hak asasi manusia 4

Jumat, 26 Januari 2024

hak asasi manusia 4





pembatasan kekuasaan presiden dimana jika 
sebelum perubahan, UUD 1945 memberikan kekuasaan 
kepada lembaga kepresidenan begitu besar, yang meliputi 
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus, kini 
kekuasaan presiden terbatas pada kekuasaan eksekutif saja.
b. Mempertegas ide pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga 
negara, yang terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan 
lembaga negara yang lebih terinci.
c. Menghapus keberadaan lemabaga negara tertentu (dalam hal 
ini DPA) dan membentuk lembaga-lembaga negara yang baru 
seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), 
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Pemilihan Umum 
(KPU) dan Bank Sentral.
d. Mempertegas dan memperinci jaminan terhadap perlindungan 
HAM warga negara.
f. Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang 
selama ini lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara 
(Mansyur Effendi, 1997).
147---
Perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, 
sebagaimana telah disebutkan di muka mempertegas dua hal 
kerangka hukum (dasar) demokrasi sekaligus, yaitu demokrasi 
prosedural berupa ditetapkannya prosedur dan mekanisme 
penentuan puncak jabatan politik eksekutif baik nasional maupun 
daerah melalui Pemilu langsung oleh rakyat. Perubahan ini 
menempatkan warga negara sebagai subjek hukum yang memiliki 
makna dan nilai politik serta hukum sekaligus dalam penentuan 
jabatan-jabatan politik.
4.  Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia
Konsep negara hukum merupakan konstruksi atas realitas 
sosial politik di era Yunani Kuno di mana dua filosof besar itu 
hidup dan menjadi bagian realitas politik waktu itu. Begitu pula 
halnya konsep negara hukum yang muncul dan berkembang pada 
warga  Eropa yang mengalami penindasan oleh kekuasaan 
raja yang absolut. Rakyat menginginkan pengaturan hubungan 
sesama rakyat melalui hukum sebab  rakyatlah yang berdaulat. 
Di dalam ajaran kedaulatan hukum, sumber kekuasaan tertinggi 
yaitu  hukum, bukan negara sebagai pemegang kedaulatan. 
Konsekuensinya yaitu  kepala negara harus tunduk kepada 
hukum.
Konsepsi gagasan kedaulatan hukum lalu  dikenal dan 
berkembang dalam konsep rechtsstaat dan rule of law. Kedua 
konsep sama-sama diterjemahkan menjadi negara hukum 
sehingga sering dipertukarkan setiap kali menyebut negara 
hukum, tidak terkecuali oleh ahli hukum tata negara sendiri. 
Penggunaan konsep negara hukum sebagai terjemahan dari dua 
konsep yang berbeda, yaitu rechtsstaat dan rule of law, secara 
akademis agaknya tidak terlalu dipersoalkan. 
The rule of law, mengandung tiga arti yaitu:
a. Absolutisme hukum untuk menentang pengaruh arbitrary 
power serta meniadakan kesewenangan-kesewenangan yang 
luas dari pemerintah,
b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama 
semua golongan kepada hukum.
148 ---
c. Konstitusi bukanlah sumber, namun  merupakan konsekuensi 
hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh 
peradilan.
Sementara itu, rechtsstaat memuat empat unsur, yaitu:
a. Hak-hak asasi manusia,
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-
hak,
c. Pemerintah berdasar peraturan-peraturan,
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan (Mansyur Effendi, 
1997).
Desakan untuk menempatkan hukum sebagai supremasi 
di atas politik merupakan konsekuensi cita negara hukum 
yang mengemukakan segera sesudah  berakhirnya kekuasaan 
otoritarian di banyak negara di ketiga benua ini . Desakan 
konseptual dan aksi-aksi nyata untuk mengakhiri dominasi politik 
(kekuasaan) di era otoritarian itu tidak saja terjadi di parlemen, 
namun  di kalangan kekuatan sipil lainnya seperti akademisi 
hukum, Pers, dan Lembaga Swadaya warga  (LSM).
Dengan meletakkan kekuasaan politik di bawah kekuasaan 
hukum, atau mendepersonalisasi kekuasaan serta membentuk 
otoritas impersonal, otoritas berada dalam konstitusi, serta suatu 
sistem aturan dan prosedur sehingga tidak ada manipulasi, 
penekanan, dan intimidasi. Dalam otoritas hukum itulah, proses 
proses penegakan hukum (peradilan) dapat dilaksanakan dengan 
fair, adil dan trasparan, sejalan dengan deklarasi universal 
HAM pasal 10 dan Traktat Internasional mengenai hak-hak 
kewarga negaraan yang menyatakan, “Setiap orang berhak dalam 
kesamaan yang penuh untuk diperiksa secara adil dan di depan 
umum oleh suatu pengadilan yang bebas dan tidak memihak”.
Dalam pasal 14 Traktat Internasional mengenai hak-hak 
warga negara dan politik antara lain disebutkan sebagai berikut.
a. Semua orang yaitu  sama di depan pengadilan dan badan-
badan peradilan.
b. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak 
untuk diperlakukan berdasar asas praduga tidak bersalah.
149---
c. Didalam menentukan sikap tuduhan pidana, setiap orang 
berhak mendapatkan jaminan berikut ini : a) diberitahu 
secepatnya dengan bahasa yang ia mengerti tentang 
tuduhan padanya, b) memperoleh cukup waktu dan fasilitas 
bagi persiapan pembelaannya, c) untuk diperiksa tanpa 
penundaan yang tidak cukup alasan, d) untuk diperiksa 
dalam kehadirannya, e) untuk memeriksa atau menyuruh 
memeriksa saksi-saksi yang melawan dia.
d. Dalam perkara yang melibatkan orang di bawah umur, harus 
ditempuh prosedur sedemikian rupa dengan mengindahkan 
usia mereka.
e. Setiap orang yang dijatuhi keputusan bersalah melakukan 
sesuatu kejahatan berhak mengjukan usaha  hukum.
f. Setiap orang yang telah diputus bersalah, namun  lalu  
dinyatakan sebaliknya oleh pengadilan lebih tinggi sebab  
adanya kesalahan pengadilan atau ada bukti-bukti baru.
g. Seseorang berhak untuk tidak diadili atau dihukum kembali 
untuk suatu kejadian yang telah mendapatkan putusan yang 
berkekuatan hukum pasti atau telah dibebaskan (Mansyur 
Effendi, 1997).
5. Negara Hukum di Era Orde Baru
Para ahli ilmu politik dan hukum tata negara telah lama 
mengonstair bahwa pasang surut negara hukum Indonesia tidak 
lepas dari ambiguitas konsep negara hukum yang dirumuskan di 
dalam UUD 1945 itu sendiri. Rumusan dalam penjelasan UUD 
1945 yang menyatakan “Indonesia ialah negara yang berdasar 
atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan 
belaka (matchtstaat)” menunjukkan dua hal, yaitu:
a. Secara sadar  menempatkan “matchtstaat” sebagai yang 
primer dan “rechtsstaat” sebagai hal yang skunder,
b. Kekuasaan yaitu  lingkaran besar, sementara hukum (negara 
hukum) yaitu  lingkaran kecil yang berada dalam lingkaran 
besar.
Konstruksi nilai yang dibangun dalam UUD 1945 ini juga 
bersifat state oriented yang membuka peluang bagi lahirnya 
150 ---
sistem politik otoriter, monolitik, dan sentralistik. Pada masa 
Orde Lama gagasan negara hukum tenggelam dalam arus 
ideologi patrimonalisme Demokrasi Terpimpin. Rezim Demokrasi 
Terpimpin yang otoritarian itu berusaha mengubur habis 
gagasan dan konsep negara hukum dengan memberikan tafsir 
otoritarianistik UUD 1945 sebagai dasar untuk mengabsahkan 
praktik ketatanegaraan yang sesungguhnya menyimpangi 
konstitusi ini .
Pada awal Orde Baru memang dilakukan penataan kembali 
fungsi-fungsi kekuasaan negara, seperti eksekutif, legislatif, dan 
yudikatif yang pada era demokrasi terpimpin dicampurkan. Pada 
awal Orde Baru itu pula dibangun sistem kekuasaan kehakiman 
yang otonom yang secara formal menutup intervensi eksekutif 
ke badan yudikatif. Tidak pula dapat disangkal penguasa baru 
pada saat itu bersikap toleran terhadap kebebasan berekspresi, 
khususnya kebebasan pers.
Kelemahan konstitusi sebagaimana dikonstruksikan dalam 
pasal-pasal di dalam UUD 1945 telah dicatat oleh banyak ahli 
sebgai sebab penting mudahnya kekuasaan, terutama presiden 
melakukan penyimpangan kekuasaan dari prinsip negara hukum 
demokratis ada lima kelemahan dasar (sebelum amandemen), 
yaitu sebagai berikut:
a. Sistem konstitusi di bawah UUD 1945 bersifat ‘sarat eksekutif’,
b. Tidak ada checks and balances,
c. UUD ini mendelegasikan terlalu banyak aturan konstitusional 
ke level undang-undang,
d. Di dalamnya ada beberapa  pasal yang bermakna ambigu 
alias rancu,
e. Konstitusi ini terlalu banyak bergantung kepada political 
goodwill dan integritas para politisi.
6. Negara Hukum dalam UUD 1945 Perubahan
a. Negara hukum pada perubahan pertama
Perubahan pertama bertujuan untuk memberikan 
penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat 
151---
bahwa badan legislatif tidak hanya monopoli DPR. Badan 
ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak 
memicu  DPR menjadi badan legislatif tunggal sebab  
sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan 
presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif 
bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
b. Negara hukum perubahan kedua
Perubahan pertama dan kedua UUD 1945 telah memuat 
prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai 
dianut oleh para perumus perubahan UUD 1945 seperti 
cermin dalam pasal 5 (1) dan pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5). 
Dengan kata lain, perubahan pertama dan perubahan kedua 
telah menghasilkan pemisahan kekuasaan dalam fungsi-
fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang 
sederajat dan saling mengimbangi.
c. Negara hukum perubahan ketiga
Perubahan ketiga dapat dikatakan sebagai perubahan 
yang paling mewarnai keseluruhan perubahan UUD 1945, 
selain sebab  jumlah pasal atau ayat yang berubah atau 
bertambah cukup banyak, namun  juga kandungan substansi 
yang diubah secara mendasar. beberapa  pengamat, menyebut 
perubahan ketiga sebagai perubahan yang memperkuat 
karakter demokratis dan fundamental bagi lembaga negara 
Indonesia.
d. Negara hukum perubahan keempat
Ide dan konstruksi normatif negara hukum pada perubahan 
keempat UUD 1945 sudah memasuki gagasan negara hukum 
yang berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan sosial 
warga . Cita-cita UUD 1945  sebagai konstitusi negara 
kesejahteraan, yang oleh Bung Hatta pernah diterjemahkan 
dengan perkataan negara pengurus, mulai secara eksplisit 
mengatur ke arah itu. Perubahan tentang pasal pendidikan 
dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial 
sudah secara eksplisit menegaskan substansi terpenuhinya 
hak-hak dimaksud sebagai fondasi bagi terpenuhinya hak-hak 
152 ---
yang lain, terutama di bidang hak-hak sipil dan hak politik, 
serta kelangsungan hidup dan kehidupan warga negara.
7. Perlindungan HAM Dalam UUD 1945 Perubahan
Perubahan UUD 1945 bukan hanya perubahan redaksional, 
melainkan perubahan paradigma pemikiran yang sangat 
mendasar. Akan namun , mengenai bagaimana cetak biru dan desain 
makro penjabaran ide negara hukum itu sejauh ini belum pernah 
dirumuskan secara komprehensif. Membangun suatu negara 
hukum harus diletakkan dalam satu kesatuan sistem hukum yang 
mencakup elemen kelembagaan (elemen institusional), elemen 
kaidah (elemen instrumental), dan elemen perilaku para subjek 
hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan 
oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural).
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hierarki dan aspek-
aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama 
lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus 
dikembangkan dalam kerangka negara hukum Indonesia 
berdasar UUD 1945. Jika dinamika yang berkenan dengan 
keseluruhan aspek, elemen, hierarki, dan komponen ini  
tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, hukum sebagai satu 
kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana 
mestinya.
Sebagai suatu sistem kesatuan sistem hukum, usaha  
perubahan perundang-undangan untuk menyesuaikan dengan 
perubahan UUD 1945 seharusnya yaitu  bagian yang tidak 
terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara 
keseluruhan. Oleh sebab  itu, perubahan berbagai perundang-
undangan sebaiknya dilakukan secara terencana dan partisipatif 
dalam program legislasi nasional sekaligus bentuk legislatif 
review. Program legislasi nasional harus disusun pertama dan 
utamanya yaitu  untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 
1945. berdasar ketentuan UUD 1945, dapat dielaborasikan 
perundang-undangan yang harus dibuat dalam program legislasi 
nasional baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial (Sahdan, 
Gregorius, 2004).
153---
Dengan kata lain, perubahan sebagaimana telah dikemukakan 
masih memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dari pemerintah 
sebagai pemegang kekuasaan. Kewenangan lembaga-lembaga 
independen yang disebut dalam UUD 1945, pengaturan lebih 
lanjut lembaga-lembaga politik dan pemerintah, lembaga ekonomi, 
dan dunia usaha, lembaga yang menangani kesejahteraan sosial 
dan budaya, serta penataan sistem dan aparatur hukum harus 
ditegaskan dalam berbagai undang-undang sehingga substansi 
negara hukum dalam UUD 1945 perubahan terwujud dan 
dirasakan oleh rakyat.
C. Politik Hukum HAM di Era Reformasi 
1. Produk Hukum era Reformasi
Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia 
telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian 
(berdasar pada periode sistem politik) antara konfigurasi politik 
yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan 
dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, maka karakter 
produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi tampil 
secara demokratis, maka produk hukum yang dihasilkan bersifat 
responsif, sebaliknya saat  konfigurasi politik tampil secara 
otoriter, maka hukum-hukum yang dilahirkannya berkaraketr 
ortodoks (Mahfud MD, 2011).
Dengan demikian, perkembangan hukum-hukum privat atau 
hukum publik yang tidak berkaitan dengan gezgsverhouding dapat 
berjalan secara linear tanpa secara signifikan dipengaruhi oleh 
perubahan-perubahan politik. Tidaklah mengherankan jika 
Penpres No. 11 Tahun 1963 yang lalu  dijadikan UU NO. 
11/PNPS/1963 (tentang Tindak Pidana Subversi) diberlakukan 
oleh dua rezim yang bertentangan, yakni rezim Orde Lama dan 
Orde Baru meskipun selama berlakunya selalu digugat sebab  
Penpres/UU ini  memberi jalan bagi penguasa untuk 
melakukan tindakan represif yang keras bagi siapapun yang akan 
mengganggu posisi pemegang kekuasaan (Mahfud MD, 2011). 
Seperti yang diketahui bahwa UU No. 11/PNPS/1963 baru dicabut 
sesudah  reformasi tahun 1998 yakni pada saat gerak reformasi 
sedang bergelora. 
Temuan ini  tampak mengkonfrontasi juga terhadap 
kejadian-kejadian aktual yang menyusul reformasi tahun 1998. 
Tampak jelas dan terbukti secara gamblang bahwa “hukum 
sebagai produk politik” sangat ditentukan oleh perubahan-
perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru di bawah kekuasaan 
Soeharto jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah, 
terutama hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi 
kekuasaan, yakni hukum tata negara. Berbagai undang-undang 
bidang politik produk Orde Baru langsung diubah dengan 
pembongkaran atas asumsi-asumsi serta penghilangan atas 
kekerasan-kekerasan politik yang menjadi muatannya. Berikut 
beberapa contohnya.
a. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya diganti 
dengan UU tentang Kepartaian. Jika semula rakyat dipaksa 
untuk hanya menerima dan memilih tiga organisasi sosial 
tanpa boleh mengajukan alternatif, maka seorang rakyat 
diperbolehkan membentuk parpol yang eksistensinya di 
parlemen bisa dibatasi oleh rakyat melalui Pemilu dengan 
pemberlakuan electoral threshold dan atau parliamentary 
threshold (Mahfud MD, 2011).
b. UU tentang Pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota 
DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden. Penyelenggara 
Pemilu juga dilepaskan dari hubungan struktural dengan 
pemerintah, dari yang semula diselenggarakan oleh Lembaga 
Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam 
Negeri dialihkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang 
bersifat mandiri. Bahkan ketentuan tentang ini lalu  
dimasukkan di dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni 
Pasal 22E Ayat (5) yang berbunyi “Pemilihan umum 
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang 
bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
c. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD 
dirombak sejalan dengan perubahan UU tentang Pemilu. 
155---
Perubahan atas UU ini sampai tahun 2004 secara prinsip 
hanya berisi pengurangan terhadap jumlah anggota DPR 
yang diangkat serta pengangkatan anggota-anggota MPR 
secara lebih terbuka, namun sejak Pemilu 2004 perubahan 
atas UU sudah meniadakan pengangkatan sama sekali dan 
memasukkan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga 
negara yang baru sejalan dengan amandemen atas UUD 1945 
yang menentukan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan 
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
d. UU tentang Pemerintahan Daerah juga diganti, dari yang 
semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi 
berasas ekonomi luas, dari yang secara politik sentralistik 
menjadi desentralistik. Asas otonomi luas ini bukan hanya 
dituangkan di dalam UUD 1945 hasil amandemen (perubahan 
kedua) yakni di dalam pasal 18 ayat (5) yang berbunyi 
“Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, 
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang 
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat “.
Selain dari contoh-contoh di atas, masih banyak UU lain 
yang diubah sejalan dengan perubahan politik dari Orde Baru ke 
reformasi. Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) 
dicabut, Dwifungsi ABRI dihapuskan, TNI dipisahkan dari POLRI, 
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dihapus, 
Kekuasaan Kehakiman disatuatapkan, dan masih banyak contoh 
lainnya.
Pasca reformasi 1998 perubahan hukum bukan hanya 
mengantarkan pada perubahan berbagai UU seperti yang 
dicantumkan di atas, melainkan menyentuh juga peraturan 
perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dan UUD 1945. Untuk 
tingkat Tap MPR yang mula-mula ditiadakan yaitu  Tap MPR 
No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan 
Pancasila (P4) dan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang 
Referendum, namun  akhirnya Tap MPR sendiri dinyatakan dihapus 
dari peraturan perundang-undangan sejalan dengan perubahan 
atau amandemen atas UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 mengubah hubungan antarlembaga 
negara dari yang vertikal-struktural menjadi horizontal-
fungsional sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR 
yang semula merupakan lembaga tertinggi negara diturunkan 
derajatnya menjadi lembaga negara biasa yang sejajar dengan 
lembaga negara lainnya, yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, 
MK, dan Komisi Yudisial. Dengan posisi MPR yang tidak lagi 
sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan perundang-
undangan di dalam tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap 
MPR sebagai peraturan. Tap MPR yang tadinya merupakan 
peraturan perundang-undangan derajat kedua sesudah  UUD 
tidak dapat lagi dikeluarkan sebagai peraturan perundang-
undangan dan tempatnya pada derajat kedua dalam hirarki 
peraturan perundang-undangan diganti oleh UU/Perpu yang 
semual menempati derajat ketiga. Pada saat ini memang masih 
dimungkinkan adanya Tap MPR, namun  bukan lagi sebagai 
peraturan melainkan sebagai penetapan, seperti Ketetapan 
tentang Penetapan Wakil Presiden jika Presiden berhalangan 
tetap. Peraturan bersifat umum-abstrak, sedang penetapan 
bersifat konkret-individual (Sahdan, Gregorius, 2004).
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa penghapusan Tap 
MPR sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan 
merupakan akibat dari perubahan atau amandemen atas UUD 
1945. Perubahan UUD 1945 sendiri merupakan agenda atau 
produk utama reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran kuat 
yang dimotori oleh berbagai kampus dan para pegiat demokrasi 
bahwa reformasi konstitusi merupakan keharusan jika kita 
mau melakukan reformasi. Alasannya krisis multidimensi yang 
menimpa Indonesia disebabkan oleh sistem politik yang otoriter 
sehingga untuk memperbaikinya harus dimulai dari perubahan 
sistem politik agar menjadi dmeokratis. Untuk membangun sistem 
yang demokratis perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 
sebab  sistem otoriter yang dibangun selalu masuk dari celah-
celah yang ada pada UUD 1945 ini . Menurut penelitian yang 
dilakukan Prof. Moh. Mahfud MD, tentang “Pengaruh Konfigurasi 
Politik Terhadap Karakter Produk Hukum” bahwa faktanya sistem 
politik yang otoriter selalu terjadi pada masa-masa berlakunya 
UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Mahfud MD 
yang secara sederhana diragakan sebagai berikut:
Periode
Konfigurasi 
Politik
Karakter 
Produk Hukum
UUD 
yang berlaku
1945-1959 Demokratis Responsif
UUD 1945. 
Konst. RIS 1949, 
UUDS 1950
1959-1966 Otoriter Ortodoks UUD 1945
1966-1998 Otoriter Ortodoks UUD 1945
Dari ragaan ini , tampak bahwa sistem demokrasi 
hanya terjadi pada periode 1945-1959, sedang pada periode 
selanjutnya menampilkan otoriterisme. Artinya demokrasi 
dengan memakai  indikator-indikator tertentu hanya dapat 
berkembang pada saat UUD 1945 (sebelum diamandemen) tidak 
berlaku, dengan kata lain otoriterisme selalu berkembang dan 
mencengkeram pada periode-periode berlakunya UUD 1945 
yang asli. biasanya kelemahan-kelemahan UUD 1945 
yang menjadi pintu masuk bagi tampilnya otoriterisme itu 
diidentifikasikan sebagai berikut (Mahfud, 2011). 
Pertama, memuat ketentuan-ketentuan-ketentuan yang mem-
fokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif (executive heavy) 
yang dipimpin oleh presiden. Selain sebagai kepala eksekutif, 
praktis presiden menjadi ketua lembaga legislatif, sebab  jika 
presiden tidak mau menadatangani sebuah RUU yang disetujui 
DPR dan pemerintah, maka RUU ini  tidak belaku
Kedua, memuat ketentuan yang multi tafsir yang sebab  
sistemnya yang executive heavy itu maka penafsiran konstitusi 
yang harus diterima sebagai kebenaran yaitu  penafsiran yang 
dibuat presiden.
Ketiga, terlalu banyak memberi atribut kewenangan 
kepada lembaga legislatif untuk mengatur hal-hal yang sangat 
penting dengan undang-undang tanpa ada limitasi yang tegas 
di dalam UUD padahal presiden sangat dominan dalam proses 
pembentukan undang-undang. Banyaknya atribusi ini yang 
158 ---
memicu  isi undang-undang lebih banyak didominasi oleh 
kehendak-kehendak presiden.
Keempat, terlalu percaya pada semangat orang sebagaimana 
dinyatakan sendiri dalam penjelasn UUD 1945 sebelum 
diamandemen. Di dalam penjelasan UUD 1945 ini , 
dinyatakan bahwa UUD tidaklah terlalu penting sebab yang 
lebih penting yaitu  semangat penyelenggara negara, jika 
semangat penyelenggara negara baik, maka negara akan baik. 
Itulah kelemahan-kelemahan yang ada dalam UUD 1945 sebelum 
amandemen ini , dan itulah yang menjadi salah satu alasan 
diadakannya amandemen. Namun ada hal lain yang memperkuat 
alasan dilakukannya amandemen, yakni alasan konstitusi 
sebagai resultante atau produk kesepakatan politik sebagaimana 
diungkapkan KC Wheare, sebagai resultante, konstitusi 
merupakan kesepakatan pembuatnya sesuai dengan keadaan 
ekonomi, politik, sosial dan budaya pada saat dibuat.
2. Produk Hukum HAM 
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia yaitu  hak yang dimiliki manusia 
sebab  martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh 
warga  atau negara.  Semua manusia sebagai manusia 
memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian 
memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Menurut 
Szabo tujuan hak asasi manusia yaitu  memepertahankan hak-hak 
manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan 
kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu 
yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang 
multidimensional. 
Dalam kaitannya dengan pengertian atau notion HAM dapat 
dibedakan antara an mordefinisi yuridis, politis, dalam deklarasi 
politik yaitu  Deklarasi umum hak-hak asasi yang diterima pada 
bulan Desember 1948. Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD 
1945, Ketetapan No. II/MPR/1978 disatu pihak dan Deklarasi 
Universal HAM, yang ditetapkan oleh PBB. Namun, secara de 
facto para pendiri bangsa (Founding Father) yang merumuskan 
159---
UUD 1945 tidak mau memasukkan apa yang termuat dalam 
Deklarasi Universal sebab  apa yang termuat di dalamnya 
dirasa tidak sesuai dengan watak ideologi bangsa Indonesia.HAM 
sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak 
asasi manusia yang muncul pada abad ke-20 seperti Deklarasi 
Universal, memiliki  beberapa  ciri menonjol. Pertama, susaha  
kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas sebagai hak. 
Kedua, hak-hak ini dianggap universal, yang dimiliki oleh 
manusia semata-mata sebab  ia yaitu  manusia. Salah satu 
ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang 
yaitu  bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga, 
hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak 
bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem 
adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Keempat, hak 
asasi manusia dipandang norma-norma yang penting, dimana 
dalam deklarasi itu yaitu  sesuatu yang oleh para filsuf disebut 
sebagai prima facie right. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan 
kewajiban bagi individu maupun pemerintah.Secara eksplisit 
hak-hak asasi dalam UUD 1945 itu sebagai hak-hak warga 
Negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan tentu  saja 
dalam Pembukaan UUD 1945. Di masa Orde Baru, semangat dan 
jiwa yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 
1945 secara  murni dan konsekuen mendorong pengurus MPRS  
untuk mengadakan langkah-langkah guna membenahi dan 
menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang 
dilakukan oleh G 30 S/PKI. Hak-hak warga Negara di Indonesia 
diakui dan dijunjung tinggi namun  dalam kerangka solidaritas 
Indonesia, dalam konteks gotong-royong. Masalah-masalah yang 
tumbuh berkisar HAM di Indonesia cukup kompleks, baik secara 
teoritis maupun yuridis ada tiga macam pandangan.
a. Kelompok yang pertama berpendirian: Indonesia dengan 
ideologi Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, 
dan peradaban. Kecuali itu UUD 1945 secara eksplisit 
menjamin beberapa  hak fundamental untk para warga 
Negara.
b. Kelompok yang kedua: Menentang HAM, sebab menurut 
mereka HAM menyusahkan penyelenggara pemerintahan 
yang beriktikad baik.
160 ---
c. Kelompok yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka 
menunjukkan adanya fakta yang membuktikan adanya 
pelanggaran terhadap HAM. Mereka berusaha menyadarkan 
rakyat akan hak-hak fundamental mereka (Majda El-Muhtaj, 
2009).
Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan 
sebenarnya baru menjadi permasalahan jika  seseorang 
berada dalam lingkungan manusia lainnya. Rumusan hak-
hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia untuk 
membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang hendak 
menyelenggarakan keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh 
suatu Negara diakui secara hukum dapat dirumuskan dan dibagi 
menjadi dua kategori:
a. Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari 
Negara yang bersangkutan (hak-hak warga negara).
b. Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili 
di Negara yang bersangkutan.
Era Reformasi 
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru yaitu  
adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi 
ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis 
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. 
KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat 
terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat 
mencolok memicu  munculnya kerusuhan sosial. Muncul 
demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama 
kaum demonstran yaitu  perbaikan ekonomi dan reformasi total. 
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari 
kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 
Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya 
sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil 
presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya 
kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
161---
Penegakan HAM pada Masa Reformasi 
Orde Reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang 
lebih baik. Beberapa perubahan positif yang dibawa oleh reformasi 
pada periode jabatan presiden B.J. Habibie yaitu :
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima 
paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-
undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-
undang ini . 
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. 
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan 
DPR/MPR. 
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh 
pada tata politik yang adil. Hak warga negara untuk 
mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan 
menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi dengan baik 
sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka 
(Majda El-Muhtaj, 2009). 
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, 
terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk 
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya 
pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang 
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, 
serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 
Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga 
stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi 
memicu  warga  tidak berdaya untuk memperoleh 
kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat 
keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas 
ekonomi rakyat.
162 ---
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam warga  
mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya 
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. 
warga  bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada 
pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan 
pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi 
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan 
permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan 
pers, warga  dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak 
warga  untuk mendapatkan informasi secara jelas 
dan terbuka pun mulai dibuka. Pelaksanaan Pemilu 
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan 
Pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang 
demokratis. Pemilu ini  diikuti oleh 48 partai politik. 
Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie yaitu  
penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang 
memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah 
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak 
pendapat di Timor Timur. Referendum ini  dilaksanakan 
pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. 
Hasil jajak pendapat ini  menunjukkan bahwa mayoritas 
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor 
Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor 
Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik 
Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama 
Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
3. Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi 
Sekalipun ada berbagai pembenahan, di masa reformasi 
masih terjadi banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, 
HAM sudah cukup ditegakkan. namun  dalam beberapa hal lain,  
pelanggaran HAM justru semakin marak sesudah  masa reformasi 
berlangsung. Berikut ini yaitu  beberapa kasus pelanggaran 
HAM yang terjadi pada masa reformasi.
163---
a. Kebijakan Anti  Rakyat Miskin 
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak 
ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. 
Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik 
di lembaga eksekutif  – termasuk aparat penegak hukum 
maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi 
pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang 
sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak 
asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan 
kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak 
telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, 
khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, 
sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi 
ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah membawa 
dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, 
aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin 
dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum 
miskin; Kedua, diabaikannya/tidak dijalankannya hukum dan 
peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok 
miskin. 
b.   Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 
hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan 
yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika 
perburuhan. Perundang-undangan itu yaitu  UUNo 21 tahun 
2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan 
UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga 
Undang-undang itu lalu  menjadi roh sistem perburuhan 
di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah 
mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja 
dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat 
upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani 
kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya 
ini  ditekan. Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, 
justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK ini , ribuan 
buruh ikut menambah jumlah pengangguran. berdasar 
164 ---
survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat 
pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta 
oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 
juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan 
awal tahun 2005. lalu  pada Februari 2006 angka 
pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara 
itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti 
tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat 
pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan 
tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan 
kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari 
seluruh kasus ini  mencapai sekitar 500 milyar rupiah. 
Salah satu di antaranya yaitu  kasus PT. Dirgantara 
Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, 
agar tetap hidup, puluhan ribu buruh ini  lalu  
bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada 
tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan 
Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan 
mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-
undang ketenagakerjaan ini . Paket rancangan ini  
berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan 
Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja 
dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program 
Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan 
PHK). Singkatnya, paket-paket RPP ini  mengandung 
arti melestarikan sistem kontrak dan outsourcing dan 
mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan 
kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin 
jauh dari realitas (Majda El-Muhtaj. 2009).
c.    Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi 
secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling 
kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain 
menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa 
malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah 
yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang 
165---
kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin 
berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga 
internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung 
lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-
negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, 
dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, 
angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, 
tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai 
indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan 
dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya 
kasus busung lapar dan beberapa  penyakit lain yang 
diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan 
pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan 
kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. 
Meskipun tidak semua kasus malnutrisi yaitu  akibat faktor 
ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 
juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia 
diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses 
warga  miskin ke pangan. 
Masih  tingginya tingkat kelaparan di warga  
menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan 
pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan 
pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak 
dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang 
dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun 
pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga 
sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan 
masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan 
mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat 
mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat 
memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. 
Sekalipun terjadi perubahan saat  bangsa Indonesia 
memasuki masa reformasi, namun  toh tidak banyak perubahan 
yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM 
yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti: 
166 ---
terjadinya krisis moral di Indonesia, aparat hukum yang 
berlaku sewenang-wenang, kurang adanya penegakan hukum 
yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain. Maka 
untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu: 
a. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
b. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
c. Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
d. Penanaman nilai-nilai keagamaan pada warga  
(Halili, 2016).
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab 
pemerintah namun  juga tanggung jawab semua umat manusia. 
Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar 
dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan 
Allah dan umat manusia.
C.  Politik Hukum Ham di Era Demokrasi
1.  Hukum HAM Responsif 
Munculnya gagasan hukum responsif bermula dari kegelisahan 
Philippe Nonet dan Philp Selznick terhadap ketidakmampuan 
hukum di Amerika menghadapi problem sosial yang muncul 
saat itu. Protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran 
lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan 
kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an, 
telah mengecewakan Nonet dan Selznick yang akhirnya berpikir 
menemukan jalan menuju perubahan agar hukum bisa mengatasi 
persoalan-persoalan itu                                             
Dalam pandangan mereka, hukum di Amerika era itu hanya 
dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku legalistik 
tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum ini  dengan pers yang 
harus ditangani. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin 
pengaturan dari penguasa yang menekankan aspek legitimasi 
dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori 
hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan 
tidak kebal terhadap pengaruh sosial. 
Memahami kenyataan itu, mereka lalu  mencoba 
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam 
ilmu hukum dengan memakai  strategi ilmu sosial. Ada 
perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya 
hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya 
mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan 
ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu 
yang berubah-ubah dan kontekstual. 
Dengan hukum responsif, Nonet dan Selznick menjanjikan 
tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan 
dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom dengan 
menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan ini  yang 
menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif, 
namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih 
besar. 
berdasar konsepsi Nonet dan Selznick serta kegagalan 
politik hukum HAM dalam berdasar menyelesaikan 
pelanggaran HAM masa lalu di era reformasi, studi ini mengi 
pembuatan hukum HAM responsif. Konsepsi responsif yang 
dimaksud di sini yaitu  pembuatan hukum HAM harus diproses 
secara partisipatif dengan substansi yang responsif terhadap 
kebutuhan dan aspirasi sosial sesuai realitas hak asasi manusia 
di Indonesia. 
Proses partisipatif mensyaratkan dua hal. Pertama, DPR 
meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal warga  
dan tidak memerankan diri sebagai konseptor undang-undang, 
apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk 
perundang-undangan. Proses pertisipatif menurut Habermas 
mensyaratkan memperluas perdebatan politis dalam parlemen ke 
warga  sipil. 
Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat negara 
dan wakil rakyat, melainkan seluruh warga negara berpartisipasi 
di dalam wacana bersama. Kedaulatan rakyat bukanlah 
substansi yang membeku di dalam perkumpulan para wakil 
rakyat, melainkan ada dalam pelbagai forum warga negara, 
organisasi nonpemerintah, gerakan sosial.
Kedua, mensyaratkan organisasi warga  sipil menjadi 
kekuatan intelektual mengkaji merumuskan kebutuhan hukum 
warga . Perpaduan DPR yang sejatinya yaitu  representasi 
(politik) rakyat dengan organisasi warga  sipil diproyeksikan 
mampu substansi hukum HAM yang memiliki kekuatan 
penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfill) HAM yang 
kontekstual dengan demokrasi warga , bukan produk hukum 
HAM yang responsif terhadap politik.
Konsepsi proses partisipatif di atas tentu saja memerlukan 
untuk memperjelas prosedur-prosedur dan proses kelembagaan 
lanjut partipasi bisa dilaksanakan. usaha  ini  yang 
dapat menjamin mensyaratkan tidak hal-hal di antaranya: (1) 
mewajibkan negara mempublikasikan perencanaan produk 
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan 
memberikan kesempatan kepada kelompok warga  strategis 
berpartisipasi, (2) tersedianya sistem informasi dan dokumentasi 
yang sistematis, bebas dan mudah diakses, (3) adanya jaminan 
prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi warga  
untuk terlibat secara efektif, (4) tersedianya prosedur yang 
menjamin publik bisa mengajukan inisiatif pembuatan RUU, (5) 
adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang 
wajib tersedia dan bebas diakses publik, seperti antara lain: 
naskah RUU, notulensi pembahasan, catatan-catatan (Halili, 
2016). 
Bagian penting prinsip partisipasi dalam konsepsi responsif 
bidang HAM yaitu  sifat afirmatif yang dilegalisasi melalui 
peraturan perundang-undangan sebagai respons atas kebutuhan 
riil warga . Jika pada aspek hak sipil dan hak politik (HSP) 
prinsip kebebasan dikerangka sebagai ruang pemenuhan hak-hak, 
bidang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (HESB) dikonstruksikan 
sebagai aksi afirmatif untuk tujuan equal opportunity agar 
kelompok atau golongan tertentu yang rentan, memperoleh 
peluang yang setara dengan kelompok atau golongan lain yang 
kuat. Sebagai tindakan afirmatif, kebijakan yang diambil yaitu  
kebijakan yang memberi posisi hukum HESB sebagai hak yang 
bisa dikomplain pemenuhannya secara hukum (justiciable).
169---
HSP dan HESB yaitu  problem utama dan kebutuhan dasar 
mayoritas rakyat Indonesia sebab  belum pernah menikmati 
perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM produk 
hukum HAM kedua hak ini  sepanjang sejarah republik ini. 
Memang menjamin HSP dan menomorduakan HESB sama artinya 
tidak memberikan jaminan kepada hak HSP kepada mayoritas 
rakyat. Begitu sebaliknya, memprioritaskan HESB dan abaikan 
HSP sama dengan apa yang dilakukan negara-negara otoritarian 
terhadap penduduknya yang menjaga “perut rakyatnya tetap 
kenyang”, namun  membelenggu akal sehatnya.
Proses perubahan UUD Proses pembuatan peraturan 
perundang-undangan semenjak 1945 tidak mengalami perubahan 
yang signifikan dibanding sebelumnya. Kewenangan pemerintah 
masih tetap dominan inisiator UU yang representasi rakyat tidak 
memiliki kemampuan memakai  hak inisiatif mengajukan 
sehingga mengikuti saja paradigma, proses, dan alur berpikir 
RUU yang konteks eksekutif. Akibatnya makna pembuatan 
hukum, termasuk hukum HAM dalam perubahan UUD 1945 yang 
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan menjadi tidak 
terwujud. Peraturan perundang-undangan bidang HAM yang 
dibuat masih bersifat top down yang menempatkan rakyat yang 
akan menjadi tujuan pengaturan sebagai objek pasif. Konstruksi 
normatif bagi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM 
sepenuhnya konstruksi pemerintah dan DPR. 
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, perubahan 
paradigma juga merupakan tuntutan realistis bagi perubahan 
paradigma pembuatan hukum yang bersifat tidak partisipatif dan 
berorientasi sepenuhnya kepada produk-produk hukum represif 
untuk kepentingan kekuasaan (pemerintah), ke arah paradigma 
pembuatan hukum yang bersifat partisipatif untuk kepentingan 
warga . 
Philippe Nonet dan Philip Selznick yang mengintroduksi 
teori hukum respons menegaskan bahwa responsivitas hukum 
ditentukan pada seberapa kuat konstruksi hukum dibangun 
berdasar kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan-kebutuhan 
sosial yang dimaksud Nonet dan Selznick tentu saja kontekstual, 
170 ---
yaitu di mana dan untuk siapa hukum itu akan diberlakukan 
sehingga hukum bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan. 
Dalam pandangan hukum responsif, hukum tidak hanya 
memberikan sesuatu yang bih sekadar hukum formal atau 
prosedural, namun  juga mengakomodasi kebutu warga , serta 
mampu mengenali kebutuhan publik, dan yang paling penting 
bisa mewujudkan keadilan kepada warga , yaitu tercapainya 
keadilan substantif. 
Dilihat dari penafsiran, produk hukum yang berkarakter 
responsif memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat 
penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan. 
Peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang 
bersifat teknis. Oleh sebab itu, produk hukum responsif harus 
memuat hal-hal penting secara rinci, yang menutup peluang bagi 
pemerintah untuk membuat penafsiran tersendiri secara sepihak.
Penegakan atau pemenuhan HAM untuk meningkatkan 
kualitas hidup kelompok rentan harus dimulai secara serempak 
dilakukan dari “luar” dan “dalam”. Dari luar dilakukan melalui 
proses-proses politik yang egaliter, yang menempatkan rakyat 
sebagai subjek dan sasaran kritis perlindungan. Dari “dalam” 
dilakukan melalui proses pendidikan menuju ke kesadaran hak 
untuk melepaskan diri dari rasa ketergantungan, menuju ke 
arah terwujudnya legal literacy, yaitu situasi kesadaran akan 
pemilikan hak di kalangan khalayak awam.
Gerakan penyadaran hukum pun dilakukan dengan strategi 
dan pengorganisasian yang lain. Bukan lagi strategi untuk 
menyadarkan rakyat akan kewajiban-kewajiban (semata) seperti 
yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan pada era 
rezim Orde Baru, namun  strategi untuk menyadarkan mereka 
tentang hak-hak dan batas-batas hak mereka Gerakan kesadaran 
hak ini memang harus lebih banyak dikerjakan oleh organisasi 
organisasi nonpemerintah yang sejak lama menganut kebijakan 
populis (Halili, 2016).
Gerakan memberantas buta hak” pada dasarnya tidak lagi 
mempercayai mitos dalam doktrin hukum Itulah doktrin klasik, 
171---
yang meyakini “setiap manusia warga negara itu berkedudukan 
sama di hadapan hukum dan kekuasaan sudah waktunya 
untuk dikritik dan dipertanyakan kebenaran riilnya. Kesamaan 
kedudukan di hadapan hukum dan kekuasaan, jika  tidak 
didukung oleh kesamaan status ekonomi sebagaimana yang 
dijamin oleh hak-hak ekonomi yang asasi, tidaklah akan bisa 
mengubah keadaan.
 Gerakan sadar hak yaitu  tindakan afirmatif yang tidak 
bisa dilihat diskriminatif keadaan Dengan kata lain, distribusi 
dan/atau pengakuan hak menurut hukum perundang-undangan 
haruslah dikonfigurasikan secara sadar dan realistis sedemikian 
rupa sehingga mereka tergolong miskin dan buta hak akan 
memperoleh hak, dan/atau perlindungan hak dalam yang relatif 
lebih besar daripada apa yang dapat diperoleh oleh mereka proporsi 
yang telah mapan. Kesamaan kedudukan dalam memperoleh 
kesempatan berekonomi itulah yang justru menjamin kesamaan 
kedudukan di hadapan hukum dan akan pemerintahan.
 2.  Politik Hukum Hak Sipil Politik (HSP)
 a.  Responsivitas UUD 1945 terhadap HSP 
Tuntutan komitmen kemanusian sebagaimana telah 
dijelaskan di atas tidak saja diarahkan pada perlindungan, 
penghormatan, dan pemenuhan HAM dari kemungkinan 
tindakan langsung negara sebab  kekuasaan yang tidak 
demokratis atau sikap diam atau membiarkan lari negara, 
namun  juga dominasi kelompok-kelompok warga  yang 
memiliki kekuatan atas kelompok-kelompok warga  
yang lemah. 
Paradigma perlindungan, penghormatan dan pemenuhan 
HAM tidak lagi menempatkan HSP sebagai prioritas dan 
HESB sebagai pilihan yang sepenuhnya disandarkan kepada 
kemampuan negara, namun  menjadi kebutuhan simultan 
setiap manusia dan warga . Politik hukum HSP dalam 
UUD 1945 perubahan pertama-tama menguatkan eksistensi 
Presiden menjadi lebih terkontrol, memberikan kewenangan 
besar kepada DPR, menegaskan dan menguatkan hak 
172 ---
berorganisasi, bereksperesi, berpendapat, serta memperkuat 
eksistensi lembaga yudisial.
Penerjemahan kedaulatan ke dalam HSP antara lain 
diwujudkan melalui pemilihan umum langsung untuk memlih 
anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan Presiden dan Wakil 
Presiden, gubernur, serta bupati atau walikota. Selanjutnya 
menegaskan hak kewenangan DPR sebagai representasi 
rakyat dalam pembuatan UU; menghapus diskriminasi 
terhadap warga negara Indonesia yang dimuat dalam Pasal 
2615 dan Pasal 2 yang 1945 Melalui pasal lahir UU No. Tahun 
2006 tentang Kewarga negaraan membebaskan mereka dari 
UU yang bersifat hukum HSP turunan kedaulatan menjamin 
kemerdekaan berserikat terumus dalam Pasal 28 yang dan 
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisandan tulisan. 
Pasal ini  diperluas menjadi Pasal 28A sampai 28J 
sehingga cakupan SP menjadi lebih luas dan rinci. 
Politik hukum HSP berikutnya yaitu  merasionalisasi 
kekuasaan Presiden agar sesuai dengan prinsip negara 
hukum dan demokrasi. Langkah pertama bidang ini 
yaitu  menempatkan kedaulatan rakyat sebagai penentu 
diperolehnya jabatan Presiden melalui mekanisme Pemilu 
langsung. 
Rasionalisasi yang kedua yaitu  membatasi jabatan 
Presiden. Substansi ketentuan Pasal UUD 1945 sesungguhnya 
yaitu  perlindungan HSP yang bersifat mencegah lahirnya 
kekuasaan politik secara tidak terbatas, yang dapat 
memicu  penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran 
HAM sebagaimana terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. 
Dengan membatasi masa jabatan Presiden, berarti mencegah 
potensi terulangnya penyalahgunaan kekuasaan dengan 
segala konsekuensi pada HAM.
 Politik hukum pemilihan dan pembatasan jabatan 
Presiden di atas dilengkapi pula dengan jaminan konstitusi 
tentang kemungkinan pemberhentian Presiden dan atau 
Wakil Presiden jika  melanggar hukum. 19 Kewenangan 
yang diberikan UUD 1945 kepada MPR, DPR, dan MK untuk 
173---
melakukan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden 
ini  menjadi garansi bahwa ada institusi negara yang 
bisa melindungi HSP dari kemungkinan Presiden dan atau 
Wakil Presiden melanggar HSP warga negara. 
Jaminan akan peradilan yang merdeka juga semakin kuat 
sesudah  perubahan UUD 1945. Dengan jaminan ini, maka 
secara normatif ada penguatan pada penghormatan 
Lebih-lebih sesudah  di bidang persamaan di depan hukum dan 
perlindungan HSP perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, 
kekuasaan kehakiman mendapat tambahan satu jenis 
mahkamah lain yang memiliki  kedudukan yang setingkar 
atau sederajat dengan Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah 
Konstitusi (MK). 
Kewenangan MK yaitu  melakukan Jndicial Reuven (R) 
terhadap UU yang berada bawah UUD 1945 yang melanggar 
hak-hak konstitusional warga negara. Dengan kewenangan 
itu, MK telah menjadi lembaga penjamin (institutionalqurante) 
bagi HAM, khususnya warga negara. 
Politik hukum HAM perlindungan HSP melalui penguatan 
kedudukan dan kewenangan yudisial (MK) di atas diperkuat 
pula oleh kehadiran Komisi Yudisial (KY) lembaga Meskipun 
lembaga baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, 
sebab  keberadaannya dalam 1945 Bab IX tentang Kekuasaan 
kehakiman, substansi keberadaan KY tidak dapat dipisahkan 
dari kekuasaan kehakiman. KY berwenang mengusulkan 
pengangkatan Hakim Agung dan memiliki  kewenangan 
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, 
keleluhuran martabat, serta perilaku hakim. 
Pentingnya kualitas dan intensitas pengawasan terhadap 
hakim dilakukan oleh lembaga independen sebab  selama 
Orde Baru, tidak sedikit hakim yang menyalahgunakan  
kewenangannya secara independen yang berakibat melanggar 
hak-hak konstitusional warga negara, antara lain menghukum 
orang tidak bersalah, atau sebaliknya membebaskan orang 
yang bersalah. Kehadiran KY dimaksudkan untuk memastikan 
174 ---
para hakim bertindak memakai  kewenangannya sesuai 
UU.
b.  Menambahkan Kewenangan Mahkamah Konstitusi 
Dalam perubahan ketiga UUD 1945, Mahkamah Konstitusi 
ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan 
pengujian atas konstitusionalitas undang- undang; (b) 
mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga 
negara. yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar (c) 
mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat 
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan 
pelanggaran hukum sehingga secara hukum tidak memenuhi 
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi 
terbukti sehingga dapat dijadikan alasan oleh Majelis 
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden 
dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan 
perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum; 
dan (e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran 
partai politik. 
Memperhatikan signifikansi peran MK selama ini dalam 
menjaga konstitusi dengan mengendalikan produk-produk 
hukum yang melanggar maupun potensial melanggar 
HAM (hak-hak konstitusional warga negara, maka sudah 
seharusnya jika  kewenangan MK diperluas mencakup 
kewenangan menerima dan mengadili gugatan perorangan 
(constitutional complaint).
Menurut Gerhard Dannemann, kewenangan constitutional 
complaint telah berkembang pesat dan diadopsi hampir 
di seluruh negara Eropa Tengah dan Timur. Mahkamah 
Konstitusi Federal Jerman (Bunde dan Korea Selatan yaitu  
dua di antara MK yang telah menerapkan kewenangan 
constitutional complaint.
Contoh kasus constitutional complaint yang cukup terkenal 
di Jerman, yaitu tuntutan tentang larangan penyembelihan 
hewan sebab  dinilai bertentangan dengan undang-undang 
tentang perlindungan hewan. warga  muslim Jerman 
175---
yang berkeberatan mengajukan hal ini sebab  bertentangan 
dengan kebebasan menjalankan agama sebab  ajaran Islam 
justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum 
halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman 
mengabulkan tuntutan itu dengan alasan beragama yaitu  
hak mendasar yang diatur dalam konstitusi, sedang 
larangan penyembelihan hewan berada pada wilayah 
ketentuan di bawah undang-undang dasar. 
Jika kewenangan ini ada pada MK, tersedia mekanisme 
hukum lain untuk menjamin terjaganya HAM warga 
negara. Mengagungkan pengakuan hak-hak dasar manusia 
(warga negara) tanpa perlindungan atau mendengung-
dengungkan perlindungan tanpa tersedia usaha  hukum 
untuk mempertahankan dan memperjuangkannya sama 
artinya dengan pengingkaran terhadap pengakuan dan 
perlindungan hak dasar setiap warga negara. Oleh sebab 
itu, memperluas kewenangan constitutional complaints atau 
pengaduan konstitusional yang berkaitan dengan hak dasar 
setiap indvidu kepada MK merupakan kebutuhan mendasar 
yang sama mendasarnya dengan substansi hak itu sendiri.
 Di sisi lain, dengan adanya instrumen complaint ini, lambat 
laun akan tercipta kesadaran di tengah-tengah warga  
untuk membela diri di hadapan hukum saat  hak-hak 
dasar mereka dilanggar. Selain itu, berbagai kebijakan yang 
menyentuh ranah publik dan negara biasa dengan sendirinya 
akan memiliki  kepekaan terhadap perlindungan dan 
pemenuhan hak dasar setiap individu warga . 
c.  Memasukkan Ketentuan tentang Ratifikasi Konvensi 
HAM Internasional 
UUD 1945 sudah seharusnya memuat ketentuan yang 
mewajibkan negara meratifikasi pelbagai konvensi HAM 
Internasiona Demikian ketentuan agar substansi dari konvensi 
yang telah d ratifikasi itu ditindaklanjuti dengan pembentukan 
UU atau mengadopsi substansi yang telah diratifikasi ke 
dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang telah 
ada. Salah satu konvensi HAM internasional yang semestinya 
176 ---
segera ditindaklanjuti dengan mengadopsi substansinya ke 
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 
yaitu  Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi 
dengan UU No. 5 Tahun 1998 Urgensi mengadopsi substansi 
konvensi ini kedalam KUHAP sebab  tindakan penyiksaan, 
perlakuan kejam, dan merendahkan martabat manusia 
menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling 
banyak dilakukan polisi pada saat melakukan penyelidikan 
dan penyidikan atas suatu tindak pidana.
d.  Larangan Melakukan Tindakan Pembiaran
UUD 1945 perlu ditambah dengan pengaturan yang 
mencegah tindak pembiaran yang menjangkiti pemerintah 
dan aparat penegak hukum Indonesia selama Membiarkan 
tanpa perilaku atau tindakan pembiaran akan melumpuhkan 
setiap usaha  penegakan hukum, menghancurkan kedaulatan 
hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem 
demokrasi itu sendiri. Oleh sebab  itu, politik hukum HAM 
responsif bidang HSP diorientasikan pada regulasi yang tegas 
melarang tindakan pembiaran (crime by omission) dari negara 
(pemerintah), agen-agen negara, dan nonnegara (korporas 
Regulasi yang dibutuhkan dalam kaitan ini  yaitu  
regulasi-regulasi yang secara imperatif menekankan negara 
dan nonnegara melakukan sesuatu tindakan melindungai dan 
memenuhi HAM. Pada bagian lain dimuat pula hak setiap 
orang dan warga negara untuk melakukan komplain hukum 
jika  negara (pemerintah), agen negara, dan nonnegara 
melakukan tindakan pembiaran. 
e.  Mencantumkan Secara Eksplisit Keberadaan Komnas 
HAM 
Mengingat kewenangan Komnas HAM selaku penyelidik 
pro yustisia dalam kasus pelanggaran HAM yang berat 
bersinggungan dengan institusi negara lainnya, seperti DPR, 
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, maka jika terjadi 
sengketa dengan lembaga negara ini  berkaitan dengan 
kewenangan masing-masing, tidak bisa diselesaikan oleh 
Mahkamah Konstitusi sebab  Komnas HAM tidak disebut 
177---
sebagai lembaga negara seperti halnya KY atau MK Hal yang 
terjadi antara DPR dan Kejaksaan Agung dengan Komnas 
HAM dalam kasus Tss dapat dikatakan sebagai masuk 
dalam kualifikasi sengketa antarlembaga, yang mestinya bisa 
diselesaikan oleh MK (Halili, 2016). 
f.  Memperbaiki susunan Pemuatan substansi HSP
Pengaturan tentang HAM dalam beberapa  pasal dan 
ayat dalam UUD 1945 sesudah perubahan tampak sekali 
dilakukan tanpa konsep dan tanpa memahami substansi 
HAM, terutama substansi HSP dan HESB sehingga ada 
duplikasi pengaturan dan penggabungan HSP dan HESB 
dalam satu pasal dan atau satu ayat yang tidak semestinya. 
Ketidakberesan susunan dan pengaturan substansi HAM 
yang ayat dalam UUD 1945 tidak bisa dibiarkan sebab  selain 
menunjukkan ketidakcermatan, minimnya pemahaman 
perancang UUD, DPR dan Pemerintah, juga bisa melemahkan 
kekuatan moral UUD 1945 terhadap perlindungan HAM. 
beberapa  pasal yang susunan dan pengaturan materinya 
tumpang tindih dan tidak tepat antara lain pasal 27 ayat yang 
mengatur perlakuan yang sama di depan hukum disebutkan 
kembali dalam Pasal 28 D ayat Bahkan di dalam Pasal 28 D 
ayat itu juga terjadi pengulangan substansi antara kalimat: 
“berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan 
kepastian hukum yang adil” dengan perlakuan yang sama di 
hadapan hukum” Begitu juga Pasal 28E yat (1) berulang di 
pasal 29 ayat (2). 
3.  Merevisi UU yang Telah Ada dan Membuat UU Baru
a.   Merevisi KUHAP
Selama lebih dari dua puluh tahun hukum acara ini 
diberlakukan, telah terjadi banyak penyimpangan atau 
penyalahgunaan yang melanggar HAM yang dilakukan oleh 
terutama polisi dan jaksa akibat kelemahan dari KUHAP 
itu sendiri. Padahal KUHAP diciptakan untuk melindungi 
HAM tersangka, terdakwa dan terpidana sehingga sudah 
seharusnya direvisi. 
178 ---
Selain itu, telah terjadi perubahan mendasar pada UUD 
1945 yang menegaskan prinsip negara hukum, pengaturan 
yang rinci mengenai HAM, adanya UU No. 39 Tahun 1999 
yang telah mengadopsi pasal-pasal dalam Deklarasi Universal 
HAM, serta telah diratifikasinya beberapa  konvensi HAM 
internasional. Di antara perubahan yang penting dilakukan 
yaitu : 
(1)  mengatur secara tegas larangan dilakukannya penyiksaan, 
perlakuan kejam dan tidak manusiawi dengan mengadopsi 
pasal-pasal dalam Konvensi Anti Penyiksaan.
(2) mengatur secara limitatif batas waktu pengembalian 
Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dari polisi ke jaksa, 
atau sebaliknya dari jaksa ke polisi. Kepastian hukum 
tentang ini sangat penting demi kepastian hukum dan 
perlindungan serta pemenuhan hak setiap orang yang 
tersangkut perkara pidana untuk mendapatkan proses 
hukum yang cepat dalam penyelesaian perkaranya.
 (3)  mengatur secara limitatif dengan sanksi yang tegas 
larangan kepada polisi. jaksa atau hakim yang 
mengabaikan, perkara tanpa alasan membiarkan 
atau menggantungkan hukum yang jelas dan bisa 
dipertanggungjawabkan.
(4)  mengatur secara limitatif dengan sanksi bebasnya 
terdakwa jika  terbukti di persidangan polisi dan atau 
jaksa mengambil barang bukti dengan cara melawan 
hukum. Filosofi pengaturan ini yaitu  bahwa tidak 
dibenarkan menegakkan hukum dengan cara melanggar 
hukum;
(5)  dipandang perlu pengaguran mengenai kekeliruan fakta 
atau kekeliruan pan hukum yang dapat menghapus 
tanggung jawab pidana sehingga aparat penegak hukum 
harus memakai  kewenangannya dengan cermat, 
akurat dan hati-hati (profesional).
 (6)  perlunya diatur dengan jelas alasan dan waktu 
penahanan yang rasional dikaitkan dengan penyelidikan 
atau penyidikan agar tidak disalahgunakan polisi dan 
179---
atau jaksa dengan alasan formal sebagaimana selama ini 
terjadi, serta diatur pula mekanisme di pengadilan untuk 
menguji keabsahan penahanan, serta akibat hukum dari 
penahanan yang tidak memiliki dasar hukum (Halili, 
2016).
b.  Merevisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Pada waktu UU No. 39 Tahun 1999 disahkan, UUD 1945 
belum mengalami perubahan. Sampai dengan tahun 2002, 
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan pertama 
sampai dengan keempat menghasilkan beberapa perubahan 
signfikan dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia. Selain 
perubahan organ kelembagaan, ada pula norma-norma HAM 
yang diatur secara eksplisit. Norma HAM yang sebelumnya 
hanya dimuat pada sedikit pasal, sesudah  perubahan diperluas 
ke dalam BAB XA Pasal 28A-28j. 
Dalam perkembangan selanjutnya, telah pula diratifikasi 
dua kovenan HAM internasional pokok, yaitu Kovenan Hak 
Sipil dan Hak Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan 
Budaya yang masing-masing dituangkan dalam UU No. 11 
tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. 
Perubahan-perubahan ini  tentunya menjadi alasan 
konstitusional perlunya dilakukan revisi terhadap UU No 
39 Tahun 1999 Tentang HAM. Selain sebab  ada hal-
hal baru yang patut dimuat, juga dijumpai kelemahan yang 
menjadi ganjalan pelaksanaan tugas (terutama) Komnas 
HAM. Bagian yang perlu direvisi, yaitu sebagai berikut: 
Pengaturan tentang Komnas HAM dari UU No. 39 Tahun 
1999 dikeluarkan sehingga UU ini  sepenuhnya memuat 
norma norma tentang HAM Pengaturan tentang Komnas 
HAM digabung ke dalam satu peraturan perundang-undangan 
yang juga memuat norma-norma pengaturan lain, meskipun 
berkaitan, memicu  terkooptasinya pengaturan 
tentang Komnas HAM dalam pengaturan lain. Di samping 
itu, tidak menunjukkan peran, kewenangan penting Komnas 
HAM dalam memajukan dan perlindungan HAM. 
180 ---
Terkait dengan poin satu (1) di atas patut dibuat 
peraturan perundang-undangan nasional tersendiri, tidak 
“ditempelkan” pada peraturan perundang-undangan lain 
sebagai wujud pengakuan akan pentingnya peran institusi 
nasional HAM sebagaimana Komnas HAM di negara-negara 
lain yang memiliki institusi dernikian itu (Halili, 2016).
Perlu dimuat ketentuan tentang hak warga negara 
dalam mengajukan gugatan hukum terhadap pelanggaran 
sengaja, pengabaian atau pembiaran yang dilakukan negara, 
pemerintah atau aparat penegak hukum yang berakibat 
tidak terpenuhinya atau terlanggarnya HSP dan HESB. 
Pengaturan demikian itu sangat dibutuhkan sebab  dalam 
kenyataan, tidak jarang negara, pemerintah atau aparatur 
negara membiarkan atau lalai melakukan kewajibannya, 
padahal bisa dan memiliki kewenangan untuk melakukannya 
yang menimbulkan akibat terlanggarnya hak-hak warga 
negara (Halili, 2016).
c.  Mengganti UU No. 26 Tahun 2000 
UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 
memiliki banyak kelemahan dan telah terbukti menimbulkan 
ketidakpastian hukum, serta tidak bisa didayagunakan 
secara maksimal pada pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, 
Tanjung Priok, Pengadilan HAM Abepura, serta menjadi 
kontroversi dalam penanganan kasus TSS. Oleh sebab  itu, 
sudah seharusnya diganti dengan UU yang baru. 
Pilihan mengganti dan bukan merevisi sebab  yang 
harus diperbaiki itu meliputi aspek-aspek yang sangat luas 
dan mendasar, yaitu sebagai berikut:  (1) Mencantumkan 
secara eksplisit Pancasila di dalam konsiderans sebagai 
komitmen filosofi terhadap “kaidah dasar fundamental 
negara” di dalam uatu peraturan perundang-undangan yang 
mengatur mengenai hidup dan kehidupan kemanusian. Sila 
kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab misalnya yaitu  
salah satu nilai filosofi dan inspirasi utama pengaturan HAM 
dalam UU. (2) Pertimbangan pembuatan secara sosiologis 
juga harus tegas dan jelas didasarkan atas realitas HAM 
181---
selama Orde Lama dan Orde Baru yang menunjukkan 
bahwa pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh aparatur 
negara yang menyalahgunakan kekuasaan. (3) Perubahan 
landasan yuridis juga harus dilakukan sebab  sesudah  Orde 
Baru, telah terjadi perubahan UUD 1945 yang menegaskan 
komitmen demokratis, negara hukum, dan perlindungan 
HAM, serta telah diratifikasinya HSP tahun 2005 sehingga 
sudah seharunya UU dikonstruksikan berdasar UUD 
1945 perubahan dan kovenan. (4) jika  Indonesia segera 
meratifikasi Statuta Roma, yurisdiksi UU menjadi diperluas, 
tidak hanya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 
namun  juga kejahatan perang dan agresi. (5) Penggantian UU 
ini didasarkan juga kepada fakta banyaknya kelemahan yang 
telah diuraikan pada bagian lain tulisan ini, yang meliputi kera 
judul UU dengan yurisdiksi yang diatur di dalamnya, tidak 
adanya hukum acara khusus, ketidakteraturan penggunaan 
padanan bahasa Indonesia untukistilah-istilah bahasa asing 
yang dikutip dan diserap dari Statuta Roma Pengadilan 
Pidana Internasional 1998, kaburnya mekanisme pembuatan 
pengadilan HAM ad hoc, tidak adanya pengaturan unsur 
mental, ketidaktepatan atau kerancuan konsepsi substansi 
hukum mate rumusan pertanggungjawaban individual dan 
pertanggungjawaban komando (Halili, 2016).
Dengan penggantian ini , diharapkan tercapai 
tujuan ganda dari penggantian UU, yaitu sebagai berikut: 
(1) Tidak ada lagi kendala yuridis proses penyelesaian 
kejahatan kemanusian yang menjadi yurisdiksi UU itu kelak. 
(2) Undang-undang pengganti ini  dapat diandalkan 
untuk menjamin pengutamaan yurisdiksi nasional primary of 
national jurisdiction dalam penyelesaian yudisial kejahatan 
yang termasuk yurisdiksi UU bersangkutan sehingga dapat 
mencegah ditanganinya kejahatan yang bersangkutan 
oleh Mahkamah Pidana Internasional, terutama dalam hal 
kejahatan yang terjadi di wilayah yang berada di bawah 
yurisdiksi RI, dan/atau tersangkanya berada di wilayah yang 
berada di bawah yurisdiksi RI, dan/atau tersangkanya yaitu  
warga negara RI.
182 ---
d.  Pembuatan UU KKR
Sebagaimana diketahui, UU No. 27 Tahun 2004 telah 
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui 
Putusannya No. 006/PUU-IV/2006 yang membatalkan UU 
KKR bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 
1945. Dalam putusannya itu MK juga merekomendasikan 
dilakukannya perumusan ulang UU KKR. Selain sebab  
putusan MK yang final dan mengikat, KKR yaitu  
mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang 
dimandatkan oleh MPR melalui Tap MPR/V/2000 yang dalam 
Pendahuluan, bagian B. Maksud dan Tujuan menyatakan: 
“Ketetapan mengenai pemantapan persatuan dan kesatuan 
nasional memiliki  maksud dan tujuan untuk secara umum 
mengidentifikasi permasalahan yang ada, menentukan 
kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada 
rekonsiliasi nasional dan menetapkan arah kebijakan sebagai 
panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan 
kesatuan nasional” serta “Kesadaran dan komitmen yang 
sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan 
kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah 
yang nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan 
Rekonsiliasi Nasional, serta merumuskan etika berbangsa 
dan visi Indonesia masa depan (Halili, 2016).
KKR juga dimandatkan oleh Pasal 47 UU No. 26 Tahun 
2000 tentang Pengadilan HAM, dimana Pasal 4 ayat (1) 
menyatakan: “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi 
sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup 
kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi 
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ayat (2) nya menyatakan bahwa 
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana maksud 
dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.
e.  Meratifikasi Statuta Roma (ICC)
Indonesia yaitu  salah satu negara yang belum menjadi 
pihak dalam Statuta Roma. Sebagai negara yang memiliki 
komitmen untuk menegakkan perlindungan HAM, Indonesia 
segera meratifikasi Statuta Roma. Kekhawatiran sebagian 
183---
warga  akan adanya intervensi internasional oleh ICC 
ke dalam hukum nasional Indonesia akan terjawab dengan 
uraian mengenai prinsip komplementer yang merupakan 
prinsip fundamental dari keberlakuan ICC dalam suatu 
negara.
Prinsip yang secara jelas menyatakan bahwa ICC tidak 
menggantikan pengadilan nasional suatu negara melainkan 
sebagai mekanisme pelengkap saat  negara tidak mau 
termasuk melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap 
pelaku kejahatan yang dalam jurisdiksi ICC. ICC justru 
memiliki tujuan utama untuk mengefektifkan sistem hukum 
nasional suatu negara. 
Selain itu, Statuta Roma bukan hanya memuat instrumen 
internasional HAM (human rights international instrument), 
melainkan juga instrumen hukum pidana internasional 
(international criminal law) yang esensinya yaitu  mengatur 
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan atas 
kejahatan internasional (international annes yang merupakan 
kejahatan menurut hukum internasional (nimes under 
international law).
Sebagai instrumen internasional yang juga merupakan 
instrumen yang melindungi beberapa  HAM, Statuta Roma 
turut memperkuat jaminan dihormati dan dilindunginya HAM, 
serta dijunjungnya prinsip-prinsip HAM yang sudah dimuat 
dalam instrumen-instrumen HAM, internasional, regional, 
ataupun nasional. Oleh sebab  itu, menjadi pihaknya RI pada 
Statuta Roma akan makin meningkatkan citra dan komitmen 
bangsa Indonesia untuk tidak saja mengambil alih, melawan 
bagian dalam usaha  komunitas internasional nasional dan 
internasionalnya paling serius, melainkan juga menegaskan 
komitmen untuk menjunjung tinggi dan melindungi HAM 
(Halili, 2016). 
Pengalaman Indonesia dalam menegakkan hukum HAM 
yang menemui banyak hambatan dalam instrumen hukum, 
serta aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang 
tidak memadai, menjadikan ratifikasi terhadap Statuta Roma 
184 ---
menjadi sangat penting untuk mendorong Indonesia segera 
membenahi berbagai kekurangan dan kelemahan-kelemahan 
ini .
4.  Politik Hukum Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (HESB) 
a.  Responsivitas UUD 1945
Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Hmman 
Right) sejak diadopsi tahun 1948 telah mengafirmasikan 
betapa penting dan fundamental terpenuhinya dua macam 
kebebasan bagi umat manusia, yaitu freedom of want (hak-
hak sipil dan hak-hak politik) dan freedom from med (hak 
hak ekonomi dan sosial). Sementara itu, fakta di lapangan 
menunjukkan bahwa semenjak berakhirnya Perang Dunia II, 
banyak orang meninggal akibat malnutrisi, kelaparan, dan 
wabah penyakit ketimbang gabungan jumlah keseluruhan 
korban berbagai perang yang terjadi dan korban berbagai 
rezim represif yang secara sistematis melanggar hak-hak 
sipil dan hak-hak politik warganya demi mempertahankan 
kekuasaan meraka. 
Pemenuhan HESB baru menjadi perbincangan serius 
belakangan ini di dalam konteks wacana HAM di Indonesia, 
khususnya yang berkaitan dengan hak pangan, pendidikan, 
pekerjaan dan perumahan, sesudah  rezim otoritarian berakhir. 
Meskipun dalam kenyataan, semua rezim demokratis yang 
muncul sesudah  tumbangnya rezim otoritarian masih tetap 
menempatkan HSP sebagai prioritas perubahan dalam 
konstitusinya, tidak terkecuali Indonesia.
Prioritas pada HSP memang lazim dilakukan oleh 
pemerintahan pengganti, selain sebagai koreksi terhadap 
konsep praktik sistem kekuasaan otoritarian yang memang 
mengabaikan HSP, sekaligus sebagai fondasi bagi bangunan 
sistem politik demokratis yang akan dibangun. Berbeda 
dengan HESB tidak sedikit rezim otoritarian yang justru 
memenuhi dengan baik sekalipun merampas HSP sebab  
ekonomi dan pembangunan dipakai  sebagai alat legitimasi 
185---
rezim. Singapura, Cina, dan negara di Timur Tengah yaitu  
beberapa contoh negara tidak demokratis, namun  sangat 
memperhatikan HESB, terutama hak sosial dan ekonomi 
(Halili, 2016).
Berbeda dengan Indonesia, semenjak merdeka atau 
bahkan semenjak masa penjajahan, rakyat Indonesia tidak 
menikmati kedua hak ini  sekaligus. Di era penjajahan, 
era Orde Lama dan Orde Baru HSP diberangus, sementara 
HSEB tidak diberikan. Kedua hak itu hanya dinikmati oleh 
segelintir elite penguasa dan atau segelintir orang kaya. 
Tidak berlebihan jika  dikatakan bahwa mayoritas rakyat 
Indonesia hingga sekarang ini belum pernah menggenggam 
kemerdekaan sipil, politik, sosial, dan ekonomi. 
Di era reformasi, kedua hak ini  didesakkan oleh 
kekuatan pro demokrasi untuk secara simultan diatur dan 
dicapai pemenuhannya sebab  selain secara empiris kedua 
hak ini  terabaikan dalam masa yang panjang, juga 
tidak mungkin memprioritaskan HSP dengan mengabaikan 
HESB. Pengabaian HESB sama dengan membuka potensi 
terabaikannya HSP atau minimal menimbulkan diskriminasi 
berkaitan dengan perbedaan kemampuan mengakses HSP 
Hak ekonomi dan sosial itu merupakanHAM yang sangat 
strategis untuk segera diperjuangkan dan dipenuhi terutama 
bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, dibandingkan 
dengan hak sipil dan hak politik. Dengan kaitan itu, Robertson 
menegaskan sebagai berikut (Halili, 2016).
Politik Hukum Hak Asasi Manusia Perbedaan tajam yang 
dibuat itu yaitu  dengan mengatakan HESB merupakan 
hak-hak positif (positive rights, sementara HSP dikatakan 
sebagai hak-hak negatif. Dikatakan positif sebab  untuk 
merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan ini , 
diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara di sini 
haruslah berperan aktif. Sebaliknya dikatakan negatif sebab  
negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka 
merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Peran 
negara di sini haruslah pasif (obligation not to do something). 
186 ---
Beberapa prinsip konseptual yang harus diterapkan 
dalam pelaksanaan HESB yaitu : 
(1) kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah 
konkret dengan segala cara termasuk kebijakan 
mengadopsi legislasi,
(2) kewajiban negara untuk mencapai kesejahteraan secara 
progresif dengan memakai  secara maksimal sumber 
daya yang ada,
(3) menggalang kerja sama internasional untuk mendapatkan 
bantuan teknis dan kerja sama pembangunan,
(4) kewajiban negara untuk segera menerapkan justiciability 
beberapa HESB yang ada dalam konvensi; 
(5) kewajiban negara menghindari kebijakan yang regresif 
(kebijakan yang memiliki  implikasi luas pada 
pemenuhan HESB).
usaha  justiciability atas pelanggaran HESB telah 
banyak dikenal di berbagai negara anggota PBB dari tingkat 
perkembangan demokrasi dan ekonomi yang berbeda 
beda seperti Perancis, Kanada, Finlandia (negara maju 
dan Afrika Selatan, Filipina, India (negara berkembang). 
Dalam lokakarya subregional wilayah Asia Tenggara yang 
diorganisasi oleh kantor komisi tinggi HAM PBB, yang 
mempertemukan hakim dan pembela di wilayah ini di tahun 
2004, antara lain disepakati bahwa pengingkaran terhadap 
kemungkinan untuk melakukan judicial review terhadap 
kasus-kasus pelanggaran HESB pada dasarnya bertentangan 
dengan prinsip rule of law dan prinsip tidak terpisahkan, 
ketergantungan, dan keterkaitan dari semua nilai HAM.
berdasar penjelasan di atas, maka hukum HAM 
yang harus dibuat di bidang ini yaitu : Pertama, melakukan 
perubahan kelima terhadap UUD 1945 dengan merevisi pasal 
dan ayat tentang HESB serta memasukkan pengaturan baru, 
yaitu sebagai berikut:
1) Menegaskan ideologi UUD 1945 di bidang pemenuhan 
dan perlindungan HESB ke arah negara sejahtera dengan 
187---
menegaskan bahwa kesejahteraan sosial yaitu  HAM, 
khususnya warga negara. Penegasan ideologi UUD 1945 
menuju negara sejahtera harus tercermin secara formal 
dan substansial. Secara formal susunan pasal dan ayat 
tentang HESB harus berada dalam satu kesatuan bab 
dan pasal sehingga konstruksi hipotetis dan atau yang 
mengatur HESB menjadi jelas dan sistematis, tidak seperti 
yang ada sekarang campur aduk antara HSP dan HESB 
rang, dalam satu pasal atau satu ayat, padahal substansi 
keduanya berbeda. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 
tidak menunjukkan arah yang akan dituju sebab  hanya 
menjajar berbagai macam. Secara substansial hak-hak 
yang telah dijajar dalam banyak pasal dan atau ayat-ayat 
itu diikuti dengan perintah pembuatan norma-norma 
pemenuhan dan perlindungannya secara eksplisit. Hak-
hak yang dimuat dalam Pasal 28 H misalnya lebih bersifat 
deklaratif, bukan konstitutif.
2) Memasukkan ketentuan tentang larangan melakukan 
tindakan pembiaran sengaja atau tidak sengaja kepada 
negara, pemerintah, agen negara dan nonnegara dalam 
perlindungan dan pemenuhan HESB. Ketentuan tentang 
hal ini  memang patut diatur sebab  tindakan 
pembiaran yaitu  salah satu bentuk pelanggaran HAM 
yang sering terjadi yang akibatnya bisa sangat besar bagi 
kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Membiarkan 
kelaparan, ancaman keselamatan warga oleh bencana 
alam, kekeringan, seterusnya, padahal negara atau 
pemerintah memiliki busung lapar, dan kewenangan, 
kekuasaan dan mampu melakukannya, namun  tidak 
berbuat, akan sangat membahayakan kelangsungan 
hidup manusia dan warga negara (Halili, 2016).
Kedua, merevisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM 
dengan memasukkan pengaturan hal-hal berikut. 
1)  Memasukkan kewajiban kepada korporasi untuk ikut 
bertanggung jawab memenuhi dan melindungi HESB. 
Sekalipun sudah diatur dalam UU yang lain, pengaturan 
188 ---
tentang ini di UU HAM sangat diperlukan sebab  UU 
ini yaitu  UU khusus tentang HAM sehingga memiliki 
bobot normatif yang lebih kuat. Substansi pengaturan 
bidang ini sangat urgen sebab  korporasi sesungguhnya 
memiliki kekuatan modal untuk ikut bertanggung 
jawab melakukan pemenuhan HAM dan perlindungan 
HAM Pemenuhan HAM menyediakan lapangan kerja 
dengan gaji yang layak untuk hidup dan melangsungkan 
kehidupan. Demikian pula memiliki kemampuan untuk 
melindungi dengan menjamin terpenuhinya hak-hak 
pekerjanya, termasuk tidak diberhentikan atau kalaupun 
diberhentikan, ada jaminan pesangon yang manusiawi. 
Selain itu, dana Corporate Social Responsibility (CSR) 
yang dimiliki korporasi sudah seharusnya diberikan 
dengan paradigma pemenuhan dan perlindungan HAM 
sebagai hak kelompok marjinal dan tanggung jawab 
kemanusiaan, dan bukan hadiah, derma, atau charity. 
2)  Memberikan kekuatan hukum “legal standing bagi 
Komnas HAM untuk menuntut instansi terkait yang 
gagal atau mengabaikan rekomendasi yang diberikan 
oleh Komnas HAM tentang pelanggaran HESB. Revisi ini 
juga harus mengarah pada mekanisme penegakan norma 
norma HAM yang telah tercantum dalam semua konvensi-
konvensi HAM international yang telah diratifikasi oleh 
Indonesia. 
(3)  Memasukkan ketentuan yang memungkinkan 
dibentuknya pengadilan yang memiliki  jurisdiksi 
untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran HESB. 
Tersedianya mekanisme (pengadilan) untuk mengadili 
atau memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan 
HESB yaitu  bagian dari pembentukan hukum responsif 
terhadap gagasan justiciability HESB (Halili, 2016).
189---
BAB VIII
UNDANG-UNDANG 
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A.  Pendahuluan
Hak asasi manusia yaitu  hak hidup yang dimiliki setiap orang 
sejak lahir, yang merupakan pemberian  Tuhan Yang Maha Esa, tanpa 
memandang jenis kelamin, asal usul, ras, agama, suku bangsa dan 
pandangan politik. Secara umum, bahwa HAM ini mutlak menyatu 
dengan keberadaan manusia itu sendiri.Sehingga hal yang paling 
mendasar dari HAM ini yaitu  adanya persamaan yang dimiliki tiap 
manusia dan adanya hak kebebasan, namun  untuk hak kebebasan 
tentunya memiliki batasan agar tidak merampas dari hak orang 
lainnya.
HAM di Indonesia sebenarnya telah ada sejak tahun 1945, hal 
ini dibuktikan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya jauh sebelum 
adanya HAM  PBB “Universal Declaration od Human Rights” yang 
dideklarasikan pada 10 Desember 1948, Indonesia telah mengakui 
adanya HAM ini . Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 
190 ---
1999 pasal 1, hak asasi manusia yaitu  seperangkat hak yang 
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk 
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang 
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, 
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan 
harkat dan martabat manusia.
Bangsa Indonesia yaitu  bangsa yang besar, bangsa yang 
menyadari bahwa HAM yaitu  hak yang secara historis harus 
ditegakkan, mengingat banyaknya peristiwa pelanggaran HAM yang 
terjadi di masa lalu yang mengabaikan hak asasi dan memicu  
hilangnya harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM dapat 
terlaksana jika  dilandasi adanya pemahaman dan kesadaran dari 
tiap orang bahwa hak ini bersifat kodrati, universal dan abadi.
Berbagai pelanggaran hak dan kewajiban dasar seseorang, terjadi 
diakibatkan sebab  adanya faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal yaitu  faktor penyebab pengingkaran yang 
berasal dari dalam diri sendiri, contoh sifat egois, rendahnya 
kesadaran individu, kurangnya pemahaman hak, kurangnya 
toleransi, kurang pengalaman, kemiskinan, keterbelakangan, dan 
kondisi yang tertekan. 
b. Faktor eksternal yaitu  faktor penyebab pengingkaran dari luar 
diri sendiri. Faktor eksternal dapat berupa pengaruh pergaulan, 
iklan televisi, media sosial, penyalahgunaan kekuasaan, perangkat 
perundang-undangan yang masih sulit diimplementasikan, 
aparat penegak hukum yang tidak tegas artinya masih ada yang 
mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (tebang pilih 
dalam konteks negatif)
Pada makalah ini akan dibahas mengenai review Undang-Undang 
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang 
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi 
Manusia.
B.  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, 
disahkan oleh Presiden BJ.Habibie pada tanggal 23 September 1999. 
191---
UU ini terdiri dari 11 bab dan 106 pasal dengan sistematika sebagai 
berikut.
BAB PASAL
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II ASAS-ASAS DASAR Pasal 2 – 8
BAB III  HAM DAN KEBEBASAN DASAR 
MANUSIA
Pasal 9 – 66 terdiri 
10 bagian
BAB IV KEWAJIBAN DASAR MANUSIA Pasal 67 - 70
BAB V KEWAJIBAN DAN TANGGUNG-
JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71 dan 72
BAB VI PEMBATASAN DAN LARANGAN Pasal 73  dan 74
BAB VII KOMNAS HAM Pasal 75 - 99
BAB VIII PARTISIPASI warga  Pasal 100 - 103
BAB IX PENGADILAN HAM Pasal 104
BAB X KETENTUAN Pasal 105
BAB XI  KETENTUAN PENUTUP Pasal 106
UU Nomor 39 Tahun 1999 mengulas tentang pengakuan HAM, 
kewajiban dasar manusia, tujuan dan fungsi dibetuknya KOMNAS 
HAM.UU ini berupa penjabaran dari Pasal 28 A-J UUD 1945.
Khususnya dalam BAB III yang terdiri dari 10 bagian, menekankan 
adanya hak-hak seperti yang tertuang dalam Declaration of Human 
Right (10 Desember 1948). Hak yang diatur antara lain yaitu  
hak hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak 
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan 
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta 
dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.
Selain penekanan terhadap hak, pada UU ini juga ditekankan 
adanya kewajiban dasar manusia. sebab  manusia itu sebagai zoon 
politicon, sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial tak bisa lepas 
dari hubungan dengan manusia lain, tentunya selain memahami hak 
dasar juga harus memahami kewajiban dasar manusia agar tidak 
saling berbenturan kepentingan dalam kehidupan berwarga , 
berbangsa dan bernegara.
Beberapa kewajiban dasar yang diatur dalam UU ini antara lain:
1) Kewajiban mematuhi peraturan hukum yang berlaku
192 ---
2) Kewajiban dalam membela negara
3) Kewajiban dalam menghormati HAM orang lain (pasal 67 -70).
Untuk menegakkan keberlangsungan pemenuhan hak dan 
pelaksanaan kewajiban warga negara maka pemerintah memiliki 
kewajiban dan tanggung jawab untuk pelaksanaannya yaitu 
mengimplemetasikan UU ini dalam bentuk riil tidak sebatas 
peraturan saja. Sehingga membentuk langkah efektif dalam berbagai 
bidang yaitu hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan 
keamanan serta bidang-bidang lainnya. Sehingga tidak dibenarkan 
jika pemerintah atau siapa saja yang sedang berkuasa (memegang 
kekuasaan negara) akan mengurangi, merusak, atau menghapus 
HAM atau kebebasan dasar manusia ini.
Salah satu usaha  perlindungan dari pemerintah untuk penegakan 
HAM yaitu dengan didirikannya KOMNAS HAM pada tanggal 7 Juni 
1993, dengan dasar pembentukan yaitu  Kepres No 50 Tahun 1993. 
Anggota dari lembaga ini berjumlah 35 orang yang berasal dari  tokoh 
agama, tokoh warga , anggota LSM, kalangan akademisi yang 
profesional, berdedikasi tinggi, menghormati cita-cita negara hukum 
dan menjunjung asas keadilan.Mereka dipilh oleh DPR dan diresmikan 
oleh Presiden, dengan masa jabatan 5 tahun dan sesudahnya dapat 
dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
 Fungsi KOMNAS HAM yaitu  mengkaji, meneliti, melakukan 
penyuluhan, pemantaun dan mediasi permasalahan yang berkait 
HAM.
 Tugas dan wewenang KOMNAS HAM dalam pemantauan antara 
lain:
a. Pengamatan pelaksanaan HAM;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang 
timbul dalam warga ;
c. Pemanggilan terhadap pihak pengadu atau korban maupun 
pihak yang diadukan;
d. Pemanggilan saksi untuk didengarkan kesaksiannya;
e. Peninjauan di tempat kejadiannya;
f. Pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait dalam proses 
acara dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. Pemeriksaan terhadap rumah, bangunan setempat yang 
terkait dengan masalah itu;
h. Memberikan pendapat terhadap perkara tertentu atas 
persetujuan Ketua Pengadilan.
 Tugas dan wewenang KOMNAS HAM dalam mediasi antara lain:
a. Perdamaian kedua belah pihak;
b. Penyelesaian perkara melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, 
dan penilaian ahli;
c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan 
sengketa melalui pengadilan;
d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran 
HAM kepada DPR untuk ditindaklanjuti (UU No. 39, 1999). 
Selanjutnya, berdasar pasal 104 ayat 1 dan 2 bahwa jika 
terjadi pelanggaran HAM berat maka akan dibentuk Pengadilan 
HAM di lingkungan Peradilan Umum dengan jangka waktu paling 
lama empat tahun. sedang, pada pasal 105 dinyatakan paling 
lama dua tahun dari berlakunya UU ini akan dibentuk/didirikan 
KOMNAS HAM.
C.  Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yaitu  UU tentang 
Pengadilan HAM, disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid 
pada tanggal 23 November 2000 sebagai perubahan PP Pengganti 
UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM yang dianggap 
tidak memadai. Tujuan dibentuknya pengadilan HAM yaitu  untuk 
menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Yang dimaksudkan HAM 
berat dalam pasal 7 meliputi kejahatan genosida dan kejahatan 
terhadap kemanusiaan.
Klasifikasi pelanggaran HAM berat sebagai berikut:
1. Pada pasal 8, Kejahatan genosida yaitu  setiap perbuatan 
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau 
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, 
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. memicu  penderitaan fisik atau mental yang berat 
terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan meng-
akibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau 
sebagiannya;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah 
ke-lahiran di dalam kelompok;
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu 
ke kelompok lain.
2. Pada pasal 9, Kejahatan kemanusiaan yaitu  salah satu perbuatan 
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau 
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan ini  ditujukan 
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan 
fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) 
ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, 
pe-maksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara 
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau 
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, 
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan 
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang 
dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa, atau;
j. Kejahatan apartheid (UU No. 39, 1999). 
Dalam hal, terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan 
anak di bawah umur 18 tahun pada saat kejahatannya dilakukan, 
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM ini  (pasal 6), melainkan diselesaikan oleh 
Peradilan khusus yaitu Peradilan Anak, hal ini sesuai dengan UU 
Nomor 3 Tahun 1997. Pengaturan tentang batasan umur anak  untuk 
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana antara 12 tahun sampai 
belum berusia 18 tahun.
Sistematika dari UU ini sebagai berikut.
BAB PASAL