Home » mahkamah konstitusi 3 » mahkamah konstitusi 3
Rabu, 13 September 2023
tingkatan paling mungkin (a reasonable degree). Sehingga pemerintahan
demokrasi yang tepat bukanlah sepenuhnya pemerintahan yang dikelola
oleh rakyat kebanyakan.
Mewujudkan asas demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan sebuah
negara akan tidak mungkin dengan melibatkan seutuhnya seluruh warga
negara. Walaupun secara konsep hal itu mungkin sangat ideal. Tetapi
sebagaimana dinyatakan Lijpart hal itu yaitu tidak mungkin, sehingga
pembatasan peran rakyat dalam derajat tertentu harus dilakukan untuk
mewujudkan asas demokrasi itu sendiri.
Pembatasan itu melahirkan konsep pengisian pemerintahan yang
ditentukan oleh rakyat melalui mekanisme tertentu. Namun sebelum
mengurai mengenai mekanisme pemilihan pemerintahan ini , terlebih
dahulu perlu dikemukakan suatu pertanyaan umum, yaitu kenapa rakyat
perlu sebuah pemerintahan?
Pertanyaan itu dijawab dengan tepat oleh Harris G Warren, Harry D.
Leinenweber, dan Ruth O. M. Andersen. Menurut mereka pembatasan
ini perlu dilakukan sebab didasari kebutuhan rakyat itu sendiri.
Menurut Warren bahwa kebutuhan akan pemerintahan itu karena, “we must have an organization that will do for us those things that each of us cannot
do alone or that can be done better by a group.”583
Sehingga keberadaan sebuah pemerintahan yaitu untuk memudahkan
“kinerja” rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan hidup mereka dalam arti
yang menyeluruh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya
yang berjudul “Politik” bahwa, “every state is a community of some kind, and
every community is established with a view to some good, for mankind always act
in order to obtain that which they think good.”584 Seragam dengan Plato, Jean
Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes menuturkan kebutuhan akan
pemerintahan tidak hanya untuk mencegah timbulnya pertikaian golongan,
anarki, dan pemenuhan kehendak umum rakyat, tetapi juga perlindungan
ekonomi yang timbul akibat persaingan pasar.585
Bahkan oleh Dennis C. Mueller dalam Constitutional Democracy
dijelaskan bahwa kebaikan-kebaikan yang dibutuhkan rakyat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah diantaranya yaitu perlindungan dari kejahatan,
mendapatkan pendidikan, terhindar dari kemiskinan, dan kebangkrutan
ekonomi bangsa.586 Untuk memenuhi kebaikan yang diharapkan oleh
komunitas (rakyat), menurut Plato seringkali negara dan “mesin” politik
ingin memenuhi kebaikan dengan hasrat ingin mencapai hingga tingkatan
paling terbaik.587
Negara yang direpresentasikan kepada pemerintah dibentuk dengan
harapan mampu menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat. Pemerintah
yang mengusaha kan kebaikan bagi rakyatnya itulah yang menjadi impian
rakyat. Sehinggga adagium Abraham Lincol bahwa pemerintahan itu
berasal dari rakyat dan untuk rakyat itu benar-benar wujud. Rakyat
memang membutuhkan pemerintahan yang memiliki kehendak untuk
menyejahterakan rakyatnya.
Kebutuhan akan pemerintahan ini memerlukan mekanisme
pemilihan khusus agar pemerintahan yang terpilih dapat menjalankan
harapan dari pemilihnya. Dalam perkembangan teori demokrasi dan
mekanisme pemilihan pemerintahan yang mewakili rakyat itu lahirlah konsep
pemilihan umum (Pemilu). Menurut Colin Turpin dan Adam Tomkins
dalam British Government and the Constitution, mengutip pernyataan Joseph
Schumpeter, sebuah negara dapat dinyatakan menganut paham demokrasi apabila ada tatanan yang membuat rakyat mampu menentukan
menerima atau menolak seseorang untuk memimpin mereka (democracy,
says Schumpeter, means only that the people have the opportunity of accepting or
refusing the men who are to rule them).588
Pemilihan Umum berasal dari kata general election yang dalam Kamus
Hukum Black dimaknai sebagai sebuah pemilihan yang dilaksanakan dalam
periode waktu tertentu dan dilakukan untuk mengisi seluruh kursi (legislatif
dan eksekutif-pen).589 Kata election sendiri dalam Kamus Black dimaknai
sebagai sebuah proses memilih seseorang untuk menjabat sebuah posisi
tertentu.590 Pemilu umumnya dipakai untuk mengisi jabatan di lembaga
legislatif, eksekutif, bahkan dapat pula untuk lembaga yudisial, baik di
tingkat pusat maupun daerah.591 Turpin dan Tomkins menjelaskan bahwa
terjadi perkembangan pemahaman mengenai Pemilu (general election) yang
pada mulanya yaitu konsep pemilihan anggota parlemen menjadi
bermakna lebih luas menjadi pemilihan pemerintahan. Selengkapnya Turpin
dan Tomkins menyatakan sebagai berikut;
In a general election the election is of members of Parliament to represent constituencies.
In modern times, however, elections have become less about electing individual members
of Parliament and more about electing a government.592
B. Perselisihan Hasil Pemilu
Stephen A. Siegel mengatakan permasalahan penghitungan suara
dalam Pemilu yaitu aktivitas tertua dalam sebuah negara bangsa di
antara pelbagai permasalahan-permasalahan paling tua lainnya dalam hukum
tata negara.593 Oleh banyak para pemikir hukum tata negara permasalahan
penghitungan suara ini juga dicarikan konsep penyelesaiannya. Pasca
pembentukan Konstitusi 1920 Austria yang disusun oleh Hans Kelsen, maka
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan penyelesaian
perkara-masalah konstitusional menjadi tren yang mendunia. Beberapa
negara kemudian menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang
memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.Menurut Peter Haberle, keberadaan fungsi dan kewenangan sebuah
constitutional court tidak lepas dari aspek kesejarahan sebuah negara. Dalam
kesejarahan Jerman, Austria dan beberapa Negara yang mengitarinya, terkait
dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi, maka tidak dapat dipungkiri
bahwa sejarah kehadiran the State Court of Justice dari Republik Weimar
(1919) memiliki pengaruh pada terbentuknya the German Federal
Constitutional Court (Bundesverfassungsgericht). Nilai kesejarahan itu juga
berkorelasi dengan kewenangan yang menjadi yurisdiksi sebuah mahkamah
konstitusi.594
Dalam hal kewenangan sengketa hasil Pemilu, maka penyelesaian di
sebuah lembaga peradilan, terutama Mahkamah Konstitusi, juga tidak lepas
dari faktor kesejarahan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, misalnya,
memiliki kewenangan ini juga tidak lepas dari catatan kesejarahan
mengenai “buruknya” wajah Pemilu Indonesia. Karut marut hasil Pemilu
tidak berujung kepada penyelesaian secara hukum. Sehingga legitimasi
hasil Pemilu seringkali dipertanyakan. ada pula lembaga peradilan
di Meksiko yang memiliki kewenangan melakukan telaah pada hasil
Pemilu.595 Bunderverfassunggericht Jerman juga memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan pertikaian hasil Pemilu.596
sedang perselisihan hasil Pemilu (disputed election) di Australia
diselesaikan melalui High Court. Dalam hal tertentu High Court juga dapat
menyerahkan penyelesaiannya kepada Supreme Court pada negara bagian
tertentu, tempat di mana perselisihan itu terjadi.
Banyak konsep penyelesaian perselisihan hasil Pemilu (PHPU) dalam
sistem ketatanegaraan di dunia. Di Ukraina, persidangan terkait hasi akhir
dari Pemilu yaitu kewenangan High Administrative Court (HAC) yang
putusannya bersifat final. Namun terkait dengan segala keputusan dan/
atau tindakan dari Central Electoral Commission (KPU Ukraina), maka akan
dihadapkan dalam persidangan di the Kyiv Administrative Court of Appeal
(KACA).
Di Amerika, penyelesaian perselisihan hasil Pemilu baru menjadi
pembicaraan publik saat masalah hasil Pemilu Presiden 2000. Hasil Pemilu
antara Bush versus Gore ini menjadi diskursus yang berkepanjangan di
Amerika. Namun efek positifnya, warga Amerika kemudian memikirkan bagaimana sebuah sengketa hasil Pemilu. Steven F. Huefner menyebutkan
mengenai arti penting sengketa ini . Selengkapnya menurut Huefner
terkait ini ;
One unmistakable impact of the incredibly close 2000 presidential race and the
dramatic litigation over its outcome is that the American public now pays substantially
more attention to how state conduct their election. Much of this attention has focused
–properly- on adopting reforms to avoid the kinds of problems that famously plagued
Florida in 2000, whether in matters of ballot design, voting technologies, or recount
procedures.597
Dalam perspektif Huefner penyebab timbulnya permasalahan hasil
Pemilu dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;
1. Fraud. Kecurangan hasil suara dapat saja disebabkan dari para kandidat
yang curang, di mana mereka memiliki keinginan dan kesempatan untuk
melakukan kecurangan ini . Hal itu juga dapat dilakukan oleh
penghitung suara dan petugas-petugas Pemilu lainnya yang memiliki
kesempatan yang memudahkan mereka untuk melakukannya;598
2. Mistake. Kekhilafan yang dilakukan oleh petugas Pemilu. Kesalahan dari
petugas ini tidak akan menjadi permasalahan besar apabila dapat
dibenahi sebelum Pemilu atau melalui proses penghitungan sementara
atau melalui sebuah proses penghitungan ulang;599
3. Non-fraudulent misconduct. Perbuatan ini bukan yaitu kecurangan
dalam Pemilu, melainkan tindakan yang dapat menimbulkan turunnya
kepercayaan publik kepada hasil dari Pemilu. Misalnya dicontohkan
oleh Heufner, sekelompok calon sengaja melakukan tindakan memecah
suara calon lain agar calon tertentu meningkat perolehan suaranya.600
4. Extrinsic events or acts of God. Penyebab lain timbulnya permasalahan
dalam hasil Pemilu yaitu terdapatnya peristiwa alamiah (acts of
God) di luar kemampuan manusiawi petugas administrasi Pemilu.
Heufner mencontohkan terjadinya Badai Katrina di New Orleans yang
memengaruhi Pemilu lokal satu bulan setelahnya. Bahkan, menurut
Heufner, saat bersamaan saat terjadi serangan 11 September 2001
di menara kembar dilaksanakan pula Pemilu Negara Bagian New
York.601
Peradilan dalam banyak contoh di atas menjadi institusi yang dipercaya
mampu menyelesaikan persengketaan yang timbul diakibatkan perselisihan hasil Pemilu. Robert A. Carp, Ronald Stidham, dan Kenneth L. Manning
memercayai dalam konteks politik hukum di Amerika, peran peradilan
yang signifikan dalam membenahi sistem politik, tidak lain disebabkan
kemampuan institusi ini melindungi demokrasi. Carp, Stidham, dan
Manning selengkapnya menyebutkan bahwa;
The legal subculture has an impact on American jurists. Evidence shows that popular
democratic values – manifested in a variety of ways through many different mediumshave an influence as well. Some scholars have argued that the only reason courts have
maintained their significant role in the American political system is that they have learned
to bend when the democratic winds have blown. That is, judges have tempered rigid
legalism with commonsense popular values and have maintained “extensive linkages
with the democratic subculture.”602
C. Perselisihan Hasil Pemilu di Indonesia
Sebagaimana dinyatakan oleh Siegel di atas bahwa masalah
Pemilu yaitu konflik yang sudah berlangsung lama. Hal yang
sama sesungguhnya juga dialami Indonesia. Namun sebab kemudian
pemerintahan Orde Baru mampu menutupi permasalahan Pemilu, maka
sengketa hasil Pemilu tak sepenuhnya menemukan ruang penyelesaian.
Pada Pemilu 1955 tidak ada sengketa, aturan Pemilu dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh oleh peserta maupun pendukungnya. Pemilu
1971 yang penyelenggaraannya berada di bawah arahan Presiden dengan
menjadikan menteri dalam negeri sebagai Ketua Lembaga Pemilihan Umum
(LPU) juga tidak memiliki sengketa Pemilu. Namun hal itu bukan berarti
tidak ada permasalahan penyelenggaraan atau perselisihan pada hasil
Pemilu. Peserta Pemilu lebih banyak tidak mengemukakan sengketa yang
terjadi lebih dikarenakan takut dituduh sebagai pengikut Partai Komunis
Indonesia. Presiden yang saat itu juga bertindak sebagai “hakim” yang
menyelesaikan sengketa Pemilu dapat saja menjadikan isu politik untuk
menekan pihak-pihak yang mempertanyakan hasil penyelenggaraan Pemilu.
Sehingga sengketa Pemilu tidak timbul kepermukaan.603
Pemilu selanjutnya yang hanya melibatkan dua partai dan satu
golongan (1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) juga tidak memunculkan
sengketa Pemilu. usaha dua partai, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang mempertanyakan terdapatnya
pelanggaran Pemilu juga tidak berakhir dengan penyelesaian demokratis. Protes dua partai atas hasil Pemilu yang memenangkan Golongan Karya
(Golkar) berakhir saat Presiden memberi rekomendasi kepada
Mendagri selaku Ketua LPU.604
Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, Pemilu 1999
yang yaitu pesta demokrasi pertama pascareformasi memiliki
sengketa Pemilu yang melibatkan 27 (dua puluh tujuh) partai politik dari
48 (empat puluh delapan) partai politik yang menjadi kontestan Pemilu.
Hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU ditolak oleh 27 partai
dengan alasan tidak melalui proses yang menggambarkan diterapkannya
asas jujur dan adil. Sengketa ini kemudian diserahkan oleh Presiden
kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), namun oleh Panwaslu hasil
penghitungan ini dianggap telah sah yang kemudian ditetapkan oleh
Presiden. Sengketa ini juga dibawa ke Mahkamah Agung (MA) sebagai
satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman saat itu, akan tetapi oleh
MA gugatan ini ditolak dikarenakan MA berpendapat yang berhak
menentukan sah atau tidaknya hasil Pemilu yaitu Panwaslu.605
Permasalahan Pemilu di Indonesia pada dasarnya juga meliputi beberapa
hal, yaitu:
1. Tindak pidana Pemilu;
2. Pelanggaran administrasi Pemilu;
3. Sengketa yang timbul dalam penyelengaraan Pemilu; dan
4. Perselisihan hasil Pemilu
Tindak pidana Pemilu diselesaikan melalui proses hukum pidana dan
hukum acara pidana. Walaupun, sebagaimana dikemukakan oleh Topo
Santoso, tidak ada pengertian yang jelas dalam peraturan perundangundangan yang mendefenisikan apa itu tindak pidana Pemilu.606 Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
bertindak sebagai pihak yang mengumpulkan bukti-bukti pidana Pemilu
yang kemudian akan diserahkan kepada pihak kepolisian.607 Apabila kepolisian
menemukan cukup bukti, masalah ini akan diserahkan kepada pihak
kejaksaan. Sebagaimana masalah pidana lainnya, masalah ini melalui
kejaksaan akan dilimpahkan kepada peradilan.
Terkait pelanggaran administrasi Pemilu, akan diserahkan kepada KPU/
KPUD dengan dibantu oleh data-data dari Bawaslu dan/atau Panwaslu. Dalam ini Bawaslu dan Panwaslu hanya berfungsi mengumpulkan
data-data terkait pelanggaran administrasi.
Mengenai sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu
diserahkan penyelesaiannya kepada Bawaslu dan Panwaslu. Permasalahan
hukum ini satu-satunya yang diserahkan kepada Bawaslu dan Panwaslu
untuk menyelesaikannya. Namun dikarenakan lembaga Bawaslu dan
Panwalu bukanlah lembaga peradilan, maka seringkali putusan-putusannya
tidak dipatuhi oleh banyak pihak-pihak yang bersengketa.
pada perselisihan hasil Pemilu, sebagaimana ditentukan UUD
1945, diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. pada ini
diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
D. Penyelesaian PHPU Sebagai Sengketa
Konstitusionalitas Pemilu
Perkembangan bentuk perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi
juga tidak sekedar terkait penentuan angka-angka hasil Pemilu yang diperoleh
kontestan Pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan
Pemilu. Mahkamah Konstitusi akan juga menilai substansi pelaksanaan
Pemilu. Akan dilihat pelaksana Pemilu sudah mampu mengejawantahkan
asas-asas Pemilu, Luber dan Jurdil, atau asas-asas ini diabaikan saja.
Asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan Jurdil (jujur
dan adil) yaitu asas Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi pada dasarnya bertekad menegakkan
keadilan substantif, sehingga apabila pelaksanaan Pemilu bermasalah maka
Mahkamah Konstitusi dapat pula memerintahkan penyelenggara Pemilu
untuk melakukan penghitungan suara ulang atau Pemungutan suara
(Pemilu) ulang.
Perkembangan putusan dari sekadar hanya mengkaji mengenai kuantitatif
(angka-angka hasil Pemilu) yang kemudian juga mempermasalahkan
kualitatif (terpenuhinya asas-asas konstitusionalitas) dari pelaksanaan Pemilu
pada mulanya ada dalam masalah Nomor 062/PHPU-B-II/2004. masalah
yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden pada Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden pada Pemilu 2004 ini menjelaskan pertimbangan
hukum Mahkamah Konstitusi juga melindungi asas-asas konstitusionalitas
pelaksanaan Pemilu. Selengkapnya Mahkamah berpendapat sebagai
berikut;Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga
agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah
digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan
bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
serta diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri…Menimbang bahwa berbagai hal yang bersifat kualitatif yang didalilkan
oleh Pemohon sebenarnya telah disediakan mekanisme penyelesaiannya oleh UU Pilpres,
baik pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari pendaftaraan pemilih
sampai dengan penetapan hasil Pemilu, maupun pada setiap jenjang penyelenggaraa
Pemilu, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi
sampai KPU. Mekanisme dimaksud akan berjalan apabila peserta Pemilu mengajukan
keberatan yang harus mendapat tanggapan dan ditangani oleh Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu), KPU, dan aparat penyidik…menimbang bahwa kedudukan Mahkamah
dalam sengketa Pemilu bukanlah sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari
berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya
dalam bentuk sectoral and local legal remedies, melainkan sebagai lembaga peradilan
pada tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU [vide Pasal 85 dan Pasal
68 UU Pilpres, juga Pasal 74 ayat (2) huruf b dan Pasal 75 UUMK], sehingga
memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu angka signifikan hasil
akhir Pemilu. sedang yang bersifat kualitatif akan menjadi perhatian (concern)
Mahkamah hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang ditentukan oleh UUD 1945
sebagaimana telah dikemukakan di atas dilanggar.608
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilu, Mahkamah
bukan hanya sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai
sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme
penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remedies (penyelesaian
hukum lokal dan sektoral) yang terkait pidana Pemilu dan sengketa
administrasi Pemilu semata. Mahkamah Konstitusi dalam hal sengketa
Pemilu yaitu lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir
mengenai perselisihan hasil Pemilu, sehingga memang berkaitan dengan
hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa terkait
dengan angka signifikan hasil akhir Pemilu juga Mahkamah juga mengadili
konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu.
Sehingga terkait dengan masalah yang bersifat melanggar kualitatif
Pemilu akan menjadi perhatian (concern) Mahkamah hanya apabila prinsipprinsip Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5)
UUD 1945 dilanggar. Mahkamah Konstitusi dalam masalah Nomor 062/
PHPU-B-II/2004 mengatakan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi
berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai
dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 yang intinya menentukan Pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itulah sebabnya dalam
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi ada perintah kepada pelaksana
Pemilu (KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP Aceh) untuk
melaksanakan penghitungan ulang atau bahkan pemungutan suara (Pemilu)
ulang apabila Mahkamah berpendapat asas-asas ini telah dilanggar.
E. Macam-Macam Perselisihan Hasil Pemilu
Kewenangan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) lainnya diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kemudian kewenangan ini
diturunkan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 10 ayat (1) UU MK
memuat ketentuan sama persis dengan ketentuan yang termaktub dalam
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU MK berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang pada Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Sesuai dengan Pasal 22E UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih
Presiden dan Wakil Presiden. Oleh sebab itu dengan sendirinya perselisihan
hasil Pemilu meliputi ketiga jenis Pemilu ini , yaitu Pemilu anggota
DPR dan DPRD, Pemilu anggota DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden sebagaimana diatur pula dalam Pasal 74 ayat (2) UU MK.
Namun telah terjadi perkembangan cakupan pengertian Pemilu yang
dengan sendirinya memengaruhi jenis perselisihan hasil Pemilu yang
menjadi wewenang MK. Perkembangan ini diawali oleh putusan
Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004,
Mahkamah mengatakan “rezim” pemilihan kepala daerah langsung
(Pilkadal) walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undangundang bukan yaitu rezim pemilihan umum, tetapi secara substantif
yaitu pemilihan umum sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi
asas-asas konstitusional Pemilu. Putusan ini mempengaruhi pembentuk undang-undang yang selanjutnya melakukan pergeseran Pemilukada menjadi
bagian dari Pemilu.
Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada)
secara tegas dinyatakan sebagai bagian dari pemilihan umum. Perubahan
Pemilukada dari rejim pemerintahan daerah ke rejim Pemilu dilanjutkan
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 mengamanatkan pengalihan
wewenang memutus sengketa Pemilukada dari MA ke MK dalam waktu
18 bulan sejak diundangkannya undang-undang ini. Pengalihan wewenang
secara resmi dilakukan oleh Ketua MA dan Ketua MK pada 29 Oktober
2008. Mulai saat inilah memutus perselisihan hasil Pemilukada menjadi
bagian dari wewenang MK. Dengan demikian jenis Pemilu di mana
sengketa hasilnya menjadi wewenang MK untuk mengadili dan memutus
yaitu meliputi:
a. Pemilu Legislatif yang meliputi pemilihan umum untuk anggota DPR,
DPD, dan DPRD;
b. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. Pemiluhan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
F. Hukum Acara PHPU
1. Isi Permohonan
berdasar ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK dijelaskan bahwa
permohonan PHPU yaitu permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lebih lanjut mengenai ini diatur dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam PHPU Kepala Daerah, PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara Dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan
PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU
Presiden dan Wakil Presiden. Menurut PMK ini permohonan PHPU
yaitu pengajukan keberatan oleh peserta Pemilihan Umum pada
penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pemilu Anggota
DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu
Kepala Daerah.Setidak-tidaknya dalam permohonan bermasalah di Mahkamah Konstitusi
harus ada tiga elemen penting yang ada dalam permohonan. Ketiga
pokok ini yaitu syarat formil dan materil sebuah permohonan.
Pada masalah PHPU, permohonan terkait PHPU juga harus dicantumkan
dalam permohonan tiga ini [Pasal 31 ayat (1) UU MK], yaitu:
1. Identitas Pemohon dan Termohon yang dituju
2. Posita/pundamentum petendi
3. Petitum
Syarat formil ini memuat identitas para pihak. Apabila ada
kekeliruan dalam mencantumkan pihak-pihak, maka dapat memicu
permohonan mengalami error in persona. Kekhilafan ini dapat
memicu permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Permohonan Pemohon harus mencantumkan identitas dirinya. Berupa
nama, tempat/tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat. Apabila Pemohon
memberi kuasa pada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar
persidangan atas nama Pemohon, maka pemberian kuasa ini harus
dicantumkan dalam permohonan dengan dilampirkan surat kuasa ini
dalam pendaftaraan permohonan di MK. Istimewanya, dalam beracara di
MK, kuasa hukum Pemohon tidak harus seorang advokat. Pemohon dapat
saja memberi kuasa kepada seseorang yang bukan advokat yang menurut
Pemohon mampu membela kepentingannya.
Hal lain yang perlu dimaktubkan dalam permohonan PHPU oleh
Pemohon yaitu penjelasan mengenai identitas sebagai peserta Pemilu
Anggota DPR dan DPRD, calon anggota DPD, pasangan calon dalam
Pemilu Kepala Daerah, atau pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden.
sedang syarat materiil mengharuskan permohonan ini
mencantumkan dua hal yaitu, mengenai pokok persoalan (posita) dan alasanalasan keberatan pada penetapan hasil Pemilu bersangkutan dan petitum
(tuntutan). Posita dalam konsep gugatan pada hukum acara Perdata dan
hukum acara tata usaha negara terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Pengungkapan kejadian-kejadian empiris
b. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum dan/atau teori yang mendukung
alasan
Sesuai dengan bentuk isi posita, maka dalam masalah PHPU isi posita
sebagaimana dalam beracara perdata dan tata usaha negara ini juga menjadi bentuk yang lumrah dalam beracara di Mahkamah Konstitusi
termasuk juga dalam masalah PHPU. Hanya saja dalam acara perdata di
Indonesia menganut konsep individualisering theorie, di mana di dalam posita
dicantumkan hal-hal yang relevan dengan permohonan. Dalam beracara
di Mahkamah Konstitusi dianut konsep substantiering theorie, di mana di
dalam permohonan dikemukakan mengenai kronologis dari awal hingga
akhir terjadinya permasalahan yang dapat memengaruhi hakim dalam
pertimbangannya.
Konsep substantiering theorie ini juga seringkali dipakai dalam
masalah PHPU. Apabila Pemohon tidak lengkap dalam mengemukakan
runtutan peristiwa dalam permohonannya, maka biasanya dalam sidang
panel, hakim panel akan memberi masukan agar permohonan lebih
menjelaskan hal-hal atau permasalahan yang terjadi. Pasal 75 UU MK
menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dikemukakan dalam permohonan,
selengkapnya pasal ini berbunyi:
“Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas
tentang:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar
menurut Pemohon.”
Oleh sebab itu dalam permohonan akan dijelaskan secara mendetail awal
proses Pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU,
Pemohon menjelaskan kapan dia mendaftar selaku calon, penetapannya,
kampanye, dan segala hal yang dianggap terkait serta mampu meyakinkan
hakim untuk memutuskan sesuai permohonan Pemohon.
Selanjutnya, dalam permohonan harus pula dicantumkan mengenai
petitum, yaitu hal yang diminta untuk diputus oleh Mahkamah. Dalam
sengketa PHPU petitum juga berisi permintaan agar Mahkamah
memerintahkan Termohon untuk melakukan suatu hal. Sehingga dapat
saja atas dasar permohonan Mahkamah memerintahkan Termohon (KPU
dan jajarannya di daerah) untuk melaksanakan penghitungan suara ulang
atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang.
Permohonan ini berdasar Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16
Tahun 2009 harus diajukan dalam bahasa Indonesia dalam 12 (dua belas)
rangkap setelah ditandatangani oleh Pemohon, yaitu Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal dari Dewan Pimpinan Pusat atau nama sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu DPR dan DPRD atau kuasanya, atau partai
politik lokal, atau calon anggota DPD peserta Pemilu, dan atau kuasanya
untuk Pemilu DPD, atau pasangan calon untuk Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden dan Pemilukada atau kuasanya.
Posita dalam permohonan PHPU harus mencantumkan peristiwa
(materiele gebeuren) yang melandasi permohonan. Kesalahan proses Pemilu
yang seperti apa yang dapat memicu terjadinya kesalahan penghitungan
suara yang berakibat mempengaruhi hasil Pemilu. Termasuk pula yang
dipersoalkan yaitu penetapan hasil Pemilu oleh KPU, dan/atau penetapan
oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, serta KIP kab/
kota.
Permohonan PHPU juga dapat mempermasalahkan perbuatan melawan
hukum (onrechmatige overheidsdaad) KPU sepanjang perbuatan ini
dianggap Pemohon dapat memengaruhi hasil penghitungan suara. Terkait
dengan permohonan demikian itu, MK secara tidak langsung dapat memasuki
ranah administrasi pembuatan penetapan oleh KPU ini . MK dapat
menilai bahwa pejabat penyelenggara Pemilu menyalahgunakan kewenangan
(detorunament de pouvoir) dalam pelaksanaan Pemilu. Penyalahgunaan
ini oleh MK dianggap telah memicu memengaruhi hasil suara
signifikan dalam Pemilu dan yaitu perbuatan yang sewenang-wenang
(abus de droit). MK dapat kemudian membatalkan hasil Pemilu diakibatkan
penyalahgunaan kewenangan ini sesuai dengan semangat perlindungan
konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu.
Dalam pelbagai hukum acara, baik perdata dan tata usaha negara, alasan
ini yang biasa disebut dalil-dalil permohonan. Dalil-dalil ini
haruslah memuat alasan (feiten) yang layak dalam menuntut (onderwerp van
den eis) yang menjelaskan terjadinya perselisihan suara yang memicu
perubahan signifikan hasil Pemilu dan perolehan kursi (dalam hal Pemilu
legislatif).
Petitum (eis) atau tuntutan harus sejalan dengan posita. Terkait masalah
PHPU, maka petitum berupa permintaan untuk membatalkan hasil Pemilu
dan/atau meminta pelaksanaan penghitungan suara ulang atau Pemilu ulang.
Pemohon juga dapat meminta untuk penetapan jumlah suara yang sesuai
dengan posita permohonan, sehingga dalam ini MK juga menentukan
penghitungan suara yang benar (seharusnya) yang diperoleh oleh Pemohon
atau pihak-pihak terkait lainnya.2. Para Pihak (subjectum litis)
Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya
PHPU), tidak semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara
tertentu dapat mengajukan diri selaku Pemohon. Menurut Maruarar
Siahaan tidak cukup dengan adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/
atau kelompok tertentu, serta lembaga negara dapat menjadi Pemohon.609
Harus ada alasan dalam melakukan permohonan. Alasan ini
lumrah disebut dengan istilah kedudukan hukum (legal standing). Maruarar
Siahaan menyebut banyak istilah yang mempunyai makna seragam dengan
legal standing, misalnya, personae standi in judicio, standing to sue, dan hak atau
kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan.610
Pada putusan Nomor 029/PHPU.A-II/2004 yang yaitu putusan
PHPU pertama belum dipaparkan mengenai legal standing Pemohon. Terkait
legal standing ini MK hanya menyatakan, “Pemohon telah memiliki
kapasitas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK”.
Sehingga pada mulanya dalam putusan PHPU, pemaparan yang jelas
mengenai legal standing tidak ada di dalam amar putusan.
Keberadaan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MK ini membuat
terjadinya perkembangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait
PHPU di mana akan ada pertimbangannya yang menjelaskan mengenai
legal standing Pemohon. Dengan mengurai legal standing Pemohon dalam
putusannya, maka akan terlihat baik oleh para pihak dalam masalah alasan
yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi menerima atau tidak legal
standing Pemohon.
Konsep para pihak dalam PHPU menyerupai konsep yang dianut
dalam hukum acara perdata dalam perselisihan keperdataan. ada 2
(dua) pihak dalam sengketa keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 123
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yaitu: pertama, pihak materiil
yaitu orang yang langsung memiliki hak dan kepentingan. Kedua pihak
formiil yaitu pihak yang menghadap ke muka pengadilan dikarenakan
kepentingan orang lain. Pihak formil tidak termasuk pengacara atau kuasa
hukum sebab keberadaannya di dalam peradilan terjadi dikarenakan sebuah
perjanjian.
Pihak materiil dalam hukum acara perdata yaitu para Penggugat,
Tergugat, dan Turut Tergugat. Penggugat yaitu orang yang merasa bahwa
haknya dilanggar, sedang Tergugat yaitu orang yang ditarik ke muka pengadilan sebab ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa
orang, sedang pihak formil dapat berupa saksi-saksi yang kehadirannya
di muka pengadilan yaitu demi kepentingan pihak-pihak.
Jika kemudian diperhatikan pula konsep para pihak dalam konsep
Hukum Acara Tata Usaha Negara maka dapat diperhatikan ketentuan Pasal
53 UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal a quo mengatakan
hanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Penggugat
yaitu orang yang dirugikan akibat keberadaan putusan tata usaha negara,
sedang Tergugat yaitu pihak yang mengeluarkan putusan tata usaha
negara ini .
Memperhatikan konsep pihak-pihak dalam hukum acara perdata dan
hukum acara tata usaha negara ini , maka dapat diperbandingkan dengan
pihak-pihak dalam hukum acara perselisihan hasil Pemilu. Pada dasarnya
para pihak yang ada dalam sengketa PHPU memiliki kesamaan dengan para
pihak dalam sengketa keperdataan dan juga sengketa tata usaha negara.
Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU di MK, maka
terlebih dahulu dibahas mengenai konsep legal standing. Dalam hal masalah
perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah memakai dasar hukum pada Pasal
22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan
ini bahwa peserta Pemilu yaitu partai politik. Kemudian Mahkamah
Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16
Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu
anggota DPR yaitu partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk
memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu yaitu hal penting
dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak
memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak
memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa.
Lebih lanjut Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika
ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki
legal standing. Tiga syarat ini adalah;
1. Adanya kerugian yang timbul sebab adanya pelanggaran kepentingan
pemohon yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat,
yaitu; spesifik (khusus) dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan
potensial);2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian
dengan berlakunya satu undang-undang (ini terkait pengujian
konstitusionalitas undang-undang);
3. Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka
kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.611
Terkait dengan terdapatnya kepentingan Pemohon yang dirugikan
dalam PHPU, dalam konsep hukum acara tata usaha negara juga dikenal
dengan kepentingan Penggugat yang dirugikan. Sehubungan dengan kata
”kepentingan yang dirugikan” ini , Indroharto menjelaskan bahwa
”kepentingan” yaitu sesuatu yang memiliki nilai, baik material maupun
nonmaterial, yang yaitu milik individu atau organisasi yang harus
dilindungi hukum. Kepentingan ini menurut Indroharto harus pula
bersifat personal dan pribadi bagi pemiliknya dan nilainya dapat ditentukan
secara objektif.612
a. Pemohon
1) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi
Pemohon dalam masalah PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal
Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon yaitu partai politik peserta
pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) huruf
c UU MK.
Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat
(2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal ini berbunyi
sebagai berikut;
”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani
oleh;
a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang
sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang
sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
Sehingga para Pemohon yang yaitu anggota partai politik atau
pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa melalui pimpinan pusat partainya.
Apabila ini tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan
dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat
diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.
Walaupun mengenai ketentuan permohonan ditandatangani oleh
pimpinan pusat partai politik ini tidak ada dalam ketentuan
Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU MK yang terkait dengan sebab
tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK
Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari
ketentuan UU a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal
6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal tidak ada
tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan
memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK ini perlu secara
teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau
pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk mendaftarkan
permohonan maka akan terjadi kerumitan masalah di MK. Bayangkan
apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda
pendapat dalam hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan
menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hasil Pemilu,
sehingga terjadi penumpukan masalah yang tidak perlu dibatasi dengan
ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun
apabila ada sesama anggota partai politik tertentu yang juga
mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka
ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.
2) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Dalam masalah PHPU DPD, Pemohon yaitu perseorangan yang
warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sabagai anggota DPD
dalam pemilihan umum. ini diatur dalam Pasal 74 ayat (1)
dan ayat (2) UU MK juncto Pasal 258 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU Nomor 10/2008) dan Pasal 5 huruf d PMK Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PerselisihanHasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009), menentukan
hal-hal, antara lain, sebagai berikut;a. Pemohon yaitu perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b. Permohonan hanya dapat diajukan pada penetapan hasil pemilihan umum
yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi
terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Sehingga harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi hanya
menyidangkan perkara-masalah yang besar kemungkinan dapat
memicu terjadinya perubahan hasil Pemilu. ini
berkaitan dengan asas efisiensi yang mempertimbangkan tenggang
waktu penyelesaian perkara. Mahkamah Konstitusi hanya diberikan
waktu selama 30 (tiga puluh) hari untuk menyelesaikan perselisihan
hasil Pemilu. Para Pemohon yang jumlah suaranya tidak memiliki
bukti signifikan untuk mengubah hasil Pemilu, permohonannya
dapat diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan masalah
yang besar kemungkinan memberi perubahan hasil Pemilu, dalam
setiap putusannya Mahkamah Konstitusi akan menjelaskan angka-angka
hasil Pemilu yang memperlihatkan kemungkinan perubahan hasil
ini .
Mahkamah juga mempertimbangkan asas-asas kehati-hatian, di mana
terkait dengan angka-angka hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi dalam
persidangan akan memanggil beberapa pihak yang dapat menjelaskan
angka-angka hasil Pemilu terkait. Dalam ini Pemohon, Termohon
(KPU/KPUD/KIP), Pihak Terkait, dapat memberi bukti-bukti
penghitungan hasil Pemilu berdasar versi masing-masing pihak.
3) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden
Pasal 74 ayat (1) huruf b juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK Nomor
17 Tahun 2009 mengatakan Pemohon masalah PHPU Presiden
dan Wakil Presiden yaitu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon
inilah yang menandatangani permohonan dan memberi kuasa,
bukan partai politik yang mengajukan.
4) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah
(PMK 15/2008) yaitu regulasi yang mengatur mengenai sengketa
hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK
15/2008 menyebutkan bahwa Pemohon yaitu pasangan calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.
Pasal 3 mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan
langsung dalam hasil perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang
memiliki kepentingan langsung ini yaitu para pihak yang
mencalonkan diri dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan
Pemohon, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang
menyebutkan bahwa pasangan calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat
diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang dibuktikan
dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.
b. Termohon dan Turut Termohon
1) Termohon/Turut Termohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR,
DPRD dan DPD
Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf d PMK 16/2009. Termohon berdasar ketentuan ini
yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang yaitu lembaga
penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
sedang Turut Termohon yaitu KPU provinsi dan KPU kabupaten/
kota atau KIP provinsi dan KIP kabupaten/kota di Aceh di mana
ada perselisihan hasil Pemilu. Jadi KPU provinsi atau kabupaten/
kota tertentu dapat menjadi turut termohon apabila penerapan hasil
di daerah masing-masing menjadi objek perselisihan.
2) Termohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden
Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf d PMK Nomor 17 Tahun 2009. Termohon berdasar
ketentuan ini yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
yaitu lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri. Dalam masalah PHPU Presiden dan wakil presiden tidak
ada Turut Termohon berdasar ketentuan Pasal 3 PMK Nomor
17 Tahun 2009 yang mengatur mengenai para pihak.
3) Termohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Perselisihan hasil Pemilukada yang berlangsung di daerah menjadikan
pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya juga berada pada ranah
lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 3
ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan bahwa Termohon yaitu
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara
Pemilukada. c. Pihak Terkait
Pihak terkait dalam PHPU yaitu orang yang berpendapat bahwa
kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Dalam hukum
acara perdata dikenal istilah pihak ketiga yang keikutsertaannya dalam
persidangan disebut dengan intervensi. Apabila keikutsertaan pihak ketiga
ini menguatkan posisi pihak Penggugat (eiser, plaintiff) atau Tergugat
(gedaagde, defendant) maka intervensi itu disebut voeging. Namun apabila
pihak ketiga ”hadir” dalam persidangan dikarenakan untuk memperjuangkan
kepentingannya sendiri, intervensi itu disebut tussenkomst.
Konsep yang sama juga diterapkan dalam peradilan tata usaha negara,
dimana pihak ketiga yang melakukan intervensi dapat pula membela dirinya
sendiri atau bergabung kepada salah satu pihak yang bersengketa. Hakim
dalam masalah sengketa tata usaha negara dapat mengambil inisiatif untuk
intervensi agar pihak ketiga dilibatkan dalam persidangan.
Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga terjadi, di mana Panitera
ataas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak yang akan terkait
dengan perkara, sehingga pihak-pihak ini dapat mempersiapkan diri
untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam acara perdata,
dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur mengenai pemanggilan pihak
ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren) apa yang digugat
oleh Penggugat.613 Sehingga dalam masalah PHPU di MK pemanggilan
Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak ini siap untuk menanggung
konsekuensi dari Putusan Mahkamah pada permohonan Pemohon yang
dapat saja merugikan Pihak Terkait.
Dua jenis kepentingan kehadiran pihak ketiga dalam hukum acara
perdata dan hukum acara tata usaha negara ini sesungguhnya juga
sama dengan keikutsertaan Pihak Terkait dalam masalah PHPU. Pihak
Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam sengketa dikarenakan untuk
menguatkan permohonan Pemohon atau juga menguatkan putusan KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/kota.
Namun dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam sengketa hanya untuk
memperjuangkan kepentingannya.
1) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
berdasar ketentuan Pasal 1 angka 16 PMK 16/2009 menyatakan
bahwa Pihak Terkait yaitu peserta pemilihan umum selain Pemohon.
Keberadaan pihak terkait dalam persidangan PHPU harus melalui ketetapan MK. ini didasari Pasal 4 PMK 16/2009. Dalam hal
ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu
dari Provinsi hingga tingkat Kecamatan yaitu pihak yang dapat
ditetapkan MK sebagai pihak terkait.
2) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Pasal 1 angka 16 PMK 16/2009 menentukan Pihak Terkait yaitu
peserta pemilihan umum selain Pemohon, sehingga Pihak Terkait dapat,
perseorangan warga negara negara Indonesia calon anggota DPD.
3) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden
Pasal 3 ayat (2) PMK 17/2009 menentukan Pihak Terkait yaitu
peserta pemilihan umum yaitu pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden selain Pemohon. Selengkapnya Pasal 3 ayat (2) PMK 17
/2009 ini berbunyi;
“Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam
persidangan, baik atas permintaan sendiri, maupun atas penetapan
Mahkamah.”
Kata dapat menjadi Pihat Terkait bermakna dapat saja pasangan calon
bukan Pemohon tidak menjadi Pihak Terkait, apabila pasangan calon
bukan Pemohon ini tidak mengajukan diri dan/atau ditetapkan
oleh Mahkamah.
Ketentuan ini juga tidak melarang pihak-pihak lain untuk
menjadi Pihak Terkait selama memiliki alasan yang jelas yang dapat
diterima oleh Mahkamah, sehingga Pihak Terkait dalam hal PHPU
Presiden dapat perseorangan warga negara Indonesia.
4) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilukada
berdasar ketentuan Pasal 3 ayat (2) PMK 15/2008, yang berhak
menjadi Pihak Terkait yaitu pasangan calon selain Pemohon dapat
menjadi pihak terkait. Sebagaimana juga dengan Pemohon, maka bila
mereka diwakilkan atau menguasakan diri masalah melampirkan surat
kuasa khusus.
3. Objek Permohonan (objectum litis)
a. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU yaitu
penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara
nasional oleh KPU yang mempengaruhi:a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5 persen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
b. Perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah
pemilihan;
c. Perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu
di Aceh;
d. Terpilihnya calon anggota DPD.
Objectum litis permohonan yaitu mengenai keberatan atas penghitungan
suara Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang ditetapkan secara nasional oleh KPU berdasar
Keputusan Komisi Pemilihan Umum terkait Penetapan dan Pengumuman
Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam
Pemilihan Umum.
Hakim akan terlebih dahulu memberi pertimbangan mengenai
objectum litis ini. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya
“mengadili” perselisihan hasil Pemilu secara kuantitatif, melainkan juga
terkait dengan penilaian pelaksanaan Pemilu yang baik. Apabila dianggap
bertentangan dengan semangat konstitusional (constitutional spirite), misalnya
melanggar asas Luber dan Jurdil, Mahkamah dapat memutuskan untuk
memerintahkan penghitungan suara ulang atau bahkan meminta dilakukan
pemungutan suara (Pemilu) ulang. Sehingga objectum litis masalah perselisihan
hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi tidak hanya terkait dengan angkaangka hasil penghitungan suara oleh KPU dalam pelaksanaan Pemilu,
melainkan juga terkait dengan dilanggarnya asas-asas Pemilu. Pelanggaran
asas Pemilu ini dapat dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota), peserta (partai politik), bahkan oleh
pemilih (seperti pendukung partai tertentu).
Pemohon harus menjelaskan bahwa permohonannya terkait perselisihan
hasil pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 huruf d UU MK.
Permohonan ini harus pula memuat sekurang-kurangnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 UU MK;
a. Nama dan alamat Pemohon (identitas), serta kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon;
b. Uraian mengenai perselisihan hasil Pemilu yang terjadi (posita);
c. Hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum).Pengajuan ini harus pula diikuti dengan alat bukti yang memadai
[Pasal 31 ayat (2) UU MK]. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 45 ayat
(2) UU MK, Pemohon harus mengajukan minimal 2 (dua) alat bukti
dalam persidangan.
b. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU yaitu
penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara
nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD.
Seorang calon anggota DPD yang tidak dinyatakan tidak terpilih dapat
mengajukan permohonan, apabila pemohonan itu dikabulkan, dia dapat
menjadi calon terpilih.
c. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden
Pasal 4 PMK 17/2009 menentukan bahwa objek permohonan PHPU
Presiden dan Wakil Presiden yaitu penetapan perolehan suara hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU
yang mempengaruhi:
a. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran Kedua Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden; atau
b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait dengan objek sengketa ini , maka Pemohon dalam
permohonannya harus menguraikan sekurang-kurangnya mengenai;
a. Identitas lengkap Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti
sebagai Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. Uraian yang jelas mengenai; 1. Kesalahan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan
yang benar menurut Pemohon; 2. Permintaan untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
Pemohon.
Permohonan yang diajukan ini harus dilengkapi dengan buktibukti yang mendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4)
PMK 17/2009.
d. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada
berdasar ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008, objek permohonan
dalam masalah Pemilukada yaitu hasil penghitungan suara yang ditetapkan
oleh Termohon, yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota
sebagai penyelenggara Pemilukada. Hasil penghitungan suara yang menjadi
objek perselisihan ini berdasar ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008
disebutkan, yang mempengaruhi:
a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua
Pemilukada; atau
b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
4. Pembuktian dan Alat Bukti
Dalam PHPU, alat bukti sangat penting dalam memberi keyakinan
bagi hakim untuk menentukan putusannya. berdasar ketentuan Pasal
10 PMK 16/2009 alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan berdasar ketentuan Pasal 11 PMK
16/2009 yaitu yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan
hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK. Alat bukti surat atau tulisan ini
terdiri dari:
a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai
politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di
Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta
Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK);
c. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai
politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari
KPU kabupaten/kota;
d. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota
DPRD kabupaten/kota;
e. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU
provinsi;
f. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota
DPRD provinsi;
g. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari
KPU;
h. berita acara dan salinan penentapan hasil penghitungan suara secara
nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
i. salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum
tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu
dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota; dan
j. dokument tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan ini harus diajukan sebanyak 12 (dua
belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan dan Tenggang Waktu
Putusan
Mengenai tenggang waktu (daluarsa) diatur pula dalam hukum
acara peradilan tata usaha. Daluarsa ini yaitu batasan waktu dalam
mengajukan permohonan. Ketentuan mengajukan permohonan dalam
masalah PHPU juga dibatasi, baik dalam PHPU legislatif, PHPU Presiden
maupun PHPU Kepala Daerah.
a. Tenggang Waktu PHPU DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (3) UU MK menyebutkan bahwa permohonan hanya
dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini
juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009.
Pasal 78 huruf b UU MK eksplisit menentukan tenggang waktu
putusan. Putusan MK terkait dengan permohonan atas perselisihan
hasil Pemilu wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
masalah Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Ketentuan mengenai tenggang waktu putusan diatur juga
dalam Pasal 15 ayat (1) PMK 16/2009. Apabila permohonan Pemohon
diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini
maka Mahkamah Konstitusi akan memutuskan tidak dapat diterima.
b. Tenggang Waktu PHPU DPD
Pasal 74 ayat (3) UU MK menyebutkan bahwa Permohonan hanya
dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini
juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009.
Pasal 78 huruf b UU MK eksplisit menentukan tenggang waktu
putusan. Putusan MK terkait dengan permohonan atas perselisihan
hasil Pemilu wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
masalah Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Ketentuan mengenai tenggang waktu putusan diatur juga
diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PMK 16/2009.
c. Tenggang Waktu PHPU Presiden
Pasal 5 PMK 17/2009 menentukan waktu pengajuan permohonan.
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa permohonan diajukan paling
lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak penetapan secara
nasional hasil perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
oleh KPU.
Pasal 15 ayat (1) PMK 17/2009 menentukan bahwa putusan Mahkamah
terkait PHPU Presiden harus sudah diputus dalam 14 (empat belas)
hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi masalah
Konstitusi.
d. Tenggang Waktu PHPU Kepala Daerah
Pasal 5 ayat (1) PMK 5/2008 Permohonan pembatalan penetapan
hasil penghitungan suara Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah
Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi
atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara
Pemilukada di daerah bersangkutan. Permohonan yang melewati batas
waktu ini tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi masalah
Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. [Pasal 5 ayat (2) PMK 5/2008].
Apabila permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka
setelah teregistrasi dan mengikuti proses persidangan, Mahkamah
wajib memutus masalah ini paling lambat 14 (empat belas) hari
sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi.
[Pasal 13 ayat (1) PMK 5/2008].
6. Proses Persidangan dan Pembuktian
Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah
permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang
dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta
Registrasi Perkara.
berdasar ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan
perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi
Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara
nasional. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK
No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009) dan Pasal
5 ayat (1) PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PMK
17/2009). sedang untuk PHPU Kepala Daerah diatur lebih lanjut dalam
Pasal 5 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008), yaitu
permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari
kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan
hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan.
Apabila permohonan diajukan melampaui tenggang waktu sebagaimana
ditentukan ketentuan di atas, Panitera Mahkamah Kontitusi akan
menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi.
Jika permohonan Pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi
persyaratan, Panitera Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta Registrasi
masalah dan mencatatnya dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi (BRPK),
namun apabila permohonan Pemohon tidak lengkap dan tidak memenuhi
persyaratan, berdasar Pasal 7 ayat (2) PMK 16/2009 dan Pasal 6 ayat
(3) PMK 17/2009, Pemohon diberikan kesempatan memperbaikinya dalam
tenggat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tenggat pengajuan
permohonan, sedang untuk PHPU Kepala Daerah, berdasar Pasal
7 ayat (3) PMK 15/2008, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang
masih dalam tenggat mengajukan permohonan.
Kelengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon
dalam permohonannya yaitu:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak
12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa
hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon [Pasal
6 ayat (1) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (2) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat
(2) PMK 17/2009];Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat, a. identitas Pemohon
yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai peserta pemilu; b. uraian
yang jelas mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan
oleh KPU/KIP dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon
(posita); dan c. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan menetapkan hasil penghitungan suara
yang benar menurut Pemohon (petitum) [Pasal 6 ayat (2) PMK 15/2008,
Pasal 6 ayat (4) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (3) PMK 17/2009];
permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung
[Pasal 6 ayat (3) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (5) PMK 16/2009, dan Pasal
5 ayat (4) PMK 17/2009].
Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam
BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis
KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan untuk
PHPU Legislatif [Pasal 7 ayat (3) PMK 16/2009] dan PHPU Kepala Daerah
[Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], sedang untuk PHPU Presiden, Panitera
mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU
dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan buktibukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan [Pasal 6 ayat (4) PMK
17/2009].
Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak
dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi untuk PHPU
Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], untuk PHPU Legislatif,
Mahkamah menentukan hari sidang pertama dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK dan penetapan hari
sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat
3 (tiga) hari sebelum hari persidangan [Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6)
PMK 16/2009], sedang untuk PHPU Presiden, hari sidang pertama
diselenggarakan setelah 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diregistrasi
dan pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling
lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum persidangan [Pasal
6 ayat (5) dan ayat (6) PMK 17/2009].
Persidangan di MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan
hakim. Persidangan MK selalu diawali dengan pemeriksaan pendahuluan
yang lumrah disebut sidang panel. Pasal 28 ayat (4) UU MK memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk hakim panel
yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi. Pembentukan
panel hakim ini bukanlah sebuah keharusan sebab ketentuan Pasal 28 ayat
(4) ini hanya mengatakan Mahkamah “dapat membentuk panel
hakim” sebelum dilaksanakan Pleno. Apabila Mahkamah berpendapat untuk
membentuk panel hakim lebih dari tiga maka hal itu dapat saja terjadi.
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum
oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri oleh tiga orang Hakim
Konstitusi atau Pleno Hakim. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel
Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan dan wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki permohonan apabila ada kekurangan. Perbaikan
permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam jangka waktu paling
lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam untuk PHPU Legislatif
[Pasal 8 ayat (3) PMK 16/2009] dan dalam persidangan hari pertama, baik
atas kemauan sendiri maupun atas nasihat hakim untuk PHPU Presiden
[Pasal 7 ayat (3) PMK 17/2009].
Dalam persidangan MK, setelah melakukan sidang “perbaikan
permohonan” yang mendengarkan masukan (nasihat) hakim, kembali
dilakukan persidangan panel yang terkait dengan permohonan ini .
Sidang panel lanjutan ini akan memperdengarkan apakah Pemohon
telah menerima nasihat dari Mahkamah pada sidang sebelumnya atau tetap
bertahan dengan permohonan awalnya. Keberadaan sidang panel lanjutan
ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun,
sehingga proses persidangan ini hanya yaitu kebiasaan (convention)
yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Pada sidang panel ini Mahkmaah
juga mempertanyakan daftar alat bukti yang dilampirkan Pemohon untuk
kemudian disahkan sebagai alat bukti. Terkait alat bukti, Pemohon dapat
pula melakukan penambahan alat bukti dalam persidangan pleno. Mengenai
penambahan ini , biasanya Mahkamah Konstitusi akan menanyakan
mengenai kemungkinan penambahan alat bukti ini .
Pada persidangan selanjutnya, Hakim Mahkamah Konstitusi
memperdengarkan permohonan Pemohon yang dibacakan atau dapat
pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (identitas, posita, dan
petitum) dari permohonannya di dalam persidangan. Setelah penyampaian
ini Mahkamah Konstitusi akan memberi kesempatan kepada
Termohon untuk menyampaikan tanggapannya pada permohonan
Pemohon. Apabila Termohon meminta waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dalam persidangan berikutnya, maka Mahkamah Konstitusi akan
menentukan sidang berikutnya.
Pada dasarnya proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut;
a. Mendengarkan Permohonan
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan Pihak Terkait;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
e. Kesimpulan.
Masing-masing pihak di dalam persidangan diminta untuk menghadirkan
bukti-bukti terkait dengan perkara. Mahkamah Konstitusi biasanya akan
lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu menghadirkan alat
bukti yang sahih. Dalam hal PHPU, alat bukti sahih ini yaitu kertas
penghitungan hasil suara, baik berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas
Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila masing-masing kertas penghitungan ini
dapat dibuktikan keasliannya oleh para pihak, maka Mahkamah Konstitusi
akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan
sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.
Persidangan juga memberi kesempatan bagi para pihak dan saksisaksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya,
para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk
menghadirkan ahli yang menguatkan permohonannya. Apabila dianggap
perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula menghadirkan
ahli yang dianggap mampu memberi keterangan terkait perkara.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah
mencukupi untuk memberi putusan, maka Mahkamah akan menentukan
jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para pihak
akan mendapatkan copy putusan yang diserahkan langsung oleh Panitera
Mahkamah Konstitusi.
7. Putusan Mahkamah
Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu
melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat permusyawaratan
ini dilakukan setelah pemeriksaan persidangan dianggap cukup. RPH
harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang
terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim.
Putusan yang diambil melalui RPH ini dilakukan secara
musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Apabila dalam musyawarah mufakat ini
tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan pengambilan
keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di dalam voting
ini tetap tidak diperoleh suara terbanyak, suara terakhir Ketua Rapat
Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.
Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu ini kemudian akan
dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasar
ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK
Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009
akan berbunyi:
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila
pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan
selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan
suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Namun apabila Pemohon dalam proses persidangan kemudian menarik
permohonannya (Pasal 35 UU MK), maka Mahkamah akan mengeluarkan
penetapan. Penetapan oleh peradilan yaitu tindakan Mahkamah yang diluar
putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan lain-lain di luar vonis
(putusan). Penarikan permohonan oleh Pemohon berakibat permohonan
yang sama tidak dapat diajukan kembali [Pasal 35 ayat (2) UU MK].
Putusan MK bersifat final, bahkan pada masalah PHPU juga tidak
dikenal usaha lain untuk membatalkan putusan MK. Dalam bermasalah di
MK juga tidak dikenal dengan usaha perlawanan (verzet) pada ketetapan
yang diterbitkan oleh MK, baik pada ketetapan hari sidang, ketetapan
penarikan kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan
lain-lainnya yang diterbitkan Mahkamah terkait dengan masalah PHPU.
Namun dalam perkembangannya bentuk-bentuk putusan Mahkamah
Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu mengalami perkembangan. UU
MK dan PMK terkait tidak mengenal jenis putusan yang bunyi amarnya
menyatakan, ”mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”.
ada pula Putusan Sela, yang terkait eksepsi permohonan Pemohon yang
meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian konstitusional
terjadi. Namun Hakim dapat saja menganggap bahwa alasan permohonan
Pemohon agar hakim menjatuhkan Putusan Sela dinyatakan tidak beralasan
hukum sehingga dapat saja ditolak oleh hakim. Mengenai putusan sela diatur dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 5/2008, Pasal
1 angka 19 dan Pasal 9 ayat (5) PMK 16/2009 serta Pasal 1 angka 9 dan
PMK 17/2009. berdasar Putusan Sela ini , maka Hakim Mahkamah
Konstitusi akan menjatuhkan putusan akhir apabila persidangan telah
dianggap selesai. Putusan akhir ini dianggap yaitu bagian tidak
terpisah dari Putusan Sela, sehingga tenggang waktu dalam memutuskan
sengketa PHPU tidak terlampaui.
Perkembangan lain terkait putusan dalam masalah PHPU yaitu
pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan suara ulang. Putusan
ini pertama kali dijatuhkan dalam masalah Pemilukada Jawa Timur. Putusan
Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU Provinsi
Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan
dan Kabupaten Sampang dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak putusan
diucapkan dalam persidangan. Putusan ini juga memerintahkan
Termohon untuk melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten
Pamengkasan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan
dalam persidangan. Sejak itu putusan-putusan terkait PHPU banyak yang
memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang ataupun
penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan ini Mahkamah
dalam konsiderannya berpendapat bahwa:
”Dalam mengadili masalah ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan
undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh
menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara
atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau
hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon
tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Dalam banyak putusan, MK mencoba keluar dari penafsiran UU
secara sempit ini . Konsep putusan ini dikenal dengan putusan
yang mengedepankan konsep keadilan substantif. Putusan lain, masalah
Nomor 47-81/PHPU.A/VII/2009, Mahkamah bahkan memperbolehkan
Pemilu perwakilan di Yahukimo, Papua, dimana pencontrengan kertas suara
diwakilkan kepada para kepala suku-kepala suku. Mahkamah memutuskan
juga bahwa kotak suara digantikan dengan Noken, tas warga adat
Papua.
Sebagaimana pengujian undang-undang, kewenangan PHPU juga
mengedepankan perlindungan konstitusionalitas, di mana penyelenggaraan
asas-asas Pemilu dianggap nilai konstitusi yang patut dilindungi. Hal itu
memicu putusan MK dalam masalah PHPU juga akan mengalami
perkembangan sebab nilai-nilai konstitusionalitas Pemilu juga mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Teori yang mendukung paham itu
dikenal dengan the living constitution.
Putusan MK dalam masalah PHPU, sebagaimana juga dengan putusan
peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief.
614 Putusan yang
berbentuk declaratoir itu memberi kewajiban hukum kepada pihak-pihak.
MK dalam masalah PHPU dapat pula memutuskan agar Termohon (KPU)
untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau pemungutan
suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk pula
putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk keadaan hukum
baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan suara
menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga
saat MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan
penghitungan MK, maka putusan ini telah membentuk keadaan
hukum baru. Ketetapan KPU yang menetukan hasil suara yang berhak
memperoleh kursi telah diubah oleh putusan MK.