hukuman mati 7

Jumat, 26 Januari 2024

hukuman mati 7





Dalam perkembangannya, pedoman ini tidak cukup jelas untuk konteks saat ini mengingat 
berkembangnya hukum HAM internasional. Sekretaris Jenderal PBB sebelumnya telah 
menunjuk Roger Hood untuk memberi  laporan berkala tentang kemajuan dalam 
hal penghapusan hukuman mati, yang dalam edisi paling mutakhir bukunya, Roger 
Hood menjelaskan bahwa pedoman ini  tidak jelas dan harus direvisi. Roger Hood 
mengusulkan revisi: “Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman 
mati hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan paling serius setaraf 
pembunuhan yang dapat dipertanggungjawabkan (the most serious offences of culpable 
homicide/murder), akan namun  pemberlakuannya terhadap kejahatan-kejahatan seperti itu 
580 Andrew Byrnes, Drug Offences, the Death Penalty and negara kita ’s Human Rights Obligations in the Case of the Bali, Pendapat 
yang disampaikan di Mahkamah Konstitusi Republik negara kita , 
-- -
tidak boleh diwajibkan (mandatory).”583 
Pandangan ini sejalan dengan Laporan dari Pelapor Khusus PBB (Special Rapporteur) 
bidang eksekusi ekstrayudisial dan sewenang-wenang (extrajudicial, summary and arbitrary 
executions),584 yang menyatakan bahwa dalam Pasal 6 Ayat (2) ICCPR, hukuman mati hanya 
dapat diterapkan “jika dapat ditunjukkan bahwa ada  niat untuk membunuh yang 
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.”585 Selain itu Pelapor Khusus juga  telah 
mempersempit definisi dari most serious crime dengan menyatakan bahwa hukuman mati 
hanya dapat dilakukan di situasi yang sifatnya eksepsional. 
“the death penalty must be under all circumstances be regarded as an extreme exception 
to the fundamental right to life, and must be interpreted in the most restrictive manner 
possible.” 
Sejalan dengan ketentuan ini  di atas, Komisi HAM PBB pada 2004 telah mengeluarkan 
Resolusi kepada negara anggota ICCPR untuk tidak memberlakukan hukuman mati kepada 
kejahatan di luar dari kejahatan yang bersifat the most serious crime. Resolusi ini  
juga meminta kepada seluruh negara anggota ICCPR untuk memastikan bahwa most 
serious crime tidak keluar dari kejahatan internasional yang memiliki dampak mematikan 
dan mengandung tingkat bahaya yang luar biasa (the notion of most serious crime does 
not go beyond intentional crime with lethal or extremely grave consequences). Konsepsi ini 
juga dijelaskan lebih lanjut dalam Paragraf 91 Laporan dari Pelapor Khusus ke Komite 
HAM  pada 24 Desember 1996 yang menyatakan bahwa “the scope of crime subject to the 
death penalty should not go beyond intentional crime with lethal or other extremely grave 
consequences.” 586
Selain itu Komisi HAM PBB dalam Resolusi 1999, menegaskan pandangan dari Pelapor 
Khusus, untuk mendesak negara-negara untuk tidak menjatuhkan hukuman mati atas 
kejahatan keuangan yang tidak memiliki unsur kekerasan (non-violent financial crime) 
seperti korupsi atau praktik keagamaan tanpa kekerasan (non-violent religious practice).587
Dengan demikian yang dimaksud dengan the most serious crimes menurut Komite HAM 
PBB adalah tindak pidana internasional yang dilakukan dengan sengaja atau terencanakan 
dan menimbulkan akibat yang sangat luar biasa. Konsepsi ini senada dengan pendapat 
Philip Alston, yang dituangkan dalam laporan di Sidang PBB di bulan Januari 2007, yang 
pada Paragraf 53 Laporan ini  menyatakan bahwa termasuk kategori the most serious 
crimes adalah kejahatan-kejahatan yang melibatkan niat untuk melakukan pembunuhan 
yang mematikan.
beberapa badan-badan PBB telah mencapai kesepakatan untuk konsep the most serious 
crimes yang dapat dihukum dengan hukuman mati, yaitu “intentional crime with deadly 
outcomes” atau kejahatan yang direncanakan dan menimbulkan kematian (seperti 
pembunuhan berencana). Secara khusus, Sekretaris Jendral PBB pun menyatakan bahwa 
negara yang memberi  hukuman mati terhadap kejahatan yang tidak menimbulkan 
kematian sangatlah problematik. Meskipun definisi the most serious crime tidak diatur 
dalam ICCPR, namun secara implisit ada  kesepakatan internasional bahwa most 
serious crime dalam ICCPR terbatas hanya untuk kejahatan yang menimbulkan kematian.588 
Penafsiran tentang the most serious crimes dalam praktik antara lain pernah dilakukan 
oleh Komite HAM internasional dalam kasus Zambia.589 Dalam kasus ini Komite HAM 
menyatakan bahwa penerapan hukuman mati terhadap pelaku perampokan dengan 
kekerasan yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) ICCPR.590 
Konsepsi the most serious crimes lebih lanjut juga ada dalam Statuta Roma 1998 tentang 
pembentukan Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Pasal 5 Statuta Roma 1998 
menyatakan bahwa:591
“…jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the 
international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this 
Statute with respect to the following crime: (a) the crime of genocide; (b) crime against 
humanity; (c) war crime; (d) the crime of aggression.”
Dalam Statuta ini  dapat kita lihat bahwa konsep the most serious crimes mencakup 
empat jenis kejahatan yaitu kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, 
dan kejahatan agresi. Selain itu, tidak dimasukkannya hukuman mati dalam mahkamah-
mahkamah pidana internasional memiliki arti yang sangat penting, yang menunjukkan 
PBB menolak pendapat bahwa hukuman mati adalah hukuman yang tepat untuk 
kejahatan-kejahatan yang sudah jelas merupakan “kejahatan paling serius”. Ditolaknya 
hukuman mati dalam Mahkamah Mahkamah Pidana Internasional juga telah dinyatakan 
oleh mahkamah-mahkamah konstitusi lainnya sebagai bukti kecenderungan/tren umum 
dunia internasional ke arah penghapusan hukuman mati.592
Dalam perdebatan tentang konsepsi kejahatan serius ini memang ada  kesulitan, 

-- -
khususnya dalam menetapkan metodologinya. Praktik negara-negara setelah mengadopsi 
suatu traktat merupakan pendekatan yang diakui untuk menafsirkan traktat ini , 
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31(3) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 
Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties). Sebagai sebuah peraturan, 
pendekatan demikian sangatlah masuk akal, sebagaimana menafsirkan arti perjanjian 
yang sumir dengan cara merujuk pada perbuatan para pihak setelah dibuatnya perjanjian 
ini , dengan asumsi bahwa cara ini membantu menegaskan niat dan maksud 
yang dikehendaki para pihak dalam membuat naskah perjanjian ini  dapat pula 
melakukan hal yang sama terhadap traktat internasional. Namun, pemakaian  cara 
penafsiran ini  harus dibatasi dalam penafsiran hukum, sebab  perbuatan para 
pihak (setelah dibuatnya suatu perjanjian) tidak hanya menegaskan arti suatu ketentuan 
dalam perjanjian ini  akan namun  dapat juga berupa pelanggarannya. Dan demikian 
juga halnya dengan perjanjian internasional, suatu hal yang tidak masuk akal jika  
kita menafsirkan “kejahatan paling serius” dengan cara membuat sebuah katalog yang 
berisi semua kejahatan yang dikenakan hukuman mati oleh negara-negara yang telah 
meratifikasi ICCPR. 
William A. Schabas mengusulkan suatu cara yang bermanfaat dalam rangka menafsirkan 
cakupan kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana dimaksud Pasal 6 Ayat (2), 
yakni dengan mencari konsensus di antara negara-negara mengenai kejahatan-kejahatan 
yang dapat dijatuhi hukuman mati.593 Cara ini akan mengarah pada jawaban yang pada 
pokoknya sama dengan padangan Philip Alston. Artinya, di negara-negara yang belum 
menghapus hukuman mati, hukuman mati selalu dikenakan terhadap kejahatan-kejahatan 
yang “dapat ditunjukkan bahwa ada  niat untuk membunuh yang mengakibatkan 
hilangnya nyawa seseorang” dalam melakukan kejahatan ini . 
Dari berbagai konsepsi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep the most serious crimes 
dalam hukum internasional sangatlah terbatas pada kejahatan dengan karakteristik 
sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, meng-
goncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity);
b. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbul-
kan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave con-
sequences);
c. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau 
warga  luas seperti mengganggu ketertiban umum, melibatkan jumlah uang 
yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, dilakukan dengan cara yang sangat 
buruk (crime with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas perikemanu-
siaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan negara.
593 Schabas, Keterangan Ahli…, op.cit. hlm. 78. Lihat Schabas, The Abolition…, op.cit., hlm 99
Dengan demikian, Pasal 6 ayat (2) ICCPR adalah ketentuan yang memerlukan penafsiran, 
sebab  ia menyatakan sebuah prinsip (perlindungan terhadap pengurangan “sewenang-
wenang” atas hak untuk hidup), namun dengan sebuah pengecualian yang dinyatakan 
secara tegas/eksplisit tentang hukuman mati di negara-negara yang belum menghapusnya. 
Akan namun , pengecualian itu sendiri harus patuh pada pengecualian-pengecualian 
lebih lanjut lagi, seperti persyaratan bahwa hukuman mati harus dibatasi hanya untuk 
“kejahatan paling serius” yang dalam perkembanganya misalnya tidak boleh diterapkan 
kepada wanita hamil atau pelaku kejahatan yang masih remaja.  Oleh sebab nya, perlu 
diingatkan kembali bahwa Pasal 6 ICCPR yang diadopsi setengah abad yang lalu dalam 
konteks yang sangat khusus. Bahkan pada saat itu pun, kehendak Majelis Umum PBB 
untuk mendorong penghapusan hukuman mati dapat dilihat pada redaksional ketentuan 
yang ada  pada Pasal 6 Ayat (6) ICCPR.
b. Kejahatan terkait Narkotika bukan termasuk the Most Serious Crimes 
Komite HAM PBB berpandangan bahwa kejahatan drug trafficking yang tidak melibatkan 
pembunuhan tidak termasuk dalam kategori kejahatan-kejahatan paling serius. Pandangan 
ini ada  dalam bagian kesimpulan tinjauan Komite HAM PBB atas laporan berkala 
Thailand mengenai pelaksanaan ICCPR  yang diterbitkan Juli 2005. Komite menyatakan:
Komite menaruh perhatian yang sangat serius pada kenyataan bahwa hukuman mati 
tidak dibatasi hanya untuk “kejahatan paling serius” sebagaimana dimaksud Pasal 6, 
Ayat 2, dan ternyata diberlakukan untuk drug trafficking. Komite menyesalkan bahwa, 
meskipun Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diamandemen pada tahun 2003, 
yang melarang pemberlakuan hukuman mati pada orang yang berusia di bawah 18 
tahun, Negara Pihak ini belum juga menarik deklarasinya terhadap Pasal 6, Ayat 5 (Pasal 
6) Kovenan ini . Negara Pihak ini harus meninjau kembali pemberlakuan hukuman 
mati untuk kejahatan-kejahatan yang terkait dengan drug trafficking demi mengurangi 
jenis kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati ...594
Kesimpulan Komite HAM ini  diambil secara bulat, sehingga tidak ada ruang bagi 
keraguan atas posisi yang diambil Komite, bahwa drug trafficking tidak termasuk dalam 
kategori kejahatan paling serius sebagaimana dimaksud Pasal 6(2) ICCPR. 
Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, pada 1984 PBB Safeguards 
Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty sebagai sebuah usaha  
untuk mengklarifikasi ketentuan-ketentuan tertentu dalam Pasal 6 ICCPR. Pedoman ini 
menyatakan bahwa negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman 
mati hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan paling serius, dalam arti ruang 
lingkupnya tidak melampaui kejahatan-kejahatan disengaja yang bersifat mematikan 
594 Komite HAM PBB, Concluding observation of the Human Rights Committee: THAILAND, CCPR/CO/84/THA, 8 Juli 2005, 
para 14. 
202 203
-- -
(lethal) atau yang membawa akibat-akibat yang sangat serius.595 
Jaminan Perlindungan PBB tentang hukuman mati merekomendasikan kejahatan yang 
diancam pidana mati harus “tidak boleh melebihi kejahatan dengan tujuan mematikan 
atau konsekuensi buruk ekstrim lainnya.”596 Dalam ini Pelapor Khusus PBB 
mengklarifikasi bahwa hukuman mati “hanya boleh diterapkan kepada kejahatan yang 
melibatkan pembunuhan dengan sengaja”. Secara khusus Pelapora Khusus menekankan 
bahwa “hukuman mati tidak boleh diterapkan untuk pelanggaran terkait narkoba kecuali 
ini  memenuhi persyaratan itu.”597
Pelapor Khusus PBB tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lainnya yang kejam, 
tidak manusiawi dan merendahkan martabat (Special Rapporteur on torture and other cruel, 
inhuman or degrading treatment or punishment) juga menekankan penerapan hukuman 
mati untuk pelanggaran terkait narkoba, melanggar hukum HAM internasional. Laporan 
dari Pelapor khusus ini  menyebut bahwa “pelanggaran narkoba tidak memenuhi 
ambang kriteria kejahatan paling serius sebab  penerapan hukuman mati bagi pelaku 
kejahatan narkoba merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup, perlakuan diskriminatif 
dan mungkin [...] hak mereka atas martabat manusia.”598 
Praktik menghukum mati kejahatan-kejahatan drug trafficking hanya ditemukan di kawasan 
Asia Tenggara dan beberapa kecil negara yang mempraktikkan bentuk-bentuk hukum 
syariah yang ekstrem, seperti Iran. Tidak ada bukti bahwa hukuman mati diberlakukan 
terhadap kejahatan-kejahatan drug trafficking (yang tanpa pembunuhan) selain di 
kawasan ini . Fakta bahwa negara-negara yang masih mempertahankan hukuman 
mati di kawasan-kawasan lain dunia pun tidak mengancam kejahatan-kejahatan drug 
trafficking dengan hukuman mati menyiratkan bahwa kejahatan-kejahatan drug trafficking 
tidak dapat dianggap termasuk pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 6 Ayat (2) ICCPR. 
ini berarti bahwa ICCPR yang merupakan perjanjian internasional yang berlaku secara 
universal, yang harus ditafsirkan secara sama di manapun diberlakukan.
Bahwa kejahatan-kejahatan drug trafficking begitu merajalela dan menimbulkan masalah 
sosial yang serius tidak dengan sendirinya menjadi alasan yang tepat untuk memasukkan 
kejahatan-kejahatan drug trafficking dalam cakupan kejahatan paling serius. Bila itu 
ukurannya (begitu merajalela dan menimbulkan masalah sosial yang sedemikian serius), 
maka berarti sederet panjang kejahatan lain juga memenuhi syarat untuk dijatuhi 
hukuman mati, seperti kejahatan lingkungan, kejahatan kerah putih, dan kekerasan dalam 
rumah tangga, sesuatu yang tentu sangat absurd .
595 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Safeguards…, op.cit., para 1.
596 Ibid. 
597 Majelis Umum PBB, Report of the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions, A/67/275, 9 Agustus 
2012, para 122. 
598 Dewan  HAM PBB, Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, 
A/HRC/10/44, 14 Januari 2009, para 66. 
Aspek lainnya yang sering disampaikan adalah aspek kedaruratan dalam menghadapi 
drug trafficking. Mengenai hal ini, Pasal 4 ICCPR memperkenankan negara-negara untuk 
mengurangi pemenuhan (derogate) ketentuan-ketentuan tertentu jika ada  alasan 
“keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa”. Konsepsi ‘derogation’ adalah 
sebuah term of art yang dipakai  dalam perjanjian-perjanjian HAM internasional untuk 
dapat ditangguhkannya pemenuhan hak-hak tertentu dengan alasan keadaan darurat. 
Namun, sebagaimana disebutkan sebelumnya, konsepsi ‘derogation’ ini haruslah 
dibedakan dengan konsepsi ‘limitation’ (pembatasan), yakni sebuah konsep yang dipakai  
untuk menentukan batas-batas norma norma apa saja yang tidak mutlak pelaksanaannya. 
Contohnya, berdasar hukum HAM internasional seperti ICPPR, kebebasan berpendapat 
tunduk pada limitation maupun derogation. Kebebasan berpendapat dapat dibatasi, 
misalnya, dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai pencemaran nama baik 
atau pelarangan pernyataan yang menyebarkan kebencian (hate speech) dan para hakim 
yang menentukan batas-batas ini dengan tetap mengingat kerangka kerja normatifnya, 
yang, secara garis besar misalnya terkait dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UDHR. 
Derogation, di sisi lain, merupakan penangguhan total pemenuhan hak ini , bilamana 
ada  keadaan darurat umum yang membenarkan penangguhan ini . Dalam 
keadaan demikian, hakim tidak lagi bebas menafsirkan cakupan batas-batas kebebasan 
ini , seakan-akan kewenangan hakim untuk menilai sejauh mana cakupan batas-
batas kebebasan ini  telah dicerabut secara total. Jadinya hakim hanya boleh menilai 
keabsahan pemberlakuan derogation itu sendiri, yakni apakah benar ada  keadaan 
darurat dan apakah syarat-syarat formilnya telah terpenuhi.
beberapa pihak dapat berargumen bahwa drug trafficking telah memenuhi syarat sebagai 
sebuah keadaan darurat umum yang mengancam suatu bangsa dan dengan demikian 
memenuhi syarat sebagai pengecualian yang dimaksud Pasal 6 ICCPR. Namun argumen ini 
cukup lemah, sebab : pertama, Pasal 4 Ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa tidak boleh ada 
derogation terhadap Pasal 6 ini . Kedua, adanya syarat-syarat formal yang ditetapkan 
dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (3), yang termasuk pernyataan resmi mengenai keadaan darurat 
dan pernyataan itu harus diserahkan (deposited) kepada Sekretaris Jenderal PBB, sehingga 
tanpa adanya pernyataan ini  tidak dapat dinyatakan masalah drug trafficking sebagai 
kondisi darurat. 
4.4. Legislasi Indonesia dan Pemaknaan the Most Serious Crimes
Di negara kita , isu tentang kejahatan-kejahatan serius juga mewarnai perdebatan tentang 
pembentukan berbagai UU yang dianggap perlu diberikan sanksi pidana mati. Uraian 
dalam Bab III telah menunjukkan bagaimana perdebatan pemberlakukan hukuman 
mati telah membentuk alasan-alasan mengapa hukuman mati diterapkan. Argumentasi 
tentang perlunya hukuman mati dengan alasan bahwa kejahatan-kejahatan ini  
204 205
-- -
merupakan the most serius crimes hanya ada  dalam beberapa UU. 
Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya, konsepsi the most serious crimes yang 
awalnya tidak diberikan penjelasan secara memadai dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR, telah 
mendapatkan titik terang pengertiannya. Konsepsi the most serious crimes dalam hukum 
internasional sangatlah terbatas pada kejahatan dengan karakteristik: (i) kejahatan yang 
dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani 
kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity); (ii) adanya unsur kesengajaan, 
terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang 
sangat serius lainnya (extremely grave consequences); dan (iii) akibat yang ditimbulkan dari 
tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau warga  luas seperti mengganggu 
ketertiban umum, melibatkan jumlah uang yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, 
dilakukan dengan cara yang sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan 
kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan 
keamanan negara.
Merujuk pada konsepsi ini , yang masih dikembangkan hingga kini, beberapa UU di 
Indonesia yang menerapkan hukuman mati dan dibentuk pada masa sebelum reformasi 
perlu dikaji ulang apakah masih sesuai dengan karakteristik sebagai the most serious 
crimes. ini penting mengingat pembentukan berbagai UU ini  dilakukan pada 
saat norma-norma HAM belum cukup berkembangan sebagaimana saat ini, termasuk 
perkembangan tentang konsepsi the most serious crimes. ini berbeda dengan beberapa 
UU yang dibentuk setelah 1998, yang mengharuskan Indonesia untuk tunduk dalam 
norma-norma hukum HAM internasional yang diakui, sebagaimana dinyatakan dalam 
UUD 1945 (dengan amandemen), Ketetapan MPR RI No. XVIII Tahun 1998 tentang Hak 
Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. 
Sebagaimana diuraikan di Bab III, berbagai UU yang dibentuk pada masa sebelum 1998 
tidak banyak menyentuh atau dibentuk berdasar kesesuaiannya dengan konsepsi the 
most serius crimes. Pemberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht 
voor Indonesie yang yang diberlakukan di Indonesia dengan alasan-alasan prasangka rasial 
yang diskriminatif dan dikemudian ditetapkan sebagai KUHP Indonesia hingga kini, belum 
pernah dilakukan koreksi apakah kejahatan-kejahatan dengan ancaman hukuman mati 
masuk dalam kategori the most serious crimes. Demikian pula dengan KUHPM, dengan 
ancaman hukuman mati yang merujuk pada kejahatan-kejahatan yang dianggap berat 
dalam militer dan sebagai bagian dari strategi pertahanan negara. Sementara pidana mati 
dalam beberapa UU yang dibentuk pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin 
ditujukan untuk menghalau pemberontakan, mengamankan revolusi dan program-
program pemerintah. 
Pada masa Orde Baru, hukuman mati secara umum diterapkan untuk menjaga stabilitas 
politik dan keamanan negara, dengan penekanan pada tindakan-tindakan yang dianggap 
subversif. Pada masa ini, memang ada  argumentasi tentang kejahatan-kejahatan 
yang dianggap memiliki  dampak serius, misalnya kejahatan-kejahatan yang terkait 
dengan narkotika dan psikotropika serta kejahatan-kejahatan dalam penerbangan. Dalam 
UU UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika misalnya, ketentuan hukum yang ada 
sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1997 dipandang tidak membuat jera dan dapat 
mendidik pengedar dan adanya gejala hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan 
perbuatannya dibandingkan akibat yang diderita oleh korban.599 Pidana mati dipandang 
sebagai jenis pidana yang tepat sebab  jenis pidana ini merupakan hukuman pidana 
yang terberat dari semua jenis hukuman pidana.600 Demikian pula dengan kejahatan 
penerbangan, UU No 4 Tahun 1976 terkait dengan penerbangan merujuk pada berbagai 
Konvensi Internasional tentang perlunya “severe penalties”, yang kemudian oleh Pemerintah 
dirumuskan dengan  frasa “ancaman pidana yang berat”.601 Beratnya ancaman pidana 
ini sebab  perbuatan yang diatur dalam UU ini, yakni  gangguan terhadap keselamatan 
pesawat udara dan ketenangan dalam pesawat dapat mengakibatkan bahaya yang lebih 
besar dan langsung.602 
Wacana dan perdebatan tentang hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan yang 
termasuk the most serious crimes semakin jelas pada pembentukan berbagai UU setelah 
tahun 1998. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
memberi  ancaman pidana mati dengan tujuan untuk melakukan pencegahan dan 
pemberantasan korupsi secara lebih efektif,603 dan pidana mati sebagai salah satu sarana 
kebijakan kriminal (kebijakan penanggulangan kejahatan) dalam menanggulangi korupsi 
di Indonesia melalui UU ini dianggap sebagai suatu kewajaran.604 Selain itu, alasan bahwa 
korupsi yang sangat marak di Indonesia secara sistematis di semua sektor kehidupan 
warga  telah mengancam usaha  pembangunan keberlanjutan dan pencapaian 
kesejahteraan warga  negara kita . Hingga kini, korupsi masih diperdebatkan apakah 
termasuk dalam ‘the serious crime’.605 
Perdebatan tentang kejahatan yang termasuk the serious crimes lebih jelas dalam 
pembahasan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini memiliki  yurisdiksi 
atas pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap 
kemanusiaan, yang subtansinya diadopsi dari Statuta Roma 1998 untuk Mahkamah 
Pidana Internasional. Pemerintah pada awalnya tidak mencantumkan ancaman 
hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan ini  dengan merujuk pada hukum HAM 
599 Murtiningsih, op.cit., hlm. 126 – 127,
600 Hamzah dan Rahayu, loc.cit.
601 Prakoso, Masalah…, op.cit, hlm. 95. 
602 Ibid., hlm. 93.
603 negara kita , Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Umum. 
604 Barda Nawawi Arief, Kebijakan…, loc.cit. 
605 Andhika Prasetya, Beda dengan Benny Harman, Sekjen PPP: Korupsi itu Serious Crimes, Detik, 7 Juli 2017, <https://news.
detik.com/berita/3551747/beda-dengan-benny-harman-sekjen-ppp-korupsi-itu-serious-crime>, diakses pada 12 Desember 
2017. 
206 207
-- -
internasional, namun beberapa fraksi mendesak perlunya hukuman mati dengan alasan 
bahwa hukuman mati bagi pelanggar HAM sebab  hukuman mati sudah ada di Indonesia 
sebelum Indonesia merdeka dan tidak berubah sampai sekarang. Pandangan ini ditopang 
adanya fakta bahwa KUHP yang unsurnya tidak seberat kejahatan genosida dan kejahatan 
terhadap kemanusiaan ada  hukuman mati, namun  justru kejahatan yang diatur dalam 
UU Pengadilan HAM yang unsurnya lebih berat malah tidak dihukum mati.606 Namun, 
dalam proses pembahasan ini melupakan fakta bahwa bahkah dalam Statuta Roma 1998 
sebagai rujukan UU Pengadilan HAM tidak memberi  ancaman kepada hukuman mati, 
serta praktik-praktik peradilan pidana Internasional dengan yurisdiksi yang sama juga 
tidak memberi  ancaman hukuman mati. 
Bahwa konsepsi tentang the most serious crimes sebagai satu-satunya justifikasi untuk 
menerapkan hukuman mati terus diabaikan atau tidak menjadi perhatian penting 
dalam pembentukan UU lainnya. Konsepsi the most serious crimes juga kemudian 
dicampuradukkan dengan konsepsi kejahatan-kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). 
Dalam UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme misalnya, 
pemerintah dan DPR setuju untuk mengatur hukuman mati pada UU sebab  menggangap 
terorisme adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan perlu mendapatkan 
hukuman yang setimpal agar bisa menjadi efek jera bagi para pelakunya. Selain itu, sebab  
sering munculnya tindakan-tindakan teror setelah era reformasi yang mengakibatkan 
banyak korban yang bukan hanya dari warga negara negara kita , namun  juga warga negara 
asing.607 
Sementara dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pidana mati diterapkan 
sebagai bagian dari usaha  meletakkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan 
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Pencantuman pidana mati sebab  
peredaran narkotika akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-
nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.608 
Pemerintah telah menegaskan pidana mati diperlukan sebab  dianggap sebagai 
kejahatan kemanusiaan yang bertujuan memusnahkan umat manusia secara perlahan 
namun  pasti.609 beberapa alasan ini , yang menjadi dasar adanya ancaman pidana 
mati terhadap kejahatan terkait narkoba, tidak sejalan dengan perkembangan hukum 
internasional bahwa kejahatan yang terkait dengan drug trafficking bukan merupakan the 
most serious crimes, sehingga tidak tepat diancam dengan hukuman mati. 
UU terkini yang memberi  ancaman pidana mati, yakni UU No. 17 Tahun 2016 tentang 
Penetapan Perppu Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 
23 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, bersumber dari argumentasi adanya kondisi 
606 Inay/Apr, loc.cit. 
607 Wawancara dengan Romli Atmasasmita, 18 September 2017.
608 negara kita , Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Penjelasan Umum. 
609 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 2/PUU-V/2007, hlm. 131. 
“darurat kekerasan seksual” pada Anak. Alasan lainnya adalah meningkatnya kasus-kasus 
kejahatan seksual anak yang terjadi harus segara di hentikan dengan membuat hukuman 
yang berat salah satunya hukuman mati,610 serta kekerasan seksual terhadap anak sudah 
ke luar dari asas kemanusiaan dan norma agama.611 Selain itu ada  argumentasi 
bahwa pidana mati sebagai salah satu opsi hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada 
anak, sebab  hukuman mati masih dimungkinkan berdasar perundang-undangan di 
negara kita .612 Berbagai argumentasi ini  menunjukkan ketiadaan perdebatan yang 
memadai apakah kejahatan-kejahatan ini  memang merupakan the most serious 
crime atau tidak, dan terlebih pemerintah justru menyetujui penerapan hukuman mati 
sebab  masih diperbolehkan pemberlakuannya berdasar hukum nasional. Padahal, 
pemerintah seharusnya mengkaji penerapkan hukuman mati ini berdasar norma-
norma HAM internasional yang telah diakui oleh negara kita . 
4.5. Legislasi Indonesia dan Hukuman Mati : Tidak Sejalan Dengan HAM 
a. Perlindungan HAM yang setengah hati 
Sebagai salah satu negara yang tengah mengalami transisi demokrasi, Indonesia adalah 
salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati sebagai cara untuk 
menjalani transisi. Momentum transisi keadilan pasca jatuhnya rezim Pemerintahan 
Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diasumsikan sebagai modalitas politik untuk memajukan 
dan menegakkan nilai-nilai universal HAM  justru dinegasikan dalam mereformasi 
sistem hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Arah politik hukum pidana justru 
menunjukkan adanya deviasi dengan kecenderungan global untuk menghapus hukuman 
mati. 
Kecenderungan ini tidak terlepas dari paradoks demokrasi pasca kejatuhan rezim otoriter 
Orde Baru. Meskipun proses dan institusi demokrasi telah menghasilkan pergantian 
rezim, namun hukuman mati tetap menjadi pilihan ekspresi politik dan instrumentasi 
kekuasaan setiap rezim pemerintahan. usaha  untuk mempertahankan hukuman 
mati sebagai sanksi pidana untuk tindak pidana tertentu memperlihatkan politik HAM  
belum berubah dari situasi rezim otoriter Orde Baru. Bahkan pasca reformasi, eksekusi 
terhadap para terpidana mati justru menunjukkan politik retensionis semakin menguat. 
Reformasi legislasi yang merupakan bagian dari agenda reformasi tidak menghilangkan 
hukuman mati dalam pidana pokok, meskipun di sisi yang lain sistem politik nampak lebih 
demokratis.
ini  di atas menguatkan adanya 2 (dua) indikasi yang saling bersitegang antara 
610 Sip/Ndr, loc.cit.. 
611 Sumantri, loc.cit. 
612 Sa’diyah, loc.cit. 
208 209
-- -
niat dan kehendak politik untuk membangun institusi yang menjadi prasyarat demokrasi, 
namun pada saat yang bersamaan institusi demokrasi yang telah dibangun dengan susah 
payah justru mendapatkan tantangan.613 Dengan kata lain, usaha  penghapusan hukuman 
mati terus menerus harus berhadapan dengan politisasi hukum oleh pelbagai elite politik 
pengambil kebijakan yang menganut pandangan hukum yang ortodoks. 
Kondisi ini memperlihatkan adanya deviasi dari gambaran idealnya yang dijadikan 
pijakan asumsi  Mahfud bahwa produk hukum yang dilahirkan dari konfigurasi politik 
yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif. Sebaliknya, konfigurasi politik 
yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks atau konservatif.614 Justru yang 
terjadi sebaliknya, konfigurasi politik yang demokratis pasca keruntuhan Orde Baru justru 
menghasilkan produk hukum yang ortodoks sebab  masih mencantumkan hukuman 
mati sebagai pidana pokok.     
Pencantuman hukuman mati dalam berbagai undang-undang yang dihasilkan oleh 
konfigurasi politik yang demokratis ini menunjukkan kegagalan negara melaksanakan 
pendekatan berbasis HAM untuk reformasi legislasi (a human rights-based approach 
to legislative reform). Pendekatan berbasis HAM terhadap reformasi legislatif dapat 
didefinisikan sebagai kerangka kerja untuk memastikan kepatuhan penuh undang-
undang nasional terhadap norma HAM internasional dan realisasi nyata HAM.615
pemakaian  pendekatan berbasis HAM untuk reformasi legislasi merupakan salah satu 
karakteristik produk hukum yang responsif. Karakteristik produk hukum yang responsif 
ditandai dengan indikator: pertama, bahwa produk hukum yang mencerminkan rasa 
keadilan dan memenuhi harapan warga . Kedua, dalam proses pembuatannya 
memberi  peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau 
individu di dalam warga nya. Ketiga, dari dimensi hasil, produk hukum ini  
bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam 
warga .616 Dengan demikian, produk hukum yang responsif akan memperhatikan 
dan mempertimbangkan nilai-nilai universalitas HAM, termasuk memperhatikan 
kecenderungan universal menghapuskan hukuman mati. Resolusi PBB No. 2857 (1971) 
dan Resolusi PBB 32/61 (1977) telah mengambil sikap tegas ke arah penghapusan 
hukuman mati sebagai tujuan universal.617
613 Institusionalisme demokrasi ditandai dengan pendirian hampir seluruh instalasi kepolitikan yang dicita-citakan di masa 
otoritarian seperti partai politik yang bebas dan beragam, pers yang merdeka, hak asasi manusia serta komisi-komisi negara. 
Pada sisi yang lain, sebagian pihak menganjurkan pembatasan demokrasi yang dinilai telah kebablasan, membentuk kembali 
GBHN, kembali ke UUD 1945 sebelum amandeman. Lihat Robet, Politik..., op.cit., hlm. 14.
614 Moh. Mahfud. MD., Politik Hukum di negara kita , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012), hlm. 31 - 32 
615 Beatrice Duncan, dkk., Handbook on Legislative Reform: Realising Children’s Rights, Vol.1 (New York: Gender, Rights and Civic 
Engagement, Division of Policy and Practice, United Nations Childrenʹs Fund (UNICEF), 2008), hlm. 3.
616  Mahfud,  op.cit., hlm. 31-32.
617 Todung Mulya Lubis, Inkonstitutionalitas Hukuman Mati, Suara Pembaruan, 7 November 2006, 
<http://lsmlaw.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=206%3Ainkonstitutionalitas-hukuman-mati&-
catid=49%3Aarticles&Itemid=18>, diakses pada 17 September 2017. 
jika  menelisik dari dimensi sejarah negara kita , penerapan hukuman mati yang 
dilakukan oleh otoritas negara memang tidak pernah sekadar urusan menghukum pelaku 
atau penegakan hukum, namun untuk melayani agenda lain. Hukuman mati menjadi 
instrumen setiap rezim sangat bergantung pada subjektivitas penguasa itu sendiri seperti 
pilihan jenis kejahatan, prioritas eksekusi dan cara melakukan, termasuk kampanye politik 
yang melatarbelakangi. 
Produk-produk hukum yang dihasilkan oleh setiap rezim pemerintahan memperlihatkan 
bahwa hukum dapat menjadi instrumen dan menjadi alat legitimasi tujuan-tujuan dan 
kepentingan mereka yang tengah berkuasa.618 Positivisme hukum yang selalu diasumsikan 
menjamin kepastian hukum kemudian menjadi sandaran dan mendominasi bagaimana 
penguasa secara de facto mempergunakan hukum demi melayani kepentingan dan tujuan 
mereka yang berkuasa. 619
b.  Hukuman Mati dan Legislasi Indonesia 
Sebagaimana diuraikan dalam Bab III, Indonesia masih menerapkan pidana mati yang 
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kewajiban internasional 
dalam bidang HAM sebagai konsekuensi atas keanggotaan Indonesia dalam berbagai 
perjanjian internasional belum menjadi bagian penting dalam penyusunan peraturan 
perundangan-undangan atau sebagai jalan untuk melakukan koreksi atas hukum-hukum 
yang merupakan warisan kolonial maupun hukum-hukum yang dibentuk sebelum masa 
reformasi. 
UUD 1945 dengan empat kali perubahan telah memberi  penguatan hak-hak 
asasi manusia di negara kita , termasuk jaminan atas hak hidup. Hak-hak asasi manusia 
sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945, yang sebagian besar materinya diadopsi dari 
perbagai perjanjian internasional, belum mampu memberi  jaminan hak-hak yang 
nyata, dalam konteks ini adalah masih berlakunya hukuman mati. ini diperparah 
dengan adanya penafsiran konstitusi sebagai sumber hukum yang memberi  tafsir 
atas pembatasan hak hidup seakan-akan dirujuk secara inheren oleh UU secara mutatis 
mutandis dengan pengakuan hak hidup. Akibatnya seluruh UU yang masih mengatur 
hukuman mati seolah mendapatkan legitimasinya berdasar tafsir Konstitusi dan para 
pembuat UU terus mempertahankan dan mengusulkan UU yang di dalamnya memuat 
ketentuan hukuman mati.
ada  beberapa analisa terkait masih diberlakukannya hukuman mati di negara kita . 
Pertama, hak hidup telah diakui dalam Konstitusi negara kita , yakni dalam Pasal 28I ayat 
(1) UUD 1945, sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan 
dalam Konstitusi ini  telah sejalan dengan berbagai norma internasional, khususnya 
sejalan dengan ICCPR. Namun, tafsir atas hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam 
keadaan apapun ini  dianggap dapat disimpangi atau dilakukan pembatasan 
sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Putusan-putusan MK yang tidak 
konsisten atas jaminan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ini 
menambah legitimasi pemberlakukan hukuman mati di negara kita . 
Kedua, berbagai produk perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan 
hukuman mati sebagai warisan kolonial dan dibentuk pada masa awal kemerdekaan 
hingga masa Orde Baru, belum pernah dikoreksi secara memadai. Koreksi hanya 
dilakukan terhadap UU yang diajukan ke MK. Padahal berbagai ketentuan tentang 
hukuman mati dalam berbagai UU ini  telah kehilangan legitimasinya, sejalan dengan 
perkembangan norma-norma HAM secara global dan pengakuan Indonesia atas hak-hak 
asasi yang secara universal diakui. beberapa UU dalam konteks ini adalah KUHP, KUHPM, 
UU No. 4 Tahun 1976 tentang Penerbangan Sipil, UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika 
dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Landasan argumentasi tentang sanksi 
pidana mati dalam berbagai UU ini  seharusnya ditunjau ulang untuk memastikan 
perlindungan HAM sejalan dengan komitmen Indonesia tentang HAM. 
Ketiga, pada masa reformasi sejak 1998 sejalan dengan komitmen penghormatan, 
perlindungan, pemenuhan dan pemajukan HAM di negara kita , justru semakin banyak 
produk hukum yang menerapkan hukuman mati, meski tanpa basis argumentasi 
yang jelas. Perkembangan norma-norma HAM internasional, misalnya ICCPR yang 
telah diratifikasi oleh negara kita , seharusnya menjadi panduan untuk menyesuaikan 
hukum nasional dengan norma-norma HAM tidak dilaksanakan. ini terlihat dari 
pengabaian atas syarat-syarat yang ketat dalam pemberlakukan hukuman mati dalam 
hukum HAM internasional, tidak serta merta menjadikan pembentuk UU di Indonesia 
mempertimbangkan secara memadai dan benar atas kejahatan yang perlu dihukum mati. 
beberapa UU yang menunjukkan situasi ini di antaranya UU No. 31 Tahun 1999 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, 
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 35 
Tahun 2009 tentang Narkotika. 
Keempat, dengan melihat lebih jauh materi pengaturan hukuman mati di negara kita , 
berbagai kejahatan yang diancam dengan hukuman mati tidak memiliki  landasan 
argumentasi yang sejalan dengan norma-norma HAM. Bahwa argumentasi penerapan 
hukuman mati bagi negara yang belum menghapuskan hukuman mati harus diberlakukan 
pada kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ICCPR 
terus dipakai, tanpa melihat bahwa semangat dalam Pasal 6 ICCPR ini  adalah 
penghapusan hukuman mati. ini terlihat misalnya ketentuan-ketentuan hukuman 
mati dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU Psikotropika di mana 
kejahatan-kejahatan ini  bukan merupakan kejahatan dalam kategori the most 
serious crimes. Demikian pula dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak 
Asasi Manusia yang memiliki  yurisdiksi atas kejahatan genosida dan kejahatan 
terhadap kemanusiaan, memang memenuhi kualifikasi sebagai the most serious crimes, 
namun dalam perkembangan hukum internasional dan peradilan pidana internasional 
kejahatan-kejahatan ini  justru tidak diancam dengan hukuman mati. Sementara 
kejahatan-kejahatan terorisme, dalam hukum internasional, misalnya dengan merujuk 
pada Statuta Roma 1998 untuk Mahkamah Pidana Internasional, belum masuk dalam 
kategori the most serious crimes. 
Kelima, alasan-alasan kedaruratan atas suatu permasalahan, misalnya kampanye tentang 
darurat narkoba dan darurat kejahatan seksual, menjadi alasan untuk terus menerapkan 
dan membentuk aturan baru dengan hukuman mati. Padahal, ketentuan tentang 
kedaruratan telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 4 ICCPR, baik alasan yang subtantif 
tentang sifat kedaruratan dan alasan formil dapat diberlakukannya tindakan darurat. 
Isu darurat narkoba misalnya dijadikan landasan untuk melakukan eksekusi terhadap 
para terpidana mati, yang sebelumnya Indonesia secara diam-diam pernah melakukan 
moratorium pemberlakukan eksekusi mati. Demikian pula dengan adanya aturan baru 
dalam Perppu yang kemudian menjadi UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu 
Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 tentang 
Perlindungan Anak menjadi UU, dibentuk dengan alasan untuk mengatasi kegentingan 
yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat. 
l
-- -

Pada 18 Januari 2015 Indonesia menjalankan eksekusi mati pertamanya di bawah 
kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang saat itu baru saja dilantik. Enam orang 
dieksekusi mati sebab  kejahatan terkait dengan narkoba (narkotika dan obat/bahan 
berbahaya). Mereka yang dieksekusi termasuk satu warga negara negara kita , Rani 
Andriani alias Melisa Aprilia, dan lima warga negara asing: Daniel Enemuo (Nigeria), Ang 
Kim Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), Namaona Denis (Nigeria) dan Marco 
Archer Cardoso Moreira (Brazil).620 Presiden Joko Widodo dan pihak berwenang lainnya 
mengaitkan berlanjutnya eksekusi mati dengan fakta Indonesia sedang berada dalam 
“situasi darurat” terkait dengan penyalahgunaan narkoba dan ada sekitar 50 anak muda 
meninggal setiap harinya sebab  ketergantungan narkoba. Presiden juga menyatakan 
kepada publik bahwa pemerintah akan menolak semua permohonan grasi dari orang-
orang yang dijatuhi hukuman mati untuk kejahatan terkait dengan narkoba dengan 
 Amnesty International, negara kita : First executions under new president retrograde step for rights [ndonesia: Eksekusi mati 
pertama dibawah Presiden baru langkah mundur bagi HAM], 
-- -
mengatakan “jangan diberi toleransi lagi, untuk masalah ini”.
Eksekusi ini  mendulang protes keras dari berbagai organisasi HAM baik nasional 
maupun internasional. Presiden Joko Widodo berkata: “Dunia internasional banyak yang 
telepon (menekan), kepala negara, Perdana Menteri, Presiden, PBB juga, dari Amnesty 
juga … saya kira ini memang wajar… tapi saat ini kedaulatan hukum kita, kedaulatan 
politik kita”.
Terlepas protes keras ini, tiga bulan kemudian, pada 29 April, delapan orang yang dijatuhi 
hukuman terkait narkoba kembali dieksekusi. Mereka adalah Andrew Chan dan Myuran 
Sukumaran (keduanya warga negara Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria, juga 
dikenal sebagai Jamiu Owolabi Abashin), Zainal Abidin (negara kita ), Martin Anderson 
(Ghana, alias Belo), Rodrigo Gularte (Brazil), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria) dan 
Okwudili Oyatanze (Nigeria). Dua orang lainnya diberikan penangguhan sementara atas 
eksekusi.
Seluruh 14 eksekusi ini melambangkan langkah mundur hak asasi manusia di negara kita , 
terutama sebab  penerapan hukuman mati dilaksanakan oleh pemerintahan baru yang 
berkuasa setelah berjanji memprioritaskan hak asasi manusia. Pelaksanaan eksekusi 
ini  juga melanggar hukum internasional dan Perlindungan PBB untuk menjamin 
perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati. Amnesty International 
juga telah mengutarakan keprihatinannya atas beberapa pelanggaran HAM spesifik 
yang terobservasi pada 14 kasus yang telah dieksekusi sepanjang 2015, di antaranya 
pelanggaran hak atas peradilan yang adil; eksekusi dilaksanakan ketika usaha  hukum masih 
berlangsung; pertimbangan dan penolakan secara tergesa-gesa atas permohonan grasi; 
dan eksekusi atas setidaknya satu orang dengan kondisi gangguan mental yang parah. 
Lalu, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai organisasi internasional, perdagangan 
narkoba tidak memenuhi ambang kriteria “kejahatan paling serius” yang bisa diancam 
pidana mati atasnya berdasar hukum internasional.
 Amnesty International, negara kita : Reprehensible’ executions show complete disregard for human rights safeguards [Indone-
sia: Eksekusi mati yang tidak bisa dikoreksi menunjukkan pengabaian total penjaminan perlindungan HAM], 28 April 2015, 
 Eksekusi mati warga negara Filipina Mary Jane Veloso dihentikan pada menit terakhir. Penangguhan eksekusi diberikan 
menyusul permohonan Presiden Filipina untuk mengampuni nyawanya, sebab  dia perlu memberi  kesaksian pada sidang 
orang yang diduga menipu Mary Jane Veloso menjadi kurir narkoba. Individu lain yang dalam risiko eksekusi mati, warga 
Perancis, Serge Atlaoui, juga diberikan penangguhan sebab  dia sedang menjalani sidang banding di Pengadilan Tata Usaha 
Negara.  
 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, 25 Mei 
1984.
Eksekusi mati ini  merupakan sebuah putar balik kebijakan pemerintah Indonesia 
setelah sekian tahun mengindikasikan negara bergerak menjauhi hukuman mati. Antara 
tahun 2009 hingga 2012, tidak ada eksekusi mati yang dijalankan dan pihak berwenang 
membangun apa yang mereka sebut sebagai “moratorium eksekusi mati secara de 
facto”.627 Ketika hukuman mati seorang wanita  dan seorang lelaki, yang dijatuhi 
hukuman terkait peredaran narkoba, dikurangi menjadi penjara seumur hidup di tahun 
2011 and 2012, Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa, mengatakan ini  
merupakan bagian dari usaha  yang lebih luas untuk menjauhi pemakaian  hukuman 
mati di negara kita .628 Di bulan yang sama Mahkamah Agung Indonesia mengurangi vonis 
hukuman mati seorang lelaki yang dijatuhi hukuman sebab  perdagangan narkoba, dan 
menyatakan hukuman mati melanggar HAM dan konstitusi negara kita .629 Pada Desember 
2012 di sidang ke-67 Majelis Umum PBB, Indonesia mengubah pilihannya dari ‘menentang’ 
menjadi ‘abstain’ pada sebuah resolusi yang menyerukan anggota PBB untuk menerapkan 
moratorium eksekusi, sebagai langkah pertama menuju penghapusan (abolisi) hukuman 
mati.
Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah juga secara proaktif mengambil tindakan 
untuk mencegah eksekusi mati warga negara Indonesia di luar negeri. Pada tahun 2011, 
Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, membentuk sebuah gugus tugas untuk 
menyediakan bantuan hukum dan konsuler kepada warga Indonesia yang terancam 
hukuman mati di luar negeri. Di antara 2011 dan 2014, 240 warga Indonesia yang 
menghadapi eksekusi di luar negeri mendapati hukuman mati mereka diringankan; ini 
termasuk 46 orang pada tahun 2014.630 
Data jumlah eksekusi mati untuk kejahatan narkotika dari tahun 2005 hingga 2015 
-- -

Meskipun tren internasional untuk menghapuskan hukuman mati terus meningkat, 
namun jumlah negara yang menerapkan hukuman mati untuk kejahatan narkotik 
terus bertambah di 20 tahun belakangan. 20 tahun yang lalu, hanya 22 negara yang 
mengimplementasikan hukuman mati untuk kejahatan narkotik. 10 tahun kemudian 
di tahun 1995 meningkat menjadi 26 negara yang menerapkan hukuman mati untuk 
kejahatan narkotika. Pada akhir tahun 2000, setidaknya ada 34 negara yang memiliki 
peraturan/legislasi yang mencantumkan pidana mati untuk kejahatan narkotik. 34 negara 
ini  mayoritas berada di wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Pasifik.
Negara yang masih mempertahankan hukuman mati berargumen bahwa kejahatan 
narkotik termasuk ke dalam most serious crime, sehingga sah untuk diberikan hukuman 
mati. Selain negara kita , salah satu contoh negara retensionis lainnya adalah Singapura, 
yang mana pemerintah Singapura berpendapat:635
“drug trafficking is considered by the international community as a most serious crime”
Pertanyaan yang timbul adalah apakah kejahatan narkotik dapat dikategorikan sebagai 
most serious crime sehingga memenuhi unsur Pasal 6 ayat (2) ICCPR untuk dijatuhi hukuman 
mati. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, sejak ICCPR berlaku di tahun 
1976, interpretasi dari konsep the most serious crime telah dijelaskan oleh beberapa 
badan HAM PBB, terutama untuk kejahatan narkotika.
Spesifik untuk kasus narkotika, Komite HAM PBB pada kesimpulannya di Thailand pada 
tahun 2005 menyatakan kekhawatiran mereka sebab  hukuman mati diterapkan kepada 
kasus drug trafficking dan tidak terbatas hanya untuk kejahatan yang bersifat most serious 
crime sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR.636 Setelah itu Komite HAM PBB sekali lagi 
mengulang interpretasinya di tahun 2007 di Sudan dengan menyatakan bahwa:
“the imposition in the state party of the death penalty for offences which cannot be 
characterized as the most serious, including embezzlement by officials, robbery with 
violence and drug trafficking.”
Selain itu, dalam kesimpulan dari pengamatan yang dilakukan oleh The Human Rights 
Committee, the UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions 
pada tahun 1996 mengatakan bahwa kejahatan narkotika tidak memenuhi kriteria most 
serious crime dan hukuman mati harus segera dihapuskan untuk kejahatan ekonomi dan 
narkotika, dengan menegaskan:
“the death penalty should be eliminated for crime such as economic crime and drug-related 
offences. In this regard, the Special Rapporteur wishes to express his concern that certain 
countries, namely China, the Islamic Republic of Iran, Malaysia, Singapore, Thailand and 
the United States of America, maintain in their national legislation the option to impose the 
death penalty for economic and/or drug-related offences” 

-- -
Tidak hanya itu, the UN Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman, or degrading 
treatment or punishment di tahun 2009 juga melaporkan kepada the Human Rights Council 
bahwa kejahatan narkotika tidak memenuhi kriteria untuk masuk ke dalam most serious 
crime.639 Di posisi yang sama, the UN High Commissioner for Human Rights pun sepakat 
dengan laporan dari the UN Special Rapporteur dengan mengatakan bahwa penerapan 
hukuman mati untuk mereka yang bersalah sebab  tindak kejahatan narkotika telah 
menimbulkan kekhawatiran terkait HAM yang serius.
Bahkan laporan legislasi domestik pun menunjukkan ketidakkonsistenan dalam 
menerapkan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika. Di tahun 1995, dalam laopran 
kelima Sekretaris Jenderal PBB disebutkan bahwa batas kejahatan narkotika yang dapat 
dijatuhi hukuman mati berkisar antara memiliki 2 gram hingga 20.000 gram heroin. 
Dapat kita lihat bahwa dengan rentang yang sebegitu besar, sulit untuk menetapkan 
suatu definisi most serious crime yang konsisten untuk kejahatan narkoba. 
Untuk menunjukkan kasus diatas dapat kita membandingkan hukum di empat negara 
tetangga, yaitu Thailand, Sri Langka, Bangladesh, dan India. Keempat negara ini  
yang menurut Menteri Dalam Negeri Bangladesh merupakan tempat transit di antara 
dua negara produsen opium terbesar. Dalam UU Racun, Opium, dan Obat Berbahaya 
Nomor 1984 di Sri Langka, disebutkan bahwa hukuman mati akan diberikan bagi pihak 
yang menyelundupkan, mengimpor, mengekspor heroin dalam ukuran 2 gram. Yang 
mana di Bangladesh batasnya adalah 25 gram, di Pakistan 100 gram,643 dan India 1000 
gram.644 Jumlah yang berbeda jauh bahkan untuk negara yang bertetangga sekalipun. 
Ketidakseragaman yang terlampau jauh oleh negara dalam mengintepretasikan most 
serious crime ini  di atas menunjukkan bahwa pengenaan hukuman mati pada 
kejahatan narkotik cenderung bersifat “sewenang-sewenang” oleh masing-masing negara.
Tanpa mengesampingkan fakta bahwa kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang 
serius, namun kita perlu membandingkan tingkat “keseriusan” dalam kejahatan narkotika 
dengan kejahatan serius lainnya dalam hukum internasional. Perbandingan pertama 
adalah dengan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Statuta Roma. 
Statuta Roma ICC telah mengkhususkan jurisdiksi mereka terhadap kejahatan serius yang 
menjadi concern warga  internasional secara luas. Hingga saat ini kejahatan yang 
masuk ke dalam jurisdiksi ICC adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against 
humanity), kejahatan perang (war crime), genosida (genocide), dan kejahatan agresi (crime 
of aggression). 
Untuk perbandingan tingkat keseriusan kejahatan narkotika selanjutnya, the International 
Criminal Tribunal for Rwanda dalam kasus Akayesu telah menyatakan bahwa kejahatan 
paling kejam adalah genosida dan dalam kasus Kambanda disebutkan bahwa genosida 
adalah “crime of crime”. Maka dapat kita lihat dalam dua mahkamah internasional ini , 
kejahatan narkotika tidak dianggap sebagai most serious crime.
Beberapa kalangan menggunakan the 1998 United Nations Convention against Illicit 
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances untuk mengatakan bahwa narkotika 
merupakan kejahatan yang particularly serious. Dalam Pasal 3.5 Konvensi UN ini  
dinyatakan bahwa:
“The Parties shall ensure that their courts and other competent authorities having 
jurisdiction can take into account factual circumstances which make the commission of 
the offences established in accordance with paragraph l of this article particularly serious, 
such as:
a) The involvement in the offence of an organized criminal group to which the offender 
belongs;
b) The involvement of the offender in other international organized criminal activities;
c) The involvement of the offender in other illegal activities facilitated by commission of 
the offence;
d) The use of violence or arms by the offender;
e) The fact that the offender holds a public office and that the offence is connected with 
the office in question;
f) The victimization or use of minors;
g) The fact that the offence is committed in a penal institution or in an educational insti-
tution or social service facility or in their immediate vicinity or in other places to which 
school children and students resort for educational, sports and social activities;
h) Prior conviction, particularly for similar offences, whether foreign or domestic, to the 
extent permitted under the domestic law of a Party.”
Pendekatan ini  juga dipakai  oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MK) 
dalam kasus Rani Andriani, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan. MK mengatakan 
bahwa aktifitas penyelundupan (trafficking) atau pembelian narkotika sebagaimana 
tercantum dalam Pasal 3 konvensi ini dapat diklasifikasikan sebagai particularly serious 
crime dibandingkan dengan kejahatan most serious crime yang diakui sejauh ini, seperti 
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, oleh sebab  itu antara dua ini  
(yaitu particularly serious crime dan most serious crime tidak perlu dibuat pembedaan.

-- -
Meskipun begitu, particularly serious crime tentu tidak sama dengan most serious crime, 
meskipun penyelundupan narkotika ke dalam suatu negara tentu merupakan kejahatan 
yang serius, namun itu tidak berarti bahwa kejahatan narkotika masuk ke dalam most 
serious crime dalam hukum internasional. Maka sedikit sekali bukti yang dapat mendukung 
bahwa tindak kejahatan narkotika masuk ke dalam most serious crime. Dengan tetap 
dipertahankannya praktik hukuman mati maka dapat dikatakan bahwa Indonesia 
telah tidak sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia 
sendiri. Seharusnya dengan telah diratifikasinya ICCPR dan dengan mengingat prinsip 
pacta sunt servanda, Indonesia harus selalu mewujudkan komitmennya untuk menjaga 
HAM internasional tanpa menurunkan sedikitpun usahanya untuk memberantas tindak 
kejahatan narkotika di dalam negaranya.
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat 
khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious crime of 
international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi warga  internasional 
secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga 
Omnes yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-
norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk 
melakukan penuntutan.

Politik hukuman mati di era rezim Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan dalih 
kedaruratan telah menegasikan nilai kemanusiaan yang mendasar. Dalih kedaruratan 
nasional terhadap narkoba yang menjadi instrumentasi pembenaran eksprsesi kuasa   
Presiden Joko Widodo ditampakkan saat Presiden menolak grasi 64 terpidana mati kasus 
narkoba. Kemudian memerintahakan Jaksa Agung untuk segera melaksanakan eksekusi 
mati, padahal belum genap seratus hari Presiden Joko Widodo berkuasa.  Dalam Audiensi 
dengan civitas akademi Universitas Gadja Mada (UGM), Yogyakarta, Presiden menegaskan, 
kesalahan itu sulit dimaafkan sebab  mereka pada umumnya adalah para bandar besar 
yang demi keuntungan pribadi dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi 
penerus bangsa. Penolakan permohonan grasi itu menurut Presiden Joko Widodo sangat 
penting untuk menjadi shock terapy bagi para bandar, pengedar maupaun pengguna. 
Pada 21 Juli 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan keras soal darurat 
narkoba. Di depan ratusan kader Partai Persatuan Pembangunan, Presiden menyampaikan 
bahwa dirinya meminta polisi untuk menembak pengedar narkoba yang melawan aparat 
penegak hukum. Pernyataan ini kembali diulang pada saat Presiden Joko Widodo usai 
menghadiri Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat, di Bumi 
Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur pada 3 September 2017.  Presiden Joko Widodo 
meminta jajaran kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk bertindak tegas 
terhadap pengedar dan bandar narkoba. jika  diperlukan, Presiden meminta aparat 
untuk tidak ragu melakukan penembakan di tempat.
Dua tahun sebelumnya saat memberi  sambutan dalam pembukaan rakornas 
pemberantasan narkoba pada 4 Februari 2015, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan 
penegasan yang sama bahwa keprihatinannya sebab  peredaran dan pemakaian  narkoba 
di Indonesia yang sudah semakin parah. Bahkan Presiden menilai kondisi ini  saat 
ini sudah masuk level darurat. Kemudian, Presiden menuturkan, berdasar data yang 
menjadi rujukannya, kira-kira ada  50 orang di Indonesia yang meninggal dunia setiap 
hari sebab  penyalahgunaan narkoba. Kemudian jika  dikalkulasi dalam setahun, 
ada sekitar 18.000 jiwa meninggal dunia sebab  pemakaian  narkoba. Angka itu belum 
termasuk 4,2 juta pengguna narkoba yang direhabilitasi dan 1,2 juta pengguna yang 
tidak dapat direhabilitasi. Presiden juga memastikan tidak akan mengabulkan grasi jika 
kasusnya menyangkut pada pengedar narkoba. 648
jika  kita melihat the World Drug Report 2014 yang dibuat oleh the UN Office on Drugs 
and Crime (UNODC), ada  180.000 kematian yang diakibatkan oleh narkoba. Angka 
kematian tertinggi ada  di Asia di mana 78.600 orang meninggal diakibatkan oleh 
narkoba di tahun 2013. Angka ini  merupakan angka kematian akibat narkoba 
tertinggi di dunia. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Asia memang benua yang 
paling padat di dunia, dan sebagaimana yang dapat kita lihat pada diagram di bawah, 
perbandingan (rasio) kematian akibat narkoba dengan jumlah penduduk di Asia adalah 
salah satu yang terkecil, dibandingkan dengan rasio di benua lainnya, seperti Amerika 
atau Oseania.
-- -
Penjatuhan hukuman mati selalu dilandasi dalih bahwa penerapan hukuman mati 
bertujuan membuat pengedar narkotika jera (detterent effect) sehingga tidak akan 
mengulangi kejahatan dan mengurangi angka kejahatan yang terjadi.  Dalam kasus 
eksekusi terhadap 2 (dua) warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, 
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengulangi dalih-dalih yang selalu disampaikan 
Presiden Joko Widodo.  Menteri Luar Negeri mengatakan dalam menjalankan hukuman 
mati, tidak ada aturan yang dilanggar negara kita .   Indonesia  tetap akan konsisten 
menerapkan hukuman mati. Apalagi, ada aturan internasional yang menjadi pegangan 
Indonesia dalam menerapkan hukuman mati   
Kepercayaan terhadap kemampuan hukuman mati untuk mengendalikan tindak pidana 
inilah yang menjadi pembenaran Pemerintah mempertahankan hukuman mati. Padahal 
hukuman mati yang diyakini sebagai efek penggentar hanyalah mitos. Mitos hukuman 
mati sebagai efek penggentar merupakan sebuah kepercayaan argumentatif yang dapat 
dimiliki oleh pemerintah maupun pemimpin warga  bahwa hukuman mati merupakan 
usaha  memperkuat kembali ikatan sosial, memiliki prospek penggentar, memberi  
manfaat politik, serta membalaskan dendam korban. Mitos ini hanya membenarkan 
argumentasi untuk mencapai tujuan tertentu, namun tidak mempertimbangkan sama 
sekali soal kebenaran mitos ini . Padahal menurut Michael L. Radelet dan Ronald 
L. Akers penerapan hukuman mati yang diasumsikan memiliki dampak penggentar 
merupakan permasalahan empiris  sehingga tidak dapat dan tidak mampu dijawab 
dengan landasan moral atau politik.  
Padahal alasan efek jera (deterrent effect) yang selalu menjadi sandaran berpikir untuk 
menjatuhkan pidana mati, khususnya pada kasus narkotika, keabsahannya masih 
dipertanyakan. Laporan penelitian BNN (Badan Narkotika Nasional) sendiri menunjukkan 
adanya peningkatan jumlah pengguna narkotika yang cukup drastis. Tahun 2013 BNN 
mencatat, jumlah pengguna narkotika tercatat 3,3 juta jiwa, kemudian meningkat tajam 
pada 2015 menjadi 5,1 juta jiwa. Catatan ini semakin memperkukuh hasil-hasil survei yang 
dilakukan oleh PBB dan Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, secara terpisah. Keduanya 
menegaskan kesimpulan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung penerapan 
hukuman mati dapat memberi  efek jera.
Pertanyaan selanjutnya adalah efek jera ini sebenarnya ditujukan kepada siapa. Sebagian 
besar pelaku kejahatan narkotika yang dijatuhi hukuman mati hanyalah ‘pemain kecil’ 
dan merupakan pemimpin atau orang yang berada di puncak hierarki dalam lingkaran 
perdagangan obat terlarang. Mereka pada umumnya hanyalah korban, terdiri dari orang-
orang yang kurang mampu sehingga rentan untuk dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh 
orang-orang yang lebih tinggi. Untuk itu jika  dikatakan penjatuhan hukuman mati 
akan memberi  efek jera, sebenernya pemain besar ini tidak akan merasakan efek jera 
ini  sebab  selama ini yang banyak tertangkap hanyalah pengedarnya saja.
Selain itu, argumen pemberian efek jera ini didasarkan pada gagasan bahwa mereka yang 
terlibat dalam kejahatan akan menyadari hukuman yang mungkin mereka hadapi jika 
tertangkap dan berfikir bahwa risikonya terlalu tinggi jika mereka menghadapi eksekusi. 
Permasalahannya adalah hal itu tidak selalu terjadi, seperti yang terjadi pada kasus di 
Nusakambangan. Sipir di Nusakambangan tertangkap atas kejahatan narkotika di bulan 
 Penelitian mengenai argumentasi penggentar memunculkan keraguan sebab  secara empirik pembuktiannya memerlukan 
sebuah metode yang cenderung eksperimentatif yang justru sulit untuk dilakukan.  Dengan demikian, hukuman mati tidak 
mungkin menjadi faktor tunggal yang menyebabkan menurunnya angka tindak pidana. usaha  untuk mengisolasi faktor huku-
man mati dari pengaruh faktor yang lain sangat sulit dilakukan. Oleh sebab  itu, sangat besar ada faktor lain yang memberi  
pengaruh terhadap penurunan tindak pidana, selain dari dampak penggentar. ada  faktor predominant fear yang juga dapat 
menurunkan angka tindak pidana seperti yang dinyatakan oleh Ernest vand den Haag. Faktor predominant fear ini dapat men-
cakup ketakutan akan label yang diberikan oleh warga , ketakutan terhadap kondisi keluarga pelaku setelah tindak pidana 
dilakukan, ketakutan akan rusaknya reputasi pribadi atau kehilangan pekerjaan, ketakutan akan dosa, dan lainnya.  Meskipun 
Ernest vand den Haag mendukung penerapan hukuman mati, namun pada akhirnya ia menerima bahwa hukuman mati tidak 
pernah terbukti memberi  dampak penggentar yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup. 

-- -
Mei 2014, yang mana pada hanya beberapa bulan sebelumnya (Januari dan April 2014) 
baru saja dilaksanakan eksekusi mati di tempat ini . ini menunjukkan bahwa 
sebagian orang belum menyadari beratnya hukuman yang akan diberikan jika  mereka 
tertangkap. Dari ini  dapat kita lihat bahwa deterrence effect tidak selalu bisa 
dijadikan tolak ukur bagi pemerintah. 
Dalih lain selain hukuman mati diharapkan akan memberi  dampak penggentar (efek 
jera) yang sering diungkapkan oleh pemerintah maupun para pendukung penerapan 
hukuman mati, antara lain:
1. Penerapan hukuman mati merupakan usaha  untuk melindungi warga negara 
yang telah menjadi korban atau dirugikan akibat suatu tindak kejahatan; 
2. Penerapan hukuman mati dipandang sebagai ketegasan negara melawan tindak 
pidana atau negara tidak boleh tunduk (kalah) terhadap kejahatan;
3. Penerapan hukuman mati sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga wajib untuk dilaksanakan;
4. Penerapan hukuman mati merupakan masalah kedaulatan hukum dan politik 
nasional. 
Dalam konteks ini, menurut pandangan Roger Hood hukuman mati jika  tetap 
diasumsikan sebagai instrumen pencegahan yang lebih efektif daripada sanksi alternatif, 
seperti penjara seumur hidup, ternyata terbukti sebaliknya. Roger Hood menyimpulkan 
bahwa analisis ekonometrik belum memberi  bukti   bahwa hukuman mati memiliki 
efek jera yang sedikit lebih besar daripada hukuman alternatif. Dengan kata lain, akan 
menjadi sia-sia, jika  negara-negara tetap mempertahankan hukuman mati dengan 
alasan bahwa hal itu dibenarkan sebagai ukuran pencegahan yang efektif.658 
Kemudian, seringkali Presiden Joko Widodo meminjam opini publik sebagai instrumen 
yang memberi  legitimasi baginya untuk mengeksekusi para pengedar narkotika. 
Dalam memutuskan untuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati ini, presiden ternyata 
banyak mendapatkan dukungan, baik dari dalam pemerintahan sendiri maupun dari 
luar pemerintahan. Wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo 
menjalan kewenangannya untuk menolak atau menyetujui pengajuan grasi oleh 64 
terpidana mati kasus narkoba. Sementara yang menjatuhkan hukuman mati terhadap 
para narapidana ini  pengadilan.  Kemudian pandangan Presiden dan Wakil 
Presiden diperkuat kembali melalui pandangan beberapa menteri, Kejaksaan Agung, dan 
Kepolisian. Menteri Sekretaris Negara Pratikno, membantah anggapan yang berkembang 
bahwa penolakan grasi oleh Presiden tidak dilandasi pertimbangan. Sebelum memutuskan 
menolak grasi, Presiden telah mendapatkan masukan dari Mahkamah Agung, Kepolisian, 
Jaksa Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM. Pandangan senada juga disampaikan 
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang menyatakan bahwa 
Pemerintah tidak akan memberi  grasi atau remisi bagi bandar narkoba yang sudah 
divonis hukuman mati oleh Pengadilan. Dukungan juga disampaikan oleh Kepala 
Kepolisian RI Jenderal Sutarman bahwa penerapan hukuman mati akan menimbulkan 
efek jera bagi pelaku.
Sementara itu, dari luar pemerintahan ada organisasi Nahdathul Ulama (NU), 
Muhammadiyah dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga ikut mendukung 
langkah Presiden Joko Widodo. Bahkan Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Perjuangan, 
Megawati Soekarnoputri berbicara langsung kepada Presiden untuk tidak memberi  
grasi kepada terdakwa yang sudah akan dihukum mati. Dukungan yang sama juga datang 
dari Ketua PBNU Said Agil Siradj yang mengatasnamakan Nahdlatul Ulama untuk menolak 
grasi atas terpidana kasus narkoba yang akan dieksekusi. Tokoh Nahdlatul Ulama yang 
juga pernah menjabat Wakil Ketua II Komnas HAM periode 2002-2007, Salahuddin Wahid 
juga mengapresiasi langkah Presiden, jika  bandar narkoba tidak dihukum mati, 
mereka akan menjalankan bisnisnya dari lembaga pewarga an. Wakil Ketua Umum 
Muhammadiyah, Abdul Malik Fadjar juga menyatakan dukungannya terhadap langkah 
tegas yang dilakukan Presiden. Bahkan Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, 
Emil Salim tidak sependapat dengan komentar aktivis HAM yang menilai penolakan grasi 
sebagai pelanggaran HAM.660 Sebelumnya, melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI 
pada akhir Desember 2014, MUI memberi dukungan hukuman mati kepada produsen, 
bandar dan pengedar narkoba.661 
Selanjutnya menurut hasil survei nasional Indo Barometer yang diselenggarakan pada 
tanggal 15-25 Maret 2015, mayoritas publik Indonesia atau sekitar 84,1% menyatakan 
setuju dengan hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba. Publik yang 
menyetujui hukuman mati bagi pengedar narkotika dilandasi pertimbangan sebab  
alasan narkoba merusak generasi muda sebesar 60,8% dan dapat menyebabkan efek 
jera sebesar 23,7%. Sedangkan publik yang tidak setuju penerapan hukuman mati bagi 
pengedar narkoba sebab  masih ada jenis hukuman lain yang lebih manusiawi sebesar 
36,2% dan hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebesar 28,4 
persen. Dalam konteks langkah Presiden dalam penerapan hukuman mati bagi pengedar 
narkoba sebagian besar atau sekitar 84,6% warga  Indonesia mendukung langkah 
Presiden. Sementara itu, yang tidak mendukung hanya mencapai kisaran 10,3%.
-- -
Seringkali opini publik dipergunakan sebagai dalih untuk menjustifikasi keputusan politik 
suatu rezim untuk melaksanakan eksekusi. Menurut Peter Hodgkinson ada  beberapa 
alasan utama suatu negara mempertahankan atau menghapus hukuman mati. Alasan  itu 
berbeda dari satu negara ke negara lain, namun umumnya mencakup masalah seperti 
pencegahan, opini publik, hak korban. Hal itu semua berkaitan dengan kekhawatiran  
mengenai terjadinya lonjakan  tingkat kejahatan  yang akan menyusul jika  adanya 
kebijakan  penghapusan hukuman mati.663 Dengan kata lain, pemerintah dan pihak-pihak 
lain yang berada dalam posisi yang berpengaruh seringkali mengacu pada dukungan 
publik yang kuat untuk membenarkan dan mempertahankan hukuman mati.
Pembentuk undang-undang dan para  ahli  hukum seringkali menyatakan bahwa mereka 
secara pribadi menyukai penghapusan hukuman mati, namun opini publik kemudian 
diandalkan menjadi dalih pembenaran ketika mereka  berubah pandangan ketika 
mendukung hukuman mati. Dengan kata lain, mereka tidak dapat bergerak terlalu jauh 
dari pandangan publik. Bahkan terkadang penerapan hukuman mati dikatakan sebagai 
konsekuensi dari produk legislasi yang dihasilkan dari tatanan yang negara demokratis. 
Setiap produk legislasi yang masih mencantumkan hukuman mati diasumsikan sebagai 
manifestasi kehendak mayoritas. Opini publik dilekatkan pada proposisi bahwa 
mayoritas mendukung hukuman mati. Padahal semestinya tidak hanya semata-mata 
posisi atau sikap publik terkait dukungan ini , namun juga harus melihat faktor-faktor 
dasar yang melatarbelakangi pendapat ini . ada  beberapa faktor mendasar 
yang dapat mempengaruhi pandangan publik terkait isu penerapan hukum mati seperti 
alasan agama, moral, praktis, ilmiah dan ekonomi. Pendapat individu ini   mungkin 
didasarkan pada berbagai kombinasi faktor-faktor ini .  
Dalam konteks ini, paling tidak ada  2 (dua) alasan untuk mempertanyakan kesimpulan 
bahwa opini publik mendukung hukuman mati, terutama jika  opini publik ini  
bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional.
Pertama, beberapa analisis kritis harus dibuat dari signifikansi opini publik. Sifat opini 
publik dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan berbagai tingkat pengetahuan sosial 
publik. Salah satu faktor ini  adalah akses warga  terhadap informasi kredibel 
terkait hukuman mati. Di sebagian besar negara di Asia, informasi yang dapat dipercaya 
mengenai hukuman mati tidak tersedia untuk umum, baik sebab  pemerintahnya 
tak lain, seperti koruptor (50,3%), pembunuhan (16,3%), dan kejahatan seksual (4,2%). Sedangkan dukungan hukuman mati 
untuk terorisme hanya 2,3%. 
memang enggan untuk menerbitkan data ini  (sebagaimana yang terjadi di Cina 
dan Vietnam), atau sebab  informasi yang dipublikasikan oleh pemerintah tidak lengkap 
atau salah (sebagaimana yang terjadi di Iran). Sebagai konsekuensinya, warga  tidak 
sumber yang valid tentang bagaimana hukuman mati diberlakukan di negara mereka, 
dan sebab nya tidak dapat membentuk opini yang tepat.
Kedua, berkaitan erat dengan metodologi jajak pendapat tentang hukuman mati ini . 
Kemudian, Roger Hood menjelaskan bahwa opini publik yang dipergunakan oleh 
pemerintah sebagai salah satu alasan utama mempertahankan hukuman mati perlu 
ditinjau kembali, mengingat jajak pendapat publik justru bisa menjadi indikator yang 
menyesatkan, jika  tidak memperhatikan kedua alasan ini .
Sebagai tambahan, faktor lain yang bisa mempengaruhi opini publik adalah tingkat 
kebebasan berekspresi dalam suatu negara. Jika individu berada di suatu negara yang 
menghukum kritik terhadap pemerintah dan menekan kebebasan berekspresi, maka 
publik akan takut untuk berbagi pandangan tulus mereka mengenai subyek sensitif 
seperti hukuman mati, terutama jika mereka tidak setuju dengan posisi pemerintah. Hal 
ini pada akhirnya akan mengurangi prevalensi pandangan divergen dalam warga , 
yang selanjutnya membatasi kemampuan publik untuk mengembangkan opini yang 
berdasar informasi yang valid dan kredibel.
Berkaitan dengan usaha  menangani isu opini publik, hakim semestinya memperhatikan 
bahwa hipotesis jera tidak berdasar secara ilmiah, beberapa pengadilan telah menolak 
relevansi opini publik sebab  mungkin publik belum diberikan informasi dengan benar. 
berdasar perspektif hukum setiap terdakwa tidak boleh dijatuhkan hukuman 
mati, apalagi penjatuhan ini  berdasar opini publik.  Lebih jauh, hukum HAM 
Internasional melarang tindak pidana berdasar ex post facto, sebab  tidak seorang pun 
dapat dianggap bersalah melakukan tindak pidana apapun sebab  tindakan atau kelalaian 
yang tidak merupakan tindak pidana. Oleh sebab  itu, opini publik harus diteliti kembali 
setiap kali hak  asasi manusia seorang individu terancam sebab  adanya jaminan hak 
asasi manusia. Raison d’etre   hukum HAM adalah menangkal atau menetralkan kekuatan  
opini publik yang berpotensi mengancam HAM.
-- -
5.4 Pertimbangan MK terkait Hukuman Mati Dan Narkotika: Narkotika 
sebagai the most serious Crime?
Pada 2007 uji materi atas hukuman mati terhadap UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 
telah dilakukan. Perkara ini diajukan oleh Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa 
Aprilia), Myuran Sukumaran dan Andrew Chan selaku pemohon I (Nomor Perkara: 2/
PUU-V/2007) dan Scott Anthony Rush selaku pemohon II (Nomor Perkara: 3/PUU-V/2007). 
Sejak memasuki sidang pleno (15 Maret 2007) kedua perkara ini  oleh Mahkamah 
Konstitusi digabungkan dan disidangkan secara bersama-sama dengan nomor perkara: 
2-3/PUU-V/2007.672  Edith terlibat kasus peredaran heroin seberat seribu gram, sedangkan 
Rani dihukum dalam kasus peredaran heroin seberat 3.500 gram. Mereka divonis mati 
oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Ketiga WN Australia itu divonis mati oleh PN 
Denpasar, sebab  terbukti menyelundupkan sebanyak 8,2 kilogram heroin dari Australia 
ke Bali.
Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 80 ayat 1 huruf a, Pasal 80 ayat 2 huruf a, 
Pasal 80 ayat 3 huruf a, Pasal 81 ayat 3 huruf a, Pasal 82 ayat 1 huruf a, Pasal 82 ayat 2 
huruf a, dan Pasal 82 ayat 3 huruf a yang tedapat dalam UU No. 22 tahun 1997 Tentang 
Narkotika. Pasal-pasal itu mengatur tentang ancaman hukuman mati bagi produsen dan 
pengedar narkotika secara terorganisir. Namun, hanya permohonan Edith dan Rani yang 
diuji MK, sedangkan permohonan ketiga orang Australia tidak diuji sebab  sebagai orang 
asing mereka tidak berhak mengajukan uji materi UU ke MK.
Alasan para pemohon untuk menguji materi UU No. 22 Tahun 1997, adalah hukuman mati 
bertentangan dengan Hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A ayat (1) dan Pasal 28I 
ayat (1) UUD 1945. Kelahiran Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 seharusnya menjadi lonceng 
kematian bagi hukuman mati di negara kita , namun perdebatan masih terus berlangsung. 
Hukuman mati masih juga terus dijatuhkan. Permohonan Pengujian Materiil ini dilakukan 
atas dasar penjaminan konstitusional terhadap hak hidup yang diberikan oleh UUD 1945, 
khususnya pada Pasal 28A dan 28I ayat (1).673
beberapa dalil menolak hukuman mati disampaikan pada uji materi ini . Namun, 
Mahkamah Konstitusi, dengan beberapa hakim melakukan disenting, menolak uji materi 
ini  dan menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi sebab  
UUD 1945 tidak menganut kemutlakan hak asasi manusia. beberapa argumen yang sering 
dikemukakan pihak yang mendukung hukuman mati ialah argumen perlindungan korban, 
argumen normatif, penanggulangan kejahatan, dan sebagainya.
Pihak pendukung menyatakan hukum jangan hanya berpihak pada hak asasi pelaku 
kejahatan, namun  juga hak korban kejahatan. Hak hidup korban yang telah dirampas pelaku 
(misalnya pada kasus terorisme dan pembunuhan berencana) juga harus diperhatikan. 
Ketika beberapa pihak mengecam dan meminta Indonesia menghentikan hukuman mati, 
beberapa pihak menolaknya dengan argumen normatif, yakni hukuman mati saat ini 
masih merupakan hukum positif dan ketika sudah ada terpidana oleh pengadilan dijatuhi 
hukuman mati, hal itu harus dilaksanakan untuk menjamin kepastian. Bahkan Indonesia 
juga tidak perlu tunduk ke-pada tekanan negara lain sebab  harus menegakkan kedaulatan 
di bidang hukum. Argumen penting lainnya dari pihak yang mendukung hukuman mati 
ialah untuk penanggulangan kejahatan. Makin seriusnya tingkat kejahatan yang kerap kali 
dilakukan dengan perbuatan supersadis membuat warga  luas masih menganggap 
hukuman mati tetap diperlukan.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007
Setelah menguji materi ini , MK menyatakan keyakinannya bahwa hukuman mati 
bagi para produsen dan pengedar narkotika tetap sah, sehingga usaha  lima terpidana 
mati kasus narkotika untuk menghapus hukuman mati pun sirna. Pidana mati, menurut 
MK, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, sebab  
konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan HAM. Dengan menerapkan 
pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia 
tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk ICCPR yang menganjurkan 
penghapusan hukuman mati. Menurut MK, bahkan pasal 6 ayat 2 ICCPR membolehkan 
masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan 
yang paling serius.
Pertimbangan MK terkait dengan Kejahatan Narkotika sebagai the most serous crime:  
[3.24] ……..Mahkamah berpendapat: Pasal 6 ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh 
dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu 
a. “sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu  dilakukan” (“in  accordance  
with  the  law  in  force  at  the  time  of  the commission  of  the  crime”).  Permohonan  
a quo adalah  permohonan pengujian  UU  Narkotika  terhadap  UUD  1945.  Oleh  
sebab   itu,  apakah kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut pada angka 1) 
sampai dengan 7) di  atas  termasuk  ke  dalam pengertian  “kejahatan  paling 
serius”,  hal  itu harus dikaitkan dengan “hukum yang berlaku terhadap kejahatan-
kejahatan narkotika  ini   pada  saat  dilakukan,  baik  hukum  nasional  maupun 
internasional”.
b. Pada saat para Pemohon melakukan kejahatan narkotika, yang berakibat pada 
dijatuhkannya pidana mati terhadap para Pemohon, di tingkat nasional hukum  
yang  berlaku  adalah  UU  Narkotika,  sementara  itu  di  tingkat internasional  
hukum  yang  berlaku  adalah  United  Nations  Convention Against Illicit  Traffic in 
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (selanjutnya  disebut  Konvensi  
Narkotika  dan  Psikotropika),  di  mana Indonesia  merupakan  negara  pihak  
(state  party)  yaitu  melalui  ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 
1997.  
c. UU Narkotika  adalah  implementasi  kewajiban  hukum  internasional  yang lahir  
dari  perjanjian  internasional,  in  casu Konvensi  Narkotika  dan Psikotropika,  
sebagaimana  ditegaskan  pada  konsiderans  “Mengingat” angka 4 dan Penjelasan 
Umum alinea ke-4 UU Narkotika.  Salah satu kewajiban hukum internasional yang 
timbul  dari  keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika 
ini  ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi dimaksud yang menyatakan, 
“The Parties shall  endeavour to  ensure that  any discretionary legal power under their 
domestic  law  relating  to  the  prosecution  of  persons  for  offences  in accordance 
with this article are exercised  to maximize the effectiveness of law enforcement 
measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter 
the commission of such offences”.   Kejahatan-kejahatan  yang  dimaksud  oleh  
Pasal  3  ayat  (6)  Konvensi Narkotika dan Psikotropika ini  tercantum dalam 
Pasal 3 ayat (5), yang selengkapnya menyatakan,  “The parties  shall  ensure that  
their  domestic courts  and  other  competent  authorities  having  jurisdiction  can  
take  into account factual circumstances which make the commission of the offences 
established in  accordance with paragraph I of  this  article  particularly serious, 
such as:
a) the involvement in the offence of an organized criminal group to which the offender 
belongs;
b) the involvement of the offender in other international organized activities;
c) the involvement  of  the  offender in  other illegal  activities  facilitated by commission 
of the offence;
d) the use of violence or arms by the offender;
e) the fact that the offender holds a public office and that the offence is connected 
with the office in question;
f) the victimization or use of minors;
g) the fact  that  the  offence  is  committed  in  a  penal  institution  or  in  an 
educational  institution  or  social  service  facility  or  in  their  immediate vicinity or 
in other places to which school children and students resort for educational, sports 
and social activitities
h) h) prior  conviction,  particularly  for  similar  offences,  whether  foreign  or 
domestic, to the extent permitted under domestic law of a Party”
Sementara itu, ayat 1 (paragraph 1) yang ditunjuk oleh Pasal 3 ayat (5) di atas 
menyatakan, antara lain,  “Each Party shall adopt  such measures as may be necessary to 
establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally: 
a) i)  the  production,  manufacture,  extraction,  offering,  offering  for  sale, 
distribution,  sale,  delivery,  on  any  terms  whatsoever,  brokerage, dispatch, 
dispatch in transit, transport, importation or exportation of any  narcotic  drug  or  
any  psychotropic  substance  contrary  to  the provisions of the 1961 Convention, 
the 1961 Convention as amended
 or the 1971 Convention; 
ii) the cultivation of opium poppy, coca bush or cannabis plant for the purpose of 
the production of narcotic drugs contrary to the provisions of the 1961 Convention 
and the 1961 Convention as amended; 
iii) the possession or purchase of any narcotic drug or psychotropic substance for 
the purpose of any of the activities enumerated in i) above; iv) the manufacture, 
transport or distribution of equipment, materials or of substances listed in Table 
I and Table II, knowing that they are  to  be  used  in  or  for  the  illicit  cultivation,  
production  or manufacture of narcotic drugs or psychotropic substances; 
v) the  organization,  management  or  financing  of  any  offences enumerated in 
i), ii), iii) or iv) above; b) ...... c) ..... “
d. Oleh  sebab   itu,  dengan  menafsirkan  secara  sistematis  (sistematische 
interpretatie)  ketentuan-ketentuan yang ada   dalam Pasal  3  ayat  (1), ayat  
(5),  serta  ayat  (6)  dan  kemudian  dihubungkan  dengan  ketentuan-ketentuan  
dalam  UU  Narkotika  yang  dimohonkan  pengujian  dalam permohonan  
a  quo,  tampak  bahwa  ketentuan-ketentuan  dalam  UU Narkotika  yang  
dimohonkan  pengujian  ini   adalah  bentuk  national implementation  
dari  kewajiban  hukum  internasional  Indonesia  yang  lahir dari perjanjian 
internasional,  in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika, di mana menurut 
Konvensi ini  kejahatan-kejahatan demikian termasuk ke dalam kejahatan-
kejahatan yang sangat serius (particularly serious).
e. Penafsiran  sebagaimana  disebut  pada  huruf  (d)  di  atas  adalah  sesuai 
dengan  ketentuan  umum  penafsiran  (general  rule  of  interpretation) 
perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 
1969 yang pada ayat (1)-nya berbunyi, “A treaty shall be interpreted in good faith 
in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of a treaty  in  
their  context  and  in the light  of  its  object  and purpose” (suatu perjanjian 
internasional harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan pengertian 
sehari-hari  yang  diberikan  terhadap istilah-istilah  dalam  suatu perjanjian 
internasional sesuai dengan konteksnya dan dengan mengingat objek dan 
tujuan perjanjian internasional ini ). Konteks dari Konvensi Narkotika 
dan Psikotropika terlihat dari Pembukaan (Preamble)  Konvensi  dimaksud,  
alinea  pertama  dan  kedua,  yang menyatakan, “Deeply  concerned  by  the  
magnitude  of  and  rising  trend  in  the  illicit production of,  demand for  and 
-- -
traffic in  narcotic  drugs and psychotropicsubstances, which pose a serious threat 
to the health and welfare of human  beings  and  adversarily  affect  the  
economic,  cultural  and political foundation of society, Deeply concerned also 
by the steadily increasing inroads into various social groups made by illicit traffic 
in narcotic drugs and psychotropic substances, and particularly by the fact that  
children are used in many parts of the world  as an  illicit  drug consumers 
market and for  the purposes of illicit  production,  distribution  and  trade  
in  narcotic  drugs  and psychotropic  substances, which  entails  a  danger  of  
incalculable gravity”.  
f. Jika kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika 
dikatakan  sebagai  kejahatan-kejahatan  yang  sangat  serius  (particularly 
serious) diperbandingkan dengan kejahatan-kejahatan yang selama ini telah 
diterima  sebagai  kelompok  kejahatan  paling  serius  (the  most  serious 
crimes),  seperti  kejahatan  genosida  (genocide  crime) dan kejahatan terhadap 
kemanusiaan (crimes against humanity),  maka secara substantif tidak ada  
perbedaan diantara kedua kelompok kejahatan itu. sebab , baik  kejahatan-
kejahatan  yang  tergolong  ke  dalam  “the  most  serious crimes” maupun 
kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika  disebut  
sebagai  kejahatan-kejahatan  yang  “particularly serious” ini  sama-sama 
“adversarily affect the economic, cultural and political foundation of society”  
dan sama-sama pula membawa “a danger of incalculable gravity”.  
g. berdasar uraian pada huruf (a) sampai dengan (f) di atas, telah cukup 
dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 
ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat  (3)  
huruf  a  UU  Narkotika  adalah  tergolong  ke  dalam  kelompok kejahatan yang 
paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum 
internasional yang berlaku pada saat kejahatan ini  dilakukan.  Dengan  
demikian,  kualifikasi  kejahatan  pada  pasal-pasal  UU Narkotika  di  atas  dapat  
disetarakan  dengan  “the  most  serious  crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR. 
Bahwa, berdasar uraian pada huruf (a) sampai dengan (g) di atas, tidak 
ada  kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian 
internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana 
mati  terhadap  kejahatan-kejahatan yang  diatur  dalam Pasal  80  ayat  (1) 
huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal  
82  ayat  (1)  huruf  a,  ayat  (2)  huruf  a,  dan  ayat  (3)  huruf  a  UU Narkotika.  
Sebaliknya,  pemberlakuan  pidana  mati  terhadap  kejahatankejahatan 
dimaksud Justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia 
dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 
3  ayat  (6)  Konvensi,  yang intinya  bagi  negara pihak  dapat memaksimalkan 
efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana  yang  berkait  
dengan  narkotika  dan  psikotropika  dengan memperhatikan  kebutuhan  
untuk  mencegah  kejahatan  dimaksud  (to maximize  the  effectiveness  of  law  
enforcement  measures  in  respect  of those offences, and with due regard to the 
need to deter the commission of such offences),  sebagaimana telah diuraikan 
pada huruf (c) di atas.  Bahwa  pemberlakuan  pidana  mati  terhadap  kejahatan-
kejahatan  yang diatur  dalam  pasal-pasal  UU Narkotika yang  dimohonkan  
pengujian,  di samping sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara pihak 
(state party) seperti diuraikan pada huruf  (h),  juga didukung oleh ketentuan 
Pasal  24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang menyatakan, “A party may 
adopt more strict of severe measures than those provided by this Convention 
if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention 
or  suppression  of  illicit  traffic”.  Dengan  kata  lain,  dalam  hubungannya 
dengan permohonan a quo, jika menurut Indonesia sebagai negara peserta 
Konvensi langkah-langkah yang lebih keras, dalam ini ancaman pidana 
mati, dipandang diperlukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan-
kejahatan tadi,  maka  langkah-langkah  demikian  bukan  hanya  tidak 
bertentangan  namun   justru  dibenarkan  dan  disarankan  oleh  Konvensi 
dimaksud. Artinya Indonesia sebagai negara pihak yang menganut sistem 
pidana mati bagi pelaku kejahatan Narkotika tertentu berhak menetapkan 
pidana mati bagi para pelaku kejahatan Narkotika ini . Demikian pula 
jika  pada  suatu  ketika  Indonesia  akan  mengadopsi  gagasan  ancaman 
pidana  penjara  seumur  hidup  tanpa  pengurangan  (life  sentence  without 
parole) seperti yang didalilkan para Pemohon, maka hal demikian juga tidak 
bertentangan dengan Konvensi.
J. Konsekuensi  yang  lahir  dari  keikutsertaan  Indonesia  dalam  Konvensi 
Narkotika  dan  Psikotropika untuk  mengambil  langkah-langkah  secara 
nasional yang lebih keras dalam usaha  memberantas kejahatan narkotika 
secara hukum adalah lebih tinggi derajat kekuatan mengikatnya dilihat dari 
sudut pandang kualifikasi sumber hukum internasional, sebagaimana diatur 
dalam  Pasal  38  ayat  (1)  Statuta  Mahkamah  Internasional  (Statute  of 
International Court of Justice), dibandingkan dengan pendapat Komisi HAM PBB 
yang berpendapat bahwa kejahatan yang berhubungan dengan obat-obatan 
terlarang tidak termasuk dalam kejahatan yang Paling serius (most Serious 
crime).
 [3.25] Menimbang bahwa meskipun berdasar seluruh pertimbangan di atas telah  
nyata  bahwa  pemberlakuan  pidana  mati  terhadap  kejahatan-kejahatan tertentu 
dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang 
perlu untuk memberi  catatan penting di bawah ini: Menimbang bahwa meskipun 
berdasar seluruh pertimbangan di atas telah  nyata  bahwa  pemberlakuan  pidana  
mati  terhadap  kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika tidak bertentangan 
-- -
dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk memberi  catatan penting 
di bawah ini:
• Sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  3  Universal  Declaration  of  Human  Rights juncto 
Pasal 6 ICCPR juncto UU HAM dan UUD 1945 serta berbagai Konvensi Internasional  
yang  menyangkut  Narkotika,  khususnya  Konvensi  PBB  1960 tentang Narkotika 
dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan 
Psikotropika, ancaman pidana mati  yang dimuat dalam UU  Narkotika  telah  
dirumuskan  dengan  hati-hati  dan  cermat  serta  tidak diancamkan  pada  semua  
tindak  pidana Narkotika  yang  dimuat  dalam  UU ini , melainkan hanya diberikan 
kepada: 
a. produsen dan  pengedar  (termasuk produsen adalah  penanamnya)  yang 
melakukannya  secara  gelap  (illicit),  tidak  kepada  penyalahguna  atau 
pelanggar UU Narkotika/Psikotropika yang dilakukan dalam jalur resmi (licit) 
misalnya  pabrik  obat/farmasi,  pedagang  besar  farmasi,  rumah  sakit, 
puskesmas, dan apotek; 
b. para pelaku sebagaimana disebut dalam butir  a di  atas yang melakukan 
kejahatannya  menyangkut  Narkotika  Golongan  I  (misalnya  Ganja  dan 
Heroin);
• Ancaman pidana  mati  yang dimuat  dalam pasal-pasal pidana UU Narkotika juga  
diberikan  ancaman  hukuman  pidana  minimal  khusus.  Artinya,  dalam menjatuhkan  
hukuman  pada  pelaku  pelanggaran  Pasal-pasal  Narkotika Golongan I ini , 
hakim berdasar alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat  menghukum  
pelakunya  dengan  ancaman  maksimalnya  yaitu  pidana mati. Sebaliknya, kalau 
hakim berkeyakinan bahwa sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak 
sengaja, pelakunya di bawah umur,  pelakunya wanita  yang sedang hamil, dan 
sebagainya, sehingga tidak  ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum, 
maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut  Narkotika  Golongan  I)  dapat  pula  
tidak  dijatuhi  pidana  mati. Dengan  demikian,  jelaslah  bahwa  pemberlakuan  pidana  
mati  dalam  kasus kejahatan Narkotika tidaklah boleh secara sewenang-wenang 
diterapkan oleh hakim dan ini sesuai dengan ketentuan dalam ICCPR;
[3.26] Menimbang  pula  bahwa  dengan  memperhatikan  sifat  irrevocable pidana  
mati,  terlepas  dari pendapat  Mahkamah  perihal  tidak  bertentangannya pidana  
mati  dengan  UUD  1945  bagi  kejahatan-kejahatan  tertentu  dalam  UU Narkotika  
yang  dimohonkan  pengujian  dalam  permohonan  a quo, Mahkamah berpendapat 
bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi 
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan,  
penerapan,  maupun pelaksanaan  pidana mati  dalam  sistem peradilan  pidana  di  
Indonesia  hendaklah  memperhatikan  dengan  sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a. pidana mati bukan lagi  merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang 
bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang  
jika   terpidana  berkelakuan  terpuji  dapat  diubah  dengan  pidana penjara 
seumur hidup atau selama 20 tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap wanita  hamil dan seseorang yang sakit jiwa 
ditangguhkan  sampai  wanita   hamil  ini   melahirkan  dan  terpidana yang 
sakit jiwa ini  sembuh;
[3.27] Menimbang  bahwa  terlepas  dari  gagasan  pembaruan  hukum sebagaimana  
ini   di  atas,  demi  kepastian  hukum  yang  adil,  Mahkamah menyarankan agar 
semua putusan pidana mati yang telah memiliki  kekuatan hukum tetap (in kracht 
van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana mestinya;
[3.28] berdasar seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa Pasal 80 ayat (1) 
huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat 
(1) huruf a, ayat (2) huruf  a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan  dengan  
UUD 1945  dan  juga  tidak  melanggar  kewajiban  hukum internasional Indonesia 
yang lahir  dari perjanjian internasional.  Oleh sebab nya, telah nyata pula bahwa 
permohonan para Pemohon tidak beralasan.
Intinya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi 
internasional tentang narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia 
dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya 
untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan 
narkotika. Konvensi ini  juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah 
serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat 
serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. Dengan demikian, penerapan 
pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan UUD 1945, namun  justru 
dibenarkan oleh konvensi internasional, menurut Hakim Konstitusi Hardjono.
Indonesia tegas menyatakan hukuman mati tidak melanggar HAM dan juga International 
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). ini diproklamirkan oleh Mahkamah 
Konstitusi (MK) dalam putusan yang dimohonkan Rani Andriyani. Pertimbangan Putusan 
MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 menyatakan “Kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU 
Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crimes” menurut ketentuan 
Pasal 6 ICCPR”. Frasa “kejahatan yang paling serius/the most serious crimes” dalam Pasal 6 
ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu sesuai 
dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan 

-- -
in force at the time of the commission of the crime.
Permohonan a quo adalah permohonan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945. 
Oleh sebab  itu, apakah kejahatan-kejahatan di atas termasuk ke dalam pengertian 
kejahatan paling serius, hal itu harus dikaitkan dengan `hukum yang berlaku terhadap 
kejahatan-kejahatan narkotika ini  pada saat dilakukan, baik hukum nasional 
maupun internasional`. Undang-Undang Narkotika adalah implementasi kewajiban 
hukum internasional yang lahir dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika 
dan Psikotropika, menurut MK.
Bahkan MK berpendapat tidak ada  kewajiban hukum internasional apa pun yang 
lahir dari perjanjian internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan 
pidana mati dalam UU Narkotika itu. Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati terhadap 
kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan 
Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 
3 ayat 6 Konvensi, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas 
penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkait dengan narkotika dan 
psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud. 
ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang 
menyatakan a party may adopt more strict of severe measures than those provided by this 
Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention or 
suppression of illicit traffic.
Ketua DPR saat itu, Agung Laksono, menilai bahwa keputusan MK mengenai hukuman 
mati sudah tepat, sehingga eksekusi terhadap narapidana hukuman mati yang sudah 
berkekuatan hukum dapat segera dilakukan. Keputusan MK itu juga membuat harapan 
Pemerintah Australia untuk menghalangi hukuman mati terhadap enam warganya 
yang terjerat hukum di Indonesia sia-sia. Dari enam orang itu, tiga orang diantaranya 
mengajukan uji materi UU Narkotika ke MK. Menjelang pembacaan keputusan MK, Menteri 
Luar Negeri Alexander Downer sempat meminta kepada Pemerintah Indonesia supaya   
memberi  peluang hidup kepada enam warga Australia yang divonis hukuman mati. 
Ia mengatakan, jika usaha -usaha  hukum gagal, maka dia akan membicarakan bagaimana 
cara terbaik selanjutnya dengan Perdana Menteri John Howard. Sebaliknya, Kepala 
Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Made Mangku Pastika, menegaskan 
bahwa usaha  hukum untuk menggugat legalitas hukuman mati kasus narkoba dipastikan 
tertutup. Pastika berkeyakinan, tidak akan ada lagi usaha  untuk menghapus hukuman 
mati dalam kasus narkoba, baik narkotika maupun psikotropika.
Dalam putusannya, MK berpendapat hukuman mati tetap diperlukan sebagai bentuk 
kekuatan terhadap hukuman. Bila itu dikabulkan, maka MK menganggap di UU lain 
tidak boleh ada juga pasal yang mengancam dengan hukuman mati. putusan MK Nomor 
2-3/PUU-V/2007 menegaskan dengan menyatakan “Dengan demikian ancaman pidana 
mati dalam UU Narkotika tidak memiliki  kekuatan hukum berlaku, ini membawa 
konsekuensi bahwa seluruh ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur 
pidana mati, harus dinyatakan tidak memiliki  kekuatan hukum berlaku.” 
MK juga meganggap, jika permohonan para terpidana narkoba itu dikabulkan, maka 
kejahatan narkoba dan lainnya akan semakin marak di negara kita . Implikasi penolakan 
hukuman mati juga akan berpengaruh ke jenis kejahatan lain seperti terorisme dan 
korupsi. Putusan MK menyatakan, “Bagaimana tanggung jawab, seluruh komponen bangsa 
dan negara, serta rakyat Indonesia dalam rangka menjaga kedaulatan, tumpah darah, 
generasi penerus bangsa, kelangsungan hidup berbangsa, bernegara dan berwarga , 
manakala masalah narkotika semakin semarak di negara kita . Juga jika terorisme menyebar 
ke mana-mana, dengan ancaman pidana penjara yang tidak berat.”
Memahami teks hukum seharusnya dilakukan dengan memahami segi-segi dan 
kondisi sosial dan politik yang berlaku dan menyertai diberlakukannya suatu hukum 
tertentu. Tanpa melihat kondisi sosial dan politik yang terjadi, teks hukum menjadi 
tidak lagi bermakna dan memiliki kecenderungan tinggi untuk tidak responsif terhadap 
perkembangan zaman.
Hukuman mati sebagai salah satu bentuk atau jenis hukuman telah lama ada dalam 
peradaban dan sejarah manusia. Kampanye penghapusan hukuman mati baru muncul 
pada 1764, saat Cesare Beccaria menulis tentang On Crimes and Punishment. Perlu waktu 
84 tahun agar gagasan dari Beccaria ini diadopsi di San Marino - sebuah Negara kecil di 
kawasan Eropa - yang pertama kali menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 
Lima belas tahun kemudian, seruan ini menggema di Amerika Selatan. Gagasan ini 
diadopsi oleh Venezuela yang menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 
Di luar kawasan Eropa dan Amerika Latin, perkembangan penghapusan hukuman mati 
memerlukan waktu yang lebih panjang.
Dinamika ini tentu tidak bisa dilihat hanya semata – mata dari teks hukum yang tersedia, 
namun juga melihat dinamika dan seluruh kondisi kehidupan berwarga  yang terjadi 
dalam suatu negara ataupun suatu kawasan. Dinamika yang terjadi di berbagai negara 
juga tercermin saat PBB didirikan dan pada saat PBB hendak mengeluarkan sebuah 
resolusi dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak 
Asasi Manusia (DUHAM). Dalam Pasal 3 DUHAM ditentukan bahwa “Setiap orang berhak 
atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu”. Namun tidak ada penjelasan 
mengenai hukuman mati dalam deklarasi ini . Meskipun ada pembahasan mengenai 
hukuman mati dalam rancangan deklarasi, namun Majelis Umum PBB memutuskan 
untuk tidak membahas mengenai hukuman mati dengan alasan untuk tidak menghambat 
berkembangnya praktik negara-negara menuju penghapusan hukuman mati. Dalam 
pembahasan pengesahan the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 
atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), pengaturan 
umum dalam Pasal 3 DUHAM diperbaiki dengan aturan yang lebih rinci. Aturan ini  
kemudian muncul pada ketentuan Pasal 6 Kovenan Sipol. Rumusan Pasal 6 Kovenan Sipol 
mencerminkan pertentangan antara dua kutub yaitu kehendak untuk menyampaikan 
pesan tentang jaminan hak hidup yang sejalan dengan misi hak asasi manusia yang ada 
dalam Kovenan Sipol dan pertimbangan masih diberlakukannya hukuman mati di banyak 
negara pada saat itu. sebab  itu membaca ketentuan Pasal 6 Kovenan Sipol tidak boleh 
dilepaskan dari konteks sosial politik yang terjadi pada masa Kovenan Sipol dirumuskan 
dan disahkan. Tak heran jika muncul ketentuan Pasal 6 ayat (2) Kovenan Sipol yang tidak 
lazim untuk sebuah perjanjian internasional, sebab  itu dalam keseluruhannya Kovenan 
Sipol merupakan perjanjian internasional yang memiliki kecenderungan kuat untuk 
penghapusan hukuman mati. 
Sebagai bagian dari jenis penghukuman, hukuman mati di Indonesia sebenarnya tidak 
diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum masuknya kekuatan kolonial 
Eropa, para Raja dan Sultan yang ada di Nusantara telah mempraktikkan hukuman mati 
kepada para kawulanya.
Dalam konteks negara kita , konsolidasi hukuman mati secara menyeluruh terjadi pada 
1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang  mengatur mengenai 
pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. 
Pada masa ini, hukuman mati dipertahankan sebagai strategi untuk membungkam 
perlawanan penduduk jajahan dan juga usaha  untuk mempertahankan Jawa dari 
serangan Inggris. Tanpa usaha  pasifikasi penduduk jajahan melalui instrumen hukuman 
mati, misi pemerintah Perancis yang berkuasa di Belanda untuk mempertahankan Jawa 
dari serangan Inggris akan sulit diwujudkan.
Konsolidasi kedua dan yang terpenting adalah pada saat diberlakukannya Wetboek 
van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers) pada 1 Januari 1873. Selanjutnya pada 1915 
diundangkan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, (WvSI) dan mulai berlaku pada 1 
Januari 1918. Meski di Belanda hukuman mati untuk telah dihapuskan pada 1870, Belanda 
tetap memberlakukan hukuman mati untuk Hindia Belanda dan daerah-daerah koloninya 
yang lain. Motif prasangka rasial dan menjaga ketenangan umum menjadi motif utama 
dari masih diberlakukannya hukuman mati. Belanda menganggap kawula Hindia Belanda 
terutama orang-orang pribumi tidak bisa dipercayai, suka berbohong, memberi  
keterangan palsu di Pengadilan, dan bersifat buruk. Suatu prasangka superior yang sangat 
khas dari sebuah negara kolonial. 
Pasca kemerdekaan, hukuman mati tetap diberlakukan dalam berbagai legislasi yang 
ada di negara kita . Tentu saja dengan motif dan alasan yang berbeda yang disesuaikan 
dengan sistem politik dan kondisi sosial politik yang berlaku pada masa legislasi ini  
disahkan. Pemberlakuan WvS sebagai bagian dari hukum pidana nasional tidak serta merta 
menghapuskan hukuman mati. Pada saat itu, hukuman mati dipertahankan pemerintah 
Republik Indonesia didasari alasan yang melanjutkan motif dan watak dari pemerintah 
kolonial Hindia Belanda. Dalam konteks hukum pidana militer, masih dipertahankannya 
hukuman mati adalah sebagai respon untuk memperkuat strategi pertahanan negara dari 
situasi dan usaha  mempertahankan kemerdekaan sepanjang 1945 – 1949.  Pada masa 
demokrasi liberal, hukuman mati tetap dipertahankan untuk menghalau pemberontakan 
yang terjadi di hampir seluruh penjuru negara kita . Sementara pada masa demokrasi 
terpimpin, hukuman mati tetap dipertahankan untuk menjaga stabilitas nasional dalam 
rangka mengamankan Revolusi dan program – program pemerintah di bidang ekonomi 
dan pembangunan. 
Pada masa Orde Baru, titik tekan pemerintahan Orde Baru adalah stabilitas politik untuk 
mengamankan agenda pembangunan. sebab  pembangunan memerlukan masuknya 
investasi asing maka reputasi dan kepercayaan dunia internasional terhadap kemampuan 
pemerintah Indonesia untuk menjaga keamanan negara menjadi alasan penting untuk 
tetap diberlakukannya hukuman mati. Bahkan beberapa kejahatan seperti kejahatan 
narkotika dianggap sebagai sarana untuk melakukan usaha  subversif. Meskipun pada 
masa ini kejahatan korupsi tidak menjadi salah satu kejahatan yang dapat dihukum mati, 
namun dalam beberapa kasus, kejahatan korupsi didakwa dengan UU No.11/PNPS/1963 
tentang Subversif yang tentu saja ancaman hukumannya adalah hukuman mati.
Pada masa reformasi, mantra hukuman mati berubah menjadi soal kedaruratan dan 
skala korban kejahatan. Krisis ekonomi yang mendera Indonesia pada 1997-1998 menjadi 
penanda berlakunya mantra kedaruratan sebagai alasan penting untuk mempertahankan 
hukuman mati. Pada masa reformasi, pemerintah menciptakan berbagai alasan 
kedaruratan baik darurat bencana, darurat perlindungan anak, dan skala korban 
kejahatan menjadi alasan terpenting untuk memberi  respon keras terhadap situasi 
yang terjadi demi kepentingan stabilitas nasional. Respon ini  lalu dimanifestasikan 
dalam bentuk hukuman mati.
Dari berbagai motif dan alasan yang mengemuka tentang hukuman mati di berbagai 
Undang – Undang di negara kita , namun dengan diakuinya hak asasi manusia sebagai 
bagian dari hak konstitusional dan juga diadopsinya Kovenan Sipol dalam sistem hukum 
Indonesia maka relevansi keberadaan hukuman mati sangat layak untuk di re-evaluasi 
minimal dipertanyakan. 
Dari sisi pembentukan hukum dasar, perbincangan hak hidup teramat sedikit 
diperdebatkan. Berbeda dengan hak kemerdekaan menyatakan pendapat yang lebih 
sering mendapatkan perhatian dari para pembentuk konstitusi negara kita . Jika melihat 
lanskap dari konstitusi negara kita , perhatian minimum terhadap hak hidup dapat 
dipahami sebab  bahkan hak – hak para tahanan dan orang – orang yang berhadapan 
dengan hukum pidana tidak menjadi bagian dari perhatian dari para pembentuk hukum 
dasar tak heran jika hak – hak orang yang terderitakan tidak muncul sebagai bagian dari 
hak konstitusional yang dijamin dalam berbagai konstitusi negara kita . 
Penentangan hukuman mati pertama kali muncul dalam sidang Konstituante yang 
berlangsung dari 1955-1959. Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela 
Pancasila, pada 14 Agustus 1958, Sidang ke II tahun 1958 Rapat ke 27 Konstituante 
mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak hidup dan hak untuk 
tidak dijatuhi hukuman mati. Asmara Hadi sempat memprotes atas hasil kerja tim perumus 
yang tidak mencantumkan usulannya terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan 
hukuman mati dalam Laporan Panitia Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga 
Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29 Selasa, 19 Agustus 1958. Sayangnya pandangan ini 
adalah pandangan minor pada saat itu dan sebab nya tidak mendapatkan pembahasan 
yang serius pada masa ini .
usaha  untuk menegaskan hak hidup dan larangan terhadap hukuman mati kembali terjadi 
pada waktu pembahasan untuk perubahan UUD 1945. Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka 
Subekti, dan Slamet Efendy Yusuf adalah para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat 
(MPR) yang mendesakkan hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tak dapat 
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sekali lagi pembahasan mengenai 
hak hidup ternyata kurang dielaborasi secara mendalam dan terkesan menggantung. 
Yang pada akhirnya hak hidup sebagai sehingga ditegaskan oleh dalam beberapa hal 
memiliki kesan yang menggantung dan tidak tuntas. ini berlanjut dan nampak pada 
pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang malah membolehkan pembatasan terhadap 
hak hidup berdasar penafsiran sistematis terhadap ketentuan – ketentuan hak asasi 
manusia dalam UUD 1945. Ketentuan – ketentuan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam 
Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 menurut pandangan Mahkamah Konstitusi 
tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Ketidak-konsistenan 
Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945 makin menambah persoalan dalam hutan 
belantara legislasi yang menganut hukuman mati. 
Meskipun Kovenan Sipol masih “membolehkan” negara-negara yang memiliki hukuman 
mati, namun hukuman mati hanya diperkenankan untuk kejahatan – kejahatan tertentu 
yang sangat serius. Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Sipil menegaskan sebuah prinsip 
perlindungan terhadap pengurangan “sewenang-wenang” atas hak untuk hidup, namun 
dengan sebuah pengecualian yang dinyatakan secara tegas/eksplisit tentang hukuman 
mati di negara-negara yang belum menghapusnya. Namun pengecualian harus tunduk 
pada persyaratan tertentu seperti hukuman mati harus dibatasi hanya untuk “kejahatan 
paling serius” yang dalam perkembangannya misalnya tidak boleh diterapkan kepada 
wanita hamil atau pelaku kejahatan yang masih remaja. Konsep the most serious crimes 
dalam hukum internasional sangatlah terbatas pada kejahatan dengan karakteristik 
sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, 
menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of 
humanity);
b. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk 
menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely 
grave consequences);
c. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara 
atau warga  luas seperti mengganggu ketertiban umum, melibatkan jumlah 
uang yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, dilakukan dengan cara yang 
sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas 
perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan 
negara.
Merujuk pada konsepsi ini , beberapa UU di Indonesia yang menerapkan hukuman 
mati dan perlu dikaji ulang apakah masih sesuai dengan karakteristik sebagai the 
most serious crimes. Persoalannya konsepsi the most serious crimes juga kemudian 
dicampuradukkan dengan konsepsi kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan yang 
memerlukan penanganan luar biasa. Berbagai alasan yang mendasari dipertahankannya 
hukuman mati selepas kemerdekaan, menunjukkan ketiadaan perdebatan yang memadai 
mengenai the most serious crime. Pemerintah justru menekankan persetujuan penerapan 
hukuman mati sebab  masih diperbolehkan pemberlakuannya berdasar hukum 
nasional. 
Pada masa reformasi, kampanye reformasi legislasi dengan menggunakan pendekatan 
berbasis hak asasi manusia dan kebijakan berbasis bukti menjadi usaha  terpenting untuk 
menghasilkan produk hukum yang memiliki karakter responsif. Pendekatan berbasis 
hak asasi manusia dalam reformasi legislasi ini sejalan dengan komitmen pemerintah 
Indonesia untuk memberi  tempat bagi usaha  penghormatan, perlindungan, 
pemenuhan dan pemajukan HAM di negara kita . Namun konfigurasi politik pada masa 
reformasi justru mencerminkan paradoks demokrasi dimana proses dan institusi 
demokrasi telah menghasilkan pergantian pemerintahan, namun hukuman mati tetap 
menjadi pilihan ekspresi politik dan instrumen terpenting dari setiap masa pemerintahan. 
usaha  untuk mempertahankan hukuman mati sebagai sanksi pidana untuk tindak pidana 
tertentu memperlihatkan karakter politik hukum yang tidak beranjak dari karakter politik 
hukum pidana retensionis semakin menguat dan konservatif. Dengan kata lain, usaha  
penghapusan hukuman mati terus menerus harus berhadapan dengan politisasi hukum 
oleh para pengambil kebijakan yang menganut pandangan hukum yang makin konservatif. 
Hukum telah menjadi instrumen legitimasi bagi berlangsungnya pemerintahan untuk 
melayani kepentingan dari mereka yang berkuasa.
usaha  pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kampanye reformasi legislasi juga tidak 
menyentuh persoalan legislasi yang terus menerus mengabaikan pendekatan berbasis 
hak asasi manusia dan pendekatan berbasis bukti. Alhasil dalam rumusan Rancangan 
KUHP, meskipun dianggap sebagai jalan tengah yang disetujui sebagai the negara kita n way, 
tetap memuat ancaman pidana mati. Kecenderungan global dan pemaknaan the most 
serious crime dalam konteks hukuman mati belum mendapat perhatian serius dari para 
pembentuk hukum. Pemerintah dan juga DPR masih mempercayai bahwa hukuman mati 
(sekadar) diperlukan dalam hukum pidana nasional negara kita .
Apa boleh buat, jalan masih terjal dan panjang bagi usaha  memperjuangkan reformasi 
legislasi yang menghormati hak asasi manusia di negara kita .