Home » mahkamah konstitusi 5 » mahkamah konstitusi 5
Rabu, 13 September 2023
dalam waktu yang bersamaan.Atas permintaan Hakim, keterangan Presiden/Pemerintah, DPR dan/
atau DPD, saksi, ahli, dan Pihak Terkait, wajib disampaikan yang bentuknya
baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara
elektronik, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak diterimanya permintaan dimaksud.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pihak terkait, dilakukan dengan
mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. Pihak
terkait yang mempunyai kepentingan langsung diberi kesempatan untuk
memberikan keterangan (lisan dan/atau tertulis), mengajukan pertanyaan
kepada ahli dan/atau saksi, mengajukan ahli dan/atau saksi yang belum
terwakili dalam persidangan sebelumnya, dan menyampaikan kesimpulan
akhir (secara lisan dan/atau tertulis).
Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan persidangan jarak jauh
(teleconference).323 jika dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat
diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi
yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti,
serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan
Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan.
Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana
dalam pembentukan UU yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah
Konstitusi dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau
menunda putusan. Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau
penundaan putusan ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi
yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam hal Pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali,
Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim atau Panel Hakim memberikan
rekomendasi kepada Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan Ketetapan
Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu Ketetapan Penarikan Kembali, yang
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, para pihak diberi
kesempatan menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hari persidangan terakhir,
kecuali ditentukan lain dalam persidangan.
c. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
RPH dilakukan secara tertutup dan rahasia yang dipimpin oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi, dan dalam hal Ketua berhalangan maka Rapat Pleno
dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.328 Dalam hal Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan dalam waktu bersamaan,
maka Rapat Pleno dipilih oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh
anggota Mahkamah Konstitusi.
Kuorum RPH untuk mengambil keputusan yaitu sekurang-kurangnya
7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi, dibantu Panitera, dan petugas lain yang
disumpah, sedang RPH yang dilaksanakan tidak dalam rangka mengambil
keputusan tidak terikat ketentuan kuorum sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
orang Hakim Konstitusi.
RPH mendengar, membahas, dan/atau mengambil keputusan
mengenai:
1. laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan;
2. laporan panel tentang pemeriksaan persidangan;
3. rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan,
dapat berupa:
a. pembahasan mengenai rancangan putusan yang akan diambil
menyangkut kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon;
b. perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan atau dapat segera
diambil putusan;
c. pelaksanaan pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh pleno atau
panel.
4. pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi;
5. hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim
Konstitusi;
6. Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan;
7. rancangan putusan akhir;8. penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir
rancangan putusan;
9. pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno.
Dalam rangka mengambil putusan, setiap Hakim Konstitusi wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis pada permohonan.
Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
orang Hakim Konstitusi. Putusan sedapat mungkin diambil secara
musyawarah untuk mufakat, jika tidak tercapai mufakat bulat, rapat
ditunda sampai rapat permusyawaratan berikutnya dan setelah diusahakan
dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal RPH tidak dapat
mengambil putusan dengan suara terbanyak, maka suara terakhir Ketua
RPH menentukan. Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda pada
putusan dimuat dalam putusan.
d. Pengucapan Putusan
Mahkamah Konstitusi memutus masalah berdasar UUD 1945 sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan harus didasarkan sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari
itu juga atau ditunda pada hari yang lain dengan keharusan memberitahu
kepada para pihak.339 Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7
(tujuh) orang Hakim Konstitusi.2. Pembuktian
Dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur tentang alat bukti.
Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Dijelaskan dalam ayat-ayat lalu bahwa alat bukti ini harus
dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, agar dapat
dijadikan alat bukti yang sah; dan penentuan sah tidaknya alat bukti dalam
persidangan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
masalah Pengujian UU, dijelaskan lebih lanjut mengenai alat bukti yang
dikemukakan sebelumnya, yaitu:
1. Surat atau tulisan yang dijadikan alat bukti harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.343 Alat bukti
surat atau tulisan yang berupa kutipan, salinan atau fotokopi peraturan
perundang-undangan, keputusan tata usaha negara, dan/atau putusan
pengadilan, maka naskah aslinya harus diperoleh dari lembaga resmi
yang menerbitkannya.
2. Keterangan saksi di bawah sumpah mengenai fakta yang dilihatnya,
didengarnya, dan dialaminya sendiri. Saksi dapat diajukan oleh
Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau
dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi.
3. Keterangan ahli di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya.
Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi
yaitu jika keterangan diberikan oleh seseorang yang tidak memiliki
kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan subjek dan/
atau objek masalah yang diperiksa.348 Ahli, dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau dipanggil atas
perintah Mahkamah Konstitusi.
4. Keterangan Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD, serta
keterangan pihak terkait langsung.350 Keterangan Presiden/Pemerintah,
DPR, dan keterangan pihak terkait langsung yaitu keterangan
secara lisan maupun tertulis.
5. Petunjuk yang diperoleh dari rangkaian data, keterangan, perbuatan,
keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti
lain.
6. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima
atau disimpan secara elektronok dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.
Pada dasarnya pembuktian dibebankan kepada Pemohon, akan tetapi
jika dipandang perlu Hakim dapat pula membebankan pembuktian
kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait, dimana
Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait ini dapat
mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
H. Putusan
1. Jenis Putusan
Dalam Pasal 31 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam masalah Pengujian UU hanya diatur bahwa putusan diambil dalam
RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) Hakim Konstitusi yang
dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) Hakim Konstitusi. Dalam praktik, putusan
yang dimaksud ini diberi istilah putusan akhir. Perkembangan dalam
praktik yaitu adanya jenis putusan sela dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
selain putusan akhir.
Walaupun dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam masalah Pengujian UU tidak diatur tentang putusan sela
(provisi), akan tetapi pengaturan mengenai putusan sela dapat dilihat
dalam penanganan masalah sengketa kewenangan lembaga negara dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela diatur dalam Bagian Kesembilan
tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya
Diberikan oleh UUD dalam Pasal 63 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yaitu: “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.” sedang dalam Pasal 1
angka 19 PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diatur bahwa:
”Putusan Sela yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan
akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan
dipertimbangkan dalam putusan akhir.”356 Pada masalah perdata, putusan
sela yang dimintakan tidak boleh menyangkut pokok sengketa, sedang
dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara, justru objek putusan sela
ini yaitu pokok sengketanya.
Putusan sela pada dasarnya sudah sering dimintakan oleh Pemohon
dalam berbagai masalah pengujian UU pada UUD 1945, antara lain
dalam masalah Nomor 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 perihal
Pengujian UU nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun 2005 pada
UUD Negara RI Tahun 1945 dan masalah Nomor 003/PUU-III/2006
perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada UUD Negara RI
Tahun 1945, akan tetapi selalu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan
berdasar Pasal 58 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Dalam bagian Menimbang pada masalah Nomor 026/PUU-III/2005
tertanggal 22 Maret 2006 perihal Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2005
tentang APBN Tahun 2005 pada UUD Negara RI Tahun 1945,
Mahkamah Konstitusi mengemukakan argumentasi penolakan pada
permohonan putusan sela yang diajukan Pemohon, sebagai berikut:
Menimbang bahwa pada permohonan ini Mahkamah memberi pendapat,
sebagaimana juga telah diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 7
Februari 2006, bahwa ptusan provisi (sela) dalam masalah permohonan pengujian
undang-undang tidak diatur dalam UU MK, juga tidak dikenal dalam hukum acara
pengujian undang-undang pada UUD 1945. Substansi Pasal 58 UUMK juga
secara tegas tidak memperkenankan hal yang demikian. Pasal 58 undang-undang a quo
menyatakan, “Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan undang-undang ini bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Oleh sebab
itu, jika seandainya hal demikian dikabulkan dalam putusan provisi (sela) dikabulkan
oleh Mahkamah, maka putusan yang demikian sesungguhnya yaitu pokok atau
substansi permohonan, padahal putusan provisi yang menyangkut tindakan-tindakan
sementara yang diambil oleh Mahkamah tidak boleh menyangkut pokok masalah ,
meskipun harus berhubungan dengan pokok masalah ;358
Putusan sela pada masalah pengujian UU pada UUD 1945
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 133/PUUVII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada UUD 1945. Dalam amar
putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan:
Mengadili,
• Mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian;
• Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya
Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni
pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa
sebab melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah
pada pokok permohonan a quo;
Dalam bagian Menimbang, Mahkamah Konstitusi mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut:
a. Meskipun pada awalnya permohonan provisi yaitu ranah hukum acara perdata,
namun hukum acara Mahkamah Konstitusi juga mengatur permohonan provisi
dalam masalah sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat dalam
Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi.
b. Untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, dimana Pasal 86 UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya
memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut halhal yang diperlukan jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara.
Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi telah memakai Pasal 86 ini
untuk memutus masalah perselisihan hasil pemilu melalui beberapa putusan sela
yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan. Juga berdasar Pasal 16 PMK
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU
dibuka kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan ketetapan
atau putusan di dalam permohonan provisi.
c. Sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 yakni, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final diantaranya menguji UU pada UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi tidak hanya bertugas menegakkan hukum dan keadilan tetapi secara
preventif juga berfungsi melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional warga
negara agar tidak terjadi kerugian konstitusional yang dipicu oleh praktik
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
d. Relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan provisi dalam masalah pengujian
UU pada UUD yaitu untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM jika
suatu norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan
masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak
dapat dipulihkan dalam putusan akhir.
e. berdasar Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang untuk memerintahkan penghentian, walaupun bersifat sementara, pada
proses hukum yang sedang berlangsung, namun, dalam permohonan pengujian UU
pada UUD 1945 Mahkamah dapat mengatur pelaksanaan kewenangannya,
yaitu berupa tindakan penghentian sementara pemeriksaan permohonan pengujian
UU pada UUD 1945 atau penundaan putusan atas permohonan ini
jika permohonan dimaksud menyangkut pembentukan UU yang diduga berkait
dengan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 PMK Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU.
g. Mahkamah Konstitusi secara terus menerus mengikuti perkembangan kesadaran
hukum dan rasa keadilan yang tumbuh di warga yang menjadi dasar agar
Mahkamah tidak membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga
negara. Oleh sebab nya, meskipun dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak dikenal
putusan provisi dalam masalah pengujian UU, seiring dengan perkembangan
kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan warga
serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil,
Mahkamah Konstitusi memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam
masalah a quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehatihatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan putusan sela.
h. Mahkamah Konstitusi berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan jika
dengan putusan ini tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak,
sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum.
2. Isi Putusan
Dalam Pasal 48 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur mengenai substansi putusan sebagai berikut:
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi ”DEMI KEADILAN berdasar
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak;c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan pada fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari dan tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.361
Pengaturan tentang putusan ini ditambahkan dalam Pasal 33
PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah
Pengujian UU, dimana dalam Pasal 33 ditambahkan mengenai ”pendapat
berbeda dari Hakim Konstitusi”.362 Hal ini sersuai dengan ketentuan
dalam Pasal 45 ayat (10) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi bahwa dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat maka
pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.363
Dalam Bab II Pasal 2 angka 1 huruf f PMK Nomor 13 Tahun 2008
tentang Pedoman Penulisan Putusan Mahkamah Konstitusi diatur bahwa
identitas pemohon berisi uraian mengenai:
a. nama;
b. tempat tanggal lahir/umur;
c. kewarganegaraan;
d. pekerjaan;
e. agama;
f. alamat pemohon; serta
g. nama kuasa hukum;
h. pekerjaan;
i. alamat;
j. nomor dan tanggal surat kuasa khusus sebagai penerima kuasa, dan
k. penyebutan sebagai pihak pemohon.364
Pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, identitas pemohon yang
yaitu perorangan, mencakup nama, tempat/tanggal lahir, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, dan dalam putusan tertentu
mencantumkan nomor telpon dan alamat e-mail, selain data mengenai
penerima kuasa.365 Pemohon yang yaitu badan hukum, mencantumkan
identitas pemohon berupa nama badan hukum, yang mewakili badan
hukum ini dalam persidangan, jabatan wakil dalam badan hukum
yang menjadi pemohon, dan alamat badan hukum.366
Pertimbangan pada fakta yang terungkap dalam persidangan
meliputi ringkasan:
a. pendirian Pemohon pada permohonannya dan keterangan tambahan
yang disampaikan di persidangan;
b. keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD;
c. keterangan Pihak Terkait; dan
d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti;367
sedang pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan
meliputi:
a. maksud dan tujuan permohonan;
b. kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD 1945,
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003;
c. kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) dan ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003;
d. alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(3) huruf a dan/atau huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003.
e. Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan.
3. Amar Putusan
Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur tiga jenis amar putusan, yaitu permohonan tidak dapat diterima,
permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.369 berdasar data
dalam Daftar masalah Pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi sejak
tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 (30 Juni 2010), maka dapat dibuat
tabel mengenai amar putusan sebagai berikut:
Selain itu, pada masalah yang diajukan, selain kemungkinan diputus
dengan amar putusan permohonan tidak dapat diterima, permohonan
dikabulkan, dan permohonan ditolak, ada pula kemungkinan lainnya,
yaitu masalah ini ditarik kembali dan Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dirinya tidak berwenang. Dalam hal masalah ini ditarik kembali,
maka sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PMK Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU, maka Ketua
Mahkamah Konstitusi menerbitkan Ketetapan Penarikan Kembali yang
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Contoh Surat Ketetapan
ini yaitu Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 59/TAP.
MK/2008, tanggal 6 Mei 2008, yang menetapkan sebagai berikut:
- Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon;
- Menyatakan masalah Nomor 9/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
2008 pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ditarik kembali;
- Menyatakan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2008 pada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dalam masalah a quo;
- Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali masalah Nomor
9/PUU-VI/2008 a quo dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi.371
sedang amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
hanya pada 2 masalah yang diajukan pada tahun 2003, yaitu masalah Nomor
015/PUU-I/2003 tentang Verifikasi Partai Persatuan Nasional Indonesia
(PPNI) dan masalah Nomor 016/PUU-I/2003 tentang Permohonan
Pembatalan masalah Judicial Review.
a. Ditolak
Dalam Pasal 56 ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan
ditolak, yaitu: ”Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan,
amar putusan menyatakan permohonan ditolak.”
Salah satu contoh putusan yang amar putusannya yaitu menolak
permohonan para pemohon sebab permohonan pemohon tidak cukup
beralasan yaitu dalam masalah Nomor 009-014/PUU-III/2005 perihal
Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada
UUD Negara RI Tahun 1945.Secara singkat uraian masalah dan
pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan masalah yang
menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan
para pemohon ditolak, yaitu:
1. Para Pemohon masalah Nomor 009, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka
5, Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 15
ayat (2) huruf g, Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) juncto Pasal
25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat
(1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945.
2. Para Pemohon masalah Nomor 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka
5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Jabatan
Notaris bertentangan dengan UUD 1945.
3. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi antara lain menyatakan
bahwa notaris yaitu suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public
official) yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah, sebagaimana
diatur dalam Bab III UU Jabatan Notaris. Oleh sebab itu menurut
Mahkamah Konstitusi memang seharusnya organisasi notaris berdiri
sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer) dan dipersyaratkannya
organisasi notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) yaitu hal
yang sudah semestinya. berdasar pertimbangan ini , ketentuan
Pasal 1 angka 5 UU Jabatan Notaris tidak bertentangan dengan UUD
1945, sehingga permohonan para pemohon mengenai ini tidak
cukup beralasan.
4. Pasal 67 UU Jabatan Notaris menurut para Pemohon bertentangan
dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menjamin
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945 tentang hak perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yaitu hak asasi.
Para Pemohon mengkhawatirkan objektivitas perlakuan para notaris
yang menjadi anggota Majelis Pengawas pada Notaris yang
mempunyai pertentangan kepentingan dengan notaris yang menjadi
anggota Majelis Pengawas. Mahkamah Konstitusi menilai kekhawatiran
para Pemohon tentang objektivitas anggota Majelis Pengawas yang
berasal dari organisasi notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas
yang berasal dari organisasi notaris tidak mungkin dapat bertindak
sewenang-wenang sebab hanya berjumlah 3 orang, sedang Majelis
Pengawas berjumlah 9 orang, sehingga tidak mungkin memaksakan
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sesuai dengan ketentuan Pasal
67 ayat (1) UU Jabatan Notaris, pengawasan atas notaris dilakukan oleh
menteri. lalu Pasal 67 ayat (2) UU Jabatan Notaris menyatakan,
bahwa dalam melaksanakan pengawasan menteri membentuk Majelis
Pengawas. Majelis Pengawas bukan subordinasi organisasi notaris,
melainkan lembaga yang bertugas membantu menteri untuk melakukan
pengawasan atas notaris. Maka wajar jika Majelis Pengawas mendapat
pelimpahan sebagian wewenang menteri sebagaimana tercantum dalam
Pasal 77 dan Pasal 78 UU Jabatan Notaris
5. Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan
dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris
tidak melarang bagi setiap notaris untuk berkumpul, berserikat dan
mengeluarkan pendapat. Namun mereka harus berhimpun dalam satu
wadah organisasi notaris, sebab notaris yaitu pejabat umum yang
diangkat oleh negara dalam rangka melayani kepentingan warga .
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa notaris yaitu organ negara
dalam arti luas. Oleh sebab itu negara berkepentingan akan adanya
wadah tunggal organisasi notaris. Sebagai perbandingan, seperti
dikemukakan oleh Pemerintah maupun Pihak Terkait (INI), hampir
semua negara menganut adanya satu wadah organisasi notaris.
6. Para Pemohon masalah Nomor 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka
5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Jabatan
Notaris bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menilai bahwa
pengaturan penggunaan cap/stempel jabatan yang memuat lambang
negara oleh notaris dalam undang-undang, sementara penggunaan
lambang negara oleh pejabat negara diatur hanya dalam Peraturan
Pemerintah yaitu tidak layak. pada penilaian para Pemohon
tentang ketidaklayakan ini , Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa hal itu hanya yaitu penilaian subjektif para Pemohon
yang tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum.
b. Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvantkelijk Verklaard)
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur
tentang amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima,
yaitu: ”Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima.”375
Contoh putusan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
Pemohon tidak memenuhi syarat (niet ontvantkelijk verklaard) yaitu Putusan
masalah Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran pada UUD Negara RI Tahun 1945, dimana
pemohonnya yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan KPI sebagai
Pemohon tidak dirugikan hak atau kewenangan konstitusionalnya dengan
berlakunya UU Penyiaran.376
Secara singkat uraian masalah dan pertimbangan yang dikemukakan
dalam putusan masalah yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, yaitu bahwa
KPI yang diwakili oleh delapan orang anggotanya mengajukan permohonan
pengujian UU kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon ini mendalilkan
bahwa Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (5) UU Penyiaran
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan dalam
pasal-pasal ini telah menghilangkan independensinya KPI, khusunya
ketentuan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) UU Penyiaran yang menyatakan
bahwa “aturan-aturan penyiaran dibuat dalam bentuk Peraturan Pamerintah.”
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal-pasal yang diujikan ini
ada dalam UU yang membentuk dan melahirkan KPI, sehingga tidak
mungkin menimbulkan kerugian bagi kewenangan KPI sendiri. Untuk
itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat KPI sebagai lembaga negara yang
yaitu “produk” atau sebagai “anak kandung” undang-undang itu, tidak
mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian
pada undang-undang yang melahirkannya. Permohonan pengujian oleh
KPI sama halnya dengan mempersoalkan eksistensi atau keberadaannya
sendiri. Oleh sebab itu, permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Dikabulkan
Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK
diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan dikabulkan,
yaitu: ”Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
Contoh putusan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan dikabulkan yaitu Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 perihal
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum pada UUD Negara RI Tahun 1945, tanggal 18 Maret 2010,
dimana pemohonnya yaitu Badan Pengawas Pemilu.
d. Perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam perkembangannya, ada pula amar putusan lainnya dalam
praktik di Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1) Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)
Gagasan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) muncul saat
permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.378 Dalam Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tiga
jenis amar putusan, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan
dikabulkan, dan permohonan ditolak.379 Jika hanya berdasar pada ketiga
jenis putusan ini akan sulit untuk menguji UU di mana sebuah
UU seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal
dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam
pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD atau tidak.380 Berkaitan
dengan hal ini , Hakim Konstitusi Harjono mengemukakan sebagai
berikut:
Oleh sebab itu, kita mengkreasi dengan mengajukan sebuah persyaratan: jika sebuah
ketentuan yang rumusannya bersifat umum di lalu hari dilaksanakan dalam
bentuk A, maka pelaksanaan A itu tidak bertentangan dengan Konstitusi. Akan tetapi,
jika berangkat dari perumusan yang umum ini lalu bentuk pelaksanaannya
lalu B, maka B akan bertentangan dengan Konstitusi. maka , ia
bisa diuji kembali.
Yang menjadi masalah yaitu saat dipersoalkan bahwa belum ada
peraturan pelaksanaan yang menjadi turunan di bawahnya. Katakanlah
Peraturan Pemerintah (PP)-nya belum ada. Tentu Mahkamah Konstitusi
tidak bisa mengatakan bahwa putusannya menunggu PP-nya terbit. Jika
menunggu PP maka yang diuji yaitu PP-nya bukan undang-undangnya.
Oleh sebab nya, putusan itu lalu mulai mengintrodusir conditionally
constitutional. Kalau undang-undang nanti diterapkan seperti A, ia bersifat konstitusional, namun jika diterapkan dalam bentuk B, ia akan bertentangan
dengan Konstitusi.
Contoh putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) antara
lain pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal
Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD pada UUD Negara R.I. Tahun 1945. Dalam
konklusi putusan dinyatakan bahwa: ”Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
”konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo
harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi
yang diwakilinya bagi calon anggota DPD;”
Contoh putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
lainnya yaitu Putusan Nomor 147/PUU-VIII/2009 perihal Pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada UUD
Negara RI Tahun 1945, dimana dalam amar putusannya, diputuskan
sebagai berikut:
• Menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) yaitu
konstitusional bersyarat pada Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata “mencoblos” dalam Pasal 88
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan
pula memakai metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:
a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
b. daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi,
pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan
warga di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang
diperlukan.
2) Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitusional)
Selain putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional),
dalam perkembangan putusan juga ada putusan Mahkamah Konstitusi
yang yaitu putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional). Pada dasarnya, sebagaimana argumentasi dari diputuskannya
putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) juga dipicu sebab
jika hanya berdasar pada amar putusan yang diatur dalam Pasal 56 UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan
tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak,384
maka akan sulit untuk menguji UU di mana sebuah UU seringkali
mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal dalam rumusan
yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaannya akan
bertentangan dengan UUD atau tidak.
Contoh putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
yaitu pada Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada UUD Negara RI Tahun
1945. Dalam konklusi putusan, dinyatakan bahwa: “Pasal 4 ayat (1) UU
Advokat yaitu tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Amar
Putusan ini;.”385 Keterangan lebih lanjut dalam konklusi mengenai putusan
tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) ini dijelaskan
dalam amar putusan berikut:
• Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat…yaitu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa
“Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi
para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan
Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu
2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan;
• Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat…tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa
“Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi
para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan
Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu
2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan;….386
3) Penundaan Keberlakuan Putusan
Contoh putusan MK yang yaitu penundaan keberlakuan putusan
yaitu dalam Putusan masalah Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi pada UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam pertimbangan
hukumnya, Mahkamah Konstitusi mengemukakan sebagai berikut:
Menimbang bahwa untuk menyelesaikan kedua hal ini , beserta penataan
kelembagaannya, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama tiga
tahun. jika dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat
undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi
hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Sebelum
terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undangundang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat
basis konstitusional usaha pemberantasan tindak pidana korupsi. jika pada saat
jatuh tempo tiga tahun sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan
UU KPK pada UUD 1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor
dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan masalah tindak pidana
korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;
Pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya
Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup bagi pembentuk UU
untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945 dan sekaligus
dimaksudkan agar pembentuk UU secara keseluruhan memperkuat dasardasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK dan usaha
pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk kepentingan umum yang
jauh lebih besar, Mahkamah Konstitusi merasa perlu membatasi akibat
hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas suatu UU, dan hal
demikian pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
026/PUU-III/2005 tanggal 22 Maret 2006 perihal Pengujian UndangUndang Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006,
yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah
Konstitusi sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan
ini .
4) Perumusan Norma dalam Putusan
Salah satu contoh putusan MK yang yaitu perumusan norma
dalam putusan yaitu dalam Putusan masalah Nomor 072-073/PUU-II/2004
perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pada UUD 1945. Dalam bagian Mengadili dalam putusan ini ,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.390 Akibat dari penghapusan bagian
tertentu ini , maka pasal-pasal ini menjadi sebuah norma baru
yang berbeda dengan norma sebelumnya, yaitu:
a. Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut:
”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan
oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR.” Dengan putusan
Mahkamah Konstitusi maka pasal ini menjadi: ”Pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.”
b. Pasal 66 ayat (3) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai
berikut: ”Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD.”
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal ini menjadi
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Pasal 67 ayat (1) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai
berikut: ”Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada
DPRD.” Dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal ini
menjadi: ”Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran.”
d. Pasal 82 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut:
”Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasar putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai
sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.” Dengan
putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal ini menjadi: ”Pasangan
calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukakan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasar putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan
sebagai pasangan calonPutusan lainnya yaitu Putusan Nomor 110-111-112-113/PUUVII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada UUD 1945. Dalam
bagian Mengadili putusan ini , Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa Pasal 205 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yaitu konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa
penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR dilakukan
dengan cara yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.391
Akibat dari putusan ini , maka pasal ini menjadi sebuah norma
baru yang berbeda dengan norma sebelumnya, sebab dalam Pasal 205
ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD diatur bahwa: ”Dalam hal masih ada sisa
kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara
membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik
Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh perseratus) dari BPP DPR”, sedang dalam putusan Mahkamah
Konstitusi menjadi sebagai berikut:
• Menyatakan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
yaitu konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional
sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan
kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka
BPP, yaitu 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP di setiap daerah
pemilihan Anggota DPR;
2. Membagikan sisa suara pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada
Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan ketentuan:
a. jika suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota
DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari
angka BPP, maka Partai Politik ini memperoleh 1 (satu) kursi.
b. jika suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota
DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus)
dari angka BPP dan masih ada sisa kursi, maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa
suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga;
dan
2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam
penghitungan kursi tahap ketiga.
Istilah ‘penafsiran konstitusi’ yaitu terjemahan dari constitutional
interpretation.
90 Albert H. Y. Chen, guru besar Fakultas Hukum Universitas
Hong Kong memakai istilah ‘constitutional interpretation’ yang dibedakan
dari ‘interpretation of statutes.’ Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation
yaitu penafsiran pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam
konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law.
Penafsiran konstitusi yaitu hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas
judicial review. Chen menyatakan:
The American experience demonstrates that constitutional interpretation is inseparable
from judicial review of the constitutionality of governmental actions, particularly legislative
enactments. Such judicial review was first established by the American Supreme Court
in Marbury v Madison (1803).
Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini yaitu penafsiran yang
dipakai sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding)
berdasar konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang dipakai atau
berkembang dalam praktik peradilan MK. Metode penafsiran diperlukan
sebab peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya dapat disusun
dalam bentuk yang jelas dan tidak membuka penafsiran lagi. Mengenai ukuran kejelasan dalam peraturan perundang-undangan
(termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar), Montesquieu
mengajukan kriteria untuk menyusun peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
(1) gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana.
Ini mengandung arti bahwa pengutaraan dengan memakai
ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanyalah mubasir
dan menyesatkan. Istilah-istilah yang dipilih hendaknya sejauh mungkin
bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga dengan demikian membuka
sedikit kemungkinan bagi perbedaan pendapat individual.
(2) Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang
nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis
dan hipotesis.
(3) Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, oleh sebab
ia ditujukan untuk orang-orang dengan kecerdasan tengah-tengah saja;
peraturan itu bukan latihan dalam penggunaan logika, melainkan hanya
penalaran sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.
(4) Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan
atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.
(5) Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; yaitu berbahaya
untuk memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh sebab
yang demikian itu hanya akan membuka pintu untuk pertentangan
pendapat.
(6) Akhirnya, di atas itu semua, ia harus dipertimbangkan dengan penuh
kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia
mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan
serta la nature des choices. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak
perlu dan tidak adil akan memicu orang tidak menghormati
perundang-undangan dan menghancurkan otoritas negara.93
Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat
pada perundang-undangan atau hukum tertulis yaitu sifat otoritatif dari
rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam
bentuk tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari
usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide atau pikiran yang
hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya sebagai ‘semangat’ dari
suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan sendirinya yaitu bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum
perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha ini akan dilakukan
oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi.
Interpretasi atau konstruksi ini yaitu suatu proses yang ditempuh oleh
pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum
perundang-undangan.
Sebagai contoh, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” jika ketentuan
dimaksud diterjemahkan dalam suatu Undang-Undang yang menentukan
bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPRD, lalu
ada pihak yang mengajukan permohonan kepada MK sebab berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan demokratis yaitu pemilihan langsung,
maka MK dalam memutus permohonan ini pasti akan melakukan
penafsiran untuk menentukan apa yang dimaksud dengan frasa “dipilih
secara demokratis.”
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, interpretasi atau
penafsiran yaitu salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup
kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
oleh hakim yaitu penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan
yang dapat diterima oleh warga mengenai peraturan hukum pada
peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini yaitu sarana atau alat untuk
mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan
untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan
metode itu sendiri.
Di Belanda dan kebanyakan negara-negara barat-kontinental, pandangan
tentang penemuan hukum (rechtsvinding) dikaitkan dengan legisme, yaitu
aliran pemikiran dalam teori hukum yang mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Gagasan bahwa penemuan hukum seyogianya harus
memiliki karakter yang sangat formalistik atau logikal, juga ditekankan oleh
aliran Teori Hukum Begriffsjurisprudenz. Aliran ini dianut oleh negara-negara
Germania pada abad sembilan belas.Penafsiran Sebagai Metode Penemuan
Hukum
Ada pandangan yang mengemukakan, bahwa penafsiran konstitusi
atau Undang-Undang Dasar, tidaklah sama dengan penafsiran hukum.
Bertumpu dari pengertian ‘konstitusi’ atau ‘undang-undang dasar’ di
satu sisi, dan pengertian ‘hukum’ di sisi lain jelaslah memang pengertian
‘konstitusi’ atau ‘undang-undang dasar itu tidak sama (analog). Oleh
sebab itu, penafsiran konstitusi atau undang-undang dasar tidaklah
begitu saja dianalog-kan dengan pengertian penafsiran hukum. Jika
konstitusi diartikan sebagai Undang-Undang Dasar (=hukum dasar yang
tertulis), maka penafsiran konstitusi atau Undang-Undang Dasar hanyalah
yaitu salah satu bagian saja dari penafsiran hukum. Penafsiran
hukum (dilihat dari bentuk hukumnya -- rechtsvorm) dapat bermakna
luas, baik itu penafsiran pada hukum yang tertulis (geschreven recht)
maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Akan tetapi dalam
praktik, pembedaan antara penafsiran konstitusi atau penafsiran hukum
itu tidak dapat ditarik secara tegas, sebab saat hakim menafsirkan
konstitusi, ia tidak dapat dibatasi hanya dengan melakukan penafsiran
pada norma-norma hukum tertulisnya saja atau sesuai dengan
rumusan teks-nya saja, melainkan dapat saja ia melakukan penafsiran
pada norma-norma hukum konstitusi yang tidak tertulis, seperti
asas-asas hukum umum (elgemene rechtsbeginselen) yang berada di belakang
rumusan norma-norma hukum tertulis itu.
Dalam ilmu hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran yaitu
metode penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi
tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Penemuan hukum
ihwalnya yaitu berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan produk
pembentukan hukum. Penemuan hukum yaitu proses kegiatan pengambilan
keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum
bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan
akta oleh notaris dan sebagainya). Dalam arti tertentu menurut Meuwissen,
penemuan hukum yaitu pencerminan pembentukan hukum.
Ada 2 (dua) teori penemuan hukum, yaitu : (1) penemuan hukum
heteronom; dan (2) penemuan hukum otonom. Penemuan hukum
heteronom terjadi pada saat hakim dalam memutus masalah dan menetapkan hukum menganggap dirinya terikat pada kaidah-kaidah
hukum yang disodorkan dari luar dirinya. Diandaikan bahwa makna
atau isi dari kaidah pada prinsipnya dapat ditemukan dan ditetapkan
secara objektif, atau setidaknya dapat ditetapkan dengan cara yang sama
oleh setiap orang.
Penemuan hukum otonom artinya menunjuk pada kontribusi pemikiran
hakim. Hakim dapat memberikan masukan atau kontribusi melalui metodemetode interpretasi yang sesuai dengan model penemuan hukum legistik
atau melalui metode-metode interpretasi yang baru seperti metode interpretasi
teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim menetapkan apa tujuan,
rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum, kepentingankepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan apakah
kepentingan ini benar terlindungi jika kaidah hukum itu diterapkan
ke dalam suatu masalah konkret dalam konteks kewarga an yang aktual.
Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini juga memberikan
kepada hakim alternatif kemungkinan untuk menelaah apakah makna yang
pada suatu saat secara umum selalu diberikan pada suatu kaidah hukum
tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual warga .
Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum
(rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman
memiliki karakter logikal. Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi
atau penafsiran oleh hakim yaitu penjelasan yang harus menuju
kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh warga mengenai peraturan
hukum pada peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini yaitu
sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.99
Penafsiran sebagai suatu metode penemuan hukum secara historis
memiliki relevansi dengan tradisi hermeneutik yang sudah sangat tua usianya.
Semula hermeneutik yaitu teori yang menyibukkan diri dengan ihwal
menginterpretasi naskah, sebab itu pada permulaan dipakai terutama
oleh para teolog, yang tugasnya memang berurusan dengan naskah-naskah
keagamaan. lalu cabang ajaran-ilmu ini juga menarik perhatian para
historikus, ahli kesusasteraan dan para yuris.100 Perkataan hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani, yakni kata kerja ‘hermeneuein’ yang berarti ‘menafsirkan’ atau ‘menginterpretasi’ dan kata benda ‘hermeneia’ yang
berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’.
Dalam karya Heidegger, Gadamer dan karya Paul Ricoeur,
hermeneutik sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutik,
yang berintikan konsep-konsep kunci seperti pendidikan (bildung), tradisi
(ueberlieferung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran
hermeneutik (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh
(wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical consciousness,
wirkungsgeschichtliches bewusstsein), perpaduan cakrawala (fusion of horizons,
horizontverschmelzung). Filsafat hermeneutik yaitu filsafat tentang hal
mengerti atau memahami (verstehen). Yang dipermasalahkan dalam filsafat
ini bukanlah bagaimana orang harus memahami, jadi bukan ajaran seni
atau ajaran metode, melainkan apa yang terjadi jika orang memahami atau
menginterpretasi.
Menurut Gadamer, pemahaman pada sesuatu yaitu menginterpretasi
sesuatu, dan sebaliknya. maka , dalam hukum, pemahaman
pada hukum yaitu menginterpretasikan hukum, dan menafsirkan
hukum yaitu memahami hukum. Hukum oleh sebab itu hanya dapat
dipahami melalui penafsiran, dan penafsiran pada hukum akan
membantu sampai pada pemahaman pada hukum.
Hermeneutik mempunyai pengaruh besar terutama pada teori
penemuan hukum (rechtsvindingstheorie) dalam tahun-tahun tujuh-puluhan,
khususnya oleh teoretikus Jerman Jozef Esser dan Karl Larenz. Di Belanda,
hermenuetik dari H.G. Gadamer diintroduksi ke dalam teori penemuan
hukum oleh J.B.M. Vranken. Dalil hermeneutikal yang dirumuskan: dat men
feiten moet kwalificeren in het licht van de normen en de normen moet interpreteren in
het licht van de feiten behoort tot het paradigma van de huidige rechtsvindingstheorie103
– bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah
dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk
dalam paradigma dari teori penemuan hukum dewasa ini.Macam-Macam Penafsiran Hukum dan
Konstitusi
Macam-macam penafsiran yang akan diuraikan berikut ini, bukanlah
yaitu suatu metode yang diperintahkan kepada hakim agar dipakai
dalam penemuan hukum, akan tetapi yaitu penjabaran dari putusanputusan hakim. Dari alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan
yang sering dipakai oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dapat
diidentifikasikan beberapa metode interpretasi.
Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara
garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
(1) interpretasi harfiah; dan
(2) interpretasi fungsional.
Interpretasi harfiah yaitu interpretasi yang semata-mata
memakai kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan
kata lain, interpretasi harfiah yaitu interpretasi yang tidak keluar dari
litera legis. Interpretasi fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas.
Disebut bebas sebab penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya
kepada kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis). maka ,
penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu
peraturan dengan memakai berbagai sumber lain yang dianggap bisa
memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.104
Di samping beberapa metode penafsiran sebagaimana ini di atas,
berdasar dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
(1) metode penafsiran restriktif; dan
(2) metode penfasiran ekstensif.
Interpretasi restriktif yaitu penjelasan atau penafsiran yang bersifat
membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang
lingkup ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang dipakai dalam metode
penafsiran ini yaitu prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata
lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan
selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundangundangan itu sendiri. sedang interpretasi ekstensif yaitu penjelasan
yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi
gramatikal.105
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa
metode interpretasi yang lazimnya dipakai oleh hakim (pengadilan)
sebagai berikut:
(1) interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa;
(2) interpretasi teleologis atau sosiologis;
(3) interpretasi sistematis atau logis;
(4) interpretasi historis;
(5) interpretasi komparatif atau perbandingan;
(6) interpretasi futuristis.106
Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi otentik
tidak termasuk dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik
yaitu penjelasan yang diberikan undang-undang dan ada dalam teks
undang-undang dan bukan dalam Tambahan Lembaran Negara.107 Berikut
ini penjelasan beberapa metode interpretasi yang lazim dipakai oleh
hakim (pengadilan) sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo
dan A. Pitlo.
1. Interpretasi gramatikal
Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan
penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan
makna pada sesuatu objek. Sukar dibayangkan, hukum ada tanpa adanya
bahasa. Positief recht bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de mens een taal
heeft108 – hukum positif itu ada hanya sebab kenyataan bahwa manusia
memiliki bahasa.
Menurut Bruggink, men kan zelfs nog verder gaan en stellen dat ook het
recht als conceptueel systeem alleen maar vorm kan krijgen in het denken van de
mens, dankzij de taal die hij spreekt.
109 Hukum sebagai sistem konseptual hanya
dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia yaitu sebab bahasa
yang dipakai untuk berbicara. Oleh sebab itu pula, James A Holland
dan Julian S. Webb mengemukakan, bahwa bahasa yaitu salah satu
faktor kunci untuk bagaimana kita dapat mengetahui sengketa hukum
(legal disputes) yang sebenarnya dikonstruksi oleh hakim (pengadilan). Law
and fact, dan law and language – hukum dan fakta, dan hukum dan bahasa
yaitu 2 (dua) variabel kunci untuk memahami sengketa hukum di
peradilan. The legal process is intrinsically bound up with language – proses
hukum secara intriksik diikat dengan bahasa.110
Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran
objektif yaitu cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana
untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya
menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa
ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar ‘membaca undang-undang.’
Dari sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut
bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat
pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini
juga harus logis.111
ada 3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat dipakai dalam
metode penafsiran ini, yaitu:
(1) noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya
dalam kumpulan-kumpulannya;
(2) ejusdem generis. Asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu
perkataan yang dipakai dalam lingkungan atau kelompok yang
sama.
(3) expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan
secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu
perundang-undangan. Misalnya, jika di muka peraturan telah
memerinci tentang ‘pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang lain
apapun’, maka kata ‘orang lain apapun’ harus diartikan dalam kategori
orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu.112
2. Interpretasi teleologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu jika makna undangundang ditetapkan berdasar tujuan kewarga an. Dengan interpretasi
teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau
tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan
kepentingan masa kini, tidak peduli apakah ini semuanya pada waktu
diundangkannya Undang-Undang ini dikenal atau tidak. Di sini
peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan
keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.113
3. Interpretasi sistematis atau logis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri
lepas sama sekali dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap
undang-undang yaitu bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan
undang-undang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi
logis.
114
Dalam praktik peradilan di MK jenis penafsiran ini juga digunakan.
Contoh bagaimana metode penafsiran sistematis atau logis ini dipakai
dalam praktik peradilan di MK dapat dilihat seperti ada dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 [dalam masalah
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman] sebagai berikut:
Bahwa jika ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasar
“original intent”115 perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai
KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan
mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika
penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang
mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal
yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat
dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD
1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku
hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. ini
dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc
Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia
Ad Hoc ini dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai
KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk
mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24C UUD 1945.
4. Interpretasi historis
Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat
juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu
sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua)
macam interpretasi historis, yaitu:
a. penafsiran menurut sejarah undang-undang; dan
b. penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari
maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki
oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran
yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa undang-undang yaitu
kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undangundang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga
interpretasi subjektif, sebab penafsir menempatkan diri pada pandangan
subjektif pembentuk undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut
bahasa yang disebut metode objektif. sedang , metode interpretasi yang
hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum
disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.116
5. Interpretasi komparatif atau perbandingan
Interpretasi komparatif atau perbandingan yaitu metode penafsiran
yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan
hukum. Tujuan hakim memperbandingkan yaitu dimaksudkan untuk
mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.117
Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan
penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan
perundang-undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di
samping perbandingan tentang latar belakang atau sejarah pembentukan
hukumnya.
Interpretasi futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat
antisipasi yaitu penjelasan ketentuan undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum.118 maka , interpretasi ini lebih
bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang dicitakan)
daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada
saat sekarang).
Metode penafsiran sebagaimana yang diuraikan di atas yaitu
metode penafsiran yang pada umumnya dikenal sebagai metode penafsiran
hukum. Di samping metode penafsiran hukum itu, dalam kepustakaan
hukum konstitusi dikenal juga metode penafsiran konstitusi (constitutional
interpretation method). Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode
penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), yaitu:
(1) penafsiran tekstual;
(2) penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);
(3) penafsiran doktrinal;
(4) penafsiran prudensial;
(5) penafsiran struktural; dan
(6) penafsiran etikal.
. Penafsiran tekstual
Penafsiran tekstual (textualism or literalism) atau penafsiran harfiah
ini yaitu bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan
dengan cara memberikan makna pada arti dari kata-kata di dalam
dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif (meaning of the
words in the legislative text). maka , penafsiran ini menekankan
pada pengertian atau pemahaman pada kata-kata yang tertera dalam
konstitusi atau undang-undang sebagaimana yang pada umumnya dilakukan
oleh kebanyakan orang.
. Penafsiran historis (atau penafsiran originalism)
Penafsiran historis ini disebut juga dengan penafsiran orisinal, yaitu
bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah
konstitusi atau undang-undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau
diratifikasi oleh pembentuknya atau ditandatangani institusi yang berwenang.
Pada umumnya metode penafsiran ini memakai pendekatan original
intent pada norma-norma hukum konstitusi. Menurut Anthony Mason,
interpretasi atau penafsiran ini yaitu penafsiran yang sesuai dengan
pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang ada dalam konstitusi.
Penafsiran ini biasanya dipakai untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan
dan struktur konstitusi.
. Penafsiran doktrinal
Penafsiran doktrinal yaitu metode penafsiran yang dilakukan
dengan cara memahami aturan undang-undang melalui sistem preseden
atau melalui praktik peradilan. James A. Holland dan Julian S. Webb
mengatakan common law is used to describe all those rules of law
that have evolved through court cases (as opposed to those which have emerged
from Parliament). Menurut Bobbitt, metode penafsiran doktrinal ini
banyak dipengaruhi oleh tradisi common law yang dipakai sebagai
pendekatannya.
. Penafsiran prudensial
Penafsiran prudensial yaitu metode penafsiran yang dilakukan
dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan
dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu aturan
atau undang-undang tertentu. Menurut Bobbitt, prudential arguments is
actuated by facts, as these play into political and economic policies.
. Penafsiran struktural
Penafsiran struktural yaitu metode penafsiran yang dilakukan
dengan cara mengaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi
atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur-struktur
ketatanegaraan. Bobbitt mengemukakan, metode penafsiran ini juga
berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai federalisme, pemisahan
kekuasaan dan isu-isu lainnya di lingkungan pemerintahan, di luar isu-isu
tentang kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Bobbit mengemukakan,
‘structuralism as a kind of ‘macroscopic prudentialism12. Penafsiran etikal
Penafsiran etikal yaitu metode penafsiran yang dilakukan dengan
cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana ada dalam
konstitusi atau undang-undang dasar. Metode penafsiran ini dikonstruksi
dari tipe berpikir konstitusional yang memakai pendekatan falsafati,
aspirasi atau moral. Dengan demikian metode penafsiran ini dapat dipakai
untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi manusia
dan pembatasan pada kekuasaan negara atau pemerintahan. Dalam
metode penafsiran etikal ini, moralitas konvensional (conventional morality)
dan filsafat moral (moral philosophy) yaitu 2 (dua) aspek yang sangat
relevan sekali jika dipakai sebagai metode pendekatan.
Albert H. Y. Chen mengemukakan keenam macam metode penafsiran
konstitusi yang dikemukakan oleh Bobbitt di atas termasuk ke dalam lingkup
penafsiran konstitusi yang disebut dengan the purposive approach. Metode
penafsiran purposif ini yaitu metode penafsiran yang dipakai
untuk memberikan arti atau makna aturan-aturan dalam undang-undang
berdasar maksud atau tujuan pembentukannya. Menurut Chen, metode
penafsiran ini akan dapat dipahami dengan baik jika dihadapkan
dengan metode penafsiran harfiah atau tekstual. jika metode penafsiran
harfiah atau tekstual memakai pendekatan dari sudut kata-kata yang
dirumuskan sebagai aturan oleh pembentuk Undang-Undang, maka metode
penafsiran purposif memakai pendekatan yang lebih luas mengenai
hal-hal yang terkait dengan isi atau substansi atau faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam memahami maksud pembentuk Undang-Undang
ini .
Penelusuran pada berbagai kepustakaan ilmu hukum dan konstitusi
ditemukan, banyak variasi metode penafsiran yang dikemukakan oleh para
ahli. Akan tetapi dari berbagai ragam metode penafsiran, pada hakikatnya
metode penafsiran konstitusi ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok
besar, yaitu: metode penafsiran originalism, yang memakai pendekatan
original intent (termasuk pendekatan historis) pada norma-norma hukum
konstitusi, dan non originalism.
Metode penafsiran mana yang akan dipilih dan dipakai oleh hakim
dalam menghadapi masalah -masalah hukumnya, pada akhirnya berpulangpada hakim. Hakim dalam konteks ini memiliki kebebasan untuk memilih
berdasar keyakinan hukumnya. Mengenai hal itu, sub bab berikut ini
akan menguraikannya.
Hakim Bebas Memilih Metode Interpretasi
Konstitusi
Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan, bahwa dari sekian
banyak macam metode interpretasi konstitusi yang ada atau berkembang
dalam praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi (baik yang dipakai
oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, Saksi, Ahli, maupun Hakim
Konstitusi), hanya metode interpretasi konstitusi tertentu saja yang boleh
dipilih dan dipakai oleh hakim.
Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat
dipakai oleh hakaim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi
yang lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan
memakai satu metode interpretasi konstitusi tertentu saja, misalnya
hanya memilih dan memakai metode penafsiran ‘originalisme’ yang
mendasarkan diri pada original intent. Hakim dapat memakai beberapa
metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Pada umumnya
dikatakan, bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan undang-undang
paling tidak akan ada unsur-unsur gramatikal, sistematis, teleologis
dan historis.
Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih dan memakai
metode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya benar. Dengan
demikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk memilih dan
memakai metode-metode penafsiran atau interpretasi itu. Mengenai
ini , Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006
[tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman], pernah mengemukakan
pandangan hukumnya sebagai berikut:
Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir
Undang-Undang Dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak
boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme”
dengan mendasarkan diri hanya kepada “original intent” perumusan pasal UUD 1945, terutama jika penafsiran demikian justru memicu
tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem
dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi UndangUndang Dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang
hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945
dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya
guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam
usaha mencapai cita negara (staatsideé), yaitu mewujudkan negara hukum
yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang
yaitu penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945.
Jadi, terkait dengan prinsip independensi dan kebebasan hakim, hingga
kini tidak ada ketentuan atau aturan yang mengharuskan hakim hanya
memakai salah satu metode penafsiran tertentu saja. Pemilihan dan
penggunaan metode interpretasi yaitu otonomi atau kemerdekaan
hakim dalam penemuan hukum. Terkait dengan ini , Mahkamah
Konstitusi juga pernah mengemukakan:
….Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan
nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan
pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang
mempunyai kekuasaan politik dan administrasi.124
Pemanfaatan metode-metode interpretasi yang beragam dalam praktik
peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode-metode
itu menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan hakim yang luas untuk
mengambil keputusan.125 Apalagi pembentuk undang-undang (dalam hal
ini lembaga legislatif) ternyata juga memberikan kebebasan kepada hakim
dalam derajat yang cukup tinggi untuk menterjemahkannya lebih lanjut
ke dalam masalah . Dalam menjalankan kekuasaannya di bidang peradilan
misalnya, Undang-Undang memerintahkan agar:
‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga .’
Ketentuan ini jelas sekali memberikan keleluasaan dan kebebasan
pada hakim untuk tidak terpancang hanya pada rumusan-rumusan
formal undang-undang. Ketentuan ini juga mengingatkan pada pandangan
yang mengemukakan, agar hakim jangan hanya berfungsi sebagai spreakbuis
(corong) undang-undang saja, atau kata Montesquieu – la bouche de la
loi.
127
Dalam teori hukum, keseluruhan pandangan yang merumuskan secara
eksplisit kebebasan hakim untuk menetapkan putusannya dinamakan
Freirechtsbewegung (=gerakan hukum bebas). Aliran pemikiran ini menolak
pandangan sempit tentang proses penemuan hukum, mengakui sumbangan
(kontribusi) atau masukan dari hakim yang menilai (waarderende inbreng) ke
dalam proses ini dan memperjuangkan pengakuan pada kedudukan
mandiri dari peradilan berhadapan dengan undang-undang dan sistem
(hukum).
Aliran Freirechtsbewegung ini banyak mendapat kritik, sebab terlalu
memberi kebebasan yang teramat besar kepada hakim dalam mengambil
keputusan, sehingga dapat memicu ketidakpastian hukum dan
membuka kemungkinan (peluang) bagi subjektivitas hakim serta
menimbulkan persoalan tentang legitimitasi. Di samping itu aliran pemikiran
hukum bebas ini tidak didukung oleh suatu wawasan metodologikal yang
memadai. Dengan cara bagaimanakah hakim harus menilai dan menimbangnimbang berbagai kepentingan yang berhasil diungkap yang satu pada
yang lainnya, ukuran atau standar penilaian apakah yang menjadi landasan
pijaknya, metode interpretasi manakah yang harus dipilih ? Tanpa metode
yang tegar dari teori legistik, yang berkenaan dengannya diterima bahwa
metode ini dapat menjamin objektivitas, bebas nilai dan rasionalitas
dari putusan, maka penemuan hukum itu mungkin saja terjerumus ke dalam
kesewenang-wenangan hakim.128 Para hakim di lingkungan Mahkamah
Konstitusi Indonesia seyogianya juga memahami isyarat ini. Ijtihad para
hakim konstitusi dalam rangka rechtsvinding hingga sampai pada putusannya yaitu bagian dari amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
bahwa sebagai peradilan negara, Mahkamah Konstitusi harus menerapkan
dan menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila,129 di samping
juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup di dalam warga nya.
Mahkamah Konstitusi dan Sistem Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia
Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat
umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu
sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan pembentukan suatu aturan
hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan.
Asas hukum yaitu jantung yang menghubungkan antara aturan
hukum dengan cita-cita dan pandangan warga di mana hukum itu
berlaku (asas hukum objektif).29 Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami
sebagai norma umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif
(asas hukum subjektif).Dalam konteks Hukum Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam
ini yaitu prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan
atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan
untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya
hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan
hak konstitusional warga negara. Asas-asas ini harus dijabarkan dan
dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum acara.
Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip
yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus
pula menjadi pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam
proses peradilan.
Mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau
masalah tertentu, setiap asas memiliki pengecualian. Asas peradilan terbuka
untuk umum misalnya memiliki pengecualian untuk masalah -masalah
tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup.
Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK
ada asas-asas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun
yang khusus sesuai dengan karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan,
salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam)
asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka
untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan
secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara
seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam
persidangan.30 Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7)
Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).
31
1. ius curia novit
Asas ius curia novit yaitu asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu masalah yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakimharus memeriksa dan mengadilinya. Asas ini juga ditegaskan dalam
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.32
Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas
wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945,
yaitu pengujian undang-undang pada Undang-Undang Dasar, sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik,
perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang
suatu masalah diajukan dalam bingkai salah satu wewenang ini , MK
harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus.
ada beberapa masalah yang secara substansi sesungguhnya tidak
termasuk ke dalam salah satu wewenang MK namun diajukan dalam
bingkai salah satu wewenang MK sehingga MK harus memeriksa dan
memutusnya. masalah ini antara lain yaitu masalah Nomor 001/
PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan MA
Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang
dengan mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum
tetap ini kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam masalah
ini MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima sebab Putusan
Peninjauan Kembali MA tidak masuk dalam kategori undang-undang yang
menjadi wewenang MK untuk mengujinya.
Selain itu, juga ada masalah Nomor 110-111-112-113/PUUVII/2009 yang pada prinsipnya bertujuan untuk menguji Putusan MA
Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai perhitungan tahap kedua pada Pemilu
2009. Namun pengujian ini dibingkai dengan masalah pengujian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD, khususnya pada Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan
masalah ini mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang
dimohonkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
sepanjang ditafsirkan seperti yang dituangkan dalam amar putusan MK.
Dalam pertimbangan putusan ini juga dinyatakan bahwa semua peraturan
dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK menjadi
kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan
mengikat.
Contoh lain yaitu Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 24C UUD 1945 menyatakan salah satu wewenang MK yaitu
memutus pengujian undang-undang pada UUD 1945. Pengertian
Undang-undang menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004
yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden. Dengan demikian pengertian merujuk pada
bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No. 10 Tahun 2004
juga mengatur keberadaan Perpu yang kedudukannya sejajar dengan UU.
Perpu yaitu Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam
suatu undang-undang.
UUD 1945 menyatakan MK berwenang menguji UU pada
UUD 1945, sedang MA menguji peraturan perundang-undangan di
bawah UU pada UU. Muncul permasalahan atau kekosongan hukum,
siapa yang dapat menguji Perpu. MA tidak memiliki wewenang sebab
kedudukan Perpu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK juga tidak memiliki
wewenang jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum
menurut UU No. 10 Tahun 2004.
pada permohonan pengujian Perpu dalam Putusan Nomor 138/
PUU-VII/2009 MK dinyatakan bahwa MK berwenang menguji Perpu
walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang hal ini .
Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu antara lain
adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti ketentuan
suatu UU sehingga materi muatan Perpu yaitu materi muatan UU;
Kedua, Perpu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga
norma yang diatur di dalam Perpu yang seharusnya menjadi materi muatan
UU berlaku sebagai norma hukum yang mengikat seperti halnya norma
dalam suatu UU; dan ketiga, dalam keberlakuan norma itu dapat melanggar
hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945.
2. Persidangan terbuka untuk umum
Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk
umum yaitu asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali
dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. ini
tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa
sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan
dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus masalah akan
objektif berdasar alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam
persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga
dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim.
Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim
konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya
terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti dalam masalah pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, khususnya
tentang sensor film. Dalam pemeriksaan masalah Nomor 29/PUU-V/2007
ini pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat
alat bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang
dilakukan secara tertutup sebab alasan kesusilaan.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup
sebab dalam rapat ini hakim konstitusi menyampaikan pendapat
untuk pengambilan putusan suatu masalah . Di dalam rapat ini terjadi
perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi
tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan
hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH tidak
dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu
untuk memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan
itu sendiri sebab ada rentang waktu antara pengambilan putusan dan
pengucapan putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya
diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa
petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak membocorkan apapun
yang terjadi dan diputuskan dalam RPH.
3. Independen dan imparsial
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu masalah secara objektif
serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen
dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun,
serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang bermasalah atau imparsial.
ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam
Pasal 2 UU MK. sedang dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman
ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib
menjaga kemandirian peradilan.Independensi dan imparsialitas ini memiliki tiga dimensi, yaitu
dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi
fungsional mengandung pengertian larangan pada lembaga negara
lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi
dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu masalah . Dimensi
fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari
dimensi struktural dan personal hakim.
Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat
independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan
peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak.
sedang dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar
kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan
kepada kode etik dan pedoman perilaku. Untuk mendukung independensi
dan imparsialitas hakim konstitusi dan MK, telah ditetapkan PMK Nomor
09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi. Terkait dengan independesi hakim konstitusi, pada
bagian pertama Deklarasi ditegaskan33
“Independensi Hakim yaitu prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum,
dan yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat
dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas
setiap masalah , dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan
yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan
terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun
sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa
intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa
bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan sebab kepentingan
politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa,
kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan jabatan,
keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.”
Penerapan dari prinsip independensi ini yaitu sebagai berikut.
1. Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas
dasar penilaian pada fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa
bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik
langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan
apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.
2. Hakim harus bersikap independen dari tekanan