Rabu, 13 September 2023
Penelusuran Tokoh Kepahlawanan
Nasional Lewat Sumber Arsip
Dalam penulisan sejarah dikenal
adanya sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer yaitu
sumber asli, tercipta apa adanya,
tanpa intepretasi dan tidak direkayasa.
Sedangkan sumber sekunder adalan
sumber pendukung, sumber olahan
yang sudah ada muatan intepretasinya.
Sumber primer salah satunya yang
terbesar yaitu khazanah arsip
yang ada di Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI), yang tercipta karena
proses dari hasil suatu kegiatan.
Akan tetapi, tidak semua khazanah
asip di ANRI yaitu sumber
primer, seperti berita harian Antara, Pedoman, dan Staatblad. Keberadaan
sumber sekunder ini tidak kalah
pentingnya juga sebagai sumber
informasi yang akurat.
ANRI sebagai lembaga pengelola
informasi arsip secara tidak
langsung telah berperan serta untuk
menjembatani usaha menyediakan
atau menampilkan peran serta
tokoh-tokoh pahlawan nasional itu
lewat berbagai khazanah arsip yang
merekam dan mencatat peristiwaperistiwa penting secara nasional.
Sebagai contoh dalam catatan atau
foto arsip bagaimana seorang tokoh
jenderal Sudirman meskipun dalam
keadaan sakit masih memimpin
perang gerilya melawan penjajah
bangsa asing. Kita juga bisa melihat
foto arsip tokoh proklamator Soekarno
dan Hatta saat sama-sama
mengantri dengan warga untuk
pencoblosan dalam pemilu tahun
1955. warga Sulawesi Selatan
khususnya di Kabupaten Takalar
tidak akan mengenal siapa itu tokoh
pahlawan nasional Pajongga Daeng
Ngale jika peran tokoh itu tidak digali
lewat sumber-sumber arsip yang
menyebutkan peran tokoh ini
terhadap bangsa Indonesia.
Usaha untuk mencari sumber
arsip terhadap tokoh tertentu yang
berpotensi bisa diangkat sebagai
pahlawan nasional terutama untuk
tokoh dalam peristiwa masa lalu
bisa dilihat dari beberapa khazanah
berdasar periodenya. Khusus untuk
arsip zaman kolonial entry point untuk
menelusuri arsipnya antara lain melalui
Klapper (bibliografi), Indeks folio,
Staatblad van Nederlandsche Indie
(Lembaran Negara), Ensiklopaediae
van Nederlandsche Indie, memorie
van Overgave, Colonial Verslag dan
Indisch Verslag (laporan Tahunan
pemerintah colonial), Gouvernements
papieren atau Algemeene Secretarie
Archieven, Engelsche Tusschen
bestuur dan Wetboek van Strafrecht
voor de Inlanders in Nederlandsche
Indie (Kitab undang-undang hukum
pidana untuk orang pribumi di Hindia
Belanda). Selain itu, kita juga bisa
menelusuri arsipnya lewat khasanah
arsip sesuai daerahnya, misalnya
Arsip Batavia, Arsip Karawang, Arsip
Kedu dll. Menyangkut isi inventaris
arsipnya bisa ditelusuri per subyeknya
seperti rapporten, dag register, politiek
verslag, kutuur verslag, gewestelijke
stukken atau locale Archieven.
Untuk masa pergerakan nasional
dan revolusi kemerdekaan bisa dilihat
khasanah arsip antara lain: Tempelaars
(algemene secretarie), Algemeene
Rijkarchief (ARA), Jogja Documenten,
NEFIS, Kabinet Presiden, Sekretariat
Negara RI, arsip Boven Digul dan
data-data verbaal lainnya. Namun
demikian, tidak kalah perting juga untuk
mengetahui kata tangkap sebagai
kunci keabsahan peran tokoh ini ,
seperti zaman Kolonial Belanda dan
masa revolusi, tokoh yang dianggap
pahlawan oleh bangsa Indonesia pada
masa pemerintah kolonial dianggap
sebagai ekstremis atau pemberontak,
rebellion against the Dutch, opposed
the Dutch Colonial rule, yang dalam
konotasi politisnya yaitu menentang
pemerintah kolonialisme. Tokohtokoh ini bukan kriminal dan
pada umumnya berseberangan atau
menentang penjajahan (kolonialisme),
ketidakadilan, penindasan dan pejuang
kemerdekaan. Kategori diatas ratarata banyak yang berhasil diusulkan
sebagai pahlawan.
Arsip Pahlawan dan Keteladanan
Peran penokohan pahlawan
nasional terhadap generasi muda
sangatlah penting, karena menuntut
mindset generasi masa kini untuk
tidak melupakan masa lalu. Banyak
generasi muda Indonesia sekarang ini
yang melupakan sejarah bangsanya.
Terutama pada tokoh-tokoh pahlawan
perjuangan bangsa. Jangankan untuk
mengenal peranan tokoh satu persatu
pahlawan bangsa, untuk menyebutkan
siapa dibalik foto yang terpajang di
dinding sekolah banyak yang tidak
mengenal.
Dengan banyaknya tokohtokoh pahlawan nasional yang kita
munculkan setiap tahunnya tidak
akan berarti jika kita tidak mengetahui
atau mengenal siapa dan bagaimana
peran tokoh ini terhadap bangsa
Indonesia. Semua itu kembalikan pada
bagaimana bangsa ini bisa membentuk
karakter bangsa, menumbuhkan cinta
tanah air pada generasi muda melalui
pengalaman sejarah para pahlawan
nasionalnya.
Terdapat banyak tokoh atau peran
warga yang bisa diladikan tokoh
teladan jika kita peduli terhadap
sumber-sumber arsip yang tersedia.
Namun demikian, apakah kita sudah
merekam atau menyelamatkan
catatan-catatan sejarah untuk semua
peristiwa ini ? Semua akhirnya
kembali pada pribadi kita masingmasing sebagai bagian dari komponen
bangsa Indonesia apakah mau belajar
pengalaman sejarah lewat tokoh
yang kita anggap sebagai pahlawan
atau kita kesampingkan karena
menganggapnya sebagai masa lalu
yang tidak berarti. Kembali lagi seperti
kata petuah bahwa bangsa yang besar
yaitu bangsa yang menghargai akan
peran pahlawan negerinya.
ada sebuah lagu berjudul
Hero yang dilantunkan oleh
seorang penyanyi wanita
asal New York bernama Mariah Carey.
Lirik lagu ini sangat sederhana,
menceritakan tentang seorang
pemberani (hero) yang tidak perlu
takut siapa dirinya, yang mempunyai
kekuatan untuk dapat bertahan karena
mempunyai keberanian di dalam dirinya
untuk hari esok dan akan datang,
walaupun harus sendiri. Apa yang
ditulis dalam lagu ini mungkin
tidak seperti arti pahlawan yang kita
maksud, namun kata pahlawan bisa
diartikan dalam berbagai makna.
Hero yaitu kata dalam bahasa
Inggris yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti pahlawan,
dan di definisikan oleh W.J.S.
Poerwadarminta (Kamus Umum
Bahasa Indonesia 2006: 695) sebagai
seseorang atau pejuang yang gagah
berani.
Kriteria seseorang untuk ditetapkan sebagai pahlawan seperti yang
tertuang dalam Surat Keputusan
Presiden tahun 1959-2009 yaitu
orang yang telah berjasa atau
berkorban karena membela negaranya
melawan penjajahan Belanda dan di
masa revolusi. Contohnya, di daerah
Aceh terkenal pahlawan Teuku Umar
dan istrinya Cut Nyak Dien, di Pulau
Jawa ada Pangeran Diponegoro,
di Sulawesi ada Hasanuddin, atau
di Sumatera Barat ada Tuanku
Imam Bonjol. Namun demikian kata
pahlawan tidak hanya bisa ditujukan
untuk orang-orang yang telah berjuang
melawan penjajahan saja. Akan
tetapi, seseorang bisa juga disebut
sebagai Pahlawan Pembangunan
jika orang ini telah dianggap
berjasa di bidang pembangunan, atau
Pahlawan Devisa seperti para Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) karena telah
mengirimkan gajinya yang diperoleh
selama bekerja di luar negeri ke
kampung halamannya. Seorang
Pahlawan juga dimiliki oleh seorang
anak yang mengidolakan tokoh
kesayangannya, seperti Superman,
Spiderman, atau Batman. Dalam
tulisan ini yang harus digaris-bawahi
yaitu sepenggal catatan mengenai
kepahlawanan bangsa Indonesia yang
terekam dalam arsip foto, arsip film
dan arsip kaset.
A
Kepahlawanan dalam arsip foto,
film dan kaset
Arsip merekam informasi
yang terjadi pada zamannya.
Walaupun terkadang subyektif tetapi
keaktualannya bisa dipercaya.
Subyektif yang dimaksud di sini
yaitu jika seorang pejabat Hindia
Belanda (lihat arsip pada masa Hindia
Belanda) menulis laporan, maka
pejabat itu terkadang melihatnya
dari sudut pandang kepentingan
pemerintahannya. Akan tetapi, pejabat ini juga menulis keadaan yang
sesungguhnya terjadi di lapangan
dan hal yang ditulisnya ini
lalu menjadi bahan diskusi
tentang bagaimana cara memecahkan
persoalan yang mereka hadapi.
Sebagai contoh, dalam arsip Memori
van Overgave (MvO) yang dibuat
oleh para pejabat pada masa kolonial
Belanda, kita dapat mengetahui
bagaimana susahnya pemerintah
Hindia Belanda saat berhadapan
dengan pejuang seperti di Aceh.
Sebuah buku dapat kita buat lagi
tetapi arsip hanya sekali dibuatnya
dan itulah yang menjadikan arsip
itu unik karena tanpa pengganti.
Oleh karena itu setiap pejabat yang
membuat arsip dituntut untuk jujur
dalam melaporkan setiap kejadian
pada masa pemerintahannya.
Dalam arsip foto KIT Batavia ada
sebuah foto yang mengabadikan
para wanita Indonesia pada masa
Jepang sedang melakukan latihan
baris berbaris. Mereka memakai
baju kebaya dan membentuk sebuah
laskar yang disebut dengan laskar
wanita pribumi. Tugas laskar wanita
pribumi ini membantu para pejuang
pria melawan Jepang. Walaupun
para laskar wanita ini mungkin hanya
sekedar membantu di bidang konsumsi
(memasak, menyediakan makanan)
dan di bidang kesehatan (merawat
orang sakit), mereka patut disebut juga
sebagai Pahlawan karena ada nilainilai kepahlawanan yang tergambar di
sini. Poster yang ada dalam arsip foto
Kementerian Penerangan daerah Bali
pada tahun 1958 juga menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan walaupun
posternya bertemakan Pahlawan
Pembangunan.
Setiap tanggal 10 November
diadakan perayaan atau pawai yang
melintasi jalan-jalan besar di Surabaya,
terutama melalui Hotel Oranje atau
Hotel Yamato. Hal itu disebabkan
ditempat inilah bendera Belanda
diturunkan oleh para pemuda Surabaya
dan menggantikannya dengan bendera
Merah Putih. Peris-tiwa itu berawal
adanya pertempuran pada tanggal 10
November 1945 antara para pemuda
Surabaya dengan tentara Belanda.
Para pemuda Surabaya yang terkenal
dengan sebutan “arek-arek Suraboyo”
itu merasa tersinggung, karena tentara
Belanda mengibarkan benderanya
di Hotel Oranje (Yamato) tanpa
persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia daerah Surabaya. Mereka
lalu melawan Belanda hingga titik
darah penghabisan dan wafat sebagai
pahlawan dalam mempertahankan
kehormatan bangsanya. Untuk
memperingati kejadian ini ,
maka setiap tanggal 10 November
setiap tahunnya kita peringati sebagai
Hari Pahlawan. Penurunan bendera
ini terdapat antara lain dalam arsip
foto Kementerian Penerangan RI
Jakarta, dan arsip foto Kementerian
Penerangan RI Jawa Timur.
Pertempuran Surabaya juga
disimpan dalam bentuk Film dan
Video yang lalu dipindahkan
ke dalam bentuk digital DVD. Proses
pemindahan arsip film dan video
ini agar arsip film yang rentan
dengan kerusakan dapat terselamatkan
informasinya. Terkadang film menjadi
rusak sebelum kita mengetahui apa
isi informasinya, padahal informasi
dalam film ini sangat besar
kemungkinannya mempunyai nilai
sejarah yang dibutuhkan oleh
warga . Lamanya durasi dalam
film dan video yang menggambarkan
kepahlawanan dalam Pertempuran
Surabaya pun beragam, seperti video
yang diserahkan oleh Des Alwi kepada
Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) mempunyai durasi 17 menit
(ANRI, Video Pertempuran Surabaya
No. 118), DVD Pertempuran Surabaya
berdurasi 6 menit 58 detik (ANRI, DVD
Pertempuran Surabaya No. 243), DVD
Enam Jam Di Yogja berdurasi 9 menit 27 detik (ANRI, DVD No. 438), DVD
Perlawanan Cut Nya Dien dan Teuku
Umar di Aceh berdurasi 12 menit 54
detik (ANRI, DVD No. 687), dan masih
banyak lagi film yang dimiliki oleh ANRI
mengenai kepahlawanan.
Selain arsip foto, film, video,
ANRI juga menyimpan arsip kaset di
antaranya kaset lagu-lagu tentang
kepahlawanan seperti Gugur Bunga
yang menceritakan seorang pahlawan
yang gugur di medan perang,
mengandung filosofi bahwa walaupun
gugur satu tetapi tumbuh seribu. Arsip
kaset lagu pahlawan lainnya yaitu
Sepasang Mata Bola menceritakan
seseorang yang membutuhkan
perlindungan pahlawannya dari
angkara murka.
Sepenggal catatan mengenai
kepahlawanan bangsa Indonesia
yang terekam dalam arsip foto, arsip
film, maupun arsip kaset lagu-lagu ini
bertujuan membuka mata kita agar
mengetahui bahwa ANRI mempunyai
begitu banyak koleksi arsip foto, arsip
film, dan arsip kaset yang belum
terjamah dan belum terekspos bagi
kepentingan pengguna arsip sebagai
bahan penelitian. Arsip kaset juga
menyimpan hasil wawancara dengan
para tokoh, saat mendengarkan
wawancara ini maka kita akan
mengetahui bagaimana kisah-kisah
para tokoh sejarah di masa lalu
yang sangat menarik. Di samping itu
juga diharapkan dapat menggugah
hati semua Kementerian, OrmasOrpol, orang pribadi, untuk segera
menyerahkan dan menyimpan
arsipnya yang bernilai guna di
ANRI. Arsip ini nantinya dapat
digunakan sebagai bahan penelitian
dalam menggali nilai-nilai sejarah
kepahlawanan bangsa Indonesia,
yang tentunya sangat menarik untuk
di ekspos dan diperlihatkan kepada
warga . Maka tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa bangsa yang
menghormati pahlawannya yaitu
bangsa yang besar. Kalimat ini seperti
yang terlihat di foto di mana Presiden
Soekarno sedang memberikan
ceramahnya di hadapan para pemuda
dan pelajar pada peringatan Hari
Pahlawan di Bali tahun 1958.
asih teringat dalam memori
betapa besar keberanian
arek-arek Surabaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
dari tangan Sekutu pada 10 November
1945. Peristiwa ini diawali dengan
Kedatangan tentara sekutu dibawah
kepemimpinan Brigadir Jenderal
A.W.S. Mallaby pada 25 Oktober
1945. Pembebasan terhadap para
perwira Sekutu dan pegawai RAPWI
(Recovery of Allied Prisoners of War
and Internees) serta ultimatum bagi
orang Indonesia yang bersenjata untuk
meletakkan senjata dan menyerahkan
diri, memicu perlawanan dari arekarek Surabaya. Sehingga terjadi
pertempuran Surabaya yang kemudian kita peringati sebagai Hari
Pahlawan.
Peristiwa Pertempuran Surabaya
yaitu salah satu contoh perjuangan dan pengorbanan arek-arek
Surabaya yang dapat dikategorikan
sebagai sikap kepahlawanan. Masih
ada beberapa pertempuran seperti
Bandung Lautan Api, Pertempuran
Ambarawa, Pertempuran Medan
Area dimana semua menunjukkan
sikap kepahlawanan dari kelompok
warga yang ikut bertempur.
Semua memberikan pengorbanan
besar baik materi maupun imateri
bahkan nyawa, mereka sebagai
pahlawan. Pahlawan yang berjuang
demi mempertahankan kemerdekaan
Indonesia tanpa pamrih. Kategori
perjuangan dalam mempertahankan
kemerdekaan tidak hanya dilakukan
dengan pertempuran fisik, namun
juga melalui perjuangan diplomasi.
Dengan demikian mereka yang ikut
dalam perjuangan diplomasi juga
dikategorikan sebagai pahlawan.
Eksistensi sebuah negara tidak
terlepas dari peran pahlawan yang ada
di dalam negara yang bersangkutan.
Peran dari perbuatan yang dilakukan
oleh para pahlawan, maka sebuah negara menjadi merdeka, maju, dan
bahkan “mendunia”. Mereka yang
telah berjuang dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan baik
melalui perang fisik maupun diplomasi
pada umumnya memperoleh gelar
sebagai Pahlawan Nasional. Hingga
saat ini, ada sekitar 159 orang yang
tercatat sebagai pahlawan nasional.
Sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2009
tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan, Pahlawan nasional
yaitu gelar yang diberikan
kepada Warga Negara Indonesia atau
seseorang yang berjuang melawan
penjajahan di wilayah yang sekarang
menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang gugur atau meninggal
dunia demi membela bangsa dan
negara, atau yang semasa hidupnya
melakukan tindakan kepahlawanan
atau menghasilkan prestasi dan karya
yang luar biasa bagi pembangunan
dan kemajuan bangsa dan Negara
Republik Indonesia. Melihat dari
pengertian ini , artinya seorang
pahlawan yaitu orang yang telah
berkorban dalam pertempuran
merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta orang yang berhasil
memberi keharuman nama bangsanya
dalam kancah internasional dengan
prestasi dan karyanya. Dalam sebuah
kesempatan wawancara dengan redaksi Media Kearsipan Nasional,
menurut Dirjen Pemberdayaan Sosial
dan Penanggulangan Kemiskinan
Kementerian Sosial, Hartono
Laras, Pahlawan yaitu orang
yang melampaui panggilan diri dan
tugasnya. Artinya seorang pahlawan
yaitu orang yang melakukan
sesuatu yang lebih besar dari tugas
dan kemampuannya sebagai bentuk
pengabdian bagi bangsanya. Dalam
kesempatan yang berbeda, Kepala
Arsip Nasional Republik Indonesia,
Mustari Irawan, mengatakan bahwa
“Pahlawan yaitu orang yang berjuang
demi kepentingan warga , negara
dan bangsa dan mengabaikan
kepentingan pribadi. Pengabdian yang
dilakukan oleh para pahlawan didasari
oleh niat yang ikhlas untuk berkorban
yang disertai dengan rasa tanggung
jawab yang tinggi sekali dan kecintaan
akan tanah air”.
Pahlawan bukan hanya orang
yang gugur dalam medan perang,
seseorang yang menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi
pembangunan dan kemajuan bangsa
dan Negara Republik Indonesia
juga bisa disebut sebagai pahlawan.
Indonesia sudah tidak terlibat dalam
pertempuran bersenjata, negara
ini tetap membutuhkan pahlawan
dalam berbagai bidang yang dapat
membawa keharuman bangsa ini.
Mereka yang telah berprestasi dalam
bidangnya yaitu pahlawan bagi
bangsa ini. Dalam bidang jurnalistik
ada Tirto Adisuryo, dalam bidang
seni ada Ismail Marzuki, dan dalam
bidang kedokteran ada Prof. Dr.
Suharso. Pada masa kini, mereka
yang berprestasi dan membawa
harum nama bangsa Indonesia di
kancah internasional memperoleh
penghargaan baik dari negara maupun
pihak swasta yang ikut berpartisipasi.
Salah satunya yaitu Yulianti Laksmi
Parani, yang pernah memperoleh penghargaan karena dedikasinya
dalam bidang seni tari. Ia memperoleh
tanda kehormatan Satyalencana
Kebudayaan dari Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata tahun
2014. Dalam wawancara dengan
Media Kearsipan Nasional, Ibu
lulusan Fakultas Sastra Universitas
Indonesia Tahun 1970 ini mengatakan
bahwa “Pemberian gelar pahlawan
yaitu usaha pemerintah untuk
menghargai mereka yang di masa
lalu telah membantu bangsa dalam
menemukan identitasnya sebagai
bangsa”, ujarnya. Ibu yang pernah
menjadi salah seorang pejabat
struktural di ANRI ini berharap agar
selanjutnya ANRI dapat menampilkan
penerbitan arsip orang-orang yang
telah berjasa dalam pembangunan
bangsa.
Melihat pengertian pahlawan dari
beberapa perspektif, ada beberapa
nilai-nilai yang dapat dirumuskan
sebagai sikap dari seorang pahlawan,
yaitu rela berkorban, mengutamakan
kepentingan negara dibandingkan
kepentingan pribadi atau golongan,
ikhlas, dan cinta tanah air. Nilai-nilai
kepahlawanan ini menjadi
hal yang dapat kita pelajari dan
implementasikan dalam kehidupan
saat ini. Sebagaimana disampaikan
oleh Hartono Laras “ Akan tetapi, di
balik itu semua, hal yang lebih penting
yaitu nilai-nilai kepahlawanan yang
bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi
kita semua, nilai-nilai ini meliputi
nilai-nilai rela berkorban, tanpa pamrih,
percaya pada kemampuan sendiri,
dan pantang mundur, dimana nilainilai ini harus direvitalisasi dan
diaktualisasikan serta dijadikan sebagai
nilai-nilai spirit dalam kehidupan berwarga dan berbangsa”. Dalam
ini menurutnya kemampuan untuk
percaya pada diri sendiri, kerelaan
untuk berkorban dan tanpa pamrih,
pantang menyerah, dan perbuatan
yang didasari oleh ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam
diri seorang pahlawan. Nilai-nilai ini
harus didayagunakan, ditanamkan,
dan dilestarikan mengingat besarnya
negeri dengan penduduk yang
beragam. Nilai-nilai yang terkandung
dalam diri pahlawan sangat penting
untuk diimplementasikan dalam
karakter bangsa Indonesia saat ini.
Selain tempaan arus globalisasi yang
begitu besar, bisa dikatakan krisis
moral juga sedang terjadi di negara
ini. Dalam media massa sering kita
lihat sikap kelompok warga
bahkan oknum pejabat yang tidak
mencerminkan karakter bangsa
ini. Mulai dari tawuran antarwarga,
perdebatan dan persaingan yang
tidak sehat dari para politisi negeri ini
bahkan kasus korupsi yang menimpa
oknum wakil rakyat negara ini. Sikap
negatif ini tentu membahayakan
bagi persatuan dan kesatuan bangsa
ini. Dapat dikatakan, apabila para
pahlawan kita yang telah gugur
berada dalam masa kini, betapa sedih
nya melihat keributan dan perpecahan
yang terjadi, padahal mereka sudah
mengorbankan sesuatu yang sangat
berharga yaitu kehidupan.
Apakah kita hanya berdiam
diri saja melihat kenyataan ini?
Pemerintah Republik Indonesia
sudah mulai melakukan usaha untuk
memperbaiki keadaan ini . Pada
masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, mulai digalakkan program Character Building. Setiap
instansi pemerintah diminta untuk
mendukung program ini sesuai
bidangnya masing-masing. Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI)
juga ikut ambil bagian dalam program
ini dengan menampilkan kembali
karakter bangsa sebagaimana
terekam dalam arsip yang tersimpan
di ANRI. Menyikapi ini , Kepala
ANRI berpendapat bahwa nilainilai kepahlawanan yang dapat
menjadi karakter bangsa meliputi
nilai keikhlasan, kejujuran, kecintaan
terhadap tanah air, nasionalisme, kegigihan, keberanian, dan keuletan.
Keberhasilan dalam membangun
kembali nilai-nilai kepahlawanan ke
dalam karakter warga Indonesia
saat ini akan memberi harapan untuk
menciptakan Indonesia yang lebih baik.
Setelah pergantian pimpinan, usaha
perbaikan karakter bangsa juga terus
dilakukan oleh Presiden Joko Widodo,
hanya saja istilahnya berganti menjadi
revolusi mental. Mengenai wacana
revolusi mental, Presiden Joko Widodo
pernah menulisnya dalam surat kabar
Kompas edisi 10 Mei 2014, Sudah
saatnya Indonesia melakukan tindakan
korektif, tidak dengan menghentikan
proses reformasi yang sudah berjalan,
tetapi dengan mencanangkan revolusi
mental menciptakan paradigma,
budaya politik, dan pendekatan nation
building baru yang lebih manusiawi,
sesuai dengan budaya nusantara,
bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi mental diharapkan dapat
membawa perubahan besar yang
lebih baik bagi negara ini, terutama
untuk membawa Indonesia kepada
negara yang merdeka, adil, makmur
dan sejahtera bagi rakyatnya. Menurut
Kepala ANRI Mustari Irawan, revolusi
didefinisikan sebagai perubahan
dalam waktu yang singkat, sedangkan
mental didefinisikan sebagai karakter
atau watak manusia. Ada watak yang
yaitu pembawaan, imitasi,
sugesti, ataupun identifikasi. Untuk
dapat merubah watak ke arah yang
lebih baik dibutuhkan proses yang
memakan waktu dan dibutuhkan
sarana. Terkait dengan trisakti
pembangunan manusia dengan
kepribadian yang berkebudayaan seperti yang dikonsepkan oleh Presiden
Joko Widodo yaitu karakter-karakter
bangsa Indonesia misalnya rasa
nasionalisme yang telah memudar.
Dalam media Kompas 10 Mei 2014,
Presiden Joko Widodo menulis,
“Dalam melaksanakan revolusi mental,
kita dapat menggunakan konsep
Trisakti yang pernah diutarakan Bung
Karno dalam pidatonya tahun 1963
dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang
berdaulat secara politik”, ”Indonesia
yang mandiri secara ekonomi”, dan
”Indonesia yang berkepribadian
secara sosial-budaya”. Peringatan Hari
Pahlawan diharapkan dapat dijadikan
sebagai momentum dalam penerapan
nilai-nilai kepahlawanan yang relevan
dengan pembinaan karakter bangsa
atau yang lebih dikenal dengan
revolusi mental, kata Hartono Laras.
Penganugerahan gelar pahlawan
diberikan langsung oleh Presiden RI
yang biasanya dilakukan menjelang
peringatan hari Pahlawan pada 10
November setiap tahun. Pengangkatan
sebagai pahlawan dalam rangka
penghormatan, penghargaan yang
diberikan negara atas jasa seseorang.
Gelar pahlawan tidak diberikan
begitu saja kepada seseorang, ada
beberapa kriteria yang harus dipenuhi
untuk memperolehnya. Syarat umum
untuk memperoleh gelar pahlawan di
antaranya Warga Negara Indonesia
atau seseorang yang berjuang di
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; memiliki integritas moral
dan keteladanan; berjasa terhadap
bangsa dan negara; berkelakuan baik;
setia dan tidak mengkhianati bangsa
dan negara serta tidak pernah dipidana
penjara. Selain syarat umum, masih ada
syarat khusus untuk bisa memperoleh
gelar pahlawan di antaranya pernah
memimpin dan melakukan perjuangan
bersenjata atau perjuangan dalam
bidang lain untuk mencapai, merebut,
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa; tidak pernah
menyerah pada musuh dalam
perjuangan; melakukan pengabdian
dan perjuangan yang berlangsung
hampir sepanjang hidupnya dan
melebihi tugas yang diembannya;
pernah melahirkan gagasan
atau pemikiran besar yang dapat
menunjang pembangunan bangsa
dan negara; pernah menghasilkan
karya besar yang bermanfaat bagi
kesejahteraan warga luas atau
meningkatkan harkat dan martabat
bangsa; serta memiliki konsistensi
jiwa dan semangat kebangsaan yangtinggi dan/atau melakukan perjuangan
yang mempunyai jangkauan luas dan
berdampak nasional.
Dalam pengajuan gelar ini,
dibutuhkan beberapa dokumen terkait
calon pahlawan yang bersangkutan
seperti daftar riwayat hidup dan
perjuangan calon pahlawan, uraian
perjuangan, biografi, daftar dan
bukti tanda kehormatan yang pernah
diterima, catatan pandangan/pendapat
orang dan tokoh warga tentang
pahlawan nasional yang bersangkutan,
serta foto dokumentasi yang menjadi
perjuangan calon pahlawan nasional
yang bersangkutan. Dengan kata lain, dokumen/ arsip sangat
berperan untuk pengajuan seseorang
memperoleh gelar pahlawan. Sebab
tanpa bukti perjuangan seseorang
dalam bentuk dokumen, sulit rasanya
untuk memperoleh gelar pahlawan.
Arsip-arsip yang terhimpun ini
nantinya akan digunakan sebagai
bahan rapat Tim Peneliti dan Pengkaji
Gelar Tingkat Daerah (TP2GD) dan
Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar
Tingkat Pusat (TP2GP). Dalam
ini , TP2GD akan memberikan
pertimbangan kepada gubernur,
bupati/walikota dalam meneliti dan
mengkaji usulan pemberian gelar.
Sedangkan TP2GP bertugas untuk
memberikan pertimbangan kepada
menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial
dalam meneliti dan mengkaji usulan
pemberian gelar.
Dalam usulan pemberian gelar
pahlawan, ANRI menjadi salah
satu anggota TP2GP. Dalam ini
Kepala ANRI berharap agar perspektif
kearsipan yang menjadikan arsip
sebagai bukti dapat diselenggarakan
terkait dengan proses pengajuan gelar
pahlawan nasional. ANRI sebagai
lembaga kearsipan nasional berperan
dalam mendokumentasikan peristiwa
sejarah dan nilai-nilai kepahlawanan
sebagaimana terekam dalam arsip
pahlawan. Terkait dengan khasanah
arsip pahlawan yang disimpan di
ANRI, menurut Kepala ANRI yang
dilantik pada bulan Desember tahun
2013, “Arsip-arsip yang terkait dengan
kepahlawanan masih bersifat menyebar dan masih berasal dari perspektif
penjajah . Belum ada khazanah yang
secara spesifik yang memberikan
gambaran tentang pahlawan secara
individu. Oleh karena itu untuk
menyiasati kekurangan ini
dilakukan wawancara sejarah lisan
yang bekerja sama dengan sejarawan
dari beberapa perguruan tinggi,
contoh: wawancara dengan Bung
Hatta, LN Palar, Leimena, dan Abdul
Halim. Dengan adanya program
sejarah lisan diharapkan dapat
melengkapi beberapa khazanah terkait
kepahlawanan secara individu yang
belum terekam di dalam arsip. Terkait dengan akuisisi arsip pahlawan,
Mustari Irawan mengatakan bahwa
“untuk kedepannya dapat dilakukan
kerjasama dengan Kementerian Sosial
mengingat dalam proses pengajuan
pahlawan, arsip berperan sebagai
bukti dalam pengajuan seseorang
untuk menjadi pahlawan. Selain
Kemensos, tentu ada beberapa instansi
pemerintah yang terkait dalam konteks
pahlawan masa kini oleh karena itu
ANRI dinilai perlu untuk mengadakan
kerja sama dengan instansi-instansi
ini , salah satu contohnya yaitu
perguruan tinggi. Dengan adanya
UU No. 43 Tahun 2009 dan PP No.
28 Tahun 2009 dinilai sudah mampu
untuk mengakomodir dalam proses
penyelamatan arsip-arsip pahlawan.
Sekarang yang diperlukan yaitu
aksi kongkrit. Terlebih lagi pihak ANRI
sedang menyusun inpres terkait
akuisisi atau penyelamatan arsip-arsip
yang tidak hanya berorientasi di akhir
kegiatan pemerintahan akan tetapi
juga di awal kegiatan pemerintahan ”.
Keharuman nama sebuah bangsa
yaitu salah satu hal yang
dipersembahkan seorang pahlawan
kepada bangsanya. Bangsa yang
besar yaitu bangsa yang tidak
melupakan jasa para pahlawannya.
Pahlawanku Idolaku.
aat ini sedang ramai
dibicarakan tentang pengajuan
Konferensi Asia Afrika untuk
dijadikan Memory of the World (MoW)
oleh UNESCO. Konferensi Asia Afrika
yaitu salah satu konferensi
penting bagi negara-negara tertindas
saat itu. Konferensi yang diadakan di
Bandung pada tanggal 14-26 Agustus
1955 dan menghasilkan kesepakatan
Dasasila Bandung/Bandung Spirit
telah menginspirasi Bangsa-bangsa
Asia Afrika untuk merdeka, lepas dari
penjajahan.
Namun, tiga abad sebelum itu telah
ada seorang pejuang asal Indonesia
yang berjuang untuk melepaskan
bangsa di Asia maupun di Afrika untuk
merdeka. Ia yaitu Syekh Yusuf al-Taj
Khalwati al-Makassari yang dikenal
dengan nama ‘Syekh Yusuf Makasar’.
SEKILAS SYEKH YUSUF
Beliau lahir dari pasangan
Abdullah dan Aminah putri Gallarang
Moncong Loe. Saat lahir ia diberi
nama Muhammad Yusuf oleh Sultan
Alaudin Raja Gowa, yang juga kerabat
ibunya. Sejak muda ia sudah haus
ilmu, awalnya beliau berguru pada
Daeng ri Tasammang hingga khatam
al-Qur’an. lalu dilanjutkan
dengan Sayyid Ba’Alwy bin Abdullah
al-Allamah Thahir di Bontoala yang
saat itu menjadi pusat pendidikan
islam tahun 1634. Setelah itu, beliau
lalu belajar pada ulama Aceh
yang datang ke Makassar, yaitu Syekh
Jalaluddin al-Aidit.
Walaupun hidup di lingkungan
istana, namun semangat untuk
menuntut ilmu sangatlah tinggi.
Beliau lalu menuntut ilmu ke
Timur Tengah. Namun, sebelum ke
Mekkah, beliau sempat singgah di
Banten . Disini dia berkenalan dan
bersahabat dengan Pangeran Surya
anak dari Sultan Mufahir Mahmud
Abdul Kadir (1598-1650). Dari Banten,
ia lalu berangkat ke Aceh
dan berguru pada Syekh Nuruddin
Ar-Raniri dan mendapatkan ijazah
tarekat Qadiriyah. lalu melanjutkan
perjalanannya ke Timur Tengah untuk
berguru dengan ulama disana. Tercatat
beberapa ulama pernah menjadi
gurunya, yaitu daerah yang beliau
datangi, antara lain Sayed Syekh
Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi
bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani
Zaidi al-Naqsyabandy di Yaman, untuk
tarekat Naqsayabandiyah, Syekh
Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah di
kota Zubaid untuk tarekat Baalawiyah,
Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin
al-Kurdi al-Kaurani di Madinah untuk
tarekat Syattariyah, dan Syekh Abu alBarakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub
al-Khalwati al-Qurasyi di Damaskus
disini beliau diberi gelar Tajul Khalwati
Hadiyatullah.
Selain tarekat-tarekat ini
di atas, beliau juga mempelajari
tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah,
Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah,
Ahmadiyah, Suhrawardiyah,
Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah,
Makhduniyah.
PERJUANGAN SYEKH YUSUF
Setelah pencaian ilmunya dianggap selesai, maka beliau memutuskan
untuk kembali ke Makassar, pada
usia 38 tahun. Namun beliau tidak
menyangka, ternyata kerajaan
Gowa sudah hancur pasca kalah dari
Belanda. Bahkan usaha menasehati
pihak kesultanan pun tak berhasil.
Syekh Yusuf akhirnya hijrah ke Banten
yang memang sejak dari Mekkah
Sultan Banten telah memintanya untuk
datang kesana.
Di Banten
Di Banten ia diangkat sebagai mufti
Kesultanan Banten oleh sahabatnya
Pangeran Surya yang saat ini telah
menjadi Sultan Banten dengan nama
Sultan Abdul Fattah yang dikenal
dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia lalu dinikahkan dengan
Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang
bernama Siti Syarifah. ini
memudahkan Syekh Yusuf dalam
berdakwah. Murid beliau banyak
tersebar sampai pelosok-pelosok luar
Banten. Beliau juga menjadi pengayom
bagi warga Makassar yang lari
karena kecewa terhadap perjanjian
Bongaya.
Pada awal tahun 1682 saat Sultan
Haji datang, Banten pun bergejolak.
ini terjadi karena Sultan Haji yaitu
putra mahkota yang dipengaruhi
Belanda. Belanda melakukan aksi
devide et impera karena selama
ini, serangan milter Belanda selalu
digagalkan oleh Pangeran Purbaya .
Sultan Haji selalu mendapat bantuan Belanda dari Batavia. Hingga
akhirnya pada Desember 1682 Keraton
Tirtayasa tidak dapat terselamatkan
dan ditinggalkan. Pasukan Tirtayasa
menggunakan taktik perang gerilya.
Namun, pada 14 Maret 1683 Sultan
Ageng Tirtayasa menyerahkan diri
ke keraton Surosowan dan ditangkap
Belanda lalu dibawa ke Batavia
dan wafat disana.
Perang Gerilya pun dilanjutkan
Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya
dan Pangeran Kidul yang memimpin
5000 pasukan termasuk 1000 laskar
Makassar, Bugis dan Melayu. Syekh
Yusuf bergerak ke arah timur sampai
Padalarang lalu berbelok ke arah
pesisir selatan, sampai daerah desa
Karang, di sana beliau bertemu dan
dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi
(Hadjee Karang) Pamijahan dan
laskarnya. Setelah melakukan perang
gerilya selama dua tahun lamanya
akhirnya Syekh Yusuf ditangkap
dengan kondisi seluruh pengikutpengikutnya dipulangkan ke kampung
halamannya masing-masing kecuali
49 orang yang harus turut serta, yaitu
2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan
putra-putri, sahabat dan para abdi
dalem.
Di Sri Lanka
Belanda lalu membawa
rombongan Syekh Yusuf ke Batavia.
Namun, melihat besarnya kharisma
Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran
dari pihak Belanda, dan ditambahkan
kerajaan Bone dibawah pimpinan
Aru Palaka (Raja Bone ke-15 yang
ada hubungan kekerabatan) sedang
melakukan perlawanan. Maka Belanda
memutuskan untuk mengasingkan
Syekh Yusuf beserta rombongan pada
tanggal 12 September 1684 ke wilayah
Sri Lanka.
Dalam waktu singkat nama beliau
dikenal di sana. Selama disana beliau
gunakan untuk beramal, mengajar
dan menulis risalah, banyak muridmuridnya yang berasal dari Hindustan
(India) dan Srilanka sendiri. Dan
membawa namanya termasyhur di
India. Raja Hindustan Aurangzeb
Alamgir (1659-1707) pernah menyurati
wakil pemerintah Belanda di Srilanka,
susaha kehormatan pribadi Tuan
Syekh itu dipelihara, karena jika tuan
itu diganggu akan menggelisahkan
umat Islam Hindustan.
Strategi perjuangannya
pun berubah dari perang fisik
menjadisemangat keagamaan dan
semangat perjuangan. Jemaah haji
dari Indonesia sekembalinya dari
Mekah biasanya singgah di Ceylon
(Sri Lanka) untuk menunggu musim
barat selama satu sampai tiga bulan.
Dalam kesempatan inilah jemaah haji
belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu
juga disisipkan pesan-pesan Politik,
agar tetap mengadakan perlawanan
terhadap Belanda dan juga pesanpesan agama susaha tetap bepegang
teguh pada jalan Allah.
Di Afrika Selatan
Surat-surat kepada raja Banten
dan Makassar ternyata tercium oleh
pemerintah Belanda di Batavia.
Risalah ini dianggap pemicu
pemberontakan rakyat di Banten dan
raja Gowa ke-19. Surat atau risalah
yang menggunakan nama samaran
ini , di Makassar dikenal dengan
nama “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan
LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan
tuanku)” , sedangkan di Banten
disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan
She. Akhirnya diputuskan Syekh
Yusuf dan 49 rombongannya untuk
dipindahkan dari Ceylon ke Kaap
(Afrika Selatan). Pemindahan ini
dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693
dengan menaiki kapal “Voetboeg”.
Syekh Yusuf dan rombongan sampai
di pantai Afrika pada tanggal 2 April
1694, selama delapan bulan 23 hari
perjalanan.
Namun demikian, semangat
perjuangannya tidak pernah padam
oleh ruang dan waktu beliau tetap
mengobarkan semangat warga
Afrika Selatan untuk merdeka dan
membentuk komunitas muslim
disana yang memang menjadi daerah
buangan politik. Tempat itu sekarang
dikenal dengan Macassar Faure.
Syekh Yusuf meninggal pada
tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73
tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan
dimakamkan di daerah Faure dan
pada tanggal 5 April 1705 kerangka
dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan
dan tiba di Makassar. Ia dimakamkan
di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6
April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H.
Negosiasi pemulangan jenazah
Syekh Yusuf yang dilakukan oleh Raja
Gowa, Sultan Abdul Jalil, berhasil
enam tahun kemudian, tepatnya tahun
1705. Hal ittu pun terdapat syarat yang
harus dipenuhi: yang bisa kembali ke
Nusantara yaitu anak-anaknya yang
berusia lima tahun ke bawah.
Dalam perjalanan pulang itulah,
jenazah Syekh Yusuf sempat
disinggahkan di beberapa tempat,
seperti Sri Lanka, Banten, Sumenep
(Madura), terakhir di Makassar.
Oleh sebab itu, banyak orang yang
mengatakan bahwa makam Syekh
Yusuf ada dimana mana.
Makam Syekh Yusuf, saat
ini lebih dikenal dengan
nama Ko’bang, berada
di Jalan Syekh Yusuf,
perbatasan Gowa dan
Makassar.
GELAR PAHLAWAN
Setelah tiga abad
Syekh Yusuf tiada, akhirnya
beliau mendapat dua gelar
pahlawan nasional dari
dua Negara yaitu Indonesia
pada 9 November 1996
dan dari pemerintah Afrika
Selatan pada 23 September
2005. Daerah tempat
tinggal Syekh Yusuf di Cape
Town diberi nama sebagai
kawasan ‘Macassar’ untuk
menghormati tempat asalnya.
Bahkan, Nelson Mandela,
mantan presiden Afrika
Selatan, menyebutnya sebagai
‘Salah Seorang Putra Afrika
Terbaik’. Bagi warga Cape
Town, Syekh Yusuf dikenal sebagai
sosok yang membangun komunitas
Muslim di negara itu. Dia tidak hanya
diakui sebagai ulama, namun juga
pejuang bagi rakyat Afrika Selatan
karena menentang penindasan dan
perbedaan warna kulit (apartheid).
Hingga akhir hayatnya, menurut
Nabilah Lubis dalam buku Syekh
Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari
menemukan sedikitnya 25 kitab
karangannya yang di tulis pada era
Banten dan Ceylon. Ia juga dikenal
sebagai pendiri ajaran tarekat
khalwatiyah. Kemudian,
“ memang sangat berterima kasih
pada Syekh Yusuf karena ajaran Islam
di sana yang tidak membedakan warna
kulit. Di Afrika Selatan bahkan ia diberi
gelar As-salam
Di tengah arus globalisasi yang
melanda bangsa ini, semangatsemangat kearifan, keteladanan
kepahlawanan dan karakter Syekh
Yusuf yang haus ilmu, pantang
menyerah dan berjuang hingga
titik darah penghabisan sangat
diperlukan terutama bagi generasi
muda mendatang. Semoga kita yang
ditinggalkan dapat mewarisi karakter
beliau sebagai pejuang tanpa pamrih.
f ilm yaitu salah satu
bentuk hiburan yang dikenal
dan memiliki dampak yang luas
bagi warga nya. Menurut Jowett
dan Linton (1980: 15) film yaitu
media hiburan yang sederhana dan
murah. Hiburan film sendiri mulai
dikenal di Hindia-Belanda pada
awal abad ke-20, ditandai dengan
pertunjukan berupa gambar idoep.
Pada awalnya, pemutaran film belum
memiliki tempat yang tetap bahkan
pertunjukan yang sederhanadilakukan
di tempat terbuka. Pemutaran film di
tempat terbuka (openlucht) disebut
juga “misbar”, singkatan dari gerimis
bubar (Tjasmadi, 1992: 11).
Perkembangan Regulasi Perfilman
Film perlahan-lahan menggeser
Komedi Stamboel dan Toneel,
menjadi hiburan yang popular di
kalangan warga pada masa
itu. Seiring dengan kepopuleran
hiburan film, pengaruh film terhadap
gaya hidup warga mulai
terlihat. Pemerintah Hindia-Belanda
khawatir adanya perubahan perilaku
warga pribumi akibat pengaruh
film terlebih lagi terhadap perubahan
pandangan warga pribumi
terhadap kewibawaan bangsa kulit
putih. Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan sejumlah regulasi yang
mengatur film serta bioskop dalam
Ordonansi Bioscoope pada tahun
1916. Hak pemeriksaan film oleh
komisi regional yang ditunjuk gubernur
jendral serta denda atas pelanggaran
peraturan ini dijelaskan dalam
Staatsblad van Nederlandsch-Indie,
No. 276, Tahun 1916. Pemerintah
Hindia-Belanda terus melakukan
penambahan regulasi yang mengatur
tentang hiburan film sebagaimana
yang terlihat dalam Staatsblad
tahun 1919 no. 377 mengenai
Bioscoopordonantie, Staatsblad tahun
1919 no. 742 mengenai peraturan
untuk mengurangi resiko pengaruh
yang merugikan dari kunjungan
bioskop oleh anak-anak dan Staatsblad
tahun 1922 No. 688 mengenai
penarikan biaya atas pemeriksaan
film. berdasar Staatsblad van
Nederlandsch-Indie, No. 477/ 1925,
F
pada 1 Januari 1926 diberlakukan
Filmordonnantie 1925 mengenai
komisi film. Regulasi ini diperkuat
dengan diberlakukannya Staatsblad
No. 507/ 1940 yang mengatur tentang
sejumlah batasan secara lebih rinci dan
menjelaskan definisi film, pertunjukan
film bahkan dengan rinci menjelaskan
mengenai usaha hukum hingga sanksi
pidana serta mekanisme pemeriksaan
film impor dan film dalam negeri.
Memasuki era pendudukan
Jepang, hiburan film mengalami
perubahan drastis. Pemerintah Jepang menyadari betul peran film sebagai
suatu media propaganda yang ampuh.
Pemerintah Hindia-Belanda sendiri
juga melakukan hegemoni melalui film
terhadap warga pribumi, hanya
saja proses ini dilakukan secara
halus berbeda dengan pemerintah
Jepang yang melakukan propaganda
secara paksa dan terang-terangan
sehingga membuat warga
pribumi jenuh dengan film-film
propaganda yang diputar selama masa
pendudukan Jepang. Sikap anti Barat
pemerintah Jepang dapat dilihat dalam
kebijakan mereka mengubah namanama Bioskop yang menggunakan
nama Barat dengan nama Jepang dan
menghentikan impor film Barat.
Memasuki periode tahun
1950-an, pemerintah Indonesia
mengeluarkan undang-undang
mengenai perfilman, pada masa
sebelumnya undang-undang yang
ada yaitu warisan Pemerintah
Hindia-Belanda. berdasar Arsip
Nasional Republik Indonesia No.
58 Daftar Pertelaan Arsip Peraturan
Perundang-Undangan Dirinci Menurut
Jenis Peraturan Pemerintah Periode
1950-1960, pada tahun 1951 terbit
Peraturan Pemerintah No. 26/ 1951
tentang Mengubah Peraturan Film
1940 (Filmverordening 1940, s. 1940
No. 539). Peraturan Pemerintah
No. 26/ 1951 lalu mengalami
perubahan dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 7/ 1954,
yang dapat dilihat pada Arsip Nasional
Republik Indonesia No. 204 Daftar
Pertelaan Arsip Peraturan PerundangUndangan Dirinci Menurut Jenis
Peraturan Pemerintah Periode 1950
– 1960. Peraturan Pemerintah No. 7/
1954 tentang Mengubah Peraturan
Pemerintah No. 26/ 1951 (Lembaran
Negara No. 38/ 1951) tentang
Mengubah Peraturan Film 1940
(Filmverordening 1940, s. 1940 No.
539). Peraturan perundang-undangan
yang diterbitkan pemerintah masih
belum fokus untuk pengembangan film
nasional. Sehingga dapat dikatakan
bahwa peraturan yang ada belum
menjamin bahwa Indonesia telah
memiliki politik perfilman yang jelas.
Pasang Surut Layar Perak di
Surabaya
Pada kurun waktu tahun 1950
– 1970 produksi film-film nasional
banyak yang bertemakan perjuangan
seperti Darah dan Doa, Enam Jam di
Yogya, dan Lewat Djam Malam. Situasi
nasional yang baru saja melalui revolusi
fisik, perjuangan pengembalian Irian
Barat, usaha-usaha menekan gerakan
separatis di berbagai daerah menjadi
salah satu faktor yang menjadikan
film-film yang bertemakan perjuangan
banyak diproduksi. Produksi filmfilm bertemakan perang didukung
dengan keterlibatan beberapa instansi
pemerintah dalam produksi suatu film
nasional, seperti keterlibatan Bank
Koperasi Tani dan Nelayan yang terlibat
dalam produksi film “Lembah Hidjau”,
Bank Negara terlibat dalam produksi
film “Masa Badai dan Topan” dan “Maut
Mendjelang Sendja” serta Kodam XVI
Hasanuddin dalam produksi film Terror
di Sulawesi Selatan. Pada era ini
ada satu kebiasaan dimana sebelum
film utama diputar biasanya terlebih
dahulu diputar film extra yaitu berupa
film berita dari Perusahaan Film
Negara (PFN). Film berita ini
berisi rangkuman berita dari dalam
dan luar negeri untuk diinformasikan
kepada warga . Kebiasaan ini
meniru pola yang pernah diterapkan
pada era Pendudukan Jepang.
Pada periode ini pula, hiburan film
mengalami masa-masa yang sulit
dengan adanya pemboikotan film-film
Amerika oleh Panitia Aksi Pemboikotan
Film Imperialis Amerika Serikat
(PAPFIAS) dengan puncaknya yaitu
pembubaran American Motion Picture
Association of Indonesia (AMPAI).
Aksi yang dilakukan PAPFIAS di
Surabaya bahkan berlangsung keras
dengan pembakaran gedung AMPAI
yang berada di jalan Sumatera. Aksi
ini didukung pula oleh Komando Daerah Pemboikotan Film Imperialis
Amerika Serikat Jawa Timur yang
menyelenggarakan ceramah di
Surabaya pada 7 Agustus 1964 dalam
rangka memperhebat pelaksanaan
pemboikotan film-film imperialis AS.
Aksi ini didasari terutama pada
persoalan politis seperti usaha
pemerintah Amerika Serikat yang
bermaksud untuk memperluas
wilayah operasi bagi armada ketujuh ke Samudera Indonesia. Hal
ini dipandang telah mengganggu
kedaulatan Indonesia melalui proyek
neokolonialisme Malaysia. Tindakan
pemerintah Amerika Serikat ini
dipandang untuk kepentingan Amerika
Serikat dalam memperluas perangnya
serta membantu Malaysia yang berarti
turut campur dalam permasalahan
yang tengah dialami Indonesia
dan Malaysia. Bangsa Indonesia
yang tengah gencar berada dalam
semangat Dwikora beranggapan
bahwa pemutaran film Amerika Serikat
bertentangan dengan semangat
pelaksanaan Dwikora. Alasan lain
yaitu karena merajalelanya filmfilm bandit atau seks yang diproduksi
Amerika menerbitkan keprihatinan
mendalam.
Melihat kondisi ini , pemerintah dalam ini Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan Republik
Indonesia mengeluarkan Surat
Putusan Nomor 40439/Kab mengenai
batasan-batasan yang dianggap
terlarang pada film-film, adegan,
percakapan, tulisan ataupun inti moral
dalam film yang bersifat menganjurkan
perang, mendatangkan pengaruh
buruk bagi kesusilaan dan nilai prajurit,
melanggar codex perwira (azas
kesatriaan), memperlihatkan usaha
untuk merobohkan pemerintah sendiri
dan memperlihatkan bahwa sesuatu
tujuan atau maksud, baik maupun
buruk, dapat dicapai dengan memakai
kekerasan yang menggunakan senjata
secara berlebih atau berulang, (Arsip
Nasional Republik Indonesia No. 1833
Inventaris Kabinet Presiden RI). Namun
berbeda dengan Menteri Perdagangan
Adam Malik yang menyatakan bahwa
tidak masuk akal bahwa hanya filmfilm AS yang dianggap merusak,
sedangkan ada film-film yang beredar
di Indonesia dari negara-negara lain
yang tidak sesuai dengan kepribadian
Indonesia (Arsip Nasional Republik
Indonesia No. 1000 Inventaris Arsip
Dr. H. Roeslan Abdoel Gani 1950 –
1976). ini didasarkan pada
Politik Indonesia yang bebas-aktif
dan hubungan diplomatis IndonesiaAmerika Serikat yang termasuk di
dalamnya hubungan dagang impor
film, menjadi bahan pertimbangan
Menteri Perdagangan Adam Malik.
Aksi dan Reaksi warga
Surabaya
Kota Surabaya menjadi salah satu
kota yang mendukung usaha boikot
film-film Amerika dan menentang keras
sikap pemerintah Amerika Serikat
yang bermaksud untuk memperluas
wilayah operasi bagi Armada ke-7 ke
Samudera Indonesia. Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
cabang Surabaya mengadakan protes
keras kepada pemerintah Inggris
dan Amerika Serikat serta mendesak
pemerintah untuk segera mengambil
alih modal-modal Inggris yang ada
di Indonesia dan memboikot film-film
Amerika Serikat sebagai jawaban
atas sikap pemerintah Amerika Serikat
(Trompet Masjarakat, 1954). Bentuk
aksi juga datang dari Gerwani yang
sewaktu Konferensi Gerwani pada
28 – 30 Agustus 1954 di Surabaya
menghasilkan sembilan resolusi, salah
satunya yaitu Resolusi Mengenai
Pemberantasan Film dan BukuBuku Cabul dan Propaganda Perang
(Arsip Nasional Republik Indonesia
No. 1093 Inventaris Kabinet Presiden
RI). Resolusi ini disampaikan
kepada Presiden karena dipandang
perlu dengan adanya kemerosotan
akhlak para pemuda. usaha yang
mendukung aksi boikot film impor
juga datang dari para seniman ludruk.
Delegasi kongres Ludruk Surabaya
menghadap gubernur Jatim dan
Front Nasional tingkat I Jatim untuk
menyampaikan agar menghentikan
pemasukan dan pemutaran film-film
India beserta lagu-lagunya sebagai
bentuk protes terhadap sikap negara
India yang telah membantu Malaysia
(Trompet Masjarakat, 1965).
Pemerintah mengeluarkan
berbagai instruksi terkait pelarangan
tren-tren budaya Barat yang
dipopulerkan melalui film-film,
salah satunya yaitu dengan
dikeluarkannya Instruksi Menteri P dan
K tentang potongan rambut, pakaian
dan panggilan nama (Surabaja Post,
1964). Kotamadya Surabaya melalui
Surat Keputusan No. 307/ K tahun
1967 melarang diselenggarakannya
film untuk umum dalam bentuk dan
sifat apapun di luar gedung bioskop
(Perhimpunan Peraturan Daerah Kota
Surabaya Koleksi Dinas Hukum Kota
Surabaya). ini sebagai jawaban
atas protes dari warga karena
pemutaran film yang dimaksud tidak
memperhatikan soal pembatasan
umur yang telah digariskan dalam
sebuah peraturan.
Hiburan film dan sisi nasionalisme
warga Surabaya yaitu dekat,
sedekat jantung dengan detaknya.
Film-film bertema perjuangan banyak
diproduksi mengikuti semangat
nasional yang baru saja melalui
revolusi fisik dan pengembalian
Irian Barat. Begitu pula dengan
film dari negara sosialis dan AsiaAfrika yang menampilkan sisi
patriotik, mendapatkan tempat dalam
warga Surabaya. warga
Surabaya menampilkan sisi
nasionalisme nya melalui penolakan
dan aksi pemboikotan terhadap
film-film Amerika serta memberikan
dukungan terhadap kebijakan Anti
Budaya Barat yang menyertainya.
Aksi ini didasari atas sikap Amerika
yang dipandang telah mengganggu
kedaulatan RI dengan Neokolonialisme
Malaysia ditengah semangat Dwikora
yang tengah menggelora.
p eringatan Haul Mbah Wahab—
begitu sapaan akrab Kiai Haji
Abdul Wahab Chasbullah—
ke-43 begitu berbeda. Bukan
hanya berbeda karena keseriusan
Panitia mempersiapkan acara di
Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang Jawa Timur
pada 1 – 6 September 2014 lalu, tetapi
rangkaian acara yang menyertainya.
Selain penampilan hadrah dari Ikatan
Seni Hadrah Republik Indonesia
(Ishari), pameran dokumen dan foto
juga berlangsung yang terwujud
melalui kerjasama dengan Museum
Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur
dan Perpustakaan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta.
Menambah kemeriahan, pemberian
santunan kepada anak yatim dan
dhuafa serta wisuda mahasiswa
Sekolah Tinggi Agama Islam Bahrul
Ulum (STAIBU) yang kini bernama
Universitas Kiai Haji Abdul Wahab
Chasbullah (Unwaha) juga digelar.
Pengajian umum yang dipimpin Kiai
Haji Mustofa Bisri selaku penjabat
Rais Aam PBNU yang menggantikan
Kiai Haji Sahal Mahfuzh yaitu
puncak acara (Aula, September
2014).
Menurut Endang Turmudhi
dalam Struggling for the Umma;
Changing Leadership Roles of Kiai
in Jombang East Java, Pesantren
Bahrul Ulum yaitu pondok
pesantren (ponpes) keempat terbesar
dan mutakhir di Jombang, yang juga
yaitu ponpes tertua, sejak
berdiri pada 1825 oleh Kiai Shoichah
atau Kiai ‘Abdussalam. Pada awalnya
pesantren ini bernama Pesantren
Nyelawe atau Telu. Mengapa Nyelawe
atau Telu? ini dikarenakan
mulanya pesantren hanya memiliki 25
santri dan 3 bangunan. Sang pendiri
yaitu keturunan Raja Majapahit,
Brawijaya VI. Setelah Kiai Chasbullah
Said—ayah Wahab Chasbullah—
memimpin, nama ponpes pun
berganti menjadi Tambak Beras
karena Chasbullah sering menyimpan
sejumlah besar beras di lumbung
padinya. Hingga saat Mbah Wahab
memimpinnya sepanjang 1926 –
1971, pada tahun 1967 nama ponpes
pun kembali berganti, menjadi Bahrul
‘Ulum. Chasbullah Said yaitu
anak keempat Kiai Said. Kiai Said
dan Kiai Usman yaitu dua santri
yang membantu pengelolaan ponpes
ini pada mulanya.
Mengapa Wahab Chasbullah?
Pada Kamis 24 April 2014,
Universitas Nasional menggelar
P
Seminar Nasional “KH. Abdul Wahab
Chasbullah dalam Politik, Keagamaan
dan Transformasi Sosial warga
Indonesia: Usulan Bagi Pengangkatan
Pahlawan Nasional”. Ahmad Baso
yaitu salah satu pembicara
dalam seminar ini . Baso dalam
“Mengapa Kiai Wahab Chasbullah
Layak Pahlawan Nasional?”
menyatakan bahwa Resolusi Jihad
dan Barisan Kiai yaitu elemen
vital rakyat Surabaya melawan
Sekutu dalam Pertempuran 10
November 1945. Begitu pula alasan
yang Pemerintah kemukakan melalui
Surat Keputusan Presiden Nomor
115/III/2014, yang ditetapkan pada
6 November 2014. Sehari lalu
Presiden Joko Widodo berkenan
membacakan keputusan ini .
Resmilah Wahab Chasbullah
menyusul Hasyim Asy’ari yang lebih
dulu resmi menjadi pahlawan pada 17
November 1964. Keduanya berperan
besar mendirikan Nahdlatoel Oelama
(NO) pada 31 Januari 1926 bertepatan
dengan 16 Rajab 1344 H.
Gus Dul, Sang Santri Kelana
Menurut Greg Fealy dalam buku
“Traditionalism and the Political
Development of Nahdlatul Ulama”,
Gus Dul—begitu sapaan Chasbullah
kecil—pun belajar ilmu keagamaan
pada banyak ponpes. Sejak usia tujuh
tahun hingga 22, Gus Dul menjelajahi
7 ponpes di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Kiai Cholil dari Kademangan
Bangkalan Madura dan Kiai Hasyim
Asy’ari dari Tebuireng Jombang
yaitu dua guru Gus Dul. Kepada
keduanya, Gus Dul menghabiskan
empat sampai tiga tahun belajar. Di
sanalah Gus Dul bertemu banyak
kiai terkenal: Kiai Bisri Syansyuri, Kiai
Abdul Karim dari Lirboyo Kediri, Kiai
Abbas dari Buntet Cirebon, dan Kiai
As’ad Syamsyul Arifin dari Situbondo. Setiap kali berlangsung Kelas
Musyawarah, Gus Dul berbeda dari
teman sebaya dan kakak kelasnya,
melakukan istinbath (penyimpulan)
serta mempertimbangkan keadaan
sosial tidak hanya pertimbangan
hukum semata. Kitab kuning yang
berikan pemahaman kelampauan
perihal tauhid, fiqh, ushul fiqh, bahasa
Arab, dan tajwid membekali Gus Dul
melihat situasi kekinian atas peristiwa
politik.
Pada tahun 1913 Gus Dul
melengkapi risalah keilmuannya
dengan me-laksanakan haji dan tentu
saja memperdalam pemahaman
khazanah keislaman, antara lain
kepada Kiai Mahfuzh dari Termas, Kiai
Baqir dari Yogyakarta, Kiai Muchtaram
dari Banyumas, dan Syaikh Ahmad
Khatib dari Minangkabau. Tidak
hanya belajar, Gus Dul juga berpolitik.
Bersama ketiga temannya, Gus Dul
ikut mendirikan Sarekat Islam afdeling
Makkah.
Mempersiapkan dan
Mempertahankan Republik
Mengutip apa yang dikatakan Greg
Fealy, sepulangnya dari Mekkah pada
akhir tahun 1914 atau awal tahun
1915, pada awal usia 30 tahun, Gus
Dul justru sengaja tidak memilih pulang
ke Tambakberas, tetapi menetap di
kota pelabuhan Surabaya. Surabaya
pada waktu itu mirip seperti sekarang
yang yaitu kota koloni terbesar
kedua setelah Batavia. Di Surabaya
pula, berpusat kegiatan politis Sarekat
Islam, Indische Sociaal-Democratische
Vereniging (ISDV), dan organisasi
lainnya. Sekitar satu dasawarsa, Gus
Dul bermukim di Surabaya.
Pada tahun 1916, Gus Dul
menikahi anak perempuan Kiai Musa,
lalu mengajar di madrasah milik ayah
mertuanya di Kertopaten. Pada tahun
yang sama, bersama seseorang yang
kelak mendirikan Muhammadiyah—
Kiai Haji Mas Mansur—Gus Dul
mendirikan Nahdlatul Wathan, sebuah
madrasah yang menggabungkan
pendidikan modern dan tradisi. Bisri
Syansuri, Abdul Halim Leimunding,
dan Abdullah Ubaid membantu mereka
berdua. Menggenapi perilakunya,
Gus Dul mengasah kemandirian
berekonominya melalui perdagangan.
Beras dan tepung yaitu bahan
dagangan pertamanya yang dia
ambil dari perkebunan keluarganya di
Tambakberas. Dua tahun kemudian,
kembali beliau mendirikan organisasi.
Beliau pun mendirikan Nahdlatut Tujar
(NT)—sebuah organisasi saudagar
atau pedagang, yang didirikan bersama
Hasyim Asy’ari. Meski singkat,
NT yaitu bukti kemandirian
organisatoris-ekonomis pihak tradisi.
Bisnisnya juga menjangkau perjalanan
haji. Setelah ayahnya mangkat, dia
telah menjadi agen besar bagi Kongsi
Tiga, sebuah perusahaan perjalanan
laut. Akan tetapi, tuduhan korupsi
menghinggapinya.
“Islam dan politik tak terpisahkan
sebagaimana gula dan manis,”
begitu ucapnya. Dia aktif hingga
tahun 1920 dan yaitu
kader terbaik Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. Dia pun mengenal
Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat,
Wondoamiseno, Sneevliet, Alimin,
Musso, Abikusno Tjokrosujuso, dan
Soekarno muda yang tinggal di kos
milik Tjokroaminoto. Seiring waktu
berjalan, sejak awal dasawarsa
1910-an, Surabaya menampilkan
pembedaan tajam gerakan modern
dan tradisi, baik melalui pelemahan
kharisma ulama dan pijakan ekonomi.
Beliau pun mendirikan Tashwirul Afkar,
sebuah kelompok diskusi khas Islam,
bersama dengan Kiai Achmad Dachlan
dari Kebondalam. Tema diskusi
membentang dari ijtihad dan taqlid
hingga tanggapan atas penjajahan.
Sekalipun menerima inovasi
pendidikan dan pembaruan sosial,
posisi ulama bagi dia tetap paling
tinggi, karena yaitu pewaris
para nabi dan penjaga kemurnian
ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Beliau acapkali berdebat dengan Kiai
Achmad Dachlan dari Muhammadiyah
dan Syaikh Achmad Soerkarti
dari Al Irsyad. Pada tahun 1921,
Muhammadiyah cabang Surabaya
berdiri. Mas Mansoer memilih
bergabung dengan Muhammadiyah,
meninggalkan Nahdlatul Wathan
pada tahun 1922. Pada waktu
itulah Chasbullah menggubah Yaa
Lal Wathan, sebuah lagu tentang
cinta tanah air dan perjuangan
membebaskannya dari penjajahan.
Simak saja liriknya: “Pusaka hati
wahai tanah airku/ Cintamu dalam
imanku/ Jangan halangkan nasibmu/
Bangkitlah, hai bangsaku!// Indonesia
negriku/ Engkau Panji Martabatku/
S’yapa datang mengancammu/ ‘Kan
binasa dibawah dulimu!”///
Menurut Saifuddin Zuhri dalam
buku “K. H Abdulwahab Chasbullah Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama”,
Chasbullah juga mendirikan Tashwirul
Afkar, suatu kelompok diskusi serupa
Indonesische Studie Club bentukan
Soetomo, pendiri Boedi Oetomo.
Bersama Soetomo, Chasbullah juga
mendirikan Islamic Studie Club.
Bahkan Soerjo Soemirat, organisasi
bentukan Boedi Oetomo di Surabaya,
juga mengikuti Tashwirul Afkar. Hal
itu semakin menegaskan karakter
keterbukaan Chasbullah.
Pada tahun 1922, Kongres Al
Islam I meninggalkan luka bagi para
tradisionalis. Para modernis menuduh
para tradisionalis melakukan syirik
dan bid’ah, bahkan kafir. Runtuhnya
Kekhalifahan Turki Utsmani dan
penguasaan Abdul Aziz ibn Sa’ud
atas Mekkah pada tahun 1924,
menimbulkan tanggapan berupa
pelaksanaan Kongres Khilafah di Kairo
pada tahun 1925 dan di Mekkah pada
tahun 1926. Untuk mempersiapkan
kehadiran di Kongres ini , pada
Desember 1924, Chasbullah terpilih
sebagai wakil kalangan tradisionalis.
Hingga akhirnya mendirikan Komite
Hijaz untuk meminta kepada Ibn Sa’ud
mempertahankan tradisi di Haramain.
Kelak pada akhir Januari 1926, Komite
Hijaz berubah menjadi Perkoempoelan
Nahdlatoel Oelama, Chasbullah
pun menjadi salah satu pengurus
hoofdbestuur-nya (Pendahuluan pada
Inventaris Arsip Nahdlatul Ulama 1952
– 1982). Sekalipun berbeda pilihan
namun Chasbullah tetap bertujuan
meninggikan Islam, sebagaimana
tercermin pada pendirian Majelis Islam
‘ala Indonesia (MIAI) yang berubah
menjadi Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi), sebuah
federasi partai-politik dan organisasi
kewarga an Islam. Chasbullah
juga yaitu salah satu anggota
Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Chasbullah juga
mendirikan majalah tengah bulanan
“Soeara Nahdlatoel Oelama” yang
bertahan selama 7 tahun, lalu berganti
menjadi Berita Nahdlatoel Oelama
(Antologi NU Buku I).
Pada 22 – 23 Oktober 1945,
Chasbullah memimpin rapat ulama
di Bubutan Surabaya. Rapat ini
yaitu usaha menanggapi
kedatangan Presiden Soekarno.
Hasil rapat berupa Resolusi Jihad
yaitu draf Chasbullah sendiri.
Pada 23 Oktober 1945, Hasyim
Asy’ari membacakan Resolusi Jihad
yang menyerukan “jihad fi sabilillah”
mempertahankan tanahair dan segera
ponpes-ponpes di Jawa dan Madura
menjadi markas pasukan non-regular
Hizbullah dan Sabilillah. Melalui
Resolusi Jihad, pertempuran itu
menjadi milik seluruh rakyat Surabaya
melalui peran santri dan kiai.
Partai Nahdlatul Ulama
Pada Muktamar XIX di Palembang
dalam Konsepsi P. B. N. O Mengenai
Perundingan N. O. – Masyumi tertulis:
“Menjetudjui putusan P.B.N.O tanggal
5/6 April 1952, bahwa N. O setjata
organisatoris memisahkan diri dari
Masjumi ….” Pada 31 Juli 1952, Wahid
Wasjim selaku Ketua Muda Pengurus
Besar Nahdlatoel Oelama (PBNO)
Tandfidzijah menyatakan: “… kami
memanggil kembali saudara2 K.H
Masjkur dan A. Wahid Hasjim, jang
hingga kini mendjadi anggota2 Dewan
Pimpinan Partai Masjumi, serta K.H.A
Wahab Hasbullah jang hingga kini
mendjadi Ketua Madjels Sjuro Pusat
….” Surat ini ditujukan kepada
Dewan Pimpinan Partai Masjumi dan
ditembuskan kepada K. H. A Wahab
Hasbullah sebagai Ketua Sjurijah
PBNO. Chasbullah—dalam arsip ditulis
Hasbullah—yaitu ketua delegasi
dari PBNO untuk berunding dengan
Masyumi, dan akhirnya memutuskan
berpisah dari Masyumi sekalipun
banyak pihak yang menyangsikan.
Kesangsian ini berdampak
sebaliknya sebagaimana tampak pada
hasil Pemilu tahun 1955.
Chasbullah yang memulai pendirian NO, mendesak pemisahan NO
dari Masyumi, dan mempertahankan
posisi dalam Demokrasi Terpimpin.
Kali ini, pada kurun tahun 1952 –
1970, Chasbullah mempercayakan
Partai NU kepada Idham Chalid.
Pada dasawarsa tahun 1960-an dan
1970-an, Chasbullah menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
(Antologi NU Buku I). Pada Rabu, 12
Dzulqa’dah 1391 bertepatan dengan 29
Desember 1971, Chasbullah wafat dan
dikuburkan di Pemakaman Keluarga
Pesantren Bahrul Ulum Tambak
Beras Jombang. Dari Tambakberas,
beliau pergi; ke Tambakberas beliau
pulang. Beliau menjabat sebagai
Rais Aam, selepas wafatnya Hasyim
Asy’ari sebagai Rais Akbar, hingga
meninggalnya.
logan yang menyatakan
bahwa setiap zaman akan
melahirkan anak zamannya
masing-masing nampaknya benar
adanya. Peran dari generasi muda
tidak akan pernah terputus dari
sejarah bangsa ini. Kita pun menyadari
bahwa bangsa Indonesia, selalu
membutuhkan pahlawan-pahlawan
baru untuk mewujudkan kehidupan
rakyat Indonesia menjadi lebih baik.
Berkenaan dengan hal itu, redaksi
dari Majalah Arsip mengangkat sebuah
komunitas nirlaba yang bernama “Lab
Laba-Laba”. “Tidak ada maksud apaapa terkait nama laba-laba, filosofi dari
lab laba-laba juga tidak ada, seingat
saya hanya kebetulan saja nama lab
lalu laba-laba kedengarannya bagus
diucapkan. Kami juga tidak tahu
kegiatan kami bisa sejauh ini semua
hanya serba kebetulan saja,” ujar
Edwin selaku senior dan pimpinan
dalam komunitas ini. Ia yaitu
seorang Sutradara film yang telah
menghasilkan film berjudul “Babibuta
Ingin Terbang” dan “Postcard from
the Zoo”. Komunitas ini terdiri dari
25 anggota yang sebagian besar
yaitu para pemuda yang berasal
dari kalangan mahasiswa, seniman,
pekerja dan pegiat film yang peduli
dengan perkembangan perfilman
Indonesia. Komunitas ini secara
sukarela datang ke PFN (Perusahaan
Umum Produksi Film Negara) demi
ikut membantu kegiatan konservasi
melalui pendataan rol-rol film yang
terancam musnah dan penggunaan
kembali benda-benda pemrosesan
film yang kini mulai dianggap usang
serta menjadikan film-film itu sebagai
arsip film nasional. “Ruangannya bau
sekali, kita harus pakai masker dan
sarung tangan, kita belum pernah
sebelumnya menyentuh yang bisa kita
tulis dan catat yaitu ini film apa, kita
tulis ulang kita buka kalau bisa dibuka,
kita lihat kondisi yang bisa kita baca
kita tulis ulang, yang sudah dicek kita
tandai, satu orang cek satu rak, yang
udah ditandain. Semua yang ada di
stiker kita kopi tulisan dan kondisi
fisik kami tandain. Untuk pengaturan
kami dasarkan pada kehadiran para
anggota untuk ngedata sesuai dengan
kemampuannya, tidak ada kewajiban
untuk ngedata sesuai target. Pokoknya
sangat tidak terorganisirlah, misal
hanya bisa satu rak itu ya udah, yang
belum kita bisa, yah belum dilakukan,
“ ujar Anggun.
Kegiatan yang telah berlangsung
sejak bulan Maret tahun 2014 ini murni
sebuah kegiatan konservasi tanpa
ada tujuan meraup keuntungan. “Ini
yaitu wujud kepedulian para anak
muda yang bergerak dalam industri
film masa kini. Bahwa penting bagi kita
untuk menghargai film-film produksi
lama yang sempat membuat tempat
ini menjadi laboratorium film terbesar
di Asia Tenggara,” ujar Anggun salah
satu anggota serta pendiri Lab LabaLaba. Edwin juga menambahkan,
usaha konservasi oleh Lab Laba-Laba
masih sebatas pendataan. Ribuan rol
film yang masih tersimpan dipisahkan
mana yang masih baik kondisinya dan
mana yang tergolong rusak dengan
mencatat judul tiap film, tahun produksi
(jika ada keterangan), kondisi detail
rol filmnya, dan berapa jumlah kaleng
filmnya.
Lab Laba Laba bekerja sama
dengan PFN, BUMN yang bergerak
dalam hal produksi film, yang berlokasi
di Jakarta Timur. “Kami tidak memilih
tempat ini pada awalnya, namun
bertepatan dengan kami datang ke
PFN serta mendapat izin untuk melihat
gedung ini kebetulan ada satu gedung
menarik yaitu gedung laboratorium
film. Gedung tua yang tidak terawat
lagi yang menurut kami bagus, yang
pada awalnya lab ini ada tempat
mengolah yang berfungsi sekarang
sudah tidak berfungsi, lalu ada ruang
kamar gelap, ada ruang penyimpanan
arsip film yang rolnya sudah lengket di
belakang dan ada masa lalu menarik
yang tersimpan di lab ini. Ini memang
bukan tanggung jawab kami, namun
bertepatan sekali kami semua ada
waktu untuk bersihin, kami pun
bersihkan lab ini. “Dari situlah kami
berkesimpulan kenapa arsip film
disini tidak didata saja sekalian.
Walaupun masih ada sisa-sisa rol
film yang belum bisa kami olah”,
jelas Anggun. Kepedulian Edwin
dan kawan-kawannya dari Lab LabaLaba mendapat sambutan baik dari
pihak PFN. Edwin menjelaskan, ada
sekitar 2.000 rol film di dalam ruang
penyimpanan di gedung film PFN.
PFN yang sejak tahun 1975 sudah
memproduksi 46.000 film dokumenter
yang kebanyakan berbentuk newsreel
semacam dokumenter atau potonganpotongan film berita, fiksi, serta
menyimpan beberapa aset gulungan
film, peralatan produksi film, seluloid,
dan beberapa dokumen penting
lainnya, serta sempat menjadi pusat
produksi film terbesar di kawasan Asia
Tenggara. Edwin sendiri menganggap
PFN yaitu tempat yang kondusif
untuk melakukan eksperimen dalam
melakukan kegiatan konservasi arsip
film. Lab Laba Laba mengapresiasi
tempat ini dengan mengadakan
berbagai macam aktivitas yang
berkaitan dengan pengenalan,
eksplorasi, serta interpretasi film
analog berbasis seluloid, termasuk
membuat film dengan arsip-arsip film
yang sudah ada serta perawatan dan
pendataan film lama milik negara.
Adapun tempat perawatan arsip film
berukuran 4 x 7 meter dengan kondisi
Pengap dan lembap. Di dalamnya
terdapat empat rak besi berjejer rapi
yang di atasnya tersimpan kalengkaleng logam berisikan gulungan pita
film yang telah tersimpan di sana
selama puluhan tahun. Ratusan
pita film diantaranya tampak rusak,
pitanya meleleh teroksidasi. Beberapa
kalengnya bengkok karena terlalu
lama disimpan. ini sangat
disayangkan karena koleksi seluloid di
gedung PFN yaitu master dari filmfilm kala itu. Dalam sebuah ruangan
yang bertabur gelap, kita masih bisa
menemukan tumpukan kaleng-kaleng
penyimpanan rol film seluloid di sini.
Dengan bau kimia yang menyengat
tajam, ruangan yang terbengkalai
sekitar 10 tahun ini masih merekam
jejak dunia film Indonesia pada
berbagai era terdahulu. Ada jamur
yang hinggap di bagian dalam kaleng,
yang menempel di film seluloid itu. Namun menurut Edwin arsip ini ada
yang bisa dibersihkan dan diputar
kembali nantinya. Gambar yang
sudah terekam rol film seluloid, tidak
akan punah oleh hantaman waktu. Ini
juga tahan tanpa sebuah perawatan
khusus yang tentunya memakan
biaya. “Sampai saat ini, baru sekitar
600-an rol film yang telah kami data.
Syukurnya, dari 600 itu sebagian besar
kondisinya masih bagus. Namun, ada
satu lagi ruang penyimpanan yang
sudah hancur total. Semua rol film di
dalamnya rusak. Tak terselamatkan,”
jelas Edwin. “Terbayang bagaimana
kalau arsip film dibiarkan rusak
dan hancur. Indonesia tidak punya
dokumen arsip film secara lengkap.
Sayang, bukan?” lanjut Edwin.
Dalam menjalankan aksi
perawatan arsip film nasional di
PFN, para anggota Lab Laba-Laba
membutuhkan waktu sekitar 2 minggu
untuk mendata film. “Kami satu
ruangan bisa selesai pendataan sekitar
2 minggu dengan hasilnya 600 judul
film. Pokoknya jangan dibayangkan
pengerjaannya seperti di ANRI.
Dengan cara kita buka, mendata, dan
mencari keterangan serta keadaan
fisik saja, jika sudah rusak parah
keadaan rolnya tidak dibuka. Kita tidak
bisa membukanya pernah kita coba
tapi lengket mungkin di ANRI pun tidak
ada arsip film seperti itu. Bersamaan
dengan kondisinya yang bau makanya
kita beli masker. Ada sedikit ketakutan
akan adanya bahaya kesehatan, tapi
bagaimana lagi. Disini juga tidak ada
yang namanya arsiparis. Kita disini
bertindak dalam perawatan dengan
menggunakan insting aja kalau tidak
enak udaranya yah keluar. Ada rasa
penasaran memang melihat keunikan
judul-judul film di rol film ini .
Misalnya ada judul film Mengusir Jin
kita gak tau tahun berapa karena tidak
ada keterangan tahunnya. Kalau film
fiksi kita tahu misalnya film ‘Jakarta
1966’, ujar Edwin.
Adapun harapan Lab Laba-Laba
kedepan terhadap perawatan arsip
film nasional yaitu agar arsip film
PFN yang sudah didata oleh mereka
dipindahkan ke ANRI.
Salah satu hal positif yang
ditemukan oleh Edwin dan para anggota
Lab Laba-Laba lewat kegiatan ini
yaitu mereka dapat menemukan
kembali arsip film-film nasional yang
terbengkalai di PFN. Selama proses
konservasi berlangsung, Lab Laba
Laba menemukan lebih dari 600
judul film yang berwujud seluloid dan
sayangnya tidak diurus dengan baik.
Bahkan hampir seluruhnya belum
sempat didigitalisasi untuk kepentingan
pengarsipan. Dengan dibuatnya
Lab Laba-Laba, Edwin berencana
bisa menjadikan lab yang telah mati
suri di gedung PFN ini bisa menjadi
semacam tempat yang melayani jasa
transfer film dari digital ke film seluloid.
Edwin turut menambahkan bahwa film
seluloid yaitu langkah yang nyata
untuk melakukan pengarsipan secara
fisik. namun untuk sampai pada tujuan,
ia masih akan melakukan banyak
eksperimen, latihan dan berbagi
info dengan ahlinya dengan selalu
berusaha menghidupkan kembali
seluloid dalam sinema Indonesia
kontemporer. Sebab, sejatinya
kemajuan industri film Indonesia tidak
pernah lepas dari sejarah yang pernah
terjadi melalui arsip film yang tersusun
baik dan rapi.
Melihat perjuangan yang dilakukan
oleh komunitas Lab Laba-Laba
ini menyiratkan bahwa Jiwa
kepahlawanan akan tumbuh pada diri
kita saat kita benar-benar memaknai
arti kata pahlawan itu sendiri. Pada
refleksi Hari Pahlawan tahun ini,
kita masih menyimpan optimisme
bahwa akan terus muncul beberapa
generasi muda sebagai ksatria yang
berani berkorban untuk bangsa
dan negaranya. Oleh karena itu,
keyakinan ini tidak akan pernah pudar
bahwa pahlawan di negeri ini belum
habis dan hilang. Dengan semangat
kuat untuk menjadi pahlawan maka
sesungguhnya makna memperingati
Hari Pahlawan telah kita peroleh.
saat kita berperilaku baik, jujur,
tanggung jawab dan mampu berkarya
maka kita telah menjelma menjadi
pahlawan nasional dan pahlawan
publik, tanpa atau dengan adanya
penobatan. Hakikat pahlawan ada
didalam pengabdian dan hati. Tekad
kita untuk terus memampukan diri
menjadi pahlawan bagi bangsa ini,
karena seorang pahlawan hanyalah
orang biasa, namun dia mampu
melakukan kerja-kerja yang luar biasa
untuk kemaslahatan warga nya.
p ada tanggal 19 September
2014 bersamaan dengan
penandatanganan “Working
Plan Between The National Archives
of Republic of Indonesia (ANRI)
and The Archives of Yugoslavia in
The Republic of Serbia (AJRS) in
The Area of Archival Cooperation
for the Year 2013-2016, di Gedung
Arhive Jugoslavije , Republic Serbia
(AJRS), diluncurkan sebuah sebuah
karya monografi mengenai dinamika
hubungan bilateral IndonesiaYugoslavia dengan titik berat pada
kedekatan antara Presiden Sukarno
dan Presiden Yugoslavia Joseph Broz
Tito yang berjudul Jugoslavia and
Indonesia from 1945-1967, Research
and Documentation. Buku disusun
oleh tiga ahli sejarah Yugoslavia, Guru
Besar Fakultas Filsafat Universitas
Beograd, Prof. Dr. Ljubodrag Dimic,
Pakar Institut Sejarah Baru Serbia,
yang yaitu juga Ketua Asosiasi
Persahabatan Serbia dan Indonesia
“Nusantara”, Dr Aleksandar Rakovic
dan Direktur AJRS, Miladin Milosevic.
Ide menyusun buku ilmiah dan
bersejarah ini pertama kali datang dari
Dubes Indonesia di Beograd Semuel
Samson yang disampaikan pada
penyelenggaraan forum “IndonesiaSerbia Bilateral Interfaith Dialogue
(ISBID)” di Beograd, April 2011.
Serbia sendiri yaitu negara
pecahan Yugoslavia, setelah negaranegara bagian memisahkan diri yaitu
kroasia, Slovenia, Bosnia, terakhir
yaitu Montenegro dan sisanya
yaitu Serbia. Serbia yaitu negara
terakhir yang mendeklarasikan
kemerdekaanya pada 5 Juni 2006
dengan ibukota di Beograd.
Jauh sebelum buku ini
muncul memang hubungan IndonesiaYugoslavia telah berlangsung lama.
Hubungan diplomatik di tingkat publik
antara Indonesia dan Yugoslavia,
salah satunya, ditandai pertama kali
lewat tulisan di Harian Politika pada
P
tanggal 15 November 1945, yang
memberitakan tentang perang antara
Indonesia melawan Belanda dan
Inggris.
Hubungan diplomatik Indonesia
-Yugoslavia mencuat kembali
menjelang Konferensi Asia Afrika
(KAA) di Bandung tahun 1955. Pada
tahun 1956, saat Presiden Soekarno
menandatangani Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1956 mengenai
pembatalan sepihak Uni IndonesiaBelanda, karena sikap tidak bersahabat
Belanda dan penolakannya untuk
menyerahkan kembali Irian Baratkepada Indonesia.Pada tahun yang
sama, Presiden Soekarno langsung
berkeliling ke negara-negara Amerika
Serikat, China, Uni Soviet, dan
Yugoslavia untuk mendapatkan
dukungan bagi perjuangan merebut
kembali Irian Barat. Pada tahun
1958, Indonesia mulai menempatkan
perwakilannya di Yugoslavia yaitu M
Nazir sesuai Kepres No 108 th 1958.
Pada tahun yang sama Universitas
Padjadjaran memberikan gelar Doktor
Honoris Causa di bidang hukum
kepada Presiden Yugoslavia, Joseph
Broz Tito.
Pada tanggal 17 Agustus 1960,
Indonesia menyatakan pemutusan
hubungan diplomatik dengan Belanda
dan melakukan persiapan militer untuk
membebaskan Irian Barat. Untuk
menindaklanjuti ini , berbagai
misi untuk mendapatkan bantuan
persenjataan dikirimkan antara
lain ke Cina, Uni Soviet, termasuk
Yugoslavia.
Pada September 1960 saat
Presiden Soekarno dihadapan
Sidang Majelis Umum PBB ke-15
menyampaikan pidatonya yang
berjudul “Membangun Dunia Baru”
(To Build the World Anew). Dalam
pidato ini , Presiden Soekarno
menyerukan “Kekuatan Dunia Baru”
(New Emerging Forces, NEFOS) untuk
bangkit menuju tatanan dunia yang
lebih adil dan seimbang, melampaui
dominasi negara-negara besar di
dunia yang secara ideologis terbagi
ke dalam Blok Barat dan Blok Timur.
Untuk mewujudkan ini ,
Indonesia bertemu dengan para kepala
pemerintahan Ghana, India, Mesir,
dan Yugoslavia guna mempersiapkan
penyelenggaraan Konferensi Tingkat
Tinggi Gerakan Non-Blok I di Beograd,
Yugoslavia pada tahun 1961.
Akhirnya KTT GNB I berhasil
dilaksanakan di Beograd dan hasilnya
disampaikan oleh Perdana Menteri
Nehru dari India ke forum Washington
dan ke Moskow yang mewakili blok
barat dan timur. Bahkan selepas KTT
GNB yang pertama, 1961, Soekarno
dan Tito, berinisiatif merancang
pertemuan antara Presiden John F
Kennedy dengan Presiden Nikita
Khrushchev untuk meredakan
ketegangan diantara kedua blok politik
dan kekuatan militer dunia di era
perang dingin.
Indonesia dan Yugoslavia tidak
hanya bekerjasama di bidang politik
dan perdamaian dunia, melalui
kunjungan Presiden maupun Wakil
Presiden Yugolsavia pada tahun 1962.
Namun juga dalam bidang lain seperti
pendidikan, melalui kunjungan Menteri
Pengajaran Yugoslavia ke Jakarta
. Di bidang lain, yaitu seni budaya,
Indonesia juga pernah mengimpor
film-film dari Yugoslavia pada tahun
1964.
Kedekatan hubungan IndonesiaYugoslavia berkaitan erat dengan kedekatan kedua pimpinan negara
yaitu Soekarno dan Tito sampai akhir
masa jabtannya tercata Presiden
Soekarno telah enam kali berkunjung
ke Yugoslavia, yaitu tahun 1956,
1958,1960,1961,1963 dan 1964.
Bahkan terdengar juga dari panggilan
mereka yaitu”Dear friend Karno”dan
“My Dear friend Tito”.
Setelah sempat vakum saat
terjadi pembantaian etnis (genocida)
terhadap etnis Bosnia. Saat
terjadi kisruh di Kosovo, Indonesia
mendukung penuh penyelesaian
Kosovo secara damai. ini ditandai
dengan kunjungan Ketua DPR RI H
Marzuki Alie beserta delegasi anggota
DPR RI yang mengadakan kunjungan
ke Serbia untuk bertemu Perdana
Menteri Serbia, Ivica Dacic dan Ketua
Parlemen Serbia, Nebojsa Stefanovic.
Kunjungan Ketua DPR RI di Serbia
itu memberikan arti penting bagi
peningkatan hubungan kerja sama
kedua negara, karena untuk pertama
kalinya dalam 57 tahun hubungan
diplomatik Indonesia dengan Serbia
yang dulu bernama Yugoslavia,
terutama dalam peningkatan kerja
sama “Kemitraan Strategis” (Strategic
Partnership) di sektor politik, sosial
budaya, dan khususnya di sektor
ekonomi perdagangan untuk
mendorong kemajuan pembangunan
kedua negara.
Pada 27 Februari hingga 2 Maret
2014, dalam rangka memeriahkan
60 Tahun Hubungan Indoensia
–Jugoslavia diadakan Belgrave
International Fair of Tourism yang
berlangsung di Gedung Sejam,
Beograd.
Saat ini kerjasama bidang
pendidikan juga dilaksanakan dalam
bidang bahasa melalui pengajaran
bahasa Indonesia di Fakultas
Filologi Universi
tas Beograd. Kerja
sama dilakukan antara Universitas
Padjadjaran dan Universitas Beograd
diawali oleh pada 2010 melalui
pengiriman dosen bahasa Indonesia
Dengan semakin banyaknya animo
warga Serbia untuk belajar
Bahasa Indonesia, saat ini KBRI
Beograd juga membuka kelas kursus
Bahasa Indonesia untuk pagi dan
sore. Kelas pagi untuk staf lokal KBRI
dari Serbia, sedangkan sore untuk
warga umum terutama kaum
muda Serbia.
Di Serbia saat ini tersimpan 9.000
foto dan 3.000 dokumen. Surat-surat
dan cendera mata patung kayu “God
Shiva on The Garuda” (Dewa Syiwa
menaiki burung garuda) yang pernah
diberikan Soekarno untuk Tito pada
1956 masih terjaga keberadaannya.
Benda-benda ini yaitu
bukti adanya keterikatan Indonesia–
Yugoslavia (sekarang Serbia).
Semoga hubungan IndonesiaYugoslavia yang telah terjalin selama
ini bisa dilanjutkan dalam berbagai
bidang
t ujuh belas September dua
ribu empat belas yaitu
momentum penting dalam
usaha membangun kesadaran
untuk menyelamatkan arsip para
pemimpin di Republik Indonesia,
yakni saat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menyerahkan arsip
pemerintahannya selama dua periode
(2004–2009 dan tahun 2009–2014)
kepada Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) yang diterima oleh
Kepala ANRI Mustari Irawan di Istana
Bogor. Lebih dari 2.000 dokumen
yang diserahkan SBY dinyatakan oleh
Kepala ANRI dominan dapat dibuka
ke publik karena akan menjadi memori
kolektif bangsa.
Pada acara penyerahan arsip, yang
berita acaranya ditandatangani oleh
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silahi
dan Kepala ANRI, SBY mengatakan,
“Ini berguna bila ada polemik sejarah
di warga . Dokumen negara harus
jelas posisinya di mana, jangan sampai
dokumen negara tidak jelas posisinya.”
Senada dengan Kepala ANRI dalam
hal memori kolektif bangsa, SBY juga
menyampaikan bahwa dokumen yang
diserahkan ke Arsip Nasonal dapat
digunakan untuk suatu penelitian.
Menurut beliau, segala kegiatan
pemerintah dapat dijadikan bahan
tesis, disertasi, dan karya ilmiah. Selain
itu, SBY menambahkan harapannya
agar di tingkat menteri, gubernur,
bupati, walikota juga dapat menyimpan
dokumennya dan diabadikan di Arsip
Nasional.
T Pernyataan Presiden SBY di dalam
acara penyerahan arsip ini
menekankan kembali tentang perlunya
penyelamatan dan pemeliharaan
dokumen negara sebagai bukti
pertanggung jawaban nasional
dan sebagai warisan bagi generasi
mendatang. Belumlah terlambat bagi
kita yang baru mengalami transisi
presiden yang ke-7 untuk melakukan
usaha ini jika dibandingkan
dengan negara yang sudah lebih
dahulu memiliki tradisi ini
dalam rentang waktu yang cukup
lama, seperti usaha yang dilakukan
oleh National Archives and Records
Administration (NARA) terhadap arsip
kepresidenan di Amerika Serikat.
usaha untuk menghimpun dan menyelamatkan arsip kepresidenan
di Amerika Serikat pada awalnya
bukan tanpa hambatan, baik yang
terkait masalah teknis maupun legal
formal. usaha sungguh-sungguh yang
disertai dengan dukungan pemangku
kepentinganlah yang lalu
menjadikan kegiatan yang dilakukan
oleh NARA diperhitungkan sebagai
kegiatan yang strategis.
Awal Keterlibatan NARA dalam
Pemindahan Arsip Kepresidenan
NARA yang didirikan pada tahun
1934 pada awalnya hanya memiliki
khazanah arsip kepresidenan cukup
sedikit sejak Presiden Amerika Serikat
yang pertama George Washington
(1732–1799). Sampai tahun 1981,
koleksi presiden yaitu milik pribadi
presiden, sehingga terkadang arsip
penting dari koleksi ini ada yang
dijual, dimusnahkan, atau tersebar
keberadaannya.
Meskipun demikian, peran NARA
dalam pemindahan arsip presiden
telah dimulai sejak tahun 1939 saat
Kongres Amerika Serikat menerima
“hadiah” Franklin Delano Roosevelt
(1882–1945) berupa tanah untuk
pembangunan perpustakaan dan
arsip presiden Franklin D. Roosevelt
serta bahan-bahan bersejarah lainnya
di Hyde Park, New York.
Undang-Undang Arsip Presiden
Tahun 1978 mengubah kepemilikan
arsip resmi Presiden dan Wakil
Presiden secara sah dari milik pribadi
menjadi milik publik, yang dimulai
pada tahun 1981 setelah pelantikan
Presiden Ronald Reagan, serta
mendefinisikan bahwa Arsiparis
akan bertanggung jawab terhadap
kepemilikan dan pemeliharaan arsip
presiden segera setelah di akhir
periode pemerintahan.
Saat ini ada 13 perpustakaan
Presiden yang yaitu bagian
dari Arsip Nasional dan dikelola oleh
Kantor Perpustakaan Presiden milik
NARA.
Beberapa kisah di Balik
Pemindahan Arsip Presiden
Amerika Serikat
Setiap pemindahan arsip dan
artefak Presiden Amerika Serikat oleh
NARA memiliki berbagai cerita yang
berbeda di baliknya, namun ada yang
tetap konstan berlaku bagi NARA
yaitu mengontrol, mengemas, dan
menginventarisasi arsip dan artefak
secara seksama selama penyerahan
sehingga bahan-bahan ini dapat
segera ditemukan kembali sebelum
akhir pemerintahan.
Penyerahan arsip dan artefak
Presiden Franklin D. Roosevelt
dimulai di tengah-tengah masa
jabatan kepresidenannya. Selama
periode awal ini, arsip Gedung Putih
bahkan dikirim ke Arsip Nasional untuk
fumigasi, karena saat itu Gedung
Putih mempunyai masalah hama.
Pengiriman arsip dan artefak dilakukan
dengan menggunakan truk, sedangkan
untuk volume arsip dan artefak yang
sedikit sering dikirim dengan kereta
Presiden. Semua berkas Roosevelt
berjumlah sekitar 17 juta halaman.
Pada bulan Januari 1953, arsip
Presiden Harry S. Truman pada saat
pengiriman ke Kota Kansas, Missouri
dikemas ke dalam 12 truk tentara.
Karena arsip presiden diperlakukan
sebagai milik pribadi Presiden saat
itu, Truman tidak segera memberikan
arsipnya kepada perpustakaan
tetapi menyatakan keinginannya
untuk membangun Perpustakaan
Truman. Atas permintaan Truman,
pemerintah menugaskan beberapa
arsiparis mengerjakan arsipnya.
Pada tahun 1957, Truman secara
resmi menyumbangkan arsipnya ke
Arsip Nasional untuk disimpan di
Perpustakaan Truman yang baru.
Pemindahan arsip dan artefak
Presiden Dwight D. Eisenhower
terjadi dalam beberapa tahap. Semua
arsip presiden dibawa meninggalkan
Gedung Putih pada bulan Januari
1961. Arsip ini lalu dikirim
ke perpustakaan di Abilene dengan menggunakan truk pada tahun 1965
menjadi milik Arsip Nasional.
Pemindahan arsip presiden yang
paling tidak terduga terjadi saat
kejadian pembunuhan Presiden John
F. Kennedy, semua arsip pemerintahan
Kennedy dipindahkan ke Gedung Arsip
Nasional di pusat kota Washington,
sebelumnya akhirnya dipindahkan ke
Boston. Jaksa Agung Robert Francis
“Bobby” Kennedy, salah satu dari
adik laki-laki John F. Kennedy, secara
de facto menjabat sebagai direktur
perpustakaan.
Pemindahan Arsip Presiden Lyndon
B. Johnson dilakukan beberapa bulan
sebelum ia meninggalkan kantornya,
dan sebagian besar arsipnya
dipindahkan pada bulan Januari
1969 sampai dengan hari pelantikan
presiden yang baru. Berbeda
dengan pemindahan arsip presidenpresiden sebelumnya, pemindahan
ini telah direncanakan sejak Johnson
mengumumkan pada tahun 1965
bahwa perpustakaannya akan terletak
di Universitas of Texas.
Sebuah pemindahan arsip yang
sangat tidak biasa terjadi saat
Presiden Richard Nixon mengundurkan
diri pada bulan Agustus 1974. Pada saat
ia mengundurkan diri, arsip presiden
diperkirakan sekitar 42 juta halaman.
Tidak lama setelah pengunduran diri,
Kongres Amerika Serikat meloloskan
Undang-Undang Rekaman Presiden
dan Preservasi Bahan-bahan
untuk merebut arsip presiden,
khususnya kasus Watergate, dan
menempatkannya di Arsip Nasional.
Nixon menggugat pemerintah dengan
mengklaim bahwa arsip itu yaitu
properti pribadinya, seperti yang terjadi
pada setiap Presiden sebelumnya
sejak George Washington. Litigasi
terhadap kepemilikan dan kontrol
arsip Nixon akhirnya diselesaikan oleh
Mahkamah Agung pada tahun 1977
yang mendukung pemerintah.
Perencanaan untuk memindahkan
arsip Presiden Gerald R. Ford bahkan
belum dimulai sampai tanggal 14
Desember 1976, saat Presiden
Ford menandatangani warisan hadiah
arsipnya dan mengumumkan niatnya
untuk membangun perpustakaan.
Hanya dalam minggu pertama pada
bulan Januari, staf Arsip Nasional
dapat bekerja di kompleks Gedung
Putih dengan staf Central File
Gedung Putih untuk melakukan survei
terhadap volume arsip, membangun
kawasan pentahapan, memulai
koleksi, mengumpulkan dalam palet,
dan memindahkan arsip.
Kisah pemindahan arsip yang sulit
lainnya terjadi pada tahun 1980, saat
Presiden Jimmy Carter dikalahkan
setelah satu periode. Arsip Nasional
tidak tahu dimanakah perpustakaan
presiden akan dibangun dan kapan
mulai memindahkan arsipnya.
Karena Arsip Nasional masih memiliki
sekitar 77 hari untuk menyelesaikan
pemindahan arsip yang keluar dari
Gedung Putih sebelum kepala
eksekutif yang baru masuk. Akhirnya,
pada pertengahan Desember 1980,
Arsip Nasional mendapat persetujuan
untuk memindahkan dan mempelajari
perpustakaan presiden yang akan
dibangun di Atlanta. Ini yaitu
transisi presiden terakhir yang
dipindahkan sepenuhnya dengan truk.
Transisi Presiden Ronald Reagan
pada tahun 1989 yaitu implementasi
pertama Undang-Undang Arsip
Presiden Tahun 1978. Pemeliharaan
yang sah terhadap arsip presiden
otomatis diserahkan ke NARA.
Pemerintahan Reagan yang pertama
menggunakan e-mail, yang sebagian
besar sangat rahasia diciptakan pada
sistem Dewan Keamanan Nasional.
Pemindahan arsip George H.W.
Bush, seperti juga Ford dan Carter,
dilakukan dalam jangka waktu yang
sangat padat, NARA menggunakan
tentara dari Fort Hood, Texas, untuk
menyimpan arsip ke dalam fasilitas
sementara, mengonversi gelanggang
bowling sekitar tiga kilometer dari
lokasi permanen di kampus Texas
A&M University. Pengiriman pertama
(dua pesawat cargo C-5 untuk arsip
dan artefak) tiba di Perpustakaan Bush
pada tanggal 15 Januari 1993.
Pemindahan arsip Presiden William
J. Clinton yaitu yang terbesar yang pernah dilakukan, yang melibatkan
sekitar 75 juta halaman, sekitar 75.000
artefak, dan jutaan arsip audiovisual.
Transisi ini juga melibatkan sejumlah
besar sistem arsip elektronik, serta
sebagai hasilnya, staf teknologi
informasi NARA kian menjadi bagian
penting dari pemindahan arsip
presiden. Untuk pertama kalinya, NARA
mempekerjakan staf di perpustakaan
Clinton sebelum masa transisi, dimulai
pada bulan November 1997. ini
untuk menjamin kesiapan staf pada
saat arsip dipindahkan ke NARA.
Pada saat itu berakhir, staf NARA,
bekerja sama dengan Pentagon,
memindahkan sekitar 67.000 kaki
bahan-bahan (total sekitar 836 ton)
ke fasilitas sementara Little Rock.
usaha ini mensyaratkan delapan
penerbangan dari pesawat C-5 dan
waktu pengumpulan ke dalam palet,
pemuatan, pembongkaran, dan
penyusunan boks ke dalam rak yang
tidak terhitung oleh staf NARA dan
DoD (Departemen Pertahanan) di
kompeks Gedung Putih, Gedung Arsip
Nasional, Andrews Air Force base,
Litte Rock Air Force Base, dan fasilitas
Perpustakaan Clinton.
Sekali lagi, dalam pemindahan
arsip Presiden George W. Bush
(Jr.) yang memerintah dalam dua
periode, staf NARA, dengan asistensi
Departemen Pertahanan (DoD),
bekerja memindahkan arsip presiden.
saat George W. Bush meninggalkan
Kepresidenan pada hari Selasa
tanggal 20 Januari 2009, saat Presiden
Barack Obama dilantik dan diambil
sumpah sebagai Presiden Amerika
Serikat yang ke-44, arsip resmi dan
hadiah yang diterima Bush atas nama
Pemerintah Amerika Serikat menjadi
milik NARA. Koleksi ini dipindahkan ke
fasilitas Perpustakaan sementara di
Lewisville Texas, sekitar 20 kilometer
dari lokasi perpustakaan permanen di
Kampus Southern Methodist University
di Dallas.
Pada bulan-bulan berikutnya,
spesialis Teknik Informatika NARA
mulai memroses pemuatan sekitar
77 terabytes data ke dalam sistem
Electronic Records Administration
(ERA) dan menyiapkannya untuk
akses. Volume arsip elektronik yang
diterima dari pemerintahan Bush
yang berjumlah 77 terabytes kira-kira
tiga puluh lima kali jumlah data yang
diterima dari pemerintahan Clinton,
yang jumlah itu sendiri beberapa
kali dari masa pemerintahan George
H.W. Bush sebelumnya. berdasar
Undang-Undang tentang Kebebasan
Informasi dan Undang-Undang
Arsip Presiden (44 USC 2001), arsip
Presiden Bush dapat diakses oleh
publik setelah berakhir lima tahun
masa pemerintahannnya.
Hal yang menjadi catatan yaitu
terkait dengan pemindahan arsip
dan artefak presiden yaitu bahwa
transisi Presiden yang menjabat
selama dua periode memberikan lebih
banyak waktu kepada NARA untuk
merencanakan serta menjamin kontrol
arsip lebih baik dibandingkan pemindahan
sebelumnya. Arsip Nasional ini juga
memprakarsai penggunaan sistem
komputer yang melacak pemindahan
arsip dan artefak. Sistem ini mampu
mengontrol setiap boks selama
pemindahan dan menetapkan
sebelumnya setiap boks ke lokasi rak
di tempat tujuan di lokasi penyimpanan
sementara di California.
Semoga penyerahan arsip
di Indonesia seperti yang sudah
dipelopori oleh Presiden SBY akan
menjadi tradisi yang terpelihara dan
berkelanjutan.
yaitu harapan kita bahwa
arsip yang diserahkan dalam kondisi
baik, lengkap dan utuh agar berbagai
peristiwa dan kegiatan yang terekam
di dalamnya dapat dimanfaatkan
seluas-luasnya untuk kepentingan
warga , bangsa dan negara.
Untuk itu diperlukan perencanaan
strategis melalui kajian komprehensif
dalam usaha menyelamatkan mozaik
penting di antara khazanah lainnya
yang dimiliki bangsa ini. (bn)
ungkin kita pernah
mendengar adanya ijazah
palsu bahkan nilai palsu.
Terlebih saat pilkada dan tes masuk
pegawai. ini lah yang disadari oleh
Kantor Arsip Daerah (Karsipda) Kota
Bekasi akan arti pentingnya arsip
sebagai bukti pertanggungjawaban
publik sekaligus sabagai bukti hukum
di pengadilan. Karena palsu tidaknya
ijazah ini dapat dibuktikan
pengadilan, terutama dari arsip data
kelulusan. Selama ini mungkin belum
banyak, lembaga kearsipan daerah
yang memperhatikan arti pentingnya
arsip sekolah. Namun Karsipda Kota
Bekasi sudah memulainya sejak tahun
2012.
SEKILAS KARSIPDA KOTA BEKASI
Karsipda Kota Bekasi dibentuk
berdasar Peraturan Daerah
Kota Bekasi Nomor 03 tahun 2008
tentang Urusan Pemerintah Wajib dan
Pilihan yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Kota Bekasi (Lembaran
Daerah tahun 2008 Nomor 3 SeriE).
Kantor Arsip Daerah Pemerintah Kota
Bekasi ini yaitu unsur
lembaga teknis daerah yang dalam
kedudukannya bertanggung jawab
kepada Walikota Bekasi melalui
Sekretaris Daerah.
Tugas Pokok Karsipda Kota Bekasi
yaitu, pertama, membantu Walikota
dalam koordinasi kewenangan Kantor
Arsip Daerah di bidang penyusunan,
pengelolaan, pemberian informasi, dan
layanan kearsipan. Kedua, membantu
Walikota dalam mengamankan arsip
sebagai bukti pertanggungjawaban
berjalannya pemerintahan.
Ketiga, berusaha menertibkan
penyelenggaraan dan pengelolaan
arsip. Keempat, melaksanakan
pengumpulan, penyimpanan,
perawatan, penyelamatan dan
penggunaan arsip statis. Kelima,
membantu Walikota dalam melakukan
pengendalian kearsipan serta
memberikan pelayanan informasi
kearsipan bagi yang memerlukannya.
M Dengan kekuatan 4 orang arsiparis
dan 17 staf, Karsipda Kota Bekasi
mempunyai visi ”Terpercaya dalam
Pengelolaan Informasi Kearsipan”.
Sedangkan misinya yaitu
“Meningkatkan mutu penyelenggaraan
kearsipan di lingkungan pemerintahan
Kota Bekasi, membangun sarana Depo
Arsip yang representatif, meningkatkan
SDM kearsipan yang profesional, dan
meningkatkan pelayanan kearsipan
dengan mudah, cepat dan akurat”.
Sejak 1 September 2013,
Karsipda yang sebelumnya terletak di
lingkungan perkantoran Pemda Kota
Bekasi Jl Ahmad Yani secara resmi
pindah ke Jl Raya Kodau, Kelurahan
Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota
Bekasi. Gedung yang terdiri dari tiga
lantai ini selain digunakan ruang
kantor struktural dan staf Karsipda
juga sekaligus depo arsip.
ARSIP MASUK SEKOLAH
Selama Karsipda berdiri, banyak
hal yang telah dilakukan dalam bidangkearsipan, antara lain: pengumpulan
dan pengklasifikasian arsip, pemilahan
dan penataan arsip SKPD, pembinaan
dan penataan kearsipan, monitoring
dan evaluasi pengelolaan kearsipan
akuisisi arsip inaktif dan statis SKPD,
pemeliharaan arsip inaktif dan statis
SKPD, penataan gedung kantor
arsip daerah pengadaan sarana dan
prasarana kearsipan manajemen
kearsipan berbasis teknologi informasi
pemeliharaan dan pengelolaan Sistem
Informasi Manajemen Kearsipan
(Simkar), pengadaan Simkar,
peningkatan kompetensi kearsipan,
dan penyelenggaraan bimtek
kearsipan sosialisasi kearsipan. Pada
tahun 2008, Karsipda juga pernah
mengadakan Lomba Kearsipan yang
dihadiri oleh Kasubdit Kearsipan
Daerah I ANRIsaat itu Bapak Supriyadi
(alm).
Menurut Kepala Karsipda Kota
Bekasi Dra. Ani Tariny M.Si., saat ini
eksistensi Karsipda Kota Bekasi juga
sudah mulai diperhitungkan. ini
terlihat dari adanya permintaan tenaga
kearsipan dari Pengadilan Negeri Kota
Bekasi dan permintaan pembenahan
arsip dari RSUD Bekasi. Bahkan pada
tahun 2015 nanti status Kantor akan
ditingkatkan menjadi Badan bergabung
dengan Perpustakaan menjadi Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Daerah
(Bapusipda).
Pada tahun 2012, Karsipda mulai
melakukan terobosan, yaitu mulai
melirik ke arsip sekolah, melalui
program Arsip Masuk Sekolah.
ini dilaksanakan dalam rangka
menyelamatkan keberadaan arsip di
sekolah-sekolah. Karena selama ini
kearsipan di sekolah belum tersentuh
oleh pembinaan langsung dari pemda.
Padahal sekolah yaitu pencipta
arsip, khususnya arsip vital yang
bersifat permanen dan harus disimpan
selamanya. Program ini juga didukung
oleh banyaknya permintaan dari
sekolah, baik SMPN maupun SMKN/
SMAN, untuk dilakukannya kegiatan
pemilahan dan penataan arsip.
Sejak program ini dilaksanakan pada bulan November 2012
hingga saat ini, jumlah sekolah yang
telah dibina kearsipannya , yaitu
mencapai 25 SMPN, 17 SMAN,
dan 11 SMKN (total 53 sekolah).
Implementasi program Arsip Masuk
Sekolah yang dibiayai APBD Kota
Bekasi, yaitu pembinaan dan penataan
arsip sekolah dan bimbingan teknis
kearsipan dengan menghadirkan
tenaga kearsipan dengan narasumber
dari ANRI, Inspektorat, dan Karsipda,
agar sekolah menerima langsung
wawasan/pengetahuan dari yang
berkompeten dan juga dapat praktek
langsung dan melihat suasana
Depo Arsip. Sehingga tujuan yang
ingin dicapai dalam implementasi
Program Arsip Masuk Sekolah,
yaitu agar semua penyelenggaraan
pemerintahan Kota Bekasi dapat
memahami dan melaksanakan tertib
administrasi terutama dari arsip-arsip
sebagai bukti rekaman kegiatan dan
bahan pertanggungjawaban dapat
tercapai secara maksimal.
Namun, program Arsip Masuk
Sekolah ini bukannya tanpa
kendala. Menurut Kasie Pengelolaan
Arsip Dra. Eli Sulaeliyah, beberapa
hambatan yang sering ditemui, antara
lain belum tersedia ruangan khusus
untuk record centre di sekolah,
pengelola khusus kearsipan yang
belum ada, dan kurangnya dukungan
dana dari sekolah.
Semoga ke depannya program
Arsip Masuk Sekolah akan tetap
berjalan serta lebih luas jangkauannya,
sehingga tidak menutup kemungkinan
program ini dapat dicontoh oleh
lembaga kearsipan daerah lainnya di
Indonesia
minggu pagi, di Stasiun
Kereta Api Commuter
LineJakarta. Di ujung kanan
peron, tampak calon penumpang
menunggu kereta KRL Jabodetabek
ke arah Bogor. Di tengah keramaian
hilir mudik aktivitas manusia, aku
melihat seorang bapak dengan
perawakan kurus, kulitnya berwarna
cokelat karena terlalu kerap disapa
sengatan matahari. Ia mengenakan
kaos lusuh dengan warna yang telah
memudar. Wajahnya tampak linglung
sedang matanya berkaca-kaca. Ia
menggendong anak bungsunya
yang berumur tiga tahun dengan
sarung lusuh miliknya yang telah
lama dimakan masa. Anak laki-laki
sulungnya yang berusia enam tahun
terlihat letih, digenggam tangan
kirinya erat oleh sang bapak. Anak
bungsu yang digendongnya terlihat
lelap tidur di dekapan bapaknya,
akan tetapi janggal, kaki anak yang
digendongnya terlihat tak bergerak
sedikit pun, tak ada senggalan
napas yang berembus dari balik
gendongan.
saat KRL Jabotabek jurusan
Bogor datang, bapak dan anak
bersiap memasuki kereta. Tibatiba seorang pedagang teh botol
menghentikan langkah sang bapak.
“Pak, anaknya sudah meninggal,
ya?,” lelaki paruh baya yang akrab
dengan debu jalanan itu dengan
polosnya membenarkan bahwa
anak yang digendongnya sudah
menghadap sang khalik. Tak kuat
dia menahan isak tangis sambil
terus menceritakan keinginannya
untuk membawa anaknya ke Bogor
agar dimakamkan di sana. Spontan
seluruh calon penumpang KRL dan
orang-orang di sekitar stasiun yang
mendengar penjelasannya langsung
berkerumun. Tidak lama, seorang di
antara pengerumun menyarankan
agar lelaki dengan kedua anaknya itu
dibawa ke kantor Polisi Tebet. Seluruh
khalayak di stasiun membenarkan
saran itu.
“Apa yang kamu lakukan atas
anakmu itu?” salah seorang polisi
dengan sangar bertanya, sedangkan
seorang polisi lainnya mengetik
Berita Acara Pemerikaan. Rupanya
polisi yang menginterogasi itu curiga
si anak yaitu korban kejahatan
orang tuanya. Terpaksa lelaki lusuh
itu meladeni pertanyaan-pertanyaan
aneh yang dilayangkan polisi. Ia
terisak berkali-kali mengatakan
bahwa si anak tewas karena penyakit Muntaber. Ia pun menceritakan
secara lengkap kenapa ia menggendong mayat anak bungsu
kesayangannya.
Minggu pagi memang bukan
hari yang indah bagi sang Bapak, pria berusia 38 tahun seorang duda
dengan dua anak yang berprofesi
sebagai pemulung. Lelaki malang
itu ditinggalkan istrinya karena tidak
tahan hidup sebagai pemulung, entah
dimana sekarang ibu dari dua anak
itu berada. Sejak berpisah dengan
istrinya, bapak dua anak itu hidup
menggelandang bersama kedua
buah hatinya menyusuri jalanan
Ibukota.
Gerobak yang biasa digunakannya untuk bekerja, dibuat tertutup
di bagian tengahnya untuk tempat
tidur dan berlindung dua anaknya. Di
bagian depan gerobak dibuat kotak
yang digunakan untuk menyimpan
baju dan keperluan anaknya.
Gerobak modifikasi ala kadarnya itu
selalu mangkal di halte bus kota. Jika
sedang hujan, gerobaknya dibawa
ke halte, agar anak-anaknya tidak
kehujanan.
Setelah lelah mencari sampah
seharian di bawah kolong rel kereta
api, ia tertidur lelap. Sesaat, sang
bapak terbangun. Ada yang berbeda
pada pagi itu, anak bungsunya
terlihat nyaman dan tenang tidur
di dalam gerobaknya. Namun,
wajahnya yang tampak pucat pasi
membuat ia curiga. Ia pun berusaha
membangunkan anak bungsunya
itu.
Melihat anaknya terbujur kaku,
pikirannya melayang pada beberapa
waktu lalu saat ia tak jadi membawa
anak bungsunya ke rumah sakit
karena penyakit muntaber yang
dideritanya. Miris, uang yang tersisa
di kantong hanya lima ribu rupiah,
Hanya doa yang bisa dipanjatkannya
agar si bungsu segera sembuh
dengan sendirinya.
“Saya cuma sekali bawa anak
saya ke puskemas, Saya tak punya
uang untuk berobat lagi. Saya
memulung kardus, gelas dan botol
plastik. Penghasilan saya hanya
sepuluh ribu rupiah sehari. Saat itu
uang saya tinggal lima ribu rupiah.
Jika saya berobat, anak saya satu lagi
mungkin tidak akan makan,” ungkap
sang bapak kepada polisi, tak kuasa
ia membendung air matanya.
Belum selesai menjelaskan,
pikiran sang bapak kembali
melayang, tangisnya pun kembali
pecah sesaat .
“Saya hanya punya uang enam
ribu rupiah sekarang. Tidaklah
mungkin untuk membeli kain kafan,
menyewa ambulans dan biaya
pemakaman.” paparnya kembali.
Sementara itu, anak bungsunya
yang tak lagi bernyawa, masih
terbaring di gerobak. Sang bapak
tak mau lagi mengecewakan anak
gadisnya itu.
“Bapak akan buat pemakaman
seperti orang lainnya buatmu, Nak,”
ucap sang bapak bertekad dalam
hati. Ia pun langsung mengajak
anak sulungnya berjalan membawa
gerobak berisi jenazah adiknya ke
Stasiun KRL. Naik kereta api, ia
berniat menguburkan anak bungsunya di kampung pemulung di Bogor.
Ia berharap di sana mendapatkan
bantuan dari sesama pemulung,
dengan bermodalkan sarung lusuh
dan kotor, iamembungkus jenazah
anak bungsunya dengan kaus warna
putih lusuh yang biasa ia pakai.
Mendengar penjelasan lelaki
paruh baya yang dilanda kemalangan
itu, polisi belum langsung percaya
dan memaksa membawa jenazah
itu ke rumah sakit untuk diotopsi.
Polisipun menyuruh sang bapak agar
membawa anaknya ke rumah sakit
dengan menumpang mobil ambulan
hitam. Ia tidak mengerti, kenapa polisi
tidak ada yang bertanya apa yang
dapat mereka bantu kepadanya.
Seandainya mereka semua itu bisa
membantu. Bukannya mengirimkan
ia dan anaknya ke rumah sakit.
Di rumah sakit, cerita sang bapak
dan mayat anaknya terus berlanjut.
Dengan alasan autopsi, pihak rumah
sakit bermaksud menahan mayat
anaknya yang sudah terbujur kaku.
Mendengar hal itu, ia pun geram,
ia tidak mau anaknya dibelahbelah hanya untuk kepentingan
medis. Masalahnya, ia tidak punya
uang untuk biaya otopsi itu, selain
itu sang bapak kasihan melihat
mayat putrinya yang sudah tenang
dibedah. Ia pun ngotot membawa
anak kesayangannya keluar.
Ayah anak malang itu tetap ngotot
meminta agar mayat si bungsu bisa
segera dimakamkan tapi apa daya
kemampuan bicara dan keadaannya
tidak bisa mendukung alibinya, ia
pun menerima dengan pasrah dan
terpaksa menyetujui usul sang
polisi.
Di rumah sakit, sang bapak
hanya bisa bersandar di tembok
saat menantikan surat ijin pulang
dari rumah sakit sambil memandangi
mayat anaknya yang terbujur kaku
dipangkuannya. Hingga saat itu
sang kakak yang belum mengerti
kalau adiknya telah meninggal masih
terus bermain sesekali memegang
tubuh adiknya yang terbujur kaku.
Waktu berselang, mayat anak
bungsu kesayangannya itu akhirnya
diperbolehkan dibawa keluar rumah
sakit dengan cara digendong.
“Ke mana sang anak harus
dikuburkan?” pertanyaan itu
menghujani pikiran sang bapak.
Dalam keadaan bingung, ia
membopong mayat anaknya ke
jalanan tanpa arah, tanpa tujuan.
Sejumlah sopir ambulans sempat
menawarkan jasa untuk mengangkut
mayat itu. Jasa? Ya, jasa di Jakarta
berarti uang. Sopir ambulans
mengurungkan jasa itu begitu
mendengar sang bapak tidak punya
uang untuk membayar.
Orang kecil seperti ditakdirkan
berteman dengan orang kecil. Para
pedagang sekitar rumah sakit serta
beberapa orang lagi yang kebetulan
ada di trotoar, mulai urunan ikut
menyumbang dengan memberi uang
sekedarnya untuk kemalangan yang
dialami sang bapak dan keluarganya.
Merasa cukup punya uang dari
sedekah, ia memanggil bajaj. Ia
tiba-tiba teringat seorang teman
lama, ibu pemilik rumah petak yang
pernah disewanya beberapa tahun
lalu. Bajaj pun meluncur ke rumah
petak di wilayah selatan Jakarta.
Sesampai di rumah Ibu pemilik
rumah petak ini , sang bapak
dengan hati sedih menceritakan
bahwa ia mengendong mayat anak
bungsunya dan tidak tahu mau
kemana lagi ia harus membawa
mayat anaknya untuk dimakamkan.
Mendengar cerita itu ibu pemilik
rumah petak itu menetaskan air
mata. Perempuan mana yang tidak
menangis mendengar kisah sedih di
hari Minggu itu?
Tubuh mungil dalam balutan kain
sarung warna merah kekuningan
yang sudah lusuh itu lantas direngkuh dari dekapan ayahnya. Mayat itu lalu
dibaringkan di atas kasur tipis yang
berada di ruang tamu rumahnya.
Wanita berusia 40 tahun itu lalu
meminta bantuan tetangganya.
Warga setempat akhirnya dengan
tulus membantu mengurus jenazah,
ada yang membeli kain kafan, ada
yang memasang bendera kuning di
sudut-sudut gang, ada yang berdoa
dan memandikan. Keesokan harinya,
putri bungsu sang bapak dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum (TPU),
anak bungsu kesayangannya itu pun
akhirnya bisa beristirahat dengan
tenang, diantar orang-orang miskin
yang kaya amal. Bertuliskan nama
Cemara, yang biasa dipanggil Ara
oleh ayah dan kakaknya.
Ya, Ara, itulah namaku dari
bapakku yang berprofesi sebagai
seorang pemulung yang berusaha
memakamkan aku ditempat yang
layak. Bapak yaitu sosok orang
yang kaya bagiku bukan kaya materi,
tapi kaya akan hati. Beliau yaitu
pahlawan bagiku meskipun tubuhku
sudah terbujur kaku dipelukannya. Ia
tetap berusaha mencarikanku tempat
yang layak walaupun disangsikan
oleh orang-orang lainnya. Nasib, iya
nasib keluargaku sebagai pemulung
yang tidak berkecukupan. Akan
tetapi, aku, bapakku, dan kakakku
yaitu orang yang bersemangat,
bersemangat dengan pantang
menyerah menjalani hidup. Hingga
pada akhirnya Tuhan rupanya
turun tangan menyelamatkan aku
untuk dipanggil dan menghadap ke
haribaan-Nya.
Esoknya kisah tentangku dan
bapakku yang seorang pemulung,
bak cerita dari negeri dongeng,
menyentak banyak orang di seluruh
Indonesia. Berbagai media cetak dan
televisi mengangkat beritaku menjadi
headline berita mereka. Berbagai
kalangan menyatakan berniat
menyumbang, dari sekedar memberi
dana, memberi pekerjaan pada
bapakku, sampai membiayai sekolah
kakakku. Pendek kata, cerita piluku
itu mengusik naluri warga yang
kini semakin materialistis menjadi
bersimpati atas nasib malang yang
menimpa keluargaku yang seorang
pemulung. Seandainya tidak ada
hari Minggu, mungkin ceritaku dan
bapak tidak pernah menjadi headline
sebuah koran Ibukota. Seandainya,
biaya rumah sakit bisa gratis seperti
yang dikatakan janji para calon
legislatif pada saat kampanye
pemilihan umum, ceritaku ini tidak
akan pernah terjadi. Ah, seandainya
biaya pemakaman dan harga
kain kafan, semurah kita membeli
kerupuk, tidak akan ada kisah
sedihku disini. Seandainya, dan
seandainya aku tahu ini hanyalah
mimpi tidur semalam, bapak pasti
masih bisa mengajak aku dan
kakak jalan-jalan ke sebuah taman
dengan gerobak rumahku sambil
bercengkrama menikmati dunia yang
indah ini.Seandainya.