mahkamah konstitusi 6

Rabu, 13 September 2023

mahkamah konstitusi 6


tekanan warga , media massa, 
dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.3. Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga 
eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4. Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus independen dari 
pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5. Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan 
independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan 
maupun kelembagaan.
6. Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta 
memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan 
warga  pada  peradilan.
sedang  prinsip imparsial diuraikan pada bagian kedua Deklarasi 
sebagai berikut.34
“Ketakberpihakan yaitu  prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai 
pihak yang diharapkan memberikan pemecahan pada  setiap masalah  yang diajukan 
kepadanya. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam 
akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan masalah . Prinsip 
ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan masalah  sampai 
kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar 
diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang bermasalah  dan oleh 
warga  luas pada umumnya.”
Pelaksanaan prinsip ketidakberpihakan atau imparsial ini  yaitu 
sebagai berikut.
1. Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka (prejudice), 
melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.
2. Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar 
pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan 
warga , profesi hukum, dan para pihak yang bermasalah  pada  
ketakberpihakan hakim dan peradilan.
3. Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat 
memicu  hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa masalah  
dan mengambil keputusan atas suatu masalah .
4. Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas masalah  yang akan, 
sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan 
atau hakim lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan 
untuk memperjelas putusan.
5. Hakim – kecuali memicu  tidak terpenuhinya korum – harus 
mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu masalah  jika  hakim ini  tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak 
sebab  alasan-alasan di bawah ini:
a. Hakim ini  nyata-nyata mempunyai prasangka pada  salah 
satu pihak; dan/atau
b. Hakim ini  atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan 
langsung pada  putusan;
4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya 
ringan 
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan 
agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh 
lapisan warga . Prinsip ini sangat terkait dengan usaha  mewujudkan 
salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan 
berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan 
biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki 
kemampuan bermasalah  di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang 
pada akhirnya dapat menikmati keadilan.
Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan ditegaskan 
dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri 
sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya masalah . ini  berbeda 
dengan beberapa masalah  peradilan di bawah MA. 
Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua 
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 
menyatakan untuk penyelesaian masalah  perdata dan tata usaha negara, 
biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian masalah  dibebankan kepada 
pihak atau para pihak yang bermasalah . Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang 
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah 
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan biaya 
masalah  dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. 
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata 
Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 
51 Tahun 2009 menyatakan untuk mengajukan gugatan, penggugat 
membayar uang muka biaya masalah  yang besarnya ditaksir oleh panitera 
pengadilan.
Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya ada  ketentuan 
tentang biaya masalah . Namun dalam perkembangannya ketentuan ini  
dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa maksud dari pembentuk 
undang-undang yaitu memang menghapuskan biaya masalah  dalam proses peradilan MK. ini lah yang menjadi salah satu dasar keputusan hakim 
konstitusi untuk menghilangkan biaya masalah  dalam peradilan MK. Dengan 
demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat yaitu Cepat, 
Sederhana dan Bebas Biaya.35
Dengan tidak adanya biaya masalah  ini , pembiayaan penanganan 
masalah  di MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Pembebanan 
ini rasional sebab  masalah -masalah  di MK menyangkut masalah konstitusional 
yang di dalamnya kepentingan umum lebih mewarnai dibanding dengan 
kepentingan individual.
Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana 
dan berbiaya ringan yaitu penggabungan masalah  yang memiliki substansi 
sama, khususnya untuk masalah  pengujian UU. Dalam Pasal 11 ayat (6) 
PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  
Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan masalah  
dapat dilakukan berdasar usulan panel hakim pada  masalah  yang (a) 
memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi 
permohonan; atau (c) pertimbangan atas permintaan pemohon.
Dengan adanya penggabungan masalah  maka sidang pemeriksaan 
pada  masalah -masalah  yang digabungkan dilakukan sekaligus dalam suatu 
persidangan serta diputus dalam satu putusan. ini  akan mempercepat 
dan menyederhanakan proses persidangan, serta dapat mencegah adanya 
putusan yang bertentangan dengan materi permohonan yang sama.
5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)
Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara 
seimbang. Para pihak dalam ini  yaitu pihak-pihak yang saling berhadap￾hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun 
penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu ada  pihak-pihak 
yang saling berhadapan (adversarial). Untuk masalah  pengujian undang￾undang misalnya, hanya ada  pemohon. Pembentuk undang-undang, 
pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon.
Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak 
hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik 
peserta Pemilu dan KPU dalam masalah  perselisihan hasil Pemilu, melainkan 
juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan 
dengan masalah  yang sedang disidangkan. Untuk masalah  pengujian undangundang, selain pemohon pihak terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah 
sebagai pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk didengar 
keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara tidak 
langsung pada  undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi 
kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian 
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, 
KPU akan diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada 
saat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi 
advokat dapat memberikan keterangan.
Demikian pula halnya dalam masalah  konstitusi yang di dalamnya 
pada  pihak yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak menyampaikan 
keterangan tidak hanya diberikan kepada pemohon (peserta Pemilu) dan 
termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak terkait yang berkepentingan, 
yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut bermasalah  tetapi 
berkepentingan dengan putusan atas masalah  dimaksud. Untuk menjadi 
pihak terkait dan menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, 
dapat dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas 
undangan MK.
6. Hakim aktif dalam persidangan
Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam 
proses persidangan”.36 Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari masalah . 
Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum 
disampaikan oleh pemohon ke pengadilan. ini  yaitu  prinsip 
universal lembaga peradilan.
Pada saat suatu masalah  sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat 
bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang 
dimasalah kan. Dalam masalah -masalah  yang menyangkut kepentingan 
individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam masalah  yang banyak 
menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif. 
Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan sebab  hakim dipandang 
mengetahui hukum dari suatu masalah . ini  juga sesuai dengan asas ius 
curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum 
dari suatu masalah . Oleh sebab  itu pengadilan tidak boleh menolak suatu 
masalah  dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu 
dapat aktif dalam persidangan.Sesuai dengan sifat masalah  konstitusi yang selalu lebih banyak 
menyangkut kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim 
konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data baik 
dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial).37
Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang 
disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi 
dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak ini . Hakim konstitusi untuk 
keperluan memeriksa suatu masalah  dapat memanggil saksi dan/atau ahli 
sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK.38 Hakim 
konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya 
dalam forum diskusi tertutup.39
7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa).
Asas praduga keabsahan yaitu bahwa tindakan penguasa dianggap sah 
sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. berdasar asas ini, 
semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan 
konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam ini  
berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi 
maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah 
tindakan ini  dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan 
itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasar 
aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, jika  ada usaha  hukum 
untuk melakukan pengujian pada  tindakan dimaksud, maka tindakan 
itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian. 
Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada 
kekuatan mengikat putusan MK yaitu sejak selesai dibacakan dalam 
sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya 
putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku 
dan dapat dilaksanakan. ini  secara khusus dapat dilihat dari wewenang 
MK memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional 
lembaga negara, dan perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan 
UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang 
menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam masalah  sengketa 
kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan 
termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 
sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada masalah  
perselisihan hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu 
yang dimohonkan keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan 
dapat dijalankan sebelum ada putusan MK yang membatalkan keputusan 
KPU itu









Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang, 
walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami perkembangan yang sangat 
pesat dan tidak sepenuhnya dapat diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan 
itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif 
yaitu tiga cabang kekuasaan yang selalu ada  dalam organisasi negara. 
Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
berdasar Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasan kehakiman 
yaitu  kekuasaan yang merdeka untuk untuk menyelenggarakan 
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman 
diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang 
berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat 
(2) UUD 1945]. Dengan demikian, kedudukan MK yaitu sebagai salah 
satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK yaitu lembaga 
peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam 
lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai pelaku kekuasaankehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA, 
serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang 
berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan 
atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi 
Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan 
penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasar 
dan di bawah naungan konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki 
oleh MK yaitu fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. 
Namun fungsi ini  belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi 
yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang 
pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh 
sebab  itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan 
MK yaitu konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai 
sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral 
konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan 
hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara. 
Di dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas 
dan fungsi MK yaitu menangani masalah  ketatanegaraan atau masalah  
konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan 
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita 
demokrasi. Selain itu, keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai koreksi 
pada  pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda 
atas konstitusi.20
Fungsi ini  dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu 
memeriksa, mengadili, dan memutus masalah  tertentu berdasar 
pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK 
yaitu  penafsiran pada  konstitusi. berdasar latar belakang ini 
setidaknya ada  5 (lima) fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan 
dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the 
guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of
the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), 
pelindung hak konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s 
constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C 
UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang ini  meliputi:
1. menguji undang-undang pada  Undang-Undang Dasar;
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya 
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. memutus pembubaran partai politik dan 
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
sedang  kewajiban MK yaitu memberikan putusan atas pendapat 
DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden 
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
C. Susunan Hakim Konstitusi
Kekuasaan menjalankan peradilan yang dimiliki oleh MK sebagai 
lembaga dijalankan oleh hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 
menyatakan MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang 
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh 
MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. 
Dalam mengajukan calon hakim konstitusi, MA, DPR, dan Presiden 
harus memperhatikan ketentuan Pasal 19 UU MK yang menyatakan 
pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. 
Penjelasan ketentuan ini menyatakan calon hakim konstitusi harus 
dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik agar warga  
mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim 
konstitusi yang bersangkutan. Tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan 
hakim konstitusi dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel, yang dapat 
diatur oleh masing-masing lembaga.21
Setiap sidang pleno yang dilakukan oleh MK untuk memeriksa, 
mengadili, dan memutus masalah  harus dilakukan oleh 9 (sembilan) 
hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 
7 (tujuh) hakim konstitusi.22 Sebelum sidang pleno, dapat dibentuk panel 
hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) hakim 
konstitusi. Hasil sidang panel dibahas dalam sidang pleno untuk diambil 
putusan.23 Panel hakim pada awalnya dibentuk untuk melakukan persidangan 
pemeriksaan pendahuluan, yaitu persidangan memeriksa kelengkapan dan 
kejelasan materi permohonan serta memberikan nasihat perbaikan kepada 
pemohon. Panel Hakim dapat melakukan sidang lagi untuk pemeriksaan perbaikan permohonan. Dalam perkembangannya, terutama untuk masalah  
yang harus diputus dalam waktu cepat (misalnya PHPU), panel hakim 
juga melakukan sidang pemeriksaan. Hasil pemeriksaan panel hakim itu 
dilaporkan kepada pleno hakim untuk diambil putusan. Dengan demikian, 
walaupun pemeriksaan dilakukan oleh panel hakim, putusan tetap diambil 
oleh pleno hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Perkembangan ini  terjadi sejak MK melaksanakan wewenangnya 
memutus PHPU tahun 2004 di mana untuk pemeriksaan PHPU legislatif 
dibentuk panel hakim yang terdiri atas 3 hakim konstitusi. sedang  
untuk memeriksa PHPU Presiden saat itu dibentuk dua panel hakim 
yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi dan 5 orang hakim konstitusi.24
Perkembangan ini lalu diwadahi dalam PMK Nomor 16 Tahun 
2009 yang di dalam Pasal 9 ayat (1) menyatakan “Pemeriksaan Persidangan 
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau 
Pleno Hakim”.
Setiap sidang pleno dipimpin oleh Ketua MK. jika  Ketua MK 
berhalangan, persidangan dipimpin oleh Wakil Ketua MK. jika  keduanya 
berhalangan, sidang dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh 
hakim konstitusi yang hadir.25 sedang  sidang panel hakim dipimpin oleh 
Ketua Panel Hakim yang ditentukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk 
mengawal konstitusi agar dilaksanakan oleh ketentuan di bawahnya, MK 
yaitu lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi sehingga 
sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hal itu 
juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, masalah -masalah  yang menjadi 
wewenang MK yaitu masalah -masalah  konstitusional, yaitu masalah  yang 
menyangkut konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, 
sebagai konsekuensinya, dasar utama yang dipakai oleh MK dalam 
memeriksa, mengadili, dan memutus masalah  yaitu konstitusi itu sendiri. 
Walaupun ada  ketentuan undang-undang yang berlaku dan mengatur 
bagaimana MK menjalankan wewenangnya, jika undang-undang ini  
bertentangan dengan konstitusi MK dapat mengesampingkan atau bahkan 
membatalkannya jika dimohonkan.27
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur 
prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Ada 
juga yang menyebut dengan istilah lain, seperti Hukum Acara Peradilan 
Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata Negara, dan lain-lain. Penggunaan istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dipilih sebab  memang terkait 
dengan masalah -masalah  yang menjadi wewenang MK.28
Hukum Acara MK yaitu hukum formil yang berfungsi untuk 
menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum konstitusi yang 
menjadi wewenang MK. Oleh sebab  itu keberadaan Hukum Acara MK 
dapat disejajarkan dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan 
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki 
karakteristik khusus, sebab  hukum materiil yang hendak ditegakkan tidak 
merujuk pada undang-undang atau kitab undang-undang tertentu, melainkan 
konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri.
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku 
secara umum dalam masalah -masalah  yang menjadi wewenang MK 
serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang 
dimaksud. Oleh sebab  itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara 
Pengujian Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan 
Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Hukum 
Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat 
DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil 
Presiden





















1. Gagasan Judicial Review dan Kelembagaan Mahkamah 
Konstitusi
Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum 
dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan 
atau judicial review.
1
 Walaupun ada  ahli yang mencoba menarik sejarah 
judicial review hingga masa yunani kuno dan pemikiran sebelum abad ke-19,2
tetapi momentum utama munculnya judicial review yaitu pada keputusan 
MA Amerika Serikat dalam masalah  Marbury vs. Madison pada 1803. Dalam 
masalah  ini , MA Amerika Serikat membatalkan ketentuan dalam Judiciary 
Act 1789 sebab  dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. 
Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang￾undang yang memberikan wewenang judicial review kepada MA, namun 
para hakim agung MA AS yang diketuai oleh John Marshal berpendapat 
hal itu yaitu kewajiban konstitusional mereka yang telah bersumpah 
untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi. Sumpah hakim agung 
AS yaitu sebagai berikut:3
I do solemnly swear that I will administer justice without respect to persons, and do equal 
right to the poor and to the rich; and that I will faithfully and impartially discharge all 
the duties incumbent on me as according to the best of my abilities and understanding, 
agreeably to the constitution, and laws of the United Statesberdasar sumpah ini , MA memiliki kewajiban untuk menjaga 
supremasi konstitusi, termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. 
Oleh sebab  itu, sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang 
bertentangan dengan konstitusi harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan 
hukum mengikat. Hal itu bukan saja yaitu  kewajiban konstitusional 
pengadilan, melainkan juga lembaga negara lain sebagaimana secara tegas 
dinyatakan oleh John Marshall di akhir opininya sebagai berikut.4
Thus, the particular phraseology of the constitution of the United States confirms and
strengthens the principle, supposed to be essential to all written constitutions, that a law 
repugnant to the constitution is void; and that courts, as well as other departments, are 
bound by that instrument.
pada  perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard 
menyatakan judicial review yaitu  bagian dari sistem checks and 
balances yang telah ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and 
balances yaitu  elemen esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin 
bahwa cabang pemerintahan tidak boleh berkuasa penuh, apalagi terkait 
dengan pelaksanaan undang-undang yang menyangkut hak kepemilikan.5
Putusan MA Amerika Serikat ini  memicu perdebatan tentang 
judicial review hingga ke daratan eropa yang pada saat itu didominasi 
pandangan bahwa hukum yaitu manifestasi dari kedaulatan rakyat yang 
menghendaki supremasi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. 
Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk menerapkan suatu undang￾undang walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar. Pandangan 
ini  sedikit berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan 
yang memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak menerapkan 
suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tanpa 
mencampuri kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat diikuti 
dengan pencabutan oleh pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong George Jellinek 
mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar pada  MA Austria 
ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang dipraktikkan 
oleh John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang 
mengadili sengketa antara warga negara dengan pemerintahan terkait 
dengan perlindungan hak politik, bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan konstitusional yang diajukan 
warga negara atas tindakan negara (constitutional complaint).
6
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani 
masalah  judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada 
saat menjadi anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria 
pada 1919 – 1920. Gagasan ini  diterima dan menjadi bagian dalam 
Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah Konstitusi 
(Verfassungsgerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan berkembang lembaga 
Mahkamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus menangani 
judicial review dan masalah -masalah  konstitusional lainnya.7
berdasar latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK 
pada awalnya yaitu untuk menjalankan wewenang judicial review, sedang  
munculnya judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan 
hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan 
MK dipahami sebagai bagian dari usaha  mewujudkan mekanisme checks and 
balances antar cabang kekuasaan negara berdasar prinsip demokrasi. Hal 
ini terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai 
negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan 
memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada 
suara mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya yaitu pembuatan 
kebijakan publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan 
yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi sebab  dapat 
menjadi legitimasi bagi penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan 
demokrasi itu sendiri. Oleh sebab  itu diperlukan pembatasan yang rasional, 
bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru 
menjadi salah satu esensi demokrasi.8
 Mekanisme judicial review yang di 
banyak negara dijalankan oleh MK yaitu  mekanisme untuk membatasi 
dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.Dalam sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan negara 
diatur dengan model pemisahan ataupun pembagian kekuasaan yang 
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak 
terjadi penyalahgunaan kekuasaan“Power tends to corrupt, absolut power corrupt 
absolutely”. Kekuasaan negara dibagi atas cabang-cabang tertentu menurut 
jenis kekuasaan dan masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga 
yang berbeda. Dalam perkembangnya kelembagaan negara dan pencabangan 
kekuasaan semakin kompleks dan tidak dapat lagi dipisahkan secara tegas 
hanya menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kondisi ini  sangat 
memungkinkan terjadinya konflik atau sengketa antar lembaga negara, baik 
horizontal maupun vertikal yang harus dibuat mekanisme penyelesaiannya. 
Di sinilah keberadaan MK diperlukan.
Mengingat permasalahan konstitusional di atas, MK sering dicirikan 
sebagai pengadilan politik. Bahkan judicial review secara tradisional dipahami 
sebagai tindakan politik untuk menyatakan suatu ketentuan tidak 
konstitusional oleh pengadilan khusus yang berisi para hakim yang dipilih 
oleh parlemen dan lembaga politik lain, dan bukan oleh pengadilan biasa 
yang didominasi oleh hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.10
Dari sisi hukum, keberadaan MK yaitu konsekuensi dari prinsip 
supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjaganya 
diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang 
lebih rendah dengan aturan hukum di atasnya. Kelsen menyatakan:11
The application of the constitutional rules concerning legislation can be effectively guaranted 
only if an organ other than the legislative body is entrusted with the task of testing 
whether a law is constitutional, and of annulling it if – according to the opinion of 
this organ – it is “unconstitutional”. There may be a special organ established for this 
purpose, for instance, a special court, a so-called “constitutional court”...
Pandangan ini  yaitu  konsekuensi dari dalil hierarki norma 
hukum yang berpuncak kepada konstitusi sebagai the supreme law of the land. 
Hierarki ini  sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma 
hukum yaitu norma hukum yang berada di atasnya demikian seterusnya 
hingga ke puncak dan sampai pada konstitusi pertama.
Konsekuensi dari supremasi konstitusi tidak hanya terbatas bahwa 
semua aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Supremasi 
konstitusi juga mengikat kepada tindakan negara sehingga tidak ada satu 
pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, ada  mekanisme constitutional complaint
yang menjadi salah satu wewenang pokok MK di berbagai negara.
2. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI
Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu  lembaga peradilan sebagai 
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung 
(MA), yang dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945.12 Indonesia 
yaitu  negara ke-78 yang membentuk MK. Pembentukan MK sendiri 
yaitu  fenomena negara modern abad ke-20.
Ide pembentukan MK di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi 
pada saat dilakukan perubahan pada  UUD 1945. Namun demikian, 
dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 
1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad 
Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu 
diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun Prof. 
Soepomo menolak pendapat ini  sebab  memandang bahwa UUD 
yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham trias politika 
dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki 
pengalaman judicial review.
13
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review pernah menjadi 
salah satu wewenang MA, tetapi terbatas untuk menguji Undang-Undang 
Negara Bagian pada  konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 
157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS. sedang  di dalam UUDS 1950, tidak 
ada lembaga pengujian undang-undang sebab  undang-undang dipandang 
sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah 
bersama DPR.14
Di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II MPRS 
(1966-1967) yang merekomendasikan diberikannya hak menguji material 
UU kepada MA. Namun rekomendasi ini  ditolak oleh pemerintah. 
Pemerintah menyatakan hanya MPR lah yang dapat bertindak 
sebagai pengawal konstitusi.15 Hal itu sudah pernah dilakukan oleh MPRS 
melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPRS 
Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang Peninjauan Kembali Produk Hukum Legislatif Di Luar Produk Hukum MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan 
UUD 1945.16
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian undang-undang 
pada  Undang-Undang Dasar, kembali muncul pada saat pembahasan 
RUU Kekuasaan Kehakiman yang lalu ditetapkan menjadi 
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan 
Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim Indonesia yang mengusulkan agar MA 
diberikan wewenang menguji undang-undang pada  Undang-Undang 
Dasar. Namun sebab  ketentuan ini  dipandang yaitu  materi 
muatan konstitusi sedang  dalam UUD 1945 tidak diatur sehingga 
usul itu tidak disetujui oleh pembentuk undang-undang. MA ditetapkan 
memiliki wewenang judicial review secara terbatas, yaitu menguji peraturan 
perundang-undangan di bawah undang-undang pada  undang-undang, 
itupun dengan ketentuan harus dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang 
mustahil dilaksanakan. Ketentuan ini juga dituangkan dalam Tap MPR 
Nomor VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978.17
Perdebatan mengenai hak menguji muncul lagi pada pertengahan tahun 
1992 saat  Ketua MA Ali Said menganggap bahwa pemberian hak uji kepada 
MA yaitu hal yang proporsional sebab  MA yaitu  salah satu pilar 
demokrasi. Jika dua pilar lain, yaitu Presiden dan DPR bertugas membuat 
dan menetapkan UU, maka MA bertugas mengujinya. Gagasan ini  
yaitu  gagasan yang didasarkan pada prinsip checks and balances.
18
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari 
Perubahan Ketiga UUD 1945, wewenang menguji undang-undang pada  
UUD 1945 dipegang oleh MPR. Hal itu diatur dalam Ketetapan MPR 
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan 
Perundang-Undangan. Pasal 5 ayat (1) ketetapan ini  menyatakan 
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang 
pada  Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Namun pengujian ini tidak dapat disebut sebagai judicial review, sebab  dilakukan 
oleh MPR yang bukan yaitu  lembaga peradilan.
Pada awalnya ada  tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi 
kewenangan melakukan pengujian UU pada  UUD, yaitu MPR atau 
MA atau MK. Gagasan memberikan wewenang ini  kepada MPR 
akhirnya dikesampingkan sebab , di samping tidak lagi sebagai lembaga 
tertinggi, MPR bukan yaitu  kumpulan ahli hukum dan konstitusi, 
melainkan wakil organisasi dan kelompok kepentingan politik. Gagasan 
memberi wewenang pengujian UU kepada MA juga akhirnya tidak dapat 
diterima sebab  MA sendiri sudah terlalu banyak beban tugasnya dalam 
mengurusi masalah  yang sudah menjadi kompetensinya. Itulah sebabnya 
wewenang pengujian UU pada  UUD akhirnya diberikan kepada 
lembaga tersendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku 
kekuasaan kehakiman.
Pembentukan MK RI dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi 
politik dan dari sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan 
MK diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-undang 
yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu diperlukan agar undang￾undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR 
dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.
Di sisi lain, perubahan ketatanegaraan yang tidak lagi menganut 
supremasi MPR menempatkan lembaga-lembaga negara pada posisi yang 
sederajat. Hal itu memungkinkan – dan dalam praktik sudah terjadi – 
muncul sengketa antar lembaga negara yang memerlukan forum hukum 
untuk menyelesaikannya. Kelembagaan paling sesuai yaitu Mahkamah 
Konstitusi.
Dari sisi hukum, keberadaan MK yaitu salah satu konsekuensi 
perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip 
negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum. Pasal 1 ayat 
(1) UUD 1945 menyatakan Negara Indonesia ialah negara kesatuan 
yang berbentuk republik. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai 
kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam 
prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional. 
Kesatuan sistem hukum nasional ditentukan oleh adanya kesatuan dasar 
pembentukan dan pemberlakuan hukum, yaitu UUD 1945. Substansi 
hukum nasional dapat bersifat pluralistik, tetapi keragaman itu memiliki 
sumber validitas yang sama, yaitu UUD 1945.Pasal 1 ayat (1) juga menyatakan Negara Indonesia berbentuk 
republik. Di dalam negara republik penyelenggaraan negara dimaksudkan 
untuk kepentingan seluruh rakyat melalui sistem demokrasi, yaitu 
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Penyelenggaraan negara 
harus yaitu  wujud kehendak seluruh rakyat yang termanifestasikan 
dalam konstitusi. Oleh sebab  itu segenap penyelenggaraan negara harus 
dilaksanakan berdasar konstitusi yang dikenal dengan prinsip supremasi 
konstitusi. 
Prinsip supremasi konstitusi juga telah diterima sebagai bagian dari 
prinsip negara hukum.19 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan 
bahwa Negara Indonesia yaitu negara hukum. Hukum yaitu satu kesatuan 
sistem yang hierarkis dan berpuncak pada konstitusi. Oleh sebab  itu 
supremasi hukum dengan sendirinya berarti juga supremasi konstitusi.
Prinsip supremasi konstitusi juga ada  dalam Pasal 1 ayat (2) 
menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan 
menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian konstitusi menjadi 
penentu bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan kedaulatan rakyat 
dalam penyelenggaraan negara dengan batas sesuai dengan wewenang 
yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri. Bahkan, konstitusi juga 
menentukan substansi yang harus menjadi orientasi sekaligus sebagai 
batas penyelenggaraan negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi manusia 
dan hak konstitusional warga negara yang perlindungan, pemenuhan, dan 
pemajuannya yaitu tanggung jawab negara.
Agar konstitusi ini  benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, 
maka harus dijamin bahwa ketentuan hukum di bawah konstitusi 
tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri dengan memberikan 
wewenang pengujian serta membatalkan jika memang ketentuan hukum 
dimaksud bertentangan dengan konstitusi. Pengujian ini sangat diperlukan 
sebab  aturan hukum undang-undang itulah yang akan menjadi dasar 
penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran yang paling mendasar yaitu 
ada atau tidaknya pelanggaran pada  hak konstitusional yang ditentukan 
dalam UUD 1945. Dengan latar belakang ini , MK RI dibentuk melalui 
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 
24C, dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, tidak dengan 
sendirinya MK sebagai organisasi telah terbentuk walaupun dari sisi hukum 
kelembagaan itu sudah ada. Untuk mengatasi kekosongan ini  pada 
Perubahan Keempat UUD 1945 ditentukan dalam Aturan Peralihan Pasal 
III bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk pada 17 Agustus 2003. 
Sebelum terbentuk, segala kewenangan MK dilakukan oleh MA. 
UU MK, yaitu UU No. 24 Tahun 2003 disahkan pada 13 Agustus 
2003. Waktu pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi. 
berdasar UU MK, pembentukan Mahkamah Konstitusi segera dilakukan 
melalui rekrutmen Hakim Konstitusi oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, 
Presiden, dan Mahkamah Agung. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai 
mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga, akhirnya DPR, 
Presiden, dan MA menetapkan masing-masing tiga calon Hakim Konstitusi 
yang lalu ditetapkan oleh Presiden sebagai Hakim Konstitusi. 
Sembilan Hakim Konstitusi pertama ditetapkan pada 15 Agustus 2003 
dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. Pengucapan 
sumpah jabatan kesembilan hakim ini  dilakukan di Istana Negara 
pada 16 Agustus 2003.



S umber H ukum A cara M ahkamah
Konstitusi
Kata sumber hukum menurut Zevenbergen sering dipakai dalam 
beberapa arti, yaitu:40
a. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang yaitu  permulaan hukum, 
misanya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya.
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum 
yang sekarang berlaku: hukum Perancis, hukum Romawi.
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada 
peraturan hukum (penguasa, warga ).
d. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, 
undang-undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hukum.
Para ahli hukum pada umumnya membagi sumber hukum dalam dua 
jenis, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber 
hukum materiil yaitu tempat dari mana hukum itu diambil. Untuk 
dapat melihat sumber hukum materiil dari sebuah aturan harus terlebih 
dahulu dilihat isi dari aturan ini , lalu melacak faktor-faktor yang 
mempengaruhi pembentukan hukum sehingga menghasilkan karakter isi 
hukum yang demikian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan 
hukum ini  dapat berupa pandangan hidup, hubungan sosial dan 
politik, situasi ekonomi, corak peradaban (agama dan kebudayaan) dan 
letak geografis, serta konfigurasi internasional, sehingga dapat ditentukan 
sumber-sumber hukum materiil yang ikut mempengaruhi pembentukan isi hukum. Menurut Zevenbergen sumber hukum materiil meliputi pengertian￾pengertian tentang asas hukum, hukum terdahulu yang memberi bahan￾bahan pada hukum yang berlaku saat ini, dan sebagai sumber terjadinya 
hukum.
Sumber hukum formil yaitu tempat atau sumber dari mana suatu 
aturan memperoleh kekuatan hukum. ini  berkaitan dengan bentuk 
atau cara yang memicu  peraturan itu menjadi secara formal berlaku. 
Dalam pengantar ilmu hukum telah dipelajari bahwa norma atau kaidah 
terdiri dari berbagai macam dengan cirinya masing-masing. Norma hukum 
memiliki ciri mempunyai kekuatan mengikat yang dapat dipaksakan dan 
memiliki sanksi eksternal. Suatu norma untuk dapat menjadi norma hukum 
harus melalui cara tertentu dan memiliki bentuk tertentu. Dari bentuk 
inilah dapat diketahui bahwa suatu aturan yaitu hukum dan bukan norma 
susila, agama, atau norma yang lain. sebab  bentuk itulah aturan ini  
menjadi berlaku dan mengikat semua pihak.
Untuk mengetahui sumber hukum acara MK tentu juga dapat didekati 
dari aspek materiil dan formil. Dari aspek materiil, untuk mengetahui 
sumber hukum acara MK harus dilihat dari mana materi ketentuan hukum 
acara dimaksud diambil atau hal apa saja yang mempengaruhi materi 
hukum acara MK. Dalam konteks hukum nasional, hukum acara MK 
tentu bersumber pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa 
Indonesia, yaitu Pancasila. Selain itu yang menentukan materi hukum acara 
MK yaitu asas-asas hukum terkait dengan penyelenggaraan peradilan yang 
disesuaikan dengan karakteristik hukum acara MK dan dijadikan sebagai 
asas hukum acara MK. Asas-asas dan materi hukum acara MK ini  
dalam pembuatannya dipengaruhi oleh teori atau ajaran hukum, terutama 
teori konstitusi dan ilmu hukum tata negara.
sedang  sumber hukum formil hukum acara MK yaitu ketentuan 
hukum positif yang mengatur hukum acara MK atau paling tidak terkait 
dengan hukum acara MK. Ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 
menyatakan hukum acara yaitu  salah satu hal terkait dengan 
keberadaan MK yang akan diatur dengan undang-undang. Hukum Acara 
MK diatur di dalam UU MK, yaitu pada Bab V mulai dari Pasal 28 hingga 
Pasal 85. 
Selain UU MK, tentu ada  berbagai ketentuan perundang-undangan 
lain yang terkait dengan wewenang MK. Beberapa UU lain yang juga 
menjadi sumber hukum dalam proses peradilan MK antara lain1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 
Kehakiman.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-Undangan;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 
(Beserta Perubahannya);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara 
Pemilihan Umum;
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum 
Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum 
Presiden dan Wakil Presiden;
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, 
dan DPRD.
Untuk melengkapi ketentuan hukum acara dalam UU MK, Pasal 86 
UU MK menyatakan MK dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang 
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Penjelasan 
pasal ini menyatakan ketentuan ini  dimaksudkan untuk mengisi 
kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara. 
Ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk membuat Peraturan 
Mahkamah Konstitusi (PMK) yang mengatur berbagai hal guna kelancaran 
pelaksanaan tugas dan wewenang, termasuk hukum acara MK.
PMK yang mengatur hukum acara MK meliputi:
1. PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  
Pengujian Undang-Undang.
2. PMK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa 
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
3. PMK Nomor 12/PMK/2008 tentang Prosedur Beracara Dalam 
Pembubaran Partai Politik.
4. PMK Nomor 15/Tahun/2008 tentang Pedoman Beracara Dalam 
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
5. PMK Nomor 16/Tahun/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam 
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. PMK Nomor 17/Tahun/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam 
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.7. PMK Nomor 18/Tahun/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan 
Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh 
(Video Conference).
8. PMK Nomor 19/Tahun/2009 tentang Tata Tertib Persidangan.
9. PMK Nomor 21/Tahun/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam 
Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan 
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selain UU MK dan PMK, Hukum Acara MK telah berkembang 
seiring dengan perkembangan masalah  dan putusan MK. Oleh sebab  itu 
putusan-putusan MK juga menjadi dasar untuk mempelajari Hukum Acara 
MK yang melengkapi atau bahkan mengubah ketentuan dalam undang￾undang dan PMK.
D. Kekhususan Hukum Acara MK
Sesuai dengan sifat masalah  yang termasuk dalam wewenang peradilan 
MK, ada  karakteristik khusus peradilan MK yang berbeda dengan 
peradilan yang lain. Karakteristik utama yaitu dasar hukum utama yang 
dipakai dalam proses peradilan baik terkait dengan substansi masalah  
maupun hukum acara yaitu konstitusi itu sendiri, yaitu UUD 1945. 
Walaupun ada  berbagai ketentuan undang-undang dan PMK sebagai 
dasar memeriksa, mengadili, dan memutus masalah , namun ketentuan 
ini  dipakai sepanjang dinilai tidak bertentangan dengan UUD 
1945. ini  tidak terlepas dari sifat wewenang MK yang pada hakikatnya 
yaitu mengadili masalah -masalah  konstitusional.
Wewenang MK memutus pengujian undang-undang, yaitu menguji 
konstitusionalitas suatu undang-undang. Wewenang memutus sengketa 
kewenangan lembaga negara pada hakikatnya yaitu memutus kewenangan 
suatu lembaga negara yang dipersengketakan konstitusionalitasnya. 
Wewenang memutus pembubaran partai politik yaitu wewenang memutus 
konstitusionalitas suatu partai politik. Demikian pula halnya dengan 
wewenang memutus pendapat DPR dalam proses pemakzulan Presiden 
dan/atau Wakil Presiden.
Pada awalnya ada  satu wewenang MK yang dipandang tidak 
terkait dengan pertanyaan atau isu konstitusi, yaitu memutus perselisihan 
tentang hasil Pemilu. UU MK menentukan bahwa wewenang MK 
ini  yaitu memutus perselisihan atau perbedaan penghitungan hasil 
Pemilu yang terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Namun dalam perkembangan penanganan perselisihan hasil Pemilu, MK 
menegaskan bahwa wewenang ini  juga meliputi wewenang menguji 
konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu.
Dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU.B-II/2004 
mengenai Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan oleh pasangan calon 
Presiden dan Wakil Presiden Wiranto dan Salahuddin Wahid, MK 
menyatakan MK berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu 
berlangsung sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, 
dan adil, sebagai berikut.41
Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga 
agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah 
digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan 
bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan 
adil, serta diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, 
tetap, dan mandiri. 
Pergeseran ini  dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 41/
PHPU.D-VI/2008 mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi 
Jawa Timur. Dalam putusan ini  MK menegaskan bahwa wewenang 
memutus PHPU tidak terbatas pada menilai dan mengadili perselisihan 
penghitungan hasil, tetapi juga pelanggaran yang memicu  terjadinya 
perbedaan penghitungan hasil, demi menjaga dan menegakkan keadilan 
dan demokrasi yang diatur dalam UUD 1945. Paragraf [3.28] Putusan 
MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 menyatakan:
Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak 
hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan 
suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil 
penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis￾matematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di 
bawah pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan 
biasa. Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undang￾undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah yaitu hasil penghitungan suara, namun 
pelanggaran-pelanggaran yang memicu  terjadinya hasil penghitungan suara yang 
lalu dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan. ini  
sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,” Kekuasaan 
kehakiman yaitu  kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan 
guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang 
berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian 
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” lalu kedua 
ketentuan UUD 1945 ini  dituangkan lagi ke dalam Pasal 45 ayat (1) UU 
MK yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutus masalah  berdasar Undang￾Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti 
dan keyakinan hakim”;Selanjutnya, dalam Paragraf [3.29] juga ditegaskan sebagai berikut.
Menimbang bahwa pada hakikatnya fungsi dan peran Mahkamah dimaksudkan, 
antara lain, untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat 
padanya. Demokrasi yaitu salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD 
1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada 
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Oleh sebab itu, 
Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur 
di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga 
menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam 
pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada (vide Penjelasan Umum 
UU MK);

Sebagai lembaga peradilan, MK menjalankan wewenang yang dimiliki 
berdasar permohonan yang diterima. Istilah yang dipakai dalam UU 
Nomor 24 Tahun 2003 yaitu “permohonan” bukan “gugatan” seperti 
dalam hukum acara perdata.42 Istilah “permohonan” memang seolah-olah 
menunjukkan bahwa masalah  yang diajukan bersifat satu pihak (ex parte
atau voluntair), padahal dalam kelima wewenang yang dimiliki MK dapat 
dikatakan empat diantaranya ada  pihak termohon. 
Istilah “permohonan” digunakan, menurut Maruarar Siahaan, yaitu 
sebab  nuansa kepentingan umum yang dominan dalam setiap masalah  
yang ditangani MK.43 Walaupun suatu masalah  diajukan oleh individu warga 
negara, namun putusannya berlaku umum dan mempengaruhi hukum dan 
ketatanegaraan. 
Pada saat wewenang MK masih dijalankan oleh MA, yaitu sebelum 
terbentuknya UU No. 24 Tahun 2003 setelah perubahan keempat UUD 
1945,44 dipakai dua istilah yang berbeda, yaitu permohonan dan 
gugatan. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2002 
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi Oleh 
Mahkamah Agung memakai  istilah permohonan untuk masalah  (1) 
pengujian undang-undang; (2) sengketa kewenangan lembaga negara yang 
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; dan (3) memutus 
pendapat DPR tentang dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah 
melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi 
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
diatur dalam UUD 1945. Istilah gugatan dipakai dalam masalah  (1) 
perselisihan hasil pemilihan umum; dan (2) pembubaran partai politik. 
Namun dengan adanya UU Nomor 24 Tahun 2003 istilah yang dipakai 
untuk semua masalah  yaitu permohonan.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh 
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.45 Dengan demikian 
setiap permohonan harus ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, 
serta dibuat 12 rangkap.46 Di dalam permohonan harus diuraikan secara 
jelas masalah  yang dimohonkan terkait dengan salah satu wewenang MK. 
Permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan 
dimaksud, walaupun tidak menutup kemungkinan pemohon atau pihak 
terkait mengajukan bukti tambahan dalam proses persidangan. Selain itu, 
Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menentukan bahwa permohonan 
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sesuai dengan 
masalah  yang dimohonkan;
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.

. Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan 
Sidang
Permohonan yang diajukan kepada MK diterima oleh petugas penerima 
permohonan untuk disampaikan kepada Panitera MK yang akan melakukan 
pemeriksaan kelengkapan permohonan. Selain berkas permohonan masalah  
(hard copy) dalam praktik pemohon juga diminta untuk menyerahkan 
permohonan dalam bentuk soft copy atau file. Pemeriksaan yang dilakukan 
oleh panitera ini bersifat kelengkapan administratif, bukan pada  
substansi permohonan. Pemeriksaan administrasi ini misalnya meliputi 
jumlah rangkap permohonan, surat kuasa, kejelasan identitas, serta daftar 
alat bukti sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) 
UU No. 24 Tahun 2003.
Permohonan yang dinyatakan belum lengkap belum dapat dicatat dalam 
Buku Registrasi masalah  Konstitusi (BRPK). Pemohon wajib melengkapi 
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan 
kekuranglengkapan ini  diterima pemohon. Hanya permohonan yang 
telah dinyatakan lengkap yang dicatat dalam BRPK yang memuat antara 
lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai dengan pencantuman 
nomor masalah , tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, 
dan pokok masalah .47
Setelah permohonan dinyatakan lengkap dan diregistrasi dalam BRPK, 
MK akan menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling 
lambat 14 (empat belas) hari kerja. Artinya, penetapan jadwal sidang pertama 
dimaksud yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diregistrasi, 
sedang  sidang pertama itu sendiri dapat dilakukan lebih dari 14 (empat 
belas) hari kerja.48 Penetapan jadwal sidang pertama ini harus diberitahukan 
kepada para pihak dan diumumkan kepada warga . Pengumuman ini 
dilakukan dengan cara menempelkan salinan pemberitahuan di papan 
pengumuman MK yang khusus disediakan untuk itu.49 Dalam praktik, 
pengumuman jadwal sidang juga dilakukan dengan memuat di dalam laman 
MK, yaitu, www.mahkamahkonstitusi.go.id. Alur pengajuan permohonan 
dapat dilihat pada ragaan di bawah ini.
Setiap permohonan yang diajukan kepada MK dapat ditarik kembali, 
baik sebelum maupun selama sidang pemeriksaan oleh MK. Pada saat suatu permohonan ditarik kembali, pemohon dimaksud tidak dapat mengajukan 
kembali permohonan dimaksud, kecuali dengan alasan konstitusional yang 
berbeda.50
Permohonan Online
Di samping permohonan yang disampaikan secara fisik ke kantor MK, 
permohonan juga dapat dilakukan secara online melalui sistem informasi 
yang dikembangkan dan menjadi satu dengan laman MK. Namun demikian, 
pengajuan masalah  secara online harus tetap diikuti dengan penyampaian 
berkas masalah  secara fisik. Secara garis besar, alur permohonan online
disajikan dalam ragaan di bawah ini.

Permohonan masalah  online diatur dalam PMK Nomor 18 Tahun 2009 
tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan 
Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). Untuk mengajukan 
permohonan secara online, pemohon harus melakukan registrasi, baik secara 
online maupun offline, guna mendapatkan nama identifikasi (user name) dan 
kode akses (password) untuk dapat mengakses program Sistem Informasi 
Manajemen Permohonan Elektronik (SIMPEL). Melalui SIMPEL, dapat 
diajukan permohonan, alat bukti, penambahan dokumen, serta daftar 
saksi dan ahli yang diajukan. User name dan password ini  juga akan
berfungsi sebagai tanda tangan elektronik (electronic signature) dalam proses 
masalah  di MK.
Permohonan dianggap diterima jika  permohonan dimaksud sudah 
masuk dalam jaringan komputer Kepaniteraan MK. jika  permohonan 
dimaksud telah masuk, Kepaniteraan MK menyampaikan konfirmasi 
kepada pemohon dan/atau kuasanya dalam waktu 1 (satu) hari setelah 
dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL. Pemohon atau kuasanya 
harus menjawab konfirmasi itu secara tertulis kepada Kepaniteraan MK 
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak permintaan konfirmasi 
disampaikan oleh Kepaniteraan MK. Jawaban atas konfirmasi ini  
disertai dengan penyerahan 12 (dua belas) rangkap dokumen asli (hard 
copy) permohonan. Proses pemeriksaan kelengkapan permohonan dan 
pemberitahuan dilakukan melalui e-mail.
Permohonan online yang telah memenuhi syarat didokumentasikan 
dan disimpan oleh Panitera disertai dengan penomoran masalah . Panitera 
mengirimkan Akta Registrasi masalah  kepada pemohon melalui e-mail dalam 
waktu 7 (tujuh) hari sejak diregistrasi. 
D. Penggabungan masalah 
pada  beberapa permohonan masalah  yang diterima, MK dapat 
menetapkan penggabungan masalah , baik dalam pemeriksaan persidangan 
maupun dalam putusan. Penggabungan masalah  dilakukan melalui Ketetapan 
Mahkamah Konstitusi jika  ada  dua masalah  atau lebih yang memiliki 
objek atau substansi permohonan yang sama. Penggabungan masalah  biasanya 
dilakukan untuk masalah  sejenis walaupun ada kemungkinan ada  dua 
masalah  yang masuk dalam dua wewenang yang berbeda yang memiliki isu 
hukum atau pokok masalah  yang sama. 
Penggabungan juga dapat dilakukan jika  ditengah proses persidangan 
ada  masalah  baru yang mengajukan pengujian ketentuan yang sama atau 
memiliki isu konstitusional yang sama. masalah  baru ini akan digabungkan 
pemeriksaan dan putusannya dengan masalah  yang sedang diperiksa. 
Penggabungan masalah  untuk masalah  pengujian UU diatur dalam PMK 
No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian 
Undang-Undang. Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6/PMK/2005 dinyatakan 
bahwa penggabungan masalah  dapat dilakukan berdasar usulan panel 
hakim pada  masalah  yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan;
(b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas 
permintaan pemohon.
Penggabungan masalah  dalam masalah  pengujian undang-undang 
dilakukan pada  dua atau lebih permohonan yang meminta pengujian 
ketentuan pasal-pasal yang sama atau saling terkait dalam satu undang￾undang. Penggabungan masalah  dan putusan pertama kali dilakukan pada  
masalah  Nomor 011/PUU-I/2003 dan masalah  Nomor 017/PUU-I/2003 yang 
keduanya diputus dalam satu Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 pada 
Selasa, 24 Februari 2004. Kedua permohonan itu terkait dengan ketentuan 
Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan 
DPRD yang memuat ketentuan persyaratan calon anggota DPR, DPD, dan 
DPRD salah satunya yaitu “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai 
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat 
langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S./PKI, atau organisasi terlarang 
lainnya”.
Contoh penggabungan masalah  pengujian undang-undang yang lain 
yaitu pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang menggabungkan 
masalah  Nomor 001/PUU-I/2003, Nomor 021/PUU-I/2003, dan Nomor 
022/PUU-I/2003, sebab  ketiganya mengajukan pengujian Undang-Undang 
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Penggabungan masalah  dilakukan tidak hanya pada  permohonan 
yang mengajukan ketentuan pasal yang sama dari suatu undang-undang. 
pada  permohonan pengujian pasal yang berbeda dalam satu undang￾undang dapat dilakukan penggabungan jika  memiliki keterkaitan isu 
hukum. ini  misalnya dapat dilihat pada Putusan Nomor 072-073/
PUU-II/2004 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 
2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Putusan Nomor 012-016-019/
PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penggabungan masalah  juga dapat dilakukan sepanjang memiliki 
kesamaan jenis masalah  dan pokok permohonan atau isu hukum. 
Untuk masalah  perselisihan hasil Pemilu (PHPU) juga dapat dilakukan 
penggabungan masalah  jika  terkait dengan permasalahan yang sama. 
Misalnya, perselisihan hasil Pemilu DPR di suatu daerah pemilihan 
yang sama, tetapi diajukan oleh partai politik yang berbeda-beda dapat 
digabungkan pemeriksaan dan putusannya.
Di sisi lain, ada  kemungkinan adanya pokok permohonan yang 
sama tetapi diajukan melalui permohonan masalah  yang berbeda. Pada masalah  
demikian dalam praktiknya tidak dilakukan penggabungan masalah , tetapi 
hanya diputus dalam waktu yang hampir bersamaan. Dalam praktik hal 
ini pernah terjadi terkait dengan perselisihan hasil pemilihan Walikota dan 
Wakil Walikota Depok, yang diajukan ke dalam dua masalah , yaitu masalah  
Nomor 01/PUU-IV/2006 dengan pokok masalah  pengajuan pengujian 
Putusan PK MA Nomor 01/PK/PILKADA/2005 yang dikonstruksikan 
sebagai yurisprudensi yang berkedudukan sama dengan undang-undang, 
serta masalah  Nomor 02/SKLN-IV/2006 mengenai Sengketa Kewenangan 
Lembaga Negara antara Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota 
Depok pada  KPU Kota Depok. Walaupun kedua masalah  ini  pada 
prinsipnya yaitu satu masalah , yaitu perselisihan dalam proses pemilihan 
Walikota dan Wakil Walikota Depok, namun sebab  masuk dalam dua 
jenis masalah  yang berbeda sehingga tidak dapat dilakukan penggabungan 
masalah . Namun demikian masalah  dimaksud diputus pada hari yang sama, 
yaitu pada 25 Januari 2006.
E. Beban Pembuktian dan Alat Bukti
Secara umum ada  beberapa teori pembuktian terkait dengan beban 
pembuktian dalam proses peradilan, antara lain teori affirmatif, teori hak, 
teori hukum objektif, teori kepatutan, dan teori pembebanan berdasar 
kaidah yang bersangkutan. Teori affirmatif yaitu teori yang menyatakan 
bahwa beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan 
sesuatu, bukan kepada pihak yang mengingkari atau membantah sesuatu 
(pembuktian negatif). Pembuktian secara negatif harus dihindarkan sebab  
dipandang tidak adil berdasar asumsi bahwa dalam hukum yang diberikan 
bukti khusus yaitu pada  suatu hak atau peristiwa, bukan pada  
tidak adanya hak atau peristiwa.51
Teori hak pada hakikatnya sama dengan teori affirmatif, yaitu siapa yang 
mengemukakan suatu hak harus membuktikan hak ini . Namun teori 
ini hanya terkait dengan adanya suatu hak, bukan peristiwa atau keadaan 
tertentu. Teori hukum objektif menyatakan pihak yang mendalilkan 
adanya norma hukum tertentu harus membuktikan adanya hukum objektif 
yang menjadi dasar norma hukum ini . Dalam pengujian undang￾undang misalnya, pihak yang menyatakan haknya telah dilanggar oleh
suatu undang-undang harus membuktikan adanya aturan hukum positif 
yang secara objektif memicu  haknya dilanggar.
Teori kepatutan menyatakan beban pembuktian diberikan kepada 
pihak yang lebih ringan untuk membuktikannya. Namun kelemahan dari 
teori ini yaitu tidak mudah untuk menentukan secara pasti pihak mana 
yang dianggap paling ringan memikul beban pembuktian. sedang  teori 
pembebanan berdasar kaidah yang bersangkutan menentukan bahwa beban 
pembuktian ditentukan oleh kaidah hukum tertentu. Dalam hukum acara 
memang ada  ketentuan undang-undang tertentu yang mengatur siapa 
yang harus membuktikan, namun ada pula yang tidak menentukannya.
Di antara berbagai teori ini , tentu masing-masing memiliki 
kelebihan dan kelemahan dan tidak ada satupun yang sesuai untuk semua 
masalah . Oleh sebab  itu harus dilihat karakteristik masalah  atau masalah nya. Di 
dalam UU MK tidak ditentukan secara khusus tentang beban pembuktian 
ini.
UU MK hanya menyatakan untuk memutus masalah  konstitusi, 
harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti,52 baik yang 
diajukan oleh pemohon, termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan 
siapa yang harus membuktikan sesuatu. Oleh sebab  itu berlaku prinsip 
umum hukum acara bahwa barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia 
wajib membuktikan. Walaupun demikian, sebab  masalah  konstitusi yang 
sangat terkait dengan kepentingan umum, hakim dalam persidangan MK 
dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli tertentu yang diperlukan. 
Oleh sebab  itu pembuktian dalam peradilan MK dapat disebut menerapkan 
“ajaran pembuktian bebas yang terbatas”.53 Dikatakan sebagai bebas sebab  
hakim dapat menentukan secara bebas kepada beban pembuktian suatu hal 
akan diberikan. Tentu saja dalam menentukan hal ini  hakim dapat 
memakai  salah satu atau beberapa teori dan ajaran pembuktian yang 
ada. Namun dalam kebebasan ini  hakim juga masih dalam batasan 
tertentu. Paling tidak pihak pemohon yang mendalilkan memiliki kedudukan 
hukum untuk suatu masalah , harus membuktikan dalil ini . Beban 
pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu saja tidak dapat dialihkan 
kepada pihak lain.
Ketentuan mengenai pembuktian “bebas yang terbatas” dapat dijumpai 
dalam PMK yang mengatur pedoman beracara untuk setiap wewenang
MK. Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK Nomor 06/PMK/2005 
tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian Undang-Undang 
menyatakan:
(1) Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
(2) jika  dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian 
kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait.
(3) Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat 
mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
Untuk masalah  sengketa kewenangan antar lembaga negara, Pasal 16 
PMK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa 
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara menyatakan:
(1) Beban pembuktian berada pada pihak pemohon.
(2) Dalam hal ada  alasan cukup kuat, Majelis Hakim dapat 
membebankan pembuktian kepada pihak termohon.
(3) Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk memberikan 
keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.
Untuk masalah  perselisihan hasil Pemilu, setiap pihak diberikan 
kesempatan untuk melakukan pembuktian apa yang didalilkan. Namun 
untuk kepentingan pembuktian MK dapat memanggil KPU provinsi, 
kabupaten, dan/atau kota untuk hadir dan memberi keterangan dalam 
persidangan.54 sedang  untuk pembuktian masalah  impeachment dibebankan 
kepada DPR sebagai pihak yang mengajukan pendapat dan Presiden dan/
atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan pada  alat bukti DPR 
serta mengajukan alat bukti sendiri.55
Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menentukan alat bukti 
meliputi:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, 
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan 
itu.
Alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan MK, baik yang diajukan oleh 
pemohon maupun yang diajukan oleh termohon dan/atau pihak terkait, 
perolehannya atau cara mendapatkannya harus dapat dipertanggungjawabkan 
secara hukum. Alat bukti yang didapatkan atau diperoleh dengan cara yang 
bertentangan dengan hukum (illegally obtained evidence) tidak dapat disahkan 
oleh hakim konstitusi sebagai alat bukti. Oleh sebab  itu setiap pemohon 
dan atau pihak lainnya mengajukan alat bukti kepada hakim konstitusi, selalu 
diperiksa cara memperoleh atau mendapatkan alat bukti ini . Untuk 
alat bukti dari pemohon, biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan.
Alat bukti yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 memiliki 
perbedaan dengan alat bukti yang lazim dalam proses peradilan lain. 
Menurut Maruarar Siahaan, perbedaan ini  antara lain, Pertama, 
tidak dikenal alat bukti pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim 
yang berlaku pada hukum acara PTUN, atau yang dalam hukum acara 
perdata disebut dengan “persangkaan”, pengakuan, dan sumpah, serta dalam 
hukum acara pidana disebut dengan keterangan terdakwa. Pengakuan pihak 
yang bermasalah  dipandang tidak relevan dalam Hukum Acara Konstitusi 
sebab  hal itu tidak menghilangkan kewajiban hakim konstitusi mencari 
kebenaran mengingat masalah  yang diperiksa dan akan diputus terkait dengan 
kepentingan umum dan akan mengikat semua warga negara, bukan hanya 
pihak yang bermasalah .56
Namun demikian, ada pula hal yang tidak termasuk dalam alat bukti 
namun dalam proses berpekara ternyata memengaruhi pemeriksaan, yaitu 
“pengetahuan hakim”. ini  terjadi terutama dalam masalah  pengujian 
undang-undang di mana salah satu metode yang dapat dipakai untuk 
mengetahui makna ketentuan dalam konstitusi yaitu dengan mencari 
maksud dari pembentuk Undang-Undang Dasar (original intent). Di antara 
hakim periode pertama, ada  beberapa hakim konstitusi yang mengetahui 
bahkan terlibat dalam proses pembahasan suatu ketentuan dalam UUD 1945 
sebab  pada saat itu menjadi anggota PAH BP MPR yang merumuskan 
Perubahan UUD 1945. Bahkan pengetahuan hakim konstitusi dimaksud 
lebih dalam dan tidak terekam dengan baik dalam risalah rapat Perubahan 
UUD 1945.
a. surat atau tulisan
Secara umum, alat bukti tertulis pada umumnya berupa tulisan yang 
dimaksudkan sebagai bukti atas suatu transaksi yang dilakukan, atau surat 
dan jenis tulisan yang dapat dijadikan dalam proses pembuktian, seperti 
surat menyurat, kuitansi, dan catatan-catatan. Selain itu juga dikenal adanya 
akta sebagai tulisan yang sengaja dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa 
dan ditandatangani. Dikenal dua jenis akta, yaitu akta di bawah tangan dan 
akta otentik. Akta di bawah tangan yaitu  akta yang ditandatangani di 
bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan 
lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.57 Akta otentik 
yaitu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 
oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat 
akta itu dibuat.58
Dalam Hukum Acara MK tentu semua kategori bukti tertulis yang 
berlaku dalam hukum perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga 
berlaku, bahkan lebih luas sesuai dengan jenis masalah  yang ditangani. 
Untuk masalah  perselisihan hasil Pemilu misalnya, keberadaan akta otentik 
berupa berita acara penghitungan suara atau rekapitulasi hasil penghitungan 
suara sangat diperlukan dalam proses pemeriksaan persidangan. Sebaliknya, 
dalam masalah  pengujian undang-undang yang penting bukan apakah suatu 
dokumen undang-undang yang diajukan sebagai alat bukti yaitu  
dokumen otentik atau bukan, melainkan apakah dokumen ini  yaitu 
salinan dari undang-undang yang otentik, yaitu undang-undang sebagaimana 
dimuat dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara sehingga 
norma yang diatur di dalamnya memang berlaku sebagai norma hukum 
yang mengikat.
b. keterangan saksi
Keterangan saksi yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang 
mengetahui, melihat, merasakan, atau bahkan mengalami sendiri suatu 
peristiwa yang terkait dengan masalah  yang diperiksa oleh majelis hakim. 
Oleh sebab  itu keterangan saksi diperlukan untuk mengetahui kebenaran 
tentang suatu fakta.
Dalam persidangan masalah  konstitusi, keterangan saksi diperlukan dalam 
proporsi yang berbeda-beda sesuai dengan jenis masalah  yang ditangani.
Dalam masalah  pengujian undang-undang misalnya, keterangan saksi pada 
umumnya diperlukan dalam hal membuktikan legal standing pemohon, 
yaitu terkait dengan telah adanya peristiwa sebagai bentuk kerugian 
hak dan atau kewenangan yang dimohonkan sebab  adanya ketentuan 
undang-undang yang dimohonkan. sedang  pembuktian tentang apakah 
ketentuan undang-undang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 lebih 
berdasar argumentasi hukum. Di sisi lain, untuk masalah  pemakzulan 
Presiden dan/atau Wakil Presiden, keterangan saksi diperlukan dalam pokok 
masalah  untuk membuktikan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah 
melakukan suatu pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar pemakzulan 
sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dalam proses peradilan MK, keterangan saksi tentu juga harus didukung 
dengan alat bukti lain. Dalam ini  juga berlaku prinsip satu saksi bukan 
saksi (unus testis nullus testis). Walaupun demikian, keterangan seorang saksi 
tentu dapat dipakai untuk mendukung suatu peristiwa jika sesuai dengan 
alat bukti yang lain.
c. keterangan ahli
Keterangan ahli yaitu pendapat yang disampaikan seseorang di bawah 
sumpah dalam pemeriksaan persidangan mengenai suatu hal terkait dengan 
masalah  yang diperiksa sesuai dengan keahlian berdasar pengetahuan dan 
pengalaman yang dimiliki. Dengan demikian keterangan yang disampaikan 
oleh ahli berbeda secara prinsipil dengan keterangan yang disampaikan oleh 
saksi. Keterangan ahli buka berupa keterangan tentang apa yang dilihat, 
dirasakan, atau dialami tentang suatu peristiwa, tetapi pendapat dan analisis 
sesuai dengan keahliannya.
Keterangan ahli dapat disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang 
akan menjadi bahan masukan pertimbangan bagi hakim konstitusi dalam 
memutus masalah . Dalam pengajuan ahli untuk suatu masalah , pemohon 
juga harus menyertakan keterangan keahlian yang dimiliki oleh ahli yang 
akan diajukan serta pokok keterangan yang akan disampaikan. 
Keterangan ahli sangat diperlukan terutama dalam masalah  pengujian 
undang-undang yang lebih mengedepankan argumentasi dalam memutus 
masalah . Selain itu, luasnya cakupan substansi undang-undang yang diuji 
juga mengharuskan hakim konstitusi memperoleh keterangan ahli yang 
cukup untuk memutus suatu masalah  pengujian undang-undang. Di samping 
ahli yang diajukan oleh pemohon pihak terkait pembentuk undang-undang 
dan pihak terkait lain juga dapat mengajukan ahli dan saksi agar keterangan
yang disampaikan dalam persidangan berimbang. Bahkan, hakim dapat 
memanggil ahli lain jika diperlukan untuk didengar keterangannya.
d. keterangan para pihak
Keterangan para pihak yaitu keterangan yang diberikan oleh pihak￾pihak dalam suatu masalah , baik berkedudukan sebagai pemohon, termohon 
maupun berkedudukan sebagai pihak terkait. Keterangan dimaksud dapat 
berupa keterangan dan tanggapan pada  isi permohonan, baik berupa 
kenegasan dalil-dalil, penolakan dalil-dalil yang dikemukakan maupun 
berupa dukungan dengan argumentasi maupun data dan fakta. Keterangan 
para pihak diperlukan untuk mendapatkan keterangan komprehensif dan 
sebagai wujud dari peradilan fair yang salah satunya harus memenuhi hak 
untuk didengar secara berimbang (audi et alteram partem).
Dalam sengketa kewenangan lembaga negara misalnya, keterangan para 
pihak yaitu keterangan termohon dan pihak terkait baik pada  dalil 
pemohon maupun tentang suatu fakta dan peristiwa yang terkait dengan 
masalah  dimaksud. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam masalah  SKLN 
Nomor 068/SKLN-II/2004 mengenai Sengketa Kewenangan Pemilihan 
Anggota BPK, keterangan para pihak yang didengarkan yaitu keterangan 
Termohon I (Presiden) dan Termohon II (DPR) yang berisi dalil-dalil yang 
menyangkal atau menolak permohonan Pemohon, serta keterangan Pihak 
Terkait BPK yang menyampaikan keterangan mengenai fakta kronologis 
pemilihan anggota BPK.
Keterangan pihak terkait dalam masalah  pengujian undang-undang yang 
didengarkan yaitu keterangan DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk 
undang-undang yang biasanya berisi penolakan pada  dalil-dalil pemohon, 
walupun tidak berkedudukan sebagai termohon. Selain itu sering juga 
didengarkan keterangan pihak terkait lain, baik dari lembaga negara maupun 
dari organisasi warga  yang terkait dengan substansi undang-undang 
yang sedang diuji. Pada persidangan masalah  Nomor 140/PUU-VII/2009 
mengenai pengujian UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan 
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama misalnya, disamping keterangan 
pihak terkait DPR dan Pemerintah, juga didengarkan keterangan pihak 
terkait organisasi Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia yang 
pada prinsipnya menolak dalil-dalil pemohon dan mendukung dalil-dalil 
pihak terkait DPR dan Pemerintah. Selain itu juga didengarkan keterangan 
pihak terkait Komnas HAM yang mengemukakan data dan fakta tentang 
pelanggaran kebebasan beragama.
e. petunjuk
Penjelasan Pasal 36 ayat (1) huruf e UU Nomor 24 Tahun 2003 
menyatakan petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat 
dan alat bukti. Oleh sebab  itu petunjuk dalam ini  yaitu sesuatu yang 
didapatkan oleh hakim dari isi keterangan saksi, surat, dan alat bukti lain 
yang saling mendukung atau berkesesuaian. 
Untuk memperjelas pengertian petunjuk dapat dilihat pada Pasal 188 
KUHAP yang mendefinisikan petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau 
keadaan yang sebab  persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang 
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi 
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dengan demikian penilaian 
kekuatan petunjuk dilakukan oleh hakim setelah pemeriksaan persidangan 
dan berdasar keyakinan hakim.59
f. informasi elektronik
Ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf f UU No. 24 Tahun 2003 
menyebutkan salah satu alat bukti yaitu “alat bukti lain berupa informasi 
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik 
dengan alat optik atau serupa dengan itu.” Alat bukti dimaksud secara 
singkat dapat disebut sebagai informasi elektronik.
Informasi elektronik yaitu informasi yang diperoleh dari atau 
disampaikan melalui atau disimpan dalam perangkat elektronik. Informasi 
ini dapat berupa surat atau bentuk tulisan lain, data komunikasi, angka￾angka, suara, gambar, video, atau jenis informasi dan data lain. Perangkat 
elektronik yang dipakai dapat berupa laman (website) atau media perekam 
lain dalam berbagai bentuk (cakram padat, hard disk, flash disk, card, dan 
lain-lain).
F. jenis dan sifat persidangan
Dilihat dari materi persidangan terkait dengan proses suatu masalah , 
sidang MK dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, 
Pemeriksaan Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan 
Pengucapan Putusan. Keempat jenis persidangan ini  memang dapat 
dilihat sebagai tahapan persidangan suatu masalah , namun dalam masalah ￾masalah  tertentu dapat terjadi tidak semua jenis persidangan itu dibutuhkan. ada  masalah -masalah  tertentu yang hanya memerlukan pemeriksaan 
pendahuluan dan setelah panel hakim konstitusi melaporkan kepada pleno 
hakim dalam rapat permusyawaratan hakim, masalah  dimaksud sudah dapat 
diputuskan. Hal itu dapat terjadi dalam masalah -masalah  sebagai berikut:
a. masalah  yang dari sisi pemohon sudah dapat ditentukan bahwa 
pemohon tidak memiliki hak mengajukan permohonan (legal standing)
atau materi permohonan bukan yaitu  wewenang MK. Untuk 
masalah  demikian dapat langsung diputus dengan amar putusan tidak 
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam praktik, beberapa 
masalah  yang diputus setelah pemeriksaan pendahuluan tanpa melalui 
pemeriksaan persidangan pada umumnya yaitu sebab  pemohon 
tidak dapat menjelaskan kerugian konstitusional yang diderita akibat 
ketentuan undang-undang yang dimohonkan.60 Di sisi lain ada  
pula masalah -masalah  yang aspek legal standing-nya baru dapat diketahui 
setelah memeriksa pokok masalah . Oleh sebab  itu ada  masalah  yang 
walaupun telah memasuki pemeriksaan persidangan tetapi putusannya 
tidak dapat diterima.
b. Pemohon memiliki legal standing dan materi permohonannya yaitu  
wewenang MK serta sudah sangat jelas dan dapat segera diputus untuk 
dikabulkan. Putusan dengan amar dikabulkan yang dilakukan tanpa 
melalui Pemeriksaan Persidangan, misalnya yaitu Putusan Nomor 102/
PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.61 Majelis 
Hakim, seperti tertuang dalam pertimbangan putusan menyatakan 
Pasal 54 UU MK tidak mewajibkan MK meminta keterangan pihak 
terkait untuk memutus suatu masalah . Ketentuan ini  menyatakan 
bahwa MK dapat meminta keterangan kepada pihak terkait, yang berarti 
boleh dilakukan dan boleh tidak, bergantung dari masalah  dan urgensi 
keterangan yang diperlukan.
Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan sidang MK terbuka 
untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dengan demikian, 
dari 4 (empat) jenis persidangan, semuanya dilakukan secara terbuka untuk 
umum kecuali rapat permusyawaratan hakim (RPH). Ketentuan itu juga 
menunjukkan bahwa RPH yaitu  rapat tertutup yang bersifat rahasia. 
Namun dalam praktiknya pemeriksaan persidangan dapat dilakukan tertutup 
berdasar keputusan majelis hakim konstitusi.
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan yaitu  persidangan yang dilakukan 
untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum 
memasuki pemeriksaan pokok masalah .62 Dalam praktiknya, pemeriksaan 
pendahuluan ini selain memeriksa kelengkapan administrasi masalah , juga 
memeriksa dua aspek yang menentukan keberlanjutan masalah , yaitu apakah 
pemohon memiliki kualifikasi untuk mengajukan permohonan dimaksud 
atau dikenal dengan istilah memiliki legal standing, dan apakah masalah  yang 
dimohonkan ini  yaitu  wewenang MK. 
Kejelasan materi permohonan menjadi salah satu wilayah pemeriksaan 
pendahuluan agar apa yang dimohonkan dapat dirumuskan dan dipahami 
dengan jelas, baik oleh pemohon maupun oleh hakim konstitusi. Hal itu sangat diperlukan agar pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan 
efektif dan fokus pada persoalan yang dimohonkan.
Secara keseluruhan, pemeriksaan pendahuluan meliputi:63
1. Identitas dan kualifikasi pemohon, kewenangan bertindak dan surat￾surat kuasa.
2. Kedudukan hukum pemohon.
3. Isi permohonan yaitu  wewenang MK dan bila perlu dilakukan 
penyederhanaan masalah yang diajukan, termasuk penggabungan masalah  
yang memiliki posita dan petitum yang sama.
4. Perubahan permohonan baik atas saran hakim maupun atas kehendak 
pemohon sendiri.
5. Alat-alat bukti yang akan diajukan.
6. Saksi dan ahli dan pokok keterangan yang akan diberikan. 
7. Pengaturan jadwal sidang dan tertib persidangan.
Pemeriksaan pendahuluan biasanya dilakukan oleh majelis hakim panel. 
Namun dalam masalah -masalah  tertentu yang dipandang penting dan harus 
segera diputus, pemeriksaan pendahuluan dapat juga langsung dilakukan 
oleh majelis hakim pleno. Dalam pemeriksaan pendahuluan ini hakim 
konstitusi wajib memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi 
dan/atau memperbaiki permohonan. Ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU 
MK memberikan batas waktu kepada pemohon untuk melengkapi atau 
memperbaiki permohonannya paling lambat 14 (empat belas) hari. Dalam 
praktiknya, perbaikan ini  dapat dilakukan kurang dari 14 (empat belas) 
hari, bahkan dapat dilakukan sesaat setelah persidangan atau bahkan pada 
saat persidangan itu sendiri. ini  sesuai dengan prinsip peradilan yang 
cepat, apalagi untuk masalah  tertentu yang telah ditentukan batas waktunya. 
Untuk masalah  PHPU Presiden dan Wakil Presiden serta PHPU Pemilukada 
misalnya, tidak mungkin diberi batas waktu selama 14 (empat belas) hari 
sebab  MK sendiri ditentukan oleh undang-undang harus memutus paling 
lama 14 (empat belas) hari sejak masalah  diregistrasi.
Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam bentuk sidang panel hakim 
terbuka untuk umum. Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan lebih 
dari satu kali jika  diperlukan untuk memperbaiki atau melengkapi dan 
memperjelas permohonan serta memeriksa perbaikan permohonan yang 
telah dilakukan oleh pemohon.Hasil sidang pemeriksaan pendahuluan akan dilaporkan oleh panel 
hakim kepada pleno hakim MK, dalam hal pemeriksaan pendahuluan 
dilakukan oleh panel hakim. Dalam laporan ini  disertai dengan 
rekomendasi dari panel hakim apakah masalah  ini  dapat dilanjutkan 
ke pemeriksaan persidangan sebab  terpenuhinya syarat legal standing dan 
masuk wewenang MK, atau diputus tidak dapat diterima tanpa memasuki 
pokok masalah  sebab  tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat legal 
standing dan wewenang MK.64 Selain kedua alternatif ini , dapat pula 
terjadi suatu masalah  belum dapat ditentukan apakah pemohon memiliki 
legal standing atau tidak atau masalah  dimaksud menjadi wewenang MK 
atau tidak sebelum memasuki pemeriksaan pokok masalah . Oleh sebab  
itu pemeriksaan kedua hal itu dilakukan bersamaan dan menjadi bagian 
dari pemeriksaan pokok masalah .
Pleno hakim dapat memutuskan menerima rekomendasi panel hakim, 
atau memutuskan lain berbeda dengan rekomendasi itu. Oleh sebab  itu, 
walaupun dalam pemeriksaan pendahuluan yang mengikuti sidang dalah 
panel hakim, namun putusan tetap diambil oleh pleno hakim, yaitu 9 
(sembilan) orang hakim konstitusi, atau setidak-tidaknya 7 (tujuh) hakim 
konstitusi.
2. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan persidangan yaitu jenis persidangan yang dilakukan 
untuk memeriksa permohonan, alat bukti, keterangan termohon (jika ada), 
keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan pihak terkait. Untuk 
kepentingan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi wajib memanggil 
para pihak yang bermasalah  untuk memberi keterangan yang dibutuhkan 
dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang 
terkait dengan permohonan. Lembaga negara dimaksud wajib memberi 
keterangan yang diminta dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.65
Pemeriksaan persidangan pada prinsipnya dilakukan oleh pleno hakim 
konstitusi, kecuali untuk masalah  tertentu berdasar keputusan Ketua 
MK dapat dilakukan oleh panel hakim.66 Sidang pemeriksaan persidangan dilakukan secara terbuka, kecuali ditentukan lain oleh majelis hakim.67
Tahapan pemeriksaan persidangan yaitu sebagai berikut:
a. Penyampaian pokok-pokok permohonan secara lisan.
b. Penyampaian pokok-pokok jawaban termohon atau keterangan pihak￾pihak terkait secara lisan.
c. Pemeriksaan alat bukti dari pemohon maupun dari termohon dan pihak 
terkait.
d. Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang 
diajukan pemohon.
e. Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang 
diajukan oleh termohon atau pihak terkait.
f. Penyampaian kesimpulan oleh pemohon.
g. Penyampaian kesimpulan oleh termohon dan/atau pihak terkait.
Dalam persidangan MK, selain permohonan, jawaban termohon dan 
keterangan pihak terkait serta keterangan ahli juga disampaikan secara 
tertulis. Oleh sebab  itu dalam forum persidangan, penyampaian secara lisan 
dilakukan tidak dengan membaca dokumen tertulis yang telah disampaikan 
kepada MK, melainkan hanya menyampaikan hal-hal pokok yang dipandang 
penting. Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan berupa tanya jawab 
baik dengan pemohon, termohon, pihak terkait, saksi/ahli maupun dengan 
hakim konstitusi.
3. Rapat Permusyawaratan Hakim
Di dalam UU No. 24 Tahun 2003 hanya ada  satu ketentuan 
yang terkait dengan rapat permusyawaratan hakim (RPH). Pasal 40 ayat 
(1) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan sidang MK terbuka untuk 
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Tidak ada  penjelasan 
yang dimaksud dengan RPH ini . Ketentuan tentang RPH juga tidak 
diatur dalam PMK.
RPH yaitu  salah satu jenis dari sidang pleno, yang sifatnya 
tertutup. RPH yang membahas masalah  bersifat rahasia yang hanya diikuti 
oleh para hakim konstitusi, panitera, dan panitera pengganti. Di dalam RPH 
ini dibahas perkembangan suatu masalah , putusan, serta ketetapan yang 
terkait dengan suatu masalah . Khusus untuk RPH pengambilan putusan
masalah , diatur dalam Pasal 45 ayat (4) sampai dengan ayat (10) UU No. 
24 Tahun 2003 dan akan dibahas pada bagian putusan dalam bab ini. 
4. Pengucapan Putusan
Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya yaitu sidang pleno, namun 
berbeda dengan sidang pleno pemeriksaan persidangan. Dalam sidang pleno 
pengucapan putusan agendanya yaitu hanya pembacaan putusan atau 
ketetapan MK untuk suatu masalah  yang telah diperiksa dan diadili.
Putusan biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim 
konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusi yang 
lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan penutup dibacakan oleh 
ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan mendapatkan bagian tertentu 
dari putusan untuk dibacakan secara berurutan, kecuali hakim konstitusi 
yang dalam posisi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atau 
alasan yang berbeda (concurring opinion). Hakim yang mengajukan dissenting 
opinion atau concurring opin ion membacakan pendapatnya atau alasannya 
sendiri setelah ketua sidang membacakan amar putusan. 
Sidang pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk 
umum. ini  yaitu  keharusan sebab  jika  putusan diucapkan 
dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat putusan MK tidak sah dan 
tidak mempunyai kekuatan hukum.68 Putusan MK memperoleh kekuatan 
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan 
terbuka untuk umum. Dengan demikian, putusan MK bersifat tetap dan 
mengikat sejak setelah sidang pengucapan putusan selesai.69 
G. Persidangan Jarak Jauh
Penyelenggaraan persidangan untuk pemeriksaan pendahuluan dan 
pemeriksaan persidangan telah dapat dilakukan melalui persidangan jarak 
jauh (video conference). Mekanisme persidangan jarak jauh diatur dalam 
PMK Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan 
Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksanaan Persidangan Jarak Jauh 
(Video Conference). Pelaksanaan persidangan jarak jauh dilakukan berdasar 
permohonan pemohon dan/atau termohon atau kuasanya yang ditujukan 
kepada Ketua MK melalui Kepaniteraan MK. Permohonan persidangan 
jarak jauh dimaksud berisi informasi rinci mengenai:
a. identitas yang hendak diperiksa dan didengar keterangannya;
b. pokok-pokok keterangan yang hendak diberikan;
c. alokasi waktu pemeriksaan;
d. petugas lain yang diperlukan untuk keperluan persidangan dimaksud.
Permohonan pelaksanaan sidang jarak jauh harus disampaikan selambat￾lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelum waktu persidangan jarak jauh yang 
direncanakan. Permohonan ini dapat disampaikan, baik secara langsung, 
melalui surat elektronik (e-mail), faksimili, surat pos, atau media lain yang 
tersedia. pada  permohonan ini, MK memeriksa dan memutuskan 
apakah menerima atau menolak, atau menerima dengan perubahan jadwal 
persidangan. Kepaniteraan MK harus memberitahukan jadwal pelaksanaan 
persidangan jarak jauh yang diputuskan kepada pemohon dan/atau termohon 
atau kuasanya, selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan 
persidangan dimaksud. Pemberitahuan ini sekaligus yaitu  panggilan 
sidang. 
Untuk pelaksanaan persidangan jarak jauh, MK telah menempatkan 
sarana video conference di 40 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Sarana 
ini  dapat dimanfaatkan secara gratis oleh pemohon dan/atau termohon 
untuk pelaksanaan persidangan jarak jauh. Namun, jika  ada  biaya￾biaya lain yang timbul dalam pelaksanaan persidangan jarak jauh yang 
berkaitan dengan pihak ketiga, ditanggung oleh pemohon atau termohon 
yang meminta persidangan jarak jauh.
H. Putusan
1. Putusan Provisi Dan Putusan Akhir
ada  dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu 
putusan yang mengakhiri suatu masalah  atau sengketa yang diadili atau 
putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi bagian dari 
proses peradilan yang belum mengakhiri masalah  atau sengketa yang disebut 
dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela atau putusan provisi 
yaitu putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak 
yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan masalah  
yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim. Putusan sela dapat berupa 
permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terkait 
dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya ada  
dalam masalah  sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Pasal 63 UU MK menyatakan MK dapat mengeluarkan penetapan yang 
memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan 
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada 
putusan MK.
Pada perkembangannya, putusan sela juga dikenal dalam masalah  
pengujian UU dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela dalam masalah  
pengujian UU pertama kali dijatuhkan dalam proses pengujian UU Nomor 
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
(UU KPK), masalah  Nomor 133/PUU-VII/2009. Dalam proses persidangan 
masalah  ini  atas permohonan dari pemohon, MK memberikan putusan 
sela yang pada intinya menyatakan ketentuan Pasal 30 UU KPK 
mengenai pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak 
dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK mengenai 
pengujian pasal dimaksud.
Untuk masalah  perselisihan hasil Pemilu, putusan sela diatur dalam PMK 
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil 
Pemilihan Umum Kepala Daerah; PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang 
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, 
dan DPRD; dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara 
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. 
Putusan Sela dalam PMK Nomor 16 Tahun 2009 dan PMK Nomor 17 
Tahun 2009 diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum 
putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan 
sesuatu berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan 
dipertimbangkan dalam putusan akhir.
Salah satu contoh putusan sela pada masalah  perselisihan hasil Pemilu 
yaitu dalam masalah  Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 yaitu Putusan Sela 
Nomor Nomor 47-81/PHPU.AVII/2009, tanggal 9 Juni 2009. Di dalam 
putusan sela ini  MK memerintahkan kepada Termohon (Komisi 
Pemilihan Umum), Turut Termohon I (Komisi Pemilihan Umum Provinsi 
Papua) dan Turut Termohon II (Komisi Pemilihan Umum Kabupaten 
Yahukimo) untuk melaksanakan pemungutan suara ulang pemilihan 
umum calon anggota DPD pada Distrik Ninia, Distrik Holuwon, Distrik 
Soba, Distrik Kayo, Distrik Hilipuk, Distrik Sobaham, Distrik Kwikma, 
Distrik Kabianggema, Distrik Lolat, Distrik Soloikma, Distrik Duram, 
Distrik Korupun, Distrik Sela, Distrik Kwelamdua, Distrik Langda, Distrik Bomela, Distrik Suntamon, Distrik Dekai, Distrik Sumo, Distrik Obio, 
Distrik Seradala, Distrik Anggruk, Distrik Walma, Distrik Pronggoli, Distrik 
Panggema, Distrik Ubahak, Distrik Yahuliambut, Distrik Kosarek, Distrik 
Nipsan, Distrik Talambo, Distrik Endomen, Distrik Fuldama, Distrik 
Kona, Distrik Dirwemna, Distrik Nalca, Distrik Ubalihi, dan Distrik 
Hereapini, dan pelaksanaan Penghitungan Suara Ulang pemilihan umum 
calon anggota DPD pada Distrik Kurima, Distrik Tangma, Distrik Ukha, 
Distrik Mugi, Distrik Yogosem, Distrik Werima, Distrik Pasema, Distrik 
Samenage, Distrik Silimo, Distrik Hogio, Distrik Amuma, Distrik Musaik, 
Distrik Suru-Suru, dan Distrik Wusama.
2. Ultra Petita
Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata ada  
pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip 
hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan 
(ultra petita). Ketentuan ini  berdasar Pasal 178 ayat (2) dan ayat 
(3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg.
sebab  adanya pandangan ini , pada saat MK memutuskan 
membatalkan seluruh UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
dan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang 
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR)73 banyak muncul tanggapan 
bahwa MK telah melanggar prinsip larangan ultra petita.
Namun demikian berdasar karakteristik masalah  yang menjadi 
wewenang MK, tidaklah dapat dikatakan bahwa larangan ultra petita
ini  dapat diterapkan untuk peradilan di MK. Kewenangan pengujian 
undang-undang yang dimiliki oleh MK pada prinsipnya bersifat publik 
walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh individu tertentu yang hak 
konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan undang-undang. Hal itu sesuai 
dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan undang-undang sebagai norma 
yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Dalam hal pengujian 
UU misalnya, jelas bahwa masalah  ini menyangkut kepentingan umum 
yang akibat hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan 
ultra petita berlaku dalam lapangan hukum perdata sebab  inisiatif untuk 
mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki 
individu tertentu terletak pada kehendak atau pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya hanya mengikat pada individu ini , tidak 
kepada individu yang lain. 
Bahkan, perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan keadilan 
telah memicu  larangan ini  tidak lagi diberlakukan secara mutlak. 
Dalam pertimbangan hukum putusan tentang UU KKR, MK menyebutkan 
adanya putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa Pasal 178 ayat 
(2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg tentang 
larangan ultra petita tidak berlaku secara mutlak sebab  adanya kewajiban 
hakim bersikap aktif dan harus berusaha memberikan putusan yang benar￾benar menyelesaikan masalah . Selain itu, dalam setiap gugatan, dakwaan, 
ataupun permohonan biasanya selalu dicantumkan permohonan kepada 
hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
sehingga hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih 
dari petitum.
MK telah beberapa kali menjatuhkan putusan yang membatalkan suatu 
undang-undang secara keseluruhan, antara lain UU Ketenagalistrikan dan 
UU KKR. Dalam putusan pembatalan UU Ketenagalistrikan disebutkan 
bahwa walaupun hanya Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 UU 
Ketenagalistrikan yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945, namun 
sebab  ketentuan yang mengatur masalah unbundling dan kompetisi ini  
yaitu  jantung dan paradigma dari UU Ketenagalistrikan yang tidak 
sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, maka keseluruhan 
UU Ketenagalistrikan ini  juga bertentangan dengan UUD 1945.
sedang  dalam putusan tentang UU KKR dinyatakan bahwa semua 
operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada Pasal 27. Dengan 
dinyatakannya Pasal 27 UU KKR ini  bertentangan dengan UUD 
1945, maka seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin 
dilaksanakan. Disebutkan bahwa keberadaan Pasal 27 berkaitan erat dengan 
Pasal 1 angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 25 ayat (1) 
huruf b, Pasal 25 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1), 
dan Pasal 29 UU KKR. Pasal 27 dan pasal-pasal yang terkait dengan Pasal 
27 UU KKR itu yaitu  pasal-pasal yang sangat menentukan bekerja 
atau tidaknya keseluruhan ketentuan dalam UU KKR.
Tentu hakim konstitusi dapat memutus pasal tertentu saja dari UU 
ini  yang dibatalkan. Namun, jika pasal ini  yaitu  “jantung” 
atau menentukan operasionalisasi keseluruhan UU, pembatalan pasal 
tertentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, bagaimana implikasi putusan ini  pada  pasal-pasal lain yang bersumber dari 
pasal yang dibatalkan? Akibatnya, pelaksanaan UU ini  menjadi sangat 
rawan bertentangan dengan UUD 1945.
3. Sifat Putusan 
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan 
menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir
yaitu putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya 
pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda 
atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.
Putusan constitutief yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan 
hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. sedang  
putusan condemnatoir yaitu putusan yang berisi penghukuman tergugat 
atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang 
menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan 
MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat 
meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam 
masalah  pengujian UU, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir sebab  
menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, 
yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan 
ini  meniadakan keadaan hukum berdasar norma yang dibatalkan 
dan menciptakan keadaan hukum baru. Demikian pula dalam putusan 
perselisihan hasil Pemilu, putusan MK menyatakan hukum dari penetapan 
KPU tentang hasil Pemilu apakah benar atau tidak. jika  permohonan 
dikabulkan, MK membatalkan penetapan KPU itu yang berarti meniadaan 
keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki 
sifat condemnatoir yaitu dalam masalah  sengketa kewenangan konstitusional 
lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk 
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK 
menyatakan dalam hal permohonan dikabulkan untuk masalah  
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan 
dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk 
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan4. Pengambilan Putusan
Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses 
pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan 
pertimbangan atau pendapat tertulis pada  permohonan. Putusan harus 
diusaha kan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk 
mufakat.  jika  tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai 
RPH berikutnya. jika  tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil 
berdasar suara terbanyak.78 Di dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (5) UU 
No. 24 Tahun 2003 ditentukan bahwa dalam sidang permusyawaratan 
pengambilan putusan tidak ada suara abstain.
RPH pengambilan putusan yaitu bagian dari proses memeriksa, 
mengadili, dan memutus masalah . Oleh sebab  itu RPH harus diikuti ke-9 
hakim konstitusi, kecuali dalam kondisi luar biasa putusan dapat diambil oleh 
7 hakim konstitusi. Perihal kondisi luar biasa, tidak ada penjelasan apa yang 
dimaksud dengan frase ini . Secara wajar, tentu yang dimaksud kondisi 
luar biasa yaitu halangan yang tidak dapat dihindari yang memicu  
seorang hakim konstitusi tidak dapat menghadiri RPH, misalnya sebab  
alasan sakit.
Dalam kondisi luar biasa ini , dimungkinkan putusan diambil 
oleh 8 atau 7 orang hakim konstitusi. Pada saat diikuti oleh 8 orang 
hakim konstitusi, dan putusan tidak dapat diambil secara mufakat, ada  
kemungkinan perbandingan suara dalam pengambilan putusan yaitu 4 
berbanding 4. Misalnya dalam masalah  permohonan pengujian undang￾undang ada  4 hakim konstitusi mengabulkan dan 4 hakim konstitusi 
menolak atau tidak menerima. Pada masalah  seperti ini ketentuan Pasal 45 ayat 
(8) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan suara ketua sidang pleno 
hakim konstitusi. Dengan demikian, pada saat komposisi perbandingan suara 
sama banyak, suara ketua sidang yang akan menentukan putusan MK. 
5. Isi Putusan
Putusan MK dibuat berdasar UUD 1945 sesuai dengan alat bukti 
yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim.79 Putusan harus 
didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat buktiPutusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang 
pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari 
lain. Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para 
pihak. Putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, 
dan memutus, serta oleh panitera.
MK memberi putusan Demi Keadilan berdasar Ketuhanan Yang 
Maha Esa. Setiap putusan MK harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN berdasar 
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak, dalam ini  terutama yaitu identitas pemohon dan 
termohon (jika dalam masalah  dimaksud ada  pihak termohon), baik 
prinsipal maupun kuasa hukum;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan pada  fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan 
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Bagian “ringkasan permohonan” dan “pertimbangan pada  fakta yang 
terungkap dalam persidangan” dalam praktik putusan MK dimuat pada 
bagian “Duduk masalah ”. Pada bagian ini memuat ringkasan seluruh proses 
persidangan yang terjadi, mulai dari ringkasan permohonan, alat bukti yang 
diajukan, keterangan pihak terkait, keterangan saksi pemohon, keterangan 
ahli pemohon, keterangan saksi termohon/pihak terkait, keterangan ahli 
termohon/pihak terkait, serta keterangan ahli dari MK (jika ada).
 Pada bagian pertimbangan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu 
tentang kewenangan Mahkamah dan legal standing pemohon, serta tentang 
pokok masalah . Pada bagian pertama, MK akan mempertimbangkan apakah 
permohonan yaitu  kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili, 
dan memutus. Jika yaitu  kewenangan MK, pertanyaan lalu 
yang dipertimbangkan yaitu apakah pemohon memiliki legal standing
mengajukan permohonan dimaksud.
Pada bagian pertimbangan hukum atas pokok masalah , ditentukan 
isu hukum yang harus dipertimbangan dan dijawab yang menentukan 
amar putusan. Berbagai isu hukum ini  diberikan pertimbangan satu-persatu, bahkan pada  keterangan saksi dan ahli juga dijawab oleh 
majelis hakim, baik menyetujui maupun menolak keterangan itu. Di akhir 
pertimbangan, dicantumkan kesimpulan (konklusi) dan dilanjutkan dengan 
amar putusan.
6. Pendapat Berbeda
Selain bagian-bagian di atas, Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 
2003 mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda 
dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda memang mungkin, dan dalam 
praktik sering terjadi, sebab  putusan dapat diambil dengan suara terbanyak 
jika musyarawah tidak dapat mencapai mufakat.
Pendapat berbeda dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dissenting 
opinion; dan (2) concurent opinion atau consenting opinion. Dissenting opinion
yaitu pendapat berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan 
amar putusan. sedang  concurent opinion yaitu pendapat berbeda yang 
tidak memengaruhi amar putusan. Perbedaan dalam concurent opinion yaitu 
perbedaan pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan yang sama.84
Concurent opinion sebab  isinya berupa pertimbangan yang berbeda dengan 
amar yang sama tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari hakim 
mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan satu dalam pertimbangan hukum yang 
memperkuat amar putusan.
sedang  dissenting opinion, sebagai pendapat berbeda yang 
memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam putusan. Dissenting 
opinion yaitu  salah satu bentuk pertanggungjawaban moral hakim 
konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar warga  
mengetahui seluruh pertimbangan hukum putusan MK.
Adanya dissenting opinion tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan 
MK. Putusan MK yang diambil secara mufakat oleh 9 hakim konstitusi 
tanpa perbedaan pendapat memiliki kekuatan yang sama, tidak kurang dan 
tidak lebih, dengan putusan MK yang diambil dengan suara terbanyak 
dengan komposisi 5 berbanding 4.
Dalam praktik putusan MK, penempatan dissenting opinion mengalami 
beberapa perubahan. Pertama kali, dissenting ditempatkan pada bagian 
pertimbangan hukum Mahkamah setelah pertimbangan hukum mayoritas, 
baru diikuti dengan amar putusan. Pada perkembangannya, penempatan demikian dipandang akan membingungkan warga  yang membaca 
putusan sebab  setelah membaca dissenting baru membaca amar putusan 
yang tentu saja bertolak belakang. Terlebih lagi jika  dissenting ini  
cukup banyak sebanding dengan pertimbangan hukum hakim mayoritas. 
Oleh sebab  itu penempatan dissenting ini  kembali diubah, yaitu 
setelah amar putusan tetapi sebelum bagian penutup dan tanda tangan 
hakim konstituti serta panitera pengganti.Saat ini, dissenting ditempatkan 
setelah penutup dan tanda tangan hakim konstitusi namun sebelum nama 
dan tanda tangan panitera pengganti.
7. Kekuatan Hukum Putusan
Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan 
dalam sidang pleno terbuka untuk umum.88 ini  yaitu  konsekuensi 
dari sifat putusan MK yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai final. 
Dengan demikian MK yaitu  peradilan pertama dan terakhir yang 
pada  putusannya tidak dapat dilakukan usaha  hukum. Setelah putusan 
dibacakan, MK wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam 
jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.
I. Tata Cara dan Tata Tertib Persidangan
Tata cara dan tata tertib persidangan diatur tersendiri di dalam PMK 
Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan. Tata cara 
persidangan ditentukan sebagai berikut:
a. Para pihak, Saksi, dan Ahli yang hadir untuk mengikuti persidangan wajib 
mengisi daftar hadir yang disediakan oleh Kepaniteraan Mahkamah.
b. Panitera melaporkan kehadiran para pihak, Saksi, dan Ahli kepada Ketua 
Sidang.
c. Ketua Sidang membuka sidang dengan mengetukkan palu tiga kali.
d. Setelah sidang dibuka, Ketua Sidang mempersilahkan para pihak, Saksi, 
dan Ahli untuk memperkenalkan diri masing-masing.
e. Ketua Sidang menjelaskan agenda persidangan.
f. Dalam hal menunda sidang dan mencabut penundaan sidang, Ketua 
Sidang mengetukkan palu satu kali.g. Pada saat sidang pembacaan putusan, sesaat setelah membacakan amar 
putusan, Ketua Sidang mengetukkan palu satu kali.
h. Ketua Sidang menutup sidang dengan mengetukkan palu tiga kali.
Para pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang wajib mengenakan 
pakaian rapi dan sopan. Khusus untuk advokat harus memakai toga. Anak 
di bawah umum 12 tahun dilarang menghadiri persidangan, kecuali untuk 
kepentingan pemeriksaan persidangan, atau atas ijin khusus dari Mahkamah. 
Setiap orang yang berada dalam ruang sidang harus bersikap tertib, tenang, 
dan sopan.
Para pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang dilarang:
a. membawa senjata dan/atau benda-benda lain yang dapat membahayakan 
atau mengganggu jalannya persidangan;
b. membuat gaduh, berlalu-lalang, bersorak-sorai, dan bertepuk tangan di 
dalam ruang sidang selama persidangan berlangsung;
c. mengaktifkan alat komunikasi selama persidangan berlangsung;
d. membawa peralatan demonstrasi masuk ke ruang sidang;
e. merusak dan/atau mengganggu fungsi sarana, prasarana, dan/atau 
perlengkapan persidangan lainnya;
f. makan dan minum di ruang sidang selama persidangan berlangsung;
g. menghina para pihak, Saksi, dan Ahli;
h. Pengunjung dilarang memberikan dukungan, komentar, saran, tanggapan, 
atau mengajukan keberatan atas keterangan yang diberikan oleh Saksi 
atau Ahli selama persidangan berlangsung;
i. melakukan perbuatan atau tingkah laku yang dapat mengganggu 
persidangan atau merendahkan kehormatan dan martabat hakim 
konstitusi serta kewibawaan Mahkamah;
j. memberikan ungkapan atau pernyataan di dalam persidangan yang 
isinya berupa ancaman pada  independensi Hakim Konstitusi dalam 
memutus masalah .
Pelanggaran pada  larangan-larangan di atas yaitu  penghinaan 
pada  Mahkamah. pada  pelanggaran atas larangan ini  Ketua 
Sidang memberikan teguran. jika  teguran tidak diindahkan, Ketua Sidang 
memerintahkan mengeluarkan pelanggar dari ruang sidang atau gedung MK 
sebab  telah melakukan tindakan penghinaan pada  pengadilan (contempt 
of court). Tindakan ini  juga dapat dikenai sanksi pidanaPara pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang wajib menempati 
tempat duduk yang telah disediakan, duduk dengan tertib dan sopan selama 
persidangan serta menunjukkan sikap hormat kepada Majelis Hakim dengan 
sikap berdiri saat  Majelis Hakim memasuki dan meninggalkan ruang 
sidang. Para pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang wajib memberi 
hormat kepada Majelis Hakim dengan membungkukkan badan setiap 
memasuki dan meninggalkan ruang sidang.
Pada saat para pihak, Saksi, atau Ahli akan menyampaikan pendapat atau 
tanggapan, terlebih dahulu harus meminta dan mendapat izin dari Ketua 
Sidang. Pada saat para pihak, Saksi, atau Ahli menyerahkan alat bukti atau 
berkas masalah  dalam persidangan kepada Majelis Hakim melalui Panitera 
Pengganti atau petugas persidangan.