arsip 2

Rabu, 13 September 2023

arsip 2


arsip. 
Penelusuran Tokoh Kepahlawanan 
Nasional Lewat Sumber Arsip 
Dalam penulisan sejarah dikenal 
adanya sumber primer dan sumber 
sekunder. Sumber primer yaitu  
sumber asli, tercipta apa adanya, 
tanpa intepretasi dan tidak direkayasa. 
Sedangkan sumber sekunder adalan 
sumber pendukung, sumber olahan 
yang sudah ada muatan intepretasinya. 
Sumber primer salah satunya yang 
terbesar yaitu  khazanah arsip 
yang ada di Arsip Nasional Republik 
Indonesia (ANRI), yang tercipta karena 
proses dari hasil suatu kegiatan. 
Akan tetapi, tidak semua khazanah 
asip di ANRI yaitu  sumber 
primer, seperti berita harian Antara, Pedoman, dan Staatblad. Keberadaan 
sumber sekunder ini  tidak kalah 
pentingnya juga sebagai sumber 
informasi yang akurat. 
ANRI sebagai lembaga pengelola 
informasi arsip secara tidak 
langsung telah berperan serta untuk 
menjembatani usaha menyediakan 
atau menampilkan peran serta 
tokoh-tokoh pahlawan nasional itu 
lewat berbagai khazanah arsip yang 
merekam dan mencatat peristiwa￾peristiwa penting secara nasional. 
Sebagai contoh dalam catatan atau 
foto arsip bagaimana seorang tokoh 
jenderal Sudirman meskipun dalam 
keadaan sakit masih memimpin 
perang gerilya melawan penjajah 
bangsa asing. Kita juga bisa melihat 
foto arsip tokoh proklamator Soekarno 
dan Hatta saat  sama-sama 
mengantri dengan warga  untuk 
pencoblosan dalam pemilu tahun 
1955. warga  Sulawesi Selatan 
khususnya di Kabupaten Takalar 
tidak akan mengenal siapa itu tokoh 
pahlawan nasional Pajongga Daeng 
Ngale jika peran tokoh itu tidak digali 
lewat sumber-sumber arsip yang 
menyebutkan peran tokoh ini  
terhadap bangsa Indonesia.
Usaha untuk mencari sumber 
arsip terhadap tokoh tertentu yang 
berpotensi bisa diangkat sebagai 
pahlawan nasional terutama untuk 
tokoh dalam peristiwa masa lalu 
bisa dilihat dari beberapa khazanah 
berdasar  periodenya. Khusus untuk 
arsip zaman kolonial entry point untuk 
menelusuri arsipnya antara lain melalui 
Klapper (bibliografi), Indeks folio, 
Staatblad van Nederlandsche Indie
(Lembaran Negara), Ensiklopaediae 
van Nederlandsche Indie, memorie 
van Overgave, Colonial Verslag dan 
Indisch Verslag (laporan Tahunan 
pemerintah colonial), Gouvernements 
papieren atau Algemeene Secretarie 
Archieven, Engelsche Tusschen 
bestuur dan Wetboek van Strafrecht 
voor de Inlanders in Nederlandsche 
Indie (Kitab undang-undang hukum 
pidana untuk orang pribumi di Hindia 
Belanda). Selain itu, kita juga bisa 
menelusuri arsipnya lewat khasanah 
arsip sesuai daerahnya, misalnya 
Arsip Batavia, Arsip Karawang, Arsip 
Kedu dll. Menyangkut isi inventaris 
arsipnya bisa ditelusuri per subyeknya 
seperti rapporten, dag register, politiek 
verslag, kutuur verslag, gewestelijke 
stukken atau locale Archieven. 
Untuk masa pergerakan nasional 
dan revolusi kemerdekaan bisa dilihat 
khasanah arsip antara lain: Tempelaars 
(algemene secretarie), Algemeene 
Rijkarchief (ARA), Jogja Documenten, 
NEFIS, Kabinet Presiden, Sekretariat 
Negara RI, arsip Boven Digul dan 
data-data verbaal lainnya. Namun 
demikian, tidak kalah perting juga untuk 
mengetahui kata tangkap sebagai 
kunci keabsahan peran tokoh ini , 
seperti zaman Kolonial Belanda dan 
masa revolusi, tokoh yang dianggap 
pahlawan oleh bangsa Indonesia pada 
masa pemerintah kolonial dianggap 
sebagai ekstremis atau pemberontak, 
rebellion against the Dutch, opposed 
the Dutch Colonial rule, yang dalam 
konotasi politisnya yaitu  menentang 
pemerintah kolonialisme. Tokoh￾tokoh ini  bukan kriminal dan 
pada umumnya berseberangan atau 
menentang penjajahan (kolonialisme), 
ketidakadilan, penindasan dan pejuang 
kemerdekaan. Kategori diatas rata￾rata banyak yang berhasil diusulkan 
sebagai pahlawan. 
Arsip Pahlawan dan Keteladanan 
Peran penokohan pahlawan 
nasional terhadap generasi muda 
sangatlah penting, karena menuntut 
mindset generasi masa kini untuk 
tidak melupakan masa lalu. Banyak 
generasi muda Indonesia sekarang ini 
yang melupakan sejarah bangsanya. 
Terutama pada tokoh-tokoh pahlawan 
perjuangan bangsa. Jangankan untuk 
mengenal peranan tokoh satu persatu 
pahlawan bangsa, untuk menyebutkan 
siapa dibalik foto yang terpajang di 
dinding sekolah banyak yang tidak 
mengenal. 
Dengan banyaknya tokoh￾tokoh pahlawan nasional yang kita 
munculkan setiap tahunnya tidak 
akan berarti jika kita tidak mengetahui 
atau mengenal siapa dan bagaimana 
peran tokoh ini  terhadap bangsa 
Indonesia. Semua itu kembalikan pada 
bagaimana bangsa ini bisa membentuk 
karakter bangsa, menumbuhkan cinta 
tanah air pada generasi muda melalui 
pengalaman sejarah para pahlawan 
nasionalnya. 
Terdapat banyak tokoh atau peran 
warga  yang bisa diladikan tokoh 
teladan jika kita peduli terhadap 
sumber-sumber arsip yang tersedia. 
Namun demikian, apakah kita sudah 
merekam atau menyelamatkan 
catatan-catatan sejarah untuk semua 
peristiwa ini ? Semua akhirnya 
kembali pada pribadi kita masing￾masing sebagai bagian dari komponen 
bangsa Indonesia apakah mau belajar 
pengalaman sejarah lewat tokoh 
yang kita anggap sebagai pahlawan 
atau kita kesampingkan karena 
menganggapnya sebagai masa lalu 
yang tidak berarti. Kembali lagi seperti 
kata petuah bahwa bangsa yang besar 
yaitu  bangsa yang menghargai akan 
peran pahlawan negerinya.

ada sebuah lagu berjudul 
Hero yang dilantunkan oleh 
seorang penyanyi wanita 
asal New York bernama Mariah Carey. 
Lirik lagu ini  sangat sederhana, 
menceritakan tentang seorang 
pemberani (hero) yang tidak perlu 
takut siapa dirinya, yang mempunyai 
kekuatan untuk dapat bertahan karena 
mempunyai keberanian di dalam dirinya 
untuk hari esok dan akan datang, 
walaupun harus sendiri. Apa yang 
ditulis dalam lagu ini  mungkin 
tidak seperti arti pahlawan yang kita 
maksud, namun kata pahlawan bisa 
diartikan dalam berbagai makna. 
Hero yaitu  kata dalam bahasa 
Inggris yang diterjemahkan ke dalam 
bahasa Indonesia berarti pahlawan, 
dan di definisikan oleh W.J.S. 
Poerwadarminta (Kamus Umum 
Bahasa Indonesia 2006: 695) sebagai 
seseorang atau pejuang yang gagah 
berani. 
Kriteria seseorang untuk ditetap￾kan sebagai pahlawan seperti yang 
tertuang dalam Surat Keputusan 
Presiden tahun 1959-2009 yaitu  
orang yang telah berjasa atau 
berkorban karena membela negaranya 
melawan penjajahan Belanda dan di 
masa revolusi. Contohnya, di daerah 
Aceh terkenal pahlawan Teuku Umar 
dan istrinya Cut Nyak Dien, di Pulau 
Jawa ada Pangeran Diponegoro, 
di Sulawesi ada Hasanuddin, atau 
di Sumatera Barat ada Tuanku 
Imam Bonjol. Namun demikian kata 
pahlawan tidak hanya bisa ditujukan 
untuk orang-orang yang telah berjuang 
melawan penjajahan saja. Akan 
tetapi, seseorang bisa juga disebut 
sebagai Pahlawan Pembangunan 
jika orang ini  telah dianggap 
berjasa di bidang pembangunan, atau 
Pahlawan Devisa seperti para Tenaga 
Kerja Indonesia (TKI) karena telah 
mengirimkan gajinya yang diperoleh 
selama bekerja di luar negeri ke 
kampung halamannya. Seorang 
Pahlawan juga dimiliki oleh seorang 
anak yang mengidolakan tokoh 
kesayangannya, seperti Superman, 
Spiderman, atau Batman. Dalam 
tulisan ini yang harus digaris-bawahi 
yaitu  sepenggal catatan mengenai 
kepahlawanan bangsa Indonesia yang 
terekam dalam arsip foto, arsip film 
dan arsip kaset.
A
Kepahlawanan dalam arsip foto, 
film dan kaset
Arsip merekam informasi 
yang terjadi pada zamannya. 
Walaupun terkadang subyektif tetapi 
keaktualannya bisa dipercaya. 
Subyektif yang dimaksud di sini 
yaitu  jika seorang pejabat Hindia 
Belanda (lihat arsip pada masa Hindia 
Belanda) menulis laporan, maka 
pejabat itu terkadang melihatnya 
dari sudut pandang kepentingan 
pemerintahannya. Akan tetapi, pejabat ini  juga menulis keadaan yang 
sesungguhnya terjadi di lapangan 
dan hal yang ditulisnya ini  
lalu menjadi bahan diskusi 
tentang bagaimana cara memecahkan 
persoalan yang mereka hadapi. 
Sebagai contoh, dalam arsip Memori 
van Overgave (MvO) yang dibuat 
oleh para pejabat pada masa kolonial 
Belanda, kita dapat mengetahui 
bagaimana susahnya pemerintah 
Hindia Belanda saat  berhadapan 
dengan pejuang seperti di Aceh. 
Sebuah buku dapat kita buat lagi 
tetapi arsip hanya sekali dibuatnya 
dan itulah yang menjadikan arsip 
itu unik karena tanpa pengganti. 
Oleh karena itu setiap pejabat yang 
membuat arsip dituntut untuk jujur 
dalam melaporkan setiap kejadian 
pada masa pemerintahannya. 
Dalam arsip foto KIT Batavia ada 
sebuah foto yang mengabadikan 
para wanita Indonesia pada masa 
Jepang sedang melakukan latihan 
baris berbaris. Mereka memakai 
baju kebaya dan membentuk sebuah 
laskar yang disebut dengan laskar 
wanita pribumi. Tugas laskar wanita 
pribumi ini membantu para pejuang 
pria melawan Jepang. Walaupun 
para laskar wanita ini mungkin hanya 
sekedar membantu di bidang konsumsi 
(memasak, menyediakan makanan) 
dan di bidang kesehatan (merawat 
orang sakit), mereka patut disebut juga 
sebagai Pahlawan karena ada nilai￾nilai kepahlawanan yang tergambar di 
sini. Poster yang ada dalam arsip foto 
Kementerian Penerangan daerah Bali 
pada tahun 1958 juga menggambar￾kan nilai-nilai kepahlawanan walaupun 
posternya bertemakan Pahlawan 
Pembangunan. 
Setiap tanggal 10 November 
diadakan perayaan atau pawai yang 
melintasi jalan-jalan besar di Surabaya, 
terutama melalui Hotel Oranje atau 
Hotel Yamato. Hal itu disebabkan 
ditempat inilah bendera Belanda 
diturunkan oleh para pemuda Surabaya 
dan menggantikannya dengan bendera 
Merah Putih. Peris-tiwa itu berawal 
adanya pertempuran pada tanggal 10 
November 1945 antara para pemuda 
Surabaya dengan tentara Belanda. 
Para pemuda Surabaya yang terkenal 
dengan sebutan “arek-arek Suraboyo” 
itu merasa tersinggung, karena tentara 
Belanda mengibarkan benderanya 
di Hotel Oranje (Yamato) tanpa 
persetujuan Pemerintah Republik 
Indonesia daerah Surabaya. Mereka 
lalu melawan Belanda hingga titik 
darah penghabisan dan wafat sebagai 
pahlawan dalam mempertahankan 
kehormatan bangsanya. Untuk 
memperingati kejadian ini , 
maka setiap tanggal 10 November 
setiap tahunnya kita peringati sebagai 
Hari Pahlawan. Penurunan bendera 
ini terdapat antara lain dalam arsip 
foto Kementerian Penerangan RI 
Jakarta, dan arsip foto Kementerian 
Penerangan RI Jawa Timur. 
Pertempuran Surabaya juga 
disimpan dalam bentuk Film dan 
Video yang lalu dipindahkan 
ke dalam bentuk digital DVD. Proses 
pemindahan arsip film dan video 
ini  agar arsip film yang rentan 
dengan kerusakan dapat terselamatkan 
informasinya. Terkadang film menjadi 
rusak sebelum kita mengetahui apa 
isi informasinya, padahal informasi 
dalam film ini  sangat besar 
kemungkinannya mempunyai nilai 
sejarah yang dibutuhkan oleh 
warga . Lamanya durasi dalam 
film dan video yang menggambarkan 
kepahlawanan dalam Pertempuran 
Surabaya pun beragam, seperti video 
yang diserahkan oleh Des Alwi kepada 
Arsip Nasional Republik Indonesia 
(ANRI) mempunyai durasi 17 menit 
(ANRI, Video Pertempuran Surabaya 
No. 118), DVD Pertempuran Surabaya 
berdurasi 6 menit 58 detik (ANRI, DVD 
Pertempuran Surabaya No. 243), DVD 
Enam Jam Di Yogja berdurasi 9 menit 27 detik (ANRI, DVD No. 438), DVD 
Perlawanan Cut Nya Dien dan Teuku 
Umar di Aceh berdurasi 12 menit 54 
detik (ANRI, DVD No. 687), dan masih 
banyak lagi film yang dimiliki oleh ANRI 
mengenai kepahlawanan.
Selain arsip foto, film, video, 
ANRI juga menyimpan arsip kaset di 
antaranya kaset lagu-lagu tentang 
kepahlawanan seperti Gugur Bunga 
yang menceritakan seorang pahlawan 
yang gugur di medan perang, 
mengandung filosofi bahwa walaupun 
gugur satu tetapi tumbuh seribu. Arsip 
kaset lagu pahlawan lainnya yaitu  
Sepasang Mata Bola menceritakan 
seseorang yang membutuhkan 
perlindungan pahlawannya dari 
angkara murka.
Sepenggal catatan mengenai 
kepahlawanan bangsa Indonesia 
yang terekam dalam arsip foto, arsip 
film, maupun arsip kaset lagu-lagu ini 
bertujuan membuka mata kita agar 
mengetahui bahwa ANRI mempunyai 
begitu banyak koleksi arsip foto, arsip 
film, dan arsip kaset yang belum 
terjamah dan belum terekspos bagi 
kepentingan pengguna arsip sebagai 
bahan penelitian. Arsip kaset juga 
menyimpan hasil wawancara dengan 
para tokoh, saat  mendengarkan 
wawancara ini  maka kita akan 
mengetahui bagaimana kisah-kisah 
para tokoh sejarah di masa lalu 
yang sangat menarik. Di samping itu 
juga diharapkan dapat menggugah 
hati semua Kementerian, Ormas￾Orpol, orang pribadi, untuk segera 
menyerahkan dan menyimpan 
arsipnya yang bernilai guna di 
ANRI. Arsip ini  nantinya dapat 
digunakan sebagai bahan penelitian 
dalam menggali nilai-nilai sejarah 
kepahlawanan bangsa Indonesia, 
yang tentunya sangat menarik untuk 
di ekspos dan diperlihatkan kepada 
warga . Maka tidaklah berlebihan 
jika dikatakan bahwa bangsa yang 
menghormati pahlawannya yaitu  
bangsa yang besar. Kalimat ini seperti 
yang terlihat di foto di mana Presiden 
Soekarno sedang memberikan 
ceramahnya di hadapan para pemuda 
dan pelajar pada peringatan Hari 
Pahlawan di Bali tahun 1958.








asih teringat dalam memori 
betapa besar keberanian 
arek-arek Surabaya mem￾perjuangkan kemerdekaan Indonesia 
dari tangan Sekutu pada 10 November 
1945. Peristiwa ini diawali dengan 
Kedatangan tentara sekutu dibawah 
kepemimpinan Brigadir Jenderal 
A.W.S. Mallaby pada 25 Oktober 
1945. Pembebasan terhadap para 
perwira Sekutu dan pegawai RAPWI 
(Recovery of Allied Prisoners of War 
and Internees) serta ultimatum bagi 
orang Indonesia yang bersenjata untuk 
meletakkan senjata dan menyerahkan 
diri, memicu perlawanan dari arek￾arek Surabaya. Sehingga terjadi 
pertempuran Surabaya yang ke￾mudian kita peringati sebagai Hari 
Pahlawan. 
Peristiwa Pertempuran Surabaya 
yaitu  salah satu contoh per￾juangan dan pengorbanan arek-arek 
Surabaya yang dapat dikategorikan 
sebagai sikap kepahlawanan. Masih 
ada beberapa pertempuran seperti 
Bandung Lautan Api, Pertempuran 
Ambarawa, Pertempuran Medan 
Area dimana semua menunjukkan 
sikap kepahlawanan dari kelompok 
warga  yang ikut bertempur. 
Semua memberikan pengorbanan 
besar baik materi maupun imateri 
bahkan nyawa, mereka sebagai 
pahlawan. Pahlawan yang berjuang 
demi mempertahankan kemerdekaan 
Indonesia tanpa pamrih. Kategori 
perjuangan dalam mempertahankan 
kemerdekaan tidak hanya dilakukan 
dengan pertempuran fisik, namun 
juga melalui perjuangan diplomasi. 
Dengan demikian mereka yang ikut 
dalam perjuangan diplomasi juga 
dikategorikan sebagai pahlawan.
Eksistensi sebuah negara tidak 
terlepas dari peran pahlawan yang ada 
di dalam negara yang bersangkutan. 
Peran dari perbuatan yang dilakukan 
oleh para pahlawan, maka sebuah negara menjadi merdeka, maju, dan 
bahkan “mendunia”. Mereka yang 
telah berjuang dalam merebut dan 
mempertahankan kemerdekaan baik 
melalui perang fisik maupun diplomasi 
pada umumnya memperoleh gelar 
sebagai Pahlawan Nasional. Hingga 
saat ini, ada sekitar 159 orang yang 
tercatat sebagai pahlawan nasional. 
Sebagaimana tercantum dalam 
Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 
tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda 
Kehormatan, Pahlawan nasional 
yaitu  gelar yang diberikan 
kepada Warga Negara Indonesia atau 
seseorang yang berjuang melawan 
penjajahan di wilayah yang sekarang 
menjadi Negara Kesatuan Republik 
Indonesia yang gugur atau meninggal 
dunia demi membela bangsa dan 
negara, atau yang semasa hidupnya 
melakukan tindakan kepahlawanan 
atau menghasilkan prestasi dan karya 
yang luar biasa bagi pembangunan 
dan kemajuan bangsa dan Negara 
Republik Indonesia. Melihat dari 
pengertian ini , artinya seorang 
pahlawan yaitu  orang yang telah 
berkorban dalam pertempuran 
merebut dan mempertahankan kemer￾dekaan serta orang yang berhasil 
memberi keharuman nama bangsanya 
dalam kancah internasional dengan 
prestasi dan karyanya. Dalam sebuah 
kesempatan wawancara dengan re￾daksi Media Kearsipan Nasional, 
menurut Dirjen Pemberdayaan Sosial 
dan Penanggulangan Kemiskinan 
Kementerian Sosial, Hartono 
Laras, Pahlawan yaitu  orang 
yang melampaui panggilan diri dan 
tugasnya. Artinya seorang pahlawan 
yaitu  orang yang melakukan 
sesuatu yang lebih besar dari tugas 
dan kemampuannya sebagai bentuk 
pengabdian bagi bangsanya. Dalam 
kesempatan yang berbeda, Kepala 
Arsip Nasional Republik Indonesia, 
Mustari Irawan, mengatakan bahwa 
“Pahlawan yaitu  orang yang berjuang 
demi kepentingan warga , negara 
dan bangsa dan mengabaikan 
kepentingan pribadi. Pengabdian yang 
dilakukan oleh para pahlawan didasari 
oleh niat yang ikhlas untuk berkorban 
yang disertai dengan rasa tanggung 
jawab yang tinggi sekali dan kecintaan 
akan tanah air”. 
Pahlawan bukan hanya orang 
yang gugur dalam medan perang, 
seseorang yang menghasilkan pres￾tasi dan karya yang luar biasa bagi 
pembangunan dan kemajuan bangsa 
dan Negara Republik Indonesia 
juga bisa disebut sebagai pahlawan. 
Indonesia sudah tidak terlibat dalam 
pertempuran bersenjata, negara 
ini tetap membutuhkan pahlawan 
dalam berbagai bidang yang dapat 
membawa keharuman bangsa ini. 
Mereka yang telah berprestasi dalam 
bidangnya yaitu  pahlawan bagi 
bangsa ini. Dalam bidang jurnalistik 
ada Tirto Adisuryo, dalam bidang 
seni ada Ismail Marzuki, dan dalam 
bidang kedokteran ada Prof. Dr. 
Suharso. Pada masa kini, mereka 
yang berprestasi dan membawa 
harum nama bangsa Indonesia di 
kancah internasional memperoleh 
penghargaan baik dari negara maupun 
pihak swasta yang ikut berpartisipasi. 
Salah satunya yaitu  Yulianti Laksmi 
Parani, yang pernah memperoleh penghargaan karena dedikasinya 
dalam bidang seni tari. Ia memperoleh 
tanda kehormatan Satyalencana 
Kebudayaan dari Kementerian 
Kebudayaan dan Pariwisata tahun 
2014. Dalam wawancara dengan 
Media Kearsipan Nasional, Ibu 
lulusan Fakultas Sastra Universitas 
Indonesia Tahun 1970 ini mengatakan 
bahwa “Pemberian gelar pahlawan 
yaitu  usaha pemerintah untuk 
menghargai mereka yang di masa 
lalu telah membantu bangsa dalam 
menemukan identitasnya sebagai 
bangsa”, ujarnya. Ibu yang pernah 
menjadi salah seorang pejabat 
struktural di ANRI ini berharap agar 
selanjutnya ANRI dapat menampilkan 
penerbitan arsip orang-orang yang 
telah berjasa dalam pembangunan 
bangsa.
Melihat pengertian pahlawan dari 
beberapa perspektif, ada beberapa 
nilai-nilai yang dapat dirumuskan 
sebagai sikap dari seorang pahlawan, 
yaitu rela berkorban, mengutamakan 
kepentingan negara dibandingkan 
kepentingan pribadi atau golongan, 
ikhlas, dan cinta tanah air. Nilai-nilai 
kepahlawanan ini  menjadi 
hal yang dapat kita pelajari dan 
implementasikan dalam kehidupan 
saat ini. Sebagaimana disampaikan 
oleh Hartono Laras “ Akan tetapi, di 
balik itu semua, hal yang lebih penting 
yaitu  nilai-nilai kepahlawanan yang 
bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi 
kita semua, nilai-nilai ini  meliputi 
nilai-nilai rela berkorban, tanpa pamrih, 
percaya pada kemampuan sendiri, 
dan pantang mundur, dimana nilai￾nilai ini  harus direvitalisasi dan 
diaktualisasikan serta dijadikan sebagai 
nilai-nilai spirit dalam kehidupan ber￾warga  dan berbangsa”. Dalam 
ini  menurutnya kemampuan untuk 
percaya pada diri sendiri, kerelaan 
untuk berkorban dan tanpa pamrih, 
pantang menyerah, dan perbuatan 
yang didasari oleh ketaqwaan kepada 
Tuhan Yang Maha Esa yaitu  
nilai-nilai yang terkandung dalam 
diri seorang pahlawan. Nilai-nilai ini 
harus didayagunakan, ditanamkan, 
dan dilestarikan mengingat besarnya 
negeri dengan penduduk yang 
beragam. Nilai-nilai yang terkandung 
dalam diri pahlawan sangat penting 
untuk diimplementasikan dalam 
karakter bangsa Indonesia saat ini. 
Selain tempaan arus globalisasi yang 
begitu besar, bisa dikatakan krisis 
moral juga sedang terjadi di negara 
ini. Dalam media massa sering kita 
lihat sikap kelompok warga  
bahkan oknum pejabat yang tidak 
mencerminkan karakter bangsa 
ini. Mulai dari tawuran antarwarga, 
perdebatan dan persaingan yang 
tidak sehat dari para politisi negeri ini 
bahkan kasus korupsi yang menimpa 
oknum wakil rakyat negara ini. Sikap 
negatif ini  tentu membahayakan 
bagi persatuan dan kesatuan bangsa 
ini. Dapat dikatakan, apabila para 
pahlawan kita yang telah gugur 
berada dalam masa kini, betapa sedih 
nya melihat keributan dan perpecahan 
yang terjadi, padahal mereka sudah 
mengorbankan sesuatu yang sangat 
berharga yaitu kehidupan.
Apakah kita hanya berdiam 
diri saja melihat kenyataan ini? 
Pemerintah Republik Indonesia 
sudah mulai melakukan usaha  untuk 
memperbaiki keadaan ini . Pada 
masa pemerintahan Susilo Bambang 
Yudhoyono, mulai digalakkan pro￾gram Character Building. Setiap 
instansi pemerintah diminta untuk 
mendukung program ini  sesuai 
bidangnya masing-masing. Arsip 
Nasional Republik Indonesia (ANRI) 
juga ikut ambil bagian dalam program 
ini  dengan menampilkan kembali 
karakter bangsa sebagaimana 
terekam dalam arsip yang tersimpan 
di ANRI. Menyikapi ini , Kepala 
ANRI berpendapat bahwa nilai￾nilai kepahlawanan yang dapat 
menjadi karakter bangsa meliputi 
nilai keikhlasan, kejujuran, kecintaan 
terhadap tanah air, nasionalisme, kegigihan, keberanian, dan keuletan. 
Keberhasilan dalam membangun 
kembali nilai-nilai kepahlawanan ke 
dalam karakter warga  Indonesia 
saat ini akan memberi harapan untuk 
menciptakan Indonesia yang lebih baik. 
Setelah pergantian pimpinan, usaha  
perbaikan karakter bangsa juga terus 
dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, 
hanya saja istilahnya berganti menjadi 
revolusi mental. Mengenai wacana 
revolusi mental, Presiden Joko Widodo 
pernah menulisnya dalam surat kabar 
Kompas edisi 10 Mei 2014, Sudah 
saatnya Indonesia melakukan tindakan 
korektif, tidak dengan menghentikan 
proses reformasi yang sudah berjalan, 
tetapi dengan mencanangkan revolusi 
mental menciptakan paradigma, 
budaya politik, dan pendekatan nation 
building baru yang lebih manusiawi, 
sesuai dengan budaya nusantara, 
bersahaja, dan berkesinambungan. 
Revolusi mental diharapkan dapat 
membawa perubahan besar yang 
lebih baik bagi negara ini, terutama 
untuk membawa Indonesia kepada 
negara yang merdeka, adil, makmur 
dan sejahtera bagi rakyatnya. Menurut 
Kepala ANRI Mustari Irawan, revolusi 
didefinisikan sebagai perubahan 
dalam waktu yang singkat, sedangkan 
mental didefinisikan sebagai karakter 
atau watak manusia. Ada watak yang 
yaitu  pembawaan, imitasi, 
sugesti, ataupun identifikasi. Untuk 
dapat merubah watak ke arah yang 
lebih baik dibutuhkan proses yang 
memakan waktu dan dibutuhkan 
sarana. Terkait dengan trisakti 
pembangunan manusia dengan 
kepribadian yang berkebudayaan se￾perti yang dikonsepkan oleh Presiden 
Joko Widodo yaitu  karakter-karakter 
bangsa Indonesia misalnya rasa 
nasionalisme yang telah memudar. 
Dalam media Kompas 10 Mei 2014, 
Presiden Joko Widodo menulis, 
“Dalam melaksanakan revolusi mental, 
kita dapat menggunakan konsep 
Trisakti yang pernah diutarakan Bung 
Karno dalam pidatonya tahun 1963 
dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang 
berdaulat secara politik”, ”Indonesia 
yang mandiri secara ekonomi”, dan 
”Indonesia yang berkepribadian 
secara sosial-budaya”. Peringatan Hari 
Pahlawan diharapkan dapat dijadikan 
sebagai momentum dalam penerapan 
nilai-nilai kepahlawanan yang relevan 
dengan pembinaan karakter bangsa 
atau yang lebih dikenal dengan 
revolusi mental, kata Hartono Laras.
Penganugerahan gelar pahlawan 
diberikan langsung oleh Presiden RI 
yang biasanya dilakukan menjelang 
peringatan hari Pahlawan pada 10 
November setiap tahun. Pengangkatan 
sebagai pahlawan dalam rangka 
penghormatan, penghargaan yang 
diberikan negara atas jasa seseorang. 
Gelar pahlawan tidak diberikan 
begitu saja kepada seseorang, ada 
beberapa kriteria yang harus dipenuhi 
untuk memperolehnya. Syarat umum 
untuk memperoleh gelar pahlawan di 
antaranya Warga Negara Indonesia 
atau seseorang yang berjuang di 
wilayah Negara Kesatuan Republik 
Indonesia; memiliki integritas moral 
dan keteladanan; berjasa terhadap 
bangsa dan negara; berkelakuan baik; 
setia dan tidak mengkhianati bangsa 
dan negara serta tidak pernah dipidana 
penjara. Selain syarat umum, masih ada 
syarat khusus untuk bisa memperoleh 
gelar pahlawan di antaranya pernah 
memimpin dan melakukan perjuangan 
bersenjata atau perjuangan dalam 
bidang lain untuk mencapai, merebut, 
mempertahankan dan mengisi kemer￾dekaan serta mewujudkan persatuan 
dan kesatuan bangsa; tidak pernah 
menyerah pada musuh dalam 
perjuangan; melakukan pengabdian 
dan perjuangan yang berlangsung 
hampir sepanjang hidupnya dan 
melebihi tugas yang diembannya; 
pernah melahirkan gagasan 
atau pemikiran besar yang dapat 
menunjang pembangunan bangsa 
dan negara; pernah menghasilkan 
karya besar yang bermanfaat bagi 
kesejahteraan warga  luas atau 
meningkatkan harkat dan martabat 
bangsa; serta memiliki konsistensi 
jiwa dan semangat kebangsaan yangtinggi dan/atau melakukan perjuangan 
yang mempunyai jangkauan luas dan 
berdampak nasional.
Dalam pengajuan gelar ini, 
dibutuhkan beberapa dokumen terkait 
calon pahlawan yang bersangkutan 
seperti daftar riwayat hidup dan 
perjuangan calon pahlawan, uraian 
perjuangan, biografi, daftar dan 
bukti tanda kehormatan yang pernah 
diterima, catatan pandangan/pendapat 
orang dan tokoh warga  tentang 
pahlawan nasional yang bersangkutan, 
serta foto dokumentasi yang menjadi 
perjuangan calon pahlawan nasional 
yang bersangkutan. Dengan ka￾ta lain, dokumen/ arsip sangat 
berperan untuk pengajuan seseorang 
memperoleh gelar pahlawan. Sebab 
tanpa bukti perjuangan seseorang 
dalam bentuk dokumen, sulit rasanya 
untuk memperoleh gelar pahlawan. 
Arsip-arsip yang terhimpun ini  
nantinya akan digunakan sebagai 
bahan rapat Tim Peneliti dan Pengkaji 
Gelar Tingkat Daerah (TP2GD) dan 
Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar 
Tingkat Pusat (TP2GP). Dalam 
ini , TP2GD akan memberikan 
pertimbangan kepada gubernur, 
bupati/walikota dalam meneliti dan 
mengkaji usulan pemberian gelar. 
Sedangkan TP2GP bertugas untuk 
memberikan pertimbangan kepada 
menteri yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang sosial 
dalam meneliti dan mengkaji usulan 
pemberian gelar. 
Dalam usulan pemberian gelar 
pahlawan, ANRI menjadi salah 
satu anggota TP2GP. Dalam ini  
Kepala ANRI berharap agar perspektif 
kearsipan yang menjadikan arsip 
sebagai bukti dapat diselenggarakan 
terkait dengan proses pengajuan gelar 
pahlawan nasional. ANRI sebagai 
lembaga kearsipan nasional berperan 
dalam mendokumentasikan peristiwa 
sejarah dan nilai-nilai kepahlawanan 
sebagaimana terekam dalam arsip 
pahlawan. Terkait dengan khasanah 
arsip pahlawan yang disimpan di 
ANRI, menurut Kepala ANRI yang 
dilantik pada bulan Desember tahun 
2013, “Arsip-arsip yang terkait dengan 
kepahlawanan masih bersifat menye￾bar dan masih berasal dari perspektif 
penjajah . Belum ada khazanah yang 
secara spesifik yang memberikan 
gambaran tentang pahlawan secara 
individu. Oleh karena itu untuk 
menyiasati kekurangan ini  
dilakukan wawancara sejarah lisan 
yang bekerja sama dengan sejarawan 
dari beberapa perguruan tinggi, 
contoh: wawancara dengan Bung 
Hatta, LN Palar, Leimena, dan Abdul 
Halim. Dengan adanya program 
sejarah lisan diharapkan dapat 
melengkapi beberapa khazanah terkait 
kepahlawanan secara individu yang 
belum terekam di dalam arsip. Ter￾kait dengan akuisisi arsip pahlawan, 
Mustari Irawan mengatakan bahwa 
“untuk kedepannya dapat dilakukan 
kerjasama dengan Kementerian Sosial 
mengingat dalam proses pengajuan 
pahlawan, arsip berperan sebagai 
bukti dalam pengajuan seseorang 
untuk menjadi pahlawan. Selain 
Kemensos, tentu ada beberapa instansi 
pemerintah yang terkait dalam konteks 
pahlawan masa kini oleh karena itu 
ANRI dinilai perlu untuk mengadakan 
kerja sama dengan instansi-instansi 
ini , salah satu contohnya yaitu  
perguruan tinggi. Dengan adanya 
UU No. 43 Tahun 2009 dan PP No. 
28 Tahun 2009 dinilai sudah mampu 
untuk mengakomodir dalam proses 
penyelamatan arsip-arsip pahlawan. 
Sekarang yang diperlukan yaitu  
aksi kongkrit. Terlebih lagi pihak ANRI 
sedang menyusun inpres terkait 
akuisisi atau penyelamatan arsip-arsip 
yang tidak hanya berorientasi di akhir 
kegiatan pemerintahan akan tetapi 
juga di awal kegiatan pemerintahan ”.
Keharuman nama sebuah bangsa 
yaitu  salah satu hal yang 
dipersembahkan seorang pahlawan 
kepada bangsanya. Bangsa yang 
besar yaitu  bangsa yang tidak 
melupakan jasa para pahlawannya. 
Pahlawanku Idolaku. 



aat ini sedang ramai 
dibicarakan tentang pengajuan 
Konferensi Asia Afrika untuk 
dijadikan Memory of the World (MoW) 
oleh UNESCO. Konferensi Asia Afrika 
yaitu  salah satu konferensi 
penting bagi negara-negara tertindas 
saat itu. Konferensi yang diadakan di 
Bandung pada tanggal 14-26 Agustus 
1955 dan menghasilkan kesepakatan 
Dasasila Bandung/Bandung Spirit 
telah menginspirasi Bangsa-bangsa 
Asia Afrika untuk merdeka, lepas dari 
penjajahan.
Namun, tiga abad sebelum itu telah 
ada seorang pejuang asal Indonesia 
yang berjuang untuk melepaskan 
bangsa di Asia maupun di Afrika untuk 
merdeka. Ia yaitu  Syekh Yusuf al-Taj 
Khalwati al-Makassari yang dikenal 
dengan nama ‘Syekh Yusuf Makasar’. 
SEKILAS SYEKH YUSUF
Beliau lahir dari pasangan 
Abdullah dan Aminah putri Gallarang 
Moncong Loe. Saat lahir ia diberi 
nama Muhammad Yusuf oleh Sultan 
Alaudin Raja Gowa, yang juga kerabat 
ibunya. Sejak muda ia sudah haus 
ilmu, awalnya beliau berguru pada 
Daeng ri Tasammang hingga khatam 
al-Qur’an. lalu dilanjutkan 
dengan Sayyid Ba’Alwy bin Abdullah 
al-Allamah Thahir di Bontoala yang 
saat itu menjadi pusat pendidikan 
islam tahun 1634. Setelah itu, beliau 
lalu belajar pada ulama Aceh 
yang datang ke Makassar, yaitu Syekh 
Jalaluddin al-Aidit.
Walaupun hidup di lingkungan 
istana, namun semangat untuk 
menuntut ilmu sangatlah tinggi. 
Beliau lalu menuntut ilmu ke 
Timur Tengah. Namun, sebelum ke 
Mekkah, beliau sempat singgah di 
Banten . Disini dia berkenalan dan 
bersahabat dengan Pangeran Surya 
anak dari Sultan Mufahir Mahmud 
Abdul Kadir (1598-1650). Dari Banten, 
ia lalu berangkat ke Aceh 
dan berguru pada Syekh Nuruddin 
Ar-Raniri dan mendapatkan ijazah 
tarekat Qadiriyah. lalu melanjutkan 
perjalanannya ke Timur Tengah untuk 
berguru dengan ulama disana. Tercatat 
beberapa ulama pernah menjadi 
gurunya, yaitu daerah yang beliau 
datangi, antara lain Sayed Syekh 
Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi 
bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani 
Zaidi al-Naqsyabandy di Yaman, untuk 
tarekat Naqsayabandiyah, Syekh 
Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah di 
kota Zubaid untuk tarekat Baalawiyah, 
Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin 
al-Kurdi al-Kaurani di Madinah untuk 
tarekat Syattariyah, dan Syekh Abu al￾Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub 
al-Khalwati al-Qurasyi di Damaskus 
disini beliau diberi gelar Tajul Khalwati 
Hadiyatullah.
Selain tarekat-tarekat ini  
di atas, beliau juga mempelajari 
tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, 
Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, 
Ahmadiyah, Suhrawardiyah, 
Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, 
Makhduniyah. 
PERJUANGAN SYEKH YUSUF
Setelah pencaian ilmunya diang￾gap selesai, maka beliau memutuskan 
untuk kembali ke Makassar, pada 
usia 38 tahun. Namun beliau tidak 
menyangka, ternyata kerajaan
Gowa sudah hancur pasca kalah dari 
Belanda. Bahkan usaha menasehati 
pihak kesultanan pun tak berhasil. 
Syekh Yusuf akhirnya hijrah ke Banten 
yang memang sejak dari Mekkah 
Sultan Banten telah memintanya untuk 
datang kesana.
Di Banten 
Di Banten ia diangkat sebagai mufti 
Kesultanan Banten oleh sahabatnya 
Pangeran Surya yang saat ini telah 
menjadi Sultan Banten dengan nama 
Sultan Abdul Fattah yang dikenal 
dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. 
Ia lalu dinikahkan dengan 
Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang 
bernama Siti Syarifah. ini   
memudahkan Syekh Yusuf dalam 
berdakwah. Murid beliau banyak 
tersebar sampai pelosok-pelosok luar 
Banten. Beliau juga menjadi pengayom 
bagi warga  Makassar yang lari 
karena kecewa terhadap perjanjian 
Bongaya.
Pada awal tahun 1682 saat Sultan 
Haji datang, Banten pun bergejolak. 
ini  terjadi karena Sultan Haji yaitu  
putra mahkota yang dipengaruhi 
Belanda. Belanda melakukan aksi 
devide et impera karena selama 
ini, serangan milter Belanda selalu 
digagalkan oleh Pangeran Purbaya .
Sultan Haji selalu mendapat ban￾tuan Belanda dari Batavia. Hingga 
akhirnya pada Desember 1682 Keraton 
Tirtayasa tidak dapat terselamatkan 
dan ditinggalkan. Pasukan Tirtayasa 
menggunakan taktik perang gerilya. 
Namun, pada 14 Maret 1683 Sultan 
Ageng Tirtayasa menyerahkan diri 
ke keraton Surosowan dan ditangkap 
Belanda lalu dibawa ke Batavia 
dan wafat disana.
Perang Gerilya pun dilanjutkan 
Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya 
dan Pangeran Kidul yang memimpin 
5000 pasukan termasuk 1000 laskar 
Makassar, Bugis dan Melayu. Syekh 
Yusuf bergerak ke arah timur sampai 
Padalarang lalu berbelok ke arah 
pesisir selatan, sampai daerah desa 
Karang, di sana beliau bertemu dan 
dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi 
(Hadjee Karang) Pamijahan dan 
laskarnya. Setelah melakukan perang 
gerilya selama dua tahun lamanya 
akhirnya Syekh Yusuf ditangkap 
dengan kondisi seluruh pengikut￾pengikutnya dipulangkan ke kampung 
halamannya masing-masing kecuali 
49 orang yang harus turut serta, yaitu 
2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan 
putra-putri, sahabat dan para abdi 
dalem.
Di Sri Lanka
Belanda lalu membawa 
rombongan Syekh Yusuf ke Batavia. 
Namun, melihat besarnya kharisma 
Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran 
dari pihak Belanda, dan ditambahkan 
kerajaan Bone dibawah pimpinan 
Aru Palaka (Raja Bone ke-15 yang 
ada hubungan kekerabatan) sedang 
melakukan perlawanan. Maka Belanda 
memutuskan untuk mengasingkan 
Syekh Yusuf beserta rombongan pada 
tanggal 12 September 1684 ke wilayah 
Sri Lanka.
Dalam waktu singkat nama beliau 
dikenal di sana. Selama disana beliau 
gunakan untuk beramal, mengajar 
dan menulis risalah, banyak murid￾muridnya yang berasal dari Hindustan 
(India) dan Srilanka sendiri. Dan 
membawa namanya termasyhur di 
India. Raja Hindustan Aurangzeb 
Alamgir (1659-1707) pernah menyurati 
wakil pemerintah Belanda di Srilanka, 
susaha  kehormatan pribadi Tuan 
Syekh itu dipelihara, karena jika tuan 
itu diganggu akan menggelisahkan 
umat Islam Hindustan.
Strategi perjuangannya 
pun berubah dari perang fisik 
menjadisemangat keagamaan dan 
semangat perjuangan. Jemaah haji 
dari Indonesia sekembalinya dari 
Mekah biasanya singgah di Ceylon 
(Sri Lanka) untuk menunggu musim 
barat selama satu sampai tiga bulan. 
Dalam kesempatan inilah jemaah haji 
belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu 
juga disisipkan pesan-pesan Politik, 
agar tetap mengadakan perlawanan 
terhadap Belanda dan juga pesan￾pesan agama susaha  tetap bepegang 
teguh pada jalan Allah.
Di Afrika Selatan
Surat-surat kepada raja Banten 
dan Makassar ternyata tercium oleh
pemerintah Belanda di Batavia. 
Risalah ini  dianggap pemicu 
pemberontakan rakyat di Banten dan 
raja Gowa ke-19. Surat atau risalah 
yang menggunakan nama samaran 
ini , di Makassar dikenal dengan 
nama “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan 
LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan 
tuanku)” , sedangkan di Banten 
disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan 
She. Akhirnya diputuskan Syekh 
Yusuf dan 49 rombongannya untuk 
dipindahkan dari Ceylon ke Kaap 
(Afrika Selatan). Pemindahan ini  
dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 
dengan menaiki kapal “Voetboeg”. 
Syekh Yusuf dan rombongan sampai 
di pantai Afrika pada tanggal 2 April 
1694, selama delapan bulan 23 hari 
perjalanan.
Namun demikian, semangat 
perjuangannya tidak pernah padam 
oleh ruang dan waktu beliau tetap 
mengobarkan semangat warga 
Afrika Selatan untuk merdeka dan 
membentuk komunitas muslim 
disana yang memang menjadi daerah 
buangan politik. Tempat itu sekarang 
dikenal dengan Macassar Faure.
Syekh Yusuf meninggal pada 
tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 
tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan 
dimakamkan di daerah Faure dan 
pada tanggal 5 April 1705 kerangka 
dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan 
dan tiba di Makassar. Ia dimakamkan 
di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6 
April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H.
Negosiasi pemulangan jenazah 
Syekh Yusuf yang dilakukan oleh Raja 
Gowa, Sultan Abdul Jalil, berhasil 
enam tahun kemudian, tepatnya tahun 
1705. Hal ittu pun terdapat syarat yang 
harus dipenuhi: yang bisa kembali ke 
Nusantara yaitu  anak-anaknya yang 
berusia lima tahun ke bawah.
Dalam perjalanan pulang itulah, 
jenazah Syekh Yusuf sempat 
disinggahkan di beberapa tempat, 
seperti Sri Lanka, Banten, Sumenep 
(Madura), terakhir di Makassar. 
Oleh sebab itu, banyak orang yang 
mengatakan bahwa makam Syekh 
Yusuf ada dimana mana.
Makam Syekh Yusuf, saat 
ini lebih dikenal dengan 
nama Ko’bang, berada 
di Jalan Syekh Yusuf, 
perbatasan Gowa dan 
Makassar.
GELAR PAHLAWAN
Setelah tiga abad 
Syekh Yusuf tiada, akhirnya 
beliau mendapat dua gelar 
pahlawan nasional dari 
dua Negara yaitu Indonesia 
pada 9 November 1996 
dan dari pemerintah Afrika 
Selatan pada 23 September 
2005. Daerah tempat 
tinggal Syekh Yusuf di Cape 
Town diberi nama sebagai 
kawasan ‘Macassar’ untuk 
menghormati tempat asalnya. 
Bahkan, Nelson Mandela, 
mantan presiden Afrika 
Selatan, menyebutnya sebagai 
‘Salah Seorang Putra Afrika 
Terbaik’. Bagi warga Cape 
Town, Syekh Yusuf dikenal sebagai 
sosok yang membangun komunitas 
Muslim di negara itu. Dia tidak hanya 
diakui sebagai ulama, namun juga 
pejuang bagi rakyat Afrika Selatan 
karena menentang penindasan dan 
perbedaan warna kulit (apartheid).
Hingga akhir hayatnya, menurut 
Nabilah Lubis dalam buku Syekh 
Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari 
menemukan sedikitnya 25 kitab 
karangannya yang di tulis pada era 
Banten dan Ceylon. Ia juga dikenal 
sebagai pendiri ajaran tarekat 
khalwatiyah. Kemudian, 
“ memang sangat berterima kasih 
pada Syekh Yusuf karena ajaran Islam 
di sana yang tidak membedakan warna 
kulit. Di Afrika Selatan bahkan ia diberi 
gelar As-salam
Di tengah arus globalisasi yang 
melanda bangsa ini, semangat￾semangat kearifan, keteladanan 
kepahlawanan dan karakter Syekh 
Yusuf yang haus ilmu, pantang 
menyerah dan berjuang hingga 
titik darah penghabisan sangat 
diperlukan terutama bagi generasi 
muda mendatang. Semoga kita yang 
ditinggalkan dapat mewarisi karakter 
beliau sebagai pejuang tanpa pamrih. 

f ilm yaitu  salah satu 
bentuk hiburan yang dikenal 
dan memiliki dampak yang luas 
bagi warga nya. Menurut Jowett 
dan Linton (1980: 15) film yaitu  
media hiburan yang sederhana dan 
murah. Hiburan film sendiri mulai 
dikenal di Hindia-Belanda pada 
awal abad ke-20, ditandai dengan 
pertunjukan berupa gambar idoep. 
Pada awalnya, pemutaran film belum 
memiliki tempat yang tetap bahkan 
pertunjukan yang sederhanadilakukan 
di tempat terbuka. Pemutaran film di 
tempat terbuka (openlucht) disebut 
juga “misbar”, singkatan dari gerimis 
bubar (Tjasmadi, 1992: 11). 
Perkembangan Regulasi Perfilman 
Film perlahan-lahan menggeser 
Komedi Stamboel dan Toneel, 
menjadi hiburan yang popular di 
kalangan warga  pada masa 
itu. Seiring dengan kepopuleran 
hiburan film, pengaruh film terhadap 
gaya hidup warga  mulai 
terlihat. Pemerintah Hindia-Belanda 
khawatir adanya perubahan perilaku 
warga  pribumi akibat pengaruh 
film terlebih lagi terhadap perubahan 
pandangan warga  pribumi 
terhadap kewibawaan bangsa kulit 
putih. Pemerintah Hindia Belanda 
mengeluarkan sejumlah regulasi yang 
mengatur film serta bioskop dalam 
Ordonansi Bioscoope pada tahun 
1916. Hak pemeriksaan film oleh 
komisi regional yang ditunjuk gubernur 
jendral serta denda atas pelanggaran 
peraturan ini  dijelaskan dalam 
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 
No. 276, Tahun 1916. Pemerintah 
Hindia-Belanda terus melakukan 
penambahan regulasi yang mengatur 
tentang hiburan film sebagaimana 
yang terlihat dalam Staatsblad
tahun 1919 no. 377 mengenai 
Bioscoopordonantie, Staatsblad tahun 
1919 no. 742 mengenai peraturan 
untuk mengurangi resiko pengaruh 
yang merugikan dari kunjungan 
bioskop oleh anak-anak dan Staatsblad 
tahun 1922 No. 688 mengenai 
penarikan biaya atas pemeriksaan 
film. berdasar  Staatsblad van 
Nederlandsch-Indie, No. 477/ 1925, 
F
pada 1 Januari 1926 diberlakukan 
Filmordonnantie 1925 mengenai 
komisi film. Regulasi ini  diperkuat 
dengan diberlakukannya Staatsblad 
No. 507/ 1940 yang mengatur tentang 
sejumlah batasan secara lebih rinci dan 
menjelaskan definisi film, pertunjukan 
film bahkan dengan rinci menjelaskan 
mengenai usaha  hukum hingga sanksi 
pidana serta mekanisme pemeriksaan 
film impor dan film dalam negeri.
Memasuki era pendudukan 
Jepang, hiburan film mengalami 
perubahan drastis. Pemerintah Jepang menyadari betul peran film sebagai 
suatu media propaganda yang ampuh. 
Pemerintah Hindia-Belanda sendiri 
juga melakukan hegemoni melalui film 
terhadap warga  pribumi, hanya 
saja proses ini  dilakukan secara 
halus berbeda dengan pemerintah 
Jepang yang melakukan propaganda 
secara paksa dan terang-terangan 
sehingga membuat warga  
pribumi jenuh dengan film-film 
propaganda yang diputar selama masa 
pendudukan Jepang. Sikap anti Barat 
pemerintah Jepang dapat dilihat dalam 
kebijakan mereka mengubah nama￾nama Bioskop yang menggunakan 
nama Barat dengan nama Jepang dan 
menghentikan impor film Barat. 
Memasuki periode tahun 
1950-an, pemerintah Indonesia 
mengeluarkan undang-undang 
mengenai perfilman, pada masa 
sebelumnya undang-undang yang 
ada yaitu  warisan Pemerintah 
Hindia-Belanda. berdasar  Arsip 
Nasional Republik Indonesia No. 
58 Daftar Pertelaan Arsip Peraturan 
Perundang-Undangan Dirinci Menurut 
Jenis Peraturan Pemerintah Periode 
1950-1960, pada tahun 1951 terbit 
Peraturan Pemerintah No. 26/ 1951 
tentang Mengubah Peraturan Film 
1940 (Filmverordening 1940, s. 1940 
No. 539). Peraturan Pemerintah 
No. 26/ 1951 lalu mengalami 
perubahan dengan dikeluarkannya 
Peraturan Pemerintah No. 7/ 1954, 
yang dapat dilihat pada Arsip Nasional 
Republik Indonesia No. 204 Daftar 
Pertelaan Arsip Peraturan Perundang￾Undangan Dirinci Menurut Jenis 
Peraturan Pemerintah Periode 1950 
– 1960. Peraturan Pemerintah No. 7/ 
1954 tentang Mengubah Peraturan 
Pemerintah No. 26/ 1951 (Lembaran 
Negara No. 38/ 1951) tentang 
Mengubah Peraturan Film 1940 
(Filmverordening 1940, s. 1940 No. 
539). Peraturan perundang-undangan 
yang diterbitkan pemerintah masih 
belum fokus untuk pengembangan film 
nasional. Sehingga dapat dikatakan 
bahwa peraturan yang ada belum 
menjamin bahwa Indonesia telah 
memiliki politik perfilman yang jelas.
Pasang Surut Layar Perak di 
Surabaya 
Pada kurun waktu tahun 1950 
– 1970 produksi film-film nasional 
banyak yang bertemakan perjuangan 
seperti Darah dan Doa, Enam Jam di 
Yogya, dan Lewat Djam Malam. Situasi 
nasional yang baru saja melalui revolusi 
fisik, perjuangan pengembalian Irian 
Barat, usaha-usaha menekan gerakan 
separatis di berbagai daerah menjadi 
salah satu faktor yang menjadikan 
film-film yang bertemakan perjuangan 
banyak diproduksi. Produksi film￾film bertemakan perang didukung 
dengan keterlibatan beberapa instansi 
pemerintah dalam produksi suatu film 
nasional, seperti keterlibatan Bank 
Koperasi Tani dan Nelayan yang terlibat 
dalam produksi film “Lembah Hidjau”, 
Bank Negara terlibat dalam produksi 
film “Masa Badai dan Topan” dan “Maut 
Mendjelang Sendja” serta Kodam XVI 
Hasanuddin dalam produksi film Terror 
di Sulawesi Selatan. Pada era ini  
ada satu kebiasaan dimana sebelum 
film utama diputar biasanya terlebih 
dahulu diputar film extra yaitu berupa 
film berita dari Perusahaan Film 
Negara (PFN). Film berita ini  
berisi rangkuman berita dari dalam 
dan luar negeri untuk diinformasikan 
kepada warga . Kebiasaan ini 
meniru pola yang pernah diterapkan 
pada era Pendudukan Jepang.
Pada periode ini pula, hiburan film 
mengalami masa-masa yang sulit 
dengan adanya pemboikotan film-film 
Amerika oleh Panitia Aksi Pemboikotan 
Film Imperialis Amerika Serikat 
(PAPFIAS) dengan puncaknya yaitu 
pembubaran American Motion Picture 
Association of Indonesia (AMPAI). 
Aksi yang dilakukan PAPFIAS di 
Surabaya bahkan berlangsung keras 
dengan pembakaran gedung AMPAI 
yang berada di jalan Sumatera. Aksi 
ini didukung pula oleh Komando Daerah Pemboikotan Film Imperialis 
Amerika Serikat Jawa Timur yang 
menyelenggarakan ceramah di 
Surabaya pada 7 Agustus 1964 dalam 
rangka memperhebat pelaksanaan 
pemboikotan film-film imperialis AS.
Aksi ini didasari terutama pada 
persoalan politis seperti usaha  
pemerintah Amerika Serikat yang 
bermaksud untuk memperluas 
wilayah operasi bagi armada ke￾tujuh ke Samudera Indonesia. Hal 
ini dipandang telah mengganggu 
kedaulatan Indonesia melalui proyek 
neokolonialisme Malaysia. Tindakan 
pemerintah Amerika Serikat ini  
dipandang untuk kepentingan Amerika 
Serikat dalam memperluas perangnya 
serta membantu Malaysia yang berarti 
turut campur dalam permasalahan 
yang tengah dialami Indonesia 
dan Malaysia. Bangsa Indonesia 
yang tengah gencar berada dalam 
semangat Dwikora beranggapan 
bahwa pemutaran film Amerika Serikat 
bertentangan dengan semangat 
pelaksanaan Dwikora. Alasan lain 
yaitu  karena merajalelanya film￾film bandit atau seks yang diproduksi 
Amerika menerbitkan keprihatinan 
mendalam. 
Melihat kondisi ini , pemerin￾tah dalam ini  Menteri Pendidikan, 
Pengajaran dan Kebudayaan Republik 
Indonesia mengeluarkan Surat 
Putusan Nomor 40439/Kab mengenai 
batasan-batasan yang dianggap 
terlarang pada film-film, adegan, 
percakapan, tulisan ataupun inti moral 
dalam film yang bersifat menganjurkan 
perang, mendatangkan pengaruh 
buruk bagi kesusilaan dan nilai prajurit, 
melanggar codex perwira (azas 
kesatriaan), memperlihatkan usaha 
untuk merobohkan pemerintah sendiri 
dan memperlihatkan bahwa sesuatu 
tujuan atau maksud, baik maupun 
buruk, dapat dicapai dengan memakai 
kekerasan yang menggunakan senjata 
secara berlebih atau berulang, (Arsip 
Nasional Republik Indonesia No. 1833 
Inventaris Kabinet Presiden RI). Namun 
berbeda dengan Menteri Perdagangan 
Adam Malik yang menyatakan bahwa 
tidak masuk akal bahwa hanya film￾film AS yang dianggap merusak, 
sedangkan ada film-film yang beredar 
di Indonesia dari negara-negara lain 
yang tidak sesuai dengan kepribadian 
Indonesia (Arsip Nasional Republik 
Indonesia No. 1000 Inventaris Arsip 
Dr. H. Roeslan Abdoel Gani 1950 – 
1976). ini   didasarkan pada 
Politik Indonesia yang bebas-aktif 
dan hubungan diplomatis Indonesia￾Amerika Serikat yang termasuk di 
dalamnya hubungan dagang impor 
film, menjadi bahan pertimbangan 
Menteri Perdagangan Adam Malik.
Aksi dan Reaksi warga  
Surabaya 
Kota Surabaya menjadi salah satu 
kota yang mendukung usaha  boikot 
film-film Amerika dan menentang keras 
sikap pemerintah Amerika Serikat 
yang bermaksud untuk memperluas 
wilayah operasi bagi Armada ke-7 ke 
Samudera Indonesia. Consentrasi 
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) 
cabang Surabaya mengadakan protes 
keras kepada pemerintah Inggris 
dan Amerika Serikat serta mendesak 
pemerintah untuk segera mengambil 
alih modal-modal Inggris yang ada 
di Indonesia dan memboikot film-film 
Amerika Serikat sebagai jawaban 
atas sikap pemerintah Amerika Serikat 
(Trompet Masjarakat, 1954). Bentuk 
aksi juga datang dari Gerwani yang 
sewaktu Konferensi Gerwani pada 
28 – 30 Agustus 1954 di Surabaya 
menghasilkan sembilan resolusi, salah 
satunya yaitu  Resolusi Mengenai 
Pemberantasan Film dan Buku￾Buku Cabul dan Propaganda Perang 
(Arsip Nasional Republik Indonesia 
No. 1093 Inventaris Kabinet Presiden 
RI). Resolusi ini  disampaikan 
kepada Presiden karena dipandang 
perlu dengan adanya kemerosotan 
akhlak para pemuda. usaha  yang 
mendukung aksi boikot film impor 
juga datang dari para seniman ludruk. 
Delegasi kongres Ludruk Surabaya 
menghadap gubernur Jatim dan 
Front Nasional tingkat I Jatim untuk 
menyampaikan agar menghentikan 
pemasukan dan pemutaran film-film 
India beserta lagu-lagunya sebagai 
bentuk protes terhadap sikap negara 
India yang telah membantu Malaysia 
(Trompet Masjarakat, 1965).
Pemerintah mengeluarkan 
berbagai instruksi terkait pelarangan 
tren-tren budaya Barat yang 
dipopulerkan melalui film-film, 
salah satunya yaitu  dengan 
dikeluarkannya Instruksi Menteri P dan 
K tentang potongan rambut, pakaian 
dan panggilan nama (Surabaja Post, 
1964). Kotamadya Surabaya melalui 
Surat Keputusan No. 307/ K tahun 
1967 melarang diselenggarakannya 
film untuk umum dalam bentuk dan 
sifat apapun di luar gedung bioskop 
(Perhimpunan Peraturan Daerah Kota 
Surabaya Koleksi Dinas Hukum Kota 
Surabaya). ini  sebagai jawaban 
atas protes dari warga  karena 
pemutaran film yang dimaksud tidak 
memperhatikan soal pembatasan 
umur yang telah digariskan dalam 
sebuah peraturan.
Hiburan film dan sisi nasionalisme 
warga  Surabaya yaitu  dekat, 
sedekat jantung dengan detaknya. 
Film-film bertema perjuangan banyak 
diproduksi mengikuti semangat 
nasional yang baru saja melalui 
revolusi fisik dan pengembalian 
Irian Barat. Begitu pula dengan 
film dari negara sosialis dan Asia￾Afrika yang menampilkan sisi 
patriotik, mendapatkan tempat dalam 
warga  Surabaya. warga  
Surabaya menampilkan sisi 
nasionalisme nya melalui penolakan 
dan aksi pemboikotan terhadap 
film-film Amerika serta memberikan 
dukungan terhadap kebijakan Anti 
Budaya Barat yang menyertainya. 
Aksi ini didasari atas sikap Amerika 
yang dipandang telah mengganggu 
kedaulatan RI dengan Neokolonialisme 
Malaysia ditengah semangat Dwikora 
yang tengah menggelora.

p eringatan Haul Mbah Wahab—
begitu sapaan akrab Kiai Haji 
Abdul Wahab Chasbullah—
ke-43 begitu berbeda. Bukan 
hanya berbeda karena keseriusan 
Panitia mempersiapkan acara di 
Pondok Pesantren Bahrul Ulum 
Tambakberas Jombang Jawa Timur 
pada 1 – 6 September 2014 lalu, tetapi 
rangkaian acara yang menyertainya. 
Selain penampilan hadrah dari Ikatan 
Seni Hadrah Republik Indonesia 
(Ishari), pameran dokumen dan foto 
juga berlangsung yang terwujud 
melalui kerjasama dengan Museum 
Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur 
dan Perpustakaan Pengurus Besar 
Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. 
Menambah kemeriahan, pemberian 
santunan kepada anak yatim dan 
dhuafa serta wisuda mahasiswa 
Sekolah Tinggi Agama Islam Bahrul 
Ulum (STAIBU) yang kini bernama 
Universitas Kiai Haji Abdul Wahab 
Chasbullah (Unwaha) juga digelar. 
Pengajian umum yang dipimpin Kiai 
Haji Mustofa Bisri selaku penjabat 
Rais Aam PBNU yang menggantikan 
Kiai Haji Sahal Mahfuzh yaitu  
puncak acara (Aula, September 
2014). 
Menurut Endang Turmudhi 
dalam Struggling for the Umma; 
Changing Leadership Roles of Kiai 
in Jombang East Java, Pesantren 
Bahrul Ulum yaitu  pondok 
pesantren (ponpes) keempat terbesar 
dan mutakhir di Jombang, yang juga 
yaitu  ponpes tertua, sejak 
berdiri pada 1825 oleh Kiai Shoichah 
atau Kiai ‘Abdussalam. Pada awalnya 
pesantren ini  bernama Pesantren 
Nyelawe atau Telu. Mengapa Nyelawe 
atau Telu? ini   dikarenakan 
mulanya pesantren hanya memiliki 25 
santri dan 3 bangunan. Sang pendiri 
yaitu  keturunan Raja Majapahit, 
Brawijaya VI. Setelah Kiai Chasbullah 
Said—ayah Wahab Chasbullah—
memimpin, nama ponpes pun 
berganti menjadi Tambak Beras 
karena Chasbullah sering menyimpan 
sejumlah besar beras di lumbung 
padinya. Hingga saat  Mbah Wahab 
memimpinnya sepanjang 1926 – 
1971, pada tahun 1967 nama ponpes 
pun kembali berganti, menjadi Bahrul 
‘Ulum. Chasbullah Said yaitu  
anak keempat Kiai Said. Kiai Said 
dan Kiai Usman yaitu  dua santri 
yang membantu pengelolaan ponpes 
ini pada mulanya.
Mengapa Wahab Chasbullah?
Pada Kamis 24 April 2014, 
Universitas Nasional menggelar 
P
Seminar Nasional “KH. Abdul Wahab 
Chasbullah dalam Politik, Keagamaan 
dan Transformasi Sosial warga  
Indonesia: Usulan Bagi Pengangkatan 
Pahlawan Nasional”. Ahmad Baso 
yaitu  salah satu pembicara 
dalam seminar ini . Baso dalam 
“Mengapa Kiai Wahab Chasbullah 
Layak Pahlawan Nasional?” 
menyatakan bahwa Resolusi Jihad 
dan Barisan Kiai yaitu  elemen 
vital rakyat Surabaya melawan 
Sekutu dalam Pertempuran 10 
November 1945. Begitu pula alasan 
yang Pemerintah kemukakan melalui 
Surat Keputusan Presiden Nomor 
115/III/2014, yang ditetapkan pada 
6 November 2014. Sehari lalu 
Presiden Joko Widodo berkenan 
membacakan keputusan ini . 
Resmilah Wahab Chasbullah 
menyusul Hasyim Asy’ari yang lebih 
dulu resmi menjadi pahlawan pada 17 
November 1964. Keduanya berperan 
besar mendirikan Nahdlatoel Oelama 
(NO) pada 31 Januari 1926 bertepatan 
dengan 16 Rajab 1344 H.
Gus Dul, Sang Santri Kelana
Menurut Greg Fealy dalam buku
“Traditionalism and the Political 
Development of Nahdlatul Ulama”, 
Gus Dul—begitu sapaan Chasbullah 
kecil—pun belajar ilmu keagamaan 
pada banyak ponpes. Sejak usia tujuh 
tahun hingga 22, Gus Dul menjelajahi 
7 ponpes di Jawa Tengah dan Jawa 
Timur. Kiai Cholil dari Kademangan 
Bangkalan Madura dan Kiai Hasyim 
Asy’ari dari Tebuireng Jombang 
yaitu  dua guru Gus Dul. Kepada 
keduanya, Gus Dul menghabiskan 
empat sampai tiga tahun belajar. Di 
sanalah Gus Dul bertemu banyak 
kiai terkenal: Kiai Bisri Syansyuri, Kiai 
Abdul Karim dari Lirboyo Kediri, Kiai 
Abbas dari Buntet Cirebon, dan Kiai 
As’ad Syamsyul Arifin dari Situbondo. Setiap kali berlangsung Kelas 
Musyawarah, Gus Dul berbeda dari 
teman sebaya dan kakak kelasnya, 
melakukan istinbath (penyimpulan) 
serta mempertimbangkan keadaan 
sosial tidak hanya pertimbangan 
hukum semata. Kitab kuning yang 
berikan pemahaman kelampauan 
perihal tauhid, fiqh, ushul fiqh, bahasa 
Arab, dan tajwid membekali Gus Dul 
melihat situasi kekinian atas peristiwa 
politik. 
Pada tahun 1913 Gus Dul 
melengkapi risalah keilmuannya 
dengan me-laksanakan haji dan tentu 
saja memperdalam pemahaman 
khazanah keislaman, antara lain 
kepada Kiai Mahfuzh dari Termas, Kiai 
Baqir dari Yogyakarta, Kiai Muchtaram 
dari Banyumas, dan Syaikh Ahmad 
Khatib dari Minangkabau. Tidak 
hanya belajar, Gus Dul juga berpolitik. 
Bersama ketiga temannya, Gus Dul 
ikut mendirikan Sarekat Islam afdeling 
Makkah.
Mempersiapkan dan 
Mempertahankan Republik
Mengutip apa yang dikatakan Greg 
Fealy, sepulangnya dari Mekkah pada 
akhir tahun 1914 atau awal tahun 
1915, pada awal usia 30 tahun, Gus 
Dul justru sengaja tidak memilih pulang 
ke Tambakberas, tetapi menetap di 
kota pelabuhan Surabaya. Surabaya 
pada waktu itu mirip seperti sekarang 
yang yaitu  kota koloni terbesar 
kedua setelah Batavia. Di Surabaya 
pula, berpusat kegiatan politis Sarekat 
Islam, Indische Sociaal-Democratische 
Vereniging (ISDV), dan organisasi 
lainnya. Sekitar satu dasawarsa, Gus 
Dul bermukim di Surabaya. 
Pada tahun 1916, Gus Dul 
menikahi anak perempuan Kiai Musa, 
lalu mengajar di madrasah milik ayah 
mertuanya di Kertopaten. Pada tahun 
yang sama, bersama seseorang yang 
kelak mendirikan Muhammadiyah—
Kiai Haji Mas Mansur—Gus Dul 
mendirikan Nahdlatul Wathan, sebuah 
madrasah yang menggabungkan 
pendidikan modern dan tradisi. Bisri 
Syansuri, Abdul Halim Leimunding, 
dan Abdullah Ubaid membantu mereka 
berdua. Menggenapi perilakunya, 
Gus Dul mengasah kemandirian 
berekonominya melalui perdagangan. 
Beras dan tepung yaitu  bahan 
dagangan pertamanya yang dia 
ambil dari perkebunan keluarganya di 
Tambakberas. Dua tahun kemudian, 
kembali beliau mendirikan organisasi. 
Beliau pun mendirikan Nahdlatut Tujar 
(NT)—sebuah organisasi saudagar 
atau pedagang, yang didirikan bersama 
Hasyim Asy’ari. Meski singkat, 
NT yaitu  bukti kemandirian 
organisatoris-ekonomis pihak tradisi. 
Bisnisnya juga menjangkau perjalanan 
haji. Setelah ayahnya mangkat, dia 
telah menjadi agen besar bagi Kongsi 
Tiga, sebuah perusahaan perjalanan 
laut. Akan tetapi, tuduhan korupsi 
menghinggapinya.
“Islam dan politik tak terpisahkan 
sebagaimana gula dan manis,” 
begitu ucapnya. Dia aktif hingga 
tahun 1920 dan yaitu  
kader terbaik Haji Oemar Said 
Tjokroaminoto. Dia pun mengenal 
Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat, 
Wondoamiseno, Sneevliet, Alimin, 
Musso, Abikusno Tjokrosujuso, dan 
Soekarno muda yang tinggal di kos 
milik Tjokroaminoto. Seiring waktu 
berjalan, sejak awal dasawarsa 
1910-an, Surabaya menampilkan 
pembedaan tajam gerakan modern 
dan tradisi, baik melalui pelemahan 
kharisma ulama dan pijakan ekonomi. 
Beliau pun mendirikan Tashwirul Afkar, 
sebuah kelompok diskusi khas Islam, 
bersama dengan Kiai Achmad Dachlan 
dari Kebondalam. Tema diskusi 
membentang dari ijtihad dan taqlid 
hingga tanggapan atas penjajahan. 
Sekalipun menerima inovasi 
pendidikan dan pembaruan sosial, 
posisi ulama bagi dia tetap paling 
tinggi, karena yaitu  pewaris 
para nabi dan penjaga kemurnian 
ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 
Beliau acapkali berdebat dengan Kiai 
Achmad Dachlan dari Muhammadiyah 
dan Syaikh Achmad Soerkarti 
dari Al Irsyad. Pada tahun 1921, 
Muhammadiyah cabang Surabaya 
berdiri. Mas Mansoer memilih 
bergabung dengan Muhammadiyah, 
meninggalkan Nahdlatul Wathan 
pada tahun 1922. Pada waktu 
itulah Chasbullah menggubah Yaa 
Lal Wathan, sebuah lagu tentang 
cinta tanah air dan perjuangan 
membebaskannya dari penjajahan. 
Simak saja liriknya: “Pusaka hati 
wahai tanah airku/ Cintamu dalam 
imanku/ Jangan halangkan nasibmu/ 
Bangkitlah, hai bangsaku!// Indonesia 
negriku/ Engkau Panji Martabatku/ 
S’yapa datang mengancammu/ ‘Kan 
binasa dibawah dulimu!”///
Menurut Saifuddin Zuhri dalam 
buku “K. H Abdulwahab Chasbullah Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama”, 
Chasbullah juga mendirikan Tashwirul 
Afkar, suatu kelompok diskusi serupa 
Indonesische Studie Club bentukan 
Soetomo, pendiri Boedi Oetomo. 
Bersama Soetomo, Chasbullah juga 
mendirikan Islamic Studie Club. 
Bahkan Soerjo Soemirat, organisasi 
bentukan Boedi Oetomo di Surabaya, 
juga mengikuti Tashwirul Afkar. Hal 
itu semakin menegaskan karakter 
keterbukaan Chasbullah.
Pada tahun 1922, Kongres Al 
Islam I meninggalkan luka bagi para 
tradisionalis. Para modernis menuduh 
para tradisionalis melakukan syirik 
dan bid’ah, bahkan kafir. Runtuhnya 
Kekhalifahan Turki Utsmani dan 
penguasaan Abdul Aziz ibn Sa’ud 
atas Mekkah pada tahun 1924, 
menimbulkan tanggapan berupa 
pelaksanaan Kongres Khilafah di Kairo 
pada tahun 1925 dan di Mekkah pada 
tahun 1926. Untuk mempersiapkan 
kehadiran di Kongres ini , pada 
Desember 1924, Chasbullah terpilih 
sebagai wakil kalangan tradisionalis. 
Hingga akhirnya mendirikan Komite 
Hijaz untuk meminta kepada Ibn Sa’ud 
mempertahankan tradisi di Haramain. 
Kelak pada akhir Januari 1926, Komite 
Hijaz berubah menjadi Perkoempoelan 
Nahdlatoel Oelama, Chasbullah 
pun menjadi salah satu pengurus 
hoofdbestuur-nya (Pendahuluan pada 
Inventaris Arsip Nahdlatul Ulama 1952 
– 1982). Sekalipun berbeda pilihan 
namun Chasbullah tetap bertujuan 
meninggikan Islam, sebagaimana 
tercermin pada pendirian Majelis Islam 
‘ala Indonesia (MIAI) yang berubah 
menjadi Majelis Syura Muslimin 
Indonesia (Masyumi), sebuah 
federasi partai-politik dan organisasi 
kewarga an Islam. Chasbullah 
juga yaitu  salah satu anggota 
Badan Penyelidik Usaha Persiapan 
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan 
Indonesia (PPKI). Chasbullah juga 
mendirikan majalah tengah bulanan 
“Soeara Nahdlatoel Oelama” yang 
bertahan selama 7 tahun, lalu berganti 
menjadi Berita Nahdlatoel Oelama 
(Antologi NU Buku I). 
Pada 22 – 23 Oktober 1945, 
Chasbullah memimpin rapat ulama 
di Bubutan Surabaya. Rapat ini  
yaitu  usaha  menanggapi 
kedatangan Presiden Soekarno. 
Hasil rapat berupa Resolusi Jihad 
yaitu  draf Chasbullah sendiri. 
Pada 23 Oktober 1945, Hasyim 
Asy’ari membacakan Resolusi Jihad 
yang menyerukan “jihad fi sabilillah” 
mempertahankan tanahair dan segera 
ponpes-ponpes di Jawa dan Madura 
menjadi markas pasukan non-regular 
Hizbullah dan Sabilillah. Melalui 
Resolusi Jihad, pertempuran itu 
menjadi milik seluruh rakyat Surabaya 
melalui peran santri dan kiai.
Partai Nahdlatul Ulama
Pada Muktamar XIX di Palembang 
dalam Konsepsi P. B. N. O Mengenai 
Perundingan N. O. – Masyumi tertulis: 
“Menjetudjui putusan P.B.N.O tanggal 
5/6 April 1952, bahwa N. O setjata 
organisatoris memisahkan diri dari 
Masjumi ….” Pada 31 Juli 1952, Wahid 
Wasjim selaku Ketua Muda Pengurus 
Besar Nahdlatoel Oelama (PBNO) 
Tandfidzijah menyatakan: “… kami 
memanggil kembali saudara2 K.H 
Masjkur dan A. Wahid Hasjim, jang 
hingga kini mendjadi anggota2 Dewan 
Pimpinan Partai Masjumi, serta K.H.A 
Wahab Hasbullah jang hingga kini 
mendjadi Ketua Madjels Sjuro Pusat 
….” Surat ini  ditujukan kepada 
Dewan Pimpinan Partai Masjumi dan 
ditembuskan kepada K. H. A Wahab 
Hasbullah sebagai Ketua Sjurijah 
PBNO. Chasbullah—dalam arsip ditulis 
Hasbullah—yaitu  ketua delegasi 
dari PBNO untuk berunding dengan 
Masyumi, dan akhirnya memutuskan 
berpisah dari Masyumi sekalipun 
banyak pihak yang menyangsikan. 
Kesangsian ini  berdampak 
sebaliknya sebagaimana tampak pada 
hasil Pemilu tahun 1955.
Chasbullah yang memulai pen￾dirian NO, mendesak pemisahan NO 
dari Masyumi, dan mempertahankan 
posisi dalam Demokrasi Terpimpin. 
Kali ini, pada kurun tahun 1952 – 
1970, Chasbullah mempercayakan 
Partai NU kepada Idham Chalid. 
Pada dasawarsa tahun 1960-an dan 
1970-an, Chasbullah menjadi anggota 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) 
(Antologi NU Buku I). Pada Rabu, 12 
Dzulqa’dah 1391 bertepatan dengan 29 
Desember 1971, Chasbullah wafat dan 
dikuburkan di Pemakaman Keluarga 
Pesantren Bahrul Ulum Tambak 
Beras Jombang. Dari Tambakberas, 
beliau pergi; ke Tambakberas beliau 
pulang. Beliau menjabat sebagai 
Rais Aam, selepas wafatnya Hasyim 
Asy’ari sebagai Rais Akbar, hingga 
meninggalnya.

logan yang menyatakan 
bahwa setiap zaman akan 
melahirkan anak zamannya 
masing-masing nampaknya benar 
adanya. Peran dari generasi muda 
tidak akan pernah terputus dari 
sejarah bangsa ini. Kita pun menyadari 
bahwa bangsa Indonesia, selalu 
membutuhkan pahlawan-pahlawan 
baru untuk mewujudkan kehidupan 
rakyat Indonesia menjadi lebih baik. 
Berkenaan dengan hal itu, redaksi 
dari Majalah Arsip mengangkat sebuah 
komunitas nirlaba yang bernama “Lab 
Laba-Laba”. “Tidak ada maksud apa￾apa terkait nama laba-laba, filosofi dari 
lab laba-laba juga tidak ada, seingat 
saya hanya kebetulan saja nama lab 
lalu laba-laba kedengarannya bagus 
diucapkan. Kami juga tidak tahu 
kegiatan kami bisa sejauh ini semua 
hanya serba kebetulan saja,” ujar 
Edwin selaku senior dan pimpinan 
dalam komunitas ini. Ia yaitu  
seorang Sutradara film yang telah 
menghasilkan film berjudul “Babibuta 
Ingin Terbang” dan “Postcard from 
the Zoo”. Komunitas ini terdiri dari 
25 anggota yang sebagian besar 
yaitu  para pemuda yang berasal 
dari kalangan mahasiswa, seniman, 
pekerja dan pegiat film yang peduli 
dengan perkembangan perfilman 
Indonesia. Komunitas ini secara 
sukarela datang ke PFN (Perusahaan 
Umum Produksi Film Negara) demi 
ikut membantu kegiatan konservasi 
melalui pendataan rol-rol film yang 
terancam musnah dan penggunaan 
kembali benda-benda pemrosesan 
film yang kini mulai dianggap usang 
serta menjadikan film-film itu sebagai
arsip film nasional. “Ruangannya bau 
sekali, kita harus pakai masker dan 
sarung tangan, kita belum pernah 
sebelumnya menyentuh yang bisa kita 
tulis dan catat yaitu  ini film apa, kita 
tulis ulang kita buka kalau bisa dibuka, 
kita lihat kondisi yang bisa kita baca 
kita tulis ulang, yang sudah dicek kita 
tandai, satu orang cek satu rak, yang 
udah ditandain. Semua yang ada di 
stiker kita kopi tulisan dan kondisi 
fisik kami tandain. Untuk pengaturan 
kami dasarkan pada kehadiran para 
anggota untuk ngedata sesuai dengan 
kemampuannya, tidak ada kewajiban 
untuk ngedata sesuai target. Pokoknya 
sangat tidak terorganisirlah, misal 
hanya bisa satu rak itu ya udah, yang 
belum kita bisa, yah belum dilakukan, 
“ ujar Anggun. 
Kegiatan yang telah berlangsung 
sejak bulan Maret tahun 2014 ini murni 
sebuah kegiatan konservasi tanpa 
ada tujuan meraup keuntungan. “Ini 
yaitu  wujud kepedulian para anak 
muda yang bergerak dalam industri 
film masa kini. Bahwa penting bagi kita 
untuk menghargai film-film produksi 
lama yang sempat membuat tempat 
ini menjadi laboratorium film terbesar 
di Asia Tenggara,” ujar Anggun salah 
satu anggota serta pendiri Lab Laba￾Laba. Edwin juga menambahkan, 
usaha  konservasi oleh Lab Laba-Laba 
masih sebatas pendataan. Ribuan rol 
film yang masih tersimpan dipisahkan 
mana yang masih baik kondisinya dan 
mana yang tergolong rusak dengan 
mencatat judul tiap film, tahun produksi 
(jika ada keterangan), kondisi detail 
rol filmnya, dan berapa jumlah kaleng 
filmnya. 
Lab Laba Laba bekerja sama 
dengan PFN, BUMN yang bergerak 
dalam hal produksi film, yang berlokasi 
di Jakarta Timur. “Kami tidak memilih 
tempat ini pada awalnya, namun 
bertepatan dengan kami datang ke 
PFN serta mendapat izin untuk melihat 
gedung ini kebetulan ada satu gedung 
menarik yaitu gedung laboratorium 
film. Gedung tua yang tidak terawat 
lagi yang menurut kami bagus, yang 
pada awalnya lab ini  ada tempat 
mengolah yang berfungsi sekarang 
sudah tidak berfungsi, lalu ada ruang 
kamar gelap, ada ruang penyimpanan 
arsip film yang rolnya sudah lengket di 
belakang dan ada masa lalu menarik 
yang tersimpan di lab ini. Ini memang 
bukan tanggung jawab kami, namun 
bertepatan sekali kami semua ada 
waktu untuk bersihin, kami pun 
bersihkan lab ini. “Dari situlah kami 
berkesimpulan kenapa arsip film 
disini tidak didata saja sekalian. 
Walaupun masih ada sisa-sisa rol 
film yang belum bisa kami olah”, 
jelas Anggun. Kepedulian Edwin 
dan kawan-kawannya dari Lab Laba￾Laba mendapat sambutan baik dari 
pihak PFN. Edwin menjelaskan, ada 
sekitar 2.000 rol film di dalam ruang 
penyimpanan di gedung film PFN. 
PFN yang sejak tahun 1975 sudah 
memproduksi 46.000 film dokumenter 
yang kebanyakan berbentuk newsreel
semacam dokumenter atau potongan￾potongan film berita, fiksi, serta 
menyimpan beberapa aset gulungan 
film, peralatan produksi film, seluloid, 
dan beberapa dokumen penting 
lainnya, serta sempat menjadi pusat 
produksi film terbesar di kawasan Asia 
Tenggara. Edwin sendiri menganggap 
PFN yaitu  tempat yang kondusif 
untuk melakukan eksperimen dalam 
melakukan kegiatan konservasi arsip 
film. Lab Laba Laba mengapresiasi 
tempat ini  dengan mengadakan 
berbagai macam aktivitas yang 
berkaitan dengan pengenalan, 
eksplorasi, serta interpretasi film 
analog berbasis seluloid, termasuk 
membuat film dengan arsip-arsip film 
yang sudah ada serta perawatan dan 
pendataan film lama milik negara.
Adapun tempat perawatan arsip film 
berukuran 4 x 7 meter dengan kondisi 
Pengap dan lembap. Di dalamnya 
terdapat empat rak besi berjejer rapi 
yang di atasnya tersimpan kaleng￾kaleng logam berisikan gulungan pita 
film yang telah tersimpan di sana 
selama puluhan tahun. Ratusan 
pita film diantaranya tampak rusak, 
pitanya meleleh teroksidasi. Beberapa 
kalengnya bengkok karena terlalu 
lama disimpan. ini   sangat 
disayangkan karena koleksi seluloid di 
gedung PFN yaitu  master dari film￾film kala itu. Dalam sebuah ruangan 
yang bertabur gelap, kita masih bisa 
menemukan tumpukan kaleng-kaleng 
penyimpanan rol film seluloid di sini. 
Dengan bau kimia yang menyengat 
tajam, ruangan yang terbengkalai 
sekitar 10 tahun ini masih merekam 
jejak dunia film Indonesia pada 
berbagai era terdahulu. Ada jamur 
yang hinggap di bagian dalam kaleng, 
yang menempel di film seluloid itu. Namun menurut Edwin arsip ini ada 
yang bisa dibersihkan dan diputar 
kembali nantinya. Gambar yang 
sudah terekam rol film seluloid, tidak 
akan punah oleh hantaman waktu. Ini 
juga tahan tanpa sebuah perawatan 
khusus yang tentunya memakan 
biaya. “Sampai saat ini, baru sekitar 
600-an rol film yang telah kami data. 
Syukurnya, dari 600 itu sebagian besar 
kondisinya masih bagus. Namun, ada 
satu lagi ruang penyimpanan yang 
sudah hancur total. Semua rol film di 
dalamnya rusak. Tak terselamatkan,” 
jelas Edwin. “Terbayang bagaimana 
kalau arsip film dibiarkan rusak 
dan hancur. Indonesia tidak punya 
dokumen arsip film secara lengkap. 
Sayang, bukan?” lanjut Edwin. 
Dalam menjalankan aksi 
perawatan arsip film nasional di 
PFN, para anggota Lab Laba-Laba 
membutuhkan waktu sekitar 2 minggu 
untuk mendata film. “Kami satu 
ruangan bisa selesai pendataan sekitar 
2 minggu dengan hasilnya 600 judul 
film. Pokoknya jangan dibayangkan 
pengerjaannya seperti di ANRI. 
Dengan cara kita buka, mendata, dan 
mencari keterangan serta keadaan 
fisik saja, jika sudah rusak parah 
keadaan rolnya tidak dibuka. Kita tidak 
bisa membukanya pernah kita coba 
tapi lengket mungkin di ANRI pun tidak 
ada arsip film seperti itu. Bersamaan 
dengan kondisinya yang bau makanya 
kita beli masker. Ada sedikit ketakutan 
akan adanya bahaya kesehatan, tapi 
bagaimana lagi. Disini juga tidak ada 
yang namanya arsiparis. Kita disini 
bertindak dalam perawatan dengan 
menggunakan insting aja kalau tidak 
enak udaranya yah keluar. Ada rasa 
penasaran memang melihat keunikan 
judul-judul film di rol film ini . 
Misalnya ada judul film Mengusir Jin 
kita gak tau tahun berapa karena tidak 
ada keterangan tahunnya. Kalau film 
fiksi kita tahu misalnya film ‘Jakarta 
1966’, ujar Edwin. 
Adapun harapan Lab Laba-Laba 
kedepan terhadap perawatan arsip 
film nasional yaitu  agar arsip film 
PFN yang sudah didata oleh mereka 
dipindahkan ke ANRI.
Salah satu hal positif yang 
ditemukan oleh Edwin dan para anggota 
Lab Laba-Laba lewat kegiatan ini  
yaitu  mereka dapat menemukan 
kembali arsip film-film nasional yang 
terbengkalai di PFN. Selama proses 
konservasi berlangsung, Lab Laba 
Laba menemukan lebih dari 600 
judul film yang berwujud seluloid dan 
sayangnya tidak diurus dengan baik. 
Bahkan hampir seluruhnya belum 
sempat didigitalisasi untuk kepentingan 
pengarsipan. Dengan dibuatnya 
Lab Laba-Laba, Edwin berencana 
bisa menjadikan lab yang telah mati 
suri di gedung PFN ini bisa menjadi 
semacam tempat yang melayani jasa 
transfer film dari digital ke film seluloid. 
Edwin turut menambahkan bahwa film 
seluloid yaitu  langkah yang nyata 
untuk melakukan pengarsipan secara 
fisik. namun untuk sampai pada tujuan, 
ia masih akan melakukan banyak 
eksperimen, latihan dan berbagi 
info dengan ahlinya dengan selalu 
berusaha menghidupkan kembali 
seluloid dalam sinema Indonesia 
kontemporer. Sebab, sejatinya 
kemajuan industri film Indonesia tidak 
pernah lepas dari sejarah yang pernah 
terjadi melalui arsip film yang tersusun 
baik dan rapi. 
Melihat perjuangan yang dilakukan 
oleh komunitas Lab Laba-Laba 
ini  menyiratkan bahwa Jiwa 
kepahlawanan akan tumbuh pada diri 
kita saat  kita benar-benar memaknai 
arti kata pahlawan itu sendiri. Pada 
refleksi Hari Pahlawan tahun ini, 
kita masih menyimpan optimisme 
bahwa akan terus muncul beberapa 
generasi muda sebagai ksatria yang 
berani berkorban untuk bangsa 
dan negaranya. Oleh karena itu, 
keyakinan ini tidak akan pernah pudar 
bahwa pahlawan di negeri ini belum 
habis dan hilang. Dengan semangat 
kuat untuk menjadi pahlawan maka 
sesungguhnya makna memperingati 
Hari Pahlawan telah kita peroleh. 
saat  kita berperilaku baik, jujur, 
tanggung jawab dan mampu berkarya 
maka kita telah menjelma menjadi 
pahlawan nasional dan pahlawan 
publik, tanpa atau dengan adanya 
penobatan. Hakikat pahlawan ada 
didalam pengabdian dan hati. Tekad 
kita untuk terus memampukan diri 
menjadi pahlawan bagi bangsa ini, 
karena seorang pahlawan hanyalah 
orang biasa, namun dia mampu 
melakukan kerja-kerja yang luar biasa 
untuk kemaslahatan warga nya.


p ada tanggal 19 September 
2014 bersamaan dengan 
penandatanganan “Working 
Plan Between The National Archives 
of Republic of Indonesia (ANRI) 
and The Archives of Yugoslavia in 
The Republic of Serbia (AJRS) in 
The Area of Archival Cooperation 
for the Year 2013-2016, di Gedung 
Arhive Jugoslavije , Republic Serbia 
(AJRS), diluncurkan sebuah sebuah 
karya monografi mengenai dinamika 
hubungan bilateral Indonesia￾Yugoslavia dengan titik berat pada 
kedekatan antara Presiden Sukarno 
dan Presiden Yugoslavia Joseph Broz 
Tito yang berjudul Jugoslavia and 
Indonesia from 1945-1967, Research
and Documentation. Buku disusun 
oleh tiga ahli sejarah Yugoslavia, Guru 
Besar Fakultas Filsafat Universitas 
Beograd, Prof. Dr. Ljubodrag Dimic, 
Pakar Institut Sejarah Baru Serbia, 
yang yaitu  juga Ketua Asosiasi 
Persahabatan Serbia dan Indonesia 
“Nusantara”, Dr Aleksandar Rakovic 
dan Direktur AJRS, Miladin Milosevic.
Ide menyusun buku ilmiah dan 
bersejarah ini pertama kali datang dari 
Dubes Indonesia di Beograd Semuel 
Samson yang disampaikan pada 
penyelenggaraan forum “Indonesia￾Serbia Bilateral Interfaith Dialogue 
(ISBID)” di Beograd, April 2011.
Serbia sendiri yaitu  negara 
pecahan Yugoslavia, setelah negara￾negara bagian memisahkan diri yaitu 
kroasia, Slovenia, Bosnia, terakhir 
yaitu  Montenegro dan sisanya 
yaitu  Serbia. Serbia yaitu  negara 
terakhir yang mendeklarasikan 
kemerdekaanya pada 5 Juni 2006 
dengan ibukota di Beograd.
Jauh sebelum buku ini  
muncul memang hubungan Indonesia￾Yugoslavia telah berlangsung lama. 
Hubungan diplomatik di tingkat publik 
antara Indonesia dan Yugoslavia, 
salah satunya, ditandai pertama kali 
lewat tulisan di Harian Politika pada 
P
tanggal 15 November 1945, yang 
memberitakan tentang perang antara 
Indonesia melawan Belanda dan 
Inggris.
Hubungan diplomatik Indonesia 
-Yugoslavia mencuat kembali 
menjelang Konferensi Asia Afrika 
(KAA) di Bandung tahun 1955. Pada 
tahun 1956, saat Presiden Soekarno 
menandatangani Undang-Undang 
Nomor 13 Tahun 1956 mengenai 
pembatalan sepihak Uni Indonesia￾Belanda, karena sikap tidak bersahabat 
Belanda dan penolakannya untuk 
menyerahkan kembali Irian Baratkepada Indonesia.Pada tahun yang 
sama, Presiden Soekarno langsung 
berkeliling ke negara-negara Amerika 
Serikat, China, Uni Soviet, dan 
Yugoslavia untuk mendapatkan 
dukungan bagi perjuangan merebut 
kembali Irian Barat. Pada tahun 
1958, Indonesia mulai menempatkan 
perwakilannya di Yugoslavia yaitu M 
Nazir sesuai Kepres No 108 th 1958.
Pada tahun yang sama Universitas 
Padjadjaran memberikan gelar Doktor 
Honoris Causa di bidang hukum 
kepada Presiden Yugoslavia, Joseph 
Broz Tito.
Pada tanggal 17 Agustus 1960, 
Indonesia menyatakan pemutusan 
hubungan diplomatik dengan Belanda 
dan melakukan persiapan militer untuk 
membebaskan Irian Barat. Untuk 
menindaklanjuti ini  , berbagai 
misi untuk mendapatkan bantuan 
persenjataan dikirimkan antara 
lain ke Cina, Uni Soviet, termasuk 
Yugoslavia.
Pada September 1960 saat 
Presiden Soekarno dihadapan 
Sidang Majelis Umum PBB ke-15 
menyampaikan pidatonya yang 
berjudul “Membangun Dunia Baru” 
(To Build the World Anew). Dalam 
pidato ini , Presiden Soekarno 
menyerukan “Kekuatan Dunia Baru” 
(New Emerging Forces, NEFOS) untuk 
bangkit menuju tatanan dunia yang 
lebih adil dan seimbang, melampaui 
dominasi negara-negara besar di 
dunia yang secara ideologis terbagi 
ke dalam Blok Barat dan Blok Timur. 
Untuk mewujudkan ini  , 
Indonesia bertemu dengan para kepala 
pemerintahan Ghana, India, Mesir, 
dan Yugoslavia guna mempersiapkan 
penyelenggaraan Konferensi Tingkat 
Tinggi Gerakan Non-Blok I di Beograd, 
Yugoslavia pada tahun 1961.
Akhirnya KTT GNB I berhasil 
dilaksanakan di Beograd dan hasilnya 
disampaikan oleh Perdana Menteri 
Nehru dari India ke forum Washington 
dan ke Moskow yang mewakili blok 
barat dan timur. Bahkan selepas KTT 
GNB yang pertama, 1961, Soekarno 
dan Tito, berinisiatif merancang 
pertemuan antara Presiden John F 
Kennedy dengan Presiden Nikita 
Khrushchev untuk meredakan 
ketegangan diantara kedua blok politik 
dan kekuatan militer dunia di era 
perang dingin.
Indonesia dan Yugoslavia tidak 
hanya bekerjasama di bidang politik 
dan perdamaian dunia, melalui 
kunjungan Presiden maupun Wakil 
Presiden Yugolsavia pada tahun 1962. 
Namun juga dalam bidang lain seperti 
pendidikan, melalui kunjungan Menteri 
Pengajaran Yugoslavia ke Jakarta 
. Di bidang lain, yaitu seni budaya, 
Indonesia juga pernah mengimpor 
film-film dari Yugoslavia pada tahun 
1964.
Kedekatan hubungan Indonesia￾Yugoslavia berkaitan erat dengan kedekatan kedua pimpinan negara 
yaitu Soekarno dan Tito sampai akhir 
masa jabtannya tercata Presiden 
Soekarno telah enam kali berkunjung 
ke Yugoslavia, yaitu tahun 1956, 
1958,1960,1961,1963 dan 1964. 
Bahkan terdengar juga dari panggilan 
mereka yaitu”Dear friend Karno”dan 
“My Dear friend Tito”. 
Setelah sempat vakum saat  
terjadi pembantaian etnis (genocida) 
terhadap etnis Bosnia. Saat 
terjadi kisruh di Kosovo, Indonesia 
mendukung penuh penyelesaian 
Kosovo secara damai. ini  ditandai 
dengan kunjungan Ketua DPR RI H 
Marzuki Alie beserta delegasi anggota 
DPR RI yang mengadakan kunjungan 
ke Serbia untuk bertemu Perdana 
Menteri Serbia, Ivica Dacic dan Ketua 
Parlemen Serbia, Nebojsa Stefanovic.
Kunjungan Ketua DPR RI di Serbia 
itu memberikan arti penting bagi 
peningkatan hubungan kerja sama 
kedua negara, karena untuk pertama 
kalinya dalam 57 tahun hubungan 
diplomatik Indonesia dengan Serbia 
yang dulu bernama Yugoslavia, 
terutama dalam peningkatan kerja 
sama “Kemitraan Strategis” (Strategic 
Partnership) di sektor politik, sosial 
budaya, dan khususnya di sektor 
ekonomi perdagangan untuk 
mendorong kemajuan pembangunan 
kedua negara. 
Pada 27 Februari hingga 2 Maret 
2014, dalam rangka memeriahkan 
60 Tahun Hubungan Indoensia 
–Jugoslavia diadakan Belgrave 
International Fair of Tourism yang 
berlangsung di Gedung Sejam, 
Beograd. 
Saat ini kerjasama bidang 
pendidikan juga dilaksanakan dalam 
bidang bahasa melalui pengajaran 
bahasa Indonesia di Fakultas 
Filologi Universi 
tas Beograd. Kerja 
sama dilakukan antara Universitas 
Padjadjaran dan Universitas Beograd 
diawali oleh pada 2010 melalui 
pengiriman dosen bahasa Indonesia 
Dengan semakin banyaknya animo 
warga  Serbia untuk belajar 
Bahasa Indonesia, saat ini KBRI 
Beograd juga membuka kelas kursus 
Bahasa Indonesia untuk pagi dan 
sore. Kelas pagi untuk staf lokal KBRI 
dari Serbia, sedangkan sore untuk 
warga  umum terutama kaum 
muda Serbia.
Di Serbia saat ini tersimpan 9.000 
foto dan 3.000 dokumen. Surat-surat 
dan cendera mata patung kayu “God 
Shiva on The Garuda” (Dewa Syiwa 
menaiki burung garuda) yang pernah 
diberikan Soekarno untuk Tito pada 
1956 masih terjaga keberadaannya. 
Benda-benda ini  yaitu  
bukti adanya keterikatan Indonesia–
Yugoslavia (sekarang Serbia). 
Semoga hubungan Indonesia￾Yugoslavia yang telah terjalin selama 
ini bisa dilanjutkan dalam berbagai 
bidang

t ujuh belas September dua 
ribu empat belas yaitu  
momentum penting dalam 
usaha  membangun kesadaran 
untuk menyelamatkan arsip para 
pemimpin di Republik Indonesia, 
yakni saat Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY) menyerahkan arsip 
pemerintahannya selama dua periode 
(2004–2009 dan tahun 2009–2014) 
kepada Arsip Nasional Republik 
Indonesia (ANRI) yang diterima oleh 
Kepala ANRI Mustari Irawan di Istana 
Bogor. Lebih dari 2.000 dokumen 
yang diserahkan SBY dinyatakan oleh 
Kepala ANRI dominan dapat dibuka 
ke publik karena akan menjadi memori 
kolektif bangsa.
Pada acara penyerahan arsip, yang 
berita acaranya ditandatangani oleh 
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silahi 
dan Kepala ANRI, SBY mengatakan, 
“Ini berguna bila ada polemik sejarah 
di warga . Dokumen negara harus 
jelas posisinya di mana, jangan sampai 
dokumen negara tidak jelas posisinya.” 
Senada dengan Kepala ANRI dalam 
hal memori kolektif bangsa, SBY juga 
menyampaikan bahwa dokumen yang 
diserahkan ke Arsip Nasonal dapat 
digunakan untuk suatu penelitian. 
Menurut beliau, segala kegiatan 
pemerintah dapat dijadikan bahan 
tesis, disertasi, dan karya ilmiah. Selain 
itu, SBY menambahkan harapannya 
agar di tingkat menteri, gubernur, 
bupati, walikota juga dapat menyimpan 
dokumennya dan diabadikan di Arsip 
Nasional.
T Pernyataan Presiden SBY di dalam 
acara penyerahan arsip ini  
menekankan kembali tentang perlunya 
penyelamatan dan pemeliharaan 
dokumen negara sebagai bukti 
pertanggung jawaban nasional 
dan sebagai warisan bagi generasi 
mendatang. Belumlah terlambat bagi 
kita yang baru mengalami transisi 
presiden yang ke-7 untuk melakukan 
usaha  ini  jika dibandingkan 
dengan negara yang sudah lebih 
dahulu memiliki tradisi ini  
dalam rentang waktu yang cukup 
lama, seperti usaha  yang dilakukan 
oleh National Archives and Records 
Administration (NARA) terhadap arsip 
kepresidenan di Amerika Serikat.
usaha  untuk menghimpun dan menyelamatkan arsip kepresidenan 
di Amerika Serikat pada awalnya 
bukan tanpa hambatan, baik yang 
terkait masalah teknis maupun legal 
formal. usaha  sungguh-sungguh yang 
disertai dengan dukungan pemangku 
kepentinganlah yang lalu 
menjadikan kegiatan yang dilakukan 
oleh NARA diperhitungkan sebagai 
kegiatan yang strategis. 
Awal Keterlibatan NARA dalam 
Pemindahan Arsip Kepresidenan
NARA yang didirikan pada tahun 
1934 pada awalnya hanya memiliki 
khazanah arsip kepresidenan cukup 
sedikit sejak Presiden Amerika Serikat 
yang pertama George Washington 
(1732–1799). Sampai tahun 1981, 
koleksi presiden yaitu  milik pribadi 
presiden, sehingga terkadang arsip 
penting dari koleksi ini ada yang 
dijual, dimusnahkan, atau tersebar 
keberadaannya.
Meskipun demikian, peran NARA 
dalam pemindahan arsip presiden 
telah dimulai sejak tahun 1939 saat  
Kongres Amerika Serikat menerima 
“hadiah” Franklin Delano Roosevelt 
(1882–1945) berupa tanah untuk 
pembangunan perpustakaan dan 
arsip presiden Franklin D. Roosevelt 
serta bahan-bahan bersejarah lainnya 
di Hyde Park, New York. 
Undang-Undang Arsip Presiden 
Tahun 1978 mengubah kepemilikan 
arsip resmi Presiden dan Wakil 
Presiden secara sah dari milik pribadi 
menjadi milik publik, yang dimulai 
pada tahun 1981 setelah pelantikan 
Presiden Ronald Reagan, serta 
mendefinisikan bahwa Arsiparis 
akan bertanggung jawab terhadap 
kepemilikan dan pemeliharaan arsip 
presiden segera setelah di akhir 
periode pemerintahan.
Saat ini ada 13 perpustakaan 
Presiden yang yaitu  bagian 
dari Arsip Nasional dan dikelola oleh 
Kantor Perpustakaan Presiden milik 
NARA. 
Beberapa kisah di Balik 
Pemindahan Arsip Presiden 
Amerika Serikat
Setiap pemindahan arsip dan 
artefak Presiden Amerika Serikat oleh 
NARA memiliki berbagai cerita yang 
berbeda di baliknya, namun ada yang 
tetap konstan berlaku bagi NARA 
yaitu mengontrol, mengemas, dan 
menginventarisasi arsip dan artefak 
secara seksama selama penyerahan 
sehingga bahan-bahan ini dapat 
segera ditemukan kembali sebelum 
akhir pemerintahan.
Penyerahan arsip dan artefak 
Presiden Franklin D. Roosevelt 
dimulai di tengah-tengah masa 
jabatan kepresidenannya. Selama 
periode awal ini, arsip Gedung Putih 
bahkan dikirim ke Arsip Nasional untuk 
fumigasi, karena saat itu Gedung 
Putih mempunyai masalah hama. 
Pengiriman arsip dan artefak dilakukan 
dengan menggunakan truk, sedangkan 
untuk volume arsip dan artefak yang 
sedikit sering dikirim dengan kereta 
Presiden. Semua berkas Roosevelt 
berjumlah sekitar 17 juta halaman.
Pada bulan Januari 1953, arsip 
Presiden Harry S. Truman pada saat 
pengiriman ke Kota Kansas, Missouri 
dikemas ke dalam 12 truk tentara. 
Karena arsip presiden diperlakukan 
sebagai milik pribadi Presiden saat 
itu, Truman tidak segera memberikan 
arsipnya kepada perpustakaan 
tetapi menyatakan keinginannya 
untuk membangun Perpustakaan 
Truman. Atas permintaan Truman, 
pemerintah menugaskan beberapa 
arsiparis mengerjakan arsipnya. 
Pada tahun 1957, Truman secara 
resmi menyumbangkan arsipnya ke 
Arsip Nasional untuk disimpan di 
Perpustakaan Truman yang baru.
Pemindahan arsip dan artefak 
Presiden Dwight D. Eisenhower 
terjadi dalam beberapa tahap. Semua 
arsip presiden dibawa meninggalkan 
Gedung Putih pada bulan Januari 
1961. Arsip ini  lalu dikirim 
ke perpustakaan di Abilene dengan menggunakan truk pada tahun 1965 
menjadi milik Arsip Nasional. 
Pemindahan arsip presiden yang 
paling tidak terduga terjadi saat 
kejadian pembunuhan Presiden John 
F. Kennedy, semua arsip pemerintahan 
Kennedy dipindahkan ke Gedung Arsip 
Nasional di pusat kota Washington, 
sebelumnya akhirnya dipindahkan ke 
Boston. Jaksa Agung Robert Francis 
“Bobby” Kennedy, salah satu dari 
adik laki-laki John F. Kennedy, secara 
de facto menjabat sebagai direktur 
perpustakaan. 
Pemindahan Arsip Presiden Lyndon 
B. Johnson dilakukan beberapa bulan 
sebelum ia meninggalkan kantornya, 
dan sebagian besar arsipnya 
dipindahkan pada bulan Januari 
1969 sampai dengan hari pelantikan 
presiden yang baru. Berbeda 
dengan pemindahan arsip presiden￾presiden sebelumnya, pemindahan 
ini telah direncanakan sejak Johnson 
mengumumkan pada tahun 1965 
bahwa perpustakaannya akan terletak 
di Universitas of Texas.
Sebuah pemindahan arsip yang 
sangat tidak biasa terjadi saat  
Presiden Richard Nixon mengundurkan 
diri pada bulan Agustus 1974. Pada saat 
ia mengundurkan diri, arsip presiden 
diperkirakan sekitar 42 juta halaman. 
Tidak lama setelah pengunduran diri, 
Kongres Amerika Serikat meloloskan 
Undang-Undang Rekaman Presiden 
dan Preservasi Bahan-bahan 
untuk merebut arsip presiden, 
khususnya kasus Watergate, dan 
menempatkannya di Arsip Nasional. 
Nixon menggugat pemerintah dengan 
mengklaim bahwa arsip itu yaitu  
properti pribadinya, seperti yang terjadi 
pada setiap Presiden sebelumnya 
sejak George Washington. Litigasi 
terhadap kepemilikan dan kontrol 
arsip Nixon akhirnya diselesaikan oleh 
Mahkamah Agung pada tahun 1977 
yang mendukung pemerintah.
Perencanaan untuk memindahkan 
arsip Presiden Gerald R. Ford bahkan 
belum dimulai sampai tanggal 14 
Desember 1976, saat  Presiden 
Ford menandatangani warisan hadiah 
arsipnya dan mengumumkan niatnya 
untuk membangun perpustakaan. 
Hanya dalam minggu pertama pada 
bulan Januari, staf Arsip Nasional 
dapat bekerja di kompleks Gedung 
Putih dengan staf Central File 
Gedung Putih untuk melakukan survei 
terhadap volume arsip, membangun 
kawasan pentahapan, memulai 
koleksi, mengumpulkan dalam palet, 
dan memindahkan arsip. 
Kisah pemindahan arsip yang sulit 
lainnya terjadi pada tahun 1980, saat  
Presiden Jimmy Carter dikalahkan 
setelah satu periode. Arsip Nasional 
tidak tahu dimanakah perpustakaan 
presiden akan dibangun dan kapan 
mulai memindahkan arsipnya. 
Karena Arsip Nasional masih memiliki 
sekitar 77 hari untuk menyelesaikan 
pemindahan arsip yang keluar dari 
Gedung Putih sebelum kepala 
eksekutif yang baru masuk. Akhirnya, 
pada pertengahan Desember 1980, 
Arsip Nasional mendapat persetujuan 
untuk memindahkan dan mempelajari 
perpustakaan presiden yang akan 
dibangun di Atlanta. Ini yaitu  
transisi presiden terakhir yang 
dipindahkan sepenuhnya dengan truk.
Transisi Presiden Ronald Reagan 
pada tahun 1989 yaitu  implementasi 
pertama Undang-Undang Arsip 
Presiden Tahun 1978. Pemeliharaan 
yang sah terhadap arsip presiden 
otomatis diserahkan ke NARA. 
Pemerintahan Reagan yang pertama 
menggunakan e-mail, yang sebagian 
besar sangat rahasia diciptakan pada 
sistem Dewan Keamanan Nasional. 
Pemindahan arsip George H.W. 
Bush, seperti juga Ford dan Carter, 
dilakukan dalam jangka waktu yang 
sangat padat, NARA menggunakan 
tentara dari Fort Hood, Texas, untuk 
menyimpan arsip ke dalam fasilitas 
sementara, mengonversi gelanggang 
bowling sekitar tiga kilometer dari 
lokasi permanen di kampus Texas 
A&M University. Pengiriman pertama 
(dua pesawat cargo C-5 untuk arsip 
dan artefak) tiba di Perpustakaan Bush 
pada tanggal 15 Januari 1993.
Pemindahan arsip Presiden William 
J. Clinton yaitu  yang terbesar yang pernah dilakukan, yang melibatkan 
sekitar 75 juta halaman, sekitar 75.000 
artefak, dan jutaan arsip audiovisual. 
Transisi ini juga melibatkan sejumlah 
besar sistem arsip elektronik, serta 
sebagai hasilnya, staf teknologi 
informasi NARA kian menjadi bagian 
penting dari pemindahan arsip 
presiden. Untuk pertama kalinya, NARA 
mempekerjakan staf di perpustakaan 
Clinton sebelum masa transisi, dimulai 
pada bulan November 1997. ini  
untuk menjamin kesiapan staf pada 
saat arsip dipindahkan ke NARA.
Pada saat itu berakhir, staf NARA, 
bekerja sama dengan Pentagon, 
memindahkan sekitar 67.000 kaki 
bahan-bahan (total sekitar 836 ton) 
ke fasilitas sementara Little Rock. 
usaha  ini mensyaratkan delapan 
penerbangan dari pesawat C-5 dan 
waktu pengumpulan ke dalam palet, 
pemuatan, pembongkaran, dan 
penyusunan boks ke dalam rak yang 
tidak terhitung oleh staf NARA dan 
DoD (Departemen Pertahanan) di 
kompeks Gedung Putih, Gedung Arsip 
Nasional, Andrews Air Force base, 
Litte Rock Air Force Base, dan fasilitas 
Perpustakaan Clinton.
Sekali lagi, dalam pemindahan 
arsip Presiden George W. Bush 
(Jr.) yang memerintah dalam dua 
periode, staf NARA, dengan asistensi 
Departemen Pertahanan (DoD), 
bekerja memindahkan arsip presiden. 
saat  George W. Bush meninggalkan 
Kepresidenan pada hari Selasa 
tanggal 20 Januari 2009, saat Presiden 
Barack Obama dilantik dan diambil 
sumpah sebagai Presiden Amerika 
Serikat yang ke-44, arsip resmi dan 
hadiah yang diterima Bush atas nama 
Pemerintah Amerika Serikat menjadi 
milik NARA. Koleksi ini dipindahkan ke 
fasilitas Perpustakaan sementara di 
Lewisville Texas, sekitar 20 kilometer 
dari lokasi perpustakaan permanen di 
Kampus Southern Methodist University 
di Dallas. 
Pada bulan-bulan berikutnya, 
spesialis Teknik Informatika NARA 
mulai memroses pemuatan sekitar 
77 terabytes data ke dalam sistem 
Electronic Records Administration 
(ERA) dan menyiapkannya untuk 
akses. Volume arsip elektronik yang 
diterima dari pemerintahan Bush 
yang berjumlah 77 terabytes kira-kira 
tiga puluh lima kali jumlah data yang 
diterima dari pemerintahan Clinton, 
yang jumlah itu sendiri beberapa 
kali dari masa pemerintahan George 
H.W. Bush sebelumnya. berdasar  
Undang-Undang tentang Kebebasan 
Informasi dan Undang-Undang 
Arsip Presiden (44 USC 2001), arsip 
Presiden Bush dapat diakses oleh 
publik setelah berakhir lima tahun 
masa pemerintahannnya.
Hal yang menjadi catatan yaitu  
terkait dengan pemindahan arsip 
dan artefak presiden yaitu  bahwa 
transisi Presiden yang menjabat 
selama dua periode memberikan lebih 
banyak waktu kepada NARA untuk 
merencanakan serta menjamin kontrol 
arsip lebih baik dibandingkan  pemindahan 
sebelumnya. Arsip Nasional ini juga 
memprakarsai penggunaan sistem 
komputer yang melacak pemindahan 
arsip dan artefak. Sistem ini mampu 
mengontrol setiap boks selama 
pemindahan dan menetapkan 
sebelumnya setiap boks ke lokasi rak 
di tempat tujuan di lokasi penyimpanan 
sementara di California.
Semoga penyerahan arsip 
di Indonesia seperti yang sudah 
dipelopori oleh Presiden SBY akan 
menjadi tradisi yang terpelihara dan 
berkelanjutan. 
yaitu  harapan kita bahwa 
arsip yang diserahkan dalam kondisi 
baik, lengkap dan utuh agar berbagai 
peristiwa dan kegiatan yang terekam 
di dalamnya dapat dimanfaatkan 
seluas-luasnya untuk kepentingan 
warga , bangsa dan negara. 
Untuk itu diperlukan perencanaan 
strategis melalui kajian komprehensif 
dalam usaha  menyelamatkan mozaik 
penting di antara khazanah lainnya 
yang dimiliki bangsa ini. (bn)



ungkin kita pernah 
mendengar adanya ijazah 
palsu bahkan nilai palsu. 
Terlebih saat pilkada dan tes masuk 
pegawai. ini lah yang disadari oleh 
Kantor Arsip Daerah (Karsipda) Kota 
Bekasi akan arti pentingnya arsip 
sebagai bukti pertanggungjawaban 
publik sekaligus sabagai bukti hukum 
di pengadilan. Karena palsu tidaknya 
ijazah ini  dapat dibuktikan 
pengadilan, terutama dari arsip data 
kelulusan. Selama ini mungkin belum 
banyak, lembaga kearsipan daerah 
yang memperhatikan arti pentingnya 
arsip sekolah. Namun Karsipda Kota 
Bekasi sudah memulainya sejak tahun 
2012. 
SEKILAS KARSIPDA KOTA BEKASI
Karsipda Kota Bekasi dibentuk 
berdasar  Peraturan Daerah 
Kota Bekasi Nomor 03 tahun 2008 
tentang Urusan Pemerintah Wajib dan 
Pilihan yang Menjadi Kewenangan 
Pemerintah Kota Bekasi (Lembaran 
Daerah tahun 2008 Nomor 3 SeriE). 
Kantor Arsip Daerah Pemerintah Kota 
Bekasi ini  yaitu  unsur 
lembaga teknis daerah yang dalam 
kedudukannya bertanggung jawab 
kepada Walikota Bekasi melalui 
Sekretaris Daerah.
Tugas Pokok Karsipda Kota Bekasi 
yaitu, pertama, membantu Walikota 
dalam koordinasi kewenangan Kantor 
Arsip Daerah di bidang penyusunan, 
pengelolaan, pemberian informasi, dan 
layanan kearsipan. Kedua, membantu 
Walikota dalam mengamankan arsip 
sebagai bukti pertanggungjawaban 
berjalannya pemerintahan.
Ketiga, berusaha  menertibkan 
penyelenggaraan dan pengelolaan 
arsip. Keempat, melaksanakan 
pengumpulan, penyimpanan, 
perawatan, penyelamatan dan 
penggunaan arsip statis. Kelima, 
membantu Walikota dalam melakukan 
pengendalian kearsipan serta 
memberikan pelayanan informasi 
kearsipan bagi yang memerlukannya.
M Dengan kekuatan 4 orang arsiparis 
dan 17 staf, Karsipda Kota Bekasi 
mempunyai visi ”Terpercaya dalam 
Pengelolaan Informasi Kearsipan”. 
Sedangkan misinya yaitu  
“Meningkatkan mutu penyelenggaraan 
kearsipan di lingkungan pemerintahan 
Kota Bekasi, membangun sarana Depo 
Arsip yang representatif, meningkatkan 
SDM kearsipan yang profesional, dan 
meningkatkan pelayanan kearsipan 
dengan mudah, cepat dan akurat”.
Sejak 1 September 2013, 
Karsipda yang sebelumnya terletak di 
lingkungan perkantoran Pemda Kota 
Bekasi Jl Ahmad Yani secara resmi 
pindah ke Jl Raya Kodau, Kelurahan 
Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota 
Bekasi. Gedung yang terdiri dari tiga 
lantai ini  selain digunakan ruang 
kantor struktural dan staf Karsipda 
juga sekaligus depo arsip.
ARSIP MASUK SEKOLAH
Selama Karsipda berdiri, banyak 
hal yang telah dilakukan dalam bidangkearsipan, antara lain: pengumpulan 
dan pengklasifikasian arsip, pemilahan 
dan penataan arsip SKPD, pembinaan 
dan penataan kearsipan, monitoring 
dan evaluasi pengelolaan kearsipan 
akuisisi arsip inaktif dan statis SKPD, 
pemeliharaan arsip inaktif dan statis 
SKPD, penataan gedung kantor 
arsip daerah pengadaan sarana dan 
prasarana kearsipan manajemen 
kearsipan berbasis teknologi informasi 
pemeliharaan dan pengelolaan Sistem 
Informasi Manajemen Kearsipan 
(Simkar), pengadaan Simkar, 
peningkatan kompetensi kearsipan, 
dan penyelenggaraan bimtek 
kearsipan sosialisasi kearsipan. Pada 
tahun 2008, Karsipda juga pernah 
mengadakan Lomba Kearsipan yang 
dihadiri oleh Kasubdit Kearsipan 
Daerah I ANRIsaat itu Bapak Supriyadi 
(alm). 
Menurut Kepala Karsipda Kota 
Bekasi Dra. Ani Tariny M.Si., saat ini 
eksistensi Karsipda Kota Bekasi juga 
sudah mulai diperhitungkan. ini  
terlihat dari adanya permintaan tenaga 
kearsipan dari Pengadilan Negeri Kota 
Bekasi dan permintaan pembenahan 
arsip dari RSUD Bekasi. Bahkan pada 
tahun 2015 nanti status Kantor akan 
ditingkatkan menjadi Badan bergabung 
dengan Perpustakaan menjadi Badan 
Perpustakaan dan Kearsipan Daerah 
(Bapusipda). 
Pada tahun 2012, Karsipda mulai 
melakukan terobosan, yaitu mulai 
melirik ke arsip sekolah, melalui 
program Arsip Masuk Sekolah. 
ini  dilaksanakan dalam rangka 
menyelamatkan keberadaan arsip di 
sekolah-sekolah. Karena selama ini 
kearsipan di sekolah belum tersentuh 
oleh pembinaan langsung dari pemda. 
Padahal sekolah yaitu  pencipta 
arsip, khususnya arsip vital yang 
bersifat permanen dan harus disimpan 
selamanya. Program ini juga didukung 
oleh banyaknya permintaan dari 
sekolah, baik SMPN maupun SMKN/
SMAN, untuk dilakukannya kegiatan 
pemilahan dan penataan arsip.
Sejak program ini  dilak￾sanakan pada bulan November 2012 
hingga saat ini, jumlah sekolah yang 
telah dibina kearsipannya , yaitu 
mencapai 25 SMPN, 17 SMAN, 
dan 11 SMKN (total 53 sekolah). 
Implementasi program Arsip Masuk 
Sekolah yang dibiayai APBD Kota 
Bekasi, yaitu pembinaan dan penataan 
arsip sekolah dan bimbingan teknis 
kearsipan dengan menghadirkan 
tenaga kearsipan dengan narasumber 
dari ANRI, Inspektorat, dan Karsipda, 
agar sekolah menerima langsung 
wawasan/pengetahuan dari yang 
berkompeten dan juga dapat praktek 
langsung dan melihat suasana 
Depo Arsip. Sehingga tujuan yang 
ingin dicapai dalam implementasi 
Program Arsip Masuk Sekolah, 
yaitu agar semua penyelenggaraan 
pemerintahan Kota Bekasi dapat 
memahami dan melaksanakan tertib 
administrasi terutama dari arsip-arsip 
sebagai bukti rekaman kegiatan dan 
bahan pertanggungjawaban dapat 
tercapai secara maksimal.
Namun, program Arsip Masuk 
Sekolah ini  bukannya tanpa 
kendala. Menurut Kasie Pengelolaan 
Arsip Dra. Eli Sulaeliyah, beberapa 
hambatan yang sering ditemui, antara 
lain belum tersedia ruangan khusus 
untuk record centre di sekolah, 
pengelola khusus kearsipan yang 
belum ada, dan kurangnya dukungan 
dana dari sekolah.
Semoga ke depannya program 
Arsip Masuk Sekolah akan tetap 
berjalan serta lebih luas jangkauannya, 
sehingga tidak menutup kemungkinan 
program ini  dapat dicontoh oleh 
lembaga kearsipan daerah lainnya di 
Indonesia

minggu pagi, di Stasiun 
Kereta Api Commuter 
LineJakarta. Di ujung kanan 
peron, tampak calon penumpang 
menunggu kereta KRL Jabodetabek 
ke arah Bogor. Di tengah keramaian 
hilir mudik aktivitas manusia, aku 
melihat seorang bapak dengan 
perawakan kurus, kulitnya berwarna 
cokelat karena terlalu kerap disapa 
sengatan matahari. Ia mengenakan 
kaos lusuh dengan warna yang telah 
memudar. Wajahnya tampak linglung 
sedang matanya berkaca-kaca. Ia 
menggendong anak bungsunya 
yang berumur tiga tahun dengan 
sarung lusuh miliknya yang telah 
lama dimakan masa. Anak laki-laki 
sulungnya yang berusia enam tahun 
terlihat letih, digenggam tangan 
kirinya erat oleh sang bapak. Anak 
bungsu yang digendongnya terlihat 
lelap tidur di dekapan bapaknya, 
akan tetapi janggal, kaki anak yang 
digendongnya terlihat tak bergerak 
sedikit pun, tak ada senggalan 
napas yang berembus dari balik 
gendongan.
saat  KRL Jabotabek jurusan 
Bogor datang, bapak dan anak 
bersiap memasuki kereta. Tiba￾tiba seorang pedagang teh botol 
menghentikan langkah sang bapak.
“Pak, anaknya sudah meninggal, 
ya?,” lelaki paruh baya yang akrab 
dengan debu jalanan itu dengan 
polosnya membenarkan bahwa 
anak yang digendongnya sudah 
menghadap sang khalik. Tak kuat 
dia menahan isak tangis sambil 
terus menceritakan keinginannya 
untuk membawa anaknya ke Bogor 
agar dimakamkan di sana. Spontan 
seluruh calon penumpang KRL dan 
orang-orang di sekitar stasiun yang 
mendengar penjelasannya langsung 
berkerumun. Tidak lama, seorang di 
antara pengerumun menyarankan 
agar lelaki dengan kedua anaknya itu 
dibawa ke kantor Polisi Tebet. Seluruh 
khalayak di stasiun membenarkan 
saran itu. 
“Apa yang kamu lakukan atas 
anakmu itu?” salah seorang polisi 
dengan sangar bertanya, sedangkan 
seorang polisi lainnya mengetik 
Berita Acara Pemerikaan. Rupanya 
polisi yang menginterogasi itu curiga 
si anak yaitu  korban kejahatan 
orang tuanya. Terpaksa lelaki lusuh 
itu meladeni pertanyaan-pertanyaan 
aneh yang dilayangkan polisi. Ia 
terisak berkali-kali mengatakan 
bahwa si anak tewas karena pe￾nyakit Muntaber. Ia pun menceritakan 
secara lengkap kenapa ia meng￾gendong mayat anak bungsu 
kesayangannya.
Minggu pagi memang bukan 
hari yang indah bagi sang Bapak, pria berusia 38 tahun seorang duda 
dengan dua anak yang berprofesi 
sebagai pemulung. Lelaki malang 
itu ditinggalkan istrinya karena tidak 
tahan hidup sebagai pemulung, entah 
dimana sekarang ibu dari dua anak 
itu berada. Sejak berpisah dengan 
istrinya, bapak dua anak itu hidup 
menggelandang bersama kedua 
buah hatinya menyusuri jalanan 
Ibukota.
Gerobak yang biasa digunakan￾nya untuk bekerja, dibuat tertutup 
di bagian tengahnya untuk tempat 
tidur dan berlindung dua anaknya. Di 
bagian depan gerobak dibuat kotak 
yang digunakan untuk menyimpan 
baju dan keperluan anaknya. 
Gerobak modifikasi ala kadarnya itu 
selalu mangkal di halte bus kota. Jika 
sedang hujan, gerobaknya dibawa 
ke halte, agar anak-anaknya tidak 
kehujanan. 
Setelah lelah mencari sampah 
seharian di bawah kolong rel kereta 
api, ia tertidur lelap. Sesaat, sang 
bapak terbangun. Ada yang berbeda 
pada pagi itu, anak bungsunya 
terlihat nyaman dan tenang tidur 
di dalam gerobaknya. Namun, 
wajahnya yang tampak pucat pasi 
membuat ia curiga. Ia pun berusaha 
membangunkan anak bungsunya 
itu.
Melihat anaknya terbujur kaku, 
pikirannya melayang pada beberapa 
waktu lalu saat ia tak jadi membawa 
anak bungsunya ke rumah sakit 
karena penyakit muntaber yang 
dideritanya. Miris, uang yang tersisa 
di kantong hanya lima ribu rupiah, 
Hanya doa yang bisa dipanjatkannya 
agar si bungsu segera sembuh 
dengan sendirinya.
“Saya cuma sekali bawa anak 
saya ke puskemas, Saya tak punya 
uang untuk berobat lagi. Saya 
memulung kardus, gelas dan botol 
plastik. Penghasilan saya hanya 
sepuluh ribu rupiah sehari. Saat itu 
uang saya tinggal lima ribu rupiah. 
Jika saya berobat, anak saya satu lagi 
mungkin tidak akan makan,” ungkap 
sang bapak kepada polisi, tak kuasa 
ia membendung air matanya.
Belum selesai menjelaskan, 
pikiran sang bapak kembali 
melayang, tangisnya pun kembali 
pecah sesaat .
“Saya hanya punya uang enam 
ribu rupiah sekarang. Tidaklah 
mungkin untuk membeli kain kafan, 
menyewa ambulans dan biaya 
pemakaman.” paparnya kembali. 
Sementara itu, anak bungsunya 
yang tak lagi bernyawa, masih 
terbaring di gerobak. Sang bapak 
tak mau lagi mengecewakan anak 
gadisnya itu.
“Bapak akan buat pemakaman 
seperti orang lainnya buatmu, Nak,” 
ucap sang bapak bertekad dalam 
hati. Ia pun langsung mengajak 
anak sulungnya berjalan membawa 
gerobak berisi jenazah adiknya ke 
Stasiun KRL. Naik kereta api, ia 
berniat menguburkan anak bungsu￾nya di kampung pemulung di Bogor. 
Ia berharap di sana mendapatkan 
bantuan dari sesama pemulung, 
dengan bermodalkan sarung lusuh 
dan kotor, iamembungkus jenazah 
anak bungsunya dengan kaus warna 
putih lusuh yang biasa ia pakai.
Mendengar penjelasan lelaki 
paruh baya yang dilanda kemalangan 
itu, polisi belum langsung percaya 
dan memaksa membawa jenazah 
itu ke rumah sakit untuk diotopsi. 
Polisipun menyuruh sang bapak agar 
membawa anaknya ke rumah sakit 
dengan menumpang mobil ambulan 
hitam. Ia tidak mengerti, kenapa polisi 
tidak ada yang bertanya apa yang 
dapat mereka bantu kepadanya. 
Seandainya mereka semua itu bisa 
membantu. Bukannya mengirimkan 
ia dan anaknya ke rumah sakit.
Di rumah sakit, cerita sang bapak 
dan mayat anaknya terus berlanjut. 
Dengan alasan autopsi, pihak rumah 
sakit bermaksud menahan mayat 
anaknya yang sudah terbujur kaku. 
Mendengar hal itu, ia pun geram, 
ia tidak mau anaknya dibelah￾belah hanya untuk kepentingan 
medis. Masalahnya, ia tidak punya 
uang untuk biaya otopsi itu, selain 
itu sang bapak kasihan melihat 
mayat putrinya yang sudah tenang 
dibedah. Ia pun ngotot membawa 
anak kesayangannya keluar.
Ayah anak malang itu tetap ngotot 
meminta agar mayat si bungsu bisa 
segera dimakamkan tapi apa daya 
kemampuan bicara dan keadaannya 
tidak bisa mendukung alibinya, ia 
pun menerima dengan pasrah dan 
terpaksa menyetujui usul sang 
polisi. 
Di rumah sakit, sang bapak 
hanya bisa bersandar di tembok 
saat  menantikan surat ijin pulang 
dari rumah sakit sambil memandangi 
mayat anaknya yang terbujur kaku 
dipangkuannya. Hingga saat itu 
sang kakak yang belum mengerti 
kalau adiknya telah meninggal masih 
terus bermain sesekali memegang 
tubuh adiknya yang terbujur kaku. 
Waktu berselang, mayat anak 
bungsu kesayangannya itu akhirnya 
diperbolehkan dibawa keluar rumah 
sakit dengan cara digendong.
“Ke mana sang anak harus 
dikuburkan?” pertanyaan itu 
menghujani pikiran sang bapak. 
Dalam keadaan bingung, ia 
membopong mayat anaknya ke 
jalanan tanpa arah, tanpa tujuan. 
Sejumlah sopir ambulans sempat 
menawarkan jasa untuk mengangkut 
mayat itu. Jasa? Ya, jasa di Jakarta 
berarti uang. Sopir ambulans 
mengurungkan jasa itu begitu 
mendengar sang bapak tidak punya 
uang untuk membayar.
Orang kecil seperti ditakdirkan 
berteman dengan orang kecil. Para 
pedagang sekitar rumah sakit serta 
beberapa orang lagi yang kebetulan 
ada di trotoar, mulai urunan ikut 
menyumbang dengan memberi uang 
sekedarnya untuk kemalangan yang 
dialami sang bapak dan keluarganya. 
Merasa cukup punya uang dari 
sedekah, ia memanggil bajaj. Ia 
tiba-tiba teringat seorang teman 
lama, ibu pemilik rumah petak yang 
pernah disewanya beberapa tahun 
lalu. Bajaj pun meluncur ke rumah 
petak di wilayah selatan Jakarta.
Sesampai di rumah Ibu pemilik 
rumah petak ini , sang bapak 
dengan hati sedih menceritakan 
bahwa ia mengendong mayat anak 
bungsunya dan tidak tahu mau 
kemana lagi ia harus membawa 
mayat anaknya untuk dimakamkan. 
Mendengar cerita itu ibu pemilik 
rumah petak itu menetaskan air 
mata. Perempuan mana yang tidak 
menangis mendengar kisah sedih di 
hari Minggu itu? 
Tubuh mungil dalam balutan kain 
sarung warna merah kekuningan 
yang sudah lusuh itu lantas direngkuh dari dekapan ayahnya. Mayat itu lalu 
dibaringkan di atas kasur tipis yang 
berada di ruang tamu rumahnya. 
Wanita berusia 40 tahun itu lalu 
meminta bantuan tetangganya. 
Warga setempat akhirnya dengan 
tulus membantu mengurus jenazah, 
ada yang membeli kain kafan, ada 
yang memasang bendera kuning di 
sudut-sudut gang, ada yang berdoa 
dan memandikan. Keesokan harinya, 
putri bungsu sang bapak dimakamkan 
di Taman Pemakaman Umum (TPU), 
anak bungsu kesayangannya itu pun 
akhirnya bisa beristirahat dengan 
tenang, diantar orang-orang miskin 
yang kaya amal. Bertuliskan nama 
Cemara, yang biasa dipanggil Ara 
oleh ayah dan kakaknya. 
Ya, Ara, itulah namaku dari 
bapakku yang berprofesi sebagai 
seorang pemulung yang berusaha 
memakamkan aku ditempat yang 
layak. Bapak yaitu  sosok orang 
yang kaya bagiku bukan kaya materi, 
tapi kaya akan hati. Beliau yaitu  
pahlawan bagiku meskipun tubuhku 
sudah terbujur kaku dipelukannya. Ia 
tetap berusaha mencarikanku tempat 
yang layak walaupun disangsikan 
oleh orang-orang lainnya. Nasib, iya 
nasib keluargaku sebagai pemulung 
yang tidak berkecukupan. Akan 
tetapi, aku, bapakku, dan kakakku 
yaitu  orang yang bersemangat, 
bersemangat dengan pantang 
menyerah menjalani hidup. Hingga 
pada akhirnya Tuhan rupanya 
turun tangan menyelamatkan aku 
untuk dipanggil dan menghadap ke 
haribaan-Nya.
Esoknya kisah tentangku dan 
bapakku yang seorang pemulung, 
bak cerita dari negeri dongeng, 
menyentak banyak orang di seluruh 
Indonesia. Berbagai media cetak dan 
televisi mengangkat beritaku menjadi 
headline berita mereka. Berbagai 
kalangan menyatakan berniat 
menyumbang, dari sekedar memberi 
dana, memberi pekerjaan pada 
bapakku, sampai membiayai sekolah 
kakakku. Pendek kata, cerita piluku 
itu mengusik naluri warga  yang 
kini semakin materialistis menjadi 
bersimpati atas nasib malang yang 
menimpa keluargaku yang seorang 
pemulung. Seandainya tidak ada 
hari Minggu, mungkin ceritaku dan 
bapak tidak pernah menjadi headline 
sebuah koran Ibukota. Seandainya, 
biaya rumah sakit bisa gratis seperti 
yang dikatakan janji para calon 
legislatif pada saat kampanye 
pemilihan umum, ceritaku ini tidak 
akan pernah terjadi. Ah, seandainya 
biaya pemakaman dan harga 
kain kafan, semurah kita membeli 
kerupuk, tidak akan ada kisah 
sedihku disini. Seandainya, dan 
seandainya aku tahu ini hanyalah 
mimpi tidur semalam, bapak pasti 
masih bisa mengajak aku dan 
kakak jalan-jalan ke sebuah taman 
dengan gerobak rumahku sambil 
bercengkrama menikmati dunia yang 
indah ini.Seandainya.