Home » mahkamah konstitusi 1 » mahkamah konstitusi 1
Rabu, 13 September 2023
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 mengatakan MK wajib
memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. Ketentuan ini dirumuskan secara berbeda dibanding dengan
wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 ini terkait dengan ketentuan tentang
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam
Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan demikian maksud dari frasa
“dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar” yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan
Pasal 7B UUD 1945.
Adanya ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya dalam UUD 1945 pasca perubahan
ini memunculkan istilah baru dalam bidang hukum tata negara, yaitu
impeachment dan pemakzulan. Pemakzulan yaitu proses pemberhentian
seorang pejabat publik dalam masa jabatannya, atau sebelum masa jabatan
ini berakhir atau disebut dengan istilah removal from office. Dalam proses
pemakzulan ini ada mekanisme impeachment, yaitu pendakwaan
atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan pemberhentian.
Impeachment yaitu prosedur di mana seorang pejabat publik yang dipilih,
didakwa melakukan pelanggaran hukum. Namun demikian, impeachment
tidak mengharuskan berakhir pada pemberhentian (removal from office).
Impeachment lebih tepat diartikan sebagai pernyataan atau pendapat yang
mendakwa, atau dapat diparalelkan dengan pengertian dakwaan dalam hukum pidana. Menurut Borgna Brunner, pemberhentian pejabat publik di
Amerika Serikat melalui dua tahapan, yaitu: (1) pendakwaan secara formal
atau impeachment; dan (2) suatu pengadilan dan pengambilan putusan oleh
Senat. Adanya impeachment tidak harus berakhir dengan pemakzulan,
sedang adanya pemakzulan pasti telah didahului dengan impeachment.
Jadi, impeachment yaitu bagian dari proses yang harus dilalui untuk
adanya pemakzulan.
Dalam konteks ketatanegaraan, studi tentang impeachment biasanya
merujuk pada ketentuan dan praktik di Amerika Serikat. Article I Section
2 dan 3 Konstitusi Amerika Serikat menyatakan:
The President, Vice President, and all civil officers of the United Stated shall be removed
from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes
and misdemeanors.
Judgment in Case of Impeachment shall not extend further than removal from office, and
disqualification to hold and enjoy any Office of honor, Trust or Profit under the United
Stated: but the Party convicted shall nevertheless be liable and subject to Indictment,
Trial, Judgment and Punishment, according to law.
Impeachment di Amerika Serikat sebenarnya diadopsi dari praktik yang
berlaku di Inggris sebagai ungkapan yang menunjuk pada pengertian
pengadilan politik yang dipakai untuk menjangkau para pelanggar yang
mungkin lepas dari tuntutan. Impeachment diperlukan untuk melindungi
negara sekaligus menghukum pelaku. Untuk pertama kalinya, impeachment
di Inggris terjadi pada tahun 1376 yang menimpa William, Lord of Latimer
pada masa pemerintahan Raja Edward II. Namun dengan adanya mekanisme
mosi tidak percaya dari parlemen untuk membubarkan kabinet, mekanisme
impeachment tidak lagi dipakai .
Walaupun pemakzulan di Amerika Serikat diterapkan untuk semua
pejabat publik, namun dari tahun 1789 hingga saat ini hanya ada 14
pejabat federal yang mengalami proses pemakzulan, bahkan tidak semuanya
berujung pada pemberhentian (removal from the office). Pejabat yang paling
banyak diajukan impeachment yaitu hakim yang meliputi 14 orang hakim
federal, 11 orang hakim distrik, dua orang hakim banding, serta seorang
hakim agung. Sepanjang sejarah Amerika Serikat hanya dua Presiden yang
pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill
Clinton. Keduanya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum yang didakwakan. Selain itu, pernah terjadi usaha impeachment pada
Presiden Richard Nixon, namun Presiden Nixon mengundurkan diri
terlebih dahulu saat usulan impeachment itu baru disetujui oleh DPR.
Impeachment pada Presiden AS pertama kali terjadi tahun 1868
yang menimpa Presiden Andrew Johnson. Secara garis besar tuduhan
pada Presiden Andrew Johnson ini yaitu telah melakukan “high crimes
and misdemeanor” dengan rincian pelanggaran meliputi:
1. Pelanggaran sumpah jabatan. Presiden Andrew Johnson dipandang tidak
menghiraukan kewajiban sesuai sumpah jabatannya. Presiden melakukan
pemberhentian Edwin M. Santon sebagai Menteri Pertahanan dan
menggantinya dengan pejabat yang lain tanpa persetujuan Senat Amerika
Serikat. Padahal dalam Act Regulating the Tenure of Civil Officer
ditentukan harus dengan persetujuan Senat.
2. Melanggar undang-undang Federal Amerika Serikat yaitu “the
Command of Act” yang disahkan pada tanggal 2 Maret 1867, yaitu
memberi perintah kepada Commander in Chief Wiiliam H. Emory
yang seharusnya melalui The General of The Army.619
Dalam perjalanan proses impeachment ini, meskipun pelanggaran yang
dituduhkan kepada Presiden Andrew Johnson telah lolos dari House
of Representatives dan diproses lebih lanjut oleh Senat, tetapi akhirnya
Presiden Andrew Johnson tetap menjabat sebagai Presiden sebab suara
di Senat yang menghendaki diberhentikannya Presiden Andrew Johnson
kalah dengan suara anggota Senat yang mendukung Andrew Johnson tetap
sebagai Presiden meskipun hanya berbeda satu suara.620
usaha impeachment pada Presiden yang kedua terjadi pada tahun
1974 pada Presiden Richard M Nixon yang dituduh melakukan “high
crimes dan misdemeanors” berupa pertama, obstruction of justice (menghambat
peradilan); kedua, abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan); ketiga,
contempt of congress (penghinaan pada Konggers). Ketiga tuduhan ini
berkaitan dengan masalah “Watergate” yang terjadi pada tanggal 17 Juni 1972,
yaitu masuknya secara tidak sah (burglary) beberapa orang di kantor pusat
Komite Nasional Demokrat di Watergate Washington DC. Namun proses
impeachment ini gugur sebab Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.621 Dengan demikian suatu proses impeachment dapat berakhir saat
yang terkena impeachment lebih memilih mengundurkan diri dibandingkan
melayani persidangan baik di House of Representatif maupun di Senat.
usaha impeachment pada Presiden yang ketiga terjadi pada tahun 1998
yang menimpa Presiden Amerika Serikat Bill Clinton. masalah impeachment
Presiden Amerika Bill Clinton ini bermula dari tuduhan pada Clinton
yang telah melakukan perbuatan tidak bermoral pada karyawan Gedung
Putih Monica Lewinsky. Clinton membantah telah melakukan perbuatan
tidak wajar ini dengan karyawannya. Akan tetapi dalam perkembangan
penyelidikannya Clinton mengakui telah melakukan perbuatannya yang
disiarkan melalui televisi nasional. Oleh sebab itu tuduhan pada
Clinton beralih dari perbuatan tidak wajar ke tuduhan telah menghalangi
penyidikan dengan berbohong di bawah sumpah. Oleh Committee of
Judiciary House of Representative, Presiden Bill Clinton dikenakan 4 pasal
impeachment yaitu; pertama, melakukan sumpah palsu dihadapan grand jury
(perjury in grand jury); kedua, melakukan sumpah palsu (perjury); ketiga,
menghambat peradilan (abstruction of justice); dan keempat, memberi
respon yang tidak layak atas pertanyaan tertulis dari Committee of Judiciary.
Dari keempat dakwaan ini , akhirnya hanya dua yang dibawa ke Senat.
Akhir dari proses impeachment ini yaitu Clinton dibebaskan (acquited)
oleh Senat dengan suara mutlak dan tetap menduduki jabatan Presiden
Amerika Serikat.
Mekanisme impeachment juga ada di negara-negara lain. Di
Philipina, kekuasaan impeachment dipegang oleh House of Representatives
untuk mengajukan impeachment pada Presiden, Wakil Presiden, anggota
Mahkamah Agung, anggota komisi-komisi yang dibentuk konstitusi,
serta Ombudsman. Article XI Section 2 dan 3 Konstitusi Philipina
menyatakan:
Sec. 2
The President, Vice-President, the Members of the Supreme Court, the Members of
the Constitutional Commissions, and the Ombudsman may be removed from office, on
impeachment for, and conviction of, culpable violation of the Constitution, treason, bribery,
graft and corruption, other high crimes, or betrayal of public trust. All other public officers
and employees may be removed from office as provided by law, but not by impeachment.
Sec. 3.
(1) The House of Representatives shall have the exclusive power to initiate all cases of
impeachment.
(2) A verified complaint may be filed by any Member of the House of Representatives
or by any citizen upon a resolution of endorsement by any Member thereof, which
shall be included in the Order of Business within ten session days, and referred to
the proper Committee within three session days thereafter. The Committee, after
hearing, and by a majority vote of all its Members, shall submit its report to the
House within sixty session days from such referral, together with the corresponding
resolution. The resolution shall be calendared for consideration by the House within
ten session days from receipt thereof.
(3) A vote of at least one-third of all the Members of the House shall be necessary either
to affirm a favorable resolution with the Articles of Impeachment of the Committee,
or override its contrary resolution. The vote of each Member shall be recorded.
(4) In case the verified complaint or resolution of impeachment is filed by at least
one-third of all the Members of the House, the same shall constitute the Articles of
Impeachment, and trial by the Senate shall forthwith proceed.
(5) No impeachment proceedings shall be initiated against the same official more than
once within a period of one year.
(6) The Senate shall have the sole power to try and decide all cases of impeachment.
When sitting for that purpose, the Senators shall be on oath or affirmation. When
the President of the Philippines is on trial, the Chief Justice of the Supreme Court
shall preside, but shall not vote. No person shall be convicted without the concurrence
of two-thirds of all the Members of the Senate.
(7) Judgment in cases of impeachment shall not extend further than removal from office
and disqualification to hold any office under the Republic of the Philippines, but
the party convicted shall nevertheless be liable and subject to prosecution, trial, and
punishment according to law.
(8) The Congress shall promulgate its rules on impeachment to effectively carry out the
purpose of this section.
Di Austria, Presiden Federasi Austria dapat diajukan impeachment oleh
Federal Assembly (Bundesversammlung) di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Di Jerman, Presiden Federasi Jerman dapat diajukan impeachment baik oleh
Bundestag maupun Bundesrat sebab alasan secara sengaja melanggar hukum
Jerman. Dakwaan ini diajukan dan akan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi Jerman apakah Presiden bersalah atau tidak serta apakah akan
diberhentikan atau tidak.
Dengan melihat pada praktik impeachment di berbagai negara di atas,
terlihat adanya alasan yang hampir sama terkait dengan dilakukannya
impeachment yaitu bahwa Presiden selaku pejabat publik dan yaitu
pemimpin terhormat melakukan pelanggaran hukum dan/atau melakukan
tindakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral suatu bangsa. Pemberhentian Presiden Sebelum
Perubahan UUD 1945
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/
atau Wakil Presiden tidak diatur di dalam batang tubuh. Ketentuan pasalpasal UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur tentang pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dengan suara terbanyak [Pasal 6 ayat
(2)] dan tentang penggantian jabatan Presiden oleh Wakil Presiden dalam
hal Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya (Pasal 8).
Ketentuan tentang pemberhentian ada dalam Penjelasan UUD
1945 tetapi hanya terkait dengan Presiden, sedang untuk Wakil Presiden
tidak ada ketentuan dalam Penjelasan UUD 1945. Penjelasan angka VII
paragraf ke-3 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan:
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu kuat. Dewan ini tidak
bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer).
Kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap
menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh sebab itu, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden
dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan
negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk
persidangan istimewa agar susaha bisa minta pertanggungan jawab kepada
Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persidangan istimewa diatur dengan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 yang mengatakan Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya dengan alasan “Presiden sungguh
melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, paling tidak telah ada
dua Presiden yang diberhentikan dalam masa jabatannya, yaitu Presiden
Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Mungkin saja jika Presiden
Soeharto tidak mengundurkan diri pada tahun 2008, juga akan berujung
pada pemberhentian oleh MPR. Presiden Soekarno diberhentikan oleh
MPR dengan cara “mencabut kekuasaan pemerintahan negara” sebab
pertanggungjawaban yang disampaikan mengenai kebijakan terkait dengan
pemberontakan kotra-revolusi G-30-S/PKI, yang dikenal dengan pidato
Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara, tidak dapat diterima oleh MPRS. Hal itu dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.
ada dua alasan pencabutan kekuasaan berdasar Ketetapan MPR
ini , pertama, Presiden tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban
konstitusional, dan kedua, Presiden tidak dapat menjalankan haluan dan
putusan MPRS.
Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR pada tahun 2001
melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban
Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Pemberhentian ini juga dimulai dengan
dibentuknya Panitia Angket masalah Dana Milik Yayasan Dana Kesejahteraan
Karyawan (YANATERA) Bulog dan masalah Dana Bantuan Sultan Brunei
Darussalam. Panitia khusus hak angket ini menyimpulkan dua
hal:
1. Dalam masalah dana Yanatera Bulog, Pansus berpendapat: “Patut Diduga Bahwa
Presiden Abdurrahman Wahid Berperan dalam Pencairan dan Penggunaan Dana
Yanatera Bulog”.
2. Dalam masalah Dana Bantuan Sultan Brunei Pansus berpendapat: “Adanya
Inkonsistensi Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang Masalah Bantuan
Sultan Brunei Darussalam, Menunjukkan Bahwa Presiden Telah Menyampaikan
Keterangan yang Tidak Sebenarnya Kepada warga ”.
Proses pemberhentian bergulir melalui Memorandum I dan
Memorandum II, hingga DPR meminta kepada MPR untuk mengadakan
sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden sebab tidak
mengindahkan memorandum kedua DPR. Sidang istimewa memang
dilaksanakan pada 23 Juli 2001, namun sidang ini sesungguhnya bukan
yaitu sidang istimewa atas permintaan DPR. Sidang istimewa
dilaksanakan atas inisiatif MPR sendiri sebab terbitnya Maklumat Presiden
tanggal 22 Juli 2001 yang salah satu isinya yaitu membekukan MPR dan
DPR. Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dengan Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik
Indonesia KH. Abdurrahman Wahid.
Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid
terjadi dalam forum pertanggungjawaban. Yang harus dipertanggungjawabkan
oleh seorang Presiden sebagai mandataris kepada MPR sebagai pemberi
mandat dalam konstruksi UUD 1945 sebelum perubahan memiliki aspek
yang sangat luas. Demikian pula halnya dengan dasar atau alasan menolak
pertanggungjawaban yang berujung pada pemberhentian juga sangat luas, tidak terbatas pada pelanggaran hukum melainkan juga dapat terjadi sebab
perbedaan pandangan atas kebijakan tertentu. Hubungan pertanggungjawaban
ini lebih dekat kepada sistem parlementer dibanding dengan sistem
presidensiil.
C. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden Pasca Perubahan UUD 1945
Ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya yaitu hasil Perubahan Keempat UUD 1945
yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B serta Pasal 24C ayat (2). Pemberhentian
diatur secara khusus untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan istilah
“dapat diberhentikan dalam masa jabatannya”.
Pengaturan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam Perubahan UUD 1945 yaitu salah satu instrumen mewujudkan
pemerintahan presidensiil. Hal itu sesuai dengan salah satu kesepakatan dasar
tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu memurnikan dan memperkuat
sistem presidensiil. Salah satu karakteristik sistem presidensiil yaitu
pemisahan kekuasaan yang melahirkan hubungan sejajar antara eksekutif
dan parlemen. ini berbeda secara mendasar dengan sistem parlementer
di mana eksekutif bergantung kepada parlemen sehingga sewaktu-waktu
eksekutif dapat dijatuhkan dan diganti oleh parlemen.
Salah satu ciri utama dalam sistem presidensiil yaitu masa jabatan
pemerintahan atau Presiden telah ditentukan (fixed term of office). ini
sama sekali berbeda dengan masa jabatan pemerintahan dalam sistem
parlementer yang tidak ditentukan secara pasti, melainkan bergantung
kepada kepercayaan dari parlemen sehingga dapat sangat singkat ataupun
sangat lama. Masa jabatan kaninet akan berakhir pada saat pemerintahan
jatuh sebab alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau dianggap
salah oleh parlemen.
berdasar UUD 1945, masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah ditentukan, yaitu 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali
pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan lagi. Pada prinsipnya,
dalam masa jabatan 5 (lima) tahun itu kedudukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak dapat diganggu-gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD
1945 ditentukan dapat menjadi dasar pemberhentian.
Oleh sebab itu pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
yaitu mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada masalah yang luar biasa, atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu tokoh sentral negara yang tentu
saja diharapkan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum. Namun
jika pelanggaran itu terjadi, Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap harus
bertanggung jawab secara hukum sebagai wujud prinsip equality before the
law. sebab kedudukan yang dimiliki, pertanggungjawaban tidak dapat
dilakukan melalui mekanisme hukum biasa, melainkan melalui mekanisme
khusus yang di dalamnya ada proses impeachment.
Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 mengenai pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden menentukan sebagai berikut:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan pada negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
pada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum ini ataupun telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya pada pendapat Dewan Perwakilan Rakyat ini paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima
oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan pada
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat ini paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul ini .
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/
atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/
atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
berdasar Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 dapat diketahui bahwa
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui tiga tahapan,
yaitu tahapan di DPR, tahapan di MK, dan tahapan di MPR. Tahapan
pertama yaitu tahapan pengusulan yang dilakukan oleh DPR sebagai salah
satu pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Apabila DPR dalam pelaksanaan
fungsi pengawasan yang dimiliki berpendapat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
pada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR dapat mengajukan
usul pemberhentian. Pendapat tentang pelanggaran hukum atau kondisi
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat ini harus
diputus dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
anggota DPR dan disetujui 2/3 dari anggota DPR yang hadir.
Namun demikian persyaratan kuorum dan persetujuan yang diperlukan
untuk pernyataan pendapat DPR dimaksud diatur lebih ketat dalam UU
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 184
ayat (4) UU ini mengatakan hak menyatakan pendapat tentang
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat harus diambil dalam
rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 anggota DPR
dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPR
yang hadir. Ketentuan ini sedang diuji di MK dalam masalah Nomor 26/
PUU-VIII/2010.
Tahap kedua yaitu tahap di MK. Apabila pendapat DPR tentang
pelanggaran hukum atau kondisi tidak memenuhi syarat Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah disetujui sesuai dengan persyaratan di atas,
DPR selanjutnya mengajukan pendapat ini kepada MK yang akan
memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari. MK dalam ini dapat memutuskan pendapat
DPR terbukti atau tidak.
Apabila MK memutuskan bahwa pendapat DPR terbukti, DPR
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR
wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR ini
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul ini .
Pemberhentian pada Presiden dan/atau Wakil Presiden diputuskan dalam
rapat paripurna MPR yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota MPR dan pemberhentian itu disetujui sekurang-kurangnya
2/3 dari anggota MPR yang hadir. Dalam rapat paripurna itu Presiden dan/
atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di
atas berbeda dengan mekanisme pemberhentian Presiden di Amerika
Serikat yang hanya membutuhkan 2 (dua) tahap. Tahap pertama, usul
pemberhentian Presiden di Amerika Serikat juga diajukan oleh DPR, yaitu
House of Representatives. Namun jika usul ini telah disetujui House
of Representatives dengan suara mayoritas mutlak, langsung diajukan
dalam sidang impeachment, yaitu sidang yang dilakukan di hadapan Senat
AS. Anggota Senat menjadi juri yang akan memutuskan apakah Presiden
diberhentikan atau tidak. Sidang impeachment ini dipimpin oleh Ketua
MA.624
Keseluruhan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
di atas yaitu mekanisme removal from office yang harus dilalui. Dengan
demikian proses persidangan di MK untuk memutus pendapat DPR tentang
pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu salah satu
tahapan saja yang dikenal dengan istilah impeachment. Dalam forum MK
inilah DPR mengajukan dakwaan pada Presiden dan atau Wakil Presiden.
MK memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir apakah pendapat DPR
ini terbukti atau tidak, tetapi tidak memutus memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Keputusan pemberhentian diambil pada tahapan
selanjutnya, yaitu oleh MPR.
Mekanisme persidangan di MK juga ada yang menyebut sebagai forum
previligiatum. Pada masa penjajahan Belanda, ada forum pengadilan
khusus untuk mengadili para pejabat yang disebut forum previligiatum. Forum pengadilan ini diperlukan sebab tidak mungkin mengadili para pejabat
ini dalam pengadilan biasa yang sangat mungkin hakim yang mengadili
berkedudukan lebih rendah dari pejabat yang diadili. Agar peradilan dapat
berjalan secara fair dan impartial, diperlukan forum pengadilan khusus,
terutama untuk pengadilan pidana.
Menurut Mahfud MD, cara penjatuhan Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang diatur dalam UUD 1945 memakai sistem campuran
antara sistem impeachment dan sistem forum previligiatum. Impeachment
menunjuk pada Presiden dan/atau Wakil Presiden dijatuhkan oleh lembaga
politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat (yaitu MPR, di AS yaitu
Kongres) melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat dan
mekanisme yang ketat. Forum previligiatum yaitu Presiden dan/atau Wakil
Presiden melalui pengadilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya yaitu
pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan
putusan hukum pula. Ketentuan dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa
penjatuhan Presiden dan/atau Wakil Presiden dimulai dari penilaian dan
keputusan politik DPR (impeachment) yang kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan dan putusan hukum oleh MK (forum previligiatum), lalu
dikembalikan lagi ke prosedur impeachment (DPR meneruskan ke MPR)
untuk diputuskan secara politik.625
Namun demikian perlu diingat bahwa walaupun impeachment dilakukan
atas dasar pelanggaran pidana tertentu, peradilan yang dilakukan MK untuk
memutus pendapat DPR bukan yaitu peradilan pidana melainkan
peradilan hukum tata negara. Sanksi dari peradilan ini yaitu sanksi tata
negara berupa kemungkinan berujung pada pemberhentian dari jabatan
dan larangan menduduki jabatan publik di mana dia telah diberhentikan,
bukan sanksi pidana.
Prosedur bahwa putusan MK bukan yaitu putusan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden juga dianut di beberapa negara. Di
Georgia, peran MK yaitu memberi kesimpulan atas pertanyaan
parlemen tentang Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemberhentian tetap
menjadi wewenang parlemen dengan suara mayoritas.626 Demikian pula di
Russia, putusan MA dan MK bukan yaitu putusan pemberhentian,
melainkan apakah tindakannya terbukti dan apakah prosedur impeachment
dilalui secara sah. Keputusan pemberhentian Presiden Russia ditentukanoleh Dewan Federasi (Federation Council).627
Namun demikian, juga ada negara yang menentukan bahwa
proses peradilan di MK yaitu proses akhir, setelah melalui proses
di parlemen. Di Bulgaria, impeachment diajukan kepada MK, dan MK yang
memutuskan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah melakukan
high treason atau tindakan pelanggaran konstitusi yang lain dan memutus
apakah diberhentikan atau tidak.628
D. Para Pihak
1. Pemohon
Sesuai dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden di mana yang mengajukan pendapat dan usul pemberhentian
yaitu DPR maka yang bertindak sebagai Pemohon dalam persidangan
MK untuk memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden
dan/atau Wakil Presiden yaitu DPR [Pasal 80 ayat (1) UU MK]. DPR
dalam ini yaitu secara kelembagaan sehingga harus memenuhi syarat
pengambilan keputusan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Ketentuan Pasal 2 PMK Nomor 21 Tahun 2009 mengatakan
DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya.
Dengan demikian, Pimpinan DPR dapat bertindak sendiri ataupun dengan
menunjuk kuasa hukum. Namun apabila Pimpinan DPR menunjuk kuasa
hukum, dalam persidangan selanjutnya tetap ditentukan bahwa Pimpinan
DPR juga harus menghadiri persidangan MK.
2. Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pihak yang diajukan pendapat yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Walaupun tidak disebutkan sebagai Termohon, namun kedudukan Presiden
dan/atau Wakil Presiden sesungguhnya yaitu sebagai Termohon. Pendapat
DPR dapat ditujukan hanya kepada Presiden, hanya kepada Wakil Presiden,
ataupun kedua-duanya yaitu Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat bertindak sendiri, atau
didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukumnya. Walaupun diwakili
oleh kuasa hukum, Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir dalam
persidangan MK, yaitu dalam persidangan untuk menyampaikan tanggapan
Presiden dan/atau Wakil Presiden pada pendapat DPR.E. Alasan Permohonan
Sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945, hanya ada dua kelompok alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat dimohonkan
kepada MK untuk diputus apakah terbukti atau tidak, yaitu (1) pelanggaran
hukum; dan (2) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD 1945. Alasan pelanggaran hukum pun
ditentukan secara limitatif, yaitu hanya pelanggaran hukum yang berupa;
(a) pengkhianatan pada negara; (b) korupsi; (c) penyuapan; (d) tindak
pidana berat lainnya; atau (e) perbuatan tercela.
Pengkhianatan pada negara yaitu tindak pidana pada keamanan
negara yang sebagian besar telah diatur dalam KUHP.629 Selain itu juga
ada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan
pada Keamanan Negara yang mengubah beberapa ketentuan di dalam
KUHP. Di dalam KUHP, tindak pidana pada keamanan negara meliputi
pengkhianatan yang bersifat internal (hoog verraad) maupun yang bersifat
eksternal (landverraad) sebagaimana diatur dalam Titel I Buku II KUHP.
Kejahatan-kejahatan ini meliputi:
a. Makar pada kepala negara (Pasal 104);
b. Makar untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan asing (Pasal 106);
c. Makar untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107);
d. Pemberontakan (Pasal 108);
e. Pemufakatan jahat dan/atau penyertaan untuk melakukan kejahatan yang
dimaksud Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP;
f. Mengadakan hubungan dengan negara asing yang bermusuhan dengan
Indonesia (Pasal 111);
g. Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar negara
asing membantu suatu penggulingan pada pemerintah di Indonesia
(Pasal 111 bis);
h. Menyiarkan surat-surat rahasia (Pasal 112 – Pasal 116);
i. Kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (Pasal
117–Pasal 120);
j. Merugikan negara dalam perundingan diplomatik (Pasal 121);
k. Kejahatan yang biasa dilakukan oleh mata-mata musuh (Pasal 122 –
Pasal 125);
l. Menyembunyikan mata-mata musuh (Pasal 126); dan
m. Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentaraPelanggaran hukum berupa korupsi dan penyuapan631 dapat dijadikan
satu, yaitu tindak pidana korupsi dan penyuapan baik yang diatur dalam
KUHP maupun dalam Undang-Undang yang lain, seperti Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Hamdan Zoelva, yang dapat dikategorikan
sebagai korupsi dan penyuapan meliputi:
a. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang terdiri dari:
1) Perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara;
2) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya sebab jabatan atau kedudukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
b. Tindak pidana yang sebelumnya yaitu tindak pidana suap yang
terkait dengan jabatan negeri, hakim, dan advokat sebagaimana diatur
dalam KUHP, jabatan penyelenggara negara, serta pemborong, ahli
bangunan serta pengawas bangunan yang terkait dengan kepentingan
umum dan TNI.
c. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,
yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah, merintangi
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan dalam masalah korupsi dan
penyuapan.632
berdasar Pasal 1 angka 10 PMK Nomor 21 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa tindak pidana berat lainnya yaitu tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dengan demikian apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan suatu tindak pidana yang
ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih dapat dijadikan sebagai
dasar alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Di Amerika
Serikat, kategori tindak pidana berat disebut dengan “high crimes” yang
memiliki pengertian lebih luas, seperti terlihat pada alasan usaha impeachment
pada Andrew Johson maupun Richard M. Nixon.
Alasan selanjutnya yaitu perbuatan tercela yang dalam istilah di Amerika
Serikat disebut dengan misdemeanor. Dari sisi hukum, istilah misdemeanor
sesungguhnya menunjuk pada tindak pidana ringan. Namun dalam konsteks impeachment, misdemeanor yaitu perbuatan tercela, yang walaupun bukan
pelanggaran pidana, tetapi yaitu perbuatan yang dianggap tercela oleh
warga dan tidak seharusnya dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Apabila perbuatan dimaksud dilakukan, akan merusak citra dan
kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
sedang kelompok kedua terkait dengan syarat menjadi Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Pasal 1 angka 12 PMK Nomor 21 Tahun 2009
mengatakan yang dimaksud dengan tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden yaitu syarat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 dan undang-undang yang terkait.
Pasal 6 UUD 1945 menentukan syarat calon Presiden dan Wakil Presiden
meliputi; (a) warga negara Indonesia sejak kelahirannya; (b) tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain sebab kehendaknya sendiri; (c) tidak
pernah mengkhianati negara; (d) mampu secara jasmani dan rohani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Selain syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, syarat
Presiden dan Wakil Presiden juga diatur dalam undang-undang, khususnya
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ada persyaratan lain
bagi calon Presiden dan Wakil Presiden di luar syarat yang disebutkan
dalam UUD 1945, yaitu:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat
lainnya;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang
memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
e. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara;
f. tidak sedang dinyatakan pailit berdasar putusan pengadilan;
g. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
h. terdaftar sebagai Pemilih;
i. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan
kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang
dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadij. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama
2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
k. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
l. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasar putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebab melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih;
m. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;
n. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
o. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung
dalam G.30.S/PKI; dan
p. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan
negara Republik Indonesia.
F. Permohonan
Sesuai dengan hukum acara MK yang bersifat umum, permohonan
harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau
kuasanya kepada MK. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.633 Di dalam permohonan ini
sekurang-kurangnya harus memuat (a) nama dan alamat pemohon; (2)
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan; dan (3) hal-hal
yang diminta untuk diputus. Permohonan juga harus disertai dengan alat
bukti yang mendukung.634
Di dalam uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan,
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan pada negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasar UUD 1945Permohonan dapat diajukan berdasar dua atau salah satu dari alasan
untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini . Apabila
pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan satu atau lebih bentuk pelanggaran hukum, maka
di dalam permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan
tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Demikian pula apabila pendapat DPR berkaitan dengan dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, permohonan harus memuat uraian yang
jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak lagi terpenuhi.636
Panitera MK akan memeriksa kelengkapan permohonan yang telah
diterima. Apabila ada kekurangan lengkapan, Pemohon wajib melengkapi
dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan
ini . Permohonan yang lengkap dicatat dalam Buku Registrasi masalah
Konstitusi.637
Di dalam permohonan ini , pemohon (DPR) juga harus
menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai
pendapat DPR sebagaimana dimaksud Pasal 7B UUD 1945, risalah dan/
atau berita acara rapat DPR.638 Dengan demikian dapat diketahui bahwa
pendapat DPR ini telah melalui proses pengambilan keputusan yang
sah. Selain itu permohonan juga harus disertai bukti mengenai dugaan
pelanggaran hukum atau kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat.639 Dengan demikian permohonan DPR harus dilampiri
alat bukti yang meliputi:
1. Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR
bahwa pendapat DPR didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;
2. Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan
langsung dengan materi permohonan;
3. Risalah dan/atau berita acara rapat DPR; dan
4. Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau
Wakil Presiden atau alat bukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang
menjadi dasar pendapat DPR.G. Proses Persidangan
Permohonan yang telah dinyatakan lengkap dan dicatat dalam Buku
Registrasi masalah Konstitusi (BRPK) disampaikan kepada Presiden oleh
Panitera MK dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak dicatat dalam BRPK.640
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus menyampaikan tanggapan tertulis
kepada MK paling lambat sehari sebelum sidang pertama dimulai, yang
dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap.641
MK menetapkan hari sidang pertama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak permohonan diregistrasi. Ketentuan ini berbeda dengan hukum acara
yang bersifat umum yang menentukan penetapan sidang pertama paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak diregistrasi. Penetapan sidang pertama
diberitahukan kepada pihak-pihak dan diumumkan kepada warga
melalui papan pengumuman MK.642
Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim MK yang dihadiri sekurangkurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi dan dipimpin oleh Ketua MK.
Persidangan ditentukan melalui 6 (enam) tahap, yaitu:
a. Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
b. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
c. Tahap III : Pembuktian oleh DPR
d. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
e. Tahap V : Kesimpulan DPR maupun Presiden dan/atau Wakil
Presiden
f. Tahap VI : Pengucapan Putusan643
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR
dan kuasa hukumnya. Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai termohon
berhak untuk menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan dan/atau diwakili
oleh kuasa hukumnya.644
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan untuk memeriksa kelengkapan
permohonan dan kejelasan materi permohonan. Dalam pemeriksaan
pendahuluan ini MK memberi kesempatan kepada Pemohon untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan pada saat itu juga lalu
menjelaskan atau membacakan permohonan ini . Dalam Pemeriksaan
Pendahuluan ini, MK juga memberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka kejelasan
permohonan. Ketua Sidang juga dapat memberika kesempatan kepada
majelis hakim untuk mengajukan pertanyaan tentang kejelasan materi
permohonan.645
Memasuki persidangan Tahap II, Presiden dan/atau Wakil Presiden
wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh kuasa hukumnya
untuk menyampaikan tanggapan pada pendapat DPR. Tanggapan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat berupa:
a. Sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan pendapat DPR;
b. Materi muatan pendapat DPR; dan
c. Perolehan dan penilaian alat-alat bukti yang diajukan oleh DPR.646
Setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan tanggapan,
MK memberi kesempatan kepada DPR untuk memberi tanggapan
balik. Dalam proses ini majelis hakim juga dapat mengajukan pertanyaan
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.647
Sidang Tahap III yaitu pembuktian oleh DPR. MK melakukan
pemeriksaan pada alat-alat bukti yang diajukan oleh DPR. MK juga
dapat memberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan atau meneliti alat
bukti yang diajukan DPR.648
Sidang Tahap IV yaitu sidang di mana Presiden dan/atau Wakil
Presiden mendapatkan hak memberi bantahan pada alat bukti
yang diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian sebaliknya. Dalam
proses ini, MK memberi juga kesempatan kepada DPR untuk mengajukan
pertanyaan, meminta penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.649
Setelah sidang pembuktian dipandang selesai, dilanjutkan dengan
sidang Tahap IV di mana MK memberi kesempatan baik kepada DPR
maupun kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan
kesimpulan akhir. Kesimpulan akhir harus dibuat dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari setelah sidang Tahap IV berakhir. Kesimpulan akhir
disampaikan secara lisan dan/atau tertulis dalam sidang Tahap V.650Sidang terakhir yaitu sidang pengucapan putusan. Putusan diambil
melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan ketentuan seperti
RPH pengambilan putusan pada masalah MK yang lain. Namun demikian
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat
proses pemeriksaan di MK, maka proses pemeriksaan dihentikan dan
permohonan dinyatakan gugur melalui penetapan MK.
H. Putusan
pada masalah pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum atau kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi
syarat ada tiga kemungkinan putusan yang dapat dijatuhkan oleh MK.
Pertama, apabila MK berpendapat permohonan tidak memenuhi syarat dari
sisi Pemohon dan permohonan, amar putusannya menyatakan permohonan
tidak dapat diterima. Kedua, apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana pendapat DPR, amar putusan
MK yaitu menyatakan membenarkan pendapat DPR. Ketiga, apabila
MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti
melakukan pelanggaran hukum atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi
syarat seperti pendapat yang diajukan DPR, amar putusan MK menyatakan
permohonan ditolak.651
MK harus memutus masalah ini dalam waktu 90 (sembilan puluh)
hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi
(BRPK). Putusan MK tentang masalah ini wajib disampaikan kepada
DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.652 Putusan MK bersifat final
secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan
permohonan.653 Dengan demikian, DPR hanya dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila MK memutus
menyatakan membenarkan pendapat DPR. Apabila MK memutus bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti seperti pendapat DPR,
maka DPR tidak dapat mengajukan usul pemberhentian kepada MPR.
Mengingat bahwa peradilan pada pendapat DPR tentang pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat yaitu peradilan tata
negara, maka tidak memberi hukuman pidana. Apabila MK memutus mengabulkan permohonan DPR, yang berarti terbukti bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tertentu, tidak
menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam persidangan pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara.654
Dengan melihat pada uraian di atas, proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebab pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan pada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat-syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka
secara sederhana proses pemberhentiannya dapat disajikan dalam skema
sebagai berikut
Dari skema di atas, terlihat jelas adanya 3 lembaga yang terkait dalam
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu sebagai
berikut.
1. DPR melakukan dua tahapan yaitu pertama, melakukan pendakwaan
(impeachment) untuk disampaikan ke Mahkamah Konstitusi; kedua,
meneruskan usul pemberhentian jika putusan Mahkamah Konstitusi
mengatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti seperti
yang didakwakan oleh DPR. Proses pendakwaan dan pengusulan oleh
DPR ke MPR ini lebih yaitu proses politik, sebab DPR yaitu
lembaga politik.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus
dakwaan pada Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR
yang yaitu forum previligatum dan lebih bersifat sebagai proses
yuridis. Oleh sebab itu, proses di Mahkamah Konstitusi ini lebih
untuk melihat terbukti tidaknya dakwaan pada Presiden dan/atau
Wakil Presiden oleh DPR. Apabila hasil persidangan di Mahkamah
Konstitusi menunjukkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan pada
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau tidak
melakukan perbuatan tercela, atau tetap memenuhi syarat-syaratnya,
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
dilanjutkan. Akan tetapi jika hasil persidangan menunjukkan bahwa
pada dakwaan Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR terbukti
secara meyakinkan, maka keputusan Mahkamah Konstitusi disampaikan
kepada DPR untuk proses pengusulan lebih lanjut ke MPR.
3. MPR yaitu lembaga terakhir penentu atas status Presiden dan/
Wakil Presiden setelah proses DPR dan Mahkamah Konstitusi selesai.
Artinya, meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan Presiden dan/
Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, atau
telah melakukan perbuatan tercela, atau telah tidak lagi memenuhi
syarat-syaratnya, tidak akan otomatis Presiden dan/Wakil Presiden
langsung dimakzulkan. Jadi, dalam persidangan MPR yang membahas
usulan DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhiatan pada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka MPR dapat mengambil keputusan dalam dua pilihan, yaitu memberhentikan
atau tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden meskipun
telah terbukti bersalah yang dibuktikan dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi.
Partai politik terdiri dari dua kata, yaitu “partai” dan “politik”. Kata partai
menunjuk pada golongan sebagai pengelompokan warga berdasar
kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan.
Pengelompokan itu bentuknya yaitu organisasi secara umum, yang dapat
dibedakan menurut wilayah aktivistasnya, seperti organisasi kewarga an,
organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik.
Dengan atribut “politik” berarti pengelompokan yang bergerak di bidang
politik.
Beberapa ahli memberi konsep tentang partai politik secara
berbeda-beda, namun memiliki elemen-elemen yang hampir sama. Mac
Iver menyatakan “We may define a political party as an association organized
in support of some principle or policy which by constitutional means it endavour
to make the determinant of government”.
504 Menurut Edmund Burke partai
politik yaitu “a body of men united for promoting by their joint endavour
the national interest upon some particular principle in which they are all aggree”.505
Setelah menganalisis berbagai definisi partai politik, Ware merumuskan
definisi partai politik sebagai berikut.506
A political party is an institution that (a) seeks influence in a state, often by attempting
to occupy positions in government, and (b) usually consists of more than a single interest
in the society and so to some degree attempts to “aggregate interest”.
Keberadaan partai politik menjadi salah satu ciri utama negara
demokrasi modern. Bahkan, partai politik yaitu salah satu pilar demokrasi modern, yaitu demokrasi perwakilan. Untuk menjembatani
antara pemerintah dan rakyat diperlukan adanya partai politik. Peran partai
politik yaitu menata aspirasi rakyat yang berbeda-beda, dijadikan “pendapat
umum” sehingga dapat menjadi bahan pembuatan keputusan yang teratur.507
Dalam negara modern, jumlah pemilihnya sangat besar dan kepentingannya
sangat bervariasi sehingga perlu dikelola untuk menjadi suatu keputusan.
Partai politiklah yang memilih prinsip-prinsip aspirasi para pemilih yang
akan diterjemahkan dalam proses legislasi.508
Namun demikian, dengan semakin berkembangnya kehidupan politik
dan partai politik membutuhkan adanya pengaturan dari berbagai aspek.
Pengaturan partai politik diperlukan untuk mewujudkan sistem kepartaian
yang sesuai dengan tipe demokrasi yang dikembangkan dan kondisi
suatu bangsa. Pengaturan tentang partai politik juga dimaksudkan untuk
menjamin kebebasan partai politik itu sendiri, serta membatasi campur
tangan berlebihan dari pemerintah yang dapat memasung kebebasan dan
peran partai politik sebagai salah satu institusi yang diperlukan untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, pengaturan juga diperlukan untuk
menjamin berjalannya demokrasi dalam tubuh organisasi dan aktivitas
partai politik itu sendiri.
Keberadaan partai politik memang yaitu manifestasi dari hak
atas kebebasan berserikat dan berkumpul serta hak menyatakan pendapat.
Namun demikian, hak dan kebebasan ini dapat dibatasi dengan
melakukan pengaturan, termasuk pembubaran partai politik. Kebebasan
berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki batasan yang diperlukan
dalam warga demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan
publik, untuk mencegah kejahatan, untuk melindungi kesehatan dan
moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.509 Pembatasan
yang dibutuhkan dalam warga demokratis yaitu penyeimbang
antara kepentingan publik dan privat. Namun agar tidak memberangus kebebasan berserikat, pembatasan itu harus dilakukan secara ketat yang
meliputi; (1) pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; (2) dilakukan
semata-mata untuk mencapai tujuan dalam warga demokratis; dan (3)
memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan
kebutuhan sosial.510
Sam Issacharoff mengatakan salah satu bentuk pembatasan
yang dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi, yaitu
pembatasan pada kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta
warga secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan
suatu organisasi, termasuk partai politik, yang bertentangan dengan tujuan
dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokratis tidak hanya memiliki
hak, tetapi juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional.511
Pada umumnya tujuan ketentuan pembubaran partai politik yaitu
untuk melindungi (a) demokrasi, (b) konstitusi, (c) kedaulatan negara,
(d) keamanan nasional, dan (e) ideologi negara. Perlindungan pada
demokrasi, dimaksudkan agar tatanan demokrasi yang sedang berjalan
tidak rusak dan digantikan dengan sistem lain yang tidak demokratis.
Pemerintahan yang demokratis harus mencegah bentuk-bentuk yang
mengancam demokrasi.512 Perlindungan ini diwujudkan dalam bentuk
larangan program dan kegiatan partai politik yang hendak menghancurkan
tatanan demokrasi, maupun dalam bentuk keharusan partai politik bersifat
demokratis baik organisasi maupun cara yang dipakai .513
Perlindungan pada konstitusi diwujudkan dalam bentuk ketentuan
yang melarang tujuan dan kegiatan partai politik bertentangan dengan konstitusi atau hendak menghilangkan atau merusak tatanan konstitusional.514
Perlindungan pada konstitusi juga diwujudkan dalam bentuk ketentuan
yang melarang partai politik secara paksa atau dengan jalan kekerasan hendak
mengubah tatanan negara konstitusional atau mengubah konstitusi.515 Tujuan
mengubah konstitusi yang dilakukan secara demokratis dan damai tidak
dapat dijadikan alasan pembubaran partai politik.516
Perlindungan pada kedaulatan meliputi keharusan partai politik
menghormati prinsip kedaulatan nasional,517 larangan membahayakan
eksistensi negara,518 tidak melanggar kemerdekaan dan kesatuan atau
kedaulatan nasional,519 hingga larangan afiliasi dan memperoleh pendanaan
dari pihak asing.520 Perlindungan pada keamanan nasional diwujudkan
melalui kewajiban menghormati dan tidak mengganggu keamanan nasional,521
larangan menghasut atau menasihatkan kekerasan atas dasar apapun,522 hingga
larangan membentuk dan memakai organisasi paramiliter.523
Perlindungan pada ideologi negara yaitu perlindungan pada
faham atau asas tertentu yang dipandang sebagai dasar negara, misalnya
pluralisme,524 ajaran agama tertentu,525 atau bahkan prinsip sekularisme.526
Perlindungan ini juga diwujudkan dalam bentuk larangan partai politik
menganut atau menjalankan program berdasar ideologi atau faham
tertentu yang dipandang bertentangan dengan ideologi dan konstitusi
negara.527
B. Pengertian Pembubaran
Pembubaran dalam bahasa Inggris yaitu dissolution. Menurut kamus
Black’s Law, dissolution berarti (1) the act of bringing to an end; termination;
(2) the cancellation or abrogation of a contract, with the effect of annuling the
contract’s binding force and restoring the parties to their original positions; dan
(3) the termination of a corporation’s legal existence by expiration of its charter, by
legislative act, by bankruptcy, or by other means; the event immediately preceding
the liquidation or winding-up process.
528
berdasar pengertian ini , bubarnya suatu partai politik berarti
berakhirnya eksistensi hukum partai politik ini . Hal itu dapat terjadi
sebab membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri
dengan partai politik lain, atau dibubarkan berdasar keputusan otoritas
negara atau sebagai akibat dari adanya aturan baru atau kebijakan negara.
Pembubaran kategori terakhir disebut sebagai pembubaran secara paksa
(enforced dissolution).
Wewenang Pembubaran Partai Politik
Terkait dengan pengaturan pembubaran partai politik, Venice Commission
membuat pedoman bahwa pada prinsipnya negara harus mengakui hak setiap
orang untuk berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Pelarangan dan
pembubaran paksa partai politik hanya dimungkinkan dalam masalah partai
politik itu melakukan tindakan dengan memakai kekerasan sebagai
alat politik untuk menghancurkan tatanan demokrasi yang menjamin hak
dan kebebasan. Pembubaran tidak dapat dilakukan atas dasar tindakan
individu anggota tanpa mandat dari partai. Pelarangan atau pembubaran
partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga
yudisial lain dengan menjamin adanya due process of law, keterbukaan, dan
pengadilan yang fair.529
Pada umumnya, pengadilan yang berwenang memutus pembubaran
partai politik yaitu Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Hal
itu terkait dengan putusan pembubaran yang bersifat final dan mengikat,
kecuali di Hungaria yang dapat diajukan kasasi kepada General Assembly of
the College of Attorneys. Selain itu, paling tidak ada dua negara yang
pembubarannya melalui pengadilan biasa, yaitu di Kamboja dan Yaman,
serta khusus untuk alasan administratif di Rumania. Di sisi lain, hanya satu
negara yang pembubarannya dilakukan oleh pemerintah terlebih dahulu
sebelum diputuskan oleh Mahkamah Agung, yaitu di Pakistan.
berdasar ketentuan di beberapa negara, pembubaran partai politik
lebih banyak yaitu wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun, tidak
semua ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi di negara-negara
yang memiliki Mahkamah Konstitusi menyebutkan wewenang memutus
pembubaran partai politik. ada dua kemungkinan terkait ini .
Pertama yaitu wewenang itu diberikan atau diatur dalam undang-undang
lain, misalnya undang-undang tentang partai politik, atau memang wewenang
ini tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi negara yang bersangkutan
tetapi ada pada Mahkamah Agung atau pengadilan lainnya. Beberapa
negara yang memiliki konstitusi yang di dalam undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusinya mencantumkan wewenang pembubaran partai
politik diantaranya yaitu Albania, Armenia, Austria, Azerbaijan, Kroasia,
Cheznya, Georgia, Hungaria, Jerman, Korea Selatan, Macedonia, Moldova, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Thailand, Turki,
Taiwan, dan Chile.
Di dalam peraturan perundang-undang yang pernah berlaku di
Indonesia, ada perbedaan prosedur pembubaran partai politik. Di
dalam prosedur ini selalu melibatkan peran pemerintah dan lembaga
peradilan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, yang dapat dikategorikan
sebagai periode yang kurang demokratis, peran pemerintah lebih besar
dibanding lembaga peradilan. Penentu utama pembubaran partai politik
yaitu pemerintah, sedang lembaga peradilan hanya memberi
pertimbangan.
Dalam perkembangan praktik politik di Indonesia, juga telah terjadi
pembubaran partai politik dalam berbagai bentuk. Pembubaran partai
politik pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat itu, Presiden Soekarno memandang
partai politik menjadi penyakit yang lebih parah dari sekedar fanatisme
kedaerahan dan kesukuan sehingga menyarankan para pemimpin partai
politik untuk berunding guna mengubur partai-partai politik.530
Pada 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
Sebagai tindak lanjut dari Penpres ini , dikeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan
Pembubaran Partai-Partai531 yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor
25 Tahun 1960532. Peraturan ini diikuti dengan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang
memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui yaitu
PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan
IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang
Penolakan Pengakuan Partai-partai yang memenuhi Perpres Nomor 13
Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya yaitu PSII Abikusno,
Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional
Djodi Gondokusumo. Di samping itu, melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah
Islam (Perti).533
Pada 17 Agustus 1960, diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan
Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang memerintahkan kepada Partai
Masjumi dan PSI agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri
sebab terlibat dalam pemberontakan PRRI Permesta. Jika hal itu tidak
dipenuhi, akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan
Masjumi dan PSI membubarkan partai mereka.534
Dalam perkembangannya, pembubaran partai politik terjadi pada 1966
pada Partai Komunis Indonesia. Pembubaran dan pernyataan sebagai
partai terlarang dituangkan dalam TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai
Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia
bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme.
Pada masa Orde Baru, memang tidak terjadi pembubaran partai politik.
Namun, pada masa awal Orde Baru ada kebijakan penyederhanaan
partai politik sebab partai politik dianggap sebagai sumber pertikaian yang
mengganggu stabilitas. Partai-partai politik mendapatkan berbagai tekanan
untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan Orde Baru. pada PNI
misalnya, pada April 1966 dipaksa menyelenggarakan kongres. Dalam forum
ini , sejumlah tokoh lama PNI disingkirkan serta beberapa cabang PNI
di Sumatera dan Aceh dianjurkan secara sukarela membekukan diri. Aspirasi
pendirian partai politik berbasis masa Islam seperti Masjumi, diwadahi
dengan dua syarat, yaitu; pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam
kepengurusan partai; dan kedua, Masjumi harus mengganti nama sehingga
terkesan sebagai partai baru. Terbentuklah Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi). Namun, saat Mohammad Roem terpilih menjadi ketua umum,
partai ini tidak diakui dan dipaksa mengganti ketua umumnya. Kebijakan
penyederhanaan partai politik di awal masa Orde Baru menghasilkan 10
peserta pemilu 1971, yaitu; PNI, NU, Parmusi, Golkar, Partai Katolik,
PSII, Murba, Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKsedang pada masa reformasi peran lembaga peradilan lebih besar
dibanding pemerintah. Lembaga peradilanlah yang memutus pembubaran
partai politik.536 sedang pemerintah berperan sebagai pemohon dan/
atau sebagai pelaksana putusan pengadilan.
Di awal masa reformasi wewenang pembubaran partai politik ada
pada Mahkamah Agung. berdasar UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik, wewenang pengawasan partai politik ada pada Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu
partai politik.537
Suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung
berdasar putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah
mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan.
Selain itu juga dapat dilakukan melalui pengadilan terlebih dahulu yang
terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik yang dapat
menjadi dasar pembubaran partai politik. Sebelum pembubaran ini
dilakukan, Mahkamah Agung memberi peringatan tertulis sebanyak 3
kali berturut-turut dalam waktu 3 bulan.538
Dengan adanya Perubahan UUD 1945, khususnya Pasal 24C ayat
(1), pembubaran partai politik menjadi bagian dari wewenang MK.
Jika dilihat dari proses pembahasan perubahan UUD 1945, wewenang
memutus pembubaran partai politik sejak awal sudah mengemuka terkait
dengan akan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Pemberian wewenang
itu menurut anggota Pataniari Siahaan sebab masalah pembubaran partai
politik menyangkut masalah politik sehingga dipandang lebih tepat menjadi
wewenang Mahkamah Konstitusi dan kurang tepat jika dimasukkan
dalam masalah hukum yang ditangani Mahkamah Agung.539 Mahkamah
Agung dinilai lebih banyak menangani masalah kasasi yang saat itu sudah
menumpuk.540 Selain itu, dari sisi hakim yang menangani perkara, hakim
konstitusi dinilai memiliki kualifikasi yang lebih baik untuk menangani perkara-masalah terkait dengan konstitusi.541 Kewenangan pembubaran yang
saat itu dipegang oleh Mahkamah Agung dinilai tidak proporsional.542
Partai politik, dan juga pemilihan umum, terkait erat dengan pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, masalah pembubaran partai politik juga
dipandang menyangkut masalah konstitusi sehingga menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi.543 Walaupun demikian, juga ada pendapat yang
mempertanyakan masuknya wewenang memutus pembubaran partai politik
kepada Mahkamah Konstitusi. Anggota Harjono mengatakan yang
menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yaitu terkait dengan peraturan,
bukan tindakan. Peraturan ini lah yang dapat dimintakan pembatalan
dengan alat penguji UUD 1945.544 Namun dalam persidangan berikutnya,
pendapat itu telah bergeser. Harjono mengatakan wewenang utama
Mahkamah Konstitusi yaitu menguji undang-undang dan memutus
pertentangan antar lembaga negara. sedang memutus pembubaran partai
politik yaitu wewenang tambahan dengan pemeriksaan yang melibatkan
isu fakta, bukan hanya norma.545
Pada awalnya, wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran
partai politik dalam rancangan perubahan tidak disebutkan secara eksplisit.
Hanya disebutkan sebagai kewenangan lain yang diberikan oleh undangundang. Hal itu juga dikemukakan oleh Tim Ahli Pah I BP MPR.546
Namun akhirnya disepakati wewenang ini dirinci, termasuk untuk
memutus pembubaran partai politik.547
Hingga saat ini belum ada permohonan masalah pembubaran partai
politik yang diterima oleh MK. Namun demikian MK telah menetapkan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Pemohon Dan Permohonan
Pasal 68 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pemohon dalam masalah
pembubaran partai politik yaitu pemerintah, yaitu pemerintah pusat.548
UU MK tidak ditentukan instansi mana yang mewakili pemerintah pusat
ini .549 berdasar Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 12 Tahun 2008
dinyatakan bahwa Pemohon yaitu Pemerintah yang dapat diwakili oleh
Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden.
Pemberian hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik
hanya kepada pemerintah yaitu untuk mencegah terjadinya saling menuntut
pembubaran di antara partai politik yang ada. Menurut Jimly Asshiddiqie,
apabila hak pengajuan pembubaran diberikan kepada pihak lain, termasuk
partai politik, berarti partai politik dibenarkan menuntut pembubaran
saingannya sendiri. Hal itu harus dihindarkan sebab dalam demokrasi
seharusnya sesama partai politik bersaing secara sehat. Oleh sebab itu
partai politik tidak boleh diberikan kedudukan sebagai pemohon dalam
masalah pembubaran partai politik.550
Dalam permohonan pembubaran partai politik, harus ditunjuk dengan
tegas partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Permohonan
harus ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Permohonan sekurangkurangnya memuat:551
a. identitas lengkap pemohon dan kuasanya jika ada, yang dilengkapi
surat kuasa khusus untuk itu;
b. uraian yang jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan
partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945;
c. alat-alat bukti yang mendukung permohonan
Permohonan masalah pembubaran partai politik yang diterima
Mahkamah Konstitusi dicatat dalam Buku Registrasi masalah Konstitusi.
Mahkamah konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat
ini kepada partai politik yang bersangkutan dalam waktu paling lambat
7 (tujuh) hari kerja sejak pencatatan dilakukan. sebab tidak diatur secara
khusus, proses pemeriksaan persidangan selanjutnya mengikuti hukum
acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan,
pemeriksaan persidangan, dan putusan.552
E . P artai P olitik y an g D imohonkan
Pembubaran seba g ai Termohon
Partai politik yang dapat dimohonkan pembubaran ke MK meliputi
baik partai politik lokal maupun partai politik nasional. Di dalam UU MK
tidak disebutkan kedudukan partai politik yang dimohonkan pembubarannya.
Namun dalam PMK Nomor 12 Tahun 2008 dalam Pasal 3 ayat (2)
dinyatakan bahwa Termohon yaitu partai politik yang diwakili oleh
pimpinan partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan.
Dengan demikian kedudukan partai politik yang dimohonkan
pembubaran yaitu sebagai termohon. Partai politik ini dapat
didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya.
F. Alasan-alasan Pembubaran Partai Politik
Salah satu bentuk sanksi yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik yaitu pembekuan dan pembubaran. Sanksi
pembekuan dapat dijatuhkan jika partai politik melanggar larangan terkait
dengan nama, lambang, atau tanda gambar,553 melanggar larangan mendirikan
badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.554 Pembekuan juga
dapat dijatuhkan kepada organisasi partai politik jika melanggar larangan
kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundangundangan, atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan
keselamatan negara.
Pembekuan ini disebut sebagai pembekuan sementara dan
dilakukan paling lama satu tahun. Apabila partai yang telah dibekukan ini melakukan kembali pelanggaran yang sama, dapat ditindaklanjuti
dengan pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi.555
Selain melalui pembekuan sementara, pembubaran juga dapat dilakukan
secara langsung apabila partai politik melakukan pelanggaran pada
larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau
paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.556 Pembubaran juga diatur terkait
dengan sanksi pidana dalam hal pengurus partai politik memakai partai
politiknya untuk melakukan tindak pidana kejahatan pada keamanan
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.557 Jika pengurus memakai
partai politiknya untuk melakukan kejahatan ini , partai politiknya itu
dapat dibubarkan.
Pasal 107 huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999
menyatakan
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam warga , atau
menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999
menyatakan
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar
Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
sedang Pasal 107 huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun
1999 menyatakan,
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan
perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberi bantuan kepada
organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya
dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang
sah.Walau tidak secara khusus menyebutkan alasan pembubaran partai
politik, namun Pasal 68 ayat (2) UU MK mewajibkan pemohon;
menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program,
dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
berdasar ketentuan UU MK, permohonan pembubaran partai
politik dapat dilakukan tidak terbatas dengan tindakan yang terkait dengan
ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi jika (a) ideologi;
(b) asas; (c) tujuan; dan (d) programnya dipandang bertentangan dengan
UUD 1945. ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 PMK Nomor 12 Tahun
2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik yang
mengatakan partai politik dapat dibubarkan oleh MK apabila:
a. ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan UUD
1945; dan/atau
b. kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau akibat
yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian alasan pengajuan permohonan pembubaran partai
politik meliputi:
a. Ideologi bertentangan dengan UUD 1945;
b. Asas bertentangan dengan UUD 1945;
c. Tujuan bertentangan dengan UUD 1945;
d. Program bertentangan dengan UUD 1945;
e. Kegiatan bertentangan dengan UUD 1945;
f. Akibat dari kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945;
g. Menganut, mengembangkan, serta menyebarluaskan ajaran Komunisme/
Marxisme – Leninisme; atau
h. Pengurus partai politik memakai partai politiknya untuk melakukan
tindak pidana kejahatan pada keamanan negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1999.
G. Proses Persidangan dan Pembuktian
Di dalam UU MK, acara persidangan pembubaran partai politik tidak
diatur secara khusus, sehingga proses pemeriksaan persidangan mengikuti
hukum acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan,
pemeriksaan persidangan, dan putusan.558 masalah pembubaran partai politik
wajib diputus dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi.559 Batasan waktu ini diperlukan untuk menjamin
terselenggaranya prinsip peradilan yang cepat sehingga cepat pula diperoleh
kepastian hukum.560
Proses persidangan, dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Di dalam pemeriksaan
pendahuluan yang diperiksa yaitu kelengkapan dan kejelasan permohonan.
Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/
atau memperbaiki permohonan jika dipandang perlu. Pemohon diberikan
kesempatan untuk memperbaiki permononannya paling lambat 7 hari.561
sedang dalam pemeriksaan persidangan akan dilakukan untuk
mendengarkan keterangan pemohon, termohon, serta pihak terkait lainnya.
Pada proses selanjutnya dilakukan pemeriksaan pada alat bukti serta
mendengarkan keterangan saksi dan ahli. Pada proses persidangan ini
pertanyaan hukum yang harus dijawab yaitu kedudukan hukum (legal
standing) pemohon, kewenangan MK, serta alasan permohonan.
Terkait dengan pemohon, harus dibuktikan bahwa pemohon memang
memiliki kedudukan hukum (legal standing). Untuk pemohon pemerintah,
harus dibuktikan bahwa pemohon ini mewakili pemerintah pusat.
Setelah pemeriksaan legal standing, dilanjutkan dengan pemerikasan pokok
perkara. Hal yang utama dalam pemeriksaan pokok masalah ini yaitu
permohonan dan alasan permohonan. Untuk permohonan pembubaran
suatu partai politik yang diajukan oleh pemerintah atau anggota parlemen,
ada dua pertanyaan yang harus dijawab dalam persidangan. Pertama,
apakah partai politik sebagai termohon memiliki ideologi, asas, tujuan,
program dan/atau melakukan kegiatan yang dinilai oleh pemohon memenuhi
klasifikasi sebagai alasan pembubaran partai politik. Kedua, apakah ideologi,
asas, tujuan, program, dan/atau kegiatan dimaksud memang memenuhi
klasifikasi sebagai alasan pembubaran partai politik.Proses pembuktian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pembuktian
pada dokumen dan pembuktian pada fakta.562 Pembuktian pada
dokumen yaitu pembuktian terkait dengan ideologi, asas, tujuan, dan
program partai politik. Untuk melihat hal itu, alat bukti utama yang
diperlukan yaitu statuta pendirian partai politik, AD dan ART, Platform,
Program Kerja, serta dokumen dan keputusan-keputusan partai politik
lainnya.
Namun demikian, dapat terjadi bahwa bukti-bukti dari dokumen
kurang meyakinkan, atau bahkan tidak terbukti sama sekali, maka proses
pembuktian dilanjutkan pada fakta kegiatan yang dilakukan oleh partai
politik dan akibat dari kegiatan ini . Pemohon harus menunjukan dan
membuktikan kegiatan atau akibat dari kegiatan partai politik yang melanggar
UUD 1945. Pembuktian fakta kegiatan ini dapat dilakukan dari bentuk dan
substansi atau materi kegiatan serta dari dampak atau akibat yang secara
objektif memang diinginkan dari pelaksanaan kegiatan partai politik.
H. Putusan dan Akibat Hukum Putusan
Amar putusan dapat berupa putusan yang menyatakan permohonan
tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan.
Jika MK berpendapat bahwa pemohon dan permohonan tidak memenuhi
syarat yang diatur dalam Pasal 68 UU MK, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.563 Artinya, sesuai dengan ketentuan
Pasal 68 ini , masalah subjek dan objek permohonan harus sesuai.
Subjek yaitu terkait dengan pemohon yang dalam ini harus mewakili
Pemerintah Pusat. sedang objek masalah yang dimohonkan yaitu
pembubaran partai politik berdasar alasan-alasan antara lain (a) ideologi;
(b) asas; (c) tujuan; (d) program; dan/atau (e) kegiatan yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945.
Apabila subjek pemohon dan objek permohonan telah sesuai dengan
ketentuan UU MK, serta MK berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan.564 Hal itu berarti
terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik
bertentangan dengan UUD 1945, dan partai politik ini diputuskan
dibubarkan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor
12 Tahun 2008, dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan
berbunyi:
a. mengabulkan permohonan pemohon;
b. menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum
partai politik yang dimohonkan pembubaran;
c. memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
1. menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada
Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
sejak putusan Mahkamah diterima;
2. mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik
Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan
diterima.
Oleh sebab itu, jika diputuskan permohonan pembubaran partai politik
dikabulkan, pelaksanaannya dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada
Pemerintah yang berarti pembatalan status badan hukumnya.565 Putusan
ini diumumkan oleh pemerintah dalam Berita Negara Republik
Indonesia dalam jangka waktu 14 hari sejak putusan diterima.566 Mengingat
yang menangani pendaftaran partai politik yaitu Kementerian Hukum
dan HAM, maka pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yaitu dalam
bentuk pembatalan pendaftaran partai politik.567
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.568 Hal itu berarti
tidak terbukti bahwa ada ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan
partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada partai politik yang
bersangkutan.569 Selain itu, ketentuan Pasal 11 PMK Nomor 12 Tahun 2008
mengatakan putusan ini juga disampaikan kepada Pemerintah
sebagai Pemohon, Termohon, KPU, DPR, MA, Polri, dan Kejaksaan
AgungAspek lain terkait dengan Putusan MK tentang pembubaran partai politik
yaitu akibat hukum dari pembubaran ini . Sebelum dibubarkan, partai
politik sebagai badan hukum tentu telah melakukan hubungan dan tindakan
hukum. Hal itu menimbulkan hak dan kewajiban, kepemilikan berupa
harta benda, serta hubungan dengan anggota partai politik yang menduduki
jabatan-jabatan publik. Berakhirnya eksistensi hukum partai politik sebab
pembubaran tentu berpengaruh pada hak dan kewajiban yang telah
ada, serta pada harta kekayaan dan jabatan-jabatan yang dihasilkan dari
hubungan dan tindakan hukum yang dilakukan sebelum dibubarkan. Selain
itu, terutama untuk pembubaran sebab alasan pelanggaran konstitusional,
timbul pertanyaan apakah dapat dijatuhkan sanksi kepada anggota atau
pengurus partai politik yang bersangkutan.
berdasar pengaturan di beberapa negara, dikenal adanya beberapa
akibat hukum pembubaran partai politik. Pertama yaitu tidak dapat
didirikan lagi partai pengganti baik dengan nama yang sama maupun nama
lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan yang
sama dengan alasan dibubarkannya partai ini . Hal itu berarti partai
ini dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketentuan ini di antaranya
dapat dijumpai di Turki,570 Jerman,571 dan Taiwan.572
Kedua, selain pernyataan sebagai partai terlarang, ada pula negara
yang memberi sanksi kepada pengurus dan/atau anggota partai politik yang
dibubarkan. Sanksi ini pada umumnya berupa larangan menjadi pendiri
atau pengurus, bahkan sebagai anggota partai politik. Hal itu di antaranya
diatur pada Article 69 Para 9 Konstitusi Turki yang menyatakan,
The members, including the founders of a political party whose acts or statements have
caused the party to be dissolved permanently cannot be founders, members, directors or
supervisors in any other party for period of five years from the date of publication in
the official gazette of the Constitutional Court’s final decision and its justification for
permanently dissolving the party.
sedang di Pakistan sanksi khusus diberikan kepada anggota parlemen
nasional dan provinsi dari partai yang dibubarkan.573 Di samping berhentidari keanggotaan lembaga perwakilan, mereka juga dilarang mengikuti
pemilihan umum selama empat tahun sejak pemberhentiannya. Dalam
praktik pembubaran Partai Thai Rak Thai dan Pattana Chart Thai di
Tahiland, sejumlah pengurus dikenakan sanksi tidak boleh melakukan
kegiatan berpolitik termasuk memilih dan dipilih selama lima tahun.574
Ketiga, akibat hukum pembubaran partai politik yaitu berakhirnya
keanggotaan lembaga perwakilan dari partai yang dibubarkan ini .
Hal itu misalnya diatur dalam Article 30-I Procedur Act Taiwan yang
menyatakan,
The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with
the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately
upon the judgment’s becoming effective.
Di Jerman, walaupun dalam ketentuan konstitusi, Undang-Undang
Partai Politik, maupun Undang-Undang MK tidak ada ketentuan
akibat hukum pada wakil partai politik di lembaga perwakilan, namun
dalam praktik pembubaran Partai SRP575 dan KPD,576 keduanya otomatis
kehilangan kursi di lembaga perwakilan.577
Keempat, yaitu akibat hukum pada harta kekayaan partai politik.
Di Jerman, salah satu akibat hukum pembubaran partai politik yang diatur
dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz yaitu harta kekayaan partai politik
dapat disita negara untuk kepentingan publik. Hal itu diatur dalam Article
6 Para 3 sebagai berikut.
The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent
section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization.
Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of
the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation
or the Land for public benefit.
Ketentuan mengenai akibat hukum pada harta kekayaan juga diatur
lebih jelas dalam Political Parties Act Bulgaria. Bahkan juga dinyatakan
bahwa negara bertanggung jawab atas hutang yang dimiliki oleh partai
politik yang dibubarkan. Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria
menyatakan sebagai berikut.
When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour
of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the
value of the property received.Di dalam UU MK maupun UU Partai Politik tidak diatur tentang
akibat hukum pembubaran suatu partai politik. Ketentuan akibat hukum
pembubaran partai politik di Indonesia baru diatur di dalam PMK Nomor
12 Tahun 2008. Pasal 10 ayat (2) PMK itu mengatakan putusan
pembubaran partai politik menimbulkan akibat hukum antara lain:
a. pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol
partai ini di seluruh Indonesia;
b. pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari
partai politik yang dibubarkan;
c. pelarangan pada mantan pengurus partai politik yang dibubarkan
untuk melakukan kegiatan politik;
d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang
dibubarkan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai
mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberi putusan
pada sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara ini juga
belum ada. sebab itu, selama masa ini belum ada preseden dalam
praktik ketatanegaraan Indonesia mengenai penanganan sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara. Barulah setelah adanya Perubahan Ketiga
UUD 1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah
Konstitusi yang salah satu kewenangannya yaitu memutus sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki mekanisme
penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara.393 Sistem ketatanegaraan Indonesia yang dimaksud di sini yaitu
seperangkat prinsip dasar dan aturan yang mengenai susunan negara atau
pemerintahan, bentuk negara atau pemerintahan, hubungan tata kerja antar
lembaga negara atau pemerintahan dan sebagainya yang menjadi dasar
pengaturan negara atau pemerintahan di Indonesia. Dengan pengertian
sistem ketatanegaraan Indonesia yang demikian ini, maka pada hakikatnya
esensi sistem ketatanegaraan Indonesia ini yaitu Hukum Tata Negara
Indonesia, yang meliputi hukum konstitusi dan konvensi ketatanegaraan
(the Law of the Constitution dan the Convention of the Constitution).Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara satu lembaga
negara dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks
and balances. Dalam prinsip ini , lembaga-lembaga negara itu diakui
sederajat, dan saling mengimbangi satu sama lain. Penggunaan istilah checks
and balances itu sendiri, pernah dilontarkan oleh John Adams, Presiden
Amerika Serikat kedua (1735-1826), pada saat ia mengucapkan pidatonya
yang berjudul “Defense of the Constitution of the United States” (1787). Istilah
checks and balances ini menurut David Wootton sebenarnya hanya
yaitu salah satu teknik saja untuk mengemukakan konsep saling
kontrol dan saling mengimbangi antar cabang kekuasaan negara