mendapatkan titik terang pengertiannya. Konsepsi the most serious crimes dalam hukum
internasional sangatlah terbatas pada kejahatan dengan karakteristik: (i) kejahatan yang
dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani
kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity); (ii) adanya unsur kesengajaan,
terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang
sangat serius lainnya (extremely grave consequences); dan (iii) akibat yang ditimbulkan dari
tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau warga luas seperti mengganggu
ketertiban umum, melibatkan jumlah uang yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi,
dilakukan dengan cara yang sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan
kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan
keamanan negara.
Merujuk pada konsepsi ini , yang masih dikembangkan hingga kini, beberapa UU di
Indonesia yang menerapkan hukuman mati dan dibentuk pada masa sebelum reformasi
perlu dikaji ulang apakah masih sesuai dengan karakteristik sebagai the most serious
crimes. ini penting mengingat pembentukan berbagai UU ini dilakukan pada
saat norma-norma HAM belum cukup berkembangan sebagaimana saat ini, termasuk
perkembangan tentang konsepsi the most serious crimes. ini berbeda dengan beberapa
UU yang dibentuk setelah 1998, yang mengharuskan Indonesia untuk tunduk dalam
norma-norma hukum HAM internasional yang diakui, sebagaimana dinyatakan dalam
UUD 1945 (dengan amandemen), Ketetapan MPR RI No. XVIII Tahun 1998 tentang Hak
Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sebagaimana diuraikan di Bab III, berbagai UU yang dibentuk pada masa sebelum 1998
tidak banyak menyentuh atau dibentuk berdasar kesesuaiannya dengan konsepsi the
most serius crimes. Pemberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht
voor Indonesie yang yang diberlakukan di Indonesia dengan alasan-alasan prasangka rasial
yang diskriminatif dan dikemudian ditetapkan sebagai KUHP Indonesia hingga kini, belum
pernah dilakukan koreksi apakah kejahatan-kejahatan dengan ancaman hukuman mati
masuk dalam kategori the most serious crimes. Demikian pula dengan KUHPM, dengan
ancaman hukuman mati yang merujuk pada kejahatan-kejahatan yang dianggap berat
dalam militer dan sebagai bagian dari strategi pertahanan negara. Sementara pidana mati
dalam beberapa UU yang dibentuk pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin
ditujukan untuk menghalau pemberontakan, mengamankan revolusi dan program-
program pemerintah.
Pada masa Orde Baru, hukuman mati secara umum diterapkan untuk menjaga stabilitas
politik dan keamanan negara, dengan penekanan pada tindakan-tindakan yang dianggap
subversif. Pada masa ini, memang ada argumentasi tentang kejahatan-kejahatan
yang dianggap memiliki dampak serius, misalnya kejahatan-kejahatan yang terkait
dengan narkotika dan psikotropika serta kejahatan-kejahatan dalam penerbangan. Dalam
UU UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika misalnya, ketentuan hukum yang ada
sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1997 dipandang tidak membuat jera dan dapat
mendidik pengedar dan adanya gejala hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan
perbuatannya dibandingkan akibat yang diderita oleh korban.599 Pidana mati dipandang
sebagai jenis pidana yang tepat sebab jenis pidana ini merupakan hukuman pidana
yang terberat dari semua jenis hukuman pidana.600 Demikian pula dengan kejahatan
penerbangan, UU No 4 Tahun 1976 terkait dengan penerbangan merujuk pada berbagai
Konvensi Internasional tentang perlunya “severe penalties”, yang kemudian oleh Pemerintah
dirumuskan dengan frasa “ancaman pidana yang berat”.601 Beratnya ancaman pidana
ini sebab perbuatan yang diatur dalam UU ini, yakni gangguan terhadap keselamatan
pesawat udara dan ketenangan dalam pesawat dapat mengakibatkan bahaya yang lebih
besar dan langsung.602
Wacana dan perdebatan tentang hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan yang
termasuk the most serious crimes semakin jelas pada pembentukan berbagai UU setelah
tahun 1998. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memberi ancaman pidana mati dengan tujuan untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi secara lebih efektif,603 dan pidana mati sebagai salah satu sarana
kebijakan kriminal (kebijakan penanggulangan kejahatan) dalam menanggulangi korupsi
di Indonesia melalui UU ini dianggap sebagai suatu kewajaran.604 Selain itu, alasan bahwa
korupsi yang sangat marak di Indonesia secara sistematis di semua sektor kehidupan
warga telah mengancam usaha pembangunan keberlanjutan dan pencapaian
kesejahteraan warga negara kita . Hingga kini, korupsi masih diperdebatkan apakah
termasuk dalam ‘the serious crime’.605
Perdebatan tentang kejahatan yang termasuk the serious crimes lebih jelas dalam
pembahasan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini memiliki yurisdiksi
atas pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, yang subtansinya diadopsi dari Statuta Roma 1998 untuk Mahkamah
Pidana Internasional. Pemerintah pada awalnya tidak mencantumkan ancaman
hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan ini dengan merujuk pada hukum HAM
599 Murtiningsih, op.cit., hlm. 126 – 127,
600 Hamzah dan Rahayu, loc.cit.
601 Prakoso, Masalah…, op.cit, hlm. 95.
602 Ibid., hlm. 93.
603 negara kita , Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Umum.
604 Barda Nawawi Arief, Kebijakan…, loc.cit.
605 Andhika Prasetya, Beda dengan Benny Harman, Sekjen PPP: Korupsi itu Serious Crimes, Detik, 7 Juli 2017, <https://news.
detik.com/berita/3551747/beda-dengan-benny-harman-sekjen-ppp-korupsi-itu-serious-crime>, diakses pada 12 Desember
2017.
206 207
-- -
internasional, namun beberapa fraksi mendesak perlunya hukuman mati dengan alasan
bahwa hukuman mati bagi pelanggar HAM sebab hukuman mati sudah ada di Indonesia
sebelum Indonesia merdeka dan tidak berubah sampai sekarang. Pandangan ini ditopang
adanya fakta bahwa KUHP yang unsurnya tidak seberat kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan ada hukuman mati, namun justru kejahatan yang diatur dalam
UU Pengadilan HAM yang unsurnya lebih berat malah tidak dihukum mati.606 Namun,
dalam proses pembahasan ini melupakan fakta bahwa bahkah dalam Statuta Roma 1998
sebagai rujukan UU Pengadilan HAM tidak memberi ancaman kepada hukuman mati,
serta praktik-praktik peradilan pidana Internasional dengan yurisdiksi yang sama juga
tidak memberi ancaman hukuman mati.
Bahwa konsepsi tentang the most serious crimes sebagai satu-satunya justifikasi untuk
menerapkan hukuman mati terus diabaikan atau tidak menjadi perhatian penting
dalam pembentukan UU lainnya. Konsepsi the most serious crimes juga kemudian
dicampuradukkan dengan konsepsi kejahatan-kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Dalam UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme misalnya,
pemerintah dan DPR setuju untuk mengatur hukuman mati pada UU sebab menggangap
terorisme adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan perlu mendapatkan
hukuman yang setimpal agar bisa menjadi efek jera bagi para pelakunya. Selain itu, sebab
sering munculnya tindakan-tindakan teror setelah era reformasi yang mengakibatkan
banyak korban yang bukan hanya dari warga negara negara kita , namun juga warga negara
asing.607
Sementara dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pidana mati diterapkan
sebagai bagian dari usaha meletakkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Pencantuman pidana mati sebab
peredaran narkotika akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-
nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.608
Pemerintah telah menegaskan pidana mati diperlukan sebab dianggap sebagai
kejahatan kemanusiaan yang bertujuan memusnahkan umat manusia secara perlahan
namun pasti.609 beberapa alasan ini , yang menjadi dasar adanya ancaman pidana
mati terhadap kejahatan terkait narkoba, tidak sejalan dengan perkembangan hukum
internasional bahwa kejahatan yang terkait dengan drug trafficking bukan merupakan the
most serious crimes, sehingga tidak tepat diancam dengan hukuman mati.
UU terkini yang memberi ancaman pidana mati, yakni UU No. 17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Perppu Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
23 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, bersumber dari argumentasi adanya kondisi
606 Inay/Apr, loc.cit.
607 Wawancara dengan Romli Atmasasmita, 18 September 2017.
608 negara kita , Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Penjelasan Umum.
609 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 2/PUU-V/2007, hlm. 131.
“darurat kekerasan seksual” pada Anak. Alasan lainnya adalah meningkatnya kasus-kasus
kejahatan seksual anak yang terjadi harus segara di hentikan dengan membuat hukuman
yang berat salah satunya hukuman mati,610 serta kekerasan seksual terhadap anak sudah
ke luar dari asas kemanusiaan dan norma agama.611 Selain itu ada argumentasi
bahwa pidana mati sebagai salah satu opsi hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada
anak, sebab hukuman mati masih dimungkinkan berdasar perundang-undangan di
negara kita .612 Berbagai argumentasi ini menunjukkan ketiadaan perdebatan yang
memadai apakah kejahatan-kejahatan ini memang merupakan the most serious
crime atau tidak, dan terlebih pemerintah justru menyetujui penerapan hukuman mati
sebab masih diperbolehkan pemberlakuannya berdasar hukum nasional. Padahal,
pemerintah seharusnya mengkaji penerapkan hukuman mati ini berdasar norma-
norma HAM internasional yang telah diakui oleh negara kita .
4.5. Legislasi Indonesia dan Hukuman Mati : Tidak Sejalan Dengan HAM
a. Perlindungan HAM yang setengah hati
Sebagai salah satu negara yang tengah mengalami transisi demokrasi, Indonesia adalah
salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati sebagai cara untuk
menjalani transisi. Momentum transisi keadilan pasca jatuhnya rezim Pemerintahan
Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diasumsikan sebagai modalitas politik untuk memajukan
dan menegakkan nilai-nilai universal HAM justru dinegasikan dalam mereformasi
sistem hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Arah politik hukum pidana justru
menunjukkan adanya deviasi dengan kecenderungan global untuk menghapus hukuman
mati.
Kecenderungan ini tidak terlepas dari paradoks demokrasi pasca kejatuhan rezim otoriter
Orde Baru. Meskipun proses dan institusi demokrasi telah menghasilkan pergantian
rezim, namun hukuman mati tetap menjadi pilihan ekspresi politik dan instrumentasi
kekuasaan setiap rezim pemerintahan. usaha untuk mempertahankan hukuman
mati sebagai sanksi pidana untuk tindak pidana tertentu memperlihatkan politik HAM
belum berubah dari situasi rezim otoriter Orde Baru. Bahkan pasca reformasi, eksekusi
terhadap para terpidana mati justru menunjukkan politik retensionis semakin menguat.
Reformasi legislasi yang merupakan bagian dari agenda reformasi tidak menghilangkan
hukuman mati dalam pidana pokok, meskipun di sisi yang lain sistem politik nampak lebih
demokratis.
ini di atas menguatkan adanya 2 (dua) indikasi yang saling bersitegang antara
610 Sip/Ndr, loc.cit..
611 Sumantri, loc.cit.
612 Sa’diyah, loc.cit.
208 209
-- -
niat dan kehendak politik untuk membangun institusi yang menjadi prasyarat demokrasi,
namun pada saat yang bersamaan institusi demokrasi yang telah dibangun dengan susah
payah justru mendapatkan tantangan.613 Dengan kata lain, usaha penghapusan hukuman
mati terus menerus harus berhadapan dengan politisasi hukum oleh pelbagai elite politik
pengambil kebijakan yang menganut pandangan hukum yang ortodoks.
Kondisi ini memperlihatkan adanya deviasi dari gambaran idealnya yang dijadikan
pijakan asumsi Mahfud bahwa produk hukum yang dilahirkan dari konfigurasi politik
yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif. Sebaliknya, konfigurasi politik
yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks atau konservatif.614 Justru yang
terjadi sebaliknya, konfigurasi politik yang demokratis pasca keruntuhan Orde Baru justru
menghasilkan produk hukum yang ortodoks sebab masih mencantumkan hukuman
mati sebagai pidana pokok.
Pencantuman hukuman mati dalam berbagai undang-undang yang dihasilkan oleh
konfigurasi politik yang demokratis ini menunjukkan kegagalan negara melaksanakan
pendekatan berbasis HAM untuk reformasi legislasi (a human rights-based approach
to legislative reform). Pendekatan berbasis HAM terhadap reformasi legislatif dapat
didefinisikan sebagai kerangka kerja untuk memastikan kepatuhan penuh undang-
undang nasional terhadap norma HAM internasional dan realisasi nyata HAM.615
pemakaian pendekatan berbasis HAM untuk reformasi legislasi merupakan salah satu
karakteristik produk hukum yang responsif. Karakteristik produk hukum yang responsif
ditandai dengan indikator: pertama, bahwa produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan warga . Kedua, dalam proses pembuatannya
memberi peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau
individu di dalam warga nya. Ketiga, dari dimensi hasil, produk hukum ini
bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam
warga .616 Dengan demikian, produk hukum yang responsif akan memperhatikan
dan mempertimbangkan nilai-nilai universalitas HAM, termasuk memperhatikan
kecenderungan universal menghapuskan hukuman mati. Resolusi PBB No. 2857 (1971)
dan Resolusi PBB 32/61 (1977) telah mengambil sikap tegas ke arah penghapusan
hukuman mati sebagai tujuan universal.617
613 Institusionalisme demokrasi ditandai dengan pendirian hampir seluruh instalasi kepolitikan yang dicita-citakan di masa
otoritarian seperti partai politik yang bebas dan beragam, pers yang merdeka, hak asasi manusia serta komisi-komisi negara.
Pada sisi yang lain, sebagian pihak menganjurkan pembatasan demokrasi yang dinilai telah kebablasan, membentuk kembali
GBHN, kembali ke UUD 1945 sebelum amandeman. Lihat Robet, Politik..., op.cit., hlm. 14.
614 Moh. Mahfud. MD., Politik Hukum di negara kita , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012), hlm. 31 - 32
615 Beatrice Duncan, dkk., Handbook on Legislative Reform: Realising Children’s Rights, Vol.1 (New York: Gender, Rights and Civic
Engagement, Division of Policy and Practice, United Nations Childrenʹs Fund (UNICEF), 2008), hlm. 3.
616 Mahfud, op.cit., hlm. 31-32.
617 Todung Mulya Lubis, Inkonstitutionalitas Hukuman Mati, Suara Pembaruan, 7 November 2006,
<http://lsmlaw.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=206%3Ainkonstitutionalitas-hukuman-mati&-
catid=49%3Aarticles&Itemid=18>, diakses pada 17 September 2017.
jika menelisik dari dimensi sejarah negara kita , penerapan hukuman mati yang
dilakukan oleh otoritas negara memang tidak pernah sekadar urusan menghukum pelaku
atau penegakan hukum, namun untuk melayani agenda lain. Hukuman mati menjadi
instrumen setiap rezim sangat bergantung pada subjektivitas penguasa itu sendiri seperti
pilihan jenis kejahatan, prioritas eksekusi dan cara melakukan, termasuk kampanye politik
yang melatarbelakangi.
Produk-produk hukum yang dihasilkan oleh setiap rezim pemerintahan memperlihatkan
bahwa hukum dapat menjadi instrumen dan menjadi alat legitimasi tujuan-tujuan dan
kepentingan mereka yang tengah berkuasa.618 Positivisme hukum yang selalu diasumsikan
menjamin kepastian hukum kemudian menjadi sandaran dan mendominasi bagaimana
penguasa secara de facto mempergunakan hukum demi melayani kepentingan dan tujuan
mereka yang berkuasa. 619
b. Hukuman Mati dan Legislasi Indonesia
Sebagaimana diuraikan dalam Bab III, Indonesia masih menerapkan pidana mati yang
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kewajiban internasional
dalam bidang HAM sebagai konsekuensi atas keanggotaan Indonesia dalam berbagai
perjanjian internasional belum menjadi bagian penting dalam penyusunan peraturan
perundangan-undangan atau sebagai jalan untuk melakukan koreksi atas hukum-hukum
yang merupakan warisan kolonial maupun hukum-hukum yang dibentuk sebelum masa
reformasi.
UUD 1945 dengan empat kali perubahan telah memberi penguatan hak-hak
asasi manusia di negara kita , termasuk jaminan atas hak hidup. Hak-hak asasi manusia
sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945, yang sebagian besar materinya diadopsi dari
perbagai perjanjian internasional, belum mampu memberi jaminan hak-hak yang
nyata, dalam konteks ini adalah masih berlakunya hukuman mati. ini diperparah
dengan adanya penafsiran konstitusi sebagai sumber hukum yang memberi tafsir
atas pembatasan hak hidup seakan-akan dirujuk secara inheren oleh UU secara mutatis
mutandis dengan pengakuan hak hidup. Akibatnya seluruh UU yang masih mengatur
hukuman mati seolah mendapatkan legitimasinya berdasar tafsir Konstitusi dan para
pembuat UU terus mempertahankan dan mengusulkan UU yang di dalamnya memuat
ketentuan hukuman mati.
ada beberapa analisa terkait masih diberlakukannya hukuman mati di negara kita .
Pertama, hak hidup telah diakui dalam Konstitusi negara kita , yakni dalam Pasal 28I ayat
(1) UUD 1945, sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan
dalam Konstitusi ini telah sejalan dengan berbagai norma internasional, khususnya
sejalan dengan ICCPR. Namun, tafsir atas hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun ini dianggap dapat disimpangi atau dilakukan pembatasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Putusan-putusan MK yang tidak
konsisten atas jaminan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ini
menambah legitimasi pemberlakukan hukuman mati di negara kita .
Kedua, berbagai produk perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan
hukuman mati sebagai warisan kolonial dan dibentuk pada masa awal kemerdekaan
hingga masa Orde Baru, belum pernah dikoreksi secara memadai. Koreksi hanya
dilakukan terhadap UU yang diajukan ke MK. Padahal berbagai ketentuan tentang
hukuman mati dalam berbagai UU ini telah kehilangan legitimasinya, sejalan dengan
perkembangan norma-norma HAM secara global dan pengakuan Indonesia atas hak-hak
asasi yang secara universal diakui. beberapa UU dalam konteks ini adalah KUHP, KUHPM,
UU No. 4 Tahun 1976 tentang Penerbangan Sipil, UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Landasan argumentasi tentang sanksi
pidana mati dalam berbagai UU ini seharusnya ditunjau ulang untuk memastikan
perlindungan HAM sejalan dengan komitmen Indonesia tentang HAM.
Ketiga, pada masa reformasi sejak 1998 sejalan dengan komitmen penghormatan,
perlindungan, pemenuhan dan pemajukan HAM di negara kita , justru semakin banyak
produk hukum yang menerapkan hukuman mati, meski tanpa basis argumentasi
yang jelas. Perkembangan norma-norma HAM internasional, misalnya ICCPR yang
telah diratifikasi oleh negara kita , seharusnya menjadi panduan untuk menyesuaikan
hukum nasional dengan norma-norma HAM tidak dilaksanakan. ini terlihat dari
pengabaian atas syarat-syarat yang ketat dalam pemberlakukan hukuman mati dalam
hukum HAM internasional, tidak serta merta menjadikan pembentuk UU di Indonesia
mempertimbangkan secara memadai dan benar atas kejahatan yang perlu dihukum mati.
beberapa UU yang menunjukkan situasi ini di antaranya UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Keempat, dengan melihat lebih jauh materi pengaturan hukuman mati di negara kita ,
berbagai kejahatan yang diancam dengan hukuman mati tidak memiliki landasan
argumentasi yang sejalan dengan norma-norma HAM. Bahwa argumentasi penerapan
hukuman mati bagi negara yang belum menghapuskan hukuman mati harus diberlakukan
pada kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ICCPR
terus dipakai, tanpa melihat bahwa semangat dalam Pasal 6 ICCPR ini adalah
penghapusan hukuman mati. ini terlihat misalnya ketentuan-ketentuan hukuman
mati dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU Psikotropika di mana
kejahatan-kejahatan ini bukan merupakan kejahatan dalam kategori the most
serious crimes. Demikian pula dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, memang memenuhi kualifikasi sebagai the most serious crimes,
namun dalam perkembangan hukum internasional dan peradilan pidana internasional
kejahatan-kejahatan ini justru tidak diancam dengan hukuman mati. Sementara
kejahatan-kejahatan terorisme, dalam hukum internasional, misalnya dengan merujuk
pada Statuta Roma 1998 untuk Mahkamah Pidana Internasional, belum masuk dalam
kategori the most serious crimes.
Kelima, alasan-alasan kedaruratan atas suatu permasalahan, misalnya kampanye tentang
darurat narkoba dan darurat kejahatan seksual, menjadi alasan untuk terus menerapkan
dan membentuk aturan baru dengan hukuman mati. Padahal, ketentuan tentang
kedaruratan telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 4 ICCPR, baik alasan yang subtantif
tentang sifat kedaruratan dan alasan formil dapat diberlakukannya tindakan darurat.
Isu darurat narkoba misalnya dijadikan landasan untuk melakukan eksekusi terhadap
para terpidana mati, yang sebelumnya Indonesia secara diam-diam pernah melakukan
moratorium pemberlakukan eksekusi mati. Demikian pula dengan adanya aturan baru
dalam Perppu yang kemudian menjadi UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu
Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 tentang
Perlindungan Anak menjadi UU, dibentuk dengan alasan untuk mengatasi kegentingan
yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat.
l
-- -
Pada 18 Januari 2015 Indonesia menjalankan eksekusi mati pertamanya di bawah
kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang saat itu baru saja dilantik. Enam orang
dieksekusi mati sebab kejahatan terkait dengan narkoba (narkotika dan obat/bahan
berbahaya). Mereka yang dieksekusi termasuk satu warga negara negara kita , Rani
Andriani alias Melisa Aprilia, dan lima warga negara asing: Daniel Enemuo (Nigeria), Ang
Kim Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), Namaona Denis (Nigeria) dan Marco
Archer Cardoso Moreira (Brazil).620 Presiden Joko Widodo dan pihak berwenang lainnya
mengaitkan berlanjutnya eksekusi mati dengan fakta Indonesia sedang berada dalam
“situasi darurat” terkait dengan penyalahgunaan narkoba dan ada sekitar 50 anak muda
meninggal setiap harinya sebab ketergantungan narkoba. Presiden juga menyatakan
kepada publik bahwa pemerintah akan menolak semua permohonan grasi dari orang-
orang yang dijatuhi hukuman mati untuk kejahatan terkait dengan narkoba dengan
Amnesty International, negara kita : First executions under new president retrograde step for rights [ndonesia: Eksekusi mati
pertama dibawah Presiden baru langkah mundur bagi HAM],
-- -
mengatakan “jangan diberi toleransi lagi, untuk masalah ini”.
Eksekusi ini mendulang protes keras dari berbagai organisasi HAM baik nasional
maupun internasional. Presiden Joko Widodo berkata: “Dunia internasional banyak yang
telepon (menekan), kepala negara, Perdana Menteri, Presiden, PBB juga, dari Amnesty
juga … saya kira ini memang wajar… tapi saat ini kedaulatan hukum kita, kedaulatan
politik kita”.
Terlepas protes keras ini, tiga bulan kemudian, pada 29 April, delapan orang yang dijatuhi
hukuman terkait narkoba kembali dieksekusi. Mereka adalah Andrew Chan dan Myuran
Sukumaran (keduanya warga negara Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria, juga
dikenal sebagai Jamiu Owolabi Abashin), Zainal Abidin (negara kita ), Martin Anderson
(Ghana, alias Belo), Rodrigo Gularte (Brazil), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria) dan
Okwudili Oyatanze (Nigeria). Dua orang lainnya diberikan penangguhan sementara atas
eksekusi.
Seluruh 14 eksekusi ini melambangkan langkah mundur hak asasi manusia di negara kita ,
terutama sebab penerapan hukuman mati dilaksanakan oleh pemerintahan baru yang
berkuasa setelah berjanji memprioritaskan hak asasi manusia. Pelaksanaan eksekusi
ini juga melanggar hukum internasional dan Perlindungan PBB untuk menjamin
perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati. Amnesty International
juga telah mengutarakan keprihatinannya atas beberapa pelanggaran HAM spesifik
yang terobservasi pada 14 kasus yang telah dieksekusi sepanjang 2015, di antaranya
pelanggaran hak atas peradilan yang adil; eksekusi dilaksanakan ketika usaha hukum masih
berlangsung; pertimbangan dan penolakan secara tergesa-gesa atas permohonan grasi;
dan eksekusi atas setidaknya satu orang dengan kondisi gangguan mental yang parah.
Lalu, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai organisasi internasional, perdagangan
narkoba tidak memenuhi ambang kriteria “kejahatan paling serius” yang bisa diancam
pidana mati atasnya berdasar hukum internasional.
Amnesty International, negara kita : Reprehensible’ executions show complete disregard for human rights safeguards [Indone-
sia: Eksekusi mati yang tidak bisa dikoreksi menunjukkan pengabaian total penjaminan perlindungan HAM], 28 April 2015,
Eksekusi mati warga negara Filipina Mary Jane Veloso dihentikan pada menit terakhir. Penangguhan eksekusi diberikan
menyusul permohonan Presiden Filipina untuk mengampuni nyawanya, sebab dia perlu memberi kesaksian pada sidang
orang yang diduga menipu Mary Jane Veloso menjadi kurir narkoba. Individu lain yang dalam risiko eksekusi mati, warga
Perancis, Serge Atlaoui, juga diberikan penangguhan sebab dia sedang menjalani sidang banding di Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, 25 Mei
1984.
Eksekusi mati ini merupakan sebuah putar balik kebijakan pemerintah Indonesia
setelah sekian tahun mengindikasikan negara bergerak menjauhi hukuman mati. Antara
tahun 2009 hingga 2012, tidak ada eksekusi mati yang dijalankan dan pihak berwenang
membangun apa yang mereka sebut sebagai “moratorium eksekusi mati secara de
facto”.627 Ketika hukuman mati seorang wanita dan seorang lelaki, yang dijatuhi
hukuman terkait peredaran narkoba, dikurangi menjadi penjara seumur hidup di tahun
2011 and 2012, Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa, mengatakan ini
merupakan bagian dari usaha yang lebih luas untuk menjauhi pemakaian hukuman
mati di negara kita .628 Di bulan yang sama Mahkamah Agung Indonesia mengurangi vonis
hukuman mati seorang lelaki yang dijatuhi hukuman sebab perdagangan narkoba, dan
menyatakan hukuman mati melanggar HAM dan konstitusi negara kita .629 Pada Desember
2012 di sidang ke-67 Majelis Umum PBB, Indonesia mengubah pilihannya dari ‘menentang’
menjadi ‘abstain’ pada sebuah resolusi yang menyerukan anggota PBB untuk menerapkan
moratorium eksekusi, sebagai langkah pertama menuju penghapusan (abolisi) hukuman
mati.
Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah juga secara proaktif mengambil tindakan
untuk mencegah eksekusi mati warga negara Indonesia di luar negeri. Pada tahun 2011,
Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, membentuk sebuah gugus tugas untuk
menyediakan bantuan hukum dan konsuler kepada warga Indonesia yang terancam
hukuman mati di luar negeri. Di antara 2011 dan 2014, 240 warga Indonesia yang
menghadapi eksekusi di luar negeri mendapati hukuman mati mereka diringankan; ini
termasuk 46 orang pada tahun 2014.630
Data jumlah eksekusi mati untuk kejahatan narkotika dari tahun 2005 hingga 2015
-- -
Meskipun tren internasional untuk menghapuskan hukuman mati terus meningkat,
namun jumlah negara yang menerapkan hukuman mati untuk kejahatan narkotik
terus bertambah di 20 tahun belakangan. 20 tahun yang lalu, hanya 22 negara yang
mengimplementasikan hukuman mati untuk kejahatan narkotik. 10 tahun kemudian
di tahun 1995 meningkat menjadi 26 negara yang menerapkan hukuman mati untuk
kejahatan narkotika. Pada akhir tahun 2000, setidaknya ada 34 negara yang memiliki
peraturan/legislasi yang mencantumkan pidana mati untuk kejahatan narkotik. 34 negara
ini mayoritas berada di wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Pasifik.
Negara yang masih mempertahankan hukuman mati berargumen bahwa kejahatan
narkotik termasuk ke dalam most serious crime, sehingga sah untuk diberikan hukuman
mati. Selain negara kita , salah satu contoh negara retensionis lainnya adalah Singapura,
yang mana pemerintah Singapura berpendapat:635
“drug trafficking is considered by the international community as a most serious crime”
Pertanyaan yang timbul adalah apakah kejahatan narkotik dapat dikategorikan sebagai
most serious crime sehingga memenuhi unsur Pasal 6 ayat (2) ICCPR untuk dijatuhi hukuman
mati. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, sejak ICCPR berlaku di tahun
1976, interpretasi dari konsep the most serious crime telah dijelaskan oleh beberapa
badan HAM PBB, terutama untuk kejahatan narkotika.
Spesifik untuk kasus narkotika, Komite HAM PBB pada kesimpulannya di Thailand pada
tahun 2005 menyatakan kekhawatiran mereka sebab hukuman mati diterapkan kepada
kasus drug trafficking dan tidak terbatas hanya untuk kejahatan yang bersifat most serious
crime sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR.636 Setelah itu Komite HAM PBB sekali lagi
mengulang interpretasinya di tahun 2007 di Sudan dengan menyatakan bahwa:
“the imposition in the state party of the death penalty for offences which cannot be
characterized as the most serious, including embezzlement by officials, robbery with
violence and drug trafficking.”
Selain itu, dalam kesimpulan dari pengamatan yang dilakukan oleh The Human Rights
Committee, the UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions
pada tahun 1996 mengatakan bahwa kejahatan narkotika tidak memenuhi kriteria most
serious crime dan hukuman mati harus segera dihapuskan untuk kejahatan ekonomi dan
narkotika, dengan menegaskan:
“the death penalty should be eliminated for crime such as economic crime and drug-related
offences. In this regard, the Special Rapporteur wishes to express his concern that certain
countries, namely China, the Islamic Republic of Iran, Malaysia, Singapore, Thailand and
the United States of America, maintain in their national legislation the option to impose the
death penalty for economic and/or drug-related offences”
-- -
Tidak hanya itu, the UN Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman, or degrading
treatment or punishment di tahun 2009 juga melaporkan kepada the Human Rights Council
bahwa kejahatan narkotika tidak memenuhi kriteria untuk masuk ke dalam most serious
crime.639 Di posisi yang sama, the UN High Commissioner for Human Rights pun sepakat
dengan laporan dari the UN Special Rapporteur dengan mengatakan bahwa penerapan
hukuman mati untuk mereka yang bersalah sebab tindak kejahatan narkotika telah
menimbulkan kekhawatiran terkait HAM yang serius.
Bahkan laporan legislasi domestik pun menunjukkan ketidakkonsistenan dalam
menerapkan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika. Di tahun 1995, dalam laopran
kelima Sekretaris Jenderal PBB disebutkan bahwa batas kejahatan narkotika yang dapat
dijatuhi hukuman mati berkisar antara memiliki 2 gram hingga 20.000 gram heroin.
Dapat kita lihat bahwa dengan rentang yang sebegitu besar, sulit untuk menetapkan
suatu definisi most serious crime yang konsisten untuk kejahatan narkoba.
Untuk menunjukkan kasus diatas dapat kita membandingkan hukum di empat negara
tetangga, yaitu Thailand, Sri Langka, Bangladesh, dan India. Keempat negara ini
yang menurut Menteri Dalam Negeri Bangladesh merupakan tempat transit di antara
dua negara produsen opium terbesar. Dalam UU Racun, Opium, dan Obat Berbahaya
Nomor 1984 di Sri Langka, disebutkan bahwa hukuman mati akan diberikan bagi pihak
yang menyelundupkan, mengimpor, mengekspor heroin dalam ukuran 2 gram. Yang
mana di Bangladesh batasnya adalah 25 gram, di Pakistan 100 gram,643 dan India 1000
gram.644 Jumlah yang berbeda jauh bahkan untuk negara yang bertetangga sekalipun.
Ketidakseragaman yang terlampau jauh oleh negara dalam mengintepretasikan most
serious crime ini di atas menunjukkan bahwa pengenaan hukuman mati pada
kejahatan narkotik cenderung bersifat “sewenang-sewenang” oleh masing-masing negara.
Tanpa mengesampingkan fakta bahwa kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang
serius, namun kita perlu membandingkan tingkat “keseriusan” dalam kejahatan narkotika
dengan kejahatan serius lainnya dalam hukum internasional. Perbandingan pertama
adalah dengan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Statuta Roma.
Statuta Roma ICC telah mengkhususkan jurisdiksi mereka terhadap kejahatan serius yang
menjadi concern warga internasional secara luas. Hingga saat ini kejahatan yang
masuk ke dalam jurisdiksi ICC adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity), kejahatan perang (war crime), genosida (genocide), dan kejahatan agresi (crime
of aggression).
Untuk perbandingan tingkat keseriusan kejahatan narkotika selanjutnya, the International
Criminal Tribunal for Rwanda dalam kasus Akayesu telah menyatakan bahwa kejahatan
paling kejam adalah genosida dan dalam kasus Kambanda disebutkan bahwa genosida
adalah “crime of crime”. Maka dapat kita lihat dalam dua mahkamah internasional ini ,
kejahatan narkotika tidak dianggap sebagai most serious crime.
Beberapa kalangan menggunakan the 1998 United Nations Convention against Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances untuk mengatakan bahwa narkotika
merupakan kejahatan yang particularly serious. Dalam Pasal 3.5 Konvensi UN ini
dinyatakan bahwa:
“The Parties shall ensure that their courts and other competent authorities having
jurisdiction can take into account factual circumstances which make the commission of
the offences established in accordance with paragraph l of this article particularly serious,
such as:
a) The involvement in the offence of an organized criminal group to which the offender
belongs;
b) The involvement of the offender in other international organized criminal activities;
c) The involvement of the offender in other illegal activities facilitated by commission of
the offence;
d) The use of violence or arms by the offender;
e) The fact that the offender holds a public office and that the offence is connected with
the office in question;
f) The victimization or use of minors;
g) The fact that the offence is committed in a penal institution or in an educational insti-
tution or social service facility or in their immediate vicinity or in other places to which
school children and students resort for educational, sports and social activities;
h) Prior conviction, particularly for similar offences, whether foreign or domestic, to the
extent permitted under the domestic law of a Party.”
Pendekatan ini juga dipakai oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MK)
dalam kasus Rani Andriani, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan. MK mengatakan
bahwa aktifitas penyelundupan (trafficking) atau pembelian narkotika sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 konvensi ini dapat diklasifikasikan sebagai particularly serious
crime dibandingkan dengan kejahatan most serious crime yang diakui sejauh ini, seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, oleh sebab itu antara dua ini
(yaitu particularly serious crime dan most serious crime tidak perlu dibuat pembedaan.
-- -
Meskipun begitu, particularly serious crime tentu tidak sama dengan most serious crime,
meskipun penyelundupan narkotika ke dalam suatu negara tentu merupakan kejahatan
yang serius, namun itu tidak berarti bahwa kejahatan narkotika masuk ke dalam most
serious crime dalam hukum internasional. Maka sedikit sekali bukti yang dapat mendukung
bahwa tindak kejahatan narkotika masuk ke dalam most serious crime. Dengan tetap
dipertahankannya praktik hukuman mati maka dapat dikatakan bahwa Indonesia
telah tidak sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia
sendiri. Seharusnya dengan telah diratifikasinya ICCPR dan dengan mengingat prinsip
pacta sunt servanda, Indonesia harus selalu mewujudkan komitmennya untuk menjaga
HAM internasional tanpa menurunkan sedikitpun usahanya untuk memberantas tindak
kejahatan narkotika di dalam negaranya.
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat
khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious crime of
international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi warga internasional
secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga
Omnes yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-
norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk
melakukan penuntutan.
Politik hukuman mati di era rezim Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan dalih
kedaruratan telah menegasikan nilai kemanusiaan yang mendasar. Dalih kedaruratan
nasional terhadap narkoba yang menjadi instrumentasi pembenaran eksprsesi kuasa
Presiden Joko Widodo ditampakkan saat Presiden menolak grasi 64 terpidana mati kasus
narkoba. Kemudian memerintahakan Jaksa Agung untuk segera melaksanakan eksekusi
mati, padahal belum genap seratus hari Presiden Joko Widodo berkuasa. Dalam Audiensi
dengan civitas akademi Universitas Gadja Mada (UGM), Yogyakarta, Presiden menegaskan,
kesalahan itu sulit dimaafkan sebab mereka pada umumnya adalah para bandar besar
yang demi keuntungan pribadi dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi
penerus bangsa. Penolakan permohonan grasi itu menurut Presiden Joko Widodo sangat
penting untuk menjadi shock terapy bagi para bandar, pengedar maupaun pengguna.
Pada 21 Juli 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan keras soal darurat
narkoba. Di depan ratusan kader Partai Persatuan Pembangunan, Presiden menyampaikan
bahwa dirinya meminta polisi untuk menembak pengedar narkoba yang melawan aparat
penegak hukum. Pernyataan ini kembali diulang pada saat Presiden Joko Widodo usai
menghadiri Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat, di Bumi
Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur pada 3 September 2017. Presiden Joko Widodo
meminta jajaran kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk bertindak tegas
terhadap pengedar dan bandar narkoba. jika diperlukan, Presiden meminta aparat
untuk tidak ragu melakukan penembakan di tempat.
Dua tahun sebelumnya saat memberi sambutan dalam pembukaan rakornas
pemberantasan narkoba pada 4 Februari 2015, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan
penegasan yang sama bahwa keprihatinannya sebab peredaran dan pemakaian narkoba
di Indonesia yang sudah semakin parah. Bahkan Presiden menilai kondisi ini saat
ini sudah masuk level darurat. Kemudian, Presiden menuturkan, berdasar data yang
menjadi rujukannya, kira-kira ada 50 orang di Indonesia yang meninggal dunia setiap
hari sebab penyalahgunaan narkoba. Kemudian jika dikalkulasi dalam setahun,
ada sekitar 18.000 jiwa meninggal dunia sebab pemakaian narkoba. Angka itu belum
termasuk 4,2 juta pengguna narkoba yang direhabilitasi dan 1,2 juta pengguna yang
tidak dapat direhabilitasi. Presiden juga memastikan tidak akan mengabulkan grasi jika
kasusnya menyangkut pada pengedar narkoba. 648
jika kita melihat the World Drug Report 2014 yang dibuat oleh the UN Office on Drugs
and Crime (UNODC), ada 180.000 kematian yang diakibatkan oleh narkoba. Angka
kematian tertinggi ada di Asia di mana 78.600 orang meninggal diakibatkan oleh
narkoba di tahun 2013. Angka ini merupakan angka kematian akibat narkoba
tertinggi di dunia. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Asia memang benua yang
paling padat di dunia, dan sebagaimana yang dapat kita lihat pada diagram di bawah,
perbandingan (rasio) kematian akibat narkoba dengan jumlah penduduk di Asia adalah
salah satu yang terkecil, dibandingkan dengan rasio di benua lainnya, seperti Amerika
atau Oseania.
-- -
Penjatuhan hukuman mati selalu dilandasi dalih bahwa penerapan hukuman mati
bertujuan membuat pengedar narkotika jera (detterent effect) sehingga tidak akan
mengulangi kejahatan dan mengurangi angka kejahatan yang terjadi. Dalam kasus
eksekusi terhadap 2 (dua) warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran,
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengulangi dalih-dalih yang selalu disampaikan
Presiden Joko Widodo. Menteri Luar Negeri mengatakan dalam menjalankan hukuman
mati, tidak ada aturan yang dilanggar negara kita . Indonesia tetap akan konsisten
menerapkan hukuman mati. Apalagi, ada aturan internasional yang menjadi pegangan
Indonesia dalam menerapkan hukuman mati
Kepercayaan terhadap kemampuan hukuman mati untuk mengendalikan tindak pidana
inilah yang menjadi pembenaran Pemerintah mempertahankan hukuman mati. Padahal
hukuman mati yang diyakini sebagai efek penggentar hanyalah mitos. Mitos hukuman
mati sebagai efek penggentar merupakan sebuah kepercayaan argumentatif yang dapat
dimiliki oleh pemerintah maupun pemimpin warga bahwa hukuman mati merupakan
usaha memperkuat kembali ikatan sosial, memiliki prospek penggentar, memberi
manfaat politik, serta membalaskan dendam korban. Mitos ini hanya membenarkan
argumentasi untuk mencapai tujuan tertentu, namun tidak mempertimbangkan sama
sekali soal kebenaran mitos ini . Padahal menurut Michael L. Radelet dan Ronald
L. Akers penerapan hukuman mati yang diasumsikan memiliki dampak penggentar
merupakan permasalahan empiris sehingga tidak dapat dan tidak mampu dijawab
dengan landasan moral atau politik.
Padahal alasan efek jera (deterrent effect) yang selalu menjadi sandaran berpikir untuk
menjatuhkan pidana mati, khususnya pada kasus narkotika, keabsahannya masih
dipertanyakan. Laporan penelitian BNN (Badan Narkotika Nasional) sendiri menunjukkan
adanya peningkatan jumlah pengguna narkotika yang cukup drastis. Tahun 2013 BNN
mencatat, jumlah pengguna narkotika tercatat 3,3 juta jiwa, kemudian meningkat tajam
pada 2015 menjadi 5,1 juta jiwa. Catatan ini semakin memperkukuh hasil-hasil survei yang
dilakukan oleh PBB dan Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, secara terpisah. Keduanya
menegaskan kesimpulan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung penerapan
hukuman mati dapat memberi efek jera.
Pertanyaan selanjutnya adalah efek jera ini sebenarnya ditujukan kepada siapa. Sebagian
besar pelaku kejahatan narkotika yang dijatuhi hukuman mati hanyalah ‘pemain kecil’
dan merupakan pemimpin atau orang yang berada di puncak hierarki dalam lingkaran
perdagangan obat terlarang. Mereka pada umumnya hanyalah korban, terdiri dari orang-
orang yang kurang mampu sehingga rentan untuk dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh
orang-orang yang lebih tinggi. Untuk itu jika dikatakan penjatuhan hukuman mati
akan memberi efek jera, sebenernya pemain besar ini tidak akan merasakan efek jera
ini sebab selama ini yang banyak tertangkap hanyalah pengedarnya saja.
Selain itu, argumen pemberian efek jera ini didasarkan pada gagasan bahwa mereka yang
terlibat dalam kejahatan akan menyadari hukuman yang mungkin mereka hadapi jika
tertangkap dan berfikir bahwa risikonya terlalu tinggi jika mereka menghadapi eksekusi.
Permasalahannya adalah hal itu tidak selalu terjadi, seperti yang terjadi pada kasus di
Nusakambangan. Sipir di Nusakambangan tertangkap atas kejahatan narkotika di bulan
Penelitian mengenai argumentasi penggentar memunculkan keraguan sebab secara empirik pembuktiannya memerlukan
sebuah metode yang cenderung eksperimentatif yang justru sulit untuk dilakukan. Dengan demikian, hukuman mati tidak
mungkin menjadi faktor tunggal yang menyebabkan menurunnya angka tindak pidana. usaha untuk mengisolasi faktor huku-
man mati dari pengaruh faktor yang lain sangat sulit dilakukan. Oleh sebab itu, sangat besar ada faktor lain yang memberi
pengaruh terhadap penurunan tindak pidana, selain dari dampak penggentar. ada faktor predominant fear yang juga dapat
menurunkan angka tindak pidana seperti yang dinyatakan oleh Ernest vand den Haag. Faktor predominant fear ini dapat men-
cakup ketakutan akan label yang diberikan oleh warga , ketakutan terhadap kondisi keluarga pelaku setelah tindak pidana
dilakukan, ketakutan akan rusaknya reputasi pribadi atau kehilangan pekerjaan, ketakutan akan dosa, dan lainnya. Meskipun
Ernest vand den Haag mendukung penerapan hukuman mati, namun pada akhirnya ia menerima bahwa hukuman mati tidak
pernah terbukti memberi dampak penggentar yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup.
-- -
Mei 2014, yang mana pada hanya beberapa bulan sebelumnya (Januari dan April 2014)
baru saja dilaksanakan eksekusi mati di tempat ini . ini menunjukkan bahwa
sebagian orang belum menyadari beratnya hukuman yang akan diberikan jika mereka
tertangkap. Dari ini dapat kita lihat bahwa deterrence effect tidak selalu bisa
dijadikan tolak ukur bagi pemerintah.
Dalih lain selain hukuman mati diharapkan akan memberi dampak penggentar (efek
jera) yang sering diungkapkan oleh pemerintah maupun para pendukung penerapan
hukuman mati, antara lain:
1. Penerapan hukuman mati merupakan usaha untuk melindungi warga negara
yang telah menjadi korban atau dirugikan akibat suatu tindak kejahatan;
2. Penerapan hukuman mati dipandang sebagai ketegasan negara melawan tindak
pidana atau negara tidak boleh tunduk (kalah) terhadap kejahatan;
3. Penerapan hukuman mati sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga wajib untuk dilaksanakan;
4. Penerapan hukuman mati merupakan masalah kedaulatan hukum dan politik
nasional.
Dalam konteks ini, menurut pandangan Roger Hood hukuman mati jika tetap
diasumsikan sebagai instrumen pencegahan yang lebih efektif daripada sanksi alternatif,
seperti penjara seumur hidup, ternyata terbukti sebaliknya. Roger Hood menyimpulkan
bahwa analisis ekonometrik belum memberi bukti bahwa hukuman mati memiliki
efek jera yang sedikit lebih besar daripada hukuman alternatif. Dengan kata lain, akan
menjadi sia-sia, jika negara-negara tetap mempertahankan hukuman mati dengan
alasan bahwa hal itu dibenarkan sebagai ukuran pencegahan yang efektif.658
Kemudian, seringkali Presiden Joko Widodo meminjam opini publik sebagai instrumen
yang memberi legitimasi baginya untuk mengeksekusi para pengedar narkotika.
Dalam memutuskan untuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati ini, presiden ternyata
banyak mendapatkan dukungan, baik dari dalam pemerintahan sendiri maupun dari
luar pemerintahan. Wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo
menjalan kewenangannya untuk menolak atau menyetujui pengajuan grasi oleh 64
terpidana mati kasus narkoba. Sementara yang menjatuhkan hukuman mati terhadap
para narapidana ini pengadilan. Kemudian pandangan Presiden dan Wakil
Presiden diperkuat kembali melalui pandangan beberapa menteri, Kejaksaan Agung, dan
Kepolisian. Menteri Sekretaris Negara Pratikno, membantah anggapan yang berkembang
bahwa penolakan grasi oleh Presiden tidak dilandasi pertimbangan. Sebelum memutuskan
menolak grasi, Presiden telah mendapatkan masukan dari Mahkamah Agung, Kepolisian,
Jaksa Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM. Pandangan senada juga disampaikan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang menyatakan bahwa
Pemerintah tidak akan memberi grasi atau remisi bagi bandar narkoba yang sudah
divonis hukuman mati oleh Pengadilan. Dukungan juga disampaikan oleh Kepala
Kepolisian RI Jenderal Sutarman bahwa penerapan hukuman mati akan menimbulkan
efek jera bagi pelaku.
Sementara itu, dari luar pemerintahan ada organisasi Nahdathul Ulama (NU),
Muhammadiyah dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga ikut mendukung
langkah Presiden Joko Widodo. Bahkan Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Perjuangan,
Megawati Soekarnoputri berbicara langsung kepada Presiden untuk tidak memberi
grasi kepada terdakwa yang sudah akan dihukum mati. Dukungan yang sama juga datang
dari Ketua PBNU Said Agil Siradj yang mengatasnamakan Nahdlatul Ulama untuk menolak
grasi atas terpidana kasus narkoba yang akan dieksekusi. Tokoh Nahdlatul Ulama yang
juga pernah menjabat Wakil Ketua II Komnas HAM periode 2002-2007, Salahuddin Wahid
juga mengapresiasi langkah Presiden, jika bandar narkoba tidak dihukum mati,
mereka akan menjalankan bisnisnya dari lembaga pewarga an. Wakil Ketua Umum
Muhammadiyah, Abdul Malik Fadjar juga menyatakan dukungannya terhadap langkah
tegas yang dilakukan Presiden. Bahkan Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden,
Emil Salim tidak sependapat dengan komentar aktivis HAM yang menilai penolakan grasi
sebagai pelanggaran HAM.660 Sebelumnya, melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI
pada akhir Desember 2014, MUI memberi dukungan hukuman mati kepada produsen,
bandar dan pengedar narkoba.661
Selanjutnya menurut hasil survei nasional Indo Barometer yang diselenggarakan pada
tanggal 15-25 Maret 2015, mayoritas publik Indonesia atau sekitar 84,1% menyatakan
setuju dengan hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba. Publik yang
menyetujui hukuman mati bagi pengedar narkotika dilandasi pertimbangan sebab
alasan narkoba merusak generasi muda sebesar 60,8% dan dapat menyebabkan efek
jera sebesar 23,7%. Sedangkan publik yang tidak setuju penerapan hukuman mati bagi
pengedar narkoba sebab masih ada jenis hukuman lain yang lebih manusiawi sebesar
36,2% dan hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebesar 28,4
persen. Dalam konteks langkah Presiden dalam penerapan hukuman mati bagi pengedar
narkoba sebagian besar atau sekitar 84,6% warga Indonesia mendukung langkah
Presiden. Sementara itu, yang tidak mendukung hanya mencapai kisaran 10,3%.
-- -
Seringkali opini publik dipergunakan sebagai dalih untuk menjustifikasi keputusan politik
suatu rezim untuk melaksanakan eksekusi. Menurut Peter Hodgkinson ada beberapa
alasan utama suatu negara mempertahankan atau menghapus hukuman mati. Alasan itu
berbeda dari satu negara ke negara lain, namun umumnya mencakup masalah seperti
pencegahan, opini publik, hak korban. Hal itu semua berkaitan dengan kekhawatiran
mengenai terjadinya lonjakan tingkat kejahatan yang akan menyusul jika adanya
kebijakan penghapusan hukuman mati.663 Dengan kata lain, pemerintah dan pihak-pihak
lain yang berada dalam posisi yang berpengaruh seringkali mengacu pada dukungan
publik yang kuat untuk membenarkan dan mempertahankan hukuman mati.
Pembentuk undang-undang dan para ahli hukum seringkali menyatakan bahwa mereka
secara pribadi menyukai penghapusan hukuman mati, namun opini publik kemudian
diandalkan menjadi dalih pembenaran ketika mereka berubah pandangan ketika
mendukung hukuman mati. Dengan kata lain, mereka tidak dapat bergerak terlalu jauh
dari pandangan publik. Bahkan terkadang penerapan hukuman mati dikatakan sebagai
konsekuensi dari produk legislasi yang dihasilkan dari tatanan yang negara demokratis.
Setiap produk legislasi yang masih mencantumkan hukuman mati diasumsikan sebagai
manifestasi kehendak mayoritas. Opini publik dilekatkan pada proposisi bahwa
mayoritas mendukung hukuman mati. Padahal semestinya tidak hanya semata-mata
posisi atau sikap publik terkait dukungan ini , namun juga harus melihat faktor-faktor
dasar yang melatarbelakangi pendapat ini . ada beberapa faktor mendasar
yang dapat mempengaruhi pandangan publik terkait isu penerapan hukum mati seperti
alasan agama, moral, praktis, ilmiah dan ekonomi. Pendapat individu ini mungkin
didasarkan pada berbagai kombinasi faktor-faktor ini .
Dalam konteks ini, paling tidak ada 2 (dua) alasan untuk mempertanyakan kesimpulan
bahwa opini publik mendukung hukuman mati, terutama jika opini publik ini
bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional.
Pertama, beberapa analisis kritis harus dibuat dari signifikansi opini publik. Sifat opini
publik dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan berbagai tingkat pengetahuan sosial
publik. Salah satu faktor ini adalah akses warga terhadap informasi kredibel
terkait hukuman mati. Di sebagian besar negara di Asia, informasi yang dapat dipercaya
mengenai hukuman mati tidak tersedia untuk umum, baik sebab pemerintahnya
tak lain, seperti koruptor (50,3%), pembunuhan (16,3%), dan kejahatan seksual (4,2%). Sedangkan dukungan hukuman mati
untuk terorisme hanya 2,3%.
memang enggan untuk menerbitkan data ini (sebagaimana yang terjadi di Cina
dan Vietnam), atau sebab informasi yang dipublikasikan oleh pemerintah tidak lengkap
atau salah (sebagaimana yang terjadi di Iran). Sebagai konsekuensinya, warga tidak
sumber yang valid tentang bagaimana hukuman mati diberlakukan di negara mereka,
dan sebab nya tidak dapat membentuk opini yang tepat.
Kedua, berkaitan erat dengan metodologi jajak pendapat tentang hukuman mati ini .
Kemudian, Roger Hood menjelaskan bahwa opini publik yang dipergunakan oleh
pemerintah sebagai salah satu alasan utama mempertahankan hukuman mati perlu
ditinjau kembali, mengingat jajak pendapat publik justru bisa menjadi indikator yang
menyesatkan, jika tidak memperhatikan kedua alasan ini .
Sebagai tambahan, faktor lain yang bisa mempengaruhi opini publik adalah tingkat
kebebasan berekspresi dalam suatu negara. Jika individu berada di suatu negara yang
menghukum kritik terhadap pemerintah dan menekan kebebasan berekspresi, maka
publik akan takut untuk berbagi pandangan tulus mereka mengenai subyek sensitif
seperti hukuman mati, terutama jika mereka tidak setuju dengan posisi pemerintah. Hal
ini pada akhirnya akan mengurangi prevalensi pandangan divergen dalam warga ,
yang selanjutnya membatasi kemampuan publik untuk mengembangkan opini yang
berdasar informasi yang valid dan kredibel.
Berkaitan dengan usaha menangani isu opini publik, hakim semestinya memperhatikan
bahwa hipotesis jera tidak berdasar secara ilmiah, beberapa pengadilan telah menolak
relevansi opini publik sebab mungkin publik belum diberikan informasi dengan benar.
berdasar perspektif hukum setiap terdakwa tidak boleh dijatuhkan hukuman
mati, apalagi penjatuhan ini berdasar opini publik. Lebih jauh, hukum HAM
Internasional melarang tindak pidana berdasar ex post facto, sebab tidak seorang pun
dapat dianggap bersalah melakukan tindak pidana apapun sebab tindakan atau kelalaian
yang tidak merupakan tindak pidana. Oleh sebab itu, opini publik harus diteliti kembali
setiap kali hak asasi manusia seorang individu terancam sebab adanya jaminan hak
asasi manusia. Raison d’etre hukum HAM adalah menangkal atau menetralkan kekuatan
opini publik yang berpotensi mengancam HAM.
-- -
5.4 Pertimbangan MK terkait Hukuman Mati Dan Narkotika: Narkotika
sebagai the most serious Crime?
Pada 2007 uji materi atas hukuman mati terhadap UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
telah dilakukan. Perkara ini diajukan oleh Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa
Aprilia), Myuran Sukumaran dan Andrew Chan selaku pemohon I (Nomor Perkara: 2/
PUU-V/2007) dan Scott Anthony Rush selaku pemohon II (Nomor Perkara: 3/PUU-V/2007).
Sejak memasuki sidang pleno (15 Maret 2007) kedua perkara ini oleh Mahkamah
Konstitusi digabungkan dan disidangkan secara bersama-sama dengan nomor perkara:
2-3/PUU-V/2007.672 Edith terlibat kasus peredaran heroin seberat seribu gram, sedangkan
Rani dihukum dalam kasus peredaran heroin seberat 3.500 gram. Mereka divonis mati
oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Ketiga WN Australia itu divonis mati oleh PN
Denpasar, sebab terbukti menyelundupkan sebanyak 8,2 kilogram heroin dari Australia
ke Bali.
Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 80 ayat 1 huruf a, Pasal 80 ayat 2 huruf a,
Pasal 80 ayat 3 huruf a, Pasal 81 ayat 3 huruf a, Pasal 82 ayat 1 huruf a, Pasal 82 ayat 2
huruf a, dan Pasal 82 ayat 3 huruf a yang tedapat dalam UU No. 22 tahun 1997 Tentang
Narkotika. Pasal-pasal itu mengatur tentang ancaman hukuman mati bagi produsen dan
pengedar narkotika secara terorganisir. Namun, hanya permohonan Edith dan Rani yang
diuji MK, sedangkan permohonan ketiga orang Australia tidak diuji sebab sebagai orang
asing mereka tidak berhak mengajukan uji materi UU ke MK.
Alasan para pemohon untuk menguji materi UU No. 22 Tahun 1997, adalah hukuman mati
bertentangan dengan Hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A ayat (1) dan Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945. Kelahiran Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 seharusnya menjadi lonceng
kematian bagi hukuman mati di negara kita , namun perdebatan masih terus berlangsung.
Hukuman mati masih juga terus dijatuhkan. Permohonan Pengujian Materiil ini dilakukan
atas dasar penjaminan konstitusional terhadap hak hidup yang diberikan oleh UUD 1945,
khususnya pada Pasal 28A dan 28I ayat (1).673
beberapa dalil menolak hukuman mati disampaikan pada uji materi ini . Namun,
Mahkamah Konstitusi, dengan beberapa hakim melakukan disenting, menolak uji materi
ini dan menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi sebab
UUD 1945 tidak menganut kemutlakan hak asasi manusia. beberapa argumen yang sering
dikemukakan pihak yang mendukung hukuman mati ialah argumen perlindungan korban,
argumen normatif, penanggulangan kejahatan, dan sebagainya.
Pihak pendukung menyatakan hukum jangan hanya berpihak pada hak asasi pelaku
kejahatan, namun juga hak korban kejahatan. Hak hidup korban yang telah dirampas pelaku
(misalnya pada kasus terorisme dan pembunuhan berencana) juga harus diperhatikan.
Ketika beberapa pihak mengecam dan meminta Indonesia menghentikan hukuman mati,
beberapa pihak menolaknya dengan argumen normatif, yakni hukuman mati saat ini
masih merupakan hukum positif dan ketika sudah ada terpidana oleh pengadilan dijatuhi
hukuman mati, hal itu harus dilaksanakan untuk menjamin kepastian. Bahkan Indonesia
juga tidak perlu tunduk ke-pada tekanan negara lain sebab harus menegakkan kedaulatan
di bidang hukum. Argumen penting lainnya dari pihak yang mendukung hukuman mati
ialah untuk penanggulangan kejahatan. Makin seriusnya tingkat kejahatan yang kerap kali
dilakukan dengan perbuatan supersadis membuat warga luas masih menganggap
hukuman mati tetap diperlukan.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007
Setelah menguji materi ini , MK menyatakan keyakinannya bahwa hukuman mati
bagi para produsen dan pengedar narkotika tetap sah, sehingga usaha lima terpidana
mati kasus narkotika untuk menghapus hukuman mati pun sirna. Pidana mati, menurut
MK, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, sebab
konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan HAM. Dengan menerapkan
pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia
tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk ICCPR yang menganjurkan
penghapusan hukuman mati. Menurut MK, bahkan pasal 6 ayat 2 ICCPR membolehkan
masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan
yang paling serius.
Pertimbangan MK terkait dengan Kejahatan Narkotika sebagai the most serous crime:
[3.24] ……..Mahkamah berpendapat: Pasal 6 ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh
dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu
a. “sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan” (“in accordance
with the law in force at the time of the commission of the crime”). Permohonan
a quo adalah permohonan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945. Oleh
sebab itu, apakah kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut pada angka 1)
sampai dengan 7) di atas termasuk ke dalam pengertian “kejahatan paling
serius”, hal itu harus dikaitkan dengan “hukum yang berlaku terhadap kejahatan-
kejahatan narkotika ini pada saat dilakukan, baik hukum nasional maupun
internasional”.
b. Pada saat para Pemohon melakukan kejahatan narkotika, yang berakibat pada
dijatuhkannya pidana mati terhadap para Pemohon, di tingkat nasional hukum
yang berlaku adalah UU Narkotika, sementara itu di tingkat internasional
hukum yang berlaku adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (selanjutnya disebut Konvensi
Narkotika dan Psikotropika), di mana Indonesia merupakan negara pihak
(state party) yaitu melalui ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1997.
c. UU Narkotika adalah implementasi kewajiban hukum internasional yang lahir
dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika,
sebagaimana ditegaskan pada konsiderans “Mengingat” angka 4 dan Penjelasan
Umum alinea ke-4 UU Narkotika. Salah satu kewajiban hukum internasional yang
timbul dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika
ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi dimaksud yang menyatakan,
“The Parties shall endeavour to ensure that any discretionary legal power under their
domestic law relating to the prosecution of persons for offences in accordance
with this article are exercised to maximize the effectiveness of law enforcement
measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter
the commission of such offences”. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud oleh
Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika ini tercantum dalam
Pasal 3 ayat (5), yang selengkapnya menyatakan, “The parties shall ensure that
their domestic courts and other competent authorities having jurisdiction can
take into account factual circumstances which make the commission of the offences
established in accordance with paragraph I of this article particularly serious,
such as:
a) the involvement in the offence of an organized criminal group to which the offender
belongs;
b) the involvement of the offender in other international organized activities;
c) the involvement of the offender in other illegal activities facilitated by commission
of the offence;
d) the use of violence or arms by the offender;
e) the fact that the offender holds a public office and that the offence is connected
with the office in question;
f) the victimization or use of minors;
g) the fact that the offence is committed in a penal institution or in an
educational institution or social service facility or in their immediate vicinity or
in other places to which school children and students resort for educational, sports
and social activitities
h) h) prior conviction, particularly for similar offences, whether foreign or
domestic, to the extent permitted under domestic law of a Party”
Sementara itu, ayat 1 (paragraph 1) yang ditunjuk oleh Pasal 3 ayat (5) di atas
menyatakan, antara lain, “Each Party shall adopt such measures as may be necessary to
establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally:
a) i) the production, manufacture, extraction, offering, offering for sale,
distribution, sale, delivery, on any terms whatsoever, brokerage, dispatch,
dispatch in transit, transport, importation or exportation of any narcotic drug or
any psychotropic substance contrary to the provisions of the 1961 Convention,
the 1961 Convention as amended
or the 1971 Convention;
ii) the cultivation of opium poppy, coca bush or cannabis plant for the purpose of
the production of narcotic drugs contrary to the provisions of the 1961 Convention
and the 1961 Convention as amended;
iii) the possession or purchase of any narcotic drug or psychotropic substance for
the purpose of any of the activities enumerated in i) above; iv) the manufacture,
transport or distribution of equipment, materials or of substances listed in Table
I and Table II, knowing that they are to be used in or for the illicit cultivation,
production or manufacture of narcotic drugs or psychotropic substances;
v) the organization, management or financing of any offences enumerated in
i), ii), iii) or iv) above; b) ...... c) ..... “
d. Oleh sebab itu, dengan menafsirkan secara sistematis (sistematische
interpretatie) ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 3 ayat (1), ayat
(5), serta ayat (6) dan kemudian dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan
dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan
a quo, tampak bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU Narkotika yang
dimohonkan pengujian ini adalah bentuk national implementation
dari kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian
internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika, di mana menurut
Konvensi ini kejahatan-kejahatan demikian termasuk ke dalam kejahatan-
kejahatan yang sangat serius (particularly serious).
e. Penafsiran sebagaimana disebut pada huruf (d) di atas adalah sesuai
dengan ketentuan umum penafsiran (general rule of interpretation)
perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina
1969 yang pada ayat (1)-nya berbunyi, “A treaty shall be interpreted in good faith
in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of a treaty in
their context and in the light of its object and purpose” (suatu perjanjian
internasional harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan pengertian
sehari-hari yang diberikan terhadap istilah-istilah dalam suatu perjanjian
internasional sesuai dengan konteksnya dan dengan mengingat objek dan
tujuan perjanjian internasional ini ). Konteks dari Konvensi Narkotika
dan Psikotropika terlihat dari Pembukaan (Preamble) Konvensi dimaksud,
alinea pertama dan kedua, yang menyatakan, “Deeply concerned by the
magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and
-- -
traffic in narcotic drugs and psychotropicsubstances, which pose a serious threat
to the health and welfare of human beings and adversarily affect the
economic, cultural and political foundation of society, Deeply concerned also
by the steadily increasing inroads into various social groups made by illicit traffic
in narcotic drugs and psychotropic substances, and particularly by the fact that
children are used in many parts of the world as an illicit drug consumers
market and for the purposes of illicit production, distribution and trade
in narcotic drugs and psychotropic substances, which entails a danger of
incalculable gravity”.
f. Jika kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika
dikatakan sebagai kejahatan-kejahatan yang sangat serius (particularly
serious) diperbandingkan dengan kejahatan-kejahatan yang selama ini telah
diterima sebagai kelompok kejahatan paling serius (the most serious
crimes), seperti kejahatan genosida (genocide crime) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity), maka secara substantif tidak ada
perbedaan diantara kedua kelompok kejahatan itu. sebab , baik kejahatan-
kejahatan yang tergolong ke dalam “the most serious crimes” maupun
kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika disebut
sebagai kejahatan-kejahatan yang “particularly serious” ini sama-sama
“adversarily affect the economic, cultural and political foundation of society”
dan sama-sama pula membawa “a danger of incalculable gravity”.
g. berdasar uraian pada huruf (a) sampai dengan (f) di atas, telah cukup
dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81
ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3)
huruf a UU Narkotika adalah tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang
paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum
internasional yang berlaku pada saat kejahatan ini dilakukan. Dengan
demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat
disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.
Bahwa, berdasar uraian pada huruf (a) sampai dengan (g) di atas, tidak
ada kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian
internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana
mati terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1)
huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal
82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika.
Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatankejahatan
dimaksud Justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia
dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal
3 ayat (6) Konvensi, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan
efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkait
dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan
untuk mencegah kejahatan dimaksud (to maximize the effectiveness of law
enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the
need to deter the commission of such offences), sebagaimana telah diuraikan
pada huruf (c) di atas. Bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-
kejahatan yang diatur dalam pasal-pasal UU Narkotika yang dimohonkan
pengujian, di samping sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara pihak
(state party) seperti diuraikan pada huruf (h), juga didukung oleh ketentuan
Pasal 24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang menyatakan, “A party may
adopt more strict of severe measures than those provided by this Convention
if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention
or suppression of illicit traffic”. Dengan kata lain, dalam hubungannya
dengan permohonan a quo, jika menurut Indonesia sebagai negara peserta
Konvensi langkah-langkah yang lebih keras, dalam ini ancaman pidana
mati, dipandang diperlukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan-
kejahatan tadi, maka langkah-langkah demikian bukan hanya tidak
bertentangan namun justru dibenarkan dan disarankan oleh Konvensi
dimaksud. Artinya Indonesia sebagai negara pihak yang menganut sistem
pidana mati bagi pelaku kejahatan Narkotika tertentu berhak menetapkan
pidana mati bagi para pelaku kejahatan Narkotika ini . Demikian pula
jika pada suatu ketika Indonesia akan mengadopsi gagasan ancaman
pidana penjara seumur hidup tanpa pengurangan (life sentence without
parole) seperti yang didalilkan para Pemohon, maka hal demikian juga tidak
bertentangan dengan Konvensi.
J. Konsekuensi yang lahir dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi
Narkotika dan Psikotropika untuk mengambil langkah-langkah secara
nasional yang lebih keras dalam usaha memberantas kejahatan narkotika
secara hukum adalah lebih tinggi derajat kekuatan mengikatnya dilihat dari
sudut pandang kualifikasi sumber hukum internasional, sebagaimana diatur
dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (Statute of
International Court of Justice), dibandingkan dengan pendapat Komisi HAM PBB
yang berpendapat bahwa kejahatan yang berhubungan dengan obat-obatan
terlarang tidak termasuk dalam kejahatan yang Paling serius (most Serious
crime).
[3.25] Menimbang bahwa meskipun berdasar seluruh pertimbangan di atas telah
nyata bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu
dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang
perlu untuk memberi catatan penting di bawah ini: Menimbang bahwa meskipun
berdasar seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa pemberlakuan pidana
mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika tidak bertentangan
-- -
dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk memberi catatan penting
di bawah ini:
• Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights juncto
Pasal 6 ICCPR juncto UU HAM dan UUD 1945 serta berbagai Konvensi Internasional
yang menyangkut Narkotika, khususnya Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika
dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika, ancaman pidana mati yang dimuat dalam UU Narkotika telah
dirumuskan dengan hati-hati dan cermat serta tidak diancamkan pada semua
tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU ini , melainkan hanya diberikan
kepada:
a. produsen dan pengedar (termasuk produsen adalah penanamnya) yang
melakukannya secara gelap (illicit), tidak kepada penyalahguna atau
pelanggar UU Narkotika/Psikotropika yang dilakukan dalam jalur resmi (licit)
misalnya pabrik obat/farmasi, pedagang besar farmasi, rumah sakit,
puskesmas, dan apotek;
b. para pelaku sebagaimana disebut dalam butir a di atas yang melakukan
kejahatannya menyangkut Narkotika Golongan I (misalnya Ganja dan
Heroin);
• Ancaman pidana mati yang dimuat dalam pasal-pasal pidana UU Narkotika juga
diberikan ancaman hukuman pidana minimal khusus. Artinya, dalam menjatuhkan
hukuman pada pelaku pelanggaran Pasal-pasal Narkotika Golongan I ini ,
hakim berdasar alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat menghukum
pelakunya dengan ancaman maksimalnya yaitu pidana mati. Sebaliknya, kalau
hakim berkeyakinan bahwa sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak
sengaja, pelakunya di bawah umur, pelakunya wanita yang sedang hamil, dan
sebagainya, sehingga tidak ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum,
maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut Narkotika Golongan I) dapat pula
tidak dijatuhi pidana mati. Dengan demikian, jelaslah bahwa pemberlakuan pidana
mati dalam kasus kejahatan Narkotika tidaklah boleh secara sewenang-wenang
diterapkan oleh hakim dan ini sesuai dengan ketentuan dalam ICCPR;
[3.26] Menimbang pula bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana
mati, terlepas dari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentangannya pidana
mati dengan UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika
yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat
bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan,
penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang
jika terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara
seumur hidup atau selama 20 tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap wanita hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai wanita hamil ini melahirkan dan terpidana yang
sakit jiwa ini sembuh;
[3.27] Menimbang bahwa terlepas dari gagasan pembaruan hukum sebagaimana
ini di atas, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menyarankan agar
semua putusan pidana mati yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana mestinya;
[3.28] berdasar seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa Pasal 80 ayat (1)
huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat
(1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dan juga tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia
yang lahir dari perjanjian internasional. Oleh sebab nya, telah nyata pula bahwa
permohonan para Pemohon tidak beralasan.
Intinya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi
internasional tentang narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia
dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya
untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan
narkotika. Konvensi ini juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah
serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat
serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. Dengan demikian, penerapan
pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan UUD 1945, namun justru
dibenarkan oleh konvensi internasional, menurut Hakim Konstitusi Hardjono.
Indonesia tegas menyatakan hukuman mati tidak melanggar HAM dan juga International
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). ini diproklamirkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam putusan yang dimohonkan Rani Andriyani. Pertimbangan Putusan
MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 menyatakan “Kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU
Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crimes” menurut ketentuan
Pasal 6 ICCPR”. Frasa “kejahatan yang paling serius/the most serious crimes” dalam Pasal 6
ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu sesuai
dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan
-- -
in force at the time of the commission of the crime.
Permohonan a quo adalah permohonan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945.
Oleh sebab itu, apakah kejahatan-kejahatan di atas termasuk ke dalam pengertian
kejahatan paling serius, hal itu harus dikaitkan dengan `hukum yang berlaku terhadap
kejahatan-kejahatan narkotika ini pada saat dilakukan, baik hukum nasional
maupun internasional`. Undang-Undang Narkotika adalah implementasi kewajiban
hukum internasional yang lahir dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika
dan Psikotropika, menurut MK.
Bahkan MK berpendapat tidak ada kewajiban hukum internasional apa pun yang
lahir dari perjanjian internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan
pidana mati dalam UU Narkotika itu. Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati terhadap
kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan
Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal
3 ayat 6 Konvensi, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas
penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkait dengan narkotika dan
psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud.
ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang
menyatakan a party may adopt more strict of severe measures than those provided by this
Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention or
suppression of illicit traffic.
Ketua DPR saat itu, Agung Laksono, menilai bahwa keputusan MK mengenai hukuman
mati sudah tepat, sehingga eksekusi terhadap narapidana hukuman mati yang sudah
berkekuatan hukum dapat segera dilakukan. Keputusan MK itu juga membuat harapan
Pemerintah Australia untuk menghalangi hukuman mati terhadap enam warganya
yang terjerat hukum di Indonesia sia-sia. Dari enam orang itu, tiga orang diantaranya
mengajukan uji materi UU Narkotika ke MK. Menjelang pembacaan keputusan MK, Menteri
Luar Negeri Alexander Downer sempat meminta kepada Pemerintah Indonesia supaya
memberi peluang hidup kepada enam warga Australia yang divonis hukuman mati.
Ia mengatakan, jika usaha -usaha hukum gagal, maka dia akan membicarakan bagaimana
cara terbaik selanjutnya dengan Perdana Menteri John Howard. Sebaliknya, Kepala
Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Made Mangku Pastika, menegaskan
bahwa usaha hukum untuk menggugat legalitas hukuman mati kasus narkoba dipastikan
tertutup. Pastika berkeyakinan, tidak akan ada lagi usaha untuk menghapus hukuman
mati dalam kasus narkoba, baik narkotika maupun psikotropika.
Dalam putusannya, MK berpendapat hukuman mati tetap diperlukan sebagai bentuk
kekuatan terhadap hukuman. Bila itu dikabulkan, maka MK menganggap di UU lain
tidak boleh ada juga pasal yang mengancam dengan hukuman mati. putusan MK Nomor
2-3/PUU-V/2007 menegaskan dengan menyatakan “Dengan demikian ancaman pidana
mati dalam UU Narkotika tidak memiliki kekuatan hukum berlaku, ini membawa
konsekuensi bahwa seluruh ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
pidana mati, harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum berlaku.”
MK juga meganggap, jika permohonan para terpidana narkoba itu dikabulkan, maka
kejahatan narkoba dan lainnya akan semakin marak di negara kita . Implikasi penolakan
hukuman mati juga akan berpengaruh ke jenis kejahatan lain seperti terorisme dan
korupsi. Putusan MK menyatakan, “Bagaimana tanggung jawab, seluruh komponen bangsa
dan negara, serta rakyat Indonesia dalam rangka menjaga kedaulatan, tumpah darah,
generasi penerus bangsa, kelangsungan hidup berbangsa, bernegara dan berwarga ,
manakala masalah narkotika semakin semarak di negara kita . Juga jika terorisme menyebar
ke mana-mana, dengan ancaman pidana penjara yang tidak berat.”
Memahami teks hukum seharusnya dilakukan dengan memahami segi-segi dan
kondisi sosial dan politik yang berlaku dan menyertai diberlakukannya suatu hukum
tertentu. Tanpa melihat kondisi sosial dan politik yang terjadi, teks hukum menjadi
tidak lagi bermakna dan memiliki kecenderungan tinggi untuk tidak responsif terhadap
perkembangan zaman.
Hukuman mati sebagai salah satu bentuk atau jenis hukuman telah lama ada dalam
peradaban dan sejarah manusia. Kampanye penghapusan hukuman mati baru muncul
pada 1764, saat Cesare Beccaria menulis tentang On Crimes and Punishment. Perlu waktu
84 tahun agar gagasan dari Beccaria ini diadopsi di San Marino - sebuah Negara kecil di
kawasan Eropa - yang pertama kali menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa.
Lima belas tahun kemudian, seruan ini menggema di Amerika Selatan. Gagasan ini
diadopsi oleh Venezuela yang menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan.
Di luar kawasan Eropa dan Amerika Latin, perkembangan penghapusan hukuman mati
memerlukan waktu yang lebih panjang.
Dinamika ini tentu tidak bisa dilihat hanya semata – mata dari teks hukum yang tersedia,
namun juga melihat dinamika dan seluruh kondisi kehidupan berwarga yang terjadi
dalam suatu negara ataupun suatu kawasan. Dinamika yang terjadi di berbagai negara
juga tercermin saat PBB didirikan dan pada saat PBB hendak mengeluarkan sebuah
resolusi dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Dalam Pasal 3 DUHAM ditentukan bahwa “Setiap orang berhak
atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu”. Namun tidak ada penjelasan
mengenai hukuman mati dalam deklarasi ini . Meskipun ada pembahasan mengenai
hukuman mati dalam rancangan deklarasi, namun Majelis Umum PBB memutuskan
untuk tidak membahas mengenai hukuman mati dengan alasan untuk tidak menghambat
berkembangnya praktik negara-negara menuju penghapusan hukuman mati. Dalam
pembahasan pengesahan the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), pengaturan
umum dalam Pasal 3 DUHAM diperbaiki dengan aturan yang lebih rinci. Aturan ini
kemudian muncul pada ketentuan Pasal 6 Kovenan Sipol. Rumusan Pasal 6 Kovenan Sipol
mencerminkan pertentangan antara dua kutub yaitu kehendak untuk menyampaikan
pesan tentang jaminan hak hidup yang sejalan dengan misi hak asasi manusia yang ada
dalam Kovenan Sipol dan pertimbangan masih diberlakukannya hukuman mati di banyak
negara pada saat itu. sebab itu membaca ketentuan Pasal 6 Kovenan Sipol tidak boleh
dilepaskan dari konteks sosial politik yang terjadi pada masa Kovenan Sipol dirumuskan
dan disahkan. Tak heran jika muncul ketentuan Pasal 6 ayat (2) Kovenan Sipol yang tidak
lazim untuk sebuah perjanjian internasional, sebab itu dalam keseluruhannya Kovenan
Sipol merupakan perjanjian internasional yang memiliki kecenderungan kuat untuk
penghapusan hukuman mati.
Sebagai bagian dari jenis penghukuman, hukuman mati di Indonesia sebenarnya tidak
diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum masuknya kekuatan kolonial
Eropa, para Raja dan Sultan yang ada di Nusantara telah mempraktikkan hukuman mati
kepada para kawulanya.
Dalam konteks negara kita , konsolidasi hukuman mati secara menyeluruh terjadi pada
1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang mengatur mengenai
pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pada masa ini, hukuman mati dipertahankan sebagai strategi untuk membungkam
perlawanan penduduk jajahan dan juga usaha untuk mempertahankan Jawa dari
serangan Inggris. Tanpa usaha pasifikasi penduduk jajahan melalui instrumen hukuman
mati, misi pemerintah Perancis yang berkuasa di Belanda untuk mempertahankan Jawa
dari serangan Inggris akan sulit diwujudkan.
Konsolidasi kedua dan yang terpenting adalah pada saat diberlakukannya Wetboek
van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers) pada 1 Januari 1873. Selanjutnya pada 1915
diundangkan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, (WvSI) dan mulai berlaku pada 1
Januari 1918. Meski di Belanda hukuman mati untuk telah dihapuskan pada 1870, Belanda
tetap memberlakukan hukuman mati untuk Hindia Belanda dan daerah-daerah koloninya
yang lain. Motif prasangka rasial dan menjaga ketenangan umum menjadi motif utama
dari masih diberlakukannya hukuman mati. Belanda menganggap kawula Hindia Belanda
terutama orang-orang pribumi tidak bisa dipercayai, suka berbohong, memberi
keterangan palsu di Pengadilan, dan bersifat buruk. Suatu prasangka superior yang sangat
khas dari sebuah negara kolonial.
Pasca kemerdekaan, hukuman mati tetap diberlakukan dalam berbagai legislasi yang
ada di negara kita . Tentu saja dengan motif dan alasan yang berbeda yang disesuaikan
dengan sistem politik dan kondisi sosial politik yang berlaku pada masa legislasi ini
disahkan. Pemberlakuan WvS sebagai bagian dari hukum pidana nasional tidak serta merta
menghapuskan hukuman mati. Pada saat itu, hukuman mati dipertahankan pemerintah
Republik Indonesia didasari alasan yang melanjutkan motif dan watak dari pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Dalam konteks hukum pidana militer, masih dipertahankannya
hukuman mati adalah sebagai respon untuk memperkuat strategi pertahanan negara dari
situasi dan usaha mempertahankan kemerdekaan sepanjang 1945 – 1949. Pada masa
demokrasi liberal, hukuman mati tetap dipertahankan untuk menghalau pemberontakan
yang terjadi di hampir seluruh penjuru negara kita . Sementara pada masa demokrasi
terpimpin, hukuman mati tetap dipertahankan untuk menjaga stabilitas nasional dalam
rangka mengamankan Revolusi dan program – program pemerintah di bidang ekonomi
dan pembangunan.
Pada masa Orde Baru, titik tekan pemerintahan Orde Baru adalah stabilitas politik untuk
mengamankan agenda pembangunan. sebab pembangunan memerlukan masuknya
investasi asing maka reputasi dan kepercayaan dunia internasional terhadap kemampuan
pemerintah Indonesia untuk menjaga keamanan negara menjadi alasan penting untuk
tetap diberlakukannya hukuman mati. Bahkan beberapa kejahatan seperti kejahatan
narkotika dianggap sebagai sarana untuk melakukan usaha subversif. Meskipun pada
masa ini kejahatan korupsi tidak menjadi salah satu kejahatan yang dapat dihukum mati,
namun dalam beberapa kasus, kejahatan korupsi didakwa dengan UU No.11/PNPS/1963
tentang Subversif yang tentu saja ancaman hukumannya adalah hukuman mati.
Pada masa reformasi, mantra hukuman mati berubah menjadi soal kedaruratan dan
skala korban kejahatan. Krisis ekonomi yang mendera Indonesia pada 1997-1998 menjadi
penanda berlakunya mantra kedaruratan sebagai alasan penting untuk mempertahankan
hukuman mati. Pada masa reformasi, pemerintah menciptakan berbagai alasan
kedaruratan baik darurat bencana, darurat perlindungan anak, dan skala korban
kejahatan menjadi alasan terpenting untuk memberi respon keras terhadap situasi
yang terjadi demi kepentingan stabilitas nasional. Respon ini lalu dimanifestasikan
dalam bentuk hukuman mati.
Dari berbagai motif dan alasan yang mengemuka tentang hukuman mati di berbagai
Undang – Undang di negara kita , namun dengan diakuinya hak asasi manusia sebagai
bagian dari hak konstitusional dan juga diadopsinya Kovenan Sipol dalam sistem hukum
Indonesia maka relevansi keberadaan hukuman mati sangat layak untuk di re-evaluasi
minimal dipertanyakan.
Dari sisi pembentukan hukum dasar, perbincangan hak hidup teramat sedikit
diperdebatkan. Berbeda dengan hak kemerdekaan menyatakan pendapat yang lebih
sering mendapatkan perhatian dari para pembentuk konstitusi negara kita . Jika melihat
lanskap dari konstitusi negara kita , perhatian minimum terhadap hak hidup dapat
dipahami sebab bahkan hak – hak para tahanan dan orang – orang yang berhadapan
dengan hukum pidana tidak menjadi bagian dari perhatian dari para pembentuk hukum
dasar tak heran jika hak – hak orang yang terderitakan tidak muncul sebagai bagian dari
hak konstitusional yang dijamin dalam berbagai konstitusi negara kita .
Penentangan hukuman mati pertama kali muncul dalam sidang Konstituante yang
berlangsung dari 1955-1959. Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela
Pancasila, pada 14 Agustus 1958, Sidang ke II tahun 1958 Rapat ke 27 Konstituante
mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak hidup dan hak untuk
tidak dijatuhi hukuman mati. Asmara Hadi sempat memprotes atas hasil kerja tim perumus
yang tidak mencantumkan usulannya terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan
hukuman mati dalam Laporan Panitia Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga
Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29 Selasa, 19 Agustus 1958. Sayangnya pandangan ini
adalah pandangan minor pada saat itu dan sebab nya tidak mendapatkan pembahasan
yang serius pada masa ini .
usaha untuk menegaskan hak hidup dan larangan terhadap hukuman mati kembali terjadi
pada waktu pembahasan untuk perubahan UUD 1945. Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka
Subekti, dan Slamet Efendy Yusuf adalah para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang mendesakkan hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sekali lagi pembahasan mengenai
hak hidup ternyata kurang dielaborasi secara mendalam dan terkesan menggantung.
Yang pada akhirnya hak hidup sebagai sehingga ditegaskan oleh dalam beberapa hal
memiliki kesan yang menggantung dan tidak tuntas. ini berlanjut dan nampak pada
pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang malah membolehkan pembatasan terhadap
hak hidup berdasar penafsiran sistematis terhadap ketentuan – ketentuan hak asasi
manusia dalam UUD 1945. Ketentuan – ketentuan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam
Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 menurut pandangan Mahkamah Konstitusi
tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Ketidak-konsistenan
Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945 makin menambah persoalan dalam hutan
belantara legislasi yang menganut hukuman mati.
Meskipun Kovenan Sipol masih “membolehkan” negara-negara yang memiliki hukuman
mati, namun hukuman mati hanya diperkenankan untuk kejahatan – kejahatan tertentu
yang sangat serius. Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Sipil menegaskan sebuah prinsip
perlindungan terhadap pengurangan “sewenang-wenang” atas hak untuk hidup, namun
dengan sebuah pengecualian yang dinyatakan secara tegas/eksplisit tentang hukuman
mati di negara-negara yang belum menghapusnya. Namun pengecualian harus tunduk
pada persyaratan tertentu seperti hukuman mati harus dibatasi hanya untuk “kejahatan
paling serius” yang dalam perkembangannya misalnya tidak boleh diterapkan kepada
wanita hamil atau pelaku kejahatan yang masih remaja. Konsep the most serious crimes
dalam hukum internasional sangatlah terbatas pada kejahatan dengan karakteristik
sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam,
menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of
humanity);
b. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk
menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely
grave consequences);
c. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara
atau warga luas seperti mengganggu ketertiban umum, melibatkan jumlah
uang yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, dilakukan dengan cara yang
sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas
perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan
negara.
Merujuk pada konsepsi ini , beberapa UU di Indonesia yang menerapkan hukuman
mati dan perlu dikaji ulang apakah masih sesuai dengan karakteristik sebagai the
most serious crimes. Persoalannya konsepsi the most serious crimes juga kemudian
dicampuradukkan dengan konsepsi kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan yang
memerlukan penanganan luar biasa. Berbagai alasan yang mendasari dipertahankannya
hukuman mati selepas kemerdekaan, menunjukkan ketiadaan perdebatan yang memadai
mengenai the most serious crime. Pemerintah justru menekankan persetujuan penerapan
hukuman mati sebab masih diperbolehkan pemberlakuannya berdasar hukum
nasional.
Pada masa reformasi, kampanye reformasi legislasi dengan menggunakan pendekatan
berbasis hak asasi manusia dan kebijakan berbasis bukti menjadi usaha terpenting untuk
menghasilkan produk hukum yang memiliki karakter responsif. Pendekatan berbasis
hak asasi manusia dalam reformasi legislasi ini sejalan dengan komitmen pemerintah
Indonesia untuk memberi tempat bagi usaha penghormatan, perlindungan,
pemenuhan dan pemajukan HAM di negara kita . Namun konfigurasi politik pada masa
reformasi justru mencerminkan paradoks demokrasi dimana proses dan institusi
demokrasi telah menghasilkan pergantian pemerintahan, namun hukuman mati tetap
menjadi pilihan ekspresi politik dan instrumen terpenting dari setiap masa pemerintahan.
usaha untuk mempertahankan hukuman mati sebagai sanksi pidana untuk tindak pidana
tertentu memperlihatkan karakter politik hukum yang tidak beranjak dari karakter politik
hukum pidana retensionis semakin menguat dan konservatif. Dengan kata lain, usaha
penghapusan hukuman mati terus menerus harus berhadapan dengan politisasi hukum
oleh para pengambil kebijakan yang menganut pandangan hukum yang makin konservatif.
Hukum telah menjadi instrumen legitimasi bagi berlangsungnya pemerintahan untuk
melayani kepentingan dari mereka yang berkuasa.
usaha pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kampanye reformasi legislasi juga tidak
menyentuh persoalan legislasi yang terus menerus mengabaikan pendekatan berbasis
hak asasi manusia dan pendekatan berbasis bukti. Alhasil dalam rumusan Rancangan
KUHP, meskipun dianggap sebagai jalan tengah yang disetujui sebagai the negara kita n way,
tetap memuat ancaman pidana mati. Kecenderungan global dan pemaknaan the most
serious crime dalam konteks hukuman mati belum mendapat perhatian serius dari para
pembentuk hukum. Pemerintah dan juga DPR masih mempercayai bahwa hukuman mati
(sekadar) diperlukan dalam hukum pidana nasional negara kita .
Apa boleh buat, jalan masih terjal dan panjang bagi usaha memperjuangkan reformasi
legislasi yang menghormati hak asasi manusia di negara kita .