hak asasi manusia 5

Jumat, 26 Januari 2024

hak asasi manusia 5






BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDU-
KAN PENGADILAN HAM
Pasal 2 dan 3 
Terdiri 2 bagian
BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4-9
BAB IV HUKUM ACARA Pasal 10-33  
Terdiri 8 bagian 
BAB V PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI Pasal 34
BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI DAN RE-
HABILITASI
Pasal 35
BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 36-42
BAB VIII PENGADILAN HAM AD HOC Pasal 43 dan 44
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46-51
Tahapan penanganan kasus HAM menurut UU No 26 Tahun 2006 
antara lain:
1) Penyelidikan
 Penyelidikan (pasal 18 : 1) terhadap pelanggaran HAM berat 
dilakukan oleh KOMNAS HAM;
2) Penyidikan
 Penyidikan (pasal 21 ayat 1) terhadap pelanggaran HAM berat 
dilakukan oleh Jaksa Agung;
3) Penuntutan
 Penuntutan (pasal 23 : 1) terhadap pelanggaran HAM berat 
dilakukan oleh Jaksa Agung;
4) Peradilan
 Pemeriksaan sidang peradilan terhadap pelanggaran Ham berat 
dilakukan hakim ad hoc.Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan 
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua MA.Daerah 
hukum Pengadilan HAM berada pada Pengadilan Negeri di 
Jakarta Pusat, Surabaya, Makassar dan Medan.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah 
kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan 
Negeri yang bersangkutan. Khusus untuk DKI Jakarta, berkedudukan 
di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 3).
Contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti 7 Kasus 
Pelanggaran Berat yang terjadi di Indonesia yaitu  tragedi 1965, 
penembakan misterius 1982-1985, tragedi penghilangan aktivis 1997-
1998, tragedi Trisakti 1998, kasus Talangsari 1989, tragedi Semanggi 
1 dan 2 pada 1998 dan 1999, serta kasus  Wasior dan Wamena Papua 
2001 dan 2003, termasuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur 
1991.
Contoh kasus yang diselesaikan di Pengadilan HAM seperti: Kasus 
ABEPURA 2000 “suatu kejadian dimana terjadi penyerangan massa 
di kantor Mapolsek Wilayah Abepura dan menewaskan beberapa 
anggota kepolisian”. Kasus ini lalu  berdampak pada adanya 
pelanggaran HAM berat sebab  penyerangan yang direncanakan 
dan juga dampak yang diberikan bagi sisi kemanusiaan. Dimana 
berdampak pada dua mahasiswa yang meninggal dan juga puluhan 
warga yang lalu  mengalami luka berat.
D.  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Anak yaitu  amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa 
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia 
seutuhnya.Anak yaitu  tunas, potensi dan generasi muda penerus 
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, memiliki  
ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa 
dan negara pada masa depan. 
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab di masa 
depan, maka anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-

luasnya untuk tumbuh dan berkembangsecara optimal, baik fisik, 
mental maupun sosial dan berakhlak mulia perlu dilakukan  usaha  
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan 
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya 
perlakukan tanpa diskriminasi. 
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak 
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Jaminan 
pelaksanaan terhadap hak anak ini, sebenarnya telah lama ada dan  
telah diatur dalam konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden 
Nomor 36 Tahun 1990, yang berlaku sejak 1990. Konvensi ini mengatur 
perlidungan anak dan menjaga kesejahteraan anak-anak Indonesia.
Selain, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ada juga 
peraturan-peraturan tentang perlindungan anak, seperti di bawah ini:
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak;
b. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang penegasan perlindungan hukum 
bagi anak-anak penyandang disabilitas;
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak;
d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang konvensi hak anak;
e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002;
f. Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua 
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Akan namun , dalam makalah ini yang dikaji yaitu  Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Adapun sistematika dari UU Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut.
BAB PASAL
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2  dan 3
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Pasal 4 – 19
BAB IV  KEWAJIBAN DAN TANGGUNG 
JAWAB 
Pasal 20 -  26 
Terdiri  4 bagian
BAB V KEDUDUKAN ANAK Pasal 27 –29 
Terdiri 2 bagian
198 ---
BAB VI KUASA PENUH Pasal 30 – 32 
BAB VII PERWALIAN Pasal 33 – 36
BAB VIII PENGASUHAN DAN 
PENGANGKATAN ANAK
Pasal 37 – 41
BAB IX PENYELENGGARAAN 
PERLIDUNGAN 
Pasal 42 - 71 
Terdiri 5 bagian
BAB X PERAN warga  Pasal 72 dan 73
BAB XI  KOMISI PERLIDUNGAN ANAK 
INDONESIA
Pasal 74 -76
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 – 90
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 dan 93
Sumber: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa yang merupakan  anak 
yaitu  seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang 
masih dalam kandungan ibunya. Setiap anak harus mendapatkan 
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, 
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan 
salah lainnya. Semua anak yang lahir ke dunia ini memiliki hak hidup 
dan pasti memiliki potensi masing-masing tanpa terkecuali. Segala 
kebutuhan hidup harus terpenuhi agar tumbuh kembang anak secara 
optimal.
Sebagai usaha  pemerintah dalam perlindungan anak ini, 
dibentuklah lembaga yang bersifat independen yang bertugas untuk 
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan terhadap 
hak-hak anak, yaitu  Komisi Perlidungan Anak Indonesia. Lembaga 
KPAI ini didirikan pada tanggal 28 Oktober 1998. Keanggotaan komisi 
ini terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh warga , 
organisasi sosial, organisasi kewarga an, organisasi profesi, 
LSM, dunia usaha, dan kelompok warga  yang memperdulikan 
tentang perlidungan anak ini . Anggota komisi ini diangkat 
dan diberhentikan oleh Presiden sesudah  mendapat pertimbangan 
dari DPR dengan masa jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat 
kembali untuk 1 kali  masa jabatan.
Tugas KPAI sesuai pasal 76 UU No 23 Tahun 2002 antara lain:
1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, 
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan 
warga , melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan 
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlidungan anak.
2. Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada 
Presiden dalam rangka perlidungan anak.
Ketentuan pidana jika  terjadinya penelantaran, penganiayaan, 
atau apaun juga yang memicu  anak mengalami sakit atau 
penderitaan  baik fisik, mental maupun sosial sebagai contohnya  
yaitu :
a. Penelantaran ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (Pasal 77);
b. Membiarkan anak dalam situasi darurat sedang membutuhkan 
pertolongan missal sebagai korban perdagangan, korban 
penculikan, korban kekerasan atau korban penyalahgunaan 
narkotika dan obat-obatan terlarang ancaman hukuman pidana 
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 
100.000.000 (Pasal 78);
c. Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum 
yang berlaku misal untuk dieksploitasi ancaman hukuman pidana 
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 
100.000.000 (Pasal 79);
d. Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau 
penganiayaan terhadap anak ancaman hukuman pidana penjara 
paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 
72.000.000 (Pasal 80);
e. Melakukan pelecehan seksual terhadap anak ancaman hukuman 
pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun 
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 
60.000.000 (Pasal 81);
f. Melakukan transplantasi organ tubuh anak untuk pihak lain 
ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (Pasal 84);
g. Melakukan jual beli organ tubuh anak ancaman hukuman pidana 
penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak                              
Rp. 300.000.000.
Dengan melihat dan mencermati berbagai pelanggaran yang 
terjadi, kita harus mengetahui pula kategorisasi pelanggaran yang 
dapat diadili di Pengadilan HAM ataukah pelanggaran hukum murni 
Peradilan Umum, sebab  di Indonesia ada 4 lingkungan peradilan 
di bawah MA yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan 
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dengan beragam kasus bahkan 
sampai pada munculnya peradilan koneksitas yaitu peradilan yang 
melibatkan lebih dari satu lingkungan peradilan.
E.  usaha  Penanganan Terhadap Pelanggaran Hak dan 
Pengingkaran Kewajiban 
1. usaha  pemerintah dalam menegakkan  HAM
HAM pelaksanaan membutuhkan toleransi kesadaran dari 
orang lain. Kurangnya toleransi dapat memicu  tumpang 
tindih  dan berakhir terjadinya pelanggaran. Setiap warga negara 
memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara, 
artinya pemerintah selain mempersiapkan, menyediakan, 
dan menyusun perangkat hukum HAM, juga harus berusaha  
memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara 
Indonesia dimanapun berada.
usaha  pencegahan lebih baik daripada memberantas atau 
menanggulangi. Beberapa usaha  dalam pencegahan terjadinya 
pe-langgaran HAM yaitu :
a. Supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan;
b. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
c. Meningkatkan penyuluhan dan pendidikan ke lembaga formal 
dan nonformal;
d. Meningkatkan pengawasan dari warga ;
e. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan 
pertahanan negara;
f. Meningkatkan kerjasama antar kelompok dan golongan 
warga .
g. Mengoptimalkan peranan lembaga seperti Komnas HAM, 
KPAI, Komnas Perempuan
Seperti contoh pada poin g, dengan dioptimalkan peranan 
lembaga penegak HAM ini diharapkan dapat mengurangi 
terjadinya suatu kasus lama yang belum tertangani dan seolah-
olah seperti terjadi pembiaran begitu saja, padahal kejadian tidak 
seperti itu. Akhirnya, beberapa kasus pelanggaran HAM yang 
terdahulu dinyatakan kadaluarsa sebab  terkena batas  aturan 
pada KUHP, seperti contoh kasus kematian seorang wartawan 
Harian Bernas Yogyakarta yaitu Syafrudin (1996) yang tewas 
sesudah  dianiaya pria tak dikenal. Udin kerap menulis artikel 
yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru dan militer.Kasus 
Udin menjadi ramai saat  tersiar kabar ditemukannya barang 
bukti sampel darah dan buku catatan milik Udin yang dilarung/
dibuang ke laut. Kasusnya sampai sekarang tidak pernah selesai 
dan dianggap daluarsa.
2. usaha  warga  dalam mendukung penegakan HAM
Setiap warga negara harus menghargai usaha  pemerintah 
dalam menegakkan  hak asasi manusia. sebab  tanpa dukungan 
dan penghargaan warga negara usaha  ini  tidak akan 
berjalan lancar. Penghargaan warga negara dapat berupa: 
a. Peduli lingkungan.
b. Mendukung dan aktif melibatkan diri dalam program 
pemerintah misalnya:  
1. bergabung dalam forum pengajuan usulan perumusan 
dan kebijakan tentang hak asasi manusia;
2. melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan 
informasi hak asasi manusia;
3. unsur warga  dapa dilibatkan oleh Jaksa Agung 
menjadi penyidik ad hoc atau penuntut umum ad hoc.
c. Tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hak kepada 
orang lain seperti contoh tidak menyembunyikan fakta
yang terjadi dalam kasus pelanggaran HAM, berani 
mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang melanggar 
yang dilakukan diri sendiri. 
d. Tidak menutup-nutupi atau membiarkan jika mengetahui 
pelanggaran HAM namun  segera melaporkan jika mengetahui 
atau melihat pelanggaran kepada aparat penegak hukum. 
BAB IX
KONVENSI PBB 
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A.  Konvensi tentang Kejahatan Kemanusiaan dan Perang 
1. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman 
Kejahatan Genosida
1) Pasal 2 
Dalam Konvensi ini, genosida berarti setiap dari 
perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan 
merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, 
suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama seperti:
a. Membunuh para anggota kelompok; 
b. memicu  luka-luka pada tubuh atau mental para 
anggota kelompok; 
c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi 
hidup yang memicu  kerusakan fisiknya dalam 
keseluruhan atau pun sebagian; 
d. Mengenakan usaha -usaha  yang dimaksudkan untuk 
mencegah kelahiran di dalam kelompok itu;
e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu 
ke kelompok lain. 
2) Pasal 3 
Perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dihukum: 
a. Genosida; 
b. Persekongkolan untuk melakukan genosida; 
c. Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan 
genosida; 
d. Mencoba melakukan genosida; 
e. Keterlibatan dalam genosida.
3) Pasal 4 
Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari 
perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 
3 harus dihukum, apakah mereka yaitu  para penguasa 
yang bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat 
negara, atau individu-individu biasa. 
4) Pasal 5 
Para Negara Peserta berusaha membuat, sesuai dengan 
Konstitusi mereka masing-masing, perundang-undangan 
yang diperlukan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan 
dalam Konvensi ini, dan terutama, untuk menjatuhkan 
‘nukuman-hukuman yang efektif bagi orang-orang yang 
bersalah sebab  melakukan genosida atau setiap dari 
perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3. 
5) Pasal 6 
Orang-orang yang dituduh melakukan genosida atau setiap 
dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3, 
harus diadili oleh suaru tribunal yang berwenang dari Negara 
Peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu dilakukan, 
atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang 
mungkin memiliki  yurisdiksi yang berkaitan dengan para 
Negara Peserta yang akan menerima yurisdiksinya.
6) Pasal 8
Setiap Negara Peserta dapat memimta organ-organ 
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berwenang untuk 
mengambil tindakan menurut Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, seperti yang mereka anggap tepat untuk pencegahan 
dan penindasan perbuatan-perbuatan genosida atau setiap 
dari perbuatan-perbuatan lain apa pun yang disebutkan 
dalam Pasal 3.
2. Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan 
Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan
1) Pasal 1 
Tidak ada pembatasan statuta dapat berlaku pada 
kejahatan-kejahatan berikut, dengan mengabaikan saat 
peIaksanaan mereka: 
a. Kejahatan-kejahatan perang seperti yang didefinisikan 
dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 
8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi-resolusi 
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13 
Februari 1946 dan 95 (I) 11 Desember 1946, terutama 
”pelanggaran-pelanggaran berat” yang disebutkan dalam 
Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 untuk 
perlindungan para korban perang. 
b. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan 
dalam waktu perang atau dalam waktu damai seperti yang 
didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, 
Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan 
resolusi-resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) I1 Desember 
1946 pengusiran dengan serangan bersenjata, atau 
pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, 
yang diakibatkan dari kebijakan apartheid, dan kejahatan 
genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap 
Kejahatan Genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan 
ini  tidak merupakan pelanggaran terhadap 
kejahatan-kejahatan itu dilakukan. 
2) Pasal 2 
Jikalau setiap dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan 
dalam Pasal 1 dilakukan, maka ketentuan-ketentuan dalam 
Konvensi ini akan berlaku pada perwakilan-perwakilan dari 
penguasa Negara Peserta dan individu-individu biasa yang, 
sebagai pokok atau penyerta, ikut serta atau yang secara 
langsung menghasut orang-orang lain untuk melakukan 
setiap dari kejahatan-kejahatan ini , atau yang 
bersekongkol melakukan kejahatan-kejahatan ini , 
dengan tidak menghiraukan tingkat penyelesaiannya, dan 
pada perwakilan-perwakilan penguasa Negara Peserta yang 
bersangkutan yang membiarkan dilakukannya kejahatan-
kejahatan ini .
3) Pasal 3
Para Negara Peserta Konvensi ini berusaha mengambil 
semua tindakan domestik yang diperlukan legislatif atau 
yang lain dengan tujuan mewujudkan pelaksanaan ekstradisi 
terhadap orang-orang yang ditunjuk dalam Pasal 2 Konvensi 
ini sesuai dengan hukum internasional.
4) Pasal 4
Para Negara Paserta Konvensi ini berusaha mengambil, 
sesuai dengan proses-proses konstitusi mereka masing-
masing, tindakan-tindakan legislatif apa pun atau lainnya, 
yang diperlukan untuk menjamin bahwa pembatasan-
pembatasan statuta atau yang lainnya tidak dapat berlaku 
pada penuntutan dan penghukuman kejahatan-kejahatan 
yang ditunjuk dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi ini dan bahwa, 
jika  ada, pembatasan-pembatasan ini  harus 
dihapuskan.
B.  Konvensi tentang Penentuan Nasib Sendiri, Penduduk Asli, 
dan Kelompok Minoritas 
1. Deklarasi Tentang Pemberian Kemerdekaan Kepada 
Negara-negara dan Bangsa-bangsa Jajahan
Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) 14 Desember 1960
Mengakui, bahwa bangsa-bangsa di dunia dengan hasrat 
yang kuat mendambakan berakhirnya penjajahan dalam semua 
manifestasi. 
Meyakini bahwa semua rakyat memiliki  hak yang 
tidak dapat dipisahkan untuk menyempurnakan kebebasan, 
pelaksanaan kedaulatan mereka dan integritas wilayah nasional 
mereka.
Dengan khidmat menyatakan perlunya membawa ke suatu 
pengakhiran penjajahan yang cepat dan tanpa syarat dalam 
semua bentuk dan manifestasinya;
Dan untuk tujuan ini, menyatakan bahwa:
1) Menjadikan sasaran semua rakyat untuk penaklukan asing, 
dominasi dan eksploitasi merupakan suatu pengingkaran 
terhadap hak-hak asasi manusia yang sangat dasar, yaitu  
bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 
dan merupakan hambatan bagi peningkatan perdamaian dan 
kerja sama dunia. 
2) Semua rakyat berhak untuk menentukan nasib sendiri; dengan 
dasar hak ini  mereka dengan bebas menentukan status 
politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan 
ekonomi sosial dan kebudayaan mereka. 
3) Kesiapan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan yang tidak 
memadai harus sama sekali tidak pernah dipakai sebagai 
dalih untuk penundaan kemerdekaan. 
4) Semua tindakan bersenjata atau usaha -usaha  penindasan 
dari semua macam yang ditujukan terhadap bangsa-bangsa 
jajahan harus dihentikan agar memungkinkan mereka 
melaksanakan secara damai dan dengan bebas hak mereka 
untuk menyempurnakan kemerdekaan, dan integritas 
wilayah nasional mereka harus dihormati. 
5) Langkah-langkah segera harus diambil, di wilayah-wilayah 
Perwalian atau Tidak Berpemerintahan Sendiri atau semua 
wilayah lain yang belum memperoleh kemerdekaan untuk 
memindahkan semua kekuasaan kepada bangsa-bangsa 
wilayah-wilayah ini , tanpa syarat apa pun, sesuai 
dengan kemauan dan idaman mereka yang dinyatakan dengan 
bebas tanpa pembedaan apa pun mengenai ras, keyakinan 
atau warna kulit, agar susaha  memungkinkan mereka untuk 
menikmati kemerdekaan atau kebebasan yang sempurna 
sempurna.
6) Usaha apa pun yang ditujukan pada kekacauan sebagian 
ataupun total dan kesatuan nasional dan integritas teritorial 
suatu negara yaitu  bertentangan dengan tujuan-tujuan dan 
asas-asas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
7) Semua Negara harus mentaati dengan setia dan sepenuhnya 
ketentuan-ketentuan dari Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, 
dan Deklarasi ini atas dasar persamaan, tidak campur tangan 
dalam urusan-urusan dalam negeri semua Negara, dan 
penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan semua bangsa 
dan integritas teritorial mereka.
2. Resolusi Majelis Umum 1803 (XVII), 14 Desember 1962 
tentang “Kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam”
Menyatakan bahwa:
1) Hak bangsa dan negara atas kedaulatan pemanen pada 
kekayaan dan sumber daya alam mereka harus dilaksanakan 
demi kepentingan pembangunan nasional mereka dan demi 
kesejahteraan penduduk negara yang bersangkutan. 
2) Eksplorasi, pembangunan dan pengaturan sumber daya alam 
dan juga impor modal asing yang dibutuhkan untuk tujuan-
tujuan ini, harus sesuai dengan peraturan-peraturan dan 
syarat-syarat di mana bangsa-bangsa dan negara-negara 
dengan bebas menganggap diperlukan atau diinginkan 
mengenai pengizinan, pembatasan atau pelarangan - yang 
telah disebutkan. 
3) Dalam hal-hak jika  pengizinan diberikan, modal yang 
diimpor dan penghasilan-penghasilan pada modal itu harus 
diatur dengan syarat-syarat mengenainya, dengan perundang-
undangan nasional yang berlaku, dan dengan hukum 
internasional. Keuntungan-keuntungan yang dlperoleh harus 
dibagi-bagi dalam proporsi-proporsi yang disepakati secara 
bebas, dalam tiap-tiap kasus, antara para penanam modal dan 
Negara penerima, perhatian yang semestinya diambil untuk 
menjamin bahwa tidak ada perusakan, sebab  alasan apa 
pun, terhadap kedaulatan Negara atas kekayaan dan sumber 
daya-sumber daya alamnya.
4) Nasionalisasi, perampasan atau pengambilalihan harus 
didasarkan pada latar belakang atau alasan-alasan utilitas 
umum, keamanan atau kepentingan nasional yang diakui 
sebagai di atas kepentingan-kepentingan murni individu 
atau pribadi, baik domestik maupun asing. Dalam kasus-
kasus ini  kepada pemilik harus dibayarkan kompensasi 
yang layak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku 
di Negara yang mengambil tindakan-tindakan ini  
dalam melaksanakan kedaulatannya dan sesuai dengan 
hukum internasional. Dalam kasus apa pun jika  masalah 
kompensasi menimbulkan silang pendapat, yurisdiksi nasional 
Negara yang mengambil tindakan-tindakan ini  harus 
dipakai  secara maksimal mungkin. Namun demikian, atas 
dasar persetujuan para Negara yang berdaulat dan pihak 
lainnya yang bersangkutan, maka penyelesaian perselisihan 
harus dilakukan melalui arbitrase atau pengadilan 
internasional. 
5) Pelaksanaan kedaulatan bangsa dan negara yang bebas dan 
bermanfaat atas sumber daya alam mereka harus dimajukan 
dengan saling menghormati para Negara yang didasarkan 
pada persamaan kedaulatan mereka. 
6) Kerja sama internasional untuk pengembangan ekonomi 
negara-negara sedang berkembang, apakah dalam bentuk 
penanaman modal umum atau swasta, pertukaran barang 
dan pelayanan, bantuan teknik, atau pertukaran informasi 
ilmu pengetahuan, harus sedemikian rupa untuk memajukan 
pembangunan nasional mereka yang mandiri, dan harus 
didasarkan atas penghormatan terhadap kedaulatan mereka 
atas kekayaan dan sumber daya alam meteka. 
7) Pelanggaran terhadap hak-hak bangsa dan negara atas 
kedaulatan pada kekayaan dan sumber daya alam mereka 
yaitu  bertentangan dengan jiwa dan asas-asas Piagam 
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menghalangi pengembangan 
kerja sama internasional dan pemeliharaan perdamaian. 
8) Persetujuan-persetujuan penanaman modal asing yang 
dengan bebas dibuat oleh atau di antara para Negara berdaulat 
harus ditaati dengan itikad baik; para Negara dan organisasi 
internasional harus sepenuhnya dan dengan kesadaran 
menghormati kedaulatan bangsa dan negara atas kekayaan 
dan sumber daya alam mereka sesuai dengan Piagam dan 
asas-asas yang dinyatakan dalam resolusi ini.
3. Konvensi Tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di 
Negara-negara Merdeka
• BAGIAN I: Kebijakan Umum
Pasal 1 
(1) Konvensi ini berlaku pada:
a. Penduduk suku di negara-negara merdeka yang 
kondisi-kondisi sosial, budaya dan ekonominya 
membedakan mereka dari warga  nasional 
lainnya dan yang statusnya diatur, secara keseluruhan 
atau sebagian, dengan kebiasaan-kebiasaan atau 
tradisi-tradisi mereka sendiri atau dengan undang-
undang atau peraturan khusus.
b. Penduduk di negara-negara merdeka, yang dianggap 
sebagai asli berdasar keturunan mereka dari 
penduduk yang menghuni negara itu, atau suatu 
kawasan geografis di mana negara itu termasuk, pada 
waktu penaklukan atau penjajahan atau pemberian 
batas-batas negara yang sekarang dan dengan 
mengabaikan status hukum mereka tetap menguasai 
beberapa atau semua lembaga sosial, ekonomi, budaya 
dan politik mereka sendiri.
(2) Identitas diri sebagai asli atau suku harus dianggap 
sebagai kriteria dasar untuk menetapkan kelompok-
kelompok di mana ketentuan-ketentuan dalam Konvensi 
ini berlaku.
(3) Penggunaan istilah “penduduk” dalam Konvensi ini tidak 
dapat ditafsirkan sebagai memiliki  implikasi apa pun 
mengenai hak-hak yang mungkin melekat pada istilah itu 
menurut hukum internasional. 
• BAGIAN II: Tanah
(1) Dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan Bagian 
dalam Konvensi ini, pemerintah harus menghormati 
arti penting bagi kebudayaan dan nilai-nilai kejiwaan 
para penduduk yang bersangkutan, mengenai hubungan 
khusus mereka dengan tanah atau wilayah, atau bukan 
saja sebagaimana dapat diberlakukan, yang mereka 
tempati atau mereka gunakan untuk yang lain, namun  
juga terutama aspek-aspek kolektif dari hubungan ini.
(2) Penggunaan Istilah “tanah” dalam Pasal-pasal 15 dan 16 
mencakup pengertian wilayah, yang meliputi keseluruhan 
lingkungan wilayah-wilayah di mana para penduduk yang 
bersangkutan akan menempati atau memakai nya 
untuk keperluan yang lain.
• BAGIAN III: Rekrutmen dan Syarat-syarat Perburuhan
Pasal 20 ayat 3:
Langkah-langkah yang diambil harus mencakup langkah-
langkah untuk menjamin:
a. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk 
yang bersangkutan, termasuk para pekerja musiman, 
sambilan, dan pendatang di bidang pertanian, dan 
pekerjaan yang lain, dan juga mereka yang dipekerjakan 
oleh kontraktor-kontraktor buruh, memperoleh 
perlindungan yang diberikan oleh hukum nasional dan 
mempraktekkan kepada para pekerja lain semacam 
itu dalam sektor-sektor yang sama, dan bahwa mereka 
sepenuhnya diberi informasi mengenai hak-hak mereka 
menurut perundang-undangan perburuhan dan sarana-
sarana ganti rugi yang tersedia bagi mereka; 
b. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk 
ini tidak dijadikan sasaran syarat-syarat perburuhan yang 
membahayakan kesehatan mereka, terutama melalui 
pekerjaan yang berhadapan dengan pestisida atau zat-zat 
beracun lain; 
c. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk 
ini tidak dijadikan sasaran dari sistem-sistem rekrutmen 
yang dengan paksaan, termasuk buruh yang dijamin 
dengan uang jaminan, dan bentuk-bentuk lain perbudakan 
utang; 
d. bahwa para pekerja yang termasak penduduk-penduduk 
ini memperoleh kesempatan yang sama dan perlakuan 
yang sama dalam pekerjaan untuk pria dan wanita dan 
memperoleh perlindungan dari pelecehan seksual.
• BAGIAN IV: Pelatihan Kejuruan, Kerajinan Tangan dan 
Industri Pedesaan
Pasal 21
Para anggota penduduk-penduduk yang bersangkutan 
harus memperoleh kesempatan paling sedikit sama dengan 
warga negara yang lain berkenaan dengan langkah-langkah 
pelatihan kejuruan. 
Pasal 22 
(1) Langkah-langkah harus diambil untuk meningkatkan 
partisipasi sukarela para anggota penduduk-penduduk 
yang bersangkutan dalam program pelatihan kejuruan 
yang berlaku umum. 
(2) Setiap waktu, program-program pelatihan kejuruan 
yang berlaku umum itu berlangsung tidak memenuhi 
kebutuhan-kebutuhan khusus penduduk-penduduk yang 
bersangkutan, maka pemerintah dengan partisipasi 
penduduk-penduduk ini harus menjamin penyediaan 
program-program dan fasilitas-fasilitas pelatihan khusus. 
(3) Program-program pelatihan khusus apa pun harus 
didasarkan pada kondisi-kondisi ekonomi, lingkungan, 
sosial dan budaya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis 
penduduk-penduduk bersangkutan. Studi-studi apapun 
yang dilakukan dalam hubungan .ini harus dilaksanakan 
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk ini, 
yang harus dikonsultasikan pada organisasi dan cara 
bekerjanya program-program ini . jika  layak, 
penduduk-penduduk ini harus secara progresif memikul 
tanggung jawab atas organisasi dan cara bekerjanya 
progran-program pelatihan khusus ini , kalaupun 
mereka memutuskan demikian.
• BAGIAN V: Jaminan Sosial dan Kesehatan
Pasal 24
Rencana Jaminan sosial harus diperluas secara progresif 
untuk melindungi penduduk-penduduk yang bersangkutan, 
dan diberlakukan tanpa diskriminasi terhadap mereka
• BAGIAN VI: Pendidikan dan Sarana-sarana Komunikasi
Pasal 30
(1) Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang 
cocok dengan tradisi dan budaya penduduk-penduduk 
yang bersangkutan, menjadikan mereka mengetahui hak-
hak dan kewajiban-kewajiban mereka, terutama mengenai 
masalah buruh, kesempatan ekonomi, pendidikan dan 
kesehatan, kesejahteraan sosial, dan hak-hak mereka 
yang berasal dari Konvensi ini. 
(2) Kalau perlu, langkah-langkah ini harus dikerjakan 
dengan sarana-sarana terjemahan tenulis dan melalui 
penggunaan komunikasi massa dalam bahasa penduduk-
penduduk ini.
• BAGIAN VII: Hubungan dan Kerja Sama Lintas Batas
Pasal 32 
Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah 
yang tepat, termasuk dengan sarana persetujuan-persetujuan 
internasional, untuk memberikan fasilitas hubungan dan 
kerja sama di antara penduduk asli dan penduduk suku yang 
melintasi perbatasan termasuk - di bidang ekonomi, sosial, 
budaya, kejiwaan dan lingkungan. 
• BAGIAN VIII: Administrasi 
Pasal 33 
(1) Penguasa pemerintah yang bertanggung jawab atas 
masalah-masalah yang dicakup dalam Konvensi ini harus 
menjamin bahwa ada badan-badan atau mekanisme-
mekanisme lain yang tepat untuk melaksanakan program-
program yang mempengaruhi penduduk-penduduk 
yang bersangkutan, dan harus menjamin bahwa 
mereka memiliki sarana-sarana yang diperlukan untuk 
pemenuhan fungsi-fungsi yang tepat yang ditugaskan 
pada mereka. 
(2) Program-program ini akan mencakup: 
a. perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi 
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk yang 
bersangkutan, mengenai langkah-langkah yang 
ditentukan dalam konvensiini;
b. pengusulan tindakan-tindakan legislatif dan langkah-
langkah yang lain pada para penguasa yang berwenang 
dan pengawasan pada penerapannya yang diambil 
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk yang 
bersangkutan. 
4. Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Termasuk 
Kelompok Minoritas Bangsa atau Etnis, Agama dan Bahasa
Pasal 1
(1) Negara harus mendukung eksistensi dan identitas bangsa 
atau etnis, budaya, agama dan bahasa dari kelompok 
minoritas yang ada di dalam wilayah mereka masing-masing 
dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk meningkatkan 
identitas ini . 
(2) Negara harus mengambil tindakan-tindakan legislatif dan 
yang lain yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan ini . 
Pasal 2 
(1) Orang-orang yang termasuk dalam minoritas bangsa atau 
etnis, agama dan bahasa (selanjutnya ditunjuk sebagai 
orang-orang yang termasuk kelompok minoritas) memiliki 
hak untuk menikmati kebudayaan mereka sendiri, untuk 
menyatakan dan mengamalkan agama mereka sendiri dan 
memakai  bahasa mereka sendiri dalam lingkungan 
pribadi dan umum, dengan bebas dan tanpa campur tangan 
atau bentuk diskriminasi apa pun.
(2) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak ikut 
serta secara efektif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, 
ekonomi dan publik.
(3) Orang-orang yang termasuk kalompok minoritas berhak ikut 
serta secara efektif dalam keputusan-keputuaan pada tlngkat 
nasional, dan jika  tepat, pada tingkat regional mengenai 
kelompok minoritas yang di dalamnya mereka termasuk, atau 
wilayah-wilayah di mana mereka tinggal, dalam suatu cara 
yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. 
(4) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak 
mendirikan dan memelihara perhimpunannya sendiri. 
(5) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak 
mendirikan dan memelihara, tanpa diskriminasi apa pun, 
hubungan-hubungan yang bebas dan damai dengan para 
anggota lain kelompok mereka, dengan orang-orang yang 
termasuk kelompok-kelompok minoritas lain, dan juga 
hubungan-hubungan yang melintasi perbatasan dengan 
warga negara dari Negara lain di mana mereka dihubungkan 
dengan ikatan-ikatan bangsa atau etnis, agama atau bahasa.
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Humor 26 
Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah 
Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan 
Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, 
ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan 
Pemerintahan
Menginstruksikan untuk:
Pertama: Menghentikan penggunaan istilah pribumi 
dan nonpribumi dalam semua perumusan dan 
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, 
ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan 
pemerintahan.
Kedua : Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada 
seluruh warga negara lndonesia dalam penyelenggaraan 
layanan pemerintahan, kewarga an dan 
pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam 
segala bentuk, sifat, serta tingkatan kepada warga 
negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras, 
maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan 
ini . 
Ketiga : Meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh 
peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, 
dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan 
dilaksanakan, termasuk antara lain dalam pemberian 
layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, 
kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan 
kerja dan penentuan gaji atau penghasilan, dan hak-
hak pekerja lainnya, sesuai dengan lnstruksi Presiden 
ini. 
Keempat: Para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, 
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II 
melakukan pembinaan dalam sektor dan wilayah 
masing-masing terhadap pelaksanaan Instruksi 
Presiden ini di kalangan dunia usaha dan warga  
yang menyelenggarakan kegiatan atas dasar perizinan 
yang diberikan ataas dasar kewenangan yang 
dimilikinya. 
Kelima : Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan 
mengkoordinasikan pelaksanaan instruksi ini di 
kalangan para Menteri dan pejabat-pejabat lainnya 
yang disebut dalam Instruksi Presiden ini.
C.  Konvensi tentang Larangan Diskriminasi dan Perbudakan 
1. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk 
Diskriminasi Rasial
Konvensi ini disetujui dan terbuka untuk penandatanganan 
dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 
Desember 1965. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa: Dalam 
Konvensi ini istilah “diskriminasi rasial” berarti pembedaan, 
pelanggaran, pembatasan atau penguatan apa pun yang 
didasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul keturunan, bangsa 
atau etnis yang memiliki  tujuan atau akibat meniadakan 
atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan 
pada suatu tumpuan yang sama, akan hak-hak asasi manusia 
dan kebebasan-kebebasan dasar di setiap bidang politik, 
ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan umum yang 
lain. 
usaha -usaha  dari Negara Peserta Konvensi ini untuk 
mengutuk diskriminasi rasial ini  tercantum dalam pasal 
2 ayat 1 yaitu:
a. Berusaha untuk sama sekali tidak terlibat dalam tindakan 
atau praktik diskriminasi rasial terhadap orang, kelompok 
orang, atau lembaga dan untuk menjamin bahwa semua 
penguasa Negara dan lembaga Negara, nasional dan lokal, 
harus bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
b. Berusaha tidak mensponsori, mempertahankan atau 
mendukung diskriminasi rasial oleh orang atau organisasi 
mana pun;
c. Akan mengambil tindakan-tindakan yang efektif untuk 
meninjau kembali kebijakan pemerintah, nasional 
dan lokal, dan untuk mengamandemenkan, menunda 
atau membatalkan undang-undang dan pengaturan-
pengaturan apa pun yang memiliki  akibat menciptakan 
atau mengabadikan diskriminasi rasial, di mana pun 
berada;
d. Melarang dan mengakhiri dengan semua sarana yang 
tepat termasuk perundang-undangan sebagaimana yang 
dibutuhkan oleh keadaan, diskriminasi rasial oleh orang-
orang, kelompok atau organisasi apa pun;
e. Berusaha untuk mendorong, jika  tepat, organisasi 
pemersatu multirasial dan pergerakan-pergerakan dan 
sarana-sarana lain yang menghapus hambatan-hambatan 
di antara ras dan tidak mendorong apa pun yang cenderung 
memperkuat  pembagian ras.
Sebagai bagian dari realisasi usaha -usaha  ini , maka 
sesuai dengan muatan dari pasal 8 akan dibentuk sebuah Komite 
yang terdiri dari 8 orang ahli berkepribadian moral tinggi dan 
diakui kenetralannya (ayat 1) dan pemilihan pertama akan 
dilangsungkan enam bulan sesudah  berlakunya Konvensi ini (ayat 
3) dan memangku jabatan selama 4 tahun (ayat 5).
2. Konvensi tentang Penindasan dan Penghukuman 
Kejahatan Apartheid
Pengertian kejatan Apartheid dalam Konvensi ini 
disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Para 
Negara Peserta Konvensi ini menyatakan bahwa apartheid  
yaitu  suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan bahwa 
perbuatan-perbuatan tidak manusiawi yang diakibatkan 
dari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik apartheid  dan 
kebijakan-kebijakan dan praktik serupa mengenai pemisahan 
dan diskriminasi rasial, seperti yang didefinisikan dalam 
pasal 11 Konvensi, merupakan kejahatan-kejahatan yang 
melanggar asas-asas hukum internasional, terutama tujuan-
tujuan dan asas-asas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 
dan merupakan ancaman gawat terhadap perdamaian dan 
keamanan internasional. 
219---
Sementara dalam pasal 11 ayat 1 menyebutkan “perbuatan-
perbuatan yang disebutkan dalam pasal 2 Konvensi ini tidak 
dapat dianggap sebagai kejahatan-kejahatan politik untuk 
tujuan ekstradisi”. paraNegara Konvensi ini dalam kasus-
kasus ini  berusaha memberikan ekstradisi sesuai dengan 
perundang-undangan mereka dan perjanjian-perjanjian 
internasional yang berlaku (ayat 2).
Untuk menangani kejahatan apartheid maka sesuai 
dengan isi pasal 4 Konvensi ini, Negara Peserta berusaha:
a. Mengambil tindakan-tindakan legislatif apa pun atau 
lainnya yang diperlukan untuk menumpas dan juga untuk 
mencegah pendorongan apa pun terhadap kejahatan 
apartheid dan kebijakan-kebijakan bersifat pemisahan 
yang serupa atau manifestasi mereka dan untuk 
menghukum orang-orang yang bersalah sebab kejahatan 
ini ;
b. Mengambil tindakan-tindakan legislatif, yudisial 
dan administratif untuk mengusut, mengajukan ke 
Pengadilandan menghukum menurut yurisdiksi mereka 
orang-orang yang bertanggung jawab, atau yang dituduh, 
atas perbuatan-perbuatan yang didefinisikan dalam Pasal 
2 Konvensi ini, apakah orang-orang ini  bertempat 
tinggal atau tidak bertempat tinggal di dalam wilayah 
Negara di mana perbuatan-perbuatan ini  dilakukan 
atau merupakan warga negara dari Negara ini  atau 
dari beberapa Negara lain atau merupakan orang yang 
tidak berkewarga negaraan.
3. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi 
Terhadap Wanita
Konvensi ini disetujui dan terbuka untuk penandatanganan, 
ratifikasi dan aksesi, dengan Resolusi Majelis Umum 34/180, 
18 Desember 1979. Bagian I Pasal 1 menyebutkan bahwa: 
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, amaka istilah “Diskriminasi 
terhadap wanita” akan berarti pembedaan, pengesampingan atau 
pelanggaran apa pun, yangdibuat atas dasar jenis kelamin yang 
220 ---
memiliki  akibat atau tujuan mengurangi atau meniadakan 
pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan oleh wanita, dengan 
mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar 
persamaan pria dan wanita, akan hak-hak asasi manusia dan 
kebebasan-kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, 
budaya, sipil atau bidang lain apa pun. 
usaha -usaha  yang dilakukan oleh Negara Peserta Konvensi 
ini antara lain disebutkan dalam Pasal 2 sebagai berikut:
a. memasukkan asas persamaan pria dan wanita ke dalam 
konstitusi-konstitusi nasional mereka atau perundang-
undangan lain yang tepat jika belum dimasukkan ke dalamnya 
dan menjamin, melalui hukum dan sarana-sarana lain yang 
tepat, realisasi praktis dari asas ini; 
b. mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang 
tepat, termasuk sanksi-sanksi, jika  tepat, yang melarang 
semua diskriminasi terhadap wanita; 
c. membentuk perlindungan hukum bagi hak-hak wanita 
atas dasar yang sama dengan pria, dan menjamin melalui 
pengadilan-pengadilan nasional yang berwenang dan lembaga-
lembaga pemerintah lainnya, perlindungan yang efektif bagi 
wanita terhadap tindakan diskriminasi apa pun; 
d. mengekang dari keterlibatan dalam perbuatan atau praktek 
diskriminasi apa punterhadap wanita dan menjamin bahwa 
para penguasa pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah 
akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini; 
e. mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapuskan 
diskriminasi terhadap wanita oleh setiap orang, organisasi 
atau perusahaan; 
f. mengambil semua tindakan yang tepat, termasuk perundang-
undangan, untuk mengurangi atau menghapuskan undang-
undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan 
praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi 
terhadap wanita; 
g. mencabut semua ketentuan hukum nasional yang merupakan 
diskriminasi terhadap wanita.
221---
Beberapa pasal lainnya dalam Konvensi ini yang menjamin 
hak-hak perempuan, antara lain:
a. kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat 
internasional dan untuk mengambil bagian dalam tugas 
khusus organisasi-organisasi internasional (Pasal 8)
b. hak untuk memperoleh, berganti atau mempertahankan 
kewarga negaraan (Pasal 9 ayat 1) dan kewarga negaraan 
anak-anak mereka (ayat 2).
c. dalam bidang pendidikan, negara memberikan jaminan 
untuk karier dan bimbingan kejuruan, akses kekurikulum, 
penghapusan konsep-konsep stereotif  mengenai peran-peran 
pria dan wanita, mendapatkan beasiswa, akses ke program-
program lanjutan, penurunan angka putus studi mahasiswa 
wanita, aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani,dan 
akses ke informasi pendidikan (pasal 10 poin a-h).
d. Dalam bidang Pekerjaan, hak-hak yang diberikan kepada 
wanita yaitu hak atas pekerjaan, kriteria yang sama 
dengan pria, bebas memilih profesi dan pekerjaan, hak 
atas pengupahan yang sama, hak jaminan sosial terutama 
dalam keadaan pensiun, menganggur, sakit, keadaan cacat, 
dan usia lanjut, serta hak atas perlindungan kesehatan dan 
keselamatan dalam syarat-syarat perburuhan (pasal 11 ayat 
1). Selain itu wanita juga berhak untuk cuti hamil (ayat 2).
e. Dalam bidang perawatan kesehatan, Negara menjamin hak-
hak untuk pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan yang 
berkaitan dengan keluarga berencana, kehamilan, persalinan 
dan masa sesudah melahirkan, dan juga gizi yang memadai 
selama kehamilan dan menyusui (pasal 12 ayat 1 dan 2).
f. Dalam bidang ekonomi dan sosial lain, agar dapat menjamin 
persamaan antara pria dan wanita akan hak-hak yang sama, 
maka negara memberikan hak atas kemanfaatan, pinjaman 
bank, hipotik dan bentuk-bentuk kredit keuangan yang lain, 
dan ikut serta dalam - reaksi, olahraga, dan semua aspek 
budaya (pasal 13).
g. Negara juga akan memperhitungkan masalah-masalah 
khusus yang dihadapi wanita-wanita pedesaan (pasal 14) 
222 ---
yaitu hak atasikut serta dalam perluasan dan pelaksanaan 
perencanaan pembangunan, kemudahan keperawatan 
kesehatan, memperoleh kemanfaatan dari program jaminan 
sosial, memperoleh pelatihan, pendidikan formal dan non-
formal, mengorganisir berbagai kelompok mandiri yang 
bersifat kerjasama, ikut serta dalam  warga , akses 
kredit dan pinjaman pertanian, kemudahan pemasaran 
dan teknologi, dan memperoleh kehidupan yang memadai 
terutama dalam hubungannya dengan perumahan, sanitasi, 
pemasokan listrik dan air, angkutan dan komunikasi.
h. Dalam bidang hukum, negara akan memberikan atas 
persamaan di depan hukum, persoalan-persoalan sipil, 
undang-undang yang berhubungan dengan perpindahan 
orang-orang dan kebebasan untuk memilih kediaman di 
tempat tinggal mereka (Pasal 15). 
i. Dalam hal perkawinan, beberapa hak wanitas yang dijamin 
oleh negara antara lain hak untuk mengikatkan diri dalam 
perkawinan, bebas memilih suami/istri, hak dan tanggung 
jawab selama perkawinannya dan waktu perceraiannya, hak 
dan tanggung jawab sebagai orang tua, memutuskan secara 
bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak 
antara anak-anak mereka, dan memiliki  akses informasi, 
pendidikan, sarana-sarana untuk melaksanakan hak-hak itu, 
hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan, 
pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak-anak, hak 
pribadi sebagai suami/istri mengenai pemilihan dan perolehan, 
manajemen, administrasi, penikmatan dan pengaturam harta 
kekayaan (pasal 16 ayat 1).
Maka dalam Pasal 17  (ayat 1) untuk tujuan mempertimbangkan 
kemajuan yang dibuat dalam pelaksanaan Konvensi ini, harus 
dibentuk suatu Komite tentang Penghapusan Diskriminasi 
terhadap Wanita yang dipilih dengan suara rahasia dari daftar 
nama orang-orang yang dicalonkan oleh para Negara Peserta 
(ayat 2). Pemilihan pertama dilangsungkan enam bulan sesudah 
berlakunya Konvensi ini (ayat 3). Para Anggota Komite memangku 
jabatan selama empat tahun (ayat 5).
223---
4.  Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 14 Desember 1960 oleh 
Konferensi Umum Organisai Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan 
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sesuai dengan muatan dari pasal 1 Konvensi ini, disebutkan 
bahwa: Untuk tujuan Konvensi ini diskriminasi mencakup 
pembedaan, pengesampingan, pembatasan, atau pengutamaan 
apa pun, sebab  didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, 
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan 
atau sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran, memiliki  tujuan 
meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam 
pendidikan dan terutama:
a. Dari mencabut akses orang atau kelompok apa pun ke 
pendidikan jenis apa pun atau pada tingkat apa pun;
b. Dari membatasai orang atau kelompok apa pun ke pendidikan 
pada standar yang lebih rendah mutunya;
c. Tunduk pada ketentuan-ketentuan pasal 2 Konvensi ini, dari 
membentuk atau memelihara sistem-sistem atau lembaga-
lembaga pendidikan yang terpisah bagi orang atau kelompok 
orang; atau
d. Dari membebankan orang atau kelompok orang apa pun 
kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Negara Peserta untuk 
mencegah diskriminasi dalam pengertian ini seperti yang termuat 
dalam pasal 3 antara lain:
a. Mencabut setiap pengaturan statuta dan setiap instruksi 
administrasi dan untuk tidak melanjutkan setiap praktik 
administratif yang melibatkan diskriminasi dalam bidang 
pendidikan;
b. Menjamin, dengan perundang-undangan jika  perlu, 
bahwa tidak ada diskriminasi dalam penerimaan siswa pada 
lembaga-lembaga pendidikan;
c. Tidak memperbolehkan perbedaan-perbedaan perlakuan 
apa pun oleh para penguasa pemerintah di antara warga 
224 ---
negara, kecuali atas dasar kegunaan atau kebutuhan dalam 
pembayaran sekolah dan penerimaan beasiswa, atau bentuk-
bentuk bantuan yang lain kepada siswa dan izin-izin yang 
diperlukan dan berbagai kemudahan untuk mengejar studi di 
luar negeri;
d. Tidak memperbolehkan, dalam bentuk bantuan apa pun,yang 
diberikan oleh para penguasan pemerintah kepada lembaga-
lembaga pendidikan, setiap pelarangan atau pengutamaan 
yang didasarkan semata-mata pada alasan bahwa siswa 
ini  termasuk dalam suatu kelompok tertentu.
e. Memberikan kepada warga negara asing yang tinggal di dalam 
wilayah mereka, akses yang sama ke pendidikan seperti yang 
diberikan kepada warga negara mereka sendiri. 
Selain itu, untuk mendukung dan menjamin penerapan pasal 
1, dalam Pasal 5 (ayat 1) Konvensi ini, para Negara Peserta juga 
menyepakati bahwa:
a. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kepribadian 
manusia seutuhnya dan  menguatkan penghormatan 
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan 
dasar; pendidikan akan meningkatkan pengertian, toleransi 
dan persahabatan antara semua bangsa, kelompok rasial 
atau kelompok agama, dan lebih jauh - Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk pemeliharaan perdamaian; 
b. Penting untuk menghormati kebebasan orang tua dan jika  
dapat diterapkan, wali hukum, pertama-tama untuk memilih 
bagi anak-anak mereka lembaga-lembaga selain yang dikelola 
orang para penguasa pemerintah namun  yang bersesuaian 
dengan standar pendidikan minimum seperti yang mungkin 
ditetapkan atau disetujui oleh para penguasa yang berwenang 
dan, kedua, untuk menjamin dengan cara yang sesuai 
dengan prosedur-prosedur yang diikuti dalam Negara untuk 
penerapan perundang-undanga, pendidikan agama dan moral 
anak-anak sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri dan 
tidak seorang pun atau kelompok orang pun dapat dipaksa 
menerima perintah agama yang bertentangan dengan 
kepercayaannya atau kepercayaan mereka; 
225---
c. Penting untuk mengakui hak para anggota warga negara 
minoritas untuk melaksanakan - pendidikan mereka sendiri, 
termasuk pengelolaan sekolah dan dengan bergantung pada 
kebijakan pendidikan setiap Negara, penggunaan atau 
pengajaran bahasa mereka sendiri, bagaimanapun juga 
asalkan;
(i) Bahwa hak ini tidak di’aksanakan dalam cara yang 
mencegah para anggota kelompok minoritas ini dari 
memahami kebudayaan dan bahasa warga  itu 
sebagai keseluruhan dan mencegah dari ikut serta dalam 
-nya, atau yang mempengaruhi kedaulatan nasional;
(ii) Bahwa standar pendidikan tidak lebih rendah daripada 
standar umum yang ditetapkan atau disetujui oleh para 
penguasa yang berwenang; dan 
(iii) Bahwa kehadiran pada sekolah-sekolah ini  
merupakan pilihan.
5. Protokol yang Membentuk Komisi Konsiliasi dan Jasa Baik 
yang Bertanggung Jawab atas Pencarian Penyelesaian 
Perselisihan Apapun yang Mungkin Timbul di Antara 
Negara Peserta Konvensi Melawan Diskriminasi dalam 
Pendidikan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 10 Desember 1962 oleh 
Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan 
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mulai berlaku 
pada tanggal 24 Oktober 1968. Pasal 1 Konvensi ini menyebutkan 
bahwa: akan didirikan di bawah Organisasi Pendidikan, Ilmu 
Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa 
Komisi Konsoliasi dan Jasa Baik, selanjutnya disebut sebagai 
“Komisi” yang bertanggung jawab mencari penyelesaian 
perselisihan secara damai di antara Negara Peserta Konvensi 
melawan Diskriminasi dalam Pendidikan, selanjutnya ditunjuk 
sebagai Konvensi, selanjutnya di