mahkamah konstitusi 3

Rabu, 13 September 2023

mahkamah konstitusi 3


kepada 
tingkatan paling mungkin (a reasonable degree). Sehingga pemerintahan 
demokrasi yang tepat bukanlah sepenuhnya pemerintahan yang dikelola 
oleh rakyat kebanyakan.
Mewujudkan asas demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan sebuah 
negara akan tidak mungkin dengan melibatkan seutuhnya seluruh warga 
negara. Walaupun secara konsep hal itu mungkin sangat ideal. Tetapi 
sebagaimana dinyatakan Lijpart hal itu yaitu tidak mungkin, sehingga 
pembatasan peran rakyat dalam derajat tertentu harus dilakukan untuk 
mewujudkan asas demokrasi itu sendiri.
Pembatasan itu melahirkan konsep pengisian pemerintahan yang 
ditentukan oleh rakyat melalui mekanisme tertentu. Namun sebelum 
mengurai mengenai mekanisme pemilihan pemerintahan ini , terlebih 
dahulu perlu dikemukakan suatu pertanyaan umum, yaitu kenapa rakyat 
perlu sebuah pemerintahan? 
Pertanyaan itu dijawab dengan tepat oleh Harris G Warren, Harry D. 
Leinenweber, dan Ruth O. M. Andersen. Menurut mereka pembatasan 
ini  perlu dilakukan sebab didasari kebutuhan rakyat itu sendiri. 
Menurut Warren bahwa kebutuhan akan pemerintahan itu karena, “we must have an organization that will do for us those things that each of us cannot 
do alone or that can be done better by a group.”583
Sehingga keberadaan sebuah pemerintahan yaitu untuk memudahkan 
“kinerja” rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan hidup mereka dalam arti 
yang menyeluruh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya 
yang berjudul “Politik” bahwa, “every state is a community of some kind, and 
every community is established with a view to some good, for mankind always act 
in order to obtain that which they think good.”584 Seragam dengan Plato, Jean 
Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes menuturkan kebutuhan akan 
pemerintahan tidak hanya untuk mencegah timbulnya pertikaian golongan, 
anarki, dan pemenuhan kehendak umum rakyat, tetapi juga perlindungan 
ekonomi yang timbul akibat persaingan pasar.585
Bahkan oleh Dennis C. Mueller dalam Constitutional Democracy
dijelaskan bahwa kebaikan-kebaikan yang dibutuhkan rakyat yang harus 
diwujudkan oleh pemerintah diantaranya yaitu perlindungan dari kejahatan, 
mendapatkan pendidikan, terhindar dari kemiskinan, dan kebangkrutan 
ekonomi bangsa.586 Untuk memenuhi kebaikan yang diharapkan oleh 
komunitas (rakyat), menurut Plato seringkali negara dan “mesin” politik 
ingin memenuhi kebaikan dengan hasrat ingin mencapai hingga tingkatan 
paling terbaik.587
Negara yang direpresentasikan kepada pemerintah dibentuk dengan 
harapan mampu menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat. Pemerintah 
yang mengusaha kan kebaikan bagi rakyatnya itulah yang menjadi impian 
rakyat. Sehinggga adagium Abraham Lincol bahwa pemerintahan itu 
berasal dari rakyat dan untuk rakyat itu benar-benar wujud. Rakyat 
memang membutuhkan pemerintahan yang memiliki kehendak untuk 
menyejahterakan rakyatnya. 
Kebutuhan akan pemerintahan ini  memerlukan mekanisme 
pemilihan khusus agar pemerintahan yang terpilih dapat menjalankan 
harapan dari pemilihnya. Dalam perkembangan teori demokrasi dan 
mekanisme pemilihan pemerintahan yang mewakili rakyat itu lahirlah konsep 
pemilihan umum (Pemilu). Menurut Colin Turpin dan Adam Tomkins 
dalam British Government and the Constitution, mengutip pernyataan Joseph 
Schumpeter, sebuah negara dapat dinyatakan menganut paham demokrasi apabila ada tatanan yang membuat rakyat mampu menentukan 
menerima atau menolak seseorang untuk memimpin mereka (democracy, 
says Schumpeter, means only that the people have the opportunity of accepting or 
refusing the men who are to rule them).588
Pemilihan Umum berasal dari kata general election yang dalam Kamus 
Hukum Black dimaknai sebagai sebuah pemilihan yang dilaksanakan dalam 
periode waktu tertentu dan dilakukan untuk mengisi seluruh kursi (legislatif 
dan eksekutif-pen).589 Kata election sendiri dalam Kamus Black dimaknai 
sebagai sebuah proses memilih seseorang untuk menjabat sebuah posisi 
tertentu.590 Pemilu umumnya dipakai  untuk mengisi jabatan di lembaga 
legislatif, eksekutif, bahkan dapat pula untuk lembaga yudisial, baik di 
tingkat pusat maupun daerah.591 Turpin dan Tomkins menjelaskan bahwa 
terjadi perkembangan pemahaman mengenai Pemilu (general election) yang 
pada mulanya yaitu konsep pemilihan anggota parlemen menjadi 
bermakna lebih luas menjadi pemilihan pemerintahan. Selengkapnya Turpin 
dan Tomkins menyatakan sebagai berikut;
In a general election the election is of members of Parliament to represent constituencies. 
In modern times, however, elections have become less about electing individual members 
of Parliament and more about electing a government.592
B. Perselisihan Hasil Pemilu
Stephen A. Siegel mengatakan permasalahan penghitungan suara 
dalam Pemilu yaitu aktivitas tertua dalam sebuah negara bangsa di 
antara pelbagai permasalahan-permasalahan paling tua lainnya dalam hukum 
tata negara.593 Oleh banyak para pemikir hukum tata negara permasalahan 
penghitungan suara ini  juga dicarikan konsep penyelesaiannya. Pasca 
pembentukan Konstitusi 1920 Austria yang disusun oleh Hans Kelsen, maka 
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan penyelesaian 
perkara-masalah konstitusional menjadi tren yang mendunia. Beberapa 
negara kemudian menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang 
memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.Menurut Peter Haberle, keberadaan fungsi dan kewenangan sebuah 
constitutional court tidak lepas dari aspek kesejarahan sebuah negara. Dalam 
kesejarahan Jerman, Austria dan beberapa Negara yang mengitarinya, terkait 
dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi, maka tidak dapat dipungkiri 
bahwa sejarah kehadiran the State Court of Justice dari Republik Weimar 
(1919) memiliki pengaruh pada  terbentuknya the German Federal 
Constitutional Court (Bundesverfassungsgericht). Nilai kesejarahan itu juga 
berkorelasi dengan kewenangan yang menjadi yurisdiksi sebuah mahkamah 
konstitusi.594
Dalam hal kewenangan sengketa hasil Pemilu, maka penyelesaian di 
sebuah lembaga peradilan, terutama Mahkamah Konstitusi, juga tidak lepas 
dari faktor kesejarahan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, misalnya, 
memiliki kewenangan ini  juga tidak lepas dari catatan kesejarahan 
mengenai “buruknya” wajah Pemilu Indonesia. Karut marut hasil Pemilu 
tidak berujung kepada penyelesaian secara hukum. Sehingga legitimasi 
hasil Pemilu seringkali dipertanyakan. ada pula lembaga peradilan 
di Meksiko yang memiliki kewenangan melakukan telaah pada  hasil 
Pemilu.595 Bunderverfassunggericht Jerman juga memiliki kewenangan untuk 
menyelesaikan pertikaian hasil Pemilu.596
sedang perselisihan hasil Pemilu (disputed election) di Australia 
diselesaikan melalui High Court. Dalam hal tertentu High Court juga dapat 
menyerahkan penyelesaiannya kepada Supreme Court pada negara bagian 
tertentu, tempat di mana perselisihan itu terjadi.
Banyak konsep penyelesaian perselisihan hasil Pemilu (PHPU) dalam 
sistem ketatanegaraan di dunia. Di Ukraina, persidangan terkait hasi akhir 
dari Pemilu yaitu kewenangan High Administrative Court (HAC) yang 
putusannya bersifat final. Namun terkait dengan segala keputusan dan/
atau tindakan dari Central Electoral Commission (KPU Ukraina), maka akan 
dihadapkan dalam persidangan di the Kyiv Administrative Court of Appeal
(KACA).
Di Amerika, penyelesaian perselisihan hasil Pemilu baru menjadi 
pembicaraan publik saat masalah hasil Pemilu Presiden 2000. Hasil Pemilu 
antara Bush versus Gore ini  menjadi diskursus yang berkepanjangan di 
Amerika. Namun efek positifnya, warga  Amerika kemudian memikirkan bagaimana sebuah sengketa hasil Pemilu. Steven F. Huefner menyebutkan 
mengenai arti penting sengketa ini . Selengkapnya menurut Huefner 
terkait ini ;
One unmistakable impact of the incredibly close 2000 presidential race and the 
dramatic litigation over its outcome is that the American public now pays substantially 
more attention to how state conduct their election. Much of this attention has focused 
–properly- on adopting reforms to avoid the kinds of problems that famously plagued 
Florida in 2000, whether in matters of ballot design, voting technologies, or recount 
procedures.597
Dalam perspektif Huefner penyebab timbulnya permasalahan hasil 
Pemilu dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;
1. Fraud. Kecurangan hasil suara dapat saja disebabkan dari para kandidat 
yang curang, di mana mereka memiliki keinginan dan kesempatan untuk 
melakukan kecurangan ini . Hal itu juga dapat dilakukan oleh 
penghitung suara dan petugas-petugas Pemilu lainnya yang memiliki 
kesempatan yang memudahkan mereka untuk melakukannya;598
2. Mistake. Kekhilafan yang dilakukan oleh petugas Pemilu. Kesalahan dari 
petugas ini  tidak akan menjadi permasalahan besar apabila dapat 
dibenahi sebelum Pemilu atau melalui proses penghitungan sementara 
atau melalui sebuah proses penghitungan ulang;599
3. Non-fraudulent misconduct. Perbuatan ini bukan yaitu kecurangan 
dalam Pemilu, melainkan tindakan yang dapat menimbulkan turunnya 
kepercayaan publik kepada hasil dari Pemilu. Misalnya dicontohkan 
oleh Heufner, sekelompok calon sengaja melakukan tindakan memecah 
suara calon lain agar calon tertentu meningkat perolehan suaranya.600
4. Extrinsic events or acts of God. Penyebab lain timbulnya permasalahan 
dalam hasil Pemilu yaitu terdapatnya peristiwa alamiah (acts of 
God) di luar kemampuan manusiawi petugas administrasi Pemilu. 
Heufner mencontohkan terjadinya Badai Katrina di New Orleans yang 
memengaruhi Pemilu lokal satu bulan setelahnya. Bahkan, menurut 
Heufner, saat bersamaan saat terjadi serangan 11 September 2001 
di menara kembar dilaksanakan pula Pemilu Negara Bagian New 
York.601
Peradilan dalam banyak contoh di atas menjadi institusi yang dipercaya 
mampu menyelesaikan persengketaan yang timbul diakibatkan perselisihan hasil Pemilu. Robert A. Carp, Ronald Stidham, dan Kenneth L. Manning 
memercayai dalam konteks politik hukum di Amerika, peran peradilan 
yang signifikan dalam membenahi sistem politik, tidak lain disebabkan 
kemampuan institusi ini  melindungi demokrasi. Carp, Stidham, dan 
Manning selengkapnya menyebutkan bahwa;
The legal subculture has an impact on American jurists. Evidence shows that popular 
democratic values – manifested in a variety of ways through many different mediums￾have an influence as well. Some scholars have argued that the only reason courts have 
maintained their significant role in the American political system is that they have learned 
to bend when the democratic winds have blown. That is, judges have tempered rigid 
legalism with commonsense popular values and have maintained “extensive linkages 
with the democratic subculture.”602
C. Perselisihan Hasil Pemilu di Indonesia
Sebagaimana dinyatakan oleh Siegel di atas bahwa masalah 
Pemilu yaitu konflik yang sudah berlangsung lama. Hal yang 
sama sesungguhnya juga dialami Indonesia. Namun sebab kemudian 
pemerintahan Orde Baru mampu menutupi permasalahan Pemilu, maka 
sengketa hasil Pemilu tak sepenuhnya menemukan ruang penyelesaian. 
Pada Pemilu 1955 tidak ada sengketa, aturan Pemilu dilaksanakan 
dengan sungguh-sungguh oleh peserta maupun pendukungnya. Pemilu 
1971 yang penyelenggaraannya berada di bawah arahan Presiden dengan 
menjadikan menteri dalam negeri sebagai Ketua Lembaga Pemilihan Umum 
(LPU) juga tidak memiliki sengketa Pemilu. Namun hal itu bukan berarti 
tidak ada permasalahan penyelenggaraan atau perselisihan pada  hasil 
Pemilu. Peserta Pemilu lebih banyak tidak mengemukakan sengketa yang 
terjadi lebih dikarenakan takut dituduh sebagai pengikut Partai Komunis 
Indonesia. Presiden yang saat itu juga bertindak sebagai “hakim” yang 
menyelesaikan sengketa Pemilu dapat saja menjadikan isu politik untuk 
menekan pihak-pihak yang mempertanyakan hasil penyelenggaraan Pemilu. 
Sehingga sengketa Pemilu tidak timbul kepermukaan.603
Pemilu selanjutnya yang hanya melibatkan dua partai dan satu 
golongan (1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) juga tidak memunculkan 
sengketa Pemilu. usaha  dua partai, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan 
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang mempertanyakan terdapatnya 
pelanggaran Pemilu juga tidak berakhir dengan penyelesaian demokratis. Protes dua partai atas hasil Pemilu yang memenangkan Golongan Karya 
(Golkar) berakhir saat Presiden memberi  rekomendasi kepada 
Mendagri selaku Ketua LPU.604
Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 
yang yaitu pesta demokrasi pertama pascareformasi memiliki 
sengketa Pemilu yang melibatkan 27 (dua puluh tujuh) partai politik dari 
48 (empat puluh delapan) partai politik yang menjadi kontestan Pemilu. 
Hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU ditolak oleh 27 partai 
dengan alasan tidak melalui proses yang menggambarkan diterapkannya 
asas jujur dan adil. Sengketa ini  kemudian diserahkan oleh Presiden 
kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), namun oleh Panwaslu hasil 
penghitungan ini  dianggap telah sah yang kemudian ditetapkan oleh 
Presiden. Sengketa ini  juga dibawa ke Mahkamah Agung (MA) sebagai 
satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman saat itu, akan tetapi oleh 
MA gugatan ini  ditolak dikarenakan MA berpendapat yang berhak 
menentukan sah atau tidaknya hasil Pemilu yaitu Panwaslu.605
Permasalahan Pemilu di Indonesia pada dasarnya juga meliputi beberapa 
hal, yaitu:
1. Tindak pidana Pemilu;
2. Pelanggaran administrasi Pemilu;
3. Sengketa yang timbul dalam penyelengaraan Pemilu; dan
4. Perselisihan hasil Pemilu
Tindak pidana Pemilu diselesaikan melalui proses hukum pidana dan 
hukum acara pidana. Walaupun, sebagaimana dikemukakan oleh Topo 
Santoso, tidak ada pengertian yang jelas dalam peraturan perundang￾undangan yang mendefenisikan apa itu tindak pidana Pemilu.606 Badan 
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) 
bertindak sebagai pihak yang mengumpulkan bukti-bukti pidana Pemilu 
yang kemudian akan diserahkan kepada pihak kepolisian.607 Apabila kepolisian 
menemukan cukup bukti, masalah ini  akan diserahkan kepada pihak 
kejaksaan. Sebagaimana masalah pidana lainnya, masalah ini  melalui 
kejaksaan akan dilimpahkan kepada peradilan.
Terkait pelanggaran administrasi Pemilu, akan diserahkan kepada KPU/
KPUD dengan dibantu oleh data-data dari Bawaslu dan/atau Panwaslu. Dalam ini Bawaslu dan Panwaslu hanya berfungsi mengumpulkan 
data-data terkait pelanggaran administrasi.
Mengenai sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu 
diserahkan penyelesaiannya kepada Bawaslu dan Panwaslu. Permasalahan 
hukum ini  satu-satunya yang diserahkan kepada Bawaslu dan Panwaslu 
untuk menyelesaikannya. Namun dikarenakan lembaga Bawaslu dan 
Panwalu bukanlah lembaga peradilan, maka seringkali putusan-putusannya 
tidak dipatuhi oleh banyak pihak-pihak yang bersengketa.
pada  perselisihan hasil Pemilu, sebagaimana ditentukan UUD 
1945, diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. pada  ini  
diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
D. Penyelesaian PHPU Sebagai Sengketa
Konstitusionalitas Pemilu
Perkembangan bentuk perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi 
juga tidak sekedar terkait penentuan angka-angka hasil Pemilu yang diperoleh 
kontestan Pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan 
Pemilu. Mahkamah Konstitusi akan juga menilai substansi pelaksanaan 
Pemilu. Akan dilihat pelaksana Pemilu sudah mampu mengejawantahkan 
asas-asas Pemilu, Luber dan Jurdil, atau asas-asas ini  diabaikan saja. 
Asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan Jurdil (jujur 
dan adil) yaitu asas Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) 
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi pada dasarnya bertekad menegakkan 
keadilan substantif, sehingga apabila pelaksanaan Pemilu bermasalah maka 
Mahkamah Konstitusi dapat pula memerintahkan penyelenggara Pemilu 
untuk melakukan penghitungan suara ulang atau Pemungutan suara 
(Pemilu) ulang.
Perkembangan putusan dari sekadar hanya mengkaji mengenai kuantitatif 
(angka-angka hasil Pemilu) yang kemudian juga mempermasalahkan 
kualitatif (terpenuhinya asas-asas konstitusionalitas) dari pelaksanaan Pemilu 
pada mulanya ada dalam masalah Nomor 062/PHPU-B-II/2004. masalah 
yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden pada Pemilu Presiden dan 
Wakil Presiden pada Pemilu 2004 ini  menjelaskan pertimbangan 
hukum Mahkamah Konstitusi juga melindungi asas-asas konstitusionalitas 
pelaksanaan Pemilu. Selengkapnya Mahkamah berpendapat sebagai 
berikut;Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga 
agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah 
digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan 
bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil 
serta diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, 
dan mandiri…Menimbang bahwa berbagai hal yang bersifat kualitatif yang didalilkan 
oleh Pemohon sebenarnya telah disediakan mekanisme penyelesaiannya oleh UU Pilpres, 
baik pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari pendaftaraan pemilih 
sampai dengan penetapan hasil Pemilu, maupun pada setiap jenjang penyelenggaraa 
Pemilu, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi 
sampai KPU. Mekanisme dimaksud akan berjalan apabila peserta Pemilu mengajukan 
keberatan yang harus mendapat tanggapan dan ditangani oleh Panitia Pengawas Pemilu 
(Panwaslu), KPU, dan aparat penyidik…menimbang bahwa kedudukan Mahkamah 
dalam sengketa Pemilu bukanlah sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari 
berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya 
dalam bentuk sectoral and local legal remedies, melainkan sebagai lembaga peradilan 
pada tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu Presiden dan 
Wakil Presiden yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU [vide Pasal 85 dan Pasal 
68 UU Pilpres, juga Pasal 74 ayat (2) huruf b dan Pasal 75 UUMK], sehingga 
memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu angka signifikan hasil 
akhir Pemilu. sedang yang bersifat kualitatif akan menjadi perhatian (concern) 
Mahkamah hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang ditentukan oleh UUD 1945 
sebagaimana telah dikemukakan di atas dilanggar.608
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilu, Mahkamah 
bukan hanya sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai 
sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme 
penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remedies (penyelesaian 
hukum lokal dan sektoral) yang terkait pidana Pemilu dan sengketa 
administrasi Pemilu semata. Mahkamah Konstitusi dalam hal sengketa 
Pemilu yaitu lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir 
mengenai perselisihan hasil Pemilu, sehingga memang berkaitan dengan 
hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa terkait 
dengan angka signifikan hasil akhir Pemilu juga Mahkamah juga mengadili 
konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu.
Sehingga terkait dengan masalah yang bersifat melanggar kualitatif 
Pemilu akan menjadi perhatian (concern) Mahkamah hanya apabila prinsip￾prinsip Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) 
UUD 1945 dilanggar. Mahkamah Konstitusi dalam masalah Nomor 062/
PHPU-B-II/2004 mengatakan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi 
berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai 
dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 yang intinya menentukan Pemilu dilaksanakan secara 
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itulah sebabnya dalam 
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi ada perintah kepada pelaksana 
Pemilu (KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP Aceh) untuk 
melaksanakan penghitungan ulang atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) 
ulang apabila Mahkamah berpendapat asas-asas ini  telah dilanggar.
E. Macam-Macam Perselisihan Hasil Pemilu
Kewenangan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 
sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) lainnya diatur 
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kemudian kewenangan ini  
diturunkan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang 
MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 10 ayat (1) UU MK 
memuat ketentuan sama persis dengan ketentuan yang termaktub dalam 
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. 
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU MK berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang 
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang pada  Undang-Undang 
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan 
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus 
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Sesuai dengan Pasal 22E UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan 
untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih 
Presiden dan Wakil Presiden. Oleh sebab itu dengan sendirinya perselisihan 
hasil Pemilu meliputi ketiga jenis Pemilu ini , yaitu Pemilu anggota 
DPR dan DPRD, Pemilu anggota DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil 
Presiden sebagaimana diatur pula dalam Pasal 74 ayat (2) UU MK.
Namun telah terjadi perkembangan cakupan pengertian Pemilu yang 
dengan sendirinya memengaruhi jenis perselisihan hasil Pemilu yang 
menjadi wewenang MK. Perkembangan ini  diawali oleh putusan 
Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pemilihan kepala daerah dan 
wakil kepala daerah. Dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004, 
Mahkamah mengatakan “rezim” pemilihan kepala daerah langsung 
(Pilkadal) walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undang￾undang bukan yaitu rezim pemilihan umum, tetapi secara substantif 
yaitu pemilihan umum sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi 
asas-asas konstitusional Pemilu. Putusan ini mempengaruhi pembentuk undang-undang yang selanjutnya melakukan pergeseran Pemilukada menjadi 
bagian dari Pemilu.
Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara 
Pemilu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) 
secara tegas dinyatakan sebagai bagian dari pemilihan umum. Perubahan 
Pemilukada dari rejim pemerintahan daerah ke rejim Pemilu dilanjutkan 
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua 
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 
Daerah. Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 mengamanatkan pengalihan 
wewenang memutus sengketa Pemilukada dari MA ke MK dalam waktu 
18 bulan sejak diundangkannya undang-undang ini. Pengalihan wewenang 
secara resmi dilakukan oleh Ketua MA dan Ketua MK pada 29 Oktober 
2008. Mulai saat inilah memutus perselisihan hasil Pemilukada menjadi 
bagian dari wewenang MK. Dengan demikian jenis Pemilu di mana 
sengketa hasilnya menjadi wewenang MK untuk mengadili dan memutus 
yaitu meliputi:
a. Pemilu Legislatif yang meliputi pemilihan umum untuk anggota DPR, 
DPD, dan DPRD;
b. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan 
c. Pemiluhan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
F. Hukum Acara PHPU
1. Isi Permohonan
berdasar  ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK dijelaskan bahwa 
permohonan PHPU yaitu permintaan yang diajukan secara tertulis kepada 
Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 
Lebih lanjut mengenai ini  diatur dalam Peraturan Mahkamah 
Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara 
Dalam PHPU Kepala Daerah, PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang 
Pedoman Beracara Dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan 
PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU 
Presiden dan Wakil Presiden. Menurut PMK ini  permohonan PHPU 
yaitu pengajukan keberatan oleh peserta Pemilihan Umum pada  
penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pemilu Anggota 
DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu 
Kepala Daerah.Setidak-tidaknya dalam permohonan bermasalah di Mahkamah Konstitusi 
harus ada tiga elemen penting yang ada dalam permohonan. Ketiga 
pokok ini  yaitu syarat formil dan materil sebuah permohonan. 
Pada masalah PHPU, permohonan terkait PHPU juga harus dicantumkan 
dalam permohonan tiga ini  [Pasal 31 ayat (1) UU MK], yaitu:
1. Identitas Pemohon dan Termohon yang dituju
2. Posita/pundamentum petendi
3. Petitum
Syarat formil ini  memuat identitas para pihak. Apabila ada 
kekeliruan dalam mencantumkan pihak-pihak, maka dapat memicu  
permohonan mengalami error in persona. Kekhilafan ini  dapat 
memicu  permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk 
verklaard). 
Permohonan Pemohon harus mencantumkan identitas dirinya. Berupa 
nama, tempat/tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat. Apabila Pemohon 
memberi  kuasa pada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar 
persidangan atas nama Pemohon, maka pemberian kuasa ini  harus 
dicantumkan dalam permohonan dengan dilampirkan surat kuasa ini  
dalam pendaftaraan permohonan di MK. Istimewanya, dalam beracara di 
MK, kuasa hukum Pemohon tidak harus seorang advokat. Pemohon dapat 
saja memberi  kuasa kepada seseorang yang bukan advokat yang menurut 
Pemohon mampu membela kepentingannya. 
Hal lain yang perlu dimaktubkan dalam permohonan PHPU oleh 
Pemohon yaitu penjelasan mengenai identitas sebagai peserta Pemilu 
Anggota DPR dan DPRD, calon anggota DPD, pasangan calon dalam 
Pemilu Kepala Daerah, atau pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan 
Wakil Presiden.
sedang syarat materiil mengharuskan permohonan ini  
mencantumkan dua hal yaitu, mengenai pokok persoalan (posita) dan alasan￾alasan keberatan pada  penetapan hasil Pemilu bersangkutan dan petitum
(tuntutan). Posita dalam konsep gugatan pada hukum acara Perdata dan 
hukum acara tata usaha negara terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Pengungkapan kejadian-kejadian empiris
b. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum dan/atau teori yang mendukung 
alasan
Sesuai dengan bentuk isi posita, maka dalam masalah PHPU isi posita
sebagaimana dalam beracara perdata dan tata usaha negara ini  juga menjadi bentuk yang lumrah dalam beracara di Mahkamah Konstitusi 
termasuk juga dalam masalah PHPU. Hanya saja dalam acara perdata di 
Indonesia menganut konsep individualisering theorie, di mana di dalam posita
dicantumkan hal-hal yang relevan dengan permohonan. Dalam beracara 
di Mahkamah Konstitusi dianut konsep substantiering theorie, di mana di 
dalam permohonan dikemukakan mengenai kronologis dari awal hingga 
akhir terjadinya permasalahan yang dapat memengaruhi hakim dalam 
pertimbangannya. 
Konsep substantiering theorie ini  juga seringkali dipakai  dalam 
masalah PHPU. Apabila Pemohon tidak lengkap dalam mengemukakan 
runtutan peristiwa dalam permohonannya, maka biasanya dalam sidang 
panel, hakim panel akan memberi  masukan agar permohonan lebih 
menjelaskan hal-hal atau permasalahan yang terjadi. Pasal 75 UU MK 
menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dikemukakan dalam permohonan, 
selengkapnya pasal ini  berbunyi:
“Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas 
tentang:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan 
Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh 
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar 
menurut Pemohon.”
Oleh sebab itu dalam permohonan akan dijelaskan secara mendetail awal 
proses Pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU, 
Pemohon menjelaskan kapan dia mendaftar selaku calon, penetapannya, 
kampanye, dan segala hal yang dianggap terkait serta mampu meyakinkan 
hakim untuk memutuskan sesuai permohonan Pemohon.
Selanjutnya, dalam permohonan harus pula dicantumkan mengenai 
petitum, yaitu hal yang diminta untuk diputus oleh Mahkamah. Dalam 
sengketa PHPU petitum juga berisi permintaan agar Mahkamah 
memerintahkan Termohon untuk melakukan suatu hal. Sehingga dapat 
saja atas dasar permohonan Mahkamah memerintahkan Termohon (KPU 
dan jajarannya di daerah) untuk melaksanakan penghitungan suara ulang 
atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang.
Permohonan ini  berdasar  Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 
Tahun 2009 harus diajukan dalam bahasa Indonesia dalam 12 (dua belas) 
rangkap setelah ditandatangani oleh Pemohon, yaitu Ketua Umum dan 
Sekretaris Jenderal dari Dewan Pimpinan Pusat atau nama sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu DPR dan DPRD atau kuasanya, atau partai 
politik lokal, atau calon anggota DPD peserta Pemilu, dan atau kuasanya 
untuk Pemilu DPD, atau pasangan calon untuk Pemilihan Presiden dan 
Wakil Presiden dan Pemilukada atau kuasanya. 
Posita dalam permohonan PHPU harus mencantumkan peristiwa 
(materiele gebeuren) yang melandasi permohonan. Kesalahan proses Pemilu 
yang seperti apa yang dapat memicu  terjadinya kesalahan penghitungan 
suara yang berakibat mempengaruhi hasil Pemilu. Termasuk pula yang 
dipersoalkan yaitu penetapan hasil Pemilu oleh KPU, dan/atau penetapan 
oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, serta KIP kab/
kota. 
Permohonan PHPU juga dapat mempermasalahkan perbuatan melawan 
hukum (onrechmatige overheidsdaad) KPU sepanjang perbuatan ini  
dianggap Pemohon dapat memengaruhi hasil penghitungan suara. Terkait 
dengan permohonan demikian itu, MK secara tidak langsung dapat memasuki 
ranah administrasi pembuatan penetapan oleh KPU ini . MK dapat 
menilai bahwa pejabat penyelenggara Pemilu menyalahgunakan kewenangan 
(detorunament de pouvoir) dalam pelaksanaan Pemilu. Penyalahgunaan 
ini  oleh MK dianggap telah memicu  memengaruhi hasil suara 
signifikan dalam Pemilu dan yaitu perbuatan yang sewenang-wenang 
(abus de droit). MK dapat kemudian membatalkan hasil Pemilu diakibatkan 
penyalahgunaan kewenangan ini  sesuai dengan semangat perlindungan 
konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu. 
Dalam pelbagai hukum acara, baik perdata dan tata usaha negara, alasan 
ini  yang biasa disebut dalil-dalil permohonan. Dalil-dalil ini  
haruslah memuat alasan (feiten) yang layak dalam menuntut (onderwerp van 
den eis) yang menjelaskan terjadinya perselisihan suara yang memicu  
perubahan signifikan hasil Pemilu dan perolehan kursi (dalam hal Pemilu 
legislatif).
Petitum (eis) atau tuntutan harus sejalan dengan posita. Terkait masalah 
PHPU, maka petitum berupa permintaan untuk membatalkan hasil Pemilu 
dan/atau meminta pelaksanaan penghitungan suara ulang atau Pemilu ulang. 
Pemohon juga dapat meminta untuk penetapan jumlah suara yang sesuai 
dengan posita permohonan, sehingga dalam ini MK juga menentukan 
penghitungan suara yang benar (seharusnya) yang diperoleh oleh Pemohon 
atau pihak-pihak terkait lainnya.2. Para Pihak (subjectum litis)
Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya 
PHPU), tidak semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara 
tertentu dapat mengajukan diri selaku Pemohon. Menurut Maruarar 
Siahaan tidak cukup dengan adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/
atau kelompok tertentu, serta lembaga negara dapat menjadi Pemohon.609
Harus ada alasan dalam melakukan permohonan. Alasan ini  
lumrah disebut dengan istilah kedudukan hukum (legal standing). Maruarar 
Siahaan menyebut banyak istilah yang mempunyai makna seragam dengan 
legal standing, misalnya, personae standi in judicio, standing to sue, dan hak atau 
kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan.610
Pada putusan Nomor 029/PHPU.A-II/2004 yang yaitu putusan 
PHPU pertama belum dipaparkan mengenai legal standing Pemohon. Terkait 
legal standing ini  MK hanya menyatakan, “Pemohon telah memiliki 
kapasitas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK”. 
Sehingga pada mulanya dalam putusan PHPU, pemaparan yang jelas 
mengenai legal standing tidak ada di dalam amar putusan. 
Keberadaan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MK ini  membuat 
terjadinya perkembangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait 
PHPU di mana akan ada pertimbangannya yang menjelaskan mengenai 
legal standing Pemohon. Dengan mengurai legal standing Pemohon dalam 
putusannya, maka akan terlihat baik oleh para pihak dalam masalah alasan 
yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi menerima atau tidak legal 
standing Pemohon. 
Konsep para pihak dalam PHPU menyerupai konsep yang dianut 
dalam hukum acara perdata dalam perselisihan keperdataan. ada 2 
(dua) pihak dalam sengketa keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 123 
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yaitu: pertama, pihak materiil 
yaitu orang yang langsung memiliki hak dan kepentingan. Kedua pihak 
formiil yaitu pihak yang menghadap ke muka pengadilan dikarenakan 
kepentingan orang lain. Pihak formil tidak termasuk pengacara atau kuasa 
hukum sebab keberadaannya di dalam peradilan terjadi dikarenakan sebuah 
perjanjian.
Pihak materiil dalam hukum acara perdata yaitu para Penggugat, 
Tergugat, dan Turut Tergugat. Penggugat yaitu orang yang merasa bahwa 
haknya dilanggar, sedang Tergugat yaitu orang yang ditarik ke muka pengadilan sebab ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa 
orang, sedang pihak formil dapat berupa saksi-saksi yang kehadirannya 
di muka pengadilan yaitu demi kepentingan pihak-pihak.
Jika kemudian diperhatikan pula konsep para pihak dalam konsep 
Hukum Acara Tata Usaha Negara maka dapat diperhatikan ketentuan Pasal 
53 UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal a quo mengatakan 
hanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya 
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan 
gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Penggugat 
yaitu orang yang dirugikan akibat keberadaan putusan tata usaha negara, 
sedang Tergugat yaitu pihak yang mengeluarkan putusan tata usaha 
negara ini .
Memperhatikan konsep pihak-pihak dalam hukum acara perdata dan 
hukum acara tata usaha negara ini , maka dapat diperbandingkan dengan 
pihak-pihak dalam hukum acara perselisihan hasil Pemilu. Pada dasarnya 
para pihak yang ada dalam sengketa PHPU memiliki kesamaan dengan para 
pihak dalam sengketa keperdataan dan juga sengketa tata usaha negara.
Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU di MK, maka 
terlebih dahulu dibahas mengenai konsep legal standing. Dalam hal masalah 
perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah memakai  dasar hukum pada Pasal 
22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu 
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan 
ini  bahwa peserta Pemilu yaitu partai politik. Kemudian Mahkamah 
Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 
Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu 
anggota DPR yaitu partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk 
memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu yaitu hal penting 
dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak 
memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak 
memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa. 
Lebih lanjut Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika 
ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki 
legal standing. Tiga syarat ini  adalah;
1. Adanya kerugian yang timbul sebab adanya pelanggaran kepentingan 
pemohon yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat, 
yaitu; spesifik (khusus) dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan 
potensial);2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian 
dengan berlakunya satu undang-undang (ini terkait pengujian 
konstitusionalitas undang-undang);
3. Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka 
kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.611 
Terkait dengan terdapatnya kepentingan Pemohon yang dirugikan 
dalam PHPU, dalam konsep hukum acara tata usaha negara juga dikenal 
dengan kepentingan Penggugat yang dirugikan. Sehubungan dengan kata 
”kepentingan yang dirugikan” ini , Indroharto menjelaskan bahwa 
”kepentingan” yaitu sesuatu yang memiliki nilai, baik material maupun 
nonmaterial, yang yaitu milik individu atau organisasi yang harus 
dilindungi hukum. Kepentingan ini  menurut Indroharto harus pula 
bersifat personal dan pribadi bagi pemiliknya dan nilainya dapat ditentukan 
secara objektif.612
a. Pemohon 
1) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi 
Pemohon dalam masalah PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal 
Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon yaitu partai politik peserta 
pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) huruf 
c UU MK.
Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat 
(2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam 
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan 
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat 
Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal ini  berbunyi 
sebagai berikut;
”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau 
kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani 
oleh; 
a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang 
sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang 
sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
 Sehingga para Pemohon yang yaitu anggota partai politik atau 
pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa melalui pimpinan pusat partainya. 
Apabila ini  tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan 
dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat 
diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.
 Walaupun mengenai ketentuan permohonan ditandatangani oleh 
pimpinan pusat partai politik ini  tidak ada dalam ketentuan 
Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU MK yang terkait dengan sebab 
tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK 
Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari 
ketentuan UU a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal 
6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal tidak ada 
tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan 
memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
 Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK ini  perlu secara 
teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau 
pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk mendaftarkan 
permohonan maka akan terjadi kerumitan masalah di MK. Bayangkan 
apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda 
pendapat dalam hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan 
menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hasil Pemilu, 
sehingga terjadi penumpukan masalah yang tidak perlu dibatasi dengan 
ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun 
apabila ada sesama anggota partai politik tertentu yang juga 
mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka 
ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 
1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.
2) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPD
 Dalam masalah PHPU DPD, Pemohon yaitu perseorangan yang 
warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sabagai anggota DPD 
dalam pemilihan umum. ini  diatur dalam Pasal 74 ayat (1) 
dan ayat (2) UU MK juncto Pasal 258 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 
(UU Nomor 10/2008) dan Pasal 5 huruf d PMK Nomor 16 Tahun 
2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PerselisihanHasil Pemilihan 
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, 
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009), menentukan 
hal-hal, antara lain, sebagai berikut;a. Pemohon yaitu perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan 
Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b. Permohonan hanya dapat diajukan pada  penetapan hasil pemilihan umum 
yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi 
terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
 Sehingga harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi hanya 
menyidangkan perkara-masalah yang besar kemungkinan dapat 
memicu  terjadinya perubahan hasil Pemilu. ini  
berkaitan dengan asas efisiensi yang mempertimbangkan tenggang 
waktu penyelesaian perkara. Mahkamah Konstitusi hanya diberikan 
waktu selama 30 (tiga puluh) hari untuk menyelesaikan perselisihan 
hasil Pemilu. Para Pemohon yang jumlah suaranya tidak memiliki 
bukti signifikan untuk mengubah hasil Pemilu, permohonannya 
dapat diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan masalah 
yang besar kemungkinan memberi  perubahan hasil Pemilu, dalam 
setiap putusannya Mahkamah Konstitusi akan menjelaskan angka-angka 
hasil Pemilu yang memperlihatkan kemungkinan perubahan hasil 
ini .
 Mahkamah juga mempertimbangkan asas-asas kehati-hatian, di mana 
terkait dengan angka-angka hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi dalam 
persidangan akan memanggil beberapa pihak yang dapat menjelaskan 
angka-angka hasil Pemilu terkait. Dalam ini Pemohon, Termohon 
(KPU/KPUD/KIP), Pihak Terkait, dapat memberi  bukti-bukti 
penghitungan hasil Pemilu berdasar  versi masing-masing pihak.
3) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil 
Presiden
 Pasal 74 ayat (1) huruf b juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK Nomor 
17 Tahun 2009 mengatakan Pemohon masalah PHPU Presiden 
dan Wakil Presiden yaitu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 
peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon 
inilah yang menandatangani permohonan dan memberi  kuasa, 
bukan partai politik yang mengajukan.
4) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada
 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang 
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah 
(PMK 15/2008) yaitu regulasi yang mengatur mengenai sengketa 
hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK 
15/2008 menyebutkan bahwa Pemohon yaitu pasangan calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.
 Pasal 3 mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan 
langsung dalam hasil perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang 
memiliki kepentingan langsung ini  yaitu para pihak yang 
mencalonkan diri dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan 
Pemohon, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang 
menyebutkan bahwa pasangan calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat 
diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang dibuktikan 
dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.
b. Termohon dan Turut Termohon
1) Termohon/Turut Termohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR, 
DPRD dan DPD
 Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (1) 
huruf d PMK 16/2009. Termohon berdasar  ketentuan ini  
yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang yaitu lembaga 
penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. 
sedang Turut Termohon yaitu KPU provinsi dan KPU kabupaten/
kota atau KIP provinsi dan KIP kabupaten/kota di Aceh di mana 
ada perselisihan hasil Pemilu. Jadi KPU provinsi atau kabupaten/
kota tertentu dapat menjadi turut termohon apabila penerapan hasil 
di daerah masing-masing menjadi objek perselisihan. 
2) Termohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil 
Presiden
 Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat 
(1) huruf d PMK Nomor 17 Tahun 2009. Termohon berdasar  
ketentuan ini  yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang 
yaitu lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, 
dan mandiri. Dalam masalah PHPU Presiden dan wakil presiden tidak 
ada Turut Termohon berdasar  ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 
17 Tahun 2009 yang mengatur mengenai para pihak.
3) Termohon Perselisihan Hasil Pemilukada
 Perselisihan hasil Pemilukada yang berlangsung di daerah menjadikan 
pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya juga berada pada ranah 
lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 3 
ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan bahwa Termohon yaitu 
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara 
Pemilukada. c. Pihak Terkait
Pihak terkait dalam PHPU yaitu orang yang berpendapat bahwa 
kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Dalam hukum 
acara perdata dikenal istilah pihak ketiga yang keikutsertaannya dalam 
persidangan disebut dengan intervensi. Apabila keikutsertaan pihak ketiga 
ini  menguatkan posisi pihak Penggugat (eiser, plaintiff) atau Tergugat 
(gedaagde, defendant) maka intervensi itu disebut voeging. Namun apabila 
pihak ketiga ”hadir” dalam persidangan dikarenakan untuk memperjuangkan 
kepentingannya sendiri, intervensi itu disebut tussenkomst. 
Konsep yang sama juga diterapkan dalam peradilan tata usaha negara, 
dimana pihak ketiga yang melakukan intervensi dapat pula membela dirinya 
sendiri atau bergabung kepada salah satu pihak yang bersengketa. Hakim 
dalam masalah sengketa tata usaha negara dapat mengambil inisiatif untuk 
intervensi agar pihak ketiga dilibatkan dalam persidangan. 
Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga terjadi, di mana Panitera 
ataas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak yang akan terkait 
dengan perkara, sehingga pihak-pihak ini  dapat mempersiapkan diri 
untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam acara perdata, 
dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur mengenai pemanggilan pihak 
ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren) apa yang digugat 
oleh Penggugat.613 Sehingga dalam masalah PHPU di MK pemanggilan 
Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak ini  siap untuk menanggung 
konsekuensi dari Putusan Mahkamah pada  permohonan Pemohon yang 
dapat saja merugikan Pihak Terkait.
Dua jenis kepentingan kehadiran pihak ketiga dalam hukum acara 
perdata dan hukum acara tata usaha negara ini  sesungguhnya juga 
sama dengan keikutsertaan Pihak Terkait dalam masalah PHPU. Pihak 
Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam sengketa dikarenakan untuk 
menguatkan permohonan Pemohon atau juga menguatkan putusan KPU, 
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/kota. 
Namun dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam sengketa hanya untuk 
memperjuangkan kepentingannya. 
1) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
berdasar  ketentuan Pasal 1 angka 16 PMK 16/2009 menyatakan 
bahwa Pihak Terkait yaitu peserta pemilihan umum selain Pemohon. 
Keberadaan pihak terkait dalam persidangan PHPU harus melalui ketetapan MK. ini  didasari Pasal 4 PMK 16/2009. Dalam hal 
ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu 
dari Provinsi hingga tingkat Kecamatan yaitu pihak yang dapat 
ditetapkan MK sebagai pihak terkait.
2) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Pasal 1 angka 16 PMK 16/2009 menentukan Pihak Terkait yaitu 
peserta pemilihan umum selain Pemohon, sehingga Pihak Terkait dapat, 
perseorangan warga negara negara Indonesia calon anggota DPD. 
3) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil 
Presiden
Pasal 3 ayat (2) PMK 17/2009 menentukan Pihak Terkait yaitu 
peserta pemilihan umum yaitu pasangan calon Presiden dan Wakil 
Presiden selain Pemohon. Selengkapnya Pasal 3 ayat (2) PMK 17 
/2009 ini  berbunyi;
“Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam 
persidangan, baik atas permintaan sendiri, maupun atas penetapan 
Mahkamah.”
 Kata dapat menjadi Pihat Terkait bermakna dapat saja pasangan calon 
bukan Pemohon tidak menjadi Pihak Terkait, apabila pasangan calon 
bukan Pemohon ini  tidak mengajukan diri dan/atau ditetapkan 
oleh Mahkamah. 
 Ketentuan ini  juga tidak melarang pihak-pihak lain untuk 
menjadi Pihak Terkait selama memiliki alasan yang jelas yang dapat 
diterima oleh Mahkamah, sehingga Pihak Terkait dalam hal PHPU 
Presiden dapat perseorangan warga negara Indonesia. 
4) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilukada
berdasar  ketentuan Pasal 3 ayat (2) PMK 15/2008, yang berhak 
menjadi Pihak Terkait yaitu pasangan calon selain Pemohon dapat 
menjadi pihak terkait. Sebagaimana juga dengan Pemohon, maka bila 
mereka diwakilkan atau menguasakan diri masalah melampirkan surat 
kuasa khusus.
3. Objek Permohonan (objectum litis)
a. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU yaitu 
penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara 
nasional oleh KPU yang mempengaruhi:a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5 persen sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
b. Perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah 
pemilihan;
c. Perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu 
di Aceh;
d. Terpilihnya calon anggota DPD.
Objectum litis permohonan yaitu mengenai keberatan atas penghitungan 
suara Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD 
Kabupaten/Kota yang ditetapkan secara nasional oleh KPU berdasar  
Keputusan Komisi Pemilihan Umum terkait Penetapan dan Pengumuman 
Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam 
Pemilihan Umum. 
Hakim akan terlebih dahulu memberi  pertimbangan mengenai 
objectum litis ini. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya 
“mengadili” perselisihan hasil Pemilu secara kuantitatif, melainkan juga 
terkait dengan penilaian pelaksanaan Pemilu yang baik. Apabila dianggap 
bertentangan dengan semangat konstitusional (constitutional spirite), misalnya 
melanggar asas Luber dan Jurdil, Mahkamah dapat memutuskan untuk 
memerintahkan penghitungan suara ulang atau bahkan meminta dilakukan 
pemungutan suara (Pemilu) ulang. Sehingga objectum litis masalah perselisihan 
hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi tidak hanya terkait dengan angka￾angka hasil penghitungan suara oleh KPU dalam pelaksanaan Pemilu, 
melainkan juga terkait dengan dilanggarnya asas-asas Pemilu. Pelanggaran 
asas Pemilu ini  dapat dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU, 
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota), peserta (partai politik), bahkan oleh 
pemilih (seperti pendukung partai tertentu).
Pemohon harus menjelaskan bahwa permohonannya terkait perselisihan 
hasil pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 huruf d UU MK. 
Permohonan ini  harus pula memuat sekurang-kurangnya sebagaimana 
diatur dalam Pasal 31 UU MK; 
a. Nama dan alamat Pemohon (identitas), serta kedudukan hukum (legal 
standing) Pemohon;
b. Uraian mengenai perselisihan hasil Pemilu yang terjadi (posita);
c. Hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum).Pengajuan ini  harus pula diikuti dengan alat bukti yang memadai 
[Pasal 31 ayat (2) UU MK]. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 45 ayat 
(2) UU MK, Pemohon harus mengajukan minimal 2 (dua) alat bukti 
dalam persidangan. 
b. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU yaitu 
penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara 
nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD. 
Seorang calon anggota DPD yang tidak dinyatakan tidak terpilih dapat 
mengajukan permohonan, apabila pemohonan itu dikabulkan, dia dapat 
menjadi calon terpilih. 
c. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan 
Wakil Presiden
Pasal 4 PMK 17/2009 menentukan bahwa objek permohonan PHPU 
Presiden dan Wakil Presiden yaitu penetapan perolehan suara hasil Pemilu 
Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU 
yang mempengaruhi:
a. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran Kedua Pemilu 
Presiden dan Wakil Presiden; atau
b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait dengan objek sengketa ini , maka Pemohon dalam 
permohonannya harus menguraikan sekurang-kurangnya mengenai;
a. Identitas lengkap Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti 
sebagai Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. Uraian yang jelas mengenai; 1. Kesalahan hasil penghitungan suara 
yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan 
yang benar menurut Pemohon; 2. Permintaan untuk membatalkan 
hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU 
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut 
Pemohon.
Permohonan yang diajukan ini  harus dilengkapi dengan bukti￾bukti yang mendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) 
PMK 17/2009.
d. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada
berdasar  ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008, objek permohonan 
dalam masalah Pemilukada yaitu hasil penghitungan suara yang ditetapkan
oleh Termohon, yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota 
sebagai penyelenggara Pemilukada. Hasil penghitungan suara yang menjadi 
objek perselisihan ini  berdasar  ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008 
disebutkan, yang mempengaruhi: 
a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua 
Pemilukada; atau
b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala 
daerah.
4. Pembuktian dan Alat Bukti
Dalam PHPU, alat bukti sangat penting dalam memberi  keyakinan 
bagi hakim untuk menentukan putusannya. berdasar  ketentuan Pasal 
10 PMK 16/2009 alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan berdasar  ketentuan Pasal 11 PMK 
16/2009 yaitu yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan 
hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK. Alat bukti surat atau tulisan ini  
terdiri dari:
a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai 
politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di 
Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta 
Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia 
Pemilihan Kecamatan (PPK);
c. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai 
politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari 
KPU kabupaten/kota;
d. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota 
DPRD kabupaten/kota;
e. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU 
provinsi;
f. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota 
DPRD provinsi;
g. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari 
KPU;
h. berita acara dan salinan penentapan hasil penghitungan suara secara 
nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
i. salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum 
tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu 
dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota; dan
j. dokument tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan ini  harus diajukan sebanyak 12 (dua 
belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan 
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan dan Tenggang Waktu 
Putusan
Mengenai tenggang waktu (daluarsa) diatur pula dalam hukum 
acara peradilan tata usaha. Daluarsa ini  yaitu batasan waktu dalam 
mengajukan permohonan. Ketentuan mengajukan permohonan dalam 
masalah PHPU juga dibatasi, baik dalam PHPU legislatif, PHPU Presiden 
maupun PHPU Kepala Daerah.
a. Tenggang Waktu PHPU DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (3) UU MK menyebutkan bahwa permohonan hanya 
dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua 
puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini  
juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009.
Pasal 78 huruf b UU MK eksplisit menentukan tenggang waktu 
putusan. Putusan MK terkait dengan permohonan atas perselisihan 
hasil Pemilu wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga 
puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi 
masalah Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, DPD, 
dan DPRD. Ketentuan mengenai tenggang waktu putusan diatur juga 
dalam Pasal 15 ayat (1) PMK 16/2009. Apabila permohonan Pemohon 
diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini  
maka Mahkamah Konstitusi akan memutuskan tidak dapat diterima.
b. Tenggang Waktu PHPU DPD
Pasal 74 ayat (3) UU MK menyebutkan bahwa Permohonan hanya 
dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini  
juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009.
Pasal 78 huruf b UU MK eksplisit menentukan tenggang waktu 
putusan. Putusan MK terkait dengan permohonan atas perselisihan 
hasil Pemilu wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga 
puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi 
masalah Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, DPD, 
dan DPRD. Ketentuan mengenai tenggang waktu putusan diatur juga 
diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PMK 16/2009.
c. Tenggang Waktu PHPU Presiden
Pasal 5 PMK 17/2009 menentukan waktu pengajuan permohonan. 
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa permohonan diajukan paling 
lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak penetapan secara 
nasional hasil perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 
oleh KPU.
Pasal 15 ayat (1) PMK 17/2009 menentukan bahwa putusan Mahkamah 
terkait PHPU Presiden harus sudah diputus dalam 14 (empat belas) 
hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi masalah 
Konstitusi.
d. Tenggang Waktu PHPU Kepala Daerah
Pasal 5 ayat (1) PMK 5/2008 Permohonan pembatalan penetapan 
hasil penghitungan suara Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah 
Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi 
atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara 
Pemilukada di daerah bersangkutan. Permohonan yang melewati batas 
waktu ini  tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi masalah 
Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. [Pasal 5 ayat (2) PMK 5/2008].
Apabila permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka 
setelah teregistrasi dan mengikuti proses persidangan, Mahkamah 
wajib memutus masalah ini  paling lambat 14 (empat belas) hari 
sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi. 
[Pasal 13 ayat (1) PMK 5/2008].
6. Proses Persidangan dan Pembuktian
Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah 
permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang 
dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta 
Registrasi Perkara. 
berdasar  ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan 
perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka 
waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi 
Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara 
nasional. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 
No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil 
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan 
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009) dan Pasal 
5 ayat (1) PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam 
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PMK 
17/2009). sedang untuk PHPU Kepala Daerah diatur lebih lanjut dalam 
Pasal 5 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam 
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008), yaitu 
permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari 
kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan 
hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan.
Apabila permohonan diajukan melampaui tenggang waktu sebagaimana 
ditentukan ketentuan di atas, Panitera Mahkamah Kontitusi akan 
menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi.
Jika permohonan Pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi 
persyaratan, Panitera Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta Registrasi 
masalah dan mencatatnya dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi (BRPK), 
namun apabila permohonan Pemohon tidak lengkap dan tidak memenuhi 
persyaratan, berdasar  Pasal 7 ayat (2) PMK 16/2009 dan Pasal 6 ayat 
(3) PMK 17/2009, Pemohon diberikan kesempatan memperbaikinya dalam 
tenggat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tenggat pengajuan 
permohonan, sedang untuk PHPU Kepala Daerah, berdasar  Pasal 
7 ayat (3) PMK 15/2008, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang 
masih dalam tenggat mengajukan permohonan.
Kelengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon 
dalam permohonannya yaitu:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 
12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa 
hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon [Pasal 
6 ayat (1) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (2) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat 
(2) PMK 17/2009];Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat, a. identitas Pemohon 
yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai peserta pemilu; b. uraian 
yang jelas mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan 
oleh KPU/KIP dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon 
(posita); dan c. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara 
yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan menetapkan hasil penghitungan suara 
yang benar menurut Pemohon (petitum) [Pasal 6 ayat (2) PMK 15/2008, 
Pasal 6 ayat (4) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (3) PMK 17/2009]; 
permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung 
[Pasal 6 ayat (3) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (5) PMK 16/2009, dan Pasal 
5 ayat (4) PMK 17/2009].
Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam 
BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja 
sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis 
KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan untuk 
PHPU Legislatif [Pasal 7 ayat (3) PMK 16/2009] dan PHPU Kepala Daerah 
[Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], sedang untuk PHPU Presiden, Panitera 
mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU 
dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak permohonan 
dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti￾bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan [Pasal 6 ayat (4) PMK 
17/2009].
Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak 
dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi untuk PHPU 
Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], untuk PHPU Legislatif, 
Mahkamah menentukan hari sidang pertama dalam jangka waktu 7 (tujuh) 
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK dan penetapan hari 
sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 
3 (tiga) hari sebelum hari persidangan [Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) 
PMK 16/2009], sedang untuk PHPU Presiden, hari sidang pertama 
diselenggarakan setelah 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diregistrasi 
dan pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling 
lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum persidangan [Pasal 
6 ayat (5) dan ayat (6) PMK 17/2009].
Persidangan di MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan 
hakim. Persidangan MK selalu diawali dengan pemeriksaan pendahuluan 
yang lumrah disebut sidang panel. Pasal 28 ayat (4) UU MK memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk hakim panel 
yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi. Pembentukan 
panel hakim ini bukanlah sebuah keharusan sebab ketentuan Pasal 28 ayat 
(4) ini  hanya mengatakan Mahkamah “dapat membentuk panel 
hakim” sebelum dilaksanakan Pleno. Apabila Mahkamah berpendapat untuk 
membentuk panel hakim lebih dari tiga maka hal itu dapat saja terjadi. 
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum 
oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri oleh tiga orang Hakim 
Konstitusi atau Pleno Hakim. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel 
Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi 
permohonan dan wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi 
dan/atau memperbaiki permohonan apabila ada kekurangan. Perbaikan 
permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam jangka waktu paling 
lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam untuk PHPU Legislatif 
[Pasal 8 ayat (3) PMK 16/2009] dan dalam persidangan hari pertama, baik 
atas kemauan sendiri maupun atas nasihat hakim untuk PHPU Presiden 
[Pasal 7 ayat (3) PMK 17/2009].
Dalam persidangan MK, setelah melakukan sidang “perbaikan 
permohonan” yang mendengarkan masukan (nasihat) hakim, kembali 
dilakukan persidangan panel yang terkait dengan permohonan ini . 
Sidang panel lanjutan ini  akan memperdengarkan apakah Pemohon 
telah menerima nasihat dari Mahkamah pada sidang sebelumnya atau tetap 
bertahan dengan permohonan awalnya. Keberadaan sidang panel lanjutan 
ini  tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun, 
sehingga proses persidangan ini  hanya yaitu kebiasaan (convention) 
yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Pada sidang panel ini Mahkmaah 
juga mempertanyakan daftar alat bukti yang dilampirkan Pemohon untuk 
kemudian disahkan sebagai alat bukti. Terkait alat bukti, Pemohon dapat 
pula melakukan penambahan alat bukti dalam persidangan pleno. Mengenai 
penambahan ini , biasanya Mahkamah Konstitusi akan menanyakan 
mengenai kemungkinan penambahan alat bukti ini .
Pada persidangan selanjutnya, Hakim Mahkamah Konstitusi 
memperdengarkan permohonan Pemohon yang dibacakan atau dapat 
pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (identitas, posita, dan
petitum) dari permohonannya di dalam persidangan. Setelah penyampaian 
ini  Mahkamah Konstitusi akan memberi  kesempatan kepada 
Termohon untuk menyampaikan tanggapannya pada  permohonan 
Pemohon. Apabila Termohon meminta waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dalam persidangan berikutnya, maka Mahkamah Konstitusi akan 
menentukan sidang berikutnya.
Pada dasarnya proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan 
tahapan sebagai berikut;
a. Mendengarkan Permohonan
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan Pihak Terkait;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
e. Kesimpulan.
Masing-masing pihak di dalam persidangan diminta untuk menghadirkan 
bukti-bukti terkait dengan perkara. Mahkamah Konstitusi biasanya akan 
lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu menghadirkan alat 
bukti yang sahih. Dalam hal PHPU, alat bukti sahih ini  yaitu kertas 
penghitungan hasil suara, baik berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas 
Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila masing-masing kertas penghitungan ini  
dapat dibuktikan keasliannya oleh para pihak, maka Mahkamah Konstitusi 
akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan 
sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.
Persidangan juga memberi  kesempatan bagi para pihak dan saksi￾saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya, 
para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk 
menghadirkan ahli yang menguatkan permohonannya. Apabila dianggap 
perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula menghadirkan 
ahli yang dianggap mampu memberi  keterangan terkait perkara.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah 
mencukupi untuk memberi  putusan, maka Mahkamah akan menentukan 
jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para pihak 
akan mendapatkan copy putusan yang diserahkan langsung oleh Panitera 
Mahkamah Konstitusi.
7. Putusan Mahkamah
Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu 
melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat permusyawaratan 
ini  dilakukan setelah pemeriksaan persidangan dianggap cukup. RPH 
harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang 
terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim.
Putusan yang diambil melalui RPH ini  dilakukan secara 
musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Apabila dalam musyawarah mufakat ini  
tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan pengambilan 
keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di dalam voting
ini  tetap tidak diperoleh suara terbanyak, suara terakhir Ketua Rapat 
Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.
Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu ini  kemudian akan 
dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasar  
ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK 
Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 
akan berbunyi:
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila 
pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan 
selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan 
suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang 
benar;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Namun apabila Pemohon dalam proses persidangan kemudian menarik 
permohonannya (Pasal 35 UU MK), maka Mahkamah akan mengeluarkan 
penetapan. Penetapan oleh peradilan yaitu tindakan Mahkamah yang diluar 
putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan lain-lain di luar vonis
(putusan). Penarikan permohonan oleh Pemohon berakibat permohonan 
yang sama tidak dapat diajukan kembali [Pasal 35 ayat (2) UU MK].
Putusan MK bersifat final, bahkan pada  masalah PHPU juga tidak 
dikenal usaha  lain untuk membatalkan putusan MK. Dalam bermasalah di 
MK juga tidak dikenal dengan usaha  perlawanan (verzet) pada  ketetapan 
yang diterbitkan oleh MK, baik pada  ketetapan hari sidang, ketetapan 
penarikan kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan 
lain-lainnya yang diterbitkan Mahkamah terkait dengan masalah PHPU. 
Namun dalam perkembangannya bentuk-bentuk putusan Mahkamah 
Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu mengalami perkembangan. UU 
MK dan PMK terkait tidak mengenal jenis putusan yang bunyi amarnya 
menyatakan, ”mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. 
ada pula Putusan Sela, yang terkait eksepsi permohonan Pemohon yang 
meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian konstitusional 
terjadi. Namun Hakim dapat saja menganggap bahwa alasan permohonan 
Pemohon agar hakim menjatuhkan Putusan Sela dinyatakan tidak beralasan 
hukum sehingga dapat saja ditolak oleh hakim. Mengenai putusan sela diatur dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 5/2008, Pasal 
1 angka 19 dan Pasal 9 ayat (5) PMK 16/2009 serta Pasal 1 angka 9 dan 
PMK 17/2009. berdasar  Putusan Sela ini , maka Hakim Mahkamah 
Konstitusi akan menjatuhkan putusan akhir apabila persidangan telah 
dianggap selesai. Putusan akhir ini  dianggap yaitu bagian tidak 
terpisah dari Putusan Sela, sehingga tenggang waktu dalam memutuskan 
sengketa PHPU tidak terlampaui.
Perkembangan lain terkait putusan dalam masalah PHPU yaitu 
pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan suara ulang. Putusan 
ini pertama kali dijatuhkan dalam masalah Pemilukada Jawa Timur. Putusan 
Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU Provinsi 
Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan 
dan Kabupaten Sampang dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak putusan 
diucapkan dalam persidangan. Putusan ini  juga memerintahkan 
Termohon untuk melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten 
Pamengkasan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan 
dalam persidangan. Sejak itu putusan-putusan terkait PHPU banyak yang 
memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang ataupun 
penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan ini  Mahkamah 
dalam konsiderannya berpendapat bahwa:
”Dalam mengadili masalah ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan 
undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh 
menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara 
atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau 
hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon 
tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Dalam banyak putusan, MK mencoba keluar dari penafsiran UU 
secara sempit ini . Konsep putusan ini  dikenal dengan putusan 
yang mengedepankan konsep keadilan substantif. Putusan lain, masalah 
Nomor 47-81/PHPU.A/VII/2009, Mahkamah bahkan memperbolehkan 
Pemilu perwakilan di Yahukimo, Papua, dimana pencontrengan kertas suara 
diwakilkan kepada para kepala suku-kepala suku. Mahkamah memutuskan 
juga bahwa kotak suara digantikan dengan Noken, tas warga  adat 
Papua.
Sebagaimana pengujian undang-undang, kewenangan PHPU juga 
mengedepankan perlindungan konstitusionalitas, di mana penyelenggaraan 
asas-asas Pemilu dianggap nilai konstitusi yang patut dilindungi. Hal itu 
memicu  putusan MK dalam masalah PHPU juga akan mengalami 
perkembangan sebab nilai-nilai konstitusionalitas Pemilu juga mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Teori yang mendukung paham itu 
dikenal dengan the living constitution. 
Putusan MK dalam masalah PHPU, sebagaimana juga dengan putusan 
peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief.
614 Putusan yang 
berbentuk declaratoir itu memberi  kewajiban hukum kepada pihak-pihak. 
MK dalam masalah PHPU dapat pula memutuskan agar Termohon (KPU) 
untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau pemungutan 
suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk pula 
putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk keadaan hukum 
baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan suara 
menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga 
saat MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan 
penghitungan MK, maka putusan ini  telah membentuk keadaan 
hukum baru. Ketetapan KPU yang menetukan hasil suara yang berhak 
memperoleh kursi telah diubah oleh putusan MK.