mahkamah konstitusi 1

Rabu, 13 September 2023

mahkamah konstitusi 1


Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 mengatakan MK wajib 
memberi  putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran 
hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang 
Dasar. Ketentuan ini  dirumuskan secara berbeda dibanding dengan 
wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan 
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 ini  terkait dengan ketentuan tentang 
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam 
Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan demikian maksud dari frasa 
“dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut 
Undang-Undang Dasar” yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 
Pasal 7B UUD 1945. 
Adanya ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil 
Presiden dalam masa jabatannya dalam UUD 1945 pasca perubahan 
ini  memunculkan istilah baru dalam bidang hukum tata negara, yaitu 
impeachment dan pemakzulan. Pemakzulan yaitu proses pemberhentian 
seorang pejabat publik dalam masa jabatannya, atau sebelum masa jabatan 
ini  berakhir atau disebut dengan istilah removal from office. Dalam proses 
pemakzulan ini  ada mekanisme impeachment, yaitu pendakwaan 
atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan pemberhentian. 
Impeachment yaitu prosedur di mana seorang pejabat publik yang dipilih, 
didakwa melakukan pelanggaran hukum. Namun demikian, impeachment 
tidak mengharuskan berakhir pada pemberhentian (removal from office). 
Impeachment lebih tepat diartikan sebagai pernyataan atau pendapat yang 
mendakwa, atau dapat diparalelkan dengan pengertian dakwaan dalam hukum pidana. Menurut Borgna Brunner, pemberhentian pejabat publik di 
Amerika Serikat melalui dua tahapan, yaitu: (1) pendakwaan secara formal 
atau impeachment; dan (2) suatu pengadilan dan pengambilan putusan oleh 
Senat. Adanya impeachment tidak harus berakhir dengan pemakzulan, 
sedang adanya pemakzulan pasti telah didahului dengan impeachment. 
Jadi, impeachment yaitu bagian dari proses yang harus dilalui untuk 
adanya pemakzulan. 
Dalam konteks ketatanegaraan, studi tentang impeachment biasanya 
merujuk pada ketentuan dan praktik di Amerika Serikat. Article I Section 
2 dan 3 Konstitusi Amerika Serikat menyatakan:
The President, Vice President, and all civil officers of the United Stated shall be removed 
from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes 
and misdemeanors.
Judgment in Case of Impeachment shall not extend further than removal from office, and 
disqualification to hold and enjoy any Office of honor, Trust or Profit under the United 
Stated: but the Party convicted shall nevertheless be liable and subject to Indictment, 
Trial, Judgment and Punishment, according to law.
Impeachment di Amerika Serikat sebenarnya diadopsi dari praktik yang 
berlaku di Inggris sebagai ungkapan yang menunjuk pada pengertian 
pengadilan politik yang dipakai  untuk menjangkau para pelanggar yang 
mungkin lepas dari tuntutan. Impeachment diperlukan untuk melindungi 
negara sekaligus menghukum pelaku. Untuk pertama kalinya, impeachment 
di Inggris terjadi pada tahun 1376 yang menimpa William, Lord of Latimer 
pada masa pemerintahan Raja Edward II. Namun dengan adanya mekanisme 
mosi tidak percaya dari parlemen untuk membubarkan kabinet, mekanisme 
impeachment tidak lagi dipakai .
Walaupun pemakzulan di Amerika Serikat diterapkan untuk semua 
pejabat publik, namun dari tahun 1789 hingga saat ini hanya ada 14 
pejabat federal yang mengalami proses pemakzulan, bahkan tidak semuanya 
berujung pada pemberhentian (removal from the office). Pejabat yang paling 
banyak diajukan impeachment yaitu hakim yang meliputi 14 orang hakim 
federal, 11 orang hakim distrik, dua orang hakim banding, serta seorang 
hakim agung. Sepanjang sejarah Amerika Serikat hanya dua Presiden yang 
pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill 
Clinton. Keduanya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum yang didakwakan. Selain itu, pernah terjadi usaha  impeachment pada  
Presiden Richard Nixon, namun Presiden Nixon mengundurkan diri 
terlebih dahulu saat usulan impeachment itu baru disetujui oleh DPR.
Impeachment pada  Presiden AS pertama kali terjadi tahun 1868 
yang menimpa Presiden Andrew Johnson. Secara garis besar tuduhan 
pada  Presiden Andrew Johnson ini yaitu telah melakukan “high crimes 
and misdemeanor” dengan rincian pelanggaran meliputi:
1. Pelanggaran sumpah jabatan. Presiden Andrew Johnson dipandang tidak 
menghiraukan kewajiban sesuai sumpah jabatannya. Presiden melakukan 
pemberhentian Edwin M. Santon sebagai Menteri Pertahanan dan 
menggantinya dengan pejabat yang lain tanpa persetujuan Senat Amerika 
Serikat. Padahal dalam Act Regulating the Tenure of Civil Officer 
ditentukan harus dengan persetujuan Senat.
2. Melanggar undang-undang Federal Amerika Serikat yaitu “the 
Command of Act” yang disahkan pada tanggal 2 Maret 1867, yaitu 
memberi  perintah kepada Commander in Chief Wiiliam H. Emory 
yang seharusnya melalui The General of The Army.619
Dalam perjalanan proses impeachment ini, meskipun pelanggaran yang 
dituduhkan kepada Presiden Andrew Johnson telah lolos dari House 
of Representatives dan diproses lebih lanjut oleh Senat, tetapi akhirnya 
Presiden Andrew Johnson tetap menjabat sebagai Presiden sebab suara 
di Senat yang menghendaki diberhentikannya Presiden Andrew Johnson 
kalah dengan suara anggota Senat yang mendukung Andrew Johnson tetap 
sebagai Presiden meskipun hanya berbeda satu suara.620
usaha  impeachment pada  Presiden yang kedua terjadi pada tahun 
1974 pada  Presiden Richard M Nixon yang dituduh melakukan “high 
crimes dan misdemeanors” berupa pertama, obstruction of justice (menghambat 
peradilan); kedua, abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan); ketiga, 
contempt of congress (penghinaan pada  Konggers). Ketiga tuduhan ini  
berkaitan dengan masalah “Watergate” yang terjadi pada tanggal 17 Juni 1972, 
yaitu masuknya secara tidak sah (burglary) beberapa orang di kantor pusat 
Komite Nasional Demokrat di Watergate Washington DC. Namun proses 
impeachment ini gugur sebab Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.621 Dengan demikian suatu proses impeachment dapat berakhir saat 
yang terkena impeachment lebih memilih mengundurkan diri dibandingkan  
melayani persidangan baik di House of Representatif maupun di Senat. 
usaha  impeachment pada  Presiden yang ketiga terjadi pada tahun 1998 
yang menimpa Presiden Amerika Serikat Bill Clinton. masalah impeachment 
Presiden Amerika Bill Clinton ini bermula dari tuduhan pada  Clinton 
yang telah melakukan perbuatan tidak bermoral pada  karyawan Gedung 
Putih Monica Lewinsky. Clinton membantah telah melakukan perbuatan 
tidak wajar ini dengan karyawannya. Akan tetapi dalam perkembangan 
penyelidikannya Clinton mengakui telah melakukan perbuatannya yang 
disiarkan melalui televisi nasional. Oleh sebab itu tuduhan pada  
Clinton beralih dari perbuatan tidak wajar ke tuduhan telah menghalangi 
penyidikan dengan berbohong di bawah sumpah. Oleh Committee of 
Judiciary House of Representative, Presiden Bill Clinton dikenakan 4 pasal 
impeachment yaitu; pertama, melakukan sumpah palsu dihadapan grand jury 
(perjury in grand jury); kedua, melakukan sumpah palsu (perjury); ketiga, 
menghambat peradilan (abstruction of justice); dan keempat, memberi  
respon yang tidak layak atas pertanyaan tertulis dari Committee of Judiciary. 
Dari keempat dakwaan ini , akhirnya hanya dua yang dibawa ke Senat. 
Akhir dari proses impeachment ini yaitu Clinton dibebaskan (acquited) 
oleh Senat dengan suara mutlak dan tetap menduduki jabatan Presiden 
Amerika Serikat. 
Mekanisme impeachment juga ada di negara-negara lain. Di 
Philipina, kekuasaan impeachment dipegang oleh House of Representatives 
untuk mengajukan impeachment pada  Presiden, Wakil Presiden, anggota 
Mahkamah Agung, anggota komisi-komisi yang dibentuk konstitusi, 
serta Ombudsman. Article XI Section 2 dan 3 Konstitusi Philipina 
menyatakan:
Sec. 2
The President, Vice-President, the Members of the Supreme Court, the Members of 
the Constitutional Commissions, and the Ombudsman may be removed from office, on 
impeachment for, and conviction of, culpable violation of the Constitution, treason, bribery, 
graft and corruption, other high crimes, or betrayal of public trust. All other public officers 
and employees may be removed from office as provided by law, but not by impeachment.
Sec. 3.
(1) The House of Representatives shall have the exclusive power to initiate all cases of 
impeachment.

(2) A verified complaint may be filed by any Member of the House of Representatives 
or by any citizen upon a resolution of endorsement by any Member thereof, which 
shall be included in the Order of Business within ten session days, and referred to 
the proper Committee within three session days thereafter. The Committee, after 
hearing, and by a majority vote of all its Members, shall submit its report to the 
House within sixty session days from such referral, together with the corresponding 
resolution. The resolution shall be calendared for consideration by the House within 
ten session days from receipt thereof.
(3) A vote of at least one-third of all the Members of the House shall be necessary either 
to affirm a favorable resolution with the Articles of Impeachment of the Committee, 
or override its contrary resolution. The vote of each Member shall be recorded.
(4) In case the verified complaint or resolution of impeachment is filed by at least 
one-third of all the Members of the House, the same shall constitute the Articles of 
Impeachment, and trial by the Senate shall forthwith proceed.
(5) No impeachment proceedings shall be initiated against the same official more than 
once within a period of one year.
(6) The Senate shall have the sole power to try and decide all cases of impeachment. 
When sitting for that purpose, the Senators shall be on oath or affirmation. When 
the President of the Philippines is on trial, the Chief Justice of the Supreme Court 
shall preside, but shall not vote. No person shall be convicted without the concurrence 
of two-thirds of all the Members of the Senate.
(7) Judgment in cases of impeachment shall not extend further than removal from office 
and disqualification to hold any office under the Republic of the Philippines, but 
the party convicted shall nevertheless be liable and subject to prosecution, trial, and 
punishment according to law.
(8) The Congress shall promulgate its rules on impeachment to effectively carry out the 
purpose of this section.
Di Austria, Presiden Federasi Austria dapat diajukan impeachment oleh 
Federal Assembly (Bundesversammlung) di hadapan Mahkamah Konstitusi. 
Di Jerman, Presiden Federasi Jerman dapat diajukan impeachment baik oleh 
Bundestag maupun Bundesrat sebab alasan secara sengaja melanggar hukum 
Jerman. Dakwaan ini  diajukan dan akan diputus oleh Mahkamah 
Konstitusi Jerman apakah Presiden bersalah atau tidak serta apakah akan 
diberhentikan atau tidak. 
Dengan melihat pada praktik impeachment di berbagai negara di atas, 
terlihat adanya alasan yang hampir sama terkait dengan dilakukannya 
impeachment yaitu bahwa Presiden selaku pejabat publik dan yaitu 
pemimpin terhormat melakukan pelanggaran hukum dan/atau melakukan 
tindakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral suatu bangsa. Pemberhentian Presiden Sebelum
Perubahan UUD 1945
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/
atau Wakil Presiden tidak diatur di dalam batang tubuh. Ketentuan pasal￾pasal UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur tentang pemilihan 
Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dengan suara terbanyak [Pasal 6 ayat 
(2)] dan tentang penggantian jabatan Presiden oleh Wakil Presiden dalam 
hal Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya 
dalam masa jabatannya (Pasal 8).
Ketentuan tentang pemberhentian ada dalam Penjelasan UUD 
1945 tetapi hanya terkait dengan Presiden, sedang untuk Wakil Presiden 
tidak ada ketentuan dalam Penjelasan UUD 1945. Penjelasan angka VII 
paragraf ke-3 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan:
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu kuat. Dewan ini tidak 
bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). 
Kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap 
menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh sebab itu, Dewan 
Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden 
dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan 
negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh 
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk 
persidangan istimewa agar susaha  bisa minta pertanggungan jawab kepada 
Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persidangan istimewa diatur dengan 
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 yang mengatakan Presiden 
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya dengan alasan “Presiden sungguh 
melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau 
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, paling tidak telah ada 
dua Presiden yang diberhentikan dalam masa jabatannya, yaitu Presiden 
Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Mungkin saja jika Presiden 
Soeharto tidak mengundurkan diri pada tahun 2008, juga akan berujung 
pada pemberhentian oleh MPR. Presiden Soekarno diberhentikan oleh 
MPR dengan cara “mencabut kekuasaan pemerintahan negara” sebab 
pertanggungjawaban yang disampaikan mengenai kebijakan terkait dengan 
pemberontakan kotra-revolusi G-30-S/PKI, yang dikenal dengan pidato 
Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara, tidak dapat diterima oleh MPRS. Hal itu dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. 
ada dua alasan pencabutan kekuasaan berdasar  Ketetapan MPR 
ini , pertama, Presiden tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban 
konstitusional, dan kedua, Presiden tidak dapat menjalankan haluan dan 
putusan MPRS.
Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR pada tahun 2001 
melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban 
Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Pemberhentian ini juga dimulai dengan 
dibentuknya Panitia Angket masalah Dana Milik Yayasan Dana Kesejahteraan 
Karyawan (YANATERA) Bulog dan masalah Dana Bantuan Sultan Brunei 
Darussalam. Panitia khusus hak angket ini  menyimpulkan dua 
hal:
1. Dalam masalah dana Yanatera Bulog, Pansus berpendapat: “Patut Diduga Bahwa 
Presiden Abdurrahman Wahid Berperan dalam Pencairan dan Penggunaan Dana 
Yanatera Bulog”.
2. Dalam masalah Dana Bantuan Sultan Brunei Pansus berpendapat: “Adanya 
Inkonsistensi Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang Masalah Bantuan 
Sultan Brunei Darussalam, Menunjukkan Bahwa Presiden Telah Menyampaikan 
Keterangan yang Tidak Sebenarnya Kepada warga ”.
Proses pemberhentian bergulir melalui Memorandum I dan 
Memorandum II, hingga DPR meminta kepada MPR untuk mengadakan 
sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden sebab tidak 
mengindahkan memorandum kedua DPR. Sidang istimewa memang 
dilaksanakan pada 23 Juli 2001, namun sidang ini sesungguhnya bukan 
yaitu sidang istimewa atas permintaan DPR. Sidang istimewa 
dilaksanakan atas inisiatif MPR sendiri sebab terbitnya Maklumat Presiden 
tanggal 22 Juli 2001 yang salah satu isinya yaitu membekukan MPR dan 
DPR. Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dengan Ketetapan 
MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik 
Indonesia KH. Abdurrahman Wahid.
Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid 
terjadi dalam forum pertanggungjawaban. Yang harus dipertanggungjawabkan 
oleh seorang Presiden sebagai mandataris kepada MPR sebagai pemberi 
mandat dalam konstruksi UUD 1945 sebelum perubahan memiliki aspek 
yang sangat luas. Demikian pula halnya dengan dasar atau alasan menolak 
pertanggungjawaban yang berujung pada pemberhentian juga sangat luas, tidak terbatas pada pelanggaran hukum melainkan juga dapat terjadi sebab 
perbedaan pandangan atas kebijakan tertentu. Hubungan pertanggungjawaban 
ini  lebih dekat kepada sistem parlementer dibanding dengan sistem 
presidensiil. 
C. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden Pasca Perubahan UUD 1945
Ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden 
dalam masa jabatannya yaitu hasil Perubahan Keempat UUD 1945 
yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B serta Pasal 24C ayat (2). Pemberhentian 
diatur secara khusus untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan istilah 
“dapat diberhentikan dalam masa jabatannya”. 
Pengaturan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden 
dalam Perubahan UUD 1945 yaitu salah satu instrumen mewujudkan 
pemerintahan presidensiil. Hal itu sesuai dengan salah satu kesepakatan dasar 
tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu memurnikan dan memperkuat 
sistem presidensiil. Salah satu karakteristik sistem presidensiil yaitu 
pemisahan kekuasaan yang melahirkan hubungan sejajar antara eksekutif 
dan parlemen. ini berbeda secara mendasar dengan sistem parlementer 
di mana eksekutif bergantung kepada parlemen sehingga sewaktu-waktu 
eksekutif dapat dijatuhkan dan diganti oleh parlemen.
Salah satu ciri utama dalam sistem presidensiil yaitu masa jabatan 
pemerintahan atau Presiden telah ditentukan (fixed term of office). ini 
sama sekali berbeda dengan masa jabatan pemerintahan dalam sistem 
parlementer yang tidak ditentukan secara pasti, melainkan bergantung 
kepada kepercayaan dari parlemen sehingga dapat sangat singkat ataupun 
sangat lama. Masa jabatan kaninet akan berakhir pada saat pemerintahan 
jatuh sebab alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau dianggap 
salah oleh parlemen. 
berdasar  UUD 1945, masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden 
telah ditentukan, yaitu 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 
pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan lagi. Pada prinsipnya, 
dalam masa jabatan 5 (lima) tahun itu kedudukan Presiden dan/atau Wakil 
Presiden tidak dapat diganggu-gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD 
1945 ditentukan dapat menjadi dasar pemberhentian. 
Oleh sebab itu pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden 
yaitu mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada masalah yang luar biasa, atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Seorang 
Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu tokoh sentral negara yang tentu 
saja diharapkan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum. Namun 
jika pelanggaran itu terjadi, Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap harus 
bertanggung jawab secara hukum sebagai wujud prinsip equality before the 
law. sebab kedudukan yang dimiliki, pertanggungjawaban tidak dapat 
dilakukan melalui mekanisme hukum biasa, melainkan melalui mekanisme 
khusus yang di dalamnya ada proses impeachment.
Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 mengenai pemberhentian Presiden 
dan/atau Wakil Presiden menentukan sebagai berikut:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh 
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila 
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan pada  negara, 
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila 
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan 
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih 
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, 
mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan 
pada  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan 
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi 
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden 
telah melakukan pelanggaran hukum ini  ataupun telah tidak lagi memenuhi 
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu dalam rangka pelaksanaan 
fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi 
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah 
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang 
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan 
Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil￾adilnya pada  pendapat Dewan Perwakilan Rakyat ini  paling lama 
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima 
oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil 
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan pada  
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; 
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi 
syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Pre￾siden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. 
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk 
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat ini  paling lambat tiga puluh 
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul ini .
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/
atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan 
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui 
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/
atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat 
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
berdasar  Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 dapat diketahui bahwa 
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui tiga tahapan, 
yaitu tahapan di DPR, tahapan di MK, dan tahapan di MPR. Tahapan 
pertama yaitu tahapan pengusulan yang dilakukan oleh DPR sebagai salah 
satu pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Apabila DPR dalam pelaksanaan 
fungsi pengawasan yang dimiliki berpendapat bahwa Presiden dan/atau 
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan 
pada  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau 
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat 
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR dapat mengajukan 
usul pemberhentian. Pendapat tentang pelanggaran hukum atau kondisi 
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat ini  harus 
diputus dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 
anggota DPR dan disetujui 2/3 dari anggota DPR yang hadir.
Namun demikian persyaratan kuorum dan persetujuan yang diperlukan 
untuk pernyataan pendapat DPR dimaksud diatur lebih ketat dalam UU 
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 184 
ayat (4) UU ini  mengatakan hak menyatakan pendapat tentang 
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau Presiden 
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat harus diambil dalam 
rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 anggota DPR 
dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPR 
yang hadir. Ketentuan ini sedang diuji di MK dalam masalah Nomor 26/
PUU-VIII/2010.
Tahap kedua yaitu tahap di MK. Apabila pendapat DPR tentang 
pelanggaran hukum atau kondisi tidak memenuhi syarat Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah disetujui sesuai dengan persyaratan di atas, 
DPR selanjutnya mengajukan pendapat ini  kepada MK yang akan 
memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari. MK dalam ini dapat memutuskan pendapat 
DPR terbukti atau tidak.
Apabila MK memutuskan bahwa pendapat DPR terbukti, DPR 
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pem￾berhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR 
wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR ini  
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul ini . 
Pemberhentian pada  Presiden dan/atau Wakil Presiden diputuskan dalam 
rapat paripurna MPR yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari 
jumlah anggota MPR dan pemberhentian itu disetujui sekurang-kurangnya 
2/3 dari anggota MPR yang hadir. Dalam rapat paripurna itu Presiden dan/
atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di 
atas berbeda dengan mekanisme pemberhentian Presiden di Amerika 
Serikat yang hanya membutuhkan 2 (dua) tahap. Tahap pertama, usul 
pemberhentian Presiden di Amerika Serikat juga diajukan oleh DPR, yaitu 
House of Representatives. Namun jika usul ini  telah disetujui House 
of Representatives dengan suara mayoritas mutlak, langsung diajukan 
dalam sidang impeachment, yaitu sidang yang dilakukan di hadapan Senat 
AS. Anggota Senat menjadi juri yang akan memutuskan apakah Presiden 
diberhentikan atau tidak. Sidang impeachment ini dipimpin oleh Ketua 
MA.624
Keseluruhan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden 
di atas yaitu mekanisme removal from office yang harus dilalui. Dengan 
demikian proses persidangan di MK untuk memutus pendapat DPR tentang 
pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu salah satu 
tahapan saja yang dikenal dengan istilah impeachment. Dalam forum MK 
inilah DPR mengajukan dakwaan pada  Presiden dan atau Wakil Presiden. 
MK memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir apakah pendapat DPR 
ini  terbukti atau tidak, tetapi tidak memutus memberhentikan Presiden 
dan/atau Wakil Presiden. Keputusan pemberhentian diambil pada tahapan 
selanjutnya, yaitu oleh MPR.
Mekanisme persidangan di MK juga ada yang menyebut sebagai forum 
previligiatum. Pada masa penjajahan Belanda, ada forum pengadilan 
khusus untuk mengadili para pejabat yang disebut forum previligiatum. Forum pengadilan ini diperlukan sebab tidak mungkin mengadili para pejabat 
ini  dalam pengadilan biasa yang sangat mungkin hakim yang mengadili 
berkedudukan lebih rendah dari pejabat yang diadili. Agar peradilan dapat 
berjalan secara fair dan impartial, diperlukan forum pengadilan khusus, 
terutama untuk pengadilan pidana.
Menurut Mahfud MD, cara penjatuhan Presiden dan/atau Wakil 
Presiden yang diatur dalam UUD 1945 memakai  sistem campuran 
antara sistem impeachment dan sistem forum previligiatum. Impeachment
menunjuk pada Presiden dan/atau Wakil Presiden dijatuhkan oleh lembaga 
politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat (yaitu MPR, di AS yaitu 
Kongres) melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat dan 
mekanisme yang ketat. Forum previligiatum yaitu Presiden dan/atau Wakil 
Presiden melalui pengadilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya yaitu 
pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan 
putusan hukum pula. Ketentuan dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa 
penjatuhan Presiden dan/atau Wakil Presiden dimulai dari penilaian dan 
keputusan politik DPR (impeachment) yang kemudian dilanjutkan dengan 
pemeriksaan dan putusan hukum oleh MK (forum previligiatum), lalu 
dikembalikan lagi ke prosedur impeachment (DPR meneruskan ke MPR) 
untuk diputuskan secara politik.625
Namun demikian perlu diingat bahwa walaupun impeachment dilakukan 
atas dasar pelanggaran pidana tertentu, peradilan yang dilakukan MK untuk 
memutus pendapat DPR bukan yaitu peradilan pidana melainkan 
peradilan hukum tata negara. Sanksi dari peradilan ini yaitu sanksi tata 
negara berupa kemungkinan berujung pada pemberhentian dari jabatan 
dan larangan menduduki jabatan publik di mana dia telah diberhentikan, 
bukan sanksi pidana.
Prosedur bahwa putusan MK bukan yaitu putusan pemberhentian 
Presiden dan/atau Wakil Presiden juga dianut di beberapa negara. Di 
Georgia, peran MK yaitu memberi  kesimpulan atas pertanyaan 
parlemen tentang Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemberhentian tetap 
menjadi wewenang parlemen dengan suara mayoritas.626 Demikian pula di 
Russia, putusan MA dan MK bukan yaitu putusan pemberhentian, 
melainkan apakah tindakannya terbukti dan apakah prosedur impeachment
dilalui secara sah. Keputusan pemberhentian Presiden Russia ditentukanoleh Dewan Federasi (Federation Council).627
Namun demikian, juga ada negara yang menentukan bahwa 
proses peradilan di MK yaitu proses akhir, setelah melalui proses 
di parlemen. Di Bulgaria, impeachment diajukan kepada MK, dan MK yang 
memutuskan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah melakukan 
high treason atau tindakan pelanggaran konstitusi yang lain dan memutus 
apakah diberhentikan atau tidak.628
D. Para Pihak
1. Pemohon 
Sesuai dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil 
Presiden di mana yang mengajukan pendapat dan usul pemberhentian 
yaitu DPR maka yang bertindak sebagai Pemohon dalam persidangan 
MK untuk memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden 
dan/atau Wakil Presiden yaitu DPR [Pasal 80 ayat (1) UU MK]. DPR 
dalam ini yaitu secara kelembagaan sehingga harus memenuhi syarat 
pengambilan keputusan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Ketentuan Pasal 2 PMK Nomor 21 Tahun 2009 mengatakan 
DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya. 
Dengan demikian, Pimpinan DPR dapat bertindak sendiri ataupun dengan 
menunjuk kuasa hukum. Namun apabila Pimpinan DPR menunjuk kuasa 
hukum, dalam persidangan selanjutnya tetap ditentukan bahwa Pimpinan 
DPR juga harus menghadiri persidangan MK.
2. Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pihak yang diajukan pendapat yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden. 
Walaupun tidak disebutkan sebagai Termohon, namun kedudukan Presiden 
dan/atau Wakil Presiden sesungguhnya yaitu sebagai Termohon. Pendapat 
DPR dapat ditujukan hanya kepada Presiden, hanya kepada Wakil Presiden, 
ataupun kedua-duanya yaitu Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat bertindak sendiri, atau 
didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukumnya. Walaupun diwakili 
oleh kuasa hukum, Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir dalam 
persidangan MK, yaitu dalam persidangan untuk menyampaikan tanggapan 
Presiden dan/atau Wakil Presiden pada  pendapat DPR.E. Alasan Permohonan
Sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945, hanya ada dua kelompok alasan 
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat dimohonkan 
kepada MK untuk diputus apakah terbukti atau tidak, yaitu (1) pelanggaran 
hukum; dan (2) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau 
Wakil Presiden menurut UUD 1945. Alasan pelanggaran hukum pun 
ditentukan secara limitatif, yaitu hanya pelanggaran hukum yang berupa; 
(a) pengkhianatan pada  negara; (b) korupsi; (c) penyuapan; (d) tindak 
pidana berat lainnya; atau (e) perbuatan tercela.
Pengkhianatan pada  negara yaitu tindak pidana pada  keamanan 
negara yang sebagian besar telah diatur dalam KUHP.629 Selain itu juga 
ada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan 
pada  Keamanan Negara yang mengubah beberapa ketentuan di dalam 
KUHP. Di dalam KUHP, tindak pidana pada  keamanan negara meliputi 
pengkhianatan yang bersifat internal (hoog verraad) maupun yang bersifat 
eksternal (landverraad) sebagaimana diatur dalam Titel I Buku II KUHP. 
Kejahatan-kejahatan ini  meliputi:
a. Makar pada  kepala negara (Pasal 104);
b. Makar untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan asing (Pasal 106);
c. Makar untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107);
d. Pemberontakan (Pasal 108);
e. Pemufakatan jahat dan/atau penyertaan untuk melakukan kejahatan yang 
dimaksud Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP;
f. Mengadakan hubungan dengan negara asing yang bermusuhan dengan 
Indonesia (Pasal 111);
g. Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar negara 
asing membantu suatu penggulingan pada  pemerintah di Indonesia 
(Pasal 111 bis);
h. Menyiarkan surat-surat rahasia (Pasal 112 – Pasal 116);
i. Kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (Pasal 
117–Pasal 120);
j. Merugikan negara dalam perundingan diplomatik (Pasal 121);
k. Kejahatan yang biasa dilakukan oleh mata-mata musuh (Pasal 122 – 
Pasal 125);
l. Menyembunyikan mata-mata musuh (Pasal 126); dan
m. Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentaraPelanggaran hukum berupa korupsi dan penyuapan631 dapat dijadikan 
satu, yaitu tindak pidana korupsi dan penyuapan baik yang diatur dalam 
KUHP maupun dalam Undang-Undang yang lain, seperti Undang-Undang 
Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Hamdan Zoelva, yang dapat dikategorikan 
sebagai korupsi dan penyuapan meliputi:
a. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang terdiri dari:
1) Perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau 
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan 
atau perekonomian negara;
2) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana 
yang ada padanya sebab jabatan atau kedudukan dengan tujuan 
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang 
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
b. Tindak pidana yang sebelumnya yaitu tindak pidana suap yang 
terkait dengan jabatan negeri, hakim, dan advokat sebagaimana diatur 
dalam KUHP, jabatan penyelenggara negara, serta pemborong, ahli 
bangunan serta pengawas bangunan yang terkait dengan kepentingan 
umum dan TNI.
c. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, 
yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah, merintangi 
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, 
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan dalam masalah korupsi dan 
penyuapan.632
berdasar  Pasal 1 angka 10 PMK Nomor 21 Tahun 2009 dinyatakan 
bahwa tindak pidana berat lainnya yaitu tindak pidana yang diancam 
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dengan demikian apabila 
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan suatu tindak pidana yang 
ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih dapat dijadikan sebagai 
dasar alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Di Amerika 
Serikat, kategori tindak pidana berat disebut dengan “high crimes” yang 
memiliki pengertian lebih luas, seperti terlihat pada alasan usaha  impeachment 
pada  Andrew Johson maupun Richard M. Nixon.
Alasan selanjutnya yaitu perbuatan tercela yang dalam istilah di Amerika 
Serikat disebut dengan misdemeanor. Dari sisi hukum, istilah misdemeanor 
sesungguhnya menunjuk pada tindak pidana ringan. Namun dalam konsteks impeachment, misdemeanor yaitu perbuatan tercela, yang walaupun bukan 
pelanggaran pidana, tetapi yaitu perbuatan yang dianggap tercela oleh 
warga  dan tidak seharusnya dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil 
Presiden. Apabila perbuatan dimaksud dilakukan, akan merusak citra dan 
kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
sedang kelompok kedua terkait dengan syarat menjadi Presiden 
dan/atau Wakil Presiden. Pasal 1 angka 12 PMK Nomor 21 Tahun 2009 
mengatakan yang dimaksud dengan tidak lagi memenuhi syarat 
sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden yaitu syarat sebagaimana 
ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 dan undang-undang yang terkait. 
Pasal 6 UUD 1945 menentukan syarat calon Presiden dan Wakil Presiden 
meliputi; (a) warga negara Indonesia sejak kelahirannya; (b) tidak pernah 
menerima kewarganegaraan lain sebab kehendaknya sendiri; (c) tidak 
pernah mengkhianati negara; (d) mampu secara jasmani dan rohani 
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan/atau Wakil 
Presiden. 
Selain syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, syarat 
Presiden dan Wakil Presiden juga diatur dalam undang-undang, khususnya 
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ada persyaratan lain 
bagi calon Presiden dan Wakil Presiden di luar syarat yang disebutkan 
dalam UUD 1945, yaitu:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat 
lainnya;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang 
memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
e. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau 
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan 
keuangan negara;
f. tidak sedang dinyatakan pailit berdasar  putusan pengadilan;
g. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
h. terdaftar sebagai Pemilih;
i. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan 
kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang 
dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 
Wajib Pajak Orang Pribadij. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 
2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
k. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 
Agustus 1945;
l. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasar  putusan pengadilan 
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebab melakukan 
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun 
atau lebih;
m. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;
n. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), 
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah 
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
o. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, 
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung 
dalam G.30.S/PKI; dan
p. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan 
negara Republik Indonesia.
F. Permohonan 
Sesuai dengan hukum acara MK yang bersifat umum, permohonan 
harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau 
kuasanya kepada MK. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau 
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.633 Di dalam permohonan ini  
sekurang-kurangnya harus memuat (a) nama dan alamat pemohon; (2) 
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan; dan (3) hal-hal 
yang diminta untuk diputus. Permohonan juga harus disertai dengan alat 
bukti yang mendukung.634
Di dalam uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, 
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum 
berupa pengkhianatan pada  negara, korupsi, penyuapan, tindak 
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai 
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasar  UUD 1945Permohonan dapat diajukan berdasar  dua atau salah satu dari alasan 
untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini . Apabila 
pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil 
Presiden telah melakukan satu atau lebih bentuk pelanggaran hukum, maka 
di dalam permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan 
tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil 
Presiden. Demikian pula apabila pendapat DPR berkaitan dengan dugaan 
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai 
Presiden dan/atau Wakil Presiden, permohonan harus memuat uraian yang 
jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak lagi terpenuhi.636
Panitera MK akan memeriksa kelengkapan permohonan yang telah 
diterima. Apabila ada kekurangan lengkapan, Pemohon wajib melengkapi 
dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan 
ini . Permohonan yang lengkap dicatat dalam Buku Registrasi masalah 
Konstitusi.637
Di dalam permohonan ini , pemohon (DPR) juga harus 
menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai 
pendapat DPR sebagaimana dimaksud Pasal 7B UUD 1945, risalah dan/
atau berita acara rapat DPR.638 Dengan demikian dapat diketahui bahwa 
pendapat DPR ini  telah melalui proses pengambilan keputusan yang 
sah. Selain itu permohonan juga harus disertai bukti mengenai dugaan 
pelanggaran hukum atau kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi 
memenuhi syarat.639 Dengan demikian permohonan DPR harus dilampiri 
alat bukti yang meliputi:
1. Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR 
bahwa pendapat DPR didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah 
anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh 
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;
2. Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan 
langsung dengan materi permohonan;
3. Risalah dan/atau berita acara rapat DPR; dan 
4. Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau 
Wakil Presiden atau alat bukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden 
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang 
menjadi dasar pendapat DPR.G. Proses Persidangan
Permohonan yang telah dinyatakan lengkap dan dicatat dalam Buku 
Registrasi masalah Konstitusi (BRPK) disampaikan kepada Presiden oleh 
Panitera MK dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak dicatat dalam BRPK.640
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus menyampaikan tanggapan tertulis 
kepada MK paling lambat sehari sebelum sidang pertama dimulai, yang 
dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap.641
MK menetapkan hari sidang pertama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja 
sejak permohonan diregistrasi. Ketentuan ini berbeda dengan hukum acara 
yang bersifat umum yang menentukan penetapan sidang pertama paling 
lambat 14 (empat belas) hari sejak diregistrasi. Penetapan sidang pertama 
diberitahukan kepada pihak-pihak dan diumumkan kepada warga  
melalui papan pengumuman MK.642
Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim MK yang dihadiri sekurang￾kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi dan dipimpin oleh Ketua MK. 
Persidangan ditentukan melalui 6 (enam) tahap, yaitu:
a. Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
b. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
c. Tahap III : Pembuktian oleh DPR
d. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
e. Tahap V : Kesimpulan DPR maupun Presiden dan/atau Wakil 
Presiden
f. Tahap VI : Pengucapan Putusan643
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR 
dan kuasa hukumnya. Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai termohon 
berhak untuk menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan dan/atau diwakili 
oleh kuasa hukumnya.644
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan untuk memeriksa kelengkapan 
permohonan dan kejelasan materi permohonan. Dalam pemeriksaan 
pendahuluan ini MK memberi kesempatan kepada Pemohon untuk 
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan pada saat itu juga lalu 
menjelaskan atau membacakan permohonan ini . Dalam Pemeriksaan 
Pendahuluan ini, MK juga memberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka kejelasan 
permohonan. Ketua Sidang juga dapat memberika kesempatan kepada 
majelis hakim untuk mengajukan pertanyaan tentang kejelasan materi 
permohonan.645
Memasuki persidangan Tahap II, Presiden dan/atau Wakil Presiden 
wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh kuasa hukumnya 
untuk menyampaikan tanggapan pada  pendapat DPR. Tanggapan 
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat berupa:
a. Sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan pendapat DPR;
b. Materi muatan pendapat DPR; dan
c. Perolehan dan penilaian alat-alat bukti yang diajukan oleh DPR.646
Setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan tanggapan, 
MK memberi  kesempatan kepada DPR untuk memberi  tanggapan 
balik. Dalam proses ini majelis hakim juga dapat mengajukan pertanyaan 
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.647
Sidang Tahap III yaitu pembuktian oleh DPR. MK melakukan 
pemeriksaan pada  alat-alat bukti yang diajukan oleh DPR. MK juga 
dapat memberi  kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden 
atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan atau meneliti alat 
bukti yang diajukan DPR.648
Sidang Tahap IV yaitu sidang di mana Presiden dan/atau Wakil 
Presiden mendapatkan hak memberi  bantahan pada  alat bukti 
yang diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian sebaliknya. Dalam 
proses ini, MK memberi juga kesempatan kepada DPR untuk mengajukan 
pertanyaan, meminta penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh 
Presiden dan/atau Wakil Presiden.649
Setelah sidang pembuktian dipandang selesai, dilanjutkan dengan 
sidang Tahap IV di mana MK memberi  kesempatan baik kepada DPR 
maupun kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan 
kesimpulan akhir. Kesimpulan akhir harus dibuat dalam waktu paling lama 
14 (empat belas) hari setelah sidang Tahap IV berakhir. Kesimpulan akhir 
disampaikan secara lisan dan/atau tertulis dalam sidang Tahap V.650Sidang terakhir yaitu sidang pengucapan putusan. Putusan diambil 
melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan ketentuan seperti 
RPH pengambilan putusan pada masalah MK yang lain. Namun demikian 
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat 
proses pemeriksaan di MK, maka proses pemeriksaan dihentikan dan 
permohonan dinyatakan gugur melalui penetapan MK.
H. Putusan 
pada  masalah pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran 
hukum atau kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi 
syarat ada tiga kemungkinan putusan yang dapat dijatuhkan oleh MK. 
Pertama, apabila MK berpendapat permohonan tidak memenuhi syarat dari 
sisi Pemohon dan permohonan, amar putusannya menyatakan permohonan 
tidak dapat diterima. Kedua, apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau terbukti 
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana pendapat DPR, amar putusan 
MK yaitu menyatakan membenarkan pendapat DPR. Ketiga, apabila 
MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti 
melakukan pelanggaran hukum atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi 
syarat seperti pendapat yang diajukan DPR, amar putusan MK menyatakan 
permohonan ditolak.651
MK harus memutus masalah ini dalam waktu 90 (sembilan puluh) 
hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi 
(BRPK). Putusan MK tentang masalah ini wajib disampaikan kepada 
DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.652 Putusan MK bersifat final 
secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan 
permohonan.653 Dengan demikian, DPR hanya dapat mengajukan usul 
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila MK memutus 
menyatakan membenarkan pendapat DPR. Apabila MK memutus bahwa 
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti seperti pendapat DPR, 
maka DPR tidak dapat mengajukan usul pemberhentian kepada MPR. 
Mengingat bahwa peradilan pada  pendapat DPR tentang pelanggaran 
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau Presiden 
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat yaitu peradilan tata 
negara, maka tidak memberi  hukuman pidana. Apabila MK memutus mengabulkan permohonan DPR, yang berarti terbukti bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tertentu, tidak 
menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden 
dalam persidangan pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara.654
Dengan melihat pada uraian di atas, proses pemberhentian Presiden 
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebab pelanggaran hukum 
berupa pengkhianatan pada  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana 
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi 
memenuhi syarat-syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka 
secara sederhana proses pemberhentiannya dapat disajikan dalam skema 
sebagai berikut
Dari skema di atas, terlihat jelas adanya 3 lembaga yang terkait dalam 
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu sebagai 
berikut. 
1. DPR melakukan dua tahapan yaitu pertama, melakukan pendakwaan 
(impeachment) untuk disampaikan ke Mahkamah Konstitusi; kedua, 
meneruskan usul pemberhentian jika putusan Mahkamah Konstitusi 
mengatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti seperti 
yang didakwakan oleh DPR. Proses pendakwaan dan pengusulan oleh 
DPR ke MPR ini lebih yaitu proses politik, sebab DPR yaitu 
lembaga politik.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus 
dakwaan pada  Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR 
yang yaitu forum previligatum dan lebih bersifat sebagai proses 
yuridis. Oleh sebab itu, proses di Mahkamah Konstitusi ini lebih 
untuk melihat terbukti tidaknya dakwaan pada  Presiden dan/atau 
Wakil Presiden oleh DPR. Apabila hasil persidangan di Mahkamah 
Konstitusi menunjukkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak 
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan pada  
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau tidak 
melakukan perbuatan tercela, atau tetap memenuhi syarat-syaratnya, 
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat 
dilanjutkan. Akan tetapi jika hasil persidangan menunjukkan bahwa 
pada  dakwaan Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR terbukti 
secara meyakinkan, maka keputusan Mahkamah Konstitusi disampaikan 
kepada DPR untuk proses pengusulan lebih lanjut ke MPR.
3. MPR yaitu lembaga terakhir penentu atas status Presiden dan/
Wakil Presiden setelah proses DPR dan Mahkamah Konstitusi selesai. 
Artinya, meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan Presiden dan/
Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, atau 
telah melakukan perbuatan tercela, atau telah tidak lagi memenuhi 
syarat-syaratnya, tidak akan otomatis Presiden dan/Wakil Presiden 
langsung dimakzulkan. Jadi, dalam persidangan MPR yang membahas 
usulan DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden 
setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum 
berupa pengkhiatan pada  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana 
berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi 
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka MPR dapat mengambil keputusan dalam dua pilihan, yaitu memberhentikan 
atau tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden meskipun 
telah terbukti bersalah yang dibuktikan dalam persidangan Mahkamah 
Konstitusi.
















Partai politik terdiri dari dua kata, yaitu “partai” dan “politik”. Kata partai 
menunjuk pada golongan sebagai pengelompokan warga  berdasar  
kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan. 
Pengelompokan itu bentuknya yaitu organisasi secara umum, yang dapat 
dibedakan menurut wilayah aktivistasnya, seperti organisasi kewarga an, 
organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. 
Dengan atribut “politik” berarti pengelompokan yang bergerak di bidang 
politik. 
Beberapa ahli memberi  konsep tentang partai politik secara 
berbeda-beda, namun memiliki elemen-elemen yang hampir sama. Mac 
Iver menyatakan “We may define a political party as an association organized 
in support of some principle or policy which by constitutional means it endavour 
to make the determinant of government”.
504 Menurut Edmund Burke partai 
politik yaitu “a body of men united for promoting by their joint endavour 
the national interest upon some particular principle in which they are all aggree”.505
Setelah menganalisis berbagai definisi partai politik, Ware merumuskan 
definisi partai politik sebagai berikut.506
A political party is an institution that (a) seeks influence in a state, often by attempting 
to occupy positions in government, and (b) usually consists of more than a single interest 
in the society and so to some degree attempts to “aggregate interest”.
Keberadaan partai politik menjadi salah satu ciri utama negara 
demokrasi modern. Bahkan, partai politik yaitu salah satu pilar demokrasi modern, yaitu demokrasi perwakilan. Untuk menjembatani 
antara pemerintah dan rakyat diperlukan adanya partai politik. Peran partai 
politik yaitu menata aspirasi rakyat yang berbeda-beda, dijadikan “pendapat 
umum” sehingga dapat menjadi bahan pembuatan keputusan yang teratur.507
Dalam negara modern, jumlah pemilihnya sangat besar dan kepentingannya 
sangat bervariasi sehingga perlu dikelola untuk menjadi suatu keputusan. 
Partai politiklah yang memilih prinsip-prinsip aspirasi para pemilih yang 
akan diterjemahkan dalam proses legislasi.508
Namun demikian, dengan semakin berkembangnya kehidupan politik 
dan partai politik membutuhkan adanya pengaturan dari berbagai aspek. 
Pengaturan partai politik diperlukan untuk mewujudkan sistem kepartaian 
yang sesuai dengan tipe demokrasi yang dikembangkan dan kondisi 
suatu bangsa. Pengaturan tentang partai politik juga dimaksudkan untuk 
menjamin kebebasan partai politik itu sendiri, serta membatasi campur 
tangan berlebihan dari pemerintah yang dapat memasung kebebasan dan 
peran partai politik sebagai salah satu institusi yang diperlukan untuk 
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, pengaturan juga diperlukan untuk 
menjamin berjalannya demokrasi dalam tubuh organisasi dan aktivitas 
partai politik itu sendiri.
Keberadaan partai politik memang yaitu manifestasi dari hak 
atas kebebasan berserikat dan berkumpul serta hak menyatakan pendapat. 
Namun demikian, hak dan kebebasan ini  dapat dibatasi dengan 
melakukan pengaturan, termasuk pembubaran partai politik. Kebebasan 
berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki batasan yang diperlukan 
dalam warga  demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan 
publik, untuk mencegah kejahatan, untuk melindungi kesehatan dan 
moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.509 Pembatasan 
yang dibutuhkan dalam warga  demokratis yaitu penyeimbang 
antara kepentingan publik dan privat. Namun agar tidak memberangus kebebasan berserikat, pembatasan itu harus dilakukan secara ketat yang 
meliputi; (1) pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; (2) dilakukan 
semata-mata untuk mencapai tujuan dalam warga  demokratis; dan (3) 
memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan 
kebutuhan sosial.510
Sam Issacharoff mengatakan salah satu bentuk pembatasan 
yang dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi, yaitu 
pembatasan pada  kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta 
warga  secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan 
suatu organisasi, termasuk partai politik, yang bertentangan dengan tujuan 
dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokratis tidak hanya memiliki 
hak, tetapi juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip 
demokrasi konstitusional.511
Pada umumnya tujuan ketentuan pembubaran partai politik yaitu 
untuk melindungi (a) demokrasi, (b) konstitusi, (c) kedaulatan negara, 
(d) keamanan nasional, dan (e) ideologi negara. Perlindungan pada  
demokrasi, dimaksudkan agar tatanan demokrasi yang sedang berjalan 
tidak rusak dan digantikan dengan sistem lain yang tidak demokratis. 
Pemerintahan yang demokratis harus mencegah bentuk-bentuk yang 
mengancam demokrasi.512 Perlindungan ini  diwujudkan dalam bentuk 
larangan program dan kegiatan partai politik yang hendak menghancurkan 
tatanan demokrasi, maupun dalam bentuk keharusan partai politik bersifat 
demokratis baik organisasi maupun cara yang dipakai .513
Perlindungan pada  konstitusi diwujudkan dalam bentuk ketentuan 
yang melarang tujuan dan kegiatan partai politik bertentangan dengan konstitusi atau hendak menghilangkan atau merusak tatanan konstitusional.514
Perlindungan pada  konstitusi juga diwujudkan dalam bentuk ketentuan 
yang melarang partai politik secara paksa atau dengan jalan kekerasan hendak 
mengubah tatanan negara konstitusional atau mengubah konstitusi.515 Tujuan 
mengubah konstitusi yang dilakukan secara demokratis dan damai tidak 
dapat dijadikan alasan pembubaran partai politik.516
Perlindungan pada  kedaulatan meliputi keharusan partai politik 
menghormati prinsip kedaulatan nasional,517 larangan membahayakan 
eksistensi negara,518 tidak melanggar kemerdekaan dan kesatuan atau 
kedaulatan nasional,519 hingga larangan afiliasi dan memperoleh pendanaan 
dari pihak asing.520 Perlindungan pada  keamanan nasional diwujudkan 
melalui kewajiban menghormati dan tidak mengganggu keamanan nasional,521
larangan menghasut atau menasihatkan kekerasan atas dasar apapun,522 hingga  
larangan membentuk dan memakai  organisasi paramiliter.523
Perlindungan pada  ideologi negara yaitu perlindungan pada  
faham atau asas tertentu yang dipandang sebagai dasar negara, misalnya 
pluralisme,524 ajaran agama tertentu,525 atau bahkan prinsip sekularisme.526
Perlindungan ini juga diwujudkan dalam bentuk larangan partai politik 
menganut atau menjalankan program berdasar  ideologi atau faham 
tertentu yang dipandang bertentangan dengan ideologi dan konstitusi 
negara.527
B. Pengertian Pembubaran
Pembubaran dalam bahasa Inggris yaitu dissolution. Menurut kamus 
Black’s Law, dissolution berarti (1) the act of bringing to an end; termination; 
(2) the cancellation or abrogation of a contract, with the effect of annuling the 
contract’s binding force and restoring the parties to their original positions; dan 
(3) the termination of a corporation’s legal existence by expiration of its charter, by 
legislative act, by bankruptcy, or by other means; the event immediately preceding 
the liquidation or winding-up process.
528
berdasar  pengertian ini , bubarnya suatu partai politik berarti 
berakhirnya eksistensi hukum partai politik ini . Hal itu dapat terjadi 
sebab membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri 
dengan partai politik lain, atau dibubarkan berdasar  keputusan otoritas 
negara atau sebagai akibat dari adanya aturan baru atau kebijakan negara. 
Pembubaran kategori terakhir disebut sebagai pembubaran secara paksa 
(enforced dissolution).
Wewenang Pembubaran Partai Politik
Terkait dengan pengaturan pembubaran partai politik, Venice Commission
membuat pedoman bahwa pada prinsipnya negara harus mengakui hak setiap 
orang untuk berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Pelarangan dan 
pembubaran paksa partai politik hanya dimungkinkan dalam masalah partai 
politik itu melakukan tindakan dengan memakai  kekerasan sebagai 
alat politik untuk menghancurkan tatanan demokrasi yang menjamin hak 
dan kebebasan. Pembubaran tidak dapat dilakukan atas dasar tindakan 
individu anggota tanpa mandat dari partai. Pelarangan atau pembubaran 
partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga 
yudisial lain dengan menjamin adanya due process of law, keterbukaan, dan 
pengadilan yang fair.529
Pada umumnya, pengadilan yang berwenang memutus pembubaran 
partai politik yaitu Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Hal 
itu terkait dengan putusan pembubaran yang bersifat final dan mengikat, 
kecuali di Hungaria yang dapat diajukan kasasi kepada General Assembly of 
the College of Attorneys. Selain itu, paling tidak ada dua negara yang 
pembubarannya melalui pengadilan biasa, yaitu di Kamboja dan Yaman, 
serta khusus untuk alasan administratif di Rumania. Di sisi lain, hanya satu 
negara yang pembubarannya dilakukan oleh pemerintah terlebih dahulu 
sebelum diputuskan oleh Mahkamah Agung, yaitu di Pakistan.
berdasar  ketentuan di beberapa negara, pembubaran partai politik 
lebih banyak yaitu wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun, tidak 
semua ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi di negara-negara 
yang memiliki Mahkamah Konstitusi menyebutkan wewenang memutus 
pembubaran partai politik. ada dua kemungkinan terkait ini . 
Pertama yaitu wewenang itu diberikan atau diatur dalam undang-undang 
lain, misalnya undang-undang tentang partai politik, atau memang wewenang 
ini  tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi negara yang bersangkutan 
tetapi ada pada Mahkamah Agung atau pengadilan lainnya. Beberapa 
negara yang memiliki konstitusi yang di dalam undang-undang tentang 
Mahkamah Konstitusinya mencantumkan wewenang pembubaran partai 
politik diantaranya yaitu Albania, Armenia, Austria, Azerbaijan, Kroasia, 
Cheznya, Georgia, Hungaria, Jerman, Korea Selatan, Macedonia, Moldova, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Thailand, Turki, 
Taiwan, dan Chile.
Di dalam peraturan perundang-undang yang pernah berlaku di 
Indonesia, ada perbedaan prosedur pembubaran partai politik. Di 
dalam prosedur ini  selalu melibatkan peran pemerintah dan lembaga 
peradilan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, yang dapat dikategorikan 
sebagai periode yang kurang demokratis, peran pemerintah lebih besar 
dibanding lembaga peradilan. Penentu utama pembubaran partai politik 
yaitu pemerintah, sedang lembaga peradilan hanya memberi  
pertimbangan. 
Dalam perkembangan praktik politik di Indonesia, juga telah terjadi 
pembubaran partai politik dalam berbagai bentuk. Pembubaran partai 
politik pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat itu, Presiden Soekarno memandang 
partai politik menjadi penyakit yang lebih parah dari sekedar fanatisme 
kedaerahan dan kesukuan sehingga menyarankan para pemimpin partai 
politik untuk berunding guna mengubur partai-partai politik.530
Pada 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) 
Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. 
Sebagai tindak lanjut dari Penpres ini , dikeluarkan Peraturan Presiden 
(Perpres) Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan 
Pembubaran Partai-Partai531 yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor 
25 Tahun 1960532. Peraturan ini  diikuti dengan Keputusan Presiden 
(Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang 
memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui yaitu 
PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan 
IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang 
Penolakan Pengakuan Partai-partai yang memenuhi Perpres Nomor 13 
Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya yaitu PSII Abikusno, 
Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional 
Djodi Gondokusumo. Di samping itu, melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah 
Islam (Perti).533
Pada 17 Agustus 1960, diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan 
Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang memerintahkan kepada Partai 
Masjumi dan PSI agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri 
sebab terlibat dalam pemberontakan PRRI Permesta. Jika hal itu tidak 
dipenuhi, akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan 
Masjumi dan PSI membubarkan partai mereka.534
Dalam perkembangannya, pembubaran partai politik terjadi pada 1966 
pada  Partai Komunis Indonesia. Pembubaran dan pernyataan sebagai 
partai terlarang dituangkan dalam TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 
tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai 
Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia 
bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk 
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme. 
Pada masa Orde Baru, memang tidak terjadi pembubaran partai politik. 
Namun, pada masa awal Orde Baru ada kebijakan penyederhanaan 
partai politik sebab partai politik dianggap sebagai sumber pertikaian yang 
mengganggu stabilitas. Partai-partai politik mendapatkan berbagai tekanan 
untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan Orde Baru. pada  PNI 
misalnya, pada April 1966 dipaksa menyelenggarakan kongres. Dalam forum 
ini , sejumlah tokoh lama PNI disingkirkan serta beberapa cabang PNI 
di Sumatera dan Aceh dianjurkan secara sukarela membekukan diri. Aspirasi 
pendirian partai politik berbasis masa Islam seperti Masjumi, diwadahi 
dengan dua syarat, yaitu; pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam 
kepengurusan partai; dan kedua, Masjumi harus mengganti nama sehingga 
terkesan sebagai partai baru. Terbentuklah Partai Muslimin Indonesia 
(Parmusi). Namun, saat Mohammad Roem terpilih menjadi ketua umum, 
partai ini tidak diakui dan dipaksa mengganti ketua umumnya. Kebijakan 
penyederhanaan partai politik di awal masa Orde Baru menghasilkan 10 
peserta pemilu 1971, yaitu; PNI, NU, Parmusi, Golkar, Partai Katolik, 
PSII, Murba, Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKsedang pada masa reformasi peran lembaga peradilan lebih besar 
dibanding pemerintah. Lembaga peradilanlah yang memutus pembubaran 
partai politik.536 sedang pemerintah berperan sebagai pemohon dan/
atau sebagai pelaksana putusan pengadilan. 
Di awal masa reformasi wewenang pembubaran partai politik ada 
pada Mahkamah Agung. berdasar  UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang 
Partai Politik, wewenang pengawasan partai politik ada pada Mahkamah 
Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu 
partai politik.537
Suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung 
berdasar  putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah 
mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. 
Selain itu juga dapat dilakukan melalui pengadilan terlebih dahulu yang 
terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik yang dapat 
menjadi dasar pembubaran partai politik. Sebelum pembubaran ini  
dilakukan, Mahkamah Agung memberi  peringatan tertulis sebanyak 3 
kali berturut-turut dalam waktu 3 bulan.538
Dengan adanya Perubahan UUD 1945, khususnya Pasal 24C ayat 
(1), pembubaran partai politik menjadi bagian dari wewenang MK. 
Jika dilihat dari proses pembahasan perubahan UUD 1945, wewenang 
memutus pembubaran partai politik sejak awal sudah mengemuka terkait 
dengan akan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Pemberian wewenang 
itu menurut anggota Pataniari Siahaan sebab masalah pembubaran partai 
politik menyangkut masalah politik sehingga dipandang lebih tepat menjadi 
wewenang Mahkamah Konstitusi dan kurang tepat jika dimasukkan 
dalam masalah hukum yang ditangani Mahkamah Agung.539 Mahkamah 
Agung dinilai lebih banyak menangani masalah kasasi yang saat itu sudah 
menumpuk.540 Selain itu, dari sisi hakim yang menangani perkara, hakim 
konstitusi dinilai memiliki kualifikasi yang lebih baik untuk menangani perkara-masalah terkait dengan konstitusi.541 Kewenangan pembubaran yang 
saat itu dipegang oleh Mahkamah Agung dinilai tidak proporsional.542
Partai politik, dan juga pemilihan umum, terkait erat dengan pelaksanaan 
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, masalah pembubaran partai politik juga 
dipandang menyangkut masalah konstitusi sehingga menjadi wewenang 
Mahkamah Konstitusi.543 Walaupun demikian, juga ada pendapat yang 
mempertanyakan masuknya wewenang memutus pembubaran partai politik 
kepada Mahkamah Konstitusi. Anggota Harjono mengatakan yang 
menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yaitu terkait dengan peraturan, 
bukan tindakan. Peraturan ini lah yang dapat dimintakan pembatalan 
dengan alat penguji UUD 1945.544 Namun dalam persidangan berikutnya, 
pendapat itu telah bergeser. Harjono mengatakan wewenang utama 
Mahkamah Konstitusi yaitu menguji undang-undang dan memutus 
pertentangan antar lembaga negara. sedang memutus pembubaran partai 
politik yaitu wewenang tambahan dengan pemeriksaan yang melibatkan 
isu fakta, bukan hanya norma.545
Pada awalnya, wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran 
partai politik dalam rancangan perubahan tidak disebutkan secara eksplisit. 
Hanya disebutkan sebagai kewenangan lain yang diberikan oleh undang￾undang. Hal itu juga dikemukakan oleh Tim Ahli Pah I BP MPR.546
Namun akhirnya disepakati wewenang ini  dirinci, termasuk untuk 
memutus pembubaran partai politik.547
Hingga saat ini belum ada permohonan masalah pembubaran partai 
politik yang diterima oleh MK. Namun demikian MK telah menetapkan 
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur 
Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Pemohon Dan Permohonan
Pasal 68 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pemohon dalam masalah 
pembubaran partai politik yaitu pemerintah, yaitu pemerintah pusat.548
UU MK tidak ditentukan instansi mana yang mewakili pemerintah pusat 
ini .549 berdasar  Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 12 Tahun 2008 
dinyatakan bahwa Pemohon yaitu Pemerintah yang dapat diwakili oleh 
Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden.
Pemberian hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik 
hanya kepada pemerintah yaitu untuk mencegah terjadinya saling menuntut 
pembubaran di antara partai politik yang ada. Menurut Jimly Asshiddiqie, 
apabila hak pengajuan pembubaran diberikan kepada pihak lain, termasuk 
partai politik, berarti partai politik dibenarkan menuntut pembubaran 
saingannya sendiri. Hal itu harus dihindarkan sebab dalam demokrasi 
seharusnya sesama partai politik bersaing secara sehat. Oleh sebab itu 
partai politik tidak boleh diberikan kedudukan sebagai pemohon dalam 
masalah pembubaran partai politik.550
Dalam permohonan pembubaran partai politik, harus ditunjuk dengan 
tegas partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Permohonan 
harus ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Permohonan sekurang￾kurangnya memuat:551
a. identitas lengkap pemohon dan kuasanya jika ada, yang dilengkapi 
surat kuasa khusus untuk itu;
b. uraian yang jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan 
partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan 
dengan UUD 1945;
c. alat-alat bukti yang mendukung permohonan
Permohonan masalah pembubaran partai politik yang diterima 
Mahkamah Konstitusi dicatat dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi. 
Mahkamah konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat 
ini  kepada partai politik yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 
7 (tujuh) hari kerja sejak pencatatan dilakukan. sebab tidak diatur secara 
khusus, proses pemeriksaan persidangan selanjutnya mengikuti hukum 
acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan, 
pemeriksaan persidangan, dan putusan.552
E . P artai P olitik y an g D imohonkan
Pembubaran seba g ai Termohon
Partai politik yang dapat dimohonkan pembubaran ke MK meliputi 
baik partai politik lokal maupun partai politik nasional. Di dalam UU MK 
tidak disebutkan kedudukan partai politik yang dimohonkan pembubarannya. 
Namun dalam PMK Nomor 12 Tahun 2008 dalam Pasal 3 ayat (2) 
dinyatakan bahwa Termohon yaitu partai politik yang diwakili oleh 
pimpinan partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. 
Dengan demikian kedudukan partai politik yang dimohonkan 
pembubaran yaitu sebagai termohon. Partai politik ini  dapat 
didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya.
F. Alasan-alasan Pembubaran Partai Politik
Salah satu bentuk sanksi yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 
2008 tentang Partai Politik yaitu pembekuan dan pembubaran. Sanksi 
pembekuan dapat dijatuhkan jika partai politik melanggar larangan terkait 
dengan nama, lambang, atau tanda gambar,553 melanggar larangan mendirikan 
badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.554 Pembekuan juga 
dapat dijatuhkan kepada organisasi partai politik jika melanggar larangan 
kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang￾undangan, atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan 
keselamatan negara. 
Pembekuan ini  disebut sebagai pembekuan sementara dan 
dilakukan paling lama satu tahun. Apabila partai yang telah dibekukan ini  melakukan kembali pelanggaran yang sama, dapat ditindaklanjuti 
dengan pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi.555
Selain melalui pembekuan sementara, pembubaran juga dapat dilakukan 
secara langsung apabila partai politik melakukan pelanggaran pada  
larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau 
paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.556 Pembubaran juga diatur terkait 
dengan sanksi pidana dalam hal pengurus partai politik memakai  partai 
politiknya untuk melakukan tindak pidana kejahatan pada  keamanan 
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e 
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.557 Jika pengurus memakai  
partai politiknya untuk melakukan kejahatan ini , partai politiknya itu 
dapat dibubarkan.
Pasal 107 huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 
menyatakan
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan 
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam warga , atau 
menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 
menyatakan 
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan 
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar 
Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
sedang Pasal 107 huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 
1999 menyatakan,
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga 
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan 
perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberi  bantuan kepada 
organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran 
Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya 
dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang 
sah.Walau tidak secara khusus menyebutkan alasan pembubaran partai 
politik, namun Pasal 68 ayat (2) UU MK mewajibkan pemohon;
menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, 
dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
berdasar  ketentuan UU MK, permohonan pembubaran partai 
politik dapat dilakukan tidak terbatas dengan tindakan yang terkait dengan 
ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi jika (a) ideologi; 
(b) asas; (c) tujuan; dan (d) programnya dipandang bertentangan dengan 
UUD 1945. ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 PMK Nomor 12 Tahun 
2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik yang 
mengatakan partai politik dapat dibubarkan oleh MK apabila:
a. ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan UUD 
1945; dan/atau
b. kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau akibat 
yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian alasan pengajuan permohonan pembubaran partai 
politik meliputi:
a. Ideologi bertentangan dengan UUD 1945;
b. Asas bertentangan dengan UUD 1945;
c. Tujuan bertentangan dengan UUD 1945;
d. Program bertentangan dengan UUD 1945;
e. Kegiatan bertentangan dengan UUD 1945;
f. Akibat dari kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945;
g. Menganut, mengembangkan, serta menyebarluaskan ajaran Komunisme/
Marxisme – Leninisme; atau
h. Pengurus partai politik memakai  partai politiknya untuk melakukan 
tindak pidana kejahatan pada  keamanan negara sebagaimana diatur 
dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e Undang-Undang 
Nomor 27 Tahun 1999.
G. Proses Persidangan dan Pembuktian
Di dalam UU MK, acara persidangan pembubaran partai politik tidak 
diatur secara khusus, sehingga proses pemeriksaan persidangan mengikuti 
hukum acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan, 
pemeriksaan persidangan, dan putusan.558 masalah pembubaran partai politik 
wajib diputus dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi.559 Batasan waktu ini diperlukan untuk menjamin 
terselenggaranya prinsip peradilan yang cepat sehingga cepat pula diperoleh 
kepastian hukum.560
Proses persidangan, dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemeriksaan 
pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Di dalam pemeriksaan 
pendahuluan yang diperiksa yaitu kelengkapan dan kejelasan permohonan. 
Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/
atau memperbaiki permohonan jika dipandang perlu. Pemohon diberikan 
kesempatan untuk memperbaiki permononannya paling lambat 7 hari.561
sedang dalam pemeriksaan persidangan akan dilakukan untuk 
mendengarkan keterangan pemohon, termohon, serta pihak terkait lainnya. 
Pada proses selanjutnya dilakukan pemeriksaan pada  alat bukti serta 
mendengarkan keterangan saksi dan ahli. Pada proses persidangan ini 
pertanyaan hukum yang harus dijawab yaitu kedudukan hukum (legal 
standing) pemohon, kewenangan MK, serta alasan permohonan.
Terkait dengan pemohon, harus dibuktikan bahwa pemohon memang 
memiliki kedudukan hukum (legal standing). Untuk pemohon pemerintah, 
harus dibuktikan bahwa pemohon ini  mewakili pemerintah pusat. 
Setelah pemeriksaan legal standing, dilanjutkan dengan pemerikasan pokok 
perkara. Hal yang utama dalam pemeriksaan pokok masalah ini yaitu 
permohonan dan alasan permohonan. Untuk permohonan pembubaran 
suatu partai politik yang diajukan oleh pemerintah atau anggota parlemen, 
ada dua pertanyaan yang harus dijawab dalam persidangan. Pertama, 
apakah partai politik sebagai termohon memiliki ideologi, asas, tujuan, 
program dan/atau melakukan kegiatan yang dinilai oleh pemohon memenuhi 
klasifikasi sebagai alasan pembubaran partai politik. Kedua, apakah ideologi, 
asas, tujuan, program, dan/atau kegiatan dimaksud memang memenuhi 
klasifikasi sebagai alasan pembubaran partai politik.Proses pembuktian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pembuktian 
pada  dokumen dan pembuktian pada  fakta.562 Pembuktian pada  
dokumen yaitu pembuktian terkait dengan ideologi, asas, tujuan, dan 
program partai politik. Untuk melihat hal itu, alat bukti utama yang 
diperlukan yaitu statuta pendirian partai politik, AD dan ART, Platform, 
Program Kerja, serta dokumen dan keputusan-keputusan partai politik 
lainnya. 
Namun demikian, dapat terjadi bahwa bukti-bukti dari dokumen 
kurang meyakinkan, atau bahkan tidak terbukti sama sekali, maka proses 
pembuktian dilanjutkan pada fakta kegiatan yang dilakukan oleh partai 
politik dan akibat dari kegiatan ini . Pemohon harus menunjukan dan 
membuktikan kegiatan atau akibat dari kegiatan partai politik yang melanggar 
UUD 1945. Pembuktian fakta kegiatan ini dapat dilakukan dari bentuk dan 
substansi atau materi kegiatan serta dari dampak atau akibat yang secara 
objektif memang diinginkan dari pelaksanaan kegiatan partai politik. 
H. Putusan dan Akibat Hukum Putusan
Amar putusan dapat berupa putusan yang menyatakan permohonan 
tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan. 
Jika MK berpendapat bahwa pemohon dan permohonan tidak memenuhi 
syarat yang diatur dalam Pasal 68 UU MK, amar putusan menyatakan 
permohonan tidak dapat diterima.563 Artinya, sesuai dengan ketentuan 
Pasal 68 ini , masalah subjek dan objek permohonan harus sesuai. 
Subjek yaitu terkait dengan pemohon yang dalam ini harus mewakili 
Pemerintah Pusat. sedang objek masalah yang dimohonkan yaitu 
pembubaran partai politik berdasar  alasan-alasan antara lain (a) ideologi; 
(b) asas; (c) tujuan; (d) program; dan/atau (e) kegiatan yang dianggap 
bertentangan dengan UUD 1945.
Apabila subjek pemohon dan objek permohonan telah sesuai dengan 
ketentuan UU MK, serta MK berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan.564 Hal itu berarti 
terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik 
bertentangan dengan UUD 1945, dan partai politik ini  diputuskan 
dibubarkan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor 
12 Tahun 2008, dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan 
berbunyi:
a. mengabulkan permohonan pemohon;
b. menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum 
partai politik yang dimohonkan pembubaran;
c. memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
1. menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada 
Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja 
sejak putusan Mahkamah diterima;
2. mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik 
Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan 
diterima.
Oleh sebab itu, jika diputuskan permohonan pembubaran partai politik 
dikabulkan, pelaksanaannya dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada 
Pemerintah yang berarti pembatalan status badan hukumnya.565 Putusan 
ini  diumumkan oleh pemerintah dalam Berita Negara Republik 
Indonesia dalam jangka waktu 14 hari sejak putusan diterima.566 Mengingat 
yang menangani pendaftaran partai politik yaitu Kementerian Hukum 
dan HAM, maka pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yaitu dalam 
bentuk pembatalan pendaftaran partai politik.567
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak 
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.568 Hal itu berarti 
tidak terbukti bahwa ada ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan 
partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada partai politik yang 
bersangkutan.569 Selain itu, ketentuan Pasal 11 PMK Nomor 12 Tahun 2008 
mengatakan putusan ini  juga disampaikan kepada Pemerintah 
sebagai Pemohon, Termohon, KPU, DPR, MA, Polri, dan Kejaksaan 
AgungAspek lain terkait dengan Putusan MK tentang pembubaran partai politik 
yaitu akibat hukum dari pembubaran ini . Sebelum dibubarkan, partai 
politik sebagai badan hukum tentu telah melakukan hubungan dan tindakan 
hukum. Hal itu menimbulkan hak dan kewajiban, kepemilikan berupa 
harta benda, serta hubungan dengan anggota partai politik yang menduduki 
jabatan-jabatan publik. Berakhirnya eksistensi hukum partai politik sebab 
pembubaran tentu berpengaruh pada  hak dan kewajiban yang telah 
ada, serta pada  harta kekayaan dan jabatan-jabatan yang dihasilkan dari 
hubungan dan tindakan hukum yang dilakukan sebelum dibubarkan. Selain 
itu, terutama untuk pembubaran sebab alasan pelanggaran konstitusional, 
timbul pertanyaan apakah dapat dijatuhkan sanksi kepada anggota atau 
pengurus partai politik yang bersangkutan.
berdasar  pengaturan di beberapa negara, dikenal adanya beberapa 
akibat hukum pembubaran partai politik. Pertama yaitu tidak dapat 
didirikan lagi partai pengganti baik dengan nama yang sama maupun nama 
lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan yang 
sama dengan alasan dibubarkannya partai ini . Hal itu berarti partai 
ini  dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketentuan ini di antaranya 
dapat dijumpai di Turki,570 Jerman,571 dan Taiwan.572
Kedua, selain pernyataan sebagai partai terlarang, ada pula negara 
yang memberi  sanksi kepada pengurus dan/atau anggota partai politik yang 
dibubarkan. Sanksi ini  pada umumnya berupa larangan menjadi pendiri 
atau pengurus, bahkan sebagai anggota partai politik. Hal itu di antaranya 
diatur pada Article 69 Para 9 Konstitusi Turki yang menyatakan,
The members, including the founders of a political party whose acts or statements have 
caused the party to be dissolved permanently cannot be founders, members, directors or 
supervisors in any other party for period of five years from the date of publication in 
the official gazette of the Constitutional Court’s final decision and its justification for 
permanently dissolving the party.
sedang di Pakistan sanksi khusus diberikan kepada anggota parlemen 
nasional dan provinsi dari partai yang dibubarkan.573 Di samping berhentidari keanggotaan lembaga perwakilan, mereka juga dilarang mengikuti 
pemilihan umum selama empat tahun sejak pemberhentiannya. Dalam 
praktik pembubaran Partai Thai Rak Thai dan Pattana Chart Thai di 
Tahiland, sejumlah pengurus dikenakan sanksi tidak boleh melakukan 
kegiatan berpolitik termasuk memilih dan dipilih selama lima tahun.574
Ketiga, akibat hukum pembubaran partai politik yaitu berakhirnya 
keanggotaan lembaga perwakilan dari partai yang dibubarkan ini . 
Hal itu misalnya diatur dalam Article 30-I Procedur Act Taiwan yang 
menyatakan,
The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with 
the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately 
upon the judgment’s becoming effective.
Di Jerman, walaupun dalam ketentuan konstitusi, Undang-Undang 
Partai Politik, maupun Undang-Undang MK tidak ada ketentuan 
akibat hukum pada  wakil partai politik di lembaga perwakilan, namun 
dalam praktik pembubaran Partai SRP575 dan KPD,576 keduanya otomatis 
kehilangan kursi di lembaga perwakilan.577
Keempat, yaitu akibat hukum pada  harta kekayaan partai politik. 
Di Jerman, salah satu akibat hukum pembubaran partai politik yang diatur 
dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz yaitu harta kekayaan partai politik 
dapat disita negara untuk kepentingan publik. Hal itu diatur dalam Article 
6 Para 3 sebagai berikut.
The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent 
section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. 
Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of 
the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation 
or the Land for public benefit.
Ketentuan mengenai akibat hukum pada  harta kekayaan juga diatur 
lebih jelas dalam Political Parties Act Bulgaria. Bahkan juga dinyatakan 
bahwa negara bertanggung jawab atas hutang yang dimiliki oleh partai 
politik yang dibubarkan. Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria 
menyatakan sebagai berikut.
When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour 
of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the 
value of the property received.Di dalam UU MK maupun UU Partai Politik tidak diatur tentang 
akibat hukum pembubaran suatu partai politik. Ketentuan akibat hukum 
pembubaran partai politik di Indonesia baru diatur di dalam PMK Nomor 
12 Tahun 2008. Pasal 10 ayat (2) PMK itu mengatakan putusan 
pembubaran partai politik menimbulkan akibat hukum antara lain:
a. pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol 
partai ini  di seluruh Indonesia;
b. pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari 
partai politik yang dibubarkan;
c. pelarangan pada  mantan pengurus partai politik yang dibubarkan 
untuk melakukan kegiatan politik;
d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang 
dibubarkan.
















Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum Perubahan Ketiga 
Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai 
mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga 
negara. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberi putusan 
pada  sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara ini  juga 
belum ada. sebab itu, selama masa ini  belum ada preseden dalam 
praktik ketatanegaraan Indonesia mengenai penanganan sengketa kewenangan 
konstitusional lembaga negara. Barulah setelah adanya Perubahan Ketiga 
UUD 1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah 
Konstitusi yang salah satu kewenangannya yaitu memutus sengketa 
kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan 
oleh UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki mekanisme 
penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional lembaga 
negara.393 Sistem ketatanegaraan Indonesia yang dimaksud di sini yaitu 
seperangkat prinsip dasar dan aturan yang mengenai susunan negara atau 
pemerintahan, bentuk negara atau pemerintahan, hubungan tata kerja antar 
lembaga negara atau pemerintahan dan sebagainya yang menjadi dasar 
pengaturan negara atau pemerintahan di Indonesia. Dengan pengertian 
sistem ketatanegaraan Indonesia yang demikian ini, maka pada hakikatnya 
esensi sistem ketatanegaraan Indonesia ini yaitu Hukum Tata Negara 
Indonesia, yang meliputi hukum konstitusi dan konvensi ketatanegaraan 
(the Law of the Constitution dan the Convention of the Constitution).Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara satu lembaga 
negara dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks 
and balances. Dalam prinsip ini , lembaga-lembaga negara itu diakui 
sederajat, dan saling mengimbangi satu sama lain. Penggunaan istilah checks 
and balances itu sendiri, pernah dilontarkan oleh John Adams, Presiden 
Amerika Serikat kedua (1735-1826), pada saat ia mengucapkan pidatonya 
yang berjudul “Defense of the Constitution of the United States” (1787). Istilah
checks and balances ini  menurut David Wootton sebenarnya hanya 
yaitu salah satu teknik saja untuk mengemukakan konsep saling 
kontrol dan saling mengimbangi antar cabang kekuasaan negara