mahkamah konstitusi 5

Rabu, 13 September 2023

mahkamah konstitusi 5


dalam waktu yang bersamaan.Atas permintaan Hakim, keterangan Presiden/Pemerintah, DPR dan/
atau DPD, saksi, ahli, dan Pihak Terkait, wajib disampaikan yang bentuknya 
baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara 
elektronik, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja 
sejak diterimanya permintaan dimaksud.
Pemeriksaan yang dilakukan pada  pihak terkait, dilakukan dengan 
mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. Pihak 
terkait yang mempunyai kepentingan langsung diberi kesempatan untuk 
memberikan keterangan (lisan dan/atau tertulis), mengajukan pertanyaan 
kepada ahli dan/atau saksi, mengajukan ahli dan/atau saksi yang belum 
terwakili dalam persidangan sebelumnya, dan menyampaikan kesimpulan 
akhir (secara lisan dan/atau tertulis).
Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan persidangan jarak jauh 
(teleconference).323 jika  dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat 
diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi 
yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti, 
serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan 
Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan.
Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana 
dalam pembentukan UU yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah 
Konstitusi dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau 
menunda putusan. Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau 
penundaan putusan ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi 
yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam hal Pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali, 
Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim atau Panel Hakim memberikan 
rekomendasi kepada Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan Ketetapan 
Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu Ketetapan Penarikan Kembali, yang 
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, para pihak diberi 
kesempatan menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hari persidangan terakhir, 
kecuali ditentukan lain dalam persidangan.
c. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
RPH dilakukan secara tertutup dan rahasia yang dipimpin oleh Ketua 
Mahkamah Konstitusi, dan dalam hal Ketua berhalangan maka Rapat Pleno 
dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.328 Dalam hal Ketua dan 
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan dalam waktu bersamaan, 
maka Rapat Pleno dipilih oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh 
anggota Mahkamah Konstitusi.
Kuorum RPH untuk mengambil keputusan yaitu sekurang-kurangnya 
7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi, dibantu Panitera, dan petugas lain yang 
disumpah, sedang  RPH yang dilaksanakan tidak dalam rangka mengambil 
keputusan tidak terikat ketentuan kuorum sekurang-kurangnya 7 (tujuh) 
orang Hakim Konstitusi.
RPH mendengar, membahas, dan/atau mengambil keputusan 
mengenai:
1. laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan;
2. laporan panel tentang pemeriksaan persidangan;
3. rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan, 
dapat berupa:
a. pembahasan mengenai rancangan putusan yang akan diambil 
menyangkut kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum (legal 
standing) Pemohon;
b. perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan atau dapat segera 
diambil putusan;
c. pelaksanaan pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh pleno atau 
panel.
4. pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi;
5. hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim 
Konstitusi;
6. Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan;
7. rancangan putusan akhir;8. penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir 
rancangan putusan;
9. pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno.
Dalam rangka mengambil putusan, setiap Hakim Konstitusi wajib 
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis pada  permohonan.
Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) 
orang Hakim Konstitusi. Putusan sedapat mungkin diambil secara 
musyawarah untuk mufakat, jika  tidak tercapai mufakat bulat, rapat 
ditunda sampai rapat permusyawaratan berikutnya dan setelah diusahakan 
dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat bulat, 
putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal RPH tidak dapat 
mengambil putusan dengan suara terbanyak, maka suara terakhir Ketua 
RPH menentukan. Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda pada  
putusan dimuat dalam putusan.
d. Pengucapan Putusan
Mahkamah Konstitusi memutus masalah  berdasar UUD 1945 sesuai 
dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi 
yang mengabulkan permohonan harus didasarkan sekurang-kurangnya 2 
(dua) alat bukti. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari 
itu juga atau ditunda pada hari yang lain dengan keharusan memberitahu 
kepada para pihak.339 Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang￾kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam 
sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 
(tujuh) orang Hakim Konstitusi.2. Pembuktian
Dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi diatur tentang alat bukti.
Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan 
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Dijelaskan dalam ayat-ayat lalu bahwa alat bukti ini  harus 
dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, agar dapat 
dijadikan alat bukti yang sah; dan penentuan sah tidaknya alat bukti dalam 
persidangan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam 
masalah  Pengujian UU, dijelaskan lebih lanjut mengenai alat bukti yang 
dikemukakan sebelumnya, yaitu:
1. Surat atau tulisan yang dijadikan alat bukti harus dapat 
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.343 Alat bukti 
surat atau tulisan yang berupa kutipan, salinan atau fotokopi peraturan 
perundang-undangan, keputusan tata usaha negara, dan/atau putusan 
pengadilan, maka naskah aslinya harus diperoleh dari lembaga resmi 
yang menerbitkannya.
2. Keterangan saksi di bawah sumpah mengenai fakta yang dilihatnya, 
didengarnya, dan dialaminya sendiri. Saksi dapat diajukan oleh 
Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau 
dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi.
3. Keterangan ahli di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya.
Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi 
yaitu jika keterangan diberikan oleh seseorang yang tidak memiliki 
kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan subjek dan/
atau objek masalah  yang diperiksa.348 Ahli, dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau dipanggil atas 
perintah Mahkamah Konstitusi.
4. Keterangan Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD, serta 
keterangan pihak terkait langsung.350 Keterangan Presiden/Pemerintah, 
DPR, dan keterangan pihak terkait langsung yaitu  keterangan 
secara lisan maupun tertulis.
5. Petunjuk yang diperoleh dari rangkaian data, keterangan, perbuatan, 
keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti 
lain.
6. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima 
atau disimpan secara elektronok dengan alat optik atau yang serupa 
dengan itu.
Pada dasarnya pembuktian dibebankan kepada Pemohon, akan tetapi 
jika  dipandang perlu Hakim dapat pula membebankan pembuktian 
kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait, dimana 
Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait ini  dapat 
mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
H. Putusan
1. Jenis Putusan
Dalam Pasal 31 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara 
Dalam masalah  Pengujian UU hanya diatur bahwa putusan diambil dalam 
RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) Hakim Konstitusi yang 
dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri 
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) Hakim Konstitusi. Dalam praktik, putusan 
yang dimaksud ini  diberi istilah putusan akhir. Perkembangan dalam 
praktik yaitu adanya jenis putusan sela dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 
selain putusan akhir. 
Walaupun dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman 
Beracara Dalam masalah  Pengujian UU tidak diatur tentang putusan sela 
(provisi), akan tetapi pengaturan mengenai putusan sela dapat dilihat 
dalam penanganan masalah  sengketa kewenangan lembaga negara dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela diatur dalam Bagian Kesembilan 
tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya 
Diberikan oleh UUD dalam Pasal 63 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang 
Mahkamah Konstitusi, yaitu: “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan 
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk 
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan 
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.” sedang  dalam Pasal 1 
angka 19 PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam 
Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diatur bahwa: 
”Putusan Sela yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan 
akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu 
yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan 
dipertimbangkan dalam putusan akhir.”356 Pada masalah  perdata, putusan 
sela yang dimintakan tidak boleh menyangkut pokok sengketa, sedang  
dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara, justru objek putusan sela 
ini  yaitu  pokok sengketanya.
Putusan sela pada dasarnya sudah sering dimintakan oleh Pemohon 
dalam berbagai masalah  pengujian UU pada  UUD 1945, antara lain 
dalam masalah  Nomor 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 perihal 
Pengujian UU nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun 2005 pada  
UUD Negara RI Tahun 1945 dan masalah  Nomor 003/PUU-III/2006 
perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada  UUD Negara RI 
Tahun 1945, akan tetapi selalu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan 
berdasar Pasal 58 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi. 
Dalam bagian Menimbang pada masalah  Nomor 026/PUU-III/2005 
tertanggal 22 Maret 2006 perihal Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2005 
tentang APBN Tahun 2005 pada  UUD Negara RI Tahun 1945, 
Mahkamah Konstitusi mengemukakan argumentasi penolakan pada  
permohonan putusan sela yang diajukan Pemohon, sebagai berikut:
Menimbang bahwa pada  permohonan ini  Mahkamah memberi pendapat, 
sebagaimana juga telah diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 7 
Februari 2006, bahwa ptusan provisi (sela) dalam masalah  permohonan pengujian
undang-undang tidak diatur dalam UU MK, juga tidak dikenal dalam hukum acara 
pengujian undang-undang pada  UUD 1945. Substansi Pasal 58 UUMK juga 
secara tegas tidak memperkenankan hal yang demikian. Pasal 58 undang-undang a quo 
menyatakan, “Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, 
sebelum ada putusan yang menyatakan undang-undang ini  bertentangan 
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Oleh sebab  
itu, jika seandainya hal demikian dikabulkan dalam putusan provisi (sela) dikabulkan 
oleh Mahkamah, maka putusan yang demikian sesungguhnya yaitu  pokok atau 
substansi permohonan, padahal putusan provisi yang menyangkut tindakan-tindakan 
sementara yang diambil oleh Mahkamah tidak boleh menyangkut pokok masalah , 
meskipun harus berhubungan dengan pokok masalah ;358
Putusan sela pada masalah  pengujian UU pada  UUD 1945 
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 133/PUU￾VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada  UUD 1945. Dalam amar 
putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan: 
Mengadili, 
• Mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian;
• Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya 
Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni 
pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa 
sebab  melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah 
pada  pokok permohonan a quo;
Dalam bagian Menimbang, Mahkamah Konstitusi mengemukakan 
pendapatnya sebagai berikut:
a. Meskipun pada awalnya permohonan provisi yaitu ranah hukum acara perdata, 
namun hukum acara Mahkamah Konstitusi juga mengatur permohonan provisi 
dalam masalah  sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat dalam 
Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi.
b. Untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, dimana Pasal 86 UU 
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya 
memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal￾hal yang diperlukan jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara. 
Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi telah memakai  Pasal 86 ini  
untuk memutus masalah  perselisihan hasil pemilu melalui beberapa putusan sela 
yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan. Juga berdasar Pasal 16 PMK 
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU 
dibuka kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan ketetapan 
atau putusan di dalam permohonan provisi.
c. Sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C 
ayat (1) UUD 1945 yakni, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang 
putusannya bersifat final diantaranya menguji UU pada  UUD 1945, Mahkamah 
Konstitusi tidak hanya bertugas menegakkan hukum dan keadilan tetapi secara 
preventif juga berfungsi melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional warga 
negara agar tidak terjadi kerugian konstitusional yang dipicu oleh praktik 
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
d. Relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan provisi dalam masalah  pengujian 
UU pada  UUD yaitu untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM jika  
suatu norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan 
masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak 
dapat dipulihkan dalam putusan akhir. 
e. berdasar Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak 
berwenang untuk memerintahkan penghentian, walaupun bersifat sementara, pada  
proses hukum yang sedang berlangsung, namun, dalam permohonan pengujian UU 
pada  UUD 1945 Mahkamah dapat mengatur pelaksanaan kewenangannya, 
yaitu berupa tindakan penghentian sementara pemeriksaan permohonan pengujian 
UU pada  UUD 1945 atau penundaan putusan atas permohonan ini  
jika  permohonan dimaksud menyangkut pembentukan UU yang diduga berkait 
dengan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 PMK Nomor 
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU.
g. Mahkamah Konstitusi secara terus menerus mengikuti perkembangan kesadaran 
hukum dan rasa keadilan yang tumbuh di warga  yang menjadi dasar agar 
Mahkamah tidak membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga 
negara. Oleh sebab nya, meskipun dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak dikenal 
putusan provisi dalam masalah  pengujian UU, seiring dengan perkembangan 
kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan warga  
serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, 
Mahkamah Konstitusi memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam 
masalah  a quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati￾hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang 
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan putusan sela.
h. Mahkamah Konstitusi berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan jika  
dengan putusan ini  tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, 
sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum.
2. Isi Putusan
Dalam Pasal 48 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi diatur mengenai substansi putusan sebagai berikut:
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan berdasar Ketuhanan 
Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi ”DEMI KEADILAN berdasar 
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak;c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan pada  fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari dan tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.361
Pengaturan tentang putusan ini  ditambahkan dalam Pasal 33 
PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  
Pengujian UU, dimana dalam Pasal 33 ditambahkan mengenai ”pendapat 
berbeda dari Hakim Konstitusi”.362 Hal ini  sersuai dengan ketentuan 
dalam Pasal 45 ayat (10) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi bahwa dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat maka 
pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.363
Dalam Bab II Pasal 2 angka 1 huruf f PMK Nomor 13 Tahun 2008 
tentang Pedoman Penulisan Putusan Mahkamah Konstitusi diatur bahwa 
identitas pemohon berisi uraian mengenai:
a. nama;
b. tempat tanggal lahir/umur;
c. kewarganegaraan;
d. pekerjaan;
e. agama;
f. alamat pemohon; serta
g. nama kuasa hukum;
h. pekerjaan;
i. alamat;
j. nomor dan tanggal surat kuasa khusus sebagai penerima kuasa, dan
k. penyebutan sebagai pihak pemohon.364
Pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, identitas pemohon yang 
yaitu  perorangan, mencakup nama, tempat/tanggal lahir, agama, 
pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, dan dalam putusan tertentu 
mencantumkan nomor telpon dan alamat e-mail, selain data mengenai 
penerima kuasa.365 Pemohon yang yaitu  badan hukum, mencantumkan 
identitas pemohon berupa nama badan hukum, yang mewakili badan
hukum ini  dalam persidangan, jabatan wakil dalam badan hukum 
yang menjadi pemohon, dan alamat badan hukum.366
Pertimbangan pada  fakta yang terungkap dalam persidangan 
meliputi ringkasan:
a. pendirian Pemohon pada  permohonannya dan keterangan tambahan 
yang disampaikan di persidangan;
b. keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD;
c. keterangan Pihak Terkait; dan
d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti;367
sedang  pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan 
meliputi:
a. maksud dan tujuan permohonan;
b. kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD 1945, 
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003;
c. kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 
(1) dan ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003;
d. alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 
(3) huruf a dan/atau huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003.
e. Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan.
3. Amar Putusan
Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 
mengatur tiga jenis amar putusan, yaitu permohonan tidak dapat diterima, 
permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.369 berdasar data 
dalam Daftar masalah  Pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi sejak 
tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 (30 Juni 2010), maka dapat dibuat 
tabel mengenai amar putusan sebagai berikut:
Selain itu, pada  masalah  yang diajukan, selain kemungkinan diputus 
dengan amar putusan permohonan tidak dapat diterima, permohonan 
dikabulkan, dan permohonan ditolak, ada  pula kemungkinan lainnya, 
yaitu masalah  ini  ditarik kembali dan Mahkamah Konstitusi menyatakan 
bahwa dirinya tidak berwenang. Dalam hal masalah  ini  ditarik kembali, 
maka sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PMK Nomor 06/PMK/2005 
tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU, maka Ketua 
Mahkamah Konstitusi menerbitkan Ketetapan Penarikan Kembali yang 
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Contoh Surat Ketetapan 
ini  yaitu Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 59/TAP.
MK/2008, tanggal 6 Mei 2008, yang menetapkan sebagai berikut:
- Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon;
- Menyatakan masalah  Nomor 9/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang 
Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 
2008 pada  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 
ditarik kembali;
- Menyatakan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan Pengujian 
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2008 pada  Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945, dalam masalah  a quo;
- Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali masalah  Nomor 
9/PUU-VI/2008 a quo dalam Buku Registrasi masalah  Konstitusi.371
sedang  amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang 
hanya pada 2 masalah  yang diajukan pada tahun 2003, yaitu masalah  Nomor 
015/PUU-I/2003 tentang Verifikasi Partai Persatuan Nasional Indonesia 
(PPNI) dan masalah  Nomor 016/PUU-I/2003 tentang Permohonan 
Pembatalan masalah  Judicial Review.
a. Ditolak
Dalam Pasal 56 ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan 
ditolak, yaitu: ”Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan 
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 
baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, 
amar putusan menyatakan permohonan ditolak.”
Salah satu contoh putusan yang amar putusannya yaitu menolak 
permohonan para pemohon sebab  permohonan pemohon tidak cukup 
beralasan yaitu dalam masalah  Nomor 009-014/PUU-III/2005 perihal 
Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada  
UUD Negara RI Tahun 1945.Secara singkat uraian masalah  dan 
pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan masalah  yang 
menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan 
para pemohon ditolak, yaitu:
1. Para Pemohon masalah  Nomor 009, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 
5, Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 15 
ayat (2) huruf g, Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) juncto Pasal 
25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat 
(1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945.
2. Para Pemohon masalah  Nomor 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 
5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Jabatan 
Notaris bertentangan dengan UUD 1945.
3. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi antara lain menyatakan 
bahwa notaris yaitu suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public 
official) yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah, sebagaimana 
diatur dalam Bab III UU Jabatan Notaris. Oleh sebab  itu menurut 
Mahkamah Konstitusi memang seharusnya organisasi notaris berdiri 
sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer) dan dipersyaratkannya 
organisasi notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) yaitu  hal 
yang sudah semestinya. berdasar pertimbangan ini , ketentuan 
Pasal 1 angka 5 UU Jabatan Notaris tidak bertentangan dengan UUD 
1945, sehingga permohonan para pemohon mengenai ini  tidak 
cukup beralasan.
4. Pasal 67 UU Jabatan Notaris menurut para Pemohon bertentangan 
dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menjamin 
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28G 
ayat (1) UUD 1945 tentang hak perlindungan diri pribadi, keluarga, 
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, 
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan 
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yaitu  hak asasi. 
Para Pemohon mengkhawatirkan objektivitas perlakuan para notaris 
yang menjadi anggota Majelis Pengawas pada  Notaris yang 
mempunyai pertentangan kepentingan dengan notaris yang menjadi 
anggota Majelis Pengawas. Mahkamah Konstitusi menilai kekhawatiran 
para Pemohon tentang objektivitas anggota Majelis Pengawas yang 
berasal dari organisasi notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas 
yang berasal dari organisasi notaris tidak mungkin dapat bertindak 
sewenang-wenang sebab  hanya berjumlah 3 orang, sedang  Majelis 
Pengawas berjumlah 9 orang, sehingga tidak mungkin memaksakan 
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 
67 ayat (1) UU Jabatan Notaris, pengawasan atas notaris dilakukan oleh 
menteri. lalu Pasal 67 ayat (2) UU Jabatan Notaris menyatakan, 
bahwa dalam melaksanakan pengawasan menteri membentuk Majelis 
Pengawas. Majelis Pengawas bukan subordinasi organisasi notaris, 
melainkan lembaga yang bertugas membantu menteri untuk melakukan 
pengawasan atas notaris. Maka wajar jika Majelis Pengawas mendapat 
pelimpahan sebagian wewenang menteri sebagaimana tercantum dalam 
Pasal 77 dan Pasal 78 UU Jabatan Notaris
5. Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan 
dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Mahkamah 
Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris 
tidak melarang bagi setiap notaris untuk berkumpul, berserikat dan 
mengeluarkan pendapat. Namun mereka harus berhimpun dalam satu 
wadah organisasi notaris, sebab  notaris yaitu pejabat umum yang 
diangkat oleh negara dalam rangka melayani kepentingan warga . 
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa notaris yaitu  organ negara 
dalam arti luas. Oleh sebab  itu negara berkepentingan akan adanya 
wadah tunggal organisasi notaris. Sebagai perbandingan, seperti 
dikemukakan oleh Pemerintah maupun Pihak Terkait (INI), hampir 
semua negara menganut adanya satu wadah organisasi notaris.
6. Para Pemohon masalah  Nomor 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 
5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Jabatan 
Notaris bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menilai bahwa 
pengaturan penggunaan cap/stempel jabatan yang memuat lambang 
negara oleh notaris dalam undang-undang, sementara penggunaan 
lambang negara oleh pejabat negara diatur hanya dalam Peraturan 
Pemerintah yaitu tidak layak. pada  penilaian para Pemohon 
tentang ketidaklayakan ini , Mahkamah Konstitusi berpendapat 
bahwa hal itu hanya yaitu  penilaian subjektif para Pemohon 
yang tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum. 
b. Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvantkelijk Verklaard)
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur 
tentang amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima, 
yaitu: ”Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon 
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak 
dapat diterima.”375
Contoh putusan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa 
Pemohon tidak memenuhi syarat (niet ontvantkelijk verklaard) yaitu Putusan 
masalah  Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 
2002 tentang Penyiaran pada  UUD Negara RI Tahun 1945, dimana
pemohonnya yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan KPI sebagai 
Pemohon tidak dirugikan hak atau kewenangan konstitusionalnya dengan 
berlakunya UU Penyiaran.376
Secara singkat uraian masalah  dan pertimbangan yang dikemukakan 
dalam putusan masalah  yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi 
menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, yaitu bahwa 
KPI yang diwakili oleh delapan orang anggotanya mengajukan permohonan 
pengujian UU kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon ini  mendalilkan 
bahwa Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (5) UU Penyiaran 
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan dalam 
pasal-pasal ini  telah menghilangkan independensinya KPI, khusunya 
ketentuan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) UU Penyiaran yang menyatakan 
bahwa “aturan-aturan penyiaran dibuat dalam bentuk Peraturan Pamerintah.” 
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal-pasal yang diujikan ini  
ada  dalam UU yang membentuk dan melahirkan KPI, sehingga tidak 
mungkin menimbulkan kerugian bagi kewenangan KPI sendiri. Untuk 
itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat KPI sebagai lembaga negara yang 
yaitu  “produk” atau sebagai “anak kandung” undang-undang itu, tidak 
mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian 
pada  undang-undang yang melahirkannya. Permohonan pengujian oleh 
KPI sama halnya dengan mempersoalkan eksistensi atau keberadaannya 
sendiri. Oleh sebab  itu, permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Dikabulkan
Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK 
diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan dikabulkan, 
yaitu: ”Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan 
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
Contoh putusan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa 
permohonan dikabulkan yaitu Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 perihal 
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan 
Umum pada  UUD Negara RI Tahun 1945, tanggal 18 Maret 2010, 
dimana pemohonnya yaitu Badan Pengawas Pemilu. 
d. Perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam perkembangannya, ada  pula amar putusan lainnya dalam 
praktik di Mahkamah Konstitusi, yaitu: 
1) Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)
Gagasan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) muncul saat 
permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya 
Air.378 Dalam Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tiga 
jenis amar putusan, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan 
dikabulkan, dan permohonan ditolak.379 Jika hanya berdasar pada ketiga 
jenis putusan ini  akan sulit untuk menguji UU di mana sebuah 
UU seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal 
dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam 
pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD atau tidak.380 Berkaitan 
dengan hal ini , Hakim Konstitusi Harjono mengemukakan sebagai 
berikut:
Oleh sebab  itu, kita mengkreasi dengan mengajukan sebuah persyaratan: jika sebuah 
ketentuan yang rumusannya bersifat umum di lalu hari dilaksanakan dalam 
bentuk A, maka pelaksanaan A itu tidak bertentangan dengan Konstitusi. Akan tetapi, 
jika berangkat dari perumusan yang umum ini  lalu bentuk pelaksanaannya 
lalu B, maka B akan bertentangan dengan Konstitusi. maka , ia 
bisa diuji kembali.
Yang menjadi masalah yaitu saat  dipersoalkan bahwa belum ada 
peraturan pelaksanaan yang menjadi turunan di bawahnya. Katakanlah 
Peraturan Pemerintah (PP)-nya belum ada. Tentu Mahkamah Konstitusi 
tidak bisa mengatakan bahwa putusannya menunggu PP-nya terbit. Jika 
menunggu PP maka yang diuji yaitu PP-nya bukan undang-undangnya. 
Oleh sebab nya, putusan itu lalu mulai mengintrodusir conditionally 
constitutional. Kalau undang-undang nanti diterapkan seperti A, ia bersifat konstitusional, namun jika diterapkan dalam bentuk B, ia akan bertentangan 
dengan Konstitusi.
Contoh putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) antara 
lain pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal 
Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota 
DPR, DPD, dan DPRD pada  UUD Negara R.I. Tahun 1945. Dalam 
konklusi putusan dinyatakan bahwa: ”Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 
”konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo 
harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi 
yang diwakilinya bagi calon anggota DPD;”
Contoh putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) 
lainnya yaitu Putusan Nomor 147/PUU-VIII/2009 perihal Pengujian UU 
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada  UUD 
Negara RI Tahun 1945, dimana dalam amar putusannya, diputuskan 
sebagai berikut: 
• Menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) yaitu 
konstitusional bersyarat pada  Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang 
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata “mencoblos” dalam Pasal 88 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan 
pula memakai  metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:
a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
b. daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, 
pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan 
warga  di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang 
diperlukan.
2) Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitusional)
Selain putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), 
dalam perkembangan putusan juga ada  putusan Mahkamah Konstitusi 
yang yaitu  putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally 
unconstitutional). Pada dasarnya, sebagaimana argumentasi dari diputuskannya 
putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) juga dipicu sebab  
jika hanya berdasar pada amar putusan yang diatur dalam Pasal 56 UU 
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan 
tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak,384
maka akan sulit untuk menguji UU di mana sebuah UU seringkali 
mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal dalam rumusan 
yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaannya akan 
bertentangan dengan UUD atau tidak. 
Contoh putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) 
yaitu pada Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU 
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada  UUD Negara RI Tahun 
1945. Dalam konklusi putusan, dinyatakan bahwa: “Pasal 4 ayat (1) UU 
Advokat yaitu tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) 
sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Amar 
Putusan ini;.”385 Keterangan lebih lanjut dalam konklusi mengenai putusan 
tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) ini  dijelaskan 
dalam amar putusan berikut:
• Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang 
Advokat…yaitu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang 
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa 
“Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi 
para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan 
Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 
2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan;
• Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang 
Advokat…tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang 
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa 
“Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi 
para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan 
Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 
2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan;….386
3) Penundaan Keberlakuan Putusan
Contoh putusan MK yang yaitu  penundaan keberlakuan putusan 
yaitu dalam Putusan masalah  Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian 
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi pada  UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam pertimbangan 
hukumnya, Mahkamah Konstitusi mengemukakan sebagai berikut:
Menimbang bahwa untuk menyelesaikan kedua hal ini , beserta penataan 
kelembagaannya, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama tiga 
tahun. jika  dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat 
undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi 
hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Sebelum 
terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang￾undang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat 
basis konstitusional usaha  pemberantasan tindak pidana korupsi. jika  pada saat 
jatuh tempo tiga tahun sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan 
UU KPK pada  UUD 1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor 
dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan masalah  tindak pidana 
korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;
Pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya 
Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 
sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup bagi pembentuk UU 
untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945 dan sekaligus 
dimaksudkan agar pembentuk UU secara keseluruhan memperkuat dasar￾dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK dan usaha  
pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk kepentingan umum yang 
jauh lebih besar, Mahkamah Konstitusi merasa perlu membatasi akibat 
hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas suatu UU, dan hal 
demikian pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 
026/PUU-III/2005 tanggal 22 Maret 2006 perihal Pengujian Undang￾Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006, 
yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah 
Konstitusi sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan 
ini .
4) Perumusan Norma dalam Putusan
Salah satu contoh putusan MK yang yaitu  perumusan norma 
dalam putusan yaitu dalam Putusan masalah  Nomor 072-073/PUU-II/2004 
perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 
pada  UUD 1945. Dalam bagian Mengadili dalam putusan ini , 
Mahkamah Konstitusi menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak 
mempunyai kekuatan hukum mengikat.390 Akibat dari penghapusan bagian 
tertentu ini , maka pasal-pasal ini  menjadi sebuah norma baru 
yang berbeda dengan norma sebelumnya, yaitu:
a. Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut: 
”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan 
oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR.” Dengan putusan 
Mahkamah Konstitusi maka pasal ini  menjadi: ”Pemilihan kepala 
daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” 
b. Pasal 66 ayat (3) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai 
berikut: ”Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD.” 
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal ini  menjadi 
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 
c. Pasal 67 ayat (1) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai 
berikut: ”Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada 
DPRD.” Dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal ini  
menjadi: ”Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran.” 
d. Pasal 82 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut: 
”Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan 
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasar putusan 
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai 
sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.” Dengan 
putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal ini  menjadi: ”Pasangan 
calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukakan pelanggaran 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasar putusan pengadilan 
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan 
sebagai pasangan calonPutusan lainnya yaitu Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU￾VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan 
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada  UUD 1945. Dalam 
bagian Mengadili putusan ini , Mahkamah Konstitusi menyatakan 
bahwa Pasal 205 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan 
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yaitu konstitusional bersyarat 
(conditionally constitutional) artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa 
penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR dilakukan 
dengan cara yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.391
Akibat dari putusan ini , maka pasal ini  menjadi sebuah norma 
baru yang berbeda dengan norma sebelumnya, sebab  dalam Pasal 205 
ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota 
DPR, DPD dan DPRD diatur bahwa: ”Dalam hal masih ada  sisa 
kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara 
membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik 
Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima 
puluh perseratus) dari BPP DPR”, sedang  dalam putusan Mahkamah 
Konstitusi menjadi sebagai berikut:
• Menyatakan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 
yaitu konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional 
sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan 
kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka 
BPP, yaitu 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP di setiap daerah 
pemilihan Anggota DPR;
2. Membagikan sisa suara pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada 
Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan ketentuan:
a. jika  suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota 
DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari 
angka BPP, maka Partai Politik ini  memperoleh 1 (satu) kursi.
b. jika  suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota 
DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) 
dari angka BPP dan masih ada  sisa kursi, maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa 
suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga; 
dan
2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam 
penghitungan kursi tahap ketiga.



Istilah ‘penafsiran konstitusi’ yaitu  terjemahan dari constitutional 
interpretation.
90 Albert H. Y. Chen, guru besar Fakultas Hukum Universitas 
Hong Kong memakai  istilah ‘constitutional interpretation’ yang dibedakan 
dari ‘interpretation of statutes.’ Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation
yaitu  penafsiran pada  ketentuan-ketentuan yang ada  dalam 
konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law.
Penafsiran konstitusi yaitu  hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas 
judicial review. Chen menyatakan:
The American experience demonstrates that constitutional interpretation is inseparable 
from judicial review of the constitutionality of governmental actions, particularly legislative 
enactments. Such judicial review was first established by the American Supreme Court 
in Marbury v Madison (1803).
Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini yaitu penafsiran yang 
dipakai sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding)
berdasar konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang dipakai atau 
berkembang dalam praktik peradilan MK. Metode penafsiran diperlukan 
sebab  peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya dapat disusun 
dalam bentuk yang jelas dan tidak membuka penafsiran lagi. Mengenai ukuran kejelasan dalam peraturan perundang-undangan 
(termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar), Montesquieu 
mengajukan kriteria untuk menyusun peraturan perundang-undangan 
sebagai berikut:
(1) gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana.
Ini mengandung arti bahwa pengutaraan dengan memakai  
ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanyalah mubasir 
dan menyesatkan. Istilah-istilah yang dipilih hendaknya sejauh mungkin 
bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga dengan demikian membuka 
sedikit kemungkinan bagi perbedaan pendapat individual.
(2) Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang 
nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis 
dan hipotesis.
(3) Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, oleh sebab  
ia ditujukan untuk orang-orang dengan kecerdasan tengah-tengah saja; 
peraturan itu bukan latihan dalam penggunaan logika, melainkan hanya 
penalaran sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.
(4) Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan 
atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.
(5) Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; yaitu berbahaya 
untuk memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh sebab  
yang demikian itu hanya akan membuka pintu untuk pertentangan 
pendapat.
(6) Akhirnya, di atas itu semua, ia harus dipertimbangkan dengan penuh 
kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia 
mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan 
serta la nature des choices. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak 
perlu dan tidak adil akan memicu  orang tidak menghormati 
perundang-undangan dan menghancurkan otoritas negara.93
Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat 
pada perundang-undangan atau hukum tertulis yaitu sifat otoritatif dari 
rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam 
bentuk tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari 
usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide atau pikiran yang 
hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya sebagai ‘semangat’ dari 
suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan sendirinya yaitu  bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum 
perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha ini  akan dilakukan 
oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. 
Interpretasi atau konstruksi ini yaitu suatu proses yang ditempuh oleh 
pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum 
perundang-undangan.
Sebagai contoh, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Gubernur, 
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah 
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” jika  ketentuan 
dimaksud diterjemahkan dalam suatu Undang-Undang yang menentukan 
bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPRD, lalu 
ada pihak yang mengajukan permohonan kepada MK sebab  berpendapat 
bahwa yang dimaksud dengan demokratis yaitu pemilihan langsung, 
maka MK dalam memutus permohonan ini  pasti akan melakukan 
penafsiran untuk menentukan apa yang dimaksud dengan frasa “dipilih 
secara demokratis.”
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, interpretasi atau 
penafsiran yaitu  salah satu metode penemuan hukum yang memberi 
penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup 
kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran 
oleh hakim yaitu  penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan 
yang dapat diterima oleh warga  mengenai peraturan hukum pada  
peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini yaitu sarana atau alat untuk 
mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan 
untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan 
metode itu sendiri.
Di Belanda dan kebanyakan negara-negara barat-kontinental, pandangan 
tentang penemuan hukum (rechtsvinding) dikaitkan dengan legisme, yaitu 
aliran pemikiran dalam teori hukum yang mengidentikkan hukum dengan 
undang-undang. Gagasan bahwa penemuan hukum seyogianya harus 
memiliki karakter yang sangat formalistik atau logikal, juga ditekankan oleh 
aliran Teori Hukum Begriffsjurisprudenz. Aliran ini dianut oleh negara-negara 
Germania pada abad sembilan belas.Penafsiran Sebagai Metode Penemuan
Hukum
Ada pandangan yang mengemukakan, bahwa penafsiran konstitusi 
atau Undang-Undang Dasar, tidaklah sama dengan penafsiran hukum. 
Bertumpu dari pengertian ‘konstitusi’ atau ‘undang-undang dasar’ di 
satu sisi, dan pengertian ‘hukum’ di sisi lain jelaslah memang pengertian 
‘konstitusi’ atau ‘undang-undang dasar itu tidak sama (analog). Oleh 
sebab  itu, penafsiran konstitusi atau undang-undang dasar tidaklah 
begitu saja dianalog-kan dengan pengertian penafsiran hukum. Jika 
konstitusi diartikan sebagai Undang-Undang Dasar (=hukum dasar yang 
tertulis), maka penafsiran konstitusi atau Undang-Undang Dasar hanyalah 
yaitu  salah satu bagian saja dari penafsiran hukum. Penafsiran 
hukum (dilihat dari bentuk hukumnya -- rechtsvorm) dapat bermakna 
luas, baik itu penafsiran pada  hukum yang tertulis (geschreven recht)
maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Akan tetapi dalam 
praktik, pembedaan antara penafsiran konstitusi atau penafsiran hukum 
itu tidak dapat ditarik secara tegas, sebab  saat  hakim menafsirkan 
konstitusi, ia tidak dapat dibatasi hanya dengan melakukan penafsiran 
pada  norma-norma hukum tertulisnya saja atau sesuai dengan 
rumusan teks-nya saja, melainkan dapat saja ia melakukan penafsiran 
pada  norma-norma hukum konstitusi yang tidak tertulis, seperti 
asas-asas hukum umum (elgemene rechtsbeginselen) yang berada di belakang 
rumusan norma-norma hukum tertulis itu.
Dalam ilmu hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran yaitu 
metode penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi 
tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Penemuan hukum 
ihwalnya yaitu berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan produk 
pembentukan hukum. Penemuan hukum yaitu proses kegiatan pengambilan 
keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum 
bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan 
akta oleh notaris dan sebagainya). Dalam arti tertentu menurut Meuwissen, 
penemuan hukum yaitu pencerminan pembentukan hukum.
Ada 2 (dua) teori penemuan hukum, yaitu : (1) penemuan hukum 
heteronom; dan (2) penemuan hukum otonom. Penemuan hukum 
heteronom terjadi pada saat hakim dalam memutus masalah  dan menetapkan hukum menganggap dirinya terikat pada kaidah-kaidah 
hukum yang disodorkan dari luar dirinya. Diandaikan bahwa makna 
atau isi dari kaidah pada prinsipnya dapat ditemukan dan ditetapkan 
secara objektif, atau setidaknya dapat ditetapkan dengan cara yang sama 
oleh setiap orang. 
Penemuan hukum otonom artinya menunjuk pada kontribusi pemikiran 
hakim. Hakim dapat memberikan masukan atau kontribusi melalui metode￾metode interpretasi yang sesuai dengan model penemuan hukum legistik 
atau melalui metode-metode interpretasi yang baru seperti metode interpretasi 
teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim menetapkan apa tujuan, 
rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum, kepentingan￾kepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan apakah 
kepentingan ini  benar terlindungi jika  kaidah hukum itu diterapkan 
ke dalam suatu masalah  konkret dalam konteks kewarga an yang aktual. 
Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini juga memberikan 
kepada hakim alternatif kemungkinan untuk menelaah apakah makna yang 
pada suatu saat secara umum selalu diberikan pada suatu kaidah hukum 
tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual warga .
Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum 
(rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman 
memiliki karakter logikal. Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi 
atau penafsiran oleh hakim yaitu  penjelasan yang harus menuju 
kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh warga  mengenai peraturan 
hukum pada  peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini yaitu 
sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.99
Penafsiran sebagai suatu metode penemuan hukum secara historis 
memiliki relevansi dengan tradisi hermeneutik yang sudah sangat tua usianya. 
Semula hermeneutik yaitu teori yang menyibukkan diri dengan ihwal 
menginterpretasi naskah, sebab  itu pada permulaan dipakai terutama 
oleh para teolog, yang tugasnya memang berurusan dengan naskah-naskah 
keagamaan. lalu cabang ajaran-ilmu ini juga menarik perhatian para 
historikus, ahli kesusasteraan dan para yuris.100 Perkataan hermeneutik 
berasal dari bahasa Yunani, yakni kata kerja ‘hermeneuein’ yang berarti ‘menafsirkan’ atau ‘menginterpretasi’ dan kata benda ‘hermeneia’ yang 
berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’.
Dalam karya Heidegger, Gadamer dan karya Paul Ricoeur, 
hermeneutik sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutik, 
yang berintikan konsep-konsep kunci seperti pendidikan (bildung), tradisi 
(ueberlieferung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran 
hermeneutik (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh 
(wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical consciousness, 
wirkungsgeschichtliches bewusstsein), perpaduan cakrawala (fusion of horizons, 
horizontverschmelzung). Filsafat hermeneutik yaitu filsafat tentang hal 
mengerti atau memahami (verstehen). Yang dipermasalahkan dalam filsafat 
ini bukanlah bagaimana orang harus memahami, jadi bukan ajaran seni 
atau ajaran metode, melainkan apa yang terjadi jika orang memahami atau 
menginterpretasi. 
Menurut Gadamer, pemahaman pada  sesuatu yaitu menginterpretasi 
sesuatu, dan sebaliknya. maka , dalam hukum, pemahaman 
pada  hukum yaitu menginterpretasikan hukum, dan menafsirkan 
hukum yaitu memahami hukum. Hukum oleh sebab  itu hanya dapat 
dipahami melalui penafsiran, dan penafsiran pada  hukum akan 
membantu sampai pada pemahaman pada  hukum.
Hermeneutik mempunyai pengaruh besar terutama pada  teori 
penemuan hukum (rechtsvindingstheorie) dalam tahun-tahun tujuh-puluhan, 
khususnya oleh teoretikus Jerman Jozef Esser dan Karl Larenz. Di Belanda, 
hermenuetik dari H.G. Gadamer diintroduksi ke dalam teori penemuan 
hukum oleh J.B.M. Vranken. Dalil hermeneutikal yang dirumuskan: dat men 
feiten moet kwalificeren in het licht van de normen en de normen moet interpreteren in 
het licht van de feiten behoort tot het paradigma van de huidige rechtsvindingstheorie103
– bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah 
dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk 
dalam paradigma dari teori penemuan hukum dewasa ini.Macam-Macam Penafsiran Hukum dan
Konstitusi
Macam-macam penafsiran yang akan diuraikan berikut ini, bukanlah 
yaitu  suatu metode yang diperintahkan kepada hakim agar dipakai 
dalam penemuan hukum, akan tetapi yaitu  penjabaran dari putusan￾putusan hakim. Dari alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan 
yang sering dipakai oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dapat 
diidentifikasikan beberapa metode interpretasi.
Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara 
garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
(1) interpretasi harfiah; dan
(2) interpretasi fungsional.
Interpretasi harfiah yaitu  interpretasi yang semata-mata 
memakai  kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan 
kata lain, interpretasi harfiah yaitu  interpretasi yang tidak keluar dari 
litera legis. Interpretasi fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. 
Disebut bebas sebab  penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya 
kepada kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis). maka , 
penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu 
peraturan dengan memakai  berbagai sumber lain yang dianggap bisa 
memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.104
Di samping beberapa metode penafsiran sebagaimana ini  di atas, 
berdasar dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi 
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 
(1) metode penafsiran restriktif; dan
(2) metode penfasiran ekstensif.
Interpretasi restriktif yaitu penjelasan atau penafsiran yang bersifat 
membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang 
lingkup ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang dipakai dalam metode 
penafsiran ini yaitu prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan 
perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang 
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata 
lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan 
selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundangundangan itu sendiri. sedang  interpretasi ekstensif yaitu penjelasan 
yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi 
gramatikal.105
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa 
metode interpretasi yang lazimnya dipakai oleh hakim (pengadilan) 
sebagai berikut:
(1) interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa;
(2) interpretasi teleologis atau sosiologis;
(3) interpretasi sistematis atau logis;
(4) interpretasi historis;
(5) interpretasi komparatif atau perbandingan;
(6) interpretasi futuristis.106
Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi otentik 
tidak termasuk dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik 
yaitu penjelasan yang diberikan undang-undang dan ada  dalam teks 
undang-undang dan bukan dalam Tambahan Lembaran Negara.107 Berikut 
ini penjelasan beberapa metode interpretasi yang lazim dipakai oleh 
hakim (pengadilan) sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo 
dan A. Pitlo.
1. Interpretasi gramatikal 
Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan 
penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan 
makna pada  sesuatu objek. Sukar dibayangkan, hukum ada tanpa adanya 
bahasa. Positief recht bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de mens een taal 
heeft108 – hukum positif itu ada hanya sebab  kenyataan bahwa manusia 
memiliki bahasa.
Menurut Bruggink, men kan zelfs nog verder gaan en stellen dat ook het 
recht als conceptueel systeem alleen maar vorm kan krijgen in het denken van de 
mens, dankzij de taal die hij spreekt.
109 Hukum sebagai sistem konseptual hanya 
dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia yaitu sebab  bahasa 
yang dipakai untuk berbicara. Oleh sebab itu pula, James A Holland 
dan Julian S. Webb mengemukakan, bahwa bahasa yaitu  salah satu
faktor kunci untuk bagaimana kita dapat mengetahui sengketa hukum 
(legal disputes) yang sebenarnya dikonstruksi oleh hakim (pengadilan). Law 
and fact, dan law and language – hukum dan fakta, dan hukum dan bahasa 
yaitu  2 (dua) variabel kunci untuk memahami sengketa hukum di 
peradilan. The legal process is intrinsically bound up with language – proses 
hukum secara intriksik diikat dengan bahasa.110
Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran 
objektif yaitu  cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana 
untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya 
menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa 
ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar ‘membaca undang-undang.’ 
Dari sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut 
bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat 
pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini 
juga harus logis.111
ada  3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat dipakai dalam 
metode penafsiran ini, yaitu: 
(1) noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya 
dalam kumpulan-kumpulannya;
(2) ejusdem generis. Asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu 
perkataan yang dipakai dalam lingkungan atau kelompok yang 
sama.
(3) expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan 
secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu 
perundang-undangan. Misalnya, jika  di muka peraturan telah 
memerinci tentang ‘pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang lain 
apapun’, maka kata ‘orang lain apapun’ harus diartikan dalam kategori 
orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu.112 
2. Interpretasi teleologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu jika  makna undang￾undang ditetapkan berdasar tujuan kewarga an. Dengan interpretasi
teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau 
tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan 
kepentingan masa kini, tidak peduli apakah ini  semuanya pada waktu 
diundangkannya Undang-Undang ini  dikenal atau tidak. Di sini 
peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi 
sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan 
keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.113
3. Interpretasi sistematis atau logis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan 
perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri 
lepas sama sekali dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap 
undang-undang yaitu  bagian dari keseluruhan sistem perundang￾undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan 
sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan 
undang-undang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi 
logis.
114
Dalam praktik peradilan di MK jenis penafsiran ini juga digunakan. 
Contoh bagaimana metode penafsiran sistematis atau logis ini dipakai 
dalam praktik peradilan di MK dapat dilihat seperti ada  dalam 
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 [dalam masalah  
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang 
Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman] sebagai berikut:
Bahwa jika  ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasar 
“original intent”115 perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai 
KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan 
mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika 
penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang 
mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal 
yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat 
dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 
1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku 
hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. ini  
dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc 
Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia 
Ad Hoc ini  dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai 
KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk 
mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
24C UUD 1945. 
4. Interpretasi historis 
Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat 
juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu 
sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua) 
macam interpretasi historis, yaitu:
a. penafsiran menurut sejarah undang-undang; dan
b. penafsiran menurut sejarah hukum. 
Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari 
maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki 
oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran 
yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa undang-undang yaitu 
kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undang￾undang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga 
interpretasi subjektif, sebab  penafsir menempatkan diri pada pandangan 
subjektif pembentuk undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut 
bahasa yang disebut metode objektif. sedang , metode interpretasi yang 
hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum 
disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.116
5. Interpretasi komparatif atau perbandingan
Interpretasi komparatif atau perbandingan yaitu  metode penafsiran 
yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan 
hukum. Tujuan hakim memperbandingkan yaitu dimaksudkan untuk 
mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.117
Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan 
penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan 
perundang-undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di 
samping perbandingan tentang latar belakang atau sejarah pembentukan 
hukumnya.
Interpretasi futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat 
antisipasi yaitu penjelasan ketentuan undang-undang yang belum 
mempunyai kekuatan hukum.118 maka , interpretasi ini lebih 
bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang dicitakan)
daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada 
saat sekarang).
Metode penafsiran sebagaimana yang diuraikan di atas yaitu  
metode penafsiran yang pada umumnya dikenal sebagai metode penafsiran 
hukum. Di samping metode penafsiran hukum itu, dalam kepustakaan 
hukum konstitusi dikenal juga metode penafsiran konstitusi (constitutional 
interpretation method). Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode 
penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), yaitu:
(1) penafsiran tekstual;
(2) penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);
(3) penafsiran doktrinal;
(4) penafsiran prudensial;
(5) penafsiran struktural; dan
(6) penafsiran etikal.
. Penafsiran tekstual
Penafsiran tekstual (textualism or literalism) atau penafsiran harfiah
ini yaitu  bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan 
dengan cara memberikan makna pada  arti dari kata-kata di dalam 
dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif (meaning of the 
words in the legislative text). maka , penafsiran ini menekankan 
pada pengertian atau pemahaman pada  kata-kata yang tertera dalam 
konstitusi atau undang-undang sebagaimana yang pada umumnya dilakukan 
oleh kebanyakan orang.
. Penafsiran historis (atau penafsiran originalism)
Penafsiran historis ini disebut juga dengan penafsiran orisinal, yaitu 
bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah 
konstitusi atau undang-undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau
diratifikasi oleh pembentuknya atau ditandatangani institusi yang berwenang. 
Pada umumnya metode penafsiran ini memakai  pendekatan original 
intent pada  norma-norma hukum konstitusi. Menurut Anthony Mason, 
interpretasi atau penafsiran ini yaitu  penafsiran yang sesuai dengan 
pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang ada  dalam konstitusi. 
Penafsiran ini biasanya dipakai untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan 
dan struktur konstitusi.
. Penafsiran doktrinal
Penafsiran doktrinal yaitu  metode penafsiran yang dilakukan 
dengan cara memahami aturan undang-undang melalui sistem preseden 
atau melalui praktik peradilan. James A. Holland dan Julian S. Webb 
mengatakan common law is used to describe all those rules of law 
that have evolved through court cases (as opposed to those which have emerged 
from Parliament). Menurut Bobbitt, metode penafsiran doktrinal ini 
banyak dipengaruhi oleh tradisi common law yang dipakai sebagai 
pendekatannya.
. Penafsiran prudensial
Penafsiran prudensial yaitu  metode penafsiran yang dilakukan 
dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan 
dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu aturan 
atau undang-undang tertentu. Menurut Bobbitt, prudential arguments is 
actuated by facts, as these play into political and economic policies.
. Penafsiran struktural
Penafsiran struktural yaitu  metode penafsiran yang dilakukan 
dengan cara mengaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi 
atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur-struktur 
ketatanegaraan. Bobbitt mengemukakan, metode penafsiran ini juga 
berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai federalisme, pemisahan 
kekuasaan dan isu-isu lainnya di lingkungan pemerintahan, di luar isu-isu 
tentang kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Bobbit mengemukakan, 
‘structuralism as a kind of ‘macroscopic prudentialism12. Penafsiran etikal
Penafsiran etikal yaitu  metode penafsiran yang dilakukan dengan 
cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana ada  dalam 
konstitusi atau undang-undang dasar. Metode penafsiran ini dikonstruksi 
dari tipe berpikir konstitusional yang memakai  pendekatan falsafati, 
aspirasi atau moral. Dengan demikian metode penafsiran ini dapat dipakai 
untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi manusia 
dan pembatasan pada  kekuasaan negara atau pemerintahan. Dalam 
metode penafsiran etikal ini, moralitas konvensional (conventional morality) 
dan filsafat moral (moral philosophy) yaitu  2 (dua) aspek yang sangat 
relevan sekali jika  dipakai sebagai metode pendekatan.
Albert H. Y. Chen mengemukakan keenam macam metode penafsiran 
konstitusi yang dikemukakan oleh Bobbitt di atas termasuk ke dalam lingkup 
penafsiran konstitusi yang disebut dengan the purposive approach. Metode 
penafsiran purposif ini yaitu  metode penafsiran yang dipakai 
untuk memberikan arti atau makna aturan-aturan dalam undang-undang 
berdasar maksud atau tujuan pembentukannya. Menurut Chen, metode 
penafsiran ini akan dapat dipahami dengan baik jika  dihadapkan 
dengan metode penafsiran harfiah atau tekstual. jika  metode penafsiran 
harfiah atau tekstual memakai  pendekatan dari sudut kata-kata yang 
dirumuskan sebagai aturan oleh pembentuk Undang-Undang, maka metode 
penafsiran purposif memakai  pendekatan yang lebih luas mengenai 
hal-hal yang terkait dengan isi atau substansi atau faktor-faktor yang perlu 
dipertimbangkan dalam memahami maksud pembentuk Undang-Undang 
ini .
Penelusuran pada  berbagai kepustakaan ilmu hukum dan konstitusi 
ditemukan, banyak variasi metode penafsiran yang dikemukakan oleh para 
ahli. Akan tetapi dari berbagai ragam metode penafsiran, pada hakikatnya 
metode penafsiran konstitusi ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok 
besar, yaitu: metode penafsiran originalism, yang memakai  pendekatan 
original intent (termasuk pendekatan historis) pada  norma-norma hukum 
konstitusi, dan non originalism. 
Metode penafsiran mana yang akan dipilih dan dipakai oleh hakim 
dalam menghadapi masalah -masalah  hukumnya, pada akhirnya berpulangpada hakim. Hakim dalam konteks ini memiliki kebebasan untuk memilih 
berdasar keyakinan hukumnya. Mengenai hal itu, sub bab berikut ini 
akan menguraikannya.
Hakim Bebas Memilih Metode Interpretasi
Konstitusi
Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan, bahwa dari sekian 
banyak macam metode interpretasi konstitusi yang ada atau berkembang 
dalam praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi (baik yang dipakai 
oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, Saksi, Ahli, maupun Hakim 
Konstitusi), hanya metode interpretasi konstitusi tertentu saja yang boleh 
dipilih dan dipakai oleh hakim. 
Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat 
dipakai oleh hakaim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi 
yang lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan 
memakai  satu metode interpretasi konstitusi tertentu saja, misalnya 
hanya memilih dan memakai  metode penafsiran ‘originalisme’ yang 
mendasarkan diri pada original intent. Hakim dapat memakai  beberapa 
metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Pada umumnya 
dikatakan, bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan undang-undang 
paling tidak akan ada  unsur-unsur gramatikal, sistematis, teleologis 
dan historis.
Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih dan memakai  
metode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya benar. Dengan 
demikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk memilih dan 
memakai  metode-metode penafsiran atau interpretasi itu. Mengenai 
ini , Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 
[tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 
tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman], pernah mengemukakan 
pandangan hukumnya sebagai berikut: 
Oleh sebab  itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir 
Undang-Undang Dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak 
boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme” 
dengan mendasarkan diri hanya kepada “original intent” perumusan pasal UUD 1945, terutama jika  penafsiran demikian justru memicu  
tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem 
dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi Undang￾Undang Dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang 
hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945 
dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya 
guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam 
usaha  mencapai cita negara (staatsideé), yaitu mewujudkan negara hukum 
yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang 
yaitu  penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan 
UUD 1945. 
Jadi, terkait dengan prinsip independensi dan kebebasan hakim, hingga 
kini tidak ada ketentuan atau aturan yang mengharuskan hakim hanya 
memakai  salah satu metode penafsiran tertentu saja. Pemilihan dan 
penggunaan metode interpretasi yaitu  otonomi atau kemerdekaan 
hakim dalam penemuan hukum. Terkait dengan ini , Mahkamah 
Konstitusi juga pernah mengemukakan:
….Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan 
nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan 
pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang 
mempunyai kekuasaan politik dan administrasi.124
Pemanfaatan metode-metode interpretasi yang beragam dalam praktik 
peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode-metode 
itu menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan hakim yang luas untuk 
mengambil keputusan.125 Apalagi pembentuk undang-undang (dalam hal 
ini lembaga legislatif) ternyata juga memberikan kebebasan kepada hakim 
dalam derajat yang cukup tinggi untuk menterjemahkannya lebih lanjut 
ke dalam masalah . Dalam menjalankan kekuasaannya di bidang peradilan 
misalnya, Undang-Undang memerintahkan agar:
‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai 
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga .’
Ketentuan ini jelas sekali memberikan keleluasaan dan kebebasan 
pada  hakim untuk tidak terpancang hanya pada rumusan-rumusan
formal undang-undang. Ketentuan ini juga mengingatkan pada pandangan 
yang mengemukakan, agar hakim jangan hanya berfungsi sebagai spreakbuis 
(corong) undang-undang saja, atau kata Montesquieu – la bouche de la 
loi.
127
Dalam teori hukum, keseluruhan pandangan yang merumuskan secara 
eksplisit kebebasan hakim untuk menetapkan putusannya dinamakan 
Freirechtsbewegung (=gerakan hukum bebas). Aliran pemikiran ini menolak 
pandangan sempit tentang proses penemuan hukum, mengakui sumbangan 
(kontribusi) atau masukan dari hakim yang menilai (waarderende inbreng) ke 
dalam proses ini  dan memperjuangkan pengakuan pada  kedudukan 
mandiri dari peradilan berhadapan dengan undang-undang dan sistem 
(hukum).
Aliran Freirechtsbewegung ini banyak mendapat kritik, sebab  terlalu 
memberi kebebasan yang teramat besar kepada hakim dalam mengambil 
keputusan, sehingga dapat memicu  ketidakpastian hukum dan 
membuka kemungkinan (peluang) bagi subjektivitas hakim serta 
menimbulkan persoalan tentang legitimitasi. Di samping itu aliran pemikiran 
hukum bebas ini tidak didukung oleh suatu wawasan metodologikal yang 
memadai. Dengan cara bagaimanakah hakim harus menilai dan menimbang￾nimbang berbagai kepentingan yang berhasil diungkap yang satu pada  
yang lainnya, ukuran atau standar penilaian apakah yang menjadi landasan 
pijaknya, metode interpretasi manakah yang harus dipilih ? Tanpa metode 
yang tegar dari teori legistik, yang berkenaan dengannya diterima bahwa 
metode ini  dapat menjamin objektivitas, bebas nilai dan rasionalitas 
dari putusan, maka penemuan hukum itu mungkin saja terjerumus ke dalam 
kesewenang-wenangan hakim.128 Para hakim di lingkungan Mahkamah 
Konstitusi Indonesia seyogianya juga memahami isyarat ini. Ijtihad para 
hakim konstitusi dalam rangka rechtsvinding hingga sampai pada putusannya yaitu  bagian dari amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, 
bahwa sebagai peradilan negara, Mahkamah Konstitusi harus menerapkan 
dan menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila,129 di samping 
juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa 
keadilan yang hidup di dalam warga nya.












Mahkamah Konstitusi dan Sistem Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia


Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat 
umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu 
sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan pembentukan suatu aturan 
hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan. 
Asas hukum yaitu  jantung yang menghubungkan antara aturan 
hukum dengan cita-cita dan pandangan warga  di mana hukum itu 
berlaku (asas hukum objektif).29 Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami 
sebagai norma umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif 
(asas hukum subjektif).Dalam konteks Hukum Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam 
ini  yaitu prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan 
atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan 
untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya 
hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan 
hak konstitusional warga negara. Asas-asas ini  harus dijabarkan dan 
dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum acara. 
Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip 
yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus 
pula menjadi pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam 
proses peradilan. 
Mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau 
masalah  tertentu, setiap asas memiliki pengecualian. Asas peradilan terbuka 
untuk umum misalnya memiliki pengecualian untuk masalah -masalah  
tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup. 
Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK 
ada  asas-asas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun 
yang khusus sesuai dengan karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan, 
salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam) 
asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka 
untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan 
secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara 
seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam 
persidangan.30 Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) 
Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).
31
1. ius curia novit
Asas ius curia novit yaitu asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak 
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu masalah  yang diajukan 
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakimharus memeriksa dan mengadilinya. Asas ini  juga ditegaskan dalam 
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.32
Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas 
wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, 
yaitu pengujian undang-undang pada  Undang-Undang Dasar, sengketa 
kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, 
perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan 
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang 
suatu masalah  diajukan dalam bingkai salah satu wewenang ini , MK 
harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus.
ada  beberapa masalah  yang secara substansi sesungguhnya tidak 
termasuk ke dalam salah satu wewenang MK namun diajukan dalam 
bingkai salah satu wewenang MK sehingga MK harus memeriksa dan 
memutusnya. masalah  ini  antara lain yaitu masalah  Nomor 001/
PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan MA 
Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang 
dengan mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum 
tetap ini  kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam masalah  
ini MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima sebab  Putusan 
Peninjauan Kembali MA tidak masuk dalam kategori undang-undang yang 
menjadi wewenang MK untuk mengujinya.
Selain itu, juga ada  masalah  Nomor 110-111-112-113/PUU￾VII/2009 yang pada prinsipnya bertujuan untuk menguji Putusan MA 
Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai perhitungan tahap kedua pada Pemilu 
2009. Namun pengujian ini  dibingkai dengan masalah  pengujian 
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, 
dan DPRD, khususnya pada  Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan 
masalah  ini mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang 
dimohonkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
sepanjang ditafsirkan seperti yang dituangkan dalam amar putusan MK. 
Dalam pertimbangan putusan ini juga dinyatakan bahwa semua peraturan 
dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK menjadi 
kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan 
mengikat.
Contoh lain yaitu Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai 
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
Pasal 24C UUD 1945 menyatakan salah satu wewenang MK yaitu 
memutus pengujian undang-undang pada  UUD 1945. Pengertian 
Undang-undang menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004 
yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan 
persetujuan bersama Presiden. Dengan demikian pengertian merujuk pada 
bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No. 10 Tahun 2004 
juga mengatur keberadaan Perpu yang kedudukannya sejajar dengan UU. 
Perpu yaitu Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam 
suatu undang-undang.
UUD 1945 menyatakan MK berwenang menguji UU pada  
UUD 1945, sedang  MA menguji peraturan perundang-undangan di 
bawah UU pada  UU. Muncul permasalahan atau kekosongan hukum, 
siapa yang dapat menguji Perpu. MA tidak memiliki wewenang sebab  
kedudukan Perpu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK juga tidak memiliki 
wewenang jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum 
menurut UU No. 10 Tahun 2004.
pada  permohonan pengujian Perpu dalam Putusan Nomor 138/
PUU-VII/2009 MK dinyatakan bahwa MK berwenang menguji Perpu 
walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang hal ini . 
Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu antara lain 
adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti ketentuan 
suatu UU sehingga materi muatan Perpu yaitu  materi muatan UU; 
Kedua, Perpu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga 
norma yang diatur di dalam Perpu yang seharusnya menjadi materi muatan 
UU berlaku sebagai norma hukum yang mengikat seperti halnya norma 
dalam suatu UU; dan ketiga, dalam keberlakuan norma itu dapat melanggar 
hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945.
2. Persidangan terbuka untuk umum
Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk 
umum yaitu  asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali 
dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. ini  
tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 
Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa 
sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan 
dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus masalah  akan 
objektif berdasar alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam 
persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga 
dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim.
Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim 
konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya 
terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti dalam masalah  pengujian 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, khususnya 
tentang sensor film. Dalam pemeriksaan masalah  Nomor 29/PUU-V/2007 
ini pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat 
alat bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang 
dilakukan secara tertutup sebab  alasan kesusilaan.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup 
sebab  dalam rapat ini  hakim konstitusi menyampaikan pendapat 
untuk pengambilan putusan suatu masalah . Di dalam rapat ini  terjadi 
perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi 
tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan 
hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH tidak 
dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu 
untuk memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan 
itu sendiri sebab  ada  rentang waktu antara pengambilan putusan dan 
pengucapan putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya 
diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa 
petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak membocorkan apapun 
yang terjadi dan diputuskan dalam RPH.
3. Independen dan imparsial
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu masalah  secara objektif 
serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen 
dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, 
serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang bermasalah  atau imparsial. 
ini  berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat 
(1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan 
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam 
Pasal 2 UU MK. sedang  dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman 
ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib 
menjaga kemandirian peradilan.Independensi dan imparsialitas ini  memiliki tiga dimensi, yaitu 
dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi 
fungsional mengandung pengertian larangan pada  lembaga negara 
lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi 
dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu masalah . Dimensi 
fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari 
dimensi struktural dan personal hakim. 
Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat 
independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan 
peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak. 
sedang  dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar 
kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan 
kepada kode etik dan pedoman perilaku. Untuk mendukung independensi 
dan imparsialitas hakim konstitusi dan MK, telah ditetapkan PMK Nomor 
09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku 
Hakim Konstitusi. Terkait dengan independesi hakim konstitusi, pada 
bagian pertama Deklarasi ditegaskan33
“Independensi Hakim yaitu  prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, 
dan yaitu  jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat 
dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas 
setiap masalah , dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan 
yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan 
terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun 
sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa 
intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa 
bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan sebab  kepentingan 
politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, 
kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan jabatan, 
keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.”
Penerapan dari prinsip independensi ini  yaitu sebagai berikut.
1. Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas 
dasar penilaian pada  fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa 
bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik 
langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan 
apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.
2. Hakim harus bersikap independen dari tekanan