Home » hak asasi manusia 4 » hak asasi manusia 4
Jumat, 26 Januari 2024
pembatasan kekuasaan presiden dimana jika
sebelum perubahan, UUD 1945 memberikan kekuasaan
kepada lembaga kepresidenan begitu besar, yang meliputi
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus, kini
kekuasaan presiden terbatas pada kekuasaan eksekutif saja.
b. Mempertegas ide pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga
negara, yang terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan
lembaga negara yang lebih terinci.
c. Menghapus keberadaan lemabaga negara tertentu (dalam hal
ini DPA) dan membentuk lembaga-lembaga negara yang baru
seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Bank Sentral.
d. Mempertegas dan memperinci jaminan terhadap perlindungan
HAM warga negara.
f. Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang
selama ini lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara
(Mansyur Effendi, 1997).
147---
Perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali,
sebagaimana telah disebutkan di muka mempertegas dua hal
kerangka hukum (dasar) demokrasi sekaligus, yaitu demokrasi
prosedural berupa ditetapkannya prosedur dan mekanisme
penentuan puncak jabatan politik eksekutif baik nasional maupun
daerah melalui Pemilu langsung oleh rakyat. Perubahan ini
menempatkan warga negara sebagai subjek hukum yang memiliki
makna dan nilai politik serta hukum sekaligus dalam penentuan
jabatan-jabatan politik.
4. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia
Konsep negara hukum merupakan konstruksi atas realitas
sosial politik di era Yunani Kuno di mana dua filosof besar itu
hidup dan menjadi bagian realitas politik waktu itu. Begitu pula
halnya konsep negara hukum yang muncul dan berkembang pada
warga Eropa yang mengalami penindasan oleh kekuasaan
raja yang absolut. Rakyat menginginkan pengaturan hubungan
sesama rakyat melalui hukum sebab rakyatlah yang berdaulat.
Di dalam ajaran kedaulatan hukum, sumber kekuasaan tertinggi
yaitu hukum, bukan negara sebagai pemegang kedaulatan.
Konsekuensinya yaitu kepala negara harus tunduk kepada
hukum.
Konsepsi gagasan kedaulatan hukum lalu dikenal dan
berkembang dalam konsep rechtsstaat dan rule of law. Kedua
konsep sama-sama diterjemahkan menjadi negara hukum
sehingga sering dipertukarkan setiap kali menyebut negara
hukum, tidak terkecuali oleh ahli hukum tata negara sendiri.
Penggunaan konsep negara hukum sebagai terjemahan dari dua
konsep yang berbeda, yaitu rechtsstaat dan rule of law, secara
akademis agaknya tidak terlalu dipersoalkan.
The rule of law, mengandung tiga arti yaitu:
a. Absolutisme hukum untuk menentang pengaruh arbitrary
power serta meniadakan kesewenangan-kesewenangan yang
luas dari pemerintah,
b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama
semua golongan kepada hukum.
148 ---
c. Konstitusi bukanlah sumber, namun merupakan konsekuensi
hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
peradilan.
Sementara itu, rechtsstaat memuat empat unsur, yaitu:
a. Hak-hak asasi manusia,
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-
hak,
c. Pemerintah berdasar peraturan-peraturan,
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan (Mansyur Effendi,
1997).
Desakan untuk menempatkan hukum sebagai supremasi
di atas politik merupakan konsekuensi cita negara hukum
yang mengemukakan segera sesudah berakhirnya kekuasaan
otoritarian di banyak negara di ketiga benua ini . Desakan
konseptual dan aksi-aksi nyata untuk mengakhiri dominasi politik
(kekuasaan) di era otoritarian itu tidak saja terjadi di parlemen,
namun di kalangan kekuatan sipil lainnya seperti akademisi
hukum, Pers, dan Lembaga Swadaya warga (LSM).
Dengan meletakkan kekuasaan politik di bawah kekuasaan
hukum, atau mendepersonalisasi kekuasaan serta membentuk
otoritas impersonal, otoritas berada dalam konstitusi, serta suatu
sistem aturan dan prosedur sehingga tidak ada manipulasi,
penekanan, dan intimidasi. Dalam otoritas hukum itulah, proses
proses penegakan hukum (peradilan) dapat dilaksanakan dengan
fair, adil dan trasparan, sejalan dengan deklarasi universal
HAM pasal 10 dan Traktat Internasional mengenai hak-hak
kewarga negaraan yang menyatakan, “Setiap orang berhak dalam
kesamaan yang penuh untuk diperiksa secara adil dan di depan
umum oleh suatu pengadilan yang bebas dan tidak memihak”.
Dalam pasal 14 Traktat Internasional mengenai hak-hak
warga negara dan politik antara lain disebutkan sebagai berikut.
a. Semua orang yaitu sama di depan pengadilan dan badan-
badan peradilan.
b. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak
untuk diperlakukan berdasar asas praduga tidak bersalah.
149---
c. Didalam menentukan sikap tuduhan pidana, setiap orang
berhak mendapatkan jaminan berikut ini : a) diberitahu
secepatnya dengan bahasa yang ia mengerti tentang
tuduhan padanya, b) memperoleh cukup waktu dan fasilitas
bagi persiapan pembelaannya, c) untuk diperiksa tanpa
penundaan yang tidak cukup alasan, d) untuk diperiksa
dalam kehadirannya, e) untuk memeriksa atau menyuruh
memeriksa saksi-saksi yang melawan dia.
d. Dalam perkara yang melibatkan orang di bawah umur, harus
ditempuh prosedur sedemikian rupa dengan mengindahkan
usia mereka.
e. Setiap orang yang dijatuhi keputusan bersalah melakukan
sesuatu kejahatan berhak mengjukan usaha hukum.
f. Setiap orang yang telah diputus bersalah, namun lalu
dinyatakan sebaliknya oleh pengadilan lebih tinggi sebab
adanya kesalahan pengadilan atau ada bukti-bukti baru.
g. Seseorang berhak untuk tidak diadili atau dihukum kembali
untuk suatu kejadian yang telah mendapatkan putusan yang
berkekuatan hukum pasti atau telah dibebaskan (Mansyur
Effendi, 1997).
5. Negara Hukum di Era Orde Baru
Para ahli ilmu politik dan hukum tata negara telah lama
mengonstair bahwa pasang surut negara hukum Indonesia tidak
lepas dari ambiguitas konsep negara hukum yang dirumuskan di
dalam UUD 1945 itu sendiri. Rumusan dalam penjelasan UUD
1945 yang menyatakan “Indonesia ialah negara yang berdasar
atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (matchtstaat)” menunjukkan dua hal, yaitu:
a. Secara sadar menempatkan “matchtstaat” sebagai yang
primer dan “rechtsstaat” sebagai hal yang skunder,
b. Kekuasaan yaitu lingkaran besar, sementara hukum (negara
hukum) yaitu lingkaran kecil yang berada dalam lingkaran
besar.
Konstruksi nilai yang dibangun dalam UUD 1945 ini juga
bersifat state oriented yang membuka peluang bagi lahirnya
150 ---
sistem politik otoriter, monolitik, dan sentralistik. Pada masa
Orde Lama gagasan negara hukum tenggelam dalam arus
ideologi patrimonalisme Demokrasi Terpimpin. Rezim Demokrasi
Terpimpin yang otoritarian itu berusaha mengubur habis
gagasan dan konsep negara hukum dengan memberikan tafsir
otoritarianistik UUD 1945 sebagai dasar untuk mengabsahkan
praktik ketatanegaraan yang sesungguhnya menyimpangi
konstitusi ini .
Pada awal Orde Baru memang dilakukan penataan kembali
fungsi-fungsi kekuasaan negara, seperti eksekutif, legislatif, dan
yudikatif yang pada era demokrasi terpimpin dicampurkan. Pada
awal Orde Baru itu pula dibangun sistem kekuasaan kehakiman
yang otonom yang secara formal menutup intervensi eksekutif
ke badan yudikatif. Tidak pula dapat disangkal penguasa baru
pada saat itu bersikap toleran terhadap kebebasan berekspresi,
khususnya kebebasan pers.
Kelemahan konstitusi sebagaimana dikonstruksikan dalam
pasal-pasal di dalam UUD 1945 telah dicatat oleh banyak ahli
sebgai sebab penting mudahnya kekuasaan, terutama presiden
melakukan penyimpangan kekuasaan dari prinsip negara hukum
demokratis ada lima kelemahan dasar (sebelum amandemen),
yaitu sebagai berikut:
a. Sistem konstitusi di bawah UUD 1945 bersifat ‘sarat eksekutif’,
b. Tidak ada checks and balances,
c. UUD ini mendelegasikan terlalu banyak aturan konstitusional
ke level undang-undang,
d. Di dalamnya ada beberapa pasal yang bermakna ambigu
alias rancu,
e. Konstitusi ini terlalu banyak bergantung kepada political
goodwill dan integritas para politisi.
6. Negara Hukum dalam UUD 1945 Perubahan
a. Negara hukum pada perubahan pertama
Perubahan pertama bertujuan untuk memberikan
penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat
151---
bahwa badan legislatif tidak hanya monopoli DPR. Badan
ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak
memicu DPR menjadi badan legislatif tunggal sebab
sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan
presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif
bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
b. Negara hukum perubahan kedua
Perubahan pertama dan kedua UUD 1945 telah memuat
prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai
dianut oleh para perumus perubahan UUD 1945 seperti
cermin dalam pasal 5 (1) dan pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5).
Dengan kata lain, perubahan pertama dan perubahan kedua
telah menghasilkan pemisahan kekuasaan dalam fungsi-
fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengimbangi.
c. Negara hukum perubahan ketiga
Perubahan ketiga dapat dikatakan sebagai perubahan
yang paling mewarnai keseluruhan perubahan UUD 1945,
selain sebab jumlah pasal atau ayat yang berubah atau
bertambah cukup banyak, namun juga kandungan substansi
yang diubah secara mendasar. beberapa pengamat, menyebut
perubahan ketiga sebagai perubahan yang memperkuat
karakter demokratis dan fundamental bagi lembaga negara
Indonesia.
d. Negara hukum perubahan keempat
Ide dan konstruksi normatif negara hukum pada perubahan
keempat UUD 1945 sudah memasuki gagasan negara hukum
yang berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan sosial
warga . Cita-cita UUD 1945 sebagai konstitusi negara
kesejahteraan, yang oleh Bung Hatta pernah diterjemahkan
dengan perkataan negara pengurus, mulai secara eksplisit
mengatur ke arah itu. Perubahan tentang pasal pendidikan
dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial
sudah secara eksplisit menegaskan substansi terpenuhinya
hak-hak dimaksud sebagai fondasi bagi terpenuhinya hak-hak
152 ---
yang lain, terutama di bidang hak-hak sipil dan hak politik,
serta kelangsungan hidup dan kehidupan warga negara.
7. Perlindungan HAM Dalam UUD 1945 Perubahan
Perubahan UUD 1945 bukan hanya perubahan redaksional,
melainkan perubahan paradigma pemikiran yang sangat
mendasar. Akan namun , mengenai bagaimana cetak biru dan desain
makro penjabaran ide negara hukum itu sejauh ini belum pernah
dirumuskan secara komprehensif. Membangun suatu negara
hukum harus diletakkan dalam satu kesatuan sistem hukum yang
mencakup elemen kelembagaan (elemen institusional), elemen
kaidah (elemen instrumental), dan elemen perilaku para subjek
hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan
oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural).
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hierarki dan aspek-
aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama
lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus
dikembangkan dalam kerangka negara hukum Indonesia
berdasar UUD 1945. Jika dinamika yang berkenan dengan
keseluruhan aspek, elemen, hierarki, dan komponen ini
tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, hukum sebagai satu
kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana
mestinya.
Sebagai suatu sistem kesatuan sistem hukum, usaha
perubahan perundang-undangan untuk menyesuaikan dengan
perubahan UUD 1945 seharusnya yaitu bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara
keseluruhan. Oleh sebab itu, perubahan berbagai perundang-
undangan sebaiknya dilakukan secara terencana dan partisipatif
dalam program legislasi nasional sekaligus bentuk legislatif
review. Program legislasi nasional harus disusun pertama dan
utamanya yaitu untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD
1945. berdasar ketentuan UUD 1945, dapat dielaborasikan
perundang-undangan yang harus dibuat dalam program legislasi
nasional baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial (Sahdan,
Gregorius, 2004).
153---
Dengan kata lain, perubahan sebagaimana telah dikemukakan
masih memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dari pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan. Kewenangan lembaga-lembaga
independen yang disebut dalam UUD 1945, pengaturan lebih
lanjut lembaga-lembaga politik dan pemerintah, lembaga ekonomi,
dan dunia usaha, lembaga yang menangani kesejahteraan sosial
dan budaya, serta penataan sistem dan aparatur hukum harus
ditegaskan dalam berbagai undang-undang sehingga substansi
negara hukum dalam UUD 1945 perubahan terwujud dan
dirasakan oleh rakyat.
C. Politik Hukum HAM di Era Reformasi
1. Produk Hukum era Reformasi
Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia
telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian
(berdasar pada periode sistem politik) antara konfigurasi politik
yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan
dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, maka karakter
produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi tampil
secara demokratis, maka produk hukum yang dihasilkan bersifat
responsif, sebaliknya saat konfigurasi politik tampil secara
otoriter, maka hukum-hukum yang dilahirkannya berkaraketr
ortodoks (Mahfud MD, 2011).
Dengan demikian, perkembangan hukum-hukum privat atau
hukum publik yang tidak berkaitan dengan gezgsverhouding dapat
berjalan secara linear tanpa secara signifikan dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan politik. Tidaklah mengherankan jika
Penpres No. 11 Tahun 1963 yang lalu dijadikan UU NO.
11/PNPS/1963 (tentang Tindak Pidana Subversi) diberlakukan
oleh dua rezim yang bertentangan, yakni rezim Orde Lama dan
Orde Baru meskipun selama berlakunya selalu digugat sebab
Penpres/UU ini memberi jalan bagi penguasa untuk
melakukan tindakan represif yang keras bagi siapapun yang akan
mengganggu posisi pemegang kekuasaan (Mahfud MD, 2011).
Seperti yang diketahui bahwa UU No. 11/PNPS/1963 baru dicabut
sesudah reformasi tahun 1998 yakni pada saat gerak reformasi
sedang bergelora.
Temuan ini tampak mengkonfrontasi juga terhadap
kejadian-kejadian aktual yang menyusul reformasi tahun 1998.
Tampak jelas dan terbukti secara gamblang bahwa “hukum
sebagai produk politik” sangat ditentukan oleh perubahan-
perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru di bawah kekuasaan
Soeharto jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah,
terutama hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi
kekuasaan, yakni hukum tata negara. Berbagai undang-undang
bidang politik produk Orde Baru langsung diubah dengan
pembongkaran atas asumsi-asumsi serta penghilangan atas
kekerasan-kekerasan politik yang menjadi muatannya. Berikut
beberapa contohnya.
a. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya diganti
dengan UU tentang Kepartaian. Jika semula rakyat dipaksa
untuk hanya menerima dan memilih tiga organisasi sosial
tanpa boleh mengajukan alternatif, maka seorang rakyat
diperbolehkan membentuk parpol yang eksistensinya di
parlemen bisa dibatasi oleh rakyat melalui Pemilu dengan
pemberlakuan electoral threshold dan atau parliamentary
threshold (Mahfud MD, 2011).
b. UU tentang Pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota
DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden. Penyelenggara
Pemilu juga dilepaskan dari hubungan struktural dengan
pemerintah, dari yang semula diselenggarakan oleh Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam
Negeri dialihkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
bersifat mandiri. Bahkan ketentuan tentang ini lalu
dimasukkan di dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni
Pasal 22E Ayat (5) yang berbunyi “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
c. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
dirombak sejalan dengan perubahan UU tentang Pemilu.
155---
Perubahan atas UU ini sampai tahun 2004 secara prinsip
hanya berisi pengurangan terhadap jumlah anggota DPR
yang diangkat serta pengangkatan anggota-anggota MPR
secara lebih terbuka, namun sejak Pemilu 2004 perubahan
atas UU sudah meniadakan pengangkatan sama sekali dan
memasukkan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga
negara yang baru sejalan dengan amandemen atas UUD 1945
yang menentukan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
d. UU tentang Pemerintahan Daerah juga diganti, dari yang
semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi
berasas ekonomi luas, dari yang secara politik sentralistik
menjadi desentralistik. Asas otonomi luas ini bukan hanya
dituangkan di dalam UUD 1945 hasil amandemen (perubahan
kedua) yakni di dalam pasal 18 ayat (5) yang berbunyi
“Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat “.
Selain dari contoh-contoh di atas, masih banyak UU lain
yang diubah sejalan dengan perubahan politik dari Orde Baru ke
reformasi. Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
dicabut, Dwifungsi ABRI dihapuskan, TNI dipisahkan dari POLRI,
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dihapus,
Kekuasaan Kehakiman disatuatapkan, dan masih banyak contoh
lainnya.
Pasca reformasi 1998 perubahan hukum bukan hanya
mengantarkan pada perubahan berbagai UU seperti yang
dicantumkan di atas, melainkan menyentuh juga peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dan UUD 1945. Untuk
tingkat Tap MPR yang mula-mula ditiadakan yaitu Tap MPR
No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) dan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang
Referendum, namun akhirnya Tap MPR sendiri dinyatakan dihapus
dari peraturan perundang-undangan sejalan dengan perubahan
atau amandemen atas UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 mengubah hubungan antarlembaga
negara dari yang vertikal-struktural menjadi horizontal-
fungsional sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR
yang semula merupakan lembaga tertinggi negara diturunkan
derajatnya menjadi lembaga negara biasa yang sejajar dengan
lembaga negara lainnya, yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA,
MK, dan Komisi Yudisial. Dengan posisi MPR yang tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan perundang-
undangan di dalam tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap
MPR sebagai peraturan. Tap MPR yang tadinya merupakan
peraturan perundang-undangan derajat kedua sesudah UUD
tidak dapat lagi dikeluarkan sebagai peraturan perundang-
undangan dan tempatnya pada derajat kedua dalam hirarki
peraturan perundang-undangan diganti oleh UU/Perpu yang
semual menempati derajat ketiga. Pada saat ini memang masih
dimungkinkan adanya Tap MPR, namun bukan lagi sebagai
peraturan melainkan sebagai penetapan, seperti Ketetapan
tentang Penetapan Wakil Presiden jika Presiden berhalangan
tetap. Peraturan bersifat umum-abstrak, sedang penetapan
bersifat konkret-individual (Sahdan, Gregorius, 2004).
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa penghapusan Tap
MPR sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan
merupakan akibat dari perubahan atau amandemen atas UUD
1945. Perubahan UUD 1945 sendiri merupakan agenda atau
produk utama reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran kuat
yang dimotori oleh berbagai kampus dan para pegiat demokrasi
bahwa reformasi konstitusi merupakan keharusan jika kita
mau melakukan reformasi. Alasannya krisis multidimensi yang
menimpa Indonesia disebabkan oleh sistem politik yang otoriter
sehingga untuk memperbaikinya harus dimulai dari perubahan
sistem politik agar menjadi dmeokratis. Untuk membangun sistem
yang demokratis perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945
sebab sistem otoriter yang dibangun selalu masuk dari celah-
celah yang ada pada UUD 1945 ini . Menurut penelitian yang
dilakukan Prof. Moh. Mahfud MD, tentang “Pengaruh Konfigurasi
Politik Terhadap Karakter Produk Hukum” bahwa faktanya sistem
politik yang otoriter selalu terjadi pada masa-masa berlakunya
UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Mahfud MD
yang secara sederhana diragakan sebagai berikut:
Periode
Konfigurasi
Politik
Karakter
Produk Hukum
UUD
yang berlaku
1945-1959 Demokratis Responsif
UUD 1945.
Konst. RIS 1949,
UUDS 1950
1959-1966 Otoriter Ortodoks UUD 1945
1966-1998 Otoriter Ortodoks UUD 1945
Dari ragaan ini , tampak bahwa sistem demokrasi
hanya terjadi pada periode 1945-1959, sedang pada periode
selanjutnya menampilkan otoriterisme. Artinya demokrasi
dengan memakai indikator-indikator tertentu hanya dapat
berkembang pada saat UUD 1945 (sebelum diamandemen) tidak
berlaku, dengan kata lain otoriterisme selalu berkembang dan
mencengkeram pada periode-periode berlakunya UUD 1945
yang asli. biasanya kelemahan-kelemahan UUD 1945
yang menjadi pintu masuk bagi tampilnya otoriterisme itu
diidentifikasikan sebagai berikut (Mahfud, 2011).
Pertama, memuat ketentuan-ketentuan-ketentuan yang mem-
fokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif (executive heavy)
yang dipimpin oleh presiden. Selain sebagai kepala eksekutif,
praktis presiden menjadi ketua lembaga legislatif, sebab jika
presiden tidak mau menadatangani sebuah RUU yang disetujui
DPR dan pemerintah, maka RUU ini tidak belaku
Kedua, memuat ketentuan yang multi tafsir yang sebab
sistemnya yang executive heavy itu maka penafsiran konstitusi
yang harus diterima sebagai kebenaran yaitu penafsiran yang
dibuat presiden.
Ketiga, terlalu banyak memberi atribut kewenangan
kepada lembaga legislatif untuk mengatur hal-hal yang sangat
penting dengan undang-undang tanpa ada limitasi yang tegas
di dalam UUD padahal presiden sangat dominan dalam proses
pembentukan undang-undang. Banyaknya atribusi ini yang
158 ---
memicu isi undang-undang lebih banyak didominasi oleh
kehendak-kehendak presiden.
Keempat, terlalu percaya pada semangat orang sebagaimana
dinyatakan sendiri dalam penjelasn UUD 1945 sebelum
diamandemen. Di dalam penjelasan UUD 1945 ini ,
dinyatakan bahwa UUD tidaklah terlalu penting sebab yang
lebih penting yaitu semangat penyelenggara negara, jika
semangat penyelenggara negara baik, maka negara akan baik.
Itulah kelemahan-kelemahan yang ada dalam UUD 1945 sebelum
amandemen ini , dan itulah yang menjadi salah satu alasan
diadakannya amandemen. Namun ada hal lain yang memperkuat
alasan dilakukannya amandemen, yakni alasan konstitusi
sebagai resultante atau produk kesepakatan politik sebagaimana
diungkapkan KC Wheare, sebagai resultante, konstitusi
merupakan kesepakatan pembuatnya sesuai dengan keadaan
ekonomi, politik, sosial dan budaya pada saat dibuat.
2. Produk Hukum HAM
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia yaitu hak yang dimiliki manusia
sebab martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh
warga atau negara. Semua manusia sebagai manusia
memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian
memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Menurut
Szabo tujuan hak asasi manusia yaitu memepertahankan hak-hak
manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu
yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang
multidimensional.
Dalam kaitannya dengan pengertian atau notion HAM dapat
dibedakan antara an mordefinisi yuridis, politis, dalam deklarasi
politik yaitu Deklarasi umum hak-hak asasi yang diterima pada
bulan Desember 1948. Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD
1945, Ketetapan No. II/MPR/1978 disatu pihak dan Deklarasi
Universal HAM, yang ditetapkan oleh PBB. Namun, secara de
facto para pendiri bangsa (Founding Father) yang merumuskan
159---
UUD 1945 tidak mau memasukkan apa yang termuat dalam
Deklarasi Universal sebab apa yang termuat di dalamnya
dirasa tidak sesuai dengan watak ideologi bangsa Indonesia.HAM
sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak
asasi manusia yang muncul pada abad ke-20 seperti Deklarasi
Universal, memiliki beberapa ciri menonjol. Pertama, susaha
kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas sebagai hak.
Kedua, hak-hak ini dianggap universal, yang dimiliki oleh
manusia semata-mata sebab ia yaitu manusia. Salah satu
ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang
yaitu bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga,
hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak
bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem
adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Keempat, hak
asasi manusia dipandang norma-norma yang penting, dimana
dalam deklarasi itu yaitu sesuatu yang oleh para filsuf disebut
sebagai prima facie right. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan
kewajiban bagi individu maupun pemerintah.Secara eksplisit
hak-hak asasi dalam UUD 1945 itu sebagai hak-hak warga
Negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan tentu saja
dalam Pembukaan UUD 1945. Di masa Orde Baru, semangat dan
jiwa yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen mendorong pengurus MPRS
untuk mengadakan langkah-langkah guna membenahi dan
menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang
dilakukan oleh G 30 S/PKI. Hak-hak warga Negara di Indonesia
diakui dan dijunjung tinggi namun dalam kerangka solidaritas
Indonesia, dalam konteks gotong-royong. Masalah-masalah yang
tumbuh berkisar HAM di Indonesia cukup kompleks, baik secara
teoritis maupun yuridis ada tiga macam pandangan.
a. Kelompok yang pertama berpendirian: Indonesia dengan
ideologi Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan,
dan peradaban. Kecuali itu UUD 1945 secara eksplisit
menjamin beberapa hak fundamental untk para warga
Negara.
b. Kelompok yang kedua: Menentang HAM, sebab menurut
mereka HAM menyusahkan penyelenggara pemerintahan
yang beriktikad baik.
160 ---
c. Kelompok yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka
menunjukkan adanya fakta yang membuktikan adanya
pelanggaran terhadap HAM. Mereka berusaha menyadarkan
rakyat akan hak-hak fundamental mereka (Majda El-Muhtaj,
2009).
Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan
sebenarnya baru menjadi permasalahan jika seseorang
berada dalam lingkungan manusia lainnya. Rumusan hak-
hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia untuk
membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang hendak
menyelenggarakan keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh
suatu Negara diakui secara hukum dapat dirumuskan dan dibagi
menjadi dua kategori:
a. Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari
Negara yang bersangkutan (hak-hak warga negara).
b. Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili
di Negara yang bersangkutan.
Era Reformasi
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru yaitu
adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi
ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk.
KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat
terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat
mencolok memicu munculnya kerusuhan sosial. Muncul
demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama
kaum demonstran yaitu perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari
kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21
Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil
presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
161---
Penegakan HAM pada Masa Reformasi
Orde Reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang
lebih baik. Beberapa perubahan positif yang dibawa oleh reformasi
pada periode jabatan presiden B.J. Habibie yaitu :
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima
paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-
undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-
undang ini .
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh
pada tata politik yang adil. Hak warga negara untuk
mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan
menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi dengan baik
sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka
(Majda El-Muhtaj, 2009).
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk,
terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat,
serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga
stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi
memicu warga tidak berdaya untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat
keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas
ekonomi rakyat.
162 ---
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam warga
mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi.
warga bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada
pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan
pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan
permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan
pers, warga dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak
warga untuk mendapatkan informasi secara jelas
dan terbuka pun mulai dibuka. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan
Pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang
demokratis. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik.
Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie yaitu
penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang
memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak
pendapat di Timor Timur. Referendum ini dilaksanakan
pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET.
Hasil jajak pendapat ini menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor
Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor
Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik
Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama
Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
3. Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi
Sekalipun ada berbagai pembenahan, di masa reformasi
masih terjadi banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal,
HAM sudah cukup ditegakkan. namun dalam beberapa hal lain,
pelanggaran HAM justru semakin marak sesudah masa reformasi
berlangsung. Berikut ini yaitu beberapa kasus pelanggaran
HAM yang terjadi pada masa reformasi.
163---
a. Kebijakan Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak
ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah.
Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik
di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum
maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi
pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang
sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak
asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan
kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak
telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM,
khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi,
sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi
ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah membawa
dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama,
aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin
dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum
miskin; Kedua, diabaikannya/tidak dijalankannya hukum dan
peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok
miskin.
b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000
hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan
yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika
perburuhan. Perundang-undangan itu yaitu UUNo 21 tahun
2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan
UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga
Undang-undang itu lalu menjadi roh sistem perburuhan
di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah
mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja
dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat
upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani
kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya
ini ditekan. Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran,
justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK ini , ribuan
buruh ikut menambah jumlah pengangguran. berdasar
164 ---
survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat
pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta
oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9
juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan
awal tahun 2005. lalu pada Februari 2006 angka
pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara
itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti
tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat
pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan
tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari
seluruh kasus ini mencapai sekitar 500 milyar rupiah.
Salah satu di antaranya yaitu kasus PT. Dirgantara
Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan,
agar tetap hidup, puluhan ribu buruh ini lalu
bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada
tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan
mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-
undang ketenagakerjaan ini . Paket rancangan ini
berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan
Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja
dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program
Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan
PHK). Singkatnya, paket-paket RPP ini mengandung
arti melestarikan sistem kontrak dan outsourcing dan
mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan
kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin
jauh dari realitas (Majda El-Muhtaj. 2009).
c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi
secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling
kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain
menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa
malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah
yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang
165---
kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin
berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga
internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung
lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-
negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina,
dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi,
angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan,
tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai
indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan
dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya
kasus busung lapar dan beberapa penyakit lain yang
diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan
pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan
kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat.
Meskipun tidak semua kasus malnutrisi yaitu akibat faktor
ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67
juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia
diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses
warga miskin ke pangan.
Masih tingginya tingkat kelaparan di warga
menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan
pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan
pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak
dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang
dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun
pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga
sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan
masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan
mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat
memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya.
Sekalipun terjadi perubahan saat bangsa Indonesia
memasuki masa reformasi, namun toh tidak banyak perubahan
yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM
yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
166 ---
terjadinya krisis moral di Indonesia, aparat hukum yang
berlaku sewenang-wenang, kurang adanya penegakan hukum
yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain. Maka
untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu:
a. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
b. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
c. Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
d. Penanaman nilai-nilai keagamaan pada warga
(Halili, 2016).
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah namun juga tanggung jawab semua umat manusia.
Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar
dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan
Allah dan umat manusia.
C. Politik Hukum Ham di Era Demokrasi
1. Hukum HAM Responsif
Munculnya gagasan hukum responsif bermula dari kegelisahan
Philippe Nonet dan Philp Selznick terhadap ketidakmampuan
hukum di Amerika menghadapi problem sosial yang muncul
saat itu. Protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran
lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan
kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an,
telah mengecewakan Nonet dan Selznick yang akhirnya berpikir
menemukan jalan menuju perubahan agar hukum bisa mengatasi
persoalan-persoalan itu
Dalam pandangan mereka, hukum di Amerika era itu hanya
dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku legalistik
tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum ini dengan pers yang
harus ditangani. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin
pengaturan dari penguasa yang menekankan aspek legitimasi
dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori
hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan
tidak kebal terhadap pengaruh sosial.
Memahami kenyataan itu, mereka lalu mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam
ilmu hukum dengan memakai strategi ilmu sosial. Ada
perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya
hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya
mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan
ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu
yang berubah-ubah dan kontekstual.
Dengan hukum responsif, Nonet dan Selznick menjanjikan
tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan
dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom dengan
menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan ini yang
menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif,
namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih
besar.
berdasar konsepsi Nonet dan Selznick serta kegagalan
politik hukum HAM dalam berdasar menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lalu di era reformasi, studi ini mengi
pembuatan hukum HAM responsif. Konsepsi responsif yang
dimaksud di sini yaitu pembuatan hukum HAM harus diproses
secara partisipatif dengan substansi yang responsif terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial sesuai realitas hak asasi manusia
di Indonesia.
Proses partisipatif mensyaratkan dua hal. Pertama, DPR
meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal warga
dan tidak memerankan diri sebagai konseptor undang-undang,
apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk
perundang-undangan. Proses pertisipatif menurut Habermas
mensyaratkan memperluas perdebatan politis dalam parlemen ke
warga sipil.
Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat negara
dan wakil rakyat, melainkan seluruh warga negara berpartisipasi
di dalam wacana bersama. Kedaulatan rakyat bukanlah
substansi yang membeku di dalam perkumpulan para wakil
rakyat, melainkan ada dalam pelbagai forum warga negara,
organisasi nonpemerintah, gerakan sosial.
Kedua, mensyaratkan organisasi warga sipil menjadi
kekuatan intelektual mengkaji merumuskan kebutuhan hukum
warga . Perpaduan DPR yang sejatinya yaitu representasi
(politik) rakyat dengan organisasi warga sipil diproyeksikan
mampu substansi hukum HAM yang memiliki kekuatan
penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfill) HAM yang
kontekstual dengan demokrasi warga , bukan produk hukum
HAM yang responsif terhadap politik.
Konsepsi proses partisipatif di atas tentu saja memerlukan
untuk memperjelas prosedur-prosedur dan proses kelembagaan
lanjut partipasi bisa dilaksanakan. usaha ini yang
dapat menjamin mensyaratkan tidak hal-hal di antaranya: (1)
mewajibkan negara mempublikasikan perencanaan produk
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan
memberikan kesempatan kepada kelompok warga strategis
berpartisipasi, (2) tersedianya sistem informasi dan dokumentasi
yang sistematis, bebas dan mudah diakses, (3) adanya jaminan
prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi warga
untuk terlibat secara efektif, (4) tersedianya prosedur yang
menjamin publik bisa mengajukan inisiatif pembuatan RUU, (5)
adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang
wajib tersedia dan bebas diakses publik, seperti antara lain:
naskah RUU, notulensi pembahasan, catatan-catatan (Halili,
2016).
Bagian penting prinsip partisipasi dalam konsepsi responsif
bidang HAM yaitu sifat afirmatif yang dilegalisasi melalui
peraturan perundang-undangan sebagai respons atas kebutuhan
riil warga . Jika pada aspek hak sipil dan hak politik (HSP)
prinsip kebebasan dikerangka sebagai ruang pemenuhan hak-hak,
bidang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (HESB) dikonstruksikan
sebagai aksi afirmatif untuk tujuan equal opportunity agar
kelompok atau golongan tertentu yang rentan, memperoleh
peluang yang setara dengan kelompok atau golongan lain yang
kuat. Sebagai tindakan afirmatif, kebijakan yang diambil yaitu
kebijakan yang memberi posisi hukum HESB sebagai hak yang
bisa dikomplain pemenuhannya secara hukum (justiciable).
169---
HSP dan HESB yaitu problem utama dan kebutuhan dasar
mayoritas rakyat Indonesia sebab belum pernah menikmati
perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM produk
hukum HAM kedua hak ini sepanjang sejarah republik ini.
Memang menjamin HSP dan menomorduakan HESB sama artinya
tidak memberikan jaminan kepada hak HSP kepada mayoritas
rakyat. Begitu sebaliknya, memprioritaskan HESB dan abaikan
HSP sama dengan apa yang dilakukan negara-negara otoritarian
terhadap penduduknya yang menjaga “perut rakyatnya tetap
kenyang”, namun membelenggu akal sehatnya.
Proses perubahan UUD Proses pembuatan peraturan
perundang-undangan semenjak 1945 tidak mengalami perubahan
yang signifikan dibanding sebelumnya. Kewenangan pemerintah
masih tetap dominan inisiator UU yang representasi rakyat tidak
memiliki kemampuan memakai hak inisiatif mengajukan
sehingga mengikuti saja paradigma, proses, dan alur berpikir
RUU yang konteks eksekutif. Akibatnya makna pembuatan
hukum, termasuk hukum HAM dalam perubahan UUD 1945 yang
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan menjadi tidak
terwujud. Peraturan perundang-undangan bidang HAM yang
dibuat masih bersifat top down yang menempatkan rakyat yang
akan menjadi tujuan pengaturan sebagai objek pasif. Konstruksi
normatif bagi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM
sepenuhnya konstruksi pemerintah dan DPR.
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, perubahan
paradigma juga merupakan tuntutan realistis bagi perubahan
paradigma pembuatan hukum yang bersifat tidak partisipatif dan
berorientasi sepenuhnya kepada produk-produk hukum represif
untuk kepentingan kekuasaan (pemerintah), ke arah paradigma
pembuatan hukum yang bersifat partisipatif untuk kepentingan
warga .
Philippe Nonet dan Philip Selznick yang mengintroduksi
teori hukum respons menegaskan bahwa responsivitas hukum
ditentukan pada seberapa kuat konstruksi hukum dibangun
berdasar kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan-kebutuhan
sosial yang dimaksud Nonet dan Selznick tentu saja kontekstual,
170 ---
yaitu di mana dan untuk siapa hukum itu akan diberlakukan
sehingga hukum bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Dalam pandangan hukum responsif, hukum tidak hanya
memberikan sesuatu yang bih sekadar hukum formal atau
prosedural, namun juga mengakomodasi kebutu warga , serta
mampu mengenali kebutuhan publik, dan yang paling penting
bisa mewujudkan keadilan kepada warga , yaitu tercapainya
keadilan substantif.
Dilihat dari penafsiran, produk hukum yang berkarakter
responsif memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat
penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan.
Peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang
bersifat teknis. Oleh sebab itu, produk hukum responsif harus
memuat hal-hal penting secara rinci, yang menutup peluang bagi
pemerintah untuk membuat penafsiran tersendiri secara sepihak.
Penegakan atau pemenuhan HAM untuk meningkatkan
kualitas hidup kelompok rentan harus dimulai secara serempak
dilakukan dari “luar” dan “dalam”. Dari luar dilakukan melalui
proses-proses politik yang egaliter, yang menempatkan rakyat
sebagai subjek dan sasaran kritis perlindungan. Dari “dalam”
dilakukan melalui proses pendidikan menuju ke kesadaran hak
untuk melepaskan diri dari rasa ketergantungan, menuju ke
arah terwujudnya legal literacy, yaitu situasi kesadaran akan
pemilikan hak di kalangan khalayak awam.
Gerakan penyadaran hukum pun dilakukan dengan strategi
dan pengorganisasian yang lain. Bukan lagi strategi untuk
menyadarkan rakyat akan kewajiban-kewajiban (semata) seperti
yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan pada era
rezim Orde Baru, namun strategi untuk menyadarkan mereka
tentang hak-hak dan batas-batas hak mereka Gerakan kesadaran
hak ini memang harus lebih banyak dikerjakan oleh organisasi
organisasi nonpemerintah yang sejak lama menganut kebijakan
populis (Halili, 2016).
Gerakan memberantas buta hak” pada dasarnya tidak lagi
mempercayai mitos dalam doktrin hukum Itulah doktrin klasik,
171---
yang meyakini “setiap manusia warga negara itu berkedudukan
sama di hadapan hukum dan kekuasaan sudah waktunya
untuk dikritik dan dipertanyakan kebenaran riilnya. Kesamaan
kedudukan di hadapan hukum dan kekuasaan, jika tidak
didukung oleh kesamaan status ekonomi sebagaimana yang
dijamin oleh hak-hak ekonomi yang asasi, tidaklah akan bisa
mengubah keadaan.
Gerakan sadar hak yaitu tindakan afirmatif yang tidak
bisa dilihat diskriminatif keadaan Dengan kata lain, distribusi
dan/atau pengakuan hak menurut hukum perundang-undangan
haruslah dikonfigurasikan secara sadar dan realistis sedemikian
rupa sehingga mereka tergolong miskin dan buta hak akan
memperoleh hak, dan/atau perlindungan hak dalam yang relatif
lebih besar daripada apa yang dapat diperoleh oleh mereka proporsi
yang telah mapan. Kesamaan kedudukan dalam memperoleh
kesempatan berekonomi itulah yang justru menjamin kesamaan
kedudukan di hadapan hukum dan akan pemerintahan.
2. Politik Hukum Hak Sipil Politik (HSP)
a. Responsivitas UUD 1945 terhadap HSP
Tuntutan komitmen kemanusian sebagaimana telah
dijelaskan di atas tidak saja diarahkan pada perlindungan,
penghormatan, dan pemenuhan HAM dari kemungkinan
tindakan langsung negara sebab kekuasaan yang tidak
demokratis atau sikap diam atau membiarkan lari negara,
namun juga dominasi kelompok-kelompok warga yang
memiliki kekuatan atas kelompok-kelompok warga
yang lemah.
Paradigma perlindungan, penghormatan dan pemenuhan
HAM tidak lagi menempatkan HSP sebagai prioritas dan
HESB sebagai pilihan yang sepenuhnya disandarkan kepada
kemampuan negara, namun menjadi kebutuhan simultan
setiap manusia dan warga . Politik hukum HSP dalam
UUD 1945 perubahan pertama-tama menguatkan eksistensi
Presiden menjadi lebih terkontrol, memberikan kewenangan
besar kepada DPR, menegaskan dan menguatkan hak
172 ---
berorganisasi, bereksperesi, berpendapat, serta memperkuat
eksistensi lembaga yudisial.
Penerjemahan kedaulatan ke dalam HSP antara lain
diwujudkan melalui pemilihan umum langsung untuk memlih
anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, gubernur, serta bupati atau walikota. Selanjutnya
menegaskan hak kewenangan DPR sebagai representasi
rakyat dalam pembuatan UU; menghapus diskriminasi
terhadap warga negara Indonesia yang dimuat dalam Pasal
2615 dan Pasal 2 yang 1945 Melalui pasal lahir UU No. Tahun
2006 tentang Kewarga negaraan membebaskan mereka dari
UU yang bersifat hukum HSP turunan kedaulatan menjamin
kemerdekaan berserikat terumus dalam Pasal 28 yang dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisandan tulisan.
Pasal ini diperluas menjadi Pasal 28A sampai 28J
sehingga cakupan SP menjadi lebih luas dan rinci.
Politik hukum HSP berikutnya yaitu merasionalisasi
kekuasaan Presiden agar sesuai dengan prinsip negara
hukum dan demokrasi. Langkah pertama bidang ini
yaitu menempatkan kedaulatan rakyat sebagai penentu
diperolehnya jabatan Presiden melalui mekanisme Pemilu
langsung.
Rasionalisasi yang kedua yaitu membatasi jabatan
Presiden. Substansi ketentuan Pasal UUD 1945 sesungguhnya
yaitu perlindungan HSP yang bersifat mencegah lahirnya
kekuasaan politik secara tidak terbatas, yang dapat
memicu penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran
HAM sebagaimana terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Dengan membatasi masa jabatan Presiden, berarti mencegah
potensi terulangnya penyalahgunaan kekuasaan dengan
segala konsekuensi pada HAM.
Politik hukum pemilihan dan pembatasan jabatan
Presiden di atas dilengkapi pula dengan jaminan konstitusi
tentang kemungkinan pemberhentian Presiden dan atau
Wakil Presiden jika melanggar hukum. 19 Kewenangan
yang diberikan UUD 1945 kepada MPR, DPR, dan MK untuk
173---
melakukan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden
ini menjadi garansi bahwa ada institusi negara yang
bisa melindungi HSP dari kemungkinan Presiden dan atau
Wakil Presiden melanggar HSP warga negara.
Jaminan akan peradilan yang merdeka juga semakin kuat
sesudah perubahan UUD 1945. Dengan jaminan ini, maka
secara normatif ada penguatan pada penghormatan
Lebih-lebih sesudah di bidang persamaan di depan hukum dan
perlindungan HSP perubahan ketiga UUD 1945 disahkan,
kekuasaan kehakiman mendapat tambahan satu jenis
mahkamah lain yang memiliki kedudukan yang setingkar
atau sederajat dengan Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK).
Kewenangan MK yaitu melakukan Jndicial Reuven (R)
terhadap UU yang berada bawah UUD 1945 yang melanggar
hak-hak konstitusional warga negara. Dengan kewenangan
itu, MK telah menjadi lembaga penjamin (institutionalqurante)
bagi HAM, khususnya warga negara.
Politik hukum HAM perlindungan HSP melalui penguatan
kedudukan dan kewenangan yudisial (MK) di atas diperkuat
pula oleh kehadiran Komisi Yudisial (KY) lembaga Meskipun
lembaga baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman,
sebab keberadaannya dalam 1945 Bab IX tentang Kekuasaan
kehakiman, substansi keberadaan KY tidak dapat dipisahkan
dari kekuasaan kehakiman. KY berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung dan memiliki kewenangan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keleluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pentingnya kualitas dan intensitas pengawasan terhadap
hakim dilakukan oleh lembaga independen sebab selama
Orde Baru, tidak sedikit hakim yang menyalahgunakan
kewenangannya secara independen yang berakibat melanggar
hak-hak konstitusional warga negara, antara lain menghukum
orang tidak bersalah, atau sebaliknya membebaskan orang
yang bersalah. Kehadiran KY dimaksudkan untuk memastikan
174 ---
para hakim bertindak memakai kewenangannya sesuai
UU.
b. Menambahkan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Dalam perubahan ketiga UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan
pengujian atas konstitusionalitas undang- undang; (b)
mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga
negara. yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar (c)
mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum sehingga secara hukum tidak memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi
terbukti sehingga dapat dijadikan alasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan
perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum;
dan (e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran
partai politik.
Memperhatikan signifikansi peran MK selama ini dalam
menjaga konstitusi dengan mengendalikan produk-produk
hukum yang melanggar maupun potensial melanggar
HAM (hak-hak konstitusional warga negara, maka sudah
seharusnya jika kewenangan MK diperluas mencakup
kewenangan menerima dan mengadili gugatan perorangan
(constitutional complaint).
Menurut Gerhard Dannemann, kewenangan constitutional
complaint telah berkembang pesat dan diadopsi hampir
di seluruh negara Eropa Tengah dan Timur. Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman (Bunde dan Korea Selatan yaitu
dua di antara MK yang telah menerapkan kewenangan
constitutional complaint.
Contoh kasus constitutional complaint yang cukup terkenal
di Jerman, yaitu tuntutan tentang larangan penyembelihan
hewan sebab dinilai bertentangan dengan undang-undang
tentang perlindungan hewan. warga muslim Jerman
175---
yang berkeberatan mengajukan hal ini sebab bertentangan
dengan kebebasan menjalankan agama sebab ajaran Islam
justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum
halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
mengabulkan tuntutan itu dengan alasan beragama yaitu
hak mendasar yang diatur dalam konstitusi, sedang
larangan penyembelihan hewan berada pada wilayah
ketentuan di bawah undang-undang dasar.
Jika kewenangan ini ada pada MK, tersedia mekanisme
hukum lain untuk menjamin terjaganya HAM warga
negara. Mengagungkan pengakuan hak-hak dasar manusia
(warga negara) tanpa perlindungan atau mendengung-
dengungkan perlindungan tanpa tersedia usaha hukum
untuk mempertahankan dan memperjuangkannya sama
artinya dengan pengingkaran terhadap pengakuan dan
perlindungan hak dasar setiap warga negara. Oleh sebab
itu, memperluas kewenangan constitutional complaints atau
pengaduan konstitusional yang berkaitan dengan hak dasar
setiap indvidu kepada MK merupakan kebutuhan mendasar
yang sama mendasarnya dengan substansi hak itu sendiri.
Di sisi lain, dengan adanya instrumen complaint ini, lambat
laun akan tercipta kesadaran di tengah-tengah warga
untuk membela diri di hadapan hukum saat hak-hak
dasar mereka dilanggar. Selain itu, berbagai kebijakan yang
menyentuh ranah publik dan negara biasa dengan sendirinya
akan memiliki kepekaan terhadap perlindungan dan
pemenuhan hak dasar setiap individu warga .
c. Memasukkan Ketentuan tentang Ratifikasi Konvensi
HAM Internasional
UUD 1945 sudah seharusnya memuat ketentuan yang
mewajibkan negara meratifikasi pelbagai konvensi HAM
Internasiona Demikian ketentuan agar substansi dari konvensi
yang telah d ratifikasi itu ditindaklanjuti dengan pembentukan
UU atau mengadopsi substansi yang telah diratifikasi ke
dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang telah
ada. Salah satu konvensi HAM internasional yang semestinya
176 ---
segera ditindaklanjuti dengan mengadopsi substansinya ke
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yaitu Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi
dengan UU No. 5 Tahun 1998 Urgensi mengadopsi substansi
konvensi ini kedalam KUHAP sebab tindakan penyiksaan,
perlakuan kejam, dan merendahkan martabat manusia
menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling
banyak dilakukan polisi pada saat melakukan penyelidikan
dan penyidikan atas suatu tindak pidana.
d. Larangan Melakukan Tindakan Pembiaran
UUD 1945 perlu ditambah dengan pengaturan yang
mencegah tindak pembiaran yang menjangkiti pemerintah
dan aparat penegak hukum Indonesia selama Membiarkan
tanpa perilaku atau tindakan pembiaran akan melumpuhkan
setiap usaha penegakan hukum, menghancurkan kedaulatan
hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem
demokrasi itu sendiri. Oleh sebab itu, politik hukum HAM
responsif bidang HSP diorientasikan pada regulasi yang tegas
melarang tindakan pembiaran (crime by omission) dari negara
(pemerintah), agen-agen negara, dan nonnegara (korporas
Regulasi yang dibutuhkan dalam kaitan ini yaitu
regulasi-regulasi yang secara imperatif menekankan negara
dan nonnegara melakukan sesuatu tindakan melindungai dan
memenuhi HAM. Pada bagian lain dimuat pula hak setiap
orang dan warga negara untuk melakukan komplain hukum
jika negara (pemerintah), agen negara, dan nonnegara
melakukan tindakan pembiaran.
e. Mencantumkan Secara Eksplisit Keberadaan Komnas
HAM
Mengingat kewenangan Komnas HAM selaku penyelidik
pro yustisia dalam kasus pelanggaran HAM yang berat
bersinggungan dengan institusi negara lainnya, seperti DPR,
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, maka jika terjadi
sengketa dengan lembaga negara ini berkaitan dengan
kewenangan masing-masing, tidak bisa diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi sebab Komnas HAM tidak disebut
177---
sebagai lembaga negara seperti halnya KY atau MK Hal yang
terjadi antara DPR dan Kejaksaan Agung dengan Komnas
HAM dalam kasus Tss dapat dikatakan sebagai masuk
dalam kualifikasi sengketa antarlembaga, yang mestinya bisa
diselesaikan oleh MK (Halili, 2016).
f. Memperbaiki susunan Pemuatan substansi HSP
Pengaturan tentang HAM dalam beberapa pasal dan
ayat dalam UUD 1945 sesudah perubahan tampak sekali
dilakukan tanpa konsep dan tanpa memahami substansi
HAM, terutama substansi HSP dan HESB sehingga ada
duplikasi pengaturan dan penggabungan HSP dan HESB
dalam satu pasal dan atau satu ayat yang tidak semestinya.
Ketidakberesan susunan dan pengaturan substansi HAM
yang ayat dalam UUD 1945 tidak bisa dibiarkan sebab selain
menunjukkan ketidakcermatan, minimnya pemahaman
perancang UUD, DPR dan Pemerintah, juga bisa melemahkan
kekuatan moral UUD 1945 terhadap perlindungan HAM.
beberapa pasal yang susunan dan pengaturan materinya
tumpang tindih dan tidak tepat antara lain pasal 27 ayat yang
mengatur perlakuan yang sama di depan hukum disebutkan
kembali dalam Pasal 28 D ayat Bahkan di dalam Pasal 28 D
ayat itu juga terjadi pengulangan substansi antara kalimat:
“berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil” dengan perlakuan yang sama di
hadapan hukum” Begitu juga Pasal 28E yat (1) berulang di
pasal 29 ayat (2).
3. Merevisi UU yang Telah Ada dan Membuat UU Baru
a. Merevisi KUHAP
Selama lebih dari dua puluh tahun hukum acara ini
diberlakukan, telah terjadi banyak penyimpangan atau
penyalahgunaan yang melanggar HAM yang dilakukan oleh
terutama polisi dan jaksa akibat kelemahan dari KUHAP
itu sendiri. Padahal KUHAP diciptakan untuk melindungi
HAM tersangka, terdakwa dan terpidana sehingga sudah
seharusnya direvisi.
178 ---
Selain itu, telah terjadi perubahan mendasar pada UUD
1945 yang menegaskan prinsip negara hukum, pengaturan
yang rinci mengenai HAM, adanya UU No. 39 Tahun 1999
yang telah mengadopsi pasal-pasal dalam Deklarasi Universal
HAM, serta telah diratifikasinya beberapa konvensi HAM
internasional. Di antara perubahan yang penting dilakukan
yaitu :
(1) mengatur secara tegas larangan dilakukannya penyiksaan,
perlakuan kejam dan tidak manusiawi dengan mengadopsi
pasal-pasal dalam Konvensi Anti Penyiksaan.
(2) mengatur secara limitatif batas waktu pengembalian
Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dari polisi ke jaksa,
atau sebaliknya dari jaksa ke polisi. Kepastian hukum
tentang ini sangat penting demi kepastian hukum dan
perlindungan serta pemenuhan hak setiap orang yang
tersangkut perkara pidana untuk mendapatkan proses
hukum yang cepat dalam penyelesaian perkaranya.
(3) mengatur secara limitatif dengan sanksi yang tegas
larangan kepada polisi. jaksa atau hakim yang
mengabaikan, perkara tanpa alasan membiarkan
atau menggantungkan hukum yang jelas dan bisa
dipertanggungjawabkan.
(4) mengatur secara limitatif dengan sanksi bebasnya
terdakwa jika terbukti di persidangan polisi dan atau
jaksa mengambil barang bukti dengan cara melawan
hukum. Filosofi pengaturan ini yaitu bahwa tidak
dibenarkan menegakkan hukum dengan cara melanggar
hukum;
(5) dipandang perlu pengaguran mengenai kekeliruan fakta
atau kekeliruan pan hukum yang dapat menghapus
tanggung jawab pidana sehingga aparat penegak hukum
harus memakai kewenangannya dengan cermat,
akurat dan hati-hati (profesional).
(6) perlunya diatur dengan jelas alasan dan waktu
penahanan yang rasional dikaitkan dengan penyelidikan
atau penyidikan agar tidak disalahgunakan polisi dan
179---
atau jaksa dengan alasan formal sebagaimana selama ini
terjadi, serta diatur pula mekanisme di pengadilan untuk
menguji keabsahan penahanan, serta akibat hukum dari
penahanan yang tidak memiliki dasar hukum (Halili,
2016).
b. Merevisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Pada waktu UU No. 39 Tahun 1999 disahkan, UUD 1945
belum mengalami perubahan. Sampai dengan tahun 2002,
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan pertama
sampai dengan keempat menghasilkan beberapa perubahan
signfikan dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia. Selain
perubahan organ kelembagaan, ada pula norma-norma HAM
yang diatur secara eksplisit. Norma HAM yang sebelumnya
hanya dimuat pada sedikit pasal, sesudah perubahan diperluas
ke dalam BAB XA Pasal 28A-28j.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah pula diratifikasi
dua kovenan HAM internasional pokok, yaitu Kovenan Hak
Sipil dan Hak Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya yang masing-masing dituangkan dalam UU No. 11
tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005.
Perubahan-perubahan ini tentunya menjadi alasan
konstitusional perlunya dilakukan revisi terhadap UU No
39 Tahun 1999 Tentang HAM. Selain sebab ada hal-
hal baru yang patut dimuat, juga dijumpai kelemahan yang
menjadi ganjalan pelaksanaan tugas (terutama) Komnas
HAM. Bagian yang perlu direvisi, yaitu sebagai berikut:
Pengaturan tentang Komnas HAM dari UU No. 39 Tahun
1999 dikeluarkan sehingga UU ini sepenuhnya memuat
norma norma tentang HAM Pengaturan tentang Komnas
HAM digabung ke dalam satu peraturan perundang-undangan
yang juga memuat norma-norma pengaturan lain, meskipun
berkaitan, memicu terkooptasinya pengaturan
tentang Komnas HAM dalam pengaturan lain. Di samping
itu, tidak menunjukkan peran, kewenangan penting Komnas
HAM dalam memajukan dan perlindungan HAM.
180 ---
Terkait dengan poin satu (1) di atas patut dibuat
peraturan perundang-undangan nasional tersendiri, tidak
“ditempelkan” pada peraturan perundang-undangan lain
sebagai wujud pengakuan akan pentingnya peran institusi
nasional HAM sebagaimana Komnas HAM di negara-negara
lain yang memiliki institusi dernikian itu (Halili, 2016).
Perlu dimuat ketentuan tentang hak warga negara
dalam mengajukan gugatan hukum terhadap pelanggaran
sengaja, pengabaian atau pembiaran yang dilakukan negara,
pemerintah atau aparat penegak hukum yang berakibat
tidak terpenuhinya atau terlanggarnya HSP dan HESB.
Pengaturan demikian itu sangat dibutuhkan sebab dalam
kenyataan, tidak jarang negara, pemerintah atau aparatur
negara membiarkan atau lalai melakukan kewajibannya,
padahal bisa dan memiliki kewenangan untuk melakukannya
yang menimbulkan akibat terlanggarnya hak-hak warga
negara (Halili, 2016).
c. Mengganti UU No. 26 Tahun 2000
UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
memiliki banyak kelemahan dan telah terbukti menimbulkan
ketidakpastian hukum, serta tidak bisa didayagunakan
secara maksimal pada pengadilan HAM ad hoc Timor Timur,
Tanjung Priok, Pengadilan HAM Abepura, serta menjadi
kontroversi dalam penanganan kasus TSS. Oleh sebab itu,
sudah seharusnya diganti dengan UU yang baru.
Pilihan mengganti dan bukan merevisi sebab yang
harus diperbaiki itu meliputi aspek-aspek yang sangat luas
dan mendasar, yaitu sebagai berikut: (1) Mencantumkan
secara eksplisit Pancasila di dalam konsiderans sebagai
komitmen filosofi terhadap “kaidah dasar fundamental
negara” di dalam uatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai hidup dan kehidupan kemanusian. Sila
kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab misalnya yaitu
salah satu nilai filosofi dan inspirasi utama pengaturan HAM
dalam UU. (2) Pertimbangan pembuatan secara sosiologis
juga harus tegas dan jelas didasarkan atas realitas HAM
181---
selama Orde Lama dan Orde Baru yang menunjukkan
bahwa pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh aparatur
negara yang menyalahgunakan kekuasaan. (3) Perubahan
landasan yuridis juga harus dilakukan sebab sesudah Orde
Baru, telah terjadi perubahan UUD 1945 yang menegaskan
komitmen demokratis, negara hukum, dan perlindungan
HAM, serta telah diratifikasinya HSP tahun 2005 sehingga
sudah seharunya UU dikonstruksikan berdasar UUD
1945 perubahan dan kovenan. (4) jika Indonesia segera
meratifikasi Statuta Roma, yurisdiksi UU menjadi diperluas,
tidak hanya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
namun juga kejahatan perang dan agresi. (5) Penggantian UU
ini didasarkan juga kepada fakta banyaknya kelemahan yang
telah diuraikan pada bagian lain tulisan ini, yang meliputi kera
judul UU dengan yurisdiksi yang diatur di dalamnya, tidak
adanya hukum acara khusus, ketidakteraturan penggunaan
padanan bahasa Indonesia untukistilah-istilah bahasa asing
yang dikutip dan diserap dari Statuta Roma Pengadilan
Pidana Internasional 1998, kaburnya mekanisme pembuatan
pengadilan HAM ad hoc, tidak adanya pengaturan unsur
mental, ketidaktepatan atau kerancuan konsepsi substansi
hukum mate rumusan pertanggungjawaban individual dan
pertanggungjawaban komando (Halili, 2016).
Dengan penggantian ini , diharapkan tercapai
tujuan ganda dari penggantian UU, yaitu sebagai berikut:
(1) Tidak ada lagi kendala yuridis proses penyelesaian
kejahatan kemanusian yang menjadi yurisdiksi UU itu kelak.
(2) Undang-undang pengganti ini dapat diandalkan
untuk menjamin pengutamaan yurisdiksi nasional primary of
national jurisdiction dalam penyelesaian yudisial kejahatan
yang termasuk yurisdiksi UU bersangkutan sehingga dapat
mencegah ditanganinya kejahatan yang bersangkutan
oleh Mahkamah Pidana Internasional, terutama dalam hal
kejahatan yang terjadi di wilayah yang berada di bawah
yurisdiksi RI, dan/atau tersangkanya berada di wilayah yang
berada di bawah yurisdiksi RI, dan/atau tersangkanya yaitu
warga negara RI.
182 ---
d. Pembuatan UU KKR
Sebagaimana diketahui, UU No. 27 Tahun 2004 telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui
Putusannya No. 006/PUU-IV/2006 yang membatalkan UU
KKR bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun
1945. Dalam putusannya itu MK juga merekomendasikan
dilakukannya perumusan ulang UU KKR. Selain sebab
putusan MK yang final dan mengikat, KKR yaitu
mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang
dimandatkan oleh MPR melalui Tap MPR/V/2000 yang dalam
Pendahuluan, bagian B. Maksud dan Tujuan menyatakan:
“Ketetapan mengenai pemantapan persatuan dan kesatuan
nasional memiliki maksud dan tujuan untuk secara umum
mengidentifikasi permasalahan yang ada, menentukan
kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada
rekonsiliasi nasional dan menetapkan arah kebijakan sebagai
panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan
kesatuan nasional” serta “Kesadaran dan komitmen yang
sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan
kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah
yang nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Nasional, serta merumuskan etika berbangsa
dan visi Indonesia masa depan (Halili, 2016).
KKR juga dimandatkan oleh Pasal 47 UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, dimana Pasal 4 ayat (1)
menyatakan: “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ayat (2) nya menyatakan bahwa
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana maksud
dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.
e. Meratifikasi Statuta Roma (ICC)
Indonesia yaitu salah satu negara yang belum menjadi
pihak dalam Statuta Roma. Sebagai negara yang memiliki
komitmen untuk menegakkan perlindungan HAM, Indonesia
segera meratifikasi Statuta Roma. Kekhawatiran sebagian
183---
warga akan adanya intervensi internasional oleh ICC
ke dalam hukum nasional Indonesia akan terjawab dengan
uraian mengenai prinsip komplementer yang merupakan
prinsip fundamental dari keberlakuan ICC dalam suatu
negara.
Prinsip yang secara jelas menyatakan bahwa ICC tidak
menggantikan pengadilan nasional suatu negara melainkan
sebagai mekanisme pelengkap saat negara tidak mau
termasuk melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap
pelaku kejahatan yang dalam jurisdiksi ICC. ICC justru
memiliki tujuan utama untuk mengefektifkan sistem hukum
nasional suatu negara.
Selain itu, Statuta Roma bukan hanya memuat instrumen
internasional HAM (human rights international instrument),
melainkan juga instrumen hukum pidana internasional
(international criminal law) yang esensinya yaitu mengatur
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan atas
kejahatan internasional (international annes yang merupakan
kejahatan menurut hukum internasional (nimes under
international law).
Sebagai instrumen internasional yang juga merupakan
instrumen yang melindungi beberapa HAM, Statuta Roma
turut memperkuat jaminan dihormati dan dilindunginya HAM,
serta dijunjungnya prinsip-prinsip HAM yang sudah dimuat
dalam instrumen-instrumen HAM, internasional, regional,
ataupun nasional. Oleh sebab itu, menjadi pihaknya RI pada
Statuta Roma akan makin meningkatkan citra dan komitmen
bangsa Indonesia untuk tidak saja mengambil alih, melawan
bagian dalam usaha komunitas internasional nasional dan
internasionalnya paling serius, melainkan juga menegaskan
komitmen untuk menjunjung tinggi dan melindungi HAM
(Halili, 2016).
Pengalaman Indonesia dalam menegakkan hukum HAM
yang menemui banyak hambatan dalam instrumen hukum,
serta aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang
tidak memadai, menjadikan ratifikasi terhadap Statuta Roma
184 ---
menjadi sangat penting untuk mendorong Indonesia segera
membenahi berbagai kekurangan dan kelemahan-kelemahan
ini .
4. Politik Hukum Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (HESB)
a. Responsivitas UUD 1945
Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Hmman
Right) sejak diadopsi tahun 1948 telah mengafirmasikan
betapa penting dan fundamental terpenuhinya dua macam
kebebasan bagi umat manusia, yaitu freedom of want (hak-
hak sipil dan hak-hak politik) dan freedom from med (hak
hak ekonomi dan sosial). Sementara itu, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa semenjak berakhirnya Perang Dunia II,
banyak orang meninggal akibat malnutrisi, kelaparan, dan
wabah penyakit ketimbang gabungan jumlah keseluruhan
korban berbagai perang yang terjadi dan korban berbagai
rezim represif yang secara sistematis melanggar hak-hak
sipil dan hak-hak politik warganya demi mempertahankan
kekuasaan meraka.
Pemenuhan HESB baru menjadi perbincangan serius
belakangan ini di dalam konteks wacana HAM di Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan hak pangan, pendidikan,
pekerjaan dan perumahan, sesudah rezim otoritarian berakhir.
Meskipun dalam kenyataan, semua rezim demokratis yang
muncul sesudah tumbangnya rezim otoritarian masih tetap
menempatkan HSP sebagai prioritas perubahan dalam
konstitusinya, tidak terkecuali Indonesia.
Prioritas pada HSP memang lazim dilakukan oleh
pemerintahan pengganti, selain sebagai koreksi terhadap
konsep praktik sistem kekuasaan otoritarian yang memang
mengabaikan HSP, sekaligus sebagai fondasi bagi bangunan
sistem politik demokratis yang akan dibangun. Berbeda
dengan HESB tidak sedikit rezim otoritarian yang justru
memenuhi dengan baik sekalipun merampas HSP sebab
ekonomi dan pembangunan dipakai sebagai alat legitimasi
185---
rezim. Singapura, Cina, dan negara di Timur Tengah yaitu
beberapa contoh negara tidak demokratis, namun sangat
memperhatikan HESB, terutama hak sosial dan ekonomi
(Halili, 2016).
Berbeda dengan Indonesia, semenjak merdeka atau
bahkan semenjak masa penjajahan, rakyat Indonesia tidak
menikmati kedua hak ini sekaligus. Di era penjajahan,
era Orde Lama dan Orde Baru HSP diberangus, sementara
HSEB tidak diberikan. Kedua hak itu hanya dinikmati oleh
segelintir elite penguasa dan atau segelintir orang kaya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa mayoritas rakyat
Indonesia hingga sekarang ini belum pernah menggenggam
kemerdekaan sipil, politik, sosial, dan ekonomi.
Di era reformasi, kedua hak ini didesakkan oleh
kekuatan pro demokrasi untuk secara simultan diatur dan
dicapai pemenuhannya sebab selain secara empiris kedua
hak ini terabaikan dalam masa yang panjang, juga
tidak mungkin memprioritaskan HSP dengan mengabaikan
HESB. Pengabaian HESB sama dengan membuka potensi
terabaikannya HSP atau minimal menimbulkan diskriminasi
berkaitan dengan perbedaan kemampuan mengakses HSP
Hak ekonomi dan sosial itu merupakanHAM yang sangat
strategis untuk segera diperjuangkan dan dipenuhi terutama
bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, dibandingkan
dengan hak sipil dan hak politik. Dengan kaitan itu, Robertson
menegaskan sebagai berikut (Halili, 2016).
Politik Hukum Hak Asasi Manusia Perbedaan tajam yang
dibuat itu yaitu dengan mengatakan HESB merupakan
hak-hak positif (positive rights, sementara HSP dikatakan
sebagai hak-hak negatif. Dikatakan positif sebab untuk
merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan ini ,
diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara di sini
haruslah berperan aktif. Sebaliknya dikatakan negatif sebab
negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka
merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Peran
negara di sini haruslah pasif (obligation not to do something).
186 ---
Beberapa prinsip konseptual yang harus diterapkan
dalam pelaksanaan HESB yaitu :
(1) kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah
konkret dengan segala cara termasuk kebijakan
mengadopsi legislasi,
(2) kewajiban negara untuk mencapai kesejahteraan secara
progresif dengan memakai secara maksimal sumber
daya yang ada,
(3) menggalang kerja sama internasional untuk mendapatkan
bantuan teknis dan kerja sama pembangunan,
(4) kewajiban negara untuk segera menerapkan justiciability
beberapa HESB yang ada dalam konvensi;
(5) kewajiban negara menghindari kebijakan yang regresif
(kebijakan yang memiliki implikasi luas pada
pemenuhan HESB).
usaha justiciability atas pelanggaran HESB telah
banyak dikenal di berbagai negara anggota PBB dari tingkat
perkembangan demokrasi dan ekonomi yang berbeda
beda seperti Perancis, Kanada, Finlandia (negara maju
dan Afrika Selatan, Filipina, India (negara berkembang).
Dalam lokakarya subregional wilayah Asia Tenggara yang
diorganisasi oleh kantor komisi tinggi HAM PBB, yang
mempertemukan hakim dan pembela di wilayah ini di tahun
2004, antara lain disepakati bahwa pengingkaran terhadap
kemungkinan untuk melakukan judicial review terhadap
kasus-kasus pelanggaran HESB pada dasarnya bertentangan
dengan prinsip rule of law dan prinsip tidak terpisahkan,
ketergantungan, dan keterkaitan dari semua nilai HAM.
berdasar penjelasan di atas, maka hukum HAM
yang harus dibuat di bidang ini yaitu : Pertama, melakukan
perubahan kelima terhadap UUD 1945 dengan merevisi pasal
dan ayat tentang HESB serta memasukkan pengaturan baru,
yaitu sebagai berikut:
1) Menegaskan ideologi UUD 1945 di bidang pemenuhan
dan perlindungan HESB ke arah negara sejahtera dengan
187---
menegaskan bahwa kesejahteraan sosial yaitu HAM,
khususnya warga negara. Penegasan ideologi UUD 1945
menuju negara sejahtera harus tercermin secara formal
dan substansial. Secara formal susunan pasal dan ayat
tentang HESB harus berada dalam satu kesatuan bab
dan pasal sehingga konstruksi hipotetis dan atau yang
mengatur HESB menjadi jelas dan sistematis, tidak seperti
yang ada sekarang campur aduk antara HSP dan HESB
rang, dalam satu pasal atau satu ayat, padahal substansi
keduanya berbeda. Pengaturan HAM dalam UUD 1945
tidak menunjukkan arah yang akan dituju sebab hanya
menjajar berbagai macam. Secara substansial hak-hak
yang telah dijajar dalam banyak pasal dan atau ayat-ayat
itu diikuti dengan perintah pembuatan norma-norma
pemenuhan dan perlindungannya secara eksplisit. Hak-
hak yang dimuat dalam Pasal 28 H misalnya lebih bersifat
deklaratif, bukan konstitutif.
2) Memasukkan ketentuan tentang larangan melakukan
tindakan pembiaran sengaja atau tidak sengaja kepada
negara, pemerintah, agen negara dan nonnegara dalam
perlindungan dan pemenuhan HESB. Ketentuan tentang
hal ini memang patut diatur sebab tindakan
pembiaran yaitu salah satu bentuk pelanggaran HAM
yang sering terjadi yang akibatnya bisa sangat besar bagi
kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Membiarkan
kelaparan, ancaman keselamatan warga oleh bencana
alam, kekeringan, seterusnya, padahal negara atau
pemerintah memiliki busung lapar, dan kewenangan,
kekuasaan dan mampu melakukannya, namun tidak
berbuat, akan sangat membahayakan kelangsungan
hidup manusia dan warga negara (Halili, 2016).
Kedua, merevisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
dengan memasukkan pengaturan hal-hal berikut.
1) Memasukkan kewajiban kepada korporasi untuk ikut
bertanggung jawab memenuhi dan melindungi HESB.
Sekalipun sudah diatur dalam UU yang lain, pengaturan
188 ---
tentang ini di UU HAM sangat diperlukan sebab UU
ini yaitu UU khusus tentang HAM sehingga memiliki
bobot normatif yang lebih kuat. Substansi pengaturan
bidang ini sangat urgen sebab korporasi sesungguhnya
memiliki kekuatan modal untuk ikut bertanggung
jawab melakukan pemenuhan HAM dan perlindungan
HAM Pemenuhan HAM menyediakan lapangan kerja
dengan gaji yang layak untuk hidup dan melangsungkan
kehidupan. Demikian pula memiliki kemampuan untuk
melindungi dengan menjamin terpenuhinya hak-hak
pekerjanya, termasuk tidak diberhentikan atau kalaupun
diberhentikan, ada jaminan pesangon yang manusiawi.
Selain itu, dana Corporate Social Responsibility (CSR)
yang dimiliki korporasi sudah seharusnya diberikan
dengan paradigma pemenuhan dan perlindungan HAM
sebagai hak kelompok marjinal dan tanggung jawab
kemanusiaan, dan bukan hadiah, derma, atau charity.
2) Memberikan kekuatan hukum “legal standing bagi
Komnas HAM untuk menuntut instansi terkait yang
gagal atau mengabaikan rekomendasi yang diberikan
oleh Komnas HAM tentang pelanggaran HESB. Revisi ini
juga harus mengarah pada mekanisme penegakan norma
norma HAM yang telah tercantum dalam semua konvensi-
konvensi HAM international yang telah diratifikasi oleh
Indonesia.
(3) Memasukkan ketentuan yang memungkinkan
dibentuknya pengadilan yang memiliki jurisdiksi
untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran HESB.
Tersedianya mekanisme (pengadilan) untuk mengadili
atau memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan
HESB yaitu bagian dari pembentukan hukum responsif
terhadap gagasan justiciability HESB (Halili, 2016).
189---
BAB VIII
UNDANG-UNDANG
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan
Hak asasi manusia yaitu hak hidup yang dimiliki setiap orang
sejak lahir, yang merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa, tanpa
memandang jenis kelamin, asal usul, ras, agama, suku bangsa dan
pandangan politik. Secara umum, bahwa HAM ini mutlak menyatu
dengan keberadaan manusia itu sendiri.Sehingga hal yang paling
mendasar dari HAM ini yaitu adanya persamaan yang dimiliki tiap
manusia dan adanya hak kebebasan, namun untuk hak kebebasan
tentunya memiliki batasan agar tidak merampas dari hak orang
lainnya.
HAM di Indonesia sebenarnya telah ada sejak tahun 1945, hal
ini dibuktikan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya jauh sebelum
adanya HAM PBB “Universal Declaration od Human Rights” yang
dideklarasikan pada 10 Desember 1948, Indonesia telah mengakui
adanya HAM ini . Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun
190 ---
1999 pasal 1, hak asasi manusia yaitu seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Bangsa Indonesia yaitu bangsa yang besar, bangsa yang
menyadari bahwa HAM yaitu hak yang secara historis harus
ditegakkan, mengingat banyaknya peristiwa pelanggaran HAM yang
terjadi di masa lalu yang mengabaikan hak asasi dan memicu
hilangnya harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM dapat
terlaksana jika dilandasi adanya pemahaman dan kesadaran dari
tiap orang bahwa hak ini bersifat kodrati, universal dan abadi.
Berbagai pelanggaran hak dan kewajiban dasar seseorang, terjadi
diakibatkan sebab adanya faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal yaitu faktor penyebab pengingkaran yang
berasal dari dalam diri sendiri, contoh sifat egois, rendahnya
kesadaran individu, kurangnya pemahaman hak, kurangnya
toleransi, kurang pengalaman, kemiskinan, keterbelakangan, dan
kondisi yang tertekan.
b. Faktor eksternal yaitu faktor penyebab pengingkaran dari luar
diri sendiri. Faktor eksternal dapat berupa pengaruh pergaulan,
iklan televisi, media sosial, penyalahgunaan kekuasaan, perangkat
perundang-undangan yang masih sulit diimplementasikan,
aparat penegak hukum yang tidak tegas artinya masih ada yang
mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (tebang pilih
dalam konteks negatif)
Pada makalah ini akan dibahas mengenai review Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
B. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia,
disahkan oleh Presiden BJ.Habibie pada tanggal 23 September 1999.
191---
UU ini terdiri dari 11 bab dan 106 pasal dengan sistematika sebagai
berikut.
BAB PASAL
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II ASAS-ASAS DASAR Pasal 2 – 8
BAB III HAM DAN KEBEBASAN DASAR
MANUSIA
Pasal 9 – 66 terdiri
10 bagian
BAB IV KEWAJIBAN DASAR MANUSIA Pasal 67 - 70
BAB V KEWAJIBAN DAN TANGGUNG-
JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71 dan 72
BAB VI PEMBATASAN DAN LARANGAN Pasal 73 dan 74
BAB VII KOMNAS HAM Pasal 75 - 99
BAB VIII PARTISIPASI warga Pasal 100 - 103
BAB IX PENGADILAN HAM Pasal 104
BAB X KETENTUAN Pasal 105
BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 106
UU Nomor 39 Tahun 1999 mengulas tentang pengakuan HAM,
kewajiban dasar manusia, tujuan dan fungsi dibetuknya KOMNAS
HAM.UU ini berupa penjabaran dari Pasal 28 A-J UUD 1945.
Khususnya dalam BAB III yang terdiri dari 10 bagian, menekankan
adanya hak-hak seperti yang tertuang dalam Declaration of Human
Right (10 Desember 1948). Hak yang diatur antara lain yaitu
hak hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta
dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.
Selain penekanan terhadap hak, pada UU ini juga ditekankan
adanya kewajiban dasar manusia. sebab manusia itu sebagai zoon
politicon, sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial tak bisa lepas
dari hubungan dengan manusia lain, tentunya selain memahami hak
dasar juga harus memahami kewajiban dasar manusia agar tidak
saling berbenturan kepentingan dalam kehidupan berwarga ,
berbangsa dan bernegara.
Beberapa kewajiban dasar yang diatur dalam UU ini antara lain:
1) Kewajiban mematuhi peraturan hukum yang berlaku
192 ---
2) Kewajiban dalam membela negara
3) Kewajiban dalam menghormati HAM orang lain (pasal 67 -70).
Untuk menegakkan keberlangsungan pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban warga negara maka pemerintah memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk pelaksanaannya yaitu
mengimplemetasikan UU ini dalam bentuk riil tidak sebatas
peraturan saja. Sehingga membentuk langkah efektif dalam berbagai
bidang yaitu hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan serta bidang-bidang lainnya. Sehingga tidak dibenarkan
jika pemerintah atau siapa saja yang sedang berkuasa (memegang
kekuasaan negara) akan mengurangi, merusak, atau menghapus
HAM atau kebebasan dasar manusia ini.
Salah satu usaha perlindungan dari pemerintah untuk penegakan
HAM yaitu dengan didirikannya KOMNAS HAM pada tanggal 7 Juni
1993, dengan dasar pembentukan yaitu Kepres No 50 Tahun 1993.
Anggota dari lembaga ini berjumlah 35 orang yang berasal dari tokoh
agama, tokoh warga , anggota LSM, kalangan akademisi yang
profesional, berdedikasi tinggi, menghormati cita-cita negara hukum
dan menjunjung asas keadilan.Mereka dipilh oleh DPR dan diresmikan
oleh Presiden, dengan masa jabatan 5 tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Fungsi KOMNAS HAM yaitu mengkaji, meneliti, melakukan
penyuluhan, pemantaun dan mediasi permasalahan yang berkait
HAM.
Tugas dan wewenang KOMNAS HAM dalam pemantauan antara
lain:
a. Pengamatan pelaksanaan HAM;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam warga ;
c. Pemanggilan terhadap pihak pengadu atau korban maupun
pihak yang diadukan;
d. Pemanggilan saksi untuk didengarkan kesaksiannya;
e. Peninjauan di tempat kejadiannya;
f. Pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait dalam proses
acara dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. Pemeriksaan terhadap rumah, bangunan setempat yang
terkait dengan masalah itu;
h. Memberikan pendapat terhadap perkara tertentu atas
persetujuan Ketua Pengadilan.
Tugas dan wewenang KOMNAS HAM dalam mediasi antara lain:
a. Perdamaian kedua belah pihak;
b. Penyelesaian perkara melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi,
dan penilaian ahli;
c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan;
d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran
HAM kepada DPR untuk ditindaklanjuti (UU No. 39, 1999).
Selanjutnya, berdasar pasal 104 ayat 1 dan 2 bahwa jika
terjadi pelanggaran HAM berat maka akan dibentuk Pengadilan
HAM di lingkungan Peradilan Umum dengan jangka waktu paling
lama empat tahun. sedang, pada pasal 105 dinyatakan paling
lama dua tahun dari berlakunya UU ini akan dibentuk/didirikan
KOMNAS HAM.
C. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yaitu UU tentang
Pengadilan HAM, disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid
pada tanggal 23 November 2000 sebagai perubahan PP Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM yang dianggap
tidak memadai. Tujuan dibentuknya pengadilan HAM yaitu untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Yang dimaksudkan HAM
berat dalam pasal 7 meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Klasifikasi pelanggaran HAM berat sebagai berikut:
1. Pada pasal 8, Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. memicu penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan meng-
akibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
ke-lahiran di dalam kelompok;
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
ke kelompok lain.
2. Pada pasal 9, Kejahatan kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan ini ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pe-maksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa, atau;
j. Kejahatan apartheid (UU No. 39, 1999).
Dalam hal, terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan
anak di bawah umur 18 tahun pada saat kejahatannya dilakukan,
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM ini (pasal 6), melainkan diselesaikan oleh
Peradilan khusus yaitu Peradilan Anak, hal ini sesuai dengan UU
Nomor 3 Tahun 1997. Pengaturan tentang batasan umur anak untuk
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana antara 12 tahun sampai
belum berusia 18 tahun.
Sistematika dari UU ini sebagai berikut.
BAB PASAL