Home » hak asasi manusia 3 » hak asasi manusia 3
Jumat, 26 Januari 2024
pemerintahan di negara-negara sosialis. Negara-negara
yang mewakili paham sosialis komunis, seperti Rusia, China,
Korea Utara, atau Kuba, sebagai negara yang disebut negara-
negara industri yang cukup maju, namun tergambar sebagai
negara yang rakyatnya terkekang, baik dalam kehidupan ekonomi
apalagi politiknya.
4. Konsep Religy Legality dan Konsep Nomokrasi Islam
Ide dasar konsep negara agama bersumber dari pemikiran pada
masa abad pertengahan, terutama dengan dimulai atau ditandai
dengan lahirnya tulisan-tulisan filsuf Kristiani yang dipelopori
oleh Thomas Aquinas (1225-1274M). Pandangan Thomistik
dari Thomas Aquinas mengenai hukum alam, mempostulatkan
bahwa hukum alam merupakan bagian dari hukum Tuhanyang
dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. Meluasnya
pemikiran pada saat itu, memicu terjadinya perubahan
terhadap konsep-konsep yang mendasari pandangan negara.
Doktrin bahwa dunia diatur oleh hukum Tuhan tergambar
dari tatanan alam dan keteraturan kehidupan sosial, merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kepercayaan bahwa Tuhan
telah menciptakan dunia berdsarkan kehendaknya. warga
harus dilihat sebagai bagian dari tatanan kosmis, peraturan-
peraturannya dilihat sebagai kehendak keputusan hukum yang
ditetapkan dari Tuhan.
Dalam konsep kenegaraan, sistem Hindu mengizinkan
desentralisasi dalam jumlah besar untuk membatasi atau bahkan
menundukkan penguasa, namun semua ini belum cukup untuk
mengatasi konsekuensi keterlibatan mendalam hukum agama
pada sistem kasta dan kontrol hukum agama oleh kader yang
bebas dari pengawasan Pandita
Sementara dalam konsep Islam, hukum syariah menetapkan
perintah Allah bagi umat manusia. Syariah yaitu wahyu ilahi
yang ditetapkan oleh Allah dan diturunkan melalui Rasul-
Nya lewat ayat-ayat Al-quran ditambah Hadist nabi yang
dilestarikanlewat tradisi (sunnah), kesepakatan para ulama,
(ij’ma) dan penalaran analogis (qiyas) . Dalam konsep Islam, Syariah yaitu hukum universal yang
mencerminkan kehendak Tuhan dan menetapkan kesetaraan
diantara semua manusia. Disamping itu, struktur kekuasaan
cukup stabil untuk melimpahkan penafsiran aturan agama
ke tangan elite ulama dan wewenang untuk membuat undang-
undang ke dalam kekuasaan para penguasa yang keleluasaannya
memiliki batasan efektif
Konsep Islam secara umum ditemukan adanya tiga bentuk
paradigma tentang hubungan agama dan negara. Pardigma
pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan
konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara tidak
dapat dipisahkan. Wilayah agama juga wilayah politik atau
negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Paradigma ini dianut oleh kelompok Syiah, pemikiran
politik mereka memandang negara yaitu lembaga keagamaan
dan memiliki fungsi kenabian.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan
saling memerlukan. Agama memerlukan negara sebab dengan
negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan
agama, sebab agama dapat membimbing negara secara etika
dan moral. Paradigma ketiga, bersifat sekuralistik. Paradigma ini
menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara
agama dan negara. Paham ini menolak pendasaran agama pada
negara, atau paling tidak menolak determinasi agama akan
bentuk tertentu pada negara.
C. Teori Negara Hukum
1. Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum merupakan penentangan terhadap
teori kedaulatan negara yang mengajarkan bahwa negara berada
di atas hukum, sebab negara-lah yang membuat hukum. Teori
kedaulatan hukum tidak dapat menerima kekuasaan seseorang
atau sekelompok penguasa, membuat hukum berdasar
kehendak mereka pribadi, lalu hukum yang dibuatnya
itu dikonsepsikan sebagai kehendak negara. Menurut teori
kedaulatan hukum, bukan hukum yang ditentukan oleh negara
namun sebaliknya negaralah yang ditentukan hukum dan sebab
itu negara yaitu produk hukum, jadi negara harus tunduk
kepada hukum.
Ajaran kedaulatan hukum dari Krabbe bahwa kedudukan
hukum berada diatas negara dan oleh sebab nya negara harus
tunduk pada hukum. Tunduknya negara terhadap hukum menurut
A.M Donner dikatakan sebagai “de doordringing van de staat met
het recht” artinya hukum memiliki kedudukan tertinggi dalam
negara. menilai, sumber hukum yang berasal
dari kesadaran hukum warga tidak lain sebagai kristalisasi
moral sehingga setiap pihak secara moral pula harus mentaati
hukum.
Ide Plato tentang negara hukum atau rechsstaat mulai
populer kembali pada abad ketujuh belas sebagai akibat dari
situasi sosialpolitik di Eropa yang didominir oleh absolutisme,
sebab itu warga Eropa yang dipelopori para cendekiawan
mendambakan suatu negara hukum yang liberal agar setiap
orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan
kehidupan masing-masing. Kekuasaan penguasa harus dibatasi
dengan jalan adanya supremasi hukum, bahwa semua tindakan-
tindakan penguasa negara harus berdasar dan berakar pada
hukum, harus ada pembagian kekuasaan negara
Konsep negara hukum yang ditujukan untuk membatasi
kekuasaan penguasa absolut itu, juga diperkuat oleh paham
konstitusionalisme yang dikembangkan oleh Locke dan
Montesquieu dan paham kedaulatan rakyat serta demokrasi
oleh JJ. Rousseau. Kondisi yang seperti ini lalu
melahirkan negara konstitusional dan negara demokrasi,
sehingga dalam perkembangannya antara asas negara hukum,
asas konstitusionalisme, dan asas kedaulatan rakyat saling
berhubungan erat, bahkan pelaksanaannya ternyata tidak dapat
dipisah-pisahkan.
2. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat muncul sebagai reaksi atas teori
kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan
kesengsaraan bagi rakyat. Penggagas teori ini yaitu Jean Jacques
Rousseau yang menggemakan kekuasaan rakyat lewat bukunya
“Du Contract Social”. Dalam teorinya mengenai perjanjian
warga , ia menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural
liberty telah berubah menjadi civil liberty yaitu rakyat memiliki
hak-haknya. Menurut Rousseau, sejauh kehendak manusia
diarahkan kepada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka
kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan, namun
sejauh diarahkan pada kepentingan umum bersama sebagai satu
bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak,
yaitu kehendak umum atau yang dikenal dengan istilah volonte
general. Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itulah
yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau
Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan, teori kehendak
umum (volonte generale) yang dipakai untuk menjelaskan
kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan; pertama, tidak
dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau
lebih menekankan pada kebebasan rakyat dan berasumsi bahwa
kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya
pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan
kekuasaan negara ,Kedua
kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme
kehendak umum sebagaimana terjadi di Perancis. Pada saat
itu, kehendak bebas rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter di
bawah pemerintahan Louis XVI, namun di lain sisi melahirkan
suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan kehendak
Demokrasi yaitu bentuk atau sistem pemerintahan dimana
segenap rakyat turut serta memerintah baik melalui badan
perwakilan rakyat, maupun di luar lembaga perwakilan rakyat
dalam menentukan keputusan politik pemerintah. Arti lain dari
demokrasi yaitu gagasan atau cara berpikir atau pandangan
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta
perlakuan yang sama bagi semua warga negara di hadapan hukum
dan pemerintahan. Karakter demokrasi yaitu sebagai berikut.
a. Adanya kebebasan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, artinya rakyat ikut
menentukan jalannya pemerintahan, baik melalui lembaga
perwakilan maupun di luar lembaga perwakilan.
b. Adanya persamaan hukum dan pemerintahan, artinya baik
rakyat maupun pemerintah tunduk pada supremasi hukum.
3. Teori Pemisahan Kekuasaan
Doktrin pemisahan kekuasaan awalnya dikemukakan oleh
John Locke dan lalu dimodifikasi oleh Montesquieu. John
Locke mengedepankan ajaran pemisahan kekuasaan (sparation of
power) itu dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”.
Buku ini ditulis untuk mengkritik kekuasaan absolute,
serta untuk membenarkan revolusi gemilang tahun 1688 yang
telah dimenangkan oleh parlemen Inggris. Menurut John Locke,
kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif yang
masing-masing terpisah satu sama lain.
Setengah abad lalu , Montesquieu menulis sebuah buku
yang berjudul “L’Esprit Des Lois”. Dalam bab VI buku itu diuraikan
tentang adanya tiga jenis kekuasaan yang terpisah satu sama
lain, baik dari segi fungsi maupun orangnya. Berbeda dengan
John Locke, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan
harus dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
federatif, menurut dia telah termasuk dalam kekuasaan eksekutif ,Hal yang menarik dari Montesquieu,
yaitu pemikirannya yang memisahkan secara tajam kekuasaan
pengadilan dari kekuasaan eksekutif, pemikiran itu didasarkan
pada fenomena sejarah kekaisaran Romawi yang sebagian besar
kaisar-kaisarnya bertindak diktator sebab mereka menganggap
sebagi hakim.
Utrecht dalam buku Hukum Administrasi Negara Indonesia
menjelaskan dua macam keberatan terhadap teori Montesquieu,
yaitu; pertama, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh
Montesquieu memicu adanya badan kenegaraan yang
padanya tidak dapat ditempatkan pengawasan badan kenegaraan
lain, sehingga terbuka kemungkinan badan kenegaraan untuk
bertindak melampaui kekuasaannya. Pembagian kekuasaan
memang perlu namun tidak dibenarkan terjadinya pemisahan
kekuasaan secara mutlak sehingga menutup kemungkinan untuk
saling melakukan pengawasan. Kedua, teori Montesquieu hanya
dapat diterapkan dalam negara yang sistem sosial ekonominya
memakai asas laissez-faire. Menurut asas ini, campur tangan
negara dalam sektor perekonomian dan lain-lain segi kehidupan
sosial tidak dibenarkan
4. Teori Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat
Keterkaitan konsep kehendak rakyat “the general will”
(volonte generale) dari Rousseau terhadap teori kedaulatan
hukum bahwa menurut Rousseau hukum tiada lain merupakan
perwujudan dari “The general will”, secara jelas Rousseau
(1985:30) mengatakan:......the matter about which the decree made
is like the decreeing will in general. This act is what I call a law....
They are act of the general will. Dengan proposisi seperti itu,
kelemahan teori kedaulatan hukum yang diajukan oleh Krabbe
dapat teratasi. Sebagai kritik oleh Rodee, Anderson & Christal,
kelemahan teori Krabbe yaitu hukum bersumber dari perasaan
hukum seseorang, padahal apa yang dikatakan dengan perasaan
hukum seseorang ini menurut mereka bersifat sangat subjektif
sebab berbeda-beda berdasar pada keragaman orang, waktu,
dan tempat
Dengan mematuhi postulat, bahwa hukum sebagai produk “the
general will” dari Rousseau haruslah diartikan bahwa perasaan
hukum yang diacu Krabbe itu, yaitu perasaan hukum sebagian
besar individu yang telah menjelma menjadi “the general will”
dan bukan perasaan hukum individu yang masih berdiri sendiri.
Disinilah letak keterkaitan teori kedaulatan hukum dan teori
kedaulatan rakyat yang penerapannya dalam negara demokrasi
harus diformat dalam satu paket, sehingga satu sama lain saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Lebih jauh dari itu
keterkaitan “the general will” dengan hukum yang ideal, atau
hukum yang memiliki kekuatan mengikat yaitu jika hukum
itu lahir dari mekanisme kerja parlemen, di mana lembaga ini
dibentuk berdasar Pemilu yang bebas, barulah dapat dijamin
adanya kesesuaian kehendak perorangan dengan kehendak
bersama. Pemilu yang bebas merupakan syarat mutlak bagi
terbentuknya hukum yang memiliki kekuatan mengikat atau
menurut Stammler, hukum yang dapat menyelaraskan antara
kepentingan individu dan kepentingan kelompok
D. Indonesia sebagai Negara Hukum
1. Konsep Negara Hukum Indonesia
Di dalam pasal 1 ayat 3 UUD tahun 1945 disebutkan secara
tegas bahwa negara Republik Indonesia yaitu negara hukum,
lalu di dalam penjelasan UUD tahun 1945 disebutkan
bahwa negara RI yaitu berdasar atas hukum (Rechtsstaat),
tidak atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Kekuasaan tertinggi
di dalam negara Indonesia yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya. Dalam praktik ketatanegaraan, dimana
sistem pemerintahan negara atau cara penyelenggaraan negara
memerlukan kekuasaan, akan namun kekuasaan ini dibatasi
oleh hukum.
Indonesia sebagai negara hukum perlu dipahami bahwa
ide rechtsstaat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
merumuskan suatu konsep negara hukum yang bercirikan
Indonesia. Ide dasar negara hukum Indonesia diilhami oleh ide
rechtsstaat.
Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide
dasar tentang rechtsstaat yang memiliki syarat-syarat sebagai
berikut.
a. Asas legalitas yaitu setiap tindakan pemerintah harus
didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan.
b. Pembagian kekuasaan, artinya kekuasaan negara tidak boleh
hanya bertumpu pada satu tangan.
c. Hak-hak dasar, hak dasar merupakan sasaran perlindungan
hukum bagi rakyat, dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentuk undang-undang.
Tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk
menguji keabsahan tindak pemerintah
Konstitusi secara tegas menyatakan sistem pemerintahan
Indonesia menganut asas negara hukum. Artinya, pemerintah
Indonesia memiliki kekuasaan yang terbatas (dibatasi oleh
konstitusi dan dalam penyelenggaranya tidak dibenarkan
bertindak sewenang-wenang
Ciri-ciri pokok negara hukum Pancasila yaitu;
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasar asas kerukunan
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-
kekuasaan negara
c. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah
dan peradilan merupakan sarana terakhir
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ciri negara Indonesia sebagai negara hukum modern terdiri dari;
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
b. Pancasila menjiwai setiap peraturan hukum dan
pelaksanaannya
c. Asas kekeluargaan merupakan titik tolak negara hukum
Indonesia
d. Peradilan yang bebas dan tidak dipengaruhi kekuatan
manapun Partisipasi warga warga secara luas
Indonesia sebagai negara hukum berfungsi sebagai sarana
untuk mewujudkan dan mencapai tujuan negara Indonesia
sebagaimana diuraikan dalam Pembukaan dan dalam UUD 1945
sebagai hukum dasar.
2. Konsep Cita Hukum Indonesia
Cita hukum (rechtsidee) yaitu konstruksi
pikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan
warga .
Penjelasan UUD 1945 menggariskan bahwa pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam pembukaan mewujudkan cita
hukum (rechtsidee), dan pokok-pokok pikiran dalam pembukaan
itu ialah persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat, kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan,
dan Ketuhanan YME menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, maka pokok pikiran itu tidak lain yaitu Pancasila. Cita
hukum mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai
aturan tingkah laku warga berakar pada gagasan, rasa,
karsa, cipta dan pikiran dari warga itu sendiri.
Cita hukum (rechtsstaat) Pancasila berisikan:
a. Ketuhanan YME
b. Penghormatan atas martabat manusia
c. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara
d. Persamaan dan kelayakan
e. Keadilan sosial
f. Moral dan budi pekerti yang luhur
g. Partisipasi dan ransparansi dalam proses pengambilan
putusan publik.
3. Konsep Politik Hukum Indonesia
Konsep politik hukum bersangkut paut dengan kebijakan
pengembangan hukum, dengan kata lain politik hukum yaitu
kebijakan pengembangan hukum agar sesuai dengan rechtsidee. politik hukum nasional
dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Secara
harfiah, politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan hukum
yang akan diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan
negara yang meiputi:
a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara
konsisten.
b. Pembangunan hukum yang intinya pembaruan dan penciptaan
ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi
tuntutan perkembangan warga .
c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum
dan pembinaan anggotanya.
Meningkatkan kesadaran hukum warga menurut
persepsi kelompok elit pengambil kebijakan
Dalam konsep politik hukum Indonesia (sistem hukum
perundang-undangan Indonesia), posisi Pancasila yaitu sumber
dari segala sumber hukum negara. Dengan demikian, Pancasila
yang di dalamnya mengandung serangkaian asas dan nilai niscaya
mengalir dalam setiap jenis produk hukum perundang-undangan
Indonesia.
E. Konsep Keadilan
1. Konsep Keadilan menurut Pandangan Pemikiran Klasik
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam
telah dilakukan oleh para filosof Yunani Kuno. Salah satu teori
keadilan yang dimaksud yaitu teori keadilan dari Plato yang
menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan
keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang
orang yang adil yaitu “the self diciplined man whose passions
are controlled by reason”. Bagi Plato, keadilan tidak dihubungkan
secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata
hukum merupakan subtansi umum dari suatu warga yang
membuat dan menjaga kesatuannya.
Plato memandang suatu masalah yang memerlukan
pengaturan dengan undang-undang harus mencerminkan rasa
keadilan, sebab bagi Plato, hukum dan undang-undang bukanlah
semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas
negara, melainkan yang paling pokok dari undang-undang yaitu
untuk membimbing warga mencapai keutamaan, sehingga
layak menjadi warga negara dari negara yang ideal. Jadi hukum
dan undang-undang bersangkut paut erat dengan kehidupan
moral dari setiap warga warga .
Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonian atau
keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan
atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya
harus diarahkan pada cita-cita yang mulia, yaitu kebaikan
dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran.
Kesamaan hak haruslah sama diantara orang-orang yang sama.
Teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip persamaan.
Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan bahwa
keadilan terlaksana jika terhadap hal-hal yang sama diperlakukan
secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara
tidak sama.
Gagasan Plato tentang keadilan ditransformasikan oleh
Agustinus menjadi suatu konsepsi religius. Bagi Agustinus,
hakikat keadilan ialah adanya relasi yang tepat dan benar antara
manusia dengan Tuhan, oleh sebab itu keadilan yaitu suatu
yang paling hakiki dalam bernegara dan keadilan itu hanya dapat
terlaksana dalam kerajaan Illahi yang merupakan gudang dari
keadilan.
Konsep keadilan yang bersifat religius dari Agustinus
lalu diperluas oleh Thomas Aquinas. Jika dalam konsepsi
Agustinus, keadilan hanya diperoleh dalam kerajaan Ilahi yang
perwujudannya di muka bumi dijalankan oleh Gereja, maka
Thomas Aquinas mengakui adanya persekutuan lain di samping
gereja yang bertugas memajukan keadilan yakni negara. Thomas
Aquinas membedakan keadilan menjadi keadilan ilahi dan
keadilan manusiawi, namun tidak boleh ada pertentangan antara
kekuasaan gereja dan kekuasaan duniawi. Dengan demikian
konsep keadilan yang ditetapkan oleh ajaran agama, sepenuhnya
sesuai dengan suara akal manusia sebagaimana ada dalam
hukum alam
2. Konsep Keadilan menurut Pemikiran Modern
Konsep keadilan pada zaman modern diwarnai dengan
berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara
lain munculnya aliran liberalisme, yaitu suatu aliran yang tumbuh
di dunia barat pada awal abad ketujuh belas Masehi. Bagi kaum
liberalis keadilan yaitu ketertiban dari kebebasan atau bahkan
realisasi dari kebebasan itu sendiri.
Teori keadilan kaum liberalis dibangun atas dua keyakinan.
Pertama, manusia menurut sifat dasarnya yaitu makhluk moral.
Kedua, ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi
manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai pelaku moral.
Berbeda dengan kaum liberal, penganut utilitarianisme menolak
dipakai nya ide hukum alam dan suara akal alam dalam teori
mereka. Konsep keadilan pada aliran ini didasarkan pada asas
kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan memiliki
ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya ditentukan
oleh kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan
kesenangan yang terbesar bagi orang banyak.
Teori ini dikritik oleh anti utilitarianisme yang dipelopori
oleh Dworkin dan Nozick, yang memprioritaskan kesejahteraan
mayoritas, memicu minoritas atau individu-individu yang
preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara,
akan dihiraukan dan sebagai akibatnya mereka dirugikan atau
kehilangan hak-haknya. Bagi penentang utilitarian, keadilan
menolak argumen yang menyatakan bahwa hilangnya kebebasan
sebagian orang dapat dibenarkan atas asas manfaat yang lebih
besar yang dinikmati oleh orang-orang lain.
Kelemahan teori Nozick yang kental dengan warna
individualistik dan liberal ini yaitu dalam penerapannya, yaitu
sangat sulit untuk melakukan kontrol baik dalam mengontrol
negara minimalis maupun dalam mengontrol lapangan usaha
atau kegiatan warga . Artinya, bagaimana mengontrol
kegiatan para individu yang sekian banyak dalam suatu negara
dan bagaimana mengontrol kegiatan para individu di dalam
berbagai lapangan usaha. Teori Nozick ini juga kurang
realistis sebab memisahkan individu dari kondisi warga
masa kini dengan kondisi kapitalisme dan liberalisme yang sudah
sangat berubah
Dari konsep-konsep keadilan, selalu didasarkan pada suatu
aliran filsafat atau pemikiran tertentu sesuai dengan kondisi
pemikiran manusia pada waktu itu. Dua hal yang bersifat
universal dari konsep keadilan yaitu tujuan dan karakter atau
ciri-ciri keadilan. Tujuan yaitu hal yang akan dicapai dalam
hubungan hukum baik antara sesama warga, maupun antara
warga dengan negara atau hubungan antar negara. sedang
ciri-ciri atau karakter yang melekat pada keadilan yaitu adil,
bersifat hukum, sah menurut hukum, tidak memihak, sama hak,
layak, wajar secara moral, dan benar secara moral.
3. Konsep Keadilan menurut Pancasila
Konsep keadilan dalam Pancasila dirumuskan dalam sila
kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kemanusiaan yang adil
dan beradab pertama kali dijabarkan dalam Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978, Ketetapan ini lalu dicabut dengan Ketetapan
MPR No. XVIII/MPR/1998. Dalam rumusan ini , sikap adil
digambarkan sebagai; bermartabat, sederajat, saling mencintai,
sikap tepa selira, tidak sewenang-wenang, memiliki nilai
kemanusiaan, membela kebenaran, dan keadilan serta hormat
menghormati dan kerja sama dengan bangsa lain. sedang
makna adil dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yaitu : gotong-royong, keseimbangan antara hak dan
kewajiban, memiliki fungsi sosial hak milik dan hidup sederhana.
Bangsa Indonesia mengakui bahwa keadilan yang absolut
hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila
merupakan konsep keadilan sesungguhnya, seadil-adilnya dan
maha adil. Dalam kedudukan Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat dimana antara sila yang satu dengan sila yang lain saling
terkait. Peninjauan kelima sila Pancasila dalam kesatuannya,
terutama diperlukan untuk memahami keterkaitan antara satu
sila dengan sila lainnya, arti pemahaman ini yaitu pemahaman
secara utuh.
Pemahaman terhadap konsep keadilan harus diterjemahkan
dalam hubungannya dengan Pancasila, lalu baru dikaitkan
dengan kepentingan bangsa yang harus merasakan keadilan
itu. Pemerintah melalui perangkat perundang-undangannya,
harus menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
dimana hak asasi manusia dapat pula diterjemahkan sebagai
hak tertinggi, atas masing-masing individu warga yang
diasumsikan setara dengan kedaulatan dari individu-individu
yang bersangkutan. Sasarannya agar perangkat peraturan
ini dapat memenuhi cita keadilan sebagai manifestasi dari
kedaulatan rakyat.
Implementasi kedaulatan rakyat berdasar pasal 1 ayat 2
UUD NRI Tahun 1945, berbunyi; Kedaulatan berada di tangan
rakyat di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Teori perwakilan rakyat erat kaitannya dengan
masalah kedaulatan rakyat dan demokrasi. Ketentuan pasal 1
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, merupakan pasal yang terintegrasi
dengan seluruh pasal-pasal yang ada dalam UUD NRI
Tahun 1945. Kedaulatan dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasar atas hukum
Bagi bangsa Indonesia, keadilan yang berdasar Pancasila
yaitu konsepsi dan persepsi keadilan harus sesuai dengan
perasaan suatu bangsa. Berbicara tentang hukum berarti
berbicara tentang keadilan. Jadi, pengaturan hak dan kebebasan
warga harus dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan yang
berdasar Pancasila. Hukum yang dikehendaki yaitu hukum
yang sifatnya memberi perlindungan terhadap warga warga ,
termasuk perlindungan terhadap hak warga untuk berserikat
dan berkumpul. Perlindungan dalam hal ini berarti bahwa rasa
keadilan yang ada pada nurani warga harus terpenuhi.
Prinsip Indonesia yaitu negara yang berdasar atas
hukum, UUD 1945 sebagai hukum dasar menempatkan hukum
pada posisi yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Konsep kenegaraan Indonesia antara lain menentukan
bahwa pemerintah menganut paham konstitusional, yaitu
suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan yang termuat
dalam konstitusi. Pada negara yang bersistem konstitusi atau
berdasar hukum dasar, ada suatu hierarki perundang-
undangan, dimana UUD berada di puncak piramida sedang
ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi. Konstitusi yang
demikian dikenal dengan “stufenbau theory” Hans Kelsen.
HAK ASASI MANUSIA
DALAM KONSTITUSI INDONESIA
A. Pendahuluan
Lord Acton dalam “aksioma politik”-nya mengatakan, power tends
to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaan
cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung
untuk korupsi secara mutlak pula). Pembatsan kekuasaan yang
terbaik yaitu melalui konstitusi sebagaimana ungkapan Carl J.
Friedrich yang mengatakan, constitutionalism by dividing power
provides a system of effective restrains upon governmental action.
Sri Soemantri martosoewignjo, Guru Besar Hukum Tata Negara
Universitas Pajajaran Bandung. Tambahnya lagi, Negara dan
konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Konstitusi merupakan suatu keniscayaan dan awal
bagi kelahiran sebuah Negara. Konstitusi yaitu bagian yang inheren
dari sistem ketatanegaraan bangsa-bangsa di dunia, meminjam
ungkapan C.F.Strong, The rise of constitutional state is essentially an
historical process.
Kehadiran konstitusi merupakan condition sine qua non (syarat
mutlak) bagi sebuah Negara. Konstitusi tidak saja memberikan
gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga
Negara lebih dari itu didalamnya ditemukan letak relasional dan
kedudukan hak dan kewajiban warga Negara. Sulit dibayangkan
bagaimana sebuah Negara jika mengalami krisis terhadap konstitusi.
Dalam terminology politik ilmu politik, ada 2 pengertian: pertama,
dalam pengertian luas mencakup system pemerintahan dari suatu
Negara dan mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan
tugas-tugasnya. Kedua, dalam pengertian sempit yaitu sekumpulan
peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan yang dimuat
dalam suatu dokumen.
berdasar uraian diatas, maka lahirlah penamaan adanya
konstitusi yang tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak
tertulis (unwritten constitution). Undang-Undang Dasar (UUD)
merupakan konstitusi ter-tulis yang memiliki batasan-batasan: (1)
suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan
kekuasaan kepada para penguasal; (2) suatu dokumen tentang
pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu system politik; (3)
suatu deskripsi dari lembaga-lembaga Negara; dan (4) suatu deskripsi
yang menyangkut masalah HAM.
UUD merupakan dasar bagi terselenggaranya system
pemerintahan. Hermen Finer dalam buku Theory and Practice of
Modern Government menamakan Undang-Undang Dasar (UUD,
pen). Sebagai “riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan “(the
autobiography of a power relationship). Karna begitu pentingnya
kehadiran konstitusi bagi sebuah Negara, lalu muncullah
istilah konstitusional (constitutional government) yaitu pemerintahan
yang berdasar konstitusi. Intinya menekankan adanya supermasi
konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.
Supermasi konstitusi (supremacy of the constitution) yaitu
konstitusi memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu
Negara. Struyken dalam bukunya Hat Staatsrecht van Het koninkrij
der Nederlander, menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan sebagai
berikut.
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik
untuk waktu sekarang maupun untuk waktu yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dimana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Oleh sebab pentingnya konstitusi bagi sebuah negara, ada sebuah
pertanyaan yang sedikit “menggelitik”, sebagaimana juga pernah
ditanyakan Wheare dalam karyanya, Modern Constitution, yaitu what
sould a constitution contain? Sacara tegas Wheare menjawabnya, the
short answer, then, is the very minimum, and that, minimum to be
reles of law. One essential characteristic of the ideally berst form of
constitution is that it should be a short as possible.
Wheare juga menagatakan ada 3 pokok hal yang harus menjadi
muatan konstitusi; pertama, tentang struktur umum Negara, seperti
pengaturan kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif; kedua,
hubungan dalam garis besar antara kekuasaan-kekuasaan ini
satu dengan yang lainnya; dan ketiga, hubungan antara kekuasaan
tadi dengan rakyat atau warga Negara.
C.F. Strong, dalam bukunya Modern Poitical Constitution
mengatakan bahwa muatan konstitusi tidak terlepas dari prinsip-
prinsip konstitusionalisme itu sendiri. Dengan menjadikan konstitusi
yang ada lalu memaksakannya secara taken for granted yaitu suatu
bertata negara yang tidak cerdas
B. Teori Hak dan Kewajiban
The Cambridge Dictionary of Philosophy, buku yang diedit oleh
Robert Audi memberikan penegasan tentang hak yang pernyataannya
menegaskan bahwa hukum, moral, peraturan, atau norma-norma lain
dapat memberikan hak kepada seseorang. Adapun perbedaan dalam
penerapannya yang terjadi sebab stressing point berbeda.
Kalau mengikuti will theory yang dipegang yaitu hak
mengutamakan kemauan pemilik hak. sedang interest theory
lebih menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau
mengembangkan kepentingan pemilik hak. Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak,
bukan hanya sebab ia dilindungi oleh hukum, namun juga sebab
adanya pengakuan.
Hak sangat terkait dengan terkait dengan status. Hak anak
misalnya, merupakan hak yang melekat pada status seseorang dalam
kapasitasnya sebagai seorang anak. Kemanusiaan manusia diakui
sebagai consensus universal yang justru tetap melekat sebagai pemilik
asasi mutlak atas dasar kemanusian, terlepas dari perbedaan jenis
kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarga negaraan, agama,
dan lain-lain. HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran
manusia tentang hakikat dirinya.
Adapun mengenai relasi right-duty, Paton menegaskan bahwa
antara keduanya ada beberapa relasi hukum. Pertama, The
holder of the right. Kedua, The act of for bearance to which the right
relats. Ketiga, The res concerned. Keempat, The person bound by the
duty.
Namun, Salmond sebagiamana dikutip oleh Paton tidak sependapat
dengan memakai terma right-duty. Salmond menyebutkan ada
3 komponen lain, yakni kemerdekaan, kekuasaan, dan imunitas.
Jika menyebut hak, maka menurutnya, semua pengertian itu sudah
termasuk didalamnya, yaitu masing-masing sebagai sebagai (1) hak
dalam arti sempit; (2) kemerdekaan; (3) kekuasaan; dan (4) imunitas.
Jika begitu, yang pertama hak itu berhubungan dengan hal-hal yang
harus dilakukan oleh orang lain untuk saya, maka yang terakhir ini
hak hanya berurusan dengan hal-hal yang boleh dilakukan untuk diri
saya sendiri (Majda El-Muhtaj, 2015).
C. Konsep tentang Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) yaitu hak yang bersifat mendasar
dan inheren dengan jati diri manusia secara universal. Hak-hak
asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-
nilai yang lalu menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku
manusia dalam hubungan dengan sesama manusia. Hak sendiri
114 ---
terbagi dua yakni hak alami (natural law) dan hak hukum (legal rights).
Hak hukum (legal rights) yaitu hak seseorang dalam kapisitasnya
sebagai subjek hukum yang secara legalo tercantum dalam hukum
yang berlaku. Hak alami (natural rights) yaitu hak manusia in toto.
Dengan demikian, hak hukum lebih menekankan sisi legalitas formal,
sedang hak alami menekankan sisi alamiah manusia (naturally
human being).
Hak melekat pada status tertentu. Jika status itu berubah atau
berganti, maka hak mengalami perubahan atau pergantian. Nur
Ahmad Fadhil Lubis mengatakan bahwa hak akan berbeda saat
status bergeser dan oleh sebab status berbeda saat dihadapkan
pada tiga pihak yang berbeda, maka hak itu terkait dengan pihak
mana orang itu berhadapan dan berinteraksi.
1. HAM Perspektif Barat
Konsepsi HAM di kalangan sejarawan Eropa tumbuh dari
konsep hak (right) pada Yurisprudensi Romawi, lalu meluas
pada etika via teori hukum alam (natural law). Perkembangan
ini menggambarkan pertumbuhan kesadaran pada warga
Barat. Tonggak-tonggak sosialisasinya yaitu sebagai berikut:
pertama, dimulai dengan yang paling dini, oleh munculnya
“Perjanjian Agung” (Magna charta) di Inggris ada 15 Juni
1215 yang isi pokok dokumennya yaitu hendaknya raja tak
melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan
pribadi seorang pun dari rakyat. Kedua, keluarnya Bill of Rights
pada 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan
raja & dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan
terhadap siapa pun, atau untuk memenjarakan menyiksa, dan
mengirimkan tentara kepada siapa pun, tanpa dasar hukum.
Ketiga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Julin
1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan
dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan
mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintah
yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar ini .
Keempat, Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara
dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima
115---
hak asasi pemilikan harta, kebebasan, persamaan, keamanan,
dan perlawanan terhadap penindasan. Kelima, Deklasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia pada 10 desember 1948, yang
memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan
harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan
kebebasan beragama (termasuk pindah agama).
Dari perkembangan historis di atas, ada perbedaan
filosofis yang tajam, baik dari segi nilai maupun orientasi.
Di Inggris, menekankan pada pembatasan raja, di Amerika
Serikat, mengutamakan kebebasan individu. Di Perancis,
memprioritasikan egalitarian-isme persamaan kedudukan di
hadapan hukum. Di Rusia, tidak diperkenalkan hak individu,
namun hanya mengakui hak sosial dan kolektif. Rangkaian
kesaksian sejarah ini menunujukkan bahwa hak asasi
manusia, meminjam istilah Bambang Sutiyoso yaitu “konstitusi
kehidupan”, sebab hal asasi manusia merupakan prasyarat yang
harus ada dalam setiap kehidupan manusia untuk dapat hidup
sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Setiap kali menyebutkan hak-hak asasi, dengan sendirinya
rujukan baku ialah UDHR/DUHAM. Ciri terpenting yaitu
bahwa pengertian HAM hanya teratas pada bidang hukum
politik. Disebab kan realitas politik global pasca Perang Dunia II,
adanya keinginan Negara-negara baru untuk menciptakan tertib
hukum dan politik yang baru. Generasi HAM kedua menyusul
pada keinginan yang kuat warga global untuk memberikan
kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Generasi ketiga HAM ditandai
the rights of development dengan meningkatnya kesatupaduan
antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum. Pada
generasi keempat, terjadi suatu proses penyempurnaan yang
mengkritik peranan Negara yang lebih dominan dalam proses
pembangunan ekonomi hingga mengabaikan kesejahteraan
rakyat. Munculnya generasi ini diplopori oleh Negara-negara
kawasan Asia pada tahun 1983 dengan melahirkan deklarasi
HAM yang dikenal dengan Declaration of the Basic Duties of Asia
and Government (Majda El-Muhtaj, 2015).
116 ---
2. HAM Perspektif Islam
Hubungan antara Islam dan HAM muncul menjadi isu penting
mengingat, kecuali di dalamnya ada interpretasi yang
beragam yang terkesan mengundang perdebatan yang sengit,
perkembangan politik global memberikan implikasi tersendiri
antara hubungan Islam dan Barat. Menurut Supriyanto Abdi,
setidaknya ada tiga varian pandangan hubungan Islam
dengan HAM, yaitu: pertama, menegaskan bahwa Islam tidak
sesuai dengan gagasan dan konsepsi HAM modern. Kedua,
menyatakan bahwa Islam menerima semangat kemanusiaan
HAM modern, namun pada saat yang sama, menolak landasan
sekulernya & menggantinya dengan landasan islami. Ketiga,
menegaskan bahwa HAM modern yaitu Khazanah kemanusiaan
universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan
normatif yang sangat kuat terhadapnya (Majda El-Muhtaj, 2015).
3. HAM Perspektif Kontitusi Indonesia
Dalam aturan normatif konstitusional Indonesia, ditemukan
berbagai variasi ketentuan dari beberapa kontitusi yang pernah
berlaku di Indonesia, yakni sebagai berikut:
a. UUD 1945
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pergulatan pemikiran,
khususnya pengaturan HAM dalam konstitusi begitu intens
terjadi dalam persidangan BPUPKI dan PPKI. Satu hal yang
menarik bahwa meskipun UUD 1946 yaitu hukum dasar
tertulis yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia
Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula,
namun istilah perkataan HAM itu sendiri sebenarnya tak
dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan, Batang
Tubuh, maupun penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah
HAM , namun hanyalah hak dan kewajiban warga Negara
(HAW). Pengaturan HAM berhasil sesudah dirumuskan dan
UUD 1945 jauh sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi
PBB, Indonesia ternyata lebih awal telah memberlakukan
sebuah UUD yang mengatur perihal dan penegakan HAM di
Indonesia.
117---
b. Konstitusi RIS 1949
Dalam konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM ada
dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak dan Kebebasan-
kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian ini ada
27 pasal dari mulai Pasal 7-33. Eksistensi manusia secara
tegas dinyatakan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, “setiap
orang diakui sebagai manusia”. Selain itu hak atas dasar
perlindungan hukum juga termuat dalam Pasal 13 ayat (1),
“Setiap orang berhak, dalam persamaan jang sepenuhnya,
mendapat perlakuan djudjur dalam perkaranja oleh hakim
jang tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannja dan dalam hal menetapkan apakah
suatu tuntutan hukum jang dimadjukan terhadapnja
berasalan atau tidak.”
c. UUDS 1950
Menurut Adnan Buyung Nasution, Negara ini pernah
memiliki UUD yang memuat pasal-pasal tentang HAM yang
lebih lengkap daripada UDHR/DUHAM, yaitu UUDS 1950.
Menariknya pemerintah juga memiliki kewajiban dasar
konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagiamana
diatur pada Bagian VI (Azas-azas Dasar), Pasal 35 sampai
dengan Pasal 43. Kewajiban dasar ini dapat dilihat, misalnya
pada Pasal 36 yang berbunyi: “Penguasa memadjukan
kepastian dan djaminan sosial, teristimewa pemastian dan
pendjaminan sjarat-sjarat perburuhan dan keadaan-keadaan
perbruhan jang baik, pentjegahan dan pemberantasan
penganguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari-
tua dan pemeliharaan djanda-djanda dan jatim-piatu.
d. Kembali Kepada UUD 1945
Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis
hukum dasar ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana
setback, dekrit ini menjadi dasar hukum berlakunya
kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945.
sebab itu, pengaturan HAM yaitu sama dengan apa yang
tertuang dalam UUD 1945.
118 ---
e. Amandemen UUD 1945
Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan
sejarah baru bagi masa depan kontitusi Indonesia. Perubahan
UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi
pembangunan nasional sejak turunnya rezim Soeharto (1967-
1998).
Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat
pada perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000, yang
dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah
bab tesendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai
Pasal 28A sampai dengan 28J. Ditegaskannya pada Pasal 28A
yang berbunyi, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kemajuan lain
dapat juga dilihat pada Pasal 28I yang berbunyi: Hak hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut yaitu
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Beragamnya muatan HAM dalam konstitusi secara
maksimal telah diusaha kan untuk mengakomodasi hajat dan
kebutuhan perlindungan HAM, baik dalam konteks pribadi,
keluarga, warga dan sebagai warga Negara Indonesia
D. Kelahiran & Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Berbeda dengan konseptualisasi HAM bagi warga Barat
yang lahir sebagai hasil dari pertentangan dan perlawanan atas
Hegemoni kekuasaan, maka HAM yang termaksuk dalam UUD 1945
lahir sebagai consensus dari proses permufakatan yang berlangsung
secara damai. Dalam membidani lahirnya UUD 1945, keikutsertaan
Yamin dalam proses perancangan UUD terbilang pasif disebab kan
kurangnya pengetahuannya mengenai keuangan dan perekonomian.
Rancangan UUD kelihatan lebih diwarnai oleh pemikiran Soepomo,
yang juga lalu atas usul Wongsonegoro, Soepomo menjadi ketua
panitia kecil perancang UUD.
Dalam Rapat Pleno pembahasan rancangan UUD tanggal 15
Julli 1945, secara berturut Soekarno dan Soepomo menyampaikan
hasil laporan. Khusus tentang keberadaan HAM dalam rancangan
UUD terjadi semacam interaksi dialogis yang intens antara Soekarno
dan Soepomo di satu pihak dengan Yamin dan Hatta di pihak yang
lain. Pihak pertama menolak memasukkan HAM, terutama yang
individual, kedalam UUD sebab menurut mereka Indonesia harus
dibangun sebagai Negara kekeluargaan, sedang pihak kedua
menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara
eksplisit.
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945,
PPKI segera menggelar sidang pertamanya, meminjam istilah
Boland, emergency meeting, dan pada 18 Agustus 1945 dan dalam
keputusannya mengesahkan UUD yang telah dirancang (RUUD) oleh
BPUPKI dengan beberapa perubahan tambahan. Ketua PPKI yakni
Soekarno menyatakan bahwa keputusan mengesahkan UUD yang
telah dirancang ini hanyalah UUD kilat yang mana ia menegaskan
kembali akan membuat UUD yang lebih sempurna.
Sifat kesementaraan yang melekat pada UUD 1945 tidaklah
membuat berpikir simplistik untuk memandang UUD 1945 tidak
penting apalagi menganggapnya tidak sah. Dalam pertarungannya
dengan waktu, BPUPKI dan PPKI telah berjuang semaksimal
mungkin, dan sebab nya apa yang diungkapkan oleh Soekarno
ini dapat diterima secara rasional, meskipun janjinya untuk
melakukan kajian yang lebih sempurna atas UUD 1945 tetap tidak
terpenuhi sampai akhir masa kepemimpinannya
1. Lahirnya Konstitusi RIS 1949
Akibat peperangan terus bergejolak, pemerintah Belanda
lalu mengambil langkah startegis baru dengan memecah
belah Negara kesatuan Indonesia sebagai Republik Indonesia
Serikat yang terdiri atas beberapa Negara bagian. Khusus
untuk Negara bagian Indonesia Timur yang dibentuk Belanda
pada tanggal 24 Desember 1946 yaitu yang terbesar dan kerap
dijadikan model untuk satuan-satuan federal yang lain.
Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya turun tangan dan
mendesak agar diselesaikan melalui sebuah jalan damai, yakni
konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan melibatkan
pihak ketiga, yakni BFO (Byeenkomst voor federal overleg/Federal
Consultative Assembly). Sebuah ikatan Negara-negara bagian hasil
bentukan Belanda. Konferensi berlangsung di Den Haag, Belanda
dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23
Agustus sampai dengan 2 November 1949 yang menghasilkan
3 hal mendasar, yaitu: pertama, pembentukan Negara Republik
Indonesia Serikat; Kedua, penyerahan kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat; Ketiga, pembentukan UNI-RIS-
Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17 pagi Ratu Juliana
di hadapan ketiga delegasi menandatangani Akta Penyerahan
Kedaulatan, yang lalu berakibat pada berlakunya dua hal,
yakni: pertama semua persetujuan-persetujuan hasil KMB, dan
kedua Konstitusi RIS 1949. Konstitusi RIS terdiri atas dua bagian,
yakni Pembukaan dan Batang Tubuh. Berbeda dengan jumlah-
jumlah pasal dalam UUD 1945, Konstitusi RIS memuatnya jauh
lebih banyak, yakni 6 bab dan 197 Pasal. Meskipun demikian,
Konstitusi RIS hanyalah dimaksudkan untuk bersifat sementara,
meskipun dari namanya tidak mempergunakan tambahan kata
“sementara”. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi.
“Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan
Pemerintahan selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat .
2. Lahirnya UUDS 1950
Momentum peringatan Hari Ulang Tahun Kelima RI,
17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru bagi iklim
ketatanegaraan Indonesia. Pada saat itu, kontitusi RIS dengan
segala konsekuensinya berubah menjadi UUD sementara
(disingkat UUDS) 1950 yang menjadikan Indonesia kembali
menjadi Negara Republik Indonesia. Era 1950-1959 merupakan
periode demokrasi konstitusional, meskipun dalam kurun waktu
itu, Indonesia hanya bersandar di bawah UUDS 1950. Konstitusi
ini sekaligus menjadi the starting point bagi usaha pembentukan
sebuah Negara modern Indonesia yang berbentuk kesatuan.
Menurut catatan Mahfud, dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950
merupakan bagian dari UU Federal No.7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Idonesia
(LNRIS Tahun 1950 No.56).
Dengan sendirinya sesudah UUDS 1950 itu berlaku, maka
tugas UU No. 7 Tahun 1950 menjadi selesai. UU ini hanya berlaku
satu kali. Kesementaraan UUS 1950 lebih eksplisit ditegaskan.
Kesementaraan ini disebabkan bahwa legalitas formal proses
perumusan sebuah UUD masih diserahkan kepada lembaga yang
representative yang memiliki otoritas. Untuk merealisasikan
keinginan ini , maka dilaksanakan pemilihan umum pada
tahun 1955, Pemilu pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan
Indonesia (Majda El-Muhtaj, 2015).
3. Kembali Kepada UUD 1945
Sejak berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950, maka
melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan
tidak efektif lagi dan beralih kembali kepada pemberlakuan UUD
1945. Apa yang pernah dimuat dalam UUD 1945 pada masa awal
berlakunya, dinyatakan berlaku kembali terhitung sejak tanggal
5 Juli 1959 sampai dengan jatuhnya Pemerintahan Soeharto
Mei 1998. Dengan kata lain, berlakunya UUD 1945 untuk kedua
kalinya memiliki masa berlaku yang reatif panjang dibandingkan
UUD sebelumnya, termasuk UUD 1945 periode proklamasi.
berdasar hasil Pemilu 1955, sebenarnya Konstituante
diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah
UUD yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam bab V Pasal 134
UUDS 1950. Sejak 10 November 1956 hingga 2 Juni 1959, telah
terjadi perdebatan yang hangat dalam tiga agenda pembahasan,
yakni: pertama, dasar Negara (1957); kedua HAM (1958); dan
ketiga pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959).
Guna memperkokoh kedudukannya sebagai Presiden,
Soekarno, malalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari
1959 di Bogor, telah mengambil keputusan dengan suara bulat
mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno
dengan menegaskan kembali ke UUD 1945. Dalam putusannya
mengatakan bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya
prinsip demokrasi terpimpin. Dan, demokrasi terpimpin ialah
demokrasi. Adapun mengenai perubahan UUD 1945 dikembalikan
pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.
Realitas politik ini semakin diperkeruh dengan suasana
perpolitikan Indonesia yang mengkhawatirkan. Beberapa bentuk
pemberontakan muncul sebagai artikulasi politik yang tidak
terakomodasi, baik atas nama kepentingan lokal dan pertarungan
idoelogis antara Negara dan warga maupun pertarungan
kekuasaan di lingkungan Angkatan Darat. Atas dasar itulah,
Presiden Soekarno menyatakan Negara dalam keadaan darurat
dan lalu mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan; pertama, pembubaran Konstituante; kedua,
memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga penarikan
kembali UUDS 1950 dan, dalam waktu sesingkat-singkatnya
mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD
1945.
Terpusatnya pemerintahan di tangan Soekarno
memicu kontrol atas pemerintahan melemah seiring
dengan masuknya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI)
dalam tubuh pemerintahan. Atas dasar itu, kelangsungan
pemerintahan Indonesia mengalami suasana tidak kondusif dan
memprihatinkan yang puncaknya terjadi pada peristiwa Gerakan
30 September 1965 (Majda El-Muhtaj, 2015).
4. Lahirnya Amandemen UUD 1945
Secara historis perubahan UUD merupakan wacana
penting bahkan menjadi perdebatan yang intens pada saat awal
kemerdekaan Indonesia, atau meminjam istilah George McTurnan
Kahin, newlyborn of Indonesia state (“bayi baru” Negara Indonesia).
Sebagai wacana hal ini menunjukkan bahwa isu perubahan
UUD 1945 merupakan sebuah keniscayaan. Pesan moralnya
yaitu UUD 1945 harus benar-benar dapat sesuai dengan tingkat
perubahan zaman Indonesia. Perubahan UUD merupakan paket
terbesar dan terpentig dari sekalian paket reformasi. Perubahan
ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan
nasional ke depan.
Perubahan sebuah konstitusi harus dipahami secara objektif
proporsional. Perubahan UUD bukanlah berarti menghilangkan
nuansa dan rasa kesatuan anak-anak bangsa dalam ikatan NKRI,
namun harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi kelangsungan masa
depan bangsa dalam proses perubahan yang bertanggung jawab.
Secara teoretis, Sri Soemantri dalam disertasinya menegaskan
bahwa wewenang mengubah UUD yaitu masalah hukum yang
mengandung aspek politik. Proses perubahan UUD 1945, yang
saat ini telah mencapai perubahan keempat, mutlak dilakukan
dalam sebuah mekanisme yang salah.
Perjalanan Amandemen UUD 1945 sepenuhnya berada
dalam kewenangan MPR sebagaimana digariskan dalam Pasal 37
UUD 1945. Posisi dan kedudukan MPR dengan kewenangannya
ini telah mengundang perdebatan yang tajam di kalangan
warga . Pada tanggal 19 Oktober 1999, melalui Tap MPR
No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan perubahan
UUD 1945 untuk disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal
18 Agustus 2000. Perubahan I UUD 1945 terjadi pada 19 Oktober
1999 dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21
Oktober 1999. Perubahan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20,
dan Pasal 21. Secara umum inti Perubahan I UUD 1945 menyoroti
perihal kekuasaan Presiden (eksekutif).
Perubahan II UUD 1945 ditetapkan pada Sidang Tahunan
MPR tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000. Beberapa
perubahan terdiri dari 5 bab da 25 pasal, yaitu Pasal 18. Pasal
18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal
22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal
28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal
28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV,
Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 26C.
124 ---
Perubahan III UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang tahunan
MPR tanggal 1 sampai 9 November 2001. Beberapa perubahan
yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1,
Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal
8, Pasal 11, Pasal 17, Bab VIIA, Pasal 22C, Pasal 22D, Bab VIIB,
Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E,
Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal
24C.
Perubahan IV UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang Tahunan
MPR tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002. Beberapa
perubahan terdiri atas 2 ba dan 13 pasal, yaitu, Pasal 2, Pasal 6A,
Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal
31, Pasal 32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Tap MPR
ini menyatakan bahwa dipandang perlu membentuk suatu
Komisi Konstitusi (KK) yang bertugas melakukan pengkajian
secara komprehensif tentang Perubahan UUD 1945.
Hasil Perubahan IV UUD 1945 sebagai hasil dari totalitas
Perubahan UUD 1945 mengundang pro-kontra di kalangan
warga . Selain muatan dan proses perubahannya sangat
diwarnai dengan vested interest para politisi MPR, paradigma
konstitusionalismenya pun dinilai “kabur” dari semangat
kehidupan nasional Indonesia. Berbeda dengan KK versi MPR,
yang sepenuhnya yaitu hasil bentukan Badan Pekerja dan
dipandang memiliki indepedensi yang “minor”, maka beberapa
tokoh dan ilmuwan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
membentuk sebuah “proyek” komisi konstitusi independen
yang bernama Koalasi untuk Kontitusi Baru. UUD 1945 yang
diamandemen harus melalui proses kerja yang bijaksana, agar
tercapai maksud mulia dari, baik versi MPR maupun dari Koalasi
sendiri, untuk membangun kontitusi baru yang memiliki paradigm
kerakyatan (Majda El-Muhtaj, 2015).
E. Jaminan Konstitusi atas Hak Asasi Manusia
1. Materi HAM dalam UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, ada pandangan
yang beragam. Setidaknya ada tiga kelompok pandangan, yakni:
pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak
memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; kedua,
mereka yang berpendangan UUD 1945 memberikan jaminan
atas HAM secara komprehensif; dan ketiga, berpandangan bahwa
UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM.
Menurut MAhfud, UUD 1945 hanya berbicara tentang “HAW”
atau hak asasi warga Negara (atau HAM yang partikularistik).
Selanjutnya menurut Mahfud memberi kesan bahwa Pembukaan
dan Batang Tubuh UUD 1945 tidak memiliki semangat yang kuat
dalam memberikan perlindungan HAM atau lebih menganut
keinginan untuk membatasi HAM, menjadi sekedar HAW
yang itu pun harus ditentukan dalam UU yang dibuat lembaga
legislatif. Lebih tegas lagi, mahfud mengatakan bahwa di dalam
berbagai analisis disebutkan salah satu penyebab terjadinya
pelanggaan HAM sebab konstitusi kita tidak sungguh-sungguh
mengelaborasi perlindngan HAM di dalam pasal-pasalnya secara
eksplisit.
Dahlan Thaib mengatakan bila dikaji baik dalam Pembukaan,
Batang Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya
15 prinsip hak asasi manusia, yakni sebagai beriku: 1) hak untuk
menentukan nasib sendiri; (2) hak akan warga Negara; (3) hak
akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum; (4) hak untuk
bekerja; (5) hak akan hidup layak; (6) hak untuk berserikat; (7)
hak untuk menyatakan pendapat; (8) hak untuk beragama; (9) hak
untuk membela Negara; (10) hak untuk mendapat pengajaran;
(11) hak akan kesejahteraan sosial; (12) hak akan jaminan sosial;
(13) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan; (14) hak
mempertahankan tradisi budaya; (15) hak mempertahankan
bahasa daerah.
Menurutnya, ketentuan-ketentuan di atas cukup membuktikan
bahwa UUD 1945 sangat menjamin HAM. Solly Lubis
berpandangan bahwa UUD 1945 tetap mengandung pengakuan
dan jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi walaupun harus
diakui secara redaksional formulasi mengenai hak-hak itu sangat
sederhana dan singkat. Dalam UUD 1945 tidak ditemukan sebuah
pengaturan yang tegas, akibatnya muncul berbagai interpretasi
terhadap kualitas muatan dan jaminan UUD 1945 atas HAM.
Para pendiri bangsa Indonesia telah berhasil memformulasikan
sebuah tatanan kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM,
jauh sebelum warga internasional merumuskan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, 10 Desember
1948.
Periode keberlakuan UUD 945, sejak 18 Agustus 1945 sampai
dengan 27 Desember 1945, niat agung yang disampaikan Soekarno
di awal tetap tidak terpenuhi sebab berhadapan dengan faktor
sosio-politik yang berkembang pada waktu itu. Memaksakan
pembukaan dan teks-teks pasal UUD 1945 lalu diklaim
komprehensif dalam mengatur HAM yaitu juga sebuah
pemikiran yang simplistik, apalagi jika dihubungkan dengan
perubahan paradigma HAM dalam kehidupan dan tatanan
warga global (Majda El-Muhtaj, 2015).
2. Materi HAM dalam Konstitusi RIS 1949
Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM, secara
histori sangat dipengaruhi oleh keberadaan UDHR/DUHAM yang
dirumuskan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Dalam konteks
Negara-bangsa, maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu
itu sangat dirasakan memengaruhi konstitusi-konstitusi Negara-
negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS 1949.
Pertama, hak-hak manusia sebagai pribadi/individu dapat
dilihat dari gambaran pasal-pasal dalam Konstitusi RIS yang
titujukan pada tabel di bawah ini.
Pasal ISI PROFIL HAM
7 ayat 1
Setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi terhadap
UU
Hak diakui sebagai person
oleh UU (The Right to
recognized as a person
under the Law)
7 ayat 2
Segala orang berhak me-
nuntut peradilan yang
sama oleh UU
Hak persamaan di hadapan
hukum (The right to
equality before the law)
Pasal ISI PROFIL HAM
7 ayat 3
Segala orang berhak me-
nuntut perlindungan yang
sama terhadap tiap-tiap
pembelakangan dan terha-
dap tiap-tiap penghasutan
untuk melakukan pembela-
kangan demikian.
Hak persamaan per-
lindungan menentang
diskriminasi (The right to
equal protection againts
discrimination)
7 ayat 4
Setiap orang berhak men-
dapatkan bantuan hukum
yang sungguh dari hakim-
hakim yang ditentukan
untuk itu, melawan per-
buatan-perbuatan yang
berlawanan dengan hak-
hak dasar yang diperkenan-
kan kepadanya menurut
hukum.
Hak atas bantuan hukum
(The Right to Legal assist-
ance)
8
Sekalian orang yang ada di
daerah negara sama berhak
menuntut perlindungan un-
tuk diri dan harta benda-
nya.
Hak atas keamanan per-
sonal (The Right to personal
security)
9 ayat 1
Setiap orang berhak dengan
bebas bergerak dan tinggal
dalam perbatasan negara
Hak atas kebebasan berger-
ak (The Right to freedom or
removement and residence)
9 ayat 2
Setiap orang berhak me-
ninggalkan negeri dan jika
ia warga negara atau pen-
duduk kembali ke situ
Hak untuk meninggalkan
negeri (The Right to leave
any country)
10
Tidak ada seorangpun boleh
diperbudak, diperulur atau
diperhamba. Perbudak-
an, perdagangan budak,
penghambaan dan segala
perbuatan berupa apapun
yang umumnya kepada itu,
dilarang.
Hak untuk tidak di-per-
budak (The Right not to be
subjected to slavery, servi-
tude, or bondage)
128 ---
Pasal ISI PROFIL HAM
11
Tiada seorang pun akan
disiksa ataupun diperla-
kukan atau dihukum se-
cara ganas, tidak menge-
nal perikemanusiaan atau
menghina
Hak mendapatkan proses
hukum (The Right to due
process of law)
12
Tiada seorang jua pun boleh
ditangkap atau ditahan, se-
lainnya atas perintah untuk
itu oleh kekuasaan yang
sah menurut cara yang di-
terangkan dalamnya.
Hak untuk tidak dianiaya
(The Right not to be subject-
ed to turtore, or to cruel, in-
human or degrading treate-
ment or punishment)
13
ayat 1
Setiap orang berhak, dalam
persamaan yang sepenuh-
nya, mendapat perlakuan
jujur dalam perkaranya
oleh hakim yang tak memi-
hak, dalam hal menetapkan
apakah suatu tuntutan hu-
kuman yang dimajukan ter-
hadapnya beralasan atau
tidak.
Hak atas peradilan yang
adil (The Right to impartial
judiciary)
13
ayat 2
Bertentangan dengan ke-
mauannya tiada seorang
jua pun dapat dipisahkan
dari pada hakim, yang di-
berikannya kepadanya oleh
aturan-aturan hukum yang
berlaku.
Hak atas pelayanan hukum
dari para hakim (The Right
to an effective remedy by the
competent national tribu-
nals)
129---
Pasal ISI PROFIL HAM
14
ayat 1
Setiap oarng yang dituntut
sebab disangka melaku-
kan suatu peristiwa pidana
berhak dianggap tidak ber-
salah, sampai dibuktikan
kesalahannya dalam suatu
sidang pengadilan, menu-
rut aturan-aturan hukum
yang berlaku, dan ia dalam
sidang itu diberikan segala
jaminan yang telah ditentu-
kan dan yang perlu untuk
pembelaan
Hak dianggap tidak ber-
salah (The Right to be per-
sumed innonence)
14
ayat 2
Tiada seorang jua pun boleh
dituntut untuk dihukum
atau dijatuhkan hukuman,
kecuali sebab suatu atu-
ran hukum yang sudah ada
dan berlaku terhadapnya.
Idem
14
ayat 3
jika ada perubahan
dalam aturan hukum se-
perti ini dalam ayat
di atas maka dipakailah
ketentuan yang lebih baik
bagi si tersangka.
Idem
130 ---
Pasal ISI PROFIL HAM
18
Setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran keinsya-
fan batin dan agama atau
keyakinan, begitu pula ke-
bebasan menganut agaman-
ya atau keyakinannya, baik
sendiri maupun dalam ling-
kungannya sendiri dengan
jalan mengajarkan, menga-
malkan, beribadat, menaati
perintah dan aturan-aturan
agama serta dengan jalan
mendidik anak-anak dalam
iman dan keyakinan orang
tua mereka.
Hak atas kebebasan ber-
pikir dan beragama (The
Right to freedom or thought,
conscience, and religion)
19
Setiap orang berhak atas
kebebasan memiliki dan
mengeluarkan pendapat
Hak atas kebebasan ber-
pendapat (The Right to free-
dom of opinion and express)
21
ayat 1
Setiap orang berhak de-
ngan bebas memajukan
pengaduan kepada pengua-
sa, baik dengan lisan mau-
pun tertulis.
Hak atas penuntutan (The
Right to petition the govern-
ment)
25
ayat 1
Setiap orang berhak mem-
punyai milik, baik sendiri
maupun bersama-sama
orang lain.
Hak atas kepemilikan (The
Right to own proverty alone
as well as in association
with others)
25
ayat 2
Seorang pun tidak boleh
dirampas miliknya dengan
semena-mena
Hak untuk tidak dirampas
hak miliknya (The Right to
be arbitrary deprived of his
property)
131---
Pasal ISI PROFIL HAM
27
ayat 2
Setiap orang yang melaku-
kan pekerjaan dalam hal-
hal yang sama, berhak atas
pengupahan adil yang men-
jamin kehidupannya ber-
sama dengan keluarganya,
sepadan dengan martabat
manusia.
Hak atas kerja (The Right
to work and to pay for equal
work)
28
Setiap orang berhak mendi-
rikan serikat kerja.
Hak untuk membentuk
serikat kerja (The Right to
labour union)
Sumber: (Majda El-Muhtaj, 2015).
Kedua,hak-hak asasi manusia sebagai bagian dalam
keluarga juga ditegaskan dalam Konstitusi RIS, sebagaimana
ada dalam Pasal 37 yang berbunyi “Keluarga berhak atas
perlindungan oleh warga dan Negara”. Elemen keluarga
sebagau unit terkecil dalam sebuah Negara patut memperoleh
jaminan konstitusi.
Ketiga, manusia sebagai warga negara juga memiliki hak-
hak dasar yang memperoleh jaminan dalam Konstitusi RIS.
Menariknya, status manusia sebagai warga negara tidaklah
menghilangkan statusnya sebagai seorang pribadi/individu dan
keluarga. Adapun hak sebagai warga negara, Konstitusi RIS
mengaturnya sebagai berikut:
Pasal ISI PROFIL HAM
20
Hak penduduk atas kebebasan
berkumpul dan berapat se-
cara damai diakui dan sekadar
perlu dijamin dalam peraturan
perundang-undangan.
Hak kebebasan ber-
kumpul (The Right to
association)
132 ---
22
ayat 1
Setiap warga negara berhak
turut serta dalam pemerin-
tahan dengan langsung atau
dengan perantaraan wakil-
wakil yang dipilih dengan be-
bas menurut cara yang diten-
tukan oleh undang-undang.
Hak turut serta dalam
pemerintahan (The
Right to take part in the
government)
22
ayat 2
Setiap warga negara dapat di-
angkat dalam tiap-tiap jabatan
pemerintah.
Hak akses dalam pela-
yanan publik (The Right
to equal acess to public
service)
23
Setiap warga negara berhak
dan berkewajiban turut serta
dengan sungguh dalam perta-
hanan kebangsaan.
Hak mempertahankan
negara (The Right to na-
tional defence)
27
ayat 1
Setiap warga negara, dengan
memenuhi syarat-syarat ke-
sanggupan, berhak atas peker-
jaan yang ada.
Hak mendapatkan pe-
kerjaan (The right to
work, to free choice em-
ployment, to just and fa-
vourable conditions)
Sumber: (Majda El-Muhtaj, 2015).
Keempat, kewajiban asasi manusia dan negara. Sebagaimana
dipahami bahwa hak sangat terkait dengan kebebasan dan
kewajiban, maka sebagai pribadi, manusia memiliki kewajiban,
begitu pula halnya negara. Penegasan ini tercantum dalam pasal
23 yang berbunyi, ”setiap warga negara berhak dan berkewajiban
turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan kebangsaan”.
Pasal 31 juga menyatakan secara eksplisit, yaitu “setiap orang
yang ada di daerah negara harus patuh kepada UU, termasuk
aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-
penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Mengenai kewajiban asasi negara, Konstitusi RIS tidak
memakai kata negara, melainkan penguasa yang tercantum
dalam pasal sebagai berikut:
133---
Pasal ISI
24 ayat 1
Penguasa tidak akan mengikatkan keuntungan atau
kerugian kepada termasuknya warga negara dalam
sesuatu golongan rakyat.
35
Penguasa sesanggupnya memajukan kepastian dan ja-
minan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan
syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perbu-
ruhan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pe-
ngangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk
hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan anak-anak
yatim piatu.
36 ayat 1
Meninggikan kemakmuran rakyat yaitu suatu hal
yang terus menerus diselenggarakan oleh peguasa,
dengan kewajibannya senantiasa menjamin bagi setiap
orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat ma-
nusia untuk dirinya serta keluarganya.
38
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebu-
dayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. De-ngan
menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat
tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebu-
dayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
39 ayat 1
Penguasa wajib memajukan sedapat-dapatnya perkem-
bangan rakyat baik rohani maupun jasmani, dan dalam
hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnya mengha-
puskan buta huruf.
39 ayat 2
Dimana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan
pengajaran umum yang diberikan atas dasar memper-
dalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan
Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan
peri kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan yang
sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan
memberikan kesempatan dalam jam pelajaran agama
sesuai dengan keinginan orang tua murid-murid.
39 ayat 4
Terhadap pengajaran rendah, maka pengusaha berusa-
ha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang
umum.
134 ---
Pasal ISI
40
Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-
sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan
rakyat.
41 ayat 1
Penguasa memberikan perlindungan yang sama kepada
segala perkumpulan dan persekutuan agama yang di-
akui.
41 ayat 2
Penguasa mengawasi susaha segala persekutuan dan
perkumpulan agama patuh dan taat kepada undang-un-
dang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis.
Sumber: (Majda El-Muhtaj, 2015).
berdasar gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa
HAM dalam Konstitusi RIS menempati posisi penting yang
menunjukkan terdapatnya sebuah jaminan dan perlindungan
yang ideal. Meski Konstitusi RIS terbilang “sementara”, namun
kenyataannya muatan-muatan hak asasi mendapatkan jaminan
konstitusional. Jaminan atas hak-hak asai ini semakin
dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban asasi yang harus
dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.
Sebagaimana dipahami bahwa hak dan kebebasan menuntut
jaminan dan perlindungan, maka hal ini jelas membutuhkan
tidak saja political will dari negara/penguasa, namun juga political
action. Dengan adanya kewajiban asasi, hal itu berarti negara
memiliki political action yang menuntut implementasi secara
nyata.
3. Materi HAM dam UUDS 1950
Materi muatan UUDS 1950 yaitu perubahan atas Konstitusi
RIS 1949, maka perihal HAM juga di samping memiliki kesamaan
secara umum, ada juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Pencantuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga
warga Negara, dan kewajiban asasi, baik oleh pribadi, warga
Negara maupun Negara dalam UUDS 1950, dinilai sangat
sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan
atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950
135---
membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya
belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 Konstitusi RIS
1949.
4. Materi HAM Pasca-Kembali ke UUD 1945
Todung Mulya Lubis dengan tegas mengatakan bahwa
kembalinya berlaku UUD 1945 itu berarti bahwa jaminan
konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.
Sisi fleksibilitas UUD 1945 memicu fleksibel pula arah
dan penegakan HAM di Indonesia. Akibatnya muatan HAM
di dalam UUD 1945, menurut Mahfud MD, sangat tergantung
dari konfigurasi politik tertentu. Tidak saja muatan HAM
dalam UUD, namun juga dalam segenap peraturan di bawahnya,
sangat dipengaruhi oleh realitas dan konfigurasi politik tertentu.
Kebijakan penguasa sebenarnya yaitu manifestasi dari format
dan paradigm pemerintahan yang dijalankan, apakah cenderung
demokratis ataukah mengarah kepada otoritarianisme.
5. Materi HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945
Perubahan kedua UUD 1945 memasukkan perihal HAM
menjadi satu bab tersendiri, yakni Bab XA mengenai Hak
Asasi Manusia dengan 10 pasal. Banyak kalangan memandang
bahwa pencantuman bab khusus mengenai HAM dalam UUD
merupakan “lompatan besar” dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia. Kehadiran perubahan Kedua UUD 1945 merupakan
suatu kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan
panjang dari para pendiri bangsa. Muatan HAM dalam perubahan
Kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen
jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Pengaturan HAM juga masih dapat ditemukan pada ketentuan
pasal-pasal seperti Pasal 27 ayat (1), dan (2), dan Pasal 28. Tidak
dipungkiri dengan menjadikan perihal HAM dalam sebuah Bab
tersendiri merupakan sebuah keberhasilan yang patut diapresiasi
secara positif.
Ketidakjelasan makna penegakan HAM terlihat dari Bab
Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) tentang
hak atas pembelaan Negara. Hal yang sama juga terjadi pada
136 ---
Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) tentang hak
atas equality before the law (persamaan di hadapan hukum).
Begitu juga pada BAb XA Pasal 28F denga Pasal 28 tentang hak
berserikat dan berkumpul. Muatan HAM lainnya yang sebenarnya
tidak sejalan atau tidak sinkron, seperti pada Bab XA Pasal 28C
yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak
mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Begitu juga halnya
pada Bab XA Pasal 28E yang menggabungkan hak beragam dengan
hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarga negaraan.
Perkembangan generasi HAM, kelihatan dengan terang bahwa
muatan HAM yang diatur dalam Perubahan Kedua UUD 1945
tidak memiliki kejelasan. Materi muatan HAM dalam Perubahan
Kedua UUD 1945, kelihatan sangat jauh dari sempurna. Materi
muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidaklah
berdiri sendiri. Setidaknya, inspirasi dalam bentuk redaksional
sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam Tap MPR No.XVII/
MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, memberikan pengaruh yang besar
dalam rumusan materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua
UUD 1945. Harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM
dalam UUD 1945, khususnya sesudah berlakunya Perubahan
Keempat UUD 1945 yaitu sebuah keberhasilan sekaligus sebagai
the starting point dalam usaha penegakan hukum dan HAM di
Indonesia. Perubahan Kedua UUD 1945, khususnya pada Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan gerak yang
signifikan bagi jaminan konstitusi atas HAM Indonesia (Majda
El-Muhtaj, 2015).
6. Materi HAM dalam Peraturan PerUndangan-Undangan
Pengaturan HAM mengalami pasang surut yang tidak bisa
dipisahkan dengan konfigurasi politik pemerintahan pada era
tertentu. ada faktor yang kompleks, misalnya pada masa
keberlakuan UUD 1945 (Periode I), Konstitusi RIS, 1949, dan
UUDS 1950, yakni tidak kondusifnya kehidupan pemerintahan
sebagaimana lazimnya. Pengaturan HAM pada masa Orde Baru
tidaklah dalam bentuk piagam HAM, melainkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Orde Baru hanya mengakui
137---
hak-hak hukum warga sebagaimana telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintahan Orde
Baru membentuk sebuah komisi yang bernama Komisi Nasional
HAM, yang disebut juga Komisi Nasional berdasar Keputusan
Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Dengan
pembentukan KOMNAS HAM ini maka kelihatan dengan
terang hubungan yang erat antara penegakan HAM di satu pihak
dan penegakan hukum di pihak lainnya.
Tujuan pokok Komisi Nasional. Pertama, membantu
pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelakssanaan hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam
PBB, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan kedua
meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung
terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan
Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan warga
Indonesia seluruhnya. Tahun 1998, melalui ketepatan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM, kembali ditegaskan eksistensi
HAM. Tap MPR ini memberikan penegasan bahwa penegakan
HAM dilakukan secara structural, cultural dan institusioal.
Tujuannya yaitu agar tercipta sikap menghormati, menegakkan,
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada
seluruh warga .
Pada tanggal 9 Oktober 1998 Pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Sebagai bagian dari HAM,
pada tanaggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
UU ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan
berpendapat sebagai HAM. Dalam rangka melaksanakan
Ketepatan MPR No. XVII/MPR/1998 pada tanggal 23 September
1999 diberlakukanlah UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang
disingkat menjadi UU HAM. Ini menegaskan dua hal prinsipil,
yakni HAM dan KDM.
HAM yaitu seperangkat hal yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
138 ---
dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. KDM yaitu seperangkat kewajiban yang jika tidak
dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya
HAM.dalam hal kedudukannya merupakan paying dari seluruh
peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM.
Untuk mmeperkuat usaha penegakan HAM di Indonesia,
RAN HAM, sebagaimana telah ditegaskan dalam Kepres No,129
tahun 1998, berlaku selama lima tahun terhitung sejak 15 Agustus
1998 hingga Desember Tahun 2004, maka dipandang perlu
melakukan evaluasi atau kesinambungan RAN HA< untuk lima
tahun berikutny, yakni tahun 2004 sampai dengan tahun 2009.
Titik berat RANHAM 2004-2009 yaitu percepatan penegakan
HAM yang tidak saja melibatkan komitmen lembaga-lembaga
Negara, namun juga partisipasi aktif warga Indonesia. Guna
menemukan langkah yang lebih sinergis, maka Panitia RAN HAM
juga dibentuk di pusat (disebut dengan Panitia Nasional) dan di
daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Adapun Tugas
Panitia Pelaksana RANHAM Daerah (Provinsi dan kabupaten/
kota) yaitu ; (1) pembentukan dan penguatan institusi pelaksan
RANHAM; (2) persiapan harmonisasi Peraturan Daerah; (3)
diseminasi dan pendidikan HAM; (4) penerapan norma dan
standar HAM; dan (5) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Penjambaran ketentuan HAM dalam UUD 1945 dalam
peraturan-peraturan organic terbilang tidak berjalan secara
simultan. Sebagai akibat dari multi-interpretasinya pasal-pasal
HAM dalam UUD 1945 memicu terabaikannya taraf
konsistensi muatan HAM dalam peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, tidak ada jalan lain, yang sangat kentara dilakukan
yaitu melakukan sosialisasi HAM secara baik, misalnya
dengan pembentukan Komnas HAM, Komnas Hak-hak Anak,
Komnas Hak-hak Perempuan, dan RANHAM. Pembentukan
“panitia-panitia” ini tidak dapat bejalan secara maksimal jika
ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal HAM, baik dalam
UUD 1945, maupun dalam ketentuan-ketentuan organiknya
tidak berjalan secara konsisten dan konsekuen. Sosialisasi HAM
139---
kepada warga akan menemukan kendala yang signifikan
saat dasar pijakan normatif tentang HAM tidak diatur secara
baik dan komprehensif.
Dari paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Konsep negara hukum lahir sebagai keharusan sejarah
(historical necessity). Konstitusi muncul sebagai penegasan
konstitutif atas HAM yang dijamin sepenuhnya oleh
penyelenggara negara. Penegakan hukum dalam konsepsi
negara hukum merupakan penegakan HAM dan indikator
terpenting dari asas demokrasi.
2. Istilah HAM tidak ditemukan dalam UUD 1945. HAM dalam
UUD 1945 diatur secara singkat dan sederhana. UUD 1945
lebih berorientasi kepada hak sebagai warga negara (HAW).
Dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 pengaturan HAM
memuat pasal-pasal tentang HAM yang relatif lebih lengkap.
Tidak hanya skala hak, perwujudan, dan penegakannya
dapat dilihat melalui terdapatnya kewajiban-kewajiban dasar
konstitusional. Pengaturan HAM ditegaskan pada Perubahan
Kedua UUD 1945 Tahun 2000. Muatan HAM ini jauh melebihi
ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. HAM diatur
dalam sebuah bab tersendiri, yakni Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal, dari mulai Pasal
28A sampai dengan 28J.
Seluruh konstitusi yang pernah belaku di Indonesia mengakui
kedudukan HAM sangat penting. Hanya saja seluruh konstitusi
itu berbeda dalam menerjemahkan materi muatan HAM dalam
UUD. UUD 1945 periode I (1945-1949) hanya menegaskan
kedudukan hak asasi warga (HAW). Konstitusi RIS 1949 (1949-
1950) dan UUDS 1950 (1950-1959) memberikan kepastian hukum
yang tegas tentang Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
(Majda El-Muhtaj, 2015).
140 ---
BAB VII
DEMOKRASI
DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan
Gelombang demokrasi di berbagai negara menjadi fenomena
politik yang cukup menonjol semendak dekade 1970-an, seiring
dengan berjatuhannya rezim-rezim otoritarian. Jumlah gelombang
menuju demokrasi sejak dekade ini menurut Huntington secara
signifikan lebih banyak daripada transisi menuju ke arah sebaliknya.
Pada periode di antara 1974 dan 1990, dalam catatan Georg Sorense,
gelombang demokrasi berawal di Eropa bagian selatan (Yunani,
Spanyol, dan Portugal). Gelombang berikutnya terjadi di Amerika
Latin (Argentina, Uruguay, Peru, Ekuador, Bolivia, Brasil, dan
Paruguay) dan Amerika Tengah (Honduras, El Salvador, Nikaragua,
Guatemala, dan Meksiko). lalu , juga terjadi di Eropa Timur
(Polandia, Ceska, Hungaria, Rumania, Bulgaria, dan bekas Republik
Demokrasi Jerman), lalu Afrika dan negara-negara bekas Uni Soviet.
141---
Akhirnya, terjadi di Asia sejak hampir selama periode tahun 1970-
an, seperti Papua Nugini, Thailand, pakistan, Bangladesh, Filipina,
Korea Selatan, Taiwan, Mongolia, dan Nepal (Winataputra, 2001).
Demokrasi menjadi populer dan universal dewasa ini disebab kan
merupakan sistem politik terbaik yang pernah dicapai peradaban
manusia. Dibandingkan dengan fasisme yang telah lama berlalu,
serta komunisme dan pemerintah efektif, demokrasi liberal yang
berpasangan dengan kapitalisme dalam kancah ekonomi membuktikan
diri mampu bertahan dan bahkan semakin berkembang.
Menurut pendekatan alternatif, pendekatan ortodoks mencoba
mengukuhkan ortodoksi demokrasi dengan argumentasi baru yang
tidak banyak menawarkan penjelasan yang membantu. Pendekatan
ortodoks dalam melihat fenomena gelombang demokratisasi yang
berkembang universal dewasa ini lebih mendasarkan diri pada
perjalanan dialektika historis yang membuktikan demokrasi liberal
memang ideologi dan sistem politik terbaik sekaligus universal.
Demokrasi tidak dapat dibangun dan dijalankan dalam keadaan
lapar. Demokrasi hanya bisa tegak dalam warga serba
kecukupan. Pandangan demikian itu dalam realitas di beberapa
negara tidak terbukti. Taiwan, Singapura, dan Cina yaitu contoh
negara dengan pencapaian kemajuan ekonomi dan kesejahteraan
yang tinggi dalam struktur kekuasaan yang tidak demokratis atau
sebaliknya, India bisa menjalankan demokrasi dalam situasi ekonomi
yang stabil.
Gelombang demokrasi dua dekade terakhir ini memang harus
dijelaskan lebih mendalam, dalam berbagai konteks dan negara sebab
tidak ada faktor tunggal yang memicu gelombang ini .
ada variable yang saling terkait di level internal dan eksternal
masing-masing negara. Dalam artian gelombang demokrasi yang
melanda negara-negara yang lepas dari kekuasaan otoritarian tidak
serta-merta memuluskan transisi demokrasi menuju pembentukan
negara demokrasi, beserta seluruh perangkat kelembagaan dan
prosesnya pada keadaan yang sepenuhnya dalam kendali kekuatan
pro demokrasi (Winataputra, 2001).
142 ---
B. Demokrasi dan Negara Hukum di Indonesia
1. Transisi dan Konsolidasi Demokrasi
Transisi yaitu tahap yang paling penting sebab merupakan
proses peralihan kekuasaan politik, namun jalur yang ditempuh
oleh setiap negara dan oleh setiap negara dalam proses transisi
berbeda satu sama lain. Ada empat jalan atau jalur transisi
menurut Donald Share.
a. Transisi inkremental, yaitu jalan demokrasi seacara bertahap
yang bersifat gradual, yang melibatkan para pemimpin rezim
yang sedang berkuasa,
b. Jalur transisi yang berlangsung secara cepat dengan
melibatkan para pemimpin rezim secara konsensual,
c. Transisi lewat perjuangan revolusioner yang berlangsung
secara bertahap dan nonkonsensual,
d. Transisi lewat perpecahan (revolusi, kudeta, keruntuhan, dan
ekstriksi) yang berlangsung cepat tanpa melibatkan peran
pemimpin rezim (Winataputra, 2001).
Dari keempat jalur ini , Share lebih menaruh perhatian
serius pada jalur transisi yang dinilainya paling aman (damai) dan
cepat tanpa menimbulkan perpecahan sesudah transisi. Sementara
itu, Samuel Huntington mengajukan empat jalan, yaitu:
a. Jalan transformasi atau transisi menuju demokrasi yang
diprakarsai oleh rezim yang berkuasa.
b. Transisi lewat transplacement atau negosiasi di tengah antara
rezim yang berkuasa dengan kekuatan oposisi.
c. Jalan placement(pergantian) atau tekanan kekuasaan oposisi
dari bawah.
d. Intervensi dari luar (Muladi, 1997).
Namun demikian, apa pun jalur yang ditempuh masing-
masing negara, transisi demokrasi baru bisa dikatakan lengkap,
menurut Juan Linz dan Alfred Stepan, saat terjadi hal berikut.
a. Kesepakatan mengenai prosedur politik yang diperoleh sudah
mencukupi untuk menghasilkan pemerintah yang terpilih.
143---
b. Suatu pemerintahan memiliki kekuasaan yang dihasilkan
secara langsung melalui pemilihan umum yang bebas dan
langsung.
c. Pemerintah memiliki kewenangan secara de facto untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan baru.
d. Kekuasaan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif
diperoleh melalui demokrasi baru, bukan melalui pembagian
kekuasaan di antara lembaga-lembaga ini secara de jure
(Muladi, 1997).
Dalam transisi demokrasi, berlangsung juga konsolidasi
demokrasi sebagai usaha yang lebih terarah pada pemantapan
atau legitimasi untuk menumbuhkan keyakinan warga dan
kalangan elite bahwa demokrasi yaitu bentuk pemerintahan
terbaik, aturan-aturan yang disediakan di dalamnya merupakan
satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan. Dengan kata
lain, proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara
prinsipil komitmen seluruh elemen warga pada aturan
main demokrasi. Agenda konsolidasi yang ambisius ini
memerlukan peningkatan aturan hukum baru, penumbuhan
lembaga-lembaga baru, dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga
negara, sistem kepartaian, dan warga sipil. Sementara itu,
Juan Linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling berkaitan
dan menguatkan yang diperlukan agar demokrasi terkonsolidasi,
yakni:
a. Kondisi yang memungkinkan pengembangan warga
sipil yang bebas,
b. Adanya warga politik yang otonom,
c. Kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari
para pejabat pemerintah demokratik baru,
d. Harus ada birokrasi negara yang dapat dipergunakan
oleh pemerintah demokratik baru,
e. Keharusan akan adanya warga ekonomi yang
terlembagakan (Muladi, 1997).
Dalam kaitannya Pemilu pada dasarnya warga sipil dapat
menghancurkan rezim nondemokratis, namun untuk kepentingan
144 ---
konsolidasi, demokrasi harus menyertakan warga politik.
Konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya peningkatan
apresiasi warga negara atas lembaga inti. Dalam konteks itu,
kebijakan-kebijakan politik dan hukum HAM yang lahir di era
transisi tidak saja berupa penghapusan hukum-hukum yang
bertentangan dengan HAM, namun juga pembentukan hukum-
hukum HAM baru yang mengemban misi penguatan warga
sipil sejalan dengan demokrasi yang sedang dibangun.
Wacana lain penanganan pelanggaran HAM masa lalu di
era transisi dan konsolidasi demokrasi yaitu pengungkapan
kebenaran fakta atas kebenaran terjadinya suatu peristiwa. Hak
mengetahui kebenaran terkait dengan kewajiban melakukan
investigasi, klarifikasi, penyelidikan ataupun prosekusi dan
kompensasi bagi korban. Hak mengetahui kebenaran masa lampau
itu mengimplikasikan kewajiban negara untuk “mengingat”.
Kewajiban ini berhubungan dengan tugas untuk melakukan
klarifikasi, menjelaskan pada korban, keluarga, dan publik
tentang apa yang terjadi serta memotivasinya tentang adanya
kewajiban negara untuk melakukan perbaikan kedepan.
2. Transisi dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia
Pemerintahan pasca Orde Baru menyusun desain transisi
dan konsolidasi demokrasi dengan memulai suatu politik hukum
pemulihan hak-hak politik warga negara, serta menjamin
kelangsungannya melalui berbagai regulasi dan deregulasi
sebagaimana telah disinggung secara singkat di muka. Politik
hukum transisional masa yang dipakai untuk menemukan
format politik yang sesuai dengan kehendak Soeharto, yaitu
stabilitas politik sebagai basis bagi pembangunan ekonomi
nasional.
Trasnsisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru sesungguhnya
tidak dalam konteks transisi politik dari rezim otoritarian ke
rezim otoritarian yang lain. Soeharto sama sekali tidak melakukan
langkah-langkah pembaharuan hukum dan politik sebagaimana
transisi rezim otoritarian ke demokrasi.
Di negara yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta
145---
huruf, rendahnya pendidikan, buruknya kondisi ekonomi,
lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas otoritarian, wilayah
politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok kecil
elite politisi. Di samping itu, sejarah politik Indonesia sejak zaman
prapenjajahan hingga kemerdekaan tidak pernah mengalami
gaya-gaya pemerintah selain patrimonialisme dan otoritarianisme.
Dari sekian banyak prasyarat itu, hal pertama yang harus
diwujudkan yaitu soal konsesus elite atau persetujuan elite. Hal
ini melibatkan pengambilan keputusan tingkat tinggi, pemimpin
organisasi, politisi, petinggi pemerintah, kamu intelektual,
pebisnis, dan pembentuk opini.
Persetujuan elite yaitu hal yang jarang terjadi dan susah
dicapai. Mendamaikan elite yang berseteru untuk bernegosiasi
tentang perbedaan mereka bukanlah hal gampang. Bila tercapai,
menurut Burton dan Higley, akan ada dua akibat penting yaitu:
1) terbentuknya pola kompetisi politik damai dan terbuka antara
para elite, 2) terjadi transformasi ketidakstabilan yang berakibat
pada rendahnya pengambilan kekuasaan secara paksa dan tidak
disangka-sangka.
Persetujuan elite merupakan faktor krusial yang memberi
andil besar pada kegagalan eksperimen demokrasi Indonesia di
masa lalu. Namun, gelombang demokratisasi pada era reformasi
ini menunjukkan perkembangan positif dalam kemauan yang
lebih luas di kalangan elite politik untuk mencapai konsensus.
Adanya konsesus elite itu di tandai oleh:
a. Persetujuan para elite melakukan perubahan cakupan
mendasar pada konstitusi melalui amandemen beberapa
pasalnya, dengan resistensi yang sangat minimal;
b. Ada kesepakatan dari para pemegang senjata dengan para
elite negeri untuk tidak menghalangi atau membatasi proses
demokratisasi;
c. Desentralisasi dan distribusi kekuasaan politik sebagai usaha
menjaga kesatuan negara;
146 ---
d. Tercapai suatu kesepakatan di antara para elite baik individu
maupun kolektif untuk loyal pada institusi dan praktik
demokrasi;
e. Kesetiaan pada praktik dan institusi demokrasi dengan
mengabaikan latar belakang ideologis dan identitas,
mengantarkan proses pemoderasian pemikiran dan ideologi
yang berada di ujung spektrum berbeda (Mansyur Effendi,
1997).
3. Demokrasi dalam UUD 1945 Perubahan
Perubahan UUD 1945, selain mengubah norma-norma yang
memungkinkan prinsip-prinsip negara hukum dapat diwujudkan,
juga mengubah norma-norma demokrasi agar demokrasi
prosedural dan demokrasi subtantif juga dapat diwujudkan. Kalau
diperhatikan secara menyeluruh, materi perubahan pertama,
kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945 meliputi:
a. Mempertegas pembatasan