mahkamah konstitusi 4

Rabu, 13 September 2023

mahkamah konstitusi 4


Istilah pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi 
berdasar subjek yang melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji, 
dan waktu pengujian. Dilihat dari segi subjek yang melakukan pengujian, 
pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial 
review), pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review), maupun 
pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review). 
Dalam praktiknya, Indonesia mengatur ketiga pengujian ini . 
Pengujian oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur 
baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945. Pengaturan mengenai 
pengujian peraturan perundang-undangan pada masa berlakunya UUD 1945, 
pertama kali diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan￾Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian pada  
peraturan perundang-undangan di bawah UU pada  UU yaitu  
kewenangan Mahkamah Agung. Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan 
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU pada  UU 
tetap yaitu  kewenangan Mahkamah Agung, sedang  pengujian UU 
pada  UUD yaitu  kewenangan Mahkamah Konstitusi. 
Pengujian UU oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam 
kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui 
UU (bersama-sama Presiden). Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian 
UU pada  UUD berada pada MPR berdasar Ketetapan MPR RI 
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan 
Perundang-undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai 
wewenang menguji hanya pada  peraturan perundang-undangan di bawah UU pada  UU pada masa sebelum perubahan UUD 1945, menurut 
Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa UU sebagai konstruksi 
yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat, 
sebaiknya diuji oleh MPR. Praktik ketatanegaraan yang pernah ada yaitu 
Ketetapan MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali 
Produk-produk Legislatif Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan 
Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945,
Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review) 
yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan 
membahas serta menyetujui UU (bersama dengan Presiden), pengujian 
oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan pada  peraturan 
perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Salah satu 
contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) yaitu dalam 
pengujian Peraturan Daerah (Perda). Untuk melaksanakan pemerintahan 
daerah, penyelenggara pemerintahan daerah (pemerintah daerah dan DPRD) 
membentuk Perda, yang akan ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah 
mendapat persetujuan bersama DPRD. berdasar Pasal 136 UU Nomor 
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda dilarang bertentangan 
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan 
yang lebih tinggi. berdasar Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 
tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat membatalkan Perda yang 
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang￾undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dalam 
Peraturan Presiden. 
Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari 
segi objeknya, sebab  harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, 
sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga 
sangat mungkin ada  kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari objek 
yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas:
(1) seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive 
acts) dan tindakan administratif (administrative action) pada  UUD 
diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan. Pengujian dengan 
objek seperti ini dilakukan dalam masalah  yang kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang memakai  common law system.
Secara umum, istilah yang dipakai yaitu judicial review, akan tetapi 
perlu diperhatikan lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara 
yang memakai  sistem hukum civil law system, sebagimana yang 
dikemukakan dalam poin b berikut. 
(2) UU pada  UUD diuji oleh hakim-hakim pada Mahkamah Konstitusi 
(Constitutional Court), sedang  peraturan perundang-undangan di 
bawah UU pada  UU diuji oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung 
(Supreme Court). Pengujian dengan pembagian objek seperti ini secara 
umum tidak dilakukan dalam masalah  yang kongkrit, dan secara umum 
dilakukan pada negara yang memakai  sistem hukum civil law. 
Jimly Asshiddiqie membedakan jika pengujian itu dilakukan pada  
norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract 
norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut sebagai 
“judicial review”, akan tetapi jika ukuran pengujian itu dilakukan dengan 
memakai  konstitusi sebagai alat pengukur maka, maka kegiatan 
pengujian semacam itu dapat disebut sebagai “constitutional review” atau 
pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas 
dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality 
of law).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa definisi dari 
suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara 
yang bersangkutan, sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan 
sebuah negara. Istilah judicial review selain dipakai pada negara yang 
memakai  sistem hukum common law juga dipakai dalam membahas 
tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang 
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: ‘Judicial Review’ yaitu  usaha  
pengujian oleh lembaga judicial pada  produk hukum yang ditetapkan 
oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip ‘checks and balances’ berdasar sistem pemisahan 
kekuasaan negara (separation of power).135 Walaupun memakai  istilah yang 
sama yaitu judicial review, akan tetapi sebab  sistem hukum yang menjadi 
landasan berbeda, maka definisinya akan berbeda, sebab  pada negara dengan 
common law system tidak dikenal adanya suatu peradilan khusus yang 
mengadili pegawai administrasi negara sebagaimana dalam civil law system,
maka pada  tindakan administrasi negara juga diadili di peradilan umum. 
Hal itu memicu  pada negara yang menganut common law system hakim 
berwenang menilai tidak hanya peraturan perundang-undangan, tapi juga 
tindakan administrasi negara pada  UUD.
Pembagian lainnya yaitu berdasar waktu pengujian, yaitu 
pengujian yang dilakukan sesudah UU disahkan (judicial review) dan 
pengujian yang dilakukan sebelum UU disahkan (judicial preview). Jimly 
Asshiddiqie mengemukakan perbedaan judicial review dan judicial preview 
sebagai berikut: 
Jika pengujian itu dilakukan pada  norma hukum yang bersifat abstrak 
dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian 
itu dapat disebut sebagai “judicial review”. Akan tetapi jika pengujian itu 
bersifat “a priori”, yaitu pada  rancangan undang-undang yang telah 
disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, 
maka namanya bukan “judicial review”, melainkan “judicial preview”.139
Berbeda dengan Republik Indonesia, Republik Federasi Jerman, dan 
beberapa negara yang pengujiannya dilakukan setelah UU disahkan, di 
Negara Perancis, Dewan Konstitusi (Constitutional Council) berwenang 
melakukan pengujian UU secara a priori atau bersifat preventif (ex ante review).140 Constitutional Council berwenang menguji RUU dan ratifikasi 
pada  perjanjian internasional berdasar permintaan Presiden, Perdana 
Menteri, atau Ketua dari masing-masing majelis/kamar dalam Parlemen, 
atau 60 anggota dari masing-masing majelis/kamar dalam Parlemen. Jika 
perjanjian internasional ini  dinyatakan bertentangan dengan UUD, 
maka ratifikasi atau persetujuannya tidak dapat dilakukan kecuali terjadi 
perubahan UUD. Dalam hal RUU dinyatakan inkonstitusional maka 
RUU ini  tidak dapat diundangkan atau dilaksanakan.
B. Ruang Lingkup Pengertian Undang-Undang
yang Diuji
berdasar Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, salah 
satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi 
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya 
bersifat final untuk menguji UU pada  UUD. Dalam Pasal 1 angka 3 
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang￾undangan diatur bahwa: “Undang-Undang yaitu Peraturan Perundang￾undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan 
bersama Presiden.”
Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 
mengatur pembatasan pada  UU yang dapat diuji oleh Mahkamah 
Konstitusi, yaitu UU yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945, 
akan tetapi pasal ini  tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat 
berdasar putusan Mahkamah Konstitusi sejak 12 April 2005.145 Mahkamah 
Konstitusi pertama kali mengesampingkan ketentuan UU sebab  dinilai 
bertentangan dengan UUD 1945 dalam Putusan masalah  Nomor 004/
PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang 
Mahkamah Agung pada  UUD 1945, yaitu ketentuan dalam Pasal 50
UU Nomor 24 Tahun 2003. Dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan 
masalah  Nomor 004/PUU-I/2003, dikemukakan sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang melainkan organ Undang￾Undang dasar. Ia yaitu Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undang-undang. 
Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan 
tugas dan kewenangan konstitusionalnya yaitu Undang-Undang Dasar. Kalaupun 
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas 
wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subjek dalam sistem hukum 
nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya 
dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 lalu dibatalkan oleh 
Mahkamah Konstitusi dalam masalah  Nomor 006/PUU-II/2004 Perihal 
Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada  UUD 
1945, dengan alasan hukum yang sama yang dikemukakan dalam putusan 
masalah  Nomor 004/PUU-I/2003 Perihal Pengujian UU Nomor 14 
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada  UUD 1945. Hal ini  
memicu  Mahkamah Konstitusi berwenang menguji seluruh UU 
pada  UUD 1945 tanpa ada pembatasan waktu tahun pengesahan 
UU.
Menurut Jimly Asshiddiqie, selain UU, Mahkamah Konstitusi juga 
berwenang menguji Perpu, sebab Perpu yaitu  UU dalam arti 
materiel (wet in materiele zin).147 Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji 
konstitusionalitas Perpu pada  UUD 1945 untuk mencegah terjadinya 
kemungkinan yang tidak diinginkan yaitu Perpu yang sewenang-wenang, 
sedang  masa berlaku Perpu ini  hingga persidangan DPR berikutnya 
untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Pengaturan tentang Perpu ada  dalam Pasal 22 UUD 1945. 
Pengaturan mengenai Perpu ada  dalam Bab VII UUD 1945 dengan 
judul bab DPR. Hal ini  menunjukkan bahwa pada dasarnya Perpu 
yaitu  bagian dari kewenangan DPR (membentuk UU) akan tetapi 
sebab  dibentuk dalam keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa, 
maka Perpu dibentuk dengan cara yang khusus yaitu oleh Presiden 
tanpa persetujuan DPR terlebih dulu. Persetujuan DPR diberikan dalam 
persidangan berikut, dan jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan 
Pemerintah ini  harus dicabut.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-Undangan, Perpu diatur sebagai peraturan perundang￾undangan yang setingkat dengan UU149 dan dalam Pasal 9 UU Nomor 10 
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur 
bahwa, ”Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
sama dengan materi muatan Undang-Undang.”150 Pengujian Perpu pada  
UUD sudah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam 
Putusan masalah  Nomor 138/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Peraturan 
Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan 
Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 
pada  UUD Negara RI Tahun 1945.
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktik dikenal adanya dua 
macam hak menguji (toetsingsrecht), yaitu: hak menguji formal (formele 
toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele toetsingsrecht).152 Dalam Pasal 
24C Perubahan Ketiga UUD 1945 diatur bahwa salah satu kewenangan 
Mahkamah Konstitusi yaitu untuk mengadili pada tingkat pertama dan 
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU pada  UUD. 
Dalam pembahasan perubahan UUD 1945, istilah menguji material UU 
juga menjadi wacana, akan tetapi setelah menyadari bahwa istilah ini menjadi 
sempit sebab  tidak termasuk pengujian formal, maka perumus UUD 
memakai  istilah “menguji UU pada  UUD” tanpa pencatuman 
kata “materiel”.153
Pembatasan dalam pengujian UU pada  UUD oleh Mahkamah 
Konstitusi yaitu dalam hal masalah  nebis in idem. Nebis in idem diatur dalam 
Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu: 
”pada  materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang 
yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali.” Akan tetapi pada  
pengaturan ini  ada  pengecualian, yaitu sebagaimana yang diatur 
dalam Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman 
Beracara Dalam masalah  Pengujian UU, yang mengatur sebagai berikut: 
”Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU
pada  muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan masalah  
yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali 
dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan 
yang bersangkutan berbeda.” 
pada  pendapat yang menyatakan dengan pengaturan 
Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara 
Dalam masalah  Pengujian UU ini  maka Mahkamah Konstitusi telah 
memperluas kewenangannya, dan membuat aturan hukum materiil, maka 
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/
PMK/2005 dalam rangka melengkapi hukum acara sebagaimana Penjelasan 
Pasal 86 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang 
mengatur bahwa ”Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan 
adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasar 
Undang-Undang ini.”155 Kemungkinan kekosongan jika hanya memakai  
Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dapat 
terjadi sebab  pada  materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang￾undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali, sehingga jika 
sudah dilakukan pengujian maka sebuah UU tidak dapat diuji lagi, padahal 
faktanya :
1. Ketentuan UU dapat diuji dengan ketentuan pasal yang berbeda dari 
UUD 1945.
2. Ketentuan UU yang telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah 
Konstitusi secara bersyarat (conditionally constitutional), yang dalam 
pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan 
oleh Mahkamah Konstitusi.
Itulah sebabnya diatur ketentuan dalam Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian Undang￾Undang, dalam rangka melengkapi hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktiknya, masalah  nebis in idem diterima untuk disidangkan 
selain pada masalah  Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU 
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada  UUD Negara RI Tahun1945,157 juga dalam masalah  Nomor 5/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU 
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada  UUD 
1945, yang memiliki kesamaan dengan masalah  Nomor 006/PUU-III/2005 
perihal pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 
pada  UUD 1945. Dalam kesimpulan masalah  Nomor 5/PUU-V/2007 
perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 
Daerah pada  UUD 1945, dijelaskan:
2. Dengan telah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi masalah  Nomor 006/
PUU-V/2005 tentang Pengujian UU Pemda amar putusannya menyatakan 
Pasal 59 ayat (3) UU Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 
28D ayat (3) UUD 1945. Maka sangat ironis dan inkonsisten jika  Mahkamah 
menyatakan amar putusannya dalam masalah  a quo tidak sama dengan putusan 
Mahkamah sebelumnya dalam masalah  yang sama. 
Dengan telah dilakukan pengujian pada  beberapa pasal dari UU Pemda dalam 
masalah  Nomor 006/PUU-III/2005, di mana objek permohonannya juga yaitu  
objek permohonan dari Pemohon a quo, maka menurut Pasal 60 UU MK pada  
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang yang telah diuji, tidak dapat 
dimohonkan pengujian kembali. 
Ketentuan hukum acara ini yaitu  rambu-rambu bagi seorang hakim untuk tidak 
melakukan tindakan sewenang-wenang (willekeur) dalam rangka memeriksa, mengadili, 
dan memutus suatu masalah .
Selain itu ruang lingkup undang-undang juga meliputi pengertian undang-undang 
dalam arti formil (wet in formele zin) dan undang-undang dalam arti materiil (wet 
in materiele zin). Maria Farida mengemukakan tentang kedua pengertian itu sebagai 
berikut.
Di Belanda apa yang disebut kan dengan `wet in formele zin` yaitu setiap keputusan 
yang dibentuk oleh Regering dan Staten Generaal, terlepas apakah isinya suatu 
`penetapan` (beschikking) atau „peraturan“ (regeling), jadi dalam ini  dilihat dari 
pembentuknya, atau siapa yang membentuk, sedang  yang disebut `wet in materiele 
zin` yaitu setiap keputusan yang dibentuk baik oleh Regering dan Staten Generaal 
maupun keputusan-keputusan lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga lainnya selain 
Regering dan Staten Generaal asalkan isinya yaitu peraturan yang mengikat umum 
(algemene verbindende voorschriften).
ada  perbedaan dalam hal penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia 
dan pembagian kategori dari istilah wet in formele zin dan wet in materiele 
zin. A. Hamid S. Attamimi dan Maria Farida Indrati menerjemahkan wet 
in formele zin sebagai UU, sedang  wet in materiele zin sebagai peraturan perundang-undangan.160 Hal ini  dipicu sebab  menurut keduanya, 
penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini  harus memperhatikan 
pengertian dari kedua istilah ini  dalam konsep hukum di negara 
Belanda dan di negara Indonesia. Pendapat lainnya yaitu pendapat yang 
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yang menerjemahkan wet in formele zin
sebagai UU formil, sedang  wet in materiele zin sebagai UU materiil.161
Selain perbedaan penerjemahan istilah, ada  perbedaan lainnya, 
yaitu perbedaan dalam kategori, di mana kategorisasi antara wet in formele 
zin dan wet in materiele zin dilakukan secara ketat atau kaku, dan pendapat 
bahwa membagi wet in formele zin dan wet in materiele zin sebagai sebuah 
sudut pandang/perspektif saja sehingga tidak perlu dibedakan secara tegas.162
Pendapat pertama memicu  sebuah UU dapat saja yaitu  UU 
formal akan tetapi bukan yaitu  UU material sebab  bukan yaitu  
peraturan yang mengikat umum. Maria Farida Indrati mengemukakan 
bahwa sebuah UU yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama 
Presiden yaitu  wet in formele zin dan sekaligus juga yaitu  suatu 
wet in materiele zin jika  UU itu berisi suatu peraturan yang mengikat 
umum.163 Van der Vlies mengemukakan UU yang bersifat formil akan 
tetapi tidak bersifat material sebab  tidak mengikat umum, yaitu UU 
tentang APBN, UU tentang Naturalisasi, UU tentang Putera Mahkota 
dan sebagainya. Pendapat ini  memicu  UU formal jika tidak 
mengikat untuk umum, tidak dapat diuji secara material konstitusionalitasnya 
ke Mahkamah Konstitusi. 
Pendapat yang menyatakan membagi wet in formele zin dan wet in 
materiele zin sebagai sebuah sudut pandang/perspektif berpendapat bahwa 
tidak perlu dibedakan secara kaku sebab  pada setiap UU di satu sisi 
dapat dilihat dari segi formalnya dan di sisi lain dapat pula dilihat dari segi 
materialnya secara sekaligus, juga bahwa daya ikat norma yang terkandung dalam setiap UU dapat dibedakan antara daya ikat yang bersifat umum dan 
daya ikat yang bersifat spesifik, serta agar setiap UU yang bertentangan 
dengan UUD dapat diuji.
masalah  berkaitan pengujian pada  UU formal seperti pengujian 
UU tentang APBN, UU tentang pembentukan kabupaten, dan UU terkait 
lembaga negara tertentu seperti UU tentang Komisi Yudisial, sudah diajukan 
dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam praktiknya, Mahkamah 
Konstitusi tidak membedakan antara UU formal dan UU material untuk 
dijadikan objek pengujian berdasar Pasal 24C UUD 1945. Dalam 
Putusan masalah  Nomor 026/PUU-III/2005 perihal Pengujian UU Nomor 
13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun 2005 pada  UUD Negara RI 
Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
i. Bahwa UUD 1945 maupun UU MK tidak membedakan jenis undang-undang 
yang yaitu  wewenang Mahkamah untuk mengujinya, sehingga tidak relevan 
untuk membuat kategorisasi apakah yang diuji ini  yaitu undang-undang 
dalam arti formil atau undang-undang dalam arti materiil;
ii. Bahwa hierarki perundang-undangan menempatkan UUD 1945 sebagai hukum 
dasar atau hukum yang tertinggi dengan mana berarti setiap undang-undang yang 
dibawahnya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945;
iii. Bahwa meskipun angka-angka APBN yaitu lampiran dari UU APBN, namun 
yaitu  bagian yang tidak terpisahkan sehingga harus dibaca dalam satu kesatuan 
dengan UU APBN, yang dengan demikian harus dipahami sebagai undang-undang 
yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk mengujinya;
iv. Bahwa tugas dan wewenang untuk menjaga Konstitusi (the guardian of the 
constitution) memberi kewenangan kepada Mahkamah untuk menguji dengan 
memeriksa lalu memutus, apakah UU APBN ini  telah sesuai dengan 
hukum tertinggi yaitu UUD 1945;.
C. Pengujian Formil dan Materiil
1. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan 
ini  diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa 
pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasar UUD 1945.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa: “Undang-Undang yaitu 
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan 
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Sri Soemantri dan Harun Alrasid mendefinisikan pengujian formil 
sebagaimana yang dikemukakan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang 
Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri menjelaskan bahwa yang dimaksud 
dengan hak menguji formal yaitu wewenang untuk menilai, apakah 
suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya, terjelma melalui 
cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan 
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak,sedang  Harun 
Alrasid mengatakan hak menguji formal ialah mengenai prosedur 
pembuatan UU.170 Akan tetapi apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie 
yaitu  pendapat yang mencakup berbagai aspek mengenai pengujian 
formal. Jimly Asshiddiqie mengatakan secara umum, yang dapat 
disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup 
proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian 
mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU.171 Juga dijelaskan 
bahwa pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan 
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.172
Pengujian formil mengenai pembentukan UU tidak memenuhi 
ketentuan berdasar UUD 1945 telah diputus dalam Putusan Nomor 
27/PUU-VII/2009 masalah  pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2009 
tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas 
UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada  UUD 
1945.173 Alasan permohonan oleh para Pemohon yaitu bahwa pengambilan 
keputusan DPR tidak memenuhi syarat kuorum, pengambilan keputusan 
Ketua DPR tidak memenuhi syarat pengambilan keputusan, dan pembahasan 
UU Nomor 3 Tahun 2009 melanggar prinsip keterbukaan.ada  beberapa hal dalam putusan ini  terkait pengujian formil, 
yaitu:
1. Dalam uji formil UU pada  UUD 1945, yang menjadi ukuran 
yaitu formalitas pembentukan UU, yang meliputi:175
a. institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk UU; 
b. prosedur persiapan sampai dengan pengesahan UU yang meliputi 
rencana dalam prolegnas, amanat Presiden, tahap-tahap yang 
ditentukan dalam Tata Tertib DPR, serta kuorum DPR; dan 
c. pengambilan keputusan, yaitu menyetujui secara aklamasi atau voting, 
atau tidak disetujui sama sekali.
2. Pengujian formil mempunyai karakteristik yang berbeda dengan 
pengujian materiil, oleh sebab nya persyaratan legal standing yang telah 
diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil tidak 
dapat diterapkan begitu saja untuk pengujian formil.176 Syarat legal 
standing dalam pengujian formil UU, yaitu bahwa Pemohon mempunyai 
hubungan pertautan langsung dengan UU yang dimohonkan.177
Adapun syarat adanya hubungan pertautan langsung dalam pengujian 
formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam 
pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan Mahkamah Konstitusi, 
sebab  akan memicu  sama sekali tertutup kemungkinannya bagi 
anggota warga  atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 
ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian secara formil.178
3. Dalam hal ada  cacat prosedural dalam pembentukan UU yang 
diajukan permohonan pengujian, namun demi asas kemanfaatan hukum, 
UU yang dimohonkan ini  tetap berlaku.Perkembangan pengujian formil dalam praktik, memicu  kategori 
pengujian formil tidak hanya mencakup pengujian atas proses pembentukan 
UU. Dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan, diatur asas-asas yang yaitu  asas 
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga yaitu  
alat untuk melakukan pengujian formal, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan 
atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, 
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan 
keterbukaan.180 Perkembangan pengujian formal mencakup pula pengujian 
atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.181 Hal itu diatur 
dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 
06/PMK/2005, yang mengatur sebagai berikut: “Pengujian formil yaitu 
pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal￾hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2).”182 Saldi Isra mengatakan proses pembentukan 
UU yaitu  masalah yang masih sering diperdebatkan dan sering 
diabaikan dan/atau dilanggar aturan proses pembentukan UU, yaitu dalam 
hal hubungan antara DPR dan DPD, partisipasi publik dalam pembentukan 
UU, kehadiran anggota DPR dalam proses pengambilan keputusan di Rapat 
Paripurna DPR, dan dalam hal terkuaknya praktik moral hazard berupa suap 
dan/atau korupsi dalam proses pembentukan UU.183
Dalam praktiknya, pengujian formil terkait dengan pemberlakuan UU 
terjadi dalam pengujian UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran 
Provinsi Irian Jaya. Berkaitan dengan masalah  ini , pendapat yang 
menyatakan pengujian secara formil sebaiknya tidak dapat diajukan 
oleh perorangan atau kelompok WNI, sebab pengujian UU secara formil 
sebenarnya tidak mempermasalahkan pelanggaran hak konstitusional 
perorangan warga warga  Indonesia melainkan menguji apakah suatu UU dilahirkan melalui cara yang benar menurut UUD 1945184 menjadi 
kurang tepat. Sebab sebagaimana diatur dalam PMK dan yang terjadi di dalam 
praktik, pengujian formil tidak hanya mencakup prosedur pembentukan 
tetapi juga hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, sebagaimana 
masalah  Nomor 018/PUU-I/2003 Pengujian UU Nomor 45 Tahun 1999 
yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pemekaran 
Provinsi Papua pada  UUD 1945, di mana UU Nomor 45 Tahun 1999 
tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya bertentangan dengan UUD 1945 
dalam hal pemberlakuannya setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 
2001 tentang Otonomi Khusus Papua.185
Dalam praktiknya, luasnya istilah pengujian formal juga dapat ditemui 
dalam hal adanya tindak pidana dalam pembentukan UU. Dalam Pasal 16 
ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam 
masalah  Pengujian UU diatur bahwa dalam hal pemohon mendalilkan 
adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan UU yang dimohonkan 
pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara pemeriksaan 
permohonan atau menunda putusan.186 Tidak adanya tindak pidana 
dalam proses pembentukan undang-undang yaitu prinsip dan prosedur 
pembentukan undang-undang yang sudah lazim dalam doktrin ilmu hukum 
dan praktik legislasi, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 
1945 yang menyatakan Negara Indonesia yaitu negara hukum; 
adanya tindak pidana penyuapan atau korupsi dalam pembentukan suatu 
undang-undang juga bertentangan dengan asas pembentukan peraturan 
perundang-undangan yang baik yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 
2004, khususnya asas keterbukaan.187
Permohonan pengujian formil dapat diajukan bersamaan dengan 
pengujian materiil. Contoh masalah  yang mengajukan permohonan pengujian 
formal dan pengujian materil sekaligus, dan dalam pengujian formalnya 
selain sebab  proses pembentukannya, juga sebab  UU yang diajukan 
permohonan mengandung cacat hukum sebab  dalam pembentukannya diduga telah terjadi tindak pidana penyuapan (walaupun lalu dalam 
perbaikan permohonannya, Pemohon menarik dalil ini ), yaitu Putusan 
masalah  Nomor 009-014/PUU-III/2005 perihal Pengujian UU Nomor 30 
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada  UUD 1945.188 Dalam bagian 
Menimbang, mengenai dugaan terjadi tindak pidana, Mahkamah Konstitusi 
mengemukakan sebagai berikut.
Menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 10 MK, Mahkamah tidak berwenang untuk 
memeriksa, mengadili, dan memutus masalah  tindak pidana dalam proses pembentukan 
undang-undang. Pasal 16 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/
PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam masalah  Pengujian Undang-Undang 
(PMK Nomor 06/PMK/2005), seandainya Pemohon dapat menunjukkan adanya 
bukti-bukti yang cukup mengenai telah terjadinya tindak pidana korupsi dalam 
pembentukan suatu undang-undang, Mahkamah dapat menghentikan sementara 
pemeriksaan permohonan atau menunda putusan dan memberitahukan kepada pejabat 
yang berwenang untuk menindaklanjuti adanya sangkaan tindak pidana dimaksud. Lagi 
pula Pemerintah dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah 
Konstitusi pada tanggal 14 Juni 2005 menyatakan KPK telah memberikan klarifikasi 
tidak ada nya tindak pidana korupsi dalam pembahasan UU JN. Hal mana dalam 
persidangan ternyata tidak dibantah oleh para Pemohon sebagaimana mestinya, sehingga 
tidak ada  cukup alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan penerapan 
Pasal 16 ayat (2) PMK ini  di atas.189
2. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan 
ini  diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa 
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan 
dengan UUD 1945.190 Mengenai hal ini  diatur lebih lanjut dalam 
Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara 
dalam masalah  Pengujian Undang-Undang, mengatur mengenai pengujian 
materiil sebagai berikut: “Pengujian materiil yaitu pengujian UU yang 
berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU 
dianggap bertentangan dengan UUD 1945.”191
Harun Alrasid mengatakan hak menguji material ialah 
mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan 
atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.192 Jimly Asshiddiqie 
berpendapat bahwa pengujian materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih 
tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu 
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.193 Beliau 
menjelaskan lebih lanjut: “Misalnya, berdasar prinsip ’lex specialis derogate 
legi generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan 
tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi 
peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula 
dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang ada  di dalamnya dinilai 
oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih 
tinggi sesuai dengan prinsip ’lex superiori derogate legi inferiori’.
194
Maruarar Siahaan menjelaskan bahwa pengujian UU pada  UUD 
tidak dapat hanya dilakukan pada  pasal tertentu saja akan tetapi UUD 
harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari Pembukaan dan 
Batang Tubuh.195 Dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 
2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pengujian materil pada 
ayat, pasal, dan/atau bagian UU, dan dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 
2003 tentang Mahkamah Konstitusi juga diatur bahwa putusan Mahkamah 
Konstitusi menyatakan tentang ayat, pasal, dan/atau bagian UU, akan tetapi 
dalam hal salah satu pasal atau pasal-pasal tertentu ini  memicu  
UU secara keseluruhan tidak dapat dilaksanakan sebab nya, maka tidak hanya 
pada ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dinyatakan bertentangan dengan 
UUD, akan tetapi keseluruhan UU ini  yang dinyatakan bertentangan 
dengan UUD. Contoh putusan berkaitan dengan hal ini  yaitu 
dalam Putusan Nomor 11/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 9 
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan serta pada Putusan masalah  
Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 20 Tahun 
2002 tentang Ketenagalistrikan pada  UUD 1945. Dalam pertimbangan 
Putusan masalah  Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU 
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan pada  UUD 1945, 
Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
…meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya 
yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68, khususnya yang menyangkut 
unbundling dan kompetisi, akan tetapi sebab  pasal-pasal ini  yaitu  jantung 
dari UU Nomor 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU 
Ketenagalistrikan yaitu kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan. Hal ini  tidak sesuai dengan jiwa dan semangat 
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang yaitu  norma dasar perekonomian nasional 
Indonesia.196
Bahwa dalam hal salah satu pasal atau pasal-pasal tertentu yang 
diajukan permohonan untuk diuji pada  UUD memicu  UU secara 
keseluruhan tidak dapat dilaksanakan sebab nya, maka tidak hanya pada ayat, 
pasal, dan/atau bagian UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD, 
akan tetapi keseluruhan UU ini  yang dinyatakan bertentangan dengan 
UUD, juga dikenal pada Constitutional Court di Korea Selatan. Dalam Article 
45 the Constitutional Court Act, diatur bahwa: “The Constitutional Court shall 
decide only whether or not the requested statute or any provision of the statute are 
unable to enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision, 
a decision of unconstitutionality may be made on the whole statute.”197
D. Kedudukan Hukum Pemohon (Legal
Standing)198
Dalam Black’s Law Dictionary, Standing disebut pula sebagai standing to 
sue, yang diartikan sebagai: “A party’s right to make a legal claim or seek judicial 
enforcement of a dutybor right.”199 Dijelaskan pula:
To have standing in federal court, a plaintiff must show (1) that the challenged conduct 
has conduct has caused the plaintiff actual injury, and (2) that the interest sought to 
be protected is within the zone of interests meant to be regulated by the statutory or 
constitutional guarantee in question.200
Pengertian kedudukan hukum (legal standing) dikemukakan oleh Harjono 
sebagai berikut: ”Legal standing yaitu keadaan di mana seseorang atau suatu 
pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh sebab  itu mempunyai hak 
untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa 
atau masalah  di depan Mahkamah Konstitusi.”201 Pemohon yang tidak 
memiliki kedudukan hukum (legal standing) akan menerima putusan MK 
yang menyatakan permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Kedudukan hukum (legal standing) mencakup syarat formal sebagaimana 
ditentukan dalam UU, dan syarat materiil yaitu kerugian hak dan/atau 
kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dimohonkan 
pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut: 
Pemohon yaitu pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan 
konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan warga  hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai 
dengan perkembangan warga  dan prinsip Negara Kesatuan 
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.203
Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 
tentang Mahkamah Konstitusi ini  diatur lebih lanjut dengan ketentuan 
yang sama dalam Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman 
Beracara dalam masalah  Pengujian Undang-Undang.204 Jimly Asshiddiqie 
mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan 
hukum (legal standing) pemohon dalam masalah  pengujian UU pada  
UUD di Mahkamah Konstitusi, yaitu: 
Keempat pihak atau subjek hukum ini  di atas (perorangan WNI, kesatuan 
warga  hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara 
–pen), pertama-tama haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang 
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 
ini . Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya 
memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-kewenangan 
tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, hak-hak atau 
kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah dirugikan oleh berlakunya 
Undang-Undang yang bersangkutan.205
 Abdul Mukthie Fadjar mengatakan kedudukan hukum 
pemohon (legal standing) yaitu  masalah yang rumit dan memerlukan 
pengkajian lebih lanjut, termasuk diantaranya mengenai pemohon 
perseorangan dan kesatuan warga  hukum adat.206 Pada Mahkamah Konstitusi di Negara Korea Selatan, Article 111 Constitution of Korea 
mengatur bahwa ada  beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi, 
antara lain kewenangan menguji konstitusionalitas UU pada  UUD (the 
constitutionality of a law upon the request of the courts) dan kewenangan pengaduan 
konstitusional (constitutional complaint as prescribed by Act).207 berdasar 
Article 111 Constitution of Korea, pemohon yang memiliki legal standing dalam 
menguji konstitusionalitas UU pada  UUD yaitu pengadilan, dan 
dalam Article 41 (1) the Constitutional Court Act diatur bahwa pemohon yang 
memiliki legal standing yaitu peradilan biasa (ordinary court) yang sedang 
menangani sebuah masalah  yang meragukan konstitusionalitas UU yang terkait 
dengan masalah  ini .208 sedang  perorangan yaitu  legal standing 
bagi permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint).209
1. Perorangan Warga Negara Indonesia
Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 
2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur bahwa: “Yang dimaksud dengan 
“perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan 
sama.”210 Dalam praktiknya ada  masalah  yang pemohonnya yaitu 
perorangan dalam arti individual, maupun sebagai kelompok orang yang 
mempunyai kepentingan yang sama, dan sudah banyak putusan mengenai 
masalah  yang pemohonnya yaitu individual maupun oleh kelompok 
orang yang memiliki kepentingan yang sama. masalah  yang pemohonnya 
individual antara lain yaitu pada masalah  Nomor 17/PUU-VI/2008 perihal 
Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan 
UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada  UUD Negara 
RI Tahun 1945,211 sedang  masalah  yang pemohonnya kelompok orangyang mempunyai kepentingan yang sama antara lain yaitu pada masalah  
pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada  
UUD 1945. Dalam masalah  ini , yaitu masalah  Nomor 058/PUU-II/2004 
Pemohon sebanyak 53 orang,212 pada masalah  Nomor 059/PUU-II/2004 
Pemohon sebanyak 16 orang,213 pada masalah  Nomor 060/PUU-II/2004 
Pemohon petani sebanyak 868 orang,214 sedang  pada masalah  Nomor 
008/PUU-III/2005 Pemohon sebanyak 2063 orang,215 selain itu juga ada  
Pemohon tunggal pada masalah  Nomor 063/PUU-II/2004.216 Total jumlah 
Pemohon dalam masalah  ini  mencapai 3001 pemohon. 
Dalam hal pengujian UU berdasar Pasal 51 ayat (1) UU 
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Pemohon 
haruslah warga negara Indonesia (WNI). Dalam praktiknya pernah terjadi 
permohonan pengujian UU oleh 3 warga negara asing (WNA) yaitu 
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang 
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada  UUD. 
Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa permohonan pengujian UU 
yang diajukan oleh ketiga WNA tidak dapat diterima (niet ontvankelijk 
verklaard).217 pada  putusan ini ada  dissenting opinion dari 3 orang 
Hakim Konstitusi berkaitan kedudukan hukum (legal standing) pemohon 
WNA, yaitu Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Hakim Konstitusi Achmad 
Roestandi, dan Hakim Konstitusi Harjono.218
Hakim Konstitusi Harjono mengatakan pengakuan hak asasi 
dalam Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia memakai  kata 
“setiap orang”, sehingga pengakuan hak ini  diberikan kepada setiap 
orang, termasuk didalamnya WNA, dan argumen lainnya yaitu bahwa 
ada  UU yang dibentuk tidak hanya untuk mengatur WNI tetapi juga 
WNA, sehingga jika Mahkamah Konstitusi menolak dengan argumentasi 
pemohonnya yaitu WNA, maka akan memicu  tertundanya kepastian 
hukum sebab  harus menunggu WNI mengajukan permohonan.219 Hakim 
Konstitusi Achmad Roestandi mengemukakan argumentasi tidak berdasar 
atas status warga negara akan tetapi berdasar apakah bertentangan dengan UUD 1945 ataukah tidak, sehingga sebab  Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 
menyatakan hak hidup yaitu hak asasi yang tidak dapat dikurangi 
dalam keadaan apa pun, maka pidana mati yang tujuan utamanya mencabut 
hak hidup seseorang bertentangan dengan UUD 1945.220 Hakim Konstitusi 
Laica Marzuki selain mengemukakan argumentasi bahwa kata “setiap orang” 
dalam UUD 1945 tidak hanya mencakup citizen right, tapi juga equal right 
bagi setiap orang dalam wilayah RI, juga mengatakan pidana mati 
bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.221
ada  perbedaan mengenai kualifikasi pemohon harus warga negara 
dari negara yang bersangkutan. Dalam sebuah penelitian, beberapa negara 
mengatur bahwa WNA dapat menjadi pemohon dalam permohonan 
pengujian UU di Mahkamah Konstitusi, yaitu Negara Georgia dan Republik 
Ceko.222 Mahkamah Konstitusi Mongolia juga mengakui legal standing 
WNA dan mereka yang tanpa kewarganegaraan yang tinggal secara sah 
di wilayah ini .223 Di Negara Republik Federal Jerman, dalam Pasal 
90 ayat (1) BverGG diatur bahwa setiap orang (jedermann) berhak untuk 
mengajukan permohonan sejauh ia mampu memegang hak-hak dasar.224
Hak-hak dasar yang tidak terbatas hanya pada WN Jerman juga menjadi 
hak WNA, bahkan dalam sudut pandang tertentu WNA sering disamakan 
dengan WN Jerman dalam hal UU.225 Hal ini  dapat dilihat dalam 
Putusan Bundesverfassungsgericht tanggal 22 Mei 2006, di mana WNA (Maroko) 
menganggap bahwa usaha  pencegahan data screening (Rasterpfaendung) 
yang dilakukan oleh The Federal Policy Agency (Bundeskriminalamt) guna 
mengantisipasi bahaya teroris sesudah peristiwa 11 September 2001 
bertentangan dengan the right for informational self-determination yang dijamin 
Grundgesetz Republik Federasi Jerman.226
2. Kesatuan warga  Hukum Adat
Jimly Asshiddiqie mengemukakan perbedaan antara warga  hukum 
adat dan kesatuan warga  hukum adat yaitu sebagai berikut: 
warga  yaitu kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama 
sebagai suatu community atau society, sedang  kesatuan warga  menunjuk kepada 
pengertian warga  organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi 
dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan 
perkataan lain warga  hukum adat sebagai unit organisasi warga  hukum 
adat itu haruslah dibedakan dari warga  hukum adatnya sendiri sebagai isi dari 
kesatuan organisasinya itu.227
Pengakuan dan penghormatan pada  kesatuan warga  hukum 
adat diatur sejak sebelum perubahan UUD 1945. Dalam Penjelasan 
Pasal 18 UUD 1945 dijelaskan bahwa ada  sekitar 250 zelfbesturende 
landschappen dan volksgemeenschappen, seperti marga, desa, dan negeri.228
Pengakuan pada  warga  hukum adat sebelum perubahan UUD 
1945, juga ada  dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu 
Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 5 Tahun 1960 
tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 
1966 tentang Pertambangan, dan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang 
Kehutanan. 
Sesudah perubahan UUD 1945, pengakuan dan penghormatan pada  
kesatuan warga  hukum adat diatur lalu dalam Pasal 18B ayat (2) 
dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945, yang mengatur sebagai 
berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan warga  
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan 
sesuai dengan perkembangan warga  dan prinsip Negara Kesatuan 
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”229 Pengakuan 
pada  warga  hukum adat sesudah perubahan UUD 1945, juga 
ada  dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU 
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999 
tentang HAM, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 
UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun 
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pada level 
pemerintahan daerah juga dibentuk berbagai peraturan daerah (Perda) dan 
keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan desa adat, diantaranya: 
di Provinsi Sumatera Barat dengan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang 
Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari yang diubah dengan Perda Nomor 
2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, di Provinsi 
Bali dengan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah
dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003, dan Keputusan Bupati Tana Toraja 
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.230 Dalam dunia 
internasional, hak-hak warga  hukum adat juga diakui sebagaimana 
diatur dalam United Nation Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples
yang disahkan Sidang Umum PBB 13 September 2007.
Pengakuan pada  kesatuan warga  hukum adat dalam UUD 
1945 dan memicu  salah satu syarat formal permohonan pengujian 
UU yaitu kesatuan warga  hukum adat dengan berbagai kualifikasi 
yang telah diatur dalam UUD, yaitu:231
1. sepanjang masih hidup; dan 
2. sesuai dengan perkembangan warga ; dan 
3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur 
dalam undang-undang. 
berdasar Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, 
ada  beberapa persyaratan warga  hukum adat yang diakui oleh 
negara, yaitu:232
1. sepanjang menurut kenyataan masih ada;
2. sesuai dengan kepentingan nasional, dan 
3. tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 
Ketentuan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 
mengatur bahwa warga  hukum adat diakui keberadaannya jika menurut 
kenyataannya memenuhi unsur antara lain1. warga nya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas; dan 
4. memiliki pranata.
Dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 
31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku 
terrhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu 
kesatuan warga  hukum adat dapat dikatakan secara de facto masih 
hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang 
bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:234
1. adanya warga  yang warganya memiliki perasaan kelompok (in￾group feeling);
2. adanya pranata pemerintahan adat;
3. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
4. adanya perangkat norma hukum adat;
5. khusus pada kesatuan warga  hukum adat yang bersifat teritorial, 
harus memiliki unsur adanya wilayah tertentu.
Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 
perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan 
Kota Tual di Provinsi Maluku pada  UUD 1945, tentang kesatuan 
warga  hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai 
dengan perkembangan warga  jika  kesatuan warga  hukum 
adat ini :235
1. Keberadaannya telah diakui berdasar UU yang berlaku sebagai 
pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam 
warga  dewasa ini, baik UU yang bersifat umum maupun bersifat 
sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain 
maupun dalam peraturan daerah.
2. Substansi hak-hak tradisional ini  diakui dan dihormati oleh warga 
kesatuan warga  yang bersangkutan maupun warga  yang lebih 
luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 
perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota 
Tual di Provinsi Maluku terrhadap UUD 1945, tentang kesatuan warga  
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan RI, yaitu jika  kesatuan warga  hukum adat ini  tidak 
mengganggu eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai sebuah kesatuan politik 
dan kesatuan hukum yaitu jika:236
1. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara 
Kesatuan RI.
2. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan 
peraturan perundang-undangan.
Contoh masalah  berkaitan dengan kesatuan warga  hukum adat 
yaitu Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 dimana pemohon mendalilkan 
UU pembentukan Kota Tual sebab  pemekaran Kabupaten Maluku 
Tenggara menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual memicu  
warga  hukum adat pemohon yang berada di luar tempat kedudukan 
pemohon berpotensi membentuk kesatuan warga  hukum adat sendiri 
lepas dari kekuasaan adat dan warga  adat para pemohon, tidak memiliki
legal standing dalam mengajukan permohonan pengujian UU Pembentukan 
Kota Tual.237
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum 
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diperoleh klasifikasi 
dari perwakilan dari kesatuan warga  hukum adat dalam bermasalah  di 
Mahkamah Konstitusi.
Badan Hukum Publik atau Privat
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian badan hukum, yaitu: 
“badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak 
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan 
perhubungan hukum pada  orang lain atau badan lain.”239 Pengertian 
badan hukum juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: 
...subjek badan-hukum yang tidak lain yaitu badan atau organisasi yang berisi 
sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dan dengan 
tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui mana hak dan 
kewajiban mereka sebagai pribadi untuk hal-hal yang tertentu diserahkan sepenuhnya 
menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan.240
Badan hukum dapat dibagi berdasar penggolongan hukum, yaitu 
golongan hukum publik dan hukum perdata, sehingga badan hukum dapat 
dibagi ke dalam badan hukum publik dan badan hukum perdata.241 Menurut 
Van der Grinten, badan hukum publik (publiekrechterlijke rechtspersonen) 
yaitu badan hukum yang organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum 
publik, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, tetapi 
kebadanan hukumnya pada prinsipnya juga berlaku hukum perdata, kecuali 
UU menentukan lain, dalam ini  ialah jika  badan-badan hukum 
publik itu menjalankan tindakan dalam rangka kepentingan umum.242 Badan 
hukum privat (privaatrechterlijke rechtspersonen) menurut Van der Grinten 
yaitu jika  badan hukum itu organisasi dan strukturnya dikuasai oleh 
hukum perdata
Perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum privat 
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu terletak pada kepentingan 
yang diwakilinya dan pada aktivitas yang dijalankan oleh badan hukum 
ini , apakah berkaitan dengan hubungan hukum yang bersifat publik 
atau bersifat perdata.244 Soenawar Soekowati mengemukakan kriteria untuk 
menentukan perbedaan badan hukum publik dan badan hukum perdata 
yaitu sebagai berikut:
a) dilihat dari cara pendiriannya/terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan 
konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang￾undang atau peraturan-peraturan lainnya, juga meliputi kriteria berikut;
b) lingkungan kerjanya, yaitu – apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum 
itu pada umumnya dengan publik/umum atau melakukan perbuatan-perbuatan 
hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan hukum yang sama dengan 
publik/umum atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu yaitu  badan 
hukum publik; demikian pula dengan kriteria;
c) mengenai wewenangnya, yaitu – apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa 
(negara) diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau peraturan 
yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia yaitu badan hukum 
publik.245
Yang penting dalam badan hukum keperdataan yaitu badan-badan 
hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang 
perorangan.246 Dalam Putusan masalah  Nomor 002/PUU-I/2003 perihal 
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas pada  
UUD Negara RI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan 
untuk menentukan jenis badan hukum Pemohon yaitu berdasar 
Anggaran Dasar perkumpulan yang mengajukan permohonan, jika tujuan 
perkumpulan ini  yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum, 
maka dikategorikan sebagai badan hukum publik.247 Berkaitan dengan 
putusan masalah  ini , Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan 
bahwa: “Tetapi pemberian legal standing pada  LSM yang bergerak 
di bidang Public Interest Advocacy ini  yaitu  kemajuan yang 
cukup jauh tertama dalam pengujian undang-undang yang sarat dengan 
kepentingan umum dan HAM, standing Pemohon harus diperkenankan 
secara luasYang perlu mendapat perhatian yaitu bahwa badan hukum publik dapat 
mendirikan suatu badan hukum keperdataan, misalnya negara mendirikan 
yayasan, PT negara, atau daerah otonomi mendirikan bank-bank daerah.249
Siegfried Bross mengatakan ada  perbedaan antara badan 
hukum publik dan swasta, yaitu bahwa badan hukum swasta dalam negeri 
memiliki hak-hak dasar sejauh hak-hak dasar ini  menurut hakikatnya 
dapat diterapkan pada badan hukum swasta ini , walaupun demikian 
badan hukum publik dapat mengajukan pertanyaan perihal kemampuan 
mereka mempunyai hak-hak dasar jika  dalam melaksanakan tugas￾tugasnya mereka dirugikan sedemikian rupa sebagaimana badan hukum 
swasta dapat dirugikan.250
Jimly Asshidiqie merinci 4 (empat) macam badan hukum, yaitu:251
1. Badan hukum yang mewakili kepentingan umum dan menjalankan 
aktivitas di bidang hukum publik, seperti Komisi Pemilihan Umum 
yang bertugas menetapkan keputusan tentang partai politik yang berhak 
mengikuti pemilihan umum.
2. Badan hukum yang mewakili kepentingan publik dan menjalankan 
aktivitas di bidang hukum perdata, seperti Bank Indonesia yang 
yaitu  Bank Sentral dan mengadakan serta menandatangani 
perjanjian jual beli valuta asing dengan badan usaha lainnya.
3. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya tetapi 
menjalankan aktivitas di bidang hukum publik, seperti yayasan yang 
dibentuk pribadi untuk pemberian fasilitas kesehatan bagi orang 
miskin.
4. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya dan 
menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata, seperti koperasi.
Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan 
pada  masalah  yang pemohonnya yaitu  badan hukum publik 
maupun badan hukum perdata. masalah  yang pemohonnya yaitu  
badan hukum perdata dapat dilihat dalam Putusan Nomor 8/PUU-V/2007 
perihal Pengujian UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU 
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada  UUD Negara 
RI Tahun 1945, di mana pemohon pada masalah  ini  yaitu Koperasi Ruang Hidup 100 Juta Generasi Muda (Koperasi Proyek ‘RH-100-GM’).252
Contoh lainnya yaitu dalam Putusan masalah  Nomor 005/PUU-I/2003 
perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada  
UUD 1945, dimana pemohon pada masalah  ini  yaitu Persatuan 
Sulih Suara Indonesia (PERSUSI) dan Komunitas Televisi Indonesia 
(KOMTEVE).253
masalah  yang pemohonnya yaitu  badan hukum publik dapat 
dilihat dalam Putusan masalah  Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian 
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada  UUD Negara 
RI Tahun 1945, dimana pemohonnya yaitu Komisi Penyiaran Indonesia 
(KPI).254 Contoh lainnya yaitu dalam Putusan Nomor 54/PUU-VI/2008
perihal Pengujian UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU 
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai pada  UUD Negara RI Tahun 
1945 yang pemohonnya yaitu Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat 
(Gubernur Nusa Tenggara Barat).255
4. Lembaga Negara
Jimly Asshiddiqie mengatakan lembaga negara yaitu lawan 
kata lembaga swasta, lembaga warga  (Organisasi Non Pemerintah atau 
Non Governmental Organizatios), sehingga lembaga apa saja yang dibentuk 
bukan sebagai lembaga warga  yaitu lembaga negara.256 Lembaga negara 
memiliki istilah lain, yaitu lembaga pemerintahan dan lembaga pemerintahan 
non-departemen, yang pembentukannya bervariasi yaitu berdasar UUD, 
berdasar UU, atau berdasar Keputusan Presiden.257
Untuk menentukan derajat kelembagaan, Jimly Asshiddiqie 
mengemukakan teori yang disebutnya dengan teori tentang norma sumber 
legitimasi, yaitu, “Apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau 
yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara itu berkait dengan 
siapa yang yaitu  sumber atau pemberi kewenangan pada  lembaga 
negara yang bersangkutan.”258 berdasar teori ini , maka di tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu:259
1. Lembaga yang dibentuk berdasar UUD (ditambah dengan UU 
dan Keputusan Presiden).
Lembaga negara pada tingkatan ini antara lain yaitu Presiden, Wakil 
Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MA, dan BPK, yang kewenangannya 
diatur dalam UUD dan dirinci dalam UU, sedang  pengangkatan 
para anggotanya ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
2. Lembaga yang dibentuk berdasar UU (ditambah dengan Keputusan 
Presiden).
Lembaga pada tingkatan ini antara lain yaitu Kejaksaan Agung, 
Komisi Pemilihan Umum, dan lain-lain. Pengangkatan para anggotanya 
ditetapkan dalam Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi 
negara tertinggi.
3. Lembaga yang dibentuk berdasar Peraturan Pemerintah (ditambah 
dengan Keputusan Presiden).
Lembaga ini mendapatkan kewenangannya murni bersumber dari 
Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya 
yaitu  kebijakan Presiden.
4. Lembaga yang dibentuk berdasar Peraturan Menteri (ditambah 
dengan Peraturan Menteri).
Dibentuk atas inisiatif Menteri sesuai dengan beban tanggung 
jawabnya.
Sebagaimana Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan juga mengemukakan 
bahwa lembaga negara yang memiliki legal standing yaitu lembaga negara 
yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, tetapi juga lembaga 
negara sebagai auxiliary institution yang dalam praktiknya banyak dibentuk 
dengan UU.260 Maruarar Siahaan berpendapat bahwa lembaga negara yang 
memiliki legal standing dalam pengujian UU lebih luas dari lembaga negara 
yang memperoleh kewenangannya dari UUD.261 Dikemukakan pula bahwa 
lembaga negara yang dibentuk dengan UU dapat mengajukan permohonan 
pengujian UU yang menghapuskan lembaga negara ini  jika ada  
asas atau prinsip dalam UUD 1945 yang dilanggar, termasuk di dalamnya 
pelampauan kewenangan (detournement de pouvoir) dan penyalahgunaan 
kekuasaan (abus de pouvoir).Dari berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan Putusan 
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU 
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada  UUD Negara RI 
Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa istilah lembaga 
negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang keberadaannya atas perintah 
konstitusi, tetapi ada juga lembaga negara yang dibentuk atas perintah 
UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan 
perundang-undangan di bawah UU.263
Selain lembaga-lembaga negara yang telah dikemukakan, lembaga 
negara lainnya yaitu DPRD. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan masalah  
Nomor 018/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 45 Tahun 1999 
yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pemekaran 
Provinsi Papua pada  UUD 1945, menerima permohonan DPRD sebagai 
pihak yang memiliki legal standing sebagai lembaga negara yang mengalami 
kerugian konstitusional dengan terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat 
berdasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi 
Irian Jaya Barat yang dianggap tidak berlaku dengan diundangkannya UU 
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.264
Lembaga negara yang terkait dengan permohonan yaitu lembaga 
negara yang terkait dengan pembentukan UU yang dimohon untuk diuji, 
yaitu:265
1. DPR.
2. Presiden.
3. DPD.
4. Lembaga lain yang mempunyai kepentingan dengan UU yang 
bersangkutan.
5. Kerugian Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional
Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi diatur bahwa: “Pemohon yaitu pihak yang menganggap hak dan/
atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU.”266 Dalam 
ketentuan ini  ada  istilah hak konstitusional serta kewenangan konstitusional. Hak konstitusional terkait dengan hak asasi manusia (HAM) 
yang dijamin dalam UUD,267 sedang  kewenangan konstitusional terkait 
dengan kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam 
UUD.
Sebelum perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai hak konstitusional 
selain diatur dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945, juga diatur 
dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34 UUD 
1945.268 Walaupun dilihat dari segi kuantitas, jumlah pasal ini  tidak 
banyak, akan tetapi untuk UUD yang dibuat sebelum disusunnya Universal 
Declaration of Human Rights, tentu yaitu  hal yang membanggakan, 
di mana dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 sudah diatur hak 
bangsa untuk menentukan nasib sendiri, yang tidak diatur dalam Universal 
Declaration of Human Rights.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif yang meyakini bahwa penjajahan 
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh sebab nya penjajahan 
harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan 
hak kemerdekaannya yang yaitu  hak asasi kolektifnya. Selain itu, alinea ini 
mengandung pernyataan subjektif, yaitu sebagai wujud dari aspirasi bangsa Indonesia 
sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan. Hal itu berarti bahwa setiap hak 
atau sifat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan 
juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.269
Sebelum perubahan UUD 1945, selain dalam Pasal 27 hingga Pasal 31, 
dan Pasal 34 UUD 1945, pengaturan tentang HAM juga diatur antara lain 
dalam Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan 
Panitia-Panitia Ad hoc MPRS yang Bertugas Melakukan Penelitian Lembaga￾Lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara 
Lembaga-Lembaga Negara menurut Sistem UUD 1945, Penyusunan
Rencana Pelengkap UUD 1945, dan Penyusunan Perincian HAM, 270
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM,271 Ketetapan MPR 
Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN,272 UU Nomor 5 Tahun 1998 
tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or 
Degrading Treatment or Punishment, Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 
1998 tentang Pengesahan Convention (Number 87) Concerning Freedom of 
Association and Protection of the Right to Organize, UU Nomor 20 Tahun 
1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum 
Bagi Pekerja, UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 
Nomor 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan, UU Nomor 26 Tahun 
1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak 
Pidana Subversi, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 
Setelah perubahan UUD 1945, maka banyak ketentuan mengenai 
HAM dirumuskan dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XA dari Pasal 
28A hingga Pasal 28J Perubahan Kedua UUD 1945.273 Ketentuan dalam 
UUD 1945, jika dirinci butir demi butir, mencakup prinsip-prinsip dasar 
sebagai berikut:
1) Setiap orang berhak untuk hidup. 
2) Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
3) Setiap orang berhak membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
4) Setiap orang berhak melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
5) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan 
berkembang.
6) Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan 
diskriminasi.
7) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan 
kebutuhan dasarnya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi 
kesejahteraan umat manusia.
8) Setiap orang berhak mendapat pendidikan, demi meningkatkan kualitas 
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
9) Setiap orang berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan 
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan 
demi kesejahteraan umat manusia.
10) Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan 
haknya secara kolektif untuk membangun warga , bangsa, dan 
negaranya.
11) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan 
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan 
hukum.
12) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat 
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
13) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam 
pemerintahan.
14) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
15) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
16) Setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran.
17) Setiap orang bebas memilih pekerjaan
18) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan.
19) Setiap orang berhak memilih tempat tinggal di wilayah negara, 
meninggalkannya, dan berhak kembali lagi ke negara.
22) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan 
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
23) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat (freedom of association).
24) Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul (freedom of peaceful 
assembly).
25) Setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom 
of expression)26) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi 
guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
27) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, 
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan memakai  segala 
jenis saluran yang tersedia.
28) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, 
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.
29) Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman 
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yaitu  
hak asasi.
30) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan lain 
yang merendahkan derajat martabat manusia. 
31) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
32) Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin.
33) Setiap orang berhak bertempat tinggal (yang baik dan sehat).
34) Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan 
sehat.
35) Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
36) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus 
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai 
persamaan dan keadilan.
37) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan 
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
38) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik ini  
tidak boleh diambil alih secara sewenang-sewenang oleh siapa pun.
39) Setiap orang berhak untuk hidup.
40) Setiap orang berhak untuk tidak disiksa.
41) Setiap orang berhak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani.
42) Setiap orang berhak atas kebebasan beragama.
43) Setiap orang berhak untuk tidak diperbudak.
44) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
45) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang 
berlaku surut.274
Selain dalam UUD 1945, pengaturan tentang HAM diatur pula dalam 
berbagai ketentuan, antara lain dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang 
Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 
HAM, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang 
Pengesahan International Covenant on Economic , Social, and Cuiltural Rights, 
UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on 
Civil and Political Rights, 
Jimly Asshiddiqie mengatakan jika  digabungkan materi 
mengenai HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 dengan berbagai 
ketentuan yang ada  dalam UU yang berkenaan dengan HAM, maka 
keseluruhan norma hukum mengenai HAM terdiri dari 37 butir ketentuan 
yang dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu kelompok 
ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil; hak-hak politik, ekonomi, sosial, 
dan budaya; hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan yang terakhir 
mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia.275
Mengenai kewajiban asasi manusia, sudah diusulkan sejak tahun 1997 
oleh Inter Action Council sebuah naskah untuk melengkapi Universal Declaration 
of Human Rights, yaitu Universal Declaration of Human Rensposibilities.
276
Walaupun belum dibicarakan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa￾Bangsa (PBB), naskah ini yaitu  hal yang perlu diperhatikan sebab 
sebagaimana dikemukakan dalam Pendahuluan dari naskah ini , memang 
sudah waktunya untuk berbicara mengenai kewajiban manusia.277 Konsep 
mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep 
kebebasan dan tanggung jawab, tetapi juga untuk mendamaikan berbagai 
ideologi, kepercayaan, serta pandangan politik yang di masa lampau dianggap 
saling bertentangan.278 Prinsip dasar yaitu tercapainya kebebasan sebanyak 
mungkin, tetapi pada saat yang sama berkembangnya rasa tanggung jawab 
penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu semakin berkembang.279
Universal Declaration of Human Rensposibilities terdiri dari 19 pasal, dan 
yang menarik yaitu dikemukakannya apa yang disebut dengan Golden Rule
(Kaidah Emas), yaitu beberapa kaidah yang berisikan kewajiban-kewajiban 
untuk melengkapi hak-hak, yaitu: • If we have a right to life, than we have the obligation to respect life.
• If we have a right to liberty, than we have the obligation to respect other’s people liberty.
• If we have a right to security, then we have a obligation to create the conditions 
for every human being to enjoy human security.
• If we have a right to partake in our country’s political process and elect our leaders, 
than we have the obligation to parcitipate and ensure that the best leaders are chosen.
• If we have a right to work under just and favorable conditions to provide a descent 
standart of living for ourselves and our families, we also have the obligation to 
perform to the best of our capacities.
• If we have a right to freedom of thought, conscience and religion, we also have 
the obligation to respect other’s thoughts or religious principles.
• If we have a right to be educated, than we have the obligation to learn as 
much as our capabilities allow us and, where possible, share our knowledge 
and experience with others.
• If we have a right to benefit from the earth’s bounty, then we have the obligation 
to respect, care for and restore the earth and its natural resources.280
Yves Meny dan Andrew Knapp mengemukakan salah satu dari tugas 
dari hakim-hakim konstitusi (constitutional judges) yaitu melindungi hak-hak 
dan kebebasan (protect rights and liberties),281 dan perlindungan pada  hak￾hak konstitusional di Indonesia dilakukan dengan mengajukan permohonan 
kepada Mahkamah Konstitusi bagi pihak yang menganggap hak dan/atau 
kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU. Beberapa 
putusan terkait dengan hak-hak konstitusional warga negara antara lain 
dalam Putusan masalah  Nomor 011/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU 
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, 
dan DPRD pada  UUD 1945282 dan Putusan masalah  Nomor 013/
PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang 
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2002 
tentang Pembentukan UU Nomor 15 Tahun 2002 jo Peraturan Pemerintah 
Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme pada  UUD 1945.Pada umumnya penentuan mengenai ada tidaknya legal standing pemohon 
dilakukan sebelum majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan akan 
meneruskan ke tahap pemeriksaan pada  pokok masalah  atau tidak. 
Walaupun demikian, pembuktian mengenai legal standing khususnya berkaitan 
dengan bukti kerugian bukanlah hal yang mudah, sehingga pembuktian legal 
standing seringkali harus dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pada  
pokok masalah .284 Hal itu memicu  di dalam praktik beracara, sambil 
memeriksa pokok masalah , majelis hakim tetap memperkenankan para pihak 
mempersoalkan legal standing pemohon, yang berakibat walaupun telah 
memeriksa pokok masalah , amar putusan Mahkamah Konstitusi dapat saja 
berupa mengabulkan, menerima ataupun menyatakan tidak dapat menerima 
permohonan pemohon.285
Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 perihal 
Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 
pada  UUD Negara RI Tahun 1945,286 dan pada putusan-putusan 
lalu telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan 
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah 
Konstitusi harus memenuhi 5 syarat, yaitu:287
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh 
UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional ini  oleh Pemohon dianggap dirugikan 
oleh berlakunya UU yang dimohonkan pengujian.
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitutiosional ini  harus bersifat spesifik 
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang 
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan 
berlakunya UU yang dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian 
hak dan/atau kewenangan konstitutsional seperti yang didalilkan tidak akan atau 
tidak lagi terjadi.
Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika ada  
tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki legal 
standing, yaitu:
1. Adanya kerugian yang timbul sebab  adanya pelanggaran kepentingan pemohon 
yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat, yaitu; spesifik (khusus) 
dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan potensial).2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan 
berlakunya satu undang-undang (ini  terkait pengujian konstitusionalitas undang￾undang);
3. Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian 
akan dihindarkan atau dipulihkan.288
E. Posisi Pembentuk Undang-Undang Dalam
Persidangan
Dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi diatur bahwa:
(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti 
yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), hakim 
konstitusi wajib memanggil para pihak yang bermasalah  untuk memberi keterangan 
yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara 
yang terkait dengan permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan 
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak 
permintaan hakim konstitusi diterima.289
Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 
mengatur bahwa; ”Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/
atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa 
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 
Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.”290
berdasar ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU 
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ini , Mahkamah 
Konstitusi dapat meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden 
dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan permohonan pengujian UU 
yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. DPD dapat menjadi 
pihak dalam masalah  permohonan pengujian UU.291 Mahkamah Konstitusi 
harus mendengar dan/atau meminta keterangan DPD dalam hal UU 
yang diuji, dalam proses pembentukannya melibatkan peranan DPD, 
sedang  dalam hal pengujian UU yang materi muatannya berkaitan 
dengan kepentingan daerah, meskipun tidak melibatkan DPD dalam proses 
pembentukannya maka Mahkamah Konstitusi dapat mendengar dan/atau meminta keterangan DPD.292 Contoh masalah  dimana pemerintah dan 
DPR memberikan keterangan dalam persidangan yaitu pada Putusan 
Nomor 003/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 1999 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah 
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada  
UUD 1945.293
Kata ”dapat” dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berarti bahwa meminta 
keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dan/atau Wakil Presiden 
tidak harus dilakukan, sangat tergantung dari pertimbangan Mahkamah 
Konstitusi pada  masalah  yang sedang diperiksa. Sangat mungkin terjadi 
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak meminta keterangan kepada DPR, 
DPD, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan permohonan 
pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Hal 
ini  dapat dilihat antara lain dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/ 
2009 perihal Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan 
Umum Presiden dan Wakil Presiden pada  UUD Negara RI Tahun 
1945. Dalam bagian menimbang putusan ini , Mahkamah Konstitusi 
mengatakan dalam masalah  ini, Mahkamah Konstitusi memandang 
tidak perlu mendengar keterangan Pemerintah maupun DPR berdasar 
Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003, MK, selain itu mengingat urgensi 
dari masalah  ini telah mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden 
dan Wakil Presiden, maka keperluan untuk diputus secara cepat pada hari 
yang sama sejak masalah  diperiksa dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 
45 ayat (9) UU MK, yang berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi 
dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus 
diberitahukan kepada para pihak.”294
berdasar Pasal 38 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang 
Mahkamah Konstitusi, maka para pihak yang yaitu  lembaga negara 
dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasar 
peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 25 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU, 
Presiden dapat memberikan kuasa kepada subtitusi kepada Menteri Hukum 
dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang 
terkait dengan pokok permohonan.295 sedang  DPR diwakili oleh 
Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/atau 
anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota 
DPR yang ditunjuk.296 berdasar ketentuan ini  maka Mahkamah 
Konstitusi tidak mengadili pembentuk UU, dan kedudukan pembentuk 
UU hanya sebagai pihak terkait yang diperlukan keterangannya, dan dalam 
memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis, dapat diwakili 
oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara ini .
MPR yaitu  lembaga yang berwenang membentuk UUD, 
sedang  DPR, DPD, Presiden yaitu  lembaga-lembaga negara yang 
berwenang membentuk UU. Oleh sebab itu dalam masalah  pengujian UU 
pada  UUD dipandang perlu untuk mendengarkan keterangan dari 
pihak-pihak ini . Dalam Pasal 25 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005 
tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU dikemukakan 
lebih lanjut tentang yang dimaksud dengan keterangan Presiden, yaitu: ”...
keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai 
pokok permohonan yang yaitu  hasil koordinasi dari Menteri-Menteri 
dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait.”297 sedang  yang dimaksud 
dengan Keterangan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) PMK 
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam masalah  Pengujian 
UU adalah: ”...keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang 
berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang 
berkenaan dengan pokok masalah .”298 Keterangan ini  diperlukan agar 
Mahkamah Konstitusi mendapatkan keterangan lebih mendalam mengenai 
latar belakang serta maksud dari materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian 
undang-undang yang diuji, atau pun hubungan antara ayat, pasal, dan/atau 
bagian undang-undang yang diuji ini  dengan ayat, pasal, dan/atau 
bagian lainnya sehingga didapatkan makna yang utuh.Keterangan Tambahan (ad informandum
judicem)
Dalam Black’s Law Dictionary, ad informandum judicem berarti: “ for the 
judge’s information.”299 Dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK Nomor 06/
PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam masalah  Pengujian UU, 
diatur tentang ad informandum sebagai berikut: “pihak yang perlu didengar 
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau 
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan 
tetapi sebab  kepeduliannya yang tinggi pada  permohonan dimaksud.”300
Dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang 
Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU, pihak yang perlu didengar 
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu  “Pihak Terkait yang 
berkepentingan tidak langsung” dalam masalah  pengujian UU pada  
UUD 1945.301
Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (5) huruf b PMK 
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian 
UU, harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi melalui 
Panitera, yang lalu jika  disetujui ditetapkan dengan Ketetapan 
Ketua Mahkamah Konstitusi yang salinannya disampaikan kepada yang 
bersangkutan, dan jika tidak disetujui maka pemberitahuan tertulis akan 
disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua 
Mahkamah Konstitusi.302
Dalam masalah  Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU 
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada  UUD Negara RI 
Tahun 1945, ada  pihak terkait tidak langsung yang memberikan 
keterangan tambahan (ad informandum) yaitu Indonesia Media Law and Policy 
Centre (IMLPC) yang memberikan keterangan tambahan (ad informandum) 
berdasar dokumen risalah sidang dari Sekretariat Komisi I DPR RI.303
Dalam praktiknya, keterangan tambahan (ad informandum) tidak hanya 
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK Nomor 06/PMK/2005, yaitu “pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara 
langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi sebab  kepeduliannya 
yang tinggi pada  permohonan dimaksud”, akan tetapi dalam hal wakil 
pemerintah belum mendapat surat kuasa dari Pemerintah -dalam ini  
menteri- juga keterangannya dimasukkan sebagai keterangan tambahan (ad 
informandum).
G. Proses Persidangan Dan Pembuktian
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, 
Alat Bukti diatur dalam Bagian Keempat pada Pasal 36 hingga Pasal 
38, Pemeriksaan Pendahuluan diatur dalam Bagian Kelima Pasal 39, 
Pemeriksaan Persidangan diatur dalam Bagian Keenam Pasal 40 hingga 
Pasal 44, sedang  RPH dan Pengucapan Putusan diatur dalam Bagian 
Ketujuh tentang Putusan dari Pasal 45 hingga Pasal 49. Dalam PMK 
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian 
UU, mengenai proses persidangan dan pembuktiuian diatur dalam BAB 
V tentang Pemeriksaan, di mana pemeriksaan terdiri dari Pemeriksaan 
Pendahuluan (Pasal 10 dan Pasal 11) dan Pemeriksaan Persidangan (Pasal 
12 - Pasal 17). Pembuktian diatur dalam Bagian Ketiga dalam Pasal 18 
sampai dengan Pasal 28. Rapat Permusyawaratan Hakim diatur dalam 
Bab VI tentang Rapat Permusyawaratan Hakim pada Pasal 29 dan Pasal 
30, sedang  Putusan diatur dalam Bab VII tentang Putusan dari Pasal 
31 sampai dengan Pasal 43.
1. Proses Persidangan
berdasar materi persidangan, dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 
tentang Mahkamah Konstitusi diatur bahwa sidang Mahkamah Konstitusi 
terdiri atas Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, dan 
Pengucapan Putusan, sedang  dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang 
Pedoman Beracara Dalam masalah  Pengujian UU, sidang Mahkamah 
Konstitusi dibagi dalam 4 jenis sidang, yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, 
Pemeriksaan Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan 
Pengucapan Putusan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 
Konstitusi, RPH diatur dalam Bagian Ketujuh tentang Putusan.
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk 
umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi.304 Pemeriksaan Pendahuluan dapat dilakukan 
dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang 
Hakim Konstitusi.305 Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Hakim memeriksa 
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi: kewenangan 
Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan 
pokok permohonan.306
Dalam pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, 
Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk 
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling 
lambat 14 (empat belas) hari, termasuk pula nasihat yang berkaitan dengan 
pelaksanaan tertib persidangan.307 Dalam hal Hakim berpendapat bahwa 
permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki dalam sidang 
panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada 
Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.308
Panel Hakim yang telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan 
melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat 
Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya. Laporan ini  
termasuk pula usulan penggabungan pemeriksaan persidangan pada  
beberapa masalah  dalam hal memiliki kesamaan pokok permohonan, 
memiliki keterkaitan materi permohonan, atau pertimbangan atas permintaan 
Pemohon.309 Pemeriksaan penggabungan masalah  dapat dilakukan setelah 
mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi.310
b. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka 
untuk umum,311 dan dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh RPH, 
pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim.312 Pemeriksaan 
persidangan mencakup:1. pemeriksaan pokok permohonan;
2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;313
3. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
4. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
5. mendengarkan keterangan saksi;
6. mendengarkan keterangan ahli;
7. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau
9. peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat 
dijadikan petunjuk;
10. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, 
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik 
atau yang serupa dengan itu.314
Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah 
Konstitusi dan jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah 
dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat 
meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa.315
Dalam hal Mahkamah Konstitusi menentukan perlu mendengar 
keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD, maka keterangan ahli 
dan/atau saksi didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan 
DPD, kecuali ditentukan lain demi kelancaran persidangan.316
Baik saksi maupun ahli, dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/
Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau dipanggil atas perintah 
Mahkamah Konstitusi.317 Pemeriksaan saksi maupun ahli dimulai dengan 
menanyakan identitas (nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan 
dan alamat) dan kesediaan diambil sumpah atau janji sesuai dengan 
agamanya.318 Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang 
diajukan oleh para pihak dilakukan dalam