Home » mahkamah konstitusi 2 » mahkamah konstitusi 2
Rabu, 13 September 2023
kekuasaan negara. Dan istilah
itu sebelumnya juga telah dipakai oleh Whig John Toland (1701) dan
Marcham Nedham (1654). Gagasan checks and balances menurut David
Wootton mengandung pikiran, bahwa konstitusi yaitu satu sistem
mekanis, yang diartikan sebagai satu interest dalam mekanisme. Menurut
Jimly Asshiddiqie, rujukan tentang mesin politik itu, diambil dari edisi
John Dryden tentang Plutarch’s Lives, dengan mengatakan “... the Maker of
the world had when he had finished and set this great machine moving, and found
everything very good and exactly to answer to his great idea.” 395
Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan
yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masingmasing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam
menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan
pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas
untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang
telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa
kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah
Konstitusi
Mengapa lembaga-lembaga negara itu dapat bersengketa? Sebab menurut
Jimly Asshiddiqie dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam
ketentuan UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000),
Ketiga (2001), dan Keempat (2002), mekanisme hubungan antarlembaga
negara bersifat horizontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika sebelumnya kita
mengenal adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara397, maka
sekarang tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR bukan lagi lembaga
yang paling tinggi kedudukannya dalam bangunan struktur ketatanegaraan
Indonesia398, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga konstitusional
lainnya, yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK.399
masalah sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yaitu
masalah yang pemohonnya yaitu lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung pada
kewenangan yang dipersengketakan. Hingga Agustus 2009, Mahkamah
Konstitusi telah menerima dan memutus kurang lebih 11 masalah Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Kesebelas ini masing-masing
diregistrasi pada tahun 2004 sebanyak 1 perkara, 2005 sebanyak 1 perkara,
2006 sebanyak 4 perkara, 2007 sebanyak 2 perkara, dan 2008 sebanyak 3
perkara.
1. Kewenangan Memutus SKLN di Beberapa Negara
Kewenangan memutus sengketa kewena ngan konstitusional lembaga
negara telah diadopsi dalam praktik sistem ketatanegaraan di berbagai negara.
Kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
ini ada yang diberikan kepada lembaga Mahkamah Agung (Supreme Court)
sebagaimana berlaku di Amerika Serikat. Ada juga yang memberi nya
pada lembaga Mahkamah Konstitusi sebagaimana berlaku di Jerman.
Dengan demikian, ada dua model pemilik kewenangan memutus sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu model Amerika Serikat
dan model Jerman.
Di Amerika Serikat, kewenangan Supreme Court memutus sengketa
kewenangan lembaga negara bertolak dari ketentuan dalam The United
States Constitution pada Article III tentang The Judicial Branch section 2 clause
1. Dalam ketentuan itu disebutkan seperti berikut:
“The judicial power shall extend to all cases, in law and equity, arising under this
constitution, the laws of the united states, and treaties made, or which shall be made,
under their authority; --to all cases affecting ambassadors, other public ministers and
consuls;--to all cases of admiralty and maritime jurisdiction;--to controversies to which
the united states shall be a party;--to controversies between two or more states;--between
a state and citizens of another state;--between citizens of different states,--between citizens
of the same state claiming lands under grants of different states, and between a state, or
the citizens thereof, and foreign states, citizens or subjects.”401
Hanya saja berkaitan dengan kedudukan konstitusi sebagai dasar bagi
penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara di Amerika Serikat,
C.F. Strong mengemukakan, bahwa:
In America, indeed, the federal constitution is meaningless unless taken in conjuction
with the state contsitutions, which are not merely useful additions thereto, but the
indispensable complement of it. A further illustration of the absolute power of the states
concerning all the things not mentioned in the constitution as belonging to the federal
authority is seen in the fact that there is no appeal to the supreme court of the united
states in any such matters.402
Jadi, di Amerika Serikat, Konstitusi Federal memang tidak ada artinya
kecuali jika dilaksanakan dengan Konstitusi Negara Bagian. Konstitusi
Negara Bagian bukan sekadar tambahan yang berguna bagi Konstitusi
Federal, tetapi menjadi pelengkapnya yang sangat diperlukan. Oleh sebab
itu, dengan menganggap segala perselisihan hukum dalam urusan-urusan
yang tidak disebutkan dalam konstitusi yaitu cakupan otoritas federal,
maka tidak ada pengajuan naik banding ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam urusan-urusan yang menurut konstitusi secara spesifik menjadi
bagian dari Uni sebagai suatu keseluruhan, kekuasaan Mahkamah Agung
bersifat absolut dan penguasa federal wajib menjalankan putusannya secara
mutlak.
Di Jerman, kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 93 ayat (3)
Konstitusi Federal Jerman. Disebutkan bahwa the Federal Constitutional
Court berwenang memutus:
“in case of differences of opinion on the rights and duties of the Federation and the
States (Lander), particularly in the execution of federal law by the States (Lander) and
in the exercise of federal supervision; on other disputes involving public law, between
the Federation and the States (Lander), between diferent States (Lander) or within a
State (Land), unless recourse to another court exist.”403
Ini dipertegas lagi dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman Pasal 13 ayat (5) mengenai sengketa kewenangan lembaga
negara Federal Jerman, dan dalam Pasal 13 ayat (7) mengenai sengketa
kewenangan lembaga pemerintah federal dengan dan atau lembaga pemerintah negara bagian terutama yang berkaitan dengan penerapan pembagian
kekuasaan federal.404
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur bahwa yang
berhak untuk menjadi tergugat dan penggugat dalam masalah sengketa
kewenangan yaitu Presiden, Bundestag, Bundesrat, pemerintah federal, serta
bagian-bagian lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai dengan
ketentuan Konstitusi, atau Peraturan Tata Tertib Bundestag atau Bundesrat.
Di samping itu, pemerintah federal dalam masalah sengketa kewenangan
lembaga negara Federasi, dan pemerintah negara bagian405 dalam masalah
sengketa kewenangan lembaga negara bagian berhak menjadi penggugat dan
tergugat dalam sengketa kewenangan lembaga negara.406
Di Korea Selatan, lembaga negara yang memiliki kewenangan memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yaitu Mahkamah Konstitusi Korea
Selatan. berdasar Konstitusi Korea Selatan Article 111, Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa kewenangan antarpemerintah pusat, pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, dan antarpemerintah daerah (disputes between State agencies,
between State agencies and local governments, and between local governments).
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berwenang membekukan aktivitas
lembaga negara yang digugat sampai ada putusan final oleh Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan.407
Di Federasi Rusia, kewenangan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia.
Konstitusi Federasi Rusia Pasal 125 ayat (3) yang ditegaskan pula dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia Pasal 3 ayat (2)
mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara meliputi sengketa kewenangan
lembaga pemerintah federal, sengketa kewenangan lembaga pemerintahan
masing-masing negara yang tergabung dalam konstituen Federasi Rusia,
dan sengketa kewenangan lembaga tinggi pemerintahan negara-negara yang
tergabung dalam Konstitusi Federasi Rusia dengan lembaga pemerintahan
di bawahnya (dispute about competences between federal bodies, between a federal
body, and a subject of the Federation, and between the highest bodies of state power
of the subjects of the Federation).408
Berbeda dengan yang dilakukan dalam praktik di Federasi Rusia, di
Swiss, pengadilan tertinggi atas semua konflik antara otoritas negara bagian
dan otoritas federal bukan ada pada Pengadilan Federal, akan tetapi ada
pada Majelis Federal. Menurut Strong:
‘... and the Federal Court cannot question the constitutionality of acts passed by the
Federal Assembly.’ 409
Dengan demikian Pengadilan Federal tidak dapat mempertanyakan
konstitusionalitas putusan yang disahkan Majelis Federal.
Di Thailand, ketentuan mengenai kewenangan memutus sengketa
kewenangan lembaga negara diatur dalam Konstitusi Thailand bagian 226.
Kewenangan ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Thailand. Lembaga
negara yang dapat menjadi objek sengketa kewenangan lembaga negara yaitu
lembaga negara yang kewenangan, kekuasaan, dan tugas lembaga ini
dicantumkan di dalam konstitus
Demikian gambaran singkat mengenai praktik-praktik penanganan secara
yudisial sengketa lembaga negara di beberapa negara. Gambaran ini semakin
mengukuhkan perspektif, bahwa penyelesaian sengketa kewenangan lembaga
negara di bawah Mahkamah Konstitusi yaitu praktik penyelenggaraan
kekuasaan yudisial yang sudah berjalan dan diakui dalam berbagai konstitusi
negara-negara modern.
2. Wewenang MK Memutus SKLN
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, di samping melakukan pengujian undang-undang pada
UUD, pada dasarnya yaitu kewenangan konstitusional yang dibentuk
dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan yang ada dalam UUD.
Ini disebabkan sebab dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat
timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin
dalam (2) dua kewenangan ini , yaitu: (1) kewenangan untuk menguji
undang-undang pada UUD; dan (2) kewenangan untuk memutus
SKLN yang kewenangannya bersumber dari UUD.411
Apabila ditelusuri dari sejarah pembentukan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus SKLN sebagaimana tercantum dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, ternyata lahir dari berbagai pemikiran yang
melatarbelakanginya. Pemikiran-pemikiran ini dapat ditelusuri dari
sejarah bagaimana rumusan tentang kedudukan dan wewenang Mahkamah
Konstitusi itu dibahas dalam persidangan-persidangan Panitia Ad Hoc
(PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR RI yang pada saat itu sedang membahas
perubahan (amandemen) UUD 1945. Berikut ini beberapa pemikiran
ini akan diidentifikasikan.
Pertama yaitu Jimly Asshiddiqie anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc
(PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR. Jimly Asshiddiqie pada persidangan
itu menyampaikan hasil rumusan Tim Ahli yang telah disepakati bersama
sebagai berikut:
‘Jadi dengan perkataan lain Mahkamah Konstitusi itu, kami usulkan memiliki tiga
kewenangan.
1. Kewenangannya yaitu Hak Uji Materiil.
Mulai dari undang-undang ke bawah Hak Uji Materiil ini bersifat pasif, yang
berarti dia tidak cari-cari, tergantung kalau ada masalah lalu kemudian ada gugatan
itu yang harus diselesaikan. Sebab kalau dia cari-cari nanti selain menjadi berat bagi konstitusi itu sendiri dan itu nanti bisa menjadi sengketa antara dirinya
sendiri dengan lembaga legislatif dan lembaga pembuat peraturan, seakan-akan dia
menjalankan fungsi eksekutif termasuk dalam rangka mengembangkan harmonisasi
peraturan. Oleh sebab itu dipertahankan sifat pasifnya.
2. memberi putusan atas sengketa Lembaga Tinggi Negara. Jadi antar
Lembaga Tinggi Negara, antar Pemerintah Pusat dengan Daerah, antar Pemerintah
Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan sengketa
di luar pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tempat penyelesaian
pengambilan keputusannya di MK. (Cetak tebal-miring dari penulis).
3. Menjalankan kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Opsi wewenang lain ini kami usulkan untuk dicantumkan meskipun tidak
ditegaskan di sini, ini untuk menampung kemungkinan undang-undang Pemilu
mengatur berkenaan dengan penyelesaian sengketa Pemilu dan sengketa Pemilu
itu bisa diberikan kewenangan untuk penyelesaiannya di MK tetapi itu tergantung
bagaimana undang-undang nanti mengaturnya.’412
Kedua yaitu Soetjipto dari F-UG. Menurut Soetjipto:
‘Kita tahu bahwa UU kita banyak produk-produk yang dihasilkan oleh Pemerintahan
Belanda dan itu juga setingkat dengan UU, oleh sebab itu F-UG menganggap
perlu adanya suatu Mahkamah Konstitusi yang menguji UU. Fungsinya bukan
hanya untuk hak uji UU tetapi Mahkamah Konstitusi di negara lain juga mengadili
persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga
mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan
juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili
apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu.’413 (Cetak tebal-miring dari
penulis).
Apabila dicermati pandangan di atas, walaupun Soetjipto tidak secara
eksplisit mengemukakan, bahwa kewenangan MK diantaranya yaitu
memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, akan tetapi dia juga
menyebut perlunya MK diberi kewenangan untuk memutus persengketaan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Ketiga yaitu I Dewa Gede Palguna dari Fraksi PDI Perjuangan dalam
pandangan akhir fraksinya, yang mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi
memiliki kewenangan-kewenangan seperti dalam pandangan fraksinya
sebagai berikut:
‘Pasal berikutnya, atau Pasal 29 dalam usulan kami:
Ayat (1), Di dalam lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi;
Ayat (2), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk: Menguji Undangundang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
(fungsi judicial review). Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat hendak meminta persidangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai laporan perilaku Presiden
yang mengkhianati negara dan/atau merendahkan martabat Lembaga
Kepresidenan. memberi keputusan akhir mengenai putusan pembubaran
suatu partai politik. memberi keputusan apabila ada perselisihan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. memberi
putusan atas gugatan yang berdasar Undang-Undang Dasar.’414 (Cetak
tebal-miring dari penulis).
Pandangan Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan oleh I Dewa
Gede Palguna ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan Soetjipto
dari F-UG, yang menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK yaitu
memberi keputusan apabila ada perselisihan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah otonom.
Keempat yaitu Sutjipno dari Fraksi PDI Perjuangan yang mengusulkan
dalam pandangan akhir fraksinya sebagai berikut:
‘Berhubung kewenangan Mahkamah Agung yaitu melakukan uji materiil pada
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka di lingkungan
Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan
menguji secara materiil atas undang-undang, memberi putusan atas pertentangan
antar undang-undang, memberi putusan atas persengketaan kewenangan
antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, serta
menjalankan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.’415 (Cetak
tebal-miring dari penulis).
Pandangan Sutjipno ini lebih luas dan eksplisit dibandingkan pandangan
yang disampaikan I Dewa Gede Palguna. Sutjipno mengusulkan, bahwa
salah satu kewenangan MK yaitu memberi putusan atas persengketaan
kewenangan antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah.
Kelima yaitu Affandi dari F-TNI/Polri. Affandi dalam pendapat akhir
fraksinya menyampaikan, bahwa:
‘Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung serta Lembaga Pengadilan yang berada di bawahnya di dalam
lingkungan peradilan umum. Pasal 24a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
masalah pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji materi undang-undang dan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, memberi putusan atas
pertentangan atau persengketaan antara lembaga negara, antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah, menjalankan peraturan
perundang-undangan serta menjalankan kewenangan lain yang diberikan oleh undangundang.’416(Cetak tebal-miring dari penulis).
Masih banyak sebenarnya pandangan-pandangan yang disampaikan
oleh para tokoh politik di PAH I BP MPR RI itu berkenaan dengan
pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan
masalah SKLN di Indonesia. Akan tetapi apabila dicermati, pandanganpandangan ini , pada dasarnya menyetujui, bahwa Mahkamah Konstitusi
perlu diberi kewenangan konstitusional untuk memutus SKLN. Dan, dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, penyelesaian SKLN itu tidak diserahkan
kepada proses politik yang hanya didasarkan atas posisi politik lembaga
negara yang bersengketa, melainkan diserahkan kepada proses hukum
(yudisial). UUD hanya menetapkan sengketa kewenangan yang diberikan
oleh UUD (in de grondwet geregeld) saja yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi, sedang kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
(in de wet geregeld) termasuk dalam lingkup penafsiran undang-undang tidak
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan mencermati dinamika
ketatanegaraan dan perkembangan pemikiran/gagasan yang pesat di bidang
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, serta tuntutan warga pada
penegakan supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional
warga warga (burger/justiciabelen), tidak tertutup peluang ke depan akan
timbul perubahan-perubahan peraturan di bidang ini. Termasuk gagasangagasan agar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus masalah
SKLN tidak hanya sebatas pada masalah SKLN yang sumber kewenangannya
berasal dari UUD (in de grondwet geregeld) saja, akan tetapi juga mencakup
SKLN yang sumber kewenangannya diperoleh dari undang-undang (in de
wet geregeld).
B. Pengertian Lembaga Negara
Dalam konsep organisasi negara ada 2 (dua) unsur pokok yang saling
berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ yaitu bentuk atau wadahnya,
sedang functie yaitu isinya; organ yaitu status bentuknya (Inggris: form,
Jerman: form), sedang functie yaitu gerakan wadah itu sesuai maksud
pembentuknya.417 Menurut Harjono, fungsi mempunyai makna yang
lebih luas dibandingkan tugas. Tugas menurutnya, lebih tepat dipakai untuk
menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi dapat terlaksana.
Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan
dari tugas-tugas yaitu operasionalisasi dari sebuah fungsi yang sifatnya ke
dalam. Tugas selain mempunyai aspek ke dalam juga memiliki aspek keluar. Aspek keluar dari tugas yaitu wewenang, sehingga oleh karenanya sering
dipakai secara bersama-sama yaitu tugas dan wewenang. Dikatakan lebih
jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga mempunyai wewenang,
timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan eksklusif. Kategorial dikatakan
sebagai unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang
dengan yang tidak mempunyai wewenang, sedang eksklusif diartikan
bahwa lembaga-lembaga yang tidak disebut yaitu lembaga yang tidak
berwenang. Perbedaan tafsir atas kewenangan yang diberikan dalam aturan
perundang-undangan oleh lembaga negara yang berbeda dengan demikian
dapat melahirkan sengketa kewenangan yang yaitu perselisihan atau
perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara
dua lembaga negara atau lebih.418
Dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), lembaga
negara yaitu organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang
biasanya diatur atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau undangundang dasar suatu negara.419 Dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan
Indonesia, jenis dan jumlah lembaga negara menurut UUD 1945 setelah
perubahan ada bermacam-macam.
Jimly Asshiddiqe mengemukakan, corak dan struktur organisasi negara
Indonesia dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat
pesat. Setelah masa reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga
dan komisi-komisi independen dibentuk. Beberapa diantara lembagalembaga atau komisi-komisi independen dimaksud dapat diuraikan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen,
yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen
berdasar konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya,
seperti:
a) Komisi Yudisial (KY);
b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya
dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam undang-undang, tetapi
dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di
bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama
dengan kepolisian;
g) Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasar
undang-undang tetapi memiliki sifat constitutional importance
berdasar Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) yang
dibentuk berdasar Undang-undang, tetapi juga memiliki sifat
constitutional importance.
3) Lembaga-lembaga Independen lain yang dibentuk
a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia(KPI);
4) Lembaga-Lembaga dan Komisi di lingkungan Eksekutif (pemerintah)
lainya seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi atau Dewan yang bersifat
khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:
a) Komisi Kedokteran Indonesia (KKI);
b) Komisi Pendidikan Nasional;
c) Dewan Pertahanan Nasional;
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN).
5) Lembaga-Lembaga dan Komisi di lingkungan Eksekutif (Pemerintah)
lainnya, seperti:
a) Menteri dan Kementerian Negara;
b) Dewan Pertimbangan Presiden;
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KONI);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan
Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan
umum lainnya, seperti:
a) Lembaga kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia(KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Banyaknya tumbuh lembaga-lembaga dan komisi-komisi, ataupun
korporasi-korporasi yang bersifat independen ini yaitu gejala yang
mendunia dalam arti tidak hanya di Indonesia. Seperti dalam perkembangan
di Inggris dan Amerika Serikat, lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu
ada yang masih berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula
yang bersifat independen dan berada di luar wilayah kekuasaan eksekutif,
legislatif maupun yudikatif.420
Menurut Jimly Asshiddiqie, di dalam UUD 1945, ada tidak kurang
dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke 34 Organ
atau Lembaga ini adalah:421
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD
1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bab
III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri dari tiga ayat, Pasal
3 yang terdiri dari 3 ayat”;
2) Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945,
dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu
pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan,
“dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden”;
4) Menteri dan Kementrian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V
UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yaitu bersama-sama Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila
ada kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan
Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersama-sama Menteri Luar
Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan bersama-sama Menteri Luar Negeri dan Menteri
Dalam Negeri ditentukan sebagai Menteri triumvirat menurut Pasal 8 ayat
(3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri sebab
dapat saja terjadi konflik atau sengketa Kewenangan Konstitusional
diantara sesama mereka, atau antara mereka dan menteri lain atau
Lembaga Negera lainnya.
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasihat
dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undangundang”.422
9) Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2);
10) Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi 423 sebagai di maksud oleh Pasal 18
ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UUD 1945;
12) Gubernur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal
18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
14) Pemerintah Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
17) Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat
(2), ayat (3), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal
18 ayat (3) UUD 1945;
20) Satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti
yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat(1) UUD 1945, diatur dengan
undang-undang. sebab kedudukannya yang khusus dan diistimewakan,
satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa kini
diatur tersendiri oleh UUD 1945. misalnya, Aceh Darusallam dan
Papua, serta pemerintahan daerah khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan
Mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undangundang. Oleh sebab itu pemerintahan daerah ini perlu disebut secara
tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan
dihormati oleh Negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD
1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang
terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 22D;
23) Komisi Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat
(5) UUD 1945 yang menentukan bahwa Pemilihan Umum harus
diselenggarakan oleh suatu Komisi yang bersifat Nasional, tetap, dan
Mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah nama yang
ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24) Bank Sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Seperti halnya
Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan bank
sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang
yaitu Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang
berdasar kenyataan dan diwarisi dari sejarah di masa lalu;
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab
VIII A dengan judul “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas
tiga pasal, yaitu: Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G
(2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX,
Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam
Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28) Komisi Yudisial (KY) yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD
1945 sebagai auxiliary organ pada Mahkamah Agung yang diatur
dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29) Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945,
yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada
Pasal 30 UUD 1945;
30) Angakatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam
Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti
Kejaksaan diatur dalam Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ,” badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undangundang”. 424
Menurut Jimly Asshiddiqie, jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang
ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ini dapat pula membuka
pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945.
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang” artinya,
selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial
dan Kepolisian Negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan yang lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai
fungsi yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Badan-badan lain
yang dimaksud itu antara lain yaitu Kejaksaan Agung yang semula dalam
rancangan perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga
yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi
tidak mendapatkan kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945
ditiadakan. Namun, sebab yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) ini
di atas yaitu Badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari 1. Artinya, selain
Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan
dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi Penyelidikan,
Penyidikan, dan/atau Penuntutan. Lembaga-lembaga yang dimaksud
misalnya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga
ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut
dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam
sistem konstitusional berdasar UUD 1945.425
Berbeda dengan Jimly Asshiddiqie, Abdul Mukthie Fadjar mengatakan,
ada lembaga-lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/
tercantum dalam UUD 1945, dan ada yang diatur dalam undang-undang.
Lembaga-lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum
dalam UUD 1945 adalah:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan kewenangan:
a. mengubah dan menetapkan UUD [Pasal 3 ayat (1)];
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal 3 ayat (2)];
c. memutus usul DPR berdasar putusan MKRI untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya [Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (7)];
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dalam masa jabatannya [Pasal 8 ayat (1)];
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya paling lambat dalam waktu enam puluh hari [Pasal 8
ayat (2)];
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya
[Pasal 8 ayat (3)];
(2) Presiden dengan kewenangan:
a. memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4 ayat (1)];
b. mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR
[Pasal 5 ayat (1)];
c. menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 ayat (2)];
d. memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10);
e. menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan
negara lain dengan persetujuan DPR [Pasal 11 ayat (1)];
f. menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);
g. mengangkat duta dan konsul [Pasal 13 ayat (1)];
h. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
MA [Pasal 14 ayat (1)];
i. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
DPR [Pasal 14 ayat (2)];
j. memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang
diatur dengan Undang-Undang (Pasal 15);
k. membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
undang-undang (Pasal 16);
l. mengangkat dan memberhentikan para menteri [Pasal 17 ayat
(2)];
m. membahas dan melakukan persetujuan bersama dengan DPR setiap
rancangan undang-undang [Pasal 20 ayat (2)];
n. mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang [Pasal 20 ayat (4)];
o. menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
[Pasal 22 ayat (1)];
p. mengajukan RUU anggaran pendapatan dan belanja negara untuk
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD
[Pasal 23 ayat (2)];
q. meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23F ayat (1)];r. menetapkan hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial kepada
DPR [Pasal 24A ayat (3)];
s. mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan
persetujuan DPR [Pasal 24B ayat (3)];
t. menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi yang diajukan
masing-masing 3 (tiga) orang oleh MA, 3 (tiga) orang oleh DPR,
dan 3 (tiga) orang oleh Presiden [Pasal 24C ayat (3)];
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan kewenangan:
a. membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)];
b. memberi persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)]:
c. menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang
berkaitan dengan bidang tertentu dengan mengikutsertakannya
dalam pembahasan [Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2)];
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama [Pasal 22D ayat (2)];
e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD [Pasal 23 ayat (2)];
f. melaksanakan pengawasan pada pelaksanaan UU APBN dan
kebijakan pemerintah [Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 22D ayat (3)];
g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan
DPD pada pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama [Pasal
22F ayat (1)];
h. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
[Pasal 22F ayat (1)];
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
[Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3)];
j. memberi persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)];
k. memberi persetujuan calon hakim agung yang diajukan Komisi
Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden [Pasal
24A ayat (3)];
l. mengajukan 3 (tiga) orang calon anggota hakim konstitusi kepada
Presiden untuk ditetapkan [Pasal 24C ayat (3)];m. memberi pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat
duta, menerima penempatan duta negara lain, dan dalam pemberian
amnesti dan abolisi [Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 14
ayat (2)];
n. memberi persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain,
serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undangundang [Pasal 11 ayat (2)];
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan kewenangan:
a. mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah [Pasal 22D ayat (1)], dan ikut membahas RUU ini
[Pasal 22D ayat (2)];
b. memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama [Pasal
22D ayat (2)];
c. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai
otonomi daerah, UU pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama [Pasal 22D ayat (3)];
d. memberi pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK [Pasal 23F ayat (1)];
e. menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK [Pasal 23E
ayat (2)];
(5) Mahkamah Agung (MA) dengan kewenangan :
a. melakukan kekuasaan kehakiman [Pasal 24 ayat (2)];
b. mengadili pada tingkat kasasi [Pasal 24A ayat (2)];
c. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
pada undang-undang [Pasal 24A ayat (1)];
d. mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim konstitusi untuk ditetapkan
sebagai hakim konstitusi oleh Presiden [Pasal 24C ayat (3)];
e. wewenang lain yang diberikan oleh UU [Pasal 24A ayat (1)];(6) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan kewenangan:
a. memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara [Pasal 23E ayat (1)];
b. menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD,
dan DPRD sesuai dengan kewenangannya [Pasal 23E ayat (2)];
(7) Pemerintah (an) Daerah dengan kewenangan:
a. menagur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (2)];
b. menjalankan otonomi dengan seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat [Pasal 18 ayat (5)];
c. menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (6)].
(8) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri dengan kewenangan menyelenggarakan Pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun
sekali [Pasal 22E ayat (5), ayat (1) dan ayat (2)].
(9) Komisi Yudisial dengan kewenangan:
a. mengusulkan pengangkatan calon hakim agung kepada DPR untuk
mendapat persetujuan [Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1)];
b. kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B
ayat (1)];
(10)Mahkamah Konstitusi RI dengan kewenangan:
a. menguji undang-undang pada Undang-Undang Dasar [Pasal
24C ayat (1)];
b. memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
[Pasal 24C ayat (1)];
c. memutus pembubaran partai politik [Pasal 24C ayat (1)];
d. memutus perselisihan hasil Pemilu [Pasal 24C ayat (1)];
e. memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD [Pasal 24C ayat (2)];
(11)Bank Sentral yang kewenangannya diatur dengan UU (Pasal 23D);
(12)Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan kewenangan: mempertahankan,
melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara [Pasal
30 ayat (3)];
(13)Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan kewenangan menjaga
keamanan dan ketertiban warga , bertugas melindungi, mengayomi,
melayani warga , serta menegakkan hukum [Pasal 30 ayat
(4)].426
Menurut Abdul Mukthie Fadjar, apabila ditafsirkan secara luas, dari
13 lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945, hanya bank sentral
yang kewenangannya masih akan diatur dengan undang-undang, sedang
12 lembaga negara lainnya mempunyai kewenangan konstitusional.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung
memasukkan bank sentral sebagai lembaga negara yang menjadi subjek
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, di samping MPR,
Presiden, DPR, dan BPK (vide Pasal 1 butir 12). berdasar penafsiran luas
ini yang bisa menjadi subjek hukum sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara ada 10 (setelah dikurangi MA dan MK), yaitu MPR,
Presiden, DPR, DPD, KPU, Pemerintah Daerah, Komisi Yudisial, BPK,
TNI dan Polri, atau 11 lembaga negara jika bank sentral dimasukkan.427
Apabila ditafsirkan moderat, maka hanya MPR, PRESIDEN, DPR,
DPD, BPK, MA, dan MK yang disebut sebagai lembaga negara yang memiliki
kewenangan konstitusional, sehingga yang bisa menjadi subjek sengketa
setelah dikurangi MA (vide Pasal 65 UU MK) dan MK (sebagai lembaga
peradilan yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa)
hanyalah MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, dan BPK. Apabila ditafsirkan
sempit, subjek hukum sengketa hanyalah DPR, DPD, dan PRESIDEN
(tafsiran dari Pasal 67 UU MK).
Menurut A. Mukthie Fadjar, tafsir yang tepat yaitu tafsir luas minus
atau tafsir moderat plus, yaitu bahwa lembaga negara yang bisa menjadi
subjek sengketa meliputi MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, BPK, Pemerintah
Daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Jadi tidak termasuk KPU, Komisi
Yudisial, TNI, dan Polri, sebab keempat lembaga ini meskipun
mempunyai kewenangan konstitusional, tetapi kurang tepat jika menjadi
subyek sengketa dengan lembaga lain dan kewenangan lebih bersifat teknis
operasional. Juga bank sentral yang kewenangannya tak diatur dalam UUD
1945 tidak termasuk pihak dalam sengketa.
Terlepas dari pendapat para ahli ini di atas, Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam masalah Nomor 05/PUUIV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (tentang
Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
(tentang Komisi Yudisial) berpendapat, bahwa ada 2 (dua) macam lembaga
negara menurut UUD 1945, yaitu lembaga-lembaga negara utama (main
state organs, principal state organs) dan lembaga-lembaga negara pendukung
(auxiliary state organs atau auxiliary agencies). Kriteria lembaga negara mana
saja yang masuk dalam main state organs dan mana yang hanya yaitu
auxiliary state organs dalam pandangan hukum Mahkamah Konstitusi hal
ini dijelaskan. Berikut kutipan pandangan hukum Mahkamah
Konstitusi ini :
‘Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan
judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal
state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental
mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state
functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara
itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal
state organs, atau main state)…
Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang
biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD
1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya
seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral,
komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun,
pengaturan lembaga-lembaga ini dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya
memicu lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 ini ,
termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara
sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah
menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal
dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi
kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung
dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilaku hakim. Oleh sebab itu, keberadaan komisi negara yang demikian
biasa disebut sebagai “auxiliary state organs” atau “auxiliary agencies” yang menurut
istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP
MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi
Yudisial yaitu “supporting element” dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide
Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006).4
Demikianlah, berdasar apa yang telah diuraikan di atas, kiranya
dapat dikemukakan bahwa pengertian dan kualifikasi lembaga negara di
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia itu ternyata bermacam-macam.
Para ahli ternyata juga memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang
lembaga-lembaga negara mana saja yang memperoleh kewenangan dari
Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
Nomor 05/PUU-IV/2006 menyatakan, bahwa UUD 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,
eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR
dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan
Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga
negara yang utama (main state organs, principal state organs).
C. Hukum Acara Memutus SKLN
Dalam bab terdahulu sudah dikemukakan, bahwa hukum acara atau yang
lazim disebut dengan hukum formil menunjuk cara bagaimana peraturanperaturan hukum materiil dipertahankan dan diselenggarakan. Hukum
acara menunjuk cara bagaimana masalah diselesaikan di muka hakim atau
alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum.430
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Hukum Acara Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (SKLN) yaitu hukum acara
yang mengatur tentang bagaimana masalah SKLN di Mahkamah Konstitusi
itu diselesaikan.
berdasar praktik, sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara ini dapat terjadi sebab beberapa hal:
(1) adanya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara satu lembaga
negara dengan lembaga negara lainnya yang diatur dalam konstitusi
atau Undang-Undang Dasar;
(2) adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari
konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang diabaikan oleh lembaga
negara lainnya;
(3) adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari
konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang dijalankan oleh lembaga
negara lainnya, dan sebagainya.
Hukum Acara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
paling tidak secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan:(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
(2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
dan
(3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.
Ada 2 (dua) ketentuan yang relevan dengan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 (tentang Kekuasaan Kehakiman) sebagai sumber hukum
formal Hukum Acara SKLN ini, yaitu:
a. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
yang menyatakan:
‘Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasar Pancasila’.
Ini artinya, sistem penyelenggaraan peradilan Mahkamah Konstitusi
harus berdasar pada Pancasila. Hukum Acara SKLN harus bertumpu
pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai
religius, nilai humanisme, nilai kebangsaan atau nasionalisme, nilai demokrasi,
dan nilai keadilan sosial. Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Moh.
Mahfud MD yaitu kaidah penuntun dalam menentukan politik
hukum Indonesia.431
b. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
yang menyatakan:
‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga .’
Ketentuan ini mengingatkan pada pandangan yang mengemukakan,
agar hakim jangan hanya berfungsi sebagai spreakbuis (corong) undangundang saja, atau kata Montesquieu – la bouche de la loi.
432 Ijtihad dalam
rangka rechtsvinding para hakim Mahkamah Konstitusi hingga sampai pada
putusannya itu yaitu bagian dari amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sebagai peradilan negara, Mahkamah Konstitusi harus
menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila,433
di samping juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga .
D. Pihak-Pihak Yang Bersengketa
Dalam masalah SKLN, pihak-pihak yang bermasalah di depan Mahkamah
Konstitusi dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (1) Pihak Pemohon; dan
(2) Pihak Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan Pihak Pemohon
dan Pihak Termohon, Hukum Acara SKLN telah mengaturnya.
1. Pemohon
Pemohon yaitu lembaga negara yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.434 sedang yang dimaksud dengan lembaga
negara yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.435 Kewenangan lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD
1945 inilah yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan
konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan tugas/
kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945.436
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat
menjadi pemohon dalam masalah sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara adalah:
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); ataug. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.437
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’
menunjukkan, bahwa kemungkinan pemohon lain di luar yang telah
disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi pemohon dalam
masalah SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung pada
kewenangan yang dipersengketakan.
438 Yang dimaksud dengan kewenangan yang
dipersengketakan ini yaitu kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh
UUD 1945.439
2. Termohon
Termohon yaitu lembaga negara yang dianggap telah mengambil,
mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.440
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/
PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat
menjadi termohon dalam masalah sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara adalah:
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’
menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang telah
disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi termohon dalam
masalah SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.
Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon memiliki
kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki kesempatan dan kebebasan
yang sama untuk mengajukan hal-hal yang dianggapnya benar menurut hukum. Keduanya juga memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk
mengajukan pembelaan dan bukti-bukti yang dianggap perlu. Dengan
demikian kedudukan pemohon dan termohon berkaitan dengan pemeriksaan
perkaranya bersifat accusatoir.
441
Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasa hukumnya berdasar surat kuasa khusus untuk itu.442 Dalam hal
pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon
dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu.
Surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus ini harus ditunjukkan
dan diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.443
3. Kemungkinan MA Sebagai Pihak Dalam masalah SKLN
Pasal 65 UU MK secara tegas menyatakan, bahwa Mahkamah Agung
tidak dapat ditarik menjadi termohon dalam sengketa kewenangan lembaga
negara semacam ini.444 Selanjutnya, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 juga mengatur, bahwa Mahkamah Agung
(MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon
dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial). Akan tetapi, di luar
sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial), Mahkamah Agung dapat
menjadi pihak dalam masalah SKLN.
Apabila ketentuan dalam UU MK dan PMK di atas dicermati,
secara yuridis-formal, memang MA tidak dapat menjadi pihak sepanjang
kewenangan yang dipersengketakan itu terkait dengan fungsi dan teknis
peradilan (yudisial), baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam masalah
SKLN, akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Mahkamah Agung tidak akan
mungkin bersengketa dengan lembaga negara lainnya. Misalnya:
1. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengangkatan hakim;
2. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengawasan dan
penjatuhan sanksi pada hakim;
3. Sengketa Kewenangan antara DPR dengan MA tentang pengangkatan
hakim.E. Permohonan Dan Tata Cara Pengajuan
Dalam jenis masalah SKLN ini, harus disebutkan dalam permohonan
pemohon, lembaga mana yang menjadi termohon yang merugikan
kewenangannya yang diperoleh dari UUD 1945. ini jelas diatur dalam
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, yang menggariskan:
(1) Pemohon yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (subjectum litis) yang mempunyai kepentingan langsung pada
kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis).
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan
yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara
yang menjadi termohon. Jadi alasan permohonan (fundamentum petendi)
harus jelas untuk dapat diajukan di depan Mahkamah Konstitusi.
Kedua ini yaitu syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon. Jika kedua hal itu tidak terpenuhi, maka Pemohon
dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
masalah SKLN ini di depan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Hukum Acara SKLN, apabila dalam permohonan Pemohon
tidak terpenuhi syarat subjectum litis (subjek perkara) dan objectum litis
(objek perkara), maka permohonannya tidak termasuk dalam ruang
lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili
dan memutusnya. pada permohonan yang demikian ini, lazimnya
Mahkamah Konstitusi memutus: permohonan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Jimly Asshiddiqie terkait dengan objek sengketa (objectum litis)
mengemukakan, bahwa yang menjadi objek sengketa antarlembaga negara
yaitu persengketaan (dispute) mengenai kewenangan konstitusional
antarlembaga negara. Isu pokoknya bukan terletak pada kelembagaan lembaga
negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional, yang
dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama
lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya
memiliki kewenangan yang dipersengketakan ini yaitu Mahkamah
Konstitusi.445 Jadi, sengketa kewenangan yaitu perselisihan atau perbedaan
pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau
lebih lembaga negaraDalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional itu ada dua
unsur yang harus dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang
ditentukan dalam UUD; dan (ii) timbulnya sengketa dalam pelaksananaan
kewenangan konstitusional ini sebagai akibat perbedaan penafsiran di
antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait.447 Oleh sebab itu, di
samping mendekati masalah SKLN ini dari segi subjek lembaga negaranya,
kita juga dapat mendekatinya dari segi objek kewenangan konstitusional
yang dipersengketakan di antara lembaga negara yang bersangkutan. Yang
menjadi pokok persoalannya yaitu kewenangan apakah yang diatur dan
ditentukan dalam UUD yang dinisbatkan sebagai fungsi sesuatu organ yang
disebut dalam UUD, dan apakah untuk melaksanakan kewenangannya itu
terhambat atau terganggu sebab adanya keputusan tertentu dari lembaga
negara lainnya.
Apabila keduanya dapat dijawab dengan jelas, maka kemungkinan
semacam ini memang dapat menjadi objek sengketa kewenangan
konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Yang penting dapat dibuktikan
dengan jelas apakah lembaga negara pemohon memang memiliki kewenangan
yang diberikan oleh UUD, dan apakah kewenangan konstitusional yang
dimaksudkan itu memang ternyata dirugikan oleh keputusan tertentu dari
lembaga negara termohon.448
Dalam Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
(SKLN), ketentuan tentang permohonan dan tata cara pengajuannya
kepada Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006. Dalam PMK ini diatur,
bahwa permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia, dan materi
permohonan harus memuat beberapa hal sebagai berikut:
a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga
negara, nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara;
b. Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
c. Uraian yang jelas tentang:
1. kewenangan yang dipersengketakan;
2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan ini ;
3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Permohonan yang diajukan ini , dibuat dalam 12 (dua belas)
rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara
yang mengajukan permohonan atau kuasanya. Selain dibuat dalam bentuk tertulis, dalam Hukum Acara SKLN
juga ada ketentuan yang mengatur, bahwa permohonan dapat pula
dibuat dalam format digital yang tersimpan secara elektronik dalam
media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk), atau yang
sejenisnya.449
Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan
kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan. Permohonan ini harus
disertai alat-alat bukti pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan
lembaga negara atau surat/dokumen pendukung. Alat-alat bukti tertulis
yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dengan
bukti yang asli diberi materai secukupnya.
Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon
harus menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan
yang berisi identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan
yang akan diberikan. Dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/
atau saksi, pemohon masih dapat mengajukan ahli dan/atau saksi selama
dalam pemeriksaan persidangan.
F. Pemeriksaan Administrasi dan Registrasi
Kelengkapan permohonan yang diajukan oleh pemohon pada prinsipnya
yaitu prasyarat bagi pendaftaran atau registrasi permohonan. Untuk
mengetahui apakah berkas permohonan yang diajukan oleh pemohon
itu sudah lengkap, maka petugas kepaniteraan melakukan pemeriksaan
kelengkapan berkas permohonan beserta lampirannya.450
Apabila hasil penelitian atau pemeriksaan petugas pada berkas
permohonan itu menunjukkan, bahwa berkas permohonan belum lengkap,
maka pemohon wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan ini diterima oleh
pemohon.451 Kewajiban untuk melengkapi berkas permohonan ini memiliki
konsekuensi yuridis, apabila tidak dipenuhi oleh Pemohon, maka Panitera
menerbitkan akta yang mengatakan permohonan tidak diregistrasi dan
mengembalikan berkas permohonan itu kepada pemohon.452
Penelitian yang bersifat administratif ini sangat penting sebab fungsinya
sebagai penyeleksi tahap pertama pada semua berkas permohonan yang
diterima oleh petugas kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Meskipun akses
bagi para pencari keadilan konstitusional yang terbuka untuk mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi, tidak berarti setiap orang dapat
berbuat seenaknya atau sesuka hatinya dalam bermasalah di Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi harus melindungi nilai-nilai kepentingan
umum yang tercermin atau terkandung dalam setiap undang-undang yang
telah ditetapkan sebagai produk hukum yang mengikat untuk umum.453
Dalam hal permohonan yang diajukan Pemohon sudah lengkap atau
sudah memenuhi persyaratan, maka Panitera mencatat permohonan ini
ke dalam Buku Register masalah Konstitusi (BRPK). pada permohonan
yang sudah memenuhi persyaratan ini Panitera memberi Akta Registrasi
masalah kepada pemohon. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyampaikan
permohonan yang sudah diregistrasi kepada termohon dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
Penyampaian permohonan kepada termohon ini dilakukan oleh Juru
Panggil yang dibuktikan dengan berita acara.
Apabila pemohon menarik kembali permohonan yang telah diregistrasi
sebelum diterbitkannya ketetapan tentang Panel Hakim, Panitera
menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi yang harus diberitahukan
kepada termohon. Dalam hal permohonan telah dicatat dalam BRPK dan
dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan
Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang telah diajukan Pemohon
dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas
permohonan.454
G. Penjadwalan dan Panggilan Sidang
Berkas permohonan yang sudah diregistrasi selanjutnya disampaikan
oleh Panitera kepada Ketua Mahkamah Konstitusi untuk ditetapkan susunan
Panel Hakimnya. Selanjutnya, Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang
pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama ini
diberitahukan kepada pemohon dan termohon, serta diumumkan kepada
warga . Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman
Mahkamah Konstitusi yang khusus dibuat untuk itu dan situs Mahkamah
(www.mahkamahkonstitusi.go.id), serta media lainnya.Panggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon dan termohon
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari
persidangan. Panggilan sidang ini ditandatangani oleh Panitera dan
disampaikan secara resmi oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita
acara panggilan serta dapat dibantu media komunikasi lainnya, seperti
telepon, faksimili, dan surat elektronik (e-mail). Dalam rangka panggilan
sidang, Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara
di daerah.456
H. Pemeriksaan Perkara
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan yaitu pemeriksaan yang dilakukan majelis
hakim dalam sidang pertama, sebelum melakukan pemeriksaan pada
pokok perkara.457 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
menyatakan:
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah
Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari.
Dalam Hukum Acara SKLN, pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan
dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurangkurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim yang
sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim. Pemeriksaan
pendahuluan dihadiri oleh pemohon dan/atau kuasanya, kecuali dalam
hal adanya permohonan putusan sela, dihadiri pula oleh termohon dan/
atau kuasanya.458
Dalam pemeriksaan pendahuluan, Majelis Hakim memiliki kewajiban
untuk:
a. memeriksa kelengkapan permohonan;
b. meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang
mencakup kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing)
pemohon, dan pokok permohonan; . memberi nasihat kepada pemohon, baik mengenai kelengkapan
administrasi, materi permohonan, maupun pelaksanaan tertib
persidangan;
d. mendengar keterangan termohon dalam hal adanya permohonan
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan;
e. memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan
oleh pemohon.459
Apabila dalam pemeriksaan pendahuluan, permohonan belum lengkap
dan/atau belum jelas, Majelis Hakim memberi kesempatan kepada pemohon
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Sedangkan, apabila permohonan
itu telah lengkap dan jelas, maka hasil pemeriksaan pendahuluan itu
dilaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim.460
2. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum
oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang
Hakim. Pemeriksaan Persidangan, berdasar hasil Rapat Permusyawaratan
Hakim, dapat dilakukan oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri
atas 3 (tiga) orang Hakim.461 Pemeriksaan Persidangan oleh Pleno Hakim
ini bertujuan untuk:
a. memeriksa materi permohonan yang diajukan pemohon;
b. mendengarkan keterangan dan/atau tanggapan termohon;
c. memeriksa dan mengesahkan alat bukti tertulis maupun alat bukti
lainnya, baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, maupun oleh
pihak terkait langsung;
d. mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait apabila ada dan/atau
diperlukan oleh Mahkamah, baik pihak terkait yang mempunyai
kepentingan langsung maupun kepentingan yang tidak langsung;
e. mendengarkan keterangan ahli dan saksi, baik yang diajukan oleh
pemohon maupun oleh termohon.462
3. Pembuktian
Pembuktian yaitu kegiatan yustisial yang amat penting sekali
dalam rangkaian kegiatan memeriksa, mengadili dan memutuskan suatumasalah hukum. Oleh sebab itu hampir di setiap Hukum Acara apapun,
ketentuan tentang pembuktian ini selalu diatur. Di dalam Hukum Acara
SKLN, ketentuan tentang pembuktian diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.
Pasal 16 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
menyatakan, beban pembuktian berada pada pihak pemohon. Apabila ada
alasan yang cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian
kepada pihak termohon.463 Dalam rangka pembuktian ini, Majelis Hakim
juga dapat meminta pihak terkait untuk memberi keterangan dan/atau
mengajukan alat bukti lainnya.464
Dalam Hukum Acara SKLN, alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh
pemohon, termohon, dan pihak terkait langsung dapat berupa:
a. surat atau tulisan,
b. keterangan saksi,
c. keterangan ahli,
d. keterangan para pihak, dan
e. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.465
Alat-alat bukti sebagaimana ini di atas, harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara sah menurut hukum.466
Penentuan sah tidaknya alat bukti dan perolehannya dilakukan oleh Majelis
Hakim dalam persidangan Pleno atau Panel.467 Apabila dipandang perlu
Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat, dengan dihadiri
oleh para pihak.468
4. Penarikan Kembali Permohonan
Adakalanya dalam praktik peradilan ditemui, pihak penggugat atau
pemohon mencabut gugatannya atau menarik kembali permohonannya.
Dalam Hukum Acara SKLN ketentuan tentang penarikan kembali
‘permohonan’ itu diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006 menyatakan, bahwa:Pemohon dapat menarik kembali permohonannya sebelum atau selama
pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan penarikan kembali
secara tertulis.
Dalam Hukum Acara SKLN, penarikan kembali permohonan oleh
pemohon tidak serta merta dapat dilakukan oleh pemohon, karena:
(1) ‘penarikan kembali permohonan’ oleh pemohon itu harus diajukan
secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi;
(2) ‘penarikan kembali permohonan’ oleh pemohon itu apabila setelah
dimulainya pemeriksaan persidangan, maka Mahkamah Konstitusi dapat
mempertimbangkannya setelah mendengar keterangan termohon469;
(3) ‘penarikan kembali permohonan’ oleh pemohon itu dapat dikabulkan470
oleh Mahkamah Konstitusi apabila:
a. substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional;
b. tidak ada forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan
c. adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.471
Di lapangan Hukum Acara Perdata, ketentuan tentang ‘penarikan
kembali permohonan’ yang diatur dalam Hukum Acara SKLN, dikenal
dengan istilah ‘pencabutan gugatan’. Hanya saja perbedaannya, jika dalam
Hukum Acara SKLN, pemohon dapat menarik kembali permohonannya
sebelum atau selama pemeriksaan dilakukan dengan cara mengajukan
permohonan penarikan kembali secara tertulis, sedang dalam Hukum
Acara Perdata, pencabutan gugatan dilakukan dengan bersyarat, yaitu:
a. Apabila pencabutan gugatan itu dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa
di persidangan, atau sebelum tergugat secara resmi belum tahu akan
adanya gugatan itu, maka pencabutan gugatan tidak memerlukan
persetujuan dari pihak tergugat. Pasal 271 Rv menyatakan:
‘Kalau pencabutan dilakukan sebelum masalah diperiksa di persidangan
atau sebelum tergugat memberi jawabannya, maka tergugat secara
resmi belum tahu akan adanya gugatan itu, yang berarti bahwa secara
resmi belum terserang kepentingannya. Dalam ini tidak perlu ada
persetujuan dari pihak tergugat.’
b. Apabila pencabutan gugatan itu dilakukan setelah tergugat memberi
jawaban atau menanggapi gugatan penggugat di persidangan, maka
pencabutan gugatan memerlukan persetujuan dari pihak tergugat.Dalam praktik sering terjadi penarikan kembali permohonan oleh pihak
pemohon, baik sebab alasan situasi atau kondisi mulai membaik, maupun
sebab atas saran hakim yang memeriksa masalah yang bersangkutan. Berikut
beberapa contoh penarikan kembali permohonan dalam praktik peradilan
SKLN:
a. Contoh penarikan kembali permohonan sebab situasi atau kondisi
mulai membaik:
- Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/SKLN-III/2005 tentang Penarikan
masalah Sengketa Kewenangan Gubernur Provinsi Lampung dengan DPRD
Provinsi Lampung.
Pemohon dalam permohonan penarikannya mendalilkan, bahwa memperhatikan situasi
di Provinsi Lampung yang kelihatannya cenderung membaik, maka Pemohon
mengajukan penarikan kembali permohonan pada permohonan Pemohon.
berdasar hasil Rapat Pleno Hakim, penarikan kembali permohonan a quo
perlu dikonfirmasi kepada Pemohon dalam Sidang Panel.
Pemohon pada persidangan tanggal 5 Januari 2006, hari ini, telah menerangkan
bahwa penarikan kembali permohonan dimaksud dalam surat Pemohon bertanggal
26 Desember 2005 benar adanya.
berdasar hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi
berpendapat, bahwa penarikan kembali permohonan Pemohon a quo tidak bertentangan
dengan undang-undang, oleh karenanya permohonan Pemohon untuk menarik kembali
permohonannya harus dikabulkan dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali
masalah Nomor 025/SKLN-III/2005 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
antara Gubernur Lampung dengan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Lampung. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat
penarikan kembali masalah Nomor 025/SKLN-III/2005 dalam Buku Register masalah
Konstitusi.472
b. Contoh penarikan kembali permohonan sebab saran hakim:
- Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/SKLN-VI/2008 tentang Penarikan
masalah Sengketa Kewenangan Antara Bank Indonesia pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pemohon masalah Nomor 7/SKLN-VI/2008 yaitu Gubernur Bank Indonesia yang
diwakili oleh Dr. Burhanudin Abdullah, M.A. memberi Surat Kuasa Khusus
tanggal 15 Februari 2008 kepada Aa Dani Saliswijaya, S.H.,M.H., dkk bertindak
untuk dan atas nama Pemohon untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan
lembaga negara antara Bank Indonesia pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam masalah ini , Mahkamah Konstitusi telah mendengar keterangan
Pemohon dalam Sidang Panel tanggal 21 Februari 2008 dan telah menerima surat
dari Kuasa Hukum Pemohon dengan Nomor 04/SWP/MK/III/2008, dengan alasan
bahwa berdasar Surat Bank Indonesia Nomor 10/2/GBI/DHk tanggal 5 Maret
2008 pihak Bank Indonesia meminta Kuasa Hukum untuk mencabut masalah a quo.
Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 21 Februari 2008 Panel Hakim memberi tiga alternatif pada masalah a quo antara lain, untuk dicabut
dan dicari saluran yang pas, diperbaiki, atau tetap pada permohonan semula.
Setelah diadakan diskusi dan penelitian lebih lanjut, maka yang disampaikan oleh Panel
Hakim sangat beralasan dan dapat dimengerti secara logika hukum, sehingga Kuasa
Hukum Pemohon berkesimpulan untuk mencabut masalah ini dan kemungkinan
akan menempuh dengan jalan lain.
Mahkamah mengabulkan penarikan permohonan Pemohon, sebab penarikan
kembali permohonan masalah Nomor 7/SKLN-VI/2008 ini beralasan dan tidak
bertentangan dengan undang-undang dengan memperhatikan Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi:
(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan
Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu permohonan
tidak dapat diajukan kembali.
berdasar ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini
memicu Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo. Selanjutnya,
Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali masalah
Nomor 7/SKLN-VI/2008 dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi.
Dalam lapangan Hukum Acara Perdata, penggungat boleh mengajukan
lagi gugatannya yang telah dicabutnya sebelum tergugat memberi jawabannya,
tetapi dalam hal pencabutan gugatan sesudah tergugat memberi jawaban,
dapat dianggap bahwa penggugat telah melepaskan haknya, sehingga tidak
boleh mengajukannya lagi. Berbeda dengan ketentuan di dalam Hukum
Acara Perdata, dalam Hukum Acara SKLN penarikan kembali permohonan
membawa konsekuensi hukum, permohonan yang telah ditarik kembali,
baik sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi itu, tidak
boleh diajukan kembali oleh Pemohon473, kecuali dalam kondisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006, yaitu:
a. substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional;
b. tidak ada forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud;
dan
c. adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.
I. Rapat Permusyawaratan Hakim
Dalam Hukum Acara SKLN, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
dilakukan secara tertutup dan rahasia. RPH dipimpin oleh Ketua Mahkamah,
atau apabila Ketua berhalangan RPH dipimpin oleh Wakil Ketua, atau
apabila Ketua dan Wakil Ketua berhalangan, RPH dipimpin oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh Hakim. RPH diselenggarakan untuk
pengambilan keputusan atau untuk tujuan lainnya.474
RPH untuk pengambilan keputusan antara lain meliputi pengambilan
keputusan mengenai mekanisme pemeriksaan dan kelanjutan perkara,
putusan sela, serta putusan akhir. RPH ini dihadiri oleh sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Pengambilan keputusan dalam RPH
dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Apabila musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara
terbanyak, dan apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak
tercapai, suara terakhir ketua sidang RPH menentukan. Dalam hal RPH
untuk pengambilan keputusan akhir tidak mencapai mufakat, pendapat
yang berbeda (dissenting opinion) ataupun alasan yang berbeda (concurring
opinion) dimuat dalam putusan.475
Dalam RPH untuk pengambilan keputusan mengenai putusan akhir,
setiap Hakim wajib menyampaikan pendapat hukum secara tertulis.
Pendapat hukum ini yaitu bagian dari berkas asli yang bersifat
rahasia dan dihimpun oleh Panitera sebelum perancangan putusan.476 RPH
untuk tujuan lain, antara lain diskusi curah pendapat (brain storming) dan
perancangan (drafting) putusan setelah musyawarah. RPH untuk maksud
dan tujuan ini tidak memerlukan persyaratan kuorum.477
J. Putusan
Hukum Acara SKLN mengenal beberapa jenis putusan apabila
dilihat dari tujuan dan motivasinya, diantaranya yaitu putusan (ketetapan)
penarikan kembali permohonan, putusan sela, dan putusan akhir. Ketetapan
penarikan kembali permohonan yaitu ketetapan Mahkamah Konstitusi
yang diambil berkaitan dengan adanya permohonan penarikan kembali
permohonan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi pada saat sebelum
atau selama persidangan. Putusan sela yaitu putusan yang dijatuhkan oleh
hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan
(objectum litis) yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.
Hukum Acara SKLN mengatur ketentuan tentang putusan sela ini dalam
Pasal 12-13 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Putusan
sela dapat ditetapkan atas permintaan pemohon dan juga dapat ditetapkanatas inisiatif Majelis Hakim demi kepentingan hukum.478 Putusan sela
sebagaimana dimaksud diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
dan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.479
Putusan sela yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi, dapat diambil atau dijatuhkan
oleh Mahkamah Konstitusi setelah pemeriksaan pendahuluan dilakukan.
Pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan yang dimaksud di sini
yaitu berupa tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum, yang
yaitu pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.480
Putusan sela yang menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan
yang dipersengketakan dapat dijatuhkan apabila:
a. ada kepentingan hukum yang mendesak yang, apabila pokok
permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih
serius;
b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan yaitu pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.481
Contoh putusan sela dalam masalah SKLN ini misalnya, Putusan Sela
Mahkamah Konstitusi Nomor 068/SKLN-II/2004 tanggal 8 November
2004 yang diajukan oleh DPD pada Presiden dan DPR tentang
pengangkatan anggota BPK. Isi Putusan Sela ini memerintahkan
penghentian sementara pelaksanaan Keppres Nomor 185/M Tahun 2004,
harus dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berbeda dengan putusan sela, maka putusan akhir diambil dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)482 yang khusus diadakan untuk itu
dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.483 Dalam
RPH untuk pengambilan keputusan mengenai putusan akhir, setiap hakim
wajib menyampaikan pendapat hukum secara tertulis. Pendapat hukum
sebagaimana dimaksud yaitu bagian dari berkas asli yang bersifat
rahasia dan dihimpun oleh Panitera sebelum perancangan putusan.Putusan akhir Mahkamah Konstitusi atas masalah SKLN memiliki
sifat atau karakteristik yang sama dengan putusan pengadilan umumnya.
Putusan diambil berdasar ketentuan UUD 1945 menurut keyakinan
Hakim dengan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.485 Putusan
diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.486 Putusan bersifat final
dan mengikat.487
Sejak tahun 2003 hingga Juni 2010, Mahkamah Konstitusi telah
memutus 6 masalah SKLN dengan rekapitulasi sebagai berikut.
Setiap putusan wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan
dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.488 Pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan akan meliputi pertimbangan hukum
tentang kewenangan MK, apakah permohonan yang diajukan termasuk
kewenangan MK? Dan apabila setelah dipertimbangkan bahwa permohonan
yang diajukan itu memang termasuk kewenangan MK, masih harus
dipertimbangkan apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal
standing untuk mengajukan permohonan di depan MK yang akan dilihat
dari ada tidaknya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
dirugikan. Setelah jelas bahwa pemohon memiliki legal standing dimaksud
maka dapat dipertimbangkan pokok permasalahan atau pokok perkara.
Pertimbangan hukum yang mendasarkan diri pada konstitusi melalui proses
penemuan hukum akan sampai pada kesimpulan apakah dalil permohonan
dipandang terbukti dan secara konstitusional beralasan dimana MK akan
menyatakan mengabulkan permohonan. Namun jika sebaliknya maka
permohonan akan dinyatakan ditolak. Apabila dipandang bahwa kewenangan
dan legal standing tidak dipenuhi maka permohonan akan dinyatakan tidak
dapat diterima. Amar putusan akan menegaskan semua pertimbangan
dimaksud yang dipandang yaitu hal yang bersifat declaratoir dan/atau
constitutief atau menciptakan maupun meniadakan satu keadaan hukum.489
Ada 2 (dua) hal yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum, yaitu:
(1) ratio decidendi; dan (2) obiter dictum. Ratio decidendi yaitu bagian
pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan diambilnya
putusan yang dirumuskan dalam amar. Bagian pertimbangan ini tidak
dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum yang dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum. Di pihak lain
ada bagian pertimbangan yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan
masalah hukum yang dihadapi dan karenanya juga tidak berkaitan dengan
amar putusan. Hal demikian sering dilakukan sebab dipakai sebagai
ilustrasi atau analogi dalam menyusun argumen pertimbangan hukum.
Bagian ini disebut sebagai obiter dictum yang tidak mempunyai kekuatan
mengikat.490
Hukum Acara SKLN menentukan, bahwa syarat putusan itu harus
sekurang-kurangnya terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut:
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN berdasar
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pemohon dan termohon;
c. ringkasan permohonon;
d. ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon;
e. pertimbangan pada fakta yang terungkap dalam persidangan;
f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
g. amar putusan;
h. pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim; dan . hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta
panitera.491
Amar putusan dapat menyatakan: a. permohonan tidak dapat diterima;
b. permohonan dikabulkan; atau c. permohonan ditolak.492 Permohonan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) apabila pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2)493 serta Pasal 5 ayat (1)494 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/
PMK/2006.495 Permohonan dikabulkan dalam hal permohonan beralasan,496
sedang Permohonan ditolak dalam hal permohonan tidak beralasan.497
Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan
tegas bahwa pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.498
Hakim yang turut serta dalam pengambilan putusan dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim dicantumkan namanya di dalam putusan. Dalam
hal ada pendapat berbeda dari Hakim yang dimuat di dalam putusan,
sedang Hakim yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang pleno
pengucapan putusan, pendapat berbeda ini tidak dibacakan. Putusan
ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota yang hadir dalam
sidang pleno pengucapan putusan serta panitera yang mendamping
Dalam hal isi amar putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(3),500 termohon wajib melaksanakan putusan ini dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima oleh termohon.
Apabila putusan ini tidak dilaksanakan oleh termohon maka pelaksanaan
kewenangan termohon batal demi hukum.501
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada
pemohon, termohon, dan pihak-pihak terkait dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Putusan Mahkamah
disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden, serta lembaga negara lain
apabila dipandang perlu.502 Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.
saat membicarakan pemilihan umum (Pemilu) tak dapat dihindari
untuk menguraikan arti penting konsep demokrasi. Keduanya memiliki relasi
erat yang tak dapat dipisahkan pengkajiannya. memakai istilah Arbi
Sanit, Pemilu yaitu institusi yang mengejawantahkan demokrasi.578
Bahkan menurut Valentino Larcinese tingkatan partisipasi dalam Pemilu
yaitu ukuran pada kualitas demokrasi itu sendiri. Selengkapnya
Larcinese menyatakan;
In an idealized vision of democracy, public decisions are based on the preferences and
the opinions of all the members of a polity. It is therefore common in the public debate
to regard the extent of electoral participation as a measure of the quality of democratic
governance.579
Kata demokrasi secara semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos
dan kratos. ’Demos’ berarti rakyat dan ’kratos’ berarti pemerintahan (rule)
atau dapat pula dimaknai dengan kekuasaan (strength).580 Sehingga dalam
pemahaman sederhana, demokrasi dapat diberi makna sebagai pemerintahan
yang kedaulatannya terletak pada rakyat banyak. Bukan pemerintahan yang
terpusat kepada satu orang (monarki), bukan pula tersentralisasi kepada
sekelompok orang (oligarki). Saat ini, paham demokrasi terus berkembang,
bahkan demokrasi saat ini dipandang memiliki makna yang sama dengan
republik. James Mac Gregor Burns, misalnya, menyebutkan demokrasi
lebih tepat dimaknai sebagai sebuah demokrasi perwakilan (representative
democracy). Burns selengkapnya menyebutkan sebagai berikut;Today democracy is more likely to mean a representative democracy –or, in Plato’s term,
a republic– in which all the people do not actually make the laws or administer them
but choose the ones who do.581
Sejak pemerintahan berkonsep monarki otoriter telah banyak
ditinggalkan negara-negara dunia dan beralih kepada konsep pemerintahan
rakyat. Demokrasi kemudian menjadi alternatif bahkan didaulat menjadi
asas utama pemerintahan yang dapat dikatakan berlaku universal. Bahkan
hampir dapat dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak
menyebut dirinya sebagai negara demokrasi.
Arend Lijphart mengatakan usaha untuk membentuk sebuah
negara demokratis bukanlah pekerjaan mudah. Lijphart menyebutkan
bahwa, ”It is not a system of government that fully embodies all democratic ideals,
but one that approximates them to a reasonable degree.”582 Bagi Lijphart seluruh
ide mengenai demokratisasi hanyalah konsep imajinatif yang utopis (anganangan) apabila diterapkan secara kaku, namun kehendak pada bentuk
negara demokratis itu akan dapat diwujudkan apabila diletakan kepada