mahkamah konstitusi 2

Rabu, 13 September 2023

mahkamah konstitusi 2


kekuasaan negara. Dan istilah 
itu sebelumnya juga telah dipakai  oleh Whig John Toland (1701) dan 
Marcham Nedham (1654). Gagasan checks and balances menurut David 
Wootton mengandung pikiran, bahwa konstitusi yaitu satu sistem 
mekanis, yang diartikan sebagai satu interest dalam mekanisme. Menurut 
Jimly Asshiddiqie, rujukan tentang mesin politik itu, diambil dari edisi 
John Dryden tentang Plutarch’s Lives, dengan mengatakan “... the Maker of 
the world had when he had finished and set this great machine moving, and found 
everything very good and exactly to answer to his great idea.” 395 
Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan 
yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing￾masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam 
menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan 
pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas 
untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang 
telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa 
kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang 
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah 
Konstitusi
Mengapa lembaga-lembaga negara itu dapat bersengketa? Sebab menurut 
Jimly Asshiddiqie dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam 
ketentuan UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000), 
Ketiga (2001), dan Keempat (2002), mekanisme hubungan antarlembaga 
negara bersifat horizontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika sebelumnya kita 
mengenal adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara397, maka 
sekarang tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR bukan lagi lembaga 
yang paling tinggi kedudukannya dalam bangunan struktur ketatanegaraan 
Indonesia398, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga konstitusional 
lainnya, yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK.399
masalah sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yaitu 
masalah yang pemohonnya yaitu lembaga negara yang kewenangannya 
diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung pada  
kewenangan yang dipersengketakan. Hingga Agustus 2009, Mahkamah 
Konstitusi telah menerima dan memutus kurang lebih 11 masalah Sengketa 
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Kesebelas ini  masing-masing 
diregistrasi pada tahun 2004 sebanyak 1 perkara, 2005 sebanyak 1 perkara, 
2006 sebanyak 4 perkara, 2007 sebanyak 2 perkara, dan 2008 sebanyak 3 
perkara.
1. Kewenangan Memutus SKLN di Beberapa Negara
Kewenangan memutus sengketa kewena ngan konstitusional lembaga 
negara telah diadopsi dalam praktik sistem ketatanegaraan di berbagai negara. 
Kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara 
ini ada yang diberikan kepada lembaga Mahkamah Agung (Supreme Court) 
sebagaimana berlaku di Amerika Serikat. Ada juga yang memberi nya 
pada lembaga Mahkamah Konstitusi sebagaimana berlaku di Jerman. 
Dengan demikian, ada dua model pemilik kewenangan memutus sengketa 
kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu model Amerika Serikat 
dan model Jerman.
Di Amerika Serikat, kewenangan Supreme Court memutus sengketa 
kewenangan lembaga negara bertolak dari ketentuan dalam The United 
States Constitution pada Article III tentang The Judicial Branch section 2 clause 
1. Dalam ketentuan itu disebutkan seperti berikut:
“The judicial power shall extend to all cases, in law and equity, arising under this 
constitution, the laws of the united states, and treaties made, or which shall be made, 
under their authority; --to all cases affecting ambassadors, other public ministers and 
consuls;--to all cases of admiralty and maritime jurisdiction;--to controversies to which 
the united states shall be a party;--to controversies between two or more states;--between 
a state and citizens of another state;--between citizens of different states,--between citizens 
of the same state claiming lands under grants of different states, and between a state, or 
the citizens thereof, and foreign states, citizens or subjects.”401
Hanya saja berkaitan dengan kedudukan konstitusi sebagai dasar bagi 
penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara di Amerika Serikat, 
C.F. Strong mengemukakan, bahwa:
In America, indeed, the federal constitution is meaningless unless taken in conjuction 
with the state contsitutions, which are not merely useful additions thereto, but the 
indispensable complement of it. A further illustration of the absolute power of the states 
concerning all the things not mentioned in the constitution as belonging to the federal 
authority is seen in the fact that there is no appeal to the supreme court of the united 
states in any such matters.402
Jadi, di Amerika Serikat, Konstitusi Federal memang tidak ada artinya 
kecuali jika dilaksanakan dengan Konstitusi Negara Bagian. Konstitusi 
Negara Bagian bukan sekadar tambahan yang berguna bagi Konstitusi 
Federal, tetapi menjadi pelengkapnya yang sangat diperlukan. Oleh sebab 
itu, dengan menganggap segala perselisihan hukum dalam urusan-urusan 
yang tidak disebutkan dalam konstitusi yaitu cakupan otoritas federal, 
maka tidak ada pengajuan naik banding ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam urusan-urusan yang menurut konstitusi secara spesifik menjadi 
bagian dari Uni sebagai suatu keseluruhan, kekuasaan Mahkamah Agung 
bersifat absolut dan penguasa federal wajib menjalankan putusannya secara 
mutlak.
Di Jerman, kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional 
lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 93 ayat (3) 
Konstitusi Federal Jerman. Disebutkan bahwa the Federal Constitutional 
Court berwenang memutus: 
“in case of differences of opinion on the rights and duties of the Federation and the 
States (Lander), particularly in the execution of federal law by the States (Lander) and 
in the exercise of federal supervision; on other disputes involving public law, between 
the Federation and the States (Lander), between diferent States (Lander) or within a 
State (Land), unless recourse to another court exist.”403
Ini dipertegas lagi dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi 
Federal Jerman Pasal 13 ayat (5) mengenai sengketa kewenangan lembaga 
negara Federal Jerman, dan dalam Pasal 13 ayat (7) mengenai sengketa 
kewenangan lembaga pemerintah federal dengan dan atau lembaga peme￾rintah negara bagian terutama yang berkaitan dengan penerapan pembagian 
kekuasaan federal.404
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur bahwa yang 
berhak untuk menjadi tergugat dan penggugat dalam masalah sengketa 
kewenangan yaitu Presiden, Bundestag, Bundesrat, pemerintah federal, serta 
bagian-bagian lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai dengan 
ketentuan Konstitusi, atau Peraturan Tata Tertib Bundestag atau Bundesrat. 
Di samping itu, pemerintah federal dalam masalah sengketa kewenangan 
lembaga negara Federasi, dan pemerintah negara bagian405 dalam masalah 
sengketa kewenangan lembaga negara bagian berhak menjadi penggugat dan 
tergugat dalam sengketa kewenangan lembaga negara.406
Di Korea Selatan, lembaga negara yang memiliki kewenangan memutus 
sengketa kewenangan lembaga negara yaitu Mahkamah Konstitusi Korea 
Selatan. berdasar  Konstitusi Korea Selatan Article 111, Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan 
sengketa kewenangan antarpemerintah pusat, pemerintah pusat dengan 
pemerintah daerah, dan antarpemerintah daerah (disputes between State agencies, 
between State agencies and local governments, and between local governments). 
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berwenang membekukan aktivitas 
lembaga negara yang digugat sampai ada putusan final oleh Mahkamah 
Konstitusi Korea Selatan.407
Di Federasi Rusia, kewenangan memutus sengketa kewenangan 
lembaga negara dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia. 
Konstitusi Federasi Rusia Pasal 125 ayat (3) yang ditegaskan pula dalam 
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia Pasal 3 ayat (2) 
mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia berwenang memu￾tus sengketa kewenangan lembaga negara meliputi sengketa kewenangan 
lembaga pemerintah federal, sengketa kewenangan lembaga pemerintahan 
masing-masing negara yang tergabung dalam konstituen Federasi Rusia, 
dan sengketa kewenangan lembaga tinggi pemerintahan negara-negara yang 
tergabung dalam Konstitusi Federasi Rusia dengan lembaga pemerintahan 
di bawahnya (dispute about competences between federal bodies, between a federal 
body, and a subject of the Federation, and between the highest bodies of state power 
of the subjects of the Federation).408
Berbeda dengan yang dilakukan dalam praktik di Federasi Rusia, di 
Swiss, pengadilan tertinggi atas semua konflik antara otoritas negara bagian 
dan otoritas federal bukan ada pada Pengadilan Federal, akan tetapi ada 
pada Majelis Federal. Menurut Strong:
‘... and the Federal Court cannot question the constitutionality of acts passed by the 
Federal Assembly.’ 409 
Dengan demikian Pengadilan Federal tidak dapat mempertanyakan 
konstitusionalitas putusan yang disahkan Majelis Federal.
Di Thailand, ketentuan mengenai kewenangan memutus sengketa 
kewenangan lembaga negara diatur dalam Konstitusi Thailand bagian 226. 
Kewenangan ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Thailand. Lembaga 
negara yang dapat menjadi objek sengketa kewenangan lembaga negara yaitu 
lembaga negara yang kewenangan, kekuasaan, dan tugas lembaga ini  
dicantumkan di dalam konstitus
Demikian gambaran singkat mengenai praktik-praktik penanganan secara 
yudisial sengketa lembaga negara di beberapa negara. Gambaran ini semakin 
mengukuhkan perspektif, bahwa penyelesaian sengketa kewenangan lembaga 
negara di bawah Mahkamah Konstitusi yaitu praktik penyelenggaraan 
kekuasaan yudisial yang sudah berjalan dan diakui dalam berbagai konstitusi 
negara-negara modern.
2. Wewenang MK Memutus SKLN 
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa 
kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan 
oleh UUD, di samping melakukan pengujian undang-undang pada  
UUD, pada dasarnya yaitu kewenangan konstitusional yang dibentuk 
dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan yang ada dalam UUD. 
Ini disebabkan sebab dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat 
timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin 
dalam (2) dua kewenangan ini , yaitu: (1) kewenangan untuk menguji 
undang-undang pada  UUD; dan (2) kewenangan untuk memutus 
SKLN yang kewenangannya bersumber dari UUD.411
Apabila ditelusuri dari sejarah pembentukan kewenangan Mahkamah 
Konstitusi untuk memutus SKLN sebagaimana tercantum dalam Pasal 
24C ayat (1) UUD 1945, ternyata lahir dari berbagai pemikiran yang 
melatarbelakanginya. Pemikiran-pemikiran ini  dapat ditelusuri dari 
sejarah bagaimana rumusan tentang kedudukan dan wewenang Mahkamah 
Konstitusi itu dibahas dalam persidangan-persidangan Panitia Ad Hoc 
(PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR RI yang pada saat itu sedang membahas 
perubahan (amandemen) UUD 1945. Berikut ini beberapa pemikiran 
ini  akan diidentifikasikan.
Pertama yaitu Jimly Asshiddiqie anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc 
(PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR. Jimly Asshiddiqie pada persidangan 
itu menyampaikan hasil rumusan Tim Ahli yang telah disepakati bersama 
sebagai berikut:
‘Jadi dengan perkataan lain Mahkamah Konstitusi itu, kami usulkan memiliki tiga 
kewenangan.
1. Kewenangannya yaitu Hak Uji Materiil.
Mulai dari undang-undang ke bawah Hak Uji Materiil ini bersifat pasif, yang 
berarti dia tidak cari-cari, tergantung kalau ada masalah lalu kemudian ada gugatan 
itu yang harus diselesaikan. Sebab kalau dia cari-cari nanti selain menjadi berat bagi konstitusi itu sendiri dan itu nanti bisa menjadi sengketa antara dirinya 
sendiri dengan lembaga legislatif dan lembaga pembuat peraturan, seakan-akan dia 
menjalankan fungsi eksekutif termasuk dalam rangka mengembangkan harmonisasi 
peraturan. Oleh sebab itu dipertahankan sifat pasifnya.
2. memberi  putusan atas sengketa Lembaga Tinggi Negara. Jadi antar 
Lembaga Tinggi Negara, antar Pemerintah Pusat dengan Daerah, antar Pemerintah 
Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan sengketa 
di luar pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tempat penyelesaian 
pengambilan keputusannya di MK. (Cetak tebal-miring dari penulis). 
3. Menjalankan kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Opsi wewenang lain ini kami usulkan untuk dicantumkan meskipun tidak 
ditegaskan di sini, ini untuk menampung kemungkinan undang-undang Pemilu 
mengatur berkenaan dengan penyelesaian sengketa Pemilu dan sengketa Pemilu 
itu bisa diberikan kewenangan untuk penyelesaiannya di MK tetapi itu tergantung 
bagaimana undang-undang nanti mengaturnya.’412
Kedua yaitu Soetjipto dari F-UG. Menurut Soetjipto:
‘Kita tahu bahwa UU kita banyak produk-produk yang dihasilkan oleh Pemerintahan 
Belanda dan itu juga setingkat dengan UU, oleh sebab itu F-UG menganggap 
perlu adanya suatu Mahkamah Konstitusi yang menguji UU. Fungsinya bukan 
hanya untuk hak uji UU tetapi Mahkamah Konstitusi di negara lain juga mengadili 
persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga 
mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan 
juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili 
apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu.’413 (Cetak tebal-miring dari 
penulis).
Apabila dicermati pandangan di atas, walaupun Soetjipto tidak secara 
eksplisit mengemukakan, bahwa kewenangan MK diantaranya yaitu 
memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, akan tetapi dia juga 
menyebut perlunya MK diberi kewenangan untuk memutus persengketaan 
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Ketiga yaitu I Dewa Gede Palguna dari Fraksi PDI Perjuangan dalam 
pandangan akhir fraksinya, yang mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi 
memiliki kewenangan-kewenangan seperti dalam pandangan fraksinya 
sebagai berikut:
‘Pasal berikutnya, atau Pasal 29 dalam usulan kami:
Ayat (1), Di dalam lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi;
Ayat (2), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk: Menguji Undang￾undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang 
(fungsi judicial review). Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat hendak meminta persidangan 
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai laporan perilaku Presiden 
yang mengkhianati negara dan/atau merendahkan martabat Lembaga 
Kepresidenan. memberi  keputusan akhir mengenai putusan pembubaran 
suatu partai politik. memberi  keputusan apabila ada perselisihan 
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. memberi  
putusan atas gugatan yang berdasar  Undang-Undang Dasar.’414 (Cetak 
tebal-miring dari penulis).
Pandangan Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan oleh I Dewa 
Gede Palguna ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan Soetjipto 
dari F-UG, yang menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK yaitu 
memberi  keputusan apabila ada perselisihan antara pemerintah 
pusat dan pemerintah daerah otonom.
Keempat yaitu Sutjipno dari Fraksi PDI Perjuangan yang mengusulkan 
dalam pandangan akhir fraksinya sebagai berikut:
‘Berhubung kewenangan Mahkamah Agung yaitu melakukan uji materiil pada  
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka di lingkungan 
Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan 
menguji secara materiil atas undang-undang, memberi putusan atas pertentangan 
antar undang-undang, memberi putusan atas persengketaan kewenangan 
antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, serta 
menjalankan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.’415 (Cetak 
tebal-miring dari penulis).
Pandangan Sutjipno ini lebih luas dan eksplisit dibandingkan pandangan 
yang disampaikan I Dewa Gede Palguna. Sutjipno mengusulkan, bahwa 
salah satu kewenangan MK yaitu memberi putusan atas persengketaan 
kewenangan antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah 
Daerah.
Kelima yaitu Affandi dari F-TNI/Polri. Affandi dalam pendapat akhir 
fraksinya menyampaikan, bahwa:
‘Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi 
dan Mahkamah Agung serta Lembaga Pengadilan yang berada di bawahnya di dalam 
lingkungan peradilan umum. Pasal 24a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili 
masalah pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji materi undang-undang dan 
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, memberi putusan atas 
pertentangan atau persengketaan antara lembaga negara, antara pemerintah 
pusat dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah, menjalankan peraturan 
perundang-undangan serta menjalankan kewenangan lain yang diberikan oleh undang￾undang.’416(Cetak tebal-miring dari penulis).
Masih banyak sebenarnya pandangan-pandangan yang disampaikan 
oleh para tokoh politik di PAH I BP MPR RI itu berkenaan dengan 
pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan 
masalah SKLN di Indonesia. Akan tetapi apabila dicermati, pandangan￾pandangan ini , pada dasarnya menyetujui, bahwa Mahkamah Konstitusi 
perlu diberi kewenangan konstitusional untuk memutus SKLN. Dan, dalam 
sistem ketatanegaraan Indonesia, penyelesaian SKLN itu tidak diserahkan 
kepada proses politik yang hanya didasarkan atas posisi politik lembaga 
negara yang bersengketa, melainkan diserahkan kepada proses hukum 
(yudisial). UUD hanya menetapkan sengketa kewenangan yang diberikan 
oleh UUD (in de grondwet geregeld) saja yang diputus oleh Mahkamah 
Konstitusi, sedang kewenangan yang diberikan oleh undang-undang 
(in de wet geregeld) termasuk dalam lingkup penafsiran undang-undang tidak 
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan mencermati dinamika 
ketatanegaraan dan perkembangan pemikiran/gagasan yang pesat di bidang 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, serta tuntutan warga  pada  
penegakan supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional 
warga warga  (burger/justiciabelen), tidak tertutup peluang ke depan akan 
timbul perubahan-perubahan peraturan di bidang ini. Termasuk gagasan￾gagasan agar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus masalah 
SKLN tidak hanya sebatas pada masalah SKLN yang sumber kewenangannya 
berasal dari UUD (in de grondwet geregeld) saja, akan tetapi juga mencakup 
SKLN yang sumber kewenangannya diperoleh dari undang-undang (in de 
wet geregeld).
B. Pengertian Lembaga Negara
Dalam konsep organisasi negara ada 2 (dua) unsur pokok yang saling 
berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ yaitu bentuk atau wadahnya, 
sedang functie yaitu isinya; organ yaitu status bentuknya (Inggris: form, 
Jerman: form), sedang functie yaitu gerakan wadah itu sesuai maksud 
pembentuknya.417 Menurut Harjono, fungsi mempunyai makna yang 
lebih luas dibandingkan  tugas. Tugas menurutnya, lebih tepat dipakai  untuk 
menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi dapat terlaksana. 
Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan 
dari tugas-tugas yaitu operasionalisasi dari sebuah fungsi yang sifatnya ke 
dalam. Tugas selain mempunyai aspek ke dalam juga memiliki aspek keluar. Aspek keluar dari tugas yaitu wewenang, sehingga oleh karenanya sering 
dipakai  secara bersama-sama yaitu tugas dan wewenang. Dikatakan lebih 
jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga mempunyai wewenang, 
timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan eksklusif. Kategorial dikatakan 
sebagai unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang 
dengan yang tidak mempunyai wewenang, sedang eksklusif diartikan 
bahwa lembaga-lembaga yang tidak disebut yaitu lembaga yang tidak 
berwenang. Perbedaan tafsir atas kewenangan yang diberikan dalam aturan 
perundang-undangan oleh lembaga negara yang berbeda dengan demikian 
dapat melahirkan sengketa kewenangan yang yaitu perselisihan atau 
perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara 
dua lembaga negara atau lebih.418
Dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), lembaga 
negara yaitu organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang 
biasanya diatur atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau undang￾undang dasar suatu negara.419 Dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan 
Indonesia, jenis dan jumlah lembaga negara menurut UUD 1945 setelah 
perubahan ada bermacam-macam. 
Jimly Asshiddiqe mengemukakan, corak dan struktur organisasi negara 
Indonesia dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat 
pesat. Setelah masa reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga 
dan komisi-komisi independen dibentuk. Beberapa diantara lembaga￾lembaga atau komisi-komisi independen dimaksud dapat diuraikan dapat 
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, 
yaitu: 
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen 
berdasar  konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, 
seperti: 
a) Komisi Yudisial (KY);
b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya 
dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam undang-undang, tetapi 
dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di 
bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama 
dengan kepolisian;
g) Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasar  
undang-undang tetapi memiliki sifat constitutional importance
berdasar  Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) yang 
dibentuk berdasar  Undang-undang, tetapi juga memiliki sifat 
constitutional importance.
3) Lembaga-lembaga Independen lain yang dibentuk 
a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia(KPI);
4) Lembaga-Lembaga dan Komisi di lingkungan Eksekutif (pemerintah) 
lainya seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi atau Dewan yang bersifat 
khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:
a) Komisi Kedokteran Indonesia (KKI);
b) Komisi Pendidikan Nasional;
c) Dewan Pertahanan Nasional;
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN).
5) Lembaga-Lembaga dan Komisi di lingkungan Eksekutif (Pemerintah) 
lainnya, seperti:
a) Menteri dan Kementerian Negara;
b) Dewan Pertimbangan Presiden; 
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KONI);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan 
Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan 
umum lainnya, seperti:
a) Lembaga kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia(KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Banyaknya tumbuh lembaga-lembaga dan komisi-komisi, ataupun 
korporasi-korporasi yang bersifat independen ini  yaitu gejala yang 
mendunia dalam arti tidak hanya di Indonesia. Seperti dalam perkembangan 
di Inggris dan Amerika Serikat, lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu 
ada yang masih berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula 
yang bersifat independen dan berada di luar wilayah kekuasaan eksekutif, 
legislatif maupun yudikatif.420
Menurut Jimly Asshiddiqie, di dalam UUD 1945, ada tidak kurang 
dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke 34 Organ 
atau Lembaga ini  adalah:421
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 
1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bab 
III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri dari tiga ayat, Pasal 
3 yang terdiri dari 3 ayat”;
2) Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, 
dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan 
Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu 
pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, 
“dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil 
Presiden”;
4) Menteri dan Kementrian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V 
UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud dalam 
Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yaitu bersama-sama Menteri Dalam Negeri 
dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila 
ada kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan 
Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersama-sama Menteri Luar 
Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan bersama-sama Menteri Luar Negeri dan Menteri 
Dalam Negeri ditentukan sebagai Menteri triumvirat menurut Pasal 8 ayat 
(3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri sebab 
dapat saja terjadi konflik atau sengketa Kewenangan Konstitusional 
diantara sesama mereka, atau antara mereka dan menteri lain atau 
Lembaga Negera lainnya.
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III 
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden 
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi  nasihat 
dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang￾undang”.422
9) Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2);
10) Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi 423 sebagai di maksud oleh Pasal 18 
ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UUD 1945;
12) Gubernur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 
18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam 
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
14) Pemerintah Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 
ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam 
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam 
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
17) Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat 
(2), ayat (3), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam 
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 
18 ayat (3) UUD 1945;
20) Satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti 
yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat(1) UUD 1945, diatur dengan 
undang-undang. sebab kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, 
satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa kini 
diatur tersendiri oleh UUD 1945. misalnya, Aceh Darusallam dan 
Papua, serta pemerintahan daerah khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan 
Mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang￾undang. Oleh sebab itu pemerintahan daerah ini perlu disebut secara 
tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan 
dihormati oleh Negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 
1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang 
terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 22D;
23) Komisi Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat 
(5) UUD 1945 yang menentukan bahwa Pemilihan Umum harus 
diselenggarakan oleh suatu Komisi yang bersifat Nasional, tetap, dan 
Mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah nama yang 
ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24) Bank Sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara 
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung 
jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Seperti halnya 
Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan bank 
sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang 
yaitu Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang 
berdasar  kenyataan dan diwarisi dari sejarah di masa lalu;
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab 
VIII A dengan judul “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas 
tiga pasal, yaitu: Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G 
(2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, 
Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam 
Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28) Komisi Yudisial (KY) yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 
1945 sebagai auxiliary organ pada  Mahkamah Agung yang diatur 
dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29) Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, 
yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada 
Pasal 30 UUD 1945;
30) Angakatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam 
Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti 
Kejaksaan diatur dalam Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh 
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ,” badan-badan lain yang 
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang￾undang”. 424
Menurut Jimly Asshiddiqie, jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang 
ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ini  dapat pula membuka 
pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan 
Kekuasaan Kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. 
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “badan-badan lain yang fungsinya 
berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang” artinya, 
selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial 
dan Kepolisian Negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan yang lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai 
fungsi yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Badan-badan lain 
yang dimaksud itu antara lain yaitu Kejaksaan Agung yang semula dalam 
rancangan perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga 
yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi 
tidak mendapatkan kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 
ditiadakan. Namun, sebab yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) ini  
di atas yaitu Badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari 1. Artinya, selain 
Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan 
dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi Penyelidikan, 
Penyidikan, dan/atau Penuntutan. Lembaga-lembaga yang dimaksud 
misalnya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM), 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga 
ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut 
dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam 
sistem konstitusional berdasar  UUD 1945.425
Berbeda dengan Jimly Asshiddiqie, Abdul Mukthie Fadjar mengatakan, 
ada lembaga-lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/
tercantum dalam UUD 1945, dan ada yang diatur dalam undang-undang. 
Lembaga-lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum 
dalam UUD 1945 adalah:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan kewenangan:
a. mengubah dan menetapkan UUD [Pasal 3 ayat (1)];
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal 3 ayat (2)];
c. memutus usul DPR berdasar  putusan MKRI untuk 
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa 
jabatannya [Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (7)];
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, 
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya 
dalam masa jabatannya [Pasal 8 ayat (1)];
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden 
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa 
jabatannya paling lambat dalam waktu enam puluh hari [Pasal 8 
ayat (2)];
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, 
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya 
dalam masa jabatannya secara bersamaan dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau 
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil 
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam 
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya 
[Pasal 8 ayat (3)];
(2) Presiden dengan kewenangan:
a. memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4 ayat (1)];
b. mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR 
[Pasal 5 ayat (1)];
c. menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 ayat (2)];
d. memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan 
Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10);
e. menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan 
negara lain dengan persetujuan DPR [Pasal 11 ayat (1)];
f. menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);
g. mengangkat duta dan konsul [Pasal 13 ayat (1)];
h. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan 
MA [Pasal 14 ayat (1)];
i. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan 
DPR [Pasal 14 ayat (2)]; 
j. memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang 
diatur dengan Undang-Undang (Pasal 15);
k. membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasihat 
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam 
undang-undang (Pasal 16);
l. mengangkat dan memberhentikan para menteri [Pasal 17 ayat 
(2)];
m. membahas dan melakukan persetujuan bersama dengan DPR setiap 
rancangan undang-undang [Pasal 20 ayat (2)];
n. mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui 
bersama untuk menjadi undang-undang [Pasal 20 ayat (4)];
o. menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang 
[Pasal 22 ayat (1)];
p. mengajukan RUU anggaran pendapatan dan belanja negara untuk 
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD 
[Pasal 23 ayat (2)];
q. meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR dengan 
memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23F ayat (1)];r. menetapkan hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial kepada 
DPR [Pasal 24A ayat (3)];
s. mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan 
persetujuan DPR [Pasal 24B ayat (3)];
t. menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi yang diajukan 
masing-masing 3 (tiga) orang oleh MA, 3 (tiga) orang oleh DPR, 
dan 3 (tiga) orang oleh Presiden [Pasal 24C ayat (3)];
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan kewenangan:
a. membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk 
mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)];
b. memberi  persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)]:
c. menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang 
berkaitan dengan bidang tertentu dengan mengikutsertakannya 
dalam pembahasan [Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2)];
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang 
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama [Pasal 22D ayat (2)];
e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan 
pertimbangan DPD [Pasal 23 ayat (2)];
f. melaksanakan pengawasan pada  pelaksanaan UU APBN dan 
kebijakan pemerintah [Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 22D ayat (3)];
g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan 
DPD pada  pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, 
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan 
pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi 
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama [Pasal 
22F ayat (1)];
h. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD 
[Pasal 22F ayat (1)];
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas 
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK 
[Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3)];
j. memberi  persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan 
pemberhentian anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)];
k. memberi  persetujuan calon hakim agung yang diajukan Komisi 
Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden [Pasal 
24A ayat (3)];
l. mengajukan 3 (tiga) orang calon anggota hakim konstitusi kepada 
Presiden untuk ditetapkan [Pasal 24C ayat (3)];m. memberi  pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat 
duta, menerima penempatan duta negara lain, dan dalam pemberian 
amnesti dan abolisi [Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 14 
ayat (2)];
n. memberi  persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan 
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, 
serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan 
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait 
dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang￾undang [Pasal 11 ayat (2)];
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan kewenangan:
a. mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi 
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, 
dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan 
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat 
dan daerah [Pasal 22D ayat (1)], dan ikut membahas RUU ini  
[Pasal 22D ayat (2)];
b. memberi  pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan 
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama [Pasal 
22D ayat (2)];
c. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai 
otonomi daerah, UU pembentukan, pemekaran, dan penggabungan 
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, 
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, 
pendidikan, dan agama [Pasal 22D ayat (3)];
d. memberi  pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota 
BPK [Pasal 23F ayat (1)];
e. menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK [Pasal 23E 
ayat (2)];
(5) Mahkamah Agung (MA) dengan kewenangan :
a. melakukan kekuasaan kehakiman [Pasal 24 ayat (2)];
b. mengadili pada tingkat kasasi [Pasal 24A ayat (2)];
c. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang 
pada  undang-undang [Pasal 24A ayat (1)];
d. mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim konstitusi untuk ditetapkan 
sebagai hakim konstitusi oleh Presiden [Pasal 24C ayat (3)];
e. wewenang lain yang diberikan oleh UU [Pasal 24A ayat (1)];(6) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan kewenangan:
a. memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan 
negara [Pasal 23E ayat (1)];
b. menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, 
dan DPRD sesuai dengan kewenangannya [Pasal 23E ayat (2)];
(7) Pemerintah (an) Daerah dengan kewenangan:
a. menagur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas 
otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (2)];
b. menjalankan otonomi dengan seluas-luasnya, kecuali urusan 
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan 
Pemerintah Pusat [Pasal 18 ayat (5)];
c. menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk 
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (6)].
(8) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan 
mandiri dengan kewenangan menyelenggarakan Pemilu untuk memilih 
anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara 
langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun 
sekali [Pasal 22E ayat (5), ayat (1) dan ayat (2)]. 
(9) Komisi Yudisial dengan kewenangan:
a. mengusulkan pengangkatan calon hakim agung kepada DPR untuk 
mendapat persetujuan [Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1)];
b. kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan 
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B 
ayat (1)];
(10)Mahkamah Konstitusi RI dengan kewenangan:
a. menguji undang-undang pada  Undang-Undang Dasar [Pasal 
24C ayat (1)];
b. memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara 
[Pasal 24C ayat (1)];
c. memutus pembubaran partai politik [Pasal 24C ayat (1)];
d. memutus perselisihan hasil Pemilu [Pasal 24C ayat (1)];
e. memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden 
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD [Pasal 24C ayat (2)];
(11)Bank Sentral yang kewenangannya diatur dengan UU (Pasal 23D);
(12)Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan kewenangan: mempertahankan, 
melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara [Pasal 
30 ayat (3)];
(13)Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan kewenangan menjaga 
keamanan dan ketertiban warga , bertugas melindungi, mengayomi, 
melayani warga , serta menegakkan hukum [Pasal 30 ayat 
(4)].426
Menurut Abdul Mukthie Fadjar, apabila ditafsirkan secara luas, dari 
13 lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945, hanya bank sentral 
yang kewenangannya masih akan diatur dengan undang-undang, sedang 
12 lembaga negara lainnya mempunyai kewenangan konstitusional. 
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara 
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung 
memasukkan bank sentral sebagai lembaga negara yang menjadi subjek 
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, di samping MPR, 
Presiden, DPR, dan BPK (vide Pasal 1 butir 12). berdasar  penafsiran luas 
ini yang bisa menjadi subjek hukum sengketa kewenangan konstitusional 
lembaga negara ada 10 (setelah dikurangi MA dan MK), yaitu MPR, 
Presiden, DPR, DPD, KPU, Pemerintah Daerah, Komisi Yudisial, BPK, 
TNI dan Polri, atau 11 lembaga negara jika bank sentral dimasukkan.427
Apabila ditafsirkan moderat, maka hanya MPR, PRESIDEN, DPR, 
DPD, BPK, MA, dan MK yang disebut sebagai lembaga negara yang memiliki 
kewenangan konstitusional, sehingga yang bisa menjadi subjek sengketa 
setelah dikurangi MA (vide Pasal 65 UU MK) dan MK (sebagai lembaga 
peradilan yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa) 
hanyalah MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, dan BPK. Apabila ditafsirkan 
sempit, subjek hukum sengketa hanyalah DPR, DPD, dan PRESIDEN 
(tafsiran dari Pasal 67 UU MK).
Menurut A. Mukthie Fadjar, tafsir yang tepat yaitu tafsir luas minus 
atau tafsir moderat plus, yaitu bahwa lembaga negara yang bisa menjadi 
subjek sengketa meliputi MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, BPK, Pemerintah 
Daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Jadi tidak termasuk KPU, Komisi 
Yudisial, TNI, dan Polri, sebab keempat lembaga ini  meskipun 
mempunyai kewenangan konstitusional, tetapi kurang tepat jika menjadi 
subyek sengketa dengan lembaga lain dan kewenangan lebih bersifat teknis 
operasional. Juga bank sentral yang kewenangannya tak diatur dalam UUD 
1945 tidak termasuk pihak dalam sengketa.
Terlepas dari pendapat para ahli ini  di atas, Mahkamah Konstitusi 
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam masalah Nomor 05/PUU￾IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (tentang 
Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 
(tentang Komisi Yudisial) berpendapat, bahwa ada 2 (dua) macam lembaga 
negara menurut UUD 1945, yaitu lembaga-lembaga negara utama (main 
state organs, principal state organs) dan lembaga-lembaga negara pendukung 
(auxiliary state organs atau auxiliary agencies). Kriteria lembaga negara mana 
saja yang masuk dalam main state organs dan mana yang hanya yaitu 
auxiliary state organs dalam pandangan hukum Mahkamah Konstitusi hal 
ini  dijelaskan. Berikut kutipan pandangan hukum Mahkamah 
Konstitusi ini :
‘Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas 
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan 
judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan 
Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah 
Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal 
state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental 
mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state 
functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara 
itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal 
state organs, atau main state)…
Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang 
biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 
1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya 
seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, 
komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, 
pengaturan lembaga-lembaga ini  dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya 
memicu  lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 ini , 
termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara 
sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah 
menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal 
dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi 
kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung 
dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran 
martabat, dan perilaku hakim. Oleh sebab itu, keberadaan komisi negara yang demikian 
biasa disebut sebagai “auxiliary state organs” atau “auxiliary agencies” yang menurut 
istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP 
MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi 
Yudisial yaitu “supporting element” dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide 
Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006).4
Demikianlah, berdasar  apa yang telah diuraikan di atas, kiranya 
dapat dikemukakan bahwa pengertian dan kualifikasi lembaga negara di 
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia itu ternyata bermacam-macam. 
Para ahli ternyata juga memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang 
lembaga-lembaga negara mana saja yang memperoleh kewenangan dari 
Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya 
Nomor 05/PUU-IV/2006 menyatakan, bahwa UUD 1945 dengan jelas 
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, 
eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR 
dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan 
Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga 
negara yang utama (main state organs, principal state organs).
C. Hukum Acara Memutus SKLN
Dalam bab terdahulu sudah dikemukakan, bahwa hukum acara atau yang 
lazim disebut dengan hukum formil menunjuk cara bagaimana peraturan￾peraturan hukum materiil dipertahankan dan diselenggarakan. Hukum 
acara menunjuk cara bagaimana masalah diselesaikan di muka hakim atau 
alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum.430
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Hukum Acara Sengketa 
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (SKLN) yaitu hukum acara 
yang mengatur tentang bagaimana masalah SKLN di Mahkamah Konstitusi 
itu diselesaikan.
berdasar  praktik, sengketa kewenangan konstitusional lembaga 
negara ini dapat terjadi sebab beberapa hal:
(1) adanya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara satu lembaga 
negara dengan lembaga negara lainnya yang diatur dalam konstitusi 
atau Undang-Undang Dasar;
(2) adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari 
konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang diabaikan oleh lembaga 
negara lainnya; 
(3) adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari 
konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang dijalankan oleh lembaga 
negara lainnya, dan sebagainya.
Hukum Acara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara 
paling tidak secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan:(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 
Kehakiman.
(2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 
dan
(3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.
Ada 2 (dua) ketentuan yang relevan dengan Undang-Undang Nomor 
48 Tahun 2009 (tentang Kekuasaan Kehakiman) sebagai sumber hukum 
formal Hukum Acara SKLN ini, yaitu:
a. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, 
yang menyatakan: 
‘Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan 
berdasar  Pancasila’. 
Ini artinya, sistem penyelenggaraan peradilan Mahkamah Konstitusi 
harus berdasar pada Pancasila. Hukum Acara SKLN harus bertumpu 
pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai 
religius, nilai humanisme, nilai kebangsaan atau nasionalisme, nilai demokrasi, 
dan nilai keadilan sosial. Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Moh. 
Mahfud MD yaitu kaidah penuntun dalam menentukan politik 
hukum Indonesia.431
b. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 
yang menyatakan: 
‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami 
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga .’ 
Ketentuan ini mengingatkan pada pandangan yang mengemukakan, 
agar hakim jangan hanya berfungsi sebagai spreakbuis (corong) undang￾undang saja, atau kata Montesquieu – la bouche de la loi.
432 Ijtihad dalam 
rangka rechtsvinding para hakim Mahkamah Konstitusi hingga sampai pada 
putusannya itu yaitu bagian dari amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sebagai peradilan negara, Mahkamah Konstitusi harus 
menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasar  Pancasila,433
di samping juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai 
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga .
D. Pihak-Pihak Yang Bersengketa
Dalam masalah SKLN, pihak-pihak yang bermasalah di depan Mahkamah 
Konstitusi dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (1) Pihak Pemohon; dan 
(2) Pihak Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan Pihak Pemohon 
dan Pihak Termohon, Hukum Acara SKLN telah mengaturnya. 
1. Pemohon
Pemohon yaitu lembaga negara yang menganggap kewenangan 
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan 
oleh lembaga negara yang lain.434 sedang yang dimaksud dengan lembaga 
negara yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 
1945.435 Kewenangan lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD 
1945 inilah yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan 
konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan tugas/
kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945.436
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 
08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan 
Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat 
menjadi pemohon dalam masalah sengketa kewenangan konstitusional 
lembaga negara adalah:
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); ataug. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 
1945.437
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ 
menunjukkan, bahwa kemungkinan pemohon lain di luar yang telah 
disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi 
Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi pemohon dalam 
masalah SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung pada  
kewenangan yang dipersengketakan.
438 Yang dimaksud dengan kewenangan yang 
dipersengketakan ini yaitu kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh 
UUD 1945.439
2. Termohon 
Termohon yaitu lembaga negara yang dianggap telah mengambil, 
mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.440
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/
PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan 
Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat 
menjadi termohon dalam masalah sengketa kewenangan konstitusional 
lembaga negara adalah:
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ 
menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang telah 
disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi 
Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi termohon dalam 
masalah SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.
Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon memiliki 
kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki kesempatan dan kebebasan 
yang sama untuk mengajukan hal-hal yang dianggapnya benar menurut hukum. Keduanya juga memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk 
mengajukan pembelaan dan bukti-bukti yang dianggap perlu. Dengan 
demikian kedudukan pemohon dan termohon berkaitan dengan pemeriksaan 
perkaranya bersifat accusatoir.
441
Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh 
kuasa hukumnya berdasar  surat kuasa khusus untuk itu.442 Dalam hal 
pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon 
dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. 
Surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus ini  harus ditunjukkan 
dan diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.443
3. Kemungkinan MA Sebagai Pihak Dalam masalah SKLN
Pasal 65 UU MK secara tegas menyatakan, bahwa Mahkamah Agung 
tidak dapat ditarik menjadi termohon dalam sengketa kewenangan lembaga 
negara semacam ini.444 Selanjutnya, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah 
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 juga mengatur, bahwa Mahkamah Agung 
(MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon 
dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial). Akan tetapi, di luar
sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial), Mahkamah Agung dapat 
menjadi pihak dalam masalah SKLN. 
Apabila ketentuan dalam UU MK dan PMK di atas dicermati, 
secara yuridis-formal, memang MA tidak dapat menjadi pihak sepanjang 
kewenangan yang dipersengketakan itu terkait dengan fungsi dan teknis 
peradilan (yudisial), baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam masalah 
SKLN, akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Mahkamah Agung tidak akan 
mungkin bersengketa dengan lembaga negara lainnya. Misalnya: 
1. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengangkatan hakim;
2. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengawasan dan 
penjatuhan sanksi pada  hakim;
3. Sengketa Kewenangan antara DPR dengan MA tentang pengangkatan 
hakim.E. Permohonan Dan Tata Cara Pengajuan
Dalam jenis masalah SKLN ini, harus disebutkan dalam permohonan 
pemohon, lembaga mana yang menjadi termohon yang merugikan 
kewenangannya yang diperoleh dari UUD 1945. ini jelas diatur dalam 
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, yang menggariskan:
(1) Pemohon yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan 
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945 (subjectum litis) yang mempunyai kepentingan langsung pada  
kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis).
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya 
tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan 
yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara 
yang menjadi termohon. Jadi alasan permohonan (fundamentum petendi)
harus jelas untuk dapat diajukan di depan Mahkamah Konstitusi.
Kedua ini yaitu syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal 
standing) Pemohon. Jika kedua hal itu tidak terpenuhi, maka Pemohon 
dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan 
masalah SKLN ini di depan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Hukum Acara SKLN, apabila dalam permohonan Pemohon 
tidak terpenuhi syarat subjectum litis (subjek perkara) dan objectum litis
(objek perkara), maka permohonannya tidak termasuk dalam ruang 
lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili 
dan memutusnya. pada  permohonan yang demikian ini, lazimnya 
Mahkamah Konstitusi memutus: permohonan dinyatakan tidak dapat 
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Jimly Asshiddiqie terkait dengan objek sengketa (objectum litis)
mengemukakan, bahwa yang menjadi objek sengketa antarlembaga negara 
yaitu persengketaan (dispute) mengenai kewenangan konstitusional 
antarlembaga negara. Isu pokoknya bukan terletak pada kelembagaan lembaga 
negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional, yang 
dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama 
lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya 
memiliki kewenangan yang dipersengketakan ini  yaitu Mahkamah 
Konstitusi.445 Jadi, sengketa kewenangan yaitu perselisihan atau perbedaan 
pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau 
lebih lembaga negaraDalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional itu ada dua 
unsur yang harus dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang 
ditentukan dalam UUD; dan (ii) timbulnya sengketa dalam pelaksananaan 
kewenangan konstitusional ini  sebagai akibat perbedaan penafsiran di 
antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait.447 Oleh sebab itu, di 
samping mendekati masalah SKLN ini dari segi subjek lembaga negaranya, 
kita juga dapat mendekatinya dari segi objek kewenangan konstitusional 
yang dipersengketakan di antara lembaga negara yang bersangkutan. Yang 
menjadi pokok persoalannya yaitu kewenangan apakah yang diatur dan 
ditentukan dalam UUD yang dinisbatkan sebagai fungsi sesuatu organ yang 
disebut dalam UUD, dan apakah untuk melaksanakan kewenangannya itu 
terhambat atau terganggu sebab adanya keputusan tertentu dari lembaga 
negara lainnya. 
Apabila keduanya dapat dijawab dengan jelas, maka kemungkinan 
semacam ini memang dapat menjadi objek sengketa kewenangan 
konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Yang penting dapat dibuktikan 
dengan jelas apakah lembaga negara pemohon memang memiliki kewenangan 
yang diberikan oleh UUD, dan apakah kewenangan konstitusional yang 
dimaksudkan itu memang ternyata dirugikan oleh keputusan tertentu dari 
lembaga negara termohon.448
Dalam Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara 
(SKLN), ketentuan tentang permohonan dan tata cara pengajuannya 
kepada Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah 
Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006. Dalam PMK ini  diatur, 
bahwa permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia, dan materi 
permohonan harus memuat beberapa hal sebagai berikut: 
a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga 
negara, nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara; 
b. Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon; 
c. Uraian yang jelas tentang: 
1. kewenangan yang dipersengketakan; 
2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan ini ; 
3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan. 
Permohonan yang diajukan ini , dibuat dalam 12 (dua belas) 
rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara 
yang mengajukan permohonan atau kuasanya. Selain dibuat dalam bentuk tertulis, dalam Hukum Acara SKLN 
juga ada ketentuan yang mengatur, bahwa permohonan dapat pula 
dibuat dalam format digital yang tersimpan secara elektronik dalam 
media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk), atau yang 
sejenisnya.449
Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan 
kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan. Permohonan ini  harus 
disertai alat-alat bukti pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan 
lembaga negara atau surat/dokumen pendukung. Alat-alat bukti tertulis 
yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dengan 
bukti yang asli diberi materai secukupnya. 
Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon 
harus menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan 
yang berisi identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan 
yang akan diberikan. Dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/
atau saksi, pemohon masih dapat mengajukan ahli dan/atau saksi selama 
dalam pemeriksaan persidangan. 
F. Pemeriksaan Administrasi dan Registrasi
Kelengkapan permohonan yang diajukan oleh pemohon pada prinsipnya 
yaitu prasyarat bagi pendaftaran atau registrasi permohonan. Untuk 
mengetahui apakah berkas permohonan yang diajukan oleh pemohon 
itu sudah lengkap, maka petugas kepaniteraan melakukan pemeriksaan 
kelengkapan berkas permohonan beserta lampirannya.450
Apabila hasil penelitian atau pemeriksaan petugas pada  berkas 
permohonan itu menunjukkan, bahwa berkas permohonan belum lengkap, 
maka pemohon wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) 
hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan ini  diterima oleh 
pemohon.451 Kewajiban untuk melengkapi berkas permohonan ini memiliki 
konsekuensi yuridis, apabila tidak dipenuhi oleh Pemohon, maka Panitera 
menerbitkan akta yang mengatakan permohonan tidak diregistrasi dan 
mengembalikan berkas permohonan itu kepada pemohon.452
Penelitian yang bersifat administratif ini sangat penting sebab fungsinya 
sebagai penyeleksi tahap pertama pada  semua berkas permohonan yang
diterima oleh petugas kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Meskipun akses 
bagi para pencari keadilan konstitusional yang terbuka untuk mengajukan 
permohonan ke Mahkamah Konstitusi, tidak berarti setiap orang dapat 
berbuat seenaknya atau sesuka hatinya dalam bermasalah di Mahkamah 
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi harus melindungi nilai-nilai kepentingan 
umum yang tercermin atau terkandung dalam setiap undang-undang yang 
telah ditetapkan sebagai produk hukum yang mengikat untuk umum.453
Dalam hal permohonan yang diajukan Pemohon sudah lengkap atau 
sudah memenuhi persyaratan, maka Panitera mencatat permohonan ini  
ke dalam Buku Register masalah Konstitusi (BRPK). pada  permohonan 
yang sudah memenuhi persyaratan ini Panitera memberi  Akta Registrasi 
masalah kepada pemohon. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyampaikan 
permohonan yang sudah diregistrasi kepada termohon dalam jangka waktu 
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
Penyampaian permohonan kepada termohon ini  dilakukan oleh Juru 
Panggil yang dibuktikan dengan berita acara.
Apabila pemohon menarik kembali permohonan yang telah diregistrasi 
sebelum diterbitkannya ketetapan tentang Panel Hakim, Panitera 
menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi yang harus diberitahukan 
kepada termohon. Dalam hal permohonan telah dicatat dalam BRPK dan 
dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan 
Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang telah diajukan Pemohon 
dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas 
permohonan.454
G. Penjadwalan dan Panggilan Sidang
Berkas permohonan yang sudah diregistrasi selanjutnya disampaikan 
oleh Panitera kepada Ketua Mahkamah Konstitusi untuk ditetapkan susunan 
Panel Hakimnya. Selanjutnya, Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang 
pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja 
sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama ini  
diberitahukan kepada pemohon dan termohon, serta diumumkan kepada 
warga . Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman 
Mahkamah Konstitusi yang khusus dibuat untuk itu dan situs Mahkamah 
(www.mahkamahkonstitusi.go.id), serta media lainnya.Panggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon dan termohon 
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari 
persidangan. Panggilan sidang ini  ditandatangani oleh Panitera dan 
disampaikan secara resmi oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita 
acara panggilan serta dapat dibantu media komunikasi lainnya, seperti 
telepon, faksimili, dan surat elektronik (e-mail). Dalam rangka panggilan 
sidang, Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara 
di daerah.456
H. Pemeriksaan Perkara
1. Pemeriksaan Pendahuluan 
Pemeriksaan pendahuluan yaitu pemeriksaan yang dilakukan majelis 
hakim dalam sidang pertama, sebelum melakukan pemeriksaan pada  
pokok perkara.457 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 
menyatakan:
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi 
mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi 
permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah 
Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi 
dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 
14 (empat belas) hari.
Dalam Hukum Acara SKLN, pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan 
dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang￾kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim yang 
sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim. Pemeriksaan 
pendahuluan dihadiri oleh pemohon dan/atau kuasanya, kecuali dalam 
hal adanya permohonan putusan sela, dihadiri pula oleh termohon dan/
atau kuasanya.458
Dalam pemeriksaan pendahuluan, Majelis Hakim memiliki kewajiban 
untuk: 
a. memeriksa kelengkapan permohonan; 
b. meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang 
mencakup kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) 
pemohon, dan pokok permohonan; . memberi nasihat kepada pemohon, baik mengenai kelengkapan 
administrasi, materi permohonan, maupun pelaksanaan tertib 
persidangan; 
d. mendengar keterangan termohon dalam hal adanya permohonan 
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang 
dipersengketakan; 
e. memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan 
oleh pemohon.459
Apabila dalam pemeriksaan pendahuluan, permohonan belum lengkap 
dan/atau belum jelas, Majelis Hakim memberi kesempatan kepada pemohon 
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam jangka 
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Sedangkan, apabila permohonan 
itu telah lengkap dan jelas, maka hasil pemeriksaan pendahuluan itu 
dilaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim.460
2. Pemeriksaan Persidangan 
Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum 
oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang 
Hakim. Pemeriksaan Persidangan, berdasar  hasil Rapat Permusyawaratan 
Hakim, dapat dilakukan oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri 
atas 3 (tiga) orang Hakim.461 Pemeriksaan Persidangan oleh Pleno Hakim 
ini bertujuan untuk: 
a. memeriksa materi permohonan yang diajukan pemohon; 
b. mendengarkan keterangan dan/atau tanggapan termohon; 
c. memeriksa dan mengesahkan alat bukti tertulis maupun alat bukti 
lainnya, baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, maupun oleh 
pihak terkait langsung; 
d. mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait apabila ada dan/atau 
diperlukan oleh Mahkamah, baik pihak terkait yang mempunyai 
kepentingan langsung maupun kepentingan yang tidak langsung; 
e. mendengarkan keterangan ahli dan saksi, baik yang diajukan oleh 
pemohon maupun oleh termohon.462
3. Pembuktian 
Pembuktian yaitu kegiatan yustisial yang amat penting sekali 
dalam rangkaian kegiatan memeriksa, mengadili dan memutuskan suatumasalah hukum. Oleh sebab itu hampir di setiap Hukum Acara apapun, 
ketentuan tentang pembuktian ini selalu diatur. Di dalam Hukum Acara 
SKLN, ketentuan tentang pembuktian diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. 
Pasal 16 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 
menyatakan, beban pembuktian berada pada pihak pemohon. Apabila ada 
alasan yang cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian 
kepada pihak termohon.463 Dalam rangka pembuktian ini, Majelis Hakim 
juga dapat meminta pihak terkait untuk memberi  keterangan dan/atau 
mengajukan alat bukti lainnya.464
Dalam Hukum Acara SKLN, alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh 
pemohon, termohon, dan pihak terkait langsung dapat berupa:
a. surat atau tulisan, 
b. keterangan saksi, 
c. keterangan ahli, 
d. keterangan para pihak, dan 
e. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, 
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa 
dengan itu.465
Alat-alat bukti sebagaimana ini  di atas, harus dapat 
dipertanggungjawabkan perolehannya secara sah menurut hukum.466
Penentuan sah tidaknya alat bukti dan perolehannya dilakukan oleh Majelis 
Hakim dalam persidangan Pleno atau Panel.467 Apabila dipandang perlu 
Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat, dengan dihadiri 
oleh para pihak.468
4. Penarikan Kembali Permohonan 
Adakalanya dalam praktik peradilan ditemui, pihak penggugat atau 
pemohon mencabut gugatannya atau menarik kembali permohonannya. 
Dalam Hukum Acara SKLN ketentuan tentang penarikan kembali 
‘permohonan’ itu diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 
08/PMK/2006. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 
08/PMK/2006 menyatakan, bahwa:Pemohon dapat menarik kembali permohonannya sebelum atau selama 
pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan penarikan kembali 
secara tertulis.
Dalam Hukum Acara SKLN, penarikan kembali permohonan oleh 
pemohon tidak serta merta dapat dilakukan oleh pemohon, karena:
(1) ‘penarikan kembali permohonan’ oleh pemohon itu harus diajukan 
secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi;
(2) ‘penarikan kembali permohonan’ oleh pemohon itu apabila setelah 
dimulainya pemeriksaan persidangan, maka Mahkamah Konstitusi dapat 
mempertimbangkannya setelah mendengar keterangan termohon469;
(3) ‘penarikan kembali permohonan’ oleh pemohon itu dapat dikabulkan470
oleh Mahkamah Konstitusi apabila:
a. substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional; 
b. tidak ada forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan 
c. adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.471
Di lapangan Hukum Acara Perdata, ketentuan tentang ‘penarikan 
kembali permohonan’ yang diatur dalam Hukum Acara SKLN, dikenal 
dengan istilah ‘pencabutan gugatan’. Hanya saja perbedaannya, jika dalam 
Hukum Acara SKLN, pemohon dapat menarik kembali permohonannya 
sebelum atau selama pemeriksaan dilakukan dengan cara mengajukan 
permohonan penarikan kembali secara tertulis, sedang dalam Hukum 
Acara Perdata, pencabutan gugatan dilakukan dengan bersyarat, yaitu:
a. Apabila pencabutan gugatan itu dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa 
di persidangan, atau sebelum tergugat secara resmi belum tahu akan 
adanya gugatan itu, maka pencabutan gugatan tidak memerlukan 
persetujuan dari pihak tergugat. Pasal 271 Rv menyatakan:
 ‘Kalau pencabutan dilakukan sebelum masalah diperiksa di persidangan 
atau sebelum tergugat memberi jawabannya, maka tergugat secara 
resmi belum tahu akan adanya gugatan itu, yang berarti bahwa secara 
resmi belum terserang kepentingannya. Dalam ini tidak perlu ada 
persetujuan dari pihak tergugat.’
b. Apabila pencabutan gugatan itu dilakukan setelah tergugat memberi 
jawaban atau menanggapi gugatan penggugat di persidangan, maka 
pencabutan gugatan memerlukan persetujuan dari pihak tergugat.Dalam praktik sering terjadi penarikan kembali permohonan oleh pihak 
pemohon, baik sebab alasan situasi atau kondisi mulai membaik, maupun 
sebab atas saran hakim yang memeriksa masalah yang bersangkutan. Berikut 
beberapa contoh penarikan kembali permohonan dalam praktik peradilan 
SKLN:
a. Contoh penarikan kembali permohonan sebab situasi atau kondisi 
mulai membaik: 
- Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/SKLN-III/2005 tentang Penarikan 
masalah Sengketa Kewenangan Gubernur Provinsi Lampung dengan DPRD 
Provinsi Lampung.
Pemohon dalam permohonan penarikannya mendalilkan, bahwa memperhatikan situasi 
di Provinsi Lampung yang kelihatannya cenderung membaik, maka Pemohon 
mengajukan penarikan kembali permohonan pada  permohonan Pemohon. 
berdasar  hasil Rapat Pleno Hakim, penarikan kembali permohonan a quo 
perlu dikonfirmasi kepada Pemohon dalam Sidang Panel.
Pemohon pada persidangan tanggal 5 Januari 2006, hari ini, telah menerangkan 
bahwa penarikan kembali permohonan dimaksud dalam surat Pemohon bertanggal 
26 Desember 2005 benar adanya.
berdasar  hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi 
berpendapat, bahwa penarikan kembali permohonan Pemohon a quo tidak bertentangan 
dengan undang-undang, oleh karenanya permohonan Pemohon untuk menarik kembali 
permohonannya harus dikabulkan dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali 
masalah Nomor 025/SKLN-III/2005 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara 
antara Gubernur Lampung dengan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi 
Lampung. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat 
penarikan kembali masalah Nomor 025/SKLN-III/2005 dalam Buku Register masalah 
Konstitusi.472
b. Contoh penarikan kembali permohonan sebab saran hakim:
- Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/SKLN-VI/2008 tentang Penarikan 
masalah Sengketa Kewenangan Antara Bank Indonesia pada  Komisi 
Pemberantasan Korupsi.
 Pemohon masalah Nomor 7/SKLN-VI/2008 yaitu Gubernur Bank Indonesia yang 
diwakili oleh Dr. Burhanudin Abdullah, M.A. memberi  Surat Kuasa Khusus 
tanggal 15 Februari 2008 kepada Aa Dani Saliswijaya, S.H.,M.H., dkk bertindak 
untuk dan atas nama Pemohon untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan 
lembaga negara antara Bank Indonesia pada  Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam masalah ini , Mahkamah Konstitusi telah mendengar keterangan 
Pemohon dalam Sidang Panel tanggal 21 Februari 2008 dan telah menerima surat 
dari Kuasa Hukum Pemohon dengan Nomor 04/SWP/MK/III/2008, dengan alasan 
bahwa berdasar  Surat Bank Indonesia Nomor 10/2/GBI/DHk tanggal 5 Maret 
2008 pihak Bank Indonesia meminta Kuasa Hukum untuk mencabut masalah a quo. 
Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 21 Februari 2008 Panel Hakim memberi  tiga alternatif pada  masalah a quo antara lain, untuk dicabut 
dan dicari saluran yang pas, diperbaiki, atau tetap pada permohonan semula.
Setelah diadakan diskusi dan penelitian lebih lanjut, maka yang disampaikan oleh Panel 
Hakim sangat beralasan dan dapat dimengerti secara logika hukum, sehingga Kuasa 
Hukum Pemohon berkesimpulan untuk mencabut masalah ini dan kemungkinan 
akan menempuh dengan jalan lain.
Mahkamah mengabulkan penarikan permohonan Pemohon, sebab penarikan 
kembali permohonan masalah Nomor 7/SKLN-VI/2008 ini  beralasan dan tidak 
bertentangan dengan undang-undang dengan memperhatikan Pasal 35 Undang-Undang 
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi:
(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan 
Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu  permohonan 
tidak dapat diajukan kembali.
berdasar  ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini  
memicu  Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo. Selanjutnya, 
Mahkamah memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali masalah 
Nomor 7/SKLN-VI/2008 dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi.
Dalam lapangan Hukum Acara Perdata, penggungat boleh mengajukan 
lagi gugatannya yang telah dicabutnya sebelum tergugat memberi jawabannya, 
tetapi dalam hal pencabutan gugatan sesudah tergugat memberi jawaban, 
dapat dianggap bahwa penggugat telah melepaskan haknya, sehingga tidak 
boleh mengajukannya lagi. Berbeda dengan ketentuan di dalam Hukum 
Acara Perdata, dalam Hukum Acara SKLN penarikan kembali permohonan 
membawa konsekuensi hukum, permohonan yang telah ditarik kembali, 
baik sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi itu, tidak 
boleh diajukan kembali oleh Pemohon473, kecuali dalam kondisi sebagaimana 
diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 
08/PMK/2006, yaitu:
a. substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional; 
b. tidak ada forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; 
dan 
c. adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum. 
I. Rapat Permusyawaratan Hakim
Dalam Hukum Acara SKLN, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) 
dilakukan secara tertutup dan rahasia. RPH dipimpin oleh Ketua Mahkamah, 
atau apabila Ketua berhalangan RPH dipimpin oleh Wakil Ketua, atau 
apabila Ketua dan Wakil Ketua berhalangan, RPH dipimpin oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh Hakim. RPH diselenggarakan untuk 
pengambilan keputusan atau untuk tujuan lainnya.474
RPH untuk pengambilan keputusan antara lain meliputi pengambilan 
keputusan mengenai mekanisme pemeriksaan dan kelanjutan perkara, 
putusan sela, serta putusan akhir. RPH ini  dihadiri oleh sekurang￾kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Pengambilan keputusan dalam RPH 
dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Apabila musyawarah untuk 
mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara 
terbanyak, dan apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak 
tercapai, suara terakhir ketua sidang RPH menentukan. Dalam hal RPH 
untuk pengambilan keputusan akhir tidak mencapai mufakat, pendapat 
yang berbeda (dissenting opinion) ataupun alasan yang berbeda (concurring 
opinion) dimuat dalam putusan.475
Dalam RPH untuk pengambilan keputusan mengenai putusan akhir, 
setiap Hakim wajib menyampaikan pendapat hukum secara tertulis. 
Pendapat hukum ini  yaitu bagian dari berkas asli yang bersifat 
rahasia dan dihimpun oleh Panitera sebelum perancangan putusan.476 RPH 
untuk tujuan lain, antara lain diskusi curah pendapat (brain storming) dan 
perancangan (drafting) putusan setelah musyawarah. RPH untuk maksud 
dan tujuan ini tidak memerlukan persyaratan kuorum.477
J. Putusan
Hukum Acara SKLN mengenal beberapa jenis putusan apabila 
dilihat dari tujuan dan motivasinya, diantaranya yaitu putusan (ketetapan) 
penarikan kembali permohonan, putusan sela, dan putusan akhir. Ketetapan 
penarikan kembali permohonan yaitu ketetapan Mahkamah Konstitusi 
yang diambil berkaitan dengan adanya permohonan penarikan kembali 
permohonan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi pada saat sebelum 
atau selama persidangan. Putusan sela yaitu putusan yang dijatuhkan oleh 
hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak 
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan 
(objectum litis) yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. 
Hukum Acara SKLN mengatur ketentuan tentang putusan sela ini dalam 
Pasal 12-13 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Putusan 
sela dapat ditetapkan atas permintaan pemohon dan juga dapat ditetapkanatas inisiatif Majelis Hakim demi kepentingan hukum.478 Putusan sela 
sebagaimana dimaksud diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim 
dan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.479
Putusan sela yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon 
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi, dapat diambil atau dijatuhkan 
oleh Mahkamah Konstitusi setelah pemeriksaan pendahuluan dilakukan. 
Pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan yang dimaksud di sini 
yaitu berupa tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum, yang 
yaitu pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.480
Putusan sela yang menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan 
yang dipersengketakan dapat dijatuhkan apabila: 
a. ada kepentingan hukum yang mendesak yang, apabila pokok 
permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih 
serius; 
b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan yaitu pelaksanaan 
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.481
Contoh putusan sela dalam masalah SKLN ini misalnya, Putusan Sela 
Mahkamah Konstitusi Nomor 068/SKLN-II/2004 tanggal 8 November 
2004 yang diajukan oleh DPD pada  Presiden dan DPR tentang 
pengangkatan anggota BPK. Isi Putusan Sela ini  memerintahkan 
penghentian sementara pelaksanaan Keppres Nomor 185/M Tahun 2004, 
harus dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berbeda dengan putusan sela, maka putusan akhir diambil dalam 
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)482 yang khusus diadakan untuk itu 
dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.483 Dalam 
RPH untuk pengambilan keputusan mengenai putusan akhir, setiap hakim 
wajib menyampaikan pendapat hukum secara tertulis. Pendapat hukum 
sebagaimana dimaksud yaitu bagian dari berkas asli yang bersifat 
rahasia dan dihimpun oleh Panitera sebelum perancangan putusan.Putusan akhir Mahkamah Konstitusi atas masalah SKLN memiliki 
sifat atau karakteristik yang sama dengan putusan pengadilan umumnya. 
Putusan diambil berdasar  ketentuan UUD 1945 menurut keyakinan 
Hakim dengan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.485 Putusan 
diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri 
oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.486 Putusan bersifat final 
dan mengikat.487
Sejak tahun 2003 hingga Juni 2010, Mahkamah Konstitusi telah 
memutus 6 masalah SKLN dengan rekapitulasi sebagai berikut.
Setiap putusan wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan 
dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.488 Pertimbangan 
hukum yang menjadi dasar putusan akan meliputi pertimbangan hukum 
tentang kewenangan MK, apakah permohonan yang diajukan termasuk 
kewenangan MK? Dan apabila setelah dipertimbangkan bahwa permohonan 
yang diajukan itu memang termasuk kewenangan MK, masih harus 
dipertimbangkan apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal 
standing untuk mengajukan permohonan di depan MK yang akan dilihat 
dari ada tidaknya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang 
dirugikan. Setelah jelas bahwa pemohon memiliki legal standing dimaksud 
maka dapat dipertimbangkan pokok permasalahan atau pokok perkara. 
Pertimbangan hukum yang mendasarkan diri pada konstitusi melalui proses 
penemuan hukum akan sampai pada kesimpulan apakah dalil permohonan 
dipandang terbukti dan secara konstitusional beralasan dimana MK akan 
menyatakan mengabulkan permohonan. Namun jika sebaliknya maka 
permohonan akan dinyatakan ditolak. Apabila dipandang bahwa kewenangan 
dan legal standing tidak dipenuhi maka permohonan akan dinyatakan tidak 
dapat diterima. Amar putusan akan menegaskan semua pertimbangan 
dimaksud yang dipandang yaitu hal yang bersifat declaratoir dan/atau 
constitutief atau menciptakan maupun meniadakan satu keadaan hukum.489
Ada 2 (dua) hal yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum, yaitu: 
(1) ratio decidendi; dan (2) obiter dictum. Ratio decidendi yaitu bagian 
pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan diambilnya 
putusan yang dirumuskan dalam amar. Bagian pertimbangan ini tidak 
dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat 
secara hukum yang dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum. Di pihak lain 
ada bagian pertimbangan yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan 
masalah hukum yang dihadapi dan karenanya juga tidak berkaitan dengan 
amar putusan. Hal demikian sering dilakukan sebab dipakai  sebagai 
ilustrasi atau analogi dalam menyusun argumen pertimbangan hukum. 
Bagian ini disebut sebagai obiter dictum yang tidak mempunyai kekuatan 
mengikat.490
Hukum Acara SKLN menentukan, bahwa syarat putusan itu harus 
sekurang-kurangnya terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut:
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN berdasar  
KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 
b. identitas pemohon dan termohon; 
c. ringkasan permohonon; 
d. ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon; 
e. pertimbangan pada  fakta yang terungkap dalam persidangan; 
f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; 
g. amar putusan; 
h. pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim; dan . hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta 
panitera.491
Amar putusan dapat menyatakan: a. permohonan tidak dapat diterima; 
b. permohonan dikabulkan; atau c. permohonan ditolak.492 Permohonan 
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) apabila pemohon dan/atau 
permohonannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat 
(2)493 serta Pasal 5 ayat (1)494 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/
PMK/2006.495 Permohonan dikabulkan dalam hal permohonan beralasan,496
sedang Permohonan ditolak dalam hal permohonan tidak beralasan.497
Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan 
tegas bahwa pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang 
dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk 
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.498
Hakim yang turut serta dalam pengambilan putusan dalam Rapat 
Permusyawaratan Hakim dicantumkan namanya di dalam putusan. Dalam 
hal ada pendapat berbeda dari Hakim yang dimuat di dalam putusan, 
sedang Hakim yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang pleno 
pengucapan putusan, pendapat berbeda ini  tidak dibacakan. Putusan 
ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota yang hadir dalam 
sidang pleno pengucapan putusan serta panitera yang mendamping
Dalam hal isi amar putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 
(3),500 termohon wajib melaksanakan putusan ini  dalam jangka waktu 
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima oleh termohon. 
Apabila putusan ini  tidak dilaksanakan oleh termohon maka pelaksanaan 
kewenangan termohon batal demi hukum.501
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada 
pemohon, termohon, dan pihak-pihak terkait dalam jangka waktu paling 
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Putusan Mahkamah 
disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden, serta lembaga negara lain 
apabila dipandang perlu.502 Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak 
selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.






saat membicarakan pemilihan umum (Pemilu) tak dapat dihindari 
untuk menguraikan arti penting konsep demokrasi. Keduanya memiliki relasi 
erat yang tak dapat dipisahkan pengkajiannya. memakai  istilah Arbi 
Sanit, Pemilu yaitu institusi yang mengejawantahkan demokrasi.578
Bahkan menurut Valentino Larcinese tingkatan partisipasi dalam Pemilu 
yaitu ukuran pada  kualitas demokrasi itu sendiri. Selengkapnya 
Larcinese menyatakan;
In an idealized vision of democracy, public decisions are based on the preferences and 
the opinions of all the members of a polity. It is therefore common in the public debate 
to regard the extent of electoral participation as a measure of the quality of democratic 
governance.579
Kata demokrasi secara semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos
dan kratos. ’Demos’ berarti rakyat dan ’kratos’ berarti pemerintahan (rule) 
atau dapat pula dimaknai dengan kekuasaan (strength).580 Sehingga dalam 
pemahaman sederhana, demokrasi dapat diberi makna sebagai pemerintahan 
yang kedaulatannya terletak pada rakyat banyak. Bukan pemerintahan yang 
terpusat kepada satu orang (monarki), bukan pula tersentralisasi kepada 
sekelompok orang (oligarki). Saat ini, paham demokrasi terus berkembang, 
bahkan demokrasi saat ini dipandang memiliki makna yang sama dengan 
republik. James Mac Gregor Burns, misalnya, menyebutkan demokrasi 
lebih tepat dimaknai sebagai sebuah demokrasi perwakilan (representative 
democracy). Burns selengkapnya menyebutkan sebagai berikut;Today democracy is more likely to mean a representative democracy –or, in Plato’s term, 
a republic– in which all the people do not actually make the laws or administer them 
but choose the ones who do.581
Sejak pemerintahan berkonsep monarki otoriter telah banyak 
ditinggalkan negara-negara dunia dan beralih kepada konsep pemerintahan 
rakyat. Demokrasi kemudian menjadi alternatif bahkan didaulat menjadi 
asas utama pemerintahan yang dapat dikatakan berlaku universal. Bahkan 
hampir dapat dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak 
menyebut dirinya sebagai negara demokrasi.
Arend Lijphart mengatakan usaha  untuk membentuk sebuah 
negara demokratis bukanlah pekerjaan mudah. Lijphart menyebutkan 
bahwa, ”It is not a system of government that fully embodies all democratic ideals, 
but one that approximates them to a reasonable degree.”582 Bagi Lijphart seluruh 
ide mengenai demokratisasi hanyalah konsep imajinatif yang utopis (angan￾angan) apabila diterapkan secara kaku, namun kehendak pada  bentuk 
negara demokratis itu akan dapat diwujudkan apabila diletakan kepada