Home » mahkamah konstitusi 4 » mahkamah konstitusi 4
Rabu, 13 September 2023
Istilah pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi
berdasar subjek yang melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji,
dan waktu pengujian. Dilihat dari segi subjek yang melakukan pengujian,
pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial
review), pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review), maupun
pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review).
Dalam praktiknya, Indonesia mengatur ketiga pengujian ini .
Pengujian oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur
baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945. Pengaturan mengenai
pengujian peraturan perundang-undangan pada masa berlakunya UUD 1945,
pertama kali diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian pada
peraturan perundang-undangan di bawah UU pada UU yaitu
kewenangan Mahkamah Agung. Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU pada UU
tetap yaitu kewenangan Mahkamah Agung, sedang pengujian UU
pada UUD yaitu kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam
kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui
UU (bersama-sama Presiden). Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian
UU pada UUD berada pada MPR berdasar Ketetapan MPR RI
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai
wewenang menguji hanya pada peraturan perundang-undangan di bawah UU pada UU pada masa sebelum perubahan UUD 1945, menurut
Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa UU sebagai konstruksi
yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat,
sebaiknya diuji oleh MPR. Praktik ketatanegaraan yang pernah ada yaitu
Ketetapan MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali
Produk-produk Legislatif Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945,
Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review)
yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan
membahas serta menyetujui UU (bersama dengan Presiden), pengujian
oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan pada peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Salah satu
contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) yaitu dalam
pengujian Peraturan Daerah (Perda). Untuk melaksanakan pemerintahan
daerah, penyelenggara pemerintahan daerah (pemerintah daerah dan DPRD)
membentuk Perda, yang akan ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD. berdasar Pasal 136 UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. berdasar Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat membatalkan Perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dalam
Peraturan Presiden.
Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari
segi objeknya, sebab harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan,
sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga
sangat mungkin ada kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari objek
yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas:
(1) seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive
acts) dan tindakan administratif (administrative action) pada UUD
diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan. Pengujian dengan
objek seperti ini dilakukan dalam masalah yang kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang memakai common law system.
Secara umum, istilah yang dipakai yaitu judicial review, akan tetapi
perlu diperhatikan lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara
yang memakai sistem hukum civil law system, sebagimana yang
dikemukakan dalam poin b berikut.
(2) UU pada UUD diuji oleh hakim-hakim pada Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court), sedang peraturan perundang-undangan di
bawah UU pada UU diuji oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung
(Supreme Court). Pengujian dengan pembagian objek seperti ini secara
umum tidak dilakukan dalam masalah yang kongkrit, dan secara umum
dilakukan pada negara yang memakai sistem hukum civil law.
Jimly Asshiddiqie membedakan jika pengujian itu dilakukan pada
norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract
norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut sebagai
“judicial review”, akan tetapi jika ukuran pengujian itu dilakukan dengan
memakai konstitusi sebagai alat pengukur maka, maka kegiatan
pengujian semacam itu dapat disebut sebagai “constitutional review” atau
pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas
dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality
of law).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa definisi dari
suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara
yang bersangkutan, sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan
sebuah negara. Istilah judicial review selain dipakai pada negara yang
memakai sistem hukum common law juga dipakai dalam membahas
tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: ‘Judicial Review’ yaitu usaha
pengujian oleh lembaga judicial pada produk hukum yang ditetapkan
oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip ‘checks and balances’ berdasar sistem pemisahan
kekuasaan negara (separation of power).135 Walaupun memakai istilah yang
sama yaitu judicial review, akan tetapi sebab sistem hukum yang menjadi
landasan berbeda, maka definisinya akan berbeda, sebab pada negara dengan
common law system tidak dikenal adanya suatu peradilan khusus yang
mengadili pegawai administrasi negara sebagaimana dalam civil law system,
maka pada tindakan administrasi negara juga diadili di peradilan umum.
Hal itu memicu pada negara yang menganut common law system hakim
berwenang menilai tidak hanya peraturan perundang-undangan, tapi juga
tindakan administrasi negara pada UUD.
Pembagian lainnya yaitu berdasar waktu pengujian, yaitu
pengujian yang dilakukan sesudah UU disahkan (judicial review) dan
pengujian yang dilakukan sebelum UU disahkan (judicial preview). Jimly
Asshiddiqie mengemukakan perbedaan judicial review dan judicial preview
sebagai berikut:
Jika pengujian itu dilakukan pada norma hukum yang bersifat abstrak
dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian
itu dapat disebut sebagai “judicial review”. Akan tetapi jika pengujian itu
bersifat “a priori”, yaitu pada rancangan undang-undang yang telah
disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya,
maka namanya bukan “judicial review”, melainkan “judicial preview”.139
Berbeda dengan Republik Indonesia, Republik Federasi Jerman, dan
beberapa negara yang pengujiannya dilakukan setelah UU disahkan, di
Negara Perancis, Dewan Konstitusi (Constitutional Council) berwenang
melakukan pengujian UU secara a priori atau bersifat preventif (ex ante review).140 Constitutional Council berwenang menguji RUU dan ratifikasi
pada perjanjian internasional berdasar permintaan Presiden, Perdana
Menteri, atau Ketua dari masing-masing majelis/kamar dalam Parlemen,
atau 60 anggota dari masing-masing majelis/kamar dalam Parlemen. Jika
perjanjian internasional ini dinyatakan bertentangan dengan UUD,
maka ratifikasi atau persetujuannya tidak dapat dilakukan kecuali terjadi
perubahan UUD. Dalam hal RUU dinyatakan inkonstitusional maka
RUU ini tidak dapat diundangkan atau dilaksanakan.
B. Ruang Lingkup Pengertian Undang-Undang
yang Diuji
berdasar Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, salah
satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU pada UUD. Dalam Pasal 1 angka 3
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan diatur bahwa: “Undang-Undang yaitu Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden.”
Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur pembatasan pada UU yang dapat diuji oleh Mahkamah
Konstitusi, yaitu UU yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945,
akan tetapi pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat
berdasar putusan Mahkamah Konstitusi sejak 12 April 2005.145 Mahkamah
Konstitusi pertama kali mengesampingkan ketentuan UU sebab dinilai
bertentangan dengan UUD 1945 dalam Putusan masalah Nomor 004/
PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung pada UUD 1945, yaitu ketentuan dalam Pasal 50
UU Nomor 24 Tahun 2003. Dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan
masalah Nomor 004/PUU-I/2003, dikemukakan sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang melainkan organ UndangUndang dasar. Ia yaitu Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undang-undang.
Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan
tugas dan kewenangan konstitusionalnya yaitu Undang-Undang Dasar. Kalaupun
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas
wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subjek dalam sistem hukum
nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya
dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 lalu dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam masalah Nomor 006/PUU-II/2004 Perihal
Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada UUD
1945, dengan alasan hukum yang sama yang dikemukakan dalam putusan
masalah Nomor 004/PUU-I/2003 Perihal Pengujian UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada UUD 1945. Hal ini
memicu Mahkamah Konstitusi berwenang menguji seluruh UU
pada UUD 1945 tanpa ada pembatasan waktu tahun pengesahan
UU.
Menurut Jimly Asshiddiqie, selain UU, Mahkamah Konstitusi juga
berwenang menguji Perpu, sebab Perpu yaitu UU dalam arti
materiel (wet in materiele zin).147 Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji
konstitusionalitas Perpu pada UUD 1945 untuk mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan yaitu Perpu yang sewenang-wenang,
sedang masa berlaku Perpu ini hingga persidangan DPR berikutnya
untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Pengaturan tentang Perpu ada dalam Pasal 22 UUD 1945.
Pengaturan mengenai Perpu ada dalam Bab VII UUD 1945 dengan
judul bab DPR. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Perpu
yaitu bagian dari kewenangan DPR (membentuk UU) akan tetapi
sebab dibentuk dalam keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa,
maka Perpu dibentuk dengan cara yang khusus yaitu oleh Presiden
tanpa persetujuan DPR terlebih dulu. Persetujuan DPR diberikan dalam
persidangan berikut, dan jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan
Pemerintah ini harus dicabut.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Perpu diatur sebagai peraturan perundangundangan yang setingkat dengan UU149 dan dalam Pasal 9 UU Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur
bahwa, ”Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sama dengan materi muatan Undang-Undang.”150 Pengujian Perpu pada
UUD sudah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan masalah Nomor 138/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
pada UUD Negara RI Tahun 1945.
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktik dikenal adanya dua
macam hak menguji (toetsingsrecht), yaitu: hak menguji formal (formele
toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele toetsingsrecht).152 Dalam Pasal
24C Perubahan Ketiga UUD 1945 diatur bahwa salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi yaitu untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU pada UUD.
Dalam pembahasan perubahan UUD 1945, istilah menguji material UU
juga menjadi wacana, akan tetapi setelah menyadari bahwa istilah ini menjadi
sempit sebab tidak termasuk pengujian formal, maka perumus UUD
memakai istilah “menguji UU pada UUD” tanpa pencatuman
kata “materiel”.153
Pembatasan dalam pengujian UU pada UUD oleh Mahkamah
Konstitusi yaitu dalam hal masalah nebis in idem. Nebis in idem diatur dalam
Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
”pada materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali.” Akan tetapi pada
pengaturan ini ada pengecualian, yaitu sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam masalah Pengujian UU, yang mengatur sebagai berikut:
”Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU
pada muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan masalah
yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali
dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan
yang bersangkutan berbeda.”
pada pendapat yang menyatakan dengan pengaturan
Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam masalah Pengujian UU ini maka Mahkamah Konstitusi telah
memperluas kewenangannya, dan membuat aturan hukum materiil, maka
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/
PMK/2005 dalam rangka melengkapi hukum acara sebagaimana Penjelasan
Pasal 86 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
mengatur bahwa ”Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan
adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasar
Undang-Undang ini.”155 Kemungkinan kekosongan jika hanya memakai
Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dapat
terjadi sebab pada materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali, sehingga jika
sudah dilakukan pengujian maka sebuah UU tidak dapat diuji lagi, padahal
faktanya :
1. Ketentuan UU dapat diuji dengan ketentuan pasal yang berbeda dari
UUD 1945.
2. Ketentuan UU yang telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi secara bersyarat (conditionally constitutional), yang dalam
pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Itulah sebabnya diatur ketentuan dalam Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UndangUndang, dalam rangka melengkapi hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktiknya, masalah nebis in idem diterima untuk disidangkan
selain pada masalah Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada UUD Negara RI Tahun1945,157 juga dalam masalah Nomor 5/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada UUD
1945, yang memiliki kesamaan dengan masalah Nomor 006/PUU-III/2005
perihal pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pada UUD 1945. Dalam kesimpulan masalah Nomor 5/PUU-V/2007
perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pada UUD 1945, dijelaskan:
2. Dengan telah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi masalah Nomor 006/
PUU-V/2005 tentang Pengujian UU Pemda amar putusannya menyatakan
Pasal 59 ayat (3) UU Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal
28D ayat (3) UUD 1945. Maka sangat ironis dan inkonsisten jika Mahkamah
menyatakan amar putusannya dalam masalah a quo tidak sama dengan putusan
Mahkamah sebelumnya dalam masalah yang sama.
Dengan telah dilakukan pengujian pada beberapa pasal dari UU Pemda dalam
masalah Nomor 006/PUU-III/2005, di mana objek permohonannya juga yaitu
objek permohonan dari Pemohon a quo, maka menurut Pasal 60 UU MK pada
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.
Ketentuan hukum acara ini yaitu rambu-rambu bagi seorang hakim untuk tidak
melakukan tindakan sewenang-wenang (willekeur) dalam rangka memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu masalah .
Selain itu ruang lingkup undang-undang juga meliputi pengertian undang-undang
dalam arti formil (wet in formele zin) dan undang-undang dalam arti materiil (wet
in materiele zin). Maria Farida mengemukakan tentang kedua pengertian itu sebagai
berikut.
Di Belanda apa yang disebut kan dengan `wet in formele zin` yaitu setiap keputusan
yang dibentuk oleh Regering dan Staten Generaal, terlepas apakah isinya suatu
`penetapan` (beschikking) atau „peraturan“ (regeling), jadi dalam ini dilihat dari
pembentuknya, atau siapa yang membentuk, sedang yang disebut `wet in materiele
zin` yaitu setiap keputusan yang dibentuk baik oleh Regering dan Staten Generaal
maupun keputusan-keputusan lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga lainnya selain
Regering dan Staten Generaal asalkan isinya yaitu peraturan yang mengikat umum
(algemene verbindende voorschriften).
ada perbedaan dalam hal penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia
dan pembagian kategori dari istilah wet in formele zin dan wet in materiele
zin. A. Hamid S. Attamimi dan Maria Farida Indrati menerjemahkan wet
in formele zin sebagai UU, sedang wet in materiele zin sebagai peraturan perundang-undangan.160 Hal ini dipicu sebab menurut keduanya,
penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini harus memperhatikan
pengertian dari kedua istilah ini dalam konsep hukum di negara
Belanda dan di negara Indonesia. Pendapat lainnya yaitu pendapat yang
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yang menerjemahkan wet in formele zin
sebagai UU formil, sedang wet in materiele zin sebagai UU materiil.161
Selain perbedaan penerjemahan istilah, ada perbedaan lainnya,
yaitu perbedaan dalam kategori, di mana kategorisasi antara wet in formele
zin dan wet in materiele zin dilakukan secara ketat atau kaku, dan pendapat
bahwa membagi wet in formele zin dan wet in materiele zin sebagai sebuah
sudut pandang/perspektif saja sehingga tidak perlu dibedakan secara tegas.162
Pendapat pertama memicu sebuah UU dapat saja yaitu UU
formal akan tetapi bukan yaitu UU material sebab bukan yaitu
peraturan yang mengikat umum. Maria Farida Indrati mengemukakan
bahwa sebuah UU yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama
Presiden yaitu wet in formele zin dan sekaligus juga yaitu suatu
wet in materiele zin jika UU itu berisi suatu peraturan yang mengikat
umum.163 Van der Vlies mengemukakan UU yang bersifat formil akan
tetapi tidak bersifat material sebab tidak mengikat umum, yaitu UU
tentang APBN, UU tentang Naturalisasi, UU tentang Putera Mahkota
dan sebagainya. Pendapat ini memicu UU formal jika tidak
mengikat untuk umum, tidak dapat diuji secara material konstitusionalitasnya
ke Mahkamah Konstitusi.
Pendapat yang menyatakan membagi wet in formele zin dan wet in
materiele zin sebagai sebuah sudut pandang/perspektif berpendapat bahwa
tidak perlu dibedakan secara kaku sebab pada setiap UU di satu sisi
dapat dilihat dari segi formalnya dan di sisi lain dapat pula dilihat dari segi
materialnya secara sekaligus, juga bahwa daya ikat norma yang terkandung dalam setiap UU dapat dibedakan antara daya ikat yang bersifat umum dan
daya ikat yang bersifat spesifik, serta agar setiap UU yang bertentangan
dengan UUD dapat diuji.
masalah berkaitan pengujian pada UU formal seperti pengujian
UU tentang APBN, UU tentang pembentukan kabupaten, dan UU terkait
lembaga negara tertentu seperti UU tentang Komisi Yudisial, sudah diajukan
dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam praktiknya, Mahkamah
Konstitusi tidak membedakan antara UU formal dan UU material untuk
dijadikan objek pengujian berdasar Pasal 24C UUD 1945. Dalam
Putusan masalah Nomor 026/PUU-III/2005 perihal Pengujian UU Nomor
13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun 2005 pada UUD Negara RI
Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
i. Bahwa UUD 1945 maupun UU MK tidak membedakan jenis undang-undang
yang yaitu wewenang Mahkamah untuk mengujinya, sehingga tidak relevan
untuk membuat kategorisasi apakah yang diuji ini yaitu undang-undang
dalam arti formil atau undang-undang dalam arti materiil;
ii. Bahwa hierarki perundang-undangan menempatkan UUD 1945 sebagai hukum
dasar atau hukum yang tertinggi dengan mana berarti setiap undang-undang yang
dibawahnya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945;
iii. Bahwa meskipun angka-angka APBN yaitu lampiran dari UU APBN, namun
yaitu bagian yang tidak terpisahkan sehingga harus dibaca dalam satu kesatuan
dengan UU APBN, yang dengan demikian harus dipahami sebagai undang-undang
yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk mengujinya;
iv. Bahwa tugas dan wewenang untuk menjaga Konstitusi (the guardian of the
constitution) memberi kewenangan kepada Mahkamah untuk menguji dengan
memeriksa lalu memutus, apakah UU APBN ini telah sesuai dengan
hukum tertinggi yaitu UUD 1945;.
C. Pengujian Formil dan Materiil
1. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan
ini diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasar UUD 1945.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa: “Undang-Undang yaitu
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Sri Soemantri dan Harun Alrasid mendefinisikan pengujian formil
sebagaimana yang dikemukakan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan hak menguji formal yaitu wewenang untuk menilai, apakah
suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya, terjelma melalui
cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak,sedang Harun
Alrasid mengatakan hak menguji formal ialah mengenai prosedur
pembuatan UU.170 Akan tetapi apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie
yaitu pendapat yang mencakup berbagai aspek mengenai pengujian
formal. Jimly Asshiddiqie mengatakan secara umum, yang dapat
disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup
proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian
mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU.171 Juga dijelaskan
bahwa pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.172
Pengujian formil mengenai pembentukan UU tidak memenuhi
ketentuan berdasar UUD 1945 telah diputus dalam Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009 masalah pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada UUD
1945.173 Alasan permohonan oleh para Pemohon yaitu bahwa pengambilan
keputusan DPR tidak memenuhi syarat kuorum, pengambilan keputusan
Ketua DPR tidak memenuhi syarat pengambilan keputusan, dan pembahasan
UU Nomor 3 Tahun 2009 melanggar prinsip keterbukaan.ada beberapa hal dalam putusan ini terkait pengujian formil,
yaitu:
1. Dalam uji formil UU pada UUD 1945, yang menjadi ukuran
yaitu formalitas pembentukan UU, yang meliputi:175
a. institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk UU;
b. prosedur persiapan sampai dengan pengesahan UU yang meliputi
rencana dalam prolegnas, amanat Presiden, tahap-tahap yang
ditentukan dalam Tata Tertib DPR, serta kuorum DPR; dan
c. pengambilan keputusan, yaitu menyetujui secara aklamasi atau voting,
atau tidak disetujui sama sekali.
2. Pengujian formil mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
pengujian materiil, oleh sebab nya persyaratan legal standing yang telah
diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil tidak
dapat diterapkan begitu saja untuk pengujian formil.176 Syarat legal
standing dalam pengujian formil UU, yaitu bahwa Pemohon mempunyai
hubungan pertautan langsung dengan UU yang dimohonkan.177
Adapun syarat adanya hubungan pertautan langsung dalam pengujian
formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam
pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan Mahkamah Konstitusi,
sebab akan memicu sama sekali tertutup kemungkinannya bagi
anggota warga atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian secara formil.178
3. Dalam hal ada cacat prosedural dalam pembentukan UU yang
diajukan permohonan pengujian, namun demi asas kemanfaatan hukum,
UU yang dimohonkan ini tetap berlaku.Perkembangan pengujian formil dalam praktik, memicu kategori
pengujian formil tidak hanya mencakup pengujian atas proses pembentukan
UU. Dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, diatur asas-asas yang yaitu asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga yaitu
alat untuk melakukan pengujian formal, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan.180 Perkembangan pengujian formal mencakup pula pengujian
atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.181 Hal itu diatur
dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor
06/PMK/2005, yang mengatur sebagai berikut: “Pengujian formil yaitu
pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan halhal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).”182 Saldi Isra mengatakan proses pembentukan
UU yaitu masalah yang masih sering diperdebatkan dan sering
diabaikan dan/atau dilanggar aturan proses pembentukan UU, yaitu dalam
hal hubungan antara DPR dan DPD, partisipasi publik dalam pembentukan
UU, kehadiran anggota DPR dalam proses pengambilan keputusan di Rapat
Paripurna DPR, dan dalam hal terkuaknya praktik moral hazard berupa suap
dan/atau korupsi dalam proses pembentukan UU.183
Dalam praktiknya, pengujian formil terkait dengan pemberlakuan UU
terjadi dalam pengujian UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran
Provinsi Irian Jaya. Berkaitan dengan masalah ini , pendapat yang
menyatakan pengujian secara formil sebaiknya tidak dapat diajukan
oleh perorangan atau kelompok WNI, sebab pengujian UU secara formil
sebenarnya tidak mempermasalahkan pelanggaran hak konstitusional
perorangan warga warga Indonesia melainkan menguji apakah suatu UU dilahirkan melalui cara yang benar menurut UUD 1945184 menjadi
kurang tepat. Sebab sebagaimana diatur dalam PMK dan yang terjadi di dalam
praktik, pengujian formil tidak hanya mencakup prosedur pembentukan
tetapi juga hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, sebagaimana
masalah Nomor 018/PUU-I/2003 Pengujian UU Nomor 45 Tahun 1999
yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pemekaran
Provinsi Papua pada UUD 1945, di mana UU Nomor 45 Tahun 1999
tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya bertentangan dengan UUD 1945
dalam hal pemberlakuannya setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Papua.185
Dalam praktiknya, luasnya istilah pengujian formal juga dapat ditemui
dalam hal adanya tindak pidana dalam pembentukan UU. Dalam Pasal 16
ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
masalah Pengujian UU diatur bahwa dalam hal pemohon mendalilkan
adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan UU yang dimohonkan
pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara pemeriksaan
permohonan atau menunda putusan.186 Tidak adanya tindak pidana
dalam proses pembentukan undang-undang yaitu prinsip dan prosedur
pembentukan undang-undang yang sudah lazim dalam doktrin ilmu hukum
dan praktik legislasi, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan Negara Indonesia yaitu negara hukum;
adanya tindak pidana penyuapan atau korupsi dalam pembentukan suatu
undang-undang juga bertentangan dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun
2004, khususnya asas keterbukaan.187
Permohonan pengujian formil dapat diajukan bersamaan dengan
pengujian materiil. Contoh masalah yang mengajukan permohonan pengujian
formal dan pengujian materil sekaligus, dan dalam pengujian formalnya
selain sebab proses pembentukannya, juga sebab UU yang diajukan
permohonan mengandung cacat hukum sebab dalam pembentukannya diduga telah terjadi tindak pidana penyuapan (walaupun lalu dalam
perbaikan permohonannya, Pemohon menarik dalil ini ), yaitu Putusan
masalah Nomor 009-014/PUU-III/2005 perihal Pengujian UU Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada UUD 1945.188 Dalam bagian
Menimbang, mengenai dugaan terjadi tindak pidana, Mahkamah Konstitusi
mengemukakan sebagai berikut.
Menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 10 MK, Mahkamah tidak berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus masalah tindak pidana dalam proses pembentukan
undang-undang. Pasal 16 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/
PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam masalah Pengujian Undang-Undang
(PMK Nomor 06/PMK/2005), seandainya Pemohon dapat menunjukkan adanya
bukti-bukti yang cukup mengenai telah terjadinya tindak pidana korupsi dalam
pembentukan suatu undang-undang, Mahkamah dapat menghentikan sementara
pemeriksaan permohonan atau menunda putusan dan memberitahukan kepada pejabat
yang berwenang untuk menindaklanjuti adanya sangkaan tindak pidana dimaksud. Lagi
pula Pemerintah dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 14 Juni 2005 menyatakan KPK telah memberikan klarifikasi
tidak ada nya tindak pidana korupsi dalam pembahasan UU JN. Hal mana dalam
persidangan ternyata tidak dibantah oleh para Pemohon sebagaimana mestinya, sehingga
tidak ada cukup alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan penerapan
Pasal 16 ayat (2) PMK ini di atas.189
2. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan
ini diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan
dengan UUD 1945.190 Mengenai hal ini diatur lebih lanjut dalam
Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam masalah Pengujian Undang-Undang, mengatur mengenai pengujian
materiil sebagai berikut: “Pengujian materiil yaitu pengujian UU yang
berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU
dianggap bertentangan dengan UUD 1945.”191
Harun Alrasid mengatakan hak menguji material ialah
mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan
atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.192 Jimly Asshiddiqie
berpendapat bahwa pengujian materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih
tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.193 Beliau
menjelaskan lebih lanjut: “Misalnya, berdasar prinsip ’lex specialis derogate
legi generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan
tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi
peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula
dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang ada di dalamnya dinilai
oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih
tinggi sesuai dengan prinsip ’lex superiori derogate legi inferiori’.
194
Maruarar Siahaan menjelaskan bahwa pengujian UU pada UUD
tidak dapat hanya dilakukan pada pasal tertentu saja akan tetapi UUD
harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari Pembukaan dan
Batang Tubuh.195 Dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pengujian materil pada
ayat, pasal, dan/atau bagian UU, dan dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi juga diatur bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi menyatakan tentang ayat, pasal, dan/atau bagian UU, akan tetapi
dalam hal salah satu pasal atau pasal-pasal tertentu ini memicu
UU secara keseluruhan tidak dapat dilaksanakan sebab nya, maka tidak hanya
pada ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dinyatakan bertentangan dengan
UUD, akan tetapi keseluruhan UU ini yang dinyatakan bertentangan
dengan UUD. Contoh putusan berkaitan dengan hal ini yaitu
dalam Putusan Nomor 11/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan serta pada Putusan masalah
Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan pada UUD 1945. Dalam pertimbangan
Putusan masalah Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan pada UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
…meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya
yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68, khususnya yang menyangkut
unbundling dan kompetisi, akan tetapi sebab pasal-pasal ini yaitu jantung
dari UU Nomor 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU
Ketenagalistrikan yaitu kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan. Hal ini tidak sesuai dengan jiwa dan semangat
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang yaitu norma dasar perekonomian nasional
Indonesia.196
Bahwa dalam hal salah satu pasal atau pasal-pasal tertentu yang
diajukan permohonan untuk diuji pada UUD memicu UU secara
keseluruhan tidak dapat dilaksanakan sebab nya, maka tidak hanya pada ayat,
pasal, dan/atau bagian UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD,
akan tetapi keseluruhan UU ini yang dinyatakan bertentangan dengan
UUD, juga dikenal pada Constitutional Court di Korea Selatan. Dalam Article
45 the Constitutional Court Act, diatur bahwa: “The Constitutional Court shall
decide only whether or not the requested statute or any provision of the statute are
unable to enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision,
a decision of unconstitutionality may be made on the whole statute.”197
D. Kedudukan Hukum Pemohon (Legal
Standing)198
Dalam Black’s Law Dictionary, Standing disebut pula sebagai standing to
sue, yang diartikan sebagai: “A party’s right to make a legal claim or seek judicial
enforcement of a dutybor right.”199 Dijelaskan pula:
To have standing in federal court, a plaintiff must show (1) that the challenged conduct
has conduct has caused the plaintiff actual injury, and (2) that the interest sought to
be protected is within the zone of interests meant to be regulated by the statutory or
constitutional guarantee in question.200
Pengertian kedudukan hukum (legal standing) dikemukakan oleh Harjono
sebagai berikut: ”Legal standing yaitu keadaan di mana seseorang atau suatu
pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh sebab itu mempunyai hak
untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa
atau masalah di depan Mahkamah Konstitusi.”201 Pemohon yang tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) akan menerima putusan MK
yang menyatakan permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Kedudukan hukum (legal standing) mencakup syarat formal sebagaimana
ditentukan dalam UU, dan syarat materiil yaitu kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dimohonkan
pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
Pemohon yaitu pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan warga hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan warga dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.203
Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi ini diatur lebih lanjut dengan ketentuan
yang sama dalam Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam masalah Pengujian Undang-Undang.204 Jimly Asshiddiqie
mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan
hukum (legal standing) pemohon dalam masalah pengujian UU pada
UUD di Mahkamah Konstitusi, yaitu:
Keempat pihak atau subjek hukum ini di atas (perorangan WNI, kesatuan
warga hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara
–pen), pertama-tama haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003
ini . Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya
memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-kewenangan
tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, hak-hak atau
kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang bersangkutan.205
Abdul Mukthie Fadjar mengatakan kedudukan hukum
pemohon (legal standing) yaitu masalah yang rumit dan memerlukan
pengkajian lebih lanjut, termasuk diantaranya mengenai pemohon
perseorangan dan kesatuan warga hukum adat.206 Pada Mahkamah Konstitusi di Negara Korea Selatan, Article 111 Constitution of Korea
mengatur bahwa ada beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi,
antara lain kewenangan menguji konstitusionalitas UU pada UUD (the
constitutionality of a law upon the request of the courts) dan kewenangan pengaduan
konstitusional (constitutional complaint as prescribed by Act).207 berdasar
Article 111 Constitution of Korea, pemohon yang memiliki legal standing dalam
menguji konstitusionalitas UU pada UUD yaitu pengadilan, dan
dalam Article 41 (1) the Constitutional Court Act diatur bahwa pemohon yang
memiliki legal standing yaitu peradilan biasa (ordinary court) yang sedang
menangani sebuah masalah yang meragukan konstitusionalitas UU yang terkait
dengan masalah ini .208 sedang perorangan yaitu legal standing
bagi permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint).209
1. Perorangan Warga Negara Indonesia
Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur bahwa: “Yang dimaksud dengan
“perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama.”210 Dalam praktiknya ada masalah yang pemohonnya yaitu
perorangan dalam arti individual, maupun sebagai kelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama, dan sudah banyak putusan mengenai
masalah yang pemohonnya yaitu individual maupun oleh kelompok
orang yang memiliki kepentingan yang sama. masalah yang pemohonnya
individual antara lain yaitu pada masalah Nomor 17/PUU-VI/2008 perihal
Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada UUD Negara
RI Tahun 1945,211 sedang masalah yang pemohonnya kelompok orangyang mempunyai kepentingan yang sama antara lain yaitu pada masalah
pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada
UUD 1945. Dalam masalah ini , yaitu masalah Nomor 058/PUU-II/2004
Pemohon sebanyak 53 orang,212 pada masalah Nomor 059/PUU-II/2004
Pemohon sebanyak 16 orang,213 pada masalah Nomor 060/PUU-II/2004
Pemohon petani sebanyak 868 orang,214 sedang pada masalah Nomor
008/PUU-III/2005 Pemohon sebanyak 2063 orang,215 selain itu juga ada
Pemohon tunggal pada masalah Nomor 063/PUU-II/2004.216 Total jumlah
Pemohon dalam masalah ini mencapai 3001 pemohon.
Dalam hal pengujian UU berdasar Pasal 51 ayat (1) UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Pemohon
haruslah warga negara Indonesia (WNI). Dalam praktiknya pernah terjadi
permohonan pengujian UU oleh 3 warga negara asing (WNA) yaitu
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada UUD.
Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa permohonan pengujian UU
yang diajukan oleh ketiga WNA tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).217 pada putusan ini ada dissenting opinion dari 3 orang
Hakim Konstitusi berkaitan kedudukan hukum (legal standing) pemohon
WNA, yaitu Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Hakim Konstitusi Achmad
Roestandi, dan Hakim Konstitusi Harjono.218
Hakim Konstitusi Harjono mengatakan pengakuan hak asasi
dalam Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia memakai kata
“setiap orang”, sehingga pengakuan hak ini diberikan kepada setiap
orang, termasuk didalamnya WNA, dan argumen lainnya yaitu bahwa
ada UU yang dibentuk tidak hanya untuk mengatur WNI tetapi juga
WNA, sehingga jika Mahkamah Konstitusi menolak dengan argumentasi
pemohonnya yaitu WNA, maka akan memicu tertundanya kepastian
hukum sebab harus menunggu WNI mengajukan permohonan.219 Hakim
Konstitusi Achmad Roestandi mengemukakan argumentasi tidak berdasar
atas status warga negara akan tetapi berdasar apakah bertentangan dengan UUD 1945 ataukah tidak, sehingga sebab Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
menyatakan hak hidup yaitu hak asasi yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun, maka pidana mati yang tujuan utamanya mencabut
hak hidup seseorang bertentangan dengan UUD 1945.220 Hakim Konstitusi
Laica Marzuki selain mengemukakan argumentasi bahwa kata “setiap orang”
dalam UUD 1945 tidak hanya mencakup citizen right, tapi juga equal right
bagi setiap orang dalam wilayah RI, juga mengatakan pidana mati
bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.221
ada perbedaan mengenai kualifikasi pemohon harus warga negara
dari negara yang bersangkutan. Dalam sebuah penelitian, beberapa negara
mengatur bahwa WNA dapat menjadi pemohon dalam permohonan
pengujian UU di Mahkamah Konstitusi, yaitu Negara Georgia dan Republik
Ceko.222 Mahkamah Konstitusi Mongolia juga mengakui legal standing
WNA dan mereka yang tanpa kewarganegaraan yang tinggal secara sah
di wilayah ini .223 Di Negara Republik Federal Jerman, dalam Pasal
90 ayat (1) BverGG diatur bahwa setiap orang (jedermann) berhak untuk
mengajukan permohonan sejauh ia mampu memegang hak-hak dasar.224
Hak-hak dasar yang tidak terbatas hanya pada WN Jerman juga menjadi
hak WNA, bahkan dalam sudut pandang tertentu WNA sering disamakan
dengan WN Jerman dalam hal UU.225 Hal ini dapat dilihat dalam
Putusan Bundesverfassungsgericht tanggal 22 Mei 2006, di mana WNA (Maroko)
menganggap bahwa usaha pencegahan data screening (Rasterpfaendung)
yang dilakukan oleh The Federal Policy Agency (Bundeskriminalamt) guna
mengantisipasi bahaya teroris sesudah peristiwa 11 September 2001
bertentangan dengan the right for informational self-determination yang dijamin
Grundgesetz Republik Federasi Jerman.226
2. Kesatuan warga Hukum Adat
Jimly Asshiddiqie mengemukakan perbedaan antara warga hukum
adat dan kesatuan warga hukum adat yaitu sebagai berikut:
warga yaitu kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama
sebagai suatu community atau society, sedang kesatuan warga menunjuk kepada
pengertian warga organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi
dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan
perkataan lain warga hukum adat sebagai unit organisasi warga hukum
adat itu haruslah dibedakan dari warga hukum adatnya sendiri sebagai isi dari
kesatuan organisasinya itu.227
Pengakuan dan penghormatan pada kesatuan warga hukum
adat diatur sejak sebelum perubahan UUD 1945. Dalam Penjelasan
Pasal 18 UUD 1945 dijelaskan bahwa ada sekitar 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeenschappen, seperti marga, desa, dan negeri.228
Pengakuan pada warga hukum adat sebelum perubahan UUD
1945, juga ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu
Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun
1966 tentang Pertambangan, dan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Kehutanan.
Sesudah perubahan UUD 1945, pengakuan dan penghormatan pada
kesatuan warga hukum adat diatur lalu dalam Pasal 18B ayat (2)
dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945, yang mengatur sebagai
berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan warga
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan warga dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”229 Pengakuan
pada warga hukum adat sesudah perubahan UUD 1945, juga
ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pada level
pemerintahan daerah juga dibentuk berbagai peraturan daerah (Perda) dan
keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan desa adat, diantaranya:
di Provinsi Sumatera Barat dengan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari yang diubah dengan Perda Nomor
2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, di Provinsi
Bali dengan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah
dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003, dan Keputusan Bupati Tana Toraja
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.230 Dalam dunia
internasional, hak-hak warga hukum adat juga diakui sebagaimana
diatur dalam United Nation Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples
yang disahkan Sidang Umum PBB 13 September 2007.
Pengakuan pada kesatuan warga hukum adat dalam UUD
1945 dan memicu salah satu syarat formal permohonan pengujian
UU yaitu kesatuan warga hukum adat dengan berbagai kualifikasi
yang telah diatur dalam UUD, yaitu:231
1. sepanjang masih hidup; dan
2. sesuai dengan perkembangan warga ; dan
3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang.
berdasar Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria,
ada beberapa persyaratan warga hukum adat yang diakui oleh
negara, yaitu:232
1. sepanjang menurut kenyataan masih ada;
2. sesuai dengan kepentingan nasional, dan
3. tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Ketentuan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
mengatur bahwa warga hukum adat diakui keberadaannya jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain1. warga nya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas; dan
4. memiliki pranata.
Dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor
31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku
terrhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu
kesatuan warga hukum adat dapat dikatakan secara de facto masih
hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang
bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:234
1. adanya warga yang warganya memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling);
2. adanya pranata pemerintahan adat;
3. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
4. adanya perangkat norma hukum adat;
5. khusus pada kesatuan warga hukum adat yang bersifat teritorial,
harus memiliki unsur adanya wilayah tertentu.
Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007
perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kota Tual di Provinsi Maluku pada UUD 1945, tentang kesatuan
warga hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai
dengan perkembangan warga jika kesatuan warga hukum
adat ini :235
1. Keberadaannya telah diakui berdasar UU yang berlaku sebagai
pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam
warga dewasa ini, baik UU yang bersifat umum maupun bersifat
sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain
maupun dalam peraturan daerah.
2. Substansi hak-hak tradisional ini diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan warga yang bersangkutan maupun warga yang lebih
luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007
perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota
Tual di Provinsi Maluku terrhadap UUD 1945, tentang kesatuan warga
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan RI, yaitu jika kesatuan warga hukum adat ini tidak
mengganggu eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai sebuah kesatuan politik
dan kesatuan hukum yaitu jika:236
1. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan RI.
2. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Contoh masalah berkaitan dengan kesatuan warga hukum adat
yaitu Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 dimana pemohon mendalilkan
UU pembentukan Kota Tual sebab pemekaran Kabupaten Maluku
Tenggara menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual memicu
warga hukum adat pemohon yang berada di luar tempat kedudukan
pemohon berpotensi membentuk kesatuan warga hukum adat sendiri
lepas dari kekuasaan adat dan warga adat para pemohon, tidak memiliki
legal standing dalam mengajukan permohonan pengujian UU Pembentukan
Kota Tual.237
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diperoleh klasifikasi
dari perwakilan dari kesatuan warga hukum adat dalam bermasalah di
Mahkamah Konstitusi.
Badan Hukum Publik atau Privat
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian badan hukum, yaitu:
“badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan
perhubungan hukum pada orang lain atau badan lain.”239 Pengertian
badan hukum juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu:
...subjek badan-hukum yang tidak lain yaitu badan atau organisasi yang berisi
sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dan dengan
tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui mana hak dan
kewajiban mereka sebagai pribadi untuk hal-hal yang tertentu diserahkan sepenuhnya
menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan.240
Badan hukum dapat dibagi berdasar penggolongan hukum, yaitu
golongan hukum publik dan hukum perdata, sehingga badan hukum dapat
dibagi ke dalam badan hukum publik dan badan hukum perdata.241 Menurut
Van der Grinten, badan hukum publik (publiekrechterlijke rechtspersonen)
yaitu badan hukum yang organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum
publik, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, tetapi
kebadanan hukumnya pada prinsipnya juga berlaku hukum perdata, kecuali
UU menentukan lain, dalam ini ialah jika badan-badan hukum
publik itu menjalankan tindakan dalam rangka kepentingan umum.242 Badan
hukum privat (privaatrechterlijke rechtspersonen) menurut Van der Grinten
yaitu jika badan hukum itu organisasi dan strukturnya dikuasai oleh
hukum perdata
Perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum privat
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu terletak pada kepentingan
yang diwakilinya dan pada aktivitas yang dijalankan oleh badan hukum
ini , apakah berkaitan dengan hubungan hukum yang bersifat publik
atau bersifat perdata.244 Soenawar Soekowati mengemukakan kriteria untuk
menentukan perbedaan badan hukum publik dan badan hukum perdata
yaitu sebagai berikut:
a) dilihat dari cara pendiriannya/terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan
konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undangundang atau peraturan-peraturan lainnya, juga meliputi kriteria berikut;
b) lingkungan kerjanya, yaitu – apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum
itu pada umumnya dengan publik/umum atau melakukan perbuatan-perbuatan
hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan hukum yang sama dengan
publik/umum atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu yaitu badan
hukum publik; demikian pula dengan kriteria;
c) mengenai wewenangnya, yaitu – apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa
(negara) diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau peraturan
yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia yaitu badan hukum
publik.245
Yang penting dalam badan hukum keperdataan yaitu badan-badan
hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang
perorangan.246 Dalam Putusan masalah Nomor 002/PUU-I/2003 perihal
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas pada
UUD Negara RI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan
untuk menentukan jenis badan hukum Pemohon yaitu berdasar
Anggaran Dasar perkumpulan yang mengajukan permohonan, jika tujuan
perkumpulan ini yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum,
maka dikategorikan sebagai badan hukum publik.247 Berkaitan dengan
putusan masalah ini , Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan
bahwa: “Tetapi pemberian legal standing pada LSM yang bergerak
di bidang Public Interest Advocacy ini yaitu kemajuan yang
cukup jauh tertama dalam pengujian undang-undang yang sarat dengan
kepentingan umum dan HAM, standing Pemohon harus diperkenankan
secara luasYang perlu mendapat perhatian yaitu bahwa badan hukum publik dapat
mendirikan suatu badan hukum keperdataan, misalnya negara mendirikan
yayasan, PT negara, atau daerah otonomi mendirikan bank-bank daerah.249
Siegfried Bross mengatakan ada perbedaan antara badan
hukum publik dan swasta, yaitu bahwa badan hukum swasta dalam negeri
memiliki hak-hak dasar sejauh hak-hak dasar ini menurut hakikatnya
dapat diterapkan pada badan hukum swasta ini , walaupun demikian
badan hukum publik dapat mengajukan pertanyaan perihal kemampuan
mereka mempunyai hak-hak dasar jika dalam melaksanakan tugastugasnya mereka dirugikan sedemikian rupa sebagaimana badan hukum
swasta dapat dirugikan.250
Jimly Asshidiqie merinci 4 (empat) macam badan hukum, yaitu:251
1. Badan hukum yang mewakili kepentingan umum dan menjalankan
aktivitas di bidang hukum publik, seperti Komisi Pemilihan Umum
yang bertugas menetapkan keputusan tentang partai politik yang berhak
mengikuti pemilihan umum.
2. Badan hukum yang mewakili kepentingan publik dan menjalankan
aktivitas di bidang hukum perdata, seperti Bank Indonesia yang
yaitu Bank Sentral dan mengadakan serta menandatangani
perjanjian jual beli valuta asing dengan badan usaha lainnya.
3. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya tetapi
menjalankan aktivitas di bidang hukum publik, seperti yayasan yang
dibentuk pribadi untuk pemberian fasilitas kesehatan bagi orang
miskin.
4. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya dan
menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata, seperti koperasi.
Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan
pada masalah yang pemohonnya yaitu badan hukum publik
maupun badan hukum perdata. masalah yang pemohonnya yaitu
badan hukum perdata dapat dilihat dalam Putusan Nomor 8/PUU-V/2007
perihal Pengujian UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada UUD Negara
RI Tahun 1945, di mana pemohon pada masalah ini yaitu Koperasi Ruang Hidup 100 Juta Generasi Muda (Koperasi Proyek ‘RH-100-GM’).252
Contoh lainnya yaitu dalam Putusan masalah Nomor 005/PUU-I/2003
perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada
UUD 1945, dimana pemohon pada masalah ini yaitu Persatuan
Sulih Suara Indonesia (PERSUSI) dan Komunitas Televisi Indonesia
(KOMTEVE).253
masalah yang pemohonnya yaitu badan hukum publik dapat
dilihat dalam Putusan masalah Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada UUD Negara
RI Tahun 1945, dimana pemohonnya yaitu Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI).254 Contoh lainnya yaitu dalam Putusan Nomor 54/PUU-VI/2008
perihal Pengujian UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai pada UUD Negara RI Tahun
1945 yang pemohonnya yaitu Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat
(Gubernur Nusa Tenggara Barat).255
4. Lembaga Negara
Jimly Asshiddiqie mengatakan lembaga negara yaitu lawan
kata lembaga swasta, lembaga warga (Organisasi Non Pemerintah atau
Non Governmental Organizatios), sehingga lembaga apa saja yang dibentuk
bukan sebagai lembaga warga yaitu lembaga negara.256 Lembaga negara
memiliki istilah lain, yaitu lembaga pemerintahan dan lembaga pemerintahan
non-departemen, yang pembentukannya bervariasi yaitu berdasar UUD,
berdasar UU, atau berdasar Keputusan Presiden.257
Untuk menentukan derajat kelembagaan, Jimly Asshiddiqie
mengemukakan teori yang disebutnya dengan teori tentang norma sumber
legitimasi, yaitu, “Apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau
yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara itu berkait dengan
siapa yang yaitu sumber atau pemberi kewenangan pada lembaga
negara yang bersangkutan.”258 berdasar teori ini , maka di tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu:259
1. Lembaga yang dibentuk berdasar UUD (ditambah dengan UU
dan Keputusan Presiden).
Lembaga negara pada tingkatan ini antara lain yaitu Presiden, Wakil
Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MA, dan BPK, yang kewenangannya
diatur dalam UUD dan dirinci dalam UU, sedang pengangkatan
para anggotanya ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
2. Lembaga yang dibentuk berdasar UU (ditambah dengan Keputusan
Presiden).
Lembaga pada tingkatan ini antara lain yaitu Kejaksaan Agung,
Komisi Pemilihan Umum, dan lain-lain. Pengangkatan para anggotanya
ditetapkan dalam Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi
negara tertinggi.
3. Lembaga yang dibentuk berdasar Peraturan Pemerintah (ditambah
dengan Keputusan Presiden).
Lembaga ini mendapatkan kewenangannya murni bersumber dari
Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya
yaitu kebijakan Presiden.
4. Lembaga yang dibentuk berdasar Peraturan Menteri (ditambah
dengan Peraturan Menteri).
Dibentuk atas inisiatif Menteri sesuai dengan beban tanggung
jawabnya.
Sebagaimana Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan juga mengemukakan
bahwa lembaga negara yang memiliki legal standing yaitu lembaga negara
yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, tetapi juga lembaga
negara sebagai auxiliary institution yang dalam praktiknya banyak dibentuk
dengan UU.260 Maruarar Siahaan berpendapat bahwa lembaga negara yang
memiliki legal standing dalam pengujian UU lebih luas dari lembaga negara
yang memperoleh kewenangannya dari UUD.261 Dikemukakan pula bahwa
lembaga negara yang dibentuk dengan UU dapat mengajukan permohonan
pengujian UU yang menghapuskan lembaga negara ini jika ada
asas atau prinsip dalam UUD 1945 yang dilanggar, termasuk di dalamnya
pelampauan kewenangan (detournement de pouvoir) dan penyalahgunaan
kekuasaan (abus de pouvoir).Dari berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada UUD Negara RI
Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa istilah lembaga
negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang keberadaannya atas perintah
konstitusi, tetapi ada juga lembaga negara yang dibentuk atas perintah
UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan
perundang-undangan di bawah UU.263
Selain lembaga-lembaga negara yang telah dikemukakan, lembaga
negara lainnya yaitu DPRD. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan masalah
Nomor 018/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 45 Tahun 1999
yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pemekaran
Provinsi Papua pada UUD 1945, menerima permohonan DPRD sebagai
pihak yang memiliki legal standing sebagai lembaga negara yang mengalami
kerugian konstitusional dengan terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat
berdasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi
Irian Jaya Barat yang dianggap tidak berlaku dengan diundangkannya UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.264
Lembaga negara yang terkait dengan permohonan yaitu lembaga
negara yang terkait dengan pembentukan UU yang dimohon untuk diuji,
yaitu:265
1. DPR.
2. Presiden.
3. DPD.
4. Lembaga lain yang mempunyai kepentingan dengan UU yang
bersangkutan.
5. Kerugian Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional
Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur bahwa: “Pemohon yaitu pihak yang menganggap hak dan/
atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU.”266 Dalam
ketentuan ini ada istilah hak konstitusional serta kewenangan konstitusional. Hak konstitusional terkait dengan hak asasi manusia (HAM)
yang dijamin dalam UUD,267 sedang kewenangan konstitusional terkait
dengan kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam
UUD.
Sebelum perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai hak konstitusional
selain diatur dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945, juga diatur
dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34 UUD
1945.268 Walaupun dilihat dari segi kuantitas, jumlah pasal ini tidak
banyak, akan tetapi untuk UUD yang dibuat sebelum disusunnya Universal
Declaration of Human Rights, tentu yaitu hal yang membanggakan,
di mana dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 sudah diatur hak
bangsa untuk menentukan nasib sendiri, yang tidak diatur dalam Universal
Declaration of Human Rights.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif yang meyakini bahwa penjajahan
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh sebab nya penjajahan
harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan
hak kemerdekaannya yang yaitu hak asasi kolektifnya. Selain itu, alinea ini
mengandung pernyataan subjektif, yaitu sebagai wujud dari aspirasi bangsa Indonesia
sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan. Hal itu berarti bahwa setiap hak
atau sifat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan
juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.269
Sebelum perubahan UUD 1945, selain dalam Pasal 27 hingga Pasal 31,
dan Pasal 34 UUD 1945, pengaturan tentang HAM juga diatur antara lain
dalam Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan
Panitia-Panitia Ad hoc MPRS yang Bertugas Melakukan Penelitian LembagaLembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara
Lembaga-Lembaga Negara menurut Sistem UUD 1945, Penyusunan
Rencana Pelengkap UUD 1945, dan Penyusunan Perincian HAM, 270
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM,271 Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN,272 UU Nomor 5 Tahun 1998
tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment, Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun
1998 tentang Pengesahan Convention (Number 87) Concerning Freedom of
Association and Protection of the Right to Organize, UU Nomor 20 Tahun
1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum
Bagi Pekerja, UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO
Nomor 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan, UU Nomor 26 Tahun
1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak
Pidana Subversi, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Setelah perubahan UUD 1945, maka banyak ketentuan mengenai
HAM dirumuskan dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XA dari Pasal
28A hingga Pasal 28J Perubahan Kedua UUD 1945.273 Ketentuan dalam
UUD 1945, jika dirinci butir demi butir, mencakup prinsip-prinsip dasar
sebagai berikut:
1) Setiap orang berhak untuk hidup.
2) Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
3) Setiap orang berhak membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
4) Setiap orang berhak melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
5) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang.
6) Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
7) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
8) Setiap orang berhak mendapat pendidikan, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
9) Setiap orang berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahteraan umat manusia.
10) Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun warga , bangsa, dan
negaranya.
11) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
12) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
13) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
14) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
15) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
16) Setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran.
17) Setiap orang bebas memilih pekerjaan
18) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan.
19) Setiap orang berhak memilih tempat tinggal di wilayah negara,
meninggalkannya, dan berhak kembali lagi ke negara.
22) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
23) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat (freedom of association).
24) Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul (freedom of peaceful
assembly).
25) Setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom
of expression)26) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
27) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan memakai segala
jenis saluran yang tersedia.
28) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.
29) Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yaitu
hak asasi.
30) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan lain
yang merendahkan derajat martabat manusia.
31) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
32) Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin.
33) Setiap orang berhak bertempat tinggal (yang baik dan sehat).
34) Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
35) Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
36) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
37) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
38) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik ini
tidak boleh diambil alih secara sewenang-sewenang oleh siapa pun.
39) Setiap orang berhak untuk hidup.
40) Setiap orang berhak untuk tidak disiksa.
41) Setiap orang berhak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani.
42) Setiap orang berhak atas kebebasan beragama.
43) Setiap orang berhak untuk tidak diperbudak.
44) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
45) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.274
Selain dalam UUD 1945, pengaturan tentang HAM diatur pula dalam
berbagai ketentuan, antara lain dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Economic , Social, and Cuiltural Rights,
UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights,
Jimly Asshiddiqie mengatakan jika digabungkan materi
mengenai HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 dengan berbagai
ketentuan yang ada dalam UU yang berkenaan dengan HAM, maka
keseluruhan norma hukum mengenai HAM terdiri dari 37 butir ketentuan
yang dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu kelompok
ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil; hak-hak politik, ekonomi, sosial,
dan budaya; hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan yang terakhir
mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia.275
Mengenai kewajiban asasi manusia, sudah diusulkan sejak tahun 1997
oleh Inter Action Council sebuah naskah untuk melengkapi Universal Declaration
of Human Rights, yaitu Universal Declaration of Human Rensposibilities.
276
Walaupun belum dibicarakan dalam Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB), naskah ini yaitu hal yang perlu diperhatikan sebab
sebagaimana dikemukakan dalam Pendahuluan dari naskah ini , memang
sudah waktunya untuk berbicara mengenai kewajiban manusia.277 Konsep
mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep
kebebasan dan tanggung jawab, tetapi juga untuk mendamaikan berbagai
ideologi, kepercayaan, serta pandangan politik yang di masa lampau dianggap
saling bertentangan.278 Prinsip dasar yaitu tercapainya kebebasan sebanyak
mungkin, tetapi pada saat yang sama berkembangnya rasa tanggung jawab
penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu semakin berkembang.279
Universal Declaration of Human Rensposibilities terdiri dari 19 pasal, dan
yang menarik yaitu dikemukakannya apa yang disebut dengan Golden Rule
(Kaidah Emas), yaitu beberapa kaidah yang berisikan kewajiban-kewajiban
untuk melengkapi hak-hak, yaitu: • If we have a right to life, than we have the obligation to respect life.
• If we have a right to liberty, than we have the obligation to respect other’s people liberty.
• If we have a right to security, then we have a obligation to create the conditions
for every human being to enjoy human security.
• If we have a right to partake in our country’s political process and elect our leaders,
than we have the obligation to parcitipate and ensure that the best leaders are chosen.
• If we have a right to work under just and favorable conditions to provide a descent
standart of living for ourselves and our families, we also have the obligation to
perform to the best of our capacities.
• If we have a right to freedom of thought, conscience and religion, we also have
the obligation to respect other’s thoughts or religious principles.
• If we have a right to be educated, than we have the obligation to learn as
much as our capabilities allow us and, where possible, share our knowledge
and experience with others.
• If we have a right to benefit from the earth’s bounty, then we have the obligation
to respect, care for and restore the earth and its natural resources.280
Yves Meny dan Andrew Knapp mengemukakan salah satu dari tugas
dari hakim-hakim konstitusi (constitutional judges) yaitu melindungi hak-hak
dan kebebasan (protect rights and liberties),281 dan perlindungan pada hakhak konstitusional di Indonesia dilakukan dengan mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi bagi pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU. Beberapa
putusan terkait dengan hak-hak konstitusional warga negara antara lain
dalam Putusan masalah Nomor 011/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD pada UUD 1945282 dan Putusan masalah Nomor 013/
PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Pembentukan UU Nomor 15 Tahun 2002 jo Peraturan Pemerintah
Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme pada UUD 1945.Pada umumnya penentuan mengenai ada tidaknya legal standing pemohon
dilakukan sebelum majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan akan
meneruskan ke tahap pemeriksaan pada pokok masalah atau tidak.
Walaupun demikian, pembuktian mengenai legal standing khususnya berkaitan
dengan bukti kerugian bukanlah hal yang mudah, sehingga pembuktian legal
standing seringkali harus dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pada
pokok masalah .284 Hal itu memicu di dalam praktik beracara, sambil
memeriksa pokok masalah , majelis hakim tetap memperkenankan para pihak
mempersoalkan legal standing pemohon, yang berakibat walaupun telah
memeriksa pokok masalah , amar putusan Mahkamah Konstitusi dapat saja
berupa mengabulkan, menerima ataupun menyatakan tidak dapat menerima
permohonan pemohon.285
Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 perihal
Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pada UUD Negara RI Tahun 1945,286 dan pada putusan-putusan
lalu telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi harus memenuhi 5 syarat, yaitu:287
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional ini oleh Pemohon dianggap dirugikan
oleh berlakunya UU yang dimohonkan pengujian.
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitutiosional ini harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya UU yang dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitutsional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika ada
tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki legal
standing, yaitu:
1. Adanya kerugian yang timbul sebab adanya pelanggaran kepentingan pemohon
yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat, yaitu; spesifik (khusus)
dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan potensial).2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan
berlakunya satu undang-undang (ini terkait pengujian konstitusionalitas undangundang);
3. Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian
akan dihindarkan atau dipulihkan.288
E. Posisi Pembentuk Undang-Undang Dalam
Persidangan
Dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur bahwa:
(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti
yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), hakim
konstitusi wajib memanggil para pihak yang bermasalah untuk memberi keterangan
yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara
yang terkait dengan permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permintaan hakim konstitusi diterima.289
Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur bahwa; ”Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/
atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.”290
berdasar ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ini , Mahkamah
Konstitusi dapat meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden
dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan permohonan pengujian UU
yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. DPD dapat menjadi
pihak dalam masalah permohonan pengujian UU.291 Mahkamah Konstitusi
harus mendengar dan/atau meminta keterangan DPD dalam hal UU
yang diuji, dalam proses pembentukannya melibatkan peranan DPD,
sedang dalam hal pengujian UU yang materi muatannya berkaitan
dengan kepentingan daerah, meskipun tidak melibatkan DPD dalam proses
pembentukannya maka Mahkamah Konstitusi dapat mendengar dan/atau meminta keterangan DPD.292 Contoh masalah dimana pemerintah dan
DPR memberikan keterangan dalam persidangan yaitu pada Putusan
Nomor 003/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada
UUD 1945.293
Kata ”dapat” dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berarti bahwa meminta
keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak harus dilakukan, sangat tergantung dari pertimbangan Mahkamah
Konstitusi pada masalah yang sedang diperiksa. Sangat mungkin terjadi
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak meminta keterangan kepada DPR,
DPD, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan permohonan
pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Hal
ini dapat dilihat antara lain dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/
2009 perihal Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden pada UUD Negara RI Tahun
1945. Dalam bagian menimbang putusan ini , Mahkamah Konstitusi
mengatakan dalam masalah ini, Mahkamah Konstitusi memandang
tidak perlu mendengar keterangan Pemerintah maupun DPR berdasar
Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003, MK, selain itu mengingat urgensi
dari masalah ini telah mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, maka keperluan untuk diputus secara cepat pada hari
yang sama sejak masalah diperiksa dimungkinkan oleh ketentuan Pasal
45 ayat (9) UU MK, yang berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi
dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus
diberitahukan kepada para pihak.”294
berdasar Pasal 38 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, maka para pihak yang yaitu lembaga negara
dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasar
peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 25 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU,
Presiden dapat memberikan kuasa kepada subtitusi kepada Menteri Hukum
dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang
terkait dengan pokok permohonan.295 sedang DPR diwakili oleh
Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/atau
anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota
DPR yang ditunjuk.296 berdasar ketentuan ini maka Mahkamah
Konstitusi tidak mengadili pembentuk UU, dan kedudukan pembentuk
UU hanya sebagai pihak terkait yang diperlukan keterangannya, dan dalam
memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis, dapat diwakili
oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara ini .
MPR yaitu lembaga yang berwenang membentuk UUD,
sedang DPR, DPD, Presiden yaitu lembaga-lembaga negara yang
berwenang membentuk UU. Oleh sebab itu dalam masalah pengujian UU
pada UUD dipandang perlu untuk mendengarkan keterangan dari
pihak-pihak ini . Dalam Pasal 25 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU dikemukakan
lebih lanjut tentang yang dimaksud dengan keterangan Presiden, yaitu: ”...
keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai
pokok permohonan yang yaitu hasil koordinasi dari Menteri-Menteri
dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait.”297 sedang yang dimaksud
dengan Keterangan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) PMK
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam masalah Pengujian
UU adalah: ”...keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang
berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang
berkenaan dengan pokok masalah .”298 Keterangan ini diperlukan agar
Mahkamah Konstitusi mendapatkan keterangan lebih mendalam mengenai
latar belakang serta maksud dari materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang yang diuji, atau pun hubungan antara ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang yang diuji ini dengan ayat, pasal, dan/atau
bagian lainnya sehingga didapatkan makna yang utuh.Keterangan Tambahan (ad informandum
judicem)
Dalam Black’s Law Dictionary, ad informandum judicem berarti: “ for the
judge’s information.”299 Dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK Nomor 06/
PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam masalah Pengujian UU,
diatur tentang ad informandum sebagai berikut: “pihak yang perlu didengar
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan
tetapi sebab kepeduliannya yang tinggi pada permohonan dimaksud.”300
Dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU, pihak yang perlu didengar
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu “Pihak Terkait yang
berkepentingan tidak langsung” dalam masalah pengujian UU pada
UUD 1945.301
Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (5) huruf b PMK
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian
UU, harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi melalui
Panitera, yang lalu jika disetujui ditetapkan dengan Ketetapan
Ketua Mahkamah Konstitusi yang salinannya disampaikan kepada yang
bersangkutan, dan jika tidak disetujui maka pemberitahuan tertulis akan
disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua
Mahkamah Konstitusi.302
Dalam masalah Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada UUD Negara RI
Tahun 1945, ada pihak terkait tidak langsung yang memberikan
keterangan tambahan (ad informandum) yaitu Indonesia Media Law and Policy
Centre (IMLPC) yang memberikan keterangan tambahan (ad informandum)
berdasar dokumen risalah sidang dari Sekretariat Komisi I DPR RI.303
Dalam praktiknya, keterangan tambahan (ad informandum) tidak hanya
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK Nomor 06/PMK/2005, yaitu “pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara
langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi sebab kepeduliannya
yang tinggi pada permohonan dimaksud”, akan tetapi dalam hal wakil
pemerintah belum mendapat surat kuasa dari Pemerintah -dalam ini
menteri- juga keterangannya dimasukkan sebagai keterangan tambahan (ad
informandum).
G. Proses Persidangan Dan Pembuktian
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Alat Bukti diatur dalam Bagian Keempat pada Pasal 36 hingga Pasal
38, Pemeriksaan Pendahuluan diatur dalam Bagian Kelima Pasal 39,
Pemeriksaan Persidangan diatur dalam Bagian Keenam Pasal 40 hingga
Pasal 44, sedang RPH dan Pengucapan Putusan diatur dalam Bagian
Ketujuh tentang Putusan dari Pasal 45 hingga Pasal 49. Dalam PMK
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian
UU, mengenai proses persidangan dan pembuktiuian diatur dalam BAB
V tentang Pemeriksaan, di mana pemeriksaan terdiri dari Pemeriksaan
Pendahuluan (Pasal 10 dan Pasal 11) dan Pemeriksaan Persidangan (Pasal
12 - Pasal 17). Pembuktian diatur dalam Bagian Ketiga dalam Pasal 18
sampai dengan Pasal 28. Rapat Permusyawaratan Hakim diatur dalam
Bab VI tentang Rapat Permusyawaratan Hakim pada Pasal 29 dan Pasal
30, sedang Putusan diatur dalam Bab VII tentang Putusan dari Pasal
31 sampai dengan Pasal 43.
1. Proses Persidangan
berdasar materi persidangan, dalam UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi diatur bahwa sidang Mahkamah Konstitusi
terdiri atas Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, dan
Pengucapan Putusan, sedang dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam masalah Pengujian UU, sidang Mahkamah
Konstitusi dibagi dalam 4 jenis sidang, yaitu Pemeriksaan Pendahuluan,
Pemeriksaan Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan
Pengucapan Putusan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, RPH diatur dalam Bagian Ketujuh tentang Putusan.
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi.304 Pemeriksaan Pendahuluan dapat dilakukan
dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang
Hakim Konstitusi.305 Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Hakim memeriksa
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi: kewenangan
Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan
pokok permohonan.306
Dalam pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan,
Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari, termasuk pula nasihat yang berkaitan dengan
pelaksanaan tertib persidangan.307 Dalam hal Hakim berpendapat bahwa
permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki dalam sidang
panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada
Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.308
Panel Hakim yang telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan
melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat
Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya. Laporan ini
termasuk pula usulan penggabungan pemeriksaan persidangan pada
beberapa masalah dalam hal memiliki kesamaan pokok permohonan,
memiliki keterkaitan materi permohonan, atau pertimbangan atas permintaan
Pemohon.309 Pemeriksaan penggabungan masalah dapat dilakukan setelah
mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi.310
b. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka
untuk umum,311 dan dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh RPH,
pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim.312 Pemeriksaan
persidangan mencakup:1. pemeriksaan pokok permohonan;
2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;313
3. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
4. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
5. mendengarkan keterangan saksi;
6. mendengarkan keterangan ahli;
7. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau
9. peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat
dijadikan petunjuk;
10. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu.314
Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah
Konstitusi dan jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah
dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat
meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa.315
Dalam hal Mahkamah Konstitusi menentukan perlu mendengar
keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD, maka keterangan ahli
dan/atau saksi didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan
DPD, kecuali ditentukan lain demi kelancaran persidangan.316
Baik saksi maupun ahli, dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/
Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau dipanggil atas perintah
Mahkamah Konstitusi.317 Pemeriksaan saksi maupun ahli dimulai dengan
menanyakan identitas (nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan
dan alamat) dan kesediaan diambil sumpah atau janji sesuai dengan
agamanya.318 Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang
diajukan oleh para pihak dilakukan dalam