hak asasi manusia 3

Jumat, 26 Januari 2024

hak asasi manusia 3





pemerintahan di negara-negara sosialis. Negara-negara 
yang mewakili paham sosialis komunis, seperti Rusia, China, 
Korea Utara, atau Kuba, sebagai negara yang disebut negara-
negara industri yang cukup maju, namun tergambar sebagai 
negara yang rakyatnya terkekang,  baik dalam kehidupan ekonomi 
apalagi politiknya.
4. Konsep Religy Legality dan Konsep Nomokrasi Islam
Ide dasar konsep negara agama bersumber dari pemikiran pada 
masa abad pertengahan, terutama dengan dimulai atau ditandai 
dengan lahirnya tulisan-tulisan filsuf Kristiani yang dipelopori 
oleh Thomas Aquinas (1225-1274M). Pandangan Thomistik 
dari Thomas Aquinas mengenai hukum alam, mempostulatkan 
bahwa hukum alam merupakan bagian dari hukum Tuhanyang 
dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. Meluasnya 
pemikiran pada saat itu, memicu  terjadinya perubahan 
terhadap konsep-konsep yang mendasari pandangan negara.
Doktrin bahwa dunia diatur oleh hukum Tuhan tergambar 
dari tatanan alam dan keteraturan kehidupan sosial, merupakan 
bagian yang tidak terpisahkan dari kepercayaan bahwa Tuhan 
telah menciptakan dunia berdsarkan kehendaknya. warga  
harus dilihat sebagai bagian dari tatanan kosmis, peraturan-
peraturannya dilihat sebagai kehendak keputusan hukum yang 
ditetapkan dari Tuhan.
Dalam konsep kenegaraan, sistem Hindu mengizinkan 
desentralisasi dalam jumlah besar untuk membatasi atau bahkan 
menundukkan penguasa, namun  semua ini belum cukup untuk 
mengatasi konsekuensi keterlibatan mendalam hukum agama 
pada sistem kasta dan kontrol hukum agama oleh kader yang 
bebas dari pengawasan Pandita 
Sementara dalam konsep Islam, hukum syariah menetapkan 
perintah Allah bagi umat manusia. Syariah yaitu  wahyu ilahi 
yang ditetapkan oleh Allah dan diturunkan melalui Rasul-
Nya lewat ayat-ayat Al-quran ditambah Hadist nabi yang 
dilestarikanlewat tradisi (sunnah), kesepakatan para ulama,  
(ij’ma) dan penalaran analogis (qiyas) . Dalam konsep Islam, Syariah yaitu  hukum universal yang 
mencerminkan kehendak Tuhan dan menetapkan kesetaraan 
diantara semua manusia. Disamping itu, struktur kekuasaan 
cukup stabil untuk melimpahkan penafsiran aturan agama 
ke tangan elite ulama dan wewenang untuk membuat undang-
undang ke dalam kekuasaan para penguasa yang keleluasaannya 
memiliki batasan efektif 
Konsep Islam secara umum ditemukan adanya tiga bentuk 
paradigma tentang hubungan agama dan negara. Pardigma 
pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan 
konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara tidak 
dapat dipisahkan. Wilayah agama juga wilayah politik atau 
negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan 
sekaligus. Paradigma ini dianut oleh kelompok Syiah, pemikiran 
politik mereka memandang negara yaitu  lembaga keagamaan 
dan memiliki  fungsi kenabian.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan 
secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan 
saling memerlukan. Agama memerlukan negara sebab  dengan 
negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan 
agama, sebab  agama dapat membimbing negara secara etika 
dan moral. Paradigma ketiga, bersifat sekuralistik. Paradigma ini 
menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara 
agama dan negara. Paham ini menolak pendasaran agama pada 
negara, atau paling tidak menolak determinasi agama akan 
bentuk tertentu pada negara.
C. Teori Negara Hukum
1. Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum merupakan penentangan terhadap 
teori kedaulatan negara yang mengajarkan bahwa negara berada 
di atas hukum, sebab  negara-lah yang membuat hukum. Teori 
kedaulatan hukum tidak dapat menerima kekuasaan seseorang 
atau sekelompok penguasa, membuat hukum berdasar 
kehendak mereka pribadi, lalu  hukum yang dibuatnya 
itu dikonsepsikan sebagai kehendak negara. Menurut teori 
kedaulatan hukum, bukan hukum yang ditentukan oleh negara 
namun  sebaliknya negaralah yang ditentukan hukum dan sebab  
itu negara yaitu  produk hukum, jadi negara harus tunduk 
kepada hukum.
Ajaran  kedaulatan hukum dari Krabbe bahwa kedudukan 
hukum berada diatas negara dan oleh sebab nya negara harus 
tunduk pada hukum. Tunduknya negara terhadap hukum menurut  
A.M Donner dikatakan sebagai “de doordringing van de staat met 
het recht” artinya hukum memiliki  kedudukan tertinggi dalam 
negara. menilai, sumber hukum yang berasal 
dari kesadaran hukum warga  tidak lain sebagai kristalisasi 
moral sehingga setiap pihak secara moral pula harus mentaati 
hukum.
Ide Plato tentang negara hukum atau rechsstaat mulai 
populer kembali pada abad ketujuh belas sebagai akibat dari 
situasi sosialpolitik di Eropa yang didominir oleh absolutisme, 
sebab  itu warga  Eropa yang dipelopori para cendekiawan  
mendambakan suatu negara hukum yang liberal agar setiap 
orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan 
kehidupan masing-masing. Kekuasaan penguasa harus dibatasi  
dengan jalan adanya supremasi hukum, bahwa semua tindakan-
tindakan penguasa negara harus berdasar dan berakar pada 
hukum, harus ada pembagian kekuasaan negara 
Konsep negara hukum yang ditujukan untuk membatasi 
kekuasaan penguasa absolut itu, juga diperkuat oleh paham 
konstitusionalisme yang dikembangkan oleh Locke dan 
Montesquieu dan paham kedaulatan rakyat serta demokrasi 
oleh JJ. Rousseau. Kondisi yang seperti ini lalu  
melahirkan negara konstitusional dan negara demokrasi, 
sehingga dalam perkembangannya antara asas negara hukum, 
asas konstitusionalisme, dan asas kedaulatan rakyat saling 
berhubungan erat, bahkan pelaksanaannya ternyata tidak dapat 
dipisah-pisahkan. 
2. Teori Kedaulatan Rakyat 
Teori kedaulatan rakyat muncul sebagai reaksi atas teori 
kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan 
kesengsaraan bagi rakyat. Penggagas teori ini yaitu Jean Jacques 
Rousseau yang menggemakan kekuasaan rakyat lewat bukunya 
“Du Contract Social”. Dalam teorinya mengenai perjanjian 
warga , ia menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural 
liberty telah berubah menjadi civil liberty yaitu rakyat memiliki 
hak-haknya. Menurut Rousseau, sejauh kehendak manusia 
diarahkan kepada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka 
kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan, namun  
sejauh diarahkan pada kepentingan umum bersama sebagai satu 
bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, 
yaitu kehendak umum atau yang dikenal dengan istilah volonte 
general. Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itulah 
yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau 
Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan, teori kehendak 
umum (volonte generale) yang dipakai  untuk menjelaskan 
kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan; pertama, tidak 
dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau 
lebih menekankan pada kebebasan rakyat dan berasumsi bahwa 
kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya 
pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan 
kekuasaan negara ,Kedua 
kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme 
kehendak umum sebagaimana terjadi di Perancis. Pada saat 
itu, kehendak bebas rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter di 
bawah pemerintahan Louis XVI, namun  di lain sisi melahirkan 
suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan kehendak 
Demokrasi yaitu  bentuk atau sistem pemerintahan dimana 
segenap rakyat turut serta memerintah baik melalui badan 
perwakilan rakyat, maupun di luar lembaga perwakilan rakyat 
dalam menentukan keputusan politik pemerintah. Arti lain dari 
demokrasi yaitu  gagasan atau cara berpikir atau pandangan 
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta 
perlakuan yang sama bagi semua warga negara di hadapan hukum 
dan pemerintahan. Karakter demokrasi yaitu  sebagai berikut.
a. Adanya kebebasan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam 
penyelenggaraan pemerintahan, artinya rakyat ikut 
menentukan jalannya pemerintahan, baik melalui lembaga 
perwakilan maupun di luar lembaga perwakilan.
b. Adanya persamaan hukum dan pemerintahan, artinya baik 
rakyat maupun pemerintah tunduk pada supremasi hukum.
3. Teori Pemisahan Kekuasaan
Doktrin pemisahan kekuasaan awalnya dikemukakan oleh 
John Locke dan lalu  dimodifikasi oleh Montesquieu. John 
Locke mengedepankan ajaran pemisahan kekuasaan (sparation of 
power) itu dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”. 
Buku ini  ditulis untuk mengkritik kekuasaan absolute, 
serta untuk membenarkan revolusi gemilang tahun 1688 yang 
telah dimenangkan oleh parlemen Inggris. Menurut John Locke, 
kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu kekuasaan 
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif yang 
masing-masing terpisah satu sama lain. 
Setengah abad lalu , Montesquieu menulis sebuah buku 
yang berjudul “L’Esprit Des Lois”. Dalam bab VI buku itu diuraikan 
tentang adanya tiga jenis kekuasaan yang terpisah satu sama 
lain, baik dari segi fungsi maupun orangnya. Berbeda dengan 
John Locke, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan 
harus dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan 
federatif, menurut dia telah termasuk dalam kekuasaan eksekutif ,Hal yang menarik dari Montesquieu, 
yaitu pemikirannya yang memisahkan secara tajam kekuasaan 
pengadilan dari kekuasaan eksekutif, pemikiran itu didasarkan 
pada fenomena sejarah kekaisaran Romawi yang sebagian besar 
kaisar-kaisarnya bertindak diktator sebab  mereka menganggap 
sebagi hakim.
Utrecht dalam buku Hukum Administrasi Negara Indonesia 
menjelaskan dua macam keberatan terhadap teori Montesquieu, 
yaitu; pertama, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh 
Montesquieu memicu  adanya badan kenegaraan yang 
padanya tidak dapat ditempatkan pengawasan badan kenegaraan 
lain, sehingga terbuka kemungkinan badan kenegaraan untuk 
bertindak melampaui kekuasaannya. Pembagian kekuasaan 
memang perlu namun tidak dibenarkan terjadinya pemisahan 
kekuasaan secara mutlak sehingga menutup kemungkinan untuk 
saling melakukan pengawasan. Kedua, teori Montesquieu hanya 
dapat diterapkan dalam negara yang sistem sosial ekonominya 
memakai  asas laissez-faire. Menurut asas ini, campur tangan 
negara dalam sektor perekonomian dan lain-lain segi kehidupan 
sosial tidak dibenarkan 
4. Teori Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat
Keterkaitan konsep kehendak rakyat “the general will” 
(volonte generale) dari Rousseau terhadap teori kedaulatan 
hukum bahwa menurut Rousseau hukum tiada lain merupakan 
perwujudan dari “The general will”, secara jelas Rousseau 
(1985:30) mengatakan:......the matter about which the decree made 
is like the decreeing will in general. This act is what I call a law....
They are act of the general will. Dengan proposisi seperti itu, 
kelemahan teori kedaulatan hukum yang diajukan oleh Krabbe 
dapat teratasi. Sebagai kritik oleh Rodee, Anderson & Christal, 
kelemahan teori Krabbe yaitu  hukum bersumber dari perasaan 
hukum seseorang, padahal apa yang dikatakan dengan perasaan 
hukum seseorang ini menurut mereka bersifat sangat subjektif 
sebab  berbeda-beda berdasar pada keragaman orang, waktu, 
dan tempat 
Dengan mematuhi postulat, bahwa hukum sebagai produk “the 
general will” dari Rousseau haruslah diartikan bahwa perasaan 
hukum yang diacu Krabbe itu, yaitu  perasaan hukum sebagian 
besar individu yang telah menjelma menjadi “the general will” 
dan bukan perasaan hukum individu yang masih berdiri sendiri. 
Disinilah letak keterkaitan teori kedaulatan hukum dan teori 
kedaulatan rakyat yang penerapannya dalam negara demokrasi 
harus diformat dalam satu paket, sehingga satu sama lain saling 
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Lebih jauh dari itu 
keterkaitan “the general will” dengan hukum yang ideal, atau 
hukum yang memiliki kekuatan mengikat yaitu  jika  hukum 
itu lahir dari mekanisme kerja parlemen, di mana lembaga ini 
dibentuk berdasar Pemilu yang bebas, barulah dapat dijamin 
adanya kesesuaian kehendak perorangan dengan kehendak 
bersama. Pemilu yang bebas merupakan syarat mutlak bagi 
terbentuknya hukum yang memiliki  kekuatan mengikat atau 
menurut Stammler, hukum yang dapat menyelaraskan antara 
kepentingan individu dan kepentingan kelompok 
D. Indonesia sebagai Negara Hukum 
1. Konsep Negara Hukum Indonesia 
Di dalam pasal 1 ayat 3 UUD tahun 1945 disebutkan secara 
tegas bahwa negara Republik Indonesia yaitu  negara hukum, 
lalu  di dalam penjelasan UUD tahun 1945 disebutkan 
bahwa negara RI yaitu  berdasar atas hukum  (Rechtsstaat), 
tidak atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Kekuasaan tertinggi 
di dalam negara Indonesia yaitu  hukum yang dibuat oleh rakyat 
melalui wakil-wakilnya. Dalam praktik ketatanegaraan, dimana 
sistem pemerintahan negara atau cara penyelenggaraan negara 
memerlukan kekuasaan, akan namun  kekuasaan ini  dibatasi 
oleh hukum.
Indonesia sebagai negara hukum perlu dipahami bahwa 
ide rechtsstaat memiliki  pengaruh yang cukup besar dalam 
merumuskan suatu konsep negara hukum yang bercirikan 
Indonesia. Ide dasar negara hukum Indonesia diilhami oleh ide 
rechtsstaat. 
Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide 
dasar tentang rechtsstaat yang memiliki syarat-syarat sebagai 
berikut.
a. Asas legalitas yaitu setiap tindakan pemerintah harus 
didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan.
b. Pembagian kekuasaan, artinya kekuasaan negara tidak boleh 
hanya bertumpu pada satu tangan.
c. Hak-hak dasar, hak dasar merupakan sasaran perlindungan 
hukum bagi rakyat, dan sekaligus membatasi kekuasaan 
pembentuk undang-undang.
Tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk 
menguji keabsahan tindak pemerintah 
Konstitusi secara tegas menyatakan sistem pemerintahan 
Indonesia menganut asas negara hukum. Artinya, pemerintah 
Indonesia memiliki  kekuasaan yang terbatas (dibatasi oleh 
konstitusi dan dalam penyelenggaranya tidak dibenarkan 
bertindak sewenang-wenang 
Ciri-ciri pokok negara hukum Pancasila yaitu;
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat 
berdasar asas kerukunan
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-
kekuasaan negara
c. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah 
dan peradilan merupakan sarana terakhir
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ciri negara Indonesia sebagai negara hukum modern terdiri dari;
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
b. Pancasila menjiwai setiap peraturan hukum dan 
pelaksanaannya
c. Asas kekeluargaan merupakan titik tolak negara hukum 
Indonesia 
d. Peradilan yang bebas dan tidak dipengaruhi kekuatan 
manapun Partisipasi warga warga  secara luas 
Indonesia sebagai negara hukum berfungsi sebagai sarana 
untuk mewujudkan dan mencapai tujuan negara Indonesia 
sebagaimana diuraikan dalam Pembukaan dan dalam UUD 1945 
sebagai hukum dasar.
2. Konsep Cita Hukum Indonesia
Cita hukum (rechtsidee) yaitu  konstruksi 
pikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan 
warga .
Penjelasan UUD 1945 menggariskan bahwa pokok-pokok 
pikiran yang terkandung dalam pembukaan mewujudkan cita 
hukum (rechtsidee), dan pokok-pokok pikiran dalam pembukaan 
itu ialah persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi 
seluruh rakyat, kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, 
dan Ketuhanan YME menurut dasar kemanusiaan yang adil dan 
beradab, maka pokok pikiran itu tidak lain yaitu  Pancasila. Cita 
hukum mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai 
aturan tingkah laku warga  berakar pada gagasan, rasa, 
karsa, cipta dan pikiran dari warga  itu sendiri.
Cita hukum (rechtsstaat) Pancasila berisikan:
a. Ketuhanan YME
b. Penghormatan atas martabat manusia
c. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara
d. Persamaan dan kelayakan
e. Keadilan sosial
f. Moral dan budi pekerti yang luhur
g. Partisipasi dan ransparansi dalam proses pengambilan 
putusan publik.
3. Konsep Politik Hukum Indonesia
Konsep politik hukum bersangkut paut dengan kebijakan 
pengembangan hukum, dengan kata lain politik hukum yaitu  
kebijakan pengembangan hukum agar sesuai dengan rechtsidee.  politik hukum nasional 
dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dasar yang menentukan 
arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Secara 
harfiah, politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan hukum 
yang akan diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan 
negara yang meiputi:
a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara 
konsisten.
b. Pembangunan hukum yang intinya pembaruan dan penciptaan 
ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi 
tuntutan perkembangan warga .
c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum 
dan pembinaan anggotanya.
Meningkatkan kesadaran hukum warga  menurut 
persepsi kelompok elit pengambil kebijakan 
Dalam konsep politik hukum Indonesia (sistem hukum 
perundang-undangan Indonesia), posisi Pancasila yaitu  sumber 
dari segala sumber hukum negara. Dengan demikian, Pancasila 
yang di dalamnya mengandung serangkaian asas dan nilai niscaya 
mengalir dalam setiap jenis produk hukum perundang-undangan 
Indonesia.
E. Konsep Keadilan
1. Konsep Keadilan menurut Pandangan Pemikiran Klasik
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam 
telah dilakukan oleh para filosof Yunani Kuno. Salah satu teori 
keadilan yang dimaksud yaitu teori keadilan dari Plato yang 
menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan 
keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang 
orang yang adil yaitu  “the self diciplined man whose passions 
are controlled by reason”. Bagi Plato, keadilan tidak dihubungkan 
secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata 
hukum merupakan subtansi umum dari suatu warga  yang 
membuat dan menjaga kesatuannya.
Plato memandang suatu masalah yang memerlukan 
pengaturan dengan undang-undang harus mencerminkan rasa 
keadilan, sebab bagi Plato, hukum dan undang-undang bukanlah 
semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas 
negara, melainkan yang paling pokok dari undang-undang yaitu  
untuk membimbing warga  mencapai keutamaan, sehingga 
layak menjadi warga negara dari negara yang ideal. Jadi hukum 
dan undang-undang bersangkut paut erat dengan kehidupan 
moral dari setiap warga warga .
Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonian atau 
keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan 
atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya 
harus diarahkan pada cita-cita yang mulia, yaitu kebaikan 
dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. 
Kesamaan hak haruslah sama diantara orang-orang yang sama. 
Teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip persamaan. 
Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan bahwa 
keadilan terlaksana jika terhadap hal-hal yang sama diperlakukan 
secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara 
tidak sama.
Gagasan Plato tentang keadilan ditransformasikan oleh 
Agustinus menjadi suatu konsepsi religius. Bagi Agustinus, 
hakikat keadilan ialah adanya relasi yang tepat dan benar antara 
manusia dengan Tuhan, oleh sebab itu keadilan yaitu  suatu 
yang paling hakiki dalam bernegara dan keadilan itu hanya dapat 
terlaksana dalam kerajaan Illahi yang merupakan gudang dari 
keadilan.
Konsep keadilan yang bersifat religius dari Agustinus  
lalu  diperluas oleh Thomas Aquinas. Jika dalam konsepsi 
Agustinus, keadilan hanya diperoleh dalam kerajaan Ilahi yang 
perwujudannya di muka bumi dijalankan oleh Gereja, maka 
Thomas  Aquinas mengakui adanya persekutuan lain di samping 
gereja yang bertugas memajukan keadilan yakni negara. Thomas 
Aquinas membedakan keadilan menjadi keadilan ilahi dan 
keadilan manusiawi, namun tidak boleh ada pertentangan antara 
kekuasaan gereja dan kekuasaan duniawi. Dengan demikian 
konsep keadilan yang ditetapkan oleh ajaran agama, sepenuhnya 
sesuai dengan suara akal manusia sebagaimana ada dalam 
hukum alam
2. Konsep Keadilan menurut Pemikiran Modern
Konsep keadilan pada zaman modern diwarnai dengan 
berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara 
lain munculnya aliran liberalisme, yaitu suatu aliran yang tumbuh 
di dunia barat pada awal abad ketujuh belas Masehi. Bagi kaum 
liberalis keadilan yaitu  ketertiban dari kebebasan atau bahkan 
realisasi dari kebebasan itu sendiri. 
Teori keadilan kaum liberalis dibangun atas dua keyakinan. 
Pertama, manusia menurut sifat dasarnya yaitu  makhluk moral. 
Kedua, ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi 
manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai pelaku moral. 
Berbeda dengan kaum liberal, penganut utilitarianisme menolak 
dipakai nya ide hukum alam dan suara akal alam dalam teori 
mereka. Konsep keadilan pada aliran ini didasarkan pada asas 
kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan memiliki  
ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya ditentukan 
oleh kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan 
kesenangan yang terbesar bagi orang banyak.
Teori ini dikritik oleh anti utilitarianisme yang dipelopori 
oleh Dworkin dan Nozick, yang memprioritaskan kesejahteraan 
mayoritas, memicu  minoritas atau individu-individu  yang 
preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara, 
akan dihiraukan dan sebagai akibatnya mereka dirugikan atau 
kehilangan hak-haknya. Bagi penentang utilitarian, keadilan 
menolak argumen yang menyatakan bahwa hilangnya kebebasan 
sebagian orang dapat dibenarkan atas asas manfaat yang lebih 
besar yang dinikmati oleh orang-orang lain.
Kelemahan teori Nozick yang kental dengan warna 
individualistik dan liberal ini yaitu dalam penerapannya, yaitu 
sangat sulit untuk melakukan kontrol baik dalam mengontrol 
negara minimalis maupun dalam mengontrol lapangan usaha 
atau kegiatan warga . Artinya, bagaimana mengontrol 
kegiatan para individu yang sekian banyak dalam suatu negara 
dan bagaimana mengontrol kegiatan para individu di dalam 
berbagai lapangan usaha. Teori Nozick ini  juga kurang 
realistis sebab  memisahkan individu dari kondisi warga  
masa kini dengan kondisi kapitalisme dan liberalisme yang sudah 
sangat berubah 
Dari konsep-konsep keadilan, selalu didasarkan pada suatu 
aliran filsafat atau pemikiran tertentu sesuai dengan kondisi 
pemikiran manusia pada waktu itu. Dua  hal yang bersifat 
universal dari konsep keadilan yaitu tujuan dan karakter atau 
ciri-ciri keadilan. Tujuan yaitu  hal yang akan dicapai dalam 
hubungan hukum baik antara sesama warga, maupun antara 
warga dengan negara atau hubungan antar negara. sedang 
ciri-ciri atau karakter yang melekat pada keadilan yaitu  adil, 
bersifat hukum, sah menurut hukum, tidak memihak, sama hak, 
layak, wajar secara moral, dan benar secara moral.
3. Konsep Keadilan menurut Pancasila 
Konsep keadilan dalam Pancasila dirumuskan dalam sila 
kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kemanusiaan yang adil 
dan beradab pertama kali dijabarkan dalam Ketetapan MPR No. 
II/MPR/1978, Ketetapan ini lalu  dicabut dengan Ketetapan 
MPR No. XVIII/MPR/1998. Dalam rumusan ini , sikap adil 
digambarkan sebagai; bermartabat, sederajat, saling mencintai, 
sikap tepa selira, tidak sewenang-wenang, memiliki  nilai 
kemanusiaan, membela kebenaran, dan keadilan serta hormat 
menghormati dan kerja sama dengan bangsa lain. sedang 
makna adil dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat 
Indonesia yaitu : gotong-royong, keseimbangan antara hak dan 
kewajiban, memiliki fungsi sosial hak milik dan hidup sederhana.
Bangsa Indonesia mengakui bahwa keadilan yang absolut 
hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila 
merupakan konsep keadilan sesungguhnya, seadil-adilnya dan 
maha adil. Dalam kedudukan Pancasila sebagai suatu sistem 
filsafat dimana antara sila yang satu dengan sila yang lain saling 
terkait. Peninjauan kelima sila Pancasila dalam kesatuannya, 
terutama diperlukan untuk memahami keterkaitan antara satu 
sila dengan sila lainnya, arti pemahaman ini yaitu  pemahaman 
secara utuh.
Pemahaman terhadap konsep keadilan harus diterjemahkan 
dalam hubungannya dengan Pancasila, lalu  baru dikaitkan 
dengan kepentingan bangsa yang harus merasakan keadilan 
itu. Pemerintah melalui perangkat perundang-undangannya, 
harus menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, 
dimana hak asasi manusia dapat pula diterjemahkan sebagai 
hak tertinggi, atas masing-masing individu warga  yang 
diasumsikan setara dengan kedaulatan dari individu-individu 
yang bersangkutan. Sasarannya agar perangkat peraturan 
ini  dapat memenuhi cita keadilan sebagai manifestasi dari 
kedaulatan rakyat.
Implementasi kedaulatan rakyat berdasar pasal 1 ayat 2 
UUD NRI Tahun 1945, berbunyi; Kedaulatan berada di tangan 
rakyat di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Teori perwakilan rakyat erat kaitannya dengan 
masalah kedaulatan rakyat dan demokrasi. Ketentuan pasal 1 
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, merupakan pasal yang terintegrasi 
dengan seluruh pasal-pasal yang ada dalam UUD NRI 
Tahun 1945. Kedaulatan dalam Negara Republik Indonesia yang 
berdasar atas hukum 
Bagi bangsa Indonesia, keadilan yang berdasar Pancasila 
yaitu  konsepsi dan persepsi keadilan harus sesuai dengan 
perasaan suatu bangsa. Berbicara tentang hukum berarti 
berbicara tentang keadilan. Jadi, pengaturan hak dan kebebasan 
warga harus dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan yang 
berdasar Pancasila. Hukum yang dikehendaki yaitu  hukum 
yang sifatnya memberi perlindungan terhadap warga warga , 
termasuk perlindungan terhadap hak warga untuk berserikat 
dan berkumpul. Perlindungan dalam hal ini berarti bahwa rasa 
keadilan yang ada pada nurani warga harus terpenuhi.
Prinsip Indonesia yaitu  negara yang berdasar atas 
hukum, UUD 1945 sebagai hukum dasar menempatkan hukum 
pada posisi yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan 
Indonesia. Konsep kenegaraan Indonesia antara lain menentukan 
bahwa pemerintah menganut paham konstitusional, yaitu 
suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan yang termuat 
dalam konstitusi. Pada negara yang bersistem konstitusi atau 
berdasar hukum dasar, ada suatu hierarki perundang-
undangan, dimana UUD berada di puncak piramida sedang 
ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi. Konstitusi yang 
demikian dikenal dengan “stufenbau theory” Hans Kelsen.

HAK ASASI MANUSIA 
DALAM KONSTITUSI INDONESIA
A. Pendahuluan
Lord Acton dalam “aksioma politik”-nya mengatakan, power tends 
to  corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaan 
cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung  
untuk korupsi secara mutlak pula). Pembatsan kekuasaan yang 
terbaik yaitu  melalui konstitusi sebagaimana ungkapan Carl J. 
Friedrich yang mengatakan, constitutionalism by dividing power 
provides a system of effective restrains upon governmental action.
Sri Soemantri martosoewignjo, Guru Besar Hukum Tata Negara 
Universitas Pajajaran Bandung. Tambahnya lagi, Negara dan 
konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu 
dengan yang lain. Konstitusi merupakan suatu keniscayaan dan awal 
bagi kelahiran sebuah Negara. Konstitusi yaitu  bagian yang inheren 
dari sistem ketatanegaraan bangsa-bangsa di dunia, meminjam 
ungkapan C.F.Strong, The rise of constitutional state is essentially an 
historical process.
Kehadiran konstitusi merupakan condition sine qua non (syarat 
mutlak) bagi sebuah Negara. Konstitusi tidak saja memberikan 
gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga 
Negara lebih dari itu didalamnya ditemukan letak relasional dan 
kedudukan hak dan kewajiban warga Negara. Sulit dibayangkan 
bagaimana sebuah Negara jika mengalami krisis terhadap konstitusi. 
Dalam terminology politik ilmu politik, ada 2 pengertian: pertama, 
dalam pengertian luas mencakup system pemerintahan dari suatu 
Negara dan mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan 
tugas-tugasnya. Kedua,  dalam pengertian sempit yaitu sekumpulan 
peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan yang dimuat 
dalam suatu dokumen. 
berdasar uraian diatas, maka lahirlah penamaan adanya 
konstitusi yang tertulis (written constitution) dan konstitusi  tidak 
tertulis (unwritten constitution). Undang-Undang Dasar (UUD) 
merupakan konstitusi ter-tulis yang memiliki batasan-batasan: (1) 
suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan 
kekuasaan kepada para penguasal; (2) suatu dokumen tentang 
pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu system politik; (3) 
suatu deskripsi dari lembaga-lembaga Negara; dan (4) suatu deskripsi 
yang menyangkut masalah HAM.
UUD merupakan dasar bagi terselenggaranya system 
pemerintahan. Hermen Finer dalam buku Theory and Practice of 
Modern Government menamakan Undang-Undang Dasar (UUD, 
pen). Sebagai “riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan “(the 
autobiography of a power relationship). Karna begitu pentingnya 
kehadiran konstitusi bagi sebuah Negara, lalu  muncullah 
istilah konstitusional (constitutional government) yaitu pemerintahan 
yang berdasar konstitusi. Intinya menekankan adanya supermasi 
konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara. 
Supermasi konstitusi (supremacy of the constitution) yaitu 
konstitusi memiliki  kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu 
Negara. Struyken dalam bukunya Hat Staatsrecht van Het koninkrij 
der Nederlander, menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai 
konstitusi tertulis merupakan  dokumen formal yang berisikan sebagai 
berikut.
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik 
untuk waktu sekarang maupun untuk waktu yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dimana perkembangan kehidupan 
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Oleh sebab  pentingnya konstitusi bagi sebuah negara, ada sebuah 
pertanyaan yang sedikit “menggelitik”, sebagaimana juga pernah 
ditanyakan Wheare dalam karyanya, Modern Constitution, yaitu what 
sould a constitution contain?  Sacara tegas Wheare menjawabnya, the 
short answer, then, is the very minimum, and that, minimum to be 
reles of law. One essential characteristic of the ideally berst form of 
constitution is that it should be a short as possible.
Wheare juga menagatakan ada 3 pokok hal yang harus menjadi 
muatan konstitusi; pertama, tentang struktur umum Negara, seperti 
pengaturan kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif; kedua, 
hubungan dalam garis besar antara kekuasaan-kekuasaan ini  
satu dengan yang lainnya; dan ketiga, hubungan antara kekuasaan 
tadi dengan rakyat atau warga Negara. 
C.F. Strong, dalam bukunya Modern Poitical Constitution 
mengatakan bahwa muatan konstitusi tidak terlepas dari prinsip-
prinsip konstitusionalisme itu sendiri. Dengan menjadikan konstitusi 
yang ada lalu memaksakannya secara taken for granted yaitu  suatu 
bertata negara yang tidak cerdas 
B. Teori  Hak dan Kewajiban
The Cambridge Dictionary of Philosophy, buku yang diedit oleh 
Robert Audi memberikan penegasan tentang hak yang pernyataannya 
menegaskan bahwa hukum, moral, peraturan, atau norma-norma lain 
dapat memberikan hak kepada seseorang. Adapun perbedaan dalam 
penerapannya yang terjadi sebab  stressing point berbeda. 
Kalau mengikuti will theory  yang dipegang yaitu  hak 
mengutamakan kemauan pemilik hak. sedang interest theory  
lebih menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau 
mengembangkan kepentingan pemilik hak. Satjipto Rahardjo 
mengatakan bahwa suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, 
bukan hanya sebab  ia dilindungi oleh hukum, namun  juga sebab  
adanya pengakuan. 
Hak sangat terkait dengan terkait dengan status. Hak anak 
misalnya, merupakan hak yang melekat pada status seseorang dalam 
kapasitasnya sebagai seorang anak. Kemanusiaan manusia diakui 
sebagai consensus universal yang justru tetap melekat sebagai pemilik 
asasi mutlak atas dasar kemanusian, terlepas dari  perbedaan jenis 
kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarga negaraan, agama, 
dan lain-lain. HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran 
manusia tentang hakikat dirinya.
Adapun mengenai relasi right-duty, Paton menegaskan bahwa 
antara keduanya ada beberapa relasi hukum. Pertama, The 
holder of the right. Kedua, The act of for bearance to which the right 
relats. Ketiga, The res concerned. Keempat, The person bound by the 
duty. 
Namun, Salmond sebagiamana dikutip oleh Paton tidak sependapat 
dengan memakai  terma right-duty. Salmond menyebutkan ada 
3 komponen lain, yakni kemerdekaan, kekuasaan, dan imunitas. 
Jika menyebut hak, maka menurutnya, semua pengertian itu sudah 
termasuk didalamnya, yaitu masing-masing sebagai sebagai (1) hak 
dalam arti sempit; (2) kemerdekaan; (3) kekuasaan; dan (4) imunitas. 
Jika begitu, yang pertama hak itu berhubungan dengan hal-hal yang 
harus dilakukan oleh orang lain untuk saya, maka yang terakhir ini 
hak hanya berurusan dengan hal-hal yang boleh dilakukan untuk diri 
saya sendiri (Majda El-Muhtaj, 2015).
C. Konsep tentang Hak Asasi Manusia 
Hak asasi manusia (HAM) yaitu  hak yang bersifat mendasar 
dan inheren dengan jati diri manusia secara universal. Hak-hak 
asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-
nilai yang lalu  menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku 
manusia dalam hubungan dengan sesama manusia. Hak sendiri 
114 ---
terbagi dua yakni hak alami (natural law) dan hak hukum (legal rights). 
Hak hukum (legal rights) yaitu  hak seseorang dalam kapisitasnya 
sebagai subjek hukum yang secara legalo tercantum dalam hukum 
yang berlaku. Hak alami (natural rights) yaitu  hak manusia in toto. 
Dengan demikian, hak hukum lebih menekankan sisi legalitas formal, 
sedang hak alami menekankan sisi alamiah manusia (naturally 
human being).
Hak melekat pada status tertentu. Jika status itu berubah atau 
berganti, maka hak mengalami perubahan atau pergantian. Nur 
Ahmad Fadhil Lubis mengatakan bahwa hak akan berbeda saat  
status bergeser dan oleh sebab  status berbeda saat  dihadapkan 
pada tiga pihak yang berbeda, maka hak itu terkait dengan pihak 
mana orang itu berhadapan dan berinteraksi.
1. HAM Perspektif Barat
Konsepsi HAM di kalangan sejarawan Eropa tumbuh dari 
konsep hak (right) pada Yurisprudensi Romawi, lalu  meluas 
pada etika via teori hukum alam (natural law). Perkembangan 
ini menggambarkan pertumbuhan kesadaran pada warga  
Barat. Tonggak-tonggak sosialisasinya yaitu  sebagai berikut: 
pertama, dimulai dengan yang paling dini, oleh munculnya 
“Perjanjian Agung” (Magna charta) di Inggris ada 15 Juni 
1215 yang isi pokok dokumennya yaitu  hendaknya raja tak 
melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan 
pribadi seorang pun dari rakyat. Kedua, keluarnya Bill of Rights 
pada 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan 
raja & dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan 
terhadap siapa pun, atau untuk memenjarakan menyiksa, dan 
mengirimkan tentara kepada siapa pun, tanpa dasar hukum. 
Ketiga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Julin 
1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan 
dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan 
mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintah 
yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar ini . 
Keempat, Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara 
dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima 
115---
hak asasi pemilikan harta, kebebasan, persamaan, keamanan, 
dan perlawanan terhadap penindasan. Kelima, Deklasi Universal 
tentang Hak-hak Asasi Manusia pada 10 desember 1948, yang 
memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan 
harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan 
kebebasan beragama (termasuk pindah agama). 
Dari perkembangan historis di atas, ada perbedaan 
filosofis yang tajam, baik dari segi nilai maupun orientasi. 
Di Inggris, menekankan pada pembatasan raja, di Amerika 
Serikat, mengutamakan kebebasan individu. Di Perancis, 
memprioritasikan egalitarian-isme persamaan kedudukan di 
hadapan hukum. Di Rusia, tidak diperkenalkan hak individu, 
namun  hanya mengakui hak sosial dan kolektif. Rangkaian 
kesaksian sejarah ini  menunujukkan bahwa hak asasi 
manusia, meminjam istilah Bambang Sutiyoso yaitu  “konstitusi 
kehidupan”, sebab  hal asasi manusia merupakan prasyarat yang 
harus ada dalam setiap kehidupan manusia untuk dapat hidup 
sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Setiap kali menyebutkan hak-hak asasi, dengan sendirinya 
rujukan baku ialah UDHR/DUHAM. Ciri terpenting yaitu  
bahwa pengertian HAM hanya teratas pada bidang hukum 
politik. Disebab kan realitas politik global pasca Perang Dunia II, 
adanya keinginan Negara-negara baru untuk menciptakan tertib 
hukum dan politik yang baru. Generasi HAM kedua menyusul 
pada keinginan yang kuat warga  global untuk memberikan 
kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek 
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Generasi ketiga HAM ditandai 
the rights of development dengan meningkatnya kesatupaduan 
antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum. Pada 
generasi keempat, terjadi suatu proses penyempurnaan yang 
mengkritik peranan Negara yang lebih dominan dalam proses 
pembangunan ekonomi hingga mengabaikan kesejahteraan 
rakyat. Munculnya generasi ini diplopori oleh Negara-negara 
kawasan Asia pada tahun 1983 dengan melahirkan deklarasi 
HAM yang dikenal dengan Declaration  of the Basic Duties of Asia 
and Government (Majda El-Muhtaj, 2015).
116 ---
2. HAM Perspektif Islam
Hubungan antara Islam dan HAM muncul menjadi isu penting 
mengingat, kecuali di dalamnya ada interpretasi yang 
beragam yang terkesan mengundang perdebatan yang sengit, 
perkembangan politik global memberikan implikasi tersendiri 
antara hubungan Islam dan Barat. Menurut Supriyanto Abdi, 
setidaknya ada tiga varian pandangan hubungan Islam 
dengan HAM, yaitu: pertama, menegaskan bahwa Islam tidak 
sesuai dengan gagasan dan konsepsi HAM modern. Kedua, 
menyatakan bahwa Islam menerima semangat kemanusiaan 
HAM modern, namun  pada saat yang sama, menolak landasan 
sekulernya & menggantinya dengan landasan islami. Ketiga, 
menegaskan bahwa HAM modern yaitu  Khazanah kemanusiaan 
universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan 
normatif yang sangat kuat terhadapnya (Majda El-Muhtaj, 2015).
3. HAM Perspektif Kontitusi Indonesia
Dalam aturan normatif konstitusional Indonesia, ditemukan 
berbagai variasi ketentuan dari beberapa kontitusi yang pernah 
berlaku di Indonesia, yakni sebagai berikut:
a. UUD 1945
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pergulatan pemikiran, 
khususnya pengaturan HAM dalam konstitusi begitu intens 
terjadi dalam persidangan BPUPKI dan PPKI.  Satu hal yang 
menarik bahwa meskipun UUD 1946 yaitu  hukum dasar 
tertulis yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia 
Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula, 
namun istilah perkataan HAM itu sendiri sebenarnya tak 
dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan, Batang 
Tubuh, maupun penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah 
HAM , namun  hanyalah hak dan kewajiban warga Negara 
(HAW). Pengaturan HAM berhasil sesudah  dirumuskan dan 
UUD 1945 jauh sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi 
PBB, Indonesia ternyata lebih awal telah memberlakukan 
sebuah UUD yang mengatur perihal dan penegakan HAM di 
Indonesia.
117---
b. Konstitusi RIS 1949
Dalam konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM ada 
dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak dan Kebebasan-
kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian ini  ada 
27 pasal dari mulai Pasal 7-33. Eksistensi manusia secara 
tegas dinyatakan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, “setiap 
orang diakui sebagai manusia”. Selain itu hak atas dasar 
perlindungan hukum juga termuat dalam Pasal 13 ayat (1), 
“Setiap orang berhak, dalam persamaan jang sepenuhnya, 
mendapat perlakuan djudjur dalam perkaranja oleh hakim 
jang tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan 
kewajiban-kewajibannja dan dalam hal menetapkan apakah 
suatu tuntutan hukum jang dimadjukan terhadapnja 
berasalan atau tidak.”
c. UUDS 1950
Menurut Adnan Buyung Nasution, Negara ini pernah 
memiliki UUD yang memuat pasal-pasal tentang HAM yang 
lebih lengkap daripada UDHR/DUHAM, yaitu UUDS 1950. 
Menariknya pemerintah juga memiliki kewajiban dasar 
konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagiamana 
diatur pada Bagian VI (Azas-azas Dasar), Pasal 35 sampai 
dengan Pasal 43. Kewajiban dasar ini dapat dilihat, misalnya 
pada Pasal 36 yang berbunyi: “Penguasa memadjukan 
kepastian dan djaminan sosial, teristimewa pemastian dan 
pendjaminan sjarat-sjarat perburuhan dan keadaan-keadaan 
perbruhan jang baik, pentjegahan dan pemberantasan 
penganguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari-
tua dan pemeliharaan djanda-djanda dan jatim-piatu.
d. Kembali Kepada UUD 1945
Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis 
hukum dasar ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana 
setback, dekrit ini  menjadi dasar hukum berlakunya 
kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945. 
sebab  itu, pengaturan HAM yaitu  sama dengan apa yang 
tertuang dalam UUD 1945.
118 ---
e. Amandemen UUD 1945
Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan 
sejarah baru bagi masa depan kontitusi Indonesia. Perubahan 
UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi 
pembangunan nasional sejak turunnya rezim Soeharto (1967-
1998).
Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat 
pada perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000, yang 
dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah 
bab tesendiri, yakni Bab XA  (Hak Asasi Manusia) dari mulai 
Pasal 28A sampai dengan 28J. Ditegaskannya pada Pasal 28A 
yang berbunyi, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak 
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kemajuan lain 
dapat juga dilihat pada Pasal 28I yang berbunyi: Hak hidup, 
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati 
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak 
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak 
untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut yaitu  
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan 
apapun.
Beragamnya muatan HAM dalam konstitusi secara 
maksimal telah diusaha kan untuk mengakomodasi hajat dan 
kebutuhan perlindungan HAM, baik dalam konteks pribadi, 
keluarga, warga  dan sebagai warga Negara Indonesia 
D. Kelahiran & Perkembangan Konstitusi di  Indonesia
Berbeda dengan konseptualisasi HAM bagi warga  Barat 
yang lahir sebagai hasil dari pertentangan dan perlawanan atas 
Hegemoni kekuasaan, maka HAM yang termaksuk dalam UUD 1945 
lahir sebagai consensus dari proses permufakatan yang berlangsung 
secara damai. Dalam membidani lahirnya UUD 1945, keikutsertaan 
Yamin dalam proses perancangan UUD terbilang pasif disebab kan 
kurangnya pengetahuannya mengenai keuangan dan perekonomian. 
Rancangan UUD kelihatan lebih diwarnai oleh pemikiran Soepomo, 
yang juga lalu  atas usul Wongsonegoro, Soepomo menjadi ketua 
panitia kecil perancang UUD.
Dalam Rapat Pleno pembahasan rancangan UUD tanggal 15 
Julli 1945, secara berturut Soekarno dan Soepomo menyampaikan 
hasil laporan. Khusus tentang keberadaan HAM dalam rancangan 
UUD terjadi semacam interaksi dialogis yang intens antara Soekarno 
dan Soepomo di satu pihak dengan Yamin dan Hatta di pihak yang 
lain. Pihak pertama menolak memasukkan HAM, terutama yang 
individual, kedalam UUD sebab  menurut mereka Indonesia harus 
dibangun sebagai Negara kekeluargaan, sedang pihak kedua 
menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara 
eksplisit. 
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, 
PPKI segera menggelar sidang pertamanya, meminjam istilah 
Boland, emergency meeting, dan pada 18 Agustus 1945 dan dalam 
keputusannya mengesahkan UUD yang telah dirancang (RUUD) oleh 
BPUPKI dengan beberapa perubahan tambahan. Ketua PPKI yakni  
Soekarno menyatakan bahwa keputusan mengesahkan UUD yang 
telah dirancang ini hanyalah UUD kilat yang mana ia menegaskan 
kembali akan membuat UUD yang lebih sempurna.
Sifat kesementaraan yang melekat pada UUD 1945 tidaklah 
membuat berpikir simplistik untuk memandang UUD 1945 tidak 
penting apalagi menganggapnya tidak sah. Dalam pertarungannya 
dengan waktu, BPUPKI dan PPKI telah berjuang semaksimal 
mungkin, dan sebab nya apa yang diungkapkan oleh Soekarno 
ini  dapat diterima secara rasional, meskipun janjinya untuk 
melakukan kajian yang lebih sempurna atas UUD 1945 tetap tidak 
terpenuhi sampai akhir masa kepemimpinannya 
1. Lahirnya Konstitusi RIS 1949
Akibat peperangan terus bergejolak, pemerintah Belanda 
lalu  mengambil langkah startegis baru dengan memecah 
belah Negara kesatuan Indonesia sebagai Republik Indonesia 
Serikat yang terdiri atas beberapa Negara bagian. Khusus 
untuk Negara bagian Indonesia Timur yang dibentuk Belanda 
pada tanggal 24 Desember 1946 yaitu  yang terbesar dan kerap 
dijadikan model untuk satuan-satuan federal yang lain. 
Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya turun tangan  dan 
mendesak agar diselesaikan melalui sebuah jalan damai, yakni 
konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan melibatkan 
pihak ketiga, yakni BFO (Byeenkomst voor federal overleg/Federal 
Consultative Assembly). Sebuah ikatan Negara-negara bagian hasil 
bentukan Belanda. Konferensi berlangsung di Den Haag, Belanda 
dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 
Agustus sampai dengan 2 November 1949 yang menghasilkan 
3 hal mendasar, yaitu: pertama, pembentukan Negara Republik 
Indonesia Serikat; Kedua, penyerahan kedaulatan kepada 
Republik Indonesia Serikat; Ketiga, pembentukan UNI-RIS-
Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17 pagi Ratu Juliana 
di hadapan ketiga delegasi menandatangani Akta Penyerahan 
Kedaulatan, yang lalu  berakibat pada berlakunya dua hal, 
yakni: pertama semua persetujuan-persetujuan hasil KMB, dan 
kedua Konstitusi RIS 1949. Konstitusi RIS terdiri atas dua bagian, 
yakni Pembukaan dan Batang Tubuh. Berbeda dengan jumlah-
jumlah pasal dalam UUD 1945, Konstitusi RIS memuatnya jauh 
lebih banyak, yakni 6 bab dan 197 Pasal. Meskipun demikian, 
Konstitusi RIS hanyalah dimaksudkan untuk bersifat sementara, 
meskipun dari namanya tidak mempergunakan tambahan kata 
“sementara”. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi. 
“Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan 
Pemerintahan selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik 
Indonesia Serikat .
2. Lahirnya UUDS 1950
Momentum peringatan Hari Ulang Tahun Kelima RI, 
17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru bagi iklim 
ketatanegaraan Indonesia. Pada saat itu, kontitusi RIS dengan 
segala konsekuensinya berubah menjadi UUD sementara 
(disingkat UUDS) 1950 yang menjadikan Indonesia kembali 
menjadi Negara Republik Indonesia. Era 1950-1959 merupakan 
periode demokrasi konstitusional, meskipun dalam kurun waktu 
itu, Indonesia hanya bersandar di bawah UUDS 1950. Konstitusi 
ini sekaligus menjadi the starting point bagi usaha  pembentukan 
sebuah Negara modern Indonesia yang berbentuk kesatuan. 
Menurut catatan Mahfud, dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950 
merupakan bagian dari UU Federal No.7 Tahun 1950 tentang 
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat 
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Idonesia 
(LNRIS Tahun 1950 No.56).
Dengan sendirinya sesudah  UUDS 1950 itu berlaku, maka 
tugas UU No. 7 Tahun 1950 menjadi selesai. UU ini hanya berlaku 
satu kali. Kesementaraan UUS 1950 lebih eksplisit ditegaskan. 
Kesementaraan ini disebabkan bahwa legalitas formal proses 
perumusan sebuah UUD masih diserahkan kepada lembaga yang 
representative yang memiliki otoritas. Untuk merealisasikan 
keinginan ini , maka dilaksanakan pemilihan  umum pada 
tahun 1955, Pemilu pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan 
Indonesia (Majda El-Muhtaj, 2015).
3. Kembali Kepada UUD 1945
Sejak berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950, maka 
melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan 
tidak efektif lagi dan beralih kembali kepada pemberlakuan UUD 
1945. Apa yang pernah dimuat dalam UUD 1945 pada masa awal 
berlakunya, dinyatakan berlaku kembali terhitung sejak tanggal 
5 Juli 1959 sampai dengan jatuhnya Pemerintahan Soeharto 
Mei 1998. Dengan kata lain, berlakunya UUD 1945 untuk kedua 
kalinya memiliki masa berlaku yang reatif panjang dibandingkan 
UUD sebelumnya, termasuk UUD 1945 periode proklamasi. 
berdasar hasil Pemilu 1955, sebenarnya Konstituante 
diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah 
UUD yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam bab V Pasal 134 
UUDS 1950. Sejak 10 November 1956 hingga 2 Juni 1959, telah 
terjadi perdebatan yang hangat dalam tiga agenda pembahasan, 
yakni: pertama, dasar Negara (1957); kedua HAM (1958); dan 
ketiga pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959).
Guna memperkokoh kedudukannya sebagai Presiden, 
Soekarno, malalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari 
1959 di Bogor, telah mengambil keputusan dengan suara bulat 
mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno 
dengan menegaskan kembali ke UUD 1945. Dalam putusannya 
mengatakan bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya  
prinsip demokrasi terpimpin. Dan, demokrasi terpimpin ialah 
demokrasi. Adapun mengenai perubahan UUD 1945 dikembalikan 
pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.
Realitas politik ini semakin diperkeruh dengan suasana 
perpolitikan Indonesia yang mengkhawatirkan. Beberapa bentuk 
pemberontakan muncul sebagai artikulasi politik yang tidak 
terakomodasi, baik atas nama kepentingan lokal dan pertarungan 
idoelogis antara Negara dan warga  maupun pertarungan 
kekuasaan di lingkungan Angkatan Darat. Atas dasar itulah, 
Presiden Soekarno menyatakan Negara dalam keadaan darurat 
dan lalu  mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang 
menyatakan; pertama, pembubaran Konstituante; kedua, 
memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga  penarikan 
kembali UUDS 1950 dan, dalam waktu sesingkat-singkatnya 
mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 
1945.
Terpusatnya pemerintahan di tangan Soekarno 
memicu  kontrol atas pemerintahan melemah seiring 
dengan masuknya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) 
dalam tubuh pemerintahan. Atas dasar itu, kelangsungan 
pemerintahan Indonesia mengalami suasana tidak kondusif dan 
memprihatinkan yang puncaknya terjadi pada peristiwa Gerakan 
30 September 1965 (Majda El-Muhtaj, 2015).
4. Lahirnya Amandemen UUD 1945
Secara historis perubahan UUD merupakan wacana 
penting bahkan menjadi perdebatan yang intens pada saat awal 
kemerdekaan Indonesia, atau meminjam istilah George McTurnan 
Kahin, newlyborn of Indonesia state (“bayi baru” Negara Indonesia). 
Sebagai wacana hal ini  menunjukkan bahwa isu perubahan 
UUD 1945 merupakan sebuah keniscayaan. Pesan moralnya 
yaitu  UUD 1945 harus benar-benar dapat sesuai dengan tingkat 
perubahan zaman Indonesia. Perubahan UUD merupakan paket 
terbesar dan terpentig dari sekalian paket reformasi. Perubahan 
ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan 
nasional ke depan. 
Perubahan sebuah konstitusi harus dipahami secara objektif 
proporsional. Perubahan UUD bukanlah berarti menghilangkan 
nuansa dan rasa kesatuan anak-anak bangsa dalam ikatan NKRI, 
namun  harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi kelangsungan masa 
depan bangsa dalam proses perubahan yang bertanggung jawab. 
Secara teoretis, Sri Soemantri dalam disertasinya menegaskan 
bahwa wewenang mengubah UUD yaitu  masalah hukum yang 
mengandung aspek politik. Proses perubahan UUD 1945, yang 
saat ini telah mencapai perubahan keempat, mutlak dilakukan 
dalam sebuah mekanisme yang salah. 
Perjalanan Amandemen UUD 1945 sepenuhnya berada 
dalam kewenangan MPR sebagaimana digariskan dalam Pasal 37 
UUD 1945. Posisi dan kedudukan MPR dengan kewenangannya 
ini  telah mengundang perdebatan yang tajam di kalangan 
warga . Pada tanggal 19 Oktober 1999, melalui Tap MPR 
No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan 
Pekerja MPR (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan perubahan 
UUD 1945 untuk disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 
18 Agustus 2000. Perubahan I UUD 1945 terjadi pada 19 Oktober 
1999 dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 
Oktober 1999. Perubahan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, 
dan Pasal 21. Secara umum inti Perubahan I UUD 1945 menyoroti 
perihal kekuasaan Presiden (eksekutif). 
Perubahan II UUD 1945 ditetapkan pada Sidang Tahunan 
MPR tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000. Beberapa 
perubahan terdiri dari 5 bab da 25 pasal, yaitu Pasal 18. Pasal 
18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 
22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal 
28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 
28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, 
Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 26C.
124 ---
Perubahan III UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang tahunan 
MPR tanggal 1 sampai 9 November 2001. Beberapa perubahan 
yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, 
Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 
8, Pasal 11, Pasal 17, Bab VIIA, Pasal 22C, Pasal 22D, Bab VIIB, 
Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E, 
Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 
24C.
Perubahan IV UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang Tahunan 
MPR tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus  2002. Beberapa 
perubahan terdiri atas 2 ba dan 13 pasal, yaitu, Pasal 2, Pasal 6A, 
Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 
31, Pasal 32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Tap MPR 
ini  menyatakan bahwa dipandang perlu membentuk suatu 
Komisi Konstitusi (KK) yang bertugas melakukan pengkajian 
secara komprehensif tentang Perubahan UUD 1945.
Hasil Perubahan IV UUD 1945 sebagai hasil dari totalitas 
Perubahan UUD 1945 mengundang pro-kontra di kalangan 
warga . Selain muatan dan proses perubahannya sangat 
diwarnai dengan vested interest para politisi MPR, paradigma 
konstitusionalismenya pun dinilai “kabur” dari semangat 
kehidupan nasional Indonesia. Berbeda dengan KK versi MPR,  
yang sepenuhnya yaitu  hasil bentukan Badan Pekerja dan 
dipandang memiliki indepedensi yang “minor”, maka beberapa  
tokoh dan ilmuwan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik 
membentuk sebuah “proyek” komisi konstitusi independen 
yang bernama Koalasi untuk Kontitusi Baru. UUD 1945 yang 
diamandemen harus melalui proses kerja yang bijaksana, agar 
tercapai maksud mulia dari, baik versi MPR maupun dari Koalasi 
sendiri, untuk membangun kontitusi baru yang memiliki paradigm 
kerakyatan (Majda El-Muhtaj, 2015).
E. Jaminan  Konstitusi atas Hak Asasi  Manusia
1.  Materi HAM dalam UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, ada pandangan 
yang beragam. Setidaknya ada tiga kelompok pandangan, yakni: 
pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak 
memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; kedua, 
mereka yang berpendangan UUD 1945 memberikan jaminan 
atas HAM secara komprehensif; dan ketiga, berpandangan bahwa 
UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM. 
Menurut MAhfud, UUD 1945 hanya berbicara tentang “HAW” 
atau hak asasi warga Negara (atau HAM yang partikularistik). 
Selanjutnya menurut Mahfud memberi kesan bahwa Pembukaan 
dan Batang Tubuh UUD 1945 tidak memiliki semangat yang kuat 
dalam memberikan perlindungan HAM atau lebih menganut 
keinginan untuk membatasi HAM, menjadi sekedar HAW 
yang itu pun harus ditentukan dalam UU yang dibuat lembaga 
legislatif. Lebih tegas lagi, mahfud mengatakan bahwa di dalam 
berbagai analisis disebutkan salah satu penyebab terjadinya 
pelanggaan HAM sebab  konstitusi kita tidak sungguh-sungguh 
mengelaborasi perlindngan HAM di dalam pasal-pasalnya secara 
eksplisit.
Dahlan Thaib mengatakan bila dikaji baik dalam Pembukaan, 
Batang Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya 
15 prinsip hak asasi manusia, yakni sebagai beriku: 1) hak untuk 
menentukan nasib sendiri; (2) hak akan warga Negara; (3) hak 
akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum; (4) hak untuk 
bekerja; (5) hak akan hidup layak; (6) hak untuk berserikat; (7) 
hak untuk menyatakan pendapat; (8) hak untuk beragama; (9) hak 
untuk membela Negara; (10) hak untuk mendapat pengajaran; 
(11) hak akan kesejahteraan sosial; (12) hak akan jaminan sosial; 
(13) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan; (14) hak 
mempertahankan tradisi budaya; (15) hak mempertahankan 
bahasa daerah.
Menurutnya, ketentuan-ketentuan di atas cukup membuktikan 
bahwa UUD 1945 sangat menjamin HAM. Solly Lubis 
berpandangan bahwa UUD 1945 tetap mengandung pengakuan 
dan jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi walaupun harus 
diakui secara redaksional formulasi mengenai hak-hak itu sangat 
sederhana dan singkat. Dalam UUD 1945 tidak ditemukan sebuah 
pengaturan yang tegas, akibatnya muncul berbagai interpretasi 
terhadap kualitas muatan dan jaminan UUD 1945 atas HAM. 
Para pendiri bangsa Indonesia telah berhasil memformulasikan 
sebuah tatanan kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM, 
jauh sebelum warga  internasional merumuskan Deklarasi 
Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, 10 Desember 
1948. 
Periode keberlakuan UUD 945, sejak 18 Agustus 1945 sampai 
dengan 27 Desember 1945, niat agung yang disampaikan Soekarno 
di awal tetap tidak terpenuhi sebab  berhadapan dengan faktor 
sosio-politik yang berkembang pada waktu itu. Memaksakan 
pembukaan dan teks-teks pasal UUD 1945 lalu  diklaim 
komprehensif dalam mengatur HAM yaitu  juga sebuah 
pemikiran yang simplistik, apalagi jika dihubungkan dengan 
perubahan paradigma HAM dalam kehidupan dan tatanan 
warga  global (Majda El-Muhtaj, 2015).
2. Materi HAM dalam Konstitusi RIS 1949
Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM, secara 
histori sangat dipengaruhi oleh keberadaan UDHR/DUHAM yang 
dirumuskan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Dalam konteks 
Negara-bangsa, maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu 
itu sangat dirasakan memengaruhi konstitusi-konstitusi Negara-
negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS 1949.
Pertama, hak-hak manusia sebagai pribadi/individu dapat 
dilihat dari gambaran pasal-pasal dalam Konstitusi RIS yang 
titujukan pada tabel di bawah ini.
Pasal ISI PROFIL HAM
7 ayat 1
Setiap orang diakui sebagai 
manusia pribadi terhadap 
UU
Hak diakui sebagai person 
oleh UU (The Right to 
recognized as a person 
under the Law)
7 ayat 2
Segala orang berhak me-
nuntut peradilan yang 
sama oleh UU
Hak persamaan di hadapan 
hukum (The right to 
equality before the law)
Pasal ISI PROFIL HAM
7 ayat 3
Segala orang berhak me-
nuntut perlindungan yang 
sama terhadap tiap-tiap 
pembelakangan dan terha-
dap tiap-tiap penghasutan 
untuk melakukan pembela-
kangan demikian.
Hak persamaan per-
lindungan menentang 
diskriminasi (The right to 
equal protection againts 
discrimination)
7 ayat 4
Setiap orang berhak men-
dapatkan bantuan hukum 
yang sungguh dari hakim-
hakim yang ditentukan 
untuk itu, melawan per-
buatan-perbuatan yang 
berlawanan dengan hak-
hak dasar yang diperkenan-
kan kepadanya menurut 
hukum.
Hak atas bantuan hukum 
(The Right to Legal assist-
ance)
8
Sekalian orang yang ada di 
daerah negara sama berhak 
menuntut perlindungan un-
tuk diri dan harta benda-
nya.
Hak atas keamanan per-
sonal (The Right to personal 
security)
9 ayat 1
Setiap orang berhak dengan 
bebas bergerak dan tinggal 
dalam perbatasan negara
Hak atas kebebasan berger-
ak (The Right to freedom or 
removement and residence)
9 ayat 2
Setiap orang berhak me-
ninggalkan negeri dan jika 
ia warga negara atau pen-
duduk kembali ke situ
Hak untuk meninggalkan 
negeri (The Right to leave 
any country)
10
Tidak ada seorangpun boleh 
diperbudak, diperulur atau 
diperhamba. Perbudak-
an, perdagangan budak,  
penghambaan dan segala 
perbuatan berupa apapun 
yang umumnya kepada itu, 
dilarang.
Hak untuk tidak di-per-
budak (The Right not to be 
subjected to slavery, servi-
tude, or bondage)
128 ---
Pasal ISI PROFIL HAM
11
Tiada seorang pun akan 
disiksa ataupun diperla-
kukan atau dihukum se-
cara ganas, tidak menge-
nal perikemanusiaan atau 
menghina
Hak mendapatkan proses 
hukum (The Right to due 
process of law)
12
Tiada seorang jua pun boleh 
ditangkap atau ditahan, se-
lainnya atas perintah untuk 
itu oleh kekuasaan yang 
sah menurut cara yang di-
terangkan dalamnya.
Hak untuk tidak dianiaya 
(The Right not to be subject-
ed to turtore, or to cruel, in-
human or degrading treate-
ment or punishment)
13 
ayat 1
Setiap orang berhak, dalam 
persamaan yang sepenuh-
nya, mendapat perlakuan 
jujur dalam perkaranya 
oleh hakim yang tak memi-
hak, dalam hal menetapkan 
apakah suatu tuntutan hu-
kuman yang dimajukan ter-
hadapnya beralasan atau 
tidak.
Hak atas peradilan yang 
adil (The Right to impartial 
judiciary)
13 
ayat 2
Bertentangan dengan ke-
mauannya tiada seorang 
jua pun dapat dipisahkan 
dari pada hakim, yang di-
berikannya kepadanya oleh 
aturan-aturan hukum yang 
berlaku.
Hak atas pelayanan hukum 
dari para hakim (The Right 
to an effective remedy by the 
competent national tribu-
nals)
129---
Pasal ISI PROFIL HAM
14 
ayat 1
Setiap oarng yang dituntut 
sebab  disangka melaku-
kan suatu peristiwa pidana 
berhak dianggap tidak ber-
salah, sampai dibuktikan 
kesalahannya dalam suatu 
sidang pengadilan, menu-
rut aturan-aturan hukum 
yang berlaku, dan ia dalam 
sidang itu diberikan segala 
jaminan yang telah ditentu-
kan dan yang perlu untuk 
pembelaan
Hak dianggap tidak ber-
salah (The Right to be per-
sumed innonence)
14 
ayat 2
Tiada seorang jua pun boleh 
dituntut untuk dihukum 
atau dijatuhkan hukuman, 
kecuali sebab  suatu atu-
ran hukum yang sudah ada 
dan berlaku terhadapnya.
Idem
14 
ayat 3
jika  ada perubahan 
dalam aturan hukum se-
perti ini  dalam ayat 
di atas maka dipakailah 
ketentuan yang lebih baik 
bagi si tersangka.
Idem
130 ---
Pasal ISI PROFIL HAM
18
Setiap orang berhak atas 
kebebasan pikiran keinsya-
fan batin dan agama atau 
keyakinan, begitu pula ke-
bebasan menganut agaman-
ya atau keyakinannya, baik 
sendiri maupun dalam ling-
kungannya sendiri dengan 
jalan mengajarkan, menga-
malkan, beribadat, menaati 
perintah dan aturan-aturan 
agama serta dengan jalan 
mendidik anak-anak dalam 
iman dan keyakinan orang 
tua mereka.
Hak atas kebebasan ber-
pikir dan beragama (The 
Right to freedom or thought, 
conscience, and religion)
19
Setiap orang  berhak atas 
kebebasan memiliki  dan 
mengeluarkan pendapat
Hak atas kebebasan ber-
pendapat (The Right to free-
dom of opinion and express)
21 
ayat 1
Setiap orang berhak de-
ngan bebas memajukan 
pengaduan kepada pengua-
sa, baik dengan lisan mau-
pun tertulis.
Hak atas penuntutan (The 
Right to petition the govern-
ment)
25 
ayat 1
Setiap orang berhak mem-
punyai milik, baik sendiri 
maupun bersama-sama 
orang lain.
Hak atas kepemilikan (The 
Right to own proverty alone 
as well as in association 
with others)
25 
ayat 2
Seorang pun tidak boleh 
dirampas miliknya dengan 
semena-mena
Hak untuk tidak dirampas 
hak miliknya (The Right to 
be arbitrary deprived of his 
property)
131---
Pasal ISI PROFIL HAM
27 
ayat 2
Setiap orang yang melaku-
kan pekerjaan dalam hal-
hal yang sama, berhak atas 
pengupahan adil yang men-
jamin kehidupannya ber-
sama dengan keluarganya, 
sepadan dengan martabat 
manusia.
Hak atas kerja (The Right 
to work and to pay for equal 
work)
28
Setiap orang berhak mendi-
rikan serikat kerja.
Hak untuk membentuk 
serikat kerja (The Right to 
labour union)
Sumber: (Majda El-Muhtaj, 2015).
Kedua,hak-hak asasi manusia sebagai bagian dalam 
keluarga juga ditegaskan dalam Konstitusi RIS, sebagaimana 
ada dalam Pasal 37 yang berbunyi “Keluarga berhak atas 
perlindungan oleh warga  dan Negara”. Elemen keluarga 
sebagau unit terkecil dalam sebuah Negara patut memperoleh 
jaminan konstitusi. 
Ketiga, manusia sebagai warga negara juga memiliki hak-
hak dasar yang memperoleh jaminan dalam Konstitusi RIS. 
Menariknya, status manusia sebagai warga negara tidaklah 
menghilangkan statusnya sebagai seorang pribadi/individu dan 
keluarga. Adapun hak sebagai warga negara, Konstitusi RIS 
mengaturnya sebagai berikut:
Pasal ISI PROFIL HAM
20
Hak penduduk atas kebebasan 
berkumpul dan berapat se-
cara damai diakui dan sekadar 
perlu dijamin dalam peraturan 
perundang-undangan.
Hak kebebasan ber-
kumpul (The Right to 
association)
132 ---
22 
ayat 1
Setiap warga negara berhak 
turut serta dalam pemerin-
tahan dengan langsung atau 
dengan perantaraan wakil-
wakil yang dipilih dengan be-
bas menurut cara yang diten-
tukan oleh undang-undang.
Hak turut serta dalam 
pemerintahan (The 
Right to take part in the 
government)
22 
ayat 2
Setiap warga negara dapat di-
angkat dalam tiap-tiap jabatan 
pemerintah.
Hak akses dalam pela-
yanan publik (The Right 
to equal acess to public 
service)
23
Setiap warga negara berhak 
dan berkewajiban turut serta 
dengan sungguh dalam perta-
hanan kebangsaan.
Hak mempertahankan 
negara (The Right to na-
tional defence)
27 
ayat 1
Setiap warga negara, dengan 
memenuhi syarat-syarat ke-
sanggupan, berhak atas peker-
jaan yang ada.
Hak mendapatkan pe-
kerjaan (The right to 
work, to free choice em-
ployment, to just and fa-
vourable conditions)
Sumber: (Majda El-Muhtaj, 2015).
Keempat, kewajiban asasi manusia dan negara. Sebagaimana 
dipahami bahwa hak sangat terkait dengan kebebasan dan 
kewajiban, maka sebagai pribadi, manusia memiliki kewajiban, 
begitu pula halnya negara. Penegasan ini tercantum dalam pasal 
23 yang berbunyi, ”setiap warga negara berhak dan berkewajiban 
turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan kebangsaan”. 
Pasal 31 juga menyatakan secara eksplisit, yaitu “setiap orang 
yang ada di daerah negara harus patuh kepada UU, termasuk 
aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-
penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Mengenai kewajiban asasi negara, Konstitusi RIS tidak 
memakai  kata negara, melainkan penguasa yang tercantum 
dalam pasal sebagai berikut:
133---
Pasal ISI
24 ayat 1
Penguasa tidak akan mengikatkan keuntungan atau 
kerugian kepada termasuknya warga negara dalam 
sesuatu golongan rakyat.
35
Penguasa sesanggupnya memajukan kepastian dan ja-
minan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan 
syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perbu-
ruhan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pe-
ngangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk 
hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan anak-anak 
yatim piatu.
36 ayat 1
Meninggikan kemakmuran rakyat yaitu  suatu hal 
yang terus menerus diselenggarakan oleh peguasa, 
dengan kewajibannya senantiasa menjamin bagi setiap 
orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat ma-
nusia untuk dirinya serta keluarganya.
38
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebu-
dayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. De-ngan 
menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat 
tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebu-
dayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
39 ayat 1
Penguasa wajib memajukan sedapat-dapatnya perkem-
bangan rakyat baik rohani maupun jasmani, dan dalam 
hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnya mengha-
puskan buta huruf.
39 ayat 2
Dimana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan 
pengajaran umum yang diberikan atas dasar memper-
dalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan 
Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan 
peri kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan yang 
sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan 
memberikan kesempatan dalam jam pelajaran agama 
sesuai dengan keinginan orang tua murid-murid.
39 ayat 4
Terhadap pengajaran rendah, maka pengusaha berusa-
ha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang 
umum.
134 ---
Pasal ISI
40
Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-
sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan 
rakyat.
41 ayat 1
Penguasa memberikan perlindungan yang sama kepada 
segala perkumpulan dan persekutuan agama yang di-
akui.
41 ayat 2
Penguasa mengawasi susaha  segala persekutuan dan 
perkumpulan agama patuh dan taat kepada undang-un-
dang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis.
Sumber: (Majda El-Muhtaj, 2015).
berdasar gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa 
HAM dalam Konstitusi RIS menempati posisi penting yang 
menunjukkan terdapatnya sebuah jaminan dan perlindungan 
yang ideal. Meski Konstitusi RIS terbilang “sementara”, namun 
kenyataannya muatan-muatan hak asasi mendapatkan jaminan 
konstitusional. Jaminan atas hak-hak asai ini  semakin 
dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban asasi yang harus 
dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.
Sebagaimana dipahami bahwa hak dan kebebasan menuntut 
jaminan dan perlindungan, maka hal ini  jelas membutuhkan 
tidak saja political will dari negara/penguasa, namun  juga political 
action. Dengan adanya kewajiban asasi, hal itu berarti negara 
memiliki  political action yang menuntut implementasi secara 
nyata.
3. Materi HAM dam UUDS 1950
Materi muatan UUDS 1950 yaitu  perubahan atas Konstitusi 
RIS 1949, maka perihal HAM juga di samping memiliki kesamaan 
secara umum, ada juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil. 
Pencantuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga 
warga Negara, dan kewajiban asasi, baik oleh pribadi, warga 
Negara maupun Negara dalam UUDS 1950, dinilai sangat 
sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan 
atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 
135---
membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya 
belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 Konstitusi RIS 
1949.
4. Materi HAM Pasca-Kembali ke UUD 1945
Todung Mulya Lubis dengan tegas mengatakan bahwa 
kembalinya berlaku UUD 1945 itu berarti bahwa jaminan 
konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas. 
Sisi fleksibilitas UUD 1945 memicu  fleksibel pula arah 
dan penegakan HAM di Indonesia. Akibatnya muatan HAM 
di dalam UUD 1945, menurut Mahfud MD, sangat tergantung 
dari konfigurasi politik tertentu. Tidak saja muatan HAM 
dalam UUD, namun  juga dalam segenap peraturan di bawahnya, 
sangat dipengaruhi oleh realitas dan konfigurasi politik tertentu. 
Kebijakan penguasa sebenarnya yaitu  manifestasi dari format 
dan paradigm pemerintahan yang dijalankan, apakah cenderung 
demokratis ataukah mengarah kepada otoritarianisme.
5. Materi HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945
Perubahan kedua UUD 1945 memasukkan perihal HAM 
menjadi satu bab tersendiri, yakni Bab XA mengenai Hak 
Asasi Manusia dengan 10 pasal. Banyak kalangan memandang 
bahwa pencantuman bab khusus mengenai HAM dalam UUD 
merupakan “lompatan besar” dalam sejarah ketatanegaraan 
Indonesia. Kehadiran perubahan Kedua UUD 1945 merupakan 
suatu kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan 
panjang dari para pendiri bangsa. Muatan HAM dalam perubahan 
Kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen 
jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia. 
Pengaturan HAM juga masih dapat ditemukan pada ketentuan 
pasal-pasal seperti Pasal 27 ayat (1), dan (2), dan Pasal 28. Tidak 
dipungkiri dengan menjadikan perihal HAM dalam sebuah Bab 
tersendiri merupakan sebuah keberhasilan yang patut diapresiasi 
secara positif. 
Ketidakjelasan makna penegakan HAM terlihat dari Bab 
Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) tentang 
hak atas pembelaan Negara. Hal yang sama juga terjadi pada 
136 ---
Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) tentang hak 
atas equality before the law (persamaan di hadapan hukum). 
Begitu juga pada BAb XA Pasal 28F denga Pasal 28 tentang hak 
berserikat dan berkumpul. Muatan HAM lainnya yang sebenarnya 
tidak sejalan atau tidak sinkron, seperti pada Bab XA Pasal 28C 
yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak 
mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Begitu juga halnya 
pada Bab XA Pasal 28E yang menggabungkan hak beragam dengan 
hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarga negaraan. 
Perkembangan generasi HAM, kelihatan dengan terang bahwa 
muatan HAM yang diatur dalam Perubahan Kedua UUD 1945 
tidak memiliki kejelasan. Materi muatan HAM dalam Perubahan 
Kedua UUD 1945, kelihatan sangat jauh dari sempurna. Materi 
muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidaklah 
berdiri sendiri. Setidaknya, inspirasi dalam bentuk redaksional 
sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam Tap MPR No.XVII/
MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 
tentang Hak Asasi Manusia, memberikan pengaruh yang besar 
dalam rumusan materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua 
UUD 1945. Harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM 
dalam UUD 1945, khususnya sesudah  berlakunya Perubahan 
Keempat UUD 1945 yaitu  sebuah keberhasilan sekaligus sebagai 
the starting point dalam usaha  penegakan hukum dan HAM di 
Indonesia. Perubahan Kedua UUD 1945, khususnya pada Bab XA 
tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan gerak yang 
signifikan bagi jaminan konstitusi atas HAM Indonesia (Majda 
El-Muhtaj, 2015).
6. Materi HAM dalam Peraturan PerUndangan-Undangan
Pengaturan HAM mengalami pasang surut yang tidak bisa 
dipisahkan dengan konfigurasi politik pemerintahan pada era 
tertentu. ada faktor yang kompleks, misalnya pada masa 
keberlakuan UUD 1945 (Periode I), Konstitusi RIS, 1949, dan 
UUDS 1950, yakni tidak kondusifnya kehidupan pemerintahan 
sebagaimana lazimnya. Pengaturan HAM pada masa Orde Baru 
tidaklah dalam bentuk piagam HAM, melainkan dalam berbagai 
peraturan perundang-undangan. Orde Baru hanya mengakui 
137---
hak-hak hukum warga  sebagaimana telah ditetapkan 
dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintahan Orde 
Baru membentuk sebuah komisi yang bernama Komisi Nasional 
HAM, yang disebut juga Komisi Nasional berdasar Keputusan 
Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Dengan 
pembentukan KOMNAS HAM ini  maka kelihatan dengan 
terang hubungan yang erat antara penegakan HAM di satu pihak 
dan penegakan hukum di pihak lainnya.
Tujuan pokok Komisi Nasional. Pertama, membantu 
pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelakssanaan hak 
asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam 
PBB, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan kedua 
meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung 
terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan 
Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan warga  
Indonesia seluruhnya. Tahun 1998, melalui ketepatan MPR No. 
XVII/MPR/1998 tentang HAM, kembali ditegaskan eksistensi 
HAM. Tap MPR ini memberikan penegasan bahwa penegakan 
HAM dilakukan secara structural, cultural dan institusioal. 
Tujuannya yaitu  agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, 
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada 
seluruh warga .
Pada tanggal 9 Oktober 1998 Pemerintah mengeluarkan 
Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional 
Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Sebagai bagian dari HAM, 
pada tanaggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9 Tahun 1998 
tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 
UU ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan 
berpendapat sebagai HAM. Dalam rangka melaksanakan 
Ketepatan MPR No. XVII/MPR/1998 pada tanggal 23 September 
1999 diberlakukanlah UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang 
disingkat menjadi UU HAM. Ini menegaskan dua hal prinsipil, 
yakni HAM dan KDM.
HAM yaitu  seperangkat hal yang melekat pada hakikat 
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan 
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi 
138 ---
dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan, dan setiap 
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat 
manusia. KDM yaitu  seperangkat kewajiban yang jika  tidak 
dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya 
HAM.dalam hal kedudukannya merupakan paying dari seluruh 
peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM.
Untuk mmeperkuat usaha  penegakan HAM di Indonesia, 
RAN HAM, sebagaimana telah ditegaskan dalam Kepres No,129 
tahun 1998, berlaku selama lima tahun terhitung sejak 15 Agustus 
1998 hingga Desember Tahun 2004, maka dipandang perlu 
melakukan evaluasi atau kesinambungan RAN HA< untuk lima 
tahun berikutny, yakni tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. 
Titik berat RANHAM 2004-2009 yaitu  percepatan penegakan 
HAM yang tidak saja melibatkan komitmen lembaga-lembaga 
Negara, namun  juga partisipasi aktif warga  Indonesia. Guna 
menemukan langkah yang lebih sinergis, maka Panitia RAN HAM 
juga dibentuk di pusat (disebut dengan Panitia Nasional) dan di 
daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Adapun Tugas 
Panitia Pelaksana RANHAM Daerah (Provinsi dan kabupaten/
kota) yaitu ; (1) pembentukan dan penguatan institusi pelaksan 
RANHAM; (2) persiapan harmonisasi Peraturan Daerah; (3) 
diseminasi dan pendidikan HAM; (4) penerapan norma dan 
standar HAM; dan (5) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Penjambaran ketentuan HAM dalam UUD 1945 dalam 
peraturan-peraturan organic terbilang tidak berjalan secara 
simultan. Sebagai akibat dari multi-interpretasinya pasal-pasal 
HAM dalam UUD 1945 memicu  terabaikannya taraf 
konsistensi muatan HAM dalam peraturan perundang-undangan. 
Akibatnya, tidak ada jalan lain, yang sangat kentara dilakukan 
yaitu  melakukan sosialisasi HAM secara baik, misalnya 
dengan pembentukan Komnas HAM, Komnas Hak-hak Anak, 
Komnas Hak-hak Perempuan, dan RANHAM. Pembentukan 
“panitia-panitia” ini tidak dapat bejalan secara maksimal jika  
ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal HAM, baik dalam 
UUD 1945, maupun dalam ketentuan-ketentuan organiknya 
tidak berjalan secara konsisten dan konsekuen. Sosialisasi HAM 
139---
kepada warga  akan menemukan kendala yang signifikan 
saat  dasar pijakan normatif tentang HAM tidak diatur secara 
baik dan komprehensif.
Dari paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai 
berikut.
1. Konsep negara hukum lahir sebagai keharusan sejarah 
(historical necessity). Konstitusi muncul sebagai penegasan 
konstitutif atas HAM yang dijamin sepenuhnya oleh 
penyelenggara negara. Penegakan hukum dalam konsepsi 
negara hukum merupakan penegakan HAM dan indikator 
terpenting dari asas demokrasi.
2. Istilah HAM tidak ditemukan dalam UUD 1945. HAM dalam 
UUD 1945 diatur secara singkat dan sederhana. UUD 1945 
lebih berorientasi kepada hak sebagai warga negara (HAW). 
Dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 pengaturan HAM 
memuat pasal-pasal tentang HAM yang relatif lebih lengkap. 
Tidak hanya skala hak, perwujudan, dan penegakannya 
dapat dilihat melalui terdapatnya kewajiban-kewajiban dasar 
konstitusional. Pengaturan HAM ditegaskan pada Perubahan 
Kedua UUD 1945 Tahun 2000. Muatan HAM ini jauh melebihi 
ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. HAM diatur 
dalam sebuah bab tersendiri, yakni Bab XA tentang Hak 
Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal, dari mulai Pasal 
28A sampai dengan 28J.
Seluruh konstitusi yang pernah belaku di Indonesia mengakui 
kedudukan HAM sangat penting. Hanya saja seluruh konstitusi 
itu berbeda dalam menerjemahkan materi muatan HAM dalam 
UUD. UUD 1945 periode I (1945-1949) hanya menegaskan 
kedudukan hak asasi warga (HAW). Konstitusi RIS 1949 (1949-
1950) dan UUDS 1950 (1950-1959) memberikan kepastian hukum 
yang tegas tentang Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia 
(Majda El-Muhtaj, 2015).
140 ---
BAB VII
DEMOKRASI 
DAN HAK ASASI MANUSIA  
A. Pendahuluan
Gelombang demokrasi di berbagai negara menjadi fenomena 
politik yang cukup menonjol semendak dekade 1970-an, seiring 
dengan berjatuhannya rezim-rezim otoritarian. Jumlah gelombang 
menuju demokrasi sejak dekade ini  menurut Huntington secara 
signifikan lebih banyak daripada transisi menuju ke arah sebaliknya. 
Pada periode di antara 1974 dan 1990, dalam catatan Georg Sorense, 
gelombang demokrasi berawal di Eropa bagian selatan (Yunani, 
Spanyol, dan Portugal). Gelombang berikutnya terjadi di Amerika 
Latin (Argentina, Uruguay, Peru, Ekuador, Bolivia, Brasil, dan 
Paruguay) dan Amerika Tengah (Honduras, El Salvador, Nikaragua, 
Guatemala, dan Meksiko). lalu , juga terjadi di Eropa Timur 
(Polandia, Ceska, Hungaria, Rumania, Bulgaria, dan bekas Republik 
Demokrasi Jerman), lalu Afrika dan negara-negara bekas Uni Soviet. 
141---
Akhirnya, terjadi di Asia sejak hampir selama periode tahun 1970-
an, seperti Papua Nugini, Thailand, pakistan, Bangladesh, Filipina, 
Korea Selatan, Taiwan, Mongolia, dan Nepal (Winataputra, 2001).
Demokrasi menjadi populer dan universal dewasa ini disebab kan 
merupakan sistem politik terbaik yang pernah dicapai peradaban 
manusia. Dibandingkan dengan fasisme yang telah lama berlalu, 
serta komunisme dan pemerintah efektif, demokrasi liberal yang 
berpasangan dengan kapitalisme dalam kancah ekonomi membuktikan 
diri mampu bertahan dan bahkan semakin berkembang.
Menurut pendekatan alternatif, pendekatan ortodoks mencoba 
mengukuhkan ortodoksi demokrasi dengan argumentasi baru yang 
tidak banyak menawarkan penjelasan yang membantu. Pendekatan 
ortodoks dalam melihat fenomena gelombang demokratisasi yang 
berkembang universal dewasa ini lebih mendasarkan diri pada 
perjalanan dialektika historis yang membuktikan demokrasi liberal 
memang ideologi dan sistem politik terbaik sekaligus universal. 
Demokrasi tidak dapat dibangun dan dijalankan dalam keadaan 
lapar. Demokrasi hanya bisa tegak dalam warga  serba 
kecukupan. Pandangan demikian itu dalam realitas di beberapa 
negara tidak terbukti. Taiwan, Singapura, dan Cina yaitu  contoh 
negara dengan pencapaian kemajuan ekonomi dan kesejahteraan 
yang tinggi dalam struktur kekuasaan yang tidak demokratis atau 
sebaliknya, India bisa menjalankan demokrasi dalam situasi ekonomi 
yang stabil. 
Gelombang demokrasi dua dekade terakhir ini memang harus 
dijelaskan lebih mendalam, dalam berbagai konteks dan negara sebab  
tidak ada faktor tunggal yang memicu  gelombang ini . 
ada variable yang saling terkait di level internal dan eksternal 
masing-masing negara. Dalam artian gelombang demokrasi yang 
melanda negara-negara yang lepas dari kekuasaan otoritarian tidak 
serta-merta memuluskan transisi demokrasi menuju pembentukan 
negara demokrasi, beserta seluruh perangkat kelembagaan dan 
prosesnya pada keadaan yang sepenuhnya dalam kendali kekuatan 
pro demokrasi (Winataputra, 2001).
142 ---
B.  Demokrasi dan Negara Hukum di Indonesia
1. Transisi dan Konsolidasi Demokrasi
Transisi yaitu  tahap yang paling penting sebab  merupakan 
proses peralihan kekuasaan politik, namun  jalur yang ditempuh 
oleh setiap negara dan oleh setiap negara dalam proses transisi 
berbeda satu sama lain. Ada empat jalan atau jalur transisi 
menurut Donald Share.
a. Transisi inkremental, yaitu jalan demokrasi seacara bertahap 
yang bersifat gradual, yang melibatkan para pemimpin rezim 
yang sedang berkuasa,
b. Jalur transisi yang berlangsung secara cepat dengan 
melibatkan para pemimpin rezim secara konsensual,
c. Transisi lewat perjuangan revolusioner yang berlangsung 
secara bertahap dan nonkonsensual,
d. Transisi lewat perpecahan (revolusi, kudeta, keruntuhan, dan 
ekstriksi) yang berlangsung cepat tanpa melibatkan peran 
pemimpin rezim (Winataputra, 2001).
Dari keempat jalur ini , Share lebih menaruh perhatian 
serius pada jalur transisi yang dinilainya paling aman (damai) dan 
cepat tanpa menimbulkan perpecahan sesudah  transisi. Sementara 
itu, Samuel Huntington mengajukan empat jalan, yaitu: 
a. Jalan transformasi atau transisi menuju demokrasi yang 
diprakarsai oleh rezim yang berkuasa.
b. Transisi lewat transplacement atau negosiasi di tengah antara 
rezim yang berkuasa dengan kekuatan oposisi.
c. Jalan placement(pergantian) atau tekanan kekuasaan oposisi 
dari bawah.
d. Intervensi dari luar (Muladi,  1997).
Namun  demikian, apa pun jalur yang ditempuh masing-
masing negara, transisi demokrasi baru bisa dikatakan lengkap, 
menurut Juan Linz dan Alfred Stepan, saat  terjadi hal berikut.
a. Kesepakatan mengenai prosedur politik yang diperoleh sudah 
mencukupi untuk menghasilkan pemerintah yang terpilih.
143---
b. Suatu pemerintahan memiliki kekuasaan yang dihasilkan 
secara langsung melalui pemilihan umum yang bebas dan 
langsung.
c. Pemerintah memiliki kewenangan secara de facto untuk 
menerapkan kebijakan-kebijakan baru.
d. Kekuasaan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif 
diperoleh melalui demokrasi baru, bukan melalui pembagian 
kekuasaan di antara lembaga-lembaga ini  secara de jure 
(Muladi,  1997).
Dalam transisi demokrasi, berlangsung juga konsolidasi 
demokrasi sebagai usaha  yang lebih terarah pada pemantapan 
atau legitimasi untuk menumbuhkan keyakinan warga  dan 
kalangan elite bahwa demokrasi yaitu  bentuk pemerintahan 
terbaik, aturan-aturan yang disediakan di dalamnya merupakan 
satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan. Dengan kata 
lain, proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara 
prinsipil komitmen seluruh elemen warga  pada aturan 
main demokrasi. Agenda konsolidasi yang ambisius ini  
memerlukan peningkatan aturan hukum baru, penumbuhan 
lembaga-lembaga baru, dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga 
negara, sistem kepartaian, dan warga  sipil. Sementara itu, 
Juan Linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling berkaitan 
dan menguatkan yang diperlukan agar demokrasi terkonsolidasi, 
yakni:
a. Kondisi yang memungkinkan pengembangan warga  
sipil yang bebas,
b. Adanya warga  politik yang otonom,
c. Kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari 
para pejabat pemerintah demokratik baru,
d. Harus ada birokrasi negara yang dapat dipergunakan 
oleh pemerintah demokratik baru,
e. Keharusan akan adanya warga  ekonomi yang 
terlembagakan (Muladi,  1997).
Dalam kaitannya Pemilu pada dasarnya warga  sipil dapat 
menghancurkan rezim nondemokratis, namun  untuk kepentingan 
144 ---
konsolidasi, demokrasi harus menyertakan warga  politik. 
Konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya peningkatan 
apresiasi warga negara atas lembaga inti. Dalam konteks itu, 
kebijakan-kebijakan politik dan hukum HAM yang lahir di era 
transisi tidak saja berupa penghapusan hukum-hukum yang 
bertentangan dengan HAM, namun  juga pembentukan hukum-
hukum HAM baru yang mengemban misi penguatan warga  
sipil sejalan dengan demokrasi yang sedang dibangun.
Wacana lain penanganan pelanggaran HAM masa lalu di 
era transisi dan konsolidasi demokrasi yaitu  pengungkapan 
kebenaran fakta atas kebenaran terjadinya suatu peristiwa. Hak 
mengetahui kebenaran terkait dengan kewajiban melakukan 
investigasi, klarifikasi, penyelidikan ataupun prosekusi dan 
kompensasi bagi korban. Hak mengetahui kebenaran masa lampau 
itu mengimplikasikan kewajiban negara untuk “mengingat”. 
Kewajiban ini  berhubungan dengan tugas untuk melakukan 
klarifikasi, menjelaskan pada korban, keluarga, dan publik 
tentang apa yang terjadi serta memotivasinya tentang adanya 
kewajiban negara untuk melakukan perbaikan kedepan.
2. Transisi dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia
Pemerintahan pasca Orde Baru menyusun desain transisi 
dan konsolidasi demokrasi dengan memulai suatu politik hukum 
pemulihan hak-hak politik warga negara, serta menjamin 
kelangsungannya melalui berbagai regulasi dan deregulasi 
sebagaimana telah disinggung secara singkat di muka. Politik 
hukum transisional masa yang dipakai  untuk menemukan 
format politik yang sesuai dengan kehendak Soeharto, yaitu 
stabilitas politik sebagai basis bagi pembangunan ekonomi 
nasional.
Trasnsisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru sesungguhnya 
tidak dalam konteks transisi politik dari rezim otoritarian ke 
rezim otoritarian yang lain. Soeharto sama sekali tidak melakukan 
langkah-langkah pembaharuan hukum dan politik sebagaimana 
transisi rezim otoritarian ke demokrasi. 
Di negara yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta 
145---
huruf, rendahnya pendidikan, buruknya kondisi ekonomi, 
lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas otoritarian, wilayah 
politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok kecil 
elite politisi. Di samping itu, sejarah politik Indonesia sejak zaman 
prapenjajahan hingga kemerdekaan tidak pernah mengalami 
gaya-gaya pemerintah selain patrimonialisme dan otoritarianisme.
Dari sekian banyak prasyarat itu, hal pertama yang harus 
diwujudkan yaitu  soal konsesus elite atau persetujuan elite. Hal 
ini melibatkan pengambilan keputusan tingkat tinggi, pemimpin 
organisasi, politisi, petinggi pemerintah, kamu intelektual, 
pebisnis, dan pembentuk opini.
Persetujuan elite yaitu  hal yang jarang terjadi dan susah 
dicapai. Mendamaikan elite yang berseteru untuk bernegosiasi 
tentang perbedaan mereka bukanlah hal gampang. Bila tercapai, 
menurut Burton dan Higley, akan ada dua akibat penting yaitu: 
1) terbentuknya pola kompetisi politik damai dan terbuka antara 
para elite, 2) terjadi transformasi ketidakstabilan yang berakibat 
pada rendahnya pengambilan kekuasaan secara paksa dan tidak 
disangka-sangka.
Persetujuan elite merupakan faktor krusial yang memberi 
andil besar pada kegagalan eksperimen demokrasi Indonesia di 
masa lalu. Namun, gelombang demokratisasi pada era reformasi 
ini menunjukkan perkembangan positif dalam kemauan yang 
lebih luas di kalangan elite politik untuk mencapai konsensus. 
Adanya konsesus elite itu di tandai oleh:
a. Persetujuan para elite melakukan perubahan cakupan 
mendasar pada konstitusi melalui amandemen beberapa 
pasalnya, dengan resistensi yang sangat minimal;
b. Ada kesepakatan dari para pemegang senjata dengan para 
elite negeri untuk tidak menghalangi atau membatasi proses 
demokratisasi;
c. Desentralisasi dan distribusi kekuasaan politik sebagai usaha  
menjaga kesatuan negara;
146 ---
d. Tercapai suatu kesepakatan di antara para elite baik individu 
maupun kolektif untuk loyal pada institusi dan praktik 
demokrasi;
e. Kesetiaan pada praktik dan institusi demokrasi dengan 
mengabaikan latar belakang ideologis dan identitas, 
mengantarkan proses pemoderasian pemikiran dan ideologi 
yang berada di ujung spektrum berbeda (Mansyur Effendi, 
1997).
3. Demokrasi dalam UUD 1945 Perubahan
Perubahan UUD 1945, selain mengubah norma-norma yang 
memungkinkan prinsip-prinsip negara hukum dapat diwujudkan, 
juga mengubah norma-norma demokrasi agar demokrasi 
prosedural dan demokrasi subtantif juga dapat diwujudkan. Kalau 
diperhatikan secara menyeluruh, materi perubahan pertama, 
kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945 meliputi:
a. Mempertegas pembatasan